Pedang Awan Merah Jilid 04 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pedang Awan Merah

Karya : Kho Ping Hoo
Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo
Jilid 04
Daya-daya rendah seringkali menyusup ke dalam hati akal pikiran, dan dari pikiran inilah timbulnya segala macam perasaan suka duka, malu dan marah. Tanpa adanya pikiran yang mengingat-ingat, mengenang, maka nafsu amarahpun tidak akan muncul. Demikian pula, kedukaan datang mencengkeram perasaan hati kalau pikiran sudah mengenangkan hal-hal yang sudah terjadi di masa lalu, atau yang sudah terlewat.

Demikian pula halnya Han Lin. Ketika dia duduk melamun dan mengenangkan semua peristiwa yang terjadi akibat perbuatan Sam Mo-ong, timbullah amarah dan dendam. Demikian pula, kenangan terhadap perbuatan orang lain yang menguntungkan kita, menimbulkan perasaan berhutang budi. Namun dendam kebencian ini jauh lebih kuat dari pada hutang budi.

Kadang-kadang seribu satu budi kebaikan yang dilimpahkan orang lain kepada kita, akan hapus dalam sekejap oleh sebuah dendam sakit hati. Dan kalau dendam kebencian sudah mencengkeram hati, maka yang timbul hanyalah keinginan untuk membalas, keinginan untuk menyakiti orang yang dibencinya. Han Lin seolah tenggelam ke dalam lautan dendam. Wajah Kong Hwi Hosiang dan wajah inang pengasuhnya bergantian muncul di depan matanya, terkenang dia ketika menguburkan jenazah mereka, ketika menangisi kematian mereka.

Selagi kemarahan dan kebencian mengamuk di hatinya, tiba-tiba saja seperti sinar matahari yang menerobos ke dalam awan gelap, ingatan Han Lin mendatangkan bayangan Lojin, gurunya yang kedua. Dan terngianglah suara gurunya ini yang menasihatinya bahwa musuh utamanya adalah pikirannya sendiri. Dia harus hati-hati dan waspada meneliti jalan pikirannya.

“Sudah menjadi tugasmu untuk menentang kejahatan, namun kalau engkau menentang kejahatan dengan perasaan benci dan dendam di hati, berarti bahwa engkaupun jahat. Benci dan dendam membuat seseorang menjadi jahat dan perbuatanmu menentang kejahatan itu berubah menjadi pembalasan dendam semata. Ingatlah ini selalu!”

Bagaikan air hujan menyiram api, seketika rasa benci dan marah yang mengamuk hati Han Lin juga padam seketika. Dia terkejut mendapatkan dirinya dalam lautan dendam dan kebencian tiu, dan diapun segera bersila dan melakukan siu-lian untuk menenteramkan hatinya.

Sampai berjam-jam Han Lin melakukan samadhi dan dia baru membuka matanya ketika pendengarannya yang tajam terganggu oleh langkah ringan seorang yang datang ke kuil itu dari depan. Dia menjadi waspada dan siap menghadapi pendatang itu. Matahari sudah mulai condong ke barat, tengahari telah lewat tanpa dia rasakan.

“Han Lin, aku ingin bicara denganmu,” terdengar suara seorang wanita.

Han Lin terkejut dan terheran. Bukan suara Can Bi Lan, lalu suara siapa? Wanita mana yang menyebut namanya begitu saja dan datang hendak bicara dengannya? Karena ingin tahu sekali, Han Lin meloncat keluar dan dia berhadapan dengan Mulani!

“Hemm, engkau...?” Han Lin menegur sangsi dan ragu. Gadis ini tadi datang bersama Kok Han dan membantu pemuda sombong itu untuk mencoba merampas Ang-in-po-kiam dari tangannya. Kenapa ia datang kembali? Tentu saja dia merasa curiga dan Han Lin memandang ke kanan kiri penus kewaspadaan.

Mulani tertawa. “Jangan mencari, tidak ada orang lain datang bersamaku, aku datang seorang diri dan sengaja datang untuk bicara denganmu.”

Han Lin mengerutkan alisnya. “Nona, siapakah engkau dan keperluan apakah yang membawamu ke sini?” tanyanya.

Mulani tersenyum. “Aku tidak menyalahkanmu kalau engkau curiga dan merasa tidak senang kepadaku. Baru saja tadi aku membantu Can Kok Han untuk mengeroyokmu, dan sekarang aku muncul lagi. Akan tetapi, Han Lin, percayalah bahwa aku datang bukan dengan maksud buruk. Perkenalkanlah, namaku Mulani, aku gadis Mongol, puteri kepala suku Ku Ma Khan.”

“Dan murid Sam Mo-ong!” sambung Han Lin.

Gadis itu mengangguk-angguk. “Pantas suhu Hek-bin Mo-ong nampak gentar kepadamu, engkau memang lihai dan cerdik. Benar, Sam Mo-ong adalah pembantu ayah, maka mereka mengajarkan ilmu silat kepadaku. Han Lin, aku kagum melihat kepandaian dan sikapmu. Maukah engkau menganggap aku sebagai sahabatmu?”

Han Lin tetap curiga. Gadis ini demikian lincah dan ramah, nampak cerdik sekali. Dia harus berhati-hati menghadapi gadis seperti ini. “Mulani, baru beberapa jam yang lalu engkau datang bersama Kok Han dan mengeroyok aku. Kalau aku tidak memiliki sedikit kepandaian mungkin sekarang aku sudah menggeletak di sini dalam keadaan tidak bernyawa. Dan sekarang engkau mengatakan hendak bersahabat denganku! Apa artinya semua ini?”

“Aku tidak menyalahkanmu kalau engkau curiga, Han Lin. Ketahuilah, aku mendengar bahwa engkau telah mencuri pedang pusaka dari istana kaisar, yaitu Pedang Awan Merah. Nah, mendengar ini aku menjadi tertarik dan bermaksud untuk merampas pedang yang diperebutkan seluruh tokoh dunia persilatan itu. Dalam perjalanan mencarimu, aku bertemu dengan Can Kok Han yang juga sedang mencarimu. Karena kami setujuan, yaitu mencarimu dan merampas pedang, maka kami bekerja sama. Akan tetapi kami telah gagal dan melihat cara engkau menghadapi kami, tidak ingin melukai kami, maka aku yakin bahwa engkau adalah seorang pendekar yang budiman, dan tidak mungkin menjadi pencuri pedang pusaka. Karena itulah maka aku datang seorang diri ingin berkenalan denganmu, Han Lin.”

“Hemm, aku tidak pernah menolak persahabatan, dari manapun juga datangnya, Mulani. Akan tetapi setelah engkau berhadapan dengan aku, katakanlah apa yang ingin kau katakan dan bicarakan.”

“Han Lin, aku percaya bahwa engkau tidak mencuri pedang. Akan tetapi bagaimana pedang itu dapat terjatuh ke tanganmu? Ingin aku mengetahui, kalau saja engkau tidak berkeberatan untuk memberitahu kepadaku.”

“Pencuri pedang pusaka ini adalah mendiang Hoat Lan Siansu, ketua Hoat-kauw dan aku mengambil pedang ini darinya.”

Gadis itu mengangguk-angguk dan Han Lin harus mengakui bahwa gadis itu memang manis sekali. “Aku percaya kepadamu, Han Lin. Akan tetapi mengapa engkau tidak mengembalikan pedang itu kepada Kaisar Kerajaan Tang? Apakah engkau ingin pedang itu menjadi milikmu selamanya?”

Pertanyaan itu diajukan dengan suara wajar, tidak mengandung ejekan atau tuntutan, maka Han Lin mau menjawabnya. “Pedang ini pasti akan kukembalikan kepada Sribaginda Kaisar, akan tetapi aku mendengar bahwa Cin-ling-pai dikabarkan mencuri pedang ini, maka aku hendak lebih dahulu menghadiri pertemuan di Cin-ling-san untuk memberitahu kepada semua orang dan membersihkan nama baik Cin-ling-pai.”

“Ah, begitukah? Sudah kuduga bahwa engkau tentu seorang pendekar yang gagah perkasa dan budiman.”

“Dan engkau sendiri, Mulani? Bagaimana seorang gadis yang cantik manis dan puteri kepala suku seperti engkau ini mau menjadi murid Sam Mo-ong, tiga orang datuk sesat yang jahat itu?”

“Aku mempelajari ilmu silat dari mereka, bukan belajar kejahatan, Han Lin. Karena mereka itu membantu ayah, dengan sendirinya aku menjadi murid mereka.”

“Hemm, betapapun juga, kalau guru-gurumu datuk-datuk sesat yang jahat, tentu engkaupun tidak dipercaya orang. Katakan saja terus terang, apakah sekarang ini engkau hendak memancingku agar aku masuk perangkap? Apa sebetulnya yang hendak kau lakukan?”

Sepasang mata itu bercahaya. “Han Lin, apakah engkau kira aku serendah itu? Aku tidak...” gadis itu tidak melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu muncul tiga orang yang bukan lain adalah ketiga orang gurunya, yaitu Hek-bin Mo-ong yang gendut bundar pendek, Pek-bin Mo-ong yang tinggi kurus dan Kwi-jiauw Lo-mo yang pendek gendut pula seperti bola. Sam Mo-ong lengkap kini berdiri di depan Han Lin dengan tertawa-tawa.

“Ha-ha-ha, bagus sekali engkau sudah dapat menemukannya, Mulani!” kata Hek-bin Mo-ong girang.

Han Lin memandang kepada Mulani dengan sinar mata tajam penuh teguran. Biarpun Han Lin tidak mengeluarkan ucapan, namun Mulani merasa benar pandang mata itu dan ia menggeleng kepala, “Tidak! Tidak! Aku tidak tahu... ah, suhu sekalian, harap jangan ganggu Han Lin!” Mulani berteriak-teriak, akan tetapi tentu saja tidak diperdulikan oleh tiga orang datuk itu yang menganggap Han Lin sebagai musuh besar mereka.

“Mulani, seorang guru takkan jauh bedanya dengan guru-gurunya,” kata Han Lin tersenyum mengejek. “Pergilah menjauh, aku tidak ingin membunuhmu. Engkau masih terlalu muda dan masih banyak kesempatan untuk mengubah jalan hidupmu yang sesat.”

“Han Lin, aku tidak... ahh, engkau takkan percaya...” gadis itu lalu mundur dan menangis.

Kini tiga orang datuk itu menghampiri Han Lin. Seperti diceritakan di bagian depan, Kwi-jiauw Lo-mo Tong Lui pergi dibantu Pek-bin Mo-ong untuk membalas dendam atas kematian cucunya yang bernama An Seng Gun yang tewas di tangan Sie Kwan Lee ketua Beng-kauw. Dua orang datuk itu datang mengamuk di Beng-kauw, akan tetapi balas dendam mereka itu gagal karena mendapat perlawanan yang gigih dari ketua Beng-kauw, Sie Kwan Lee bersama isterinya yang juga amat lihai, yaitu Si Pedang Terbang Yang Mei Li, dibantu oleh tokoh-tokoh Beng-kauw yang cukup tangguh.

Kedua orang datuk itu dengan penasaran dan kecewa terpaksa meninggalkan Beng-kauw dan menuju ke Han-cung untuk menyusul rekannya, Hek-bin Mo-ong yang hendak menghadiri pertemuan di Cin-ling-pai itu. Dan dari Hek-bin Mo-ong mereka mendengar bahwa musuh besar mereka, Sia Han Lin, berada di Han-cung, bahkan lebih menarik lagi, pemuda itu membawa Ang-in-po-kiam, pedang pusaka yang dijadikan rebutan itu. Tentu saja mereka tertarik, bukan saja untuk membalas dendam kekalahan mereka dari pedua ini, akan tetapi juga untuk merampas Pedang Awan Merah.

Han Lin sudah dapat melenyapkan kebencian dan dendamnya terhadap tiga orang datuk yang menyebabkan kematian gurunya dan inang pengasuhnya ini. Dengan tenang dia menghadapi mereka, menegur lantang. “Sam Mo-ong, ada urusan apakah kalian datang mencariku?”

Tiga orang datuk itu agak tertegun juga melihat ketenangan pemuda itu. Mereka tahu bahwa Han Lin amat lihai, akan tetapi kalau mereka bertiga mengeroyoknya, tidak mungkin pemuda itu akan mampu bertahan.

“Ha-ha-ha, Han Lin, engkau masih bertanya apa urusannya? Engkau telah menggagalkan semua usaha kami dan Hoat-kauw, dan untuk itu engkau sudah layak mampus!” kata Hek-bin Mo-ong sambil tertawa-tawa seperti biasa.

“Dan engkau ternyata merampas Ang-in-po-kiam dati tangan Hoat Lan Siansu, maka engkau harus menyerahkan pedang itu kepada kami!” kata Kwi-jiauw Lo-mo sambil menggerakkan kedua tangannya yang sudah disambung sepasang cakar setan.

“Hemm, kalian bertiga ini orang-orang tua masih juga belum jera. Kalian mengira aku yang menggagalkan semua usaha jahat kalian? Bukan aku, melainkan semua usaha yang jahat pasti akan hancur. Yang menghancurkan kalian adalah kejahatan kalian sendiri. Kalian masih belum jera dan sekarang masih melanjutkan kesesatan kalian. Pedang Ang-in-po-kiam adalah milik Sribaginda Kaisar, tidak akan kuserahkan kepada siapapun juga kecuali kepada Sribaginda Kaisar.”

“Bocah setan, berani engkau menghadapi kami bertiga?” bentak Pek-bin Mo-ong yang bermuka putih seperti kapur itu.

“Untuk menentang kejahatan, aku takkan pernah mundur!” jawab Han Lin dengan tegas dan tenang. Dia tahu bahwa tiga orang ini berbahaya sekali. kalau melawan seorang dari mereka, atau paling banyak dua orang, mungkin dia masih dapat menandinginya. Akan tetapi tiga orang maju bersama? Sungguh merupakan lawan yang berat sekali. Bagaimanapun juga, dia tidak gentar karena sekarang dia memiliki ilmu baru, yaitu ilmu pedang Ang-in-kiam-hoat (Ilmu Pedang Awan Merah) yang dia rangkai dari penggabungan inti sari Lui-tai-hong-tung dan Khong-khi-ciang.

“Sia Han Lin, sekali ini engkau tidak akan lepas dari kematian di tangan kami!” kata Hek-bin Mo-ong dan dia sudah mendahului rekan-rekannya, mengirim pukulan dingin beracun jari hitam. Terdengar angin bercicit ketika pukulan itu menerjang ke arah Han Lin.

Namun dengan gesitnya Han Lin meloncat ke samping, mengelak. Dia disambut pukulan jari merah oleh Pek-bin Mo-ong. Hawa panas beracun itu menyambar dengan hebatnya. Han Lin kembali mengelak. Ketika sepasang cakar setan mengejarnya, dia tahu bahwa Kwi-jiauw Lo-mo juga sudah turun tangan. Tubuhnya mencelat ke atas belakang dan dia bersalto tiga kali. Ketika dia turun lagi, tangan kanannya sudah memegang pedang dan sinar merah nampak menyilaukan. Itulah Ang-in-po-kiam dan tangan kirinya masih memegang tongkat butut yang tak pernah terpisah darinya itu.

