Golok Bulan Sabit Jilid 14 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Golok Bulan Sabit Jilid 14
Karya : Khu Lung
Penyadur : Tjan ID

Cerita silat Mandarin Karya Khu Lung
TING-PENG segera tertawa dingin. "Lantas aku harus pergi ke mana untuk bisa menjumpai orang itu?"

"Kami tidak tahu, Rumah penyimpan pedang terpisah dari dunia luar, lagi pula sesuai dengan namanya, Rumah penyimpan pedang adalah tempat untuk menyimpan pedang bukan tempat untuk berduel"

"Kalau memang begitu, mengapa kalian membawa pedang?"

"Yang kami pegang bukan pedang!" jawab Ka-cu.

"Kalau bukan pedang, lantas apa?"

"Terserah apa saja yang akan kau katakan, pokoknya benda ini bukan pedang!"

Ting Peng segera tertawa terbahak-bahak suaranya amat sinis dan memandang rendah. "Haaahh... haaahh... haaahh... sudah terang pedang, namun mengatakan bukan pedang, cara kalian menipu orang dan menutup telinga untuk mencuri genta, betul-betul menggelikan sekali, cukup membuat gigi orang pada copot saking gelinya"

Berada dalam keadaan seperti ini, siapapun akan merasa gusar bila mendengar perkataan dari Ting Peng itu, akan tetapi ke empat orang itu masih tetap tenang, mereka tidak marah juga tidak dipengaruhi oleh gejolak emosi.

Ka-cu menunggu sampai dia selesai berkata, kemudian baru ucapnya dengan dingin: "Kau ingin berpikir bagaimana dan menyebut dengan sebutan apa, semuanya itu merupakan urusanmu sendiri, tapi selama berada dalam rumah penyimpan pedang, kami tidak menganggapnya sebagai pedang, kaupun tak dapat memaksa kami untuk menyebutnya sebagai pedang!"

Ting Peng tak dapat tertawa lagi, mendamprat orang memang suatu pekerjaan yang menyenangkan tapi kalau pihak lawan sama sekali tidak menggubris, maka hal mana akan menjadi tidak menyenangkan lagi. Setelah menelan kembali sisa tertawanya ke dalam perut dengan suara nyaring baru katanya.

"Apakah kalian keluar untuk menghalangi aku masuk?"

"Benar, pintu itu memisahkan Rumah penyimpan pedang dengan dunia luar, maka kau tak dapat merusaknya!"

"Kalau aku bersikeras hendak merusaknya?"

"Maka kau bakal celaka, kau akan menyesal karena telah berbuat demikian, dan lagi orang lainpun akan menyalahkan dirimu, karena sudah melakukan perbuatan tolol."

Sekali lagi Ting Peng tertawa terbahak-bahak. "Haaahhh... haaahhh... haaahhh... sebenarnya aku tak bermaksud untuk merusaknya, tapi setelah mendengar perkataanmu itu aku mulai ingin sekali untuk merusaknya karena aku adalah orang yang tak pernah menyesal terhadap pekerjaan yang telah kulakukan, lagi pula paling menimbulkan gerutu orang lain."

Agaknya Ka-cu tidak begitu menyukai sikapnya itu, merekapun tidak terbiasa bergurau, karenanya dia hanya berkata: "Kami akan berusaha dengan sekuat tenaga untuk menghalangi niatmu itu"

Ting Peng segera tertawa: "Ah-Ku hancurkan gembokan itu!"

Sekali lagi Ah Ku maju ke depan, empat bilah pedang ditangan ke empat orang itu segera turun tangan bersama menusuk ke arah dadanya. Tusukan tersebut amat sederhana, amat biasa dan tak akan disertai perubahan apa-apa, tapi kedahsyatannya sungguh mengerikan.

Siapapun tak akan berani menyongsong datangnya tusukan tersebut, mereka pasti akan berusaha untuk menghindarkan diri, tapi sayang justru mereka berjumpa dengan Ah-Ku?

Perawakan tubuh Ah Ku tinggi besar, kulit badannya hitam pekat dan bersinar seakan-akan seluruh badannya telah dilapisi oleh selapis minyak berwarna hitam.

Minyak itu amat berkilat dan licin tampaknya, kulit badan Ah Ku pun mempunyai keistimewaan tersebut. hampir pada saat yang bersamaan ke empat bilah pedang dari ke empat orang itu bersama-sama menusuk di atas badannya.

Dia tidak berkelit juga tidak menghentikan gerakannya, bahkan seakan-akan tidak melihat datangnya tusukan pedang tersebut. Mungkinkah dia tidak takut mati?

Ujung pedang itu menyambar lewat dari atas dadanya dan mengikuti kulit badannya tergelincir ke samping, seakan-akan ada sebuah jarum yang yang licin saja, ujung jarum itu meleset ke samping tapi tidak meninggalkan bekas apa-apa.

Sebenarnya jurus pedang dari ke empat orang budak pedang itu sudah termasuk lihay dan aneh, tapi kemampuan yang dimiliki Ah Ku jauh lebih lihay lagi.

Saking kagetnya Cia Siau giok sampai menjerit tertahan, Ah Ku segera mengerahkan sepasang tangannya, tahu-tahu Ka- cu berempat sudah terdorong ke samping oleh tenaga dorongannya, kemudian tampaklah tangannya yang terangkat itu dihantamkan ke bawah.

Kepala itu tak mungkin selunak kapas, apalagi jari tangannya mengenakan sarung tangan. Walaupun gembokan itu amat besar, tapi sudah berkarat. Baja yang bisa berkarat, tentu saja bukan baja yang baik. Baja yang baik seharusnya seperti sarung tangan yang membungkus tangan Ah Ku, berkilat dan bercahaya.

Oleh karenanya sewaktu kepalannya diayunkan ke bawah, gembokan berkarat itu segera hancur berkeping-keping, menyusul kemudian kakinya menjejak pintu tersebut sehingga terpentang lebar.

Dunia penuh rahasia dibalik pintu yang terkunci itu sudah tersimpan dan tertutup selama puluhan tahun, selain Cia Siau hong belum pernah ada orang lain yang pernah memasukinya.

Maka sampai Cia Siau giok sendiripun merasa keheranan, buru-buru dia melongok pula ke dalam, tapi dia segera merasa kecewa. Walaupun tempat itu sangat luas, tapi keadaannya kacau dan kotor, rumput ilalang setinggi dada, bangunan rumah yang semula berada di situ, sekarang telah tertutup sama sekali.

Tempat itu tak lebih hanya sebuah bangunan rumah yang terbengkalai, tempat semacam itu bisa dijumpai dalam perkampungan Sin kiam san ceng, bahkan merupakan tempat kediaman dari Cia Siau-hong, si jago pedang sakti dari kolong langit, seandainya tidak disaksikan dengan mata kepala sendiri, siapapun tak akan percaya.

Yang Paling membuat orang keheranan adalah dua buah kuburan yang berdiri di situ, walaupun tidak diketahui kuburan siapakah itu tapi bisa dilihat kalau kuburan tersebut belum lama dibuat, sebab rumput yang tumbuh di atas kuburan itu diatur sangat rapi, satu-satunya tempat yang paling rapi dalam halaman tersebut.

Ketika Ka-cu berempat budak pedang menyaksikan pintu sudah dibuka, meski sikapnya agak kaget dan gugup, namun paras mukanya semakin dingin menyeramkan mendadak mereka menerjang keluar ke arah luar. Mereka bukan melarikan diri, sebab-sebab setelah berlarian sejauh belasan kaki, mendadak mereka berhenti lagi.

Kemudian mereka seperti tikus-tikus yang sudah lama terkurung dalam jebakan kemudian secara tiba-tiba menyaksikan pintu jebakan itu terbuka, dengan cepatnya mereka menerjang kembali ke depan dan menyebarkan diri menuju ke tempat persembunyian.

Bersembunyi adalah kebiasaan yang dilakukan tikus bila sedang kaget, tapi ke empat orang itu tidak mirip sekali, karena mereka hanya bersembunyi sebentar kemudian munculkan diri kembali. Mereka masuk dengan membawa pedang waktu keluar juga membawa pedang.

Kalau sewaktu masuk tadi mereka membawa pedang yang bercahaya tajam, maka setelah keluar pedang mereka penuh berlepotan darah, malahan darahnya masih menetes keluar tiada hentinya. Pedang mereka berempat sama, itu berarti paling tidak mereka telah memburuh satu orang, tapi kalau dilihat dari darah yang menetes keluar, jelas bukan cuma empat orang saja yang terbunuh.

Mereka hanya masuk sebentar lalu segera muncul kembali, keluar setelah membunuh orang, tapi tidak menimbulkan suara apa-apa. Mungkin orang terbunuh masih belum tahu kalau nyawa sendiri telah direnggut. Gerakan semacam itu benar-benar merupakan suatu gerakan yang amat cepat, suatu gerakan pedang yang amat cepat.

Sambil bergendong tangan Ting Peng hanya memandang dengan sikap hambar, sedikitpun tidak terpengaruh oleh kejadian tersebut, demikian pula dengan Ah Ku. Mereka beralasan untuk bersikap tenang dan tentram, karena orang yang dibunuh sama sekali tidak ada hubungan dengan dirinya.

Lain dengan paras muka Cia Siau giok. Sikapnya berubah hebat, teriaknya tertahan: "Apa yang telah mereka lakukan?"

"Mungkin membunuh orang!" jawab Ting Peng hambar.

Jawaban semacam itu seperti juga jawaban yang tak berguna, siapapun tahu kalau mereka telah membunuh orang. bukan mungkin.

Dengan suara parau kembali Cia Siau giok berkata. "Tapi mengapa mereka membunuh orang?"

Ting Peng tertawa. "Mungkin mereka tak suka menyaksikan orang-orang itu bersembunyi terus di sana sambil mengintip kemari akupun tidak suka dengan perbuatan semacam ini"

"Mereka adalah orang-orang perkampungan Sin kiam san ceng!" seru Cia Siau giok. Dia seakan-akan menganggap Ting Peng sebagai pembunuh tersebut.

Ting Peng hanya tertawa tidak menjawab, sebaliknya Ka-cu telah berkata. "Sekalipun begitu, mereka bukan orang-orang dari Rumah penyimpan pedang, majikan telah menentukan tiga buah larangan bagi orang luar, sekeliling pekarangan ini telah dinyatakan sebagai daerah terlarang dan dilarang mengintip kemari, barang siapa berani melanggar dia harus mati"

"Itu berarti dua kaki di luar daerah ini bukanlah daerah terlarang.....?" seru Cia Siau giok.

"Dua kaki adalah batas sebelum pintu terbuka, sekarang pintu telah terbuka, berarti daerah lingkarannya pun turut bertambah besar, semua daerah yang dapat melihat keadaan didalam pintu merupakan daerah terlarang"

"Maksudmu, setiap orang yang dapat melihat keadaan di dalam halaman itu harus mati?"

"Benar" Ka-Cu mengangguk, "ketika kau datang kemari, majikan telah berkata kepadaku, bila kau tidak memberitahukan kepada orang-orang maka kematian mereka merupakan keteledoranmu, kalau kau telah memberitahukan kepada mereka, maka kematian mereka merupakan kematian yang dicari sendiri!"

"Mereka bukan orang-orangku, mereka adalah anggota perkampungan Sin kiam san-ceng. Dalam perkampungan Sin kiam san ceng sebenarnya tidak terdapat orang-orang seperti mereka, kaulah yang membawa mereka datang."

"Aku adalah majikan dari perkampungan Sin kiam san ceng!"

"Sewaktu majikan masih ada, kau masih belum dapat terhitung sebagai majikan, sekalipun majikan tidak ada, kaupun hanya merupakan majikan dari perkampungan Sin kiam san ceng, bukan majikan dari Rumah penyimpan pedang, kau tidak berhak untuk mengurusi wilayah sekitar tempat ini..."

Mendadak Ting Peng merasa kejadian ini menarik sekali, tampaknya hubungan antara Cia Siau hong dengan Cia Siau giok sebagai ayah dan anak masih diikuti pula dengan suatu hubungan yang istimewa sekali.

Cia Siau giok memandang sekejap ke arah Ting Peng, dia merasa apa yang dikatakan sudah kelewat banyak, maka buru-buru katanya sambil tertawa. "Hubungan antara kami ayah dan anak memang agak renggang karena jarang berjumpa, ada banyak persoalan memang belum bisa dipahami, harap Ting toako jangan mentertawakannya!"

Ting Peng tertawa dan tidak banyak bicara. Cia Siau giok merasa sangat tak enak perasaannya, dia lantas memutar biji matanya sambil berkata lagi: "Kalau begitu apakah kamipun harus mati juga?"

"Soal ini masih belum tahu karena kalian sudah membuka pintu halaman, mati hidup kalian sudah tak dapat diputuskan oleh kami lagi."

"Siapa yang akan menentukannya?"

"Tentu saja keputusan akan datang dari dalam."

"Didalam sana masih ada orang?"

"Setelah kalian masuk ke dalam, maka kau akan tahu dengan sendirinya."

"Kalau kami tak ingin masuk?" tiba-tiba Ting Peng menyela.

Ka-cu menjadi tertegun, segera serunya. "Setelah pintu terbuka masa kalian tak akan masuk ke dalam."

"Bukan begitu, mungkin kami hanya ingin menyaksikan pemandangan didalam saja, sekarang pintu telah terbuka, isinya cuma dua buah kuburan dan suasana yang porak poranda, sedikitpun tidak menarik hati, maka aku jadi tak ingin masuk ke dalam, kecuali aku tahu kalau Cia Siau hong berada didalam."

"Soal itu kami tak mau mengurusinya, kami hanya tahu setelah pintu kalian buka maka kalianpun harus masuk ke dalam, kalau tak ingin masuk maka kalian harus mati di luar."

Ting Peng segera tertawa dingin. "Sebenarnya aku bermaksud hendak masuk ke dalam, tapi setelah mendengar perkataan-mu itu, aku jadi tak ingin masuk ke dalam."

Ka-cu tidak menjawab, dia menggunakan gerakan sebagai jawaban, ke empat orang itu segera mengangkat pedangnya di depan dada dengan ujung pedang diluruskan ke depan sehingga membentuk posisi seperti kipas, pelan-pelan mereka bergerak maju ke depan.

Lingkaran kepungan makin lama makin menyempit, hawa pembunuhan yang terpancar keluar dari ujung pedang merekapun makin lama semakin bertambah tebal.

Paras muka Ting Peng turut berubah menjadi serius, dia tahu kalau barisan pedang yang dibentuk ke empat orang ini lihay sekali, bahkan memancarkan selapis tenaga tekanan tak berwujud yang sangat kuat, dimana hawa pedang itu memaksa orang untuk mau tak mau harus mundur, mundur terus sampai ke ujung pintu dan masuk ke balik halaman.

Paras Ah-ku pun berubah menjadi amat serius. Sepasang kepalannya digenggam kencang-kencang, agaknya dia bersiap sedia untuk menerjang keluar, tapi asa dia maju selangkah, tubuhpun segera didesak mundur kembali oleh hawa pedang yang dahsyat.

Ujung pedang yang berada di depan tubuhnya tadi tak mampu melukai tubuhnya, tapi hawa pedang yang tak berwujud sekarang telah mendesaknya untuk mundur ke belakang, dapat diketahui kalau hawa pedang yang dibentuk ke empat orang itu telah menciptakan selapis kabut pedang tak berwujud yang pelan-pelan menyusut ke depan.

Ah ku merasa agak tidak terima, kakinya maju selangkah sementara sepasang telapak kepalannya di genggam kencang-kencang, tampaknya dia telah bersiap sedia untuk menyambut serangan itu dengan kekerasan.

"Ah ku cepat ke belakangku!" tiba-tiba Ting Peng membentak nyaring.

Ah Ku memang sangat menuruti perintah Ting Peng, dia segera melompat mundur ke belakang. Dengan cepat Ting Peng telah maju dan menggantikan tempat kedudukannya, golok bulan sabitnya telah diangkat ke tengah udara. Hawa kekuatannya telah menggumpal menjadi satu dan bersiap-siap melancarkan sebuah bacokan maut yang maha dahsyat.

