Kisah Si Pedang Terbang Jilid 10 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Kisah Si Pedang Terbang

Karya : Kho Ping Hoo
Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo
Jilid 10
IA tersenyum. "Pangcu, aku sama sekali tidak pernah memikirkan tentang perjodohan, harap engkau tidak bicara tentang itu. Dan aku selalu mau bersahabat dengan siapa saja asal orang itu tidak jahat."

"Bagus," dan kini sikap main-main itu lenyap, sang ketua nampak serius. "Kumpulkan semua pembantu utama kita di ruangan rapat agar mereka mendengarkan pembicaraan kita."

Kwan Lee lalu melaksanakan perintah ini dan tak lama kemudian mereka semua sudah berkumpul di ruangan besar. Ayah dan dua orang anak itu duduk semeja dengan Mei Li, para isteri tidak nampak lagi dan sebaliknya ada dua puluh orang lebih pimpinan Bengkauw yang hadir sebagai pendengar.

"Sekarang dengarkan baik-baik hasil penyelidikanku. Mereka semua, orang-orang kangouw yang menganggap diri pendekar, sudah siap untuk menghancurkan kita. Terutama sekali Nam-kian-pang yang dipimpin oleh Ciu Kang Hin. Kita harus dapat menangkap dan menghukumnya. Entah sudah berapa banyak orang kita tewas di tangan pemuda setan itu. Nam-kiang-pang bahkan telah minta bantuan partai-partai lain seperti Si-auw-lim-pai dan Butong-pai. Akan tetapi kita tidak perlu takut!"

"Benar, ayah. Kita adalah bangsa harimau yang memilih mati dengan seribu luka dari pada menjadi babi yang menguik-nguik menanti ajal!" kata Kwan Eng dengan gagah.

"Ayah, maafkan aku. Apakah tidak ada jalan lain?"

Orang gagah itu melotot. "Jalan lain apa maksudmu? Benar seperti apa yang diucapkan adikmu. Kalau harimau sudah tersudut, apa lagi yang harus di lakukan selain melawan mati-matian? Hanya pihak musuh atau kita yang akan hancur binasa."

"Tentu saja aku tidak menganjurkan untuk melarikan diri ketakutan, ayah. Akan tetapi kita dapat mencoba un tuk menyadarkan mereka, menerangkan salah sangka ini dan mengakhiri permusuhan."

"Aaah, kita akan dicap pengecut, koko!" bantah adiknya.

"Kau hanya mengandalkan kekerasan," cela kakaknya. "Kekerasan tanpa perhitungan bukanlah kegagahan namanya, melainkan kebodohan. Mati yang nekat adalah mati konyol, bukan mati gajah!"

"Cukup!" bentak ayah mereka. "Tidak perlu kita bercekcok. Di sini ada nona Yang Mei Li yang gagah perkasa. Coba kauutarakan pendapatmu, nona. Barangkali ada gunanya bagi kami."

"Sebetulriya saya tidak ingin mencampuri urusan dalam perkumpulan kalian, pangcu. Akan tetapi karena diminta, saya akan berterus terang saja. Pendapat toako Sie Kwan Lee dan pendapat Sie Kwan Eng keduanya benar dan alangkah baiknya kalau keduanya dipergunakan. Pertama-tama, diusahakan untuk memberi penerangan untuk membantah fitnah yang dijatuhkan kepada Bengkauw, untuk membersihkan nama Bengkauw. Tentu saja kalau memang ada anggauta Beng kauw yang bersalah, tidak ragu lagi untuk menjatuhkan hukuman setelah itu, kalau pihak sana masih terus menekan dan menyerang, apa boleh buat, haruslah dihadapi secara jantan!"

Ayah dan anak itu mengangguk-angguk setuju. "Kalau begitu, mulai sekarang kalian harus menyelesaikan latihan kalian. Agar latihan dapat dilakukan berbareng sehingga mudah menjaganya, kita pergunakan guha inti salju di puncak Tanduk Rusa. Puncak ini berada di pegunungan Thaisan yang seringkali tertutup salju".

"Akan tetapi aku membutuhkan tempat yang terpanas untuk menyempurnakan latihanku, ayah!" kata Kwan lee.

"Tentu saja! Akan tetapi tempat paling panas dapat dibuat dengan api, sedangkan tempat paling dingin haruslah buatan alam. Kita nanti memperguna kan guha batu di sana, kita panaskan dengan api menjadi tempat latihan baik untukmu."

Mei Li tertarik sekali. Ia memang seorang yang suka sekali akan ilmu silat. Maka mendengar cara berlatih dua macam ilmu yang dianggap unggul di dunia persilatan Itu, ingin ia menyaksikannya.

Seolah dapat membaca suara hati Mei Li Kwan Eng lalu menghampiri Mei Li dan menggunakan lengan melingkari pinggang dara itu dan berkata, "Mei Li, marilah kau temani, kami. Aku masih ingin mempererat persahabatan kita."

"Kalau kau suka aku akan senang sekali, nona. Pula, pemandangan alam di sana amat indahnya, kalau nona sedang merantau maka datang ke puncak Thai-san akan menyenangkan hati nona," kata pula Kwan Lee.

"Ha-ha, sebetulnya dilarang keras bagi orang luar untuk menyaksikan latihan yang penuh rahasia ini, akan tetapi nona Yang Mei Li sudah kami anggap sebagai keluarga sendiri. Tentu saja merupakan kebanggaan besar kalau nona suka menyaksikannya," kata pula Sie Wan Cu.

Mei Li memang tertarik sekali ke pada keluarga Bengkauw ini. Apalagi melihat kenyataan bahwa keluarga ini dimusuhi semua orang, membuat hatinya merasa penasaran. Dia tidak melihat sesuatu yang dapat dijadikan alasan cukup untuk membenci dan memusuhi keluarga ini.

"Baik, kalau kalian tidak merasa terganggu dengan kehadiranku, ingin aku menyaksikan" katanya dan ucapan ini disambut dengan seruan girang oleh Kwan Eng.

Pada hari itu juga, berangkatlah Sie Wan Cu dan dua orang anaknya, menunggang kuda di.temani oleh Mei Li dan diikuti pula oleh limabelas orang tokoh Bengkauw. Rombongan ini melakukan perjalanan dengan kuda dan cepat mereka menuju ke pegunungan Thai-san. Tidak sukar bagi rombongan itu menemukan Guha Inti Salju di puncak yang tertutup salju itu. Guha ini besar dan dalam, dan karena selamanya mengandung salju, dindingnya juga berkilauan karena membeku dan agaknya ada sesuatu di dalam guha itu yang menimbulkan keadaan seperti itu sehingga di sebut guha inti salju, dibagian dalamnya teramat dingin.

Ketika Mei Li ikut menasuki, ia harus mengerahkan tenaga sin-kang untuk melawan hawa dingin itu. Kwan Eng lalu ditinggal seorang diri dan dara ini duduk bersila di atas permukaan es yang membatu untuk melatih bagian terakhir dari ilmu Salju Putih.

Para pembantu lalu mempersiapkan guha untuk Kwan Lee berlatih. Memang terdapat guha-guha batu di tempat itu dan mereka mengumpulkan kayu, ditumpuk di sekeliling guha, menyiraminya dengan minyak lalu membakar tumpukan kayu itu. Terdengarlah bunyi berkeratak yang aneh dan nyaring ketika kayu basah itu terbakar karena sudah mengandung minyak.

Mereka terus mengumpulkan kayu dan menambah kayu setiap kali kayu menipis sehingga guha itu selalu di kelilingi api yang besar. Tentu saja di dalamnya segera menjadi panas bukan main. Kwan Lee lalu memasuki guha ini dan mulailah dia melatih bagian terakhir dari ilmu Matahari Merah.

Limabelas orang itu secara bergiliran menjaga siang malam di depan guha. Setelah lewat lima hari Mei Li merasa bosan juga. Mula-mula ia memang merasa senang karena seperti yang dikatakan Kwan Lee, pegunungan itu memiliki pemandangan yang indah sekali.

Akan tetapi setelah lima hari ia merasa kesepian, juga merasa tidak enak karena sikap Sie Wan Cu amat manis kepadanya, bahkan kini mulai merayu yang bagi umum tentu akan dianggap kurang ajar. Ia menghindar dengan halus dan harus diakui bahwa bagi wanita yang kurang kuat menjaga harga diri, tentu akan jatuh oleh rayuan maut laki-laki yang ganteng dan jantan ini.

Pada suatu pagi ketika Mei Li keluar dari guha yang ia pilih untuk ternpat melewatkan malam, Sie Wan Cu sudah menunggu di luar guha dan pria ini nampak segar dan wajahnya berseri. Ketika Mei Li muncul, dia segera bangkit dari tempat duduknya dan memandang dengan mata bagaikan orang terpesona.

"Nona Mei Li, engkau sungguh cantik jelita pagi ini! Kalau orang bertemu denganmu dan belum mengenalmu, tentu akan mengira engkau ini dewi penjaga gunung! Ah, semua pria akan suka berlutut memuja kecantikanmu."

Biarpun jantungnya merasa berdebar karena girang mendengar pujian yang berlebihan ini, namun Mei Li sengaja melempar senyum mengejek. "Sie-pangcu, sudahlah, simpan semua pujian dan rayuanmu itu. Aku tidak membutuhkan itu!"

Ia menggosok-gosok tangannya untuk mengusir dingin, semua tubuhnya tertutup kain hangat dan hanya sebagian mukanya saja terbuka. Pagi itu hawanya memang bukan main dinginnya dan semalam juga turun hujan salju yang cukup tebal.

"Lima hari sudah lewat, berapa lama lagikah Lee-twako dan Kwan Eng keluar dari dalam guha?" Ia menoleh ke arah dua buah guha yang nampak dari situ. Lebih menyenangkan menjaga guha api, karena dekat dengan guha itu akan terasa hangat.

"Bersabarlah, nona. Dua hari lagi, kalau tidak ada halangan, mereka akan menyelesaikan latihan mereka."

"Dan mereka akan menguasai iImu-ilmu yang hebat, menjadi orang sakti?"

Sie Wan Cu tertawa. "Ha-ha, mereka akan menjadi orang tanpa tanding, atau setidaknya akan sama lihai dengan ayahnya!" Ketua itu tertawa-tawa dan kalau dia tertawa seperti itu, wajahnya seperti orang berusia tigapuluh tahun saja.

Sombongnya, pikir Mei Li. Akan tetapi ia tertarik sekali Ingin ia menyaksikan dan merasakan sendiri bagaimana hebatnya kedua ilmu itu sehingga dipuji-puji oleh dunia kangouw. Kenapa ia tidak mengajak ketua ini untuk mencoba-coba dan menguji ilmu itu? Setidaknya dapat mengalihkan percakapan dan perhatiannya yang selalu memuji muji dan merayu.

"Pangcu, aku pernah mendengar tentang kehebatan Matahari Merah dan Salju Putih, akan tetapi hanya mendengar beritanya saja. Dan aku meragukan, karena biasanya berita itu dilebih-lebihkan dari kenyataannya."

Pria itu memangdang dengan alis berkerut. "Kau tidak percaya?"

"Aku bukan orang yang tahyul, pangcu. Aku hanya percaya kepada apa yang sudah kubuktikan sendiri, bukan hanya dari. kata-kata orang lain."

"Apa katamu, nona? Kalau begitu engkau tidak akan percaya kepada kemampuan Matahari Merah dan Salju Putih kalau tidak membuktikan dan mengujinya sendiri?"

"Begitulah, pangcu."

"Beranikah engkau mengujinya? Ilmu itu sakti dan berbahaya sekali!"

"Kurasa tidak akan lebih berbahaya dari pada hui-kiam (pedang terbang) milikku,"

"Begitukah? Berani engkau mencobanya?"

"Kenapa tidak, pangcu? Apa lagi kalau mencoba denganmu, tentu engkau tidak akan sungguh-sungguh mencelakai aku."

"Bagus, mari kita saling menguji, nona. Kebetulan hawa udara begini dingin, satu-satunya cara terbaik untuk melawan dingin hanyalah dengan bermesraan atau latihan silat, ha-ha-ha!"

Mei Li tidak marah. Kini ia sudah terbiasa dengan ucapan yang ugal-ugalan dan tanpa disembunyikan, dan apa yang diucapkan ketua itu sama sekali tidak mengandung kemesuman, melainkan memang kenyataannya demikian. Apa yang lebih menghangatkan dari pada bermesraan di waktu hawa sedingin itu? Walaupun ucapan itu terlalu kasar, akan tetapi karena sejujurnya, ia dapat menerimanya tanpa tersipu atau marah.

"Sing!" Nampak dua sinar berkelebat dan tahu-tahu ia sudah memegang sepasang pedangnya. Sepasang pedang itu menyilang depan dada dengan gaya yang indah gagah.

Kembali ketua Bengkauw mengeluar kan suara tawa yang lantang sehingga limabelas orang tokoh Bengkauw memandang penuh perhatian dan merekapun merasa gembira karena maklum bahwa ketua mereka saling menguji ilmu kepandaian silat dengan nona yang berjuluk Hui-kiam Sian-li itu. Tanpa diperintah lagi mereka semua kini menjadi penonton yang tegang karena kalau ketua mereka yang bertanding, walaupun hanya sekedar latihan atau ujian, tehtu akan ramai sekali.

Sie Wan Cu memutar-mutar tangan kanannya dan per lahan-lahan tangan itu berubah menjadi merah sampai sebatas pergelangan tangan. "Nona, engkau boleh berkenalan dengan Matahari Merah!" katanya. "Awas, sambutlah!"

Nampak sinar menyambar ke arah Mei Li Gadis itu maklum betapa hebatnya sinar pukulan Matahari Merah itu, maka dengan gerakan ringan iapun mengelak dengan loncatan ke samping dan dari situ ia melepaskan pedang kirinya sambil berseru nyaring. "Lihat hui-kiam!"

Pedang itu meluncur dengan cepat. "Bagus!" seru Sie Wan Cu dan dia mengelak sambil mengulur tangan untuk menangkap. Akan tetapi dia terlalu memandang rendah kalau mengira dapat menangkap pedang terbang yang dilepas Mei Li. Dengan kedutan tangannya pedang itu dapat "mengelak" dari tangkapan lalu menukik dan kini masuk ke arah leher!

"Ah, lihai...!" Sie Wan Cu melompat ke samping dan mencoba untuk menendang pedang itu. Kembali pedang itu mengelak dan kini pedang ke dua menyambar dengan ganasnya. Ketua Bengkauw itu gembira sekali Dengan gerakan yang lincah dia menghindar, kemudian mengirim pukulan lagi dengan tangannya yang seperti membara itu. Hawa panas keluar dari kepalan tangan yang terbuka, menyambar ke arah Mei Li.

Gadis ini juga tidak berani menerima pukulan itu dengan langsung, hanya menangkis dari samping, itupun dengan pengerahan sin-kang sehingga dia tidak terpukul langsung oleh tenaga Matahari Merah. Kalau dara itu membalas dilain pihak Sie Wan Cu juga tidak berani sembarangan menangkis pedang terbang, hanya menyampok atau mencoba untuk menangkap saja.

Kalau tadinya Sie-pangcu masih tertawa-tawa, dan bersikap seperti main-main, kini suara tawanya lenyap, terganti dengan seruan-seruan kaget! Kalau tadi ketika mendengar laporan puteranya yang mengatakan bahwa kedua anaknya tidak mampu menandingi Mei Li masih dia anggap sebagai sikap rendah hati puteranya, kini dia tertegun. Dia mendapat kenyataan bahwa gadis ini benar-benar lihai bukan main!

Bukan hanya mampu menghindarkan diri dari setiap serangannya, bahkan serangan balasan dari sepasang pedang itu benar-benar amat berbahaya! Dan andaikata mereka berkelahi benar-benar, dia kini meragukan apakah dia akan mampu menundukkan gadis ini dalam waktu cepat. Sungguh merupakan kenyataan yang mengejutkan hatinya dan amat pahit rasanya.