Dengan pedang di tangan kanan dan tongkat di tangan kiri, Han Lin berdiri dikepung tiga orang lawan itu dari tiga jurusan. Han Lin berdiri tak bergerak, pedang tangan kanan melintang di atas kepala dan tongkat butut di tangan kiri melintang di depan dada, siap untuk menyerang atau menangkis. Dengan teriakan yang menggetarkan pohon-pohon di sekeliling tempat itu, Kwi-jiauw Lo-mo menerjang bagaimana seekor biruang kelaparan.

“Trang-trang...!”

Nampak bunga api berhamburan ketika cakar-cakar setan itu bertemu pedang dan Kwi-jiauw Lo-mo melompat ke belakang dengan kaget sekali. tangannya tergetar hebat oleh pertemuan cakar dengan pedang itu. Dari kanan kiri, Hek-bin Mo-ong dan Pek-bin Mo-ong kembali mengirim pukulan beracun. Han Lin memutar pedang dan tongkat sehingga kedua pukulan itu terpaksa ditarik kembali. Mulailah perkelahian yang berat sebelah.

Memang hebat permainan pedang Han Lin yang kadang dibantu tongkatnya. Akan tetapi ketiga lawannya amat kuat. Sekali saja terkena pukulan dingin beracun atau panas beracun dari Hek-bin Mo-ong dan Pek-bin Mo-ong dapat berakibat celaka bagi Han Lin. Juga sepasang cakar itu selain bergerak cepat dan kuat, juga mengandung racun.

Han Lin memang tidak takut menghadapi racun karena tubuhnya sudah kebal terhadap segala macam racun. Ketika kecil dahulu, pernah dia menerima pukulan dingin beracun dari Hek-bin Mo-ong dan pukulan panas beracun dari Pek-bin Mo-ong secara berbareng. Ketika dia sedang sekarat akibat dua macam hawa beracun itu, kakinya digigit ular beracun pula. Dan sungguh ajaib, kumpulan tiga macam racun yang masing-masing dapat mematikan itu berubah menjadi obat kuat yang hebat, yang membuat tubuh Han Lin menjadi kebal terhadap segala macam racun, juga mendatangkan tenaga sin-kang yang amat kuat.

Biarpun kebal terhadap racun, namun serangan tiga orang itu masih amat berbahaya karena tenaga sin-kang tiga orang lawan itu sudah hampir setingkat dengan tenaga sin-kangnya sendiri. Han Lin mengandalkan kegesitannya, berkelebatan di antara tiga orang itu. Namun, tetap saja dia hampir tidak dapat mendapat kesempatan untuk balas menyerang.

Berkali-kali Mulani berteriak, “Suhu, hentikan...! Hentikan serangan itu...!” akan tetapi, tiga orang datuk itu seakan tidak mendengar teriakannya, bahkan menyerang semakin hebat.

Mendadak berkelebat sesosok bayangan dan seorang gadis dengan pedang di tangan muncul di situ. “Lin-toako, aku datang membantumu!” ternyata gadis itu adalah Can Bi Lan dan dengan nekat ia sudah memutar pedangnya menyerang Hek-bin Mo-ong dengan tusukan ke arah lambungnya.

“Lan-moi, jangan...! Mundurlah...!” Han Lin berseru kaget, namun terlambat sudah. Bi Lan sudah menusukkan pedangnya ke arah lambung Hek-bin Mo-ong.

“Tukk...!” alangkah terkejutnya hati Bi Lan ketika pedangnya bertemu lambung yang keras dan kuat seperti baja. Pedangnya melengkung dan tidak mempan.

“Pergilah! Ha-ha-ha!” Hek-bin Mo-ong membentak dan sekali tangannya menampar pundak, tubuh Bi Lan terlempar dan terguling-guling, tak mampu bergerak lagi.

“Lan-moi...!” Han Lin bereru dan pedangnya bergerak sedemikian hebatnya sehingga ketiga orang pengeroyoknya terpaksa mundur.

Pada saat itu, Mulani dengan pedang di tangan sudah melompat dan menghadang di tengah, menggerakkan pedangnya mengancam tiga orang gurunya. “Suhu bertiga, hentikan serangan suhu atau terpaksa aku akan membelanya!”

“Mulani, apa yang kau lakukan ini?” bentak Kwi-jiauw Lo-mo marah.

“Aku tidak senang melihat ketidak adilan ini. Suhu bertiga melakukan pengeroyokan, sungguh merendahkan martabat. Biarkan dia pergi, atau aku akan melawan suhu bertiga!”

“Mulani, akan kulaporkan kepada ayahmu!” ancam Kwi-jiauw Lo-mo.

“Silakan, kalau ayah mendengar, suhu bertiga yang akan menerima teguran. Suhu bertiga bertindak pengecut dan ayah paling tidak suka kepada orang yang pengecut. Han Lin, cepat pergi dari sini!” kata Mulani yang dengan pedang terhunus menghalangi ketiga orang datuk itu.

Karena melihat Bi Lan diam tak bergerak, Han Lin menganggap perlu untuk menolong gadis itu lebih dulu. Dia menghampiri, dan ternyata Bi Lan masih hidup, merintih lirih, pundaknya yang terpukul nampak menghitam, bajunya robek dan hangus. Dia memondong tubuh itu lalu menoleh.

“Terima kasih, Mulani.” Dan sekali meloncat diapun lenyap dari situ.

Tiga orang datuk itu marah sekali. “Mulani, engkau membiarkan dia pergi, berarti Pedang Awan Merah tidak dapat kami rampas,” kata Pek-bin Mo-ong.

“Masih ada waktu lain untuk merampasnya, suhu, akan tetapi bukan dengan cara pengeroyokan. Harus dengan adu kepandaian dan siapa yang lebih kuat dialah yang berhak memiliki Pedang Awan Merah,” kata Mulani yang diam-diam merasa tidak senang hatinya melihat betapa Han Lin tadi menolong dan memondong gadis yang terpukul pingsan oleh Hek-bin Mo-ong itu.

Bi Lan merintih lirih dan Han Lin berhenti lalu merebahkan gadis itu di atas rumput. “Bagaimana, Lan-moi? Nyeri sekalikah? Engkau terkena pukulan beracun dari Hek-bin Mo-ong.”

“Aduh, nyeri sekali, toako. Dingin sekali, ahh...” gadis itu menggigil kedinginan. Memang Hek-bin Mo-ong memiliki ilmu pukulan beracun yang dingin. Pada hal tamparan pada pundak Bi Lan itu perlahan saja, namun racunnya telah menyerang pundak dan terus ke dalam dada.

“Lan-moi, aku khawatir sekali. Luka pukulan itu amat berbahaya. Kalau tidak cepat diobati, hawa beracun akan menjalar masuk dan kalau sudah meracuni jantungmu, akan sukar menolongmu lagi.”

“Aku... aku tidak takut mati...”

“Tidak, engkau tidak akan mati, Lan-moi. Aku tidak akan membiarkan engkau mati karena engkau terluka ketika engkau mencoba untuk menolongku dari pengeroyokan Sam Mo-ong. Aku dapat mengobatimu, Lan-moi. Akan tetapi...” Han Lin merasa ragu, bahkan untuk mengatakannya saja dia merasa sungkan.

“...bagaimana..., toako...?” suara itu mulai terengah.

“Begini, Lan-moi. Untuk mengusir hawa beracun itu, aku harus menggunakan telapak tanganku, ditempelkan pada punggungmu, akan tetapi... harus langsung... tidak boleh tertutup kain...” Han Lin merasa mukanya panas karena malu. Dia tidak berbohong. Tanpa menempel langsung pada punggung, penyaluran hawa murni dari tubuhnya tidak akan sempurna dan dia tidak akan dapat melihat apakah racun itu sudah menipis atau menghilang, atau belum.

“...kenapa ragu..., toako..., ahh...” gadis itu terkulai, pingsan.

Kebetulan, pikir Han Lin. Sebaiknya begitu, sehingga kalau dia mengobatinya, dia tidak akan merasa malu karena gadis itu tidak akan mengetahuinya. Dengan hati-hati dia lalu membalikkan tubuh gadis itu menelungkup, lalu perlahan-lahan membuka bajunya dengan jari-jari tangan gemetar. Selama hidupnya dia belum pernah berdekatan dengan wanita, apa lagi membuka bajunya! Nampak kulit punggung yang putih mulus dan halus hangat. Gadis ini harus cepat ditolongnya, pundak itu sudah menghitam dan sebagian punggungnya sudah dijalari warna kehitaman.

Dia duduk bersila dekat tubuhnya tertelungkup itu, lalu menempelkan kedua tangannya pada punggung Bi Lan. Merasa betapa telapak tangannya bertemu kulit yang halus hangat itu, Han Lin terkejut dan cepat mengangkat kembali kedua tangannya dan jantungnya berdebar tidak karuan. Punggung itu nampak lebih putih lembut lagi, begitu bersi dan membuat dia tiba-tiba saja timbul keinginan untuk meraba dan menciumnya.

Di kepalanya dia mendengar suara parau, “Ingin raba, raba saja, cium saja, ia tidak akan tahu, tak seorangpun akan tahu!”

“Gila!” bentak Han Lin. “Aku bukan seorang yang berwatak bejat, kurang ajar dan tidak bersusila.”

“Hemm, kalau tidak ada orang melihat, siapa akan mengatakan engkau kurang ajar dan tidak bersusila? Pula, meraba dan mencium saja apa salahnya? Ia tidak akan rugi apa-apa. Lihat, betapa mulusnya punggung itu, hemm, tentu sedap baunya...” suara parau di kepalanya semakin mendesak sehingga tak tertahankan oleh Han Lin.

“Plakk!” Han Lin menampar kepalanya sendiri, seolah hendak memukul si suara parau itu. “Gila seribu kali gila! Tidak ada orang melihat kau bilang? Dan apakah aku ini kau anggap bukan orang? Setan kamu! Juga Tuhan akan melihatnya. Tidak, lekas pergi kau bedebah!”

Han Lin menyumpah-nyumpahi diri sendiri dan akhirnya suara parau itu seperti tertawa akan tetapi dari jauh dan hanya terdengar lapat-lapat. Dia menurunkan kedua tangannya, menempelkan di punggung yang lembut itu sambil memejamkan kedua matanya agar tidak usah melihat punggung yang putih mulus itu. Hanya kadang saja dia membuka mata untuk melihat apakah punggung dan pundak itu masih ada warna menghitam.

Ketika mula-mula dia mengerahkan sin-kangnya, dia disambut hawa dingin sekali. Akan tetapi, begitu dia mengerahkan tenaga, hawa dingin itu dengan cepat dapat diusirnya. Setelah menempelkan kedua tangan di punggung Bi Lan selama hampir dua jam, dia merasa tubuh itu bergerak dan dia membuka kedua matanya. Ternyata warna hitam di pundak telah lenyap sama sekali, tanda bahwa gadis itu telah bebas dari pengaruh hawa beracun.

Akan tetapi di harus yakin benar bahwa gadis itu telah sembuh, maka dengan lirih dia berkata, “Lan-moi, engkau sudah hampir sembuh, rebahlah sebentar lagi agar sisa hawa beracun benar-benar bersih.”

“Terima kasih, Lin-toako. Engkau baik sekali...” kata gadis itu dengan suara terharu.

Pada saat itu, terdengar makian nyaring. “Sia Han Lin, manusia biadab! Apa yang kau lakukan kepada adikku? Engkau memperkosanya!”

Pedang di tangan Kok Han itu meluncur menusuk ke arah punggung Han Lin. Pemuda ini yang sedang bersila dan menggunakan kedua tangan untuk tetap mengobati Bi Lan, tidak sempat menangkis. Dia hanya mengerahkan sin-kang melindungi punggungnya.

“Brett!” robeklah baju di punggung Han Lin.

“Han-koko, engkau keterlaluan!” Bi Lan menjerit dan iapun pingsan.

Han Lin menoleh dan berkata tenang, “Saudara Kok Han, tenanglah, adikmu terluka pukulan beracun yang hampir merenggut nyawanya.”

Mendengar ini, Kok Han terbelalak dan wajahnya menjadi agak pucat. Dia menyarungkan pedangnya dan berlutut di dekat tubuh adiknya. Akan tetapi alisnya masih berkerut melihat betapa kedua tangan Han Lin menempel di punggung adiknya yang tak berbaju. Hal ini dianggapnya keterlaluan dan melanggar susila. Akan tetapi karena dia mengkhawatirkan adiknya, diapun menahan kemarahannya.

“Siapa yang melukai adikku?” tanyanya dingin.

“Hek-bin Mo-ong,” jawab Han Lin singkat dan dia memusatkan perhatiannya kepada kedua tangannya yang masih menempel di punggung gadis itu.

Kok Han terpaksa hanya menonton dan tidak mengganggu lagi walaupun dari kerutan alisnya menunjukkan bahwa dia tidak senang. Tak lama kemudian, Han Lin menghentikan pengobatannya dan bangkit berdiri.

“Sekarang bahaya telah lewat, adik Bi Lan sudah sembuh, kalau ia siuman kembali ia akan sehat,” katanya.

“Sia Han Lin, bagaimanapun juga cara pengobatanmu ini sudah melanggar batas kesopanan. Sekarang pergilah sebelum hilang kesabaranku, dan kalau tidak mengingat bahwa engkau mengobati adikku, tentu aku tidak akan melepasmu begitu saja!”

Han Lin tersenyum. Pemuda putera ketua Pek-eng Bu-koan ini terlalu memandang tinggi diri sendiri dan suka meremehkan lain orang. Inilah yang membuat dia bersikap tinggi hati. Kelak kalau sudah banyak tersandung dan terjungkal karena sikap sendiri, kalau sudah mengalami banyak hal, tentu akan berubah sendiri, pikirnya. Pikiran ini mendatangkan kesabaran sehingga biarpun dia diusir, dia tersenyum saja dan pergi dari situ tanpa sepatahpun kata keluar dari mulutnya.

Setelah pergi, tak lama kemudian Bi Lan membuka matanya. Dia melihat kakaknya duduk tak jauh dari situ, dan ia memandang ke kanan kiri, mencari-cari. “Han-ko, ke mana dia?” tanyanya.

“Dia siapa?” tanya kakaknya dingin.

“Kakak Han Lin, tadi dia mengobati aku, menyelamatkan aku. Ke mana dia?”

“Hemm, dia sudah pergi,” jawab kakaknya dingin.

Bi Lan bangkit duduk dan kini teringat ia akan tuduhan kakaknya terhadap Han Lin yang bukan-bukan. Ia membetulkan bajunya dan berkata marah. “Han-ko, tentu engkau yang telah mengusirnya. Kalau tidak demikian, tentu dia menanti sampai aku terbangun.”

“Memang aku menyuruhnya pergi. Habis, ada urusan apa lagi bocah sombong itu?”

“Koko, engkau sungguh telah bersikap keterlaluan terhadap Han Lin koko. Dia telah menyelamatkan aku dari kematian di tangan Sam Mo-ong, bahkan telah melarikan aku dan mengobati aku sampai sembuh. Dan engkau telah begitu tega menuduhnya melakukan perbuatan keji, kemudian bahkan telah mengusirnya!”

“Kenapa engkau bertanding melawan Sam Mo-ong?” tanyanya. Dia teringat akan pengakuan Mulani sebelum berpisah darinya bahwa gadis Mongol itu adalah murid Sam Mo-ong. “Mana mungkin engkau mampu menandingi datuk-datuk sakti itu!”

