Golok Bulan Sabit Jilid 15 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Golok Bulan Sabit Jilid 15
Karya : Khu Lung
Penyadur : Tjan ID

Cerita silat Mandarin Karya Khu Lung
"BENAR, kalau kami bisa mengikuti majikan berapa tahun lagi, maka setahil perak pun tak akan kami peroleh. Tapi kami bisa melanjutkan hidup dengan penuh kebahagiaan"

"Kalau begitu kedatanganku bukankah kelewat awal?" ucap Ting Peng lagi, kali ini dia tidak tertawa.

Ka-cu segera menyahut sambil tertawa. "Dalam anggapan kami, meski kamipun berharap bisa mengikuti majikan selama beberapa tahun lagi, tapi kalau dipikir lebih jauh, asal kami bisa membantu majikan agar cepat-cepat terlepas dari rintangan tersebut pun rasanya pengorbanan kami juga cukup berharga"

"Haaaahhh... haaaahhh... haaahhhh... benar, memang berharga, memang sangat berharga"

Sekalipun balas jasa yang mereka peroleh makin lama semakin berkurang, namun keuntungan yang berhasil mereka raih, justru tambah tahun tambah besar. Melepaskan kedudukannya sebagai budak, malah mereka anggap sebagai suatu pengorbanan."

Setiap orang mengira mereka adalah sepasang manusia tolol, hanya mereka sendiri yang tahu, kalau mereka bukan, tentu saja Ting Peng juga memahami akan hal ini. Itulah sebabnya mereka baru dapat tertawa dengan begitu riang gembira.
Setelah tertawa, Ting Peng baru berkata: "Andaikata kalian merasa uang yang di peroleh tidak cukup...."

"Ooh, tidak! tidak! Kami merasa cukup sekali" buru-buru Ka-cu berseru. "Toh apa keinginan kami sederhana sekali, dan lagi gampang mencapai kepuasan, lagi pula selama sepuluh tahun ini kami sudah terbiasa hidup bekerja, maka setelah keluar dari sini, bukan saja seratus tahil perak itu tak akan habis terpakai, mungkin setelah tiga lima tahun lagi, kami masih bisa untung seratus tahil perak lebih"

Tanpa terasa Ting Peng memperlihatkan sikap kagumnya, dia cukup mengerti nilai dari orang-orang persilatan diluaran. Seorang jagoan pedang kelas lima, saat dia bersedia menjual nyawa, entah jadi pelayan atau tukang pukul paling tidak dalam sebulan dia dapat meraih seratus tahil perak.

Sedang ke empat orang ini boleh dibilang sudah merupakan jagoan pedang kelas satu, tapi mereka harus membutuhkan waktu selama tiga sampai lima tahun untuk menarik keuntungan seratus tahil perak, tentu saja uang tersebut diperoleh dengan bekerja keras. Dari sini bisa terlihat betapa tawarnya mereka terhadap kemewahan dunia.

Tapi Ting Peng berkata lagi sambil menghela napas: "Ka-cu, Kalian tidak ada sangkut pautnya dengan diriku, sebenarnya akupun tak usah menguatirkan kalian, cuma aku pikir setelah ini Cia Siau hong tak akan mempunyai perhatian lagi untuk mengurusi kalian"

"Benar, majikan bilang dia hendak pergi jauh selama satu dua tahun, pergi menyambangi beberapa orang sahabat karibnya"

"Oooh.... apakah pergi sangat jauh?"

"Ya, jauh, jauh sekali, konon akan memasuki padang pasir dan menelusuri tapal batas, hanya ditempat-tempat semacam itulah barusan ditemukan tokoh-tokoh sakti dan hanya orang-orang semacam itu pula baru pantas menjadi teman karibnya Cia Siau hong."

Terhadap Cia Siau hong, selain Ting Peng merasa kagum dan memuji, diapun menaruh rasa hormat. Dia menaruh hormat kepadanya karena dia dapat melepaskan diri dari keduniawian. Ting Peng tak dapat melakukan hal itu, dia masih mempunyai hubungan dengan dunia luas, seperti juga dengan ke empat orang yang berada di hadapannya. sekalipun tak ada hubungan dengan dia, namun dia toh masih tetap menaruh perasaan kuatir terhadap mereka.

Oleh karena itu dengan tulus hati katanya: "Ka cu, dunia luar tidaklah sesederhana apa yang kau bayangkan, kecuali kalau kalian benar-benar adalah manusia sederhana."

Tentu saja ke empat orang ini bukan, orang-orang yang berasal dari perkampungan Sin kiam san-ceng bukan manusia sembarangan, apalagi kalau mereka berasal dari didikan Cia Siau hong sendiri.

Tidak menunggu ia menyelesaikan kata-katanya, Ka-cu telah berkata pula: "Kami mengerti, kalau kami mempunyai persoalan yang tak terpecahkan, kami pasti akan mencari Ting Kongcu untuk memohon bantuan!"

Memang inilah yang dinginkan Ting Peng, sekalipun tidak ia utarakan, Ka-cu telah mengatakan sendiri. Ting Peng segera tertawa, berbicara dengan seorang yang pintar memang selalu menyenangkan disamping irit tenaga, karena itu akhirnya dia hanya mengatakan: "Selamat tinggal!"

Selamat tinggal, kadangkala dapat diartikan pula sebagai jangan berjumpa lagi di kemudian hari. Sekarang dia memang mengartikan demikian, dalam hati kecilnya dia ikut berdoa semoga mereka dapat menjadi manusia biasa dan mendapatkan tempat pemondokan yang aman dan tentram.

* * *


AH KU menunggunya di depan pintu. Orang ini selamanya setia, ia tak pandai berbicara tapi memiliki otak yang cerdas, ketika dia tahu kalau majikannya tak bakal akan menjumpai mara bahaya didalam rumah penyimpan pedang itu, diapun mengundurkan diri.

Walaupun dia tak tahu apakah di luar pintu akan menjumpai mara bahaya atau tidak., tapi paling tidak, tempat itu merupakan tempat yang bisa mendatangkan bahaya. Oleh karena itu dia menunggu ke depan pintu.

Cu Siau giok sebaliknya menanti ditengah ruangan. Diapun seorang yang amat pandai. Tatkala dia tahu kalau didalam Rumah penyimpan pedang tak mungkin akan memberikan tempat dan kedudukan lagi baginya serta merta dia pun segera meninggalkan tempat itu. Ia membutuhkan suatu kedudukan yang tinggi, paling tidak suatu kedudukan yang terhormat.

Oleh karena itu dia lebih suka berada di tempat yang bisa memperlihatkan kedudukan tersebut. Maka diapun kembali ke dalam perkampungan Sin kiam san ceng, perkampungan dimana ia bisa berkuasa dan dihormati orang. Sebab hanya ditempat itulah merupakan tempat wilayah kesuksesannya...

Di tempat itulah dia menantikan kedatangan Ting Peng. Tapi apa yang hendak dia lakukan terhadap diri Ting Peng, sang pemuda yang kosen dan berilmu tinggi itu? Apa pula yang sebenarnya tersembunyi dibalik senyuman serta suara tertawanya yang manis?

Sesungguhnya rencana apakah yang terkandung dan tersimpan didalam benaknya? Sewaktu Ting Peng menyaksikan suara tertawanya, dia pun tak bisa menebak maksud tujuan apakah yang terkandung dibalik tertawa itu.

KAWANAN TIKUS

TING PENG berjalan di depan, Ak-Ku mengikuti di belakangnya. Walaupun mereka rasakan suatu suasana yang sangat aneh menyelimuti perkampungan Sin kiam san-ceng tersebut, seolah-olah di sekeliling tempat itu terdapat orang yang mengawasi mereka dari kejauhan, namun Ting Peng acuh, AH-Ku pun acuh.

Ditinjau dari gerak-gerik mereka yang lamban, kedua orang itu tahu kalau mereka tak lebih hanyalah kawanan kurcaci. Terhadap kawanan pengintip yang bukan merupakan suatu ancaman serius, mereka merasa enggan untuk mengeluarkan perhatian yang kelewat banyak.

Seperti juga terhadap kawanan tikus yang bersembunyi di belakang sudut rumah. Hampir di setiap rumah terdapat tikus, mereka selalu bergerak ditempat kegelapan secara diam-diam, sekalipun adakalanya celingukan sambil mengintip keluar, namun bila merasa kalau dirinya sedang diperhatikan orang, dengan cepat mereka menyembunyikan diri lagi.

Tentu saja tikus merupakan makhluk yang menjengkelkan, mereka dapat merusak pakaian, perabot dan mencuri makanan. Tapi tiada orang yang takut terhadap kawanan tikus, tak ada orang yang tak bisa tidur gara-gara dalam rumah ada tikus.

Begitu pula dengan kawanan manusia yang mengintip-intip sekarang, dalam pandangan Ting Peng dan Ah Ku, mereka tak lebih cuma tikus sekalipun tak sampai merupakan suatu ancaman buat keselamatan mereka toh kehadiran mereka mendatangkan pula perasaan jengkel, muak dan sebal.

Akhirnya Ting Peng tak tahan, segera ucapnya: "Ah Ku, sudah terlalu lama orang-orang itu mengikuti kita, aku merasa tak senang!"

Jika Ting-Peng sudah mengatakan tak senang, itu berarti dia harus membereskan perbuatan yang memuakkan itu dan Ah Ku memang seorang pelayan yang setia. Oleh karena itu sewaktu Ting Peng menyelesaikan kata-katanya, Ah-Ku sudah mulai bertindak.

Ting Peng tidak memperhatikan lagi gerakan yang dilakukan Ah Ku. Dia amat merasa lega terhadap kemampuan Ah Ku, dia tahu pekerjaan tersebut tentu akan dilaksanakan secara baik-baik, maka Ting Peng juga tidak menghentikan langkahnya, melainkan melanjutkan perjalanan ke depan. Telinganya dengan cepat dapat mendengar sedikit suara.

Suara, kepalan yang menghajar di tubuh orang, serta suara tulang belulang yang terhajar patah. Suara-suara tersebut dengan cepat membuat Ting Peng merasa puas, dia tahu selanjutnya paling tidak selama dia melangkah, keluar dari perkampungan Sin-kiam san-ceng tak akan ada tikus yang akan membayang-bayangi lagi.

"Triing... tinggg....! Traaang... traaang..?"

Jelas suara itu adalah suara benda tajam yang saling membentur, Ting Peng segera merasa keheranan. Suara semacam itu tidak seharusnya terdengar, masa kawanan tikuspun berani memberikan perlawanan?

Bila tikus kena didesak, memang ada kalanya akan membalas menggigit, tapi Ah Ku jelas merupakan kucing tua yang sangat berpengalaman, tak mungkin dia akan memberi kesempatan kepada sang tikus untuk balas menggigit.

"Triiing.. tring...traanng. .. traang...."

Suara senjata tajam yang saling membentur masih saja terdengar, hal ini membuktikan kalau Ah Ku telah berjumpa dengan seekor tikus yang tidak gampang ditundukkan, lagi pula sudah pasti seekor tikus besar. Akhirnya Ting Peng tak tahan dan menghentikan langkahnya, kemudian berpaling. Dia telah melihat Cia sianseng.

Cia sianseng, congkoan dari perkampungan Sin kiam san-ceng. Ting Peng sama sekali tidak merasa asing terhadap Cia sianseng, lagi pula hampir boleh dibilang merupakan sahabat lama, cuma saja persahabatan tersebut tidak begitu akrab. Pertama kali dia bertemu dengan Cia sianseng diperkampungan Siang-siong-san- ceng milik Liu Yok siong.

Hari itu, kecuali Cia sianseng, di sana pun hadir Sui-han-sam-yu yang mengangkat nama bersama Liu Yok siong. Liu Yok siong telah mencuri Thian-gwa liu-seng miliknya dan melangsungkan suatu pertarungan yang menggelikan serta memalukan itu, Cia sianseng lah ketika itu yang bertindak sebagai saksi. Semenjak hari itulah, Ting Peng mulai tidak menyukai Cia sianseng.

Walaupun dalam keadaan seperti waktu itu dia tak bisa disalahkan, Liu Yok-siong telah mengatur segala sesuatunya terlalu baik membuat Ting Peng tak mampu membantah. Tapi Ting Peng selalu merasa bahwa Cia sianseng tidak adil dalam mengatur segala-galanya. Sebagai congkoan dari Sin kiam san-ceng, dia adalah seseorang yang pantas dihormati, dia seharusnya cukup memahami tentang watak Liu Yok siong.

Paling tidak ia tidak seharusnya muncul didalam perkampungan Siang-siong san-ceng dan berkomplot dengan manusia seperti Liu Yok siong, oleh karena itu meski keputusan Cia sianseng waktu itu cukup adil, tapi Ting Peng selalu menganggap Cia sianseng telah bersekongkol dengan Liu Yok siong.

Oleh karena itu setiap kali ia bertemu dengan Cia sianseng, sikap Ting Peng tak pernah sopan, bahkan belum lama berselang dia malah menghadiahkan suatu kesulitan bagi Cia sianseng di depan perkampungan Sin kiam san-ceng, tapi ia belum pernah menyaksikan Cia sianseng menggunakan pedang.

Ilmu pedang yang dimiliki Congkoan perkampungan Sin kiam san-ceng sudah pasti melebihi siapapun, hal ini merupakan sesuatu kenyataan yang tak mungkin bisa dirubah, tapi dalam dunia persilatan belum pernah ada orang yang melihat Cia sianseng mempergunakan pedang.

