Pedang Awan Merah Jilid 08 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pedang Awan Merah

Karya : Kho Ping Hoo
Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo
Jilid 08
SETELAH sebulan pernikahan dirayakan, Han Lin tetap tidak mau menggauli Mulani. “Sekali saja, kalau hal itu benar terjadi, merupakan perbuatan terkutuk dariku. Aku ingin bersembahyang dulu di depan makam ayah-bundaku untuk mohon ampun, atas perbuatanku yang memalukan nama leluhur itu, Mulani, sebelum aku dapat menjadi suamimu dalam arti yang seluas-luanya dan sedalam-dalamnya.”

“Akan tetapi kita telah menikah, Han Lin. Aku telah menjadi isterimu yang sah dan engkau menjadi suamiku,” bantah Mulani yang tentu saja merasa tidak senang dengan sikap suaminya.

“Benar, akan tetapi apa yang terjadi di hutan itu sungguh akan selalu menjadi kenangan terburuk dan perasaan dosa dariku sebelum aku bersembahyang di depan makam orang tuaku di kota raja. Kuharap engkau suka bersabar dan memaklumi keadaanku, Mulani.”
Mulani terpaksa tidak dapat memaksa, walaupun di dalam hatinya ia gelisah sekali karena ternyata bahwa ia telah mengandung akibat hubungan sebadan yang terjadi di luar pengetahuannya itu. Sebetulnya, di dalam hati kecilnya ia juga meragu adakah benar Han Lin yang menggaulinya. Melihat watak dan sikap Han Lin, agaknya sukar dipercaya bahwa Han Lin akan mengambil kesempatan seperti itu untuk bertindak keji.

Bahkan ia sendiri menyaksikan bahwa ketika ia sadar lebih dulu, Han Lin masih belum siuman. Akan tetapi, kalau tidak menuduh Han Lin, lalu menuduh siapa? Dan peristiwa itu bahkan telah menolongnya, menolong tercapainya siasat yang direncanakan. Tentu saja ia merasa gembira sekali dengan terjadinya peristiwa yang menimpa dirinya itu. Peristiwa itu telah mendatangkan dua hasil.

Pertama, keinginannya untuk menjadi isteri Han Lin terkabul, dan ayahnya dapat menanam seorang mata-mata di istana Kaisar Tang. Sebagai seorang mantu tentu saja Han Lin dapat dipercaya. Akan tetapi, sejak malam perayaan sampai sebulan lebih, Han Lin menolak menggaulinya sebagai seorang suami, dengan alasan untuk berziarah dulu ke makam orang tuanya.

Pagi hari itu, suami isteri yang dari luar nampak rukun itu, duduk makan pagi di beranda depan. Dalam kesempatan ini, Han Lin mengutarakan maksud hatinya.

“Mulani, kuharap engkau tidak melupakan janjimu tentang Ang-in Po-kiam,” dia mulai.

“Suamiku, akupun menagih hakku. Sejak pernikahan kita, engkau belum benar-benar menjadi suamiku.”

“Mulani, bukankah sudah kuberitahukan alasanku? Biarpun di luar kesadaranku, kita sudah berhubungan sebagai suami isteri, bukan?”

Mulani menghela napas panjang. “Benar, dan yang satu kali itu telah diberkahi para dewa, suamiku. Aku telah mengandung sebagai akibat hubungan kita yang satu kali itu.”

“Apa..?” Han Lin melompat berdiri.

“Suamiku, mengapa terkejut? Sepatutnya engkau bergembira, bukankah kita akan mempunyai anak, mempunyai keturunanmu?”

Han Lin menghela napas panjang. “Tentu saja, kita seharusnya bergembira. Aku hanya terkejut karena tidak menyangka-nyangka bahwa perbuatan di luar kesadaran itu akan membuahkan seorang anak.”

“Sekarang, keinginanmu bagaimana, Han Lin suamiku?”

“Seperti kukatakan tadi, aku menagih janjimu. Pedang itu harus kuserahkan kembali kepada kaisar dan aku sekalian akan mengunjungi makam keluargaku, ayah bundaku.”

“Kalau begitu, mari kita menghadap ayah, karena pedang itu disimpan oleh ayahku.”

Suami isteri ini lalu menghadap KU Ma Khan. Mendengar permintaan puterinya agar Ang-in Po-kiam diserahkan kepada Han Lin, ketua suku Mongol itu berkata, “Tentu saja. Engkau adalah putera mantuku, Han Lin. Sudah sepantasnya kalau engkau yang mewakili aku untuk mengembalikan pedang itu kepada kaisar Thai Cung dari Kerajaan Tang. Engkau serahkan pedang ini, dan terimalah kedudukan tinggi di sana. Dengan demikian, maka hubungan antara kaisar dan kami menjadi baik. Kami mengharapkan agar engkau menjadi jembatan hubungan baik itu demi kebaikan kedua pihak.”

Pada hari-hari sebelumnya Han Lin sudah mendengar dari Mulani bahwa ayahnya ingin agar dia mengembalikan pedang dan menjadi penyelidik bangsa Mongol dan sedapat mungkin membujuk Kaisar agar bersikap bersahabat terhadap bangsa Mongol, terutama suku bangsa yang dipimpin oleh Ku Ma Khan.

Di dalam hatinya, Han Lin tidak mungkin mau berkhianat terhadap kaisar. Akan tetapi kalau hanya mengusahakan agar kedua bangsa menjalin hubungan baik, tentu saja dia tidak berkeberatan. Diapun menyatakan kesanggupannya dan berjanji bahwa setelah dia diterima kaisar dan memperoleh kedudukan, dia akan pulang dan memboyong Mulani.

“Suamiku, biarkan aku ikut pergi denganmu.” Mulani merengek karena dia tidak ingin ditinggalkan suaminya tercinta.

“Mulani, perjalanan ini jauh dan berbahaya sedangkan engkau sedang mengandung. Amat berbahaya dan tidak baik kalau engkau ikut. Dan kita belum tahu bagaimana penerimaan kaisar kepadaku nanti. Tidak, engkau tinggal saja di sini dan aku berjanji bahwa aku akan memboyongmu ke sana kalau aku sudah berhasil,” kata Han Lin.

Ku Ma Khan membenarkan ucapan mantunya dan melarang Mulani ikut dengan suaminya yang akan membahayakan keselamatannya sendiri, bahkan mungkin akan menggagalkan tugas Han Lin.

Demikianlah, sambil membawa Ang-in Po-kiam dan menerima bekal dan seekor kuda dari ayah mertuanya, Han Lin berangkat menuju ke selatan. Sebelum dia berangkat, yang menjadi kenangannya sampai sekarang adalah pesann Ku Ma Khan bahwa kalau dia bertemu dengan Sam Mo-ong, agar dia dapat bekerja sama dengan mereka.

“Sam Mo-ong adalah pembantu kami, dan engkau adalah menantuku, sudah sewajarnyalah kalau engkau bekerja sama dengan mereka, Han Lin.”

Jalan hidupnya sudah menyimpang, pikirnya. Dia berada dalam posisi yang terbalik sama sekali dari keadaannya sebelum menikah dengan Mulani. Pernikahan yang tidak ada artinya sama sekali baginya. Sampai sekarang diapun belum pernah menyentuh isterinya itu. Dia masih meragukan apakah dia yang melakukan hubungan dengan Mulani ketika itu, akan tetapi sukar sekali untuk membuktikan bahwa dia tidak bersalah.

Akan tetapi yang jelas, Mulani telah diperkosa! Ini sudah menjadi kenyataan yang tak dapat dibantah lagi karena buktinya Mulani sekarang mengandung. Anaknyakah yang dikandungnya itu? Atau bukan? Dia menjadi pusing. Dia memang suka dan kagum kepada gadis Mongol itu, akan tetapi dia tidak ingin menjadi suaminya.

Dia tidak ingin mempunyai perasaan cinta kasih untuk itu. Akan tetapi apa hendak dikata? Keadaan menghendaki lain dan kini dia suami Mulani, dan yang lebih membingungkan, dia mantu Ku Ma Khan yang menghendaki agar dia menjadi semacam mata-mata di istana Kaisar Kerajaan Tang!

* * * * * * *

Hen-bin Mo-ong terhuyung-huyung sambil tertawa-tawa. Dia telah terluka hebat, keracunan oleh pukulannya sendiri yang membalik ketika beradu tenaga dengan Han Lin. Kadang-kadang dia menggigil, dan napasnya sesak terengah-engah. Akan tetapi dia masih terus tertawa dan terkekeh.

Luka di sebelah dalam yang mengandung racun itu, agaknya telah membuat Hek I Mo-ong menjadi gila. Akhirnya, ketika dia mendaki bukit itu, setibanya di lereng bukit, dia terhuyung dan roboh pingsan. Dahinya terjatuh menimpa batu sehingga berdarah. Dia mengeluarkan teriakan sekali.

Pada saat itu, dari puncak bukit turun seorang wanita. Wanita ini masih muda sekali, usianya delapan belas tahun lebih, cantik jelita dan lembut, langkahnya ringan dan seperti orang menari saja, pakaiannya serba putih dari sutera halus. Mengherankan melihat wanita yang seperti puteri kerajaan itu berjalan seorang diri di tempat sunyi itu, di atas jalan yang tidak mudah dilalui.

Wanita itu bukan orang biasa, melainkan seorang ahli silat yang amat lihai, juga seorang ahli obat yang sukar dicari bandingnya di waktu itu. Ia adalah Lie Cin mei yang berjuluk Kwan Im Sian-li (Dewi Kwan Im). Ia dijuluki orang demikian karena sepak terjangnya yang suka mengulurkan tangan menolong siapa saja tanpa pilih bulu.

Ketika ia sedang menuruni bukit membawa sebuah keranjang obat yang penuh dengan daun-daun dan akar-akar obat, ia mendengar teriakan yang parau menyeramkan itu. Cepat iapun melangkah menuju ke arah suara dan ia mendapatkan Hen-bin Mo-ong menggeletak pingsan di situ.

Sekali pandang saja, Kwan Im Sian-li Lie Cin Mei ini mengenal Hek-bin Mo-ong sebagai seorang datuk, seorang dari Sam Mo-ong yang amat terkenal. Akan tetapi, menghadapi seorang yang sedang sakit, ia tidak memandang siapa orangnya. Ada orang sakit dan membutuhkan pertolongannya. Ini saja yang masuk dalam pikirannya.

Cepat ia meletakkan keranjangnya dan berjongkok, memeriksa nadi dan dada orang itu. Dan ia terkejut bukan main. Laki-laki gendut pendek bermuka hitam itu telah keracunan hebat! Di dalam tubuhnya terdapat hawa dingin sekali berputaran, mengancam nyawanya setiap saat. Kalau tidak segera ditolong, jelas orang ini akan mati dalam waktu beberapa jam saja.

Lie Cin Mei lalu duduk bersila, menggulung lengan bajunya sehingga nampak sepasang lengannya yang berkulit putih mulus. Dari pengalaman dan pengetahuan tentang pengobatan, dara ini menyadari bahwa untuk mengusir racun itu tidak cukup hanya dengan mengolesi obat luar dan memberinya minum obat dalam, akan tetapi membutuhkan pengerahan sin-kang yang akan menguras tenaganya.

Akan tetapi, dalam saat-saat seperti itu, Cin Mei tidak memperhitungkan untung ruginya. Yang terpenting saat itu baginya hanyalah menyelamatkan nyawa seorang manusia, tanpa membedakan siapa manusia itu. Baik dia seorang pengemis atau pembesar, baik ia kaya atau miskin, jahat atau budiman, dia tetap seorang manusia yang terancam maut dan harus diselamatkan.

Cin Mei mengeluarkan buntalan obat-obatan, mengeluarkan dua butir obat pulung kecil, membuka mulut Hek-bin Mo-ong dengan menekan kedua rahangnya, memasukkan dua butir obat pulung ke dalam mulut sehingga dua butir obat itu memasuki perutnya, kemudian menggunakan obat berminyak untuk mengolesi dadanya yang berubah menghitam.

Setelah itu, ia menelungkupkan tubuh Hek-bin Mo-ong dan dengan bersila di dekatnya, ia menjulurkan kedua lengannya, telapak kedua tangan menempel di punggung dan mulailah ia melakukan pengobatan dengan penyaluran sin-kang untuk mengusir hawa dingin beracun itu dari dalam tubuh Hek-bin Mo-ong.

Ia merasa betapa hawa yang dingin sekali menyambut kedua telapak tangannya. Ia mengerahkan seluruh tenaganya dan tak lama kemudian hawa dingin itu mulai berkurang. Akan tetapi segera peluh membasahi dahinya. Ia bekerja terus sampai tubuh Hek-bin Mo-ong mulai menggetar dan tubuhnya sendiri juga tergetar hebat.

Sejam lebih Cin Mei menyalurkan tenaganya dan akhirnya Hek-bin Mo-ong muntah-muntah. Gumpalan darah menghitam keluar dari mulutnya dan akhirnya dia siuman dan bergerak bangkit duduk. Cin Mei merasa lega dan gembira karena ia tahu bahwa nyawa orang itu telah diselamatkan. Kini Hek-bin Mo-ong tidak terancam maut lagi. Akan tetapi, tubuhnya sendiri bergoyang-goyang dan ia merasa lemas sekali, kehabisan tenaga sin-kang.

