Mestika Burung Hong Kemala Jilid 02 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Mestika Burung Hong Kemala

Karya : Kho Ping Hoo
Cerita Silat Mandarin Serial Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo
Jilid 02
CIN HAN bersikap sungguh-sungguh. "Maaf, ayah. Terpaksa aku berani menolak apa yang ayah kehendaki. Ayah, biarpun aku sudah mempelajari banyak ilmu, akan tetapi semua kepandaian itu hanya merupakan teori belaka. Aku ingin menghayatinya, melaksanakan dalam kehidupan yang sesungguhnya. Aku ingin memperoleh pengalaman karena tanpa pengalaman, bagaimana aku akan dapat menjadi seorang pejabat yang baik. Apakah ayah menghendaki kelak anak ayah ini menjadi seorang pejabat yang hanya mampu menulis di belakang meja saja, hanya mampu menunjuk sana menunjuk sini, hanya mampu memerintah tanpa mampu melakukan apapun? Bagaimana aku akan dapat menjadi seorang pemimpin yang baik kalau aku tidak mampu melakukan sendiri apa yang kuperintahkan?"

Yang Kok Tiong mengerutkan alisnya. Ucapan puteranya itu seolah merupakan kritik kepada dirinya sendiri! "Lalu apa maumu?" bentaknya.

"Ayah, berilah waktu kepadaku barang dua tiga tahun. Aku ingin merantau, meluaskan pengalaman dulu sebelum aku menerima usul ayah untuk menjadi seorang pejabat."

"Merantau? Engkau ingin menjadi petualang yang berkeliaran ke sana sini, bergaul dengan segala macam orang kang-ouw, hidup sebagai rakyat jembel?"

"Ayah, justeru bergaul dengan orang kang-ouw itulah yang akan membuat aku mengerti akan segala keadaan di luar kota raja, dan bergaul dengan rakyat jelata dapat membuka mataku sehingga aku tahu apa saja yang diderita oleh rakyat, apa yang harus diperbaiki dan apa yang harus diubah demi kemakmuran rakyat. Tanpa terjun ke sana, bagaimana aku dapat merasakannya?"

"Sombong! Kau anak durhaka! Engkau tidak boleh berkeliaran, engkau harus mau menerima jabatan atau...."

Melihat suaminya marah-marah dan bangkit berdiri, Nyonya Yang segera bangkit dan menghampirinya, memegang lengannya dan menyabarkannya. "Sudahlah, tidak ada gunanya marah-marah didengar oleh para pelayan menjadi kurang baik. Engkau lelah dan perlu istirahat, marilah, nanti Cin Han biar aku yang membujuknya," kata isteri bijaksana itu dan ia menggandeng tangan suaminya, diajak masuk kekamar mereka.

Cin Han duduk termenung, alisnya yang tebal berkerut. Dia sudah cukup dewasa, dia sudah banyak mendengar tentang keadaan dalam istana, tentang kaisar, tentang bibinya yang menjadi selir terkasih Sribag inda, tentang desas-desus mengenai bibinya dan Panglima An Lu Shan.

Dia melihat kenyataan betapa banyaknya penjilat kaisar, betapa banyaknya pembesar-pembesar yang sesungguhnya tidak becus apa-apa, akan tetapi memperoleh kedudukan tinggi karena ada main dengan para pejabat la innya.

Bahkan dia melihat kenyataan tentang ayahnya. Dia tahu bahwa ayahnya sebenarnya tidak tepat menjadi Menteri Utama. Ayahnya tidak memiliki kepandaian yang boleh diandalkan. Akan tetapi karena ayahnya kakak dari Yang Kui Hui, maka Sribaginda Kaisar mengang kat ayahnya menjadi Menteri Uta ma. Jabatan yang didapat bukan karena keahlian, melainkan karena bujukan dan rayuan bibinya.

Jabatan anugerah! Dia muak melihat semua itu. Dia akan lebih senang kalau andaikata ayahnya itu menda patkan kedudukan yang sesuai dengan keahlian dan kemampuannya. Menjadi lurah dusun misalnya, atau camat paling tinggi! Bu kan Menteri Utama! Dia malu kepada diri sendiri karena pengetahuannya ini.

Karena bagaimana juga, yang memarahinya adalah ayahnya, dan dia tahu betapa ibunya amat mencinta ayahnya dan ibunya akan ikut bersedih kalau ayahnya marah-marah, Cin Han akhirnya bangkit dari tempat duduknya dengan lesu. Dia lalu menuju ke belakang gedung yang besar itu, memasuki taman keluarga yang indah dan cukup luas. Di tengah taman itu terdapat sebuah pondok tempat istirahat dan dia sela lu ke sana kalau hatinya sedang gundah. Juga di dekat pondok terdapat lapangan rumput yang luas di mana dia sering berlatih silat.

Dari jauh dia sudah melihat dua orang adiknya sedang berlatih silat. Wajah tampan yang tadinya agak muram karena memikirkan perselisihannya dengan ayahnya itu tiba-tiba menjadi cerah, berseri-seri dan Cin Han mempercepat langkahnya. Dia amat menyayang dua orang adik tirinya, teman bermainnya sejak kecil. Juga mereka berdua amat sayang kepadanya.

Karena tidak ingin mengganggu dua orang gadis yang sedang berlatih, diapun menyelinap dan mengint ai di balik pondok, menonton kedua orang gadis remaja yang sedang berlatih silat pedang di lapangan rumput itu. Dan diapun tertegun. Dua orang adiknya itu sedang me latih ilmu pedang yang aneh,yang sama sekali tidak dikenalnya dan baru sekali ini dia melihat ilmu pedang itu.

Bahkan baru kemarin dia berlatih pedang dengan kedua adiknya, akan tetapi mereka sama sekali tidak bicara tentang ilmu pedang baru itu, apa lagi memainkannya. Dan melihat gerakan mereka, dia yakin bahwa ilmu itu bukan ilmu yang baru dilatih sekarang.

Tentu sudah lama mereka melatih ilmu pedang itu, dengan diam-diam dan di luar tahunya. Dia menonton sambil memperhatikan. Dia kagum bukan main. Ilmu pedang itu memang hebat. Dasar kuda-kuda dan perubahan geseran kaki mereka begitu kokoh kuat, menopang ilmu pedang yang tangguh.

Gerakan pedang itupun mantap dan selain cepat juga memiliki perubahan yang luar biasa dan tidak terduga-duga. Aneh sekali ilmu pedang itu. Akan tetapi lebih aneh lagi adalah kenyataan betapa mereka menyembunyikan ilmu itu darinya. Tentu ada apa-apanya ini karena kedua orang adiknya itu selamanya belum pernah menyembunyikan sesuatu darinya. Diapun tidak ingin membuat mereka terkejut dan menanti sampai mereka selesai berlatih, barulah dia muncul dari balik pondok.

"Aih, Han-toako!" seru gadis yang lebih besar.

"Han-toako, kenapa engkau baru muncul? Ke mana saja engkau sejak tadi? Aku dengar ayah marah-marah kepada mu. ya? Ayah ingin engkau segera menjadi seorang pembesar, ya? ”kata yang lebih kecil.

Cin Han tersenyum lebar dan menghampiri kedua orang gadis itu. Mereka adalah gadis-gadis yang sehat dan jelita, membuat dia bangga memandang mereka. Yang lebih besar, Yang Kui Lan , memiliki wajah yang menurut ibunya, mirip dengan wajahnya, atau lebih tepat, wajah mereka mirip dengan wajah bibi mereka, Yang Kui Hui yang cantik jelita.

Karena itu, Kui Lan amat cantik jelita, seperti bibi mereka. Tubuhnya tinggi ramping, wajahnya cantik dengan dagu meruncing dan mata yang memiliki kerling tajam, dan tahi lalat kecil di dagu kiri menambah kemanisannya.

Mulut yang indah, hidungnya mancung. Seraut wajah yang jelita, dan wataknya pendiam, anggun dan agung, seperti seorang puteri istana. Sungguh pantas ia menjadi puteri Menteri Utama, karena setiap gerak-geriknya, pembawaannnya, begitu agung seperti seorang puteri bangsawan tinggi.

Sungguh jauh bedanya dengan Kui Bi, adiknya yang berusia enam belas tahun itu. Adiknya ini mirip ibu kandung gadis itu. tubuhnya kecil mungil Dengan wajah manis dan rambut hita m subur, matanya seperti sepasang bintang yang selalu tersenyum. Mata itu lebih nampak senyumnya dibanding bibirnya yang merah basah, sepasang mata yang Jenaka, pembawaannya lincah dan manja, pandai bicara, dan sama sekali tidak pendiam seperti enci tirinya. Gadis ini memang amat cerdik dan lincah, pandai? bergaul sehingga disayang oleh semua keluarga.

Cin Han tidak merasa heran mendengar Kui Bi mengetahui persoalannya dengan ayahnya. Memang sudah lama ayahnya selalu membujuknya agar dia mau menjadi pejabat. Akan tetapi tentu kedua orang adiknya itu tidak tahu apa yang baru saja terjadi antara dia dan ayahnya. Dia membelokkan arah percakapan dan sambil mengamati kedua orang gadis yang kini menggunakan saputangan untuk menyusut keringat yang membasahi leher dan muka mereka, dia bertanya.

"Lan-moi (adik Lan) dan Bi-moi (adik Bi), ilmu pedang apakah yang kalian latih tadi?"

Dua orang gadis itu nampak terkejut, saling pandang dan Kui Lan tidak mampu menjawab, diam saja. Kui Bi tersenyum dan berpura-pura heran.

"Aih, kenapa masih bertanya, Han-ko. Kami berlatih ilmu pedang biasa, Thian-te Kiam-hwat (Ilmu Pedang Langit Bumi) yang sudah kita kenal bersama, bahkan engkau sering me mberi petunjuk kepada kami."

Cin Han mengerutkan alisnya dan memandang kepada adiknya dengan alis berkerut. "Bi-moi, sejak kapan engkau belajar berbohong? Kau kira begitu mudah engkau membohongi aku? Sudah sejak tadi aku menonton kalian berlatih ilmu pedang itu dan aku tahu bahwa itu adalah ilmu pedang aneh dan hebat yang sama sekali tidak kukenal. Nah, masihkah kalian tidak mau berterus terang kepada kakak kalian sendiri?"

"Maafkan kami, koko......." kata Kui Lan.

"Tidak perlu minta maaf, ceritakan saja dari mana kalian mempelajari ilmu pedang itu dan apa namanya," kata Cin Han dengan suara tegas dan menuntut.

"Hi-hik, Lan-ci (kakak Lan), aku berani bertaruh bahwa Han-ko baru saja mendapat marah besar dari ayah!" kata Kui Bi sambil tertawa-tawa sehingga nampak deretan giginya yang mengkilap rapi.

"Hemm, dari mana kau tahu?"

"Itu mudah saja, koko. Engkau di marahi ayah, tidak berani membalas dan untuk melampiaskan kedongkolanmu, engkau memarahi kami. Belum pernah kita melihat Han-ko marah-marah kepada kita, bukan, Lan-ci?"

Cin Han memandang dengan sungguh sungguh. "Lepas dari soal marah atau tidak, aku sungguh ingin tahu sekali. Ilmu pedang kalian tadi memang hebat. Dari siapa kalian mempelajarinya?"

Kembali kakak beradik itu saling pandang, kemudian Kui Lan menghela napas dan berkata kepada adiknya, "Bi-moi, tiada salahnya kalau kita berterus terang saja kepada Han-ko. Kau ceritakanlah kepadanya apa adanya, Bi-moi."

Mendengar ucapan encinya, Kui Bi tidak bimbang lagi. "Begini, Han-ko, bukan kami tidak mau berterus terang kepadamu, akan tetapi sesungguhnya, orang yang mengajarkan ilmu pedang ini kepada kami memesan agar kami tidak menceritakan kepada orang lain...."

"Akan tetapi aku bukan orang lain, Bi-moi! Kalau tidak kau ceritakan padaku, akan kuberi tahu ayah bahwa kalian menyembunyikan rahasia dan kalian tentu akan dipaksa mengaku dan mendapat kemarahan besar." Cin Han mengancam.

"Baiklah, Han-ko, kami ceritakan akan tetapi engkau harus berjanji tidak akan menceritakannya kepada orang lain," kini Kui Lan berkata.

Cin Han mengangkat kedua tangan ke atas. "Baik, aku berjanji. Nah, sekarang ceritakan kepadaku."

"Peristiwanya terjadi tiga bulan yang lalu, koko," Kui Bi mulai bercerita. "Kami berdua sedang melakukan perjalanan pulang dari kuil di mana kami bersembahyang. Di depan kuil, sebelum kami naik joli, kami melihat seorang kakek pengemis duduk melenggut. Kami merasa kasihan sekali kepada kakek jembel itu, maka kami lalu mengambil dua keping uang emas dan kami berikan kepadanya."

"Kalian memberi sedekah dua keping uang emas kepada seorang pengemis? Luar biasa sekali! Kalian terlalu royal!" Cin Han berseru heran. Mana ada orang memberi sedekah dengan kepingan emas kepada seorang pengemis?

"Memang luar biasa, koko, dan kami berduapun merasa heran mengapa mendadak kami merasa iba kepadanya. Akan tetapi akibat perbuatan. kami itupun luar biasa, koko!" kata Kui Bi.

"Eh, Bi-moi, apa hubungannya urusan pengemis itu dengan ilmu pedang kalian?Jangan mencoba mengibuli aku!"

"Aih, engkau sungguh tidak sabar, koko. Jelas ada hubungannya! Dengarkan saja," sela Kui Bi.

"Tiga hari kemudian, ketika pada suatu pagi kami berdua sedang berlatih ilmu pedang, tiba-tiba terdengar suara orang yang mencela gerakan kami dan memberi petunjuk. Tentu saja kami terkejut dan penasaran, akan tetapi petunjuknya itu memang tepat sekali. Anehnya, suara itu tidak ada orangnya. Baru ketika kami minta kepada suara itu agar kalau dia seorang manusia suka memperlihatkan diri, tiba-tiba saja muncul seorang kakek dan bukan lain adalah kakek jembel depan Kui Bi itu!"

Kisah itu mulai menarik dan Cin Han terbelalak. "Lalu bagaimana, Bi? Lanjutkan, lanjutkan.....!"

Bibir yang merah basah itu merekah dalam senyum yang menggoda. "Akan kulanjutkan, akan tetapi janji dulu bahwa lain kali engkau tidak akan galak kepadaku, dan akan selalu bersikap manis sebagai seorang kakak yang baik. Berjanjilah!" Gadis ini memang nakal dan suka menggoda, lagi manja.

"Baiklah, baiklah..... aku berjanji. Tapi cepat lanjutkan, lalu bagaimana? Apakah pengemis itu muncul di sini, di taman ini?"

"Benar, dia muncul, bukan seperti engkau tadi yang bersembunyi di balik pondok. Dia melayang turun dari atas pondok seperti burung saja. Kami terkejut dan bertanya apa maunya dan bagaimana dia dapat memasuki taman. Dia hanya tertawa dan mengatakan bahwa dia datang.untuk membalas budi kami. Dan diapun segera mengajarkan ilmu pedang itu kepada kami dengan janji bahwa kami tidak akan menceritakan kepada orang lain..."

"Tapi aku bukan orang lain, aku adalah kakak kalian yang baik dan tersayang. Nah, lanjutkan!" kata Cin Hari tak sabar. "Siapa nama orang itu, apa nama ilmu pedang itu dan berapa lama dia mengajarkan kepada kalian, apakah! dia masih suka datang ke sini dan....!”

