Kisah Si Pedang Terbang Jilid 09 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Kisah Si Pedang Terbang

Karya : Kho Ping Hoo
Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo
Jilid 09
KANG HIN mengetuk daun pintu sebuah rumah dan ketika seorang kakek membukakan pintu, dengan sikap halus dan sopan dia bertanya di mana rumah orang yang bernama Tan Seng.

"Tan Seng? Tan Seng si pemburu binatang hutan itu? Itu di ujung jalan ini, yang di depan rumahnya digantungi bermacam kulit binatang hutan."

Dua orang kakak beradik itu mengucapkan terima kasih dan menuju ke jurusan yang ditunjuk. Benar saja, di ujung jalan itu terdapat tempat tinggal yang dimaksudkan kakek tadi . Mudah dikenal memang, karena ada beberapa lembar kulit binatang dijemur di luar. Mereka memasuki pekarangan dan mengetuk pintu rumah.

Seorang laki-laki berusia sekitar empatpuluh tahun yang tubuhnya tinggi besar bermuka hitam membukakan pintu dengan mata masih mengantuk. "Malam ini sudah tidak ada persediaan dendeng lagi, kalau kulit kijang masih ada'beberapa lembar" Dia menghentikan kata-katanya ketika mendapat kenyataan bahwa dua orang pemuda itu sama sekali tidak dikenalnya, dan jelas bukan penduduk dusun itu.

"Apakah engkau yang bernama Tan Seng?" tanya Seng Gun.

"Benar, aku bernama Tan Seng. Kalian siapa?"

"Apakah ada orang lain bernama Tan Seng di dusun ini?" tanya Kang Hin karena orang muka hitam yang kasar ini tak mungkin menjadi suami wanita cantik tadi.

"Ehh? Tidak ada lagi. Tan Seng hanya satu, ya aku ini!"

"Tan Seng, apakah engkau mempunyai isteri yang namanya Bi Hwa?" tanya Kang Hin yang terpaksa menghentikan pertanyaannya karena ucapannya terpotong oleh suara tawa Tan Seng.

"Ha-ha-ha-ha! Kalau saja aku punya seorang Bi Hwa, atau Bi Eng atau Bi Nio, tentu malam ini aku tidak tidur sendiri kedinginan. Eh, sobat, kalau kau hendak main gila dan menggodaku, lebih baik enyah dari sini sebelum kepalanku yang keras membuat kalian babak belur!"

Setelah berkata begitu, dia melangkah maju dan mengacungkan kepalan tangannya depan hidung Kang Hin. Melihat ini Seng Gun menjadi marah sekali. Dia menangkap lengan itu, memuntirnya sehingga Tan Seng mengaduh dan tubuhnya ikut terpuntir. Ketika Seng Gun menyapu kakinya, diapun tidak dapat bertahan lagi dan jatuh. Seng Gun menginjak dadanya dan berkata,

"Jangan berlagak. Hayo jawab yang benar, kau mempunyai isteri bernama Bi Hwa atau tidak. Kalau berbohong, kuinjak pecah dadamu!"

Tan Seng terkejut sekali. Lengannya bagaikan tidak bertenaga dan dadanya seperti tertimpa benda berat sekali. Tahulah dia bahwa pemuda itu tidak boleh dibuat main-main. "Aduh, ampunkan taihiap... aku tidak mempunyai isteri... aku orang miskin ini bagaimana mampu mempunyai isteri! Ampunkan aku..."

Seng Gun berkata kepada suhengnya, "Sebaiknya suheng geledah isi rumahnya."

Kang Hin mengangguk dan cepat dia melakukan pemeriksaan. Tidak ada sedikitpun petunjuk bahwa rumah itu di diami seorang wanita maka dia kembali lagi dan menggeleng kepalanya. "Engkau tidak berbohong?" Sekali lagi Seng Gun menghardik.

"Aku berani sumpah, taihiap."

Seng Gun melepaskan injakannya dan sekali berkelebat, dua orang pemuda itu lenyap dari depan Tan Seng, yang juga segera menutup pintunya dengan tubuh gemetar. Dalam perjalanan pulang., Seng Gun mengomel "Nah, bagaimana sekarang, suheng? Aku sudah menduga keras bahwa wanita itu orang Beng-kauw akan tetapi engkau tidak percaya."

Kang Hin menghela napas panjang. "Mungkin engkau benar sute. Akan tetapi, ia masih berada di sana. Kita akan dapat memaksanya mengaku mengapa ia menipu kita dan apakah benar ia anggauta Beng-kauw."

"Aku yakin akan hal itu, suheng. Aku akan memenggal lehernya, sungguh menggemaskan perempuan itu telah membohongi kita."

"Sabarlah, sute."

"Itu bukan sabar namanya, suheng, melainkan kelemahan. Kalau bukan" karena kesabaranmu itu, tentu kita tidak tertipu."

Akhirnya mereka tiba di perkampungan Nam-kiang-pang, akan tetapi suatu kejutan besar menyambut mereka. Tawanan itu telah lolos, empat orang penjaganya tewas dan tempat tahanan itu dibakar sampai habis! Suasana menjadi geger dan dua orang pemuda ini disambut oleh Tio-pangcu yang berdiri dengan alis berkerut dan bertolak pinggang.

Seng Gun melihat bahwa gurunya marah sekali. Diapun mengenal betul watak Ciu Kang Hin yang gagah dan bertanggung jawab. Maka dengan cepat dia lalu lari menubruk kaki gurunya dan berkata, "Suhu, teecu mengaku bersalah, harap hukum teecu." dan diapun menangis di depan kaki gurunya.

Melihat sikap sutenya itu, Kang Hin terkejut. Jelas dia yang bersalah, kenapa sutenya mengaku kesalahannya, Diapun menjatuhkan diri berlutut. "Teecu yang bersalah, suhu."

"Huh!” Tio-pangcu membalikkan tubuhnya. Dia merasa marah dan kecewa sekali mendengar bahwa yang membawa tawanan itu adalah dua.orang murid terkasih ini, dan ternyata tawanan itu dapat membebaskan diri, membunuh empat orang penjaga dan membakar tempat tahanan.

"Apa artinya ini? Hayo ceritakan yang sebenarnya!" dia membentak lalu duduk di atas kursi.

"Teecu mengaku bersalah, suhu. Teecu yang menangkap wanita itu karena menyangka ia orang Bengkauw, akan tetapi ia mengaku orang Kam-cui isteri seorang bernama Tan Seng. Teecu. meninggalkan ia di. sini dalam tahanan untuk pergi menyelidiki ke dusun Kam-cui. Ternyata ia berbohong dan ketika teecu kembali ke sini, sudah terlambat."

"Hemm, benarkah cerita Seng Gun itu, Kang Hin?" tanya Tio-pangcu kepada Kang Hin dengan suara masih mengandung kemarahan.

"Tidak benar, suhu!" kata Kang Hin dengan suara tegas sehingga mengejutkan semua orang. "Sama sekali bukan sute yang bersalah dalam hal ini, melainkan teecu."

Tio Hui Po mengerutkan alisnya. "Apa artinya semua ini? Hayo ceritakan yang betul!"

"Malam tadi sute memberitahu kepada teecu bahwa dia mencurigai seorang wanita di perahu dan mengajak teecu untuk memeriksa dan menyelidikinya. Sampai di perahu, wanita berkedok itu hendak melarikan diri, demikian tukang perahunya. Sute membunuh tukang perahu itu, dan berhasil merobohkan wanita itu. Sute hendak langsung membunuhnya, akan tetapi teecu berkeras melarangnya dengan alasan bahwa belum tentu ia itu orang Bengkauw. Kemudian, wanita itu mengaku bernama Bi Hwa isteri Tan Seng dari dusun Kam-cui. Teecu yang mengusulkan kepada sute untuk menahan wanita ini, dan kami pergi menyelidiki kebenaran keterangannya. Ternyata, wanita itu berbohong, dan cepat kami kembali ke sini dan ternyata wanita itu sudah lolos."

"Bodoh!" Tio-pangcu menggebrak tangan kursinya. "Apakah ia tidak dibuat tidak berdaya dulu sehingga mampu membunuh para penjaga?"

Seng Gun segera berkata. "Suheng telah menotoknya, suhu. Teecu melihat sendiri. Dan teecu sudah menggunakan sabuk untuk mengikat kaki tangannya. Suheng bermaksud baik, suhu harap jangan persalahkan suheng."

"Hemm, engkau sungguh teledor, Kang Hin. Ingat, engkau seorang calon ketua, tidak pantas melakukan keteledoran yang menunjukkan kelemahanmu Engkau patut dihukum!"

"Teecu menerima salah suhu dan teecu siap untuk menerima hukuman," kata Kang Hin pasrah.

"Kau memang pantas dihukum!" bentak Tio-pangcu.

Pada saat itu Seng Gun menjatuhkan diri lagi mencium lantai dan berkata dengan suara memohon. "Suhu, biarlah teecu saja yang menjalani hukuman. Suheng adalah calon ketua, tidak sepantasnya kalau suheng yang menjalani hukuman.

"Sute, jangan begitu!"

Tio-pangcu menghela napas pan-jang. "Aahh, ternyata Seng Gun lebih memiliki kesetiaan dari pada engkau. Sepatutnya engkau mencontoh sutemu ini."

"Suhu, maafkanlah suheng. Teecu yakin bahwa suheng tidak sengaja bersikap lunak kalau dia mengetahui bahwa wanita itu orang Bengkauw, teecu percaya bahwa suheng mau bersumpah untuk setia kepada Nam-kiang-pang dan untuk membasmi Bengkauw."

"Tio-pangcu mengangguk-angguk. "Pikiran yang bagus. Nah, aku tidak akan menghukum kalian, akan tetapi kalian harus mengulangi sumpah setia kepada Nam-kiang-pang dan membasmi Beng-kauw!"

Dua orang muda itu lalu digiring masuk ke dalam ruangan sembahyang dan di depan meja sembahayng Seng Gun mengucapkan sumpah dengan lantang dan di ikuti oleh suhengnya.

"Demi arwah para sesepuh Nam-kiang-pang, disaksikan bumi dan langit, saya bersumpah akan membela Nam-kiang-pang dengan setia dan dengan taruhan nyawa, dan akan membasmi orang-orang Beng-kauw!"

Akan tetapi Ciu Kang Hin mengakhiri sumpah dengan kata-kata "orang-orang Beng-kauw yang jahat", menambahkan kata-kata."yang jahat" di belakang nya. Dengan demikian maka dia hanya akan membasmi orang-orang Bengkauw yang jahat, bukan sembarang orang Bengkauw!

Semenjak saat itu diam-diam Seng Gun menyebar cerita yang condong menimbulkan kecurigaan kepada Kang Hin. Dia menerangkan kepada para murid betapa Kang Hin nampaknya menaruh kasihan kepada wanita Bengkauw itu. Bahwa Kang Hin dengan keras melarang dia membunuhnya, dan agaknya Kang Hin tergila-gila oleh kecantikan wanita tawanan itu. Berita buruk tentang seseorang lebih dipercaya oleh umum maka dengan sendirinya orang-orang mulai berprasangka buruk terhadap Kang Hin.

Dan makin bersemangatlah Seng Gun memimpin anak buahnya untuk melakukan pengejaran dan pembantaian kepada anggauta-anggauta Beng-kauw sehingga gegerlah perkumpulan itu. Memang sejak dahulu Beng-kauw dicurigai dan dimusuhi orang-orang kangouw, akan tetapi baru sekaranglah orang-orang Nam-kiang pang secara berterang melakukan perburuan dan membunuhi orang-orang Bengkauw tanpa sebab lagi.

Dan setiap kali melakukan pembunuhan Seng Gun selalu menonjolkan nama Ciu Kang Hin sebagai calon ketua Nam-kiang-pang dan sebagai pemimpin regu pembunuh, sehingga sebentar saja di kalangan orang-orang Beng-kauw, bahkan di dunia kangouw nama Ciu Kang Hin dianggap sebagai pembunuh dan pembasmi Bengkauw nomor satu.

Padahal Ciu Kang Hin sendiri jarang membunuh orang Bengkauw. Kalau dia sampai membunuh, maka yang dibunuhnya itu, orang Bengkauw atau bukan, pasti orang yang telah melakukan kejahatan besar. Tukang memperkosa wanita atau tukang membunuh orang tak bersalah.

* * * *

Yang Mei Li menjalankan kudanya perlahan sambil menikmati pemandangan alam di pegunungan itu Bukit seribu guha amat terkenal karena keindahannya. Selain terdapat banyak sekali guha ciptaan alam di situ, juga terdapat banyak batu besar yang berwarna kekuningan dan dari jauh nampak seperti emas.

Maka Bukit Seribu Guha itu juga dikenal dengan Bukit Emas. Akan tetapi kekagumannya itu segera sirna terganti kemuraman wajahnya ketika dari jauh dia melihat tubuh orang malang melintang di sepanjang jalan.

"Ah, tidak lagi....!" ia berseru lirih dan menghentikan kudanya. Kuda itu dapat menjadi panik kalau terlalu dekat dengan mayat-mayat itu. Dia melepaskan kendali kuda itu dan berloncatan mendekat tempat itu. Ada sebelas orang yang dibantai di tempat itu. Yang membuat hatinya sedih dan marah adalah bahwa di antara mayat-mayat itu terdapat tiga orang wanita muda dan dua orang anak laki-laki yang usianya sekitar lima enam tahun.

Dalam perjalanannya ia sudah mendengar akan pembantaian dan serangan yang dilakukan oleh para pendekar terhadap orang-orang Beng-kauw. Ia memang sudah mendengar bahwa Beng-kauw merupakan perkumpulan sesat yang mempunyai banyak orang jahat, akan tetapi kenyataan bahwa orang-orang bengkauw yang dibunuh terdapat pula wanita dan anak-anak, hatinya mulai penasaran dan curiga.

Mungkin saja Beng-kauw mempunyai anggauta yang jahat, akan tetapi apakah anak-anak dan isteri orang Beng-kauw juga jahat? Apakah kehadiran anak-anak sebagai keluarga Beng-kauw itu membuat mereka jahat pula, seperti orang yang ketularan penyakit?

Sudah sejak tiga hari yang lalu ia sering menemukan adanya mayat berserakan di sepanjang perjalanan. Ketika ditanyakan hal itu kepada penduduk dusun di sekitar tempat kejadian, ia mendapat keterangan bahwa yang dibunuh itu adalah orang-orang jahat dari Bengkauw, dan yang membunuhnya adalah para pendekar dari berbagai perkumpulan silat, akan tetapi yang terbesar adalah dari perkumpulan Nam-kiang-pang.

Sering ia mendengar disebutnya nama pendekar Ciu Kang Hin, pendekar calon ketua Nam-kiang-pang yang kabarnya amat lihai dengan goloknya, tampan dan gagah menjadi idaman para gadis! Akan tetapi melihat cara orang-orang Beng-kauw dibunuh, nama Ciu Kang Hin itu tidak menimbulkan kagum dihatinya, bahkan rasa penasaran dan ingin menyelidiki pembantaian itu.

Sejak tiga hari yang lalu, kalau bertemu mayat-mayat yang terbunuh di sepanjang jalan, ia menggunakan uangnya untuk menyuruh orang-orang dusun menguburkan mayat-mayat itu. Orang-orang dusun tadinya merasa takut, akan tetapi Mei Li dengan gagah mengatakan bahwa ia yang bertanggungjawab dan pula kalau mayat-mayat itu tidak dikubur, mereka sendiri yang akan merugi, mungkin mayat-mayat itu akan mendatangkan penyakit. Selain itu, Mei Li juga memberi uang untuk membeli peti mati.

