Kisah Si Pedang Terbang Jilid 07 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Kisah Si Pedang Terbang

Karya : Kho Ping Hoo
Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo
Jilid 07
"AHH..., nasibmu sungguh menyedihkan, Ji-siocia, akan tetapi percayalah, orang yang benar akan mendapatkan kemenangan terakhir. Dan engkau berada di pihak benar, pangcu eh, siocia."

Dara itu tersenyum. "Kenapa engkau menyebutku ketua atau nona? Namaku Ji Kiang Bwe dan setelah kita berkenalan dan bercakap-cakap, bukankah kita telah bersahabat?"

Kian Bu juga tersenyum. "Akan tetapi engkau juga menyebutku Kongcu (tuan muda)! Bagaimana kalau kita hapuskan saja sebutan yang kaku itu dan kita saling menyebut seperti kakak dan adik?"

Kiang Bwe melebarkan senyumnya dan kemuraman wajahnya lenyap bagaikan awan tipis tersapu angin. "Aku akan senang sekali, akan tetapi bagaimana kalau aku yang lebih tua?"

"Tidak mungkin! Engkau masih nampak remaja bagiku, sedangkan aku sudah sembilanbelas tahun lebih."

"Aih, engkau bersikap kakek-kakek saja, Bu-koko (kakak Bu). Usiaku sendiri sudah delapanbelas tahun."

"Kalau begitu aku lebih tua setahun, Bwe-moi (adik Bwe)!" Keduanya saling pandang dan tertawa, sehingga suasana menjadi gembira.

Tiba-tiba daun pint ruangan itu diketuk orang dari luar walaupun daun pintu itu terbuka. Mereka menoleh dan nampak Si Dayung Baja Gu Lok sudah berdiri di luar pintu dan anehnya, biarpun kini dia berada di dalam rumah, bukan di dalam perahu lagi, dia masih membawa-bawa dayung bajanya yang dipakai sebagai tongkat! Kiranya benda itu lebih banyak dipergunakan sebagai senjata dari pada sebagai dayung.

"Ah, paman Gu, masuklah. Oya, sudahkah engkau kembalikan perahu kecil yang disewa Souw-kongcu tadi?" tanya Kiang Bwe.

Gu Lok masuk dan mengangguk. "Sudah, pangcu. Bahkan dari tukang perahu itu saya menerima titipan sesampul surat untuk pangcu." Dia menyodorkan sebuah sampul surat. Kiang Bwe menerima surat itu dan memandang heran.

"Dari manakah tukang perahu itu menerima surat untukku ini?"

"Katanya dari seorang wanita cantik yang memberinya upah royal untuk mengantarkan surat ini kepada ketua Kim-kok-pang. Saya minta surat itu dan saya serahkan sendiri kepada pangcu."

"Duduklah, Paman Gu Lok dan perkenalkan ini toako Souw Kian Bu yang tadi telah membantu kita di perahu."

Kiang Bwe membuka surat itu sedangkan Gu Lok saling memberi hormat dengan Kian Bu dan duduk dengan punggung lurus dan tegak. Setelah membaca isi surat, Kiang Bwe mengangkat muka memandang kepada Gu Lok dan Kian Bu.

"Hoat-kauw mengirim undangan kepada pimpinan Kim-kok-pang! Bagus, ini merupakan kesempatan baik bagi kita untuk datang berkunjung memenuhi undangan dan menyelesaikan urusan di antara mereka dan kita."

"Pangcu hendak memenuhi undangan mereka?" tanya Gu Lok, wajahnya membayangkan keraguan dan kekhawatiran.

"Tentu saja! Mereka merayakan ulang tahun dan menurut undangan mereka, sengaja mereka menggunakan kesempatan ini untuk berkenalan dengan para undangan yang terdiri dari perkumpulan-perkumpulan dan semua aliran di dunia kangouw. Disaksikan oleh para tokoh kangouw, aku akan dapat menuntut dari Hoat-kauw mengapa mereka membunuh ayahku dan hendak memaksa Kim-kok-pang bekerja sama dengan mereka. Mereka tentu tidak akan berani berbuat seenaknya di depan para tokoh kangouw."

"Kalau begitu, saya akan menemani pangcu," kata Gu Lok.

"Lebih baik jangan, paman. Selama aku pergi, engkau mewakili aku mengatur anak buah dan menjaga keamanan di sini," kata dara itu dengan suara tegas.

"Baiklah, pangcu. Saya mohon diri," kata Gu Lok yang tahu diri, melihat bahwa kemunculannya mungkin mengganggu pangcunya yang sedang bicara dengan tamunya.

Setelah Gu Lok keluar, Kian Bu berkata, "Bwe-moi, biarlah aku yang menemanimu. Aku akan membantumu kalau sampai ada pihak yang memusuhimu. Sikap dara itu lebih manis, akan tetapi tetap saja tegas.

"Terima kasih atas tawaran bantuanmu, Bu-ko, akan tetapi sekali lagi, kami tidak dapat menerima bantuan dari luar. Tentu engkau mengetahui bahwa urusan ini merupakan urusan yang menyangkut kehormatan Kim-kok-pang, oleh kareha itu, harus dihadapi secara terhormat pula. Tidak, kami tidak mungkin dapat menarik bantuan dari luar kalangan Kim-kok-pang."

Melihat ketegasan ketua Kim-kok-pang itu, tentu saja Kian Bu tidak dapat membantah karena diapun maklum akan kebenaran pendapat itu. "Baiklah kalau begitu, hanya aku minta engkau suka memberitahu kepadaku, kapan dan di mana diadakannya perayaan ulang tahun Hoat-kauw itu?"

"Menurut surat undangannya, perayaan diadakan di Bukit Harimau, di luar kota An-king pada permulaan bulan depan."

"Terima kasih, Bwe-moi. Nah, sekarang aku mohon diri untuk melanjutkan perjalanan, karena aku tahu bahwa engkau tentu akan sibuk menghadapi urusan perkumpulanmu. Selamat tinggal dan selamat berpisah, Bwe-moi."

Sebetulnya Kiang Bwe ingin sekali menahan pemuda yang sejak pertama kali bertemu sudah menarik hatinya itu. Akan tetapi sebagai seorang wanita, tentu saja ia merasa malu untuk menyatakan perasaannya, dan selain itu, iapun harus melakukan persiapan menghadapi undangan dari Hoat-kauw. Maka, iapun hanya dapat mengucapkan terima kasih atas bantuan Kian Bu dan ia mengikuti bayangan pemuda itu ketika meninggalkan lereng Lembah Bukit Emas.

* * * *

Pemuda itu berlatih silat yang aneh. Gerakan-gerakannya lambat dan seolah gerakan memukul atau menendang dari kaki tangannya hanya main-main saja, tidak mengandung tenaga, tidak nampak cepat maupun kuat. Akan tetapi anehnya, pohon besar yang berada dalam jarak tiga meter di depannya, bergoyang-goyang cabangnya yang sebesar tubuh manusia, cabang ranting dan daun-daunnya yang lebat bergoyang-goyang seperti dilanda angin besar sehingga banyak daun pohon yang sudah kuning dan setengah kuning rontok, gugur berhamburan!

Setelah berlatih selama setengah jam, bersilat tangan kosong lalu pemuda itu menyambar sebuah tongkat bambu di bawah pohon dan kini dia bersilat menggunakan tongkat bambu yang panjangnya sekitar satu setengah meter. Kalau tadi ketika bersilat tangan kosong gerakannya nampak lamban dan lemah, kini setelah bersilat tongkat, gerakannya cepat bukan main sehingga lenyaplah bayangan pemuda itu, dibungkus gulungan sinar tongkat dan terdengar bunyi mengaung saking cepat dan kuatnya tongkat bambu itu bergerak.

Dan tiba-tiba, gulungan sinar itu melayang ke atas pohon, seperti seekor burung mengelilingi pohon dan nampak daun-daun pohon jatuh berhamburan, bukan hanya yang kuning, melainkan juga yang hijau dan juga ranting-rantingnya. Tak lama kemudian, ketika pemuda itu melayang turun, pohon itu telah berubah seperti kepala seorang berambut lebat yang kini dicukur pendek dengan bentuk bulat! Ternyata tongkat yang sama sekali tidak tajam karena terbuat dari bambu itu mampu membabat ranting dan daun pohon sehingga menjadi gundul!

Setelah selesai bersilat tongkat yang aneh dan juga menggiriskan itu, dia duduk beristirahat di atas sebongkah batu di bawah pohon, memandangi daun-daun yang berserakan dan melamun, membiarkan peluh membasahi lehernya. Daun-daun gugur. Manusia mati. Dan teringatlah dia akan semua orang yang dikasihinya dan yang telah meninggalkan dirinya karena mati seorang demi seorang. Ayah dan ibunya mati. Kemudian orang yang mengasuhnya sejak dia kecil, kemudian menjadi pengganti ayah ibunya, juga mati!

Demikian pula gurunya yang pertama kali, guru yang dikasihinya, di hormatinya mati pula terbunuh orang! Sia Han Lin termenung, tenggelam dalam kenangan duka. Teringat dia akan keadaan dirinya yang kini hidup sebatangkara di dunia ini. Sejak berusia lima tahun dia terpaksa berpisah dari ayah ibunya yang berperang melawan serbuan musuh, dia dilarikan mengungsi oleh Liu Ma, pengasuhnya.

Kemudian ternyata ayah ibunya itu tewas dalam perang dan selanjutnya dia diasuh sebagai putera Liu Ma. Cinta kasihnya kepada ayah ibunya berpindah kepada Liu Ma, dan ketika dia menjadi murid Kong Hwi Hosiang, dia menemukan lagi seorang yang dihormati dan disayangnya, yaitu gurunya itu.

Akan tetapi, malapetaka datang menimpa. Liu Ma dan Kong Hwi Hosiang tewas di tangan tiga orang Raja Iblis yang kejam. Bahkan dia sendiri tentu sudah tewas kalau tidak ditolong oleh gurunya yang sekarang, yaitu kakek yang hanya dia kenal sebagai Lo-jin (Orang Tua). Akan tetapi, gurunya ini seorang manusia yang aneh dan agaknya tidak mungkin mempunyai perasaan kasih sayang kepada manusia aneh ini seperti yang dirasakan terhadap mendiang Kong Hwi Hosiang dan Liu Ma.

Lo-jin seolah tidak terikat oleh apapun juga, tidak membutuhkan kasih sayang, juga tidak pernah memperlihatkan kasih sayang, namun setiap gerak geriknya tak pernah menyusahkan apa dan siapapun. Ilmu-ilmu yang diajarkan kepadanya selama lima tahun inipun ilmu yang aneh, namun karena yakin bahwa Lo-jin adalah seorang manusia seperti dewa, Han Lin menaati semua petunjuknya dan selama lima tahun ini berlatih dengan amat tekunnya.

Teringat akan semua keadaan dirinya, timbul perasaan iba diri dan terbenamlah Han Lin ke dalam duka. Hatinya seperti diremas-remas. Dia adalah putera seorang yang pernah menjadi raja, hidup bergelimang kemuliaan dan ke hormatan, lalu tiba-tiba saja dia menjadi yatim piatu, bahkan sekarang dia tidak memiliki apa-apa lagi kecuali dirinya sendiri!

Dan gurunya, satu-satunya orang yang dekat dengan dirinya, yaitu Lo-jin, jarang berada di puncak itu, membiarkan dia seorang diri saja. Bahkan kini, sudah dua minggu gurunya itu pergi entah ke mana. Pergi tidak pernah pamit, datang tidak pernah memberitahu, seperti angin saja.

Ketika Han Lin duduk termenung bertopang dagu, murung dan perasaannya tertekan, dia tidak merasakan bahwa ada angin lembut bertiup dan bayangan seorang kakek yang rambutnya seperti benang sutera putih telah berdiri di belakangnya. Andaikata Han Lin tidak sedang tenggelam dalam lamunan, tentu pendengarannya yang terlatih dan tajam itu dapat menangkap gerakan seringan daun kering itu.

Akan tetapi dia sedang tenggelam dalam kedukaan, maka dia sama sekali tidak tahu bahwa gurunya, Lojin, telah berdiri dibelakangnya Kakek yang bertubuh tinggi agak kurus dengan wajah putih kemerahan, matanya berbinar-binar seperti bintang, kumis, jenggot dan rambutnya sudah putih semua itu kini berdiri dan mengelus jenggotnya, tersenyum dan mengangguk-angguk. Tongkat bambu di tangannya lalu digerakkan melintang di depan dadanya dan terdengar suara mengaung.

Mendengar suara ini, barulah Han Lin sadar dari lamunannya dan sebelum membalikkan tubuh, dia sudah tahu siapa yang datang. Dia segera menjatuhkan diri berlutut dan membalik, memberi hormat kepada gurunya. "Suhu," suaranya masih mengandung duka, walaupun dia berusaha menekannya.

"Han Lin, apakah jurus-jurus terakhir dari Khong-khi-ciang (Tangan Udara Kosong) dan Pek-lui-tai-hong-tung (Tongkat Petir Badai) telah dapat kau kuasai dengan baik?"

"Sudah, suhu. Apakah suhu menghendaki agar teecu memainkannya?"

"Tidak, aku sudah percaya bahwa engkau telah menguasainya dengan baik. Akan tetapi kenapa engkau berduka?"

Han Lin maklum bahwa dia tidak mungkin dapat membohongi gurunya, maka diapun berkata, "Suhu, teecu tadi teringat akan kematian orang-orang yang teecu sayang, dan teecu merasa berduka sekali. Maaf suhu, Teecu mengerti benar bahwa duka adalah sia-sia dan timbul dari iba diri, bahwa sesungguhnya amat tidak baik dan tidak sehat membiarkan diri tenggelam dalam duka. Akan tetapi pengertian teecu itu tidak banyak menolong, suhu. Teecu tetap berduka. Beruntung sekali bahwa suhu kembali pada saat teecu dilanda duka nestapa yang amat menekan hati, maka teecu mohon petunjuk, suhu. Suhu, mohon diberi petunjuk bagaimana teecu akan dapat menguasai hati dan mengendalikan nafsu agar teecu tidak dicengkeram duka."

Kakek itu tersenyum dan senyumnya mendatangkan kelembutan yang mengharukan karena wajah itu presis wajah seorang bayi yang suka tertawa-tawa sendiri secara wajar. Kemudian dia berkata dengan suara halus.

"Han Lin, segala macam jalan atau cara untuk mengendalikah nafsu adalah ulah nafsu itu sendiri juga, karena cara didorong oleh suatu keinginan mencapai sesuatu dan ini hanyalah ulah nafsu yang pandai mengubah bentuk dan ragam. Usaha untuk melenyapkan duka tidak ada bedanya dengan duka itu sendiri, keduanya bersumber kepada si-aku yang menjadi duka karena terkenang akan sesuatu dan si-aku pula yang menginginkan agar tidak berduka. Karena itu, usaha apapun yang bersumber dari aku, tidak akan dapat berhasil dengan sempurna."

"Kalau begitu, apa yang dapat teecu lakukan, suhu? Teecu tahu benar menurut ajaran kitab-kitab agama, juga menurut petuah-petuah yang teecu dapat kan dari mendiang suhu Kong Hwi Hosiang dan dari suhu, akan tetapi pengetahuan teecu itu tidak menolong melenyapkan duka dari hati teecu. Suhu, teecu menjadi bingung, mohon petunjuk."

