Mestika Burung Hong Kemala Jilid 04 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Mestika Burung Hong Kemala

Karya : Kho Ping Hoo
Cerita silat Mandarin Serial Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo
Jilid 04
KAISAR dan Panglima Kok Cu it muncul di beranda loteng dan mereka melihat betapa semua pasukan telah berdiri di depan pondok dan sikap mereka seperti harimau yang haus darah!

Ketika melihat kaisar dan Panglima Kok Cu It muncul di loteng, semua orang terdiam. Bagaimanapun juga, kaisar dan panglima itu masih memiliki wibawa besar yang membuat mereka gentar dan tunduk. Sekilas pandang saja tahulah Panglima Kok Cu bahwa semua perwira terlibat dalam unjuk perasaan itu, maka tidak mungkin melakukan tertib hukum, militer. Kalau mereka itu dihukum, sama saja dengan melenyapkan pasukan pengawal!

"Apa artinya semua ini?" terdengar suara Kok Cu It yang menggelegar. ”Kami mendengar kalian telah membunuh Menteri Yang! Dan sekarang kalian membikin ribut di sini. Apakah kalian hendak memberontak terhadap Sribaginda Kaisar?"

Kaisar sendiri juga berusaha menenangkan hati mereka. "Para perajurit dengarlah baik-baik. Kami mengerti bahwa kalian menderita kelaparan dan kehausan, kelelahan. Akan tetapi, kami tidak akan pernah melupakan jasa kalian. Jasa kalian masing-masing telah kami catat dan percayalah, Kerajaan Tang akan bangkit kembali dan setelah kita berhasil, kalian masing-masing akan mendapatkan kedudukan yang tinggi. Kami percaya kalian adalah pahlawan-pahlawan, bukan pengkhianat."

Mendengar ucapan kaisar dan panglima mereka, para perajurit itu kini berteriak-teriak lagi. "Hukum gantung Yang Kui Hui! Ia telah meracuni istana, ia telah melemahkan kerajaan, mempermain kan Sribaginda!"

"Kami telah menghukum Yang Kok Tiong, dan kami akan menghukum Yang Kui Hui! Kerajaan Tang harus dibersihkan dari orang-orang yang mempermainkan kerajaan dan mau enaknya saja!"

Wajah kaisar menjadi pucat mendengar ini. "Ah, bagaimana ini, Kok-ciangkun......?" bisiknya kepada panglimanya dengan suara gemetar.

Kok Cu It mengamati keadaan para anak buahnya. Pendengarannya yang tajam mendengar bahwa di antara teriakan-teriakan mereka terdapat ancaman, bahwa kalau Kaisar tidak menghukum mati Yang Kui Hui, mereka akan membakar pondok itu dan membunuh seluruh keluarga kaisar!

Pangeran Su Tsung, yaitu putera mahkota yang ikut pula naik keberanda loteng dan sejak tadi bercliri di belakang kaisar bersama Selir Yang Kui Hui juga mendengar teriakan-teriakan itu. Selir ini sudah merasa sedih dan sakit hati sekali mendengar bahwa kakaknya dibunuh oleh para perajurit dan kini mereka berteriak-teriak menuntut agar ia di hukum mati!

"Sribaginda, hamba tidak melihat lain jalan...." kata Panglima Kok Cu It. Diam-diam, jauh di dasar lubuk hatinya, panglima ini tidak dapat menyalahkan sikap pasukannya. Memang semua orang tahu betapa Yang Kui Hui telah melemahkan istana, melemahkan kaisar dan dengan sendirinya juga melemahkan negara. Wanita ini menjadi rebutan antara anak dan ayah. Isteri Pangeran houw ini direbut oleh mertuanya sendiri dan setelah menjadi selir kaisar, semua kekuasaan kaisar di kendalikannya!

"Hukum Yang Kui Hui!"

"Iblis betina itu kekasih An Lu han si pemberontak!"

Teriakan-teriakan semakin berani. Yang Kui Hui maklum bahwa tidak ada lagi harapan baginya, lapun kini teringat akan semua sikap dan perbuatannya, yang dilakukan demi kesenangan diri sendiri dan keluarganya. Kini semua itu mengalami kegagalan dan ia harus berani menerima kenyataan. Maka, iapun menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kaisar.

"Sribaginda, hukumlah hamba, gantunglah hamba kalau itu dapat meredakan kemarahan mereka..... hamba rela mati.... untuk menyelamatkan paduka..." katanya sambil menangis.

Kaisar yang amat mencinta selirnya ini terharu, mengangkat selirnya berdiri dan merangkulnya. Mereka berangkulan sambil menangis. "Tidak... tidak... Kui Hui, engkau tidak boleh dihukum mati....." rintih kaisar yang tua itu dengan memelas.

Melihat adegan romantis di atas loteng, di mana kaisar itu rangkulan dengan selir yang dibenci pasukan itu, mereka berteriak-teriak semakin ganas.

"Sribaginda.... relakan hamba... hamba sudah menerima kasih sayang paduka yang berlimpahan... sekaranglah saatnya hamba membalas jasa... dengan nyawa hamba untuk menyela matkan paduka....." Kui Hui berkata di antara isak tangisnya. Iapun melepaskan diri dari pelukan kaisar.

"Kok-ciangkun, minta mereka menanti sebentar, aku mau berganti pakaian dulu, baru aku akan menggantung diri di sini agar mereka semua dapat melihatnya..."

"Kui Hui...!" Kaisar berseru, akan tetapi selir itu telah berlari turun ke kamarnya. Kaisar tua itu hendak mengejarnya, akan tetapi terhuyung dan cepat Pangeran Su Tsung merangkulnya.

"Sribaginda, tidak ada jalan lain, harap paduka menguatkan hati paduka, semua ini demi negara!" kata Kok-ciangkun dan mendengar kalimat terakhir ini, kaisar mendapatkan tenaga baru, dan diapun mengangguk. Demi negara! Demi kerajaan! Dia harus mengorbankan Yang Kui Hui, selir tercinta.

Kok Cu It lalu berdiri di tepi loteng dan berseru dengan suara lantang bahwa Selir Yang Kui Hui siap menerima hukuman mati, dan agar para perajurit tenang. Mendengar teriakan ini, semua perajurit menjadi diam dan suasana menjadi hening, namun mencekam sekali, menegangkan perasaan.

Tak lama kemudian Yang Kui Hui naik ke loteng dan ia telah mengenakan pakaian serba putih dari sutera halus, rambutnya yang masih hitam dan panjang itu dibiarkan terurai dan ia tidak mengena kan perhiasan sebuahpun. Namun, dalam pakaian sederhana serba putih dan mengurai rambut itu, makin nampak kecantikannya yang aseli dan memang wanita ini memiliki kecantikan yang sukar dicari bandingnya! Melihat selirnya sudah siap untuk mati, kaisar merangkulnya lagi.

"Kui Hui ah, Kui Hui.. bagaimana aku dapat membiarkan engkau mati meninggalkan aku...?"

Kui Hui juga menangis, akan tetapi ia menghibur kaisar. "Sribaginda, harap relakan hamba. Hamba akan menanti paduka di sana...." Selir itu lalu melepaskan rangkulan dan ia menyerahkan sebuah sabuk sutera putih kepada Kok Cu It untuk dipasangkan di galok melintang.

Kok-ciangkun tanpa ragu lagi segera membuat tali penjirat yang tergantung di balok melintang, kemudian, setelah Yang Kui Hui merangkul dan mencium kaisar, ia lari dan dibantu Kok Cu It, selir ini memasukkan kepala nya di lubang jiratan yang dibuat di ujung sabuk, kemudian ia meloncat dan tubuhnya terayun-ayun, lehernya tergantung!

"Kui Hui....!" Kaisar merintih dan terkulai pingsan dalam rangkulan pangeran mahkota Su Tsung.

Melihat tubuh selir itu tergantung dan meronta sebentar lalu terkulai, para perajurit yang menonton dari bawah bersorak gembira. Timbul lagi semangat mereka setelah kini dua orang yang mereka benci, yaitu Yang Kok Tiong dan Yang Kui Hui, telah tewas.

Setelah terjadinya peristiwa yang membuat hati kaisar terbenam dalam duka, rombongan itu melanjutkan pengungsian mereka ke daerah Se-cuan. Dan di sepanjang jalan, Panglima Kok Cu it berhasil menghimpun pasukannya, yaitu menampung para perajurit yang melarikan diri dan yang menyusul ke barat untuk bergabung dengan kaisar mereka.

Setelah Yang Kui Hui tidak ada lagi, Kaisar Hsuan Tsung atau Kaisar Beng Ong yang berusa tujuhpuluh tahun itu tidak mempunyai semangat lagi dan diapun melimpahkan tahta kerajaan kepada pangeran mahkota, yaitu Pangeran Su Tsung.

Dan di tempat pengungsian ini, Kaisar yang baru, Kaisar Su Tsung, dibantu oleh Panglima Kok Cu It dan para pengawal yang masih setia, membangun kembali kekuatan Kerajaan Tang. Berkat kebijaksanaan Panglima Kok Cu It yang menjanjikan imbalan besar kepada mereka, pasukan Kerajaan Tang mendapat bantuan dari orang-orang Turki, bahkan mendapat bantuan pula dari Caliph, yaitu panglima kerajaan Arab, dan beberapa suku bangsa lain.

Akhirnya, dengan balatentara campuran ini, Panglima Ko Cu It mulai bergerak ke timur untuk merebut kembali Kerajaan Tang yang terjatuh ke tangan An Lu Shan. Dan terjadilah perang yang berkepanjangan.

Setelah jenazah Yang Kui Hui dikubur secara sepantasnya, sebelum rombongan melanjutkan perjalanan, Kaisar Hsuan Tsung mengadakan percakapan rahasia dengan Pangeran Mahkota dan dengan Panglima Kok Cu It. Hanya mereka bertiga saja yang bicara di dala m ruangan itu, tidak boleh dihadiri orang lain.

Mula-mula kaisar dan pangeran mahkota berdua saja yang duduk di dalam ruangan itu, dan para pengawal disuruh menjaga di luar ruangan. Kemudian datanglah Panglima Kok Cu It dengan wajah muram, dan begitu dia muncul, kaisar sudah cepat bertanya. "Bagaimana, ciangkun, berhasilkah menemukannya?"

Panglima itu dengan murung menggeleng kepala. "Tidak berhasil, Sribaginda. Hamba tidak dapat menemukannya di dalam pakaian yang dipakainya, juga di antara perbekalan di dalam tendanya, hamba tidak dapat menemukan pusaka itu."

Panglima itu dipersilakan duduk dan mereka bertiga nampak murung.

"Akan tetapi, kenapa ayahanda menitipkan pusaka yang amat penting itu kepada Paman Yang Kok Tiong?" kata sang pangeran dengan nada suara menyesal.

Ayahnya menghela napas panjang. "Keadaan amat gawat dan kami tidak melupakan untuk membawa pusaka itu ketika mengungsi. Dan kami yakin bahwa pusaka itu tentu akhirnya akan diperebutkan orang, karena menjadi lambang kekuasaan. Untuk mengamankan, diam-diam kami titipkan kepada Menteri Yang. Tidak akan dicari orang, dan tidak akan ada yang mengira bahwa pusaka ada padanya. Siapa tahu hari ini terjadi malapetaka yang mendadak tidak disangka-sangka?"

"Ampun, Sribaginda. Kiranya tidak perlu disesalkan hal yang telah terjadi. Yang terpenting, kita harus dapat menemukan kembali pusaka itu dan sementara ini, kehilangan itu harus dirahasiakan karena kalau sampai terdengar rakyat, tentu dukungan mereka terhadap paduka menjadi lemah.”

"Apa yang dikatakan Paman Panglima Kok memang benar, ayahanda. Tanpa adanya pusaka itu, hamba sendiri akan merasa lemah menunaikan tugas."

Kaisar mengangguk-angguk dan mereka bertiga terbenam ke dalam kekhawatiran. Pusaka apa yang membuat mereka bertiga begitu cemas karena dinyatakan hilang?

Sejak Kerajaan Tang berdiri, satu setengah abad yang lalu, semenjak kaisar pertama Kerajaan Tang memerintah, yaitu Kaisar Tang Kaocu, Kerajaan Tang memiliki banyak pusaka yang menjadi pusaka kerajaan.

Akan tetapi di antara semua pusaka yang ada, yang dianggap terpenting dan sebagai pusaka tanda kekuasaan adalah sebuah benda mustika yang amat kuno dan amat indah. Benda itu adalah sebuah kemala yang amat luar biasa karena dalam sebongkah kemala itu terdapat warna merah, putih, hijau dan hitam. Jarang ada kemala yang mengandung beraneka warna seperti itu.

Hiasan kemala itu diukir amat halusnya, berbentuk seekor burung Hong yang sedang terbang membentangkan sayapnya. Ukiran itu sedemikian halusnya sehingga seolah hidup saja, dan sepasang matanya juga mengeluarkan sinar. Bukan saja benda ini amat indah dan amat berharga, namun merupakan benda langka.

Namun lebih dari pada itu, benda ini dianggap memiliki daya atau pengaruh sehingga menjadi kepercayaan umum bahwa siapa yang memiliki benda itu, dialah yang mendapat wahyu untuk menjadi kaisar! Seolah benda itu diturunkan dari langit sebagai tanda kekuasaan Kaisar! Kepercayaan ini merupakan tahyul yang sudah berakar mendalam di hati keluarga Kerajaan Tang dan bahkan semua ponggawanya.

Inilah sebabnya, mengapa ketika kaisar Hsuan Tsung kehilangan mestika itu, dia, pangeran mahkota, dan panglima Kok termangu dan berduka. Kalau sampai berita tentang kehilangan mestika itu terdengar keluar, maka sukar sekali mengharapkan dukungan rakyat untuk bergerak dan bangkit kembali. Raja yang sudah kehilangan giok-hong (Hong Kemala) berarti sudah kehilangan hak untuk menjadi raja!

"Ah, mungkinkah dia mengkhianati kami?" Kaisar yang tua itu mengepal tinju. "Keparat engkau Yang Kok Tiong kalau engkau mengkhianati kami dan memberikan mestika itu kepada orang lain!"

"Ayahanda tentu maklum bahwa Paman Yang mempunyai tiga orang anak, seorang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan. Bahkan kabarnya ketika terjadi penyerbuan di kota raja, tiga orang anaknya itu belum pulang. Mereka tentu selamat dan mengapa mereka tidak menyusul kita, padahal ayah mereka berada bersama kita? Ini tentu ada sebabnya. Hamba tidak akan merasa heran kalau kelak ternyata bahwa mestika itu berada di tangan seorang di antara anaknya!"

"Mungkin sekali itu. Keparat engkau, Yang Kok Tiong!" Kaisar memaki-maki menterinya yang sudah tewas.

Panglima Kok Cu It menyabarkan dan menenangkan hati ayah dan anak itu. "Hamba kira, hal itu kelak akan dapat kita selidiki. Hamba kelak akan berdaya upaya sekuat tenaga untuk menemukan kembali mestika itu. Sekarang, sebaiknya kita tidak ribut-ribut dan merahasia kan hal ini, seolah mestika itu masih ada pada paduka. Yang terpenting sekarang adalah menghimpun tenaga agar kita dapat membalas kekalahan kita dari An Lu Shan."

Kaisar tua mengangguk-angguk. Pangeran mahkota Su Tsung yang masih cemas dengan kehilangan mestika itu yang akan membuat dia merasa hampa kalau kelak menjadi kaisar tanpa memilikinya, segera bertanya,

"Akan tetapi, Paman Panglima. Bagaimana kalau nanti para pimpinan kelompok yang kita mintai bantuan mengetahui bahwa mestika itu tidak ada pada kita lagi? Bagaimana kalau mereka minta agar ayahanda Kaisar memperlihatkan mestika itu kepada mereka? Ingat, suku-suku bangsa di sini, terutama bangsa Uigur yang kita harapkan sekali bantuannya, amat percaya akan lambang kekuasaan itu."

"Paduka benar, Pangeran, akan tetapi jangan khawatir, hamba akan mempersiapkan tiruannya!"