Kini, ada lagi belasan buah mayat! Mei Li lalu menghampiri kudanya, menuruni bukit menuju ke perkampungan yang sudah nampak dari situ dan seperti yang sudah-sudah, ia membujuk penduduk untuk membeli peti mati dan menguburkan mayat-mayat itu. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan sambil mengikuti jejak banyak kaki manusia yang menuju ke timur.

Menjelang senja kudanya tiba dikaki bukit dan dari jauh dia sudah melihat ribut-ribut orang banyak sedang berkelahi. Juga terdengar jerit tangis para wanita dan kanak-kanak. Dapat ia menduga bahwa jejak kaki itu adalah jejak kaki rombongan orang yang agaknya tergesa-gesa sedang melarikan diri, karena jejaknya bercampur dengan jejak kaki anak-anak dan wanita.

Melihat di depan terjadi pertempuran, cepat ia membalapkan kudanya dan ia melihat tigapuluh lebih orang yang terdiri dari pria, wanita dan anak-anak, yang berkelompok, dilindungi belasan orang laki-laki sedang dikepung dan diserang oleh belasan orang yang menunggang kuda!

Biarpun mereka yang dilindungi sekelompok wanita dan anak-anak itu juga bukan orang lemah dan mereka melawan mati-matian menggunakan pedang dan golok mereka, namun Mei Li dapat melihat dengan jelas bahwa mereka bukanlah lawan yang seimbang dari para penyerang itu. Kini para penyerang sudah berlompatan turun dari atas kuda mereka dan gerakan mereka amatlah tangkasnya. Dalam waktu beberapa belas jurus saja sudah ada tiga orang yang membela rombongan itu roboh mandi darah.

Mei Li mempercepat larinya seperti terbang Ia sudah melompat turun dari punggung kudanya dan mempergunakan ilmu berlari cepat menuju ke tempat itu sehingga kudanya tertinggal di belakang. Akan tetapi terjadi sesuatu yang membuat lega hatinya. Entah dari mana datangnya, seorang laki-laki muda telah terjun ke dalam pertempuran membela rombongan itu.

Sepak terjang pemuda ini gagah luar biasa dua orang pengeroyok yang memegang golok terjungkal ketika menyambutnya dengan bacokan golok. Seorang yang tinggi kurus dari pihak pengeroyok menjadi, marah dan mendorong dengan tombak cagaknya. Akan te tapi pemuda itu mendorong dengan kedua tangannya dan si tombak cagak itu terdorong ke belakang sambil berteriak kesakitan.

"Matahari merah teriaknya!” dan semua orang pengeroyok terkejut mendengar seruan ini.

Juga Mei Li yang sudah tiba di situ menjadi kagum dan terkejut. Tentu saja dia sudah mendengar akan ilmu Matahari Merah, suatu dari ilmu pasangan Matahari Merah dan Salju Putih, ilmu yang dianggap sukar dicari bandingnya di saat itu. Dan ilmu ini merupakan ilmu rahasia yang telah dikuasai oleh pimpinan tertinggi Bengkauw!

Kalau begitu, pemuda itu tentu orang Bengkauw, dan bukan anggauta biasa pula. Akan tetapi dia tidak perduli yang diserang untuk dibantai adalah wanita dan anak-anak pula, tidak perduli itu wanita atau anak-anak Beng kauw atau bukan, ia harus membelanya.

Juga ia melihat bahwa pemuda yang pandai menggunakan ilmu Matahari Merah tadi nampak tidak tegak pasangan kuda-kudanya, agak terhuyung tanda bahwa dia terluka. Hal ini juga dapat dilihat musuh-musuhnya, maka seorang di antara musuh-musuhnya berseru,

"Serang terus, dia sudah terluka!"

Mei Li sudah tiba di situ. Tanpa membuang waktu lagi ia sudah melemparkan sepasang pedang terbangnya.

"Trang... trangggg!"

Dua batang golok terpental dan terlempar. Semua orang terkejut karena yang nampak hanya kilatan pedang sedangkan orangnya tidak nampak. Setelah sepasang pedang itu terbang kembali kepada pemiliknya, barulah mereka menyadari bahwa hui-kiam (pedang terbang) itu gagangnya memakai tali sehingga bisa terbang kembali kepada pemiliknya.

"Tahan dulu!” seorang pengeooyok berteriak dan ternyata ia seorang wanita. Wanita berusia kurang lebih duapuluh delapan tahun yang cantik jelita dan genit, memegang pedang ronce merah, rambutnya panjang terurai, dan pakaiannya mewah. "Siapa engkau, nona? Kami lihat engkau bukan orang Bengkauw!"

Mei Li tersenyum dan begitu ia tersenyum, kecantikan wanita di depannya itu bagaikan bulan kesiangan, memudar oleh cahaya matahari. "Dan engkau siapa? Aku lihat engkaupun pasti bukan orang Beng-kauw!" tanyanya dan cara ia memandang orang itu seperti seorang dewasa memandang anak kecil. Memang Mei Li belum tahu siapa wanita itu maka ia berani memandang rendah.

Wanita itu menjadi berang. Mukanya merah sekali. la adalah seorang termuda dari Bu-tek Ngo Sin-liong (Lima Naga Sakti Tanpa Tanding) dan gadis ingusan ini berani memandang rendah ke padanya? Kini pertempuran telah berhenti oleh seruan Bi-sin-liong Kwa Lian. Empat orang dari golongan yang diserang telah roboh dan dua orang penyerang yang tadi diterjang pemuda perkasa itu pun roboh. Pemuda itu sendiri berdiri memandang, mukanya agak pucat namun sikapnya penuh kemarahan dan keberanian.

Bi-sin-liong menudingkan pedangnya ke muka Mei Li dan membentak dengan suara lantang. "Bocah ingusan bosan hidup! Ketahuilah bahwa yang kau hadapi ini adalah Bin-sin-liong Kwa Lian, seorang di antara Bu-tek Ngo Sin-liong, tokoh Hoat-kauw! Nah, siapakah engkau bocah ingusan berani memandang rendah kepadaku! Gurumu agaknya kurang memberi pelajaran kepadamu!"

Pemuda Bengkauw itu sendiri agaknya terkejut mendengar disebutnya nama Bu-tek Ngo Sin-liong itu. Orang tinggi kurus berusia empat puluh lima tahun yang mukanya pucat, yang memegang sebatang tombak cagak dan yang tadi terkejut melihat gerakan pemuda itu dan yang mengenal ilmu Matahari Merah, menyambung,

"Dan aku adalah Tiat-sin-liong Lai Cin, lebih baik kalian mengenalku sebelum mati."

Kalau semua orang terkejut dan gentar mendengar nama dua orang tokoh Hoat-kauw ini, Mei Li sendiri nampak biasa saja, tersenyum mengejek. Hal ini bukan karena dara ini sombong, melainkan karena ia memang tidak pernan mengenal nama itu.

"Wah, kiranya nenek Kwa Lian dan kakek Lai Cin yang berlagak di sini. Kalian sudah tua tidak tahu diri! Kalian mau tahu siapa aku? Bukalah telinga mu baik-baik, dan jewer sampai lebar, bersiaplah agar jangan jatuh karena terkejut. Aku adalah Hui-kiam Sian-li (Dewi Pedang Terbang)!" Lalu disambungnya dengan lantang, "Awas, pedangku memenggal lehermu!"

Ucapan itu ditutup dengan gerakan kedua tangannya dan sepasang pedangnya menyambar bagaikan dua ekor burung garuda ke arah leher Bi-sin-liong Kwa Lian dan Tiat-sin-liong Lai Cin! Dua orang ini segera menangkis dengan pedang dan tombak mereka, akan tetapi pada saat itu, pemuda yang pandai ilmu Matahari Merah sudah menyerang lagi dengan pukulannya yang ampuh ke arah Ti-at-sin-liong (Naga Sakti Besi).

Tentu saja tokoh Hoat-kauw ini yang sudah mengenal pukulan sakti Matahari Merah, cepat mengelak karena dia tidak berani menangkis secara langsung. Sementara itu Bi-sin-liong juga mengeluarkan teriakan kaget ketika pedangnya yang menangkis pedang terbang itu tergetar hebat. Tiat-sin-liong juga tidak berani memandang rendah pedang terbang itu, maka dia menghindar dengan loncatan jauh ke belakang.

Sepasang pedang terbang itu ketika tidak dapat mengenai sasaran, bagaikan dua ekor ular naga melayang-layang "mencari mangsa, akhirnya merobohkan dua orang pengeroyok yang lancang berani menangkisnya, sedangkan pemuda itu pun merobohkan seorang lawan lagi dengan dorongan tangannya.

Melihat kehebatan dua orang muda itu, Bi-sin-liong Kwa Lian lalu mengeluarkan teriakan, mengajak suhengnya untuk melarikan diri. Tiat-sin-liong memberi aba-aba kepada anak buahnya dan mereka lalu berloncatan pergi sambil membawa tubuh teman mereka yang terluka atau tewas.

Yang Mei Li tidak mengejar karena ia melihat pemuda itu terhuyung dan jatuh berlutut sambil terengah-engah. Mereka yang tadi melindungi kelompok itu, kini menjatuhkan diri berlutut di depan Mei Li dan memberi homat. "Kami menghaturkan terima kasih atas pertolongan lihiap."

"Paman," tanya Yang Mei Li kepada seorang di antara mereka. "Apa yang terjadi? Kenapa kalian diserang mereka? Apakah benar kalian orang-orang Beng-kauw?"

"Kami adalah penghuni dusun Sin-yang yang termasuk perkampungan wilayah Bengkauw. Memang banyak pemuda kita yang menjadi anggauta Bengkauw, akan tetapi kami tidak tahu menahu tentang Beng-kauw. Selama beberapa bulan ini, Bengkauw dikejar-kejar dan dibunuhi dan kamipun ikut pula dikejar-kejar. Sudah banyak diantara kami yang terbunuh. Kami sedang hendak pergi mengungsi ketika dikejar oleh rombongan orang Hoat-kauw tadi. Untung lihiap keburu datang menolong."

"Dan siapa pemuda itu?" tanya Mei Li menunjuk pemuda yang masih berlutut dan mengumpulkan tenaga itu.

Pemuda itu membuka mata, bangkit berdiri dan memberi hormat kepada Mei Li. "Nona, namaku Sie Kwan Lee, dan aku.... aku… Pemuda itu terkulai dan jatuh pingsan.

Mei Li terkejut dan memeriksa nadi tangan pemuda itu. Detik jantungnya tidak tetap dan tubuhnya terasa panas sekali. Jelas bahwa pemuda itu menderita keracunan. "Kalian sekarang mau ke mana? Dan siapakah pemuda ini?" ia bertanya kepada orang tadi.

"Ketahuilah, lihiap! Dia ini adalah Sie Kongcu (tuan muda Sie), putera dari ketua Beng-kauw yang selalu menolong kami."

"Hemm, dia sakit berat, keracunan," kata Mei Li.

"Kami akan melanjutkan perjalanan kami lari mengungsi, lihiap, dan kami harus membawa Sie Kongcu. Dia adalah tuan penolong kami."

Melihat betapa pemuda itu sakit dan kini rombongan itu tidak ada lagi yang menjaga, maka Mei Li segera mengambil keputusan. "Biarlah, aku akan menemani kalian sebelum pemuda itu sembuh dan dapat melindungi kalian."

"Ah, terima kasih, lihiap. Terima kasih." Orang itu berlutut dan diikuti oleh semua orang sehingga Mei Li tersipu. Belum pernah ia dinormati orang seperti itu.

"Sudahlah, kalian membuat aku merasa sungkan saja. Sudah sewajarnya kalau orang saling menolong."

Rombongan itu segera bergerak lagi melanjutkan perjalanan mereka mengungsi, diikuti oleh Mei Li yang menunggang kudanya perlahan-lahan. Orang yang tadi mewakili kawan-kawannya bicara, berjalan didekat kudanya.

"Sungguh, nona telah menanam budi yang luar biasa besarnya kepada kami," katanya.

"Sudahlah, jangan bicara tentang budi. Akupun sedang merantau, maka melakukan perjalan bersama kalian Ini tidak menggangguku sama sekali."

"Akan tetapi, lihiap di antara seratus orang pendekar, belum tentu ada satu yang sudi menolong kami."

"Ehh? Kalau dia tidak mau menolong kalian yang terancam bahaya, maka ia tidak pantas disebut pendekar."

"Ah, agaknya engkau belum mengetahui, lihiap. Semua pendekar di dunia ini memusuhi kami, semua orang menganggap bahwa Bengkauw merupakan orang-orang jahat yang harus dibasmi. Memang kami tidak dapat menutup kenyataan bahwa orang Bengkauw hidup penuh kekerasan, suka berkelahi, dan banyak pula di antara mereka yang amat jahat. Akan tetapi tidak semua, seperti kami yang hidup mengandalkan kerja keras, dan tidak mempunyai apa-apa untuk diandalkan berbuat jahat. Anak-anak dan isteri kami pun bukan orang jahat, kenapa diikut sertakan dalam pembasmian?"

"Apakah semua pemimpin Bengkauw jahat dan kejam?"

"Terus terang saja, lihiap. Banyak di antara mereka yang kejam. Bahkan pangcu sendiri adalah seorang yang tidak pernah mau mematuhi hukum negara atau hukum masyarakat. Suka bertindak ingin menang sendiri. Akan tetapi bukankah orang-orang dunia persilatan selalu begitu? Biarpun demikian, kami semua tidak dapat mengatakan bahwa Sie Kongcu itu jahat! Dia malah sering bertentangan dengan para pimpinan, dengan ayahnya sendiri. Ah, sudahlah lihiap, kalau terlalu banyak bicara tidak ada yang dapat menjamin kepala ini tetap melekat di leherku."

Karena orang itu tidak berani banyak cakap lagi, Mei Li juga diam saja dan di jalankannya kudanya dekat dengan kereta dorong di mana tubuh Sie Kwan Lee rebah telentang. Diamati wajah pemuda yang masih pingsan itu. Tadi ia sudah menyuruh orang meminumkan obat kepada pemuda itu, obat penawar racun. Sekarang dia masih pingsan, atau tidur pulas sekali, wajah pemuda itu nampak tenang. Wajah yang kecoklatan, terbakar panasnya matahari. Tampan dan ganteng Wajah yang jantan.

Sie Kwan Lee adalah putera tunggal dari Sie-pangcu (ketua Sie) yang nama lengkapnya adalah Sie Wan Cu, ketua Beng-kauw yang terkenal sekali karena dia merupakan seorang di antara tokoh-tokoh sakti. Dengan mewarisi ilmu Matahari Merah dan Salju Putih, kiranya tidak akan ada tokoh dunia persilatan yang mampu menandinginya dalam hal ilmu tangan kosong, Sie Wan Cu sudah berusia enampuluh tahun.

Satu di antara kesukaannya adalah mengumpulkan banyak isteri yang cantik dan muda. Untuk ini dia tidak perlu menggunakan kekerasan, dan pula dia tidak mau kehilangan martabatnya kalau memaksa wanita. Dengan wajahnya yang tampan gagah, biarpun usianya sudah enampuluh tahun, dan dengan tubuhnya yang kuat dan hartanya yang cukup, wanita mana yang tidak akan girang menjadi isterinya!

Dia mempunyai belasan orang isteri, akan tetapi dari sekian banyaknya isterinya, hanya isteri pertama saja yang mempunyai keturunan, yaitu seorang pemuda dan seorang gadis. Pemuda itu ada lah Sie Kwan Lee, kini berusia duapuluh lima tahun sedangkan adiknya bernama Sie Kwan Eng, berusia sembilan belas tahun dan cantik sekali.