Ternyata kekuatan yang terpancar keluar dari ayunan goloknya itu sangat menggetarkan perasaan mereka berempat, dengan cepat ke empat orang itu menghentikan gerak majunya dan berubah menjadi sikap menempel satu sama lainnya. Sementara itu selisih jarak kedua belah pihak tinggal satu kaki.

Didalam udara yang cuma satu kaki luasnya itu justru terdapat dua gulung kekuatan dahsyat yang saling menggesek dan saling menerjang. Tiba-tiba berhembus lewat segulung angin membawa selembar daun kering, daun kering itu terjatuh ke tengah antara dua kekuatan itu, belum lagi daun itu mencapai tanah, tiba-tiba saja lenyap tak berbekas.

Dalam ruang kosong yang luasnya cuma satu kaki itu, seakan-akan terdapat beribu-ribu bilah pedang tajam, beribu-ribu bilah golok tajam yang berada dalam kendali beribu-ribu pasang tangan tak berwujud. Sekalipun yang terjatuh hanya sebutir kedelai yang kecilpun pasti akan hancur berkeping-keping dan musnah bila terjatuh ke sana.

Paras muka Cia Siau giok berubah menjadi pucat pias dan menyusut menjadi satu, namun sorot matanya memancarkan sinar kegembiraan. Napasnya memburu kencang, tapi separuh bagian dikarenakan kegembiraan, separuh lainnya karena takut. Hal apakah yang membuatnya merasa begitu gembira.

Ah Ku juga menampilkan perasaan tegang yang belum pernah dijumpai sebelumnya, walaupun ia tidak dapat berbicara, tapi mulutnya justru tak dapat merapat, seakan-akan seperti mau menjerit. Tiada orang persilatan yang pernah berjumpa dengan Ah-Ku.

Tapi sekalipun orang yang baru saja berjumpa dengan Ah Ku juga dapat melihat kalau dia adalah seorang jago lihay yang berilmu sangat tinggi. Dihari-hari biasa dia selalu bersikap dingin, kaku dan tak berperasaan, seakan-akan tiada persoalan yang akan membuatnya terpengaruh oleh emosi.

Tapi sekarang, ia telah berubah menjadi begitu tegang, oleh sikap kaku yang menyelimuti kedua belah pihak. Dari sini dapat diketahui kalau Ting Peng dan ke empat orang budak pedang itu sudah saling berhadapan dengan sikap siap tempur. Walaupun senjata tak pernah saling bertemu.

Dalam kenyataan mereka sudah melangsungkan suatu pertarungan yang amat sengit. Bentrokan yang tak bermata dan tak ber wujud, sekilas pandangan nampaknya biasa dan tenang. Tapi bentrokan tetap merupakan bentrokan, dalam suatu bentrokan harus ada suatu penyelesaian. Suatu bentrokanpun harus berakhir menang atau kalah? Hidup atau mati?

Bentrokan antara Ting peng dan budak-budak pedang itu nampaknya hanya mati dan hidup yang dapat mengakhirinya, inilah perasaan bersama yang dirasakan setiap orang termasuk kedua belah pihak, tapi siapakah yang hidup dan siapakah yang mati? Perasaan dan pandangan setiap orang adalah berbeda.

Dengan cepatnya menang kalah dapat dilihat, karena bercampur tiba-tiba ke empat orang budak pedang itu maju selangkah lagi ke depan. Jarak diantara kedua belah pihak cuma satu kaki, setelah maju selangkah berarti jaraknya lebih pendek berapa depa, tapi masih belum mencapai suatu jarak dimana senjata masing-masing dapat saling membentur.

Tapi berbicara dari keadaan situasi semenjak kedua belah pihak saling bertahan, satu depa sejak kemungkinan besar dapat menentukan mati hidup masing-masing pihak. Kalau sudah terjadi terjangan secara nekad, biasanya suasana pasti akan bertambah menegang, mati hidup dapat diketahui, tapi kenyataannya tidak.

Karena Ting Peng mundur selangkah lagi, dia juga mundur sejauh satu depa. Dengan begitu jarak kedua belah pihak masih tetap satu kaki. Paras muka Ka-cu berubah sangat aneh, dia nampak tegang, sedang Ting Peng masih tetap tenang.

Biasanya orang yang dapat memaksakan suatu posisi yang lebih dekat, seharusnya pihaknya yang menang, tapi mengapa paras muka Ka-cu justru malah nampak sangat tegang?

Sekali lagi kawanan budak pedang maju ke depan, sedang Ting Peng mundur lagi ke belakang. Selangkah, dua langkah, tiga langkah, empat langkah.

Terpaksa Cia Siau giok dan Ah-Ku turut mundur pula kebelakang. Akhirnya mereka telah mengundurkan diri ke balik pintu.

"Blaamm!" pintu itu menutup kembali.

Suasana tegang telah berakhir, tampaknya Ting Peng yang kalah. Ting Peng telah menarik kembali goloknya, dia masih nampak amat tenang, seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu peristiwapun.

Sebaliknya Ka-cu berempat seakan-akan baru sembuh dari suatu penyakit yang amat parah, hampir saja mereka kehabisan tenaga. Seperti juga baru ditarik dari dalam sungai, seluruh badan mereka basah kuyup oleh keringat.

Ka-cu adalah satu-satunya orang yang masih mampu bertahan diri, dia segera menjura dengan wajah penuh rasa terima kasih.

"Terima kasih Ting kongcu!"

"Tidak mengapa" jawab Ting Peng sambil tersenyum. "kalianlah yang telah memaksa aku masuk ke dalam!"

"Tidak!" ucap Ka-cu dengan wajah serius, "dalam hati kami tahu dengan jelas, seandainya hawa golok Ting Kongcu dilepaskan kami pasti tak akan lolos!"

"Apakah kalian bertekad untuk memaksaku masuk?"

"Benar, kalau kami gagal untuk memaksa Ting Kongcu masuk, terpaksa kami harus menggunakan nyawa kami menebus kesalahan ini."

Ting Peng segera tertawa. "Nah, itulah dia, sebenarnya aku memang ingin masuk, tapi tak ingin masuk karena dipaksa orang, seandainya kalian mempersilahkan aku masuk secara baik-baik, sedari tadi aku sudah masuk."

Ka-cu termenung beberapa saat lamanya kemudian baru berkata lagi. "Bila Ting kongcu bersikap keras tak mau masuk, terpaksa kami harus mati. Bagaimanapun juga, kami tetap berterima kasih kepadamu."

Sekalipun mereka adalah budak-budak pedang yang tak punya nama, tapi kedisiplinannya jauh lebih mengagumkan dari pada sekawanan jago kenamaan lainnya, mereka lebih mengerti membedakan mana budi dan mana dendam.

Tampaknya Ting Pang tak ingin menerima kebaikannya itu sambil tertawa katanya: "Aku sendiripun tak ingin dipaksa masuk oleh kalian dalam keadaan seperti ini, tapi kalau aku ingin masuk kemari dengan leluasa, tampaknya aku harus mengeluarkan jurus golokku, untuk membinasakan kalian lebih dahulu"

Ka-cu tidak menyangkal akan perkataan itu, ujarnya dengan sikap sangat menghormat: "Bila jurus serangan kongcu dilancarkan, sudah pasti kami akan mati di tanganmu!"

"Tentang hal ini aku lebih jelas daripada kalian. Cuma aku masih tak ingin turun tangan gara-gara kalian, aku datang kemari untuk menantang Cia Siau hong berduel, kalian bukan Cia Siau hong!"

"Bagus sekali! Bagus sekali! Golok iblis begitu dilepas, darah segar tentu akan berceceran, kau sudah dapat mengendalikan diri untuk melancarkan serangan, tampaknya sudah hampir melepaskan diri dari napsu iblis yang mencekam dalam tubuh manusia, sahabat kecil, silahkan kemari untuk berbincang-bincang."

Suara dari seorang kakek berkumandang keluar dari balik gubuk tak jauh dari sana.

Ka-cu sekalian berempat bersikap menghormat sekali terhadap suara itu, buru-buru mereka membungkukkan badannya dengan kepala tertunduk.

Ting Peng berpaling ke arah Cia Siau giok dengan sorot mata bertanya, dia ingin membuktikan apakah orang yang berbicara itu Cia Siau hong atau bukan. Ia mendapatkan bukti tersebut dari sorot mata Cia Siau giok, tapi juga menyaksikan setitik perasaan takut, ia menjadi keheranan Cia Siau hong adalah ayahnya, seorang putri yang berjumpa dengan ayahnya mengapa harus menunjukkan rasa takut?

Cuma Ting Peng tidak berpikir sebanyak itu, dia datang untuk mencari Cia Siau hong dan sekarang orang yang dicari telah ditemukan, maka sambil membopong goloknya dengan langkah lebar ia menuju ke rumah gubuk itu.

Cia Siau giok ragu-ragu sebentar, baru saja akan ikut maju, suara dari Cia Siau-hong telah berkumandang lagi:

"Siau giok, kau tetap tinggal di situ, biarkan dia masuk sendirian!"

Perkataan itu seakan-akan mempunyai wibawa yang amat besar, Cia Siau giok segera berhenti. Ah Ku ingin turut ke depan, tapi Ting Peng telah mengulapkan tangannya suruh dia tetap tinggal di sana.

Cia Siau hong tidak menyuruh Ah Ku tetap tinggal di sana, tapi dia justru mengatakan minta Ting Peng masuk sendirian, entah mengapa ucapan tersebut nyatanya mendapatkan pengaruh besar baginya sehingga diapun suruh Ah Ku tetap tinggal di sana, mungkin hal ini sebagai pertanyaan suatu perasaan adil saja. Kalau toh Cia Siau hong menyuruh putrinya tetap tinggal di depan, mengapa dia harus membawa pembantu?

RUMAH PENYIMPAN PEDANG

TEMPAT itu benar-benar merupakan sebuah rumah gubuk yang sangat jelek tiada sesuatu bendapun dalam ruangan tersebut kecuali dua buah kasur duduk. Kasur tempat duduk itu diletakkan saling berhadapan, yang satu diduduki oleh seorang kakek berbaju abu-abu sedang yang lain tentunya disediakan bagi Ting Peng!

Akhirnya Ting Peng berhasil menjumpai manusia berwatak aneh yang nama besarnya menggetarkan seluruh kolong langit itu, dia sendiri tak dapat melukiskan bagaimanakah perasaannya waktu itu. Bila berhadapan dengan seseorang yang hendak ditantangnya untuk berduel biasanya api semangat pasti akan berkobar di dalam dadanya, kobaran semangat untuk bertempur.

Tapi Ting Peng tidak merasakan hal itu. Berhadapan muka dengan jago-jago pedang nomor wahid dikolong langit ini, semestinya orang akan merasa amat gembira dan kagum. Tapi Ting Peng juga tidak merasakannya. Kalau didengar dari suaranya Cia Siau hong tentu sudah amat tua.

Berbicara soal umur seharusnya Cia Siau hong baru berusia lima puluh tahun lebih, enam puluh tahun kurang, bagi seseorang jago persilatan, usia tersebut belum terhitung tua. Tapi setelah berjumpa dengan Cia Siau hong pribadi, bahkan dia sendiri pun tak bisa menilai apakah dia tua muda atau setengah umur. Kesan yang tertanam dalam hati Ting Peng terhadap Cia Siau hong, adalah Cia Siau hong.

Ia sudah banyak mendengar tentang Cia Siau hong sebelum bertemu dengan Cia Siau hong, ia sudah menciptakan sendiri raut wajah Cia Siau hong didalam benaknya, ternyata apa yang tertera di depan matanya sekarang hampir serupa dengan bayangan yang diperolehnya dulu.

Dengan pandangan yang pertama, dia mengira Cia Siau hong adalah seorang kakek. Sebab suaranya kedengaran begitu tua, mengenakan jubah berwarna abu-abu dan duduk di atas kasur duduk persis seperti seorang pertapa tua...

Sorot mata yang pertama dilihat Ting Peng juga sorot mata yang begitu lelah, bosan terhadap kehidupan, sorot mata yang hanya dijumpai dalam tubuh seorang kakek lanjut usia. Tapi setelah diperhatikan secara seksama, dia baru mengetahui kalau Cia Siau hong belum tua, rambutnya cuma berapa lembar yang memutih, lainnya tak berbeda dengan rambut sendiri.

Di atas wajahnya tidak nampak kerutan, kulitnya halus dan berkilat. Raut wajahnya terhitung amat tampan, dia memang cukup pantas disebut lelaki tampan, tak heran kalau semasa mudanya dulu bisa begitu romantis. Dengan wajahnya sekarang, asal dia mau mungkin masih banyak perempuan yang bakal tergila-gila kepadanya.

Cia Siau-hong hanya memperhatikan Ting Peng sekejap, kemudian dengan amat tenang dan halus dia berkata: "Silahkan duduk, maaf tempat ini hanya sebuah gubuk reyot!"

Walaupun dalam sebuah gubuk reyot dengan tempat duduk tumpukan jerami, tapi mempersilahkan tamunya duduk di hadapan tuan rumah, hal ini menunjukkan kalau Cia Siau hong telah menganggap Ting Peng sebagai setingkat dan sederajat. Hal mana sudah merupakan suatu kehormatan yang sangat besar. Orang yang berhak duduk dalam tingkatan seperti ini, rasanya cuma berapa gelintir manusia saja.

Seandainya berganti dulu, Ting Peng pasti akan merasa rikuh atau tidak tenang, tapi sekarang dia mempunyai ambisi yang besar dan dia menganggap kecuali dia, sudah tiada orang yang pantas duduk setingkat dengan leluasa sekali. Cia Siau hong, itulah sebabnya dia duduk dengan leluasa sekali.

Cia Siau hong memandang lagi ke arahnya dengan sorot mata kagum, katanya. "Bagus sekali, anak muda memang seharusnya demikian, harus menganggap tinggi diri sendiri, membawa jalan pemikirannya menuju ke dalam pikiran yang tinggi pula, dengan begitu barulah berharga kehidupan di dunia ini"

Ucapan tersebut mirip suatu pujian, tapi nadanya seperti seorang locianpwe yang memberi nasehat kepada angkatan muda, ternyata Ting Peng menerimanya. Didalam kenyataan Ting Peng memang seharusnya menerimanya sebab Cia Siau hong memang angkatan tuanya. Sekalipun sebentar lagi dia bisa mengalahkan Cia Siau hong, toh kenyataan tersebut tak mungkin bisa dirubah.

Cia Siau hong memandangnya lagi dengan sorot mata kagum: "Aku tahu kau bukan seorang yang suka banyak berbicara"

"Yaa, aku bukan"

"Dulu, akupun bukan!" Cia Siau-hong tertawa. "Tiba-tiba nada suaranya berubah menjadi sedih dan agak murung, lanjutnya: "Tapi sekarang aku telah berubah banyak bicara, mungkin aku sudah mulai tua!"

Orang yang umurnya semakin bertambah, kata-kata yang diucapkan pun akan semakin bertambah banyak, berubah menjadi cerewet, tapi Cia Siau hong tampaknya tidak mirip. Ting Peng tidak bermaksud untuk menimbrung, maka Cia Siau hong melanjutkan kembali kata-katanya:

"Cuma, akupun berubah menjadi banyak mulut hanya selama berada di sini, bila tiada orang, seringkali aku bergumam membicarakan banyak hal untuk diriku sendiri, tahukah kau apa sebabnya?"

"Aku tak suka menebak!"

Ucapan ini tidak sopan, tapi Cia Siau-hong pun tidak marah, malahan katanya sambil tertawa terkekeh: "Benar, anak muda memang harus berbicara langsung dan terus terang, hanya orang yang berusia lanjut saja yang suka berbicara berputar-putar, hanya untuk mengucapkan sepatah kata yang sederhana saja, dia harus mengucapkan segudang perkataan lebih dulu"

Mungkinkah hal ini dikarenakan orang yang sudah berusia lanjut sudah merasa kalau kehidupannya tak akan lama lagi, maka mumpung ada kesempatan berbicara sebanyak-banyaknya, mungkin di kemudian hari tak dapat berbicara lagi?