Hek-bin Mo-ong sadar akan keadaannya. Dia melompat berdiri dan menyambar bajunya yang tadi dilepas oleh Cin Mei. Ketika dia melihat seorang gadis berpakaian putih yang cantik jelita duduk bersila memejamkan mata, dia terbelalak. Hek-bin Mo-ong adalah seorang kakek yang cabul dan mata keranjang. Melihat seorang gadis demikian cantiknya duduk bersila di situ, tentu saja gairahnya berkobar bagaikan api yang membakar tubuhnya.

“Aih, nona, engkau cantik seperti bidadari!” katanya sambil mendekati, berlutut dan hendak merangkul.

Kwan In Sian-li Lie Cin Mei membuka mata dan menangkis dengan tangannya yang lemah dan berkata, “Hek-bin Mo-ong, jangan biarkan nafsu kotor menguasaimu. Aku baru saja menghabiskan tenaga untuk menyelamatkan nyawamu.”

Hek-bin Mo-ong tidak jadi merangkul dan dia tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, kiranya engkau inikah yang berjuluk Kwan Im Sian-li, si tukang mengobati yang amat lihai!”

“Memang orang menyebutku Kwan Im Sian-li dan melihat engkau menggeletak di sini, pingsan keracunan, aku lalu mengobatimu.”

“Bagus, bagus! Aku mendengar bahwa Kwan Im Sian-li memang cantik seperti bidadari dan ternyata berita itu benar. Dan karena aku sudah berhutang nyawa kepadamu, hanya ada satu jalan saja untuk membalas budimu. Yaitu, menjadikan engkau sebagai isteriku tercinta!”

Kembali dia merangkul. Tentu saja Cin Mei terkejut bukan main. Tak disangkanya di dunia ini ada orang sejahat dan sekotor itu jalan pikirannya. Biarpun tenaganya sudah habis, namun ia masih mempunyai sisa tenaga untuk melompat bangun dan menghindarkan diri dari rangkulan Hek-bin Mo-ong.

“Hek-bin Mo-ong, sadarlah! Aku tidak minta balasan dari pertolonganku, akan tetapi tidak sepatutnya kalau engkau melakukan hal ini kepadaku. Biarkan aku pergi dari sini, Hek-bin Mo-ong dan semoga Thian memberkahimu.” Ia melangkah pergi akan tetapi sambil tertawa bergelak Hek-bin Mo-oong menubruk dan berhasil menangkapnya.

“Hek-bin Mo-ong, lepaskan aku!” Lie Cin Mei meronta dan membentak.

“Ha-ha-ha, engkau harus menjadi isteriku agar aku tidak takut lagi menderita luka seperti tadi. Ha-ha-ha!”

“Hek-bin Mo-ong, lepaskan atau aku akan membunuh diri!” kata lagi Cin Mei.

Akan tetapi ucapan ini seperti mengingatkan saja kepada Hek-bin Mo-ong dan dia segera menotok gadis itu yang menjadi lemas dan tidak berdaya. Hek-bin Mo-ong tertawa-tawa dan membawa tubuh Cin Mei pergi dari situ. Belum seratus langkah dia pergi, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring,

“Hek-bin Mo-ong, lepaskan gadis itu!” dan sebatang tongkat butut menyambar ke arah kepalanya.

Demikian hebat serangan itu dan demikian kaget hati Hek-bin Mo-ong mengenal suara itu sehingga dia terpaksa melepaskan tubuh yang dipanggulnya dan dia melempar diri ke belakang dengan menggelinding seperti sebuah bal ditendang. Ketika dia melompat bangkit kembali, dia memandang kepada Han Lin dengan mata mencorong penuh kemarahan. Pemuda inilah yang membuat dia terluka parah beberapa bulan yang lalu sehingga dia hampir saja tewas.

Akan tetapi, mengeroyok bersama dua orang rekannya saja dia masih belum mampu menang bahkan terluka, apalagi harus bertanding satu lawan satu. Akan tetapi karena marah sekali melihat gadis yang sudah berada di mulut tinggal menelan saja itu lepas lagi, dia lalu menerjang dengan pukulan dingin beracunnya yang dahsyat. Namun, Han Lin menghindar ke samping dan ketika kakinya mencuat, paha Hek-bin Mo-ong terkena tendangannya.

Hek-bin Mo-ong terlempar ke belakang dan dia menjadi jerih. Dilihatnya gadis itu sudah bangkit dan agaknya, entah bagaimana, gadis itu sudah berhasil membebaskan diri dari totokannya. Dia sudah mendengar bahwa selain ahli dalam ilmu pengobatan, gadis itu lihai pula ilmu silatnya. Kalau gadis itu maju mengeroyoknya, habislah dia. Maka, sambil mengeluarkan teriakan panjang seperti lolong serigala, dia meloncat dan melarikan diri.

“Hek-bin Mo-ong sekali engkau tidak akan lolos dari tanganku!” Han Lin mengejar.

“Jangan kejar dia...!” Cin Mei berseru dan gadis ini berkelebat di depan Han Lin. Ia telah menggunakan sisa tenaganya untuk melompat ke depan Han Lin.

“Jangan....jangan kau bunuh orang....!”

Han Lin terbelalak, apa lagi ketika melihat gadis itu terkulai dan roboh pingsan. Cepat dia melompat dan menahan agar tubuh itu tidak sampai terbanting dan mendapat kenyataan bahwa nadi tangannya berdetik lemah sekali. Han Lin merebahkan gadis itu di atas rumput dan menjaganya. Dia tahu dari pemeriksaannya bahwa Cin Mei tidaklah terluka, hanya tubuhnya lemah sekali.

Diam-diam dia mengamati wajah gadis itu dan jantungnya berdebar kencang. Bukan main cantik jelitanya gadis ini. bahkan tidak kalah cantik dibandingkan dengan Yang Mei Li, adik misannya yang pernah dicintanya itu. Dan betapa lembutnya, nampak agung dalam pakaiannya yang serba putih bersih. Pantas ia berjuluk Kwan Im Sian-li, pikirnya.

Mulutnya yang kecil mungil itu mengeluh dan belum juga ia membuka matanya, ia mengeluh, “Jangan bunuh orang....”

Han Lin terharu. Heran sekali dia. Jelas bahwa Hek-bin Mo-ong tadi menggangu gadis ini, jelas bahwa iblis itu mempunyai niat keji terhadapnya, akan tetapi mengapa ia melarang dia membunuhnya?

Cin Mei membuka matanya, agaknya baru teringat ketika melihat Han Lin duduk di dekatnya. Ia bangkit duduk lalu bertanya. “Di mana Hek-bin Mo-ong? Engkau tidak membunuhnya, bukan?”

Han Lin menggeleng kepalanya. “Dia sudah melarikan diri. Akan tetapi, apa yang telah terjadi, nona? Kenapa engkau ditawannya?”

“Ah, manusia itu dikuasai nafsu rendahnya. Aku mendapatkan dia rebah pingsan dalam keadaan terluka oleh hawa beracun dingin dan nyaris mati. Aku segera mengobatinya dan mengerahkan sin-kang untuk mengusir hawa beracun itu. Aku berhasil, akan tetapi tenagaku terkuras habis. Setelah dia sadar dan sembuh, dia malah hendak memaksa aku menjadi isterinya.”

“Jahanam busuk! Keparat engkau, Hek-bin Mo-ong!” seru Han Lin marah. “Akan tetapi, kenapa engkau melarangku ketika aku hendak mengejar dan membunuhnya?”

“Kejahatannya itu adalah suatu penyakit. Orang yang sakit itu sepantasnya diobati dan disembuhkan, bukan dibunuh!” jawab Cin Mei.

Han Lin tertegun. “Akan tetapi, dia membalas kebaikanmu dengan kejahatan. Membalas madu yang kauberikan dengan racun. Orang seperti itu sudah pantas kalau seratus kali dibunuh. Akan tetapi, mengapa engkau membelanya?”

“Aku tidak membelanya. Aku melarangmu membunuhnya bukan demi dia, melainkan demi engkau sendiri.”

“Ehhh...?”

“Engkau telah menolong aku dari tangan Hek-bin Mo-ong...”

“Dan engkau juga pernah menolongku dari tangan Jen I Sian-li Cu Leng Si, bahkan mengobati lukaku.”

“Jangan bicarakan itu, aku sudah lupa lagi. Maksudku, engkau seorang yang baik dan aku tidak ingin melihat engkau menjadi seorang pembunuh.”

Kembali Han Lin tertegun. Belum pernah selama hidupnya dia bertemu dengan seorang gadis seperti ini. Betapa mulia hatinya, betapa lembut, halus dan agung. “Nona, Lie Cin Mei, aku belum memperkenalkan diriku. Namaku Sia Han Lin.”

“Marga Sia? Aku teringat akan seorang paman luarku yang juga bermarga Sia, bahkan dia pernah menjadi seorang yang amat terkenal di seluruh negeri.”

“Hemm, siapa nama pamanmu itu?”

“Sia Su Beng....”

“Ahhhh...!” Han Lin sampai melompat saking kagetnya.

“Kenapa engkau begitu terkejut?” Cin Mei bertanya heran.

“Karena... karena Sia Su Beng itu adalah mendiang ayah kandungku!” Setelah mengeluarkan kata-kata itu, barulah Han Lin teringat bahwa dia harus menyembunyikan keadaan dirinya. Entah mengapa, di depan gadis ini dia tidak dapat berbohong!

“Aihh, begitukah? Aku mendengar bahwa paman Sia Su Beng dan isterinya gugur ketika mempertahankan kota raja.”

“Benar, dan aku menjadi sebatang kara.”

“Kalau begitu, kita masih ada hubungan keluarga, walaupun amat jauh karena mendiang Paman Sia Su Beng hanya merupakan saudara misan yang jauh dari ibuku. Bahkan mereka tidak pernah ada hubungan, apa lagi sejak Paman Sia Su Beng menjadi penguasa di kota raja.”

“Siapakah nama ibumu?”

“Ibu adalah Wi Wi Sian-kouw, sejak muda sudah menjanda dan menjadi pendeta. Suci Cu Leng Si adalah murid ibu pula. Akan tetapi aku pernah menjadi murid Thian-te Yok-sian dari siapa aku mempelajari ilmu pengobatan.”

“Wah, nama-nama yang besar sekali di dunia persilatan. Sudah lama aku mendengar nama Wi Wi Sian-kouw disebut-sebut orang, juga nama Thian-te Yok-sian dikagumi orang.”

“Ya, mereka memang terkenal. Akan tetapi, sayang watak suci amat keras sehingga dulu itu hampir saja ia membunuhmu.”

“Tidak, sebenarnya ia seorang yang amat baik hati. Kau tahu kini ia malah menjadi enci angkatku. Ia mengaku bahwa dahulu itu ia menyiksaku untuk mendapatkan Ang-in Po-kiam, karena ia membutuhkan pedang itu untuk dihaturkan kepada kaisar dan untuk membebaskan ayahnya dari tahanan kaisar karena fitnah.”

“Benarkah itu? Aku girang sekali engkau menjadi adik angkatnya. Memang suci orang baik akan tetapi hatinya sekeras baja. Aku juga mendengar tentang ayahnya itu dan bagaimana dengan pendang Ang-in Po-kiam?”

“Tadinya pedang terampas oleh Sam Mo-ong, akan tetapi kini telah berada di tanganku. Aku memang sedang mencari sucimu, untuk kuajak bersama-sama menghaturkan pedang kepada kaisar, nona... eh, sebaiknya kupanggil siauw-moi kepadamu karena engkau adalah keponakan luar mendiang ayahku.”

“Sebaiknya begitu, twako.”

“Aku hendak mencarinya ke Souw-ciu ketika di jalan aku melihat engkau ditawan oleh Hek-bin Mo-ong.”

“Kalau begitu, lanjutkanlah perjalananmu, twako, agar engkau dapat bertemu suci dan mengajaknya bersamamu pergi ke kota raja. Aku ikut merasa gembira kalau ia dapat membebaskan ayahnya. Sampai jumpa kembali, twako.”

“Tidak, tidak! Aku tidak akan meninggalkanmu, siauw-moi!”

“Kenapa, twako?”

“Engkau telah kehabisan tenaga sin-kang dan untuk memulihkannya kembali membutuhkan waktu sedikitnya seminggu. Aku tidak mau melepaskanmu begitu saja seorang diri melakukan perjalanan dalam keadaan tidak mampu membela diri.”

Gadis itu tersenyum, senyumnya demikian manis namun menyejukkan hati, bukan senyum yang menimbulkan gairah pada yang memandangnya. “Twako, selamanya aku tidak pernah memusuhi orang, siapa yang akan menggangguku?”

“Aih, aku percaya kepadamu, siauw-moi. Akan tetapi aku tidak percaya kepada orang lain. Buktinya baru tadi saja, setelah engkau menyelamatkan nyawa Hek-bin Mo-ong, orang yang kauselamatkan itu berbalik hendak mencelakaimu.”

“Dan akhirnya aku terbebas. Aku percaya bahwa selama orang tidak membenci dan berpikiran buruk terhadap orang lain, Thian akan selalu memberi perlindungan.”

“Akan tetapi, aku akan menyesal selama hidupku kalau aku membiarkan engkau pergi dan kemudian terjadi sesuatu yang tidak baik kepadamu. Tidak, siauw-moi, sebelum pulih tenagamu, aku tidak mau meninggalkanmu. Ke manapun engkau pergi akan kutemani.”