Kakek itu menghela napas panjang bukan karena sedih, bukan karena kecewa. "Apapun yang engkau lakukan atau tidak lakukan, kalau itu bersumber dari si-aku, akan sama saja palsunya dan sia-sianya. Bersikaplah wajar-wajar saja, Han Lin dan jangan menentang segala yang kau lakukan sendiri. Kalau engkau dilanda duka, bedukalah, kenapa mesti dipersoalkan lagi? Selama manusia masih hidup di dalam jasmani ini, manusia tidak akan terlepas dari segala macam perasaan susah senang puas kecewa dan sebagainya lagi. Akan tetapi, yang penting adalah menyadari akan semua itu, mengamati setiap gejolak nafsu yang menguasai hati akal pikiran dan yang mengemudikan semua gerak gerik kita. Menyadari sepenuhnya bahwa semua itu adalah ulah si-aku, yaitu nafsu yang mengaku-aku. Yang berduka itu adalah hati dan pikiranmu. Seperti juga yang marah, yang kecewa, yang iri, yang diserang penyakit, semua itu hanyalah alat-alat atau anggauta tubuh mu. Kesadaran yang sepenuhnya ini akan membuat kita yakin bahwa semua itu hanyalah permainan nafsu belaka. Bahkan kalau kematian tiba, yang mati adalah tubuh jasmani belaka. Selama nafsu daya rendah menguasai hati akal pikiran, maka di dalam kehidupan ini kita akan selalu menjadi permainannya, dan semua yang kita lakukan dikemudikan oleh nafsu daya rendah. Bahkan usaha kita untuk mengendalikan atau menguasai nafsu juga datang dari nafsu daya rendah, karenanya, biarpun kita mengerti akan suatu perbuatan yang tidak benar, kita tetap saja tidak mampu menghentikan perbuatan itu."

"Suhu, kalau begitu alangkah celakanya hidup ini, kita dibiarkan menjadi korban, dicengkeram dan diperhamba nafsu tanpa kita mampu membebaskan diri!"

"Tidak, Han Lin. Di samping nafsu daya rendah yang diikutsertakan dalam kehidupan kita, masih terdapat sesuatu yang berkat Kasih Sang Maha Pencipta, disertakan pula kepada kita. Sesuatu yang biarpun nampak tipis dan hampir tak nampak, namun selalu ada dan tidak pernah meninggalkan manusia, sesuatu yang menjadi bukti dan saksi betapa Tuhan Maha Kasih dan Maha Pengampun. Sesuatu ini yang menjadi tali yang tak pernah terputuskan, yang menghubungkan manusia kepada Tuhan Sang Maha Pencipta. Tinggal terserah kepada manusia sendiri apakah akan mengabaikanNya dan menyerah kepada nafsu, atau memperkuat ikatan yang akan menghubungkan manusia dengan kekuasaan Tuhan yang selalu bersemayam di dalam dan luar diri setiap orang manusia itu."

"Lalu bagaimana caranya agar ikatan itu dapat diperkuat, suhu?"

"Usaha manusia tidak akan membawa hasil. Hanya Kekuasaan Tuhan sajalah yang akan mampu mengaturnya, dan kalau Kekuasaan Tuhan sudah bekerja, maka dengan sendirinya nafsu daya rendah akan kembali ke tempat mereka semula, menjadi hamba yang baik, bukan menjadi majikan yang kejam. Dan agar Kekuasaan Tuhan dapat bekerja, maka semua daya kerja hati akal pikiran haruslah berhenti. Kalau kita hidup selaras dengan To, maka To yang akan bekerja mengatur segalanyadan apapun yang diatur oleh To sudah pasti sempurna. Kekuasaan Tuhan bekerja dengan sempurna, Maha Murah', Maha Kasih, Maha Adil , Maha Pengampun dan.Maha Kuasa Satu-satu nya yang dapat kita kerjakan hanyalah menyerah, dengan penuh keikhlasan, penuh kepasrahan, penuh ketawakalan."

"Akan tetapi, suhu. Bukankah menyerah inipun merupakan suatu usaha dari hati akal pikiran?"

"Bukan, Han Lin. Usaha selalu mengandung pamrih uncuk mendapatkan sesuatu. Akan tetapi menyerah dengan kepasrahan tidak mengandung usaha apapun, dan tidak menginginkan apapun, karena kalau ada keinginan mendapatkan sesuatu, itu bukan pasrah namanya. Pasrah dalam arti kata yang sesungguhnya sama dengan mati, seperti orang yang dalam tidur, apapun yang akan tiba menimpa dirinya, terserah kepada Tuhan. Andai kata pada saat itu Tuhan hendak mencabut nyawanya, diapun akan menyerah tanpa membantah, ikhlas, pasrah, tawakal."

"Kalau begitu, bukankah kita lalu menjadi malas dan hanya menyerahkan segalanya kepada Tuhan saja, suhu?"

"Sama sekali tidak, Han Lin. Itu namanya bukan menyerah dengan kepasrahan, keikhlasan dan ketawakalan, melainkan ingin mempersekutu Tuhan, bahkan ingin enaknya sendiri saja. Tuhan telah menciptakan kita lengkap dengan segala alat yang ada pada diri kita, dan semua itu diciptakan bukan percuma, melainkan diciptakan untuk dipergunakan, untuk dimanfaatkan. Kalau tidak kita pergunakan, tidak kita manfaatkan, itu berdosa namanya, dan penggunaannya, pemanfaatannya haruslah untuk kebaikan, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain, selaras dengan To, berarti membantu pekerjaan Kekuasaan Tuhan. Segala sesuatu yang diciptakan Tuhan di alam maya pada ini bekerja, bergerak yang berarti bekerja. Bahkan bintang matahari dan bulanpun bekerja bergerak tiada hentinya. Kita yang dlberi perlengkapan yang sempurna, tentu saja harus bekerja, berusaha demi memenuhi semua keperluan dan kebutuhan hidup di dunia. Kita harus makan agar tidak mati kelaparan, kita membutuhkan pakaian agar tidak mati kedinginan, kita membutuhkan tempat tinggal untuk berlindung dari binatang buas, angin dan panas atau hujan. Untuk memenuhi kebutuhan itu, tentu saja kita harus mencari, harus berusaha dan bekerja! Namun, semua pekerjaan itu barulah benar kalau didasari kepasrahan, didasari penyerahan kepada Tuhan sehingga apapun yang kita lakukan, akan sejalan dengan To."

Han Lin mengangguk-angguk, dia mengerti benar apa yang dimaksudkan gurunya. "Mudah-mudahan teecu tidak terlalu dipermainkan nafsu daya rendah dan mudah-mudahan teecu akan mendapat pengampunan dan bimbingan Tuhan dengan iman dan penyerahan, suhu."

"Semoga Tuhan memberi jalan kepadamu, Han Lin. Akan tetapi sekarang aku ingin memberitahu kepadamu bahwa sudah tiba saatnya bagi kita untuk berpisah. Aku akan melanjutkan perjalananku dan engkaupun harus melanjutkan jalan hidupmu sendiri. Sekali lagi ingat, dengan ilmu yang kau pelajari, berarti engkau menjadi abdi keadilan dan kebenaran, akan tetapi bukan keadilan dan kebenaran bagi pribadimu. Semua perasaan pribadi harus disingkirkan, kalau tidak engkau tidak akan mungkin dapat bertindak adil. Cari dan mintalah petunjuk dari Tuhan, dan engkau pasti akan menerima petunjukNya."

"Suhu" Han Lin terkejut dan tentu saja merasa terpukul. Baru saja dia menyusahkan kematian orang-orang yang dikasihinya dan kini gurunya, orang terakhir yang terdekat dengannya, menyatakan bahwa mereka harus berpisah.

"Han Lin, lupakah engkau bahwa keterikatan itulah justeru yang menjadi penyebab terutama dari duka? Mempunyai namun tidak memiliki, itulah seyogianya. Secara lahiriah kita boleh mempunyai apapun juga, namun secara batiniah kita tidak memiliki apa-apa. Nah, cukup sudah, tongkatku ini boleh kau miliki, benda ini sudah puluhan tahun tak pernah lepas dari tanganku."

Nampak bayangan berkelebat dan yang tinggal di depan Han Lin hanyalah sebatang tongkat bambu yang menancap di atas tanah. Lojin telah lenyap seperti di telan bumi . Han Lin memberi hormat ke arah berdirinya gurunya tadi sambil berlutut sampai delapan kali, kemudian dia bangkit, mencabut tongkat bambu yang biasa dipegang gurunya, mencium gagang tongkat itu dan berbisik. "Suhu, terima kasih!"

Setelah itu, Han Lin menuruni puncak, menggendong buntalan pakaiannya di punggung dan membawa sebatang tongkat bambu yang selama ini tak pernah terpisah dari tangan Lojin. Lima tahun lamanya dia menerima gemblengan kakek sakti yang luar biasa itu, dan kini dia sudah dewasa, sudah berusia duapuluh tahun! Ke mana dia harus pergi?

Teringat akan ini, setibanya di puncak sebuah lereng, dia berhenti dan memandang ke sekeliling Alam di bawah sana seolah menanti, menggapaikan tangan kepadanya. Akan tetapi, ke arah mana dia harus pergi dan apa atau siapa yang menantinya di sana? Dia tidak mempunyai apa-apa lagi, bahkan tidak mempunyai siapa-siapa lagi. Liu Ma telah tewas, juga Kong Hwi Hosiang, Cun Hwesio dan Kun Hwesio para pembantu Kong Hwi Hosiang. Mengunjungi kuburan mereka? Tidak ada artinya. Pernah Lojin bicara dengan lembut mengenai hal itu.

"Mengunjungi kuburan orang tua hanya merupakan kewajiban untuk menjaga agar kuburan mereka itu bersih dan terawat, bukan sebagai bukti kebaktian. Kebaktian terhadap orang tua yang sesungguhnya bukan terletak kepada pemeliharaan kuburan, melainkan dalam sepak terjang kita sehari-hari, dalam kelakuan kita. Kelakuan yang baik akan mengangkat nama baik orang tua, sebaliknya kelakuan buruk akan menodai nama orang tua, walaupun orang tua sudah meninggal,"

Teringat akan kata-kata gurunya itu, Han Lin tidak lagi ingin berkunjung ke kuburan orang-orang yang dahulu disayangnya itu. Akan tetapi ada hal lain yang mendorongnya untuk pergi ke dusun Li-bun. Dia harus melihat apa yang terjadi dengan penduduk dusun itu semenjak lima tahun yang lalu Sam Mo-ong mengganas di sana.

Sudah menjadi kewajibannya untuk turun tangan menolong, kalau penduduk dusun itu tertindas oleh perbuatan sewenang-wenang tiga orang datuk iblis itu. Ya, dia akan pergi ke dusun Li-bun, Setelah itu, baru dia akan melanjutkan perjalanannya, mencari keluarga ibunya!

Kenapa dia merasa tidak mempunyai keluarga dan hidup sebatang kara? Di sana masih ada dua orang kakak mendiang ibunya. Kakak perempuan ibunya bernama Yang Kui Lan dengan suaminya bernama Souw Hui San dan kakak laki-laki ibunya bernama Yang Cin Han dengan isterinya Can Kim Hong. Dia mengenal nama-nama itu dari mendiang ibunya dan tak pernah dia melupakan nama-nama itu. Juga tempat tinggal mereka.

Menurut ibunya, pamannya Yang Cin Han tinggal di Lok-yang, dan bibinya Yang Kui Lan tinggal di Wu-han. Kelak dia akan mengunjungi mereka. Tak dapat dia membayangkan bagaimana paman dan bibinya itu akan menerimanya, dan membayangkan segala kemungkinan dalam penyambutan itu mendatangkan ketegangan dan kegembiraan dalam hatinya.

Dengan jantung berdebar karena tegang, Han Lin memasuki, dusun Li-bun. Betapa dekat dusun ini dengan hatinya, baru sekarang dia merasakannya. Semua benda yang terdapat di situ, pohon-pohon, rumah-rumah dusun, batu-batu besar, selokan-selokan, semua itu begitu ramah menyambutnya dengan kenangan manis, membuat dia merasa bertemu dengan sahabat-sahabat lama.

Hal ini tidaklah aneh karena selama sepuluh tahun dia tinggal di dusun itu. Akan tetapi, agaknya tidak ada seorang penduduk dusun itu yang mengenalnya. Ketika dia pergi, kepergiannya dianggap sebagai kematian oleh para penduduk yang mendengar bahwa dia telah terlempar ke dalam jurang bersama ibunya, yaitu Liu Ma, dan ketika itu lima tahun yang lalu, dia adalah seorang pemuda remaja, sedangkan sekarang dia telah menjadi seorang pemuda dewasa.

Akan tetapi dia dapat mengenal wajah-wajah tua yang tidak mengalami perubahan, hanya wajah-wajah itu nampak muram, tidak seperti dahulu. Dia tidak mengenal wajah-wajah muda penduduk Li-bun, karena seperti juga dia, orang-orang muda itu dahulu masih kanak-kanak atau remaja ketika dia pergi.

Agaknya tidak ada seorangpun di antara penduduk dusun itu yang menaruh perhatian terhadap Han Lin. Dia hanya seorang pemuda berpakaian sederhana, menggendong buntalan pakaian, membawa tongkat bambu. Siapa yang akan menaruh perhatian kepada seorang pemuda sesederhana ini?

Satu hal yang agak menghibur hati Han Lin adalah melihat betapa para penghuni dusun Li-bun itu, tua muda, nampak rajin bekerja. Mereka berlalu-lalang dengan langkah tergesa gesa, membawa alat pertanian atau alat alat penangkap ikan. Hal ini berarti bahwa penghuni dusun Li-bun masih memiliki penghasilan yang cukup baik. Hanya saja, mengapa wajah-wajah itu muram?

Han Lin menuju ke rumah di mana dahulu dia tinggal bersama Liu Ma. Dan hatinya terharu juga melihat rumah itu masih seperti dulu, terpelihara baik-baik, pekarangannya disapu bersih dan semua pohon yang tumbuh di pekarangan masih seperti dulu, hanya agak lebih besar tumbuhnya. Jantungnya berdebar seolah dia akan melihat ibunya muncul dari pintu depan menyambutnya. Dia merasa seperti dahulu kalau pulang ke rumah itu Masih biasakah sebetulnya keadaannya dan apakah semua yang dialami lima tahun ini hanya mimpi belaka?

Dia bahkan merasa betapa hatinya mengharapkan Liu Ma benar-benar muncul menyambutnya dengan senyum dan pandang matanya yang khas, yang penuh kasih sayang kepadanya! Ketika dia naik ke beranda depan, hampir saja mulutnya memanggil Liu Ma seperti dahulu, dengan sebutan ibu. Dia menahan suaranya karena pada saat itu dari. pintu depan muncul seorang laki-laki. yang usianya sekitar limapuluh tahun. Pria ini nampak tua dan lemah, namun Han Lin segera mengenalnya.

“Paman Akui!" serunya gembira.

Orang ini lima tahun yang lalu merupakan seorang pembantu rumah tangga, terutama mengurus kebon dan dipercaya ibunya karena memang jujur dan setia walaupun buta huruf. Akui memandang pemuda itu dengan alis berkerut. "Siapakah engkau...?" katanya meragu. "Dan ada keperluan apa berkunjung ke sini?" Pandang matanya jelas membayangkan keheranan bahwa pemuda yang tidak dikenalnya itu mengetahui namanya. Dia merasa pernah mengenal pemuda Ini, akan tetapi lupa lagi entah di mana.

"Paman, apakah paman sudah lupa kepadaku? Aku Han Lin, paman."