"Aihh, repot juga aku menghadapi serangan pertanyaanmu yang seribu satu macam banyaknya itu, koko! Dia tidak memperkenalkan namanya, dan tidak suka kami sebut sebagai guru. Dia hanya ingin membalas budi. Ilmu pedang itu dia sebut Sian-li Kiam-sut (ilmu Pedang Dewi) yang katanya amat cocok untuk kami. Tadinya dia datang setiap hari sampai kurang lebih sebulan, kemudian dia mengatakan bahwa kami sudah mempelajari semua teorinya hanya tinggal berlatih berdua saja dan dia tidak pernah datang lagi."

"Dan selama sebulan itu, dia datang ke sini dan pergi tanpa dilihat orang lain?"

"Agaknya tidak ada yang melihatnya kecuali kami berdua, Han-ko," kata Kui Lan.

"Memang dia mempunyai gerakan yang luar biasa, datang dan pergi hanya na mpak bayangannya berkelebat."

"Luar biasa! Sungguh luar biasa!" seru Cin Han. "Bagaimana orangnya, sikapnya, bentuk badannya, wajahnya, kepandaiannya?" Kembali dia menghujankan pertanyaan, membuat Kui Bi terkekeh.

"Wah-wah, engkau murka sekali, koko. Engkau hanya berjanji satu, akan tetapi minta banyak sekali. Nah, aku akan menceritakan bagaimana keadaan orang itu, akan tetapi engkau harus berjanji bahwa engkau nanti akan menceritakan tentang ayah, apakah engkau tadi di marahi ayah dan mengapa dimarahi? Maukah engkau berjanji?"

"Baiklah, baiklah, engkau rewel sekali, Bi-moi. Hayo katakan bagaimana keadaan orang itu!"

"Orangnya berusia kurang lebih enam puluh tahun, kurus kering dan bongkok, seperti ebi....."

"Ebi?"

"Ya, udang kering itu lho! Rambutnya dibiarkan riap-riapan, sudah banyak ubannya, pakaiannya tambal-tambalan akan tetapi bersih, dan mukanya seperti seperti...... monyet."

"Bi-moi!" Kui Lan menegur adiknya "Bagaimana juga, dia itu guru kita, bagaimana engkau dapat mengatainya seperti itu?"

"Aih, enci. Aku bukan bermaksud menghinanya, akan tetapi bagaimana pula harus menerangkan kepada Han-koko. Kita harus jujur, enci. Bukankah memang mukanya mirip muka seekor monyet. Coba kau yang menggambarkan, bagaimana bentuk wajahnya agar Han-koko mengerti, enci Lan."

"Sudahlah, aku tidak tahu. Keteranganmu sudah cukup, hanya yang kutahu, dia selalu membawa sebatang tongkat."

"Ah, benar! Han-ko, orang itu selalu membawa sebatang tongkat hitam panjangnya sedepa, kadang dia selipkan di pinggang. Nah, sekarang kau ceritakan tentang ayah dan engkau, Han-ko."

Ditanya demikian, kegembiran dan ketegangan mendengar tentang pengemis itu, seperti tersapu dari wajah Cin Han. Wajahnya berubah agak muram dan diapun duduk di atas bangku yang terdapat di situ, lalu termenung dan menghela napas berulang kali.

"Ihh! Bagaimana, ini, Han-ko? Kalau ceritamu hanya helaan napas panjang saja, tidak perlu aku mendengarnya. Aku sendiri pun mampu dan pandai kalau hanya menghela napas!" Kui Bi bersungut-sungut. Sikap adiknya ini sedikit banyak mengurangi tekanan batin yang di derita Cin Han dan diapun tersenyum.

"Ayah memang marah-marah kepadaku. Seperti biasa, ayah hendak memaksa aku untuk menjadi pejabat, akan tetapi aku menolak dan aku mengatakan bahwa aku ingin pergi merantau selama dua tiga tahun dulu mencari pengalaman."

"Wah, bagus! Menyenangkan sekali! Aku ikut, Han-ko!" teriak Kui Bi dengan gembira sehingga suaranya seperti orang bersorak.

"Hushh, Bi-moi, lupakah engkau bahwa engkau seorang wanita?" Kui Lan menegurnya.

Kui Bi membalikkan tubuh menghadapi encinya. "Kalau aku wanita, habis mengapa, enci? Wanitapun manusia seperti Han-koko, bukan? Dan akupun ingin mencari pengalaman, merantau bersama Han-ko. Akupun sudah mampu menjaga dan membela diri, bukankah begitu, koko?"

Dengan manja Kui Bi memegang tangan kakaknya. "Han-ko, aku boleh ikut denganmu pergi merantau, bukan? ,Boleh kan, koko yang baik."

Cin Han tersenyum akan tetapi menggeleng kepalanya. "Aih, Bi-moi, engkau ini seperti anak kecil saja. Sedangkan aku sendiri begitu memberi tahu ayah bahwa aku akan pergi merantau, ayah sudah marah bukan main dan melarangku, apa lagi kalau dia mendengar engkau akan ikut pergi. Tentu kemarahannya akan memuncak."

"Jadi... kalau begitu, engkau tidak jadi pergi merantau?" tanya Kui Bi kecewa. Kakaknya menggeleng kepala dan menghela napas panjang.

"Entah, Bi-moi. Aku masih bingung, belum dapat mengambil keputusan. Kalau aku pergi, tentu ibu akan berduka karena ayah marah. Dan engkau, jangan harap engkau dapat pergi, tentu ayah akan melarang keras."

Kui Bi menjatuhkan diri duduk di atas bangku dan bertopang dagu, alisnya berkerut dan nampak giginya yang rapi putih Itu menggigit-gigit bibir bawah, tanda bahwa hatinya kesal dan jengkel.

"Sudahlah, Bi-moi, jangan macam-macam. Kita ini wanita, tidak mungkin ayah memperbolehkan kita pergi merantau. Sedangkan Han-ko yang laki-laki pun tidak diperkenankan, apa lagi kita."

"Wah, aku sudah tahu! Ya, hanya itulah jalan satu-satunya!”

Tiba-tiba Kui Bi meloncat bangun, mengejutkan kedua orang kakaknya, dan Kui Bi kembali memegang tangan Cin Han, mengguncang-guncangnya sambil berkata, "Han-ko, engkau harus menolong kami sekali ini! Engkau harus menolong kami agar kami diperkenankan ayah untuk keluar dari rumah, dari kota raja!"

"Ehh? Bagaimana pula ini? Yang akan merantau adalah aku, bukan kalian!" kata Cin Han.

"Tentu saja. Engkau pergilah merantau, koko. Engkau pergi tanpa pamit alias minggat. Nah, tentu ayah dan para ibu bingung, lalu aku dan enci Lan akan menghadap ayah, dan mengusulkan agar kami diperkenankan pergi mengejar dan mencarimu sampai dapat, memaksamu untuk pulang! Dengan demikian, ayah tentu akan mengijinkan dan berarti kita bertiga semua pergi merantau! Asyiiik!"

Mau tidak mau Cin Han tertawa melihat adiknya yang manis itu menari-nari gembira. Juga Kui Lan yang amat mencinta adiknya ikut tersenyum. "Ihh, engkau menganggap segala hal dapat dilaksanakan dengan mudah saja, Bi-moi."

"Apa sih sukarnya? Kalau Han-ko minggat malam-malam,siapa yang akan menghalanginya. Dan pada keesokkan harinya, kita menghadap ayah dan menyatakan akan mengejar Han-ko sampai dapat. Serahkan saja kepadaku untuk membujuk ayah, pasti berhasil!"

"Terserah kepada Han-ko, kita tidak bisa memaksanya," kata pula Kui Lan sambil memandang kepada pemuda itu. Kui Bi juga memandang dan pemuda itu kembali menghela napas panjang.

"Hal ini akan kupertimbangkan dulu," katanya dan diapun meninggalkan taman itu bersama dua orang adiknya yang akan pergi mandi.

* * *

Cin Han berjalan santai di jalan raya depan kuil itu. Banyak memang di depan kuil, di kanan kiri, terdapat para pengemis yang menanti para tamu keluar dari kuil untuk minta sedekah. Biasanya, orang yang memasuki kuil tentu untuk bersembahyang dan memohon sesuatu dan orang-orang seperti itulah yang biasanya suka memberi sedekah kepada para pengemis.

Suatu kekeliruan besar telah kita perbuat, sejak sejarah kehidupan manusia dimulai sampai sekarang, yaitu menjadi peminta-minta. Mungkin caranya yang berubah dan berbeda-beda, namun pada hakekatnya, tetap saja kita meminta-minta, mengemis. Kepada Tuhan, kepada para dewa, kepada arwah leluhur, bahkan kepada setan dan iblis kita selalu menadahkan tangan untuk minta-minta, untuk memohon sesuatu! Yang kita lakukan dalam sembahyang, selalu berisi penuh permintaan, permohonan!

Dan dalam keadaan memohon sesuatu, masih kita sogok lagi dengan perbuatan yang dianggap baik, seperti beramal, memberi sedekah, menolong orang, semua itu untuk memperkuat doa kita agar permohonan kita terkabul! Kalau permintaan dengan segala macam bentuk sogokan itu ditujukan kepada para dewa, kepada arwah atau kepada segala macam setan dan iblis, masih dapat dimengerti, karena mereka memang mungkin masih membutuhkan sogokan. Akan tetapi kalau segala macam permintaan itu ditujukan kepada Tuhan Maha Pencipta, sungguh hal ini patut kita renungkan bersama.

Tuhan Maha Kuasa, Maha Adil, Maha Kasih! Tuhan telah menciptakan Segala sesuatu dalam keadaan sempurna! Kitapun diciptakan ke dunia ini dalam keadaan yang sempurna, disertai segala macam alat yang paling lengkap untuk dapat hidup. Setiap helai rambut, Setiap lubang pori-pori, kuku, gigi, setiap lekukan jari, bulu mata, alis, Panca indera, hati akal pikiran, lengkap dengan segala macam yang ada pada diri kita luar dalam, semua itu me mpunyai daya guna untuk dapat kita pergunakan demi kepentingan kehidupan di dunia ini. Sudah diberi sejak lahir secara lengkap.

Berkah Tuhan juga, berlimpahan. Kita diberi tanah, udara, panas matahari, air, semua yang diperlukan untuk kehidupan tanam-tana man yang akan menjadi makanan kita, sampai ke benih segala macam tumbuh-tumbuhan, jutaan macam banyaknya. Ada pula jutaan macam binatang yang dagingnya dapat pula menjadi ma kanan kita. Segala sudah tersedia, TINGGAL MENGERJAKAN saja.

Namun, kita masih saja minta-minta! Sepatutnya, dalam sembahyang, kita berbakti, kita memuja, kita bersyukur, berterima kasih, karena segalanya telah disediakan Tuhan untuk kita. Kita hanya tinggal mengerjakan segala yang ada pada kita, mengerjakan anggauta badan kita, hati akal pikiran kita, demi mencukupi kebutuhan hidup kita. Demikian Maha Kasih Tuhan sehingga dalam segala macam tumbuh-tumbuhan itu telah terdapat yang bisa mengenyangkan, yang bisa menguatkan, bahkan ada pula yang dapat menyembuhkan kita kalau kita terserang penyakit.

Hidup ini berarti gerak. Siapa tidak menggerakkan dirinya untuk bekerja, tentu akan terjadi gangguan pada dirinya. Bekerja, mempergunakan segala sarana yang telah diberikan Tuhan untuk kita, berarti kita tidak menyia-nyiakan pemberian Tuhan, berarti bahwa kita telah berdosa. Mengerjakan segala sarana yang telah diberikan Tuhan kepada kita berarti berbakti dan memuja ke pada Sang Maha Pencipta. Karena itu, tidak ada gunanya memohon tanpa bekerja. Kalau kita lapar, kita harus mencari makanan sendiri, bukan minta makanan kepada Tuhan!

Demikianlah pula kalau kita sakit, kita harus berusaha mencari obatnya. Segala apapun yang kita butuhkan, harus kita cari sendiri. Itulah kewajiban manusia dalam kehidupan di dunia ini. Berikhtiar agar hidup ini terpenuhi semua kebutuhannya, kemudian berikhtiar agar hidup ini terisi oleh manfaat bagi manusia lain. Ikhtiar adalah wajib, dan tanpa mau berikhtiar, hanya memohon dan mengandalkan kepada Tuhan saja, sama dengan mempersekutukan Tuhan, membebani Tuhan dengan segala pekerjaan demi keenakan kita! Betapa besar dosanya kalau sikap ini kita pertahankan!

Sembahyang kepada Tuhan merupakan wajib, yaitu kewajiban kita untuk berbakti, bersyukur dan berterima kasih. Tuhan Maha Tahu Tidak usah kita minta, Tuhan sudah Tahu apa yang kita butuhkan, dan sudah disediakan segalanya, pasti akan kita dapatkan dengan jalan berikhtiar, dengan landasan iman dan kepasrahan kepada Tuhan yang menentukan segalanya.

Puji syukur kepada Tuhan. Dan kalaupun ada suatu permohonan suatu permintaan, maka sepatutnya kalau satu-satunya permohonan kita adalah mohon ampun atas segala kesalahan kita yang lalu. Dengan penyera han kepadaNya, pasrah, tawakal, ikhlas, sabar, maka kita akan mendapatkan bimbinganNya. Bukan dengan cara minta-minta, apa lagi menyogok.

Perbuatan baik yang dilakukan dengan sengaja untuk mendapatkan balas jasa, bukan perbuatan baik lagi namanya, melainkan kepalsuan. Sama seperti kalau kita berbuat baik terhadap seorang pembesar dengan harapan agar kelak pembesar itu akan memberi suatu kemudahan bagi kita! Perbuatan baik seperti itu bukan lain hanyalah perbuatan menyogok, menyuap.


Cin Han akhirnya menemukan apa yang dicarinya di pagi hari itu. Kakek itu duduk melenggut di sudut pekarangan kuil. Dia tidak meratap meminta-minta kepada orang-orang yang berlalu-lalang di depannya seperti para pengemis lain. Dia bahkan melenggut dan mengantuk, kedua matanya terpejam, rambutnya yang riap-riapan kelabu itu bagian atasnya, menutupi ubun-ubun kepalanya, dilindungi sebuah topi butut yang bentuknya seperti tempurung kelapa.

Tubuhnya yang kurus memang seperti ebi, seperti udang kering ketika dia melingkar di sudut itu. Yang membedakan dia dari para pengemis lain bukan hanya karena dia tidak merengek dan mengemis, akan tetapi kebersihan pada dirinya, baik pada rambutnya, pakaian dan mukanya. Bajunya memang butut dan tambal-tambalan, akan tetapi bersih! Dan sebatang tongkat hitam terletak di atas ke dua pahanya.

Jelas, inilah orangnya, pikir Cin Han, terheran-heran. Orang seperti ini memiliki ilmu silat yang amat tinggi? Sungguh amat sukar dipercaya. Melihat tubuh yang kerempeng itu, agaknya tertiup angin agak keraspun dia akan terpelanting! Berbeda dengan guru-gurunya, para jagoan istana, hampir semua bertubuh kokoh kuat.

Akan tetapi, dari para gurunya itu dia sudah mendengar pula bahwa di dunia kang-ouw terdapat banyak orang aneh, orang-orang yang kelihatannya amat lemah, akan tetapi justeru memiliki kesaktian. Karena itu, dia tidak berani memandang rendah, apa lagi teringat akan cerita Kui Bi.