Lin Cin Mei tertawa. “Wah, engkau pun memiliki kekerasan hati seperti suci. Pantas sekali engkau menjadi adik angkatnya. Baiklah, kalau begitu aku akan ikut denganmu ke Souw-ciu mencari suci.”

Bukan main girangnya hati Han Lin karena sesungguhnya bukan karena mengkhawatirkan keselamatan gadis itu saja yang membuat dia berkeras menemani gadis itu, melainkan terutama sekali karena dia tidak ingin berpisah dari Cin Mei! Mereka lalu melanjutkan perjalanan. Han Lin mengambil kudanya yang tadi dilepaskan di luar hutan. Dia menyuruh Cin Mei menunggang kuda sedangkan dia sendiri berjalan menuntun kuda itu. Cin Mei yang memang masih lemah, tidak menolak.

Di dalam perjalanan bersama ini, yang dilakukan dengan santai, mereka saling menceritakan riwayat dan pengalamannya. Cin Mei bercerita bahwa ia tidak mengenal ayahnya karena menurut ibunya, sejak kecil ayahnya telah meninggal dunia. Ia hidup bersama ibunya yang menjanda dan menjadi seorang tokouw (Pendeta Wanita To) berjuluk Wi Wi Sian-kouw.

Bahkan ibunya tidak pernah memberitahu siapa nama kecil ibunya dan siapa pula nama ayahnya. Ia mendapat gemblengan ilmu silat dari ibunya bersama Cu Leng Si yang menjadi sucinya, akan tetapi karena ia memiliki bakat dalam ilmu pengobatan, oleh ibunya ia lalu diikutkan Thian-te Yo-sian sahabat ibunya untuk digembleng dalam ilmu pengobatan selama tiga tahun.

“Nah, setelah menamatkan ilmu silat dan ilmu pengobatan, aku mulai merantau untuk menggunakan ilmuku menolong orang yang membutuhkan,” kata Lie Cin Mei menutuh ceritanya.

“Dan enci Leng Su juga ahli pengobatan?”

“Tidak, apakah ia tidak menceritakan kepadamu? Enci Leng Si lebih tekun mempelajari kitab dari ibu dari pada ilmu pengobatan.”

“Pantas ia pandai sekali membaca sajak dari ayat-ayat suci. Akan tetapi engkau sungguh mengagumkan. Masih begini muda sudah pandai ilmu silat dan ilmu pengobatan.”

“Aih, sudahlah jangan terlalu banyak memuji, twako. Sekarang giliranmu untuk menceritakan riwayat dan pengalaman hidupmu,” kata Cin Mei sambil tersenyum. Gadis ini memiliki kebiasaan untuk menutup kata-katanya dengan senyum. Heran sekali mengapa Hek-bin Mo-ong tega mengganggu seorang gadis seperti ini, padahal gadis ini telah menyelamatkan nyawanya.

Ditanya demikian, wajah Han Lin menjadi muram. “Aih, hanya kepahitan saja yang selama ini kualami, siauw-moi.”

“Pahit, getir dan manis adalah bumbu hidup, twako, tidak perlu disesalkan. Yang penting, langkah yang kita ambil benar dan tidak menyimpang dari kebenaran,” kata gadis itu bijaksana.

“Engkau benar. Nah, dengarlah riwayatku yang penuh kepahitan itu. Ketika kota raja diserbu musuh, ayah dan ibu mempertahankan sampai titik darah terakhir. Aku disuruh ungsikan oleh seorang inang pengasuh ketika aku berusia lima tahun. Inang pengasuhku itu sudah kuanggap seperti pengganti ayah ibu sendiri karena kesetiaannya dan kasih sayangnya. Akan tetapi sungguh menyedihkan. Ketika Sam Mo-ong membuat kekacauan di dusun kami, dan melukai aku, inang pengasuku itu tewas karena hendak menolongku. Aku terjatuh ke jurang karena pukulan Hek-bin Mo-ong dan melihat aku terjatuh ke jurang, Liu Ma ikut pula meloncat ke dalam jurang sampai tewas.” Han Lin berhenti sebentar, sedih mengenang peristiwa itu.

“Mati hidup sudah ditentukan Thian, twako. Tidak ada yang perlu disesalkan dan disedihkan. Thian Maha Tahu, tahu apa yang terbaik untuk setiap orang.”

Han Lin memandang kagum. Heran sekali, ada gadis berusia delapan belas tahun telah memiliki pandangan hidup seperti seorang pendeta saja. “Aku berguru kepada Kong Hwi Hosiang, akan tetapi suhu juga tewas di tangan Sam Mo-ong. Sungguh, kalau aku menuruti suara hati, dendamku terhadap Sam Mo-ong sudah setinggi gunung!”

“Dendam meracuni hati, twako. Engkau boleh saja menentang kejahatan Sam Mo-ong, akan tetapi bukan karena benci atau dendam.”

“Aku tahun siauw-moi, kedua orang guruku sudah seringkali berkata seperti itu. Walaupun kadang amat sukar membendung suara hati yang meneriakkan dendam.”

“Dua orang gurumu, twako?”

“Ya, aku berguru lagi kepada seorang kakek yang luar biasa, yang tidak mau memperkenalkan namanya dan yang kukenal hanya dengan sebutan Lo-jin (orang tua). Dari beliau aku memperdalam ilmu dan selama lima tahun aku berguru kepada beliau. Kemudian beliau memisahkan diri, menyuruh aku untuk mengamalkan ilmu-ilmu yang pernah kupelajari.”

“Luar biasa sekali!” seru Cin Mei kagum. “Engkau beruntung sekali dapat berguru kepada dua orang yang bijaksana, twako. Kemudian bagaimana kelanjutan pengalaman hidupmu?”

Sungguh aneh. Selamanya belum pernah Han Lin menceritakan tentang Lojin kepada orang lain akan tetapi sekali ini dia menceritakan segalanya. Terhadap Cin Mei agaknya tidak mungkin dia menyembunyikan sesuatu, dan diapun tidak ingin merahasiakan sesuatu kepada gadis yang baru dikenalnya ini.

Dia menceritakan semua pengalamannya, bahkan tentang Yang Mei Li yang pernah dicintanya akan tetapi gadis itu mencinta dan menikah dengan orang lain. Tentang bagaimana dia mendapatkan Ang-in Po-kiam ketika ikut membasmi Hoat-kauw yang menyeleweng, mengambil pedang yang tadinya dipergunakan Hoat-kauw Sian-su itu.

Cin Mei mendengarkan dengan tertarik sekali, tak pernah memotong cerita Han Lin dan ia seorang pendengar yang baik. Setelah Han Lin berhenti sebentar, iapun berkata, “Aku pernah mendengar tentang keributan mengenai Ang-in Po-kiam itu. Kabarnya bahkan Cin-ling-pai terbawa-bawa. Bagaimana sebetulnya, twako?”

Han Lin lalu menceritakan semua yang diketahui dan dialaminya.

“Dan pedang itu terlepas dari tanganmu, twako? Siapa yang mengambilnya?”

Lalu diceritakannya bagaimana dia kehilangan Ang-in Po-kiam yang kemudian telah dicuri oleh Sam Mo-ong pula.

“Lalu bagaimana sekarang telah berada lagi di tanganmu? Bukankah engkau hendak mengajak suci mengembalikan pedang itu kepada kaisar?”

Ditanya demikian, Han Lin menarik napas panjang, teringat akan pengalamannya. Sungguh tidak enak menceritakan pengalamannya dengan Mulani kepada gadis ini, akan tetapi entah mengapa dia tidak dapat merahasiakannya.

“Telah terjadi sesuatu yang aneh akan tetapi merupakan suatu malapetaka bagiku, siauw-moi. Sampai sekarangpun aku menjadi bingung dan sedih.”

“Aih, orang seperti engkau ini dapat bingung dan bersedih, twako? Apa sih yang telah terjadi? Tentu hebat sekali kejadian itu.”

Lalu dengan suara penuh duka diceritakannya pertemuannya dengan Mulani. “Entah apa yang terjadi. Kami hanya mendengar ledakan dan kami tidak ingat apa-apa lagi. Setelah kami sadar, kami berdua.... telah.... dalam keadaan telanjang bulat di hutan itu....”

“Hemm, aneh sekali, tentu ada yang sengaja melakukan itu.”

“Entahlah, akan tetapi yang paling hebat, Mulani mengatakan bahwa selagi dalam keadaan pingsan ia telah digauli orang dan tentu saja ia menuduh aku yang melakukannya.”

“Hemm, dan engkau tidak melakukannya, twako?” Gadis ini memang luar biasa sekali. Mungkin karena kedudukannya sebagai ahli pengobatan, membicarakan soal begituan ia merasa biasa saja, tidak canggung sama sekali.

“Bagaiman aku tahu, siauw-moi? Akupun dalam keadaan tidak sabar dan ketika terbangun atau siuman, tahu-tahu kami berdua dalam keadaan telanjang bulat.”

“Lalu bagaimana?”

“Ia menuntutku untuk mengawininya.”

“Dan engkau menerima?”

“Apa lagi yang dapat kulakukan, siauw-moi? Untuk menuduh orang lain siapa yang harus kutuduh dan apa buktinya? Yang jelas, ketika kami siuman kami dalam keadaan telanjang bulat dan Mulani telah ternoda. Dengan bukti keadaan seperti itu, aku tersudut dan sebagai seorang laki-laki aku harus bertanggung-jawab. Ah, sungguh nasibku amat buruk, siauw-moi.”

“Kenapa? Bukankah Mulani itu seorang gadis yang baik dan cantik pula?”

“Memang demikian, aku kagum dan suka kepadanya, akan tetapi aku tidak mencintanya. Kami menikah akan tetapi aku tidak pernah menjamahnya, aku memberi alasan bahwa aku akan bersembahyang dulu di depan makan orang tuaku sambil mengantarkan kembali pedang kepada kaisar. Hanya namanya saja kami suami isteri, akan tetapi sebetulnya tidak pernah ada hubungan apapun di antara kami. Dan lebih celaka lagi, Mulani telah mengandung.”

“Mengandung?”

“Ya, agaknya sekali ternoda, ia langsung mengandung dan tentu saja aku yang dianggap menjadi ayah kandung anak itu.”

“Apakah bukan?”

“Mana aku tahu, siauw-moi? Sudah kukatakan bahwa apa yang terjadi selagi kami pingsan itu, aku tidak tahu dan semenjak itu, aku belum pernah menyentuh Mulani. Ah, aku bingung sekali, siauw-moi, dan aku harus dapat memecahkan rahasia ini. Aku yakin bahwa ada seseorang yang telah melempar bahan peledak yang membius. Dan ada yang menggunakan kesempatan selagi Mulani pingsan, menodainya, kemudian menelanjangiku agar aku yang dituduh melakukannya.”

“Hemm, agaknya begitu, twako. Aku sendiri tidak percaya bahwa engkau dapat melakukan perbuatan keji itu.”

Bukan main girangnya hati Han Lin mendengar ini. wajahnya berseri dan sepasang matanya bercahaya. Orang sejagat boleh menuduhnya, akan tetapi kalau gadis ini percaya kepadanya itu sudah lebih dari cukup. “Terima kasih, siauw-moi... terima kasih. Engkau melegakan hatiku!” katanya girang.

“Twako, selama ini yang memusuhimu adalah Sam Mo-ong. Apakah bukan mereka, atau seorang di antara mereka yang melakukannya? Kurasa seorang seperti Hek-bin Mo-ong tidak akan segera melakukan kekejian seperti itu.”

“Tidak mungkin. Sam Mo-ong adalah pembantu-pembantu setia dari Ku Ma Khan, kepala suku Mongol yang menjadi ayah Mulani. Mereka amat menghormati Mulani. Bukan, bukan mereka, akan tetapi entah siapa.”

“Sudahlah, twako. Seperti kukatakan tadi, apapun yang terjadi tidak perlu disesalkan, yang terpenting engkau tidak melakukan kekejian itu.”

“Akan tetapi, siauw-moi. Aku terpaksa mengawini Mulani, padahal aku tidak suka....”

”Sudahlah, serahkan saja kepada Thian. Kalau orang tidak bersalah, tentu nanti akan terbukti juga. Dan kurasa Mulani tidak begitu bodoh untuk memaksa orang yang tidak bersalah menjadi suaminya seperti yang dilakukan kepadamu sekarang.”

“Akan tetapi, bukan hanya untuk itu ia mengawini aku, siauw-moi. Pertama, karena ia mencintaku, kedua karena adanya peristiwa terkutuk itu, dan ketiga memang ia dan ayahnya hendak menggunkan aku untuk menjadi mata-mata di istana Kaisar Kerajaan Tang.”

“Ahhhh! Ini gawat sekali!”
Han Lin lalu menceritakan pesan Ku Ma Khan ketika mengembalikan Ang-in Po-kiam kepadanya. “Aku menjadi serba salah, siauw-moi. Tentu saja aku tidak mungkin dapat mengkhianati kaisar, akan tetapi mereka bisa saja mencelakakan aku dengan menyiarkan bahwa aku adalah mantu Ku Ma Khan dan tentu kaisar akan mencurigaiku, mungkin bahkan menangkap aku.”

“Jangan khawatir, twako. Aku akan membela nama baikmu kalau sampai terjadi demikian. Mari kita mencari suci di Souw-ciu.”

Mereka melanjutkan perjalanan Cin Mei menunggang kuda dan Han Lin berjalan di belakangnya. Ketika mereka tiba di sebuah hutan, tiba-tiba saja mereka dikepung oleh banyak sekali orang yang nampaknya galak dan garang. Jumlah mereka tidak kurang dari empat puluh orang, semua bersenjata pedang atau golok dan tombak!

