Kisah Si Pedang Terbang Jilid 06 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Kisah Si Pedang Terbang

Karya : Kho Ping Hoo
Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo
Jilid 06
"MONYET hitam mampuslah!" pemuda itu berseru dan dia seperti hendak memainkan sulingnya, menempelkan suling di bibirnya.

Begitu suling itu menempel di bibirnya dan dia meniup, terdengar suara melengking dan tubuh Hek-mo roboh terjungkal. Dia berkelojotan sebentar lalu tewaslah raksasa hitam itu. Orang lain tentu akan merasa heran mengapa begitu pemuda itu meniup sulingnya Hek-mo terjungkal dan tewas.

Akan tetapi Mei Li dapat melihat sinar hitam yang menyambar keluar dari ujung suling perak dan menyambar kearah tengkuk Hek-mo, dan mengertilah ia bahwa pemuda itu telah mempergunakan senjata rahasia lembut, mungkin jarum halus hitam yang beracun untuk membunuh Hek-mo. Jarum beracun yang mengenai tengkuk tentu saja dapat membunuh dengan cepat karena racunnya langsung masuk ke dalam kepala! Ia mengerutkan alisnya, dan makin tak senang melihat betapa kini pemuda bersuling perak itu mengamuk dengan sulingnya, membantu para piauwsu yang memang telah, mendesak anak buah Hek I Kui-pang.

Pemuda itu mengamuk hebat dan dalam waktu tidak terlalu lama, sebelas orang berpakaian hitam itupun roboh dan tewas, tak seorangpun sempat melarikan diri. Tewaslah seluruh gerombolan Hek I Kui-pang yang duabelas orang itu, sebagian besar tewas di tangan pemuda bersuling perak. Kalau para piauwsu merasa gembira sekali dan kagum kepada pemuda bersuling perak yang kini mengebut-ngebut kan pakaian sutera putihnya yang terkena debu lalu menyelipkan suling peraknya di ikat pinggangnya dari sutera merah.

Mei Li menghampirinya dan dengan alis berkerut dan pandang mata marah ia menegur, "Kenapa engkau membunuh mereka?"

Pemuda itu memandang, dua pasang mata bertemu pandang dan pemuda itu tersenyum sehingga nampak deretan gigi nya yang rapi dan putih, dagunya berlekuk ketika dia tersenyum, menambah ketampanannya. "Nona, bukankah mereka itu gerombolan jahat dan engkau juga membantu para piauwsu ini untuk membasmi mereka? Nona, aku Tong Seng Gun merasa kagum bukan main melihat ilmu kepandaian nona. Bolehkah aku mengetahui nama nona yang mulia?"

Sikapnya sopan dan maris, hanya pandang mata itu yang membuat Mei Li merasa salah tingkah. Pandang mata itu seperti menembus dan menanggalkan pakaian! "Aku hanya orang yang kebetulan lewat, tidak perlu dikenal siapa namaku," katanya dan iapun memutar tubuh, menghampiri kuda putihnya yang masih tertambat di pohon.

"Taihiap, lihiap itu adalah Hui-kiam Sian-li" kata beberapa orang piauwsu ketika melihat dara itu sudah meloncat ke atas punggung kuda putihnya dan melarikan kuda itu dengan cepat meninggalkan hutan itu.

Pemuda itu adalah Tong Seng Gun, pemuda berusia duapuluh satu tahun, cucu Kwi-jiauw Lo-mo yang diangkat anak oleh datuk itu untuk merahasiakan bahwa sesungguhnya Seng Gun bermarga An karena dia adalah putera mendiang pemberontak An Lu Shan dan mendiang puterinya yang bernama Tong Kiauw Ni. Kalau pemerintah kerajaan Tang mengetahui bahwa pemuda itu putera mendiang An Lu Shan, besar bahayanya dia akan dikejar-kejar, ditangkap dan dihukum sebagai putera seorang pemberontak yang amat dibenci Kerajaan Tang.

Seperti telah kita ketahui, telah terjalin persekutuan kerjasama antara Kwi-jiuauw Lo-mo Tong Lui dan dua orang sutenya, yaitu Hek-bin Mo-ong dan Pek-bin Mo-ong, bersama Butek Ngo Sin-liong, para tokoh Hoat-kauw. Tiga orang datuk dan Hoat-kauw membagi tugas. Kalau tiga orang datuk itu sebagai pembantu Ku Ma Khan kepala suku Mongol akan nenentang suku-suku bangsa lain yang menjadi saingan mereka memperbesar kekuasaan di pedalaman, Hoat-kauw bertugas untuk menundukkan aliran-aliran lain dan berusaha agar menguasai dunia kangouw.

Dan untuk dapat mengawasi hasil gerakan Hoat-kauw, oleh tiga orang datuk itu Seng Gun diperbantukan kepada Hoat-kauw. Demikianlah,' pada hari itu, kebetulan Seng Gun lewat di hutan itu dan menyaksikan Mei Li dan para piauwsu bertempur melawan Tiat-ciang Hek-mo dan Hek I Kui-pang yang sebelas orang banyaknya itu, dia segera berpihak kepada Mei Li.

Bukan hanya karena menjadi tugasnya untuk membuat nama besar di dunia kangouw sebagai usaha mereka menguasai dunia kangouw, akan tetapi terutama sekali melihat Mei Li yang demikian cantik jelita dan gagah perkasa sehingga otomatis dia berpihak kepada dara itu, tidak perduli siapa yang menjadi lawan gadis itu.

Karena kini gadis jelita yang telah menyelamatkan mereka itu telah pergi tanpa pamit, sepasang pengantin yang sejak tadi hanya saling rangkul dengan ketakutan melihat pertempuran, kini menghampiri Seng Gun dan mereka berdua segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki pemuda itu. Mereka tadi sudah mendengar pemuda itu menyebutkan namanya kepada Hui-kiam Sian-li, maka pengantin pria itu segera berkata dengan suara lantang dan gembira.

"Kami berdua menghaturkan terima kasih kepada Tong-taihiap. Kalau tidak ada taihiap yang menolong, tentu kami berdua telah menjadi korban kebuasan gerombolan iblis itu."

"Terima kasih, taihiap..." pengantin wanita juga memberi hormat sambil berlutut dan mengucapkan terima kasihnya.

Seng Gun memandang dan dia tersenyum. Sungguh lucu melihat sepasang pengantin yang masih mengenakan pakaian pengantin itu berlutut memberi hormat kepadanya. Akan tetapi, pengantin wanita itu cantik juga. Usianya paling banyak tujuhbelas tahun, wajahnya manis dan matanya jeli, bajunya bagian atas terkoyak sehingga nampak sedikit kulit dadanya yang putih mulus. Tidak sejelita Hui-kiam Sian-li memang, akan tetapi cukup lumayan.

"Bangkitlah kalian. Sudah menjadi tugasku untuk menolong siapa saja yang terancam bahaya. Bagaimana kalian sepasang pengantin baru dapat menjadi korban gerombolan itu?" tanya Seng Gun dengan sikap dan suara yang lembutdan gagah.

Pengantin pria itu dengan singkat menceritakan bahwa setelah selesai upacara pernikahan di Lok-yang, mereka sedang menuju ke Kwi-yang, tempat tinggal pengantin pria di mana mereka akan mengadakan pesta besar di rumah pengantin pria yang kaya raya. Mereka membawa barang-barang hadiah dan berkereta, dikawal.oleh Pek-houw Piauw-kiok akan tetapi setelah tiba di hutan itu mereka diserbu gerombolan itu dan mereka berdua ditangkap, barang-barang di rampas dan banyak piauwsu yang roboh tewas. Kemudian, para piauwsu datang lagi bersama Hui-kiam Sian-li dan muncul pula Seng Gun.

Seng Gun lalu menganjurkan agar para piauwsu merawat teman-teman mereka yang terluka dan mengurus semua jenazah yang berserakan di tempat itu. "Biar aku sendiri yang akan mengawal pengantin ini dalam kereta mereka," kata Seng Gun.

Mendengar ini tentu saja para piauwsu merasa girang. Memang mereka harus merawat yang luka dan mengubur yang mati, dan selain itu, kalau mereka diharuskan mengawal kereta pengantin melanjutkan perjalanan ke Kwi-yang, mereka khawatir kalau-kalau ada kawan-kawan gerombolan itu yang akan membalas dendam dan mengganggu. Maka, mereka lalu mengambil kereta yang terisi barang-barang itu, memasang lagi dua ekor kuda penariknya dan tak lama kemudian, sepasang pengantin telah berada di dalam kereta itu yang dikusiri oleh Seng Gun.

Para piauwsu mengikuti kereta itu sambil melambaikan tangan dengan penuh kagum dan gembira. Pemuda perkasa itu telah menyelamatkan sepasang mempelai berikut harta mereka, berarti mencegah nama baik perusahaan mereka dari kehancuran.

Tak seorangpun di antara mereka pernah menduga bahwa sepasang mempelai itu seolah baru saja terlepas dari gerombolan srigala dan terjatuh ke cengkeraman seekor harimau yang jauh lebih ganas dari pada gerombolan srigala itu! Seng Gun membalapkan kereta itu dan dia tersenyum-senyum, beberapa kali melirik ke arah pengantin wanita yang duduk di dalam kereta bersama suaminya.

Mereka berdua bersukur bahwa bukan saja nyawa dan kehormatan mereka diselamatkan, bahkan kereta dan barang barang berharga merekapun mereka dapat kan kembali! Mereka tidak menyadari bahwa kereta itu bukan menuju ke Kwi-yang, melainkan berbelok menuju keutara dan memasuki daerah berhutan lebat yang sunyi. Baru setelah kereta tiba-tiba berhenti mereka memandang ke luar dan menyingkap tirai kereta.

Bukan main kaget rasa hati mereka ketika nampak serombongan orang menghampiri kereta itu. Mereka terdiri dari belasan orang. Menyangka bahwa orang-orang itu adalah gerombolan penjahat, pengantin wanita merangkul suaminya dengan wajah pucat. Pengantin pria itupun ketakutan. Akan tetapi perasaan takut mereka mereda ketika mereka mendengar orang-orang itu menyapa Tong Seng Gun dengan sikap gembira.

"Aih, dari mana engkau mendapatkan kereta yang bagus ini, kongcu?" tanya mereka.

Mendengar ini, sepasang pengantin itu menjadi lega. Kiranya orang-orang itu mengenal si pendekar yang telah menyelamatkan mereka. "Tong-taihiap, kenapa kita berhenti di sini?" tanya pengantin pria kepada penolongnya itu ketika dia memandang keluar dan baru melihat bahwa mereka berada dalam hutan yang tidak dikenalnya.

Seng Gun tersenyum. "Kita berhenti sebentar, beristirahat. Kalian keluarlah,"

Mendengar ucapan Seng Gun yang nadanya ramah dan lembut itu, sepasang pengantin baru merasa lega dan tidak lagi curiga, dan merekapun melangkah keluar dari kereta, yang pria menggandeng dan membantu yang wanita turun. Pakaian pengantin wanita yang bentuknya seperti gaun itu tersingkap ketika ia melangkah turun dari kereta yang agak tinggi sehingga sekilas, betis dan belakang pahanya nampak oleh Seng Gun.

Mereka memandang ke sekeliling dan merasa heran. Mereka berada di sebuah hutan yang sepi, dan di situ nampak beberapa belasan orang yang muncul itu biarpun mengenakan pakaian pribumi, jelas mereka adalah orang-orang Mongol! Belasan orang itu adalah anak buah Seng Gun, orang-orang Mongol pilihan di antara jagoan-jagoan, dan mereka harus membantu Seng Gun yang ditugaskan membantu dan mengamati pekerjaan Hoat-kauw yang akan menundukkan aliran aliran lain di dunia kangouw. Seng Gun berkata kepada anak buahnya dalam bahasa Mongol yang tidak dimengerti sepasang mempelai itu.

Dua orang anak buahnya menghampiri pengantin pria dan berkata dalam bahasa Han yang tidak kaku karena mereka semua sudah terlatih sebelum diikutkan Seng Gun, "Mari, tuan pengantin, beristirahatlah bersama kami," kata dua orang itu dan mereka sudah menggandeng kedua tangan pengantin pria.

"Dan engkau beristirahat dengan aku nona pengantin," kata pula Seng Gun dan diapun menggandeng tangan pengantin wanita itu. Tentu saja nona pengantin. itu menjadi terkejut, matanya yang jeli terbelelak dan ia meronta hendak melepaskan tangannya yang digandeng sambil menoleh kepada suaminya yang sudah ditarik oleh kedua orang itu terpisah darinya.

"Aku mau ikut suamiku ah, taihiap.... mohon lepaskan, aku ingin ikut suamiku...." Nona pengantin itu meronta dan berseru memohon. Melihat dirinya ditarik oleh dua orang itu ke arah lain sedangkan isterinya meronta-ronta dalam gandengan pendekar yang telah menolong mereka tadi, si pengantin pria menjadi terkejut dan curiga.

"Lepaskan aku„ aku ingin bersama isteriku! Kami akan beristirahat bersama, kami tidak ingin dipisahkan." Dia meronta dan hendak meiepaskan diri dari pegangan kedua orang Mongol itu.

"Plak! Plakk!" Dua kali tamparan membuat pengantin pria itu berteriak kaget dan kesakitan, bibirnya pecah berdarah dan diapun kini diseret oleh kedua orang itu. Melihat apa yang dilakukan dua orang itu kepada suaminya, pengantin wanita itu menjerit dan meronta semakin keras, akan tetapi sambil tersenyum Seng Gun memondongnya dan membiar kan ia meronta-ronta, membawanya ke arah sebuah pondok, diikuti suara tawa dari belasan orang Mongol itu.

Di tepi sebuah jurang, pengantin pria itu ditendang dan tubuhnya terlempar masuk ke dalam jurang. Hanya terdengar teriakan memanjang lalu sunyi. Belasan orang itu lalu membongkar isi peti-peti dalam kereta dan merekapun sibuk bermain-main dengan banyak barang berharga yang dibawa sepasang pengantin itu.

Mereka tertawa-tawa, seolah tidak mendengar jerit tangis si pengantin wanita yang dipermainkan sesuka hatinya oleh Seng Gun. Semua orang yang masih mempunyai sisa kemanusiaan di dalam hatinya pasti akan mengutuk perbuatan yang dilakukan seorang pemuda ahli silat dan sastra seperti Seng Gun itu.

Kita semua lupa bahwa menilai dan menghakimi perbuatan orang lain memang mudah saja, karena kita tidak terlibat di dalamnya. Semua perbuatan yang tidak benar selalu merupakan ulah nafsu daya rendah yang menguasai diri. Orang yang terlibat di dalamnya, yaitu orang yang dicengkeram nafsu daya rendah, didorong untuk melakukan perbuatan yang pada dasarnya hanya untuk memenuhi kehendak nafsu daya rendah, yaitu untuk memuaskan dan menyenangkan nafsu.

Nafsu selalu menggoda kita dengan bayangan-bayangan kesenangan dalam bentuk apapun juga, Dan tidak perduli kita ini seorang kaya ataupun miskin, tua ataupun muda, pria ataupun wanita, terpelajar atau buta huruf, pandai dan bodoh, semua dipermainkan nafsu daya rendah. Kalau kita melihat orang lain yang melakukan, dengan mudah kita dapat menilai dan dapat melihat kesalahan yang dilakukan orang lain. Akan tetapi, kalau kita sendiri yang terlibat, kalau kita sendiri yang dicengkeram nafsu, tidak mungkin kita dapat menerapkan penilaian seperti kalau kita melihat orang lain.

Pengertian dalam pertimbangan akal pikiran kita dapat dtpergunakan untuk orang lain, akan tetapi. bagaimana kalau kita sendiri yang terlibat? Bagaimana kalau kita yang didorong nafsu melakukan suatu perbuatan yang pada dasarnya hanya mengejar kesenangan, mengejar cita-cita menghalalkan segala cara? Dapatkan pengertian kita, ilmu pengetahuan kita, kepandaian dan kebijaksanaan kita, mencegah dan menundukkan nafsu kita yang mendorong-dorong kita melakukan kesalahan itu?

Sukar sekali! Banyak contohnya. Kita tahu dan mengerti benar bahwa nafsu yang mendorong kita untuk marah-marah, memukul atau memaki. adalah tidak benar. Kita mengerti benar. Akan tetapi mampukah pengertian kita itu mengendalikan kemarahan kita?

Semua pencuri di dunia ini tentu tahu dan mengerti benar bahwa mencuri adalah perbuatan yang tidak baik, berdosa, akan tetapi kalau nafsu sudah menguasai diri, mampukah pengertian itu mencegahnya untuk mencuri? Buktinya, mereka semua itu tetap saja mencuri walaupun mereka semua mengerti bahwa mencuri itu berdosa. Demikian pula dengan korupsi, dengan Segala macam bentuk kejahatan yang dilakukan orang di dunia ini.

