Dyah Ratna Wulan Jilid 03

Cerita Silat Indonesia Karya Kho Ping Hoo. Dyah Ratna Wulan Jilid 03
ORANG ini belum tua benar, usianya kurang lebih tiga puluh tahun dan dahulu adalah anak buah tentara yang dipimpin oleh Rangga Lawe di Tuban. Ia dahulu bekerja menjadi jagal (Pemotong hewan) dan selain tangannya besar, juga ia amat pandai berkelahi, mengenal banyak macam ilmu pukulan dan gulat. Orangnya besar, akan tetapi hatinya jujur.

Ketika Bupati Rangga Lawe memberontak terhadap Majapahit, ia mesuk menjadi anggota barisan dan sepak terjangnya dalam peperangan amat mengejutkan musuh-musuhnya. Akan tetapi akhirnya, barisan Rangga Lawe hancur sehingga Bejo terpaksa melarikan diri dengan beberapa orang kawannya. Kini melihat seorang dara yang demikian gagah dan sombongnya, ia menjadi tidak sabar lagi karena merasa bahwa kehormatan rombongannya di singgung dan di hina.
Cerita Silat Indonesia Karya Kho Ping Hoo
“Akulah orang terkuat diantara kawan-kawanku. Namaku Bejo asal dari Tuban. Kau ini anak perempuan ringkih (lemah) ternyata bermulut lancang. Apakah kegagahanmu menyamai Srikandi? Nah, aku telah maju, hayo, kau boleh bertindak apa saja untuk mencoba kepandaian!”

Sambil berkata demikian ia melembungkan dadanya dan berdiri di depan Ratna Wulan sambil bertolak pinggang, seakan-akania menawarkan dadanya untuk dipukul. Karena Bejo melangkah maju sampai dekat sekali dengan Ratna Wulan, gadis itu melangkah mundur setindak sambil berkata menyindir.

“Namamu Bejo (mujur), akan tetapi dengan sikapmu yang kasar dan sombong ini kau mendatangkan kemalangan bagi dirimu. Dalam dua hal kau mungkin melebihi kerbau, akan tetapi dalam satu hal kau kalah oleh kerbau itu!”

Bejo memandang bodoh. “Eh, apa maksudmu?”

“Kau masih melebihi kerbau dalam hal tenaga dan bau tak enak, akan etapi otakmu lebih bodoh dari pada kerbau. Binatang itu masih dapat mengenal orang yang lebih kuat daripadanya, akan tetapi kau menyeruduk saja seperti kerbau gila.”

Semua orang tertawa mendengar ini dan Bejo menjadi marah sekali. “Bocah kurang ajar! Jagalah lidahmu baik-baik. Kalau aku sudah marah, mungkin aku lupa bahwa kau adalah seorang gadis muda yang ringkih dan cantik!”

“Ringkih? Boleh kucoba! Nah, makanlah pukulanku ini!” Sambil berkata demikian, Ratna Wulan mengirim pukulan kearah dada Bejo yang tersenyum mengejek sambil memasang dadanya! Ratna Wulan membuka jari tangannya dan menepak (memukul dengan telapak tangan) kearah dada itu sambil berseru.

“Robohlah kau kerbau!” Ketika telapak tangan yang berkulit halus itu menumbuk dada Bejo, terdengar suara.

“Buk!” bagaikan bedug ditabuh dan alangkah herannya semua orang ketika melihat betapa tubuh Bejo yang tinggi besar itu mencelat dan terlempar kebelakang dua tombak lebih seakan-akan terbawa oleh angin puyuh! Inilah dorongan yang dilakukan dengan Aji Lesus (Angin Putar) yang dahsyat sekali.

Bejo merasa demikian terheran-heran dan terkejut sehingga ketika pantatnya berdebuk menimpa tanah, ia terkejut dan memandang dengan bengong. Ia tidak merasa sakit pada dadanya yang dipukul tadi, akan tetapi tenaga mendorong itu benar-benar luar biasa hebatnya, lebih kuat dari pada serudukan seekor kerbau jantan.

Akan tetapi ia adalah seorang laki-laki yang kuat dan berani, maka setelah melihat bahwa dara itu bukanlah seorang biasa dan benar-benar memiliki ilmu kepandaiannya, ia lalu melompat dan sambil mengeluarkan suara keras seperti lembu menguak, ia menerkam ke depan mengirim pukulan dengan kepalan tangannya yang besar dan mengerikan itu.

Namun Ratna Wulan memperlihatkan ketangkasan dan kegesitannya. Mudah saja ia mengelak dan biarpun Bejo mengeluarkan seluruh kepandaiannya dan memukul dengan bertubi-tubi. Namun selalu pukulannya mengenai angin belaka. Beberapakali kepalannya telah hampir mengenai sasaran, akan tetapi dengan terampil sekali, jari-jari tangan Ratna Wulan yang mengebut dengan perlahan telah cukup untuk membuat pukulannya menjadi mencong arahnya dan tidak mengenai sasaran.

“Hai, kerbau gila! Coba kau kejar aku!” tiba-tiba Ratna Wulan mentertawakannya dan tubuh dara perkasa itu berkelebat ke sana ke mari mengelilingi tubuh Bejo yang menjadi pening karena ia harus berputar-putar mengejar bayangan lawannya yang gesit itu.

Belum pernah ia mengalami hal luar biasa seperti ini, maka sebentar saja kepalannya menjadi pening dan pandangan matanya berkunang-kunang. Terpaksa ia menghentikan serangannya dan biarpun ia berdiri tegak, namun tubuhnya bergoyang-goyang seakan-akan bumi yang dipijaknya terputar atau seakan-akan ia merasa ada lindu besar saat itu.

Ketika Ratna Wulan juga menghentikan gerakannya dan berdiri sambil tersenyum-senyum di depannya, Bejo yang telah dapat memenangkan pikirannya itu tiba-tiba menyerang dengan seluruh tenaga yang ada padanya. Ia maju menubruk dengan kedua tangan di pentang bagaikan seekor alap-alap menyambar anak ayam. Ia maklum bahwa ia kalah gesit dan kalau ia main pukul saja, ia takkan berhasil, maka kini hendak menggunakan ilmu gulat, hendak menangkap dan memiting tubuh lawannya sampai gadis itu menjerit-jerit minta ampun.

Akan tetapi kembali ia salah hitung. Mana Ratna Wulan mau membiarkan tubuhnya di tangkap dan di dekap oleh orang yang bau keringatnya saja telah membuat kepalanya pusing itu. Dengan amat cekatan ia melompat ke samping dan ketika tubuh Bejo menubruk lewat, ia menggerakkan kakinya dan menjegal kedua kaki Bejo yang tak dapat di tahannya lagi jatuh tersungkur dengan tubuh tertelungkup.

Sehingga ketika ia merangkak bangun dengan terheran-heran, jidat dan dadanya menjadi merah karena kulitnya lecet dan darah mengalir keluar. Bejo merangkak bangun dengan perasaan malu dan terheran-heran, sedangkan para penonton kini tak dapat ditahan lagi bersorak gemuruh karena kagum sekali melihat kehebatan Ratna Wulan.

Sebelum Bejo jatuh tersungkur, semua orang menahan napas dan tak dapat mengeluarkan suara saking herannya, akan tetapi kini baru terbuka mata mereka bahwa dara jelita itu ternyata adalah seorang pendekar wanita yang benar-benar mengingatkan mereka dan pahlawan wanita yang gagah perkasa itu.

Sementara itu, Bejo yang merasa amat marah dan malu, cepat bangun lagi dan kini ia menarik keluar kelewangnya, yaitugolok pemotong kerbau yang lebar dan tajam!

“Keparat perempuan! Berani kau menghina Bejo, awas, tubuhmu akan kucacah-cacah sampai hancur lebur!” Ia hendak menyerang dengan kelewangnya, akan tetapi tiba-tiba orang tua tadi berseru.

“Bejo, tahan!”

