Kisah Si Pedang Terbang Jilid 08 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Kisah Si Pedang Terbang

Karya : Kho Ping Hoo
Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo
Jilid 08
AKAN tetapi mereka terbelalak ketika melihat teman mereka yang menyerang itu tiba-tiba saja terjengkang, goloknya terlepas dan dia tidak mampu bangkit kembali. Tahulah mereka bahwa pemuda dusun ini tidak seperti yang lain, memiliki kepandaian maka berani bersikap menantang seperti itu. Sambil berteriak-teriak ganas, sembilan orang menyerang Han Lin dengan golok mereka. Serangan mereka ganas dan semua golok menyambar bagaikan tangan maut.

Namun, mereka terkejut ketika pemuda yang mereka serang itu lenyap dan yang nampak hanya bayangannya berkelebat. Tahu-tahu, ada tongkat menyambar-nyambar dari arah belakang mereka. Mereka membalik dan menggerakkan golok untuk menangkis, namun terlambat. Ujung tohgkat bambu yang gerakannya seperti kilat menyambar-nyambar itu menotok mereka satu demi satu dan robohlah mereka bagaikan rumput dibabat pedang.

Sepuluh orang dusun itu kini telah menjadi lebih dari tigapuluh orang. Mereka berdatangan dan menjadi penonton saja di luar pekarangan karena mereka semua merasa gentar terhadap sepuluh orang tukang pukul Lurah Ouw itu, Akan tetapi, ketika melihat betapa dalam beberapa menit saja Han Lin sudah merobohkan sepuluh orang yang di takuti itu, orang-orang dusun bersorak dan mereka menyerbu ke dalam pekarangan, mengangkat senjata di tangan mereka yang bermacam-macam bentuknya, ada kapak, arit, cangkul, garu, palu dan berbagai, macam perkakas lagi.

Han Lin maklum bahwa orang yang mendendam dapat menjadi amat kejam, juga bahwa orang yang merasa menang dapat mabok kemenangan dan dapat melakukan apa saja yang dirasakan menjadi haknya karena menang., Maka cepat dia menghadang dan mengangkat kedua tangan ke atas.

"Berhenti dan tahan senjata!" Bentakannya mengandung wibawa kuat dan tigapuluh orang lebih itu berhenti dan memandang kepada Han Lin dengan heran. Mereka hendak "membantu" pemuda itu membantai sepuluh orang jagoan dan menyerbu rumah Lurah Ouw yang selama ini menjadi seperti, raja lalim di dusun itu, kenapa Han Lin menahan mereka?

"Biarkan kami bunuh mereka semua!" terdengar beberapa orang berteriak.

"Tidak!" Han Lin membentak. "Kita tidak suka melihat kekejaman mereka, berarti kita bukan orang-orang kejam seperti mereka! Mari, kita buktikan bahwa kita tidak seperti mereka. Kalau kita sekarang bertindak kejam, lalu apa bedanya antara mereka dan kita?"

Dia teringat akan kenyataan yang pernah dipaparkan Lojin bahwa di dalam diri setiap orang manusia terdapat nafsu yang sama. Kalau seseorang mencela orang lain berbuat sewenang-wenang, adalah karena di pencela itu tidak mempunyai kesempatan melakukan hal yang sama. Sekali dia mendapatkan kesempatan, mungkin dia akan lebih jahat dari pada yang dicela! Hanya orang yang tidak diperbudak nafsu-nafsunya saja yang akan dapat selalu ingat dan waspada, tidak menuruti bisikan atau perintah nafsu-nafsunya sendiri.

"Akan tetapi mereka selama ini bertindak kejam terhadap kita!" terdengar bantahan.

"Lalu kalian ingin membalas dendam dan bertindak kejam pula terhadap mereka? Kalau begitu, kalian berubah menjadi orang-orang kejam dan aku tidak sudi membantu orang-orang kejam dan pengecut! Kenapa tidak dari dulu kalian melawan tindakan mereka yang kejam? Kenapa baru sekarang, melihat mereka tak berdaya, lalu kalian hendak membantai mereka? Dengar, kalau kalian tidak menurut kepadaku, aku akan pergi dan biar kalian sendiri menghadapi gerombolan yang berada di kuil puncak bukit Ayam Emas!"

Mendengar ucapan pemuda ini, semua orang menjadi pucat wajahnya dan semangat mereka yang menggebu-gebu didorong dendam itupun mengempis dan mereka seperti sekelompok anak-anak yang ketakutan. Kasihan juga rasa hati Han Lin menyaksikan sikap mereka itu. Mereka memang seperti anak-anak yang membutuhkan perlindungan dan pengawasan.

"Aku ingin melihat kalian menggunakan semangat kalian untuk membela diri, bukan untuk bertindak sewenang-wenang dan kejam. Melihat pihak musuh sudah tidak berdaya lalu hendak membantai mereka, itu perbuatan kejam sewenang-wenang. Juga kalian tidak boleh menyerang keluarga Lurah Ouw yang tidak bersalah apa-apa. Ketahuilah bahwa Lurah Ouw kini telah kutawan dan kuserahkan kepada yang berwajib. Tak lama lagi pasukan akan menyerbu sarang gerombolan di puncak Bukit Ayam Emas, dan kita harus menjaga agar jangan sampai ada orang dari rumah ini lolos dan memberi kabar kepada gerombolan di Sana. Mengertikah kalian? Kalian hanya bertugas menjaga di sini, mengepung rumah ini agar tidak ada yang dapat keluar, akan tetapi kalian tidak boleh membunuh orang yang tidak menyerang kalian. Mengerti?"

Mendengar ini, semua orang bersorak gembira. Dusun mereka akan terbebas dari cengkeraman gerombolan penjahat setelah lima tahun!

"Kami mengerti, kongcu!" Tiba-tiba Akui berseru dan menghadap ke arah orang banyak. "Kita harus menaati perintah Sia-kongcu kalau ingin dusun kita diselamatkan!"

Orang-orang menyambutnya dengan sorakan setuju. Han Lin mengangkat tangan dan semua orang terdiam, mendengar. "Saya senang sekali melihat sikap kalian. Sekarang, dengar baik-baik. Sepuluh orang ini harus dibelenggu kaki tangannya dan dibawa ke dalam rumah, aku akan mengumpulkan semua penghuni rumah ini. Hayo sepuluh orang pemuda yang pertama datang ke sini ikut, akan tetapi ingat, jangan membunuh orang. Aku hanya ingin agar semua keluarga Ouw Tit dikumpulkan di ruangan dan diawasi agar jangan seorangpun di antara mereka dapat mengirim berita ke sarang gerombolan. Kalau ada yang berbuat kejam dan jahat, akan kuhajar sendiri!"

Sepuluh orang pemuda itu dengan semangat besar dan sikap seperti jagoan segera mendekati Han Lin dan mengikuti pemuda ini memasuki rumah lurah Ouw. Sedangkan yang lain-lain segera menyerbu pekarangan dan sebentar saja sepuluh orang itu sudah ditelikung dan diikat seperti ayam-ayam yang hendak dipanggang!

Saking benci dan dendamnya biarpun tidak ada di antara mereka yang berani menyiksa apa lagi membunuh, tidak urung sepuluh orang tukang pukul yang sudah tidak berdaya itu menjadi "korban caci-maki, diludahi dan di olok-olok yang bagi mereka jauh lebih menyakitkan dari pada kalau digebuki. Biasanya mereka seperti penguasa-penguasa di dusun itu, tidak ada seorangpun berani memandang kepada mereka, apa lagi bicara kasar. Dan kini, orang-orang dusun itu meludahi mereka, mencaci maki mereka!

Han Lin dan sepuluh orang pemuda dusun menyerbu memasuki rumah. Ternyata tidak ada tukang pukul lain kecuali hanya empat orang isteri sang lurah dan anak-anak mereka, juga ada beberapa orang pelayan wanita. Mereka semua sudah ketakutan dan berkumpul di sebuah ruangan terbesar di rumah itu, maka mudahlah bagi Han Lin dan kawan-kawannya.

Mereka semua dikumpulkan di dalam ruangan, dilarang meninggalkan ruangan itu, dan dijaga di pintu oleh sepuluh orang pemuda dusun. Kemudian Han Lin meninggalkan rumah setelah berpesan ke pada Akui agar mengawasi orang-orang dusun itu agar mereka jangan melakukan hal-hal yang jahat seperti menyiksa, membunuh, apa lagi merampok.

* * * *

Sejak lima tahun yang lalu, kuil di puncak Bukit Ayam Emas telah dijadikan sarang oleh Hoat-kauw yang bertugas mengadakan hubungan dengan pihak Mongol yang diwakili oleh utusan mereka, yaitu Sam Mo-ong, tiga orang datuk besar yang sakti. Dan selama lima tahun ini, mereka telah melakukan banyak hal yang bagi mereka merupakan kemajuan dalam kerja sama mereka.

Pihak Sam mO-ong membantu orang-orang Mongol menundukkan saingan-saingan mereka, yaitu suku-suku bangsa lain yang juga ingin meluaskah kekuasaannya di wilayah Kerajaan Tang dan memaksa suku-suku bangsa yang lebih kecil untuk bergabung dan membantu orang Mongol.

Adapun pihak Hoat-kauw yang diwakili oleh Bu-tek Ngo Sin-liong, lima orang tokoh Hoat-kauw, bergerak menalukkan partai-partai persilatan dan aliran-aliran lain untuk menguasai dunia kangouw. Kalau kerjasama ini berhasil, maka Kerajaan Tang akan menghadapi pasukan Mongol yang dibantu oleh suku-suku bangsa lain dan dunia kangouw!

Untuk hubungan kerja sama di antara mereka, pihak Sam Mo-ong mewakilkan kepada An seng Gun, putera mendiang An Lu Shan yang diaku anak oleh kakeknya sendiri, yaitu Kwi-jiauw Lo-mo, seorang di antara Sam Mo-ong. Seng Gun ini juga diperuntukan kepada pihak Hoat-kauw agar hubungan dengan pihak Mongol dapat selalu terjalin, juga Seng Gun seolah menjadi pengamat yang mengikuti perkembangan gerakan Hoat-kauw.

Ketika Han Lin kembali ke Li-bun, kebetulan sekali sarang Hoat-kauw di puncak Bukit Ayam Emas itu ditinggalkan para pemimpin besarnya. Lima orang Bu-tek Ngo Sin-liong tidak berada di sana karena mereka sedang sibuk membantu pihak pimpinan Hoat-kauw yang hendak mengadakan perayaan ulang tahun mengundang semua partai dan aliran, perayaan yang akan diadakan di Bukit Harimau, di luar kota An-king, yang merupakan pusat cabang terbesar dari Hoat-kauw saat itu. Seng Gun sendiri sejak dua tahun ini tidak pernah nampak di kuil itu karena dia melaksanakan sebuah tugas rahasia yang diberikan kepadanya oleh Sam Mo-ong.

Han Lin menyelinap di luar perkampungan gerombolan di puncak Bukit Ayam Emas itu. Kuil yang dahulu menjadi tempat di mana dia belajar ilmu silat dari Kong Hwi Hosiang kini telah menjadi perkampungan gerombolan dan di pagari, dan di sekitar kuil dalam perkampungan itu dibangun beberapa buah rumah tempat tinggal anggauta gerombolan.

Karena agaknya mereka semua merasa yakin tidak akan ada seorangpun berani mengusik mereka, maka perkampungan gerombolan itu tidak terjaga ketat. Dengan mudah saja Han Lin melompati pagar bambu memasuki perkampungan tanpa terlihat siapapun dan dia menyelinap antara pondok-pondok itu. Ketika mendengar isak tangis wanita dari sebuah pondok, diapun mendekati dan mengintai Pondok-pondok darurat itu terbuat dari kayu dan bambu maka mudah sekali bagi Han Lin untuk mengintai.

Seorang wanita muda, usianya tidak akan lebih dari enambelas tahun, menangis terisak-isak di atas pembaringan. Seorang laki-laki yang usianya sekitar empatpuluh tahun, bertubuh tinggi besar bermuka hitam, duduk di atas kursi dekat pembaringan dan nampaknya marah-marah.

"Sudahlah, jangan menangis saja, menyebalkan kau!" bentak laki-laki itu sambil melotot kepada wanita muda yang menangis. Apa sih maumu?"

"Pulangkan aku” tangis wanita itu, "Kembalikan aku ke rumah orang tuaku, aku ingin kembali kepada mereka!"

"Sialan! Engkau sudah menjadi isteriku, sudah limabelas hari di sini, dan setiap hari hanya menangis minta pulang!"

"Aku bukan isterimu! Engkau engkau menculik dan memaksaku hu-hu-huuhhh, pulangkan aku.... pulangkan aku."

"Engkau menjemukan!” bentak laki laki bermuka hitam itu dan dia lalu bangkit berdiri, tangannya menampar.

"Plakk...!!" Keras sekali tamparan itu dan wanita itu menjerit dan terjengkang ke atas pembaringan, pipinya yang kiri membengkak biru dan ia menangis semakin sedih.

Melihat ini, Han Lin tidak dapat menahan lagi kesabarannya. Kalau saja mereka itu suami isteri, tentu dia tidak berhak mencampuri urusan mereka. Akan tetapi dari tangis wanita tadi dia tahu bahwa wanita yang masih remaja itu diculik dan dipaksa menjadi isteri orang itu, jelas ia adalah seorang di antara banyak korban, yaitu wanita-wanita di Li-bun dan sekitarnya yang diculik oleh para anggauta gerombolan itu dan dipaksa menjadi isteri mereka dari wanita inilah dia akan mendapat keterangan banyak dan penting, dan semua keterangannya tentu akan dapat dipercaya.

Melihat wanita itu ditampar, dia lalu menerobos masuk melalui pintu depan yang tidak dikunci. Tanpa mengeluarkan suara berisik, Ia sudah berada dalam pondok dan langsung memasuki kamar. Laki-laki tinggi besar muka hitam itu terkejut ketika tiba-tiba saja ada seorang pemuda memasuki kamarnya dia sedang kesal dan marah kepada wanita yang dipaksanya menjadi isterinya. Sudah limabelas hari wanita itu dikeram dalam pondoknya, dan setiap hari hanya menangis dan merengek minta dipulangkan saja. Kini, melihat ada pemuda memasuki kamarnya, kemarahannya memuncak.

"Jahanam! Siapa kau berani memasuki pondokku!" teriaknya, dengan kedua tangan dikepal siap untuk memukul sedangkan wanita muda itu terbelalak ketakutan pipinya masih lebam.

"Engkau yang jahanam, laki-laki kejam tak berprikemanusiaan!" Han Lin balas menegur.

"Kau bosan hidup!" bentak laki-laki itu dan diapun sudah menerjang dengan kedua kepalan tangan menyambar-nyambar dalam serangan bertubi. Namun, sekali Han Lin menggerakkan tangan setelah menghindar dengan langkah mundur, dia berhasil menangkap kedua pergelangan tangan si tinggi besar itu.

Si tinggi besar muka hitam itu mengerahkan tenaganya untuk melepaskan kedua tangannya yang tertangkap, namun betapapun dia mengerahkan tenaga, sia-sia belaka karena kedua lengan itu seperti terjepit besi dan sama sekali dia tidak mampu menggerakkan kedua lengannya. Tiba-tiba Han Lin menggerakkan tangan kiri si tinggi besar yang dipegangnya dan tanpa dapat dicegah lagi, si tinggi besar itu menampar mukanya sendiri, disusul tangan ke dua sampai berkali-kali.

"Plak-plak-plak-plak!!" Kedua pipinya bengkak dan bibirnya pecah pecah berdarah. Kemudian, Han Lin menotoknya dan si tinggi besarpun roboh tak berkutik lagi. Han Lin menoleh kepada wanita muda yang masih menangis di atas pembaringan dan yang kini memandang kepadanya dengan sinar mata ketakutan.

"Jangan takut, nona. Aku datang uk menolongmu dan menolong semua wanita yang diculik dan dipaksa ditempat ini. Untuk itu aku membutuhkan keterangan dan petunjukmu, maka marilah ikut denganku meninggalkan neraka ini."

Mendengar bahwa pemuda yang lihai itu hendak membebaskannya, tentu saja gadis itu segera mengangguk-angguk dan cepat ia mengenakan baju rangkap dan sepatunya karena selama dikeram di pondok itu ia tidak pernah diperbolehkan mengenakan sepatu untuk menjaga agar ia tidak melarikan diri. Han Lin mengajaknya keluar lalu memondong tubuhnya dan berloncatan, menyelinap di antara pondok-pondok dan akhirnya dia berhasil meloncati pagar bambu tanpa ada yang dapat melihatnya.

Dia mengajak gadis itu ke sebuah hutan di lereng bukit, lalu minta keterangan tentang sarang gerombolan itu. Dengan girang dia mendapat keterangan bahwa saat itu, semua pimpinan Hoat-kauw tidak berada di. sana, karena semua pergi entah ke mana gadis itu tidak mengetahuinya.

