Dyah Ratna Wulan Jilid 04 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Dyah Ratna Wulan

Karya : Kho Ping
Cerita Silat Indonesia Karya Kho Ping Hoo
Jilid 04
MAKA timbulah kegembiraannya dan ia maklum bahwa kalau mereka ini tidak di beri bukti akan kepandaiannya, tentu mereka akan memandang rendah dan merasa tidak puas. Maka ia lalu melangkah maju dan berkata,

“Saudara-saudara yang gagah! Aku adalah seorang pemuda gunung yang bodoh dan hanya memiliki sedikit kepandaian saja. Apakah kalian inginkan, biarlah aku yang muda memperlihatkan sedikit kebodohanku.”

Ia memandang kepada Parta yang selalu memegang sebuah gendewa yang besar lalu berkata. “Agaknya saudara adalah ahli panah yang pandai dalam pasukan ini. Pernahkah saudara mendengar tentang ilmu memanah tanpa melihat sasarannya dan dapat mengenai sasaran dengan tepat hanya dengan mendengar suara saja?”

Memang Parta pernah mendengar ilmu memanah ini dari Ratna Wulan. Ilmu memanah ini disebut Isu Destarata (Anak Panah Destarata). Sebagaimana diketahui oleh para penggemar cerita pewayangan, Destarata adalah seorang yang buta, akan tetapi kesaktiannya menggiriskan hati pahlawan-pahlawan seluruh permukaan bumi.

Destarata inilah yang menjadi nenek moyang para saudara Kurawa. Ilmu memanah itu disebut Anak Panah Destarata, karena di lakukan tanpa melihat sasaran, seakan-akan pemanahnya seorang buta yang memiliki pendengaran yang akan menentukan di mana letak sasaran itu sehingga bidikan akan mengenai tepat. Mendengar pertayaan Adiprana, Parta mengangguk dan berkata.

“Aku tahu tentang ilmu memanah itu sungguh pun aku tak dapat melakukan karena amat sukar dan sulit.”

Adiprana menurunkan gendewanya dan mengambil sebatang anak panah. “Nah, biarlah aku memperlihatkan sedikit kebodohanku!”

Sambil membawa gendewa dan anak panah, Adiprana lalu menghampiri sebatang pohon randu yang besar dan tinggi. Di atas pohon itu terdengar suara burung gagak yang kadang-kadang berbunyi, akan tetapi oleh karena burung gagak bulunya hitam dan pohon itu amat tinggi serta diselumuti oleh kegelapan malam, tentu saja dari bawah orang tak dapat melihat apa-apa dan tidak tahu dimana tempat burung itu bertengger. Semua orang mengikuti gerakan Adiprana dengan penuh perhatian.

Setelah tiba di bawah pohon randu itu, Adiprana menundukkan mukanya dan diam tak bergerak bagaikan patung. Ia sedang menghening cipta dan mengerahkan seluruh tenaga batinnya ke arah telinga untuk menentukan di mana gerakan burung yang hendak dijadikan sasaran anak panahnya itu, sebentar saja ia dapat menangkap suara burung itu dengan jelas, jangankan suara menggaoknya, bahkan suara burung itu membersihkan bulunyapun terdengar jelas olehnya.

Tiba-tiba ia menggerakkan gendewa tanpa mendongakkan kepalanya dan ketika ia menarik tali gendewa, terdengarlah suara menjepret. Akan tetapi, tepat setelah anak panahnya meluncur, dari belakangnya ia mendengar suara tali gendewa lain ditarik dan anak panah dilepaskan sehingga hampir berbareng dua batang anak panah melesat kearah gerombolan daun randu yang hitam gelap itu.

Terdengar bunyi daun-daun gemersik dan seekor burung gagak yang melayang jatuh. Ketika orang ramai mengambil bangkai burung itu, ternyata bahwa dadanya telah tertusuk oleh dua batang anak panah!

Adiparana berpaling dan tersenyum kepada Ratna Wulan yang tadi juga melepas anak panahnya. Ia maklum bahwa dengan perbuatannya itu, Ratna Wulan hendak memperlihatkan pula kepada anak buahnya bahwa ia tidak kalah pandai oleh Adiprana!

Bukan main gembiranya orang-orang yang berada disitu ketika mengetahui bahwa anak panah ke dua adalah anak panah Ratna Wulan. Mereka amat kagum kepada pemuda itu, dan Parta diam-diam mengeluh karena ia harus mengakui bahwa Adiprana benar-benar lebih pandai dari padanya, dan sudah pantaslah kalau pemuda itu menjadi gurunya!

Adiprana lalu memandang kepada Bejo sambil tersenyum dan berkata, “Saudara yang gagah perkasa seperti Gatotkaca. Kau tentulah ahli pedang yang tinggi ilmunya dan kuat tenaganya. Marilah kita main-main sebentar dan memang hendak kubuktikan bagaimana hebatnya permainan pedang dari jago Pasukan Candrasa Bayu!”

Betapapaun juga, Bejo adalah seorang yang patuh dan akan disiplin, dan karena Adiprana adalah tamu dari Ratna Wulan, maka ia memandang kepada dara perkasa itu dengan mata minta keputusan.

Ratna Wulan menganggukdan berkata. “Bejo, kau boleh kerahkan seluruh ilmu kepandaian dan tenagamu! Kalau kau dapat bertahan sampai sepuluh jurus saja menghadapi saudara Adiprana, sudah cukup memuaskan hatiku.”

Mendengar ucapan pelatihnya ini, Bejo merasa makin penasaran. Benar-benarkah ia hanya dapat melawan selama sepuluh jurus saja? Ah, jangan-jangan pemuda ini takkan dapat bertahan sampai lima jurus.

Bejo dan Adiprana lalu masuk kedalam lingkaran yang disediakan untuk mereka, yaitu lingkaran orang-orang yang menjadi penonton, diterangi oleh api unggun yang dipasang di empat penjuru. Bejo segera mencabut pedangnya, sedangkan Waluyo lalu meminjamkan pedangnya kepada Adiprana. Disaksikan oleh semua orang yang berada disitu, ada yang berjongkok dan ada pula yang berdiri mengelilingi lapangan seolah-olah mereka sedang menyaksikan adu ayam.

Kedua pendekar pedang itu mulai berlaga. Bejo memasang kuda-kudanya dengan kaki kiri dibelakang, tubuh agak condong kemuka, kaki kanan di depan dengan tumit di angkat, tangan kiri terbuka jarinya dimiringkan melintang dada sedangkan tangan kanan memegang pedang melintang ditempelkan di atas pundak kiri. Inilah sebuah gerak pembukaan yang dalam Ilmu Pedang Candrasa Bayu disebut Kukila Nendra (Burung Tidur).

Pembukaan ini dilakukan dengan berat tubuh di tengah-tengah dan tenaga kaki dipusatkan pada kaki kiri yang berada di belakang, sehingga kaki kirilah yang merupakan tiang penyangga tubuh, sedangkan kaki kanan hanya ujungnya saja menyentuh tanah. Sikap tubuh ini memungkinkan ia membuka serangan dengan berbagai cara dan jalan. Tanpa mengubah kedudukan lawan agak jauh, ia dapat mengalihkan tenaga dari kaki kanan ke kaki kiri untuk melangkah maju dan membarengi gerakan itu dengan sebuah tusukan serong.

Melihat kuda-kuda lawan ini, Adiprana tersenyum dan ia pun lalu membuka kuda-kudanya yang indah. Ia memasang kuda-kudanya dengan merendahkan tubuhnya, kaki kiri ditekuk lututnya dan bagian belakang tubuh diturunkan sampai hampir menyentuh tumit sedangkan kaki kanan dilonjorkan ke depan. Tubuhnya lurus dengan mata memandang ke depan, tangan kiri diangkat ke atas kepala dengan telapak tangan di atas sedangkan pedang di tangan kanannya dilonjorkan pula di atas kaki kanan.

Bejo tertegun melihat pembukaan lawannya ini oleh karena sikap dan kedudukan tubuh Adiprana itu sekaligus memecahkan pembukaan Kukila Nendra. Dengan kedudukan macam itu, maka Adiprana boleh dibilang telah berada “di atas”, lebih mudah melancarkan serangan berbahaya dari bawah dan menempatkan kedudukan Bejo pada kedudukan yang amat sukar karena memang sulit baginya untuk dapat memulai serangan dengan baik apabila ia tidak merobah kuda-kudanya.

Oleh karena itu, ia berseru keras dan merobah kedudukannya, dengan menarik kaki kiri maju sejajar dengan kaki kanan, tubuh direndahkan dan kedua kutut ditekuk sedikit, tangan kiri tetap bersilang di dada sedangkan pedangnya kini di taruh di pinggir pinggang! Dengan kuda-kuda ini, ia dapat menyerang lawannya dengan mudah, mengirim tusukan atau bacokan ke bawah!

Akan tetapi Adiprana tidak merobah kedudukannya, bahkan lalu tersenyum dan berkata. “Bagus, kini kau dapat menyerang! Mulailah Bima!”

Pemuda itu sengaja menyebut Bima, yaitu seorang tokoh pewayangan yang bertubuh tinggi besar sehingga dengan sebutan itu ia mengumpamakan Bejo yang tinggi besar itu sebagai Bima! Sebutan ini bukan merupakan hinaan, bahkan pujian, oleh karena Bima adalah seorang ksatria gagah perkasa, akan tetapi tetap saja suaranya mengandung nada mengejek.

Bejo berseru keras, “Awas pedang!” Dan bagaikan petir menyambar, pedangnya meluncur kearah tenggorokan Adiprana dalam sebuah tusukan yang dahsyat.

“Jurus pertama!” Adiprana berseru tak kalah nyaringnya sambil mernggeser kedua kakinya. Sungguh mengagumkan dan indah dipandang, oleh karena dengan amat lemas dan cekatan sekali, ia telah berpindah tempat dengan gerak kaki amat indah. Tanpa menangkis telah dapat mengelak bahaya tusukan itu.

Akan tetapi tidak percuma Bejo mendapat latihan ilmu pedang dari Ratna Wulan, karena biarpun tusukannya mengenai tempat kosong, pedangnya itu tidak ditariknya kembali, bahkan lalu di ubah luncurannya bagaikan burung sedang melayang. Pedangnya itu membelok ke kanan mengejar lawannya. Dan kini dengan majukan kaki kiri mengirim bacokan ke arah leher Adiprana dibarengi dengan bentakan keras, lalu kaki kanannya menyusul dengan sebuah tendangan yang kuat kearah lambung lawan itu!

“Jurus kedua yang bagus!” Adiprana masih sempat berseru sambil cepat-cepat menggerakkan pedangnya menangkis dan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka cepat meluncur ke arah lambung sendiri untuk menangkap tendangan itu!

Bukan main hebatnya gerakannya ini! Semua orang menahan nafas karena mereka menganggap pemuda itu terlalu sembrono untuk mencoba menangkap tendangan kaki Bejo yang tenaganya mungkin akan dapat melemparkan seekor kerbau! Kalau saja lengan atau jari tangan pemuda itu terkena tendangan kaki Bejo, tentu akan remuklah tulang-tulangnya!

Akan tetapi, Adiprana telah membuat perhitungan yang amat tepat. Tidak saja ia dapat menaksir sampai di mana kehebatan tenaga tendangan lawan, bahkan ia pun maklum akan kecepatannya sendiri yang jauh lebih menang. Berbareng dengan bunyinya kedua pedang bertumbuk, ia telah berhasil menyangga tumit kaki Bejo yang menendang, dan sambil berseru,

“Maaf...” ia menggerakkan tangannya keatas sehingga Bejo yang kakinya didorong keatas itu tentu saja tak dapat mempertahankan tubuhnya lagi yang terjengkang ke belakang!

“Buk!”

Bejo meringis-ringis ketika pantatnya bertemu dengan tanah keras! Terdengar sorakan memuji dari semua orang, akan tetapi Bejo masih belum puas. Ia meloncat bangun dan kini menyerang dengan hebat bagaikan harimau haus darah! Pedangnya berkelebatan cepat dan ia telah mengeluarkan Ilmu Pedang Angin itu sehingga pedangnya benar-benar menderu-deru bagaikan angin puyuh mengamuk! Namun Adiprana tetap tenang dan tiada hentinya mulutnya menghitung sambil menangkis atau mengelak.

“Jurus ketiga! Jurus ke empat!”

Pada serangan jurus ke delapan, tiba-tiba Adiprana menangkis sambil memutar-mutar pedangnya. Bejo kalah tenaga sehingga terpaksa pedangnya ikut berputar-putar. Kemudian Bejo mengerahkan tenaganya sehingga dua batang pedang itu saling tempel dan mulailah adu tenaga untuk menindas pedang lawan. Urat-urat di seluruh tubuh Bejo menggembung, tanda bahwa ia mengeluarkan semua tenaganya untuk menindas pedang Adiprana. Akan tetapi pemuda Gunung Bromo itu hanya tersenyum dan nampaknya tidak sukar menahan tekanan ini.

Tiba-tiba Adiprana berseru. “Awas, Bima!” Dan ia menarik pedangnya ke bawah sambil miringkan tubuh, akan tetapi tangan kirinya dengan jari-jari terbuka dia “masukkan” melalui bawah lengan kanan lawan untuk “makan” lempengnya.

“Heeit.!” Bejo berseru keras dan “Ngek” perutnya telah termakan oleh sodokan jari-jari tangan Adiprana yang amat kuat! “Aduh...!”

Tubuh Bejo terhuyung-huyung kebelakang dan roboh terlentang dengan pedang terlepas dari tangannya! Ia lalu merangkak sambil memegangi perutnya yang tiba-tiba menjadi mulas. Masih untung baginya bahwa Adiprana tidak bermaksud mencelakakannya dan hanya mempergunakan sebagian kecil tenaganya saja. Kalau sodokan pada perut itu dilakukan dengan seperempat tenaganya saja, kecil sekali harapan Bejo akan dapat bangun lagi!

“Hebat.” Bejo berkata sambil terengah-engah, “Aku mengaku kalah.”

Ratna Wulan tersenyum dan semua orang bergembira mendapatkan seorang pemuda yang demikian pandai di tengah mereka. Juga Adiprana merasa girang sekali melihat kejujuran Bejo. Ia makin tertarik kepada orang-orang ini sehingga ia memutuskan untuk tinggal bersama mereka di dalam hutan.

Telah tiga pekan Adiprana tinggal bersama pasukan Candrasa Bayu di hutan randu. Ia disukai oleh semua orang karena ramah tamah dan sikapnya yang amat sederhana itu menimbulkan penghormatan dari semua orang. Diam-daim Parta dan Bejo mengakui bahwa pemuda ini jauh lebih sesuai untuk menjadi sisihan Ratna Wulan, sama muda, sama rupawan dan sama saktinya.

Akan tetapi, Ratna Wulan sendiri menganggap tak lebih. Ia memang suka sekali bercakap-cakap membicarakan ilmu kepandaian dengan pemuda itu dan dalam percakapan itu mereka saling menuturkan riwayat masing-masing. Secara singkat Adiprana menuturkan riwayatnya. Ia adalah putera tunggal dari seorang empu (pembuat keris atau pandai besi yang pandai) di Kota Raja. Akan tetapi malang baginya bahwa ayahnya telah meninggal dunia karena sakit ketika ia masih berusia lima tahun.

Ibunya yang masih muda menjanda dan akhirnya, memenuhi pesan mendiang suaminya, ibunya itu mengirimkannya kepada Eyang Bromo untuk mengejar ilmu. Semenjak berusia delapan tahun, ia telah ikut pertapa itu di puncak Bromo dan selama itu ia tidak pernah bertemu dengan ibunya yang tinggal seorang diri di Kota Raja.

Ketika ia bertemu dengan Ratna Wulan, ia sedang dalam perjalanan ke Kota Raja mencari ibunya, akan tetapi dasar anak muda yang ingin meluaskan pengalaman dan ingin berkelana, ia singah di kaki Mahameru dan bertemu dengan Ratna Wulan. Ia mengambil keputusan untuk berangkat ke Kota Raja setelah tinggal barang sepekan di hutan itu. Tidak tahunya, hatinya runtuh oleh kecantikan dan kegagahan dara perkasa Ratna Wulan sehingga beratlah rasanya untuk meninggalkan tempat itu.

