Dyah Ratna Wulan Jilid 02 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Dyah Ratna Wulan

Karya : Kho Ping
Cerita Silat Indonesia Karya Kho Ping Hoo
Jilid 02
PERCUMA saja binatang itu hendak menyembunyikan dirinya, karena sepasang mata dara itu yang amat tajam dan terlatih, selalu dapat mengikutinya. Pada saat yang amat baik, ketika binatang itu hendak berlari lagi keluar dari serumpun alang-alang, Ratna Wulan cepat mengambil gendewa dan anak panahnya.

Dengan amat cekatan tanpa memandangnya lagi, tangannya bergerak memasang anak panah dan “ser!” sebatang anak panah meluncur merupakan sinar keputihan dan dengan tepat anak panah itu menembus jantung binatang itu yang roboh tanpa dapat bergerak atau mengeluarkan suara lagi karenaia mati pada saat anak panah menancap dan menembus jantungnya.

Bukan main girangnya hati Ratna Wulan karena hasil ini.Ia menyimpan gendewa dan anak panahnya, lalu berlari-lari menghampiri rusa yang menggeletak tak bernyawa itu. Kegirangannya membuat ia berlaku kurang waspada dan tidak melihat bahwa diatas cabang pohon lo di dekat rusa itu, terdapat seekor macan tutul sedang mengintai dengan mulut meringis.

Tadinya macan tutul itu hendak menyerang rusa dan menjadikan rusa itu sebagai pengenyang perutnya yang lapar, akan tetapi ketika ia melihat Ratna Wulan berlari mendekat, perhatiannya beralih kepada mangsa yang masih hidup ini.

Ratna Wulan membungkuk dan hendak mencabut anak panahnya yang menancap di dada rusa, dan pada saat itulah harimau tutul itu menggereng dengan suara yang amat dahsyat. Ratna Wulan terkejut dan baru ia tahu bahwa di atasnya ada seekor macan tutul yang kelaparan, akan tetapi terlambat karena pada saat itu, binatang buas tadi telah menubruk turun dengan kaki depannya mengulur cakar dan mulut terpentang lebar.

Akan tetapi, tidak percuma Ratna Wulan mendapat gemblengan bertahun-tahun dari Panembahan Mahendraguna dan ia hanya akan memalukan nama Eyang Semeru apabila ia menyerah kalah terhadap serangan hanya seekor macan tutul saja! Biarpun tubuhnya masih membungkuk dan sedang berada dalam posisi yang kurang baik dan sama sekali tidak kuat, namun ketabahan dan ketenangannya banyak menolongnya.

Dengan amat sigapnya, ia menjatuhkan diri ke kiri dan bergulingan cepat bagaikan seekor trenggiling sehingga tubrukan macan tutul itu mengenai tempat kosong. Ketika macan itu sambil menggereng marah membalikkan tubuhnya, dara perkasa itu telah berdiri dengan gagah memasang kuda-kuda dan siap menghadapinya.

“Binatang curang!” ia memaki sambil tersenyum mengejek. “Kalau kau memang berani, seranglah ke depan, jangan mempergunakan kesempatan selagi orang lengah kau menubruk.”

Belum habis ucapannya ini dikeluarkan macan tutul yang tidak mengerti ucapan dara itu, telah menggeram dan menubruk kembali. Akan tetapi kali ini dengan gerakan amat indah serta gesitnya, Ratna Wulan mengelak ke kanan dan ketika tubuh macan tutul itu menyambar lewat ia memutar kakinya dan memberi hadiah berupa dupakan ke arah pantat binatang itu sehingga macan itu terdorong maju dan terjungkal ke depan. Ratna Wulan tertawa geli, sedangkan macan itu cepat bangun pula.

Ia tidak segera menyerang, akan tetapi menggereng perlahan, mulutnya ditarik meringis seakan-akan memperlihatkan keruncingan siungnya kepada lawan. Kedua kaki depannya menggaruk-garuk tanah sehingga tidak saja rumput-rumput menjadi jebol karena kuku-kukunya yang menggaruk kuat, bahkan batu-batu kecil juga ikut tergali ke luar! Ia seakan-akan hendak memperlihatkan betapa kuatnya kuku-kukunya.

Tubuhnya direndahkan sehingga perutnya yang kempis itu menyentuh tanah, seluruh urat kakinya tegang siap untuk menubruk kembali. Bagi orang lain, lebih-lebih wanita, baru melihat siung dan gigi yang runcing dan tajam serta cakar yang ganas dan kuat itu, tentu ia akan menggigil karena merasa ngeri dan takut. Akan tetapi Ratna Wulan bahkan tertawa geli dan berkata seakan-akan lawannya seorang manusia yang mengerti kata-katanya.

“Macan busuk! Kau mempunyai benda-benda runcing, apa kau kira akupun tidak mempunyai itu? Kau lihat ini!”

Sambil, sekali tangan kanannya bergerak, maka keris pusaka Kyai Banaspati yang selalu terselip di pinggangnya kini telah berada di tangannya! Aneh sekali, entah karena keampuhan Kyai Banaspati, keris pusaka pemberian Eyang Semeru itu, atau karena ketegangan gadis itu yang amat ganjil bagi si macan tutul, akan tetapi buktinya binatang ini seperti merasa ragu-ragu untuk melanjutkan serangannya. Sampai lama ia mendekam saja, menggereng perlahan dan bahkan tubuhnya lalu bergerak mundur perlahan sekali!

“He, binatang pengecut! Apakah kau patut disebut raja hutan?” Ratna Wulan mengejek dan ia memandang sebuah batu yang berada di depannya ke arah macan tutul itu.

Macan tutul itu menggerung kesakitan dan dengan kaki depan serta mulutnya, ia mencoba untuk mencakar atau menggigit buntutnya yang telah hilang sehingga tubunya berputar-putar seperti baling-baling. Kemudian, dengan amarah meluap-luap ia menerjang lagi.

Kini tidak dengan melompat ke atas, hanya langsung menerjang ke depan, tubuhnya diluruskan dan dipanjangkan. Dua buah kaki depannya mencakar kearah tubuh Ratna Wulan. Serangan ini diganda tertawa saja oleh dara pendekar itu yang lalu melompat keatas melalui tubuh harimau sambil berseru.

“Awas telingamu!” Dan ketika ia menggerakkan kerisnya, maka terbabat putuslah telinga kiri harimau itu!

Kembali macan tutul itu menggerung-gerung kesakitan dan darah mengucur dari kepalanya yang kini tinggal bertelinga satu itu. Ia memandang kepala lawannya dengan marah dan kepalanya digerakkan ke kanan kiri karena terasa amat perih dan sakit.

“Bagaimana, kucing dapur! Masih belum puaskah? Awas, kali ini kedua matamu hendak ku ambil!”

Akan tetap agaknya macan itu telah puas dan kapok. Buktinya, tanpa pamit lebih dahulu ia lalu membalikkan tubuhnya dan melarikan diri secepat mungkin dengan terhuyung-huyung karena tanpa buntut, ia kehilangan keseimbangan tubuhnya dan telinganya yang tinggal satu itu membuat kepalanya terasa berat sebelah.

Ratna Wulan tertawa bergelak dengan hati geli. Ia menyimpan kembali kerisnya didalam warangka dan sambil tersenyum ia memungut telinga dan buntut macan tadi, dibawanya ke tempat rusa yang menjadi korban anak panahnya.

Pada saat itu, munculah belasan orang dusun Jatikembar. Ada yang membawa arit, ada yang membawa tombak, kapak, linggis dan bahkan ada yang membawa pacul. Seorang yang berubah gemuk bahkan membawa sebatang alu yang potongannya seperti tubuhnya sendiri. Beramai-ramai mereka menuju ketempat itu dan ketika melhat Ratna Wulan, mereka segera maju menghampiri dengan wajah nampak girang.

“Eh, eh, paman-paman sekalian ini hendak kemanakah?” Tanya Ratna Wulan sambil memandang heran.

Seorang tua yang memegang tombak, yaitu Pak Ganjar yang dianggap sebagai kepala dusun Jatikembar, menarik napas panjang dan menjawab, “Ah, baiknya ada kau di sini, jeng Wulan.”

Memang Ratna Wulan disebut Raden Ajeng Ratnwulan yang disingkat jeng Wulan saja, karena sungguhpun Dara Lasmi tak pernah menceritakan pada orang lain bahwa ia adalah isteri seorang senopati, namun keadaan dan sifat-sifat Dara Lasmi dan Ratna Wulan membuat semua orang dusun menduga bahwa mereka tentu berdarah bangsawan.

“Ada apakah, Paman Ganjar? Agaknya kalian hendak berangkat perang?”

“Sebenarnya kami sedang dalam keadaan gelisah, bagaikan seekor burung yang baru saja terhindar dari bahaya maut sebatang anak panah sehingga apa saja yang kami dengar menimbulkan rasa takut. Tadi kami sedang berkumpul dan marundingkan sesuatu yang amat penting, yaitu tentang bahaya yang mengancam dusun kami, tiba-tiba kami mendengar auman macan tutul sehingga dengan gugup dan ketakutan kami lalu mengambil senjata seadanya untuk menuju ketempat ini. Tak tahunya kau yang beradadi sini dengan seekor rusa yang telah kau panah mati. Heran sekali, dimanakah adanya macan tutul yang tadi kami dengar suaranya?”

Sambil tersenyum manis Ratna Wulan menjawab, “Macan tutul? Ah, ia telah melarikan diri, paman. Ia memang berada di sini tadi, akan tetapi setelah menyatakan takluk kepadaku dan memberi tanda mata buntut dan kupingnya, ia lalu pergi.”

Sambil berkata demikian Ratna Wulan lalu mengeluarkan buntut dan kuping macan tutul yang terbabat putus oleh kerisnya tadi. Semua orang menjadi bengong mendengar betapa seekor macan tutul yang ganas dapat menyatakan takluk dan bahkan memberi tanda mata berupa buntut dan telinga, akan tetapi setelah mereka melihat buntut dan telinga yang berdarah itu, bersoraklah mereka dengan girang dan kagum. Mereka dapat menduga bahwa dara perkasa ini tentu telah mempermainkan macan itu sehingga buntut dan telinganya terpotong.

“Kau tadi menyatakan tentang adanya bahaya yang mengancam kampungmu, Paman Ganjar. Sebetulnya apakah yang telah terjadi?”

Pak Ganjar menarik napas berulang-ulang, kemudian ia menuturkan dengan suara berat. “Bencana telah menimpa kepada kami, jeng Wulan. Bukan itu saja, yang mengelisahkan kami adalah bahaya yang mengancam keselamatan penduduk sekitar Mahameru ini. Beberapa hari yang lalu, beberapa orang kawan kami yang membawa hasil hutan ke kaki bukit sebelah timur, telah bertemu dengan segerombongan perampok yang katanya berasal dari para pelarian dari Majapahit, yaitu sisa para pemberontak yang telah dipukul hancur oleh barisan Majapahit. Mereka itu tidak saja merampok habis kawan-kawan kami itu, bahkan menyatakan hendak menyerbu dan merampok habis dusun di sekitar gunung dan hendak memaksa kami memberi runsum kepada mereka.”

Ratna Wulan menjadi marah mendengar ini sehingga alisnya terangkat naik. “Hmm, di manakah adanya perampok-perampok jahanam itu?”

“Mereka bersarang di hutan randu di kaki gunung sebelah timur, jeng Wulan,” kata Pak Ganjar. “Akan tetapi bukan itu saja bahaya yang menimpa kami. Ketika kawan-kawan kami pulang dengan tangan kosong karena sudah diberendiil oleh perampok-perampok itu, di dalam hutan cemara tiba-tiba mereka di serang ular raksasa sehingga seorang di antara kawan kami itu ditelan habis. Ah, entah dosa apa yang telah kami dan mendatangkan malapetaka ini.”

Semua orang dusuni tu menundukkan kepala dan nampak sedih sekali. Kemarahan Ratna Wulan bertambah dan ia berkata,

“Keparat benar ular itu. Mari, tunjukkan aku ke hutan cemara, hendak kulihat sampai di mana kekurangajaran ular itu!”

“Akan tetapi, jeng Wulan. Ular itu benar-benar besar sekali!” kata seorang di antara mereka. “Aku sendiri ikut dalam rombongan itu dan ketika kami berlima sedang membicarakan kesialan kami yang telah dirampok habis-habisan, tiba-tiba kami mendengar desis hebat dari atas pohon cemara dan baru saja kami menengok ke atas, dari atas menyambar turun kepala ular itu yang besarnya segentong. Dengan kaki mengigil kami melarikan diri, akan tetapi seorang kawan kami itu ditelannya bulat-bulat berikut seluruh pakaiannya, semua masuk ke dalam mulut yang sebesar gua itu. Ketika aku menengok, bukan main! Tubuh ular itu besarnya sama dengan gelugu (batang pohon kelapa)!”

Semua orang menjadi pucat mendengar ini, sungguhpun orang itu pernah bercerita sampai berkali-kali kepada mereka. Tiap kali mendengar cerita ini kembali mereka menjadi ketakutan dan ngeri.

Akan tetapi, tanpa gentar sedikitpun Ratna Wulan berkata. “Aku akan membinasakannya! Bawalah aku kesana,atau kalau kalian takut tunjukkan saja di mana tempat ular itu.”

Timbulah semangat Pak Ganjar menyaksikan sikap gagah ini walaupun ia masih merasa ragu-ragu ketika bertanya, “Akan tetapi, jeng Wulan. Binatang itu demikian berbahaya, bagaimana kalau sampai terjadi sesuatu dengan kau? Kami takut akan mendapat marah dari Eyang Semeru.”

“Jangan takut! Sebaliknya kalau kalian tidak mau memberitahukan dan aku tidak mau menolong, beliau akan marah kepadaku, juga kepada kalian. Kalau sampai terjadi sesuatu, biarlah kutanggung sendiri.”

“Baik, kalau begitu kami akan mengantarmu ke tempat itu, jeng Wulan! Hayo, siapa yang berani mengantar?” kata kepala dusun itu dengan gagah.

Ternyata semangat orang tua ini menular kepada semua orang dan di antara belasan orang itu, Tidak ada seorang pun yang tidak mau mengantar, semua hendak ikut dan hendak menyaksikan betapa dara perkasa itu membinasakan ular!

“Akan tetapi, rusa ini harus dibawa ke dusun Jatikembar lebih dulu, kalau tidak segera dirawat akan rusak,” kata Ratna Wulan.

Demikianlah, beramai-ramai para penduduk Jatikembar itu mengiringkan Ratna Wulan memasuki dusun Jatikembar sambil memikul rusa yang besar itu. Mereka berseri-seri bangga seakan-akan rusa yang dipikulnya itu adalah hasil buruan mereka! Kegirangan ini bukan tak beralasan, oleh karena seperti biasa, gadis pendekar itu hanya makan sedikit bagian saja, sedangkan selebihnya akan dibagi-bagi dengan adil!

Riuhlah seluruh penduduk Jatikembar, tua-muda laki-perempuan, menyambut kedatangan dara perkasa itu. Rusa itu lalu dikuliti, dan beberapa orang wanita sibuk memasak hati dan buntut rusa karena mereka maklum bahwa hanya itulah kegemaran Ratna Wulan. Tak lama kemudian, hati dan buntut rusa yang telah masak mengebul harum dihidangkan kepada Ratna Wulan yang segera memakannya dengan enak sebagai teman nasi pulen.

Setelah dara perkasa itu selesai makan, ia lalu minta diantar ke hutan cemara di mana terdapat ular besar itu. Kini yang mengantarnya terdiri dari orang-orang bersenjata parang, tombak dan keris sebanyak duapuluh orang. Mereka berjalan mengiringkan Ratna Wulan yang berjalan bersama Pak Ganjar, kakek yang sudah lanjut usianya akan tetapi masih bersemangat. Semua orang berbaris dengan langkah gagah, seakan-akan sepasukan perajurit yang berangkat perang dipimpin oleh seorang panglima yang gagah perkasa. Akan tetapi, ketika mereka telah tiba di luar hutan cemara, lenyaplah sebagian besar kegagahan mereka. Bahkan Pak Ganjar sendiri yang paling berani kini berjalan di belakang Ratna Wulan, tidak seperti tadi selalu di samping gadis pendekar itu.

“Di sanalah tempatnya, melalui tanjakan itu membelok ke kiri,” kata seorang diantara mereka, kawan si korban ular.

Tiba-tiba mereka mendengar suara yang menyeramkan menggema di hutan. Suara ini seperti bunyi burung gagak yang menggoak dengan suara parau dan keras, akan tetapi suara ini lebih besar dan lebih parau. Suara itu berbunyi berulang-ulang sampai delapan kali dan tiap kalinya mendatangkan gema dan membuat bulu tengkuk semua orang meremang.