"Yang berada di sana kurang lebih limapuluh orang anggauta gerombolan. Lima orang yang biasanya menjadi pimpinan disana, yaitu Bu-tek Ngo Siong, telah pergi sejak beberapa hari yang lalu."

"Dan berapa banyaknya wanita yang seperti engkau, diculik dan dipaksa tinggal di sana?"

"Banyak sekali...” Hampir semua anggauta gerombolan menculik wanita dan memaksanya menjadi isterinya. Bahkan ada pula yang telah mempunyai anak. Ada pula belasan orang gadis muda yang diculik dan disekap dalam sebuah pondok yang dijadikan tempat tahanan para gadis itu, Ahh, sungguh buruk sekali nasib kami wanita-wanita dusun yang lemah dan bodoh. Kami bagaikan sekawanan domba yang berada di tengah-tengah gerombolan srigala..." gadis itu meratap sambil menangis.

"Sudahlah, nona, jangan menangis. Mari, kuantar engkau ke dusun Li-bun dan untuk sementara tinggallah dulu di sana. Kelak engkau dan para wanita itu akan diantar pulang,"

Han Lin lalu mengantar wanita itu ke dusun Li-bun dan Akui menerimanya dengan ramah. Setelah menceritakan tentang wanita itu kepada Akui. dan menyuruh Akui, menyediakan kamar untuknya, membiarkannya untuk sementara tinggal disitu, Han Lin lalu pergi menemui penduduk. Li-bun. Dia menceritakan segalanya kepada mereka dan mengajak mereka untuk. bersiap ikut menyerbu sarang gerombolan.

Pada keesokan harinya, sekitar duaratus orang pasukan dari Nam-san pagi-pagi sekali sudah tiba di Li-bun. Han Lin atas nama penduduk Li-bun menemui komandannya dan memberitahu bahwa penduduk akan membantu gerakan pasukan dan bahwa wanita-wanita yang berada di sarang gerombolan adalah penduduk dusun yang diculik karena itu mereka tidak berdosa. Dia mengharap agar pasukan tidak mencelakai mereka dan penduduk dusun akan membebaskan mereka. Komandan pasukan mengerti dan menyetujui permintaan itu.

Demikianlah, malam tadi berlalu tanpa ada persangkaan buruk dari para anggauta Hoat-kauw, maka tentu saja mereka menjadi panik ketika pagi-pagi sekali, pasukan yang besar jumlahnya datang menyerbu. Han Lin memimpin penduduk Li-bun menyerbu melalui bagian belakang dengan membobol pagar, dan mereka membebaskan para wanita dan anak-anak. Akan tetapi tidak semua wanita mau dibebaskan. Bahkan ada di antara mereka yang membantu suami mereka melakukan perlawanan dan ikut gugur! Mereka adalah para wanita yang sudah jatuh cinta kepada penculik mereka.

Akan tetapi sebagian besar para wanita dengan gembira ikut membebaskan diri. Puluhan orang wanita dan kanak-kanak melarikan diri. Sementara itu para anggauta Hoat-kauw melakukan perlawanan mati-matian, akan tetapi karena pihak pasukan jauh lebih besar jumlahnya, dan mereka diserbu dengan mendadak sehingga tidak siap sedia akhirnya mereka berantakan.

Sebagian besar dari mereka terbunuh dan hanya sedikit saja yang berhasil lolos dari maut, pada hal mereka adalah anggauta-anggauta Hoat-kauw yang rata-rata memiliki kepandaian lumayan. Pasukan lalu membakar sarang gerombolan itu sampai rata dengan tanah.

Penduduk Li-bun lalu mengatur pemulangan para wanita itu ke rumah keluarga masing-masing, Han Lin menyerahkan pekerjaan ini kepada penduduk Li-bun karena dia sendiri segera berangkat ke Bukit Harimau untuk menghadiri pesta yang diadakan oleh Hoat-kauw.

* * * *

Kita kembali tiga tahun yang lalu Perkumpulan Nam-kiang-pang (Perkumpulan Selatan Sungai) merupakan perkumpulan silat yang terbesar di sebelah selatan Sungai Yang-ce-kiang. Nam-kiang-pang mempunyai sumber yang kuat dari Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai, maka para pimpinannya mempunyai kepandaian tinggi. Hal ini adalah karena pendirinya dahulu memang murid Bu-tong-pai yang kemudian menjadi murid Siauw-lim-pai. Sampai sekarang hubungannya dengan kedua partai besar itu dekat.

Ketua Nam-kiang-pang bernama Tio Kui Po yang terkenal dengan julukan Thian-te Sin-to (Golok Sakti Bumi Langit). Dia berusia limapuluh tahun gagah perkasa dengan tubuh tinggi tegap Ilmu silatnya hebat apa lagi ilmu goloknya. Namun Tio-pangcu (ketua Tio) ini seringkali termenung dengan hati penasaran. Dia mempunyai banyak murid akan tetapi di antara sekian banyaknya murid, hanya ada seorang saja yang memiliki bakat yang baik.

Nama murid ini Ciu Kang Hin seorang pemuda berusia duapuluh tahun. Pada hal yang dia harapkan dan sayang adalah seorang pemuda yang bernama Tio Ki Bhok, keponakannya sendiri. Namun pemuda yang usianya duapuluh tahun ini bahkan ketolol-tololan dan biarpun sudah digemblengnya istimewa namun hasilnya tidak memuaskan hatinya, bahkan mengecewakan Seringkali Tio-pangcu melamun dan bersedih.

Pada suatu sore, Tio-pangcu berjalan-jalan seorang diri di tepi sungai Bagian tepi sungai di situ sunyi sekali, Selagi Tio-pangcu berjalan sambil termenung, bermaksud pulang karena kepergiannya sudah cukup jauh dan dia tidak ingin kemalaman dijalan tiba-tiba dari balik semak belukar di tepi sungai nampak ada belasan orang berpakaian serba hitam dan mereka semua mengenakan topeng seperti yang biasa dipakai oleh orang-orang Beng-kauw.

Tigabelas orang itu mengepungnya dan sikap mereka mengancam. Tio-pangcu dengan tenangnya menghadapi mereka. Dia mengangkat kedua tangan depan dada dan berkata, "Cuwi... (anda sekalian) siapakah? Dan ada keperluan apakah menghadangku? Aku Tio Hui Po rasanya tidak pernah bermusuhan dengan cuwi."

"Tio-pangcu, Nam-kiang-pang selalu memandang rendah kepada Beng-kauw kami, kini. Kami, mendapat kesempatan untuk membuktikan sampai, dimana kepandaian ketua Nam-kiang-pang maka demikian sombongnya kepada kami."

Tio-pangcu tersenyum dan mengangguk-angguk. "Hemm, jadi kalian ini orang-orang Beng-kauw? Ketahuilah kita dipandang orang karena ulah kita sendiri dipandang tinggi atau rendah merupakan penggambaran dari perbuatan kita. Siapa yang tidak tahu bahwa Beng-kauw adalah golongan sesat yang tidak pantang berbuat jahat? Tentu saja kalian dipandang rendah. Seperti yang kalian lakukan sekarang ini adalah perbuatan yang rendah."

Belasan orang itu menjadi; marah. "Tio Hui Po manusia sombong rasakan pembalasan kami."

Mereka lalu menggerakkan senjata masing-masing mengeroyok Tio-pangcu. Orang-orang Beng-kauw itu menggunakan bermacam senjata yang aneh-aneh, dan Tio Hui Po segera mencabut goloknya. Sinar golok yang dimainkan Tio-pangcu bergulung-gulung menyilaukan mata sehingga sukar bagi para pengeroyoknya untuk dapat menembus perisai sinar golok itu dengan senjata mereka.

Pada saat itu muncul seorang pemuda yang dengan gagahnya menghardik, "Belasan orang mengeroyok seorang saja. Pengecut!" Pemuda itu menggunakan pedang membantu Tio-pangcu dan ternyata gerakannya cukup hebat.

Tio Hui Po sebetulnya tidak perlu dibantu karena goloknya cukup kuat untuk melawan tigabelas orang itu. Malah dia merasa khawatir kalau-kalau pemuda itu akan celaka di tangan orang-orang Beng-kauw yang lihai, maka dia memutar goloknya dengan cepat sambil mendekati pemuda itu untuk melindunginya. Akan tetapi terlambat.

Apa yang dikhawatirkan terjadi. Tiba-tiba pemuda itu mengeluh dan pundaknya berdarah. Melihat ini Tio-pangcu menggerakkan goloknya lebih cepat lagi dan dua orang pengeroyok roboh. Akan tetapi pada saat itu seorang di antara para pengeroyok melepas benda peledak di atas tanah.

Terdengar suara ledakan dan asap mengepul tebal. Tio-pangcu yang khawatir kalau asap itu beracun, cepat melompat dan menarik tangan pemuda itu, dibawa meloncat menjauhi asap, dan ketika mereka memandang, ternyata belasan orang itu sudah melarikan diri di balik asap.

Tio-pangcu membawa pemuda itu menjauh, dan tiba-tiba pemuda itu mengeluh dan terkulai pingsan. Cepat Tio Hui Po merangkulnya dan memeriksa lukanya. Luka di pundak, untung tidak merusak tulang, hanya mengeluarkan banyak darah dan agaknya luka mengandung racun sehingga pemuda itu tak sadarkan diri. Cepat dia menotok beberapa jalan darah agar racun tidak menjalar makin jauh dan menggunakan obat menghisap racun, sambil membantu dengan penyaluran dengan tenaga sakti.

Akhirnya pemuda itu mengeluh, sadar dan bangkit. Seuntai kalung keluar dari batik baju di dadanya Melihat kalung itu, Tio-pangcu terkejut dan terheran-heran. Kalung itu sama benar dengan kalung yang selama ini disimpan dan dipakainya. Akan tetapi dia menahan gejolak hatinya dan diam saja. Ketika pemuda yang usianya sekitar delapanbelas tahun dan berwajah tampan itu membuka matanya, dia segera bangkit duduk dan memberi hormat kepada Tio-pangcu.

"Terima kasih atas pertolongan lo-cian-pwe Saya harus malu, saya yang mau membantu lo-cian-pwe malah di tolong."

"Siapakah engkau, orang muda ilmu pedangmu cukup baik, akan tetapi agaknya engkau tidak tahu bahwa mereka itu adalah orang-orang Beng-kauw yang berbahaya.

"Saya bernama Tong Seng Gun, locianpwe. Kebetulan sekali saya berada di sini ketika melihat lo-cian-pwe dikeroyok banyak orang. Saya sedang mencari seseorang."

"Siapa yang kau cari? Mungkin aku mengenalnya dan mengetahui di mana dia berada."

"Dia adalah ketua perkumpulan Nam-kiang-pang, bernama Tio Hui Po. Apakah lo-cianpwe mengenalnya?"

Tio-pangcu memandang tajam ketika menjawab, "Akulah yang bernama Tio Hui Po ketua Nam-kiang-pang. Orang muda, mau apakah engkau mencari aku?"

Orang muda itu terbelalak, nampak kaget sekali dan memandang kepada Tio-pangcu, kemudian dia menjatuhkan dirinya sambil menangis. Tio-pangcu menyentuh pundaknya mengangkatnya bangun dan tidak berlutut. "Tenanglah dan ceritakan kepadaku mengapa engkau mencari aku."

"Ah, lo-cianpwe, beruntung sekali saya dapat bertemu dengan lo-cianpwe setelah lama saya cari. Ketahuilah bahwa saya adalah keponakan dari mendiang Siang-cu Sian-li ketua Ang-lian-pang (Perkumpulan Teratai Merah) di Hang-kouw.

"Apa?" Tio-pangcu terkejut. "Siang-cu Sian-li telah mati? Apa yang terjadi?"

"Tiga bulan yang lalu Ang Ha-pang diserbu oleh Beng-kauw dan bibi tewas di tangan mereka."

"Ahhh...!" Tio-pangcu mengepal tinju, memejamkan matanya dan membayangkan peristiwa yang terjadi duapuluh tahun yang lalu. Dia masih muda ketika itu dan belum menjadi ketua Nam kiang-pang. Dia bertemu dengan Siang-cu Sianli, keduanya masih muda dan Siang-cu Sianli juga baru menjadi calon ketua Ang-lian-pang. Keduanya saling jatuh cinta, akan tetapi sebagai calon ketua keduanya tentu saja tidak boleh menikah.

Hubungan mereka akrab sekali, keakraban yang mendalam dan akhirnya karena tidak-dapat menahan diri, mereka melakukan hubungan badan. Ketika Siang-cu Sianli pergi menyembunyikan diri dengan dalih memperdalam ilmunya dan setelah ia melahirkan seorang anak laki-laki, ia membawa anak itu kepada Tio Hui Po dan menyerahkan anak itu kepada ayahnya. Hal ini terpaksa dilakukan karena la harus melakukan upacara pengangkatan sebagai ketua Ang-lian-pang.

Hui Po menjadi pusing tujuh keliling ketika menerima anak laki-laki yang masih bayi itu. Dia sendiri adalah calon ketua Nam-kiang-pang. Terpaksa dia menemui Tio Sun Po, adiknya yang sudah berkeluarga membawa anak itu dan mengatakan bahwa terpaksa membawa anak laki-laki itu karena ibunya tewas oleh penjahat dan anak itu tidak mempunyai keluarga lagi Tio Sun Po menerima dan memelihara anak itu yang diberi nama Tio Ki Bhok, diaku anak oleh Tio Sun Po.

Setelah anak itu berusia belasan tahun, Tio Hui Po yang sudah menjadi ketua Nam-kiang-pang mengambil nya dan melatih."keponakannya" ini dengan ilmu silat. Demikianlah hal-hal yang teringat oleh Tio Hui Po pada saat itu. Kini bekas kekasihnya atau ibu Tio Ki Bok, Siang-cu Sian-li tewas oleh orang-orang Beng-kauw. Bahkan dia sendiri tadipun diserang orang-orang Beng-kauw!

"Akan tetapi, kenapa engkau mencari aku?" akhirnya dia bertanya.

"Maaf, lo-cian-pwe, sebelum meninggal dunia karena luka-lukanya, bibi Siang-cu menyerahkan kalung ini kepada saya dan minta agar saya mencari lo-cian-pwe dengan pesan agar lo-cian-pwe sudi menerima saya menjadi murid, agar kelak saya dapat membalaskan sakit hati ini kepada Beng-kauw."'

Tio-pangcu menerima kalung itu, mengamatinya sejenak dan dia yakin bahwa itu adalah kalung yang diberikannya kepada kekasihnya dahulu. Dia termenung dengan hati sedih membayangkan kekasihnya itu terbunuh oleh orang Beng-kauw. Dan dia teringat bahwa di antara muridnya tidak ada yang berbakat kecuali hanya seorang, maka tidak ada jeleknya memenuhi permintaan terakhir dari Siang-cu Sian-li. Apa lagi dia tadi sudah melihat bahwa pemuda ini memiliki gerakan yang cukup tangkas.

"Baiklah, Seng Gun. Demi Siang-cu Sian-li aku menerima engkau menjadi muridku." katanya. Mendengar ini, dengan girang Seng Gun lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Tio-pangcu. Demikinlah, mulai saat itu, Seng Gun menjadi murid Tio-pangcu.

Sama sekali Tio Hui Po tidak pernah menduga bahwa dia telah memelihara anak harimau yang buas dan kelak akan membahayakan dirinya. Seperti kita ketahui, Seng Gun adalah cucu yang diangkat putera oleh Kwi-jiauw Lomo seorang di antara Sam Mo-ong yang menjadi utusan orang Mongol Dan Seng Gun menerima tugas khusus dari Sam Mo-ong untuk" membantu gerakan Hoat-kauw.

Para penyelidik Hoat-kauw menyelidiki partai-partai persilatan dan aliran yang tidak mau di ajak kerjasama dan melakukan siasat adu domba di antara mereka. Musuh utamanya yang terkuat adalah Beng-kauw karena Beng-kauw memiliki banyak orang pandai. Karena itu mereka berusaha untuk membuat Beng-kauw dimusuhi semua aliran dengan melakukan perbuatan fitnah yang dijatuhkan kepada Beng-kauw.

Perkumpulan Ang-sin-liong yang diketuai oleh Siong-cu Sian-li diserbu dengan menyamar sebagai orang-orang Beng-kauw, dan mereka berhasil membunuh Siang-cu Sian-li. Mereka sudah menyelidiki dan mengetahui rahasia Tio pangcu, maka Seng Gun mendapat tugas rahasia untuk menyusup dalam Nam-kiang pang sebagai keponakan Siang-cu Sian-li.

