Pedang Awan Merah Jilid 09 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pedang Awan Merah

Karya : Kho Ping Hoo
Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo
Jilid 09
“Baiklah, siauw-moi.”

Mereka melanjutkan perjalanan dan menjelang senja mereka memasuki kota Souw-ciu. Mereka menyewa dua buah kamar di rumah penginapan dan Cin Mei lalu bersamadhi untuk memulihkan tenaga sin-kangnya. Adapun Han Lin lalu meninggalkan rumah penginapan untuk mencari Jeng I Sian-li Cu Leng Si. Dia pergi berkunjung ke taman utama di kota itu dan benar saja, dari jauh dia sudah melihat wanita itu duduk seorang diri sambil melamun.

“Enci Leng Si...!” Han Lin menghampiri dan berseru memanggil dengan girang.

“Ah, engkau, Han Lin!” kata wanita itu dengan wajah gembira bukan main. “Alangkah lamanya aku menanti di sini. Sudah sepekan lebih setiap hari aku datang ke taman ini menantimu.”

“Maafkan aku enci. Maafkan aku telah membuat enci menunggu begitu lama. Aku telah mengalami banyak hal yang amat pahit.”

“Nanti dulu, apakah engkau sudah mendapatkan pedang itu?”

Han Lin menepuk pedang yang berada dipinggangnya, pedang Ang-in Po-kiam yang memakai sarung edang biasa agar tidak menarik perhatian orang.

“Itukah Ang-in Po-kiam?”

“Benar, enci.”

“Aih, sukurlah, Han Lin. Kalau begitu kita segera dapat membawa ke kota raja!” katanya girang.

“Sabar, enci. Kita harus menanti beberapa hari lagi sampai sumoimu sembuh benar.”

“Apa? Sumoi...? Ia kenapa?”

“Panjang ceritanya, enci. Dengarkan dulu ceritaku bagaimana aku mendapatkan pedang ini.” Dia lalu menceritakan kepqda Leng Si tentang pertemuannya dengan Mulani, tentang pernikahannya dengan Mulani yang membuatnya berduka.

“Aih, goblok benar engkau! Apakah engkau telah menodai gadis itu?”

“Tentu saja menurut keyakinanku tidak, enci. Walaupun ketika itu aku pingsan sehingga mana aku tahu pasti apa yang telah terjadi?”

“Goblok, adikku yang tolol! Kalau aku berada di sana tentu sudah kuhajar gadis Mongol itu. Bagaimana ia boleh memaksa orang menjadi suaminya atas dasar peristiwa yang belum tentu siapa pelakunya itu! Kurang ajar benar ia berani memaksa adikku menikah dengannya!”

“Aih, enci. Bagaimanapun, Mulani sudah menjadi korban perkosaan...”

“Korban perkosaan katamu? Kalau menurut aku, ini adalah siasatnya belaka. Tidak ada siapa-siapa yang memperkosanya, ia memang sengaja memasang jebakan agar engkau mau menikahinya. Tidak tahu malu. Biar ia mencintamu, kalau engkau tidak membalasnya, tidak semestinya ia menggunakan akal busuk seperti itu!”

“Tapi, enci, kenyataannya ia telah ternoda.”

“Eh, bagaimana engkau bisa tahu dengan pasti?”

“Karena, sebulan kemudian setelah kami menikah, biarpun aku tidak pernah menyentuhnya, ia telah... mengandung satu bulan. Peristiwa itu benar terjadi, karena buktinya ia mengandung.”

“Hemm, kalau begitu, tentu ada pelakunya. Tapi harus diselidiki, harus! Tidak semestinya engkau menikah begitu saja dengan gadis Mongol tak tahu malu itu!”

“Memang akupun sedang melakukan penyelidikan, enci. Akan tetapi yang penting aku harus menyerahkan pedang ini dulu kepada kaisar.”

“Ah, benar. Dan tentang sumoi itu...?”

Han Lin lalu menceritakan tentang Cin Mei. Betapa Cin Mei yang menolong dan mengobati Hek-bin Mo-ong karena terluka parah, berbalik malah hendak dipaksa Hek-bin Mo-ong menjadi isterinya. Betapa dia menolongnya dan sampai kini Cin mei masih harus memulihkan tenaganya yang terkuras ketika ia menyelamatkan Hek-bin Mo-ong.

“Huh, babi macam apa itu kenapa tidak kau bunuh saja? Ia jahat, keji dan kalau aku bertemu dengannya, tentu kuajak bertanding sampai seorang dari kami menggeletak tak bernyawa lagi! Di mana sekarang sumoi?”

“Di rumah penginapan. Mari, enci kita temui dia.”

Mereka lalu meninggalkan taman bunga umum dan kembali ke rumah penginapan. Ketika Cu Leng Si memasuki kamar itu, ia mendapatkan adiknya sedang sila dan bersamadhi, mengumpulkan hawa murni untuk mengembalikan tenaganya.

“Sumoi...!” Cu Leng Si memanggil sambil memasuki kamar.

“Suci....! Cin Mei membuka matanya dan segera turun dari pembaringan menyambut. “Suci, aku....”

“Sssttt, aku sudah tahu semuanya dari Han Lin. Bagaimana keadaanmu? Mari kuperiksa!” Cin Mei tersenyum dan membiarkan dirinya diperiksa oleh Cu Leng Si, nadinya, dadanya, dan perutnya.

“Sukur engkau tidak terluka, hanya kehilangan tenaga saja. Kukira dalam beberapa hari ini engkau sudah akan sembuh kembali tenagamu. Aihhh, sumoi. Sejak dahulu engkau terlalu baik hati.”

Cin Mei tersenyum. “Apakah jeleknya berbaik hati, suci?”

“Jelek! Jelek sekali dan rugi kalau engkau tidak memakai perhitungan. Buktinya engkau ini bersikap baik, menolong dan mengobati binatang macam Hek-bin Mo-ong. Bukan kebaikan dibalas kebaikan, bahkan dibalas kejahatan! Sepantasnya, bertemu orang macam dia, bukan diobati, malah dibunuh!”

“Aih, suci!”

“Aih-aih apa lagi! Dia seperti seekor ular berbisa, kalau engkau mencoba untuk mengobati ular berbisa yang sedang sakit, bukan kebaikan yang kau dapat, malah digigitnya engkau sampai mati. Huh, kalau bertemu dengan binatang itu, pasti akan kubunuh dia!”

“Sudahlah, suci. Kalau semua orang bersikap seperti engkau, habislah semua orang di dunia ini, tinggal engkau seorang!” kelakar Cin Mei. “Semua orang di dunia ini tentu ada cacatnya, ada sifat buruknya. Kalau yang buruk dibunuh, tidak ada sisanya lagi. Tahukah bahwa kita berdua inipun memiliki sifat buruk?”

“Ehh? Kau mau bilang bahwa engkau dan aku ini jahat? Jangan ngaco engkau!”

“Aku tidak bilang jahat, melainkan memiliki sifat buruk. Lihat, engkau sendiri seorang yang keras hati dan mudah marah, mudah mengamuk. Tidak burukkah itu? Ingatkah engkau betapa dahulu engkau hampir saja membunuh Lin-koko karena kekerasan hatimu?”

“Lin-koko...? Aha, kau maksudkan adikku Han Lin. Bagus, dia itu Lin-koko bagimu, ya? Sudah begitu akrabkah antara kalian?”

“Ihh, suci. Kami hanya bersahabat biasa. Dia telah menolongku!”

“Ehm, aku hanya berkelakar, sumoi. Apa salahnya kalau kalian menjadi sahabat karib yang akrab? Dan coba katakan, orang macam engkau ini, mana sifat buruknya? Kalau aku memang keras dan pemarah.”

“Engkau tadi sudah menyebutkan bahwa aku terlalu lemah, terlalu baik hati, bukankah itu bagimu juga sifat yang buruk?”

“Memang buruk. Buruk sekali! Orang berbuat baik haruslah melihat kepada siapa kita berbuat baik. Kalau kepada penjahat kita berbuat baik, sama dengan membunuh diri. Kalau aku, setiap ada penjahat, apa lagi yang terlalu keji seperti Hek-bin Mo-ong, tidak ragu-ragu lagi akan kucabut nyawanya!”

Cin Mei tertawa. Ia sudah mengenal benar kepada sucinya ini. memang keras hati dan dapat berbuat ganas terhadap orang jahat. Akan tetapi tidaklah begitu kejamnya.

“Suci, engkau sudah bertemu dengan Lin-koko?”

“Sudah, dia berada di kamarnya dan aku menginap di sini bersamamu. Dia benar. Kami tidak akan berangkat ke kota raja sebelum engkau sembuh.”

“Aku tidak sakit, suci.”

“Maksudku, sebelum pulih kembali tenaga sin-kangmu. Dalam keadaan seperti ini, kalau ada bahaya mengancam, bagaimana engkau akan mampu membela diri?”

“Suci, ada pembelaku yang paling dapat dipercaya dan diandalkan maka jangan khawatir...”

“Aku tahu! Pembelamu itu tentu adikku Han Lin, bukan?”

“Ihh, suci! Bukan dia yang kumaksudkan. Bukankah dia akan pergi bersama suci? Yang kumaksudkan, pembelaku yang paling boleh diandalkan adalah Thian! Tidak ada siapapun menggangguku selama Thian melindungiku.”

“Aihh, dari dulu engkau selalu berpendapat begitu. Selalu mengandalkan Thian! Hemm, ketika engkau hampir diperlakukan keji oleh Hek-bin Mo-ong, siapakah yang menolongmu? Apakah Thian?”

“Tentu saja, suci. Thian yang menolongku.” “Dan kau bilang ditolong oleh Lin-kokomu itu!”

“Benar, Lin-koko yang menolongku, akan tetapi, justeru dia yang digerakkan oleh Thian untuk menolongku sehingga kebetulan sekali dia melihat aku dilarikan oleh Hek-bin Mo-ong.”

“Aaah, sudahlah. Engkau memang pandai berdebat. Kalau kita tidak berusaha sendiri, apakah Thian akan menolong kita? Kalau kita lapar, tidak mencari nasi sendiri, apakah Thian akan menyuapi kita dengan nasi? Kalau kita haus tidak mencari minuman sendiri, apakah Thian akan menolong kita? Kalau kita diserang penjahat dan tidak melawan dengan kekuatan sendiri, apakah Thian akan menolong kita?”

“Aduh, suci. Sudah berapa kali aku ingatkan kepadamu. Bukankah suci hafal akan semua ujar-ujar dalam berbagai kitab suci? Kenapa suci berkata demikian?”

“Karena pengalaman, sumoi. Segala macam ujar-ujar dalam kitab suci itu hanya dihafal, menjadi permainan kata-kata dan untuk pemanis bibir saja. Yang jelas, tanpa usaha sendiri kita tidak akan dapat hidup!”

“Suci, justeru usaha sendiri itu merupakan anugerah dan berkah dari Thian. Kita melihat dengan mata karena Thian memberi kita penglihatan. Kita mendengar dengan telinga karena Thian memberi kita pendengaran. Kita bekerja dengan tangan, kita membela diri dengan tangan kaki karena Thian memberi kita tangan kaki dan hati akan pikiran. Berkah dan pertolongan Thian telah diberikan kepada kita sejak kita lahir akan tetapi kita kadang melupakannya, mengira bahwa semua ini adalah karena usaha kita sendiri. Suci, apakah suci berusaha agar pernapasan suci sedang tidur sekalipun? Apakah suci pernah mengatur jalannya darah yang dipompa dari jantung? Masih banyak lagi kenyataan yang tak dapat suci bantah. Tanpa kekuasaan Thian yang melindungi kita, bagaimana kita dapat hidup?”

“Wah, wah, wah, kalau sudah begitu tentu saja aku tidak membantah lagi, sumoi. Bagaimanapun juga, aku tidak mau pergi sebelum pulih kembali tenagamu, dan engkau tidak akan dapat memaksaku pergi!”

“Hei, suci. Kapankah engkau menanggalkan kekerasan hatimu itu?”

“Dan kapan engkau menanggalkan kelemahan hatimu? Sebaiknya, engkau memberikan kelemahanmu sedikit kepadaku dan aku memberikan kekerasan hatiku sedikit kepadamu. Dengan demikian kita menjadi sama-sama sedang-sedang saja, bukan? Hi-hik, tunggu aku akan mencarikan obat penguat darah kepadamu, agar tenagamu cepat pulih.”

“Baiklah, suci. Akupun tadinya hendak mencari obat penguat itu, dan sebetulnya aku sudah punya, hanya tinggal satu lagi bahannya, yaitu jin-som. Tolong berikan sepersepuluh kali saja, suci.”

“Baiklah, aku pergi. Engkau boleh bercakap-cakap dengan Lin-kokomu itu, hi-hik.”

“Ihh, suci ada-ada saja!” Cin Mei tersipu dan hal ini membuat Leng Si tertawa terus sampai di luar kamar.

Akan tetapi ketika tiba di rumah penginapan dan pergi membeli akar obat jin-som, Leng Si menghapus dua titik air mata yang membasahi pipinya. Ia menangis! Akan tetapi mulutnya tersenyum. “Biarlah... kalau aku gagal dengan cintaku, sumoi tidak boleh gagal. Biar dia beristeri, akan tetapi isterinya itu memaksanya, dan ini tidak sah! Aku harus menggagalkan suami isteri buatan itu. Dia harus menjadi suami sumoiku!”