Demikianlah, kehilangan mestika itu tetap menjadi rahasia karena setelah tukang yang pandai membuatkan sebuah mestika tiruan yang dilihat begitu saja serupa dengan yang aseli, diam-diam Panglima Kok Cu membunuhnya. Mestika Hong Kemala yang palsu itu lalu diserahkan kepada Kaisar. Ketika kaisar menyerahkan kedudukannya kepada Pangeran MaKkota, maka mestika palsu itupun diberikan kepadanya.

Beberapa kali mestika itu diperlihatkan sepintas lalu kepada para pimpinan kelompok atau suku bangsa sehingga mereka semua percaya bahwa kaisar baru itu masih memiliki Mestika Hong Kemala, maka mereka bersemangat membantunya karena mereka percaya bahwa barang siapa memiliki mestika itu, dia pasti akan berhasil menjadi raja!

* * *

Bukit itu disebut orang Bukit Hitam, berdiri tegar di seberang utara Sungai Yang-ce. Disebut Bukit Hita m karena memang bukit itu selalu nampak hitam! Pohon-pohon yang tumbuh di situ, hutan-hutan, nampaknya memang kehitam hitaman atau hijau tua dan gelap.

Dan bukit ini merupakan tempat yang ditakuti orang, karena selain terdapat banyak ular-ular yang beracun, juga menjadi tempat pelarian dan persembunyian para penjahat yang dikejar-kejar yang berwajib atau di kejar-kejar para pendekar. Bahkan terdengar desas-desus bahwa hutan-hutan di bukit itu juga dihuni oleh setan dan iblis, menjadi sarang siluman yang suka mengganggu manusia.

Tidak mengherankan kalau hampir tidak pernah ada orang berani mendakinya, bahkan para pemburu yang terkenal berani dan gagah sekalipun, akan berpikir seratus kali untuk memburu binatang hutan di bukit itu. Akan tetapi, pada pagi hari itu para petani yang sedang menggarap sawah di kaki bukit sebelah timur, menghentikan pekerjaan mereka dan mata mereka terbelalak memandang kepada seorang gadis yang melenggang seorang diri melalui jalan dusun itu menuju ke arah Bukit Hitam!

Kalau saja gadis itu merupakan seorang wanita yang berwajah mengerikan, atau setidaknya nampak seperti seorang wanita kang-ouw yang gagah perkasa, agaknya para petani tidak akan menjadi bengong memandangnya. Akan tetapi, gadis itu demikian cantik jelita dan lembut, langkahnya juga lemah gemulai seperti orang menari saja.

Gadis itu masih muda, paling banyak sembilan belas tahun usianya, dan ia cantik jelita, wajahnya yang bulat telur dengan kulit muka putih kemerahan tanpa bedak dan gincu. Rambutnya hitam lebat dan agak berombak, dengan anak rambut bermain di dahi dan pelipis, melingkar-lingkar. Akan tetapi yang teramat indah adalah matanya dan mulutnya. Sepasang mat itu lebar dan bersinar¬sinar, dengan kedua ujung agak menyerong ke atas dan mata itu makin indah karena dihias bulu mata yang panjang lentik.

Dan mulutnya! Bibir itu selalu nampak basah dan merah segar, lengkungnya seperti gendewa terpentang, kalau senyum sedikit saja nampak lesung pipit di sebelah kiri mulutnya. Mulut itu menantang dan menggemaskan! Tubuhnya ramping dan padat, dengan lekuk lengkung yang sempurna. Pakaiannya memang sederhana, terbuat dari kain yang kasar, namun bersih dan karena bentuk tubuhnya memang menggairahkan, mengenakan pakaian apapun akan pantas saja.

Agaknya gadis yang melangkah seorang diri sambil senyum-senyum pada burung-burung yang beterbangan, kepada kerbau-kerbau yang meluku di sawah, kepada para petani, menyadari pula bahwa orang-orang itu berhenti bekerja dan memandangnya penuh perhatian.

Namun, pandangan mata para petani itu jauh bedanya, bagaikan bumi dan langit, dengan pandang mata para pemuda yang pernah dijumpainya selama ini. Pandang mata para pemuda, terutama pemuda kota mengandung kekurangajaran dan kegenitan. Sebaliknya, pandang mata para petani itu hanya membayangkan keheranan dan keinginan tahu. ia lalu menghampiri mereka.

"Para paman yang baik, benarkah dugaanku bahwa bukit di depan itu yang dinamakan orang Bukit Hitam?"

"Betul nona," kata seorang di antara mereka, seorang petani berusia limapuluh tahun lebih.

"Ah, kalau begitu betul dugaanku. Nah, terima kasih, paman. Pagi ini cerah sekali, aku ingin cepat-cepat sampai di sana." Gadis itu meninggalkan senyum yang manis sekali kepada mereka lalu memutar tubuh hendak melanjutkan perjalanannya sambil memandang ke arah bukit itu.

"Maaf, nona, apakah nona hendak pergi mendaki Bukit Hitam?"

Suara kakek itu yang membuat si gadis cepat membalikkan tubuh menghadapinya dan memandangnya. Dalam suara kakek itu terkandung kekhawatiran besar. "Benar, paman. Kenapa?"

"Aahhh....!" Semua orang yang mendengar jawaban ini mengeluarkan suara seruan kaget dan khawatir, membuat gadis itu makin tertarik. "Nona, kami tahu bahwa nona tentulah bukan orang dari daerah sini. Nona agaknya belum mengenal Bukit Hitam maka berani hendak mendakinya. Tentu nona belum pernah ke sana, bukan?"

Gadis itu menggeleng kepala. "Belum pernah, paman, akan tetapi kenapa?"

"Aihh, kalau begitu, kami mohon sebaiknya nona jangan sekali-sekali mendaki bukit itu! Maut yang mengerikan menanti nona di sana!" Kakek itu menunjuk ke arah Bikit Hita m dan mukanya agak pucat.

"En, kenapa begitu? Ada apanya sih di atas sana?" Gadis Itu memandang dan menunjuk ke arah bukit, mulutnya tetap tersenyum.

"Apa saja yang dapat mencabut nyawa berada di sana, nona!" kata petani itu. "Binatang buas, ular-ular berbisa, penjahat-penjahat pelarian yang menyembunyikan diri, dan belum lagi... setan dan iblis, siluman dan segala macam arwah penasaran menjadi penghuni hutan di bukit itu!"

Gadis itu membelalakkan matanya yang lebar sehingga mata itu nampak seperti sepasang bintang yang cemerlang "Ih, kalau benar di sana terdapat demikian banyaknya pencabut nyawa, kenapa kalian enak-enak saja bekerja di sini, di kaki bukit itu tanpa rasa takut?"

”Di sini lain lagi halnya, nona. Bukit itu telah menjadi bukit yang ditakuti semenjak nenek moyang kami yang tinggal di sini. Siapapun yang berani ke bukit itu, pasti akan mengalami kematian mengerikan. Akan tetapi, belum pernah penghuni di kaki bukit ada yang diganggu. Maka, sekali lagi, kalau nona hanya hendak melihat pemandangan alam, pergilah ke bukit lain, jangan ke Bukit Hitam."

"Benar, nona, jangan pergi ke sana. Engkau masih begini muda..... betapa mengerikan kalau engkau menjadi korban pula!" kata seorang petani lain.

Gadis itu tersenyum. "Terima kasih atas nasihat para paman di sini. Akan tetapi aku mempunyai urusan dan keperluan di bukit itu. Nah, selamat tinggal!" Gadis itu melangkah lagi.

"Nona...., nona!" Petani itu masih berteriak gelisah. "Urusan apa yang nona punyai di tempat seperti itu?"

Sambil terus melangkah dan menoleh sedikit gadis itu manjawab, "Urusanku justeru ingin bertemu dengan binatang buas, ular berbisa, penjahat dan setan siluman!"

Mendengar jawaban ini, para petani menjadi bengong! Kemudian, mata mereka terbelalak dan mulut mereka ternganga ketika mereka melihat gadis itu berkelebat dan bayangannya lenyap ke arah bukit itu!

"Hiii.... ia..... ia...." seorang tergagap.

"si..... si... siluman.." yang lain menyambung.

Belasan orang petani itu lalu bergerombol, saling berhimpitan dan dengan tubuh gemetar menanti melapetaka apa yang akan menimpa mereka. Baru setelah lewat sejam dan tidak terjadi sesuatu, mereka berani melanjutkan, akan tetapi sama sekali tidak berani membicarakan gadis tadi selama mereka bekerja di sawah.

Baru nanti setelah mereka pulang, akan ramailah di dusun mereka mendengar kisah yang aneh tentang gadis cantik yang berani mendaki Bukit Hitam dan pandai menghilang. Mereka semua yakin bahwa gadis cantik tadi pastilah siluman!

Begitu banyaknya orang membicarakan tentang setan iblis dan siluman dan mereka semua takut kepada siluman. Akan tetapi tak seorangpun di antara mereka yang benar-benar melihat siluman. Mereka sudah banyak mendengar tentang setan, akan tetapi belum pernah melihatnya sendiri secara jelas.

Kalau pun ada yang pernah melihatnya, yang terlihat hanya bayangan atau samar-samar saja sehingga tidak dapat ditentukan bahwa yang dilihatnya adalah setan! Justeru inilah yang mendatangkan rasa takut, justeru karena tidak dapat dilihat. Andaikata setan dan iblis dapat dilihat, maka dia tidak akan ditakuti manusia lagi. Mahluk yang paling buas dan besarpun, asalkan dia dapat dilihat, mudah ditaklukkan oleh manusia.

Setan dan iblispun, kalau terlihat, tentu akan dapat ditaklukkan manusia. Rasa takut timbul karena ulah permainan pikiran. Pikiran membayangkan dan mengkhayalkan yang seram-seram, yang mengerikan, dan timbullah rasa takut. Takut adalah permainan pikiran membayangkan hal yang belum ada, yang belum terjadi.

Orang takut terkena penyakit karena dia belum sakit. Kalau dia sudah terkena penyakit, dia tidak takut lagi kepada penyakit itu, yang ditakuti adalah akibat lain yang belum terjadi, misalnya takut kalau-kalau sakitnya itu akan membuatnya mati, takut kalau kelak mati dia akan tersiksa dan sebagainya dan selanjutnya.


Siapakah gadis cantik jelita yang demikian besar nyalinya mendaki Bukit Hitam, bahkan yang seolah dapat menghilang dari pandang mata para petani? ia bukanlah siluman, bukan iblis atau setan, ia seorang manusia biasa, dari darah dan daging, dan ia bukan lain adalah Can Kim Hong!

Dua tahun telah lewat semenjak Kim Hong diselamatkan oleh seorang kakek gagu dari tangan gurunya sendiri dan putera gurunya, yaitu Bouw Hun dan puteranya, Bouw Ki. Bouw Ki, suhengnya itu, tergila-gila kepadanya dan hendak memaksanya menjadi isterinya, dibantu oleh ayah suhengnya atau gurunya sendiri.

ia melarikan diri akan tetapi dapat disusul mereka, dan tentu ia akan terjatuh ke tangan mereka kalau saja tidak muncul kakek gagu yang mengalahkan ayah dan anak itu, kemudian yang mengantarkan Kim Hong menyeberangi sungai ke pantai sebelah selatan.

Setelah tiba di tepi sungai sebelah selatan, Kim Hong hendak memberi upah kepada tukang perahu yang gagu itu, akan tetapi si tukang perahu menolak, kemudian mencoba untuk menyatakan isi hatinya dengan gerakan tangan. Namun, Kim Hong tidak mengerti.

"Aih, paman yang gagah dan baik, apa sih yang hendak kau katakan dengan gerakan jari tangan itu? Aku tidak mengerti!" kata Kim Hong.

Si gagu tersenyum dan diam-diam Kim Hong merasa senang kepada kakek itu. Bukan hanya karena kakek itu dengan amat mudahnya mengalahkan gurunya yang merupakan datuk orang Khitan, akan tetapi juga senyum kakek itu membuat wajahnya nampak ramah dan menyenangkan, juga masih nampak betapa si gagu ini adalah seorang pria yang tampan.

Dari bentuk wajahnya, sinar matanya, dapat diduga bahwa si gagu ini bukan orang kebanyakan, karena selain wajahnya tampan dan nampak rapi dan bersih, juga matanya mengandung wibawa yang besar. Pakaiannya serba hitam sederhana, bahkan caping lebar yang menutupi kepalanya juga hitam. Yang putih hanya rambutnya, yang panjang dan tiga perempat bagian sudah putih. Sambil tersenyum si gagu lalu membuat coretan di atas tanah dengan sebatang ranting. Kim Hong membaca coret coretan yang membentuk huruf itu.

"Di depan terdapat para penjahat yang jauh lebih berbahaya dari pada dua orang tadi," demikian bunyi tulisan itu.

Kim Hong tersenyum. Kiranya orang ini hendak memperingatkan ia bahwa kalau ia melanjutkan perjalanan, akan banyak menemui penjahat yang bahkan lebih lihai dari pada gurunya! "Aku tidak takut, paman!" katanya.

Si gagu menulis lagi. Coretannya cepat dan bertenaga sehingga mebentuk huruf-huruf yang dalam dan mudah dibaca di atas tanah.

"Keberanian tanpa didasari kekuatan suatu kesombongan yang bodoh dan sia-sia. Nona berbakat, kalau mau menjadi muridku tentu akan memiliki bekal yang kuat untuk melakukan perjalanan seorang diri," kata tulisan itu.

Kim Hong tertegun dan termenung, ia harus mencari ayah kandungnya, akan tetapi kalau baru saja keluar sudah hampir gagal karena ia kurang mampu membela diri, bagaimana kalau di depan benar-benar bertemu lawan yang lebih lihai dari Bouw Hun? Usahanya akan sia sia, dan iapun akan tertimpa malapetaka.

Setelah mempertimbangkan, dan yakin akan kemampuan si gagu, tiba-tiba Kim Hong menjatuhkan diri berlutut di depan tukang perahu itu dan memberi hormat. "Teecu (murid) Can Kim Hong memberi hormat kepada suhu......"

Kim Hong memandang ke atas tanah sebagai isyarat bahwa ia menunggu jawaban orang itu dengan tulisan. Si gagu kembali tersenyum lebar dan ujung ranting itu cepat mencoret beberapa huruf di atas tanah.

"Hek-Liong (Naga Hitam) Kwan Bhok Cu!" Kim Hong membaca dan ia kembali memberi hormat.

"Teecu Can Kim Hong memberi hormat kepada suhu Kwan Bhok Cu yang berjuluk Naga Hitam!"

Kembali pria itu menuliskan diatas tanah setelah dengan ranting dia menghapus tulisan tadi sehingga permukaan tanah rata kembali.

"Aku mau menjadi gurumu, dengan syarat bahwa selama dua tahun engkau ikut ke manapun aku pergi, mentaati semua perintahku, berlatih dengan tekun dan sekali saja engkau mencoba meninggalkan aku sebelum kuberi ijin, aku akan membunuhmu. Bagaimana?"

Kim Hong terkejut. Betapa kerasnya peraturan orang ini. Akan tetapi, karena ia ingin sekali memiliki ilmu kepandaian yang dapat mengalahkan orang seperti gurunya, maka dengan nekat iapun mengangguk dan menjawab dengan suara yang tegas. "Teecu bersedia!"

Si gagu lalu memberi isyarat kepada Kim Hong untuk naik kembali ke dalam perahu kecil. Kim Hong mentaati dan merekapun kembali ke dalam perahu. Si gagu mendayung perahu yang meluncur cepat seperti anak panah terlepas dari busurnya.

Demikianlah, semenjak hari itu, Kim Hong menjadi murid Si Naga Hitam yang gagu. Dia digembleng dengan keras dan tekun, dan karena Kim Hong memiliki bakat yang baik, dan iapun sudah memiliki dasar ilmu silat yang cukup mendalam berkat pendidikan Bouw Hun, maka dalam dua tahun digembleng, ia memperoleh kemajuan yang amat pesat.