Akan tetapi Sie-pangcu tidak puas dengan puteranya. Memang puteranya itu memiliki bakat yang baik sekali dalam ilmu silat, namun puteranya dianggapnya terlalu lemah hati. Terlalu mirip ibunya dan tidak mau melakukan perbuatan yang dianggapnya tidak benar dan jahat! Anak perempuannya lebih tegas dibanding Kwan Lee, maka diapun menurunkan ilmu-ilmunya kepada keduanya.

Baru semenjak Bengkaw dikejar-kejar dan dimusuhi, banyak anggautanya dibunuh, Sie-pangcu menurunkan ilmu simpanannya, yaitu ilmu Matahari Merah diajarkannya kepada Kwan Lee, sedangkan ilmu Salju Putih diajarkan kepada Kwan Eng.

Kwan Lee baru melatih diri dengan ilmu itu, baru tiga perempatnya dia kuasai. Dalam kaadaan seperti itu, dia sama sekali tidak boleh menggunakan sin-kang karena dia dapat terluka oleh tenaga mujijat dari ilmu itu sendiri. Namun, ketika dia mendengar bahwa penduduk dusun yang berdekatan diserang para pendekar, dia tidak dapat menahan hatinya dan dia lalu meninggalkan tempat latihan.

Pada hal, hal ini amat berbahaya dan merupakan pantangan. Tidak ada yang berani mencegah karena ayahnya kebetulan tidak berada di situ, dan akibat perlawanannya membela para pengungsi, dia terluka dan keracunan oleh tenaganya sendiri.

Kwan Lee membuka ma tanya dan bergerak. Sejenak dia heran melihat dirinya berada dalam kereta dorong Dia bangkit duduk dan memerintahkan mereka yang mendorong kereta itu untuk berhenti. Lalu dia turun dari kereta dorong dan mengangkat mukanya ketika ada kuda mendekatinya.

Ketika melihat Mei Li di atas kudanya, dia teringat lagi akan peristiwa tadi, maka cepat dia memberi hormat, "Nona, aku Sie Kwan Lee mengucapkan terima kasih atas bantuan nona kepada orang-orang ini."

"Tidak perlu sungkan, twako," kata Mei Li. "Orang-orang Hoat-kauw tadi memang sombong dan pantas dihajar!"

"Nona, engkau yang masih begini muda, berani melawan bahkan mampu menandingi dua orang dari Bu-tek Ngo Sin liong, kalau boleh aku bertanya, siapakah namamu, dan dari golongan manakah?"

"Aku tidak mewakili golongan manapun, dan namaku adalah Yang Mei Li. Aku sedang merantau dan kebetulan saja lewat di sini, twako. Di sepanjang jalan aku melihat banyak orang Bengkauw menjadi korban pembunuhan, maka ketika di sini melihat orang-orang ini dikejar-kejar dan hendak dibunuh, tentu saja aku tidak dapat tinggal diam. Sukur di sini ada engkau yang lihai, akan tetapi engkau sedang terluka keracunan. Bagaimana ada hawa beracun mengamuk di tubuhmu, twako?"

Kwan Lee tersenyum sedih. "Panjang sekali ceritanya, nona. Kalau nona suka singgah di tempat kami, akan kuceritakan semua."

"Maaf, setelah engkau sembuh, aku harus melanjutkan perjalananku, twako."

"Nanti dulu, nona Yang! Kurasa saat ini di antara para pendekar, hanya engkau seorang yang tidak memusuhi kami orang-orang Beng-kauw. Oleh karena itu, ingin aku menceritakan segalanya tentang kami, agar engkau meluaskan keterangan itu dan membuka mata orang-orang kangouw bahwa Bengkauw bukanlah perkumpulan penjahat yang amat kejam dan harus dibasmi, Maukah engkau membantu kami, nona? Bantuanmu itu akan lebih berharga dari pada kalau nona membela nyawa semua orang ini."

Mei Li mengerutkan alisnya. Ayah dan ibunya berpesan bahwa dia tentu saja boleh bertindak sebagai pendekar, membela kebenaran dan keadilan, membatu yang lemah tertindas dan menentang yang kuat sewenang-wenang. Akan tetapi dia diperingatkan agar jangan melibatkan diri dalam permusuhan antara perkumpulan-perkumpulan di dunia kangouw.

"Aku suka membantu siapa saja yang mengalami penasaran, akan tetapi tidak mau terlibat dengan permusuhan pribadi perkumpulan."

"Kami tidak ingin engkau terlibat dalam urusan kami, nona. Kami hanya menghendaki keadilan dan membersihkan diri kami dari fitnah. Tentu saja kalau nona sudi menolong, kalau tidak, kamipun tidak dapat memaksa dan menyerahkan diri kepada nasib saja."

Suara itu terdengar demikian penuh duka sehingga Mei Li merasa tidak tega untuk menolaknya. Pula pemuda itu hanya ingin ia menjadi pendengar saja, mau disebarluaskan atau tidak, terserah sepenuhnya kepadanya. "Baiklah, akan kudengarkan. Pula, keadaanmu belum kuat benar, dan mereka ini membutuhkan perlindungan."

Wajah Kwan Lee menjadi berseri. "Terima kasih, nona!"
Biarpun dia masih lemah, dia minta disediakan seekor kuda dan kini dia melanjutkan perjalanan menunggang seekor kuda di samping Mei Li. Di sepanjang perjalanan ini, Mei Li lebih banyak mengenal sifat dari pemuda itu. Seorang pemuda yang sederhana, biarpun putera ketua namun sikapnya terhadap anak buah ramah dan sederhana. Juga selalu sopan terhadap dirinya sehingga dia mulai merasa suka kepadanya.

Orangnya agak pendiam, selalu terbuka dan jujur, ramah dan lembut. Juga tidak pantas kalau dikatakan putera seorang ketua yang kasar dan liar karena ternyata pemuda ini cukup terpelajar, mengenal sajak-sajak indah dan tokoh-tokoh besar dalam sejarah.

Pada malam ke dua rombongan terpaksa berhenti di sebuah lereng bukit. Sebetulnya pusat perkampungan Bengkauw sudah dekat, akan tetapi karena hari sudah malam dan rombongan yang terdiri dari wanita dan anak-anak sudah lelah, terpaksa mereka berhenti. Malam itu bulan purnama dan malam di lereng gunung itu indah sekali.

Kwan Lee sudah sehat kembali dan dia duduk diatas batu besar bersama Mei Li. Mereka telah akrab karena merasa cocok. Dalam kesempatan ini, Mei Li ingin mengetahui lebih banyak tentang pemuda itu dan tentang Bengkauw.

"Nah., sekarang engkau tentu sudah cukup mengenalku sehingga percaya untuk bercerita sedikit mengenai Bengkauw dan mengapa para pendekar memusuhinya, twako."

"Perkumpulan Bengkauw memang berasal dari aliran agama Terang (Beng-kauw), nona. Akan tetapi sekarang di antara para pengikutnya sudah jarang yang mengerti, tentang agama Terang itu. Agama itu sendiri berdasarkan Im Yang atau Terang dan Gelap. Yang terang adalah baik sebaliknya yang gelap adalah jahat. Pengetahuan tentang agama ini berarti pengetahuan tentang alam dan kekuasaannya yang terbagi antara gelap dan terang, Penyelamatan adalah proses membebaskan unsur terang dari kegelapan. Yang berasal dari Tuhan itu adalah Terang sebaliknya iblis mendatangkan kegelapan untuk menggoda manusia, karena itu kita harus penuh dengan roh-roh. untuk membebaskan diri dari pengaruh kegelapan. Pimpinan Bengkauw sendiri adalah Duta-duta Terang yang menerangi kegelapan."

“Hemm, kalau begitu apa bedanya dengan agama lain? Semua agama juga berpihak kepada yang terang dan memerangi yang gelap atau jahat."

"Memang pada hakekatnya tidak ada bedanya, nona. Akan tetapi, tanpa disadari para pemeluknya sudah diperalat oleh kekuasaan Iblis sehingga mereka saling menyalahkannya, menganggap diri sendiri benar. Karena itu, tindakan para pemimpinnya selalu bahkan bertentangan dengan ajaran agamanya sendiri, Hukum agama yang diterapkan, bukan lagi hukum agama berdasarkan keadilan, melainkan dipilih mana yang menguntung kan bagi si pimpinan. Dari situlah timbulnya kepalsuan-kepalsuan dan kejahatan yang berkedok keagamaan, nona."

"Bagaimana dengan Bengkauw sendiri?"

"Tidak ada bedanya dengan agama-agama atau aliran lain Selama orang-orang yang memimpinnya merasa keberadaan dan kekuasaannya terancam, mereka akan bergerak, menggunakan segala dalih dalam agama mereka untuk menghantam lawan. Tentu saja dengan dalih melakukan pembersihan atau menghukum,"

"Semua pimpinan agama begitu?"

"Tentu saja tidak, dan ada kecualinya. Ada yang benar-benar mentaati perintah agama tanpa menonjolkan kehendak pribadi, dan orang-orang seperti itulah yang benar-benar menjadi orang yang ditunjuk oleh Tuhan untuk menuntun manusia lain ke jalan kebenaran."

"Sekarang ceritakan keadaan Beng-kauw mengapa sampai dimusuhi semua pendekar, toako, dan tentang keluarga ketua Bengkauw, ayahmu."

Pemuda itu menghela napas. "Sebagian besar adalah karena kesalahan para pimpinan Beng-kauw juga. Mereka terlalu mengandalkan kepandaian sendiri, tidak memperdulikan peraturan umum, suka melanggar kebiasaan dunia kangouw sehingga dengan sendirinya mempunyai banyak musuh. Apa lagi kebiasaan para tokoh Bengkauw suka menggunakan kedok kalau sedang berkelahi, hal ini amat buruk dan mudah saja bagi yang tidak suka untuk melempar fitnah kepada Beng-kauw. Orang yang melakukan kejahatan, asal dia memakai kedok, lalu mudah saja di-cap sebagai orang Beng-kauw. Akhir-akhir ini yang sangat bersemangat memusuhi kami adalah orang Nam-kiang-pang. Alasan mereka adalah bahwa Bengkauw sudah banyak membunuh anggauta mereka."

"Benarkah itu?"

"Siapa tahu benar atau tidak? Mungkin benar dan mungkin tidak, karena mereka tidak dapat membuktikannya, hanya mengatakan bahwa pembunuhnya memakai kedok Bengkauw. Mereka mengejar-ngejar orang kita dan membunuhi tanpa pandang bulu. Kanak-kanak, wanita, siapa saja yang berbau Bengkauw dibunuh. Terutama sekali calon ketua mereka yang bernama Ciu Kang Hin, kabarnya amat lihai dan amat kejam membunuhi orang-orang Bengkauw."

"Ah, hal itu harus dicegah!" kata Mei Li. "Dan apa yang dilakukan ketua Bengkauw menghadapi hal ini?"

Pemuda itu menarik napas panjang. "Ayahku kurang bijaksana. Dia menerimanya sebagai tantangan. Tanpa berusaha untuk mencairkan, dia mengambil sikap bermusuhan dan memerintahkan anak buah untuk balas membunuh. Ah, aku menyesal sekali."

Pemuda itu lalu menceritakan tentang keluarganya. Ayahnya adalah ketua Bengkauw bernama Sie Wan Cu, sakti dan ditakuti. Ayahnya mempunyai dua orang anak, dia dan adiknya, Sie Kwan Eng yang berusia sembilan belas tahun. Setelah terjadi pembantaian terhadap orang-orang Bengkauw, ayahnya lalu mengajarkan ilmu simpanan keluarganya, yaitu ilmu Matahari Merah kepadanya, dan ilmu Salju Putih kepada adiknya."

"Ah, kalau begitu engkau dan adikmu telah mewarisi dua ilmu yang paling hebat," kata Mei Li kagum.

"Sebetulnya, baik aku maupun adikku belum menguasai benar ilmu-ilmu itu. Aku bahkan baru menguasai sebanyak tiga perempat saja. Menurut aturan, selagi berlatih ilmu Matahari Merah, aku tidak boleh terganggu, tidak boleh mengeluarkan tenaga sin-kang. Akan tetapi ketika mendengar betapa orang-orang ini dikejar-kejar, aku tidak dapat menahan diri dan aku nekat keluar untuk membela mereka sehingga tadi aku menjadi keracunan oleh tenaga ku sendiri."

"Hemm, kalau begitu, besok pagi-pagi aku tidak akan ikut denganmu, aku harus melanjutkan perjalananku, karena kalian sudah tiba di luar perkampungan mu."

"Nona, kuharap dengan sangat, sudilah nona singgah sebentar di rumah kami. Adikku tentu senang sekali berkenalan denganmu."

"Aku tidak ingin bertemu dengan ayahmu."

"Aku tahu, nona. Aku sendiri akan merasa tidak enak kalau nona harus bertemu dengan ayahku. Dia berhenti tiba-tiba.

"Kenapa?"

Tentu saja Kwan Lee tidak mau mengatakan bahwa ayahnya memiliki kelemahan, yaitu tidak kuat melihat wanita cantik! "Ah, tidak apa-apa, nona. Hanya ayah mempunyai watak yang aneh dan kadang tidak memperdulikan peraturan, akan tetapi saat ini ayah tidak berada di rumah. Marilah, nona, aku ingin memperlihatkan kepadamu bahwa orang Bengkauw tidak semuanya jahat."

Karena didesak, dan sikap pemuda ini memang ramah sekali, Mei Li merasa tidak enak kalau menolak terus. "Baiklah, aku akan singgah untuk sehari dua hari," katanya dan pemuda ini memperlihatkan wajah gembira.

Rombongan pengungsi kemudian memasuki perkampungan Bengkauw itu dengan hati lega. Mei Li dan Kwan Lee duduk di atas kudanya, di pintu gerbang melihat rombongan itu berbondong-bondong masuk. Setelah mereka semua masuk, baru saja mereka hendak menjalankan kuda, tiba-tiba terdengar suara wanita,

"Lee-koko!"

Kwan Lee menoleh kepada seorang wanita yang baru muncul. Gadis itu sebaya dengannya, berpakaian serba merah muda , rambutnya dikuncir tunggal, tebal dan panjang, diikat pita kuning. Di punggungnya tergantung pedang dengan ronce merah. Wajah dara itu cantik jelita dengan mulut cemberut congkak dan pandang matanya keras. Itulah Sie Kwan Eng, adik Kwan Lee.

"Eng-moi, kau juga sudah keluar dari tempat latihan? Sudah berhasilkah engkau?"

"Belum, Lee-ko. Akupun baru menyelesaikan tiga perempatnya, akan tetapi yang tiga perempat itu sudah lewat tinggal latihan terakhir di guha inti salju! Kabarnya engkau keluar sebelum yang tigaperempat kau selesaikan, koko? Ayah tentu akan marah eh, siapakah ia ini, koko?" Kwan Eng memandang Mei Li dengan alis berkerut dan mata mencorong penuh selidik.

"Eng-moi, ini adalah Hui-kiam Sian-li Yang Mei Li, seorang pendekar wanita yang lihai sekali dan kalau tidak oleh pertolongannya, kami semua tentu sudah celaka di tangan orang-orang Hoat-kauw itu."

Kwan Eng cemberut. "Aku benci pendekar sombong!" katanya.

Mei Li tersenyum. "Akupun benci pendekar sombong!"

Kwan Eng tidak tersenyum akan tetapi memandang dengan mata tertarik. "Aku tidak mudah percaya akan kemampuan orang tanpa membuktikannya sendiri!"

"Aku juga begitu, kita sama!" kata Mei Li.

"Bagus, kalau begitu mari kita buktikan, apakah benar engkau ini seorang pendekar!"

