Pedang Awan Merah Jilid 06 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pedang Awan Merah

Karya : Kho Ping Hoo
Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo
Jilid 06
Han Lin malam itu tidur dengan hati tenang. Dia menaruh buntalan pakaiannya dekat kepalanya, bahkan menggunakan pakaiannya untuk ganjal kepala. Dia tertidur pulas dan lewat tengah malam, tanpa diketahuinya, ada asap yang memasuki kamarnya lewat jendela!

Asap itu menghitam dan tebal. Kemudian, tiba-tiba terdengar gembreng dan kaleng dipukul orang dengan gencar di luar pintu dan jendela kamar itu, menimbulkan suara yang berisik sekali. Han Lin terkejut, terbangun dari tidurnya dan pada saat dia meloncat dari dipan, diselubungi asap hitam tebal, dia mendengar sambaran angin dan cepat dia menggerakkan kedua tangan, mengerahkan sin-kang dan memukul dengan hawa dari tenaga saktinya.

Runtuhlah anak panah dan piauw yang menyambar dari segala penjuru itu. Akan tetapi sambaran senjata rahasia kian gencar sehingga Han Lin meraba tongkatnya yang berada di pembaringan, lalu memutar tongkatnya sambil melompat ke arah jendela dari mana masuk asap hitam itu.

“Brakkkk....!” Daun pintu itu jebol dan tongkatnya meluncur mengenai dada seorang yang memegang bambu yang dipakai untuk menyemprotkan asap hitam itu.

“Aduhh....!” Orang itu terjengkang dan dari sinar lampu yang tergantung di luar, ternyata bahwa orang itu adalah hwesio kepala yang baik hati tadi.

Dari kanan kiri menyambar senjata golok. Gerakan dua golok itu cukup kuat sehingga Han Lin cepat melompat mundur untuk melihat siapa pengeroyoknya itu. Ternyata dua orang hwesio yang lain! Tahulah ia bahwa tiga orang hwesio itu memang penjahat yang menyamar seperti yang dikhawatirkannya.

Agaknya tadi mereka memang tidak memperlihatkan rahasia mereka sehingga Han Lin percaya penuh dan tidur nyenyak. Setelah mengetahui bahwa mereka adalah tiga orang hwesio tadi, Han Lin menggerakkan tongkatnya dua kali dan dua orang hwesio yang bersenjata golok itupun roboh.

Dia teringat akan buntalan pakaiannya. Selagi dia hendak melompat masuk kembali tiba-tiba ada serangan yang demikian hebat sehingga terpaksa dia melompat mundur lagi. Serangan itu merupakan angin dingin menyusup tulang dan tenaganya hebat bukan main. Begitu dia melompat ke samping untuk menghindarkan diri dari pukulan jarak jauh yang dahsyat itu, kembali dari kirinya menyambar pukulan yang amat panas.

“Sam Mo-ong...!” serunya kaget dan dia tahu bahwa orang-orang yang dapat menyerang seperti itu hanyalah Hek bin Mo-ong dan Pek-bin Mo-ong. Maka dia bersikap waspada karena cuaca amat gelapnya, dan setelah dia dapat mengelak dari dua pukulan itu, dia lalu memutar tongkatnya melindungi dirinya. Nampak bayangan banyak orang berkelebat dan mencoba menyerangnya dari kegelapan.

Han Lin menggerakkan tongkatnya, memukul roboh beberapa orang dan tiba-tiba saja semua bayangan itu lenyap dalam kegelapan malam. Juga Hek bin Mo-ong dan Pek-bin Mo-ong tidak nampak lagi. Dengan gelisah Han Lin lalu melompat ke dalam kamarnya yang masih penuh asap itu melalui jendela. Dia menghampiri dipan, meraba-raba dan buntalan pakaiannya telah lenyap tanpa bekas!

Han Lin terkejut. Setelah yakin bahwa buntalan pakaian berikut Pedang Awan Merah telah lenyap, dia marah sekali. Dia mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya berkelebat keluar. Akan tetapi setibanya di luar keadaan sunyi saja tidak nampak seorangpun manusia atau sesosokpun bayangan. Para hwesio dan beberapa orang yang dirobohkan tadipun sudah lenyap. Dia tahu bahwa dia telah terjebak, dipancing keluar dan pedangnya diambil orang.

“Hek-bin Mo-ong dan Pek-bin Mo-ong pengecut curang!” teriaknya dengan suara yang menggetar dan bergema di seluruh hutan. “Sam Mo-ong, kembalikan pedangku dan kalau kalian memang gagah, hayo keluar dan kita bertanding secara gagah!”

Percuma saja dia berteriak-teriak sampai tenggorakannya serak. Yang menjawabnya hanya gema suaranya sendiri. Dengan lampu gantung di tangan, dia memeriksa seluruh kuil. Dan ternyata itu memang kuil kosong yang dipakai untuk menjebaknya. Dengan mendongkol sekali terpaksa dia melewatkan malam di kamarnya yang tadi, karena tidak mungkin mengejar atau melakukan pencarian di hutan pada malam yang gelap pekat itu.

Pada keesokan harinya, setelah terang tanah, dia keluar dari kuil dan alangkah dongkolnya melihat buntalan pakaiannya tergantung di ranting sebatang pohon di luar kuil, tentu saja pedangnya sudah tidak berada di dalam buntalan.

“Jahanam busuk, bedebah pengecut!” makinya dengan gemas, gemas kepada diri sendiri yang begitu mudah percaya kepada tiga orang hwesio, mudah begitu saja ditipu musuh sehingga pedang pusaka itu lenyap. Akan tetapi kemana dia harus mencari? Sudah dapat dipastikan bahwa serangan semalam itu dilakukan oleh Hek-bin Mo-ong dan Pek-bin Mo-ong.

Akan tetapi apakah yang lain itu anak buahnya, ataukah golongan lain? Dan yang mencuri pedangnya itu Sam Mo-ong ataukah orang lain? Dia tidak merasa heran kalau Sam Mo-ong mengetahui bahwa Ang-in Po-kiam berada di tangannya. Pertama, dahulu Sam Mo-ong juga hadir ketika Hoat-kauw diserbu pasukan dan kedua, tokoh Hoat-kauw yang hadir di pertemuan Cin-ling-pai itu tentu menceritakan segalanya kepada Sam Mo-ong.

Dengan langkah gontai karena hatinya merasa kecewa dan gelisah, Han Lin keluar dari hutan lebat hendak melanjutkan perjalanan ke Souw-ciu. Kemana lagi mencari jejak Sam Mo-ong kalau tidak ke Souw-ciu. Kota itu merupakan kota terdekat dan kiranya para datuk itu tentu pergi ke sana sebelum melanjutkan perjalanan entah ke mana.

Ketika sudah berada di dekat kota Souw-ciu, mendadak terdengar derap kaki kuda di belakangnya. Han Lin yang sedang murung tidak memperdulikan ini, hanya melangkah ke pinggir. Seekor kuda putih yang besar dan kuat lewat dengan cepat, dan penunggangnya adalah seorang wanita muda yang pakaiannya ringkas berwarna hijau, rambutnya riap riapan tertiup angin dan ketika lewat dekat Han Lin, pemuda ini mencium keharuman yang menyengat hidung.

Dia menjadi tertarik dan memperhatikan wanita itu. Tubuhnya ramping sekali dan melihat ia duduk di atas kuda yang membalap itu dengan enaknya, serasi dengan gerakan kuda sehingga seolah kuda yang mahir sekali, pikirnya. Akan tetapi, mendadak kuda itu berhenti, mengangkat kedua kaki depan dan memutar tubuh. Sepasang mata yang seperti mata burung Hong itu menatapnya dan kuda itupun dijalankan kembali menghampirinya.

Han Lin bersikap tenang akan tetapi hatinya merasa tegang juga. Gadis jelita ini jelas menghampirinya dan setelah kini menghadapnya, dia melihat betapa jelitanya gadis itu. Gadis itu kelihatannya baru berusia dua puluh tahun akan tetapi pembawaannya sudah matang betul, pinggang ramping, pinggul besar dan tubuh itu memiliki lengkung lekuk yang menantang.

Wajahnya bulat telur dan kulit mukanya putih kemerahan, dengan rambut hitam panjang terurai, alisnya kecil hitam panjang melengkung, matanya indah seperti mata burung Hong, hidung mancung dan mulutnya mendebarkan hati Han Lin.

Entah mana yang lebih indah. Matanya atau mulutnya karena kedua bagian muka ini yang memiliki daya tarik luar biasa. Dagunya runcing dihiasi tahi lalat hitam. Pendeknya seorang gadis yang cantik jelita dan pakaiannya yang berwarna hijau itu ketat dan ringkas mencetak tubuhnya. Di punggungnya tergantung sepasang pedang.

Kuda itu berhenti tepat di depan Han Lin, membuat Han Lin terpaksa menahan langkahnya dan memandang dengan mata bertanya. Gadis itu melompat turun, gerakannya ringan seperti seekor burung dan ia melepas kudanya begitu saja. Tentu seekor kuda yang sudah terlatih dengan baik.

Melihat gadis yang jelas menghadangnya itu, Han Lin yang sedang murung menjadi jengkel. “Nona, apa maksudmu menghadang perjalananku?” tanyanya. Kalau dia tidak sedang murung, tentu sukar bersikap dingin terhadap seorang gadis sejelita ini. akan tetapi dia sedang marah dan jengkel.

“Sia Han Lin, tak perlu banyak cakap lagi. Serahkan Ang-in Po-kiam kepadaku!” kata wanita itu dan cara bicaranya sungguh angkuh sekali.

Mendengar ucapan ini, kemarahan hati Han Lin berubah menjadi kegelian hati dan dia tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha....alangkah lucunya!”

Tentu saja gadis itu mengerutkan alisnya dan membentak. “Tidak perlu membadut di sini. Cepat serahkan pedang pusaka di buntalanmu itu atau terpaksa aku akan menggunakan kekerasan."

Buntalan pakaianku ini? Engkau menghendaki ini?” Perlahan-lahan Han Lin menurunkan buntalannya lalu melemparkannya ke arah gadis itu sambil berseru, “Nah, makanlah buntalan ini!”

Karena sedang jengkel, mendengar wanita itu hendak merampas pedang yang sudah dicuri orang, Han Lin sengaja mengerahkan tenaganya ketika melemparkan buntalan pakaiannya ke arah gadis itu. Wanita baju hijau itu dengan sigap menjulurkan tangan kiri menyambut dan dengan mudahnya ia menerima lemparan buntalan pakaian itu.

Diam-diam Han Lin terkejut. Lemparannya mengandung tenaga sin-kang yang cukup kuat, akan tetapi gadis itu menerimanya begitu mudah. Ini hanya membuktikan bahwa gadis ini bukan orang sembarangan dan sudah memiliki tenaga sin-kang yang kuat sekali.

Setelah menerima buntalan itu dan menekan-nekannya, gadis itu maklum bahwa di dalamnya tidak terdapat pedang, maka ia melontarkan buntalan kembali kepada Han Lin. “Terimalah kembali barangmu!”

Han Lin menjulurkan tangan menangkap dan terasa olehnya betapa kuatnya tenaga lontaran itu. “Hemm, kukira engkau menghendaki pakaianku,” dia mengejek.

“Sobat, tidak baik bermain-main di depan Jeng I Sian-li (Dewi Baju Hijau) Cu Leng Si. Aku menghendaki Pedang Awan Merah. Hayo serahkan kepadaku!”

“Nama yang bagus, Cu Leng Si dan julukannya juga bagus, Dewi Baju Hijau, akan tetapi wataknya jauh dari pada bagus. Seorang gadis cantik jelita ingin merampok, mana patut?”

“Sudahlah, jangan banyak cerewet. Aku membutuhkan pedang itu, dan pedang itupun bukan milikmu. Di mana kau sembunyikan pedang pusaka itu?”

“Hemm, Cu Leng Si, dalam hal rampok-merampok atau curi-mencuri agaknya engkau masih harus belajar banyak. Engkau telah didahulu orang lain. Pedang itu semalam telah dicuri oleh Sam Mo-ong, sedangkan aku juga sedang mencari mereka, engkau malah muncul untuk merampoknya dariku. Ha-ha, bukanlah itu lucu sekali?”

Gadis itu mengerutkan alisnya yang hitam panjang melengkung seperti dilukis itu. Matanya yang seindah mata burung Hong kini mencorong seperti mata naga. “Aku tidak percaya! Jangan menggunakan nama Sam Mo-ong, aku tidak takut kepada mereka. Sia Han Lin, kuhitung sampai tiga, kalau engkau belum juga menyerahkan Ang-in Po-kiam kepadaku, jangan salahkan aku kalau pedangku akan memenggal lehermu!”

Sing-sing....!

Nampak dua sinar berkelebat dan tahu-tahu kedua tangan wanita itu sudah memegang masing-masing sebatang pedang yabg berkilauan saking tajamnya.

“Cu Leng Si, engkau sudah memiliki dua batang pedang yang baik, mengapa masih menghendaki Ang-in Po-kiam? Alangkah murka engkau. Engkau tidak percaya atau percaya kepadaku, terserah. Kenyataannya, pedang itu dicuri Sam Mo-ong semalam, ketika aku bermalam di kuil tua itu!”

“Bohong! Sekali lagi, aku mulai menghitung, satu... dua...tiga..!” Dan sinar pedang itu mencuat, menyambar ke arah leher Han Lin dengan kecepatan kilat. “....empat...lima...enam...tujuh...”

Han Lin mengelak dan melanjutkan hitungan gadis itu yang berhenti sampai tiga. “Wah, engkau sungguh ganas dan kejam sekali, Jeng! Sianli. Tidak cocok dengan julukanmu. Engkau memakai julukan Sianli (Dewi) akan tetapi engkau galak seperti kuntilanak!”

“Kuntilanak? Kau....kau....!” Dan kini Jeng I Sianli Cu Leng Si mengamuk. Sepasang pedangnya menyambar-nyambar ganas. Kalau tadi ia hanya ingin menggertak saja agar Han Lin menyerahkan pedang pusaka, kini ia menyerang dengan siang-kaimnya untuk membunuh!

Han Lin kagum. Ilmu siang-kiam dari gadis ini hebat bukan main, mengingatkan dia kepada adik misannya Yang Mei Li yang dijuluki orang Hui-kiam Sian-Li (Dewi Pedang Terbang). Yang Mei Li juga menggunakan sepasang pedang terbang yang gerakannya hebat bahkan sepasang pedang itu dapat 'diterbangkan' dengan dikendalikan tali sutera panjang. Melihat pedang menyambar cepat diapun meloncat ke belakang untuk mengelak. Ketika pedang kedua menyusulkan serangan yang lebih ganas, Han Li menggerakkan tongkatnya menangkis.

“Trangggg...!”