Mereka semua bukan orang bodoh, mereka semua TAHU dan MENGERTI bahwa perbuatan jahat itu berdosa, namun pengetahuan dan pengertian itu tidak menolong, karena nafsu telah mencengkeram diri. Bahkan nafsu daya rendah sudah meresap sampai ke tulang sumsum, sampai ke dalam hati akal pikiran sehingga hati akal pikiran yang tahu dan mengerti bahwa perbuatan itu salah, bahkan menjadi pembela dari pada perbuatan itu sendiri.

Hati akal pikiran membisikkan kepada seorang koruptor misalnya bahwa semua orang juga melakukan korupsi, bahwa upahnya tidak cukup, bahwa dia membutuhkan uang itu untuk keluarganya, bahwa korupsinya hanya kecil dibandingkan para koruptor lainnya dan sebagainya. Pikiran yang bergelimang nafsu ini tidak mungkin mengendalikan nafsu sendiri, kalau membela memang pandai!

Banyak sudah diusahakan manusia untuk menguasai nafsu, untuk mengendalikan nafsu. Banyak sekali pelajaran-pelajaran dalam semua agama yang menjanjikan pahala bagi yang berkelakuan baik dan mengancamkan hukuman bagi yang berkelakuan jahat. Namun mengapa kejahatan cenderung meningkat? Karena jahat itu berarti mengejar kesenangan, dan nafsu dalam diri manusia memang selalu menjanjikan kesenangan bagi manusia.

Semua perbuatan yang mengandung pamrih kesenangan, baik kesenangan itu berupa harta, kedudukan, nama baik, pujian, janji-janji muluk, adalah ulah yang didorong nafsu daya rendah, nafsu yang telah menguasai kita lahir batin. Lahirnya menguasai pancaindera, batin nya menguasai hati akal pikiran.

Pelajaran-pelajaran itu mungkin menolong, akan tetapi hanya untuk sementara saja, hanya seperti tambalan saja, menutup untuk sementara. Hanya seperti sekam yang ditaburkan pada api. Nampaknya apinya padam, namun sesungguhnya masih membara di sebelah dalam dan sewaktu-waktu kalau mendapat angin akan bernyala lagi, bahkan mungkin lebih besar nyalanya dari pada sebelum ditutup sekam. Walaupun mungkin ada yang berhasil namun hanya jarang sekali. Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan?

Membuang atau membunuh nafsu? Tidak mungkin, karena justeru nafsu daya rendah ini yang menghidupkan manusia. Nafsu adalah alat hidup, peserta hidup dan pelengkap kita. Tanpa adanya nafsu, pancaindera kita tidak akan dapat merasakan apa itu indah dan buruk, lezat dan tidak lezat, enak dan tidak enak, merdu atau tidak, harum atau tidak, dan sebagainya. Tanpa adanya nafsu, pikiranpun akan terhenti, tidak akan ada kemajuan lahiriah dalam kehidupan ini, bahkan tanpa adanya nafsu berahi, perkembangbiakan manusiapun akan terhenti.

Nafsu mutlak perlu bagi kita, akan tetapi nafsupun mutlak membahayakan dan menyeret kita ke dalam perbuatan-perbuatan yang hanya akan mengacaukan kehidupan di antara manusia, perbuatan yang merusak dan pada umumnya kita namakan jahat. Nafsu adalah peserta, adalah hamba kita yang amat kita perlukan, akan tetapi kalau hamba ini sudah menjadi majikan kita, celakalah kita. Kita akan diseret dan di permainkan!

Mencari uang atau nafkah merupakan keharusan dalam kehidupan di dunia ini, akan tetapi kalau nafsu menjadi majikan, maka kita tidak segan-segan untuk menipu, merampok, mencuri, korupsi bahkan membunuh memperebutkan harta, Gairah berahi merupakan kebutuhan dalam hidup karena nafsu inilah yang membuat kita mau melakukan hubungan antara lawan kelamin, akan tetapi kalau nafsu yang menjadi majikan, kita tidak segan-segan untuk berjina, melacur, bahkan memperkosa!

Seperti yang dilakukan Seng Gun, bukan dia tidak mengerti atau tidak tahu bahwa perbuatannya itu jahat dan keji. Dia tahu! Akan tetapi, dorongan nafsunya tidak akan hilang atau terhenti karena pengetahuannya itu. Nafsu mutlak perlu, akan tetapi nafsu juga mutlak berbahaya. Lalu bagaimana?

Hanya dengan mengembalikannya kepada Sang Maha Pencipta, yang Mencipta kita, Mencipta nafsu-nafsu kita, Mencipta segala sesuatu yang nampak dan tidak nampak oleh mata kita, yang Mengadakan segala sesuatu yang ada, mengembalikan dengan arti menyerah dengan segala kepasrahan, keikhlasan, ke tawakalan. Hanya dengan pasrah sebulat bulatnya inilah, di mana kehendak si aku atau nafsu melalui akal pikiran tidak bekerja giat lagi, maka Kekuasaan Tuhan akan bekerja!

Hanya Kekuasaan Tuhan jualah yang akan dapat mengembalikan nafsu pada fungsi aselinya, yaitu menjadi peserta kita, menjadi pelayan kita demi kepentingan hidup berjasmani di dalam dunia ini. Seng Gun adalah seorang manusia yang sepenuhnya dikuasai nafsu daya rendah. Budi kesusilaan memang ada pula di dalam hatinya, menjadi peserta, namun budi kesusilaan itu tertutup oleh nafsunya sehingga seolah menjadi hamba nafsu.


Sukar dibayangkan kekejian apa yang terjadi di dalam pondok itu, akan tetapi tiga hari kemudian, di dalam jurang yang dalam itu menggeletak mayat sepasang pengantin baru itu. Pengantin pria tewas di dalam jurang karena ditendang dan dilempar oleh orang-orang Mongol anak buah Seng Gun. sedangkan pengantin wanita sengaja membunuh diri dan meloncat ke dalam jurang untuk mengakhiri hidupnya yang penuh aib.

* * * *

Perahu kecil itu meluncur dengan perlahan di tengah telaga itu. Penumpangnya hanya seorang saja, seorang pemuda yang kepalanya dilindungi sebuah caping lebar yang biasa dipakai oleh nelayan. Caping itu melindungi pemakainya dari terik matahari, juga dapat melindungi badan kalau turun hujan. Akan tetapi pemuda itu jelas bukan seorang nelayan. Dia tidak membawa pancing, juga tidak membawa Jala. Selain itu, pakaiannya juga bukan seperti nelayan, melainkan seperti seorang pemuda pelajar. Wajahnya tampan sekali dan dia mendayung perahunya perlahan-lahan ke tengah telaga. Agaknya dia ingin menghindari keramaian, menjauhi para nelayan dalam perahu mereka yang berseliweran bercampur dengan para pelancong yang menikmati keindahan alam dan kesejukan hawa udara di telaga.

Setelah tiba di tengah telaga yang sunyi, jauh dari perahu lain, pemuda itu tidak mendayung lagi, membiar kan perahunya berhenti di tengah telaga, dan diapun duduk di perahu, memandang ke permukaan air telaga yang tenang dan jernih sambil melamun.

Pemuda itu adalah Souw Kian Bu. Seperti kita ketahui, Souw Kian Bu pergi meninggalkan rumah orang tuanya di kota Wu-han untuk pergi merantau mencari pengalaman. Kepada mereka dia mengatakan bahwa selain mencari pengalaman di dunia kang-ouw (dunia persilatan), diapun ingin berkunjung ke Gobi-pai di pegunungan Gobi.

Ketika perjalanannya tiba di telaga itu, melihat keindahan telaga, Kian Bu tertarik sekali dan pada pagi hari itu dia menyewa sebuah perahu dan berperahu di telaga. Kini dia duduk di atas perahunya, melamun. Sebuah perahu yang agak besar meluncur perlahan mendekati perahunya, bahkan hampir membentur perahunya.

Kian Bu sadar dari lamunan dan merasa agak marah akan kesembronoan orang yang mengemudikan perahu besar itu. Kalau sampai perahunya yang kecil tadi terbentur, bukan tidak mungkin perahunya akan terguling. Akan tetapi perahu besar itupun berhenti, agaknya tidak didayung lagi.

Dari atas perahunya, dia melihat ada orang di atas perahu besar, mungkin penumpangnya berada di da lam bilik perahu yang berada di tengah perahu, hanya berupa papan di kanan kiri dan belakang sedangkan pintu di depan tertutup tirai.

Akan tetapi ketika perahu itu terbawa gerakan air agak melintang, dia melihat seorang laki-laki yang agaknya tukang perahu berada di ujung perahu dan tukang perahu inilah agaknya yang merupakan pengemudi dan pendayung perahu. Dia tidak tahu apakah di dalam bilik perahu ada orangnya. Akan tetapi tiba-tiba ia mendengar suara yang-kim (kecapi) dimainkan orang. Suara yang-kim itu cukup nyaring dan dari paduan suaranya dapat di ketahui bahwa pemainnya amat mahir memainkan alat musik itu.

Kian Bu yang juga pernah mempelajari permainan kecapi, mendengarkan penuh perhatian dan diapun tersenyum. Lagu asmara! Dia mengenal lagu "Menanti Kasih" itu yang menceritakan tentang Ci Lan, puteri raja yang cantik jelita menanti munculnya kekasihnya, seorang penggembala yang sebetulnya sudah dibunuh oleh raja yang tidak setuju puterinya saling mencinta dengan pemuda penggembala.

Namun, arwah penggembala itu agaknya menjadi penasaran dan dia masih seringkali muncul dan mengadakan pertemuan dengan sang puteri, walaupun mereka tidak dapat saling bicara atau saling bersentuhan. Dan sang puteri masih tetap mencintanya, merindukannya dan terjadilah lagu asmara itu!

Setelah permainan yang-kim itu nengakhiri lagu asmara tadi dan berhenti, Kian Bu tidak dapat menahan kekagumannya dan diapun berkata dengan suara bersungguh-sungguh, "Lagu yang indah, yang-kim yang merdu!"

Tukang perahu yang bertubuh tinggi kurus itu menoleh kepadanya, akan tetapi acuh saja seolah ucapan Kian Bu itu tidak ada artinya sama sekali baginya. Akan tetapi, tiba-tiba dari dalam bilik perahu yang pintunya tertutup tirai sutera biru itu terdengar suara wanita yang merdu dan seperti bersajak.

"Lagu yang indah bukan lagu, yang-kim yang merdu bukan yang-kim!"

Mendengar suara ini, Kian Bu tertegun. Dia merasa heran sekali dan juga penasaran, maka diapun memandang ke arah bilik perahu besar itu dan bertanya, "Maafkan kelancanganku, akan tetapi kalau lagu yang indah bukan lagu, lalu apakah lagu itu! Kalau yang-kim yang merdu bukan yang-kim, lalu apa yang merupakan yang-kim sebenarnya? Mohon petunjuk."

Hening sejenak, seolah wanita yang mengeluarkan suara tadi diam berpikir. Kemudian terdengar lagi suaranya, suara yang merdu, juga jelas pengucapan setiap kata, dan disuarakan seperti orang membaca sajak, setengah bernyanyi.

"Dengan matahari timbullah terang, tanpa matahari jadilah gelap, terang dan gelap tiada bedanya yang satu mengandung yang lain yang lain ada karena yang satu!"

Kian Bu menjadi semakin kagum. Dia bangkit berdiri di atas perahunya, mengangkat kedua tangan ke depan dada dan memberi hormat ke arah bilik di tengah perahu besar. "Aku, Souw Kian Bu, merasa kagum sekali atas permainan yang-kim dan kata-kata indah yang diucapkan. Kalau aku tidak dipandang terlalu rendah, aku mengharapkan untuk dapat berbincang-bincang mengenai gelap dan terang!"

Hening sejenak dan Kian Bu masih menanti dengan kedua tangan terangkap di depan dada. Kemudian terdenqar suara wanita yang merdu tadi, "Sobat, silakan naik ke atas perahu kami. Pandangan rendah maupun tinggi sama saja, sama-sama menjerumuskan!"

Dia berada di perahu kecil dan dipersilakan naik ke perahu besar itu, padahal di situ tidak ada tali atau tangga, hal ini jelas menunjukkan bahwa wanita yang mengundangnya hendak mengujinya, atau memang sudah dapat menduga bahwa dia memiliki kepandaian. Oleh karena itu, Kian Bu juga tidak merasa perlu menyembunyikan kemampuannya.

"Maafkan kalau aku mengganggu!" Tubuhnya lalu meloncat naik ke atas perahu besar sambil membawa tali perahunya. Tanpa guncangan sedikitpun kedua kakinya menginjak papan perahu besar. Dia tidak perduli betapa tukang perahu di perahu besar itu melirik dengan pandang mata jalang, lalu mengikatkan ujung tali perahunya ke perahu besar.

"Bagus, gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang bagus!" terdengar suara wanita itu berseru kagum.

Kian Bu memutar tubuh dan menghadapi pintu bilik yang tertutup tirai dan pada saat itu, sebuah tangan yang jari-jarinya kecil panjang dan putih mulus menyingkap tirai, lalu muncullah seorang wanita dari dalam bilik. Kian Bu yang sudah siap untuk mengangkat kedua tangan memberi hormat, terpesona dan lupa mengangkat tangannya, hanya berdiri bengong seperti patung, matanya terbelalak, mulutnya ternganga dan dia tidak mampu mengeluarkan kata-kata, tidak mampu melakukan sesuatu seperti tiba-tiba saja kehilangan akalnya!

Selama hidupnya, belum pernah dia dapat membayangkan seorang wanita sejelita ini, seperti bidadari dari kahyangan! Apa lagi bertemu, mimpi pun belum pernah. Sebelum ini, tentu dia tidak akan percaya bahwa di dunia ini terdapat seorang wanita yang memiliki kecantikan seperti ini!

Dara itu berpakaian serba putih, dari sutera putih. Demikian putih bersih sehingga ia nampak semakin anggun seperti dewi! Dan kecantikannya dalam pandang mata Kian Bu nampak sempurna, dengan daya tarik sedemikian kuatnya membuat dia seperti berubah menjadi patung. Mata itu! Rambut itu! Hidung dan terutama bibir itu! Wah, tidak mungkin dia dapat menggambarkan. Kalah manis madu seguci. Kalah harum bunga setaman.

Dan ketika bibir itu merekah, tersenyum memperlihatkan deretan gigi putih bersih dan rapi, membayangkan kemerahan rongga mulut dan ujung lidah, Kian Bu menjadi pusing tujuh keliling dan agaknya dia akan dapat jatuh pingsan kalau saja dia tidak cepat menahan napas mengerahkan tenaga.

"Souw-kongcu (tuan muda Souw), engkau kenapakah, memandangku seperti itu?" Mulut yang bibirnya berbentuk gendewa terpentang, merah membasah tanpa gincu itu bertanya lembut, masih membayangkan senyum geli.

Mendengar pertanyaan itu, barulah Kian Bu merasa seperti diseret turun kembali dari dunia lamunan, dunia awang-awang dan mukanya berubah kemerahan, dia menjadi salah tingkah. "Eh, aku saya eh, maafkan aku apakah apakah nona yang tadi bermain yang-kim dan bersajak?"

Dia menjenguk ke dalam bilik dari tirai yang setengah terbuka, untuk melihat apakah ada wanita lain di dalam bilik itu. Dara itu membuka tirai pintu bilik sehingga Kian Bu dapat melihat bahwa bilik kecil itu kosong, tidak ada orang lain di dalamnya. Yang ada hanyalah sebuah meja pendek tanpa bangku dan tentu dara itu tadi duduk bersila di atas tikar pada papan perahu. Sebuah yang-kim kecil terletak di atas meja, juga alat tulis yang disusun rapi. Peralatan ini saja menunjukkan bahwa dara itu adalah seorang ahli sastra yang tentu pandai menulis indah dan membuat sajak.

"Kenapa engkau merasa heran, kongcu? Apakah engkau tadi mengira bahwa yang memainkan yang-kim seorang pria?" Dara itu menahan tawanya, dan dari susunan kata-katanya mudah diketahui bahwa dara itu seorang yang terpelajar. Biarpun segala keindahan pada diri gadis itu masih mempesona, namun Kian Bu telah mampu menguasai perasaan nya dan dia menjadi lebih tenang.

"Tidak, nona. Suaranya menunjukkan bahwa yang bersajak adalah seorang wanita, akan tetapi tidak kusangka sama sekali masih semuda nona!"

Senyum itu tidak meninggalkan bibir yang mungil itu.. "Kenapa engkau mengira yang bicara seorang wanita tua, Souw-kongcu?"

"Karena ucapannya tadi mengandung soal-soal kehidupan yang rumit dan mendalam artinya sehingga aku menjadi tertarik untuk mengajak berbincang-bincang, akan tetapi tidak tahunya....”