“Suara apakah itu?” Tanya Ratna Wulan penuh perhatian.

“Itulah suaranya, jeng Wulan!” bisik Pak Ganjar. “Aku tahu benar, ular yang besar memang dapat menggoak seperti gagak. Dan menilik dari suaranya tadi, ia tentu amat besar.” Suara kepala kampung ini gemetar karena ia menahan rasa takutnya.

“Hmm, kalau begitu, biarlah aku maju sendiri dan kalian berani mendekat, boleh mengikuti di belakangku, akan tetapi jangan terlalu dekat.”

Dengan langkah gagah dan sedikitpun tidak ragu-ragu atau jerih, Ratna Wulan menuju ke tanjakan itu, kemudian ia membelok ke kiri. Para pengikutnya yang berjumlah duapuluh orang itu saling pandang. Untuk beberapa lama mereka tidak bergerak maupun bersuara, bahkan bernapas pun mereka tahan-tahan. Mata mereka ditujukan kepada Ratna Wulan sampai gadis itu lenyap dalam tikungan tanjakan.

“Aku mau ikut, jeng Wulan!” tiba-tiba Pak Ganjar berbisik perlahan, akan tetapi gagah. Kemudian dengan dada berdebar keras, kakek ini melangkah maju, mendaki tanjakan, dengan tombaknya terpegang erat-erat ditangan kanan.

Perbuatan ini mendatangkan ketabahan dalam hati semua orang dan kini semua orang melangkah maju perlahan mendaki tanjakan, di belakang Pak Ganjar. Ketika Ratnwulan tiba di bawah pohon cemara yang tinggi dari mana suara menggoak tadi terdengar, ia tertegun juga melihat seekor ular yang membelitkan tubuhnya pada cabang pohon itu dengan kepala bersembunyi di balik daun cemara.

Tubuh ular itu tidak sebesar yang diceritakan oleh orang tadi, dan hanya dibagian perutnya saja yang benar-benar sebesar pohon kelapa karena agaknya di situlah terletak mayat orang yang telah ditelannya, akan tetapi bagian tubuhnya yang lain tidak sebesar itu. Kulitnya berwarna coklat kekuning-kuningan dengan kembang-kembang hitam melingkar-lingkar. Inilah semacam Ular Sanca Kembang yang jarang ditemukan orang dan sungguhpun penuturan orang tadi agak dilebih-lebihkan, akan tetapi Ratna Wulan harus mengaku bahwa belum pernah ia melihat ular sebesar itu.

Ular itu membelit cabang terendah dan melihat panjangnya tubuh ular itu, bisa jadi kepalanya menyentuh tanah apabila ia menggantungkan tubuhnya sambil mempergunakan ekornya untuk melilit cabang dan menahan tubuhnya. Tadinya Ratna Wulan merasa sayang untuk membinasakan binatang yang indah warna kulitnya ini, akan tetapi ketika pandang matanya tertuju kearah perut yang gembung itu, ia teringat akan korban manusia yang telah ditelan olehular itu, maka kemarahannya timbul kembali.

“Ah, paman-paman petani itu terlalu penakut.” pikirnya, “Apakah susahnya membinasakan ular itu? Dengan sebatang anak panah pun ia akan dapat dibinasakan.”

Setelah berpikir demikian, ia mencabut sebatang anak panah, menurunkan gendewanya, memasang anak panahnya dan bagaikan Srikandi melepaskan panah pusakanya, ia membidik dan menarik tali gendewanya. “ser!” Sebatang anak panah meluncur cepat ke atas dan tepat mengenai bagian tubuh ular yang menjadi sasaran bidikan Ratna Wulan, yaitu di dekat leher.

Akan tetapi, alangkah terkejut dan herannya hati Ratna Wulan ketika menyaksikan betapa anak panahnya itu tidak menembus kulit ular sebagaimana yang ia duga, akan tetapi anak panahnya itu meleset dan menancap pada cabang pohon itu. Ternyata bahwa kulit ular itu amat keras dan licin sehingga anak panahnya tidak mempan dan meleset. Akan tetapi, serangan anak panah itu cukup mengagetkan binatang itu, oleh karena tiba-tiba tubuh ular itu bergerak dan kini kepalanya muncul dari balik daun-daun cemara.

Bukan main hebatnya kepala ular itu. Sungguhpun tidak sebesar gentong sebagaimana yang diceritakan oleh orang besar dan yang mengerikan adalah mulut dan matanya. Mulutnya lebar dan berwarna merah, lidahnya terjulur keluar dan siungnya nampak putih dan runcing. Sepasang matanya melotot dan menjijikkan sekali.

Ratna Wulan merasa marah dan penasaran melihat betapa anak panahnya yang pertama tadi gagal. Ia mendengar seruan tertahan dari para pengikutnya yang telah berada di tempat jauh di belakangnya. Agaknya orang-orang itu melihat pula betapa anak panahnya tak berhasil maka dara perkasa ini menjadi malu dan gemas. Dengan cepat dipasangnya sebatang anak panah lagi dan setelah membidik kearah kepala ular itu.

Ia menarik lagi gendewa dan begitu dilepas, meluncurlah anak panah itu menyambar kepala ular. Kepala ular itu bergerak sedikit akan tetapi ia kalah cepat dari panah itu sehingga karena ia menarik kepalanya, maka anak panah yang tadinya mengarah mulutnya itu, kini tepat mengenai tengah mulutnya itu, kini tepat mengenai tengah-tengah kepalanya, diatas kedua matanya.

Kali ini Ratna Wulan benar-benar tercengang. Ketika anak panahnya dengan tepat sekali menusuk kepala ular itu, terdengar bunyi “Tak!” dan anak panahnya jatuh ke bawah menjadi dua potong. Demikian keras dan kuat kepala ular itu sehingga tak saja kepala itu tidak terluka oleh anak panah, bahkan anak panahnya putus menjadi dua.

Semua penduduk Jatikembar yang berada di situ, menjadi pucat melihat hal ini. Mereka tidak terasa lagi mundur beberapa tindak, bahkan Pak Ganjar segera bertindak.

“Jeng Wulan.! Larilah saja, ular itu terlalu sakti!”

Orang-orang lain berseru, “Ular siluman.!”

Bahkan ada beberapa orang yang menjatuhkan diri berlutut dan menyembah meminta ampun. Tadinya ketika melihat betapa anak panahnya yang kedua tidak berhasil bahkan patah, Ratna Wulan menjadi terkejut dan kesima, akan tetapi jangan sekali-kali mengira bahwa ia menjadi takut atau gentar. Tidak! Dara perkasa Diah Ratna Wulan tidak merasa takut. Kini, ketika mendengar seruan Pak Ganjar dan ketika ia menengok melihat wajah mereka pucat ketakutan, amarahnya timbul dan ia memandang kepada ular itu dengan mata bernyala.

“Kau ular siluman? Baik, turunlah siluman busuk! Turunlah dan terima kebinasaanmu!” Sambil berkata demikian, ia melemparkan gendewanya ke atas tanah dan mencabut Kyai Banaspati, berdiri memandang ke atas dengan sikap gagah!

“Jeng Wulan. jangan...!” masih terdengar seruan Pak Ganjar.

Akan tetapi Ratna Wulan sama sekali tidak memperdulikannya dan pada saat itu, ular yang merasa kepalanya sakit tertumbuk anak panah yang kencang sekali jalan itu, tiba-tiba menyambar ke bawah. Dengan melilitkan ujung ekornya pada cabang pohon, kepalanya menyambar dengan mulut terbuka lebar ke arah Ratna Wulan!

Gadis itu cepat melompat ke samping, menghindarkan diri dari sambaran kepala ular. Ia belum sempat mengerjakan kerisnya oleh karena gerakan ular itu cepat sekali, dari atas menyambar ke bawah. Setelah sambaran pertama gagal, kepala itu terayun-ayun dan menyambar-nyambar dari kanan ke kiri dengan amat cepatnya. Mulutnya mendesis-desis dan mengeluarkan bau amis sekali.

Akan tetapi Ratna Wulan terlampau cepat baginya dan biarpun berkali-kali ia menyerang, selalu gadis ini dapat melompat ke samping dan mengelak dengan baik sekali. Bahkan, pada sambaran kelima kalinya, Ratna Wulan yang telah mempelajari gerakan ular itu, cepat mengejar dan menusuk dengan kerisnya. Ia merasa betapa kulit ular itu benar-benar keras dan licin sekali sehingga kerisnya Kyai Banaspati juga meleset!

Ia maklum bahwa klit ular itu mengeluarkan lender yang membuat kulit itu amat licin, maka makin gemaslah Ratna Wulan. Ketika untuk ke enam kalinya ular itu menyerangnya dengan mulut terbuka lebar dan lidah terjulur keluar, ia tidak mengelak sambil melompat seperti tadi, akan tetapi dengan amat beraninya ia hanya menggeser kakinya dan miringkan tubuh, kemudian secepat kilat kerisnya menyambar kearah lidah ular yang dijulurkan keluar!

“Cep!” dan keris itu dengan ganasnya membabat lidah itu sehingga putus. Ular ini ketika tadi ditusuk oleh Kyai Banaspati, sungguhpun tidak terluka, akan tetapi daya keampuhannya keris itu membuat kulitnya terasa panas bagaikan terbakar, maka ia menjadi marah sekali. Dan kini lidahnya terpotong oleh keris pusaka itu! Terdengar suara menggoak yang menyeramkan sekali dan ia lalu melepaskan belitan ekornya sehingga tubuhnya yang panjang itu kini jatuh menimpa Ratna Wulan!

Pak Ganjar dan kawan-kawannya yang semenjak tadi menyaksikan pertempuran hebat itu dengan hati penuh kengerian dan menahan napas, kini menjadi makin gelisah. Mereka menjerit ketakutan ketika melihat betapa dengan kecepatan luar biasa, ular itu tadi dapat menyapu tubuh Ratna Wulan dengan ekornya, sungguhpun gadis itu tadi dapat mengelak dari terkaman tubuh ular. Bukan main hebatnya sabetan ekor itu, kekuatannya ratusan kali.

Pohon cemara pun akan roboh kalau disabet oleh ekor itu. Ratna Wulan terkena sabetan pada pinggangnya dan tubuh dara perkasa itu terbanting ke atas tanah! Kalau lain orang yang terkena sabetan ini, tentu tulang pinggangnya akan patah-patah. Akan tetapi, Ratna Wulan hanya terlempar dan jatuh saja, sama sekali tidak menderita luka, karena ia telah mempergunakan aji kesaktiannya Liman Murni (Tubuh Gajah), sehingga ekor ular itu seakan-akan menyabet seekor gajah yang berat dan kuat, maka tentu saja tak berdaya merusakkannya.

Apalagi Ratna Wulan memang telah mempelajari ilmu kekebalan dan tubuhnya telah “Berisi” aji kesaktian wejangan Panembahan Mahendraguna. Lagi pula, keris Kyai Banaspati bukanlah senjata biasa dan amatlah ampuhnya, maka senjata pusaka inipun mendatangkan pengaruh dan kekuatan yang mujijat.

Orang-orang yang menyaksikan betapa dara perkasa itu terlempar, telah mengeluh dan menjadi gelisah, akan tetapi hampir saja mereka bersorak girang ketika melihat betapa dengan cekatan sekali bagaikan bajing melompat, Ratna Wulan telah melompat kembali. Bibirnya masih tersenyum-senyum sungguhpun sepasang matanya menyinarkan cahaya yang beralamat kurang baik bagi yang dipandangnya.

Dan karena pada saat itu yang dipandangnya adalah ular itu, maka sudah dapat ditentukan akan nasib binatang ini. Ular yang benar-benar kuat itu biarpun menderita kesakitan hebat karena lidahnya terpotong, masih dapat bergerak amat cepatnya. Ketika ia melihat bahwa gadis itu tidak binasa oleh sabetan ekornya, ia bergerak lagi dan tahu-tahu ekornya telah dapat melilit gadis itu. Ratna Wulan hanya merasa jijik dan geli saja, akan tetapi dara perkasa ini menanti saat yang baik.

Ia menjaga agar supaya kedua tangannya tetap bebas dan bagian lain dari tubuhnya ia biarkan saja dililit oleh lawannya. Ular itu mengerahkan tenaganya dan mempererat lilitannya. Jangankan tubuh manusia, batu karang sekalipun agaknya akan hancur apabila dililit dan ditekan dengan kekuatan yang bukan main besar dan hebatnya ini.

Namun, untuk mencoba menghancurkan tubuh Ratna Wulan dengan lilitan itu, sama halnya dengan percobaan menghancurkan sepotong baja murni. Ular itu merasa heran sekali dan mendekatkan kepalanya dan membuka mulut yang tak berlidah lagi itu untuk menggigit kepala Ratna Wulan!

Mulut itu dipentang lebar dan agaknya kepala Ratna Wulan akan dapat dicapoknya begitu saja! Saat yang dinanti-nanti oleh dara perkasa Ratna Wulan. Secepat kilat menyambar, keris Kyai Banaspati meluncur ke arah mulut itu dan ambles ditenggorokan ular itu.

Ketika Ratna Wulan mencambut kembali kerisnya, darah menyembur keluar dari mulut ular. Akan tetapi dengan cepat Ratna Wulan telah mempergunakan kesempatan selagi ular itu terkejut dan kesaktian sehingga lilitannya mengendur, untuk melepaskan diri dari lilitan dan melompat jauh dari situ sehingga ia tidak terkena semburan darah dari mulut ular. Kini ular yang telah terluka parah itu menggeliat-geliat dan kepalanya tak dapat menyerang lagi, hanya terputar-putar mengucurkan darah dari mulut.

Para pengiring dari Jatikembar ketika melihat hal ini, dengan girang dan gagah lalu datang menyerbu. Semua senjata, tombak, parang, kapak, linggis, dan sebagainya, jatuh bagaikan hujan lebat di atas kepala ular sehingga tak lama kemudian kepala ular yang keras itu dapat dihancurkan dan matilah binatang itu.

Bangkai ular diseret dan rombongan itu menuju ke kampung mereka sambil bersorak-sorak dan tertawa-tawa girang. Setibanya di dusun Jatikembar, dengan hati-hati mereka membedah perut ular itu dan mengeluarkan mayat kawan mereka yang ditelan ular. Ternyata bahwa mayat itu masih utuh, hanya terluka bekas gigitan ular. Maka jenazah itu lalu dikebumikan dengan upacara sederhana.

Sementara itu, setelah mendapat penjelasan lagi tentang para perampok yang mengganggu penduduk Jatikembar, Ratna Wulan meninggalkan dusun untuk pulang ke puncak, karena ia takut kalau-kalau ibunya akan merasa gelisah apabila malam hari itu ia tidak kembali. Penduduk Jatikembar yang merasa amat berterima kasih, mengantar dara perkasa itu sampai diluar dusun di mana mereka berdiri memandang sampai gadis itu lenyap di sebuah tikungan jalan.

Mereka kembali ke kampung sambil tiada hentinya membicarakan kegagahan dara itu. Di dalam pondok bambu di puncak Mahameru, Dara Lasmi duduk di atas pembaringan bambu. Rambutnya telah menjadi putih semua sungguhpun usianya belum tua benar. Akan tetapi, biarpun kepalanya telah penuh dengan uban, namun wajahnya masih nampak cantik dan belum ada keriput pada kulit mukanya itu. Bibirnya masih kelihatan merah dan sepasang matanya bahkan mengandung cahaya yang tenang berpengaruh.

Di hadapannya duduk Ratna Wulan yang menceritakan kepada ibunya akan gangguan perampok dikaki bukit sebelah timur itu dan dinyatakan pula niat hatinya untuk turun gunung dan membasmi perampok-perampok itu. Dara Lasmi mengerutkan kening dan berkata dengan suara sungguh-sungguh.

“Anakku Wulan. Kalau memang benar sebagaimana yang dituturkan oleh penduduk Jatikembar bahwa mereka itu adalah bekas pemberontak yang dipukul mundur oleh tentara Majapahit, kau sama sekali tak boleh mengganggu mereka, Wulan!”

Ratna Wulan memandang kepada ibunya dengan mata mengandung keheranan besar. Memang ia belum pernah diberitahu oleh ibunya tentang riwayat hidup ibu dan mendiang ayahnya.

“Mengapa begitu, ibu?” Pertanyaan yang singkat ini mengandung sebuah tuntutan yang tak disadari oleh dara itu, tuntutan kepada Dara Lasmi untuk menceritakan segala sesuatu mengenai riwayatnya.

“Anakku,” katanya setelah menarik napas panjang, “Agaknya telah tiba saatnya kini bagimu untuk mengetahui siapakah sebenarnya kita ini dan siapa pula mendiang ayahmu serta mengapa kita berdua sampai tinggal di atas puncak yang sunyi ini.”