Ternyata Bejo kalah pengaruh dan ia lalu mengurungkan niatnya serta melangkah mundur dengan kepala tunduk, kembali ketempat kawan-kawannya.

“Wanita digdaya ini bukanlah lawanmu!” kata pula orangtua itu, lalu ia menghadapi Ratna Wulan sambil berkata dengan mata memandang kagum. “Sungguh hebat ilmu kepandaianmu. Kulihat kau membawa anak panah dan busur, maukah kau memperlihatkan kepandaianmu dalam ilmu memanah?”

Sebelum Ratna Wulan menjawab, ia telah memandang ke arah kelompok anak buahnya dan memanggil.

“Parta, coba kau uji ilmu memanahmu dengan wanita digdaya ini.”

Melompatlah keluar seorang anak muda yang usianya kira-kira dua puluh lima tahun, berwajah tampan dan berkulit langsat. Ia membawa sebuah gendewa dan pada punggungnya terdapat tempat anak panah yang penuh dengan anak panah berbulu putih. Tanpa banyak bicara ia menurunkan anak panah tiga batang, dan kakek tadi lalu berkata kepada Ratna Wulan.

“Lihatlah kepandaian memanah anak buahku ini dan kalau kau memang dapat menyamai kepandaiannya, benar-benar kau seorang gadis pendekar!”

Ratna Wulan tersenyum dan ia pun mengambil tiga batang anak panah dan mempersiapkan gendewanya, memandang kepada Parta dengan mulut tersenyum dan sikap tenang sekali. “Aku siap sedia!” katanya singkat.

Parta lalu memasang anak panah pertama pada gendewanya dan ketika ia menarik gendewanya lalu melepaskannya, terdengar bunyi angin anak panah yang meluncur keatas itu, lenyap ditelan malam gelap. Akan tetapi karena bulunya putih dan langit diterangi oleh bulan, orang masih dapat melihat anak panah kedua yang cepat sekali meluncur ke atas menyusul anak panah pertama dan tepat sekali anak panah itu bersambung dan terus mental ke atas dengan lurus! Kembali terdengar angin anak panah ke tiga melesat lebih cepat lagi, menyusul kedua anak panah itu dan kini anak panah kedua sehingga di udara terdapat tiga batang anak panah yang sambung-menyambung! Pecahlah tepuk sorak memuji dari para anak buah rombongan itu sambil memandang ke arah tiga batang anak panah yang telah habis tenaga luncurannya dan melayang turun kembali. Akan tetapi tiba-tiba terdengar dara perkasa itu berseru.

“Lihatlah anak panahku!” Sekaligus Ratna Wulan memasang tiga batang anak panah pada tali gendewanya dan setelah membidik dan mulutnya bergerak membaca mantra (doa), ia menarik gendewanya dan melesatlah tiga batang anak panah itu bagaikan kilat menyambar.

Terdengar lengking yang nyaring ketika tiga batang anak panah itu menembus udara dan menyambar ke arah tiga batang anak panah Parta yang sambung-menyambung dan sedang meluncur turun itu. Para penonton memandang dengan mata terbelalak dan mereka melihat betapa tiga batang anak panah dara pendekar itu menyambar anak panah Parta sehingga anak-anak panah yang pertama itu terputus menjadi tiga lagi dan jatuh melayang ke bawah bersama-sama anak-anak panah Ratna Wulan.

Parta menjadi amat penasaran dan marah, akan tetapi ketika ia dan kawan-kawannya menghampiri anak-anak panahnya dan melihat, ia menjadi pucat, sedangkan kawan-kawannya melenggong dengan penuh keheranan. Ternyata bahwa ketiga batang anak panah Parta itu semua telah kehilangan kepalanya, terputus oleh anak-anak panah gadis itu.

“Bukan main!” Parta berbisik takjub, “Guruku sendiri belum tentu dapat melakukan hal ini!” Pernyataan Parta yang sekaligus menyatakan kekalahannya ini merupakan pujian terbesar, karena semua orang disitu telah tahu akan kepandaiannya dan kini pemuda itu menyatakan bahwa ilmu memanah gadis itu bahkan lebih unggul dari pada gurunya sendiri. Tentu saja semua orang menjadi kagum dan bersorak gembira.

Kakek yang memimpin rombongan itu lalu melangkah maju menghadapi Ratna Wulan sambil mengembalikan tiga batang anak panahnya. “Nona, kau benar-benar memiliki kesaktian yang mengagumkan. Belum pernah aku melihat seorang wanita seperti kau, demikian gagah perkasa sungguhpun masih amat muda sekali. Nona yang gagah, jangan membuat kami menjadi pensaran. Ketahuilah bahwa diantara pasukan kami ini, yang paling kuat tenaganya adalah Bejo, dan yang paling pandai mempergunakan anak panah adalah Parta. Sedangkan orang ketiga yang paling pandai berkelahi mempergunakan senjata adalah aku sendiri, maka sekarang kuharap kau suka memperlihatkan kepada kami bahwa selain kepandaianmu luar biasa tadi, engkaupun pandai mainkan senjata sebagai seorang santika (ahli main senjata) yang sakti mandraguna.” Sambil berkata demikian, kakek itu lalu mencabut kerisnya dan mengambil sebuah perisai yang bundar bentuknya.

“Paman, kau mengajak main-main dengan pusaka, apakah itu tidak berbahaya?” kata Ratna Wulan, “kata-kataku ini bukan berarti bahwa aku takut bermain keris, akan tetapi kulihat pusakamu itu baik juga, maka sayang sekali kalau sampai rusak.”

Kakek itu memandang heran. “Rusak? Bocah ayu (anak cantik), ketahuilah, pusakaku ini adalah pusaka dari Lumajang yang amat ampuhnya, bagaimana bisa rusak?” katanya sambil mengacung-acungkan kerisnya yang berluk tiga.

Berdebarlah dada Ratna Wulan mendengar disebutnya Lumajang ini. “Bolehkah saya mengetahui, paman ini siapakah?”

Orang tua itu tersenyum lalu menjawab setelah menarik napas panjang, “Dahulu aku adalah seorang di antara pemimpin pasukan Lumajang, akan tetapi sekarang hanyalah seorang kepala rombongan pelarian ini. Namaku Waluyo, maka berhati-hatilah kau menghadapi permainan kerisku, karena kau berhadapan dengan seorang bekas panglima perang di Lumajang.”

Makin gembiralah hati Ratna Wulan mendengar ini, akan tetapi sebelum bicara terlebih lanjut, ia hendak menguji dahulu sampai di mana kepandaian orang tua ini. Maka ia lalu mencabut kerisnya Kyai Banaspati dan berkata. “Marilah kita main-main sebentar Paman Waluyo. Akan tetapi sekali lagi kuperingatkan, jangan kau terlalu berani mengadu kesaktian pusakamu dengan kerisku ini. Banyak kemungkinan pusakamu akan rusak karenanya!”

Pak Waluyo memandang pusakanya dan menjawab. “Pusaka ini adalah senjataku semenjak pertama-tama menjadi perajurit. Kalau sekarang pusaka ini sampai rusak, itu berarti bahwa aku tak cakap pula memimpin pasukan. Hayo, majulah, dan kau boleh meminjam sebuah tameng (Perisai) kepada seorang kawanku.“

“Tak usah paman, bukanlah kita hanya main-main saja?”

Sikap yang agaknya memandang remeh ini membuat Waluyo merasa penasaran juga, maka ia lalu berseru dan menyerang dengan kerisnya. Ratna Wulan cepat menggeser kakinya dan mengelak dengan cepat, lalu dari samping ia membalas dengan serangannya. Waluyo tidak mau berlaku lambat dan sambil majukan perisai untuk menangkis serangan lawan ini, ia membarengi dengan sodokan keris pada lambung lawannya!