Dara itu tersenyum makin lebar dan sepasang matanya berbinar-binar seperti bintang kembar. "Kongcu, apakah engkau sudah tua sekali? Kulihat engkau bukan kakek-kakek, dan tidak jauh lebih tua dibandingkan aku. Nah, mari kita duduk di dalam bilik kalau memang engkau masih ingin mengajak aku berbincang-bincang. Matahari mulai naik tinggi dan duduk di luar bilik akan membuat kulitku menjadi hangus. Engkau masih terlindung caping lebar, akan tetapi aku..."

"Ah, maaf, aku telah mengganggumu, nona."

"Tidak sama sekali, mari silakan." Dara itu memberi isyarat dengan tangannya mempersilakan Kian Bu memasuki bilik. Ia sendiri membuka sama sekali tirai pintu bilik itu sehingga kini bilik itu terbuka.

Melihat ini, Kian Bu merasa lapang dadanya. Sungguh akan mendatangkan perasaan tidak enak sekali kalau dia harus berada berdua saja dengan dara itu di dalam bilik perahu yang tertutup pintunya! Dia mengangguk dan memasuki bilik diikuti dara itu dan tak lama kemudian mereka berdua telah duduk bersila terhalang meja.

Kian Bu telah melepaskan caping cari atas kepalanya dan menaruh caping itu miring berdiri di sudut bilik. Kini mereka duduk berhadapan dan saling pandang. Akan tetapi Kian Bu tidak berani terlalu lama menatap wajah itu, merasa seolah silau kalau memandang terlalu lama.

"Nah, sebelum kita berbincang-bincang, sebaiknya kalau aku memperkenalkan diri lebih dahulu, karena engkau tadi sudah memperkenalkan dirimu, kongcu. Namaku Ji Kiang Bwe. Nah, sekarang apa yang ingin kau perbincangkan denganku, Souw-kongcu?"

Tadi, sebelum melihat orangnya, mendengar suaranya dan permainan yang-kim, hati Kian Bu tertarik sekali dan ingin dia berbincang tentang lagu, tentang musik, tentang sajak, dan terutama tentang makna kehidupan sepetti disinggung suara itu dalam sajaknya. Akan tetapi setelah kini melihat orangnya, dia kehilangan akal dan agaknya sukar sekali dia mengeluarkan kata-kata pendahuluan.

"Aku ehh, aku hanya eh, ingin bertanya mengenai sajakmu tadi, nona," akhirnya dia dapat mengambil keputusan untuk bertanya tentang sajak yang diucapkan gadis itu tadi, karena bertanya merupakan kegiatan yang paling mudah dalam suatu perbincangan atau percakapan.

"Tanyalah, Souw-kongcu. Orang bertanya tidak usah membayar," Gadis itu tersenyum dan Kian Bu juga tersenyum.

Kiranya gadis ahli sastra inipun pandai berkelakar, pikirnya dengan hati gembira. "Aku hanya ingin mengulang pertanyaanku tadi, Ji-siocia. Engkau mengatakan bahwa lagu yang indah bukan lagu dan yang-kim yang merdu bukan yang-kim. Lalu apa?"

"Souw-kongcu, lagu hanyalah lagu, yang-kim hanyalah yang-kim, kalau ditambah yang indah dan merdu, maka lagu dan yang-kim itu sudah bukan aselinya lagi, melainkan menjadi bayangan sesuai dengan selera yang menyebutnya. Sebutan indah dan buruk keduanya tidak menerangkan sifat sesungguhnya dari yang disebut, karena indah dan buruk hanyalah penilaian, dan setiap penilaian tentu didasari perasaan suka dan tidak suka pribadi, dan suka atau tidak suka inipun didasari menyenangkan atau tidak menyenangkan. Kalau menyenangkan, mendatangkan rasa suka, dan kalau suka, sudah tentu akan nampak indah dan baik. Karena itulah, maka lagu yang indah bukan lagu, yang-kim yang merdu bukan yang-kim, melainkan gambaran dari si penilai!”

Kian Bu tertegun. "Ji-siocia, apakah engkau dari aliran Beng-kauw (Aliran Terang)?" tanyanya sambil menatap tajam.

Orang-orang dari alirang Beng-kauw banyak yang pandai, akan tetapi berwatak aneh sehingga oleh para pendekar mereka digolongkan sebagai golongan sesat.

Dara itu tersenyum lagi. "Souw-kongcu, apakah kalau aku dari golongan atau aliran Beng-kauw lalu engkau tidak sudi lagi bercakap-cakap denganku?" Dara itu dengan gaya yang lincah dan cerdik balas bertanya. "Dan mengapa pula engkau mengira aku dari Beng-kauw?"

"Aku pernah membaca tentang aliran Beng-kauw, dan sajakmu tadi mirip dengan filsafat aliran Beng-kauw."

Dara itu menggeleng kepalanya. "Aku tidak terikat dengan aliran manapun. Aku hanya suka menyelami kenyataan-kenyataan hidup, tidak perduli dari ajaran aliran manapun. Kehidupan ini sendiri menjadi suatu aliran, suatu pelajaran yang tiada putusnya, juga menjadi guru kita. Apa lagi kalau dalam kehidupan ini kita mengalami banyak penderitaan, banyak kesengsaraan dan kedukaan, maka dengan sendirinya soal kehidupan amat menarik untuk direnungkan dan dimengerti."

Kian Bu memandang kagum. "Ah..tidak pernah aku dapat membayangkan kata kata seperti itu keluar dari mulut seorang nona semuda engkau, nona. Agaknya, maafkan aku, agaknya nona yang semuda ini sudah banyak mengalami hal-hal yang mendukakan. Benarkah itu?"

Tiba-tiba perahu besar itu terguncang keras. Kian Bu terkejut karena maklum bahwa perahu itu tentu ditabrak sesuatu, dan dia sudah cepat meloncat keluar dari dalam bilik perahu. Terdengar suara ribut orang berkelahi di ujung perahu dan ketika dia menghampiri, ternyata tukang perahu yang tinggi kurus tadi sedang berkelahi dikeroyok oleh tiga orang. Baru sekarang Kian-Bu mengetahui bahwa tukang perahu yang tinggi kurus dan bersikap dingin itu ternyata memiliki ilmu silat yang tangguh. Dayung besinya menjadi senjatanya dan dia mengamuk dikepung tiga orang yang bersenjatakan pedang dan ternyata tiga orang pengeroyok itupun lihai bukan main!

Seorang saja di antara mereka pasti akan merupakan lawan setanding dari tukang perahu itu. Akan tetapi kini mereka maju bertiga, tentu saja tukang perahu menjadi kewalahan dan dia lebih banyak hanya dapat menangkis saja dan memutar dayungnya melindungi diri, tidak mendapat banyak kesempatan untuk membalas.

Tiga gulungan sinar pedang sudah menghimpitnya dan sebentar lagi tentu dia akan terkena pedang dan roboh. Kian Bu tidak tahu mengapa mereka berkelahi dan siapa tiga orang pengeroyok itu. Karena tidak tahu urusannya, maka diapun tidak berani turun tangan. Bagaimanapun juga, tukang perahu itu adalah pembantu Ji Kiang Bwe dan dia harus mencegah tukang perahu itu terbunuh.

"Hentikan perkelahian!" teriak Kian Bu dan sekali bergerak, tubuhnya sudah melayang ke arah mereka yang sedang bertanding dan gulungan sinar pedangnya bergerak menangkis empat buah senjata itu, tiga batang pedang dan sebatang dayung. Terdengar suara berdencing berturut-turut.

Tukang perahu itu terkejut, juga tiga orang pengeroyoknya berloncatan ke belakang karena mereka berempat tadi merasa betapa tangan mereka tergetar hebat dan nyaris senjata mereka terlepas dari pegangan.

"Souw-kongcu, harap mundur. Ini merupakan urusan kami pribadi," terdengar suara merdu itu di belakangnya.

Kian Bu menoleh dan melihat Kiang Bwe telah berdiri di situ, tetap cantik jelita dan agung seperti tadi, hanya bedanya, kalau tadi wajahnya berseri penuh senyum dan ramah, kini wajah itu nampak dingin dan sinar matanya mencorong.

"Paman Gu, apa yang terjadi?" tanya dara itu dengan sikapnya yang tenang sekali kepada si tukang perahu.

Diam-diam Kian Bu memperhatikan dengan heran dan ingin tahu. Siapakah sebetulnya dara ahli sastra ini yang dapat bersikap sedemikian tenangnya menghadapi serbuan tiga orang lihai itu? Dan sikap tukang perahu itu lebih mengherankan hatinya lagi. Orang yang wajahnya nampak dingin itu kini bersikap hormat sekali dan dia merangkap kedua tangan depan dada ketika menjawab pertanyaan Kiang Bwe.

"Pang-cu (Ketua Perkumpulan), mereka adalah orang-orang Hoat-kauw yang sengaja hendak membunuhku."

Sepasang mata yang indah itu kini mencorong penuh kemarahan. Bukan hanya Kian Bu yang terkejut dan heran mendengar tukang perahu itu menyebut pangcu kepada si nona, akan tetapi juga tiga orang tokoh Hoat-kauw itu terkejut dan heran sekali.

"Orang she Gu!" kata seorang di antara mereka kepada si tukang perahu. "Ketua kalian, Ji-pangcu, telah tewas, tidak perlu lagi kalian menipu kami dan menyebut nona ini sebagai pangcu kalian!"

"Orang-orang Hoat-kauw yang sombong, kalian bertiga mempunyai mata akan tetapi seperti buta. Ji-pangcu memang telah tewas oleh kekejaman kalian, akan tetapi nona ini adalah ketua baru kami, puteri mendiang Ji-pangcu!"

Tiga orang itu saling pandang, kemudian mereka menatap wajah Ji Kiang Bwe. Mereka tadi melihat sepak terjang pemuda yang lihai itu dan mereka agak gentar kepadanya, akan tetapi tentu saja tidak gentar menghadapi dara muda yang diakui oleh si tukang perahu sebagai ketua yang baru.

"Bagus! Kalau begitu, biar kami mengrrimnya mengikuti jejak ayahnya!" bentak mereka dan tiga orang itu mempersiapkan pedang mereka untuk menerjang.

"Pangcu, hati-hati ...! teriak si tukang perahu yang sudah melintangkan dayungnya untuk membantu, Juga Kian Bu tidak mau tinggal diam.

"Ji-siocia, perkenankan aku membantumu!" Biarpun dia belum tahu mengapa orang-orang Hoat-kauw memusuhi nona itu, akan tetapi mudah saja baginya untuk mengambil keputusan, pihak mana yang patut dibantunya.

"Paman Gu, mundurlah dan kemudikan saja perahu kita, engkau bukan lawan mereka. Souw-kongcu, sudah kukatakan bahwa ini adalah urusan pribadi, harap engkau menonton saja dan tidak mencampuri. Aku tidak ingin mencontoh mereka yang pengecut dan mengandalkan pengeroyokan ini!

Tukang perahu itu mundur dan memegang kemudi perahu, memandang dengan khawatir, sedangkan Kian Bu juga mundur dan memandang dengan heran dan kagum. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa gadis yang pandai sastra, nampak lemah lembut, pandai main yang-kim dan membuat sajak itu, ternyata begitu tenangnya dan berani menghadapi pengeroyokan tiga orang Hoat-kauw yang lihai itu! Namun, diam-diam dia masih bersiap siaga untuk menjaga kalau-kalau gadis itu membutuhkan bantuannya. Dia tidak ingin melihat gadis itu celaka di tangan tiga orang lawan yang lihai itu.

Mendengar pemuda yang lihai itu menawarkan bantuannya kepada gadis yang mengaku sebagai ketua baru dari Kim-kok-pang, tiga orang Hoat-kauw itu diam-diam merasa semakin gentar. Seorang di antara mereka, yang berjenggot lebat dan berusia limapuluhan tahun, menahan gerakan pedangnya dan dia pun berkata dengan suara membujuk.

"Nona, kalau engkau benar menjadi pangcu dari Kim-kok-pang yang baru, kami anjurkan agar engkau membawa Kim-kok-pang untuk bekerja sama dan bersahabat dengan Hoat-kauw, tentu Kim-kok pang akan menjadi semakin kuat dan kelak akan menjadi sebuah perkumpulan yang besar dan berpengaruh, bahkan para pimpinannya akan mendapat kesempatan banyak untuk mendapatkan kekuasaan. Nah, sebelum terlanjur, kami sungguh mengharapkan nona akan suka membawa semua pimpinan dan datang berkunjung kepada pimpinan kami untuk membicarakan kerja sama itu."

Dengan alis berkerut Ji Kiang Bwe memandang kepada mereka lalu bertanya, "Kalian bertiga ini merupakan tokoh tingkat berapakah dari Hoat-kauw?"

"Kami bertiga adalah para pembantu ketua cabang. Ketua cabang merupakan tokoh tingkat ke empat dan kami berada di bawah mereka." kata si jenggot lebat dengan suara yang kurang senang ditanya tentang tingkat mereka.

"Hemm, tingkat lima atau empat? Tidak cukup berharga untuk membicarakan persoalan dengan aku. Kalau tokoh tingkat pertama atau setidaknya kedua dari Hoat-kauw yang datang, tentu aku akan suka bicara."

Sikap nona itu sungguh keren dan meiihat sikap itu saja, tiga orang ini menjadi gentar. Hanya orang yang percaya akan kemampuan sendiri saja yang dapat bersikap seperti itu. "Baiklah, kalau begitu, kami hendak kembali untuk melapor kepada atasan kami," kata si jenggot lebat dan dia memberi isyarat kepada dua orang kawannya untuk meninggalkan perahu itu, kembali ke perahu mereka yang bercat hitam dan yang menempel pada perahu besar itu.

"Nanti dulu!" bentakan nona itu nyaring berwibawa, suaranya melengking dan menusuk, membuat tiga orang itu terkejut dan membalikkan tubuh menghadapinya. "Kalian telah menabrak perahuku. Kalian telah menyerang pembantuku. Kemudian kalian bersikap sombong tidak menghormatiku. Kesalahan ini sebetulnya harus ditebus dengan nyawa. Akan tetapi, karena hari ini aku sedang menerima tamu terhormat, biarlah memandang muka tamuku, aku tidak akan membunuh kalian. Hayo cepat kalian menggunakan pedang memotong lengan kiri kalian masing-masing sebatas siku!"

Tiga orang itu terbelalak. Muka mereka menjadi pucat lalu berubah merah karena penasaran dan marah. Mereka adalah orang-orang penting dari Hoat-kauw dan tadinya, meiihat si tinggi kurus Gu Lok yang dikenal sebagai Si Dayung Baja, tokoh Kim-kok-pang yang juga menentang Hoat-kauw, mereka hendak membunuhnya. Hanya karena muncul dara yang mengaku sebagai ketua baru Kim-kok-pang, mereka tidak jadi membunuhnya. Akan tetapi, sekarang mereka dihina, diharuskan membuntungi lengan kiri sendiri, tentu saja mereka tidak sudi.

"Nona, engkau keterlaluan," kata si jenggot lebat. "Kami sudah mengampuni nyawa Si Dayung Baja, dan sekarang nona bahkan berani menghina kami?"

"Cepat kalian lakukan, kalau tidak tentu pangcu yang akan membuntungi lengan kalian, mungkin leher kalian!" kata Si Dayung Baja Gu Lok dengan lantang.

"Srat-srat-srat.!" Tiga orang itu mencabut lagi pedang masing-masing yang tadi telah disimpan dan si jenggot lebat berkata marah.

"Kami dari Hoat-kauw bukanlah orang-orang yang mau menerima" penghinaan begitu saja! Kim-kok-pangcu, tadi engkau mengatakan hendak menandingi kami bertiga seorang diri saja, menyuruh Si Dayung Baja mundur dan menolak pula bantuan pemuda itu. Apakah kata-katamu itu masih dapat dipercaya?"

"Singgg.!" Nampak sinar yang menyilaukan mata berkelebat dan tangan kanan Ji Kiang Bwe telah memegang sebatang rantai dari baja putih yang tadi ia pakai sebagai ikat pinggang. Rantai itu indah dan berkilauan, namun ternyata mempunyai gagang dan panjangnya tidak kurang dari satu meter. Begitu dilolos dan digerakkan, rantai itu menjadi tegang seperti sebatang pedang, bahkan mengeluarkan suara berdesing seperti senjata tajam, kemudian menjadi lentur seperti rantai biasa dan berputar lalu rantai itu melibat-libat lengan kanan Kiang Bwe.

Gerakan ini indah dan cepat. Kian Bu pernah mempelajari delapanbelas macam senjata dari ayah ibunya, akan tetapi belum pernah melihat seuntai rantai baja putih indah yang dijadikan ikat pinggang itu kini dipergunakan sebagai senjata. Ketika dia mengamati penuh perhatian, dia meiihat betapa bagian ujung rantai itu, mata rantainya tidak bundar, melainkan tipis dan tajam!

