Pedang Awan Merah Jilid 05 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pedang Awan Merah

Karya : Kho Ping Hoo
Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo
Jilid 05
Kiok Hwi mencoba menahan diri dan memutar pedangnya dengan cepat sehingga pedang itu membentuk gulungan sinar yang seolah menjadi perisai baginya. Namun angin badai itu masih menembus perisai sinar itu dan membuatnya terhuyung ke belakang dan hampir saja terjengkang. Pada saat itu Yap-pangcu meloncat ke tengah di antara mereka dan diapun harus mengerahkan sin-kangnya agar tidak sampai terdorong oleh angin yang menderu itu.

“Cukup, Sia-sicu...!” katanya akan tetapi Han Lin sudah menghentikan gerakan tongkatnya dan angin menderu itupun lenyap.

“Wah, sungguh luar biasa sekali ilmu tongkatmu, sicu!” Yap-pangcu memuji sambil memberi hormat.

“Sia-taihiap, ilmu aneh apakah yang kaumainkan tadi? Menimbulkan angin badai!” kata pula Kiok Hwi kagum.

“Ah, Yap-siocia telah mengalah kepadaku. Terima kasih.”

“Mari kita melanjutkan makan minum, sicu,” kata ketua itu gembira sekali dan mereka kembali ke ruangan tamu. Di situ, Yap-pangcu sendiri menuangkan anggur untuk mmeberi selamat dan hormat kepada tamunya.

Sementara itu, diam-diam Kiok Hwi merasa tertarik sekali. Ia tahu bahwa pemuda itu hendak menjaga namanya, maka ketika mengalahkannya, tongkatnya sama sekali tidak menyentuhnya. Pemuda itu mengalahkannya hanya dengan angin pukulan tongkatnya saja. Bagaimana kalau menyerang dengan tongkatnya, menyerang sehingga tongkat itu mengenai tubuhnya?

Ia bergidik. Baru angin pukulannya saja begitu hebat! Ia tertarik sekali dan ketika matanya memandang, dari matanya terpancar sinar yang aneh, bahkan ia nampak tersipu kalau kebetulan Han Lin memandang kepadanya. Pernah satu kali Yap-pangcu memergoki puterinya tersipu, dan diapun tersenyum.

Dia adalah seorang laki-laki gagah perkasa yang berwatak jujur. Ketika timbul gagasan untuk menjodohkan puterinya dengan pemuda penolong Cin-ling-pai itu, segera saja dia mengajukan pertanyaan bertubi kepada Han Lin untuk mengetahui keadaannya.

“Sicu, kalau aku boleh bertanya, siapakah guru sicu yang menurunkan ilmu-ilmu yang hebat itu?”

Han Lin telah dipesan oleh Lojin agar jangan memperkenalkan namanya, walaupun itu hanya Lojin (Orang Tua) saja, kepada orang lain, maka dia menjawab, “Mendiang suhu saya adalah Kong Hwi Hosiang.”

“Ah, hwesio pengembara itu. Aku pernah mendengar namanya yang terkenal sebagai seorang locianpwe yang sakti. Dan siapakah orang tuamu, sicu?”

Han Lin tersenyum untuk menutupi pedihnya hati mendengar orang bertanya tentang orang tuanya. “Ayah dan ibu saya telah tiada, paman. Saya yatim piatu dan sebatangkara.”

“Maafkan aku, sicu, kalau aku bertanya tentang mereka dan membuatmu sedih.”

Han Lin tersenyum. “Tidak mengapa, paman. Kematian adalah peristiwa yang sudah menjadi takdir, saya tidak lagi menyedihkan kematian mereka.”

“Dan... berapakah usiamu, sicu?” ketua Cin-ling-pai mulai memancing. Han Lin masih menganggap pertanyaan itu wajar saja, timbul dari keakraban.

“Dua puluh satu tahun lebih, paman.”

“Dalam usia sekian, sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa, sudah tentu sicu sudah berumah tangga, bukan? Di mana tempat tinggal sicu, dan apakah sicu sudah mempunyai putera?” pancingan itu semakin jelas, akan tetapi Han Lin yang belum mempunyai pengalaman dalam urusan ini, masih belum mengerti dan wajahnya berubah agak kemerahan ketika dia menjawab.

“Paman Yap Kong Sin, saya belum mempunyai anak, bahkan belum menikah.”

“Kenapa, sicu? Seorang pendekar seperti sicu, sudah sepantasnya berumah tangga dan membentuk keluarga agar kelak ada yang melanjutkan perjuangan sicu.”

“Aih, paman. Saya seorang yatim piatu yang hidup sebatangkara, tidak mempunyai apa-apa, bagaimana saya akan memikirkan tentang perjodohan?”

Girang bukan main perasaan hati ketua Cin-ling-pai itu. Dia mengerling ke arah puterinya dan melihat gadis itu menundukkan mukanya yang berubah kemerahan dan semua tokoh Cin-ling-pai yang hadir di situ tersenyum-senyum. Semua orang sudah tahu arah pembicaraan itu, kecuali Han Lin sendiri.

“Sia-sicu, maafkan ucapanku ini. Aku memang orang yang biasa bicara secara terbuka dan biarlah percakapan ini disaksikan dan didengar pula oleh para murid kepala dan suteku yang hadir di sini. Sicu, kami hanya mempunyai seorang ank, yaitu puteri kami Yap Kiok Hwi yang sekarang telah berusia delapan belas tahun dan masih belum juga terikat perjodohan dengan siapapun juga. Nah, kalau sicu setuju, kami bermaksud untuk menjodohkan kalian, yaitu sicu dan puteri kami.”

“Aih, ayah...!” Kiok Hwi bangkit berdiri dan tersipu-sipu lari ke dalam mencari ibunya. Semua orang yang hadir di situ tersenyum melihat sikap Kiok Hwi. Dari sikap gadis itu saja sudah dapat diketahui bahwa Kiok Hwi tidak berkeberatan. Kalau keberatan tentu gadis yang juga jujur dan terbuka itu seketika sudah menyatakan penolakannya atas usul perjodohan ayahnya. Akan tetapi ia lari tersipu malu, itu tidak lain artinya tentu bahwa gadis itu juga menyetujui.

“Bagaimana, Sia-sicu?” tanya Yap Kong Sin yang tadi tertawa gembira melihat ulah puterinya. “Harap engkau tidak sungkan dan malu-malu, kami sudah biasa untuk bicara secara terbuka begini.”

Tentu saja Han Lin tersipu dan merasa serba salah. Harus diakui bahwa Kiok Hwi adalah seorang gadis yang tidak ada cacat celanya sebagai seorang calon isteri. Masih muda, cantik jelita, gagah perkasa, puteri seorang ketua perkumpulan para pendekar pula. Apa lagi yang kurang? Mau cari yang bagaimana? Dan gadis itu agaknya juga tertarik kepadanya. Betapa akan bahagianya menerima kasih sayang seorang gadis jelita seperti Kiok Hwi.

“Paman, harap paman sekalian sudi memaafkan saya. Saya merasa amat berterima kasih dan terharu sekali atas maksud hati paman yang baik dan merasa amat terhormat. Seorang yatim piatu dan miskin seperti saya telah mendapat kehormatan dan penghargaan paman. Akan tetapi, paman, perjodohan adalah suatu peristiwa yang suci dan penting sekali dalam kehidupan seorang manusia, oleh karena itu harus dilakukan dengan keputusan hati yang bulat. Dan saya, pada saat ini, sama sekali belum memikirkan tentang perjodohan, dan sama sekali belum ingin terikat tali kekeluargaan. Maka, maafkanlah saya yang tidak dapat menerima kehormatan besar ini.”

Yap Kong Sin menghela napas panjang. “Engkau benar, sicu. Agaknya kami yang tergesa-gesa. Karena itu, biarlah kami tangguhkan saja hasrat hati kami ini sampai nanti pada saat sicu sudah siap benar. Akan tetapi kami harap sicu tidak melupakan usul perjodohann kami ini sehingga kalau sicu sudah mengambil keputusan untuk berjodoh, sicu dapat mempertimbangkan keinginan kami.”

“Tentu saja, paman. Akan tetapi, saya harap paman tidak menganggap ini sebagai suatu ikatan. Kalau sampai nona Yap menemukan jodohnya, harap paman tidak ragu untuk menjodohkannya tanpa memikirkan saya. Dan sekarang, saya kira sudah cukup lama saya menunda keberangkatan saya, paman. Saya akan langsung ke kota raja menyerahkan Ang-in-po-kiam kepada Sribaginda Kaisar. Selamat tinggal.”

Han Lin bangkit dan memberi hormat kepada tuan rumah, dan kepergiannya diantar oleh ketua itu sampai ke pintu gerbang depan. Han Lin melangkah menuruni lereng meninggalkan perkampungan Cin-ling-pai. Dari puncak bukit dia memandang ke bawah dan pagi hari itu matahari bersinar cerah, pemandangan alam amatlah indahnya terbentang luas di bawah sana. Di sekelilingnya nampak bukit-bukit menonjol dalam berbagai bentuk yang aneh-aneh. Di sana sini nampak kabut tipis yang membuat warna hijau pegunungan berubah menjadi kebiruan.

“Taihiap...!”

Seruan ini membuat Han Lin berhenti menahan langkahnya dan menoleh. Kiok Hwi berlari-larian menuruni lereng itu. Ketika tiba di depannya, gadis itu agak terengah, mukanya menjadi kemerahan karena berlarian itu, rambutnya agak awut-awutan tertiup angin. Mereka berdiri berhadapan, saling pandang dan Han Lin bertanya.

“Nona Yap, kenapa engkau menyusulku? Apakah ada pesan yang kau bawa dari Paman Yap?”

Gadis itu menggeleng kepalanya, dan belum dapat menjawab. “Lalu, apakah yang menyebabkan nona berlarian menyusulku?”

Gadis itu nampak tersipu. “Tidak ada yang menyuruh aku, taihiap.”

“Nona, tidak enak rasanya engkau menyebut aku dengan sebutan taihiap. Cin-ling-pai telah bersahabat denganku, maka jangan engkau menggunakan sebutan yang sungkan itu.”

“Baiklah, Lin-ko (kakak Lin), akan tetapi engkaupun jangan menyebut aku dengan sebutan nona seperti kita ini orang yang asing satu kepada yang lain.”

“Baik, Hwi-moi. Nah, katakan mengapa engkau menyusulku? Ada kepentingan apakah?”

“Tidak ada kepentingan apa-apa, Lin-ko. Tadi aku berada di kamar ibu, ketika ayah datang memberitahukan bahwa engkau telah pergi meninggalkan Cin-ling-pai, aku terkejut dan segera menyusulmu. Aku tidak mengira bahwa engkau akan terus pergi begitu saja tanpa pamit kepadaku.”

Han Lin tersenyum dan memberi hormat dengan kedua tangan di depan dada. “Maafkan aku, Hwi-moi, kalau aku tidak berpamit karena tidak sempat. Aku agak tergesa karena harus cepat mengembalikan pedang pusaka kepada Sribaginda Kaisar, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan lagi atas diriku.”

“Aku tidak menyangka kita akan berpisah demikian cepatnya, Lin-ko.”

Han Lin tersenyum. “Setiap pertemuan pasti diakhiri dengan perpisahan, Hwi-moi. Dan sekarang kita telah bertemu, maak aku ingin mengucapkan selamat tinggal dan pamit kepadamu.”

“Lin-ko, aku... aku ingin sekali ikut bersamamu ke kota raja, mengembalikan pedang pusaka itu ke istana. Aku... aku khawatir kalau terjadi apa-apa kepadamu dan aku ingin membantu. Biarkan aku menemanimu, Lin-ko.”

Han Lin mengerutkan alisnya. Dia terkejut mendengar ucapan gadis itu. “Ah, Hwi-moi, bagaimana mungkin itu? Orang tuamu tentu akan marah kepadaku kalau engkau ikut denganku.”

“Aku yang bertanggung jawab!”

“Tidak, Hwi-moi. Ini tidak baik. Seorang gadis seperti engkau pergi bersamaku, apa akan kata orang terhadap diriku? Pula, aku tidak memerlukan bantuan, dan aku... tidak sanggup melindungimu. Bagaimana kalau sampai terjadi sesuatu denganmu? Ayahmu tentu akan menyalahkan aku.”

“Lin-ko, engkau... menolak permintaanku? Apakah engkau tidak sayang kepadaku, Lin-ko?”

Han Lin tersenyum dan jantngnya berdebar. Salahkah perkiraannya bahwa dengan ucapan itu Kiok Hwi menghendaki bahwa dia sayang kepadanya? “Bukan soal tidak sayang, Hwi-moi, melainkan soal kepantasan dan tanggung jawab. Maafkan aku, Hwi-moi, aku sungguh tidak dapat membawamu pergi bersama. Selamat tinggal dan terima kasih atas budi kebaikan keluargamu selama ini!” setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban lagi Han Lin menggunakan kepandaiannya untuk meloncat dan lenyap dari situ.

“Lin-ko...! Tunggu...!”

Terpaksa Han Lin menahan langkahnya dan kembali ke depan gadis itu. “Ada apakah, Hwi-moi?”

Kiok Hwi melepaskan seuntai kalungnya yang terbuat dari pada emas dan digantungi seekor burung Hong emas dihias permata yang indah. “Toako, kalau engkau tidak mau membawa diriku, kau bawalah kalungku ini.”

“Ehhh? Kalung? Untuk apa kalung itu bagiku?” tanyanya heran dan belum menerima kalung itu karena dia merasa bingung.

“Lin-ko, perjalananmu jauh dan membutuhkan biaya besar. Karena itu, aku hanya mampu membekali perhiasan ini agar kalau engkau kekurangan biaya dapat kaujual untuk keperluanmu.”

Terpaksa Han Lin menerimanya. Dia sudah menolak keinginan gadis itu untuk menemaninya, kalau sekarang dia menolak pula pemberiannya, tentu akan membuat gadis itu merasa kecewa. “Terima kasih, Hwi-moi. Engkau sungguh terlalu baik untukku.”