Dengan tekun dan penuh kasih sayang, Leng Si merawat adik seperguruannya, memasakkan obat penguat dan menemaninya. Sebetulnya, enci dan adik seperguruan itu saling menyayang, hanya karena watak mereka jauh berbeda, bahkan berlawanan, maka kadang kala mereka kelihatan seperti bertentangan.

Lewat lima hari, tenaga Cin Mei telah pulih kembali dan selama lima hari itu, nampak benar oleh Leng Si bahwa Han Lin mencinta adik seperguruannya. Malam itu, seorang diri ia menemui Han Lin. Cin Mei yang telah tidur ditinggalkannya dan ia mengetuk pintu kamar Han Lin.

“Han Lin, bukalah pintu,” teriaknya memanggil perlahan.

“Eh, enci Leng Si, ada apakah?”

“Mari ke taman di belakang, aku ingin bicara.”

Tentu saja Han Lin merasa heran melihat kerahasiaan gadis itu, akan tetapi dia tidak membantah dan setelah menutupkan daun pintu kamarnya, diapun mengikuti Leng Si pergi ke taman di belakang penginapan itu di mana terdapat penerangan lampu merah dan terdapat pula beberapa buah bangku. Leng Si mengajaknya duduk di situ dan setelah mereka duduk berhadapan, Leng Si langsung saja bertanya, nada suaranya menyerang.

“Han Lin, engkau seorang laki-laki, seorang jantan, karena itu tidak layak kalau engkau tidak berterus terang dan tidak jujur kepadaku.”

“Enci, apa kesalahanku...!”

“Tidak salah apa-apa, akan tetapi jawablah pertanyaanku ini sejujurnya. Apakah engkau mencinta sumoi?”

Ditanya seperti itu, Han Lin merasa seolah-olah dia ditodong dengan pedang yang runcing dan dia terbelalak sambil bangkit berdiri.

“Tidak usah kaget, jawab saja yang sebenarnya kalau engkau tidak ingin kukatakan laki-laki pengecut dan palsu. Hayo jawab sejujurnya. Engkau adalah adik angkatku, dan ia adalah sumoiku. Keduanya kuberatkan maka engkau tidak boleh main-main, harus menjawab dengan jujur. Sekali lagi, apakah engkau mencinta sumoi Lie Cin Mei?”

“Wah, ini...ini...”

“Jawab, jangan mencia-cia plintat-plintut!”

“Ampun, enci Leng Si. Bagaimana aku harus menjawab? Aku sama sekali tidak berhak! Engkau sudah tahu bahwa aku telah mempunyai isteri, telah menikah dan terikat...”

“Menikah macam apa itu!? Tidak ada ikatan yang dipaksakan. Itu sama akal bulus saja. Aku bertanya tentang isi hatimu, perasaanmu dan tidak ada urusan berhak atau tidak berhak. Katakan, apakah engkau mencinta sumoi? Hayo jawab, jangan membikin aku hilang sabar dan berteriak-teriak membangunkan semua orang.”

Han Lin merasa ngeri akan ancaman ini. kalau gadis ini sudah berteriak-teriak dan semua orang mendengar, apa lagi terdengar oleh Cin Mei, mau ditaruh ke mana mukanya? “Ssstt, enci, jangan ribut-ribut. Aih, enci telah mendesak dan menghimpitku, betapa tega hatimu, enci.”

“Hsuhh, siapa menghimpitmu. Aku hanya ingin pengakuan jujur seorang jantan. Dan adikku haruslah berjiwa jantan, jangan plin-plan. Nah, lepas dari engkau sudah menikah atau belum, katakanlah apakah engkau mencinta Cin Mei?”

“Baiklah, aku akan mengaku terus terang, enci. Aku berani disumpah bahwa selama ini aku tidak pernah jatuh cinta kepada wanita lain semenjak cintaku kepada adik misanku Yang Mei Li ditolak dan ia memilih untuk menikah dengan pria lain. Aku tidak pernah jatuh cinta lagi dan tadinya aku mengira tidak akan dapat jatuh cinta lagi kepada seorang wanita. Akan tetapi semenjak Kwan Im Sian-li Lie Cin Mei muncul, yaitu ketika ia membebaskan aku dari tanganmu aku telah jatuh cinta kepadanya, enci. Aku tergila-gila kepadanya, akan tetapi ternyata nasih menghendaki lain. Secara tidak terduga-duga, terpaksa sekali aku menjadi suami Mulani dan tentu saja aku tidak berani mengharapkan sumoimu untuk....”

“Hushh, siapa bicara tentang nasib? Nasibmu berada di tanganmu sendiri, Han Lin. Thian tidak akan mengubah nasibmu kalau engkau tidak berusaha mengubahnya. Kalau benar engkau mencinta sumoi, Han Lin. Engkau seorang yang berbahagia, karena sesungguhnya sumoi juga mencintamu.”

“Ohhhh....!” terdengar jerit tertahan dan ketika menengok, Han Lin masih sempat melihat berkelebatnya bayangan putih yang melarikan diri pergi meninggalkan taman itu.

“Mei-moi...!” Dia melompat mengejar, terkejut bukan main karena tidak mengira bahwa Cin Mei telah mengintai mereka, mendengarkan semua percakapan mereka. Biarpun dia tersipu malu dan khawatir sekali namun melihat gadis itu melarikan diri, dia menjadi gelisah dan segera mengejarnya untuk mohon ampun atas kelancangannya karena dia tahu bahwa percakapannya dengan Leng Si tadi tentu terdengar oleh Cin Mei dan betapa percakapan tentang diri Cin Mei itu tentu amat menyinggung perasaan gadis itu.

Akan tetapi Cin Mei yang sudah pulih kembali kekuatannya itu dapat berlari amat cepatnya dan Han Lin terpaksa harus mengerahkan tenaga sekuatnya untuk dapat menyusulnya. “Mei-moi, tunggu....!”

Akhirnya Cin Mei berhenti di tepi jalan yang sunyi itu. Malam itu bulan muncul sepotong, namun cukup memberi penerangan yang remang-remang.

“Mei-moi, maafkan aku...!” Han Lin menundukkan muka berdiri di depan Cin Mei.

“Tidak ada yang harus dimaafkan, twako.”

“Siauw-moi, aku bersalah. Aku telah menyinggung perasaanmu yang suci, aku telah merendahkanmu. Siauw-moi, kau ampunkanlah aku..., aku siap untuk meneriima hukuman.” Dan saking gelisah dan terharunya Han Lin tidak segan-segan untuk menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki Cin Mei!

“Aih, twako, jangan begitu. Bangitlah, twako, aku mohon padamu, bangkitlah dan jangan berlutut kepadaku,” suara itu terdengar sedih dan gemetar.

“Katakan dulu bahwa engkau mengampuni semua ucapanku kepadamu, baru aku mau bangkit berdiri.”

“Thian saja yang berhak mengampuni kesalahan manusia, aku tidak berhak, apalagi aku tidak merasa bahwa engkau bersalah apa-apa kepadaku. Akan tetapi kalau engkau memaksa, baiklah. Aku maafkan engkau. Nah, bangkitlah.”

Han Lin bangkit dengan hati lega. “Terima kasih, siauw-moi. Alangkah bijaksana hatimu. Siauw-moi, engkau tentu telah mendengar semua percakapanku dengan enci Leng Si tadi, bukan?”

Gadis itu mengangguk dan biarpun sinar bulan hanya remang, Han Lin dapat melihat betapa pucat wajah gadis itu. “Aku tidak seharusnya bicara begitu. Aku yang bersalah, aku tidak berhak...”

“Tidak berhak apa, twako. Katakanlah.”

“Tidak berhak menyatakan cinta kepadamu. Ahhh... biarlah aku mengakui saja kepadamu. Aku cinta padamu, siauw-moi, sejak pertemuan kita yang pertama kali. Aku cinta padamu, walaupun sesungguhnya aku tidak berhak.”

“Twako, jangan berkata demikian, twako. Demikian banyak wanita mencintamu, engkau tinggal memilih saja. Di antara mereka adalah Mulani yang berkeras memaksamu menjadi suaminya, dan di sana masih ada Can Bi Lan yang sungguh mencintamu.”

“Siauw-moi, apakah ucapanmu itu berarti engkau hendak mengatakan bahwa engkau tidak cinta kepadaku?”

“Ahh, bukan...tapi engkau telah terikat dengan isterimu, twako. Jangan hancurkan hati wanita-wanita itu. Aku akan merasa berdosa kepada mereka.”

“Siauw-moi, hatimu terlalu baik engkau selalu mengalah dalam segala hal, Siauw-moi. Aku tidak menuntut jawaban sekarang. Akan tetapi janganlah engkau pergi seperti ini, mari kita kembali ke penginapan. Enci Leng Si tentu akan merasa bersalah kepadamu kalau engkau pergi meninggalkannya begitu saja, mengira engkau tentu marah kepada k ami. Marilah, siauw-moi.”

“Aku mau kembali akan tetapi dengan satu syarat bahwa engkau tidak akan bicara lagi tentang cinta.”

“Baiklah, aku tidak akan bicara lagi tentang cinta yang hanya akan menimbulkan penasaran dan kedukaan di hatiku.”

Mereka lalu berjalan perlahan kembali ke rumah penginapan. Karena tadi keduanya menggunakan ilmu berlari cepat, maka letak rumah penginapan itu sudah cukup jauh. Akan tetapi setelah mereka tiba di sana, tidak nampak Leng Si. Cin Mei memasuki kamarnya dan menemukan sepucuk surat yang ditinggalkan Leng Si.

Sumoi dan Han Lin,
Karena suatu urusan penting. Aku terpaksa tidak dapat ikut pergi ke kota raja. Sumoi, engkau mewakili aku. Pergilah dengan Han Lin ke kota raja menyerahkan pedang itu kepada kaisar. Dan mohonlah kepada kaisar agar ayahku dibebaskan. Aku sangat berterima kasih Kepada kalian.

Dari: Cu Leng Si


“Siauw-moi, apakah enci Leng Si berada dikamarmu?” tanya Han Lin dari luar kamar.

Cin Mei keluar dan tanpa berkata apa-apa ia menyerahkan surat itu kepada Han Lin. Pemuda ini membacanya dengan alis berkerut, di dalam hatinya merasa gembira sekali akan tetapi tentu saja hal ini tidak diperlihatkan kepada Cin Mei walaupun dia tidak dapat menyembunyikan perasaan gembira itu dari suaranya yang terdengar mantap.

“Bagaimana pendapatmu dengan ini, siauw-moi?”

“Maksudmu?”

“Sudikah engkau pergi bersamaku ke kota raja untuk menyerahkan Ang-in Po-kiam kepada kaisar dan mohon pengampunan bagi ayah enci Leng Si?”

“Apa boleh buat, suci menghendaki demikian dan aku harus menghormati permintaannya itu. Kapan kita berangkat?”

“Besok pagi-pagi sekali.”

“Baiklah, twako. Sekarang, selamat tidur.”

“Selamat tidur, siauw-moi.”

Malam itu Han Lin tidur dengan nyenyaknya, mulutnya tersenyum, agaknya mimpi yang indah-indah menjadi bunga tidur malam itu. Berbeda dengan Cin Mei yang tidur gelisah di atas pembaringannya. Terjadi pertentangan dalam batinnya. Ia harus mengakui diri sendiri bahwa ia juga mencinta pemuda itu, akan tetapi iapun merasa iba kepada Mulani, juga kepada Bi Lan. Ia akan mengalah kepada wanita manapun juga dalam hal cinta. Baginya, cinta tidak harus menjadi suami-isteri. Ia dapat mencinta Han Lin, walaupun tidak menjadi isterinya atau kekasihnya.

“Twako, kita singgah dulu di Nan-yang. Aku ingin menengok guruku,” kata Cin Mei kepada Han Lin. Kini mereka menunggang dua ekor kuda karena Han Lin membeli seekor kuda lagi untuk gadis itu dan mereka telah melakukan perjalanan jauh. Hari itu mereka tiba di luar kota Nan-yang dan Cin Mei mengusulkan untuk singgah di situ.

“Tentu saja, siauw-moi, kita tidak tergesa-gesa. Ah, jadi gurumu, Thian-te Yok-sian, tinggal di kota ini?” jawab Han Lin senang. Dia merasa betapa bahagia hidupnya melakukan perjalanan bersama Cin Mei. Seolah-olah pemandangan alam menjadi jauh lebih cantik menarik dari pada biasanya.

Sinar matahari lebih cerah, kicau burung di pagi hari lebih merdu, bahkan ketika mereka makan bersama, makanan apapun yang dimakannya terasa lebih nikmat. Dia tahu bahwa semua itu terjadi karena cintanya kepada Cin Mei dan berdekatan dengan orang yang dicinta memang merupakan kenikmatan yang tiada taranya. Biarpun sikap Cin Mei biasa saja dan tidak pernah memperlihatkan perasaannya, namun dia dapat merasakan pula bahwa Cin Mei merasa tidak jauh berbeda dengan apa yang dirasakannya, yaitu berbahagia dan gembira sekali.

Cin Mei yang menunggang kuda coklat, memasuki kota lebih dulu karena Han Lin mengikuti di belakangnya. Gadis itu langsung saja menuju ke rumah gurunya, sebuah rumah Thian-te Yok-sian itu karena setiap hari ada saja orang mencarinya untuk berobat.

Akan tetapi Dewa Obat ini mempunyai suatu kebiasaan. Kalau yang datang itu menderita penyakit biasa saja, dia tidak mau mengobati dan mengusirnya untuk pergi saja ke tabib lain. Barulah apabila ada orang sakit yang amat parah, yang tidak dapat disembuhkan oleh tabib-tabib biasa, dia mau mengobatinya dan kalau sudah mengobatinya, dia tidak pernah minta bayaran.

