Kisah Si Pedang Terbang Jilid 01 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Kisah Si Pedang Terbang

Karya : Kho Ping Hoo
Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo
Jilid 01
SUNGAI bagaikan pita sutera biru. Gunungnya laksana tusuk sanggul kemala! Demikianlah pujian yang ditulis dalam dua baris atau sebait sajak oleh Han Ji (768 824), seorang di, antara para pujangga besar di jaman Dinasti Tang (618 907) itu. Sebait sajak yang sederhana, namun jelas menggambarkan keindahan alam dari lembah Sungai Li yang dilihat dari puncak Gunung Teratai Biru.

Memang, kebesaran alam dengan segala keindahannya terbentang luas di sekitar Kuilin, Propinsi Juangsi itu. Dan Sungai Li merupakan penunjang kuat untuk segala keindahan ini, kesuburan tanahnya, kemakmuran rakyatnya. Sungai Li ini dikenal pula dengan sebutan Sungai Kui atau Sungai Haijang, sebagai sungai yang bermata air dari Gunung Haijang.

Gunung Haijang berdiri tegak menjulang di antara dua propinsi, yaitu di perbatasan Propinsi Kuangsi dan Propinsi Hunan. Dari gunung ini mengalir dua batang sungai, yaitu Sungai Li yang mengalir masuk ke daerah Propinsi Kuangsi, sedangkan yang mengalir ke daerah Hunan adalah Sungai Siang. Dari daerah Kuilin sampai ke daerah Yangsuo terbentang keindahan alam yang tiada habis-habisnya, yang satu lebih menarik dan lebih indah dari pada yang lain.

Namun, seperti banyak ditulis para penyair dan dilukis oleh para pelukis, yang terindah di antara semuanya adalah pemandangan alam di Yangsuo. Di daerah ini, Gunung Teratai Biru mencakar langit, seringkali puncaknya terselimut kabut tipis, nampak seperti wajah jelita seorang puteri mengintai dari balik tirai putih yang tipis.

Indah bukan main! Dari jauh, gunung ini nampak seperti bentuk sekuntum bunga teratai yang menguncup, segar dan indah kebiruan. Di kaki gunung ini terdapat dusun-dusun yang tenang tenteram, dihuni para petani merangkap nelayan yang hidupnya tak pernah kekurangan karena tanah di situ subur dan Sungai Li mengandung banyak ikan.

Dan di lereng gunung itu, terpencil sunyi namun penuh kedamaian, berdiri sebuah kuil tua yang indah. Itulah Kuil Cian yang seolah menjadi lambang ketenteraman, mengamati kehidupan rakyat pedusunan yang berada di bawah. Dari kuil ini kita dapat menikmati tamasya alam yang berubah-ubah keindahannya dari pagi sampai senja. Bahkan di waktu malam, kalau bulan muncul bersih tidak terhalang awan, pemandangan di situ amat mempesonakan.

Kota Yangsuo seolah menjadi pusat dari semua keindahan itu, bagaikan sekuntum bunga teratai biru, dikitari berlapis-Iapis pegunungan yang hijau zamrud, seperti setangkai bunga yang terllndung dalam pelukan daun-daun bunga. Di daerah itu, kedua tepi Sungai Li terjaga pegunungan, dari Gunung Teratai Biru, kalau kita menyusur ke hilir sungai, akan nampaklah Gunung Pelayan Pelajar.

Gunung ini memperoleh namanya dari bentuknya yang seperti seorang pelayan pelajar, tenang, diam dan patuh, duduk tegak lurus membantu sang pelajar mendeklamasikan sajak buatan majikannya. Dari sisi lain, dia nampak seperti sedang membungkuk, siap menerima tugas dari sang pelajar. Di antara puncak-puncak pegunungan itu, yang terkenal adalah Puncak Singa Kembar di Gunung Besi.

Memang puncak itu mirip sekali sepasang singa yang duduk dengan tenangnya nampak gagah dan jinak, tidak membayangkan keganasan. Air Sungai Li itu sendiri amat jernih karena belum melalui kota-kota besar di mana penduduknya tak segan-segan mengotorinya. Airnya jernih tembus pandang sampai ke dasarnya yang terbentuk dari batubatu cadas.

Di kanan kiri sungai nampak pegunungan, jurang dan palung-palung buatan alam. Ada dongeng rakyat setempat bahwa di sana pernah terjadi peristiwa hebat, yaitu ketika Sembilan Naga Berlumba Menyeberangi Sungai. Dongeng ini timbul karena adanya garis-garis timbul yang berliku di dasar sungai, sehingga nampak seolah ada sembilan ekor naga berlumba melintasi sungai.

Tak jauh di sebelah depan lagi nampak di kejauhan dua pegunungan yang berhadapan dan nampak seperti dua pasukan saling berhadapan dengan seragam putih dan merah. Itulah Pegunungan Tebing Putih, dan Pegunungan Tebing Merah. Pemandangan pegunungan yang kehijauan bertahtakan tebing-tebing putih dan merah!

Maju sedikit Iagi, di daerah Singping di tepi Sungai Li, terdapat Pegunungan Lima Puncak, dan Gunung Lukisan. Keindahan di daerah ini menggerakkan hati banyak penyair untuk datang berkunjung dan menuliskan pujian hati mereka melalui sajak-sajak indah, juga tiada habisnya para pelukis kenamaan mencoba untuk menggoreskan suara hati mereka mengutip semua keindahan itu.

Terdapat dongeng rekyat pula di daerah itu bahwa demikian indahnya pemandangnya alam di situ sehingga seorang dewapun tergerak hatinya, dan pada suatu hari, sang dewa itu duduk di atas sepetak rumput menikmati keindahan sambil minum arak dan bersajaklah sang dewa itu. Hal ini sudah terjadi ribuan tahun yang lalu (sajak dari abad ke duabelas sebelum Masehi).

Senja menjelang tiba embun mulai mengelimuti rumput penuhilah lagi cawan cakrawala sebelum malam menghapus semua keindahan ini! Sepanjang malam kabut menutupi semua keindahan menakjubkan ini namun itupun takkan lama kabut akan mengering malam akan berakhir!

Hampir semua penyair di jaman itu, yaitu dalam dinasti Tang (618-907) pernah berkunjung dan mengagumi keindahan pemandangan alam di sepanjang Sungai Li, terutama di daerah Kuangsi ini. Di antara mereka adalah para penyair besar seperti Han Ji, Liu Cung Yuen, Huang Ting Ciang, Ji Fu, Fan Ceng Ta, Wang Wei dan terutama sekali Li Tai Po, Tu Fu dan masih banyak lagi.

Kabarnya, Li Tai Po sendiri pernah naik perahu seorang diri di Sungai Li, minum arak dan pada malam terang bulan purnama, penyair besar ini mengenang pengalamannya dengan bersajak. Sajaknya itu amat terkenal, terutama di daerah yang dialiri Sungai Li.

Seperti kebanyakan sajaknya, penyair ini lebih suka menulis tentang perasaan dan kehidupan manusia melalui dirinya sendiri dari pada sekedar memuji keindahan alam.

Dengan cawan anggur di tangan dikelilingi bunga,
aku minum sendiri tanpa seorangpun menemaniku.
Kuangkat cawan anggurku kepada bulan
kuminta bulan mendatangkan bayanganku
dan membuat kami menjadi bertiga.
Namun, bulan tidak dapat minum
dan bayanganku tertinggal, hampa;
betapapun mereka adalah kawan-kawanku
menemaniku sepanjang musim semi…
Aku bernyanyi. Bulan tersenyum padaku.
Aku berjoget. Bayanganku mendampingiku.
Kutahu, kami adalah sahabat-sahabat baik,
ketika aku mabok, kami saling kehilangan.
Dapatkah kemauan baik bertahan?
Kutatap jalan panjang Sungai Bintang-bintang!

Di kaki Bukit Ayam Emas yang termasuk daerah Yuangsuo, terdapat beberapa buah dusun yang bertebaran di sekeliling bukit itu. Di antaranya adalah dusun Libun yang terletak di tepi sungai Li. Dusun ini hanya berpenduduk sekitar limapuluh keluarga saja, agak jauh dari dusun lain, paling dekat sepuluh li dari dusun lain dan nampak tenang dan tenteram.

Para penghuninya bekerja sebagai petani dan juga nelayan dan di tepi sungai nampak banyak perahu dan rakit dari bambu fertambat. Mereka yang keadaannya agak mampu memiliki sebuah perahu, yang lebih sederhana cukup dengan rakit yang mereka buat sendiri dari bambu. Pada umumnya, penghuni dusun Libun merasa cukup.

Memang sesungguhnya, kaya atau miskin tak dapat diukur dari isi saku atau harta milik. Betapapun besar dan banyak harta milik yang dipunyai seseorang, kalau dia masih merasa kurang atau belum cukup, sama saja artinya dengan seorang yang miskin dan dia tidak akan dapat menikmati apa yang telah dimilikinya.

Sebaliknya, biarpun seseorang hidup sederhana, namun kalau dia sudah merasa cukup, sama saja halnya dengan seorang kaya raya dan dia dapat menikmati apa yang telah dimilikinya. Jadi letak ukurannya bukan di saku atau di gudang harta, melainkan di dalam hatinya. Seperti para penduduk dusun Libun. Karena mereka tinggal di dusun sederhana, maka kebutuhan hidup merekapun tidak banyak, sekedar sandang, pangan dan papan yang sederhana cukuplah.

Tidak terdapat banyak godaan terhadap mereka, seperti dalam kota di mana terdapat toko-toko yang menjual barang-barang mewah dan indah, rumah-rumah makan dengan masakan yang mahal, dan rumah-rumah indah, juga tontonan-tontonan yang kesemuanya itu membutuhkan uang banyak sehingga tentu saja kehidupan di kota mendatangkan banyak keinginan dan kebutuhan.

Berbahagialah manusia yang dapat menikmati apa yang ada, menikmati apa yang dimilikinya. Namun, selama kita masih dicengkeram nafsu, kita takkan pernah dapat menikmati apa yang kita miliki karena kita selalu menjangkau yang belum kita miliki, yang kita anggap akan lebih indah dari pada apa yang telah kita miliki. Sifat nafsu adalah selalu mencari yang lebih dan hanya sejenak saja menikmati apa yang kita dapatkan lalu terganti kebosanan karena kita sudah mengejar yang kita anggap lebih menyenangkan lagi.

Dan untuk dapat menjadi manusia berbahagia seperti itu, satu-satunya jalan keluar hanyalah dengan penyerahan kepada Tuhan Yang Maha Kasih. Kalau kita menyerahkan diri kepada Tuhan, kita tidak akan mengeluh dan selalu akan bersukur kepada Tuhan, dalam keadaan apapun kita berada.

Kalau segala peristiwa kita sambut sebagai sesuatu yang telah dikehendaki Tuhan, kita tidak akan mengeluh lagi, karena kita yakin bahwa semua kehendak Tuhan pasti terjadi, dan apapun yang ditimpakan kepada kita pasti memillki hikmah karena Tuhan mengetahui apa yang terbaik untuk kita.

Kewajiban kita dalam hidup ini hanyalah mempergunakan atau memanfaatkan semua anggauta tubuh ini termasuk hati akal pikiran kita untuk kesejahteraan hidup ini, dari diri pribadi sampai lingkungan yang makin meluas, keluarga masyarakat, bangsa, dan seluruh manusia.

Semua usaha itu didasari penyerahan dan keyakinan bahwa semua hasil usaha kita, baik yang bagi kita menyenangkan maupun menyusahkan, terjadi atas kehendak dan bimbingan Tuhan. Karena itu, hanya puji syukurlah yang keluar dari hati dan mulut kita kepada Tuhan Maha Pengasih.


Pagi itu amat cerah. Sinar matahari pagi seolah menggugah semua yang terlelap di malam yang baru lewat, dan memberi kehidupan kepada setiap tumbuh tumbuhan, besar maupun kecil, memberi kehidupan kepada semua mahluk, merupakan satu di antara berkah Tuhan yang berlimpahan kepada ciptaanNya, alam beserta seluruh isinya.

Permukaan Sungai Li amat tenang dan jernihnya. Kecuali apa bila hujan turun yang membawa banyak tanah dan daun kering mengotori air sungai, air itu selalu jernih dan pagi hari yang cerah Itu, air sungai nampak jernih seperti kaca dan matahari pagi membuat garis-garis perak dipermukaannya.

Sebuah rakit kecil yang hanya terbuat dari beberapa batang bambu, meluncur perlahan menyeberang sungai. Rakit itu membawa seorang anak laki-laki yang dengan gerakan kuat karena sudah terbiasa, mendorong rakit meluncur dengan sebatang dayung.

Setelah tiba di seberang, anak laki-laki itu menempelkan rakitnya di tepi sungai, lalu meloncat ke darat dan mengikatkan tali rakitnya pada sebatang pohon bambu yang besar. Tepi sungai dimana dia mendarat itu memang merupakan sebuah kebun bambu yang lebat, di mana terdapat banyak sekali rumpun bambu yang bermacam-macam bentuknya.

Diapun meninggalkan rakitnya, memasuki hutan bambu membawa sebuah golok dalam sarung kulit yang dia selipkan di pinggangnya. Anak itu berpakaian sederhana, seperti pakaian anak-anak dusun di daerah itu, bercelana panjang sampai ke bawah lutut, sepatunya dari kulit kasar, bajunya berlengan pendek, berwarna hitam seperti yang biasa dipakai semua anak di situ karena warna hitam ini awet tidak lekas kotor.

Biarpun pakaiannya tidak berbeda dengan pakaian anak-anak lain di. dusun itu, sederhana namum wajahnya memiliki sesuatu yang tidak biasa didapatkan pada wajah anak anak di situ. Wajahnya amat tampan, dengan kulit yang bersih dan segar kemerahan. Wajah itu berbentuk keras, memperlihatkan kejantanan pada rahang dan dagunya, namun matanya lebar dan bersinar tajam, hidungnya dan mulutnya mengandung wibawa dan membuat dia nampak anggun, rambut yang hitam dan subur itu dipotong pendek.

Tubuhnya tinggi tegap, melebih bentuk tubuh anak-anak yang berusia tujuh tahun, namun wajah dan tubuh yang membayangkan kegagahan itu diperlembut oleh senyumnya yang selalu menghias mulut dan matanya.

Tidaklah terlalu mengherankan melihat anak laki-laki yang demlkian tampan dan gagah walapun berpakaian seperti anak dusun kalau orang mengetahui latar belakang yang amat mengejutkan dari anak laki-laki itu. Ibu kandungnya adalah puteri seorang Menteri Utama Kerajaan Tang, dan ayah kandungnya bahkan pernah menjadi kaisar, walaupun hanya untuk waktu selama sembilan tahun! Ibunya bernama Yang Kui Bi, puteri mendiang.Yang Kok Tiong, menteri utama kerajaan Tang ketika dipimpin Kaisar Hsuan Tsung (Beng Ong, 712 - 755).

Adapun ayah kandungnya adalah Sia Su Beng, seorang panglima dari pasukan yang dipimpin pemberontak An Lu Shan. Seperti dapat diketahui dalam catatan sejarah, An Lu Shan memberontak dalam tahun 755 dan berhasil merebut tahta kerajaan dari tangan Kaisar Hsuan Tsung yang melarikan diri ke barat. An Lu Shan yang mengangkat diri menjadi kaisar, saling berebut kekuasaan dengan puteranya sendiri yang berna ma An Kong dan An Lu Shan dibunuh oleh puteranya sendiri.

Dalam keadaan yang kacau itu, Sia Su Beng, dibantu oleh kekasihnya, yaitu Yang Kui Bi, berhasil menyingkirkan An Kong dan Sia Su Beng mengangkat diri menjadi kaisar Kerajaan Tang! Akan tetapi, Kaisar Hsuan Tsung yang lari ke barat, menghimpun kekuatan, kemudian dilanjutkan oleh penggantinya, yaitu puteranya yang kemudian menjadi Kaisar Su Tsung, dan pasukan gabungan dari barat itu menyerbu untuk merebut tahta kerajaan yang kini telah berada di tangan Sia Su Beng.