Sepasang mata itu terbelalak, la lu nampak ketakutan dan orang itu terhuyung kebelakang seperti telah didorong. "Tidak tidak...." dia menggeleng kepala dan mengangkat kedua tangan seperti hendak melindungi dirinya. "Setan! kau.... roh penasaran!"

Han Lin merasa kasihan, akan tetapi juga geli. Dia tersenyum dan berkata lembut. "Paman Akui, apakah aku kelihatan seperti setan? Lihat baik-baik, aku adalah Han Lin yang lima tahun lalu tinggal bersama mendiang ibu di sini. Aku telah pulang, paman. Aku masih hidup, belum mati dan bukan roh penasaran..."

Akui dapat menenangkan hatinya dan dia memandang penuh perhatian, agaknya mulai percaya bahwa yang berdiri di depannya bukan setan, bukan roh penasaran, melainkan seorang pemuda dari darah daging dan kini dia mulai mengenai wajah itu! "Tapi... tapi.... bukankah engkau sudah mati lima tahun yang lalu, terlempar ke dalam jurang dan tewas bersama ibumu? Lihat di dalam itu, ada meja sembahyang untuk menyembahyangi arwah ibumu dan arwahmu."

“Tidak, Paman. Ibu memang tewas terjatuh ke dalam jurang, akan tetapi aku tidak mati. Tuhan masih melindungi dan menghendaki aku masih hidup."

"Tapi kalau begitu, kenapa sampai lima tahun baru engkau pulang? Selama lima tahun ini, engkau dimana saja....?" Agaknya Akui belum yakin benar bahwa pemuda yang berdiri di depannya adalah Han-Lin.

"Panjang ceritanya, paman mari kita bicara di dalam. Selain banyak yang kuceritakan, juga banyak yang akan kutanyakan kepadamu. Jangan ragu, paman Akui, aku benar-benar Han Lin yang ketika berusia enam tahun, jatuh dari atas pohon di pekarangan depan itu dan untung ada paman di bawah pohon sehingga tubuhku menimpa paman dan tidak cedera."

Mendengar ini, barulah Akui yakin. Bagaimana mungkin pemuda ini dapat mengetahui, apa yang terjadi belasan tahun yang lalu itu kalau pemuda ini bukan Han Lin yang aseli? Pula, kini dia melihat bahwa wajah Han Lin tidak berubah dari wajahnya lima tahun yang lalu, walaupun kini dia lebih tinggi dan tegap.

"Kongcu, benar-benar engkaukah ini?" Suaranya menjadi serak dan kedua matanya basah ketika Akui memegang tangan Han Lin. "Aih, kongcu betapa malapetaka telah menimpa kita bersama, seluruh warga dusun kita menderita sengsara."

Han Lin tidak ingin orang lain mendengar ucapan ini, maka dia lalu menggandeng tangan Akui dan diajaknya orang tua itu masuk rumah, lalu duduk di ruangan dalam. Ternyata prabot rumah itupun masih seperti dulu, tidak diubah sama sekali dan agaknya yang mengurus rumah itu hanya Akui seorang karena tidak terdapat orang lain di situ. Setelah duduk, agar meyakinkan hati Akui bahwa dia benar Han Lin, pemuda itu lalu secara singkat menceritakan pengalamannya.

"Memang benar bahwa lima tahun yang lalu itu, orang-orang jahat membuat aku terjungkal ke dalam jurang, paman. Akan tetapi aku dapat berpegang kepada pohon yang tumbuh di dinding jurang sehingga nyawaku selamat. Ibu tewas di dasar jurang dan sudah kukubur jenazahnya. Biarpun aku terluka, akan tetapi aku diselamatkan seorang kakek yang kemudian menjadi guruku dan aku dibawa pergi untuk menjadi muridnya selama lima tahun. Setelah lewat lima tahun, barulah aku diperkenankan untuk pulang ke sini."

Akui menyusut air matanya karena sedih dan terharu. "Ah, ternyata Tuhan telah melindungi orang yang tidak berdosa. Tidak sia-sialah selama lima tahun ini aku merawat rumah ini, menjaga dan membersihkannya walaupun semua orang menertawakan aku dan mengatakan bahwa engkau dan ibunya telah tewas. Aku mengambil keputusan untuk merawat terus rumah ini sampai aku mati ternyata, kini tiba-tiba engkau pulang, kongcu, seperti seorang bangkit kembali dari kuburan."

"Aku berterima kasih sekali kepadamu, paman Akui. Akan tetapi sekarang aku ingin mendengar, apa yang terjadi di dusun ini sejak aku pergi. Dan bagaimana pula dengan kuil di bukit itu!"

"Kongcu, tiga orang losuhu di kuil itu telah terbunuh pula"

"Aku tahu, paman. Aku sempat menguburkan jenazah mereka. Yang ingin kuketahui, apa yang terjadi selanjutnya setelah ketiga orang suhu itu tewas?"

"Yang terjadi adalah bencana bagi dusun kita, bahkan juga dirasakan dusun-dusun lain di sekitar sini, kongcu. Kuil itu menjadi sarang mereka.... dan sampai sekarang, kehidupan para penghuni dusun ini seperti dicekam ketakutan, dan tersiksa. Banyak yang diam-diam melarikan diri mengungsi. Yang tetap tinggal terpaksa harus tahan menderita penghinaan dan pehindasan. Mereka itu menganggap seluruh penghuni dusun sebagai pelayan. Semua kebutuhan makan mereka harus kita sediakan, bahkan banyak pula gadis dusun ini mereka tawan. Juga gadis-gadis dari dusun lain. Banyak pula yang mereka pukuli, mereka rampas hartanya, ada pula yang mereka bunuh karena berani melawan. Dan semua peninggalan ibumu yang disimpan dalam kamar ibumu ah, semua telah dirampas tanpa aku dapat mencegahnya , kongcu!"

"Tidak mengapa, paman. Barang yang hilang sudahlah, jangan dipikirkan lagi," kata Han Lin akan tetapi hatinya terasa nyeri dan panas, bukan karena barang-barang peninggalan Liu Ma dirampas orang, melainkan karena mendengar akan berbuatan sewenang-wenang dan kejam dari gerombolan penjahat itu. Seingatnya, yang muncul dan mengacau kuil di puncak Bukit Ayam.Emas hanyalah tiga orang Sam Mo-ong dan seorang pemuda bersuling yang kejam dan licik, yang dia lupa lagi siapa namanya.

"Paman, apakah sampai sekarang mereka itu masih tinggal di kuil di puncak Bukit Ayam Emas, dan kalau masih, berapa banyaknya mereka yang bersarang di sana?"

"Banyak, banyak sekali, kongcu, dan lima orang pemimpin mereka menurut desas-desus para penduduk berjuluk Bu-tek Ngo-sin-liong. Anak buah mereka banyak sekali, antara duapuluh sampai tigapuluh orang dan aku mendengar mereka itu adalah para anggauta Hoat-kauw, kongcu. Entah aliran apa itu, yang jelas, mereka semua suka mempergunakan kekerasan memaksakan kehendak mereka. Mereka membangun pondok-pondok di sekitar kuil, menjadi tempat tinggal para anggauta. Dan para anggauta itulah yang suka membikin kacau, merampok, menculik wanita, menyiksa dan membunuh!"

Han Lin mengepal tinju. Tak mungkin dia mendiamkan saja kejahatan itu melanda daerah yang demikian indah. Hatinya sudah terbakar mendengar betapa gerombolan itu tidak pantang melakukan kejahatan bagaimanapun, bukan hanya menculik gadis-gadis dusun, bahkan isteri orangpun mereka rampas.

"Paman Kui, terima kasih atas ke baikanmu selama lima tahun merawat rumah ini, dan mulai sekarang engkau boleh tinggal di sini selama hidupmu dan anggap saja rumah ini milikmu sendiri.. Dan sekarang aku mohon kepadamu, rahasiakan kedatanganku. Jangan ceritakan kepada siapapun juga bahwa aku masih hidup dan datang kembali ke rumah ini. Aku hanya akan tjnggal beberapa hari saja di sini, paman, kemudian aku akan pergi lagi sehingga tidak perlu menggegerkan penduduk dusun Li-bun."

Akui mengangguk-angguk maklum, lalu berbisik, "Aku tahu, kongcu. Bukan hanya kongcu yang takut, akupun takut kalau sampai mereka mengenal kongcu. Memang sebaiknya kalau kongcu bersembunyi dan cepat meninggalkan tempat yang tidak aman ini. Aku akan menjaga rumah ini sampai kelak keadaan kembali aman dan kongcu pulang ke sini."

Tentu saja Han Lin menyuruh pelayan itu merahasiakan kehadirannya bukan karena dia takut. Dia akan menentang gerombolan itu dan hal ini harus dia lakukan sendiri tanpa setahu penduduk dusun Li-bun sehingga kelak tidak akan ada akibat yang buruk bagi para penduduk karena dia seorang yang bertanggung-jawab. Akan tetapi biarlah Akui mengira dia takut, hal itu lebih baik lagi agar Akui benar-benar merahasiakan bahwa dia masih hidup dan kembali kesitu.

"Memang benar, paman, aku takut kalau mereka mengetahui aku berada di sini. Akan tetapi, selama lima tahun ini, apakah kepala dusun Li-bun ini mendiamkan saja semua kejahatan itu terjadi? Bukankah dahulu, Lurah Can dari dusun ini terkenal memiliki keberanian dan berwatak adil?"

"Aihh, kongcu. Lurah Can memang mengumpulkan para muda dan menyerbu ke sana, akan tetapi akibatnya, lurah Can dan beberapa orang tewas dan sejak itu, tidak ada lagi yang berani. melawan untuk mati konyol. Dan setelah Lurah Can tewas, mereka mengangkat seseorang di antara mereka menggantikan kedudukan kepala dusun, dan kami semua semakin tidak berdaya."

"Hemm, siapa lurah baru itu?"

"Dia Lurah Ouw yang tinggal di rumah lurah lama bersama keluarganya."

"Baiklah, paman. Sekarang paman boleh melanjutkan pekerjaan sehari-hari seperti biasa. Aku akan beristirahat. Apakah kamarku masih terpelihara?"

Wajah Akui berseri. "Masih, kongcu. Biarpun tadinya aku sudah yakin bahwa kongcu dan nyonya telah meninggal dunia, namun kedua kamar itu setiap hari kubersihkan dan pintunya selalu kututup dan kukunci. Tidak ada seorangpun boleh mengganggu kedua kamar itu. Bahkan pakaian kongcu juga masih dalam almari. Yang tidak ada hanyalah barang-barang berharga yang telah diambil oleh mereka, kongcu."

Han Lin memasuki kamarnya dan dia benar-benar merasa terharu. Kamar itu mengingatkan dia akan masa lalu, semua masih seperti dahulu. Ketika dia membuka almari, pakaiannya juga masih lengkap, akan tetapi tentu saja pakaian itu tidak dapat dipakainya sekarang, terlampau kecil. Hari ini sampai malam dia berdiam saja di dalam rumahnya seperti orang bersembunyi, dilayani oleh Akui yang kini nampak berseri wajahnya, seperti tanaman yang hampir mengering mendapatkan siraman air hujan.

Setelah malam tiba Han Lin mengatakan kepada Akui bahwa malam itu dia tidak ingin diganggu, lalu dia menutupkan pintu kamarnya dan mengunci dari dalam. Tanpa diketahui siapapun, dia lalu keluar dari kamarnya melalui jendela. Gerakan Han Lin sudah cepat bukan main, ringan dan cepat seperti seekor burung walet. Kini ditambah kegelapan malam, tidak ada orang akan mampu melihat gerakannya ketika dia berlari dalam kegelapan menuju ke rumah kepala dusun, yaitu Lurah Ouw seperti yang dia dengar dari Akui tadi.

Menurut Akui, lurah itu tinggal di rumah besar bekas rumah keluarga Lurah Can, bersama keluarganya, yaitu tiga orang isteri dan lima orang anak. Semua anggauta keluarga di rumah Lurah Ouw telah tidur nyenyak. Rumah itu telah sepi ketika bayangan hitam itu berkelebat cepat ke atas wuwungan rumah, lalu melayang turun ke dalam. Tidak lama Han Lin mencari-cari di mana kiranya sang lurah berada, dia mendengar suara dua orang peronda yang agaknya bertugas jaga di rumah kepala dusun itu. Dia segera menyelinap di balik sudut tembok.

"Wah, yang paling senang adalah Ouw-toako, ya? Menjadi lurah, isterinya banyak, mendapat kehormatan."

"Ssttt, hati-hati kau bicara. Kalau terdengar olehnya, engkau tentu akan dihajar."

"Dia tidak akan mendengar. Dia sedang terlelap dalam pelukan isterinya yang terbaru, isteri yang ke empat dan kamarnya di ujung belakang. Tidak akan dapat mendengar suara kita."

"Sudahlah, jangan mengiri. Kalau engkau ingin mendapatkan tempat yang enak, bekerjalah lebih keras, membuat jasa sebesarnya dan tentu pemimpin kita akan memberimu kenaikan pangkat."

Han Lin membiarkan mereka lewat dan setelah mereka jauh, baru dia keluar dari tempat sembunyinya dan cepat menuju ke kamar di ujung belakang. Dari cahaya Iampu kecil yang remang-remang, dia melihat dalam intaiannya seorang laki-laki yang usianya sekitar empatpuluh lima tahun tidur mendengkur di samping seorang wanita muda yang cantik, dan wanita itu nampak menangis lirih, hampir tanpa suara.

Han Lin dapat menduga bahwa wanita muda itulah selir ke empat dan agaknya diselir oleh sang lurah secara paksa, mungkin direnggut secara paksa dari tunangannya, atau bahkan suaminya, atau orang tuanya. Tanpa mengeluarkan suara, dia membuka jendela, melompat masuk dan sebelum wanita itu tahu apa yang terjadi, tangan Han Lin menyambar dan wanita itupun terdiam, pingsan tanpa melihat apapun sebelumnya.

Agaknya gerakannya itu menimbulkan sedikit goncangan dan sang lurah yang sedang mendengkur itu, menghentikan dengkurnya. Akan tetapi, diapun tidak sempat membuka mata karena begitu tangan Han Lin bergerak, dia sudah tidak tahu apa-apa lagi dan pingsan. Han Lin menyambar pakaian sang lurah yang berserakan, membungkus tubuh lurah yang pendek gendut itu sejadinya, kemudian diapun sudah meninggalkan kamar itu, kini memanggul tubuh sang lurah dan tak seorangpun penjaga tahu bahwa lurah mereka telah meninggalkan rumah di atas pundak seorang yang bergerak cepat dan ringan seperti seekor burung walet.

Pagi-pagi sekali, Han Lin membebaskan totokannya dari tubuh lurah yang sebetulnya adalah seorang tokoh Hoat-kauw bernama Ouw Tit dan yang oleh para pimpinan Hoat-kauw ditugaskan untuk menjadi lurah di dusun Li-bun. Mereka berada di sebuah lereng dan dekat sebuah pondok bambu. Sejak ditotok pingsan, Ouw Tit tidak tahu apa yang terjadi, dan kini, begitu totokannya bebas, dia terkejut, membuka mata dan melihat dirinya berada di dekat pondok, di lereng bukit yang sunyi dan hari masih pagi sekali, matahari baru mengirim cahayanya sebagai tanda bahwa fajar telah menyingsing.