“Bukan aku yang berkelahi dengan mereka, akan tetapi Lin-koko yang kulihat dikeroyok tiga orang datuk sesat itu. Melihat perkelahian tidak adil itu, Lin-ko dikeroyok tiga, aku lalu membantu Lin-ko. Akan tetapi aku terpukul dan kalau Lin-ko tidak menolongku, tentu aku sudah mati sekarang.”

“Celaka, lagi gara-gara anak jahat itu sampai engkau terluka! Dia berkelahi dengan Sam Mo-ong, kenapa engkau ikut-ikutan membantunya? Dia pencuri pedang pusaka, tentu semua orang kang-ouw memusuhinya untuk merampas pedang itu.”

“Koko, engkaulah yang sombong, engkau yang jahat! Lin-ko bukan pencuri dan dia seorang pendekar budiman yang gagah...!”

“Bi Lan...!”

“Sudahlah, aku tidak mau lagi melakukan perjalanan denganmu. Kita ambil jalan sendiri-sendiri!”

“Lan-moi, akan kuberitahukan ayah nanti!”

“Sesukamu, ayah tentu akan dapat mempertimbangkan dan tidak akan membelamu yang sombong dan jahat!” gadis itu lalu pergi meninggalkan kakaknya yang membanting kaki dengan marah.

* * * * * * *

Han Lin mendaki pegunungan Cin-ling-san. Dia hendak melihat-lihat keindahan alam di sekitar pegunungan itu sambil menanti saat diadakannya pertemuan Cin-ling-pai di Han-cung besok pagi. Dia berjalan dan lupa akan maksudnya untuk menikmati keindahan alam karena dia berjalan sambil melamun. Beberapa kali dia menghela napas pangjang. Dia teringat akan peristiwa ketika dia mengobati luka di pundak Bi Lan kemudian munculnya kakak gadis itu. Kok Han tidak bersalah, pikirnya.

Cara pengobatan seperti yang dia lakukan terhadap Bi Lan memang tidak patut, dan melanggar kesopanan. Buktinya, keadaan itu hampir saja menyeretnya kepada perbuatan yang sesat. Membangkitkan nafsu dan kalau saja dia menuruti godaan setan, tentu dia telah melakukan hal-hal yang tidak pantas, bahkan lebih lagi dari sekedar meraba dan mencium. Dia menghela napas panjang. Bi Lan memang seorang gadis cantik jelita, mudah sekali membuat hati pria tertarik dan ia jatuh cinta.

Tiba-tiba wajah Mulani juga nampak menggantikan wajah Bi Lan. Heran dia memikirkan gadis Mongol itu. Tadinya dia mengira bahwa gadis yang tadinya membantu Kok Han mengeroyoknya itu datang dengan siasat halus untuk merampas pedang, apa lagi ketika Sam Mo-ong muncul, dia mengira bahwa gadis itu sengaja datang bersama guru-gurunya.

Akan tetapi ketika gadis itu menggunakan pedang menentang guru-gurunya sendiri, mencegah guru-gurunya mendesak dan memberi kesempatan kepadanya untuk melarikan Bi Lan yang terluka, baru dia tahu bahwa gadis itu tidak bermaksud buruk terhadap dirinya. Kenapa Mulani begitu nekat mati-matian membelanya?

Han Lin menghela napas panjang. Pernah dia jatuh cinta kepada seorang gadis, yaitu kepada Yang Mei Li yang kini menjadi nyonya ketua Beng-kauw menjadi isteri Sie Kwan Lee yang gagah perkasa. Cintanya bertepuk sebelah tangan karena gadis itu lebih mencinta Sie Kwan Lee. Sejak itu, dia merasa betapa pahit dan getirnya akibat cinta gagal, maka dia selalu menjaga diri tidak ingin jatuh cinta kembali.

Pada keesokan paginya, Han Lin sudah hadir di antara banyak orang kang-ouw yang memenuhi undangan ketua Cin-ling-pai. Banyak tokoh kang-ouw dari berbagai golongan datang untuk sekedar mendengar penjelasan tentang Ang-in-po-kiam yang menggemparkan itu. Han Lin menyelinap di antara banyak pengunjung sehingga dia dapat setengah bersembunyi, Pedang Awan Merah dia sembunyikan di dalam buntalan pakaian yang digendongnya.

Dari tempat dia duduk, dia memperhatikan ke atas panggung. Nampak olehnya seorang laki-laki berusia lima puluh tahun, tubuhnya tegap dan gagah sekali, kumis dan jenggotnya terpelihara baik-baik dan masih hitam, sinar matanya tajam dan sikapnya berwibawa.

Tahulah dia bahwa orang itu tentulah ketua Cin-ling-pai yang dia tahu bernama Yap Kong Sin dan berjuluk Bu-eng Kiam-hiap (Pendekar Pedang Tanpa Bayangan). Dari julukannya saja dia dapat menduga bahwa tentu ketua Cin-ling-pai itu seorang ahli pedang yang memiliki gin-kang yang sudah sempurna sehingga dijuluki Tanpa Bayangan, tentu saking cepatnya gerakan silatnya.

Di sebelah kiri orang gagah ini duduk pula seorang gadis yang cantik dan gagah sekali. Usianya paling banyak delapan belas tahun, kulitnya putih dan tubuhnya langsing padat dengan wajah bundar seperti bulan purnama. Gadis cantik ini juga bersikap pendiam dan penuh wibawa. Sebatang pedang tergantung di punggungnya. Dari seorang tamu yang duduk di dekatnya, Han Lin mendapat keterangan bahwa gadis itu bernama Yap Kiok Hwi, puteri dan anak tunggal dari Bu-eng-kiam-hiap Yap Kong Sin.

Para murid Cin-ling-pai yang rata-rata bersikap gagah perkasa itu berjaga di depan, menyambut tamu dan melayani mereka, dan ada pula sekelompok tokoh Cin-ling-pai yang tingkatnya sudah tinggi berkerumun di belakang tempat duduk guru mereka. Mereka itu berdiri dengan teratur dan sopan, membentuk barisan, dengan kaki agak terpentang dan kedua tangan di belakang tubuh.

Setelah semua tamu mendapat tempat duduk dan ruangan yang disediakan itu sudah hampir penuh, ketua Cin-ling-pai lalu berdiri dari tempat duduknya dan melangkah maju ke tengah-tengah panggung yang tingginya sekitar satu setengah meter sehingga dia dapat terlihat jelas oleh semua yang hadir, baik yang duduk di bawah panggung maupun yang mendapat kehormatan duduk di atas panggung, yaitu para ketua partai persilatan besar.

“Saudara sekalian yang terhormat,” demikian Bu-eng-kiam-hiap Yap Kong Sin berkata dengan suaranya yang mantap dan lantang. “Terima kasih atas kedatangan cu-wi (anda sekalian) memenuhi undangan kami. Maksud undangan kami kepada cu-wi, selain untuk mempererat persahabatan, juga yang terpenting sekali kami hendak membersihkan nama Cin-ling-pai dari desas-desus yang amat merugikan kami. Desas-desus yang memancing permusuhan dan hal ini perlu dibersihkan sekarang juga. Desas-desus itu adalah bahwa pedang pusaka dari istana, yaitu Pedang Awan Merah, yang hilang dari gedung pusaka itu, dikabarkan dicuri oleh Cin-ling-pai. Kami menyatakan di sini bahwa desas-desus itu hanya fitnah dan bohong belaka. Agar pada saudara di dunia persilatan dapat memaklumi bahwa kami Cin-ling-pai bukanlah sebangsa maling dan perampok dan kami tidak pernah melakukan pencurian itu.”

Para tamu menyambut ucapan itu dengan saling bicara sehingga suasana menjadi gaduh. Terdengar teriakan-teriakan dari sana sini.

“Kalau ada asap tentu ada apinya. Kalau ada desas-desus tentu ada penyebabnya!”

“Mana ada di dunia ini pencuri yang mengaku pencuri?”

“Memang mudah melontarkan kepada orang lain, maling teriak maling!”

Bermacam-macam suara teriakan yang datangnya dari rombongan para tamu sehingga suasana menjadi gaduh dan panas. Agaknya banyak orang tidak percaya akan keterangan ketua Cin-ling-pai itu.

“Omitohud...!” kata tokoh Siauw-lim-pai yang hadir dan duduk di tempat kehormatan atas panggung. “Yap-pangcu agaknya harus dapat meyakinkan hati mereka dengan bukti yang jelas!”

Bu-eng-kiam-hiap Yap Kong Sin sendiri bingung melihat tanggapan para tamu yang agaknya tidak percaya kepadanya itu, dan mendengar ucapan hwesio itu diapun berbalik tanya, “Kalau kami tidak mencurinya, bagaimana dapat membuktikannya?”

Tiba-tiba gadis cantik yang tadi duduk di sebelahnya, yaitu Yap Kiok Hwi, meloncat ke dekat ayahnya dan dengan suara melengking nyaring gadis itu berseru, “Cu-wi yang hadir jangan seenaknya saja menuduh orang! Tuduhan tanpa bukti merupakan fitnah keji, dan aku menantang siap saja yang mencoba untuk memburukkan nama Cin-ling-pai! Kami minta bukti dan saksi!” tegas sekali ucapan gadis itu.

Dan ayahnya hanya mengangguk-angguk karena walaupun dia merasa betapa suara puterinya itu terlalu keras, namun memang cocok dengan suara hatinya. Diapun mendongkol mendengar teriakan-teriakan itu tadi dan karena puterinya sudah mengambil alih pembicaraan, dia sengaja mundur untuk melihat perkembangan selanjutnya.
Han Lin memandang penuh kagum. Gadis itu memiliki semangat dan keberanian yang luar biasa. Diapun menahan diri, hendak melihat perkembangan dulu sebelum tampil untuk mengakui bahwa pedang itu berada padanya, bahwa Cin-ling-pai tidak melakukan pencurian.

Tiba-tiba terdengr suara lantang dari bawah panggung. “Saya bersedua menjadi saksi!” dan nampak orang meloncat ke atas panggung menghadapi Kiok Hwi.

Gadis itu memandang penuh perhatian. Orang itu usianya sekitar tiga puluh tahun, tubuhnya tinggi kurus dan mukanya kuning, di punggungnya terselip sebatang golok besar.

“Siapa engkau, sobat, dan apa maksudmu mengatakan bersedia menjadi saksi?” tanya Kiok Hwi yang memaksa diri menghormati orang yang bagaimanapun juga menjadi tamu Cin-ling-pai itu.

“Saya bernama Gak Toan, dan demi kelancaran urusan ini, dan sama sekali bukan hendak memusuhi, nona, saya menjadi saksi bahwa pedang pusaka Ang-in-po-kiam itu memang berada di Cin-ling-pai!”

Gaduhlah para tamu, saling bicara sendiri mendengar ada saksi mengatakan demikian. Kiok Hwi menjadi merah mukanya, akan tetapi dengan tenang gadis itu mengangkat kedua tangannya ke atas minta agar yang hadir tidak membuat gaduh. Setelah suara berisik itu mereda, dara itu menghadapi Gak Toan dan memandang penuh selidik.

“Saudara Gak Toan, engkau bersedia disumpah bahwa engkau benar-benar telah menyaksikan bahwa pedang pusaka itu berada di Cin-ling-pai?”

“Saya bersumpah demi kehormatan saya, dan biarlah saya mati di ujung pedang kalau saya berbohong!” jawab Gak Toan dengan berani, dan dia membusungkan dadanyd menghadap para tamu.

“Hemm, sekarang ceritakan di mana engkau melihat pedang itu, saudara Gak Toan!” kata pula Kiok Hwi dengan sikap menantang karena ia merasa yakin bahwa pedang itu tidak berada di Cin-ling-pai. Hanya ada dua hal, pikirnya. Orang ini berbohong atau dia salah lihat.

Gak Toan memberi hormat kepada Kiok Hwi dan berkata lantang, “Saudara, saya katakan bahwa saya tidak berniat untuk memusuhimu, nona. Saya katakan dengan sebenarnya saja. Kemarin, ketika saya tiba di sini saya iseng-iseng naik ke Cin-ling-san dan di suatu tempat saya melihat nona Yap Kiok Hwi sedang berlatih silat pedang, dan pedang yang dipergunakan itu adalah jelas Ang-in-po-kiam!”

Gegerlah semua tamu mendengar ini dan Kiok Hwi sendiri memandang orang itu dengan mata terbelalak dan muka merah. Ia mangangkat tangan kembali minta agar orang itu menjadi tenang. Setelah suara gaduh itu mereda, dara itu lalu mencabut pedang dari punggungnya, mengangkat pedang itu tinggi-tinggi dan berkata,

“Saudara Gak Toan, lihat baik-baik. Inilah pedangku yang biasa kupakai latihan!” pedang itu adalah sebatang pedang yang baik, akan tetapi mengeluarkan sinar putih ketika ia gerakkan.

Gak Toan memandang dan menggeleng kepalanya. “Kemarin yang kulihat engkau tidak menggunakan pedang ini, nona. Jelas pedang itu Ang-in-po-kiam karena saya melihat sinarnya kemerahan.”

Kiok Hwi menjadi marah. “Saudara Gak Toan, hanya ada dua kenyataan dari ucapanmu itu. Engkau ngawur atau engkau berbohong, melempar fitnah kepadaku. Sekarang begini saja, karena saksi hanya engkau seorang dan ucapanmu itu berlawanan dengan pendapatku, maka untuk menentukan siapa yang benar dan tidak berbohong, kita mengadu ilmu di sini, disaksikan oleh semua orang. Beranikah engkau mempertahankan tuduhanmu itu dengan senjata?”

Gak Toan tertawa dan berkata dengan suara dingin. „Nona, aku telah bicara dengan sesungguhnya dan untuk kesungguhanku itu tentu saja aku berani mempertanggung jawabkan. Aku bukan orang yang lari menghadapi tantangan!”

“Bagus, keluarkan senjatamu!” tantang Kiok Hwi.

Memang merupakan pantangan bagi seorang ahli silat untuk menolak tantangan mengadu ilmu silat dari siapapun, apa lagi kalau ditantang di depan para tokoh kang-ouw sebanyak itu. Itu namanya mempertaruhkan nama dan kehormatan. Maka, orang yang bernama Gak Toan itupun tidak menolak dan sekali tangannya meraba punggung, golok besarnya sudah terhunus.

Yap Kiok Hwi yang sudah marah sekali karena merasa difitnah oleh orang itu, sudah berseru nyaring. “Lihat pedang...!” dan pedangnya meluncur dalam serangan yang cukup dahsyat.

Lawannya menggerakkan goloknya menangkis dan terdengar suara nyaring ketika kedua senjata bertemu di udara, menimbulkan percikan bunga api. Keduanya merasa betapa tangan mereka tergetar, akan tetapi Kiok Hwi bahkan mundur dua langkah. Ternyata dalam hal tenaga, orang she Gak itu lebih kuat dibandingkan lawannya, seorang gadis berusia delapan belas tahun.

Kiok Hwi membuka serangan lagi dengan jurus Sian-jin-hoan-eng (Dewa tukar bayangan), gerakannya cepat dan ringan sekali. menghadapi serangan yang amat cepat ini, Gak Toan membela diri dengan jurus Hwai-tiong-po-gwat (Peluk bulan depan dada), goloknya memukul pedang sehingga terpental, kemudian dia mendesak dengan balasan serangannya dengan jurus Coan-jiu-ciong-to (Luruskan tangan sembunyikan golok). Dengan jurus ini, bukan mata goloknya yang menyerang, melainkan tangan yang menggenggam gagang golok, menghantam dengan kuat sekali.