Tapi dalam usia seperti Ting Peng, tak mungkin dia akan mempunyai perasaan seperti ini. Hanya saja pertanyaan yang diutarakan Cia Siau hong masih saja urusan tetek bengek. Mengapa seorang jago pedang nomor wahid dikolong langit bisa berubah menjadi cerewet amat? Mengapa dia hanya berbuat begitu selama berada di sini?

Walaupun Ting Peng tak ingin menebaknya tapi tak tahan juga untuk mencari jawaban tersebut dengan mempergunakan semua kemampuan yang dimilikinya. Maka sepasang matanya mulai celingukan mencari ke sana kemari, tempat ini memang suatu tempat yang sangat tidak menyenangkan. Porak poranda, sepi, kotor, suram dan di mana-mana hanya ada hawa kematian, tiada setitik hawa kehidupanpun.

Jagoan bersemangat dari manapun, asal sudah mengendon kelewat lama di situ, dia pasti akan berubah menjadi murung. Tapi, hal ini sudah pasti bukan menjadi alasan bagi Cia Siau hong hingga berubah demikian.

Seseorang yang mempunyai kepandaian yang amat dalam terhadap ilmu pedang, dia sudah memiliki kemampuan yang melebihi siapapun dan tak akan terpengaruh oleh pengaruh macam apapun.

Maka Ting Peng tidak berhasil menemukan jawabannya. Untung saja Cia Siau hong tidak menyuruhnya menduga-duga terlalu lama, dengan cepat dia mengutarakan sendiri jawabannya.

"Karena di tanganku sudah tak berpedang!"

Pada hakekatnya jawaban tersebut tidak mirip sebagai suatu jawaban. Tangannya tanpa pedang, apa pula hubungannya dengan perasaan didalam hati?

Orang yang bernyali kecil mungkin saja menggunakan senjata untuk memperbesar keberaniannya, tetapi apakah Cia Siau hongpun seseorang yang menjadi berani karena mengandalkan pedangnya?

Namun Ting Peng seolah-olah menerima jawaban tersebut. Paling tidak dia memahami maksud dibalik ucapan tersebut. Cia Siau hong adalah seorang jago pedang yang kesempurnaannya sudah mencapai pada puncaknya, kehidupannya sudah habis oleh pedang, pedang sudah merupakan jiwanya, sukmanya. Ditangan tanpa pedang sama artinya dengan ia sudah tak berjiwa, tak bernyawa lagi.

Kalau Cia Siau hong telah menghilangkan pedang yang sudah merupakan jiwanya itu maka yang tersisa hanyalah seorang kakek yang biasa dan lemah. Dari mimik wajah Ting Peng, Cia Siau hong sudah tahu kalau pemuda tersebut telah memahami perkataannya, maka dia menjadi gembira sekali.

"Kita dapat melanjutkan perbincangan itu, kalau tidak, kau tak akan merasa tertarik oleh perbincanganku selanjutnya!"

Ting Peng merasa agak terharu, perkataan dari Cia Siau hong tak lain menunjukkan kalau dia adalah orang yang mencocoki perasaannya. Orang yang bisa di anggap sebagai teman karib merupakan suatu kejadian yang pantas digirangkan, tapi orang yang bisa di anggap Cia Siau hong sebagai teman karib apakah cuma melambangkan kegembiraan belaka?

"Dalam kenyataan aku sudah dua puluh tahun lamanya tak pernah membawa pedang lagi, pedang mestika yang dimiliki perkampungan Sin kiam san ceng pun sudah ku buang ke dasar sungai."

Ting Peng mengetahui akan hal ini. Peristiwa tersebut terjadi setelah pertempuran antara Cia Siau hong melawan Yan Cap sa. Setelah memutar otak dengan susah payah akhirnya Yan Cap sa berhasrat menciptakan jurus yang kelima belas, suatu jurus serangan yang tak ada taranya di dunia ini.

Dengan jurus serangan itu, dia berhasil mengalahkan Cia Siau hong yang tiada tandingannya, tapi yang mati akhirnya justru Yan Cap sa sendiri, dialah yang telah menghabisi nyawa sendiri dengan tujuan untuk melenyapkan jurus serangan yang teramat keji tersebut.

Suara dari Cia Siau hong amat tenang, kembali dia berkata: "Walaupun pedang mestika telah tenggelam, namun nama Sin kiam san ceng masih tetap utuh, hal itu dikarenakan aku masih hidup, mengertikah kau...?"

Ting Peng manggut-manggut. Bila ilmu pedang seseorang telah berhasil mencapai suatu taraf yang luar biasa, tanpa pedang di tanganpun dia masih bisa menggunakan benda yang lain sebagai penggantinya, seperti sebatang ranting, sebuah kayu atau bahkan sebuah jarum pun. Pedang itu sudah bukan berada di tangannya, melainkan didalam hati pedang tersebut sudah tak terlihat lagi dengan mata.

Perkataan Cia Siau hong sudah teramat sulit untuk dipahami tapi Ting Peng justru telah mencapai tingkatan tersebut, oleh karena itu dia mengerti. Namun kata Cia Siau hong berikutnya justru semakin sulit untuk dipahami lagi.

"Dalam tanganku sudah tidak berpedang lagi "

Sekalipun mengulangi kata yang terdahulu namun maknanya sekarang sudah jauh lebih dalam lagi.

"Kenapa?" Ting Peng segera bertanya.

Pertanyaan inipun merupakan suatu pertanyaan yang bodoh, pertanyaan yang tak akan dipahami oleh siapapun. Tapi Ting Peng telah mengutarakannya keluar, diutarakan dalam keadaan dan situasi seperti ini, dan hanya ditanya oleh Ting Peng saja karena dia harus memahami dahulu apa yang dikatakan Cia Siau hong tadi.

Sebenarnya Ting Peng enggan mengajukan pertanyaan itu, dia tahu hal mana pasti menyangkut rahasia orang lain. Diluar dugaan Cia Siau hong telah memberikan jawabannya. Dia menuding kedua buah kuburan di depan gubuk.

Kuburan itu berada di halaman, begitu masuk ke dalam pintu sudah dapat dilihat. Andaikata terdapat sesuatu yang istimewa, seharusnya Ting Peng telah menemukannya sedari tadi, buat apa Cia Siau hong memberi petunjuk lagi kepadanya?

Tapi setelah ditunjuk Cia Siau hong, Ting Peng baru tahu kalau jawaban tersebut harus dicari dari tempat itu. Kuburan itu adalah kuburan yang amat sederhana, tempat untuk mengubur orang mati. Seandainya tempat itu terdapat sesuatu keistimewaan, maka keistimewaannya adalah bisa dipakai untuk mengubur orang mati.

kuburan di halaman tersebut adalah kuburan tanpa batu nisan, hanya terdapat dua buah papan nama kecil tergantung didalam gubuk. Yang berada di sebelah kiri bertuliskan:

"Tempat bersemayan sahabat karibku Yan Cap sa!" Sedangkan yang berada di sebelah kanan bertuliskan: "Tempat bersemayan istriku Buyung Ciu ti!"

Ternyata dua orang itulah yang dikubur di sana. Yan Cap sa adalah orang yang telah mengalahkannya. Buyung Ciu ti adalah istrinya, juga merupakan musuh besarnya selama hidup, selama ini entah berapa banyak cara dan tipu muslihat yang telah dipergunakan olehnya untuk membinasakan Cia Siau hong. Walaupun kedua orang itu sudah tiada namun Cia Siau hong tak pernah melupakan mereka.

Maka Cia Siau hong berkata, kalau ditempat ini dalam tangannya tiada pedang. Sekalipun Cia Siau hong tiada tandingannya dikolong langit, tapi ia pernah dikalahkan oleh kedua orang ini. Yan Cap sa pernah mengalahkannya sekali, hal mana membuatnya tak pernah bisa merobah kembali keadaan tersebut.

Buyung Ciu ti entah sudah berapa kali mengalahkan dia. Oleh karena Cia Siau hong telah menamakan tempat ini sebagai Rumah penyimpan pedang. Bagaimanapun tajamnya pedang yang dimiliki, tapi setelah berada di sana akan berubah menjadi tak tajam lagi. Bagaimanapun cemerlangnya nama besar Cia Siau hong selama ini, namun berada di hadapan kedua orang itu dia selamanya merupakan seorang yang kalah.

Tanpa terasa timbul perasaan kagum dalam hati Ting Peng terhadap orang tua itu. Kedua orang itu sudah mati, tapi Cia Siau hong justru membangun tempat seperti ini untuk merangsang diri. Apakah yang menjadi tujuan?

Yan Cap sa dan Buyung Ciu ti bukannya seseorang yang pantas untuk dihormati. Cia Siau-hong mengubur mereka di sini bukanlah dikarenakan dia ingin selalu memperingati mereka. Lantas apakah tujuannya?

Kali ini Ting peng tidak bertanya mengapa, dia tak perlu bertanya, agaknya dia sudah mengetahui jawabannya. Setelah termenung lama, lama sekali, pelan-pelan Ting Peng bangkit berdiri. "Kedatanganku kali ini adalah mencari cianpwe untuk berduel!"

Nada ucapannya sangat menaruh hormat. Cia Siau-hong manggut-manggut: "Aku tahu, sudah lama sekali tiada orang yang datang mencariku untuk berduel"

"Aku bukan bertujuan untuk mencari nama, aku benar-benar ingin mencari cianpwe untuk beradu kepandaian!"

"Aku mengerti, belakangan ini kau sudah menjadi seorang yang sangat ternama!"

"Dengan kepandaian yang kumiliki dalam ilmu golok, aku rasa mana dapat menandingi kepandaian pedang dari cianpwe!"

"Kau kelewat sungkan, kau sepantasnya mengatakan kalau kau dapat mengalahkan diriku!"

"Tapi sekarang aku tak sanggup untuk mencabut golokku terhadap cianpwe lagi"

"Karena saat ini aku tak berpedang?"

"Bukan, saat ini siapa pun dapat turun tangan membunuh cianpwe!"

"Benar itulah sebabnya aku harus mempersiapkan penjagaan yang ketat di luar pintu dan melarang siapapun masuk kemari, sebab selama berada di sini aku hanyalah seorang kakek lemah yang tak berkemampuan apa- apa."

"Tapi aku tahu, setelah keluar dari sini sudah pasti aku bukan tandingan dari cianpwe!"

"Aaaah, itupun belum tentu, menang kalah sukar untuk dibicarakan terlalu awal."

"Aku sudah kalah..." kata Ting Peng kemudian sambil menjura, "Maaf bila kuganggu ketenangan cianpwe, dan terima kasih atas petunjuk dari cianpwe..."

Ternyata Cia Siau hong tidak bermaksud untuk menahannya di sana, hanya tanyanya: "Berapa usiamu tahun ini?"

"Dua puluh delapan tahun!"

Cia Siau hong segera tertawa. "Kau masih sangat muda, tahun ini aku telah berusia lima puluh tahun, rumah penyimpan pedang ini baru kudirikan, kau sudah terlambat delapan belas tahun dibandingkan dengan aku."

"Apakah cianpwe sudah sepuluh tahun berada di sini"

"Tidak! Waktuku berada di sini tidak terlalu lama, aku masih sering berjalan-jalan di luar, kebiasaanku seperti itu tak pernah bisa dirubah lagi, kau lebih bahagia daripada diriku!"

"Aku lebih bahagia daripada cianpwe?"

"Benar, aku selalu berada dalam keberhasilan dan kesuksesan, oleh karena itu sudah terlalu lambat bagiku untuk merasakan kekalahan. Sebaliknya kau sejak mulai sudah merasakan pelbagai penderitaan dan kekalahan, itulah sebabnya kemajuan yang akan kau capai di kemudian hari sukar untuk dikatakan!"

Ting Peng termenung sambil berpikir sebentar, kemudian katanya kembali. "Di kemudian hari, aku berharap masih mempunyai kesempatan untuk melangsungkan duelku dengan locianpwe!"

"Tentu, tentu, setiap saat aku akan menyambut kedatanganmu dengan senang hati, tapi di kemudian hari pun paling baik kalau kita masih berjumpa lagi ditempat ini"

"Mengapa?"

"Kau sudah pernah masuk kemari" maka rumah penyimpan pedang ini sudah tak bisa di anggap sebagai tempat terlarang lagi"

"Aku merasa menyesal sekali atas terjadinya peristiwa semacam ini..."

"Tak perlu menyesal, sewaktu kau datang, tempat ini masih merupakan rumah penyimpan pedang, karena tempat ini hanya diketahui oleh kau dan aku, mengerti?"

Ting Peng segera tertawa. "Aku mengerti, Aku pasti akan mengingat selalu perkataanmu itu dan tak akan memberitahukan kepada siapa saja!"

"Terutama terhadap putriku!"

Ting Peng tertegun, tiba-tiba tanyanya: "Sebenarnya dia putri cianpwe atau bukan?"

"Benar!"

Ting Peng tidak berbicara lagi, dengan langkah lebar dia keluar dari situ.

TEMPAT PEMONDOKAN

TATKALA Ting Peng hendak meninggalkan Rumah penyimpan pedang, tak tahan dia berpaling dan memperhatikan kembali kedua buah kuburan serta rumah gubuk itu sekejap, hatinya penuh dengan perasaan kagum.

Yang paling mengagumkan adalah kemampuan Cia Siau hong berpedang. Sewaktu berada di depan pintu, bila telah mendengar tentang pemimpin enam partai besar membicarakan soal golok.

Enam partai besar merupakan partai paling berkuasa dalam dunia persilatan dewasa ini, pemimpin mereka tak lebih adalah manusia-manusia yang berkepandaian silat paling tinggi dalam dunia persilatan.

Orang yang berilmu silat paling tinggi dalam dunia persilatan bukan berarti paling tinggi ilmu silatnya dikolong langit, dalam hal ini tentu saja merekapun mengakuinya maka dari itu mereka datang ke perkampungan Sin kiam san ceng dan satu persatu bertekuk lutut, bahkan terhadap sindiran dan cemoohan Cia Siau giok, terhadap merekapun hanya disambut dan diterima tanpa membantah.

Mereka beranggapan golok Ting Peng sudah mencapai tingkatan manusia mengendalikan golok, itu berarti sudah tiada tandingannya di dunia ini. Pendapat semacam itu sesungguhnya tak dapat dikatakan sebagai suatu pandangan yang keliru. Cuma saja mereka belum tahu kalau masih ada tingkatan yang lebih tinggi lagi. Yakni tingkatan yang sedang dicapai oleh Cia Siau hong pada saat ini.

Cia Siau hong adalah seorang jago pedang, sudah barang tentu tingkatan yang di capai pun tingkatan di ujung pedang. Pedang merupakan senjata, golokpun merupakan senjata. Bila ilmu silat telah mencapai tingkatan yang paling tinggi, antara golok dan pedang sudah tiada perbedaannya lagi, hanya berbeda dalam pelaksananya belaka.

Tingkatan yang dicapai Ting Peng hanyalah Golok adalah manusia, manusia tetap manusia. Golok diperbudak manusia, manusia merupakan jiwa dari golok. Itulah ciri khas seorang jagoan yang amat lihay. Tapi bagaimana dengan Cia Siau hong?

Sejak kapankah dia telah mencapai tingkatan semacam itu? Tiada orang yang tahu, tapi sejak sepuluh tahun berselang ia telah berhasil melampaui tingkatan tersebut dan hal mana sudah merupakan suatu kepastian. Karena dia telah membangunkan rumah penyimpanan pedang.

Didalam rumah penyimpanan pedang ini, dia sedang mengejar tingkatan yang lain, tingkatan paling tinggi yang disebut Huan Phu kui tin, suatu tingkatan yang paling hebat namun justru akan membawa dirinya menuju ke taraf kesederhanaan dan kebiasaan.