Senjata seperti itu dapat menyambar seperti golok membabat, dapat menusuk seperti pedang karena digerakkan dengan sinkang sehingga menjadi tegang, dapat pula untuk menotok jalan darah dan dapat melibat senjata tajam lawan. Sungguh merupakan sebuah senjata yang ampuh, kalau saja pemegangnya mahir mempergunakannya karena penggunaannya juga sukar dan berbahaya bagi diri sendiri kalau kurang mahir.

"Tiga ekor tikus dari Hoat-kauw, majulah untuk kubuntungi lengan kiri kalian!" kata Kiang Bwe, suaranya lembut dan sikapnya tenang, seolah ia sama sekali tidak merasa tegang, juga tidak siap untuk bertanding, apa lagi menghadapi pengeroyokan tiga orang lawan yang lihai.

Tiga orang Hoat-kauw itu, yang masih gentar kalau-kalau Si Dayung Baja dan Kian Bu akan membantu nona itu, cepat menggerakkan pedang masing-masing, membentuk kurungan segitiga dan mereka menyerang dengan gerakan cepat dan kuat dari kanan kiri dan depan!

Kian Bu sendiri menahan napas meiihat kedahsyatan serangan tiga orang itu, akan tetapi Si Dayung Baja nampaknya tenang-tenang saja. Begitu dara itu bergerak, tahulah Kian Bu mengapa tukang perahu itu nampak tenang saja. Kiranya dia sudah yakin akan kehebatan nona yang menjadi ketua perkumpulannya itu.

Begitu Kiang Bwe menggerakkan senjata di tangannya, nampak kilat menyambar ke sekelilingnya dan terdengar bunyi berdencingan disusul bunga api berpijar ketika tiga batang pedang para pengeroyok itu tertangkis rantai dan tiga orang itu berloncatan ke belakang karena tangan mereka terasa panas seperti disentuh api membara.

"Heiiiittt,....!!" Dara itu mengeluarkan suara melengking-lengking dan senjata di tangannya menyambar-nyambar dengan ganasnya, membuat tiga orang itu makin terkejut dan mereka harus memutar pedang untuk melindungi diri mereka.

Memang aneh kalau dilihat, tiga orang berpedang kini terdesak oleh dara yang mereka keroyok. Hal ini membuktikan betapa cepatnya gerakan dara itu, jauh lebih cepat dari pada gerakan tiga orang lawannya sehingga ia mampu menghujankan sambaran rantainya kepada mereka, membuat mereka menjadi repot sekali.

Apalagi setiap kali senjata mereka bertemu dengan rantai, mereka merasa betapa gagang pedang mereka seolah berubah menjadi bara api yang membakar telapak tangan. Diam-diam Kian Bu memperhatikan gerakan dara itu dan diapun terpesona.

Tadi saja dia sudah terpesona oleh kecantikan dan kepandaian gadis itu bermain yang-kim dan mengutip sajak, dan kini ditambah lagi kekagumannya melihat gerakan senjata rantai itu. Dan tiba-tiba mukanya berubah kemerahan. Pantas saja gadis itu tadi memuji gin-kangnya ketika dia meloncat dari perahunya ke atas perahu besar. Kiranya gadis itu sendiri ahli meringankan tubuh yang hebat sehingga gerakannya demikian cepat dan lincahnya!

Kembali terdengar dara itu mengeluarkan lengkingan suara memanjang tiga kali dan sinar rantainya menyambar-nyambar, disusul muncratnya darah, buntungnya lengan kiri ke tiga orang itu dan begitu Kiang Bwe menggerakkan kaki nya tiga kali, tubuh tiga orang pengeroyok itu terlempar keluar dari perahu dan berjatuhan ke air telaga!

Kian Bu terbelalak, juga bergidik. Dara yang demikian jelita, dan halus lembut gerak gerik dan tutur katanya, ternyata kini dapat melakukan perbuatan yang baginya nampak sadis sekali! Dia memang putera suami isteri pendekar, akan tetapi selama ini dia hanya berlatih silat dengan ayah ibunya, dan tidak pernah bertanding dengan orang luar, apa lagi melihat lengan tiga orang dibuntungi begitu saja dan tubuh mereka yang sudah kehilangan lengan kiri ditendang ke air telaga.

"Ji-siocia, apa artinya semua ini?" tanya Kian Bu dan kini wajahnya tidaklah seramah tadi. Sakit hatinya melihat dara jelita itu dapat melakuan kekejaman seperti itu.

"Paman Gu, jalankan perahu menepi," kata Kiang Bwe, lalu kepada Kian Bu ia berkata, "Souw-kongcu, panjang ceritanya untuk menjawab pertanyaanmu ini dan pertanyaanmu yang tadi. Maukah engkau menjadi tamu kami dan mendengarkan keteranganku untuk menjawabmu? Atau kalau engkau masih merasa tidak suka dan tidak mau memenuhi undanganku, terserah, tentu saja kami tidak dapat memaksamu."

Melihat pandang mata itu nampak sayu dan berduka, redalah kemarahan Kian Bu. Dia memang ingin sekali mengetahui riwayat dara ini dan mengapa terdapat permusuhan antara perkumpulan yang agaknya dipimpin dara itu dengan Hoat-kauw, suatu aliran yang cukup besar dan berpengaruh.

"Baiklah, aku ingin mendengarkan penjelasanmu agar hatiku tidak menjadi penasaran, walaupun tentu saja urusan itu tidak menyangkut diriku." Dia teringat kepada perahu kecilnya yang masih tertambat kepada perahu besar itu. "Akan tetapi aku harus mengembalikan dulu perahu yang kusewa."

"Jangan khawatir, urusan itu akan dikerjakan orang-orangku di tepi telaga," kata Ji Kiang Bwe.

Mereka mendarat dan lima orang menyambut dara itu dengan sikap hormat. Bahkan atas permintaan Kiang Bwe, dua ekor kuda segera dipersiapkan dan ia mengajak Kian Bu untuk menunggang kuda menuju ke tempat tinggalnya. Kian Bu meiihat betapa dalam hal menunggang kuda, dara itupun mahir sekali.

Mereka membalapkan kuda menuju sebuah bukit yang dari jauh nampak berwarna kuning emas berkilauan. Itu adalah karena di bukit itu terdapat batu-batu cadas yang berwarna kekuning-kuningan sehingga kalau tertimpa matahari dan nampak dari jauh seperti emas. Karena itu pula, maka lembah bukit di mana terdapat warna seperti emas itu di sebut Lembah Bukit Emas.

Mereka membalapkan kuda mendaki bukit itu dan setelah tiba di lereng, di lembah itu, nampak dari situ Sungai Yang-ce seperti seekor naga biru meliuk-liuk di bawah sana. Di lembah bukit itu terdapat sebuah perkampungan dan di depan pintu gerbangnya, baru Kian Bu mengetahui bahwa itu bukan sebuah dusun biasa, melainkan perkampungan yang menjadi pusat dari Kim-kok-pang (Perkumpulan Lembah Bukit Emas), seperti yang tertulis pada papan besar di pintu gerbang.

Puluhan orang menyambut nona itu dengan sikap gembira dan normat ketika Kiang Bwe dan Kian Bu memasuki pintu gerbang perkampungan itu. Terdapat perumahan seperti di sebuah dusun kecil, dan Kiang Bwe mengajak Kian Bu ke sebuah bangunan terbesar yang berada di tengah perkampungan. Mereka meloncat turun dari kuda dan dua orang anggauta Kim-kok-pang segera mengurus dua ekor kuda itu.

"Mari silakan masuk, Souw-kong cu." Ji Kiang Bwe mempersilakan.

Mereka memasuki rumah yang cukup besar dengan prabot rumah yang lengkap dan baik, lalu nona rumah itu mengajak Kian Bu duduk di sebuah ruangan tamu yang luas, yang mempunyai banyak jendela me nembus ke sebuah taman. Mereka duduk berhadapan terhalang meja besar dan seorang wanita setengah tua muncul membawakan minuman dan menghidangkan minuman dengan sikap hormat, lalu mengundurkan diri lagi. Setelah menuangkan minuman dan mempersilakan tamunya minum, Ji Kiang Bwe memandang tamunya. Mereka saling pandang, dan dara itu menghela napas panjang.

"Sebetulnya aku sendiri merasa heran mengapa aku ingin menceritakan riwayat dan keadaanku kepadamu, kongcu. Padahal kita baru saja berkenalan dan hanya secara kebetulan bertemu di telaga. Mungkin karena sikapmu yang ramah, karena kesediaanmu membantuku tadi menghadapi orang-orang Hoat-kauw."

"Maafkan aku, Ji-siocia. Akupun biasanya tidak berani lancang ingin mengetahui persoalan orang lain. Akan tetapi peristiwa yang terjadi di perahu tadi amat menarik hatiku. Kalau nona tidak mau menceritakan sebabnya, tentu hatiku akan selalu merasa penasaran bagaimana seorang seperti nona dapat melakukan hajaran yang demikian kerasnya terhadap tiga orang tadi."

"Akan kuceritakan semua karena akupun ingin menerangkan kepadamu, Kongcu. Akan tetapi sebelum itu, sudah sepantasnya kalau aku mengetahui lebih banyak tentang dirimu, orang yang kupercaya mendengarkan riwayatku."

Kian Bu tersenyum. "Aku mengerti, nona, dan memang sudah sepantasnya begitu. Akan tetapi tidak ada apa-apanya yang menarik tentang diriku. Aku tinggal di Wu-han bersama orang tuaku, dan ayahku seorang pedagang kain. Aku adalah anak tunggal, dan sejak kecil aku tinggal di Wu-han. Baru sekali ini aku pergi merantau seorang diri untuk mencari pengalaman dan kebetulan saja ketika aku sedang berperahu di telaga itu aku mendengar permainan yang-kim mu. Nah, tidak ada apa-apanya yang menarik, bukan?"

"Akan tetapi engkau pandai ilmu silat, setidaknya, engkau memiliki ginkang yang hebat. Siapakah gurumu, kong-cu?"

"Aku belajar sedikit ilmu silat dari ayah ibuku sendiri," jawab Kian Bu sederhana.

Dara itu membelalakkan matanya dan Kian Bu merasa seolah jantung dalam dadanya jungkir balik. Begitu indahnya mata itu ketika dibuka lebar. "Aih, kalau begitu, ayah ibumu adalah orang-orang sakti!" Kata dara itu kagum.

Wajah Kian Bu menjadi kemerahan. "Ah, sama sekali bukan, nona. Ayahku seorang pedagang kain dan ibuku seorang ibu rumah tangga yang baik. Nah, sekarang ceritakan tentang dirimu dan semua yang terjadi tadi, nona."

Wajah yang jelita itu nampak muram, akan tetapi hanya sebentar, seolah awan tipis berlalu. lalu bercerita. Ayahnya bernama Ji Kun Ek, seorang pendulang emas yang tadinya seorang pemburu. Dia berhasil menemukan emas di bukit itu, dan mendengar dia berhasil menemukan emas, banyak pemburu yang tadinya merupakan rekan-rekannya ikut pula mencari emas. Dan terbentuklah sekelompok pendulang emas yang makin lama menjadi semakin banyak, sampai lebih dari seratus orang banyaknya.

Dan untuk mencegah agar tidak ada orang luar ikut-ikutan, apa lagi karena seringnya ada orang jahat merampok hasil pendulangan beberapa orang di antara mereka. Ji Kun Ek membentuk kelompok itu sebagai anggauta perkumpulan Kim-kok-pang yang menetap di Lembah Bukit Emas itu. Mereka semua mengangkat Ji Kun Ek sebagai ketua Kim-kok-pang, bukan hanya karena dia merupakan orang pertama yang mendulang emas, melainkan juga karena dia memiliki ilmu silat yang paling kuat di antara mereka.

Hasil pendulangan emas membuat Kim-kok-pang cukup kuat dan kehidupan para anggautanya cukup makmur. Ji Kun Ek bahkan mengirim anak tunggalnya, ya itu Ji Kiang Bwe, ke kota besar dan memanggil guru-guru sastra dan seni untuk mendidik puterinya. Setelah dia sendiri menghabiskan semua ilmu silatnya diajarkan kepada puterinya, dia bahkan menganjurkan puterinya untuk memperdalam ilmu silatnya dan secara kebetulan sekali, ketika berkunjung ke sebuah kuil wanita untuk bersembahyang, Ji Kiang Bwe bertemu dengan seorang pendeta wanita yang kebetulan juga menjadi tamu para nikouw di situ.

Pendeta wanita ini berjuluk Pek Mau Sian-kouw, julukan Pek-mau (Rambut Putih) ini karena seluruh rambut kepalanya sudah putih semua seperti benang-benang sutera putih, sungguhpun usianya baru sekitar limapuluh tahun. Tidak ada seorangpun yang akan menduga bahwa pendeta wanita ini sesungguhnya memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Sejak muda sekali Pek Mau Sian-kouw ini merantau ke negeri barat, bertahun-tahun tinggal di India, kemudian juga lama berada di Tibet sehingga namanya lebih terkenal di daerah Tibet dari pada di Tiongkok. Pek Mau Sian-kouw selain ahli ilmu silat tinggi, juga telah mempelajari ilmu perbintangan dan ramalan, dan begitu melihat Ji Kiang Bwe yang ketika itu berusia tigabelas tahun dan sudah pandai ilmu silat karena gemblengan ayahnya, ia tahu bahwa ia telah bertemu dengan murid yang berjodoh dengannya.

Demikianlah, selama lima tahun Pek Mau Sian-kouw mengajarkan ilmu ilmunya kepada Ji Kiang Bwe sehingga setelah berusia delapanbelas tahun, Ji Kiang Bwe telah menguasai ilmu-ilmu andalan pertapa wanita itu.

"Aku mengikuti subo ke tempat pertapaannya selama dua tahun terakhir, dan ketika subo mengijinkan aku turun gunung dan pulang ke sini, ternyata telah terjadi malapetaka hebat mehimpa diri ayahku sebagai ketua Kim-kok-pang," kata dara itu dan wajahnya kembali muram.

"Apa yang telah terjadi dengan ayahmu dan ibumu, nona?"

"Ibuku sudah meninggal dunia sejak aku masih kecil, Souw-kongcu. Karena itu, seluruh kasih sayangku terhadap orang tua kucurahkan kepada ayahku. Akan tetapi, ketika tiga bulan yang lalu aku pulang, aku mendengar bahwa ayahku telah meninggal dunia kurang lebih sebulan sebelum aku pulang."

"Hemm.. terkena sakit?"

"Tidak, dia terbunuh oleh pimpinan Hoat-kauw! Menurut cerita para pembantu ayah, sudah lama Hoat-kauw membujuk ayah agar Kim-kok-pang suka bekerja sama dengan Hoat-kauw dan mengakui Hoat-kauw sebagai aliran tunggal yang harus dianut oleh semua anggauta Kim-kok-pang. Ayah menolak bujukan itu sehingga akhirnya terjadi bentrokan antara ayah dan pimpinan Hoat-kauw. Dalam suatu pertandingan satu lawan satu ayah roboh dan tewas."

Kian Bu diam saja tidak memberi komentar. Kalau pertandingan itu, apapun alasan pertandingan, dilakukan satu lawan satu, maka hal itu merupakan suatu kehormatan bagi seorang ahli silat, dan kalah menang merupakan soal ke dua. Sukar mencampuri kekalahan orang yang bertanding satu lawan satu. Ji Kiang Bwe melanjutkan ceritanya. Ketika ia pulang dan semua pembantu ayahnya mengetahui bahwa dara ini pulang membawa ilmu kepandaian yang jauh lebih tangguh dibandingkan mendiang ayahnya, mereka lalu serta merta mengangkatnya menjadi ketua Kim-kok-pang yang baru.

"Aku tidak dapat menolak pengangkatan itu demi ayahku, dan selama tiga bulan ini, aku hanya dapat berduka karena kematian ayah. Aku menjadi yatim piatu, dan biarpun aku berduka, apa yang dapat kulakukan? Hoat-kauw adalah sebuah aliran kepercayaan yang besar dan berpengaruh. Aku hanya dapat menanti sampai ada orang Hoat-kauw berani datang hendak memaksakan kehendak. Kalau hal itu terjadi, aku akan melawan mereka, bukan hanya untuk membalaskan kematian ayahku, juga untuk menentang kejahatan mereka memaksakan kehendak kepada perkumpulan lain. Dan pada hari ini, untuk menghibur hati, aku berpesiar di telaga, hanya mengajak Paman Gu Lok untuk mengemudikan perahu. Dan hal yang kunanti-nanti selama tiga bulan inipun tiba, yaitu hendak membunuh Gu Lok karena paman ini merupakan pembantu utama mendiang ayah. Nah, engkau tahu mengapa aku bersikap keras kepada tiga orang itu."

Lega rasa hati Kian Bu. Andaikata malapetaka ini menimpa dirinya, andaikata ayahnya yang terbunuh oleh orang Hoat-kauw karena menolak bujukan mereka, mungkin dia akan bersikap lebih keras lagi terhadap tiga orang Ho-at-kauw tadi. Mungkin mereka akan dibunuhnya....!
Selanjutnya,

Kisah Si Pedang Terbang Jilid 06

Kisah Si Pedang Terbang

Karya : Kho Ping Hoo
Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo
Jilid 06
"MONYET hitam mampuslah!" pemuda itu berseru dan dia seperti hendak memainkan sulingnya, menempelkan suling di bibirnya.