Kiok Hwi meloncat ke belakang untuk mengelak, kemudian mengelebatkan pedangnya dengan tubuh berputar dalam jurus serangan Sin-liong-tiauw-ti (Naga sakti sabetkan ekornya). Namun lawannya juga dapat meloncat ketika kakinya diserampang pedang itu. Mereka saling serang dan yang paling terkejut adalah Han Lin karena dia mengenal ilmu golok yang dimainkan Gak Toan itu.

Tidak salah lagi, itulah ilmu golok dari partai Hoat-kauw yang pernah dilihatnya dimainkan leh mendiang Ang-sin-liong Yu Kiat, orang pertama dari Bu-tek Ngo-sin-liong dari Hoat-kauw! Jelas Gak Toan ini murid Hoat-kauw dan mengertilah dia sekarang mengapa Gak Toan mati-matian menuduh Kiok Hwi memegang Ang-in-po-kiam. Kini dia mengerti bahwa yang menyebar desas-desus bahwa Cin-ling-pai mencuri pedang pusaka itu adalah sisa orang-orang Hoat-kauw! Tentu dilakukan untuk mengadu domba antara orang-orang kang-ouw yang dulu tidak mau tunduk kepada Hoat-kauw seperti halnya Cin-ling-pai.

Dia melihat bahwa Gak Toan ini cukup lihai, tentu dia seorang murid dari Bu-tek Ngo-sin-liong atau mungkin murid dari mendiang Hoat Lan Siansu sendiri. Seorang anggauta Hoat-kauw yang sudah tinggi tingkatnya. Kalau perkelahian itu dilanjutkan, biarpun Kiok Hwi juga lihai, akan tetapi gadis itu tentu akan kalah. Maka, tanpa menanti sampai Kiok Hwi kalah, Han Lin melompat dengan gerakan indah, membuat salto beberapa kali dan tiba di atas panggung.

Begitu tongkat hitamnya bergerak, sinar hitam yang dahsyat menyambar di antara dua orang yang sedang bertanding, yang memaksa keduanya mundur dengan kaget sekali. Kiok Hwi memandang heran dna marah, akan tetapi Han Lin cepat berkata kepadanya. “Nona, jangan layani dia. Dia ini seorang saksi palsu yang membuat kesaksian bohong!” suaranya lantang sehingga terdengar oleh semua orang.

Kiok Hwi terkejut dan mundur. Gak Toan tertawa mengejek. “Ha-ha-ha, agaknya ada orang yang takut kalau nona muda itu kalah, maka sengaja membikin kacau. Orang muda, siapa engkau dan apa maksudnya kata-katamu tadi?”

Han Lin tidak memperdulikan orang itu dan menghadap kepada ketua Cin-ling-pai sambil berkata, “Pangcu, saya datang bukan untuk mengacau pertemuan yang diadakan oleh Cin-ling-pai, melainkan untuk memberi kesaksian bahwa saksi ini adalah seorang pembohong besar, maka tidak perlu dia dilayani.”

Bu-eng-kiam-hiap Yap Kong Sin tadi sudah melihat gerakan tongkat Han Lin dan mengenal orang pandai, maka dia membalas penghormatan Han Lin dan berkata, “Sobat muda, coba jelaskan mengapa engkau mengatakan dia pembohong besar. Kami juga tahu dia pembohong besar, sayang kami tidak mempunyai bukti.”

“Ha-ha-ha, kalian menuduh aku berbohong, akan tetapi mana buktinya bahwa aku berbohong? Kalau Cin-ling-pai tidak mampu membuktikan bahwa mereka tidak mencuri Ang-in-po-kiam, maka itu hanya berarti bahwa desas-desus itu memang benar adanya!” kata Gak Toan dengan suara nyaring.

Banyak orang agaknya menyatakan setuju dengan pendapat Gak Toan ini dan Yap-pangcu namapk bingung dan memandang kepada Han Lin penuh harapan.

“Jelas bahwa Gak Toan ini pembohon besar kalau mengatakan telah melihat Yap-siocia memainkan ilmu dengan Pedang Awan Merah!” seru Han Lin dengan nyaring. “Karena pedang pusaka itu selama ini berada di tanganku! Kalian lihat baik-baik, bukankah ini yang dinamakan Pedang Pusaka Awan Merah?” dia meraba buntalannya dan nampak sinar merah berkelebat ketika dia mencabut Ang-in-po-kiam.

Kembali orang-orang menjadi berisik dan semua orang mengakui bahwa itu adalah Pedang Pusaka Awan Merah. Melihat bahwa kebohongannya terbongkar, Gak Toan yang baru sekarang ingat bahwa pemuda ini dahulu ikut menyerbu Hoat-kauw bersama pasukan pemerintah, segera mendapat akal baru.

“Saudara-saudara sekalian! Kalau begini buktinya, hanya ada dua kemungkinan! Pertama, mungkin pihak Cin-ling-pai telah menitipkan pedang pusaka itu kepada pemuda ini, atau pemuda inilah yang sebenarnya menjadi pencuri pedang itu!”

Karena semua orang melihat bahwa pedang berada di tangan pemuda itu, maka ucapan ini agaknya dapat mereka terima dan mereka nampak bergerak dan agaknya siap hendak menerjang Han Lin.

“Omitohud...!” kata tokoh Siauw-lim-pai dan suaranya itu biarpun lembut dapat menembus suara kegaduhan yang kacau itu sehingga semua orang diam mendengarkan. “Orang muda, pedang pusaka itu bagaimana dapat berada di tanganmu? Jelaskanlah kalau engkau tidak mau dituduh sebagai pencurinya dari gudang pusaka.”

“Benar,” kata tosu tokoh Hoa-san-pai. “Harus dijelaskan benar siapa sesungguhnya pencuri pedang dari kota raja, agar nama dunia persilatan tidak menjadi cemar. Harus diketahui dengan jelas siapa yang bersalah dalam peristiwa ini!”

“Saudara sekalian yang gagah perkasa,” kata Han Lin. “Pedang ini kudapatkan dari seseorang yang telah mencurinya dari gudang pusaka istana. Sebetulnya aku sedang dalam perjalanan menuju ke kota raja untuk menyerahkan kembali pedang pusaka ini kepsa pemiliknya, yaitu Sribaginda Kaisar. Akan tetapi dalam perjalanan aku mendengar tentang desas-desus bahwa Cin-ling-pai yang mencuri pedang ini dan bahwa Cin-ling-pai hari ini akan mengadakan pertemuan dengan para tokoh kang-ouw untuk membicarakan desas-desus itu. Mendengar ini, aku sengaja datang ke sini untuk membantu Cin-ling-pai membersihkan namanya. Tidak kusangka muncul Gak Toan ini yang menceritakan kebohongan besar dan aku tahu mengapa dia berbuat demikian. Saudara sekalian, ketahuilah yang melempar desas-desus melakukan fitnah kepada Cin-ling-pai adalah Hoat-kauw karena pencuri pedang yang sesungguhnya adalah mending Hoat Lan Siansu ketua Hoat-kauw yang telah dibasmi pemerintah karena bersekutu dengan bangsa Mongol untuk memberontak. Dan siapakah Gak Toan ini? Aku tadi melihat permainan goloknya dan aku yakin diapun seorang murid Hoat-kauw!”

Mendadak Gak Toan yang tadi masih berdiri di atas panggung, melompat jauh dan menyusup di antara tamu, terus melarikan diri. Semua orang masih tercengang mendengar ucapan Han Lin sehingga tidak ada yang sempat menghalangi larinya Gak Toan. Ributlah semua orang setelah mendengar keterangan Han Lin. Akan tetapi masih ada juga yang merasa penasaran.

“Bagaimana kita tahu bahwa cerita itu tidak berbohong? Tadipun cerita Gak Toan terdengar meyakinkan dan ternyata dia berbohong. Dan bagaimana dengan cerita yang ini? Tanpa saksi bagaimana kita dapat menerimanya begitu saja?”

Tiba-tiba terdengar suara dari bagian para tamu kehormatan di atas panggung dan seorang tosu tinggi kurus bermata sipit bangkit berdiri, “Siancai...! Pinto Tiong Sin Tojin dari Kun-lun-pai menjadi saksi akan kebenaran ucapan taihiap (pendekar besar) Sia Han Lin tadi!”

“Aku juga menjadi saksi akan kebenaran ucapannya!” terdengar suara melengking dan seorang pendeta wanita, yaitu Lian Hwa Siankouw wakil ketua Kwan-im-pai bangkit berdiri.

“Siancai! Pinto juga menjadi saksi. Apa yang dikatakan Sia-taihiap itu semuanya benar!” kini Thian Gi Tosu yang tinggi besar bermuka kehitaman, tokoh Gobi-pai berseru dengan suaranya yang besar.

Melihat betapa tiga orang tokoh besar dunia persilatan ini memberikan kesaksian mereka, semua orang percaya dan lenyaplah keraguan mereka. Yang paling gembira tentu saja pihak Cin-ling-pai. Ketua Cin-ling-pai sendiri, Bu-eng-kiam-hiam Yap Kong Sin segera menghampiri Han Lin dan menarik tangan pemuda itu diajak duduk di tempat kehormatan. Semua orang mengelu-elukan Han Lin dan ketika pesta itu bubar, Han Lin ditahan oleh keluarga Cin-ling-pai, menjadi tamu terhormat di Cin-ling-pai.

“Kami seluruh keluarga Cin-ling-pai dibikin pusing oleh fitnah itu dan kami tidak tahu bagaimana harus membersihkan nama kami. Agaknya kami harus mempertahankan nama kami dengan pertumpahan darah kalau saja tidak muncul Sia-sicu yang membersihkan kembali nama kami. Tidak tahu bagaimana kami harus membalas budi kebaikan Sia-sicu,” kata ketua Cin-ling-pai itu ketika dia menjamu Han Lin. Para tokoh Cin-ling-pai yang hadir dalam pesta kecil itu menganggukkan kepala dan mereka memandang kagum kepada Han Lin.

“Ah, Paman Yap, harap jangan banyak sungkan. Perbuatan saya ini merupakan kewajiban yang harus saya lakukan, sama sekali bukan budi kebaikan. Semua orang yang menjunjung tinggi kegagahan tentu akan bertindak seperti saya, membersihkan nama Cin-ling-pai yang terkenal sebagai perkumpulan yang gagah perkasa.”

“Aku kagum sekali melihat gerakan taihiap Sia Han Lin ketika melerai pertandinganku melawan Gak Toan itu!” tiba-tiba Kiok Hwi berkata dengan gembira. “Karena itu, aku mohon kepada Sia-taihiap untuk memberi petunjuk sejurus dua jurus dalam ilmu pedang!”

Han Lin berusaha untuk menolak halus, akan tetapi Yap-pangcu sendiri lalu bangkit dan memberi hormat kepada Han Lin. “Harap Sia-sicu tidak terlalu pelit untuk memberi petunjuk kepasa puteri kami.”

Terpaksa Han Lin melayani. Mereka semua lalu pergi ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) dari Cin-ling-pai yang luas. Ketika berita ini terdengar oleh para anak buah Cin-ling-pai berbondong-bondong mereka datang ke lian-bu-thia untuk menonton pertandingan untuk menguji ilmu silat itu dengan gembira. Mereka semua maklum akan lihainya sumoi mereka, yaitu Yap Kiok Hwi yang menerima gemblengan khusus dari Yap-pangcu. Dan semua orang ingin melihat sendiri bagaimana hebatnya pemuda yang telah membersihkan nama Cin-ling-pai itu.

Kiok Hwi dengan gembira mencabut pedangnya dan memasang kuda-kuda. Han Lin memegang tongkat bututnya dan gadis itu yang melihat ini berkata, “Sia-taihiap, kenapa engkau tidak mencabut Ang-in-po-kiam?”

“Nona, kita hanya main-main saja, bukan? Biarlah, aku rasa sudah cukup kalau aku menggunakan tongkatku ini. Jangan pandang rendah tongkatku ini, nona. Ini tongkat wasiat peninggalan guruku!” karena ketika mengatakan ini suara Han Lin sungguh-sungguh, maka Kiok Hwi tidak merasa dipandang rendah dan ia mulai menggerakkan pedangnya dengan gerakan indah dari ilmu pedang Cin-ling-pai.

“Lihat pedang!” teriaknya dan iapun mulai membuka serangan dengan tusukan pedang ke arah dada Han Lin.

Pemuda ini miringkan tubuhnya dan tongkatnya meluncur ke arah lengan tangan gadis itu yang memegang pedang. Kiok Hwi memiliki gerakan yang cukup gesit. Melihat serangannya luput dan sebaliknya lengan kanan yang memegang pedang terancam, ia menarik kembali tangannya ke belakang, memutar tubuh ke kanan dan pedangnya berkelebat menyambar, kini membacok ke arah leher Han Lin dengan kecepatan kilat.

Han Lin kagum. Ilmu pedang Cin-ling-pai memang hebat dan gadis itu sudah menguasainya dengan baik, juga memiliki kecepatan mengagumkan. Hanya dalam tenaga sin-kang, gadis itu masih harus memperkuatnya lagi. Dia menangkis dengan tongkatnya dan balas menyerang. Namun Kiok Hwi juga dapat menghindarkan diri.

Ketika tongkat Han Lin menyerampang ke arah kedua kakinya, gadis itu melompat ke atas, berjungkir balik dan ketika tubuhnya menukik turun, bagaikan seekor rajawali ia menyerang dari atas, pedangnya diputar cepat dan setelah dekat menyambar ke arah dahi Han Lin!

“Bagus!” Han Lin melempar tubuh ke samping dan berjungkir balik miring, kemudian tongkatnya diputar dan tepat dapat menangkis pedang gadis itu yang sudah berdiri dan menyabetkan pedangnya.

“Trangg...!” nampak bunga api terpercik dari pedang itu ketika tertangkis tongkat dan gadis itu merasa tangannya tergetar hebat. Namun ia masih belum puas dan menyerang lagi, sekali ini mengandalkan kecepatannya sehingga nampaknya Han Lin terdesak dan terhimpit oleh gulungan sinar pedang itu.

Tentu saja Han Lin sengaja mengalah. Dia bergerak mengimbangi gadis itu, dia tidak ingin mengalahkannya dalam waktu singkat agar tidak menyinggung harga diri nona itu. Maka pertandingan itu nampak seru dan seimbang membuat girang hati Kiok Hwi karena ia merasa dapat mengimbangi penolong Cin-ling-pai. Hanya ayahnya yang tahu bahwa pemuda itu banyak mengalah. Para murid Cin-ling-pai tidak ada yang mengetahui dan memuji ilmu pedang sumoi mereka.