Wajah Mei Li berubah merah karena marah. Sungguh terlalu sekali gadis ini, pikirnya. Apakah memangnya di dunia ini tidak ada wanita lain kecuali dirinya yang memiliki kepandaian? Melihat gadis itu sudah mencabut pedangnya diam-diam iapun melolos sepasang pedangnya dan bersiap-siap. "Boleh-boleh, aku memang bukan pendekar, akan tetapi pantang bagiku untuk menolak tantangan siapapun juga."

Pada saat itu Kwan Lee melangkah maju. "Eng-moi, engkau keterlaluan. Begitukah engkau menyambut seorang sahabat? Nona Mei Li adalah seorang sahabat baikku. Tentu saja boleh kalau engkau hendak mengujinya, akan tetapi menguji teman tidak sama dengan menempur musuh, karena itu biarlah kalian menggunakan ranting ini saja." Kwan Lee me ngambil sebuah ranting pohon, mematahkan menjadi dua dengan ukuran panjang seperti pedang dan memberikan kepada dua orang gadis itu.

Mei Li menerimanya dengan senyum, karena biarpun ia mendongkol melihat kekasaran Kwan Eng, tentu saja ia tidak ingin melukai adik dari Kwan Lee itu. Kwan Eng juga menerima ranting itu dari kakaknya dan berkata dengan nada suara mengejek.

"Koko, sebatang pedang tajam di tangan orang yang tidak becus bukan merupakan bahaya, akan tetapi sebatang ranting kayu dapat mematikan kalau dipergunakan orang yang pandai ilmu silat. Apakah kau lupa itu?"

"Tentu saja aku tahu, adikku yang manis. Akan tetapi, kalau menggunakan kayu ranting di tangan, setidaknya berkurang banyak keganasanmu dan engkau akan ingat bahwa engkau sedang main-main, bukan berkelahi sungguh-sungguh."

Kwan Eng tersenyum manis.."Baiklah, koko, dan jangan khawatir aku tidak akan melukai dengan parah!"

Diam-diam Mei Li gemas kepada dara ini. Begitu sombongnya dan begitu yakin akan kemenangannya. "Marilah adik yang baik, aku sudah siap untuk kau lukai."

Tempat itu sudah sepi, kecuali ada beberapa orang penjaga, yaitu anggauta Beng-kauw yang berjaga di pintu gerbang, tidak lebih dari sepuluh orang banyaknya. Mereka kini sudah mengepung tempat itu dan nampak gembira. Memang para anggauta Beng-kauw tidak begitu memakai peraturan terhadap putera puteri ketua mereka, dan mereka menonton seperti kalau kawan-kawan mereka bermain-main.

Kwan Eng juga agaknya tidak keberatan, bahkan ia memperlihatkan senyumnya karena ia lebih senang kalau ditonton kemenangannya. Tidak mengherankan kalau Sie.Kwan Eng yakin akan keluar sebagai pemenang. Karena untuk daerah itu, bahkan di dunia kangouw sekalipun, sukar ditemukan wanita yang akan mampu menandinginya, apa lagi kini ia telah mewarisi ilmu Salju Putih, walaupun belum sempurna benar.

Perlu diketahui bahwa aliran Bengkauw mempunyai ilmu silat yang aneh dan tidak mempunyai sumber tertentu. Hal ini adalah karena nenek moyangnya memang orang yang suka mengumpulkan ilmu silat tidak perduli dari golongan bersih ataupun golongan sesat, dan memetik bagian-bagian yang paling ampuh, lalu dikombihasikan. Sekarang orang sudah tidak tahu lagi dari mana sumber ilmu silat itu. Seperti ilmu Matahari Merah dan Salju Putih, tidak ada yang tahu asal usul ilmu itu, akan tetapi selain pimpinan tertinggi Beng-kauw tidak ada orang lain yang mengenalnya.

Begitu menyerang, Kwan Eng mengeluarkan suara melengking nyaring dan ranting di tangannya meluncur seperti kilat cepatnya. Begitu Mei Li mengelak, ranting itu meluncur balik dan sudah menyerang dengan lebih dahsyat. Melihat serangan yang dahsyat dan berbahaya itu, Mei Li juga cepat mengerahkan tenaga sin-kangnya dan digerakkan tongkatnya dengan ilmu tongkat Tai-hong-pang (Tongkat Angin Ribut). Terdengar suara bercuitan dan angin besar mendesir-desir dari tongkat yang dimainkan Mei Li.

"Bagus!" Berkali-kali Kwan Lee memuji ketika menyaksikan ilmu tongkat yang hebat dari Mei Li itu. Tentu saja ilmu tongkat itu hebat karena Mei Li menerima ilmu ini dari ayahnya yang mewarisinya dari Sin-tung Kai-ong (Raja Pengemis Tongkat Sakti), satu di antara ilmu tongkat terhebat di waktu itu.

Kwan Eng sendiri sampal menjadi bingung karena merasa seolah dirinya berada di tengah badai! Karena dia tahu bahwa kalau diteruskan pertandingan tongkat itu ia akan kalah, maka tiba-tiba ia mengeluarkan bentakan aneh, tubuhnya berjongkok lalu tangannya mendorong dari bawah ke arah lawan!

Mei Li maklum akan pukulan ampuh, apa lagi ketika ia merasakan hawa dingin menerpa dirinya. Ia dapat menduga bahwa tentu itulah yang dinamakan pukulan Salju Putih. Maka iapun mengelak dan sekali ia mengeluarkan bentakan nyaring dua sinar kilat menyambar dari kanan kiri, "menggunting" ke arah tangan yang berubah menjadi putih dan mengeluarkan hawa dingin itu.

"Ihh...! Kwan Eng berseru dan cepat menarik kembali lengannya dengan muka berubah pucat. Sepasang pedang itu tadi terbang bagaikan dua ekor ular dan kini sudah melayang kembali ke tangan Mei Li. Melihat ini Kwan Eng mencabut pedangnya dan menyerang dengan ganas.

Namun, sekali ini, sepasang pedang itu menyambar-nyambar beterbangan di sekeliling kepalanya, membuatnya bingung karena pedang-pedang itu seperti hidup dan gerakannya lincah bukan main. Sebentar saja Kwan Eng terdesak hebat dan sepasang pedang itu mengaung-ngaung seperti ada puluhan ekor nyamuk menyambari telinganya.

Melihat ini, sesaat lamanya Kwan Lee menonton penuh perhatian dan dia menjadi semakin kagum. Jelas nampak olehnya bahwa gadis jelita yang berjuluk Dewi Pedang Terbang itu benar-benar lihai bukan main, dan juga dia melihat betapa Mei Li mengalah terhadap adiknya, tidak benar-benar menggunakan pedang terbangnya untuk mendesak dan mencelakainya. Maka diapun meloncat ke depan dan berseru. "Nona Yang Mei Li, maafkan adikku!"

Dua orang gadis itu meloncat mundur dan wajah Kwan Eng nampak kemerahan, akan tetapi kini senyum membayang pada wajahnya yang cantik. "Sungguh mati! Nama julukanmu bukan kosong belaka, enci Mei Li. Tenaga sin-kangmu kuat, ilmu meringankan tubuh hebat, dan pedang terbangmu mengerikan!"

"Hemm, jangan memuji, adik Sie Kwan Eng. Engkau sendiri memiliki ilmu yang hebat. Kalau Salju Putih itu telah kau kuasai dengan baik, aku tentu menyerah kepadamu. Semuda ini sudah memiliki ilmu hebat, sungguh mengagumkan!"

"Hi-hik, enci yang tua renta. Berapa sih usiamu maka engkau menganggap aku masih seperti anak kecil?"

"Usiaku sudah delapan belas, hampir sembilan belas tahun!"

"Wah, kalau begitu jangan menyebut aku adik, karena aku malah lebih tua beberapa bulan darimu. Aku sudah sembilanbelas tahun lebih. Engkau sungguh hebat, Mei Li, dan aku senang sekali berkenalan denganmu."

"Ih, engkau terlampau merendah, Kwan Eng. Akulah yang merasa beruntung sekali dapat berkenalan dengan engkau dan dengan kakakmu."

"Eh, Eng-moi, engkau ini bagaimana sih? Ada tamu agung datang malah diajak bertanding silat dan sekarang diajak bicara di sini dan sama sekali tidak dipersilakan masuk. Mari, nona Mel Li, mari kita masuk dan bicara di dalam!"

"Eh, iya! Mari, Mei Li!" Kini tanpa sungkan lagi Kwan Eng melingkarkan lengannya di pinggang tamunya dan mengajak Mei Li masuk ke perkampungan itu.

Perkampungan Bengkauw itu cukup besar, terdiri dari seratus keluarga lebih. Rumah-rumahnya dari kayu yang cukup kokoh dan di tengah-tengah berdiri bangunan tempat tinggal Sie Wan Cu atau Sie Pangcu, ketua Bengkauw. Nampak pula beberapa orang yang membawa-bawa senjata dan ada pula yang pandang matanya mencorong jahat ditujukan kepa da Mei Li. Ada yang tertawa-tawa kurang ajar akan tetapi orang itu segera mengkeret ketakutan ketika Kwan Eng melotot kepadanya.

Ternyata dalam rumah keluarga Sie itu cukup lengkap prabotannya dan rumah itupun besar sekali. Hal ini tidak mengherankan karena sang ketua memiliki banyak isteri. Akan tetapi karena yang membawa tamu adalah Kwan Lee dan Kwan Eng, maka yang menemui mereka hanya isteri pertama, ibu kedua orang anak itu, seorang wanita berusia empat puluh lima tahun yang masih nampak cantik.

"Wah, kau cantik sekali, nona Yang," kata ibu kedua orang anak itu. "Aduh, kami akan senang sekali kalau engkau dapat menjadi keluarga kami. Benar tidak, Kwan Eng?"

"Benar sekali, ibu! Wah, pikiran yang bagus sekali itu, bukankah begitu Lee-koko? Kau tentu setuju, bukan?"

Menghadapi sikap yang demikian terbuka dan terus terang tanpa tedeng aling-aling, kedua pipi Mei Li menjadi merah. Bahkan Kwan Lee juga tersipu dan dia membentak, "Eng-moi, apa-apaan kau ini? Jangan kurang ajar terhadap tamu!"

"Apa? Jangan munafik, koko. Katakan, apakah engkau tidak suka kalau menjadi suami Mei Li?"

"Setan kau! Tidak semudah kau menggoyang lidahmu!" bentak kakaknya.

Mei Li tertawa. Dara ini mulai senang dengan sikap keluarga ini. Tidak ada pura-pura walaupun kelihatan kasar. "Kwan Eng, kakakmu benar. Urusan perjodohan tidak dapat diatur sedemikian mudahnya. Dan aku sedikitpun belum mempunyai pikiran untuk urusan itu. Karena itu harap kau jangan sebut-sebut lagi urusan perjodohan."

"Sayang sekali, nona. Kalau sudah tiba waktunya engkau memikirkan soal perjodohan, jangan lupa kepada anak ku Kwan Lee, nona."

"Sudahlah, ibu. Aku khawatir kalian akan menyebalkan hati nona Mei Li. Mari kita bicara urusan lain. Di mana ayah, ibu? Apakah ayah belum pulang?"

Wanita itu mengerutkan alisnya dan wajahnya yang cantik menjadi muram. "Aku mengkhawatirkan ayahmu. Dia sudah terlalu marah dan kini dia menyerang Pek-houw-pang dan Ang-kin-kai-pang. Aku khawatir sekali kita dibawa masuk ke jurang permusuhan yang lebih dalam dan payah."

"Ayah benar, ibu!" kata Kwan Eng. "Sayang aku harus melatih Salju Putih sehingga tidak dapat membantu ayah. Pek-houw-pang (Perkumpulan Harimau Putih) dan Ang-kin Kai-pang (Perkumpulan pengemis Sabuk Merah) yang lebih dulu mencari gara-gara, ikut pula memusuhi kami dan membunuh beberapa orang anggauta kami."

"Eng-moi!" bentak kakaknya. "Semua yang terjadi pada kita adalah kesalah-pahaman, fitnah keji yang harus diselesaikan dengan penjelasan dan musyawarah. Kalau kekejaman mereka dibalas pula dengan kekejaman, permusuhan akan menjadi-jadi. Mengapa ayah tidak menyadari hal ini dan tidak mau bertindak sabar?"

"Sabar? Tolol, orang kita habis terbasmi kalau kita sabar!" Tiba-tiba terdengar jawaban yang lantang dan di ruangan itu nampak bayangan berkelebat.

"Ayah!" Seru Kwan Lee dan Kwan Eng hampir berbareng.

Mei Li mengangkat muka memandang dan gadis ini melihat seorang laki-laki sudah berdiri di situ. Seorang laki-laki sejati, seorang jantan kalau melihat wajah dan perawakannya. Tubuhnya tinggi dan kokoh bagaikan batu karang, tidak gendut dengan pinggang ramping dan dada bidang walaupun usianya sudah enampuluh tahun namun dia seperti orang berusia empatpuluh tahun saja. Rambutnya sudah bercampur uban, akan tetapi malah menambah kedewasaan dan kejantanannya.

Belum ada keriput di wajahnya walaupun kulit muka yang terbakar matahari itu nampak dihias guratan guratan perasaan. Matanya lebar mencorong bagaikan mata naga, bentuk wajahnya segi empat dan keras, gerak-gerik dan langkahnya seperti seekor harimau yang bermalas-malasan. Pria seperti ini memiliki daya tarik yang kuat dan besar bagi kaum wanita.

Mei Li merasa seperti kalau ia memandang seekor kuda jantan yang kuat dan bagus. Pantas saja putera dan puterinya demikian gagah dan cantik. Kiranya ketua Beng-kauw itu seorang yang tampan dan ganteng sedangkan isterinya demikian cantiknya.

"Aku baru saja memberi hajaran kepada Pek-houw-pang dan Ang-kin Kai-pang, membunuh ketuanya karena mereka kukuh menganggap Beng-kauw telah membunuhi anggauta mereka. Ha-ha-ha, baru mereka tahu bahwa Beng-kauw tidak boleh dipandang ringan dan diperlakukan sembarangan saja... ahhh..." dan tiba-tiba orang itu terbatuk-batuk dan menekan dadanya. Dia muntahkan darah segar!

"Ayah!" Kwan Lee dan Kwan Eng menjerit dan isteri ketua itu cemas...

....Maaf ada halaman yang hilang...

...minuman arak, buah-buahan, pendeknya mereka itu berlumba untuk melayani sehingga Mei Li yang menyaksikan merasa sungkan sendiri, mulailah Kwan Lee bercerita tentang pertemuannya dengan Mei Li.

Setelah puteranya selesai becerita, ketua itu memandang kepada MeinLi dengan penuh perhatian. "Nona Yang, engkau beruntung sekali, masih begini muda, memiliki kecantikan yang sempurna dan menguasai ilmu silat yang tinggi pula. Pedangmu yang memakai tali dan dapat terbang itu mengingatkan aku akan seorang sakti yang pernah menggegerkan dunia persilatan, yaitu Hek-Liong Kwan Bhok Cu!"

"Beliau adalah Kakek guruku, pangcu!"

“Wah, wah, wah! Pantas saja kalau begitu. Ha-ha, Kwan Lee, Kwan Eng kalian beruntung sekali mempunyai sahabat seperti ini, dan akan lebih baik lagi kalau dapat menjadi isterimu, Kwan Lee. Bagi kita sama saja menjadi isteriku atau isterimu, pokoknya Bengkauw dapat menariknya menjadi keluarga."