Dia merasa tubuhnya yang semalam tidak dapat bergerak itu kaku-kaku dan melihat dirinya setengah telanjang, dengan pakaiannya hanya dibungkuskan di tubuhnya dia terkejut dan cepat dia mengenakan pakaiannya sehingga kini nampak patut, lalu dia memandang kepada pemuda itu dan nampaklah sikapnya yang jagoan dan sudah biasa memerintah.

"Heiii, apa yang terjadi? Di mana aku dan bagaimana dapat berada di siini? Siapa pula engkau? Hayo mengaku sejujurnya!"

Melihat sikap ini, di dalam hatinya Han Lin merasa muak sekali. Sungguh merupakan seorang yang berwatak amat buruk dan jelas orang macam ini tentu jahat dan kejam. "Orang she Ouw, akulah yang membawamu ke sini, mengambilmu dari tempat tidur di kamarmu," katanya tenang.

Orang pendek gendut itu melotot dan mukanya menjadi merah karena marah. "Apa....? Berani kau! Sudah ingin mampus, ya?" Dan diapun sudah menerjang maju dan kedua tangannya bergerak cepat melakukan serangan. Bagaima-napun juga, dia adalah seorang anggauta Hoat-kauw yang sudah ada tingkat, maka tentu saja dia pandai ilmu silat. Serangannya dengan kedua tangan bertubi-tubi itu juga mengandung tenaga besar dan cepat.

"Plakkk! Dukk!!" penyerang itu mengaduh-aduh dan mengguncang-guncang kedua lengannya yang terasa seperti patah-patah tulangnya ketika bertemu dengan lengan Han Lin. Akan tetapi dasar orang tak tahu diri, setelah rasa nyeri agak berkurang, dia menyerang lagi semakin ganas, bahkan kini menyusuli pukulannya dengan tendangan kaki-nya yang pendek dan besar. Han Lin tidak sabar lagi . Dia me nangkap kakikanan yang menendang, mendorong kaki itu ke atas sehingga tubuh Ouw Tit terlempar ke atas.

“Bukk !!" Pantat yang gemuk itu terbanting keras, membuat pemiliknya menyeringai kesakitan. Dia bangkit lagi, menyerang lagi hanya untuk roboh lagi karena terkena tamparan tangan kiri Han Lin. Pemuda ini hendak menaklukkan dan menundukkan bukan hendak membunuh maka tenaga pukulannya juga terkendali , tidak terlalu keras namun cukup membuat lawan terpelanting keras.

Dasar orang bandel yang sudah memperoleh kedudukan sehingga merasa paling menang, Ouw Tit bangkit lagi dan mengeluarkan suara gererrgan seperti binatang buas. Karena ketika dibawa ke situ dia tidak bersenjata, maka melihat sebuah dahan kering di bawah pohon, dia lalu menyambar dahan kering itu dan mempergunakannya sebagai senjata, menyerang lagi dengan membabi-buta.

Akan tetapi, begitu dia menghantamkan dahan kering itu, Han Lin mendahuluinya, tongkat bambunya menyambar dan menotok pundak, membuat Ouw Tit terpelanting lagi dan tidak mampu bangkit kembali, hanya melotot marah. Han Lin maklum bahwa dia menghadapi seorang yang kasar dan bandel, maka dia lalu mempergunakan ujung tongkatnya menotok beberapa kali ke arah tubuh si pendek gendut dan kini tubuh itu bergulingan di atas tanah berteriak mengaduh-aduh, berkelojotan dan dalam kesakitan yang hebat.

"Aduhh mati aku aduhhh aughh… ampun, ampunkan aku!" Akhirnya dia menangis dan minta minta ampun. Karena memang bukan niat Han Lin untuk menyiksa orang, maka begitu orang itu minta ampun, hal yang diharapkan dengan menotok mendatangkan kenyerian itu, dia lalu membebaskan totokannya. Ouw Tit tidak menderita nyeri lagi, hanya tubuhnya masih lemas dan panas dingin karena kini dia mengerti bahwa dia menghadapi seorang yang amat lihai.

"Nah, sekarang apakah engkau masih hendak melawan? Kalau engkau masih membandel, bukan saja aku akan membuat engkau tersiksa seperti tadi, hidup tidak matipun tidak, aku akan menyiksa pula empat orang isterimu dan semua anak-anakmu. Bagaimana?"

"Ampun, taihiap, aku menyerah kalah.... aku minta ampun akan tetapi, rasanya aku tidak pernah mengenal taihiap dan tidak ada urusan di antara kita, kenapa taihiap memperlakukan aku seperti ini?"

"Aku tahu, engkau lurah Ouw dari dusun Li-bun dan engkau adalah anggauta Hoat-kauw."

"Benar, benar sekali, taihiap. Aku adalah Lurah Ouw dari dusun Li-bun, dan aku adalah seorang anggauta Hoat-kauw. Karena itu, dengan melihat Hoat-kauw, tentu taihiap tidak akan membunuhku."

"Hemm, justeru karena engkau orang Hoat-kauw, aku ingin sekali menyiksamu, menyiksa seluruh keluargamu!" Han Lin membentak dan si pendek gendut itu menjadi pucat.

"Ampun, taihiap... ampunkan aku, anakku masih kecil-kecil." dia meratap.

"Baik, aku akan mengampuni dan mengampuni semua anak isterimu asalkan engkau suka menurut semua kehendakku. Nah, sekarang ceritakan tentang Hoat-kauw yang telah menduduki kuil di Bukit Ayam Emas. Apa hubungan Hoat-kauw dengan Sam Mo-ong, ceritakan semua dengan sejujurnya!"

Karena sudah tidak berdaya sama sekali dan takut kalau-kalau dia dan seluruh keluarganya dibasmi oleh pemuda yang luar biasa lihainya itu, Ouw Tit membuat pengakuan. Andaikata dia belum pernah dijadikan kepala dusun, belum pernah mengenyam kesenangan dan kemuliaan sebagai kepala dusun dengan banyak isteri dan anak, mungkin dia akan berkeras tidak mau mengaku, bahkan mungkin memilih mati seperti banyak dilakukan para anggauta Hoat-kauw yang fanatik. Akan tetapi, kesenangan duniawi telah mengikatnya erat-erat dan karena ingin selamat sekeluarga, diapun membuat pengakuan dengan suara tersendat-sendat.

Dari mulut Ouw Tit, Han Lin mendengar semuanya. Kiranya Sam Mo-ong adalah kaki tangan bangsa Mongol yang ingin menguasai Kerajaan Tang, dan Sam Mo-ong mengajak Hoat-kauw bersekutu untuk bersama-sama menggulingkan Kerajaan Tang! Dan kuil di Bukit Ayam Emas itu dijadikan semacam sarang oleh Hoat-kauw untuk mengadakan hubungan dengan para utusan Mongol. Kalau Hoat-kauw membuat gerakan dari pusat atau cabang, tentu akan terlalu menyolok dan diketahui pemerintah, maka tempat di Bukit Ayam Emas itu menjadi semacam sarang rahasia.

Han Lin mengangguk-angguk. Kiranya mereka itu bukan memusuhi penduduk dusun Li-bun atau membunuhi para hwesio di kuil karena permusuhan pribadi, melainkan karena gerakan yang lebih besar lagi, yaitu untuk memberontak terhadap kerajaan. Ini sungguh berbahaya sekali, terutama bagi penduduk dusun Li-bun, karena mungkin saja pemerintah akan menganggap bahwa seluruh penduduk dusun Li-bun menjadi anggauta pemberontak.

"Sekarang ceritakan siapa saja yang tinggal di puncak Bukit Ayam Emas, berapa orang dan siapa pemimpinnya!" kata pula Han Lin dan suaranya tetap tegas dan penuh wibawa karena diam-diam dia mengerahkan kekuatan batin seperti yang pernah dia pelajari dari mendiang Kun Hwesio yang ahli sihir. Pengaruh sikap dan suara Han Lin itu sungguh kuat dan pada saat itu, Ouw Tit melihat Han Lin sebagai seorang yang amat menyeramkan dan menakutkan.

Karena itu, diapun dengan terus terang menceritakan bahwa anak buah Hoat-kauw yang tinggal di puncak Bukit Ayam Emas ada kurang lebih limapuluh orang dan yang memimpin mereka adalah Bu-tek Ngo Sin-liong, lima orang tokoh besar Hoat kauw.

"Akan tetapi, saat ini Bu-tek Ngo Sin-liong tidak berada di sana, karena mereka pergi ke Bukit Harimau, di luar kota An-king untuk menghadiri ulang tahun Hoat-kauw yang akan dirayakan besar-besaran dan mengundang semua partai persilatan dan aliran."

Han Lin tertarik. "Kapan akan di adakan perayaan itu?"

"Bulan depan."

"Nah, sekarang engkau harus ikut denganku ke kota Nam-san. Di sana, di depan kepala daerah, engkau harus membuat pengakuan seperti yang kau ceritakan kepadaku."

Ouw Tit terbelalak, mukanya pucat. "Tapi tapi, taihiap; aku tentu akan ditangkap dan dihukum!"

"Hemm, engkau memilih kusiksa dengan seluruh keluargamu, mati perlahan lahan? Begitukah?" Han Lin mengangkat tongkat bambunya mengancam.

"Ampun....! Tidak, tidak, taihiap."

"Kalau begitu, engkau harus membuat pengakuan di depan kepala daerah dan mungkin keluargamu akan terhindar dari hukum. Hayo!" Han Lin menarik tangan orang itu dan dibawanya berlari cepat menuju ke kota Nam-sam yang merupakan kota kabupaten yang membawahi Li bun.

Para penjaga di kantor Bupati Cu segera membawa Han Lin dan Ouw Tit menghadap pembesar itu. Cu-taijin (pembesar Cu) memandang kepada mereka dengan heran, lalu menegur, sambil menudingkan telunjuknya kepada Ouw Tit. "Bukankah engkau Ouw Tit, lurah dusun Li-bun yang menggantikan Lurah Can yang tewas oleh gerombolan penjahat itu?"

"Ampun, taijin, kata Han Lin lantang, "Saya ingin melaporkan keadaan di Li-bun. Dahulu, lima tahun yang lalu, Lurah Can tewas di tangan gerombolan penjahat, dan Ouw Tit ini adalah orangnya gerombolan itu yang sengaja diselundupkan dan dengan memaksa penduduk, dia dipilih menjadi lurah baru. Seluruh dusun dan wilayah Li-bun kini telah dikuasai gerombolan yang amat berbahaya karena mereka berniat melakukan pemberontakan terhadap Kerajaan Tang, taijin."

Tentu saja Bupati Cu terkejut bukan main. "Siapakah engkau, orang muda?"

"Nama saya Sia Han Lin, penduduk dusun Li-bun, taljin." Kemudian Han Lin menghardik Ouw Tit. "Hayo engkau cepat membuat pengakuan di depan Taijin!"

Bupati Cu memberi isyarat dan lima orang perajurit pengawal segera datang ke ruangan itu dengan golok di tangan untuk menjaga segala kemungkinan karena tentu saja hati Bupati itu merasa khawatir bahwa lurah dusun Li-bun itu dikatakan sebagai anggauta gerombolan penjahat yang mempunyai niat memberontak.

"Ceritakan semuanya dengan sejujurnya!" bentaknya kepada Ouw Tit.

Ouw Tit merasa terjepit. Menghadapi Han Lin saja dia sudah tidak berdaya dan dia lebih ngeri menghadapi ancaman pemuda tampan yang nampaknya lemah lembut itu dari pada lima orang prajurit pengawal yang memegang golok. Dia tahu bahwa kalau dia menghendaki, dia akan mampu mengalahkan lima orang perajurit itu. Akan tetapi dia sama sekali tidak berdaya menghadapi Han Lin yang lihai. Dia hanya mengharapkan pemuda itu tidak akan mengganggu keluarganya seperti dijanjikan tadi, maka diapun mengulang ceritanya yang tadi dia ceritakan kepada Han Lin.

Mendengar bahwa Li-bun, tepatnya di puncak Bukit Ayam Emas terdapat sarang gerombolan pemberontak, Cu-taijin terkejut bukan main. Li-bun termasuk wilayahnya, maka kalau sampai terdapat gerombolan pemberontak di sana, itu merupakan tanggung-jawabnya. Dialah yang akan ditegur oleh atasannya kalau gerombolan pemberontak itu makin mengganas dan semakin kuat.

"Jebloskah dia dalam tahanan dan hubungi Un-ciangkun (perwira Un) cepat cepat!" kata bupati kepada pengawalnya.

"Taijin, harap hati-hati menghadapi penjahat ini, dia cukup lihai, sebaiknya kalau dibelenggu saja!" Berkata demikian, Han Lin menggerakkan tangannya menorok pundak Ouw Tit yang segera terkulai lumpuh.

"Sebaiknya memang kalau Taijin cepat memerintahkan pasukan untuk menyerbu dan menangkapi gerombolan itu. Mereka telah menguasai Li-bun dan menekan penduduk, menyengsarakan mereka. Saya mohon diri dan terserah kepada taijin."

"Tunggu dulu, Han Lin!" kata bupati itu. "Kalau gerakan kami berhasil menumpas gerombolan pemberontak, engkau telah berjasa dan kami tidak akan melupakan jasamu. Di mana engkau tinggal?"

"Saya tidak mengharapkan imbalan, taijin, saya lakukan ini untuk membela penduduk Li-bun di mana saya tinggal. Selamat tinggal, taijin!" karena tidak ingin diganggu lagi, Han Lin mengerahkan tenaganya dan tubuhnya berkelebat lenyap dari depan pembesar itu yang tercengang.

Akan tetapi menyadari gawatnya urusan, Bupati Cu segera memerintahkan petugas untuk membelenggu kaki tangan Ouw Tit yang sudah tertotok lumpuh itu dan menyeretnya ke dalam tahanan dengan pesan agar dijaga ketat. Kemudian dia mengadakan hubungan dengan komandan pasukan di benteng terdekat dan tak lama kemudian, sepasukan perajurit yang terdiri dari duaratus orang bergerak menuju ke dusun Li-bun, dipimpin oleh beberapa orang perwira. siapapun juga di dusun itu.

....Ada bagian yang hilang...

Demikianlah, selagi mereka kebingungan dan sudah mengambil keputusan bahwa kalau sampai sore hari Lurah Ouw belum juga pulang mereka akan melapor kekuil di puncak Bukit Ayam Emas, maka mereka melihat seorang pemuda memasuki pekarangan dan dari luar berdatangan pula sepuluh orang pemuda dusun di luar pekarangan.

"Haiii, kalian mau apa? Dan siapa engkau, orang muda? Apa perlumu masuk ke pekarangan ini?" bentak seorang. di antara sepuluh orang jagoan pembantu Lurah Ouw itu dengan sikapnya yang galak. Teman-temannya juga sudah maju mengepung Han Lin dengan setengah lingkaran.

Han Lin yang memegang tongkatnya, bersikap tenang saja ketika sepuluh orang jagoan itu memperlihatkan sikap mengancam, dan diapun maju menyambut mereka dengan bentakan nyaring. "Kami adalah penghuni dusun Libun yang sudah muak melihat kekejaman kalian dan tidak ingin lagi melihat kalian mengacau di dusun kami!"

Mendengar ucapan ini, tentu saja sepuluh orang anggauta Hoat-kauw itu menjadi terkejut, terheran, marah dan juga geli. "Bocah gila, engkau sudah bosan hidup!" bentak seorang di antara mereka yang segera menggerakkan goloknya membacok leher Han Lin, sedangkan yang lain hanya menonton saja karena mereka mengira bahwa seorang teman mereka saja sudah cukup....
Selanjutnya,

Kisah Si Pedang Terbang Jilid 07

Kisah Si Pedang Terbang

Karya : Kho Ping Hoo
Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo
Jilid 07
"AHH..., nasibmu sungguh menyedihkan, Ji-siocia, akan tetapi percayalah, orang yang benar akan mendapatkan kemenangan terakhir. Dan engkau berada di pihak benar, pangcu eh, siocia."