Tapi hari ini, akhirnya Ting Peng dapat melihatnya. Ilmu pedang dari Cia sianseng ini selain ganas matang, juga amat keji. Ting Peng belum pernah menyaksikan jurus pedang dari keluarga Cia, tapi dia tahu ilmu pedang Cia sianseng berasal dari perkampungan Sin kiam san-ceng.

Ilmu pedang sakti dari keluarga Cia adalah suatu kepandaian yang tiada tandingannya di kolong langit, bukan saja keji juga teramat ganas, kalau tidak kedudukan perkampungan Sin kiam san-ceng dalam dunia persilatan tak akan mencapai tingkatan yang begitu tinggi dan terhormat.

Ting Peng cukup mengetahui sampai dimanakah taraf kepandaian silat yang dimiliki Ah-Ku, walaupun dia tak pernah melakukan perjalanan dalam dunia persilatan, tapi dalam dunia persilatan paling banter cuma ada lima orang yang mampu menangkannya, salah seorang diantaranya ternyata Cia sianseng.

Sepasang kepalan dari Ah-Ku merupakan sepasang senjata yang ampuh, tapi sepasang gelang emas yang berada pada lengannya merupakan semacam alat pelindung badan yang amat ampuh, bila pihak lawan mempergunakan senjata tajam, maka diapun akan menangkis dengan mempergunakan gelang emas tersebut.

Tapi sekarang, Ah Ku telah mencabut keluar pisau belati yang berada dibelitan sepatu larsnya, yang selama ini tak pernah dipergunakan. Di atas lengannya telah muncul sebuah bekas darah yang memanjang, hal ini membuktikan kalau gelang emas tersebut sudah tak mampu untuk melindungi keselamatan jiwanya lagi.

Sekalipun ada pisau belati ditangan, ternyata Ah Ku belum berhasil memperbaiki keadaannya yang semakin terdesak, pedang Cia sianseng bagaikan seekor ular beracun menyelinap kesana kemari dengan sangat gencarnya.

Orang yang bisa melukai Ah Ku jelas bukan seorang manusia sembarangan, tanpa terasa tertarik juga hati Ting Peng, dia segera berjalan balik dan mengamati permainan pedang dari Cia sianseng, dia berharap bisa lebih memahami tentang orang ini.

Tapi Cia sianseng benar-benar amat licik, ketika dia mengetahui kalau ada Ting Peng sedang mengawasinya, mendadak serangan-nya melamban, bahkan diantara jurus serangannya sengaja diperlihatkan titik-titik kelemahan.

Ah Ku adalah seorang pendekar yang berpengalaman, walaupun terluka, pikirannya tak sampai kalut, dia pun tidak dikarenakan pihak lawan mengendorkan serangannya lantas mempergunakan peluang itu untuk memanfaatkan kelemahan tersebut.

Dia malah tetap bertarung dengan taktik pertarungan semula, pisau belatinya bergerak kesana kemari dengan gencar tapi jarang melancarkan serangan balasan, bila serangan balasan dilepaskan niscaya merupakan suatu serangan yang dahsyat.

Terhadap titik-titik kelemahan yang diperlihatkan oleh Cia sianseng itu dia tak pernah menggubrisnya, walaupun dia tahu seandainya pisau ditusukkan ke depan, niscaya serangan tersebut akan menciptakan suatu luka yang mematikan di tubuh lawan.

Agaknya itulah yang diharapkan oleh Cia sianseng, penyelesaian pertarungan yang diharapkan olehnya, tapi bukan merupakan harapan Ah Ku juga bukan harapan dari Ting Peng.

Setiap kali melancarkan serangannya, Ah Ku selalu mengarah bagian-bagian tubuh yang mematikan di tubuh lawan, pisau belati yang amat pendek itu paling banter cuma seperempat dari pedang lawan. Orang bilang satu inci lebih panjang, satu bagian lebih tangguh, satu bagian lebih pendek, satu bagian lebih berbahaya.

Teori ini seringkali diucapkan oleh jago-jago yang sudah berpengalaman tentang senjata yang dipergunakan orang. Tapi pisau belati ditangan Ah Ku justru merupakan kebalikan daripada teori senjata pendek, bahaya tentu bencana, bencana harus ditolong.

Setiap serangan yang dilancarkan olehnya sudah pasti memaksa lawan untuk menolong diri, lagi pula harus dihadapi pula oleh suatu kepandaian yang tinggi. Itulah sebabnya paras muka Cia sianseng makin lama semakin serius, rencananya sama sekali tidak berhasil.

Kecuali kalau dia berani menyerempet bahaya dengan membiarkan tusukan pisau Ah Ku itu bersarang di tubuhnya. Tapi ia tak berani, bahkan tak seorang manusiapun berani mencoba, karena serangan yang dilancarkan Ah Ku kelewat cepat dan dahsyat, sedikit terlambat saja untuk berkelit, besar kemungkinan dadanya akan tertusuk hingga tembus.

Oleh karena itu bukan saja Cia sianseng tidak berhasil merahasiakan jurus pilihannya, malah justru karena keraguannya itu membuat dia harus menggunakan kekuatan yang berlipat ganda untuk membebaskan diri dari ancaman bahaya.

Tentu saja sistim pertarungan semacam ini amat payah, tak selang berapa saat kemudian Cia sianseng telah mengucurkan keringat dengan amat derasnya, sedang tindak tanduknya pun mulai gelisah.

Sebenarnya tidak sulit baginya bila ingin mengembalikan keadaan tersebut, namun dia tak berani berbuat demikian, karena dia tahu bila keadaan sudah berbalik, itu berarti dia harus berhadapan dengan serangan golok Ting Peng yang mengerikan.

Ting Peng memperhatikannya sebentar, kemudian baru katanya: "Ah Ku! Tahan....."
Cia sianseng menghembuskan napas panjang, sambil menyeka peluh yang membasahi tubuhnya, diam-diam dia merasa lega, karena dia kira persoalan pelik telah lewat. Sayangnya ia gembira kelewat awal.

"Aku akan memberi kesempatan kepadamu untuk beristirahat barang setengah jam, kemudian aku baru akan memohon petunjukmu, aku rasa kau tentunya masih mampu bukan!"

Cia sianseng memperhatikan sekejap wajahnya yang tak berperasaan itu, dia merasa segulung hawa dingin muncul dan menyusup ke dalam tubuhnya, hal mana membuat peluh panas segera berubah menjadi peluh dingin. Dia mengerti dengan mengandalkan kepandaiannya, jelas tak mungkin bisa meloloskan diri dari serangan golok yang maha dahsyat itu.

Terutama sekali setelah menyaksikan Ting Peng dapat keluar dari Rumah penyimpan pedang tanpa cedera, terlepas bagaimanakah penyelesaiannya dengan Cia Siau hong, tapi kalau dilihat dari sikap Ka-cu sekalian empat orang budak pedang yang begitu menghormat kepadanya, hal itu sudah membuktikan sesuatu yang luar biasa.

Tenggorokannya naik turun tak menentu dan ingin sekali mengucapkan sepatah dua patah kata, tapi tak tahu bagaimana harus berkata.

Sambil tertawa Ting Peng berkata: "Selamat bersua! Selamat bersua! Ternyata nama besar Cia sianseng memang bukan nama kosong belaka, kau memang tak malu menjadi congkoan dari perkampungan Sin-kiam san ceng."

Sebaliknya Cia sianseng membutuhkan tenaga yang paling besar untuk memperlihatkan sekulum senyuman paksa di atas wajahnya, lalu ia berkata pula dengan terpaksa: "Ting kongcu terlalu memuji, apakah kongcu telah berjumpa dengan majikan kami?"

"Yaa, sudah, belum lama kami baru berpisah!"

Cia sianseng berusaha keras untuk mengembangkan pembicaraan tersebut, kembali dia berkata: "Tampaknya kongcu dan majikan kami seperti merasa gembira sekali dalam pertarungan tersebut?"

Ting Peng tertawa, "Lumayan, hitung-hitung tidak sia-sia belaka perjalananku kali ini..."

Mendengar perkataan itu, Cia sianseng menjadi sangat terkejut: "Apakah kongcu telah melangsungkan pertarungan pedang dengan majikan kami?"

"Ilmu pedang Cia cianpwe sudah mencapai tingkatan yang luar biasa, mana aku berani bertarung melawannya!"

"Maksudku, apakah ilmu golok sakti dari kongcu telah bertarung dengan pedang milik majikan kami?" buru-buru Cia sianseng menerangkan.

"Boleh dibilang begitu"

"Tapi siapa yang menang dan siapa pula yang kalah?" Persoalan ini merupakan persoalan yang diperhatikan orang dan persoalan yang ingin diketahui setiap orang, sekalipun Cia sianseng merasa tegang toh tak tahan diajukan juga.

Ting Peng tertawa, sahutnya: "Saudara sebagai congkoan dari Sin kiam san-ceng tidak sepantasnya mengajukan pertanyaan ini, kau semestinya jauh lebih mengerti daripada orang lain"

"Tempat itu merupakan daerah terlarang, walaupun aku adalah congkoan dari Sin kiam sanceng, namun tempat itupun terlarang bagiku!"

"Tapi paling tidak kau toh tahu kalau tempat itu dinamakan Rumah penyimpan pedang?"

Cia sianseng tak dapat menyangkal, walaupun dia boleh dibilang tidak tahu, tapi mimik wajah dari Ting Peng membuatnya tak berani mengucapkan kata-kata bohong. Maka terpaksa dia harus mengangguk. "Yaa, aku telah mendengar hal itu dari budak-budak pedang tersebut..."

"Tentunya kau juga tahu bukan kalau majikanmu tak pernah membawa pedang selama berada dalam Rumah penyimpan pedang."

"Soal ini aku tidak tahu karena aku belum pernah masuk ke sana!"

Itupun suatu pengakuan jujur, maka Ting Peng berkata lagi. "Kalau begitu lain kali kau boleh masuk kesana, aku telah beradu kepandaian dengan majikan kalian. Cuma di tangannya tak berpedang, golokku pun tak pernah lolos dari sarung, maka menang kalahnya sukar dikatakan, kalau dikatakan aku menang, diapun tak akan memprotes, kalau dibilang dia menang, akupun tak akan mengakui!"

Tergerak hati Cia sianseng setelah mendengar perkataan itu. "Kalau begitu, kepandaian yang kongcu miliki masih satu tingkat lebih tinggi..."

"Walaupun dia tak akan memprotes, tapi akupun tak ingin berkata demikian, karena dia masih hidup dan akupun masih hidup."

Pertarungan antara jago lihay memang tak perlu ditentukan oleh mati hidup, menang kalah hanya terlintas dalam satu titik, kecuali kedua belah pihak, bahkan penontonpun sukar untuk melihat dengan jelas!

Ting Peng tersenyum, katanya pula: "Tapi aku si jago lihay justru berbeda, kemenanganku hanya bisa ditentukan apabila pihak lawan telah roboh, karena golokku adalah golok pembunuh, sebelum pihak lawan terbunuh masih belum bisa terhitung sebagai kemenangan."

Terpaksa Cia sianseng hanya mengiakan belaka. Terdengar Ting Peng berkata lebih jauh: "Ditangannya tiada pedang, golokkupun belum diloloskan, kami hanya berbincang-bincang sebentar, dalam pembicaraan tersebut kedua belah pihak telah mendapatkan pengertian, kesimpulannya yakni dia tak akan membunuhku, aku pun tak dapat membunuhnya maka diantara kami berdua masih belum diketahui siapa menang siapa kalah!"

Cia sianseng merasa sedikit agak kecewa tapi di luar dia menjawab, "kejadian ini merupakan suatu kejadian yang sangat baik, kongcu dan majikan kami sama-sama adalah dua jago lihay, siapapun tidak berharap menyaksikan salah seorang diantara kalian roboh!"

"Tapi aku merasa tidak puas, aku berharap bila lain kali berjumpa lagi dengannya, di tangannya sedang membawa pedang, sehingga kami dapat benar-benar melangsungkan suatu pertarungan untuk mengetahui siapa yang unggul."

"Pasti ada kesempatan" buru-buru Cia sianseng berkata, "seringkali majikan kami membawa pedang!"

"Kalau cuma membawa pedang saja sama sekali tak ada gunanya, karena sebelum pedang itu diloloskan dari sarungnya, mustahil hal mana bisa memancing hawa pembunuhan dalam hatiku, kami tetap tak bisa melangsungkan pertarungan tersebut!"

Tanpa terasa Cia sianseng menyarungkan kembali pedangnya, cuma dia kelewat tegang sehingga mata pedangnya tak dapat tetap masuk ke dalam sarungnya.

Melihat itu, Ting Peng segera berkata sambil tertawa: "Buat apa kau menyarungkan kembali pedangmu? Sebentar toh mesti dicabut kembali, apakah hal ini tidak terlalu merepotkan?"

Cia sianseng tertawa: "Aaah, Ting kongcu suka bergurau, masa aku berani mencabut pedang di hadapan kongcu?"

"Tapi kau toh berani mencabut pedang di belakang punggungku!"

"Hal mana kulakukan karena untuk melindungi diri, karena kalau tidak pembantumu akan membunuhku!"

"Hmmm, pembantu ku ini selalu tahu diri, tanpa sebab dia tak akan membunuh orang, andaikata dia hendak membunuhnya maka hal ini pasti didasarkan pada suatu alasan yang kuat"

"Alasan apapun tak ada, tiba-tiba dia menyerobot kehadapan kami, lalu memukul orang, sudah empat orang kami terbunuh, bila kongcu tidak percaya silahkan saja pergi ke ujung dinding sana, mayat mereka masih tergelepar di situ!"