Bukan hanya ilmu silat, tenaga sakti sin-kang dan juga ilmu meringankan tubuh, akan tetapi juga gadis itu menerima ilmu bermain di dalam air. ia bukan saja pandai renang seperti ikan, akan tetapi juga tahan menyelam sampai lama, tidak seperti kemampuan orang biasa, dan di dalam airpun ia dapat bergerak dengan gesit.

Selama dua tahun lebih, Kim Hong membuktikan bahwa biarpun ia suka berkelakar, lincah galak, Jenaka dan ugal ugalan, namun ia taat dan tekun berlatih sehingga belum pernah gurunya yang gagu itu merasa kecewa atau menyesal. Bahkan sejak mempunyai Kim Hong sebagai muridnya, si gagu itu nampak selalu cerah dan berseri, selalu gembira dan diam-diam dia amat menyayang gadis itu seperti anaknya sendiri. Itulah sebabnya maka dia ingin menjadikan Kim Hong seorang gadis yang benar-benar tangguh.

Pada suatu hari, ia memanggil Kim Hong dan gadis itu seperti biasa, telah mempersiapkan sebatang ranting untuk menjadi alat tulis bagi gurunya sebagai pengganti kata-kata. Akan tetapi, kalau ada orang lain melihat cara guru itu "bicara" kepada muridnya melalui tulisan, mereka akan terlongong heran. Si Naga Hitam sama sekali tidak mencoret ke atas tanah lagi seperti dua tahun yang lalu, melainkan dia menggunakan ranting itu untuk membuat gerakan mencoret-coret di udara!

Dan hebatnya, Kim Hong dapat mengikuti setiap gerakan corat coret itu dan membacanya, walaupun tentu saja dipandang dari sudutnya yang berhadapan, huruf-huruf yang ditulis di udara itu terbalik! Inilah merupakan semacam ilmu yang dikuasainya karena kebiasaan.

Selama dua tahun, gurunya selalu bicara dengan coretan huruf dan gadis itu sedemikian hafal dengan gerakan itu sehingga lambat laun, gurunya tidak perlu lagi menulis di atas tanah, cukup membuat gerakan menulis di udara. Dan "ilmu" ini ternyata mendatangkan kemajuan pesat bukan main dalam ilmu silat Kim Hong, karena pandang matanya kini amat peka dan tajam, dapat mengikuti gerakan ranting yang sengaja dipercepat oleh si gagu kalau dia menuliskan huruf di udara.

"Semua ilmu simpanan telah kuajarkan padamu," demikian bunyi coretn di udara itu, diikuti dengan seksama oleh Kim Hong. "Akan tetapi aku ingin engkau memiliki kekebalan terhadap segala macam racun sehingga engkau tidak dapat dicurangi lawan yang jahat dan yang suka menggunakan racun untuk menjatuhkan lawan. Untuk keperluan itu, sekarang juga engkau harus pergi mencarii Ang-thouw-hek coa (Ular Hitam Kepala Merah). Jangan kembali ke sini sebelum engkau membawa seekor Ang-thouw coa. Pergilah engkau ke Bukit Hitam di lembah sungai Yang-ce sebelah utara. Tempat itu amat berbahaya, dan engkau berhati-hatilah. Sekali terkena gigitan ular itu, kekuatan tubuhmu tidak akan mampu melindungimu. Nah, berangkatlah dan jangan ragu!"

Seperti biasa, Kim Hong menaati perintah ini. Setelah membawa bekal pakaian, iapun berangkat. Dan pada suatu pagi, tibalah ia di kaki Bukit Hitam dan sikapnya membuat para petani di kaki bukit itu terkejuf dan ketakutan, mengira ia seorang siluman.

* * *
Biarpun Kim Hong memiliki watak yang lincah Jenaka, galak dan ugal-ugalan, akan tetapi iapun selalu waspada dan tidak ceroboh. Apa lagi melihat sikap para petani di kaki bukit, ia tahu bahwa bukit yang didaki itu merupakan tempat yang berbahaya. Juga gurunya menuliskan bahwa Bukit Hitam merupakan tempat berbahaya dan ia harus berhati-hati. Itulah sebabnya, setelah memasuki hutan pertama, ia mendaki dengan hati-hati dan tidak tergesa-gesa waspada terhadap sekelilingnya.

Dalam keadaan seperti itu, gadis ini waspada dan seluruh pancaindera dan urat syarafnya dalam keadaan peka dan siap siaga sehingga ada gerakan sedikit saja, ada bau apa saja dan pendengaran apa saja, ia pasti dapat menangkapnya dengan cepat. Inilah hasil dari kepekaan yang didapat karena selama dua tahun lebih, setiap hari ia mengikuti dan menangkap gerakan ranting di tangan suhunya setiap kali bicara kepadanya.

Bukan hanya matanya yang amat jeli, juga pendengarannya sehingga ia dapat mengikuti gerakan ranting di tangan suhunya dengan pendengarannya saja. Tanpa melihatpun, ia dapat mendengarkan dan mengetahui huruf apa yang ditulis suhunya di udara!

Tiba-tiba ia berhenti, hidungnya yang kecil mancung itu bergerak-gerak sedikit, atau lebih tepat lagi, cuping hidung yang tipis itu kembang kempis, ia mencium sesuatu! Di dalam hutan seperti itu yang hawanya lembab, memang terdapat banyak macam bau yang ditimbulkan oleh kebasahan tanah yang ditilami daun-daun kering membusuk, daun-daun yang basah, kembang-kembang hutan, kotoran binatang, dan sebagainya. Akan tetapi Kim Hong mencium bau bangkai!

Tentu saja karena tidak berpengalamanan dalam hal ini, ia tidak dapat membedakan bangkai apa yang menghamburkan bau busuk itu, bangkai binatang ataukah manusia, ia menghampiri dan menutupi hidungnya ketika melihat bahwa yang berbau busuk itu adalah mayat seorang manusia.

Agaknya baru beberapa hari orang laki-laki itu tewas. Mukanya belum rusak, akan tetapi kulitnya sudah mulai rusak dan membusuk. Sekali pandang saja tahulah Kim Hong bahwa orang itu tewas karena luka berat di kepalanya, bahkan kepala itu terlihat bentuknya sudah tidak utuh lagi, retak atau pecah. Dan ia melihat tanda menghitam seperti jari-jari tangan di pelipis kanan mayat itu.

Kim Hong melanjutkan perjalanannya, mendaki ke atas. Dan di sepanjang perjalanan mendaki yang sukar karena tempat itu licin dan banyak terdapat jurang yang curam, ia melihat mayat-mayat berserakan. Semua ada tujuh orang banyaknya! ia semakin waspada.

Betul pesan suhunya, dan benar pula keterangan para petani tadi. Tempat ini berbahaya sekali. Melihat keadaan tujuh orang itu, yang tewas dengan tanda-tanda bekas jari menghitam, mereka tentulah bukan orang-orang sembarangan. Rata-rata bertubuh tegap dan kokoh kuat, dan di dekat mereka selalu terdapat senjata, agaknya senjata mayat itu. Ada pedang, golok, tombak dan lain-lain, yang kesemuanya menunjukkan senjata yang cukup baik. Ada pembunuh yang meninggalkan tapak jari hitam di tempat ini, pikirnya!

Suara mendesis dari sebelah kiri membuat Kim Hong meloncat dan menjauh. Seekor ular yang panjangnya satu setengah depa bergerak cepat ke arahnya. Ular itu agaknya galak, berani menyerang manusia. Akan tetapi bukan ular yang ia cari karena ular ini belang-belang, dan panjang.

Padahal Ang-thouw-hek-coa, menurut suhunya, hanya sebesar ibu jari tangan dan panjangnya tidak lebih dari dua tiga jengkal saja. Tangan Kim Hong menyambar sebatang ranting dan sekali ranting bergerak, ular itu melingkar-lingkar dan menggeliat-geliat sekarat dengan kepala tertembus ujung ranting yang menghunjam ke dalam tanah.

Tiba-tiba pendengarannya menangkap suara nyanyian aneh, terdengar asing sekali baginya, lapun menyelinap di antara pohon-pohon dengan tetap waspada karena ia tidak mau kalau tiba-tiba kakinya dipagut ular berbisa, ia menyusup-nyusup sampai ke tempat dari mana suara itu datang dan tak lama kemudian, ia sudah mengintai dari balik semak belukar dengan mata terbelalak heran.

Tigabelas orang duduk bersila di tempat terbuka dalam setengah lingkaran. Di depan setiap orang nampak sebatang hio besar menancap di atas tanah dan terbakar membara, mengeluarkan asap yang baunya aneh. Bau ini tadi bahkan pernah tercium oleh Kim Hong, akan tetapi disangkanya bau itu datang dari semacam kembang yang tidak dikenalnya.

Dan tigabelas orang inilah yang bernyanyi, nyanyian dalam bahasa aneh yang tidak dikenalnya. Melihat pakaian mere ka, orang-orang itu tentu bangsa campuran. Ada yang berpakaian Han, ada yang seperti pakaian orang Uigur Man-cu, dan Mongol. Mereka terdiri dari spuluh orang laki-laki dan tiga orang wanita, usia mereka sekitar tiga puluh sampai empat puluh tahun.

Suara nyanyian mereka semakin meninggi dan menggetarkan suasana. Kim Hong terkejut dan cepat mengerahkan sin-kan untuk melawan pengaruh suara yang menggetarkan jantungnya itu. Dan tak lama kemudian, tercium bau yang memuakkan, amis dan keras, dan nampak puluhan ekor ular berbondong-bondong datang, berlenggang-lenggok memasuki tempat itu, ke dalam setengah lingkaran, berkumpul di tengah dan mereka nampak jinak-jinak!

Ular-ular terus berdatangan sehingga jumlahnya tidak kurang dari seratus ekor, ada yang besar ada yang kecil dan dari bermacam warna. Dengan tertarik sekali Kim Hong memandang dan mengamati dari tempat pengintaiannya, akan tetapi hatinya kecewa. Tidak seekorpun di antara banyak ular itu yang warnya seperti ular yang dicarinya. Tidak ada Ang¬thouw-hek-coa di situ!

Melihat demikian banyaknya ular, biarpun ia tidak takut, namun ia merasa jijik dan otomatis tangannya menyambar sebatang ranting untuk mempersiapkan diri kalau-kalau ular-ular menjijikkan itu tiba-tiba menyerangnya.

Gurunya yang pertama, yaitu Bouw Hun kepala suku Khitan, pernah memberi tahu kepadanya bahwa untuk menghadapi ular-ular, paling baik mempergunakan ranting, terutama sekali ranting bambu. Sekali saja terkena sabetan ranting yang sebesar jari tangan, ruas tulang seekor ular dapat dibuat terlepas dan binatang itu tentu tidak dapat lari lagi. Menggunakan pemukul yang besar tidak menguntungkan karena ular itu pandai mengelak dengan tubuhnya yang berkulit licin. Sabetan ranting kecil yang melintang tidak dapat dielakkan.

Kini tigabelas orang itu, yang tadinya bersila, berlutut dan menyembah-nyembah ke arah sekumpulan ular, dan mulut mereka masih mengeluarkan suara nyanyian aneh itu. Kim Hong dapat menduga bahwa mereka ini adalah segerombolan orang sesat penyembah ular!

Pernah ia menclengar dari Bouw Hun bahwa memang terdapat orang-orang yang menyembah ular yang dianggap sebagai dewa-dewa tanah. Dan orang-orang seperti itu memiliki ilmu menalukkan ular, mereka adalah pawang-pawang ular yang pandai dan juga ahli racun ular sehingga merupakan musuh yang amat berbahaya!

Akan tetapi menurut guru pertamanya itu, para penyembah ular ini bukan orang yang suka melakukan kejahatan, tidak suka merampok atau mengganggu orang lain dan hanya bertindak keras kalau diganggu. Mereka mendapatkan penghasilan dari menjual racun-racun ular kepada rumah-rumah obat yang membutuhkan racun untuk berbagai keperluan pengobatan.

Mereka ahli mengolah racun berbagai macam ular menjadi pel, dan setiap macam racun ular tertentu mempunyai manfaat tertentu pula. Racun-racun yang sudah menjadli pel itu amat mahal sehingga kehidupan para penyembah ular ini cukup makmur.

Tiba-tiba datang pula seekor ular besar dan ular itu menggigit bangkai seekor ular lain. Melihat ini, berdebar rasa jantung Kim Hong karena ia melihat betapa ular yang mati dan yang dibawa ular besar itu masih tertusuk ranting. Itulah ular yang menyerangnya tadi dan yang telah dibunuhnya!

Seorang cli antara tigabelas orang itu, laki-laki berusia empat puluhan tahun, tubuhnya tinggi kurus seperti ular, matanya sipit clan hidungnya pesek, bangkit dan menghampiri ular besar, lalu memeriksa ular yang mati. Alisnya berkerut dan diapun berkata clalam bahasa Han kepada ular besar yang kulitnya keputih-putihan itu.

"Pek- coa, kau cari pembunuhnya dan bawa dia ke sini, hidup atau mati!"

Ular besar putih itu seolah mengerti apa yang diucapkan si mata sipit. Seperti seekor anjing pelacak, dia mencium-cium ke arah ranting yang masih menancap di kepala rekannya, kemudian diapun bergerak pergi dengan cepat, menghilang ke dalam rumpun ilalang!

Diam-diam Kim Hong bergidik ngeri. Ketika ia memandang lagi, si mata sipit itu kini mengeluarkan sebatang pisau tajam, lalu melepaskan daging dan kulit ular yang mati itu dengan hati-hati agar jangan merusak tulangnya.

Kemudian, daging itu dia kerat-kerat dan dia lemparkan ke arah ular-ular yang segera memperebutkannya seperti sekumpulan ayam kelaparan dilempar jagung. Dan tulang itu, masih utuh berikut kepalanya yang sudah dilepas dari ranting yang menembusnya, lalu dikubur di tengah-tengah lingkaran itu dengan dibantu oleh teman-temannya, kemudian mereka bersembahyang di depan "Makam" kecil tulang ular itu!

Kim Hong demikian tertarik sehingga dia agak lengah, tidak tahu bahwa ular besar putih itu bergerak perlahan menghampirinya dari belakang! Ular itu cukup besar, sebesar betis orang dewasa dan panjangnya ada dua meter!

Baru Kim Hong tersentak kaget ketika hidungnya mencium bau wangi aneh di belakangnya, ia menengok dan hampir menjerit saking jijiknya ketika melihat ular putih itu sudah berada dekat di belakangnya dengan mata mencorong dan lidah merah keluar masuk moncongnya! Jelas ular itu, seperti seekor anjing pelacak, sudah menemukan yang dicarinya dan kini siap untuk menyerang!

Kim Hong seorang gadis pemberani, bahkan tidak pernah mengenal takut. Apa lagi setelah kini ia menjadi lihai sekali karena gemblengan Hek-liong Kwan Bhok Cu, ia menjadi semakin berani. Akan tetapi, bagaimanapun juga ia tetap saja seorang wanita dan sebagian besar kaum wanita merasa ngeri dan jijik, bukan takut kalau melihat ular.

Kini, dalam keadaan jijik melihat ular putih itu tiba-tiba berada di belakangnya,setelah membalikdan berhadapan, Kim Hong tidak membuang waktu lagi. Pada saat ular itu membuka moncongnya hendak menyerang, ia mendahului dengan tusukan rantingnya yang tepat memasuki moncong itu dan menembus ke belakang kepala! Ular itu menggeliat-geliat, dengan ekornya ia memukul ke kanan kiri sehingga menimbulkan suara gaduh.

Dan tiba-tiba saja Kim Hong sudah mendapatkan dirinya terkepung oleh tigabelas orang itu yang memandang kepadanya dengan mata mengandung kemarahan.

"Kiranya engkau, nona muda yang kejam, yang telah membunuh ular-ular kami! Agaknya engkau pula yang telah membunuhi beberapa orang kawan kami dengan kejam!" bentak si mata sipit dan tiga belas orang itu sudah mencabut senjata mereka, yaitu sebatang suling baja yang ujungnya runcing seperti tombak.