Dara itu tersenyum. "Kenapa engkau menyebutku ketua atau nona? Namaku Ji Kiang Bwe dan setelah kita berkenalan dan bercakap-cakap, bukankah kita telah bersahabat?"

Kian Bu juga tersenyum. "Akan tetapi engkau juga menyebutku Kongcu (tuan muda)! Bagaimana kalau kita hapuskan saja sebutan yang kaku itu dan kita saling menyebut seperti kakak dan adik?"

Kiang Bwe melebarkan senyumnya dan kemuraman wajahnya lenyap bagaikan awan tipis tersapu angin. "Aku akan senang sekali, akan tetapi bagaimana kalau aku yang lebih tua?"

"Tidak mungkin! Engkau masih nampak remaja bagiku, sedangkan aku sudah sembilanbelas tahun lebih."

"Aih, engkau bersikap kakek-kakek saja, Bu-koko (kakak Bu). Usiaku sendiri sudah delapanbelas tahun."

"Kalau begitu aku lebih tua setahun, Bwe-moi (adik Bwe)!" Keduanya saling pandang dan tertawa, sehingga suasana menjadi gembira.

Tiba-tiba daun pint ruangan itu diketuk orang dari luar walaupun daun pintu itu terbuka. Mereka menoleh dan nampak Si Dayung Baja Gu Lok sudah berdiri di luar pintu dan anehnya, biarpun kini dia berada di dalam rumah, bukan di dalam perahu lagi, dia masih membawa-bawa dayung bajanya yang dipakai sebagai tongkat! Kiranya benda itu lebih banyak dipergunakan sebagai senjata dari pada sebagai dayung.

"Ah, paman Gu, masuklah. Oya, sudahkah engkau kembalikan perahu kecil yang disewa Souw-kongcu tadi?" tanya Kiang Bwe.

Gu Lok masuk dan mengangguk. "Sudah, pangcu. Bahkan dari tukang perahu itu saya menerima titipan sesampul surat untuk pangcu." Dia menyodorkan sebuah sampul surat. Kiang Bwe menerima surat itu dan memandang heran.

"Dari manakah tukang perahu itu menerima surat untukku ini?"

"Katanya dari seorang wanita cantik yang memberinya upah royal untuk mengantarkan surat ini kepada ketua Kim-kok-pang. Saya minta surat itu dan saya serahkan sendiri kepada pangcu."

"Duduklah, Paman Gu Lok dan perkenalkan ini toako Souw Kian Bu yang tadi telah membantu kita di perahu."

Kiang Bwe membuka surat itu sedangkan Gu Lok saling memberi hormat dengan Kian Bu dan duduk dengan punggung lurus dan tegak. Setelah membaca isi surat, Kiang Bwe mengangkat muka memandang kepada Gu Lok dan Kian Bu.

"Hoat-kauw mengirim undangan kepada pimpinan Kim-kok-pang! Bagus, ini merupakan kesempatan baik bagi kita untuk datang berkunjung memenuhi undangan dan menyelesaikan urusan di antara mereka dan kita."

"Pangcu hendak memenuhi undangan mereka?" tanya Gu Lok, wajahnya membayangkan keraguan dan kekhawatiran.

"Tentu saja! Mereka merayakan ulang tahun dan menurut undangan mereka, sengaja mereka menggunakan kesempatan ini untuk berkenalan dengan para undangan yang terdiri dari perkumpulan-perkumpulan dan semua aliran di dunia kangouw. Disaksikan oleh para tokoh kangouw, aku akan dapat menuntut dari Hoat-kauw mengapa mereka membunuh ayahku dan hendak memaksa Kim-kok-pang bekerja sama dengan mereka. Mereka tentu tidak akan berani berbuat seenaknya di depan para tokoh kangouw."

"Kalau begitu, saya akan menemani pangcu," kata Gu Lok.

"Lebih baik jangan, paman. Selama aku pergi, engkau mewakili aku mengatur anak buah dan menjaga keamanan di sini," kata dara itu dengan suara tegas.

"Baiklah, pangcu. Saya mohon diri," kata Gu Lok yang tahu diri, melihat bahwa kemunculannya mungkin mengganggu pangcunya yang sedang bicara dengan tamunya.

Setelah Gu Lok keluar, Kian Bu berkata, "Bwe-moi, biarlah aku yang menemanimu. Aku akan membantumu kalau sampai ada pihak yang memusuhimu. Sikap dara itu lebih manis, akan tetapi tetap saja tegas.

"Terima kasih atas tawaran bantuanmu, Bu-ko, akan tetapi sekali lagi, kami tidak dapat menerima bantuan dari luar. Tentu engkau mengetahui bahwa urusan ini merupakan urusan yang menyangkut kehormatan Kim-kok-pang, oleh kareha itu, harus dihadapi secara terhormat pula. Tidak, kami tidak mungkin dapat menarik bantuan dari luar kalangan Kim-kok-pang."

Melihat ketegasan ketua Kim-kok-pang itu, tentu saja Kian Bu tidak dapat membantah karena diapun maklum akan kebenaran pendapat itu. "Baiklah kalau begitu, hanya aku minta engkau suka memberitahu kepadaku, kapan dan di mana diadakannya perayaan ulang tahun Hoat-kauw itu?"

"Menurut surat undangannya, perayaan diadakan di Bukit Harimau, di luar kota An-king pada permulaan bulan depan."

"Terima kasih, Bwe-moi. Nah, sekarang aku mohon diri untuk melanjutkan perjalanan, karena aku tahu bahwa engkau tentu akan sibuk menghadapi urusan perkumpulanmu. Selamat tinggal dan selamat berpisah, Bwe-moi."

Sebetulnya Kiang Bwe ingin sekali menahan pemuda yang sejak pertama kali bertemu sudah menarik hatinya itu. Akan tetapi sebagai seorang wanita, tentu saja ia merasa malu untuk menyatakan perasaannya, dan selain itu, iapun harus melakukan persiapan menghadapi undangan dari Hoat-kauw. Maka, iapun hanya dapat mengucapkan terima kasih atas bantuan Kian Bu dan ia mengikuti bayangan pemuda itu ketika meninggalkan lereng Lembah Bukit Emas.

* * * *

Pemuda itu berlatih silat yang aneh. Gerakan-gerakannya lambat dan seolah gerakan memukul atau menendang dari kaki tangannya hanya main-main saja, tidak mengandung tenaga, tidak nampak cepat maupun kuat. Akan tetapi anehnya, pohon besar yang berada dalam jarak tiga meter di depannya, bergoyang-goyang cabangnya yang sebesar tubuh manusia, cabang ranting dan daun-daunnya yang lebat bergoyang-goyang seperti dilanda angin besar sehingga banyak daun pohon yang sudah kuning dan setengah kuning rontok, gugur berhamburan!

Setelah berlatih selama setengah jam, bersilat tangan kosong lalu pemuda itu menyambar sebuah tongkat bambu di bawah pohon dan kini dia bersilat menggunakan tongkat bambu yang panjangnya sekitar satu setengah meter. Kalau tadi ketika bersilat tangan kosong gerakannya nampak lamban dan lemah, kini setelah bersilat tongkat, gerakannya cepat bukan main sehingga lenyaplah bayangan pemuda itu, dibungkus gulungan sinar tongkat dan terdengar bunyi mengaung saking cepat dan kuatnya tongkat bambu itu bergerak.

Dan tiba-tiba, gulungan sinar itu melayang ke atas pohon, seperti seekor burung mengelilingi pohon dan nampak daun-daun pohon jatuh berhamburan, bukan hanya yang kuning, melainkan juga yang hijau dan juga ranting-rantingnya. Tak lama kemudian, ketika pemuda itu melayang turun, pohon itu telah berubah seperti kepala seorang berambut lebat yang kini dicukur pendek dengan bentuk bulat! Ternyata tongkat yang sama sekali tidak tajam karena terbuat dari bambu itu mampu membabat ranting dan daun pohon sehingga menjadi gundul!

Setelah selesai bersilat tongkat yang aneh dan juga menggiriskan itu, dia duduk beristirahat di atas sebongkah batu di bawah pohon, memandangi daun-daun yang berserakan dan melamun, membiarkan peluh membasahi lehernya. Daun-daun gugur. Manusia mati. Dan teringatlah dia akan semua orang yang dikasihinya dan yang telah meninggalkan dirinya karena mati seorang demi seorang. Ayah dan ibunya mati. Kemudian orang yang mengasuhnya sejak dia kecil, kemudian menjadi pengganti ayah ibunya, juga mati!

Demikian pula gurunya yang pertama kali, guru yang dikasihinya, di hormatinya mati pula terbunuh orang! Sia Han Lin termenung, tenggelam dalam kenangan duka. Teringat dia akan keadaan dirinya yang kini hidup sebatangkara di dunia ini. Sejak berusia lima tahun dia terpaksa berpisah dari ayah ibunya yang berperang melawan serbuan musuh, dia dilarikan mengungsi oleh Liu Ma, pengasuhnya.

Kemudian ternyata ayah ibunya itu tewas dalam perang dan selanjutnya dia diasuh sebagai putera Liu Ma. Cinta kasihnya kepada ayah ibunya berpindah kepada Liu Ma, dan ketika dia menjadi murid Kong Hwi Hosiang, dia menemukan lagi seorang yang dihormati dan disayangnya, yaitu gurunya itu.

Akan tetapi, malapetaka datang menimpa. Liu Ma dan Kong Hwi Hosiang tewas di tangan tiga orang Raja Iblis yang kejam. Bahkan dia sendiri tentu sudah tewas kalau tidak ditolong oleh gurunya yang sekarang, yaitu kakek yang hanya dia kenal sebagai Lo-jin (Orang Tua). Akan tetapi, gurunya ini seorang manusia yang aneh dan agaknya tidak mungkin mempunyai perasaan kasih sayang kepada manusia aneh ini seperti yang dirasakan terhadap mendiang Kong Hwi Hosiang dan Liu Ma.

Lo-jin seolah tidak terikat oleh apapun juga, tidak membutuhkan kasih sayang, juga tidak pernah memperlihatkan kasih sayang, namun setiap gerak geriknya tak pernah menyusahkan apa dan siapapun. Ilmu-ilmu yang diajarkan kepadanya selama lima tahun inipun ilmu yang aneh, namun karena yakin bahwa Lo-jin adalah seorang manusia seperti dewa, Han Lin menaati semua petunjuknya dan selama lima tahun ini berlatih dengan amat tekunnya.

Teringat akan semua keadaan dirinya, timbul perasaan iba diri dan terbenamlah Han Lin ke dalam duka. Hatinya seperti diremas-remas. Dia adalah putera seorang yang pernah menjadi raja, hidup bergelimang kemuliaan dan ke hormatan, lalu tiba-tiba saja dia menjadi yatim piatu, bahkan sekarang dia tidak memiliki apa-apa lagi kecuali dirinya sendiri!

Dan gurunya, satu-satunya orang yang dekat dengan dirinya, yaitu Lo-jin, jarang berada di puncak itu, membiarkan dia seorang diri saja. Bahkan kini, sudah dua minggu gurunya itu pergi entah ke mana. Pergi tidak pernah pamit, datang tidak pernah memberitahu, seperti angin saja.

Ketika Han Lin duduk termenung bertopang dagu, murung dan perasaannya tertekan, dia tidak merasakan bahwa ada angin lembut bertiup dan bayangan seorang kakek yang rambutnya seperti benang sutera putih telah berdiri di belakangnya. Andaikata Han Lin tidak sedang tenggelam dalam lamunan, tentu pendengarannya yang terlatih dan tajam itu dapat menangkap gerakan seringan daun kering itu.

Akan tetapi dia sedang tenggelam dalam kedukaan, maka dia sama sekali tidak tahu bahwa gurunya, Lojin, telah berdiri dibelakangnya Kakek yang bertubuh tinggi agak kurus dengan wajah putih kemerahan, matanya berbinar-binar seperti bintang, kumis, jenggot dan rambutnya sudah putih semua itu kini berdiri dan mengelus jenggotnya, tersenyum dan mengangguk-angguk. Tongkat bambu di tangannya lalu digerakkan melintang di depan dadanya dan terdengar suara mengaung.

Mendengar suara ini, barulah Han Lin sadar dari lamunannya dan sebelum membalikkan tubuh, dia sudah tahu siapa yang datang. Dia segera menjatuhkan diri berlutut dan membalik, memberi hormat kepada gurunya. "Suhu," suaranya masih mengandung duka, walaupun dia berusaha menekannya.

"Han Lin, apakah jurus-jurus terakhir dari Khong-khi-ciang (Tangan Udara Kosong) dan Pek-lui-tai-hong-tung (Tongkat Petir Badai) telah dapat kau kuasai dengan baik?"

"Sudah, suhu. Apakah suhu menghendaki agar teecu memainkannya?"

"Tidak, aku sudah percaya bahwa engkau telah menguasainya dengan baik. Akan tetapi kenapa engkau berduka?"

Han Lin maklum bahwa dia tidak mungkin dapat membohongi gurunya, maka diapun berkata, "Suhu, teecu tadi teringat akan kematian orang-orang yang teecu sayang, dan teecu merasa berduka sekali. Maaf suhu, Teecu mengerti benar bahwa duka adalah sia-sia dan timbul dari iba diri, bahwa sesungguhnya amat tidak baik dan tidak sehat membiarkan diri tenggelam dalam duka. Akan tetapi pengertian teecu itu tidak banyak menolong, suhu. Teecu tetap berduka. Beruntung sekali bahwa suhu kembali pada saat teecu dilanda duka nestapa yang amat menekan hati, maka teecu mohon petunjuk, suhu. Suhu, mohon diberi petunjuk bagaimana teecu akan dapat menguasai hati dan mengendalikan nafsu agar teecu tidak dicengkeram duka."

Kakek itu tersenyum dan senyumnya mendatangkan kelembutan yang mengharukan karena wajah itu presis wajah seorang bayi yang suka tertawa-tawa sendiri secara wajar. Kemudian dia berkata dengan suara halus.

"Han Lin, segala macam jalan atau cara untuk mengendalikah nafsu adalah ulah nafsu itu sendiri juga, karena cara didorong oleh suatu keinginan mencapai sesuatu dan ini hanyalah ulah nafsu yang pandai mengubah bentuk dan ragam. Usaha untuk melenyapkan duka tidak ada bedanya dengan duka itu sendiri, keduanya bersumber kepada si-aku yang menjadi duka karena terkenang akan sesuatu dan si-aku pula yang menginginkan agar tidak berduka. Karena itu, usaha apapun yang bersumber dari aku, tidak akan dapat berhasil dengan sempurna."

"Kalau begitu, apa yang dapat teecu lakukan, suhu? Teecu tahu benar menurut ajaran kitab-kitab agama, juga menurut petuah-petuah yang teecu dapat kan dari mendiang suhu Kong Hwi Hosiang dan dari suhu, akan tetapi pengetahuan teecu itu tidak menolong melenyapkan duka dari hati teecu. Suhu, teecu menjadi bingung, mohon petunjuk."