"Tak usah dilihat lagi." kata Ting Peng sambil tertawa "aku selalu mengetahui dengan jelas hasil pukulannya, barang siapa terkena pukulannya memang sukar untuk hidup terus!"

"Orang-orang itu toh tidak mengusik dia..?"

"Mereka telah mengganggu aku, aku paling benci kalau ada orang kasak-kusuk dan bersembunyi-sembunyi sambil mengawasi diriku secara diam-diam, akulah yang suruh dia membunuh mereka!"

"Ting kongcu, tempat ini adalah perkampungan Sin kiam san ceng!" seru Cia sianseng sambil menelan air liur.

"Aku tahu, kau tak usah memberi keterangan lagi kepadaku"

"Mereka adalah anggota perkampungan ini, karena itu apa pun yang mereka lakukan hal ini dilakukan didalam rumah mereka sendiri"

Ting Peng tertawa. "Tadi sewaktu aku hendak masuk ke dalam Rumah penyimpan pedang, ada beberapa orang bersembunyi dibalik kegelapan, akhirnya mereka telah dibunuh oleh Ka-cu, kalau mereka benar-benar adalah anggota perkampungan Sin kiam san-ceng, mengapa pula mereka terbunuh...?"

"Soal itu..., soal itu karena mereka berani mengintip daerah terlarang, mereka memang pantas mati"

"Mereka juga sudah melanggar pantanganku, maka mereka juga harus mati, bila kau merasa hukumanku tak benar, silahkan saja mencari kebenaran dariku!"

Paras muka Cia sianseng berubah, tapi ia segera berusaha menahan diri, katanya kembali: "Siapa tidak bersalah dia tidak berdosa, dulu mereka tidak tahu akan pantangan kongcu, sekarang mereka sudah tahu, mengetahui akan hal ini dan aku percaya mereka tak akan melakukan pelajaran lagi."

"Soal ini tak perlu lagi" ucap Ting Peng sambil tertawa, "karena bila aku dapat meloloskan diri dari ujung pedangmu aku dapat memberitahukan kepada mereka sendiri, kalau tidak, ucapanmu itu sudah didengar pula oleh mereka."

Dengan cepat Cia sianseng mundur. selangkah, kemudian serunya keras-keras: "Ting kongcu apa maksudmu...?"

"Aku percaya kau pasti memahaminya, aku hendak menantangmu untuk berduel!"

"Soal ini... aku... mana aku berani..."

"Selamanya perkataanku tak pernah dirubah-rubah" kata Ting Peng dengan suara dalam, "kau berani juga boleh, tidak berani juga boleh, pokoknya setelah hitungan ketiga aku akan turun tangan, lebih baik himpun saja tenagamu baik-baik dan pikirlah baik-baik bagaimana caranya merobohkan diriku pada hitungan ketiga!"

Selesai berkata, dia mulai menghitung: "Satu!"

Dengan cepat Cia sianseng mundur tiga langkah.

"Dua!"

Cia sianseng sudah mundur sejauh tujuh delapan langkah, sekalipun tangannya masih menggenggam pedangnya kencang-kencang, namun selain mundur dia sudah tak tahu harus berbuat apa.

Ting Peng tidak mengejar ke depan, bahkan sorot matanya sama sekali tidak dialihkan ke arahnya, hanya goloknya pelan-pelan diangkat, seakan-akan tak perduli Cia sianseng hendak kabur seberapa jauhpun, asal kata ketiga sudah diucapkan, maka tubuhnya pasti akan terbelah menjadi dua bagian.

"Tiga!"

Cia sianseng roboh ke tanah, tapi tubuh Ting Peng masih belum bergerak, goloknya juga belum diloloskan dari sarungnya, karena kata "tiga" itu bukan dia yang meneriakkan. Tubuh Cia sinseng yang gemuk penuh daging itupun tidak sampai hancur berkeping-keping, dia masih tetap utuh dan segar bugar seperti sedia kala.

Karena bukan golok Ting Peng yang merobohkan dia, walaupun golok iblis dari Ting Peng mengerikan, akan tetapi golok itu tak akan mampu membunuh orang sebelum diloloskan dari dalam sarungnya. Diapun bukan roboh karena ketakutan, sekalipun waktu itu dia merasa ketakutan setengah mati, namun dia bukanlah manusia yang akan roboh karena ketakutan, lagi pula dia telah mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk menyambut serangan tersebut dengan sekuat tenaga.

Dia roboh karena seseorang telah menendangnya keras-keras sehingga terpental ke tanah. Pinggangnya persis terkena sebuah tendangan dari sebuah kaki yang putih halus, indah dan membuat jantung orang berdebar semakin keras. Dalam perkampungan Sin kiam san-ceng hanya ada seseorang yang memiliki kaki seindah ini. Tentu saja kaki tersebut adalah kakinya, Cia Siau giok.

Karena dialah yang pernah menendang Cia sianseng sampai roboh ke atas tanah. Dia pula yang meneriakkan angka ketiga. Kemudian dengan membawa hembusan angin harum yang memabukkan, tahu-tahu dia sudah berdiri di hadapan Ting Peng.

.... Halaman 33 s/d 38 hilang ...

....seorang diantaranya, baru menggigit dua gigitan sudah mulai muntah-muntah, setelah kurobek keluar sebiji matanya yang lain baru penurut sekali untuk menghabiskan semua daging-daging tersebut.

"Yaa, daripada kehilangan daging memang lebih enakan makan daging. Cuma perbuatanmu itupun agak kelewatan sedikit, toh bukan mereka yang pingin melihat adalah kau yang memperlihatkan kepada mereka"

"Benar, memang aku yang mengundang mereka untuk menonton, tapi sebelum itu aku telah berjanji lebih dulu dengan mereka, setelah selesai menikmati, mereka harus bangkit berdiri dan menuju ke dalam sebuah kamar untuk menyampaikan perasaan kagum mereka kepadaku, akhirnya tak seorangpun yang berani berdiri, karena didalam kamar sebelah semuanya adalah kaum wanita, dan diantaranya terdapat pula tamu-tamu yang mempunyai kedudukan terhormat."

"Bila benar-benar ada kaum pria yang masih bisa berdiri dengan santai dan berbincang-bincang dengan orang lain secara wajar, lelaki itu pasti bukan lelaki sungguhan, kecuali dia sudah diidapi semacam penyakit..."

"Kau jangan memandang begitu tak becus setiap lelaki lain, paling tidak aku sudah menjumpai seorang lelaki yang dapat menikmati diriku dengan sinar mata yang mengagumi tapi tidak emosi, juga tidak menunjukkan suatu reaksi yang istimewa!"

"Waaah, lelaki itu pasti ada penyakitan...."

"Menurut pendapatku, lelaki itu sama sekali tak berpenyakit, bahkan sehat sekali dan diapun pernah menaklukkan perempuan paling cabul dan jalang dikolong langit."

"Seandainya terhadap lelaki semacam ini, aku benar-benar akan turut mengaguminya, siapakah dia? Aku ingin sekali berkenalan dengan dirinya...!"

"Aku tahu, kau pasti akan suka sekali untuk berjumpa dengan orang ini, maka aku pun telah mengundangnya datang, sekarang mari kutemanimu untuk pergi menjumpainya!"

"Tunggu sebentar, sekalipun aku akan senang berjumpa dengan manusia semacam ini, tapi tidak suka kalau aku yang pergi menjumpainya, apakah ia tak dapat kemari untuk menjumpai diriku?"

"Tentu saja dia mempunyai alasan lain sehingga tak dapat kemari"

"Bagiku, tiada sejenis alasanpun yang bisa dijadikan alasan!"

"Tapi alasannya pasti dapat membuatmu mengakuinya secara tulus dan takluk, tak ada salahnya kau pergi untuk menengoknya, kalau alasan tidak dapat membuatmu merasa puas, kau boleh segera turun tangan untuk membunuhnya!"

Ting Peng segera menggeleng. Aku tak ingin membunuh orang hanya dikarenakan suatu persoalan kecil...."

"Kalau begitu bunuhlah aku, lagi pula kau tak usah turun tangan sendiri, asal kau menganggap alasannya tak dapat keluar bukan suatu alasan yang dapat dimaklumi, aku bersedia untuk segera memenggal balok kepala ku sendiri!"

Ternyata gadis itu berani mempergunakan keselamatan jiwa sendiri sebagai barang taruhan, sekalipun Ting Peng tidak menaruh perasaan yang tertarik terhadap persoalan itu, toh lambat laun merasa tertarik juga oleh kejadian ini."

Oleh karena itu, dia membiarkan Cia Siau giok menggandeng tangannya memasuki jalan setapak yang penuh ditumbuhi aneka bunga dan memasuki sebuah kamar yang harum baunya.

Ruangan itu merupakan sebuah ruangan yang sangat aneh, selain bunga hampir tiada perabot lainnya, di atas dinding penuh bunga dalam pot penuh bunga, pada permadani di lantai juga penuh dengan lukisan aneka bunga, bahkan satu- satunya meja yang terdapat di situ pun dipenuhi oleh bunga, seakan-akan tempat itu merupakan sebuah dunia bunga.

Bukan saja terdapat bunga di atas pohon, bunga yang tumbuh di kebun bahkan terdapat pula bunga yang tumbuh di air karena sebagian dari bangunan rumah itu dibuatkan sebuah kolam air karena beberapa kuntum bunga putih dan merah memenuhi permukaan air kolam tersebut.

Sambil tertawa Cia Siau giok segera berkata "Disinilah letak kamar tidurku, karena aku suka bunga, maka tempat ini menjadi acak-acakan harap Ting toako jangan mentertawakan!"
Barang siapa berada ditempat seperti ini, sedikit banyak perasaannya pasti akan terpengaruh juga.

Sambil tertawa Ting Peng segera berkata: "Aku pernah membaca syair orang kuno, katanya dimana ada bau bunga di situ pasti terdapat kehangatan, karena bau bunga adalah kelembutan, tidak seperti hawa golok atau hawa pedang yang menyayat badan, setelah aku berada dalam ruangan tidurmu sekarang, aku baru percaya akan hal ini, ruangan yang penuh bunga kadangkala terbawa pula hawa pembunuhan yang tebal!"

Paras muka Cia Siau-hong agak berubah, tapi dengan cepatnya dia tertawa kembali. "Tentu saja, aku adalah seorang pesilat perempuan, ayahku adalah jago pedang yang tiada tandingannya dikolong langit, aku tak akan seperti perempuan lain yang mudah dipermainkan orang!"

"Aku percaya akan hal ini, siapa tahu kalau dari dalam bunga ini secara tiba-tiba dapat meluncur keluar sebatang jarum beracun yang akan merenggut nyawaku!"

Sembari berkata dia lantas menyentil pelan sekuntum bunga mawar. "Bunga mawar banyak berduri" Hal ini diketahui hampir oleh setiap orang tapi sekalipun tercocok paling banter hanya akan melukai tangan dan tak sampai merenggut nyawa. Tapi bunga mawar dari Cia Siau giok itu dapat merenggut nyawa orang, bukan saja panah baja kecil tersebut dapat melesat dengan kekuatan yang sangat kuat lagi pula berwarna biru, warna biru berarti warna racun yang keji.

Panah itu melesat ke depan dan menancap di atas batang pohon bwee yang menghiasi ruangan, setelah berbunyi mendenting lantas melesat sampai separuh bagian. Tampaknya pohon bwee itu terbuat dari baja, tapi... mengapa pula didalam ruangan yang penuh dengan aneka bunga ini bisa terdapat sebatang pohon besi? Apa pula gunanya pohon itu?

Agaknya Ting Peng tak pernah mempertimbangkan persoalan itu, sembari mengembalikan bunga mawar itu ke tempat asalnya, dia berkata sambil tertawa. "Bagus! Bagus sekali! Bunga mawar kaya akan keindahan, tapi banyak berduri, bunga bwe bertulang besi dan berhati dingin, selain mengerti akan keindahan bunga, tampaknya kaupun mengerti sifat dari aneka bunga tersebut..."

Paras muka Cia Siau giok masih tetap seperti sedia kala, sahutnya sambil tertawa. "Dalam pandangan Ting toako hiasan-hiasan kecil semacam ini pada hakekatnya tidak berharga untuk ditengok."

Ting Peng duduk bersila di depan meja pendek, sambil tertawa Cia Siau giok turut pula duduk disampingnya, kemudian berkata: "Siaumoay mempunyai arak pek hoa jiang yang sudah berusia lama, arak itu dibuat dari madu beratus kuntum bunga, pernahkah Ting toako mencicipinya?"

Oooh... tentu saja aku bersedia untuk mencicipinya, tentu saja, ada perempuan cantik sudah seharusnya ada arak wangi, dengan begitu baru suasana menjadi lebih semarak!"

"Sayang tiada sayur, karena arak pek hoa jiang tak boleh sampai terkena pengaruh hawa panas, kalau tidak maka rasanya akan rusak sama sekali."

"Benar berada di dalam guna nirwana semacam ini, apalagi ditemani gadis seperti bidadari, kita memang seharusnya mencicipi minuman para malaikat, masakan barang berjiwa sudah sepantasnya kalau dijauhkan untuk sementara waktu"

Dia seakan-akan telah berubah menjadi seseorang yang gemar berbicara, setiap patah kata dari Cia Siau giok selalu ditanggapi dengan pujian, bahkan diberi pula keterangan-keterangan yang diperlukan. Pembicaraan semacam ini semestinya amat luwes dan santai namun Cia Siau giok justru makin murung dan tidak nampak gembira.