Keduanya kagum. Jeng I Sianli merasa betapa tangannya tergetar, demikian pula Han Lin. Dan wanita itu tidak lama tertegun, sudah menerjang lagi dengan tusukan dan bacokan pedangnya. Tongkat itu berputar cepat, menangkis dan balas menyerang. Ketika sepasang pedang bergerak semakin hebat dan nampak dua gulungan sinar kehijauan, Han Lin tidak ragu lagi untuk mengeluarkan kepandaiannya.

Gadis ini memang lihai, tidak kalah dibandingkan dengan seorang di antara Sam Mo-ong sekalipun! Maka dia lalu memainkan Tongkat Kilat dan Badai. Angin besar menyambar-nyambar dan membuat baju hijau itu berkibar. Dan rambut hitam panjang yang hanya diikat dengan sutera merah, berkibar-kibar seperti bendera hitam.

Jeng I Sianli Cu Leng Si mengeluarkan teriakan melengking. Ia merasa kagum dan juga penasaran sekali. Sepasang pedangnya mengamuk seperti gelombang samudera. Han Lin merasa gembira mendapat lawan yang demikian tangguh. Dia mengubah gerakannya lagi dan mainkan tongkatnya dengan Khong-khi-ciang.

Tongkat itu kini menyambar-nyambar tanpa mendatangkan angin pukulan sama sekali, tahu-tahu sudah mendekati sasaran dan mengancam jalan darah penting sehingga beberapa kali Cu Leng Si menjerit kaget. Namun gadis itu ternyata mampu menghindarkan semua serangan Han Lin.

Tiba-tiba wanita itu mengeluarkan bunyi seperti suling melengking-lengking dan dari balik belukar dan pohon-pohon di tepi jalan, belasan orang berlompatan dari atas kuda mereka dan mengepung Han Lin. Mereka semua adalah wanita-wanita yang berusia dari dua puluh lima sampai tiga puluh lima tahun dan melihat gerakan mereka ternyata semua wanita itu gesit dan dapat bergerak cepat sekali!

Han Lin terheran-heran akan tetapi dia harus memutar tongkatnya karena belasan orang wanita itu sudah menggerakkan jala sutera yang menyerang dari berbagai jurusan, ditambah lagi serangan sepasang pedang Dewi Baju Hijau sendiri. Betapapun lihainya Han Lin, kalau dia tidak mau melukai atau membunuh para pengeroyoknya, tentu saja dia terdesak hebat.

Kalau dia mau bertindak kejam, merobohkan para pengeroyoknya, kiranya tak mungkin Jeng I Sianli dan lima belas orang anak buahnya itu akan mampu menangkapnya. Akan tetapi Han Lin merasa yakin bahwa mereka itu bukan orang-orang jahat, biarpun ilmu silat mereka hebat dan sikap mereka untuk menangkapnya.

Beberapa helai jala menimpanya dan dia seperti seekor ikan besar dalam jala, meronta akan tetapi tidak mampu keluar lagi. Tongkatnya bukan senjata tajam, tidak dapat membobol jala sutera yang kuat itu. Sebuah totokan dari Jeng I Sianli yang istimewa telah membuat tubuh Han Lin menjadi lemas. Wanita itu lalu mengikatnya dalam gulungan jalan bersama tongkatnya.

“Kalian pergilah, pulang lebih dulu dan persiapkan kamar tahanan untuk orang ini!” katanya kepada belasan orang wanita itu yang segera menunggangi kuda mereka dan lenyap ke dalam hutan di tepi jalan.

Cu Leng Si menghampiri Han Lin yang tak mampu bergerak, meringkuk di dalam jalan. “Nah, sekarang engkau sudah menjadi tawananku. Cepat katakan di mana Ang-in Po-kiam dan mungkin saja aku akan membebaskanmu!” katanya dengan ketus.

Totokan itu hanya membuat Han Lin tidak mampu menggerakkan kaki dan tangannya. Dia tertawa mengejek. “Ha-ha-ha, baru sekali ini aku melihat seorang dewi berhati kejam seperti kuntilanak. Kita belum pernah saling mengenal, belum pernah berurusan, tidak ada permusuhan. Kenapa engkau bersikap kejam kepadaku? Engkau bersikap pengecut mengeroyokku dengan belasan orang anak buahmu. Jeng I Sianli Cu Leng Si, apakah engkau tidak malu ditertawakan orang sedunia?”

“Sia Han Lin manusia sombong. Engkaulah yang membuat aku bersikap begini. Engkau keras kepala, tidak juga mau menyerahkan Ang-in Po-kiam kepadaku! Aku tidak akan sudi melepaskanmu selama engkau belum mengaku di mana pedang itu dan menyerahkan kepadaku!”

Ia meloncat ke atas kudanya dan memegang tali jala, kemudia ia menjalan kudanya dan menyeret tubuh Han Lin yang terbungkus jala itu. Tentu saja hal ini menyakitkan karena Han Lin tidak mampu mengerahkan sin-kang untuk melindungi kulitnya yang terseret sehingga kulitnya lecet-lecet dan pakaiannya robek-robek.

“Mengakulah dan aku akan membebaskanmu!” kata Cu Leng Si.

“Kuntilanak, siluman rase, setan betina, apa yang harus kuakui?” bentak Han Lin marah karena dia merasa dipermainkan dan dihina.

“Bagus, engkau keras kepala ya?" Cu Leng Si mempercepat langkah kudanya sehingga tubuh Han Lin, terseret-seret semakin cepat. Gadis itu mengambil jalan simpangan, tidak melalui jalan besar menuju ke kota Souw-ciu, melainkan mendaki sebuah bukit.

Untung bagi Han Lin bahwa rebahnya tadi telentang sehingga hanya tubuh bagian belakang saja yang babak bundas dan bajunya robek-robek. Buntalan pakaiannya tadi tergeser ke samping pundak ketika dia terseret. Han Lin terpaksa diam saja dan hanya mengeraskan hatinya agar mulutnya jangan mengeluarkan rintihan.

Melihat pemuda itu diam saja, Leng Si menghentikan kudanya dan menengok. Alangkah kagetnya ketika ia melihat pemuda yang diseretnya itu rebah, telentang diam tak bergerak dengan mata terbalik dan lidah terjulur keluar. “Celaka....!” teriaknya dan ia melompat turun dari atas kuda, menghampiri Han Lin dan berlutut di dekatnya. “Han Lin...! Han Lin....!” ia mengguncang tubuh yang nampaknya sekarat itu.

Han Lin tetap tidak bergerak dan Leng Si segera menotoknya, melepaskan totokannya tadi dari balik jala. Akan tetapi begitu totokannya terbebas, mendadak tangan Han Lin meraih dari dalam jala dan pergelangan tangan Leng Si sudah dipegangnya erat-erat!

“Nah, engkau menjadi tawananku sekarang!” katanya sambil tersenyum.

Leng Si terkejut setengah mati. Dengan cepat direnggutnya tangan itu dan dengan tangan kanannya ia menotok lagi. Han Lin yang belum dapat bergerak leluasa di dalam jala terkena totokan lagi dan menjadi lemas kaki tangannya.

Leng Si meloncat berdiri, membanting-banting kaki saking gemasnya. Engkau menipuku, bedebah! Engkau patut dihajar!” Dan ia meloncat ke atas punggung kudanya lagi, kini menjalankan kudanya dengan cepat sehingga tubuh Han Lin terguncang-guncang dan terseret-seret!

Setelah lewat tiga li mereka memasuki hutan Leng Si menengok dan melihat pemuda itu telentang dan tersenyum-senyum saja, walaupun bajunya robek-robek dan kulitnya babak-bundas. Han Lin merasa tenang saja karena dia yakin bahwa wanita itu tidak bermaksud membunuhnya. Ketika tadi dia berpura-pura sekarat wanita itu merasa khawatir dan berusaha menolongnya. Wanita yang aneh, tidak jahat agaknya, akan tetapi hatinya keras seperti batu!

Leng Si meloncat turun dari kudanya. Lalu ia melihat ke kanan kiri. Sambil menyeret tubuh Han Lin ia menghampiri pohon besar dan sekali loncat tubuhnya melayang naik sambil memegang ujung tali jala yang panjang. Kemudian ia melompat tutun setelah melibatkan tali jala itu dan dengan mengerahkan tenaganya, ia mengerek tubuh Han Lin ke adalam jala itu sehingga tubuh itu kini tergantung!

Ia mengikatkan ujung teli jala ke batang pohon. Luar biasa sekali tali jala yang kecil itu, mampu menahan tubuh Han Lin. Han Lin nampak seperti seekor ikan dalam jala yang digantung akan tetapi dia diam saja, hanya melirik dan mencoba untuk memandang wanita yang berada di bawah itu.

“Han Lin, engkau belum juga hendak mengaku di mana pedang itu kau sembunyikan?”

“Tidak ada gunanya. Mengakupun engkau tidak percaya. Lebih baik diam dan engkau boleh lakukan apa saja terhadap diriku!”

“Kepala batu!” Leng Si memaki dan dengan muram ia lalu mengeluarkan anggur dan roti kering serta daging kering, lalu makan perlahan-lahan.

Bau anggunr membuat jakun Han Lin turun naik, akan tetapi dia tidak berkata apa-apa. Dia mengenang kembali rentetan peristiwa yang amat tidak menyenangkan hatinya. Mula-mula ditipu tiga orang hwesio, malamnya diserbu musuh dan Ang-in Po-kiam lenyap dicuri orang. Kemudian dia dihadang perampok dan akhirnya dapat ditawan oleh wanita ini.

Dia belum tahu orang macam apa adanya Dewi Baju Hijau ini, dan apa maunya begitu bernapsu untuk mendapatkan Ang-in Po-kiam. Padahal wanita ini cantik jelita dan pembawaannya, menarik, halus lembut. Akan tetapi, dapat bersikap keras seperti baja, dan memiliki anak buah yang terlatih baik. Apakah seorang wanita yang demikian cantik jeliata ini termasuk seorang penjahat? Ilmu silatnya tinggi, kalau ia jahat sungguh merupakan hal yang patut disesalkan.

“Hemm, sayang...!” Ucapan hatinya itu tercetus keluar melalui mulutnya tanpa disengaja.

“Apa kau bilang? Apanya yang sayang?” kata Leng Si yang selalu memperhatikan kalau-kalau pemuda itu mau mengaku di mana adanya pedang pusaka yang dicarinya itu.

“Sayang seribu sayang bahwa gadis secantik itu melakukan perbuatan yang demikian kejam, menyiksa orang yang tidak bersalah.”

“Kalau engkau tidak mau mengaku, aku akan dapat menggantungmu sampai mati di tempat ini!” kata Leng Si dengan gemas sekali.

“Demi Tuhan, kenapa engkau sekejam itu?” Suara ini terdengar lembut dan disusul meluncurnya sinar perak yang menyambar ke arah tali sutera yang menggantung jala. Tali sutera disambar piauw perak (gin-piauw) itu dan Han Lin di dalam jala terjatuh ke atas tanah berdebuk.

Bagaikan seorang dewi yang turun dari kahyangan, tahu-tahu di situ telah berdiri seorang gadis lain, berpakaian sutera putih berkembang kuning. Kebetulan Han Lin menghadap kepada gadis itu dan dia terbelalak kagum. Seorang gadis cantik lain lagi. Lebih muda, paling banyak sembilan belas tahun usianya, akan tetapi wajahnya yang cantik itu, sikapnya yang lembut lemah gemulai itu, rambutnya yang digelung ke atas itu.

Wah entah bagian mana yang terindah. Tubuhnya langsing pula, semampai dan wajahnya bersinar lembut, matanya begitu indah dan halus tatapannya, dengan bulu mata lentik, bibir yang selalu tersenyum ramah penuh kesabaran. Tiba-tiba Han Lin teringat akan patung Dewi Kwan Im yang pernah dilihatnya dalam kuil.

“Kwan Im Pouwsat (Dewi Kwan Im)...!” katanya di luar kesadarannya dan gadis berpakaian putih itu cepat menengok kepadanya.

“Eh, engkau sudah mengenal aku?”

Han Lin terbelalak. Jadi ini benar-benar bukan manusia? Benarkah seorang dewi. Dewi Kwan Im? Dia bengong saja dan tidak mampu menjawab.

Sementara itu Leng Si melangkah maju dan nampak marah sekali kepada wanita yang baru datang. “Sumoi, aku minta sekali ini engkau tidak mencampuri urusanku!”

Gadis berpakaian putih itu tersenyum lebar dan menjawab penuh kesabaran. “Suci, selamanya aku belum pernah mencampuri urusanmu. Aku hanya memenuhi kewajiban seperti yang diberikan kepada ibu untuk kita berdua. Menentang kejahatan dan kekejaman, membela yang lemah dari penindasan. Katakan mengapa engkau memperlakukan orang ini sekejam itu?”

“Bukan urusanmu!”

“Suci, aku tahu engkau bukan orang jahat, akan tetapi engkau keras hati dan tidak pernah mau menceritakan rahasiamu. Dengan sikapmu itu, engkau akan menemui banyak kesulitan, suci.”

“Tidak perduli. Sumoi, sekali ini kuminta engkau pergi dan jangan mencampuri urusanku.”

“Aku tidak mau pergi kalau engkau belum menceritakan mengapa engkau menyiksa orang ini, suci. Lihat, dia luka-luka. Bahkan andaikata dia penjahat sekalipun, tidak semestinya engkau menyiksanya. Perbuatan itu sangat kejam dan kalau ibu tahu, tentu akan marah kepadamu.”

“Jangan mencampuri urusan pribadiku!” Leng Si menjerit marah. “Akan kuapakan orang itu tidak ada sangkut pautnya denganmu. Pergilah!”

“Tidak, suci. Semua perbuatan kejam ada sangkut pautnya dengan aku, karena aku harus menentangnya!”

“Sumoi, engkau hendak melawan aku? Ketahuilah, aku bukanlah Jeng I Sianli setahun yang lalu. Aku telah memperdalam ilmuku dan sekali ini mungkin pedangku akan mencelakanmu. Sebelum hal itu terjadi, sebaiknya engkau pergi saja.”

“Membela kebenaran tidak boleh setengah-setengah, suci. Kalau perlu bahkan boleh dipertaruhkan dengan nyawa.”

“Engkau akan mempertaruhkan nyawamu demi membela seorang yang tak kau kenal seperti dia itu?”

“Dia atau siapapun juga manusia yang perlu dibela kalau tidak bersalah dan terancam perlakuan kejam.”

“Cin Mei, engkau keterlaluan!” bentak Leng Si dan ia sudah mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dari punggungnya. “Engkau benar-benar hendak melawanku. Siapkan senjatamu!”

“Suci, apa gunanya ini? Aku hanya minta engkau menceritakan alasan perbuatanmu terhadap orang ini atau membebaskannya.”