Hal ini adalah karena pihak Hoat-kauw maklum betapa lihainya Thian-te Sin-to Tio Hui Po, dan nama besar Nam-kiang-pang amat berpengaruh sehingga kalau mereka dapat menguasai Nam-kiang pang, maka akan mudah sekali untuk menggerakkan perkumpulan lain untuk me musuhi Beng-kauw.

Hampir dua tahun Seng Gun menerima gemblengan dari Tio-pangcu. Dia menyembunyikan kepandaiannya sendiri sehingga baik suheng-suhengnya maupun suhunya sendiri tidak tahu bahwa dia telah memiliki kepandaian tinggi, ketika dia membantu Tio-pangcu dua tahun yang lalu, menghadapi pengeroyokan orang-orang Beng-kauw yang sebetulnya adalah anak buah Hoat-kauw yang menyamar, dia tidak memperlihatkan ilmunya maka Tio-pangcu yang lihaipun dapat dia kelabui.

Selama dua tahun dia sudah mempelajari banyak, dan mungkin hanya sedikit di bawah suhengnya Ciu Kang Hin. Diam-diam Tio-pangcu girang mendapat kenyataan bahwa Seng Gun amat berbakat, tidak kalah dibandingkan dengan Kang Hin sehingga kini dia mempunyai dua orang murid yang boleh diandalkan. Biarpun sudah menerima gemblengan yang sungguh-sungguh dari Tio-pangcu, Seng Gun yang haus akan ilmu itu masih merasa penasaran sekali karena gurunya belum juga mengajarkan Thiante-to-hoat (Ilmu Golok Bumi Langit).

Gurunya selalu mengatakan belum waktunya namun menjanjikan kepada Kang Hin dan Seng Gun, karena hanya dua murid inilah yang tingkatnya sudah cukup untuk mewarisi ilmu golok yang telah mengangkat nama besarnya itu, Seng Gun merasa penasaran. Kerap kali diam-diam dia menyelidiki dan mencari-cari dalam ruang perpustakaan Nam-kiang-pai, padahal kalau tidak mendapat ijin khusus dari Tio-pangcu, siapapun dilarang mengaduk kitab-kitab di ruangan itu.

Pada suatu malam, ketika dia sedang mencari kitab dan membuka-buka kitab lama di perpustakaan itu, berkelebat empat bayangan orang dan Seng Gun terkejut melihat dua orang susiok (paman/guru) dan dua orang suheng telah berada disitu dengan pedang di tangan.

"Susiok suheng ada apakah?" tanyanya khawatir karena empat orang itu memandangnya dengan penuh ke curigaan.

"Tong-sute, apa yang kau lakukan di sini?" tanya So Liong, seorang diantara kedua suhengnya sambil memandang penuh kecurigaan.

"Aku tidak melakukan apa-apa, suheng, hanya membersihkan debu dari kitab-kitab ini." jawab Seng Gun dengan sikap wajar.

"Seng Gun, engkau tentu sudah tahu bahwa dilarang keras kepada siapapun juga untuk membaca kitab di sini tanpa ijin khusus dari Pangcu!" kata Cang Hok, seorang susioknya. Seng Gun memang sudah lama mengetahui bahwa dua orang susioknya dan dua orang suhengnya ini tidak suka kepadanya, mungkin karena iri hati melihat dia disayang Tio-pangcu dan dilatih ilmu-ilmu simpanan. Akan tetapi dia tetap tenang dan menjawab. dengan wajar.

"Susiok, saya tidak membaca kitab, hanya melihat-lihat saja sambil membersihkan. Kalau saya dianggap bersalah, saya siap dilaporkan kepada suhu dan menerima hukuman." Dalam ucapan itu terkandung pengakuan salah, akan tetapi juga ancaman untuk melaporkan kepada ketua. Dia maklum bahwa suhunya yang sayang kepadanya tidak akan memarahinya hanya karena urusan sekecil itu.

Empat orang itupun menyadari akan hal ini. Mereka memang merasa tidak suka kepada Seng Gun dan merasa curiga kepada pemuda yang pandai membawa diri itu Ingin sekali mereka membuktikan Seng Gun melakukan suatu kesalahan besar, maka mereka seringkali melakukan pengintaian. Bahkan pernah mereka melakukan penggeledahan dalam kamar pemuda itu secara diam-diam Seng Gun sudah mengetahui akan hal ini.

"Kami belum melihat engkau melakukan kesalahan besar," kata Cang Hok. "Akan tetapi engkau sudah melakukan pelanggaran. Kita semua harus menjaga tempat ini, jangan sampai dimasuki musuh yang akan mencuri kitab-kitab Nam-kiang-pang."

"Saya mengaku bersalah, lain kali tidak akan berani lagi” kata Seng Gun menundukkan mukanya yang. berubah merah karena diam-diam merasa mendongkol sekali. Mulai saat itu, dia bersikap hati-hati sekali dan diam-diam mencari akal untuk melenyapkan empat orang yang dapat membahayakan dirinya itu.

Pada suatu senja, seperti biasa dia berjalan seorang diri di luar perkampungan Nam-kiang-pang. Sudah sering dia melakukan hal ini, sebagai umpan untuk memancing kecurigaan. keempat orang itu dan sekali ini dia berhasil baik. Empat orang itu, diam-diam telah membayanginya! Hal ini mudah diketahuinya karena memang tingkat kepandaiannya, tanpa disadari oleh mereka jauh lebih tinggi dari pada tingkat mereka. Pernah dia memancing kecurigaan dua tiga orang di antara mereka, akan tetapi belum pernah keempat-empatnya.

Akan tetapi hari ini benar-benar dia berhasil. Empat orang itu terpancing dan membayanginya. Seng Gun sengaja melakukan gerak gerik mencurigakan. Beberapa kali dia menoleh ke kanan kiri dan kebelakang, kemudian menyelinap di antara pohon-pohon sambil mengintai ke sekeliling, kemudian dia lari dengan cepat menuju ketepi sungai, menyusuri sungai menuju ke barat.

Diam-diam dia memperhatikan dan merasa girang melihat berkelebatnya empat bayangan susiok dan suhengnya yang masih tetap membayanginya. Setelah tiba ditempat yang dikehendaki, dia meniup sempritan yang mengeluarkan suara melengking panjang.

Dari sebuah perahu kecil yang memang sudah siap di situ, berlompatan lima orang yang mengenakan kedok hitam dan mereka ini segera menerjang empat orang anggauta Nam-kiang-pang yang mengintai Seng Gun! Mereka diserang secara mendadak. Tentu saja kakak beradik Cang Hok dan Cang Sui , bersama dua orang murid keponakan mereka, terpaksa muncul dari persembunyian mereka dan melawan mati-matian.

Akan tetapi ternyata kelima orang itu lihai bukan main. Dari cara mereka berpakaian dan dari kedok yang menyembunyikan muka mereka dapat diketahui bahwa mereka adalah orang-orang Beng-kauw. Melihat mereka sudah bertempur, Seng Gun berlari menghampiri menggerakkan goloknya dan dia ikut menyerang murid-murid Nam-kiang-pang!

"Pengkhianat!" Cang Hok berseru marah dan dia menyerang Seng Gun dengan goloknya. Akan tetapi ketika Seng Gun menangkis, dia terkejut bukan main. Goloknya hampir terlepas dari pegangan, dan ketika pemuda itu menyerangnya, dia semakin kaget karena ilmu golok yang dimainkan Seng Gun amat hebatnya. Juga tiga orang kawannya menghadapi lawan berat.

Coa An Hok dan So Liong telah lebih dulu roboh oleh senjata lawan. Adiknya Cang Sui, yang juga membela diri mati-matian, melawan seorang lawan yang agaknya seorang wanita, karena lawan itu mengeluarkan suara tawa merdu dan menggerakkan pedangnya secara istimewa sekali. Ternyata Cang Sui juga tidak dapat bertahan lama. Sebuah tusukan menembus dadanya dan dia roboh tanpa bersuara lagi.

Pada saat itu terdengar teriakan, "Hentikan perkelahian!"
Seng Gun mengenal suara Cu Kang Hin, maka cepat dia berbisik kepada wanita yang memimpin serangan itu "Cepat, robohkan yang seorang ini dan serang aku!"

Dia sendiri lalu berbalik menyerang mereka yang berkedok sedangkan wanita berkedok yang baru saja merobohkan Cang Sui, sudah menyerang Cang Hok dengan gerakan yang dahsyat. Seperti juga adiknya, Cang Hok tidak mampu menghindarkan diri dariserangan maut ini dan diapun roboh dengan leher hampir putus!

Ciu Kang Hin melihat dari jauh ketika rekan-rekannya bertanding melawan lima orang berkedok yang lihai sekali. Dia terkejut dan marah melihat dua orang susiok dan dua orang sutenya roboh, dan hanya tinggal sutenya Seng Gun saja yang nampaknya masih dapat bertahan. Segera dia terjun. Akan tetapi pada saat itu dia melihat Seng Gun roboh dan berteriak, "Tolong suheng!"

Dia melihat lima orang berpakaian dan berkedok hitam itu berloncatan ke dalam sebuah perahu kecil yang segera didayung ke tengah sungai. Terpaksa dia tidak dapat mengejar dan segera menghampiri Seng gun yang merintih. Tadi Kang Hin merasa curiga melihat Seng Gun seorang yang masih bertahan sedangkan dua orang susiok dan dua orang sute yang lain telah roboh.

Akan tetapi ketika dia melihat bahwa paha kanan Seng Gun terluka, kecurigaannya lenyap. Luka itu mengeluarkan banyak darah, akan tetapi tidak berbahaya. Ketika dia memeriksa yang lain, Kang Hin terkejut karena keempat orang rekan itu telah tewas. Juga Seng Gun menangis ketika melihat dua orang susiok dan dua orang suheng tewas dalam keadaan menyedihkan. "Suatu saat akan kubasmi orang-orang Beng-kauw!" Berulang-ulang dia berseru sambil mengepal tinju.

"Sute, apakah yang telah terjadi di sini? Kenapa kalian dapat bentrok dengan orang-orang Beng-kauw?"

"Aku juga tidak tahu mengapa, suheng." kata Seng Gun sementara suhengnya memeriksa dan mengobati lukanya.

"Ketika aku berjalan-jalan dan tiba di sini, kulihat Coa suheng, So suheng dan kedua orang susiok sedang dikeroyok lima orang tadi dan ternyata mereka lihai bukan main. Tentu saja aku lalu membantu, akan tetapi terlambat, bahkan aku sendiri terluka. Untung engkau datang, suheng, kalau tidak, akupun tentu sudah tidak berada di dunia lagi. Mereka begitu ganas dan kejam, orang-orang Beng-kauw terkutuk!"

"Hemm, sute, bagaimana kau bisa tahu bahwa mereka itu orang-orang Beng kauw!" tanya Kang Hin dengan tenang sambil membalut paha Seng Gun.

Seng Gun terbelalak memandang kepada Kang Hin. "Siapa lagi kalau bukan mereka, suheng? Lihat saja cara mereka berpakaian berkedok dan mereka sudah sejak dahulu memusuhi kita. Suhu sendiri pernah di serang."

"Aku tidak yakin, sute. Justeru kedok-kedok itu yang memungkinkan siapa saja menyamar sebagai orang Beng-kauw dan kita menerimanya dengan mudah seolah Beng-kauw pelaku segala bentuk kejahatan."

"Tapi, suheng. Aku yakin mereka itu orang-orang Beng-kauw."

"Apa alasanmu, sute? Apa buktinya? Apakah mereka mempergunakan ilmu khas Beng-kauw?"

Seng Gun termenung. "Aahh, aku mendengar tadi seorang di antara mereka mengatakan begini. Baru kau tahu Beng-kauw tidak boleh dibuat sembarangan. Nah, mereka jelas orang Beng-kauw, suheng."

Kang Hin mengerutkan alisnya. "Kalau benar seorang di antara mereka berkata begitu, boleh jadi mereka itu orang Beng-kauw. Sayang aku datang terlambat untuk dapat membuktikan sendiri."

"Hei, suheng! Apakah engkau sudah tidak percaya kepadaku? Apakah kau kira aku berbohong?"

"Bukan begitu, sute. Aku hanya ingin yakin. Bayangkan saja kalau kemudian ternyata bahwa kita salah duga, bahwa mereka itu bukan Beng-kauw, dan kita sudah terlanjur memusuhinya."

"Aku berani sumpah dan yakin benar mereka itu Beng-kauw, suheng. Bahkan suhu juga sudah yakin mereka itu Beng-kauw itu, sengaja mencari permusuhan dengan kami. Siapa yang tidak tahu orang macam apa Beng-kauw itu? Ang-lian-pang dibasmi habis, bibiku tewas di tangan mereka, apakah itu bukan bukti yang paling Jelas? Suhu sendiri pernah diserang dan dikeroyok, apakah itu masih meragukan?"

"Sudahlah, sute. Aku tidak meragukanmu, hanya ingin cermat. Mari kita laporkan musibah ini kepada suhu."

Dengan terpincang-pincang Seng Gun mengikuti suhengnya kembali ke perkampungan Nam-kiang-pang dan tentu saja para angauta perkumpulan itu menjadi gempar ketika mendengar bahwa empat orang rekan mereka tewas terbunuh di tepi sungai itu. Tio-pangcu sendiri dengan pakaian berkabung berjalan mondar mandir di depan empat buah peti mati itu sambil berulahg kali menghela nafas panjang dan dengan alis berkerut.

Setelah upara perkabungan dan pemakaman empat orang tokoh Nam-kiang-pang selesai, Tio-pangcu memanggiI semua sutenya dan muridnya dan di depan mereka dia menyatakan bahwa dia memilih Ciu Kang Hin dan Tong Seng Gun sebagai ahli waris yang akan mewarisi ilmu Thian-te To-hoat.

Hal ini berarti pula bahwa dia telah mengangkat dua orang muda itu sebagai calon pimpinan Nam-kiang-pang. Sudah menjadi peraturan Nam-kiang-pang bahwa ketuanya dan pimpinan tertingginya harus orang yang menguasai Thian-te To-hoat dan ilmu ini hanya dapat diperoleh secara turun temurun.

Setelah itu Tio-pangcu mengajak kedua orang murid utama ini keruangan sembahyang dan di depan meja sembahyang para guru besar Nam-kiang-pang kedua orang murid ini disuruh berlutut dan mengucapkan sumpah setia. Demikian lah, sejak hari itu keduanya digembleng ilmu golok yang dahsyat itu.

Tentu saja diam-diam Seng Gun merasa gembira sekali karena hal ini merupakan satu di antara tujuannya menyusup kedalam Nam-kiang-pang. Dia harus dapat menguasai Nam-kiang-pang dan menghasut partai-partai besar untuk memusuhi Beng-kauw, kemudian saling bermusuhan sehingga melemahkan mereka dan Hoat-kauw akan dapat menguasai dunia kangouw. Kalau sudah begitu, bangsa Mongol akan dengan mudahnya menyerbu keselatan di setiap tempat tentu akan dibantu orang-orang kangouw yang sudah takluk kepada Hoat-kauw!

Seng Gun seakan berlomba dengan Kang Hin untuk menguasai ilmu golok itu. Hal ini menyenangkan hati Tio Hui Po karena kedua orang murid itu benar-benar memperoleh kemajuan pesat sekali, sehingga dalam waktu setengah tahun, saja, keduanya sudah menguasai ilmu golok Thian-te To-hoat dengan baik.

”Hari itu Tio-pangcu mengumpulkan lagi semua muridnya dan menyatakan perang dengan Beng-kauw."

"Kita harus membasmi Beng-kauw dan melenyapkan mereka dari muka bumi. Bunuh semua anggauta Beng-kauw, berikut seluruh keluarga mereka!" kata Tio Hui Po.

"Maaf, suhu. Teecu khawatir kalau keliru menangkap pesan suhu. Suhu memerintahkan untuk membasmi seluruh anggauta Beng-kauw berikut keluarganya?"

Sepasang mata Tio Hui Po mencorong dan para anggauta Nam-kiang-pang memandang kepada Ciu Kang Hin dengan heran. "Bagaimana bisa keliru menangkap, Kang Hin? Engkaulah yang akan menggantikan aku menjadi ketua, engkau juga yang akan memimpin Nam-kiang-pang membasmi Beng-kauw!"

"Maaf, suhu. Kalau teecu meragukan perintah itu, adalah karena perintah itu tidak sesuai dengan sikap suhu selama ini, suhu selalu bersikap bijaksana, dapat membedakan mana yang benar dan mana yang tidak benar."

"Kang Hin!" gurunya membentak. "Apa kau kira Beng-kauw ada yang benar? Mereka membasmi Ang-lian-pang, membunuh para pemimpinnya. Mereka telah menyerangku tanpa sebab, bahkan kemudian membunuh Cang Hok, Cang Hui, Coa An Hok, dan So Liong tanpa sebab-pula. Apakah itu belum cukup membuktikan kejahatan mereka? Kalau mereka tidak dibasmi, tentu mereka akan merajalela. Membasmi rumput liar harus ke akar-akarnya."