Dia berjalan ke tepi kolam, mengambil sebuah botol putih dari dalam air dan membuka penutup botolnya yang masih bersegel, setelah itu mengambil dua cawan dan meletakkannya ke hadapan Ting Peng.

Kemudian dia baru memenuhi cawan tersebut sembari berkata: "Arak ini hanya cocok untuk diminum dingin-dingin, oleh karena itu aku selalu merendamnya dengan air kolam, silahkan Ting toako!"

Sambil tersenyum Ting Peng mengangkat cawan itu, ketika merasa dingin ia baru berseru. "Oooh sungguh amat dingin"

"Benar, air ini adalah air dingin karena itu terasa dingin pula semua benda yang, terendam di situ"

"Oooh... aku tidak mengira kalau dalam perkampungan Sin kiam san-ceng pun terdapat sumber air dingin, menurut apa yang kuketahui hanya di sebelah barat wilayah Seng sut hay saja yang terdapat telaga dingin dan mengalirkan air dingin."

"Ting toako kau memang tak malu disebut seorang yang berpengetahuan luas, sampai tempat terpencil semacam inipun kau ketahui."

"Aku hanya merasa tertarik oleh sumber air dingin tersebut" kata Ting Peng sambil tertawa.

"Padahal sumber air tersebut amat sederhana, hanya sumber air dari Bu sit hui swan sian dicampur dengan sumber air Leng ciu Hou hau swan belaka!"

"Oooh... itu mah dua buah sumber mata air yang amat termasyhur di kolong langit"

Sumber air dari Hui swan cocok untuk membuat arak, sumber air dari Hou swan cocok untuk dimasak dan digunakan, maka akupun seringkali menggunakan separuh air itu untuk minum the dan separuh dari air yang lain untuk minum arak, tiada sesuatu yang luar biasa."

"Cuma kalau dua macam sumber air itu digabungkan menjadi satu lantas menimbulkan hawa dingin baru pertama kali ini kudengar."

"Ting toako, kau sungguh cermat!" seru Cia Siau giok sambil tertawa lebar.

"Berada di tempat yang penuh hawa pembunuh, mau tak mau aku harus bersikap berhati-hati sekali."

"Dua macam sumber air itu tentu saja tak akan menjadi dingin, air itu menjadi begini karena air tersebut mengalir masuk melalui puncak pohon Bwee itu dan mengalir keluar dari akar pohon Bwee hanya begitu saja."

Yang dimaksudkan sebagai pohon Bwee tak lain adalah pohon besi tersebut. Ting Peng memperhatikannya sekejap, kemudian berkata: "Kalau memang begitu tak aneh lagi, sekalipun air panas yang mengalir melewati besi dingin tersebut airnya tentu akan menjadi dingin pula, nona Cia. Kau benar-benar mempunyai otak yang sangat cerdas."

Besi dingin memang sifatnya dingin sekali, kendatipun di bawah terik matahari, besi itu akan tetap dingin. Cuma besi semacam itu mahal harganya, kebanyakan digunakan orang untuk membuat pedang mestika atau golok mestika. Tak nyana Cia Siau giok justru menggunakannya sebagai pohon.

Tapi.... Kalau toh pohon tersebut terbuat dari besi dingin, tapi bidikan panah tadi sanggup menembusi pohon besi tersebut, bukankah hal ini berarti kalau panah tersebut jauh lebih tajam?

Tapi Ting Peng seakan-akan tak pernah berpikir sampai ke masalah tersebut. Bahkan senyuman dari Cia Siau giok membuatnya tidak berpikir sampai kesana, karena senyuman Cia Siau giok pada saat ini mempunyai daya pikat yang tak terlukiskan dengan kata-kata.

Ternyata Ting Peng dibuat termangu-mangu olehnya. Sepasang mata Cia Siau giok seakan-akan tertutup oleh selapis kabut tipis, membuatnya nampak merangsang dan menawan hati. Tapi Ting Peng telah menghela napas, menghela napas panjang.

Dalam keadaan dan suasana seperti ini ternyata dia masih dapat menghela napas panjang, tak heran kalau sampai Cia Siau giok sendiripun merasa amat terperanjat, kemudian apa yang dikatakan Ting Peng selanjutnya membuat gadis itu makin terkesiap.

"Aku pernah bertanya kepada ayahmu, apakah kau adalah putrinya...?"

Cia Siau giok agak tertegun sesaat, kemudian baru katanya sambil tertawa: "Dan bagaimana jawabannya?"

"Ternyata dia tidak menyangkal!"

Kali ini suara tertawa Cia Siau giok kelihatan gembira sekali. "Aku memang putri kesayangannya, tentu saja dia tak akan menyangkal..."

"Cuma diapun merasa ada perlunya untuk mengejar pertanyaan tersebut lebih lanjut, maka dia mendesak Ting Peng lebih jauh.

"Mengapa kau mengajukan pertanyaan semacam itu? Apakah kau mencurigai aku bukan putrinya Cia Siau hong?"

Ting Peng manggut-manggut. "Yaa, kau memang kelihatannya tidak mirip!"

"Mengapa tidak mirip? Apakah untuk menjadi ayah dari seorang anak gadis semacam aku masih diperlukan syarat-syarat lain yang lebih istimewa...?"

"Itu mah tidak. Cuma Cia Siau hong adalah seorang pendekar besar yang dihormati setiap umat persilatan di dunia ini!"

"Apa sangkut pautnya antara persoalan ini dengan anak gadisnya?"

"Tiada sangkut paut yang kelewat besar, di dalam pandangan sementara orang, untuk menjadi anak gadis Cia Siau hong, paling tidak dia seharusnya seorang pendekar wanita yang dihormati dan disegani setiap orang!"

Cia Siau giok segera tertawa: "Ting toako agaknya kau lupa, semasa muda dulu ayahku adalah seorang lelaki yang romantis, dia sudah pernah membuat beberapa orang anak gadis jatuh cinta kepadanya!"

"Hal itu memang benar, kisah romantis tentang ayahmu memang sama tersohornya dengan kehebatan ilmu pedangnya!"

"Sedikit banyak yang menjadi anak gadisnya pasti akan mendapat warisan pula atas watak dari ayahnya, kalau aku adalah putranya, maka aku pasti dapat menarik perhatian banyak sekali anak gadis!"

Ting Peng tak dapat menyangkal akan ucapan tersebut. Sambil tertawa kembali Cia Siau giok berkata. "Tapi aku justru adalah anak gadisnya, maka aku hanya bisa menarik perhatian kaum lelaki, jika aku harus menurut adat kesopanan dan adat istiadat untuk menjadi seorang gadis yang halus dan alim, maka hal tersebut malah sama sekali bukan sifat dari seorang anak gadis Cia Siau hong"

Mengenai masalah ini, Ting Peng juga tak dapat menyangkal, maka Cia Siau giok pun berkata lebih lanjut.

"Sekalipun ayahku amat romantis, namun dia tak cabul, perempuan-perempuan yang menjadi pilihannya juga merupakan perempuan-perempuan cantik, perempuan cantik yang sukar dijumpai diantara seribu orang perempuan cantik lainnya!"

Ketajaman mata Cia sam sauya dalam memilih perempuan memang termasyhur karena....

.... Halaman 53 s/d 58 hilang ....

....menghajar sebanyak dua puluh kali saja dan segera menghentikan perbuatannya. Tapi Cia Siau giok sudah menangis tersedu-sedu dengan teramat sedihnya.

Dengan dingin Ting Peng mendorong tubuhnya ke tanah, kemudian sambil memandangnya dengan dingin dia berkata:

"Andaikata kau bukan putrinya Cia Siau hon, sekali bacok aku telah menghabisi nyawamu, karena kau adalah putrinya Cia Siau hong maka aku baru mewakilinya untuk memberi pelajaran kepadamu, kau memang membutuhkan suatu pendidikan secara baik."

Cia Siau giok berbaring di atas tanah, dia hanya bisa miringkan badan sambil memukul-mukul tanah, makinya dengan suara lantang: "Ting Peng kau si anak kura-kura, cucu kura-kura, kau bukan manusia, kau adalah seekor babi, seekor anjing...."

Tapi babi tersebut, anjing tersebut sudah tidak mendengar lagi caci maki serta sumpah serapahnya. Ting Peng sudah beranjak pergi meninggalkan tempat itu. Setelah menyumpahi beberapa waktu Cia Siau- giok menjadi jemu sendiri, ia pun segera menghentikan caci makinya, mula-mula masih menggertak gigi, menyusul kemudian diapun tertawa.

Siapapun tidak menyangka setelah menerima hajaran yang luar biasa, dia masih dapat tertawa. Tapi Cia Siau-giok memang sedang tertawa, bahkan dia sedang tertawa dengan amat gembiranya. Apakah diapun mengidap suatu penyakit suka dihajar orang?"

Pertanyaan itu segera diajukan seseorang, dia adalah seorang perempuan setengah umur, wajahnya biasa dan paras mukanya tidak menunjukkan perubahan apa-apa, dia masuk ke dalam dengan begitu saja, kemudian setelah mengawasi Cia Siau-giok berapa saat dia menegur:

"Siau giok apakah kau mempunyai persoalan?"

Cia Siau-giok segera berpaling dan menjawab: "Tidak, Ting Hiang, aku tidak mempunyai persoalan!"

Ternyata perempuan itu bernama Ting Hiang, melihat sikap dan panggilannya terhadap Cia Siau giok, hal ini membuat kedudukan perempuan itu menjadi aneh, tidak seperti atasan, tidak seperti pula orang bawahan.

Hubungannya dengan Cia Siau giok amat akrab, tapi dia memanggil Cia Siau giok langsung dengan namanya, sedang Cia Siau giok juga langsung memanggil namanya, hal ini menunjukkan kalau dia bukan apa-apanya Cia Siau giok, tapi siapakah perempuan itu?

Dengan suara dingin kembali Ting Hiang berkata: "Sebenarnya tadi kau mempunyai banyak kesempatan untuk membinasakan dirinya"

Dengan cepat Cia Siau giok menggeleng. "Aku sama sekali tak ada kesempatan, dia terlalu licik dan teliti, belum lagi panah terbang bunga mawar bergerak dia sudah tahu, masih ada lagi kelambu Ting Hiang ciang milikmu, hanya bergerak sedikit saja sudah dibabatnya sampai putus menjadi dua!"

"Tapi itu toh baru dua macam, padahal disini terdapat sembilan macam alat perangkap!"

"Aku percaya tak ada semacam pun yang dapat mengelabuhi dirinya, paling banter hanya mencari penyakit buat diri sendiri, kau toh sudah melihat sendiri, dia meneguk secawan embun dewa Sin sian tok, alhasil dia sama sekali tidak menunjukkan reaksi apa-apa, bunga-bunga beracun dan bubuk-bubuk beracun juga telah dikeluarkan tapi tidak mendatangkan hasil apa apa..."

Ting Hiang termenung dan berpikir sesaat kemudian, baru ujarnya. "Bocah keparat itu memang benar-benar merupakan seseorang lelaki keras yang belum pernah kujumpai seratus tahun terakhir ini, dibandingkan dengan ayahmu semasa mudanya dulu masih jauh lebih sukar dihadapi."

"Ting Hiang, bagaimana dengan ayahku semasa masih mudanya dahulu?" tanya Cia Siau giok kemudian.

"Tidak selisih jauh, cuma hatinya kelewat lembek, terutama sekali bila berhadapan dengan perempuan, hatinya tak dapat dikeraskan kembali, tidak seperti keparat itu, ternyata dia tega untuk menghajar pantatmu."

Wajah Cia Siau giok nampak berseri-seri, katanya. "Hanya lelaki semacam dialah merupakan seorang lelaki yang sejati, berani berbuat dan berani bertanggung jawab."

"Apakah kau suka digebuki olehnya?"

Cia Siau giok menghela napas panjang. "Aaai... tiada orang yang gemar digebuki, akupun tidak memiliki penyakit semacam itu, aku tidak suka bertelanjang bulat dan membiarkan seorang lelaki menghajar pantatku!"

"Tapi tampaknya kau merasa sangat gembira, bahkan masih dapat tertawa girang."

"Yaa, aku gembira karena dia menghajarku, hal ini membuktikan kalau dia benar-benar menyukai diriku, memperhatikan aku, karena perbuatanku memang pantas untuk dihajar."

Mendadak paras mukanya berubah menjadi pedih dan sedih kembali, dia melanjutkan: "seandainya sejak kecil ada orang yang mendidikku dengan cara begini, memberi nasehat kepadaku, maka aku tidak akan bersikap jalang seperti saat ini."

"Benar...!" sahut Ting Hiang agak emosi, "Siau giok, hal ini harus menyalahkan ayah mu, seandainya dia mau datang menjenguk ibumu, kaupun tak akan mengalami nasib seperti hari ini!"

Kedua orang itu terbungkam untuk beberapa saat lamanya, kemudian Ting Hiang berkata lagi setelah menghela napas panjang: "Cepat kenakan pakaianmu, sebentar Cia Im gak akan datang kemari...!"