Tingkatan tersebut merupakan tingkatan "pedang adalah pedang, aku adalah aku. pedang bukan pedang, aku bukan aku". Suatu tingkatan yang betul-betul maha luar biasa.

Sekarang Ting Peng masih belum bisa meninggalkan goloknya, sebilah golok lengkung berbentuk bulan sabit. Di atas golok itu terukir kata-kata: "Siau lo it ya teng cun hi"

Golok iblis yang membuat setanpun menjadi pusing. Tanpa golok ini, mungkin Ting Ping sudah bukan Ting Peng yang dulu, tapi jelas tak mungkin akan menjadi Ting Peng sekarang. Antara manusia dan golok masih belum dapat dipisah-pisahkan.

Di tangan Cia Siau hong pun sebenarnya terdapat sebilah pedang mestika. Tapi semenjak sepuluh tahun berselang, dia sudah menyimpan pedangnya dirumah, dia telah melepaskan pedang mestikanya itu.

Sekarang dia belum berhasil mencapai tingkat yang paling tinggi itu, maka dia harus berada didalam Rumah penyimpanan pedang untuk mencapai ke tingkatan seperti itu. Dalam rumah penyimpan pedang tiada sesuatu yang istimewa, hanya dua buah kuburan, tapi yang penting adalah makna kedua buah kuburan tersebut baginya. Ditempat lain diapun menyiapkan dua kuburan yang sama tapi apakah dapat memberikan makna yang sama pula?

Ting Peng tidak bertanya, dia percaya sekalipun ditanyakan, Cia Siau hong juga tak akan menjawabnya. Karena sekarang telah berada dalam tingkatan yang berbeda, semacam tingkatan yang sama sekali asing, masa mereka harus masuk ke dalam alam manusia sebelum mengerti apa yang sebenarnya mereka tuju.

Lagi pula, sekalipun ada seseorang yang masuk kedalamnya diapun tak dapat menceritakan apa yang dirasakan kepada orang lain, karena orang lain tidak mempunyai pengalaman dan perasaan seperti itu. Seperti misalnya ada seseorang telah memasuki sebuah kebun yang sangat indah, setelah keluar dari situ dia lantas menceritakan kepada rekan-rekannya bahwa bunga itu berwarna emas, buah berwarna tujuh warna.

Tapi rekannya itu adalah seorang yang buta sejak lahir, bagaimanapun juga mustahil dia bisa membayangkan apa yang diceritakan kepada dirinya itu. Bagi seseorang yang buta dia tidak mempunyai perasaan terhadap warna, mungkin dia dapat menggunakan bau bauan untuk membedakan aroma bunga dan buah, tapi dia tak dapat menikmati keindahannya lewat keindahan warnanya. Cuma Ting Peng masih teringat lagi dengan perkataan dari Cia Siau hong.

"Lain kali jika kau datang kemari lagi, di sini sudah tiada rumah penyimpan pedang lagi"

Hal mana berarti Cia Siau hong sudah dapat keluar dari situ dan benar-benar melangkah masuk ke dalam suatu dunia baru. Dia sudah dapat memindahkan kedua buah kuburan tersebut ke dalam hatinya, sudah dapat menjadikan tempat manapun sebagai rumah penyimpan pedang.

Ting Peng mengetahui akan keadaan seperti ini tapi tidak tahu kapan baru bisa memasuki tingkatan seperti itu, tapi dia tahu bahwa dirinya masih kalah setingkat bila ditandingkan dengan Cia Siau hong. Oleh karena itulah baru tumbuh perasaan kagumnya terhadap Cia Siau hong.

Dengan kemampuan yang dimiliki Ting Peng sekarang, tentu saja hanya tingkatan yang dicapai Cia Siau hong saja yang dapat menimbulkan perasaan hormatnya.

Cia Siau Giok dan Ah Ku tidak menunggu ditempat semula. Ketika Ting Peng berjalan keluar, hanya empat budak pedang yang menunggu di depan pintu, lagi pula pintu tersebut sudah terbuka lebar.

Dengan tercengang Ting Peng segera bertanya. "Mengapa pintu ini terbuka?"

"Karena Ting kongcu telah menjumpai majikan didalam rumah dan sekarang telah berjalan keluar lagi" jawab Ka-cu dengan amat gembira.

Perkataan tersebut sesungguhnya tak bisa dianggap sebagai suatu jawaban, tapi juga hanya Ting Peng yang dapat memahaminya, maka diapun lantas manggut-manggut.

"Sudah tentu kami harus berterimakasih pula kepada Ting Kongcu" seru Ka-cu lagi gembira.

"Berterima kasih kepadaku? Apa sangkut pautnya dengan diriku?"

"Ting Kongculah yang telah membantu majikan untuk keluar dari Rumah penyimpan pedang ini!"

"Aku telah membantu majikan kalian? Apakah kau tidak salah?"

"Tak bakal salah, selama banyak tahun majikan selalu terkurung oleh sebuah pertanyaan, pertanyaan tersebut adalah jurus pedang tersebut, jurus pedang kelima belas dari Yan Cap sa"

"Aku mengetahui akan jurus itu, tapi bukankah jurus itu sudah berlalu"

"Yaa, sekarang memang sudah berlalu" jawab Ka-cu tertawa, "di hadapan Ting Kongcu hal tersebut memang bukan terhitung suatu persoalan penting"

"Aku sama sekali belum pernah menyaksikan jurus pedang itu" seru Ting Peng tercengang.

"Ting Kongcu telah menjumpainya, jurus serangan terakhir yang kami berempat pergunakan untuk memaksa Ting Kongcu masuk adalah menggunakan jurus serangan tersebut."

"Jurus itu?" Ting Peng tidak percaya.

"Benar, jurus pedang itu!"

"Dan jurus itupula yang telah mengalahkan pedang nomor wahid di kolong langit Cia Siau hong."

"Hmm, kemampuan kami tentu saja tak bisa dibandingkan dengan kemampuan dari Yan Cap sa dimasa lalu, tapi jurus pedang yang kami pergunakan adalah jurus pedang tersebut" Ka-cu tetap merendah.

"Tanpa kemampuan yang cukup, apakah jurus selama sepuluh tahun kami khusus hanya melatih diri dengan jurus tersebut tanpa terganggu oleh tugas lain, oleh karena itu secara dipaksakan masih dapat mempergunakannya, lagi pula bila jurus serangan itu dikembangkan maka sebenarnya sudah merupakan jurus serangan yang tiada tandingannya, tapi kami tetap tak mampu untuk membendung serangan golok sakti dari kongcu!"

Ting Peng segera membungkam. Jurus pedang bila sudah mencapai pada saat yang paling dahsyat maka hal ini sudah tiada sangkut pautnya lagi dengan soal kemampuan seseorang, jurus pedang tetap merupakan jurus pedang, dapat digunakan sekali berarti sudah mengembangkan seluruh intisarinya, bila meleset sedikit saja, maka hal ini tak bisa dianggap sebagai jurus.

Hanya jurus serangan lain yang lebih ganas lagi yang bisa mematahkan jurus serangan semacam itu, kecuali itu tiada cara kedua lagi. Teori tersebut sudah dapat dipahami oleh Ting Peng. Ketika dia menggunakan jurus Thian gwa liu seng untuk menjagoi dunia persilatan, dia sudah memahami teori tersebut.

Maka dia muncul ke dalam dunia persilatan dengan penuh perasaan percaya pada diri sendiri. Tapi ia telah bertemu dengan Liu Yok siong yang munafik, bertemu dengan Ko siau yang memuakkan. Suami istri itu berkomplot untuk membohongi jurus serangannya itu. Oleh karena itu sampai pada akhirnya Liu Yok siong baru dapat mematahkan jurus serangan itu.

Maka, kemudian dia baru membalas dendam dengan sekuat tenaga, membunuh perempuan yang bernama Ko siau, tapi tetap mengampuni nyawa Liu Yok siong.. Hal tersebut bukan dikarenakan Liu Yok siong mempunyai sesuatu keistimewaan, melainkan Liu Yok siong memang tidak pantas mati.

Liu Yok siong dapat menemukan titik kelemahan dari jurus serangan Thian gwa liu siang, hal ini membuktikan kalau jurus serangan tersebut bukanlah sebuah jurus serangan yang tiada tandingannya.

Terdengar Ka-cu kembali tertawa: "Selama ini majikan selalu terbenam dalam penyelidikannya soal pedang, walaupun dia telah mencapai puncak kesempurnaan namun tak pernah terlepas dari belenggu jurus pedang tersebut..."

Ting Peng memahami akan hal ini. Sejak Cia Siau hong mengurung diri di dalam rumah penyimpan pedang, seperti juga kaum pendeta yang menutup diri menghadap ke dinding, mereka berniat dan berusaha melepaskan diri dari semua beban pikiran. Begitu semua beban pikiran dapat dilepaskan, maka mereka akan berhasil mencapai suatu tingkatan yang berhasil.

Sejak Cia Siau hong mengurung diri di sana, dia tak pernah berhasil meloloskan diri dari tekanan jurus pedang itu, dia tak dapat mengendalikan diri terhadap jurus pedang itu. Tapi Ting Peng telah mematahkan jurus serangan tersebut, dengan cara memakai senjata tanpa mengucurkan darah, hal mana membuat Cia Siau hong segera menjadi paham kembali.

Itulah sebabnya ketika dia mengaku kalah kepada Cia Siau hong, namun Cia Siau hong tak mau menerimanya. Sebelum pertemuan ini, seandainya dia sampai berjumpa dengan Cia Siau hong, mungkin Cia Siau hong tak bisa kalah di tangannya, namun iapun tak bisa menangkan dia.

Bila sampai terjadi bentrokan, besar kemungkinan kedua belah pihak akan sama-sama terluka, atau sama-sama mengundurkan diri. Sebab bila pertarungan dilangsungkan dia pasti akan kalah, karena kepandaiannya terbatas, sedangkan Cia Siau hong sudah dapat melepaskan diri dari belakang.

Sekarang Ting Peng merasa gembira sekali, sebenarnya ia agak sedih tadi, namun sekarang setitik kesedihan pun sudah tak ada lagi.

"Bagaimanapun juga aku masih dapat menjadi jagoan yang tiada tandingannya dikolong langit!"

Kemudian sambil tertawa katanya pula kepada ke empat orang budak pedang itu. "Sejak kini dalam perkampungan Sin kiam san ceng sudah tidak terdapat rumah penyimpan pedang lagi."

"Ya, sudah tak ada, lagi pula tak perlu", sambung Ka-cu sambil tertawa.

"Kalian berempatpun tak usah berjaga di sini lagi."

Ka cu mengangguk. "Betul, bukan saja Ting kongcu telah membantu majikan, lagi pula malah membantu kami pula untuk melepaskan diri dari belenggu"

"Setelah ini apakah kalian berempat masih akan tetap tinggal di tempat ini."

Kembali Ka-cu tertawa. "Barusan nona Cia pun berharap kami bisa tinggal di sini, tapi kami telah menolaknya, perkampungan Sin kiam san ceng tidak cocok untuk kami"

"Tempat manakah baru cocok untuk kalian?"

"Banyak tempat cocok buat kami. Kalau dulu kami hidup demi pedang, dengan pedang melanjutkan hidup karena pedang dilahirkan, sekarang kami dapat melepaskan pedang, banyak persoalan dapat kami kerjakan lagi seperti misalnya aku suka menanam bunga, aku dapat menjadi tukang kebun Ih Ca suka memelihara ikan, dia bisa membuka peternakan ikan dan memusatkan pikirannya untuk memelihara ikan...."

"Kalianpun akan melepaskan pedang?"

"Benar! kamipun akan melepaskan pedang!"

"Tahukah kalian bila kalian tidak melepaskan pedang, dalam dunia persilatan kalian akan segera menikmati suatu masa yang cemerlang dan gemilang"

"Kami tahu, majikan pernah bilang, bila kami keluar dari sini, jarang ada orang di dunia persilatan yang mampu menandingi kami, kami akan segera menjadi jagoan nomor wahid di dunia."

"Apakah kalian tidak ingin?"

"Walaupun kami ingin sekali, tapi masih ada satu persoalan yang pelik, setelah menjadi jagoan nomor satu, maka kami tak akan mempunyai waktu untuk mengerjakan pekerjaan yang kami senangi."

"Ting Kongcu tentu dapat melihat, usia kami sudah tidak kecil lagi, bahkan boleh dibilang sudah mencapai setengah abad, kalau dalam separuh hidup kami yang lalu hidup untuk pedang, maka separuh hidup kami berikutnya tak boleh untuk pedang lagi, kami harus hidup untuk kami sendiri."

Ting Peng sudah menaruh perasaan kagum dan hormat terhadap ke empat orang itu, paling tidak mereka sudah dapat mengatasi soal nama dan keuntungan pribadi, itu berarti kehidupan mereka selanjutnya pasti akan merasa gembira sekali. Oleh karena itu, dia pun bertanya:

"Apakah kalian sudah mempunyai rencana terhadap kehidupan kalian selanjutnya?" Dia berpendapat Cia Siau hong pasti sudah mengaturkan segala sesuatunya untuk mereka.

Betul juga, sambil tertawa Ka-cu segera berkata: "Yaa sudah. Sewaktu majikan membangun rumah penyimpan pedang ini, ia telah memberi kami setiap orang lima laksa seribu dua ratus tahil perak sebagai uang pesangon"

"Hmm, suatu jumlah yang dapat membuat orang kaya baru..."

"Tapi itu juga bisa dipakai untuk biaya hidup setahun" kata Ka-cu sambil tertawa.

"Ini baru tahun pertama, sepuluh tahun berikutnya bukankah apa yang kalian peroleh akan mencapai suatu jumlah yang tak terhitung banyaknya..."

"Tidak, masih bisa terhitung, lagi pula dengan cepatnya dapat dihitung dengan jelas, karena kami hanya mempunyai sekeping, sekeping yang berbobot seratus tahil"

"Hanya sepotong seberat seratus tahil?" agaknya Ting Peng tidak habis mengerti.

"Betul, majikan memang seorang yang amat sosial..."

"Apakah otak kalian semua sudah mulai dihinggapi penyakit?"

"Tidak, kami semua sehat, bahkan otak kami pun jernih!"

"Kalau memang begitu otakku lah yang ada persoalannya" kata Ting-Peng sambil mengetuk kepala sendiri.

Ka-cu segera tertawa. "Benar Ting kongcu juga sehat, cuma kau tidak mengetahui perjanjian antara kami dengan majikan saja"

"Ooooh... bagaimanakah perjanjian kalian dengan majikan kalian itu....?"

"Perjanjian majikan dengan kami adalah bila setahun kami tinggal di sini lantas hendak pergi maka kami boleh membawa lima laksa seribu dua ratus tahil, bila berada di sini dua tahun, hanya boleh membawa dua laksa lima ribu enam ratus tahil begitu seterusnya, tiap tahun mendapat pengurangan sampai separuhnya, dan kini sudah mencapai sepuluh tahun, karena itu kami genap hanya memperoleh seratus tahil saja!"

"Waaaah... hitungan dari negara manakah itu..."

"Itulah perhitungan majikan untuk kami, kalau kami hanya tinggal setahun, itu berarti ilmu pedang kami belum seberapa, pikiran pun belum mantap, sebab itu kami butuh uang banyak untuk bisa menjamin suatu kehidupan yang tenteram. Kalau tidak sudah pasti kami akan menjadi pencoleng atau perampok untuk berjalan seorang dan memenuhi napsu angkara murka sendiri"

"Yaa, memang masuk diakal juga perkataan ini"

"Selamanya teori majikan memang betul", kata Ka-cu dengan sikap sangat menghormat.