Gerakan ini cepat sekali dan otomatis datangnya sehingga merupakan serangan balasan yang amat berbahaya. Kalau sekiranya Ratna Wulan memegang perisai, tentu ia dapat mempergunakan perisainya untuk menangkis. Akan tetapi gadis ini tidak mengkhawatirkan serangan lawan, bahkan ia khawatir ketika melihat lawannya menangkis dengan perisai, oleh karena ia maklum bahwa tidak ada perisai yang akan sanggup menangkis Kyai Banaspati!

Oleh karena itu, secepat kilat ia memutar tubuhnya dan memapaki perisai itu dengan pukulan telapak tangannya, sedangkan keris dari Waluyo itu terpaksa ia tangkis dengan kerisnya sendiri.

“Brak! Trang!”

Dua suara ini berbunyi hampir berbareng ketika perisai itu menjadi pecah terkena pukulan telapak tangan Ratna Wulan, sedangkan ketika kedua pusaka itu beradu, memancarkan bunga api dan terdengar seruan kaget dari Waluyo karena keris pusakanya telah patah ujungnya! Bekas penglima ini berdiri dengan muka pucat sekali dan memandang kepada perisainya yang telah pecah dan kerisnya yang telah patah. Melihat kesedihan dan muka yang menunjukkan rasa malu besar itu, Ratna Wulan lalu berkata menghibur.

“Paman Waluyo, jangan kau merasa penasaran, karena kau bukan dikalahkan oleh orang lain. Aku adalah Ratna Wulan juga seorang Lumajang! kenalkah kau kepada Senapati Nagawisena?”

“Tentu saja aku mengenal mendiang Nagawisena dengan baik, karena dahulu aku berada di dalam pasukan yang dipimpinnya.” kata Waluyo dengan heran. “Kau siapakah?”

“Aku adalah puteri tunggalnya!”

Bukan main girangnya hati Waluyo dan lain-lain kawannya mendengar ini dan semua orang lalu mengerumuni dara perkasa itu sambil memandang dengan penuh kekaguman. Lebih-lebih Waluyo, seakan-akan ia bertemu kembali dengan peminpinnya yang telah meinggal dunia, sehingga Ia segera berlutut hendak menyembah Ratna Wulan!

Akan tetapi gadis itu cepat memegang tangan kakek itu dan menariknya bangun kembali. “Jangan begitu, paman. Aku hanya orang biasa saja yang bodoh dan sama sekali tak patut mendapat penghormatan besar. Kedatanganku ini sebenarnya karena tertarik hatiku mendengar bahwa disini terdapat sisa-sisa pemberontak yang dipukul mundur oleh tentara majapahit, dan terutama sekali karena mendengar betapa kalian telah melakukan perampokan terhadap penduduk gunung ini. Ibuku menganggap kalian sebagai kawan-kawan seperjuangan, dan tentu saja aku merasa malu kalau mempunyai kawan-kawan yang menjadi perampok dan mengganggu rakyat di sini.”

“Ibumu masih hidup?” kata Waluyo dengan muka girang, kemudian ia menghela napas ketika mendengar celaan Ratna Wulan tentang perampok itu. “Memang kami telah melakukan perampokan beberapa kali, akan tetapi percayalah, hal itu kami lakukan dalam keadaaan terpaksa karena kami telah kehabisan ransum. Kami sedang mengumpulkan tenaga untuk mengabungkan diri dengan pemberontak-pemberontak lain yang akan dipimpin oleh panglima-panglima Kuti dan Semi!”

Kemudian Waluyo menceritakan bahwa sebagian besar daripada kawan-kawannya itu adalah bekas Anak buah Rangga Lawe dan Raden Sora, dua orang panglima yang telah gagal dan tewas dalam usaha mereka menumbangkan kekuasaan Prabu Jayanagara yang dipengaruhi oleh Begawan Mahapati.

“Bertahun-tahun kami menjadi orang buruan dan menjadi pelarian yang hidup di hutan-hutan, mencari kesempatan untuk membalas dendam kepada Bagawan Mahapati yang merupakan musuh besar sekalian pemberontak, oleh karena pendeta itulah sesungguhnya yang mendatangan kebencian dalam hati kami.”

“Dan tahukah kau akan seorang yang bernama Kartika, paman?”

“Siapa yang tidak tahu akan bedebah itu!” Sepasang mata Waluyo memancarkan api kemarahan. “Dia lebih jahat daripada gurunya dan aku telah bersumpah bahwa sekali waktu akan kubelek perutnya dan akan kukeluarkan jantungnya!”

Melihat kebencian orang tua itu terhadap Kartika, Ratna Wulan merasa heran, menceritakan bahwa anak gadisnya telah ditawan oleh Kartika dan dipaksa menjadi selirnya!

“Manusia busuk itu dengan kejamnya menghancurkan seluruh keluarga pemimpin-pemimpin pemberontak. Celakalah orang-orang yang diketahui menjadi anggota keluarga orang yang telah memberontak, karena mereka takkan diberi ampun. Kalau mereka bukan perempuan-perempuan muda dan cantik, pasti mereka dibunuh, sedangkan perempuan-perempuan muda mereka tawan untuk menjadi bahan penghinaan!” Setelah berkata demikian, Waluyo berdiri mengepal tinju dan mengertakkan giginya.

“Paman Waluyo, kau tentu tahu tentang tewasnya mendiang ayahku.”

Waluyo mengangguk. “Ayahmu binasa dalam tangan Kartika pula, memang manusia itu amat curang Dan jahat.”

“Karena itulah, paman, maka aku mempelajari semua kepandaian ini. Aku akan mencari mereka dan membalas dendam kepada keparat itu berikut gurunya.”

“Bagus, kami akan membantumu, jeng Ratna. Kau memiliki ilmu kepandaian yang hebat dan luar biasa, maka sudah sepatutnya kalau kau menjadi pemimpin kami! Bagaimana, kawan-kawan, setujukah kalau kita mengangkat dara perkasa ini menjadi pemimpin kita?”

“Akur! Akur!”

“Setuju sekali!”

Ratna Wulan mengangkat kedua tangannya ke atas, dan menggelengkan kepalanya. “Sabar, saudara-saudara! Sungguhpun aku menaruh hati dendam kepada Kartika dan Mahapati, akan tetapi aku tidak tahu-menahu tentang pemberontakan terhadap Kerajaan Majapahit. Hal itu bukan urusanku. Aku hanya ingin mencari dan membalas dendam terhadap kedua orang itu, dan sama sekali tidak ingin menyerang Kerajaan Majapahit.”

Semua orang yang tadinya merasa gembira sekali karena mereka telah menaruh pengharapan besar kepada dara perkasa ini, menjadi diam dan bungkam. Akan tetapi Waluyo mencelanya.

“Jeng Ratna! Mengapa kau berkata demikian? Bukankah mendiang ayahmu juga seorang pemberontak terhadap Kerajaan Majapahit?”

Ratna Wulan menggelengkan kepala lagi. “Bukan, paman. Dalam pandanganku, juga menurut seorang senapati Lumajang, seorang perajurit yang memenuhi tugasnya sebagai ksatria sejati. Tentang pemberontakan-pemberontakan itu, biarlah hal itu diserahkan dan dipimpin oleh mereka yang memang mempunyai kepentingan dengan pemberontakan itu. Bagiku, asal saja aku sudah dapat membalas dendam kepada kedua orang itu, cukuplah. Lagi pula, agaknya akan lebih mudah dan leluasa bagiku untuk bekerja seorang diri saja melakukan pembalasan dendam itu, daripada harus bersama dengan kalian!”

Kecewalah semua orang mendengar ini, karena mereka ingin sekali berperang lagi melawan tentara Majapahit, dan mereka akan berbesar hati apabila mereka berperang di bawah pimpinan seorang yang gagah perkasa seperti dara ini.