Mei Li sudah mulai terbiasa oleh ucapan yang blak-blakan itu sehingga ia tidak begitu terkejut lagi. Orang-orang ini memang tidak mau terikat oleh segala sopan santun yang hanya menjadi kedok tipis dari isi hati orang....
Selanjutnya,

Kisah Si Pedang Terbang Jilid 09

Kisah Si Pedang Terbang

Karya : Kho Ping Hoo
Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo
Jilid 09
KANG HIN mengetuk daun pintu sebuah rumah dan ketika seorang kakek membukakan pintu, dengan sikap halus dan sopan dia bertanya di mana rumah orang yang bernama Tan Seng.

"Tan Seng? Tan Seng si pemburu binatang hutan itu? Itu di ujung jalan ini, yang di depan rumahnya digantungi bermacam kulit binatang hutan."

Dua orang kakak beradik itu mengucapkan terima kasih dan menuju ke jurusan yang ditunjuk. Benar saja, di ujung jalan itu terdapat tempat tinggal yang dimaksudkan kakek tadi . Mudah dikenal memang, karena ada beberapa lembar kulit binatang dijemur di luar. Mereka memasuki pekarangan dan mengetuk pintu rumah.

Seorang laki-laki berusia sekitar empatpuluh tahun yang tubuhnya tinggi besar bermuka hitam membukakan pintu dengan mata masih mengantuk. "Malam ini sudah tidak ada persediaan dendeng lagi, kalau kulit kijang masih ada'beberapa lembar" Dia menghentikan kata-katanya ketika mendapat kenyataan bahwa dua orang pemuda itu sama sekali tidak dikenalnya, dan jelas bukan penduduk dusun itu.

"Apakah engkau yang bernama Tan Seng?" tanya Seng Gun.

"Benar, aku bernama Tan Seng. Kalian siapa?"

"Apakah ada orang lain bernama Tan Seng di dusun ini?" tanya Kang Hin karena orang muka hitam yang kasar ini tak mungkin menjadi suami wanita cantik tadi.

"Ehh? Tidak ada lagi. Tan Seng hanya satu, ya aku ini!"

"Tan Seng, apakah engkau mempunyai isteri yang namanya Bi Hwa?" tanya Kang Hin yang terpaksa menghentikan pertanyaannya karena ucapannya terpotong oleh suara tawa Tan Seng.

"Ha-ha-ha-ha! Kalau saja aku punya seorang Bi Hwa, atau Bi Eng atau Bi Nio, tentu malam ini aku tidak tidur sendiri kedinginan. Eh, sobat, kalau kau hendak main gila dan menggodaku, lebih baik enyah dari sini sebelum kepalanku yang keras membuat kalian babak belur!"

Setelah berkata begitu, dia melangkah maju dan mengacungkan kepalan tangannya depan hidung Kang Hin. Melihat ini Seng Gun menjadi marah sekali. Dia menangkap lengan itu, memuntirnya sehingga Tan Seng mengaduh dan tubuhnya ikut terpuntir. Ketika Seng Gun menyapu kakinya, diapun tidak dapat bertahan lagi dan jatuh. Seng Gun menginjak dadanya dan berkata,

"Jangan berlagak. Hayo jawab yang benar, kau mempunyai isteri bernama Bi Hwa atau tidak. Kalau berbohong, kuinjak pecah dadamu!"

Tan Seng terkejut sekali. Lengannya bagaikan tidak bertenaga dan dadanya seperti tertimpa benda berat sekali. Tahulah dia bahwa pemuda itu tidak boleh dibuat main-main. "Aduh, ampunkan taihiap... aku tidak mempunyai isteri... aku orang miskin ini bagaimana mampu mempunyai isteri! Ampunkan aku..."

Seng Gun berkata kepada suhengnya, "Sebaiknya suheng geledah isi rumahnya."

Kang Hin mengangguk dan cepat dia melakukan pemeriksaan. Tidak ada sedikitpun petunjuk bahwa rumah itu di diami seorang wanita maka dia kembali lagi dan menggeleng kepalanya. "Engkau tidak berbohong?" Sekali lagi Seng Gun menghardik.

"Aku berani sumpah, taihiap."

Seng Gun melepaskan injakannya dan sekali berkelebat, dua orang pemuda itu lenyap dari depan Tan Seng, yang juga segera menutup pintunya dengan tubuh gemetar. Dalam perjalanan pulang., Seng Gun mengomel "Nah, bagaimana sekarang, suheng? Aku sudah menduga keras bahwa wanita itu orang Beng-kauw akan tetapi engkau tidak percaya."

Kang Hin menghela napas panjang. "Mungkin engkau benar sute. Akan tetapi, ia masih berada di sana. Kita akan dapat memaksanya mengaku mengapa ia menipu kita dan apakah benar ia anggauta Beng-kauw."

"Aku yakin akan hal itu, suheng. Aku akan memenggal lehernya, sungguh menggemaskan perempuan itu telah membohongi kita."

"Sabarlah, sute."

"Itu bukan sabar namanya, suheng, melainkan kelemahan. Kalau bukan" karena kesabaranmu itu, tentu kita tidak tertipu."

Akhirnya mereka tiba di perkampungan Nam-kiang-pang, akan tetapi suatu kejutan besar menyambut mereka. Tawanan itu telah lolos, empat orang penjaganya tewas dan tempat tahanan itu dibakar sampai habis! Suasana menjadi geger dan dua orang pemuda ini disambut oleh Tio-pangcu yang berdiri dengan alis berkerut dan bertolak pinggang.

Seng Gun melihat bahwa gurunya marah sekali. Diapun mengenal betul watak Ciu Kang Hin yang gagah dan bertanggung jawab. Maka dengan cepat dia lalu lari menubruk kaki gurunya dan berkata, "Suhu, teecu mengaku bersalah, harap hukum teecu." dan diapun menangis di depan kaki gurunya.

Melihat sikap sutenya itu, Kang Hin terkejut. Jelas dia yang bersalah, kenapa sutenya mengaku kesalahannya, Diapun menjatuhkan diri berlutut. "Teecu yang bersalah, suhu."

"Huh!” Tio-pangcu membalikkan tubuhnya. Dia merasa marah dan kecewa sekali mendengar bahwa yang membawa tawanan itu adalah dua.orang murid terkasih ini, dan ternyata tawanan itu dapat membebaskan diri, membunuh empat orang penjaga dan membakar tempat tahanan.

"Apa artinya ini? Hayo ceritakan yang sebenarnya!" dia membentak lalu duduk di atas kursi.

"Teecu mengaku bersalah, suhu. Teecu yang menangkap wanita itu karena menyangka ia orang Bengkauw, akan tetapi ia mengaku orang Kam-cui isteri seorang bernama Tan Seng. Teecu. meninggalkan ia di. sini dalam tahanan untuk pergi menyelidiki ke dusun Kam-cui. Ternyata ia berbohong dan ketika teecu kembali ke sini, sudah terlambat."

"Hemm, benarkah cerita Seng Gun itu, Kang Hin?" tanya Tio-pangcu kepada Kang Hin dengan suara masih mengandung kemarahan.

"Tidak benar, suhu!" kata Kang Hin dengan suara tegas sehingga mengejutkan semua orang. "Sama sekali bukan sute yang bersalah dalam hal ini, melainkan teecu."

Tio Hui Po mengerutkan alisnya. "Apa artinya semua ini? Hayo ceritakan yang betul!"

"Malam tadi sute memberitahu kepada teecu bahwa dia mencurigai seorang wanita di perahu dan mengajak teecu untuk memeriksa dan menyelidikinya. Sampai di perahu, wanita berkedok itu hendak melarikan diri, demikian tukang perahunya. Sute membunuh tukang perahu itu, dan berhasil merobohkan wanita itu. Sute hendak langsung membunuhnya, akan tetapi teecu berkeras melarangnya dengan alasan bahwa belum tentu ia itu orang Bengkauw. Kemudian, wanita itu mengaku bernama Bi Hwa isteri Tan Seng dari dusun Kam-cui. Teecu yang mengusulkan kepada sute untuk menahan wanita ini, dan kami pergi menyelidiki kebenaran keterangannya. Ternyata, wanita itu berbohong, dan cepat kami kembali ke sini dan ternyata wanita itu sudah lolos."

"Bodoh!" Tio-pangcu menggebrak tangan kursinya. "Apakah ia tidak dibuat tidak berdaya dulu sehingga mampu membunuh para penjaga?"

Seng Gun segera berkata. "Suheng telah menotoknya, suhu. Teecu melihat sendiri. Dan teecu sudah menggunakan sabuk untuk mengikat kaki tangannya. Suheng bermaksud baik, suhu harap jangan persalahkan suheng."

"Hemm, engkau sungguh teledor, Kang Hin. Ingat, engkau seorang calon ketua, tidak pantas melakukan keteledoran yang menunjukkan kelemahanmu Engkau patut dihukum!"

"Teecu menerima salah suhu dan teecu siap untuk menerima hukuman," kata Kang Hin pasrah.

"Kau memang pantas dihukum!" bentak Tio-pangcu.

Pada saat itu Seng Gun menjatuhkan diri lagi mencium lantai dan berkata dengan suara memohon. "Suhu, biarlah teecu saja yang menjalani hukuman. Suheng adalah calon ketua, tidak sepantasnya kalau suheng yang menjalani hukuman.

"Sute, jangan begitu!"

Tio-pangcu menghela napas pan-jang. "Aahh, ternyata Seng Gun lebih memiliki kesetiaan dari pada engkau. Sepatutnya engkau mencontoh sutemu ini."

"Suhu, maafkanlah suheng. Teecu yakin bahwa suheng tidak sengaja bersikap lunak kalau dia mengetahui bahwa wanita itu orang Bengkauw, teecu percaya bahwa suheng mau bersumpah untuk setia kepada Nam-kiang-pang dan untuk membasmi Bengkauw."

"Tio-pangcu mengangguk-angguk. "Pikiran yang bagus. Nah, aku tidak akan menghukum kalian, akan tetapi kalian harus mengulangi sumpah setia kepada Nam-kiang-pang dan membasmi Beng-kauw!"

Dua orang muda itu lalu digiring masuk ke dalam ruangan sembahyang dan di depan meja sembahayng Seng Gun mengucapkan sumpah dengan lantang dan di ikuti oleh suhengnya.

"Demi arwah para sesepuh Nam-kiang-pang, disaksikan bumi dan langit, saya bersumpah akan membela Nam-kiang-pang dengan setia dan dengan taruhan nyawa, dan akan membasmi orang-orang Beng-kauw!"

Akan tetapi Ciu Kang Hin mengakhiri sumpah dengan kata-kata "orang-orang Beng-kauw yang jahat", menambahkan kata-kata."yang jahat" di belakang nya. Dengan demikian maka dia hanya akan membasmi orang-orang Bengkauw yang jahat, bukan sembarang orang Bengkauw!

Semenjak saat itu diam-diam Seng Gun menyebar cerita yang condong menimbulkan kecurigaan kepada Kang Hin. Dia menerangkan kepada para murid betapa Kang Hin nampaknya menaruh kasihan kepada wanita Bengkauw itu. Bahwa Kang Hin dengan keras melarang dia membunuhnya, dan agaknya Kang Hin tergila-gila oleh kecantikan wanita tawanan itu. Berita buruk tentang seseorang lebih dipercaya oleh umum maka dengan sendirinya orang-orang mulai berprasangka buruk terhadap Kang Hin.

Dan makin bersemangatlah Seng Gun memimpin anak buahnya untuk melakukan pengejaran dan pembantaian kepada anggauta-anggauta Beng-kauw sehingga gegerlah perkumpulan itu. Memang sejak dahulu Beng-kauw dicurigai dan dimusuhi orang-orang kangouw, akan tetapi baru sekaranglah orang-orang Nam-kiang pang secara berterang melakukan perburuan dan membunuhi orang-orang Bengkauw tanpa sebab lagi.

Dan setiap kali melakukan pembunuhan Seng Gun selalu menonjolkan nama Ciu Kang Hin sebagai calon ketua Nam-kiang-pang dan sebagai pemimpin regu pembunuh, sehingga sebentar saja di kalangan orang-orang Beng-kauw, bahkan di dunia kangouw nama Ciu Kang Hin dianggap sebagai pembunuh dan pembasmi Bengkauw nomor satu.

Padahal Ciu Kang Hin sendiri jarang membunuh orang Bengkauw. Kalau dia sampai membunuh, maka yang dibunuhnya itu, orang Bengkauw atau bukan, pasti orang yang telah melakukan kejahatan besar. Tukang memperkosa wanita atau tukang membunuh orang tak bersalah.

* * * *

Yang Mei Li menjalankan kudanya perlahan sambil menikmati pemandangan alam di pegunungan itu Bukit seribu guha amat terkenal karena keindahannya. Selain terdapat banyak sekali guha ciptaan alam di situ, juga terdapat banyak batu besar yang berwarna kekuningan dan dari jauh nampak seperti emas.

Maka Bukit Seribu Guha itu juga dikenal dengan Bukit Emas. Akan tetapi kekagumannya itu segera sirna terganti kemuraman wajahnya ketika dari jauh dia melihat tubuh orang malang melintang di sepanjang jalan.

"Ah, tidak lagi....!" ia berseru lirih dan menghentikan kudanya. Kuda itu dapat menjadi panik kalau terlalu dekat dengan mayat-mayat itu. Dia melepaskan kendali kuda itu dan berloncatan mendekat tempat itu. Ada sebelas orang yang dibantai di tempat itu. Yang membuat hatinya sedih dan marah adalah bahwa di antara mayat-mayat itu terdapat tiga orang wanita muda dan dua orang anak laki-laki yang usianya sekitar lima enam tahun.

Dalam perjalanannya ia sudah mendengar akan pembantaian dan serangan yang dilakukan oleh para pendekar terhadap orang-orang Beng-kauw. Ia memang sudah mendengar bahwa Beng-kauw merupakan perkumpulan sesat yang mempunyai banyak orang jahat, akan tetapi kenyataan bahwa orang-orang bengkauw yang dibunuh terdapat pula wanita dan anak-anak, hatinya mulai penasaran dan curiga.

Mungkin saja Beng-kauw mempunyai anggauta yang jahat, akan tetapi apakah anak-anak dan isteri orang Beng-kauw juga jahat? Apakah kehadiran anak-anak sebagai keluarga Beng-kauw itu membuat mereka jahat pula, seperti orang yang ketularan penyakit?

Sudah sejak tiga hari yang lalu ia sering menemukan adanya mayat berserakan di sepanjang perjalanan. Ketika ditanyakan hal itu kepada penduduk dusun di sekitar tempat kejadian, ia mendapat keterangan bahwa yang dibunuh itu adalah orang-orang jahat dari Bengkauw, dan yang membunuhnya adalah para pendekar dari berbagai perkumpulan silat, akan tetapi yang terbesar adalah dari perkumpulan Nam-kiang-pang.

Sering ia mendengar disebutnya nama pendekar Ciu Kang Hin, pendekar calon ketua Nam-kiang-pang yang kabarnya amat lihai dengan goloknya, tampan dan gagah menjadi idaman para gadis! Akan tetapi melihat cara orang-orang Beng-kauw dibunuh, nama Ciu Kang Hin itu tidak menimbulkan kagum dihatinya, bahkan rasa penasaran dan ingin menyelidiki pembantaian itu.

Sejak tiga hari yang lalu, kalau bertemu mayat-mayat yang terbunuh di sepanjang jalan, ia menggunakan uangnya untuk menyuruh orang-orang dusun menguburkan mayat-mayat itu. Orang-orang dusun tadinya merasa takut, akan tetapi Mei Li dengan gagah mengatakan bahwa ia yang bertanggungjawab dan pula kalau mayat-mayat itu tidak dikubur, mereka sendiri yang akan merugi, mungkin mayat-mayat itu akan mendatangkan penyakit. Selain itu, Mei Li juga memberi uang untuk membeli peti mati.