Begitu suling itu menempel di bibirnya dan dia meniup, terdengar suara melengking dan tubuh Hek-mo roboh terjungkal. Dia berkelojotan sebentar lalu tewaslah raksasa hitam itu. Orang lain tentu akan merasa heran mengapa begitu pemuda itu meniup sulingnya Hek-mo terjungkal dan tewas.

Akan tetapi Mei Li dapat melihat sinar hitam yang menyambar keluar dari ujung suling perak dan menyambar kearah tengkuk Hek-mo, dan mengertilah ia bahwa pemuda itu telah mempergunakan senjata rahasia lembut, mungkin jarum halus hitam yang beracun untuk membunuh Hek-mo. Jarum beracun yang mengenai tengkuk tentu saja dapat membunuh dengan cepat karena racunnya langsung masuk ke dalam kepala! Ia mengerutkan alisnya, dan makin tak senang melihat betapa kini pemuda bersuling perak itu mengamuk dengan sulingnya, membantu para piauwsu yang memang telah, mendesak anak buah Hek I Kui-pang.

Pemuda itu mengamuk hebat dan dalam waktu tidak terlalu lama, sebelas orang berpakaian hitam itupun roboh dan tewas, tak seorangpun sempat melarikan diri. Tewaslah seluruh gerombolan Hek I Kui-pang yang duabelas orang itu, sebagian besar tewas di tangan pemuda bersuling perak. Kalau para piauwsu merasa gembira sekali dan kagum kepada pemuda bersuling perak yang kini mengebut-ngebut kan pakaian sutera putihnya yang terkena debu lalu menyelipkan suling peraknya di ikat pinggangnya dari sutera merah.

Mei Li menghampirinya dan dengan alis berkerut dan pandang mata marah ia menegur, "Kenapa engkau membunuh mereka?"

Pemuda itu memandang, dua pasang mata bertemu pandang dan pemuda itu tersenyum sehingga nampak deretan gigi nya yang rapi dan putih, dagunya berlekuk ketika dia tersenyum, menambah ketampanannya. "Nona, bukankah mereka itu gerombolan jahat dan engkau juga membantu para piauwsu ini untuk membasmi mereka? Nona, aku Tong Seng Gun merasa kagum bukan main melihat ilmu kepandaian nona. Bolehkah aku mengetahui nama nona yang mulia?"

Sikapnya sopan dan maris, hanya pandang mata itu yang membuat Mei Li merasa salah tingkah. Pandang mata itu seperti menembus dan menanggalkan pakaian! "Aku hanya orang yang kebetulan lewat, tidak perlu dikenal siapa namaku," katanya dan iapun memutar tubuh, menghampiri kuda putihnya yang masih tertambat di pohon.

"Taihiap, lihiap itu adalah Hui-kiam Sian-li" kata beberapa orang piauwsu ketika melihat dara itu sudah meloncat ke atas punggung kuda putihnya dan melarikan kuda itu dengan cepat meninggalkan hutan itu.

Pemuda itu adalah Tong Seng Gun, pemuda berusia duapuluh satu tahun, cucu Kwi-jiauw Lo-mo yang diangkat anak oleh datuk itu untuk merahasiakan bahwa sesungguhnya Seng Gun bermarga An karena dia adalah putera mendiang pemberontak An Lu Shan dan mendiang puterinya yang bernama Tong Kiauw Ni. Kalau pemerintah kerajaan Tang mengetahui bahwa pemuda itu putera mendiang An Lu Shan, besar bahayanya dia akan dikejar-kejar, ditangkap dan dihukum sebagai putera seorang pemberontak yang amat dibenci Kerajaan Tang.

Seperti telah kita ketahui, telah terjalin persekutuan kerjasama antara Kwi-jiuauw Lo-mo Tong Lui dan dua orang sutenya, yaitu Hek-bin Mo-ong dan Pek-bin Mo-ong, bersama Butek Ngo Sin-liong, para tokoh Hoat-kauw. Tiga orang datuk dan Hoat-kauw membagi tugas. Kalau tiga orang datuk itu sebagai pembantu Ku Ma Khan kepala suku Mongol akan nenentang suku-suku bangsa lain yang menjadi saingan mereka memperbesar kekuasaan di pedalaman, Hoat-kauw bertugas untuk menundukkan aliran-aliran lain dan berusaha agar menguasai dunia kangouw.

Dan untuk dapat mengawasi hasil gerakan Hoat-kauw, oleh tiga orang datuk itu Seng Gun diperbantukan kepada Hoat-kauw. Demikianlah,' pada hari itu, kebetulan Seng Gun lewat di hutan itu dan menyaksikan Mei Li dan para piauwsu bertempur melawan Tiat-ciang Hek-mo dan Hek I Kui-pang yang sebelas orang banyaknya itu, dia segera berpihak kepada Mei Li.

Bukan hanya karena menjadi tugasnya untuk membuat nama besar di dunia kangouw sebagai usaha mereka menguasai dunia kangouw, akan tetapi terutama sekali melihat Mei Li yang demikian cantik jelita dan gagah perkasa sehingga otomatis dia berpihak kepada dara itu, tidak perduli siapa yang menjadi lawan gadis itu.

Karena kini gadis jelita yang telah menyelamatkan mereka itu telah pergi tanpa pamit, sepasang pengantin yang sejak tadi hanya saling rangkul dengan ketakutan melihat pertempuran, kini menghampiri Seng Gun dan mereka berdua segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki pemuda itu. Mereka tadi sudah mendengar pemuda itu menyebutkan namanya kepada Hui-kiam Sian-li, maka pengantin pria itu segera berkata dengan suara lantang dan gembira.

"Kami berdua menghaturkan terima kasih kepada Tong-taihiap. Kalau tidak ada taihiap yang menolong, tentu kami berdua telah menjadi korban kebuasan gerombolan iblis itu."

"Terima kasih, taihiap..." pengantin wanita juga memberi hormat sambil berlutut dan mengucapkan terima kasihnya.

Seng Gun memandang dan dia tersenyum. Sungguh lucu melihat sepasang pengantin yang masih mengenakan pakaian pengantin itu berlutut memberi hormat kepadanya. Akan tetapi, pengantin wanita itu cantik juga. Usianya paling banyak tujuhbelas tahun, wajahnya manis dan matanya jeli, bajunya bagian atas terkoyak sehingga nampak sedikit kulit dadanya yang putih mulus. Tidak sejelita Hui-kiam Sian-li memang, akan tetapi cukup lumayan.

"Bangkitlah kalian. Sudah menjadi tugasku untuk menolong siapa saja yang terancam bahaya. Bagaimana kalian sepasang pengantin baru dapat menjadi korban gerombolan itu?" tanya Seng Gun dengan sikap dan suara yang lembutdan gagah.

Pengantin pria itu dengan singkat menceritakan bahwa setelah selesai upacara pernikahan di Lok-yang, mereka sedang menuju ke Kwi-yang, tempat tinggal pengantin pria di mana mereka akan mengadakan pesta besar di rumah pengantin pria yang kaya raya. Mereka membawa barang-barang hadiah dan berkereta, dikawal.oleh Pek-houw Piauw-kiok akan tetapi setelah tiba di hutan itu mereka diserbu gerombolan itu dan mereka berdua ditangkap, barang-barang di rampas dan banyak piauwsu yang roboh tewas. Kemudian, para piauwsu datang lagi bersama Hui-kiam Sian-li dan muncul pula Seng Gun.

Seng Gun lalu menganjurkan agar para piauwsu merawat teman-teman mereka yang terluka dan mengurus semua jenazah yang berserakan di tempat itu. "Biar aku sendiri yang akan mengawal pengantin ini dalam kereta mereka," kata Seng Gun.

Mendengar ini tentu saja para piauwsu merasa girang. Memang mereka harus merawat yang luka dan mengubur yang mati, dan selain itu, kalau mereka diharuskan mengawal kereta pengantin melanjutkan perjalanan ke Kwi-yang, mereka khawatir kalau-kalau ada kawan-kawan gerombolan itu yang akan membalas dendam dan mengganggu. Maka, mereka lalu mengambil kereta yang terisi barang-barang itu, memasang lagi dua ekor kuda penariknya dan tak lama kemudian, sepasang pengantin telah berada di dalam kereta itu yang dikusiri oleh Seng Gun.

Para piauwsu mengikuti kereta itu sambil melambaikan tangan dengan penuh kagum dan gembira. Pemuda perkasa itu telah menyelamatkan sepasang mempelai berikut harta mereka, berarti mencegah nama baik perusahaan mereka dari kehancuran.

Tak seorangpun di antara mereka pernah menduga bahwa sepasang mempelai itu seolah baru saja terlepas dari gerombolan srigala dan terjatuh ke cengkeraman seekor harimau yang jauh lebih ganas dari pada gerombolan srigala itu! Seng Gun membalapkan kereta itu dan dia tersenyum-senyum, beberapa kali melirik ke arah pengantin wanita yang duduk di dalam kereta bersama suaminya.

Mereka berdua bersukur bahwa bukan saja nyawa dan kehormatan mereka diselamatkan, bahkan kereta dan barang barang berharga merekapun mereka dapat kan kembali! Mereka tidak menyadari bahwa kereta itu bukan menuju ke Kwi-yang, melainkan berbelok menuju keutara dan memasuki daerah berhutan lebat yang sunyi. Baru setelah kereta tiba-tiba berhenti mereka memandang ke luar dan menyingkap tirai kereta.

Bukan main kaget rasa hati mereka ketika nampak serombongan orang menghampiri kereta itu. Mereka terdiri dari belasan orang. Menyangka bahwa orang-orang itu adalah gerombolan penjahat, pengantin wanita merangkul suaminya dengan wajah pucat. Pengantin pria itupun ketakutan. Akan tetapi perasaan takut mereka mereda ketika mereka mendengar orang-orang itu menyapa Tong Seng Gun dengan sikap gembira.

"Aih, dari mana engkau mendapatkan kereta yang bagus ini, kongcu?" tanya mereka.

Mendengar ini, sepasang pengantin itu menjadi lega. Kiranya orang-orang itu mengenal si pendekar yang telah menyelamatkan mereka. "Tong-taihiap, kenapa kita berhenti di sini?" tanya pengantin pria kepada penolongnya itu ketika dia memandang keluar dan baru melihat bahwa mereka berada dalam hutan yang tidak dikenalnya.

Seng Gun tersenyum. "Kita berhenti sebentar, beristirahat. Kalian keluarlah,"

Mendengar ucapan Seng Gun yang nadanya ramah dan lembut itu, sepasang pengantin baru merasa lega dan tidak lagi curiga, dan merekapun melangkah keluar dari kereta, yang pria menggandeng dan membantu yang wanita turun. Pakaian pengantin wanita yang bentuknya seperti gaun itu tersingkap ketika ia melangkah turun dari kereta yang agak tinggi sehingga sekilas, betis dan belakang pahanya nampak oleh Seng Gun.

Mereka memandang ke sekeliling dan merasa heran. Mereka berada di sebuah hutan yang sepi, dan di situ nampak beberapa belasan orang yang muncul itu biarpun mengenakan pakaian pribumi, jelas mereka adalah orang-orang Mongol! Belasan orang itu adalah anak buah Seng Gun, orang-orang Mongol pilihan di antara jagoan-jagoan, dan mereka harus membantu Seng Gun yang ditugaskan membantu dan mengamati pekerjaan Hoat-kauw yang akan menundukkan aliran aliran lain di dunia kangouw. Seng Gun berkata kepada anak buahnya dalam bahasa Mongol yang tidak dimengerti sepasang mempelai itu.

Dua orang anak buahnya menghampiri pengantin pria dan berkata dalam bahasa Han yang tidak kaku karena mereka semua sudah terlatih sebelum diikutkan Seng Gun, "Mari, tuan pengantin, beristirahatlah bersama kami," kata dua orang itu dan mereka sudah menggandeng kedua tangan pengantin pria.

"Dan engkau beristirahat dengan aku nona pengantin," kata pula Seng Gun dan diapun menggandeng tangan pengantin wanita itu. Tentu saja nona pengantin. itu menjadi terkejut, matanya yang jeli terbelelak dan ia meronta hendak melepaskan tangannya yang digandeng sambil menoleh kepada suaminya yang sudah ditarik oleh kedua orang itu terpisah darinya.

"Aku mau ikut suamiku ah, taihiap.... mohon lepaskan, aku ingin ikut suamiku...." Nona pengantin itu meronta dan berseru memohon. Melihat dirinya ditarik oleh dua orang itu ke arah lain sedangkan isterinya meronta-ronta dalam gandengan pendekar yang telah menolong mereka tadi, si pengantin pria menjadi terkejut dan curiga.

"Lepaskan aku„ aku ingin bersama isteriku! Kami akan beristirahat bersama, kami tidak ingin dipisahkan." Dia meronta dan hendak meiepaskan diri dari pegangan kedua orang Mongol itu.

"Plak! Plakk!" Dua kali tamparan membuat pengantin pria itu berteriak kaget dan kesakitan, bibirnya pecah berdarah dan diapun kini diseret oleh kedua orang itu. Melihat apa yang dilakukan dua orang itu kepada suaminya, pengantin wanita itu menjerit dan meronta semakin keras, akan tetapi sambil tersenyum Seng Gun memondongnya dan membiar kan ia meronta-ronta, membawanya ke arah sebuah pondok, diikuti suara tawa dari belasan orang Mongol itu.

Di tepi sebuah jurang, pengantin pria itu ditendang dan tubuhnya terlempar masuk ke dalam jurang. Hanya terdengar teriakan memanjang lalu sunyi. Belasan orang itu lalu membongkar isi peti-peti dalam kereta dan merekapun sibuk bermain-main dengan banyak barang berharga yang dibawa sepasang pengantin itu.

Mereka tertawa-tawa, seolah tidak mendengar jerit tangis si pengantin wanita yang dipermainkan sesuka hatinya oleh Seng Gun. Semua orang yang masih mempunyai sisa kemanusiaan di dalam hatinya pasti akan mengutuk perbuatan yang dilakukan seorang pemuda ahli silat dan sastra seperti Seng Gun itu.

Kita semua lupa bahwa menilai dan menghakimi perbuatan orang lain memang mudah saja, karena kita tidak terlibat di dalamnya. Semua perbuatan yang tidak benar selalu merupakan ulah nafsu daya rendah yang menguasai diri. Orang yang terlibat di dalamnya, yaitu orang yang dicengkeram nafsu daya rendah, didorong untuk melakukan perbuatan yang pada dasarnya hanya untuk memenuhi kehendak nafsu daya rendah, yaitu untuk memuaskan dan menyenangkan nafsu.

Nafsu selalu menggoda kita dengan bayangan-bayangan kesenangan dalam bentuk apapun juga, Dan tidak perduli kita ini seorang kaya ataupun miskin, tua ataupun muda, pria ataupun wanita, terpelajar atau buta huruf, pandai dan bodoh, semua dipermainkan nafsu daya rendah. Kalau kita melihat orang lain yang melakukan, dengan mudah kita dapat menilai dan dapat melihat kesalahan yang dilakukan orang lain. Akan tetapi, kalau kita sendiri yang terlibat, kalau kita sendiri yang dicengkeram nafsu, tidak mungkin kita dapat menerapkan penilaian seperti kalau kita melihat orang lain.

Pengertian dalam pertimbangan akal pikiran kita dapat dtpergunakan untuk orang lain, akan tetapi. bagaimana kalau kita sendiri yang terlibat? Bagaimana kalau kita yang didorong nafsu melakukan suatu perbuatan yang pada dasarnya hanya mengejar kesenangan, mengejar cita-cita menghalalkan segala cara? Dapatkan pengertian kita, ilmu pengetahuan kita, kepandaian dan kebijaksanaan kita, mencegah dan menundukkan nafsu kita yang mendorong-dorong kita melakukan kesalahan itu?

Sukar sekali! Banyak contohnya. Kita tahu dan mengerti benar bahwa nafsu yang mendorong kita untuk marah-marah, memukul atau memaki. adalah tidak benar. Kita mengerti benar. Akan tetapi mampukah pengertian kita itu mengendalikan kemarahan kita?

Semua pencuri di dunia ini tentu tahu dan mengerti benar bahwa mencuri adalah perbuatan yang tidak baik, berdosa, akan tetapi kalau nafsu sudah menguasai diri, mampukah pengertian itu mencegahnya untuk mencuri? Buktinya, mereka semua itu tetap saja mencuri walaupun mereka semua mengerti bahwa mencuri itu berdosa. Demikian pula dengan korupsi, dengan Segala macam bentuk kejahatan yang dilakukan orang di dunia ini.