"Mau apa dia datang kemari? Suruh dia enyah sejauh-jauhnya dari hadapanku!" teriak Cia Siau giok dengan perasaan muak.
Selanjutnya,
Golok Bulan Sabit Jilid 16

Golok Bulan Sabit Jilid 15

Golok Bulan Sabit Jilid 15
Karya : Khu Lung
Penyadur : Tjan ID

Cerita silat Mandarin Karya Khu Lung
"BENAR, kalau kami bisa mengikuti majikan berapa tahun lagi, maka setahil perak pun tak akan kami peroleh. Tapi kami bisa melanjutkan hidup dengan penuh kebahagiaan"

"Kalau begitu kedatanganku bukankah kelewat awal?" ucap Ting Peng lagi, kali ini dia tidak tertawa.

Ka-cu segera menyahut sambil tertawa. "Dalam anggapan kami, meski kamipun berharap bisa mengikuti majikan selama beberapa tahun lagi, tapi kalau dipikir lebih jauh, asal kami bisa membantu majikan agar cepat-cepat terlepas dari rintangan tersebut pun rasanya pengorbanan kami juga cukup berharga"

"Haaaahhh... haaaahhh... haaahhhh... benar, memang berharga, memang sangat berharga"

Sekalipun balas jasa yang mereka peroleh makin lama semakin berkurang, namun keuntungan yang berhasil mereka raih, justru tambah tahun tambah besar. Melepaskan kedudukannya sebagai budak, malah mereka anggap sebagai suatu pengorbanan."

Setiap orang mengira mereka adalah sepasang manusia tolol, hanya mereka sendiri yang tahu, kalau mereka bukan, tentu saja Ting Peng juga memahami akan hal ini. Itulah sebabnya mereka baru dapat tertawa dengan begitu riang gembira.
Setelah tertawa, Ting Peng baru berkata: "Andaikata kalian merasa uang yang di peroleh tidak cukup...."

"Ooh, tidak! tidak! Kami merasa cukup sekali" buru-buru Ka-cu berseru. "Toh apa keinginan kami sederhana sekali, dan lagi gampang mencapai kepuasan, lagi pula selama sepuluh tahun ini kami sudah terbiasa hidup bekerja, maka setelah keluar dari sini, bukan saja seratus tahil perak itu tak akan habis terpakai, mungkin setelah tiga lima tahun lagi, kami masih bisa untung seratus tahil perak lebih"

Tanpa terasa Ting Peng memperlihatkan sikap kagumnya, dia cukup mengerti nilai dari orang-orang persilatan diluaran. Seorang jagoan pedang kelas lima, saat dia bersedia menjual nyawa, entah jadi pelayan atau tukang pukul paling tidak dalam sebulan dia dapat meraih seratus tahil perak.

Sedang ke empat orang ini boleh dibilang sudah merupakan jagoan pedang kelas satu, tapi mereka harus membutuhkan waktu selama tiga sampai lima tahun untuk menarik keuntungan seratus tahil perak, tentu saja uang tersebut diperoleh dengan bekerja keras. Dari sini bisa terlihat betapa tawarnya mereka terhadap kemewahan dunia.

Tapi Ting Peng berkata lagi sambil menghela napas: "Ka-cu, Kalian tidak ada sangkut pautnya dengan diriku, sebenarnya akupun tak usah menguatirkan kalian, cuma aku pikir setelah ini Cia Siau hong tak akan mempunyai perhatian lagi untuk mengurusi kalian"

"Benar, majikan bilang dia hendak pergi jauh selama satu dua tahun, pergi menyambangi beberapa orang sahabat karibnya"

"Oooh.... apakah pergi sangat jauh?"

"Ya, jauh, jauh sekali, konon akan memasuki padang pasir dan menelusuri tapal batas, hanya ditempat-tempat semacam itulah barusan ditemukan tokoh-tokoh sakti dan hanya orang-orang semacam itu pula baru pantas menjadi teman karibnya Cia Siau hong."

Terhadap Cia Siau hong, selain Ting Peng merasa kagum dan memuji, diapun menaruh rasa hormat. Dia menaruh hormat kepadanya karena dia dapat melepaskan diri dari keduniawian. Ting Peng tak dapat melakukan hal itu, dia masih mempunyai hubungan dengan dunia luas, seperti juga dengan ke empat orang yang berada di hadapannya. sekalipun tak ada hubungan dengan dia, namun dia toh masih tetap menaruh perasaan kuatir terhadap mereka.

Oleh karena itu dengan tulus hati katanya: "Ka cu, dunia luar tidaklah sesederhana apa yang kau bayangkan, kecuali kalau kalian benar-benar adalah manusia sederhana."

Tentu saja ke empat orang ini bukan, orang-orang yang berasal dari perkampungan Sin kiam san-ceng bukan manusia sembarangan, apalagi kalau mereka berasal dari didikan Cia Siau hong sendiri.

Tidak menunggu ia menyelesaikan kata-katanya, Ka-cu telah berkata pula: "Kami mengerti, kalau kami mempunyai persoalan yang tak terpecahkan, kami pasti akan mencari Ting Kongcu untuk memohon bantuan!"

Memang inilah yang dinginkan Ting Peng, sekalipun tidak ia utarakan, Ka-cu telah mengatakan sendiri. Ting Peng segera tertawa, berbicara dengan seorang yang pintar memang selalu menyenangkan disamping irit tenaga, karena itu akhirnya dia hanya mengatakan: "Selamat tinggal!"

Selamat tinggal, kadangkala dapat diartikan pula sebagai jangan berjumpa lagi di kemudian hari. Sekarang dia memang mengartikan demikian, dalam hati kecilnya dia ikut berdoa semoga mereka dapat menjadi manusia biasa dan mendapatkan tempat pemondokan yang aman dan tentram.

* * *


AH KU menunggunya di depan pintu. Orang ini selamanya setia, ia tak pandai berbicara tapi memiliki otak yang cerdas, ketika dia tahu kalau majikannya tak bakal akan menjumpai mara bahaya didalam rumah penyimpan pedang itu, diapun mengundurkan diri.

Walaupun dia tak tahu apakah di luar pintu akan menjumpai mara bahaya atau tidak., tapi paling tidak, tempat itu merupakan tempat yang bisa mendatangkan bahaya. Oleh karena itu dia menunggu ke depan pintu.

Cu Siau giok sebaliknya menanti ditengah ruangan. Diapun seorang yang amat pandai. Tatkala dia tahu kalau didalam Rumah penyimpan pedang tak mungkin akan memberikan tempat dan kedudukan lagi baginya serta merta dia pun segera meninggalkan tempat itu. Ia membutuhkan suatu kedudukan yang tinggi, paling tidak suatu kedudukan yang terhormat.

Oleh karena itu dia lebih suka berada di tempat yang bisa memperlihatkan kedudukan tersebut. Maka diapun kembali ke dalam perkampungan Sin kiam san ceng, perkampungan dimana ia bisa berkuasa dan dihormati orang. Sebab hanya ditempat itulah merupakan tempat wilayah kesuksesannya...

Di tempat itulah dia menantikan kedatangan Ting Peng. Tapi apa yang hendak dia lakukan terhadap diri Ting Peng, sang pemuda yang kosen dan berilmu tinggi itu? Apa pula yang sebenarnya tersembunyi dibalik senyuman serta suara tertawanya yang manis?

Sesungguhnya rencana apakah yang terkandung dan tersimpan didalam benaknya? Sewaktu Ting Peng menyaksikan suara tertawanya, dia pun tak bisa menebak maksud tujuan apakah yang terkandung dibalik tertawa itu.

KAWANAN TIKUS

TING PENG berjalan di depan, Ak-Ku mengikuti di belakangnya. Walaupun mereka rasakan suatu suasana yang sangat aneh menyelimuti perkampungan Sin kiam san-ceng tersebut, seolah-olah di sekeliling tempat itu terdapat orang yang mengawasi mereka dari kejauhan, namun Ting Peng acuh, AH-Ku pun acuh.

Ditinjau dari gerak-gerik mereka yang lamban, kedua orang itu tahu kalau mereka tak lebih hanyalah kawanan kurcaci. Terhadap kawanan pengintip yang bukan merupakan suatu ancaman serius, mereka merasa enggan untuk mengeluarkan perhatian yang kelewat banyak.

Seperti juga terhadap kawanan tikus yang bersembunyi di belakang sudut rumah. Hampir di setiap rumah terdapat tikus, mereka selalu bergerak ditempat kegelapan secara diam-diam, sekalipun adakalanya celingukan sambil mengintip keluar, namun bila merasa kalau dirinya sedang diperhatikan orang, dengan cepat mereka menyembunyikan diri lagi.

Tentu saja tikus merupakan makhluk yang menjengkelkan, mereka dapat merusak pakaian, perabot dan mencuri makanan. Tapi tiada orang yang takut terhadap kawanan tikus, tak ada orang yang tak bisa tidur gara-gara dalam rumah ada tikus.

Begitu pula dengan kawanan manusia yang mengintip-intip sekarang, dalam pandangan Ting Peng dan Ah Ku, mereka tak lebih cuma tikus sekalipun tak sampai merupakan suatu ancaman buat keselamatan mereka toh kehadiran mereka mendatangkan pula perasaan jengkel, muak dan sebal.

Akhirnya Ting Peng tak tahan, segera ucapnya: "Ah Ku, sudah terlalu lama orang-orang itu mengikuti kita, aku merasa tak senang!"

Jika Ting-Peng sudah mengatakan tak senang, itu berarti dia harus membereskan perbuatan yang memuakkan itu dan Ah Ku memang seorang pelayan yang setia. Oleh karena itu sewaktu Ting Peng menyelesaikan kata-katanya, Ah-Ku sudah mulai bertindak.

Ting Peng tidak memperhatikan lagi gerakan yang dilakukan Ah Ku. Dia amat merasa lega terhadap kemampuan Ah Ku, dia tahu pekerjaan tersebut tentu akan dilaksanakan secara baik-baik, maka Ting Peng juga tidak menghentikan langkahnya, melainkan melanjutkan perjalanan ke depan. Telinganya dengan cepat dapat mendengar sedikit suara.

Suara, kepalan yang menghajar di tubuh orang, serta suara tulang belulang yang terhajar patah. Suara-suara tersebut dengan cepat membuat Ting Peng merasa puas, dia tahu selanjutnya paling tidak selama dia melangkah, keluar dari perkampungan Sin-kiam san-ceng tak akan ada tikus yang akan membayang-bayangi lagi.

"Triing... tinggg....! Traaang... traaang..?"

Jelas suara itu adalah suara benda tajam yang saling membentur, Ting Peng segera merasa keheranan. Suara semacam itu tidak seharusnya terdengar, masa kawanan tikuspun berani memberikan perlawanan?

Bila tikus kena didesak, memang ada kalanya akan membalas menggigit, tapi Ah Ku jelas merupakan kucing tua yang sangat berpengalaman, tak mungkin dia akan memberi kesempatan kepada sang tikus untuk balas menggigit.

"Triiing.. tring...traanng. .. traang...."

Suara senjata tajam yang saling membentur masih saja terdengar, hal ini membuktikan kalau Ah Ku telah berjumpa dengan seekor tikus yang tidak gampang ditundukkan, lagi pula sudah pasti seekor tikus besar. Akhirnya Ting Peng tak tahan dan menghentikan langkahnya, kemudian berpaling. Dia telah melihat Cia sianseng.

Cia sianseng, congkoan dari perkampungan Sin kiam san-ceng. Ting Peng sama sekali tidak merasa asing terhadap Cia sianseng, lagi pula hampir boleh dibilang merupakan sahabat lama, cuma saja persahabatan tersebut tidak begitu akrab. Pertama kali dia bertemu dengan Cia sianseng diperkampungan Siang-siong-san- ceng milik Liu Yok siong.

Hari itu, kecuali Cia sianseng, di sana pun hadir Sui-han-sam-yu yang mengangkat nama bersama Liu Yok siong. Liu Yok siong telah mencuri Thian-gwa liu-seng miliknya dan melangsungkan suatu pertarungan yang menggelikan serta memalukan itu, Cia sianseng lah ketika itu yang bertindak sebagai saksi. Semenjak hari itulah, Ting Peng mulai tidak menyukai Cia sianseng.

Walaupun dalam keadaan seperti waktu itu dia tak bisa disalahkan, Liu Yok-siong telah mengatur segala sesuatunya terlalu baik membuat Ting Peng tak mampu membantah. Tapi Ting Peng selalu merasa bahwa Cia sianseng tidak adil dalam mengatur segala-galanya. Sebagai congkoan dari Sin kiam san-ceng, dia adalah seseorang yang pantas dihormati, dia seharusnya cukup memahami tentang watak Liu Yok siong.

Paling tidak ia tidak seharusnya muncul didalam perkampungan Siang-siong san-ceng dan berkomplot dengan manusia seperti Liu Yok siong, oleh karena itu meski keputusan Cia sianseng waktu itu cukup adil, tapi Ting Peng selalu menganggap Cia sianseng telah bersekongkol dengan Liu Yok siong.

Oleh karena itu setiap kali ia bertemu dengan Cia sianseng, sikap Ting Peng tak pernah sopan, bahkan belum lama berselang dia malah menghadiahkan suatu kesulitan bagi Cia sianseng di depan perkampungan Sin kiam san-ceng, tapi ia belum pernah menyaksikan Cia sianseng menggunakan pedang.

Ilmu pedang yang dimiliki Congkoan perkampungan Sin kiam san-ceng sudah pasti melebihi siapapun, hal ini merupakan sesuatu kenyataan yang tak mungkin bisa dirubah, tapi dalam dunia persilatan belum pernah ada orang yang melihat Cia sianseng mempergunakan pedang.