“Aku mengerti maksudmu, Jeng Ratna. Akan tetapi, demi pertalian batin yang ada di antara kita, Kuharap kau suka menurunkan sedikit kepandaian kepada kami, agar pasukan kami mejadi lebih teratur juga ke Majapahit, oleh karena ketahuilah bahwa Majapahit memiliki panglima-panglima yang amat sakti, di samping Mahapati dan Kartika. Menurut pendapatku, akan lebih baiklah kalau kau menanti sampai meletusnya pemberontakan baru yang jauh lebih besar dan kuat daripada yang sudah-sudah, dan dalam keadaaan kacau-balau itu, akan lebih mudah bagimu mencari Kartika dan Mahapati, karena mereka tentu akan maju di medan yuda. Kalau sekarang kau pergi ke ibukota Majapahit sengaja mencari mereka, maka kau bukan hanya akan menghadapi Kartika dan gurunya, akan tetapi kau akan berhadapan dengan seluruh panglima Majapahit.”

Diam-diam Ratna Wulan membenarkan pendapat yang bijaksana ini, dan melihat betapa semua mata memandangnya dengan penuh harapan, ia tidak tega untuk menolak permintaan ini.

“Baiklah, aku akan melatih kalian dengan sedikit ilmu kepandaian yang telah kupelajari, akan tetapi mulai saat ini, kalian tidak boleh lagi merampok penduduk di gunung ini. Untuk ransum kita harus membantu rakyat terdekat dengan pekerjaan mereka di sawah agar hasil lading bertambah dan dengan demikian, maka kita akan dapat mengambil bagian kita dengan adil dan bersih. Pejuang-pejuang yang baik dan benar hanya mereka yang mendapat dukungan dan simpati dari rakyat kecil. Tanpa dukungan rakyat, usahamu akan gagal. Apalagi kalau sampai memusuhi dan mengganggu rakyat, maka kalian bukanlah pejuang-pejuang lagi namanya bahkan patut disebut penjahat dan pengkhianat bangsa.”

Diam-diam Waluyo merasa tunduk dan kagum sekali. Bagaimana seorang gadis muda remaja ini dapat mengucapkan kata-kata yang demikian bijaksana? Sementara itu, melihat Ratna Wulan bersedia melatih dan memimpin mereka, bersoraklah semua orang yang berada di situ dan suasana menjadi gembira sekali. Ketika Ratna Wulan, atas pertanyaan Waluyo, menjawab bahwa ia adalah murid dari Panembahan Mahendraguna atau Eyang Semeru, makin tunduklah mereka karena Eyang Semeru terkenal sebagai manusia setengah dewa yang suci dan sakti.

Demikianlah, orang-orang itu lalu memberikan pondok yang terbaik sebagai tempat tinggal Ratna Wulan, sedangkan pada keesokan harinya Waluyo dan beberapa orang yang tadinya menjadi anak buah Nagawisena, naik ke puncak Mahameru untuk menjumpai Dara Lasmi, menghadap ibu pemimpin mereka itu untuk memberi hormat dan menyampaikan warta tentang keadaan Ratna Wulan yang kini telah mereka angkat sebagai pemimpin untuk melatih ilmu kepandaian dan aji kesaktian kepada tiga puluh dua orang yang berada di hutan randu, di kaki Gunung Mahameru sebelah timur.

Pada suatu hari, Ratna Wulan seorang diri membawa anak panahnya hendak mencari binatang buruan. Di dalam hutan randu itu sunyi oleh karena semua orang dibawah pimpinan Waluyo telah berangkat ke dusun-dusun terdekat untuk membantu mencangkul tanah ladang.

Semenjak Ratna Wulan berada disitu, keadaan mereka amat berubah. Tidak lagi mereka bermalas-malasan di waktu siang hari, akan tetapi semenjak matahari terbit, mereka bekerja di sawah dan pada sore harinya barulah mereka menerima latihan-latihan dari Ratna Wulan, bermain lembing, bermain keris, memanah dan pencak silat, sesuai dengan bakat masing-masing.

Bahkan Ratna Wulan lalu menyuruh semua orang membuat pedang yang sama bentuk dan ukurannya, bermata dua (tajam kedua bagian), lalu ia melatih mereka bermain pedang. Maka terbentuklah pasukan pedang yang mereka beri nama Pasukan Candrasa Bayu (Pedang Angin) karena menurut pendapat mereka, permainan pedang yang diajarkan memiliki kecepatan bagaikan angin puyuh!

Tentu saja permainan mereka tidak sehebat permainan dara perkasa itu, walaupun mereka memang mendapatkan kemajuan yang cepat sekali. Ratna Wulan merasa suka melihat kemajuan mereka, dan ia kini mendapat kenyataan bahwa anak buanya memang bukanlah sebangsa perampok yang jahat. Mereka itu kesemuanya bekas perajurit-perajurit yang patuh akan perintah pemimpin dan rata-rata memiliki sifat ksatria yang mengagumkan.

Oleh karena itu bercita-cita untuk kelak maju menyerbu ke Majapahit lagi, maka ia bersungguh hati untuk melatih mereka sehingga Pasukan Candrasa Bayu menjadi sebuah pasukan pedang yang benar-benar kuat sekali.

Perjalanannya memburu binatang hutan, Ratna Wulan menuju ke hutan sebelah utara yang belum Pernah di datanginya. Hutan ini amat luas dan liar, penuh dengan pohon-pohon tinggi besar yang telah berabad usianya. Juga di situ terdapat banyak pohon waringin yang luar biasa besarnya sehingga untuk dapat memeluk batangnya, agaknya dibutuhkan belasan orang yang berdiri dengan tangan saling bergandengan.

Pohon-pohon raksasa ini entah sudah berapa ratus tahun umurnya. Akar-akarnya yang panjang dan besar sebagian timbul di atas tanah merupakan raksasa. Akar-akar gantung berjuntai ke bawah seperti tambang-tambang yang sengaja di ikatkan orang pada cabang-cabang pohon itu, kuat dan ulet sekali. Daun-daunnya lebat, memenuhi puluhan cabang-cabang dan ranting-ranting yang rata tumbuhnya mengelilingi batang pohon membuat pohon raksasa itu nampak seperti sebuah payung yang amat besar.

Auman harimau dan suara binatang-binatang lain menggembirakan hati Ratna Wulan benar karena ternyata bahwa hutan liar ini amat banyak penghuninya. Memang, sebagaimana biasanya, makin liar hutannya, makin banyaklah binatangnya dan makin senanglah hati para pemburu yang memasuki hutan itu.

Tiba-tiba mata Ratna Wulan yang awas itu melihat seekor kelinci putih yang gemuk lari ke bawah pohon. Cepat ia mengambil anak panah dan memasangnya pada busur yang telah dipegang semenjak tadi, akan tetapi sebelum ia melepaskan anak panahnya, ia mendengar suara lain yang lebih menarik perhatianya. Suara Kijang! Ratna Wulan membatalkan niatnya memanah kelinci dan segera jalan dengan hati-hati ke arah suara kijang itu. Benar saja, seekor kijang betina yang bagus dan gemuk sedang berjalan perlahan di bawah pohon waringin yang amat besar.

Kijang itu makan rumput di bawah waringin itu, makan dengan asyiknya, tidak tahu bahwa bahaya maut telah mengintainya dari sebelah kiri. Oleh karena angin yang bersilir perlahan itu datang dari jurusan depan, maka kijang itu tidak tahu bahwa Ratna Wulan telah berdiri dibalik tetumbuhan dan telah membidikkan anak panah kepadanya.

Terdengar suara gendewa menjepret dan sebatang anak panah meluncur bagaikan burung srikatan ke arah kijang itu. Ratna Wulan memandang dengan mata gembira. Akan tetapi tak terasa lagi ia mengangkat tangan kirinya menutupi mulutnya yang hampir saja mengeluarkan seruan karena terkejut dan heranya ketika melihat sinar putih berkelebat dari atas pohon beringin itu! Ia melihat betapa tubuh kijang itu terlempar kedepan sehingga anak panahnya yang tadi dibidikkan ke arah leher, kini menancap pada perut binatang itu.