Ting Peng tertawa. "Cuma andaikata aku datang beberapa tahun lebih lambat, bukankah kalian hanya akan memperoleh satu tahil perak saja....
Selanjutnya,
Golok Bulan Sabit Jilid 15

Golok Bulan Sabit Jilid 14

Golok Bulan Sabit Jilid 14
Karya : Khu Lung
Penyadur : Tjan ID

Cerita silat Mandarin Karya Khu Lung
TING-PENG segera tertawa dingin. "Lantas aku harus pergi ke mana untuk bisa menjumpai orang itu?"

"Kami tidak tahu, Rumah penyimpan pedang terpisah dari dunia luar, lagi pula sesuai dengan namanya, Rumah penyimpan pedang adalah tempat untuk menyimpan pedang bukan tempat untuk berduel"

"Kalau memang begitu, mengapa kalian membawa pedang?"

"Yang kami pegang bukan pedang!" jawab Ka-cu.

"Kalau bukan pedang, lantas apa?"

"Terserah apa saja yang akan kau katakan, pokoknya benda ini bukan pedang!"

Ting Peng segera tertawa terbahak-bahak suaranya amat sinis dan memandang rendah. "Haaahh... haaahh... haaahh... sudah terang pedang, namun mengatakan bukan pedang, cara kalian menipu orang dan menutup telinga untuk mencuri genta, betul-betul menggelikan sekali, cukup membuat gigi orang pada copot saking gelinya"

Berada dalam keadaan seperti ini, siapapun akan merasa gusar bila mendengar perkataan dari Ting Peng itu, akan tetapi ke empat orang itu masih tetap tenang, mereka tidak marah juga tidak dipengaruhi oleh gejolak emosi.

Ka-cu menunggu sampai dia selesai berkata, kemudian baru ucapnya dengan dingin: "Kau ingin berpikir bagaimana dan menyebut dengan sebutan apa, semuanya itu merupakan urusanmu sendiri, tapi selama berada dalam rumah penyimpan pedang, kami tidak menganggapnya sebagai pedang, kaupun tak dapat memaksa kami untuk menyebutnya sebagai pedang!"

Ting Peng tak dapat tertawa lagi, mendamprat orang memang suatu pekerjaan yang menyenangkan tapi kalau pihak lawan sama sekali tidak menggubris, maka hal mana akan menjadi tidak menyenangkan lagi. Setelah menelan kembali sisa tertawanya ke dalam perut dengan suara nyaring baru katanya.

"Apakah kalian keluar untuk menghalangi aku masuk?"

"Benar, pintu itu memisahkan Rumah penyimpan pedang dengan dunia luar, maka kau tak dapat merusaknya!"

"Kalau aku bersikeras hendak merusaknya?"

"Maka kau bakal celaka, kau akan menyesal karena telah berbuat demikian, dan lagi orang lainpun akan menyalahkan dirimu, karena sudah melakukan perbuatan tolol."

Sekali lagi Ting Peng tertawa terbahak-bahak. "Haaahhh... haaahhh... haaahhh... sebenarnya aku tak bermaksud untuk merusaknya, tapi setelah mendengar perkataanmu itu aku mulai ingin sekali untuk merusaknya karena aku adalah orang yang tak pernah menyesal terhadap pekerjaan yang telah kulakukan, lagi pula paling menimbulkan gerutu orang lain."

Agaknya Ka-cu tidak begitu menyukai sikapnya itu, merekapun tidak terbiasa bergurau, karenanya dia hanya berkata: "Kami akan berusaha dengan sekuat tenaga untuk menghalangi niatmu itu"

Ting Peng segera tertawa: "Ah-Ku hancurkan gembokan itu!"

Sekali lagi Ah Ku maju ke depan, empat bilah pedang ditangan ke empat orang itu segera turun tangan bersama menusuk ke arah dadanya. Tusukan tersebut amat sederhana, amat biasa dan tak akan disertai perubahan apa-apa, tapi kedahsyatannya sungguh mengerikan.

Siapapun tak akan berani menyongsong datangnya tusukan tersebut, mereka pasti akan berusaha untuk menghindarkan diri, tapi sayang justru mereka berjumpa dengan Ah-Ku?

Perawakan tubuh Ah Ku tinggi besar, kulit badannya hitam pekat dan bersinar seakan-akan seluruh badannya telah dilapisi oleh selapis minyak berwarna hitam.

Minyak itu amat berkilat dan licin tampaknya, kulit badan Ah Ku pun mempunyai keistimewaan tersebut. hampir pada saat yang bersamaan ke empat bilah pedang dari ke empat orang itu bersama-sama menusuk di atas badannya.

Dia tidak berkelit juga tidak menghentikan gerakannya, bahkan seakan-akan tidak melihat datangnya tusukan pedang tersebut. Mungkinkah dia tidak takut mati?

Ujung pedang itu menyambar lewat dari atas dadanya dan mengikuti kulit badannya tergelincir ke samping, seakan-akan ada sebuah jarum yang yang licin saja, ujung jarum itu meleset ke samping tapi tidak meninggalkan bekas apa-apa.

Sebenarnya jurus pedang dari ke empat orang budak pedang itu sudah termasuk lihay dan aneh, tapi kemampuan yang dimiliki Ah Ku jauh lebih lihay lagi.

Saking kagetnya Cia Siau giok sampai menjerit tertahan, Ah Ku segera mengerahkan sepasang tangannya, tahu-tahu Ka- cu berempat sudah terdorong ke samping oleh tenaga dorongannya, kemudian tampaklah tangannya yang terangkat itu dihantamkan ke bawah.

Kepala itu tak mungkin selunak kapas, apalagi jari tangannya mengenakan sarung tangan. Walaupun gembokan itu amat besar, tapi sudah berkarat. Baja yang bisa berkarat, tentu saja bukan baja yang baik. Baja yang baik seharusnya seperti sarung tangan yang membungkus tangan Ah Ku, berkilat dan bercahaya.

Oleh karenanya sewaktu kepalannya diayunkan ke bawah, gembokan berkarat itu segera hancur berkeping-keping, menyusul kemudian kakinya menjejak pintu tersebut sehingga terpentang lebar.

Dunia penuh rahasia dibalik pintu yang terkunci itu sudah tersimpan dan tertutup selama puluhan tahun, selain Cia Siau hong belum pernah ada orang lain yang pernah memasukinya.

Maka sampai Cia Siau giok sendiripun merasa keheranan, buru-buru dia melongok pula ke dalam, tapi dia segera merasa kecewa. Walaupun tempat itu sangat luas, tapi keadaannya kacau dan kotor, rumput ilalang setinggi dada, bangunan rumah yang semula berada di situ, sekarang telah tertutup sama sekali.

Tempat itu tak lebih hanya sebuah bangunan rumah yang terbengkalai, tempat semacam itu bisa dijumpai dalam perkampungan Sin kiam san ceng, bahkan merupakan tempat kediaman dari Cia Siau-hong, si jago pedang sakti dari kolong langit, seandainya tidak disaksikan dengan mata kepala sendiri, siapapun tak akan percaya.

Yang Paling membuat orang keheranan adalah dua buah kuburan yang berdiri di situ, walaupun tidak diketahui kuburan siapakah itu tapi bisa dilihat kalau kuburan tersebut belum lama dibuat, sebab rumput yang tumbuh di atas kuburan itu diatur sangat rapi, satu-satunya tempat yang paling rapi dalam halaman tersebut.

Ketika Ka-cu berempat budak pedang menyaksikan pintu sudah dibuka, meski sikapnya agak kaget dan gugup, namun paras mukanya semakin dingin menyeramkan mendadak mereka menerjang keluar ke arah luar. Mereka bukan melarikan diri, sebab-sebab setelah berlarian sejauh belasan kaki, mendadak mereka berhenti lagi.

Kemudian mereka seperti tikus-tikus yang sudah lama terkurung dalam jebakan kemudian secara tiba-tiba menyaksikan pintu jebakan itu terbuka, dengan cepatnya mereka menerjang kembali ke depan dan menyebarkan diri menuju ke tempat persembunyian.

Bersembunyi adalah kebiasaan yang dilakukan tikus bila sedang kaget, tapi ke empat orang itu tidak mirip sekali, karena mereka hanya bersembunyi sebentar kemudian munculkan diri kembali. Mereka masuk dengan membawa pedang waktu keluar juga membawa pedang.

Kalau sewaktu masuk tadi mereka membawa pedang yang bercahaya tajam, maka setelah keluar pedang mereka penuh berlepotan darah, malahan darahnya masih menetes keluar tiada hentinya. Pedang mereka berempat sama, itu berarti paling tidak mereka telah memburuh satu orang, tapi kalau dilihat dari darah yang menetes keluar, jelas bukan cuma empat orang saja yang terbunuh.

Mereka hanya masuk sebentar lalu segera muncul kembali, keluar setelah membunuh orang, tapi tidak menimbulkan suara apa-apa. Mungkin orang terbunuh masih belum tahu kalau nyawa sendiri telah direnggut. Gerakan semacam itu benar-benar merupakan suatu gerakan yang amat cepat, suatu gerakan pedang yang amat cepat.

Sambil bergendong tangan Ting Peng hanya memandang dengan sikap hambar, sedikitpun tidak terpengaruh oleh kejadian tersebut, demikian pula dengan Ah Ku. Mereka beralasan untuk bersikap tenang dan tentram, karena orang yang dibunuh sama sekali tidak ada hubungan dengan dirinya.

Lain dengan paras muka Cia Siau giok. Sikapnya berubah hebat, teriaknya tertahan: "Apa yang telah mereka lakukan?"

"Mungkin membunuh orang!" jawab Ting Peng hambar.

Jawaban semacam itu seperti juga jawaban yang tak berguna, siapapun tahu kalau mereka telah membunuh orang. bukan mungkin.

Dengan suara parau kembali Cia Siau giok berkata. "Tapi mengapa mereka membunuh orang?"

Ting Peng tertawa. "Mungkin mereka tak suka menyaksikan orang-orang itu bersembunyi terus di sana sambil mengintip kemari akupun tidak suka dengan perbuatan semacam ini"

"Mereka adalah orang-orang perkampungan Sin kiam san ceng!" seru Cia Siau giok. Dia seakan-akan menganggap Ting Peng sebagai pembunuh tersebut.

Ting Peng hanya tertawa tidak menjawab, sebaliknya Ka-cu telah berkata. "Sekalipun begitu, mereka bukan orang-orang dari Rumah penyimpan pedang, majikan telah menentukan tiga buah larangan bagi orang luar, sekeliling pekarangan ini telah dinyatakan sebagai daerah terlarang dan dilarang mengintip kemari, barang siapa berani melanggar dia harus mati"

"Itu berarti dua kaki di luar daerah ini bukanlah daerah terlarang.....?" seru Cia Siau giok.

"Dua kaki adalah batas sebelum pintu terbuka, sekarang pintu telah terbuka, berarti daerah lingkarannya pun turut bertambah besar, semua daerah yang dapat melihat keadaan didalam pintu merupakan daerah terlarang"

"Maksudmu, setiap orang yang dapat melihat keadaan di dalam halaman itu harus mati?"

"Benar" Ka-Cu mengangguk, "ketika kau datang kemari, majikan telah berkata kepadaku, bila kau tidak memberitahukan kepada orang-orang maka kematian mereka merupakan keteledoranmu, kalau kau telah memberitahukan kepada mereka, maka kematian mereka merupakan kematian yang dicari sendiri!"

"Mereka bukan orang-orangku, mereka adalah anggota perkampungan Sin kiam san-ceng. Dalam perkampungan Sin kiam san ceng sebenarnya tidak terdapat orang-orang seperti mereka, kaulah yang membawa mereka datang."

"Aku adalah majikan dari perkampungan Sin kiam san ceng!"

"Sewaktu majikan masih ada, kau masih belum dapat terhitung sebagai majikan, sekalipun majikan tidak ada, kaupun hanya merupakan majikan dari perkampungan Sin kiam san ceng, bukan majikan dari Rumah penyimpan pedang, kau tidak berhak untuk mengurusi wilayah sekitar tempat ini..."

Mendadak Ting Peng merasa kejadian ini menarik sekali, tampaknya hubungan antara Cia Siau hong dengan Cia Siau giok sebagai ayah dan anak masih diikuti pula dengan suatu hubungan yang istimewa sekali.

Cia Siau giok memandang sekejap ke arah Ting Peng, dia merasa apa yang dikatakan sudah kelewat banyak, maka buru-buru katanya sambil tertawa. "Hubungan antara kami ayah dan anak memang agak renggang karena jarang berjumpa, ada banyak persoalan memang belum bisa dipahami, harap Ting toako jangan mentertawakannya!"

Ting Peng tertawa dan tidak banyak bicara. Cia Siau giok merasa sangat tak enak perasaannya, dia lantas memutar biji matanya sambil berkata lagi: "Kalau begitu apakah kamipun harus mati juga?"

"Soal ini masih belum tahu karena kalian sudah membuka pintu halaman, mati hidup kalian sudah tak dapat diputuskan oleh kami lagi."

"Siapa yang akan menentukannya?"

"Tentu saja keputusan akan datang dari dalam."

"Didalam sana masih ada orang?"

"Setelah kalian masuk ke dalam, maka kau akan tahu dengan sendirinya."

"Kalau kami tak ingin masuk?" tiba-tiba Ting Peng menyela.

Ka-cu menjadi tertegun, segera serunya. "Setelah pintu terbuka masa kalian tak akan masuk ke dalam."

"Bukan begitu, mungkin kami hanya ingin menyaksikan pemandangan didalam saja, sekarang pintu telah terbuka, isinya cuma dua buah kuburan dan suasana yang porak poranda, sedikitpun tidak menarik hati, maka aku jadi tak ingin masuk ke dalam, kecuali aku tahu kalau Cia Siau hong berada didalam."

"Soal itu kami tak mau mengurusinya, kami hanya tahu setelah pintu kalian buka maka kalianpun harus masuk ke dalam, kalau tak ingin masuk maka kalian harus mati di luar."

Ting Peng segera tertawa dingin. "Sebenarnya aku bermaksud hendak masuk ke dalam, tapi setelah mendengar perkataan-mu itu, aku jadi tak ingin masuk ke dalam."

Ka-cu tidak menjawab, dia menggunakan gerakan sebagai jawaban, ke empat orang itu segera mengangkat pedangnya di depan dada dengan ujung pedang diluruskan ke depan sehingga membentuk posisi seperti kipas, pelan-pelan mereka bergerak maju ke depan.

Lingkaran kepungan makin lama makin menyempit, hawa pembunuhan yang terpancar keluar dari ujung pedang merekapun makin lama semakin bertambah tebal.

Paras muka Ting Peng turut berubah menjadi serius, dia tahu kalau barisan pedang yang dibentuk ke empat orang ini lihay sekali, bahkan memancarkan selapis tenaga tekanan tak berwujud yang sangat kuat, dimana hawa pedang itu memaksa orang untuk mau tak mau harus mundur, mundur terus sampai ke ujung pintu dan masuk ke balik halaman.

Paras Ah-ku pun berubah menjadi amat serius. Sepasang kepalannya digenggam kencang-kencang, agaknya dia bersiap sedia untuk menerjang keluar, tapi asa dia maju selangkah, tubuhpun segera didesak mundur kembali oleh hawa pedang yang dahsyat.

Ujung pedang yang berada di depan tubuhnya tadi tak mampu melukai tubuhnya, tapi hawa pedang yang tak berwujud sekarang telah mendesaknya untuk mundur ke belakang, dapat diketahui kalau hawa pedang yang dibentuk ke empat orang itu telah menciptakan selapis kabut pedang tak berwujud yang pelan-pelan menyusut ke depan.

Ah ku merasa agak tidak terima, kakinya maju selangkah sementara sepasang telapak kepalannya di genggam kencang-kencang, tampaknya dia telah bersiap sedia untuk menyambut serangan itu dengan kekerasan.

"Ah ku cepat ke belakangku!" tiba-tiba Ting Peng membentak nyaring.

Ah Ku memang sangat menuruti perintah Ting Peng, dia segera melompat mundur ke belakang. Dengan cepat Ting Peng telah maju dan menggantikan tempat kedudukannya, golok bulan sabitnya telah diangkat ke tengah udara. Hawa kekuatannya telah menggumpal menjadi satu dan bersiap-siap melancarkan sebuah bacokan maut yang maha dahsyat.