Dia selalu merasa bahwa dia adalah tokoh yang terpandai, maka dia berani malang melintang. Jarang ada orang mampu menghadapi ilmunya Matahari Merah dan Salju Putih. Siapa kira, gadis yang usianya sebaya dengan puterinya ini mampu mengimbanginya, kenyataan ini sedikit banyak menyinggung harga dirinya dan ketua Beng-kauw ini mulai merasa penasaran.

"Auggghhh!' Dia mengeluarkan bentakan nyaring dan memutar tangan kirinya. Seketika tangan kirinya berubah warnanya menjadi pucat dan terasa hawa dingin sekali keluar dari tangan itu.

Mei Li cukup waspada. Sebelum tangan itu menampar, ia sudah dapat menduga bahwa tentu inilah ilmu Salju Putih, oleh karena itu cepat ia menghindar dan memutar pedang terbangnya melindungi tubuhnya, sementara pedang ke dua sudah terbang ke atas dan menukik, menyerang ke arah kepala!

Sie-pangcu yang sudah merasa penasaran sekali, menggerakkan kedua tangannya dan kini dua tangan yang mengandung dua kekuatan dahsyat menyambar-nyambar ganas! Mei Li terkejut karena ia dapat merasakan betapa ketua Bengkauw itu menyerang dengan sungguh-sungguh, bukan main-main lagi. Ini dapat membahayakan jiwanya!

Oleh karena itu iapun mengerahkan seluruh tenaganya, membuat sepasang pedangnya beterbangan dengan hebat, kalau perlu mencabut nyawa lawan bukan, karena kebencian atau marah melainkan untuk menyelamatkan nyawa sendiri. Dua macam ilmu yang dashyat, dimainkan oleh dua orang ahli bertemu di udara dan pilihannya hanya dua, dibunuh atau lebih dulu membunuh! Berulangkali keduanya nyaris menjadi korban serangan maut lawan, hanya selisih serambut saja.

Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan nyaring dan terjadi pertempuran besar di mana limabelas orang tokoh Bengkauw harus menghadapi serangan tujuh orang yang begitu tiba di situ langsung saja mengamuk. Dari gerakan mereka mudah diketahui bahwa tujuh orang ini adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian hebat sekali!

"Pangcu, tahan!" Seru Mei Li sambil meloncat dengan cepat sekali ke belakang.

Sie Pangcu mengangkat muka memandang dan tiba-tiba wajahnya berubah. "Tahan senjata, aku ingin bicara!" Teriakannya lantang sekali dan tujuh orang itu berhenti menyerang, menghadapinya dengan senyum simpul.

Mei Li berdiri dipinggir menonton. Dara ini heran melihat bahwa mereka itu kelihatan bukan orang jahat, bahkan ada seorang hwesio tinggi besar, dua orang tosu dan dua orang pula berpakaian mewah, sedangkan dua orang lagi adalah pemuda pemuda tampan dan gagah. la menduga-duga siapa gerangan tujuh orang itu.

"Sie-pangcu, sekali ini engkau takkan dapat lari dari kami, menyerahlah saja untuk kami bawa ke sidang pengadilan orang-orang kangouw!" kata seorang di antara mereka, yaitu hwesio yang tinggi besar.

"Hemm kulihat kalian ini bukan pengecut-pengecut rendah, akan tetapi kalian bersikap seperti penjahat-penjahat kecil, menyerang tanpa memperkenal kan nama! Aku Sie Wan Cu tidak sudi membunuh orang tanpa nama!"

"Omitohud, membunuh ular jahat memang tidak sepatutnya memakai banyak aturan, dan engkau lebih jahat dari pada ular berbisa, Sie Wan Cu. Ketahuilah bahwa pinceng adalah Hi Jin Hwe sio dari Siauw-lim-pai!"

"Pinto Pek Kong Sengjin dari kho-thong-pai." Tosu kedua memperkenalkan diri, dia pendek gendut dengan muka kuning, usianya lima puluhan tahun.

"Aku Ang-sin-liong Yu Kiat dari poat-kauw!" kata laki-laki limapuluh tahun yang tinggi tegap, tampan dan pakaiannya serba rnerah itu, sambil mengamangkan golok gergajinya yang menyeramkan.

"Tiat-sin-liong Lai Cin dari hoat-kauw!" kata orang kedua yang usianya empat puluh lima tahun, tinggi kurus muka pucat, sambil memegang tombak cagak ronce biru.

Diam-diam Sie-pangcu dari Bengkauw terkejut mendengar nama dua orang dari Bu-tek Ngo Sin-liong yang dia tahu amat tangguh ini.

"Sie Pangcu dari Bengkauw, kau ingin mengetahui namaku?" kata seorang pemuda yang tampan, halus berpakaian sastrawan serba putih yang memegang golok. "Namaku Tong Seng Gun, murid Nam-kiang-pang dan ini adalah suhengku, juga pemimpin besar kami, orang-orang yang anti Bengkauw, bernama Ciu Kang Hin!" Dia memperkenalkan pemuda lain yang tampan dan gagah, namun yang wajahnya muram dan sejak tadi tidak banyak bicara.

Kalau Sie Wan Cu terkejut mendengar nama-nama itu, terutama nama Ciu Kang Hin yang amat dibencinya karena kabarnya pemuda inilah yang paling gigih membasmi Bengkauw, Mei Li sebaliknya menjadi terheran-heran. Dari ayah ibunya ia banyak mendengar tentang orang-orang kangouw yang.gagah, pendekar-pendekar perkasa, akan tetapi mengapa sikap tujuh orang ini begitu congkak?

Dan diam-diam ia memperhatikan Ciu Kang Hin, karena ia sudah mendengar bahwa pemuda ini pembasmi Beng-kauw nomor satu. Akan tetapi pemuda itu tidak nampak ganas dan kejam, bahkan pendiam dan mukanya muram seperti orang berduka dan menimbulkan perasaan pribadi hatinya.

Melihat bahwa tujuh orang itu semua adalah musuh besar yang selalu mengejar-ngejar dan membasmi orang Beng-kauw Sie Pangcu maklum bahwa pertempuran mati-matian tak dapat dielakkan. Yang dia khawatirkan adalah putera dan puterinya. Mereka belum selesai latihan, dan kalau mereka diganggu, bisa menimbulkan malapetaka bagi mereka.

Dia memberi isyarat kepada anak buahnya dan berseru. "Serbu! Bunuh manusia sombong ini!"

Lima belas orang tokoh Bengkauw itu sudah menggerakkan senjata masing-masing, menyerang tujuh orang itu. Tang Seng Gun yang sesungguhnya memegang peran penting, bahkan dia yang se sungguhnya memimpin dalam rombongan itu, berseru kepada Ciu Kang Hin. "Su-heng, serbu dua buah guha itu!"

Dia sendiri bersama Ciu Kang Hin lalu menggerakkan goloknya, menerjang para tokoh Bengkauw yang menjaga di depan dua buah guha. Tong Seng Gun menyerbu para penjaga di depan guha inti salju sedangkan Ciu Kang Hin menerjang mereka yang berjaga di depan guha yang dikurung api unggun yang besar dan panas.

Sementara itu, lima orang tokoh Siauw-lim-pai, Butong-pai, Kong-thong pai dan Hoat-kauw sudah menggerakkan senjata mereka mengeroyok Sie-pangcu. Mei Li sendiri hanya berdiri terbelalak karena kagum dan bingung harus berbuat apa. Kalau ia membantu Bengkauw, berarti ia mencampuri urusan perkumpulan lain dan ayahnya tentu akan marah sekali kalau mendengar ini, dan berarti ia menanam bibit permusuhan dengan partai-partai besar seperti Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai dan lain-lain. Kalau diam saja, ia pun merasa tidak enak dan kasihan kepada Sie-pangcu yang dikeroyok lima orang lihai.

Apa lagi ketika ia mei ihat Tong seng Gun. Biarpun ia merasa heran melihat pemuda itu, akan tetapi ia masih mengenalnya dengan baik. Tidak mudah melupakan pemuda yang mendatangkan kesan mendalam di benaknya itu. la merasa heran melihat pemuda itu kini menggunakan sebatang golok yang lihai bukan main, tidak seperti dulu ketika ia pertama kali bertemu dengannya.

Ketika itu pemuda berpakaian serba putih itu mengunakan senjata suling! Yang jelas biarpun kejam, pemuda itu adalah seorang pendekar yang menentang kejahatan yang tanpa mengenal ampun telah membantai Tiat-ciang Hek-mo, raksasa kepala Hek I Kwi-pang perampok lembah Huangho itu, berikut belasan anak buahnya.

Pemuda itu telah menyelamatkan sepasang pengantin baru! Tentu saja ia tidak tahu bahkan tidak pernah mimpi bahwa pengantin wanita telah diperkosa oleh Seng Gun dan pengantin pria telah dilempar ke dalam jurang dan pengantin wanita kemudian membunuh diri ke dalam jurang pula!

Tidak enak kalau sekarang ia harus membantu Bengkauw menentang pemuda pendekar itu. Dengan bingung Mei Li me lihat betapa Seng Gun dan Kang Hin membabati para anggauta Beng-kauw itu seperti membabat rumput saja! Padahal belasan orang itu adalah tokoh-tokoh tingkat dua dari Bengkauw, rata-rata telah memiliki tingkat kepandaian tinggi.

Sementara itu, Sie Wan Cu yang dikeroyok lima orang itupun mengamuk bagaikan harimau terluka. Tangan kanan nya berubah merah dan mengeluarkan sinar seperti api kalau melancarkan pukulan, sedangkan tangan kirinya putih seperti salju. Karena mempelajari dua macam ilmu yang mengandung tenaga sin-kang yang berlawanan ini.

Sie Wan Cu tidak memiliki tenaga yang sepenuhnya, tidak dapat menguasai ilmu itu secara sempurna. Itulah sebabnya dia menyuruh Kwan Lee melatih Matahari Merah saja dan Kwan Eng melatih Salju Putih saja. Dengan melatih salah satu saja, kedua orang anaknya akan dapat menguasai ilmu itu sepenuhnya.

Akan tetapi, biarpun penguasaannya tidak sempurna, tetap saja kedua ilmu yang ampuh itu ternyata dahsyat sekali. Tangan kanannya mengeluarkan uap dan nampak kemerahan seperti api membara, dan hawa yang amat panas terasa oleh lawan-lawannya. Sedangkan tangan kirinya yang berwarna putih itu seperti es beku, mengeluarkan uap dingin yang terasa mengerikan kalau menyentuh lengan para pengeroyok.

"Omitohud, jahat... jahat...!" Hwesio tinggi besar dari Siauw-lim-pai dan kalau tadi dia hanya mengandalkan ujung lengan bajunya yang panjang lebar untuk menyerang Sie Wan Cu, dia mengeluarkan sebuah tongkat kuningan. Ketika tadi menggunakan ujung lengan baju, hwesio itu sempat menangkis sambaran tangan kanan Sie Wan Cu dan ujung lengan baju itu menjadi gosong terbakar, maka dia terkejut sekali dan melompat ke belakang, mencabut tongkat yang tadinya dia tancapkan di atas tanah.

Dengan tongkat kuningannya, hwesio tinggi besar itu bagaikan harimau tumbuh sayap. Ho Jin Hwesio adalah seorang hwesio tingkat dua dari perguruan Siauw-lim-pai, maka tentu saja ilmu kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi. Tongkatnya mengeluarkan suara mendengung-dengung ketika dia gerakkan merupakan serangan bertubi-tubi, menusuk, mengemplang, menyerampang dan setiap serangan itu mengandung tenaga dahsyat.

Sie Wan Cu mengamuk dan melihat hwesio itu memukul dengan pengerahan tenaga, dia memapaki dengan tangan kanannya. "Krakk....!" hebat bukan main pertemuan tenaga itu. Tangan yang menangkis itu membuat gerakan memutar dan ujung tongkat itupun patah! Ho Jin Hwesio terkejut dan dia melompat ke belakang.

Untung baginya bahwa para pengeroyok lain sudah mendesak Sie Wan Cu sehingga ketua Beng-kauw ini tidak dapat menyusulkan serangan kepadanya. Ho Jin Hwesio merasa penasaran sekali dan diapun nekat maju lagi menggunakan tongkatnya yang sudah buntung. Sekali ini, selagi ada kesempatan pengeroyok dengan beberapa orang tokoh lihai, dia harus berhasil membalaskan dendam suhengnya.

Suhengnya seorang tokoh Siauw-lim-pai yang lain, pernah bentrok dengan ketua Beng-kauw "itu dan dalam perkelahian itu, suhengnya merasakan penghinaan besar. Suhengnya tidak saja kalah, akan tetapi ketua Beng-kauw, itu tidak mau membunuhnya, hanya mematahkan tulang kakinya sehingga hwesio itu menjadi tapadaksa, jalannya terpincang pincang.

Hal ini membuat suhengnya merasa terhina dan tersiksa sekali sehingga ingatannya mulai berubah dan kini hanya tinggal saja bertapa, tak pernah mau mencampuri urusan dunia dan juga sikapnya berubah menjadi tidak waras! Kalau sekarang Ho Jin Hwesio dengan penuh semangat menerima ajakan Nam-kiang-pang untuk menyerbu Bengkauw, yang mereka lakukan bersama, hal itu semata untuk membalaskan sakit hati suhengnya, di samping untuk membasmi perkumpulan yang dianggap amat jahat dan sesat itu.

Kiang Cu Tojin, tosu tinggi kurus dari Butong-pai itu juga mengandung sakit hati yang mendalam kepada Sie Wan Cu. Seorang murid wanitanya, yang masih gadis, pernah bertemu dengan ketua Bengkauw itu, merasa tertarik sekali karena Sie Wan Cu memang memiliki daya tarik yang amat kuat bagi wanita. Ketika itu usia Sie Wan Cu empat puluh tahun dan murid Butong-pai itu tergila-gila kepadanya.

Dan ketua Bengkauw inipun tidak menolak. Mana mungkin bagi Sie Wan Cu untuk menolak rindu dendam seorang wanita? Dia melayani, merayu dan bermain cinta dengan gadis itu. Akan tetapi ketika wanita itu minta agar ia dinikah, menjadi isteri yang ke sekian, Sie Wan Cu tidak mau. Bukan dia tidak sayang kepada wanita itu, melainkan karena wanita itu murid Butong-pai yang dilarang untuk menikah. Dia tidak ingin membuat Butong-pai sakit hati kepadanya. Dia menolak dan gadis itu menjadi patah hati lalu membunuh diri!

Akhirnya, Kiang Cu Tojin guru wanita itu mengetahui persoalannya maka dia bersumpah untuk membunuh Sie Wan Cu dan begitu Nam-kiang-pang mengajak dia bekerja sama membasmi Bengkauw, serta-merta dia menyanggupi. Kini dengan pedangnya di tangan, dia mencari kesempatan untuk dapat memenggal pria yang dibencinya itu.

Ang-sin-Tiong Yu Kiat lebih sakit hati lagi kepada ketua Bengkau ini karena mendiang isterinya dahulu pernah dibikin tergila-gila oleh Sie Wan Cu. Pendeknya diantara lima orang tidak ada seorangpun yang suka kepadanya, maka mereka mengeroyok dengan tekad keras untuk membunuhnya.

Namun ternyata Sie Wan Cu bukan orang yang mudah ditundukkan. Lima orang pengeroyok itu rata-rata merupakan tokoh-tokoh besar di dunia persilatan dan mereka semua berusaha mati-matian untuk membunuh. Namun ketua Bengkauw itu dapat melakukan perlawanan dengan gigih sekali.