“Baik? Aih, Lin-ko. Kalau mau bicara tentang kebaikan, engkaulah yang sudah berbuat kebaikan yang tak ternilai harganya bagi Cin-ling-pai, membersihkan nama dan kehormatan kami.”

“Sudah cukup, Hwi-moi, sekali lagi selamat tinggal dan sampaikan hormatku kepada ayah ibumu.” Setelah memberi hormat, Han Lin membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi.

Kiok Hwi mengikuti langkahnya dengan pandang mata sayu dan kedua mata gadis itu menjadi basah. Ah, ia tidak dapat menipu diri sendiri. Ia telah jatuh cinta kepada pemuda sederhana itu.

* * * * * * *

Kim-kok-pang adalah sebuah perkumpulan para pendulang emas yang berhasil. Semenjak Kim-kok-pang kematian ketuanya bernama Ji Kim Ek yang terbunuh oleh orang-orang Hoat-kauw dan kedudukan ketua digantikan Ji Kiang Bwe, puterinya yang gagah perkasa, perkumpulan itu semakin maju. Apa lagi ketika Ji Kiang Bwee menikah dengan Souw Kian Bu, pendekar yang tinggi pula ilmu silatnya, kedudukan Kim-kok-Pang di dunia persilatan semakin kokoh kuat.

Di bawah bimbingan suami isteri pendekar ini, Kim-kok-pang bukan saja menjadi perkumpulan yang makmur karena penghasilan dari pendulangan emas itu ternyata cukup mendatangkan kemakmuran kepada para anggotanya, akan tetapi juga perkumpulan itu berkembang menjadi perkumpulan besar.

Kalau dulu di waktu Ji Kiang Bwee pertama kali memegang kedudukan ketua menggantikan ayahnya yang tewas perkumpulan itu hanya memiliki anggota kurang lebih seratus orang, kini selama satu tahun, jumlah anggota mereka ada dua ratus lebih keluarga, yang berarti lebih dari lima ratus orang. Perkampungan mereka menjadi semakin luas, dengan bangunan pondok-pondok yang memadai, walaupun tidak mewah. Pendeknya, setiap keluarga anggota Kim-kok-pang cukup sandang pangan dan papannya.

Souw Kian Bu membantu isterinya bahkan atas kehendak Ji Kiang Bwee yang disebut ketua adalah suaminya dan ia sendiri menjadi ketua kedua atau pembantu ketua pertama! Souw Kian Bu juga tidak tinggal diam. Dia mengharuskan anak-anak keluarga itu untuk belajar membaca menulis lalu merangkai ilmu silat yang diambil dari inti sari ilmu-ilmu mereka, dan menamakan ilmu silat itu Kim-kok-kun (Silat Lembah Emas).

Ji Kiang Bwee tidak hanya mewarisi ilmu silat dari ayahnya, ketua pertama Kim-kok-pang, akan tetapi ia pun murid Pek Mau Siankouw, pertapa wanita yang sakti. Sedangkan suaminya, Souw Kian Bu, menerima gemblengan dari ayah ibunya sendiri. Ayahnya adalah Souw Hui San, tokoh Gobi-pai yang lihai, dan ibunya Yang Kui Lan adalah murid mendiang Kong Hwi Hosiang maka tentu saja Souw Kian Bu memiliki ilmu silat yang lihai, bahkan hampir setingkat isterinya. Kalau suami isteri ini kemudian merangkai sebuah ilmu silat, maka tentu saja ilmu silat itu hebat. Dan kini semua anggota Kim-kok-pang diharuskan berlatih dengan ilmu Kim-kok-kun.

Kehidupan manusia di dunia ini tidak ada yang abadi, keadaannyapun tidak menentu. Seperti berputarnya roda, maka setiap orang manusia itu kadang berada di atas, kadang di bawah. Kadang tertawa bahagia, kadang menangis sedih. Kemujuran dan kemalangan silih berganti melanda kehidupan. Dan semua ini sudah wajar, seperti wajarnya atas dan bawah, kanan dan kiri, terang dan gelap dan sebagainya lagi keadaan yang berlawanan.

Seseorang tidak mungkin mengenal senang kalau dia tidak pernah mengenal susah, tidak pernah mengenal enak kalau tidak pernah mengenal tidak enak. Mana mungkin mengenal rasa manis kalau tidak ada rasa lain yang berlawanan?

Hidup merupakan perjuangan. Perjuangan menghadapi segala macam tantangan dan tentangan. Justeru tantangan-tantangan inilah yang meramaikan hidup, memberi warna dan menjadi romantika kehidupan. Bayangkan, alangkah monoton, tanpa irama dan menimbulkan jenuh kalau kehidupan ini berjalan mulus tanpa adanya halangan dan rintangan sedikitpun.

Orang akan menjadi malas dan tidak bergairah. Bagaimana muaknya kalau setiap saat kita hanya makan yang manis melulu, tanpa adanya rasa lain seperti pahit getir asin masam sebagai imbangannya. Betapa membosankan kalau segala sesuatu dapat dicapai secara mudah, tanpa kesukaran, tanpa halangan.

Karena itu, bahagialah orang yang dapat menghagai kesulitan seperti menghargai kemudahan, dapat mengambil hikmah dari kesengsaraan serta melihat racun dalam kesenangan. Bukankah yang enak-enak itu biasanya mendatangkan penyakit dan obat itu hampir selalu terasa pahit?


Demikianlah pula dengan kehidupan Souw Kian Bu dan Ji Kiang Bwee yang nampaknya bahagia dan mulus. Baru pada malam pengantin pertama saja mereka sudah harus menghadapi tantangan yang membahayakan kelangsungan hidup berumah tangga mereka.

Biarkan Souw Kian Bu merupakan seorang pemuda yang sama sekali tidak mempunyai pengalaman dengan wanita, akan tetapi dari orang tuanya dia pernah mendapat pengertian tentang arti keperawanan seorang gadis. Oleh karena itu, dapat dibayangkan betapa gelisah dan kecewa hatinya ketika dia mendapat kenyataan di malam pengantin pertama itu bahwa isterinya, Ji Kiang Bwee, bukan perawan lagi. Tentu saja hal ini membuatnya menjadi murung dan bahkan dia tidak mau menjawab ketika keesokannya harinya isterinya mengajaknya bicara.

Ji Kiang Bwe akhirnya mengetahui apa yang menyebabkan suaminya murung. “Bu-koko, aku mengerti bahwa aku sudah bukan perawan lagi, begitukah?” Pertanyaan yang demikian terbuka dari isterinya membuat Kian Bu mengangkat muka memandang wajah isterinya penuh selidik dan terdengarlah ucapannya yang bernada dingin sekali.

“Hemm, kalau engkau sudah mengetahui dan mengerti, tentu engkau mengerti pula betapa pentingnya hal itu bagi kelangsungan suami isteri!”

“Suamiku, mencurigai dan menuduh itu adalah hakmu, boleh saja, akan tetapi itu tidak bijaksana kalau kau diamkan dan simpan di dalam hati saja. Kenapa tidak kau tanyakan sebabnya? Ada akibat tentulah ada sebabnya, bukankah begitu? Dan kalau engkau sudah mengetahui sebabnya, belum tentu engkau akan menyesal akibatnya.”

Melihat isterinya bersikap tenang saja, jelas bukan sikap seorang yang bersalah, Kian Bu menjadi agak dingin hatinya dan diapun bertanya, “Bwe moi, antara suami isteri tidak semestinya ada rahasia. Dan urusan yang mengenai dirimu juga menyangkut diriku, sebaiknya kalau engkau ceritakan semua kepadaku untuk kupertimbangkan masak-masak. Terus terang saja, bagaimana engkau kehilangan keperawananmu?”

Kiang Bwe tersenyum dan agak tersipu. “Suamiku, percayalah, bukan karena aku pernah berjina dengan seseorang atau pernah diperkosa seseorang. Sama sekali tidak dan jauhkanlah bayangan itu dari pikiranmu. Aku sendiri tidak pernah menyadari bahwa peristiwa yang terjadi dahulu itu mengakibatkan aku kehilangan tanda keperawanan itu. Ketahuilah, ketika aku berlatih silat dengan ayahku, ayah melatihku dengan keras, mengharuskan aku melakukan jurus tendangan berantai sampai sempurna betul. Nah, dalam latihan itulah aku mengalami pendarahan, dan tentu itu agaknya telah mengakibatkan aku seperti ini.”

Kian Bu mengangguk-angguk dan tersenyum. “Nah, kalau kau jelaskan begitu, tentu saja hatiku tidak merasa penasaran.”

Dia merangkul dan mencium isterinya. Agaknya selesai sudah perkara itu. Akan tetapi ternyata belum. Kiang Bwe melihat kerut di antara alis mata suaminya seringkali muncul dan akhirnya ia tidak tahan lagi. Ia mengajak suaminya berkunjung ke makam ayahnya. Kian Bu yang hanya mengira bahwa isterinya mengajaknya bersembahyang. Akan tetapi ketika isterinya sudah memegang hio (dupa biting) yang membara dan berlutut di depan makam itu, dia mendengar isterinya berkata dengan suara lantang.

“Ayah, ayah mengetahui dan menjadi saksi ketika aku dahulu ayah paksa berlatih jurus tendangan berantai dan aku terjatuh mengalami pendarahan. Ayah menjadi saksi dan aku bersumpah telah menceritakan keadaan yang sebenarnya....” Sampai di situ Kian Bwe menangis.

“Bwe-moi..!” Kian Bu merangkulnya dan menghibur. “Bwe-moi, kenapa engkau bersikap seperti ini? Aku percaya kepadamu, Bwe-moi, aku percaya...!”

Kiang Bwe masih terisak. “Engkau tidak membohongi aku, koko. Aku dapat melihat pada wajahmu, betapa engkau kadang meragukan aku, kadang sangsi dan curiga...ah, Bu-ko, betapa hatiku tidak akan sedih dicurigai suami?”

Masalah keperawanan seorang isteri memang terkadang mendatangkan persoalan besar. Dan sikap suami seperti ini hanya menunjukkan bahwa soal itu teramat penting baginya.

“Aku tidak mencurigaimu, Bwe-moi. Sungguh!”

“Koko, sebetulnya engkau mencintai aku atau tidak?”

“Kenapa masih kau tanyakan? Bukankah kita sudah menjadi suami isteri? Tentu saja aku cinta kepadamu, Bwe-moi.”

“Akan tetapi engkau meributkan soal keperawanan. Engkau mencintai aku, ataukah engkau mencintai keperawanan? Kalau engkau mencintai diriku, bukan masalah lagi keperawanan itu. Kalau engkau mencintaiku, tentu akan mencintaiku dengan segala kekurangan dan keburukanku!”

“Maaf, Bwe-moi. Andaikata, aku mencintaimu sebagai seorang janda, tentu soal itu tidak akan menjadi persoalan. Seorang suami selalu ingin memandang isterinya sebagai seorang yang suci atau setidaknya baik sesuai d engan apa yang dibayangkannya. Suami isteri memerlukan keterbukaan, tidak harus ada rahasia yang tersembunyi, karena rahasia tersembunyi menunjukkan kekurang percayaan. Bahkan andaikata engkau dahulu pernah berhubungan dengan orang lain atau pernah diperkosa sekalipun, kalau hal itu sudah kuketahui sebelumnya, tentu tidak akan menjadi persoalan. Akan tetapi sekarang aku telah menyadari kesalahanku, dan aku akan mengusir semua keraguanku. Percayalah!”

Dan semenjak hari itu memang wajah Kian Bu tidak pernah lagi murung seperti yang sudah. Agaknya peristiwa di makam ayah isterinya itu telah membuat dia percaya sepenuhnya kepada isterinya. Namun, ada ganjalan di hati kedua suami isteri itu, yalah bahwa sampai setahun lebih mereka menikah, belum juga dikurnia seorang anak.

Dan pada suatu hari, selagi Ji Kiang Bwe melatih ilmu silat kepada para anggota wanita Beng-kauw di taman belakang rumahnya, melatih tiga belas orang wanita itu mempergunakan senjata sabuk rantai dan membentuk barisan sabuk rantai dengan tekun, tiba-tiba terdengar orang berseru. “Bagus, sungguh merupakan barisan sabuk yang amat hebat!”

Kiang Bwe terkejut dan alisnya berkerut. Siapa yang begitu kurang ajar berani mengintai ia sedang melatih para anggotanya. Cepat ia membalikkan tubuhnya memandang ke arah orang yang mengeluarkan pujian itu. Dan ia terbelalak. Seorang pria muda, berusia paling banyak dua puluh lima tahun, berwajah tampan berbadan tinggi, tegap berpakaian serba hitam, tengah berdiri sambil tersenyum memandangnya.

“Suheng....!” Akhirnya ia berseru gembira sekali.

“Sumoi, kau baik-baik saja?” Pria itu melangkah maju menghampiri. Saking girangnya, Kiang Bwe memegang kedua tangan pria yang ternyata suhengnya itu. Ketika ia menjadi murid Pek Mau Sian-kouw selama lima tahun, gurunya itu sudah mempunyai murid laki-laki bernama Gu San Ki. Selama lima tahun Kiang Bwe belajar silat bersama suhengnya itu yang banyak membimbingnya dan hubungan mereka seperti kakak beradik saja.

“Suheng, angin apa yang membawamu datang ke sini? Dan bagaimana kabarnya dengan subo (ibu guru)?”

Gu San Ki tertawa dan sejenak mengamati sumoinya dari kepala sampai ke kaki, kemudia berkata, “Engkau nampak sehat dan bahagia, sumoi. Sukurlah.”

Melihat para muridnya memandang kepada mereka, Kiang Bwe baru ingat dan berkata. “Ini adalah supek kalian. Beri hormat kepadanya. Dan tinggalkan kami."

Tiga belas orang murid wanita itu lalu memberi hormat kepada Gu San Ki dan meninggalkan tempat itu. “Duduklah, suheng dan ceritakan segalanya,” kata wanita itu sambil tersenyum gembira.

San Ki memandang ke sekeliling lalu bertanya, “Nanti dulu, sumoi. Di mana suamimu? Aku ingin berkenalan dengan dia.”