Mereka yang disembuhkan itu dengan suka rela lalu mengirim bahan makanan atau pakaian kepada Dewa Obat ini, dan kalau demikian halnya, diapun tidak menolak. Akan tetapi, jangan ditanya berapa biayanya karena dia akan marah sekali dan mengusir orang itu. Baginya perjuangan yang berbahaya dan berat, dan kemenangannya atau penyakit yang berat itulah yang menjadi sumber kebahagiaannya.

Usianya sudah tujuh puluh tahun, namun dia masih nampak sehat dan cekatan kalau memeriksa pasien. Ketika dua orang penunggang kuda itu tiba di depan rumah Yok-sian, mereka merasa heran melihat pintu rumah itu tertutup. Padahal hari telah cukup siang sehingga tidak mungkin kalau Dewa Obat itu masih tidur.

Selagi mereka termangu, seorang anak-anak berusia dua belas tahun menghampiri dan melihat Cin Mei, dia segera berseru girang. “Suci....!!”

“Ah, engkau ini, Kun Tek? Di mana suhu dan mengapa rumahnya ditutup? Cin Mei melompat turun dari kudanya diikuti oleh Han Lin.

“Aih, panjang ceritanya, suci. Mari silakan masuk, kita bicara di dalam saja.”

Han Lin melihat bahwa anak itu, biarpun masih kecil namun sudah nampak cerdik. Anak itu membuka daun pintu dengan kunci yang diambilnya dari saku bajunya dan mereka bertiga memasuki rumah itu setelah mengikat kendali kuda pada pohon di depan rumah. Setelah duduk di ruangan dalam tiba-tiba Kun Tek menjatuhkan di depan Cin Mei sambil menangis. Sekarang barulah dia benar-benar nampak bahwa dia masih kanak-kanak.

“Huushh, Kun Tuk. Jangan menangis, ceritakan yang jelas apa yang telah terjadi,” kata Cin Mei menghibur dan mengangkat anak itu disuruh bangkit dan duduk kembali di kursi.

Kun Tek menyusut air matanya. “Baru lima hari ini terjadinya, suci. Tadinya ada lima orang perajurit utusan Panglima Kwan dari Lok yang minta agar suhu ikut mereka untuk mengobati keluarga Panglima Kwam. Tentu saja suhu menolak karena suhu tidak pernah pergi mengunjungi pasien. Harus pasien yang datang untuk berobat dan bagi suhu, peraturan ini berlaku untuk semua orang. Bahkan suhu pernah berkata, bahwa biar kaisar sendiri kalau membutuhkan pertolongannya, harus datang ke sini. Maka dia menolak keras dan menuntut bahwa apa bila pasien keluarga Panglima Kwan itu benar-benar sakit keras dan membutuhkan pertolongannya, harus dibawa ke sini. Lima orang itu lalu pergi dengan penasaran.”

“Lalu bagaimana?” tanya Cin Mei dengan suara tenang.

“Kemudian kemarin datang sebuah kereta dan Panglima Kwan sendiri datang, marah-marah dan memaki-maki suhu lalu memaksa suhu untuk ikut dengannya. Suhu menolak, akan tetapi para pengawal Panglima Kwan itu lalu menggunakan kekerasan, mereka menyeret suhu ke dalam kereta yang kemudian meninggalkan kota ini dan sampai sekarang belum ada kabarnya. Ah, suci, tolonglah suhu, aku khawatir suhu mendapat celaka di sana.”

“Tenanglah, Kun Tek. Biar aku yang urus suhu dan engkau jaga saja rumah ini, rawat yang bersih agar kalau suhu pulang keadaannya tetap bersih.”

“Baik, suci.”

“Twako, mari kita menyusul suhu ke Lok-yang!” kata gadis itu dan Han Lin mengangguk. Mereka lalu keluar lagi, menunggang kuda dan keluar dari kota Nan-yang menuju ke Lok-yang dengan cepat.

“Panglima itu sungguh bertindak sewenang-wenang terhadap suhumu, siauw-moi. Biar kita beri hajaran kepadanya!"

“Ah, jangan begitu, twako. Pertama, dia adalah seorang panglima yang tentu mempunyai pasukan yang puluhan ribu orang banyaknya. Kedua, semua perbuatan itu tentu ada sebabnya dan sebelum mengetahui sebabnya dia memaksa suhu, tidak baik kalau kita bertindak, apa lagi dengan kekerasan. Biarkan aku yang menangani persoalan ini, twako.”

Pada keesokan harinya, barulah mereka memasuki kota Lok-yang yang besar karena Lok-yang merupakan kota raja kedua setelah Tiang-an. Tidaklah sukar bagi kedua orang muda itu untuk memberi tahu di mana tempat tinggal Panglima Kwan. Dia adalah seorang di antara banyak panglima di Lok-yang dan rumahnya merupakan gedung besar yang di luarnya dijaga oleh pasukan pengawal.

Cin Mei dan Han Lin merasa lega bahwa panglima itu tidak tinggal di dalam benteng karena kalau demikian halnya tentu akan lebih sukar bagi mereka untuk menemuinya dan berusaha untuk membebaskan Yok-sian yang dipaksa mengobati keluarga panglima itu.

“Berhenti! Siapakah kalian dan ada keperluan apakah datang ke sini?” bentak opsir penjaga yang bertugas jaga di depan gedung megah itu.

Biarpun pertanyaan itu diajukan kepada Han Lin, namun karena Cin Mei yang akan menangani persoalan itu, Han Lin tidak menjawab melainkan menoleh kepada Cin Mei.

”Kami datang untuk menghadap Kwan ciangkun. Saya bernama Lie Cin Mei dan sahabatku ini bernama Sia Han Lin. Aku adalah seorang ahli pengobatan, dan mendengar bahwa ada keluarga Kwan-ciangkun yang menderita sakit keras, maka akan saya coba untuk mengobatinya.”

Mendengar ucapan itu, berubah sikap opsir itu. “Ah, kalau begitu, akan kami laporkan kepada ciangkun. Harap ji-wi (kalian berdua) menanti sebentar.”

Tak lama kemudian, opsir itu datang lagi dan mempersilakan dua orang muda itu masuk. Mereka diterima oleh seorang panglima yang bertubuh tinggi besar bermuka merah. Setelah dipersilakan duduk, panglima itu mengamati Cin Mei dan bertanya dengan suara meragu, “Apakah nona yang mengatakan pandai mengobati orang sakit?”

“Benar, ciangkun. Saya mendengar bahwa ada keluarga ciangkun yang sedang sakit, maka kalau boleh, saya akan mencoba untuk memeriksa dan mengobatinya.”

“Apakah engkau berani tanggung bahwa engkau akan dapat menyembuhkan puteraku yang menderita sakit itu, nona?”

“Ciangkun, bagaimana saya dapat menentukan sebelum memeriksanya?”

“Baik, mari kau periksa dia dan beri obat sampai sembuh, nanti akan besar hadiahnya untukmu kalau engkau dapat menyembuhkannya.”

Dikawal oleh selosin perajurit, panglima itu lalu mengajak Cin Mei dan Han Lin masuk ke kamar di bagian belakang gedung yang besar itu. Baru tiba di depan kamar saja sudah tercium bau tidak enak sekali dari dalam kamar. Seperti bau bangkai.

“Nah, yang sakit adalah puteraku dan dia di dalam kamar ini. Silakan periksa dia, nona,” kata panglima itu. Agaknya panglima itu perhatiannya tercurah kepada puteranya yang sakit sehingga dia tidak lagi menanyakan siapa nama kedua orang tamunya, walaupun tadi sudah dilaporkan oleh opsir.
Dengan menahan kemuakan oleh bau yang busuk itu, Cin Mei menghampiri pembaringan di mana rebah seorang pemuda yang berusia baru dua puluh tahun, akan tetapi seluruh tubuh pemuda itu timbul bisul kecil-kecil yang mengeluarkan bau busuk. Melihat Cin Mei, pemuda itu hendak bangkit dan menjulurkan kedua lengannya.

“Aduh, cantik manis! Marilah, manis, tidur bersamaku....!” suaranya lemah akan tetapi dia hendak bangkit untuk merangkul Cin Mei. Han Lin cepat menggunakan tongkatnya menotok jalan darah pemuda itu sehingga rebah kembali dengan lemas.

Cin Mei lalu memeriksa nadinya. Tak lama kemudian ia menggelengkan kepala dan memberi isarat kepada Han Lin untuk keluar dari kamar. Han Lin menotokkan tongkatnya membebaskan pemuda itu dan mereka keluar dari kamar itu. Di belakang mereka, pemuda yang sakit itu memanggil-manggil Cin Mei.

“Ke sinilah, manis. Jangan tinggalkan aku, sayang...!”

Gila, pikir Han Lin. Sudah sakit demikian hebat, masih saja bersikap mata keranjang. Pantasnya orang macam itu mati saja.

Setelah gadis itu keluar dari dalam kamar si sakit, panglima itu lalu mengajaknya ke ruangan tadi dan setelah duduk, dia bertanya, “Bagaimana, nona. Bagaimana keadaannya dan dapatkah engkau menyembuhkan?”

Han Lin melihat bahwa ruangan itu terjaga oleh belasan orang pengawal, dan ketika dia memandang kepada panglima itu, dia melihat wajah yang merah itu diliputi penuh kegelisahan.

“Ciangkun, puteramu itu terkena penyakit berat. Mungkin timbul karena dia terlalu banyak bergaul dengan pelacur-pelacur dan darahnya sudah keracunan. Bahkan saya melihat racun sudah menjalar sampai ke otak.”

“Hemm, cocok dengan ucapan tabib itu!” kata Kwan-ciangkun.

“Dan saya melihat bahwa dia telah mendapat obat penahan dan pengurang rasa nyeri. Kalau tidak mendapat obat itu, tentu dia tidak akan tahan sakitnya dan akan berteriak-teriak.”

“Kembali cocok, nona. Engkau memang pandai dan kuharap engkau akan dapat mengobatinya sampai sembuh betul tidak seperti tabib itu yang hanya dapat memberi obat penahan rasa nyeri saja.”

“Ciangkun, sebelum saya menjawab dan memberi obat, saya ingin bertanya di mana tabib yang sudah memeriksa dan memberinya obat itu?”

“Di kamar tahanan! Dia mengaku sebagai Dewa Obat, akan tetapi dia mengatakan bahwa dia tidak dapat menyembuhkan anakku. Maka dia kumasukkan tahanan dan kalau sampai anakku mati, dia akan ikut mati!” kata panglima itu dengan gemas.

“Harap ciangkun suka suruh panggil dia ke sini, karena saya perlu bertukar pikiran dengan dia untuk dapat mengobati puteramu.”

“Ah, benarkah engkau dapat menyembuhkan puteraku?” tanya panglima itu penuh harapan.

“Mudah-mudahan saja, akan tetapi saya perlu bertukar pikiran dan pendapat dengan tabib itu.”

“Baik!” Panglima Kwan lalu memanggil kepala pengawal dan memerintahkan agak membawa tawanan tabib itu datang ke situ.

Tak lama kemudian, pengawal itu datang kembali sambil mengiringkan seorang kakek tinggi kurus. Melihat suhunya, Cin Mei lalu memberi hormat dan berkata, “Saya mohon pendapat lo-cianpwe untuk menentukan obat bagi putera Kwan-ciangkun.”

Tentu saja Thian-te Yok-sian mengenal muridnya. Dia tahu bahwa tidak seperti dia yang hanya tahu ilmu pengobatan, muridnya itu memiliki ilmu silat tinggi dan tentu datangnya untuk menolongnya. Dia khawatir sekali akan keselamatan muridnya itu, maka dia berkata, “Mau bertanya apa lagi? Penyakit Kwan-kongcu sudah amat berat. Semua karena ulahnya sendiri bermain-main dengan para pelacur. Kini penyakit itu sudah menjalar ke otak.”

“Kalian harus dapat menyembuhkannya. Kalau tidak, kalian bertiga tidak akan kuperkenankan meninggalkan tempat ini!” bentak Kwan-ciangkun.

Han Lin yang sejak tadi diam lalu berkata, “Kami tahu mengapa ciangku menghendaki demikian. Tentu ciangkun khawatir kalau kami di luaran akan menceritakan tentang keadaan penyakit Kwan-kongcu, bukan?”

“Tutup mulutmu, orang muda!” Kwan-ciangkun membentak marah. “Pendeknya kalian harus dapat menyembuhkannya!”

Kini dengan suara tenang penuh kesabaran Cin Mei berkata, “Ciangkun, kami hanya manusia biasa dan bukan Tuhan. Yang menentukan mati hidup hanyalah Thian. Saya kira penyakit putera ciangkun itu sudah terlalu parah. Dan andaikata obat kami menyelamatkan nyawanya, tidak mungkin dapat menyelamatkan otaknya. Dia dapat sembuh, akan tetapi akan menjadi....maaf, gila.”

“Apa...??” bentak Kwan-ciangkun sambil berdiri dari tempat duduknya, mukanya pucat dan matanya terbelalak.

“Ohhh, saya sudah tahu akan hal itu, akan tetapi tidak berani mengatakan kepada ciangkun. Saya kira, keadaan Kwan-kongcu sudah demikian parah. Hiduppun akan menderita hebat, maka satu-satunya yang terbaik baginya adalah kematian yang akan membebaskan dari semua rasa nyeri dan ancaman gila.”

“Tidak! Tidak, kalian harus menyembuhkannya sama sekali atau kalau tidak, kalian akan kutahan dan kalau dia mati, kalian akan ikut mati!”