Perang itu berjalan selama sembilan tahun dan sementara itu, Sia Su Beng yang telah menjadi kaisar menikah dengan kekasihnya, Yang Kui Bi dan mereka mempunyai seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Sia Han Lin. Akhirnya, ketika Sia Han Lin berusia lima tahun, pasukan Tang yang menyerbu dari barat itu berhasil merebut Tiangoan, kota raja dan dalam pertempuran yang hebat, Sia Su Beng dan isterinya, Yang Kui Bi, bertempur sampai tewas.

Akan tetapi sebelum mereka maju bertempur, mereka lebih dahulu menyerahkan putera mereka kepada seorang pengasuh, seorang wanita setengah baya yang setia dan yang mengasuh Sia Han Lin sejak bayi, dan minta kepada wanita itu untuk membawa lari Sia Han Lin, mengungsi keluar dari kota raja bersama rakyat.

Demikianlah, bocah berusia tujuh tahun itu adalah Sia Han Lin, putera dari suami isteri mendiang Sia Su Beng dan Yang Kui Bi, suami isteri yang berdarah bangsawan dan tewas gugur dalam perang dalam usia muda. Mereka itu adalah suami isteri yang memiliki ilmu silat tinggi dan gagah perkasa. Sayang bahwa ambisi yang berlebihan, pengejaran kekuasaan, membuat mereka tewas dalam pertempuran.

Liu Ma, yaitu janda yang menjadi pelayan pengasuh keluarga Sia Su Beng, adalah seorang janda yang telah menjadi pelayan pengasuh sejak Han Lin dilahirkan. la amat setia dan amat sayang kepada Han Lin, karena janda ini sendiri tidak mempunyai anak. la kini berusia empatpuluh tujuh tahun. Dua tahun yang lalu, ketika ia menerima tugas yang berat, ia segera membawa Han Lin yang ketika itu berusia lima tahun, melarikan diri mengungsi ke luar kota raja.

Tak seorangpun mengira bahwa anak laki-laki yang mengenakan pakaian biasa dan ditarik-tarik tangannya oleh Liu Ma, berbaur dengan para pengungsi itu adalah putera Sia Su Beng yang menjadi kaisar! Liu Ma harus pandai-pandai membujuk karena Han Lin selalu rewel dan tadinya berkeras tidak mau meninggalkan ayah ibunya. Namun, dia sudah cukup besar untuk mengerti bahwa kota raja diserbu musuh dan dia terancam bahaya maut kalau tidak mau diajak melarikan diri.

"Akan tetapi, ayah dan ibu tidak pergi!" Dia membantah ketika dia ditarik-tarik Liu Ma keluar dari kota raja.

"Ayah ibumu tidak takut karena mereka berjuang, mereka melawan musuh," kata Liu Ma yang terpaksa harus menggunakan kalimat biasa, tidak seperti biasanya ia bersikap sebagai seorang pelayan terhadap seorang pangeran! Mulai saat itu, ia harus memperlakukan Han Lin seperti anak biasa, dan mengakuinya sebagai anaknya. Itulah jalan satu-satunya untuk menyelamatkan anak yang dikasihinya itu.

"Akupun tidak takut!" kata Han Lin, berusaha melepaskan pegangantangan Liu Ma pada pergelangan tangannya. "Akupun ingin membantu ayah dan ibu melawan musuh!"

"Stt....!" Liu Ma memondong anak itu dan mendekap mulutnya, lalu berbisik dekat telinganya, "Pangeran, lupakah paduka akan pesan Sribaginda dan Permaisuri? Paduka harus patuh kepada hamba dan jangan menentang, ini semua merupakan perintah beliau yang tidak boleh kita bantah. Ingatkah paduka?"

Mendengar ini, Han Lin menangis di atas pundak Liu Ma. Memang sejak kecil dia dekat dengan pengasuh ini dan sekarang, diingatkan perintah dan pesan terakhir ayah ibunya, diapun merasa sedih dan menangis. "Liu Ma, kenapa ayah dan ibu menyuruh aku pergi...." Kenapa aku harus berpisah dari mereka....?" isaknya.

"Stttt...., pesan mereka sudah jelas, bukan? Mulai saat ini, kita harus merahasiakan bahwa paduka adalah pangeran. Paduka muiai sekarang harus mengaku sebagai anak hamba, dan maafkan, hamba tidak akan lagi bersikap dan berbicara seperti biasa. Dan maafkan kalau mulai sekarang hamba akan menyebut paduka dengan nama paduka saja karena ingat, paduka adalah anak hamba."

Han Lin mengangguk dan diapun tidak meronta lagi ketika diturunkan dan tangannya digandeng Liu Ma. Demikianlah, Liu Ma mengajak Sia Han Lin mengungsi ke daerah selatan, kembali ke dusun yang menjadi tempat kelahirannya. Ketika masih kecil Liu Ma lahir dan tinggal di dusun Libun, termasuk wilayah Kweilin propinsi Kuangsi.

Karena ketika pergi meninggalkan istana ia dibekali emas permata yang cukup banyak, maka ia dapat membeli rumah sederhana dan sawah ladang, juga ternak dan ia hidup tidak kekurangan dengan Han Lin yang semua orang menerimanya sebagai putera Liu Ma. Liu Ma menaati pesan Sia Su Beng dan Yang Kui Bi.

Dengan uangnya, ia membayar seorang penduduk yang cukup berpendidikan untuk mengajarkan ilmu membaca dan menulis kepada Han Lin. Ternyata anak itu cerdas sekali dan selama dua tahun kurang mempelajari sastra, ia kini sudah pandai membaca dan menulis, membuat para anak di dusun itu merasa kagum karena sebagian besar anak-anak dusun itu buta huruf.

Han Lin memang tidak pernah bertanya kepada Liu Ma tentang ayah bunda nya lagi sejak dia mendengar dari Liu Ma bahwa menurut berita yang sampai di dusun itu, Sia Su Beng dan Yang Kui Bi telah tewas, gugur dalam pertempuran. Semalam suntuk Han Lin tidak tidur, merenung dan menangis, akan tetapi sejak hari itu, dia tidak pernah lagi bertanya tentang mereka kepada Liu Ma, membuat bekas pelayan yang kini menjadi ibunya merasa lega hatinya.

Akan tetapi, janda ini sama sekali tidak tahu bahwa Han Lin tidak pernah melupakan ayah ibunya, tidak pernah lupa bahwa ayah dan ibunya tewas sebagai orang-orang gagah, gugur dalam pertempuran. Dia tidak pernah dan tidak akan pernah melupakan kenyataan itu! Seperti anak-anak lain di dusun Libun, Han Lin juga bekerja membantu ibunya yang menggunakan dua orang tenaga kerja.

Dia membantu bertani, menggembala ternak, juga mencari ikan sehingga dalam usia tujuh tahun itu, dia sudah pandai sekali menjala atau mengail ikan. Juga karena hidup dekat sungai, bersama anak-anak lain dia suka mandi di sungai sehingga dia pandai berenang dan gagah pula mendayung perahu atau rakit.

Pada hari yang cerah itu, seorang diri Han Lin pergi berakit mencari bambu yang terbaik untuk dibuat menjadi joran pancingnya. Joran pancing yang baik adalah yang panjang, tidak berat, lentur dan tidak mudah patah, juga sekecil mungkin. Tidak mudah mencari bambu yang baik untuk itu, dan kalau hendak mencari bambu, ke mana lagi kalau bukan ke hutan bambu di seberang sungai itu.

Han Lin berjalan perlahan, memandang ke kanan kiri mencari bambu yang dibutuhkannya. la mengenal hutan ini karena sering dia bersama teman-teman atau seorang diri berkeliaran di sini, juga dia mengenal banyak macam bambu yang tumbuh dihutan itu. Guru sastranya adalah seorang yang ahli perbambuan, mengenal nama-nama dan sifat banyak bambu sehingga diapun mengenal banyak bambu yang beraneka bentuk dan tumbuh disitu.

Ada bambu yang disebut Bambu Dawai Kecapi, batangnya lurus dan ruasnya agak berjauhan, tidak. bermiang dan warna dasarnya kuning dengan garis-garis lurus berwarna kehijauan. Bambu ini yang biasa disebut pula Bambu Kuning. Akan tetapi jenis ini ada yang dasarnya berwarna hijau muda dengan garis-garis hijau tua kehitaman. Ada pula bambu yang disebut Bambu Berbintik, juga ada yang menamakannya Bambu Selir Siang!

Tentang nama yang yang ke dua ini ada dongengnya. Di jaman purba terdapat seorang kaisar yang meninggal dunia karena sakit ketika dia sedang melakukan perjalanan ke selatan. Selirnya yang terkasih demikian sedihnya dan putus asa karena kematian kaisar ini dan selir itupun terjun ke dalam sungai dan kabarnya menjelma menjadi dewi sungai.

Batang bambu itu menjadi berbintik-bintik terkena air mata selir itu. Karena sungai di mana selir membunuh diri itulah ada lah Sungai Siang, maka bambu itu dinamakan Bambu Selir Siang. Pada ruasnya seringkali tumbuh cabang berkelompok, dasar warnanya abu-abu kuning dan bintik-bintiknya yang tidak rata dan lebih tebal di dekat ruas itu berwarna coklat.

Ada pula bambu yang disebut bambu Muka Manusia karena bentuk ruasnya yang mirip muka manusia, ada juga bambu Tak Berlubang yang batangnya hanya sebesar jari. Bambu Persegi adalah bambu yang aneh, tidak bundar dan kuIit batangnya keras sekali. Ada lagi Bambu Manis yang daunnya amat lebar, menjadi kebalikan dari Bambu Cina yang daunnya kecil-kecil sehingga perbandingan daun antara kedua jenis bambu ini sama dengan limapuluh berbanding satu!

Ada bambu yang dapat berbunga semerbak harum, di antaranya adalah Bambu Pahit dan Bambu Hitam Berduri. Bambu yang terakhir ini tidak terlalu hitam, akan tetapi pada buku-bukunya antara ruas terdapat duri-duri hitam mengelilinginya, seolah buku-buku itu dipasangi roda bergigi. Ada pula Bambu Bermiang, ketika mudanya penuh dengan miang yang dapat membuat kulit manusia gatal-gatal.

Di antara semua bambu itu, Han Lin paling suka mengagumi bambu yang dinamakan Bambu Sisik Naga! Memang bambu ini luar biasa sekali. Batangnya bundar dan gemuk, kokoh dan berliku-liku seperti tubuh naga, dan ruasnya juga aneh sekali, berselang-seling dengan buku-buku menyerong seperti sisik ular atau sisik naga.

Han Lin menghampiri bambu yang dicarinya, yaitu Bambu Tak berlubang. Bambu jenis inilah yang peling cocok untuk dijadikan joran pancingnya. Hanya sebesar ibu jari, tidak berlubang dan lentur sekali. Dengan menggunakan goloknya, Han Lin menebang lima batang yang dipilihnya, tidak terlalu tua agar tidak kaku dan cukup lentur, dan tidak terlalu muda agar tidak getas.

Dia membersihkan cabang dan daun lima batang bambu itu, kemudian membawa lima batangnya keluar dari dalam hutan bambu. Seperti biasa kalau bermain di tempat itu, dia duduk di luar hutan, di tepi sungai di mana rakitnya ditambatkan, dan dia menikmati pemandangan yang amat disenanginya.

Memang luar biasa sekali suasana di tempat yang sunyi itu. Seluruh panca indera kita seperti dibelai dan dimanjakan kalau kita berada situ. Hidung mencium keharuman yang khas dari tanah, daun dan bunga. Telinga menikmati gemersik daun daun bambu dihembus angin semilir, bagaikan musik dan nyanyian sorga, dan mata yang. paling banyak mendapat limpahan keindahan.

Tidak mengherankan kalau para penyair memuji-muji keindahan daun-daun bambu yang selalu menari-nari, dengan pucuk batangnya yang meliuk-liuk, juga para pelukis tak pernah bosan melukis daun-daun bambu yang nampak kacau namun indah serasi itu. Kacau namun serasi, itulah keadaan daun-daun bambu. Andaikata diatur tangan manusia dan tidak kacau mencuat ke sana sini, bahkan menjadi tidak serasi dan tidak indah.

Seperti biasa, kalau berada seorang diri di situ, mendengar dendang merdu gemercik air di tepi sungai dan gemersik daun-daun bambu, disentuh kelembutan semilir angin, Han Lin tenggelam dalam lamunan. Seperti terbayang semua peristiwa yang telah lalu, mengingatkan dia bahwa dia pernah hidup sebagai seorang pangeran! Hidup di dalam istana yang megah di mana setiap orang menghormati dan memuliakannya, dibelai kasih sayang ayah ibunya. Dan sekarang? Semua itu telah musnah.

Dia menjadi seorang anak yatim piatu yang terpaksa mengakui Liu Ma sebagai ibunya. Dla telah mendengar bahwa ayah ibunya gugur di dalam pertempuran. Dia telah kehilangan segalagalanya. Akan tetapi tidak! Dia membantah renungannya sendiri. Dia tidak kehilangan segalanya. Dia masih memiliki dirinya!

Kalimat ini seperti telah menjadi dasar untuk menghidupkan gairah dan semangatnya. Ibunya menyertakan sehelai surat untuknya dan surat itu selalu disimpan baik-baik oleh Liu Ma. Setelah dia pandai membaca, beberapa bulan yang lalu surat itu diberikan Liu Ma kepadanya.

Dan kalimat pertama dalam surat ibunya kepada berbunyi: "Jangan putus asa, Han Lin puteraku. Engkau masih memiliki dirimu!" Kalimat itulah yang selama ini menjadi pegangannya dan selalu berdengung di telinganya setiap kali dia termenung dan kedukaan mulai menyelinap di hatinya.

Kemudian, di dalam surat itu ibunya memesan kepadanya agar kelak dia mencari anggauta keluarga ibunya, yaitu kakak ibunya yang bernama Yang Cin Han, dan enci ibunya bernama Yang Kui Lan. Ibunya tidak tahu mereka berada di mana, dan dia sendiri belum pernah bertemu mereka. Akan tetapi kedua nama itu telah terukir dalam hatinya dan dia berjanji kepada diri sendiri bahwa sekali waktu, dia pasti akan pergi mencari mereka, paman dan bibinya itu.

Sampai lama Han Lin melamun di situ, tidak tahu bahwa sebuah perahu meluncur ke tepi sungai, dekat rakitnya dan dua orang yang tadi duduk di dalam perahu, melompat ke darat, kemudian sekali tarik, perahu itu telah terseret ke daratan pula. Agaknya dua orang itu kini mulai bercekcok dan barulah Han Lin sadar dari lamunannya ke tika mendengar mereka berdua bicara degan suara nyaring karena marah.

Dia cepat menoleh dan dia terbelalak memandang kepada dua orang yang sedang ribut mulut itu. Yang seorang bertubuh pendek gendut, mukanya hitam arang, matanya besar lebar dan mulutnya selalu tersenyum mengarah tawa. Bajunya terbuka di bagian dada, memperlihatkan dadanya yang penuh gajih.

Adapun orang ke dua tidak kalah anehnya, bahkan agaknya merupakan kebalikan dari orang pertama karena orang ke dua ini bertubuh tinggi kurus, mukanya pucat seperti kapur, matanya sipit hampir terpejam dan mulutnya selalu mewek seperti orang menangis. Usia kedua orang aneh ini sekitar limapuluh tahun dan kini mereka bertengkar, didengarkan oleh Han Lin yang merasa terheran-heran.

"Hek Bin (Muka hitam), jangan sombong kau! Mentang-mentang sudah belasan tahun bertapa di kutub utara, kau kira kini ilmu kepandaianmu tidak ada yang dapat menandingi? Apa kau kira selama belasan tahun ini aku tinggal menganggur saja? Hemm, kau tahu, akupun memperdalam ilmuku dan aku yakin engkau tidak akan mampu menandingiku!" kata si muka putih.