Sebaliknya, Ratnawlan juga menceritakan riwayatnya secara singkat saja. Ia menuturkan bahwa ayahnya tewas dalam perang, dan bahwa ia dan ibunya diganggu oleh perampok-perampok. Tidak ia ceritakan kepada Adiprana secara jelas siapakah yang menimbulkan semua kesengsaraan ibunya itu, karena ia menganggap hal itu tidak perlu diceritakan kepada seorang yang belum dikenalnya benar.

Diam-diam Ratna Wulan mengakui bahwa Adiprana adalah satu-satunya pemuda yang dapat menarik hatinya. Ia kagum melihat pemuda yang selain tampan dan gagah, juga berwatak baik ini, lemah lembut dan halus sopan sikapnya, tak pernah memperhatikan kekurang-ajaran dan sukarlah untuk mendapatkan seorang sahabat yang lebih baik daripada pemuda Gunung Bromo ini.

Pada suatu pagi tiga pekan kemudian. Anak-anak buah Pasukan Candrasa Bayu telah pergi ke ladang untuk bekerja. Mereka ini telah mendapat kemajuan pesat berkat pimpinan Ratna Wulan yang dibantu dengan sungguh-sungguh oleh Adiprana. Tanpa terasa, pasukan itu kini benar-benar merupakan pasukan pedang yang amat sukar dicari bandingannya pada waktu itu.

Menurut petunjuk dari Ratna Wulan dan Adiprana, mereka itu kini tak pernah membawa perisai dan hanya bersenjatakan sebilah pedang. Kedua orang muda yang pandai itu menyatakan bahwa perisai selain kurang praktis, juga malahan memperlambat gerakan sendiri dan sebagai pengganti perisai, diberi pelajaran kegesitan dan cara-cara mengelak dengan secepat mungkin dari serangan senjata musuh.

Dengan cara ini, selain gerakan tubuh tak terganggu, juga sambil mengelak mereka dapat melakuan serangan balasan yang lebih cepat lagi, sedangkan tangan kiri yang tadinya memegang perisai, dapat dipergunakan untuk mengirim pukulan atau merampas senjata lawan, terutama apabila lawannya mempergunakan lembing.

Juga mereka semua rata-rata diberi pelajaran ilmu memanah sehingga kini, termasuk juga Waluyo sendiri, semua mempunyai sebuah gendewa dan belasan anak panah yang selalu dibawa sebagai senjata ke dua. Seperti biasa, apabila semua orang telah pergi bekerja, Adiprana dan Ratna Wulan bercakap-cakap sambil duduk di bawah pohon atau pergi berdua memburu binatang. Pada pagi hari itu, mereka tidak pergi berburu binatang dan duduk di tempat terbuka menikmati cahaya matahari pagi yang hangat dan sehat.

“Adiprana,” terdengar Ratna Wulan berkata. “Apakah kau telah merasa suka dan cocok tinggal ditempat sunyi bersama kawan-kawan kita itu?”

“Terus terang saja Ratna Wulan, aku merasa amat kerasan dan agaknya belum pernah aku merasa segembira sekarang. Aku merasa senang tinggal di sini, kawan-kawan kita itu amat baik dan amat menyenangkan hati melihat kemajuan mereka, ikut bangga hatiku menyaksikan betapa pejuang-pejuang itu kini menjadi pasukan yang amat kuat.”

“Kau setuju dengan cita-cita mereka hendak melakukan pemberontakan terhadap Kerajaan Majapahit?”

Mendengar pertanyaan ini, Adiprana diam saja dan sampai lama tak dapat menjawab. Akhirnya ia menjawab juga. “Ratna, hal ini sungguh sukar bagi ku untuk menjawabnya. Mereka adalah orang-orang yang pernah mengalami perang melawan Majapahit dan tentu saja cita-cita mereka itu bukannya tanpa dasar. Adapun aku ini, semenjak kecil aku berada dipuncak gunung, aku tidak tahu akan keadaan Majapahit, tidak tahu pula akan kebaikan-kebaikannya, maka bagaimana aku dapat memiliki cita-cita tentang pemberontakan? Pemberontakan hanya mungkin timbul dalam hati orang-orang yang sakit hati, yang merasa dirugikan dan yang tidak merasa senang dengan pemerintah yang ada. Sedangkan aku yang tidak mengalami semua ini, bagaimana aku dapat menyatakan pendapatku?”

Ratna Wulan dapat menginsafi hal ini. “Akan tetapi, setidak-tidaknya kau tentu akan suka untuk memimpin terus mereka itu, bukan?”

“Tentu saja, Ratna!” jawab Adiprana cepat dan tanpa ragu-ragu. “Kalau tidak suka, masa aku mau tinggal di sini sampai tiga pekan.”

“Kalau aku minta kepadamu untuk tetap memimpin dan melatih mereka sampai tiba masanya mereka melakukan pemberontakan itu, menggabungkan diri dengan pasukan-pasukan pemberontakan.” Kemudian Ratna Wulan menceritakan tentang riwayat hidupnya kepada Adiprana.

“Demikianlah, Adiprana. Ibuku terlunta-lunta, ayah tewas dalam keadaaan penasaran, semua akibat perbuatan Kartika keparat itu. Dan menurut penuturan anak-anak Pasukan Candrasa Bayu, Kartika tinggal di Kota Raja, menduduki pangkat senopati dan orang itu selalu berada dekat dengan Bagawan Mahapati yang berkuasa besar. Oleh karena itu, aku dapat menduga bahwa untuk membunuh Kartika, mungkin aku harus menghadapi Bagawan Mahapati. Aku hendak naik kepuncak Mahameru lebih dulu untuk memberitahukan hal ini kepada ibu dan untuk minta diri karena telah lima pekan lebih aku meninggalkan ibu.”

Dengan pikiran asyik membayangkan masa depannya, Ratna Wulan menundukan muka dan memandang rumput yang dicabutnya. Keadaan hening dan sunyi. Ketika ia mengangkat muka memandang kepada Adiprana, ia menjadi terkejut. Sinar mata pemuda yang sedang menatapnya itu berbeda dari biasanya dan sinar mata ini membingungkan hati dara perkasa itu.

“Adiprana... kau kenapakah.? Kenapa kau memandangku seperti itu?” Biarpun Ratna Wulan sudah berusia hampir depalan belas tahun, akan tetapi oleh karena selalu bertempat tinggal ditempat sunyi, maka ia belum mengerti akan makna pandangan mata pria seperti itu.

“Ratna... ijinkanlah aku ikut kau pergi ke Kota Raja! Aku pun hendak mencari ibuku. dan aku akan membantumu membalas dendam terhadap musuh-musuhmu! Aku khawatir kalau-kalau kau akan menemui bencana ditempat itu, Ratna. Aku harus mengantar kau pergi!"

Ucapan ini dikeluarkan dengan suara bernafsu sehingga Ratna Wulan memandang makin heran. “Ah, Adiprana, hal ini tak mungkin!”

“Mengapa tak mungkin, Ratna Wulan?” Tanya Adiprana dengan suara gemetar.

“Pertama, karena ini adalah urusanku pribadi yang tiada sangkut-pautnya dengan kau dan tak perlu aku membawa orang lain terseret dalam permusuhan ini. Kedua, kau harus tinggal di sini memberi bimbingan dan latihan kepada Pasukan Candrasa Bayu, dan ketiga, karena betapapun juga, tidak pantas dan melanggar tata susila bagi seorang gadis melakukan perjalanan jauh berdua saja dengan seorang pria!”

Adiprana menggeser duduknya mendekati Ratna Wulan dan suaranya makin gemetar ketika ia menjawab penuh nafsu. “Ratna Wulan, ketiga soal itu dapat kujawab sekarang juga. Pertama, urusan pribadimu telah kuanggap sebagai urusanku sendiri, bahkan kuanggap lebih mulia dan penting daripada urusanku pribadi. Kedua, aku takkan tahan tinggal di tempat ini tanpa adanya kau disini, seakan-akan sunyi senyap dunia ini tanpa adanya kau di dekatku! Ketiga, kelak setiba kita di Kota Raja, aku akan minta ibuku melamarmu sebagai jodohku, maka apa salahnya bagi seorang calon jodohmu untuk mengantar kau ke mana kau pergi?”

Melihat betapa gadis itu memandangnya dengan pucat dan mata terbelalak, Adiprana melanjutkan ucapannya, “Ratna... tak tahukah betapa sinar matamu yang tajam melebihi Dewandanu itu telah mematahkan pertahanan imanku semenjak pertemuan kita pertama, sebagaimana anak-anak panahmu mematahkan ujung anak-anak panahku? Tak tahukah kau betapa senyum dan kerling matamu itu merupakan belenggu baja yang telah mengikat kedua kaki tanganku sehingga aku tidak kuasa lagi melepaskan diri dan tak kuasa meninggalkan tempat ini? Ratna. Ratna Wulan, dewi pujaan hatiku, aku. hambamu yang rendah ini. Aku bersedia mengorbankan apa saja, jiwaku sekalianpun, untukmu karena... karena aku cinta padamu Ratna....!”

Mendengar pernyataan kasih ini, Ratna Wulan melompat berdiri bagaikan diserang oleh seekor ular berbisa. Ia memandang dengan muka sebentar pucat sebentar merah dan sepasang matanya terbelalak lebar memandang wajah pemuda yang masih duduk berlutut di depannya.

“Adiprana! Jangan... jangan kau mengeluarkan kata-kata seperti itu!”

“Ratna Wulan, kekasih hati pujaan kalbu, kau boleh melarang aku makan minum, boleh melarang aku tidur, boleh pula melarang aku bernafas, akan tetapi kau tidak bisa melarang aku menyatakan suara hatiku, bisikan kalbuku...!”

“Kau gila, Adiprana!” kata Ratna Wulan sambil melangkah mundur dua tindak, akan tetapi Adiprana juga berdiri melangkah maju, merungrum (merayu) dara itu dengan cumbu rayu dan kata-kata bermadu.

“Memang aku sudah gila, Ratna Wulan! Aku telah gila, tergila-gila oleh kecantikanmu. Kau cantik jelita melebihi Dewi Ratih! Kau gagah perkasa melebihi Wara Srikandi! Kau lemah lembut dan setia melebihi Diah Setiawati! Kau melati suci di antara segala puspita!”

Wanita manakah yang takkan luluh imannya menghadapi cumbu rayu dari orang teruna setampan dan segagah Adiprana? Kalau saja yang dirungrum itu seorang wanita lain, tentu ia akan melempar perisai dan menyerah dengan hati bangga. Akan tetapi Ratna Wulan adalah seorang dara perkasa yang teguh imannya, dan pula ia masih asing dengan suara asmara ini, maka cembu rayu itu sungguh-sungguhpun membuat dadanya berdebar bangga, namun mendatangkan kekagetan besar.

“Tidak, tidak, Adiprana! Sadarlah kau, hai ksatria utama! Demikian lemahnya imanmu? Ucapanmu itu mencemarkan kegagahanmu.”

“Apa, Ratna Wulan? Jangan salah sangka! Kasih sayangku kepadamu bukanlah kasih sayang terdorong nafsu semata. Aku mencintaimu dengan tulus ikhlas, dengan hati suci, dengan seluruh jiwa ragaku. Cinta murni seperti ini bukan mencemarkan kegagahan, bahkan membuat nama seorang ksatria dijunjung tinggi sepanjang masa. Cintaku kepadamu bagaikan cinta Palgunadi terhadap Anggraeni, cinta yang akan kubawa sampai mati!”

“Cukup Adiprana. Tetapkanlah hatimu dan sadarlah!”

“Kau menolak cintaku, Ratna Wulan? Kau tega menghancurkan hidupku? Penolakanmu berarti hancurnya hidupku, seakan-akan dunia ditinggalkan Dewangkara (matahari). Aku akan binasa, tak kuat menghadapi gelombang hidup di mayapada.”

“Adiprana, sekarang belum tiba saatnya bagiku untuk bicara tentang hal itu. Aku belum dapat membuka pintu hatiku kepada siapapun juga, tidak kepada pria yang manapun juga. Aku masih mempunyai tugas yang maha penting, Adiprana, dan aku tidak sudi memikirkan tentang jodoh dan lain-lain seperti itu sebelum tugas kewajibanku membalas dendam mendiang ayahku terlaksana!”

Sadarlah Adiprana dari keadaannya yang seakan-akan mabuk dan gandrung tadi. Ia berkata lemah. “Maafkan sikapku tadi, Ratna Wulan. Apakah kata-katamu tadi bukan hanya merupakan alasan untuk menolak cintaku?”

“Tidak, Adiprana. Aku tidak menerima maupun menolak! Aku bersumpah bahwa sebelum terlaksana tugasku, aku takkan mengikat janji hati terhadap pria yang manapun juga.”

“Jadi aku masih mempunyai harapan, Ratna?”

“Harapan selalu ada, Adiprana. Siapa tahu? Jodoh adalah kehendak Hyang Agung.”

“Terima kasih, Ratna Wulan! Besar hatiku mendengar kata-katamu ini. Selama masih ada harapan aku akan kuat menahan derita asmara, aku akan berbantal rindu berguling dendam. Aku takkan meraba-raba di dalam gelap karena harapan itu merupakan lampu yang menjadi sumber penerangan bagiku.”

“Sudahlah Adiprana, jangan terlalu lemah, kau mengecewakan hatiku. Sekarang jawablah sungguh-sungguh, apakah kau bersedia menggantikan kedudukan dan memimpin kawan-kawan dari Pasukan Candrasa Bayu.”

“Aku bersedia, Ratna, bahkan aku akan membawa ibuku tinggal bersamaku di tempat ini. Aku akan membantu bahkan akan ikut dalam perjuangan mereka, kewajiban ini masih terlampau ringan bagiku, biarlah kujadikan pemanis harapanku.”

“Kalau begitu, sekarang juga aku hendak pergi, Adiprana, aku hendak naik ke Mahameru menemui ibuku, kemudian aku akan berangkat mencari musuhku di Kota Raja.”

“Mengapa demikian tergesa-gesa, Ratna Wulan?”

“Telah terlampau lama waktunya tertunda disini, Adiprana.” Gadis ini tak dapat menyatakan isi hatinya,ia merasa tidak enak untuk berdiam lebih lama di dekat Adiprana.

“Kalau begitu, selamat jalan, Ratna Wulan. Semangat dan doaku menyertaimu!”

“Selamat tinggal, Adiprana, dan jangan terlalu banyak melamun yang bukan-bukan!” Maka pergilah Ratna Wulan, keluar dari hutan randu di mana ia tinggal selama lima pekan.

Dalam perjalanannya merupakan sawah ladang di mana ia bertemu dengan beberapa orang anggota pasukan Camdrasa Bayu. Ia berhenti sebentar dan dengan singkat memberitahukan maksudnya meninggalkan pasukan itu dan menyerahkan tugas para anggota itu merasa kecewa, akan tetapi mereka tidak putus asa karena Adiprana yangmengantikan dara perkasa itu.

Karena menggunakan aji kesaktiannya, maka sebelum matahari terbenam, ia sampai di tempat tinggal ibunya, yaitu di puncak Mahameru. Dengan hati girang ia mendapat kenyataan bahwa gurunya, Eyang Semeru, telah kembali dari perjalanannya pula dan telah berada di dalam gua pertapaannya. Dengan singkat Ratna Wulan menceritakan pengalamannya kepada ibunya tanpa menyembunyikan sesuatu, bahkan ia menuturkan pula tentang pinangan Adiprana.