Setelah merasa cukup, Han Lin ingin mengakhiri adu ilmu itu, akan tetapi tidak ingin mengalahkan gadis itu secara mutlak. Maka dia lalu mengubah ilmu tongkatnya dan memainkan Lui-tai-hong-tung (Tongkat Kilat dan Badai) dan tiba-tiba saja tongkat itu mengeluarkan angin menderu-deru. Bukan hanya Kiok Hwi yang terkejut, juga ketua Cin-ling-pai terbelalak dan para murid Cin-ling-pai terkejut sekali...
Selanjutnya,

Pedang Awan Merah Jilid 04

Pedang Awan Merah

Karya : Kho Ping Hoo
Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo
Jilid 04
Daya-daya rendah seringkali menyusup ke dalam hati akal pikiran, dan dari pikiran inilah timbulnya segala macam perasaan suka duka, malu dan marah. Tanpa adanya pikiran yang mengingat-ingat, mengenang, maka nafsu amarahpun tidak akan muncul. Demikian pula, kedukaan datang mencengkeram perasaan hati kalau pikiran sudah mengenangkan hal-hal yang sudah terjadi di masa lalu, atau yang sudah terlewat.

Demikian pula halnya Han Lin. Ketika dia duduk melamun dan mengenangkan semua peristiwa yang terjadi akibat perbuatan Sam Mo-ong, timbullah amarah dan dendam. Demikian pula, kenangan terhadap perbuatan orang lain yang menguntungkan kita, menimbulkan perasaan berhutang budi. Namun dendam kebencian ini jauh lebih kuat dari pada hutang budi.

Kadang-kadang seribu satu budi kebaikan yang dilimpahkan orang lain kepada kita, akan hapus dalam sekejap oleh sebuah dendam sakit hati. Dan kalau dendam kebencian sudah mencengkeram hati, maka yang timbul hanyalah keinginan untuk membalas, keinginan untuk menyakiti orang yang dibencinya. Han Lin seolah tenggelam ke dalam lautan dendam. Wajah Kong Hwi Hosiang dan wajah inang pengasuhnya bergantian muncul di depan matanya, terkenang dia ketika menguburkan jenazah mereka, ketika menangisi kematian mereka.

Selagi kemarahan dan kebencian mengamuk di hatinya, tiba-tiba saja seperti sinar matahari yang menerobos ke dalam awan gelap, ingatan Han Lin mendatangkan bayangan Lojin, gurunya yang kedua. Dan terngianglah suara gurunya ini yang menasihatinya bahwa musuh utamanya adalah pikirannya sendiri. Dia harus hati-hati dan waspada meneliti jalan pikirannya.

“Sudah menjadi tugasmu untuk menentang kejahatan, namun kalau engkau menentang kejahatan dengan perasaan benci dan dendam di hati, berarti bahwa engkaupun jahat. Benci dan dendam membuat seseorang menjadi jahat dan perbuatanmu menentang kejahatan itu berubah menjadi pembalasan dendam semata. Ingatlah ini selalu!”

Bagaikan air hujan menyiram api, seketika rasa benci dan marah yang mengamuk hati Han Lin juga padam seketika. Dia terkejut mendapatkan dirinya dalam lautan dendam dan kebencian tiu, dan diapun segera bersila dan melakukan siu-lian untuk menenteramkan hatinya.

Sampai berjam-jam Han Lin melakukan samadhi dan dia baru membuka matanya ketika pendengarannya yang tajam terganggu oleh langkah ringan seorang yang datang ke kuil itu dari depan. Dia menjadi waspada dan siap menghadapi pendatang itu. Matahari sudah mulai condong ke barat, tengahari telah lewat tanpa dia rasakan.

“Han Lin, aku ingin bicara denganmu,” terdengar suara seorang wanita.

Han Lin terkejut dan terheran. Bukan suara Can Bi Lan, lalu suara siapa? Wanita mana yang menyebut namanya begitu saja dan datang hendak bicara dengannya? Karena ingin tahu sekali, Han Lin meloncat keluar dan dia berhadapan dengan Mulani!

“Hemm, engkau...?” Han Lin menegur sangsi dan ragu. Gadis ini tadi datang bersama Kok Han dan membantu pemuda sombong itu untuk mencoba merampas Ang-in-po-kiam dari tangannya. Kenapa ia datang kembali? Tentu saja dia merasa curiga dan Han Lin memandang ke kanan kiri penus kewaspadaan.

Mulani tertawa. “Jangan mencari, tidak ada orang lain datang bersamaku, aku datang seorang diri dan sengaja datang untuk bicara denganmu.”

Han Lin mengerutkan alisnya. “Nona, siapakah engkau dan keperluan apakah yang membawamu ke sini?” tanyanya.

Mulani tersenyum. “Aku tidak menyalahkanmu kalau engkau curiga dan merasa tidak senang kepadaku. Baru saja tadi aku membantu Can Kok Han untuk mengeroyokmu, dan sekarang aku muncul lagi. Akan tetapi, Han Lin, percayalah bahwa aku datang bukan dengan maksud buruk. Perkenalkanlah, namaku Mulani, aku gadis Mongol, puteri kepala suku Ku Ma Khan.”

“Dan murid Sam Mo-ong!” sambung Han Lin.

Gadis itu mengangguk-angguk. “Pantas suhu Hek-bin Mo-ong nampak gentar kepadamu, engkau memang lihai dan cerdik. Benar, Sam Mo-ong adalah pembantu ayah, maka mereka mengajarkan ilmu silat kepadaku. Han Lin, aku kagum melihat kepandaian dan sikapmu. Maukah engkau menganggap aku sebagai sahabatmu?”

Han Lin tetap curiga. Gadis ini demikian lincah dan ramah, nampak cerdik sekali. Dia harus berhati-hati menghadapi gadis seperti ini. “Mulani, baru beberapa jam yang lalu engkau datang bersama Kok Han dan mengeroyok aku. Kalau aku tidak memiliki sedikit kepandaian mungkin sekarang aku sudah menggeletak di sini dalam keadaan tidak bernyawa. Dan sekarang engkau mengatakan hendak bersahabat denganku! Apa artinya semua ini?”

“Aku tidak menyalahkanmu kalau engkau curiga, Han Lin. Ketahuilah, aku mendengar bahwa engkau telah mencuri pedang pusaka dari istana kaisar, yaitu Pedang Awan Merah. Nah, mendengar ini aku menjadi tertarik dan bermaksud untuk merampas pedang yang diperebutkan seluruh tokoh dunia persilatan itu. Dalam perjalanan mencarimu, aku bertemu dengan Can Kok Han yang juga sedang mencarimu. Karena kami setujuan, yaitu mencarimu dan merampas pedang, maka kami bekerja sama. Akan tetapi kami telah gagal dan melihat cara engkau menghadapi kami, tidak ingin melukai kami, maka aku yakin bahwa engkau adalah seorang pendekar yang budiman, dan tidak mungkin menjadi pencuri pedang pusaka. Karena itulah maka aku datang seorang diri ingin berkenalan denganmu, Han Lin.”

“Hemm, aku tidak pernah menolak persahabatan, dari manapun juga datangnya, Mulani. Akan tetapi setelah engkau berhadapan dengan aku, katakanlah apa yang ingin kau katakan dan bicarakan.”

“Han Lin, aku percaya bahwa engkau tidak mencuri pedang. Akan tetapi bagaimana pedang itu dapat terjatuh ke tanganmu? Ingin aku mengetahui, kalau saja engkau tidak berkeberatan untuk memberitahu kepadaku.”

“Pencuri pedang pusaka ini adalah mendiang Hoat Lan Siansu, ketua Hoat-kauw dan aku mengambil pedang ini darinya.”

Gadis itu mengangguk-angguk dan Han Lin harus mengakui bahwa gadis itu memang manis sekali. “Aku percaya kepadamu, Han Lin. Akan tetapi mengapa engkau tidak mengembalikan pedang itu kepada Kaisar Kerajaan Tang? Apakah engkau ingin pedang itu menjadi milikmu selamanya?”

Pertanyaan itu diajukan dengan suara wajar, tidak mengandung ejekan atau tuntutan, maka Han Lin mau menjawabnya. “Pedang ini pasti akan kukembalikan kepada Sribaginda Kaisar, akan tetapi aku mendengar bahwa Cin-ling-pai dikabarkan mencuri pedang ini, maka aku hendak lebih dahulu menghadiri pertemuan di Cin-ling-san untuk memberitahu kepada semua orang dan membersihkan nama baik Cin-ling-pai.”

“Ah, begitukah? Sudah kuduga bahwa engkau tentu seorang pendekar yang gagah perkasa dan budiman.”

“Dan engkau sendiri, Mulani? Bagaimana seorang gadis yang cantik manis dan puteri kepala suku seperti engkau ini mau menjadi murid Sam Mo-ong, tiga orang datuk sesat yang jahat itu?”

“Aku mempelajari ilmu silat dari mereka, bukan belajar kejahatan, Han Lin. Karena mereka itu membantu ayah, dengan sendirinya aku menjadi murid mereka.”

“Hemm, betapapun juga, kalau guru-gurumu datuk-datuk sesat yang jahat, tentu engkaupun tidak dipercaya orang. Katakan saja terus terang, apakah sekarang ini engkau hendak memancingku agar aku masuk perangkap? Apa sebetulnya yang hendak kau lakukan?”

Sepasang mata itu bercahaya. “Han Lin, apakah engkau kira aku serendah itu? Aku tidak...” gadis itu tidak melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu muncul tiga orang yang bukan lain adalah ketiga orang gurunya, yaitu Hek-bin Mo-ong yang gendut bundar pendek, Pek-bin Mo-ong yang tinggi kurus dan Kwi-jiauw Lo-mo yang pendek gendut pula seperti bola. Sam Mo-ong lengkap kini berdiri di depan Han Lin dengan tertawa-tawa.

“Ha-ha-ha, bagus sekali engkau sudah dapat menemukannya, Mulani!” kata Hek-bin Mo-ong girang.

Han Lin memandang kepada Mulani dengan sinar mata tajam penuh teguran. Biarpun Han Lin tidak mengeluarkan ucapan, namun Mulani merasa benar pandang mata itu dan ia menggeleng kepala, “Tidak! Tidak! Aku tidak tahu... ah, suhu sekalian, harap jangan ganggu Han Lin!” Mulani berteriak-teriak, akan tetapi tentu saja tidak diperdulikan oleh tiga orang datuk itu yang menganggap Han Lin sebagai musuh besar mereka.

“Mulani, seorang guru takkan jauh bedanya dengan guru-gurunya,” kata Han Lin tersenyum mengejek. “Pergilah menjauh, aku tidak ingin membunuhmu. Engkau masih terlalu muda dan masih banyak kesempatan untuk mengubah jalan hidupmu yang sesat.”

“Han Lin, aku tidak... ahh, engkau takkan percaya...” gadis itu lalu mundur dan menangis.

Kini tiga orang datuk itu menghampiri Han Lin. Seperti diceritakan di bagian depan, Kwi-jiauw Lo-mo Tong Lui pergi dibantu Pek-bin Mo-ong untuk membalas dendam atas kematian cucunya yang bernama An Seng Gun yang tewas di tangan Sie Kwan Lee ketua Beng-kauw. Dua orang datuk itu datang mengamuk di Beng-kauw, akan tetapi balas dendam mereka itu gagal karena mendapat perlawanan yang gigih dari ketua Beng-kauw, Sie Kwan Lee bersama isterinya yang juga amat lihai, yaitu Si Pedang Terbang Yang Mei Li, dibantu oleh tokoh-tokoh Beng-kauw yang cukup tangguh.

Kedua orang datuk itu dengan penasaran dan kecewa terpaksa meninggalkan Beng-kauw dan menuju ke Han-cung untuk menyusul rekannya, Hek-bin Mo-ong yang hendak menghadiri pertemuan di Cin-ling-pai itu. Dan dari Hek-bin Mo-ong mereka mendengar bahwa musuh besar mereka, Sia Han Lin, berada di Han-cung, bahkan lebih menarik lagi, pemuda itu membawa Ang-in-po-kiam, pedang pusaka yang dijadikan rebutan itu. Tentu saja mereka tertarik, bukan saja untuk membalas dendam kekalahan mereka dari pedua ini, akan tetapi juga untuk merampas Pedang Awan Merah.

Han Lin sudah dapat melenyapkan kebencian dan dendamnya terhadap tiga orang datuk yang menyebabkan kematian gurunya dan inang pengasuhnya ini. Dengan tenang dia menghadapi mereka, menegur lantang. “Sam Mo-ong, ada urusan apakah kalian datang mencariku?”

Tiga orang datuk itu agak tertegun juga melihat ketenangan pemuda itu. Mereka tahu bahwa Han Lin amat lihai, akan tetapi kalau mereka bertiga mengeroyoknya, tidak mungkin pemuda itu akan mampu bertahan.

“Ha-ha-ha, Han Lin, engkau masih bertanya apa urusannya? Engkau telah menggagalkan semua usaha kami dan Hoat-kauw, dan untuk itu engkau sudah layak mampus!” kata Hek-bin Mo-ong sambil tertawa-tawa seperti biasa.

“Dan engkau ternyata merampas Ang-in-po-kiam dati tangan Hoat Lan Siansu, maka engkau harus menyerahkan pedang itu kepada kami!” kata Kwi-jiauw Lo-mo sambil menggerakkan kedua tangannya yang sudah disambung sepasang cakar setan.

“Hemm, kalian bertiga ini orang-orang tua masih juga belum jera. Kalian mengira aku yang menggagalkan semua usaha jahat kalian? Bukan aku, melainkan semua usaha yang jahat pasti akan hancur. Yang menghancurkan kalian adalah kejahatan kalian sendiri. Kalian masih belum jera dan sekarang masih melanjutkan kesesatan kalian. Pedang Ang-in-po-kiam adalah milik Sribaginda Kaisar, tidak akan kuserahkan kepada siapapun juga kecuali kepada Sribaginda Kaisar.”

“Bocah setan, berani engkau menghadapi kami bertiga?” bentak Pek-bin Mo-ong yang bermuka putih seperti kapur itu.

“Untuk menentang kejahatan, aku takkan pernah mundur!” jawab Han Lin dengan tegas dan tenang. Dia tahu bahwa tiga orang ini berbahaya sekali. kalau melawan seorang dari mereka, atau paling banyak dua orang, mungkin dia masih dapat menandinginya. Akan tetapi tiga orang maju bersama? Sungguh merupakan lawan yang berat sekali. Bagaimanapun juga, dia tidak gentar karena sekarang dia memiliki ilmu baru, yaitu ilmu pedang Ang-in-kiam-hoat (Ilmu Pedang Awan Merah) yang dia rangkai dari penggabungan inti sari Lui-tai-hong-tung dan Khong-khi-ciang.

“Sia Han Lin, sekali ini engkau tidak akan lepas dari kematian di tangan kami!” kata Hek-bin Mo-ong dan dia sudah mendahului rekan-rekannya, mengirim pukulan dingin beracun jari hitam. Terdengar angin bercicit ketika pukulan itu menerjang ke arah Han Lin.

Namun dengan gesitnya Han Lin meloncat ke samping, mengelak. Dia disambut pukulan jari merah oleh Pek-bin Mo-ong. Hawa panas beracun itu menyambar dengan hebatnya. Han Lin kembali mengelak. Ketika sepasang cakar setan mengejarnya, dia tahu bahwa Kwi-jiauw Lo-mo juga sudah turun tangan. Tubuhnya mencelat ke atas belakang dan dia bersalto tiga kali. Ketika dia turun lagi, tangan kanannya sudah memegang pedang dan sinar merah nampak menyilaukan. Itulah Ang-in-po-kiam dan tangan kirinya masih memegang tongkat butut yang tak pernah terpisah darinya itu.