Mereka semua bukan orang bodoh, mereka semua TAHU dan MENGERTI bahwa perbuatan jahat itu berdosa, namun pengetahuan dan pengertian itu tidak menolong, karena nafsu telah mencengkeram diri. Bahkan nafsu daya rendah sudah meresap sampai ke tulang sumsum, sampai ke dalam hati akal pikiran sehingga hati akal pikiran yang tahu dan mengerti bahwa perbuatan itu salah, bahkan menjadi pembela dari pada perbuatan itu sendiri.

Hati akal pikiran membisikkan kepada seorang koruptor misalnya bahwa semua orang juga melakukan korupsi, bahwa upahnya tidak cukup, bahwa dia membutuhkan uang itu untuk keluarganya, bahwa korupsinya hanya kecil dibandingkan para koruptor lainnya dan sebagainya. Pikiran yang bergelimang nafsu ini tidak mungkin mengendalikan nafsu sendiri, kalau membela memang pandai!

Banyak sudah diusahakan manusia untuk menguasai nafsu, untuk mengendalikan nafsu. Banyak sekali pelajaran-pelajaran dalam semua agama yang menjanjikan pahala bagi yang berkelakuan baik dan mengancamkan hukuman bagi yang berkelakuan jahat. Namun mengapa kejahatan cenderung meningkat? Karena jahat itu berarti mengejar kesenangan, dan nafsu dalam diri manusia memang selalu menjanjikan kesenangan bagi manusia.

Semua perbuatan yang mengandung pamrih kesenangan, baik kesenangan itu berupa harta, kedudukan, nama baik, pujian, janji-janji muluk, adalah ulah yang didorong nafsu daya rendah, nafsu yang telah menguasai kita lahir batin. Lahirnya menguasai pancaindera, batin nya menguasai hati akal pikiran.

Pelajaran-pelajaran itu mungkin menolong, akan tetapi hanya untuk sementara saja, hanya seperti tambalan saja, menutup untuk sementara. Hanya seperti sekam yang ditaburkan pada api. Nampaknya apinya padam, namun sesungguhnya masih membara di sebelah dalam dan sewaktu-waktu kalau mendapat angin akan bernyala lagi, bahkan mungkin lebih besar nyalanya dari pada sebelum ditutup sekam. Walaupun mungkin ada yang berhasil namun hanya jarang sekali. Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan?

Membuang atau membunuh nafsu? Tidak mungkin, karena justeru nafsu daya rendah ini yang menghidupkan manusia. Nafsu adalah alat hidup, peserta hidup dan pelengkap kita. Tanpa adanya nafsu, pancaindera kita tidak akan dapat merasakan apa itu indah dan buruk, lezat dan tidak lezat, enak dan tidak enak, merdu atau tidak, harum atau tidak, dan sebagainya. Tanpa adanya nafsu, pikiranpun akan terhenti, tidak akan ada kemajuan lahiriah dalam kehidupan ini, bahkan tanpa adanya nafsu berahi, perkembangbiakan manusiapun akan terhenti.

Nafsu mutlak perlu bagi kita, akan tetapi nafsupun mutlak membahayakan dan menyeret kita ke dalam perbuatan-perbuatan yang hanya akan mengacaukan kehidupan di antara manusia, perbuatan yang merusak dan pada umumnya kita namakan jahat. Nafsu adalah peserta, adalah hamba kita yang amat kita perlukan, akan tetapi kalau hamba ini sudah menjadi majikan kita, celakalah kita. Kita akan diseret dan di permainkan!

Mencari uang atau nafkah merupakan keharusan dalam kehidupan di dunia ini, akan tetapi kalau nafsu menjadi majikan, maka kita tidak segan-segan untuk menipu, merampok, mencuri, korupsi bahkan membunuh memperebutkan harta, Gairah berahi merupakan kebutuhan dalam hidup karena nafsu inilah yang membuat kita mau melakukan hubungan antara lawan kelamin, akan tetapi kalau nafsu yang menjadi majikan, kita tidak segan-segan untuk berjina, melacur, bahkan memperkosa!

Seperti yang dilakukan Seng Gun, bukan dia tidak mengerti atau tidak tahu bahwa perbuatannya itu jahat dan keji. Dia tahu! Akan tetapi, dorongan nafsunya tidak akan hilang atau terhenti karena pengetahuannya itu. Nafsu mutlak perlu, akan tetapi nafsu juga mutlak berbahaya. Lalu bagaimana?

Hanya dengan mengembalikannya kepada Sang Maha Pencipta, yang Mencipta kita, Mencipta nafsu-nafsu kita, Mencipta segala sesuatu yang nampak dan tidak nampak oleh mata kita, yang Mengadakan segala sesuatu yang ada, mengembalikan dengan arti menyerah dengan segala kepasrahan, keikhlasan, ke tawakalan. Hanya dengan pasrah sebulat bulatnya inilah, di mana kehendak si aku atau nafsu melalui akal pikiran tidak bekerja giat lagi, maka Kekuasaan Tuhan akan bekerja!

Hanya Kekuasaan Tuhan jualah yang akan dapat mengembalikan nafsu pada fungsi aselinya, yaitu menjadi peserta kita, menjadi pelayan kita demi kepentingan hidup berjasmani di dalam dunia ini. Seng Gun adalah seorang manusia yang sepenuhnya dikuasai nafsu daya rendah. Budi kesusilaan memang ada pula di dalam hatinya, menjadi peserta, namun budi kesusilaan itu tertutup oleh nafsunya sehingga seolah menjadi hamba nafsu.


Sukar dibayangkan kekejian apa yang terjadi di dalam pondok itu, akan tetapi tiga hari kemudian, di dalam jurang yang dalam itu menggeletak mayat sepasang pengantin baru itu. Pengantin pria tewas di dalam jurang karena ditendang dan dilempar oleh orang-orang Mongol anak buah Seng Gun. sedangkan pengantin wanita sengaja membunuh diri dan meloncat ke dalam jurang untuk mengakhiri hidupnya yang penuh aib.

* * * *

Perahu kecil itu meluncur dengan perlahan di tengah telaga itu. Penumpangnya hanya seorang saja, seorang pemuda yang kepalanya dilindungi sebuah caping lebar yang biasa dipakai oleh nelayan. Caping itu melindungi pemakainya dari terik matahari, juga dapat melindungi badan kalau turun hujan. Akan tetapi pemuda itu jelas bukan seorang nelayan. Dia tidak membawa pancing, juga tidak membawa Jala. Selain itu, pakaiannya juga bukan seperti nelayan, melainkan seperti seorang pemuda pelajar. Wajahnya tampan sekali dan dia mendayung perahunya perlahan-lahan ke tengah telaga. Agaknya dia ingin menghindari keramaian, menjauhi para nelayan dalam perahu mereka yang berseliweran bercampur dengan para pelancong yang menikmati keindahan alam dan kesejukan hawa udara di telaga.

Setelah tiba di tengah telaga yang sunyi, jauh dari perahu lain, pemuda itu tidak mendayung lagi, membiar kan perahunya berhenti di tengah telaga, dan diapun duduk di perahu, memandang ke permukaan air telaga yang tenang dan jernih sambil melamun.

Pemuda itu adalah Souw Kian Bu. Seperti kita ketahui, Souw Kian Bu pergi meninggalkan rumah orang tuanya di kota Wu-han untuk pergi merantau mencari pengalaman. Kepada mereka dia mengatakan bahwa selain mencari pengalaman di dunia kang-ouw (dunia persilatan), diapun ingin berkunjung ke Gobi-pai di pegunungan Gobi.

Ketika perjalanannya tiba di telaga itu, melihat keindahan telaga, Kian Bu tertarik sekali dan pada pagi hari itu dia menyewa sebuah perahu dan berperahu di telaga. Kini dia duduk di atas perahunya, melamun. Sebuah perahu yang agak besar meluncur perlahan mendekati perahunya, bahkan hampir membentur perahunya.

Kian Bu sadar dari lamunan dan merasa agak marah akan kesembronoan orang yang mengemudikan perahu besar itu. Kalau sampai perahunya yang kecil tadi terbentur, bukan tidak mungkin perahunya akan terguling. Akan tetapi perahu besar itupun berhenti, agaknya tidak didayung lagi.

Dari atas perahunya, dia melihat ada orang di atas perahu besar, mungkin penumpangnya berada di da lam bilik perahu yang berada di tengah perahu, hanya berupa papan di kanan kiri dan belakang sedangkan pintu di depan tertutup tirai.

Akan tetapi ketika perahu itu terbawa gerakan air agak melintang, dia melihat seorang laki-laki yang agaknya tukang perahu berada di ujung perahu dan tukang perahu inilah agaknya yang merupakan pengemudi dan pendayung perahu. Dia tidak tahu apakah di dalam bilik perahu ada orangnya. Akan tetapi tiba-tiba ia mendengar suara yang-kim (kecapi) dimainkan orang. Suara yang-kim itu cukup nyaring dan dari paduan suaranya dapat di ketahui bahwa pemainnya amat mahir memainkan alat musik itu.

Kian Bu yang juga pernah mempelajari permainan kecapi, mendengarkan penuh perhatian dan diapun tersenyum. Lagu asmara! Dia mengenal lagu "Menanti Kasih" itu yang menceritakan tentang Ci Lan, puteri raja yang cantik jelita menanti munculnya kekasihnya, seorang penggembala yang sebetulnya sudah dibunuh oleh raja yang tidak setuju puterinya saling mencinta dengan pemuda penggembala.

Namun, arwah penggembala itu agaknya menjadi penasaran dan dia masih seringkali muncul dan mengadakan pertemuan dengan sang puteri, walaupun mereka tidak dapat saling bicara atau saling bersentuhan. Dan sang puteri masih tetap mencintanya, merindukannya dan terjadilah lagu asmara itu!

Setelah permainan yang-kim itu nengakhiri lagu asmara tadi dan berhenti, Kian Bu tidak dapat menahan kekagumannya dan diapun berkata dengan suara bersungguh-sungguh, "Lagu yang indah, yang-kim yang merdu!"

Tukang perahu yang bertubuh tinggi kurus itu menoleh kepadanya, akan tetapi acuh saja seolah ucapan Kian Bu itu tidak ada artinya sama sekali baginya. Akan tetapi, tiba-tiba dari dalam bilik perahu yang pintunya tertutup tirai sutera biru itu terdengar suara wanita yang merdu dan seperti bersajak.

"Lagu yang indah bukan lagu, yang-kim yang merdu bukan yang-kim!"

Mendengar suara ini, Kian Bu tertegun. Dia merasa heran sekali dan juga penasaran, maka diapun memandang ke arah bilik perahu besar itu dan bertanya, "Maafkan kelancanganku, akan tetapi kalau lagu yang indah bukan lagu, lalu apakah lagu itu! Kalau yang-kim yang merdu bukan yang-kim, lalu apa yang merupakan yang-kim sebenarnya? Mohon petunjuk."

Hening sejenak, seolah wanita yang mengeluarkan suara tadi diam berpikir. Kemudian terdengar lagi suaranya, suara yang merdu, juga jelas pengucapan setiap kata, dan disuarakan seperti orang membaca sajak, setengah bernyanyi.

"Dengan matahari timbullah terang, tanpa matahari jadilah gelap, terang dan gelap tiada bedanya yang satu mengandung yang lain yang lain ada karena yang satu!"

Kian Bu menjadi semakin kagum. Dia bangkit berdiri di atas perahunya, mengangkat kedua tangan ke depan dada dan memberi hormat ke arah bilik di tengah perahu besar. "Aku, Souw Kian Bu, merasa kagum sekali atas permainan yang-kim dan kata-kata indah yang diucapkan. Kalau aku tidak dipandang terlalu rendah, aku mengharapkan untuk dapat berbincang-bincang mengenai gelap dan terang!"

Hening sejenak dan Kian Bu masih menanti dengan kedua tangan terangkap di depan dada. Kemudian terdenqar suara wanita yang merdu tadi, "Sobat, silakan naik ke atas perahu kami. Pandangan rendah maupun tinggi sama saja, sama-sama menjerumuskan!"

Dia berada di perahu kecil dan dipersilakan naik ke perahu besar itu, padahal di situ tidak ada tali atau tangga, hal ini jelas menunjukkan bahwa wanita yang mengundangnya hendak mengujinya, atau memang sudah dapat menduga bahwa dia memiliki kepandaian. Oleh karena itu, Kian Bu juga tidak merasa perlu menyembunyikan kemampuannya.

"Maafkan kalau aku mengganggu!" Tubuhnya lalu meloncat naik ke atas perahu besar sambil membawa tali perahunya. Tanpa guncangan sedikitpun kedua kakinya menginjak papan perahu besar. Dia tidak perduli betapa tukang perahu di perahu besar itu melirik dengan pandang mata jalang, lalu mengikatkan ujung tali perahunya ke perahu besar.

"Bagus, gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang bagus!" terdengar suara wanita itu berseru kagum.

Kian Bu memutar tubuh dan menghadapi pintu bilik yang tertutup tirai dan pada saat itu, sebuah tangan yang jari-jarinya kecil panjang dan putih mulus menyingkap tirai, lalu muncullah seorang wanita dari dalam bilik. Kian Bu yang sudah siap untuk mengangkat kedua tangan memberi hormat, terpesona dan lupa mengangkat tangannya, hanya berdiri bengong seperti patung, matanya terbelalak, mulutnya ternganga dan dia tidak mampu mengeluarkan kata-kata, tidak mampu melakukan sesuatu seperti tiba-tiba saja kehilangan akalnya!

Selama hidupnya, belum pernah dia dapat membayangkan seorang wanita sejelita ini, seperti bidadari dari kahyangan! Apa lagi bertemu, mimpi pun belum pernah. Sebelum ini, tentu dia tidak akan percaya bahwa di dunia ini terdapat seorang wanita yang memiliki kecantikan seperti ini!

Dara itu berpakaian serba putih, dari sutera putih. Demikian putih bersih sehingga ia nampak semakin anggun seperti dewi! Dan kecantikannya dalam pandang mata Kian Bu nampak sempurna, dengan daya tarik sedemikian kuatnya membuat dia seperti berubah menjadi patung. Mata itu! Rambut itu! Hidung dan terutama bibir itu! Wah, tidak mungkin dia dapat menggambarkan. Kalah manis madu seguci. Kalah harum bunga setaman.

Dan ketika bibir itu merekah, tersenyum memperlihatkan deretan gigi putih bersih dan rapi, membayangkan kemerahan rongga mulut dan ujung lidah, Kian Bu menjadi pusing tujuh keliling dan agaknya dia akan dapat jatuh pingsan kalau saja dia tidak cepat menahan napas mengerahkan tenaga.

"Souw-kongcu (tuan muda Souw), engkau kenapakah, memandangku seperti itu?" Mulut yang bibirnya berbentuk gendewa terpentang, merah membasah tanpa gincu itu bertanya lembut, masih membayangkan senyum geli.

Mendengar pertanyaan itu, barulah Kian Bu merasa seperti diseret turun kembali dari dunia lamunan, dunia awang-awang dan mukanya berubah kemerahan, dia menjadi salah tingkah. "Eh, aku saya eh, maafkan aku apakah apakah nona yang tadi bermain yang-kim dan bersajak?"

Dia menjenguk ke dalam bilik dari tirai yang setengah terbuka, untuk melihat apakah ada wanita lain di dalam bilik itu. Dara itu membuka tirai pintu bilik sehingga Kian Bu dapat melihat bahwa bilik kecil itu kosong, tidak ada orang lain di dalamnya. Yang ada hanyalah sebuah meja pendek tanpa bangku dan tentu dara itu tadi duduk bersila di atas tikar pada papan perahu. Sebuah yang-kim kecil terletak di atas meja, juga alat tulis yang disusun rapi. Peralatan ini saja menunjukkan bahwa dara itu adalah seorang ahli sastra yang tentu pandai menulis indah dan membuat sajak.

"Kenapa engkau merasa heran, kongcu? Apakah engkau tadi mengira bahwa yang memainkan yang-kim seorang pria?" Dara itu menahan tawanya, dan dari susunan kata-katanya mudah diketahui bahwa dara itu seorang yang terpelajar. Biarpun segala keindahan pada diri gadis itu masih mempesona, namun Kian Bu telah mampu menguasai perasaan nya dan dia menjadi lebih tenang.

"Tidak, nona. Suaranya menunjukkan bahwa yang bersajak adalah seorang wanita, akan tetapi tidak kusangka sama sekali masih semuda nona!"

Senyum itu tidak meninggalkan bibir yang mungil itu.. "Kenapa engkau mengira yang bicara seorang wanita tua, Souw-kongcu?"

"Karena ucapannya tadi mengandung soal-soal kehidupan yang rumit dan mendalam artinya sehingga aku menjadi tertarik untuk mengajak berbincang-bincang, akan tetapi tidak tahunya....”