Si gendut bermuka hitam itu tertawa bergelak, mengangkat muka ke atas dan ketika tertawa perut gendutnya bergerakgerak seperti bergelombang. "Ha ha ha ha, Pek Bin (Muka Putih), engkau yang tekebur! Engkau selama belasan tahun bertapa di kutub Selatan? Hehehheh, kita dahulu memang setingkat, akan tetapi sekarang, jangan harap engkau akan mampu menandingiku. Lebih baik engkau mengangkat aku menjadi guru dan saudara tua agar aku dapat membimbingmu, hahaha!"

"Wah, gendut muka hitam sombong. Kita uji, tidak perlu banyak bicara Kita buktikan siapa di antara kita yang lebih kuat dan lebih pantas menjadi saudara tua!" kata si tinggi kurus muka putih.

"Baik, majulah!"

Mereka berdua lalu berkelahi! Han Lin masih terlalu kecil dan asing dengan ilmu silat untuk dapat mengetahui bahwa dua orang itu bukan hanya berkelahi biasa saja, melainkan bertanding dengan menggunakan ilmuilmu yang dahsyat sekali!

Gerakan kaki tangan mereka mendatangkan angin bersiutan, debu mengepul dan nampak batu batu beterbangan terlanda angin tendangan kaki mereka, dan rumpun bambu terdekat seperti dilanda angin besar!

Mereka itu kadang bergerak sedemikian cepatnya sehingga tidak nampak bentuk tubuh mereka, hanya nampak dua bayangan saja yang seperti bergu]at menjadi satu, dan kadang nampak gerakan mereka per lahanlahan seperti orang bermain-main. Namun, sesungguhnya ketika bertanding dengan gerakan perlahan itu mereka amat berbahaya karena keduanya mengandalkan sinkang yang amat kuat. Han Lin merasa khawatir sekali melihat dua orang itu bertanding seperti itu.

Kenapa orang-orang tua itu demikian pandir, tanpa hujan tanpa angin hanya untuk pamer kepandaian dan tidak mau kalah, saling hantam seperti itu? Dia khawatir kalau-kalau seorang di antara mereka akan terluka atau tewas, maka dia lalu bangkit dan lain menghampiri, untuk melerai.

Pada saat itu, dua orang aneh yang merasa penasaran karena belum dapat mendesak lawan, dalam benturan kedua tangan, keduanya meloncat ke belakang dan kini keduanya mengerahkan seluruh tenaga melalui kedua tangan yang didorongkan ke depan, saling serang dengan pukulan jarak jauh.

"Tahan....! Harap kedua paman berhenti berkelahi!" Han Lin berlari di antara kedua orang itu. Dia tidak tahu bahwa dia berada di antara dua pukulan jarak jauh yang saling menghantam!

Kedua orang itupun terkejut, akan tetapi agaknya mereka tidak perduli dengan munculnya seorang anak laki-laki di antara mereka dan mereka melanjutkan dorongan mereka. Han Lin yang sedang berlari itu tiba-tiba tertahan larinya dan dia terbelalak. Dia berdiri presis di antara kedua orang itu, menghadap ke arah si pendek gendut muka hitam.

Dia merasa betapa dadanya diterpa hawa dingin seperti es yang membuat tubuhnya seperti kaku membeku, akan tetapi pada saat yang bersamaan, punggungnya dihantam hawa yang amat panas seperti api. Han Lin dihimpit dua tenaga dahsyat, bukan saja tenaga sinkang kedua orang itu kuat bukan main, akan tetapi juga keduanya mengandung hawa beracun yang mematikan!

Hawa racun dingin dari si muka hitam itu dapat membuat darah menjadi beku, sedangkan hawa racun panas dari si muka putih dapat membuat seluruh isi tubuh menjadi hangus terbakar! Seorang ahli silat yang tangguh sekalipun tidak akan kuat menerima hantaman dari kedua pihak dengan tenaga sinkang beracun seperti itu, apa lagi tubuh Han Lin, anak berusia tujuh tahun yang belum pernah belajar ilmu silat sama sekali.

Tubuhnya berkelojotan dan matanya melotot, kaki tangannya terpetang seperti disambar halilintar, rambutnya berdiri semua, jari-jari tangannya terpentang. Agaknya kedua orang aneh itu tidak memperdulikannya, bahkan merasa jengkel dan menganggap anak itu menjadi pengganggu saja, maka sekali keduanya menggerakkan lengan, tubuh Han Lin terlempar ke dalam hutan bambu dan jatuh ke dalam rumpun bambu.

Dua orang aneh itu tidak memperdulikan lagi kepadanya karena mereka berdua merasa yakin bahwa anak itu tentu sudah mati. Biar seorang ahli silat tangguh sekali pun, sukar untuk dapat bertahan hidup terkena pukulan seorang saja dari mereka, apa lagi anak kecil itu menerima pukulan dari mereka berdua!

Mereka melanjutkan adu tenaga dan ternyata keduanya seimbang sampai akhirnya mereka berdua samasama lemas dan mengakhiri adu tenaga itu dan cepat duduk bersila untuk menghimpun tenaga. Kemudian mereka bangkit lagi.

"Hek-bin yang gendut, engkau ternyata hebat!" kata si muka putih.

"Engkaupun hebat, Pek-bin. Ternyata kita masih juga seimbang sekarang, maka biarlah kita menjadi seperti dahulu, tidak ada yang lebih tua tidak ada yang lebih muda, tidak ada yang lebih kuat atau lebih lemah."

Si gendut tertawa bergelak. "Bagus, kalau begitu, mari kita bersama mencari rejeki!" kata si muka putih. Mereka berdua lalu berkelebat dan tahu-tahu mereka sudah berada di atas perahu lagi yang diluncurkan cepat ke tengah sungai.

Mereka sudah lupa lagi kepada anak yang menjadi korban adu tenaga mereka tadi. Dua orang itu memang bukan orang sembarangan. Belasan tahun yang lalu mereka sudah terkenal sebagai Hek Pek Moong (Raja Hitam dan Putih) sepasang datuk yang berilmu tinggi akan tetapi sesat. Akhirnya, para pendekar bangkit dan mereka itu terusir dari dunia kangouw.

Keduanya lalu merantau, seorang ke selatan seorang ke utara dan selama belasan tahun mereka bersembunyi sambil memperda lam ilmu mereka. Kini mereka telah turun kembali ke dunia ramai sebagai dua orang tokoh yang ilmu kepandaiannya hebat sekali. Yang gendut muka hitam berjuluk Hek-bin Moong (Raja Iblis Muka Hitam), sedangkan yang kurus kering muka putih berjuluk Pek-bin Moong (Raja Iblis Muka Putih). Dunia persilatan pasti akan menjadi gempar dengan turunnya dua orang datuk sesat ini dari tempat persembunyian mereka.

Tubuh Han Lin bergerak-gerak, berkelojotan dalam sekarat. Anak berusia tujuh tahun itu telah diserang pukulan ampuh dari depan dan belakang, dengan hawa beracun dingin dari depan dan hawa beracun panas dari beiakang. Kalau saja dia terkena satu saja dari dua pukulan itu, tentu dia telah tewas seketika.

Kalau terkena pukulan dingin saja, tentu semua darah di tubuhnya sudan membeku, atau kalau terkena pukulan panas saja, tubuhnya sudah hangus. Akan tetapi justeru karena pukulan itu datang dari depan dan belakang, tubuhnya seperti terhimpit dua pukulan yang saling menolak. Hal ini membuat dia tidak sampai tewas seketika. Namun, hawa beracun panas dan dingin itu telah menyusup ke dalam tubuhnya, membuat tubuh itu berkelojotan dalam sekarat, mati tidak hiduppun enggan.

Sejak lahir sampai mati, kita tidak dapat mengatur atau menguasai kehidupan kita sendiri. Kita dilahirkan begitu saja di luar kehendak kita, kemudian selama hidup kitapun tidak tahu apa akan terjadi dengan hidup kita, kemudian kematian datang tanpa dapat kita tolak atau minta.

Mati atau hidup sepenuhnya berada di tangan Tuhan, dalam kekuasaanNya. Kalau Tuhan menghendaki kita mati, tidak ada tempat persembunyian bagi kita untuk menghindarkan diri. Biar kita bersembunyi ke lubang semut, maut tetap akan datang men jemput.

Sebaliknya, apabila Tuhan belum menghendaki kita mati, biarpun dihujani seribu batang anak panah, kita akan terhindar dari pada maut. Betapa banyaknya manusia, yang diakuinya maupun tidak, merasa takut akan kematian. Pada lahirnya boleh membual dan berlagak tidak takut mati, namun jauh di sebelah dalam, lubuk hatinya, dia merasa ngeri dan takut!

Mengapa takut akan sesuatu sudah pasti terjadi, akan sesuatu yang tidak mungkin terelakkan lagi, sesuatu yang akan menimpa setiap orang di dunia ini, tidak perduli tua ataupun muda, kaya ataupun miskin, pandai atau bodoh? Kenapa takut menghadap sesuatu yang tidak dapat kita ketahui keadaannya, sesuatu yang tidak kita kenal?

Sesungguhnya, kita tidak mungkin takut kepada suatu keadaan yang tidak kita ketahui. Yang kita takuti adalah suatu keadaan yang kita ketahui melalui kepercayaan, dongeng dan penuturan tentang keadaan sesudah mati. Yang kita takuti adalah kenyataan bahwa kalau kita mati, kita meninggalkan semua yang kita sukai dan cintai. Meninggalkan harta benda, meninggalkan keluarga meninggalkan segala macam kesenangan hidup di dunia ini.

Berbahagialah orang yang menyerah kepada Tuhan secara menyeluruh, lahir batin, pasrah dengan penuh keikhlasan dan ketawakalan. Baginya, kematian bukanlah suatu akhiran, melainkan suatu kelanjutan dari pada kehidupan di dunia ini. Dan, baik hidup di dunia ataupun kelanjutannya yang dinamakan mati, selama kita menyerah kepada Tuhan, Sang Maha Pencipta yang menguasai dan memiliki seluruh alam beserta isinya, berarti yang memiliki dan menguasai diri kita, maka tidak ada rasa takut terhadap kehidupan maupun kematian.

Menyerah kepada Tuhan sama sekali bukan berarti acuh, pasip, ataupun mandeg. Sama sekali bukan! Itu bukan pasrah namanya kalau kita hanya menyerahkan segalanya kepada Tuhan tanpa mau berusaha sesuatu! Tuhan telah melahirkan kita dengan alat yang paling sempuma dan lengkap, tangan kaki, hati akal pikiran, semua itu tentu untuk dimanfaatkan, dikerjakan sekuat kemampuan masing-masing, demi kesejahteraan hidup di dunia ini, demi kelangsungan hidup dan penjagaan diri. Bekerja! Itu lah hidup, karena hidup berarti gerak, dan gerakan kita berarti bekerja.

Namun semua pekerjaan, usaha dan ikhtiar kita itu dilandasi kepasrahan mutlak kepada Tuhan, karena hanya Tuhan yang dapat menentukan, apa yang akan kita alami dalam kehidupan ini maupun dalam kelanjutannya setelah kita meninggalkan dunia. Kalau sudah begitu, apa lagi yang perlu ditakuti? Adakah yang lebih membahagiakan bagi setetes air dari pada kembali ke samudera tempat dia berasal?

Demikianlah pula dengan Han Lin yang tubuhnya nyangkut di antara rebung bambu di rumpun itu. Tubuhnya berkelojotan, kaki tangannya bergerak-gerak. Tanpa disadarinya, kaki kanannya menendang seekor ular yang sedang melingkar di rumpun bambu itu. Ular itu adalah seekor ular senduk kepala putih yang amat berbisa.

Karena tertendang kaki yang berkelojotan, ular itu menjadi marah dan lehernya mekar, mulutnya mendesis, lalu leher itu terangkat tinggi, matanya mencorong mengikuti gerakan kaki yang masih menendangnendang. Mungkin dia mengira bahwa kaki itu sengaja hendak menyerangnya, maka tiba-tiba saja kepalanya bergerak dan pada detik lain, moncongnya telah menggigit betis Han Lin yang kiri.

"Capp!" Gigi-gigi kecil runcing terhunjam di dalam daging betis itu dan liur beracun memasuki jalan darah di betis Han Lin. Akan tetapi ular itu menggeliat-geliat, tidak dapat melepaskan lagi moncongnya dan hanya sebentar dia mengeliat lalu tak bergerak, mati dengan gigi masih menancap ke dalam betis Han Lin.

Kini terjadi perubahan pada tubuh Han Lin. Kaki tangannya tidak berkelojotan lagi, melainkan terdiam dan diapun rebah di antara rebung bambu, menggeletak miring dan sama sekali tidak bergerak-gerak Iagi. Matikah dia seperti ular senduk itu?

"Omitohud!" Suara pujian ini keluar dari mulut seorang hwesio yang berdiri di dekat rumpun bambu, memandang kearah tubuh Han Lin yang tidak bergerak.

Hwesio ini berusia lanjut, sedikitnya tentu sudah tujuhpuluh tahun, tubuhnya gendut seperti patung Jilaihud, namun wajahnya yang gemuk itu seperti wajah seorang anak kecil, segar kemerahan dan sinar matanya begitu terang. Jubahnya kuning sederhana, sepatunya dari kulit kayu dan tangannya memegang sebatang tongkat bambu ular kuning, semacam bambu kuning yang bentuknya seperti ular, seperti Bambu Sisik Naga yang terdapat di hutan itu akan tetapi lebih kecil.

Hwesio itu kini berjongkok, memeriksa keadaan Han Lin, menyentuh nadinya dan melihat ular senduk yang masih menggigit betis anak itu. lalu dia tertegun, menggelenqgeleng kepalanya dan menarik napas panjang, merangkap kedua tangan depan dada, lalu berseru penuh ketakjuban.

"Omitohud, suatu mujijat telah terjadi pada diri anak ini..." Dengan teliti dia membuka baju Han Lin, memeriksa dada, leher, dan kembali memeriksa denyut nadinya dan memeriksa bekas gigitan ular pada betis setelah dia melepaskan gigitan ular itu dan memeriksa pula tubuh ular yang warnanya berubah kehitaman.

"Omitohud!" berulang-ulang dia berseru, mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul, lalu tersenyum lebar, "Bukan main, belum pernah aku melihat hal yang begini kebetulan! Mujijat-mujijat...! Dalam tubuh anak ini terdapat hawa beracun, dingin dan hawa beracun panas, akan tetapi ke dua hawa beracun itu kehilangan kekuatannya oleh racun ular senduk kepala putih! Justeru perpaduan antara racun dingin dan racun panas itu, ketika bertemu racun ular, menjadi jinak dan tidak merenggut nyawa anak ini. Sungguh, nyawa anak ini tadi hanya bergantung kepada sehelai rambut yang halus sekali. Bukan main!"

Akan tetapi, hwesio tua itu lalu memandang ke sekeliling dengan penuh kewaspadaan. "Orang yang dapat memukul dengan hawa beracun dingin atau panas seperti itu, sungguh merupakan orang yang amat berbahaya dan lihai." katanya kepada diri sendiri. Hatinya lega setelah melihat bahwa di situ tidak terdapat orang lain dan kembali perhatiannya tertuju kepada Han Lin.

Anak itu mengeluarkan suara keluhan lirih dan tubuhnya mulai bergerak. Ketika dia membuka mata, yang pertama kali dilihatnya adalah dua buah rebung Bambu Persegi. Rebung ini enak sekali kalau dibuat sayur, rasanya gurih dan seringkali dia mengambil rebung Bambu Persegi ini untuk dimasak ibunya. Han Lin sekarang sudah hampir lupa bahwa Liu Ma bukan ibunya, saking terbiasa menyebut ibu kepada wanita yang amat mengasihinya itu.

"Sukurlah engkau tidak apa-apa, nak."

Han Lin terkejut mendengar suara itu dan ketika dia menoieh melihat seorang hwesio tua bersila di dekat situ, dia cepat merangkak bangun, akan tetapi dia mengeluh dan memejamkan matanya karena tiba-tiba dia merasa pening dan ingin muntah. Dia merasa sebuah tangan yang lebar dan hangat menempel di punggungnya dan suara lembut tadi berkata lagi,

"Anak baik, duduklah bersila dan pejamkan matamu, tenangkan hatimu. Engkau telah terlepas dari bahaya maut. Biarkan hawa hangat dari tangan pinceng memasuki tubuhmu dan membantumu membersihkan sisa hawa beracun yang menyerangmu.”