Kakek itu menghela napas panjang bukan karena sedih, bukan karena kecewa. "Apapun yang engkau lakukan atau tidak lakukan, kalau itu bersumber dari si-aku, akan sama saja palsunya dan sia-sianya. Bersikaplah wajar-wajar saja, Han Lin dan jangan menentang segala yang kau lakukan sendiri. Kalau engkau dilanda duka, bedukalah, kenapa mesti dipersoalkan lagi? Selama manusia masih hidup di dalam jasmani ini, manusia tidak akan terlepas dari segala macam perasaan susah senang puas kecewa dan sebagainya lagi. Akan tetapi, yang penting adalah menyadari akan semua itu, mengamati setiap gejolak nafsu yang menguasai hati akal pikiran dan yang mengemudikan semua gerak gerik kita. Menyadari sepenuhnya bahwa semua itu adalah ulah si-aku, yaitu nafsu yang mengaku-aku. Yang berduka itu adalah hati dan pikiranmu. Seperti juga yang marah, yang kecewa, yang iri, yang diserang penyakit, semua itu hanyalah alat-alat atau anggauta tubuh mu. Kesadaran yang sepenuhnya ini akan membuat kita yakin bahwa semua itu hanyalah permainan nafsu belaka. Bahkan kalau kematian tiba, yang mati adalah tubuh jasmani belaka. Selama nafsu daya rendah menguasai hati akal pikiran, maka di dalam kehidupan ini kita akan selalu menjadi permainannya, dan semua yang kita lakukan dikemudikan oleh nafsu daya rendah. Bahkan usaha kita untuk mengendalikan atau menguasai nafsu juga datang dari nafsu daya rendah, karenanya, biarpun kita mengerti akan suatu perbuatan yang tidak benar, kita tetap saja tidak mampu menghentikan perbuatan itu."

"Suhu, kalau begitu alangkah celakanya hidup ini, kita dibiarkan menjadi korban, dicengkeram dan diperhamba nafsu tanpa kita mampu membebaskan diri!"

"Tidak, Han Lin. Di samping nafsu daya rendah yang diikutsertakan dalam kehidupan kita, masih terdapat sesuatu yang berkat Kasih Sang Maha Pencipta, disertakan pula kepada kita. Sesuatu yang biarpun nampak tipis dan hampir tak nampak, namun selalu ada dan tidak pernah meninggalkan manusia, sesuatu yang menjadi bukti dan saksi betapa Tuhan Maha Kasih dan Maha Pengampun. Sesuatu ini yang menjadi tali yang tak pernah terputuskan, yang menghubungkan manusia kepada Tuhan Sang Maha Pencipta. Tinggal terserah kepada manusia sendiri apakah akan mengabaikanNya dan menyerah kepada nafsu, atau memperkuat ikatan yang akan menghubungkan manusia dengan kekuasaan Tuhan yang selalu bersemayam di dalam dan luar diri setiap orang manusia itu."

"Lalu bagaimana caranya agar ikatan itu dapat diperkuat, suhu?"

"Usaha manusia tidak akan membawa hasil. Hanya Kekuasaan Tuhan sajalah yang akan mampu mengaturnya, dan kalau Kekuasaan Tuhan sudah bekerja, maka dengan sendirinya nafsu daya rendah akan kembali ke tempat mereka semula, menjadi hamba yang baik, bukan menjadi majikan yang kejam. Dan agar Kekuasaan Tuhan dapat bekerja, maka semua daya kerja hati akal pikiran haruslah berhenti. Kalau kita hidup selaras dengan To, maka To yang akan bekerja mengatur segalanyadan apapun yang diatur oleh To sudah pasti sempurna. Kekuasaan Tuhan bekerja dengan sempurna, Maha Murah', Maha Kasih, Maha Adil , Maha Pengampun dan.Maha Kuasa Satu-satu nya yang dapat kita kerjakan hanyalah menyerah, dengan penuh keikhlasan, penuh kepasrahan, penuh ketawakalan."

"Akan tetapi, suhu. Bukankah menyerah inipun merupakan suatu usaha dari hati akal pikiran?"

"Bukan, Han Lin. Usaha selalu mengandung pamrih uncuk mendapatkan sesuatu. Akan tetapi menyerah dengan kepasrahan tidak mengandung usaha apapun, dan tidak menginginkan apapun, karena kalau ada keinginan mendapatkan sesuatu, itu bukan pasrah namanya. Pasrah dalam arti kata yang sesungguhnya sama dengan mati, seperti orang yang dalam tidur, apapun yang akan tiba menimpa dirinya, terserah kepada Tuhan. Andai kata pada saat itu Tuhan hendak mencabut nyawanya, diapun akan menyerah tanpa membantah, ikhlas, pasrah, tawakal."

"Kalau begitu, bukankah kita lalu menjadi malas dan hanya menyerahkan segalanya kepada Tuhan saja, suhu?"

"Sama sekali tidak, Han Lin. Itu namanya bukan menyerah dengan kepasrahan, keikhlasan dan ketawakalan, melainkan ingin mempersekutu Tuhan, bahkan ingin enaknya sendiri saja. Tuhan telah menciptakan kita lengkap dengan segala alat yang ada pada diri kita, dan semua itu diciptakan bukan percuma, melainkan diciptakan untuk dipergunakan, untuk dimanfaatkan. Kalau tidak kita pergunakan, tidak kita manfaatkan, itu berdosa namanya, dan penggunaannya, pemanfaatannya haruslah untuk kebaikan, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain, selaras dengan To, berarti membantu pekerjaan Kekuasaan Tuhan. Segala sesuatu yang diciptakan Tuhan di alam maya pada ini bekerja, bergerak yang berarti bekerja. Bahkan bintang matahari dan bulanpun bekerja bergerak tiada hentinya. Kita yang dlberi perlengkapan yang sempurna, tentu saja harus bekerja, berusaha demi memenuhi semua keperluan dan kebutuhan hidup di dunia. Kita harus makan agar tidak mati kelaparan, kita membutuhkan pakaian agar tidak mati kedinginan, kita membutuhkan tempat tinggal untuk berlindung dari binatang buas, angin dan panas atau hujan. Untuk memenuhi kebutuhan itu, tentu saja kita harus mencari, harus berusaha dan bekerja! Namun, semua pekerjaan itu barulah benar kalau didasari kepasrahan, didasari penyerahan kepada Tuhan sehingga apapun yang kita lakukan, akan sejalan dengan To."

Han Lin mengangguk-angguk, dia mengerti benar apa yang dimaksudkan gurunya. "Mudah-mudahan teecu tidak terlalu dipermainkan nafsu daya rendah dan mudah-mudahan teecu akan mendapat pengampunan dan bimbingan Tuhan dengan iman dan penyerahan, suhu."

"Semoga Tuhan memberi jalan kepadamu, Han Lin. Akan tetapi sekarang aku ingin memberitahu kepadamu bahwa sudah tiba saatnya bagi kita untuk berpisah. Aku akan melanjutkan perjalananku dan engkaupun harus melanjutkan jalan hidupmu sendiri. Sekali lagi ingat, dengan ilmu yang kau pelajari, berarti engkau menjadi abdi keadilan dan kebenaran, akan tetapi bukan keadilan dan kebenaran bagi pribadimu. Semua perasaan pribadi harus disingkirkan, kalau tidak engkau tidak akan mungkin dapat bertindak adil. Cari dan mintalah petunjuk dari Tuhan, dan engkau pasti akan menerima petunjukNya."

"Suhu" Han Lin terkejut dan tentu saja merasa terpukul. Baru saja dia menyusahkan kematian orang-orang yang dikasihinya dan kini gurunya, orang terakhir yang terdekat dengannya, menyatakan bahwa mereka harus berpisah.

"Han Lin, lupakah engkau bahwa keterikatan itulah justeru yang menjadi penyebab terutama dari duka? Mempunyai namun tidak memiliki, itulah seyogianya. Secara lahiriah kita boleh mempunyai apapun juga, namun secara batiniah kita tidak memiliki apa-apa. Nah, cukup sudah, tongkatku ini boleh kau miliki, benda ini sudah puluhan tahun tak pernah lepas dari tanganku."

Nampak bayangan berkelebat dan yang tinggal di depan Han Lin hanyalah sebatang tongkat bambu yang menancap di atas tanah. Lojin telah lenyap seperti di telan bumi . Han Lin memberi hormat ke arah berdirinya gurunya tadi sambil berlutut sampai delapan kali, kemudian dia bangkit, mencabut tongkat bambu yang biasa dipegang gurunya, mencium gagang tongkat itu dan berbisik. "Suhu, terima kasih!"

Setelah itu, Han Lin menuruni puncak, menggendong buntalan pakaiannya di punggung dan membawa sebatang tongkat bambu yang selama ini tak pernah terpisah dari tangan Lojin. Lima tahun lamanya dia menerima gemblengan kakek sakti yang luar biasa itu, dan kini dia sudah dewasa, sudah berusia duapuluh tahun! Ke mana dia harus pergi?

Teringat akan ini, setibanya di puncak sebuah lereng, dia berhenti dan memandang ke sekeliling Alam di bawah sana seolah menanti, menggapaikan tangan kepadanya. Akan tetapi, ke arah mana dia harus pergi dan apa atau siapa yang menantinya di sana? Dia tidak mempunyai apa-apa lagi, bahkan tidak mempunyai siapa-siapa lagi. Liu Ma telah tewas, juga Kong Hwi Hosiang, Cun Hwesio dan Kun Hwesio para pembantu Kong Hwi Hosiang. Mengunjungi kuburan mereka? Tidak ada artinya. Pernah Lojin bicara dengan lembut mengenai hal itu.

"Mengunjungi kuburan orang tua hanya merupakan kewajiban untuk menjaga agar kuburan mereka itu bersih dan terawat, bukan sebagai bukti kebaktian. Kebaktian terhadap orang tua yang sesungguhnya bukan terletak kepada pemeliharaan kuburan, melainkan dalam sepak terjang kita sehari-hari, dalam kelakuan kita. Kelakuan yang baik akan mengangkat nama baik orang tua, sebaliknya kelakuan buruk akan menodai nama orang tua, walaupun orang tua sudah meninggal,"

Teringat akan kata-kata gurunya itu, Han Lin tidak lagi ingin berkunjung ke kuburan orang-orang yang dahulu disayangnya itu. Akan tetapi ada hal lain yang mendorongnya untuk pergi ke dusun Li-bun. Dia harus melihat apa yang terjadi dengan penduduk dusun itu semenjak lima tahun yang lalu Sam Mo-ong mengganas di sana.

Sudah menjadi kewajibannya untuk turun tangan menolong, kalau penduduk dusun itu tertindas oleh perbuatan sewenang-wenang tiga orang datuk iblis itu. Ya, dia akan pergi ke dusun Li-bun, Setelah itu, baru dia akan melanjutkan perjalanannya, mencari keluarga ibunya!

Kenapa dia merasa tidak mempunyai keluarga dan hidup sebatang kara? Di sana masih ada dua orang kakak mendiang ibunya. Kakak perempuan ibunya bernama Yang Kui Lan dengan suaminya bernama Souw Hui San dan kakak laki-laki ibunya bernama Yang Cin Han dengan isterinya Can Kim Hong. Dia mengenal nama-nama itu dari mendiang ibunya dan tak pernah dia melupakan nama-nama itu. Juga tempat tinggal mereka.

Menurut ibunya, pamannya Yang Cin Han tinggal di Lok-yang, dan bibinya Yang Kui Lan tinggal di Wu-han. Kelak dia akan mengunjungi mereka. Tak dapat dia membayangkan bagaimana paman dan bibinya itu akan menerimanya, dan membayangkan segala kemungkinan dalam penyambutan itu mendatangkan ketegangan dan kegembiraan dalam hatinya.

Dengan jantung berdebar karena tegang, Han Lin memasuki, dusun Li-bun. Betapa dekat dusun ini dengan hatinya, baru sekarang dia merasakannya. Semua benda yang terdapat di situ, pohon-pohon, rumah-rumah dusun, batu-batu besar, selokan-selokan, semua itu begitu ramah menyambutnya dengan kenangan manis, membuat dia merasa bertemu dengan sahabat-sahabat lama.

Hal ini tidaklah aneh karena selama sepuluh tahun dia tinggal di dusun itu. Akan tetapi, agaknya tidak ada seorang penduduk dusun itu yang mengenalnya. Ketika dia pergi, kepergiannya dianggap sebagai kematian oleh para penduduk yang mendengar bahwa dia telah terlempar ke dalam jurang bersama ibunya, yaitu Liu Ma, dan ketika itu lima tahun yang lalu, dia adalah seorang pemuda remaja, sedangkan sekarang dia telah menjadi seorang pemuda dewasa.

Akan tetapi dia dapat mengenal wajah-wajah tua yang tidak mengalami perubahan, hanya wajah-wajah itu nampak muram, tidak seperti dahulu. Dia tidak mengenal wajah-wajah muda penduduk Li-bun, karena seperti juga dia, orang-orang muda itu dahulu masih kanak-kanak atau remaja ketika dia pergi.

Agaknya tidak ada seorangpun di antara penduduk dusun itu yang menaruh perhatian terhadap Han Lin. Dia hanya seorang pemuda berpakaian sederhana, menggendong buntalan pakaian, membawa tongkat bambu. Siapa yang akan menaruh perhatian kepada seorang pemuda sesederhana ini?

Satu hal yang agak menghibur hati Han Lin adalah melihat betapa para penghuni dusun Li-bun itu, tua muda, nampak rajin bekerja. Mereka berlalu-lalang dengan langkah tergesa gesa, membawa alat pertanian atau alat alat penangkap ikan. Hal ini berarti bahwa penghuni dusun Li-bun masih memiliki penghasilan yang cukup baik. Hanya saja, mengapa wajah-wajah itu muram?

Han Lin menuju ke rumah di mana dahulu dia tinggal bersama Liu Ma. Dan hatinya terharu juga melihat rumah itu masih seperti dulu, terpelihara baik-baik, pekarangannya disapu bersih dan semua pohon yang tumbuh di pekarangan masih seperti dulu, hanya agak lebih besar tumbuhnya. Jantungnya berdebar seolah dia akan melihat ibunya muncul dari pintu depan menyambutnya. Dia merasa seperti dahulu kalau pulang ke rumah itu Masih biasakah sebetulnya keadaannya dan apakah semua yang dialami lima tahun ini hanya mimpi belaka?

Dia bahkan merasa betapa hatinya mengharapkan Liu Ma benar-benar muncul menyambutnya dengan senyum dan pandang matanya yang khas, yang penuh kasih sayang kepadanya! Ketika dia naik ke beranda depan, hampir saja mulutnya memanggil Liu Ma seperti dahulu, dengan sebutan ibu. Dia menahan suaranya karena pada saat itu dari. pintu depan muncul seorang laki-laki. yang usianya sekitar limapuluh tahun. Pria ini nampak tua dan lemah, namun Han Lin segera mengenalnya.

“Paman Akui!" serunya gembira.

Orang ini lima tahun yang lalu merupakan seorang pembantu rumah tangga, terutama mengurus kebon dan dipercaya ibunya karena memang jujur dan setia walaupun buta huruf. Akui memandang pemuda itu dengan alis berkerut. "Siapakah engkau...?" katanya meragu. "Dan ada keperluan apa berkunjung ke sini?" Pandang matanya jelas membayangkan keheranan bahwa pemuda yang tidak dikenalnya itu mengetahui namanya. Dia merasa pernah mengenal pemuda Ini, akan tetapi lupa lagi entah di mana.

"Paman, apakah paman sudah lupa kepadaku? Aku Han Lin, paman."