Mendadak Han Lin meloncat dan biarpun panglima itu menyambutnya dengan pukulan, tetap saja dia sudah dapat menotok panglima itu sehingga panglima itu menjadi lumpuh. “Kwan-ciangkun, engkau keterlaluan,” bisik Han Lin.

Sementara itu, belasan orang pengawal yang melihat ini sudah menyerbu dengan golok dan tombak di tangan. Akan tetapi ketika mereka menyerang ke arah Cin Mei dan Yok-sian, mereka melihat bayangan putih berkelebat dan berturut-turut mereka roboh tertotok, suara golok dan tombak yang terlempar berkerontangan. Melihat lima orang roboh oleh wanita berpakaian putih itu, para pengawal lain tertegun dan jerih.

Sementara itu Han Lin, menekan leher Kwan-ciangkun. “Ciangkun, perintahkan pengawalmu untuk mundur, kalau tidak terpaksa aku akan membunuhmu sekarang juga.”

Karena tidak berdaya dan nyawanya di tangan orang, Kwan-ciangkun lalu berteriak, “Kalian semua mundur!” dan para pengawal itu pun tidak ada yang berani bergerak.

“Biarkan kami pergi dari sini dengan aman, ciangkun.”

“Buka jalan dan biarkan mereka pergi!” bentak pula Kwan-ciangkun.

Cin Mei menghampiri meja dan menuliskan sebuah resep dengan cepat, lalu berkata kepada panglima itu. “Ciangkun, resep ini adalah obat untuk membuat puteramu merasa tenang dan tidak menderita nyeri, akan tetapi sama sekali bukan untuk menyembuhkan. Hanya kalau Thian menghendaki, puteramu dapat sembuh. Mudah-mudahan saja.”

Mereka bertiga lalu melangkah keluar, dan Han Lin masih tetap memegangi lengan panglima itu yang dibawanya keluar sehingga tidak ada seorang pengawal berani mengganggu mereka.

“Siauw-moi, kau pergi dulu bersama suhumu, tunggu di luar kota,” bisik Han Lin kepada Cin Mei.

Gadis itu mengangguk, sebenarnya ia tidak menyukai jalan kekerasan yang diambil Han Lin akan tetapi ia maklum bahwa itulah satu-satunya jalan untuk dapat lolos dengan selamat. Ia lalu membawa suhunya keluar dari situ dengan cepat, pulang dan menunggang kedua ekor kuda keluar dari kota dan menanti Han Lin.

Setelah menanti sampai beberapa lama, barulah Han Lin melepaskan panglima itu. “Jangan mengejar kami, ciangkun. Kami sudah bersikap baik kepadamu, bahkan meninggalkan obat untuk puteramu. Ingat, kalau engkau mengirim pasukan mengejar, dengan mudah saja aku akan datang untuk mencabut nyawamu.” Setelah berkata demikian, diapun pergi dengan cepat. Sekali berkelebat diapun lenyap dari situ.

Karena sibuk dengan puteranya panglima itupun tidak melakukan pengejaran, melainkan menyuruh orang membeli obat dengan resep yang ditinggalkan oleh Cin Mei.

Cin Mei mengajak Thian-te Yok-sian dan Kun Tek untuk mengungsi ke sebuah dusun yang menjadi kampung halaman Thian-te Yok-sian, sebuah dusun nelayan di tepi Huang-ho, di mana Thian-te Yok-sian masih mempunyai sebuah rumah dan selanjutnya dia hidup di situ, dilayani oleh Kun Tek dan kehidupannya ditunjang oleh keluarga nelayan di dusun itu karena merekapun membutuhkan pertolongan Yok-sian untuk mengobati mereka yang menderita sakit.

* * * * * * *

Pemuda yang bercaping lebar itu tidak menarik perhatian orang, walaupun pedang yang berada di punggungnya menunjukkan bahwa dia seorang yang biasa menggunakan ilmu silat untuk menjaga diri. Dia seorang laki-laki muda berusia dua puluh dua tahun, wajahnya tampan dan periang, akan tetapi pada saat itu sinar matanya muram.

Ketika memasuki rumah makan di kota Souw-ciu itu, dia melihat bahwa di situ sudah ada seorang pemuda lain yang nampak gagah berpakaian serba putih dan wajahnya tampan. Juga pemuda ini mempunyai sebatang pedang di punggungnya dan usianya sekitar dua puluh lima tahun.

Mereka berdua hanya saling lirik saja akan tetapi tidak saling menegur karena memang tidak saling mengenal. Pemuda yang bercaping lebar itu adalah Souw Kian Bu. Seperti telah kita ceritakan di bagian depan, Souw Kian Bu dengan hati panas penuh cemburu telah meninggalkan isterinya. Putera Souw Hui San dan Yang Kui Lan ini pergi dengan hati remuk karena dia menduga bahwa isterinya tentu dahulu menjadi kekasih suheng isterinya yang bernama Gu San Ki itu. Dia merasa telah dicurangi dan ditipu oleh isterinya!

Semenjak pergi meninggalkan isterinya, dia merasa berduka dan kesepian sekali. Dia kehilangan isterinya, kehilangan kemesraan dan keramahan isterinya. Harus diakuinya bahwa isterinya bersikap ramah dan mesra, akan tetapi bayangan bahwa isterinya telah bergaul dengan pria lain sebelum menikah dengannya, selalu menggerogoti dan meracuni hatinya dengan rasa cemburu.

Cemburu timbul apabila kita menganggap orang yang kita cinta sebagai milik kita. Seperti kalau kita memiliki suatu benda yang indah dan kita sayang, maka kita selalu cemburu dan tidak ingin orang lain memilikinya, menjaganya agar benda itu selalu menjadi milik kita. Benarkah bahwa tanpa cemburu bukanlah cinta namanya? Ataukah sebaliknya, kalau ada cemburu maka bukanlah cinta sejati?

Yang jelas, cemburu adalah sakitnya hati yang merasa miliknya diambil orang. Cinta yang sifatnya memiliki dan dimiliki, tentu mengandung cemburu. Padahal, cinta berarti kepercayaan mutlak kepada yang dicinta. Kalau dua orang sudah saling mencinta, tentu ada kepercayaan yang tulus. Karena cinta tidak mungkin bertepuk tangan sebelah. Kalau ada keraguan, ketidak percayaan, maka percuma saja orang mengaku cinta. Dan cemburu merupakan racun yang amat berbahaya bagi kehidupan suami isteri.


Kian Bu sedang diamuk cemburu. Dan orang yang cemburu selalu membayangkan yang bukan-bukan, segala kemungkinan yang tidak-tidak, yang dianggapnya mungkin dilakukan oleh orang yang dicinta dicemburuinya. Kian Bu mencinta Ji Kiang Bwe, akan tetapi dia ingin memiliki isterinya secara mutlak, baik sekarang maupun masa lalu dan masa mendatang. Dia mencinta bayangan, yaitu bayangan wanita yang sempurna, tidak ternoda, dan bayangan itu diharapkan akan dapat terwujud dalam bentuk tubuh isterinya.

Kian Bu sadar dari lamunannya ketika pelayan menghampirinya dan bertanya apa yang dipesannya. Dia memesan arak dan masakan mi. Pada saat itu, terdengar suara keras orang menggebrak meja dan seorang yang baru saja memasuki rumah makan itu menggebrak meja dan mengeluarkan teriakan nyaring.

“Cepat pelayan! Cepat sediakan arak, aku sudah haus sekali!”

Bergegas pelayan mendatangi meja itu dan membawa seguci arak. Orang itu lalu membuka tutup guci, menuangkan arak dari guci begitus aja ke mulutnya, tidak mau menggunakan cawan lagi. Souw Kian Bu memperhatikan. Orang itu berusia lima puluh satu tahun, tubuhnya jangkung kurus, jangkung sekali lebih tinggi sekepala dibandingan orang lain dan pinggangnya dililit rantai baja yang nampaknya berat. Tentu seorang yang kuat, pikirnya dan melihat cara dia minum arak dapat diduga bahwa dia tentulah seorang kang-ouw yang terkenal pula.

Kian Bu baru saja makan mi-nya ketika dia melihat pemuda berpakaian putih itu menggerakkan tangannya dan sebatang sumpit meluncur seperti anak panah cepatnya, tepat mengenal guci yang sedang dituangkan isinya ke mulut kakek jangkung itu. “Pyarr...!” Guci itu pecah dan isinya berhamburan membasahi pakaian si jangkung.

Tentu saja si jangkung ini marah bukan main. Dia bangkit berdiri dan matanya memandang ke kanan dari mana sumpit tadi menyambar gucinya. Dia bukan lain adalah Thian-kui, orang tertua dari Thian Te Siang-kui dan ketika dia melihat pemuda baju putih, dia marah sekali.

Dia segera mengenal Can Kok Han, pemuda dari Pek-eng Bu-koan yang sudah pernah bertanding dengannya buhkan nyaris pemuda itu tewas oleh dia dan adiknya kalau saja tidak muncul Mulani melarang dia membunuhnya. Kini Mulani tidak ada, dan tidak ada orang yang akan melarangnya, maka tentu saja kemarahannya memuncak.

“Bocah sombong, berani engkau mengganggu mulut harimau? Tempo hari engkau lolos dari tanganku, sekarang agaknya engkau memang sudah bosan hidup!”

“Thian-kui, manusia iblis, justeru aku yang akan membunuhmu sekali ini!” kata Kok Han, pemuda yang tidak mau merasa kalah oleh siapapun juga itu.

Pada saat itu, pemilik rumah makan tergopoh menghampiri pemuda baju putih itu. Dia agaknya sudah tahu siapa Thian-kui, seorang datuk yang sakti dan tidak berani dia minta kepada Thian-kui agar tidak berkelahi di tempat itu. Akan tetapi Kok Han adalah seorang pemuda tampan dan pakaiannya bersih, gerak-geriknya sopan, maka kepada pemuda inilah dia bermohon.

“Taihiap, kami mohon agar taihiap tidak berkelahi di tempat kami dan merusakkan perabot rumah makan kami, juga membikini takut para tamu kami.”

Sementara itu para tamu memang sudah ketakutan dan siap meninggalkan meja masing-masing agar jangan terlibat perkelahian itu.

“Thian-kui, aku menantangmu untuk bertanding di luar rumah makan kalau engkau memang berani!!” kata Kok Han yang lalu melompat keluar dari dalam rumah makan itu.

“Pemuda tolol, engkau sudah bosan hidup!” kata Thian-kui dan dengan marah sekali dia lalu menyusul keluar.

Melihat ini, Souw Kian Bu yang tadi terkejut mendengar julukan Thian-kui, diam-diam ikut pula keluar. Tentu saja dia pernah mendengar julukan Thian-te Siang-kui dan dia khawatir sekali akan nasib pemuda tampan itu. Dia pernah mendengar bahwa sepasang iblis itu memiliki kepandaian yang tinggi sekali. Biarpun dia belum tahu urusannya, tidak tahu mengapa kedua orang ini bermusuhan.

Akan tetapi karena dia tahu bahwa Thian-kui adalah seorang datuk sesat yang jahat, tentu saja pemuda itu berada di pihak benar yang patut untuk dibantunya kalau terancam bahaya. Selain Kian Bu, banyak juga yang keluar untuk menonton perkelahian walaupun mereka itu tidak takut dan menonton sambil bernyanyi. Kok Han sudah berhadapan dengan Thian-kui.

“Bocah ingusan, engkau sudah gila barangkali. Sudah beberapa kali engkau masih hendak mengantarkan nyawa? Sekali ini jangan harap engkau akan dapat meloloskan diri dari tanganku!”

“Thian-kui, tidak perlu banyak cakap lagi. Sekali ini engkaulah yang akan mampus di tanganku untuk menebus semua kejahatanmu!” kata pemuda itu dengan lagak gagah dan dia sudah mencabut pedangnya. Gerakannya ketika melompat keluar rumah makan dan ketika mencabut pedang memang meyakinkan, sehingga Kian Bu merasa agak lega karena agaknya pemuda ini memang seorang pendekar perkasa.

Thian-kui melolos rantai baja dari pinggangnya. Rantai baja itu kurang lebih dua meter panjangnya dan ketika dia gerakkan, terdengar suara berciutan, tanda bahwa senjata itu berat dan tenaga yang menggerakkannya besar. Namun dengan lincahnya Kok Han meloncat ke belakang dan membalas dengan serangan yang dilakukan sambil meloncat seperti burung menyambar.

Pedangnya menusuk ketika tubuhnya menukik. Kian Bu kagum. Pemuda ini memang boleh juga, akan tetapi dia meragukan apakah pemuda itu tangguh untuk menandingi Thian-kui yang senjatanya lebih panjang dan gerakannya demikian kuat.

Segera setelah pertandingan berlanjut, tahulah Kian Bu bahwa seperti dikhawatirkan, pemuda itu bukan tandingan Thian-kui. Dia jauh kalah kuat tenaganya, dan hanya karena memiliki kegesitan seperti seekor burung saja yang membuat pemuda itu masih dapat bertahan setelah mereka bertanding selama dua puluh jurus lamanya. Namun pemuda itu sudah terdesak hebat dan tinggal menanti saat robohnya saja.

Kian Bu sudah bersiap-siap untuk membantu pemuda itu ketika tiba-tiba Kok Han melompat jauh ke belakang dan tangan kirinya bergerak melempar benda ke dekat Thian-kui. Terdengar ledakan keras dan asap tebal mengepul. Thian-kui mengeluarkan gerengan parau dan diapun terhuyung lalu roboh...!
Selanjutnya,

Pedang Awan Merah Jilid 09

Pedang Awan Merah

Karya : Kho Ping Hoo
Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo
Jilid 09
“Baiklah, siauw-moi.”