Han Lin tidak mengerti apa arti semua kata-kata itu, akan tetapi dia teringat akan peristiwa yang dialaminya tadi dan dia dapat menduga bahwa hwesio tua ini tentu bermaksud menolongnya, maka diapun menaati. Dia menahan kepeningan kepalanya, lalu bersila dan dia membiarkan hawa hangat yang te rasa memasuki punggungnya itu menjalar masuk ke seluruh tubuhnya. Tak lama kemudian, pening kepalanya hilang, juga rasa mual hendak muntah. Dia tidak melihat betapa dari kepalanya mengepul uap tipis hitam!

"Omitohud.... sungguh ajaib, ini namanya bahaya maut berubah menjadi berkah yang amat besar. Bukan saja engkau terbebas dari maut akan tetapi kini tubuhmu akan kebal terhadap serangan racun. Bukan main!"

Han Lin belum mengerti benar kecuali hanya bahwa hwesio tua itu telah menyelamatkannya, maka diapun berlutut di depan hwesio itu. "Losuhu, terima kasih atas pertolongan losuhu kepada saya," katanya.

"Omitohud....!" Hwesio tua itu kembali memandang heran. Anak ini memang berpakaian seperti anak dusun, akan tetapi wajahnya jelas bukan anak biasa, dan begitu mengerti tata susila, juga ucapannya teratur seperti seorang anak yang terpelajar.

"Anak baik, apakah yang telah terjadi denganmu tadi? Pinceng menemukan engkau tergigit seekor ular dan tubuhmu penuh dengan hawa beracun."

"Ular? Saya saya tidak tahu, losuhu," kata Han Lin dan melihat bangkai ular tak jauh dari kakinya, bangkai ular yang kering seperti terbakar kehitaman, diapun memandang heran. "Tadi saya melihat dua orang kakek berkelahi, saya bermaksud untuk melerai dan mencegah mereka berkelahi. Tiba-tiba saja saya merasa dada saya amat dingin dan punggung saya amat panas dan tubuh saya terlempar ke sini, lalu saya tidak ingat apa-apa lagi."

"Omitohud..., engkau tentu bertemu dengan dua orang sakti yang sedang mengadu tenaga sinkang! Mereka itu lihai bukan main. Seperti apakah mereka itu?"

"Yang seorang bertubuh gemuk pendek dengan muka hitam, orang ke dua tinggi kurus bermuka putih seperti kapur. Yang muka hitam arang itu disebut oleh kawannya Hek-bin oleh kawannya dan yang muka putih kapur disebut Pek-bin."

"Hemmm, berapa usia mereka?"

"Kira-kira lima puluh tahun, losuhu..."

"Hemm.... mungkinkah mereka...? Setelah belasan tahun menghilang, mungkinkah mereka kini muncul kembali?"

"Siapakah mereka, losuhu?"

"Kelak engkau akan mengetahui, sekarang yang penting, siapakah engkau, di mana rumahmu dan siapa pula orang tuamu?"

"Losuhu, nama saya Sia Han Lin, rumah saya di seberang sungai, dusun Libun, dan orang tua saya, hanya ibu saya yang berada di rumah. Saya tidak mempunyai ayah lagi."

"Omitohud, engkau yang sekecil ini telah kehilangan ayah. Han Lin, pinceng melihat engkau bukan seperti anak dusun biasa. Ingin pinceng berkenalan dan bicara dengan ibumu. Bolehkah pinceng mengantarmu pulang agar pinceng dapat bicara dengan ibumu?"

"Tentu saja boleh, losuhu!" kata Han Lin gembira. "Ibu tentu akan merasa gembira dan berterima kasih sekali karena losuhu telah menolong saya."

"Omitohud... bukan pinceng yang menolongmu, Han Lin. Engkau tertolong oleh suatu kebetulan, suatu keadaan yang amat aneh. Pada saat bersamaan, engkau terkena pukulan-pukulan yang mematikan, agaknya ketika engkau melerai dua orang yang sedang betanding tadi. Karena dua macam pukulan mengandung daya yang saling bertentangan, maka engkau tidak jadi tewas, padahal setiap pukulan itu sudah cukup untuk menewaskan seorang dewasa yang tangguh sekali pun. Namun, karena dua hawa pukulan beracun itu saling meluruhkan. Biarpun begitu, tubuhmu dipenuhi dua macam hawa beracun dan pada saat itu, sungguh menakjubkan sekali, muncul ular senduk kepala putih menggigit betismu. Padahal, gigitan ular itu akan mematikan seorang yang tangguh sekalipun! Dan racun gigitan ular itulah yang membebaskanmu dari kematian karena pengaruh dua hawa beracun itu. Engkau selamat, bukan oleh pinceng, bukan pula oleh ular, melainkan oleh Pemberi Kehidupan yang agaknya be!um menghendaki engkau mati. Nah, mari antar aku berkunjung ke rumah ibumu, Han Lin."

Mereka lalu menggunakan rakit menyeberangi sungai. Hwesio tua itu agaknya sengaja membiarkan Han Lin yang mendayung rakit menyeberangi sungai dan diam-diam dia memandang dengan wajah ramah dan hati kagum karena anak itu sedikitpun tidak lagi nampak menderita, dan biarpun rakit yang ditumpangi dua orang itu cukup berat, namun Han Lin mendayung dengan penuh semangat. Anak ini jelas memiliki semangat yang amat tinggi, pantang menyerah, tabah dan juga sama sekali tidak cengeng!

Liu Ma menyambut pulangnya Han Lin dengan terheran-heran karena anak itu bergandeng tangan dengan seorang hwesio tua yang bertubuh gendut dan berwajah seperti anak kecil, kulitnya putih kemerahan dan segar.

"Han Lin, apa yang terjadi dan siapakah losuhu ini?" tanya janda itu dengan pandang mata khawatir. Apapun yang terjadi kepada anak itu, selalu mendatangkan perasaan khawatir di hatinya. la selalu gelisah nemikirkan nasib anak itu, takut kalau-kalau ada yang tahu bahwa Han Li adalah putera Sia Su Beng yang pernah menjadi kaisar!

“Omitohud, harap nyonya tidak khawatir. Putera nyonya baik-baik saja dan karena pinceng tertarik sekali melihat pribadinya, maka pinceng ingin sekali bertemu dengan nyonya yang demikian pandainya mendidik puteranya. Sungguh pinceng merasa kagum dan hormat kepada nyonya karena nyonya telah mendidik seorang putera dengan demikian baiknya."

Liu Ha tersenyum juga wajahnya berubah kemerahan karena tentu saja ia merasa bangga menerima pujian dari seorang hwesio tua. Siapa tahu, arwah ayah ibu kandung Han Lin akan dapat mendengarkan suara seorang pendeta tua ini bahwa ia telah benar-benar setia dan patuh melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya, yaitu merawat dan mendidik Han Lin dengan penuh kasih sayang dan kesungguhan hati.

"Ibu," kata Han Lin dengan hati tegang karena mendapat kesempatan menceritakan peristiwa aneh tadi, "Tadi aku bertemu dua orang manusia aneh dan aku hampir mati karena pertemuan itu. Juga kakiku digigit ular senduk kepala putih yang sangat beracun. akan tetapi aku tidak mati. Losuhu ini yang telah menyelamatkan nyawaku Wajah wanita itu seketika menjadi pucat, matanya terbelalak dan dengan menahan jeritnya, ia merangkul Han Lin.

"Han Lin apa yang terjadi, nak? Bagaimana perasaanmu sekarang? Apanya yang terasa sakit?" Dengan penuh kasih sayang wanita itu memeriksa tubuh anaknya dan tampak gugup ketika melihat bekas gigitan ular pada betis anak itu. "Kau.... kau harus cepat kuperiksakan pada tabib!"

"Omitohud..., harap nyonya tidak khawatir. Han Lin telah terhindar dari bahaya maut, bukan karena pinceng, melainkan karena memang dia belum waktunya meninggalkan dunia ini."

"Benar, ibu. Aku tidak apa-apa, ibu jangan khawatir."

"Ah, kalau begitu, kami berhutahg budi kepada losuhu," dan wanita itu cepat menjatuhkan diri berlutut di depan hwesio tua itu.

Hwesio itu tergopoh menyuruhnya bangkit dan diamdiam dia semakin heran. Wanita inipun bukan seperti wanita dusun, melainkan seorang yang lemah lembut dan mengerti tata susila seperti orang-orang berpendidikan. Dia tidak tahu bahwa tentu saja Liu Ma mengerti tata-susila karena ia pernah menjadi seorang hamba di dalam istana, melayani keluarga kaisar!

Setelah disuruh bangun, Liu Ma bangkit berdiri lalu dengan sikap hormat sekali ia mempersil akan hwesio itu untuk duduk di ruangan dalam. la segera sibuk menyuruh pembantunya untuk mempersiapkan makanan yang tidak mengandung daging, juga membuatkan minuman dari sari buah untuk menjamu hwesio itu makan minum.

Hwesio tua itu memperkenalkan diri sebagai Kong Hwi Hosiang kepada Liu Ma dan dia tidak menolak jamuan makan yang diadakan oleh Liu Ma untuk menghormatInya. Dan hidangan makan minum itu menambah rasa kagumnya kepada wanita itu karena temyata nyonya rumah itu menjaga benar agar tidak ada daging dalam semua hidangan.

Seorang wanita yang pandai membawa diri dan cermat. Pantas saja memiliki seorang putera seperti Han Lin. Dan diapun semakin tertarik kepada Han Lin dan semakin kuat keinginannya untuk mengambil anak itu menjadi muridnya. Kong Hwi Hosiang adalah seorang hwesio berilmu tinggi yang sejak muda mempunyai kesukaan merantau, tidak menetap di dalam sebuah kuil. Dia merantau sambil mengajarkan agama Buddha, di samping itu, karena dia seorang ahli silat yang tangguh, diapun bertindak sebagai seorang pendekar yang selalu membela kebenaran dan keadilan.

Namanya dikenal di dunia persilatan, dan selama puluhan tahun merantau dia memperdalam ilmu-ilmunya sehingga menjadi seorang yang sakti. Karera dia suka merantau, maka selama hidupnya, dia hanya mempunyai dua orang saja murid wanita dan murid-muridnya itu bukan lain adalah ibu kandung Han Lin sendiri yang bemama Yang Kui Bi dan encinya, yaitu Yang Kui Lan!

Memang sungguh aneh sekali jalan hidup Han Lin. Bukan saja dia secara aneh dan kebetulan terhindar dari maut terpukul dua orang datuk sesat lalu digigit ular beracun, bahkan dia lalu mendapatkan kekebalan dalam tubuhnya terhadap racun. Juga secara aneh dan tidak disengaja, guru mendiang ibunya sendiri yang lewat di tempat itu dan menolongnya!

Kong Hosiang sendiri tidak pemah menduga bahwa anak yang dikaguminya dan membuat dia ingin sekali mengambilnya sebagai murid itu bukan lain adalah putera seorang di antara kedua orang muridnya! Semenjak enci adik itu selesai belajar dan berpisah darinya, Kong Hwi Hosiang sudah tidak pernah berhubungan lagi dengan mereka, juga tidak tahu bagaimana keadaan kedua orang muridnya itu. Hwesio tua ini sudah mencapai suatu tingkat kehidupan di mana dia tidak terikat lagi dengan apapun.

Setelah makan, dilayani sendiri oleh Liu Ma dan ditemani pula oleh Han Lin, Kong Hwi Hosiang minta kepada nyonya rumah untuk dapat bicara empat mata dengannya. Liu Ma memandang heran, akan tetapi ia segera menyuruh Han Lin untuk meninggalkan ruangan tamu agar ia dan tamunya dapat bicara berdua saja. Dengan patuh Han Lin mengundurkan diri.

Setelah duduk berdua saja, berhadapan dengan nyonya rumah, Kong Hwi Ho hwesio berkata dengan suaranya yang lembut, "Sebelumnya pinceng mengharapkan maaf apabila apa yang hendak pinceng utarakan ini tidak berkenan di hati nyonya. Secara tidak disengaja, nasib telah mempertemukan pinceng dengan putera nyonya, dan begitu melihatnya, pinceng merasa tertarik sekali. Putera nyonya itu mempunyai darah dan tulang yang baik, berbakat sekali untuk mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi, juga kiranya akan baik kalau dia memperdalam ilmu sastera dan keagamaan untuk bekal hidupnya kelak. Pinceng tertarik sekali dan kalau nyonya merelakan dan tidak berkeberatan, pinceng akan merasa bersyukur sekali untuk mengambilnya sebagai murid pinceng."

Mendengar ucapan ini, wajah Liu Ma berseri sehingga legalah hati hwesio itu. "Saya akan berterima kasih dan merasa girang sekali kalau losuhu suka mendidik Han Lin sebagai murid suhu. Akan tetapi, di manakah suhu tinggal, di kelenteng mana, dan jauhkah dari sini?"

Kong Hwi Hwesio menggeleng kepala dan tersenyum lebar sehingga nampak mulutnya yang ompong tanpa gigi lagi sehingga wajahnya makin mirip wajah bayi yang belum bergigi! "Omitohud pinceng tidak pernah mempunyai kelenteng, tidak pernah tinggal di suatu tempat yang tetap. Pinceng adalah seorang hwesio pengembara, nyonya."

Wanita itu mengerutkan alisnya. "Akan tetapi, bagaimana suhu hendak mengambil anak saya sebagai murid kalau losuhu tidak mempunyai tempat tinggal? Apakah.... apakah suhu hendak membawa anak saya pergi mengembara pula, tidak tentu tempat tinggalnya?"

Ketika hwesio tua itu mengangguk, Liu Ma segera menyatakan keberatannya. "Harap losuhu sudi mengampuni saya. Saya akan berterima kasih sekali kalau anak saya dapat menjadi murid losuhu, akan tetapi sebaliknya, saya tidak akan dapat hidup dijauhkan darinya. Hendaknya losuhu ketahui bahwa hidup saya hanyalah untuk Han Lin seorang, bagaimana mungkin sekarang dia akan losuhu bawa pergi mengembara? Saya hanya mempunyai dia seorang, losuhu."

"Omitohud... pinceng juga tidak ingin membuat nyonya yang baik hati berduka. Akan tetapi, pinceng adalah seorang hwesio yang miskin dan tidak mempunyai harta secuilpun, tentu tidak dapat mengadakan tempat tinggal....."

"Ah, saya teringat, losuhu! Bagaimana kalau diatur sehingga kebutuhan kita berdua terpenuhi dan kita sama sama merasa enak dan senang? Maksud saya, losuhu tetap dapat menjadi guru anak saya, sedangkan saya dapat tetap tidak kehilangan Han Lin, tidak berjauhan darinya?"

Hwesio tua itu merangkap kedua tangan depan dada. "Omitohud... pinceng yakin bahwa hati nyonya bersih, dan maksud hati nyonya baik sekali. Akan tetapi, demi menjaga nama baik nyonya, tidak mungkin pinceng tinggal di sini. Biarpun pinceng sudah tua renta, akan tetapi nyonya adalah seorang wanita janda, maka tidak baik sekali...."

Liu Ma tersenyum geli, membuat Kong Hwi Hwesio tidak melanjutkan ucapannya dan memandang heran. "Losuhu salah paham, bukan maksud saya minta kepada losuhu untuk tinggal di sini. Akan tetapi di dekat puncak Bukit Ayam Emas di sana itu terdapat sebuah kuil tua yang kosong dan tidak dipergunakan lagi. Kabarnya, puluhan tahun yang lalu kuil itu menjadi tempat tinggal seorang tosu, dan pertapa itu kemudian meninggal dunia di kuil dan dimakamkan di pekarangan kuil. Dan sejak itu, kuil itu tidak ada penghuninya dan rusak karena tidak terawat. Bagaimana kalau saya minta ijin kepada kepala dusun, memperbaiki kuil itu dan losuhu tinggal di sana, mendirikan sebuah kelenteng dan dengan demikian, losuhu dapat mendidik Han Lin dan setiap saat saya dapat menjenguknya...?"
Selanjutnya,

Kisah Si Pedang Terbang Jilid 01

Kisah Si Pedang Terbang

Karya : Kho Ping Hoo
Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo
Jilid 01
SUNGAI bagaikan pita sutera biru. Gunungnya laksana tusuk sanggul kemala! Demikianlah pujian yang ditulis dalam dua baris atau sebait sajak oleh Han Ji (768 824), seorang di, antara para pujangga besar di jaman Dinasti Tang (618 907) itu. Sebait sajak yang sederhana, namun jelas menggambarkan keindahan alam dari lembah Sungai Li yang dilihat dari puncak Gunung Teratai Biru.