Dara itu tersenyum makin lebar dan sepasang matanya berbinar-binar seperti bintang kembar. "Kongcu, apakah engkau sudah tua sekali? Kulihat engkau bukan kakek-kakek, dan tidak jauh lebih tua dibandingkan aku. Nah, mari kita duduk di dalam bilik kalau memang engkau masih ingin mengajak aku berbincang-bincang. Matahari mulai naik tinggi dan duduk di luar bilik akan membuat kulitku menjadi hangus. Engkau masih terlindung caping lebar, akan tetapi aku..."

"Ah, maaf, aku telah mengganggumu, nona."

"Tidak sama sekali, mari silakan." Dara itu memberi isyarat dengan tangannya mempersilakan Kian Bu memasuki bilik. Ia sendiri membuka sama sekali tirai pintu bilik itu sehingga kini bilik itu terbuka.

Melihat ini, Kian Bu merasa lapang dadanya. Sungguh akan mendatangkan perasaan tidak enak sekali kalau dia harus berada berdua saja dengan dara itu di dalam bilik perahu yang tertutup pintunya! Dia mengangguk dan memasuki bilik diikuti dara itu dan tak lama kemudian mereka berdua telah duduk bersila terhalang meja.

Kian Bu telah melepaskan caping cari atas kepalanya dan menaruh caping itu miring berdiri di sudut bilik. Kini mereka duduk berhadapan dan saling pandang. Akan tetapi Kian Bu tidak berani terlalu lama menatap wajah itu, merasa seolah silau kalau memandang terlalu lama.

"Nah, sebelum kita berbincang-bincang, sebaiknya kalau aku memperkenalkan diri lebih dahulu, karena engkau tadi sudah memperkenalkan dirimu, kongcu. Namaku Ji Kiang Bwe. Nah, sekarang apa yang ingin kau perbincangkan denganku, Souw-kongcu?"

Tadi, sebelum melihat orangnya, mendengar suaranya dan permainan yang-kim, hati Kian Bu tertarik sekali dan ingin dia berbincang tentang lagu, tentang musik, tentang sajak, dan terutama tentang makna kehidupan sepetti disinggung suara itu dalam sajaknya. Akan tetapi setelah kini melihat orangnya, dia kehilangan akal dan agaknya sukar sekali dia mengeluarkan kata-kata pendahuluan.

"Aku ehh, aku hanya eh, ingin bertanya mengenai sajakmu tadi, nona," akhirnya dia dapat mengambil keputusan untuk bertanya tentang sajak yang diucapkan gadis itu tadi, karena bertanya merupakan kegiatan yang paling mudah dalam suatu perbincangan atau percakapan.

"Tanyalah, Souw-kongcu. Orang bertanya tidak usah membayar," Gadis itu tersenyum dan Kian Bu juga tersenyum.

Kiranya gadis ahli sastra inipun pandai berkelakar, pikirnya dengan hati gembira. "Aku hanya ingin mengulang pertanyaanku tadi, Ji-siocia. Engkau mengatakan bahwa lagu yang indah bukan lagu dan yang-kim yang merdu bukan yang-kim. Lalu apa?"

"Souw-kongcu, lagu hanyalah lagu, yang-kim hanyalah yang-kim, kalau ditambah yang indah dan merdu, maka lagu dan yang-kim itu sudah bukan aselinya lagi, melainkan menjadi bayangan sesuai dengan selera yang menyebutnya. Sebutan indah dan buruk keduanya tidak menerangkan sifat sesungguhnya dari yang disebut, karena indah dan buruk hanyalah penilaian, dan setiap penilaian tentu didasari perasaan suka dan tidak suka pribadi, dan suka atau tidak suka inipun didasari menyenangkan atau tidak menyenangkan. Kalau menyenangkan, mendatangkan rasa suka, dan kalau suka, sudah tentu akan nampak indah dan baik. Karena itulah, maka lagu yang indah bukan lagu, yang-kim yang merdu bukan yang-kim, melainkan gambaran dari si penilai!”

Kian Bu tertegun. "Ji-siocia, apakah engkau dari aliran Beng-kauw (Aliran Terang)?" tanyanya sambil menatap tajam.

Orang-orang dari alirang Beng-kauw banyak yang pandai, akan tetapi berwatak aneh sehingga oleh para pendekar mereka digolongkan sebagai golongan sesat.

Dara itu tersenyum lagi. "Souw-kongcu, apakah kalau aku dari golongan atau aliran Beng-kauw lalu engkau tidak sudi lagi bercakap-cakap denganku?" Dara itu dengan gaya yang lincah dan cerdik balas bertanya. "Dan mengapa pula engkau mengira aku dari Beng-kauw?"

"Aku pernah membaca tentang aliran Beng-kauw, dan sajakmu tadi mirip dengan filsafat aliran Beng-kauw."

Dara itu menggeleng kepalanya. "Aku tidak terikat dengan aliran manapun. Aku hanya suka menyelami kenyataan-kenyataan hidup, tidak perduli dari ajaran aliran manapun. Kehidupan ini sendiri menjadi suatu aliran, suatu pelajaran yang tiada putusnya, juga menjadi guru kita. Apa lagi kalau dalam kehidupan ini kita mengalami banyak penderitaan, banyak kesengsaraan dan kedukaan, maka dengan sendirinya soal kehidupan amat menarik untuk direnungkan dan dimengerti."

Kian Bu memandang kagum. "Ah..tidak pernah aku dapat membayangkan kata kata seperti itu keluar dari mulut seorang nona semuda engkau, nona. Agaknya, maafkan aku, agaknya nona yang semuda ini sudah banyak mengalami hal-hal yang mendukakan. Benarkah itu?"

Tiba-tiba perahu besar itu terguncang keras. Kian Bu terkejut karena maklum bahwa perahu itu tentu ditabrak sesuatu, dan dia sudah cepat meloncat keluar dari dalam bilik perahu. Terdengar suara ribut orang berkelahi di ujung perahu dan ketika dia menghampiri, ternyata tukang perahu yang tinggi kurus tadi sedang berkelahi dikeroyok oleh tiga orang. Baru sekarang Kian-Bu mengetahui bahwa tukang perahu yang tinggi kurus dan bersikap dingin itu ternyata memiliki ilmu silat yang tangguh. Dayung besinya menjadi senjatanya dan dia mengamuk dikepung tiga orang yang bersenjatakan pedang dan ternyata tiga orang pengeroyok itupun lihai bukan main!

Seorang saja di antara mereka pasti akan merupakan lawan setanding dari tukang perahu itu. Akan tetapi kini mereka maju bertiga, tentu saja tukang perahu menjadi kewalahan dan dia lebih banyak hanya dapat menangkis saja dan memutar dayungnya melindungi diri, tidak mendapat banyak kesempatan untuk membalas.

Tiga gulungan sinar pedang sudah menghimpitnya dan sebentar lagi tentu dia akan terkena pedang dan roboh. Kian Bu tidak tahu mengapa mereka berkelahi dan siapa tiga orang pengeroyok itu. Karena tidak tahu urusannya, maka diapun tidak berani turun tangan. Bagaimanapun juga, tukang perahu itu adalah pembantu Ji Kiang Bwe dan dia harus mencegah tukang perahu itu terbunuh.

"Hentikan perkelahian!" teriak Kian Bu dan sekali bergerak, tubuhnya sudah melayang ke arah mereka yang sedang bertanding dan gulungan sinar pedangnya bergerak menangkis empat buah senjata itu, tiga batang pedang dan sebatang dayung. Terdengar suara berdencing berturut-turut.

Tukang perahu itu terkejut, juga tiga orang pengeroyoknya berloncatan ke belakang karena mereka berempat tadi merasa betapa tangan mereka tergetar hebat dan nyaris senjata mereka terlepas dari pegangan.

"Souw-kongcu, harap mundur. Ini merupakan urusan kami pribadi," terdengar suara merdu itu di belakangnya.

Kian Bu menoleh dan melihat Kiang Bwe telah berdiri di situ, tetap cantik jelita dan agung seperti tadi, hanya bedanya, kalau tadi wajahnya berseri penuh senyum dan ramah, kini wajah itu nampak dingin dan sinar matanya mencorong.

"Paman Gu, apa yang terjadi?" tanya dara itu dengan sikapnya yang tenang sekali kepada si tukang perahu.

Diam-diam Kian Bu memperhatikan dengan heran dan ingin tahu. Siapakah sebetulnya dara ahli sastra ini yang dapat bersikap sedemikian tenangnya menghadapi serbuan tiga orang lihai itu? Dan sikap tukang perahu itu lebih mengherankan hatinya lagi. Orang yang wajahnya nampak dingin itu kini bersikap hormat sekali dan dia merangkap kedua tangan depan dada ketika menjawab pertanyaan Kiang Bwe.

"Pang-cu (Ketua Perkumpulan), mereka adalah orang-orang Hoat-kauw yang sengaja hendak membunuhku."

Sepasang mata yang indah itu kini mencorong penuh kemarahan. Bukan hanya Kian Bu yang terkejut dan heran mendengar tukang perahu itu menyebut pangcu kepada si nona, akan tetapi juga tiga orang tokoh Hoat-kauw itu terkejut dan heran sekali.

"Orang she Gu!" kata seorang di antara mereka kepada si tukang perahu. "Ketua kalian, Ji-pangcu, telah tewas, tidak perlu lagi kalian menipu kami dan menyebut nona ini sebagai pangcu kalian!"

"Orang-orang Hoat-kauw yang sombong, kalian bertiga mempunyai mata akan tetapi seperti buta. Ji-pangcu memang telah tewas oleh kekejaman kalian, akan tetapi nona ini adalah ketua baru kami, puteri mendiang Ji-pangcu!"

Tiga orang itu saling pandang, kemudian mereka menatap wajah Ji Kiang Bwe. Mereka tadi melihat sepak terjang pemuda yang lihai itu dan mereka agak gentar kepadanya, akan tetapi tentu saja tidak gentar menghadapi dara muda yang diakui oleh si tukang perahu sebagai ketua yang baru.

"Bagus! Kalau begitu, biar kami mengrrimnya mengikuti jejak ayahnya!" bentak mereka dan tiga orang itu mempersiapkan pedang mereka untuk menerjang.

"Pangcu, hati-hati ...! teriak si tukang perahu yang sudah melintangkan dayungnya untuk membantu, Juga Kian Bu tidak mau tinggal diam.

"Ji-siocia, perkenankan aku membantumu!" Biarpun dia belum tahu mengapa orang-orang Hoat-kauw memusuhi nona itu, akan tetapi mudah saja baginya untuk mengambil keputusan, pihak mana yang patut dibantunya.

"Paman Gu, mundurlah dan kemudikan saja perahu kita, engkau bukan lawan mereka. Souw-kongcu, sudah kukatakan bahwa ini adalah urusan pribadi, harap engkau menonton saja dan tidak mencampuri. Aku tidak ingin mencontoh mereka yang pengecut dan mengandalkan pengeroyokan ini!

Tukang perahu itu mundur dan memegang kemudi perahu, memandang dengan khawatir, sedangkan Kian Bu juga mundur dan memandang dengan heran dan kagum. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa gadis yang pandai sastra, nampak lemah lembut, pandai main yang-kim dan membuat sajak itu, ternyata begitu tenangnya dan berani menghadapi pengeroyokan tiga orang Hoat-kauw yang lihai itu! Namun, diam-diam dia masih bersiap siaga untuk menjaga kalau-kalau gadis itu membutuhkan bantuannya. Dia tidak ingin melihat gadis itu celaka di tangan tiga orang lawan yang lihai itu.

Mendengar pemuda yang lihai itu menawarkan bantuannya kepada gadis yang mengaku sebagai ketua baru dari Kim-kok-pang, tiga orang Hoat-kauw itu diam-diam merasa semakin gentar. Seorang di antara mereka, yang berjenggot lebat dan berusia limapuluhan tahun, menahan gerakan pedangnya dan dia pun berkata dengan suara membujuk.

"Nona, kalau engkau benar menjadi pangcu dari Kim-kok-pang yang baru, kami anjurkan agar engkau membawa Kim-kok-pang untuk bekerja sama dan bersahabat dengan Hoat-kauw, tentu Kim-kok pang akan menjadi semakin kuat dan kelak akan menjadi sebuah perkumpulan yang besar dan berpengaruh, bahkan para pimpinannya akan mendapat kesempatan banyak untuk mendapatkan kekuasaan. Nah, sebelum terlanjur, kami sungguh mengharapkan nona akan suka membawa semua pimpinan dan datang berkunjung kepada pimpinan kami untuk membicarakan kerja sama itu."

Dengan alis berkerut Ji Kiang Bwe memandang kepada mereka lalu bertanya, "Kalian bertiga ini merupakan tokoh tingkat berapakah dari Hoat-kauw?"

"Kami bertiga adalah para pembantu ketua cabang. Ketua cabang merupakan tokoh tingkat ke empat dan kami berada di bawah mereka." kata si jenggot lebat dengan suara yang kurang senang ditanya tentang tingkat mereka.

"Hemm, tingkat lima atau empat? Tidak cukup berharga untuk membicarakan persoalan dengan aku. Kalau tokoh tingkat pertama atau setidaknya kedua dari Hoat-kauw yang datang, tentu aku akan suka bicara."

Sikap nona itu sungguh keren dan meiihat sikap itu saja, tiga orang ini menjadi gentar. Hanya orang yang percaya akan kemampuan sendiri saja yang dapat bersikap seperti itu. "Baiklah, kalau begitu, kami hendak kembali untuk melapor kepada atasan kami," kata si jenggot lebat dan dia memberi isyarat kepada dua orang kawannya untuk meninggalkan perahu itu, kembali ke perahu mereka yang bercat hitam dan yang menempel pada perahu besar itu.

"Nanti dulu!" bentakan nona itu nyaring berwibawa, suaranya melengking dan menusuk, membuat tiga orang itu terkejut dan membalikkan tubuh menghadapinya. "Kalian telah menabrak perahuku. Kalian telah menyerang pembantuku. Kemudian kalian bersikap sombong tidak menghormatiku. Kesalahan ini sebetulnya harus ditebus dengan nyawa. Akan tetapi, karena hari ini aku sedang menerima tamu terhormat, biarlah memandang muka tamuku, aku tidak akan membunuh kalian. Hayo cepat kalian menggunakan pedang memotong lengan kiri kalian masing-masing sebatas siku!"

Tiga orang itu terbelalak. Muka mereka menjadi pucat lalu berubah merah karena penasaran dan marah. Mereka adalah orang-orang penting dari Hoat-kauw dan tadinya, meiihat si tinggi kurus Gu Lok yang dikenal sebagai Si Dayung Baja, tokoh Kim-kok-pang yang juga menentang Hoat-kauw, mereka hendak membunuhnya. Hanya karena muncul dara yang mengaku sebagai ketua baru Kim-kok-pang, mereka tidak jadi membunuhnya. Akan tetapi, sekarang mereka dihina, diharuskan membuntungi lengan kiri sendiri, tentu saja mereka tidak sudi.

"Nona, engkau keterlaluan," kata si jenggot lebat. "Kami sudah mengampuni nyawa Si Dayung Baja, dan sekarang nona bahkan berani menghina kami?"

"Cepat kalian lakukan, kalau tidak tentu pangcu yang akan membuntungi lengan kalian, mungkin leher kalian!" kata Si Dayung Baja Gu Lok dengan lantang.

"Srat-srat-srat.!" Tiga orang itu mencabut lagi pedang masing-masing yang tadi telah disimpan dan si jenggot lebat berkata marah.

"Kami dari Hoat-kauw bukanlah orang-orang yang mau menerima" penghinaan begitu saja! Kim-kok-pangcu, tadi engkau mengatakan hendak menandingi kami bertiga seorang diri saja, menyuruh Si Dayung Baja mundur dan menolak pula bantuan pemuda itu. Apakah kata-katamu itu masih dapat dipercaya?"

"Singgg.!" Nampak sinar yang menyilaukan mata berkelebat dan tangan kanan Ji Kiang Bwe telah memegang sebatang rantai dari baja putih yang tadi ia pakai sebagai ikat pinggang. Rantai itu indah dan berkilauan, namun ternyata mempunyai gagang dan panjangnya tidak kurang dari satu meter. Begitu dilolos dan digerakkan, rantai itu menjadi tegang seperti sebatang pedang, bahkan mengeluarkan suara berdesing seperti senjata tajam, kemudian menjadi lentur seperti rantai biasa dan berputar lalu rantai itu melibat-libat lengan kanan Kiang Bwe.

Gerakan ini indah dan cepat. Kian Bu pernah mempelajari delapanbelas macam senjata dari ayah ibunya, akan tetapi belum pernah melihat seuntai rantai baja putih indah yang dijadikan ikat pinggang itu kini dipergunakan sebagai senjata. Ketika dia mengamati penuh perhatian, dia meiihat betapa bagian ujung rantai itu, mata rantainya tidak bundar, melainkan tipis dan tajam!