Cin Han mengambil sepotong emas dari sakunya. Emas itu sedikitnya setail beratnya, puluhan kali lebih banyak dari pada keping emas yang pernah diberikan Kui Lan dan Kui Bi kepada kakek ini. Setelah meli hat ke kanan kiri dan tidak ada seorangpun yang melihat apa yang diperbuatnya, Cin Han menghampiri kakek itu dan meletakkan sepotong emas itu kedalam tangan kakek itu, menekankan emas itu di telapak tangannya sambil berkata,

"Kakek yang baik, terimalah sedekahku ini!"

Kakek Itu membuka mata dan setelah Cin Han melihat bahwa kakek itu memandang kepadanya, dia mengangguk sambil tersenyum, lalu melangkah pergi. Tanpa menoleh Cin Han pergi menuju ketimur dan keluar dari pintu gerbang kota raja. Dia lalu memilih tempat yang sunyi, yaitu di tepi Sungai Wei, sungai yang mengalir di tepi kota raja dan yang mengalir ke timur dan menjadi anak Sungai Kuning.

Di tepi sungai itu dia duduk termenung. Dia merasa yakin bahwa kakek sakti itu pasti terpikat dan akan menemuinya di tempat itu, seperti dia menemui kedua orang adiknya yang telah memberinya hanya dua keping uang emas. Apa yang diduga dan diharapkannya kemudian terbukti benar.

Belum setengah jam dia duduk di tepi sungai yang lebar dan airnya tenang itu, terdengar suara orang batuk-batuk dibelakangnya. Dia menoleh dan melihat kakek tadi telah berdiri di situ, tubuhnya bungkuk dan dia berdiri bertopang pada tongkat hitamnya, matanya yang sipit itu mengamatinya, mulutnya menyeringai seperti orang mengejek.

Cin han segera menjatuhkan diri berlutut di depan kakek jembel itu. Melihat ini, kakek itu nampak terheran-heran dan mencoba untuk membelalakkan matanya yang sipit. Akan tetapi sia-sia, karena mata itu terlalu sipit, coba dibelalakkan malah menjadi semakin terpejam!

"Ah, kongcu, apa yang kau lakukan ini?" katanya.

"Locianpwe, aku Yang Cin Han menghaturkan hormat kepada locianpwe," kata Cin Han dengan sikap hormat.

Kakek itu mengeluarkan suara tawa aneh dan mulutnya menyeringai. "Heh-heh-heh, apa engkau sudah gila? Tadi engkau lewat dan sepotong emasmu terjatuh ke tanganku, sekarang engkau memberi hormat secara berlebihan kepadaku. Nah, kau terima kembali emas mu ini, kongcu."

"Locianpwe, emas itu memang sengaja ku berikan kepadamu sebagai sedekah," kata Cin Han tegas.

"Ehh? Memberi sedekah sebanyak ini? Apa maksudmu memberi sedekah emas sebesar ini?"

"Locianpwe, aku memberikan emas itu kepadamu dengan maksud agar locianpwe suka mengajarkan ilmu kepadaku. Aku tahu bahwa locianpwe adalah seorang ahli silat yang pandai., maka aku mohon agar locianpwe suka mengajarkan ilmu silat yang tinggi kepadaku."

"Hemm, orang muda. Kau kira ilmu dapat dibeli dengan emas? Biar kau sediakan emas yang banyaknya seribu kali ini, engkau tidak akan dapat memaksa aku mengajarkan ilmu kepadamu!" Suara kakek itu mengandung teguran. "Biarpun engkau putera menteri, kaya raya, namun tidak akan dapat memaksaku mengajarkan ilmu kepadamu."

Mendengar ini, Cin Han mengerutkan alisnya. "Akan tetapi, locianpwe telah menerima dua keping emas dari dua orang adikku dan locianpwe telah mengajarkan Sian-li Kiam-sut kepada mereka! Kalau aku sekarang memberi sepotong emas kepada locianpwe dan minta agar locianpwe suka mengajarkan ilmu silat kepadaku seperti yang locianpwe lakukan kepada dua orang adikku, salahkah itu?"

Kakek itu tertawa. "Heh-heh-heh, orang muda. Kau kira aku mengajarkan silat kepada dua orang nona itu karena mereka telah memberi uang emas kepadaku? Sama sekali tidak! Aku mengajarkan silat kepada mereka bukan karena emas itu, melainkan karena budi mereka. Hem, emasnya memang sama, akan tetapi dasar yang mendorong pemberian itu yang sama sekali berbeda. Mereka memberikan emas kepadaku terdorong oleh perasaan iba sehingga mereka memberi tanpa pamrih karena merasa kasihan. Sebaliknya, engkau memberi emas kepada ku karena terdorong keinginan mu untuk dapat mempelajari ilmu silat dari ku. Berarti, kau hendak menyogokku, hendak membeli ilmuku. Tak mungkin aku mau mengajarimu!" Berkata demikian, kakek itu menjatuhkan sepotong emas tadi ke depan Cin Han yang masih berlutut.

"Kalau begitu, locianpwe tidak adil! Sama sekali tidak adil!" kata Cin Han yang melihat betapa kedua kaki orang itu sudah diputar dan agaknya hendak meninggalkan dia yang masih berlutut terasa matanya seperti menjuling dan mendelik, akan tetapi tetap saja dia tidak dapat melihat kakek itu.

Celaka, dia benar-benar pergi! Kakek yang keras hati, pikirnya. Akan tetapi, diapun kalau perlu dapat berkeras hati, pikirnya. Dia sudah berjanji akan berlutut terus. Biarlah dia berlutut terus sampai kakek itu kembali, atau sampai jatuh pingsan, biar orang lain yang mengangkat dan membangunkannya. Yang jelas, dia tidak akan bangun. Malu rasanya kalau melanggar janji sendiri.

Biarpun dia tidak diajar silat, yang jelas sudah mendapatkan satu pelajaran dari kakek itu, yaitu harga diri! Kakek itu, biar diberi emas satu ton, tidak mau menjual ilmunya. Diapun, sesudah berjanji, takkan melanggarnya. Ini namanya harga diri!

Dapat dibayangkan betapa lelahnya tubuh, terutama kedua kaki dan terutama sekali di bagian lutut, kalau orang berlutut terus sejak pagi sampai sore, bahkan sampai malam gelap tiba. Dan kakek itu sama sekali tidak nampak Kembali! Dan juga tempat itu sunyi, tidak ada seorangpun lewat! Untung jauh dari hutan, pikirnya. Kalau di dalam hutan lalu ada binatang buas datang, bagaimana? Dia sudah hampir tidak kuat bertahan lagi. Ingin sekali dia meloncat bangun dan lari pulang.

Akan tetapi, Cin Han menggigit bibir dan bertahan terus! Malam itu hawa udara dingin bukan main. Bagaimana kalau sungai itu banjir dan airnya menyambar tempat dia berlutut, pikirnya. Malam itu gelap dan suara angin bertiup pada pohon-pohon membuat daun bergoyang dan menimbulkan suara seperti ada seribu setan saling berbisik dan menertawankannya! Bermacam penglihatan khayal menggoda Cin Han. Bulu kuduknya meremang ketika terdengar suara burung hantu di atas pohon.
Setelah lewat tengah malam dan kakek itu belum ada tanda-tandanya akan kembali, hati Cin Han mulai mengomel dan memaki-maki. "Kakek kejam! Kakek sadis! Tentu dia bukan orang baik-baik. Tentu dia seorang datuk sesat. Kalau dia manusia baik-baik tentu tidak sekejam ini, kakek berhati iblis”

Demikian dia memaki-maki dalam hatinya, akan tetapi tetap saja dia tidak bangkit berdiri. Pertama karena dia masih ada sedikit sisa kenekatannya, dan kedua karena memang kedua kakinya sudah terasa kaku dan tidak dapat digerakkan sehingga kalau dia bangkit berdiri, tentu dia akan jatuh, dan ke tiga, malam begitu gelap, andaikata dapat berdiripun, dia tidak berani melanjutkan, salah-salah dia bisa tercebur ke dalam sungai!

Menjelang pagi, rasa lelah dan kantuk tak tertahankan lagi. Cin Han masih berlutut dan kini kepalanya semakin menunduk sampai akhirnya menyentuh tanah di depannya, kedua matanya terpejam dan rasanya dalam mimpi. Dalam mimpi itu, matanya melirik ke atas dan dia melihat dua buah tiang mencuat depan hidungnya dan tercium bau yang tidak enak.

Dia mengingat-ingat karena walaupun bau itu tidak enak, akan tetapi seperti tidak asing bagi hidungnya, diapun teringat. Itu bau kaki! Biasa, kalau dia berganti kaus kaki, seperti itu baunya! Matanya melirik terus makin ke atas, dan dia bantu dengan mukanya yang dia angkat dan..... kakek itu telah berdiri di depannya, kedua buah tiang itu adalah kaki pengemis tua itu dan yang bau adalah kakinya, kaki yang berdiri dekat hidungnya!

"Locianpwe .!" kata Cin Han dengan girang.

"Heh-heh, agaknya keluarga Yang memang mempunyai darah keturunan orang yang bandel, keras hati dan tahan uji. Pantas Yang Kok Tiong menjadi Menteri utama dan Yang Kui Hui menjadi selir terkasih. Engkau cukup berkemauan keras dan tahan uji. Bangkitlah, Cin Han."

Makin kagumlah hati Cin Han terhadap kakek itu. Bukan orang sembarangan, pikirnya, buktinya sudah mengetahui nama ayah dan bibinya. "Terima kasih, locianpwe," katanya dan dia menggerakkan tubuh untuk bangkit berdiri.

Akan tetapi, kedua kakinya terasa kaku dan nyeri ketika dia bangkit berdiri sehingga dia jatuh berlutut kembali, menyeringai kesakitan. Kakek itu kembali terkekeh dan tiba-tiba tongkat bergerak, bagaikan seekor capung bermain di atas air, ujung tongkatnya menyentuh kedua kaki Cin Han di beberapa bagian dan tiba-tiba pemuda itu merasa betapa kedua kakinya sudah pulih kembali! Dia bangkit berdiri, lalu menjatuhkan diri berlutut memberi hormat lagi.

"Suhu, teecu menghaturkan terima kasih atas kebaikan hati suhu," katanya, langsung saja menyebut suhu dan memberi hormat delapan kali seperti sudah menjadi lajimnya seorang murid baru memberi hormat kepada gurunya.

Kakek itu membiarkannya saja memberi hormat. Dari keteguhan hati pemuda itu, dan ketika dia menggu nakan tongkat menotoknya, dia dapat mengetahui bahwa pemuda ini memiliki bakat dan kemampuan yang tidak akan mengecewakan kalau menjadi muridnya.

"Bangkitlah sekarang, dan ketahuilah bahwa tidak mudah menjadi murid Sin-tung Kai-ong (Raja Pengemis Tongkat Sakti)! Engkau harus berani berkorban."

Berdebar jantung dalam dada Cin Han ketika dia mengetahui bahwa kakek itu adalah Sin-tung Kai-ong. Jarang ada orang mengenalnya, akan tetapi namanya dikenal oleh semua jagoan istana yang pernah mengajarkan silat kepadanya. Nama itu adalah nama seorang datuk persilatan yang aneh, tidak pernah memihak, akan tetapi jelas tidak termasuk datuk sesat! Bahkan condong berwatak pendekar walaupun wataknya angin-anginan dan aneh.

"Teecu siap untuk melaksanakan segala perintah suhu, walaupun harus berkorban apa saja!" kata Cin Han dengan suara tegas dan wajah gembira. Lenyaplah semua perasaan lelah dan kantuknya karena luapan rasa gembira.

"Kalau engkau memang ingin menjadi muridku, sekarang juga engkau harus pergi ikut denganku, tidak boleh pulang dulu untuk berpamit atau mengambil bekal apapun. Sanggupkah engkau?"

Diam-diam Cin Han terkejut. Pergi, begitu saja? Soal bekal tidak merupakan hal penting baginya, akan tetapi tidak pamit kepada ayahnya dan terutama kepada ibunya? Kemudian dia teringat akan siasat yang diusulkan oleh Kui Bi dan diam-diam dia tersenyum.

Keadaan ini cocok sekali dengan apa yang diinginkan Kui Bi. Kui Bi tentu akan menghadap ayah mereka dan menyatakan ingin mencarinya bersama Kui Lan sehingga mereka berdua mendapat kesempatan untuk pergi merantau.

"Bagaimana? Benar-benarkah engkau rela berkorban?"

"Tentu saja, suhu. Teecu siap melaksanakan perintah suhu!"

"Kalau begitu, mari kita pergi dari sini." Kakek itu lalu melangkah pergi, menuju ke selatan, langkahnya nampak biasa saja akan tetapi tubuhnya seperti terbang cepatnya meluncur ke depan. Cin Han terkejut dan terpaksa dia harus berloncatan dan mengerahkan tenaganya untuk mengejar agar jangan sampai tertinggal oleh suhunya.

Tepat seperti diduga oleh Cin Han dan sudah diperhitungkan oleh Kui Bi yang cerdik, setelah dua hari Cin Han tidak pulang, keluarga Yang menjadi panik. Yang Kok Tiong menjadi marah dan bingung, dan hatinya yang keras membuat dia memaki-maki puteranya dan memarahi isterinya yang dianggap terlalu meman jakan Cin Han. Sudah dikerahkan pasukan mencari Cin Han, namun tidak berhasil dan dalam keadaan seperti itu, Kui Bi mengajak Kui Lan menghadap ayah mereka.

"Ayah, aku dan enci Lan akan pergi mengejar dan mencari Han-koko sampai dapat. Kami berdua mengenal baik koko, dan kalau kami yang membujuknya, tentu dia akan suka pulang. Andaikata ada petugas yang berhasil menemukannya, kalau dia berkeras tidak mau pulang, petugas itu tentu tidak dapat memaksanya. Hanya kami berdua yang akan dapat mengajaknya pulang, ayah."

Andaikata Yang Kok Tiong tidak sedang pusing dan marah kepada puteranya, tentu dia akan mempertimbangkan permintaan kedua orang puterinya itu. Akan tetapi dia menghendaki agar puteranya pulang, putera tunggalnya, maka diapun tidak begitu memperhatikan atau memiliki ilmu kepandaian silat yang tangguh, maka diapun mengangguk dan menyetujuinya.

Mendapat ijin dari ayahnya, Kui Bi menarik tangan Kui Lan dan mereka berdua segera berkemas, membawa buntalan berisi pakaian dan perhiasan yang cukup banyak untuk bekal, tidak lupa membawa pedang mereka. Ibu-ibu mereka merasa cemas, akan tetapi kedua orang gadis itu dapat menghibur ibu masing-masing, mengatakan bahwa mereka pasti akan dapat menyusul dan mengajak pulang kakak mereka.

Kemudian, mereka memilih kuda terbaik dan pada hari itu, pagi-pagi sekali, mereka berangkat, melalui pintu gerbang sebelah utara. Setelah mereka tiba di tepi sungai Wei, mereka menyusuri tepi sungai terus menuju ke timur.

"Bi-moi, ke mana kita harus mencari Han-ko?" dalam perjalanan itu, sambil menjalankan kuda perlahan dan berdampingan dengan kuda adiknya, Kui Lan bertanya.

Dua orang gadis yang sejak kecil mempelajari ilmu silat ini, sudah biasa pula menunggang kuda.

"Lan-ci, Han-koko tidak memberitahu kepada kita ke mana dia pergi, bagaimana mungkin dapat mencarinya. Sekarangpun, ketika kita menuju ke timur, mungkin saja dia sedang menuju ke jurusan lain atau bahkan berlawanan dengan arah yang kita tuju."