Memang, kebesaran alam dengan segala keindahannya terbentang luas di sekitar Kuilin, Propinsi Juangsi itu. Dan Sungai Li merupakan penunjang kuat untuk segala keindahan ini, kesuburan tanahnya, kemakmuran rakyatnya. Sungai Li ini dikenal pula dengan sebutan Sungai Kui atau Sungai Haijang, sebagai sungai yang bermata air dari Gunung Haijang.

Gunung Haijang berdiri tegak menjulang di antara dua propinsi, yaitu di perbatasan Propinsi Kuangsi dan Propinsi Hunan. Dari gunung ini mengalir dua batang sungai, yaitu Sungai Li yang mengalir masuk ke daerah Propinsi Kuangsi, sedangkan yang mengalir ke daerah Hunan adalah Sungai Siang. Dari daerah Kuilin sampai ke daerah Yangsuo terbentang keindahan alam yang tiada habis-habisnya, yang satu lebih menarik dan lebih indah dari pada yang lain.

Namun, seperti banyak ditulis para penyair dan dilukis oleh para pelukis, yang terindah di antara semuanya adalah pemandangan alam di Yangsuo. Di daerah ini, Gunung Teratai Biru mencakar langit, seringkali puncaknya terselimut kabut tipis, nampak seperti wajah jelita seorang puteri mengintai dari balik tirai putih yang tipis.

Indah bukan main! Dari jauh, gunung ini nampak seperti bentuk sekuntum bunga teratai yang menguncup, segar dan indah kebiruan. Di kaki gunung ini terdapat dusun-dusun yang tenang tenteram, dihuni para petani merangkap nelayan yang hidupnya tak pernah kekurangan karena tanah di situ subur dan Sungai Li mengandung banyak ikan.

Dan di lereng gunung itu, terpencil sunyi namun penuh kedamaian, berdiri sebuah kuil tua yang indah. Itulah Kuil Cian yang seolah menjadi lambang ketenteraman, mengamati kehidupan rakyat pedusunan yang berada di bawah. Dari kuil ini kita dapat menikmati tamasya alam yang berubah-ubah keindahannya dari pagi sampai senja. Bahkan di waktu malam, kalau bulan muncul bersih tidak terhalang awan, pemandangan di situ amat mempesonakan.

Kota Yangsuo seolah menjadi pusat dari semua keindahan itu, bagaikan sekuntum bunga teratai biru, dikitari berlapis-Iapis pegunungan yang hijau zamrud, seperti setangkai bunga yang terllndung dalam pelukan daun-daun bunga. Di daerah itu, kedua tepi Sungai Li terjaga pegunungan, dari Gunung Teratai Biru, kalau kita menyusur ke hilir sungai, akan nampaklah Gunung Pelayan Pelajar.

Gunung ini memperoleh namanya dari bentuknya yang seperti seorang pelayan pelajar, tenang, diam dan patuh, duduk tegak lurus membantu sang pelajar mendeklamasikan sajak buatan majikannya. Dari sisi lain, dia nampak seperti sedang membungkuk, siap menerima tugas dari sang pelajar. Di antara puncak-puncak pegunungan itu, yang terkenal adalah Puncak Singa Kembar di Gunung Besi.

Memang puncak itu mirip sekali sepasang singa yang duduk dengan tenangnya nampak gagah dan jinak, tidak membayangkan keganasan. Air Sungai Li itu sendiri amat jernih karena belum melalui kota-kota besar di mana penduduknya tak segan-segan mengotorinya. Airnya jernih tembus pandang sampai ke dasarnya yang terbentuk dari batubatu cadas.

Di kanan kiri sungai nampak pegunungan, jurang dan palung-palung buatan alam. Ada dongeng rakyat setempat bahwa di sana pernah terjadi peristiwa hebat, yaitu ketika Sembilan Naga Berlumba Menyeberangi Sungai. Dongeng ini timbul karena adanya garis-garis timbul yang berliku di dasar sungai, sehingga nampak seolah ada sembilan ekor naga berlumba melintasi sungai.

Tak jauh di sebelah depan lagi nampak di kejauhan dua pegunungan yang berhadapan dan nampak seperti dua pasukan saling berhadapan dengan seragam putih dan merah. Itulah Pegunungan Tebing Putih, dan Pegunungan Tebing Merah. Pemandangan pegunungan yang kehijauan bertahtakan tebing-tebing putih dan merah!

Maju sedikit Iagi, di daerah Singping di tepi Sungai Li, terdapat Pegunungan Lima Puncak, dan Gunung Lukisan. Keindahan di daerah ini menggerakkan hati banyak penyair untuk datang berkunjung dan menuliskan pujian hati mereka melalui sajak-sajak indah, juga tiada habisnya para pelukis kenamaan mencoba untuk menggoreskan suara hati mereka mengutip semua keindahan itu.

Terdapat dongeng rekyat pula di daerah itu bahwa demikian indahnya pemandangnya alam di situ sehingga seorang dewapun tergerak hatinya, dan pada suatu hari, sang dewa itu duduk di atas sepetak rumput menikmati keindahan sambil minum arak dan bersajaklah sang dewa itu. Hal ini sudah terjadi ribuan tahun yang lalu (sajak dari abad ke duabelas sebelum Masehi).

Senja menjelang tiba embun mulai mengelimuti rumput penuhilah lagi cawan cakrawala sebelum malam menghapus semua keindahan ini! Sepanjang malam kabut menutupi semua keindahan menakjubkan ini namun itupun takkan lama kabut akan mengering malam akan berakhir!

Hampir semua penyair di jaman itu, yaitu dalam dinasti Tang (618-907) pernah berkunjung dan mengagumi keindahan pemandangan alam di sepanjang Sungai Li, terutama di daerah Kuangsi ini. Di antara mereka adalah para penyair besar seperti Han Ji, Liu Cung Yuen, Huang Ting Ciang, Ji Fu, Fan Ceng Ta, Wang Wei dan terutama sekali Li Tai Po, Tu Fu dan masih banyak lagi.

Kabarnya, Li Tai Po sendiri pernah naik perahu seorang diri di Sungai Li, minum arak dan pada malam terang bulan purnama, penyair besar ini mengenang pengalamannya dengan bersajak. Sajaknya itu amat terkenal, terutama di daerah yang dialiri Sungai Li.

Seperti kebanyakan sajaknya, penyair ini lebih suka menulis tentang perasaan dan kehidupan manusia melalui dirinya sendiri dari pada sekedar memuji keindahan alam.

Dengan cawan anggur di tangan dikelilingi bunga,
aku minum sendiri tanpa seorangpun menemaniku.
Kuangkat cawan anggurku kepada bulan
kuminta bulan mendatangkan bayanganku
dan membuat kami menjadi bertiga.
Namun, bulan tidak dapat minum
dan bayanganku tertinggal, hampa;
betapapun mereka adalah kawan-kawanku
menemaniku sepanjang musim semi…
Aku bernyanyi. Bulan tersenyum padaku.
Aku berjoget. Bayanganku mendampingiku.
Kutahu, kami adalah sahabat-sahabat baik,
ketika aku mabok, kami saling kehilangan.
Dapatkah kemauan baik bertahan?
Kutatap jalan panjang Sungai Bintang-bintang!

Di kaki Bukit Ayam Emas yang termasuk daerah Yuangsuo, terdapat beberapa buah dusun yang bertebaran di sekeliling bukit itu. Di antaranya adalah dusun Libun yang terletak di tepi sungai Li. Dusun ini hanya berpenduduk sekitar limapuluh keluarga saja, agak jauh dari dusun lain, paling dekat sepuluh li dari dusun lain dan nampak tenang dan tenteram.

Para penghuninya bekerja sebagai petani dan juga nelayan dan di tepi sungai nampak banyak perahu dan rakit dari bambu fertambat. Mereka yang keadaannya agak mampu memiliki sebuah perahu, yang lebih sederhana cukup dengan rakit yang mereka buat sendiri dari bambu. Pada umumnya, penghuni dusun Libun merasa cukup.

Memang sesungguhnya, kaya atau miskin tak dapat diukur dari isi saku atau harta milik. Betapapun besar dan banyak harta milik yang dipunyai seseorang, kalau dia masih merasa kurang atau belum cukup, sama saja artinya dengan seorang yang miskin dan dia tidak akan dapat menikmati apa yang telah dimilikinya.

Sebaliknya, biarpun seseorang hidup sederhana, namun kalau dia sudah merasa cukup, sama saja halnya dengan seorang kaya raya dan dia dapat menikmati apa yang telah dimilikinya. Jadi letak ukurannya bukan di saku atau di gudang harta, melainkan di dalam hatinya. Seperti para penduduk dusun Libun. Karena mereka tinggal di dusun sederhana, maka kebutuhan hidup merekapun tidak banyak, sekedar sandang, pangan dan papan yang sederhana cukuplah.

Tidak terdapat banyak godaan terhadap mereka, seperti dalam kota di mana terdapat toko-toko yang menjual barang-barang mewah dan indah, rumah-rumah makan dengan masakan yang mahal, dan rumah-rumah indah, juga tontonan-tontonan yang kesemuanya itu membutuhkan uang banyak sehingga tentu saja kehidupan di kota mendatangkan banyak keinginan dan kebutuhan.

Berbahagialah manusia yang dapat menikmati apa yang ada, menikmati apa yang dimilikinya. Namun, selama kita masih dicengkeram nafsu, kita takkan pernah dapat menikmati apa yang kita miliki karena kita selalu menjangkau yang belum kita miliki, yang kita anggap akan lebih indah dari pada apa yang telah kita miliki. Sifat nafsu adalah selalu mencari yang lebih dan hanya sejenak saja menikmati apa yang kita dapatkan lalu terganti kebosanan karena kita sudah mengejar yang kita anggap lebih menyenangkan lagi.

Dan untuk dapat menjadi manusia berbahagia seperti itu, satu-satunya jalan keluar hanyalah dengan penyerahan kepada Tuhan Yang Maha Kasih. Kalau kita menyerahkan diri kepada Tuhan, kita tidak akan mengeluh dan selalu akan bersukur kepada Tuhan, dalam keadaan apapun kita berada.

Kalau segala peristiwa kita sambut sebagai sesuatu yang telah dikehendaki Tuhan, kita tidak akan mengeluh lagi, karena kita yakin bahwa semua kehendak Tuhan pasti terjadi, dan apapun yang ditimpakan kepada kita pasti memillki hikmah karena Tuhan mengetahui apa yang terbaik untuk kita.

Kewajiban kita dalam hidup ini hanyalah mempergunakan atau memanfaatkan semua anggauta tubuh ini termasuk hati akal pikiran kita untuk kesejahteraan hidup ini, dari diri pribadi sampai lingkungan yang makin meluas, keluarga masyarakat, bangsa, dan seluruh manusia.

Semua usaha itu didasari penyerahan dan keyakinan bahwa semua hasil usaha kita, baik yang bagi kita menyenangkan maupun menyusahkan, terjadi atas kehendak dan bimbingan Tuhan. Karena itu, hanya puji syukurlah yang keluar dari hati dan mulut kita kepada Tuhan Maha Pengasih.


Pagi itu amat cerah. Sinar matahari pagi seolah menggugah semua yang terlelap di malam yang baru lewat, dan memberi kehidupan kepada setiap tumbuh tumbuhan, besar maupun kecil, memberi kehidupan kepada semua mahluk, merupakan satu di antara berkah Tuhan yang berlimpahan kepada ciptaanNya, alam beserta seluruh isinya.

Permukaan Sungai Li amat tenang dan jernihnya. Kecuali apa bila hujan turun yang membawa banyak tanah dan daun kering mengotori air sungai, air itu selalu jernih dan pagi hari yang cerah Itu, air sungai nampak jernih seperti kaca dan matahari pagi membuat garis-garis perak dipermukaannya.

Sebuah rakit kecil yang hanya terbuat dari beberapa batang bambu, meluncur perlahan menyeberang sungai. Rakit itu membawa seorang anak laki-laki yang dengan gerakan kuat karena sudah terbiasa, mendorong rakit meluncur dengan sebatang dayung.

Setelah tiba di seberang, anak laki-laki itu menempelkan rakitnya di tepi sungai, lalu meloncat ke darat dan mengikatkan tali rakitnya pada sebatang pohon bambu yang besar. Tepi sungai dimana dia mendarat itu memang merupakan sebuah kebun bambu yang lebat, di mana terdapat banyak sekali rumpun bambu yang bermacam-macam bentuknya.

Diapun meninggalkan rakitnya, memasuki hutan bambu membawa sebuah golok dalam sarung kulit yang dia selipkan di pinggangnya. Anak itu berpakaian sederhana, seperti pakaian anak-anak dusun di daerah itu, bercelana panjang sampai ke bawah lutut, sepatunya dari kulit kasar, bajunya berlengan pendek, berwarna hitam seperti yang biasa dipakai semua anak di situ karena warna hitam ini awet tidak lekas kotor.

Biarpun pakaiannya tidak berbeda dengan pakaian anak-anak lain di. dusun itu, sederhana namum wajahnya memiliki sesuatu yang tidak biasa didapatkan pada wajah anak anak di situ. Wajahnya amat tampan, dengan kulit yang bersih dan segar kemerahan. Wajah itu berbentuk keras, memperlihatkan kejantanan pada rahang dan dagunya, namun matanya lebar dan bersinar tajam, hidungnya dan mulutnya mengandung wibawa dan membuat dia nampak anggun, rambut yang hitam dan subur itu dipotong pendek.

Tubuhnya tinggi tegap, melebih bentuk tubuh anak-anak yang berusia tujuh tahun, namun wajah dan tubuh yang membayangkan kegagahan itu diperlembut oleh senyumnya yang selalu menghias mulut dan matanya.

Tidaklah terlalu mengherankan melihat anak laki-laki yang demlkian tampan dan gagah walapun berpakaian seperti anak dusun kalau orang mengetahui latar belakang yang amat mengejutkan dari anak laki-laki itu. Ibu kandungnya adalah puteri seorang Menteri Utama Kerajaan Tang, dan ayah kandungnya bahkan pernah menjadi kaisar, walaupun hanya untuk waktu selama sembilan tahun! Ibunya bernama Yang Kui Bi, puteri mendiang.Yang Kok Tiong, menteri utama kerajaan Tang ketika dipimpin Kaisar Hsuan Tsung (Beng Ong, 712 - 755).

Adapun ayah kandungnya adalah Sia Su Beng, seorang panglima dari pasukan yang dipimpin pemberontak An Lu Shan. Seperti dapat diketahui dalam catatan sejarah, An Lu Shan memberontak dalam tahun 755 dan berhasil merebut tahta kerajaan dari tangan Kaisar Hsuan Tsung yang melarikan diri ke barat. An Lu Shan yang mengangkat diri menjadi kaisar, saling berebut kekuasaan dengan puteranya sendiri yang berna ma An Kong dan An Lu Shan dibunuh oleh puteranya sendiri.

Dalam keadaan yang kacau itu, Sia Su Beng, dibantu oleh kekasihnya, yaitu Yang Kui Bi, berhasil menyingkirkan An Kong dan Sia Su Beng mengangkat diri menjadi kaisar Kerajaan Tang! Akan tetapi, Kaisar Hsuan Tsung yang lari ke barat, menghimpun kekuatan, kemudian dilanjutkan oleh penggantinya, yaitu puteranya yang kemudian menjadi Kaisar Su Tsung, dan pasukan gabungan dari barat itu menyerbu untuk merebut tahta kerajaan yang kini telah berada di tangan Sia Su Beng.