Ibunya menghela napas dan berkata. “Itulah yang memberatkan pikiranku, anakku. Kau telah dewasa dan selain tugasmu membalas musuh itu sudah cukup berat, kaupun menghadapi penggoda lain yang lebih berbahaya, yaitu dari kaum pria yang tentu takkan membiarkan kau lalu begitu saja tanpa menggoda. Ketahuilah bahwa kau memiliki kecantikan yang membanggakan hatiku, dan hal ini amat berbahaya bagi seorang wanita muda dalam perjalanan, sungguhpun aku cukup maklum bahwa kau cukup kuat untuk menjaga dirimu. Kau berlaku benar telah menolak pinangan pemuda itu, karena memang cita-cita tak boleh terganggu oleh keinginan hendak mempersenang diri dan menurutkan kata nafsu hati. Orang bercita-cita harus mantap dan harus mencurahkan segenap perhatian ke arah pelaksanaan cita-citanya itu, barulah ada kemungkinan cita-cita itu berhasil. Sekali saja orang berlaku lemah terhadap pengoda, terutama godaan yang bersifat asmara, maka besar sekali kemungkinan cita-citanya takkan terlaksana dengan sempurna bahkan akan berhenti di tengah jalan, oleh karena pikirannya telah bercabang dan tidak di pusatkan. Memang cita-citamu untuk membalas dendam ayahmu, yang menjadi cita-cita ibumu adalah cita-cita yang luhur, anakku. Tidak saja kau akan membalaskan sakit hati orang tua, akan tetapi kalau kau berhasil membinasakan keparat Kartika, berarti bahwa kau telah menolong banyak orang pula, membebaskan mereka dari kekejaman dan kecurangan hati penjahat itu!”

“Segala petuahmu akan kuperhatikan dan kujunjung tinggi, ibu.” jawab Ratna Wulan sambil memeluk ibunya.

“Akan tetapi, kau harus minta izin dan doa restu lebih dahulu dari eyangmu, Wulan. Tak ada yang lebih berharga untuk bekal perjalanan melaksanakan cita-cita melainkan doa restu dari orang-orang tua, terutama dari gurumu yang bijaksana.”

Maka pergilah Ratna Wulan menemui gurunya di dalam gua pertapaan Panembahan Mahendraguna yang kini telah nampak tua sekali. Pertapa itu sedang bersamadhi ketika Ratna Wulan masuk kedalam guanya. Ratna Wulan tidak berani mengganggu, bahkan lalu duduk bersila tidak jauh dari gurunya dan ikut bersamadhi mengheningkan cipta. Belum lama ia tenggelam dalam alam hening, terdengar gurunya memanggil dan melihat gurunya telah duduk memandangnya dengan matanya yang berpengaruh dan penuh kesabaran.

“Ratna Wulan, bilakah kau kembali dari hutan randu?”

Ratna Wulan telah maklum bahwa gurunya ini waspada akan segala hal, akan tetapi selalu tidak menampakkannya sungguhpun kadang-kadang kewaspadaannya itu tanpa sengaja dan tanpa disadarinya bahwa di dalam kalimat itu terlihat bahwa kakek sakti ini telah tahu akan keadaannya, tahu bahwa ia selama ini berada di hutan randu, sungguhpun tak seorangpun memberitahu kepada kakek itu.

“Baru saja kemarin sore hamba datang, eyang Panembahan. Sekarang datang menghadap untuk mohon izin dan doa restu dari eyang karena hamba hendak pergi ke Kota Raja Majapahit untuk mencari musuh besar ayah hamba dan membalas dendam.”

Kakek itu menghela napas dan bibirnya bergerak-gerak. “Muridku ya cucuku yang ayu. Dengan dasar apakah kau hendak membalas dendam kepada Kartika?”

“Berdasarkan kebaktian hamba kepada ayah yang telah dicurangi oleh Kartika sehingga ibu menderita sengsara karenanya dan mengingat pula bahwa seorang jahat seperti Kartika harus dibasmi untuk mencegahnya mendatangkan malapetaka kepada orang lain, selain dengan watak pendekar utama telah eyang ajarkan kepada hamba.”

Eyang Semeru tersenyum dan menghela napas lagi. “Kehendak Hyang Agung takkan berubah. Kau masih terbawa oleh pergerakan Triloka dan terpengaruh oleh Janaloka atau Arcapada, oleh karena itu kau masih terikat oleh Karma, masih terikat oleh segala sesuatu yang berputar dijagat raya ini. Aku tidak berhak mencegah atau mendorongmu. Ratna Wulan, hanya kesadaran dan batinmu sendirilah yang harus memegang kendali dan memutuskan ke mana kau hendak menuju. Sebagai orang tua, aku hanya memberi doa restu, semoga kau selalu akan dapat memilih mana yang benar mana yang salah, dan dapat melalui jalan kebenaran jangan sampai kesasar. Hanya satu pesanku, Ratna Wulan, semoga Hyang agung mengampuniaku karena pesan ini yang timbul dari kasih sayangku kepadamu sebagai cucu dan murid, yaitu, berhati-hatilah kau apabila berhadapan dengan Mahapati! Dewa kebenaran akan melindungimu dan akan memperkuat kau sehingga kau tak perlu kalah menghadapi kesaktiannya, akan tetapi, kau waspadalah terhadap lembing bagawan itu! Lembingnya itu ampuh sekali dan kebetulan sekali lembing pusakanya itu bernama Nyi Ratna Wulan! Sekali lagi, kau tak usah takut berhadapan dengan Mahapati, akan tetapi apabila ia mengeluarkan lembingnya yang ampuh itu, akan lebih baik apabila kau menjauhkan dirimu, muridku!”

Sambil menyembah Ratna Wulan menjawab. “Segala wejangan dan nasihat eyang akan hamba perhatikan dan junjung tinggi sebagai jimat hamba.”

“Berangkatlah, Ratna Wulan, kuberi bekal pengestu kepadamu.”

Setelah menyambah lagi, keluarlah dara perkasa itu dari gua pertapaan Panembahan Mahendraguna. Kakek yang sakti itu lalu menghela napas dan berbisik perlahan.

“Duh gusti, ampunilah kiranya Si Ratna Wulan itu.” Kemudian ia melanjutkan samadhinya yang tadi terganggu oleh kedatangan muridnya.

Pada keesokan harinya, dari puncak Mahameru turunlah seorang pemuda yang amat elok dan rupawan. Sungguhpun tubuhnya tidak besar dan kaki-tangannya nampak lemah dan berkulit kuning halus, namun gerak-geriknya cekatan dan larinya bagakan kijang dikejar harimau.

Pemuda ini demikian halus dan tampannya sehingga orang yang melihatnya tentu akan bertanya apakah Sang Arjuna yang terkenal sebagai pria paling menandingi ketampanan pemuda yang sedang turun dari Mahameru itu. Memang luar biasa sekali pemuda itu. Wajah dan gerak-geriknya yang halus tak Sesuai dengan ketangkasannya ketika ia menuruni gunung, melompati batu karang dan jurang.

Melihat matanya yang bening dan bibirnya yang merah, ia kelihatan seperti Batara Kamajaya Dewa Asmara, akan tetapi melihat ketangkasannya, ia menyamai Raden Gatotkaca yang dapat ngambah jumantara (terbang)! Siapakah dia ini? Lihatlah baik-baik dan anda akan mengenalnya! Ya, dia bukan lain adalah dara perkasa Ratna Wulan! Gadis ini telah menyamar sebagai seorang pemuda atas nasehat ibunda.

“Wulan...” Kata ibunya sebagai nasehat terakhir ketika anaknya hendak berangkat ke Kota Raja, “Seorang dara seperti kau melakukan perjalanan seorang diri keluar masuk hutan masih tidak terlalu menarik perhatian para penduduk gunung dan dusun. Akan tetapi, apabila kau memasuki Kota Raja, kau akan menimbulkan kegemparan di kalangan penduduk. Amat langka terdapat dan amat ganjilah apabila mereka melihat seorang dara muda berjalan seorang diri tanpa pengiring di Kota Raja. Apa akan kata orang? Hal itu hanya akan menimbulkan kesulitan bagimu, nak, dan aku bahkan khawatir kalau-kalau engkau akan menemui bahaya sebelum cita-citamu tercapai. Oleh karena itu, janganlah kau masuk ke Kota Raja sebagai wanita, akan tetapi sebagai seorang pria, sebagai seorang jaka lelana. Dengan demikian, takkan ada orang yang menaruh perhatian kepadamu dan kau takkan menimbulkan kecurigaan.”

Demikianlah, dengan pertolongan ibunya, Ratna Wulan lalu menyamar sebagai seorang pemuda. Ibunya berlinang air mata ketika memandang puterinya dalam penyamaran itu.

“Anaku, Wulan,” bisiknya sambil memeluk pundak anaknya, “kau mengingatkan ibumu kepada mendiang ayahmu pada waktu kamu mula-mula bersuara.”

Amat terharulah Ratna Wulan mendengar keluhan ibunya ini, dan ia dapat memaklumi kesedihan hati ibunya. Dipeluknya ibunya dengan kasih sayang yang amat besar dan untuk beberapa lamanya keduanya terbenam dalam laut keharuan.

“Sekali lagi, Wulan. Berhati-hatilah kau menjaga dirimu sendiri, tertama sekali teguhkanlah imanmu menghadapi godaan asmara di dalam hatimu sendiri, oleh karena tiada musuh yang lebih berbahaya daripada musuh didalam dada sendiri!”

Maka berangkatlah Ratna Wulan meninggalkan ibunya, berangkatlah menuju ke Kota Raja Majapahit, menuju ke arah pelaksanaan cita-citanya, yaitu membalas dendam kepada musuh besarnya, Kartika!

Benar sebagaimana kata ibunya, dengan menyamar sebagai seorang pria, dengan mudah tanpa menimbulkan kecurigaan orang, Ratna Wulan dapat masuk ke Kota Raja. Memang ia menarik perhatian karena ke elokan wajahnya, akan tetapi ke elokan wajah seorang pria hanya membuat orang menengok dan mengagumi sekilas saja. Begitu ia lewat, orang telah melupakan lagi.

Karena hari sudah malam ketika ia tiba di Kota Raja, maka Ratna Wulan menunda niatnya mencari rumah Kartika. Ia tidak mau menimbulkan kecurigaan orang yang akan membuat usahanya menemui rintangan, oleh karena itu ia sengaja berjalan-jalan sekeliling kota, melihat-lihat dan mengagumi bangunan gedung-gedung besar yang amat indah dan yang belum pernah dilihat seumur hidupnya.

Di dusun-dusun sekitar Gunung Mahameru hanya melihat bangunan-bangunan dari bambu yang beratap daun, paling besar hanyalah rumah-rumah lurah yang terbuat daripada kayu gunung beratap genteng. Di Kota Raja melihat bangunan-bangunan raksasa dengan pilar-pilar terukir dan bercat indah merupakan bangunan yang besarnya seperti anak bukit!

Tiba-tiba ia mendengar suara gamelan ramai menggema di gelap malam. Suara kenong dangongnya bertalu-talu seperti memanggil-manggil semua orang untuk datang menonton. Ah, tentu pertunjukan wayang kulit, pikir Ratna Wulan dengan gembira. Lumayan juga untuk melewatkan malam ini. Ia pernah menonton pertunjukan wayang kulit yang sering diadakan didusun-dusun dan ia gemar sekali akan cerita pewayangan, terutama cerita yang mengisahkan perjalanan pahlawan wanita Srikandi.

Biasanya ia kuat sampai semalam untuk menonton wayang kecuali kalau ceritanya mengisahkan pengalaman pahlawan wanita itu, terutama cerita yang mengisahkan pengalaman wanita itu, terutama sekali ia paling suka menonton cerita Srikandi Belajar memanah!

Dengan langkah lebar ia menuju ke arah suara gamelan itu dan dari jauh ia telah melihat penerangan tempat pertunjukan itu. Ternyata bahwa gamelan itu keluar dari sebuah gedung tumenggungan dan pertujukan diadakan di halaman depan gedung itu. Melihat banyak orang menonton berjubel di luar panggung yang dibangun di depan gedung, Ratna Wulan juga mendesak maju dan mencari tempat di depan.

Akan tetapi alangkah herannya ketia ia tidak melihat layar wayang di situ, juga tidak ada batang pohon pisang melintang untuk tempat wayang-wayang kulit itu ditancapkan. Yang ada hanyalah para yogo penabuh gamelan dan di atas panggung itu kelihatan seorang ledek tengah menari dan menyanyi dengan gerak kaki tangan yang amat lemas dan suaranya amat merdu.

Ledek itu tidak muda lagi, akan tetapi jelas bahwa ia memiliki potongan tubuh yang menggairahkan dan wajah yang amat cantiknya. Lirikan matanya tajam menggurat kalbu sedangkan senyumnya mengalahkan bunga yang mengharum. Di sekeliling panggung itu penuh dengan tamu-tamu duduk di kursi. Mereka ini semuanya kaum pria dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang tersenyum dan tertawa-tawa gembira.

Diatas meja tersedia kendi-kendi arak yang menyiarkan bau keras, sedangkan beberapa buah cawan menggeletak di sana-sini. Dengan heran Ratna Wulan melihat betapa wajah para tamu itu berbeda dengan orang biasa, dan ketawa mereka juga ketawa tidak sewajarnya. Bahkan ada orang yang berdiri dengan tubuh bergoyang-goyang seakan-akan hendak jatuh. Ia tidak tahu bahwa sebagian besar para tamu itu telah mabok!

Pesta malam itu adalah pesta tayuban, yaitu pesta malam gembira dengan tari-tarian dan Nyanyian ledek, dan di dalam pesta tayuban ini para tamu yang “ketiban sampur” diharuskan menari bersama ledek itu. Ketiban sampur berarti kejatuhan selendang, dan ledek itulah yang menetapkan siapa-siapa orangnya yang hendak diajak menari.

Sambil menari-nari ia berjalan lenggang-lenggok ke arah para tamu dengan mata tajam mengerling ke kanan kiri, mencari-cari “korbannya” yang hendak di jatuhi selendangnya. Biasanya ledek ini memilih seorang tamu yang kantongnya padat, oleh karena sehabis menari, sudah menjadi kelaziman bahwa tamu itu memberi hadiah uang beberapa real kepada si ledek.

Akan tetapi ada pula ledek yang tidak begitu mementingkan uang dan sengaja memilih tamu-tamu yang muda dan tampan, terutama yang pandai untuk memenuhi kesenangan sendiri. Ledek inipun agaknya hendak mencari seorang lawan yang baik, karena ia tidak menghampiri tamu-tamu tua yang berpakaian mewah, akan tetapi menghampiri seorang tamu muda yang amat menarik perhatian.

Pemuda ini usianya dua puluh tahun lebih, tubuhnya tubuh ksatria, kuat tegap tidak dempel atau tinggi besar, rambutnya keriting dan sepasang matanya bercahaya tajam. Wajahnya amat tampan dan menunjukkan kegagahan, terutama sepasang alisnya yang tebal dan bulu matanya yang lentik melengkung ke atas yaitu bulu mata yang biasanya hanya terdapat pada kaum bangsawan atau darah keraton. Pakaiannya juga indah dan mahal, tanda bahwa ia seorang dari keluarga kaya.

....Maaf ya! Ada sebagian cerita yang hilang….

....Gerak tarian pemuda itu benar-benar hebat dan indah, tidak saja lemas dan sesuai betul dengan Irama lagu, akan tetapi juga hidup dan seakan-akan setiap gerakannya menyatakan sesuatu yang berarti. Sepasang matanya memancarkan cahaya gemilang, bibirnya tersenyum dan wajahnya berseri-seri.

Sungguh seorang pemuda yang akan meruntuhkan iman setiap orang dara, dan benar-benar tariannya itu tarian yang indah dan bermutu. Orang-orang yang berada disitu tidak merasa heran oleh karena pemuda ini memang seorang ahli tari yang kenamaan di Majapahit dan seringkali ia memperlihatkan keahliannya di depan sang prabu sendiri dengan seluruh keluarga keraton.

Akan tetapi bagi Ratna Wulan yang tidak tahu siapa adanya pemuda ini, memandangnya bagaikan memandang kepada seorang dewata yang baru melayang turun dari Swargaloka! Benar-benar hatinya terpikat dan jari-jari tangan muda yang bergerak-gerak dalam tariannya itu seakan-akan menjentik-jentik kalbunya, membuat mukanya terasa panas dan matanya memandang sayu.

Akan tetapi, dara perkasa ini segera teringat akan petuah ibundanya, maka ia lalu menahan napas, memusatkan panca inderanya dan berhasil mengusir godaan itu. Pada saat ia berdiri di antara sekian banyak orang sambil mengheningkan cipta untuk menekan perasaannya yang menggelora, tiba-tiba ia menangkap bisikan tiga orang yang berdiri tak jauh dari tempatnya.