“Dia sedang mengurus panen di sawah, nanti juga dia pulang. Bagaimana kabarmu dan subo? Ceritakanlah, suheng, aku sudah rindu sekali kepada kalian.”

San Ki tersenyum. “Benarkah? Engkau nampak bahagia dan....semakin cantik, sumoi. Maafkan bahwa ketika engkau menikah, aku tidak dapat hadir karena aku sedang tidak berada di rumah sedangkan subo sudah tua dan malas bepergian. Tentu suamimu gagah sekali bukan? Aku ingin berkenalan dengan pria yang beruntung sekali itu.”

“Beruntung?” tanya Kiang Bwe.

“Tentu saja. Pria yang dapat mempersuntingmu tentulah seorang pria yang paling beruntung di dunia ini!” kata San Ki dengan sikap sungguh-sungguh. “Engkau telah menjadi ketua Kim-kok-pang, dan aku mendengar bahwa engkau telah berhasil membimbing Kim-kok-pang ke jalan benar, berhasil memakmurkan anggotanya dan mempunyai seorang suami yang gagah perkasa dan mencinta.”

“Suheng, sudahlah. Aku ingin mendengar tentang subo. “Bagaimana subo sekarang?”

“Subo sudah tua, usianya sudah hampir delapan puluh tahun. Biarpun kesehatannya masih baik, akan tetapi tubuhnya sudah lemah.”

“Ah, aku rindu kepada subo,” kata Kiang Bwe menarik napas panjang.

“Dan tidak rindu kepadaku? Padahal aku rindu setengah mati kepadamu, sumoi,” kata Sian Ki sambil tersenyum. Kiang Bwe memandang wajah suhengnya yang tampan gagah itu dan tertawa.

“Tentu saja akupun rindu kepadamu, suheng. Bagaimana keadaanmu sekarang? Kenapa sampai sekarang belum juga mengirim kartu merahmu kepadaku?”

“Ah, orang macam aku ini siapa yang sudi, sumoi? Setelah engkau menikah, rasanya aku tidak akan menikah selama hidupku...”

Mendengar ini dan melihat wajah suhengnya nampak muram, Kiang Bwe terkejut sekali. Ia bangkit berdiri dan menghampiri suhengnya, meletakkan tangannya di atas pundak suhengnya itu. Suhengnya ini selalu baik kepadanya dan ia menganggapnya sebagai kakak kandungnya sendiri saja, maka kata-kata itu tentu saja amat mengejutkan karena kata-kata itu jelas menyatakan bahwa suhengnya mencintanya sebagai seorang pria mencinta wanita dan agaknya dahulu mengharapkannya menjadi isterinya akan tetapi kalah dulu oleh Kian Bu.

“Gu-suheng...ingat, aku adalah sumoimu dan sejak dulu kau sudah kuanggap sebagai kakak kandungku sendiri,” katanya lembut dan terharu.

San Ki menepuk-nepuk tangan yang berada di pundaknya itu. Aku tahu, sumoi, dan memang sudah nasibku demikian...”

Pada saat itu, terdengar suara orang. “Bagus sekali!”

Kiang Bwe meloncat saking kagetnya dan San Ki memutar tubuh dengan kaget. Di sana sudah berdiri Kiang Bu dengan muka merah dan mata mencorong.

“Ah, Bu-koko, engkau sudah pulang? Perkenalkan, ini adalah suheng Gu San Ki yang pernah kuceritakan kepadamu. Sudah lama sekali, sejak aku meninggalkan subo, aku tidak bertemu lagi dengan dia. Kami berkumpul seperti suheng dan sumoi, selama lima tahun dan....”

“Bagus, bagus sekali!” kata pula Kian Bu dan suara suaminya itu amat mengejutkan Kiang Bwe. “Ahh, sekarang aku mengerti. Betapa bodohnya aku...” Dan Kian Bu berlari cepat memasuki rumah.

“Koko....!” Kiang Bwe mengejarnya masuk dan San Ki yang menjadi bingung dan khawatir juga mengejarnya.

Di dalam, Kian Bu telah mengambil pedangnya dan buntalan pakaiannya. Dia bertemu dengan isterinya di ruangan depan.

“Koko, engkau hendak pergi ke mana?” teriak isterinya.

“Jangan perdulikan lagi aku. Aku tidak sudi merampas kekasih orang lain!”

“Sudahlah, aku sudah mengerti semuanya sekarang. Aku telah menghancurkan hati kedua orang kekasih. Sekarang engkau bebas, Kiang Bwe dan aku tidak akan menghalanginya lagi. Engkau boleh kembali kepada kekasihmu yang lama...!”

Setelah berkata demikian, hatinya menjadi semakin panas karena dia kini teringat bahwa isterinya itu sudah tidak perawan lagi ketiak menikah dengannya. Dan suhengnya itu sudah lima tahun hidup bersama Kiang Bwe, tentu suhengnya itulah yang dahulu menjadi kekasihnya. Dia melompat dan pergi. Di beranda depan dia bertemu dengan San Ki yang mencoba untuk menyadarkannya.

“Saudara yang baik, harap jangan salah sangka. Aku....” “Jangan engkau berani mencampuri urusanku!” bentak Kian Bu dan dia berlari terus.

Akan tetapi di halaman depan, Kiang Bwe yang memiliki gin-kang hebat itu telah dapat menyusulnya. “Koko, engkau hendak pergi ke mana? Dengar dulu penjelasanku!”

“Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi, dan jangan menghalangiku kalau engkau tidak ingin mendengar makianku yang lebih keji lagi.”

“Koko..!”

Akan tetapi Kian Bu sudah mengibaskan tangannya yang dipegang isterinya dan dia berlari cepat meninggalkan perkampungan Beng-kauw. Kiang Bwe menangis sambil memasuki rumahnya. San Ki menyambutnya dengan prihatin.

“Sumoi, maafkan aku. Semua ini kesalahanku belaka. Tidak seharusnya aku bersikap demikian... ah maafkan aku, sumoi.” Dia merasa menyesal bukan main telah menjadi sebab pertikaian antara suami isteri itu.

“Bukan salahmu, suheng. Memang Bu-koko sudah bersikap cemburu dan penuh curiga semenjak kami menikah. Ahhh...hu-hu-huhh....”

Wanita muda itu menangis. Ia tahu bahwa Kian Bu makin menjadi-jadi perasaan cemburunya. Dahulu, suaminya itu mau menerima keterangannya di depan makam ayahnya dan sudah bersikap baik. Agaknya sekarang kecurigaannya itu muncul lagi bersama datangnya suhengnya dan tentu suaminya itu menuduh ia dahulu menjadi kekasih suhengnya.

Berat sekali pukulan bertubi yang diterimanya pagi itu. Pertama mendapatkan kenyataan bahwa suhengnya mencintanya sebagai seorang pria mencinta wanita, ini saja sudah merupakan pukulan berat baginya. Ditambah lagi dengan suaminya yang dipenuhi kecurigaan dan cemburu dan kini lari meninggalkan rumah.

San Ki menghela napas panjang. “Sumoi, aku bersalah dan aku bersumpah untuk membawa suamimu kembali kepadamu.” Dia lalu meninggalkan sumoinya yang masih menangis.

Kiang Bwe tidak memperdulikan suhengnya pergi. Bagaimanapun juga, kedatangan suhengnya itulah yang mengakibatkan kemarahan dan kepergian suaminya. Lebih satu jam lamanya Kiang Bwe menangis di ruangan dalam setelah tadi San Ki meninggalkannya dan iapun berlari masuk ke dalam.
Para muridnya merasa heran dan bingung melihat ketua mereka meninggalkan rumah dan ketua kedua atau isteri ketua itu menangis dan masuk ke dalam rumah tidak keluar lagi. Itulah sebabnya ketika dua orang tamu, sepasang suami isteri itu datang berkunjung, mereka mempersilakan mereka duduk di ruangan tamu dan mereka tidak ada yang berani melapor ke dalam.

“Di mana ketua Souw Kian Bu?” tanya tamu pria kepada seorang murid yang menyambut mereka.

“Beliau sedang keluar,” jawabnya.

“Dan isterinya, Ji Kiang Bwe?” tanya tamu wanita.

“Ji-pangcu.....eh, beliau berada di dalam....” kata murid itu.

“Kalau begitu cepat laporkan, katakan bahwa aku Yang Mei Li, dan suamiku, Sie Kwan Lee ketua Beng-kauw,” kata Yang Mei Li.

Mendengar bahwa tamunya itu adalah ketua Beng-kauw dan isterinya, murid itu terkejut dan cepat ia memberanikan diri memasuki rumah itu dan mendapatkan ketuanya sedang duduk termenung di dalam ruangan tengah. Ji Kiang Bwe sudah berhenti menangis, namun masih duduk melamun dan iapun marah melihat seorang murid berani masuk tanpa dipanggil.

“Mau apa engkau?” bentaknya.

Murid itu cepat menjatuhkan diri berlutut dan melapor. “Maafkan saya, pangcu. Di luar datang dua orang tamu yang mengaku sebagai ketua Beng-kauw dan isterinya.”

Kiang Bwe meloncat bangun. “Ahh, mereka datang....!?” Lupa akan keadaan dirinya, saking gembiranya Kiang Bwe lalu berlari keluar diikuti muridnya yang merasa lega bahwa ketuanya tidak jadi marah kepadanya.

“Mei Li...!”

“Kiang Bwe...!” Kedua orang wanita cantik itu saling rangkul dan saling mencium pipi.

Ketika mencium pipi Kiang Bwe inilah Mei Li melihat mata yang merah itu dan ada bekas air mata di pipinya. “Kiang Bwi, engkau...engkau baru menangis! Ada apakah? Di mana koko Souw Kian Bu...?”

Kiang Bwe merangkul, menahan isaknya. “Aku sedang bingung, Mei Li. Kebetulan engkau datang. Mari masuk, akan kuceritakan kepadamu. Ah, harap Sie-toako suka menunggu di sini dulu.”

Ia memerintahkan muridnya untuk mengeluarkan minuman dan hidangan. Dan ia menarik Mei Li masuk ke dalam rumah. Mei Li memberi isarat kedipan mata kepada suaminya, agar suaminya maklum bahwa ada "urusan perempuan‟ yang perlu dibicarakan mereka berdua. Sia Kwan Lee mengangguk dan tersenyum.

Setelah tiba di ruangan dalam di mana tidak ada siapa-siapa kecuali mereka berdua, Mei Li dengan tidak sabar bertanya. “Kiang Bwe, apakah yang telah terjadi?”

“Duduklah, Mei Li, biarkan aku mengambil napas dulu. Hatiku sesak dan tertekan sejak tadi. Ketahuilah, baru beberapa jam yang lalu suamiku, pergi meninggalkan dalam keadaan marah.”

“Ehhh...? Rasanya tidak mungkin Bu-koko segalak itu. Setahuku, Bu-koko orangnya periang dan sabar. Ada peristiwa apakah, Kiang Bwe?”

“Mula-mula suhengku datang dan Bu-koko berada di sawah. Kami girang sekali dengan pertemuan itu, karena semenjak aku meninggalkan subo, kami tidak pernah saling jumpa. Aku dan suhengku itu sudah seperti saudara saja sehingga pembicaraan kami akrab sekali. Kemudian suamiku datang dan melihat aku bicara akrab dengan suhengku, suamiku menjadi marah-marah dan pergi meninggalkan aku.”

“Ah, sukar dipercaya. Kakakku itu tidaklah semudah itu marah dan...agaknya dia cemburu. Akan tetapi kalau dia tahu bahwa pria itu suhengmu, tidak semestinya dia cemburu.”

Kiang Bwe menghela napas panjang. “Bukan salah dia, Mei Li, akan tetapi kesalahannya terletak kepadaku.”

Mei Li mengerutkan alisnya. “Apa? Maksudmu engkau....dan suhengmu itu....”

“Ihh, jangan menduga yang bukan-bukan, Mei Li. Saudaramu itu sejak pernikahan kami memang sudah menaruh cemburu kepadaku. Perasaan itu agaknya dipendamnya selama ini dan meledak ketika melihat aku bicara akrab dengan suheng.”

“Akan tetapi mengapa cemburu sejak menikah, Kiang Bwe? Tentu ada sebabnya.”

“Memang ada sebabnya, yaitu... pada malam pengantin yang pertama itu... dia... dia mengakui bahwa keperawananku sudah hilang.”

Mei Li melompat berdiri dan mukanya merah ketika ia menatap wajah Kiang Bwe. “Kiang Bwe, apa maksudmu? Kau maksudkan bahwa engkau... engkau.. sudah....”

“Ya, Mei Li, akan tetapi jangan salah sangka seperti kakakmu itu. Aku sudah jelaskan kepadanya, bahkan bersumpah di depan makam ayahku yang menjadi saksi satu-satunya bahwa peristiwa itu terjadi karena ayah memaksaku untuk berlatih tendangan berantai. Latihan itu terlalu keras sehingga aku terjatuh dan terjadi pendarahan. Bu-koko sudah dapat menerima alasan ini dan selama ini agaknya dia sudah tidak mengingatnya lagi. Akan tetapi, ketika dia melihat aku bercakap-cakap dengan suheng dan kelihatan akrab, agaknya cemburu itu muncul lagi dan dia....dia marah-marah dan pergi....” Kiang Bwe menangis lagi.

Mei Li mengangguk-angguk. Mengertilah ia kini dan ia tidak terlalu menyalahkan kakaknya walaupun Kiang Bwe juga tidak bersalah. Salah satu pengertian yang rumit akibat cemburu buta. Melihat Kiang Bwe menangis sedih, Mei Li maklum bahwa wanita ini amat mencinta suaminya dan ini merupakan pertanda baik baginya.

“Dan suhengmu itu, di mana dia?” tanyanya.

“Suheng Gu San Ki juga melihat kepergian dan kemarahan suamiku, ketika aku menjelaskan kepadanya, dia merasa bertanggung-jawab dan bersalah. Diapun pergi dan berjanji akan mengembalikan suamiku kepadaku.”

Mei Li menghela napas panjang. “Sungguh mati tidak kusangka ada peristiwa seperti ini di sini. Sedangkan aku datang inipun hendak menceritakan peristiwa gawat yang terjadi pada Beng Kauw."