Maka berceritalah Dara Lasmi tentang semua pengalaman semenjak suaminya tewas dalam peperangan akibat kecurangan Kartika. Ratna Wulan mendengar dengan amat tertarik. Ia merasa terharu dan juga marah sekali ketika mendengar betapa ayahnya tewas dalam cara yang amat mengecewakan dan betapa ibunya melarikan diri dalam keadaan yang amat sengsara.

“Demikianlah, Wulan. Kerajaan Majapahit dalam pengaruh jahat dari Bagawan Mahapati, dan selama bagawan itu masih berkuasa mempengaruhi Sang Prabu, maka pemberontakan akan timbul tiada hentinya. Mereka yang memberontak itu bukan semata-mata membenci raja. Kita takkan membenci keturunan Raden Wijaya atau Sang Prabu Kertarejasa, akan tetapi yang kita benci adalah bagawan jahat itu. Ketahuilah bahwa Kartika, jahanam besar yang menjadi musuh kita itu, bukan lain adalah murid terkasih dari Bagawan Mahapati. Oleh karena itu, tak dapat kubenarkan apabila kau membinasakan sisa-sisa pemberontak yang telah terpukul oleh tentara Majapahit, karena harus kau ingat bahwa mereka itu sebenarnya segolongan dengan kita. Bukankah ayahmu juga membantu Raden Nambi dari Lumajang, yang memberontak terhadap Majapahit pula? Mereka itu, sisa-sisa pemberontak itu, adalah kawan-kawan seperjuangan kita, Wulan!”

Semenjak tadi Ratna Wulan menahan-nahan amarahnya terhadap Kartika musuh besar ayahnya itu. Setelah ibunya selesai dengan penuturannya, ia berkata. “Ibu, kalau begitu, ijinkanlah anakmu turun gunung, pergi ke Majapahit dan membunuh keparat Kartika dan gurunya, pendeta palsu Mahapati itu!”

Mau tak mau ibunya hanya tersenyum juga mendengar ucapan anaknya ini. “Wulan, kau benar-benar seperti seorang anak kecil. Apa kau kira pekerjaan itu akan semudah kau mengucapkannya? Kartika adalah seorang panglima yang tangguh, dan Bagawan Mahapati adalah seorang yang sakti mandraguna, memiliki ilmu sihir dan segala macam ilmu hitam. Selain itu, ia mempunyai pengaruh dan kekuasaan yang amat besar di Kerajaan Majapahit sehingga andaikata ia mengangkat jari tangannya memberi isyarat, ribuan orang tentara Majapahit akan menyerbu dan menangkapmu sebelum kau sempat bergerak.”

Tertegunlah Ratna Wulan mendengar ucapan ibunya ini. Memang ia sama sekali belum tahu tentang siapakah sebenarnya musuh-musuhnya itu dan sampai bagaimana besar kedudukan mereka. Kini, mendengar ucapan ibunya, walaupun ia tidak merasa gentar, akan tetapi ia menjadi bingung juga. “Habis, bagaimana baiknya, ibu? Apakah dendam ayah itu harus dibiarkan saja?”

“Tidak demikian maksudku, Wulan. Dendam ini harus dibalas dan manusia berhati curang seperti Kartika harus ditumpas. Akan tetapi kita harus mencari jalan yang baik dan aman.”

“Kalau begitu, ibu. Aku harus pergi ke hutan randu tempat sisa pemberontak itu bersarang. Aku hendak mencari keterangan tentang keadaan Majapahit pada waktu sekarang dari mereka, dan akupun harus membuktikan sendiri apakah benar-benar mereka ini menjadi perampok-perampok sebagaimana yang dituturkan oleh penduduk Jatikembar. Karena, menurut pendapatku, betapapun juga keadaan mereka, dan siapapun juga mereka itu, pekerjaan merampok orang-orang kampung adalah perbuatan yang amat jahat dan harus dibasmi. Aku tidak rela membiarkan penduduk Mahameru diganggu, biar siapapun juga yang akan mengganggunya.”

Dara Lasmi tak dapat membantah kebenaran dalam kata-kata anaknya ini, dan diam-diam ia merasa girang karena dari ucapan iniia mendapat kesan bahwa Ratna Wulan memiliki kegagahan dan kesetiaan. Ia pun tidak merasa khawatir akan keselamatan anaknya karena maklum bahwa anaknya telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Ia menghela napas dan berkata dengan suara menyesal.

“Sayang kau seorang wanita, Wulan. Kalau saja kau seorang laki-laki, tentu kau akan dapat memimpin mereka itu untuk menyerbu Majapahit dan membalas dendam terhadap Kartika dan gurunya yang jahat.”

Ratna Wulan diam saja, akan tetapi ucapan ibunya ini merupakan api yang membakar hatinya yang membuat ia menjadi panas hati, gemas dan penasaran. Mengapa sesuatu yang hebat? Diam-diam ia berjanji kepada kepada diri sendiri untuk melakukan pekerjaan yang oleh kaum laki-laki saja. Akan tetapi mulutnya tidak menyatakan sesuatu oleh karena ia tidak ingin mendatangkan rasa khawatir dalam hati ibunya.

Akhirnya Dara Lasmi memberi perkenan juga kepada Ratna Wulan untuk menemui sisa pemberontak yang kini berada dikaki gunung sebelah timur. “Berhati-hatilah kau, Wulan, dan dalam sepak terjangmu ingatlah selalu akan segala wejangan Eyang Semeru, dan terutama sekali ingatlah bahwa ibumu selalu berdoa untuk keselamatanmu dan selalu menanti-nanti di puncak gunung ini.”

Setelah memeluk ibunya dengan mesra, Ratna Wulan lalu berangkat, meninggalkan puncak Mahameru, menuruni lereng sebelah timur yang belum pernah dituruninya karena ibunya selalu melarangnya turun di bagian itu. Larangan Dara Lasmi ini hanya untuk menjaga kalau-kalau anaknya bertemu dengan seorang dari Lumajang sehingga tempat persembunyiannya diketahui orang.

Lereng Mahameru bagian timur penuh dengan hutan-hutan liar yang belum penah dimasuki manusia. Penduduk-penduduk dusun sekitar tempat itu bahkan menganggap bahwa hutan-hutan di sekitar itu amat angker dan merupakan tempat-tempat berbahaya di mana orang dapat masuk tak dapat keluar kembali.

Akan tetapi, Ratna Wulan bahkan merasa gembira sekali ketika masuk ke dalam hutan-hutan ini karena pemandangan di situ jauh berbeda dengan pemandangan di bagian-bagian lain yang pernah didatanginya. Ketika Ratna Wulan sedang berjalan dengan cepat karena hutan randu yang ditujunya masih jauh, tiba-tiba dari balik pohon-pohon berlompatan keluar dua belas orang tinggi besar yang tampak liar dan ganas.

Mereka itu sebetulnya adalah perampok-perampok yang dahulu mengganggu Dara Lasmi dan dibuat tidak berdaya oleh Eyang Semeru. Mereka dipimpin oleh kepala rampok yang dulu, yang bernama Singa Pragalba (Singa Buas), laki-laki kasar yang dulu hampir saja mengganggu Dara Lasmi kalau tidak keburu datang Eyang Semeru yang mencegahnya.

Ratna Wulan berdiri dengan kedua kaki terpentang dan kedua tangan bertolak pinggang. Ia menyangka bahwa inilah orang-orang yang dimaksudkan oleh penduduk Jatikembar, dan disangkanya bahwa perampok-perampok ini telah keluar dari hutan dan sedang menuju ke dusun-dusun untuk mengacau. Melihat lagak mereka yang tersenyum-senyum menyeringai dengan pandangan mata kurang ajar, Ratna Wulan menjadi kecewa. Beginilah macamnya pemberontak-pemberontak yang oleh ibunya disebut kawan-kawan seperjuangan itu?

Singa Pragala melangkah maju menghadapi Ratna Wulan dan sepasang matanya yang merah itu memandang seakan-akan seekor singa yang kelaparan memandang kepada seekor domba muda yang gemuk!

“Eh, eh, manis!” katanya dengan suara parau sambil menyeringai sehingga nampak giginya yang besar-besar dan kuning. “Kau siapakah dan hendak pergi kemana? Mari kakang antar, dan lebih baik kakang gendong saja daripada kakimu yang halus itu menjadi sakit!”

Bukan main marah dan mendongkolnya hari Ratna Wulan mendengar ucapan yang kurang ajar ini, dan makin besarlah kekecewaaannya. Sungguh tak tahu malu! Perampok itu usianya sedikitnya setengah abad, dan menyebut diri sendiri kakang! Bangsat benar! Akan tetapi makian ini hanya dikeluarkan di dalam hatinya saja dan ia masih menyabarkan hati ketika bertanya.

“Kalian ini apakah pemberontak-pemberontak yang dipukul mundur oleh barisan Majapahit?”

Mendengar pertanyaan ini, dua belas orang perampok itu saling pandang dan kemudian pecahlah suara ketawa, seakan-akan ucapan Ratna Wulan itu terdengar amat lucunya.

“Ha-ha-ha, bidadari yang cantik manis! Kami adalah laki-laki sejati, jantan tulen yang menjagoi hutan sekitar tempat ini, dan bukan harimau yang menjadi raja hutan, melainkan aku, singa Pragalba dan sebelas orang anak buahku ini! Bagaimana kau menyangka kami pemberontak? Sudah lama aku Singa Pragalba hidup membujang belum mempunyai isteri, dan agaknya pantas sekali menjadi istriku. Ha, ha, ha!”

“Kakang Singa, dara jelita ini wajahnya mengingatkan aku kepada puteri yang ditolong oleh kakek tua itu!” tiba-tiba seorang diantara berkata.

Mendengar ucapan ini semua perampok memandang penuh perhatian dan Singa Pragalba sendiripun mengakui bahwa wajah dara ini benar-benar mirip dengan puteri yang dulu mereka ganggu.

“Benar, Reksamuka (Si Muka Beruang), memang dia mirip sekali. Akan tetapi yang ini lebih segar, lebih muda, dan lebih manis!”

“Patut benar menjadi bini kakang Singa!” kata seorang lain.

Sementara itu tanpa diketahui oleh perampok-perampok yang bodoh dan sial itu, wajah Ratna Wulan mulai berubah kemerah-merahan, sepasang matanya bersinar-sinar mengeluarkan cahaya panas. Tadinya ia merasa lega bahwa mereka ini bukanlah orang-orang yang oleh ibunya disebut kawan-kawan seperjuangan, dan ia hendak meninggalkan mereka begitu saja.

Akan tetapi, melihat sikap dan mendengar kekurangajaran mereka, timbulah amarah dalam hatinya dan ia takkan merasa puas sebelum memberi hajaran ke pada orang-orang liar ini. Ia pun maklum bahwa yang mereka bicarakan adalah ibunya, karena ibunya pernah menuturkan bahwa dulu ketika ibunya mulai mendaki Gunung Mahameru, ibunya diganggu oleh sekawanan perampok dan kemudian ditolong oleh gurunya.

Jadi inikah gerangan perampok-perampok jahanam yang pernah mengganggu ibunya. Mendapat kesempatan untuk membalas sakit hati ibunya dengan cara demikian mudah tanpa mencari musuh-musuhnya ini, Ratna Wulan menjadi demikian girang sehingga ia tertawa bergelak.

Kawanan perampok itu lagi-lagi saling pandang terheran-heran, karena bagaimanakah anak perawan ini demikian tabah sehingga menghadapi mereka ini sambil tertawa-tawa? Kalau saja anak gadis ini mejadi ketakutan, melarikan diri dengan wajah pucat dan menjerit-jerit, mereka akan mengalami kesenangan mengejar-ngejar gadis yang lari ketakutan itu, berlumba berdulu-duluan untuk menangkap dan memeluk tubuh muda itu.

Akan tetapi, gadis itu bukannya lari ketakutan dan menangis, bahkan berdiri dengan gagah, masih bertolak pinggang dan tertawa bergelak-gelak, seakan-akan tidak sedang berhadapan dengan dua belas orang perampok tinggi besar, akan tetapi menghadapi dua belas ekor tikus yang lucu-lucu saja.

“Eh, kunyuk-kunyuk bercelana!” Ratna Wulan memaki sambil menudingkan telunjuknya yang runcing kearah mereka. “Ingatkah kalian bahwa puteri yang kalian kejar-kejar dulu itu menggendong seorang anak perempuan? Nah, bukalah matamu lebar-lebar! Akulah anak itu yang sekarang datang hendak menuntut balas atas kekurangajaran dahulu terhadap ibuku...“

Terkejutlah para perampok itu, terkejut dan memandang kagum. Mereka bukan terkejut karena takut, akan tetapi terkejut dan kagum melihat betapa anak kecil dahulu itu kini telah menjadi seorang remaja puteri yang demikian cantiknya.

“Ha, ha, bagus sekali. Kakang Singa, kuntum yang dulu itu kini telah mekar menjadi kembang.”

Singa Pragalba menyeringai senang dan ia lalu maju menubruk dengan maksud memeluk Ratna Wulan sambil mendengus. “Manis, marilah ikut kakang!”

“Monyet tua! Hari ini adalah hari terkutuk bagi kau dan kawan-kawanmu!” seru Ratna Wulan sambil mengelak ke samping dan ketika tubuh kepala rampok itu memeluk angin, kaki kiri dara perkasa itu bergerak cepat menyerampang kedua kaki Singa Pragalba sehingga tentu saja tubuh yang tiba-tiba kakinya terangkat itu menjadi terguling, terdorong kedepan dan jatuh dengan hidung menyentuh tanah lebih dulu.

“Aduh biung!” Singa Pragalba berteriak dan ketika ia merangkak, hidungnya yang besar itu telah penyok dan berdarah karena mencium batu hitam.

Ratna Wulan tertawa geli. “Ha, ha, tak pantas kau bernama singa! Lebih baik ganti saja namamu dengan Kapi (Monyet) atau Sona (Anjing). Kau seperti monyet makan teletong (tai lembu)”

Biarpun merasa geli di dalam hati, namun anak-anak buah Singa Pragalda tak berani tertawa dan mereka memandang dengan mata terbelalak saking herannya. Ketua mereka adalah seorang yang terkenal kuat dan memiliki kepandaian berkelahi yang mereka kagumi, akan tetapi kini menghadapi dara itu, baru satu gebrakan saja telah berdarah hidungnya.

Sementara itu, Singa Pragalba menjadi amat marah. Ia melopat berdiri, mengeluarkan geraman seperti seekor serigala, lalu mencabut goloknya dan memberi komando kepada anak buahnya. “Serbu!” tangannya menuding kearah Ratna Wulan.

Anak buahnya lalu mencabut golok masing-masing karena untuk menghadapi dara perkasa itu dengan tangan kosong, mereka takut kalau mereka pun akan mengalami nasib seperti pemimpin mereka. Kemudian, sambil bersorak-sorak mereka menyerbu dan menyerang Ratna Wulan dari segala jurusan. Golok mereka yang tiap hari diasah itu berkilap-kilap terkena cahaya matahari dan diacungkan dengan sikap mengancam.

Akan tetapi Ratna Wulan tetap tenang dan sepasang matanya mengerling ke kanan kiri, sikapnya waspada sekali. Sebelum lawan-lawannya bergerak, ia telah mendahului mereka sambil berseru nyaring, “Awas! Terimalah pembagian hadiah dari Ratna Wulan!”

Seruan yang nyaring dan keras itu membuat para perampok itu untuk sedetik menahan gerakan mereka dan memandang dengan penuh perhatian. Akan tetapi, tiba-tiba tubuh gadis ditengah-tengah itu lenyap, berubah menjadi sinar yang menyambar-nyambar mereka. Demikian cepatnya gerakan kaki tangan Ratna Wulan dan luar biasa pula terjangannya sehingga sukarlah mengikuti gerakan tubuhnya dengan mata.

Segera terdengar jerit kesakitan susul-menyusul dan robohlah para perampok itu malang-melintang dan tumpang tindih. Inilah Ilmu Pukulan Liman Bramantya (Gajah Mengamuk Marah) yang dimainkan oleh Ratna Wulan dengan baik sekali. Tentu saja para perampok yang hanya terdiri mengandalkan tenaga otot itu tak dapat bertahan menghadapi ilmu pukulan yang hebat ini.

Mereka itu biasanya berkelahi mempergunakan tenaga, tanpa disertai kecerdikan otak. Sebentar saja dua belas orang itut telah rebah mengaduh-aduh, ada yang benjol-benjol kepalanya, bocor hidung dan mulutnya, biru hitam matanya, bahkan ada pula yang patah-patah tulangnya. Singa Pragalba sendiri untuk kedua kalinya terbanting sehingga kini pada jidatnya, tepat di tengah atas alisnya, nampak kulitnya benjol sebesar telur bebek yang berwarna biru.