Mereka melanjutkan perjalanan dan menjelang senja mereka memasuki kota Souw-ciu. Mereka menyewa dua buah kamar di rumah penginapan dan Cin Mei lalu bersamadhi untuk memulihkan tenaga sin-kangnya. Adapun Han Lin lalu meninggalkan rumah penginapan untuk mencari Jeng I Sian-li Cu Leng Si. Dia pergi berkunjung ke taman utama di kota itu dan benar saja, dari jauh dia sudah melihat wanita itu duduk seorang diri sambil melamun.

“Enci Leng Si...!” Han Lin menghampiri dan berseru memanggil dengan girang.

“Ah, engkau, Han Lin!” kata wanita itu dengan wajah gembira bukan main. “Alangkah lamanya aku menanti di sini. Sudah sepekan lebih setiap hari aku datang ke taman ini menantimu.”

“Maafkan aku enci. Maafkan aku telah membuat enci menunggu begitu lama. Aku telah mengalami banyak hal yang amat pahit.”

“Nanti dulu, apakah engkau sudah mendapatkan pedang itu?”

Han Lin menepuk pedang yang berada dipinggangnya, pedang Ang-in Po-kiam yang memakai sarung edang biasa agar tidak menarik perhatian orang.

“Itukah Ang-in Po-kiam?”

“Benar, enci.”

“Aih, sukurlah, Han Lin. Kalau begitu kita segera dapat membawa ke kota raja!” katanya girang.

“Sabar, enci. Kita harus menanti beberapa hari lagi sampai sumoimu sembuh benar.”

“Apa? Sumoi...? Ia kenapa?”

“Panjang ceritanya, enci. Dengarkan dulu ceritaku bagaimana aku mendapatkan pedang ini.” Dia lalu menceritakan kepqda Leng Si tentang pertemuannya dengan Mulani, tentang pernikahannya dengan Mulani yang membuatnya berduka.

“Aih, goblok benar engkau! Apakah engkau telah menodai gadis itu?”

“Tentu saja menurut keyakinanku tidak, enci. Walaupun ketika itu aku pingsan sehingga mana aku tahu pasti apa yang telah terjadi?”

“Goblok, adikku yang tolol! Kalau aku berada di sana tentu sudah kuhajar gadis Mongol itu. Bagaimana ia boleh memaksa orang menjadi suaminya atas dasar peristiwa yang belum tentu siapa pelakunya itu! Kurang ajar benar ia berani memaksa adikku menikah dengannya!”

“Aih, enci. Bagaimanapun, Mulani sudah menjadi korban perkosaan...”

“Korban perkosaan katamu? Kalau menurut aku, ini adalah siasatnya belaka. Tidak ada siapa-siapa yang memperkosanya, ia memang sengaja memasang jebakan agar engkau mau menikahinya. Tidak tahu malu. Biar ia mencintamu, kalau engkau tidak membalasnya, tidak semestinya ia menggunakan akal busuk seperti itu!”

“Tapi, enci, kenyataannya ia telah ternoda.”

“Eh, bagaimana engkau bisa tahu dengan pasti?”

“Karena, sebulan kemudian setelah kami menikah, biarpun aku tidak pernah menyentuhnya, ia telah... mengandung satu bulan. Peristiwa itu benar terjadi, karena buktinya ia mengandung.”

“Hemm, kalau begitu, tentu ada pelakunya. Tapi harus diselidiki, harus! Tidak semestinya engkau menikah begitu saja dengan gadis Mongol tak tahu malu itu!”

“Memang akupun sedang melakukan penyelidikan, enci. Akan tetapi yang penting aku harus menyerahkan pedang ini dulu kepada kaisar.”

“Ah, benar. Dan tentang sumoi itu...?”

Han Lin lalu menceritakan tentang Cin Mei. Betapa Cin Mei yang menolong dan mengobati Hek-bin Mo-ong karena terluka parah, berbalik malah hendak dipaksa Hek-bin Mo-ong menjadi isterinya. Betapa dia menolongnya dan sampai kini Cin mei masih harus memulihkan tenaganya yang terkuras ketika ia menyelamatkan Hek-bin Mo-ong.

“Huh, babi macam apa itu kenapa tidak kau bunuh saja? Ia jahat, keji dan kalau aku bertemu dengannya, tentu kuajak bertanding sampai seorang dari kami menggeletak tak bernyawa lagi! Di mana sekarang sumoi?”

“Di rumah penginapan. Mari, enci kita temui dia.”

Mereka lalu meninggalkan taman bunga umum dan kembali ke rumah penginapan. Ketika Cu Leng Si memasuki kamar itu, ia mendapatkan adiknya sedang sila dan bersamadhi, mengumpulkan hawa murni untuk mengembalikan tenaganya.

“Sumoi...!” Cu Leng Si memanggil sambil memasuki kamar.

“Suci....! Cin Mei membuka matanya dan segera turun dari pembaringan menyambut. “Suci, aku....”

“Sssttt, aku sudah tahu semuanya dari Han Lin. Bagaimana keadaanmu? Mari kuperiksa!” Cin Mei tersenyum dan membiarkan dirinya diperiksa oleh Cu Leng Si, nadinya, dadanya, dan perutnya.

“Sukur engkau tidak terluka, hanya kehilangan tenaga saja. Kukira dalam beberapa hari ini engkau sudah akan sembuh kembali tenagamu. Aihhh, sumoi. Sejak dahulu engkau terlalu baik hati.”

Cin Mei tersenyum. “Apakah jeleknya berbaik hati, suci?”

“Jelek! Jelek sekali dan rugi kalau engkau tidak memakai perhitungan. Buktinya engkau ini bersikap baik, menolong dan mengobati binatang macam Hek-bin Mo-ong. Bukan kebaikan dibalas kebaikan, bahkan dibalas kejahatan! Sepantasnya, bertemu orang macam dia, bukan diobati, malah dibunuh!”

“Aih, suci!”

“Aih-aih apa lagi! Dia seperti seekor ular berbisa, kalau engkau mencoba untuk mengobati ular berbisa yang sedang sakit, bukan kebaikan yang kau dapat, malah digigitnya engkau sampai mati. Huh, kalau bertemu dengan binatang itu, pasti akan kubunuh dia!”

“Sudahlah, suci. Kalau semua orang bersikap seperti engkau, habislah semua orang di dunia ini, tinggal engkau seorang!” kelakar Cin Mei. “Semua orang di dunia ini tentu ada cacatnya, ada sifat buruknya. Kalau yang buruk dibunuh, tidak ada sisanya lagi. Tahukah bahwa kita berdua inipun memiliki sifat buruk?”

“Ehh? Kau mau bilang bahwa engkau dan aku ini jahat? Jangan ngaco engkau!”

“Aku tidak bilang jahat, melainkan memiliki sifat buruk. Lihat, engkau sendiri seorang yang keras hati dan mudah marah, mudah mengamuk. Tidak burukkah itu? Ingatkah engkau betapa dahulu engkau hampir saja membunuh Lin-koko karena kekerasan hatimu?”

“Lin-koko...? Aha, kau maksudkan adikku Han Lin. Bagus, dia itu Lin-koko bagimu, ya? Sudah begitu akrabkah antara kalian?”

“Ihh, suci. Kami hanya bersahabat biasa. Dia telah menolongku!”

“Ehm, aku hanya berkelakar, sumoi. Apa salahnya kalau kalian menjadi sahabat karib yang akrab? Dan coba katakan, orang macam engkau ini, mana sifat buruknya? Kalau aku memang keras dan pemarah.”

“Engkau tadi sudah menyebutkan bahwa aku terlalu lemah, terlalu baik hati, bukankah itu bagimu juga sifat yang buruk?”

“Memang buruk. Buruk sekali! Orang berbuat baik haruslah melihat kepada siapa kita berbuat baik. Kalau kepada penjahat kita berbuat baik, sama dengan membunuh diri. Kalau aku, setiap ada penjahat, apa lagi yang terlalu keji seperti Hek-bin Mo-ong, tidak ragu-ragu lagi akan kucabut nyawanya!”

Cin Mei tertawa. Ia sudah mengenal benar kepada sucinya ini. memang keras hati dan dapat berbuat ganas terhadap orang jahat. Akan tetapi tidaklah begitu kejamnya.

“Suci, engkau sudah bertemu dengan Lin-koko?”

“Sudah, dia berada di kamarnya dan aku menginap di sini bersamamu. Dia benar. Kami tidak akan berangkat ke kota raja sebelum engkau sembuh.”

“Aku tidak sakit, suci.”

“Maksudku, sebelum pulih kembali tenaga sin-kangmu. Dalam keadaan seperti ini, kalau ada bahaya mengancam, bagaimana engkau akan mampu membela diri?”

“Suci, ada pembelaku yang paling dapat dipercaya dan diandalkan maka jangan khawatir...”

“Aku tahu! Pembelamu itu tentu adikku Han Lin, bukan?”

“Ihh, suci! Bukan dia yang kumaksudkan. Bukankah dia akan pergi bersama suci? Yang kumaksudkan, pembelaku yang paling boleh diandalkan adalah Thian! Tidak ada siapapun menggangguku selama Thian melindungiku.”

“Aihh, dari dulu engkau selalu berpendapat begitu. Selalu mengandalkan Thian! Hemm, ketika engkau hampir diperlakukan keji oleh Hek-bin Mo-ong, siapakah yang menolongmu? Apakah Thian?”

“Tentu saja, suci. Thian yang menolongku.” “Dan kau bilang ditolong oleh Lin-kokomu itu!”

“Benar, Lin-koko yang menolongku, akan tetapi, justeru dia yang digerakkan oleh Thian untuk menolongku sehingga kebetulan sekali dia melihat aku dilarikan oleh Hek-bin Mo-ong.”

“Aaah, sudahlah. Engkau memang pandai berdebat. Kalau kita tidak berusaha sendiri, apakah Thian akan menolong kita? Kalau kita lapar, tidak mencari nasi sendiri, apakah Thian akan menyuapi kita dengan nasi? Kalau kita haus tidak mencari minuman sendiri, apakah Thian akan menolong kita? Kalau kita diserang penjahat dan tidak melawan dengan kekuatan sendiri, apakah Thian akan menolong kita?”

“Aduh, suci. Sudah berapa kali aku ingatkan kepadamu. Bukankah suci hafal akan semua ujar-ujar dalam berbagai kitab suci? Kenapa suci berkata demikian?”

“Karena pengalaman, sumoi. Segala macam ujar-ujar dalam kitab suci itu hanya dihafal, menjadi permainan kata-kata dan untuk pemanis bibir saja. Yang jelas, tanpa usaha sendiri kita tidak akan dapat hidup!”

“Suci, justeru usaha sendiri itu merupakan anugerah dan berkah dari Thian. Kita melihat dengan mata karena Thian memberi kita penglihatan. Kita mendengar dengan telinga karena Thian memberi kita pendengaran. Kita bekerja dengan tangan, kita membela diri dengan tangan kaki karena Thian memberi kita tangan kaki dan hati akan pikiran. Berkah dan pertolongan Thian telah diberikan kepada kita sejak kita lahir akan tetapi kita kadang melupakannya, mengira bahwa semua ini adalah karena usaha kita sendiri. Suci, apakah suci berusaha agar pernapasan suci sedang tidur sekalipun? Apakah suci pernah mengatur jalannya darah yang dipompa dari jantung? Masih banyak lagi kenyataan yang tak dapat suci bantah. Tanpa kekuasaan Thian yang melindungi kita, bagaimana kita dapat hidup?”

“Wah, wah, wah, kalau sudah begitu tentu saja aku tidak membantah lagi, sumoi. Bagaimanapun juga, aku tidak mau pergi sebelum pulih kembali tenagamu, dan engkau tidak akan dapat memaksaku pergi!”

“Hei, suci. Kapankah engkau menanggalkan kekerasan hatimu itu?”

“Dan kapan engkau menanggalkan kelemahan hatimu? Sebaiknya, engkau memberikan kelemahanmu sedikit kepadaku dan aku memberikan kekerasan hatiku sedikit kepadamu. Dengan demikian kita menjadi sama-sama sedang-sedang saja, bukan? Hi-hik, tunggu aku akan mencarikan obat penguat darah kepadamu, agar tenagamu cepat pulih.”

“Baiklah, suci. Akupun tadinya hendak mencari obat penguat itu, dan sebetulnya aku sudah punya, hanya tinggal satu lagi bahannya, yaitu jin-som. Tolong berikan sepersepuluh kali saja, suci.”

“Baiklah, aku pergi. Engkau boleh bercakap-cakap dengan Lin-kokomu itu, hi-hik.”

“Ihh, suci ada-ada saja!” Cin Mei tersipu dan hal ini membuat Leng Si tertawa terus sampai di luar kamar.

Akan tetapi ketika tiba di rumah penginapan dan pergi membeli akar obat jin-som, Leng Si menghapus dua titik air mata yang membasahi pipinya. Ia menangis! Akan tetapi mulutnya tersenyum. “Biarlah... kalau aku gagal dengan cintaku, sumoi tidak boleh gagal. Biar dia beristeri, akan tetapi isterinya itu memaksanya, dan ini tidak sah! Aku harus menggagalkan suami isteri buatan itu. Dia harus menjadi suami sumoiku!”