Han Lin segera melompat ke depan kuda yang ditunggangi Cin Mei dan membentak kepada mereka, “Heii, siapa kalian yang menghadang perjalanan kami dan ada keperluan apakah?”

Semua orang itu tertawa bergelak dan seorang yang berkumis tebal, agaknya menjadi kepala mereka, berkata, “Ha-ha-ha, kawan. Kami kebetulan lewat di sini dan bertemu kalian. Kami tidak minta apa-apa, hanya kuda dan penunggangnya itu saja tinggalkan untuk kami. Engkau boleh melanjutkan perjalanan sendiri, tidak akan kami ganggu, ha-ha-ha!”

“Sobat, nona ini sedang sakit dan perlu menunggang kuda. Harap kalian berbaik hati dan jangan mengganggu kami.”

“Banyak cerewet! Hayo tinggalkan nona ini dan kudanya atau kau ingin lebih dulu mampus di tangan kami?” bentak si kumis tebal itu.

Han Lin menjadi marah. Dipegangnya tongkat erat-erat di tangannya. “Keparat, kalian ini sungguh tidak tahu aturan!” bentaknya.

“Twako, jangan membunuh orang!” kata Cin Mei lirih.

“Jangan khawatir, siauw-moi, akan tetapi orang-orang ini perlu diberi hajaran agar maklum bahwa mereka tidak boleh bertindak seenak hati sendiri. Tapi, engkau masih belum sembuh...” Han Lin khawatir sekali. Jumlah musuh terlalu banyak dan bagaimana mungkin dia dapat melawan mereka sambil melindungi Cin Mei?

“Aku dapat menjaga diri, twako,” kata gadis itu tenang sekali.

“Bocah lancang mulut, engkaulah yang pantas diberi hajaran!” bentak si kumis tebal yang sudah menggerakkan goloknya menyerang, diikuti oleh puluhan orang anak buahnya.

Han Lin memutar tongkatnya dan banyak pedang dan golok beterbangan bertemu dengan tongkat bututnya. Melihat ini, para pengeroyok menjadi penasaran dan seperti samudera bergelombang mereka menyerang Han Lin dan ada pula yang menubruk ke arah Cing Mei yang masih duduk di atas punggung kudanya.

Akan tetapi orang itu menubruk punggung kuda dan hampir saja disepak oleh kuda yang terkejut itu karena gadis yang ditubruknya itu tahu-tahu sudah hilang melompat dan menyingkir. Biarpun telah kehabisan tenaga sin-kang namun Cin Mei masih dapat bergerak dengan ringan sekali sehingga tidaklah mudah untuk menangkapnya. Akan tetapi jumlah lawan terlalu banyak dan kini belasan orang mengepung dan hendak menangkap Cin Mei sehingga gadis itu terpaksa berloncatan ke sana sini sehingga sebentar saja ia yang masih lemah itu terengah-engah.

Juga Han Lin mengamuk, akan tetapi karena dia selalu ingat akan pesan Cin Mei agar jangan membunuh orang, dia membatasi tenaganya dan karenanya, jumlah pengeroyok tidak pernah berkurang. Yang sudah roboh, karena tidak terluka parah, dapat bangkit kembali dan diapun diserang seperti seekor jengkerik dikeroyok banyak semut!

Pada saat yang gawat bagi Cin Mei yang sudah kelelahan itu, tiba-tiba terdengar bunyi ledakan keras dan nampak asap mengepul tebal sekali. Han Lin terkejut, teringat akan asap pembius yang pernah membuatnya roboh pingsan bersama Mulani. Dia menahan napas dan cepat menyambar tubuh Cin Mei dibawanya melompat keluar dari asap. Banyak pengeroyok yang roboh bergelimpangan menjadi korban asap pembius, sedangkan yang lain melarikan diri ketakutan.

Han Lin dan Cin Mei selamat dari pengaruh asap dan ketika mereka memandang, Han Lin menjadi heran dan terkejut mengenal bahwa yang melempar peledak berasap pembius itu adalah Can Bi Lan, gadis puteri ketua Pek-eng Bu-koan itu, gadis yang berpakaian merah muda dan cantik jelita.

“Lan-moi...!” Han Lin berseru gembira sambil menghampiri, sambil menggandeng tangan Cin Mei.

“Sukurlah engkau selamat, Lin-ko. Siapa sih begitu banyak orang yang mengeroyokmu?”

“Mereka hanya perampok biasa, Lan-moi. O ya, perkenalkan, ini adalah nona Lie Cin Mei yang berjuluk Kwan Im Sianli dan inilah nona Can Bi Lan, puteri ketua Pek-eng Bu-koan.”

Dua orang gadis yang sama cantiknya itu saling memberi hormat dan Bi Lan memandang heran. “Kwan Im Sianli yang terkenal ahli pengobatan dan ahli silat itu? Akan tetapi tadi kulihat engkau terkepung dan terancam orang-orang tak berguna itu!”

“Lan-moi, saat ini adik Cin Mei sedang kehilangan tenaganya, kehabisan sin-kang karena dipakai untuk mengobati orang, maka untuk sementara ia menjadi lemah.”

“Ahhh... aku girang sekali kebetulan lewat di sini dan melihat engkau dikeroyok, Lin-ko.”

“Lan-moi, ada satu hal yang ingin kutanyakan kepadamu. Engkau tadi menggunakan obat peledak yang mengandung bius, dari manakah engkau memperoleh bahan peledak yang ampuh itu?”

“Ini buatan ayahku sendiri,” kata gadis itu bangga dan meemperlihatkan sebuah benda sebesar kepalan tangan yang tergantung di pinggangnya.

“Dahulu ketika engkau dan kakakmu diserang Thian Te Siang-kui, kenapa tidak menggunakannya?”

“Sebetulnya kami dilarang oleh ayah untuk sering menggunakan obat peledak ini, karena itu dahulu kami tidak membawanya. Akan tetapi setelah pengalaman pahit itu, setiap kali pergi aku pasti membawa beberapa butir untuk persediaan kalau-kalau terancam bahaya.”

“Jadi yang pandai menggunakannya dan memilikinya hanya engkau, kakakmu dan ayahmu?”

“Benar sekali, koko. Bahkan para murid ayah tidak ada yang diberi senjata ini.”

“Ahhh...!” Han Lin berpikir keras. Tak salah lagi, Kok Han kakak gadis ini, amat membencinya sejak pertama kali berjumpa. Mungkinkah Kok Han pelaku peledakan dan pemerkosaan itu?

“Kenapa, Lin-ko?”

“Tidak, tidak apa-apa, Lan-moi. Apakah kakakmu tidak melakukan perjalanan bersamamu?”

“Justeru ayah menyuruh aku pergi mencari Han-koko, disuruh pulang oleh ayah. Apakah engkau tidak melihatnya, Lin-ko?”

“Tidak, aku tidak melihatnya, akan tetapi mungkin saja dia melakukan perjalanan ke utara.”

“Kenapa engkau menyangka demikian, Lin-ko?”

“Karena aku juga pernah melihat bekas ledakan seperti ini. Dia juga membawa bahan peledak seperti yang kau miliki itu, bukan?”

“Tentu saja.”

“Nah, kalau begitu carilah dia di utara, Lan-moi. Kami sendiri akan meneruskan perjalanan ke Souw-ciu untuk suatu keperluan.”

“Tapi, Lin-koko...”

“Ada apakah, Lan-moi?”

Bi Lan mengerling ke arah Cin Mei yang mengerti dan berkata, “Aku mau mencari kudaku yang tadi melarikan diri ketika terjadi ledakan.” Tanpa menanti jawaban, ia lalu pergi meninggalkan mereka berdua.

“Ada apa, Lan Moi?” tanya Han Lin yang melihat gadis ini seperti hendak menyampaikan sesuatu akan tetapi tadi meragu karena ada Cin Mei di dekat mereka.

“Lin koko, aku belum sempat menghaturkan terima kasih atas pertolonganmu mengobatiku ketika itu.”

“Ahh, bukankah engkau juga menolongku ketika aku dikeroyok Sam Mo-ong?”

“Akan tetapi bantuanku tidak ada gunanya, malah aku terluka dan merepotkanmu.”

“Sama sekali tidak, Lan Moi. Jangan bicara tentang terima kasih karena kita sudah saling bantu.”

“Tapi sikap kakakku sungguh menjemukan. Aku mohon maaf atas sikapnya yang tidak baik terhadapmu, koko.”

“Tidak mengapa, Lan-moi. Dia hanya salah paham.” Han Lin membayangkan tentang ledakan dan tentang perkosaan atas diri Mulani.

“Koko... kalau engkau ada waktu atau kebetulan lewat, kupersilakan singgah di rumahku, aku... aku ingin memperkenalkan engkau kepada ayah dan ibuku, koko...!” Wajah gadis itu kemerahan dan suaranya gemetar. Ucapan hendak memperkenalkan seorang pemuda kepada ayah bunda seorang gadis mengandung makna yang mendalam, karena hal itu dapat diartikan bahwa si gadis menaruh hati atau menaksir si pemuda!

“Ahh... baiklah, Lan-moi. Nah, itu adik Cin Mei sudah mendapatkan kembali kudanya. Terima kasih atas pertolonganmu tadi, Lan-moi. Kita berpisah di sini dan selamat berpisah.”

“Lin-ko, kau bilang tadi di antara kita tidak perlu berterima-kasih!”

“Oh, ya, maafkan aku lupa. Nah, selamat jalan dan selamat berpisah, Lan-moi yang baik.”

“Selamat berpisah, Lin-koko.”

“Eh, engkau sudah hendak pergi, adik Bi Lan?”

“Aku hendak mengejar kakakku, enci Cin Mei. Selamat jalan dan selamat berpisah. Engkau... engkau beruntung sekali dapat melakukan perjalanan bersama Lin-koko. Kalau saja aku tidak harus mencari kakakku, akupun ingin melakukan perjalanan bersama kalian.”

“Selamat berpisah, adik Bi Lan dan mudah-mudahan engkau dapat segera menemukan kakakmu.”

Mereka berpisah dan setelah melakukan perjalanan berdua, Cin Mei berkata, “Kasihan sekali adik Can Bi Lan itu.”

“Eh, kenapa engkau mengatakan demikian, siauw-moi?”

“Ia ternyata telah jatuh cinta kepada suami orang.”

“Hemm, kau maksudkan aku? Aku belum menjadi suami yang sesungguhnya.”

“Ia amat mencintamu, Lin-ko.”

“Bagaimana engkau tahu?”

“Dari pandang matanya, caranya bicara kepadamu, sikapnya. Ah, semua begitu jelas, seperti sebuah kitab yang terbuka, tinggal membacanya saja.”

“Hemmm, engkau dapat membaca seorang wanita seperti membaca kitab terbuka. Apakah engkau juga dapat membaca hati seorang pria seperti sebuah kitab terbuka pula?”

Gadis itu tertawa. “Mengapa tidak? Pria lebih mudah dibaca. Akan tetapi, mengenai bahan peledak itu, aku jadi teringat akan pengalamanmu ketika menjadi korban pembiusan bahan peledak pula. Apakah ada hubungannya, twako?”

Karena pembicaraan dibelokkan kepada soal yang menjadi bahan perkiraannya, maka Han Lin menanggapinya dengan serius dan sudah melupakan lagi akan kemampuan Cin Mei membaca hati pria seperti kitab terbuka.

“Aku juga menjadi curiga, Mei-moi. Ledakan itu persis yang kualami bersama Mulani dahulu. Aku juga menjadi pingsan seperti beberapa orang perampok itu. Dan menurut keterangan Bi Lan tadi, kakaknya juga membawa bahan peledak seperti itu.”

“Jadi engkau menyangka kakaknya yang menjadi pelakunya?”

“Begitulah. Kalau ada kemungkinan orang melakukan itu, maka kakaknya menjadi orang pertama yang kucurigai melakukannya.”

“Akan tetapi gadis itu amat baik dan mencintamu. Ia seorang gadis yang gagah, apakah kakaknya juga bukan seorang pendekar?”

“Memang orang-orang Pek-eng Bu-koan adalah pendekar-pendekar, akan tetapi, ketika bertemu dengan aku dan melihat bahwa aku membawa Ang-in Po-kiam, kakaknya yang bernama Can Kok Han itu sejak semula sudah merasa tidak suka kepadaku dan menuduh aku sebagai pencuri pedang di kota raja. Agaknya dia... dia memang membenciku, Mei-moi.” Lalu Han Lin menceritakan segala sikap Kok Han yang pernah dilakukan terhadap dirinya. Bahkan ketika dia mengobati Bi Lan, Kok Han menyerangnya dan menganggapnya bermain gila terhadap adiknya.

“Hemmm, agaknya dia itu keras kepala dan pemarah. Orang seperti itu mudah sekali membenci dan mendendam, twako. Aku juga curiga bahwa dia yang melakukannya.”

“Hemm, kalau benar demikian, keadaan menjadi lebih sulit lagi. Aku tidak mau membuat hati Bi Lan menjadi hancur akibat perbuatan kakaknya.”