Setelah lewat pertempuran yang makan waktu lebih dari limapuluh jurus, barulah tongkat buntung Ho Jin Hwesio mampu menggebuk punggungnya dengan amat kuatnya sehingga terdengar tulang patah. Memang ada tulang iga Ketua Bengkauw yang patah, akan tetapi Sie Wan Cu malah mengeluarkan suara tawa dan dia menyerang dengan amat cepatnya kepada hwesio itu.

Terdengar teriakan mengerikan dan hwesio tinggi besar itu roboh terkapar dan menggelepar dengan muka berubah hangus. Melihat ini, empat orang tokoh yang lain menjadi marah dan mereka menggerakkan senjata lebih ganas lagi. Namun, Sie Wan Cu yang maklum bahwa dia tidak akan dapat mengalahkan para pengeroyoknya yang tingkat kepandaian masing-masing tidak berselisih jauh dengannya, kini menubruk ke arah Kiang Cu Tojin.

Tosu Butong-pai itu dengan penuh kebencian menyambut dengan tusukan pedangnya, namun Sie Wan Cu yang sudah nekat itu tertawa, menerima pedang dengan dadanya dan tangannya berhasil dapat mencengkeram pundak tosu itu. Ki ang Cu Tojin menggigil, mukanya berubah pucat sekali dan diapun roboh terkena cengkeraman ilmu Salju Putih dan tewas seketika.

Sie Wan Cu yang dadanya sudah di tembusi pedang masih dapat rnembalik dan mengirim pukulan Matahari Merah ke arah Ang-sin-liong Yu Kiat namun dari samping Pek Kong Seng-jin dari Kong-thong-pai sudah menggerakkan ruyungnya menghantam tengkuk Sie-Wan Cu.

"Prakk...!" Ruyung itu hancur berkeping-keping dan tubuh ketua Beng-kauw itu terpelanting. Dia bergulingan dan dari bawah kedua tangannya bergerak. Sinar kehitaman menyambar ke arah Pek Kong Sengjin, Ang-sin-liong Yu Kiat dan Tiat-sin-liong Lai Cin, namun tiga orang ini cepat menghindar dengan loncatan-loncatan ke samping sehingga jarum-jarum lembut itu tidak mengenai sasaran.

Sungguh mengagumkan sekali. Biarpun dadanya sudah tertembus pedang Kiang Cu Tojin, tulang iganya patah oleh hantaman tongkat Ho Jin Hwesio dan tengkuknya membuat ruyung Pek Kong Sengjin hancur berkeping, namun ketua Bengkauw itu masih sempat membunuh Ho Jin Hwesio dan Kiang Cu Tojin, kemudian menyerang tiga orang lawan lain dengan dahsyat, yaitu jarum-jarum yang biarpun amat halus namun mengandung racun maut dan hampir saja mencelakai tiga orang datuk itu. Dan kini dia masih sanggup untuk melompat bangun biarpun dia terhuyung lagi.

"Ha-ha-ha... majulah... kalian orang-orang pengecut yang menganggap diri sendiri gagah perkasa dan pendekar besar! Hayo maju!"

"Iblis jahanam!" bentak Pek Kong Sengjin.

Setan tua, kuantar kau ke neraka!" Ang-sin-liong Yu Kiat dan Tiat-sin-liong Lai Cin. Dua orang Bu-tek Ngo Sin-liong ini maju dengan cepat dan mengirim pukulan jarak jauh yang dahsyat ke arah ketua Beng-kauw yang sudah terluka parah itu. Sementara itu, Pek Kong Sengjin hanya menonton ka rena dia yakin bahwa ketua Bengkauw itu tidak akan mampu menyelamatkan diri lagi.

Akan tetapi pada saat itu tiba-tiba terdengar ledakan-ledakan dua kali dengan kerasnya dan dua buah guha itu jebol, dua sosok tubuh manusia menyambar keluar dan melayang seperti terbang. Itu adalah tubuh Sie Kwan Lee dan Sie Kwan Eng yang keluar dari tempat pertapaan atau latihan mereka.

Yang mengerikan, wajah Kwan Lee nampak seperti bara api, merah sekali sampai ke rambut-rambutnya, sedangkan wajah Kwan Eng nampak putih pucat seperti mayat, juga sampai ke rambut-rambutnya. Dan dua orang ini melayang ke arah ayah mereka yang saat itu sedang terancam pukulan maut dari Ang-sin-liong Yu Kiat dan Tiat-sin-liong Lai Cin.

Tentu saja dua orang dari Bu-tek Ngo Sin-liong kaget bukan main ketika ada bayangan menerkam ke arah mereka dibarengi angin dahsyat mendatangkan hawa yang satu panas seperti api yang lain dingin seperti es. Karena tidak tahu benda atau mahluk apa yang menerkam ke arah mereka, pukulan mereka terhadap Sie Wan Cu mereka urungkan dan mereka mengarahkan pukulan kepada penyerang itu. Ang-sin-liong Yu Kiat menyerang ke arah mahluk bermuka merah sedangkan sutenya menyerang ke arah mahluk bermuka putih.

"Dess!" Kedua orang datuk ini mengeluarkan teriak kaget dan roboh terjengkang. Biarpun mereka tadi sudah mengerahkan sinkang sekuatnya dan melindungi seluruh tubuh mereka, tetap saja mereka roboh pingsan!

"Ayah...!" Kwan Lee dan Kwan Eng segera berlutut dekat ayah mereka yang tadi terkulai lagi. Orang tua itu tersenyum lebar.

"Ha-ha-ha, Kwan Lee dan Kwan Eng. Kalian berhasil! Matipun aku tidak penasaran karena Bengkauw ada yang melanjutkan. Bangun.... bangun kembali Bengkauw.... dan kalian bantu nona itu...." Dia menuding dan kedua orang anaknya menoleh.

Mereka meiihat Yang Mei Li memainkan sepasang pedangnya menghadapi pengeroyokan dua orang muda yang lihai bukan main. Ternyata tadi Mei Li tidak dapat menahan dirinya lagi melihat Seng Gun menggunakan tangan besi membunuhi anggauta Beng-kauw. Hampir semua orang yang tadinya berjaga di depan dua guha itu sudah roboh dan dilihatnya pemuda yang seorang lagi tetap tidak pernah membunuh pengeroyoknya.

Yang bertangan maut adalah Seng Gun, dan hal ini membuat ia merasa makin tidak suka kepada pemuda yang dalam pertemuannya yang pertama kali juga sudah bertindak kejam sekali terhadap gerombolan penjahat. Ia segera meloncat dan menggunakan sepasang pedangnya untuk menahan gerakan Seng Gun dan Kang Hin, sekaligus menangkis golok kedua orang pemuda itu.

"Eh, Hui-kiam Sian-li....! Nah, kita berjumpa kembali, nona. Akan tetapi sekali ini engkau salah kira. Yang kau bantu ini adalah orang-orang Bengkauw, orang-orang jahat sekali!"

"Yang kusaksikan tadi, engkaulah yang jahat dan kejam, bukan orang lain," kata Mei Li dengan sikap tenang dan mata menantang.

Pada saat itu, orang-orang Beng-kauw sebanyak limabelas tinggal enam orang saja lagi dan mereka ini menghentikan serangan karena memang maklum bahwa mereka tidak akan menang melawan dua orang pemuda Nam-kiang-pang itu. Dan ketika Mei Li memandang, kebetulan sekali Kang Hin juga memandang kepadanya. Sinar mata penuh kemarahan bagaikan sepasang bintang berapi itu membuat pemuda itu menundukkan pandang matanya ke bawah, seperti orang yang merasa bersalah.

Namun, Seng Gun sebaliknya mengerutkan alisnya mendengar ucapan itu. "Hemm, kiranya engkau juga seorang gadis sesat! Kalau begitu, baik kuantar kau sekalian bersama mereka ke neraka!"

Mei Li tersenyum. "Agaknya, engkau sudah berlangganan dengan neraka, maka engkau tahu jalannya dan menjadi petunjuk jalan. Bagus, engkau sendiri sudah mengakui bahwa engkau langganan neraka."

Mei Li melihat betapa sinar mata pemuda yang pendiam tadi kini bersinar menyembunyikan kegelian hatinya, akan tetapi Seng Gun sudah marah sekali. Sambil mengeluarkan seruan nyaring, Seng Gun menyerang dengan goloknya. Mei Li menangkis dan pada saat itu juga pedang ke dua sudah menyambar ke arah leher Seng Gun.

Tentu saja Seng Gun terkejut sekali dan diapun segera memainkan ilmu yang baru saja dia latih dengan sempurna, yaitu Thian-te To-hoat yang ampuh. Seluruh anggauta Nam-kiang-pang hanya ada tiga orang saja yang menguasai ilmu ini, yaitu Tio-pangcu, Ciu Kang Hin, dan dia sendiri.

Akan tetapi sekali ini Seng Gun kecelik. Dia menemukan tanding yang tidak kalah hebatnya. Sepasang pedang yang beterbangan bagaikan dua ekor naga sakti itu benar-benar membuat dia menjadi bingung. Dia sudah mengerahkan tenaganya, namun ternyata tangan yang menggerakkan pedang terbang itupun kuat luar biasa, bahkan dalam hal kecepatan dia harus mengakui keunggulan lawan.
Sementara itu, tiga orang penyerbu, yaitu Ang-sin-liong Yu Kiat, Tiat-sin-liong Lai Cin, dan Pek-kong Sengjin dari Kong-thong-pai, juga terdesak hebat oleh kakak beradik Sie yang sudah menguasai Matahari Merah dan Salju Putih, bahkan makin lama gerakan kakak beradik itu semakin dahsyat karena mereka sudah mulai terbiasa dan tidak kaku lagi. Juga warna yang merah pada mu ka Kwan Lee dan warna putih pucat pada muka Kwan Eng sudah mulai menjadi normal kembali.

Melihat ini, Ciu Kang Hin mengambil keputusan tetap. Dia bersedih meilihat betapa Nam-kiang-pang kini menjadi gerombolan kejam, bahkan tokoh-tokoh pendekar dari berbagai partai persilatan kini ikut-ikutan hendak membasmi Beng-kauw. Dia merasa sedih kalau harus terlibat. Biarpun dia tahu pahwa Beng-kauw adalah aliran sesat dan di antara anggautanya mungkin banyak yang jahat, namun dia tidak percaya bahwa mereka semua itu jahat dan harus dibasmi habis, berikut anak-anak dan isteri mereka.

Seperti sekarang ini, dua orang putera dan puteri ketua Beng-kauw sedang melakukan tapa atau latihan ilmu Matahari Merah dan Salju Putih, dan dalam keadaan seperti itu, para pendekar menyerbu dan hendak membunuh mereka semua yang sedang tidak berdaya karena sedang latihan!

"Sute, cuwi enghiong, larilah! Biar aku yang menahan mereka!"

Dia sudah melihat robohnya dua orang, yaitu tokoh Siauw-lim-pai dan Butong-pai. Kalau dilanjutkan, setelah pemuda dan pemudi yang telah memiliki ilmu Matahari Merah dan Salju Putih itu muncul, tentu sutenya dan tiga orang tokoh lainnya akan tewas pula. Dari pada mereka yang tewas, biarlah dia yang akan mengorbankan diri dari pada hidup dalam keadaan tersiksa batinnya. Apa lagi kalau dia nanti menjadi ketua Nam-kiang-pang yang harus memimpin para anggauta membasmi Beng-kauw!

Dia lalu memutar otaknya dengan hebat, menahan sepasang pedang terbang. Dia kagum bukan main melihat munculnya gadis ini dan dia sama sekali tidak percaya bahwa gadis ini seorang jahat! Apa lagi mendengar pembicaraan antara sutenya dan gadis itu. Sutenya agaknya sudah mengenalnya dan gadis yang berjuluk Hui-kiam Sian-li (Dewi Pedang Terbang) itu sama sekali tidak menunjukkan watak jahat, walaupun ia pemberani bukan main.

Seng Gun terkejut dan girang melihat kenekatan suhengnya. Inilah kesempatan yang baik baginya. Biarlah Kang Hin sendiri menghadapi lawan tangguh dan tewas, sedangkan dia dapat meloloskan diri. Maka dia berseru, "Cukup, kita pergi sekarang, biar suheng menahan mereka!" setelah berkata demikian dia meloncat meninggalkan Kang Hin dan membantu tiga orang yang sedang menahan Kwan Lee dan Kwan Eng. Tiga orang ini tentu saja merasa lega.

Bagaimanapun juga, mereka sudah merasa bahwa mereka tidak akan mampu menandingi dua orang pemuda dan gadis yang memiliki ilmu aneh itu, maka ketika mendengar ucapan Seng Gun, mereka memutar senjata dengan dahsyat, memaksa Kwan Lee dan Kwan Eng mundur, kemudian mereka meloncat ke belakang dan bersama Seng Gun mereka melarikan diri Kwan Lee dan Kwan Eng tidak mengejar karena mereka sudah menghampiri ayah mereka yang terluka parah dan kini sudah bangkit duduk bersila untuk mengerahkan tenaga terakhir melawan maut yang hendak merenggut nyawanya.

"Ayah!" mereka berlutut didekat ayah mereka dan keduanya ingin membantu ayah mereka dengan menempel-kan telapak tangan di punggung.

Namun, Sie Wan Cu tersenyum mencegah mereka. "Jangan, tidak ada gunanya lagi aku akan mati.... akan tetapi aku puas, aku puas.... ha-ha-ha, kalian sudah berhasil. Dan gadis itu, ia ia baik sekali ah, Dewi Pedang Terbang kalian bantu ia, lawannya juga amat lihai..."

Kwan Lee dan Kwan Eng menengok. Mereka melihat Mei Li sedang bertanding melawan seorang pemuda yang bersenjatakan sebatang golok dan mereka benar-benar merasa kagum sekali. Pemuda itu tegap dan tampan, dan ilmu goloknya amat aneh. Golok itu berubah menjadi sinar bergulung-gulung bagaikan tirai sinar yang menyelubungi seluruh tubuhnya.

Dan biarpun sepasang pedang Mei Li beterbangan menyambar selalu dapat tertahan oleh gulungan sinar golok. Dua pedang itu bagaikan dua ekor burung walet emas yang menyambar-nyambar akan tetapi tidak dapat menembus tirai sinar. Sungguh merupakan pertandingan yang hebat sekali karena golok itupun tidak mampu melewati dua batang pedang.

"Ilmu golok yang hebat!" seru Kwan Lee.

"Itulah Thian-te To-hoat yang terkenal," kata ayah mereka. "Dan pemuda itu ahh, agaknya... dialah yang bernama Ciu Kang Hin...."

"Keparat....!!" mendengar nama itu, Kwan Lee segera meloncat dan ikut menyerang pemuda bergolok itu Kwan Lee bertanya kepada ayahnya, "Ayah menghendaki agar kita bunuh pemuda itu?"

Sie Wan Cu masih memandang pemuda itu dengan sinar mata tertarik lalu berkata lirih, "Jangan, jangan bunuh, sayang kalau ilmu golok itu dibawa mati.... tangkap saja, Kwan Lee tangkap dia hidup-hidup untukku..."

Biarpun merasa heran dan tidak mengerti mengapa ayahnya memerintahkan begitu, Kwan Lee segera meloncat dan diapun ikut pula mengeroyok Kang Hin yang sudah terdesak hebat ketika Kwan Lee melancarkan pukulan Salju Putih itu.

Sebetulnya hati Mei Li sudah tidak senang dengan adanya Kwan Eng yang melakukan pengeroyokan. Biarpun ia tidak dapat dibilang menguasai pertempuran dan keadaannya masih berimbang dengan golok pemuda perkasa itu, namun ia tidak kalah dan tidak membutuhkan bantuan.

Apalagi ia tadi melihat sendiri betapa lawannya itu hanya ingin menghalangi mereka mengejar teman-temannya. Pemuda itu mengorbankan diri untuk kawan-kawannya. Bahkan ketika melawannya, pemuda itu tidak menyerang dengan sungguh-sungguh, hanya lebih banyak menangkis dan menutup diri dengan sinar golok.