“Saat yang baik untuk mulai gerakan kita!” terdengar bisikan itu. “Sudah seharusnya Mas Bei melihat kesempatan ini dan mulai beraksi. Banyak tamu telah mabok, maka kalau ia berpura-pura mabok dan menyerang Raden Indrajaya membuat keributan, takkan ada yang mengira bahwa ia melakukan dengan sengaja. Dan kita akan lebih mudah lagi bergerak.”

“Dengan alasan seperti yang sudah diatur semula?” terdengar orang kedua berbisik.

“Bodoh! Masih kurang jelaskah perintah Mas Bei? Kita berpura-pura merasa cemburu kepada Raden Indrajaya dan kita mengaku menjadi kekasih-kekasih Puspamirah! Sst, diam, itu kulihat Mas Bei sudah berdiri dari kursinya! Benar. Ia berdiri terhuyung-huyung seperti orang mabok. Awas, siap!”

Ratna Wulan berdebar hatinya mendengar bisikan-bisikan yang terdengar oleh orang lain itu. Ia Maklum bahwa yang handak diserang adalah pemuda yang menawan hatinya itu, karena tadipun orang menyebut nama pemuda itu Raden Indrajaya. Tiga orang ini menyebut nama Raden Indrajaya, tentu pemuda yang sedang menari dengan asyiknya itu.

Dan ia mengerling ke arah tiga orang yang berbisik tadi. Ternyata bahwa mereka adalah orang tinggi besar yang brengosnya sekepal melintang dan sikap mereka jelas menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang kasar yang berlagak seperti seorang cabang atas!

Ketika Ratna Wulan mengerling ke atas panggung, ke arah ke tiga orang itu menujukan pandang mata mereka, ia melihat seorang setengah tua yang bertubuh gemuk pendek, berpakaian mewah, berdiri dari kursinya dan dengan tubuh terhuyung-huyung menghampiri kedua orang yang asyik menari di tengah panggung itu.

Dengan pandang matanya yang amat tajam Ratna Wulan dapat melihat bahwa biarpun orang gemuk ini kelihatan mabok, akan tetapi sepasang matanya masih bersinar cerdik dan beberapa kali si gemuk itu mengerling ke arah tiga orang yang berdiri di sebelah kiri Ratna Wulan.

Ratna Wulan memandang dengan penuh perhatian dan diam-diam ia mengambil keputusan untuk mebantu Raden Indrajaya itu apabila benar-benar menghadapi bahaya. Entah apa yang menggerakkan hatinya untuk mencampuri urusan lain orang ini, hanya ia menghibur hatinya sendiri dengan bisikan,

“Ada orang dalam bahaya, tak perduli siapa adanya orang itu, baik kakek tua buruk maupun teruna yang elok rupanya, harus kubantu dia.”
Orang gemuk itu setelah berada di dekat puspamirah, tiba-tiba tertawa dan menangkap lengan tangan ledek itu, menarik dan memeluknya lalu berusaha hendak menciumnya. Ledek itu meronta ingin melepaskan diri tapi sia-sia saja usahanya..

Tiba-tiba Raden Indrajaya mengeluarkan bentakan. "Mas Bei, mundur kau!"

“Ha, ha, ha! Raden Indrajaya, aku Raden Mas Ngabei Bajrabumi, tidak tunduk kepada siapa juga kecuali sang prabu! Kalau aku tidak mau mundur, kau mau apa? Ha, ha, ha! Kau hendak memborong Puspamirah? Tidak boleh..., tidak boleh. Hai menari dengan aku sampai pagi!”

“Mas Bei, kalau tidak mau keluar terpaksa akan kulontarkan kau keluar dari sini!” Raden Indrayana berkata marah.

“Ha, ha, ha! Dengar ocehan anak kemarin sore! Indrajaya! Kau anak kecil masih bau pupuk ubun-ubunmu, hendak melontarkan aku? Ha, ha, ha! Boleh kau coba!” Si gemuk itu lalu mencabut kerisnya yang dihias ronce kembang melati.

“Raden Indra! Mundurlah dan jangan melayani dia yang mabok!” terdengar orang berseru dari rombongan tamu.

Akan tetapi Raden Indrajaya sama sekali tidak merasa gentar menghadapi keris ditangan Bajrabumi itu. Ratna Wulan memandang dengan kagum dan gembira ketika melihat betapa pemuda tampan itu ternyata tidak saja pandai menari, akan tetapi pandai pula ilmu pencak silat. Biarpun ia bertangan kosong dan menghadapi seorang lawan yang bersenjata keris, ia tidak gugup dan tidak pula mencabut kerisnya sendiri.

Ternyata bahwa Bajrabumi juga bukan seorang lemah. Ilmu kerisnya cukup tinggi dan dari gerakan tangannya ternyata bahwa ia telah mempelajari ilmu pencak dari pesisir utara, ilmu kerisnya adalah ilmu keris dari daerah Tuban. Tusukannya bertenaga dan cepat sekali dan pekembangannya serangannya selain bagus juga amat cekatan.

Bertubi-tubi ia menusukkan kerisnya kepada pemuda lawannya itu, sehingga marahlah Indrajaya karena dari pergerakan lawannya yang tangkas dan cepat ini sama sekali ia tidak melihat sifat-sifat orang mabok. Orang mabok takkan dapat bermain keris sebaik ini!

“Bajrabumi, kau benar gila!” bentaknya dan dengan cepat ia mengelak sambil mengirim serangan balasan. Dengan tangan kiri ia menangkap pergelangan tangan lawan yang memegang keris, sedangkan tangan kanannya memukul dengan telapak tangan, menepak dada.

Bajrabumi tak kurang gesitnya, dengan cepat ia dapat merenggut tangannya yang tepegang dan tangan kirinya menangkis pukulan tangan lawan dari samping. Ternyata dalam hal ini kecepatan gerakan, Bajrabumi yang gemuk pendek itu masih kalah oleh Indrajaya yang gesit seperti burung srikatan. Begitu serangan balasannya gagal, kaki kirinya menyapu kaki lawan lalu terus ke pergelangan tangan yang memegang keris.

Bajrabumi melompat untuk menghindarkan diri dari sapuan kaki lawan, akan tetapi ia tidak menyangka akan datangnya tendangan lawan yang cepat itu sehingga pergelangannya kena tendangan keras. Ia memekik kesakitan dan kerisnya terlepas dari pegangan. Pada saat itu, tiga bayangan tubuh yang tinggi besar melompat naik ke atas punggung. Seorang yang terdepan berseru.

“Indrayana, kau berani merebut Puspamirah dari tangan kami? Kau benar-benar sudah rindu kepada kuburan!” Tiga orang yang berkumis tebal itu lalu maju menyerang dengan kelewang mereka yang berkilauan saking tajamnya. Bukan main ributnya suasana di situ.

“Celaka. Perampok-perampok datang!” terdengar teriakan orang, sedangkan Bajrabumi yang masih berpura-pura mabok melanjutkan serangannya pula dengan tangan kosong. Akan tetapi ketika melihat Indrajaya mencabut kerisnya, ngabei yang bertubuh gemuk itu lalu mengundurkan diri dari pertempuran.

Oleh karena tadi ia pun hanya hendak memperlihatkan bahwa ia benar-benar “mabok” saja dan memang hendak menyerahkan pemuda itu ke pada tiga orang “perampok” yang sebenarnya adalah tiga orang cabang atas dari Madura yang telah disewanya untuk maksud ini.

Setelah berhadapan dengan tiga orang cabang atas dari Madura ini, baru kelihatanlah kepandaian Indrajaya, seakan-akan sebatang keris yang baru kelihatan pamornya. Tiga orang itu bersenjata kelewang yang panjang dan tajam dan gerakan mereka menunjukkan bahwa mereka benar-benar memiliki ilmu kepandaian pencak silat yang tak boleh dipandang ringan.

Dengan lincahnya kaki mereka bergerak secara teratur sekali, juga kelewang-kelewang di tangan mereka melakukan serangan menurut gerakan seorang ahli, bukan secara sembarangan atau akan hal ini, maka iapun mengerahkan seluruh kepandaiannya.

Dengan amat terampil dan cekatan bagaikan seekor burung Srikatan dikeroyok tiga oleh burung Alap-alap, tubuhnya bergerak menyelinap di antara sinar tiga batang kelewang, berlompatan kesana ke mari mengelak golok sambil melakukan serangan balasan. Kadang-kadang kerisnya beradu dengan golok sehingga terdengar bunyi nyaring dan berpancarlah bunga api.

Sementara itu, masih saja gamelan dipukul bertalu-talu dengan amat ramainya sehingga bagi pendatang baru, mungkin pertempuran itu disangkanya sebuah permainan atau sebuah adegan dari cerita Bhatarayuda!

Ratna Wulan masih berdiri dan belum turun tangan oleh karena ia asyik memperhatikan gerakan empat orang itu. Ia mendapat kenyataan bahwa Raden Indrajaya memiliki ilmu pencak silat yang cukup tinggi dan andaikata ia tidak memegang sebatang keris yang kecil saja, akan tetapi juga memegang senjata yang panjang, tentu pemuda itu takkan memiliki ilmu kepandaian “halus” sehingga gerakannya demikian indah bagaikan sedang menari saja, hanya mengandalkan keawasan mata dan kelincahan tubuh.

Tidak seperti ke tiga orang pengeroyoknya yang biarpun memiliki golok yang hebat, akan tetapi kehebatannya itu hanya nampak pada luarnya saja karena ketiga orang cabang atas ini memiliki ilmu pencak kasar dan yang hanya mengandalkan besarnya tenaga dan tajamnya kelewang. Namun harus diakui bahwa kepandaian mereka sudah cukup tinggi dan merupakan lawan yang amat berbahaya bagi pemuda itu.

Indrajaya agaknya maklum akan hal ini, maka ia lalu menyerang dengan amat cepatnya dengan maksud merobohkan seorang pengeroyok lebih dahulu untuk mengurangi jumlah lawan. Ketika dua batang golok menyambar dari kanan kiri, ia tidak mengelak ke belakang. Bahkan lalu menerjang ke depan dengan kecepatan melebihi datangnya golok lawan ke tiga yang menusuknya dari depan yang dapat di elakkannya dengan tubuh di miringkan, secepat kilat kerisnya menusuk dada orang itu!

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika kerisnya bertemu dengan dada yang bidang dari orang itu, kerisnya terpental kembali dan orang itu hanya tertawa mengejek! Ternyata bahwa orang itu kebal dan memiliki Aji Kesaktian Lulang Warak (Kulit Badak) yang membuat kulitnya kebal tak terluka oleh senjata tajam!

Hal ini menggoncangkan semangatnya dan kini perlawanannya menjadi lemah dan kacau. Ratnawulan dapat melihat akan hal ini, maka kini dara perkasa ini setelah melihat keadaan pemuda itu amat terdesak dan berada dalam dalam bahaya, cepat menjejakkan kakinya ke atas tanah dan tubuhnya mencelat keatas panggung!

“Mengasolah, Raden, biarkan aku menggantikanmu dan membereskan tiga ekor babi hutan ini!” kata Ratna Wulan yang telah melompat di hadapan Indrajaya.

Tidak saja semua penonton menjadi kagum dan heran, juga Indrajaya sendiri tertegun melihat betapa seorang pemuda bersikap lemah-lembut dan elok sekali tahu-tahu muncul dari bawah, bagaikan Raden Antasena muncul keluar dari permukaan bumi! Ia memang telah lelah sekali dan melihat munculnya pemuda yang aneh ini, ia menaruh kepercayaan dan segera melangkah mundur.

Akan tetapi ia masih memgang kerisnya, siap membantu apabila pemuda yang hendak membantunya ini ternyata tak dapat mengalahkan tiga orang pengeroyok itu. Sementara itu, ketiga orang pengeroyok tadi telah merasa amat gelisah ketika mendapat kenyataan betapa Raden Indrajaya amat sukar dikalahkan. Mereka telah merasa gelisah kalau-kalau tugas mereka akan gagal.

Kini melihat munculnya seorang pemuda tampan dengan tiba-tiba, mereka menjadi marah dan hendak menyelesaikan pekerjaan dengan cepat, maka tanpa banyak bicara lagi mereka lalu menyerbu dan menyerang Ratna Wulan yang masih berdiri dengan tenang!

Akan tetapi, alangkah terkejut hati mereka ketika tiba-tiba tubuh pemuda elok itu sekali berkelebat saja lenyap dari depan mereka dan tahu-tahu pemuda itu muncul di belakang mereka! Mereka tercengang sejenak, akan tetapi segera menyerang lagi dan seorang diantara mereka membentak.

“Keparat! Jangan kau kira kami takut kepada aji silumanmu!”

Ratna Wulan tersenyum dan sekali tangannya bergerak kearah pinggang, keris pusaka Banaspasti telah tercabut dan ia menyambut serangan tiga buah kelewang itu dengan memutar kerisnya.

“Trang! Trang! Trang!”

Terdengar bunyi nyaring ketika kerisnya sekaligus menyambar-nyambar ke arah senjata lawan dan suasana di situ menjadi sunyi senyap karena kini gamelan tiba-tiba menjadi bidu. Semua yogo duduk dengan melongo dan lupa untuk menabuh gamelan mereka ketika menyaksikan betapa tiga batang golok besar itu tela putus semua sampai tinggal gagangnya saja yang masih berada di tangan ketiga orang pengacau itu! Kemudian pecahlah suara sorak-sorai menyatakan kagum kepada pemuda tampan yang aneh itu.

“Siapakah dia?” terdengar suara di mana-mana akan tetapi siapakah yang dapat menjawab? Semua orang hanya menduga-duga sambil memandang ke arah pemuda itu.

Tiga orang lawan Ratna Wulan juga terkejut sekali sehingga wajah mereka menjadi pucat. Akan tetapi ketakutan mereka akan ampuhnya keris lawan itu lenyap ketika mereka melihat betapa Ratna Wulan dengan amat tenangnya menyimpan kembali kerisnya dan menghadapi mereka dengan tangan kosong.

“Bagaimana sekarang? Apakah akan kita lanjutkan dengan kedua tangan saja?” tantangnya. Kemudian ia berkata kepada orang yang mempunyai kekebalan tadi dan berkata, “Kau kebal dan kuat menahan tusukan cunrig (keris), hendak kulihat apakah kuat menerima pukulan tanganku!”

Biarpun merasa takjub melihat ampuhnya keris di tangan pemuda yang nampak lemah ini, akan tetapi ketiga orang itu memiliki aji kekebalan, maka mereka maju lagi dengan berani, bahkan orang yang tadi memperlihatkan kekebalannya lalu berkata.

“Keparat! Kalau kau tidak mengandalkan keampuhan cunrigmu, dalam dua jurus saja kami akan menghancurkan kepalamu!”

“Aduh mudah amat!” Ratna Wulan mengejek. “Jangan hanya memperbesar sumbarmu, kawan! Kalian coba sajalah!”

Tiga orang itu lalu maju menyerbu dan memukul dengan tinju yang sebesar buah kelapa besarnya. Akan tetapi, tanpa bergerak atau berpindah dari tempatnya, Ratna Wulan mengangkat kedua lengannya dan menangkis semua pukulan itu dengan gerakan yang cepat sekali.

Ketika lengan tangan mereka beradu dengan lengan Ratna Wulan yang kecil dan berkulit halus itu, ketiga orang tadi menahan seruan, karena mereka betapa kulit lengan mereka amat pedih dan sakit. Mereka menduga bahwa pemuda aneh ini tentu mempergunakan aji Kesaktian Srigunting, maka mereka menjadi jerih dan merasa ragu-ragu untuk memukul lagi.

Ratna Wulan tersenyum lagi. “Apakah kedua tanganku masih terlampau ampuh bagimu? Nah, kalau begitu, aku takkan menangkis, kalian pukulah sesukamu, asal saja jangan memukul kepala!”