“Sudahlah, urusan itu kita pikirkan nanti saja. Sebaiknya sekarang kita temukan dulu suci, lalu kalian mengembalikan pedang kepada kaisar. Baru setelah itu kaupikirkan lagi urusanmu...”
Selanjutnya,

Pedang Awan Merah Jilid 08

Pedang Awan Merah

Karya : Kho Ping Hoo
Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo
Jilid 08
SETELAH sebulan pernikahan dirayakan, Han Lin tetap tidak mau menggauli Mulani. “Sekali saja, kalau hal itu benar terjadi, merupakan perbuatan terkutuk dariku. Aku ingin bersembahyang dulu di depan makam ayah-bundaku untuk mohon ampun, atas perbuatanku yang memalukan nama leluhur itu, Mulani, sebelum aku dapat menjadi suamimu dalam arti yang seluas-luanya dan sedalam-dalamnya.”

“Akan tetapi kita telah menikah, Han Lin. Aku telah menjadi isterimu yang sah dan engkau menjadi suamiku,” bantah Mulani yang tentu saja merasa tidak senang dengan sikap suaminya.

“Benar, akan tetapi apa yang terjadi di hutan itu sungguh akan selalu menjadi kenangan terburuk dan perasaan dosa dariku sebelum aku bersembahyang di depan makam orang tuaku di kota raja. Kuharap engkau suka bersabar dan memaklumi keadaanku, Mulani.”
Mulani terpaksa tidak dapat memaksa, walaupun di dalam hatinya ia gelisah sekali karena ternyata bahwa ia telah mengandung akibat hubungan sebadan yang terjadi di luar pengetahuannya itu. Sebetulnya, di dalam hati kecilnya ia juga meragu adakah benar Han Lin yang menggaulinya. Melihat watak dan sikap Han Lin, agaknya sukar dipercaya bahwa Han Lin akan mengambil kesempatan seperti itu untuk bertindak keji.

Bahkan ia sendiri menyaksikan bahwa ketika ia sadar lebih dulu, Han Lin masih belum siuman. Akan tetapi, kalau tidak menuduh Han Lin, lalu menuduh siapa? Dan peristiwa itu bahkan telah menolongnya, menolong tercapainya siasat yang direncanakan. Tentu saja ia merasa gembira sekali dengan terjadinya peristiwa yang menimpa dirinya itu. Peristiwa itu telah mendatangkan dua hasil.

Pertama, keinginannya untuk menjadi isteri Han Lin terkabul, dan ayahnya dapat menanam seorang mata-mata di istana Kaisar Tang. Sebagai seorang mantu tentu saja Han Lin dapat dipercaya. Akan tetapi, sejak malam perayaan sampai sebulan lebih, Han Lin menolak menggaulinya sebagai seorang suami, dengan alasan untuk berziarah dulu ke makam orang tuanya.

Pagi hari itu, suami isteri yang dari luar nampak rukun itu, duduk makan pagi di beranda depan. Dalam kesempatan ini, Han Lin mengutarakan maksud hatinya.

“Mulani, kuharap engkau tidak melupakan janjimu tentang Ang-in Po-kiam,” dia mulai.

“Suamiku, akupun menagih hakku. Sejak pernikahan kita, engkau belum benar-benar menjadi suamiku.”

“Mulani, bukankah sudah kuberitahukan alasanku? Biarpun di luar kesadaranku, kita sudah berhubungan sebagai suami isteri, bukan?”

Mulani menghela napas panjang. “Benar, dan yang satu kali itu telah diberkahi para dewa, suamiku. Aku telah mengandung sebagai akibat hubungan kita yang satu kali itu.”

“Apa..?” Han Lin melompat berdiri.

“Suamiku, mengapa terkejut? Sepatutnya engkau bergembira, bukankah kita akan mempunyai anak, mempunyai keturunanmu?”

Han Lin menghela napas panjang. “Tentu saja, kita seharusnya bergembira. Aku hanya terkejut karena tidak menyangka-nyangka bahwa perbuatan di luar kesadaran itu akan membuahkan seorang anak.”

“Sekarang, keinginanmu bagaimana, Han Lin suamiku?”

“Seperti kukatakan tadi, aku menagih janjimu. Pedang itu harus kuserahkan kembali kepada kaisar dan aku sekalian akan mengunjungi makam keluargaku, ayah bundaku.”

“Kalau begitu, mari kita menghadap ayah, karena pedang itu disimpan oleh ayahku.”

Suami isteri ini lalu menghadap KU Ma Khan. Mendengar permintaan puterinya agar Ang-in Po-kiam diserahkan kepada Han Lin, ketua suku Mongol itu berkata, “Tentu saja. Engkau adalah putera mantuku, Han Lin. Sudah sepantasnya kalau engkau yang mewakili aku untuk mengembalikan pedang itu kepada kaisar Thai Cung dari Kerajaan Tang. Engkau serahkan pedang ini, dan terimalah kedudukan tinggi di sana. Dengan demikian, maka hubungan antara kaisar dan kami menjadi baik. Kami mengharapkan agar engkau menjadi jembatan hubungan baik itu demi kebaikan kedua pihak.”

Pada hari-hari sebelumnya Han Lin sudah mendengar dari Mulani bahwa ayahnya ingin agar dia mengembalikan pedang dan menjadi penyelidik bangsa Mongol dan sedapat mungkin membujuk Kaisar agar bersikap bersahabat terhadap bangsa Mongol, terutama suku bangsa yang dipimpin oleh Ku Ma Khan.

Di dalam hatinya, Han Lin tidak mungkin mau berkhianat terhadap kaisar. Akan tetapi kalau hanya mengusahakan agar kedua bangsa menjalin hubungan baik, tentu saja dia tidak berkeberatan. Diapun menyatakan kesanggupannya dan berjanji bahwa setelah dia diterima kaisar dan memperoleh kedudukan, dia akan pulang dan memboyong Mulani.

“Suamiku, biarkan aku ikut pergi denganmu.” Mulani merengek karena dia tidak ingin ditinggalkan suaminya tercinta.

“Mulani, perjalanan ini jauh dan berbahaya sedangkan engkau sedang mengandung. Amat berbahaya dan tidak baik kalau engkau ikut. Dan kita belum tahu bagaimana penerimaan kaisar kepadaku nanti. Tidak, engkau tinggal saja di sini dan aku berjanji bahwa aku akan memboyongmu ke sana kalau aku sudah berhasil,” kata Han Lin.

Ku Ma Khan membenarkan ucapan mantunya dan melarang Mulani ikut dengan suaminya yang akan membahayakan keselamatannya sendiri, bahkan mungkin akan menggagalkan tugas Han Lin.

Demikianlah, sambil membawa Ang-in Po-kiam dan menerima bekal dan seekor kuda dari ayah mertuanya, Han Lin berangkat menuju ke selatan. Sebelum dia berangkat, yang menjadi kenangannya sampai sekarang adalah pesann Ku Ma Khan bahwa kalau dia bertemu dengan Sam Mo-ong, agar dia dapat bekerja sama dengan mereka.

“Sam Mo-ong adalah pembantu kami, dan engkau adalah menantuku, sudah sewajarnyalah kalau engkau bekerja sama dengan mereka, Han Lin.”

Jalan hidupnya sudah menyimpang, pikirnya. Dia berada dalam posisi yang terbalik sama sekali dari keadaannya sebelum menikah dengan Mulani. Pernikahan yang tidak ada artinya sama sekali baginya. Sampai sekarang diapun belum pernah menyentuh isterinya itu. Dia masih meragukan apakah dia yang melakukan hubungan dengan Mulani ketika itu, akan tetapi sukar sekali untuk membuktikan bahwa dia tidak bersalah.

Akan tetapi yang jelas, Mulani telah diperkosa! Ini sudah menjadi kenyataan yang tak dapat dibantah lagi karena buktinya Mulani sekarang mengandung. Anaknyakah yang dikandungnya itu? Atau bukan? Dia menjadi pusing. Dia memang suka dan kagum kepada gadis Mongol itu, akan tetapi dia tidak ingin menjadi suaminya.

Dia tidak ingin mempunyai perasaan cinta kasih untuk itu. Akan tetapi apa hendak dikata? Keadaan menghendaki lain dan kini dia suami Mulani, dan yang lebih membingungkan, dia mantu Ku Ma Khan yang menghendaki agar dia menjadi semacam mata-mata di istana Kaisar Kerajaan Tang!

* * * * * * *

Hen-bin Mo-ong terhuyung-huyung sambil tertawa-tawa. Dia telah terluka hebat, keracunan oleh pukulannya sendiri yang membalik ketika beradu tenaga dengan Han Lin. Kadang-kadang dia menggigil, dan napasnya sesak terengah-engah. Akan tetapi dia masih terus tertawa dan terkekeh.

Luka di sebelah dalam yang mengandung racun itu, agaknya telah membuat Hek I Mo-ong menjadi gila. Akhirnya, ketika dia mendaki bukit itu, setibanya di lereng bukit, dia terhuyung dan roboh pingsan. Dahinya terjatuh menimpa batu sehingga berdarah. Dia mengeluarkan teriakan sekali.

Pada saat itu, dari puncak bukit turun seorang wanita. Wanita ini masih muda sekali, usianya delapan belas tahun lebih, cantik jelita dan lembut, langkahnya ringan dan seperti orang menari saja, pakaiannya serba putih dari sutera halus. Mengherankan melihat wanita yang seperti puteri kerajaan itu berjalan seorang diri di tempat sunyi itu, di atas jalan yang tidak mudah dilalui.

Wanita itu bukan orang biasa, melainkan seorang ahli silat yang amat lihai, juga seorang ahli obat yang sukar dicari bandingnya di waktu itu. Ia adalah Lie Cin mei yang berjuluk Kwan Im Sian-li (Dewi Kwan Im). Ia dijuluki orang demikian karena sepak terjangnya yang suka mengulurkan tangan menolong siapa saja tanpa pilih bulu.

Ketika ia sedang menuruni bukit membawa sebuah keranjang obat yang penuh dengan daun-daun dan akar-akar obat, ia mendengar teriakan yang parau menyeramkan itu. Cepat iapun melangkah menuju ke arah suara dan ia mendapatkan Hen-bin Mo-ong menggeletak pingsan di situ.

Sekali pandang saja, Kwan Im Sian-li Lie Cin Mei ini mengenal Hek-bin Mo-ong sebagai seorang datuk, seorang dari Sam Mo-ong yang amat terkenal. Akan tetapi, menghadapi seorang yang sedang sakit, ia tidak memandang siapa orangnya. Ada orang sakit dan membutuhkan pertolongannya. Ini saja yang masuk dalam pikirannya.

Cepat ia meletakkan keranjangnya dan berjongkok, memeriksa nadi dan dada orang itu. Dan ia terkejut bukan main. Laki-laki gendut pendek bermuka hitam itu telah keracunan hebat! Di dalam tubuhnya terdapat hawa dingin sekali berputaran, mengancam nyawanya setiap saat. Kalau tidak segera ditolong, jelas orang ini akan mati dalam waktu beberapa jam saja.

Lie Cin Mei lalu duduk bersila, menggulung lengan bajunya sehingga nampak sepasang lengannya yang berkulit putih mulus. Dari pengalaman dan pengetahuan tentang pengobatan, dara ini menyadari bahwa untuk mengusir racun itu tidak cukup hanya dengan mengolesi obat luar dan memberinya minum obat dalam, akan tetapi membutuhkan pengerahan sin-kang yang akan menguras tenaganya.

Akan tetapi, dalam saat-saat seperti itu, Cin Mei tidak memperhitungkan untung ruginya. Yang terpenting saat itu baginya hanyalah menyelamatkan nyawa seorang manusia, tanpa membedakan siapa manusia itu. Baik dia seorang pengemis atau pembesar, baik ia kaya atau miskin, jahat atau budiman, dia tetap seorang manusia yang terancam maut dan harus diselamatkan.

Cin Mei mengeluarkan buntalan obat-obatan, mengeluarkan dua butir obat pulung kecil, membuka mulut Hek-bin Mo-ong dengan menekan kedua rahangnya, memasukkan dua butir obat pulung ke dalam mulut sehingga dua butir obat itu memasuki perutnya, kemudian menggunakan obat berminyak untuk mengolesi dadanya yang berubah menghitam.

Setelah itu, ia menelungkupkan tubuh Hek-bin Mo-ong dan dengan bersila di dekatnya, ia menjulurkan kedua lengannya, telapak kedua tangan menempel di punggung dan mulailah ia melakukan pengobatan dengan penyaluran sin-kang untuk mengusir hawa dingin beracun itu dari dalam tubuh Hek-bin Mo-ong.

Ia merasa betapa hawa yang dingin sekali menyambut kedua telapak tangannya. Ia mengerahkan seluruh tenaganya dan tak lama kemudian hawa dingin itu mulai berkurang. Akan tetapi segera peluh membasahi dahinya. Ia bekerja terus sampai tubuh Hek-bin Mo-ong mulai menggetar dan tubuhnya sendiri juga tergetar hebat.

Sejam lebih Cin Mei menyalurkan tenaganya dan akhirnya Hek-bin Mo-ong muntah-muntah. Gumpalan darah menghitam keluar dari mulutnya dan akhirnya dia siuman dan bergerak bangkit duduk. Cin Mei merasa lega dan gembira karena ia tahu bahwa nyawa orang itu telah diselamatkan. Kini Hek-bin Mo-ong tidak terancam maut lagi. Akan tetapi, tubuhnya sendiri bergoyang-goyang dan ia merasa lemas sekali, kehabisan tenaga sin-kang.