Kang Hin sendiri kagum bukan main melihat sepasang pedang terbang itu, maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang gadis yang amat lihai. Dan selagi dia mencari kesempatan untuk melarikan diri, ada angin dingin menyambar dari kiri. Dia terkejut dan cepat membuang diri ke belakang.

Kiranya yang menyerangnya adalah seorang gadis cantik yang wajahnya agak kepucat-pucatan dan tangannya juga putih sekali. Dia teringat akan percakapan sutenya dan rekan-rekannya tadi bahwa puteri ketua Bengkauw sedang berlatih ilmu Salju Putih, maka dia dapat menduga bahwa inilah agaknya puteri Bengkauw itu. Dia pun memutar goloknya lebih cepat untuk melindungi dirinya.

Namun ilmu yang baru saja disempurnakan Kwan Eng memang hebat sekali. Kini pertempuran itu menjadi pertempuran yang amat hebat, karena tiga macam ilmu yang pada waktu itu dapat dibilang merupakan tiga di antara ilmu-ilmu tertinggi di dunia persilatan, saling bertemu.

Narnun, karena Kang Hin dikeroyok, apa lagi karena dia memang tidak bermaksud untuk membunuh seorang di antara dua gadis cantik itu, mulai terdesak hebat dan pada saat Kwan Lee datang melompat ke situ, sebuah pukulan jarak jauh dengan tenaga Salju Putih sepenuhnya, dilancarkan oleh Kwan Eng dari belakang, membuat Kang Hin terhuyung dan kesempatan ini diperguna kan untuk menendang kakinya oleh Mei Li.

Tanpa dapat dicegah lagi tubuh Kang Hin terpelanting dan tusukan pedang terbang pada pergelangan tangannya membuat goloknya terlepas dan pada saat itu, Kwan Eng sudah meloncat dekat dan menggerakkan tangan untuk mengirim pukulan maut.

"Jangan bunuh....!" Mei Li berseru namun agaknya seruannya itu terlambat karena Kwan Eng sudah mengayun tangannya.

"Dukk!" Kwan Eng meloncat ke belakang dengan mata terbelalak melihat bahwa yang menangkis pukulan mautnya itu bukan lain adalah Kwan Lee. "Koko, kenapa kau melarangku? Gilakah kau?"

"Hush, moi-moi, ayah melarang kita."

Kwan Eng menjadi semakin heran. Sementara itu, Kang Hin bangkit duduk, pergelangan tangannya terluka sedikit oleh ujung pedang Mei Li. "Aku sudah kalah, bunuhlah aku!" katanya dengan suara datar.

Entah mengapa, suara itu begitu mengharukan hati Mei Li sehingga ia cepat maju dan menggerakkan tangannya. Sekali totok saja tubuh itu terkulai karena memang Kang Hin tidak bermaksud untuk mengelak atau menangkis. Dia sudah pasrah. Kwan Lee lalu mengeluarkan sabuk sutera yang kuat dan mengikat kedua tangan pemuda itu ke belakang, kemudian membebaskan totokan Mei Li.

"Kenapa engkau menangkap aku? Kenapa tidak kau bunuh saja aku?" tanya Kang Hin kepada Kwan Lee.

"Tidak perlu banyak bertanya. Engkau sudah menjadi tawanan kami dan hanya ayah yang akan memutuskan apa yang akan kami lakukan terhadap dirimu!"

Dengan kasar Kwan Lee menyeret tubuh Kang Hin, dibawa menghadap ayahnya. Ketua Bengkauw memandang dengan penuh perhatian kepada Kang Hin, dari kepala sampai ke kaki. "Heii, orang muda, apakah engkau yang bernama Ciu Kang Hin?"

"Benar, pangcu dan setelah sekarang saya tertawan, cepat bunuh saja aku," kata Kang Hin dengan suara dan sikap tenang. Dia memang tidak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini. Kematian tidak berarti meninggalkan sesuatu yang berharga baginya. Dan kedudukan ketua di Nam-kiang-pang sama sekali tidak dianggapnya sebagai suatu yang membahagiakan atau membanggakan, bahkan menjadi beban yang amat berat.

"Engkau yang dijuluki pembasmi Bengkauw nomor satu?" tanya pula ketua Bengkauw dengan suara lirih karena keadaannya sudah payah.

"Benar sekali..."

"Ayah, biar kuhancurkan kepalanya dengan tanganku!" Kwan Eng berseru marah.

"Kenapa?" Sie Wan Cu mendesak, memaksa diri, "Kenapa engkau begitu membenci kami?"

"Aku tidak membenci Bengkauw, hanya menentang semua perbuatan jahat, dilakukan oleh siapapun."

"Tapi engkau membunuh orang Bengkauw, bahkan wanita dan anak-anak."

"Aku tidak pernah membunuh wanita dan anak-anak. Aku hanya mengalahkan orang yang bertanding denganku. Aku bukan pembunuh."

"Bohong!" Bentak Kwan Eng. "Ayah, dia bohong, dia pengecut, tidak berani bertanggung jawab, tidak.berani mengakui perbuatahnya sendiri!"

Sie Wan Cu menyeringai menahan sakit dan dia menguatkan dirinya, karena agaknya dia tertarik sekali. "Tapi orang menganggap dirimu sebagi pembunuh nomor satu, pembasmi Bengkauw, engkau calon ketua Nam-kiang-pang."

"Itu fitnah, bohong. Kalau aku membunuh orang, tentu tidak akan kusangkal. Aku memang oleh suhu ditunjuk sebagai calon ketua Nam-kiang-pang dan memang suhu dan semua suheng sute bertekad membasmi Bengkauw. Akan tetapi aku tidak setuju. Terserah kalian percaya atau tidak, mau bunuh boleh bunuh, akan tetapi aku tidak mengingkari perbuatanku."

"Jahanam!" Kwan Eng sudah mengayun tangannya, akan tetapi ayahnya membentaknya sehingga gadis itu dengan merengut membatalkan niatnya.

"Ciu Kang Hin, apa hubunganmu dengan Ouw-sin-houw (Harimau Sakti Hitam) Ciu Teng?" tiba-tiba ketua Beng-kauw itu bertanya, sambil memandang tajam.

Pemuda itu nampak terkejut sekali, dan diapun mengangkat muka memandang kepada si penanya. "Mengapa pangcu bertanya demikian? Sebaiknya pangcu lekas berobat dan beristirahat, keadaan pangcu berbahaya sekali...." Kang Hin melihat betapa ketua itu menahan rasa sakit dan mukanya sudah mulai pucat, keringatnya membasahi muka dan leher.

"Jawab, apa hubunganmu dengan Ciu Teng?" ketua Bengkauw mengulang dan Kwan Lee mendesak, "Lebih baik kau cepat menjawab, Ciu Kang King."

Pemuda itu menundukkan mukanya. "Mendiang Ouw-sin-houw Ciu Teng adalah ayah kandungku," katanya dengan suara sedih.

Sie Wan Cu terkejut, matanya terbelalak, mulutnya ternganga, lalu dia tertawa, keras sekali tawanya. "Ha-ha-ha-ha, sudah kuduga, wajahmu mirip sekali. Ciu Kang Hin, tahukah engkau dengan siapa kau berhadapan? Aku Sie Wan Cu, adalah pamanmu, paman angkat. Ayah mu adalah kakak angkatku, apakah dia tidak pernah bercerita kepadamu?"

Pemuda itu memandang heran. "Paman? Ayah meninggal sejak aku masih kecil sekali, berusia tiga empat tahun. Ibu sudah meninggal lebih dulu, ketika melahirkan aku dan sejak kecil aku sebatang kara."

Mei Li menekan perasaannya yang merasa kasihan sekali kepada pemuda sederhana itu. Ketua Bengkauw itu memaksa diri berkata, "Ketika ayahmu muda, persis seperti engkau, kami bersumpah mengangkat saudara. Kami saling berpisah dan tidak pernah bertemu lagi karena ayahmu tidak setuju aku menjadi ketua Bengkauw. Jadi sejak kecil engkau menjadi murid di Nam-kiang-pang? Dan engkau memusuhi Bengkauw?"

"Pangcu..."

"Panggil aku paman agar arwah ayahmu tidak menjadi penasaran."

"Paman, terus terang sejak kecil aku menjadi murid Nam-kiang-pang dan perkumpulan itu selalu membela kebenaran dan keadilan dan aku bahkan di tunjuk oleh suhu untuk kelak menggantikan suhu. Akan tetapi, kemudian muncul peristiwa yang membuat Nam-kiang-pang berhadapan sebagai musuh Beng-kauw. Banyak anggauta kami terbunuh oleh Bengkauw sehingga timbul dendam sakit hati mendalam di Nam-kiang-pang. Kemudian aku ditunjuk oleh suhu untuk memimpin para anggauta memusuhi Bengkauw. Paman apa yang dapat kulakukan dalam hal ini? Aku sendiri, demi Tuhan, tidak pernah melakukan pembunuhan terhadap orang-orang yang tidak bersalah dan tidak berdaya, akan tetapi karena aku yang memimpin permusuhan itu, tentu saja aku yang dituding sebagai pembunuh nomor satu dari Beng-kauw."

"Bohong! Ayah, dia tentu bohong. Mana ada pencuri mengaku mencuri, pembunuh mengaku pembunuh? Tadi saja entah berapa banyak anggauta kita yang terbunuh olehnya. Itu mayat mereka masih berserakan!" kata Kwan Eng.

"Tidak, dia tidak berbohong!" tiba-tiba Mei Li berkata penuh keyakinan.

"Mei Li! Apa yang kau katakan ini? Baru saja engkau bertanding mati-matian melawan dia dan kini engkau malah membela dia? Apa artinya ini?"

"Artinya, Kwan Eng, bahwa aku bicara sejujurnya. Tadi, ketika terjadi pertempuran, aku cukup lama menjadi penonton. Kulihat dia ini bersama pemuda yang lain itu menyerang orang-orang Bengkauw di depan guha. Yang menyebar maut adalah pemuda yang melarikan diri itu, pemuda berpakaian sastrawan berwarna putih. Adapun dia ini, biarpun merobohkan pula banyak lawan, tidak melakukan pembunuhan satu kalipun. Bahkan ketika melawan aku tadi, dia lebih banyak melindungi diri saja."

"Aughh..."

"Ayah!" Kwan Lee dan Kwan Eng cepat menubruk ayahnya. Agaknya terlalu lama ketua Bengkauw ini menahan diri dan kini dia sudah hampir tidak kuat bertahan lagi.

"Kwan Lee, Kwan Eng, penuhilah pesanku terakhir ini" Dia menuding ke arah Kang Hin dengan telunjuk gemetar. "Aku pernah berhutang nyawa kepada ayahnya. Karena itu kalian harus... membebaskan dia..."

"Ayah!" Kwan Eng mulai menangis.

"Dan kau Dewi Pedang Terbang..." dia mencoba tersenyum dan Mei Li berlutut mendekatinya.

Hati gadis inipun seperti ditusuk rasanya karena dia telah merasa suka sekali kepada ketua Bengkauw yang jujur dan bicara secara terbuka itu. "Ya pangcu," katanya lirih.

Sie Wan Cu tertawa, "Heh-heh, aku... ah, aku masih mau menikah dengan mu.... ha-ha, sayang aku hampir putus nyawaku... tapi, Mei Li, maukah kau berjanji akan tetap bersahabat dengan Bengkauw?"

Mei Li menundukkan kepalanya dan dua titik air mata jatuh. la mengangguk. "Aku berjanji, pangcu."

"Ha-ha-ha, bagus sekali. Eh Kwan Lee, kalau kelak engkau tidak dapat menikah dengan seorang seperti Mei Li ini, engkau adalah seorang pria yang bodoh sekali. Dan kau Kwan Eng, Kang Hin ini adalah seorang yang sungguh patut menjadi suamimu..."

"Ayah!" Anak-anaknya, menubruk karena tiba-tiba saja ketua Bengkauw itu terkulai dan ketika mereka memeriksa, ternyata dia sudah meninggal.

Kwan Eng menjerit-jerit menangis sehingga Mei Li terbawa keharuan dan menangis pula, lalu ia merangkul dan menghibur Kwan Eng. Mei Li dan Kang Hin merasa terpaksa ikut berkabung ke rumah ketua Bengkauw.

Dan malam itu terjadi peristiwa yang sungguh menusuk perasaan Mei Li. Ketika keluarga sedang bersembahyang sambil menangis, tiba-tiba saja sepuluh orang wanita cantik yang menjadi isteri ketua Bengkauw itu, mencabut pedang dan menggorok leher sendiri di depan peti jenazah suami mereka! Mereka melakukan bunuh diri bersama, hal yang agaknya telah mereka sepakati bersama. Mereka semua amat mencinta suami mereka dan agaknya tidak sanggup hidup ditinggal mati suami itu.

Setelah pemakaman jenazah yang kini menjadi sebelas buah banyaknya itu selesai, Ciu Kang Hin berpamit dan pergi meninggalkan tempat itu dengan hanya meninggalkan kata-kata kepada Kwan Lee dan Kwan Eng,

"Aku berjanji akan membantu kalian membikin terang perkara ini, dan akan membersihkan kembali nama Bengkauw yang terkena fitnah."

Dan dia memberi hormat pula kepa da Mei Li, kemudian pergi dengan meninggalkan kesan mendalam di hati dua orang gadis tanpa diketahui orang lain. Terutama sekali Kwan Eng. Tadinya ia memang amat membenci Ciu Kang Hin. Akan tetapi setelah bertemu orangnya dan mendengar pesan ayahnya, rasa benci itu hilang dan sebagai gantinya, kata-kata ayahnya selalu terngiang di hatinya. Ayahnya menghendaki ia menjadi jodoh Ciu Kang Hin! Tentu saja hal itu tidak mungkin terjadi, berulang kali ia membantah suara hati sendiri.

Adapun Mei Li diam-diam juga merasa kagum dan suka sekali kepada pemuda yang pendiam itu. Bagaimana mungkin pemuda itu menjadi suheng dari Seng Gun yang demikian keras hati dan kejam? Akan tetapi karena Kang Hin seorang pendiam dan agak murung...

...Ada halaman yang hilang lagi...

"Dukk!" dan dia hanya mampu melengking panjang ketika tubuhnya melayang ke bawah. Seng Gun tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, mampus kamu pendeta tolol!"

Ang-sin-liong Yu Kiat menghampiri rekannya itu. "Aku tidak melihat perlu dan untungnya kau melakukan hal itu, Tong-taihiap."

"Ha-ha-ha-ha, engkau tidak melihatnya, paman? Aneh sekali, padahal alasannya demikian jelas. Kau lihat tadi dia membela suheng? Dia memuji-muji suheng, dan hal itu amat tidak menguntungkan kita! Pula, dua yang lain sudah tewas, tinggal dia. Kalau dibiarkan hidup, bagaimana kita dapat melempar fitnah kepada suheng? Tentu dia akan membela nama baik suheng mati-matian. Akan tetapi sekarang, kalau kita katakan bahwa kematian orang Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai dan Kong-thong-pai ini karena perbuatan suheng yang tidak bersungguh-sungguh melawan Bengkauw, tentu tidak akan ada yang menyangkal."

"Akan tetapi bagaimana kalau dia tidak mati?" bantah Tiat-sin-liong Lai Cin.

"Tidak mati? Siapa yang dapat bertahan hidup kalau terjungkal di jurang ini? Ha-ha. Jangan takut, paman Lai Cin. Apalagi, andaikata dia tidak mati, aku dapat mengatakan bahwa aku tidak sengaja mendorong dia ke dalam jurang. Kalian berdua menjadi saksinya, bukan? Keterangan dia melawan keterangan kalian berdua, apa artinya...?"
Selanjutnya,

Kisah Si Pedang Terbang Jilid 10

Kisah Si Pedang Terbang

Karya : Kho Ping Hoo
Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo
Jilid 10
IA tersenyum. "Pangcu, aku sama sekali tidak pernah memikirkan tentang perjodohan, harap engkau tidak bicara tentang itu. Dan aku selalu mau bersahabat dengan siapa saja asal orang itu tidak jahat."