Ratna Wulan cepat melompat mendekati tubuh kijang yang telah rebah tak bernyawa lagi dan mukanya menjadi merah karena marah ketika melihat betapa pada leher kijang itu menancap sebatang anak panah lain yang mendahului anak panahnya dan yang ternyata lebih tepat kenanya dan yang mendatangkan kematian pada binatang itu.

Ternyata ada orang lain yang telah mendahuluinya! Siapakah gerangan orang yang berani berbuat ini? Siapakah dia yang begitu kurang ajar berani mendahului Ratna Wulan yang hendak merobohkan buruannya? Akan tetapi, sebelum ia melihat orang yang berani berlancang tangan ini, tiba-tiba ia mendengar auman hebat dari belakangnya dan ketika ia cepat membalikkan tubuhnya, ternyata bahwa seekor macan gembong yang besar sekali.

Sebesar lembu muda, telah berdiri dibelakangnya dan tiba-tiba harimau itu menubruk sambil menggereng dengan suara yang dahsyat sekali! Ratna Wulan cepat melompat kesamping untuk megelak, akan tetapi oleh karena harimau itu gerakannya cepat sekali, hampir saja pundaknya kena dicakar. Bukan main marahnya Ratna Wulan, karena sebelum diserang oleh harimau gembong itu, ia memang telah marah sekali kepada orang yang mendahului memanah kijang.

Kini dengan hati geram ia mencabut keris pusaka Banaspati dan menghadapi harimau itu dengan mata berapi-api! Tidak biasa Ratna Wulan menghadapi seekor harimau saja dengan kemarahan demikian besar. Pada saat itu terdengar jepretan jemparing (busur) dan tiba-tiba dari atas pohon beringin Itu menyambar turun tiga batang anak panah dengan kecepatan bagaikan kilat menyambar.

Dan dengan tepat sekali tiga batang anak panah itu menancap di tubuh harimau yang telah siap hendak menerkam Ratna Wulan lagi, menancap di leher punggung, dan lambung! Sambil mengeluarkan gerengan keras dan panjang robohlah macan itu berguling-guling, mengeliat dan akhirnya ke empat kakinya berkelojotan lalu diam!

Kalau tadi kemarahan Ratna Wulan laksana api berkobar panas, kini makin kejatuhan hujan, mendidih bak Kawah Candradikuma kejatuhan hujan, mendidih dan menggelora sehingga dadanya naik turun amat hebatnya. Kalau tadi si pelepas panah yang mendahuluinya membunuh kijang di anggap hanya lancang tangan, kini melihat anak panah pembunuh harimau yang sama bentuknya itu, ia menganggap bahwa orang ini telah menghinanya! Dengan keris Banaspati di tangan, ia memandang ke atas pohon dan membentak kertas.

“Keparat rendah dari manakah berani menghina Ratna Wulan?”

Tiba-tiba terdengar suara ketawa di atas pohon dan disusul oleh suara seorang laki-laki yang tenang, “Alangkah indah nama itu. Sesuai benar dengan orangnya!”

Ucapan ini disusul pula oleh melayangnya bayangan seorang pemuda dari atas cabang pohon itu. Ketika kedua kakinya menginjak tanah, tak terdengar suara sedikitpun sehingga diam-diam Ratna Wulan terkejut melihat ilmu lompat orang itu dan memandang penuh perhatian.

Orang itu masih muda, paling banyak dua puluh satu atau dua puluh dua tahun usianya, berkulit hitam manis dan wajahnya amat gagah dan tampan. Alis matanya sehitam rambutnya, tebal dan mengingatkan orang akan alis Raden Gatotkaca. Sepasang matanya bercahaya-cahaya bagaikan bintang pagi, lebar dan bersinar tajam. Bola mata yang tak mau diam itu menandakan bahwa dia adalah seorang periang.

Hidungnya mancung dan bagus bentuknya, sedangkan mulutnya yang manis itu membayangkan kekerasan hatinya, terutama dagunya yang kuat dengan lekuk di tengah-tengahnya. Tubuhnya sedang saja, yakni potongan bambang. Pakaiannya sederhana, seperti yang biasa di pakai oleh petani-petani muda. Ikat kepalanya sempit dan hanya di ikatkan secara sembarangan di atas keningnya. Gagang keris terselip pada pinggangnya. Sedangkan dipunggungnya nampak tempat anak panah dikalungi busur yang besar berwarna putih.

Mendengar pemuda itu memuji namanya, Ratna Wulan menjadi marah dan juga heran. Bagaimana Ada orang seberani ini? Belum pernah dara perkasa ini melihat orang berani bermain-main padanya, dan melihat pemuda ini tersenyum-senyum memandangnya rendah, ia menjadi gemas sekali.

“Benar-benar nama yang indah,dan orangnya lebih ayu lagi!” kata pemuda itu pula sambil memandang dengan mata jujur, sama sekali tidak menyembunyikan kekagumannya.

“Tutup mulutmu yang kotor!” Ratna Wulan membentak dengan bibir merengut dan mata memancarkan api. “Kau manusia sombong, manusia kurang ajar.”

“Lho, bagaimanapula ini? Mengapa kau marah-marah dan menyebutku sombong dan kurang ajar?”

“Kau... kau telah berani memanah mati harimau itu!” Ratna Wulan mengigit bibir menahan Kemarahannya oleh karena di panahnya harimau tadi benar-benar menyakitkan hatinya.

Pemuda itu menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Kalau kau tidak sedang bicara dan berada di depanku sehingga aku melihat jelas bahwa kedua kakimu mengambah (menginjak) tanah, tentu kau akan kusangka peri!”

“Gila!” Ratna Wulan memaki.

“Memang mungkin aku sudah menjadi gila, atau memang kau yang bukan manusia! Di dalam Hutan liar seperti ini, dimana orang-orang lelaki biasapun belum tentu ada yang berani memasukinya, aku bertemu dengan seorang dara seperti engkau seorang diri! Ini sudah amat aneh namanya. Kemudian kau menghadapi harimau dengan keris di tangan dan sama sekali tidak takut, bahkan dapat mengelak dari terkaman harimau tadi. Ini lebih aneh namanya. Kemudian aku menolongmu dari bahaya maut, dengan anak panahku kubinasakan harimau buas itu, dan apakah bunyi terima kasihmu? Kau memberi hadiah makian! Ini namanya lebih aneh dari sekalian yang aneh!” Biarpun katanya menunjukkan bahwa ia merasa penasaran melihat sikap yang tak tahu akan terimakasih itu, namun wajah pemuda itu masih saja memperlihatkan keriangan hatinya.

Ratna Wulan cemberut. “Siapa butuh pertolonganmu? Siapa sudi melihat kau berlancang tangan membantuku? Aku tidak butuh akan bantuanmu! Kau telah berlaku lancang, memanah binatang buruanku, kemudian kau membunuh pula harimau yang sedang hendak kubunuh! Kau telah sombong memperlihatkan sedikit kepandaianmu, apakah kau kira di dunia ini hanya kau seorang saja yang paling gagah? Tanpa bantuanmu, akupun akan dapat membinasakan harimau itu dengan mata meram. Jangankan baru seekor harimau, biarpun ada sepuluh ekorpun aku tak takut. Kau menghinaku, bukan laku seorang ksatria untuk menghina orang lain mengandalkan kepandaiannya!”

Semenjak tadi pemuda itu memandang dengan kagum sambil tersenyum, seakan-akan melihat gadis berkata-kata dengan muka merah dan mata bersinar-sinar itu merupakan pemandangan yang amat menarik hati dan menyenangkan. Ia sama sekali tidak perduli melihat kemarahan orang. Bahkan kini ia lalu bersedekap (menyilangkan lengan di depan dada) dan bertanya. “Habis, kalau kau menganggap aku kurang ajar, sombong dan sebagainya lagi, kau hendak memberi hukuman apakah kepadaku?”

“Aku bukan algojo yang berwenang menghukum orang, apalagi orang macam engkau!” jawab Ratna Wulan dengan marah sekali.