"Suhu, teecu akan berdiri di barisan paling depan untuk membasmi Beng kauw!" Seng Gun berkata kepada gurunya yang sedang marah. "Teecu akan memberi contoh dan semangat kepada suheng."

"Bagus, memang seharusnya Kang Hin dapat merasakan apa yang kau rasakan. Selain itu, Kang Hin bersiaplah engkau karena setelah saatnya tiba aku akan menyerahkan kedudukan ketua kepadamu tentu saja kalau kuanggap engkau sudah cukup dewasa untuk mernimpin Nam-kiang-pang sesuai dengan cita-citaku."

Kang Hin memberi hormat, tidak berani lagi membantah walaupun didalam hatinya dia tidak suka menjadi ketua kalau diharuskan membasmi Beng-kauw. Sebetulnya bukan sekali-kali dia memihak Beng-kauw, hanya dia tidak dapat menerima kalau Beng-kauw harus dibasmi seluruhnya. Bagi dia, setiap golongan tidak dapat disebut semuanya baik atau semuanya buruk. Pasti ada yang baik dan ada yang buruk, ada yang jahat tentu pula ada yang tidak jahat.

Kalau semua harus dibunuh tanpa pilih bulu, lalu yang tidak jahat ikut pula terbunuh, sungguh suatu hal yang tidak patut dilakukan seorang gagah! Dia sendiri mendapat pengertian ini dari gurunya, maka kalau sekarang suhunya bersikap seperti itu hal ini adalah karena suhunya sudah mabok dendam dan sakit hati sehingga tidak mampu lagi membedakan antara yang benar dan yang salah.

Tio-pangcu lalu mengirim undangan kepada semua partai persilatan, terutama sekali Siauwlimpai dan Butong pai, dan setelah semua wakil hadir dia menceritakan tentang apa yang diperbuat Beng-kauw kepada Nam-kiang-pang. Betapa Beng-kauw menyerangnya tiga tahun yang lalu, kemudian tanpa sebab menyerang dan membunuh dua orang , sutenya dan dua orang muridnya.

"Oleh karena itu, demi menjaga keamanan di dunia kangouw, dan demi menegakkan kebenaran dan keadilan, kami memohon pengertian para sahabat di dunia kangouw dan mengajak para sahabat untuk bersama-sama memusuhi dan membasmi gerombolan Beng-kauw." kata Tio Hui Po.

"Wah, itu lebih mudah diucapkan dari pada dilaksakan!" kata Yu-pangcu ketua Kong-thong-pai yang kebetulan dapat hadir sendiri karena pusat perkumpulan itu tidak terlalu jauh dari Nam-kiang-pang. Dia seorang laki-laki berusia limapuluh tahun yang tinggi kurus dan berjenggot panjang.

"Siapa yang tidak tahu akan kelihaian para pimpinan Beng-kauw? Selain memiliki ilmu yang aneh-aneh, juga dua macam ilmu Matahari Merah dan Salju Putih kiranya sukar dicari tandinganya!"

Banyak wakil perkumpulan yang hadir menganggukkan kepala menyetujui pendapat ini.

"Maaf, Yu-pangcu. Kalau hendak membasmi penjahat yang masuk hitungan adalah kejahatannya, bukan kepandaiannya. Betapapun lihainya, kalau dia jahat dan membahayakan masyarakat, harus kita basmi. Karena mereka itu lihai, maka kami mengundang cuwi untuk bekerjasama. Betapapun lihainya musuh kalau kita bekerja sama, masa tidak dapat ditumpas? IImu Matahari Merah dan Salju Putih boleh jadi hebat, akan tetapi Thian-te To-hoat kami kiranya akan mampu menghadapinya! Apalagi ilmu-ilmu dari Siauw-lim-pai, Butongpai, Kun-lun-pai dan Gobipai, tidak kalah dibandingkan dengan ilmu yang manapun juga.

Kembali banyak orang menyatakan setuju dan mereka kembali bersemangat. Tio-pangcu ingin sekali mendengar pendapat dua partai besar yang juga menja di sumber dari partainya, yaitu Siauw-limpai dan Butongpai. Karena dua partai besar ini tidak dihadiri oleh ketuanya hanya oleh wakilnya, maka dia bertanya kepada mereka.

"Kami mohon pendapat suhu dari Siauw-lim-pai dan totiang dari Bu-tong-pai."

Mendengar ini, hwesio Siauw-lim-pai dan tosu Bu-tong-pai saling pandang dan tersenyum.

"Omitohud, kalau mencegah terjadinya kejahatan, itu memang menjadi tugas kami, akan tetapi memusuhi aliran tertentu, hal itu harus ada perintah dari pimpinan kami. Pinceng hanya akan melaporkan pertemuan hari ini kepada pimpinan kami, tidak berani pinceng mengambil keputusan sendiri."

"Siancai... ucapan sobat dari Siauw-lim-pai itu memang cocok sekali. Pinto hanya dapat mengatakan bahwa Bu-tong-pai menentang semua perbuatan jahat, menentang orang yang melakukan perbuatan jahat yang sudah terbukti. Baik dia orang Beng-kauw atau orang Bu-tong-pai sendiri, kalau perbuatannya jahat, pasti kami tentang. Oleh karena itu, memusuhi dan membasmi semua orang Beng-kauw, tidak perduli dia sudah melakukan kejahatan atau belum, pinto tidak berani memberi keputusan, haruslah melalui keputusan rapat para pimpinan. Pinto akan melaporkan hasil pertemuan saat ini."

Demikianlah, rapat itu selesai dan yang mendukung usul Tio-pangcu adalah perkumpulan-perkumpulan kecil, terutama yang memang sudah mempunyai permusuhan dengan Beng-kauw. Sedangkan perkumpulan lain seperti Siauwlimpai dan Butongpai akan melaporkan dulu kepada pimpinan mereka. Dan mulai hari itu, orang -orang Beng-kauw dikejar-kejar oleh banyak perkumpulan. Terutama sekali oleh Nam-kiang-pang yang dipimpin oleh Seng Gun dan Kang Hin.

Seng Gun maklum bahwa kalau dia tidak dapat melempar fitnah meyakinkan kepada Kang Hin, pasti gurunya akan memilih Kang Hin sebagai calon ketua. Dia sendiri masih ragu untuk menyerang Kang Hin, karena dia tahu bahwa dalam ilmu golok, dia masih tidak mampu menandingi pemuda perkasa itu. Akan tetapi Kang Hin lembut hati dan kalau dia dapat membuat pemuda itu tersudut, tentu dia dapat menguasainya. Juga dalam pembasmian orang-orang Beng-kauw, jelas Kang Hin memperlihatkan sikap tidak tega kalau yang dibunuh itu tidak jelas kesalahannya.

Ketika mereka menyerbu rumah seorang anggauta Bengkauw di dusun sebelah barat bukit. Dia dan anak buahnya menyerbu rumah itu. Anggauta Beng-kauw yang sudah lama keluar dari Beng-kauw itu tidak melakukan perlawanan yang berarti dan segera dapat dibunuhnya dengan mudah. Isterinya yang masih muda dan dua orang anaknya minta-minta ampun, dan Kang Hin hendak melepas mereka, akan tetapi Seng Gun berkeras membunuhnya.

Kang Hin membuang muka ketika peristiwa itu terjadi dan ketika pulang dia mengomeli sutenya. Kelemahan inilah yang akan dipergunakan oleh Seng Gun yang diam-diam menghubungi sekutunya. Seperti biasanya, Bi-sin-liong Kwa Lian, wanita cantik tokoh Hoat-kauw yang selain sekutunya juga menjadi kekasihnya itu, segera mengulurkan tangan membantunya.

Dahulu, ketika hendak menyusup masuk ke Nam-kiang-pang, wanita itu bersama anak buahnya juga telah menyamar sebagai orang-orang Beng-kauw dan menyerang Tio Hui Po. Kini, mendengar laporan Seng Gun bahwa yang akan diangkat sebagai ketua Nam-kiang-pang adalah Ciu Kang Hin, Bi-sin-l iong Kwa Lian segera menyatakan siap untuk membantu.

Demikianlah, pada suatu malam Seng Gun mendatangi kamar Kang Hin dan dengan suara berbisik dia berkata, "Suheng, aku bertemu dengan seorang Beng-kauw."

Kang Hing terkejut. "Eh, di mana, sute? Dan bagaimana engkau tahu dia seorang Bengkauw?"

"Ia seorang wanita, suheng, dan ia memakai kedok aneh Ia tak berada jauh dari sini, tentu ia seorang Beng-kauw. Mari kita selidiki suheng, dan kalau perlu kita tangkap ia. Mari sebelum ia pergi!"

Karena Seng Gun tidak banyak bicara lagi dan sudah pergi, terpaksa Kang Hin mengikutinya. Dua orang pemuda perkasa itu menyusup-nyusup keluar dari perkampungan Nam-kiang-pang dan Seng Gun yang menjadi penunjuk jalan berlari didepan, diikuti oleh Kang Hin yang berjalan dengan hati-hati.

Di tepi sungai Yang-ce-kiang Seng Gun berhenti, mendekam dibalik semak semak dan suhengnya berlutut disebelahnya. "Lihat perahu itu, suheng. Ia tadi berada di situ."

"Sute, kita harus berhati-hati, jangan sembarangan menuduh bagaimana kalau kita menuduh orang yang tidak berdosa?"

"Ah, bagaimana aku bisa keliru, suheng? Biar engkau menjadi penonton saja, aku akan menangkapnya. Kalau dia terlalu lihai bagiku, .baru kau turun tangan membantuku.”

"Baiklah, sute, akan tetapi jangan salah membunuh orang." Seng Gun mengangguk lalu dia meloncat keluar mendekati perahu dan mencabut goloknya.

"Keparat dari Beng-kauw, keluarlah untuk menerima kematian!"

Hening sesaat, akan tetapi kemudian dari dalam bilik perahu muncul sesosok bayangan hitam yang gesit sekali. Mudah dilihat dibawah sinar bulan hampir purnama bahwa bayangan itu adalah seorang wanita yang bertubuh ramping karena pakaiannya ketat. Akan tetapi wajahnya tidak dapat dilihat karena mengenakan kedok yang aneh, dan sebagian besar anggauta Beng-kauw yang sudah tinggi tingkatnya suka menyembunyikan mukanya dibalik kedok agar tidak dikenal orang.

Seorang laki-laki tukang perahu yang pakaiannya sederhana, juga keluar dari perahunya dengan tubuh menggigil. Dia tadi dipaksa untuk mendayung perahunya oleh si kedok hitam. "Saya bukan orang Beng-kauw..." dia meratap ketakutan.

Akan tetapi Seng Gun tanpa banyak cakap lagi mengayun goloknya. Darah tersembur keluar dari leher yang terpancung itu. Si wanita berkedok juga berkata, "Aku bukan orang Beng-kauw."

Sambil mencabut pedangnya, ia berusaha untuk melompat menjauh. Akan tetapi Seng Gun sudah bergerak mengejarnya dan menyerang dengan goloknya.

"Tranggg...!" Bunga api berpijar ketika wanita berkedok itu menangkis dengan pedangnya. Ia lalu membalas serangan Seng Gun dan terjadilah perkelahian yang seru.

Melihat betapa sutenya menyerang dengan mati-matian, apa lagi telah membunuh tukang perahu dengan kejam, Kang Hin berulang-ulang berseru kepada sutenya.."Sute, jangan bunuh orang....!"

Akan tetapi Seng Gun tidak memperdulikan seruan suhengnya dan dia mendesak terus sampai akhirnya goloknya dapat memukul pedang lawan sehingga terlepas dan sebuah tendangan darinya membuat wanita itu terpelanting.

"Mampus kau, iblis Beng-kauw!" Bentaknya dan goloknya menusuk.

"Trang!" Goloknya tertangkis oleh golok di tangan Kang Hin.

Seng Gun memandang kaget dan heran. "Suheng, kau membantu Beng-kauw?" teriaknya heran.

"Jangan bodoh, sute. Aku tidak membantu siapa-siapa. Aku hanya mencegah engkau membunuhi orang yang belum tentu bersalah. Kau menuduh semua orang sebagai Beng-kauw tanpa dibuktikan dulu, dan kau membunuh orang begitu mudahnya."

"Akan tetapi, suheng Ia ini jelas sekali orang Beng-kauw, dan suhu sudah berpesan agar kita membunuh semua orang Bengkauw," bantah Seng Gun dan dia hendak menggerakkan golok lagi menyerang wanita itu Akan tetapi Kang Hin menangkis dengan goloknya.

"Tahan dulu, sute. Aku tidak menghendaki engkau membunuh orang yang tidak bersalah. Heii, sobat, apakah benar engkau orang Beng-kauw?" tanyanya kepada wanita itu.

"Aku bukan orang Bengkauw,"'wanita itu berkata sambil bangkit berdiri.

"Bohong! Orang Beng-kauw mana ada yang mau mengaku? Ke mana-mana pakai kedok!" kata Seng Gun.

"Kalau kau bukan orang Bengkauw, buka kedokmu," kata Kang Hin.

Wanita itu lalu membuka kedoknya dan seraut wajah yang cantik nampak di bawah sinar bulan. Seorang wanita muda yang cantik sekali, dengan senyumnya yang manis dan kerlingnya yang tajam.

"Siapa engkau?" Kang Hin bertanya.

'Namaku Bi Hwa, aku.... aku lari dari suamiku dan memakai kedok agar tidak dikenal suamiku. Aku tidak mau kembali lagi kepadanya, dia kasar dan tidak cinta lagi padanya. Lepaskan aku..."

"Hemm, alasan yang dicari-cari! Aku tetap menyangka ia ini orang Bengkauw yang patut dibunuh, suheng."

"Tidak boleh, sute. Bagaimana kalau dibuktikan kemudian bahwa ia bukan orang Bengkauw dan sudah terlanjur dibunuh?"

"Hemm, apakah kita harus melepaskan ia begitu saja karena ia seorang wanita cantik?" Seng Gun bertanya dengan nada mengejek.

"Sute....!" Kang Hin berseru marah dan pandang matanya mencorong, alisnya berkerut.

"Maaf, suheng. Aku hanya berkelakar. Lalu mau diapakan perempuan ini? Dilepas begitu saja?"

"Kita boleh menawannya untuk besok dihadapkan suhu. Kalau kemudian dia tidak bersalah, terpaksa harus kita lepaskan. Kita tawan ia dan kira selidiki kebenaran omongannya. Nona, di mana rumah suamimu itu?" tanya Kang Hin.

"Di balik bukit itu, akan tetapi aku tidak mau kembali kepadanya."

"Engkau tidak harus kembali kepadanya. Kami hanya ingin menyatakan kebenaran omonganmu. Siapa namanya?"

"Namanya Tan Seng, tinggal di dusun Kam-cui di balik bukit."

Kang Hin menggerakkan tangan menotok pundak wanita itu yang segera terkulai lumpuh.

"Aku harus membelenggunya," kata Seng Gun yang menyambar tubuh yang akan jatuh itu. Kemudian dia mengikat kaki tangan wanita itu dengan kain ikat pinggangnya, dan memanggul tubuh yang sudah tidak mampu berkutik itu. "Ke mana kita harus membawanya, suheng?" tanyanya.

"Kita masukkan dalam tahanan di perkampungan kita. Tidak perlu mengagetkan suhu dengan urusan kecil ini. Besok saja kalau kita sudah mendapat keterangan jelas, kita membuat laporan,"

"Baik, suheng," kata Seng Gun yang memondong tubuh itu dan dia lalu menendang mayat si tukang perahu berikut kepalanya ke dalam air.

Melihat ini, Kang Hin diam saja akan tetapi dia mengerutkan alisnya, menganggap sutenya itu terlalu kejam terhadap musuh. Padahal tukang perahu itu belum tentu orang Bengkauw.

Dua orang pemuda itu kembali ke perkampungan. Kepada beberapa orang anggauta Nam-kiang-pang yang melakukan perondaan mereka mengatakan bahwa mereka sedang menyelidiki wanita yang dianggap mencurigakan ini, dan minta kepada mereka agar melakukan penjagaan dan jangan mengganggu wanita yang dijebloskan ke dalam kamar tahanan itu.