"Bagus," dan kini sikap main-main itu lenyap, sang ketua nampak serius. "Kumpulkan semua pembantu utama kita di ruangan rapat agar mereka mendengarkan pembicaraan kita."

Kwan Lee lalu melaksanakan perintah ini dan tak lama kemudian mereka semua sudah berkumpul di ruangan besar. Ayah dan dua orang anak itu duduk semeja dengan Mei Li, para isteri tidak nampak lagi dan sebaliknya ada dua puluh orang lebih pimpinan Bengkauw yang hadir sebagai pendengar.

"Sekarang dengarkan baik-baik hasil penyelidikanku. Mereka semua, orang-orang kangouw yang menganggap diri pendekar, sudah siap untuk menghancurkan kita. Terutama sekali Nam-kian-pang yang dipimpin oleh Ciu Kang Hin. Kita harus dapat menangkap dan menghukumnya. Entah sudah berapa banyak orang kita tewas di tangan pemuda setan itu. Nam-kiang-pang bahkan telah minta bantuan partai-partai lain seperti Si-auw-lim-pai dan Butong-pai. Akan tetapi kita tidak perlu takut!"

"Benar, ayah. Kita adalah bangsa harimau yang memilih mati dengan seribu luka dari pada menjadi babi yang menguik-nguik menanti ajal!" kata Kwan Eng dengan gagah.

"Ayah, maafkan aku. Apakah tidak ada jalan lain?"

Orang gagah itu melotot. "Jalan lain apa maksudmu? Benar seperti apa yang diucapkan adikmu. Kalau harimau sudah tersudut, apa lagi yang harus di lakukan selain melawan mati-matian? Hanya pihak musuh atau kita yang akan hancur binasa."

"Tentu saja aku tidak menganjurkan untuk melarikan diri ketakutan, ayah. Akan tetapi kita dapat mencoba un tuk menyadarkan mereka, menerangkan salah sangka ini dan mengakhiri permusuhan."

"Aaah, kita akan dicap pengecut, koko!" bantah adiknya.

"Kau hanya mengandalkan kekerasan," cela kakaknya. "Kekerasan tanpa perhitungan bukanlah kegagahan namanya, melainkan kebodohan. Mati yang nekat adalah mati konyol, bukan mati gajah!"

"Cukup!" bentak ayah mereka. "Tidak perlu kita bercekcok. Di sini ada nona Yang Mei Li yang gagah perkasa. Coba kauutarakan pendapatmu, nona. Barangkali ada gunanya bagi kami."

"Sebetulriya saya tidak ingin mencampuri urusan dalam perkumpulan kalian, pangcu. Akan tetapi karena diminta, saya akan berterus terang saja. Pendapat toako Sie Kwan Lee dan pendapat Sie Kwan Eng keduanya benar dan alangkah baiknya kalau keduanya dipergunakan. Pertama-tama, diusahakan untuk memberi penerangan untuk membantah fitnah yang dijatuhkan kepada Bengkauw, untuk membersihkan nama Bengkauw. Tentu saja kalau memang ada anggauta Beng kauw yang bersalah, tidak ragu lagi untuk menjatuhkan hukuman setelah itu, kalau pihak sana masih terus menekan dan menyerang, apa boleh buat, haruslah dihadapi secara jantan!"

Ayah dan anak itu mengangguk-angguk setuju. "Kalau begitu, mulai sekarang kalian harus menyelesaikan latihan kalian. Agar latihan dapat dilakukan berbareng sehingga mudah menjaganya, kita pergunakan guha inti salju di puncak Tanduk Rusa. Puncak ini berada di pegunungan Thaisan yang seringkali tertutup salju".

"Akan tetapi aku membutuhkan tempat yang terpanas untuk menyempurnakan latihanku, ayah!" kata Kwan lee.

"Tentu saja! Akan tetapi tempat paling panas dapat dibuat dengan api, sedangkan tempat paling dingin haruslah buatan alam. Kita nanti memperguna kan guha batu di sana, kita panaskan dengan api menjadi tempat latihan baik untukmu."

Mei Li tertarik sekali. Ia memang seorang yang suka sekali akan ilmu silat. Maka mendengar cara berlatih dua macam ilmu yang dianggap unggul di dunia persilatan Itu, ingin ia menyaksikannya.

Seolah dapat membaca suara hati Mei Li Kwan Eng lalu menghampiri Mei Li dan menggunakan lengan melingkari pinggang dara itu dan berkata, "Mei Li, marilah kau temani, kami. Aku masih ingin mempererat persahabatan kita."

"Kalau kau suka aku akan senang sekali, nona. Pula, pemandangan alam di sana amat indahnya, kalau nona sedang merantau maka datang ke puncak Thai-san akan menyenangkan hati nona," kata pula Kwan Lee.

"Ha-ha, sebetulnya dilarang keras bagi orang luar untuk menyaksikan latihan yang penuh rahasia ini, akan tetapi nona Yang Mei Li sudah kami anggap sebagai keluarga sendiri. Tentu saja merupakan kebanggaan besar kalau nona suka menyaksikannya," kata pula Sie Wan Cu.

Mei Li memang tertarik sekali ke pada keluarga Bengkauw ini. Apalagi melihat kenyataan bahwa keluarga ini dimusuhi semua orang, membuat hatinya merasa penasaran. Dia tidak melihat sesuatu yang dapat dijadikan alasan cukup untuk membenci dan memusuhi keluarga ini.

"Baik, kalau kalian tidak merasa terganggu dengan kehadiranku, ingin aku menyaksikan" katanya dan ucapan ini disambut dengan seruan girang oleh Kwan Eng.

Pada hari itu juga, berangkatlah Sie Wan Cu dan dua orang anaknya, menunggang kuda di.temani oleh Mei Li dan diikuti pula oleh limabelas orang tokoh Bengkauw. Rombongan ini melakukan perjalanan dengan kuda dan cepat mereka menuju ke pegunungan Thai-san. Tidak sukar bagi rombongan itu menemukan Guha Inti Salju di puncak yang tertutup salju itu. Guha ini besar dan dalam, dan karena selamanya mengandung salju, dindingnya juga berkilauan karena membeku dan agaknya ada sesuatu di dalam guha itu yang menimbulkan keadaan seperti itu sehingga di sebut guha inti salju, dibagian dalamnya teramat dingin.

Ketika Mei Li ikut menasuki, ia harus mengerahkan tenaga sin-kang untuk melawan hawa dingin itu. Kwan Eng lalu ditinggal seorang diri dan dara ini duduk bersila di atas permukaan es yang membatu untuk melatih bagian terakhir dari ilmu Salju Putih.

Para pembantu lalu mempersiapkan guha untuk Kwan Lee berlatih. Memang terdapat guha-guha batu di tempat itu dan mereka mengumpulkan kayu, ditumpuk di sekeliling guha, menyiraminya dengan minyak lalu membakar tumpukan kayu itu. Terdengarlah bunyi berkeratak yang aneh dan nyaring ketika kayu basah itu terbakar karena sudah mengandung minyak.

Mereka terus mengumpulkan kayu dan menambah kayu setiap kali kayu menipis sehingga guha itu selalu di kelilingi api yang besar. Tentu saja di dalamnya segera menjadi panas bukan main. Kwan Lee lalu memasuki guha ini dan mulailah dia melatih bagian terakhir dari ilmu Matahari Merah.

Limabelas orang itu secara bergiliran menjaga siang malam di depan guha. Setelah lewat lima hari Mei Li merasa bosan juga. Mula-mula ia memang merasa senang karena seperti yang dikatakan Kwan Lee, pegunungan itu memiliki pemandangan yang indah sekali.

Akan tetapi setelah lima hari ia merasa kesepian, juga merasa tidak enak karena sikap Sie Wan Cu amat manis kepadanya, bahkan kini mulai merayu yang bagi umum tentu akan dianggap kurang ajar. Ia menghindar dengan halus dan harus diakui bahwa bagi wanita yang kurang kuat menjaga harga diri, tentu akan jatuh oleh rayuan maut laki-laki yang ganteng dan jantan ini.

Pada suatu pagi ketika Mei Li keluar dari guha yang ia pilih untuk ternpat melewatkan malam, Sie Wan Cu sudah menunggu di luar guha dan pria ini nampak segar dan wajahnya berseri. Ketika Mei Li muncul, dia segera bangkit dari tempat duduknya dan memandang dengan mata bagaikan orang terpesona.

"Nona Mei Li, engkau sungguh cantik jelita pagi ini! Kalau orang bertemu denganmu dan belum mengenalmu, tentu akan mengira engkau ini dewi penjaga gunung! Ah, semua pria akan suka berlutut memuja kecantikanmu."

Biarpun jantungnya merasa berdebar karena girang mendengar pujian yang berlebihan ini, namun Mei Li sengaja melempar senyum mengejek. "Sie-pangcu, sudahlah, simpan semua pujian dan rayuanmu itu. Aku tidak membutuhkan itu!"

Ia menggosok-gosok tangannya untuk mengusir dingin, semua tubuhnya tertutup kain hangat dan hanya sebagian mukanya saja terbuka. Pagi itu hawanya memang bukan main dinginnya dan semalam juga turun hujan salju yang cukup tebal.

"Lima hari sudah lewat, berapa lama lagikah Lee-twako dan Kwan Eng keluar dari dalam guha?" Ia menoleh ke arah dua buah guha yang nampak dari situ. Lebih menyenangkan menjaga guha api, karena dekat dengan guha itu akan terasa hangat.

"Bersabarlah, nona. Dua hari lagi, kalau tidak ada halangan, mereka akan menyelesaikan latihan mereka."

"Dan mereka akan menguasai iImu-ilmu yang hebat, menjadi orang sakti?"

Sie Wan Cu tertawa. "Ha-ha, mereka akan menjadi orang tanpa tanding, atau setidaknya akan sama lihai dengan ayahnya!" Ketua itu tertawa-tawa dan kalau dia tertawa seperti itu, wajahnya seperti orang berusia tigapuluh tahun saja.

Sombongnya, pikir Mei Li. Akan tetapi ia tertarik sekali Ingin ia menyaksikan dan merasakan sendiri bagaimana hebatnya kedua ilmu itu sehingga dipuji-puji oleh dunia kangouw. Kenapa ia tidak mengajak ketua ini untuk mencoba-coba dan menguji ilmu itu? Setidaknya dapat mengalihkan percakapan dan perhatiannya yang selalu memuji muji dan merayu.

"Pangcu, aku pernah mendengar tentang kehebatan Matahari Merah dan Salju Putih, akan tetapi hanya mendengar beritanya saja. Dan aku meragukan, karena biasanya berita itu dilebih-lebihkan dari kenyataannya."

Pria itu memangdang dengan alis berkerut. "Kau tidak percaya?"

"Aku bukan orang yang tahyul, pangcu. Aku hanya percaya kepada apa yang sudah kubuktikan sendiri, bukan hanya dari. kata-kata orang lain."

"Apa katamu, nona? Kalau begitu engkau tidak akan percaya kepada kemampuan Matahari Merah dan Salju Putih kalau tidak membuktikan dan mengujinya sendiri?"

"Begitulah, pangcu."

"Beranikah engkau mengujinya? Ilmu itu sakti dan berbahaya sekali!"

"Kurasa tidak akan lebih berbahaya dari pada hui-kiam (pedang terbang) milikku,"

"Begitukah? Berani engkau mencobanya?"

"Kenapa tidak, pangcu? Apa lagi kalau mencoba denganmu, tentu engkau tidak akan sungguh-sungguh mencelakai aku."

"Bagus, mari kita saling menguji, nona. Kebetulan hawa udara begini dingin, satu-satunya cara terbaik untuk melawan dingin hanyalah dengan bermesraan atau latihan silat, ha-ha-ha!"

Mei Li tidak marah. Kini ia sudah terbiasa dengan ucapan yang ugal-ugalan dan tanpa disembunyikan, dan apa yang diucapkan ketua itu sama sekali tidak mengandung kemesuman, melainkan memang kenyataannya demikian. Apa yang lebih menghangatkan dari pada bermesraan di waktu hawa sedingin itu? Walaupun ucapan itu terlalu kasar, akan tetapi karena sejujurnya, ia dapat menerimanya tanpa tersipu atau marah.

"Sing!" Nampak dua sinar berkelebat dan tahu-tahu ia sudah memegang sepasang pedangnya. Sepasang pedang itu menyilang depan dada dengan gaya yang indah gagah.

Kembali ketua Bengkauw mengeluar kan suara tawa yang lantang sehingga limabelas orang tokoh Bengkauw memandang penuh perhatian dan merekapun merasa gembira karena maklum bahwa ketua mereka saling menguji ilmu kepandaian silat dengan nona yang berjuluk Hui-kiam Sian-li itu. Tanpa diperintah lagi mereka semua kini menjadi penonton yang tegang karena kalau ketua mereka yang bertanding, walaupun hanya sekedar latihan atau ujian, tehtu akan ramai sekali.

Sie Wan Cu memutar-mutar tangan kanannya dan per lahan-lahan tangan itu berubah menjadi merah sampai sebatas pergelangan tangan. "Nona, engkau boleh berkenalan dengan Matahari Merah!" katanya. "Awas, sambutlah!"

Nampak sinar menyambar ke arah Mei Li Gadis itu maklum betapa hebatnya sinar pukulan Matahari Merah itu, maka dengan gerakan ringan iapun mengelak dengan loncatan ke samping dan dari situ ia melepaskan pedang kirinya sambil berseru nyaring. "Lihat hui-kiam!"

Pedang itu meluncur dengan cepat. "Bagus!" seru Sie Wan Cu dan dia mengelak sambil mengulur tangan untuk menangkap. Akan tetapi dia terlalu memandang rendah kalau mengira dapat menangkap pedang terbang yang dilepas Mei Li. Dengan kedutan tangannya pedang itu dapat "mengelak" dari tangkapan lalu menukik dan kini masuk ke arah leher!

"Ah, lihai...!" Sie Wan Cu melompat ke samping dan mencoba untuk menendang pedang itu. Kembali pedang itu mengelak dan kini pedang ke dua menyambar dengan ganasnya. Ketua Bengkauw itu gembira sekali Dengan gerakan yang lincah dia menghindar, kemudian mengirim pukulan lagi dengan tangannya yang seperti membara itu. Hawa panas keluar dari kepalan tangan yang terbuka, menyambar ke arah Mei Li.

Gadis ini juga tidak berani menerima pukulan itu dengan langsung, hanya menangkis dari samping, itupun dengan pengerahan sin-kang sehingga dia tidak terpukul langsung oleh tenaga Matahari Merah. Kalau dara itu membalas dilain pihak Sie Wan Cu juga tidak berani sembarangan menangkis pedang terbang, hanya menyampok atau mencoba untuk menangkap saja.

Kalau tadinya Sie-pangcu masih tertawa-tawa, dan bersikap seperti main-main, kini suara tawanya lenyap, terganti dengan seruan-seruan kaget! Kalau tadi ketika mendengar laporan puteranya yang mengatakan bahwa kedua anaknya tidak mampu menandingi Mei Li masih dia anggap sebagai sikap rendah hati puteranya, kini dia tertegun. Dia mendapat kenyataan bahwa gadis ini benar-benar lihai bukan main!

Bukan hanya mampu menghindarkan diri dari setiap serangannya, bahkan serangan balasan dari sepasang pedang itu benar-benar amat berbahaya! Dan andaikata mereka berkelahi benar-benar, dia kini meragukan apakah dia akan mampu menundukkan gadis ini dalam waktu cepat. Sungguh merupakan kenyataan yang mengejutkan hatinya dan amat pahit rasanya.