Kui Lan mengerutkan alisnya. "Lalu, kalau begitu kenapa kita pergi mencarinya? Kita tidak akan mungkin berhasil."

"Memang kita tidak mengharapkan berhasil, enci. Bukankah kita pergi mencari Han-ko hanya untuk alasan agar kita diperbolehkan pergi merantau? Dan sekarang kita sudah berhasil meninggalkan kota raja memulai petualangan dan perantauan kira."

"Tapi... tadinya aku bermaksud untuk ikut Han-ko merantau. Kalau hanya kita berdua.... ah, aku merasa khawatir juga, Bi-moi. Kemana kita akan pergi dan apa yang akan kita laku kan?"

"Aihh, Lan-ci, kenapa hatimu begitu kecil? Apa yang perlu kita khawatirkan? Kita mampu membela diri! Dan kita pergi ke mana saja untuk mencari pengala man dan meluaskan pengetahuan, kalau mungkin menambah ilmu kita, mempelajari ilmu silat yang lebih tinggi. Selain itu, untuk apa kita bersusah-payah mempelajari ilmu silat sejak kecil, enci? Kita harus mempergunakan ilmu kita untuk membantu pemerintah menenteramkan negara!"

"Wah, kalau ayah mendengar ucapanmu itu, tentu engkau akan ditertawakan dan dimarahi. Kita ini hanya wanita, apa yang dapat kita lakukan untuk membantu pemerintah?"

"Apa bedanya laki-laki dan perempuan? Lan-ci, kita melihat betapa kacaunya di istana. Mata melihat betapa kaum pria yang menduduki jabatan tinggi hanya bersaing dan saling bermusuhan memperebutkan kedudukan. Kita melihat pula betapa Sri baginda Kaisar dipermainkan oleh bibi Yang Kui Hui. Seperti juga Han-ko, aku muak melihat semua itu dan sekarang, selagi kita mendapat kesempatan, sebaiknya kalau kita bergembira, dapat melepaskan diri dari keadaan yang tidak menyenangkan di kota raja dan dapat beterbangan seperti burung bebas di udara. Senang, bukan?"

Kui Lan menghela napas panjang, ia selalu kalah kalau berbantahan dengan adik tirinya yang amat disayangnya ini. "Baiklah, akan tetapi semua ada batasnya, adikku. Setelah kita puas berpesiar, kita harus kembali ke rumah orang tua kita."

"Tentu saja, enci. Akupun tidak ingin selamanya berkeliaran di luar. Kita hanya mencari pengala man, seperti juga Han-ko. Dan siapa tahu, kita kebetulan akan dapat bertemu dengan dia."

"Tapi kenapa engkau memilih jurusan ini?" tanya Kui Lan.

"Enci Lan, sekarang ini keadaan .tidak aman dan banyak orang jahat suka mengganggu orang yang melaku kan perjalanan. Jalan menyusuri sungai ini merupakan jalan yang paling ramai dan paling aman karena ter dapat banyak dusun nelayan dan petani, selain itu, tidak akan mudah tersesat. Sungai Wei ini akan bergabung dan masuk kedalam Sungai Kuning di depan sana, enci, dan setelah tiba di Sungai Kuning, kita dapat melanjutkan perjalanan dengan kuda atau dengan perahu, kita lihat saja nanti bagaimana enaknya. Lihat, bukankah pemandangan alam di tepi sungai ini amat indahnya?"

Kui Lan melayangkan penglihatannya ke sekitarnya dan harus ia akui bahwa adiknya memang benar. Di dalam kota tidak ada pemandangan seindah dan sesegar ini. Serba hijau segar menyedapkan mata mengamankan hati. Tumbuh-tumbuhan dengan suburnya memenuhi sungai. Sawah ladang yang subur, dan biar pun tidak terlalu sering, na mun mereka bertemu juga dengan pejalan kaki atau penunggang kuda, bahkan kereta yang berpapasan dengan mereka.

Lewat tengah hari, udara amat panasnya dan ketika kakak beradik itu melihat sebuah kedai minuman di tepi jalan, mereka merasa gembira. Mereka juga membawa tempat minum, akan tetapi mereka ingin minum air teh yang harum dan melepas lelah, juga memberi kesempatan kepada dua ekor kuda mereka untuk mengaso dan makan rumput yang tumbuh di belakang kedai.

Kedai itu agaknya didirikan orang sengaja untuk memberi kesempatan kepada mereka yang melakukan perjalanan dan lewat di situ untuk mengaso dan minum-minum. Selain arak dan teh, juga di situ dijual makanan ringan.

Setelah menambatkan kuda mereka di belakang kedai dan membiarkan dua ekor itu melepas lelah dan makam rumput segar, kakak beradik itu lalu memasuki kedai sederhana namun cukup bersih dengan belasan buah meja dan bangku-bangku. Ketika mereka masuk, ternyata di situ telah duduk tujuh orang menghadapi dua meja, dibagi dua kelompok dari tiga dan empat orang. Mereka semua yang tadinya bercakap-cakap, bersendau-gurau, segera menghenti percakapan mereka dan mereka semua memandang kepada enci dan adik yang memasuki kedai dengan sikap tenang.

Kain buntalan mereka terisi pakaian dan hiasan, juga pedang, maka Kui Lan Kui Bi membawa buntalan mereka masuk kedai. Mereka berdua maklum betapa pandang mata tujuh orang itu mengamati mereka dengan sinar mata mengandung keheranan, kekaguman, akan tetapi rata-rata mengandung kenakalan yang membuat kakak beradik ini maklum bahwa mereka bertujuh itu adalah orang-orang kasar yang kurang ajar. Tujuh orang itu ia tertawa-tawa dan pandang mata mereka semakin kurang ajar.

Kui Lan dan Kui Bi tidak mempedulikan mereka, dan memilih meja di sudut agar agak jauh dari tujuh orang yang agaknya mabok-mabokan itu. Kepada pelayan tua kurus yang menghampiri, meminta disediakan empat buah arak dan air teh secukupnya. Karena tidak mau memperdulikan tujuh orang itu, maka ia sengaja duduk membelakangi mereka.

Kui Lan dan Kui Bi tidak melihat betapa tujuh orang itu berkasak-kusuk, berbisik dan mata mereka kadang dituju kepada enci adik itu dan kadang arah belakang kedai. Ke mudian, tanpa di ketahui Kui Lan dan Kui Bi, dua orang di antara mereka menyelinap keluar dari kedai melalui pintu samping sehingga tidak kelihatan oleh dua orang disitu.

Kui Lan dan Kui Bi sudah makan bakpauw mereka dan sedang minum teh kemudian terdengar derap kaki kuda dari belakang kedai. Mereka terkejut dan cepat menoleh, masih sempat melihat betapa ada dua orang menunggangi kuda mereka yang berlari congklang meninggalkan pekarangan kedai minuman itu.

"Heii, itu kuda kami...!" teriak Kui Bi yang cepat meloncat berdiri, lalu berlari keluar, diikuti pula oleh encinya. Akan tetapi, setelah tiba di luar kedai, mereka hanya melihat bayangan dua ekor kuda mereka sudah berlari jauh sehingga akan sia-sia saja mengejar.

Keduanya menjadi marah sekali, akan tetapi kalau Kui Lan hanya memandang dengan mata bersinar marah, Kui Bi mengepal tinju dan mengacung-ngacungkan ke arah bayangan dua orang pencuri kuda sambil memaki-maki.

"Jahanam keparat, maling busuk pencuri laknat!" Tiba-tiba terdengar suara laki laki di belakang mereka. "Nona-nona kalau ingin mendapatkan kembali kuda kalian, serahkan saja kepada kami."

Dua orang gadis itu cepat membalikkan tubuh mereka dan mereka melihat bahwa lima orang laki-laki telah berdiri di depan mereka sambil menyeringai dengan sikap kurang ajar. Mereka berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun dan karena mereka hanya lima orang, maka tahulah kakak beradik itu, bahwa yang mencuri kuda adalah dua orang di antara mereka!

"Heii, itu buntalan kami. Kembalikan!" bentak Kui Lan yang melihat betapa buntalan pakaian mereka berdua kini telah berada di punggung dua orang di antara lima laki-laki itu. Akan tetapi lima orang itu hanya tertawa-tawa saja dan seorang di antara mereka, yang bertubuh jangkung dengan muka kekuning-kuningan, berkata dengan suaranya yang kecil tinggi searti suara wanita.

"Nona-nona manis, apakah kalian berdua menginginkan agar kuda dan buntalan pakaian kalian kami kembalikan?"

Kui Bi memandang dengan mata seperti bernyala. "Tentu saja! Kembalikan kuda dan buntalan kami!"

"Boleh, boleh!" kata si muka kuning. "Akan tetapi kalian berdua ikutlah dengan kami. Kami akan menjadi pegawai dan pelindung kalian, dan kuda serta buntalan pakaian pasti tidak akan ada yang berani menyentuhnya!" Lima orang itu tertawa-tawa, dan Kui Bi mengepal tinju.

Pada saat itu, pemilik kedai minuman, seorang kakek yang kurus, tergopoh keluar dan berkata kepada si muka kuning. "Kalian sudah mengambil kuda dan pakaian ji-wi siocia (dua nona) ini, harap lepaskan dan jangan ganggu mereka lagi. Ji-wi siocia, relakanlah kuda dan buntalan itu, mari masuk saja ke dalam," jelas bahwa pemilik kedai minuman itu merasa iba kepada kakak beradik itu dan hendak mencegah agar dua orang gadis itu tidak diganggu lagi setelah barang-barangnya dirampas.

Akan tetapi, dengan galak Kui Bi membentaknya. "Engkau agaknya menjadi kaki tangan para perampok ini, ya? Awas, akan kuhancurkan kedaimu nanti!"

Laki-laki tua itu menggeleng-geIeng tangan dan kepalanya. "Tidak, tidak.... aku tidak ikut-ikut..."

"Lo-sam, pergi atau kau ingin kami bunuh?" bentak si muka kuning dengan bengis dan pemilik kedai yang tua itu terbongkok-bongkok lagi memasuki ke mbali kedainya.

Yang Kui Bi sudah saling pandang dengan encinya. "Enci, mereka ini perampok jahat! Ini tugas pertama kita."

Kui Lan tidak menjawab hanya mengaguk dan siap untuk berkelahi. Kui Bi ini melangkah maju menghampiri si muka kuning, mulutnya tersenyum akan tetapi matanya bersinar-sinar.

"Heh, muka kuning! Agaknya engkau yang menjadi kepala gerombolan perampok ini. Cepat kau perintahkan anak buahmu mengembalikan buntalan pakaian kami dan dua ekor kuda ka mi atau terpaksa ka mi a kan menghajar kalian!"

Si muka kuning sengaja membelalakkan matanya. "Kalian Menghajar kami? Ha-ha-ha-ha, dengar, kawan-kawan. Mereka ini hendak menghajar kita, ha-ha!"

Mereka semua tertawa dan seorang di antara mereka yang mukanya penuh bopeng bekas penyakit cacar dan tubuhnya tinggi besar kokoh kuat, melangkah maju sambil tertawa paling keras di antara mereka. "Ha-ha-ha-ha, anak kucing bisa mengaum seperti harimau! Toako, biar kutangkapkan anak kucing cantik ini untukmu, heh-heh!" dan diapun sudah menubruk ke depan, seperti seorang yang benar-benar hendak menangkap seekor kucing saja, kedua tangannya menyambar dan hendak menangkap kedua pundak Kui Bi.

Akan tetapi, Kui Bi sudah siap siaga. Si bopeng itu hanya memiliki tenaga kasar yang besar saja, hanya mengandalkan keberanian dan kenekatan maka dengan mudah Kui Bi yang marah dapat menghindarkan diri dari tubrukannya. Dengan lincah Kui Bi mengelak miring lalu kakinya melangkah maju sehingga ia tiba di sisi kiri agak ke belakang tubuh lawan dan ketika tubuh tinggi besar itu luput tubrukannya dan mendorong ke depan, secepat kilat kaki Kui Bi menendang ke belakang lutut kaki kanan si bopeng yang meno pang tubuhnya.

"Dukk!"

Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh tinggi besar itu terdorong dan tersungkur ke depan, hidungnya mencium tanah.

"Desss...., Brukkk...!"

Untung semalam turun hujan dan tanah di pekarangan itu basah dan tidak keras sehingga ketika tubuhnya jatuh tersungkur mencium tanah, bukit hidungnya tidak, remuk melainkan hanya kotor berlepotan tanah basah saja. Akan tetapi, melihat segebrakan saja si bopeng roboh oleh gadis kecil mungil itu, empat orang perampok lainnya terkejut bukan main dan hampir tidak percaya akan apa yang dilihatnya.

Terutama sekali si bopeng sendiri, dia bukan saja terkejut dan heran, akan tetapi lebih dari itu dia marah sekali Dia merangkak bangkit dan mukanya yang bopeng itu kini menjadi semakin buruk karena berlepotan tanah dan warnanya menghitam karena darah sudah naik ke kepala dan mukanya.

Si muka kuning yang menjadi pemimpin mereka, dan yang tentu saja paling tangguh di antara mereka, kini melangkah maju. "Eh, kiranya engkau memiliki juga sedikit kepandaian, nona manis? Bagus, kami menjadi semakin kagum dan akan bangga kalau kalian ikut dengan kami!"

"Enci Lan, kau hadapi anjing muka kuning ini, aku yang merampas kembali buntalan kita," kata Kui Bi dan Kui Lan mengangguk.

Tanpa banyak cakap lagi, Kui Lan yang pendiam akan tetapi yang juga sudah marah sekali itu menggerakkan kakinya dan tubuhnya dengan cepat seperti gerakan seekor burung lewat, sudah menerjang ke depan, jari-jari tangannya meluncur dan menyerang si muka kuning dengan totokan.

Si muka kuning memang tidak seperti anak buahnya yang hanya mengandalkan tenaga kasar. Ternyata dia pandai ilmu silat dan melihat gadis cantik dan lembut itu menyerang dengan totokan yang mendatangkan angin bersiutan, dia tidak berani memandang ringan dan cepat melompat ke belakang untuk menghindarkan diri.

Betapapun, dia tidak gentar dan tidak percaya bahwa gadis cantik lembut itu akan mampu menadinginya, maka begitu serangan pertama Kui Lan luput, dia sudah menerjang sambil mengeluarkan bentakan nyaring, tangan kirinya mencengkeram ke arah kepala Kui Lan sebagai gertakan, dan yang benar-benar menyerang adalah tangan kanan yang mencengkeram ke arah pinggang!

Gerakannya kasar dan bertenaga, seperti gerakan serangan seekor biruang saja. Namun, dengan mudah dan cepat Kui Lan berkelebat dan tubuhnya sudah lenyap dan berada di sebelah kiri lawan, dan serangan itupun hanya mengenai tempat kosong.