Seng Gun menurunkan tubuh yang masih lemas tertotok dan yang kaki tangannya terbelenggu kuat itu ke atas lantai ke mudian setelah menutupkan pintunya, dia pergi lagi bersama Kang Hin. Seperti terbang saja, kedua suheng dan sute itu mempergunakan ilmunya, berlari cepat di tengah malam mendaki bukit dan pergi ke dusun Kam-cui. Dusun itu sunyi senyap karena penghuninya sudah tidur semua...
Selanjutnya,

Kisah Si Pedang Terbang Jilid 08

Kisah Si Pedang Terbang

Karya : Kho Ping Hoo
Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo
Jilid 08
AKAN tetapi mereka terbelalak ketika melihat teman mereka yang menyerang itu tiba-tiba saja terjengkang, goloknya terlepas dan dia tidak mampu bangkit kembali. Tahulah mereka bahwa pemuda dusun ini tidak seperti yang lain, memiliki kepandaian maka berani bersikap menantang seperti itu. Sambil berteriak-teriak ganas, sembilan orang menyerang Han Lin dengan golok mereka. Serangan mereka ganas dan semua golok menyambar bagaikan tangan maut.

Namun, mereka terkejut ketika pemuda yang mereka serang itu lenyap dan yang nampak hanya bayangannya berkelebat. Tahu-tahu, ada tongkat menyambar-nyambar dari arah belakang mereka. Mereka membalik dan menggerakkan golok untuk menangkis, namun terlambat. Ujung tohgkat bambu yang gerakannya seperti kilat menyambar-nyambar itu menotok mereka satu demi satu dan robohlah mereka bagaikan rumput dibabat pedang.

Sepuluh orang dusun itu kini telah menjadi lebih dari tigapuluh orang. Mereka berdatangan dan menjadi penonton saja di luar pekarangan karena mereka semua merasa gentar terhadap sepuluh orang tukang pukul Lurah Ouw itu, Akan tetapi, ketika melihat betapa dalam beberapa menit saja Han Lin sudah merobohkan sepuluh orang yang di takuti itu, orang-orang dusun bersorak dan mereka menyerbu ke dalam pekarangan, mengangkat senjata di tangan mereka yang bermacam-macam bentuknya, ada kapak, arit, cangkul, garu, palu dan berbagai, macam perkakas lagi.

Han Lin maklum bahwa orang yang mendendam dapat menjadi amat kejam, juga bahwa orang yang merasa menang dapat mabok kemenangan dan dapat melakukan apa saja yang dirasakan menjadi haknya karena menang., Maka cepat dia menghadang dan mengangkat kedua tangan ke atas.

"Berhenti dan tahan senjata!" Bentakannya mengandung wibawa kuat dan tigapuluh orang lebih itu berhenti dan memandang kepada Han Lin dengan heran. Mereka hendak "membantu" pemuda itu membantai sepuluh orang jagoan dan menyerbu rumah Lurah Ouw yang selama ini menjadi seperti, raja lalim di dusun itu, kenapa Han Lin menahan mereka?

"Biarkan kami bunuh mereka semua!" terdengar beberapa orang berteriak.

"Tidak!" Han Lin membentak. "Kita tidak suka melihat kekejaman mereka, berarti kita bukan orang-orang kejam seperti mereka! Mari, kita buktikan bahwa kita tidak seperti mereka. Kalau kita sekarang bertindak kejam, lalu apa bedanya antara mereka dan kita?"

Dia teringat akan kenyataan yang pernah dipaparkan Lojin bahwa di dalam diri setiap orang manusia terdapat nafsu yang sama. Kalau seseorang mencela orang lain berbuat sewenang-wenang, adalah karena di pencela itu tidak mempunyai kesempatan melakukan hal yang sama. Sekali dia mendapatkan kesempatan, mungkin dia akan lebih jahat dari pada yang dicela! Hanya orang yang tidak diperbudak nafsu-nafsunya saja yang akan dapat selalu ingat dan waspada, tidak menuruti bisikan atau perintah nafsu-nafsunya sendiri.

"Akan tetapi mereka selama ini bertindak kejam terhadap kita!" terdengar bantahan.

"Lalu kalian ingin membalas dendam dan bertindak kejam pula terhadap mereka? Kalau begitu, kalian berubah menjadi orang-orang kejam dan aku tidak sudi membantu orang-orang kejam dan pengecut! Kenapa tidak dari dulu kalian melawan tindakan mereka yang kejam? Kenapa baru sekarang, melihat mereka tak berdaya, lalu kalian hendak membantai mereka? Dengar, kalau kalian tidak menurut kepadaku, aku akan pergi dan biar kalian sendiri menghadapi gerombolan yang berada di kuil puncak bukit Ayam Emas!"

Mendengar ucapan pemuda ini, semua orang menjadi pucat wajahnya dan semangat mereka yang menggebu-gebu didorong dendam itupun mengempis dan mereka seperti sekelompok anak-anak yang ketakutan. Kasihan juga rasa hati Han Lin menyaksikan sikap mereka itu. Mereka memang seperti anak-anak yang membutuhkan perlindungan dan pengawasan.

"Aku ingin melihat kalian menggunakan semangat kalian untuk membela diri, bukan untuk bertindak sewenang-wenang dan kejam. Melihat pihak musuh sudah tidak berdaya lalu hendak membantai mereka, itu perbuatan kejam sewenang-wenang. Juga kalian tidak boleh menyerang keluarga Lurah Ouw yang tidak bersalah apa-apa. Ketahuilah bahwa Lurah Ouw kini telah kutawan dan kuserahkan kepada yang berwajib. Tak lama lagi pasukan akan menyerbu sarang gerombolan di puncak Bukit Ayam Emas, dan kita harus menjaga agar jangan sampai ada orang dari rumah ini lolos dan memberi kabar kepada gerombolan di Sana. Mengertikah kalian? Kalian hanya bertugas menjaga di sini, mengepung rumah ini agar tidak ada yang dapat keluar, akan tetapi kalian tidak boleh membunuh orang yang tidak menyerang kalian. Mengerti?"

Mendengar ini, semua orang bersorak gembira. Dusun mereka akan terbebas dari cengkeraman gerombolan penjahat setelah lima tahun!

"Kami mengerti, kongcu!" Tiba-tiba Akui berseru dan menghadap ke arah orang banyak. "Kita harus menaati perintah Sia-kongcu kalau ingin dusun kita diselamatkan!"

Orang-orang menyambutnya dengan sorakan setuju. Han Lin mengangkat tangan dan semua orang terdiam, mendengar. "Saya senang sekali melihat sikap kalian. Sekarang, dengar baik-baik. Sepuluh orang ini harus dibelenggu kaki tangannya dan dibawa ke dalam rumah, aku akan mengumpulkan semua penghuni rumah ini. Hayo sepuluh orang pemuda yang pertama datang ke sini ikut, akan tetapi ingat, jangan membunuh orang. Aku hanya ingin agar semua keluarga Ouw Tit dikumpulkan di ruangan dan diawasi agar jangan seorangpun di antara mereka dapat mengirim berita ke sarang gerombolan. Kalau ada yang berbuat kejam dan jahat, akan kuhajar sendiri!"

Sepuluh orang pemuda itu dengan semangat besar dan sikap seperti jagoan segera mendekati Han Lin dan mengikuti pemuda ini memasuki rumah lurah Ouw. Sedangkan yang lain-lain segera menyerbu pekarangan dan sebentar saja sepuluh orang itu sudah ditelikung dan diikat seperti ayam-ayam yang hendak dipanggang!

Saking benci dan dendamnya biarpun tidak ada di antara mereka yang berani menyiksa apa lagi membunuh, tidak urung sepuluh orang tukang pukul yang sudah tidak berdaya itu menjadi "korban caci-maki, diludahi dan di olok-olok yang bagi mereka jauh lebih menyakitkan dari pada kalau digebuki. Biasanya mereka seperti penguasa-penguasa di dusun itu, tidak ada seorangpun berani memandang kepada mereka, apa lagi bicara kasar. Dan kini, orang-orang dusun itu meludahi mereka, mencaci maki mereka!

Han Lin dan sepuluh orang pemuda dusun menyerbu memasuki rumah. Ternyata tidak ada tukang pukul lain kecuali hanya empat orang isteri sang lurah dan anak-anak mereka, juga ada beberapa orang pelayan wanita. Mereka semua sudah ketakutan dan berkumpul di sebuah ruangan terbesar di rumah itu, maka mudahlah bagi Han Lin dan kawan-kawannya.

Mereka semua dikumpulkan di dalam ruangan, dilarang meninggalkan ruangan itu, dan dijaga di pintu oleh sepuluh orang pemuda dusun. Kemudian Han Lin meninggalkan rumah setelah berpesan ke pada Akui agar mengawasi orang-orang dusun itu agar mereka jangan melakukan hal-hal yang jahat seperti menyiksa, membunuh, apa lagi merampok.

* * * *

Sejak lima tahun yang lalu, kuil di puncak Bukit Ayam Emas telah dijadikan sarang oleh Hoat-kauw yang bertugas mengadakan hubungan dengan pihak Mongol yang diwakili oleh utusan mereka, yaitu Sam Mo-ong, tiga orang datuk besar yang sakti. Dan selama lima tahun ini, mereka telah melakukan banyak hal yang bagi mereka merupakan kemajuan dalam kerja sama mereka.

Pihak Sam mO-ong membantu orang-orang Mongol menundukkan saingan-saingan mereka, yaitu suku-suku bangsa lain yang juga ingin meluaskah kekuasaannya di wilayah Kerajaan Tang dan memaksa suku-suku bangsa yang lebih kecil untuk bergabung dan membantu orang Mongol.

Adapun pihak Hoat-kauw yang diwakili oleh Bu-tek Ngo Sin-liong, lima orang tokoh Hoat-kauw, bergerak menalukkan partai-partai persilatan dan aliran-aliran lain untuk menguasai dunia kangouw. Kalau kerjasama ini berhasil, maka Kerajaan Tang akan menghadapi pasukan Mongol yang dibantu oleh suku-suku bangsa lain dan dunia kangouw!

Untuk hubungan kerja sama di antara mereka, pihak Sam Mo-ong mewakilkan kepada An seng Gun, putera mendiang An Lu Shan yang diaku anak oleh kakeknya sendiri, yaitu Kwi-jiauw Lo-mo, seorang di antara Sam Mo-ong. Seng Gun ini juga diperuntukan kepada pihak Hoat-kauw agar hubungan dengan pihak Mongol dapat selalu terjalin, juga Seng Gun seolah menjadi pengamat yang mengikuti perkembangan gerakan Hoat-kauw.

Ketika Han Lin kembali ke Li-bun, kebetulan sekali sarang Hoat-kauw di puncak Bukit Ayam Emas itu ditinggalkan para pemimpin besarnya. Lima orang Bu-tek Ngo Sin-liong tidak berada di sana karena mereka sedang sibuk membantu pihak pimpinan Hoat-kauw yang hendak mengadakan perayaan ulang tahun mengundang semua partai dan aliran, perayaan yang akan diadakan di Bukit Harimau, di luar kota An-king, yang merupakan pusat cabang terbesar dari Hoat-kauw saat itu. Seng Gun sendiri sejak dua tahun ini tidak pernah nampak di kuil itu karena dia melaksanakan sebuah tugas rahasia yang diberikan kepadanya oleh Sam Mo-ong.

Han Lin menyelinap di luar perkampungan gerombolan di puncak Bukit Ayam Emas itu. Kuil yang dahulu menjadi tempat di mana dia belajar ilmu silat dari Kong Hwi Hosiang kini telah menjadi perkampungan gerombolan dan di pagari, dan di sekitar kuil dalam perkampungan itu dibangun beberapa buah rumah tempat tinggal anggauta gerombolan.

Karena agaknya mereka semua merasa yakin tidak akan ada seorangpun berani mengusik mereka, maka perkampungan gerombolan itu tidak terjaga ketat. Dengan mudah saja Han Lin melompati pagar bambu memasuki perkampungan tanpa terlihat siapapun dan dia menyelinap antara pondok-pondok itu. Ketika mendengar isak tangis wanita dari sebuah pondok, diapun mendekati dan mengintai Pondok-pondok darurat itu terbuat dari kayu dan bambu maka mudah sekali bagi Han Lin untuk mengintai.

Seorang wanita muda, usianya tidak akan lebih dari enambelas tahun, menangis terisak-isak di atas pembaringan. Seorang laki-laki yang usianya sekitar empatpuluh tahun, bertubuh tinggi besar bermuka hitam, duduk di atas kursi dekat pembaringan dan nampaknya marah-marah.

"Sudahlah, jangan menangis saja, menyebalkan kau!" bentak laki-laki itu sambil melotot kepada wanita muda yang menangis. Apa sih maumu?"

"Pulangkan aku” tangis wanita itu, "Kembalikan aku ke rumah orang tuaku, aku ingin kembali kepada mereka!"

"Sialan! Engkau sudah menjadi isteriku, sudah limabelas hari di sini, dan setiap hari hanya menangis minta pulang!"

"Aku bukan isterimu! Engkau engkau menculik dan memaksaku hu-hu-huuhhh, pulangkan aku.... pulangkan aku."

"Engkau menjemukan!” bentak laki laki bermuka hitam itu dan dia lalu bangkit berdiri, tangannya menampar.

"Plakk...!!" Keras sekali tamparan itu dan wanita itu menjerit dan terjengkang ke atas pembaringan, pipinya yang kiri membengkak biru dan ia menangis semakin sedih.

Melihat ini, Han Lin tidak dapat menahan lagi kesabarannya. Kalau saja mereka itu suami isteri, tentu dia tidak berhak mencampuri urusan mereka. Akan tetapi dari tangis wanita tadi dia tahu bahwa wanita yang masih remaja itu diculik dan dipaksa menjadi isteri orang itu, jelas ia adalah seorang di antara banyak korban, yaitu wanita-wanita di Li-bun dan sekitarnya yang diculik oleh para anggauta gerombolan itu dan dipaksa menjadi isteri mereka dari wanita inilah dia akan mendapat keterangan banyak dan penting, dan semua keterangannya tentu akan dapat dipercaya.

Melihat wanita itu ditampar, dia lalu menerobos masuk melalui pintu depan yang tidak dikunci. Tanpa mengeluarkan suara berisik, Ia sudah berada dalam pondok dan langsung memasuki kamar. Laki-laki tinggi besar muka hitam itu terkejut ketika tiba-tiba saja ada seorang pemuda memasuki kamarnya dia sedang kesal dan marah kepada wanita yang dipaksanya menjadi isterinya. Sudah limabelas hari wanita itu dikeram dalam pondoknya, dan setiap hari hanya menangis dan merengek minta dipulangkan saja. Kini, melihat ada pemuda memasuki kamarnya, kemarahannya memuncak.

"Jahanam! Siapa kau berani memasuki pondokku!" teriaknya, dengan kedua tangan dikepal siap untuk memukul sedangkan wanita muda itu terbelalak ketakutan pipinya masih lebam.

"Engkau yang jahanam, laki-laki kejam tak berprikemanusiaan!" Han Lin balas menegur.

"Kau bosan hidup!" bentak laki-laki itu dan diapun sudah menerjang dengan kedua kepalan tangan menyambar-nyambar dalam serangan bertubi. Namun, sekali Han Lin menggerakkan tangan setelah menghindar dengan langkah mundur, dia berhasil menangkap kedua pergelangan tangan si tinggi besar itu.

Si tinggi besar muka hitam itu mengerahkan tenaganya untuk melepaskan kedua tangannya yang tertangkap, namun betapapun dia mengerahkan tenaga, sia-sia belaka karena kedua lengan itu seperti terjepit besi dan sama sekali dia tidak mampu menggerakkan kedua lengannya. Tiba-tiba Han Lin menggerakkan tangan kiri si tinggi besar yang dipegangnya dan tanpa dapat dicegah lagi, si tinggi besar itu menampar mukanya sendiri, disusul tangan ke dua sampai berkali-kali.

"Plak-plak-plak-plak!!" Kedua pipinya bengkak dan bibirnya pecah pecah berdarah. Kemudian, Han Lin menotoknya dan si tinggi besarpun roboh tak berkutik lagi. Han Lin menoleh kepada wanita muda yang masih menangis di atas pembaringan dan yang kini memandang kepadanya dengan sinar mata ketakutan.

"Jangan takut, nona. Aku datang uk menolongmu dan menolong semua wanita yang diculik dan dipaksa ditempat ini. Untuk itu aku membutuhkan keterangan dan petunjukmu, maka marilah ikut denganku meninggalkan neraka ini."

Mendengar bahwa pemuda yang lihai itu hendak membebaskannya, tentu saja gadis itu segera mengangguk-angguk dan cepat ia mengenakan baju rangkap dan sepatunya karena selama dikeram di pondok itu ia tidak pernah diperbolehkan mengenakan sepatu untuk menjaga agar ia tidak melarikan diri. Han Lin mengajaknya keluar lalu memondong tubuhnya dan berloncatan, menyelinap di antara pondok-pondok dan akhirnya dia berhasil meloncati pagar bambu tanpa ada yang dapat melihatnya.

Dia mengajak gadis itu ke sebuah hutan di lereng bukit, lalu minta keterangan tentang sarang gerombolan itu. Dengan girang dia mendapat keterangan bahwa saat itu, semua pimpinan Hoat-kauw tidak berada di. sana, karena semua pergi entah ke mana gadis itu tidak mengetahuinya.