Perang itu berjalan selama sembilan tahun dan sementara itu, Sia Su Beng yang telah menjadi kaisar menikah dengan kekasihnya, Yang Kui Bi dan mereka mempunyai seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Sia Han Lin. Akhirnya, ketika Sia Han Lin berusia lima tahun, pasukan Tang yang menyerbu dari barat itu berhasil merebut Tiangoan, kota raja dan dalam pertempuran yang hebat, Sia Su Beng dan isterinya, Yang Kui Bi, bertempur sampai tewas.

Akan tetapi sebelum mereka maju bertempur, mereka lebih dahulu menyerahkan putera mereka kepada seorang pengasuh, seorang wanita setengah baya yang setia dan yang mengasuh Sia Han Lin sejak bayi, dan minta kepada wanita itu untuk membawa lari Sia Han Lin, mengungsi keluar dari kota raja bersama rakyat.

Demikianlah, bocah berusia tujuh tahun itu adalah Sia Han Lin, putera dari suami isteri mendiang Sia Su Beng dan Yang Kui Bi, suami isteri yang berdarah bangsawan dan tewas gugur dalam perang dalam usia muda. Mereka itu adalah suami isteri yang memiliki ilmu silat tinggi dan gagah perkasa. Sayang bahwa ambisi yang berlebihan, pengejaran kekuasaan, membuat mereka tewas dalam pertempuran.

Liu Ma, yaitu janda yang menjadi pelayan pengasuh keluarga Sia Su Beng, adalah seorang janda yang telah menjadi pelayan pengasuh sejak Han Lin dilahirkan. la amat setia dan amat sayang kepada Han Lin, karena janda ini sendiri tidak mempunyai anak. la kini berusia empatpuluh tujuh tahun. Dua tahun yang lalu, ketika ia menerima tugas yang berat, ia segera membawa Han Lin yang ketika itu berusia lima tahun, melarikan diri mengungsi ke luar kota raja.

Tak seorangpun mengira bahwa anak laki-laki yang mengenakan pakaian biasa dan ditarik-tarik tangannya oleh Liu Ma, berbaur dengan para pengungsi itu adalah putera Sia Su Beng yang menjadi kaisar! Liu Ma harus pandai-pandai membujuk karena Han Lin selalu rewel dan tadinya berkeras tidak mau meninggalkan ayah ibunya. Namun, dia sudah cukup besar untuk mengerti bahwa kota raja diserbu musuh dan dia terancam bahaya maut kalau tidak mau diajak melarikan diri.

"Akan tetapi, ayah dan ibu tidak pergi!" Dia membantah ketika dia ditarik-tarik Liu Ma keluar dari kota raja.

"Ayah ibumu tidak takut karena mereka berjuang, mereka melawan musuh," kata Liu Ma yang terpaksa harus menggunakan kalimat biasa, tidak seperti biasanya ia bersikap sebagai seorang pelayan terhadap seorang pangeran! Mulai saat itu, ia harus memperlakukan Han Lin seperti anak biasa, dan mengakuinya sebagai anaknya. Itulah jalan satu-satunya untuk menyelamatkan anak yang dikasihinya itu.

"Akupun tidak takut!" kata Han Lin, berusaha melepaskan pegangantangan Liu Ma pada pergelangan tangannya. "Akupun ingin membantu ayah dan ibu melawan musuh!"

"Stt....!" Liu Ma memondong anak itu dan mendekap mulutnya, lalu berbisik dekat telinganya, "Pangeran, lupakah paduka akan pesan Sribaginda dan Permaisuri? Paduka harus patuh kepada hamba dan jangan menentang, ini semua merupakan perintah beliau yang tidak boleh kita bantah. Ingatkah paduka?"

Mendengar ini, Han Lin menangis di atas pundak Liu Ma. Memang sejak kecil dia dekat dengan pengasuh ini dan sekarang, diingatkan perintah dan pesan terakhir ayah ibunya, diapun merasa sedih dan menangis. "Liu Ma, kenapa ayah dan ibu menyuruh aku pergi...." Kenapa aku harus berpisah dari mereka....?" isaknya.

"Stttt...., pesan mereka sudah jelas, bukan? Mulai saat ini, kita harus merahasiakan bahwa paduka adalah pangeran. Paduka muiai sekarang harus mengaku sebagai anak hamba, dan maafkan, hamba tidak akan lagi bersikap dan berbicara seperti biasa. Dan maafkan kalau mulai sekarang hamba akan menyebut paduka dengan nama paduka saja karena ingat, paduka adalah anak hamba."

Han Lin mengangguk dan diapun tidak meronta lagi ketika diturunkan dan tangannya digandeng Liu Ma. Demikianlah, Liu Ma mengajak Sia Han Lin mengungsi ke daerah selatan, kembali ke dusun yang menjadi tempat kelahirannya. Ketika masih kecil Liu Ma lahir dan tinggal di dusun Libun, termasuk wilayah Kweilin propinsi Kuangsi.

Karena ketika pergi meninggalkan istana ia dibekali emas permata yang cukup banyak, maka ia dapat membeli rumah sederhana dan sawah ladang, juga ternak dan ia hidup tidak kekurangan dengan Han Lin yang semua orang menerimanya sebagai putera Liu Ma. Liu Ma menaati pesan Sia Su Beng dan Yang Kui Bi.

Dengan uangnya, ia membayar seorang penduduk yang cukup berpendidikan untuk mengajarkan ilmu membaca dan menulis kepada Han Lin. Ternyata anak itu cerdas sekali dan selama dua tahun kurang mempelajari sastra, ia kini sudah pandai membaca dan menulis, membuat para anak di dusun itu merasa kagum karena sebagian besar anak-anak dusun itu buta huruf.

Han Lin memang tidak pernah bertanya kepada Liu Ma tentang ayah bunda nya lagi sejak dia mendengar dari Liu Ma bahwa menurut berita yang sampai di dusun itu, Sia Su Beng dan Yang Kui Bi telah tewas, gugur dalam pertempuran. Semalam suntuk Han Lin tidak tidur, merenung dan menangis, akan tetapi sejak hari itu, dia tidak pernah lagi bertanya tentang mereka kepada Liu Ma, membuat bekas pelayan yang kini menjadi ibunya merasa lega hatinya.

Akan tetapi, janda ini sama sekali tidak tahu bahwa Han Lin tidak pernah melupakan ayah ibunya, tidak pernah lupa bahwa ayah dan ibunya tewas sebagai orang-orang gagah, gugur dalam pertempuran. Dia tidak pernah dan tidak akan pernah melupakan kenyataan itu! Seperti anak-anak lain di dusun Libun, Han Lin juga bekerja membantu ibunya yang menggunakan dua orang tenaga kerja.

Dia membantu bertani, menggembala ternak, juga mencari ikan sehingga dalam usia tujuh tahun itu, dia sudah pandai sekali menjala atau mengail ikan. Juga karena hidup dekat sungai, bersama anak-anak lain dia suka mandi di sungai sehingga dia pandai berenang dan gagah pula mendayung perahu atau rakit.

Pada hari yang cerah itu, seorang diri Han Lin pergi berakit mencari bambu yang terbaik untuk dibuat menjadi joran pancingnya. Joran pancing yang baik adalah yang panjang, tidak berat, lentur dan tidak mudah patah, juga sekecil mungkin. Tidak mudah mencari bambu yang baik untuk itu, dan kalau hendak mencari bambu, ke mana lagi kalau bukan ke hutan bambu di seberang sungai itu.

Han Lin berjalan perlahan, memandang ke kanan kiri mencari bambu yang dibutuhkannya. la mengenal hutan ini karena sering dia bersama teman-teman atau seorang diri berkeliaran di sini, juga dia mengenal banyak macam bambu yang tumbuh dihutan itu. Guru sastranya adalah seorang yang ahli perbambuan, mengenal nama-nama dan sifat banyak bambu sehingga diapun mengenal banyak bambu yang beraneka bentuk dan tumbuh disitu.

Ada bambu yang disebut Bambu Dawai Kecapi, batangnya lurus dan ruasnya agak berjauhan, tidak. bermiang dan warna dasarnya kuning dengan garis-garis lurus berwarna kehijauan. Bambu ini yang biasa disebut pula Bambu Kuning. Akan tetapi jenis ini ada yang dasarnya berwarna hijau muda dengan garis-garis hijau tua kehitaman. Ada pula bambu yang disebut Bambu Berbintik, juga ada yang menamakannya Bambu Selir Siang!

Tentang nama yang yang ke dua ini ada dongengnya. Di jaman purba terdapat seorang kaisar yang meninggal dunia karena sakit ketika dia sedang melakukan perjalanan ke selatan. Selirnya yang terkasih demikian sedihnya dan putus asa karena kematian kaisar ini dan selir itupun terjun ke dalam sungai dan kabarnya menjelma menjadi dewi sungai.

Batang bambu itu menjadi berbintik-bintik terkena air mata selir itu. Karena sungai di mana selir membunuh diri itulah ada lah Sungai Siang, maka bambu itu dinamakan Bambu Selir Siang. Pada ruasnya seringkali tumbuh cabang berkelompok, dasar warnanya abu-abu kuning dan bintik-bintiknya yang tidak rata dan lebih tebal di dekat ruas itu berwarna coklat.

Ada pula bambu yang disebut bambu Muka Manusia karena bentuk ruasnya yang mirip muka manusia, ada juga bambu Tak Berlubang yang batangnya hanya sebesar jari. Bambu Persegi adalah bambu yang aneh, tidak bundar dan kuIit batangnya keras sekali. Ada lagi Bambu Manis yang daunnya amat lebar, menjadi kebalikan dari Bambu Cina yang daunnya kecil-kecil sehingga perbandingan daun antara kedua jenis bambu ini sama dengan limapuluh berbanding satu!

Ada bambu yang dapat berbunga semerbak harum, di antaranya adalah Bambu Pahit dan Bambu Hitam Berduri. Bambu yang terakhir ini tidak terlalu hitam, akan tetapi pada buku-bukunya antara ruas terdapat duri-duri hitam mengelilinginya, seolah buku-buku itu dipasangi roda bergigi. Ada pula Bambu Bermiang, ketika mudanya penuh dengan miang yang dapat membuat kulit manusia gatal-gatal.

Di antara semua bambu itu, Han Lin paling suka mengagumi bambu yang dinamakan Bambu Sisik Naga! Memang bambu ini luar biasa sekali. Batangnya bundar dan gemuk, kokoh dan berliku-liku seperti tubuh naga, dan ruasnya juga aneh sekali, berselang-seling dengan buku-buku menyerong seperti sisik ular atau sisik naga.

Han Lin menghampiri bambu yang dicarinya, yaitu Bambu Tak berlubang. Bambu jenis inilah yang peling cocok untuk dijadikan joran pancingnya. Hanya sebesar ibu jari, tidak berlubang dan lentur sekali. Dengan menggunakan goloknya, Han Lin menebang lima batang yang dipilihnya, tidak terlalu tua agar tidak kaku dan cukup lentur, dan tidak terlalu muda agar tidak getas.

Dia membersihkan cabang dan daun lima batang bambu itu, kemudian membawa lima batangnya keluar dari dalam hutan bambu. Seperti biasa kalau bermain di tempat itu, dia duduk di luar hutan, di tepi sungai di mana rakitnya ditambatkan, dan dia menikmati pemandangan yang amat disenanginya.

Memang luar biasa sekali suasana di tempat yang sunyi itu. Seluruh panca indera kita seperti dibelai dan dimanjakan kalau kita berada situ. Hidung mencium keharuman yang khas dari tanah, daun dan bunga. Telinga menikmati gemersik daun daun bambu dihembus angin semilir, bagaikan musik dan nyanyian sorga, dan mata yang. paling banyak mendapat limpahan keindahan.

Tidak mengherankan kalau para penyair memuji-muji keindahan daun-daun bambu yang selalu menari-nari, dengan pucuk batangnya yang meliuk-liuk, juga para pelukis tak pernah bosan melukis daun-daun bambu yang nampak kacau namun indah serasi itu. Kacau namun serasi, itulah keadaan daun-daun bambu. Andaikata diatur tangan manusia dan tidak kacau mencuat ke sana sini, bahkan menjadi tidak serasi dan tidak indah.

Seperti biasa, kalau berada seorang diri di situ, mendengar dendang merdu gemercik air di tepi sungai dan gemersik daun-daun bambu, disentuh kelembutan semilir angin, Han Lin tenggelam dalam lamunan. Seperti terbayang semua peristiwa yang telah lalu, mengingatkan dia bahwa dia pernah hidup sebagai seorang pangeran! Hidup di dalam istana yang megah di mana setiap orang menghormati dan memuliakannya, dibelai kasih sayang ayah ibunya. Dan sekarang? Semua itu telah musnah.

Dia menjadi seorang anak yatim piatu yang terpaksa mengakui Liu Ma sebagai ibunya. Dla telah mendengar bahwa ayah ibunya gugur di dalam pertempuran. Dia telah kehilangan segalagalanya. Akan tetapi tidak! Dia membantah renungannya sendiri. Dia tidak kehilangan segalanya. Dia masih memiliki dirinya!

Kalimat ini seperti telah menjadi dasar untuk menghidupkan gairah dan semangatnya. Ibunya menyertakan sehelai surat untuknya dan surat itu selalu disimpan baik-baik oleh Liu Ma. Setelah dia pandai membaca, beberapa bulan yang lalu surat itu diberikan Liu Ma kepadanya.

Dan kalimat pertama dalam surat ibunya kepada berbunyi: "Jangan putus asa, Han Lin puteraku. Engkau masih memiliki dirimu!" Kalimat itulah yang selama ini menjadi pegangannya dan selalu berdengung di telinganya setiap kali dia termenung dan kedukaan mulai menyelinap di hatinya.

Kemudian, di dalam surat itu ibunya memesan kepadanya agar kelak dia mencari anggauta keluarga ibunya, yaitu kakak ibunya yang bernama Yang Cin Han, dan enci ibunya bernama Yang Kui Lan. Ibunya tidak tahu mereka berada di mana, dan dia sendiri belum pernah bertemu mereka. Akan tetapi kedua nama itu telah terukir dalam hatinya dan dia berjanji kepada diri sendiri bahwa sekali waktu, dia pasti akan pergi mencari mereka, paman dan bibinya itu.

Sampai lama Han Lin melamun di situ, tidak tahu bahwa sebuah perahu meluncur ke tepi sungai, dekat rakitnya dan dua orang yang tadi duduk di dalam perahu, melompat ke darat, kemudian sekali tarik, perahu itu telah terseret ke daratan pula. Agaknya dua orang itu kini mulai bercekcok dan barulah Han Lin sadar dari lamunannya ke tika mendengar mereka berdua bicara degan suara nyaring karena marah.

Dia cepat menoleh dan dia terbelalak memandang kepada dua orang yang sedang ribut mulut itu. Yang seorang bertubuh pendek gendut, mukanya hitam arang, matanya besar lebar dan mulutnya selalu tersenyum mengarah tawa. Bajunya terbuka di bagian dada, memperlihatkan dadanya yang penuh gajih.

Adapun orang ke dua tidak kalah anehnya, bahkan agaknya merupakan kebalikan dari orang pertama karena orang ke dua ini bertubuh tinggi kurus, mukanya pucat seperti kapur, matanya sipit hampir terpejam dan mulutnya selalu mewek seperti orang menangis. Usia kedua orang aneh ini sekitar limapuluh tahun dan kini mereka bertengkar, didengarkan oleh Han Lin yang merasa terheran-heran.

"Hek Bin (Muka hitam), jangan sombong kau! Mentang-mentang sudah belasan tahun bertapa di kutub utara, kau kira kini ilmu kepandaianmu tidak ada yang dapat menandingi? Apa kau kira selama belasan tahun ini aku tinggal menganggur saja? Hemm, kau tahu, akupun memperdalam ilmuku dan aku yakin engkau tidak akan mampu menandingiku!" kata si muka putih.