Agaknya para pawang ini mempunyai suling untuk memanggi ular dan alat inipun diperguna kan sebagai senjata. Kim Hong dapat menduga bahwa tentu ujung suling yang runcing itu mengandung racun mematikan, maka iapun bersikap waspada dan sekali tubuhnya bergerak, ia sudah meloncat ke arah tempat terbuka yang tadi dipergunakan untuk tempat sembahyang tigabelas orang itu.

Maksudnya adalah untuk mencari tempat yang lapang agar leluasa ia menghadapi pengeroyo kan mereka. Akan tetapi, ia mendapat kenyataan yang mengejutkan, ia lupa bahwa di situ berkumpul seratus ekor ular! Dan benar saja, begitu ia terkejut karena teringat akan ular-ular itu, terdengar suara melengking, mungkin suara sebatang suling yang ditiup, dan seratus ekor ular-ular itu serentak menyerangnya dengan ganas!

Kim Hong dalam keadaan serba salah, ia lalu meloncat pula dan tubuhnya sudah melayang naik ke atas pohon, aman dari serangan ular-ular itu. "Tahan!" teriaknya kepada tiga belas orang itu. "Aku sama sekali tidak pernah membunuh kawan kalian dan kalau aku membunuh dua ekor ular itu, aku sekedar membela diri, bukan sengaja membunuh!"

Akan tetapi tigabelas orang itu agaknya sudah marah dan penasaran sekali melihat dua ekor ular mereka terbunuh. Mereka ramai-ramai mengepung pohon di mana Kim Hong berada dan mengacung-acungkan suling mereka dengan si kap mengancam.

Tiba-tiba terdengar angin menyambar dahsyat, sesosok bayangan berkelebat dan seorang di antara tiga belas orang itu roboh dengan kepala retak! Semua orang terkejut dan di situ telah berdiri seorang laki-laki raksasa yang menyeramkan!

Pria itu berusia enam puluhan tahun, tubuhnya tinggi besar dan kokoh kuat seperti batu karang dan yang mengerikan adalah kulitnya yang hitam seperti arang! Yang nampak jelas hanya putih matanya saja karena rambutnya juga masih hitam semua. Mukanya penuh dengan brewok pula.

Duabelas orang penyembah ular itu kini melupakan Kim Hong dan mereka mengepung si raksasa hitam. Orang yang bermata sipit dan berhidung pesek menudingkan, sulingnya kepada orang itu dan berseru marah.

"Kiranya engkau yang telah membunuhi kawan-kawan kami selama beberapa hari ini?"

Kakek raksasa itu mengebut-ngebutkan ujung pakaiannya yang mewah sambil tertawa terkekeh-kekeh. Biarpun seluruh kulitnya hitam arang akan tetapi kakek raksasa itu berpakaian indah dan bersih, sampai sepatunyapun mengkilap dan dia seorang pesolek karena rambutnyapun tersisir rapi dan berkilauan karena diminyaki. Rambutnya diikat dengan sutera merah dan gelung rambutnya dihias tusuk gelung dari emas permat berbentuk seekor harimau.

"Ha-ha-heh-heh-heh, mereka tidak mau menyerahkan racun-racunnya kepadaku, maka kubunuh! Dan akupun membunu temanmu itu, agar kalian tidak banyak cing-cong lagi. Cepat serahkan seluruh pengumpulan racun kalian kepadaku kalau kalian menghendaki hidup!"

Si mata sipit hiclung pesek mengeluarkan suara melengking clari mulutnya, dan seratus ekor lebih ular-ular itu kini menyerbu ke arah si raksasa hitam. Kakek itu masih tertawa bergelak. dan keclua tangannya bergerak menclorong ke clepan, ke arah ular-ular itu. Dan, serangkum angin keras clan kuat sekali menyambar ke arah ular-ular itu yang terlempar jauh ke belakang seperti sekumpulan daun kering diterbangkan angin taufan!

Duabelas orang itu terkejut clan merekapun serentak maju mengeroyok kakek raksasa. Akan tetapi, kembali kakek itu menggerakkan kedua tangannya clan empat orang yang beracla paling clekat clengannya, terjengkang ke belakang clan terguling-gu ling. K lau semua o-rang terkejut, kakek itu tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha, kalau kalian semua mampus dan aku tidak memperoleh racun racun itu, berarti kita bersama menderita rugi! Sebaliknya, cepat serahkan emua racun yang telah kalian kumpulkan, dan aku ticlak akan membunuh kalian, berarti kita bersama mendapat keuntungan!"

Jelas bahwa kakek itu ticlak segera membunuh karena dia mengharapkan untuk memperoleh pel-pel beracun yang amat berharga clari sekelompok orang penyembah ular itu.

"Orang tua yang kejam, siapakah engkau yang begitu kejam membunuhi teman-teman kami, dan untuk apa engkau henclak merampas racun-racun clari kami? Racun-racun itu merupakan sumber nafkah kami, kenapa engkau begitu ticlak tahu malu untuk merampok kami?"

"Hemm, kalau aku tidak membutuhkan racun-racun itu, untuk apa aku mengganggu kalian? Aku Hek-bin Mi ong (Raja Iblis Muka Hitam) ticlak suka ber urusan clengan orang-orang kecil maca m kalian. Cepat serahkan semua racun, atau kalian tidakakan dapat melihat matahari besok!"

"Sam-mo-ong (Tiga Raja Iblis).....??" beberapa orang diantara para penyembah ular itu berbisik-bisik. Mendengar bisikan ini, Hek-bin Mo-ong tertawa.

"Bagus, kalian sudah mendengar nama kami bertiga. Aku memang seorang di antara Sam-mo-ong, akulah orang pertama! Nah, cepat serahkan semua racun kalau kalian tidak ingin mampus di tangan Hek-bin Mo-ong!"

"Hek-bin Mo-ong, engkau terkenal sebagai seorang datuk persilatan yang berkedudukan tinggi. Kenapa engkau mem bunuhi re kan-rekan kami yang tidak ber dosa? Dan sekarang, setelah membunuh banyak rekan kami, engkau memaksa kami menyerahkan milik kami yang menjadi sumber nafkah kami. Tidak, ka mi tidak akan menyerahkannya!" teriak si mata sipit dan sebelas orang lainnya juga berteriak-teriak mendukungnya.

Sepasang alis yang tebal itu berkerut dan mata yang lebar itu mencorong. "Kalian lebih memilih mampus? Keparat, kalau begitu, kalian mampus..."

Tiba-tiba dia terkejut karena terdengar suara bercuit nyaring, dan sebatang benda panjang meluncur ke arahnya dari atas. Dia mengira bahwa itu tentulah seekor ular terbang, maka cepat dia menangkis dengan lengan tangannya.

"Wuuutt..... brett.....!”

Ranting itu terpukul ke bawah dan menancap ke atas tanah sampai amblas lenyap, akan tetapi betapa kaget rasa hati Hek-bin Mo-ong ketika melihat betapa lengan bajunya robek dan kulit lengannya lecet. Padahal, yang menyerangnya tadi hanya sebatang ranting kecil! Bagaimana mungkin ranting dapat menembus kekebalannya?

Hek-bin Mo-ong menoleh ke arah pohon besar dari mana ranting itu tadi meluncur dan dia melihat sesosok bayangan hitam menyambar turun dan tahu tahu di depannya telah berdiri seorang gadis yang luar biasa cantiknya! Gadis itu mengenakan pakaian sederhana dari kain kasar yang berwarna serba hitam berkembang abu-abu, dan gadis itu berdiri bertolak pinggang dan memandang kepadanya sambil tersenyum manis, senyumyang mengandung ejekan!

"Aih-aih, selama hidupku baru sekarang aku bertemu orang yang lahir batinnya berwarna hitam! Hek-bin Mo-ong, julukanmu Raja Iblis Muka Hitam, akan tetapi kulihat yang hitam bukan hanya mukamu melainkan seluruh kulitmu sampai menembus ke hati. Hatimu juga hitam dan jahat sekali!"

Hek-bin Mo-ong masih bengong memandang kepada Kim-hong. Belum pernah dia bertemu seorang gadis yang begini cantik dan lincah dan berani, juga dilihat dari luncuran ranting tadi, ia tentu memiliki ilmu kepandaian yang tidak boleh dipandang ringan!

"Ha-ha-ha, akupun selama hidupku belum pernah bertemu seorang gadis yang begini cantik jelita! Manis, siapakah engkau dan mengapa pula engkau menyerangku tadi? Apakah engkau juga anggauta dari para penyembah ular ini?"

"Tidak ada hubunganku dengan mereka, akan tetapi aku paling membenci orang yang jahat dan kejam, bertindak sewenang-wenang seperti kamu ini! Pergilah dan jangan ganggu lagi mereka, atau aku terpaksa akan menghajarmu!" Sambil bertolak pinggang dan mengeluarkan ancaman seperti itu, lagak Kim Hong seperti seorang dewasa memarahi seorang anak kecil yang nakal saja.

"Ha-ha-ha, bocah sombong kau! Akan tetapi engkau sungguh menarik, engkau pantas untuk menemani aku bersenang-senang selama beberapa hari, ha-ha-ha!" Setelah berkata demikian, tiba tiba saja Hek-bin Mo-ong bergerak, kedua lengannya dikembangkan dan seperti seekor biruang hitam dia sudah menubruk dan menerkam ke arah Kim Hong.

Namun, sebelum dia menerkam, gerakannya telah diketahui gadis itu, dan dengan keringanan tubuhnya, dengan mudah Kim Hong mengelak dengan loncatan ke samping, kemudian ia membalik dan kakinya sudah menyambar dan menendang ke arah lambung lawan.

"Dukk! Uhhh!" Tendangan itu mengenai lambung dan biarpun tidak dapat merobohkan raksasa itu, tetap saja membuat dia terkejut dan terbatuk karena isi lambungnya terguncang. Sebetulnya, Hek-bin Mo-ong adalah seorang datuk sesat yang memiliki tingkat kepandaian tinggi.

Kalau dia dalam segebrakan terkena tendangan Kim Hong, hal itu adalah karena dia memandang rendah dan dia tadi menubruk seperti menghadapi seorang lawan ringan saja, yang dianggapnya sekali terkam dapat menangkap gadis yang lincah menggemaskan hati itu. Karena memandang rendah, dia lengah. Apa lagi Kim Hong memiliki gerakan yang amat cepat.

Sebaliknya, Kim Hong diam-diam terkejut. Tendangannya itu dapat merobohkan seorang lawan yang kuat, akan tetapi ketika tendangan itu mengenai lambung raksasa ini, hanya sempat membuatnya terbatuk kecil saja. Ini membuktikan bahwa lawannya memang amat kuat dan kebal.

Hek-bin Mo-ong tentu saja menjadi marah bukan main. Sebagai seorang datuk besar, dalam segebrakan lambungnya terkena tendangan. Biarpun dia tidak roboh dan kalah, akan tetapi hal ini membuat dia merasa malu sekali. Maka, diapun mengeluarkan suara gerengan seperti seekor binatang buas dan ketika dia menggerakkan kedua tangannya di udara, digoyang-goyang seperti sepasang cakar harimau, tangan itu berubah warnya menjadi hitam tua sampai ke sikunya! Dan melihat ini, Kim Hong maklum bahwa bekas pukulan jari tangan inilah yang dilihatnya pada mayat-mayat itu, bekas pukulan maut.

"Bocah keparat, kuhancurkan kepalamu!" bentaknya dan diapun bergerak menerjang dengan bengisnya.

Namun, Kim Hong sudah cepat mencabut keluar sepasang senjatanya. Sebelum ia menjadi murid Hek-liong Kwan Bhok Cu, ia sudah mempelajari penggunaan delapanbelas macam senjata dari gurunya yang pertama, yaitu Bouw Hun, dan iapun memiliki senjata yang khas seperti gurunya dan suhengnya, yaitu sebatang pedang yang bentuknya melengkung.

Akan tetapi, gurunya ke dua yang gagu mengajarkan penggunaan sepasang pedang pendek seperti pisau belati yang kedua gagangnya disambung dengan sehelai tali yang amat kuat. Sepasang senjata ini oleh gurunya dinamakan siang-hui-kiam (sepasang pedang terbang) dan ia sudah mahir sekali memainkan sepasang pedang pendek ini. Sepasang senjata ini lebih indah dan lebih praktis, mudah disimpan karena tidak panjang seperti dua buah pisau belati saja. Dan sepasang pedang pendek ini terbuat dari baja pilihan yang amat baik sehingga mampu mematahkan senjata lain yang terbuat dari baja biasa saja.

Begitu Hek-bin Mo-ong menerjang dengan kedua tangannya yang berubah hitam sekali, Kim Hong cepat mengelak. Tangan kedua menyusul, akan tetapi, gadis ini memiliki kelincahan gerakan yang luar biasa, membuat beberapa kali sambaran kedua tangan itu luput. Sebaliknya, ia mulai menggerakkan senjatanya dan tiba-tiba saja ada sinar bercahaya menyambar ke arah leher raksasa itu. Si Raja Iblis Muka Hitam cepat menggerakkan tangan untuk menangkis dan mencengkera m ke arah sinar itu tanpa takut karena memang kedua tangannya kini menjadi kebal dan beracun.

"Tringgg......!"

Pedang pendek yang tertangkis itu mengeluarkan bunyi nyaring, akan tetapi tidak dapat tertangkap karena pedang itu telah terbang kembali ke tangan pemiliknya. Pedang yang diikat dengan tali itu ternyata dapat beterbangan, dikendalikan oleh tangan Kim Hong yang memegang talinya. Dan kini, dari kiri menyambar pula pedang terbang kedua, yang menyambar ke arah mata kanan lawan.

"Hemmm.....!" Raksasa hitam itu menggereng marah akan tetapi juga kaget. Cepat dia menundukkan kepala, tubuhnya cenderung ke depan dan lengannya yang panjang telah mencengkeram ke arah dada gadis itu.

Kim Hong terpaksa melompat ke belakang, akan tetapi lawannya juga meloncat dan menyusulkan serangan yang bertubi-tubi, menggunakan sepasang lengan panjang yang memiliki cakar yang hitam beracun dan amat kuat itu. Kim Hong maklum akan bahayanya jari-jari tangan itu, maka iapun mempergunakan kelincahannya untuk mengelak ke sana sini sambil mencari kesempatan untuk membalas serangan lawan dengan sepaang pedang terbangnya.

Duabelas orang pemuda ular yang tadinya tertegun melihat gadis yang mereka serang tadi tiba-tiba bahkan membantu mereka menghadapi Hek-bin Mo-ong, kini bergerak dan dipimpin oleh si mata sipit, mereka maju mengepung dan membantu Kim Hong mengeroyok kakek raksasa itu.

Mereka menggunakan suling yang ujungnya runcing dan mengandung racun yang amat kuat, maka begitu di keroyok, Hek-bin Mo-ong menjadi sibuk juga. Menghadapi Kim Hong seorang saja, raksasa itu masih belum mampu menang, apa lagi kini ditambah duabelas orang pemuda ular yang rata-rata memiliki ilmu silat lumayan dan terutama sekali racun yang mereka pergunakan amat berbahaya.

Si mata sipit, mengeluarkan sebuah bungkusan dari saku bajunya dan begitu dia menaburkan isinya ke arah Hek bin Mo-ong, tercium bau yang amat keras dan kakek hita m itu cepat menahan napas dan tubuhnya sudah melayang naik ke atas pohon! Juga Kim Hong menahan napas dan menjauh.

"Nona telanlah pel ini untuk menjaga diri!" kata si mata sipit sambil melemparkan sebuah pel hitam ke arah Kim Hong.

Gadis ini sudah merasa betapa lengan kirinya gatal, mungkin terkena bubuk yang disebarkan tadi. ia menyambut benda yang dilemparkan kepadanya, dan tanpa ragu iapun menelan pel hitam kecil itu. Dan memang hebat sekali, begitu tertelan, dalam waktu beberapa detik saja, seluruh tubuhnya terasa hangat dan rasa gatal di lengannya pun lenyap! Kini ia berani mendekati mereka tanpa takut terkena bubuk yang di taburkan tadi...
Selanjutnya,

Mestika Burung Hong Kemala Jilid 04

Mestika Burung Hong Kemala

Karya : Kho Ping Hoo
Cerita silat Mandarin Serial Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo
Jilid 04
KAISAR dan Panglima Kok Cu it muncul di beranda loteng dan mereka melihat betapa semua pasukan telah berdiri di depan pondok dan sikap mereka seperti harimau yang haus darah!