“Kalau begitu, apakah kehendakmu selanjutnya? Biarlah kau ketahui bahwa aku bernama Adiprana, masih jejaka berusia dua puluh satu tahun, baru saja turun Gunung Bromo dan hendak pergi ke...”

“Aku tidak perduli! Aku tidak perduli kau bernama setan atau iblis, tidak perduli kau baru turun dari neraka pula!” Ratna Wulan memotong dengan suara keras karena hatinya mendongkol sekali, akan tetapi diam-diam nama Adiprana itu terukir di dalam hatinya. “Kau harus minta maaf kepadaku karena segala kelancanganmu tadi!”

“Kalau aku tidak mau?”

“Aku akan membinasakanmu dengan kerisku!”

Pemuda itu mengangguk-anggukkan kepala dan bibirnya berbisik, “Aduh, galak dan ganasnya! Biarlah aku minta maaf saja.” Kemudian ia membungkuk sambil berkata, “Paduka puteri yang mulia, Semoga sudi melimpahkan maaf sebesarnya kepada hamba yang rendah.”

Makin panas hati Ratna Wulan melihat betapa pemuda itu sengaja megejeknya, maka ia lalu membentak, “Kalau kau tidak berlutut dan menyembah, aku tak mau memaafkan kau!”

Kini sepasang mata pemuda itu memandang tajam dan suaranya terdengar penasaran sekali ketika berkata. “Ah, bagus sekali! Kau kira kau hanya main-main saja, tidak tahunya kau bersunguh-sungguh! Sayang, seorang gadis yang cantik dan gagah seperti kau ini memiliki kesombongan seperti itu. Akan kulihat sampai di mana sih tingginya kepandaianmu maka kau berani bersikap demikian terhadap anak Gunung Bromo!”

“Kaupun belum kenal sepak-terjang anak Mahameru!” Ratna Wulan membalas “Majulah!” Sambil berkata demikian, ia berdiri dengan tubuh agak merendah, tangan kanan memegang keris yang ditarik sampai kesamping pinggangnya, sedangkan tangan kirinya di taruh di depan dada dengan jari tangan terbuka.

Adiprana yang melihat sikap ini maklum bahwa gadis itu memiliki kepandaian, dan pula ia dapat mengenal keris pusaka di tangan gadis itu, maka ia tidak mau berlaku sembrono dan cepat mencabut pula kerisnya yang juga mengeluarkan cahaya tanda keris pusaka ampuh.

“Tidak pantas seorang pria menyerang lebih dulu,” jawab Adiparana yang betapapun juga masih memandang ringan, “Kau majulah hendak kulihat sampai dimana kepandaianmu!”

Ratna Wulan tak dapat menahan sabar lagi dan segera mengirim serangan dengan kerisnya Meluncur dengan tusukan ke arah dada lawan. Adiprana berlaku waspada dan kagum. Melihat kecepatan gerakan dara perkasa ini, maka ia cepat menggerakkan kerisnya untuk menangkis.

“Trangg!”

Ketika dua bilah keris itu saling membentur, memerciklah bunga api dan keduanya merasa betapa telapak tangan mereka yang menggenggam gagang keris, menjadi panas dan sakit. Keduanya terkejut sekali dan cepat memeriksa keris masing-masing, akan tetapi senjata mereka tidak rusak, maka mereka menjadi lega dan mulai serang-menyerang lagi dengan lebih hati-hati. Bukan main kagum dan herannya Adiprana ketika ia menyaksikan ketangkasan dan kehebatan ilmu keris gadis itu.

Hal ini sama sekali tak pernah disangkanya. Tidak saja dalam hal tenaga lawanya tidak kalah olehnya, bahkan kecepatannyapun hanya dapat mengimbangi dara ini! Ia kagum sekali dan mengerahkan seluruh kepandaiannya yang ia warisi dari gurunya, yaitu Panembahan Bromosakti, seorang pertapa yang sakti mandraguna di puncak Gunung Bromo.

Sebaliknya, Ratna Wulan juga merasa terkejut dan kagum. Baru kali ini semenjak turun gunung ia menjumpai lawan yang benar-benar berat dan tinggi ilmu kepandaiannya. Ia telah menyerang dengan hebat dan telah mengeluarkan segala aji kesaktian, akan tetapi tak berhasil mendobrak dan membobolkan pertahanan lawannya. Tipu dilawan tipu, kegesitan dilawan kecepatan, dan ilmu dengan ilmu telah ia pergunakan tanpa hasil sehingga ia menjadi makin penasaran dan gemas.

Kedua orang itu benar-benar hebat. Pertempuran yang terjadi kali ini sayang tidak ada yang menyaksikannya, karena kalau ada orang ketiga yang menyaksikan, ia tentu akan berdiri bengong saking takjubnya. Tubuh kedua orang muda itu berkelebatan kesana-kemari, keris mereka menyambar-nyambar bagaikan kilat, kadang-kadang terdengar bunyi nyaring kalau sepasang senjata beradu dan nampak bunga api berpijar.

Akan tetapi, setelah bertempur puluhan jurus lamanya, akhirnya pemuda itu merasa betapa tangannya yang memegang keris mulai gemetar dan panas sekali. Ia maklum bahwa hal ini terjadi oleh karena keris pusakanya kalah ampuh dan kalau diteruskan, banyak kemungkinan ia akan kalah. Makin meninggi rasa kagumnya dan tiba-tiba ia melompat ke belakang sambil berseru.

“Tahan!”

Bagaikan seekor banteng mencium darah, Ratna Wulan berdiri dengan keris di tangan kanan dan tangan kirinya menolak pinggang, kakinya terpentang dan matanya menatap lawannya dengan pandang mata beapi, dadanya naik turun dan dari jidatnya yang berkulit kuning langsat dan halus itu menitik keluar beberapa butir peluh.

“Mau apa lagi? Hayo majulah, keluarkanlah semua kepandaianmu, Adiprana! Jangan kau anggap dirimu sendiri saja yang gagah perkasa. Keluarkan kesaktianmu dan coba jatuhkan aku kalau kau bisa!” Ia menggunakan tangan kirinya menepuk-nepuk dadanya dan berkata, “Kerahkan kejantanmu, karena kau baru patut memandang rendah dan berlaku sombong kalau kau sudah bisa mengalahkan aku. Inilah anak Mahameru yang tak sudi dihina oleh siapapun juga!”

Dalam sumbar dan tantangannya ini Ratna Wulan melepaskan semua kegemasannya dan kemarahannya terhadap pemuda itu, pemuda yang begitu bertemu telah menimbulkan benci, marah dan juga kagum di dalam hatinya. Mendengar sumbar dan tantangan ini, Adiprana tersenyum dan sambil menghapus peluhnya yang membasahi muka, ia berkata,

“Ratna Wulan, kau benar-benar gagah perkasa. Tak pernah aku melihat atau mendengar, bahkan dalam mimpipun tidak, bahwa di dunia ada seorang dara segagah engkau! Tak dapat diragukan lagi, kau tentulah anak murid Panembahan Mahendraguna yang disebut Eyang Semeru, bukan?”

Ratna Wulan tertegun. “Bagaimana kau bisa tahu?”

Adiprana menarik napas panjang dan memasukkan kerisnya ke dalam warangka. “Lebih dahulu kita harus berdamai, maukah kau? Tak enak untuk bercakap-cakap dengan seorang yang masih marah-marah kepadaku. Maukah kau berdamai dengan aku?”

“Itu tergantung.”

“Tergantung bagaimana?”

“Tergantung kepadamu sendiri apakah kau masih sombong dan memandang rendah kepadaku! Kau telah berlaku lancang dan menyakiti hatiku dengan perbuatanmu yang sombong tadi. Apakah kini kau masih merasa bahwa aku pantas ditolong dari harimau ini?” Ia menunjuk kepada bangkai harimau.