Si gendut bermuka hitam itu tertawa bergelak, mengangkat muka ke atas dan ketika tertawa perut gendutnya bergerakgerak seperti bergelombang. "Ha ha ha ha, Pek Bin (Muka Putih), engkau yang tekebur! Engkau selama belasan tahun bertapa di kutub Selatan? Hehehheh, kita dahulu memang setingkat, akan tetapi sekarang, jangan harap engkau akan mampu menandingiku. Lebih baik engkau mengangkat aku menjadi guru dan saudara tua agar aku dapat membimbingmu, hahaha!"

"Wah, gendut muka hitam sombong. Kita uji, tidak perlu banyak bicara Kita buktikan siapa di antara kita yang lebih kuat dan lebih pantas menjadi saudara tua!" kata si tinggi kurus muka putih.

"Baik, majulah!"

Mereka berdua lalu berkelahi! Han Lin masih terlalu kecil dan asing dengan ilmu silat untuk dapat mengetahui bahwa dua orang itu bukan hanya berkelahi biasa saja, melainkan bertanding dengan menggunakan ilmuilmu yang dahsyat sekali!

Gerakan kaki tangan mereka mendatangkan angin bersiutan, debu mengepul dan nampak batu batu beterbangan terlanda angin tendangan kaki mereka, dan rumpun bambu terdekat seperti dilanda angin besar!

Mereka itu kadang bergerak sedemikian cepatnya sehingga tidak nampak bentuk tubuh mereka, hanya nampak dua bayangan saja yang seperti bergu]at menjadi satu, dan kadang nampak gerakan mereka per lahanlahan seperti orang bermain-main. Namun, sesungguhnya ketika bertanding dengan gerakan perlahan itu mereka amat berbahaya karena keduanya mengandalkan sinkang yang amat kuat. Han Lin merasa khawatir sekali melihat dua orang itu bertanding seperti itu.

Kenapa orang-orang tua itu demikian pandir, tanpa hujan tanpa angin hanya untuk pamer kepandaian dan tidak mau kalah, saling hantam seperti itu? Dia khawatir kalau-kalau seorang di antara mereka akan terluka atau tewas, maka dia lalu bangkit dan lain menghampiri, untuk melerai.

Pada saat itu, dua orang aneh yang merasa penasaran karena belum dapat mendesak lawan, dalam benturan kedua tangan, keduanya meloncat ke belakang dan kini keduanya mengerahkan seluruh tenaga melalui kedua tangan yang didorongkan ke depan, saling serang dengan pukulan jarak jauh.

"Tahan....! Harap kedua paman berhenti berkelahi!" Han Lin berlari di antara kedua orang itu. Dia tidak tahu bahwa dia berada di antara dua pukulan jarak jauh yang saling menghantam!

Kedua orang itupun terkejut, akan tetapi agaknya mereka tidak perduli dengan munculnya seorang anak laki-laki di antara mereka dan mereka melanjutkan dorongan mereka. Han Lin yang sedang berlari itu tiba-tiba tertahan larinya dan dia terbelalak. Dia berdiri presis di antara kedua orang itu, menghadap ke arah si pendek gendut muka hitam.

Dia merasa betapa dadanya diterpa hawa dingin seperti es yang membuat tubuhnya seperti kaku membeku, akan tetapi pada saat yang bersamaan, punggungnya dihantam hawa yang amat panas seperti api. Han Lin dihimpit dua tenaga dahsyat, bukan saja tenaga sinkang kedua orang itu kuat bukan main, akan tetapi juga keduanya mengandung hawa beracun yang mematikan!

Hawa racun dingin dari si muka hitam itu dapat membuat darah menjadi beku, sedangkan hawa racun panas dari si muka putih dapat membuat seluruh isi tubuh menjadi hangus terbakar! Seorang ahli silat yang tangguh sekalipun tidak akan kuat menerima hantaman dari kedua pihak dengan tenaga sinkang beracun seperti itu, apa lagi tubuh Han Lin, anak berusia tujuh tahun yang belum pernah belajar ilmu silat sama sekali.

Tubuhnya berkelojotan dan matanya melotot, kaki tangannya terpetang seperti disambar halilintar, rambutnya berdiri semua, jari-jari tangannya terpentang. Agaknya kedua orang aneh itu tidak memperdulikannya, bahkan merasa jengkel dan menganggap anak itu menjadi pengganggu saja, maka sekali keduanya menggerakkan lengan, tubuh Han Lin terlempar ke dalam hutan bambu dan jatuh ke dalam rumpun bambu.

Dua orang aneh itu tidak memperdulikan lagi kepadanya karena mereka berdua merasa yakin bahwa anak itu tentu sudah mati. Biar seorang ahli silat tangguh sekali pun, sukar untuk dapat bertahan hidup terkena pukulan seorang saja dari mereka, apa lagi anak kecil itu menerima pukulan dari mereka berdua!

Mereka melanjutkan adu tenaga dan ternyata keduanya seimbang sampai akhirnya mereka berdua samasama lemas dan mengakhiri adu tenaga itu dan cepat duduk bersila untuk menghimpun tenaga. Kemudian mereka bangkit lagi.

"Hek-bin yang gendut, engkau ternyata hebat!" kata si muka putih.

"Engkaupun hebat, Pek-bin. Ternyata kita masih juga seimbang sekarang, maka biarlah kita menjadi seperti dahulu, tidak ada yang lebih tua tidak ada yang lebih muda, tidak ada yang lebih kuat atau lebih lemah."

Si gendut tertawa bergelak. "Bagus, kalau begitu, mari kita bersama mencari rejeki!" kata si muka putih. Mereka berdua lalu berkelebat dan tahu-tahu mereka sudah berada di atas perahu lagi yang diluncurkan cepat ke tengah sungai.

Mereka sudah lupa lagi kepada anak yang menjadi korban adu tenaga mereka tadi. Dua orang itu memang bukan orang sembarangan. Belasan tahun yang lalu mereka sudah terkenal sebagai Hek Pek Moong (Raja Hitam dan Putih) sepasang datuk yang berilmu tinggi akan tetapi sesat. Akhirnya, para pendekar bangkit dan mereka itu terusir dari dunia kangouw.

Keduanya lalu merantau, seorang ke selatan seorang ke utara dan selama belasan tahun mereka bersembunyi sambil memperda lam ilmu mereka. Kini mereka telah turun kembali ke dunia ramai sebagai dua orang tokoh yang ilmu kepandaiannya hebat sekali. Yang gendut muka hitam berjuluk Hek-bin Moong (Raja Iblis Muka Hitam), sedangkan yang kurus kering muka putih berjuluk Pek-bin Moong (Raja Iblis Muka Putih). Dunia persilatan pasti akan menjadi gempar dengan turunnya dua orang datuk sesat ini dari tempat persembunyian mereka.

Tubuh Han Lin bergerak-gerak, berkelojotan dalam sekarat. Anak berusia tujuh tahun itu telah diserang pukulan ampuh dari depan dan belakang, dengan hawa beracun dingin dari depan dan hawa beracun panas dari beiakang. Kalau saja dia terkena satu saja dari dua pukulan itu, tentu dia telah tewas seketika.

Kalau terkena pukulan dingin saja, tentu semua darah di tubuhnya sudan membeku, atau kalau terkena pukulan panas saja, tubuhnya sudah hangus. Akan tetapi justeru karena pukulan itu datang dari depan dan belakang, tubuhnya seperti terhimpit dua pukulan yang saling menolak. Hal ini membuat dia tidak sampai tewas seketika. Namun, hawa beracun panas dan dingin itu telah menyusup ke dalam tubuhnya, membuat tubuh itu berkelojotan dalam sekarat, mati tidak hiduppun enggan.

Sejak lahir sampai mati, kita tidak dapat mengatur atau menguasai kehidupan kita sendiri. Kita dilahirkan begitu saja di luar kehendak kita, kemudian selama hidup kitapun tidak tahu apa akan terjadi dengan hidup kita, kemudian kematian datang tanpa dapat kita tolak atau minta.

Mati atau hidup sepenuhnya berada di tangan Tuhan, dalam kekuasaanNya. Kalau Tuhan menghendaki kita mati, tidak ada tempat persembunyian bagi kita untuk menghindarkan diri. Biar kita bersembunyi ke lubang semut, maut tetap akan datang men jemput.

Sebaliknya, apabila Tuhan belum menghendaki kita mati, biarpun dihujani seribu batang anak panah, kita akan terhindar dari pada maut. Betapa banyaknya manusia, yang diakuinya maupun tidak, merasa takut akan kematian. Pada lahirnya boleh membual dan berlagak tidak takut mati, namun jauh di sebelah dalam, lubuk hatinya, dia merasa ngeri dan takut!

Mengapa takut akan sesuatu sudah pasti terjadi, akan sesuatu yang tidak mungkin terelakkan lagi, sesuatu yang akan menimpa setiap orang di dunia ini, tidak perduli tua ataupun muda, kaya ataupun miskin, pandai atau bodoh? Kenapa takut menghadap sesuatu yang tidak dapat kita ketahui keadaannya, sesuatu yang tidak kita kenal?

Sesungguhnya, kita tidak mungkin takut kepada suatu keadaan yang tidak kita ketahui. Yang kita takuti adalah suatu keadaan yang kita ketahui melalui kepercayaan, dongeng dan penuturan tentang keadaan sesudah mati. Yang kita takuti adalah kenyataan bahwa kalau kita mati, kita meninggalkan semua yang kita sukai dan cintai. Meninggalkan harta benda, meninggalkan keluarga meninggalkan segala macam kesenangan hidup di dunia ini.

Berbahagialah orang yang menyerah kepada Tuhan secara menyeluruh, lahir batin, pasrah dengan penuh keikhlasan dan ketawakalan. Baginya, kematian bukanlah suatu akhiran, melainkan suatu kelanjutan dari pada kehidupan di dunia ini. Dan, baik hidup di dunia ataupun kelanjutannya yang dinamakan mati, selama kita menyerah kepada Tuhan, Sang Maha Pencipta yang menguasai dan memiliki seluruh alam beserta isinya, berarti yang memiliki dan menguasai diri kita, maka tidak ada rasa takut terhadap kehidupan maupun kematian.

Menyerah kepada Tuhan sama sekali bukan berarti acuh, pasip, ataupun mandeg. Sama sekali bukan! Itu bukan pasrah namanya kalau kita hanya menyerahkan segalanya kepada Tuhan tanpa mau berusaha sesuatu! Tuhan telah melahirkan kita dengan alat yang paling sempuma dan lengkap, tangan kaki, hati akal pikiran, semua itu tentu untuk dimanfaatkan, dikerjakan sekuat kemampuan masing-masing, demi kesejahteraan hidup di dunia ini, demi kelangsungan hidup dan penjagaan diri. Bekerja! Itu lah hidup, karena hidup berarti gerak, dan gerakan kita berarti bekerja.

Namun semua pekerjaan, usaha dan ikhtiar kita itu dilandasi kepasrahan mutlak kepada Tuhan, karena hanya Tuhan yang dapat menentukan, apa yang akan kita alami dalam kehidupan ini maupun dalam kelanjutannya setelah kita meninggalkan dunia. Kalau sudah begitu, apa lagi yang perlu ditakuti? Adakah yang lebih membahagiakan bagi setetes air dari pada kembali ke samudera tempat dia berasal?

Demikianlah pula dengan Han Lin yang tubuhnya nyangkut di antara rebung bambu di rumpun itu. Tubuhnya berkelojotan, kaki tangannya bergerak-gerak. Tanpa disadarinya, kaki kanannya menendang seekor ular yang sedang melingkar di rumpun bambu itu. Ular itu adalah seekor ular senduk kepala putih yang amat berbisa.

Karena tertendang kaki yang berkelojotan, ular itu menjadi marah dan lehernya mekar, mulutnya mendesis, lalu leher itu terangkat tinggi, matanya mencorong mengikuti gerakan kaki yang masih menendangnendang. Mungkin dia mengira bahwa kaki itu sengaja hendak menyerangnya, maka tiba-tiba saja kepalanya bergerak dan pada detik lain, moncongnya telah menggigit betis Han Lin yang kiri.

"Capp!" Gigi-gigi kecil runcing terhunjam di dalam daging betis itu dan liur beracun memasuki jalan darah di betis Han Lin. Akan tetapi ular itu menggeliat-geliat, tidak dapat melepaskan lagi moncongnya dan hanya sebentar dia mengeliat lalu tak bergerak, mati dengan gigi masih menancap ke dalam betis Han Lin.

Kini terjadi perubahan pada tubuh Han Lin. Kaki tangannya tidak berkelojotan lagi, melainkan terdiam dan diapun rebah di antara rebung bambu, menggeletak miring dan sama sekali tidak bergerak-gerak Iagi. Matikah dia seperti ular senduk itu?

"Omitohud!" Suara pujian ini keluar dari mulut seorang hwesio yang berdiri di dekat rumpun bambu, memandang kearah tubuh Han Lin yang tidak bergerak.

Hwesio ini berusia lanjut, sedikitnya tentu sudah tujuhpuluh tahun, tubuhnya gendut seperti patung Jilaihud, namun wajahnya yang gemuk itu seperti wajah seorang anak kecil, segar kemerahan dan sinar matanya begitu terang. Jubahnya kuning sederhana, sepatunya dari kulit kayu dan tangannya memegang sebatang tongkat bambu ular kuning, semacam bambu kuning yang bentuknya seperti ular, seperti Bambu Sisik Naga yang terdapat di hutan itu akan tetapi lebih kecil.

Hwesio itu kini berjongkok, memeriksa keadaan Han Lin, menyentuh nadinya dan melihat ular senduk yang masih menggigit betis anak itu. lalu dia tertegun, menggelenqgeleng kepalanya dan menarik napas panjang, merangkap kedua tangan depan dada, lalu berseru penuh ketakjuban.

"Omitohud, suatu mujijat telah terjadi pada diri anak ini..." Dengan teliti dia membuka baju Han Lin, memeriksa dada, leher, dan kembali memeriksa denyut nadinya dan memeriksa bekas gigitan ular pada betis setelah dia melepaskan gigitan ular itu dan memeriksa pula tubuh ular yang warnanya berubah kehitaman.

"Omitohud!" berulang-ulang dia berseru, mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul, lalu tersenyum lebar, "Bukan main, belum pernah aku melihat hal yang begini kebetulan! Mujijat-mujijat...! Dalam tubuh anak ini terdapat hawa beracun, dingin dan hawa beracun panas, akan tetapi ke dua hawa beracun itu kehilangan kekuatannya oleh racun ular senduk kepala putih! Justeru perpaduan antara racun dingin dan racun panas itu, ketika bertemu racun ular, menjadi jinak dan tidak merenggut nyawa anak ini. Sungguh, nyawa anak ini tadi hanya bergantung kepada sehelai rambut yang halus sekali. Bukan main!"

Akan tetapi, hwesio tua itu lalu memandang ke sekeliling dengan penuh kewaspadaan. "Orang yang dapat memukul dengan hawa beracun dingin atau panas seperti itu, sungguh merupakan orang yang amat berbahaya dan lihai." katanya kepada diri sendiri. Hatinya lega setelah melihat bahwa di situ tidak terdapat orang lain dan kembali perhatiannya tertuju kepada Han Lin.

Anak itu mengeluarkan suara keluhan lirih dan tubuhnya mulai bergerak. Ketika dia membuka mata, yang pertama kali dilihatnya adalah dua buah rebung Bambu Persegi. Rebung ini enak sekali kalau dibuat sayur, rasanya gurih dan seringkali dia mengambil rebung Bambu Persegi ini untuk dimasak ibunya. Han Lin sekarang sudah hampir lupa bahwa Liu Ma bukan ibunya, saking terbiasa menyebut ibu kepada wanita yang amat mengasihinya itu.

"Sukurlah engkau tidak apa-apa, nak."

Han Lin terkejut mendengar suara itu dan ketika dia menoieh melihat seorang hwesio tua bersila di dekat situ, dia cepat merangkak bangun, akan tetapi dia mengeluh dan memejamkan matanya karena tiba-tiba dia merasa pening dan ingin muntah. Dia merasa sebuah tangan yang lebar dan hangat menempel di punggungnya dan suara lembut tadi berkata lagi,

"Anak baik, duduklah bersila dan pejamkan matamu, tenangkan hatimu. Engkau telah terlepas dari bahaya maut. Biarkan hawa hangat dari tangan pinceng memasuki tubuhmu dan membantumu membersihkan sisa hawa beracun yang menyerangmu.”