Ketika melihat kaisar dan Panglima Kok Cu It muncul di loteng, semua orang terdiam. Bagaimanapun juga, kaisar dan panglima itu masih memiliki wibawa besar yang membuat mereka gentar dan tunduk. Sekilas pandang saja tahulah Panglima Kok Cu bahwa semua perwira terlibat dalam unjuk perasaan itu, maka tidak mungkin melakukan tertib hukum, militer. Kalau mereka itu dihukum, sama saja dengan melenyapkan pasukan pengawal!

"Apa artinya semua ini?" terdengar suara Kok Cu It yang menggelegar. ”Kami mendengar kalian telah membunuh Menteri Yang! Dan sekarang kalian membikin ribut di sini. Apakah kalian hendak memberontak terhadap Sribaginda Kaisar?"

Kaisar sendiri juga berusaha menenangkan hati mereka. "Para perajurit dengarlah baik-baik. Kami mengerti bahwa kalian menderita kelaparan dan kehausan, kelelahan. Akan tetapi, kami tidak akan pernah melupakan jasa kalian. Jasa kalian masing-masing telah kami catat dan percayalah, Kerajaan Tang akan bangkit kembali dan setelah kita berhasil, kalian masing-masing akan mendapatkan kedudukan yang tinggi. Kami percaya kalian adalah pahlawan-pahlawan, bukan pengkhianat."

Mendengar ucapan kaisar dan panglima mereka, para perajurit itu kini berteriak-teriak lagi. "Hukum gantung Yang Kui Hui! Ia telah meracuni istana, ia telah melemahkan kerajaan, mempermain kan Sribaginda!"

"Kami telah menghukum Yang Kok Tiong, dan kami akan menghukum Yang Kui Hui! Kerajaan Tang harus dibersihkan dari orang-orang yang mempermainkan kerajaan dan mau enaknya saja!"

Wajah kaisar menjadi pucat mendengar ini. "Ah, bagaimana ini, Kok-ciangkun......?" bisiknya kepada panglimanya dengan suara gemetar.

Kok Cu It mengamati keadaan para anak buahnya. Pendengarannya yang tajam mendengar bahwa di antara teriakan-teriakan mereka terdapat ancaman, bahwa kalau Kaisar tidak menghukum mati Yang Kui Hui, mereka akan membakar pondok itu dan membunuh seluruh keluarga kaisar!

Pangeran Su Tsung, yaitu putera mahkota yang ikut pula naik keberanda loteng dan sejak tadi bercliri di belakang kaisar bersama Selir Yang Kui Hui juga mendengar teriakan-teriakan itu. Selir ini sudah merasa sedih dan sakit hati sekali mendengar bahwa kakaknya dibunuh oleh para perajurit dan kini mereka berteriak-teriak menuntut agar ia di hukum mati!

"Sribaginda, hamba tidak melihat lain jalan...." kata Panglima Kok Cu It. Diam-diam, jauh di dasar lubuk hatinya, panglima ini tidak dapat menyalahkan sikap pasukannya. Memang semua orang tahu betapa Yang Kui Hui telah melemahkan istana, melemahkan kaisar dan dengan sendirinya juga melemahkan negara. Wanita ini menjadi rebutan antara anak dan ayah. Isteri Pangeran houw ini direbut oleh mertuanya sendiri dan setelah menjadi selir kaisar, semua kekuasaan kaisar di kendalikannya!

"Hukum Yang Kui Hui!"

"Iblis betina itu kekasih An Lu han si pemberontak!"

Teriakan-teriakan semakin berani. Yang Kui Hui maklum bahwa tidak ada lagi harapan baginya, lapun kini teringat akan semua sikap dan perbuatannya, yang dilakukan demi kesenangan diri sendiri dan keluarganya. Kini semua itu mengalami kegagalan dan ia harus berani menerima kenyataan. Maka, iapun menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kaisar.

"Sribaginda, hukumlah hamba, gantunglah hamba kalau itu dapat meredakan kemarahan mereka..... hamba rela mati.... untuk menyelamatkan paduka..." katanya sambil menangis.

Kaisar yang amat mencinta selirnya ini terharu, mengangkat selirnya berdiri dan merangkulnya. Mereka berangkulan sambil menangis. "Tidak... tidak... Kui Hui, engkau tidak boleh dihukum mati....." rintih kaisar yang tua itu dengan memelas.

Melihat adegan romantis di atas loteng, di mana kaisar itu rangkulan dengan selir yang dibenci pasukan itu, mereka berteriak-teriak semakin ganas.

"Sribaginda.... relakan hamba... hamba sudah menerima kasih sayang paduka yang berlimpahan... sekaranglah saatnya hamba membalas jasa... dengan nyawa hamba untuk menyela matkan paduka....." Kui Hui berkata di antara isak tangisnya. Iapun melepaskan diri dari pelukan kaisar.

"Kok-ciangkun, minta mereka menanti sebentar, aku mau berganti pakaian dulu, baru aku akan menggantung diri di sini agar mereka semua dapat melihatnya..."

"Kui Hui...!" Kaisar berseru, akan tetapi selir itu telah berlari turun ke kamarnya. Kaisar tua itu hendak mengejarnya, akan tetapi terhuyung dan cepat Pangeran Su Tsung merangkulnya.

"Sribaginda, tidak ada jalan lain, harap paduka menguatkan hati paduka, semua ini demi negara!" kata Kok-ciangkun dan mendengar kalimat terakhir ini, kaisar mendapatkan tenaga baru, dan diapun mengangguk. Demi negara! Demi kerajaan! Dia harus mengorbankan Yang Kui Hui, selir tercinta.

Kok Cu It lalu berdiri di tepi loteng dan berseru dengan suara lantang bahwa Selir Yang Kui Hui siap menerima hukuman mati, dan agar para perajurit tenang. Mendengar teriakan ini, semua perajurit menjadi diam dan suasana menjadi hening, namun mencekam sekali, menegangkan perasaan.

Tak lama kemudian Yang Kui Hui naik ke loteng dan ia telah mengenakan pakaian serba putih dari sutera halus, rambutnya yang masih hitam dan panjang itu dibiarkan terurai dan ia tidak mengena kan perhiasan sebuahpun. Namun, dalam pakaian sederhana serba putih dan mengurai rambut itu, makin nampak kecantikannya yang aseli dan memang wanita ini memiliki kecantikan yang sukar dicari bandingnya! Melihat selirnya sudah siap untuk mati, kaisar merangkulnya lagi.

"Kui Hui ah, Kui Hui.. bagaimana aku dapat membiarkan engkau mati meninggalkan aku...?"

Kui Hui juga menangis, akan tetapi ia menghibur kaisar. "Sribaginda, harap relakan hamba. Hamba akan menanti paduka di sana...." Selir itu lalu melepaskan rangkulan dan ia menyerahkan sebuah sabuk sutera putih kepada Kok Cu It untuk dipasangkan di galok melintang.

Kok-ciangkun tanpa ragu lagi segera membuat tali penjirat yang tergantung di balok melintang, kemudian, setelah Yang Kui Hui merangkul dan mencium kaisar, ia lari dan dibantu Kok Cu It, selir ini memasukkan kepala nya di lubang jiratan yang dibuat di ujung sabuk, kemudian ia meloncat dan tubuhnya terayun-ayun, lehernya tergantung!

"Kui Hui....!" Kaisar merintih dan terkulai pingsan dalam rangkulan pangeran mahkota Su Tsung.

Melihat tubuh selir itu tergantung dan meronta sebentar lalu terkulai, para perajurit yang menonton dari bawah bersorak gembira. Timbul lagi semangat mereka setelah kini dua orang yang mereka benci, yaitu Yang Kok Tiong dan Yang Kui Hui, telah tewas.

Setelah terjadinya peristiwa yang membuat hati kaisar terbenam dalam duka, rombongan itu melanjutkan pengungsian mereka ke daerah Se-cuan. Dan di sepanjang jalan, Panglima Kok Cu it berhasil menghimpun pasukannya, yaitu menampung para perajurit yang melarikan diri dan yang menyusul ke barat untuk bergabung dengan kaisar mereka.

Setelah Yang Kui Hui tidak ada lagi, Kaisar Hsuan Tsung atau Kaisar Beng Ong yang berusa tujuhpuluh tahun itu tidak mempunyai semangat lagi dan diapun melimpahkan tahta kerajaan kepada pangeran mahkota, yaitu Pangeran Su Tsung.

Dan di tempat pengungsian ini, Kaisar yang baru, Kaisar Su Tsung, dibantu oleh Panglima Kok Cu It dan para pengawal yang masih setia, membangun kembali kekuatan Kerajaan Tang. Berkat kebijaksanaan Panglima Kok Cu It yang menjanjikan imbalan besar kepada mereka, pasukan Kerajaan Tang mendapat bantuan dari orang-orang Turki, bahkan mendapat bantuan pula dari Caliph, yaitu panglima kerajaan Arab, dan beberapa suku bangsa lain.

Akhirnya, dengan balatentara campuran ini, Panglima Ko Cu It mulai bergerak ke timur untuk merebut kembali Kerajaan Tang yang terjatuh ke tangan An Lu Shan. Dan terjadilah perang yang berkepanjangan.

Setelah jenazah Yang Kui Hui dikubur secara sepantasnya, sebelum rombongan melanjutkan perjalanan, Kaisar Hsuan Tsung mengadakan percakapan rahasia dengan Pangeran Mahkota dan dengan Panglima Kok Cu It. Hanya mereka bertiga saja yang bicara di dala m ruangan itu, tidak boleh dihadiri orang lain.

Mula-mula kaisar dan pangeran mahkota berdua saja yang duduk di dalam ruangan itu, dan para pengawal disuruh menjaga di luar ruangan. Kemudian datanglah Panglima Kok Cu It dengan wajah muram, dan begitu dia muncul, kaisar sudah cepat bertanya. "Bagaimana, ciangkun, berhasilkah menemukannya?"

Panglima itu dengan murung menggeleng kepala. "Tidak berhasil, Sribaginda. Hamba tidak dapat menemukannya di dalam pakaian yang dipakainya, juga di antara perbekalan di dalam tendanya, hamba tidak dapat menemukan pusaka itu."

Panglima itu dipersilakan duduk dan mereka bertiga nampak murung.

"Akan tetapi, kenapa ayahanda menitipkan pusaka yang amat penting itu kepada Paman Yang Kok Tiong?" kata sang pangeran dengan nada suara menyesal.

Ayahnya menghela napas panjang. "Keadaan amat gawat dan kami tidak melupakan untuk membawa pusaka itu ketika mengungsi. Dan kami yakin bahwa pusaka itu tentu akhirnya akan diperebutkan orang, karena menjadi lambang kekuasaan. Untuk mengamankan, diam-diam kami titipkan kepada Menteri Yang. Tidak akan dicari orang, dan tidak akan ada yang mengira bahwa pusaka ada padanya. Siapa tahu hari ini terjadi malapetaka yang mendadak tidak disangka-sangka?"

"Ampun, Sribaginda. Kiranya tidak perlu disesalkan hal yang telah terjadi. Yang terpenting, kita harus dapat menemukan kembali pusaka itu dan sementara ini, kehilangan itu harus dirahasiakan karena kalau sampai terdengar rakyat, tentu dukungan mereka terhadap paduka menjadi lemah.”

"Apa yang dikatakan Paman Panglima Kok memang benar, ayahanda. Tanpa adanya pusaka itu, hamba sendiri akan merasa lemah menunaikan tugas."

Kaisar mengangguk-angguk dan mereka bertiga terbenam ke dalam kekhawatiran. Pusaka apa yang membuat mereka bertiga begitu cemas karena dinyatakan hilang?

Sejak Kerajaan Tang berdiri, satu setengah abad yang lalu, semenjak kaisar pertama Kerajaan Tang memerintah, yaitu Kaisar Tang Kaocu, Kerajaan Tang memiliki banyak pusaka yang menjadi pusaka kerajaan.

Akan tetapi di antara semua pusaka yang ada, yang dianggap terpenting dan sebagai pusaka tanda kekuasaan adalah sebuah benda mustika yang amat kuno dan amat indah. Benda itu adalah sebuah kemala yang amat luar biasa karena dalam sebongkah kemala itu terdapat warna merah, putih, hijau dan hitam. Jarang ada kemala yang mengandung beraneka warna seperti itu.

Hiasan kemala itu diukir amat halusnya, berbentuk seekor burung Hong yang sedang terbang membentangkan sayapnya. Ukiran itu sedemikian halusnya sehingga seolah hidup saja, dan sepasang matanya juga mengeluarkan sinar. Bukan saja benda ini amat indah dan amat berharga, namun merupakan benda langka.

Namun lebih dari pada itu, benda ini dianggap memiliki daya atau pengaruh sehingga menjadi kepercayaan umum bahwa siapa yang memiliki benda itu, dialah yang mendapat wahyu untuk menjadi kaisar! Seolah benda itu diturunkan dari langit sebagai tanda kekuasaan Kaisar! Kepercayaan ini merupakan tahyul yang sudah berakar mendalam di hati keluarga Kerajaan Tang dan bahkan semua ponggawanya.

Inilah sebabnya, mengapa ketika kaisar Hsuan Tsung kehilangan mestika itu, dia, pangeran mahkota, dan panglima Kok termangu dan berduka. Kalau sampai berita tentang kehilangan mestika itu terdengar keluar, maka sukar sekali mengharapkan dukungan rakyat untuk bergerak dan bangkit kembali. Raja yang sudah kehilangan giok-hong (Hong Kemala) berarti sudah kehilangan hak untuk menjadi raja!

"Ah, mungkinkah dia mengkhianati kami?" Kaisar yang tua itu mengepal tinju. "Keparat engkau Yang Kok Tiong kalau engkau mengkhianati kami dan memberikan mestika itu kepada orang lain!"

"Ayahanda tentu maklum bahwa Paman Yang mempunyai tiga orang anak, seorang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan. Bahkan kabarnya ketika terjadi penyerbuan di kota raja, tiga orang anaknya itu belum pulang. Mereka tentu selamat dan mengapa mereka tidak menyusul kita, padahal ayah mereka berada bersama kita? Ini tentu ada sebabnya. Hamba tidak akan merasa heran kalau kelak ternyata bahwa mestika itu berada di tangan seorang di antara anaknya!"

"Mungkin sekali itu. Keparat engkau, Yang Kok Tiong!" Kaisar memaki-maki menterinya yang sudah tewas.

Panglima Kok Cu It menyabarkan dan menenangkan hati ayah dan anak itu. "Hamba kira, hal itu kelak akan dapat kita selidiki. Hamba kelak akan berdaya upaya sekuat tenaga untuk menemukan kembali mestika itu. Sekarang, sebaiknya kita tidak ribut-ribut dan merahasia kan hal ini, seolah mestika itu masih ada pada paduka. Yang terpenting sekarang adalah menghimpun tenaga agar kita dapat membalas kekalahan kita dari An Lu Shan."

Kaisar tua mengangguk-angguk. Pangeran mahkota Su Tsung yang masih cemas dengan kehilangan mestika itu yang akan membuat dia merasa hampa kalau kelak menjadi kaisar tanpa memilikinya, segera bertanya,

"Akan tetapi, Paman Panglima. Bagaimana kalau nanti para pimpinan kelompok yang kita mintai bantuan mengetahui bahwa mestika itu tidak ada pada kita lagi? Bagaimana kalau mereka minta agar ayahanda Kaisar memperlihatkan mestika itu kepada mereka? Ingat, suku-suku bangsa di sini, terutama bangsa Uigur yang kita harapkan sekali bantuannya, amat percaya akan lambang kekuasaan itu."

"Paduka benar, Pangeran, akan tetapi jangan khawatir, hamba akan mempersiapkan tiruannya!"