Senjata seperti itu dapat menyambar seperti golok membabat, dapat menusuk seperti pedang karena digerakkan dengan sinkang sehingga menjadi tegang, dapat pula untuk menotok jalan darah dan dapat melibat senjata tajam lawan. Sungguh merupakan sebuah senjata yang ampuh, kalau saja pemegangnya mahir mempergunakannya karena penggunaannya juga sukar dan berbahaya bagi diri sendiri kalau kurang mahir.

"Tiga ekor tikus dari Hoat-kauw, majulah untuk kubuntungi lengan kiri kalian!" kata Kiang Bwe, suaranya lembut dan sikapnya tenang, seolah ia sama sekali tidak merasa tegang, juga tidak siap untuk bertanding, apa lagi menghadapi pengeroyokan tiga orang lawan yang lihai.

Tiga orang Hoat-kauw itu, yang masih gentar kalau-kalau Si Dayung Baja dan Kian Bu akan membantu nona itu, cepat menggerakkan pedang masing-masing, membentuk kurungan segitiga dan mereka menyerang dengan gerakan cepat dan kuat dari kanan kiri dan depan!

Kian Bu sendiri menahan napas meiihat kedahsyatan serangan tiga orang itu, akan tetapi Si Dayung Baja nampaknya tenang-tenang saja. Begitu dara itu bergerak, tahulah Kian Bu mengapa tukang perahu itu nampak tenang saja. Kiranya dia sudah yakin akan kehebatan nona yang menjadi ketua perkumpulannya itu.

Begitu Kiang Bwe menggerakkan senjata di tangannya, nampak kilat menyambar ke sekelilingnya dan terdengar bunyi berdencingan disusul bunga api berpijar ketika tiga batang pedang para pengeroyok itu tertangkis rantai dan tiga orang itu berloncatan ke belakang karena tangan mereka terasa panas seperti disentuh api membara.

"Heiiiittt,....!!" Dara itu mengeluarkan suara melengking-lengking dan senjata di tangannya menyambar-nyambar dengan ganasnya, membuat tiga orang itu makin terkejut dan mereka harus memutar pedang untuk melindungi diri mereka.

Memang aneh kalau dilihat, tiga orang berpedang kini terdesak oleh dara yang mereka keroyok. Hal ini membuktikan betapa cepatnya gerakan dara itu, jauh lebih cepat dari pada gerakan tiga orang lawannya sehingga ia mampu menghujankan sambaran rantainya kepada mereka, membuat mereka menjadi repot sekali.

Apalagi setiap kali senjata mereka bertemu dengan rantai, mereka merasa betapa gagang pedang mereka seolah berubah menjadi bara api yang membakar telapak tangan. Diam-diam Kian Bu memperhatikan gerakan dara itu dan diapun terpesona.

Tadi saja dia sudah terpesona oleh kecantikan dan kepandaian gadis itu bermain yang-kim dan mengutip sajak, dan kini ditambah lagi kekagumannya melihat gerakan senjata rantai itu. Dan tiba-tiba mukanya berubah kemerahan. Pantas saja gadis itu tadi memuji gin-kangnya ketika dia meloncat dari perahunya ke atas perahu besar. Kiranya gadis itu sendiri ahli meringankan tubuh yang hebat sehingga gerakannya demikian cepat dan lincahnya!

Kembali terdengar dara itu mengeluarkan lengkingan suara memanjang tiga kali dan sinar rantainya menyambar-nyambar, disusul muncratnya darah, buntungnya lengan kiri ke tiga orang itu dan begitu Kiang Bwe menggerakkan kaki nya tiga kali, tubuh tiga orang pengeroyok itu terlempar keluar dari perahu dan berjatuhan ke air telaga!

Kian Bu terbelalak, juga bergidik. Dara yang demikian jelita, dan halus lembut gerak gerik dan tutur katanya, ternyata kini dapat melakukan perbuatan yang baginya nampak sadis sekali! Dia memang putera suami isteri pendekar, akan tetapi selama ini dia hanya berlatih silat dengan ayah ibunya, dan tidak pernah bertanding dengan orang luar, apa lagi melihat lengan tiga orang dibuntungi begitu saja dan tubuh mereka yang sudah kehilangan lengan kiri ditendang ke air telaga.

"Ji-siocia, apa artinya semua ini?" tanya Kian Bu dan kini wajahnya tidaklah seramah tadi. Sakit hatinya melihat dara jelita itu dapat melakuan kekejaman seperti itu.

"Paman Gu, jalankan perahu menepi," kata Kiang Bwe, lalu kepada Kian Bu ia berkata, "Souw-kongcu, panjang ceritanya untuk menjawab pertanyaanmu ini dan pertanyaanmu yang tadi. Maukah engkau menjadi tamu kami dan mendengarkan keteranganku untuk menjawabmu? Atau kalau engkau masih merasa tidak suka dan tidak mau memenuhi undanganku, terserah, tentu saja kami tidak dapat memaksamu."

Melihat pandang mata itu nampak sayu dan berduka, redalah kemarahan Kian Bu. Dia memang ingin sekali mengetahui riwayat dara ini dan mengapa terdapat permusuhan antara perkumpulan yang agaknya dipimpin dara itu dengan Hoat-kauw, suatu aliran yang cukup besar dan berpengaruh.

"Baiklah, aku ingin mendengarkan penjelasanmu agar hatiku tidak menjadi penasaran, walaupun tentu saja urusan itu tidak menyangkut diriku." Dia teringat kepada perahu kecilnya yang masih tertambat kepada perahu besar itu. "Akan tetapi aku harus mengembalikan dulu perahu yang kusewa."

"Jangan khawatir, urusan itu akan dikerjakan orang-orangku di tepi telaga," kata Ji Kiang Bwe.

Mereka mendarat dan lima orang menyambut dara itu dengan sikap hormat. Bahkan atas permintaan Kiang Bwe, dua ekor kuda segera dipersiapkan dan ia mengajak Kian Bu untuk menunggang kuda menuju ke tempat tinggalnya. Kian Bu meiihat betapa dalam hal menunggang kuda, dara itupun mahir sekali.

Mereka membalapkan kuda menuju sebuah bukit yang dari jauh nampak berwarna kuning emas berkilauan. Itu adalah karena di bukit itu terdapat batu-batu cadas yang berwarna kekuning-kuningan sehingga kalau tertimpa matahari dan nampak dari jauh seperti emas. Karena itu pula, maka lembah bukit di mana terdapat warna seperti emas itu di sebut Lembah Bukit Emas.

Mereka membalapkan kuda mendaki bukit itu dan setelah tiba di lereng, di lembah itu, nampak dari situ Sungai Yang-ce seperti seekor naga biru meliuk-liuk di bawah sana. Di lembah bukit itu terdapat sebuah perkampungan dan di depan pintu gerbangnya, baru Kian Bu mengetahui bahwa itu bukan sebuah dusun biasa, melainkan perkampungan yang menjadi pusat dari Kim-kok-pang (Perkumpulan Lembah Bukit Emas), seperti yang tertulis pada papan besar di pintu gerbang.

Puluhan orang menyambut nona itu dengan sikap gembira dan normat ketika Kiang Bwe dan Kian Bu memasuki pintu gerbang perkampungan itu. Terdapat perumahan seperti di sebuah dusun kecil, dan Kiang Bwe mengajak Kian Bu ke sebuah bangunan terbesar yang berada di tengah perkampungan. Mereka meloncat turun dari kuda dan dua orang anggauta Kim-kok-pang segera mengurus dua ekor kuda itu.

"Mari silakan masuk, Souw-kong cu." Ji Kiang Bwe mempersilakan.

Mereka memasuki rumah yang cukup besar dengan prabot rumah yang lengkap dan baik, lalu nona rumah itu mengajak Kian Bu duduk di sebuah ruangan tamu yang luas, yang mempunyai banyak jendela me nembus ke sebuah taman. Mereka duduk berhadapan terhalang meja besar dan seorang wanita setengah tua muncul membawakan minuman dan menghidangkan minuman dengan sikap hormat, lalu mengundurkan diri lagi. Setelah menuangkan minuman dan mempersilakan tamunya minum, Ji Kiang Bwe memandang tamunya. Mereka saling pandang, dan dara itu menghela napas panjang.

"Sebetulnya aku sendiri merasa heran mengapa aku ingin menceritakan riwayat dan keadaanku kepadamu, kongcu. Padahal kita baru saja berkenalan dan hanya secara kebetulan bertemu di telaga. Mungkin karena sikapmu yang ramah, karena kesediaanmu membantuku tadi menghadapi orang-orang Hoat-kauw."

"Maafkan aku, Ji-siocia. Akupun biasanya tidak berani lancang ingin mengetahui persoalan orang lain. Akan tetapi peristiwa yang terjadi di perahu tadi amat menarik hatiku. Kalau nona tidak mau menceritakan sebabnya, tentu hatiku akan selalu merasa penasaran bagaimana seorang seperti nona dapat melakukan hajaran yang demikian kerasnya terhadap tiga orang tadi."

"Akan kuceritakan semua karena akupun ingin menerangkan kepadamu, Kongcu. Akan tetapi sebelum itu, sudah sepantasnya kalau aku mengetahui lebih banyak tentang dirimu, orang yang kupercaya mendengarkan riwayatku."

Kian Bu tersenyum. "Aku mengerti, nona, dan memang sudah sepantasnya begitu. Akan tetapi tidak ada apa-apanya yang menarik tentang diriku. Aku tinggal di Wu-han bersama orang tuaku, dan ayahku seorang pedagang kain. Aku adalah anak tunggal, dan sejak kecil aku tinggal di Wu-han. Baru sekali ini aku pergi merantau seorang diri untuk mencari pengalaman dan kebetulan saja ketika aku sedang berperahu di telaga itu aku mendengar permainan yang-kim mu. Nah, tidak ada apa-apanya yang menarik, bukan?"

"Akan tetapi engkau pandai ilmu silat, setidaknya, engkau memiliki ginkang yang hebat. Siapakah gurumu, kong-cu?"

"Aku belajar sedikit ilmu silat dari ayah ibuku sendiri," jawab Kian Bu sederhana.

Dara itu membelalakkan matanya dan Kian Bu merasa seolah jantung dalam dadanya jungkir balik. Begitu indahnya mata itu ketika dibuka lebar. "Aih, kalau begitu, ayah ibumu adalah orang-orang sakti!" Kata dara itu kagum.

Wajah Kian Bu menjadi kemerahan. "Ah, sama sekali bukan, nona. Ayahku seorang pedagang kain dan ibuku seorang ibu rumah tangga yang baik. Nah, sekarang ceritakan tentang dirimu dan semua yang terjadi tadi, nona."

Wajah yang jelita itu nampak muram, akan tetapi hanya sebentar, seolah awan tipis berlalu. lalu bercerita. Ayahnya bernama Ji Kun Ek, seorang pendulang emas yang tadinya seorang pemburu. Dia berhasil menemukan emas di bukit itu, dan mendengar dia berhasil menemukan emas, banyak pemburu yang tadinya merupakan rekan-rekannya ikut pula mencari emas. Dan terbentuklah sekelompok pendulang emas yang makin lama menjadi semakin banyak, sampai lebih dari seratus orang banyaknya.

Dan untuk mencegah agar tidak ada orang luar ikut-ikutan, apa lagi karena seringnya ada orang jahat merampok hasil pendulangan beberapa orang di antara mereka. Ji Kun Ek membentuk kelompok itu sebagai anggauta perkumpulan Kim-kok-pang yang menetap di Lembah Bukit Emas itu. Mereka semua mengangkat Ji Kun Ek sebagai ketua Kim-kok-pang, bukan hanya karena dia merupakan orang pertama yang mendulang emas, melainkan juga karena dia memiliki ilmu silat yang paling kuat di antara mereka.

Hasil pendulangan emas membuat Kim-kok-pang cukup kuat dan kehidupan para anggautanya cukup makmur. Ji Kun Ek bahkan mengirim anak tunggalnya, ya itu Ji Kiang Bwe, ke kota besar dan memanggil guru-guru sastra dan seni untuk mendidik puterinya. Setelah dia sendiri menghabiskan semua ilmu silatnya diajarkan kepada puterinya, dia bahkan menganjurkan puterinya untuk memperdalam ilmu silatnya dan secara kebetulan sekali, ketika berkunjung ke sebuah kuil wanita untuk bersembahyang, Ji Kiang Bwe bertemu dengan seorang pendeta wanita yang kebetulan juga menjadi tamu para nikouw di situ.

Pendeta wanita ini berjuluk Pek Mau Sian-kouw, julukan Pek-mau (Rambut Putih) ini karena seluruh rambut kepalanya sudah putih semua seperti benang-benang sutera putih, sungguhpun usianya baru sekitar limapuluh tahun. Tidak ada seorangpun yang akan menduga bahwa pendeta wanita ini sesungguhnya memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Sejak muda sekali Pek Mau Sian-kouw ini merantau ke negeri barat, bertahun-tahun tinggal di India, kemudian juga lama berada di Tibet sehingga namanya lebih terkenal di daerah Tibet dari pada di Tiongkok. Pek Mau Sian-kouw selain ahli ilmu silat tinggi, juga telah mempelajari ilmu perbintangan dan ramalan, dan begitu melihat Ji Kiang Bwe yang ketika itu berusia tigabelas tahun dan sudah pandai ilmu silat karena gemblengan ayahnya, ia tahu bahwa ia telah bertemu dengan murid yang berjodoh dengannya.

Demikianlah, selama lima tahun Pek Mau Sian-kouw mengajarkan ilmu ilmunya kepada Ji Kiang Bwe sehingga setelah berusia delapanbelas tahun, Ji Kiang Bwe telah menguasai ilmu-ilmu andalan pertapa wanita itu.

"Aku mengikuti subo ke tempat pertapaannya selama dua tahun terakhir, dan ketika subo mengijinkan aku turun gunung dan pulang ke sini, ternyata telah terjadi malapetaka hebat mehimpa diri ayahku sebagai ketua Kim-kok-pang," kata dara itu dan wajahnya kembali muram.

"Apa yang telah terjadi dengan ayahmu dan ibumu, nona?"

"Ibuku sudah meninggal dunia sejak aku masih kecil, Souw-kongcu. Karena itu, seluruh kasih sayangku terhadap orang tua kucurahkan kepada ayahku. Akan tetapi, ketika tiga bulan yang lalu aku pulang, aku mendengar bahwa ayahku telah meninggal dunia kurang lebih sebulan sebelum aku pulang."

"Hemm.. terkena sakit?"

"Tidak, dia terbunuh oleh pimpinan Hoat-kauw! Menurut cerita para pembantu ayah, sudah lama Hoat-kauw membujuk ayah agar Kim-kok-pang suka bekerja sama dengan Hoat-kauw dan mengakui Hoat-kauw sebagai aliran tunggal yang harus dianut oleh semua anggauta Kim-kok-pang. Ayah menolak bujukan itu sehingga akhirnya terjadi bentrokan antara ayah dan pimpinan Hoat-kauw. Dalam suatu pertandingan satu lawan satu ayah roboh dan tewas."

Kian Bu diam saja tidak memberi komentar. Kalau pertandingan itu, apapun alasan pertandingan, dilakukan satu lawan satu, maka hal itu merupakan suatu kehormatan bagi seorang ahli silat, dan kalah menang merupakan soal ke dua. Sukar mencampuri kekalahan orang yang bertanding satu lawan satu. Ji Kiang Bwe melanjutkan ceritanya. Ketika ia pulang dan semua pembantu ayahnya mengetahui bahwa dara ini pulang membawa ilmu kepandaian yang jauh lebih tangguh dibandingkan mendiang ayahnya, mereka lalu serta merta mengangkatnya menjadi ketua Kim-kok-pang yang baru.

"Aku tidak dapat menolak pengangkatan itu demi ayahku, dan selama tiga bulan ini, aku hanya dapat berduka karena kematian ayah. Aku menjadi yatim piatu, dan biarpun aku berduka, apa yang dapat kulakukan? Hoat-kauw adalah sebuah aliran kepercayaan yang besar dan berpengaruh. Aku hanya dapat menanti sampai ada orang Hoat-kauw berani datang hendak memaksakan kehendak. Kalau hal itu terjadi, aku akan melawan mereka, bukan hanya untuk membalaskan kematian ayahku, juga untuk menentang kejahatan mereka memaksakan kehendak kepada perkumpulan lain. Dan pada hari ini, untuk menghibur hati, aku berpesiar di telaga, hanya mengajak Paman Gu Lok untuk mengemudikan perahu. Dan hal yang kunanti-nanti selama tiga bulan inipun tiba, yaitu hendak membunuh Gu Lok karena paman ini merupakan pembantu utama mendiang ayah. Nah, engkau tahu mengapa aku bersikap keras kepada tiga orang itu."

Lega rasa hati Kian Bu. Andaikata malapetaka ini menimpa dirinya, andaikata ayahnya yang terbunuh oleh orang Hoat-kauw karena menolak bujukan mereka, mungkin dia akan bersikap lebih keras lagi terhadap tiga orang Ho-at-kauw tadi. Mungkin mereka akan dibunuhnya....!
Selanjutnya,