“Tutup mulut dan cabut senjatamu!” bentak pula Leng Si dengan marah. Gadis berpakaian putih itu menghela napas. “Engkau takkan dapat mengalahkan aku, suci.”

“Singgg...!” pedang kiri Leng Si menyambar dahsyat dengan serangan pertamanya.

Gadis bernama Lie Cin Mei itu menggerakkan kakinya dan tubuhnya melayang ke kanan, ke arah Han Lin dan sekali ia menggerakkan jari tangannya, totokan pada tubuh Han Lin telah terbebas!

Melihat ini, Jeng I Sianli Cu Leng Si terkejut dan juga maklum bahwa sekarang ia menghadapi bahaya. Baru melawan sumoinya saja belum tentu ia menang, apa lagi kini Han Lin yang ia sudah tahu kelihaiannya itu telah terbebas dari totokan. Kalau mereka maju berdua, dalam waktu singkat saja ia akan menderita kekalahan!

“Sumoi, engkau terlalu...!” katanya dengan isak tertahan dan sekali melompat, ia sudah berada di atas punggung kudanya yang dibalapkan lari meninggalkan tempat itu.

Cin Mei tidak memperdulikan lagi kepada sucinya. Ia membantu Han Lin keluar dari jala itu dan berkata lembut. “Rebahlah dulu, biar kuperiksa keadaanmu dan kuobati.”

Han Lin merasa terharu oleh suara itu. Demikian lembut, demikian penuh kasih sayang seperti seorang ibu terhadap anaknya! Jari-jari tangan itu mulai memeriksa badannya, lecet-lecet di bagian tubuh belakangnya dan agaknya gadis itu hanya memperhatikan keadaan lukanya dan seperti tidak melihat bahwa dia setengah telanjang karena pakaian belakangnya robek-robek.

“Syukur kepada Tuhan...!” Gadis itu menghela napas panjang. “Engkau hanya luka lecet-lecet saja, tidak berbahaya. Aku mempunyai obat luka yang manjur sekali. Diamlah, kuobati akan tetapi agak perih rasanya.”

Dan ketika ia mengoleskan obat luka itu kepada bagian belakang tubuh Han Lin yang lecet-lecet, memang terasa perih sekali. Tentu saja Han Lin dapat menahan rasa nyeri seperti itu, namun dia mengaduh dan merintih sehingga gadis itu merasa kasihan dan dengan sentuhan lembut ia berusaha meringankan rasa nyeri itu.

“Cukup, dalam waktu beberapa jam saja luka-lukamu akan kering dan sembuh. Sekarang bergantilah pakaian sebelum kita bicara.” Gadis itu bangkit berdiri dan membalikkan tubuhnya.

Han Lin merasa rikuh sekali, akan tetapi dia melihat bahwa gadis itu benar-benar membuang muka, sama sekali tidak melirik ke arahnya. Maka dia lalu menanggalkan celana dan baju yang bagian belakangnya terkoyak-koyak itu dan berganti dengan celana dan baju yang masih utuh dan bersih. Sampai dia selesai berpakaian gadis itu masih membalikkan diri membelakanginya. Gadis yang hebat, pikirnya kagum. Melampaui gadis-gadis yang pernah dijumpainya, baik dalam kecantikan maupun dalam sikap. Bahkan lebih anggun dibandingkan Dewi Pedang Terbang Yang Mei Li!

“Aku sudah berganti pakaian, nona!" katanya.

Gadis itu membalikkan tubuhnya dan begitu ia bertatap muka dengan Han Lin, pandang matanya menunjukkan keheranan dan pandang matanya menjelajahi tubuh Han Lin dari kepala sampai ke kaki. Ia memang keheranan karena baru sekarang ia melihat bahwa orang yang disiksa sucinya itu ternyata adalah seorang pemuda yang tampan sekali, yang menggendong buntalan pakaiannya dan memegang sebatang tongkat butut hitam.

“Apa yang akan kita bicarakan, nona?” tanya Han Lin melihat gadis itu, diam saja.

“Ohhh, aku akan membicarakan tentang suciku tadi. Kenapa ia menyiksamu. Kesalahan apakah yang kaulakukan kepadanya? Tidak biasanya suci menyiksa orang biarpun hatinya keras.”

“Aku tidak bersalah apapun kepadanya, nona, bahkan mengenalnyapun tidak. Begitu bertemu dengan aku, ia memaksa aku mengakui di mana aku menyembunyikan pedang pusaka, padahal aku sama sekali tidak menyembunyikannya.”

Gadis itu menghela napas panjang. “Kuharap engkau suka memaafkan suciku. Memang ia keras hati kalau ingin mendapatkan sesuatu harus terlaksana. Akan tetapi, mengapa ia menyangka engkau menyembunyikan pedang pusaka. Kalau tidak ada alasannya, kiranya tidak mungkin ia menyangkamu begitu, dan pedang pusaka apakah itu?”

Melihat gadis itu bicara, lembut dan nampaknya jujur sekali, timbul kekagumana besar di hati Han Lin dan dia mengambil keputusan untuk berterus terang saja kepada gadis ini. “Pedang itu adalah Pedang Awan Merah, nona....”

“Ang-in Po-kiam dari istana? Bagaimana dapat berada padamu, atau bagaimana suci menyangka demikian?”

“Memang pedang itu terjatuh ke tanganku, nona. Aku menemukannya dari tangan Hoat Lan Sian-su yang tewas ketika terjadi penyerbuan pasukan kepada Hoat-kauw.”

“Hemm, luar biasa sekali. Lalu bagaimana?”

“Aku dalam perjalanan menuju ke kota raja karena aku berniat untuk mengembalikan pedang itu kepada Sribaginda Kaisar. Akan tetapi ketika mendengar Cin-ling-pai difitnah sebagai pencuri pedang para tokoh kangouw, aku sengaja ke sana untuk membersihkan nama Cin-ling-pai yang aku tahu merupakan perkumpulan orang gagah itu.”

“Bagus, tindakanmu itu benar sekali.”

“Nah, setelah semua orang tahu bahwa pencurinya bukan orang Cin-ling-pai melainkan orang Hoat-kauw, aku meninggalkan Cin-ling-pai untuk melanjutkan perjalanan ke kota raja. Akan tetapi di tengah perjalanan, aku diserbu banyak orang yang dipimpin oleh Sam Mo-ong dan pedang itu dirampas oleh Sam Mo-ong.”

“Ah, tiga datuk sesat itu?” Si nona nampak terkejut sekali mendengar disebutnya tiga datuk itu.

“Lebih celaka lagi, baru malam tadi aku kehilangan pedang, pagi ini sudah ditawan dan disiksa suci-mu yang baik hati seperti dewi itu!”

“Jangan berolok-olok, aku sudah memintakan maaf untuk suci-ku, mengapa engkau masih mengejek juga? Jadi, jelas bahwa Sam Mo-ong yang merampas pedang itu darimu? Memang, menurut kata ibuku, di antara para datuk sesat, Sam Mo-ong yang paling licik dan jahat. Semoga Tuhan mengampuni dosa mereka. Namun sekali lagi, aku mintakan maaf atas perbuatan suci kepadamu. Selamat tinggal.” Sekali melompat gadis itu lenyap dari depan Han Lin dan pemuda itu semakin kagum. Siapa namanya?

“Eh, nona tunggu dulu. Aku mempunyai pertanyaan penting sekali!”

Nampak bayangan putih berkelebat dan gadis itu sudah berada di depannya kembali. Diam-diam Han Lin tersenyum di hatinya. Jelas nona ini belum pergi jauh, mungkin menyelinap di balik pohon dan mengintainya. “Ada apakah?”

“Nona tadi mintakan maaf untuk suci nona kepadaku, benarkah itu?”

“Ya, benar dan kuharap engkau suka memaafkannya.”

“Aku akan memaafkannya asla nona suka memenuhi permintaanku atau menjawab pertanyaanku yang teramat penting sekali.”

Gadis itu tersenyum dan Han Lin merasa jantungnya melompat tinggi dan jungkir balik. Manisnya! “Pertanyaan apakah itu? Tanyalah!”

“Dan nona berjanji akan menjawab dengan sejujurnya, tidak berbohong kepadaku?”

Alis mata hitam itu berkerut sedikit. “Sobat, selama hidup aku tidak suka berbohong.”

“Bagus, ada dua pertanyaanku. Pertama, ketika tadi untuk pertama kali nona muncul, nona bertanya apakah aku sudah mengenal nona. Apa maksud pertanyaan itu?”

“Eh, jadi engkau belum mengenalku. Kenapa tadi engkau mengatakan Kwan Im Posat...”

“Ah, apa hubungannya Dewi Kwan Im denganmu, nona? Ketika engkau muncul dengan pakaian putih, demikian cantik, demikian agung dan anggun, kukira engkau Dewi Kwan Im yang datang menolongku!”

Wajah yang ayu itu menjadi agak kemerahan dan mulut yang aduhai itu tersenyum. “Tidak ada sangkut pautnya akan tetapi orang-orang memberi julukan Kwan Im Sian-li kepadaku.”

“Wah, tepat sekali! Memang pantas sekali julukan itu. Sekarang pertanyaan kedua, nona. Bolehkah aku mengetahui namamu yang mulia?”

“Hemm, namaku tidak mulia, biasa saja. Namaku Lie Cin Mei,” jawabnya singkat. “Nah, dua pertanyaan sudah dijawab. Selamat tinggal!” Kembali ia berkelebat dan sekali ini Han Lin maklum bahwa gadis itu benar-benar telah pergi.

“Hemm, engkau tidak menanyakanku. Ah, lagi pula, apa urusannya dengan namaku. Sekarangpun ia sudah lupa kepadaku,” demikian dia menggumam, hatinya tidak puas. Akan tetapi, dia segera teringat akan Sam Mo-ong dan dengan hati geram dia melanjutkan perjalanannya memasuki kota Souw-ciu.

* * * * * * *
Ku Ma Khan yang berusia lima puluh tahun itu duduk di kursi kebesarannya dengan sikap gagah. Pria yang tinggi besar ini memiliki wibawa yang kuat sekali. Sebagai seorang kepala suku Mongol yang berdarah campuran Kazak, dia pandai memimpin rakyatnya, pandai pula mempergunakan tenaga orang-orang pandai sehingga tidak mengherankan bahwa di antara pembantunya yang banyak terdapat orang-orang berkepandaian tinggi, bahkan Sam Mo-ong, tiga datuk yang sakti itupun suka menjadi pembantunya.

Kwi-jiauw Lo-mo memang berdarah Mongol, peranakan Han, maka tidak mengherankan kalau dia menghambakan diri dengan setia kepada Ku Ma Khan. Hek-bin Mo-ong adalah pernakan Mancu, dan Pek-bin Mo-ong peranakan suku bangsa Hui yang juga sudah dikuasai orang Mongol.

Pada hari itu, Ku Ma Khan menerima kedatangan Sam Mo-ong dan puterinya, Mulani. Gadis itu segera merangkul ayahnya dengan sikap manja dan Ku Ma Khan yang amat sayang kepada anaknya itu, memang kedua pundak Mulani dan mengamati wajahnya sambil tertawa senang.

“Aih, tidak melihat beberapa bulan saja engkau nampak lebih dewasa, lebih matang dan lebih cantik, Mulani. Bagaimana, apakah perjalananmu ke selatan menghasilkan banyak pengalaman hebat?”

“Aku senang sekali, ayah. Dan kami pulang membawa oleh-oleh yang akan membuat ayah pasti senang sekali.”

“Ha-ha-ha, oleh-oleh apakah itu Sam Mo-ong, kalian bertiga yang setia dan bijak, oleh-oleh apa yang dikatakan puteriku tadi?” Ku Ma Khan tidak sabar menunggu penjelasan.

Kwi-jiauw Lo-mo Tong Lui yang menjadi orang pertama dari Sam Mo-ong menyerahkan sebatang pedang dengan kedua tangannya kepada Ku Ma Khan (Raja Ku Ma). “Khan Yang Mulia, inilah oleh-oleh dari kami, sebatang pedang pusaka.”

Ku Ma Khan mengerutkan alisnya, menerima pedang dan mencabutnya. Nampak sinar kemerahan ketika pedang tercabut. “Hemmm, pedang yang baik sekali, bersinar merah. Akan tetapi untuk apa pedang pusaka? Tanpa pedang pusakapun aku mampu memimpin laksaan prajurit untuk menggempur musuh.” Dia agak kecewa melihat bahwa yang dikatakan oleh-oleh berharga itu hanya sebatang pedang lurus, pedang bangsa Han.

“Wah, ayah tidak tahu!” seru Mulani sambil memgang tangan kiri ayahnya. Pedang pusaka ini bukan pedang biasa, pedang ini dijadikan perebutan oleh semua orang kang-ouw utara dan selatan karena pedang ini adalah pedang pusaka milik Kaisar Tang!”

“Ehh? Pedang milik Kaisar Tang? Lalu untuk apa aku memiliki pedang ini?”

“Khan yang mulia, pedang pusaka ini dicuri orang dari gudang pusaka Kerajaan Tang, dan karena pedang ini amat dihargai kaisar, maka dijadikan rebuatan semua tokoh kang-ouw. Kaisar sendiri mengumumkan bahwa siapa yang mengembalikan pedang ini akan diberi ganjaran harta dan kedudukan tinggi!”

Ku Ma Khan mengangguk-angguk akan tetapi alisnya masih berkerut. “Tapi aku tidak mungkin mengharapkan ganjaran dan kedudukan tinggi di istana kaisar....”

“Khan yang mulia,” kata Hek-bin Mo-ong, “Kalau kita mengembalikan pedang ini kepada kaisar dan sebagai imbalannya kita minta syarat-syarat yang menguntungkan, bukankah itu cara yang baik sekali?”

“Benar yang mulia,” sambung Pek-bin Mo-ong,” kita dapat menukar pedang dengan penetapan paduka sebagai raja muda di utara, atau dengan syarat bahwa rakyat kita boleh keluar masuk ke selatan dengan bebas, atau syarat lain yang dianggap menguntungkan paduka.”

“Hemm, semua tidak ada artinya. Kalau sudah dipenuhi syarat itu lalu diingkari, kita akan mampu berbuat apa? Tidak, kita harus dapat memanfaatkan pedang pusaka ini, kalau memang benar kaisar amat mengharapkan kembalinya.”

“Aku mempunyai usul yang baik, ayah.”

“Katakan, bagaimana usul itu, Mulani?” kata ayahnya yang gembira melihat puterinya yang biasanya memang amat cerdik dan seringkali memberi nasihat yang amat berharga kepadanya.

“Kita mengutus seseorang yang pandai dan yang tidak dikenal sebagai orang kita, dan orang itu harus kita percaya benar untuk mewakili ayah, menyerahkan kembali pedang kepada kaisar dan menerima jabatan tinggi. Dengan demikian, diam-diam dia akan amat berguna bagi ayah sebagai mata-mata karena dia akan dekat dengan kaisar. Siapa tahu dengan adanya seorang pembantu yang tangguh di istana kaisar, akan memudahkan perjuangan ayah untuk menguasai dunia selatan.”