Han Lin tidak mengerti apa arti semua kata-kata itu, akan tetapi dia teringat akan peristiwa yang dialaminya tadi dan dia dapat menduga bahwa hwesio tua ini tentu bermaksud menolongnya, maka diapun menaati. Dia menahan kepeningan kepalanya, lalu bersila dan dia membiarkan hawa hangat yang te rasa memasuki punggungnya itu menjalar masuk ke seluruh tubuhnya. Tak lama kemudian, pening kepalanya hilang, juga rasa mual hendak muntah. Dia tidak melihat betapa dari kepalanya mengepul uap tipis hitam!

"Omitohud.... sungguh ajaib, ini namanya bahaya maut berubah menjadi berkah yang amat besar. Bukan saja engkau terbebas dari maut akan tetapi kini tubuhmu akan kebal terhadap serangan racun. Bukan main!"

Han Lin belum mengerti benar kecuali hanya bahwa hwesio tua itu telah menyelamatkannya, maka diapun berlutut di depan hwesio itu. "Losuhu, terima kasih atas pertolongan losuhu kepada saya," katanya.

"Omitohud....!" Hwesio tua itu kembali memandang heran. Anak ini memang berpakaian seperti anak dusun, akan tetapi wajahnya jelas bukan anak biasa, dan begitu mengerti tata susila, juga ucapannya teratur seperti seorang anak yang terpelajar.

"Anak baik, apakah yang telah terjadi denganmu tadi? Pinceng menemukan engkau tergigit seekor ular dan tubuhmu penuh dengan hawa beracun."

"Ular? Saya saya tidak tahu, losuhu," kata Han Lin dan melihat bangkai ular tak jauh dari kakinya, bangkai ular yang kering seperti terbakar kehitaman, diapun memandang heran. "Tadi saya melihat dua orang kakek berkelahi, saya bermaksud untuk melerai dan mencegah mereka berkelahi. Tiba-tiba saja saya merasa dada saya amat dingin dan punggung saya amat panas dan tubuh saya terlempar ke sini, lalu saya tidak ingat apa-apa lagi."

"Omitohud..., engkau tentu bertemu dengan dua orang sakti yang sedang mengadu tenaga sinkang! Mereka itu lihai bukan main. Seperti apakah mereka itu?"

"Yang seorang bertubuh gemuk pendek dengan muka hitam, orang ke dua tinggi kurus bermuka putih seperti kapur. Yang muka hitam arang itu disebut oleh kawannya Hek-bin oleh kawannya dan yang muka putih kapur disebut Pek-bin."

"Hemmm, berapa usia mereka?"

"Kira-kira lima puluh tahun, losuhu..."

"Hemm.... mungkinkah mereka...? Setelah belasan tahun menghilang, mungkinkah mereka kini muncul kembali?"

"Siapakah mereka, losuhu?"

"Kelak engkau akan mengetahui, sekarang yang penting, siapakah engkau, di mana rumahmu dan siapa pula orang tuamu?"

"Losuhu, nama saya Sia Han Lin, rumah saya di seberang sungai, dusun Libun, dan orang tua saya, hanya ibu saya yang berada di rumah. Saya tidak mempunyai ayah lagi."

"Omitohud, engkau yang sekecil ini telah kehilangan ayah. Han Lin, pinceng melihat engkau bukan seperti anak dusun biasa. Ingin pinceng berkenalan dan bicara dengan ibumu. Bolehkah pinceng mengantarmu pulang agar pinceng dapat bicara dengan ibumu?"

"Tentu saja boleh, losuhu!" kata Han Lin gembira. "Ibu tentu akan merasa gembira dan berterima kasih sekali karena losuhu telah menolong saya."

"Omitohud... bukan pinceng yang menolongmu, Han Lin. Engkau tertolong oleh suatu kebetulan, suatu keadaan yang amat aneh. Pada saat bersamaan, engkau terkena pukulan-pukulan yang mematikan, agaknya ketika engkau melerai dua orang yang sedang betanding tadi. Karena dua macam pukulan mengandung daya yang saling bertentangan, maka engkau tidak jadi tewas, padahal setiap pukulan itu sudah cukup untuk menewaskan seorang dewasa yang tangguh sekali pun. Namun, karena dua hawa pukulan beracun itu saling meluruhkan. Biarpun begitu, tubuhmu dipenuhi dua macam hawa beracun dan pada saat itu, sungguh menakjubkan sekali, muncul ular senduk kepala putih menggigit betismu. Padahal, gigitan ular itu akan mematikan seorang yang tangguh sekalipun! Dan racun gigitan ular itulah yang membebaskanmu dari kematian karena pengaruh dua hawa beracun itu. Engkau selamat, bukan oleh pinceng, bukan pula oleh ular, melainkan oleh Pemberi Kehidupan yang agaknya be!um menghendaki engkau mati. Nah, mari antar aku berkunjung ke rumah ibumu, Han Lin."

Mereka lalu menggunakan rakit menyeberangi sungai. Hwesio tua itu agaknya sengaja membiarkan Han Lin yang mendayung rakit menyeberangi sungai dan diam-diam dia memandang dengan wajah ramah dan hati kagum karena anak itu sedikitpun tidak lagi nampak menderita, dan biarpun rakit yang ditumpangi dua orang itu cukup berat, namun Han Lin mendayung dengan penuh semangat. Anak ini jelas memiliki semangat yang amat tinggi, pantang menyerah, tabah dan juga sama sekali tidak cengeng!

Liu Ma menyambut pulangnya Han Lin dengan terheran-heran karena anak itu bergandeng tangan dengan seorang hwesio tua yang bertubuh gendut dan berwajah seperti anak kecil, kulitnya putih kemerahan dan segar.

"Han Lin, apa yang terjadi dan siapakah losuhu ini?" tanya janda itu dengan pandang mata khawatir. Apapun yang terjadi kepada anak itu, selalu mendatangkan perasaan khawatir di hatinya. la selalu gelisah nemikirkan nasib anak itu, takut kalau-kalau ada yang tahu bahwa Han Li adalah putera Sia Su Beng yang pernah menjadi kaisar!

“Omitohud, harap nyonya tidak khawatir. Putera nyonya baik-baik saja dan karena pinceng tertarik sekali melihat pribadinya, maka pinceng ingin sekali bertemu dengan nyonya yang demikian pandainya mendidik puteranya. Sungguh pinceng merasa kagum dan hormat kepada nyonya karena nyonya telah mendidik seorang putera dengan demikian baiknya."

Liu Ha tersenyum juga wajahnya berubah kemerahan karena tentu saja ia merasa bangga menerima pujian dari seorang hwesio tua. Siapa tahu, arwah ayah ibu kandung Han Lin akan dapat mendengarkan suara seorang pendeta tua ini bahwa ia telah benar-benar setia dan patuh melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya, yaitu merawat dan mendidik Han Lin dengan penuh kasih sayang dan kesungguhan hati.

"Ibu," kata Han Lin dengan hati tegang karena mendapat kesempatan menceritakan peristiwa aneh tadi, "Tadi aku bertemu dua orang manusia aneh dan aku hampir mati karena pertemuan itu. Juga kakiku digigit ular senduk kepala putih yang sangat beracun. akan tetapi aku tidak mati. Losuhu ini yang telah menyelamatkan nyawaku Wajah wanita itu seketika menjadi pucat, matanya terbelalak dan dengan menahan jeritnya, ia merangkul Han Lin.

"Han Lin apa yang terjadi, nak? Bagaimana perasaanmu sekarang? Apanya yang terasa sakit?" Dengan penuh kasih sayang wanita itu memeriksa tubuh anaknya dan tampak gugup ketika melihat bekas gigitan ular pada betis anak itu. "Kau.... kau harus cepat kuperiksakan pada tabib!"

"Omitohud..., harap nyonya tidak khawatir. Han Lin telah terhindar dari bahaya maut, bukan karena pinceng, melainkan karena memang dia belum waktunya meninggalkan dunia ini."

"Benar, ibu. Aku tidak apa-apa, ibu jangan khawatir."

"Ah, kalau begitu, kami berhutahg budi kepada losuhu," dan wanita itu cepat menjatuhkan diri berlutut di depan hwesio tua itu.

Hwesio itu tergopoh menyuruhnya bangkit dan diamdiam dia semakin heran. Wanita inipun bukan seperti wanita dusun, melainkan seorang yang lemah lembut dan mengerti tata susila seperti orang-orang berpendidikan. Dia tidak tahu bahwa tentu saja Liu Ma mengerti tata-susila karena ia pernah menjadi seorang hamba di dalam istana, melayani keluarga kaisar!

Setelah disuruh bangun, Liu Ma bangkit berdiri lalu dengan sikap hormat sekali ia mempersil akan hwesio itu untuk duduk di ruangan dalam. la segera sibuk menyuruh pembantunya untuk mempersiapkan makanan yang tidak mengandung daging, juga membuatkan minuman dari sari buah untuk menjamu hwesio itu makan minum.

Hwesio tua itu memperkenalkan diri sebagai Kong Hwi Hosiang kepada Liu Ma dan dia tidak menolak jamuan makan yang diadakan oleh Liu Ma untuk menghormatInya. Dan hidangan makan minum itu menambah rasa kagumnya kepada wanita itu karena temyata nyonya rumah itu menjaga benar agar tidak ada daging dalam semua hidangan.

Seorang wanita yang pandai membawa diri dan cermat. Pantas saja memiliki seorang putera seperti Han Lin. Dan diapun semakin tertarik kepada Han Lin dan semakin kuat keinginannya untuk mengambil anak itu menjadi muridnya. Kong Hwi Hosiang adalah seorang hwesio berilmu tinggi yang sejak muda mempunyai kesukaan merantau, tidak menetap di dalam sebuah kuil. Dia merantau sambil mengajarkan agama Buddha, di samping itu, karena dia seorang ahli silat yang tangguh, diapun bertindak sebagai seorang pendekar yang selalu membela kebenaran dan keadilan.

Namanya dikenal di dunia persilatan, dan selama puluhan tahun merantau dia memperdalam ilmu-ilmunya sehingga menjadi seorang yang sakti. Karera dia suka merantau, maka selama hidupnya, dia hanya mempunyai dua orang saja murid wanita dan murid-muridnya itu bukan lain adalah ibu kandung Han Lin sendiri yang bemama Yang Kui Bi dan encinya, yaitu Yang Kui Lan!

Memang sungguh aneh sekali jalan hidup Han Lin. Bukan saja dia secara aneh dan kebetulan terhindar dari maut terpukul dua orang datuk sesat lalu digigit ular beracun, bahkan dia lalu mendapatkan kekebalan dalam tubuhnya terhadap racun. Juga secara aneh dan tidak disengaja, guru mendiang ibunya sendiri yang lewat di tempat itu dan menolongnya!

Kong Hosiang sendiri tidak pemah menduga bahwa anak yang dikaguminya dan membuat dia ingin sekali mengambilnya sebagai murid itu bukan lain adalah putera seorang di antara kedua orang muridnya! Semenjak enci adik itu selesai belajar dan berpisah darinya, Kong Hwi Hosiang sudah tidak pernah berhubungan lagi dengan mereka, juga tidak tahu bagaimana keadaan kedua orang muridnya itu. Hwesio tua ini sudah mencapai suatu tingkat kehidupan di mana dia tidak terikat lagi dengan apapun.

Setelah makan, dilayani sendiri oleh Liu Ma dan ditemani pula oleh Han Lin, Kong Hwi Hosiang minta kepada nyonya rumah untuk dapat bicara empat mata dengannya. Liu Ma memandang heran, akan tetapi ia segera menyuruh Han Lin untuk meninggalkan ruangan tamu agar ia dan tamunya dapat bicara berdua saja. Dengan patuh Han Lin mengundurkan diri.

Setelah duduk berdua saja, berhadapan dengan nyonya rumah, Kong Hwi Ho hwesio berkata dengan suaranya yang lembut, "Sebelumnya pinceng mengharapkan maaf apabila apa yang hendak pinceng utarakan ini tidak berkenan di hati nyonya. Secara tidak disengaja, nasib telah mempertemukan pinceng dengan putera nyonya, dan begitu melihatnya, pinceng merasa tertarik sekali. Putera nyonya itu mempunyai darah dan tulang yang baik, berbakat sekali untuk mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi, juga kiranya akan baik kalau dia memperdalam ilmu sastera dan keagamaan untuk bekal hidupnya kelak. Pinceng tertarik sekali dan kalau nyonya merelakan dan tidak berkeberatan, pinceng akan merasa bersyukur sekali untuk mengambilnya sebagai murid pinceng."

Mendengar ucapan ini, wajah Liu Ma berseri sehingga legalah hati hwesio itu. "Saya akan berterima kasih dan merasa girang sekali kalau losuhu suka mendidik Han Lin sebagai murid suhu. Akan tetapi, di manakah suhu tinggal, di kelenteng mana, dan jauhkah dari sini?"

Kong Hwi Hwesio menggeleng kepala dan tersenyum lebar sehingga nampak mulutnya yang ompong tanpa gigi lagi sehingga wajahnya makin mirip wajah bayi yang belum bergigi! "Omitohud pinceng tidak pernah mempunyai kelenteng, tidak pernah tinggal di suatu tempat yang tetap. Pinceng adalah seorang hwesio pengembara, nyonya."

Wanita itu mengerutkan alisnya. "Akan tetapi, bagaimana suhu hendak mengambil anak saya sebagai murid kalau losuhu tidak mempunyai tempat tinggal? Apakah.... apakah suhu hendak membawa anak saya pergi mengembara pula, tidak tentu tempat tinggalnya?"

Ketika hwesio tua itu mengangguk, Liu Ma segera menyatakan keberatannya. "Harap losuhu sudi mengampuni saya. Saya akan berterima kasih sekali kalau anak saya dapat menjadi murid losuhu, akan tetapi sebaliknya, saya tidak akan dapat hidup dijauhkan darinya. Hendaknya losuhu ketahui bahwa hidup saya hanyalah untuk Han Lin seorang, bagaimana mungkin sekarang dia akan losuhu bawa pergi mengembara? Saya hanya mempunyai dia seorang, losuhu."

"Omitohud... pinceng juga tidak ingin membuat nyonya yang baik hati berduka. Akan tetapi, pinceng adalah seorang hwesio yang miskin dan tidak mempunyai harta secuilpun, tentu tidak dapat mengadakan tempat tinggal....."

"Ah, saya teringat, losuhu! Bagaimana kalau diatur sehingga kebutuhan kita berdua terpenuhi dan kita sama sama merasa enak dan senang? Maksud saya, losuhu tetap dapat menjadi guru anak saya, sedangkan saya dapat tetap tidak kehilangan Han Lin, tidak berjauhan darinya?"

Hwesio tua itu merangkap kedua tangan depan dada. "Omitohud... pinceng yakin bahwa hati nyonya bersih, dan maksud hati nyonya baik sekali. Akan tetapi, demi menjaga nama baik nyonya, tidak mungkin pinceng tinggal di sini. Biarpun pinceng sudah tua renta, akan tetapi nyonya adalah seorang wanita janda, maka tidak baik sekali...."

Liu Ma tersenyum geli, membuat Kong Hwi Hwesio tidak melanjutkan ucapannya dan memandang heran. "Losuhu salah paham, bukan maksud saya minta kepada losuhu untuk tinggal di sini. Akan tetapi di dekat puncak Bukit Ayam Emas di sana itu terdapat sebuah kuil tua yang kosong dan tidak dipergunakan lagi. Kabarnya, puluhan tahun yang lalu kuil itu menjadi tempat tinggal seorang tosu, dan pertapa itu kemudian meninggal dunia di kuil dan dimakamkan di pekarangan kuil. Dan sejak itu, kuil itu tidak ada penghuninya dan rusak karena tidak terawat. Bagaimana kalau saya minta ijin kepada kepala dusun, memperbaiki kuil itu dan losuhu tinggal di sana, mendirikan sebuah kelenteng dan dengan demikian, losuhu dapat mendidik Han Lin dan setiap saat saya dapat menjenguknya...?"
Selanjutnya,