Kiang Bwe seperti melupakan keadaannya sendiri. Ia berhenti menangis dan mengusap air matanya, memandang kepada Mei Li penuh perhatian dan ketika bertanya, ia sudah tidak menangis lagi. “Mei Li, peristiwa gawat apakah yang menimpa engkau dan suamimu?”

“Bagaimana kalau kita ajak suamiku untuk bicara sekarang? Masalahmu sudah kaubicarakan dengan aku dan aku berjanji kalau bertemu dengan Bu-koko aku akan membujuknya dan menjelaskan kepadanya bahwa cemburunya itu cemburu buta. Kita bicarakan soal Beng-kauw sekarang, bersama suamiku.”

“Baiklah, Mei Li, mari kita bicara di ruangan belakang dan kita persilakan suamimu masuk.” Dua orang wanita muda itu lalu mengundang Sie Kwan Lee menuju ke ruangan belakang di mana mereka bercakap-cakap tanpa diganggu orang lain.

“Nah, sekarang ceritakan a pa yang telah terjadi di Beng-kauw,” kata Kiang Bwe setelah suami isteri itu mengambil tempat duduk. “Sepanjang yang kudengar, kalian telah berhasil membawa Beng-kauw maju pesat dan membersihkan nama Beng-kauw. Kenapa kalian bilang terjadi hal yang gawat?”

“Kami telah diserbu oleh Kui-jiauw Lo-mo dan Pek-bin Mo-ong,” kata Mei Li.

Kiang Bwe membelalakkan matanya. “Apa? Dua ekor kutu busuk itu masih berani membikin ribut? Hemm, mereka itu memang lihai akan tetapi bukankah mereka telah kalah ketika terjadi penyerbuan di Hoat-kauw?”

“Mereka berdua datang dan bermaksud untuk membalas dendam atas kematian Tong Seng Gun, cucu dari Kui-jiauw Lo-mo. Akan tetapi kami dapat mengusir mereka dengan kekuatan kami berdua dan para pembantu kami. Mereka dapat diusir dan kami hanya menderita beberapa orang anggota kami terluka,” kata Sie Kwan Lee.

Kiang Bwe mengangguk. “Ah, untuk membalas dendam atas kematian Tong Seng Gun yang tewas di tangan Sie Pangcu! Sungguh orang tidak tahu malu. Cucunya yang sesat dan jahat, masih hendak dibalaskan kematiannya. Orang macam Tong Seng Gun, biar mati seratus kali juga masih belum sepadan dengan dosa-dosanya.”

“Orang-orang sesat seperti mereka itu bagaimana mungkin dapat menghentikan atau mengubah watak mereka yang buruk? Mereka sudah menjadi budak nafsu dan sampai matipun agaknya akan tetap menjadi budak nafsu,” kata Mei Li.

“Lalu sekarang ke mana kalian hendak pergi?” tanya Kiang Bwe.

Yang menjawab adalah Sie Kwan Lee. “Kami hendak merantau, mengunjungi partai-partai persilatan besar untuk mendengar bagaimana sikap tanggapan mereka terhadap Beng-kauw. Kami khawatir kalau orang-orang seperti Sam Mopong akan menggunakan siasat, memburuk-burukkan nama baik Bengkauw."

“Kalau bertemu dengan Sam Mo-ong dan hendak menyerang mereka, kabarkan kepadaku. Aku tentu akan membantu kalian sekuat tenagaku,” kata ketua Kim-kok-pang itu penuh semangat.

“Kalau kebetulan kita bertemu mereka tentu akan kami tentang mereka. Di mana-mana tentu terdapat orang gagah yang akan membantu kita menentang Sam Mo-ong. Kami pergi untuk mengadakan hubungan yang lebih erat dengan partai-patai lain setelah nama Beng-kauw dibersihkan. Juga, selagi kami belum mepunyai anak sehingga dapat lebih leluasa mengadakan perjalanan,” kata Mei Li.

“Mungkin akupun tidak akan lama tinggal di rumah,” Kiang Bwe mengeluh. “Kalau dalam waktu beberapa pekan ini suamiku belum juga pulang. Aku akan mencarinya sampai dapat!” Kiang Bwe menahan tangisnya yang sudah berada di ujung bibirnya sehingga bibir itu gemetar.

“Aku yakin bahwa Bu-koko pasti akan pulang, Kiang Bwe. Aku tahu betul wataknya. Dia bukan seorang yang kejam dan tidak dapat menyadari kesalahannya.”

Suami isteri Beng-kauw itu tinggal selama tiga hari di Kim-kok-pang, kemudiann mereka melanjutkan perjalanan dan meninggalkan Kiang Bwe yang masih tenggelam ke dalam kesedihan karena kepergian suaminya tercinta.

* * * * * * *

Han Lin memasuki hutan di lereng bukit itu dengan sikap waspada. Dia merasa betapa hutan yang lebat itu amat gawat. Pantasnya hutan lebat itu dihuni setan dan iblis. Seorang petani yang dia tanyai jalan memperingatkan agar dia tidak mengambil jalan melalui hutan itu, melainkan memutar dan mengelilingi bukit, akan tetapi jalan terdekat adalah melalui hutan yang merupakan jalan pintas. Kalau dia melalui hutan itu, dalam waktu setengah hari dia akan sampai di Souw-ciu, sedangkan kalau memutari bukit, makan waktu sehari.

“Jarang ada yang berani melalui hutan itu, orang muda. Banyak binatang buas, ular-ulat besar dan kabarnya semua pelarian dan buruan pemerintah, penjahat-penjahat kejam, selalu menyembunyikan diri ke dalam hutan itu dan sukar ditemukan lagi.”

“Paman, perampok atau orang jahat hanya mengincar harta, kalau aku tidak mempunyai apa-apa, tentu tidak akan diganggu,” kata Han Lin dan pagi itu diapun memasuki hutan dengan sikap waspada.

Dua jam kemudian dia tiba di tengah hutan yang lebat. Memang ada beberapa ekor binatang hutan, akan tetapi mereka tidak mengganggunya, bahkan mereka berlarian ketika dia muncul. Akan tetapi mendadak dia mencurahkan perhatian dan waspada. Di sebelah depan ada gerakan-gerakan yang bukan gerakan binatang.

Dia berhenti melangkah dan benar saja, dari balik rumpun belukar dan pohon-pohon besar, bahkan dari atas pohon, berlompatan lima belas orang yang mengenakan pakaian hitam dan mereka semua memegang senjata. Ada yang memegang golok, pedang atau tombak, sikap mereka mengancam dan mereka segera bergerak mengepungnya.

Han Lin berdiri tenang dan penuh kewaspadaan namun sikapnya santai saja seolah tidak mengerti akan ancaman orang-orang itu. Setelah melihat seorang yang berkumis dan berjenggot lebat, bertubuh tinggi besar berdiri di depannya, dia tahu bahwa itulah kepala gerombolan itu, maka dia bertanya dengan lagak bodoh.

“Saudara-saudara, selamat pagi. Kalian hendak ke manakah dan harap memberi jalan kepadaku.”

Semua orang tertawa seolah ucapan pemuda itu terdengar lucu dan si kumis tebal membentak. “Orang muda, serahkan semua milikmu kalau engkau tidak ingin kami bunuh!” Si kumis tebal itu mengamangkan golok besarnya yang berkilauan saking tajamnya.

Han Lin bersikap tenang dan seperti orang bingung dia bertanya. “Saudara-saudara ini minta milikku! Milikku hanya pakaian tua, tidak ada harganya. Harap jangan mengganggu seorang miskin seperti aku. Lihat aku hanya mempunyai pakaian tua dan tongkat butut ini.”

“Hoa-ha-ha-ha!” Si kumis tebal tertawa, mulutnya terbuka lebar dan bau dari mulutnya memuakkan menyergap hidung Han Lin sehingga dia terpaksa mundur dua langkah. “Orang muda, jangan berlagak tolol. Yang kami maksudkan, serahkan pedang di dalam buntalan itu!”

“Pedang...?” Han Lin masih berlagak tolol untuk memancing sampai di mana pengetahuan orang itu tentang Ang-in Po-kiam.

“Jangan berlagak bodoh. Pedang Awan Merah di punggungmu itu, serahkan kepada kami untuk ditukar dengan nyawamu.”

Han Lin tidak merasa heran. Setelah dia memperlihatkan pedang di dalam pertemuan Cin-ling-pai itu tentu saja beritanya sudah tersiar luas dan dia tahu bahwa dia menghadapi bahaya karena banyak tentu berlumba untuk mendapatkan pedang itu. Ada yang memang ingin memilikinya, dan ada yang ingin memperoleh hadiah besar dan kedudukan dari kaisar.

“Ah, itu yang kau maksudkan? Tidak semudah itu, kawan. Sebaiknya kalian mundur saja karena aku tidak suka kalau harus terpaksa memberi hajaran kepada kalian.” Kini dia melintangkan tongkat bututnya di depan dada.

Si kumis tebal lalu memberi aba-aba kepada teman-temannya yang serentak menyerbu kepada Han Lin. Banyak golok, pedang dan tombak meluncur ke arah tubuhnya. Han Lin menggerakkan tongkatnya dan.... angin badai bertiup menyambut lima belas orang itu.

Begitu tongkat digerakkan maka berpelantinganlah lima belas orang itu, ada yang terjengkang, ada yang tersungkur, ada yang terpelanting dan mereka semua mengaduh-aduh. Ada yang kepalanya benjol, ada yang giginya rontok, hidungnya berdarah, salah urat atau patah tulang. Setelah semua orang roboh dalam waktu singkat sekali, Han Lin menghentikan gerakkan tongkatnya.

“Kalian perampok-perampok cilik hanya mengganggu orang tidak bersalah. Sekali ini aku mengampunimu, akan tetapi lain kali jangan harap aku akan mau melepaskan kalian!” katanya sambil menggerakkan tongkat bututnya dan datanglah angin besar seperti angin topan yang merontokkan daun-daun dari pohon di sekitar tempat itu. Melihat ini, para perampok itu menanti perintah, melarikan diri cerai-berai ke empat jurusan.

Han Lin melanjutkan perjalanan dan setelah matahari mulai condong ke barat, tibalah dia di luar kota Souw-ciu. Dia tidak mau segera memasuki kota karena dia menduga bahwa tentu banyak tokoh kang-ouw golongan hitam yang akan menghadangnya dan sudah menantinya di sana. Dia tidak ingin menimbulkan keributan di dalam kota dan memilih sebuah kuil tua yang berdiri di luar kota itu.

Tadinya dia mengira bahwa kuil itu kuil tua yang sudah tidak dipergunakan lagi. Akan tetapi dia memasukinya, ternyata tiga orang hwesio penjaga kuil yang menyambutnya dengan sopan akan tetapi mereka itu lebih banyak berdiam diri.

“Maafkan kalau saya mengganggu, Sam-wi lo-suhu (tiga pendeta tua), saya bermaksud untuk bermalam di sini semalam kalau sam-wi tidak berkeberatan.”

“Silakan, sicu. Akan tetapi di sini tidak ada makanan enak, hanya nasi dan sayur sederhana saja,” kata hwesio tertua yang usianya sekitar enam puluh lima tahun.

“Terima kasih, lo-suhu. Nasi dan sayur sederhana amat lezat bagi perut yang lapar,” kata Han Lin.

“Omitohud, silahkan, sicu. Sicu boleh menempati kamar itu.”

Kamar itu kotor, hanya ada sebuah dipan. Lantainya nampaknya baru saja dibersihkan dan temboknya sudah penuh lumut. Juga keadaan di ruangan lain kuil itu menunjukkan bahwa kuil itu memang tidak terawat. Han Lin memasuki kamarnya dan menaruh buntalan pakaian dia atas dipan karena di situ tidak ada meja. Dia mendengar hwesio tua tadi membaca lian-keng (doa) sambil mengetuk-ngetuk kayu yang terdengar berirama.

Setelah hari mulai gelap, seorang hwesio mempersilakan Han Lin, untuk mandi. Bak mandi berada di belakang dan sudah terisi air, kata hwesio itu. Han Lin merasa tidak enak kalau dia harus merepotkan para hwesio di situ. Dia lalu menggendong buntalan pakaiannya, di dalam mana terdapat Pedang Awan Merah, lalu dia menjenguk ke tempat mandi.

Ada tiga buah bak besar di situ, sudah terisi penuh dua bak, sedangkan yang satu bak lagi masih kosong. Dia bertanya kepada hwesio itu di mana sumber airnya dan setelah diberitahu, dia lalu memikul pikulan dua buah tempat air dari sumber air. Dengan cepat dia dapat memenuhi satu bak yang kosong, barulah dia mandi. Terasa segar dan sejuk sekali, rasa lelah seperti tercuci bersih bersama debu yang mengotori tubuh dan pakaiannya.

“Sicu, silakan makan,” kata hwesio tadi. Diapun mengikuti hwesio itu pergi ke ruangan tengah di mana tiga orang hwesio itu lalu menghadapi meja makan. Han Lin waspada, khawatir kalau-kalau para hwesio itu orang jahat, yang menyamar dan akan meracuninya.

Akan tetapi mereka mengambil nasi dan lauk sayur sederhana dari tempat yang sama. Dia tidak takut diracuni karena tubuhnya sudah kebal terhadap racun. Akan tetapi di dunia kang-ouw terdapat orang-orang yang berbahaya sekali dan siapa tahu ada racun yang akan menembus kekebalannya.

Setelah melihat mereka makan dari nasi dan sayur yang sama, Han Lin lalu makan dan ternyata memang benar. Perut kosong ditambah kelelahan yang sudah diusir oleh mandi yang menyegarkan badan merupakan lauk yang paling lezat. Nasi biasa saja terasa amat harum dan gurih, apa lagi ditambah sayur.