Dengan tekun dan penuh kasih sayang, Leng Si merawat adik seperguruannya, memasakkan obat penguat dan menemaninya. Sebetulnya, enci dan adik seperguruan itu saling menyayang, hanya karena watak mereka jauh berbeda, bahkan berlawanan, maka kadang kala mereka kelihatan seperti bertentangan.

Lewat lima hari, tenaga Cin Mei telah pulih kembali dan selama lima hari itu, nampak benar oleh Leng Si bahwa Han Lin mencinta adik seperguruannya. Malam itu, seorang diri ia menemui Han Lin. Cin Mei yang telah tidur ditinggalkannya dan ia mengetuk pintu kamar Han Lin.

“Han Lin, bukalah pintu,” teriaknya memanggil perlahan.

“Eh, enci Leng Si, ada apakah?”

“Mari ke taman di belakang, aku ingin bicara.”

Tentu saja Han Lin merasa heran melihat kerahasiaan gadis itu, akan tetapi dia tidak membantah dan setelah menutupkan daun pintu kamarnya, diapun mengikuti Leng Si pergi ke taman di belakang penginapan itu di mana terdapat penerangan lampu merah dan terdapat pula beberapa buah bangku. Leng Si mengajaknya duduk di situ dan setelah mereka duduk berhadapan, Leng Si langsung saja bertanya, nada suaranya menyerang.

“Han Lin, engkau seorang laki-laki, seorang jantan, karena itu tidak layak kalau engkau tidak berterus terang dan tidak jujur kepadaku.”

“Enci, apa kesalahanku...!”

“Tidak salah apa-apa, akan tetapi jawablah pertanyaanku ini sejujurnya. Apakah engkau mencinta sumoi?”

Ditanya seperti itu, Han Lin merasa seolah-olah dia ditodong dengan pedang yang runcing dan dia terbelalak sambil bangkit berdiri.

“Tidak usah kaget, jawab saja yang sebenarnya kalau engkau tidak ingin kukatakan laki-laki pengecut dan palsu. Hayo jawab sejujurnya. Engkau adalah adik angkatku, dan ia adalah sumoiku. Keduanya kuberatkan maka engkau tidak boleh main-main, harus menjawab dengan jujur. Sekali lagi, apakah engkau mencinta sumoi Lie Cin Mei?”

“Wah, ini...ini...”

“Jawab, jangan mencia-cia plintat-plintut!”

“Ampun, enci Leng Si. Bagaimana aku harus menjawab? Aku sama sekali tidak berhak! Engkau sudah tahu bahwa aku telah mempunyai isteri, telah menikah dan terikat...”

“Menikah macam apa itu!? Tidak ada ikatan yang dipaksakan. Itu sama akal bulus saja. Aku bertanya tentang isi hatimu, perasaanmu dan tidak ada urusan berhak atau tidak berhak. Katakan, apakah engkau mencinta sumoi? Hayo jawab, jangan membikin aku hilang sabar dan berteriak-teriak membangunkan semua orang.”

Han Lin merasa ngeri akan ancaman ini. kalau gadis ini sudah berteriak-teriak dan semua orang mendengar, apa lagi terdengar oleh Cin Mei, mau ditaruh ke mana mukanya? “Ssstt, enci, jangan ribut-ribut. Aih, enci telah mendesak dan menghimpitku, betapa tega hatimu, enci.”

“Hsuhh, siapa menghimpitmu. Aku hanya ingin pengakuan jujur seorang jantan. Dan adikku haruslah berjiwa jantan, jangan plin-plan. Nah, lepas dari engkau sudah menikah atau belum, katakanlah apakah engkau mencinta Cin Mei?”

“Baiklah, aku akan mengaku terus terang, enci. Aku berani disumpah bahwa selama ini aku tidak pernah jatuh cinta kepada wanita lain semenjak cintaku kepada adik misanku Yang Mei Li ditolak dan ia memilih untuk menikah dengan pria lain. Aku tidak pernah jatuh cinta lagi dan tadinya aku mengira tidak akan dapat jatuh cinta lagi kepada seorang wanita. Akan tetapi semenjak Kwan Im Sian-li Lie Cin Mei muncul, yaitu ketika ia membebaskan aku dari tanganmu aku telah jatuh cinta kepadanya, enci. Aku tergila-gila kepadanya, akan tetapi ternyata nasih menghendaki lain. Secara tidak terduga-duga, terpaksa sekali aku menjadi suami Mulani dan tentu saja aku tidak berani mengharapkan sumoimu untuk....”

“Hushh, siapa bicara tentang nasib? Nasibmu berada di tanganmu sendiri, Han Lin. Thian tidak akan mengubah nasibmu kalau engkau tidak berusaha mengubahnya. Kalau benar engkau mencinta sumoi, Han Lin. Engkau seorang yang berbahagia, karena sesungguhnya sumoi juga mencintamu.”

“Ohhhh....!” terdengar jerit tertahan dan ketika menengok, Han Lin masih sempat melihat berkelebatnya bayangan putih yang melarikan diri pergi meninggalkan taman itu.

“Mei-moi...!” Dia melompat mengejar, terkejut bukan main karena tidak mengira bahwa Cin Mei telah mengintai mereka, mendengarkan semua percakapan mereka. Biarpun dia tersipu malu dan khawatir sekali namun melihat gadis itu melarikan diri, dia menjadi gelisah dan segera mengejarnya untuk mohon ampun atas kelancangannya karena dia tahu bahwa percakapannya dengan Leng Si tadi tentu terdengar oleh Cin Mei dan betapa percakapan tentang diri Cin Mei itu tentu amat menyinggung perasaan gadis itu.

Akan tetapi Cin Mei yang sudah pulih kembali kekuatannya itu dapat berlari amat cepatnya dan Han Lin terpaksa harus mengerahkan tenaga sekuatnya untuk dapat menyusulnya. “Mei-moi, tunggu....!”

Akhirnya Cin Mei berhenti di tepi jalan yang sunyi itu. Malam itu bulan muncul sepotong, namun cukup memberi penerangan yang remang-remang.

“Mei-moi, maafkan aku...!” Han Lin menundukkan muka berdiri di depan Cin Mei.

“Tidak ada yang harus dimaafkan, twako.”

“Siauw-moi, aku bersalah. Aku telah menyinggung perasaanmu yang suci, aku telah merendahkanmu. Siauw-moi, kau ampunkanlah aku..., aku siap untuk meneriima hukuman.” Dan saking gelisah dan terharunya Han Lin tidak segan-segan untuk menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki Cin Mei!

“Aih, twako, jangan begitu. Bangitlah, twako, aku mohon padamu, bangkitlah dan jangan berlutut kepadaku,” suara itu terdengar sedih dan gemetar.

“Katakan dulu bahwa engkau mengampuni semua ucapanku kepadamu, baru aku mau bangkit berdiri.”

“Thian saja yang berhak mengampuni kesalahan manusia, aku tidak berhak, apalagi aku tidak merasa bahwa engkau bersalah apa-apa kepadaku. Akan tetapi kalau engkau memaksa, baiklah. Aku maafkan engkau. Nah, bangkitlah.”

Han Lin bangkit dengan hati lega. “Terima kasih, siauw-moi. Alangkah bijaksana hatimu. Siauw-moi, engkau tentu telah mendengar semua percakapanku dengan enci Leng Si tadi, bukan?”

Gadis itu mengangguk dan biarpun sinar bulan hanya remang, Han Lin dapat melihat betapa pucat wajah gadis itu. “Aku tidak seharusnya bicara begitu. Aku yang bersalah, aku tidak berhak...”

“Tidak berhak apa, twako. Katakanlah.”

“Tidak berhak menyatakan cinta kepadamu. Ahhh... biarlah aku mengakui saja kepadamu. Aku cinta padamu, siauw-moi, sejak pertemuan kita yang pertama kali. Aku cinta padamu, walaupun sesungguhnya aku tidak berhak.”

“Twako, jangan berkata demikian, twako. Demikian banyak wanita mencintamu, engkau tinggal memilih saja. Di antara mereka adalah Mulani yang berkeras memaksamu menjadi suaminya, dan di sana masih ada Can Bi Lan yang sungguh mencintamu.”

“Siauw-moi, apakah ucapanmu itu berarti engkau hendak mengatakan bahwa engkau tidak cinta kepadaku?”

“Ahh, bukan...tapi engkau telah terikat dengan isterimu, twako. Jangan hancurkan hati wanita-wanita itu. Aku akan merasa berdosa kepada mereka.”

“Siauw-moi, hatimu terlalu baik engkau selalu mengalah dalam segala hal, Siauw-moi. Aku tidak menuntut jawaban sekarang. Akan tetapi janganlah engkau pergi seperti ini, mari kita kembali ke penginapan. Enci Leng Si tentu akan merasa bersalah kepadamu kalau engkau pergi meninggalkannya begitu saja, mengira engkau tentu marah kepada k ami. Marilah, siauw-moi.”

“Aku mau kembali akan tetapi dengan satu syarat bahwa engkau tidak akan bicara lagi tentang cinta.”

“Baiklah, aku tidak akan bicara lagi tentang cinta yang hanya akan menimbulkan penasaran dan kedukaan di hatiku.”

Mereka lalu berjalan perlahan kembali ke rumah penginapan. Karena tadi keduanya menggunakan ilmu berlari cepat, maka letak rumah penginapan itu sudah cukup jauh. Akan tetapi setelah mereka tiba di sana, tidak nampak Leng Si. Cin Mei memasuki kamarnya dan menemukan sepucuk surat yang ditinggalkan Leng Si.

Sumoi dan Han Lin,
Karena suatu urusan penting. Aku terpaksa tidak dapat ikut pergi ke kota raja. Sumoi, engkau mewakili aku. Pergilah dengan Han Lin ke kota raja menyerahkan pedang itu kepada kaisar. Dan mohonlah kepada kaisar agar ayahku dibebaskan. Aku sangat berterima kasih Kepada kalian.

Dari: Cu Leng Si


“Siauw-moi, apakah enci Leng Si berada dikamarmu?” tanya Han Lin dari luar kamar.

Cin Mei keluar dan tanpa berkata apa-apa ia menyerahkan surat itu kepada Han Lin. Pemuda ini membacanya dengan alis berkerut, di dalam hatinya merasa gembira sekali akan tetapi tentu saja hal ini tidak diperlihatkan kepada Cin Mei walaupun dia tidak dapat menyembunyikan perasaan gembira itu dari suaranya yang terdengar mantap.

“Bagaimana pendapatmu dengan ini, siauw-moi?”

“Maksudmu?”

“Sudikah engkau pergi bersamaku ke kota raja untuk menyerahkan Ang-in Po-kiam kepada kaisar dan mohon pengampunan bagi ayah enci Leng Si?”

“Apa boleh buat, suci menghendaki demikian dan aku harus menghormati permintaannya itu. Kapan kita berangkat?”

“Besok pagi-pagi sekali.”

“Baiklah, twako. Sekarang, selamat tidur.”

“Selamat tidur, siauw-moi.”

Malam itu Han Lin tidur dengan nyenyaknya, mulutnya tersenyum, agaknya mimpi yang indah-indah menjadi bunga tidur malam itu. Berbeda dengan Cin Mei yang tidur gelisah di atas pembaringannya. Terjadi pertentangan dalam batinnya. Ia harus mengakui diri sendiri bahwa ia juga mencinta pemuda itu, akan tetapi iapun merasa iba kepada Mulani, juga kepada Bi Lan. Ia akan mengalah kepada wanita manapun juga dalam hal cinta. Baginya, cinta tidak harus menjadi suami-isteri. Ia dapat mencinta Han Lin, walaupun tidak menjadi isterinya atau kekasihnya.

“Twako, kita singgah dulu di Nan-yang. Aku ingin menengok guruku,” kata Cin Mei kepada Han Lin. Kini mereka menunggang dua ekor kuda karena Han Lin membeli seekor kuda lagi untuk gadis itu dan mereka telah melakukan perjalanan jauh. Hari itu mereka tiba di luar kota Nan-yang dan Cin Mei mengusulkan untuk singgah di situ.

“Tentu saja, siauw-moi, kita tidak tergesa-gesa. Ah, jadi gurumu, Thian-te Yok-sian, tinggal di kota ini?” jawab Han Lin senang. Dia merasa betapa bahagia hidupnya melakukan perjalanan bersama Cin Mei. Seolah-olah pemandangan alam menjadi jauh lebih cantik menarik dari pada biasanya.

Sinar matahari lebih cerah, kicau burung di pagi hari lebih merdu, bahkan ketika mereka makan bersama, makanan apapun yang dimakannya terasa lebih nikmat. Dia tahu bahwa semua itu terjadi karena cintanya kepada Cin Mei dan berdekatan dengan orang yang dicinta memang merupakan kenikmatan yang tiada taranya. Biarpun sikap Cin Mei biasa saja dan tidak pernah memperlihatkan perasaannya, namun dia dapat merasakan pula bahwa Cin Mei merasa tidak jauh berbeda dengan apa yang dirasakannya, yaitu berbahagia dan gembira sekali.

Cin Mei yang menunggang kuda coklat, memasuki kota lebih dulu karena Han Lin mengikuti di belakangnya. Gadis itu langsung saja menuju ke rumah gurunya, sebuah rumah Thian-te Yok-sian itu karena setiap hari ada saja orang mencarinya untuk berobat.

Akan tetapi Dewa Obat ini mempunyai suatu kebiasaan. Kalau yang datang itu menderita penyakit biasa saja, dia tidak mau mengobati dan mengusirnya untuk pergi saja ke tabib lain. Barulah apabila ada orang sakit yang amat parah, yang tidak dapat disembuhkan oleh tabib-tabib biasa, dia mau mengobatinya dan kalau sudah mengobatinya, dia tidak pernah minta bayaran.