Akan tetapi, si muka kuning sudah cepat memutar tubuh kekiri dan kini dia menyerang lagi, bukan hanya serangan untuk meringkus gadis cantik itu, melainkan serangan pukulan dengan kedua tangan secara bertubi. Kembali Kui Lan dapat mengelak dengan amat mudahnya. Gadis yang pendiam dan le mbut in i telah me mi li ki il mu s ilat yang lu mayan tingkatnya, memiliki kecepatan gerakan dan telah menghimpun tenaga sakti, akan tetapi selama ini, ia tidak pernah berkelahi...!
Selanjutnya,

Mestika Burung Hong Kemala Jilid 02

Mestika Burung Hong Kemala

Karya : Kho Ping Hoo
Cerita Silat Mandarin Serial Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo
Jilid 02
CIN HAN bersikap sungguh-sungguh. "Maaf, ayah. Terpaksa aku berani menolak apa yang ayah kehendaki. Ayah, biarpun aku sudah mempelajari banyak ilmu, akan tetapi semua kepandaian itu hanya merupakan teori belaka. Aku ingin menghayatinya, melaksanakan dalam kehidupan yang sesungguhnya. Aku ingin memperoleh pengalaman karena tanpa pengalaman, bagaimana aku akan dapat menjadi seorang pejabat yang baik. Apakah ayah menghendaki kelak anak ayah ini menjadi seorang pejabat yang hanya mampu menulis di belakang meja saja, hanya mampu menunjuk sana menunjuk sini, hanya mampu memerintah tanpa mampu melakukan apapun? Bagaimana aku akan dapat menjadi seorang pemimpin yang baik kalau aku tidak mampu melakukan sendiri apa yang kuperintahkan?"

Yang Kok Tiong mengerutkan alisnya. Ucapan puteranya itu seolah merupakan kritik kepada dirinya sendiri! "Lalu apa maumu?" bentaknya.

"Ayah, berilah waktu kepadaku barang dua tiga tahun. Aku ingin merantau, meluaskan pengalaman dulu sebelum aku menerima usul ayah untuk menjadi seorang pejabat."

"Merantau? Engkau ingin menjadi petualang yang berkeliaran ke sana sini, bergaul dengan segala macam orang kang-ouw, hidup sebagai rakyat jembel?"

"Ayah, justeru bergaul dengan orang kang-ouw itulah yang akan membuat aku mengerti akan segala keadaan di luar kota raja, dan bergaul dengan rakyat jelata dapat membuka mataku sehingga aku tahu apa saja yang diderita oleh rakyat, apa yang harus diperbaiki dan apa yang harus diubah demi kemakmuran rakyat. Tanpa terjun ke sana, bagaimana aku dapat merasakannya?"

"Sombong! Kau anak durhaka! Engkau tidak boleh berkeliaran, engkau harus mau menerima jabatan atau...."

Melihat suaminya marah-marah dan bangkit berdiri, Nyonya Yang segera bangkit dan menghampirinya, memegang lengannya dan menyabarkannya. "Sudahlah, tidak ada gunanya marah-marah didengar oleh para pelayan menjadi kurang baik. Engkau lelah dan perlu istirahat, marilah, nanti Cin Han biar aku yang membujuknya," kata isteri bijaksana itu dan ia menggandeng tangan suaminya, diajak masuk kekamar mereka.

Cin Han duduk termenung, alisnya yang tebal berkerut. Dia sudah cukup dewasa, dia sudah banyak mendengar tentang keadaan dalam istana, tentang kaisar, tentang bibinya yang menjadi selir terkasih Sribag inda, tentang desas-desus mengenai bibinya dan Panglima An Lu Shan.

Dia melihat kenyataan betapa banyaknya penjilat kaisar, betapa banyaknya pembesar-pembesar yang sesungguhnya tidak becus apa-apa, akan tetapi memperoleh kedudukan tinggi karena ada main dengan para pejabat la innya.

Bahkan dia melihat kenyataan tentang ayahnya. Dia tahu bahwa ayahnya sebenarnya tidak tepat menjadi Menteri Utama. Ayahnya tidak memiliki kepandaian yang boleh diandalkan. Akan tetapi karena ayahnya kakak dari Yang Kui Hui, maka Sribaginda Kaisar mengang kat ayahnya menjadi Menteri Uta ma. Jabatan yang didapat bukan karena keahlian, melainkan karena bujukan dan rayuan bibinya.

Jabatan anugerah! Dia muak melihat semua itu. Dia akan lebih senang kalau andaikata ayahnya itu menda patkan kedudukan yang sesuai dengan keahlian dan kemampuannya. Menjadi lurah dusun misalnya, atau camat paling tinggi! Bu kan Menteri Utama! Dia malu kepada diri sendiri karena pengetahuannya ini.

Karena bagaimana juga, yang memarahinya adalah ayahnya, dan dia tahu betapa ibunya amat mencinta ayahnya dan ibunya akan ikut bersedih kalau ayahnya marah-marah, Cin Han akhirnya bangkit dari tempat duduknya dengan lesu. Dia lalu menuju ke belakang gedung yang besar itu, memasuki taman keluarga yang indah dan cukup luas. Di tengah taman itu terdapat sebuah pondok tempat istirahat dan dia sela lu ke sana kalau hatinya sedang gundah. Juga di dekat pondok terdapat lapangan rumput yang luas di mana dia sering berlatih silat.

Dari jauh dia sudah melihat dua orang adiknya sedang berlatih silat. Wajah tampan yang tadinya agak muram karena memikirkan perselisihannya dengan ayahnya itu tiba-tiba menjadi cerah, berseri-seri dan Cin Han mempercepat langkahnya. Dia amat menyayang dua orang adik tirinya, teman bermainnya sejak kecil. Juga mereka berdua amat sayang kepadanya.

Karena tidak ingin mengganggu dua orang gadis yang sedang berlatih, diapun menyelinap dan mengint ai di balik pondok, menonton kedua orang gadis remaja yang sedang berlatih silat pedang di lapangan rumput itu. Dan diapun tertegun. Dua orang adiknya itu sedang me latih ilmu pedang yang aneh,yang sama sekali tidak dikenalnya dan baru sekali ini dia melihat ilmu pedang itu.

Bahkan baru kemarin dia berlatih pedang dengan kedua adiknya, akan tetapi mereka sama sekali tidak bicara tentang ilmu pedang baru itu, apa lagi memainkannya. Dan melihat gerakan mereka, dia yakin bahwa ilmu itu bukan ilmu yang baru dilatih sekarang.

Tentu sudah lama mereka melatih ilmu pedang itu, dengan diam-diam dan di luar tahunya. Dia menonton sambil memperhatikan. Dia kagum bukan main. Ilmu pedang itu memang hebat. Dasar kuda-kuda dan perubahan geseran kaki mereka begitu kokoh kuat, menopang ilmu pedang yang tangguh.

Gerakan pedang itupun mantap dan selain cepat juga memiliki perubahan yang luar biasa dan tidak terduga-duga. Aneh sekali ilmu pedang itu. Akan tetapi lebih aneh lagi adalah kenyataan betapa mereka menyembunyikan ilmu itu darinya. Tentu ada apa-apanya ini karena kedua orang adiknya itu selamanya belum pernah menyembunyikan sesuatu darinya. Diapun tidak ingin membuat mereka terkejut dan menanti sampai mereka selesai berlatih, barulah dia muncul dari balik pondok.

"Aih, Han-toako!" seru gadis yang lebih besar.

"Han-toako, kenapa engkau baru muncul? Ke mana saja engkau sejak tadi? Aku dengar ayah marah-marah kepada mu. ya? Ayah ingin engkau segera menjadi seorang pembesar, ya? ”kata yang lebih kecil.

Cin Han tersenyum lebar dan menghampiri kedua orang gadis itu. Mereka adalah gadis-gadis yang sehat dan jelita, membuat dia bangga memandang mereka. Yang lebih besar, Yang Kui Lan , memiliki wajah yang menurut ibunya, mirip dengan wajahnya, atau lebih tepat, wajah mereka mirip dengan wajah bibi mereka, Yang Kui Hui yang cantik jelita.

Karena itu, Kui Lan amat cantik jelita, seperti bibi mereka. Tubuhnya tinggi ramping, wajahnya cantik dengan dagu meruncing dan mata yang memiliki kerling tajam, dan tahi lalat kecil di dagu kiri menambah kemanisannya.

Mulut yang indah, hidungnya mancung. Seraut wajah yang jelita, dan wataknya pendiam, anggun dan agung, seperti seorang puteri istana. Sungguh pantas ia menjadi puteri Menteri Utama, karena setiap gerak-geriknya, pembawaannnya, begitu agung seperti seorang puteri bangsawan tinggi.

Sungguh jauh bedanya dengan Kui Bi, adiknya yang berusia enam belas tahun itu. Adiknya ini mirip ibu kandung gadis itu. tubuhnya kecil mungil Dengan wajah manis dan rambut hita m subur, matanya seperti sepasang bintang yang selalu tersenyum. Mata itu lebih nampak senyumnya dibanding bibirnya yang merah basah, sepasang mata yang Jenaka, pembawaannya lincah dan manja, pandai bicara, dan sama sekali tidak pendiam seperti enci tirinya. Gadis ini memang amat cerdik dan lincah, pandai? bergaul sehingga disayang oleh semua keluarga.

Cin Han tidak merasa heran mendengar Kui Bi mengetahui persoalannya dengan ayahnya. Memang sudah lama ayahnya selalu membujuknya agar dia mau menjadi pejabat. Akan tetapi tentu kedua orang adiknya itu tidak tahu apa yang baru saja terjadi antara dia dan ayahnya. Dia membelokkan arah percakapan dan sambil mengamati kedua orang gadis yang kini menggunakan saputangan untuk menyusut keringat yang membasahi leher dan muka mereka, dia bertanya.

"Lan-moi (adik Lan) dan Bi-moi (adik Bi), ilmu pedang apakah yang kalian latih tadi?"

Dua orang gadis itu nampak terkejut, saling pandang dan Kui Lan tidak mampu menjawab, diam saja. Kui Bi tersenyum dan berpura-pura heran.

"Aih, kenapa masih bertanya, Han-ko. Kami berlatih ilmu pedang biasa, Thian-te Kiam-hwat (Ilmu Pedang Langit Bumi) yang sudah kita kenal bersama, bahkan engkau sering me mberi petunjuk kepada kami."

Cin Han mengerutkan alisnya dan memandang kepada adiknya dengan alis berkerut. "Bi-moi, sejak kapan engkau belajar berbohong? Kau kira begitu mudah engkau membohongi aku? Sudah sejak tadi aku menonton kalian berlatih ilmu pedang itu dan aku tahu bahwa itu adalah ilmu pedang aneh dan hebat yang sama sekali tidak kukenal. Nah, masihkah kalian tidak mau berterus terang kepada kakak kalian sendiri?"

"Maafkan kami, koko......." kata Kui Lan.

"Tidak perlu minta maaf, ceritakan saja dari mana kalian mempelajari ilmu pedang itu dan apa namanya," kata Cin Han dengan suara tegas dan menuntut.

"Hi-hik, Lan-ci (kakak Lan), aku berani bertaruh bahwa Han-ko baru saja mendapat marah besar dari ayah!" kata Kui Bi sambil tertawa-tawa sehingga nampak deretan giginya yang mengkilap rapi.

"Hemm, dari mana kau tahu?"

"Itu mudah saja, koko. Engkau di marahi ayah, tidak berani membalas dan untuk melampiaskan kedongkolanmu, engkau memarahi kami. Belum pernah kita melihat Han-ko marah-marah kepada kita, bukan, Lan-ci?"

Cin Han memandang dengan sungguh sungguh. "Lepas dari soal marah atau tidak, aku sungguh ingin tahu sekali. Ilmu pedang kalian tadi memang hebat. Dari siapa kalian mempelajarinya?"

Kembali kakak beradik itu saling pandang, kemudian Kui Lan menghela napas dan berkata kepada adiknya, "Bi-moi, tiada salahnya kalau kita berterus terang saja kepada Han-ko. Kau ceritakanlah kepadanya apa adanya, Bi-moi."

Mendengar ucapan encinya, Kui Bi tidak bimbang lagi. "Begini, Han-ko, bukan kami tidak mau berterus terang kepadamu, akan tetapi sesungguhnya, orang yang mengajarkan ilmu pedang ini kepada kami memesan agar kami tidak menceritakan kepada orang lain...."

"Akan tetapi aku bukan orang lain, Bi-moi! Kalau tidak kau ceritakan padaku, akan kuberi tahu ayah bahwa kalian menyembunyikan rahasia dan kalian tentu akan dipaksa mengaku dan mendapat kemarahan besar." Cin Han mengancam.

"Baiklah, Han-ko, kami ceritakan akan tetapi engkau harus berjanji tidak akan menceritakannya kepada orang lain," kini Kui Lan berkata.

Cin Han mengangkat kedua tangan ke atas. "Baik, aku berjanji. Nah, sekarang ceritakan kepadaku."

"Peristiwanya terjadi tiga bulan yang lalu, koko," Kui Bi mulai bercerita. "Kami berdua sedang melakukan perjalanan pulang dari kuil di mana kami bersembahyang. Di depan kuil, sebelum kami naik joli, kami melihat seorang kakek pengemis duduk melenggut. Kami merasa kasihan sekali kepada kakek jembel itu, maka kami lalu mengambil dua keping uang emas dan kami berikan kepadanya."

"Kalian memberi sedekah dua keping uang emas kepada seorang pengemis? Luar biasa sekali! Kalian terlalu royal!" Cin Han berseru heran. Mana ada orang memberi sedekah dengan kepingan emas kepada seorang pengemis?

"Memang luar biasa, koko, dan kami berduapun merasa heran mengapa mendadak kami merasa iba kepadanya. Akan tetapi akibat perbuatan. kami itupun luar biasa, koko!" kata Kui Bi.

"Eh, Bi-moi, apa hubungannya urusan pengemis itu dengan ilmu pedang kalian?Jangan mencoba mengibuli aku!"

"Aih, engkau sungguh tidak sabar, koko. Jelas ada hubungannya! Dengarkan saja," sela Kui Bi.

"Tiga hari kemudian, ketika pada suatu pagi kami berdua sedang berlatih ilmu pedang, tiba-tiba terdengar suara orang yang mencela gerakan kami dan memberi petunjuk. Tentu saja kami terkejut dan penasaran, akan tetapi petunjuknya itu memang tepat sekali. Anehnya, suara itu tidak ada orangnya. Baru ketika kami minta kepada suara itu agar kalau dia seorang manusia suka memperlihatkan diri, tiba-tiba saja muncul seorang kakek dan bukan lain adalah kakek jembel depan Kui Bi itu!"

Kisah itu mulai menarik dan Cin Han terbelalak. "Lalu bagaimana, Bi? Lanjutkan, lanjutkan.....!"

Bibir yang merah basah itu merekah dalam senyum yang menggoda. "Akan kulanjutkan, akan tetapi janji dulu bahwa lain kali engkau tidak akan galak kepadaku, dan akan selalu bersikap manis sebagai seorang kakak yang baik. Berjanjilah!" Gadis ini memang nakal dan suka menggoda, lagi manja.

"Baiklah, baiklah..... aku berjanji. Tapi cepat lanjutkan, lalu bagaimana? Apakah pengemis itu muncul di sini, di taman ini?"

"Benar, dia muncul, bukan seperti engkau tadi yang bersembunyi di balik pondok. Dia melayang turun dari atas pondok seperti burung saja. Kami terkejut dan bertanya apa maunya dan bagaimana dia dapat memasuki taman. Dia hanya tertawa dan mengatakan bahwa dia datang.untuk membalas budi kami. Dan diapun segera mengajarkan ilmu pedang itu kepada kami dengan janji bahwa kami tidak akan menceritakan kepada orang lain..."

"Tapi aku bukan orang lain, aku adalah kakak kalian yang baik dan tersayang. Nah, lanjutkan!" kata Cin Hari tak sabar. "Siapa nama orang itu, apa nama ilmu pedang itu dan berapa lama dia mengajarkan kepada kalian, apakah! dia masih suka datang ke sini dan....!”