Mendengar ucapan Mulani, Ku Ma Khan tertawa gembira dan menepuk lengan kursinya. “Ha-ha-ha, bagus, bagus! Ini baru usul yang baik sekali. Bagaimana pendapat kalian, Sam Mo-ong?”

“Memang sebuah usul yang bijaksana sekali, Yang Mulia. Memang akan amat menguntungkan kita kalau ada seorang pejabat tinggi yang menjadi mata-mata kita di Kerajaan Tang. Akan tetapi siapa yang patut kita utus?” kata Kwi Jiauw Lo-mo.

“Kalau mengutus seorang dari golongan kita, belum tentu kaisar mau memberi kedudukan tinggi, bahkan mungkin akan merasa curiga,” sambung Hek-bin Mo-ong.

“Sebaiknya memang harus bangsa Han, akan tetapi siapa?” kata pula Pek-bin Mo-ong.

Semua diam, bingung memikirkan pelaksanaan usul yang diajukan Mulani tadi. Akhirnya Mulani yang berkata kepada ayahnya, “Ayah kalau aku mengajukan usul, sudah pasti telah kupikirkan cara pelaksanaannya dengan baik. Kurasa, tidak ada orang yang lebih tepat untuk dijadikan mata-mata itu kecuali Sia Han Lin.”

Sam Mo-ong mengeluarkan seruan heran dan kaget ketika mendengar usul murid mereka itu. Bagaimana mungkin mengusulkan pemuda yang bahkan menjadi musuh besar mereka itu?

“Siapa itu Sia Han Lin?” tanya Ku Ma Khan sambil memandang kepada tiga orang pembantunya itu.

“Yang Mulia, usul itu sungguh tidak mungkin dilaksanakan. Yang bernama Sia Han Lin itu adalah seorang musuh besar hamba bertiga. Bahkan kami merampas pedang Ang-in Po-kiam ini dari tangannya. Hendaknya paduka ketahui bahwa yang mencuri pedang ini dari gudang pusaka kaisar adalah mendiang Hoat-lan Sian-su ketua Hoat-kauw. Kemudian setelah dia meninggal dunia, pedang terjatuh ke tangan seorang pendekar muda bernama Sia Han Lin. Kami dengan susah payah berhasil merampas dari tangannya. Bagaimana mungkin menjadikan pendekar itu mata-mata kita?” bantah Kwi Jiauw Lo-mo.

"Bagaimana Mulani? Kalau begitu, usulmu memang aneh sekali. Bagaimana musuh hendak kaujadikan mata-mata? Apa alasanmu memilih orang itu, Mulani? Dan bagaimana pula caranya?”

“Begini, ayah. Aku sudah melihat sendiri betapa lihainya pendekar yang bernama Sia Han Lin itu. Bahkan ketiga suhu belum tentu dapat mengalahkannya. Dia masih muda, jujur dan dapat dipercaya. Kalau sampai dia membantu kita, wah, ayah tentu akan mendapatkan seorang pembantu yang hebat, apa lagi kalau dia yang mewakili ayah menyerahkan pedang pusaka dan menjadi mata-mata kita di istana kaisar Tang. Keuntungannya besar sekali.”

“Katakanlah semua keteranganmu itu benar. Akan tetapi bagaimana caranya agar dia mau membantu kita, padahal menurut Sam Mo-ong dia adalah musuh besar kita?”

“Akan tetapi musuh akan berbalik menjadi keluarga kalau dia... berhasil kubujuk untuk menjadi suamiku, ayah.”

“Hehh....?” Ku Ma Khan terperanjat dan memandang dengan mata terbelalak heran. “Menjadi... suamimu....?”

“Benar ayah. Dan seperti kukatakan tadi, kalau dia menjadi suamiku tentu saja dia dapat kita kirim ke kota raja, menyerahkan pedang, memiliki kedudukan tinggi sebagai hadiah dan dapat menjadi mata-mata kita yang berguna sekali.”

“Tapi... tapi... bagaimana mungkin? Apakah dia mau?”

“Ayah, aku sudah bertemu dengan dia, dan aku mempunyai perasaan bahwa dia suka kepadaku, ayah.”

“Dan engkau? Aku tidak ingin anakku mengorbankan diri. Aku tidak ingin anakku menikah dengan pria yang tidak disukainya.”

“Ayah, mengapa ayah begitu bodoh? Kalau aku tidak suka kepadanya, biar ayah memaksaku dan menyiksaku sampai mati sekalipun, aku tidak akan sudi.”

“Jadi, engkau cinta padanya?”

“Tidak usah ditanya lagi, ayah. Aku hanya mau menjadi isteri Sia Han Lin.”

“Ha-ha-ha-ha, kalau begitu baiklah. Aku memberi restu padamu karena aku yakin, pria yang engkau pilih sudah pasti seorang pria pilihan yang hebat. Aku hanya merasa sayang kalau engkau akan gagal, anakku. Akan tetapi masih ada jalan kedua, yaitu sebagai cadangan siasat kalau-kalau engkau gagal merebut hati pemuda itu. Dan Sam Mo-ong, kalian kami tugaskan untuk berusaha menjalin hubungan dengan pejabat tinggi istana. Kami mendengar kabar bahwa sampai sekarangpun kaisar yang tolol dari Kerajaan Tang dipermainkan oleh para thai-kam. Nah, kalau kalian dapat menemukan thai-kam yang seperti itu, apa lagi kalau kedudukannya besar dan penting, kiranya tidak akan suka menyelundupkan mata-mata ke istana. Ini untuk menjaga kalau-kalau siasat yang direncanakan Mulani gagal.”

”Baik, Yang Mulia. Akan tetapi laksanakan sebaik mungkin,” jawab Kwi Jiauw Lo-mo.

Kembalinya Sam Mo-ong dan Mulani yang membawa pedang pusaka itu disambut dengan pesta oleh Ku Ma Khan, akan tetapi beberapa hari kemudian, baik Mulani maupun Sam Mo-ong sudah pergi lagi untuk melaksanakan tugas mereka yang baru.

Han Lin memasuki kota Souw-ciu. Dia merasa penasaran sekali. Walaupun tidak melihat bukti, namun dia hampir yakin bahwa yang mencuri pedangnya tentulah Sam Mo-ong. Yang membuat dia penasaran adalah caranya Sam Mo-ong mengambil pedang itu. Sungguh licik dan curang, bukan secara orang gagah. Dia mengelilingi kota Souw-ciu, mendatangi semua rumah penginapan.

Namun tidak ada jejak atau berita tentang Sam Mo-ong. Tentu saja, pikirnya kesal, mereka juga tidak akan begitu bodoh meninggalkan jejak. Sejak pagi sampai siang Han Lin ke rumah penginapan, tanpa hasil. Akhirnya dia duduk di bangku taman bunga umum dan melamun.

Entah mengapa, dia merasa nelangsa dan kesepian. Hidupnya selama dia berpisah dari gurunya, yaitu Lo-jin, mengalami banyak kepahitan. Pernah satu kali dia merasa jatuh cinta, yaitu kepada Yang Mei Li Si Dewi Terbang, namun cintanya itu bertepuk sebelah tangan. Yang Mei Li mencinta putera Beng Kauw, Sie Kwan Lee yang kini telah menjadi suaminya.

Han Lin tidak merasa menyesal menghadapi kenyataan ini, bahkan ikut merasa bahagia bahwa Yang Mei Li, gadis yang telah menjatuhkan hatinya itu bertemu jodoh yang cocok, yang memang tepat untuk menjadi suaminya. Dia hanya merasa nelangsa dan kesepian. Kalau dikenang, hanya kepahitan yang dirasakan semenjak dia berpisah dari ayah bundanya, enam belas tahun yang lalu.

Ketika berusia lima tahun dia harus berpisah dari aah ibunya yang mempertahankan kota raja dari serangan musuh sehingga ayah ibunya gugur dalam perang itu. Dalam usia lima tahun dia dilarikan dan dirawat oleh Liu Ma, janda pengasuhnya sejak kecil yang kemudian dianggap sebagai pengganti ayah ibunya sendiri. Akan tetapi malang, Liu Ma tewas karena kejahatan Sam Mo-ong.

Liu Ma meloncat ke dalam jurang ketika melihat dia terjatuh ke dalam jurang itu. Dia selamat namun Liu Ma menemui ajalnya. Kemudian, dia mendapat pengganti orang tua, yaitu gurunya yang pertama, yang bernama Kong Hwi Hosiang. Akan tetapi Hwesio yang baik hati inipun tewas di tangan Sam Mo-ong!

Sampai dia bertemu Lo-jin yang merawatnya dan menggemblengnya, akan tetapi akhirnya diapun harus berpisah dari gurunya itu atas kehendak Lo-jin. Banyak peristiwa yang dialaminya sampai dia bertemu dengan saudara-saudara misannya, dan jatuh cinta kepada Yang Mei Li, adik misannya pula. Namun terpaksa dia harus mundur ketika Mei Li memilih pria lain. Han Lin bertopang dagu dan menghela napas panjang.

Duka timbul dari ingatan. Kalau kita mengenang masa lalu, mengingat hal-hal yang tidak menyenangkan, yang merugikan diri, maka timbullah perarasan sesal dan kecewa yang membawa kita ke dalam alam duka. Dan segala peristiwa berakhir dengan duka. Tidak ada yang abadi di dunia ini. kita terombang-ambing antara suka dan duka, di mana duka memegang peran lebih banyak ketimbang suka.

"Apa itu duka? Kalau kita tidak mementingkan suka, tidak akan tersinggung duka. Duka hanyalah wajah lain dari suka, seperti uang bermuka dua, suka dan duka. Jangan biarkan diri terseret oleh gelombang dwi-muka yang berupa susah senang, sedih gembira, suka duka,” demikian antara lain Lojin memberi wejangan kepadanya.

Han Lin menegakkan duduknya. Untuk apa duka? Akan tetapi, bagaimana mungkin manusia hidup tidak menikmati suka dan menderita duka? Justera itulah hidup. Merasakan suka dan duka, itulah romantika kehidupan, bagaikan mendayung biduk kehidupan ini di tengah samudera, diombang-ambingkan bagai suka duka.

Itulah seninya hidup dan kita harus dapat mengatasinya. Bukan tenggelam, baik tenggelam dalam suka maupun dalam duka. Duka atau suka itu hanya perasaan, diguncangkan oleh pikiran, mengenal hal-hal yang mendatangkan untung rugi. Biarlah perasaan dan pikiran mendapatkan permainan mereka, yang penting tidak tenggelam!

“Kalau engkau dapat menangis selagi bersuka, dan dapat tertawa selagi berduka, berarti engkau sudah menemukan kunci kehidupanmu,” demikian antara lain Lo-jin berkata.

Han Lin sadar akan dirinya. Kenapa mendadak dia merasa nelangsa, merasa berduka? Karena dia teringat akan hal-hal yang tidak menyenangkan! Kalau dia tidak teringat akan semua itu, adakah duka? Ada pula serangan kesepian. Rasa kesepian ini menggigit, membuat orang nelangsa pula.

Kehidupan rasanya hanya pengulang-ulangan yang membosankan, karena membuat diri seperti kehilangan sesuatu yang lebih dari pada semua pengulangan ini. Akan tetapi apa? Diri ini rindu kepada sesuatu. Kesenangan? Akhirnya membosankan! Lalu apa? Apa yang dirindukan diri?

“Setiap orang akhirnya akan menyadari bahwa dirinya merindukan sesuatu, sesuatu yang rahasia, dan sesuatu itu adalah sumbernya. Sesuatu itu adalah Sang Maha Pencipta, yang menciptakan diri, yang menghidupkan yang mematikan yang mengatur dan menentukan segalanya. Diri manusia bagaikan titik-titik air yang selalu rindu kepada asalnya, kepada sumbernya, yaitu samudera,” demikian kata Lo-jin.

“Ah, sudahlah,” cela Han Lin kepada diri sendiri. Untuk apa mengenangkan semua itu. Yang lalu biarlah berlalu tanpa kesan karena kesan masa lalu hanya mendatangkan kesedihan belaka. Yang penting sekarang menghadapi kenyataan apa adanya. Dia harus mencari kembali Ang-in Po-kiam yang dicuri orang.

Jelas bahwa di kota Souw-ciu dia tidak menemukan jejak Sam Mo-ong, harus dicari di tempat lain. Maka diapun bangkit berdiri, keluar dari taman dan keluar pula dari kota Souw-ciu. Dia akan mencari di kota lain yang berdekatan, atau kalau perlu dia akan mengejar sampai ke utara.

Ketika dia keluar dari kota Souw-ciu, suasana amat sunyi dan tiba-tiba dia mendengar suara kaki kuda. Ketika dia menoleh, benar saja ada orang menunggang kuda, akan tetapi kuda itu dijalankan perlahan seseorang mengikutinya. Han Lin pura-pura tidak tahu saja dan berjalan terus menjauhi kota Souw-ciu menuju ke lapangan rumput. Tempat itu sunyi bukan main.

Setelah dia tiba di lapangan rumput, penunggang kuda itu mempercepat jalannya kuda dan tak lama kemudian sudah dapat menyusulnya. Han Lin membalikkan tubuh memandang dan ternyata penunggang kuda itu bukan lain adalah Jeng I Sianli Cu Leng Si, wanita berpakaian hijau yang lihai itu.

Han Lin mengerutkan keningnya. Wanita ini pernah menyiksanya dengan kejam dan kini muncul, apa maunya? Tiba-tiba dia teringat betapa wanita ini berkeras hendak mencari Ang-in Po-kiam apakah barangkali ada hubungannya dengan lenyapnya pedang?

“Hemm, kiranya engkau Jeng I... Mo-li! Mau apa engkau mengejar aku?” tanya Han Lin yang sengaja mengganti julukan Sian-li (Dewi) menjadi Mo-li (Iblis betina).

“Sia Han Lin, cepat serahkan Ang-in Po-kiam padaku, atau terpaksa sekali ini aku tidak akan mengampunimu. Serahkan pedang atau serahkan nyawamu!”

“Bagus sekali! Pedangku hilang dicuri orang, engkau nekat saja menanyakan pedang. Mungkin engkau mempunyai hubungan dengan pencurinya, ya? Pergilah, jangan membuat aku marah.”

“Sombong, kalau engkau tidak mau mengaku, sepasang pedangku ini akan minum darahmu!”