Demikianlah, kehilangan mestika itu tetap menjadi rahasia karena setelah tukang yang pandai membuatkan sebuah mestika tiruan yang dilihat begitu saja serupa dengan yang aseli, diam-diam Panglima Kok Cu membunuhnya. Mestika Hong Kemala yang palsu itu lalu diserahkan kepada Kaisar. Ketika kaisar menyerahkan kedudukannya kepada Pangeran MaKkota, maka mestika palsu itupun diberikan kepadanya.

Beberapa kali mestika itu diperlihatkan sepintas lalu kepada para pimpinan kelompok atau suku bangsa sehingga mereka semua percaya bahwa kaisar baru itu masih memiliki Mestika Hong Kemala, maka mereka bersemangat membantunya karena mereka percaya bahwa barang siapa memiliki mestika itu, dia pasti akan berhasil menjadi raja!

* * *

Bukit itu disebut orang Bukit Hitam, berdiri tegar di seberang utara Sungai Yang-ce. Disebut Bukit Hita m karena memang bukit itu selalu nampak hitam! Pohon-pohon yang tumbuh di situ, hutan-hutan, nampaknya memang kehitam hitaman atau hijau tua dan gelap.

Dan bukit ini merupakan tempat yang ditakuti orang, karena selain terdapat banyak ular-ular yang beracun, juga menjadi tempat pelarian dan persembunyian para penjahat yang dikejar-kejar yang berwajib atau di kejar-kejar para pendekar. Bahkan terdengar desas-desus bahwa hutan-hutan di bukit itu juga dihuni oleh setan dan iblis, menjadi sarang siluman yang suka mengganggu manusia.

Tidak mengherankan kalau hampir tidak pernah ada orang berani mendakinya, bahkan para pemburu yang terkenal berani dan gagah sekalipun, akan berpikir seratus kali untuk memburu binatang hutan di bukit itu. Akan tetapi, pada pagi hari itu para petani yang sedang menggarap sawah di kaki bukit sebelah timur, menghentikan pekerjaan mereka dan mata mereka terbelalak memandang kepada seorang gadis yang melenggang seorang diri melalui jalan dusun itu menuju ke arah Bukit Hitam!

Kalau saja gadis itu merupakan seorang wanita yang berwajah mengerikan, atau setidaknya nampak seperti seorang wanita kang-ouw yang gagah perkasa, agaknya para petani tidak akan menjadi bengong memandangnya. Akan tetapi, gadis itu demikian cantik jelita dan lembut, langkahnya juga lemah gemulai seperti orang menari saja.

Gadis itu masih muda, paling banyak sembilan belas tahun usianya, dan ia cantik jelita, wajahnya yang bulat telur dengan kulit muka putih kemerahan tanpa bedak dan gincu. Rambutnya hitam lebat dan agak berombak, dengan anak rambut bermain di dahi dan pelipis, melingkar-lingkar. Akan tetapi yang teramat indah adalah matanya dan mulutnya. Sepasang mat itu lebar dan bersinar¬sinar, dengan kedua ujung agak menyerong ke atas dan mata itu makin indah karena dihias bulu mata yang panjang lentik.

Dan mulutnya! Bibir itu selalu nampak basah dan merah segar, lengkungnya seperti gendewa terpentang, kalau senyum sedikit saja nampak lesung pipit di sebelah kiri mulutnya. Mulut itu menantang dan menggemaskan! Tubuhnya ramping dan padat, dengan lekuk lengkung yang sempurna. Pakaiannya memang sederhana, terbuat dari kain yang kasar, namun bersih dan karena bentuk tubuhnya memang menggairahkan, mengenakan pakaian apapun akan pantas saja.

Agaknya gadis yang melangkah seorang diri sambil senyum-senyum pada burung-burung yang beterbangan, kepada kerbau-kerbau yang meluku di sawah, kepada para petani, menyadari pula bahwa orang-orang itu berhenti bekerja dan memandangnya penuh perhatian.

Namun, pandangan mata para petani itu jauh bedanya, bagaikan bumi dan langit, dengan pandang mata para pemuda yang pernah dijumpainya selama ini. Pandang mata para pemuda, terutama pemuda kota mengandung kekurangajaran dan kegenitan. Sebaliknya, pandang mata para petani itu hanya membayangkan keheranan dan keinginan tahu. ia lalu menghampiri mereka.

"Para paman yang baik, benarkah dugaanku bahwa bukit di depan itu yang dinamakan orang Bukit Hitam?"

"Betul nona," kata seorang di antara mereka, seorang petani berusia limapuluh tahun lebih.

"Ah, kalau begitu betul dugaanku. Nah, terima kasih, paman. Pagi ini cerah sekali, aku ingin cepat-cepat sampai di sana." Gadis itu meninggalkan senyum yang manis sekali kepada mereka lalu memutar tubuh hendak melanjutkan perjalanannya sambil memandang ke arah bukit itu.

"Maaf, nona, apakah nona hendak pergi mendaki Bukit Hitam?"

Suara kakek itu yang membuat si gadis cepat membalikkan tubuh menghadapinya dan memandangnya. Dalam suara kakek itu terkandung kekhawatiran besar. "Benar, paman. Kenapa?"

"Aahhh....!" Semua orang yang mendengar jawaban ini mengeluarkan suara seruan kaget dan khawatir, membuat gadis itu makin tertarik. "Nona, kami tahu bahwa nona tentulah bukan orang dari daerah sini. Nona agaknya belum mengenal Bukit Hitam maka berani hendak mendakinya. Tentu nona belum pernah ke sana, bukan?"

Gadis itu menggeleng kepala. "Belum pernah, paman, akan tetapi kenapa?"

"Aihh, kalau begitu, kami mohon sebaiknya nona jangan sekali-sekali mendaki bukit itu! Maut yang mengerikan menanti nona di sana!" Kakek itu menunjuk ke arah Bikit Hita m dan mukanya agak pucat.

"En, kenapa begitu? Ada apanya sih di atas sana?" Gadis Itu memandang dan menunjuk ke arah bukit, mulutnya tetap tersenyum.

"Apa saja yang dapat mencabut nyawa berada di sana, nona!" kata petani itu. "Binatang buas, ular-ular berbisa, penjahat-penjahat pelarian yang menyembunyikan diri, dan belum lagi... setan dan iblis, siluman dan segala macam arwah penasaran menjadi penghuni hutan di bukit itu!"

Gadis itu membelalakkan matanya yang lebar sehingga mata itu nampak seperti sepasang bintang yang cemerlang "Ih, kalau benar di sana terdapat demikian banyaknya pencabut nyawa, kenapa kalian enak-enak saja bekerja di sini, di kaki bukit itu tanpa rasa takut?"

”Di sini lain lagi halnya, nona. Bukit itu telah menjadi bukit yang ditakuti semenjak nenek moyang kami yang tinggal di sini. Siapapun yang berani ke bukit itu, pasti akan mengalami kematian mengerikan. Akan tetapi, belum pernah penghuni di kaki bukit ada yang diganggu. Maka, sekali lagi, kalau nona hanya hendak melihat pemandangan alam, pergilah ke bukit lain, jangan ke Bukit Hitam."

"Benar, nona, jangan pergi ke sana. Engkau masih begini muda..... betapa mengerikan kalau engkau menjadi korban pula!" kata seorang petani lain.

Gadis itu tersenyum. "Terima kasih atas nasihat para paman di sini. Akan tetapi aku mempunyai urusan dan keperluan di bukit itu. Nah, selamat tinggal!" Gadis itu melangkah lagi.

"Nona...., nona!" Petani itu masih berteriak gelisah. "Urusan apa yang nona punyai di tempat seperti itu?"

Sambil terus melangkah dan menoleh sedikit gadis itu manjawab, "Urusanku justeru ingin bertemu dengan binatang buas, ular berbisa, penjahat dan setan siluman!"

Mendengar jawaban ini, para petani menjadi bengong! Kemudian, mata mereka terbelalak dan mulut mereka ternganga ketika mereka melihat gadis itu berkelebat dan bayangannya lenyap ke arah bukit itu!

"Hiii.... ia..... ia...." seorang tergagap.

"si..... si... siluman.." yang lain menyambung.

Belasan orang petani itu lalu bergerombol, saling berhimpitan dan dengan tubuh gemetar menanti melapetaka apa yang akan menimpa mereka. Baru setelah lewat sejam dan tidak terjadi sesuatu, mereka berani melanjutkan, akan tetapi sama sekali tidak berani membicarakan gadis tadi selama mereka bekerja di sawah.

Baru nanti setelah mereka pulang, akan ramailah di dusun mereka mendengar kisah yang aneh tentang gadis cantik yang berani mendaki Bukit Hitam dan pandai menghilang. Mereka semua yakin bahwa gadis cantik tadi pastilah siluman!

Begitu banyaknya orang membicarakan tentang setan iblis dan siluman dan mereka semua takut kepada siluman. Akan tetapi tak seorangpun di antara mereka yang benar-benar melihat siluman. Mereka sudah banyak mendengar tentang setan, akan tetapi belum pernah melihatnya sendiri secara jelas.

Kalau pun ada yang pernah melihatnya, yang terlihat hanya bayangan atau samar-samar saja sehingga tidak dapat ditentukan bahwa yang dilihatnya adalah setan! Justeru inilah yang mendatangkan rasa takut, justeru karena tidak dapat dilihat. Andaikata setan dan iblis dapat dilihat, maka dia tidak akan ditakuti manusia lagi. Mahluk yang paling buas dan besarpun, asalkan dia dapat dilihat, mudah ditaklukkan oleh manusia.

Setan dan iblispun, kalau terlihat, tentu akan dapat ditaklukkan manusia. Rasa takut timbul karena ulah permainan pikiran. Pikiran membayangkan dan mengkhayalkan yang seram-seram, yang mengerikan, dan timbullah rasa takut. Takut adalah permainan pikiran membayangkan hal yang belum ada, yang belum terjadi.

Orang takut terkena penyakit karena dia belum sakit. Kalau dia sudah terkena penyakit, dia tidak takut lagi kepada penyakit itu, yang ditakuti adalah akibat lain yang belum terjadi, misalnya takut kalau-kalau sakitnya itu akan membuatnya mati, takut kalau kelak mati dia akan tersiksa dan sebagainya dan selanjutnya.


Siapakah gadis cantik jelita yang demikian besar nyalinya mendaki Bukit Hitam, bahkan yang seolah dapat menghilang dari pandang mata para petani? ia bukanlah siluman, bukan iblis atau setan, ia seorang manusia biasa, dari darah dan daging, dan ia bukan lain adalah Can Kim Hong!

Dua tahun telah lewat semenjak Kim Hong diselamatkan oleh seorang kakek gagu dari tangan gurunya sendiri dan putera gurunya, yaitu Bouw Hun dan puteranya, Bouw Ki. Bouw Ki, suhengnya itu, tergila-gila kepadanya dan hendak memaksanya menjadi isterinya, dibantu oleh ayah suhengnya atau gurunya sendiri.

ia melarikan diri akan tetapi dapat disusul mereka, dan tentu ia akan terjatuh ke tangan mereka kalau saja tidak muncul kakek gagu yang mengalahkan ayah dan anak itu, kemudian yang mengantarkan Kim Hong menyeberangi sungai ke pantai sebelah selatan.

Setelah tiba di tepi sungai sebelah selatan, Kim Hong hendak memberi upah kepada tukang perahu yang gagu itu, akan tetapi si tukang perahu menolak, kemudian mencoba untuk menyatakan isi hatinya dengan gerakan tangan. Namun, Kim Hong tidak mengerti.

"Aih, paman yang gagah dan baik, apa sih yang hendak kau katakan dengan gerakan jari tangan itu? Aku tidak mengerti!" kata Kim Hong.

Si gagu tersenyum dan diam-diam Kim Hong merasa senang kepada kakek itu. Bukan hanya karena kakek itu dengan amat mudahnya mengalahkan gurunya yang merupakan datuk orang Khitan, akan tetapi juga senyum kakek itu membuat wajahnya nampak ramah dan menyenangkan, juga masih nampak betapa si gagu ini adalah seorang pria yang tampan.

Dari bentuk wajahnya, sinar matanya, dapat diduga bahwa si gagu ini bukan orang kebanyakan, karena selain wajahnya tampan dan nampak rapi dan bersih, juga matanya mengandung wibawa yang besar. Pakaiannya serba hitam sederhana, bahkan caping lebar yang menutupi kepalanya juga hitam. Yang putih hanya rambutnya, yang panjang dan tiga perempat bagian sudah putih. Sambil tersenyum si gagu lalu membuat coretan di atas tanah dengan sebatang ranting. Kim Hong membaca coret coretan yang membentuk huruf itu.

"Di depan terdapat para penjahat yang jauh lebih berbahaya dari pada dua orang tadi," demikian bunyi tulisan itu.

Kim Hong tersenyum. Kiranya orang ini hendak memperingatkan ia bahwa kalau ia melanjutkan perjalanan, akan banyak menemui penjahat yang bahkan lebih lihai dari pada gurunya! "Aku tidak takut, paman!" katanya.

Si gagu menulis lagi. Coretannya cepat dan bertenaga sehingga mebentuk huruf-huruf yang dalam dan mudah dibaca di atas tanah.

"Keberanian tanpa didasari kekuatan suatu kesombongan yang bodoh dan sia-sia. Nona berbakat, kalau mau menjadi muridku tentu akan memiliki bekal yang kuat untuk melakukan perjalanan seorang diri," kata tulisan itu.

Kim Hong tertegun dan termenung, ia harus mencari ayah kandungnya, akan tetapi kalau baru saja keluar sudah hampir gagal karena ia kurang mampu membela diri, bagaimana kalau di depan benar-benar bertemu lawan yang lebih lihai dari Bouw Hun? Usahanya akan sia sia, dan iapun akan tertimpa malapetaka.

Setelah mempertimbangkan, dan yakin akan kemampuan si gagu, tiba-tiba Kim Hong menjatuhkan diri berlutut di depan tukang perahu itu dan memberi hormat. "Teecu (murid) Can Kim Hong memberi hormat kepada suhu......"

Kim Hong memandang ke atas tanah sebagai isyarat bahwa ia menunggu jawaban orang itu dengan tulisan. Si gagu kembali tersenyum lebar dan ujung ranting itu cepat mencoret beberapa huruf di atas tanah.

"Hek-Liong (Naga Hitam) Kwan Bhok Cu!" Kim Hong membaca dan ia kembali memberi hormat.

"Teecu Can Kim Hong memberi hormat kepada suhu Kwan Bhok Cu yang berjuluk Naga Hitam!"

Kembali pria itu menuliskan diatas tanah setelah dengan ranting dia menghapus tulisan tadi sehingga permukaan tanah rata kembali.

"Aku mau menjadi gurumu, dengan syarat bahwa selama dua tahun engkau ikut ke manapun aku pergi, mentaati semua perintahku, berlatih dengan tekun dan sekali saja engkau mencoba meninggalkan aku sebelum kuberi ijin, aku akan membunuhmu. Bagaimana?"

Kim Hong terkejut. Betapa kerasnya peraturan orang ini. Akan tetapi, karena ia ingin sekali memiliki ilmu kepandaian yang dapat mengalahkan orang seperti gurunya, maka dengan nekat iapun mengangguk dan menjawab dengan suara yang tegas. "Teecu bersedia!"

Si gagu lalu memberi isyarat kepada Kim Hong untuk naik kembali ke dalam perahu kecil. Kim Hong mentaati dan merekapun kembali ke dalam perahu. Si gagu mendayung perahu yang meluncur cepat seperti anak panah terlepas dari busurnya.

Demikianlah, semenjak hari itu, Kim Hong menjadi murid Si Naga Hitam yang gagu. Dia digembleng dengan keras dan tekun, dan karena Kim Hong memiliki bakat yang baik, dan iapun sudah memiliki dasar ilmu silat yang cukup mendalam berkat pendidikan Bouw Hun, maka dalam dua tahun digembleng, ia memperoleh kemajuan yang amat pesat.