"Aihh, repot juga aku menghadapi serangan pertanyaanmu yang seribu satu macam banyaknya itu, koko! Dia tidak memperkenalkan namanya, dan tidak suka kami sebut sebagai guru. Dia hanya ingin membalas budi. Ilmu pedang itu dia sebut Sian-li Kiam-sut (ilmu Pedang Dewi) yang katanya amat cocok untuk kami. Tadinya dia datang setiap hari sampai kurang lebih sebulan, kemudian dia mengatakan bahwa kami sudah mempelajari semua teorinya hanya tinggal berlatih berdua saja dan dia tidak pernah datang lagi."

"Dan selama sebulan itu, dia datang ke sini dan pergi tanpa dilihat orang lain?"

"Agaknya tidak ada yang melihatnya kecuali kami berdua, Han-ko," kata Kui Lan.

"Memang dia mempunyai gerakan yang luar biasa, datang dan pergi hanya na mpak bayangannya berkelebat."

"Luar biasa! Sungguh luar biasa!" seru Cin Han. "Bagaimana orangnya, sikapnya, bentuk badannya, wajahnya, kepandaiannya?" Kembali dia menghujankan pertanyaan, membuat Kui Bi terkekeh.

"Wah-wah, engkau murka sekali, koko. Engkau hanya berjanji satu, akan tetapi minta banyak sekali. Nah, aku akan menceritakan bagaimana keadaan orang itu, akan tetapi engkau harus berjanji bahwa engkau nanti akan menceritakan tentang ayah, apakah engkau tadi di marahi ayah dan mengapa dimarahi? Maukah engkau berjanji?"

"Baiklah, baiklah, engkau rewel sekali, Bi-moi. Hayo katakan bagaimana keadaan orang itu!"

"Orangnya berusia kurang lebih enam puluh tahun, kurus kering dan bongkok, seperti ebi....."

"Ebi?"

"Ya, udang kering itu lho! Rambutnya dibiarkan riap-riapan, sudah banyak ubannya, pakaiannya tambal-tambalan akan tetapi bersih, dan mukanya seperti seperti...... monyet."

"Bi-moi!" Kui Lan menegur adiknya "Bagaimana juga, dia itu guru kita, bagaimana engkau dapat mengatainya seperti itu?"

"Aih, enci. Aku bukan bermaksud menghinanya, akan tetapi bagaimana pula harus menerangkan kepada Han-koko. Kita harus jujur, enci. Bukankah memang mukanya mirip muka seekor monyet. Coba kau yang menggambarkan, bagaimana bentuk wajahnya agar Han-koko mengerti, enci Lan."

"Sudahlah, aku tidak tahu. Keteranganmu sudah cukup, hanya yang kutahu, dia selalu membawa sebatang tongkat."

"Ah, benar! Han-ko, orang itu selalu membawa sebatang tongkat hitam panjangnya sedepa, kadang dia selipkan di pinggang. Nah, sekarang kau ceritakan tentang ayah dan engkau, Han-ko."

Ditanya demikian, kegembiran dan ketegangan mendengar tentang pengemis itu, seperti tersapu dari wajah Cin Han. Wajahnya berubah agak muram dan diapun duduk di atas bangku yang terdapat di situ, lalu termenung dan menghela napas berulang kali.

"Ihh! Bagaimana, ini, Han-ko? Kalau ceritamu hanya helaan napas panjang saja, tidak perlu aku mendengarnya. Aku sendiri pun mampu dan pandai kalau hanya menghela napas!" Kui Bi bersungut-sungut. Sikap adiknya ini sedikit banyak mengurangi tekanan batin yang di derita Cin Han dan diapun tersenyum.

"Ayah memang marah-marah kepadaku. Seperti biasa, ayah hendak memaksa aku untuk menjadi pejabat, akan tetapi aku menolak dan aku mengatakan bahwa aku ingin pergi merantau selama dua tiga tahun dulu mencari pengalaman."

"Wah, bagus! Menyenangkan sekali! Aku ikut, Han-ko!" teriak Kui Bi dengan gembira sehingga suaranya seperti orang bersorak.

"Hushh, Bi-moi, lupakah engkau bahwa engkau seorang wanita?" Kui Lan menegurnya.

Kui Bi membalikkan tubuh menghadapi encinya. "Kalau aku wanita, habis mengapa, enci? Wanitapun manusia seperti Han-koko, bukan? Dan akupun ingin mencari pengalaman, merantau bersama Han-ko. Akupun sudah mampu menjaga dan membela diri, bukankah begitu, koko?"

Dengan manja Kui Bi memegang tangan kakaknya. "Han-ko, aku boleh ikut denganmu pergi merantau, bukan? ,Boleh kan, koko yang baik."

Cin Han tersenyum akan tetapi menggeleng kepalanya. "Aih, Bi-moi, engkau ini seperti anak kecil saja. Sedangkan aku sendiri begitu memberi tahu ayah bahwa aku akan pergi merantau, ayah sudah marah bukan main dan melarangku, apa lagi kalau dia mendengar engkau akan ikut pergi. Tentu kemarahannya akan memuncak."

"Jadi... kalau begitu, engkau tidak jadi pergi merantau?" tanya Kui Bi kecewa. Kakaknya menggeleng kepala dan menghela napas panjang.

"Entah, Bi-moi. Aku masih bingung, belum dapat mengambil keputusan. Kalau aku pergi, tentu ibu akan berduka karena ayah marah. Dan engkau, jangan harap engkau dapat pergi, tentu ayah akan melarang keras."

Kui Bi menjatuhkan diri duduk di atas bangku dan bertopang dagu, alisnya berkerut dan nampak giginya yang rapi putih Itu menggigit-gigit bibir bawah, tanda bahwa hatinya kesal dan jengkel.

"Sudahlah, Bi-moi, jangan macam-macam. Kita ini wanita, tidak mungkin ayah memperbolehkan kita pergi merantau. Sedangkan Han-ko yang laki-laki pun tidak diperkenankan, apa lagi kita."

"Wah, aku sudah tahu! Ya, hanya itulah jalan satu-satunya!”

Tiba-tiba Kui Bi meloncat bangun, mengejutkan kedua orang kakaknya, dan Kui Bi kembali memegang tangan Cin Han, mengguncang-guncangnya sambil berkata, "Han-ko, engkau harus menolong kami sekali ini! Engkau harus menolong kami agar kami diperkenankan ayah untuk keluar dari rumah, dari kota raja!"

"Ehh? Bagaimana pula ini? Yang akan merantau adalah aku, bukan kalian!" kata Cin Han.

"Tentu saja. Engkau pergilah merantau, koko. Engkau pergi tanpa pamit alias minggat. Nah, tentu ayah dan para ibu bingung, lalu aku dan enci Lan akan menghadap ayah, dan mengusulkan agar kami diperkenankan pergi mengejar dan mencarimu sampai dapat, memaksamu untuk pulang! Dengan demikian, ayah tentu akan mengijinkan dan berarti kita bertiga semua pergi merantau! Asyiiik!"

Mau tidak mau Cin Han tertawa melihat adiknya yang manis itu menari-nari gembira. Juga Kui Lan yang amat mencinta adiknya ikut tersenyum. "Ihh, engkau menganggap segala hal dapat dilaksanakan dengan mudah saja, Bi-moi."

"Apa sih sukarnya? Kalau Han-ko minggat malam-malam,siapa yang akan menghalanginya. Dan pada keesokkan harinya, kita menghadap ayah dan menyatakan akan mengejar Han-ko sampai dapat. Serahkan saja kepadaku untuk membujuk ayah, pasti berhasil!"

"Terserah kepada Han-ko, kita tidak bisa memaksanya," kata pula Kui Lan sambil memandang kepada pemuda itu. Kui Bi juga memandang dan pemuda itu kembali menghela napas panjang.

"Hal ini akan kupertimbangkan dulu," katanya dan diapun meninggalkan taman itu bersama dua orang adiknya yang akan pergi mandi.

* * *

Cin Han berjalan santai di jalan raya depan kuil itu. Banyak memang di depan kuil, di kanan kiri, terdapat para pengemis yang menanti para tamu keluar dari kuil untuk minta sedekah. Biasanya, orang yang memasuki kuil tentu untuk bersembahyang dan memohon sesuatu dan orang-orang seperti itulah yang biasanya suka memberi sedekah kepada para pengemis.

Suatu kekeliruan besar telah kita perbuat, sejak sejarah kehidupan manusia dimulai sampai sekarang, yaitu menjadi peminta-minta. Mungkin caranya yang berubah dan berbeda-beda, namun pada hakekatnya, tetap saja kita meminta-minta, mengemis. Kepada Tuhan, kepada para dewa, kepada arwah leluhur, bahkan kepada setan dan iblis kita selalu menadahkan tangan untuk minta-minta, untuk memohon sesuatu! Yang kita lakukan dalam sembahyang, selalu berisi penuh permintaan, permohonan!

Dan dalam keadaan memohon sesuatu, masih kita sogok lagi dengan perbuatan yang dianggap baik, seperti beramal, memberi sedekah, menolong orang, semua itu untuk memperkuat doa kita agar permohonan kita terkabul! Kalau permintaan dengan segala macam bentuk sogokan itu ditujukan kepada para dewa, kepada arwah atau kepada segala macam setan dan iblis, masih dapat dimengerti, karena mereka memang mungkin masih membutuhkan sogokan. Akan tetapi kalau segala macam permintaan itu ditujukan kepada Tuhan Maha Pencipta, sungguh hal ini patut kita renungkan bersama.

Tuhan Maha Kuasa, Maha Adil, Maha Kasih! Tuhan telah menciptakan Segala sesuatu dalam keadaan sempurna! Kitapun diciptakan ke dunia ini dalam keadaan yang sempurna, disertai segala macam alat yang paling lengkap untuk dapat hidup. Setiap helai rambut, Setiap lubang pori-pori, kuku, gigi, setiap lekukan jari, bulu mata, alis, Panca indera, hati akal pikiran, lengkap dengan segala macam yang ada pada diri kita luar dalam, semua itu me mpunyai daya guna untuk dapat kita pergunakan demi kepentingan kehidupan di dunia ini. Sudah diberi sejak lahir secara lengkap.

Berkah Tuhan juga, berlimpahan. Kita diberi tanah, udara, panas matahari, air, semua yang diperlukan untuk kehidupan tanam-tana man yang akan menjadi makanan kita, sampai ke benih segala macam tumbuh-tumbuhan, jutaan macam banyaknya. Ada pula jutaan macam binatang yang dagingnya dapat pula menjadi ma kanan kita. Segala sudah tersedia, TINGGAL MENGERJAKAN saja.

Namun, kita masih saja minta-minta! Sepatutnya, dalam sembahyang, kita berbakti, kita memuja, kita bersyukur, berterima kasih, karena segalanya telah disediakan Tuhan untuk kita. Kita hanya tinggal mengerjakan segala yang ada pada kita, mengerjakan anggauta badan kita, hati akal pikiran kita, demi mencukupi kebutuhan hidup kita. Demikian Maha Kasih Tuhan sehingga dalam segala macam tumbuh-tumbuhan itu telah terdapat yang bisa mengenyangkan, yang bisa menguatkan, bahkan ada pula yang dapat menyembuhkan kita kalau kita terserang penyakit.

Hidup ini berarti gerak. Siapa tidak menggerakkan dirinya untuk bekerja, tentu akan terjadi gangguan pada dirinya. Bekerja, mempergunakan segala sarana yang telah diberikan Tuhan untuk kita, berarti kita tidak menyia-nyiakan pemberian Tuhan, berarti bahwa kita telah berdosa. Mengerjakan segala sarana yang telah diberikan Tuhan kepada kita berarti berbakti dan memuja ke pada Sang Maha Pencipta. Karena itu, tidak ada gunanya memohon tanpa bekerja. Kalau kita lapar, kita harus mencari makanan sendiri, bukan minta makanan kepada Tuhan!

Demikianlah pula kalau kita sakit, kita harus berusaha mencari obatnya. Segala apapun yang kita butuhkan, harus kita cari sendiri. Itulah kewajiban manusia dalam kehidupan di dunia ini. Berikhtiar agar hidup ini terpenuhi semua kebutuhannya, kemudian berikhtiar agar hidup ini terisi oleh manfaat bagi manusia lain. Ikhtiar adalah wajib, dan tanpa mau berikhtiar, hanya memohon dan mengandalkan kepada Tuhan saja, sama dengan mempersekutukan Tuhan, membebani Tuhan dengan segala pekerjaan demi keenakan kita! Betapa besar dosanya kalau sikap ini kita pertahankan!

Sembahyang kepada Tuhan merupakan wajib, yaitu kewajiban kita untuk berbakti, bersyukur dan berterima kasih. Tuhan Maha Tahu Tidak usah kita minta, Tuhan sudah Tahu apa yang kita butuhkan, dan sudah disediakan segalanya, pasti akan kita dapatkan dengan jalan berikhtiar, dengan landasan iman dan kepasrahan kepada Tuhan yang menentukan segalanya.

Puji syukur kepada Tuhan. Dan kalaupun ada suatu permohonan suatu permintaan, maka sepatutnya kalau satu-satunya permohonan kita adalah mohon ampun atas segala kesalahan kita yang lalu. Dengan penyera han kepadaNya, pasrah, tawakal, ikhlas, sabar, maka kita akan mendapatkan bimbinganNya. Bukan dengan cara minta-minta, apa lagi menyogok.

Perbuatan baik yang dilakukan dengan sengaja untuk mendapatkan balas jasa, bukan perbuatan baik lagi namanya, melainkan kepalsuan. Sama seperti kalau kita berbuat baik terhadap seorang pembesar dengan harapan agar kelak pembesar itu akan memberi suatu kemudahan bagi kita! Perbuatan baik seperti itu bukan lain hanyalah perbuatan menyogok, menyuap.


Cin Han akhirnya menemukan apa yang dicarinya di pagi hari itu. Kakek itu duduk melenggut di sudut pekarangan kuil. Dia tidak meratap meminta-minta kepada orang-orang yang berlalu-lalang di depannya seperti para pengemis lain. Dia bahkan melenggut dan mengantuk, kedua matanya terpejam, rambutnya yang riap-riapan kelabu itu bagian atasnya, menutupi ubun-ubun kepalanya, dilindungi sebuah topi butut yang bentuknya seperti tempurung kelapa.

Tubuhnya yang kurus memang seperti ebi, seperti udang kering ketika dia melingkar di sudut itu. Yang membedakan dia dari para pengemis lain bukan hanya karena dia tidak merengek dan mengemis, akan tetapi kebersihan pada dirinya, baik pada rambutnya, pakaian dan mukanya. Bajunya memang butut dan tambal-tambalan, akan tetapi bersih! Dan sebatang tongkat hitam terletak di atas ke dua pahanya.

Jelas, inilah orangnya, pikir Cin Han, terheran-heran. Orang seperti ini memiliki ilmu silat yang amat tinggi? Sungguh amat sukar dipercaya. Melihat tubuh yang kerempeng itu, agaknya tertiup angin agak keraspun dia akan terpelanting! Berbeda dengan guru-gurunya, para jagoan istana, hampir semua bertubuh kokoh kuat.

Akan tetapi, dari para gurunya itu dia sudah mendengar pula bahwa di dunia kang-ouw terdapat banyak orang aneh, orang-orang yang kelihatannya amat lemah, akan tetapi justeru memiliki kesaktian. Karena itu, dia tidak berani memandang rendah, apa lagi teringat akan cerita Kui Bi.