Tapi hari ini, akhirnya Ting Peng dapat melihatnya. Ilmu pedang dari Cia sianseng ini selain ganas matang, juga amat keji. Ting Peng belum pernah menyaksikan jurus pedang dari keluarga Cia, tapi dia tahu ilmu pedang Cia sianseng berasal dari perkampungan Sin kiam san-ceng.

Ilmu pedang sakti dari keluarga Cia adalah suatu kepandaian yang tiada tandingannya di kolong langit, bukan saja keji juga teramat ganas, kalau tidak kedudukan perkampungan Sin kiam san-ceng dalam dunia persilatan tak akan mencapai tingkatan yang begitu tinggi dan terhormat.

Ting Peng cukup mengetahui sampai dimanakah taraf kepandaian silat yang dimiliki Ah-Ku, walaupun dia tak pernah melakukan perjalanan dalam dunia persilatan, tapi dalam dunia persilatan paling banter cuma ada lima orang yang mampu menangkannya, salah seorang diantaranya ternyata Cia sianseng.

Sepasang kepalan dari Ah-Ku merupakan sepasang senjata yang ampuh, tapi sepasang gelang emas yang berada pada lengannya merupakan semacam alat pelindung badan yang amat ampuh, bila pihak lawan mempergunakan senjata tajam, maka diapun akan menangkis dengan mempergunakan gelang emas tersebut.

Tapi sekarang, Ah Ku telah mencabut keluar pisau belati yang berada dibelitan sepatu larsnya, yang selama ini tak pernah dipergunakan. Di atas lengannya telah muncul sebuah bekas darah yang memanjang, hal ini membuktikan kalau gelang emas tersebut sudah tak mampu untuk melindungi keselamatan jiwanya lagi.

Sekalipun ada pisau belati ditangan, ternyata Ah Ku belum berhasil memperbaiki keadaannya yang semakin terdesak, pedang Cia sianseng bagaikan seekor ular beracun menyelinap kesana kemari dengan sangat gencarnya.

Orang yang bisa melukai Ah Ku jelas bukan seorang manusia sembarangan, tanpa terasa tertarik juga hati Ting Peng, dia segera berjalan balik dan mengamati permainan pedang dari Cia sianseng, dia berharap bisa lebih memahami tentang orang ini.

Tapi Cia sianseng benar-benar amat licik, ketika dia mengetahui kalau ada Ting Peng sedang mengawasinya, mendadak serangan-nya melamban, bahkan diantara jurus serangannya sengaja diperlihatkan titik-titik kelemahan.

Ah Ku adalah seorang pendekar yang berpengalaman, walaupun terluka, pikirannya tak sampai kalut, dia pun tidak dikarenakan pihak lawan mengendorkan serangannya lantas mempergunakan peluang itu untuk memanfaatkan kelemahan tersebut.

Dia malah tetap bertarung dengan taktik pertarungan semula, pisau belatinya bergerak kesana kemari dengan gencar tapi jarang melancarkan serangan balasan, bila serangan balasan dilepaskan niscaya merupakan suatu serangan yang dahsyat.

Terhadap titik-titik kelemahan yang diperlihatkan oleh Cia sianseng itu dia tak pernah menggubrisnya, walaupun dia tahu seandainya pisau ditusukkan ke depan, niscaya serangan tersebut akan menciptakan suatu luka yang mematikan di tubuh lawan.

Agaknya itulah yang diharapkan oleh Cia sianseng, penyelesaian pertarungan yang diharapkan olehnya, tapi bukan merupakan harapan Ah Ku juga bukan harapan dari Ting Peng.

Setiap kali melancarkan serangannya, Ah Ku selalu mengarah bagian-bagian tubuh yang mematikan di tubuh lawan, pisau belati yang amat pendek itu paling banter cuma seperempat dari pedang lawan. Orang bilang satu inci lebih panjang, satu bagian lebih tangguh, satu bagian lebih pendek, satu bagian lebih berbahaya.

Teori ini seringkali diucapkan oleh jago-jago yang sudah berpengalaman tentang senjata yang dipergunakan orang. Tapi pisau belati ditangan Ah Ku justru merupakan kebalikan daripada teori senjata pendek, bahaya tentu bencana, bencana harus ditolong.

Setiap serangan yang dilancarkan olehnya sudah pasti memaksa lawan untuk menolong diri, lagi pula harus dihadapi pula oleh suatu kepandaian yang tinggi. Itulah sebabnya paras muka Cia sianseng makin lama semakin serius, rencananya sama sekali tidak berhasil.

Kecuali kalau dia berani menyerempet bahaya dengan membiarkan tusukan pisau Ah Ku itu bersarang di tubuhnya. Tapi ia tak berani, bahkan tak seorang manusiapun berani mencoba, karena serangan yang dilancarkan Ah Ku kelewat cepat dan dahsyat, sedikit terlambat saja untuk berkelit, besar kemungkinan dadanya akan tertusuk hingga tembus.

Oleh karena itu bukan saja Cia sianseng tidak berhasil merahasiakan jurus pilihannya, malah justru karena keraguannya itu membuat dia harus menggunakan kekuatan yang berlipat ganda untuk membebaskan diri dari ancaman bahaya.

Tentu saja sistim pertarungan semacam ini amat payah, tak selang berapa saat kemudian Cia sianseng telah mengucurkan keringat dengan amat derasnya, sedang tindak tanduknya pun mulai gelisah.

Sebenarnya tidak sulit baginya bila ingin mengembalikan keadaan tersebut, namun dia tak berani berbuat demikian, karena dia tahu bila keadaan sudah berbalik, itu berarti dia harus berhadapan dengan serangan golok Ting Peng yang mengerikan.

Ting Peng memperhatikannya sebentar, kemudian baru katanya: "Ah Ku! Tahan....."
Cia sianseng menghembuskan napas panjang, sambil menyeka peluh yang membasahi tubuhnya, diam-diam dia merasa lega, karena dia kira persoalan pelik telah lewat. Sayangnya ia gembira kelewat awal.

"Aku akan memberi kesempatan kepadamu untuk beristirahat barang setengah jam, kemudian aku baru akan memohon petunjukmu, aku rasa kau tentunya masih mampu bukan!"

Cia sianseng memperhatikan sekejap wajahnya yang tak berperasaan itu, dia merasa segulung hawa dingin muncul dan menyusup ke dalam tubuhnya, hal mana membuat peluh panas segera berubah menjadi peluh dingin. Dia mengerti dengan mengandalkan kepandaiannya, jelas tak mungkin bisa meloloskan diri dari serangan golok yang maha dahsyat itu.

Terutama sekali setelah menyaksikan Ting Peng dapat keluar dari Rumah penyimpan pedang tanpa cedera, terlepas bagaimanakah penyelesaiannya dengan Cia Siau hong, tapi kalau dilihat dari sikap Ka-cu sekalian empat orang budak pedang yang begitu menghormat kepadanya, hal itu sudah membuktikan sesuatu yang luar biasa.

Tenggorokannya naik turun tak menentu dan ingin sekali mengucapkan sepatah dua patah kata, tapi tak tahu bagaimana harus berkata.

Sambil tertawa Ting Peng berkata: "Selamat bersua! Selamat bersua! Ternyata nama besar Cia sianseng memang bukan nama kosong belaka, kau memang tak malu menjadi congkoan dari perkampungan Sin-kiam san ceng."

Sebaliknya Cia sianseng membutuhkan tenaga yang paling besar untuk memperlihatkan sekulum senyuman paksa di atas wajahnya, lalu ia berkata pula dengan terpaksa: "Ting kongcu terlalu memuji, apakah kongcu telah berjumpa dengan majikan kami?"

"Yaa, sudah, belum lama kami baru berpisah!"

Cia sianseng berusaha keras untuk mengembangkan pembicaraan tersebut, kembali dia berkata: "Tampaknya kongcu dan majikan kami seperti merasa gembira sekali dalam pertarungan tersebut?"

Ting Peng tertawa, "Lumayan, hitung-hitung tidak sia-sia belaka perjalananku kali ini..."

Mendengar perkataan itu, Cia sianseng menjadi sangat terkejut: "Apakah kongcu telah melangsungkan pertarungan pedang dengan majikan kami?"

"Ilmu pedang Cia cianpwe sudah mencapai tingkatan yang luar biasa, mana aku berani bertarung melawannya!"

"Maksudku, apakah ilmu golok sakti dari kongcu telah bertarung dengan pedang milik majikan kami?" buru-buru Cia sianseng menerangkan.

"Boleh dibilang begitu"

"Tapi siapa yang menang dan siapa pula yang kalah?" Persoalan ini merupakan persoalan yang diperhatikan orang dan persoalan yang ingin diketahui setiap orang, sekalipun Cia sianseng merasa tegang toh tak tahan diajukan juga.

Ting Peng tertawa, sahutnya: "Saudara sebagai congkoan dari Sin kiam san-ceng tidak sepantasnya mengajukan pertanyaan ini, kau semestinya jauh lebih mengerti daripada orang lain"

"Tempat itu merupakan daerah terlarang, walaupun aku adalah congkoan dari Sin kiam sanceng, namun tempat itupun terlarang bagiku!"

"Tapi paling tidak kau toh tahu kalau tempat itu dinamakan Rumah penyimpan pedang?"

Cia sianseng tak dapat menyangkal, walaupun dia boleh dibilang tidak tahu, tapi mimik wajah dari Ting Peng membuatnya tak berani mengucapkan kata-kata bohong. Maka terpaksa dia harus mengangguk. "Yaa, aku telah mendengar hal itu dari budak-budak pedang tersebut..."

"Tentunya kau juga tahu bukan kalau majikanmu tak pernah membawa pedang selama berada dalam Rumah penyimpan pedang."

"Soal ini aku tidak tahu karena aku belum pernah masuk ke sana!"

Itupun suatu pengakuan jujur, maka Ting Peng berkata lagi. "Kalau begitu lain kali kau boleh masuk kesana, aku telah beradu kepandaian dengan majikan kalian. Cuma di tangannya tak berpedang, golokku pun tak pernah lolos dari sarung, maka menang kalahnya sukar dikatakan, kalau dikatakan aku menang, diapun tak akan memprotes, kalau dibilang dia menang, akupun tak akan mengakui!"

Tergerak hati Cia sianseng setelah mendengar perkataan itu. "Kalau begitu, kepandaian yang kongcu miliki masih satu tingkat lebih tinggi..."

"Walaupun dia tak akan memprotes, tapi akupun tak ingin berkata demikian, karena dia masih hidup dan akupun masih hidup."

Pertarungan antara jago lihay memang tak perlu ditentukan oleh mati hidup, menang kalah hanya terlintas dalam satu titik, kecuali kedua belah pihak, bahkan penontonpun sukar untuk melihat dengan jelas!

Ting Peng tersenyum, katanya pula: "Tapi aku si jago lihay justru berbeda, kemenanganku hanya bisa ditentukan apabila pihak lawan telah roboh, karena golokku adalah golok pembunuh, sebelum pihak lawan terbunuh masih belum bisa terhitung sebagai kemenangan."

Terpaksa Cia sianseng hanya mengiakan belaka. Terdengar Ting Peng berkata lebih jauh: "Ditangannya tiada pedang, golokkupun belum diloloskan, kami hanya berbincang-bincang sebentar, dalam pembicaraan tersebut kedua belah pihak telah mendapatkan pengertian, kesimpulannya yakni dia tak akan membunuhku, aku pun tak dapat membunuhnya maka diantara kami berdua masih belum diketahui siapa menang siapa kalah!"

Cia sianseng merasa sedikit agak kecewa tapi di luar dia menjawab, "kejadian ini merupakan suatu kejadian yang sangat baik, kongcu dan majikan kami sama-sama adalah dua jago lihay, siapapun tidak berharap menyaksikan salah seorang diantara kalian roboh!"

"Tapi aku merasa tidak puas, aku berharap bila lain kali berjumpa lagi dengannya, di tangannya sedang membawa pedang, sehingga kami dapat benar-benar melangsungkan suatu pertarungan untuk mengetahui siapa yang unggul."

"Pasti ada kesempatan" buru-buru Cia sianseng berkata, "seringkali majikan kami membawa pedang!"

"Kalau cuma membawa pedang saja sama sekali tak ada gunanya, karena sebelum pedang itu diloloskan dari sarungnya, mustahil hal mana bisa memancing hawa pembunuhan dalam hatiku, kami tetap tak bisa melangsungkan pertarungan tersebut!"

Tanpa terasa Cia sianseng menyarungkan kembali pedangnya, cuma dia kelewat tegang sehingga mata pedangnya tak dapat tetap masuk ke dalam sarungnya.

Melihat itu, Ting Peng segera berkata sambil tertawa: "Buat apa kau menyarungkan kembali pedangmu? Sebentar toh mesti dicabut kembali, apakah hal ini tidak terlalu merepotkan?"

Cia sianseng tertawa: "Aaah, Ting kongcu suka bergurau, masa aku berani mencabut pedang di hadapan kongcu?"

"Tapi kau toh berani mencabut pedang di belakang punggungku!"

"Hal mana kulakukan karena untuk melindungi diri, karena kalau tidak pembantumu akan membunuhku!"

"Hmmm, pembantu ku ini selalu tahu diri, tanpa sebab dia tak akan membunuh orang, andaikata dia hendak membunuhnya maka hal ini pasti didasarkan pada suatu alasan yang kuat"

"Alasan apapun tak ada, tiba-tiba dia menyerobot kehadapan kami, lalu memukul orang, sudah empat orang kami terbunuh, bila kongcu tidak percaya silahkan saja pergi ke ujung dinding sana, mayat mereka masih tergelepar di situ!"