Sepasang mata itu terbelalak, la lu nampak ketakutan dan orang itu terhuyung kebelakang seperti telah didorong. "Tidak tidak...." dia menggeleng kepala dan mengangkat kedua tangan seperti hendak melindungi dirinya. "Setan! kau.... roh penasaran!"

Han Lin merasa kasihan, akan tetapi juga geli. Dia tersenyum dan berkata lembut. "Paman Akui, apakah aku kelihatan seperti setan? Lihat baik-baik, aku adalah Han Lin yang lima tahun lalu tinggal bersama mendiang ibu di sini. Aku telah pulang, paman. Aku masih hidup, belum mati dan bukan roh penasaran..."

Akui dapat menenangkan hatinya dan dia memandang penuh perhatian, agaknya mulai percaya bahwa yang berdiri di depannya bukan setan, bukan roh penasaran, melainkan seorang pemuda dari darah daging dan kini dia mulai mengenai wajah itu! "Tapi... tapi.... bukankah engkau sudah mati lima tahun yang lalu, terlempar ke dalam jurang dan tewas bersama ibumu? Lihat di dalam itu, ada meja sembahyang untuk menyembahyangi arwah ibumu dan arwahmu."

“Tidak, Paman. Ibu memang tewas terjatuh ke dalam jurang, akan tetapi aku tidak mati. Tuhan masih melindungi dan menghendaki aku masih hidup."

"Tapi kalau begitu, kenapa sampai lima tahun baru engkau pulang? Selama lima tahun ini, engkau dimana saja....?" Agaknya Akui belum yakin benar bahwa pemuda yang berdiri di depannya adalah Han-Lin.

"Panjang ceritanya, paman mari kita bicara di dalam. Selain banyak yang kuceritakan, juga banyak yang akan kutanyakan kepadamu. Jangan ragu, paman Akui, aku benar-benar Han Lin yang ketika berusia enam tahun, jatuh dari atas pohon di pekarangan depan itu dan untung ada paman di bawah pohon sehingga tubuhku menimpa paman dan tidak cedera."

Mendengar ini, barulah Akui yakin. Bagaimana mungkin pemuda ini dapat mengetahui, apa yang terjadi belasan tahun yang lalu itu kalau pemuda ini bukan Han Lin yang aseli? Pula, kini dia melihat bahwa wajah Han Lin tidak berubah dari wajahnya lima tahun yang lalu, walaupun kini dia lebih tinggi dan tegap.

"Kongcu, benar-benar engkaukah ini?" Suaranya menjadi serak dan kedua matanya basah ketika Akui memegang tangan Han Lin. "Aih, kongcu betapa malapetaka telah menimpa kita bersama, seluruh warga dusun kita menderita sengsara."

Han Lin tidak ingin orang lain mendengar ucapan ini, maka dia lalu menggandeng tangan Akui dan diajaknya orang tua itu masuk rumah, lalu duduk di ruangan dalam. Ternyata prabot rumah itupun masih seperti dulu, tidak diubah sama sekali dan agaknya yang mengurus rumah itu hanya Akui seorang karena tidak terdapat orang lain di situ. Setelah duduk, agar meyakinkan hati Akui bahwa dia benar Han Lin, pemuda itu lalu secara singkat menceritakan pengalamannya.

"Memang benar bahwa lima tahun yang lalu itu, orang-orang jahat membuat aku terjungkal ke dalam jurang, paman. Akan tetapi aku dapat berpegang kepada pohon yang tumbuh di dinding jurang sehingga nyawaku selamat. Ibu tewas di dasar jurang dan sudah kukubur jenazahnya. Biarpun aku terluka, akan tetapi aku diselamatkan seorang kakek yang kemudian menjadi guruku dan aku dibawa pergi untuk menjadi muridnya selama lima tahun. Setelah lewat lima tahun, barulah aku diperkenankan untuk pulang ke sini."

Akui menyusut air matanya karena sedih dan terharu. "Ah, ternyata Tuhan telah melindungi orang yang tidak berdosa. Tidak sia-sialah selama lima tahun ini aku merawat rumah ini, menjaga dan membersihkannya walaupun semua orang menertawakan aku dan mengatakan bahwa engkau dan ibunya telah tewas. Aku mengambil keputusan untuk merawat terus rumah ini sampai aku mati ternyata, kini tiba-tiba engkau pulang, kongcu, seperti seorang bangkit kembali dari kuburan."

"Aku berterima kasih sekali kepadamu, paman Akui. Akan tetapi sekarang aku ingin mendengar, apa yang terjadi di dusun ini sejak aku pergi. Dan bagaimana pula dengan kuil di bukit itu!"

"Kongcu, tiga orang losuhu di kuil itu telah terbunuh pula"

"Aku tahu, paman. Aku sempat menguburkan jenazah mereka. Yang ingin kuketahui, apa yang terjadi selanjutnya setelah ketiga orang suhu itu tewas?"

"Yang terjadi adalah bencana bagi dusun kita, bahkan juga dirasakan dusun-dusun lain di sekitar sini, kongcu. Kuil itu menjadi sarang mereka.... dan sampai sekarang, kehidupan para penghuni dusun ini seperti dicekam ketakutan, dan tersiksa. Banyak yang diam-diam melarikan diri mengungsi. Yang tetap tinggal terpaksa harus tahan menderita penghinaan dan pehindasan. Mereka itu menganggap seluruh penghuni dusun sebagai pelayan. Semua kebutuhan makan mereka harus kita sediakan, bahkan banyak pula gadis dusun ini mereka tawan. Juga gadis-gadis dari dusun lain. Banyak pula yang mereka pukuli, mereka rampas hartanya, ada pula yang mereka bunuh karena berani melawan. Dan semua peninggalan ibumu yang disimpan dalam kamar ibumu ah, semua telah dirampas tanpa aku dapat mencegahnya , kongcu!"

"Tidak mengapa, paman. Barang yang hilang sudahlah, jangan dipikirkan lagi," kata Han Lin akan tetapi hatinya terasa nyeri dan panas, bukan karena barang-barang peninggalan Liu Ma dirampas orang, melainkan karena mendengar akan berbuatan sewenang-wenang dan kejam dari gerombolan penjahat itu. Seingatnya, yang muncul dan mengacau kuil di puncak Bukit Ayam.Emas hanyalah tiga orang Sam Mo-ong dan seorang pemuda bersuling yang kejam dan licik, yang dia lupa lagi siapa namanya.

"Paman, apakah sampai sekarang mereka itu masih tinggal di kuil di puncak Bukit Ayam Emas, dan kalau masih, berapa banyaknya mereka yang bersarang di sana?"

"Banyak, banyak sekali, kongcu, dan lima orang pemimpin mereka menurut desas-desus para penduduk berjuluk Bu-tek Ngo-sin-liong. Anak buah mereka banyak sekali, antara duapuluh sampai tigapuluh orang dan aku mendengar mereka itu adalah para anggauta Hoat-kauw, kongcu. Entah aliran apa itu, yang jelas, mereka semua suka mempergunakan kekerasan memaksakan kehendak mereka. Mereka membangun pondok-pondok di sekitar kuil, menjadi tempat tinggal para anggauta. Dan para anggauta itulah yang suka membikin kacau, merampok, menculik wanita, menyiksa dan membunuh!"

Han Lin mengepal tinju. Tak mungkin dia mendiamkan saja kejahatan itu melanda daerah yang demikian indah. Hatinya sudah terbakar mendengar betapa gerombolan itu tidak pantang melakukan kejahatan bagaimanapun, bukan hanya menculik gadis-gadis dusun, bahkan isteri orangpun mereka rampas.

"Paman Kui, terima kasih atas ke baikanmu selama lima tahun merawat rumah ini, dan mulai sekarang engkau boleh tinggal di sini selama hidupmu dan anggap saja rumah ini milikmu sendiri.. Dan sekarang aku mohon kepadamu, rahasiakan kedatanganku. Jangan ceritakan kepada siapapun juga bahwa aku masih hidup dan datang kembali ke rumah ini. Aku hanya akan tjnggal beberapa hari saja di sini, paman, kemudian aku akan pergi lagi sehingga tidak perlu menggegerkan penduduk dusun Li-bun."

Akui mengangguk-angguk maklum, lalu berbisik, "Aku tahu, kongcu. Bukan hanya kongcu yang takut, akupun takut kalau sampai mereka mengenal kongcu. Memang sebaiknya kalau kongcu bersembunyi dan cepat meninggalkan tempat yang tidak aman ini. Aku akan menjaga rumah ini sampai kelak keadaan kembali aman dan kongcu pulang ke sini."

Tentu saja Han Lin menyuruh pelayan itu merahasiakan kehadirannya bukan karena dia takut. Dia akan menentang gerombolan itu dan hal ini harus dia lakukan sendiri tanpa setahu penduduk dusun Li-bun sehingga kelak tidak akan ada akibat yang buruk bagi para penduduk karena dia seorang yang bertanggung-jawab. Akan tetapi biarlah Akui mengira dia takut, hal itu lebih baik lagi agar Akui benar-benar merahasiakan bahwa dia masih hidup dan kembali kesitu.

"Memang benar, paman, aku takut kalau mereka mengetahui aku berada di sini. Akan tetapi, selama lima tahun ini, apakah kepala dusun Li-bun ini mendiamkan saja semua kejahatan itu terjadi? Bukankah dahulu, Lurah Can dari dusun ini terkenal memiliki keberanian dan berwatak adil?"

"Aihh, kongcu. Lurah Can memang mengumpulkan para muda dan menyerbu ke sana, akan tetapi akibatnya, lurah Can dan beberapa orang tewas dan sejak itu, tidak ada lagi yang berani. melawan untuk mati konyol. Dan setelah Lurah Can tewas, mereka mengangkat seseorang di antara mereka menggantikan kedudukan kepala dusun, dan kami semua semakin tidak berdaya."

"Hemm, siapa lurah baru itu?"

"Dia Lurah Ouw yang tinggal di rumah lurah lama bersama keluarganya."

"Baiklah, paman. Sekarang paman boleh melanjutkan pekerjaan sehari-hari seperti biasa. Aku akan beristirahat. Apakah kamarku masih terpelihara?"

Wajah Akui berseri. "Masih, kongcu. Biarpun tadinya aku sudah yakin bahwa kongcu dan nyonya telah meninggal dunia, namun kedua kamar itu setiap hari kubersihkan dan pintunya selalu kututup dan kukunci. Tidak ada seorangpun boleh mengganggu kedua kamar itu. Bahkan pakaian kongcu juga masih dalam almari. Yang tidak ada hanyalah barang-barang berharga yang telah diambil oleh mereka, kongcu."

Han Lin memasuki kamarnya dan dia benar-benar merasa terharu. Kamar itu mengingatkan dia akan masa lalu, semua masih seperti dahulu. Ketika dia membuka almari, pakaiannya juga masih lengkap, akan tetapi tentu saja pakaian itu tidak dapat dipakainya sekarang, terlampau kecil. Hari ini sampai malam dia berdiam saja di dalam rumahnya seperti orang bersembunyi, dilayani oleh Akui yang kini nampak berseri wajahnya, seperti tanaman yang hampir mengering mendapatkan siraman air hujan.

Setelah malam tiba Han Lin mengatakan kepada Akui bahwa malam itu dia tidak ingin diganggu, lalu dia menutupkan pintu kamarnya dan mengunci dari dalam. Tanpa diketahui siapapun, dia lalu keluar dari kamarnya melalui jendela. Gerakan Han Lin sudah cepat bukan main, ringan dan cepat seperti seekor burung walet. Kini ditambah kegelapan malam, tidak ada orang akan mampu melihat gerakannya ketika dia berlari dalam kegelapan menuju ke rumah kepala dusun, yaitu Lurah Ouw seperti yang dia dengar dari Akui tadi.

Menurut Akui, lurah itu tinggal di rumah besar bekas rumah keluarga Lurah Can, bersama keluarganya, yaitu tiga orang isteri dan lima orang anak. Semua anggauta keluarga di rumah Lurah Ouw telah tidur nyenyak. Rumah itu telah sepi ketika bayangan hitam itu berkelebat cepat ke atas wuwungan rumah, lalu melayang turun ke dalam. Tidak lama Han Lin mencari-cari di mana kiranya sang lurah berada, dia mendengar suara dua orang peronda yang agaknya bertugas jaga di rumah kepala dusun itu. Dia segera menyelinap di balik sudut tembok.

"Wah, yang paling senang adalah Ouw-toako, ya? Menjadi lurah, isterinya banyak, mendapat kehormatan."

"Ssttt, hati-hati kau bicara. Kalau terdengar olehnya, engkau tentu akan dihajar."

"Dia tidak akan mendengar. Dia sedang terlelap dalam pelukan isterinya yang terbaru, isteri yang ke empat dan kamarnya di ujung belakang. Tidak akan dapat mendengar suara kita."

"Sudahlah, jangan mengiri. Kalau engkau ingin mendapatkan tempat yang enak, bekerjalah lebih keras, membuat jasa sebesarnya dan tentu pemimpin kita akan memberimu kenaikan pangkat."

Han Lin membiarkan mereka lewat dan setelah mereka jauh, baru dia keluar dari tempat sembunyinya dan cepat menuju ke kamar di ujung belakang. Dari cahaya Iampu kecil yang remang-remang, dia melihat dalam intaiannya seorang laki-laki yang usianya sekitar empatpuluh lima tahun tidur mendengkur di samping seorang wanita muda yang cantik, dan wanita itu nampak menangis lirih, hampir tanpa suara.

Han Lin dapat menduga bahwa wanita muda itulah selir ke empat dan agaknya diselir oleh sang lurah secara paksa, mungkin direnggut secara paksa dari tunangannya, atau bahkan suaminya, atau orang tuanya. Tanpa mengeluarkan suara, dia membuka jendela, melompat masuk dan sebelum wanita itu tahu apa yang terjadi, tangan Han Lin menyambar dan wanita itupun terdiam, pingsan tanpa melihat apapun sebelumnya.

Agaknya gerakannya itu menimbulkan sedikit goncangan dan sang lurah yang sedang mendengkur itu, menghentikan dengkurnya. Akan tetapi, diapun tidak sempat membuka mata karena begitu tangan Han Lin bergerak, dia sudah tidak tahu apa-apa lagi dan pingsan. Han Lin menyambar pakaian sang lurah yang berserakan, membungkus tubuh lurah yang pendek gendut itu sejadinya, kemudian diapun sudah meninggalkan kamar itu, kini memanggul tubuh sang lurah dan tak seorangpun penjaga tahu bahwa lurah mereka telah meninggalkan rumah di atas pundak seorang yang bergerak cepat dan ringan seperti seekor burung walet.

Pagi-pagi sekali, Han Lin membebaskan totokannya dari tubuh lurah yang sebetulnya adalah seorang tokoh Hoat-kauw bernama Ouw Tit dan yang oleh para pimpinan Hoat-kauw ditugaskan untuk menjadi lurah di dusun Li-bun. Mereka berada di sebuah lereng dan dekat sebuah pondok bambu. Sejak ditotok pingsan, Ouw Tit tidak tahu apa yang terjadi, dan kini, begitu totokannya bebas, dia terkejut, membuka mata dan melihat dirinya berada di dekat pondok, di lereng bukit yang sunyi dan hari masih pagi sekali, matahari baru mengirim cahayanya sebagai tanda bahwa fajar telah menyingsing.