Cin Han mengambil sepotong emas dari sakunya. Emas itu sedikitnya setail beratnya, puluhan kali lebih banyak dari pada keping emas yang pernah diberikan Kui Lan dan Kui Bi kepada kakek ini. Setelah meli hat ke kanan kiri dan tidak ada seorangpun yang melihat apa yang diperbuatnya, Cin Han menghampiri kakek itu dan meletakkan sepotong emas itu kedalam tangan kakek itu, menekankan emas itu di telapak tangannya sambil berkata,

"Kakek yang baik, terimalah sedekahku ini!"

Kakek Itu membuka mata dan setelah Cin Han melihat bahwa kakek itu memandang kepadanya, dia mengangguk sambil tersenyum, lalu melangkah pergi. Tanpa menoleh Cin Han pergi menuju ketimur dan keluar dari pintu gerbang kota raja. Dia lalu memilih tempat yang sunyi, yaitu di tepi Sungai Wei, sungai yang mengalir di tepi kota raja dan yang mengalir ke timur dan menjadi anak Sungai Kuning.

Di tepi sungai itu dia duduk termenung. Dia merasa yakin bahwa kakek sakti itu pasti terpikat dan akan menemuinya di tempat itu, seperti dia menemui kedua orang adiknya yang telah memberinya hanya dua keping uang emas. Apa yang diduga dan diharapkannya kemudian terbukti benar.

Belum setengah jam dia duduk di tepi sungai yang lebar dan airnya tenang itu, terdengar suara orang batuk-batuk dibelakangnya. Dia menoleh dan melihat kakek tadi telah berdiri di situ, tubuhnya bungkuk dan dia berdiri bertopang pada tongkat hitamnya, matanya yang sipit itu mengamatinya, mulutnya menyeringai seperti orang mengejek.

Cin han segera menjatuhkan diri berlutut di depan kakek jembel itu. Melihat ini, kakek itu nampak terheran-heran dan mencoba untuk membelalakkan matanya yang sipit. Akan tetapi sia-sia, karena mata itu terlalu sipit, coba dibelalakkan malah menjadi semakin terpejam!

"Ah, kongcu, apa yang kau lakukan ini?" katanya.

"Locianpwe, aku Yang Cin Han menghaturkan hormat kepada locianpwe," kata Cin Han dengan sikap hormat.

Kakek itu mengeluarkan suara tawa aneh dan mulutnya menyeringai. "Heh-heh-heh, apa engkau sudah gila? Tadi engkau lewat dan sepotong emasmu terjatuh ke tanganku, sekarang engkau memberi hormat secara berlebihan kepadaku. Nah, kau terima kembali emas mu ini, kongcu."

"Locianpwe, emas itu memang sengaja ku berikan kepadamu sebagai sedekah," kata Cin Han tegas.

"Ehh? Memberi sedekah sebanyak ini? Apa maksudmu memberi sedekah emas sebesar ini?"

"Locianpwe, aku memberikan emas itu kepadamu dengan maksud agar locianpwe suka mengajarkan ilmu kepadaku. Aku tahu bahwa locianpwe adalah seorang ahli silat yang pandai., maka aku mohon agar locianpwe suka mengajarkan ilmu silat yang tinggi kepadaku."

"Hemm, orang muda. Kau kira ilmu dapat dibeli dengan emas? Biar kau sediakan emas yang banyaknya seribu kali ini, engkau tidak akan dapat memaksa aku mengajarkan ilmu kepadamu!" Suara kakek itu mengandung teguran. "Biarpun engkau putera menteri, kaya raya, namun tidak akan dapat memaksaku mengajarkan ilmu kepadamu."

Mendengar ini, Cin Han mengerutkan alisnya. "Akan tetapi, locianpwe telah menerima dua keping emas dari dua orang adikku dan locianpwe telah mengajarkan Sian-li Kiam-sut kepada mereka! Kalau aku sekarang memberi sepotong emas kepada locianpwe dan minta agar locianpwe suka mengajarkan ilmu silat kepadaku seperti yang locianpwe lakukan kepada dua orang adikku, salahkah itu?"

Kakek itu tertawa. "Heh-heh-heh, orang muda. Kau kira aku mengajarkan silat kepada dua orang nona itu karena mereka telah memberi uang emas kepadaku? Sama sekali tidak! Aku mengajarkan silat kepada mereka bukan karena emas itu, melainkan karena budi mereka. Hem, emasnya memang sama, akan tetapi dasar yang mendorong pemberian itu yang sama sekali berbeda. Mereka memberikan emas kepadaku terdorong oleh perasaan iba sehingga mereka memberi tanpa pamrih karena merasa kasihan. Sebaliknya, engkau memberi emas kepada ku karena terdorong keinginan mu untuk dapat mempelajari ilmu silat dari ku. Berarti, kau hendak menyogokku, hendak membeli ilmuku. Tak mungkin aku mau mengajarimu!" Berkata demikian, kakek itu menjatuhkan sepotong emas tadi ke depan Cin Han yang masih berlutut.

"Kalau begitu, locianpwe tidak adil! Sama sekali tidak adil!" kata Cin Han yang melihat betapa kedua kaki orang itu sudah diputar dan agaknya hendak meninggalkan dia yang masih berlutut terasa matanya seperti menjuling dan mendelik, akan tetapi tetap saja dia tidak dapat melihat kakek itu.

Celaka, dia benar-benar pergi! Kakek yang keras hati, pikirnya. Akan tetapi, diapun kalau perlu dapat berkeras hati, pikirnya. Dia sudah berjanji akan berlutut terus. Biarlah dia berlutut terus sampai kakek itu kembali, atau sampai jatuh pingsan, biar orang lain yang mengangkat dan membangunkannya. Yang jelas, dia tidak akan bangun. Malu rasanya kalau melanggar janji sendiri.

Biarpun dia tidak diajar silat, yang jelas sudah mendapatkan satu pelajaran dari kakek itu, yaitu harga diri! Kakek itu, biar diberi emas satu ton, tidak mau menjual ilmunya. Diapun, sesudah berjanji, takkan melanggarnya. Ini namanya harga diri!

Dapat dibayangkan betapa lelahnya tubuh, terutama kedua kaki dan terutama sekali di bagian lutut, kalau orang berlutut terus sejak pagi sampai sore, bahkan sampai malam gelap tiba. Dan kakek itu sama sekali tidak nampak Kembali! Dan juga tempat itu sunyi, tidak ada seorangpun lewat! Untung jauh dari hutan, pikirnya. Kalau di dalam hutan lalu ada binatang buas datang, bagaimana? Dia sudah hampir tidak kuat bertahan lagi. Ingin sekali dia meloncat bangun dan lari pulang.

Akan tetapi, Cin Han menggigit bibir dan bertahan terus! Malam itu hawa udara dingin bukan main. Bagaimana kalau sungai itu banjir dan airnya menyambar tempat dia berlutut, pikirnya. Malam itu gelap dan suara angin bertiup pada pohon-pohon membuat daun bergoyang dan menimbulkan suara seperti ada seribu setan saling berbisik dan menertawankannya! Bermacam penglihatan khayal menggoda Cin Han. Bulu kuduknya meremang ketika terdengar suara burung hantu di atas pohon.
Setelah lewat tengah malam dan kakek itu belum ada tanda-tandanya akan kembali, hati Cin Han mulai mengomel dan memaki-maki. "Kakek kejam! Kakek sadis! Tentu dia bukan orang baik-baik. Tentu dia seorang datuk sesat. Kalau dia manusia baik-baik tentu tidak sekejam ini, kakek berhati iblis”

Demikian dia memaki-maki dalam hatinya, akan tetapi tetap saja dia tidak bangkit berdiri. Pertama karena dia masih ada sedikit sisa kenekatannya, dan kedua karena memang kedua kakinya sudah terasa kaku dan tidak dapat digerakkan sehingga kalau dia bangkit berdiri, tentu dia akan jatuh, dan ke tiga, malam begitu gelap, andaikata dapat berdiripun, dia tidak berani melanjutkan, salah-salah dia bisa tercebur ke dalam sungai!

Menjelang pagi, rasa lelah dan kantuk tak tertahankan lagi. Cin Han masih berlutut dan kini kepalanya semakin menunduk sampai akhirnya menyentuh tanah di depannya, kedua matanya terpejam dan rasanya dalam mimpi. Dalam mimpi itu, matanya melirik ke atas dan dia melihat dua buah tiang mencuat depan hidungnya dan tercium bau yang tidak enak.

Dia mengingat-ingat karena walaupun bau itu tidak enak, akan tetapi seperti tidak asing bagi hidungnya, diapun teringat. Itu bau kaki! Biasa, kalau dia berganti kaus kaki, seperti itu baunya! Matanya melirik terus makin ke atas, dan dia bantu dengan mukanya yang dia angkat dan..... kakek itu telah berdiri di depannya, kedua buah tiang itu adalah kaki pengemis tua itu dan yang bau adalah kakinya, kaki yang berdiri dekat hidungnya!

"Locianpwe .!" kata Cin Han dengan girang.

"Heh-heh, agaknya keluarga Yang memang mempunyai darah keturunan orang yang bandel, keras hati dan tahan uji. Pantas Yang Kok Tiong menjadi Menteri utama dan Yang Kui Hui menjadi selir terkasih. Engkau cukup berkemauan keras dan tahan uji. Bangkitlah, Cin Han."

Makin kagumlah hati Cin Han terhadap kakek itu. Bukan orang sembarangan, pikirnya, buktinya sudah mengetahui nama ayah dan bibinya. "Terima kasih, locianpwe," katanya dan dia menggerakkan tubuh untuk bangkit berdiri.

Akan tetapi, kedua kakinya terasa kaku dan nyeri ketika dia bangkit berdiri sehingga dia jatuh berlutut kembali, menyeringai kesakitan. Kakek itu kembali terkekeh dan tiba-tiba tongkat bergerak, bagaikan seekor capung bermain di atas air, ujung tongkatnya menyentuh kedua kaki Cin Han di beberapa bagian dan tiba-tiba pemuda itu merasa betapa kedua kakinya sudah pulih kembali! Dia bangkit berdiri, lalu menjatuhkan diri berlutut memberi hormat lagi.

"Suhu, teecu menghaturkan terima kasih atas kebaikan hati suhu," katanya, langsung saja menyebut suhu dan memberi hormat delapan kali seperti sudah menjadi lajimnya seorang murid baru memberi hormat kepada gurunya.

Kakek itu membiarkannya saja memberi hormat. Dari keteguhan hati pemuda itu, dan ketika dia menggu nakan tongkat menotoknya, dia dapat mengetahui bahwa pemuda ini memiliki bakat dan kemampuan yang tidak akan mengecewakan kalau menjadi muridnya.

"Bangkitlah sekarang, dan ketahuilah bahwa tidak mudah menjadi murid Sin-tung Kai-ong (Raja Pengemis Tongkat Sakti)! Engkau harus berani berkorban."

Berdebar jantung dalam dada Cin Han ketika dia mengetahui bahwa kakek itu adalah Sin-tung Kai-ong. Jarang ada orang mengenalnya, akan tetapi namanya dikenal oleh semua jagoan istana yang pernah mengajarkan silat kepadanya. Nama itu adalah nama seorang datuk persilatan yang aneh, tidak pernah memihak, akan tetapi jelas tidak termasuk datuk sesat! Bahkan condong berwatak pendekar walaupun wataknya angin-anginan dan aneh.

"Teecu siap untuk melaksanakan segala perintah suhu, walaupun harus berkorban apa saja!" kata Cin Han dengan suara tegas dan wajah gembira. Lenyaplah semua perasaan lelah dan kantuknya karena luapan rasa gembira.

"Kalau engkau memang ingin menjadi muridku, sekarang juga engkau harus pergi ikut denganku, tidak boleh pulang dulu untuk berpamit atau mengambil bekal apapun. Sanggupkah engkau?"

Diam-diam Cin Han terkejut. Pergi, begitu saja? Soal bekal tidak merupakan hal penting baginya, akan tetapi tidak pamit kepada ayahnya dan terutama kepada ibunya? Kemudian dia teringat akan siasat yang diusulkan oleh Kui Bi dan diam-diam dia tersenyum.

Keadaan ini cocok sekali dengan apa yang diinginkan Kui Bi. Kui Bi tentu akan menghadap ayah mereka dan menyatakan ingin mencarinya bersama Kui Lan sehingga mereka berdua mendapat kesempatan untuk pergi merantau.

"Bagaimana? Benar-benarkah engkau rela berkorban?"

"Tentu saja, suhu. Teecu siap melaksanakan perintah suhu!"

"Kalau begitu, mari kita pergi dari sini." Kakek itu lalu melangkah pergi, menuju ke selatan, langkahnya nampak biasa saja akan tetapi tubuhnya seperti terbang cepatnya meluncur ke depan. Cin Han terkejut dan terpaksa dia harus berloncatan dan mengerahkan tenaganya untuk mengejar agar jangan sampai tertinggal oleh suhunya.

Tepat seperti diduga oleh Cin Han dan sudah diperhitungkan oleh Kui Bi yang cerdik, setelah dua hari Cin Han tidak pulang, keluarga Yang menjadi panik. Yang Kok Tiong menjadi marah dan bingung, dan hatinya yang keras membuat dia memaki-maki puteranya dan memarahi isterinya yang dianggap terlalu meman jakan Cin Han. Sudah dikerahkan pasukan mencari Cin Han, namun tidak berhasil dan dalam keadaan seperti itu, Kui Bi mengajak Kui Lan menghadap ayah mereka.

"Ayah, aku dan enci Lan akan pergi mengejar dan mencari Han-koko sampai dapat. Kami berdua mengenal baik koko, dan kalau kami yang membujuknya, tentu dia akan suka pulang. Andaikata ada petugas yang berhasil menemukannya, kalau dia berkeras tidak mau pulang, petugas itu tentu tidak dapat memaksanya. Hanya kami berdua yang akan dapat mengajaknya pulang, ayah."

Andaikata Yang Kok Tiong tidak sedang pusing dan marah kepada puteranya, tentu dia akan mempertimbangkan permintaan kedua orang puterinya itu. Akan tetapi dia menghendaki agar puteranya pulang, putera tunggalnya, maka diapun tidak begitu memperhatikan atau memiliki ilmu kepandaian silat yang tangguh, maka diapun mengangguk dan menyetujuinya.

Mendapat ijin dari ayahnya, Kui Bi menarik tangan Kui Lan dan mereka berdua segera berkemas, membawa buntalan berisi pakaian dan perhiasan yang cukup banyak untuk bekal, tidak lupa membawa pedang mereka. Ibu-ibu mereka merasa cemas, akan tetapi kedua orang gadis itu dapat menghibur ibu masing-masing, mengatakan bahwa mereka pasti akan dapat menyusul dan mengajak pulang kakak mereka.

Kemudian, mereka memilih kuda terbaik dan pada hari itu, pagi-pagi sekali, mereka berangkat, melalui pintu gerbang sebelah utara. Setelah mereka tiba di tepi sungai Wei, mereka menyusuri tepi sungai terus menuju ke timur.

"Bi-moi, ke mana kita harus mencari Han-ko?" dalam perjalanan itu, sambil menjalankan kuda perlahan dan berdampingan dengan kuda adiknya, Kui Lan bertanya.

Dua orang gadis yang sejak kecil mempelajari ilmu silat ini, sudah biasa pula menunggang kuda.

"Lan-ci, Han-koko tidak memberitahu kepada kita ke mana dia pergi, bagaimana mungkin dapat mencarinya. Sekarangpun, ketika kita menuju ke timur, mungkin saja dia sedang menuju ke jurusan lain atau bahkan berlawanan dengan arah yang kita tuju."