Ternyata kekuatan yang terpancar keluar dari ayunan goloknya itu sangat menggetarkan perasaan mereka berempat, dengan cepat ke empat orang itu menghentikan gerak majunya dan berubah menjadi sikap menempel satu sama lainnya. Sementara itu selisih jarak kedua belah pihak tinggal satu kaki.

Didalam udara yang cuma satu kaki luasnya itu justru terdapat dua gulung kekuatan dahsyat yang saling menggesek dan saling menerjang. Tiba-tiba berhembus lewat segulung angin membawa selembar daun kering, daun kering itu terjatuh ke tengah antara dua kekuatan itu, belum lagi daun itu mencapai tanah, tiba-tiba saja lenyap tak berbekas.

Dalam ruang kosong yang luasnya cuma satu kaki itu, seakan-akan terdapat beribu-ribu bilah pedang tajam, beribu-ribu bilah golok tajam yang berada dalam kendali beribu-ribu pasang tangan tak berwujud. Sekalipun yang terjatuh hanya sebutir kedelai yang kecilpun pasti akan hancur berkeping-keping dan musnah bila terjatuh ke sana.

Paras muka Cia Siau giok berubah menjadi pucat pias dan menyusut menjadi satu, namun sorot matanya memancarkan sinar kegembiraan. Napasnya memburu kencang, tapi separuh bagian dikarenakan kegembiraan, separuh lainnya karena takut. Hal apakah yang membuatnya merasa begitu gembira.

Ah Ku juga menampilkan perasaan tegang yang belum pernah dijumpai sebelumnya, walaupun ia tidak dapat berbicara, tapi mulutnya justru tak dapat merapat, seakan-akan seperti mau menjerit. Tiada orang persilatan yang pernah berjumpa dengan Ah-Ku.

Tapi sekalipun orang yang baru saja berjumpa dengan Ah Ku juga dapat melihat kalau dia adalah seorang jago lihay yang berilmu sangat tinggi. Dihari-hari biasa dia selalu bersikap dingin, kaku dan tak berperasaan, seakan-akan tiada persoalan yang akan membuatnya terpengaruh oleh emosi.

Tapi sekarang, ia telah berubah menjadi begitu tegang, oleh sikap kaku yang menyelimuti kedua belah pihak. Dari sini dapat diketahui kalau Ting Peng dan ke empat orang budak pedang itu sudah saling berhadapan dengan sikap siap tempur. Walaupun senjata tak pernah saling bertemu.

Dalam kenyataan mereka sudah melangsungkan suatu pertarungan yang amat sengit. Bentrokan yang tak bermata dan tak ber wujud, sekilas pandangan nampaknya biasa dan tenang. Tapi bentrokan tetap merupakan bentrokan, dalam suatu bentrokan harus ada suatu penyelesaian. Suatu bentrokanpun harus berakhir menang atau kalah? Hidup atau mati?

Bentrokan antara Ting peng dan budak-budak pedang itu nampaknya hanya mati dan hidup yang dapat mengakhirinya, inilah perasaan bersama yang dirasakan setiap orang termasuk kedua belah pihak, tapi siapakah yang hidup dan siapakah yang mati? Perasaan dan pandangan setiap orang adalah berbeda.

Dengan cepatnya menang kalah dapat dilihat, karena bercampur tiba-tiba ke empat orang budak pedang itu maju selangkah lagi ke depan. Jarak diantara kedua belah pihak cuma satu kaki, setelah maju selangkah berarti jaraknya lebih pendek berapa depa, tapi masih belum mencapai suatu jarak dimana senjata masing-masing dapat saling membentur.

Tapi berbicara dari keadaan situasi semenjak kedua belah pihak saling bertahan, satu depa sejak kemungkinan besar dapat menentukan mati hidup masing-masing pihak. Kalau sudah terjadi terjangan secara nekad, biasanya suasana pasti akan bertambah menegang, mati hidup dapat diketahui, tapi kenyataannya tidak.

Karena Ting Peng mundur selangkah lagi, dia juga mundur sejauh satu depa. Dengan begitu jarak kedua belah pihak masih tetap satu kaki. Paras muka Ka-cu berubah sangat aneh, dia nampak tegang, sedang Ting Peng masih tetap tenang.

Biasanya orang yang dapat memaksakan suatu posisi yang lebih dekat, seharusnya pihaknya yang menang, tapi mengapa paras muka Ka-cu justru malah nampak sangat tegang?

Sekali lagi kawanan budak pedang maju ke depan, sedang Ting Peng mundur lagi ke belakang. Selangkah, dua langkah, tiga langkah, empat langkah.

Terpaksa Cia Siau giok dan Ah-Ku turut mundur pula kebelakang. Akhirnya mereka telah mengundurkan diri ke balik pintu.

"Blaamm!" pintu itu menutup kembali.

Suasana tegang telah berakhir, tampaknya Ting Peng yang kalah. Ting Peng telah menarik kembali goloknya, dia masih nampak amat tenang, seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu peristiwapun.

Sebaliknya Ka-cu berempat seakan-akan baru sembuh dari suatu penyakit yang amat parah, hampir saja mereka kehabisan tenaga. Seperti juga baru ditarik dari dalam sungai, seluruh badan mereka basah kuyup oleh keringat.

Ka-cu adalah satu-satunya orang yang masih mampu bertahan diri, dia segera menjura dengan wajah penuh rasa terima kasih.

"Terima kasih Ting kongcu!"

"Tidak mengapa" jawab Ting Peng sambil tersenyum. "kalianlah yang telah memaksa aku masuk ke dalam!"

"Tidak!" ucap Ka-cu dengan wajah serius, "dalam hati kami tahu dengan jelas, seandainya hawa golok Ting Kongcu dilepaskan kami pasti tak akan lolos!"

"Apakah kalian bertekad untuk memaksaku masuk?"

"Benar, kalau kami gagal untuk memaksa Ting Kongcu masuk, terpaksa kami harus menggunakan nyawa kami menebus kesalahan ini."

Ting Peng segera tertawa. "Nah, itulah dia, sebenarnya aku memang ingin masuk, tapi tak ingin masuk karena dipaksa orang, seandainya kalian mempersilahkan aku masuk secara baik-baik, sedari tadi aku sudah masuk."

Ka-cu termenung beberapa saat lamanya kemudian baru berkata lagi. "Bila Ting kongcu bersikap keras tak mau masuk, terpaksa kami harus mati. Bagaimanapun juga, kami tetap berterima kasih kepadamu."

Sekalipun mereka adalah budak-budak pedang yang tak punya nama, tapi kedisiplinannya jauh lebih mengagumkan dari pada sekawanan jago kenamaan lainnya, mereka lebih mengerti membedakan mana budi dan mana dendam.

Tampaknya Ting Pang tak ingin menerima kebaikannya itu sambil tertawa katanya: "Aku sendiripun tak ingin dipaksa masuk oleh kalian dalam keadaan seperti ini, tapi kalau aku ingin masuk kemari dengan leluasa, tampaknya aku harus mengeluarkan jurus golokku, untuk membinasakan kalian lebih dahulu"

Ka-cu tidak menyangkal akan perkataan itu, ujarnya dengan sikap sangat menghormat: "Bila jurus serangan kongcu dilancarkan, sudah pasti kami akan mati di tanganmu!"

"Tentang hal ini aku lebih jelas daripada kalian. Cuma aku masih tak ingin turun tangan gara-gara kalian, aku datang kemari untuk menantang Cia Siau hong berduel, kalian bukan Cia Siau hong!"

"Bagus sekali! Bagus sekali! Golok iblis begitu dilepas, darah segar tentu akan berceceran, kau sudah dapat mengendalikan diri untuk melancarkan serangan, tampaknya sudah hampir melepaskan diri dari napsu iblis yang mencekam dalam tubuh manusia, sahabat kecil, silahkan kemari untuk berbincang-bincang."

Suara dari seorang kakek berkumandang keluar dari balik gubuk tak jauh dari sana.

Ka-cu sekalian berempat bersikap menghormat sekali terhadap suara itu, buru-buru mereka membungkukkan badannya dengan kepala tertunduk.

Ting Peng berpaling ke arah Cia Siau giok dengan sorot mata bertanya, dia ingin membuktikan apakah orang yang berbicara itu Cia Siau hong atau bukan. Ia mendapatkan bukti tersebut dari sorot mata Cia Siau giok, tapi juga menyaksikan setitik perasaan takut, ia menjadi keheranan Cia Siau hong adalah ayahnya, seorang putri yang berjumpa dengan ayahnya mengapa harus menunjukkan rasa takut?

Cuma Ting Peng tidak berpikir sebanyak itu, dia datang untuk mencari Cia Siau hong dan sekarang orang yang dicari telah ditemukan, maka sambil membopong goloknya dengan langkah lebar ia menuju ke rumah gubuk itu.

Cia Siau giok ragu-ragu sebentar, baru saja akan ikut maju, suara dari Cia Siau-hong telah berkumandang lagi:

"Siau giok, kau tetap tinggal di situ, biarkan dia masuk sendirian!"

Perkataan itu seakan-akan mempunyai wibawa yang amat besar, Cia Siau giok segera berhenti. Ah Ku ingin turut ke depan, tapi Ting Peng telah mengulapkan tangannya suruh dia tetap tinggal di sana.

Cia Siau hong tidak menyuruh Ah Ku tetap tinggal di sana, tapi dia justru mengatakan minta Ting Peng masuk sendirian, entah mengapa ucapan tersebut nyatanya mendapatkan pengaruh besar baginya sehingga diapun suruh Ah Ku tetap tinggal di sana, mungkin hal ini sebagai pertanyaan suatu perasaan adil saja. Kalau toh Cia Siau hong menyuruh putrinya tetap tinggal di depan, mengapa dia harus membawa pembantu?

RUMAH PENYIMPAN PEDANG

TEMPAT itu benar-benar merupakan sebuah rumah gubuk yang sangat jelek tiada sesuatu bendapun dalam ruangan tersebut kecuali dua buah kasur duduk. Kasur tempat duduk itu diletakkan saling berhadapan, yang satu diduduki oleh seorang kakek berbaju abu-abu sedang yang lain tentunya disediakan bagi Ting Peng!

Akhirnya Ting Peng berhasil menjumpai manusia berwatak aneh yang nama besarnya menggetarkan seluruh kolong langit itu, dia sendiri tak dapat melukiskan bagaimanakah perasaannya waktu itu. Bila berhadapan dengan seseorang yang hendak ditantangnya untuk berduel biasanya api semangat pasti akan berkobar di dalam dadanya, kobaran semangat untuk bertempur.

Tapi Ting Peng tidak merasakan hal itu. Berhadapan muka dengan jago-jago pedang nomor wahid dikolong langit ini, semestinya orang akan merasa amat gembira dan kagum. Tapi Ting Peng juga tidak merasakannya. Kalau didengar dari suaranya Cia Siau hong tentu sudah amat tua.

Berbicara soal umur seharusnya Cia Siau hong baru berusia lima puluh tahun lebih, enam puluh tahun kurang, bagi seseorang jago persilatan, usia tersebut belum terhitung tua. Tapi setelah berjumpa dengan Cia Siau hong pribadi, bahkan dia sendiri pun tak bisa menilai apakah dia tua muda atau setengah umur. Kesan yang tertanam dalam hati Ting Peng terhadap Cia Siau hong, adalah Cia Siau hong.

Ia sudah banyak mendengar tentang Cia Siau hong sebelum bertemu dengan Cia Siau hong, ia sudah menciptakan sendiri raut wajah Cia Siau hong didalam benaknya, ternyata apa yang tertera di depan matanya sekarang hampir serupa dengan bayangan yang diperolehnya dulu.

Dengan pandangan yang pertama, dia mengira Cia Siau hong adalah seorang kakek. Sebab suaranya kedengaran begitu tua, mengenakan jubah berwarna abu-abu dan duduk di atas kasur duduk persis seperti seorang pertapa tua...

Sorot mata yang pertama dilihat Ting Peng juga sorot mata yang begitu lelah, bosan terhadap kehidupan, sorot mata yang hanya dijumpai dalam tubuh seorang kakek lanjut usia. Tapi setelah diperhatikan secara seksama, dia baru mengetahui kalau Cia Siau hong belum tua, rambutnya cuma berapa lembar yang memutih, lainnya tak berbeda dengan rambut sendiri.

Di atas wajahnya tidak nampak kerutan, kulitnya halus dan berkilat. Raut wajahnya terhitung amat tampan, dia memang cukup pantas disebut lelaki tampan, tak heran kalau semasa mudanya dulu bisa begitu romantis. Dengan wajahnya sekarang, asal dia mau mungkin masih banyak perempuan yang bakal tergila-gila kepadanya.

Cia Siau-hong hanya memperhatikan Ting Peng sekejap, kemudian dengan amat tenang dan halus dia berkata: "Silahkan duduk, maaf tempat ini hanya sebuah gubuk reyot!"

Walaupun dalam sebuah gubuk reyot dengan tempat duduk tumpukan jerami, tapi mempersilahkan tamunya duduk di hadapan tuan rumah, hal ini menunjukkan kalau Cia Siau hong telah menganggap Ting Peng sebagai setingkat dan sederajat. Hal mana sudah merupakan suatu kehormatan yang sangat besar. Orang yang berhak duduk dalam tingkatan seperti ini, rasanya cuma berapa gelintir manusia saja.

Seandainya berganti dulu, Ting Peng pasti akan merasa rikuh atau tidak tenang, tapi sekarang dia mempunyai ambisi yang besar dan dia menganggap kecuali dia, sudah tiada orang yang pantas duduk setingkat dengan leluasa sekali. Cia Siau hong, itulah sebabnya dia duduk dengan leluasa sekali.

Cia Siau hong memandang lagi ke arahnya dengan sorot mata kagum, katanya. "Bagus sekali, anak muda memang seharusnya demikian, harus menganggap tinggi diri sendiri, membawa jalan pemikirannya menuju ke dalam pikiran yang tinggi pula, dengan begitu barulah berharga kehidupan di dunia ini"

Ucapan tersebut mirip suatu pujian, tapi nadanya seperti seorang locianpwe yang memberi nasehat kepada angkatan muda, ternyata Ting Peng menerimanya. Didalam kenyataan Ting Peng memang seharusnya menerimanya sebab Cia Siau hong memang angkatan tuanya. Sekalipun sebentar lagi dia bisa mengalahkan Cia Siau hong, toh kenyataan tersebut tak mungkin bisa dirubah.

Cia Siau hong memandangnya lagi dengan sorot mata kagum: "Aku tahu kau bukan seorang yang suka banyak berbicara"

"Yaa, aku bukan"

"Dulu, akupun bukan!" Cia Siau-hong tertawa. "Tiba-tiba nada suaranya berubah menjadi sedih dan agak murung, lanjutnya: "Tapi sekarang aku telah berubah banyak bicara, mungkin aku sudah mulai tua!"

Orang yang umurnya semakin bertambah, kata-kata yang diucapkan pun akan semakin bertambah banyak, berubah menjadi cerewet, tapi Cia Siau hong tampaknya tidak mirip. Ting Peng tidak bermaksud untuk menimbrung, maka Cia Siau hong melanjutkan kembali kata-katanya:

"Cuma, akupun berubah menjadi banyak mulut hanya selama berada di sini, bila tiada orang, seringkali aku bergumam membicarakan banyak hal untuk diriku sendiri, tahukah kau apa sebabnya?"

"Aku tak suka menebak!"

Ucapan ini tidak sopan, tapi Cia Siau-hong pun tidak marah, malahan katanya sambil tertawa terkekeh: "Benar, anak muda memang harus berbicara langsung dan terus terang, hanya orang yang berusia lanjut saja yang suka berbicara berputar-putar, hanya untuk mengucapkan sepatah kata yang sederhana saja, dia harus mengucapkan segudang perkataan lebih dulu"

Mungkinkah hal ini dikarenakan orang yang sudah berusia lanjut sudah merasa kalau kehidupannya tak akan lama lagi, maka mumpung ada kesempatan berbicara sebanyak-banyaknya, mungkin di kemudian hari tak dapat berbicara lagi?