Hek-bin Mo-ong sadar akan keadaannya. Dia melompat berdiri dan menyambar bajunya yang tadi dilepas oleh Cin Mei. Ketika dia melihat seorang gadis berpakaian putih yang cantik jelita duduk bersila memejamkan mata, dia terbelalak. Hek-bin Mo-ong adalah seorang kakek yang cabul dan mata keranjang. Melihat seorang gadis demikian cantiknya duduk bersila di situ, tentu saja gairahnya berkobar bagaikan api yang membakar tubuhnya.

“Aih, nona, engkau cantik seperti bidadari!” katanya sambil mendekati, berlutut dan hendak merangkul.

Kwan In Sian-li Lie Cin Mei membuka mata dan menangkis dengan tangannya yang lemah dan berkata, “Hek-bin Mo-ong, jangan biarkan nafsu kotor menguasaimu. Aku baru saja menghabiskan tenaga untuk menyelamatkan nyawamu.”

Hek-bin Mo-ong tidak jadi merangkul dan dia tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, kiranya engkau inikah yang berjuluk Kwan Im Sian-li, si tukang mengobati yang amat lihai!”

“Memang orang menyebutku Kwan Im Sian-li dan melihat engkau menggeletak di sini, pingsan keracunan, aku lalu mengobatimu.”

“Bagus, bagus! Aku mendengar bahwa Kwan Im Sian-li memang cantik seperti bidadari dan ternyata berita itu benar. Dan karena aku sudah berhutang nyawa kepadamu, hanya ada satu jalan saja untuk membalas budimu. Yaitu, menjadikan engkau sebagai isteriku tercinta!”

Kembali dia merangkul. Tentu saja Cin Mei terkejut bukan main. Tak disangkanya di dunia ini ada orang sejahat dan sekotor itu jalan pikirannya. Biarpun tenaganya sudah habis, namun ia masih mempunyai sisa tenaga untuk melompat bangun dan menghindarkan diri dari rangkulan Hek-bin Mo-ong.

“Hek-bin Mo-ong, sadarlah! Aku tidak minta balasan dari pertolonganku, akan tetapi tidak sepatutnya kalau engkau melakukan hal ini kepadaku. Biarkan aku pergi dari sini, Hek-bin Mo-ong dan semoga Thian memberkahimu.” Ia melangkah pergi akan tetapi sambil tertawa bergelak Hek-bin Mo-oong menubruk dan berhasil menangkapnya.

“Hek-bin Mo-ong, lepaskan aku!” Lie Cin Mei meronta dan membentak.

“Ha-ha-ha, engkau harus menjadi isteriku agar aku tidak takut lagi menderita luka seperti tadi. Ha-ha-ha!”

“Hek-bin Mo-ong, lepaskan atau aku akan membunuh diri!” kata lagi Cin Mei.

Akan tetapi ucapan ini seperti mengingatkan saja kepada Hek-bin Mo-ong dan dia segera menotok gadis itu yang menjadi lemas dan tidak berdaya. Hek-bin Mo-ong tertawa-tawa dan membawa tubuh Cin Mei pergi dari situ. Belum seratus langkah dia pergi, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring,

“Hek-bin Mo-ong, lepaskan gadis itu!” dan sebatang tongkat butut menyambar ke arah kepalanya.

Demikian hebat serangan itu dan demikian kaget hati Hek-bin Mo-ong mengenal suara itu sehingga dia terpaksa melepaskan tubuh yang dipanggulnya dan dia melempar diri ke belakang dengan menggelinding seperti sebuah bal ditendang. Ketika dia melompat bangkit kembali, dia memandang kepada Han Lin dengan mata mencorong penuh kemarahan. Pemuda inilah yang membuat dia terluka parah beberapa bulan yang lalu sehingga dia hampir saja tewas.

Akan tetapi, mengeroyok bersama dua orang rekannya saja dia masih belum mampu menang bahkan terluka, apalagi harus bertanding satu lawan satu. Akan tetapi karena marah sekali melihat gadis yang sudah berada di mulut tinggal menelan saja itu lepas lagi, dia lalu menerjang dengan pukulan dingin beracunnya yang dahsyat. Namun, Han Lin menghindar ke samping dan ketika kakinya mencuat, paha Hek-bin Mo-ong terkena tendangannya.

Hek-bin Mo-ong terlempar ke belakang dan dia menjadi jerih. Dilihatnya gadis itu sudah bangkit dan agaknya, entah bagaimana, gadis itu sudah berhasil membebaskan diri dari totokannya. Dia sudah mendengar bahwa selain ahli dalam ilmu pengobatan, gadis itu lihai pula ilmu silatnya. Kalau gadis itu maju mengeroyoknya, habislah dia. Maka, sambil mengeluarkan teriakan panjang seperti lolong serigala, dia meloncat dan melarikan diri.

“Hek-bin Mo-ong sekali engkau tidak akan lolos dari tanganku!” Han Lin mengejar.

“Jangan kejar dia...!” Cin Mei berseru dan gadis ini berkelebat di depan Han Lin. Ia telah menggunakan sisa tenaganya untuk melompat ke depan Han Lin.

“Jangan....jangan kau bunuh orang....!”

Han Lin terbelalak, apa lagi ketika melihat gadis itu terkulai dan roboh pingsan. Cepat dia melompat dan menahan agar tubuh itu tidak sampai terbanting dan mendapat kenyataan bahwa nadi tangannya berdetik lemah sekali. Han Lin merebahkan gadis itu di atas rumput dan menjaganya. Dia tahu dari pemeriksaannya bahwa Cin Mei tidaklah terluka, hanya tubuhnya lemah sekali.

Diam-diam dia mengamati wajah gadis itu dan jantungnya berdebar kencang. Bukan main cantik jelitanya gadis ini. bahkan tidak kalah cantik dibandingkan dengan Yang Mei Li, adik misannya yang pernah dicintanya itu. Dan betapa lembutnya, nampak agung dalam pakaiannya yang serba putih bersih. Pantas ia berjuluk Kwan Im Sian-li, pikirnya.

Mulutnya yang kecil mungil itu mengeluh dan belum juga ia membuka matanya, ia mengeluh, “Jangan bunuh orang....”

Han Lin terharu. Heran sekali dia. Jelas bahwa Hek-bin Mo-ong tadi menggangu gadis ini, jelas bahwa iblis itu mempunyai niat keji terhadapnya, akan tetapi mengapa ia melarang dia membunuhnya?

Cin Mei membuka matanya, agaknya baru teringat ketika melihat Han Lin duduk di dekatnya. Ia bangkit duduk lalu bertanya. “Di mana Hek-bin Mo-ong? Engkau tidak membunuhnya, bukan?”

Han Lin menggeleng kepalanya. “Dia sudah melarikan diri. Akan tetapi, apa yang telah terjadi, nona? Kenapa engkau ditawannya?”

“Ah, manusia itu dikuasai nafsu rendahnya. Aku mendapatkan dia rebah pingsan dalam keadaan terluka oleh hawa beracun dingin dan nyaris mati. Aku segera mengobatinya dan mengerahkan sin-kang untuk mengusir hawa beracun itu. Aku berhasil, akan tetapi tenagaku terkuras habis. Setelah dia sadar dan sembuh, dia malah hendak memaksa aku menjadi isterinya.”

“Jahanam busuk! Keparat engkau, Hek-bin Mo-ong!” seru Han Lin marah. “Akan tetapi, kenapa engkau melarangku ketika aku hendak mengejar dan membunuhnya?”

“Kejahatannya itu adalah suatu penyakit. Orang yang sakit itu sepantasnya diobati dan disembuhkan, bukan dibunuh!” jawab Cin Mei.

Han Lin tertegun. “Akan tetapi, dia membalas kebaikanmu dengan kejahatan. Membalas madu yang kauberikan dengan racun. Orang seperti itu sudah pantas kalau seratus kali dibunuh. Akan tetapi, mengapa engkau membelanya?”

“Aku tidak membelanya. Aku melarangmu membunuhnya bukan demi dia, melainkan demi engkau sendiri.”

“Ehhh...?”

“Engkau telah menolong aku dari tangan Hek-bin Mo-ong...”

“Dan engkau juga pernah menolongku dari tangan Jen I Sian-li Cu Leng Si, bahkan mengobati lukaku.”

“Jangan bicarakan itu, aku sudah lupa lagi. Maksudku, engkau seorang yang baik dan aku tidak ingin melihat engkau menjadi seorang pembunuh.”

Kembali Han Lin tertegun. Belum pernah selama hidupnya dia bertemu dengan seorang gadis seperti ini. Betapa mulia hatinya, betapa lembut, halus dan agung. “Nona, Lie Cin Mei, aku belum memperkenalkan diriku. Namaku Sia Han Lin.”

“Marga Sia? Aku teringat akan seorang paman luarku yang juga bermarga Sia, bahkan dia pernah menjadi seorang yang amat terkenal di seluruh negeri.”

“Hemm, siapa nama pamanmu itu?”

“Sia Su Beng....”

“Ahhhh...!” Han Lin sampai melompat saking kagetnya.

“Kenapa engkau begitu terkejut?” Cin Mei bertanya heran.

“Karena... karena Sia Su Beng itu adalah mendiang ayah kandungku!” Setelah mengeluarkan kata-kata itu, barulah Han Lin teringat bahwa dia harus menyembunyikan keadaan dirinya. Entah mengapa, di depan gadis ini dia tidak dapat berbohong!

“Aihh, begitukah? Aku mendengar bahwa paman Sia Su Beng dan isterinya gugur ketika mempertahankan kota raja.”

“Benar, dan aku menjadi sebatang kara.”

“Kalau begitu, kita masih ada hubungan keluarga, walaupun amat jauh karena mendiang Paman Sia Su Beng hanya merupakan saudara misan yang jauh dari ibuku. Bahkan mereka tidak pernah ada hubungan, apa lagi sejak Paman Sia Su Beng menjadi penguasa di kota raja.”

“Siapakah nama ibumu?”

“Ibu adalah Wi Wi Sian-kouw, sejak muda sudah menjanda dan menjadi pendeta. Suci Cu Leng Si adalah murid ibu pula. Akan tetapi aku pernah menjadi murid Thian-te Yok-sian dari siapa aku mempelajari ilmu pengobatan.”

“Wah, nama-nama yang besar sekali di dunia persilatan. Sudah lama aku mendengar nama Wi Wi Sian-kouw disebut-sebut orang, juga nama Thian-te Yok-sian dikagumi orang.”

“Ya, mereka memang terkenal. Akan tetapi, sayang watak suci amat keras sehingga dulu itu hampir saja ia membunuhmu.”

“Tidak, sebenarnya ia seorang yang amat baik hati. Kau tahu kini ia malah menjadi enci angkatku. Ia mengaku bahwa dahulu itu ia menyiksaku untuk mendapatkan Ang-in Po-kiam, karena ia membutuhkan pedang itu untuk dihaturkan kepada kaisar dan untuk membebaskan ayahnya dari tahanan kaisar karena fitnah.”

“Benarkah itu? Aku girang sekali engkau menjadi adik angkatnya. Memang suci orang baik akan tetapi hatinya sekeras baja. Aku juga mendengar tentang ayahnya itu dan bagaimana dengan pendang Ang-in Po-kiam?”

“Tadinya pedang terampas oleh Sam Mo-ong, akan tetapi kini telah berada di tanganku. Aku memang sedang mencari sucimu, untuk kuajak bersama-sama menghaturkan pedang kepada kaisar, nona... eh, sebaiknya kupanggil siauw-moi kepadamu karena engkau adalah keponakan luar mendiang ayahku.”

“Sebaiknya begitu, twako.”

“Aku hendak mencarinya ke Souw-ciu ketika di jalan aku melihat engkau ditawan oleh Hek-bin Mo-ong.”

“Kalau begitu, lanjutkanlah perjalananmu, twako, agar engkau dapat bertemu suci dan mengajaknya bersamamu pergi ke kota raja. Aku ikut merasa gembira kalau ia dapat membebaskan ayahnya. Sampai jumpa kembali, twako.”

“Tidak, tidak! Aku tidak akan meninggalkanmu, siauw-moi!”

“Kenapa, twako?”

“Engkau telah kehabisan tenaga sin-kang dan untuk memulihkannya kembali membutuhkan waktu sedikitnya seminggu. Aku tidak mau melepaskanmu begitu saja seorang diri melakukan perjalanan dalam keadaan tidak mampu membela diri.”

Gadis itu tersenyum, senyumnya demikian manis namun menyejukkan hati, bukan senyum yang menimbulkan gairah pada yang memandangnya. “Twako, selamanya aku tidak pernah memusuhi orang, siapa yang akan menggangguku?”

“Aih, aku percaya kepadamu, siauw-moi. Akan tetapi aku tidak percaya kepada orang lain. Buktinya baru tadi saja, setelah engkau menyelamatkan nyawa Hek-bin Mo-ong, orang yang kauselamatkan itu berbalik hendak mencelakaimu.”

“Dan akhirnya aku terbebas. Aku percaya bahwa selama orang tidak membenci dan berpikiran buruk terhadap orang lain, Thian akan selalu memberi perlindungan.”

“Akan tetapi, aku akan menyesal selama hidupku kalau aku membiarkan engkau pergi dan kemudian terjadi sesuatu yang tidak baik kepadamu. Tidak, siauw-moi, sebelum pulih tenagamu, aku tidak mau meninggalkanmu. Ke manapun engkau pergi akan kutemani.”