Semua perampok merangkak dan menjauhkan diri dari dara perkasa itu yang mereka anggap telah mempergunakan ilmu sihir sehingga mereka menjadi ketakutan tidak berani maju lagi. Akan tetapi Singa Pragalba tidak mau menyerah begitu saja. Ia melompat bangun lagi dan sambil menuding kepada Ratna Wulan yang masih berdiri tersenyum-senyum sambil bertolak pinggang, ia berkata keras.

“Perawan keparat! Kau telah mengandalkan ilmu sihir untuk melawan kami. Kalau kau memang keturunan pendekar dan bukan seorang pengecut, pergunakan cara perkelahian yang jujur. Atau, kau tentu takut melawan aku tanpa mempergunakan ilmu sihirmu?”

Ratna Wulan tersenyum mengejek. “Pembalasanku tadi sebenarnya masih terlampau lunak, mengingat bahwa kalian hanyalah orang-orang kasar yang tak berotak, maka aku masih memberi ampun. Akan tetapi, tidak tahunya kau benar-benar seorang yang bermartabat rendah. Kau ingin berkelahi? Baik, baik! Memang dosamu telah terlalu banyak maka kau perlu mendapat hajaran yang lebih berat. Nah, bagaimana kau mau berkelahi? Menggunakan senjata atau bagaimana? Aku siap sedia menghadapimu dan jangan takut, aku takkan menggunakan ilmu sihir.”

Para anak buah Singa Pragalba maju mendekat lagi untuk menyaksikan perkelahian ini. Mereka mengharapkan agar pemimpin mereka akan dapat membekuk perawan yang telah membuat mereka merasa sakit-sakit seluruh tubuh itu, agar mereka dapat pula membalas dendam.

“Tak perlu aku mempergunakan senjata-senjata.” jawab Singa Pragalba, “Cukup dengan kedua tangan ini. Rasakan.pukulan!” Sambil berkata demikian, kepala rampok itu menyerbu sambil mengirim pukulan sebesar buah kelapa itu ke arah dada Ratna Wulan!

“Hm, tak tahu malu!” seru Ratna Wulan yang merasa marah sekali sambil menggeser kakinya ke belakang dan miringkan tubuhnya sehingga pukulan itu mengenai angin. “Lihat aku tidak mempergunaan kecepatan dan ilmu berkelahi yang baik!”

Singa Pragalba menjadi penasaran sekali dan kembali ia menyerang. Tingkahnya seperti seekor babi hutan yang menyeruduk saja, mengandalkan tenaga yang besar. Pukulan tangannya ini dengan mudah menghancukan sebutir kepala, maka kalau seandainya pukulannya itu mengenai tubuh Ratna Wulan, akan celakalah dara itu. Akan tetapi serangan Singa Pragalba bukan merupakan apa-apa bagi Ratna Wulan dan sampai lima kali ia dapat mengelak dengan amat mudahnya.

“Tangkislah pukulanku! “Teriak Singa Pragalba dengan amat marah dan penasaran. “Tangkislah kalau kau berani!”

Bibir Ratna Wulan yang tersenyum itu mengeras. Orang ini benar-benar tak tahu diri. Memang, siapakah yang takkan merasa penasaran? Menghadapi seorang remaja puteri yang mulai dewasa, seorang gadis yang berpinggang ramping dan bertubuh kecil lemah itu, masa seorang kepala perampok yang terkenal sampai kalah dan dipermainkan?

Hampir gila karena marahnya Singa Pragalba memikirkan hal ini. Sementara itu ia menyerang terus dengan pukulan bertubi-tubi sungguhpun pukulannya selalu mengenai angin, jangan kata dapat mengenai kulit tubuh lawannya, menyentuh ujung kembennyapun tak pernah!

“Kau ingin merasakan tangkisanku? Nah, rasakanlah!” Sambil berkata demikian, Ratna Wulan miringkan tubuhnya dan dengan jari-jari terbuka dan tangan dimiringkan, ia membabat kearah pergelangan tangan Singa Pragalba.

“Dukk!”
Terdengar suara ketika pergelangan lengan yang besar itu ditumbuk oleh tangan Ratna Wulan yang kecil dan berkulit halus.

Kalau tidak melihat sendiri, para perampok itu tentu takkan melihat pemimpin mereka berlutut sambil memegangi tangannya, lalu menjerit-jerit kesakitan. Pergelangan tangan kirinya yang dipakai memukul tadi telah lumpuh karena tulangnya retak! Namun, kepala rampok ini benar-benar bendel dan tidak mau menyerah dengan mudah. Tiba-tiba ia melompat dan tangan kanannya yang tidak terluka itu diulur merupakan cangkeraman yang menyerang pundak Ratna Wulan, agaknya ia hendak mencekik leher gadis itu.

Ratna Wulan terkejut dan menangkis. Akan tetapi, secepat kilat tangan kanan Singa Pragalba menangkap tangan gadis itu dan dengan geraman liar ia membentot tangan Ratna Wulan hendak memeluk tubuh dara perkasa itu. Akan tetapi, selagi para anak buah perampok merasa girang, tiba-tiba terjadilah hal yang aneh sekali. Entah bagaimana dara perkasa itu bergerak karena tahu-tahu tubuh Singa Pragalba yang tinggi besar itu mencelat dan terlempar jauh, jatuh di bawah sebatang pohon.

Kebetulan sekali di bawah pohon itu terdapat teletong (tai lembu) yang hitam dan masih empuk, bergunduk seperti bukit kecil. Tubuh Singa Pragalba jatuh dengan muka lebih dulu, tempat diatas teletong itu sehingga mukanya masuk ke dalam tai lembu itu.

Kini menggigilah tubuh para perampok itu dan mereka tidak merasa lucu ketika melihat betapa Singa Pragalba merangkak-rangkak bangun sambil membersihkan mukanya dari tai lembu dan terdengar ia merintih-rintih kesakitan.

“Nah, biarlah hukuman ini merupakan pelajaran bagi kalian!” kata Ratna Wulan. “Dan lain kali janganlah kalian memandang rendah kaum wanita! Kalau aku mendengar lagi tentang kekurangajaranmu terhadap wanita, awaslah! Ratna Wulan akan datang dan menghabiskan nyawa kalian!”

Setelah berkata demikian, sekali ia berkelebat dengan mengeluarkan Aji Kesaktian Marga Kenaka (Kijang Emas), tubuhnya melompat jauh dan lenyap di balik pohon-pohon, sehingga para perampok itu saling pandang dengan mata terbelalak dan mulut melongo, akhirnya mereka berlutut dan menyembah oleh karena mereka menduga bahwa gadis itu tentulah sebangsa peri dari kahyangan.

Menjelang senjakala, sampailah Ratna Wulan dihutan randu dikaki Mahameru sebelah timur itu. Hutan ini besar dan memang di situ tumbuh banyak sekali pohon-pohon randu alas di samping pohon-pohon raksasa lain. Dari luar, hutan itu nampak angker sekali, sehingga tidak sembarang orang berani memasukinya. Kadang-kadang terdengar auman harimau dan salak anjing serigala yang melolong-lolong mendirikan bulu tengkuk.

Tanpa ragu sedikitpun juga, Ratna Wulan memasuki hutan itu dan menuju ke tengah. Karena hutan itu amat rangkut (penuh tetumbuhan), maka kalau di luar hutan masih senja, di dalam hutan itu telah gelap sekali. Cahaya matahari siang sudah lemah itu hanya sedikit saja dapat menembus celah-celah daun pohon.

Tiba-tiba Ratna Wulan menahan langkahnya. Telinganya yang terlatih dan mempunyai tenaga yang lebih kuat daripada telinga orang biasa itu dapat mendengar suara orang-orang dari jauh yang hanya terdengar sebagai bisik-bisik saja diseling suara ketawa.

Bagi orang lain, tentu suara itu akan d isangka suara jin dan setan penghuninya hutan liar akan tetapi Ratna Wulan maklum bahwa itu adalah suara orang-orang bercakap-cakap yang menggema di dalam hutan. Ia lalu mengarahkan langkahnya ke jurusan suara-suara itu mendatang.

Tak lama kemudian tampaklah olehnya sinar terang dan ternyata bahwa di tempat terbuka karena pohon-pohonan agaknya telah di tebang, terdapat tiga api unggun besar menyala-nyala dan di sekitar api itu terdapat banyak orang laki-laki. Ada yang bercakap-cakap, ada yang bersendau gurau, bahkan ada yang sedang memanggang daging binatang hutan.

“Hm, inilah mereka!” kata Ratna Wulan dalam hatinya dan tanpa takut sedikitpun ia melangkah maju dengan cepat sehingga sebentar saja ia telah berdiri di dekat kelompok orang-orang yang jumlahnya kurang lebih tiga puluh orang itu.

Seorang di antara mereka, masih muda berusia dua puluhan, adalah orang pertama yang melihat kehadiran dara perkasa itu. Pemuda ini tiba-tiba menggigil seluruh tubuhnya dan dengan jari tangan menuding kearah Ratna Wulan yang disangkanya peri atau jin perempuan, ia berdiri dengan kedua kaki wel-welan (menggigil) dan mulutnya yang hendak berseru,

“Setan. Setan!” itu hanya dapat mengeluarkan suara, “Uuh.uuuuh...!”

Kawan-kawannya memandangnya dengan heran dan ketika mereka menengok, mereka heran dan juga terkejut sekali. Pada penglihatan pertama, semua orang juga timbul persangkaan bahwa yang berdiri dengan kedua kaki terpentang dan tangan bertolak pinggang itu tentulah sebangsa peri atau jin. Seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun dan agaknya berani dari kawannya, lalu bangkit berdiri dan melangkah maju, akan tetapi tidak sampai terlampau dekat dengan Ratna Wulan, lalu menegurnya.

“Siapakah di depan? Kalau manusia, datang darimana, siapa nama, dan apa maksud kedatanganmu? Kalau makhluk halus, harap pergi dan jangan mengganggu kami yang tidak mempunyai niat jahat!”

Ratna Wulan menjadi geli hatinya dan terasa lagi ia tersenyum. Mereka menahan napas ketika melihat senyum ini. Silau mata mereka melihat kecantikan wajah dengan senyumnya yang amat manis itu. Melihat pendangan mata mereka, timbul sifat kenakalan Ratna Wulan yang hendak mempermainkan mereka.

“Hai para pemberontak! Kalian menyatakan tidak berniat jahat, akan tetapi mengapa kalian mengganggu penduduk Mahameru dan merampok mereka?”

Benar saja, ucapan ini membuat tiga puluh lebih orang laki-laki itu menjadi gemetar dan ketakutan. Mereka tak syak lagi, wanita ini tentulah seorang peri dari Mahameru yang datang hendak menghukum mereka! Orang tua yang tadi menegur Ratna Wulan lalu berkata lagi setelah menjilat-jilat bibirnya yang terasa kering.

“Sang Mahadewi, kami terpaksa merampok karena kami harus makan. Mengandalkan hasil buruan saja tidak cukup untuk memberi ransum kepada kawan-kawan kami yang puluhan jumlahnya. Kalau kami tidak merampok hasil tani para penduduk, tentu kami akan mati kelaparan!”

Suara Ratna Wulan terdengar keras dan berpengaruh ketika ia berat dengan marah. “Pandir, lemah dan pengecut! Kalian menganggap diri sendiri ksatria-ksatria yang gagah, yang telah berani memberontak untuk menumbangkan kekuasaan jahat! Apakah tujuan dari pemberontak kalian itu? Bukanlah kalian bertujuan untuk membasmi kekuasaan jahat guna membela rakyat dari penindasan? Dan sekarang apakah yang kalian perbuat? Merampoki rakyat jelata malah! Tahukah kalian bahwa dengan alasan mencegah diri sendiri dari kelaparan kalian telah membuat penduduk Mahameru terancam bahaya kelaparan kalau padi dan hasil sawahnya kalian rampok? Inikah pahlawan-pahlawan perkasa? Memalukan sekali!”

Pada saat itu, semua orang memandang kepada Ratna Wulan dengan melongo, bahkan orang-orang yang tadi memanggang daging juga meninggalkan pekerjaannya sehingga daging yang terpanggang dan dibiarkan menjadi hangus dan asap bergulung-gulung.

Semenjak berangkat dari puncak gunung, Ratna Wulan belum makan apa-apa, maka kini mencium daging panggang, ia merasa lapar sekali. Kemarahan dan ucapan yang keras membuat perutnya terasa makin lapar saja, maka tanpa memperdulikan orang-orang yang berada disitu, ia lalu melangkah maju ketempat pemanggangan daging, dan membalik-balikkan daging yang dipanggang itu sampai matang benar.

Kemudian ia mulai makan daging tanpa melirik atau menawarkan kepada orang-orang yang masih berdiri dan mengawasi seluruh gerak-geriknya bagaikan patung. Melihat betapa “peri” itu makan daging panggang dengan enaknya, mereka mulai bisik-bisik.

“Ia suka daging panggang!” kata seorang.

“Ia bukan peri! Mana ada peri makan daging panggang!” terdengar suara lain.

“Mahkluk halus tak pernah makan.” kata suara ketiga.

“Dia orang biasa! Dia penipu!” kata orang lain dengan suara marah. Maka mulai beginilah orang-orang itu dan dengan hati geram mereka mulai bergerak mendekati Ratna Wulan.

Akan tetapi orang tua yang agaknya menjadi pemimpin itu berkata. “Jangan ganggu dia, biarkan dia makan lebih dahulu. Kasihan kelihatannya amat lapar!”

Sambil makan daging panggang, diam-diam Ratna Wulan mendengarkan semua percakapan ini dan ia merasa amat geli. Ia agak merasa amat puas melihat sikap mereka, karena tidak sekasar para perampok yang dihajarnya siang tadi. Bahkan didalam hati ia memaafkan perbuatan mereka yang telah merampok setelah mendengar alasan orangtua tadi. Mereka memang bodoh, akan tetapi kadaaan mereka patut dikasihani. Setelah selesai makan, Ratna Wulan memetik daun pisang bagian pupusnya (daun muda) untuk membersihkan bibir, kemudian ia berdiri untuk menghadapi mereka.

“Setidaknya aku berterima kasih untuk daging yang baru saja kumakan tadi.” katanya.

Kini mereka menghadapinya dengan marah. Orangtua itu berkata sambil tersenyum, karena ternyata ia adalah seorang penyabar. “Nini, jangan kau mencoba untuk menipu kami. Kau bukanlah seorang peri, akan tetapi seorang gadis biasa. Sebetulnya siapakah kau dan mengapa kau seorang remaja puteri seorang diri datang dihutan belukar pada malam hari?”

Ratna Wulan tersenyum manis. “Siapakah yang menipu kalian dan siapa pula yang mengaku menjadi peri siluman? Kalian sendirilah yang bodoh dan tahyul, menganggap aku sebagai peri! Aku adalah seorang biasa dan kedatanganku ini untuk menghentikan kesesatan kalian yang telah berani menganggu penduduk Gunung Mahameru!”

Mendengar pengakuan bahwa dara ini bukanlah seorang peri, kembalilah keberanian semua orang. Dan kini mereka terheran-heran mendengar pernyataan Ratna Wulan yang hendak melarang mereka! Timbul geli dalam hati mereka, bahkan seorang di antara mereka yang tinggi besar lalu melangkah maju dan bertanya dengan suara mengejek.

“Nona manis, ucapanmu sombong sekali! Dengan jalan apakah engkau hendak menghentikan Perbuatan kami?”

“Mungkin dengan senyumnya yang manis!” terdengar seorang mengejek.

“Lirikan mata yang tajam memikat memang dapat melumpuhkan semangat kita!” seru seorang lain.

“Kalau dia menjadi punyaku, disuruh apapun juga saya akan rela!” kata pula seorang lain yang agak Kurang ajar.

Akan tetapi jawaban dara itu benar-benar membuat semua orang tertegun, karena dengan sikap tenang dan suara keren. Ratna Wulan berkata. “Aku akan menghentikan kesesatan kalian dengan jalan melarang kalian melakukan perampokan kepada orang-orang dusun!”

Untuk beberapa lama semua orang terdiam karena suara ini biarpun halus dan merdu, namun amat berpengaruh dan mengejutkan. Akan tetapi, hal itu hanya berlangsung sebentar, karena segera meledaklah suara ketawa mereka. Bahkan orang tua yang sabar itupun tersenyum geli melihat kecongkakan gadis ini.

“Nini,” katanya sambil menahan senyum, “kau benar-benar gagah berani. Akan tetapi, kau adalah seorang gadis lemah lembut dan cantik jelita, tak kalah oleh puteri-puteri Majapahit. Sedangkan kami adalah orang-orang kasar, perajurit-perajurit yang tangkas dan kuat. Dengan cara bagaimanakah kau dapat melarang kami?”