“Memang aku bersalah, Ratna Wulan. Memang kau tadi benar, jangan baru seekor harimau, dengan kepandaianmu itu, biarpun kau dikepung lima ekor harimau pun, rasanya kau belum berada dalam bahaya. Aku telah salah duga tadi.”

“Nah, kalau saja sikapmu tadi seperti sekarang, siapa yang akan menjadi marah-marah? Tadi kau keterlaluan, minta maaf saja tidak mau bahkan mengejek. Begitukah sikap seorang ksatria terhadap wanita? Memalukan sekali!”

Adiprana menarik napas panjang. “Aku minta maaf, Ratna Wulan, kalau memang kau kehendaki, Biarlah aku berlutut dan menyembah kepadamu.”

“Cih! Siapa yang ingin disembah-sembah? Asal kau benar-benar merasa menyesal dengan kesombonganmu tadi, tak perlu hal itu dibongkar-bongkar lagi. Kau sudah membuktikan sendiri bahwa dalam hal ketangkasan bermain keris dan olah yuda, aku tidak kalah olehmu. Atau kalau masih penasaran, boleh kita teruskan lagi sampai salah seorang menggeletak di sini!”

“Tidak, tidak! Aku sudah cukup puas. Kau benar digdaya!”

“Namun aku masih belum puas kalau belum bertanding panah denganmu, Adiprana! Anak Panahmulah yang melukai dan menyinggung hatiku tadi, maka sekarang akau ingin kau saksikan bahwa dalam hal ilmu memanah, anak Mahameru juga tidak perlu menyerah kalah terhadap anak Bromo!”

Dari ucapan dan nada suaranya ini, Adiprana maklum bahwa gadis ini masih merasa panas hatinya, maka sambil tersenyum ia lalu menurunkan gendewanya dan memasang anak panah. Sekali pasang ia telah menggunakan lima batang anak panah dan ia segera berkata.

“Baiklah, mari kita berlomba panah. Dengan anak-anak panahku aku akan membuat lingkaran dipohon waringin depan itu!”

Baru saja ucapannya habis lima batang anak panahnya telah melucur dari gendewa dengan sekali tarik saja dan anak-anak panah itu menancap dengan rapinya merupakan setengah bulatan pada batang pohon waringin yang besar. Sekali lagi Adiprana mengeluarkan lima batang anak panah dan sekali lagi lima batang anak panah itu meluncur cepat melengkapi dan menyempurnakan lingkaran yang baru jadi setengahnya. Kini di atas batang pohon itu nampak sepuluh batang anak panah yang teratur rapi, berderet-deret merupakan sebuah lingkaran kecil.

“Nah, kau keluarkan anak panahmu dan coba kau usahakan untuk memasukkan sepuluh batang anak panah ke dalam lingkar anak panahku itu!”

Ratna Wulan memandang ke arah lingkaran itu dan ia merasa bahwa ilmu memanah pemuda ini benar-benar hebat. Ia melihat betapa lingkaran itu kecil saja sehingga takkan cukup dimasuki oleh sepuluh batang anak panah, maka ia tahu akan kelicikan ini. Akan tetapi, ia tetap tenang, bahkan kini tersenyum mengejek.

“Apa susahnya memasukkan sepuluh batang anak panah dalam lingkaran itu? Kau lihatlah!”

Sambil berkata demikian ia memasang lima batang anak panah pada gendewanya dan setelah membidik, terdengar tali gendewanya menjepret dan lima batang anak panah dengan kecepatan luar biasa meluncur ke arah batang pohon itu.

Adiprana memandang penuh perhatian dan ia merasa heran melihat ketenangan gadis itu. Ia tahu betul bahwa ruang lingkaran itu takkan mungkin dapat di masuki sepuluh batang anak panah. Akan tetapi setelah anak-anak panah dara perkasa itu menyambar ke arah lingkaran.

Ia menjadi terkejut sekali dan juga kagum oleh karena anak-anak panah itu bukannya menancap di dalam lingkaran, melainkan menyambar tepat pada gagang anak-anak panahnya sehingga patah-patah dan lima batang anak panahnya jatuh keatas tanah bersama lima batang anak panah Ratna Wulan. Kembali lima batang anak panah gadis itu menyambar dan habislah anak panahnya yang tadi menancap pada batang pohon itu!

Sambil melangkah tenang, Ratna Wulan mengambil kesepuluh batang anak panahnya, sedangkan anak-anak panah Adiprana telah patah kepalanya dan tak dapat dipakai lagi! Akan tetapi pemuda itu tidak menjadi marah. Ia maklum bahwa dengan jalan itu, Ratna Wulan hendak membalas dendam dan melampiaskan amarah dan kegemasannya. Ia bahkan memuji dan tersenyum ramah.

“Hebat sekali! Ilmu panahmu memang lebih unggul daripada kepandaianku!”

Mendengar pujian ini dan melihat sikap Adiprana, timbulah rasa menyesal dalam hati Ratna Wulan. Memang hati seorang wanita itu perasa sekali, mudah tersinggung dan mudah terharu, gampang marah dan gampang menyesal, sebentar girang sebentar berduka. Kalau saja Adiprana menjadi marah karena anak-anak panahnya dirusak dan menegur Ratna Wulan, dara ini tentu akan menjadi marah sekali dan mengingatkan ia akan kelancangannya mempergunakan anak panah untuk membunuh kijang dan harimau tadi.

Akan tetapi karena Adiprana tidak menjadi marah bukan memujinya, luluhlah hati dara perkasa itu dan ia menjadi menyesal mengapa ia telah merusak semua anak panah dan menyerahkannya kepada Adiprana sambil berkata. “Aku telah merusakkan sepuluh batang anak panahmu. Terimalah lima batang sebagai penggantinya, sehingga kita masing-masing kehilangan lima batang!”

Adiprana memandang dengan mata kagum dan hatinya makin suka kepada dara perkasa yang aneh ini. Kalau tadi pada pertemuan pertama ia berlaku kurang ajar dan menggoda, hal ini adalah karena ia mengira bahwa Ratna Wulan hanyalah seorang gadis gunung yang mempunyai sedikit kepandaian dan menjadi sombong karenanya.

Akan tetapi setelah kini ia tahu betul bahwa gadis ini ilmu kepandaiannya tidak berada di sebelah bawah kepandaiannya sendiri, maka ia menjadi tertarik, kagum, suka, dan menganggapnya sebagai seorang sederajat dan segolongan. Mereka duduk di atas rumput dan Ratna Wulan bertanya.

“Adiparana, bagaimana kau bisa tahu bahwa aku adalah murid Eyang Semeru? Siapakah kau sebenarnya dan siapa pula gurumu?”

“Seperti telah kukatakan tadi, namaku Adiparana dan aku adalah murid tunggal dari Eyang Bromo sakti yang bertapa di puncak Gunung Bromo. Tadi aku hanya menduga saja bahwa kau adalah murid Eyang Semeru oleh karena guruku penah memberi pesan bahwa Eyang Semeru mempunyai seorang murid wanita yang sakti dan yang ilmu kepandaiannya tinggi sekali. Maka begitu melihat kepandaianmu bermain keris, mudah saja menerka siapa adanya kau. Ketahuilah, Ratna Wulan, guruku masih terhitung adik angkat gurumu sendiri, maka kita bukanlah orang lain dan masih dapat disebut saudara seperguruan.”

Ratna Wulan girang sekali mendengar ini. “Sayang bahwa eyang guru tak pernah menceritakan perihal gurumu itu, akan tetapi melihat kepandaianmu, aku percaya bahwa kau tentulah murid seorang sakti,” kata Ratna Wulan, pandang matanya menatap wajah yang tampan itu.

Melihat sinar mata gadis itu memandang dengan terbuka dan jujur, tanpa sedikit pun sungkan dan malu-malu sebagaimana pandang mata gadis lain, Adiprana merasa suka dan kagum. Benar-benar seorang dara yang sukar ditemukan keduanya, pikirnya. Seperti inilah agaknya Srikandi di zaman pewayangan itu. Tidak, Ratna Wulan lebih gagah lagi, lebih cantik jelita dan mengagumkan.