"Yang berada di sana kurang lebih limapuluh orang anggauta gerombolan. Lima orang yang biasanya menjadi pimpinan disana, yaitu Bu-tek Ngo Siong, telah pergi sejak beberapa hari yang lalu."

"Dan berapa banyaknya wanita yang seperti engkau, diculik dan dipaksa tinggal di sana?"

"Banyak sekali...” Hampir semua anggauta gerombolan menculik wanita dan memaksanya menjadi isterinya. Bahkan ada pula yang telah mempunyai anak. Ada pula belasan orang gadis muda yang diculik dan disekap dalam sebuah pondok yang dijadikan tempat tahanan para gadis itu, Ahh, sungguh buruk sekali nasib kami wanita-wanita dusun yang lemah dan bodoh. Kami bagaikan sekawanan domba yang berada di tengah-tengah gerombolan srigala..." gadis itu meratap sambil menangis.

"Sudahlah, nona, jangan menangis. Mari, kuantar engkau ke dusun Li-bun dan untuk sementara tinggallah dulu di sana. Kelak engkau dan para wanita itu akan diantar pulang,"

Han Lin lalu mengantar wanita itu ke dusun Li-bun dan Akui menerimanya dengan ramah. Setelah menceritakan tentang wanita itu kepada Akui. dan menyuruh Akui, menyediakan kamar untuknya, membiarkannya untuk sementara tinggal disitu, Han Lin lalu pergi menemui penduduk. Li-bun. Dia menceritakan segalanya kepada mereka dan mengajak mereka untuk. bersiap ikut menyerbu sarang gerombolan.

Pada keesokan harinya, sekitar duaratus orang pasukan dari Nam-san pagi-pagi sekali sudah tiba di Li-bun. Han Lin atas nama penduduk Li-bun menemui komandannya dan memberitahu bahwa penduduk akan membantu gerakan pasukan dan bahwa wanita-wanita yang berada di sarang gerombolan adalah penduduk dusun yang diculik karena itu mereka tidak berdosa. Dia mengharap agar pasukan tidak mencelakai mereka dan penduduk dusun akan membebaskan mereka. Komandan pasukan mengerti dan menyetujui permintaan itu.

Demikianlah, malam tadi berlalu tanpa ada persangkaan buruk dari para anggauta Hoat-kauw, maka tentu saja mereka menjadi panik ketika pagi-pagi sekali, pasukan yang besar jumlahnya datang menyerbu. Han Lin memimpin penduduk Li-bun menyerbu melalui bagian belakang dengan membobol pagar, dan mereka membebaskan para wanita dan anak-anak. Akan tetapi tidak semua wanita mau dibebaskan. Bahkan ada di antara mereka yang membantu suami mereka melakukan perlawanan dan ikut gugur! Mereka adalah para wanita yang sudah jatuh cinta kepada penculik mereka.

Akan tetapi sebagian besar para wanita dengan gembira ikut membebaskan diri. Puluhan orang wanita dan kanak-kanak melarikan diri. Sementara itu para anggauta Hoat-kauw melakukan perlawanan mati-matian, akan tetapi karena pihak pasukan jauh lebih besar jumlahnya, dan mereka diserbu dengan mendadak sehingga tidak siap sedia akhirnya mereka berantakan.

Sebagian besar dari mereka terbunuh dan hanya sedikit saja yang berhasil lolos dari maut, pada hal mereka adalah anggauta-anggauta Hoat-kauw yang rata-rata memiliki kepandaian lumayan. Pasukan lalu membakar sarang gerombolan itu sampai rata dengan tanah.

Penduduk Li-bun lalu mengatur pemulangan para wanita itu ke rumah keluarga masing-masing, Han Lin menyerahkan pekerjaan ini kepada penduduk Li-bun karena dia sendiri segera berangkat ke Bukit Harimau untuk menghadiri pesta yang diadakan oleh Hoat-kauw.

* * * *

Kita kembali tiga tahun yang lalu Perkumpulan Nam-kiang-pang (Perkumpulan Selatan Sungai) merupakan perkumpulan silat yang terbesar di sebelah selatan Sungai Yang-ce-kiang. Nam-kiang-pang mempunyai sumber yang kuat dari Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai, maka para pimpinannya mempunyai kepandaian tinggi. Hal ini adalah karena pendirinya dahulu memang murid Bu-tong-pai yang kemudian menjadi murid Siauw-lim-pai. Sampai sekarang hubungannya dengan kedua partai besar itu dekat.

Ketua Nam-kiang-pang bernama Tio Kui Po yang terkenal dengan julukan Thian-te Sin-to (Golok Sakti Bumi Langit). Dia berusia limapuluh tahun gagah perkasa dengan tubuh tinggi tegap Ilmu silatnya hebat apa lagi ilmu goloknya. Namun Tio-pangcu (ketua Tio) ini seringkali termenung dengan hati penasaran. Dia mempunyai banyak murid akan tetapi di antara sekian banyaknya murid, hanya ada seorang saja yang memiliki bakat yang baik.

Nama murid ini Ciu Kang Hin seorang pemuda berusia duapuluh tahun. Pada hal yang dia harapkan dan sayang adalah seorang pemuda yang bernama Tio Ki Bhok, keponakannya sendiri. Namun pemuda yang usianya duapuluh tahun ini bahkan ketolol-tololan dan biarpun sudah digemblengnya istimewa namun hasilnya tidak memuaskan hatinya, bahkan mengecewakan Seringkali Tio-pangcu melamun dan bersedih.

Pada suatu sore, Tio-pangcu berjalan-jalan seorang diri di tepi sungai Bagian tepi sungai di situ sunyi sekali, Selagi Tio-pangcu berjalan sambil termenung, bermaksud pulang karena kepergiannya sudah cukup jauh dan dia tidak ingin kemalaman dijalan tiba-tiba dari balik semak belukar di tepi sungai nampak ada belasan orang berpakaian serba hitam dan mereka semua mengenakan topeng seperti yang biasa dipakai oleh orang-orang Beng-kauw.

Tigabelas orang itu mengepungnya dan sikap mereka mengancam. Tio-pangcu dengan tenangnya menghadapi mereka. Dia mengangkat kedua tangan depan dada dan berkata, "Cuwi... (anda sekalian) siapakah? Dan ada keperluan apakah menghadangku? Aku Tio Hui Po rasanya tidak pernah bermusuhan dengan cuwi."

"Tio-pangcu, Nam-kiang-pang selalu memandang rendah kepada Beng-kauw kami, kini. Kami, mendapat kesempatan untuk membuktikan sampai, dimana kepandaian ketua Nam-kiang-pang maka demikian sombongnya kepada kami."

Tio-pangcu tersenyum dan mengangguk-angguk. "Hemm, jadi kalian ini orang-orang Beng-kauw? Ketahuilah kita dipandang orang karena ulah kita sendiri dipandang tinggi atau rendah merupakan penggambaran dari perbuatan kita. Siapa yang tidak tahu bahwa Beng-kauw adalah golongan sesat yang tidak pantang berbuat jahat? Tentu saja kalian dipandang rendah. Seperti yang kalian lakukan sekarang ini adalah perbuatan yang rendah."

Belasan orang itu menjadi; marah. "Tio Hui Po manusia sombong rasakan pembalasan kami."

Mereka lalu menggerakkan senjata masing-masing mengeroyok Tio-pangcu. Orang-orang Beng-kauw itu menggunakan bermacam senjata yang aneh-aneh, dan Tio Hui Po segera mencabut goloknya. Sinar golok yang dimainkan Tio-pangcu bergulung-gulung menyilaukan mata sehingga sukar bagi para pengeroyoknya untuk dapat menembus perisai sinar golok itu dengan senjata mereka.

Pada saat itu muncul seorang pemuda yang dengan gagahnya menghardik, "Belasan orang mengeroyok seorang saja. Pengecut!" Pemuda itu menggunakan pedang membantu Tio-pangcu dan ternyata gerakannya cukup hebat.

Tio Hui Po sebetulnya tidak perlu dibantu karena goloknya cukup kuat untuk melawan tigabelas orang itu. Malah dia merasa khawatir kalau-kalau pemuda itu akan celaka di tangan orang-orang Beng-kauw yang lihai, maka dia memutar goloknya dengan cepat sambil mendekati pemuda itu untuk melindunginya. Akan tetapi terlambat.

Apa yang dikhawatirkan terjadi. Tiba-tiba pemuda itu mengeluh dan pundaknya berdarah. Melihat ini Tio-pangcu menggerakkan goloknya lebih cepat lagi dan dua orang pengeroyok roboh. Akan tetapi pada saat itu seorang di antara para pengeroyok melepas benda peledak di atas tanah.

Terdengar suara ledakan dan asap mengepul tebal. Tio-pangcu yang khawatir kalau asap itu beracun, cepat melompat dan menarik tangan pemuda itu, dibawa meloncat menjauhi asap, dan ketika mereka memandang, ternyata belasan orang itu sudah melarikan diri di balik asap.

Tio-pangcu membawa pemuda itu menjauh, dan tiba-tiba pemuda itu mengeluh dan terkulai pingsan. Cepat Tio Hui Po merangkulnya dan memeriksa lukanya. Luka di pundak, untung tidak merusak tulang, hanya mengeluarkan banyak darah dan agaknya luka mengandung racun sehingga pemuda itu tak sadarkan diri. Cepat dia menotok beberapa jalan darah agar racun tidak menjalar makin jauh dan menggunakan obat menghisap racun, sambil membantu dengan penyaluran dengan tenaga sakti.

Akhirnya pemuda itu mengeluh, sadar dan bangkit. Seuntai kalung keluar dari batik baju di dadanya Melihat kalung itu, Tio-pangcu terkejut dan terheran-heran. Kalung itu sama benar dengan kalung yang selama ini disimpan dan dipakainya. Akan tetapi dia menahan gejolak hatinya dan diam saja. Ketika pemuda yang usianya sekitar delapanbelas tahun dan berwajah tampan itu membuka matanya, dia segera bangkit duduk dan memberi hormat kepada Tio-pangcu.

"Terima kasih atas pertolongan lo-cian-pwe Saya harus malu, saya yang mau membantu lo-cian-pwe malah di tolong."

"Siapakah engkau, orang muda ilmu pedangmu cukup baik, akan tetapi agaknya engkau tidak tahu bahwa mereka itu adalah orang-orang Beng-kauw yang berbahaya.

"Saya bernama Tong Seng Gun, locianpwe. Kebetulan sekali saya berada di sini ketika melihat lo-cian-pwe dikeroyok banyak orang. Saya sedang mencari seseorang."

"Siapa yang kau cari? Mungkin aku mengenalnya dan mengetahui di mana dia berada."

"Dia adalah ketua perkumpulan Nam-kiang-pang, bernama Tio Hui Po. Apakah lo-cianpwe mengenalnya?"

Tio-pangcu memandang tajam ketika menjawab, "Akulah yang bernama Tio Hui Po ketua Nam-kiang-pang. Orang muda, mau apakah engkau mencari aku?"

Orang muda itu terbelalak, nampak kaget sekali dan memandang kepada Tio-pangcu, kemudian dia menjatuhkan dirinya sambil menangis. Tio-pangcu menyentuh pundaknya mengangkatnya bangun dan tidak berlutut. "Tenanglah dan ceritakan kepadaku mengapa engkau mencari aku."

"Ah, lo-cianpwe, beruntung sekali saya dapat bertemu dengan lo-cianpwe setelah lama saya cari. Ketahuilah bahwa saya adalah keponakan dari mendiang Siang-cu Sian-li ketua Ang-lian-pang (Perkumpulan Teratai Merah) di Hang-kouw.

"Apa?" Tio-pangcu terkejut. "Siang-cu Sian-li telah mati? Apa yang terjadi?"

"Tiga bulan yang lalu Ang Ha-pang diserbu oleh Beng-kauw dan bibi tewas di tangan mereka."

"Ahhh...!" Tio-pangcu mengepal tinju, memejamkan matanya dan membayangkan peristiwa yang terjadi duapuluh tahun yang lalu. Dia masih muda ketika itu dan belum menjadi ketua Nam kiang-pang. Dia bertemu dengan Siang-cu Sianli, keduanya masih muda dan Siang-cu Sianli juga baru menjadi calon ketua Ang-lian-pang. Keduanya saling jatuh cinta, akan tetapi sebagai calon ketua keduanya tentu saja tidak boleh menikah.

Hubungan mereka akrab sekali, keakraban yang mendalam dan akhirnya karena tidak-dapat menahan diri, mereka melakukan hubungan badan. Ketika Siang-cu Sianli pergi menyembunyikan diri dengan dalih memperdalam ilmunya dan setelah ia melahirkan seorang anak laki-laki, ia membawa anak itu kepada Tio Hui Po dan menyerahkan anak itu kepada ayahnya. Hal ini terpaksa dilakukan karena la harus melakukan upacara pengangkatan sebagai ketua Ang-lian-pang.

Hui Po menjadi pusing tujuh keliling ketika menerima anak laki-laki yang masih bayi itu. Dia sendiri adalah calon ketua Nam-kiang-pang. Terpaksa dia menemui Tio Sun Po, adiknya yang sudah berkeluarga membawa anak itu dan mengatakan bahwa terpaksa membawa anak laki-laki itu karena ibunya tewas oleh penjahat dan anak itu tidak mempunyai keluarga lagi Tio Sun Po menerima dan memelihara anak itu yang diberi nama Tio Ki Bhok, diaku anak oleh Tio Sun Po.

Setelah anak itu berusia belasan tahun, Tio Hui Po yang sudah menjadi ketua Nam-kiang-pang mengambil nya dan melatih."keponakannya" ini dengan ilmu silat. Demikianlah hal-hal yang teringat oleh Tio Hui Po pada saat itu. Kini bekas kekasihnya atau ibu Tio Ki Bok, Siang-cu Sian-li tewas oleh orang-orang Beng-kauw. Bahkan dia sendiri tadipun diserang orang-orang Beng-kauw!

"Akan tetapi, kenapa engkau mencari aku?" akhirnya dia bertanya.

"Maaf, lo-cian-pwe, sebelum meninggal dunia karena luka-lukanya, bibi Siang-cu menyerahkan kalung ini kepada saya dan minta agar saya mencari lo-cian-pwe dengan pesan agar lo-cian-pwe sudi menerima saya menjadi murid, agar kelak saya dapat membalaskan sakit hati ini kepada Beng-kauw."'

Tio-pangcu menerima kalung itu, mengamatinya sejenak dan dia yakin bahwa itu adalah kalung yang diberikannya kepada kekasihnya dahulu. Dia termenung dengan hati sedih membayangkan kekasihnya itu terbunuh oleh orang Beng-kauw. Dan dia teringat bahwa di antara muridnya tidak ada yang berbakat kecuali hanya seorang, maka tidak ada jeleknya memenuhi permintaan terakhir dari Siang-cu Sian-li. Apa lagi dia tadi sudah melihat bahwa pemuda ini memiliki gerakan yang cukup tangkas.

"Baiklah, Seng Gun. Demi Siang-cu Sian-li aku menerima engkau menjadi muridku." katanya. Mendengar ini, dengan girang Seng Gun lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Tio-pangcu. Demikinlah, mulai saat itu, Seng Gun menjadi murid Tio-pangcu.

Sama sekali Tio Hui Po tidak pernah menduga bahwa dia telah memelihara anak harimau yang buas dan kelak akan membahayakan dirinya. Seperti kita ketahui, Seng Gun adalah cucu yang diangkat putera oleh Kwi-jiauw Lomo seorang di antara Sam Mo-ong yang menjadi utusan orang Mongol Dan Seng Gun menerima tugas khusus dari Sam Mo-ong untuk" membantu gerakan Hoat-kauw.

Para penyelidik Hoat-kauw menyelidiki partai-partai persilatan dan aliran yang tidak mau di ajak kerjasama dan melakukan siasat adu domba di antara mereka. Musuh utamanya yang terkuat adalah Beng-kauw karena Beng-kauw memiliki banyak orang pandai. Karena itu mereka berusaha untuk membuat Beng-kauw dimusuhi semua aliran dengan melakukan perbuatan fitnah yang dijatuhkan kepada Beng-kauw.

Perkumpulan Ang-sin-liong yang diketuai oleh Siong-cu Sian-li diserbu dengan menyamar sebagai orang-orang Beng-kauw, dan mereka berhasil membunuh Siang-cu Sian-li. Mereka sudah menyelidiki dan mengetahui rahasia Tio pangcu, maka Seng Gun mendapat tugas rahasia untuk menyusup dalam Nam-kiang pang sebagai keponakan Siang-cu Sian-li.