Dengan pedang di tangan kanan dan tongkat di tangan kiri, Han Lin berdiri dikepung tiga orang lawan itu dari tiga jurusan. Han Lin berdiri tak bergerak, pedang tangan kanan melintang di atas kepala dan tongkat butut di tangan kiri melintang di depan dada, siap untuk menyerang atau menangkis. Dengan teriakan yang menggetarkan pohon-pohon di sekeliling tempat itu, Kwi-jiauw Lo-mo menerjang bagaimana seekor biruang kelaparan.

“Trang-trang...!”

Nampak bunga api berhamburan ketika cakar-cakar setan itu bertemu pedang dan Kwi-jiauw Lo-mo melompat ke belakang dengan kaget sekali. tangannya tergetar hebat oleh pertemuan cakar dengan pedang itu. Dari kanan kiri, Hek-bin Mo-ong dan Pek-bin Mo-ong kembali mengirim pukulan beracun. Han Lin memutar pedang dan tongkat sehingga kedua pukulan itu terpaksa ditarik kembali. Mulailah perkelahian yang berat sebelah.

Memang hebat permainan pedang Han Lin yang kadang dibantu tongkatnya. Akan tetapi ketiga lawannya amat kuat. Sekali saja terkena pukulan dingin beracun atau panas beracun dari Hek-bin Mo-ong dan Pek-bin Mo-ong dapat berakibat celaka bagi Han Lin. Juga sepasang cakar itu selain bergerak cepat dan kuat, juga mengandung racun.

Han Lin memang tidak takut menghadapi racun karena tubuhnya sudah kebal terhadap segala macam racun. Ketika kecil dahulu, pernah dia menerima pukulan dingin beracun dari Hek-bin Mo-ong dan pukulan panas beracun dari Pek-bin Mo-ong secara berbareng. Ketika dia sedang sekarat akibat dua macam hawa beracun itu, kakinya digigit ular beracun pula. Dan sungguh ajaib, kumpulan tiga macam racun yang masing-masing dapat mematikan itu berubah menjadi obat kuat yang hebat, yang membuat tubuh Han Lin menjadi kebal terhadap segala macam racun, juga mendatangkan tenaga sin-kang yang amat kuat.

Biarpun kebal terhadap racun, namun serangan tiga orang itu masih amat berbahaya karena tenaga sin-kang tiga orang lawan itu sudah hampir setingkat dengan tenaga sin-kangnya sendiri. Han Lin mengandalkan kegesitannya, berkelebatan di antara tiga orang itu. Namun, tetap saja dia hampir tidak dapat mendapat kesempatan untuk balas menyerang.

Berkali-kali Mulani berteriak, “Suhu, hentikan...! Hentikan serangan itu...!” akan tetapi, tiga orang datuk itu seakan tidak mendengar teriakannya, bahkan menyerang semakin hebat.

Mendadak berkelebat sesosok bayangan dan seorang gadis dengan pedang di tangan muncul di situ. “Lin-toako, aku datang membantumu!” ternyata gadis itu adalah Can Bi Lan dan dengan nekat ia sudah memutar pedangnya menyerang Hek-bin Mo-ong dengan tusukan ke arah lambungnya.

“Lan-moi, jangan...! Mundurlah...!” Han Lin berseru kaget, namun terlambat sudah. Bi Lan sudah menusukkan pedangnya ke arah lambung Hek-bin Mo-ong.

“Tukk...!” alangkah terkejutnya hati Bi Lan ketika pedangnya bertemu lambung yang keras dan kuat seperti baja. Pedangnya melengkung dan tidak mempan.

“Pergilah! Ha-ha-ha!” Hek-bin Mo-ong membentak dan sekali tangannya menampar pundak, tubuh Bi Lan terlempar dan terguling-guling, tak mampu bergerak lagi.

“Lan-moi...!” Han Lin bereru dan pedangnya bergerak sedemikian hebatnya sehingga ketiga orang pengeroyoknya terpaksa mundur.

Pada saat itu, Mulani dengan pedang di tangan sudah melompat dan menghadang di tengah, menggerakkan pedangnya mengancam tiga orang gurunya. “Suhu bertiga, hentikan serangan suhu atau terpaksa aku akan membelanya!”

“Mulani, apa yang kau lakukan ini?” bentak Kwi-jiauw Lo-mo marah.

“Aku tidak senang melihat ketidak adilan ini. Suhu bertiga melakukan pengeroyokan, sungguh merendahkan martabat. Biarkan dia pergi, atau aku akan melawan suhu bertiga!”

“Mulani, akan kulaporkan kepada ayahmu!” ancam Kwi-jiauw Lo-mo.

“Silakan, kalau ayah mendengar, suhu bertiga yang akan menerima teguran. Suhu bertiga bertindak pengecut dan ayah paling tidak suka kepada orang yang pengecut. Han Lin, cepat pergi dari sini!” kata Mulani yang dengan pedang terhunus menghalangi ketiga orang datuk itu.

Karena melihat Bi Lan diam tak bergerak, Han Lin menganggap perlu untuk menolong gadis itu lebih dulu. Dia menghampiri, dan ternyata Bi Lan masih hidup, merintih lirih, pundaknya yang terpukul nampak menghitam, bajunya robek dan hangus. Dia memondong tubuh itu lalu menoleh.

“Terima kasih, Mulani.” Dan sekali meloncat diapun lenyap dari situ.

Tiga orang datuk itu marah sekali. “Mulani, engkau membiarkan dia pergi, berarti Pedang Awan Merah tidak dapat kami rampas,” kata Pek-bin Mo-ong.

“Masih ada waktu lain untuk merampasnya, suhu, akan tetapi bukan dengan cara pengeroyokan. Harus dengan adu kepandaian dan siapa yang lebih kuat dialah yang berhak memiliki Pedang Awan Merah,” kata Mulani yang diam-diam merasa tidak senang hatinya melihat betapa Han Lin tadi menolong dan memondong gadis yang terpukul pingsan oleh Hek-bin Mo-ong itu.

Bi Lan merintih lirih dan Han Lin berhenti lalu merebahkan gadis itu di atas rumput. “Bagaimana, Lan-moi? Nyeri sekalikah? Engkau terkena pukulan beracun dari Hek-bin Mo-ong.”

“Aduh, nyeri sekali, toako. Dingin sekali, ahh...” gadis itu menggigil kedinginan. Memang Hek-bin Mo-ong memiliki ilmu pukulan beracun yang dingin. Pada hal tamparan pada pundak Bi Lan itu perlahan saja, namun racunnya telah menyerang pundak dan terus ke dalam dada.

“Lan-moi, aku khawatir sekali. Luka pukulan itu amat berbahaya. Kalau tidak cepat diobati, hawa beracun akan menjalar masuk dan kalau sudah meracuni jantungmu, akan sukar menolongmu lagi.”

“Aku... aku tidak takut mati...”

“Tidak, engkau tidak akan mati, Lan-moi. Aku tidak akan membiarkan engkau mati karena engkau terluka ketika engkau mencoba untuk menolongku dari pengeroyokan Sam Mo-ong. Aku dapat mengobatimu, Lan-moi. Akan tetapi...” Han Lin merasa ragu, bahkan untuk mengatakannya saja dia merasa sungkan.

“...bagaimana..., toako...?” suara itu mulai terengah.

“Begini, Lan-moi. Untuk mengusir hawa beracun itu, aku harus menggunakan telapak tanganku, ditempelkan pada punggungmu, akan tetapi... harus langsung... tidak boleh tertutup kain...” Han Lin merasa mukanya panas karena malu. Dia tidak berbohong. Tanpa menempel langsung pada punggung, penyaluran hawa murni dari tubuhnya tidak akan sempurna dan dia tidak akan dapat melihat apakah racun itu sudah menipis atau menghilang, atau belum.

“...kenapa ragu..., toako..., ahh...” gadis itu terkulai, pingsan.

Kebetulan, pikir Han Lin. Sebaiknya begitu, sehingga kalau dia mengobatinya, dia tidak akan merasa malu karena gadis itu tidak akan mengetahuinya. Dengan hati-hati dia lalu membalikkan tubuh gadis itu menelungkup, lalu perlahan-lahan membuka bajunya dengan jari-jari tangan gemetar. Selama hidupnya dia belum pernah berdekatan dengan wanita, apa lagi membuka bajunya! Nampak kulit punggung yang putih mulus dan halus hangat. Gadis ini harus cepat ditolongnya, pundak itu sudah menghitam dan sebagian punggungnya sudah dijalari warna kehitaman.

Dia duduk bersila dekat tubuhnya tertelungkup itu, lalu menempelkan kedua tangannya pada punggung Bi Lan. Merasa betapa telapak tangannya bertemu kulit yang halus hangat itu, Han Lin terkejut dan cepat mengangkat kembali kedua tangannya dan jantungnya berdebar tidak karuan. Punggung itu nampak lebih putih lembut lagi, begitu bersi dan membuat dia tiba-tiba saja timbul keinginan untuk meraba dan menciumnya.

Di kepalanya dia mendengar suara parau, “Ingin raba, raba saja, cium saja, ia tidak akan tahu, tak seorangpun akan tahu!”

“Gila!” bentak Han Lin. “Aku bukan seorang yang berwatak bejat, kurang ajar dan tidak bersusila.”

“Hemm, kalau tidak ada orang melihat, siapa akan mengatakan engkau kurang ajar dan tidak bersusila? Pula, meraba dan mencium saja apa salahnya? Ia tidak akan rugi apa-apa. Lihat, betapa mulusnya punggung itu, hemm, tentu sedap baunya...” suara parau di kepalanya semakin mendesak sehingga tak tertahankan oleh Han Lin.

“Plakk!” Han Lin menampar kepalanya sendiri, seolah hendak memukul si suara parau itu. “Gila seribu kali gila! Tidak ada orang melihat kau bilang? Dan apakah aku ini kau anggap bukan orang? Setan kamu! Juga Tuhan akan melihatnya. Tidak, lekas pergi kau bedebah!”

Han Lin menyumpah-nyumpahi diri sendiri dan akhirnya suara parau itu seperti tertawa akan tetapi dari jauh dan hanya terdengar lapat-lapat. Dia menurunkan kedua tangannya, menempelkan di punggung yang lembut itu sambil memejamkan kedua matanya agar tidak usah melihat punggung yang putih mulus itu. Hanya kadang saja dia membuka mata untuk melihat apakah punggung dan pundak itu masih ada warna menghitam.

Ketika mula-mula dia mengerahkan sin-kangnya, dia disambut hawa dingin sekali. Akan tetapi, begitu dia mengerahkan tenaga, hawa dingin itu dengan cepat dapat diusirnya. Setelah menempelkan kedua tangan di punggung Bi Lan selama hampir dua jam, dia merasa tubuh itu bergerak dan dia membuka kedua matanya. Ternyata warna hitam di pundak telah lenyap sama sekali, tanda bahwa gadis itu telah bebas dari pengaruh hawa beracun.

Akan tetapi di harus yakin benar bahwa gadis itu telah sembuh, maka dengan lirih dia berkata, “Lan-moi, engkau sudah hampir sembuh, rebahlah sebentar lagi agar sisa hawa beracun benar-benar bersih.”

“Terima kasih, Lin-toako. Engkau baik sekali...” kata gadis itu dengan suara terharu.

Pada saat itu, terdengar makian nyaring. “Sia Han Lin, manusia biadab! Apa yang kau lakukan kepada adikku? Engkau memperkosanya!”

Pedang di tangan Kok Han itu meluncur menusuk ke arah punggung Han Lin. Pemuda ini yang sedang bersila dan menggunakan kedua tangan untuk tetap mengobati Bi Lan, tidak sempat menangkis. Dia hanya mengerahkan sin-kang melindungi punggungnya.

“Brett!” robeklah baju di punggung Han Lin.

“Han-koko, engkau keterlaluan!” Bi Lan menjerit dan iapun pingsan.

Han Lin menoleh dan berkata tenang, “Saudara Kok Han, tenanglah, adikmu terluka pukulan beracun yang hampir merenggut nyawanya.”

Mendengar ini, Kok Han terbelalak dan wajahnya menjadi agak pucat. Dia menyarungkan pedangnya dan berlutut di dekat tubuh adiknya. Akan tetapi alisnya masih berkerut melihat betapa kedua tangan Han Lin menempel di punggung adiknya yang tak berbaju. Hal ini dianggapnya keterlaluan dan melanggar susila. Akan tetapi karena dia mengkhawatirkan adiknya, diapun menahan kemarahannya.

“Siapa yang melukai adikku?” tanyanya dingin.

“Hek-bin Mo-ong,” jawab Han Lin singkat dan dia memusatkan perhatiannya kepada kedua tangannya yang masih menempel di punggung gadis itu.

Kok Han terpaksa hanya menonton dan tidak mengganggu lagi walaupun dari kerutan alisnya menunjukkan bahwa dia tidak senang. Tak lama kemudian, Han Lin menghentikan pengobatannya dan bangkit berdiri.

“Sekarang bahaya telah lewat, adik Bi Lan sudah sembuh, kalau ia siuman kembali ia akan sehat,” katanya.

“Sia Han Lin, bagaimanapun juga cara pengobatanmu ini sudah melanggar batas kesopanan. Sekarang pergilah sebelum hilang kesabaranku, dan kalau tidak mengingat bahwa engkau mengobati adikku, tentu aku tidak akan melepasmu begitu saja!”

Han Lin tersenyum. Pemuda putera ketua Pek-eng Bu-koan ini terlalu memandang tinggi diri sendiri dan suka meremehkan lain orang. Inilah yang membuat dia bersikap tinggi hati. Kelak kalau sudah banyak tersandung dan terjungkal karena sikap sendiri, kalau sudah mengalami banyak hal, tentu akan berubah sendiri, pikirnya. Pikiran ini mendatangkan kesabaran sehingga biarpun dia diusir, dia tersenyum saja dan pergi dari situ tanpa sepatahpun kata keluar dari mulutnya.

Setelah pergi, tak lama kemudian Bi Lan membuka matanya. Dia melihat kakaknya duduk tak jauh dari situ, dan ia memandang ke kanan kiri, mencari-cari. “Han-ko, ke mana dia?” tanyanya.

“Dia siapa?” tanya kakaknya dingin.

“Kakak Han Lin, tadi dia mengobati aku, menyelamatkan aku. Ke mana dia?”

“Hemm, dia sudah pergi,” jawab kakaknya dingin.

Bi Lan bangkit duduk dan kini teringat ia akan tuduhan kakaknya terhadap Han Lin yang bukan-bukan. Ia membetulkan bajunya dan berkata marah. “Han-ko, tentu engkau yang telah mengusirnya. Kalau tidak demikian, tentu dia menanti sampai aku terbangun.”

“Memang aku menyuruhnya pergi. Habis, ada urusan apa lagi bocah sombong itu?”

“Koko, engkau sungguh telah bersikap keterlaluan terhadap Han Lin koko. Dia telah menyelamatkan aku dari kematian di tangan Sam Mo-ong, bahkan telah melarikan aku dan mengobati aku sampai sembuh. Dan engkau telah begitu tega menuduhnya melakukan perbuatan keji, kemudian bahkan telah mengusirnya!”

“Kenapa engkau bertanding melawan Sam Mo-ong?” tanyanya. Dia teringat akan pengakuan Mulani sebelum berpisah darinya bahwa gadis Mongol itu adalah murid Sam Mo-ong. “Mana mungkin engkau mampu menandingi datuk-datuk sakti itu!”