Setelah berkata demikian, Ratna Wulan lalu bersedekap, melindungi dadanya dengan kedua lengan, dan berdiri tak bergerak bagaikan patung, mengerahkan aji kesaktiannya. Hal ini memang di luar kebiasaannya, akan tetapi entah mengapa, di hadapan Indrajaya, ia ingin sekali memamerkan kepandaian dan kesaktiannya, terutama ketika ia mengerling dan melihat betapa Indrajaya memandangnya dengan mata penuh takjub dan kagum....
Selanjutnya,

Dyah Ratna Wulan Jilid 04

Dyah Ratna Wulan

Karya : Kho Ping
Cerita Silat Indonesia Karya Kho Ping Hoo
Jilid 04
MAKA timbulah kegembiraannya dan ia maklum bahwa kalau mereka ini tidak di beri bukti akan kepandaiannya, tentu mereka akan memandang rendah dan merasa tidak puas. Maka ia lalu melangkah maju dan berkata,

“Saudara-saudara yang gagah! Aku adalah seorang pemuda gunung yang bodoh dan hanya memiliki sedikit kepandaian saja. Apakah kalian inginkan, biarlah aku yang muda memperlihatkan sedikit kebodohanku.”

Ia memandang kepada Parta yang selalu memegang sebuah gendewa yang besar lalu berkata. “Agaknya saudara adalah ahli panah yang pandai dalam pasukan ini. Pernahkah saudara mendengar tentang ilmu memanah tanpa melihat sasarannya dan dapat mengenai sasaran dengan tepat hanya dengan mendengar suara saja?”

Memang Parta pernah mendengar ilmu memanah ini dari Ratna Wulan. Ilmu memanah ini disebut Isu Destarata (Anak Panah Destarata). Sebagaimana diketahui oleh para penggemar cerita pewayangan, Destarata adalah seorang yang buta, akan tetapi kesaktiannya menggiriskan hati pahlawan-pahlawan seluruh permukaan bumi.

Destarata inilah yang menjadi nenek moyang para saudara Kurawa. Ilmu memanah itu disebut Anak Panah Destarata, karena di lakukan tanpa melihat sasaran, seakan-akan pemanahnya seorang buta yang memiliki pendengaran yang akan menentukan di mana letak sasaran itu sehingga bidikan akan mengenai tepat. Mendengar pertayaan Adiprana, Parta mengangguk dan berkata.

“Aku tahu tentang ilmu memanah itu sungguh pun aku tak dapat melakukan karena amat sukar dan sulit.”

Adiprana menurunkan gendewanya dan mengambil sebatang anak panah. “Nah, biarlah aku memperlihatkan sedikit kebodohanku!”

Sambil membawa gendewa dan anak panah, Adiprana lalu menghampiri sebatang pohon randu yang besar dan tinggi. Di atas pohon itu terdengar suara burung gagak yang kadang-kadang berbunyi, akan tetapi oleh karena burung gagak bulunya hitam dan pohon itu amat tinggi serta diselumuti oleh kegelapan malam, tentu saja dari bawah orang tak dapat melihat apa-apa dan tidak tahu dimana tempat burung itu bertengger. Semua orang mengikuti gerakan Adiprana dengan penuh perhatian.

Setelah tiba di bawah pohon randu itu, Adiprana menundukkan mukanya dan diam tak bergerak bagaikan patung. Ia sedang menghening cipta dan mengerahkan seluruh tenaga batinnya ke arah telinga untuk menentukan di mana gerakan burung yang hendak dijadikan sasaran anak panahnya itu, sebentar saja ia dapat menangkap suara burung itu dengan jelas, jangankan suara menggaoknya, bahkan suara burung itu membersihkan bulunyapun terdengar jelas olehnya.

Tiba-tiba ia menggerakkan gendewa tanpa mendongakkan kepalanya dan ketika ia menarik tali gendewa, terdengarlah suara menjepret. Akan tetapi, tepat setelah anak panahnya meluncur, dari belakangnya ia mendengar suara tali gendewa lain ditarik dan anak panah dilepaskan sehingga hampir berbareng dua batang anak panah melesat kearah gerombolan daun randu yang hitam gelap itu.

Terdengar bunyi daun-daun gemersik dan seekor burung gagak yang melayang jatuh. Ketika orang ramai mengambil bangkai burung itu, ternyata bahwa dadanya telah tertusuk oleh dua batang anak panah!

Adiparana berpaling dan tersenyum kepada Ratna Wulan yang tadi juga melepas anak panahnya. Ia maklum bahwa dengan perbuatannya itu, Ratna Wulan hendak memperlihatkan pula kepada anak buahnya bahwa ia tidak kalah pandai oleh Adiprana!

Bukan main gembiranya orang-orang yang berada disitu ketika mengetahui bahwa anak panah ke dua adalah anak panah Ratna Wulan. Mereka amat kagum kepada pemuda itu, dan Parta diam-diam mengeluh karena ia harus mengakui bahwa Adiprana benar-benar lebih pandai dari padanya, dan sudah pantaslah kalau pemuda itu menjadi gurunya!

Adiprana lalu memandang kepada Bejo sambil tersenyum dan berkata, “Saudara yang gagah perkasa seperti Gatotkaca. Kau tentulah ahli pedang yang tinggi ilmunya dan kuat tenaganya. Marilah kita main-main sebentar dan memang hendak kubuktikan bagaimana hebatnya permainan pedang dari jago Pasukan Candrasa Bayu!”

Betapapaun juga, Bejo adalah seorang yang patuh dan akan disiplin, dan karena Adiprana adalah tamu dari Ratna Wulan, maka ia memandang kepada dara perkasa itu dengan mata minta keputusan.

Ratna Wulan menganggukdan berkata. “Bejo, kau boleh kerahkan seluruh ilmu kepandaian dan tenagamu! Kalau kau dapat bertahan sampai sepuluh jurus saja menghadapi saudara Adiprana, sudah cukup memuaskan hatiku.”

Mendengar ucapan pelatihnya ini, Bejo merasa makin penasaran. Benar-benarkah ia hanya dapat melawan selama sepuluh jurus saja? Ah, jangan-jangan pemuda ini takkan dapat bertahan sampai lima jurus.

Bejo dan Adiprana lalu masuk kedalam lingkaran yang disediakan untuk mereka, yaitu lingkaran orang-orang yang menjadi penonton, diterangi oleh api unggun yang dipasang di empat penjuru. Bejo segera mencabut pedangnya, sedangkan Waluyo lalu meminjamkan pedangnya kepada Adiprana. Disaksikan oleh semua orang yang berada disitu, ada yang berjongkok dan ada pula yang berdiri mengelilingi lapangan seolah-olah mereka sedang menyaksikan adu ayam.

Kedua pendekar pedang itu mulai berlaga. Bejo memasang kuda-kudanya dengan kaki kiri dibelakang, tubuh agak condong kemuka, kaki kanan di depan dengan tumit di angkat, tangan kiri terbuka jarinya dimiringkan melintang dada sedangkan tangan kanan memegang pedang melintang ditempelkan di atas pundak kiri. Inilah sebuah gerak pembukaan yang dalam Ilmu Pedang Candrasa Bayu disebut Kukila Nendra (Burung Tidur).

Pembukaan ini dilakukan dengan berat tubuh di tengah-tengah dan tenaga kaki dipusatkan pada kaki kiri yang berada di belakang, sehingga kaki kirilah yang merupakan tiang penyangga tubuh, sedangkan kaki kanan hanya ujungnya saja menyentuh tanah. Sikap tubuh ini memungkinkan ia membuka serangan dengan berbagai cara dan jalan. Tanpa mengubah kedudukan lawan agak jauh, ia dapat mengalihkan tenaga dari kaki kanan ke kaki kiri untuk melangkah maju dan membarengi gerakan itu dengan sebuah tusukan serong.

Melihat kuda-kuda lawan ini, Adiprana tersenyum dan ia pun lalu membuka kuda-kudanya yang indah. Ia memasang kuda-kudanya dengan merendahkan tubuhnya, kaki kiri ditekuk lututnya dan bagian belakang tubuh diturunkan sampai hampir menyentuh tumit sedangkan kaki kanan dilonjorkan ke depan. Tubuhnya lurus dengan mata memandang ke depan, tangan kiri diangkat ke atas kepala dengan telapak tangan di atas sedangkan pedang di tangan kanannya dilonjorkan pula di atas kaki kanan.

Bejo tertegun melihat pembukaan lawannya ini oleh karena sikap dan kedudukan tubuh Adiprana itu sekaligus memecahkan pembukaan Kukila Nendra. Dengan kedudukan macam itu, maka Adiprana boleh dibilang telah berada “di atas”, lebih mudah melancarkan serangan berbahaya dari bawah dan menempatkan kedudukan Bejo pada kedudukan yang amat sukar karena memang sulit baginya untuk dapat memulai serangan dengan baik apabila ia tidak merobah kuda-kudanya.

Oleh karena itu, ia berseru keras dan merobah kedudukannya, dengan menarik kaki kiri maju sejajar dengan kaki kanan, tubuh direndahkan dan kedua kutut ditekuk sedikit, tangan kiri tetap bersilang di dada sedangkan pedangnya kini di taruh di pinggir pinggang! Dengan kuda-kuda ini, ia dapat menyerang lawannya dengan mudah, mengirim tusukan atau bacokan ke bawah!

Akan tetapi Adiprana tidak merobah kedudukannya, bahkan lalu tersenyum dan berkata. “Bagus, kini kau dapat menyerang! Mulailah Bima!”

Pemuda itu sengaja menyebut Bima, yaitu seorang tokoh pewayangan yang bertubuh tinggi besar sehingga dengan sebutan itu ia mengumpamakan Bejo yang tinggi besar itu sebagai Bima! Sebutan ini bukan merupakan hinaan, bahkan pujian, oleh karena Bima adalah seorang ksatria gagah perkasa, akan tetapi tetap saja suaranya mengandung nada mengejek.

Bejo berseru keras, “Awas pedang!” Dan bagaikan petir menyambar, pedangnya meluncur kearah tenggorokan Adiprana dalam sebuah tusukan yang dahsyat.

“Jurus pertama!” Adiprana berseru tak kalah nyaringnya sambil mernggeser kedua kakinya. Sungguh mengagumkan dan indah dipandang, oleh karena dengan amat lemas dan cekatan sekali, ia telah berpindah tempat dengan gerak kaki amat indah. Tanpa menangkis telah dapat mengelak bahaya tusukan itu.

Akan tetapi tidak percuma Bejo mendapat latihan ilmu pedang dari Ratna Wulan, karena biarpun tusukannya mengenai tempat kosong, pedangnya itu tidak ditariknya kembali, bahkan lalu di ubah luncurannya bagaikan burung sedang melayang. Pedangnya itu membelok ke kanan mengejar lawannya. Dan kini dengan majukan kaki kiri mengirim bacokan ke arah leher Adiprana dibarengi dengan bentakan keras, lalu kaki kanannya menyusul dengan sebuah tendangan yang kuat kearah lambung lawan itu!

“Jurus kedua yang bagus!” Adiprana masih sempat berseru sambil cepat-cepat menggerakkan pedangnya menangkis dan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka cepat meluncur ke arah lambung sendiri untuk menangkap tendangan itu!

Bukan main hebatnya gerakannya ini! Semua orang menahan nafas karena mereka menganggap pemuda itu terlalu sembrono untuk mencoba menangkap tendangan kaki Bejo yang tenaganya mungkin akan dapat melemparkan seekor kerbau! Kalau saja lengan atau jari tangan pemuda itu terkena tendangan kaki Bejo, tentu akan remuklah tulang-tulangnya!

Akan tetapi, Adiprana telah membuat perhitungan yang amat tepat. Tidak saja ia dapat menaksir sampai di mana kehebatan tenaga tendangan lawan, bahkan ia pun maklum akan kecepatannya sendiri yang jauh lebih menang. Berbareng dengan bunyinya kedua pedang bertumbuk, ia telah berhasil menyangga tumit kaki Bejo yang menendang, dan sambil berseru,

“Maaf...” ia menggerakkan tangannya keatas sehingga Bejo yang kakinya didorong keatas itu tentu saja tak dapat mempertahankan tubuhnya lagi yang terjengkang ke belakang!

“Buk!”

Bejo meringis-ringis ketika pantatnya bertemu dengan tanah keras! Terdengar sorakan memuji dari semua orang, akan tetapi Bejo masih belum puas. Ia meloncat bangun dan kini menyerang dengan hebat bagaikan harimau haus darah! Pedangnya berkelebatan cepat dan ia telah mengeluarkan Ilmu Pedang Angin itu sehingga pedangnya benar-benar menderu-deru bagaikan angin puyuh mengamuk! Namun Adiprana tetap tenang dan tiada hentinya mulutnya menghitung sambil menangkis atau mengelak.

“Jurus ketiga! Jurus ke empat!”

Pada serangan jurus ke delapan, tiba-tiba Adiprana menangkis sambil memutar-mutar pedangnya. Bejo kalah tenaga sehingga terpaksa pedangnya ikut berputar-putar. Kemudian Bejo mengerahkan tenaganya sehingga dua batang pedang itu saling tempel dan mulailah adu tenaga untuk menindas pedang lawan. Urat-urat di seluruh tubuh Bejo menggembung, tanda bahwa ia mengeluarkan semua tenaganya untuk menindas pedang Adiprana. Akan tetapi pemuda Gunung Bromo itu hanya tersenyum dan nampaknya tidak sukar menahan tekanan ini.

Tiba-tiba Adiprana berseru. “Awas, Bima!” Dan ia menarik pedangnya ke bawah sambil miringkan tubuh, akan tetapi tangan kirinya dengan jari-jari terbuka dia “masukkan” melalui bawah lengan kanan lawan untuk “makan” lempengnya.

“Heeit.!” Bejo berseru keras dan “Ngek” perutnya telah termakan oleh sodokan jari-jari tangan Adiprana yang amat kuat! “Aduh...!”

Tubuh Bejo terhuyung-huyung kebelakang dan roboh terlentang dengan pedang terlepas dari tangannya! Ia lalu merangkak sambil memegangi perutnya yang tiba-tiba menjadi mulas. Masih untung baginya bahwa Adiprana tidak bermaksud mencelakakannya dan hanya mempergunakan sebagian kecil tenaganya saja. Kalau sodokan pada perut itu dilakukan dengan seperempat tenaganya saja, kecil sekali harapan Bejo akan dapat bangun lagi!

“Hebat.” Bejo berkata sambil terengah-engah, “Aku mengaku kalah.”

Ratna Wulan tersenyum dan semua orang bergembira mendapatkan seorang pemuda yang demikian pandai di tengah mereka. Juga Adiprana merasa girang sekali melihat kejujuran Bejo. Ia makin tertarik kepada orang-orang ini sehingga ia memutuskan untuk tinggal bersama mereka di dalam hutan.

Telah tiga pekan Adiprana tinggal bersama pasukan Candrasa Bayu di hutan randu. Ia disukai oleh semua orang karena ramah tamah dan sikapnya yang amat sederhana itu menimbulkan penghormatan dari semua orang. Diam-daim Parta dan Bejo mengakui bahwa pemuda ini jauh lebih sesuai untuk menjadi sisihan Ratna Wulan, sama muda, sama rupawan dan sama saktinya.

Akan tetapi, Ratna Wulan sendiri menganggap tak lebih. Ia memang suka sekali bercakap-cakap membicarakan ilmu kepandaian dengan pemuda itu dan dalam percakapan itu mereka saling menuturkan riwayat masing-masing. Secara singkat Adiprana menuturkan riwayatnya. Ia adalah putera tunggal dari seorang empu (pembuat keris atau pandai besi yang pandai) di Kota Raja. Akan tetapi malang baginya bahwa ayahnya telah meninggal dunia karena sakit ketika ia masih berusia lima tahun.

Ibunya yang masih muda menjanda dan akhirnya, memenuhi pesan mendiang suaminya, ibunya itu mengirimkannya kepada Eyang Bromo untuk mengejar ilmu. Semenjak berusia delapan tahun, ia telah ikut pertapa itu di puncak Bromo dan selama itu ia tidak pernah bertemu dengan ibunya yang tinggal seorang diri di Kota Raja.

Ketika ia bertemu dengan Ratna Wulan, ia sedang dalam perjalanan ke Kota Raja mencari ibunya, akan tetapi dasar anak muda yang ingin meluaskan pengalaman dan ingin berkelana, ia singah di kaki Mahameru dan bertemu dengan Ratna Wulan. Ia mengambil keputusan untuk berangkat ke Kota Raja setelah tinggal barang sepekan di hutan itu. Tidak tahunya, hatinya runtuh oleh kecantikan dan kegagahan dara perkasa Ratna Wulan sehingga beratlah rasanya untuk meninggalkan tempat itu.