Semua orang terdiam sambil tersenyum dan memperhatikan dara itu karena ingin sekali mereka mendengar jawabannya.

“Aku melarang kalian mengganggu penduduk di sini, dan dengan cara apa saja yang akan kalian kehendaki. Dengan cara halus, aku hanya memberi nasihat dan peringatan saja, akan tetapi andaikata kalian menghendaki cara kasar, suruhlah maju orang yang terkuat di antara kalian untuk melawanku mengadu ketangkasan dan kegagahan!”

Orang yang tinggi besar tadi lalu melangkah maju dan mengangkat dadanya yang membusung ke depan. Ia memang nampak kuat sekali dan seluruh tubuhnya dilingkari otot-otot yang menonjol keluar dibawah kulitnya. Ia terkenal sebagai jagoan di antara rombongan orang itu dan namanya adalah Bejo...
Selanjutnya,

Dyah Ratna Wulan Jilid 02

Dyah Ratna Wulan

Karya : Kho Ping
Cerita Silat Indonesia Karya Kho Ping Hoo
Jilid 02
PERCUMA saja binatang itu hendak menyembunyikan dirinya, karena sepasang mata dara itu yang amat tajam dan terlatih, selalu dapat mengikutinya. Pada saat yang amat baik, ketika binatang itu hendak berlari lagi keluar dari serumpun alang-alang, Ratna Wulan cepat mengambil gendewa dan anak panahnya.

Dengan amat cekatan tanpa memandangnya lagi, tangannya bergerak memasang anak panah dan “ser!” sebatang anak panah meluncur merupakan sinar keputihan dan dengan tepat anak panah itu menembus jantung binatang itu yang roboh tanpa dapat bergerak atau mengeluarkan suara lagi karenaia mati pada saat anak panah menancap dan menembus jantungnya.

Bukan main girangnya hati Ratna Wulan karena hasil ini.Ia menyimpan gendewa dan anak panahnya, lalu berlari-lari menghampiri rusa yang menggeletak tak bernyawa itu. Kegirangannya membuat ia berlaku kurang waspada dan tidak melihat bahwa diatas cabang pohon lo di dekat rusa itu, terdapat seekor macan tutul sedang mengintai dengan mulut meringis.

Tadinya macan tutul itu hendak menyerang rusa dan menjadikan rusa itu sebagai pengenyang perutnya yang lapar, akan tetapi ketika ia melihat Ratna Wulan berlari mendekat, perhatiannya beralih kepada mangsa yang masih hidup ini.

Ratna Wulan membungkuk dan hendak mencabut anak panahnya yang menancap di dada rusa, dan pada saat itulah harimau tutul itu menggereng dengan suara yang amat dahsyat. Ratna Wulan terkejut dan baru ia tahu bahwa di atasnya ada seekor macan tutul yang kelaparan, akan tetapi terlambat karena pada saat itu, binatang buas tadi telah menubruk turun dengan kaki depannya mengulur cakar dan mulut terpentang lebar.

Akan tetapi, tidak percuma Ratna Wulan mendapat gemblengan bertahun-tahun dari Panembahan Mahendraguna dan ia hanya akan memalukan nama Eyang Semeru apabila ia menyerah kalah terhadap serangan hanya seekor macan tutul saja! Biarpun tubuhnya masih membungkuk dan sedang berada dalam posisi yang kurang baik dan sama sekali tidak kuat, namun ketabahan dan ketenangannya banyak menolongnya.

Dengan amat sigapnya, ia menjatuhkan diri ke kiri dan bergulingan cepat bagaikan seekor trenggiling sehingga tubrukan macan tutul itu mengenai tempat kosong. Ketika macan itu sambil menggereng marah membalikkan tubuhnya, dara perkasa itu telah berdiri dengan gagah memasang kuda-kuda dan siap menghadapinya.

“Binatang curang!” ia memaki sambil tersenyum mengejek. “Kalau kau memang berani, seranglah ke depan, jangan mempergunakan kesempatan selagi orang lengah kau menubruk.”

Belum habis ucapannya ini dikeluarkan macan tutul yang tidak mengerti ucapan dara itu, telah menggeram dan menubruk kembali. Akan tetapi kali ini dengan gerakan amat indah serta gesitnya, Ratna Wulan mengelak ke kanan dan ketika tubuh macan tutul itu menyambar lewat ia memutar kakinya dan memberi hadiah berupa dupakan ke arah pantat binatang itu sehingga macan itu terdorong maju dan terjungkal ke depan. Ratna Wulan tertawa geli, sedangkan macan itu cepat bangun pula.

Ia tidak segera menyerang, akan tetapi menggereng perlahan, mulutnya ditarik meringis seakan-akan memperlihatkan keruncingan siungnya kepada lawan. Kedua kaki depannya menggaruk-garuk tanah sehingga tidak saja rumput-rumput menjadi jebol karena kuku-kukunya yang menggaruk kuat, bahkan batu-batu kecil juga ikut tergali ke luar! Ia seakan-akan hendak memperlihatkan betapa kuatnya kuku-kukunya.

Tubuhnya direndahkan sehingga perutnya yang kempis itu menyentuh tanah, seluruh urat kakinya tegang siap untuk menubruk kembali. Bagi orang lain, lebih-lebih wanita, baru melihat siung dan gigi yang runcing dan tajam serta cakar yang ganas dan kuat itu, tentu ia akan menggigil karena merasa ngeri dan takut. Akan tetapi Ratna Wulan bahkan tertawa geli dan berkata seakan-akan lawannya seorang manusia yang mengerti kata-katanya.

“Macan busuk! Kau mempunyai benda-benda runcing, apa kau kira akupun tidak mempunyai itu? Kau lihat ini!”

Sambil, sekali tangan kanannya bergerak, maka keris pusaka Kyai Banaspati yang selalu terselip di pinggangnya kini telah berada di tangannya! Aneh sekali, entah karena keampuhan Kyai Banaspati, keris pusaka pemberian Eyang Semeru itu, atau karena ketegangan gadis itu yang amat ganjil bagi si macan tutul, akan tetapi buktinya binatang ini seperti merasa ragu-ragu untuk melanjutkan serangannya. Sampai lama ia mendekam saja, menggereng perlahan dan bahkan tubuhnya lalu bergerak mundur perlahan sekali!

“He, binatang pengecut! Apakah kau patut disebut raja hutan?” Ratna Wulan mengejek dan ia memandang sebuah batu yang berada di depannya ke arah macan tutul itu.

Macan tutul itu menggerung kesakitan dan dengan kaki depan serta mulutnya, ia mencoba untuk mencakar atau menggigit buntutnya yang telah hilang sehingga tubunya berputar-putar seperti baling-baling. Kemudian, dengan amarah meluap-luap ia menerjang lagi.

Kini tidak dengan melompat ke atas, hanya langsung menerjang ke depan, tubuhnya diluruskan dan dipanjangkan. Dua buah kaki depannya mencakar kearah tubuh Ratna Wulan. Serangan ini diganda tertawa saja oleh dara pendekar itu yang lalu melompat keatas melalui tubuh harimau sambil berseru.

“Awas telingamu!” Dan ketika ia menggerakkan kerisnya, maka terbabat putuslah telinga kiri harimau itu!

Kembali macan tutul itu menggerung-gerung kesakitan dan darah mengucur dari kepalanya yang kini tinggal bertelinga satu itu. Ia memandang kepala lawannya dengan marah dan kepalanya digerakkan ke kanan kiri karena terasa amat perih dan sakit.

“Bagaimana, kucing dapur! Masih belum puaskah? Awas, kali ini kedua matamu hendak ku ambil!”

Akan tetap agaknya macan itu telah puas dan kapok. Buktinya, tanpa pamit lebih dahulu ia lalu membalikkan tubuhnya dan melarikan diri secepat mungkin dengan terhuyung-huyung karena tanpa buntut, ia kehilangan keseimbangan tubuhnya dan telinganya yang tinggal satu itu membuat kepalanya terasa berat sebelah.

Ratna Wulan tertawa bergelak dengan hati geli. Ia menyimpan kembali kerisnya didalam warangka dan sambil tersenyum ia memungut telinga dan buntut macan tadi, dibawanya ke tempat rusa yang menjadi korban anak panahnya.

Pada saat itu, munculah belasan orang dusun Jatikembar. Ada yang membawa arit, ada yang membawa tombak, kapak, linggis dan bahkan ada yang membawa pacul. Seorang yang berubah gemuk bahkan membawa sebatang alu yang potongannya seperti tubuhnya sendiri. Beramai-ramai mereka menuju ketempat itu dan ketika melhat Ratna Wulan, mereka segera maju menghampiri dengan wajah nampak girang.

“Eh, eh, paman-paman sekalian ini hendak kemanakah?” Tanya Ratna Wulan sambil memandang heran.

Seorang tua yang memegang tombak, yaitu Pak Ganjar yang dianggap sebagai kepala dusun Jatikembar, menarik napas panjang dan menjawab, “Ah, baiknya ada kau di sini, jeng Wulan.”

Memang Ratna Wulan disebut Raden Ajeng Ratnwulan yang disingkat jeng Wulan saja, karena sungguhpun Dara Lasmi tak pernah menceritakan pada orang lain bahwa ia adalah isteri seorang senopati, namun keadaan dan sifat-sifat Dara Lasmi dan Ratna Wulan membuat semua orang dusun menduga bahwa mereka tentu berdarah bangsawan.

“Ada apakah, Paman Ganjar? Agaknya kalian hendak berangkat perang?”

“Sebenarnya kami sedang dalam keadaan gelisah, bagaikan seekor burung yang baru saja terhindar dari bahaya maut sebatang anak panah sehingga apa saja yang kami dengar menimbulkan rasa takut. Tadi kami sedang berkumpul dan marundingkan sesuatu yang amat penting, yaitu tentang bahaya yang mengancam dusun kami, tiba-tiba kami mendengar auman macan tutul sehingga dengan gugup dan ketakutan kami lalu mengambil senjata seadanya untuk menuju ketempat ini. Tak tahunya kau yang beradadi sini dengan seekor rusa yang telah kau panah mati. Heran sekali, dimanakah adanya macan tutul yang tadi kami dengar suaranya?”

Sambil tersenyum manis Ratna Wulan menjawab, “Macan tutul? Ah, ia telah melarikan diri, paman. Ia memang berada di sini tadi, akan tetapi setelah menyatakan takluk kepadaku dan memberi tanda mata buntut dan kupingnya, ia lalu pergi.”

Sambil berkata demikian Ratna Wulan lalu mengeluarkan buntut dan kuping macan tutul yang terbabat putus oleh kerisnya tadi. Semua orang menjadi bengong mendengar betapa seekor macan tutul yang ganas dapat menyatakan takluk dan bahkan memberi tanda mata berupa buntut dan telinga, akan tetapi setelah mereka melihat buntut dan telinga yang berdarah itu, bersoraklah mereka dengan girang dan kagum. Mereka dapat menduga bahwa dara perkasa ini tentu telah mempermainkan macan itu sehingga buntut dan telinganya terpotong.

“Kau tadi menyatakan tentang adanya bahaya yang mengancam kampungmu, Paman Ganjar. Sebetulnya apakah yang telah terjadi?”

Pak Ganjar menarik napas berulang-ulang, kemudian ia menuturkan dengan suara berat. “Bencana telah menimpa kepada kami, jeng Wulan. Bukan itu saja, yang mengelisahkan kami adalah bahaya yang mengancam keselamatan penduduk sekitar Mahameru ini. Beberapa hari yang lalu, beberapa orang kawan kami yang membawa hasil hutan ke kaki bukit sebelah timur, telah bertemu dengan segerombongan perampok yang katanya berasal dari para pelarian dari Majapahit, yaitu sisa para pemberontak yang telah dipukul hancur oleh barisan Majapahit. Mereka itu tidak saja merampok habis kawan-kawan kami itu, bahkan menyatakan hendak menyerbu dan merampok habis dusun di sekitar gunung dan hendak memaksa kami memberi runsum kepada mereka.”

Ratna Wulan menjadi marah mendengar ini sehingga alisnya terangkat naik. “Hmm, di manakah adanya perampok-perampok jahanam itu?”

“Mereka bersarang di hutan randu di kaki gunung sebelah timur, jeng Wulan,” kata Pak Ganjar. “Akan tetapi bukan itu saja bahaya yang menimpa kami. Ketika kawan-kawan kami pulang dengan tangan kosong karena sudah diberendiil oleh perampok-perampok itu, di dalam hutan cemara tiba-tiba mereka di serang ular raksasa sehingga seorang di antara kawan kami itu ditelan habis. Ah, entah dosa apa yang telah kami dan mendatangkan malapetaka ini.”

Semua orang dusuni tu menundukkan kepala dan nampak sedih sekali. Kemarahan Ratna Wulan bertambah dan ia berkata,

“Keparat benar ular itu. Mari, tunjukkan aku ke hutan cemara, hendak kulihat sampai di mana kekurangajaran ular itu!”

“Akan tetapi, jeng Wulan. Ular itu benar-benar besar sekali!” kata seorang di antara mereka. “Aku sendiri ikut dalam rombongan itu dan ketika kami berlima sedang membicarakan kesialan kami yang telah dirampok habis-habisan, tiba-tiba kami mendengar desis hebat dari atas pohon cemara dan baru saja kami menengok ke atas, dari atas menyambar turun kepala ular itu yang besarnya segentong. Dengan kaki mengigil kami melarikan diri, akan tetapi seorang kawan kami itu ditelannya bulat-bulat berikut seluruh pakaiannya, semua masuk ke dalam mulut yang sebesar gua itu. Ketika aku menengok, bukan main! Tubuh ular itu besarnya sama dengan gelugu (batang pohon kelapa)!”

Semua orang menjadi pucat mendengar ini, sungguhpun orang itu pernah bercerita sampai berkali-kali kepada mereka. Tiap kali mendengar cerita ini kembali mereka menjadi ketakutan dan ngeri.

Akan tetapi, tanpa gentar sedikitpun Ratna Wulan berkata. “Aku akan membinasakannya! Bawalah aku kesana,atau kalau kalian takut tunjukkan saja di mana tempat ular itu.”

Timbulah semangat Pak Ganjar menyaksikan sikap gagah ini walaupun ia masih merasa ragu-ragu ketika bertanya, “Akan tetapi, jeng Wulan. Binatang itu demikian berbahaya, bagaimana kalau sampai terjadi sesuatu dengan kau? Kami takut akan mendapat marah dari Eyang Semeru.”

“Jangan takut! Sebaliknya kalau kalian tidak mau memberitahukan dan aku tidak mau menolong, beliau akan marah kepadaku, juga kepada kalian. Kalau sampai terjadi sesuatu, biarlah kutanggung sendiri.”

“Baik, kalau begitu kami akan mengantarmu ke tempat itu, jeng Wulan! Hayo, siapa yang berani mengantar?” kata kepala dusun itu dengan gagah.

Ternyata semangat orang tua ini menular kepada semua orang dan di antara belasan orang itu, Tidak ada seorang pun yang tidak mau mengantar, semua hendak ikut dan hendak menyaksikan betapa dara perkasa itu membinasakan ular!

“Akan tetapi, rusa ini harus dibawa ke dusun Jatikembar lebih dulu, kalau tidak segera dirawat akan rusak,” kata Ratna Wulan.

Demikianlah, beramai-ramai para penduduk Jatikembar itu mengiringkan Ratna Wulan memasuki dusun Jatikembar sambil memikul rusa yang besar itu. Mereka berseri-seri bangga seakan-akan rusa yang dipikulnya itu adalah hasil buruan mereka! Kegirangan ini bukan tak beralasan, oleh karena seperti biasa, gadis pendekar itu hanya makan sedikit bagian saja, sedangkan selebihnya akan dibagi-bagi dengan adil!

Riuhlah seluruh penduduk Jatikembar, tua-muda laki-perempuan, menyambut kedatangan dara perkasa itu. Rusa itu lalu dikuliti, dan beberapa orang wanita sibuk memasak hati dan buntut rusa karena mereka maklum bahwa hanya itulah kegemaran Ratna Wulan. Tak lama kemudian, hati dan buntut rusa yang telah masak mengebul harum dihidangkan kepada Ratna Wulan yang segera memakannya dengan enak sebagai teman nasi pulen.

Setelah dara perkasa itu selesai makan, ia lalu minta diantar ke hutan cemara di mana terdapat ular besar itu. Kini yang mengantarnya terdiri dari orang-orang bersenjata parang, tombak dan keris sebanyak duapuluh orang. Mereka berjalan mengiringkan Ratna Wulan yang berjalan bersama Pak Ganjar, kakek yang sudah lanjut usianya akan tetapi masih bersemangat. Semua orang berbaris dengan langkah gagah, seakan-akan sepasukan perajurit yang berangkat perang dipimpin oleh seorang panglima yang gagah perkasa. Akan tetapi, ketika mereka telah tiba di luar hutan cemara, lenyaplah sebagian besar kegagahan mereka. Bahkan Pak Ganjar sendiri yang paling berani kini berjalan di belakang Ratna Wulan, tidak seperti tadi selalu di samping gadis pendekar itu.