"Tak usah dilihat lagi." kata Ting Peng sambil tertawa "aku selalu mengetahui dengan jelas hasil pukulannya, barang siapa terkena pukulannya memang sukar untuk hidup terus!"

"Orang-orang itu toh tidak mengusik dia..?"

"Mereka telah mengganggu aku, aku paling benci kalau ada orang kasak-kusuk dan bersembunyi-sembunyi sambil mengawasi diriku secara diam-diam, akulah yang suruh dia membunuh mereka!"

"Ting kongcu, tempat ini adalah perkampungan Sin kiam san ceng!" seru Cia sianseng sambil menelan air liur.

"Aku tahu, kau tak usah memberi keterangan lagi kepadaku"

"Mereka adalah anggota perkampungan ini, karena itu apa pun yang mereka lakukan hal ini dilakukan didalam rumah mereka sendiri"

Ting Peng tertawa. "Tadi sewaktu aku hendak masuk ke dalam Rumah penyimpan pedang, ada beberapa orang bersembunyi dibalik kegelapan, akhirnya mereka telah dibunuh oleh Ka-cu, kalau mereka benar-benar adalah anggota perkampungan Sin kiam san-ceng, mengapa pula mereka terbunuh...?"

"Soal itu..., soal itu karena mereka berani mengintip daerah terlarang, mereka memang pantas mati"

"Mereka juga sudah melanggar pantanganku, maka mereka juga harus mati, bila kau merasa hukumanku tak benar, silahkan saja mencari kebenaran dariku!"

Paras muka Cia sianseng berubah, tapi ia segera berusaha menahan diri, katanya kembali: "Siapa tidak bersalah dia tidak berdosa, dulu mereka tidak tahu akan pantangan kongcu, sekarang mereka sudah tahu, mengetahui akan hal ini dan aku percaya mereka tak akan melakukan pelajaran lagi."

"Soal ini tak perlu lagi" ucap Ting Peng sambil tertawa, "karena bila aku dapat meloloskan diri dari ujung pedangmu aku dapat memberitahukan kepada mereka sendiri, kalau tidak, ucapanmu itu sudah didengar pula oleh mereka."

Dengan cepat Cia sianseng mundur. selangkah, kemudian serunya keras-keras: "Ting kongcu apa maksudmu...?"

"Aku percaya kau pasti memahaminya, aku hendak menantangmu untuk berduel!"

"Soal ini... aku... mana aku berani..."

"Selamanya perkataanku tak pernah dirubah-rubah" kata Ting Peng dengan suara dalam, "kau berani juga boleh, tidak berani juga boleh, pokoknya setelah hitungan ketiga aku akan turun tangan, lebih baik himpun saja tenagamu baik-baik dan pikirlah baik-baik bagaimana caranya merobohkan diriku pada hitungan ketiga!"

Selesai berkata, dia mulai menghitung: "Satu!"

Dengan cepat Cia sianseng mundur tiga langkah.

"Dua!"

Cia sianseng sudah mundur sejauh tujuh delapan langkah, sekalipun tangannya masih menggenggam pedangnya kencang-kencang, namun selain mundur dia sudah tak tahu harus berbuat apa.

Ting Peng tidak mengejar ke depan, bahkan sorot matanya sama sekali tidak dialihkan ke arahnya, hanya goloknya pelan-pelan diangkat, seakan-akan tak perduli Cia sianseng hendak kabur seberapa jauhpun, asal kata ketiga sudah diucapkan, maka tubuhnya pasti akan terbelah menjadi dua bagian.

"Tiga!"

Cia sianseng roboh ke tanah, tapi tubuh Ting Peng masih belum bergerak, goloknya juga belum diloloskan dari sarungnya, karena kata "tiga" itu bukan dia yang meneriakkan. Tubuh Cia sinseng yang gemuk penuh daging itupun tidak sampai hancur berkeping-keping, dia masih tetap utuh dan segar bugar seperti sedia kala.

Karena bukan golok Ting Peng yang merobohkan dia, walaupun golok iblis dari Ting Peng mengerikan, akan tetapi golok itu tak akan mampu membunuh orang sebelum diloloskan dari dalam sarungnya. Diapun bukan roboh karena ketakutan, sekalipun waktu itu dia merasa ketakutan setengah mati, namun dia bukanlah manusia yang akan roboh karena ketakutan, lagi pula dia telah mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk menyambut serangan tersebut dengan sekuat tenaga.

Dia roboh karena seseorang telah menendangnya keras-keras sehingga terpental ke tanah. Pinggangnya persis terkena sebuah tendangan dari sebuah kaki yang putih halus, indah dan membuat jantung orang berdebar semakin keras. Dalam perkampungan Sin kiam san-ceng hanya ada seseorang yang memiliki kaki seindah ini. Tentu saja kaki tersebut adalah kakinya, Cia Siau giok.

Karena dialah yang pernah menendang Cia sianseng sampai roboh ke atas tanah. Dia pula yang meneriakkan angka ketiga. Kemudian dengan membawa hembusan angin harum yang memabukkan, tahu-tahu dia sudah berdiri di hadapan Ting Peng.

.... Halaman 33 s/d 38 hilang ...

....seorang diantaranya, baru menggigit dua gigitan sudah mulai muntah-muntah, setelah kurobek keluar sebiji matanya yang lain baru penurut sekali untuk menghabiskan semua daging-daging tersebut.

"Yaa, daripada kehilangan daging memang lebih enakan makan daging. Cuma perbuatanmu itupun agak kelewatan sedikit, toh bukan mereka yang pingin melihat adalah kau yang memperlihatkan kepada mereka"

"Benar, memang aku yang mengundang mereka untuk menonton, tapi sebelum itu aku telah berjanji lebih dulu dengan mereka, setelah selesai menikmati, mereka harus bangkit berdiri dan menuju ke dalam sebuah kamar untuk menyampaikan perasaan kagum mereka kepadaku, akhirnya tak seorangpun yang berani berdiri, karena didalam kamar sebelah semuanya adalah kaum wanita, dan diantaranya terdapat pula tamu-tamu yang mempunyai kedudukan terhormat."

"Bila benar-benar ada kaum pria yang masih bisa berdiri dengan santai dan berbincang-bincang dengan orang lain secara wajar, lelaki itu pasti bukan lelaki sungguhan, kecuali dia sudah diidapi semacam penyakit..."

"Kau jangan memandang begitu tak becus setiap lelaki lain, paling tidak aku sudah menjumpai seorang lelaki yang dapat menikmati diriku dengan sinar mata yang mengagumi tapi tidak emosi, juga tidak menunjukkan suatu reaksi yang istimewa!"

"Waaah, lelaki itu pasti ada penyakitan...."

"Menurut pendapatku, lelaki itu sama sekali tak berpenyakit, bahkan sehat sekali dan diapun pernah menaklukkan perempuan paling cabul dan jalang dikolong langit."

"Seandainya terhadap lelaki semacam ini, aku benar-benar akan turut mengaguminya, siapakah dia? Aku ingin sekali berkenalan dengan dirinya...!"

"Aku tahu, kau pasti akan suka sekali untuk berjumpa dengan orang ini, maka aku pun telah mengundangnya datang, sekarang mari kutemanimu untuk pergi menjumpainya!"

"Tunggu sebentar, sekalipun aku akan senang berjumpa dengan manusia semacam ini, tapi tidak suka kalau aku yang pergi menjumpainya, apakah ia tak dapat kemari untuk menjumpai diriku?"

"Tentu saja dia mempunyai alasan lain sehingga tak dapat kemari"

"Bagiku, tiada sejenis alasanpun yang bisa dijadikan alasan!"

"Tapi alasannya pasti dapat membuatmu mengakuinya secara tulus dan takluk, tak ada salahnya kau pergi untuk menengoknya, kalau alasan tidak dapat membuatmu merasa puas, kau boleh segera turun tangan untuk membunuhnya!"

Ting Peng segera menggeleng. Aku tak ingin membunuh orang hanya dikarenakan suatu persoalan kecil...."

"Kalau begitu bunuhlah aku, lagi pula kau tak usah turun tangan sendiri, asal kau menganggap alasannya tak dapat keluar bukan suatu alasan yang dapat dimaklumi, aku bersedia untuk segera memenggal balok kepala ku sendiri!"

Ternyata gadis itu berani mempergunakan keselamatan jiwa sendiri sebagai barang taruhan, sekalipun Ting Peng tidak menaruh perasaan yang tertarik terhadap persoalan itu, toh lambat laun merasa tertarik juga oleh kejadian ini."

Oleh karena itu, dia membiarkan Cia Siau giok menggandeng tangannya memasuki jalan setapak yang penuh ditumbuhi aneka bunga dan memasuki sebuah kamar yang harum baunya.

Ruangan itu merupakan sebuah ruangan yang sangat aneh, selain bunga hampir tiada perabot lainnya, di atas dinding penuh bunga dalam pot penuh bunga, pada permadani di lantai juga penuh dengan lukisan aneka bunga, bahkan satu- satunya meja yang terdapat di situ pun dipenuhi oleh bunga, seakan-akan tempat itu merupakan sebuah dunia bunga.

Bukan saja terdapat bunga di atas pohon, bunga yang tumbuh di kebun bahkan terdapat pula bunga yang tumbuh di air karena sebagian dari bangunan rumah itu dibuatkan sebuah kolam air karena beberapa kuntum bunga putih dan merah memenuhi permukaan air kolam tersebut.

Sambil tertawa Cia Siau giok segera berkata "Disinilah letak kamar tidurku, karena aku suka bunga, maka tempat ini menjadi acak-acakan harap Ting toako jangan mentertawakan!"
Barang siapa berada ditempat seperti ini, sedikit banyak perasaannya pasti akan terpengaruh juga.

Sambil tertawa Ting Peng segera berkata: "Aku pernah membaca syair orang kuno, katanya dimana ada bau bunga di situ pasti terdapat kehangatan, karena bau bunga adalah kelembutan, tidak seperti hawa golok atau hawa pedang yang menyayat badan, setelah aku berada dalam ruangan tidurmu sekarang, aku baru percaya akan hal ini, ruangan yang penuh bunga kadangkala terbawa pula hawa pembunuhan yang tebal!"

Paras muka Cia Siau-hong agak berubah, tapi dengan cepatnya dia tertawa kembali. "Tentu saja, aku adalah seorang pesilat perempuan, ayahku adalah jago pedang yang tiada tandingannya dikolong langit, aku tak akan seperti perempuan lain yang mudah dipermainkan orang!"

"Aku percaya akan hal ini, siapa tahu kalau dari dalam bunga ini secara tiba-tiba dapat meluncur keluar sebatang jarum beracun yang akan merenggut nyawaku!"

Sembari berkata dia lantas menyentil pelan sekuntum bunga mawar. "Bunga mawar banyak berduri" Hal ini diketahui hampir oleh setiap orang tapi sekalipun tercocok paling banter hanya akan melukai tangan dan tak sampai merenggut nyawa. Tapi bunga mawar dari Cia Siau giok itu dapat merenggut nyawa orang, bukan saja panah baja kecil tersebut dapat melesat dengan kekuatan yang sangat kuat lagi pula berwarna biru, warna biru berarti warna racun yang keji.

Panah itu melesat ke depan dan menancap di atas batang pohon bwee yang menghiasi ruangan, setelah berbunyi mendenting lantas melesat sampai separuh bagian. Tampaknya pohon bwee itu terbuat dari baja, tapi... mengapa pula didalam ruangan yang penuh dengan aneka bunga ini bisa terdapat sebatang pohon besi? Apa pula gunanya pohon itu?

Agaknya Ting Peng tak pernah mempertimbangkan persoalan itu, sembari mengembalikan bunga mawar itu ke tempat asalnya, dia berkata sambil tertawa. "Bagus! Bagus sekali! Bunga mawar kaya akan keindahan, tapi banyak berduri, bunga bwe bertulang besi dan berhati dingin, selain mengerti akan keindahan bunga, tampaknya kaupun mengerti sifat dari aneka bunga tersebut..."

Paras muka Cia Siau giok masih tetap seperti sedia kala, sahutnya sambil tertawa. "Dalam pandangan Ting toako hiasan-hiasan kecil semacam ini pada hakekatnya tidak berharga untuk ditengok."

Ting Peng duduk bersila di depan meja pendek, sambil tertawa Cia Siau giok turut pula duduk disampingnya, kemudian berkata: "Siaumoay mempunyai arak pek hoa jiang yang sudah berusia lama, arak itu dibuat dari madu beratus kuntum bunga, pernahkah Ting toako mencicipinya?"

Oooh... tentu saja aku bersedia untuk mencicipinya, tentu saja, ada perempuan cantik sudah seharusnya ada arak wangi, dengan begitu baru suasana menjadi lebih semarak!"

"Sayang tiada sayur, karena arak pek hoa jiang tak boleh sampai terkena pengaruh hawa panas, kalau tidak maka rasanya akan rusak sama sekali."

"Benar berada di dalam guna nirwana semacam ini, apalagi ditemani gadis seperti bidadari, kita memang seharusnya mencicipi minuman para malaikat, masakan barang berjiwa sudah sepantasnya kalau dijauhkan untuk sementara waktu"

Dia seakan-akan telah berubah menjadi seseorang yang gemar berbicara, setiap patah kata dari Cia Siau giok selalu ditanggapi dengan pujian, bahkan diberi pula keterangan-keterangan yang diperlukan. Pembicaraan semacam ini semestinya amat luwes dan santai namun Cia Siau giok justru makin murung dan tidak nampak gembira.