“Engkau iblis betina yang kejam. Cukup sudah engkau menghina dan menyiksaku. Aku tidak mendendam dan menyuruh engkau pergi jangan menggangguku, itu sudah cukup sabar dan baik bagimu. Akan tetapi mengapa engkau masih terus mengganggu aku...?”
Selanjutnya,

Pedang Awan Merah Jilid 06

Pedang Awan Merah

Karya : Kho Ping Hoo
Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo
Jilid 06
Han Lin malam itu tidur dengan hati tenang. Dia menaruh buntalan pakaiannya dekat kepalanya, bahkan menggunakan pakaiannya untuk ganjal kepala. Dia tertidur pulas dan lewat tengah malam, tanpa diketahuinya, ada asap yang memasuki kamarnya lewat jendela!

Asap itu menghitam dan tebal. Kemudian, tiba-tiba terdengar gembreng dan kaleng dipukul orang dengan gencar di luar pintu dan jendela kamar itu, menimbulkan suara yang berisik sekali. Han Lin terkejut, terbangun dari tidurnya dan pada saat dia meloncat dari dipan, diselubungi asap hitam tebal, dia mendengar sambaran angin dan cepat dia menggerakkan kedua tangan, mengerahkan sin-kang dan memukul dengan hawa dari tenaga saktinya.

Runtuhlah anak panah dan piauw yang menyambar dari segala penjuru itu. Akan tetapi sambaran senjata rahasia kian gencar sehingga Han Lin meraba tongkatnya yang berada di pembaringan, lalu memutar tongkatnya sambil melompat ke arah jendela dari mana masuk asap hitam itu.

“Brakkkk....!” Daun pintu itu jebol dan tongkatnya meluncur mengenai dada seorang yang memegang bambu yang dipakai untuk menyemprotkan asap hitam itu.

“Aduhh....!” Orang itu terjengkang dan dari sinar lampu yang tergantung di luar, ternyata bahwa orang itu adalah hwesio kepala yang baik hati tadi.

Dari kanan kiri menyambar senjata golok. Gerakan dua golok itu cukup kuat sehingga Han Lin cepat melompat mundur untuk melihat siapa pengeroyoknya itu. Ternyata dua orang hwesio yang lain! Tahulah ia bahwa tiga orang hwesio itu memang penjahat yang menyamar seperti yang dikhawatirkannya.

Agaknya tadi mereka memang tidak memperlihatkan rahasia mereka sehingga Han Lin percaya penuh dan tidur nyenyak. Setelah mengetahui bahwa mereka adalah tiga orang hwesio tadi, Han Lin menggerakkan tongkatnya dua kali dan dua orang hwesio yang bersenjata golok itupun roboh.

Dia teringat akan buntalan pakaiannya. Selagi dia hendak melompat masuk kembali tiba-tiba ada serangan yang demikian hebat sehingga terpaksa dia melompat mundur lagi. Serangan itu merupakan angin dingin menyusup tulang dan tenaganya hebat bukan main. Begitu dia melompat ke samping untuk menghindarkan diri dari pukulan jarak jauh yang dahsyat itu, kembali dari kirinya menyambar pukulan yang amat panas.

“Sam Mo-ong...!” serunya kaget dan dia tahu bahwa orang-orang yang dapat menyerang seperti itu hanyalah Hek bin Mo-ong dan Pek-bin Mo-ong. Maka dia bersikap waspada karena cuaca amat gelapnya, dan setelah dia dapat mengelak dari dua pukulan itu, dia lalu memutar tongkatnya melindungi dirinya. Nampak bayangan banyak orang berkelebat dan mencoba menyerangnya dari kegelapan.

Han Lin menggerakkan tongkatnya, memukul roboh beberapa orang dan tiba-tiba saja semua bayangan itu lenyap dalam kegelapan malam. Juga Hek bin Mo-ong dan Pek-bin Mo-ong tidak nampak lagi. Dengan gelisah Han Lin lalu melompat ke dalam kamarnya yang masih penuh asap itu melalui jendela. Dia menghampiri dipan, meraba-raba dan buntalan pakaiannya telah lenyap tanpa bekas!

Han Lin terkejut. Setelah yakin bahwa buntalan pakaian berikut Pedang Awan Merah telah lenyap, dia marah sekali. Dia mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya berkelebat keluar. Akan tetapi setibanya di luar keadaan sunyi saja tidak nampak seorangpun manusia atau sesosokpun bayangan. Para hwesio dan beberapa orang yang dirobohkan tadipun sudah lenyap. Dia tahu bahwa dia telah terjebak, dipancing keluar dan pedangnya diambil orang.

“Hek-bin Mo-ong dan Pek-bin Mo-ong pengecut curang!” teriaknya dengan suara yang menggetar dan bergema di seluruh hutan. “Sam Mo-ong, kembalikan pedangku dan kalau kalian memang gagah, hayo keluar dan kita bertanding secara gagah!”

Percuma saja dia berteriak-teriak sampai tenggorakannya serak. Yang menjawabnya hanya gema suaranya sendiri. Dengan lampu gantung di tangan, dia memeriksa seluruh kuil. Dan ternyata itu memang kuil kosong yang dipakai untuk menjebaknya. Dengan mendongkol sekali terpaksa dia melewatkan malam di kamarnya yang tadi, karena tidak mungkin mengejar atau melakukan pencarian di hutan pada malam yang gelap pekat itu.

Pada keesokan harinya, setelah terang tanah, dia keluar dari kuil dan alangkah dongkolnya melihat buntalan pakaiannya tergantung di ranting sebatang pohon di luar kuil, tentu saja pedangnya sudah tidak berada di dalam buntalan.

“Jahanam busuk, bedebah pengecut!” makinya dengan gemas, gemas kepada diri sendiri yang begitu mudah percaya kepada tiga orang hwesio, mudah begitu saja ditipu musuh sehingga pedang pusaka itu lenyap. Akan tetapi kemana dia harus mencari? Sudah dapat dipastikan bahwa serangan semalam itu dilakukan oleh Hek-bin Mo-ong dan Pek-bin Mo-ong.

Akan tetapi apakah yang lain itu anak buahnya, ataukah golongan lain? Dan yang mencuri pedangnya itu Sam Mo-ong ataukah orang lain? Dia tidak merasa heran kalau Sam Mo-ong mengetahui bahwa Ang-in Po-kiam berada di tangannya. Pertama, dahulu Sam Mo-ong juga hadir ketika Hoat-kauw diserbu pasukan dan kedua, tokoh Hoat-kauw yang hadir di pertemuan Cin-ling-pai itu tentu menceritakan segalanya kepada Sam Mo-ong.

Dengan langkah gontai karena hatinya merasa kecewa dan gelisah, Han Lin keluar dari hutan lebat hendak melanjutkan perjalanan ke Souw-ciu. Kemana lagi mencari jejak Sam Mo-ong kalau tidak ke Souw-ciu. Kota itu merupakan kota terdekat dan kiranya para datuk itu tentu pergi ke sana sebelum melanjutkan perjalanan entah ke mana.

Ketika sudah berada di dekat kota Souw-ciu, mendadak terdengar derap kaki kuda di belakangnya. Han Lin yang sedang murung tidak memperdulikan ini, hanya melangkah ke pinggir. Seekor kuda putih yang besar dan kuat lewat dengan cepat, dan penunggangnya adalah seorang wanita muda yang pakaiannya ringkas berwarna hijau, rambutnya riap riapan tertiup angin dan ketika lewat dekat Han Lin, pemuda ini mencium keharuman yang menyengat hidung.

Dia menjadi tertarik dan memperhatikan wanita itu. Tubuhnya ramping sekali dan melihat ia duduk di atas kuda yang membalap itu dengan enaknya, serasi dengan gerakan kuda sehingga seolah kuda yang mahir sekali, pikirnya. Akan tetapi, mendadak kuda itu berhenti, mengangkat kedua kaki depan dan memutar tubuh. Sepasang mata yang seperti mata burung Hong itu menatapnya dan kuda itupun dijalankan kembali menghampirinya.

Han Lin bersikap tenang akan tetapi hatinya merasa tegang juga. Gadis jelita ini jelas menghampirinya dan setelah kini menghadapnya, dia melihat betapa jelitanya gadis itu. Gadis itu kelihatannya baru berusia dua puluh tahun akan tetapi pembawaannya sudah matang betul, pinggang ramping, pinggul besar dan tubuh itu memiliki lengkung lekuk yang menantang.

Wajahnya bulat telur dan kulit mukanya putih kemerahan, dengan rambut hitam panjang terurai, alisnya kecil hitam panjang melengkung, matanya indah seperti mata burung Hong, hidung mancung dan mulutnya mendebarkan hati Han Lin.

Entah mana yang lebih indah. Matanya atau mulutnya karena kedua bagian muka ini yang memiliki daya tarik luar biasa. Dagunya runcing dihiasi tahi lalat hitam. Pendeknya seorang gadis yang cantik jelita dan pakaiannya yang berwarna hijau itu ketat dan ringkas mencetak tubuhnya. Di punggungnya tergantung sepasang pedang.

Kuda itu berhenti tepat di depan Han Lin, membuat Han Lin terpaksa menahan langkahnya dan memandang dengan mata bertanya. Gadis itu melompat turun, gerakannya ringan seperti seekor burung dan ia melepas kudanya begitu saja. Tentu seekor kuda yang sudah terlatih dengan baik.

Melihat gadis yang jelas menghadangnya itu, Han Lin yang sedang murung menjadi jengkel. “Nona, apa maksudmu menghadang perjalananku?” tanyanya. Kalau dia tidak sedang murung, tentu sukar bersikap dingin terhadap seorang gadis sejelita ini. akan tetapi dia sedang marah dan jengkel.

“Sia Han Lin, tak perlu banyak cakap lagi. Serahkan Ang-in Po-kiam kepadaku!” kata wanita itu dan cara bicaranya sungguh angkuh sekali.

Mendengar ucapan ini, kemarahan hati Han Lin berubah menjadi kegelian hati dan dia tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha....alangkah lucunya!”

Tentu saja gadis itu mengerutkan alisnya dan membentak. “Tidak perlu membadut di sini. Cepat serahkan pedang pusaka di buntalanmu itu atau terpaksa aku akan menggunakan kekerasan."

Buntalan pakaianku ini? Engkau menghendaki ini?” Perlahan-lahan Han Lin menurunkan buntalannya lalu melemparkannya ke arah gadis itu sambil berseru, “Nah, makanlah buntalan ini!”

Karena sedang jengkel, mendengar wanita itu hendak merampas pedang yang sudah dicuri orang, Han Lin sengaja mengerahkan tenaganya ketika melemparkan buntalan pakaiannya ke arah gadis itu. Wanita baju hijau itu dengan sigap menjulurkan tangan kiri menyambut dan dengan mudahnya ia menerima lemparan buntalan pakaian itu.

Diam-diam Han Lin terkejut. Lemparannya mengandung tenaga sin-kang yang cukup kuat, akan tetapi gadis itu menerimanya begitu mudah. Ini hanya membuktikan bahwa gadis ini bukan orang sembarangan dan sudah memiliki tenaga sin-kang yang kuat sekali.

Setelah menerima buntalan itu dan menekan-nekannya, gadis itu maklum bahwa di dalamnya tidak terdapat pedang, maka ia melontarkan buntalan kembali kepada Han Lin. “Terimalah kembali barangmu!”

Han Lin menjulurkan tangan menangkap dan terasa olehnya betapa kuatnya tenaga lontaran itu. “Hemm, kukira engkau menghendaki pakaianku,” dia mengejek.

“Sobat, tidak baik bermain-main di depan Jeng I Sian-li (Dewi Baju Hijau) Cu Leng Si. Aku menghendaki Pedang Awan Merah. Hayo serahkan kepadaku!”

“Nama yang bagus, Cu Leng Si dan julukannya juga bagus, Dewi Baju Hijau, akan tetapi wataknya jauh dari pada bagus. Seorang gadis cantik jelita ingin merampok, mana patut?”

“Sudahlah, jangan banyak cerewet. Aku membutuhkan pedang itu, dan pedang itupun bukan milikmu. Di mana kau sembunyikan pedang pusaka itu?”

“Hemm, Cu Leng Si, dalam hal rampok-merampok atau curi-mencuri agaknya engkau masih harus belajar banyak. Engkau telah didahulu orang lain. Pedang itu semalam telah dicuri oleh Sam Mo-ong, sedangkan aku juga sedang mencari mereka, engkau malah muncul untuk merampoknya dariku. Ha-ha, bukanlah itu lucu sekali?”

Gadis itu mengerutkan alisnya yang hitam panjang melengkung seperti dilukis itu. Matanya yang seindah mata burung Hong kini mencorong seperti mata naga. “Aku tidak percaya! Jangan menggunakan nama Sam Mo-ong, aku tidak takut kepada mereka. Sia Han Lin, kuhitung sampai tiga, kalau engkau belum juga menyerahkan Ang-in Po-kiam kepadaku, jangan salahkan aku kalau pedangku akan memenggal lehermu!”

Sing-sing....!

Nampak dua sinar berkelebat dan tahu-tahu kedua tangan wanita itu sudah memegang masing-masing sebatang pedang yabg berkilauan saking tajamnya.

“Cu Leng Si, engkau sudah memiliki dua batang pedang yang baik, mengapa masih menghendaki Ang-in Po-kiam? Alangkah murka engkau. Engkau tidak percaya atau percaya kepadaku, terserah. Kenyataannya, pedang itu dicuri Sam Mo-ong semalam, ketika aku bermalam di kuil tua itu!”

“Bohong! Sekali lagi, aku mulai menghitung, satu... dua...tiga..!” Dan sinar pedang itu mencuat, menyambar ke arah leher Han Lin dengan kecepatan kilat. “....empat...lima...enam...tujuh...”

Han Lin mengelak dan melanjutkan hitungan gadis itu yang berhenti sampai tiga. “Wah, engkau sungguh ganas dan kejam sekali, Jeng! Sianli. Tidak cocok dengan julukanmu. Engkau memakai julukan Sianli (Dewi) akan tetapi engkau galak seperti kuntilanak!”

“Kuntilanak? Kau....kau....!” Dan kini Jeng I Sianli Cu Leng Si mengamuk. Sepasang pedangnya menyambar-nyambar ganas. Kalau tadi ia hanya ingin menggertak saja agar Han Lin menyerahkan pedang pusaka, kini ia menyerang dengan siang-kaimnya untuk membunuh!

Han Lin kagum. Ilmu siang-kiam dari gadis ini hebat bukan main, mengingatkan dia kepada adik misannya Yang Mei Li yang dijuluki orang Hui-kiam Sian-Li (Dewi Pedang Terbang). Yang Mei Li juga menggunakan sepasang pedang terbang yang gerakannya hebat bahkan sepasang pedang itu dapat 'diterbangkan' dengan dikendalikan tali sutera panjang. Melihat pedang menyambar cepat diapun meloncat ke belakang untuk mengelak. Ketika pedang kedua menyusulkan serangan yang lebih ganas, Han Li menggerakkan tongkatnya menangkis.

“Trangggg...!”