Bukan hanya ilmu silat, tenaga sakti sin-kang dan juga ilmu meringankan tubuh, akan tetapi juga gadis itu menerima ilmu bermain di dalam air. ia bukan saja pandai renang seperti ikan, akan tetapi juga tahan menyelam sampai lama, tidak seperti kemampuan orang biasa, dan di dalam airpun ia dapat bergerak dengan gesit.

Selama dua tahun lebih, Kim Hong membuktikan bahwa biarpun ia suka berkelakar, lincah galak, Jenaka dan ugal ugalan, namun ia taat dan tekun berlatih sehingga belum pernah gurunya yang gagu itu merasa kecewa atau menyesal. Bahkan sejak mempunyai Kim Hong sebagai muridnya, si gagu itu nampak selalu cerah dan berseri, selalu gembira dan diam-diam dia amat menyayang gadis itu seperti anaknya sendiri. Itulah sebabnya maka dia ingin menjadikan Kim Hong seorang gadis yang benar-benar tangguh.

Pada suatu hari, ia memanggil Kim Hong dan gadis itu seperti biasa, telah mempersiapkan sebatang ranting untuk menjadi alat tulis bagi gurunya sebagai pengganti kata-kata. Akan tetapi, kalau ada orang lain melihat cara guru itu "bicara" kepada muridnya melalui tulisan, mereka akan terlongong heran. Si Naga Hitam sama sekali tidak mencoret ke atas tanah lagi seperti dua tahun yang lalu, melainkan dia menggunakan ranting itu untuk membuat gerakan mencoret-coret di udara!

Dan hebatnya, Kim Hong dapat mengikuti setiap gerakan corat coret itu dan membacanya, walaupun tentu saja dipandang dari sudutnya yang berhadapan, huruf-huruf yang ditulis di udara itu terbalik! Inilah merupakan semacam ilmu yang dikuasainya karena kebiasaan.

Selama dua tahun, gurunya selalu bicara dengan coretan huruf dan gadis itu sedemikian hafal dengan gerakan itu sehingga lambat laun, gurunya tidak perlu lagi menulis di atas tanah, cukup membuat gerakan menulis di udara. Dan "ilmu" ini ternyata mendatangkan kemajuan pesat bukan main dalam ilmu silat Kim Hong, karena pandang matanya kini amat peka dan tajam, dapat mengikuti gerakan ranting yang sengaja dipercepat oleh si gagu kalau dia menuliskan huruf di udara.

"Semua ilmu simpanan telah kuajarkan padamu," demikian bunyi coretn di udara itu, diikuti dengan seksama oleh Kim Hong. "Akan tetapi aku ingin engkau memiliki kekebalan terhadap segala macam racun sehingga engkau tidak dapat dicurangi lawan yang jahat dan yang suka menggunakan racun untuk menjatuhkan lawan. Untuk keperluan itu, sekarang juga engkau harus pergi mencarii Ang-thouw-hek coa (Ular Hitam Kepala Merah). Jangan kembali ke sini sebelum engkau membawa seekor Ang-thouw coa. Pergilah engkau ke Bukit Hitam di lembah sungai Yang-ce sebelah utara. Tempat itu amat berbahaya, dan engkau berhati-hatilah. Sekali terkena gigitan ular itu, kekuatan tubuhmu tidak akan mampu melindungimu. Nah, berangkatlah dan jangan ragu!"

Seperti biasa, Kim Hong menaati perintah ini. Setelah membawa bekal pakaian, iapun berangkat. Dan pada suatu pagi, tibalah ia di kaki Bukit Hitam dan sikapnya membuat para petani di kaki bukit itu terkejuf dan ketakutan, mengira ia seorang siluman.

* * *
Biarpun Kim Hong memiliki watak yang lincah Jenaka, galak dan ugal-ugalan, akan tetapi iapun selalu waspada dan tidak ceroboh. Apa lagi melihat sikap para petani di kaki bukit, ia tahu bahwa bukit yang didaki itu merupakan tempat yang berbahaya. Juga gurunya menuliskan bahwa Bukit Hitam merupakan tempat berbahaya dan ia harus berhati-hati. Itulah sebabnya, setelah memasuki hutan pertama, ia mendaki dengan hati-hati dan tidak tergesa-gesa waspada terhadap sekelilingnya.

Dalam keadaan seperti itu, gadis ini waspada dan seluruh pancaindera dan urat syarafnya dalam keadaan peka dan siap siaga sehingga ada gerakan sedikit saja, ada bau apa saja dan pendengaran apa saja, ia pasti dapat menangkapnya dengan cepat. Inilah hasil dari kepekaan yang didapat karena selama dua tahun lebih, setiap hari ia mengikuti dan menangkap gerakan ranting di tangan suhunya setiap kali bicara kepadanya.

Bukan hanya matanya yang amat jeli, juga pendengarannya sehingga ia dapat mengikuti gerakan ranting di tangan suhunya dengan pendengarannya saja. Tanpa melihatpun, ia dapat mendengarkan dan mengetahui huruf apa yang ditulis suhunya di udara!

Tiba-tiba ia berhenti, hidungnya yang kecil mancung itu bergerak-gerak sedikit, atau lebih tepat lagi, cuping hidung yang tipis itu kembang kempis, ia mencium sesuatu! Di dalam hutan seperti itu yang hawanya lembab, memang terdapat banyak macam bau yang ditimbulkan oleh kebasahan tanah yang ditilami daun-daun kering membusuk, daun-daun yang basah, kembang-kembang hutan, kotoran binatang, dan sebagainya. Akan tetapi Kim Hong mencium bau bangkai!

Tentu saja karena tidak berpengalamanan dalam hal ini, ia tidak dapat membedakan bangkai apa yang menghamburkan bau busuk itu, bangkai binatang ataukah manusia, ia menghampiri dan menutupi hidungnya ketika melihat bahwa yang berbau busuk itu adalah mayat seorang manusia.

Agaknya baru beberapa hari orang laki-laki itu tewas. Mukanya belum rusak, akan tetapi kulitnya sudah mulai rusak dan membusuk. Sekali pandang saja tahulah Kim Hong bahwa orang itu tewas karena luka berat di kepalanya, bahkan kepala itu terlihat bentuknya sudah tidak utuh lagi, retak atau pecah. Dan ia melihat tanda menghitam seperti jari-jari tangan di pelipis kanan mayat itu.

Kim Hong melanjutkan perjalanannya, mendaki ke atas. Dan di sepanjang perjalanan mendaki yang sukar karena tempat itu licin dan banyak terdapat jurang yang curam, ia melihat mayat-mayat berserakan. Semua ada tujuh orang banyaknya! ia semakin waspada.

Betul pesan suhunya, dan benar pula keterangan para petani tadi. Tempat ini berbahaya sekali. Melihat keadaan tujuh orang itu, yang tewas dengan tanda-tanda bekas jari menghitam, mereka tentulah bukan orang-orang sembarangan. Rata-rata bertubuh tegap dan kokoh kuat, dan di dekat mereka selalu terdapat senjata, agaknya senjata mayat itu. Ada pedang, golok, tombak dan lain-lain, yang kesemuanya menunjukkan senjata yang cukup baik. Ada pembunuh yang meninggalkan tapak jari hitam di tempat ini, pikirnya!

Suara mendesis dari sebelah kiri membuat Kim Hong meloncat dan menjauh. Seekor ular yang panjangnya satu setengah depa bergerak cepat ke arahnya. Ular itu agaknya galak, berani menyerang manusia. Akan tetapi bukan ular yang ia cari karena ular ini belang-belang, dan panjang.

Padahal Ang-thouw-hek-coa, menurut suhunya, hanya sebesar ibu jari tangan dan panjangnya tidak lebih dari dua tiga jengkal saja. Tangan Kim Hong menyambar sebatang ranting dan sekali ranting bergerak, ular itu melingkar-lingkar dan menggeliat-geliat sekarat dengan kepala tertembus ujung ranting yang menghunjam ke dalam tanah.

Tiba-tiba pendengarannya menangkap suara nyanyian aneh, terdengar asing sekali baginya, lapun menyelinap di antara pohon-pohon dengan tetap waspada karena ia tidak mau kalau tiba-tiba kakinya dipagut ular berbisa, ia menyusup-nyusup sampai ke tempat dari mana suara itu datang dan tak lama kemudian, ia sudah mengintai dari balik semak belukar dengan mata terbelalak heran.

Tigabelas orang duduk bersila di tempat terbuka dalam setengah lingkaran. Di depan setiap orang nampak sebatang hio besar menancap di atas tanah dan terbakar membara, mengeluarkan asap yang baunya aneh. Bau ini tadi bahkan pernah tercium oleh Kim Hong, akan tetapi disangkanya bau itu datang dari semacam kembang yang tidak dikenalnya.

Dan tigabelas orang inilah yang bernyanyi, nyanyian dalam bahasa aneh yang tidak dikenalnya. Melihat pakaian mere ka, orang-orang itu tentu bangsa campuran. Ada yang berpakaian Han, ada yang seperti pakaian orang Uigur Man-cu, dan Mongol. Mereka terdiri dari spuluh orang laki-laki dan tiga orang wanita, usia mereka sekitar tiga puluh sampai empat puluh tahun.

Suara nyanyian mereka semakin meninggi dan menggetarkan suasana. Kim Hong terkejut dan cepat mengerahkan sin-kan untuk melawan pengaruh suara yang menggetarkan jantungnya itu. Dan tak lama kemudian, tercium bau yang memuakkan, amis dan keras, dan nampak puluhan ekor ular berbondong-bondong datang, berlenggang-lenggok memasuki tempat itu, ke dalam setengah lingkaran, berkumpul di tengah dan mereka nampak jinak-jinak!

Ular-ular terus berdatangan sehingga jumlahnya tidak kurang dari seratus ekor, ada yang besar ada yang kecil dan dari bermacam warna. Dengan tertarik sekali Kim Hong memandang dan mengamati dari tempat pengintaiannya, akan tetapi hatinya kecewa. Tidak seekorpun di antara banyak ular itu yang warnya seperti ular yang dicarinya. Tidak ada Ang¬thouw-hek-coa di situ!

Melihat demikian banyaknya ular, biarpun ia tidak takut, namun ia merasa jijik dan otomatis tangannya menyambar sebatang ranting untuk mempersiapkan diri kalau-kalau ular-ular menjijikkan itu tiba-tiba menyerangnya.

Gurunya yang pertama, yaitu Bouw Hun kepala suku Khitan, pernah memberi tahu kepadanya bahwa untuk menghadapi ular-ular, paling baik mempergunakan ranting, terutama sekali ranting bambu. Sekali saja terkena sabetan ranting yang sebesar jari tangan, ruas tulang seekor ular dapat dibuat terlepas dan binatang itu tentu tidak dapat lari lagi. Menggunakan pemukul yang besar tidak menguntungkan karena ular itu pandai mengelak dengan tubuhnya yang berkulit licin. Sabetan ranting kecil yang melintang tidak dapat dielakkan.

Kini tigabelas orang itu, yang tadinya bersila, berlutut dan menyembah-nyembah ke arah sekumpulan ular, dan mulut mereka masih mengeluarkan suara nyanyian aneh itu. Kim Hong dapat menduga bahwa mereka ini adalah segerombolan orang sesat penyembah ular!

Pernah ia menclengar dari Bouw Hun bahwa memang terdapat orang-orang yang menyembah ular yang dianggap sebagai dewa-dewa tanah. Dan orang-orang seperti itu memiliki ilmu menalukkan ular, mereka adalah pawang-pawang ular yang pandai dan juga ahli racun ular sehingga merupakan musuh yang amat berbahaya!

Akan tetapi menurut guru pertamanya itu, para penyembah ular ini bukan orang yang suka melakukan kejahatan, tidak suka merampok atau mengganggu orang lain dan hanya bertindak keras kalau diganggu. Mereka mendapatkan penghasilan dari menjual racun-racun ular kepada rumah-rumah obat yang membutuhkan racun untuk berbagai keperluan pengobatan.

Mereka ahli mengolah racun berbagai macam ular menjadi pel, dan setiap macam racun ular tertentu mempunyai manfaat tertentu pula. Racun-racun yang sudah menjadli pel itu amat mahal sehingga kehidupan para penyembah ular ini cukup makmur.

Tiba-tiba datang pula seekor ular besar dan ular itu menggigit bangkai seekor ular lain. Melihat ini, berdebar rasa jantung Kim Hong karena ia melihat betapa ular yang mati dan yang dibawa ular besar itu masih tertusuk ranting. Itulah ular yang menyerangnya tadi dan yang telah dibunuhnya!

Seorang cli antara tigabelas orang itu, laki-laki berusia empat puluhan tahun, tubuhnya tinggi kurus seperti ular, matanya sipit clan hidungnya pesek, bangkit dan menghampiri ular besar, lalu memeriksa ular yang mati. Alisnya berkerut dan diapun berkata clalam bahasa Han kepada ular besar yang kulitnya keputih-putihan itu.

"Pek- coa, kau cari pembunuhnya dan bawa dia ke sini, hidup atau mati!"

Ular besar putih itu seolah mengerti apa yang diucapkan si mata sipit. Seperti seekor anjing pelacak, dia mencium-cium ke arah ranting yang masih menancap di kepala rekannya, kemudian diapun bergerak pergi dengan cepat, menghilang ke dalam rumpun ilalang!

Diam-diam Kim Hong bergidik ngeri. Ketika ia memandang lagi, si mata sipit itu kini mengeluarkan sebatang pisau tajam, lalu melepaskan daging dan kulit ular yang mati itu dengan hati-hati agar jangan merusak tulangnya.

Kemudian, daging itu dia kerat-kerat dan dia lemparkan ke arah ular-ular yang segera memperebutkannya seperti sekumpulan ayam kelaparan dilempar jagung. Dan tulang itu, masih utuh berikut kepalanya yang sudah dilepas dari ranting yang menembusnya, lalu dikubur di tengah-tengah lingkaran itu dengan dibantu oleh teman-temannya, kemudian mereka bersembahyang di depan "Makam" kecil tulang ular itu!

Kim Hong demikian tertarik sehingga dia agak lengah, tidak tahu bahwa ular besar putih itu bergerak perlahan menghampirinya dari belakang! Ular itu cukup besar, sebesar betis orang dewasa dan panjangnya ada dua meter!

Baru Kim Hong tersentak kaget ketika hidungnya mencium bau wangi aneh di belakangnya, ia menengok dan hampir menjerit saking jijiknya ketika melihat ular putih itu sudah berada dekat di belakangnya dengan mata mencorong dan lidah merah keluar masuk moncongnya! Jelas ular itu, seperti seekor anjing pelacak, sudah menemukan yang dicarinya dan kini siap untuk menyerang!

Kim Hong seorang gadis pemberani, bahkan tidak pernah mengenal takut. Apa lagi setelah kini ia menjadi lihai sekali karena gemblengan Hek-liong Kwan Bhok Cu, ia menjadi semakin berani. Akan tetapi, bagaimanapun juga ia tetap saja seorang wanita dan sebagian besar kaum wanita merasa ngeri dan jijik, bukan takut kalau melihat ular.

Kini, dalam keadaan jijik melihat ular putih itu tiba-tiba berada di belakangnya,setelah membalikdan berhadapan, Kim Hong tidak membuang waktu lagi. Pada saat ular itu membuka moncongnya hendak menyerang, ia mendahului dengan tusukan rantingnya yang tepat memasuki moncong itu dan menembus ke belakang kepala! Ular itu menggeliat-geliat, dengan ekornya ia memukul ke kanan kiri sehingga menimbulkan suara gaduh.

Dan tiba-tiba saja Kim Hong sudah mendapatkan dirinya terkepung oleh tigabelas orang itu yang memandang kepadanya dengan mata mengandung kemarahan.

"Kiranya engkau, nona muda yang kejam, yang telah membunuh ular-ular kami! Agaknya engkau pula yang telah membunuhi beberapa orang kawan kami dengan kejam!" bentak si mata sipit dan tiga belas orang itu sudah mencabut senjata mereka, yaitu sebatang suling baja yang ujungnya runcing seperti tombak.