Mereka yang disembuhkan itu dengan suka rela lalu mengirim bahan makanan atau pakaian kepada Dewa Obat ini, dan kalau demikian halnya, diapun tidak menolak. Akan tetapi, jangan ditanya berapa biayanya karena dia akan marah sekali dan mengusir orang itu. Baginya perjuangan yang berbahaya dan berat, dan kemenangannya atau penyakit yang berat itulah yang menjadi sumber kebahagiaannya.

Usianya sudah tujuh puluh tahun, namun dia masih nampak sehat dan cekatan kalau memeriksa pasien. Ketika dua orang penunggang kuda itu tiba di depan rumah Yok-sian, mereka merasa heran melihat pintu rumah itu tertutup. Padahal hari telah cukup siang sehingga tidak mungkin kalau Dewa Obat itu masih tidur.

Selagi mereka termangu, seorang anak-anak berusia dua belas tahun menghampiri dan melihat Cin Mei, dia segera berseru girang. “Suci....!!”

“Ah, engkau ini, Kun Tek? Di mana suhu dan mengapa rumahnya ditutup? Cin Mei melompat turun dari kudanya diikuti oleh Han Lin.

“Aih, panjang ceritanya, suci. Mari silakan masuk, kita bicara di dalam saja.”

Han Lin melihat bahwa anak itu, biarpun masih kecil namun sudah nampak cerdik. Anak itu membuka daun pintu dengan kunci yang diambilnya dari saku bajunya dan mereka bertiga memasuki rumah itu setelah mengikat kendali kuda pada pohon di depan rumah. Setelah duduk di ruangan dalam tiba-tiba Kun Tek menjatuhkan di depan Cin Mei sambil menangis. Sekarang barulah dia benar-benar nampak bahwa dia masih kanak-kanak.

“Huushh, Kun Tuk. Jangan menangis, ceritakan yang jelas apa yang telah terjadi,” kata Cin Mei menghibur dan mengangkat anak itu disuruh bangkit dan duduk kembali di kursi.

Kun Tek menyusut air matanya. “Baru lima hari ini terjadinya, suci. Tadinya ada lima orang perajurit utusan Panglima Kwan dari Lok yang minta agar suhu ikut mereka untuk mengobati keluarga Panglima Kwam. Tentu saja suhu menolak karena suhu tidak pernah pergi mengunjungi pasien. Harus pasien yang datang untuk berobat dan bagi suhu, peraturan ini berlaku untuk semua orang. Bahkan suhu pernah berkata, bahwa biar kaisar sendiri kalau membutuhkan pertolongannya, harus datang ke sini. Maka dia menolak keras dan menuntut bahwa apa bila pasien keluarga Panglima Kwan itu benar-benar sakit keras dan membutuhkan pertolongannya, harus dibawa ke sini. Lima orang itu lalu pergi dengan penasaran.”

“Lalu bagaimana?” tanya Cin Mei dengan suara tenang.

“Kemudian kemarin datang sebuah kereta dan Panglima Kwan sendiri datang, marah-marah dan memaki-maki suhu lalu memaksa suhu untuk ikut dengannya. Suhu menolak, akan tetapi para pengawal Panglima Kwan itu lalu menggunakan kekerasan, mereka menyeret suhu ke dalam kereta yang kemudian meninggalkan kota ini dan sampai sekarang belum ada kabarnya. Ah, suci, tolonglah suhu, aku khawatir suhu mendapat celaka di sana.”

“Tenanglah, Kun Tek. Biar aku yang urus suhu dan engkau jaga saja rumah ini, rawat yang bersih agar kalau suhu pulang keadaannya tetap bersih.”

“Baik, suci.”

“Twako, mari kita menyusul suhu ke Lok-yang!” kata gadis itu dan Han Lin mengangguk. Mereka lalu keluar lagi, menunggang kuda dan keluar dari kota Nan-yang menuju ke Lok-yang dengan cepat.

“Panglima itu sungguh bertindak sewenang-wenang terhadap suhumu, siauw-moi. Biar kita beri hajaran kepadanya!"

“Ah, jangan begitu, twako. Pertama, dia adalah seorang panglima yang tentu mempunyai pasukan yang puluhan ribu orang banyaknya. Kedua, semua perbuatan itu tentu ada sebabnya dan sebelum mengetahui sebabnya dia memaksa suhu, tidak baik kalau kita bertindak, apa lagi dengan kekerasan. Biarkan aku yang menangani persoalan ini, twako.”

Pada keesokan harinya, barulah mereka memasuki kota Lok-yang yang besar karena Lok-yang merupakan kota raja kedua setelah Tiang-an. Tidaklah sukar bagi kedua orang muda itu untuk memberi tahu di mana tempat tinggal Panglima Kwan. Dia adalah seorang di antara banyak panglima di Lok-yang dan rumahnya merupakan gedung besar yang di luarnya dijaga oleh pasukan pengawal.

Cin Mei dan Han Lin merasa lega bahwa panglima itu tidak tinggal di dalam benteng karena kalau demikian halnya tentu akan lebih sukar bagi mereka untuk menemuinya dan berusaha untuk membebaskan Yok-sian yang dipaksa mengobati keluarga panglima itu.

“Berhenti! Siapakah kalian dan ada keperluan apakah datang ke sini?” bentak opsir penjaga yang bertugas jaga di depan gedung megah itu.

Biarpun pertanyaan itu diajukan kepada Han Lin, namun karena Cin Mei yang akan menangani persoalan itu, Han Lin tidak menjawab melainkan menoleh kepada Cin Mei.

”Kami datang untuk menghadap Kwan ciangkun. Saya bernama Lie Cin Mei dan sahabatku ini bernama Sia Han Lin. Aku adalah seorang ahli pengobatan, dan mendengar bahwa ada keluarga Kwan-ciangkun yang menderita sakit keras, maka akan saya coba untuk mengobatinya.”

Mendengar ucapan itu, berubah sikap opsir itu. “Ah, kalau begitu, akan kami laporkan kepada ciangkun. Harap ji-wi (kalian berdua) menanti sebentar.”

Tak lama kemudian, opsir itu datang lagi dan mempersilakan dua orang muda itu masuk. Mereka diterima oleh seorang panglima yang bertubuh tinggi besar bermuka merah. Setelah dipersilakan duduk, panglima itu mengamati Cin Mei dan bertanya dengan suara meragu, “Apakah nona yang mengatakan pandai mengobati orang sakit?”

“Benar, ciangkun. Saya mendengar bahwa ada keluarga ciangkun yang sedang sakit, maka kalau boleh, saya akan mencoba untuk memeriksa dan mengobatinya.”

“Apakah engkau berani tanggung bahwa engkau akan dapat menyembuhkan puteraku yang menderita sakit itu, nona?”

“Ciangkun, bagaimana saya dapat menentukan sebelum memeriksanya?”

“Baik, mari kau periksa dia dan beri obat sampai sembuh, nanti akan besar hadiahnya untukmu kalau engkau dapat menyembuhkannya.”

Dikawal oleh selosin perajurit, panglima itu lalu mengajak Cin Mei dan Han Lin masuk ke kamar di bagian belakang gedung yang besar itu. Baru tiba di depan kamar saja sudah tercium bau tidak enak sekali dari dalam kamar. Seperti bau bangkai.

“Nah, yang sakit adalah puteraku dan dia di dalam kamar ini. Silakan periksa dia, nona,” kata panglima itu. Agaknya panglima itu perhatiannya tercurah kepada puteranya yang sakit sehingga dia tidak lagi menanyakan siapa nama kedua orang tamunya, walaupun tadi sudah dilaporkan oleh opsir.
Dengan menahan kemuakan oleh bau yang busuk itu, Cin Mei menghampiri pembaringan di mana rebah seorang pemuda yang berusia baru dua puluh tahun, akan tetapi seluruh tubuh pemuda itu timbul bisul kecil-kecil yang mengeluarkan bau busuk. Melihat Cin Mei, pemuda itu hendak bangkit dan menjulurkan kedua lengannya.

“Aduh, cantik manis! Marilah, manis, tidur bersamaku....!” suaranya lemah akan tetapi dia hendak bangkit untuk merangkul Cin Mei. Han Lin cepat menggunakan tongkatnya menotok jalan darah pemuda itu sehingga rebah kembali dengan lemas.

Cin Mei lalu memeriksa nadinya. Tak lama kemudian ia menggelengkan kepala dan memberi isarat kepada Han Lin untuk keluar dari kamar. Han Lin menotokkan tongkatnya membebaskan pemuda itu dan mereka keluar dari kamar itu. Di belakang mereka, pemuda yang sakit itu memanggil-manggil Cin Mei.

“Ke sinilah, manis. Jangan tinggalkan aku, sayang...!”

Gila, pikir Han Lin. Sudah sakit demikian hebat, masih saja bersikap mata keranjang. Pantasnya orang macam itu mati saja.

Setelah gadis itu keluar dari dalam kamar si sakit, panglima itu lalu mengajaknya ke ruangan tadi dan setelah duduk, dia bertanya, “Bagaimana, nona. Bagaimana keadaannya dan dapatkah engkau menyembuhkan?”

Han Lin melihat bahwa ruangan itu terjaga oleh belasan orang pengawal, dan ketika dia memandang kepada panglima itu, dia melihat wajah yang merah itu diliputi penuh kegelisahan.

“Ciangkun, puteramu itu terkena penyakit berat. Mungkin timbul karena dia terlalu banyak bergaul dengan pelacur-pelacur dan darahnya sudah keracunan. Bahkan saya melihat racun sudah menjalar sampai ke otak.”

“Hemm, cocok dengan ucapan tabib itu!” kata Kwan-ciangkun.

“Dan saya melihat bahwa dia telah mendapat obat penahan dan pengurang rasa nyeri. Kalau tidak mendapat obat itu, tentu dia tidak akan tahan sakitnya dan akan berteriak-teriak.”

“Kembali cocok, nona. Engkau memang pandai dan kuharap engkau akan dapat mengobatinya sampai sembuh betul tidak seperti tabib itu yang hanya dapat memberi obat penahan rasa nyeri saja.”

“Ciangkun, sebelum saya menjawab dan memberi obat, saya ingin bertanya di mana tabib yang sudah memeriksa dan memberinya obat itu?”

“Di kamar tahanan! Dia mengaku sebagai Dewa Obat, akan tetapi dia mengatakan bahwa dia tidak dapat menyembuhkan anakku. Maka dia kumasukkan tahanan dan kalau sampai anakku mati, dia akan ikut mati!” kata panglima itu dengan gemas.

“Harap ciangkun suka suruh panggil dia ke sini, karena saya perlu bertukar pikiran dengan dia untuk dapat mengobati puteramu.”

“Ah, benarkah engkau dapat menyembuhkan puteraku?” tanya panglima itu penuh harapan.

“Mudah-mudahan saja, akan tetapi saya perlu bertukar pikiran dan pendapat dengan tabib itu.”

“Baik!” Panglima Kwan lalu memanggil kepala pengawal dan memerintahkan agak membawa tawanan tabib itu datang ke situ.

Tak lama kemudian, pengawal itu datang kembali sambil mengiringkan seorang kakek tinggi kurus. Melihat suhunya, Cin Mei lalu memberi hormat dan berkata, “Saya mohon pendapat lo-cianpwe untuk menentukan obat bagi putera Kwan-ciangkun.”

Tentu saja Thian-te Yok-sian mengenal muridnya. Dia tahu bahwa tidak seperti dia yang hanya tahu ilmu pengobatan, muridnya itu memiliki ilmu silat tinggi dan tentu datangnya untuk menolongnya. Dia khawatir sekali akan keselamatan muridnya itu, maka dia berkata, “Mau bertanya apa lagi? Penyakit Kwan-kongcu sudah amat berat. Semua karena ulahnya sendiri bermain-main dengan para pelacur. Kini penyakit itu sudah menjalar ke otak.”

“Kalian harus dapat menyembuhkannya. Kalau tidak, kalian bertiga tidak akan kuperkenankan meninggalkan tempat ini!” bentak Kwan-ciangkun.

Han Lin yang sejak tadi diam lalu berkata, “Kami tahu mengapa ciangku menghendaki demikian. Tentu ciangkun khawatir kalau kami di luaran akan menceritakan tentang keadaan penyakit Kwan-kongcu, bukan?”

“Tutup mulutmu, orang muda!” Kwan-ciangkun membentak marah. “Pendeknya kalian harus dapat menyembuhkannya!”

Kini dengan suara tenang penuh kesabaran Cin Mei berkata, “Ciangkun, kami hanya manusia biasa dan bukan Tuhan. Yang menentukan mati hidup hanyalah Thian. Saya kira penyakit putera ciangkun itu sudah terlalu parah. Dan andaikata obat kami menyelamatkan nyawanya, tidak mungkin dapat menyelamatkan otaknya. Dia dapat sembuh, akan tetapi akan menjadi....maaf, gila.”

“Apa...??” bentak Kwan-ciangkun sambil berdiri dari tempat duduknya, mukanya pucat dan matanya terbelalak.

“Ohhh, saya sudah tahu akan hal itu, akan tetapi tidak berani mengatakan kepada ciangkun. Saya kira, keadaan Kwan-kongcu sudah demikian parah. Hiduppun akan menderita hebat, maka satu-satunya yang terbaik baginya adalah kematian yang akan membebaskan dari semua rasa nyeri dan ancaman gila.”

“Tidak! Tidak, kalian harus menyembuhkannya sama sekali atau kalau tidak, kalian akan kutahan dan kalau dia mati, kalian akan ikut mati!”