Han Lin berterima kasih sekali kepada tiga orang hwesio itu, bukan saja karena dia memperoleh makanan dan dapat membersihkan tubuh lalu akan memberi tempat melewatkan malam, akan tetapi terutama sekali karena mereka itu membuktikan bahwa mereka bukanlah komplotan yang akan mengganggunya atau mengincar pedangnya....
Selanjutnya,

Pedang Awan Merah Jilid 05

Pedang Awan Merah

Karya : Kho Ping Hoo
Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo
Jilid 05
Kiok Hwi mencoba menahan diri dan memutar pedangnya dengan cepat sehingga pedang itu membentuk gulungan sinar yang seolah menjadi perisai baginya. Namun angin badai itu masih menembus perisai sinar itu dan membuatnya terhuyung ke belakang dan hampir saja terjengkang. Pada saat itu Yap-pangcu meloncat ke tengah di antara mereka dan diapun harus mengerahkan sin-kangnya agar tidak sampai terdorong oleh angin yang menderu itu.

“Cukup, Sia-sicu...!” katanya akan tetapi Han Lin sudah menghentikan gerakan tongkatnya dan angin menderu itupun lenyap.

“Wah, sungguh luar biasa sekali ilmu tongkatmu, sicu!” Yap-pangcu memuji sambil memberi hormat.

“Sia-taihiap, ilmu aneh apakah yang kaumainkan tadi? Menimbulkan angin badai!” kata pula Kiok Hwi kagum.

“Ah, Yap-siocia telah mengalah kepadaku. Terima kasih.”

“Mari kita melanjutkan makan minum, sicu,” kata ketua itu gembira sekali dan mereka kembali ke ruangan tamu. Di situ, Yap-pangcu sendiri menuangkan anggur untuk mmeberi selamat dan hormat kepada tamunya.

Sementara itu, diam-diam Kiok Hwi merasa tertarik sekali. Ia tahu bahwa pemuda itu hendak menjaga namanya, maka ketika mengalahkannya, tongkatnya sama sekali tidak menyentuhnya. Pemuda itu mengalahkannya hanya dengan angin pukulan tongkatnya saja. Bagaimana kalau menyerang dengan tongkatnya, menyerang sehingga tongkat itu mengenai tubuhnya?

Ia bergidik. Baru angin pukulannya saja begitu hebat! Ia tertarik sekali dan ketika matanya memandang, dari matanya terpancar sinar yang aneh, bahkan ia nampak tersipu kalau kebetulan Han Lin memandang kepadanya. Pernah satu kali Yap-pangcu memergoki puterinya tersipu, dan diapun tersenyum.

Dia adalah seorang laki-laki gagah perkasa yang berwatak jujur. Ketika timbul gagasan untuk menjodohkan puterinya dengan pemuda penolong Cin-ling-pai itu, segera saja dia mengajukan pertanyaan bertubi kepada Han Lin untuk mengetahui keadaannya.

“Sicu, kalau aku boleh bertanya, siapakah guru sicu yang menurunkan ilmu-ilmu yang hebat itu?”

Han Lin telah dipesan oleh Lojin agar jangan memperkenalkan namanya, walaupun itu hanya Lojin (Orang Tua) saja, kepada orang lain, maka dia menjawab, “Mendiang suhu saya adalah Kong Hwi Hosiang.”

“Ah, hwesio pengembara itu. Aku pernah mendengar namanya yang terkenal sebagai seorang locianpwe yang sakti. Dan siapakah orang tuamu, sicu?”

Han Lin tersenyum untuk menutupi pedihnya hati mendengar orang bertanya tentang orang tuanya. “Ayah dan ibu saya telah tiada, paman. Saya yatim piatu dan sebatangkara.”

“Maafkan aku, sicu, kalau aku bertanya tentang mereka dan membuatmu sedih.”

Han Lin tersenyum. “Tidak mengapa, paman. Kematian adalah peristiwa yang sudah menjadi takdir, saya tidak lagi menyedihkan kematian mereka.”

“Dan... berapakah usiamu, sicu?” ketua Cin-ling-pai mulai memancing. Han Lin masih menganggap pertanyaan itu wajar saja, timbul dari keakraban.

“Dua puluh satu tahun lebih, paman.”

“Dalam usia sekian, sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa, sudah tentu sicu sudah berumah tangga, bukan? Di mana tempat tinggal sicu, dan apakah sicu sudah mempunyai putera?” pancingan itu semakin jelas, akan tetapi Han Lin yang belum mempunyai pengalaman dalam urusan ini, masih belum mengerti dan wajahnya berubah agak kemerahan ketika dia menjawab.

“Paman Yap Kong Sin, saya belum mempunyai anak, bahkan belum menikah.”

“Kenapa, sicu? Seorang pendekar seperti sicu, sudah sepantasnya berumah tangga dan membentuk keluarga agar kelak ada yang melanjutkan perjuangan sicu.”

“Aih, paman. Saya seorang yatim piatu yang hidup sebatangkara, tidak mempunyai apa-apa, bagaimana saya akan memikirkan tentang perjodohan?”

Girang bukan main perasaan hati ketua Cin-ling-pai itu. Dia mengerling ke arah puterinya dan melihat gadis itu menundukkan mukanya yang berubah kemerahan dan semua tokoh Cin-ling-pai yang hadir di situ tersenyum-senyum. Semua orang sudah tahu arah pembicaraan itu, kecuali Han Lin sendiri.

“Sia-sicu, maafkan ucapanku ini. Aku memang orang yang biasa bicara secara terbuka dan biarlah percakapan ini disaksikan dan didengar pula oleh para murid kepala dan suteku yang hadir di sini. Sicu, kami hanya mempunyai seorang ank, yaitu puteri kami Yap Kiok Hwi yang sekarang telah berusia delapan belas tahun dan masih belum juga terikat perjodohan dengan siapapun juga. Nah, kalau sicu setuju, kami bermaksud untuk menjodohkan kalian, yaitu sicu dan puteri kami.”

“Aih, ayah...!” Kiok Hwi bangkit berdiri dan tersipu-sipu lari ke dalam mencari ibunya. Semua orang yang hadir di situ tersenyum melihat sikap Kiok Hwi. Dari sikap gadis itu saja sudah dapat diketahui bahwa Kiok Hwi tidak berkeberatan. Kalau keberatan tentu gadis yang juga jujur dan terbuka itu seketika sudah menyatakan penolakannya atas usul perjodohan ayahnya. Akan tetapi ia lari tersipu malu, itu tidak lain artinya tentu bahwa gadis itu juga menyetujui.

“Bagaimana, Sia-sicu?” tanya Yap Kong Sin yang tadi tertawa gembira melihat ulah puterinya. “Harap engkau tidak sungkan dan malu-malu, kami sudah biasa untuk bicara secara terbuka begini.”

Tentu saja Han Lin tersipu dan merasa serba salah. Harus diakui bahwa Kiok Hwi adalah seorang gadis yang tidak ada cacat celanya sebagai seorang calon isteri. Masih muda, cantik jelita, gagah perkasa, puteri seorang ketua perkumpulan para pendekar pula. Apa lagi yang kurang? Mau cari yang bagaimana? Dan gadis itu agaknya juga tertarik kepadanya. Betapa akan bahagianya menerima kasih sayang seorang gadis jelita seperti Kiok Hwi.

“Paman, harap paman sekalian sudi memaafkan saya. Saya merasa amat berterima kasih dan terharu sekali atas maksud hati paman yang baik dan merasa amat terhormat. Seorang yatim piatu dan miskin seperti saya telah mendapat kehormatan dan penghargaan paman. Akan tetapi, paman, perjodohan adalah suatu peristiwa yang suci dan penting sekali dalam kehidupan seorang manusia, oleh karena itu harus dilakukan dengan keputusan hati yang bulat. Dan saya, pada saat ini, sama sekali belum memikirkan tentang perjodohan, dan sama sekali belum ingin terikat tali kekeluargaan. Maka, maafkanlah saya yang tidak dapat menerima kehormatan besar ini.”

Yap Kong Sin menghela napas panjang. “Engkau benar, sicu. Agaknya kami yang tergesa-gesa. Karena itu, biarlah kami tangguhkan saja hasrat hati kami ini sampai nanti pada saat sicu sudah siap benar. Akan tetapi kami harap sicu tidak melupakan usul perjodohann kami ini sehingga kalau sicu sudah mengambil keputusan untuk berjodoh, sicu dapat mempertimbangkan keinginan kami.”

“Tentu saja, paman. Akan tetapi, saya harap paman tidak menganggap ini sebagai suatu ikatan. Kalau sampai nona Yap menemukan jodohnya, harap paman tidak ragu untuk menjodohkannya tanpa memikirkan saya. Dan sekarang, saya kira sudah cukup lama saya menunda keberangkatan saya, paman. Saya akan langsung ke kota raja menyerahkan Ang-in-po-kiam kepada Sribaginda Kaisar. Selamat tinggal.”

Han Lin bangkit dan memberi hormat kepada tuan rumah, dan kepergiannya diantar oleh ketua itu sampai ke pintu gerbang depan. Han Lin melangkah menuruni lereng meninggalkan perkampungan Cin-ling-pai. Dari puncak bukit dia memandang ke bawah dan pagi hari itu matahari bersinar cerah, pemandangan alam amatlah indahnya terbentang luas di bawah sana. Di sekelilingnya nampak bukit-bukit menonjol dalam berbagai bentuk yang aneh-aneh. Di sana sini nampak kabut tipis yang membuat warna hijau pegunungan berubah menjadi kebiruan.

“Taihiap...!”

Seruan ini membuat Han Lin berhenti menahan langkahnya dan menoleh. Kiok Hwi berlari-larian menuruni lereng itu. Ketika tiba di depannya, gadis itu agak terengah, mukanya menjadi kemerahan karena berlarian itu, rambutnya agak awut-awutan tertiup angin. Mereka berdiri berhadapan, saling pandang dan Han Lin bertanya.

“Nona Yap, kenapa engkau menyusulku? Apakah ada pesan yang kau bawa dari Paman Yap?”

Gadis itu menggeleng kepalanya, dan belum dapat menjawab. “Lalu, apakah yang menyebabkan nona berlarian menyusulku?”

Gadis itu nampak tersipu. “Tidak ada yang menyuruh aku, taihiap.”

“Nona, tidak enak rasanya engkau menyebut aku dengan sebutan taihiap. Cin-ling-pai telah bersahabat denganku, maka jangan engkau menggunakan sebutan yang sungkan itu.”

“Baiklah, Lin-ko (kakak Lin), akan tetapi engkaupun jangan menyebut aku dengan sebutan nona seperti kita ini orang yang asing satu kepada yang lain.”

“Baik, Hwi-moi. Nah, katakan mengapa engkau menyusulku? Ada kepentingan apakah?”

“Tidak ada kepentingan apa-apa, Lin-ko. Tadi aku berada di kamar ibu, ketika ayah datang memberitahukan bahwa engkau telah pergi meninggalkan Cin-ling-pai, aku terkejut dan segera menyusulmu. Aku tidak mengira bahwa engkau akan terus pergi begitu saja tanpa pamit kepadaku.”

Han Lin tersenyum dan memberi hormat dengan kedua tangan di depan dada. “Maafkan aku, Hwi-moi, kalau aku tidak berpamit karena tidak sempat. Aku agak tergesa karena harus cepat mengembalikan pedang pusaka kepada Sribaginda Kaisar, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan lagi atas diriku.”

“Aku tidak menyangka kita akan berpisah demikian cepatnya, Lin-ko.”

Han Lin tersenyum. “Setiap pertemuan pasti diakhiri dengan perpisahan, Hwi-moi. Dan sekarang kita telah bertemu, maak aku ingin mengucapkan selamat tinggal dan pamit kepadamu.”

“Lin-ko, aku... aku ingin sekali ikut bersamamu ke kota raja, mengembalikan pedang pusaka itu ke istana. Aku... aku khawatir kalau terjadi apa-apa kepadamu dan aku ingin membantu. Biarkan aku menemanimu, Lin-ko.”

Han Lin mengerutkan alisnya. Dia terkejut mendengar ucapan gadis itu. “Ah, Hwi-moi, bagaimana mungkin itu? Orang tuamu tentu akan marah kepadaku kalau engkau ikut denganku.”

“Aku yang bertanggung jawab!”

“Tidak, Hwi-moi. Ini tidak baik. Seorang gadis seperti engkau pergi bersamaku, apa akan kata orang terhadap diriku? Pula, aku tidak memerlukan bantuan, dan aku... tidak sanggup melindungimu. Bagaimana kalau sampai terjadi sesuatu denganmu? Ayahmu tentu akan menyalahkan aku.”

“Lin-ko, engkau... menolak permintaanku? Apakah engkau tidak sayang kepadaku, Lin-ko?”

Han Lin tersenyum dan jantngnya berdebar. Salahkah perkiraannya bahwa dengan ucapan itu Kiok Hwi menghendaki bahwa dia sayang kepadanya? “Bukan soal tidak sayang, Hwi-moi, melainkan soal kepantasan dan tanggung jawab. Maafkan aku, Hwi-moi, aku sungguh tidak dapat membawamu pergi bersama. Selamat tinggal dan terima kasih atas budi kebaikan keluargamu selama ini!” setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban lagi Han Lin menggunakan kepandaiannya untuk meloncat dan lenyap dari situ.

“Lin-ko...! Tunggu...!”

Terpaksa Han Lin menahan langkahnya dan kembali ke depan gadis itu. “Ada apakah, Hwi-moi?”

Kiok Hwi melepaskan seuntai kalungnya yang terbuat dari pada emas dan digantungi seekor burung Hong emas dihias permata yang indah. “Toako, kalau engkau tidak mau membawa diriku, kau bawalah kalungku ini.”

“Ehhh? Kalung? Untuk apa kalung itu bagiku?” tanyanya heran dan belum menerima kalung itu karena dia merasa bingung.

“Lin-ko, perjalananmu jauh dan membutuhkan biaya besar. Karena itu, aku hanya mampu membekali perhiasan ini agar kalau engkau kekurangan biaya dapat kaujual untuk keperluanmu.”

Terpaksa Han Lin menerimanya. Dia sudah menolak keinginan gadis itu untuk menemaninya, kalau sekarang dia menolak pula pemberiannya, tentu akan membuat gadis itu merasa kecewa. “Terima kasih, Hwi-moi. Engkau sungguh terlalu baik untukku.”