Dia selalu merasa bahwa dia adalah tokoh yang terpandai, maka dia berani malang melintang. Jarang ada orang mampu menghadapi ilmunya Matahari Merah dan Salju Putih. Siapa kira, gadis yang usianya sebaya dengan puterinya ini mampu mengimbanginya, kenyataan ini sedikit banyak menyinggung harga dirinya dan ketua Beng-kauw ini mulai merasa penasaran.

"Auggghhh!' Dia mengeluarkan bentakan nyaring dan memutar tangan kirinya. Seketika tangan kirinya berubah warnanya menjadi pucat dan terasa hawa dingin sekali keluar dari tangan itu.

Mei Li cukup waspada. Sebelum tangan itu menampar, ia sudah dapat menduga bahwa tentu inilah ilmu Salju Putih, oleh karena itu cepat ia menghindar dan memutar pedang terbangnya melindungi tubuhnya, sementara pedang ke dua sudah terbang ke atas dan menukik, menyerang ke arah kepala!

Sie-pangcu yang sudah merasa penasaran sekali, menggerakkan kedua tangannya dan kini dua tangan yang mengandung dua kekuatan dahsyat menyambar-nyambar ganas! Mei Li terkejut karena ia dapat merasakan betapa ketua Bengkauw itu menyerang dengan sungguh-sungguh, bukan main-main lagi. Ini dapat membahayakan jiwanya!

Oleh karena itu iapun mengerahkan seluruh tenaganya, membuat sepasang pedangnya beterbangan dengan hebat, kalau perlu mencabut nyawa lawan bukan, karena kebencian atau marah melainkan untuk menyelamatkan nyawa sendiri. Dua macam ilmu yang dashyat, dimainkan oleh dua orang ahli bertemu di udara dan pilihannya hanya dua, dibunuh atau lebih dulu membunuh! Berulangkali keduanya nyaris menjadi korban serangan maut lawan, hanya selisih serambut saja.

Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan nyaring dan terjadi pertempuran besar di mana limabelas orang tokoh Bengkauw harus menghadapi serangan tujuh orang yang begitu tiba di situ langsung saja mengamuk. Dari gerakan mereka mudah diketahui bahwa tujuh orang ini adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian hebat sekali!

"Pangcu, tahan!" Seru Mei Li sambil meloncat dengan cepat sekali ke belakang.

Sie Pangcu mengangkat muka memandang dan tiba-tiba wajahnya berubah. "Tahan senjata, aku ingin bicara!" Teriakannya lantang sekali dan tujuh orang itu berhenti menyerang, menghadapinya dengan senyum simpul.

Mei Li berdiri dipinggir menonton. Dara ini heran melihat bahwa mereka itu kelihatan bukan orang jahat, bahkan ada seorang hwesio tinggi besar, dua orang tosu dan dua orang pula berpakaian mewah, sedangkan dua orang lagi adalah pemuda pemuda tampan dan gagah. la menduga-duga siapa gerangan tujuh orang itu.

"Sie-pangcu, sekali ini engkau takkan dapat lari dari kami, menyerahlah saja untuk kami bawa ke sidang pengadilan orang-orang kangouw!" kata seorang di antara mereka, yaitu hwesio yang tinggi besar.

"Hemm kulihat kalian ini bukan pengecut-pengecut rendah, akan tetapi kalian bersikap seperti penjahat-penjahat kecil, menyerang tanpa memperkenal kan nama! Aku Sie Wan Cu tidak sudi membunuh orang tanpa nama!"

"Omitohud, membunuh ular jahat memang tidak sepatutnya memakai banyak aturan, dan engkau lebih jahat dari pada ular berbisa, Sie Wan Cu. Ketahuilah bahwa pinceng adalah Hi Jin Hwe sio dari Siauw-lim-pai!"

"Pinto Pek Kong Sengjin dari kho-thong-pai." Tosu kedua memperkenalkan diri, dia pendek gendut dengan muka kuning, usianya lima puluhan tahun.

"Aku Ang-sin-liong Yu Kiat dari poat-kauw!" kata laki-laki limapuluh tahun yang tinggi tegap, tampan dan pakaiannya serba rnerah itu, sambil mengamangkan golok gergajinya yang menyeramkan.

"Tiat-sin-liong Lai Cin dari hoat-kauw!" kata orang kedua yang usianya empat puluh lima tahun, tinggi kurus muka pucat, sambil memegang tombak cagak ronce biru.

Diam-diam Sie-pangcu dari Bengkauw terkejut mendengar nama dua orang dari Bu-tek Ngo Sin-liong yang dia tahu amat tangguh ini.

"Sie Pangcu dari Bengkauw, kau ingin mengetahui namaku?" kata seorang pemuda yang tampan, halus berpakaian sastrawan serba putih yang memegang golok. "Namaku Tong Seng Gun, murid Nam-kiang-pang dan ini adalah suhengku, juga pemimpin besar kami, orang-orang yang anti Bengkauw, bernama Ciu Kang Hin!" Dia memperkenalkan pemuda lain yang tampan dan gagah, namun yang wajahnya muram dan sejak tadi tidak banyak bicara.

Kalau Sie Wan Cu terkejut mendengar nama-nama itu, terutama nama Ciu Kang Hin yang amat dibencinya karena kabarnya pemuda inilah yang paling gigih membasmi Bengkauw, Mei Li sebaliknya menjadi terheran-heran. Dari ayah ibunya ia banyak mendengar tentang orang-orang kangouw yang.gagah, pendekar-pendekar perkasa, akan tetapi mengapa sikap tujuh orang ini begitu congkak?

Dan diam-diam ia memperhatikan Ciu Kang Hin, karena ia sudah mendengar bahwa pemuda ini pembasmi Beng-kauw nomor satu. Akan tetapi pemuda itu tidak nampak ganas dan kejam, bahkan pendiam dan mukanya muram seperti orang berduka dan menimbulkan perasaan pribadi hatinya.

Melihat bahwa tujuh orang itu semua adalah musuh besar yang selalu mengejar-ngejar dan membasmi orang Beng-kauw Sie Pangcu maklum bahwa pertempuran mati-matian tak dapat dielakkan. Yang dia khawatirkan adalah putera dan puterinya. Mereka belum selesai latihan, dan kalau mereka diganggu, bisa menimbulkan malapetaka bagi mereka.

Dia memberi isyarat kepada anak buahnya dan berseru. "Serbu! Bunuh manusia sombong ini!"

Lima belas orang tokoh Bengkauw itu sudah menggerakkan senjata masing-masing, menyerang tujuh orang itu. Tang Seng Gun yang sesungguhnya memegang peran penting, bahkan dia yang se sungguhnya memimpin dalam rombongan itu, berseru kepada Ciu Kang Hin. "Su-heng, serbu dua buah guha itu!"

Dia sendiri bersama Ciu Kang Hin lalu menggerakkan goloknya, menerjang para tokoh Bengkauw yang menjaga di depan dua buah guha. Tong Seng Gun menyerbu para penjaga di depan guha inti salju sedangkan Ciu Kang Hin menerjang mereka yang berjaga di depan guha yang dikurung api unggun yang besar dan panas.

Sementara itu, lima orang tokoh Siauw-lim-pai, Butong-pai, Kong-thong pai dan Hoat-kauw sudah menggerakkan senjata mereka mengeroyok Sie-pangcu. Mei Li sendiri hanya berdiri terbelalak karena kagum dan bingung harus berbuat apa. Kalau ia membantu Bengkauw, berarti ia mencampuri urusan perkumpulan lain dan ayahnya tentu akan marah sekali kalau mendengar ini, dan berarti ia menanam bibit permusuhan dengan partai-partai besar seperti Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai dan lain-lain. Kalau diam saja, ia pun merasa tidak enak dan kasihan kepada Sie-pangcu yang dikeroyok lima orang lihai.

Apa lagi ketika ia mei ihat Tong seng Gun. Biarpun ia merasa heran melihat pemuda itu, akan tetapi ia masih mengenalnya dengan baik. Tidak mudah melupakan pemuda yang mendatangkan kesan mendalam di benaknya itu. la merasa heran melihat pemuda itu kini menggunakan sebatang golok yang lihai bukan main, tidak seperti dulu ketika ia pertama kali bertemu dengannya.

Ketika itu pemuda berpakaian serba putih itu mengunakan senjata suling! Yang jelas biarpun kejam, pemuda itu adalah seorang pendekar yang menentang kejahatan yang tanpa mengenal ampun telah membantai Tiat-ciang Hek-mo, raksasa kepala Hek I Kwi-pang perampok lembah Huangho itu, berikut belasan anak buahnya.

Pemuda itu telah menyelamatkan sepasang pengantin baru! Tentu saja ia tidak tahu bahkan tidak pernah mimpi bahwa pengantin wanita telah diperkosa oleh Seng Gun dan pengantin pria telah dilempar ke dalam jurang dan pengantin wanita kemudian membunuh diri ke dalam jurang pula!

Tidak enak kalau sekarang ia harus membantu Bengkauw menentang pemuda pendekar itu. Dengan bingung Mei Li me lihat betapa Seng Gun dan Kang Hin membabati para anggauta Beng-kauw itu seperti membabat rumput saja! Padahal belasan orang itu adalah tokoh-tokoh tingkat dua dari Bengkauw, rata-rata telah memiliki tingkat kepandaian tinggi.

Sementara itu, Sie Wan Cu yang dikeroyok lima orang itupun mengamuk bagaikan harimau terluka. Tangan kanan nya berubah merah dan mengeluarkan sinar seperti api kalau melancarkan pukulan, sedangkan tangan kirinya putih seperti salju. Karena mempelajari dua macam ilmu yang mengandung tenaga sin-kang yang berlawanan ini.

Sie Wan Cu tidak memiliki tenaga yang sepenuhnya, tidak dapat menguasai ilmu itu secara sempurna. Itulah sebabnya dia menyuruh Kwan Lee melatih Matahari Merah saja dan Kwan Eng melatih Salju Putih saja. Dengan melatih salah satu saja, kedua orang anaknya akan dapat menguasai ilmu itu sepenuhnya.

Akan tetapi, biarpun penguasaannya tidak sempurna, tetap saja kedua ilmu yang ampuh itu ternyata dahsyat sekali. Tangan kanannya mengeluarkan uap dan nampak kemerahan seperti api membara, dan hawa yang amat panas terasa oleh lawan-lawannya. Sedangkan tangan kirinya yang berwarna putih itu seperti es beku, mengeluarkan uap dingin yang terasa mengerikan kalau menyentuh lengan para pengeroyok.

"Omitohud, jahat... jahat...!" Hwesio tinggi besar dari Siauw-lim-pai dan kalau tadi dia hanya mengandalkan ujung lengan bajunya yang panjang lebar untuk menyerang Sie Wan Cu, dia mengeluarkan sebuah tongkat kuningan. Ketika tadi menggunakan ujung lengan baju, hwesio itu sempat menangkis sambaran tangan kanan Sie Wan Cu dan ujung lengan baju itu menjadi gosong terbakar, maka dia terkejut sekali dan melompat ke belakang, mencabut tongkat yang tadinya dia tancapkan di atas tanah.

Dengan tongkat kuningannya, hwesio tinggi besar itu bagaikan harimau tumbuh sayap. Ho Jin Hwesio adalah seorang hwesio tingkat dua dari perguruan Siauw-lim-pai, maka tentu saja ilmu kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi. Tongkatnya mengeluarkan suara mendengung-dengung ketika dia gerakkan merupakan serangan bertubi-tubi, menusuk, mengemplang, menyerampang dan setiap serangan itu mengandung tenaga dahsyat.

Sie Wan Cu mengamuk dan melihat hwesio itu memukul dengan pengerahan tenaga, dia memapaki dengan tangan kanannya. "Krakk....!" hebat bukan main pertemuan tenaga itu. Tangan yang menangkis itu membuat gerakan memutar dan ujung tongkat itupun patah! Ho Jin Hwesio terkejut dan dia melompat ke belakang.

Untung baginya bahwa para pengeroyok lain sudah mendesak Sie Wan Cu sehingga ketua Beng-kauw ini tidak dapat menyusulkan serangan kepadanya. Ho Jin Hwesio merasa penasaran sekali dan diapun nekat maju lagi menggunakan tongkatnya yang sudah buntung. Sekali ini, selagi ada kesempatan pengeroyok dengan beberapa orang tokoh lihai, dia harus berhasil membalaskan dendam suhengnya.

Suhengnya seorang tokoh Siauw-lim-pai yang lain, pernah bentrok dengan ketua Beng-kauw "itu dan dalam perkelahian itu, suhengnya merasakan penghinaan besar. Suhengnya tidak saja kalah, akan tetapi ketua Beng-kauw, itu tidak mau membunuhnya, hanya mematahkan tulang kakinya sehingga hwesio itu menjadi tapadaksa, jalannya terpincang pincang.

Hal ini membuat suhengnya merasa terhina dan tersiksa sekali sehingga ingatannya mulai berubah dan kini hanya tinggal saja bertapa, tak pernah mau mencampuri urusan dunia dan juga sikapnya berubah menjadi tidak waras! Kalau sekarang Ho Jin Hwesio dengan penuh semangat menerima ajakan Nam-kiang-pang untuk menyerbu Bengkauw, yang mereka lakukan bersama, hal itu semata untuk membalaskan sakit hati suhengnya, di samping untuk membasmi perkumpulan yang dianggap amat jahat dan sesat itu.

Kiang Cu Tojin, tosu tinggi kurus dari Butong-pai itu juga mengandung sakit hati yang mendalam kepada Sie Wan Cu. Seorang murid wanitanya, yang masih gadis, pernah bertemu dengan ketua Bengkauw itu, merasa tertarik sekali karena Sie Wan Cu memang memiliki daya tarik yang amat kuat bagi wanita. Ketika itu usia Sie Wan Cu empat puluh tahun dan murid Butong-pai itu tergila-gila kepadanya.

Dan ketua Bengkauw inipun tidak menolak. Mana mungkin bagi Sie Wan Cu untuk menolak rindu dendam seorang wanita? Dia melayani, merayu dan bermain cinta dengan gadis itu. Akan tetapi ketika wanita itu minta agar ia dinikah, menjadi isteri yang ke sekian, Sie Wan Cu tidak mau. Bukan dia tidak sayang kepada wanita itu, melainkan karena wanita itu murid Butong-pai yang dilarang untuk menikah. Dia tidak ingin membuat Butong-pai sakit hati kepadanya. Dia menolak dan gadis itu menjadi patah hati lalu membunuh diri!

Akhirnya, Kiang Cu Tojin guru wanita itu mengetahui persoalannya maka dia bersumpah untuk membunuh Sie Wan Cu dan begitu Nam-kiang-pang mengajak dia bekerja sama membasmi Bengkauw, serta-merta dia menyanggupi. Kini dengan pedangnya di tangan, dia mencari kesempatan untuk dapat memenggal pria yang dibencinya itu.

Ang-sin-Tiong Yu Kiat lebih sakit hati lagi kepada ketua Bengkau ini karena mendiang isterinya dahulu pernah dibikin tergila-gila oleh Sie Wan Cu. Pendeknya diantara lima orang tidak ada seorangpun yang suka kepadanya, maka mereka mengeroyok dengan tekad keras untuk membunuhnya.

Namun ternyata Sie Wan Cu bukan orang yang mudah ditundukkan. Lima orang pengeroyok itu rata-rata merupakan tokoh-tokoh besar di dunia persilatan dan mereka semua berusaha mati-matian untuk membunuh. Namun ketua Bengkauw itu dapat melakukan perlawanan dengan gigih sekali.