Kini, ada lagi belasan buah mayat! Mei Li lalu menghampiri kudanya, menuruni bukit menuju ke perkampungan yang sudah nampak dari situ dan seperti yang sudah-sudah, ia membujuk penduduk untuk membeli peti mati dan menguburkan mayat-mayat itu. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan sambil mengikuti jejak banyak kaki manusia yang menuju ke timur.

Menjelang senja kudanya tiba dikaki bukit dan dari jauh dia sudah melihat ribut-ribut orang banyak sedang berkelahi. Juga terdengar jerit tangis para wanita dan kanak-kanak. Dapat ia menduga bahwa jejak kaki itu adalah jejak kaki rombongan orang yang agaknya tergesa-gesa sedang melarikan diri, karena jejaknya bercampur dengan jejak kaki anak-anak dan wanita.

Melihat di depan terjadi pertempuran, cepat ia membalapkan kudanya dan ia melihat tigapuluh lebih orang yang terdiri dari pria, wanita dan anak-anak, yang berkelompok, dilindungi belasan orang laki-laki sedang dikepung dan diserang oleh belasan orang yang menunggang kuda!

Biarpun mereka yang dilindungi sekelompok wanita dan anak-anak itu juga bukan orang lemah dan mereka melawan mati-matian menggunakan pedang dan golok mereka, namun Mei Li dapat melihat dengan jelas bahwa mereka bukanlah lawan yang seimbang dari para penyerang itu. Kini para penyerang sudah berlompatan turun dari atas kuda mereka dan gerakan mereka amatlah tangkasnya. Dalam waktu beberapa belas jurus saja sudah ada tiga orang yang membela rombongan itu roboh mandi darah.

Mei Li mempercepat larinya seperti terbang Ia sudah melompat turun dari punggung kudanya dan mempergunakan ilmu berlari cepat menuju ke tempat itu sehingga kudanya tertinggal di belakang. Akan tetapi terjadi sesuatu yang membuat lega hatinya. Entah dari mana datangnya, seorang laki-laki muda telah terjun ke dalam pertempuran membela rombongan itu.

Sepak terjang pemuda ini gagah luar biasa dua orang pengeroyok yang memegang golok terjungkal ketika menyambutnya dengan bacokan golok. Seorang yang tinggi kurus dari pihak pengeroyok menjadi, marah dan mendorong dengan tombak cagaknya. Akan te tapi pemuda itu mendorong dengan kedua tangannya dan si tombak cagak itu terdorong ke belakang sambil berteriak kesakitan.

"Matahari merah teriaknya!” dan semua orang pengeroyok terkejut mendengar seruan ini.

Juga Mei Li yang sudah tiba di situ menjadi kagum dan terkejut. Tentu saja dia sudah mendengar akan ilmu Matahari Merah, suatu dari ilmu pasangan Matahari Merah dan Salju Putih, ilmu yang dianggap sukar dicari bandingnya di saat itu. Dan ilmu ini merupakan ilmu rahasia yang telah dikuasai oleh pimpinan tertinggi Bengkauw!

Kalau begitu, pemuda itu tentu orang Bengkauw, dan bukan anggauta biasa pula. Akan tetapi dia tidak perduli yang diserang untuk dibantai adalah wanita dan anak-anak pula, tidak perduli itu wanita atau anak-anak Beng kauw atau bukan, ia harus membelanya.

Juga ia melihat bahwa pemuda yang pandai menggunakan ilmu Matahari Merah tadi nampak tidak tegak pasangan kuda-kudanya, agak terhuyung tanda bahwa dia terluka. Hal ini juga dapat dilihat musuh-musuhnya, maka seorang di antara musuh-musuhnya berseru,

"Serang terus, dia sudah terluka!"

Mei Li sudah tiba di situ. Tanpa membuang waktu lagi ia sudah melemparkan sepasang pedang terbangnya.

"Trang... trangggg!"

Dua batang golok terpental dan terlempar. Semua orang terkejut karena yang nampak hanya kilatan pedang sedangkan orangnya tidak nampak. Setelah sepasang pedang itu terbang kembali kepada pemiliknya, barulah mereka menyadari bahwa hui-kiam (pedang terbang) itu gagangnya memakai tali sehingga bisa terbang kembali kepada pemiliknya.

"Tahan dulu!” seorang pengeooyok berteriak dan ternyata ia seorang wanita. Wanita berusia kurang lebih duapuluh delapan tahun yang cantik jelita dan genit, memegang pedang ronce merah, rambutnya panjang terurai, dan pakaiannya mewah. "Siapa engkau, nona? Kami lihat engkau bukan orang Bengkauw!"

Mei Li tersenyum dan begitu ia tersenyum, kecantikan wanita di depannya itu bagaikan bulan kesiangan, memudar oleh cahaya matahari. "Dan engkau siapa? Aku lihat engkaupun pasti bukan orang Beng-kauw!" tanyanya dan cara ia memandang orang itu seperti seorang dewasa memandang anak kecil. Memang Mei Li belum tahu siapa wanita itu maka ia berani memandang rendah.

Wanita itu menjadi berang. Mukanya merah sekali. la adalah seorang termuda dari Bu-tek Ngo Sin-liong (Lima Naga Sakti Tanpa Tanding) dan gadis ingusan ini berani memandang rendah ke padanya? Kini pertempuran telah berhenti oleh seruan Bi-sin-liong Kwa Lian. Empat orang dari golongan yang diserang telah roboh dan dua orang penyerang yang tadi diterjang pemuda perkasa itu pun roboh. Pemuda itu sendiri berdiri memandang, mukanya agak pucat namun sikapnya penuh kemarahan dan keberanian.

Bi-sin-liong menudingkan pedangnya ke muka Mei Li dan membentak dengan suara lantang. "Bocah ingusan bosan hidup! Ketahuilah bahwa yang kau hadapi ini adalah Bin-sin-liong Kwa Lian, seorang di antara Bu-tek Ngo Sin-liong, tokoh Hoat-kauw! Nah, siapakah engkau bocah ingusan berani memandang rendah kepadaku! Gurumu agaknya kurang memberi pelajaran kepadamu!"

Pemuda Bengkauw itu sendiri agaknya terkejut mendengar disebutnya nama Bu-tek Ngo Sin-liong itu. Orang tinggi kurus berusia empat puluh lima tahun yang mukanya pucat, yang memegang sebatang tombak cagak dan yang tadi terkejut melihat gerakan pemuda itu dan yang mengenal ilmu Matahari Merah, menyambung,

"Dan aku adalah Tiat-sin-liong Lai Cin, lebih baik kalian mengenalku sebelum mati."

Kalau semua orang terkejut dan gentar mendengar nama dua orang tokoh Hoat-kauw ini, Mei Li sendiri nampak biasa saja, tersenyum mengejek. Hal ini bukan karena dara ini sombong, melainkan karena ia memang tidak pernan mengenal nama itu.

"Wah, kiranya nenek Kwa Lian dan kakek Lai Cin yang berlagak di sini. Kalian sudah tua tidak tahu diri! Kalian mau tahu siapa aku? Bukalah telinga mu baik-baik, dan jewer sampai lebar, bersiaplah agar jangan jatuh karena terkejut. Aku adalah Hui-kiam Sian-li (Dewi Pedang Terbang)!" Lalu disambungnya dengan lantang, "Awas, pedangku memenggal lehermu!"

Ucapan itu ditutup dengan gerakan kedua tangannya dan sepasang pedangnya menyambar bagaikan dua ekor burung garuda ke arah leher Bi-sin-liong Kwa Lian dan Tiat-sin-liong Lai Cin! Dua orang ini segera menangkis dengan pedang dan tombak mereka, akan tetapi pada saat itu, pemuda yang pandai ilmu Matahari Merah sudah menyerang lagi dengan pukulannya yang ampuh ke arah Ti-at-sin-liong (Naga Sakti Besi).

Tentu saja tokoh Hoat-kauw ini yang sudah mengenal pukulan sakti Matahari Merah, cepat mengelak karena dia tidak berani menangkis secara langsung. Sementara itu Bi-sin-liong juga mengeluarkan teriakan kaget ketika pedangnya yang menangkis pedang terbang itu tergetar hebat. Tiat-sin-liong juga tidak berani memandang rendah pedang terbang itu, maka dia menghindar dengan loncatan jauh ke belakang.

Sepasang pedang terbang itu ketika tidak dapat mengenai sasaran, bagaikan dua ekor ular naga melayang-layang "mencari mangsa, akhirnya merobohkan dua orang pengeroyok yang lancang berani menangkisnya, sedangkan pemuda itu pun merobohkan seorang lawan lagi dengan dorongan tangannya.

Melihat kehebatan dua orang muda itu, Bi-sin-liong Kwa Lian lalu mengeluarkan teriakan, mengajak suhengnya untuk melarikan diri. Tiat-sin-liong memberi aba-aba kepada anak buahnya dan mereka lalu berloncatan pergi sambil membawa tubuh teman mereka yang terluka atau tewas.

Yang Mei Li tidak mengejar karena ia melihat pemuda itu terhuyung dan jatuh berlutut sambil terengah-engah. Mereka yang tadi melindungi kelompok itu, kini menjatuhkan diri berlutut di depan Mei Li dan memberi homat. "Kami menghaturkan terima kasih atas pertolongan lihiap."

"Paman," tanya Yang Mei Li kepada seorang di antara mereka. "Apa yang terjadi? Kenapa kalian diserang mereka? Apakah benar kalian orang-orang Beng-kauw?"

"Kami adalah penghuni dusun Sin-yang yang termasuk perkampungan wilayah Bengkauw. Memang banyak pemuda kita yang menjadi anggauta Bengkauw, akan tetapi kami tidak tahu menahu tentang Beng-kauw. Selama beberapa bulan ini, Bengkauw dikejar-kejar dan dibunuhi dan kamipun ikut pula dikejar-kejar. Sudah banyak diantara kami yang terbunuh. Kami sedang hendak pergi mengungsi ketika dikejar oleh rombongan orang Hoat-kauw tadi. Untung lihiap keburu datang menolong."

"Dan siapa pemuda itu?" tanya Mei Li menunjuk pemuda yang masih berlutut dan mengumpulkan tenaga itu.

Pemuda itu membuka mata, bangkit berdiri dan memberi hormat kepada Mei Li. "Nona, namaku Sie Kwan Lee, dan aku.... aku… Pemuda itu terkulai dan jatuh pingsan.

Mei Li terkejut dan memeriksa nadi tangan pemuda itu. Detik jantungnya tidak tetap dan tubuhnya terasa panas sekali. Jelas bahwa pemuda itu menderita keracunan. "Kalian sekarang mau ke mana? Dan siapakah pemuda ini?" ia bertanya kepada orang tadi.

"Ketahuilah, lihiap! Dia ini adalah Sie Kongcu (tuan muda Sie), putera dari ketua Beng-kauw yang selalu menolong kami."

"Hemm, dia sakit berat, keracunan," kata Mei Li.

"Kami akan melanjutkan perjalanan kami lari mengungsi, lihiap, dan kami harus membawa Sie Kongcu. Dia adalah tuan penolong kami."

Melihat betapa pemuda itu sakit dan kini rombongan itu tidak ada lagi yang menjaga, maka Mei Li segera mengambil keputusan. "Biarlah, aku akan menemani kalian sebelum pemuda itu sembuh dan dapat melindungi kalian."

"Ah, terima kasih, lihiap. Terima kasih." Orang itu berlutut dan diikuti oleh semua orang sehingga Mei Li tersipu. Belum pernah ia dinormati orang seperti itu.

"Sudahlah, kalian membuat aku merasa sungkan saja. Sudah sewajarnya kalau orang saling menolong."

Rombongan itu segera bergerak lagi melanjutkan perjalanan mereka mengungsi, diikuti oleh Mei Li yang menunggang kudanya perlahan-lahan. Orang yang tadi mewakili kawan-kawannya bicara, berjalan didekat kudanya.

"Sungguh, nona telah menanam budi yang luar biasa besarnya kepada kami," katanya.

"Sudahlah, jangan bicara tentang budi. Akupun sedang merantau, maka melakukan perjalan bersama kalian Ini tidak menggangguku sama sekali."

"Akan tetapi, lihiap di antara seratus orang pendekar, belum tentu ada satu yang sudi menolong kami."

"Ehh? Kalau dia tidak mau menolong kalian yang terancam bahaya, maka ia tidak pantas disebut pendekar."

"Ah, agaknya engkau belum mengetahui, lihiap. Semua pendekar di dunia ini memusuhi kami, semua orang menganggap bahwa Bengkauw merupakan orang-orang jahat yang harus dibasmi. Memang kami tidak dapat menutup kenyataan bahwa orang Bengkauw hidup penuh kekerasan, suka berkelahi, dan banyak pula di antara mereka yang amat jahat. Akan tetapi tidak semua, seperti kami yang hidup mengandalkan kerja keras, dan tidak mempunyai apa-apa untuk diandalkan berbuat jahat. Anak-anak dan isteri kami pun bukan orang jahat, kenapa diikut sertakan dalam pembasmian?"

"Apakah semua pemimpin Bengkauw jahat dan kejam?"

"Terus terang saja, lihiap. Banyak di antara mereka yang kejam. Bahkan pangcu sendiri adalah seorang yang tidak pernah mau mematuhi hukum negara atau hukum masyarakat. Suka bertindak ingin menang sendiri. Akan tetapi bukankah orang-orang dunia persilatan selalu begitu? Biarpun demikian, kami semua tidak dapat mengatakan bahwa Sie Kongcu itu jahat! Dia malah sering bertentangan dengan para pimpinan, dengan ayahnya sendiri. Ah, sudahlah lihiap, kalau terlalu banyak bicara tidak ada yang dapat menjamin kepala ini tetap melekat di leherku."

Karena orang itu tidak berani banyak cakap lagi, Mei Li juga diam saja dan di jalankannya kudanya dekat dengan kereta dorong di mana tubuh Sie Kwan Lee rebah telentang. Diamati wajah pemuda yang masih pingsan itu. Tadi ia sudah menyuruh orang meminumkan obat kepada pemuda itu, obat penawar racun. Sekarang dia masih pingsan, atau tidur pulas sekali, wajah pemuda itu nampak tenang. Wajah yang kecoklatan, terbakar panasnya matahari. Tampan dan ganteng Wajah yang jantan.

Sie Kwan Lee adalah putera tunggal dari Sie-pangcu (ketua Sie) yang nama lengkapnya adalah Sie Wan Cu, ketua Beng-kauw yang terkenal sekali karena dia merupakan seorang di antara tokoh-tokoh sakti. Dengan mewarisi ilmu Matahari Merah dan Salju Putih, kiranya tidak akan ada tokoh dunia persilatan yang mampu menandinginya dalam hal ilmu tangan kosong, Sie Wan Cu sudah berusia enampuluh tahun.

Satu di antara kesukaannya adalah mengumpulkan banyak isteri yang cantik dan muda. Untuk ini dia tidak perlu menggunakan kekerasan, dan pula dia tidak mau kehilangan martabatnya kalau memaksa wanita. Dengan wajahnya yang tampan gagah, biarpun usianya sudah enampuluh tahun, dan dengan tubuhnya yang kuat dan hartanya yang cukup, wanita mana yang tidak akan girang menjadi isterinya!

Dia mempunyai belasan orang isteri, akan tetapi dari sekian banyaknya isterinya, hanya isteri pertama saja yang mempunyai keturunan, yaitu seorang pemuda dan seorang gadis. Pemuda itu ada lah Sie Kwan Lee, kini berusia duapuluh lima tahun sedangkan adiknya bernama Sie Kwan Eng, berusia sembilan belas tahun dan cantik sekali.