Keduanya kagum. Jeng I Sianli merasa betapa tangannya tergetar, demikian pula Han Lin. Dan wanita itu tidak lama tertegun, sudah menerjang lagi dengan tusukan dan bacokan pedangnya. Tongkat itu berputar cepat, menangkis dan balas menyerang. Ketika sepasang pedang bergerak semakin hebat dan nampak dua gulungan sinar kehijauan, Han Lin tidak ragu lagi untuk mengeluarkan kepandaiannya.

Gadis ini memang lihai, tidak kalah dibandingkan dengan seorang di antara Sam Mo-ong sekalipun! Maka dia lalu memainkan Tongkat Kilat dan Badai. Angin besar menyambar-nyambar dan membuat baju hijau itu berkibar. Dan rambut hitam panjang yang hanya diikat dengan sutera merah, berkibar-kibar seperti bendera hitam.

Jeng I Sianli Cu Leng Si mengeluarkan teriakan melengking. Ia merasa kagum dan juga penasaran sekali. Sepasang pedangnya mengamuk seperti gelombang samudera. Han Lin merasa gembira mendapat lawan yang demikian tangguh. Dia mengubah gerakannya lagi dan mainkan tongkatnya dengan Khong-khi-ciang.

Tongkat itu kini menyambar-nyambar tanpa mendatangkan angin pukulan sama sekali, tahu-tahu sudah mendekati sasaran dan mengancam jalan darah penting sehingga beberapa kali Cu Leng Si menjerit kaget. Namun gadis itu ternyata mampu menghindarkan semua serangan Han Lin.

Tiba-tiba wanita itu mengeluarkan bunyi seperti suling melengking-lengking dan dari balik belukar dan pohon-pohon di tepi jalan, belasan orang berlompatan dari atas kuda mereka dan mengepung Han Lin. Mereka semua adalah wanita-wanita yang berusia dari dua puluh lima sampai tiga puluh lima tahun dan melihat gerakan mereka ternyata semua wanita itu gesit dan dapat bergerak cepat sekali!

Han Lin terheran-heran akan tetapi dia harus memutar tongkatnya karena belasan orang wanita itu sudah menggerakkan jala sutera yang menyerang dari berbagai jurusan, ditambah lagi serangan sepasang pedang Dewi Baju Hijau sendiri. Betapapun lihainya Han Lin, kalau dia tidak mau melukai atau membunuh para pengeroyoknya, tentu saja dia terdesak hebat.

Kalau dia mau bertindak kejam, merobohkan para pengeroyoknya, kiranya tak mungkin Jeng I Sianli dan lima belas orang anak buahnya itu akan mampu menangkapnya. Akan tetapi Han Lin merasa yakin bahwa mereka itu bukan orang-orang jahat, biarpun ilmu silat mereka hebat dan sikap mereka untuk menangkapnya.

Beberapa helai jala menimpanya dan dia seperti seekor ikan besar dalam jala, meronta akan tetapi tidak mampu keluar lagi. Tongkatnya bukan senjata tajam, tidak dapat membobol jala sutera yang kuat itu. Sebuah totokan dari Jeng I Sianli yang istimewa telah membuat tubuh Han Lin menjadi lemas. Wanita itu lalu mengikatnya dalam gulungan jalan bersama tongkatnya.

“Kalian pergilah, pulang lebih dulu dan persiapkan kamar tahanan untuk orang ini!” katanya kepada belasan orang wanita itu yang segera menunggangi kuda mereka dan lenyap ke dalam hutan di tepi jalan.

Cu Leng Si menghampiri Han Lin yang tak mampu bergerak, meringkuk di dalam jalan. “Nah, sekarang engkau sudah menjadi tawananku. Cepat katakan di mana Ang-in Po-kiam dan mungkin saja aku akan membebaskanmu!” katanya dengan ketus.

Totokan itu hanya membuat Han Lin tidak mampu menggerakkan kaki dan tangannya. Dia tertawa mengejek. “Ha-ha-ha, baru sekali ini aku melihat seorang dewi berhati kejam seperti kuntilanak. Kita belum pernah saling mengenal, belum pernah berurusan, tidak ada permusuhan. Kenapa engkau bersikap kejam kepadaku? Engkau bersikap pengecut mengeroyokku dengan belasan orang anak buahmu. Jeng I Sianli Cu Leng Si, apakah engkau tidak malu ditertawakan orang sedunia?”

“Sia Han Lin manusia sombong. Engkaulah yang membuat aku bersikap begini. Engkau keras kepala, tidak juga mau menyerahkan Ang-in Po-kiam kepadaku! Aku tidak akan sudi melepaskanmu selama engkau belum mengaku di mana pedang itu dan menyerahkan kepadaku!”

Ia meloncat ke atas kudanya dan memegang tali jala, kemudia ia menjalan kudanya dan menyeret tubuh Han Lin yang terbungkus jala itu. Tentu saja hal ini menyakitkan karena Han Lin tidak mampu mengerahkan sin-kang untuk melindungi kulitnya yang terseret sehingga kulitnya lecet-lecet dan pakaiannya robek-robek.

“Mengakulah dan aku akan membebaskanmu!” kata Cu Leng Si.

“Kuntilanak, siluman rase, setan betina, apa yang harus kuakui?” bentak Han Lin marah karena dia merasa dipermainkan dan dihina.

“Bagus, engkau keras kepala ya?" Cu Leng Si mempercepat langkah kudanya sehingga tubuh Han Lin, terseret-seret semakin cepat. Gadis itu mengambil jalan simpangan, tidak melalui jalan besar menuju ke kota Souw-ciu, melainkan mendaki sebuah bukit.

Untung bagi Han Lin bahwa rebahnya tadi telentang sehingga hanya tubuh bagian belakang saja yang babak bundas dan bajunya robek-robek. Buntalan pakaiannya tadi tergeser ke samping pundak ketika dia terseret. Han Lin terpaksa diam saja dan hanya mengeraskan hatinya agar mulutnya jangan mengeluarkan rintihan.

Melihat pemuda itu diam saja, Leng Si menghentikan kudanya dan menengok. Alangkah kagetnya ketika ia melihat pemuda yang diseretnya itu rebah, telentang diam tak bergerak dengan mata terbalik dan lidah terjulur keluar. “Celaka....!” teriaknya dan ia melompat turun dari atas kuda, menghampiri Han Lin dan berlutut di dekatnya. “Han Lin...! Han Lin....!” ia mengguncang tubuh yang nampaknya sekarat itu.

Han Lin tetap tidak bergerak dan Leng Si segera menotoknya, melepaskan totokannya tadi dari balik jala. Akan tetapi begitu totokannya terbebas, mendadak tangan Han Lin meraih dari dalam jala dan pergelangan tangan Leng Si sudah dipegangnya erat-erat!

“Nah, engkau menjadi tawananku sekarang!” katanya sambil tersenyum.

Leng Si terkejut setengah mati. Dengan cepat direnggutnya tangan itu dan dengan tangan kanannya ia menotok lagi. Han Lin yang belum dapat bergerak leluasa di dalam jala terkena totokan lagi dan menjadi lemas kaki tangannya.

Leng Si meloncat berdiri, membanting-banting kaki saking gemasnya. Engkau menipuku, bedebah! Engkau patut dihajar!” Dan ia meloncat ke atas punggung kudanya lagi, kini menjalankan kudanya dengan cepat sehingga tubuh Han Lin terguncang-guncang dan terseret-seret!

Setelah lewat tiga li mereka memasuki hutan Leng Si menengok dan melihat pemuda itu telentang dan tersenyum-senyum saja, walaupun bajunya robek-robek dan kulitnya babak-bundas. Han Lin merasa tenang saja karena dia yakin bahwa wanita itu tidak bermaksud membunuhnya. Ketika tadi dia berpura-pura sekarat wanita itu merasa khawatir dan berusaha menolongnya. Wanita yang aneh, tidak jahat agaknya, akan tetapi hatinya keras seperti batu!

Leng Si meloncat turun dari kudanya. Lalu ia melihat ke kanan kiri. Sambil menyeret tubuh Han Lin ia menghampiri pohon besar dan sekali loncat tubuhnya melayang naik sambil memegang ujung tali jala yang panjang. Kemudian ia melompat tutun setelah melibatkan tali jala itu dan dengan mengerahkan tenaganya, ia mengerek tubuh Han Lin ke adalam jala itu sehingga tubuh itu kini tergantung!

Ia mengikatkan ujung teli jala ke batang pohon. Luar biasa sekali tali jala yang kecil itu, mampu menahan tubuh Han Lin. Han Lin nampak seperti seekor ikan dalam jala yang digantung akan tetapi dia diam saja, hanya melirik dan mencoba untuk memandang wanita yang berada di bawah itu.

“Han Lin, engkau belum juga hendak mengaku di mana pedang itu kau sembunyikan?”

“Tidak ada gunanya. Mengakupun engkau tidak percaya. Lebih baik diam dan engkau boleh lakukan apa saja terhadap diriku!”

“Kepala batu!” Leng Si memaki dan dengan muram ia lalu mengeluarkan anggur dan roti kering serta daging kering, lalu makan perlahan-lahan.

Bau anggunr membuat jakun Han Lin turun naik, akan tetapi dia tidak berkata apa-apa. Dia mengenang kembali rentetan peristiwa yang amat tidak menyenangkan hatinya. Mula-mula ditipu tiga orang hwesio, malamnya diserbu musuh dan Ang-in Po-kiam lenyap dicuri orang. Kemudian dia dihadang perampok dan akhirnya dapat ditawan oleh wanita ini.

Dia belum tahu orang macam apa adanya Dewi Baju Hijau ini, dan apa maunya begitu bernapsu untuk mendapatkan Ang-in Po-kiam. Padahal wanita ini cantik jelita dan pembawaannya, menarik, halus lembut. Akan tetapi, dapat bersikap keras seperti baja, dan memiliki anak buah yang terlatih baik. Apakah seorang wanita yang demikian cantik jeliata ini termasuk seorang penjahat? Ilmu silatnya tinggi, kalau ia jahat sungguh merupakan hal yang patut disesalkan.

“Hemm, sayang...!” Ucapan hatinya itu tercetus keluar melalui mulutnya tanpa disengaja.

“Apa kau bilang? Apanya yang sayang?” kata Leng Si yang selalu memperhatikan kalau-kalau pemuda itu mau mengaku di mana adanya pedang pusaka yang dicarinya itu.

“Sayang seribu sayang bahwa gadis secantik itu melakukan perbuatan yang demikian kejam, menyiksa orang yang tidak bersalah.”

“Kalau engkau tidak mau mengaku, aku akan dapat menggantungmu sampai mati di tempat ini!” kata Leng Si dengan gemas sekali.

“Demi Tuhan, kenapa engkau sekejam itu?” Suara ini terdengar lembut dan disusul meluncurnya sinar perak yang menyambar ke arah tali sutera yang menggantung jala. Tali sutera disambar piauw perak (gin-piauw) itu dan Han Lin di dalam jala terjatuh ke atas tanah berdebuk.

Bagaikan seorang dewi yang turun dari kahyangan, tahu-tahu di situ telah berdiri seorang gadis lain, berpakaian sutera putih berkembang kuning. Kebetulan Han Lin menghadap kepada gadis itu dan dia terbelalak kagum. Seorang gadis cantik lain lagi. Lebih muda, paling banyak sembilan belas tahun usianya, akan tetapi wajahnya yang cantik itu, sikapnya yang lembut lemah gemulai itu, rambutnya yang digelung ke atas itu.

Wah entah bagian mana yang terindah. Tubuhnya langsing pula, semampai dan wajahnya bersinar lembut, matanya begitu indah dan halus tatapannya, dengan bulu mata lentik, bibir yang selalu tersenyum ramah penuh kesabaran. Tiba-tiba Han Lin teringat akan patung Dewi Kwan Im yang pernah dilihatnya dalam kuil.

“Kwan Im Pouwsat (Dewi Kwan Im)...!” katanya di luar kesadarannya dan gadis berpakaian putih itu cepat menengok kepadanya.

“Eh, engkau sudah mengenal aku?”

Han Lin terbelalak. Jadi ini benar-benar bukan manusia? Benarkah seorang dewi. Dewi Kwan Im? Dia bengong saja dan tidak mampu menjawab.

Sementara itu Leng Si melangkah maju dan nampak marah sekali kepada wanita yang baru datang. “Sumoi, aku minta sekali ini engkau tidak mencampuri urusanku!”

Gadis berpakaian putih itu tersenyum lebar dan menjawab penuh kesabaran. “Suci, selamanya aku belum pernah mencampuri urusanmu. Aku hanya memenuhi kewajiban seperti yang diberikan kepada ibu untuk kita berdua. Menentang kejahatan dan kekejaman, membela yang lemah dari penindasan. Katakan mengapa engkau memperlakukan orang ini sekejam itu?”

“Bukan urusanmu!”

“Suci, aku tahu engkau bukan orang jahat, akan tetapi engkau keras hati dan tidak pernah mau menceritakan rahasiamu. Dengan sikapmu itu, engkau akan menemui banyak kesulitan, suci.”

“Tidak perduli. Sumoi, sekali ini kuminta engkau pergi dan jangan mencampuri urusanku.”

“Aku tidak mau pergi kalau engkau belum menceritakan mengapa engkau menyiksa orang ini, suci. Lihat, dia luka-luka. Bahkan andaikata dia penjahat sekalipun, tidak semestinya engkau menyiksanya. Perbuatan itu sangat kejam dan kalau ibu tahu, tentu akan marah kepadamu.”

“Jangan mencampuri urusan pribadiku!” Leng Si menjerit marah. “Akan kuapakan orang itu tidak ada sangkut pautnya denganmu. Pergilah!”

“Tidak, suci. Semua perbuatan kejam ada sangkut pautnya dengan aku, karena aku harus menentangnya!”

“Sumoi, engkau hendak melawan aku? Ketahuilah, aku bukanlah Jeng I Sianli setahun yang lalu. Aku telah memperdalam ilmuku dan sekali ini mungkin pedangku akan mencelakanmu. Sebelum hal itu terjadi, sebaiknya engkau pergi saja.”

“Membela kebenaran tidak boleh setengah-setengah, suci. Kalau perlu bahkan boleh dipertaruhkan dengan nyawa.”

“Engkau akan mempertaruhkan nyawamu demi membela seorang yang tak kau kenal seperti dia itu?”

“Dia atau siapapun juga manusia yang perlu dibela kalau tidak bersalah dan terancam perlakuan kejam.”

“Cin Mei, engkau keterlaluan!” bentak Leng Si dan ia sudah mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dari punggungnya. “Engkau benar-benar hendak melawanku. Siapkan senjatamu!”

“Suci, apa gunanya ini? Aku hanya minta engkau menceritakan alasan perbuatanmu terhadap orang ini atau membebaskannya.”