Setelah lewat pertempuran yang makan waktu lebih dari limapuluh jurus, barulah tongkat buntung Ho Jin Hwesio mampu menggebuk punggungnya dengan amat kuatnya sehingga terdengar tulang patah. Memang ada tulang iga Ketua Bengkauw yang patah, akan tetapi Sie Wan Cu malah mengeluarkan suara tawa dan dia menyerang dengan amat cepatnya kepada hwesio itu.

Terdengar teriakan mengerikan dan hwesio tinggi besar itu roboh terkapar dan menggelepar dengan muka berubah hangus. Melihat ini, empat orang tokoh yang lain menjadi marah dan mereka menggerakkan senjata lebih ganas lagi. Namun, Sie Wan Cu yang maklum bahwa dia tidak akan dapat mengalahkan para pengeroyoknya yang tingkat kepandaian masing-masing tidak berselisih jauh dengannya, kini menubruk ke arah Kiang Cu Tojin.

Tosu Butong-pai itu dengan penuh kebencian menyambut dengan tusukan pedangnya, namun Sie Wan Cu yang sudah nekat itu tertawa, menerima pedang dengan dadanya dan tangannya berhasil dapat mencengkeram pundak tosu itu. Ki ang Cu Tojin menggigil, mukanya berubah pucat sekali dan diapun roboh terkena cengkeraman ilmu Salju Putih dan tewas seketika.

Sie Wan Cu yang dadanya sudah di tembusi pedang masih dapat rnembalik dan mengirim pukulan Matahari Merah ke arah Ang-sin-liong Yu Kiat namun dari samping Pek Kong Seng-jin dari Kong-thong-pai sudah menggerakkan ruyungnya menghantam tengkuk Sie-Wan Cu.

"Prakk...!" Ruyung itu hancur berkeping-keping dan tubuh ketua Beng-kauw itu terpelanting. Dia bergulingan dan dari bawah kedua tangannya bergerak. Sinar kehitaman menyambar ke arah Pek Kong Sengjin, Ang-sin-liong Yu Kiat dan Tiat-sin-liong Lai Cin, namun tiga orang ini cepat menghindar dengan loncatan-loncatan ke samping sehingga jarum-jarum lembut itu tidak mengenai sasaran.

Sungguh mengagumkan sekali. Biarpun dadanya sudah tertembus pedang Kiang Cu Tojin, tulang iganya patah oleh hantaman tongkat Ho Jin Hwesio dan tengkuknya membuat ruyung Pek Kong Sengjin hancur berkeping, namun ketua Bengkauw itu masih sempat membunuh Ho Jin Hwesio dan Kiang Cu Tojin, kemudian menyerang tiga orang lawan lain dengan dahsyat, yaitu jarum-jarum yang biarpun amat halus namun mengandung racun maut dan hampir saja mencelakai tiga orang datuk itu. Dan kini dia masih sanggup untuk melompat bangun biarpun dia terhuyung lagi.

"Ha-ha-ha... majulah... kalian orang-orang pengecut yang menganggap diri sendiri gagah perkasa dan pendekar besar! Hayo maju!"

"Iblis jahanam!" bentak Pek Kong Sengjin.

Setan tua, kuantar kau ke neraka!" Ang-sin-liong Yu Kiat dan Tiat-sin-liong Lai Cin. Dua orang Bu-tek Ngo Sin-liong ini maju dengan cepat dan mengirim pukulan jarak jauh yang dahsyat ke arah ketua Beng-kauw yang sudah terluka parah itu. Sementara itu, Pek Kong Sengjin hanya menonton ka rena dia yakin bahwa ketua Bengkauw itu tidak akan mampu menyelamatkan diri lagi.

Akan tetapi pada saat itu tiba-tiba terdengar ledakan-ledakan dua kali dengan kerasnya dan dua buah guha itu jebol, dua sosok tubuh manusia menyambar keluar dan melayang seperti terbang. Itu adalah tubuh Sie Kwan Lee dan Sie Kwan Eng yang keluar dari tempat pertapaan atau latihan mereka.

Yang mengerikan, wajah Kwan Lee nampak seperti bara api, merah sekali sampai ke rambut-rambutnya, sedangkan wajah Kwan Eng nampak putih pucat seperti mayat, juga sampai ke rambut-rambutnya. Dan dua orang ini melayang ke arah ayah mereka yang saat itu sedang terancam pukulan maut dari Ang-sin-liong Yu Kiat dan Tiat-sin-liong Lai Cin.

Tentu saja dua orang dari Bu-tek Ngo Sin-liong kaget bukan main ketika ada bayangan menerkam ke arah mereka dibarengi angin dahsyat mendatangkan hawa yang satu panas seperti api yang lain dingin seperti es. Karena tidak tahu benda atau mahluk apa yang menerkam ke arah mereka, pukulan mereka terhadap Sie Wan Cu mereka urungkan dan mereka mengarahkan pukulan kepada penyerang itu. Ang-sin-liong Yu Kiat menyerang ke arah mahluk bermuka merah sedangkan sutenya menyerang ke arah mahluk bermuka putih.

"Dess!" Kedua orang datuk ini mengeluarkan teriak kaget dan roboh terjengkang. Biarpun mereka tadi sudah mengerahkan sinkang sekuatnya dan melindungi seluruh tubuh mereka, tetap saja mereka roboh pingsan!

"Ayah...!" Kwan Lee dan Kwan Eng segera berlutut dekat ayah mereka yang tadi terkulai lagi. Orang tua itu tersenyum lebar.

"Ha-ha-ha, Kwan Lee dan Kwan Eng. Kalian berhasil! Matipun aku tidak penasaran karena Bengkauw ada yang melanjutkan. Bangun.... bangun kembali Bengkauw.... dan kalian bantu nona itu...." Dia menuding dan kedua orang anaknya menoleh.

Mereka meiihat Yang Mei Li memainkan sepasang pedangnya menghadapi pengeroyokan dua orang muda yang lihai bukan main. Ternyata tadi Mei Li tidak dapat menahan dirinya lagi melihat Seng Gun menggunakan tangan besi membunuhi anggauta Beng-kauw. Hampir semua orang yang tadinya berjaga di depan dua guha itu sudah roboh dan dilihatnya pemuda yang seorang lagi tetap tidak pernah membunuh pengeroyoknya.

Yang bertangan maut adalah Seng Gun, dan hal ini membuat ia merasa makin tidak suka kepada pemuda yang dalam pertemuannya yang pertama kali juga sudah bertindak kejam sekali terhadap gerombolan penjahat. Ia segera meloncat dan menggunakan sepasang pedangnya untuk menahan gerakan Seng Gun dan Kang Hin, sekaligus menangkis golok kedua orang pemuda itu.

"Eh, Hui-kiam Sian-li....! Nah, kita berjumpa kembali, nona. Akan tetapi sekali ini engkau salah kira. Yang kau bantu ini adalah orang-orang Bengkauw, orang-orang jahat sekali!"

"Yang kusaksikan tadi, engkaulah yang jahat dan kejam, bukan orang lain," kata Mei Li dengan sikap tenang dan mata menantang.

Pada saat itu, orang-orang Beng-kauw sebanyak limabelas tinggal enam orang saja lagi dan mereka ini menghentikan serangan karena memang maklum bahwa mereka tidak akan menang melawan dua orang pemuda Nam-kiang-pang itu. Dan ketika Mei Li memandang, kebetulan sekali Kang Hin juga memandang kepadanya. Sinar mata penuh kemarahan bagaikan sepasang bintang berapi itu membuat pemuda itu menundukkan pandang matanya ke bawah, seperti orang yang merasa bersalah.

Namun, Seng Gun sebaliknya mengerutkan alisnya mendengar ucapan itu. "Hemm, kiranya engkau juga seorang gadis sesat! Kalau begitu, baik kuantar kau sekalian bersama mereka ke neraka!"

Mei Li tersenyum. "Agaknya, engkau sudah berlangganan dengan neraka, maka engkau tahu jalannya dan menjadi petunjuk jalan. Bagus, engkau sendiri sudah mengakui bahwa engkau langganan neraka."

Mei Li melihat betapa sinar mata pemuda yang pendiam tadi kini bersinar menyembunyikan kegelian hatinya, akan tetapi Seng Gun sudah marah sekali. Sambil mengeluarkan seruan nyaring, Seng Gun menyerang dengan goloknya. Mei Li menangkis dan pada saat itu juga pedang ke dua sudah menyambar ke arah leher Seng Gun.

Tentu saja Seng Gun terkejut sekali dan diapun segera memainkan ilmu yang baru saja dia latih dengan sempurna, yaitu Thian-te To-hoat yang ampuh. Seluruh anggauta Nam-kiang-pang hanya ada tiga orang saja yang menguasai ilmu ini, yaitu Tio-pangcu, Ciu Kang Hin, dan dia sendiri.

Akan tetapi sekali ini Seng Gun kecelik. Dia menemukan tanding yang tidak kalah hebatnya. Sepasang pedang yang beterbangan bagaikan dua ekor naga sakti itu benar-benar membuat dia menjadi bingung. Dia sudah mengerahkan tenaganya, namun ternyata tangan yang menggerakkan pedang terbang itupun kuat luar biasa, bahkan dalam hal kecepatan dia harus mengakui keunggulan lawan.
Sementara itu, tiga orang penyerbu, yaitu Ang-sin-liong Yu Kiat, Tiat-sin-liong Lai Cin, dan Pek-kong Sengjin dari Kong-thong-pai, juga terdesak hebat oleh kakak beradik Sie yang sudah menguasai Matahari Merah dan Salju Putih, bahkan makin lama gerakan kakak beradik itu semakin dahsyat karena mereka sudah mulai terbiasa dan tidak kaku lagi. Juga warna yang merah pada mu ka Kwan Lee dan warna putih pucat pada muka Kwan Eng sudah mulai menjadi normal kembali.

Melihat ini, Ciu Kang Hin mengambil keputusan tetap. Dia bersedih meilihat betapa Nam-kiang-pang kini menjadi gerombolan kejam, bahkan tokoh-tokoh pendekar dari berbagai partai persilatan kini ikut-ikutan hendak membasmi Beng-kauw. Dia merasa sedih kalau harus terlibat. Biarpun dia tahu pahwa Beng-kauw adalah aliran sesat dan di antara anggautanya mungkin banyak yang jahat, namun dia tidak percaya bahwa mereka semua itu jahat dan harus dibasmi habis, berikut anak-anak dan isteri mereka.

Seperti sekarang ini, dua orang putera dan puteri ketua Beng-kauw sedang melakukan tapa atau latihan ilmu Matahari Merah dan Salju Putih, dan dalam keadaan seperti itu, para pendekar menyerbu dan hendak membunuh mereka semua yang sedang tidak berdaya karena sedang latihan!

"Sute, cuwi enghiong, larilah! Biar aku yang menahan mereka!"

Dia sudah melihat robohnya dua orang, yaitu tokoh Siauw-lim-pai dan Butong-pai. Kalau dilanjutkan, setelah pemuda dan pemudi yang telah memiliki ilmu Matahari Merah dan Salju Putih itu muncul, tentu sutenya dan tiga orang tokoh lainnya akan tewas pula. Dari pada mereka yang tewas, biarlah dia yang akan mengorbankan diri dari pada hidup dalam keadaan tersiksa batinnya. Apa lagi kalau dia nanti menjadi ketua Nam-kiang-pang yang harus memimpin para anggauta membasmi Beng-kauw!

Dia lalu memutar otaknya dengan hebat, menahan sepasang pedang terbang. Dia kagum bukan main melihat munculnya gadis ini dan dia sama sekali tidak percaya bahwa gadis ini seorang jahat! Apa lagi mendengar pembicaraan antara sutenya dan gadis itu. Sutenya agaknya sudah mengenalnya dan gadis yang berjuluk Hui-kiam Sian-li (Dewi Pedang Terbang) itu sama sekali tidak menunjukkan watak jahat, walaupun ia pemberani bukan main.

Seng Gun terkejut dan girang melihat kenekatan suhengnya. Inilah kesempatan yang baik baginya. Biarlah Kang Hin sendiri menghadapi lawan tangguh dan tewas, sedangkan dia dapat meloloskan diri. Maka dia berseru, "Cukup, kita pergi sekarang, biar suheng menahan mereka!" setelah berkata demikian dia meloncat meninggalkan Kang Hin dan membantu tiga orang yang sedang menahan Kwan Lee dan Kwan Eng. Tiga orang ini tentu saja merasa lega.

Bagaimanapun juga, mereka sudah merasa bahwa mereka tidak akan mampu menandingi dua orang pemuda dan gadis yang memiliki ilmu aneh itu, maka ketika mendengar ucapan Seng Gun, mereka memutar senjata dengan dahsyat, memaksa Kwan Lee dan Kwan Eng mundur, kemudian mereka meloncat ke belakang dan bersama Seng Gun mereka melarikan diri Kwan Lee dan Kwan Eng tidak mengejar karena mereka sudah menghampiri ayah mereka yang terluka parah dan kini sudah bangkit duduk bersila untuk mengerahkan tenaga terakhir melawan maut yang hendak merenggut nyawanya.

"Ayah!" mereka berlutut didekat ayah mereka dan keduanya ingin membantu ayah mereka dengan menempel-kan telapak tangan di punggung.

Namun, Sie Wan Cu tersenyum mencegah mereka. "Jangan, tidak ada gunanya lagi aku akan mati.... akan tetapi aku puas, aku puas.... ha-ha-ha, kalian sudah berhasil. Dan gadis itu, ia ia baik sekali ah, Dewi Pedang Terbang kalian bantu ia, lawannya juga amat lihai..."

Kwan Lee dan Kwan Eng menengok. Mereka melihat Mei Li sedang bertanding melawan seorang pemuda yang bersenjatakan sebatang golok dan mereka benar-benar merasa kagum sekali. Pemuda itu tegap dan tampan, dan ilmu goloknya amat aneh. Golok itu berubah menjadi sinar bergulung-gulung bagaikan tirai sinar yang menyelubungi seluruh tubuhnya.

Dan biarpun sepasang pedang Mei Li beterbangan menyambar selalu dapat tertahan oleh gulungan sinar golok. Dua pedang itu bagaikan dua ekor burung walet emas yang menyambar-nyambar akan tetapi tidak dapat menembus tirai sinar. Sungguh merupakan pertandingan yang hebat sekali karena golok itupun tidak mampu melewati dua batang pedang.

"Ilmu golok yang hebat!" seru Kwan Lee.

"Itulah Thian-te To-hoat yang terkenal," kata ayah mereka. "Dan pemuda itu ahh, agaknya... dialah yang bernama Ciu Kang Hin...."

"Keparat....!!" mendengar nama itu, Kwan Lee segera meloncat dan ikut menyerang pemuda bergolok itu Kwan Lee bertanya kepada ayahnya, "Ayah menghendaki agar kita bunuh pemuda itu?"

Sie Wan Cu masih memandang pemuda itu dengan sinar mata tertarik lalu berkata lirih, "Jangan, jangan bunuh, sayang kalau ilmu golok itu dibawa mati.... tangkap saja, Kwan Lee tangkap dia hidup-hidup untukku..."

Biarpun merasa heran dan tidak mengerti mengapa ayahnya memerintahkan begitu, Kwan Lee segera meloncat dan diapun ikut pula mengeroyok Kang Hin yang sudah terdesak hebat ketika Kwan Lee melancarkan pukulan Salju Putih itu.

Sebetulnya hati Mei Li sudah tidak senang dengan adanya Kwan Eng yang melakukan pengeroyokan. Biarpun ia tidak dapat dibilang menguasai pertempuran dan keadaannya masih berimbang dengan golok pemuda perkasa itu, namun ia tidak kalah dan tidak membutuhkan bantuan.

Apalagi ia tadi melihat sendiri betapa lawannya itu hanya ingin menghalangi mereka mengejar teman-temannya. Pemuda itu mengorbankan diri untuk kawan-kawannya. Bahkan ketika melawannya, pemuda itu tidak menyerang dengan sungguh-sungguh, hanya lebih banyak menangkis dan menutup diri dengan sinar golok.