Akan tetapi Sie-pangcu tidak puas dengan puteranya. Memang puteranya itu memiliki bakat yang baik sekali dalam ilmu silat, namun puteranya dianggapnya terlalu lemah hati. Terlalu mirip ibunya dan tidak mau melakukan perbuatan yang dianggapnya tidak benar dan jahat! Anak perempuannya lebih tegas dibanding Kwan Lee, maka diapun menurunkan ilmu-ilmunya kepada keduanya.

Baru semenjak Bengkaw dikejar-kejar dan dimusuhi, banyak anggautanya dibunuh, Sie-pangcu menurunkan ilmu simpanannya, yaitu ilmu Matahari Merah diajarkannya kepada Kwan Lee, sedangkan ilmu Salju Putih diajarkan kepada Kwan Eng.

Kwan Lee baru melatih diri dengan ilmu itu, baru tiga perempatnya dia kuasai. Dalam kaadaan seperti itu, dia sama sekali tidak boleh menggunakan sin-kang karena dia dapat terluka oleh tenaga mujijat dari ilmu itu sendiri. Namun, ketika dia mendengar bahwa penduduk dusun yang berdekatan diserang para pendekar, dia tidak dapat menahan hatinya dan dia lalu meninggalkan tempat latihan.

Pada hal, hal ini amat berbahaya dan merupakan pantangan. Tidak ada yang berani mencegah karena ayahnya kebetulan tidak berada di situ, dan akibat perlawanannya membela para pengungsi, dia terluka dan keracunan oleh tenaganya sendiri.

Kwan Lee membuka ma tanya dan bergerak. Sejenak dia heran melihat dirinya berada dalam kereta dorong Dia bangkit duduk dan memerintahkan mereka yang mendorong kereta itu untuk berhenti. Lalu dia turun dari kereta dorong dan mengangkat mukanya ketika ada kuda mendekatinya.

Ketika melihat Mei Li di atas kudanya, dia teringat lagi akan peristiwa tadi, maka cepat dia memberi hormat, "Nona, aku Sie Kwan Lee mengucapkan terima kasih atas bantuan nona kepada orang-orang ini."

"Tidak perlu sungkan, twako," kata Mei Li. "Orang-orang Hoat-kauw tadi memang sombong dan pantas dihajar!"

"Nona, engkau yang masih begini muda, berani melawan bahkan mampu menandingi dua orang dari Bu-tek Ngo Sin liong, kalau boleh aku bertanya, siapakah namamu, dan dari golongan manakah?"

"Aku tidak mewakili golongan manapun, dan namaku adalah Yang Mei Li. Aku sedang merantau dan kebetulan saja lewat di sini, twako. Di sepanjang jalan aku melihat banyak orang Bengkauw menjadi korban pembunuhan, maka ketika di sini melihat orang-orang ini dikejar-kejar dan hendak dibunuh, tentu saja aku tidak dapat tinggal diam. Sukur di sini ada engkau yang lihai, akan tetapi engkau sedang terluka keracunan. Bagaimana ada hawa beracun mengamuk di tubuhmu, twako?"

Kwan Lee tersenyum sedih. "Panjang sekali ceritanya, nona. Kalau nona suka singgah di tempat kami, akan kuceritakan semua."

"Maaf, setelah engkau sembuh, aku harus melanjutkan perjalananku, twako."

"Nanti dulu, nona Yang! Kurasa saat ini di antara para pendekar, hanya engkau seorang yang tidak memusuhi kami orang-orang Beng-kauw. Oleh karena itu, ingin aku menceritakan segalanya tentang kami, agar engkau meluaskan keterangan itu dan membuka mata orang-orang kangouw bahwa Bengkauw bukanlah perkumpulan penjahat yang amat kejam dan harus dibasmi, Maukah engkau membantu kami, nona? Bantuanmu itu akan lebih berharga dari pada kalau nona membela nyawa semua orang ini."

Mei Li mengerutkan alisnya. Ayah dan ibunya berpesan bahwa dia tentu saja boleh bertindak sebagai pendekar, membela kebenaran dan keadilan, membatu yang lemah tertindas dan menentang yang kuat sewenang-wenang. Akan tetapi dia diperingatkan agar jangan melibatkan diri dalam permusuhan antara perkumpulan-perkumpulan di dunia kangouw.

"Aku suka membantu siapa saja yang mengalami penasaran, akan tetapi tidak mau terlibat dengan permusuhan pribadi perkumpulan."

"Kami tidak ingin engkau terlibat dalam urusan kami, nona. Kami hanya menghendaki keadilan dan membersihkan diri kami dari fitnah. Tentu saja kalau nona sudi menolong, kalau tidak, kamipun tidak dapat memaksa dan menyerahkan diri kepada nasib saja."

Suara itu terdengar demikian penuh duka sehingga Mei Li merasa tidak tega untuk menolaknya. Pula pemuda itu hanya ingin ia menjadi pendengar saja, mau disebarluaskan atau tidak, terserah sepenuhnya kepadanya. "Baiklah, akan kudengarkan. Pula, keadaanmu belum kuat benar, dan mereka ini membutuhkan perlindungan."

Wajah Kwan Lee menjadi berseri. "Terima kasih, nona!"
Biarpun dia masih lemah, dia minta disediakan seekor kuda dan kini dia melanjutkan perjalanan menunggang seekor kuda di samping Mei Li. Di sepanjang perjalanan ini, Mei Li lebih banyak mengenal sifat dari pemuda itu. Seorang pemuda yang sederhana, biarpun putera ketua namun sikapnya terhadap anak buah ramah dan sederhana. Juga selalu sopan terhadap dirinya sehingga dia mulai merasa suka kepadanya.

Orangnya agak pendiam, selalu terbuka dan jujur, ramah dan lembut. Juga tidak pantas kalau dikatakan putera seorang ketua yang kasar dan liar karena ternyata pemuda ini cukup terpelajar, mengenal sajak-sajak indah dan tokoh-tokoh besar dalam sejarah.

Pada malam ke dua rombongan terpaksa berhenti di sebuah lereng bukit. Sebetulnya pusat perkampungan Bengkauw sudah dekat, akan tetapi karena hari sudah malam dan rombongan yang terdiri dari wanita dan anak-anak sudah lelah, terpaksa mereka berhenti. Malam itu bulan purnama dan malam di lereng gunung itu indah sekali.

Kwan Lee sudah sehat kembali dan dia duduk diatas batu besar bersama Mei Li. Mereka telah akrab karena merasa cocok. Dalam kesempatan ini, Mei Li ingin mengetahui lebih banyak tentang pemuda itu dan tentang Bengkauw.

"Nah., sekarang engkau tentu sudah cukup mengenalku sehingga percaya untuk bercerita sedikit mengenai Bengkauw dan mengapa para pendekar memusuhinya, twako."

"Perkumpulan Bengkauw memang berasal dari aliran agama Terang (Beng-kauw), nona. Akan tetapi sekarang di antara para pengikutnya sudah jarang yang mengerti, tentang agama Terang itu. Agama itu sendiri berdasarkan Im Yang atau Terang dan Gelap. Yang terang adalah baik sebaliknya yang gelap adalah jahat. Pengetahuan tentang agama ini berarti pengetahuan tentang alam dan kekuasaannya yang terbagi antara gelap dan terang, Penyelamatan adalah proses membebaskan unsur terang dari kegelapan. Yang berasal dari Tuhan itu adalah Terang sebaliknya iblis mendatangkan kegelapan untuk menggoda manusia, karena itu kita harus penuh dengan roh-roh. untuk membebaskan diri dari pengaruh kegelapan. Pimpinan Bengkauw sendiri adalah Duta-duta Terang yang menerangi kegelapan."

“Hemm, kalau begitu apa bedanya dengan agama lain? Semua agama juga berpihak kepada yang terang dan memerangi yang gelap atau jahat."

"Memang pada hakekatnya tidak ada bedanya, nona. Akan tetapi, tanpa disadari para pemeluknya sudah diperalat oleh kekuasaan Iblis sehingga mereka saling menyalahkannya, menganggap diri sendiri benar. Karena itu, tindakan para pemimpinnya selalu bahkan bertentangan dengan ajaran agamanya sendiri, Hukum agama yang diterapkan, bukan lagi hukum agama berdasarkan keadilan, melainkan dipilih mana yang menguntung kan bagi si pimpinan. Dari situlah timbulnya kepalsuan-kepalsuan dan kejahatan yang berkedok keagamaan, nona."

"Bagaimana dengan Bengkauw sendiri?"

"Tidak ada bedanya dengan agama-agama atau aliran lain Selama orang-orang yang memimpinnya merasa keberadaan dan kekuasaannya terancam, mereka akan bergerak, menggunakan segala dalih dalam agama mereka untuk menghantam lawan. Tentu saja dengan dalih melakukan pembersihan atau menghukum,"

"Semua pimpinan agama begitu?"

"Tentu saja tidak, dan ada kecualinya. Ada yang benar-benar mentaati perintah agama tanpa menonjolkan kehendak pribadi, dan orang-orang seperti itulah yang benar-benar menjadi orang yang ditunjuk oleh Tuhan untuk menuntun manusia lain ke jalan kebenaran."

"Sekarang ceritakan keadaan Beng-kauw mengapa sampai dimusuhi semua pendekar, toako, dan tentang keluarga ketua Bengkauw, ayahmu."

Pemuda itu menghela napas. "Sebagian besar adalah karena kesalahan para pimpinan Beng-kauw juga. Mereka terlalu mengandalkan kepandaian sendiri, tidak memperdulikan peraturan umum, suka melanggar kebiasaan dunia kangouw sehingga dengan sendirinya mempunyai banyak musuh. Apa lagi kebiasaan para tokoh Bengkauw suka menggunakan kedok kalau sedang berkelahi, hal ini amat buruk dan mudah saja bagi yang tidak suka untuk melempar fitnah kepada Beng-kauw. Orang yang melakukan kejahatan, asal dia memakai kedok, lalu mudah saja di-cap sebagai orang Beng-kauw. Akhir-akhir ini yang sangat bersemangat memusuhi kami adalah orang Nam-kiang-pang. Alasan mereka adalah bahwa Bengkauw sudah banyak membunuh anggauta mereka."

"Benarkah itu?"

"Siapa tahu benar atau tidak? Mungkin benar dan mungkin tidak, karena mereka tidak dapat membuktikannya, hanya mengatakan bahwa pembunuhnya memakai kedok Bengkauw. Mereka mengejar-ngejar orang kita dan membunuhi tanpa pandang bulu. Kanak-kanak, wanita, siapa saja yang berbau Bengkauw dibunuh. Terutama sekali calon ketua mereka yang bernama Ciu Kang Hin, kabarnya amat lihai dan amat kejam membunuhi orang-orang Bengkauw."

"Ah, hal itu harus dicegah!" kata Mei Li. "Dan apa yang dilakukan ketua Bengkauw menghadapi hal ini?"

Pemuda itu menarik napas panjang. "Ayahku kurang bijaksana. Dia menerimanya sebagai tantangan. Tanpa berusaha untuk mencairkan, dia mengambil sikap bermusuhan dan memerintahkan anak buah untuk balas membunuh. Ah, aku menyesal sekali."

Pemuda itu lalu menceritakan tentang keluarganya. Ayahnya adalah ketua Bengkauw bernama Sie Wan Cu, sakti dan ditakuti. Ayahnya mempunyai dua orang anak, dia dan adiknya, Sie Kwan Eng yang berusia sembilan belas tahun. Setelah terjadi pembantaian terhadap orang-orang Bengkauw, ayahnya lalu mengajarkan ilmu simpanan keluarganya, yaitu ilmu Matahari Merah kepadanya, dan ilmu Salju Putih kepada adiknya."

"Ah, kalau begitu engkau dan adikmu telah mewarisi dua ilmu yang paling hebat," kata Mei Li kagum.

"Sebetulnya, baik aku maupun adikku belum menguasai benar ilmu-ilmu itu. Aku bahkan baru menguasai sebanyak tiga perempat saja. Menurut aturan, selagi berlatih ilmu Matahari Merah, aku tidak boleh terganggu, tidak boleh mengeluarkan tenaga sin-kang. Akan tetapi ketika mendengar betapa orang-orang ini dikejar-kejar, aku tidak dapat menahan diri dan aku nekat keluar untuk membela mereka sehingga tadi aku menjadi keracunan oleh tenaga ku sendiri."

"Hemm, kalau begitu, besok pagi-pagi aku tidak akan ikut denganmu, aku harus melanjutkan perjalananku, karena kalian sudah tiba di luar perkampungan mu."

"Nona, kuharap dengan sangat, sudilah nona singgah sebentar di rumah kami. Adikku tentu senang sekali berkenalan denganmu."

"Aku tidak ingin bertemu dengan ayahmu."

"Aku tahu, nona. Aku sendiri akan merasa tidak enak kalau nona harus bertemu dengan ayahku. Dia berhenti tiba-tiba.

"Kenapa?"

Tentu saja Kwan Lee tidak mau mengatakan bahwa ayahnya memiliki kelemahan, yaitu tidak kuat melihat wanita cantik! "Ah, tidak apa-apa, nona. Hanya ayah mempunyai watak yang aneh dan kadang tidak memperdulikan peraturan, akan tetapi saat ini ayah tidak berada di rumah. Marilah, nona, aku ingin memperlihatkan kepadamu bahwa orang Bengkauw tidak semuanya jahat."

Karena didesak, dan sikap pemuda ini memang ramah sekali, Mei Li merasa tidak enak kalau menolak terus. "Baiklah, aku akan singgah untuk sehari dua hari," katanya dan pemuda ini memperlihatkan wajah gembira.

Rombongan pengungsi kemudian memasuki perkampungan Bengkauw itu dengan hati lega. Mei Li dan Kwan Lee duduk di atas kudanya, di pintu gerbang melihat rombongan itu berbondong-bondong masuk. Setelah mereka semua masuk, baru saja mereka hendak menjalankan kuda, tiba-tiba terdengar suara wanita,

"Lee-koko!"

Kwan Lee menoleh kepada seorang wanita yang baru muncul. Gadis itu sebaya dengannya, berpakaian serba merah muda , rambutnya dikuncir tunggal, tebal dan panjang, diikat pita kuning. Di punggungnya tergantung pedang dengan ronce merah. Wajah dara itu cantik jelita dengan mulut cemberut congkak dan pandang matanya keras. Itulah Sie Kwan Eng, adik Kwan Lee.

"Eng-moi, kau juga sudah keluar dari tempat latihan? Sudah berhasilkah engkau?"

"Belum, Lee-ko. Akupun baru menyelesaikan tiga perempatnya, akan tetapi yang tiga perempat itu sudah lewat tinggal latihan terakhir di guha inti salju! Kabarnya engkau keluar sebelum yang tigaperempat kau selesaikan, koko? Ayah tentu akan marah eh, siapakah ia ini, koko?" Kwan Eng memandang Mei Li dengan alis berkerut dan mata mencorong penuh selidik.

"Eng-moi, ini adalah Hui-kiam Sian-li Yang Mei Li, seorang pendekar wanita yang lihai sekali dan kalau tidak oleh pertolongannya, kami semua tentu sudah celaka di tangan orang-orang Hoat-kauw itu."

Kwan Eng cemberut. "Aku benci pendekar sombong!" katanya.

Mei Li tersenyum. "Akupun benci pendekar sombong!"

Kwan Eng tidak tersenyum akan tetapi memandang dengan mata tertarik. "Aku tidak mudah percaya akan kemampuan orang tanpa membuktikannya sendiri!"

"Aku juga begitu, kita sama!" kata Mei Li.

"Bagus, kalau begitu mari kita buktikan, apakah benar engkau ini seorang pendekar!"