Hal ini adalah karena pihak Hoat-kauw maklum betapa lihainya Thian-te Sin-to Tio Hui Po, dan nama besar Nam-kiang-pang amat berpengaruh sehingga kalau mereka dapat menguasai Nam-kiang pang, maka akan mudah sekali untuk menggerakkan perkumpulan lain untuk me musuhi Beng-kauw.

Hampir dua tahun Seng Gun menerima gemblengan dari Tio-pangcu. Dia menyembunyikan kepandaiannya sendiri sehingga baik suheng-suhengnya maupun suhunya sendiri tidak tahu bahwa dia telah memiliki kepandaian tinggi, ketika dia membantu Tio-pangcu dua tahun yang lalu, menghadapi pengeroyokan orang-orang Beng-kauw yang sebetulnya adalah anak buah Hoat-kauw yang menyamar, dia tidak memperlihatkan ilmunya maka Tio-pangcu yang lihaipun dapat dia kelabui.

Selama dua tahun dia sudah mempelajari banyak, dan mungkin hanya sedikit di bawah suhengnya Ciu Kang Hin. Diam-diam Tio-pangcu girang mendapat kenyataan bahwa Seng Gun amat berbakat, tidak kalah dibandingkan dengan Kang Hin sehingga kini dia mempunyai dua orang murid yang boleh diandalkan. Biarpun sudah menerima gemblengan yang sungguh-sungguh dari Tio-pangcu, Seng Gun yang haus akan ilmu itu masih merasa penasaran sekali karena gurunya belum juga mengajarkan Thiante-to-hoat (Ilmu Golok Bumi Langit).

Gurunya selalu mengatakan belum waktunya namun menjanjikan kepada Kang Hin dan Seng Gun, karena hanya dua murid inilah yang tingkatnya sudah cukup untuk mewarisi ilmu golok yang telah mengangkat nama besarnya itu, Seng Gun merasa penasaran. Kerap kali diam-diam dia menyelidiki dan mencari-cari dalam ruang perpustakaan Nam-kiang-pai, padahal kalau tidak mendapat ijin khusus dari Tio-pangcu, siapapun dilarang mengaduk kitab-kitab di ruangan itu.

Pada suatu malam, ketika dia sedang mencari kitab dan membuka-buka kitab lama di perpustakaan itu, berkelebat empat bayangan orang dan Seng Gun terkejut melihat dua orang susiok (paman/guru) dan dua orang suheng telah berada disitu dengan pedang di tangan.

"Susiok suheng ada apakah?" tanyanya khawatir karena empat orang itu memandangnya dengan penuh ke curigaan.

"Tong-sute, apa yang kau lakukan di sini?" tanya So Liong, seorang diantara kedua suhengnya sambil memandang penuh kecurigaan.

"Aku tidak melakukan apa-apa, suheng, hanya membersihkan debu dari kitab-kitab ini." jawab Seng Gun dengan sikap wajar.

"Seng Gun, engkau tentu sudah tahu bahwa dilarang keras kepada siapapun juga untuk membaca kitab di sini tanpa ijin khusus dari Pangcu!" kata Cang Hok, seorang susioknya. Seng Gun memang sudah lama mengetahui bahwa dua orang susioknya dan dua orang suhengnya ini tidak suka kepadanya, mungkin karena iri hati melihat dia disayang Tio-pangcu dan dilatih ilmu-ilmu simpanan. Akan tetapi dia tetap tenang dan menjawab. dengan wajar.

"Susiok, saya tidak membaca kitab, hanya melihat-lihat saja sambil membersihkan. Kalau saya dianggap bersalah, saya siap dilaporkan kepada suhu dan menerima hukuman." Dalam ucapan itu terkandung pengakuan salah, akan tetapi juga ancaman untuk melaporkan kepada ketua. Dia maklum bahwa suhunya yang sayang kepadanya tidak akan memarahinya hanya karena urusan sekecil itu.

Empat orang itupun menyadari akan hal ini. Mereka memang merasa tidak suka kepada Seng Gun dan merasa curiga kepada pemuda yang pandai membawa diri itu Ingin sekali mereka membuktikan Seng Gun melakukan suatu kesalahan besar, maka mereka seringkali melakukan pengintaian. Bahkan pernah mereka melakukan penggeledahan dalam kamar pemuda itu secara diam-diam Seng Gun sudah mengetahui akan hal ini.

"Kami belum melihat engkau melakukan kesalahan besar," kata Cang Hok. "Akan tetapi engkau sudah melakukan pelanggaran. Kita semua harus menjaga tempat ini, jangan sampai dimasuki musuh yang akan mencuri kitab-kitab Nam-kiang-pang."

"Saya mengaku bersalah, lain kali tidak akan berani lagi” kata Seng Gun menundukkan mukanya yang. berubah merah karena diam-diam merasa mendongkol sekali. Mulai saat itu, dia bersikap hati-hati sekali dan diam-diam mencari akal untuk melenyapkan empat orang yang dapat membahayakan dirinya itu.

Pada suatu senja, seperti biasa dia berjalan seorang diri di luar perkampungan Nam-kiang-pang. Sudah sering dia melakukan hal ini, sebagai umpan untuk memancing kecurigaan. keempat orang itu dan sekali ini dia berhasil baik. Empat orang itu, diam-diam telah membayanginya! Hal ini mudah diketahuinya karena memang tingkat kepandaiannya, tanpa disadari oleh mereka jauh lebih tinggi dari pada tingkat mereka. Pernah dia memancing kecurigaan dua tiga orang di antara mereka, akan tetapi belum pernah keempat-empatnya.

Akan tetapi hari ini benar-benar dia berhasil. Empat orang itu terpancing dan membayanginya. Seng Gun sengaja melakukan gerak gerik mencurigakan. Beberapa kali dia menoleh ke kanan kiri dan kebelakang, kemudian menyelinap di antara pohon-pohon sambil mengintai ke sekeliling, kemudian dia lari dengan cepat menuju ketepi sungai, menyusuri sungai menuju ke barat.

Diam-diam dia memperhatikan dan merasa girang melihat berkelebatnya empat bayangan susiok dan suhengnya yang masih tetap membayanginya. Setelah tiba ditempat yang dikehendaki, dia meniup sempritan yang mengeluarkan suara melengking panjang.

Dari sebuah perahu kecil yang memang sudah siap di situ, berlompatan lima orang yang mengenakan kedok hitam dan mereka ini segera menerjang empat orang anggauta Nam-kiang-pang yang mengintai Seng Gun! Mereka diserang secara mendadak. Tentu saja kakak beradik Cang Hok dan Cang Sui , bersama dua orang murid keponakan mereka, terpaksa muncul dari persembunyian mereka dan melawan mati-matian.

Akan tetapi ternyata kelima orang itu lihai bukan main. Dari cara mereka berpakaian dan dari kedok yang menyembunyikan muka mereka dapat diketahui bahwa mereka adalah orang-orang Beng-kauw. Melihat mereka sudah bertempur, Seng Gun berlari menghampiri menggerakkan goloknya dan dia ikut menyerang murid-murid Nam-kiang-pang!

"Pengkhianat!" Cang Hok berseru marah dan dia menyerang Seng Gun dengan goloknya. Akan tetapi ketika Seng Gun menangkis, dia terkejut bukan main. Goloknya hampir terlepas dari pegangan, dan ketika pemuda itu menyerangnya, dia semakin kaget karena ilmu golok yang dimainkan Seng Gun amat hebatnya. Juga tiga orang kawannya menghadapi lawan berat.

Coa An Hok dan So Liong telah lebih dulu roboh oleh senjata lawan. Adiknya Cang Sui, yang juga membela diri mati-matian, melawan seorang lawan yang agaknya seorang wanita, karena lawan itu mengeluarkan suara tawa merdu dan menggerakkan pedangnya secara istimewa sekali. Ternyata Cang Sui juga tidak dapat bertahan lama. Sebuah tusukan menembus dadanya dan dia roboh tanpa bersuara lagi.

Pada saat itu terdengar teriakan, "Hentikan perkelahian!"
Seng Gun mengenal suara Cu Kang Hin, maka cepat dia berbisik kepada wanita yang memimpin serangan itu "Cepat, robohkan yang seorang ini dan serang aku!"

Dia sendiri lalu berbalik menyerang mereka yang berkedok sedangkan wanita berkedok yang baru saja merobohkan Cang Sui, sudah menyerang Cang Hok dengan gerakan yang dahsyat. Seperti juga adiknya, Cang Hok tidak mampu menghindarkan diri dariserangan maut ini dan diapun roboh dengan leher hampir putus!

Ciu Kang Hin melihat dari jauh ketika rekan-rekannya bertanding melawan lima orang berkedok yang lihai sekali. Dia terkejut dan marah melihat dua orang susiok dan dua orang sutenya roboh, dan hanya tinggal sutenya Seng Gun saja yang nampaknya masih dapat bertahan. Segera dia terjun. Akan tetapi pada saat itu dia melihat Seng Gun roboh dan berteriak, "Tolong suheng!"

Dia melihat lima orang berpakaian dan berkedok hitam itu berloncatan ke dalam sebuah perahu kecil yang segera didayung ke tengah sungai. Terpaksa dia tidak dapat mengejar dan segera menghampiri Seng gun yang merintih. Tadi Kang Hin merasa curiga melihat Seng Gun seorang yang masih bertahan sedangkan dua orang susiok dan dua orang sute yang lain telah roboh.

Akan tetapi ketika dia melihat bahwa paha kanan Seng Gun terluka, kecurigaannya lenyap. Luka itu mengeluarkan banyak darah, akan tetapi tidak berbahaya. Ketika dia memeriksa yang lain, Kang Hin terkejut karena keempat orang rekan itu telah tewas. Juga Seng Gun menangis ketika melihat dua orang susiok dan dua orang suheng tewas dalam keadaan menyedihkan. "Suatu saat akan kubasmi orang-orang Beng-kauw!" Berulang-ulang dia berseru sambil mengepal tinju.

"Sute, apakah yang telah terjadi di sini? Kenapa kalian dapat bentrok dengan orang-orang Beng-kauw?"

"Aku juga tidak tahu mengapa, suheng." kata Seng Gun sementara suhengnya memeriksa dan mengobati lukanya.

"Ketika aku berjalan-jalan dan tiba di sini, kulihat Coa suheng, So suheng dan kedua orang susiok sedang dikeroyok lima orang tadi dan ternyata mereka lihai bukan main. Tentu saja aku lalu membantu, akan tetapi terlambat, bahkan aku sendiri terluka. Untung engkau datang, suheng, kalau tidak, akupun tentu sudah tidak berada di dunia lagi. Mereka begitu ganas dan kejam, orang-orang Beng-kauw terkutuk!"

"Hemm, sute, bagaimana kau bisa tahu bahwa mereka itu orang-orang Beng kauw!" tanya Kang Hin dengan tenang sambil membalut paha Seng Gun.

Seng Gun terbelalak memandang kepada Kang Hin. "Siapa lagi kalau bukan mereka, suheng? Lihat saja cara mereka berpakaian berkedok dan mereka sudah sejak dahulu memusuhi kita. Suhu sendiri pernah di serang."

"Aku tidak yakin, sute. Justeru kedok-kedok itu yang memungkinkan siapa saja menyamar sebagai orang Beng-kauw dan kita menerimanya dengan mudah seolah Beng-kauw pelaku segala bentuk kejahatan."

"Tapi, suheng. Aku yakin mereka itu orang-orang Beng-kauw."

"Apa alasanmu, sute? Apa buktinya? Apakah mereka mempergunakan ilmu khas Beng-kauw?"

Seng Gun termenung. "Aahh, aku mendengar tadi seorang di antara mereka mengatakan begini. Baru kau tahu Beng-kauw tidak boleh dibuat sembarangan. Nah, mereka jelas orang Beng-kauw, suheng."

Kang Hin mengerutkan alisnya. "Kalau benar seorang di antara mereka berkata begitu, boleh jadi mereka itu orang Beng-kauw. Sayang aku datang terlambat untuk dapat membuktikan sendiri."

"Hei, suheng! Apakah engkau sudah tidak percaya kepadaku? Apakah kau kira aku berbohong?"

"Bukan begitu, sute. Aku hanya ingin yakin. Bayangkan saja kalau kemudian ternyata bahwa kita salah duga, bahwa mereka itu bukan Beng-kauw, dan kita sudah terlanjur memusuhinya."

"Aku berani sumpah dan yakin benar mereka itu Beng-kauw, suheng. Bahkan suhu juga sudah yakin mereka itu Beng-kauw itu, sengaja mencari permusuhan dengan kami. Siapa yang tidak tahu orang macam apa Beng-kauw itu? Ang-lian-pang dibasmi habis, bibiku tewas di tangan mereka, apakah itu bukan bukti yang paling Jelas? Suhu sendiri pernah diserang dan dikeroyok, apakah itu masih meragukan?"

"Sudahlah, sute. Aku tidak meragukanmu, hanya ingin cermat. Mari kita laporkan musibah ini kepada suhu."

Dengan terpincang-pincang Seng Gun mengikuti suhengnya kembali ke perkampungan Nam-kiang-pang dan tentu saja para angauta perkumpulan itu menjadi gempar ketika mendengar bahwa empat orang rekan mereka tewas terbunuh di tepi sungai itu. Tio-pangcu sendiri dengan pakaian berkabung berjalan mondar mandir di depan empat buah peti mati itu sambil berulahg kali menghela nafas panjang dan dengan alis berkerut.

Setelah upara perkabungan dan pemakaman empat orang tokoh Nam-kiang-pang selesai, Tio-pangcu memanggiI semua sutenya dan muridnya dan di depan mereka dia menyatakan bahwa dia memilih Ciu Kang Hin dan Tong Seng Gun sebagai ahli waris yang akan mewarisi ilmu Thian-te To-hoat.

Hal ini berarti pula bahwa dia telah mengangkat dua orang muda itu sebagai calon pimpinan Nam-kiang-pang. Sudah menjadi peraturan Nam-kiang-pang bahwa ketuanya dan pimpinan tertingginya harus orang yang menguasai Thian-te To-hoat dan ilmu ini hanya dapat diperoleh secara turun temurun.

Setelah itu Tio-pangcu mengajak kedua orang murid utama ini keruangan sembahyang dan di depan meja sembahyang para guru besar Nam-kiang-pang kedua orang murid ini disuruh berlutut dan mengucapkan sumpah setia. Demikian lah, sejak hari itu keduanya digembleng ilmu golok yang dahsyat itu.

Tentu saja diam-diam Seng Gun merasa gembira sekali karena hal ini merupakan satu di antara tujuannya menyusup kedalam Nam-kiang-pang. Dia harus dapat menguasai Nam-kiang-pang dan menghasut partai-partai besar untuk memusuhi Beng-kauw, kemudian saling bermusuhan sehingga melemahkan mereka dan Hoat-kauw akan dapat menguasai dunia kangouw. Kalau sudah begitu, bangsa Mongol akan dengan mudahnya menyerbu keselatan di setiap tempat tentu akan dibantu orang-orang kangouw yang sudah takluk kepada Hoat-kauw!

Seng Gun seakan berlomba dengan Kang Hin untuk menguasai ilmu golok itu. Hal ini menyenangkan hati Tio Hui Po karena kedua orang murid itu benar-benar memperoleh kemajuan pesat sekali, sehingga dalam waktu setengah tahun, saja, keduanya sudah menguasai ilmu golok Thian-te To-hoat dengan baik.

”Hari itu Tio-pangcu mengumpulkan lagi semua muridnya dan menyatakan perang dengan Beng-kauw."

"Kita harus membasmi Beng-kauw dan melenyapkan mereka dari muka bumi. Bunuh semua anggauta Beng-kauw, berikut seluruh keluarga mereka!" kata Tio Hui Po.

"Maaf, suhu. Teecu khawatir kalau keliru menangkap pesan suhu. Suhu memerintahkan untuk membasmi seluruh anggauta Beng-kauw berikut keluarganya?"

Sepasang mata Tio Hui Po mencorong dan para anggauta Nam-kiang-pang memandang kepada Ciu Kang Hin dengan heran. "Bagaimana bisa keliru menangkap, Kang Hin? Engkaulah yang akan menggantikan aku menjadi ketua, engkau juga yang akan memimpin Nam-kiang-pang membasmi Beng-kauw!"

"Maaf, suhu. Kalau teecu meragukan perintah itu, adalah karena perintah itu tidak sesuai dengan sikap suhu selama ini, suhu selalu bersikap bijaksana, dapat membedakan mana yang benar dan mana yang tidak benar."

"Kang Hin!" gurunya membentak. "Apa kau kira Beng-kauw ada yang benar? Mereka membasmi Ang-lian-pang, membunuh para pemimpinnya. Mereka telah menyerangku tanpa sebab, bahkan kemudian membunuh Cang Hok, Cang Hui, Coa An Hok, dan So Liong tanpa sebab-pula. Apakah itu belum cukup membuktikan kejahatan mereka? Kalau mereka tidak dibasmi, tentu mereka akan merajalela. Membasmi rumput liar harus ke akar-akarnya."