Lin Cin Mei tertawa. “Wah, engkau pun memiliki kekerasan hati seperti suci. Pantas sekali engkau menjadi adik angkatnya. Baiklah, kalau begitu aku akan ikut denganmu ke Souw-ciu mencari suci.”

Bukan main girangnya hati Han Lin karena sesungguhnya bukan karena mengkhawatirkan keselamatan gadis itu saja yang membuat dia berkeras menemani gadis itu, melainkan terutama sekali karena dia tidak ingin berpisah dari Cin Mei! Mereka lalu melanjutkan perjalanan. Han Lin mengambil kudanya yang tadi dilepaskan di luar hutan. Dia menyuruh Cin Mei menunggang kuda sedangkan dia sendiri berjalan menuntun kuda itu. Cin Mei yang memang masih lemah, tidak menolak.

Di dalam perjalanan bersama ini, yang dilakukan dengan santai, mereka saling menceritakan riwayat dan pengalamannya. Cin Mei bercerita bahwa ia tidak mengenal ayahnya karena menurut ibunya, sejak kecil ayahnya telah meninggal dunia. Ia hidup bersama ibunya yang menjanda dan menjadi seorang tokouw (Pendeta Wanita To) berjuluk Wi Wi Sian-kouw.

Bahkan ibunya tidak pernah memberitahu siapa nama kecil ibunya dan siapa pula nama ayahnya. Ia mendapat gemblengan ilmu silat dari ibunya bersama Cu Leng Si yang menjadi sucinya, akan tetapi karena ia memiliki bakat dalam ilmu pengobatan, oleh ibunya ia lalu diikutkan Thian-te Yo-sian sahabat ibunya untuk digembleng dalam ilmu pengobatan selama tiga tahun.

“Nah, setelah menamatkan ilmu silat dan ilmu pengobatan, aku mulai merantau untuk menggunakan ilmuku menolong orang yang membutuhkan,” kata Lie Cin Mei menutuh ceritanya.

“Dan enci Leng Su juga ahli pengobatan?”

“Tidak, apakah ia tidak menceritakan kepadamu? Enci Leng Si lebih tekun mempelajari kitab dari ibu dari pada ilmu pengobatan.”

“Pantas ia pandai sekali membaca sajak dari ayat-ayat suci. Akan tetapi engkau sungguh mengagumkan. Masih begini muda sudah pandai ilmu silat dan ilmu pengobatan.”

“Aih, sudahlah jangan terlalu banyak memuji, twako. Sekarang giliranmu untuk menceritakan riwayat dan pengalaman hidupmu,” kata Cin Mei sambil tersenyum. Gadis ini memiliki kebiasaan untuk menutup kata-katanya dengan senyum. Heran sekali mengapa Hek-bin Mo-ong tega mengganggu seorang gadis seperti ini, padahal gadis ini telah menyelamatkan nyawanya.

Ditanya demikian, wajah Han Lin menjadi muram. “Aih, hanya kepahitan saja yang selama ini kualami, siauw-moi.”

“Pahit, getir dan manis adalah bumbu hidup, twako, tidak perlu disesalkan. Yang penting, langkah yang kita ambil benar dan tidak menyimpang dari kebenaran,” kata gadis itu bijaksana.

“Engkau benar. Nah, dengarlah riwayatku yang penuh kepahitan itu. Ketika kota raja diserbu musuh, ayah dan ibu mempertahankan sampai titik darah terakhir. Aku disuruh ungsikan oleh seorang inang pengasuh ketika aku berusia lima tahun. Inang pengasuhku itu sudah kuanggap seperti pengganti ayah ibu sendiri karena kesetiaannya dan kasih sayangnya. Akan tetapi sungguh menyedihkan. Ketika Sam Mo-ong membuat kekacauan di dusun kami, dan melukai aku, inang pengasuku itu tewas karena hendak menolongku. Aku terjatuh ke jurang karena pukulan Hek-bin Mo-ong dan melihat aku terjatuh ke jurang, Liu Ma ikut pula meloncat ke dalam jurang sampai tewas.” Han Lin berhenti sebentar, sedih mengenang peristiwa itu.

“Mati hidup sudah ditentukan Thian, twako. Tidak ada yang perlu disesalkan dan disedihkan. Thian Maha Tahu, tahu apa yang terbaik untuk setiap orang.”

Han Lin memandang kagum. Heran sekali, ada gadis berusia delapan belas tahun telah memiliki pandangan hidup seperti seorang pendeta saja. “Aku berguru kepada Kong Hwi Hosiang, akan tetapi suhu juga tewas di tangan Sam Mo-ong. Sungguh, kalau aku menuruti suara hati, dendamku terhadap Sam Mo-ong sudah setinggi gunung!”

“Dendam meracuni hati, twako. Engkau boleh saja menentang kejahatan Sam Mo-ong, akan tetapi bukan karena benci atau dendam.”

“Aku tahun siauw-moi, kedua orang guruku sudah seringkali berkata seperti itu. Walaupun kadang amat sukar membendung suara hati yang meneriakkan dendam.”

“Dua orang gurumu, twako?”

“Ya, aku berguru lagi kepada seorang kakek yang luar biasa, yang tidak mau memperkenalkan namanya dan yang kukenal hanya dengan sebutan Lo-jin (orang tua). Dari beliau aku memperdalam ilmu dan selama lima tahun aku berguru kepada beliau. Kemudian beliau memisahkan diri, menyuruh aku untuk mengamalkan ilmu-ilmu yang pernah kupelajari.”

“Luar biasa sekali!” seru Cin Mei kagum. “Engkau beruntung sekali dapat berguru kepada dua orang yang bijaksana, twako. Kemudian bagaimana kelanjutan pengalaman hidupmu?”

Sungguh aneh. Selamanya belum pernah Han Lin menceritakan tentang Lojin kepada orang lain akan tetapi sekali ini dia menceritakan segalanya. Terhadap Cin Mei agaknya tidak mungkin dia menyembunyikan sesuatu, dan diapun tidak ingin merahasiakan sesuatu kepada gadis yang baru dikenalnya ini.

Dia menceritakan semua pengalamannya, bahkan tentang Yang Mei Li yang pernah dicintanya akan tetapi gadis itu mencinta dan menikah dengan orang lain. Tentang bagaimana dia mendapatkan Ang-in Po-kiam ketika ikut membasmi Hoat-kauw yang menyeleweng, mengambil pedang yang tadinya dipergunakan Hoat-kauw Sian-su itu.

Cin Mei mendengarkan dengan tertarik sekali, tak pernah memotong cerita Han Lin dan ia seorang pendengar yang baik. Setelah Han Lin berhenti sebentar, iapun berkata, “Aku pernah mendengar tentang keributan mengenai Ang-in Po-kiam itu. Kabarnya bahkan Cin-ling-pai terbawa-bawa. Bagaimana sebetulnya, twako?”

Han Lin lalu menceritakan semua yang diketahui dan dialaminya.

“Dan pedang itu terlepas dari tanganmu, twako? Siapa yang mengambilnya?”

Lalu diceritakannya bagaimana dia kehilangan Ang-in Po-kiam yang kemudian telah dicuri oleh Sam Mo-ong pula.

“Lalu bagaimana sekarang telah berada lagi di tanganmu? Bukankah engkau hendak mengajak suci mengembalikan pedang itu kepada kaisar?”

Ditanya demikian, Han Lin menarik napas panjang, teringat akan pengalamannya. Sungguh tidak enak menceritakan pengalamannya dengan Mulani kepada gadis ini, akan tetapi entah mengapa dia tidak dapat merahasiakannya.

“Telah terjadi sesuatu yang aneh akan tetapi merupakan suatu malapetaka bagiku, siauw-moi. Sampai sekarangpun aku menjadi bingung dan sedih.”

“Aih, orang seperti engkau ini dapat bingung dan bersedih, twako? Apa sih yang telah terjadi? Tentu hebat sekali kejadian itu.”

Lalu dengan suara penuh duka diceritakannya pertemuannya dengan Mulani. “Entah apa yang terjadi. Kami hanya mendengar ledakan dan kami tidak ingat apa-apa lagi. Setelah kami sadar, kami berdua.... telah.... dalam keadaan telanjang bulat di hutan itu....”

“Hemm, aneh sekali, tentu ada yang sengaja melakukan itu.”

“Entahlah, akan tetapi yang paling hebat, Mulani mengatakan bahwa selagi dalam keadaan pingsan ia telah digauli orang dan tentu saja ia menuduh aku yang melakukannya.”

“Hemm, dan engkau tidak melakukannya, twako?” Gadis ini memang luar biasa sekali. Mungkin karena kedudukannya sebagai ahli pengobatan, membicarakan soal begituan ia merasa biasa saja, tidak canggung sama sekali.

“Bagaiman aku tahu, siauw-moi? Akupun dalam keadaan tidak sabar dan ketika terbangun atau siuman, tahu-tahu kami berdua dalam keadaan telanjang bulat.”

“Lalu bagaimana?”

“Ia menuntutku untuk mengawininya.”

“Dan engkau menerima?”

“Apa lagi yang dapat kulakukan, siauw-moi? Untuk menuduh orang lain siapa yang harus kutuduh dan apa buktinya? Yang jelas, ketika kami siuman kami dalam keadaan telanjang bulat dan Mulani telah ternoda. Dengan bukti keadaan seperti itu, aku tersudut dan sebagai seorang laki-laki aku harus bertanggung-jawab. Ah, sungguh nasibku amat buruk, siauw-moi.”

“Kenapa? Bukankah Mulani itu seorang gadis yang baik dan cantik pula?”

“Memang demikian, aku kagum dan suka kepadanya, akan tetapi aku tidak mencintanya. Kami menikah akan tetapi aku tidak pernah menjamahnya, aku memberi alasan bahwa aku akan bersembahyang dulu di depan makan orang tuaku sambil mengantarkan kembali pedang kepada kaisar. Hanya namanya saja kami suami isteri, akan tetapi sebetulnya tidak pernah ada hubungan apapun di antara kami. Dan lebih celaka lagi, Mulani telah mengandung.”

“Mengandung?”

“Ya, agaknya sekali ternoda, ia langsung mengandung dan tentu saja aku yang dianggap menjadi ayah kandung anak itu.”

“Apakah bukan?”

“Mana aku tahu, siauw-moi? Sudah kukatakan bahwa apa yang terjadi selagi kami pingsan itu, aku tidak tahu dan semenjak itu, aku belum pernah menyentuh Mulani. Ah, aku bingung sekali, siauw-moi, dan aku harus dapat memecahkan rahasia ini. Aku yakin bahwa ada seseorang yang telah melempar bahan peledak yang membius. Dan ada yang menggunakan kesempatan selagi Mulani pingsan, menodainya, kemudian menelanjangiku agar aku yang dituduh melakukannya.”

“Hemm, agaknya begitu, twako. Aku sendiri tidak percaya bahwa engkau dapat melakukan perbuatan keji itu.”

Bukan main girangnya hati Han Lin mendengar ini. wajahnya berseri dan sepasang matanya bercahaya. Orang sejagat boleh menuduhnya, akan tetapi kalau gadis ini percaya kepadanya itu sudah lebih dari cukup. “Terima kasih, siauw-moi... terima kasih. Engkau melegakan hatiku!” katanya girang.

“Twako, selama ini yang memusuhimu adalah Sam Mo-ong. Apakah bukan mereka, atau seorang di antara mereka yang melakukannya? Kurasa seorang seperti Hek-bin Mo-ong tidak akan segera melakukan kekejian seperti itu.”

“Tidak mungkin. Sam Mo-ong adalah pembantu-pembantu setia dari Ku Ma Khan, kepala suku Mongol yang menjadi ayah Mulani. Mereka amat menghormati Mulani. Bukan, bukan mereka, akan tetapi entah siapa.”

“Sudahlah, twako. Seperti kukatakan tadi, apapun yang terjadi tidak perlu disesalkan, yang terpenting engkau tidak melakukan kekejian itu.”

“Akan tetapi, siauw-moi. Aku terpaksa mengawini Mulani, padahal aku tidak suka....”

”Sudahlah, serahkan saja kepada Thian. Kalau orang tidak bersalah, tentu nanti akan terbukti juga. Dan kurasa Mulani tidak begitu bodoh untuk memaksa orang yang tidak bersalah menjadi suaminya seperti yang dilakukan kepadamu sekarang.”

“Akan tetapi, bukan hanya untuk itu ia mengawini aku, siauw-moi. Pertama, karena ia mencintaku, kedua karena adanya peristiwa terkutuk itu, dan ketiga memang ia dan ayahnya hendak menggunkan aku untuk menjadi mata-mata di istana Kaisar Kerajaan Tang.”

“Ahhhh! Ini gawat sekali!”
Han Lin lalu menceritakan pesan Ku Ma Khan ketika mengembalikan Ang-in Po-kiam kepadanya. “Aku menjadi serba salah, siauw-moi. Tentu saja aku tidak mungkin dapat mengkhianati kaisar, akan tetapi mereka bisa saja mencelakakan aku dengan menyiarkan bahwa aku adalah mantu Ku Ma Khan dan tentu kaisar akan mencurigaiku, mungkin bahkan menangkap aku.”

“Jangan khawatir, twako. Aku akan membela nama baikmu kalau sampai terjadi demikian. Mari kita mencari suci di Souw-ciu.”

Mereka melanjutkan perjalanan Cin Mei menunggang kuda dan Han Lin berjalan di belakangnya. Ketika mereka tiba di sebuah hutan, tiba-tiba saja mereka dikepung oleh banyak sekali orang yang nampaknya galak dan garang. Jumlah mereka tidak kurang dari empat puluh orang, semua bersenjata pedang atau golok dan tombak!