“Bukan aku yang berkelahi dengan mereka, akan tetapi Lin-koko yang kulihat dikeroyok tiga orang datuk sesat itu. Melihat perkelahian tidak adil itu, Lin-ko dikeroyok tiga, aku lalu membantu Lin-ko. Akan tetapi aku terpukul dan kalau Lin-ko tidak menolongku, tentu aku sudah mati sekarang.”

“Celaka, lagi gara-gara anak jahat itu sampai engkau terluka! Dia berkelahi dengan Sam Mo-ong, kenapa engkau ikut-ikutan membantunya? Dia pencuri pedang pusaka, tentu semua orang kang-ouw memusuhinya untuk merampas pedang itu.”

“Koko, engkaulah yang sombong, engkau yang jahat! Lin-ko bukan pencuri dan dia seorang pendekar budiman yang gagah...!”

“Bi Lan...!”

“Sudahlah, aku tidak mau lagi melakukan perjalanan denganmu. Kita ambil jalan sendiri-sendiri!”

“Lan-moi, akan kuberitahukan ayah nanti!”

“Sesukamu, ayah tentu akan dapat mempertimbangkan dan tidak akan membelamu yang sombong dan jahat!” gadis itu lalu pergi meninggalkan kakaknya yang membanting kaki dengan marah.

* * * * * * *

Han Lin mendaki pegunungan Cin-ling-san. Dia hendak melihat-lihat keindahan alam di sekitar pegunungan itu sambil menanti saat diadakannya pertemuan Cin-ling-pai di Han-cung besok pagi. Dia berjalan dan lupa akan maksudnya untuk menikmati keindahan alam karena dia berjalan sambil melamun. Beberapa kali dia menghela napas pangjang. Dia teringat akan peristiwa ketika dia mengobati luka di pundak Bi Lan kemudian munculnya kakak gadis itu. Kok Han tidak bersalah, pikirnya.

Cara pengobatan seperti yang dia lakukan terhadap Bi Lan memang tidak patut, dan melanggar kesopanan. Buktinya, keadaan itu hampir saja menyeretnya kepada perbuatan yang sesat. Membangkitkan nafsu dan kalau saja dia menuruti godaan setan, tentu dia telah melakukan hal-hal yang tidak pantas, bahkan lebih lagi dari sekedar meraba dan mencium. Dia menghela napas panjang. Bi Lan memang seorang gadis cantik jelita, mudah sekali membuat hati pria tertarik dan ia jatuh cinta.

Tiba-tiba wajah Mulani juga nampak menggantikan wajah Bi Lan. Heran dia memikirkan gadis Mongol itu. Tadinya dia mengira bahwa gadis yang tadinya membantu Kok Han mengeroyoknya itu datang dengan siasat halus untuk merampas pedang, apa lagi ketika Sam Mo-ong muncul, dia mengira bahwa gadis itu sengaja datang bersama guru-gurunya.

Akan tetapi ketika gadis itu menggunakan pedang menentang guru-gurunya sendiri, mencegah guru-gurunya mendesak dan memberi kesempatan kepadanya untuk melarikan Bi Lan yang terluka, baru dia tahu bahwa gadis itu tidak bermaksud buruk terhadap dirinya. Kenapa Mulani begitu nekat mati-matian membelanya?

Han Lin menghela napas panjang. Pernah dia jatuh cinta kepada seorang gadis, yaitu kepada Yang Mei Li yang kini menjadi nyonya ketua Beng-kauw menjadi isteri Sie Kwan Lee yang gagah perkasa. Cintanya bertepuk sebelah tangan karena gadis itu lebih mencinta Sie Kwan Lee. Sejak itu, dia merasa betapa pahit dan getirnya akibat cinta gagal, maka dia selalu menjaga diri tidak ingin jatuh cinta kembali.

Pada keesokan paginya, Han Lin sudah hadir di antara banyak orang kang-ouw yang memenuhi undangan ketua Cin-ling-pai. Banyak tokoh kang-ouw dari berbagai golongan datang untuk sekedar mendengar penjelasan tentang Ang-in-po-kiam yang menggemparkan itu. Han Lin menyelinap di antara banyak pengunjung sehingga dia dapat setengah bersembunyi, Pedang Awan Merah dia sembunyikan di dalam buntalan pakaian yang digendongnya.

Dari tempat dia duduk, dia memperhatikan ke atas panggung. Nampak olehnya seorang laki-laki berusia lima puluh tahun, tubuhnya tegap dan gagah sekali, kumis dan jenggotnya terpelihara baik-baik dan masih hitam, sinar matanya tajam dan sikapnya berwibawa.

Tahulah dia bahwa orang itu tentulah ketua Cin-ling-pai yang dia tahu bernama Yap Kong Sin dan berjuluk Bu-eng Kiam-hiap (Pendekar Pedang Tanpa Bayangan). Dari julukannya saja dia dapat menduga bahwa tentu ketua Cin-ling-pai itu seorang ahli pedang yang memiliki gin-kang yang sudah sempurna sehingga dijuluki Tanpa Bayangan, tentu saking cepatnya gerakan silatnya.

Di sebelah kiri orang gagah ini duduk pula seorang gadis yang cantik dan gagah sekali. Usianya paling banyak delapan belas tahun, kulitnya putih dan tubuhnya langsing padat dengan wajah bundar seperti bulan purnama. Gadis cantik ini juga bersikap pendiam dan penuh wibawa. Sebatang pedang tergantung di punggungnya. Dari seorang tamu yang duduk di dekatnya, Han Lin mendapat keterangan bahwa gadis itu bernama Yap Kiok Hwi, puteri dan anak tunggal dari Bu-eng-kiam-hiap Yap Kong Sin.

Para murid Cin-ling-pai yang rata-rata bersikap gagah perkasa itu berjaga di depan, menyambut tamu dan melayani mereka, dan ada pula sekelompok tokoh Cin-ling-pai yang tingkatnya sudah tinggi berkerumun di belakang tempat duduk guru mereka. Mereka itu berdiri dengan teratur dan sopan, membentuk barisan, dengan kaki agak terpentang dan kedua tangan di belakang tubuh.

Setelah semua tamu mendapat tempat duduk dan ruangan yang disediakan itu sudah hampir penuh, ketua Cin-ling-pai lalu berdiri dari tempat duduknya dan melangkah maju ke tengah-tengah panggung yang tingginya sekitar satu setengah meter sehingga dia dapat terlihat jelas oleh semua yang hadir, baik yang duduk di bawah panggung maupun yang mendapat kehormatan duduk di atas panggung, yaitu para ketua partai persilatan besar.

“Saudara sekalian yang terhormat,” demikian Bu-eng-kiam-hiap Yap Kong Sin berkata dengan suaranya yang mantap dan lantang. “Terima kasih atas kedatangan cu-wi (anda sekalian) memenuhi undangan kami. Maksud undangan kami kepada cu-wi, selain untuk mempererat persahabatan, juga yang terpenting sekali kami hendak membersihkan nama Cin-ling-pai dari desas-desus yang amat merugikan kami. Desas-desus yang memancing permusuhan dan hal ini perlu dibersihkan sekarang juga. Desas-desus itu adalah bahwa pedang pusaka dari istana, yaitu Pedang Awan Merah, yang hilang dari gedung pusaka itu, dikabarkan dicuri oleh Cin-ling-pai. Kami menyatakan di sini bahwa desas-desus itu hanya fitnah dan bohong belaka. Agar pada saudara di dunia persilatan dapat memaklumi bahwa kami Cin-ling-pai bukanlah sebangsa maling dan perampok dan kami tidak pernah melakukan pencurian itu.”

Para tamu menyambut ucapan itu dengan saling bicara sehingga suasana menjadi gaduh. Terdengar teriakan-teriakan dari sana sini.

“Kalau ada asap tentu ada apinya. Kalau ada desas-desus tentu ada penyebabnya!”

“Mana ada di dunia ini pencuri yang mengaku pencuri?”

“Memang mudah melontarkan kepada orang lain, maling teriak maling!”

Bermacam-macam suara teriakan yang datangnya dari rombongan para tamu sehingga suasana menjadi gaduh dan panas. Agaknya banyak orang tidak percaya akan keterangan ketua Cin-ling-pai itu.

“Omitohud...!” kata tokoh Siauw-lim-pai yang hadir dan duduk di tempat kehormatan atas panggung. “Yap-pangcu agaknya harus dapat meyakinkan hati mereka dengan bukti yang jelas!”

Bu-eng-kiam-hiap Yap Kong Sin sendiri bingung melihat tanggapan para tamu yang agaknya tidak percaya kepadanya itu, dan mendengar ucapan hwesio itu diapun berbalik tanya, “Kalau kami tidak mencurinya, bagaimana dapat membuktikannya?”

Tiba-tiba gadis cantik yang tadi duduk di sebelahnya, yaitu Yap Kiok Hwi, meloncat ke dekat ayahnya dan dengan suara melengking nyaring gadis itu berseru, “Cu-wi yang hadir jangan seenaknya saja menuduh orang! Tuduhan tanpa bukti merupakan fitnah keji, dan aku menantang siap saja yang mencoba untuk memburukkan nama Cin-ling-pai! Kami minta bukti dan saksi!” tegas sekali ucapan gadis itu.

Dan ayahnya hanya mengangguk-angguk karena walaupun dia merasa betapa suara puterinya itu terlalu keras, namun memang cocok dengan suara hatinya. Diapun mendongkol mendengar teriakan-teriakan itu tadi dan karena puterinya sudah mengambil alih pembicaraan, dia sengaja mundur untuk melihat perkembangan selanjutnya.
Han Lin memandang penuh kagum. Gadis itu memiliki semangat dan keberanian yang luar biasa. Diapun menahan diri, hendak melihat perkembangan dulu sebelum tampil untuk mengakui bahwa pedang itu berada padanya, bahwa Cin-ling-pai tidak melakukan pencurian.

Tiba-tiba terdengr suara lantang dari bawah panggung. “Saya bersedua menjadi saksi!” dan nampak orang meloncat ke atas panggung menghadapi Kiok Hwi.

Gadis itu memandang penuh perhatian. Orang itu usianya sekitar tiga puluh tahun, tubuhnya tinggi kurus dan mukanya kuning, di punggungnya terselip sebatang golok besar.

“Siapa engkau, sobat, dan apa maksudmu mengatakan bersedia menjadi saksi?” tanya Kiok Hwi yang memaksa diri menghormati orang yang bagaimanapun juga menjadi tamu Cin-ling-pai itu.

“Saya bernama Gak Toan, dan demi kelancaran urusan ini, dan sama sekali bukan hendak memusuhi, nona, saya menjadi saksi bahwa pedang pusaka Ang-in-po-kiam itu memang berada di Cin-ling-pai!”

Gaduhlah para tamu, saling bicara sendiri mendengar ada saksi mengatakan demikian. Kiok Hwi menjadi merah mukanya, akan tetapi dengan tenang gadis itu mengangkat kedua tangannya ke atas minta agar yang hadir tidak membuat gaduh. Setelah suara berisik itu mereda, dara itu menghadapi Gak Toan dan memandang penuh selidik.

“Saudara Gak Toan, engkau bersedia disumpah bahwa engkau benar-benar telah menyaksikan bahwa pedang pusaka itu berada di Cin-ling-pai?”

“Saya bersumpah demi kehormatan saya, dan biarlah saya mati di ujung pedang kalau saya berbohong!” jawab Gak Toan dengan berani, dan dia membusungkan dadanyd menghadap para tamu.

“Hemm, sekarang ceritakan di mana engkau melihat pedang itu, saudara Gak Toan!” kata pula Kiok Hwi dengan sikap menantang karena ia merasa yakin bahwa pedang itu tidak berada di Cin-ling-pai. Hanya ada dua hal, pikirnya. Orang ini berbohong atau dia salah lihat.

Gak Toan memberi hormat kepada Kiok Hwi dan berkata lantang, “Saudara, saya katakan bahwa saya tidak berniat untuk memusuhimu, nona. Saya katakan dengan sebenarnya saja. Kemarin, ketika saya tiba di sini saya iseng-iseng naik ke Cin-ling-san dan di suatu tempat saya melihat nona Yap Kiok Hwi sedang berlatih silat pedang, dan pedang yang dipergunakan itu adalah jelas Ang-in-po-kiam!”

Gegerlah semua tamu mendengar ini dan Kiok Hwi sendiri memandang orang itu dengan mata terbelalak dan muka merah. Ia mangangkat tangan kembali minta agar orang itu menjadi tenang. Setelah suara gaduh itu mereda, dara itu lalu mencabut pedang dari punggungnya, mengangkat pedang itu tinggi-tinggi dan berkata,

“Saudara Gak Toan, lihat baik-baik. Inilah pedangku yang biasa kupakai latihan!” pedang itu adalah sebatang pedang yang baik, akan tetapi mengeluarkan sinar putih ketika ia gerakkan.

Gak Toan memandang dan menggeleng kepalanya. “Kemarin yang kulihat engkau tidak menggunakan pedang ini, nona. Jelas pedang itu Ang-in-po-kiam karena saya melihat sinarnya kemerahan.”

Kiok Hwi menjadi marah. “Saudara Gak Toan, hanya ada dua kenyataan dari ucapanmu itu. Engkau ngawur atau engkau berbohong, melempar fitnah kepadaku. Sekarang begini saja, karena saksi hanya engkau seorang dan ucapanmu itu berlawanan dengan pendapatku, maka untuk menentukan siapa yang benar dan tidak berbohong, kita mengadu ilmu di sini, disaksikan oleh semua orang. Beranikah engkau mempertahankan tuduhanmu itu dengan senjata?”

Gak Toan tertawa dan berkata dengan suara dingin. „Nona, aku telah bicara dengan sesungguhnya dan untuk kesungguhanku itu tentu saja aku berani mempertanggung jawabkan. Aku bukan orang yang lari menghadapi tantangan!”

“Bagus, keluarkan senjatamu!” tantang Kiok Hwi.

Memang merupakan pantangan bagi seorang ahli silat untuk menolak tantangan mengadu ilmu silat dari siapapun, apa lagi kalau ditantang di depan para tokoh kang-ouw sebanyak itu. Itu namanya mempertaruhkan nama dan kehormatan. Maka, orang yang bernama Gak Toan itupun tidak menolak dan sekali tangannya meraba punggung, golok besarnya sudah terhunus.

Yap Kiok Hwi yang sudah marah sekali karena merasa difitnah oleh orang itu, sudah berseru nyaring. “Lihat pedang...!” dan pedangnya meluncur dalam serangan yang cukup dahsyat.

Lawannya menggerakkan goloknya menangkis dan terdengar suara nyaring ketika kedua senjata bertemu di udara, menimbulkan percikan bunga api. Keduanya merasa betapa tangan mereka tergetar, akan tetapi Kiok Hwi bahkan mundur dua langkah. Ternyata dalam hal tenaga, orang she Gak itu lebih kuat dibandingkan lawannya, seorang gadis berusia delapan belas tahun.

Kiok Hwi membuka serangan lagi dengan jurus Sian-jin-hoan-eng (Dewa tukar bayangan), gerakannya cepat dan ringan sekali. menghadapi serangan yang amat cepat ini, Gak Toan membela diri dengan jurus Hwai-tiong-po-gwat (Peluk bulan depan dada), goloknya memukul pedang sehingga terpental, kemudian dia mendesak dengan balasan serangannya dengan jurus Coan-jiu-ciong-to (Luruskan tangan sembunyikan golok). Dengan jurus ini, bukan mata goloknya yang menyerang, melainkan tangan yang menggenggam gagang golok, menghantam dengan kuat sekali.