“Tutup mulut dan cabut senjatamu!” bentak pula Leng Si dengan marah. Gadis berpakaian putih itu menghela napas. “Engkau takkan dapat mengalahkan aku, suci.”

“Singgg...!” pedang kiri Leng Si menyambar dahsyat dengan serangan pertamanya.

Gadis bernama Lie Cin Mei itu menggerakkan kakinya dan tubuhnya melayang ke kanan, ke arah Han Lin dan sekali ia menggerakkan jari tangannya, totokan pada tubuh Han Lin telah terbebas!

Melihat ini, Jeng I Sianli Cu Leng Si terkejut dan juga maklum bahwa sekarang ia menghadapi bahaya. Baru melawan sumoinya saja belum tentu ia menang, apa lagi kini Han Lin yang ia sudah tahu kelihaiannya itu telah terbebas dari totokan. Kalau mereka maju berdua, dalam waktu singkat saja ia akan menderita kekalahan!

“Sumoi, engkau terlalu...!” katanya dengan isak tertahan dan sekali melompat, ia sudah berada di atas punggung kudanya yang dibalapkan lari meninggalkan tempat itu.

Cin Mei tidak memperdulikan lagi kepada sucinya. Ia membantu Han Lin keluar dari jala itu dan berkata lembut. “Rebahlah dulu, biar kuperiksa keadaanmu dan kuobati.”

Han Lin merasa terharu oleh suara itu. Demikian lembut, demikian penuh kasih sayang seperti seorang ibu terhadap anaknya! Jari-jari tangan itu mulai memeriksa badannya, lecet-lecet di bagian tubuh belakangnya dan agaknya gadis itu hanya memperhatikan keadaan lukanya dan seperti tidak melihat bahwa dia setengah telanjang karena pakaian belakangnya robek-robek.

“Syukur kepada Tuhan...!” Gadis itu menghela napas panjang. “Engkau hanya luka lecet-lecet saja, tidak berbahaya. Aku mempunyai obat luka yang manjur sekali. Diamlah, kuobati akan tetapi agak perih rasanya.”

Dan ketika ia mengoleskan obat luka itu kepada bagian belakang tubuh Han Lin yang lecet-lecet, memang terasa perih sekali. Tentu saja Han Lin dapat menahan rasa nyeri seperti itu, namun dia mengaduh dan merintih sehingga gadis itu merasa kasihan dan dengan sentuhan lembut ia berusaha meringankan rasa nyeri itu.

“Cukup, dalam waktu beberapa jam saja luka-lukamu akan kering dan sembuh. Sekarang bergantilah pakaian sebelum kita bicara.” Gadis itu bangkit berdiri dan membalikkan tubuhnya.

Han Lin merasa rikuh sekali, akan tetapi dia melihat bahwa gadis itu benar-benar membuang muka, sama sekali tidak melirik ke arahnya. Maka dia lalu menanggalkan celana dan baju yang bagian belakangnya terkoyak-koyak itu dan berganti dengan celana dan baju yang masih utuh dan bersih. Sampai dia selesai berpakaian gadis itu masih membalikkan diri membelakanginya. Gadis yang hebat, pikirnya kagum. Melampaui gadis-gadis yang pernah dijumpainya, baik dalam kecantikan maupun dalam sikap. Bahkan lebih anggun dibandingkan Dewi Pedang Terbang Yang Mei Li!

“Aku sudah berganti pakaian, nona!" katanya.

Gadis itu membalikkan tubuhnya dan begitu ia bertatap muka dengan Han Lin, pandang matanya menunjukkan keheranan dan pandang matanya menjelajahi tubuh Han Lin dari kepala sampai ke kaki. Ia memang keheranan karena baru sekarang ia melihat bahwa orang yang disiksa sucinya itu ternyata adalah seorang pemuda yang tampan sekali, yang menggendong buntalan pakaiannya dan memegang sebatang tongkat butut hitam.

“Apa yang akan kita bicarakan, nona?” tanya Han Lin melihat gadis itu, diam saja.

“Ohhh, aku akan membicarakan tentang suciku tadi. Kenapa ia menyiksamu. Kesalahan apakah yang kaulakukan kepadanya? Tidak biasanya suci menyiksa orang biarpun hatinya keras.”

“Aku tidak bersalah apapun kepadanya, nona, bahkan mengenalnyapun tidak. Begitu bertemu dengan aku, ia memaksa aku mengakui di mana aku menyembunyikan pedang pusaka, padahal aku sama sekali tidak menyembunyikannya.”

Gadis itu menghela napas panjang. “Kuharap engkau suka memaafkan suciku. Memang ia keras hati kalau ingin mendapatkan sesuatu harus terlaksana. Akan tetapi, mengapa ia menyangka engkau menyembunyikan pedang pusaka. Kalau tidak ada alasannya, kiranya tidak mungkin ia menyangkamu begitu, dan pedang pusaka apakah itu?”

Melihat gadis itu bicara, lembut dan nampaknya jujur sekali, timbul kekagumana besar di hati Han Lin dan dia mengambil keputusan untuk berterus terang saja kepada gadis ini. “Pedang itu adalah Pedang Awan Merah, nona....”

“Ang-in Po-kiam dari istana? Bagaimana dapat berada padamu, atau bagaimana suci menyangka demikian?”

“Memang pedang itu terjatuh ke tanganku, nona. Aku menemukannya dari tangan Hoat Lan Sian-su yang tewas ketika terjadi penyerbuan pasukan kepada Hoat-kauw.”

“Hemm, luar biasa sekali. Lalu bagaimana?”

“Aku dalam perjalanan menuju ke kota raja karena aku berniat untuk mengembalikan pedang itu kepada Sribaginda Kaisar. Akan tetapi ketika mendengar Cin-ling-pai difitnah sebagai pencuri pedang para tokoh kangouw, aku sengaja ke sana untuk membersihkan nama Cin-ling-pai yang aku tahu merupakan perkumpulan orang gagah itu.”

“Bagus, tindakanmu itu benar sekali.”

“Nah, setelah semua orang tahu bahwa pencurinya bukan orang Cin-ling-pai melainkan orang Hoat-kauw, aku meninggalkan Cin-ling-pai untuk melanjutkan perjalanan ke kota raja. Akan tetapi di tengah perjalanan, aku diserbu banyak orang yang dipimpin oleh Sam Mo-ong dan pedang itu dirampas oleh Sam Mo-ong.”

“Ah, tiga datuk sesat itu?” Si nona nampak terkejut sekali mendengar disebutnya tiga datuk itu.

“Lebih celaka lagi, baru malam tadi aku kehilangan pedang, pagi ini sudah ditawan dan disiksa suci-mu yang baik hati seperti dewi itu!”

“Jangan berolok-olok, aku sudah memintakan maaf untuk suci-ku, mengapa engkau masih mengejek juga? Jadi, jelas bahwa Sam Mo-ong yang merampas pedang itu darimu? Memang, menurut kata ibuku, di antara para datuk sesat, Sam Mo-ong yang paling licik dan jahat. Semoga Tuhan mengampuni dosa mereka. Namun sekali lagi, aku mintakan maaf atas perbuatan suci kepadamu. Selamat tinggal.” Sekali melompat gadis itu lenyap dari depan Han Lin dan pemuda itu semakin kagum. Siapa namanya?

“Eh, nona tunggu dulu. Aku mempunyai pertanyaan penting sekali!”

Nampak bayangan putih berkelebat dan gadis itu sudah berada di depannya kembali. Diam-diam Han Lin tersenyum di hatinya. Jelas nona ini belum pergi jauh, mungkin menyelinap di balik pohon dan mengintainya. “Ada apakah?”

“Nona tadi mintakan maaf untuk suci nona kepadaku, benarkah itu?”

“Ya, benar dan kuharap engkau suka memaafkannya.”

“Aku akan memaafkannya asla nona suka memenuhi permintaanku atau menjawab pertanyaanku yang teramat penting sekali.”

Gadis itu tersenyum dan Han Lin merasa jantungnya melompat tinggi dan jungkir balik. Manisnya! “Pertanyaan apakah itu? Tanyalah!”

“Dan nona berjanji akan menjawab dengan sejujurnya, tidak berbohong kepadaku?”

Alis mata hitam itu berkerut sedikit. “Sobat, selama hidup aku tidak suka berbohong.”

“Bagus, ada dua pertanyaanku. Pertama, ketika tadi untuk pertama kali nona muncul, nona bertanya apakah aku sudah mengenal nona. Apa maksud pertanyaan itu?”

“Eh, jadi engkau belum mengenalku. Kenapa tadi engkau mengatakan Kwan Im Posat...”

“Ah, apa hubungannya Dewi Kwan Im denganmu, nona? Ketika engkau muncul dengan pakaian putih, demikian cantik, demikian agung dan anggun, kukira engkau Dewi Kwan Im yang datang menolongku!”

Wajah yang ayu itu menjadi agak kemerahan dan mulut yang aduhai itu tersenyum. “Tidak ada sangkut pautnya akan tetapi orang-orang memberi julukan Kwan Im Sian-li kepadaku.”

“Wah, tepat sekali! Memang pantas sekali julukan itu. Sekarang pertanyaan kedua, nona. Bolehkah aku mengetahui namamu yang mulia?”

“Hemm, namaku tidak mulia, biasa saja. Namaku Lie Cin Mei,” jawabnya singkat. “Nah, dua pertanyaan sudah dijawab. Selamat tinggal!” Kembali ia berkelebat dan sekali ini Han Lin maklum bahwa gadis itu benar-benar telah pergi.

“Hemm, engkau tidak menanyakanku. Ah, lagi pula, apa urusannya dengan namaku. Sekarangpun ia sudah lupa kepadaku,” demikian dia menggumam, hatinya tidak puas. Akan tetapi, dia segera teringat akan Sam Mo-ong dan dengan hati geram dia melanjutkan perjalanannya memasuki kota Souw-ciu.

* * * * * * *
Ku Ma Khan yang berusia lima puluh tahun itu duduk di kursi kebesarannya dengan sikap gagah. Pria yang tinggi besar ini memiliki wibawa yang kuat sekali. Sebagai seorang kepala suku Mongol yang berdarah campuran Kazak, dia pandai memimpin rakyatnya, pandai pula mempergunakan tenaga orang-orang pandai sehingga tidak mengherankan bahwa di antara pembantunya yang banyak terdapat orang-orang berkepandaian tinggi, bahkan Sam Mo-ong, tiga datuk yang sakti itupun suka menjadi pembantunya.

Kwi-jiauw Lo-mo memang berdarah Mongol, peranakan Han, maka tidak mengherankan kalau dia menghambakan diri dengan setia kepada Ku Ma Khan. Hek-bin Mo-ong adalah pernakan Mancu, dan Pek-bin Mo-ong peranakan suku bangsa Hui yang juga sudah dikuasai orang Mongol.

Pada hari itu, Ku Ma Khan menerima kedatangan Sam Mo-ong dan puterinya, Mulani. Gadis itu segera merangkul ayahnya dengan sikap manja dan Ku Ma Khan yang amat sayang kepada anaknya itu, memang kedua pundak Mulani dan mengamati wajahnya sambil tertawa senang.

“Aih, tidak melihat beberapa bulan saja engkau nampak lebih dewasa, lebih matang dan lebih cantik, Mulani. Bagaimana, apakah perjalananmu ke selatan menghasilkan banyak pengalaman hebat?”

“Aku senang sekali, ayah. Dan kami pulang membawa oleh-oleh yang akan membuat ayah pasti senang sekali.”

“Ha-ha-ha, oleh-oleh apakah itu Sam Mo-ong, kalian bertiga yang setia dan bijak, oleh-oleh apa yang dikatakan puteriku tadi?” Ku Ma Khan tidak sabar menunggu penjelasan.

Kwi-jiauw Lo-mo Tong Lui yang menjadi orang pertama dari Sam Mo-ong menyerahkan sebatang pedang dengan kedua tangannya kepada Ku Ma Khan (Raja Ku Ma). “Khan Yang Mulia, inilah oleh-oleh dari kami, sebatang pedang pusaka.”

Ku Ma Khan mengerutkan alisnya, menerima pedang dan mencabutnya. Nampak sinar kemerahan ketika pedang tercabut. “Hemmm, pedang yang baik sekali, bersinar merah. Akan tetapi untuk apa pedang pusaka? Tanpa pedang pusakapun aku mampu memimpin laksaan prajurit untuk menggempur musuh.” Dia agak kecewa melihat bahwa yang dikatakan oleh-oleh berharga itu hanya sebatang pedang lurus, pedang bangsa Han.

“Wah, ayah tidak tahu!” seru Mulani sambil memgang tangan kiri ayahnya. Pedang pusaka ini bukan pedang biasa, pedang ini dijadikan perebutan oleh semua orang kang-ouw utara dan selatan karena pedang ini adalah pedang pusaka milik Kaisar Tang!”

“Ehh? Pedang milik Kaisar Tang? Lalu untuk apa aku memiliki pedang ini?”

“Khan yang mulia, pedang pusaka ini dicuri orang dari gudang pusaka Kerajaan Tang, dan karena pedang ini amat dihargai kaisar, maka dijadikan rebuatan semua tokoh kang-ouw. Kaisar sendiri mengumumkan bahwa siapa yang mengembalikan pedang ini akan diberi ganjaran harta dan kedudukan tinggi!”

Ku Ma Khan mengangguk-angguk akan tetapi alisnya masih berkerut. “Tapi aku tidak mungkin mengharapkan ganjaran dan kedudukan tinggi di istana kaisar....”

“Khan yang mulia,” kata Hek-bin Mo-ong, “Kalau kita mengembalikan pedang ini kepada kaisar dan sebagai imbalannya kita minta syarat-syarat yang menguntungkan, bukankah itu cara yang baik sekali?”

“Benar yang mulia,” sambung Pek-bin Mo-ong,” kita dapat menukar pedang dengan penetapan paduka sebagai raja muda di utara, atau dengan syarat bahwa rakyat kita boleh keluar masuk ke selatan dengan bebas, atau syarat lain yang dianggap menguntungkan paduka.”

“Hemm, semua tidak ada artinya. Kalau sudah dipenuhi syarat itu lalu diingkari, kita akan mampu berbuat apa? Tidak, kita harus dapat memanfaatkan pedang pusaka ini, kalau memang benar kaisar amat mengharapkan kembalinya.”

“Aku mempunyai usul yang baik, ayah.”

“Katakan, bagaimana usul itu, Mulani?” kata ayahnya yang gembira melihat puterinya yang biasanya memang amat cerdik dan seringkali memberi nasihat yang amat berharga kepadanya.

“Kita mengutus seseorang yang pandai dan yang tidak dikenal sebagai orang kita, dan orang itu harus kita percaya benar untuk mewakili ayah, menyerahkan kembali pedang kepada kaisar dan menerima jabatan tinggi. Dengan demikian, diam-diam dia akan amat berguna bagi ayah sebagai mata-mata karena dia akan dekat dengan kaisar. Siapa tahu dengan adanya seorang pembantu yang tangguh di istana kaisar, akan memudahkan perjuangan ayah untuk menguasai dunia selatan.”