“Di sanalah tempatnya, melalui tanjakan itu membelok ke kiri,” kata seorang diantara mereka, kawan si korban ular.

Tiba-tiba mereka mendengar suara yang menyeramkan menggema di hutan. Suara ini seperti bunyi burung gagak yang menggoak dengan suara parau dan keras, akan tetapi suara ini lebih besar dan lebih parau. Suara itu berbunyi berulang-ulang sampai delapan kali dan tiap kalinya mendatangkan gema dan membuat bulu tengkuk semua orang meremang.

“Suara apakah itu?” Tanya Ratna Wulan penuh perhatian.

“Itulah suaranya, jeng Wulan!” bisik Pak Ganjar. “Aku tahu benar, ular yang besar memang dapat menggoak seperti gagak. Dan menilik dari suaranya tadi, ia tentu amat besar.” Suara kepala kampung ini gemetar karena ia menahan rasa takutnya.

“Hmm, kalau begitu, biarlah aku maju sendiri dan kalian berani mendekat, boleh mengikuti di belakangku, akan tetapi jangan terlalu dekat.”

Dengan langkah gagah dan sedikitpun tidak ragu-ragu atau jerih, Ratna Wulan menuju ke tanjakan itu, kemudian ia membelok ke kiri. Para pengikutnya yang berjumlah duapuluh orang itu saling pandang. Untuk beberapa lama mereka tidak bergerak maupun bersuara, bahkan bernapas pun mereka tahan-tahan. Mata mereka ditujukan kepada Ratna Wulan sampai gadis itu lenyap dalam tikungan tanjakan.

“Aku mau ikut, jeng Wulan!” tiba-tiba Pak Ganjar berbisik perlahan, akan tetapi gagah. Kemudian dengan dada berdebar keras, kakek ini melangkah maju, mendaki tanjakan, dengan tombaknya terpegang erat-erat ditangan kanan.

Perbuatan ini mendatangkan ketabahan dalam hati semua orang dan kini semua orang melangkah maju perlahan mendaki tanjakan, di belakang Pak Ganjar. Ketika Ratnwulan tiba di bawah pohon cemara yang tinggi dari mana suara menggoak tadi terdengar, ia tertegun juga melihat seekor ular yang membelitkan tubuhnya pada cabang pohon itu dengan kepala bersembunyi di balik daun cemara.

Tubuh ular itu tidak sebesar yang diceritakan oleh orang tadi, dan hanya dibagian perutnya saja yang benar-benar sebesar pohon kelapa karena agaknya di situlah terletak mayat orang yang telah ditelannya, akan tetapi bagian tubuhnya yang lain tidak sebesar itu. Kulitnya berwarna coklat kekuning-kuningan dengan kembang-kembang hitam melingkar-lingkar. Inilah semacam Ular Sanca Kembang yang jarang ditemukan orang dan sungguhpun penuturan orang tadi agak dilebih-lebihkan, akan tetapi Ratna Wulan harus mengaku bahwa belum pernah ia melihat ular sebesar itu.

Ular itu membelit cabang terendah dan melihat panjangnya tubuh ular itu, bisa jadi kepalanya menyentuh tanah apabila ia menggantungkan tubuhnya sambil mempergunakan ekornya untuk melilit cabang dan menahan tubuhnya. Tadinya Ratna Wulan merasa sayang untuk membinasakan binatang yang indah warna kulitnya ini, akan tetapi ketika pandang matanya tertuju kearah perut yang gembung itu, ia teringat akan korban manusia yang telah ditelan olehular itu, maka kemarahannya timbul kembali.

“Ah, paman-paman petani itu terlalu penakut.” pikirnya, “Apakah susahnya membinasakan ular itu? Dengan sebatang anak panah pun ia akan dapat dibinasakan.”

Setelah berpikir demikian, ia mencabut sebatang anak panah, menurunkan gendewanya, memasang anak panahnya dan bagaikan Srikandi melepaskan panah pusakanya, ia membidik dan menarik tali gendewanya. “ser!” Sebatang anak panah meluncur cepat ke atas dan tepat mengenai bagian tubuh ular yang menjadi sasaran bidikan Ratna Wulan, yaitu di dekat leher.

Akan tetapi, alangkah terkejut dan herannya hati Ratna Wulan ketika menyaksikan betapa anak panahnya itu tidak menembus kulit ular sebagaimana yang ia duga, akan tetapi anak panahnya itu meleset dan menancap pada cabang pohon itu. Ternyata bahwa kulit ular itu amat keras dan licin sehingga anak panahnya tidak mempan dan meleset. Akan tetapi, serangan anak panah itu cukup mengagetkan binatang itu, oleh karena tiba-tiba tubuh ular itu bergerak dan kini kepalanya muncul dari balik daun-daun cemara.

Bukan main hebatnya kepala ular itu. Sungguhpun tidak sebesar gentong sebagaimana yang diceritakan oleh orang besar dan yang mengerikan adalah mulut dan matanya. Mulutnya lebar dan berwarna merah, lidahnya terjulur keluar dan siungnya nampak putih dan runcing. Sepasang matanya melotot dan menjijikkan sekali.

Ratna Wulan merasa marah dan penasaran melihat betapa anak panahnya yang pertama tadi gagal. Ia mendengar seruan tertahan dari para pengikutnya yang telah berada di tempat jauh di belakangnya. Agaknya orang-orang itu melihat pula betapa anak panahnya tak berhasil maka dara perkasa ini menjadi malu dan gemas. Dengan cepat dipasangnya sebatang anak panah lagi dan setelah membidik kearah kepala ular itu.

Ia menarik lagi gendewa dan begitu dilepas, meluncurlah anak panah itu menyambar kepala ular. Kepala ular itu bergerak sedikit akan tetapi ia kalah cepat dari panah itu sehingga karena ia menarik kepalanya, maka anak panah yang tadinya mengarah mulutnya itu, kini tepat mengenai tengah mulutnya itu, kini tepat mengenai tengah-tengah kepalanya, diatas kedua matanya.

Kali ini Ratna Wulan benar-benar tercengang. Ketika anak panahnya dengan tepat sekali menusuk kepala ular itu, terdengar bunyi “Tak!” dan anak panahnya jatuh ke bawah menjadi dua potong. Demikian keras dan kuat kepala ular itu sehingga tak saja kepala itu tidak terluka oleh anak panah, bahkan anak panahnya putus menjadi dua.

Semua penduduk Jatikembar yang berada di situ, menjadi pucat melihat hal ini. Mereka tidak terasa lagi mundur beberapa tindak, bahkan Pak Ganjar segera bertindak.

“Jeng Wulan.! Larilah saja, ular itu terlalu sakti!”

Orang-orang lain berseru, “Ular siluman.!”

Bahkan ada beberapa orang yang menjatuhkan diri berlutut dan menyembah meminta ampun. Tadinya ketika melihat betapa anak panahnya yang kedua tidak berhasil bahkan patah, Ratna Wulan menjadi terkejut dan kesima, akan tetapi jangan sekali-kali mengira bahwa ia menjadi takut atau gentar. Tidak! Dara perkasa Diah Ratna Wulan tidak merasa takut. Kini, ketika mendengar seruan Pak Ganjar dan ketika ia menengok melihat wajah mereka pucat ketakutan, amarahnya timbul dan ia memandang kepada ular itu dengan mata bernyala.

“Kau ular siluman? Baik, turunlah siluman busuk! Turunlah dan terima kebinasaanmu!” Sambil berkata demikian, ia melemparkan gendewanya ke atas tanah dan mencabut Kyai Banaspati, berdiri memandang ke atas dengan sikap gagah!

“Jeng Wulan. jangan...!” masih terdengar seruan Pak Ganjar.

Akan tetapi Ratna Wulan sama sekali tidak memperdulikannya dan pada saat itu, ular yang merasa kepalanya sakit tertumbuk anak panah yang kencang sekali jalan itu, tiba-tiba menyambar ke bawah. Dengan melilitkan ujung ekornya pada cabang pohon, kepalanya menyambar dengan mulut terbuka lebar ke arah Ratna Wulan!

Gadis itu cepat melompat ke samping, menghindarkan diri dari sambaran kepala ular. Ia belum sempat mengerjakan kerisnya oleh karena gerakan ular itu cepat sekali, dari atas menyambar ke bawah. Setelah sambaran pertama gagal, kepala itu terayun-ayun dan menyambar-nyambar dari kanan ke kiri dengan amat cepatnya. Mulutnya mendesis-desis dan mengeluarkan bau amis sekali.

Akan tetapi Ratna Wulan terlampau cepat baginya dan biarpun berkali-kali ia menyerang, selalu gadis ini dapat melompat ke samping dan mengelak dengan baik sekali. Bahkan, pada sambaran kelima kalinya, Ratna Wulan yang telah mempelajari gerakan ular itu, cepat mengejar dan menusuk dengan kerisnya. Ia merasa betapa kulit ular itu benar-benar keras dan licin sekali sehingga kerisnya Kyai Banaspati juga meleset!

Ia maklum bahwa klit ular itu mengeluarkan lender yang membuat kulit itu amat licin, maka makin gemaslah Ratna Wulan. Ketika untuk ke enam kalinya ular itu menyerangnya dengan mulut terbuka lebar dan lidah terjulur keluar, ia tidak mengelak sambil melompat seperti tadi, akan tetapi dengan amat beraninya ia hanya menggeser kakinya dan miringkan tubuh, kemudian secepat kilat kerisnya menyambar kearah lidah ular yang dijulurkan keluar!

“Cep!” dan keris itu dengan ganasnya membabat lidah itu sehingga putus. Ular ini ketika tadi ditusuk oleh Kyai Banaspati, sungguhpun tidak terluka, akan tetapi daya keampuhannya keris itu membuat kulitnya terasa panas bagaikan terbakar, maka ia menjadi marah sekali. Dan kini lidahnya terpotong oleh keris pusaka itu! Terdengar suara menggoak yang menyeramkan sekali dan ia lalu melepaskan belitan ekornya sehingga tubuhnya yang panjang itu kini jatuh menimpa Ratna Wulan!

Pak Ganjar dan kawan-kawannya yang semenjak tadi menyaksikan pertempuran hebat itu dengan hati penuh kengerian dan menahan napas, kini menjadi makin gelisah. Mereka menjerit ketakutan ketika melihat betapa dengan kecepatan luar biasa, ular itu tadi dapat menyapu tubuh Ratna Wulan dengan ekornya, sungguhpun gadis itu tadi dapat mengelak dari terkaman tubuh ular. Bukan main hebatnya sabetan ekor itu, kekuatannya ratusan kali.

Pohon cemara pun akan roboh kalau disabet oleh ekor itu. Ratna Wulan terkena sabetan pada pinggangnya dan tubuh dara perkasa itu terbanting ke atas tanah! Kalau lain orang yang terkena sabetan ini, tentu tulang pinggangnya akan patah-patah. Akan tetapi, Ratna Wulan hanya terlempar dan jatuh saja, sama sekali tidak menderita luka, karena ia telah mempergunakan aji kesaktiannya Liman Murni (Tubuh Gajah), sehingga ekor ular itu seakan-akan menyabet seekor gajah yang berat dan kuat, maka tentu saja tak berdaya merusakkannya.

Apalagi Ratna Wulan memang telah mempelajari ilmu kekebalan dan tubuhnya telah “Berisi” aji kesaktian wejangan Panembahan Mahendraguna. Lagi pula, keris Kyai Banaspati bukanlah senjata biasa dan amatlah ampuhnya, maka senjata pusaka inipun mendatangkan pengaruh dan kekuatan yang mujijat.

Orang-orang yang menyaksikan betapa dara perkasa itu terlempar, telah mengeluh dan menjadi gelisah, akan tetapi hampir saja mereka bersorak girang ketika melihat betapa dengan cekatan sekali bagaikan bajing melompat, Ratna Wulan telah melompat kembali. Bibirnya masih tersenyum-senyum sungguhpun sepasang matanya menyinarkan cahaya yang beralamat kurang baik bagi yang dipandangnya.

Dan karena pada saat itu yang dipandangnya adalah ular itu, maka sudah dapat ditentukan akan nasib binatang ini. Ular yang benar-benar kuat itu biarpun menderita kesakitan hebat karena lidahnya terpotong, masih dapat bergerak amat cepatnya. Ketika ia melihat bahwa gadis itu tidak binasa oleh sabetan ekornya, ia bergerak lagi dan tahu-tahu ekornya telah dapat melilit gadis itu. Ratna Wulan hanya merasa jijik dan geli saja, akan tetapi dara perkasa ini menanti saat yang baik.

Ia menjaga agar supaya kedua tangannya tetap bebas dan bagian lain dari tubuhnya ia biarkan saja dililit oleh lawannya. Ular itu mengerahkan tenaganya dan mempererat lilitannya. Jangankan tubuh manusia, batu karang sekalipun agaknya akan hancur apabila dililit dan ditekan dengan kekuatan yang bukan main besar dan hebatnya ini.

Namun, untuk mencoba menghancurkan tubuh Ratna Wulan dengan lilitan itu, sama halnya dengan percobaan menghancurkan sepotong baja murni. Ular itu merasa heran sekali dan mendekatkan kepalanya dan membuka mulut yang tak berlidah lagi itu untuk menggigit kepala Ratna Wulan!

Mulut itu dipentang lebar dan agaknya kepala Ratna Wulan akan dapat dicapoknya begitu saja! Saat yang dinanti-nanti oleh dara perkasa Ratna Wulan. Secepat kilat menyambar, keris Kyai Banaspati meluncur ke arah mulut itu dan ambles ditenggorokan ular itu.

Ketika Ratna Wulan mencambut kembali kerisnya, darah menyembur keluar dari mulut ular. Akan tetapi dengan cepat Ratna Wulan telah mempergunakan kesempatan selagi ular itu terkejut dan kesaktian sehingga lilitannya mengendur, untuk melepaskan diri dari lilitan dan melompat jauh dari situ sehingga ia tidak terkena semburan darah dari mulut ular. Kini ular yang telah terluka parah itu menggeliat-geliat dan kepalanya tak dapat menyerang lagi, hanya terputar-putar mengucurkan darah dari mulut.

Para pengiring dari Jatikembar ketika melihat hal ini, dengan girang dan gagah lalu datang menyerbu. Semua senjata, tombak, parang, kapak, linggis, dan sebagainya, jatuh bagaikan hujan lebat di atas kepala ular sehingga tak lama kemudian kepala ular yang keras itu dapat dihancurkan dan matilah binatang itu.

Bangkai ular diseret dan rombongan itu menuju ke kampung mereka sambil bersorak-sorak dan tertawa-tawa girang. Setibanya di dusun Jatikembar, dengan hati-hati mereka membedah perut ular itu dan mengeluarkan mayat kawan mereka yang ditelan ular. Ternyata bahwa mayat itu masih utuh, hanya terluka bekas gigitan ular. Maka jenazah itu lalu dikebumikan dengan upacara sederhana.

Sementara itu, setelah mendapat penjelasan lagi tentang para perampok yang mengganggu penduduk Jatikembar, Ratna Wulan meninggalkan dusun untuk pulang ke puncak, karena ia takut kalau-kalau ibunya akan merasa gelisah apabila malam hari itu ia tidak kembali. Penduduk Jatikembar yang merasa amat berterima kasih, mengantar dara perkasa itu sampai diluar dusun di mana mereka berdiri memandang sampai gadis itu lenyap di sebuah tikungan jalan.

Mereka kembali ke kampung sambil tiada hentinya membicarakan kegagahan dara itu. Di dalam pondok bambu di puncak Mahameru, Dara Lasmi duduk di atas pembaringan bambu. Rambutnya telah menjadi putih semua sungguhpun usianya belum tua benar. Akan tetapi, biarpun kepalanya telah penuh dengan uban, namun wajahnya masih nampak cantik dan belum ada keriput pada kulit mukanya itu. Bibirnya masih kelihatan merah dan sepasang matanya bahkan mengandung cahaya yang tenang berpengaruh.

Di hadapannya duduk Ratna Wulan yang menceritakan kepada ibunya akan gangguan perampok dikaki bukit sebelah timur itu dan dinyatakan pula niat hatinya untuk turun gunung dan membasmi perampok-perampok itu. Dara Lasmi mengerutkan kening dan berkata dengan suara sungguh-sungguh.

“Anakku Wulan. Kalau memang benar sebagaimana yang dituturkan oleh penduduk Jatikembar bahwa mereka itu adalah bekas pemberontak yang dipukul mundur oleh tentara Majapahit, kau sama sekali tak boleh mengganggu mereka, Wulan!”