Han Lin segera melompat ke depan kuda yang ditunggangi Cin Mei dan membentak kepada mereka, “Heii, siapa kalian yang menghadang perjalanan kami dan ada keperluan apakah?”

Semua orang itu tertawa bergelak dan seorang yang berkumis tebal, agaknya menjadi kepala mereka, berkata, “Ha-ha-ha, kawan. Kami kebetulan lewat di sini dan bertemu kalian. Kami tidak minta apa-apa, hanya kuda dan penunggangnya itu saja tinggalkan untuk kami. Engkau boleh melanjutkan perjalanan sendiri, tidak akan kami ganggu, ha-ha-ha!”

“Sobat, nona ini sedang sakit dan perlu menunggang kuda. Harap kalian berbaik hati dan jangan mengganggu kami.”

“Banyak cerewet! Hayo tinggalkan nona ini dan kudanya atau kau ingin lebih dulu mampus di tangan kami?” bentak si kumis tebal itu.

Han Lin menjadi marah. Dipegangnya tongkat erat-erat di tangannya. “Keparat, kalian ini sungguh tidak tahu aturan!” bentaknya.

“Twako, jangan membunuh orang!” kata Cin Mei lirih.

“Jangan khawatir, siauw-moi, akan tetapi orang-orang ini perlu diberi hajaran agar maklum bahwa mereka tidak boleh bertindak seenak hati sendiri. Tapi, engkau masih belum sembuh...” Han Lin khawatir sekali. Jumlah musuh terlalu banyak dan bagaimana mungkin dia dapat melawan mereka sambil melindungi Cin Mei?

“Aku dapat menjaga diri, twako,” kata gadis itu tenang sekali.

“Bocah lancang mulut, engkaulah yang pantas diberi hajaran!” bentak si kumis tebal yang sudah menggerakkan goloknya menyerang, diikuti oleh puluhan orang anak buahnya.

Han Lin memutar tongkatnya dan banyak pedang dan golok beterbangan bertemu dengan tongkat bututnya. Melihat ini, para pengeroyok menjadi penasaran dan seperti samudera bergelombang mereka menyerang Han Lin dan ada pula yang menubruk ke arah Cing Mei yang masih duduk di atas punggung kudanya.

Akan tetapi orang itu menubruk punggung kuda dan hampir saja disepak oleh kuda yang terkejut itu karena gadis yang ditubruknya itu tahu-tahu sudah hilang melompat dan menyingkir. Biarpun telah kehabisan tenaga sin-kang namun Cin Mei masih dapat bergerak dengan ringan sekali sehingga tidaklah mudah untuk menangkapnya. Akan tetapi jumlah lawan terlalu banyak dan kini belasan orang mengepung dan hendak menangkap Cin Mei sehingga gadis itu terpaksa berloncatan ke sana sini sehingga sebentar saja ia yang masih lemah itu terengah-engah.

Juga Han Lin mengamuk, akan tetapi karena dia selalu ingat akan pesan Cin Mei agar jangan membunuh orang, dia membatasi tenaganya dan karenanya, jumlah pengeroyok tidak pernah berkurang. Yang sudah roboh, karena tidak terluka parah, dapat bangkit kembali dan diapun diserang seperti seekor jengkerik dikeroyok banyak semut!

Pada saat yang gawat bagi Cin Mei yang sudah kelelahan itu, tiba-tiba terdengar bunyi ledakan keras dan nampak asap mengepul tebal sekali. Han Lin terkejut, teringat akan asap pembius yang pernah membuatnya roboh pingsan bersama Mulani. Dia menahan napas dan cepat menyambar tubuh Cin Mei dibawanya melompat keluar dari asap. Banyak pengeroyok yang roboh bergelimpangan menjadi korban asap pembius, sedangkan yang lain melarikan diri ketakutan.

Han Lin dan Cin Mei selamat dari pengaruh asap dan ketika mereka memandang, Han Lin menjadi heran dan terkejut mengenal bahwa yang melempar peledak berasap pembius itu adalah Can Bi Lan, gadis puteri ketua Pek-eng Bu-koan itu, gadis yang berpakaian merah muda dan cantik jelita.

“Lan-moi...!” Han Lin berseru gembira sambil menghampiri, sambil menggandeng tangan Cin Mei.

“Sukurlah engkau selamat, Lin-ko. Siapa sih begitu banyak orang yang mengeroyokmu?”

“Mereka hanya perampok biasa, Lan-moi. O ya, perkenalkan, ini adalah nona Lie Cin Mei yang berjuluk Kwan Im Sianli dan inilah nona Can Bi Lan, puteri ketua Pek-eng Bu-koan.”

Dua orang gadis yang sama cantiknya itu saling memberi hormat dan Bi Lan memandang heran. “Kwan Im Sianli yang terkenal ahli pengobatan dan ahli silat itu? Akan tetapi tadi kulihat engkau terkepung dan terancam orang-orang tak berguna itu!”

“Lan-moi, saat ini adik Cin Mei sedang kehilangan tenaganya, kehabisan sin-kang karena dipakai untuk mengobati orang, maka untuk sementara ia menjadi lemah.”

“Ahhh... aku girang sekali kebetulan lewat di sini dan melihat engkau dikeroyok, Lin-ko.”

“Lan-moi, ada satu hal yang ingin kutanyakan kepadamu. Engkau tadi menggunakan obat peledak yang mengandung bius, dari manakah engkau memperoleh bahan peledak yang ampuh itu?”

“Ini buatan ayahku sendiri,” kata gadis itu bangga dan meemperlihatkan sebuah benda sebesar kepalan tangan yang tergantung di pinggangnya.

“Dahulu ketika engkau dan kakakmu diserang Thian Te Siang-kui, kenapa tidak menggunakannya?”

“Sebetulnya kami dilarang oleh ayah untuk sering menggunakan obat peledak ini, karena itu dahulu kami tidak membawanya. Akan tetapi setelah pengalaman pahit itu, setiap kali pergi aku pasti membawa beberapa butir untuk persediaan kalau-kalau terancam bahaya.”

“Jadi yang pandai menggunakannya dan memilikinya hanya engkau, kakakmu dan ayahmu?”

“Benar sekali, koko. Bahkan para murid ayah tidak ada yang diberi senjata ini.”

“Ahhh...!” Han Lin berpikir keras. Tak salah lagi, Kok Han kakak gadis ini, amat membencinya sejak pertama kali berjumpa. Mungkinkah Kok Han pelaku peledakan dan pemerkosaan itu?

“Kenapa, Lin-ko?”

“Tidak, tidak apa-apa, Lan-moi. Apakah kakakmu tidak melakukan perjalanan bersamamu?”

“Justeru ayah menyuruh aku pergi mencari Han-koko, disuruh pulang oleh ayah. Apakah engkau tidak melihatnya, Lin-ko?”

“Tidak, aku tidak melihatnya, akan tetapi mungkin saja dia melakukan perjalanan ke utara.”

“Kenapa engkau menyangka demikian, Lin-ko?”

“Karena aku juga pernah melihat bekas ledakan seperti ini. Dia juga membawa bahan peledak seperti yang kau miliki itu, bukan?”

“Tentu saja.”

“Nah, kalau begitu carilah dia di utara, Lan-moi. Kami sendiri akan meneruskan perjalanan ke Souw-ciu untuk suatu keperluan.”

“Tapi, Lin-koko...”

“Ada apakah, Lan-moi?”

Bi Lan mengerling ke arah Cin Mei yang mengerti dan berkata, “Aku mau mencari kudaku yang tadi melarikan diri ketika terjadi ledakan.” Tanpa menanti jawaban, ia lalu pergi meninggalkan mereka berdua.

“Ada apa, Lan Moi?” tanya Han Lin yang melihat gadis ini seperti hendak menyampaikan sesuatu akan tetapi tadi meragu karena ada Cin Mei di dekat mereka.

“Lin koko, aku belum sempat menghaturkan terima kasih atas pertolonganmu mengobatiku ketika itu.”

“Ahh, bukankah engkau juga menolongku ketika aku dikeroyok Sam Mo-ong?”

“Akan tetapi bantuanku tidak ada gunanya, malah aku terluka dan merepotkanmu.”

“Sama sekali tidak, Lan Moi. Jangan bicara tentang terima kasih karena kita sudah saling bantu.”

“Tapi sikap kakakku sungguh menjemukan. Aku mohon maaf atas sikapnya yang tidak baik terhadapmu, koko.”

“Tidak mengapa, Lan-moi. Dia hanya salah paham.” Han Lin membayangkan tentang ledakan dan tentang perkosaan atas diri Mulani.

“Koko... kalau engkau ada waktu atau kebetulan lewat, kupersilakan singgah di rumahku, aku... aku ingin memperkenalkan engkau kepada ayah dan ibuku, koko...!” Wajah gadis itu kemerahan dan suaranya gemetar. Ucapan hendak memperkenalkan seorang pemuda kepada ayah bunda seorang gadis mengandung makna yang mendalam, karena hal itu dapat diartikan bahwa si gadis menaruh hati atau menaksir si pemuda!

“Ahh... baiklah, Lan-moi. Nah, itu adik Cin Mei sudah mendapatkan kembali kudanya. Terima kasih atas pertolonganmu tadi, Lan-moi. Kita berpisah di sini dan selamat berpisah.”

“Lin-ko, kau bilang tadi di antara kita tidak perlu berterima-kasih!”

“Oh, ya, maafkan aku lupa. Nah, selamat jalan dan selamat berpisah, Lan-moi yang baik.”

“Selamat berpisah, Lin-koko.”

“Eh, engkau sudah hendak pergi, adik Bi Lan?”

“Aku hendak mengejar kakakku, enci Cin Mei. Selamat jalan dan selamat berpisah. Engkau... engkau beruntung sekali dapat melakukan perjalanan bersama Lin-koko. Kalau saja aku tidak harus mencari kakakku, akupun ingin melakukan perjalanan bersama kalian.”

“Selamat berpisah, adik Bi Lan dan mudah-mudahan engkau dapat segera menemukan kakakmu.”

Mereka berpisah dan setelah melakukan perjalanan berdua, Cin Mei berkata, “Kasihan sekali adik Can Bi Lan itu.”

“Eh, kenapa engkau mengatakan demikian, siauw-moi?”

“Ia ternyata telah jatuh cinta kepada suami orang.”

“Hemm, kau maksudkan aku? Aku belum menjadi suami yang sesungguhnya.”

“Ia amat mencintamu, Lin-ko.”

“Bagaimana engkau tahu?”

“Dari pandang matanya, caranya bicara kepadamu, sikapnya. Ah, semua begitu jelas, seperti sebuah kitab yang terbuka, tinggal membacanya saja.”

“Hemmm, engkau dapat membaca seorang wanita seperti membaca kitab terbuka. Apakah engkau juga dapat membaca hati seorang pria seperti sebuah kitab terbuka pula?”

Gadis itu tertawa. “Mengapa tidak? Pria lebih mudah dibaca. Akan tetapi, mengenai bahan peledak itu, aku jadi teringat akan pengalamanmu ketika menjadi korban pembiusan bahan peledak pula. Apakah ada hubungannya, twako?”

Karena pembicaraan dibelokkan kepada soal yang menjadi bahan perkiraannya, maka Han Lin menanggapinya dengan serius dan sudah melupakan lagi akan kemampuan Cin Mei membaca hati pria seperti kitab terbuka.

“Aku juga menjadi curiga, Mei-moi. Ledakan itu persis yang kualami bersama Mulani dahulu. Aku juga menjadi pingsan seperti beberapa orang perampok itu. Dan menurut keterangan Bi Lan tadi, kakaknya juga membawa bahan peledak seperti itu.”

“Jadi engkau menyangka kakaknya yang menjadi pelakunya?”

“Begitulah. Kalau ada kemungkinan orang melakukan itu, maka kakaknya menjadi orang pertama yang kucurigai melakukannya.”

“Akan tetapi gadis itu amat baik dan mencintamu. Ia seorang gadis yang gagah, apakah kakaknya juga bukan seorang pendekar?”

“Memang orang-orang Pek-eng Bu-koan adalah pendekar-pendekar, akan tetapi, ketika bertemu dengan aku dan melihat bahwa aku membawa Ang-in Po-kiam, kakaknya yang bernama Can Kok Han itu sejak semula sudah merasa tidak suka kepadaku dan menuduh aku sebagai pencuri pedang di kota raja. Agaknya dia... dia memang membenciku, Mei-moi.” Lalu Han Lin menceritakan segala sikap Kok Han yang pernah dilakukan terhadap dirinya. Bahkan ketika dia mengobati Bi Lan, Kok Han menyerangnya dan menganggapnya bermain gila terhadap adiknya.

“Hemmm, agaknya dia itu keras kepala dan pemarah. Orang seperti itu mudah sekali membenci dan mendendam, twako. Aku juga curiga bahwa dia yang melakukannya.”

“Hemm, kalau benar demikian, keadaan menjadi lebih sulit lagi. Aku tidak mau membuat hati Bi Lan menjadi hancur akibat perbuatan kakaknya.”

“Sudahlah, urusan itu kita pikirkan nanti saja. Sebaiknya sekarang kita temukan dulu suci, lalu kalian mengembalikan pedang kepada kaisar. Baru setelah itu kaupikirkan lagi urusanmu...”
Selanjutnya,