"Suhu, teecu akan berdiri di barisan paling depan untuk membasmi Beng kauw!" Seng Gun berkata kepada gurunya yang sedang marah. "Teecu akan memberi contoh dan semangat kepada suheng."

"Bagus, memang seharusnya Kang Hin dapat merasakan apa yang kau rasakan. Selain itu, Kang Hin bersiaplah engkau karena setelah saatnya tiba aku akan menyerahkan kedudukan ketua kepadamu tentu saja kalau kuanggap engkau sudah cukup dewasa untuk mernimpin Nam-kiang-pang sesuai dengan cita-citaku."

Kang Hin memberi hormat, tidak berani lagi membantah walaupun didalam hatinya dia tidak suka menjadi ketua kalau diharuskan membasmi Beng-kauw. Sebetulnya bukan sekali-kali dia memihak Beng-kauw, hanya dia tidak dapat menerima kalau Beng-kauw harus dibasmi seluruhnya. Bagi dia, setiap golongan tidak dapat disebut semuanya baik atau semuanya buruk. Pasti ada yang baik dan ada yang buruk, ada yang jahat tentu pula ada yang tidak jahat.

Kalau semua harus dibunuh tanpa pilih bulu, lalu yang tidak jahat ikut pula terbunuh, sungguh suatu hal yang tidak patut dilakukan seorang gagah! Dia sendiri mendapat pengertian ini dari gurunya, maka kalau sekarang suhunya bersikap seperti itu hal ini adalah karena suhunya sudah mabok dendam dan sakit hati sehingga tidak mampu lagi membedakan antara yang benar dan yang salah.

Tio-pangcu lalu mengirim undangan kepada semua partai persilatan, terutama sekali Siauwlimpai dan Butong pai, dan setelah semua wakil hadir dia menceritakan tentang apa yang diperbuat Beng-kauw kepada Nam-kiang-pang. Betapa Beng-kauw menyerangnya tiga tahun yang lalu, kemudian tanpa sebab menyerang dan membunuh dua orang , sutenya dan dua orang muridnya.

"Oleh karena itu, demi menjaga keamanan di dunia kangouw, dan demi menegakkan kebenaran dan keadilan, kami memohon pengertian para sahabat di dunia kangouw dan mengajak para sahabat untuk bersama-sama memusuhi dan membasmi gerombolan Beng-kauw." kata Tio Hui Po.

"Wah, itu lebih mudah diucapkan dari pada dilaksakan!" kata Yu-pangcu ketua Kong-thong-pai yang kebetulan dapat hadir sendiri karena pusat perkumpulan itu tidak terlalu jauh dari Nam-kiang-pang. Dia seorang laki-laki berusia limapuluh tahun yang tinggi kurus dan berjenggot panjang.

"Siapa yang tidak tahu akan kelihaian para pimpinan Beng-kauw? Selain memiliki ilmu yang aneh-aneh, juga dua macam ilmu Matahari Merah dan Salju Putih kiranya sukar dicari tandinganya!"

Banyak wakil perkumpulan yang hadir menganggukkan kepala menyetujui pendapat ini.

"Maaf, Yu-pangcu. Kalau hendak membasmi penjahat yang masuk hitungan adalah kejahatannya, bukan kepandaiannya. Betapapun lihainya, kalau dia jahat dan membahayakan masyarakat, harus kita basmi. Karena mereka itu lihai, maka kami mengundang cuwi untuk bekerjasama. Betapapun lihainya musuh kalau kita bekerja sama, masa tidak dapat ditumpas? IImu Matahari Merah dan Salju Putih boleh jadi hebat, akan tetapi Thian-te To-hoat kami kiranya akan mampu menghadapinya! Apalagi ilmu-ilmu dari Siauw-lim-pai, Butongpai, Kun-lun-pai dan Gobipai, tidak kalah dibandingkan dengan ilmu yang manapun juga.

Kembali banyak orang menyatakan setuju dan mereka kembali bersemangat. Tio-pangcu ingin sekali mendengar pendapat dua partai besar yang juga menja di sumber dari partainya, yaitu Siauw-limpai dan Butongpai. Karena dua partai besar ini tidak dihadiri oleh ketuanya hanya oleh wakilnya, maka dia bertanya kepada mereka.

"Kami mohon pendapat suhu dari Siauw-lim-pai dan totiang dari Bu-tong-pai."

Mendengar ini, hwesio Siauw-lim-pai dan tosu Bu-tong-pai saling pandang dan tersenyum.

"Omitohud, kalau mencegah terjadinya kejahatan, itu memang menjadi tugas kami, akan tetapi memusuhi aliran tertentu, hal itu harus ada perintah dari pimpinan kami. Pinceng hanya akan melaporkan pertemuan hari ini kepada pimpinan kami, tidak berani pinceng mengambil keputusan sendiri."

"Siancai... ucapan sobat dari Siauw-lim-pai itu memang cocok sekali. Pinto hanya dapat mengatakan bahwa Bu-tong-pai menentang semua perbuatan jahat, menentang orang yang melakukan perbuatan jahat yang sudah terbukti. Baik dia orang Beng-kauw atau orang Bu-tong-pai sendiri, kalau perbuatannya jahat, pasti kami tentang. Oleh karena itu, memusuhi dan membasmi semua orang Beng-kauw, tidak perduli dia sudah melakukan kejahatan atau belum, pinto tidak berani memberi keputusan, haruslah melalui keputusan rapat para pimpinan. Pinto akan melaporkan hasil pertemuan saat ini."

Demikianlah, rapat itu selesai dan yang mendukung usul Tio-pangcu adalah perkumpulan-perkumpulan kecil, terutama yang memang sudah mempunyai permusuhan dengan Beng-kauw. Sedangkan perkumpulan lain seperti Siauwlimpai dan Butongpai akan melaporkan dulu kepada pimpinan mereka. Dan mulai hari itu, orang -orang Beng-kauw dikejar-kejar oleh banyak perkumpulan. Terutama sekali oleh Nam-kiang-pang yang dipimpin oleh Seng Gun dan Kang Hin.

Seng Gun maklum bahwa kalau dia tidak dapat melempar fitnah meyakinkan kepada Kang Hin, pasti gurunya akan memilih Kang Hin sebagai calon ketua. Dia sendiri masih ragu untuk menyerang Kang Hin, karena dia tahu bahwa dalam ilmu golok, dia masih tidak mampu menandingi pemuda perkasa itu. Akan tetapi Kang Hin lembut hati dan kalau dia dapat membuat pemuda itu tersudut, tentu dia dapat menguasainya. Juga dalam pembasmian orang-orang Beng-kauw, jelas Kang Hin memperlihatkan sikap tidak tega kalau yang dibunuh itu tidak jelas kesalahannya.

Ketika mereka menyerbu rumah seorang anggauta Bengkauw di dusun sebelah barat bukit. Dia dan anak buahnya menyerbu rumah itu. Anggauta Beng-kauw yang sudah lama keluar dari Beng-kauw itu tidak melakukan perlawanan yang berarti dan segera dapat dibunuhnya dengan mudah. Isterinya yang masih muda dan dua orang anaknya minta-minta ampun, dan Kang Hin hendak melepas mereka, akan tetapi Seng Gun berkeras membunuhnya.

Kang Hin membuang muka ketika peristiwa itu terjadi dan ketika pulang dia mengomeli sutenya. Kelemahan inilah yang akan dipergunakan oleh Seng Gun yang diam-diam menghubungi sekutunya. Seperti biasanya, Bi-sin-liong Kwa Lian, wanita cantik tokoh Hoat-kauw yang selain sekutunya juga menjadi kekasihnya itu, segera mengulurkan tangan membantunya.

Dahulu, ketika hendak menyusup masuk ke Nam-kiang-pang, wanita itu bersama anak buahnya juga telah menyamar sebagai orang-orang Beng-kauw dan menyerang Tio Hui Po. Kini, mendengar laporan Seng Gun bahwa yang akan diangkat sebagai ketua Nam-kiang-pang adalah Ciu Kang Hin, Bi-sin-l iong Kwa Lian segera menyatakan siap untuk membantu.

Demikianlah, pada suatu malam Seng Gun mendatangi kamar Kang Hin dan dengan suara berbisik dia berkata, "Suheng, aku bertemu dengan seorang Beng-kauw."

Kang Hing terkejut. "Eh, di mana, sute? Dan bagaimana engkau tahu dia seorang Bengkauw?"

"Ia seorang wanita, suheng, dan ia memakai kedok aneh Ia tak berada jauh dari sini, tentu ia seorang Beng-kauw. Mari kita selidiki suheng, dan kalau perlu kita tangkap ia. Mari sebelum ia pergi!"

Karena Seng Gun tidak banyak bicara lagi dan sudah pergi, terpaksa Kang Hin mengikutinya. Dua orang pemuda perkasa itu menyusup-nyusup keluar dari perkampungan Nam-kiang-pang dan Seng Gun yang menjadi penunjuk jalan berlari didepan, diikuti oleh Kang Hin yang berjalan dengan hati-hati.

Di tepi sungai Yang-ce-kiang Seng Gun berhenti, mendekam dibalik semak semak dan suhengnya berlutut disebelahnya. "Lihat perahu itu, suheng. Ia tadi berada di situ."

"Sute, kita harus berhati-hati, jangan sembarangan menuduh bagaimana kalau kita menuduh orang yang tidak berdosa?"

"Ah, bagaimana aku bisa keliru, suheng? Biar engkau menjadi penonton saja, aku akan menangkapnya. Kalau dia terlalu lihai bagiku, .baru kau turun tangan membantuku.”

"Baiklah, sute, akan tetapi jangan salah membunuh orang." Seng Gun mengangguk lalu dia meloncat keluar mendekati perahu dan mencabut goloknya.

"Keparat dari Beng-kauw, keluarlah untuk menerima kematian!"

Hening sesaat, akan tetapi kemudian dari dalam bilik perahu muncul sesosok bayangan hitam yang gesit sekali. Mudah dilihat dibawah sinar bulan hampir purnama bahwa bayangan itu adalah seorang wanita yang bertubuh ramping karena pakaiannya ketat. Akan tetapi wajahnya tidak dapat dilihat karena mengenakan kedok yang aneh, dan sebagian besar anggauta Beng-kauw yang sudah tinggi tingkatnya suka menyembunyikan mukanya dibalik kedok agar tidak dikenal orang.

Seorang laki-laki tukang perahu yang pakaiannya sederhana, juga keluar dari perahunya dengan tubuh menggigil. Dia tadi dipaksa untuk mendayung perahunya oleh si kedok hitam. "Saya bukan orang Beng-kauw..." dia meratap ketakutan.

Akan tetapi Seng Gun tanpa banyak cakap lagi mengayun goloknya. Darah tersembur keluar dari leher yang terpancung itu. Si wanita berkedok juga berkata, "Aku bukan orang Beng-kauw."

Sambil mencabut pedangnya, ia berusaha untuk melompat menjauh. Akan tetapi Seng Gun sudah bergerak mengejarnya dan menyerang dengan goloknya.

"Tranggg...!" Bunga api berpijar ketika wanita berkedok itu menangkis dengan pedangnya. Ia lalu membalas serangan Seng Gun dan terjadilah perkelahian yang seru.

Melihat betapa sutenya menyerang dengan mati-matian, apa lagi telah membunuh tukang perahu dengan kejam, Kang Hin berulang-ulang berseru kepada sutenya.."Sute, jangan bunuh orang....!"

Akan tetapi Seng Gun tidak memperdulikan seruan suhengnya dan dia mendesak terus sampai akhirnya goloknya dapat memukul pedang lawan sehingga terlepas dan sebuah tendangan darinya membuat wanita itu terpelanting.

"Mampus kau, iblis Beng-kauw!" Bentaknya dan goloknya menusuk.

"Trang!" Goloknya tertangkis oleh golok di tangan Kang Hin.

Seng Gun memandang kaget dan heran. "Suheng, kau membantu Beng-kauw?" teriaknya heran.

"Jangan bodoh, sute. Aku tidak membantu siapa-siapa. Aku hanya mencegah engkau membunuhi orang yang belum tentu bersalah. Kau menuduh semua orang sebagai Beng-kauw tanpa dibuktikan dulu, dan kau membunuh orang begitu mudahnya."

"Akan tetapi, suheng Ia ini jelas sekali orang Beng-kauw, dan suhu sudah berpesan agar kita membunuh semua orang Bengkauw," bantah Seng Gun dan dia hendak menggerakkan golok lagi menyerang wanita itu Akan tetapi Kang Hin menangkis dengan goloknya.

"Tahan dulu, sute. Aku tidak menghendaki engkau membunuh orang yang tidak bersalah. Heii, sobat, apakah benar engkau orang Beng-kauw?" tanyanya kepada wanita itu.

"Aku bukan orang Bengkauw,"'wanita itu berkata sambil bangkit berdiri.

"Bohong! Orang Beng-kauw mana ada yang mau mengaku? Ke mana-mana pakai kedok!" kata Seng Gun.

"Kalau kau bukan orang Bengkauw, buka kedokmu," kata Kang Hin.

Wanita itu lalu membuka kedoknya dan seraut wajah yang cantik nampak di bawah sinar bulan. Seorang wanita muda yang cantik sekali, dengan senyumnya yang manis dan kerlingnya yang tajam.

"Siapa engkau?" Kang Hin bertanya.

'Namaku Bi Hwa, aku.... aku lari dari suamiku dan memakai kedok agar tidak dikenal suamiku. Aku tidak mau kembali lagi kepadanya, dia kasar dan tidak cinta lagi padanya. Lepaskan aku..."

"Hemm, alasan yang dicari-cari! Aku tetap menyangka ia ini orang Bengkauw yang patut dibunuh, suheng."

"Tidak boleh, sute. Bagaimana kalau dibuktikan kemudian bahwa ia bukan orang Bengkauw dan sudah terlanjur dibunuh?"

"Hemm, apakah kita harus melepaskan ia begitu saja karena ia seorang wanita cantik?" Seng Gun bertanya dengan nada mengejek.

"Sute....!" Kang Hin berseru marah dan pandang matanya mencorong, alisnya berkerut.

"Maaf, suheng. Aku hanya berkelakar. Lalu mau diapakan perempuan ini? Dilepas begitu saja?"

"Kita boleh menawannya untuk besok dihadapkan suhu. Kalau kemudian dia tidak bersalah, terpaksa harus kita lepaskan. Kita tawan ia dan kira selidiki kebenaran omongannya. Nona, di mana rumah suamimu itu?" tanya Kang Hin.

"Di balik bukit itu, akan tetapi aku tidak mau kembali kepadanya."

"Engkau tidak harus kembali kepadanya. Kami hanya ingin menyatakan kebenaran omonganmu. Siapa namanya?"

"Namanya Tan Seng, tinggal di dusun Kam-cui di balik bukit."

Kang Hin menggerakkan tangan menotok pundak wanita itu yang segera terkulai lumpuh.

"Aku harus membelenggunya," kata Seng Gun yang menyambar tubuh yang akan jatuh itu. Kemudian dia mengikat kaki tangan wanita itu dengan kain ikat pinggangnya, dan memanggul tubuh yang sudah tidak mampu berkutik itu. "Ke mana kita harus membawanya, suheng?" tanyanya.

"Kita masukkan dalam tahanan di perkampungan kita. Tidak perlu mengagetkan suhu dengan urusan kecil ini. Besok saja kalau kita sudah mendapat keterangan jelas, kita membuat laporan,"

"Baik, suheng," kata Seng Gun yang memondong tubuh itu dan dia lalu menendang mayat si tukang perahu berikut kepalanya ke dalam air.

Melihat ini, Kang Hin diam saja akan tetapi dia mengerutkan alisnya, menganggap sutenya itu terlalu kejam terhadap musuh. Padahal tukang perahu itu belum tentu orang Bengkauw.

Dua orang pemuda itu kembali ke perkampungan. Kepada beberapa orang anggauta Nam-kiang-pang yang melakukan perondaan mereka mengatakan bahwa mereka sedang menyelidiki wanita yang dianggap mencurigakan ini, dan minta kepada mereka agar melakukan penjagaan dan jangan mengganggu wanita yang dijebloskan ke dalam kamar tahanan itu.

Seng Gun menurunkan tubuh yang masih lemas tertotok dan yang kaki tangannya terbelenggu kuat itu ke atas lantai ke mudian setelah menutupkan pintunya, dia pergi lagi bersama Kang Hin. Seperti terbang saja, kedua suheng dan sute itu mempergunakan ilmunya, berlari cepat di tengah malam mendaki bukit dan pergi ke dusun Kam-cui. Dusun itu sunyi senyap karena penghuninya sudah tidur semua...
Selanjutnya,