Dia merasa tubuhnya yang semalam tidak dapat bergerak itu kaku-kaku dan melihat dirinya setengah telanjang, dengan pakaiannya hanya dibungkuskan di tubuhnya dia terkejut dan cepat dia mengenakan pakaiannya sehingga kini nampak patut, lalu dia memandang kepada pemuda itu dan nampaklah sikapnya yang jagoan dan sudah biasa memerintah.

"Heiii, apa yang terjadi? Di mana aku dan bagaimana dapat berada di siini? Siapa pula engkau? Hayo mengaku sejujurnya!"

Melihat sikap ini, di dalam hatinya Han Lin merasa muak sekali. Sungguh merupakan seorang yang berwatak amat buruk dan jelas orang macam ini tentu jahat dan kejam. "Orang she Ouw, akulah yang membawamu ke sini, mengambilmu dari tempat tidur di kamarmu," katanya tenang.

Orang pendek gendut itu melotot dan mukanya menjadi merah karena marah. "Apa....? Berani kau! Sudah ingin mampus, ya?" Dan diapun sudah menerjang maju dan kedua tangannya bergerak cepat melakukan serangan. Bagaima-napun juga, dia adalah seorang anggauta Hoat-kauw yang sudah ada tingkat, maka tentu saja dia pandai ilmu silat. Serangannya dengan kedua tangan bertubi-tubi itu juga mengandung tenaga besar dan cepat.

"Plakkk! Dukk!!" penyerang itu mengaduh-aduh dan mengguncang-guncang kedua lengannya yang terasa seperti patah-patah tulangnya ketika bertemu dengan lengan Han Lin. Akan tetapi dasar orang tak tahu diri, setelah rasa nyeri agak berkurang, dia menyerang lagi semakin ganas, bahkan kini menyusuli pukulannya dengan tendangan kaki-nya yang pendek dan besar. Han Lin tidak sabar lagi . Dia me nangkap kakikanan yang menendang, mendorong kaki itu ke atas sehingga tubuh Ouw Tit terlempar ke atas.

“Bukk !!" Pantat yang gemuk itu terbanting keras, membuat pemiliknya menyeringai kesakitan. Dia bangkit lagi, menyerang lagi hanya untuk roboh lagi karena terkena tamparan tangan kiri Han Lin. Pemuda ini hendak menaklukkan dan menundukkan bukan hendak membunuh maka tenaga pukulannya juga terkendali , tidak terlalu keras namun cukup membuat lawan terpelanting keras.

Dasar orang bandel yang sudah memperoleh kedudukan sehingga merasa paling menang, Ouw Tit bangkit lagi dan mengeluarkan suara gererrgan seperti binatang buas. Karena ketika dibawa ke situ dia tidak bersenjata, maka melihat sebuah dahan kering di bawah pohon, dia lalu menyambar dahan kering itu dan mempergunakannya sebagai senjata, menyerang lagi dengan membabi-buta.

Akan tetapi, begitu dia menghantamkan dahan kering itu, Han Lin mendahuluinya, tongkat bambunya menyambar dan menotok pundak, membuat Ouw Tit terpelanting lagi dan tidak mampu bangkit kembali, hanya melotot marah. Han Lin maklum bahwa dia menghadapi seorang yang kasar dan bandel, maka dia lalu mempergunakan ujung tongkatnya menotok beberapa kali ke arah tubuh si pendek gendut dan kini tubuh itu bergulingan di atas tanah berteriak mengaduh-aduh, berkelojotan dan dalam kesakitan yang hebat.

"Aduhh mati aku aduhhh aughh… ampun, ampunkan aku!" Akhirnya dia menangis dan minta minta ampun. Karena memang bukan niat Han Lin untuk menyiksa orang, maka begitu orang itu minta ampun, hal yang diharapkan dengan menotok mendatangkan kenyerian itu, dia lalu membebaskan totokannya. Ouw Tit tidak menderita nyeri lagi, hanya tubuhnya masih lemas dan panas dingin karena kini dia mengerti bahwa dia menghadapi seorang yang amat lihai.

"Nah, sekarang apakah engkau masih hendak melawan? Kalau engkau masih membandel, bukan saja aku akan membuat engkau tersiksa seperti tadi, hidup tidak matipun tidak, aku akan menyiksa pula empat orang isterimu dan semua anak-anakmu. Bagaimana?"

"Ampun, taihiap, aku menyerah kalah.... aku minta ampun akan tetapi, rasanya aku tidak pernah mengenal taihiap dan tidak ada urusan di antara kita, kenapa taihiap memperlakukan aku seperti ini?"

"Aku tahu, engkau lurah Ouw dari dusun Li-bun dan engkau adalah anggauta Hoat-kauw."

"Benar, benar sekali, taihiap. Aku adalah Lurah Ouw dari dusun Li-bun, dan aku adalah seorang anggauta Hoat-kauw. Karena itu, dengan melihat Hoat-kauw, tentu taihiap tidak akan membunuhku."

"Hemm, justeru karena engkau orang Hoat-kauw, aku ingin sekali menyiksamu, menyiksa seluruh keluargamu!" Han Lin membentak dan si pendek gendut itu menjadi pucat.

"Ampun, taihiap... ampunkan aku, anakku masih kecil-kecil." dia meratap.

"Baik, aku akan mengampuni dan mengampuni semua anak isterimu asalkan engkau suka menurut semua kehendakku. Nah, sekarang ceritakan tentang Hoat-kauw yang telah menduduki kuil di Bukit Ayam Emas. Apa hubungan Hoat-kauw dengan Sam Mo-ong, ceritakan semua dengan sejujurnya!"

Karena sudah tidak berdaya sama sekali dan takut kalau-kalau dia dan seluruh keluarganya dibasmi oleh pemuda yang luar biasa lihainya itu, Ouw Tit membuat pengakuan. Andaikata dia belum pernah dijadikan kepala dusun, belum pernah mengenyam kesenangan dan kemuliaan sebagai kepala dusun dengan banyak isteri dan anak, mungkin dia akan berkeras tidak mau mengaku, bahkan mungkin memilih mati seperti banyak dilakukan para anggauta Hoat-kauw yang fanatik. Akan tetapi, kesenangan duniawi telah mengikatnya erat-erat dan karena ingin selamat sekeluarga, diapun membuat pengakuan dengan suara tersendat-sendat.

Dari mulut Ouw Tit, Han Lin mendengar semuanya. Kiranya Sam Mo-ong adalah kaki tangan bangsa Mongol yang ingin menguasai Kerajaan Tang, dan Sam Mo-ong mengajak Hoat-kauw bersekutu untuk bersama-sama menggulingkan Kerajaan Tang! Dan kuil di Bukit Ayam Emas itu dijadikan semacam sarang oleh Hoat-kauw untuk mengadakan hubungan dengan para utusan Mongol. Kalau Hoat-kauw membuat gerakan dari pusat atau cabang, tentu akan terlalu menyolok dan diketahui pemerintah, maka tempat di Bukit Ayam Emas itu menjadi semacam sarang rahasia.

Han Lin mengangguk-angguk. Kiranya mereka itu bukan memusuhi penduduk dusun Li-bun atau membunuhi para hwesio di kuil karena permusuhan pribadi, melainkan karena gerakan yang lebih besar lagi, yaitu untuk memberontak terhadap kerajaan. Ini sungguh berbahaya sekali, terutama bagi penduduk dusun Li-bun, karena mungkin saja pemerintah akan menganggap bahwa seluruh penduduk dusun Li-bun menjadi anggauta pemberontak.

"Sekarang ceritakan siapa saja yang tinggal di puncak Bukit Ayam Emas, berapa orang dan siapa pemimpinnya!" kata pula Han Lin dan suaranya tetap tegas dan penuh wibawa karena diam-diam dia mengerahkan kekuatan batin seperti yang pernah dia pelajari dari mendiang Kun Hwesio yang ahli sihir. Pengaruh sikap dan suara Han Lin itu sungguh kuat dan pada saat itu, Ouw Tit melihat Han Lin sebagai seorang yang amat menyeramkan dan menakutkan.

Karena itu, diapun dengan terus terang menceritakan bahwa anak buah Hoat-kauw yang tinggal di puncak Bukit Ayam Emas ada kurang lebih limapuluh orang dan yang memimpin mereka adalah Bu-tek Ngo Sin-liong, lima orang tokoh besar Hoat kauw.

"Akan tetapi, saat ini Bu-tek Ngo Sin-liong tidak berada di sana, karena mereka pergi ke Bukit Harimau, di luar kota An-king untuk menghadiri ulang tahun Hoat-kauw yang akan dirayakan besar-besaran dan mengundang semua partai persilatan dan aliran."

Han Lin tertarik. "Kapan akan di adakan perayaan itu?"

"Bulan depan."

"Nah, sekarang engkau harus ikut denganku ke kota Nam-san. Di sana, di depan kepala daerah, engkau harus membuat pengakuan seperti yang kau ceritakan kepadaku."

Ouw Tit terbelalak, mukanya pucat. "Tapi tapi, taihiap; aku tentu akan ditangkap dan dihukum!"

"Hemm, engkau memilih kusiksa dengan seluruh keluargamu, mati perlahan lahan? Begitukah?" Han Lin mengangkat tongkat bambunya mengancam.

"Ampun....! Tidak, tidak, taihiap."

"Kalau begitu, engkau harus membuat pengakuan di depan kepala daerah dan mungkin keluargamu akan terhindar dari hukum. Hayo!" Han Lin menarik tangan orang itu dan dibawanya berlari cepat menuju ke kota Nam-sam yang merupakan kota kabupaten yang membawahi Li bun.

Para penjaga di kantor Bupati Cu segera membawa Han Lin dan Ouw Tit menghadap pembesar itu. Cu-taijin (pembesar Cu) memandang kepada mereka dengan heran, lalu menegur, sambil menudingkan telunjuknya kepada Ouw Tit. "Bukankah engkau Ouw Tit, lurah dusun Li-bun yang menggantikan Lurah Can yang tewas oleh gerombolan penjahat itu?"

"Ampun, taijin, kata Han Lin lantang, "Saya ingin melaporkan keadaan di Li-bun. Dahulu, lima tahun yang lalu, Lurah Can tewas di tangan gerombolan penjahat, dan Ouw Tit ini adalah orangnya gerombolan itu yang sengaja diselundupkan dan dengan memaksa penduduk, dia dipilih menjadi lurah baru. Seluruh dusun dan wilayah Li-bun kini telah dikuasai gerombolan yang amat berbahaya karena mereka berniat melakukan pemberontakan terhadap Kerajaan Tang, taijin."

Tentu saja Bupati Cu terkejut bukan main. "Siapakah engkau, orang muda?"

"Nama saya Sia Han Lin, penduduk dusun Li-bun, taljin." Kemudian Han Lin menghardik Ouw Tit. "Hayo engkau cepat membuat pengakuan di depan Taijin!"

Bupati Cu memberi isyarat dan lima orang perajurit pengawal segera datang ke ruangan itu dengan golok di tangan untuk menjaga segala kemungkinan karena tentu saja hati Bupati itu merasa khawatir bahwa lurah dusun Li-bun itu dikatakan sebagai anggauta gerombolan penjahat yang mempunyai niat memberontak.

"Ceritakan semuanya dengan sejujurnya!" bentaknya kepada Ouw Tit.

Ouw Tit merasa terjepit. Menghadapi Han Lin saja dia sudah tidak berdaya dan dia lebih ngeri menghadapi ancaman pemuda tampan yang nampaknya lemah lembut itu dari pada lima orang prajurit pengawal yang memegang golok. Dia tahu bahwa kalau dia menghendaki, dia akan mampu mengalahkan lima orang perajurit itu. Akan tetapi dia sama sekali tidak berdaya menghadapi Han Lin yang lihai. Dia hanya mengharapkan pemuda itu tidak akan mengganggu keluarganya seperti dijanjikan tadi, maka diapun mengulang ceritanya yang tadi dia ceritakan kepada Han Lin.

Mendengar bahwa Li-bun, tepatnya di puncak Bukit Ayam Emas terdapat sarang gerombolan pemberontak, Cu-taijin terkejut bukan main. Li-bun termasuk wilayahnya, maka kalau sampai terdapat gerombolan pemberontak di sana, itu merupakan tanggung-jawabnya. Dialah yang akan ditegur oleh atasannya kalau gerombolan pemberontak itu makin mengganas dan semakin kuat.

"Jebloskah dia dalam tahanan dan hubungi Un-ciangkun (perwira Un) cepat cepat!" kata bupati kepada pengawalnya.

"Taijin, harap hati-hati menghadapi penjahat ini, dia cukup lihai, sebaiknya kalau dibelenggu saja!" Berkata demikian, Han Lin menggerakkan tangannya menorok pundak Ouw Tit yang segera terkulai lumpuh.

"Sebaiknya memang kalau Taijin cepat memerintahkan pasukan untuk menyerbu dan menangkapi gerombolan itu. Mereka telah menguasai Li-bun dan menekan penduduk, menyengsarakan mereka. Saya mohon diri dan terserah kepada taijin."

"Tunggu dulu, Han Lin!" kata bupati itu. "Kalau gerakan kami berhasil menumpas gerombolan pemberontak, engkau telah berjasa dan kami tidak akan melupakan jasamu. Di mana engkau tinggal?"

"Saya tidak mengharapkan imbalan, taijin, saya lakukan ini untuk membela penduduk Li-bun di mana saya tinggal. Selamat tinggal, taijin!" karena tidak ingin diganggu lagi, Han Lin mengerahkan tenaganya dan tubuhnya berkelebat lenyap dari depan pembesar itu yang tercengang.

Akan tetapi menyadari gawatnya urusan, Bupati Cu segera memerintahkan petugas untuk membelenggu kaki tangan Ouw Tit yang sudah tertotok lumpuh itu dan menyeretnya ke dalam tahanan dengan pesan agar dijaga ketat. Kemudian dia mengadakan hubungan dengan komandan pasukan di benteng terdekat dan tak lama kemudian, sepasukan perajurit yang terdiri dari duaratus orang bergerak menuju ke dusun Li-bun, dipimpin oleh beberapa orang perwira. siapapun juga di dusun itu.

....Ada bagian yang hilang...

Demikianlah, selagi mereka kebingungan dan sudah mengambil keputusan bahwa kalau sampai sore hari Lurah Ouw belum juga pulang mereka akan melapor kekuil di puncak Bukit Ayam Emas, maka mereka melihat seorang pemuda memasuki pekarangan dan dari luar berdatangan pula sepuluh orang pemuda dusun di luar pekarangan.

"Haiii, kalian mau apa? Dan siapa engkau, orang muda? Apa perlumu masuk ke pekarangan ini?" bentak seorang. di antara sepuluh orang jagoan pembantu Lurah Ouw itu dengan sikapnya yang galak. Teman-temannya juga sudah maju mengepung Han Lin dengan setengah lingkaran.

Han Lin yang memegang tongkatnya, bersikap tenang saja ketika sepuluh orang jagoan itu memperlihatkan sikap mengancam, dan diapun maju menyambut mereka dengan bentakan nyaring. "Kami adalah penghuni dusun Libun yang sudah muak melihat kekejaman kalian dan tidak ingin lagi melihat kalian mengacau di dusun kami!"

Mendengar ucapan ini, tentu saja sepuluh orang anggauta Hoat-kauw itu menjadi terkejut, terheran, marah dan juga geli. "Bocah gila, engkau sudah bosan hidup!" bentak seorang di antara mereka yang segera menggerakkan goloknya membacok leher Han Lin, sedangkan yang lain hanya menonton saja karena mereka mengira bahwa seorang teman mereka saja sudah cukup....
Selanjutnya,