Sebaliknya, Ratnawlan juga menceritakan riwayatnya secara singkat saja. Ia menuturkan bahwa ayahnya tewas dalam perang, dan bahwa ia dan ibunya diganggu oleh perampok-perampok. Tidak ia ceritakan kepada Adiprana secara jelas siapakah yang menimbulkan semua kesengsaraan ibunya itu, karena ia menganggap hal itu tidak perlu diceritakan kepada seorang yang belum dikenalnya benar.

Diam-diam Ratna Wulan mengakui bahwa Adiprana adalah satu-satunya pemuda yang dapat menarik hatinya. Ia kagum melihat pemuda yang selain tampan dan gagah, juga berwatak baik ini, lemah lembut dan halus sopan sikapnya, tak pernah memperhatikan kekurang-ajaran dan sukarlah untuk mendapatkan seorang sahabat yang lebih baik daripada pemuda Gunung Bromo ini.

Pada suatu pagi tiga pekan kemudian. Anak-anak buah Pasukan Candrasa Bayu telah pergi ke ladang untuk bekerja. Mereka ini telah mendapat kemajuan pesat berkat pimpinan Ratna Wulan yang dibantu dengan sungguh-sungguh oleh Adiprana. Tanpa terasa, pasukan itu kini benar-benar merupakan pasukan pedang yang amat sukar dicari bandingannya pada waktu itu.

Menurut petunjuk dari Ratna Wulan dan Adiprana, mereka itu kini tak pernah membawa perisai dan hanya bersenjatakan sebilah pedang. Kedua orang muda yang pandai itu menyatakan bahwa perisai selain kurang praktis, juga malahan memperlambat gerakan sendiri dan sebagai pengganti perisai, diberi pelajaran kegesitan dan cara-cara mengelak dengan secepat mungkin dari serangan senjata musuh.

Dengan cara ini, selain gerakan tubuh tak terganggu, juga sambil mengelak mereka dapat melakuan serangan balasan yang lebih cepat lagi, sedangkan tangan kiri yang tadinya memegang perisai, dapat dipergunakan untuk mengirim pukulan atau merampas senjata lawan, terutama apabila lawannya mempergunakan lembing.

Juga mereka semua rata-rata diberi pelajaran ilmu memanah sehingga kini, termasuk juga Waluyo sendiri, semua mempunyai sebuah gendewa dan belasan anak panah yang selalu dibawa sebagai senjata ke dua. Seperti biasa, apabila semua orang telah pergi bekerja, Adiprana dan Ratna Wulan bercakap-cakap sambil duduk di bawah pohon atau pergi berdua memburu binatang. Pada pagi hari itu, mereka tidak pergi berburu binatang dan duduk di tempat terbuka menikmati cahaya matahari pagi yang hangat dan sehat.

“Adiprana,” terdengar Ratna Wulan berkata. “Apakah kau telah merasa suka dan cocok tinggal ditempat sunyi bersama kawan-kawan kita itu?”

“Terus terang saja Ratna Wulan, aku merasa amat kerasan dan agaknya belum pernah aku merasa segembira sekarang. Aku merasa senang tinggal di sini, kawan-kawan kita itu amat baik dan amat menyenangkan hati melihat kemajuan mereka, ikut bangga hatiku menyaksikan betapa pejuang-pejuang itu kini menjadi pasukan yang amat kuat.”

“Kau setuju dengan cita-cita mereka hendak melakukan pemberontakan terhadap Kerajaan Majapahit?”

Mendengar pertanyaan ini, Adiprana diam saja dan sampai lama tak dapat menjawab. Akhirnya ia menjawab juga. “Ratna, hal ini sungguh sukar bagi ku untuk menjawabnya. Mereka adalah orang-orang yang pernah mengalami perang melawan Majapahit dan tentu saja cita-cita mereka itu bukannya tanpa dasar. Adapun aku ini, semenjak kecil aku berada dipuncak gunung, aku tidak tahu akan keadaan Majapahit, tidak tahu pula akan kebaikan-kebaikannya, maka bagaimana aku dapat memiliki cita-cita tentang pemberontakan? Pemberontakan hanya mungkin timbul dalam hati orang-orang yang sakit hati, yang merasa dirugikan dan yang tidak merasa senang dengan pemerintah yang ada. Sedangkan aku yang tidak mengalami semua ini, bagaimana aku dapat menyatakan pendapatku?”

Ratna Wulan dapat menginsafi hal ini. “Akan tetapi, setidak-tidaknya kau tentu akan suka untuk memimpin terus mereka itu, bukan?”

“Tentu saja, Ratna!” jawab Adiprana cepat dan tanpa ragu-ragu. “Kalau tidak suka, masa aku mau tinggal di sini sampai tiga pekan.”

“Kalau aku minta kepadamu untuk tetap memimpin dan melatih mereka sampai tiba masanya mereka melakukan pemberontakan itu, menggabungkan diri dengan pasukan-pasukan pemberontakan.” Kemudian Ratna Wulan menceritakan tentang riwayat hidupnya kepada Adiprana.

“Demikianlah, Adiprana. Ibuku terlunta-lunta, ayah tewas dalam keadaaan penasaran, semua akibat perbuatan Kartika keparat itu. Dan menurut penuturan anak-anak Pasukan Candrasa Bayu, Kartika tinggal di Kota Raja, menduduki pangkat senopati dan orang itu selalu berada dekat dengan Bagawan Mahapati yang berkuasa besar. Oleh karena itu, aku dapat menduga bahwa untuk membunuh Kartika, mungkin aku harus menghadapi Bagawan Mahapati. Aku hendak naik kepuncak Mahameru lebih dulu untuk memberitahukan hal ini kepada ibu dan untuk minta diri karena telah lima pekan lebih aku meninggalkan ibu.”

Dengan pikiran asyik membayangkan masa depannya, Ratna Wulan menundukan muka dan memandang rumput yang dicabutnya. Keadaan hening dan sunyi. Ketika ia mengangkat muka memandang kepada Adiprana, ia menjadi terkejut. Sinar mata pemuda yang sedang menatapnya itu berbeda dari biasanya dan sinar mata ini membingungkan hati dara perkasa itu.

“Adiprana... kau kenapakah.? Kenapa kau memandangku seperti itu?” Biarpun Ratna Wulan sudah berusia hampir depalan belas tahun, akan tetapi oleh karena selalu bertempat tinggal ditempat sunyi, maka ia belum mengerti akan makna pandangan mata pria seperti itu.

“Ratna... ijinkanlah aku ikut kau pergi ke Kota Raja! Aku pun hendak mencari ibuku. dan aku akan membantumu membalas dendam terhadap musuh-musuhmu! Aku khawatir kalau-kalau kau akan menemui bencana ditempat itu, Ratna. Aku harus mengantar kau pergi!"

Ucapan ini dikeluarkan dengan suara bernafsu sehingga Ratna Wulan memandang makin heran. “Ah, Adiprana, hal ini tak mungkin!”

“Mengapa tak mungkin, Ratna Wulan?” Tanya Adiprana dengan suara gemetar.

“Pertama, karena ini adalah urusanku pribadi yang tiada sangkut-pautnya dengan kau dan tak perlu aku membawa orang lain terseret dalam permusuhan ini. Kedua, kau harus tinggal di sini memberi bimbingan dan latihan kepada Pasukan Candrasa Bayu, dan ketiga, karena betapapun juga, tidak pantas dan melanggar tata susila bagi seorang gadis melakukan perjalanan jauh berdua saja dengan seorang pria!”

Adiprana menggeser duduknya mendekati Ratna Wulan dan suaranya makin gemetar ketika ia menjawab penuh nafsu. “Ratna Wulan, ketiga soal itu dapat kujawab sekarang juga. Pertama, urusan pribadimu telah kuanggap sebagai urusanku sendiri, bahkan kuanggap lebih mulia dan penting daripada urusanku pribadi. Kedua, aku takkan tahan tinggal di tempat ini tanpa adanya kau disini, seakan-akan sunyi senyap dunia ini tanpa adanya kau di dekatku! Ketiga, kelak setiba kita di Kota Raja, aku akan minta ibuku melamarmu sebagai jodohku, maka apa salahnya bagi seorang calon jodohmu untuk mengantar kau ke mana kau pergi?”

Melihat betapa gadis itu memandangnya dengan pucat dan mata terbelalak, Adiprana melanjutkan ucapannya, “Ratna... tak tahukah betapa sinar matamu yang tajam melebihi Dewandanu itu telah mematahkan pertahanan imanku semenjak pertemuan kita pertama, sebagaimana anak-anak panahmu mematahkan ujung anak-anak panahku? Tak tahukah kau betapa senyum dan kerling matamu itu merupakan belenggu baja yang telah mengikat kedua kaki tanganku sehingga aku tidak kuasa lagi melepaskan diri dan tak kuasa meninggalkan tempat ini? Ratna. Ratna Wulan, dewi pujaan hatiku, aku. hambamu yang rendah ini. Aku bersedia mengorbankan apa saja, jiwaku sekalianpun, untukmu karena... karena aku cinta padamu Ratna....!”

Mendengar pernyataan kasih ini, Ratna Wulan melompat berdiri bagaikan diserang oleh seekor ular berbisa. Ia memandang dengan muka sebentar pucat sebentar merah dan sepasang matanya terbelalak lebar memandang wajah pemuda yang masih duduk berlutut di depannya.

“Adiprana! Jangan... jangan kau mengeluarkan kata-kata seperti itu!”

“Ratna Wulan, kekasih hati pujaan kalbu, kau boleh melarang aku makan minum, boleh melarang aku tidur, boleh pula melarang aku bernafas, akan tetapi kau tidak bisa melarang aku menyatakan suara hatiku, bisikan kalbuku...!”

“Kau gila, Adiprana!” kata Ratna Wulan sambil melangkah mundur dua tindak, akan tetapi Adiprana juga berdiri melangkah maju, merungrum (merayu) dara itu dengan cumbu rayu dan kata-kata bermadu.

“Memang aku sudah gila, Ratna Wulan! Aku telah gila, tergila-gila oleh kecantikanmu. Kau cantik jelita melebihi Dewi Ratih! Kau gagah perkasa melebihi Wara Srikandi! Kau lemah lembut dan setia melebihi Diah Setiawati! Kau melati suci di antara segala puspita!”

Wanita manakah yang takkan luluh imannya menghadapi cumbu rayu dari orang teruna setampan dan segagah Adiprana? Kalau saja yang dirungrum itu seorang wanita lain, tentu ia akan melempar perisai dan menyerah dengan hati bangga. Akan tetapi Ratna Wulan adalah seorang dara perkasa yang teguh imannya, dan pula ia masih asing dengan suara asmara ini, maka cembu rayu itu sungguh-sungguhpun membuat dadanya berdebar bangga, namun mendatangkan kekagetan besar.

“Tidak, tidak, Adiprana! Sadarlah kau, hai ksatria utama! Demikian lemahnya imanmu? Ucapanmu itu mencemarkan kegagahanmu.”

“Apa, Ratna Wulan? Jangan salah sangka! Kasih sayangku kepadamu bukanlah kasih sayang terdorong nafsu semata. Aku mencintaimu dengan tulus ikhlas, dengan hati suci, dengan seluruh jiwa ragaku. Cinta murni seperti ini bukan mencemarkan kegagahan, bahkan membuat nama seorang ksatria dijunjung tinggi sepanjang masa. Cintaku kepadamu bagaikan cinta Palgunadi terhadap Anggraeni, cinta yang akan kubawa sampai mati!”

“Cukup Adiprana. Tetapkanlah hatimu dan sadarlah!”

“Kau menolak cintaku, Ratna Wulan? Kau tega menghancurkan hidupku? Penolakanmu berarti hancurnya hidupku, seakan-akan dunia ditinggalkan Dewangkara (matahari). Aku akan binasa, tak kuat menghadapi gelombang hidup di mayapada.”

“Adiprana, sekarang belum tiba saatnya bagiku untuk bicara tentang hal itu. Aku belum dapat membuka pintu hatiku kepada siapapun juga, tidak kepada pria yang manapun juga. Aku masih mempunyai tugas yang maha penting, Adiprana, dan aku tidak sudi memikirkan tentang jodoh dan lain-lain seperti itu sebelum tugas kewajibanku membalas dendam mendiang ayahku terlaksana!”

Sadarlah Adiprana dari keadaannya yang seakan-akan mabuk dan gandrung tadi. Ia berkata lemah. “Maafkan sikapku tadi, Ratna Wulan. Apakah kata-katamu tadi bukan hanya merupakan alasan untuk menolak cintaku?”

“Tidak, Adiprana. Aku tidak menerima maupun menolak! Aku bersumpah bahwa sebelum terlaksana tugasku, aku takkan mengikat janji hati terhadap pria yang manapun juga.”

“Jadi aku masih mempunyai harapan, Ratna?”

“Harapan selalu ada, Adiprana. Siapa tahu? Jodoh adalah kehendak Hyang Agung.”

“Terima kasih, Ratna Wulan! Besar hatiku mendengar kata-katamu ini. Selama masih ada harapan aku akan kuat menahan derita asmara, aku akan berbantal rindu berguling dendam. Aku takkan meraba-raba di dalam gelap karena harapan itu merupakan lampu yang menjadi sumber penerangan bagiku.”

“Sudahlah Adiprana, jangan terlalu lemah, kau mengecewakan hatiku. Sekarang jawablah sungguh-sungguh, apakah kau bersedia menggantikan kedudukan dan memimpin kawan-kawan dari Pasukan Candrasa Bayu.”

“Aku bersedia, Ratna, bahkan aku akan membawa ibuku tinggal bersamaku di tempat ini. Aku akan membantu bahkan akan ikut dalam perjuangan mereka, kewajiban ini masih terlampau ringan bagiku, biarlah kujadikan pemanis harapanku.”

“Kalau begitu, sekarang juga aku hendak pergi, Adiprana, aku hendak naik ke Mahameru menemui ibuku, kemudian aku akan berangkat mencari musuhku di Kota Raja.”

“Mengapa demikian tergesa-gesa, Ratna Wulan?”

“Telah terlampau lama waktunya tertunda disini, Adiprana.” Gadis ini tak dapat menyatakan isi hatinya,ia merasa tidak enak untuk berdiam lebih lama di dekat Adiprana.

“Kalau begitu, selamat jalan, Ratna Wulan. Semangat dan doaku menyertaimu!”

“Selamat tinggal, Adiprana, dan jangan terlalu banyak melamun yang bukan-bukan!” Maka pergilah Ratna Wulan, keluar dari hutan randu di mana ia tinggal selama lima pekan.

Dalam perjalanannya merupakan sawah ladang di mana ia bertemu dengan beberapa orang anggota pasukan Camdrasa Bayu. Ia berhenti sebentar dan dengan singkat memberitahukan maksudnya meninggalkan pasukan itu dan menyerahkan tugas para anggota itu merasa kecewa, akan tetapi mereka tidak putus asa karena Adiprana yangmengantikan dara perkasa itu.

Karena menggunakan aji kesaktiannya, maka sebelum matahari terbenam, ia sampai di tempat tinggal ibunya, yaitu di puncak Mahameru. Dengan hati girang ia mendapat kenyataan bahwa gurunya, Eyang Semeru, telah kembali dari perjalanannya pula dan telah berada di dalam gua pertapaannya. Dengan singkat Ratna Wulan menceritakan pengalamannya kepada ibunya tanpa menyembunyikan sesuatu, bahkan ia menuturkan pula tentang pinangan Adiprana.