Tapi dalam usia seperti Ting Peng, tak mungkin dia akan mempunyai perasaan seperti ini. Hanya saja pertanyaan yang diutarakan Cia Siau hong masih saja urusan tetek bengek. Mengapa seorang jago pedang nomor wahid dikolong langit bisa berubah menjadi cerewet amat? Mengapa dia hanya berbuat begitu selama berada di sini?

Walaupun Ting Peng tak ingin menebaknya tapi tak tahan juga untuk mencari jawaban tersebut dengan mempergunakan semua kemampuan yang dimilikinya. Maka sepasang matanya mulai celingukan mencari ke sana kemari, tempat ini memang suatu tempat yang sangat tidak menyenangkan. Porak poranda, sepi, kotor, suram dan di mana-mana hanya ada hawa kematian, tiada setitik hawa kehidupanpun.

Jagoan bersemangat dari manapun, asal sudah mengendon kelewat lama di situ, dia pasti akan berubah menjadi murung. Tapi, hal ini sudah pasti bukan menjadi alasan bagi Cia Siau hong hingga berubah demikian.

Seseorang yang mempunyai kepandaian yang amat dalam terhadap ilmu pedang, dia sudah memiliki kemampuan yang melebihi siapapun dan tak akan terpengaruh oleh pengaruh macam apapun.

Maka Ting Peng tidak berhasil menemukan jawabannya. Untung saja Cia Siau hong tidak menyuruhnya menduga-duga terlalu lama, dengan cepat dia mengutarakan sendiri jawabannya.

"Karena di tanganku sudah tak berpedang!"

Pada hakekatnya jawaban tersebut tidak mirip sebagai suatu jawaban. Tangannya tanpa pedang, apa pula hubungannya dengan perasaan didalam hati?

Orang yang bernyali kecil mungkin saja menggunakan senjata untuk memperbesar keberaniannya, tetapi apakah Cia Siau hongpun seseorang yang menjadi berani karena mengandalkan pedangnya?

Namun Ting Peng seolah-olah menerima jawaban tersebut. Paling tidak dia memahami maksud dibalik ucapan tersebut. Cia Siau hong adalah seorang jago pedang yang kesempurnaannya sudah mencapai pada puncaknya, kehidupannya sudah habis oleh pedang, pedang sudah merupakan jiwanya, sukmanya. Ditangan tanpa pedang sama artinya dengan ia sudah tak berjiwa, tak bernyawa lagi.

Kalau Cia Siau hong telah menghilangkan pedang yang sudah merupakan jiwanya itu maka yang tersisa hanyalah seorang kakek yang biasa dan lemah. Dari mimik wajah Ting Peng, Cia Siau hong sudah tahu kalau pemuda tersebut telah memahami perkataannya, maka dia menjadi gembira sekali.

"Kita dapat melanjutkan perbincangan itu, kalau tidak, kau tak akan merasa tertarik oleh perbincanganku selanjutnya!"

Ting Peng merasa agak terharu, perkataan dari Cia Siau hong tak lain menunjukkan kalau dia adalah orang yang mencocoki perasaannya. Orang yang bisa di anggap sebagai teman karib merupakan suatu kejadian yang pantas digirangkan, tapi orang yang bisa di anggap Cia Siau hong sebagai teman karib apakah cuma melambangkan kegembiraan belaka?

"Dalam kenyataan aku sudah dua puluh tahun lamanya tak pernah membawa pedang lagi, pedang mestika yang dimiliki perkampungan Sin kiam san ceng pun sudah ku buang ke dasar sungai."

Ting Peng mengetahui akan hal ini. Peristiwa tersebut terjadi setelah pertempuran antara Cia Siau hong melawan Yan Cap sa. Setelah memutar otak dengan susah payah akhirnya Yan Cap sa berhasrat menciptakan jurus yang kelima belas, suatu jurus serangan yang tak ada taranya di dunia ini.

Dengan jurus serangan itu, dia berhasil mengalahkan Cia Siau hong yang tiada tandingannya, tapi yang mati akhirnya justru Yan Cap sa sendiri, dialah yang telah menghabisi nyawa sendiri dengan tujuan untuk melenyapkan jurus serangan yang teramat keji tersebut.

Suara dari Cia Siau hong amat tenang, kembali dia berkata: "Walaupun pedang mestika telah tenggelam, namun nama Sin kiam san ceng masih tetap utuh, hal itu dikarenakan aku masih hidup, mengertikah kau...?"

Ting Peng manggut-manggut. Bila ilmu pedang seseorang telah berhasil mencapai suatu taraf yang luar biasa, tanpa pedang di tanganpun dia masih bisa menggunakan benda yang lain sebagai penggantinya, seperti sebatang ranting, sebuah kayu atau bahkan sebuah jarum pun. Pedang itu sudah bukan berada di tangannya, melainkan didalam hati pedang tersebut sudah tak terlihat lagi dengan mata.

Perkataan Cia Siau hong sudah teramat sulit untuk dipahami tapi Ting Peng justru telah mencapai tingkatan tersebut, oleh karena itu dia mengerti. Namun kata Cia Siau hong berikutnya justru semakin sulit untuk dipahami lagi.

"Dalam tanganku sudah tidak berpedang lagi "

Sekalipun mengulangi kata yang terdahulu namun maknanya sekarang sudah jauh lebih dalam lagi.

"Kenapa?" Ting Peng segera bertanya.

Pertanyaan inipun merupakan suatu pertanyaan yang bodoh, pertanyaan yang tak akan dipahami oleh siapapun. Tapi Ting Peng telah mengutarakannya keluar, diutarakan dalam keadaan dan situasi seperti ini, dan hanya ditanya oleh Ting Peng saja karena dia harus memahami dahulu apa yang dikatakan Cia Siau hong tadi.

Sebenarnya Ting Peng enggan mengajukan pertanyaan itu, dia tahu hal mana pasti menyangkut rahasia orang lain. Diluar dugaan Cia Siau hong telah memberikan jawabannya. Dia menuding kedua buah kuburan di depan gubuk.

Kuburan itu berada di halaman, begitu masuk ke dalam pintu sudah dapat dilihat. Andaikata terdapat sesuatu yang istimewa, seharusnya Ting Peng telah menemukannya sedari tadi, buat apa Cia Siau hong memberi petunjuk lagi kepadanya?

Tapi setelah ditunjuk Cia Siau hong, Ting Peng baru tahu kalau jawaban tersebut harus dicari dari tempat itu. Kuburan itu adalah kuburan yang amat sederhana, tempat untuk mengubur orang mati. Seandainya tempat itu terdapat sesuatu keistimewaan, maka keistimewaannya adalah bisa dipakai untuk mengubur orang mati.

kuburan di halaman tersebut adalah kuburan tanpa batu nisan, hanya terdapat dua buah papan nama kecil tergantung didalam gubuk. Yang berada di sebelah kiri bertuliskan:

"Tempat bersemayan sahabat karibku Yan Cap sa!" Sedangkan yang berada di sebelah kanan bertuliskan: "Tempat bersemayan istriku Buyung Ciu ti!"

Ternyata dua orang itulah yang dikubur di sana. Yan Cap sa adalah orang yang telah mengalahkannya. Buyung Ciu ti adalah istrinya, juga merupakan musuh besarnya selama hidup, selama ini entah berapa banyak cara dan tipu muslihat yang telah dipergunakan olehnya untuk membinasakan Cia Siau hong. Walaupun kedua orang itu sudah tiada namun Cia Siau hong tak pernah melupakan mereka.

Maka Cia Siau hong berkata, kalau ditempat ini dalam tangannya tiada pedang. Sekalipun Cia Siau hong tiada tandingannya dikolong langit, tapi ia pernah dikalahkan oleh kedua orang ini. Yan Cap sa pernah mengalahkannya sekali, hal mana membuatnya tak pernah bisa merobah kembali keadaan tersebut.

Buyung Ciu ti entah sudah berapa kali mengalahkan dia. Oleh karena Cia Siau hong telah menamakan tempat ini sebagai Rumah penyimpan pedang. Bagaimanapun tajamnya pedang yang dimiliki, tapi setelah berada di sana akan berubah menjadi tak tajam lagi. Bagaimanapun cemerlangnya nama besar Cia Siau hong selama ini, namun berada di hadapan kedua orang itu dia selamanya merupakan seorang yang kalah.

Tanpa terasa timbul perasaan kagum dalam hati Ting Peng terhadap orang tua itu. Kedua orang itu sudah mati, tapi Cia Siau hong justru membangun tempat seperti ini untuk merangsang diri. Apakah yang menjadi tujuan?

Yan Cap sa dan Buyung Ciu ti bukannya seseorang yang pantas untuk dihormati. Cia Siau-hong mengubur mereka di sini bukanlah dikarenakan dia ingin selalu memperingati mereka. Lantas apakah tujuannya?

Kali ini Ting peng tidak bertanya mengapa, dia tak perlu bertanya, agaknya dia sudah mengetahui jawabannya. Setelah termenung lama, lama sekali, pelan-pelan Ting Peng bangkit berdiri. "Kedatanganku kali ini adalah mencari cianpwe untuk berduel!"

Nada ucapannya sangat menaruh hormat. Cia Siau-hong manggut-manggut: "Aku tahu, sudah lama sekali tiada orang yang datang mencariku untuk berduel"

"Aku bukan bertujuan untuk mencari nama, aku benar-benar ingin mencari cianpwe untuk beradu kepandaian!"

"Aku mengerti, belakangan ini kau sudah menjadi seorang yang sangat ternama!"

"Dengan kepandaian yang kumiliki dalam ilmu golok, aku rasa mana dapat menandingi kepandaian pedang dari cianpwe!"

"Kau kelewat sungkan, kau sepantasnya mengatakan kalau kau dapat mengalahkan diriku!"

"Tapi sekarang aku tak sanggup untuk mencabut golokku terhadap cianpwe lagi"

"Karena saat ini aku tak berpedang?"

"Bukan, saat ini siapa pun dapat turun tangan membunuh cianpwe!"

"Benar itulah sebabnya aku harus mempersiapkan penjagaan yang ketat di luar pintu dan melarang siapapun masuk kemari, sebab selama berada di sini aku hanyalah seorang kakek lemah yang tak berkemampuan apa- apa."

"Tapi aku tahu, setelah keluar dari sini sudah pasti aku bukan tandingan dari cianpwe!"

"Aaaah, itupun belum tentu, menang kalah sukar untuk dibicarakan terlalu awal."

"Aku sudah kalah..." kata Ting Peng kemudian sambil menjura, "Maaf bila kuganggu ketenangan cianpwe, dan terima kasih atas petunjuk dari cianpwe..."

Ternyata Cia Siau hong tidak bermaksud untuk menahannya di sana, hanya tanyanya: "Berapa usiamu tahun ini?"

"Dua puluh delapan tahun!"

Cia Siau hong segera tertawa. "Kau masih sangat muda, tahun ini aku telah berusia lima puluh tahun, rumah penyimpan pedang ini baru kudirikan, kau sudah terlambat delapan belas tahun dibandingkan dengan aku."

"Apakah cianpwe sudah sepuluh tahun berada di sini"

"Tidak! Waktuku berada di sini tidak terlalu lama, aku masih sering berjalan-jalan di luar, kebiasaanku seperti itu tak pernah bisa dirubah lagi, kau lebih bahagia daripada diriku!"

"Aku lebih bahagia daripada cianpwe?"

"Benar, aku selalu berada dalam keberhasilan dan kesuksesan, oleh karena itu sudah terlalu lambat bagiku untuk merasakan kekalahan. Sebaliknya kau sejak mulai sudah merasakan pelbagai penderitaan dan kekalahan, itulah sebabnya kemajuan yang akan kau capai di kemudian hari sukar untuk dikatakan!"

Ting Peng termenung sambil berpikir sebentar, kemudian katanya kembali. "Di kemudian hari, aku berharap masih mempunyai kesempatan untuk melangsungkan duelku dengan locianpwe!"

"Tentu, tentu, setiap saat aku akan menyambut kedatanganmu dengan senang hati, tapi di kemudian hari pun paling baik kalau kita masih berjumpa lagi ditempat ini"

"Mengapa?"

"Kau sudah pernah masuk kemari" maka rumah penyimpan pedang ini sudah tak bisa di anggap sebagai tempat terlarang lagi"

"Aku merasa menyesal sekali atas terjadinya peristiwa semacam ini..."

"Tak perlu menyesal, sewaktu kau datang, tempat ini masih merupakan rumah penyimpan pedang, karena tempat ini hanya diketahui oleh kau dan aku, mengerti?"

Ting Peng segera tertawa. "Aku mengerti, Aku pasti akan mengingat selalu perkataanmu itu dan tak akan memberitahukan kepada siapa saja!"

"Terutama terhadap putriku!"

Ting Peng tertegun, tiba-tiba tanyanya: "Sebenarnya dia putri cianpwe atau bukan?"

"Benar!"

Ting Peng tidak berbicara lagi, dengan langkah lebar dia keluar dari situ.

TEMPAT PEMONDOKAN

TATKALA Ting Peng hendak meninggalkan Rumah penyimpan pedang, tak tahan dia berpaling dan memperhatikan kembali kedua buah kuburan serta rumah gubuk itu sekejap, hatinya penuh dengan perasaan kagum.

Yang paling mengagumkan adalah kemampuan Cia Siau hong berpedang. Sewaktu berada di depan pintu, bila telah mendengar tentang pemimpin enam partai besar membicarakan soal golok.

Enam partai besar merupakan partai paling berkuasa dalam dunia persilatan dewasa ini, pemimpin mereka tak lebih adalah manusia-manusia yang berkepandaian silat paling tinggi dalam dunia persilatan.

Orang yang berilmu silat paling tinggi dalam dunia persilatan bukan berarti paling tinggi ilmu silatnya dikolong langit, dalam hal ini tentu saja merekapun mengakuinya maka dari itu mereka datang ke perkampungan Sin kiam san ceng dan satu persatu bertekuk lutut, bahkan terhadap sindiran dan cemoohan Cia Siau giok, terhadap merekapun hanya disambut dan diterima tanpa membantah.

Mereka beranggapan golok Ting Peng sudah mencapai tingkatan manusia mengendalikan golok, itu berarti sudah tiada tandingannya di dunia ini. Pendapat semacam itu sesungguhnya tak dapat dikatakan sebagai suatu pandangan yang keliru. Cuma saja mereka belum tahu kalau masih ada tingkatan yang lebih tinggi lagi. Yakni tingkatan yang sedang dicapai oleh Cia Siau hong pada saat ini.

Cia Siau hong adalah seorang jago pedang, sudah barang tentu tingkatan yang di capai pun tingkatan di ujung pedang. Pedang merupakan senjata, golokpun merupakan senjata. Bila ilmu silat telah mencapai tingkatan yang paling tinggi, antara golok dan pedang sudah tiada perbedaannya lagi, hanya berbeda dalam pelaksananya belaka.

Tingkatan yang dicapai Ting Peng hanyalah Golok adalah manusia, manusia tetap manusia. Golok diperbudak manusia, manusia merupakan jiwa dari golok. Itulah ciri khas seorang jagoan yang amat lihay. Tapi bagaimana dengan Cia Siau hong?

Sejak kapankah dia telah mencapai tingkatan semacam itu? Tiada orang yang tahu, tapi sejak sepuluh tahun berselang ia telah berhasil melampaui tingkatan tersebut dan hal mana sudah merupakan suatu kepastian. Karena dia telah membangunkan rumah penyimpanan pedang.

Didalam rumah penyimpanan pedang ini, dia sedang mengejar tingkatan yang lain, tingkatan paling tinggi yang disebut Huan Phu kui tin, suatu tingkatan yang paling hebat namun justru akan membawa dirinya menuju ke taraf kesederhanaan dan kebiasaan.