Mendadak Han Lin meloncat dan biarpun panglima itu menyambutnya dengan pukulan, tetap saja dia sudah dapat menotok panglima itu sehingga panglima itu menjadi lumpuh. “Kwan-ciangkun, engkau keterlaluan,” bisik Han Lin.

Sementara itu, belasan orang pengawal yang melihat ini sudah menyerbu dengan golok dan tombak di tangan. Akan tetapi ketika mereka menyerang ke arah Cin Mei dan Yok-sian, mereka melihat bayangan putih berkelebat dan berturut-turut mereka roboh tertotok, suara golok dan tombak yang terlempar berkerontangan. Melihat lima orang roboh oleh wanita berpakaian putih itu, para pengawal lain tertegun dan jerih.

Sementara itu Han Lin, menekan leher Kwan-ciangkun. “Ciangkun, perintahkan pengawalmu untuk mundur, kalau tidak terpaksa aku akan membunuhmu sekarang juga.”

Karena tidak berdaya dan nyawanya di tangan orang, Kwan-ciangkun lalu berteriak, “Kalian semua mundur!” dan para pengawal itu pun tidak ada yang berani bergerak.

“Biarkan kami pergi dari sini dengan aman, ciangkun.”

“Buka jalan dan biarkan mereka pergi!” bentak pula Kwan-ciangkun.

Cin Mei menghampiri meja dan menuliskan sebuah resep dengan cepat, lalu berkata kepada panglima itu. “Ciangkun, resep ini adalah obat untuk membuat puteramu merasa tenang dan tidak menderita nyeri, akan tetapi sama sekali bukan untuk menyembuhkan. Hanya kalau Thian menghendaki, puteramu dapat sembuh. Mudah-mudahan saja.”

Mereka bertiga lalu melangkah keluar, dan Han Lin masih tetap memegangi lengan panglima itu yang dibawanya keluar sehingga tidak ada seorang pengawal berani mengganggu mereka.

“Siauw-moi, kau pergi dulu bersama suhumu, tunggu di luar kota,” bisik Han Lin kepada Cin Mei.

Gadis itu mengangguk, sebenarnya ia tidak menyukai jalan kekerasan yang diambil Han Lin akan tetapi ia maklum bahwa itulah satu-satunya jalan untuk dapat lolos dengan selamat. Ia lalu membawa suhunya keluar dari situ dengan cepat, pulang dan menunggang kedua ekor kuda keluar dari kota dan menanti Han Lin.

Setelah menanti sampai beberapa lama, barulah Han Lin melepaskan panglima itu. “Jangan mengejar kami, ciangkun. Kami sudah bersikap baik kepadamu, bahkan meninggalkan obat untuk puteramu. Ingat, kalau engkau mengirim pasukan mengejar, dengan mudah saja aku akan datang untuk mencabut nyawamu.” Setelah berkata demikian, diapun pergi dengan cepat. Sekali berkelebat diapun lenyap dari situ.

Karena sibuk dengan puteranya panglima itupun tidak melakukan pengejaran, melainkan menyuruh orang membeli obat dengan resep yang ditinggalkan oleh Cin Mei.

Cin Mei mengajak Thian-te Yok-sian dan Kun Tek untuk mengungsi ke sebuah dusun yang menjadi kampung halaman Thian-te Yok-sian, sebuah dusun nelayan di tepi Huang-ho, di mana Thian-te Yok-sian masih mempunyai sebuah rumah dan selanjutnya dia hidup di situ, dilayani oleh Kun Tek dan kehidupannya ditunjang oleh keluarga nelayan di dusun itu karena merekapun membutuhkan pertolongan Yok-sian untuk mengobati mereka yang menderita sakit.

* * * * * * *

Pemuda yang bercaping lebar itu tidak menarik perhatian orang, walaupun pedang yang berada di punggungnya menunjukkan bahwa dia seorang yang biasa menggunakan ilmu silat untuk menjaga diri. Dia seorang laki-laki muda berusia dua puluh dua tahun, wajahnya tampan dan periang, akan tetapi pada saat itu sinar matanya muram.

Ketika memasuki rumah makan di kota Souw-ciu itu, dia melihat bahwa di situ sudah ada seorang pemuda lain yang nampak gagah berpakaian serba putih dan wajahnya tampan. Juga pemuda ini mempunyai sebatang pedang di punggungnya dan usianya sekitar dua puluh lima tahun.

Mereka berdua hanya saling lirik saja akan tetapi tidak saling menegur karena memang tidak saling mengenal. Pemuda yang bercaping lebar itu adalah Souw Kian Bu. Seperti telah kita ceritakan di bagian depan, Souw Kian Bu dengan hati panas penuh cemburu telah meninggalkan isterinya. Putera Souw Hui San dan Yang Kui Lan ini pergi dengan hati remuk karena dia menduga bahwa isterinya tentu dahulu menjadi kekasih suheng isterinya yang bernama Gu San Ki itu. Dia merasa telah dicurangi dan ditipu oleh isterinya!

Semenjak pergi meninggalkan isterinya, dia merasa berduka dan kesepian sekali. Dia kehilangan isterinya, kehilangan kemesraan dan keramahan isterinya. Harus diakuinya bahwa isterinya bersikap ramah dan mesra, akan tetapi bayangan bahwa isterinya telah bergaul dengan pria lain sebelum menikah dengannya, selalu menggerogoti dan meracuni hatinya dengan rasa cemburu.

Cemburu timbul apabila kita menganggap orang yang kita cinta sebagai milik kita. Seperti kalau kita memiliki suatu benda yang indah dan kita sayang, maka kita selalu cemburu dan tidak ingin orang lain memilikinya, menjaganya agar benda itu selalu menjadi milik kita. Benarkah bahwa tanpa cemburu bukanlah cinta namanya? Ataukah sebaliknya, kalau ada cemburu maka bukanlah cinta sejati?

Yang jelas, cemburu adalah sakitnya hati yang merasa miliknya diambil orang. Cinta yang sifatnya memiliki dan dimiliki, tentu mengandung cemburu. Padahal, cinta berarti kepercayaan mutlak kepada yang dicinta. Kalau dua orang sudah saling mencinta, tentu ada kepercayaan yang tulus. Karena cinta tidak mungkin bertepuk tangan sebelah. Kalau ada keraguan, ketidak percayaan, maka percuma saja orang mengaku cinta. Dan cemburu merupakan racun yang amat berbahaya bagi kehidupan suami isteri.


Kian Bu sedang diamuk cemburu. Dan orang yang cemburu selalu membayangkan yang bukan-bukan, segala kemungkinan yang tidak-tidak, yang dianggapnya mungkin dilakukan oleh orang yang dicinta dicemburuinya. Kian Bu mencinta Ji Kiang Bwe, akan tetapi dia ingin memiliki isterinya secara mutlak, baik sekarang maupun masa lalu dan masa mendatang. Dia mencinta bayangan, yaitu bayangan wanita yang sempurna, tidak ternoda, dan bayangan itu diharapkan akan dapat terwujud dalam bentuk tubuh isterinya.

Kian Bu sadar dari lamunannya ketika pelayan menghampirinya dan bertanya apa yang dipesannya. Dia memesan arak dan masakan mi. Pada saat itu, terdengar suara keras orang menggebrak meja dan seorang yang baru saja memasuki rumah makan itu menggebrak meja dan mengeluarkan teriakan nyaring.

“Cepat pelayan! Cepat sediakan arak, aku sudah haus sekali!”

Bergegas pelayan mendatangi meja itu dan membawa seguci arak. Orang itu lalu membuka tutup guci, menuangkan arak dari guci begitus aja ke mulutnya, tidak mau menggunakan cawan lagi. Souw Kian Bu memperhatikan. Orang itu berusia lima puluh satu tahun, tubuhnya jangkung kurus, jangkung sekali lebih tinggi sekepala dibandingan orang lain dan pinggangnya dililit rantai baja yang nampaknya berat. Tentu seorang yang kuat, pikirnya dan melihat cara dia minum arak dapat diduga bahwa dia tentulah seorang kang-ouw yang terkenal pula.

Kian Bu baru saja makan mi-nya ketika dia melihat pemuda berpakaian putih itu menggerakkan tangannya dan sebatang sumpit meluncur seperti anak panah cepatnya, tepat mengenal guci yang sedang dituangkan isinya ke mulut kakek jangkung itu. “Pyarr...!” Guci itu pecah dan isinya berhamburan membasahi pakaian si jangkung.

Tentu saja si jangkung ini marah bukan main. Dia bangkit berdiri dan matanya memandang ke kanan dari mana sumpit tadi menyambar gucinya. Dia bukan lain adalah Thian-kui, orang tertua dari Thian Te Siang-kui dan ketika dia melihat pemuda baju putih, dia marah sekali.

Dia segera mengenal Can Kok Han, pemuda dari Pek-eng Bu-koan yang sudah pernah bertanding dengannya buhkan nyaris pemuda itu tewas oleh dia dan adiknya kalau saja tidak muncul Mulani melarang dia membunuhnya. Kini Mulani tidak ada, dan tidak ada orang yang akan melarangnya, maka tentu saja kemarahannya memuncak.

“Bocah sombong, berani engkau mengganggu mulut harimau? Tempo hari engkau lolos dari tanganku, sekarang agaknya engkau memang sudah bosan hidup!”

“Thian-kui, manusia iblis, justeru aku yang akan membunuhmu sekali ini!” kata Kok Han, pemuda yang tidak mau merasa kalah oleh siapapun juga itu.

Pada saat itu, pemilik rumah makan tergopoh menghampiri pemuda baju putih itu. Dia agaknya sudah tahu siapa Thian-kui, seorang datuk yang sakti dan tidak berani dia minta kepada Thian-kui agar tidak berkelahi di tempat itu. Akan tetapi Kok Han adalah seorang pemuda tampan dan pakaiannya bersih, gerak-geriknya sopan, maka kepada pemuda inilah dia bermohon.

“Taihiap, kami mohon agar taihiap tidak berkelahi di tempat kami dan merusakkan perabot rumah makan kami, juga membikini takut para tamu kami.”

Sementara itu para tamu memang sudah ketakutan dan siap meninggalkan meja masing-masing agar jangan terlibat perkelahian itu.

“Thian-kui, aku menantangmu untuk bertanding di luar rumah makan kalau engkau memang berani!!” kata Kok Han yang lalu melompat keluar dari dalam rumah makan itu.

“Pemuda tolol, engkau sudah bosan hidup!” kata Thian-kui dan dengan marah sekali dia lalu menyusul keluar.

Melihat ini, Souw Kian Bu yang tadi terkejut mendengar julukan Thian-kui, diam-diam ikut pula keluar. Tentu saja dia pernah mendengar julukan Thian-te Siang-kui dan dia khawatir sekali akan nasib pemuda tampan itu. Dia pernah mendengar bahwa sepasang iblis itu memiliki kepandaian yang tinggi sekali. Biarpun dia belum tahu urusannya, tidak tahu mengapa kedua orang ini bermusuhan.

Akan tetapi karena dia tahu bahwa Thian-kui adalah seorang datuk sesat yang jahat, tentu saja pemuda itu berada di pihak benar yang patut untuk dibantunya kalau terancam bahaya. Selain Kian Bu, banyak juga yang keluar untuk menonton perkelahian walaupun mereka itu tidak takut dan menonton sambil bernyanyi. Kok Han sudah berhadapan dengan Thian-kui.

“Bocah ingusan, engkau sudah gila barangkali. Sudah beberapa kali engkau masih hendak mengantarkan nyawa? Sekali ini jangan harap engkau akan dapat meloloskan diri dari tanganku!”

“Thian-kui, tidak perlu banyak cakap lagi. Sekali ini engkaulah yang akan mampus di tanganku untuk menebus semua kejahatanmu!” kata pemuda itu dengan lagak gagah dan dia sudah mencabut pedangnya. Gerakannya ketika melompat keluar rumah makan dan ketika mencabut pedang memang meyakinkan, sehingga Kian Bu merasa agak lega karena agaknya pemuda ini memang seorang pendekar perkasa.

Thian-kui melolos rantai baja dari pinggangnya. Rantai baja itu kurang lebih dua meter panjangnya dan ketika dia gerakkan, terdengar suara berciutan, tanda bahwa senjata itu berat dan tenaga yang menggerakkannya besar. Namun dengan lincahnya Kok Han meloncat ke belakang dan membalas dengan serangan yang dilakukan sambil meloncat seperti burung menyambar.

Pedangnya menusuk ketika tubuhnya menukik. Kian Bu kagum. Pemuda ini memang boleh juga, akan tetapi dia meragukan apakah pemuda itu tangguh untuk menandingi Thian-kui yang senjatanya lebih panjang dan gerakannya demikian kuat.

Segera setelah pertandingan berlanjut, tahulah Kian Bu bahwa seperti dikhawatirkan, pemuda itu bukan tandingan Thian-kui. Dia jauh kalah kuat tenaganya, dan hanya karena memiliki kegesitan seperti seekor burung saja yang membuat pemuda itu masih dapat bertahan setelah mereka bertanding selama dua puluh jurus lamanya. Namun pemuda itu sudah terdesak hebat dan tinggal menanti saat robohnya saja.

Kian Bu sudah bersiap-siap untuk membantu pemuda itu ketika tiba-tiba Kok Han melompat jauh ke belakang dan tangan kirinya bergerak melempar benda ke dekat Thian-kui. Terdengar ledakan keras dan asap tebal mengepul. Thian-kui mengeluarkan gerengan parau dan diapun terhuyung lalu roboh...!
Selanjutnya,