Kiok Hwi meloncat ke belakang untuk mengelak, kemudian mengelebatkan pedangnya dengan tubuh berputar dalam jurus serangan Sin-liong-tiauw-ti (Naga sakti sabetkan ekornya). Namun lawannya juga dapat meloncat ketika kakinya diserampang pedang itu. Mereka saling serang dan yang paling terkejut adalah Han Lin karena dia mengenal ilmu golok yang dimainkan Gak Toan itu.

Tidak salah lagi, itulah ilmu golok dari partai Hoat-kauw yang pernah dilihatnya dimainkan leh mendiang Ang-sin-liong Yu Kiat, orang pertama dari Bu-tek Ngo-sin-liong dari Hoat-kauw! Jelas Gak Toan ini murid Hoat-kauw dan mengertilah dia sekarang mengapa Gak Toan mati-matian menuduh Kiok Hwi memegang Ang-in-po-kiam. Kini dia mengerti bahwa yang menyebar desas-desus bahwa Cin-ling-pai mencuri pedang pusaka itu adalah sisa orang-orang Hoat-kauw! Tentu dilakukan untuk mengadu domba antara orang-orang kang-ouw yang dulu tidak mau tunduk kepada Hoat-kauw seperti halnya Cin-ling-pai.

Dia melihat bahwa Gak Toan ini cukup lihai, tentu dia seorang murid dari Bu-tek Ngo-sin-liong atau mungkin murid dari mendiang Hoat Lan Siansu sendiri. Seorang anggauta Hoat-kauw yang sudah tinggi tingkatnya. Kalau perkelahian itu dilanjutkan, biarpun Kiok Hwi juga lihai, akan tetapi gadis itu tentu akan kalah. Maka, tanpa menanti sampai Kiok Hwi kalah, Han Lin melompat dengan gerakan indah, membuat salto beberapa kali dan tiba di atas panggung.

Begitu tongkat hitamnya bergerak, sinar hitam yang dahsyat menyambar di antara dua orang yang sedang bertanding, yang memaksa keduanya mundur dengan kaget sekali. Kiok Hwi memandang heran dna marah, akan tetapi Han Lin cepat berkata kepadanya. “Nona, jangan layani dia. Dia ini seorang saksi palsu yang membuat kesaksian bohong!” suaranya lantang sehingga terdengar oleh semua orang.

Kiok Hwi terkejut dan mundur. Gak Toan tertawa mengejek. “Ha-ha-ha, agaknya ada orang yang takut kalau nona muda itu kalah, maka sengaja membikin kacau. Orang muda, siapa engkau dan apa maksudnya kata-katamu tadi?”

Han Lin tidak memperdulikan orang itu dan menghadap kepada ketua Cin-ling-pai sambil berkata, “Pangcu, saya datang bukan untuk mengacau pertemuan yang diadakan oleh Cin-ling-pai, melainkan untuk memberi kesaksian bahwa saksi ini adalah seorang pembohong besar, maka tidak perlu dia dilayani.”

Bu-eng-kiam-hiap Yap Kong Sin tadi sudah melihat gerakan tongkat Han Lin dan mengenal orang pandai, maka dia membalas penghormatan Han Lin dan berkata, “Sobat muda, coba jelaskan mengapa engkau mengatakan dia pembohong besar. Kami juga tahu dia pembohong besar, sayang kami tidak mempunyai bukti.”

“Ha-ha-ha, kalian menuduh aku berbohong, akan tetapi mana buktinya bahwa aku berbohong? Kalau Cin-ling-pai tidak mampu membuktikan bahwa mereka tidak mencuri Ang-in-po-kiam, maka itu hanya berarti bahwa desas-desus itu memang benar adanya!” kata Gak Toan dengan suara nyaring.

Banyak orang agaknya menyatakan setuju dengan pendapat Gak Toan ini dan Yap-pangcu namapk bingung dan memandang kepada Han Lin penuh harapan.

“Jelas bahwa Gak Toan ini pembohon besar kalau mengatakan telah melihat Yap-siocia memainkan ilmu dengan Pedang Awan Merah!” seru Han Lin dengan nyaring. “Karena pedang pusaka itu selama ini berada di tanganku! Kalian lihat baik-baik, bukankah ini yang dinamakan Pedang Pusaka Awan Merah?” dia meraba buntalannya dan nampak sinar merah berkelebat ketika dia mencabut Ang-in-po-kiam.

Kembali orang-orang menjadi berisik dan semua orang mengakui bahwa itu adalah Pedang Pusaka Awan Merah. Melihat bahwa kebohongannya terbongkar, Gak Toan yang baru sekarang ingat bahwa pemuda ini dahulu ikut menyerbu Hoat-kauw bersama pasukan pemerintah, segera mendapat akal baru.

“Saudara-saudara sekalian! Kalau begini buktinya, hanya ada dua kemungkinan! Pertama, mungkin pihak Cin-ling-pai telah menitipkan pedang pusaka itu kepada pemuda ini, atau pemuda inilah yang sebenarnya menjadi pencuri pedang itu!”

Karena semua orang melihat bahwa pedang berada di tangan pemuda itu, maka ucapan ini agaknya dapat mereka terima dan mereka nampak bergerak dan agaknya siap hendak menerjang Han Lin.

“Omitohud...!” kata tokoh Siauw-lim-pai dan suaranya itu biarpun lembut dapat menembus suara kegaduhan yang kacau itu sehingga semua orang diam mendengarkan. “Orang muda, pedang pusaka itu bagaimana dapat berada di tanganmu? Jelaskanlah kalau engkau tidak mau dituduh sebagai pencurinya dari gudang pusaka.”

“Benar,” kata tosu tokoh Hoa-san-pai. “Harus dijelaskan benar siapa sesungguhnya pencuri pedang dari kota raja, agar nama dunia persilatan tidak menjadi cemar. Harus diketahui dengan jelas siapa yang bersalah dalam peristiwa ini!”

“Saudara sekalian yang gagah perkasa,” kata Han Lin. “Pedang ini kudapatkan dari seseorang yang telah mencurinya dari gudang pusaka istana. Sebetulnya aku sedang dalam perjalanan menuju ke kota raja untuk menyerahkan kembali pedang pusaka ini kepsa pemiliknya, yaitu Sribaginda Kaisar. Akan tetapi dalam perjalanan aku mendengar tentang desas-desus bahwa Cin-ling-pai yang mencuri pedang ini dan bahwa Cin-ling-pai hari ini akan mengadakan pertemuan dengan para tokoh kang-ouw untuk membicarakan desas-desus itu. Mendengar ini, aku sengaja datang ke sini untuk membantu Cin-ling-pai membersihkan namanya. Tidak kusangka muncul Gak Toan ini yang menceritakan kebohongan besar dan aku tahu mengapa dia berbuat demikian. Saudara sekalian, ketahuilah yang melempar desas-desus melakukan fitnah kepada Cin-ling-pai adalah Hoat-kauw karena pencuri pedang yang sesungguhnya adalah mending Hoat Lan Siansu ketua Hoat-kauw yang telah dibasmi pemerintah karena bersekutu dengan bangsa Mongol untuk memberontak. Dan siapakah Gak Toan ini? Aku tadi melihat permainan goloknya dan aku yakin diapun seorang murid Hoat-kauw!”

Mendadak Gak Toan yang tadi masih berdiri di atas panggung, melompat jauh dan menyusup di antara tamu, terus melarikan diri. Semua orang masih tercengang mendengar ucapan Han Lin sehingga tidak ada yang sempat menghalangi larinya Gak Toan. Ributlah semua orang setelah mendengar keterangan Han Lin. Akan tetapi masih ada juga yang merasa penasaran.

“Bagaimana kita tahu bahwa cerita itu tidak berbohong? Tadipun cerita Gak Toan terdengar meyakinkan dan ternyata dia berbohong. Dan bagaimana dengan cerita yang ini? Tanpa saksi bagaimana kita dapat menerimanya begitu saja?”

Tiba-tiba terdengar suara dari bagian para tamu kehormatan di atas panggung dan seorang tosu tinggi kurus bermata sipit bangkit berdiri, “Siancai...! Pinto Tiong Sin Tojin dari Kun-lun-pai menjadi saksi akan kebenaran ucapan taihiap (pendekar besar) Sia Han Lin tadi!”

“Aku juga menjadi saksi akan kebenaran ucapannya!” terdengar suara melengking dan seorang pendeta wanita, yaitu Lian Hwa Siankouw wakil ketua Kwan-im-pai bangkit berdiri.

“Siancai! Pinto juga menjadi saksi. Apa yang dikatakan Sia-taihiap itu semuanya benar!” kini Thian Gi Tosu yang tinggi besar bermuka kehitaman, tokoh Gobi-pai berseru dengan suaranya yang besar.

Melihat betapa tiga orang tokoh besar dunia persilatan ini memberikan kesaksian mereka, semua orang percaya dan lenyaplah keraguan mereka. Yang paling gembira tentu saja pihak Cin-ling-pai. Ketua Cin-ling-pai sendiri, Bu-eng-kiam-hiam Yap Kong Sin segera menghampiri Han Lin dan menarik tangan pemuda itu diajak duduk di tempat kehormatan. Semua orang mengelu-elukan Han Lin dan ketika pesta itu bubar, Han Lin ditahan oleh keluarga Cin-ling-pai, menjadi tamu terhormat di Cin-ling-pai.

“Kami seluruh keluarga Cin-ling-pai dibikin pusing oleh fitnah itu dan kami tidak tahu bagaimana harus membersihkan nama kami. Agaknya kami harus mempertahankan nama kami dengan pertumpahan darah kalau saja tidak muncul Sia-sicu yang membersihkan kembali nama kami. Tidak tahu bagaimana kami harus membalas budi kebaikan Sia-sicu,” kata ketua Cin-ling-pai itu ketika dia menjamu Han Lin. Para tokoh Cin-ling-pai yang hadir dalam pesta kecil itu menganggukkan kepala dan mereka memandang kagum kepada Han Lin.

“Ah, Paman Yap, harap jangan banyak sungkan. Perbuatan saya ini merupakan kewajiban yang harus saya lakukan, sama sekali bukan budi kebaikan. Semua orang yang menjunjung tinggi kegagahan tentu akan bertindak seperti saya, membersihkan nama Cin-ling-pai yang terkenal sebagai perkumpulan yang gagah perkasa.”

“Aku kagum sekali melihat gerakan taihiap Sia Han Lin ketika melerai pertandinganku melawan Gak Toan itu!” tiba-tiba Kiok Hwi berkata dengan gembira. “Karena itu, aku mohon kepada Sia-taihiap untuk memberi petunjuk sejurus dua jurus dalam ilmu pedang!”

Han Lin berusaha untuk menolak halus, akan tetapi Yap-pangcu sendiri lalu bangkit dan memberi hormat kepada Han Lin. “Harap Sia-sicu tidak terlalu pelit untuk memberi petunjuk kepasa puteri kami.”

Terpaksa Han Lin melayani. Mereka semua lalu pergi ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) dari Cin-ling-pai yang luas. Ketika berita ini terdengar oleh para anak buah Cin-ling-pai berbondong-bondong mereka datang ke lian-bu-thia untuk menonton pertandingan untuk menguji ilmu silat itu dengan gembira. Mereka semua maklum akan lihainya sumoi mereka, yaitu Yap Kiok Hwi yang menerima gemblengan khusus dari Yap-pangcu. Dan semua orang ingin melihat sendiri bagaimana hebatnya pemuda yang telah membersihkan nama Cin-ling-pai itu.

Kiok Hwi dengan gembira mencabut pedangnya dan memasang kuda-kuda. Han Lin memegang tongkat bututnya dan gadis itu yang melihat ini berkata, “Sia-taihiap, kenapa engkau tidak mencabut Ang-in-po-kiam?”

“Nona, kita hanya main-main saja, bukan? Biarlah, aku rasa sudah cukup kalau aku menggunakan tongkatku ini. Jangan pandang rendah tongkatku ini, nona. Ini tongkat wasiat peninggalan guruku!” karena ketika mengatakan ini suara Han Lin sungguh-sungguh, maka Kiok Hwi tidak merasa dipandang rendah dan ia mulai menggerakkan pedangnya dengan gerakan indah dari ilmu pedang Cin-ling-pai.

“Lihat pedang!” teriaknya dan iapun mulai membuka serangan dengan tusukan pedang ke arah dada Han Lin.

Pemuda ini miringkan tubuhnya dan tongkatnya meluncur ke arah lengan tangan gadis itu yang memegang pedang. Kiok Hwi memiliki gerakan yang cukup gesit. Melihat serangannya luput dan sebaliknya lengan kanan yang memegang pedang terancam, ia menarik kembali tangannya ke belakang, memutar tubuh ke kanan dan pedangnya berkelebat menyambar, kini membacok ke arah leher Han Lin dengan kecepatan kilat.

Han Lin kagum. Ilmu pedang Cin-ling-pai memang hebat dan gadis itu sudah menguasainya dengan baik, juga memiliki kecepatan mengagumkan. Hanya dalam tenaga sin-kang, gadis itu masih harus memperkuatnya lagi. Dia menangkis dengan tongkatnya dan balas menyerang. Namun Kiok Hwi juga dapat menghindarkan diri.

Ketika tongkat Han Lin menyerampang ke arah kedua kakinya, gadis itu melompat ke atas, berjungkir balik dan ketika tubuhnya menukik turun, bagaikan seekor rajawali ia menyerang dari atas, pedangnya diputar cepat dan setelah dekat menyambar ke arah dahi Han Lin!

“Bagus!” Han Lin melempar tubuh ke samping dan berjungkir balik miring, kemudian tongkatnya diputar dan tepat dapat menangkis pedang gadis itu yang sudah berdiri dan menyabetkan pedangnya.

“Trangg...!” nampak bunga api terpercik dari pedang itu ketika tertangkis tongkat dan gadis itu merasa tangannya tergetar hebat. Namun ia masih belum puas dan menyerang lagi, sekali ini mengandalkan kecepatannya sehingga nampaknya Han Lin terdesak dan terhimpit oleh gulungan sinar pedang itu.

Tentu saja Han Lin sengaja mengalah. Dia bergerak mengimbangi gadis itu, dia tidak ingin mengalahkannya dalam waktu singkat agar tidak menyinggung harga diri nona itu. Maka pertandingan itu nampak seru dan seimbang membuat girang hati Kiok Hwi karena ia merasa dapat mengimbangi penolong Cin-ling-pai. Hanya ayahnya yang tahu bahwa pemuda itu banyak mengalah. Para murid Cin-ling-pai tidak ada yang mengetahui dan memuji ilmu pedang sumoi mereka.

Setelah merasa cukup, Han Lin ingin mengakhiri adu ilmu itu, akan tetapi tidak ingin mengalahkan gadis itu secara mutlak. Maka dia lalu mengubah ilmu tongkatnya dan memainkan Lui-tai-hong-tung (Tongkat Kilat dan Badai) dan tiba-tiba saja tongkat itu mengeluarkan angin menderu-deru. Bukan hanya Kiok Hwi yang terkejut, juga ketua Cin-ling-pai terbelalak dan para murid Cin-ling-pai terkejut sekali...
Selanjutnya,