Tingkatan tersebut merupakan tingkatan "pedang adalah pedang, aku adalah aku. pedang bukan pedang, aku bukan aku". Suatu tingkatan yang betul-betul maha luar biasa.

Sekarang Ting Peng masih belum bisa meninggalkan goloknya, sebilah golok lengkung berbentuk bulan sabit. Di atas golok itu terukir kata-kata: "Siau lo it ya teng cun hi"

Golok iblis yang membuat setanpun menjadi pusing. Tanpa golok ini, mungkin Ting Ping sudah bukan Ting Peng yang dulu, tapi jelas tak mungkin akan menjadi Ting Peng sekarang. Antara manusia dan golok masih belum dapat dipisah-pisahkan.

Di tangan Cia Siau hong pun sebenarnya terdapat sebilah pedang mestika. Tapi semenjak sepuluh tahun berselang, dia sudah menyimpan pedangnya dirumah, dia telah melepaskan pedang mestikanya itu.

Sekarang dia belum berhasil mencapai tingkat yang paling tinggi itu, maka dia harus berada didalam Rumah penyimpanan pedang untuk mencapai ke tingkatan seperti itu. Dalam rumah penyimpan pedang tiada sesuatu yang istimewa, hanya dua buah kuburan, tapi yang penting adalah makna kedua buah kuburan tersebut baginya. Ditempat lain diapun menyiapkan dua kuburan yang sama tapi apakah dapat memberikan makna yang sama pula?

Ting Peng tidak bertanya, dia percaya sekalipun ditanyakan, Cia Siau hong juga tak akan menjawabnya. Karena sekarang telah berada dalam tingkatan yang berbeda, semacam tingkatan yang sama sekali asing, masa mereka harus masuk ke dalam alam manusia sebelum mengerti apa yang sebenarnya mereka tuju.

Lagi pula, sekalipun ada seseorang yang masuk kedalamnya diapun tak dapat menceritakan apa yang dirasakan kepada orang lain, karena orang lain tidak mempunyai pengalaman dan perasaan seperti itu. Seperti misalnya ada seseorang telah memasuki sebuah kebun yang sangat indah, setelah keluar dari situ dia lantas menceritakan kepada rekan-rekannya bahwa bunga itu berwarna emas, buah berwarna tujuh warna.

Tapi rekannya itu adalah seorang yang buta sejak lahir, bagaimanapun juga mustahil dia bisa membayangkan apa yang diceritakan kepada dirinya itu. Bagi seseorang yang buta dia tidak mempunyai perasaan terhadap warna, mungkin dia dapat menggunakan bau bauan untuk membedakan aroma bunga dan buah, tapi dia tak dapat menikmati keindahannya lewat keindahan warnanya. Cuma Ting Peng masih teringat lagi dengan perkataan dari Cia Siau hong.

"Lain kali jika kau datang kemari lagi, di sini sudah tiada rumah penyimpan pedang lagi"

Hal mana berarti Cia Siau hong sudah dapat keluar dari situ dan benar-benar melangkah masuk ke dalam suatu dunia baru. Dia sudah dapat memindahkan kedua buah kuburan tersebut ke dalam hatinya, sudah dapat menjadikan tempat manapun sebagai rumah penyimpan pedang.

Ting Peng mengetahui akan keadaan seperti ini tapi tidak tahu kapan baru bisa memasuki tingkatan seperti itu, tapi dia tahu bahwa dirinya masih kalah setingkat bila ditandingkan dengan Cia Siau hong. Oleh karena itulah baru tumbuh perasaan kagumnya terhadap Cia Siau hong.

Dengan kemampuan yang dimiliki Ting Peng sekarang, tentu saja hanya tingkatan yang dicapai Cia Siau hong saja yang dapat menimbulkan perasaan hormatnya.

Cia Siau Giok dan Ah Ku tidak menunggu ditempat semula. Ketika Ting Peng berjalan keluar, hanya empat budak pedang yang menunggu di depan pintu, lagi pula pintu tersebut sudah terbuka lebar.

Dengan tercengang Ting Peng segera bertanya. "Mengapa pintu ini terbuka?"

"Karena Ting kongcu telah menjumpai majikan didalam rumah dan sekarang telah berjalan keluar lagi" jawab Ka-cu dengan amat gembira.

Perkataan tersebut sesungguhnya tak bisa dianggap sebagai suatu jawaban, tapi juga hanya Ting Peng yang dapat memahaminya, maka diapun lantas manggut-manggut.

"Sudah tentu kami harus berterimakasih pula kepada Ting Kongcu" seru Ka-cu lagi gembira.

"Berterima kasih kepadaku? Apa sangkut pautnya dengan diriku?"

"Ting Kongculah yang telah membantu majikan untuk keluar dari Rumah penyimpan pedang ini!"

"Aku telah membantu majikan kalian? Apakah kau tidak salah?"

"Tak bakal salah, selama banyak tahun majikan selalu terkurung oleh sebuah pertanyaan, pertanyaan tersebut adalah jurus pedang tersebut, jurus pedang kelima belas dari Yan Cap sa"

"Aku mengetahui akan jurus itu, tapi bukankah jurus itu sudah berlalu"

"Yaa, sekarang memang sudah berlalu" jawab Ka-cu tertawa, "di hadapan Ting Kongcu hal tersebut memang bukan terhitung suatu persoalan penting"

"Aku sama sekali belum pernah menyaksikan jurus pedang itu" seru Ting Peng tercengang.

"Ting Kongcu telah menjumpainya, jurus serangan terakhir yang kami berempat pergunakan untuk memaksa Ting Kongcu masuk adalah menggunakan jurus serangan tersebut."

"Jurus itu?" Ting Peng tidak percaya.

"Benar, jurus pedang itu!"

"Dan jurus itupula yang telah mengalahkan pedang nomor wahid di kolong langit Cia Siau hong."

"Hmm, kemampuan kami tentu saja tak bisa dibandingkan dengan kemampuan dari Yan Cap sa dimasa lalu, tapi jurus pedang yang kami pergunakan adalah jurus pedang tersebut" Ka-cu tetap merendah.

"Tanpa kemampuan yang cukup, apakah jurus selama sepuluh tahun kami khusus hanya melatih diri dengan jurus tersebut tanpa terganggu oleh tugas lain, oleh karena itu secara dipaksakan masih dapat mempergunakannya, lagi pula bila jurus serangan itu dikembangkan maka sebenarnya sudah merupakan jurus serangan yang tiada tandingannya, tapi kami tetap tak mampu untuk membendung serangan golok sakti dari kongcu!"

Ting Peng segera membungkam. Jurus pedang bila sudah mencapai pada saat yang paling dahsyat maka hal ini sudah tiada sangkut pautnya lagi dengan soal kemampuan seseorang, jurus pedang tetap merupakan jurus pedang, dapat digunakan sekali berarti sudah mengembangkan seluruh intisarinya, bila meleset sedikit saja, maka hal ini tak bisa dianggap sebagai jurus.

Hanya jurus serangan lain yang lebih ganas lagi yang bisa mematahkan jurus serangan semacam itu, kecuali itu tiada cara kedua lagi. Teori tersebut sudah dapat dipahami oleh Ting Peng. Ketika dia menggunakan jurus Thian gwa liu seng untuk menjagoi dunia persilatan, dia sudah memahami teori tersebut.

Maka dia muncul ke dalam dunia persilatan dengan penuh perasaan percaya pada diri sendiri. Tapi ia telah bertemu dengan Liu Yok siong yang munafik, bertemu dengan Ko siau yang memuakkan. Suami istri itu berkomplot untuk membohongi jurus serangannya itu. Oleh karena itu sampai pada akhirnya Liu Yok siong baru dapat mematahkan jurus serangan itu.

Maka, kemudian dia baru membalas dendam dengan sekuat tenaga, membunuh perempuan yang bernama Ko siau, tapi tetap mengampuni nyawa Liu Yok siong.. Hal tersebut bukan dikarenakan Liu Yok siong mempunyai sesuatu keistimewaan, melainkan Liu Yok siong memang tidak pantas mati.

Liu Yok siong dapat menemukan titik kelemahan dari jurus serangan Thian gwa liu siang, hal ini membuktikan kalau jurus serangan tersebut bukanlah sebuah jurus serangan yang tiada tandingannya.

Terdengar Ka-cu kembali tertawa: "Selama ini majikan selalu terbenam dalam penyelidikannya soal pedang, walaupun dia telah mencapai puncak kesempurnaan namun tak pernah terlepas dari belenggu jurus pedang tersebut..."

Ting Peng memahami akan hal ini. Sejak Cia Siau hong mengurung diri di dalam rumah penyimpan pedang, seperti juga kaum pendeta yang menutup diri menghadap ke dinding, mereka berniat dan berusaha melepaskan diri dari semua beban pikiran. Begitu semua beban pikiran dapat dilepaskan, maka mereka akan berhasil mencapai suatu tingkatan yang berhasil.

Sejak Cia Siau hong mengurung diri di sana, dia tak pernah berhasil meloloskan diri dari tekanan jurus pedang itu, dia tak dapat mengendalikan diri terhadap jurus pedang itu. Tapi Ting Peng telah mematahkan jurus serangan tersebut, dengan cara memakai senjata tanpa mengucurkan darah, hal mana membuat Cia Siau hong segera menjadi paham kembali.

Itulah sebabnya ketika dia mengaku kalah kepada Cia Siau hong, namun Cia Siau hong tak mau menerimanya. Sebelum pertemuan ini, seandainya dia sampai berjumpa dengan Cia Siau hong, mungkin Cia Siau hong tak bisa kalah di tangannya, namun iapun tak bisa menangkan dia.

Bila sampai terjadi bentrokan, besar kemungkinan kedua belah pihak akan sama-sama terluka, atau sama-sama mengundurkan diri. Sebab bila pertarungan dilangsungkan dia pasti akan kalah, karena kepandaiannya terbatas, sedangkan Cia Siau hong sudah dapat melepaskan diri dari belakang.

Sekarang Ting Peng merasa gembira sekali, sebenarnya ia agak sedih tadi, namun sekarang setitik kesedihan pun sudah tak ada lagi.

"Bagaimanapun juga aku masih dapat menjadi jagoan yang tiada tandingannya dikolong langit!"

Kemudian sambil tertawa katanya pula kepada ke empat orang budak pedang itu. "Sejak kini dalam perkampungan Sin kiam san ceng sudah tidak terdapat rumah penyimpan pedang lagi."

"Ya, sudah tak ada, lagi pula tak perlu", sambung Ka-cu sambil tertawa.

"Kalian berempatpun tak usah berjaga di sini lagi."

Ka cu mengangguk. "Betul, bukan saja Ting kongcu telah membantu majikan, lagi pula malah membantu kami pula untuk melepaskan diri dari belenggu"

"Setelah ini apakah kalian berempat masih akan tetap tinggal di tempat ini."

Kembali Ka-cu tertawa. "Barusan nona Cia pun berharap kami bisa tinggal di sini, tapi kami telah menolaknya, perkampungan Sin kiam san ceng tidak cocok untuk kami"

"Tempat manakah baru cocok untuk kalian?"

"Banyak tempat cocok buat kami. Kalau dulu kami hidup demi pedang, dengan pedang melanjutkan hidup karena pedang dilahirkan, sekarang kami dapat melepaskan pedang, banyak persoalan dapat kami kerjakan lagi seperti misalnya aku suka menanam bunga, aku dapat menjadi tukang kebun Ih Ca suka memelihara ikan, dia bisa membuka peternakan ikan dan memusatkan pikirannya untuk memelihara ikan...."

"Kalianpun akan melepaskan pedang?"

"Benar! kamipun akan melepaskan pedang!"

"Tahukah kalian bila kalian tidak melepaskan pedang, dalam dunia persilatan kalian akan segera menikmati suatu masa yang cemerlang dan gemilang"

"Kami tahu, majikan pernah bilang, bila kami keluar dari sini, jarang ada orang di dunia persilatan yang mampu menandingi kami, kami akan segera menjadi jagoan nomor wahid di dunia."

"Apakah kalian tidak ingin?"

"Walaupun kami ingin sekali, tapi masih ada satu persoalan yang pelik, setelah menjadi jagoan nomor satu, maka kami tak akan mempunyai waktu untuk mengerjakan pekerjaan yang kami senangi."

"Ting Kongcu tentu dapat melihat, usia kami sudah tidak kecil lagi, bahkan boleh dibilang sudah mencapai setengah abad, kalau dalam separuh hidup kami yang lalu hidup untuk pedang, maka separuh hidup kami berikutnya tak boleh untuk pedang lagi, kami harus hidup untuk kami sendiri."

Ting Peng sudah menaruh perasaan kagum dan hormat terhadap ke empat orang itu, paling tidak mereka sudah dapat mengatasi soal nama dan keuntungan pribadi, itu berarti kehidupan mereka selanjutnya pasti akan merasa gembira sekali. Oleh karena itu, dia pun bertanya:

"Apakah kalian sudah mempunyai rencana terhadap kehidupan kalian selanjutnya?" Dia berpendapat Cia Siau hong pasti sudah mengaturkan segala sesuatunya untuk mereka.

Betul juga, sambil tertawa Ka-cu segera berkata: "Yaa sudah. Sewaktu majikan membangun rumah penyimpan pedang ini, ia telah memberi kami setiap orang lima laksa seribu dua ratus tahil perak sebagai uang pesangon"

"Hmm, suatu jumlah yang dapat membuat orang kaya baru..."

"Tapi itu juga bisa dipakai untuk biaya hidup setahun" kata Ka-cu sambil tertawa.

"Ini baru tahun pertama, sepuluh tahun berikutnya bukankah apa yang kalian peroleh akan mencapai suatu jumlah yang tak terhitung banyaknya..."

"Tidak, masih bisa terhitung, lagi pula dengan cepatnya dapat dihitung dengan jelas, karena kami hanya mempunyai sekeping, sekeping yang berbobot seratus tahil"

"Hanya sepotong seberat seratus tahil?" agaknya Ting Peng tidak habis mengerti.

"Betul, majikan memang seorang yang amat sosial..."

"Apakah otak kalian semua sudah mulai dihinggapi penyakit?"

"Tidak, kami semua sehat, bahkan otak kami pun jernih!"

"Kalau memang begitu otakku lah yang ada persoalannya" kata Ting-Peng sambil mengetuk kepala sendiri.

Ka-cu segera tertawa. "Benar Ting kongcu juga sehat, cuma kau tidak mengetahui perjanjian antara kami dengan majikan saja"

"Ooooh... bagaimanakah perjanjian kalian dengan majikan kalian itu....?"

"Perjanjian majikan dengan kami adalah bila setahun kami tinggal di sini lantas hendak pergi maka kami boleh membawa lima laksa seribu dua ratus tahil, bila berada di sini dua tahun, hanya boleh membawa dua laksa lima ribu enam ratus tahil begitu seterusnya, tiap tahun mendapat pengurangan sampai separuhnya, dan kini sudah mencapai sepuluh tahun, karena itu kami genap hanya memperoleh seratus tahil saja!"

"Waaaah... hitungan dari negara manakah itu..."

"Itulah perhitungan majikan untuk kami, kalau kami hanya tinggal setahun, itu berarti ilmu pedang kami belum seberapa, pikiran pun belum mantap, sebab itu kami butuh uang banyak untuk bisa menjamin suatu kehidupan yang tenteram. Kalau tidak sudah pasti kami akan menjadi pencoleng atau perampok untuk berjalan seorang dan memenuhi napsu angkara murka sendiri"

"Yaa, memang masuk diakal juga perkataan ini"

"Selamanya teori majikan memang betul", kata Ka-cu dengan sikap sangat menghormat.

Ting Peng tertawa. "Cuma andaikata aku datang beberapa tahun lebih lambat, bukankah kalian hanya akan memperoleh satu tahil perak saja....
Selanjutnya,
Golok Bulan Sabit Jilid 15