Ibunya menghela napas dan berkata. “Itulah yang memberatkan pikiranku, anakku. Kau telah dewasa dan selain tugasmu membalas musuh itu sudah cukup berat, kaupun menghadapi penggoda lain yang lebih berbahaya, yaitu dari kaum pria yang tentu takkan membiarkan kau lalu begitu saja tanpa menggoda. Ketahuilah bahwa kau memiliki kecantikan yang membanggakan hatiku, dan hal ini amat berbahaya bagi seorang wanita muda dalam perjalanan, sungguhpun aku cukup maklum bahwa kau cukup kuat untuk menjaga dirimu. Kau berlaku benar telah menolak pinangan pemuda itu, karena memang cita-cita tak boleh terganggu oleh keinginan hendak mempersenang diri dan menurutkan kata nafsu hati. Orang bercita-cita harus mantap dan harus mencurahkan segenap perhatian ke arah pelaksanaan cita-citanya itu, barulah ada kemungkinan cita-cita itu berhasil. Sekali saja orang berlaku lemah terhadap pengoda, terutama godaan yang bersifat asmara, maka besar sekali kemungkinan cita-citanya takkan terlaksana dengan sempurna bahkan akan berhenti di tengah jalan, oleh karena pikirannya telah bercabang dan tidak di pusatkan. Memang cita-citamu untuk membalas dendam ayahmu, yang menjadi cita-cita ibumu adalah cita-cita yang luhur, anakku. Tidak saja kau akan membalaskan sakit hati orang tua, akan tetapi kalau kau berhasil membinasakan keparat Kartika, berarti bahwa kau telah menolong banyak orang pula, membebaskan mereka dari kekejaman dan kecurangan hati penjahat itu!”

“Segala petuahmu akan kuperhatikan dan kujunjung tinggi, ibu.” jawab Ratna Wulan sambil memeluk ibunya.

“Akan tetapi, kau harus minta izin dan doa restu lebih dahulu dari eyangmu, Wulan. Tak ada yang lebih berharga untuk bekal perjalanan melaksanakan cita-cita melainkan doa restu dari orang-orang tua, terutama dari gurumu yang bijaksana.”

Maka pergilah Ratna Wulan menemui gurunya di dalam gua pertapaan Panembahan Mahendraguna yang kini telah nampak tua sekali. Pertapa itu sedang bersamadhi ketika Ratna Wulan masuk kedalam guanya. Ratna Wulan tidak berani mengganggu, bahkan lalu duduk bersila tidak jauh dari gurunya dan ikut bersamadhi mengheningkan cipta. Belum lama ia tenggelam dalam alam hening, terdengar gurunya memanggil dan melihat gurunya telah duduk memandangnya dengan matanya yang berpengaruh dan penuh kesabaran.

“Ratna Wulan, bilakah kau kembali dari hutan randu?”

Ratna Wulan telah maklum bahwa gurunya ini waspada akan segala hal, akan tetapi selalu tidak menampakkannya sungguhpun kadang-kadang kewaspadaannya itu tanpa sengaja dan tanpa disadarinya bahwa di dalam kalimat itu terlihat bahwa kakek sakti ini telah tahu akan keadaannya, tahu bahwa ia selama ini berada di hutan randu, sungguhpun tak seorangpun memberitahu kepada kakek itu.

“Baru saja kemarin sore hamba datang, eyang Panembahan. Sekarang datang menghadap untuk mohon izin dan doa restu dari eyang karena hamba hendak pergi ke Kota Raja Majapahit untuk mencari musuh besar ayah hamba dan membalas dendam.”

Kakek itu menghela napas dan bibirnya bergerak-gerak. “Muridku ya cucuku yang ayu. Dengan dasar apakah kau hendak membalas dendam kepada Kartika?”

“Berdasarkan kebaktian hamba kepada ayah yang telah dicurangi oleh Kartika sehingga ibu menderita sengsara karenanya dan mengingat pula bahwa seorang jahat seperti Kartika harus dibasmi untuk mencegahnya mendatangkan malapetaka kepada orang lain, selain dengan watak pendekar utama telah eyang ajarkan kepada hamba.”

Eyang Semeru tersenyum dan menghela napas lagi. “Kehendak Hyang Agung takkan berubah. Kau masih terbawa oleh pergerakan Triloka dan terpengaruh oleh Janaloka atau Arcapada, oleh karena itu kau masih terikat oleh Karma, masih terikat oleh segala sesuatu yang berputar dijagat raya ini. Aku tidak berhak mencegah atau mendorongmu. Ratna Wulan, hanya kesadaran dan batinmu sendirilah yang harus memegang kendali dan memutuskan ke mana kau hendak menuju. Sebagai orang tua, aku hanya memberi doa restu, semoga kau selalu akan dapat memilih mana yang benar mana yang salah, dan dapat melalui jalan kebenaran jangan sampai kesasar. Hanya satu pesanku, Ratna Wulan, semoga Hyang agung mengampuniaku karena pesan ini yang timbul dari kasih sayangku kepadamu sebagai cucu dan murid, yaitu, berhati-hatilah kau apabila berhadapan dengan Mahapati! Dewa kebenaran akan melindungimu dan akan memperkuat kau sehingga kau tak perlu kalah menghadapi kesaktiannya, akan tetapi, kau waspadalah terhadap lembing bagawan itu! Lembingnya itu ampuh sekali dan kebetulan sekali lembing pusakanya itu bernama Nyi Ratna Wulan! Sekali lagi, kau tak usah takut berhadapan dengan Mahapati, akan tetapi apabila ia mengeluarkan lembingnya yang ampuh itu, akan lebih baik apabila kau menjauhkan dirimu, muridku!”

Sambil menyembah Ratna Wulan menjawab. “Segala wejangan dan nasihat eyang akan hamba perhatikan dan junjung tinggi sebagai jimat hamba.”

“Berangkatlah, Ratna Wulan, kuberi bekal pengestu kepadamu.”

Setelah menyambah lagi, keluarlah dara perkasa itu dari gua pertapaan Panembahan Mahendraguna. Kakek yang sakti itu lalu menghela napas dan berbisik perlahan.

“Duh gusti, ampunilah kiranya Si Ratna Wulan itu.” Kemudian ia melanjutkan samadhinya yang tadi terganggu oleh kedatangan muridnya.

Pada keesokan harinya, dari puncak Mahameru turunlah seorang pemuda yang amat elok dan rupawan. Sungguhpun tubuhnya tidak besar dan kaki-tangannya nampak lemah dan berkulit kuning halus, namun gerak-geriknya cekatan dan larinya bagakan kijang dikejar harimau.

Pemuda ini demikian halus dan tampannya sehingga orang yang melihatnya tentu akan bertanya apakah Sang Arjuna yang terkenal sebagai pria paling menandingi ketampanan pemuda yang sedang turun dari Mahameru itu. Memang luar biasa sekali pemuda itu. Wajah dan gerak-geriknya yang halus tak Sesuai dengan ketangkasannya ketika ia menuruni gunung, melompati batu karang dan jurang.

Melihat matanya yang bening dan bibirnya yang merah, ia kelihatan seperti Batara Kamajaya Dewa Asmara, akan tetapi melihat ketangkasannya, ia menyamai Raden Gatotkaca yang dapat ngambah jumantara (terbang)! Siapakah dia ini? Lihatlah baik-baik dan anda akan mengenalnya! Ya, dia bukan lain adalah dara perkasa Ratna Wulan! Gadis ini telah menyamar sebagai seorang pemuda atas nasehat ibunda.

“Wulan...” Kata ibunya sebagai nasehat terakhir ketika anaknya hendak berangkat ke Kota Raja, “Seorang dara seperti kau melakukan perjalanan seorang diri keluar masuk hutan masih tidak terlalu menarik perhatian para penduduk gunung dan dusun. Akan tetapi, apabila kau memasuki Kota Raja, kau akan menimbulkan kegemparan di kalangan penduduk. Amat langka terdapat dan amat ganjilah apabila mereka melihat seorang dara muda berjalan seorang diri tanpa pengiring di Kota Raja. Apa akan kata orang? Hal itu hanya akan menimbulkan kesulitan bagimu, nak, dan aku bahkan khawatir kalau-kalau engkau akan menemui bahaya sebelum cita-citamu tercapai. Oleh karena itu, janganlah kau masuk ke Kota Raja sebagai wanita, akan tetapi sebagai seorang pria, sebagai seorang jaka lelana. Dengan demikian, takkan ada orang yang menaruh perhatian kepadamu dan kau takkan menimbulkan kecurigaan.”

Demikianlah, dengan pertolongan ibunya, Ratna Wulan lalu menyamar sebagai seorang pemuda. Ibunya berlinang air mata ketika memandang puterinya dalam penyamaran itu.

“Anaku, Wulan,” bisiknya sambil memeluk pundak anaknya, “kau mengingatkan ibumu kepada mendiang ayahmu pada waktu kamu mula-mula bersuara.”

Amat terharulah Ratna Wulan mendengar keluhan ibunya ini, dan ia dapat memaklumi kesedihan hati ibunya. Dipeluknya ibunya dengan kasih sayang yang amat besar dan untuk beberapa lamanya keduanya terbenam dalam laut keharuan.

“Sekali lagi, Wulan. Berhati-hatilah kau menjaga dirimu sendiri, tertama sekali teguhkanlah imanmu menghadapi godaan asmara di dalam hatimu sendiri, oleh karena tiada musuh yang lebih berbahaya daripada musuh didalam dada sendiri!”

Maka berangkatlah Ratna Wulan meninggalkan ibunya, berangkatlah menuju ke Kota Raja Majapahit, menuju ke arah pelaksanaan cita-citanya, yaitu membalas dendam kepada musuh besarnya, Kartika!

Benar sebagaimana kata ibunya, dengan menyamar sebagai seorang pria, dengan mudah tanpa menimbulkan kecurigaan orang, Ratna Wulan dapat masuk ke Kota Raja. Memang ia menarik perhatian karena ke elokan wajahnya, akan tetapi ke elokan wajah seorang pria hanya membuat orang menengok dan mengagumi sekilas saja. Begitu ia lewat, orang telah melupakan lagi.

Karena hari sudah malam ketika ia tiba di Kota Raja, maka Ratna Wulan menunda niatnya mencari rumah Kartika. Ia tidak mau menimbulkan kecurigaan orang yang akan membuat usahanya menemui rintangan, oleh karena itu ia sengaja berjalan-jalan sekeliling kota, melihat-lihat dan mengagumi bangunan gedung-gedung besar yang amat indah dan yang belum pernah dilihat seumur hidupnya.

Di dusun-dusun sekitar Gunung Mahameru hanya melihat bangunan-bangunan dari bambu yang beratap daun, paling besar hanyalah rumah-rumah lurah yang terbuat daripada kayu gunung beratap genteng. Di Kota Raja melihat bangunan-bangunan raksasa dengan pilar-pilar terukir dan bercat indah merupakan bangunan yang besarnya seperti anak bukit!

Tiba-tiba ia mendengar suara gamelan ramai menggema di gelap malam. Suara kenong dangongnya bertalu-talu seperti memanggil-manggil semua orang untuk datang menonton. Ah, tentu pertunjukan wayang kulit, pikir Ratna Wulan dengan gembira. Lumayan juga untuk melewatkan malam ini. Ia pernah menonton pertunjukan wayang kulit yang sering diadakan didusun-dusun dan ia gemar sekali akan cerita pewayangan, terutama cerita yang mengisahkan perjalanan pahlawan wanita Srikandi.

Biasanya ia kuat sampai semalam untuk menonton wayang kecuali kalau ceritanya mengisahkan pengalaman pahlawan wanita itu, terutama cerita yang mengisahkan pengalaman wanita itu, terutama sekali ia paling suka menonton cerita Srikandi Belajar memanah!

Dengan langkah lebar ia menuju ke arah suara gamelan itu dan dari jauh ia telah melihat penerangan tempat pertunjukan itu. Ternyata bahwa gamelan itu keluar dari sebuah gedung tumenggungan dan pertujukan diadakan di halaman depan gedung itu. Melihat banyak orang menonton berjubel di luar panggung yang dibangun di depan gedung, Ratna Wulan juga mendesak maju dan mencari tempat di depan.

Akan tetapi alangkah herannya ketia ia tidak melihat layar wayang di situ, juga tidak ada batang pohon pisang melintang untuk tempat wayang-wayang kulit itu ditancapkan. Yang ada hanyalah para yogo penabuh gamelan dan di atas panggung itu kelihatan seorang ledek tengah menari dan menyanyi dengan gerak kaki tangan yang amat lemas dan suaranya amat merdu.

Ledek itu tidak muda lagi, akan tetapi jelas bahwa ia memiliki potongan tubuh yang menggairahkan dan wajah yang amat cantiknya. Lirikan matanya tajam menggurat kalbu sedangkan senyumnya mengalahkan bunga yang mengharum. Di sekeliling panggung itu penuh dengan tamu-tamu duduk di kursi. Mereka ini semuanya kaum pria dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang tersenyum dan tertawa-tawa gembira.

Diatas meja tersedia kendi-kendi arak yang menyiarkan bau keras, sedangkan beberapa buah cawan menggeletak di sana-sini. Dengan heran Ratna Wulan melihat betapa wajah para tamu itu berbeda dengan orang biasa, dan ketawa mereka juga ketawa tidak sewajarnya. Bahkan ada orang yang berdiri dengan tubuh bergoyang-goyang seakan-akan hendak jatuh. Ia tidak tahu bahwa sebagian besar para tamu itu telah mabok!

Pesta malam itu adalah pesta tayuban, yaitu pesta malam gembira dengan tari-tarian dan Nyanyian ledek, dan di dalam pesta tayuban ini para tamu yang “ketiban sampur” diharuskan menari bersama ledek itu. Ketiban sampur berarti kejatuhan selendang, dan ledek itulah yang menetapkan siapa-siapa orangnya yang hendak diajak menari.

Sambil menari-nari ia berjalan lenggang-lenggok ke arah para tamu dengan mata tajam mengerling ke kanan kiri, mencari-cari “korbannya” yang hendak di jatuhi selendangnya. Biasanya ledek ini memilih seorang tamu yang kantongnya padat, oleh karena sehabis menari, sudah menjadi kelaziman bahwa tamu itu memberi hadiah uang beberapa real kepada si ledek.

Akan tetapi ada pula ledek yang tidak begitu mementingkan uang dan sengaja memilih tamu-tamu yang muda dan tampan, terutama yang pandai untuk memenuhi kesenangan sendiri. Ledek inipun agaknya hendak mencari seorang lawan yang baik, karena ia tidak menghampiri tamu-tamu tua yang berpakaian mewah, akan tetapi menghampiri seorang tamu muda yang amat menarik perhatian.

Pemuda ini usianya dua puluh tahun lebih, tubuhnya tubuh ksatria, kuat tegap tidak dempel atau tinggi besar, rambutnya keriting dan sepasang matanya bercahaya tajam. Wajahnya amat tampan dan menunjukkan kegagahan, terutama sepasang alisnya yang tebal dan bulu matanya yang lentik melengkung ke atas yaitu bulu mata yang biasanya hanya terdapat pada kaum bangsawan atau darah keraton. Pakaiannya juga indah dan mahal, tanda bahwa ia seorang dari keluarga kaya.

....Maaf ya! Ada sebagian cerita yang hilang….

....Gerak tarian pemuda itu benar-benar hebat dan indah, tidak saja lemas dan sesuai betul dengan Irama lagu, akan tetapi juga hidup dan seakan-akan setiap gerakannya menyatakan sesuatu yang berarti. Sepasang matanya memancarkan cahaya gemilang, bibirnya tersenyum dan wajahnya berseri-seri.

Sungguh seorang pemuda yang akan meruntuhkan iman setiap orang dara, dan benar-benar tariannya itu tarian yang indah dan bermutu. Orang-orang yang berada disitu tidak merasa heran oleh karena pemuda ini memang seorang ahli tari yang kenamaan di Majapahit dan seringkali ia memperlihatkan keahliannya di depan sang prabu sendiri dengan seluruh keluarga keraton.

Akan tetapi bagi Ratna Wulan yang tidak tahu siapa adanya pemuda ini, memandangnya bagaikan memandang kepada seorang dewata yang baru melayang turun dari Swargaloka! Benar-benar hatinya terpikat dan jari-jari tangan muda yang bergerak-gerak dalam tariannya itu seakan-akan menjentik-jentik kalbunya, membuat mukanya terasa panas dan matanya memandang sayu.

Akan tetapi, dara perkasa ini segera teringat akan petuah ibundanya, maka ia lalu menahan napas, memusatkan panca inderanya dan berhasil mengusir godaan itu. Pada saat ia berdiri di antara sekian banyak orang sambil mengheningkan cipta untuk menekan perasaannya yang menggelora, tiba-tiba ia menangkap bisikan tiga orang yang berdiri tak jauh dari tempatnya.