Kang Hin sendiri kagum bukan main melihat sepasang pedang terbang itu, maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang gadis yang amat lihai. Dan selagi dia mencari kesempatan untuk melarikan diri, ada angin dingin menyambar dari kiri. Dia terkejut dan cepat membuang diri ke belakang.

Kiranya yang menyerangnya adalah seorang gadis cantik yang wajahnya agak kepucat-pucatan dan tangannya juga putih sekali. Dia teringat akan percakapan sutenya dan rekan-rekannya tadi bahwa puteri ketua Bengkauw sedang berlatih ilmu Salju Putih, maka dia dapat menduga bahwa inilah agaknya puteri Bengkauw itu. Dia pun memutar goloknya lebih cepat untuk melindungi dirinya.

Namun ilmu yang baru saja disempurnakan Kwan Eng memang hebat sekali. Kini pertempuran itu menjadi pertempuran yang amat hebat, karena tiga macam ilmu yang pada waktu itu dapat dibilang merupakan tiga di antara ilmu-ilmu tertinggi di dunia persilatan, saling bertemu.

Narnun, karena Kang Hin dikeroyok, apa lagi karena dia memang tidak bermaksud untuk membunuh seorang di antara dua gadis cantik itu, mulai terdesak hebat dan pada saat Kwan Lee datang melompat ke situ, sebuah pukulan jarak jauh dengan tenaga Salju Putih sepenuhnya, dilancarkan oleh Kwan Eng dari belakang, membuat Kang Hin terhuyung dan kesempatan ini diperguna kan untuk menendang kakinya oleh Mei Li.

Tanpa dapat dicegah lagi tubuh Kang Hin terpelanting dan tusukan pedang terbang pada pergelangan tangannya membuat goloknya terlepas dan pada saat itu, Kwan Eng sudah meloncat dekat dan menggerakkan tangan untuk mengirim pukulan maut.

"Jangan bunuh....!" Mei Li berseru namun agaknya seruannya itu terlambat karena Kwan Eng sudah mengayun tangannya.

"Dukk!" Kwan Eng meloncat ke belakang dengan mata terbelalak melihat bahwa yang menangkis pukulan mautnya itu bukan lain adalah Kwan Lee. "Koko, kenapa kau melarangku? Gilakah kau?"

"Hush, moi-moi, ayah melarang kita."

Kwan Eng menjadi semakin heran. Sementara itu, Kang Hin bangkit duduk, pergelangan tangannya terluka sedikit oleh ujung pedang Mei Li. "Aku sudah kalah, bunuhlah aku!" katanya dengan suara datar.

Entah mengapa, suara itu begitu mengharukan hati Mei Li sehingga ia cepat maju dan menggerakkan tangannya. Sekali totok saja tubuh itu terkulai karena memang Kang Hin tidak bermaksud untuk mengelak atau menangkis. Dia sudah pasrah. Kwan Lee lalu mengeluarkan sabuk sutera yang kuat dan mengikat kedua tangan pemuda itu ke belakang, kemudian membebaskan totokan Mei Li.

"Kenapa engkau menangkap aku? Kenapa tidak kau bunuh saja aku?" tanya Kang Hin kepada Kwan Lee.

"Tidak perlu banyak bertanya. Engkau sudah menjadi tawanan kami dan hanya ayah yang akan memutuskan apa yang akan kami lakukan terhadap dirimu!"

Dengan kasar Kwan Lee menyeret tubuh Kang Hin, dibawa menghadap ayahnya. Ketua Bengkauw memandang dengan penuh perhatian kepada Kang Hin, dari kepala sampai ke kaki. "Heii, orang muda, apakah engkau yang bernama Ciu Kang Hin?"

"Benar, pangcu dan setelah sekarang saya tertawan, cepat bunuh saja aku," kata Kang Hin dengan suara dan sikap tenang. Dia memang tidak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini. Kematian tidak berarti meninggalkan sesuatu yang berharga baginya. Dan kedudukan ketua di Nam-kiang-pang sama sekali tidak dianggapnya sebagai suatu yang membahagiakan atau membanggakan, bahkan menjadi beban yang amat berat.

"Engkau yang dijuluki pembasmi Bengkauw nomor satu?" tanya pula ketua Bengkauw dengan suara lirih karena keadaannya sudah payah.

"Benar sekali..."

"Ayah, biar kuhancurkan kepalanya dengan tanganku!" Kwan Eng berseru marah.

"Kenapa?" Sie Wan Cu mendesak, memaksa diri, "Kenapa engkau begitu membenci kami?"

"Aku tidak membenci Bengkauw, hanya menentang semua perbuatan jahat, dilakukan oleh siapapun."

"Tapi engkau membunuh orang Bengkauw, bahkan wanita dan anak-anak."

"Aku tidak pernah membunuh wanita dan anak-anak. Aku hanya mengalahkan orang yang bertanding denganku. Aku bukan pembunuh."

"Bohong!" Bentak Kwan Eng. "Ayah, dia bohong, dia pengecut, tidak berani bertanggung jawab, tidak.berani mengakui perbuatahnya sendiri!"

Sie Wan Cu menyeringai menahan sakit dan dia menguatkan dirinya, karena agaknya dia tertarik sekali. "Tapi orang menganggap dirimu sebagi pembunuh nomor satu, pembasmi Bengkauw, engkau calon ketua Nam-kiang-pang."

"Itu fitnah, bohong. Kalau aku membunuh orang, tentu tidak akan kusangkal. Aku memang oleh suhu ditunjuk sebagai calon ketua Nam-kiang-pang dan memang suhu dan semua suheng sute bertekad membasmi Bengkauw. Akan tetapi aku tidak setuju. Terserah kalian percaya atau tidak, mau bunuh boleh bunuh, akan tetapi aku tidak mengingkari perbuatanku."

"Jahanam!" Kwan Eng sudah mengayun tangannya, akan tetapi ayahnya membentaknya sehingga gadis itu dengan merengut membatalkan niatnya.

"Ciu Kang Hin, apa hubunganmu dengan Ouw-sin-houw (Harimau Sakti Hitam) Ciu Teng?" tiba-tiba ketua Beng-kauw itu bertanya, sambil memandang tajam.

Pemuda itu nampak terkejut sekali, dan diapun mengangkat muka memandang kepada si penanya. "Mengapa pangcu bertanya demikian? Sebaiknya pangcu lekas berobat dan beristirahat, keadaan pangcu berbahaya sekali...." Kang Hin melihat betapa ketua itu menahan rasa sakit dan mukanya sudah mulai pucat, keringatnya membasahi muka dan leher.

"Jawab, apa hubunganmu dengan Ciu Teng?" ketua Bengkauw mengulang dan Kwan Lee mendesak, "Lebih baik kau cepat menjawab, Ciu Kang King."

Pemuda itu menundukkan mukanya. "Mendiang Ouw-sin-houw Ciu Teng adalah ayah kandungku," katanya dengan suara sedih.

Sie Wan Cu terkejut, matanya terbelalak, mulutnya ternganga, lalu dia tertawa, keras sekali tawanya. "Ha-ha-ha-ha, sudah kuduga, wajahmu mirip sekali. Ciu Kang Hin, tahukah engkau dengan siapa kau berhadapan? Aku Sie Wan Cu, adalah pamanmu, paman angkat. Ayah mu adalah kakak angkatku, apakah dia tidak pernah bercerita kepadamu?"

Pemuda itu memandang heran. "Paman? Ayah meninggal sejak aku masih kecil sekali, berusia tiga empat tahun. Ibu sudah meninggal lebih dulu, ketika melahirkan aku dan sejak kecil aku sebatang kara."

Mei Li menekan perasaannya yang merasa kasihan sekali kepada pemuda sederhana itu. Ketua Bengkauw itu memaksa diri berkata, "Ketika ayahmu muda, persis seperti engkau, kami bersumpah mengangkat saudara. Kami saling berpisah dan tidak pernah bertemu lagi karena ayahmu tidak setuju aku menjadi ketua Bengkauw. Jadi sejak kecil engkau menjadi murid di Nam-kiang-pang? Dan engkau memusuhi Bengkauw?"

"Pangcu..."

"Panggil aku paman agar arwah ayahmu tidak menjadi penasaran."

"Paman, terus terang sejak kecil aku menjadi murid Nam-kiang-pang dan perkumpulan itu selalu membela kebenaran dan keadilan dan aku bahkan di tunjuk oleh suhu untuk kelak menggantikan suhu. Akan tetapi, kemudian muncul peristiwa yang membuat Nam-kiang-pang berhadapan sebagai musuh Beng-kauw. Banyak anggauta kami terbunuh oleh Bengkauw sehingga timbul dendam sakit hati mendalam di Nam-kiang-pang. Kemudian aku ditunjuk oleh suhu untuk memimpin para anggauta memusuhi Bengkauw. Paman apa yang dapat kulakukan dalam hal ini? Aku sendiri, demi Tuhan, tidak pernah melakukan pembunuhan terhadap orang-orang yang tidak bersalah dan tidak berdaya, akan tetapi karena aku yang memimpin permusuhan itu, tentu saja aku yang dituding sebagai pembunuh nomor satu dari Beng-kauw."

"Bohong! Ayah, dia tentu bohong. Mana ada pencuri mengaku mencuri, pembunuh mengaku pembunuh? Tadi saja entah berapa banyak anggauta kita yang terbunuh olehnya. Itu mayat mereka masih berserakan!" kata Kwan Eng.

"Tidak, dia tidak berbohong!" tiba-tiba Mei Li berkata penuh keyakinan.

"Mei Li! Apa yang kau katakan ini? Baru saja engkau bertanding mati-matian melawan dia dan kini engkau malah membela dia? Apa artinya ini?"

"Artinya, Kwan Eng, bahwa aku bicara sejujurnya. Tadi, ketika terjadi pertempuran, aku cukup lama menjadi penonton. Kulihat dia ini bersama pemuda yang lain itu menyerang orang-orang Bengkauw di depan guha. Yang menyebar maut adalah pemuda yang melarikan diri itu, pemuda berpakaian sastrawan berwarna putih. Adapun dia ini, biarpun merobohkan pula banyak lawan, tidak melakukan pembunuhan satu kalipun. Bahkan ketika melawan aku tadi, dia lebih banyak melindungi diri saja."

"Aughh..."

"Ayah!" Kwan Lee dan Kwan Eng cepat menubruk ayahnya. Agaknya terlalu lama ketua Bengkauw ini menahan diri dan kini dia sudah hampir tidak kuat bertahan lagi.

"Kwan Lee, Kwan Eng, penuhilah pesanku terakhir ini" Dia menuding ke arah Kang Hin dengan telunjuk gemetar. "Aku pernah berhutang nyawa kepada ayahnya. Karena itu kalian harus... membebaskan dia..."

"Ayah!" Kwan Eng mulai menangis.

"Dan kau Dewi Pedang Terbang..." dia mencoba tersenyum dan Mei Li berlutut mendekatinya.

Hati gadis inipun seperti ditusuk rasanya karena dia telah merasa suka sekali kepada ketua Bengkauw yang jujur dan bicara secara terbuka itu. "Ya pangcu," katanya lirih.

Sie Wan Cu tertawa, "Heh-heh, aku... ah, aku masih mau menikah dengan mu.... ha-ha, sayang aku hampir putus nyawaku... tapi, Mei Li, maukah kau berjanji akan tetap bersahabat dengan Bengkauw?"

Mei Li menundukkan kepalanya dan dua titik air mata jatuh. la mengangguk. "Aku berjanji, pangcu."

"Ha-ha-ha, bagus sekali. Eh Kwan Lee, kalau kelak engkau tidak dapat menikah dengan seorang seperti Mei Li ini, engkau adalah seorang pria yang bodoh sekali. Dan kau Kwan Eng, Kang Hin ini adalah seorang yang sungguh patut menjadi suamimu..."

"Ayah!" Anak-anaknya, menubruk karena tiba-tiba saja ketua Bengkauw itu terkulai dan ketika mereka memeriksa, ternyata dia sudah meninggal.

Kwan Eng menjerit-jerit menangis sehingga Mei Li terbawa keharuan dan menangis pula, lalu ia merangkul dan menghibur Kwan Eng. Mei Li dan Kang Hin merasa terpaksa ikut berkabung ke rumah ketua Bengkauw.

Dan malam itu terjadi peristiwa yang sungguh menusuk perasaan Mei Li. Ketika keluarga sedang bersembahyang sambil menangis, tiba-tiba saja sepuluh orang wanita cantik yang menjadi isteri ketua Bengkauw itu, mencabut pedang dan menggorok leher sendiri di depan peti jenazah suami mereka! Mereka melakukan bunuh diri bersama, hal yang agaknya telah mereka sepakati bersama. Mereka semua amat mencinta suami mereka dan agaknya tidak sanggup hidup ditinggal mati suami itu.

Setelah pemakaman jenazah yang kini menjadi sebelas buah banyaknya itu selesai, Ciu Kang Hin berpamit dan pergi meninggalkan tempat itu dengan hanya meninggalkan kata-kata kepada Kwan Lee dan Kwan Eng,

"Aku berjanji akan membantu kalian membikin terang perkara ini, dan akan membersihkan kembali nama Bengkauw yang terkena fitnah."

Dan dia memberi hormat pula kepa da Mei Li, kemudian pergi dengan meninggalkan kesan mendalam di hati dua orang gadis tanpa diketahui orang lain. Terutama sekali Kwan Eng. Tadinya ia memang amat membenci Ciu Kang Hin. Akan tetapi setelah bertemu orangnya dan mendengar pesan ayahnya, rasa benci itu hilang dan sebagai gantinya, kata-kata ayahnya selalu terngiang di hatinya. Ayahnya menghendaki ia menjadi jodoh Ciu Kang Hin! Tentu saja hal itu tidak mungkin terjadi, berulang kali ia membantah suara hati sendiri.

Adapun Mei Li diam-diam juga merasa kagum dan suka sekali kepada pemuda yang pendiam itu. Bagaimana mungkin pemuda itu menjadi suheng dari Seng Gun yang demikian keras hati dan kejam? Akan tetapi karena Kang Hin seorang pendiam dan agak murung...

...Ada halaman yang hilang lagi...

"Dukk!" dan dia hanya mampu melengking panjang ketika tubuhnya melayang ke bawah. Seng Gun tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, mampus kamu pendeta tolol!"

Ang-sin-liong Yu Kiat menghampiri rekannya itu. "Aku tidak melihat perlu dan untungnya kau melakukan hal itu, Tong-taihiap."

"Ha-ha-ha-ha, engkau tidak melihatnya, paman? Aneh sekali, padahal alasannya demikian jelas. Kau lihat tadi dia membela suheng? Dia memuji-muji suheng, dan hal itu amat tidak menguntungkan kita! Pula, dua yang lain sudah tewas, tinggal dia. Kalau dibiarkan hidup, bagaimana kita dapat melempar fitnah kepada suheng? Tentu dia akan membela nama baik suheng mati-matian. Akan tetapi sekarang, kalau kita katakan bahwa kematian orang Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai dan Kong-thong-pai ini karena perbuatan suheng yang tidak bersungguh-sungguh melawan Bengkauw, tentu tidak akan ada yang menyangkal."

"Akan tetapi bagaimana kalau dia tidak mati?" bantah Tiat-sin-liong Lai Cin.

"Tidak mati? Siapa yang dapat bertahan hidup kalau terjungkal di jurang ini? Ha-ha. Jangan takut, paman Lai Cin. Apalagi, andaikata dia tidak mati, aku dapat mengatakan bahwa aku tidak sengaja mendorong dia ke dalam jurang. Kalian berdua menjadi saksinya, bukan? Keterangan dia melawan keterangan kalian berdua, apa artinya...?"
Selanjutnya,