Wajah Mei Li berubah merah karena marah. Sungguh terlalu sekali gadis ini, pikirnya. Apakah memangnya di dunia ini tidak ada wanita lain kecuali dirinya yang memiliki kepandaian? Melihat gadis itu sudah mencabut pedangnya diam-diam iapun melolos sepasang pedangnya dan bersiap-siap. "Boleh-boleh, aku memang bukan pendekar, akan tetapi pantang bagiku untuk menolak tantangan siapapun juga."

Pada saat itu Kwan Lee melangkah maju. "Eng-moi, engkau keterlaluan. Begitukah engkau menyambut seorang sahabat? Nona Mei Li adalah seorang sahabat baikku. Tentu saja boleh kalau engkau hendak mengujinya, akan tetapi menguji teman tidak sama dengan menempur musuh, karena itu biarlah kalian menggunakan ranting ini saja." Kwan Lee me ngambil sebuah ranting pohon, mematahkan menjadi dua dengan ukuran panjang seperti pedang dan memberikan kepada dua orang gadis itu.

Mei Li menerimanya dengan senyum, karena biarpun ia mendongkol melihat kekasaran Kwan Eng, tentu saja ia tidak ingin melukai adik dari Kwan Lee itu. Kwan Eng juga menerima ranting itu dari kakaknya dan berkata dengan nada suara mengejek.

"Koko, sebatang pedang tajam di tangan orang yang tidak becus bukan merupakan bahaya, akan tetapi sebatang ranting kayu dapat mematikan kalau dipergunakan orang yang pandai ilmu silat. Apakah kau lupa itu?"

"Tentu saja aku tahu, adikku yang manis. Akan tetapi, kalau menggunakan kayu ranting di tangan, setidaknya berkurang banyak keganasanmu dan engkau akan ingat bahwa engkau sedang main-main, bukan berkelahi sungguh-sungguh."

Kwan Eng tersenyum manis.."Baiklah, koko, dan jangan khawatir aku tidak akan melukai dengan parah!"

Diam-diam Mei Li gemas kepada dara ini. Begitu sombongnya dan begitu yakin akan kemenangannya. "Marilah adik yang baik, aku sudah siap untuk kau lukai."

Tempat itu sudah sepi, kecuali ada beberapa orang penjaga, yaitu anggauta Beng-kauw yang berjaga di pintu gerbang, tidak lebih dari sepuluh orang banyaknya. Mereka kini sudah mengepung tempat itu dan nampak gembira. Memang para anggauta Beng-kauw tidak begitu memakai peraturan terhadap putera puteri ketua mereka, dan mereka menonton seperti kalau kawan-kawan mereka bermain-main.

Kwan Eng juga agaknya tidak keberatan, bahkan ia memperlihatkan senyumnya karena ia lebih senang kalau ditonton kemenangannya. Tidak mengherankan kalau Sie.Kwan Eng yakin akan keluar sebagai pemenang. Karena untuk daerah itu, bahkan di dunia kangouw sekalipun, sukar ditemukan wanita yang akan mampu menandinginya, apa lagi kini ia telah mewarisi ilmu Salju Putih, walaupun belum sempurna benar.

Perlu diketahui bahwa aliran Bengkauw mempunyai ilmu silat yang aneh dan tidak mempunyai sumber tertentu. Hal ini adalah karena nenek moyangnya memang orang yang suka mengumpulkan ilmu silat tidak perduli dari golongan bersih ataupun golongan sesat, dan memetik bagian-bagian yang paling ampuh, lalu dikombihasikan. Sekarang orang sudah tidak tahu lagi dari mana sumber ilmu silat itu. Seperti ilmu Matahari Merah dan Salju Putih, tidak ada yang tahu asal usul ilmu itu, akan tetapi selain pimpinan tertinggi Beng-kauw tidak ada orang lain yang mengenalnya.

Begitu menyerang, Kwan Eng mengeluarkan suara melengking nyaring dan ranting di tangannya meluncur seperti kilat cepatnya. Begitu Mei Li mengelak, ranting itu meluncur balik dan sudah menyerang dengan lebih dahsyat. Melihat serangan yang dahsyat dan berbahaya itu, Mei Li juga cepat mengerahkan tenaga sin-kangnya dan digerakkan tongkatnya dengan ilmu tongkat Tai-hong-pang (Tongkat Angin Ribut). Terdengar suara bercuitan dan angin besar mendesir-desir dari tongkat yang dimainkan Mei Li.

"Bagus!" Berkali-kali Kwan Lee memuji ketika menyaksikan ilmu tongkat yang hebat dari Mei Li itu. Tentu saja ilmu tongkat itu hebat karena Mei Li menerima ilmu ini dari ayahnya yang mewarisinya dari Sin-tung Kai-ong (Raja Pengemis Tongkat Sakti), satu di antara ilmu tongkat terhebat di waktu itu.

Kwan Eng sendiri sampal menjadi bingung karena merasa seolah dirinya berada di tengah badai! Karena dia tahu bahwa kalau diteruskan pertandingan tongkat itu ia akan kalah, maka tiba-tiba ia mengeluarkan bentakan aneh, tubuhnya berjongkok lalu tangannya mendorong dari bawah ke arah lawan!

Mei Li maklum akan pukulan ampuh, apa lagi ketika ia merasakan hawa dingin menerpa dirinya. Ia dapat menduga bahwa tentu itulah yang dinamakan pukulan Salju Putih. Maka iapun mengelak dan sekali ia mengeluarkan bentakan nyaring dua sinar kilat menyambar dari kanan kiri, "menggunting" ke arah tangan yang berubah menjadi putih dan mengeluarkan hawa dingin itu.

"Ihh...! Kwan Eng berseru dan cepat menarik kembali lengannya dengan muka berubah pucat. Sepasang pedang itu tadi terbang bagaikan dua ekor ular dan kini sudah melayang kembali ke tangan Mei Li. Melihat ini Kwan Eng mencabut pedangnya dan menyerang dengan ganas.

Namun, sekali ini, sepasang pedang itu menyambar-nyambar beterbangan di sekeliling kepalanya, membuatnya bingung karena pedang-pedang itu seperti hidup dan gerakannya lincah bukan main. Sebentar saja Kwan Eng terdesak hebat dan sepasang pedang itu mengaung-ngaung seperti ada puluhan ekor nyamuk menyambari telinganya.

Melihat ini, sesaat lamanya Kwan Lee menonton penuh perhatian dan dia menjadi semakin kagum. Jelas nampak olehnya bahwa gadis jelita yang berjuluk Dewi Pedang Terbang itu benar-benar lihai bukan main, dan juga dia melihat betapa Mei Li mengalah terhadap adiknya, tidak benar-benar menggunakan pedang terbangnya untuk mendesak dan mencelakainya. Maka diapun meloncat ke depan dan berseru. "Nona Yang Mei Li, maafkan adikku!"

Dua orang gadis itu meloncat mundur dan wajah Kwan Eng nampak kemerahan, akan tetapi kini senyum membayang pada wajahnya yang cantik. "Sungguh mati! Nama julukanmu bukan kosong belaka, enci Mei Li. Tenaga sin-kangmu kuat, ilmu meringankan tubuh hebat, dan pedang terbangmu mengerikan!"

"Hemm, jangan memuji, adik Sie Kwan Eng. Engkau sendiri memiliki ilmu yang hebat. Kalau Salju Putih itu telah kau kuasai dengan baik, aku tentu menyerah kepadamu. Semuda ini sudah memiliki ilmu hebat, sungguh mengagumkan!"

"Hi-hik, enci yang tua renta. Berapa sih usiamu maka engkau menganggap aku masih seperti anak kecil?"

"Usiaku sudah delapan belas, hampir sembilan belas tahun!"

"Wah, kalau begitu jangan menyebut aku adik, karena aku malah lebih tua beberapa bulan darimu. Aku sudah sembilanbelas tahun lebih. Engkau sungguh hebat, Mei Li, dan aku senang sekali berkenalan denganmu."

"Ih, engkau terlampau merendah, Kwan Eng. Akulah yang merasa beruntung sekali dapat berkenalan dengan engkau dan dengan kakakmu."

"Eh, Eng-moi, engkau ini bagaimana sih? Ada tamu agung datang malah diajak bertanding silat dan sekarang diajak bicara di sini dan sama sekali tidak dipersilakan masuk. Mari, nona Mel Li, mari kita masuk dan bicara di dalam!"

"Eh, iya! Mari, Mei Li!" Kini tanpa sungkan lagi Kwan Eng melingkarkan lengannya di pinggang tamunya dan mengajak Mei Li masuk ke perkampungan itu.

Perkampungan Bengkauw itu cukup besar, terdiri dari seratus keluarga lebih. Rumah-rumahnya dari kayu yang cukup kokoh dan di tengah-tengah berdiri bangunan tempat tinggal Sie Wan Cu atau Sie Pangcu, ketua Bengkauw. Nampak pula beberapa orang yang membawa-bawa senjata dan ada pula yang pandang matanya mencorong jahat ditujukan kepa da Mei Li. Ada yang tertawa-tawa kurang ajar akan tetapi orang itu segera mengkeret ketakutan ketika Kwan Eng melotot kepadanya.

Ternyata dalam rumah keluarga Sie itu cukup lengkap prabotannya dan rumah itupun besar sekali. Hal ini tidak mengherankan karena sang ketua memiliki banyak isteri. Akan tetapi karena yang membawa tamu adalah Kwan Lee dan Kwan Eng, maka yang menemui mereka hanya isteri pertama, ibu kedua orang anak itu, seorang wanita berusia empat puluh lima tahun yang masih nampak cantik.

"Wah, kau cantik sekali, nona Yang," kata ibu kedua orang anak itu. "Aduh, kami akan senang sekali kalau engkau dapat menjadi keluarga kami. Benar tidak, Kwan Eng?"

"Benar sekali, ibu! Wah, pikiran yang bagus sekali itu, bukankah begitu Lee-koko? Kau tentu setuju, bukan?"

Menghadapi sikap yang demikian terbuka dan terus terang tanpa tedeng aling-aling, kedua pipi Mei Li menjadi merah. Bahkan Kwan Lee juga tersipu dan dia membentak, "Eng-moi, apa-apaan kau ini? Jangan kurang ajar terhadap tamu!"

"Apa? Jangan munafik, koko. Katakan, apakah engkau tidak suka kalau menjadi suami Mei Li?"

"Setan kau! Tidak semudah kau menggoyang lidahmu!" bentak kakaknya.

Mei Li tertawa. Dara ini mulai senang dengan sikap keluarga ini. Tidak ada pura-pura walaupun kelihatan kasar. "Kwan Eng, kakakmu benar. Urusan perjodohan tidak dapat diatur sedemikian mudahnya. Dan aku sedikitpun belum mempunyai pikiran untuk urusan itu. Karena itu harap kau jangan sebut-sebut lagi urusan perjodohan."

"Sayang sekali, nona. Kalau sudah tiba waktunya engkau memikirkan soal perjodohan, jangan lupa kepada anak ku Kwan Lee, nona."

"Sudahlah, ibu. Aku khawatir kalian akan menyebalkan hati nona Mei Li. Mari kita bicara urusan lain. Di mana ayah, ibu? Apakah ayah belum pulang?"

Wanita itu mengerutkan alisnya dan wajahnya yang cantik menjadi muram. "Aku mengkhawatirkan ayahmu. Dia sudah terlalu marah dan kini dia menyerang Pek-houw-pang dan Ang-kin-kai-pang. Aku khawatir sekali kita dibawa masuk ke jurang permusuhan yang lebih dalam dan payah."

"Ayah benar, ibu!" kata Kwan Eng. "Sayang aku harus melatih Salju Putih sehingga tidak dapat membantu ayah. Pek-houw-pang (Perkumpulan Harimau Putih) dan Ang-kin Kai-pang (Perkumpulan pengemis Sabuk Merah) yang lebih dulu mencari gara-gara, ikut pula memusuhi kami dan membunuh beberapa orang anggauta kami."

"Eng-moi!" bentak kakaknya. "Semua yang terjadi pada kita adalah kesalah-pahaman, fitnah keji yang harus diselesaikan dengan penjelasan dan musyawarah. Kalau kekejaman mereka dibalas pula dengan kekejaman, permusuhan akan menjadi-jadi. Mengapa ayah tidak menyadari hal ini dan tidak mau bertindak sabar?"

"Sabar? Tolol, orang kita habis terbasmi kalau kita sabar!" Tiba-tiba terdengar jawaban yang lantang dan di ruangan itu nampak bayangan berkelebat.

"Ayah!" Seru Kwan Lee dan Kwan Eng hampir berbareng.

Mei Li mengangkat muka memandang dan gadis ini melihat seorang laki-laki sudah berdiri di situ. Seorang laki-laki sejati, seorang jantan kalau melihat wajah dan perawakannya. Tubuhnya tinggi dan kokoh bagaikan batu karang, tidak gendut dengan pinggang ramping dan dada bidang walaupun usianya sudah enampuluh tahun namun dia seperti orang berusia empatpuluh tahun saja. Rambutnya sudah bercampur uban, akan tetapi malah menambah kedewasaan dan kejantanannya.

Belum ada keriput di wajahnya walaupun kulit muka yang terbakar matahari itu nampak dihias guratan guratan perasaan. Matanya lebar mencorong bagaikan mata naga, bentuk wajahnya segi empat dan keras, gerak-gerik dan langkahnya seperti seekor harimau yang bermalas-malasan. Pria seperti ini memiliki daya tarik yang kuat dan besar bagi kaum wanita.

Mei Li merasa seperti kalau ia memandang seekor kuda jantan yang kuat dan bagus. Pantas saja putera dan puterinya demikian gagah dan cantik. Kiranya ketua Beng-kauw itu seorang yang tampan dan ganteng sedangkan isterinya demikian cantiknya.

"Aku baru saja memberi hajaran kepada Pek-houw-pang dan Ang-kin Kai-pang, membunuh ketuanya karena mereka kukuh menganggap Beng-kauw telah membunuhi anggauta mereka. Ha-ha-ha, baru mereka tahu bahwa Beng-kauw tidak boleh dipandang ringan dan diperlakukan sembarangan saja... ahhh..." dan tiba-tiba orang itu terbatuk-batuk dan menekan dadanya. Dia muntahkan darah segar!

"Ayah!" Kwan Lee dan Kwan Eng menjerit dan isteri ketua itu cemas...

....Maaf ada halaman yang hilang...

...minuman arak, buah-buahan, pendeknya mereka itu berlumba untuk melayani sehingga Mei Li yang menyaksikan merasa sungkan sendiri, mulailah Kwan Lee bercerita tentang pertemuannya dengan Mei Li.

Setelah puteranya selesai becerita, ketua itu memandang kepada MeinLi dengan penuh perhatian. "Nona Yang, engkau beruntung sekali, masih begini muda, memiliki kecantikan yang sempurna dan menguasai ilmu silat yang tinggi pula. Pedangmu yang memakai tali dan dapat terbang itu mengingatkan aku akan seorang sakti yang pernah menggegerkan dunia persilatan, yaitu Hek-Liong Kwan Bhok Cu!"

"Beliau adalah Kakek guruku, pangcu!"

“Wah, wah, wah! Pantas saja kalau begitu. Ha-ha, Kwan Lee, Kwan Eng kalian beruntung sekali mempunyai sahabat seperti ini, dan akan lebih baik lagi kalau dapat menjadi isterimu, Kwan Lee. Bagi kita sama saja menjadi isteriku atau isterimu, pokoknya Bengkauw dapat menariknya menjadi keluarga."

Mei Li sudah mulai terbiasa oleh ucapan yang blak-blakan itu sehingga ia tidak begitu terkejut lagi. Orang-orang ini memang tidak mau terikat oleh segala sopan santun yang hanya menjadi kedok tipis dari isi hati orang....
Selanjutnya,