“Saat yang baik untuk mulai gerakan kita!” terdengar bisikan itu. “Sudah seharusnya Mas Bei melihat kesempatan ini dan mulai beraksi. Banyak tamu telah mabok, maka kalau ia berpura-pura mabok dan menyerang Raden Indrajaya membuat keributan, takkan ada yang mengira bahwa ia melakukan dengan sengaja. Dan kita akan lebih mudah lagi bergerak.”

“Dengan alasan seperti yang sudah diatur semula?” terdengar orang kedua berbisik.

“Bodoh! Masih kurang jelaskah perintah Mas Bei? Kita berpura-pura merasa cemburu kepada Raden Indrajaya dan kita mengaku menjadi kekasih-kekasih Puspamirah! Sst, diam, itu kulihat Mas Bei sudah berdiri dari kursinya! Benar. Ia berdiri terhuyung-huyung seperti orang mabok. Awas, siap!”

Ratna Wulan berdebar hatinya mendengar bisikan-bisikan yang terdengar oleh orang lain itu. Ia Maklum bahwa yang handak diserang adalah pemuda yang menawan hatinya itu, karena tadipun orang menyebut nama pemuda itu Raden Indrajaya. Tiga orang ini menyebut nama Raden Indrajaya, tentu pemuda yang sedang menari dengan asyiknya itu.

Dan ia mengerling ke arah tiga orang yang berbisik tadi. Ternyata bahwa mereka adalah orang tinggi besar yang brengosnya sekepal melintang dan sikap mereka jelas menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang kasar yang berlagak seperti seorang cabang atas!

Ketika Ratna Wulan mengerling ke atas panggung, ke arah ke tiga orang itu menujukan pandang mata mereka, ia melihat seorang setengah tua yang bertubuh gemuk pendek, berpakaian mewah, berdiri dari kursinya dan dengan tubuh terhuyung-huyung menghampiri kedua orang yang asyik menari di tengah panggung itu.

Dengan pandang matanya yang amat tajam Ratna Wulan dapat melihat bahwa biarpun orang gemuk ini kelihatan mabok, akan tetapi sepasang matanya masih bersinar cerdik dan beberapa kali si gemuk itu mengerling ke arah tiga orang yang berdiri di sebelah kiri Ratna Wulan.

Ratna Wulan memandang dengan penuh perhatian dan diam-diam ia mengambil keputusan untuk mebantu Raden Indrajaya itu apabila benar-benar menghadapi bahaya. Entah apa yang menggerakkan hatinya untuk mencampuri urusan lain orang ini, hanya ia menghibur hatinya sendiri dengan bisikan,

“Ada orang dalam bahaya, tak perduli siapa adanya orang itu, baik kakek tua buruk maupun teruna yang elok rupanya, harus kubantu dia.”
Orang gemuk itu setelah berada di dekat puspamirah, tiba-tiba tertawa dan menangkap lengan tangan ledek itu, menarik dan memeluknya lalu berusaha hendak menciumnya. Ledek itu meronta ingin melepaskan diri tapi sia-sia saja usahanya..

Tiba-tiba Raden Indrajaya mengeluarkan bentakan. "Mas Bei, mundur kau!"

“Ha, ha, ha! Raden Indrajaya, aku Raden Mas Ngabei Bajrabumi, tidak tunduk kepada siapa juga kecuali sang prabu! Kalau aku tidak mau mundur, kau mau apa? Ha, ha, ha! Kau hendak memborong Puspamirah? Tidak boleh..., tidak boleh. Hai menari dengan aku sampai pagi!”

“Mas Bei, kalau tidak mau keluar terpaksa akan kulontarkan kau keluar dari sini!” Raden Indrayana berkata marah.

“Ha, ha, ha! Dengar ocehan anak kemarin sore! Indrajaya! Kau anak kecil masih bau pupuk ubun-ubunmu, hendak melontarkan aku? Ha, ha, ha! Boleh kau coba!” Si gemuk itu lalu mencabut kerisnya yang dihias ronce kembang melati.

“Raden Indra! Mundurlah dan jangan melayani dia yang mabok!” terdengar orang berseru dari rombongan tamu.

Akan tetapi Raden Indrajaya sama sekali tidak merasa gentar menghadapi keris ditangan Bajrabumi itu. Ratna Wulan memandang dengan kagum dan gembira ketika melihat betapa pemuda tampan itu ternyata tidak saja pandai menari, akan tetapi pandai pula ilmu pencak silat. Biarpun ia bertangan kosong dan menghadapi seorang lawan yang bersenjata keris, ia tidak gugup dan tidak pula mencabut kerisnya sendiri.

Ternyata bahwa Bajrabumi juga bukan seorang lemah. Ilmu kerisnya cukup tinggi dan dari gerakan tangannya ternyata bahwa ia telah mempelajari ilmu pencak dari pesisir utara, ilmu kerisnya adalah ilmu keris dari daerah Tuban. Tusukannya bertenaga dan cepat sekali dan pekembangannya serangannya selain bagus juga amat cekatan.

Bertubi-tubi ia menusukkan kerisnya kepada pemuda lawannya itu, sehingga marahlah Indrajaya karena dari pergerakan lawannya yang tangkas dan cepat ini sama sekali ia tidak melihat sifat-sifat orang mabok. Orang mabok takkan dapat bermain keris sebaik ini!

“Bajrabumi, kau benar gila!” bentaknya dan dengan cepat ia mengelak sambil mengirim serangan balasan. Dengan tangan kiri ia menangkap pergelangan tangan lawan yang memegang keris, sedangkan tangan kanannya memukul dengan telapak tangan, menepak dada.

Bajrabumi tak kurang gesitnya, dengan cepat ia dapat merenggut tangannya yang tepegang dan tangan kirinya menangkis pukulan tangan lawan dari samping. Ternyata dalam hal ini kecepatan gerakan, Bajrabumi yang gemuk pendek itu masih kalah oleh Indrajaya yang gesit seperti burung srikatan. Begitu serangan balasannya gagal, kaki kirinya menyapu kaki lawan lalu terus ke pergelangan tangan yang memegang keris.

Bajrabumi melompat untuk menghindarkan diri dari sapuan kaki lawan, akan tetapi ia tidak menyangka akan datangnya tendangan lawan yang cepat itu sehingga pergelangannya kena tendangan keras. Ia memekik kesakitan dan kerisnya terlepas dari pegangan. Pada saat itu, tiga bayangan tubuh yang tinggi besar melompat naik ke atas punggung. Seorang yang terdepan berseru.

“Indrayana, kau berani merebut Puspamirah dari tangan kami? Kau benar-benar sudah rindu kepada kuburan!” Tiga orang yang berkumis tebal itu lalu maju menyerang dengan kelewang mereka yang berkilauan saking tajamnya. Bukan main ributnya suasana di situ.

“Celaka. Perampok-perampok datang!” terdengar teriakan orang, sedangkan Bajrabumi yang masih berpura-pura mabok melanjutkan serangannya pula dengan tangan kosong. Akan tetapi ketika melihat Indrajaya mencabut kerisnya, ngabei yang bertubuh gemuk itu lalu mengundurkan diri dari pertempuran.

Oleh karena tadi ia pun hanya hendak memperlihatkan bahwa ia benar-benar “mabok” saja dan memang hendak menyerahkan pemuda itu ke pada tiga orang “perampok” yang sebenarnya adalah tiga orang cabang atas dari Madura yang telah disewanya untuk maksud ini.

Setelah berhadapan dengan tiga orang cabang atas dari Madura ini, baru kelihatanlah kepandaian Indrajaya, seakan-akan sebatang keris yang baru kelihatan pamornya. Tiga orang itu bersenjata kelewang yang panjang dan tajam dan gerakan mereka menunjukkan bahwa mereka benar-benar memiliki ilmu kepandaian pencak silat yang tak boleh dipandang ringan.

Dengan lincahnya kaki mereka bergerak secara teratur sekali, juga kelewang-kelewang di tangan mereka melakukan serangan menurut gerakan seorang ahli, bukan secara sembarangan atau akan hal ini, maka iapun mengerahkan seluruh kepandaiannya.

Dengan amat terampil dan cekatan bagaikan seekor burung Srikatan dikeroyok tiga oleh burung Alap-alap, tubuhnya bergerak menyelinap di antara sinar tiga batang kelewang, berlompatan kesana ke mari mengelak golok sambil melakukan serangan balasan. Kadang-kadang kerisnya beradu dengan golok sehingga terdengar bunyi nyaring dan berpancarlah bunga api.

Sementara itu, masih saja gamelan dipukul bertalu-talu dengan amat ramainya sehingga bagi pendatang baru, mungkin pertempuran itu disangkanya sebuah permainan atau sebuah adegan dari cerita Bhatarayuda!

Ratna Wulan masih berdiri dan belum turun tangan oleh karena ia asyik memperhatikan gerakan empat orang itu. Ia mendapat kenyataan bahwa Raden Indrajaya memiliki ilmu pencak silat yang cukup tinggi dan andaikata ia tidak memegang sebatang keris yang kecil saja, akan tetapi juga memegang senjata yang panjang, tentu pemuda itu takkan memiliki ilmu kepandaian “halus” sehingga gerakannya demikian indah bagaikan sedang menari saja, hanya mengandalkan keawasan mata dan kelincahan tubuh.

Tidak seperti ke tiga orang pengeroyoknya yang biarpun memiliki golok yang hebat, akan tetapi kehebatannya itu hanya nampak pada luarnya saja karena ketiga orang cabang atas ini memiliki ilmu pencak kasar dan yang hanya mengandalkan besarnya tenaga dan tajamnya kelewang. Namun harus diakui bahwa kepandaian mereka sudah cukup tinggi dan merupakan lawan yang amat berbahaya bagi pemuda itu.

Indrajaya agaknya maklum akan hal ini, maka ia lalu menyerang dengan amat cepatnya dengan maksud merobohkan seorang pengeroyok lebih dahulu untuk mengurangi jumlah lawan. Ketika dua batang golok menyambar dari kanan kiri, ia tidak mengelak ke belakang. Bahkan lalu menerjang ke depan dengan kecepatan melebihi datangnya golok lawan ke tiga yang menusuknya dari depan yang dapat di elakkannya dengan tubuh di miringkan, secepat kilat kerisnya menusuk dada orang itu!

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika kerisnya bertemu dengan dada yang bidang dari orang itu, kerisnya terpental kembali dan orang itu hanya tertawa mengejek! Ternyata bahwa orang itu kebal dan memiliki Aji Kesaktian Lulang Warak (Kulit Badak) yang membuat kulitnya kebal tak terluka oleh senjata tajam!

Hal ini menggoncangkan semangatnya dan kini perlawanannya menjadi lemah dan kacau. Ratnawulan dapat melihat akan hal ini, maka kini dara perkasa ini setelah melihat keadaan pemuda itu amat terdesak dan berada dalam dalam bahaya, cepat menjejakkan kakinya ke atas tanah dan tubuhnya mencelat keatas panggung!

“Mengasolah, Raden, biarkan aku menggantikanmu dan membereskan tiga ekor babi hutan ini!” kata Ratna Wulan yang telah melompat di hadapan Indrajaya.

Tidak saja semua penonton menjadi kagum dan heran, juga Indrajaya sendiri tertegun melihat betapa seorang pemuda bersikap lemah-lembut dan elok sekali tahu-tahu muncul dari bawah, bagaikan Raden Antasena muncul keluar dari permukaan bumi! Ia memang telah lelah sekali dan melihat munculnya pemuda yang aneh ini, ia menaruh kepercayaan dan segera melangkah mundur.

Akan tetapi ia masih memgang kerisnya, siap membantu apabila pemuda yang hendak membantunya ini ternyata tak dapat mengalahkan tiga orang pengeroyok itu. Sementara itu, ketiga orang pengeroyok tadi telah merasa amat gelisah ketika mendapat kenyataan betapa Raden Indrajaya amat sukar dikalahkan. Mereka telah merasa gelisah kalau-kalau tugas mereka akan gagal.

Kini melihat munculnya seorang pemuda tampan dengan tiba-tiba, mereka menjadi marah dan hendak menyelesaikan pekerjaan dengan cepat, maka tanpa banyak bicara lagi mereka lalu menyerbu dan menyerang Ratna Wulan yang masih berdiri dengan tenang!

Akan tetapi, alangkah terkejut hati mereka ketika tiba-tiba tubuh pemuda elok itu sekali berkelebat saja lenyap dari depan mereka dan tahu-tahu pemuda itu muncul di belakang mereka! Mereka tercengang sejenak, akan tetapi segera menyerang lagi dan seorang diantara mereka membentak.

“Keparat! Jangan kau kira kami takut kepada aji silumanmu!”

Ratna Wulan tersenyum dan sekali tangannya bergerak kearah pinggang, keris pusaka Banaspasti telah tercabut dan ia menyambut serangan tiga buah kelewang itu dengan memutar kerisnya.

“Trang! Trang! Trang!”

Terdengar bunyi nyaring ketika kerisnya sekaligus menyambar-nyambar ke arah senjata lawan dan suasana di situ menjadi sunyi senyap karena kini gamelan tiba-tiba menjadi bidu. Semua yogo duduk dengan melongo dan lupa untuk menabuh gamelan mereka ketika menyaksikan betapa tiga batang golok besar itu tela putus semua sampai tinggal gagangnya saja yang masih berada di tangan ketiga orang pengacau itu! Kemudian pecahlah suara sorak-sorai menyatakan kagum kepada pemuda tampan yang aneh itu.

“Siapakah dia?” terdengar suara di mana-mana akan tetapi siapakah yang dapat menjawab? Semua orang hanya menduga-duga sambil memandang ke arah pemuda itu.

Tiga orang lawan Ratna Wulan juga terkejut sekali sehingga wajah mereka menjadi pucat. Akan tetapi ketakutan mereka akan ampuhnya keris lawan itu lenyap ketika mereka melihat betapa Ratna Wulan dengan amat tenangnya menyimpan kembali kerisnya dan menghadapi mereka dengan tangan kosong.

“Bagaimana sekarang? Apakah akan kita lanjutkan dengan kedua tangan saja?” tantangnya. Kemudian ia berkata kepada orang yang mempunyai kekebalan tadi dan berkata, “Kau kebal dan kuat menahan tusukan cunrig (keris), hendak kulihat apakah kuat menerima pukulan tanganku!”

Biarpun merasa takjub melihat ampuhnya keris di tangan pemuda yang nampak lemah ini, akan tetapi ketiga orang itu memiliki aji kekebalan, maka mereka maju lagi dengan berani, bahkan orang yang tadi memperlihatkan kekebalannya lalu berkata.

“Keparat! Kalau kau tidak mengandalkan keampuhan cunrigmu, dalam dua jurus saja kami akan menghancurkan kepalamu!”

“Aduh mudah amat!” Ratna Wulan mengejek. “Jangan hanya memperbesar sumbarmu, kawan! Kalian coba sajalah!”

Tiga orang itu lalu maju menyerbu dan memukul dengan tinju yang sebesar buah kelapa besarnya. Akan tetapi, tanpa bergerak atau berpindah dari tempatnya, Ratna Wulan mengangkat kedua lengannya dan menangkis semua pukulan itu dengan gerakan yang cepat sekali.

Ketika lengan tangan mereka beradu dengan lengan Ratna Wulan yang kecil dan berkulit halus itu, ketiga orang tadi menahan seruan, karena mereka betapa kulit lengan mereka amat pedih dan sakit. Mereka menduga bahwa pemuda aneh ini tentu mempergunakan aji Kesaktian Srigunting, maka mereka menjadi jerih dan merasa ragu-ragu untuk memukul lagi.

Ratna Wulan tersenyum lagi. “Apakah kedua tanganku masih terlampau ampuh bagimu? Nah, kalau begitu, aku takkan menangkis, kalian pukulah sesukamu, asal saja jangan memukul kepala!”

Setelah berkata demikian, Ratna Wulan lalu bersedekap, melindungi dadanya dengan kedua lengan, dan berdiri tak bergerak bagaikan patung, mengerahkan aji kesaktiannya. Hal ini memang di luar kebiasaannya, akan tetapi entah mengapa, di hadapan Indrajaya, ia ingin sekali memamerkan kepandaian dan kesaktiannya, terutama ketika ia mengerling dan melihat betapa Indrajaya memandangnya dengan mata penuh takjub dan kagum....
Selanjutnya,