Ratna Wulan memandang kepada ibunya dengan mata mengandung keheranan besar. Memang ia belum pernah diberitahu oleh ibunya tentang riwayat hidup ibu dan mendiang ayahnya.

“Mengapa begitu, ibu?” Pertanyaan yang singkat ini mengandung sebuah tuntutan yang tak disadari oleh dara itu, tuntutan kepada Dara Lasmi untuk menceritakan segala sesuatu mengenai riwayatnya.

“Anakku,” katanya setelah menarik napas panjang, “Agaknya telah tiba saatnya kini bagimu untuk mengetahui siapakah sebenarnya kita ini dan siapa pula mendiang ayahmu serta mengapa kita berdua sampai tinggal di atas puncak yang sunyi ini.”

Maka berceritalah Dara Lasmi tentang semua pengalaman semenjak suaminya tewas dalam peperangan akibat kecurangan Kartika. Ratna Wulan mendengar dengan amat tertarik. Ia merasa terharu dan juga marah sekali ketika mendengar betapa ayahnya tewas dalam cara yang amat mengecewakan dan betapa ibunya melarikan diri dalam keadaan yang amat sengsara.

“Demikianlah, Wulan. Kerajaan Majapahit dalam pengaruh jahat dari Bagawan Mahapati, dan selama bagawan itu masih berkuasa mempengaruhi Sang Prabu, maka pemberontakan akan timbul tiada hentinya. Mereka yang memberontak itu bukan semata-mata membenci raja. Kita takkan membenci keturunan Raden Wijaya atau Sang Prabu Kertarejasa, akan tetapi yang kita benci adalah bagawan jahat itu. Ketahuilah bahwa Kartika, jahanam besar yang menjadi musuh kita itu, bukan lain adalah murid terkasih dari Bagawan Mahapati. Oleh karena itu, tak dapat kubenarkan apabila kau membinasakan sisa-sisa pemberontak yang telah terpukul oleh tentara Majapahit, karena harus kau ingat bahwa mereka itu sebenarnya segolongan dengan kita. Bukankah ayahmu juga membantu Raden Nambi dari Lumajang, yang memberontak terhadap Majapahit pula? Mereka itu, sisa-sisa pemberontak itu, adalah kawan-kawan seperjuangan kita, Wulan!”

Semenjak tadi Ratna Wulan menahan-nahan amarahnya terhadap Kartika musuh besar ayahnya itu. Setelah ibunya selesai dengan penuturannya, ia berkata. “Ibu, kalau begitu, ijinkanlah anakmu turun gunung, pergi ke Majapahit dan membunuh keparat Kartika dan gurunya, pendeta palsu Mahapati itu!”

Mau tak mau ibunya hanya tersenyum juga mendengar ucapan anaknya ini. “Wulan, kau benar-benar seperti seorang anak kecil. Apa kau kira pekerjaan itu akan semudah kau mengucapkannya? Kartika adalah seorang panglima yang tangguh, dan Bagawan Mahapati adalah seorang yang sakti mandraguna, memiliki ilmu sihir dan segala macam ilmu hitam. Selain itu, ia mempunyai pengaruh dan kekuasaan yang amat besar di Kerajaan Majapahit sehingga andaikata ia mengangkat jari tangannya memberi isyarat, ribuan orang tentara Majapahit akan menyerbu dan menangkapmu sebelum kau sempat bergerak.”

Tertegunlah Ratna Wulan mendengar ucapan ibunya ini. Memang ia sama sekali belum tahu tentang siapakah sebenarnya musuh-musuhnya itu dan sampai bagaimana besar kedudukan mereka. Kini, mendengar ucapan ibunya, walaupun ia tidak merasa gentar, akan tetapi ia menjadi bingung juga. “Habis, bagaimana baiknya, ibu? Apakah dendam ayah itu harus dibiarkan saja?”

“Tidak demikian maksudku, Wulan. Dendam ini harus dibalas dan manusia berhati curang seperti Kartika harus ditumpas. Akan tetapi kita harus mencari jalan yang baik dan aman.”

“Kalau begitu, ibu. Aku harus pergi ke hutan randu tempat sisa pemberontak itu bersarang. Aku hendak mencari keterangan tentang keadaan Majapahit pada waktu sekarang dari mereka, dan akupun harus membuktikan sendiri apakah benar-benar mereka ini menjadi perampok-perampok sebagaimana yang dituturkan oleh penduduk Jatikembar. Karena, menurut pendapatku, betapapun juga keadaan mereka, dan siapapun juga mereka itu, pekerjaan merampok orang-orang kampung adalah perbuatan yang amat jahat dan harus dibasmi. Aku tidak rela membiarkan penduduk Mahameru diganggu, biar siapapun juga yang akan mengganggunya.”

Dara Lasmi tak dapat membantah kebenaran dalam kata-kata anaknya ini, dan diam-diam ia merasa girang karena dari ucapan iniia mendapat kesan bahwa Ratna Wulan memiliki kegagahan dan kesetiaan. Ia pun tidak merasa khawatir akan keselamatan anaknya karena maklum bahwa anaknya telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Ia menghela napas dan berkata dengan suara menyesal.

“Sayang kau seorang wanita, Wulan. Kalau saja kau seorang laki-laki, tentu kau akan dapat memimpin mereka itu untuk menyerbu Majapahit dan membalas dendam terhadap Kartika dan gurunya yang jahat.”

Ratna Wulan diam saja, akan tetapi ucapan ibunya ini merupakan api yang membakar hatinya yang membuat ia menjadi panas hati, gemas dan penasaran. Mengapa sesuatu yang hebat? Diam-diam ia berjanji kepada kepada diri sendiri untuk melakukan pekerjaan yang oleh kaum laki-laki saja. Akan tetapi mulutnya tidak menyatakan sesuatu oleh karena ia tidak ingin mendatangkan rasa khawatir dalam hati ibunya.

Akhirnya Dara Lasmi memberi perkenan juga kepada Ratna Wulan untuk menemui sisa pemberontak yang kini berada dikaki gunung sebelah timur. “Berhati-hatilah kau, Wulan, dan dalam sepak terjangmu ingatlah selalu akan segala wejangan Eyang Semeru, dan terutama sekali ingatlah bahwa ibumu selalu berdoa untuk keselamatanmu dan selalu menanti-nanti di puncak gunung ini.”

Setelah memeluk ibunya dengan mesra, Ratna Wulan lalu berangkat, meninggalkan puncak Mahameru, menuruni lereng sebelah timur yang belum pernah dituruninya karena ibunya selalu melarangnya turun di bagian itu. Larangan Dara Lasmi ini hanya untuk menjaga kalau-kalau anaknya bertemu dengan seorang dari Lumajang sehingga tempat persembunyiannya diketahui orang.

Lereng Mahameru bagian timur penuh dengan hutan-hutan liar yang belum penah dimasuki manusia. Penduduk-penduduk dusun sekitar tempat itu bahkan menganggap bahwa hutan-hutan di sekitar itu amat angker dan merupakan tempat-tempat berbahaya di mana orang dapat masuk tak dapat keluar kembali.

Akan tetapi, Ratna Wulan bahkan merasa gembira sekali ketika masuk ke dalam hutan-hutan ini karena pemandangan di situ jauh berbeda dengan pemandangan di bagian-bagian lain yang pernah didatanginya. Ketika Ratna Wulan sedang berjalan dengan cepat karena hutan randu yang ditujunya masih jauh, tiba-tiba dari balik pohon-pohon berlompatan keluar dua belas orang tinggi besar yang tampak liar dan ganas.

Mereka itu sebetulnya adalah perampok-perampok yang dahulu mengganggu Dara Lasmi dan dibuat tidak berdaya oleh Eyang Semeru. Mereka dipimpin oleh kepala rampok yang dulu, yang bernama Singa Pragalba (Singa Buas), laki-laki kasar yang dulu hampir saja mengganggu Dara Lasmi kalau tidak keburu datang Eyang Semeru yang mencegahnya.

Ratna Wulan berdiri dengan kedua kaki terpentang dan kedua tangan bertolak pinggang. Ia menyangka bahwa inilah orang-orang yang dimaksudkan oleh penduduk Jatikembar, dan disangkanya bahwa perampok-perampok ini telah keluar dari hutan dan sedang menuju ke dusun-dusun untuk mengacau. Melihat lagak mereka yang tersenyum-senyum menyeringai dengan pandangan mata kurang ajar, Ratna Wulan menjadi kecewa. Beginilah macamnya pemberontak-pemberontak yang oleh ibunya disebut kawan-kawan seperjuangan itu?

Singa Pragala melangkah maju menghadapi Ratna Wulan dan sepasang matanya yang merah itu memandang seakan-akan seekor singa yang kelaparan memandang kepada seekor domba muda yang gemuk!

“Eh, eh, manis!” katanya dengan suara parau sambil menyeringai sehingga nampak giginya yang besar-besar dan kuning. “Kau siapakah dan hendak pergi kemana? Mari kakang antar, dan lebih baik kakang gendong saja daripada kakimu yang halus itu menjadi sakit!”

Bukan main marah dan mendongkolnya hari Ratna Wulan mendengar ucapan yang kurang ajar ini, dan makin besarlah kekecewaaannya. Sungguh tak tahu malu! Perampok itu usianya sedikitnya setengah abad, dan menyebut diri sendiri kakang! Bangsat benar! Akan tetapi makian ini hanya dikeluarkan di dalam hatinya saja dan ia masih menyabarkan hati ketika bertanya.

“Kalian ini apakah pemberontak-pemberontak yang dipukul mundur oleh barisan Majapahit?”

Mendengar pertanyaan ini, dua belas orang perampok itu saling pandang dan kemudian pecahlah suara ketawa, seakan-akan ucapan Ratna Wulan itu terdengar amat lucunya.

“Ha-ha-ha, bidadari yang cantik manis! Kami adalah laki-laki sejati, jantan tulen yang menjagoi hutan sekitar tempat ini, dan bukan harimau yang menjadi raja hutan, melainkan aku, singa Pragalba dan sebelas orang anak buahku ini! Bagaimana kau menyangka kami pemberontak? Sudah lama aku Singa Pragalba hidup membujang belum mempunyai isteri, dan agaknya pantas sekali menjadi istriku. Ha, ha, ha!”

“Kakang Singa, dara jelita ini wajahnya mengingatkan aku kepada puteri yang ditolong oleh kakek tua itu!” tiba-tiba seorang diantara berkata.

Mendengar ucapan ini semua perampok memandang penuh perhatian dan Singa Pragalba sendiripun mengakui bahwa wajah dara ini benar-benar mirip dengan puteri yang dulu mereka ganggu.

“Benar, Reksamuka (Si Muka Beruang), memang dia mirip sekali. Akan tetapi yang ini lebih segar, lebih muda, dan lebih manis!”

“Patut benar menjadi bini kakang Singa!” kata seorang lain.

Sementara itu tanpa diketahui oleh perampok-perampok yang bodoh dan sial itu, wajah Ratna Wulan mulai berubah kemerah-merahan, sepasang matanya bersinar-sinar mengeluarkan cahaya panas. Tadinya ia merasa lega bahwa mereka ini bukanlah orang-orang yang oleh ibunya disebut kawan-kawan seperjuangan, dan ia hendak meninggalkan mereka begitu saja.

Akan tetapi, melihat sikap dan mendengar kekurangajaran mereka, timbulah amarah dalam hatinya dan ia takkan merasa puas sebelum memberi hajaran ke pada orang-orang liar ini. Ia pun maklum bahwa yang mereka bicarakan adalah ibunya, karena ibunya pernah menuturkan bahwa dulu ketika ibunya mulai mendaki Gunung Mahameru, ibunya diganggu oleh sekawanan perampok dan kemudian ditolong oleh gurunya.

Jadi inikah gerangan perampok-perampok jahanam yang pernah mengganggu ibunya. Mendapat kesempatan untuk membalas sakit hati ibunya dengan cara demikian mudah tanpa mencari musuh-musuhnya ini, Ratna Wulan menjadi demikian girang sehingga ia tertawa bergelak.

Kawanan perampok itu lagi-lagi saling pandang terheran-heran, karena bagaimanakah anak perawan ini demikian tabah sehingga menghadapi mereka ini sambil tertawa-tawa? Kalau saja anak gadis ini mejadi ketakutan, melarikan diri dengan wajah pucat dan menjerit-jerit, mereka akan mengalami kesenangan mengejar-ngejar gadis yang lari ketakutan itu, berlumba berdulu-duluan untuk menangkap dan memeluk tubuh muda itu.

Akan tetapi, gadis itu bukannya lari ketakutan dan menangis, bahkan berdiri dengan gagah, masih bertolak pinggang dan tertawa bergelak-gelak, seakan-akan tidak sedang berhadapan dengan dua belas orang perampok tinggi besar, akan tetapi menghadapi dua belas ekor tikus yang lucu-lucu saja.

“Eh, kunyuk-kunyuk bercelana!” Ratna Wulan memaki sambil menudingkan telunjuknya yang runcing kearah mereka. “Ingatkah kalian bahwa puteri yang kalian kejar-kejar dulu itu menggendong seorang anak perempuan? Nah, bukalah matamu lebar-lebar! Akulah anak itu yang sekarang datang hendak menuntut balas atas kekurangajaran dahulu terhadap ibuku...“

Terkejutlah para perampok itu, terkejut dan memandang kagum. Mereka bukan terkejut karena takut, akan tetapi terkejut dan kagum melihat betapa anak kecil dahulu itu kini telah menjadi seorang remaja puteri yang demikian cantiknya.

“Ha, ha, bagus sekali. Kakang Singa, kuntum yang dulu itu kini telah mekar menjadi kembang.”

Singa Pragalba menyeringai senang dan ia lalu maju menubruk dengan maksud memeluk Ratna Wulan sambil mendengus. “Manis, marilah ikut kakang!”

“Monyet tua! Hari ini adalah hari terkutuk bagi kau dan kawan-kawanmu!” seru Ratna Wulan sambil mengelak ke samping dan ketika tubuh kepala rampok itu memeluk angin, kaki kiri dara perkasa itu bergerak cepat menyerampang kedua kaki Singa Pragalba sehingga tentu saja tubuh yang tiba-tiba kakinya terangkat itu menjadi terguling, terdorong kedepan dan jatuh dengan hidung menyentuh tanah lebih dulu.

“Aduh biung!” Singa Pragalba berteriak dan ketika ia merangkak, hidungnya yang besar itu telah penyok dan berdarah karena mencium batu hitam.

Ratna Wulan tertawa geli. “Ha, ha, tak pantas kau bernama singa! Lebih baik ganti saja namamu dengan Kapi (Monyet) atau Sona (Anjing). Kau seperti monyet makan teletong (tai lembu)”

Biarpun merasa geli di dalam hati, namun anak-anak buah Singa Pragalda tak berani tertawa dan mereka memandang dengan mata terbelalak saking herannya. Ketua mereka adalah seorang yang terkenal kuat dan memiliki kepandaian berkelahi yang mereka kagumi, akan tetapi kini menghadapi dara itu, baru satu gebrakan saja telah berdarah hidungnya.

Sementara itu, Singa Pragalba menjadi amat marah. Ia melopat berdiri, mengeluarkan geraman seperti seekor serigala, lalu mencabut goloknya dan memberi komando kepada anak buahnya. “Serbu!” tangannya menuding kearah Ratna Wulan.

Anak buahnya lalu mencabut golok masing-masing karena untuk menghadapi dara perkasa itu dengan tangan kosong, mereka takut kalau mereka pun akan mengalami nasib seperti pemimpin mereka. Kemudian, sambil bersorak-sorak mereka menyerbu dan menyerang Ratna Wulan dari segala jurusan. Golok mereka yang tiap hari diasah itu berkilap-kilap terkena cahaya matahari dan diacungkan dengan sikap mengancam.

Akan tetapi Ratna Wulan tetap tenang dan sepasang matanya mengerling ke kanan kiri, sikapnya waspada sekali. Sebelum lawan-lawannya bergerak, ia telah mendahului mereka sambil berseru nyaring, “Awas! Terimalah pembagian hadiah dari Ratna Wulan!”

Seruan yang nyaring dan keras itu membuat para perampok itu untuk sedetik menahan gerakan mereka dan memandang dengan penuh perhatian. Akan tetapi, tiba-tiba tubuh gadis ditengah-tengah itu lenyap, berubah menjadi sinar yang menyambar-nyambar mereka. Demikian cepatnya gerakan kaki tangan Ratna Wulan dan luar biasa pula terjangannya sehingga sukarlah mengikuti gerakan tubuhnya dengan mata.