Kui Lan mengerutkan alisnya. "Lalu, kalau begitu kenapa kita pergi mencarinya? Kita tidak akan mungkin berhasil."

"Memang kita tidak mengharapkan berhasil, enci. Bukankah kita pergi mencari Han-ko hanya untuk alasan agar kita diperbolehkan pergi merantau? Dan sekarang kita sudah berhasil meninggalkan kota raja memulai petualangan dan perantauan kira."

"Tapi... tadinya aku bermaksud untuk ikut Han-ko merantau. Kalau hanya kita berdua.... ah, aku merasa khawatir juga, Bi-moi. Kemana kita akan pergi dan apa yang akan kita laku kan?"

"Aihh, Lan-ci, kenapa hatimu begitu kecil? Apa yang perlu kita khawatirkan? Kita mampu membela diri! Dan kita pergi ke mana saja untuk mencari pengala man dan meluaskan pengetahuan, kalau mungkin menambah ilmu kita, mempelajari ilmu silat yang lebih tinggi. Selain itu, untuk apa kita bersusah-payah mempelajari ilmu silat sejak kecil, enci? Kita harus mempergunakan ilmu kita untuk membantu pemerintah menenteramkan negara!"

"Wah, kalau ayah mendengar ucapanmu itu, tentu engkau akan ditertawakan dan dimarahi. Kita ini hanya wanita, apa yang dapat kita lakukan untuk membantu pemerintah?"

"Apa bedanya laki-laki dan perempuan? Lan-ci, kita melihat betapa kacaunya di istana. Mata melihat betapa kaum pria yang menduduki jabatan tinggi hanya bersaing dan saling bermusuhan memperebutkan kedudukan. Kita melihat pula betapa Sri baginda Kaisar dipermainkan oleh bibi Yang Kui Hui. Seperti juga Han-ko, aku muak melihat semua itu dan sekarang, selagi kita mendapat kesempatan, sebaiknya kalau kita bergembira, dapat melepaskan diri dari keadaan yang tidak menyenangkan di kota raja dan dapat beterbangan seperti burung bebas di udara. Senang, bukan?"

Kui Lan menghela napas panjang, ia selalu kalah kalau berbantahan dengan adik tirinya yang amat disayangnya ini. "Baiklah, akan tetapi semua ada batasnya, adikku. Setelah kita puas berpesiar, kita harus kembali ke rumah orang tua kita."

"Tentu saja, enci. Akupun tidak ingin selamanya berkeliaran di luar. Kita hanya mencari pengala man, seperti juga Han-ko. Dan siapa tahu, kita kebetulan akan dapat bertemu dengan dia."

"Tapi kenapa engkau memilih jurusan ini?" tanya Kui Lan.

"Enci Lan, sekarang ini keadaan .tidak aman dan banyak orang jahat suka mengganggu orang yang melaku kan perjalanan. Jalan menyusuri sungai ini merupakan jalan yang paling ramai dan paling aman karena ter dapat banyak dusun nelayan dan petani, selain itu, tidak akan mudah tersesat. Sungai Wei ini akan bergabung dan masuk kedalam Sungai Kuning di depan sana, enci, dan setelah tiba di Sungai Kuning, kita dapat melanjutkan perjalanan dengan kuda atau dengan perahu, kita lihat saja nanti bagaimana enaknya. Lihat, bukankah pemandangan alam di tepi sungai ini amat indahnya?"

Kui Lan melayangkan penglihatannya ke sekitarnya dan harus ia akui bahwa adiknya memang benar. Di dalam kota tidak ada pemandangan seindah dan sesegar ini. Serba hijau segar menyedapkan mata mengamankan hati. Tumbuh-tumbuhan dengan suburnya memenuhi sungai. Sawah ladang yang subur, dan biar pun tidak terlalu sering, na mun mereka bertemu juga dengan pejalan kaki atau penunggang kuda, bahkan kereta yang berpapasan dengan mereka.

Lewat tengah hari, udara amat panasnya dan ketika kakak beradik itu melihat sebuah kedai minuman di tepi jalan, mereka merasa gembira. Mereka juga membawa tempat minum, akan tetapi mereka ingin minum air teh yang harum dan melepas lelah, juga memberi kesempatan kepada dua ekor kuda mereka untuk mengaso dan makan rumput yang tumbuh di belakang kedai.

Kedai itu agaknya didirikan orang sengaja untuk memberi kesempatan kepada mereka yang melakukan perjalanan dan lewat di situ untuk mengaso dan minum-minum. Selain arak dan teh, juga di situ dijual makanan ringan.

Setelah menambatkan kuda mereka di belakang kedai dan membiarkan dua ekor itu melepas lelah dan makam rumput segar, kakak beradik itu lalu memasuki kedai sederhana namun cukup bersih dengan belasan buah meja dan bangku-bangku. Ketika mereka masuk, ternyata di situ telah duduk tujuh orang menghadapi dua meja, dibagi dua kelompok dari tiga dan empat orang. Mereka semua yang tadinya bercakap-cakap, bersendau-gurau, segera menghenti percakapan mereka dan mereka semua memandang kepada enci dan adik yang memasuki kedai dengan sikap tenang.

Kain buntalan mereka terisi pakaian dan hiasan, juga pedang, maka Kui Lan Kui Bi membawa buntalan mereka masuk kedai. Mereka berdua maklum betapa pandang mata tujuh orang itu mengamati mereka dengan sinar mata mengandung keheranan, kekaguman, akan tetapi rata-rata mengandung kenakalan yang membuat kakak beradik ini maklum bahwa mereka bertujuh itu adalah orang-orang kasar yang kurang ajar. Tujuh orang itu ia tertawa-tawa dan pandang mata mereka semakin kurang ajar.

Kui Lan dan Kui Bi tidak mempedulikan mereka, dan memilih meja di sudut agar agak jauh dari tujuh orang yang agaknya mabok-mabokan itu. Kepada pelayan tua kurus yang menghampiri, meminta disediakan empat buah arak dan air teh secukupnya. Karena tidak mau memperdulikan tujuh orang itu, maka ia sengaja duduk membelakangi mereka.

Kui Lan dan Kui Bi tidak melihat betapa tujuh orang itu berkasak-kusuk, berbisik dan mata mereka kadang dituju kepada enci adik itu dan kadang arah belakang kedai. Ke mudian, tanpa di ketahui Kui Lan dan Kui Bi, dua orang di antara mereka menyelinap keluar dari kedai melalui pintu samping sehingga tidak kelihatan oleh dua orang disitu.

Kui Lan dan Kui Bi sudah makan bakpauw mereka dan sedang minum teh kemudian terdengar derap kaki kuda dari belakang kedai. Mereka terkejut dan cepat menoleh, masih sempat melihat betapa ada dua orang menunggangi kuda mereka yang berlari congklang meninggalkan pekarangan kedai minuman itu.

"Heii, itu kuda kami...!" teriak Kui Bi yang cepat meloncat berdiri, lalu berlari keluar, diikuti pula oleh encinya. Akan tetapi, setelah tiba di luar kedai, mereka hanya melihat bayangan dua ekor kuda mereka sudah berlari jauh sehingga akan sia-sia saja mengejar.

Keduanya menjadi marah sekali, akan tetapi kalau Kui Lan hanya memandang dengan mata bersinar marah, Kui Bi mengepal tinju dan mengacung-ngacungkan ke arah bayangan dua orang pencuri kuda sambil memaki-maki.

"Jahanam keparat, maling busuk pencuri laknat!" Tiba-tiba terdengar suara laki laki di belakang mereka. "Nona-nona kalau ingin mendapatkan kembali kuda kalian, serahkan saja kepada kami."

Dua orang gadis itu cepat membalikkan tubuh mereka dan mereka melihat bahwa lima orang laki-laki telah berdiri di depan mereka sambil menyeringai dengan sikap kurang ajar. Mereka berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun dan karena mereka hanya lima orang, maka tahulah kakak beradik itu, bahwa yang mencuri kuda adalah dua orang di antara mereka!

"Heii, itu buntalan kami. Kembalikan!" bentak Kui Lan yang melihat betapa buntalan pakaian mereka berdua kini telah berada di punggung dua orang di antara lima laki-laki itu. Akan tetapi lima orang itu hanya tertawa-tawa saja dan seorang di antara mereka, yang bertubuh jangkung dengan muka kekuning-kuningan, berkata dengan suaranya yang kecil tinggi searti suara wanita.

"Nona-nona manis, apakah kalian berdua menginginkan agar kuda dan buntalan pakaian kalian kami kembalikan?"

Kui Bi memandang dengan mata seperti bernyala. "Tentu saja! Kembalikan kuda dan buntalan kami!"

"Boleh, boleh!" kata si muka kuning. "Akan tetapi kalian berdua ikutlah dengan kami. Kami akan menjadi pegawai dan pelindung kalian, dan kuda serta buntalan pakaian pasti tidak akan ada yang berani menyentuhnya!" Lima orang itu tertawa-tawa, dan Kui Bi mengepal tinju.

Pada saat itu, pemilik kedai minuman, seorang kakek yang kurus, tergopoh keluar dan berkata kepada si muka kuning. "Kalian sudah mengambil kuda dan pakaian ji-wi siocia (dua nona) ini, harap lepaskan dan jangan ganggu mereka lagi. Ji-wi siocia, relakanlah kuda dan buntalan itu, mari masuk saja ke dalam," jelas bahwa pemilik kedai minuman itu merasa iba kepada kakak beradik itu dan hendak mencegah agar dua orang gadis itu tidak diganggu lagi setelah barang-barangnya dirampas.

Akan tetapi, dengan galak Kui Bi membentaknya. "Engkau agaknya menjadi kaki tangan para perampok ini, ya? Awas, akan kuhancurkan kedaimu nanti!"

Laki-laki tua itu menggeleng-geIeng tangan dan kepalanya. "Tidak, tidak.... aku tidak ikut-ikut..."

"Lo-sam, pergi atau kau ingin kami bunuh?" bentak si muka kuning dengan bengis dan pemilik kedai yang tua itu terbongkok-bongkok lagi memasuki ke mbali kedainya.

Yang Kui Bi sudah saling pandang dengan encinya. "Enci, mereka ini perampok jahat! Ini tugas pertama kita."

Kui Lan tidak menjawab hanya mengaguk dan siap untuk berkelahi. Kui Bi ini melangkah maju menghampiri si muka kuning, mulutnya tersenyum akan tetapi matanya bersinar-sinar.

"Heh, muka kuning! Agaknya engkau yang menjadi kepala gerombolan perampok ini. Cepat kau perintahkan anak buahmu mengembalikan buntalan pakaian kami dan dua ekor kuda ka mi atau terpaksa ka mi a kan menghajar kalian!"

Si muka kuning sengaja membelalakkan matanya. "Kalian Menghajar kami? Ha-ha-ha-ha, dengar, kawan-kawan. Mereka ini hendak menghajar kita, ha-ha!"

Mereka semua tertawa dan seorang di antara mereka yang mukanya penuh bopeng bekas penyakit cacar dan tubuhnya tinggi besar kokoh kuat, melangkah maju sambil tertawa paling keras di antara mereka. "Ha-ha-ha-ha, anak kucing bisa mengaum seperti harimau! Toako, biar kutangkapkan anak kucing cantik ini untukmu, heh-heh!" dan diapun sudah menubruk ke depan, seperti seorang yang benar-benar hendak menangkap seekor kucing saja, kedua tangannya menyambar dan hendak menangkap kedua pundak Kui Bi.

Akan tetapi, Kui Bi sudah siap siaga. Si bopeng itu hanya memiliki tenaga kasar yang besar saja, hanya mengandalkan keberanian dan kenekatan maka dengan mudah Kui Bi yang marah dapat menghindarkan diri dari tubrukannya. Dengan lincah Kui Bi mengelak miring lalu kakinya melangkah maju sehingga ia tiba di sisi kiri agak ke belakang tubuh lawan dan ketika tubuh tinggi besar itu luput tubrukannya dan mendorong ke depan, secepat kilat kaki Kui Bi menendang ke belakang lutut kaki kanan si bopeng yang meno pang tubuhnya.

"Dukk!"

Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh tinggi besar itu terdorong dan tersungkur ke depan, hidungnya mencium tanah.

"Desss...., Brukkk...!"

Untung semalam turun hujan dan tanah di pekarangan itu basah dan tidak keras sehingga ketika tubuhnya jatuh tersungkur mencium tanah, bukit hidungnya tidak, remuk melainkan hanya kotor berlepotan tanah basah saja. Akan tetapi, melihat segebrakan saja si bopeng roboh oleh gadis kecil mungil itu, empat orang perampok lainnya terkejut bukan main dan hampir tidak percaya akan apa yang dilihatnya.

Terutama sekali si bopeng sendiri, dia bukan saja terkejut dan heran, akan tetapi lebih dari itu dia marah sekali Dia merangkak bangkit dan mukanya yang bopeng itu kini menjadi semakin buruk karena berlepotan tanah dan warnanya menghitam karena darah sudah naik ke kepala dan mukanya.

Si muka kuning yang menjadi pemimpin mereka, dan yang tentu saja paling tangguh di antara mereka, kini melangkah maju. "Eh, kiranya engkau memiliki juga sedikit kepandaian, nona manis? Bagus, kami menjadi semakin kagum dan akan bangga kalau kalian ikut dengan kami!"

"Enci Lan, kau hadapi anjing muka kuning ini, aku yang merampas kembali buntalan kita," kata Kui Bi dan Kui Lan mengangguk.

Tanpa banyak cakap lagi, Kui Lan yang pendiam akan tetapi yang juga sudah marah sekali itu menggerakkan kakinya dan tubuhnya dengan cepat seperti gerakan seekor burung lewat, sudah menerjang ke depan, jari-jari tangannya meluncur dan menyerang si muka kuning dengan totokan.

Si muka kuning memang tidak seperti anak buahnya yang hanya mengandalkan tenaga kasar. Ternyata dia pandai ilmu silat dan melihat gadis cantik dan lembut itu menyerang dengan totokan yang mendatangkan angin bersiutan, dia tidak berani memandang ringan dan cepat melompat ke belakang untuk menghindarkan diri.

Betapapun, dia tidak gentar dan tidak percaya bahwa gadis cantik lembut itu akan mampu menadinginya, maka begitu serangan pertama Kui Lan luput, dia sudah menerjang sambil mengeluarkan bentakan nyaring, tangan kirinya mencengkeram ke arah kepala Kui Lan sebagai gertakan, dan yang benar-benar menyerang adalah tangan kanan yang mencengkeram ke arah pinggang!

Gerakannya kasar dan bertenaga, seperti gerakan serangan seekor biruang saja. Namun, dengan mudah dan cepat Kui Lan berkelebat dan tubuhnya sudah lenyap dan berada di sebelah kiri lawan, dan serangan itupun hanya mengenai tempat kosong.

Akan tetapi, si muka kuning sudah cepat memutar tubuh kekiri dan kini dia menyerang lagi, bukan hanya serangan untuk meringkus gadis cantik itu, melainkan serangan pukulan dengan kedua tangan secara bertubi. Kembali Kui Lan dapat mengelak dengan amat mudahnya. Gadis yang pendiam dan le mbut in i telah me mi li ki il mu s ilat yang lu mayan tingkatnya, memiliki kecepatan gerakan dan telah menghimpun tenaga sakti, akan tetapi selama ini, ia tidak pernah berkelahi...!
Selanjutnya,