Dia berjalan ke tepi kolam, mengambil sebuah botol putih dari dalam air dan membuka penutup botolnya yang masih bersegel, setelah itu mengambil dua cawan dan meletakkannya ke hadapan Ting Peng.

Kemudian dia baru memenuhi cawan tersebut sembari berkata: "Arak ini hanya cocok untuk diminum dingin-dingin, oleh karena itu aku selalu merendamnya dengan air kolam, silahkan Ting toako!"

Sambil tersenyum Ting Peng mengangkat cawan itu, ketika merasa dingin ia baru berseru. "Oooh sungguh amat dingin"

"Benar, air ini adalah air dingin karena itu terasa dingin pula semua benda yang, terendam di situ"

"Oooh... aku tidak mengira kalau dalam perkampungan Sin kiam san-ceng pun terdapat sumber air dingin, menurut apa yang kuketahui hanya di sebelah barat wilayah Seng sut hay saja yang terdapat telaga dingin dan mengalirkan air dingin."

"Ting toako kau memang tak malu disebut seorang yang berpengetahuan luas, sampai tempat terpencil semacam inipun kau ketahui."

"Aku hanya merasa tertarik oleh sumber air dingin tersebut" kata Ting Peng sambil tertawa.

"Padahal sumber air tersebut amat sederhana, hanya sumber air dari Bu sit hui swan sian dicampur dengan sumber air Leng ciu Hou hau swan belaka!"

"Oooh... itu mah dua buah sumber mata air yang amat termasyhur di kolong langit"

Sumber air dari Hui swan cocok untuk membuat arak, sumber air dari Hou swan cocok untuk dimasak dan digunakan, maka akupun seringkali menggunakan separuh air itu untuk minum the dan separuh dari air yang lain untuk minum arak, tiada sesuatu yang luar biasa."

"Cuma kalau dua macam sumber air itu digabungkan menjadi satu lantas menimbulkan hawa dingin baru pertama kali ini kudengar."

"Ting toako, kau sungguh cermat!" seru Cia Siau giok sambil tertawa lebar.

"Berada di tempat yang penuh hawa pembunuh, mau tak mau aku harus bersikap berhati-hati sekali."

"Dua macam sumber air itu tentu saja tak akan menjadi dingin, air itu menjadi begini karena air tersebut mengalir masuk melalui puncak pohon Bwee itu dan mengalir keluar dari akar pohon Bwee hanya begitu saja."

Yang dimaksudkan sebagai pohon Bwee tak lain adalah pohon besi tersebut. Ting Peng memperhatikannya sekejap, kemudian berkata: "Kalau memang begitu tak aneh lagi, sekalipun air panas yang mengalir melewati besi dingin tersebut airnya tentu akan menjadi dingin pula, nona Cia. Kau benar-benar mempunyai otak yang sangat cerdas."

Besi dingin memang sifatnya dingin sekali, kendatipun di bawah terik matahari, besi itu akan tetap dingin. Cuma besi semacam itu mahal harganya, kebanyakan digunakan orang untuk membuat pedang mestika atau golok mestika. Tak nyana Cia Siau giok justru menggunakannya sebagai pohon.

Tapi.... Kalau toh pohon tersebut terbuat dari besi dingin, tapi bidikan panah tadi sanggup menembusi pohon besi tersebut, bukankah hal ini berarti kalau panah tersebut jauh lebih tajam?

Tapi Ting Peng seakan-akan tak pernah berpikir sampai ke masalah tersebut. Bahkan senyuman dari Cia Siau giok membuatnya tidak berpikir sampai kesana, karena senyuman Cia Siau giok pada saat ini mempunyai daya pikat yang tak terlukiskan dengan kata-kata.

Ternyata Ting Peng dibuat termangu-mangu olehnya. Sepasang mata Cia Siau giok seakan-akan tertutup oleh selapis kabut tipis, membuatnya nampak merangsang dan menawan hati. Tapi Ting Peng telah menghela napas, menghela napas panjang.

Dalam keadaan dan suasana seperti ini ternyata dia masih dapat menghela napas panjang, tak heran kalau sampai Cia Siau giok sendiripun merasa amat terperanjat, kemudian apa yang dikatakan Ting Peng selanjutnya membuat gadis itu makin terkesiap.

"Aku pernah bertanya kepada ayahmu, apakah kau adalah putrinya...?"

Cia Siau giok agak tertegun sesaat, kemudian baru katanya sambil tertawa: "Dan bagaimana jawabannya?"

"Ternyata dia tidak menyangkal!"

Kali ini suara tertawa Cia Siau giok kelihatan gembira sekali. "Aku memang putri kesayangannya, tentu saja dia tak akan menyangkal..."

"Cuma diapun merasa ada perlunya untuk mengejar pertanyaan tersebut lebih lanjut, maka dia mendesak Ting Peng lebih jauh.

"Mengapa kau mengajukan pertanyaan semacam itu? Apakah kau mencurigai aku bukan putrinya Cia Siau hong?"

Ting Peng manggut-manggut. "Yaa, kau memang kelihatannya tidak mirip!"

"Mengapa tidak mirip? Apakah untuk menjadi ayah dari seorang anak gadis semacam aku masih diperlukan syarat-syarat lain yang lebih istimewa...?"

"Itu mah tidak. Cuma Cia Siau hong adalah seorang pendekar besar yang dihormati setiap umat persilatan di dunia ini!"

"Apa sangkut pautnya antara persoalan ini dengan anak gadisnya?"

"Tiada sangkut paut yang kelewat besar, di dalam pandangan sementara orang, untuk menjadi anak gadis Cia Siau hong, paling tidak dia seharusnya seorang pendekar wanita yang dihormati dan disegani setiap orang!"

Cia Siau giok segera tertawa: "Ting toako agaknya kau lupa, semasa muda dulu ayahku adalah seorang lelaki yang romantis, dia sudah pernah membuat beberapa orang anak gadis jatuh cinta kepadanya!"

"Hal itu memang benar, kisah romantis tentang ayahmu memang sama tersohornya dengan kehebatan ilmu pedangnya!"

"Sedikit banyak yang menjadi anak gadisnya pasti akan mendapat warisan pula atas watak dari ayahnya, kalau aku adalah putranya, maka aku pasti dapat menarik perhatian banyak sekali anak gadis!"

Ting Peng tak dapat menyangkal akan ucapan tersebut. Sambil tertawa kembali Cia Siau giok berkata. "Tapi aku justru adalah anak gadisnya, maka aku hanya bisa menarik perhatian kaum lelaki, jika aku harus menurut adat kesopanan dan adat istiadat untuk menjadi seorang gadis yang halus dan alim, maka hal tersebut malah sama sekali bukan sifat dari seorang anak gadis Cia Siau hong"

Mengenai masalah ini, Ting Peng juga tak dapat menyangkal, maka Cia Siau giok pun berkata lebih lanjut.

"Sekalipun ayahku amat romantis, namun dia tak cabul, perempuan-perempuan yang menjadi pilihannya juga merupakan perempuan-perempuan cantik, perempuan cantik yang sukar dijumpai diantara seribu orang perempuan cantik lainnya!"

Ketajaman mata Cia sam sauya dalam memilih perempuan memang termasyhur karena....

.... Halaman 53 s/d 58 hilang ....

....menghajar sebanyak dua puluh kali saja dan segera menghentikan perbuatannya. Tapi Cia Siau giok sudah menangis tersedu-sedu dengan teramat sedihnya.

Dengan dingin Ting Peng mendorong tubuhnya ke tanah, kemudian sambil memandangnya dengan dingin dia berkata:

"Andaikata kau bukan putrinya Cia Siau hon, sekali bacok aku telah menghabisi nyawamu, karena kau adalah putrinya Cia Siau hong maka aku baru mewakilinya untuk memberi pelajaran kepadamu, kau memang membutuhkan suatu pendidikan secara baik."

Cia Siau giok berbaring di atas tanah, dia hanya bisa miringkan badan sambil memukul-mukul tanah, makinya dengan suara lantang: "Ting Peng kau si anak kura-kura, cucu kura-kura, kau bukan manusia, kau adalah seekor babi, seekor anjing...."

Tapi babi tersebut, anjing tersebut sudah tidak mendengar lagi caci maki serta sumpah serapahnya. Ting Peng sudah beranjak pergi meninggalkan tempat itu. Setelah menyumpahi beberapa waktu Cia Siau- giok menjadi jemu sendiri, ia pun segera menghentikan caci makinya, mula-mula masih menggertak gigi, menyusul kemudian diapun tertawa.

Siapapun tidak menyangka setelah menerima hajaran yang luar biasa, dia masih dapat tertawa. Tapi Cia Siau-giok memang sedang tertawa, bahkan dia sedang tertawa dengan amat gembiranya. Apakah diapun mengidap suatu penyakit suka dihajar orang?"

Pertanyaan itu segera diajukan seseorang, dia adalah seorang perempuan setengah umur, wajahnya biasa dan paras mukanya tidak menunjukkan perubahan apa-apa, dia masuk ke dalam dengan begitu saja, kemudian setelah mengawasi Cia Siau-giok berapa saat dia menegur:

"Siau giok apakah kau mempunyai persoalan?"

Cia Siau-giok segera berpaling dan menjawab: "Tidak, Ting Hiang, aku tidak mempunyai persoalan!"

Ternyata perempuan itu bernama Ting Hiang, melihat sikap dan panggilannya terhadap Cia Siau giok, hal ini membuat kedudukan perempuan itu menjadi aneh, tidak seperti atasan, tidak seperti pula orang bawahan.

Hubungannya dengan Cia Siau giok amat akrab, tapi dia memanggil Cia Siau giok langsung dengan namanya, sedang Cia Siau giok juga langsung memanggil namanya, hal ini menunjukkan kalau dia bukan apa-apanya Cia Siau giok, tapi siapakah perempuan itu?

Dengan suara dingin kembali Ting Hiang berkata: "Sebenarnya tadi kau mempunyai banyak kesempatan untuk membinasakan dirinya"

Dengan cepat Cia Siau giok menggeleng. "Aku sama sekali tak ada kesempatan, dia terlalu licik dan teliti, belum lagi panah terbang bunga mawar bergerak dia sudah tahu, masih ada lagi kelambu Ting Hiang ciang milikmu, hanya bergerak sedikit saja sudah dibabatnya sampai putus menjadi dua!"

"Tapi itu toh baru dua macam, padahal disini terdapat sembilan macam alat perangkap!"

"Aku percaya tak ada semacam pun yang dapat mengelabuhi dirinya, paling banter hanya mencari penyakit buat diri sendiri, kau toh sudah melihat sendiri, dia meneguk secawan embun dewa Sin sian tok, alhasil dia sama sekali tidak menunjukkan reaksi apa-apa, bunga-bunga beracun dan bubuk-bubuk beracun juga telah dikeluarkan tapi tidak mendatangkan hasil apa apa..."

Ting Hiang termenung dan berpikir sesaat kemudian, baru ujarnya. "Bocah keparat itu memang benar-benar merupakan seseorang lelaki keras yang belum pernah kujumpai seratus tahun terakhir ini, dibandingkan dengan ayahmu semasa mudanya dulu masih jauh lebih sukar dihadapi."

"Ting Hiang, bagaimana dengan ayahku semasa masih mudanya dahulu?" tanya Cia Siau giok kemudian.

"Tidak selisih jauh, cuma hatinya kelewat lembek, terutama sekali bila berhadapan dengan perempuan, hatinya tak dapat dikeraskan kembali, tidak seperti keparat itu, ternyata dia tega untuk menghajar pantatmu."

Wajah Cia Siau giok nampak berseri-seri, katanya. "Hanya lelaki semacam dialah merupakan seorang lelaki yang sejati, berani berbuat dan berani bertanggung jawab."

"Apakah kau suka digebuki olehnya?"

Cia Siau giok menghela napas panjang. "Aaai... tiada orang yang gemar digebuki, akupun tidak memiliki penyakit semacam itu, aku tidak suka bertelanjang bulat dan membiarkan seorang lelaki menghajar pantatku!"

"Tapi tampaknya kau merasa sangat gembira, bahkan masih dapat tertawa girang."

"Yaa, aku gembira karena dia menghajarku, hal ini membuktikan kalau dia benar-benar menyukai diriku, memperhatikan aku, karena perbuatanku memang pantas untuk dihajar."

Mendadak paras mukanya berubah menjadi pedih dan sedih kembali, dia melanjutkan: "seandainya sejak kecil ada orang yang mendidikku dengan cara begini, memberi nasehat kepadaku, maka aku tidak akan bersikap jalang seperti saat ini."

"Benar...!" sahut Ting Hiang agak emosi, "Siau giok, hal ini harus menyalahkan ayah mu, seandainya dia mau datang menjenguk ibumu, kaupun tak akan mengalami nasib seperti hari ini!"

Kedua orang itu terbungkam untuk beberapa saat lamanya, kemudian Ting Hiang berkata lagi setelah menghela napas panjang: "Cepat kenakan pakaianmu, sebentar Cia Im gak akan datang kemari...!"

"Mau apa dia datang kemari? Suruh dia enyah sejauh-jauhnya dari hadapanku!" teriak Cia Siau giok dengan perasaan muak.
Selanjutnya,
Golok Bulan Sabit Jilid 16