Mendengar ucapan Mulani, Ku Ma Khan tertawa gembira dan menepuk lengan kursinya. “Ha-ha-ha, bagus, bagus! Ini baru usul yang baik sekali. Bagaimana pendapat kalian, Sam Mo-ong?”

“Memang sebuah usul yang bijaksana sekali, Yang Mulia. Memang akan amat menguntungkan kita kalau ada seorang pejabat tinggi yang menjadi mata-mata kita di Kerajaan Tang. Akan tetapi siapa yang patut kita utus?” kata Kwi Jiauw Lo-mo.

“Kalau mengutus seorang dari golongan kita, belum tentu kaisar mau memberi kedudukan tinggi, bahkan mungkin akan merasa curiga,” sambung Hek-bin Mo-ong.

“Sebaiknya memang harus bangsa Han, akan tetapi siapa?” kata pula Pek-bin Mo-ong.

Semua diam, bingung memikirkan pelaksanaan usul yang diajukan Mulani tadi. Akhirnya Mulani yang berkata kepada ayahnya, “Ayah kalau aku mengajukan usul, sudah pasti telah kupikirkan cara pelaksanaannya dengan baik. Kurasa, tidak ada orang yang lebih tepat untuk dijadikan mata-mata itu kecuali Sia Han Lin.”

Sam Mo-ong mengeluarkan seruan heran dan kaget ketika mendengar usul murid mereka itu. Bagaimana mungkin mengusulkan pemuda yang bahkan menjadi musuh besar mereka itu?

“Siapa itu Sia Han Lin?” tanya Ku Ma Khan sambil memandang kepada tiga orang pembantunya itu.

“Yang Mulia, usul itu sungguh tidak mungkin dilaksanakan. Yang bernama Sia Han Lin itu adalah seorang musuh besar hamba bertiga. Bahkan kami merampas pedang Ang-in Po-kiam ini dari tangannya. Hendaknya paduka ketahui bahwa yang mencuri pedang ini dari gudang pusaka kaisar adalah mendiang Hoat-lan Sian-su ketua Hoat-kauw. Kemudian setelah dia meninggal dunia, pedang terjatuh ke tangan seorang pendekar muda bernama Sia Han Lin. Kami dengan susah payah berhasil merampas dari tangannya. Bagaimana mungkin menjadikan pendekar itu mata-mata kita?” bantah Kwi Jiauw Lo-mo.

"Bagaimana Mulani? Kalau begitu, usulmu memang aneh sekali. Bagaimana musuh hendak kaujadikan mata-mata? Apa alasanmu memilih orang itu, Mulani? Dan bagaimana pula caranya?”

“Begini, ayah. Aku sudah melihat sendiri betapa lihainya pendekar yang bernama Sia Han Lin itu. Bahkan ketiga suhu belum tentu dapat mengalahkannya. Dia masih muda, jujur dan dapat dipercaya. Kalau sampai dia membantu kita, wah, ayah tentu akan mendapatkan seorang pembantu yang hebat, apa lagi kalau dia yang mewakili ayah menyerahkan pedang pusaka dan menjadi mata-mata kita di istana kaisar Tang. Keuntungannya besar sekali.”

“Katakanlah semua keteranganmu itu benar. Akan tetapi bagaimana caranya agar dia mau membantu kita, padahal menurut Sam Mo-ong dia adalah musuh besar kita?”

“Akan tetapi musuh akan berbalik menjadi keluarga kalau dia... berhasil kubujuk untuk menjadi suamiku, ayah.”

“Hehh....?” Ku Ma Khan terperanjat dan memandang dengan mata terbelalak heran. “Menjadi... suamimu....?”

“Benar ayah. Dan seperti kukatakan tadi, kalau dia menjadi suamiku tentu saja dia dapat kita kirim ke kota raja, menyerahkan pedang, memiliki kedudukan tinggi sebagai hadiah dan dapat menjadi mata-mata kita yang berguna sekali.”

“Tapi... tapi... bagaimana mungkin? Apakah dia mau?”

“Ayah, aku sudah bertemu dengan dia, dan aku mempunyai perasaan bahwa dia suka kepadaku, ayah.”

“Dan engkau? Aku tidak ingin anakku mengorbankan diri. Aku tidak ingin anakku menikah dengan pria yang tidak disukainya.”

“Ayah, mengapa ayah begitu bodoh? Kalau aku tidak suka kepadanya, biar ayah memaksaku dan menyiksaku sampai mati sekalipun, aku tidak akan sudi.”

“Jadi, engkau cinta padanya?”

“Tidak usah ditanya lagi, ayah. Aku hanya mau menjadi isteri Sia Han Lin.”

“Ha-ha-ha-ha, kalau begitu baiklah. Aku memberi restu padamu karena aku yakin, pria yang engkau pilih sudah pasti seorang pria pilihan yang hebat. Aku hanya merasa sayang kalau engkau akan gagal, anakku. Akan tetapi masih ada jalan kedua, yaitu sebagai cadangan siasat kalau-kalau engkau gagal merebut hati pemuda itu. Dan Sam Mo-ong, kalian kami tugaskan untuk berusaha menjalin hubungan dengan pejabat tinggi istana. Kami mendengar kabar bahwa sampai sekarangpun kaisar yang tolol dari Kerajaan Tang dipermainkan oleh para thai-kam. Nah, kalau kalian dapat menemukan thai-kam yang seperti itu, apa lagi kalau kedudukannya besar dan penting, kiranya tidak akan suka menyelundupkan mata-mata ke istana. Ini untuk menjaga kalau-kalau siasat yang direncanakan Mulani gagal.”

”Baik, Yang Mulia. Akan tetapi laksanakan sebaik mungkin,” jawab Kwi Jiauw Lo-mo.

Kembalinya Sam Mo-ong dan Mulani yang membawa pedang pusaka itu disambut dengan pesta oleh Ku Ma Khan, akan tetapi beberapa hari kemudian, baik Mulani maupun Sam Mo-ong sudah pergi lagi untuk melaksanakan tugas mereka yang baru.

Han Lin memasuki kota Souw-ciu. Dia merasa penasaran sekali. Walaupun tidak melihat bukti, namun dia hampir yakin bahwa yang mencuri pedangnya tentulah Sam Mo-ong. Yang membuat dia penasaran adalah caranya Sam Mo-ong mengambil pedang itu. Sungguh licik dan curang, bukan secara orang gagah. Dia mengelilingi kota Souw-ciu, mendatangi semua rumah penginapan.

Namun tidak ada jejak atau berita tentang Sam Mo-ong. Tentu saja, pikirnya kesal, mereka juga tidak akan begitu bodoh meninggalkan jejak. Sejak pagi sampai siang Han Lin ke rumah penginapan, tanpa hasil. Akhirnya dia duduk di bangku taman bunga umum dan melamun.

Entah mengapa, dia merasa nelangsa dan kesepian. Hidupnya selama dia berpisah dari gurunya, yaitu Lo-jin, mengalami banyak kepahitan. Pernah satu kali dia merasa jatuh cinta, yaitu kepada Yang Mei Li Si Dewi Terbang, namun cintanya itu bertepuk sebelah tangan. Yang Mei Li mencinta putera Beng Kauw, Sie Kwan Lee yang kini telah menjadi suaminya.

Han Lin tidak merasa menyesal menghadapi kenyataan ini, bahkan ikut merasa bahagia bahwa Yang Mei Li, gadis yang telah menjatuhkan hatinya itu bertemu jodoh yang cocok, yang memang tepat untuk menjadi suaminya. Dia hanya merasa nelangsa dan kesepian. Kalau dikenang, hanya kepahitan yang dirasakan semenjak dia berpisah dari ayah bundanya, enam belas tahun yang lalu.

Ketika berusia lima tahun dia harus berpisah dari aah ibunya yang mempertahankan kota raja dari serangan musuh sehingga ayah ibunya gugur dalam perang itu. Dalam usia lima tahun dia dilarikan dan dirawat oleh Liu Ma, janda pengasuhnya sejak kecil yang kemudian dianggap sebagai pengganti ayah ibunya sendiri. Akan tetapi malang, Liu Ma tewas karena kejahatan Sam Mo-ong.

Liu Ma meloncat ke dalam jurang ketika melihat dia terjatuh ke dalam jurang itu. Dia selamat namun Liu Ma menemui ajalnya. Kemudian, dia mendapat pengganti orang tua, yaitu gurunya yang pertama, yang bernama Kong Hwi Hosiang. Akan tetapi Hwesio yang baik hati inipun tewas di tangan Sam Mo-ong!

Sampai dia bertemu Lo-jin yang merawatnya dan menggemblengnya, akan tetapi akhirnya diapun harus berpisah dari gurunya itu atas kehendak Lo-jin. Banyak peristiwa yang dialaminya sampai dia bertemu dengan saudara-saudara misannya, dan jatuh cinta kepada Yang Mei Li, adik misannya pula. Namun terpaksa dia harus mundur ketika Mei Li memilih pria lain. Han Lin bertopang dagu dan menghela napas panjang.

Duka timbul dari ingatan. Kalau kita mengenang masa lalu, mengingat hal-hal yang tidak menyenangkan, yang merugikan diri, maka timbullah perarasan sesal dan kecewa yang membawa kita ke dalam alam duka. Dan segala peristiwa berakhir dengan duka. Tidak ada yang abadi di dunia ini. kita terombang-ambing antara suka dan duka, di mana duka memegang peran lebih banyak ketimbang suka.

"Apa itu duka? Kalau kita tidak mementingkan suka, tidak akan tersinggung duka. Duka hanyalah wajah lain dari suka, seperti uang bermuka dua, suka dan duka. Jangan biarkan diri terseret oleh gelombang dwi-muka yang berupa susah senang, sedih gembira, suka duka,” demikian antara lain Lojin memberi wejangan kepadanya.

Han Lin menegakkan duduknya. Untuk apa duka? Akan tetapi, bagaimana mungkin manusia hidup tidak menikmati suka dan menderita duka? Justera itulah hidup. Merasakan suka dan duka, itulah romantika kehidupan, bagaikan mendayung biduk kehidupan ini di tengah samudera, diombang-ambingkan bagai suka duka.

Itulah seninya hidup dan kita harus dapat mengatasinya. Bukan tenggelam, baik tenggelam dalam suka maupun dalam duka. Duka atau suka itu hanya perasaan, diguncangkan oleh pikiran, mengenal hal-hal yang mendatangkan untung rugi. Biarlah perasaan dan pikiran mendapatkan permainan mereka, yang penting tidak tenggelam!

“Kalau engkau dapat menangis selagi bersuka, dan dapat tertawa selagi berduka, berarti engkau sudah menemukan kunci kehidupanmu,” demikian antara lain Lo-jin berkata.

Han Lin sadar akan dirinya. Kenapa mendadak dia merasa nelangsa, merasa berduka? Karena dia teringat akan hal-hal yang tidak menyenangkan! Kalau dia tidak teringat akan semua itu, adakah duka? Ada pula serangan kesepian. Rasa kesepian ini menggigit, membuat orang nelangsa pula.

Kehidupan rasanya hanya pengulang-ulangan yang membosankan, karena membuat diri seperti kehilangan sesuatu yang lebih dari pada semua pengulangan ini. Akan tetapi apa? Diri ini rindu kepada sesuatu. Kesenangan? Akhirnya membosankan! Lalu apa? Apa yang dirindukan diri?

“Setiap orang akhirnya akan menyadari bahwa dirinya merindukan sesuatu, sesuatu yang rahasia, dan sesuatu itu adalah sumbernya. Sesuatu itu adalah Sang Maha Pencipta, yang menciptakan diri, yang menghidupkan yang mematikan yang mengatur dan menentukan segalanya. Diri manusia bagaikan titik-titik air yang selalu rindu kepada asalnya, kepada sumbernya, yaitu samudera,” demikian kata Lo-jin.

“Ah, sudahlah,” cela Han Lin kepada diri sendiri. Untuk apa mengenangkan semua itu. Yang lalu biarlah berlalu tanpa kesan karena kesan masa lalu hanya mendatangkan kesedihan belaka. Yang penting sekarang menghadapi kenyataan apa adanya. Dia harus mencari kembali Ang-in Po-kiam yang dicuri orang.

Jelas bahwa di kota Souw-ciu dia tidak menemukan jejak Sam Mo-ong, harus dicari di tempat lain. Maka diapun bangkit berdiri, keluar dari taman dan keluar pula dari kota Souw-ciu. Dia akan mencari di kota lain yang berdekatan, atau kalau perlu dia akan mengejar sampai ke utara.

Ketika dia keluar dari kota Souw-ciu, suasana amat sunyi dan tiba-tiba dia mendengar suara kaki kuda. Ketika dia menoleh, benar saja ada orang menunggang kuda, akan tetapi kuda itu dijalankan perlahan seseorang mengikutinya. Han Lin pura-pura tidak tahu saja dan berjalan terus menjauhi kota Souw-ciu menuju ke lapangan rumput. Tempat itu sunyi bukan main.

Setelah dia tiba di lapangan rumput, penunggang kuda itu mempercepat jalannya kuda dan tak lama kemudian sudah dapat menyusulnya. Han Lin membalikkan tubuh memandang dan ternyata penunggang kuda itu bukan lain adalah Jeng I Sianli Cu Leng Si, wanita berpakaian hijau yang lihai itu.

Han Lin mengerutkan keningnya. Wanita ini pernah menyiksanya dengan kejam dan kini muncul, apa maunya? Tiba-tiba dia teringat betapa wanita ini berkeras hendak mencari Ang-in Po-kiam apakah barangkali ada hubungannya dengan lenyapnya pedang?

“Hemm, kiranya engkau Jeng I... Mo-li! Mau apa engkau mengejar aku?” tanya Han Lin yang sengaja mengganti julukan Sian-li (Dewi) menjadi Mo-li (Iblis betina).

“Sia Han Lin, cepat serahkan Ang-in Po-kiam padaku, atau terpaksa sekali ini aku tidak akan mengampunimu. Serahkan pedang atau serahkan nyawamu!”

“Bagus sekali! Pedangku hilang dicuri orang, engkau nekat saja menanyakan pedang. Mungkin engkau mempunyai hubungan dengan pencurinya, ya? Pergilah, jangan membuat aku marah.”

“Sombong, kalau engkau tidak mau mengaku, sepasang pedangku ini akan minum darahmu!”

“Engkau iblis betina yang kejam. Cukup sudah engkau menghina dan menyiksaku. Aku tidak mendendam dan menyuruh engkau pergi jangan menggangguku, itu sudah cukup sabar dan baik bagimu. Akan tetapi mengapa engkau masih terus mengganggu aku...?”
Selanjutnya,