“Baik? Aih, Lin-ko. Kalau mau bicara tentang kebaikan, engkaulah yang sudah berbuat kebaikan yang tak ternilai harganya bagi Cin-ling-pai, membersihkan nama dan kehormatan kami.”

“Sudah cukup, Hwi-moi, sekali lagi selamat tinggal dan sampaikan hormatku kepada ayah ibumu.” Setelah memberi hormat, Han Lin membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi.

Kiok Hwi mengikuti langkahnya dengan pandang mata sayu dan kedua mata gadis itu menjadi basah. Ah, ia tidak dapat menipu diri sendiri. Ia telah jatuh cinta kepada pemuda sederhana itu.

* * * * * * *

Kim-kok-pang adalah sebuah perkumpulan para pendulang emas yang berhasil. Semenjak Kim-kok-pang kematian ketuanya bernama Ji Kim Ek yang terbunuh oleh orang-orang Hoat-kauw dan kedudukan ketua digantikan Ji Kiang Bwe, puterinya yang gagah perkasa, perkumpulan itu semakin maju. Apa lagi ketika Ji Kiang Bwee menikah dengan Souw Kian Bu, pendekar yang tinggi pula ilmu silatnya, kedudukan Kim-kok-Pang di dunia persilatan semakin kokoh kuat.

Di bawah bimbingan suami isteri pendekar ini, Kim-kok-pang bukan saja menjadi perkumpulan yang makmur karena penghasilan dari pendulangan emas itu ternyata cukup mendatangkan kemakmuran kepada para anggotanya, akan tetapi juga perkumpulan itu berkembang menjadi perkumpulan besar.

Kalau dulu di waktu Ji Kiang Bwee pertama kali memegang kedudukan ketua menggantikan ayahnya yang tewas perkumpulan itu hanya memiliki anggota kurang lebih seratus orang, kini selama satu tahun, jumlah anggota mereka ada dua ratus lebih keluarga, yang berarti lebih dari lima ratus orang. Perkampungan mereka menjadi semakin luas, dengan bangunan pondok-pondok yang memadai, walaupun tidak mewah. Pendeknya, setiap keluarga anggota Kim-kok-pang cukup sandang pangan dan papannya.

Souw Kian Bu membantu isterinya bahkan atas kehendak Ji Kiang Bwee yang disebut ketua adalah suaminya dan ia sendiri menjadi ketua kedua atau pembantu ketua pertama! Souw Kian Bu juga tidak tinggal diam. Dia mengharuskan anak-anak keluarga itu untuk belajar membaca menulis lalu merangkai ilmu silat yang diambil dari inti sari ilmu-ilmu mereka, dan menamakan ilmu silat itu Kim-kok-kun (Silat Lembah Emas).

Ji Kiang Bwee tidak hanya mewarisi ilmu silat dari ayahnya, ketua pertama Kim-kok-pang, akan tetapi ia pun murid Pek Mau Siankouw, pertapa wanita yang sakti. Sedangkan suaminya, Souw Kian Bu, menerima gemblengan dari ayah ibunya sendiri. Ayahnya adalah Souw Hui San, tokoh Gobi-pai yang lihai, dan ibunya Yang Kui Lan adalah murid mendiang Kong Hwi Hosiang maka tentu saja Souw Kian Bu memiliki ilmu silat yang lihai, bahkan hampir setingkat isterinya. Kalau suami isteri ini kemudian merangkai sebuah ilmu silat, maka tentu saja ilmu silat itu hebat. Dan kini semua anggota Kim-kok-pang diharuskan berlatih dengan ilmu Kim-kok-kun.

Kehidupan manusia di dunia ini tidak ada yang abadi, keadaannyapun tidak menentu. Seperti berputarnya roda, maka setiap orang manusia itu kadang berada di atas, kadang di bawah. Kadang tertawa bahagia, kadang menangis sedih. Kemujuran dan kemalangan silih berganti melanda kehidupan. Dan semua ini sudah wajar, seperti wajarnya atas dan bawah, kanan dan kiri, terang dan gelap dan sebagainya lagi keadaan yang berlawanan.

Seseorang tidak mungkin mengenal senang kalau dia tidak pernah mengenal susah, tidak pernah mengenal enak kalau tidak pernah mengenal tidak enak. Mana mungkin mengenal rasa manis kalau tidak ada rasa lain yang berlawanan?

Hidup merupakan perjuangan. Perjuangan menghadapi segala macam tantangan dan tentangan. Justeru tantangan-tantangan inilah yang meramaikan hidup, memberi warna dan menjadi romantika kehidupan. Bayangkan, alangkah monoton, tanpa irama dan menimbulkan jenuh kalau kehidupan ini berjalan mulus tanpa adanya halangan dan rintangan sedikitpun.

Orang akan menjadi malas dan tidak bergairah. Bagaimana muaknya kalau setiap saat kita hanya makan yang manis melulu, tanpa adanya rasa lain seperti pahit getir asin masam sebagai imbangannya. Betapa membosankan kalau segala sesuatu dapat dicapai secara mudah, tanpa kesukaran, tanpa halangan.

Karena itu, bahagialah orang yang dapat menghagai kesulitan seperti menghargai kemudahan, dapat mengambil hikmah dari kesengsaraan serta melihat racun dalam kesenangan. Bukankah yang enak-enak itu biasanya mendatangkan penyakit dan obat itu hampir selalu terasa pahit?


Demikianlah pula dengan kehidupan Souw Kian Bu dan Ji Kiang Bwee yang nampaknya bahagia dan mulus. Baru pada malam pengantin pertama saja mereka sudah harus menghadapi tantangan yang membahayakan kelangsungan hidup berumah tangga mereka.

Biarkan Souw Kian Bu merupakan seorang pemuda yang sama sekali tidak mempunyai pengalaman dengan wanita, akan tetapi dari orang tuanya dia pernah mendapat pengertian tentang arti keperawanan seorang gadis. Oleh karena itu, dapat dibayangkan betapa gelisah dan kecewa hatinya ketika dia mendapat kenyataan di malam pengantin pertama itu bahwa isterinya, Ji Kiang Bwee, bukan perawan lagi. Tentu saja hal ini membuatnya menjadi murung dan bahkan dia tidak mau menjawab ketika keesokannya harinya isterinya mengajaknya bicara.

Ji Kiang Bwe akhirnya mengetahui apa yang menyebabkan suaminya murung. “Bu-koko, aku mengerti bahwa aku sudah bukan perawan lagi, begitukah?” Pertanyaan yang demikian terbuka dari isterinya membuat Kian Bu mengangkat muka memandang wajah isterinya penuh selidik dan terdengarlah ucapannya yang bernada dingin sekali.

“Hemm, kalau engkau sudah mengetahui dan mengerti, tentu engkau mengerti pula betapa pentingnya hal itu bagi kelangsungan suami isteri!”

“Suamiku, mencurigai dan menuduh itu adalah hakmu, boleh saja, akan tetapi itu tidak bijaksana kalau kau diamkan dan simpan di dalam hati saja. Kenapa tidak kau tanyakan sebabnya? Ada akibat tentulah ada sebabnya, bukankah begitu? Dan kalau engkau sudah mengetahui sebabnya, belum tentu engkau akan menyesal akibatnya.”

Melihat isterinya bersikap tenang saja, jelas bukan sikap seorang yang bersalah, Kian Bu menjadi agak dingin hatinya dan diapun bertanya, “Bwe moi, antara suami isteri tidak semestinya ada rahasia. Dan urusan yang mengenai dirimu juga menyangkut diriku, sebaiknya kalau engkau ceritakan semua kepadaku untuk kupertimbangkan masak-masak. Terus terang saja, bagaimana engkau kehilangan keperawananmu?”

Kiang Bwe tersenyum dan agak tersipu. “Suamiku, percayalah, bukan karena aku pernah berjina dengan seseorang atau pernah diperkosa seseorang. Sama sekali tidak dan jauhkanlah bayangan itu dari pikiranmu. Aku sendiri tidak pernah menyadari bahwa peristiwa yang terjadi dahulu itu mengakibatkan aku kehilangan tanda keperawanan itu. Ketahuilah, ketika aku berlatih silat dengan ayahku, ayah melatihku dengan keras, mengharuskan aku melakukan jurus tendangan berantai sampai sempurna betul. Nah, dalam latihan itulah aku mengalami pendarahan, dan tentu itu agaknya telah mengakibatkan aku seperti ini.”

Kian Bu mengangguk-angguk dan tersenyum. “Nah, kalau kau jelaskan begitu, tentu saja hatiku tidak merasa penasaran.”

Dia merangkul dan mencium isterinya. Agaknya selesai sudah perkara itu. Akan tetapi ternyata belum. Kiang Bwe melihat kerut di antara alis mata suaminya seringkali muncul dan akhirnya ia tidak tahan lagi. Ia mengajak suaminya berkunjung ke makam ayahnya. Kian Bu yang hanya mengira bahwa isterinya mengajaknya bersembahyang. Akan tetapi ketika isterinya sudah memegang hio (dupa biting) yang membara dan berlutut di depan makam itu, dia mendengar isterinya berkata dengan suara lantang.

“Ayah, ayah mengetahui dan menjadi saksi ketika aku dahulu ayah paksa berlatih jurus tendangan berantai dan aku terjatuh mengalami pendarahan. Ayah menjadi saksi dan aku bersumpah telah menceritakan keadaan yang sebenarnya....” Sampai di situ Kian Bwe menangis.

“Bwe-moi..!” Kian Bu merangkulnya dan menghibur. “Bwe-moi, kenapa engkau bersikap seperti ini? Aku percaya kepadamu, Bwe-moi, aku percaya...!”

Kiang Bwe masih terisak. “Engkau tidak membohongi aku, koko. Aku dapat melihat pada wajahmu, betapa engkau kadang meragukan aku, kadang sangsi dan curiga...ah, Bu-ko, betapa hatiku tidak akan sedih dicurigai suami?”

Masalah keperawanan seorang isteri memang terkadang mendatangkan persoalan besar. Dan sikap suami seperti ini hanya menunjukkan bahwa soal itu teramat penting baginya.

“Aku tidak mencurigaimu, Bwe-moi. Sungguh!”

“Koko, sebetulnya engkau mencintai aku atau tidak?”

“Kenapa masih kau tanyakan? Bukankah kita sudah menjadi suami isteri? Tentu saja aku cinta kepadamu, Bwe-moi.”

“Akan tetapi engkau meributkan soal keperawanan. Engkau mencintai aku, ataukah engkau mencintai keperawanan? Kalau engkau mencintai diriku, bukan masalah lagi keperawanan itu. Kalau engkau mencintaiku, tentu akan mencintaiku dengan segala kekurangan dan keburukanku!”

“Maaf, Bwe-moi. Andaikata, aku mencintaimu sebagai seorang janda, tentu soal itu tidak akan menjadi persoalan. Seorang suami selalu ingin memandang isterinya sebagai seorang yang suci atau setidaknya baik sesuai d engan apa yang dibayangkannya. Suami isteri memerlukan keterbukaan, tidak harus ada rahasia yang tersembunyi, karena rahasia tersembunyi menunjukkan kekurang percayaan. Bahkan andaikata engkau dahulu pernah berhubungan dengan orang lain atau pernah diperkosa sekalipun, kalau hal itu sudah kuketahui sebelumnya, tentu tidak akan menjadi persoalan. Akan tetapi sekarang aku telah menyadari kesalahanku, dan aku akan mengusir semua keraguanku. Percayalah!”

Dan semenjak hari itu memang wajah Kian Bu tidak pernah lagi murung seperti yang sudah. Agaknya peristiwa di makam ayah isterinya itu telah membuat dia percaya sepenuhnya kepada isterinya. Namun, ada ganjalan di hati kedua suami isteri itu, yalah bahwa sampai setahun lebih mereka menikah, belum juga dikurnia seorang anak.

Dan pada suatu hari, selagi Ji Kiang Bwe melatih ilmu silat kepada para anggota wanita Beng-kauw di taman belakang rumahnya, melatih tiga belas orang wanita itu mempergunakan senjata sabuk rantai dan membentuk barisan sabuk rantai dengan tekun, tiba-tiba terdengar orang berseru. “Bagus, sungguh merupakan barisan sabuk yang amat hebat!”

Kiang Bwe terkejut dan alisnya berkerut. Siapa yang begitu kurang ajar berani mengintai ia sedang melatih para anggotanya. Cepat ia membalikkan tubuhnya memandang ke arah orang yang mengeluarkan pujian itu. Dan ia terbelalak. Seorang pria muda, berusia paling banyak dua puluh lima tahun, berwajah tampan berbadan tinggi, tegap berpakaian serba hitam, tengah berdiri sambil tersenyum memandangnya.

“Suheng....!” Akhirnya ia berseru gembira sekali.

“Sumoi, kau baik-baik saja?” Pria itu melangkah maju menghampiri. Saking girangnya, Kiang Bwe memegang kedua tangan pria yang ternyata suhengnya itu. Ketika ia menjadi murid Pek Mau Sian-kouw selama lima tahun, gurunya itu sudah mempunyai murid laki-laki bernama Gu San Ki. Selama lima tahun Kiang Bwe belajar silat bersama suhengnya itu yang banyak membimbingnya dan hubungan mereka seperti kakak beradik saja.

“Suheng, angin apa yang membawamu datang ke sini? Dan bagaimana kabarnya dengan subo (ibu guru)?”

Gu San Ki tertawa dan sejenak mengamati sumoinya dari kepala sampai ke kaki, kemudia berkata, “Engkau nampak sehat dan bahagia, sumoi. Sukurlah.”

Melihat para muridnya memandang kepada mereka, Kiang Bwe baru ingat dan berkata. “Ini adalah supek kalian. Beri hormat kepadanya. Dan tinggalkan kami."

Tiga belas orang murid wanita itu lalu memberi hormat kepada Gu San Ki dan meninggalkan tempat itu. “Duduklah, suheng dan ceritakan segalanya,” kata wanita itu sambil tersenyum gembira.

San Ki memandang ke sekeliling lalu bertanya, “Nanti dulu, sumoi. Di mana suamimu? Aku ingin berkenalan dengan dia.”