“Kau tinggal di manakah, Ratna Wulan? Kalau gurumu bertapa di puncak Mahameru, mengapa Kau berada di tempat sejauh ini?”

“Aku sedang bertugas memimpin Pasukan Candrasa Bayu yang bersarang di hutan randu.”

Mata Adiprana terbelalak memandang. “Memimpin apa...?”

Ratna Wulan tersenyum bangga. “Aku memiliki sebuah pasukan yang gagah berani, terdiri dari tiga puluh orang, yaitu Pasukan Candrasa Bayu. Mereka bersarang ditengah hutan randu di kaki Gunung Mahameru sebelah timur.”

Bukan main heran hati pemuda itu. “Melatih pasukan? Mengapa dan untuk apa?”

Melihat wajah pemuda itu demikian terheran, Ratna Wulan tertawa geli. “Kau tidak tahu, Adiprana, pasukan itu bukanlah pasukan sembarangan, akan tetapi pasukan istimewa dan para anggotanya terdiri dari sisa-sisa pemberontak Majapahit, dahulu anak buah Panglima Nambi di Lumajang dan lain-lain. Mereka bercita-cita untuk membalas dendam dan mengempur Majapahit lagi, maka kini aku melatih mereka dengan ilmu pedang dan olah yuda.”

Adiprana tertegun dan memandang dengan muka menunjukkan bahwa ia hampir tak dapat percaya Akan penuturan ini. “Kau. Kau menjadi pemimpin pemberontak yang hendak menggempur Majapahit?”

“Aah, panjang ceritanya, Adiprana. Sekarang hari telah hampir senja dan kedua bangkai binatang Ini kalau tidak lekas dirawat akan menjadi rusak. Maukah kau kehutan randu untuk kuperkenalkan dengan Pasukan Candrasa Bayu dan mendengar lanjutan ceritaku? Aku akan Menceritakan riwayatku, asal saja kau mau mencertiakan riwayat hidupmu lebih dahulu padaku. Setelah saling mengadu kesaktian dan saling berkenalan, kemudian ternyata masih saudara seperguruan, sudah sepatutnya kalau kita saling mengetahui riwayat hidup masing-masing pula.”

Mendengar bahwa dara perkasa itu memimpin sepasukan sisa para pemberontak, mula-Mula Adiprana merasa ragu-ragu untuk ikut, akan tetapi entah mengapa, ada sesuatu pada gadis itu yang membuat ia tidak kuasa untuk menolak ajakan ini. Entah sepasang mata yang jernih dan indah itu, entah bibir yang merah dan manis itu. Akan tetapi, ia bangun berdiri bagaikan terdorong oleh pengaruh yang jauh lebih kuat daripada tenaga batinnya sendiri, memanggul bangkai macan sambil berkata. “Kijang itu bagianmu karena lebih ringan.”

“Kau kira aku tidak kuat untuk memanggul macan itu?” Kembali sepasang mata Ratna Wulan memancarkan sinar berapi.

Adiprana tersenyum. Dalam perkenalan yang tak berapa lama ini ia telah tahu akan sifat gadis ini, maka Ia menjawab. “Tentu saja kau kuat memanggulnya, akan tetapi sudah menjadi kelaziman umum bahwa kaum pria harus memanggul yang lebih berat. Dan pula, sekarang sudah hampir gelap, kalau tidak lekas-lekas kita akan kemalaman di jalan.”

“Mungkin bagi orang lain, akan tetapi bagi kita, jarak itu tak berapa jauh. Mari kita berlomba lari!” kata Ratna Wulan sambil memanggul kijang itu.

Keduanya lalu menggunakan aji kesaktian mereka dan berlari cepat sambil memanggul kijang dan macan itu, berlari-lari bagaikan terbang cepatlah menuju ke hutan sebelah timur. Di sepanjang jalan, mereka tidak banyak bicara dan diam-diam Ratna Wulan merasa gembira sekali oleh karena baru kali inilah ia dapat berlari cepat dengan seorang yang memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan tidak kalah olehnya. Dalam diri Adiprana ia merasa mendapat seorang kawan yang amat baik dan cocok.

Sementara itu, senja mulai mendatang dan Sang Batara surya telah bersembunyi di balik puncak Bukit Mahameru, sungguhpun cahayanya masih menghambat datangnya sang malam gelap. Dan di dalam cahaya yang suram itu, di mana angin tak bertiup dan segala sesuatu agaknya diam dan sunyi karena ditinggalkan oleh matahari, nampak dua bayangan berkelebat cepat.

Dari jauh mereka tidak kelihatan seperti manusia biasa, karena biarpun tubuh bagian bawah seperti orang biasa. Akan tetapi bagian atasnya kelihatan besar dan aneh bentuknya. Kalau ada orang yang kebetulan melihat dua sosok bayangan ini, tentu mengira bahwa mereka adalah setan-setan pertama yang keluar dari persembunyiannya setelah Sang Batara surya yang mereka takuti itu mengundurkan diri.

Padahal kedua sosok bayangan ini bukan lain ialah Ratna Wulan dan Adiprana yang memanggul Kijang dan macan, sehingga dilihat dari jauh memang bentuk pundak dan kepala mereka aneh, menjadi satu dengan kedua ekor binatang yang telah mati itu!

Sebelum hari menjadi gelap benar, mereka telah memasuki hutan randu di kaki Mahameru sebelah timur, dan kecepatan lari mereka agaknya takkan kalah apabila dibandingkan dengan kedua ekor binatang yang kini mereka panggul, andaikata kedua ekor binatang itu masih dapat berlari!

Karena mereka telah mempergunakan aji kesaktian mereka, yaitu Ilmu Lari Cepat Maruto Bajra (Angin Kilat)! Kedatangan Ratna Wulan disambut dengan girang oleh kawan-kawannya, dan semua anggota Pasukan Candrasa Bayu yang tadinya merasa gelisah karena tidak melihat dara perkasa itu, menjadi gembira melihat pemimpin atau pelatih mereka itu datang membawa kijang dan harimau.

Akan tetapi, mereka memandang kepada Adiprana dengan curiga dan tak senang. Terutama sekali Bejo dan Parta, dua orang gagah yang diam-diam menaruh hati cinta kasih terhadap Ratna Wulan, merasa cemburu melihat pemuda yang tampan itu. Bejo yang wataknya jujur dan terbuka serta kasar lalu melangkah maju, menatap wajah Adiprana dan bertanya kepada Ratna Wulan.

“Jeng Ratna, siapakah saudara ini dan apa kepentingannya datang ke tempat kita?”

Ratna Wulan tersenyum lalu memperkenalkan pemuda itu. “Ini adalah saudara Adiprana, seorang kelana muda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kami telah bertanding mengadu kepandaian dan bekenalan, dan tidak tahunya bahwa dia ini adalah murid dari Eyang Bromo sakti yang menjadi saudara angkat guruku sendiri. Kalian boleh banyak belajar ilmu dari saudara Adiprana ini!”

Parta berkata dengan suara menyatakan ketidak-puasannya. “Bagaimana kami dapat mengetahui bahwa ia boleh dipercaya dan benar-benar digdaya kalau kami belum menyaksikannya sendiri? Jeng Ratna, apakah ilmu panahnya dapat menandingi Kukiladanu (Gendewa Burung) kita?”

“Apakah ia dapat menandingi Candrasa Banyu?” Tanya pula Bejo dengan sikap menantang.

Ratna Wulan tersenyum lagi. “Jadi kalian hendak memuji kesaktiannya? Tunggulah sampai esok hari, biarlah dia memperlihatkan kepandaiannya.”

Adiprana melihat sikap orang-orang itu, di dalam hatinya membenarkan pernyataan Ratna Wulan bahwa anggota-anggota pasukan istimewa ini benar-benar bersikap gagah dan jantan....

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.