Agaknya para pawang ini mempunyai suling untuk memanggi ular dan alat inipun diperguna kan sebagai senjata. Kim Hong dapat menduga bahwa tentu ujung suling yang runcing itu mengandung racun mematikan, maka iapun bersikap waspada dan sekali tubuhnya bergerak, ia sudah meloncat ke arah tempat terbuka yang tadi dipergunakan untuk tempat sembahyang tigabelas orang itu.

Maksudnya adalah untuk mencari tempat yang lapang agar leluasa ia menghadapi pengeroyo kan mereka. Akan tetapi, ia mendapat kenyataan yang mengejutkan, ia lupa bahwa di situ berkumpul seratus ekor ular! Dan benar saja, begitu ia terkejut karena teringat akan ular-ular itu, terdengar suara melengking, mungkin suara sebatang suling yang ditiup, dan seratus ekor ular-ular itu serentak menyerangnya dengan ganas!

Kim Hong dalam keadaan serba salah, ia lalu meloncat pula dan tubuhnya sudah melayang naik ke atas pohon, aman dari serangan ular-ular itu. "Tahan!" teriaknya kepada tiga belas orang itu. "Aku sama sekali tidak pernah membunuh kawan kalian dan kalau aku membunuh dua ekor ular itu, aku sekedar membela diri, bukan sengaja membunuh!"

Akan tetapi tigabelas orang itu agaknya sudah marah dan penasaran sekali melihat dua ekor ular mereka terbunuh. Mereka ramai-ramai mengepung pohon di mana Kim Hong berada dan mengacung-acungkan suling mereka dengan si kap mengancam.

Tiba-tiba terdengar angin menyambar dahsyat, sesosok bayangan berkelebat dan seorang di antara tiga belas orang itu roboh dengan kepala retak! Semua orang terkejut dan di situ telah berdiri seorang laki-laki raksasa yang menyeramkan!

Pria itu berusia enam puluhan tahun, tubuhnya tinggi besar dan kokoh kuat seperti batu karang dan yang mengerikan adalah kulitnya yang hitam seperti arang! Yang nampak jelas hanya putih matanya saja karena rambutnya juga masih hitam semua. Mukanya penuh dengan brewok pula.

Duabelas orang penyembah ular itu kini melupakan Kim Hong dan mereka mengepung si raksasa hitam. Orang yang bermata sipit dan berhidung pesek menudingkan, sulingnya kepada orang itu dan berseru marah.

"Kiranya engkau yang telah membunuhi kawan-kawan kami selama beberapa hari ini?"

Kakek raksasa itu mengebut-ngebutkan ujung pakaiannya yang mewah sambil tertawa terkekeh-kekeh. Biarpun seluruh kulitnya hitam arang akan tetapi kakek raksasa itu berpakaian indah dan bersih, sampai sepatunyapun mengkilap dan dia seorang pesolek karena rambutnyapun tersisir rapi dan berkilauan karena diminyaki. Rambutnya diikat dengan sutera merah dan gelung rambutnya dihias tusuk gelung dari emas permat berbentuk seekor harimau.

"Ha-ha-heh-heh-heh, mereka tidak mau menyerahkan racun-racunnya kepadaku, maka kubunuh! Dan akupun membunu temanmu itu, agar kalian tidak banyak cing-cong lagi. Cepat serahkan seluruh pengumpulan racun kalian kepadaku kalau kalian menghendaki hidup!"

Si mata sipit hiclung pesek mengeluarkan suara melengking clari mulutnya, dan seratus ekor lebih ular-ular itu kini menyerbu ke arah si raksasa hitam. Kakek itu masih tertawa bergelak. dan keclua tangannya bergerak menclorong ke clepan, ke arah ular-ular itu. Dan, serangkum angin keras clan kuat sekali menyambar ke arah ular-ular itu yang terlempar jauh ke belakang seperti sekumpulan daun kering diterbangkan angin taufan!

Duabelas orang itu terkejut clan merekapun serentak maju mengeroyok kakek raksasa. Akan tetapi, kembali kakek itu menggerakkan kedua tangannya clan empat orang yang beracla paling clekat clengannya, terjengkang ke belakang clan terguling-gu ling. K lau semua o-rang terkejut, kakek itu tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha, kalau kalian semua mampus dan aku tidak memperoleh racun racun itu, berarti kita bersama menderita rugi! Sebaliknya, cepat serahkan emua racun yang telah kalian kumpulkan, dan aku ticlak akan membunuh kalian, berarti kita bersama mendapat keuntungan!"

Jelas bahwa kakek itu ticlak segera membunuh karena dia mengharapkan untuk memperoleh pel-pel beracun yang amat berharga clari sekelompok orang penyembah ular itu.

"Orang tua yang kejam, siapakah engkau yang begitu kejam membunuhi teman-teman kami, dan untuk apa engkau henclak merampas racun-racun clari kami? Racun-racun itu merupakan sumber nafkah kami, kenapa engkau begitu ticlak tahu malu untuk merampok kami?"

"Hemm, kalau aku tidak membutuhkan racun-racun itu, untuk apa aku mengganggu kalian? Aku Hek-bin Mi ong (Raja Iblis Muka Hitam) ticlak suka ber urusan clengan orang-orang kecil maca m kalian. Cepat serahkan semua racun, atau kalian tidakakan dapat melihat matahari besok!"

"Sam-mo-ong (Tiga Raja Iblis).....??" beberapa orang diantara para penyembah ular itu berbisik-bisik. Mendengar bisikan ini, Hek-bin Mo-ong tertawa.

"Bagus, kalian sudah mendengar nama kami bertiga. Aku memang seorang di antara Sam-mo-ong, akulah orang pertama! Nah, cepat serahkan semua racun kalau kalian tidak ingin mampus di tangan Hek-bin Mo-ong!"

"Hek-bin Mo-ong, engkau terkenal sebagai seorang datuk persilatan yang berkedudukan tinggi. Kenapa engkau mem bunuhi re kan-rekan kami yang tidak ber dosa? Dan sekarang, setelah membunuh banyak rekan kami, engkau memaksa kami menyerahkan milik kami yang menjadi sumber nafkah kami. Tidak, ka mi tidak akan menyerahkannya!" teriak si mata sipit dan sebelas orang lainnya juga berteriak-teriak mendukungnya.

Sepasang alis yang tebal itu berkerut dan mata yang lebar itu mencorong. "Kalian lebih memilih mampus? Keparat, kalau begitu, kalian mampus..."

Tiba-tiba dia terkejut karena terdengar suara bercuit nyaring, dan sebatang benda panjang meluncur ke arahnya dari atas. Dia mengira bahwa itu tentulah seekor ular terbang, maka cepat dia menangkis dengan lengan tangannya.

"Wuuutt..... brett.....!”

Ranting itu terpukul ke bawah dan menancap ke atas tanah sampai amblas lenyap, akan tetapi betapa kaget rasa hati Hek-bin Mo-ong ketika melihat betapa lengan bajunya robek dan kulit lengannya lecet. Padahal, yang menyerangnya tadi hanya sebatang ranting kecil! Bagaimana mungkin ranting dapat menembus kekebalannya?

Hek-bin Mo-ong menoleh ke arah pohon besar dari mana ranting itu tadi meluncur dan dia melihat sesosok bayangan hitam menyambar turun dan tahu tahu di depannya telah berdiri seorang gadis yang luar biasa cantiknya! Gadis itu mengenakan pakaian sederhana dari kain kasar yang berwarna serba hitam berkembang abu-abu, dan gadis itu berdiri bertolak pinggang dan memandang kepadanya sambil tersenyum manis, senyumyang mengandung ejekan!

"Aih-aih, selama hidupku baru sekarang aku bertemu orang yang lahir batinnya berwarna hitam! Hek-bin Mo-ong, julukanmu Raja Iblis Muka Hitam, akan tetapi kulihat yang hitam bukan hanya mukamu melainkan seluruh kulitmu sampai menembus ke hati. Hatimu juga hitam dan jahat sekali!"

Hek-bin Mo-ong masih bengong memandang kepada Kim-hong. Belum pernah dia bertemu seorang gadis yang begini cantik dan lincah dan berani, juga dilihat dari luncuran ranting tadi, ia tentu memiliki ilmu kepandaian yang tidak boleh dipandang ringan!

"Ha-ha-ha, akupun selama hidupku belum pernah bertemu seorang gadis yang begini cantik jelita! Manis, siapakah engkau dan mengapa pula engkau menyerangku tadi? Apakah engkau juga anggauta dari para penyembah ular ini?"

"Tidak ada hubunganku dengan mereka, akan tetapi aku paling membenci orang yang jahat dan kejam, bertindak sewenang-wenang seperti kamu ini! Pergilah dan jangan ganggu lagi mereka, atau aku terpaksa akan menghajarmu!" Sambil bertolak pinggang dan mengeluarkan ancaman seperti itu, lagak Kim Hong seperti seorang dewasa memarahi seorang anak kecil yang nakal saja.

"Ha-ha-ha, bocah sombong kau! Akan tetapi engkau sungguh menarik, engkau pantas untuk menemani aku bersenang-senang selama beberapa hari, ha-ha-ha!" Setelah berkata demikian, tiba tiba saja Hek-bin Mo-ong bergerak, kedua lengannya dikembangkan dan seperti seekor biruang hitam dia sudah menubruk dan menerkam ke arah Kim Hong.

Namun, sebelum dia menerkam, gerakannya telah diketahui gadis itu, dan dengan keringanan tubuhnya, dengan mudah Kim Hong mengelak dengan loncatan ke samping, kemudian ia membalik dan kakinya sudah menyambar dan menendang ke arah lambung lawan.

"Dukk! Uhhh!" Tendangan itu mengenai lambung dan biarpun tidak dapat merobohkan raksasa itu, tetap saja membuat dia terkejut dan terbatuk karena isi lambungnya terguncang. Sebetulnya, Hek-bin Mo-ong adalah seorang datuk sesat yang memiliki tingkat kepandaian tinggi.

Kalau dia dalam segebrakan terkena tendangan Kim Hong, hal itu adalah karena dia memandang rendah dan dia tadi menubruk seperti menghadapi seorang lawan ringan saja, yang dianggapnya sekali terkam dapat menangkap gadis yang lincah menggemaskan hati itu. Karena memandang rendah, dia lengah. Apa lagi Kim Hong memiliki gerakan yang amat cepat.

Sebaliknya, Kim Hong diam-diam terkejut. Tendangannya itu dapat merobohkan seorang lawan yang kuat, akan tetapi ketika tendangan itu mengenai lambung raksasa ini, hanya sempat membuatnya terbatuk kecil saja. Ini membuktikan bahwa lawannya memang amat kuat dan kebal.

Hek-bin Mo-ong tentu saja menjadi marah bukan main. Sebagai seorang datuk besar, dalam segebrakan lambungnya terkena tendangan. Biarpun dia tidak roboh dan kalah, akan tetapi hal ini membuat dia merasa malu sekali. Maka, diapun mengeluarkan suara gerengan seperti seekor binatang buas dan ketika dia menggerakkan kedua tangannya di udara, digoyang-goyang seperti sepasang cakar harimau, tangan itu berubah warnya menjadi hitam tua sampai ke sikunya! Dan melihat ini, Kim Hong maklum bahwa bekas pukulan jari tangan inilah yang dilihatnya pada mayat-mayat itu, bekas pukulan maut.

"Bocah keparat, kuhancurkan kepalamu!" bentaknya dan diapun bergerak menerjang dengan bengisnya.

Namun, Kim Hong sudah cepat mencabut keluar sepasang senjatanya. Sebelum ia menjadi murid Hek-liong Kwan Bhok Cu, ia sudah mempelajari penggunaan delapanbelas macam senjata dari gurunya yang pertama, yaitu Bouw Hun, dan iapun memiliki senjata yang khas seperti gurunya dan suhengnya, yaitu sebatang pedang yang bentuknya melengkung.

Akan tetapi, gurunya ke dua yang gagu mengajarkan penggunaan sepasang pedang pendek seperti pisau belati yang kedua gagangnya disambung dengan sehelai tali yang amat kuat. Sepasang senjata ini oleh gurunya dinamakan siang-hui-kiam (sepasang pedang terbang) dan ia sudah mahir sekali memainkan sepasang pedang pendek ini. Sepasang senjata ini lebih indah dan lebih praktis, mudah disimpan karena tidak panjang seperti dua buah pisau belati saja. Dan sepasang pedang pendek ini terbuat dari baja pilihan yang amat baik sehingga mampu mematahkan senjata lain yang terbuat dari baja biasa saja.

Begitu Hek-bin Mo-ong menerjang dengan kedua tangannya yang berubah hitam sekali, Kim Hong cepat mengelak. Tangan kedua menyusul, akan tetapi, gadis ini memiliki kelincahan gerakan yang luar biasa, membuat beberapa kali sambaran kedua tangan itu luput. Sebaliknya, ia mulai menggerakkan senjatanya dan tiba-tiba saja ada sinar bercahaya menyambar ke arah leher raksasa itu. Si Raja Iblis Muka Hitam cepat menggerakkan tangan untuk menangkis dan mencengkera m ke arah sinar itu tanpa takut karena memang kedua tangannya kini menjadi kebal dan beracun.

"Tringgg......!"

Pedang pendek yang tertangkis itu mengeluarkan bunyi nyaring, akan tetapi tidak dapat tertangkap karena pedang itu telah terbang kembali ke tangan pemiliknya. Pedang yang diikat dengan tali itu ternyata dapat beterbangan, dikendalikan oleh tangan Kim Hong yang memegang talinya. Dan kini, dari kiri menyambar pula pedang terbang kedua, yang menyambar ke arah mata kanan lawan.

"Hemmm.....!" Raksasa hitam itu menggereng marah akan tetapi juga kaget. Cepat dia menundukkan kepala, tubuhnya cenderung ke depan dan lengannya yang panjang telah mencengkeram ke arah dada gadis itu.

Kim Hong terpaksa melompat ke belakang, akan tetapi lawannya juga meloncat dan menyusulkan serangan yang bertubi-tubi, menggunakan sepasang lengan panjang yang memiliki cakar yang hitam beracun dan amat kuat itu. Kim Hong maklum akan bahayanya jari-jari tangan itu, maka iapun mempergunakan kelincahannya untuk mengelak ke sana sini sambil mencari kesempatan untuk membalas serangan lawan dengan sepaang pedang terbangnya.

Duabelas orang pemuda ular yang tadinya tertegun melihat gadis yang mereka serang tadi tiba-tiba bahkan membantu mereka menghadapi Hek-bin Mo-ong, kini bergerak dan dipimpin oleh si mata sipit, mereka maju mengepung dan membantu Kim Hong mengeroyok kakek raksasa itu.

Mereka menggunakan suling yang ujungnya runcing dan mengandung racun yang amat kuat, maka begitu di keroyok, Hek-bin Mo-ong menjadi sibuk juga. Menghadapi Kim Hong seorang saja, raksasa itu masih belum mampu menang, apa lagi kini ditambah duabelas orang pemuda ular yang rata-rata memiliki ilmu silat lumayan dan terutama sekali racun yang mereka pergunakan amat berbahaya.

Si mata sipit, mengeluarkan sebuah bungkusan dari saku bajunya dan begitu dia menaburkan isinya ke arah Hek bin Mo-ong, tercium bau yang amat keras dan kakek hita m itu cepat menahan napas dan tubuhnya sudah melayang naik ke atas pohon! Juga Kim Hong menahan napas dan menjauh.

"Nona telanlah pel ini untuk menjaga diri!" kata si mata sipit sambil melemparkan sebuah pel hitam ke arah Kim Hong.

Gadis ini sudah merasa betapa lengan kirinya gatal, mungkin terkena bubuk yang disebarkan tadi. ia menyambut benda yang dilemparkan kepadanya, dan tanpa ragu iapun menelan pel hitam kecil itu. Dan memang hebat sekali, begitu tertelan, dalam waktu beberapa detik saja, seluruh tubuhnya terasa hangat dan rasa gatal di lengannya pun lenyap! Kini ia berani mendekati mereka tanpa takut terkena bubuk yang di taburkan tadi...
Selanjutnya,