“Dia sedang mengurus panen di sawah, nanti juga dia pulang. Bagaimana kabarmu dan subo? Ceritakanlah, suheng, aku sudah rindu sekali kepada kalian.”

San Ki tersenyum. “Benarkah? Engkau nampak bahagia dan....semakin cantik, sumoi. Maafkan bahwa ketika engkau menikah, aku tidak dapat hadir karena aku sedang tidak berada di rumah sedangkan subo sudah tua dan malas bepergian. Tentu suamimu gagah sekali bukan? Aku ingin berkenalan dengan pria yang beruntung sekali itu.”

“Beruntung?” tanya Kiang Bwe.

“Tentu saja. Pria yang dapat mempersuntingmu tentulah seorang pria yang paling beruntung di dunia ini!” kata San Ki dengan sikap sungguh-sungguh. “Engkau telah menjadi ketua Kim-kok-pang, dan aku mendengar bahwa engkau telah berhasil membimbing Kim-kok-pang ke jalan benar, berhasil memakmurkan anggotanya dan mempunyai seorang suami yang gagah perkasa dan mencinta.”

“Suheng, sudahlah. Aku ingin mendengar tentang subo. “Bagaimana subo sekarang?”

“Subo sudah tua, usianya sudah hampir delapan puluh tahun. Biarpun kesehatannya masih baik, akan tetapi tubuhnya sudah lemah.”

“Ah, aku rindu kepada subo,” kata Kiang Bwe menarik napas panjang.

“Dan tidak rindu kepadaku? Padahal aku rindu setengah mati kepadamu, sumoi,” kata Sian Ki sambil tersenyum. Kiang Bwe memandang wajah suhengnya yang tampan gagah itu dan tertawa.

“Tentu saja akupun rindu kepadamu, suheng. Bagaimana keadaanmu sekarang? Kenapa sampai sekarang belum juga mengirim kartu merahmu kepadaku?”

“Ah, orang macam aku ini siapa yang sudi, sumoi? Setelah engkau menikah, rasanya aku tidak akan menikah selama hidupku...”

Mendengar ini dan melihat wajah suhengnya nampak muram, Kiang Bwe terkejut sekali. Ia bangkit berdiri dan menghampiri suhengnya, meletakkan tangannya di atas pundak suhengnya itu. Suhengnya ini selalu baik kepadanya dan ia menganggapnya sebagai kakak kandungnya sendiri saja, maka kata-kata itu tentu saja amat mengejutkan karena kata-kata itu jelas menyatakan bahwa suhengnya mencintanya sebagai seorang pria mencinta wanita dan agaknya dahulu mengharapkannya menjadi isterinya akan tetapi kalah dulu oleh Kian Bu.

“Gu-suheng...ingat, aku adalah sumoimu dan sejak dulu kau sudah kuanggap sebagai kakak kandungku sendiri,” katanya lembut dan terharu.

San Ki menepuk-nepuk tangan yang berada di pundaknya itu. Aku tahu, sumoi, dan memang sudah nasibku demikian...”

Pada saat itu, terdengar suara orang. “Bagus sekali!”

Kiang Bwe meloncat saking kagetnya dan San Ki memutar tubuh dengan kaget. Di sana sudah berdiri Kiang Bu dengan muka merah dan mata mencorong.

“Ah, Bu-koko, engkau sudah pulang? Perkenalkan, ini adalah suheng Gu San Ki yang pernah kuceritakan kepadamu. Sudah lama sekali, sejak aku meninggalkan subo, aku tidak bertemu lagi dengan dia. Kami berkumpul seperti suheng dan sumoi, selama lima tahun dan....”

“Bagus, bagus sekali!” kata pula Kian Bu dan suara suaminya itu amat mengejutkan Kiang Bwe. “Ahh, sekarang aku mengerti. Betapa bodohnya aku...” Dan Kian Bu berlari cepat memasuki rumah.

“Koko....!” Kiang Bwe mengejarnya masuk dan San Ki yang menjadi bingung dan khawatir juga mengejarnya.

Di dalam, Kian Bu telah mengambil pedangnya dan buntalan pakaiannya. Dia bertemu dengan isterinya di ruangan depan.

“Koko, engkau hendak pergi ke mana?” teriak isterinya.

“Jangan perdulikan lagi aku. Aku tidak sudi merampas kekasih orang lain!”

“Sudahlah, aku sudah mengerti semuanya sekarang. Aku telah menghancurkan hati kedua orang kekasih. Sekarang engkau bebas, Kiang Bwe dan aku tidak akan menghalanginya lagi. Engkau boleh kembali kepada kekasihmu yang lama...!”

Setelah berkata demikian, hatinya menjadi semakin panas karena dia kini teringat bahwa isterinya itu sudah tidak perawan lagi ketiak menikah dengannya. Dan suhengnya itu sudah lima tahun hidup bersama Kiang Bwe, tentu suhengnya itulah yang dahulu menjadi kekasihnya. Dia melompat dan pergi. Di beranda depan dia bertemu dengan San Ki yang mencoba untuk menyadarkannya.

“Saudara yang baik, harap jangan salah sangka. Aku....” “Jangan engkau berani mencampuri urusanku!” bentak Kian Bu dan dia berlari terus.

Akan tetapi di halaman depan, Kiang Bwe yang memiliki gin-kang hebat itu telah dapat menyusulnya. “Koko, engkau hendak pergi ke mana? Dengar dulu penjelasanku!”

“Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi, dan jangan menghalangiku kalau engkau tidak ingin mendengar makianku yang lebih keji lagi.”

“Koko..!”

Akan tetapi Kian Bu sudah mengibaskan tangannya yang dipegang isterinya dan dia berlari cepat meninggalkan perkampungan Beng-kauw. Kiang Bwe menangis sambil memasuki rumahnya. San Ki menyambutnya dengan prihatin.

“Sumoi, maafkan aku. Semua ini kesalahanku belaka. Tidak seharusnya aku bersikap demikian... ah maafkan aku, sumoi.” Dia merasa menyesal bukan main telah menjadi sebab pertikaian antara suami isteri itu.

“Bukan salahmu, suheng. Memang Bu-koko sudah bersikap cemburu dan penuh curiga semenjak kami menikah. Ahhh...hu-hu-huhh....”

Wanita muda itu menangis. Ia tahu bahwa Kian Bu makin menjadi-jadi perasaan cemburunya. Dahulu, suaminya itu mau menerima keterangannya di depan makam ayahnya dan sudah bersikap baik. Agaknya sekarang kecurigaannya itu muncul lagi bersama datangnya suhengnya dan tentu suaminya itu menuduh ia dahulu menjadi kekasih suhengnya.

Berat sekali pukulan bertubi yang diterimanya pagi itu. Pertama mendapatkan kenyataan bahwa suhengnya mencintanya sebagai seorang pria mencinta wanita, ini saja sudah merupakan pukulan berat baginya. Ditambah lagi dengan suaminya yang dipenuhi kecurigaan dan cemburu dan kini lari meninggalkan rumah.

San Ki menghela napas panjang. “Sumoi, aku bersalah dan aku bersumpah untuk membawa suamimu kembali kepadamu.” Dia lalu meninggalkan sumoinya yang masih menangis.

Kiang Bwe tidak memperdulikan suhengnya pergi. Bagaimanapun juga, kedatangan suhengnya itulah yang mengakibatkan kemarahan dan kepergian suaminya. Lebih satu jam lamanya Kiang Bwe menangis di ruangan dalam setelah tadi San Ki meninggalkannya dan iapun berlari masuk ke dalam.
Para muridnya merasa heran dan bingung melihat ketua mereka meninggalkan rumah dan ketua kedua atau isteri ketua itu menangis dan masuk ke dalam rumah tidak keluar lagi. Itulah sebabnya ketika dua orang tamu, sepasang suami isteri itu datang berkunjung, mereka mempersilakan mereka duduk di ruangan tamu dan mereka tidak ada yang berani melapor ke dalam.

“Di mana ketua Souw Kian Bu?” tanya tamu pria kepada seorang murid yang menyambut mereka.

“Beliau sedang keluar,” jawabnya.

“Dan isterinya, Ji Kiang Bwe?” tanya tamu wanita.

“Ji-pangcu.....eh, beliau berada di dalam....” kata murid itu.

“Kalau begitu cepat laporkan, katakan bahwa aku Yang Mei Li, dan suamiku, Sie Kwan Lee ketua Beng-kauw,” kata Yang Mei Li.

Mendengar bahwa tamunya itu adalah ketua Beng-kauw dan isterinya, murid itu terkejut dan cepat ia memberanikan diri memasuki rumah itu dan mendapatkan ketuanya sedang duduk termenung di dalam ruangan tengah. Ji Kiang Bwe sudah berhenti menangis, namun masih duduk melamun dan iapun marah melihat seorang murid berani masuk tanpa dipanggil.

“Mau apa engkau?” bentaknya.

Murid itu cepat menjatuhkan diri berlutut dan melapor. “Maafkan saya, pangcu. Di luar datang dua orang tamu yang mengaku sebagai ketua Beng-kauw dan isterinya.”

Kiang Bwe meloncat bangun. “Ahh, mereka datang....!?” Lupa akan keadaan dirinya, saking gembiranya Kiang Bwe lalu berlari keluar diikuti muridnya yang merasa lega bahwa ketuanya tidak jadi marah kepadanya.

“Mei Li...!”

“Kiang Bwe...!” Kedua orang wanita cantik itu saling rangkul dan saling mencium pipi.

Ketika mencium pipi Kiang Bwe inilah Mei Li melihat mata yang merah itu dan ada bekas air mata di pipinya. “Kiang Bwi, engkau...engkau baru menangis! Ada apakah? Di mana koko Souw Kian Bu...?”

Kiang Bwe merangkul, menahan isaknya. “Aku sedang bingung, Mei Li. Kebetulan engkau datang. Mari masuk, akan kuceritakan kepadamu. Ah, harap Sie-toako suka menunggu di sini dulu.”

Ia memerintahkan muridnya untuk mengeluarkan minuman dan hidangan. Dan ia menarik Mei Li masuk ke dalam rumah. Mei Li memberi isarat kedipan mata kepada suaminya, agar suaminya maklum bahwa ada "urusan perempuan‟ yang perlu dibicarakan mereka berdua. Sia Kwan Lee mengangguk dan tersenyum.

Setelah tiba di ruangan dalam di mana tidak ada siapa-siapa kecuali mereka berdua, Mei Li dengan tidak sabar bertanya. “Kiang Bwe, apakah yang telah terjadi?”

“Duduklah, Mei Li, biarkan aku mengambil napas dulu. Hatiku sesak dan tertekan sejak tadi. Ketahuilah, baru beberapa jam yang lalu suamiku, pergi meninggalkan dalam keadaan marah.”

“Ehhh...? Rasanya tidak mungkin Bu-koko segalak itu. Setahuku, Bu-koko orangnya periang dan sabar. Ada peristiwa apakah, Kiang Bwe?”

“Mula-mula suhengku datang dan Bu-koko berada di sawah. Kami girang sekali dengan pertemuan itu, karena semenjak aku meninggalkan subo, kami tidak pernah saling jumpa. Aku dan suhengku itu sudah seperti saudara saja sehingga pembicaraan kami akrab sekali. Kemudian suamiku datang dan melihat aku bicara akrab dengan suhengku, suamiku menjadi marah-marah dan pergi meninggalkan aku.”

“Ah, sukar dipercaya. Kakakku itu tidaklah semudah itu marah dan...agaknya dia cemburu. Akan tetapi kalau dia tahu bahwa pria itu suhengmu, tidak semestinya dia cemburu.”

Kiang Bwe menghela napas panjang. “Bukan salah dia, Mei Li, akan tetapi kesalahannya terletak kepadaku.”

Mei Li mengerutkan alisnya. “Apa? Maksudmu engkau....dan suhengmu itu....”

“Ihh, jangan menduga yang bukan-bukan, Mei Li. Saudaramu itu sejak pernikahan kami memang sudah menaruh cemburu kepadaku. Perasaan itu agaknya dipendamnya selama ini dan meledak ketika melihat aku bicara akrab dengan suheng.”

“Akan tetapi mengapa cemburu sejak menikah, Kiang Bwe? Tentu ada sebabnya.”

“Memang ada sebabnya, yaitu... pada malam pengantin yang pertama itu... dia... dia mengakui bahwa keperawananku sudah hilang.”

Mei Li melompat berdiri dan mukanya merah ketika ia menatap wajah Kiang Bwe. “Kiang Bwe, apa maksudmu? Kau maksudkan bahwa engkau... engkau.. sudah....”

“Ya, Mei Li, akan tetapi jangan salah sangka seperti kakakmu itu. Aku sudah jelaskan kepadanya, bahkan bersumpah di depan makam ayahku yang menjadi saksi satu-satunya bahwa peristiwa itu terjadi karena ayah memaksaku untuk berlatih tendangan berantai. Latihan itu terlalu keras sehingga aku terjatuh dan terjadi pendarahan. Bu-koko sudah dapat menerima alasan ini dan selama ini agaknya dia sudah tidak mengingatnya lagi. Akan tetapi, ketika dia melihat aku bercakap-cakap dengan suheng dan kelihatan akrab, agaknya cemburu itu muncul lagi dan dia....dia marah-marah dan pergi....” Kiang Bwe menangis lagi.

Mei Li mengangguk-angguk. Mengertilah ia kini dan ia tidak terlalu menyalahkan kakaknya walaupun Kiang Bwe juga tidak bersalah. Salah satu pengertian yang rumit akibat cemburu buta. Melihat Kiang Bwe menangis sedih, Mei Li maklum bahwa wanita ini amat mencinta suaminya dan ini merupakan pertanda baik baginya.

“Dan suhengmu itu, di mana dia?” tanyanya.

“Suheng Gu San Ki juga melihat kepergian dan kemarahan suamiku, ketika aku menjelaskan kepadanya, dia merasa bertanggung-jawab dan bersalah. Diapun pergi dan berjanji akan mengembalikan suamiku kepadaku.”

Mei Li menghela napas panjang. “Sungguh mati tidak kusangka ada peristiwa seperti ini di sini. Sedangkan aku datang inipun hendak menceritakan peristiwa gawat yang terjadi pada Beng Kauw."

Kiang Bwe seperti melupakan keadaannya sendiri. Ia berhenti menangis dan mengusap air matanya, memandang kepada Mei Li penuh perhatian dan ketika bertanya, ia sudah tidak menangis lagi. “Mei Li, peristiwa gawat apakah yang menimpa engkau dan suamimu?”

“Bagaimana kalau kita ajak suamiku untuk bicara sekarang? Masalahmu sudah kaubicarakan dengan aku dan aku berjanji kalau bertemu dengan Bu-koko aku akan membujuknya dan menjelaskan kepadanya bahwa cemburunya itu cemburu buta. Kita bicarakan soal Beng-kauw sekarang, bersama suamiku.”

“Baiklah, Mei Li, mari kita bicara di ruangan belakang dan kita persilakan suamimu masuk.” Dua orang wanita muda itu lalu mengundang Sie Kwan Lee menuju ke ruangan belakang di mana mereka bercakap-cakap tanpa diganggu orang lain.

“Nah, sekarang ceritakan a pa yang telah terjadi di Beng-kauw,” kata Kiang Bwe setelah suami isteri itu mengambil tempat duduk. “Sepanjang yang kudengar, kalian telah berhasil membawa Beng-kauw maju pesat dan membersihkan nama Beng-kauw. Kenapa kalian bilang terjadi hal yang gawat?”

“Kami telah diserbu oleh Kui-jiauw Lo-mo dan Pek-bin Mo-ong,” kata Mei Li.

Kiang Bwe membelalakkan matanya. “Apa? Dua ekor kutu busuk itu masih berani membikin ribut? Hemm, mereka itu memang lihai akan tetapi bukankah mereka telah kalah ketika terjadi penyerbuan di Hoat-kauw?”

“Mereka berdua datang dan bermaksud untuk membalas dendam atas kematian Tong Seng Gun, cucu dari Kui-jiauw Lo-mo. Akan tetapi kami dapat mengusir mereka dengan kekuatan kami berdua dan para pembantu kami. Mereka dapat diusir dan kami hanya menderita beberapa orang anggota kami terluka,” kata Sie Kwan Lee.

Kiang Bwe mengangguk. “Ah, untuk membalas dendam atas kematian Tong Seng Gun yang tewas di tangan Sie Pangcu! Sungguh orang tidak tahu malu. Cucunya yang sesat dan jahat, masih hendak dibalaskan kematiannya. Orang macam Tong Seng Gun, biar mati seratus kali juga masih belum sepadan dengan dosa-dosanya.”

“Orang-orang sesat seperti mereka itu bagaimana mungkin dapat menghentikan atau mengubah watak mereka yang buruk? Mereka sudah menjadi budak nafsu dan sampai matipun agaknya akan tetap menjadi budak nafsu,” kata Mei Li.

“Lalu sekarang ke mana kalian hendak pergi?” tanya Kiang Bwe.

Yang menjawab adalah Sie Kwan Lee. “Kami hendak merantau, mengunjungi partai-partai persilatan besar untuk mendengar bagaimana sikap tanggapan mereka terhadap Beng-kauw. Kami khawatir kalau orang-orang seperti Sam Mopong akan menggunakan siasat, memburuk-burukkan nama baik Bengkauw."

“Kalau bertemu dengan Sam Mo-ong dan hendak menyerang mereka, kabarkan kepadaku. Aku tentu akan membantu kalian sekuat tenagaku,” kata ketua Kim-kok-pang itu penuh semangat.

“Kalau kebetulan kita bertemu mereka tentu akan kami tentang mereka. Di mana-mana tentu terdapat orang gagah yang akan membantu kita menentang Sam Mo-ong. Kami pergi untuk mengadakan hubungan yang lebih erat dengan partai-patai lain setelah nama Beng-kauw dibersihkan. Juga, selagi kami belum mepunyai anak sehingga dapat lebih leluasa mengadakan perjalanan,” kata Mei Li.

“Mungkin akupun tidak akan lama tinggal di rumah,” Kiang Bwe mengeluh. “Kalau dalam waktu beberapa pekan ini suamiku belum juga pulang. Aku akan mencarinya sampai dapat!” Kiang Bwe menahan tangisnya yang sudah berada di ujung bibirnya sehingga bibir itu gemetar.

“Aku yakin bahwa Bu-koko pasti akan pulang, Kiang Bwe. Aku tahu betul wataknya. Dia bukan seorang yang kejam dan tidak dapat menyadari kesalahannya.”

Suami isteri Beng-kauw itu tinggal selama tiga hari di Kim-kok-pang, kemudiann mereka melanjutkan perjalanan dan meninggalkan Kiang Bwe yang masih tenggelam ke dalam kesedihan karena kepergian suaminya tercinta.

* * * * * * *

Han Lin memasuki hutan di lereng bukit itu dengan sikap waspada. Dia merasa betapa hutan yang lebat itu amat gawat. Pantasnya hutan lebat itu dihuni setan dan iblis. Seorang petani yang dia tanyai jalan memperingatkan agar dia tidak mengambil jalan melalui hutan itu, melainkan memutar dan mengelilingi bukit, akan tetapi jalan terdekat adalah melalui hutan yang merupakan jalan pintas. Kalau dia melalui hutan itu, dalam waktu setengah hari dia akan sampai di Souw-ciu, sedangkan kalau memutari bukit, makan waktu sehari.

“Jarang ada yang berani melalui hutan itu, orang muda. Banyak binatang buas, ular-ulat besar dan kabarnya semua pelarian dan buruan pemerintah, penjahat-penjahat kejam, selalu menyembunyikan diri ke dalam hutan itu dan sukar ditemukan lagi.”

“Paman, perampok atau orang jahat hanya mengincar harta, kalau aku tidak mempunyai apa-apa, tentu tidak akan diganggu,” kata Han Lin dan pagi itu diapun memasuki hutan dengan sikap waspada.

Dua jam kemudian dia tiba di tengah hutan yang lebat. Memang ada beberapa ekor binatang hutan, akan tetapi mereka tidak mengganggunya, bahkan mereka berlarian ketika dia muncul. Akan tetapi mendadak dia mencurahkan perhatian dan waspada. Di sebelah depan ada gerakan-gerakan yang bukan gerakan binatang.

Dia berhenti melangkah dan benar saja, dari balik rumpun belukar dan pohon-pohon besar, bahkan dari atas pohon, berlompatan lima belas orang yang mengenakan pakaian hitam dan mereka semua memegang senjata. Ada yang memegang golok, pedang atau tombak, sikap mereka mengancam dan mereka segera bergerak mengepungnya.

Han Lin berdiri tenang dan penuh kewaspadaan namun sikapnya santai saja seolah tidak mengerti akan ancaman orang-orang itu. Setelah melihat seorang yang berkumis dan berjenggot lebat, bertubuh tinggi besar berdiri di depannya, dia tahu bahwa itulah kepala gerombolan itu, maka dia bertanya dengan lagak bodoh.

“Saudara-saudara, selamat pagi. Kalian hendak ke manakah dan harap memberi jalan kepadaku.”

Semua orang tertawa seolah ucapan pemuda itu terdengar lucu dan si kumis tebal membentak. “Orang muda, serahkan semua milikmu kalau engkau tidak ingin kami bunuh!” Si kumis tebal itu mengamangkan golok besarnya yang berkilauan saking tajamnya.

Han Lin bersikap tenang dan seperti orang bingung dia bertanya. “Saudara-saudara ini minta milikku! Milikku hanya pakaian tua, tidak ada harganya. Harap jangan mengganggu seorang miskin seperti aku. Lihat aku hanya mempunyai pakaian tua dan tongkat butut ini.”

“Hoa-ha-ha-ha!” Si kumis tebal tertawa, mulutnya terbuka lebar dan bau dari mulutnya memuakkan menyergap hidung Han Lin sehingga dia terpaksa mundur dua langkah. “Orang muda, jangan berlagak tolol. Yang kami maksudkan, serahkan pedang di dalam buntalan itu!”

“Pedang...?” Han Lin masih berlagak tolol untuk memancing sampai di mana pengetahuan orang itu tentang Ang-in Po-kiam.

“Jangan berlagak bodoh. Pedang Awan Merah di punggungmu itu, serahkan kepada kami untuk ditukar dengan nyawamu.”

Han Lin tidak merasa heran. Setelah dia memperlihatkan pedang di dalam pertemuan Cin-ling-pai itu tentu saja beritanya sudah tersiar luas dan dia tahu bahwa dia menghadapi bahaya karena banyak tentu berlumba untuk mendapatkan pedang itu. Ada yang memang ingin memilikinya, dan ada yang ingin memperoleh hadiah besar dan kedudukan dari kaisar.

“Ah, itu yang kau maksudkan? Tidak semudah itu, kawan. Sebaiknya kalian mundur saja karena aku tidak suka kalau harus terpaksa memberi hajaran kepada kalian.” Kini dia melintangkan tongkat bututnya di depan dada.

Si kumis tebal lalu memberi aba-aba kepada teman-temannya yang serentak menyerbu kepada Han Lin. Banyak golok, pedang dan tombak meluncur ke arah tubuhnya. Han Lin menggerakkan tongkatnya dan.... angin badai bertiup menyambut lima belas orang itu.

Begitu tongkat digerakkan maka berpelantinganlah lima belas orang itu, ada yang terjengkang, ada yang tersungkur, ada yang terpelanting dan mereka semua mengaduh-aduh. Ada yang kepalanya benjol, ada yang giginya rontok, hidungnya berdarah, salah urat atau patah tulang. Setelah semua orang roboh dalam waktu singkat sekali, Han Lin menghentikan gerakkan tongkatnya.

“Kalian perampok-perampok cilik hanya mengganggu orang tidak bersalah. Sekali ini aku mengampunimu, akan tetapi lain kali jangan harap aku akan mau melepaskan kalian!” katanya sambil menggerakkan tongkat bututnya dan datanglah angin besar seperti angin topan yang merontokkan daun-daun dari pohon di sekitar tempat itu. Melihat ini, para perampok itu menanti perintah, melarikan diri cerai-berai ke empat jurusan.

Han Lin melanjutkan perjalanan dan setelah matahari mulai condong ke barat, tibalah dia di luar kota Souw-ciu. Dia tidak mau segera memasuki kota karena dia menduga bahwa tentu banyak tokoh kang-ouw golongan hitam yang akan menghadangnya dan sudah menantinya di sana. Dia tidak ingin menimbulkan keributan di dalam kota dan memilih sebuah kuil tua yang berdiri di luar kota itu.

Tadinya dia mengira bahwa kuil itu kuil tua yang sudah tidak dipergunakan lagi. Akan tetapi dia memasukinya, ternyata tiga orang hwesio penjaga kuil yang menyambutnya dengan sopan akan tetapi mereka itu lebih banyak berdiam diri.

“Maafkan kalau saya mengganggu, Sam-wi lo-suhu (tiga pendeta tua), saya bermaksud untuk bermalam di sini semalam kalau sam-wi tidak berkeberatan.”

“Silakan, sicu. Akan tetapi di sini tidak ada makanan enak, hanya nasi dan sayur sederhana saja,” kata hwesio tertua yang usianya sekitar enam puluh lima tahun.

“Terima kasih, lo-suhu. Nasi dan sayur sederhana amat lezat bagi perut yang lapar,” kata Han Lin.

“Omitohud, silahkan, sicu. Sicu boleh menempati kamar itu.”

Kamar itu kotor, hanya ada sebuah dipan. Lantainya nampaknya baru saja dibersihkan dan temboknya sudah penuh lumut. Juga keadaan di ruangan lain kuil itu menunjukkan bahwa kuil itu memang tidak terawat. Han Lin memasuki kamarnya dan menaruh buntalan pakaian dia atas dipan karena di situ tidak ada meja. Dia mendengar hwesio tua tadi membaca lian-keng (doa) sambil mengetuk-ngetuk kayu yang terdengar berirama.

Setelah hari mulai gelap, seorang hwesio mempersilakan Han Lin, untuk mandi. Bak mandi berada di belakang dan sudah terisi air, kata hwesio itu. Han Lin merasa tidak enak kalau dia harus merepotkan para hwesio di situ. Dia lalu menggendong buntalan pakaiannya, di dalam mana terdapat Pedang Awan Merah, lalu dia menjenguk ke tempat mandi.

Ada tiga buah bak besar di situ, sudah terisi penuh dua bak, sedangkan yang satu bak lagi masih kosong. Dia bertanya kepada hwesio itu di mana sumber airnya dan setelah diberitahu, dia lalu memikul pikulan dua buah tempat air dari sumber air. Dengan cepat dia dapat memenuhi satu bak yang kosong, barulah dia mandi. Terasa segar dan sejuk sekali, rasa lelah seperti tercuci bersih bersama debu yang mengotori tubuh dan pakaiannya.

“Sicu, silakan makan,” kata hwesio tadi. Diapun mengikuti hwesio itu pergi ke ruangan tengah di mana tiga orang hwesio itu lalu menghadapi meja makan. Han Lin waspada, khawatir kalau-kalau para hwesio itu orang jahat, yang menyamar dan akan meracuninya.

Akan tetapi mereka mengambil nasi dan lauk sayur sederhana dari tempat yang sama. Dia tidak takut diracuni karena tubuhnya sudah kebal terhadap racun. Akan tetapi di dunia kang-ouw terdapat orang-orang yang berbahaya sekali dan siapa tahu ada racun yang akan menembus kekebalannya.

Setelah melihat mereka makan dari nasi dan sayur yang sama, Han Lin lalu makan dan ternyata memang benar. Perut kosong ditambah kelelahan yang sudah diusir oleh mandi yang menyegarkan badan merupakan lauk yang paling lezat. Nasi biasa saja terasa amat harum dan gurih, apa lagi ditambah sayur.

Han Lin berterima kasih sekali kepada tiga orang hwesio itu, bukan saja karena dia memperoleh makanan dan dapat membersihkan tubuh lalu akan memberi tempat melewatkan malam, akan tetapi terutama sekali karena mereka itu membuktikan bahwa mereka bukanlah komplotan yang akan mengganggunya atau mengincar pedangnya....
Selanjutnya,