Segera terdengar jerit kesakitan susul-menyusul dan robohlah para perampok itu malang-melintang dan tumpang tindih. Inilah Ilmu Pukulan Liman Bramantya (Gajah Mengamuk Marah) yang dimainkan oleh Ratna Wulan dengan baik sekali. Tentu saja para perampok yang hanya terdiri mengandalkan tenaga otot itu tak dapat bertahan menghadapi ilmu pukulan yang hebat ini.

Mereka itu biasanya berkelahi mempergunakan tenaga, tanpa disertai kecerdikan otak. Sebentar saja dua belas orang itut telah rebah mengaduh-aduh, ada yang benjol-benjol kepalanya, bocor hidung dan mulutnya, biru hitam matanya, bahkan ada pula yang patah-patah tulangnya. Singa Pragalba sendiri untuk kedua kalinya terbanting sehingga kini pada jidatnya, tepat di tengah atas alisnya, nampak kulitnya benjol sebesar telur bebek yang berwarna biru.

Semua perampok merangkak dan menjauhkan diri dari dara perkasa itu yang mereka anggap telah mempergunakan ilmu sihir sehingga mereka menjadi ketakutan tidak berani maju lagi. Akan tetapi Singa Pragalba tidak mau menyerah begitu saja. Ia melompat bangun lagi dan sambil menuding kepada Ratna Wulan yang masih berdiri tersenyum-senyum sambil bertolak pinggang, ia berkata keras.

“Perawan keparat! Kau telah mengandalkan ilmu sihir untuk melawan kami. Kalau kau memang keturunan pendekar dan bukan seorang pengecut, pergunakan cara perkelahian yang jujur. Atau, kau tentu takut melawan aku tanpa mempergunakan ilmu sihirmu?”

Ratna Wulan tersenyum mengejek. “Pembalasanku tadi sebenarnya masih terlampau lunak, mengingat bahwa kalian hanyalah orang-orang kasar yang tak berotak, maka aku masih memberi ampun. Akan tetapi, tidak tahunya kau benar-benar seorang yang bermartabat rendah. Kau ingin berkelahi? Baik, baik! Memang dosamu telah terlalu banyak maka kau perlu mendapat hajaran yang lebih berat. Nah, bagaimana kau mau berkelahi? Menggunakan senjata atau bagaimana? Aku siap sedia menghadapimu dan jangan takut, aku takkan menggunakan ilmu sihir.”

Para anak buah Singa Pragalba maju mendekat lagi untuk menyaksikan perkelahian ini. Mereka mengharapkan agar pemimpin mereka akan dapat membekuk perawan yang telah membuat mereka merasa sakit-sakit seluruh tubuh itu, agar mereka dapat pula membalas dendam.

“Tak perlu aku mempergunakan senjata-senjata.” jawab Singa Pragalba, “Cukup dengan kedua tangan ini. Rasakan.pukulan!” Sambil berkata demikian, kepala rampok itu menyerbu sambil mengirim pukulan sebesar buah kelapa itu ke arah dada Ratna Wulan!

“Hm, tak tahu malu!” seru Ratna Wulan yang merasa marah sekali sambil menggeser kakinya ke belakang dan miringkan tubuhnya sehingga pukulan itu mengenai angin. “Lihat aku tidak mempergunaan kecepatan dan ilmu berkelahi yang baik!”

Singa Pragalba menjadi penasaran sekali dan kembali ia menyerang. Tingkahnya seperti seekor babi hutan yang menyeruduk saja, mengandalkan tenaga yang besar. Pukulan tangannya ini dengan mudah menghancukan sebutir kepala, maka kalau seandainya pukulannya itu mengenai tubuh Ratna Wulan, akan celakalah dara itu. Akan tetapi serangan Singa Pragalba bukan merupakan apa-apa bagi Ratna Wulan dan sampai lima kali ia dapat mengelak dengan amat mudahnya.

“Tangkislah pukulanku! “Teriak Singa Pragalba dengan amat marah dan penasaran. “Tangkislah kalau kau berani!”

Bibir Ratna Wulan yang tersenyum itu mengeras. Orang ini benar-benar tak tahu diri. Memang, siapakah yang takkan merasa penasaran? Menghadapi seorang remaja puteri yang mulai dewasa, seorang gadis yang berpinggang ramping dan bertubuh kecil lemah itu, masa seorang kepala perampok yang terkenal sampai kalah dan dipermainkan?

Hampir gila karena marahnya Singa Pragalba memikirkan hal ini. Sementara itu ia menyerang terus dengan pukulan bertubi-tubi sungguhpun pukulannya selalu mengenai angin, jangan kata dapat mengenai kulit tubuh lawannya, menyentuh ujung kembennyapun tak pernah!

“Kau ingin merasakan tangkisanku? Nah, rasakanlah!” Sambil berkata demikian, Ratna Wulan miringkan tubuhnya dan dengan jari-jari terbuka dan tangan dimiringkan, ia membabat kearah pergelangan tangan Singa Pragalba.

“Dukk!”
Terdengar suara ketika pergelangan lengan yang besar itu ditumbuk oleh tangan Ratna Wulan yang kecil dan berkulit halus.

Kalau tidak melihat sendiri, para perampok itu tentu takkan melihat pemimpin mereka berlutut sambil memegangi tangannya, lalu menjerit-jerit kesakitan. Pergelangan tangan kirinya yang dipakai memukul tadi telah lumpuh karena tulangnya retak! Namun, kepala rampok ini benar-benar bendel dan tidak mau menyerah dengan mudah. Tiba-tiba ia melompat dan tangan kanannya yang tidak terluka itu diulur merupakan cangkeraman yang menyerang pundak Ratna Wulan, agaknya ia hendak mencekik leher gadis itu.

Ratna Wulan terkejut dan menangkis. Akan tetapi, secepat kilat tangan kanan Singa Pragalba menangkap tangan gadis itu dan dengan geraman liar ia membentot tangan Ratna Wulan hendak memeluk tubuh dara perkasa itu. Akan tetapi, selagi para anak buah perampok merasa girang, tiba-tiba terjadilah hal yang aneh sekali. Entah bagaimana dara perkasa itu bergerak karena tahu-tahu tubuh Singa Pragalba yang tinggi besar itu mencelat dan terlempar jauh, jatuh di bawah sebatang pohon.

Kebetulan sekali di bawah pohon itu terdapat teletong (tai lembu) yang hitam dan masih empuk, bergunduk seperti bukit kecil. Tubuh Singa Pragalba jatuh dengan muka lebih dulu, tempat diatas teletong itu sehingga mukanya masuk ke dalam tai lembu itu.

Kini menggigilah tubuh para perampok itu dan mereka tidak merasa lucu ketika melihat betapa Singa Pragalba merangkak-rangkak bangun sambil membersihkan mukanya dari tai lembu dan terdengar ia merintih-rintih kesakitan.

“Nah, biarlah hukuman ini merupakan pelajaran bagi kalian!” kata Ratna Wulan. “Dan lain kali janganlah kalian memandang rendah kaum wanita! Kalau aku mendengar lagi tentang kekurangajaranmu terhadap wanita, awaslah! Ratna Wulan akan datang dan menghabiskan nyawa kalian!”

Setelah berkata demikian, sekali ia berkelebat dengan mengeluarkan Aji Kesaktian Marga Kenaka (Kijang Emas), tubuhnya melompat jauh dan lenyap di balik pohon-pohon, sehingga para perampok itu saling pandang dengan mata terbelalak dan mulut melongo, akhirnya mereka berlutut dan menyembah oleh karena mereka menduga bahwa gadis itu tentulah sebangsa peri dari kahyangan.

Menjelang senjakala, sampailah Ratna Wulan dihutan randu dikaki Mahameru sebelah timur itu. Hutan ini besar dan memang di situ tumbuh banyak sekali pohon-pohon randu alas di samping pohon-pohon raksasa lain. Dari luar, hutan itu nampak angker sekali, sehingga tidak sembarang orang berani memasukinya. Kadang-kadang terdengar auman harimau dan salak anjing serigala yang melolong-lolong mendirikan bulu tengkuk.

Tanpa ragu sedikitpun juga, Ratna Wulan memasuki hutan itu dan menuju ke tengah. Karena hutan itu amat rangkut (penuh tetumbuhan), maka kalau di luar hutan masih senja, di dalam hutan itu telah gelap sekali. Cahaya matahari siang sudah lemah itu hanya sedikit saja dapat menembus celah-celah daun pohon.

Tiba-tiba Ratna Wulan menahan langkahnya. Telinganya yang terlatih dan mempunyai tenaga yang lebih kuat daripada telinga orang biasa itu dapat mendengar suara orang-orang dari jauh yang hanya terdengar sebagai bisik-bisik saja diseling suara ketawa.

Bagi orang lain, tentu suara itu akan d isangka suara jin dan setan penghuninya hutan liar akan tetapi Ratna Wulan maklum bahwa itu adalah suara orang-orang bercakap-cakap yang menggema di dalam hutan. Ia lalu mengarahkan langkahnya ke jurusan suara-suara itu mendatang.

Tak lama kemudian tampaklah olehnya sinar terang dan ternyata bahwa di tempat terbuka karena pohon-pohonan agaknya telah di tebang, terdapat tiga api unggun besar menyala-nyala dan di sekitar api itu terdapat banyak orang laki-laki. Ada yang bercakap-cakap, ada yang bersendau gurau, bahkan ada yang sedang memanggang daging binatang hutan.

“Hm, inilah mereka!” kata Ratna Wulan dalam hatinya dan tanpa takut sedikitpun ia melangkah maju dengan cepat sehingga sebentar saja ia telah berdiri di dekat kelompok orang-orang yang jumlahnya kurang lebih tiga puluh orang itu.

Seorang di antara mereka, masih muda berusia dua puluhan, adalah orang pertama yang melihat kehadiran dara perkasa itu. Pemuda ini tiba-tiba menggigil seluruh tubuhnya dan dengan jari tangan menuding kearah Ratna Wulan yang disangkanya peri atau jin perempuan, ia berdiri dengan kedua kaki wel-welan (menggigil) dan mulutnya yang hendak berseru,

“Setan. Setan!” itu hanya dapat mengeluarkan suara, “Uuh.uuuuh...!”

Kawan-kawannya memandangnya dengan heran dan ketika mereka menengok, mereka heran dan juga terkejut sekali. Pada penglihatan pertama, semua orang juga timbul persangkaan bahwa yang berdiri dengan kedua kaki terpentang dan tangan bertolak pinggang itu tentulah sebangsa peri atau jin. Seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun dan agaknya berani dari kawannya, lalu bangkit berdiri dan melangkah maju, akan tetapi tidak sampai terlampau dekat dengan Ratna Wulan, lalu menegurnya.

“Siapakah di depan? Kalau manusia, datang darimana, siapa nama, dan apa maksud kedatanganmu? Kalau makhluk halus, harap pergi dan jangan mengganggu kami yang tidak mempunyai niat jahat!”

Ratna Wulan menjadi geli hatinya dan terasa lagi ia tersenyum. Mereka menahan napas ketika melihat senyum ini. Silau mata mereka melihat kecantikan wajah dengan senyumnya yang amat manis itu. Melihat pendangan mata mereka, timbul sifat kenakalan Ratna Wulan yang hendak mempermainkan mereka.

“Hai para pemberontak! Kalian menyatakan tidak berniat jahat, akan tetapi mengapa kalian mengganggu penduduk Mahameru dan merampok mereka?”

Benar saja, ucapan ini membuat tiga puluh lebih orang laki-laki itu menjadi gemetar dan ketakutan. Mereka tak syak lagi, wanita ini tentulah seorang peri dari Mahameru yang datang hendak menghukum mereka! Orang tua yang tadi menegur Ratna Wulan lalu berkata lagi setelah menjilat-jilat bibirnya yang terasa kering.

“Sang Mahadewi, kami terpaksa merampok karena kami harus makan. Mengandalkan hasil buruan saja tidak cukup untuk memberi ransum kepada kawan-kawan kami yang puluhan jumlahnya. Kalau kami tidak merampok hasil tani para penduduk, tentu kami akan mati kelaparan!”

Suara Ratna Wulan terdengar keras dan berpengaruh ketika ia berat dengan marah. “Pandir, lemah dan pengecut! Kalian menganggap diri sendiri ksatria-ksatria yang gagah, yang telah berani memberontak untuk menumbangkan kekuasaan jahat! Apakah tujuan dari pemberontak kalian itu? Bukanlah kalian bertujuan untuk membasmi kekuasaan jahat guna membela rakyat dari penindasan? Dan sekarang apakah yang kalian perbuat? Merampoki rakyat jelata malah! Tahukah kalian bahwa dengan alasan mencegah diri sendiri dari kelaparan kalian telah membuat penduduk Mahameru terancam bahaya kelaparan kalau padi dan hasil sawahnya kalian rampok? Inikah pahlawan-pahlawan perkasa? Memalukan sekali!”

Pada saat itu, semua orang memandang kepada Ratna Wulan dengan melongo, bahkan orang-orang yang tadi memanggang daging juga meninggalkan pekerjaannya sehingga daging yang terpanggang dan dibiarkan menjadi hangus dan asap bergulung-gulung.

Semenjak berangkat dari puncak gunung, Ratna Wulan belum makan apa-apa, maka kini mencium daging panggang, ia merasa lapar sekali. Kemarahan dan ucapan yang keras membuat perutnya terasa makin lapar saja, maka tanpa memperdulikan orang-orang yang berada disitu, ia lalu melangkah maju ketempat pemanggangan daging, dan membalik-balikkan daging yang dipanggang itu sampai matang benar.

Kemudian ia mulai makan daging tanpa melirik atau menawarkan kepada orang-orang yang masih berdiri dan mengawasi seluruh gerak-geriknya bagaikan patung. Melihat betapa “peri” itu makan daging panggang dengan enaknya, mereka mulai bisik-bisik.

“Ia suka daging panggang!” kata seorang.

“Ia bukan peri! Mana ada peri makan daging panggang!” terdengar suara lain.

“Mahkluk halus tak pernah makan.” kata suara ketiga.

“Dia orang biasa! Dia penipu!” kata orang lain dengan suara marah. Maka mulai beginilah orang-orang itu dan dengan hati geram mereka mulai bergerak mendekati Ratna Wulan.

Akan tetapi orang tua yang agaknya menjadi pemimpin itu berkata. “Jangan ganggu dia, biarkan dia makan lebih dahulu. Kasihan kelihatannya amat lapar!”

Sambil makan daging panggang, diam-diam Ratna Wulan mendengarkan semua percakapan ini dan ia merasa amat geli. Ia agak merasa amat puas melihat sikap mereka, karena tidak sekasar para perampok yang dihajarnya siang tadi. Bahkan didalam hati ia memaafkan perbuatan mereka yang telah merampok setelah mendengar alasan orangtua tadi. Mereka memang bodoh, akan tetapi kadaaan mereka patut dikasihani. Setelah selesai makan, Ratna Wulan memetik daun pisang bagian pupusnya (daun muda) untuk membersihkan bibir, kemudian ia berdiri untuk menghadapi mereka.

“Setidaknya aku berterima kasih untuk daging yang baru saja kumakan tadi.” katanya.

Kini mereka menghadapinya dengan marah. Orangtua itu berkata sambil tersenyum, karena ternyata ia adalah seorang penyabar. “Nini, jangan kau mencoba untuk menipu kami. Kau bukanlah seorang peri, akan tetapi seorang gadis biasa. Sebetulnya siapakah kau dan mengapa kau seorang remaja puteri seorang diri datang dihutan belukar pada malam hari?”

Ratna Wulan tersenyum manis. “Siapakah yang menipu kalian dan siapa pula yang mengaku menjadi peri siluman? Kalian sendirilah yang bodoh dan tahyul, menganggap aku sebagai peri! Aku adalah seorang biasa dan kedatanganku ini untuk menghentikan kesesatan kalian yang telah berani menganggu penduduk Gunung Mahameru!”

Mendengar pengakuan bahwa dara ini bukanlah seorang peri, kembalilah keberanian semua orang. Dan kini mereka terheran-heran mendengar pernyataan Ratna Wulan yang hendak melarang mereka! Timbul geli dalam hati mereka, bahkan seorang di antara mereka yang tinggi besar lalu melangkah maju dan bertanya dengan suara mengejek.

“Nona manis, ucapanmu sombong sekali! Dengan jalan apakah engkau hendak menghentikan Perbuatan kami?”

“Mungkin dengan senyumnya yang manis!” terdengar seorang mengejek.

“Lirikan mata yang tajam memikat memang dapat melumpuhkan semangat kita!” seru seorang lain.

“Kalau dia menjadi punyaku, disuruh apapun juga saya akan rela!” kata pula seorang lain yang agak Kurang ajar.

Akan tetapi jawaban dara itu benar-benar membuat semua orang tertegun, karena dengan sikap tenang dan suara keren. Ratna Wulan berkata. “Aku akan menghentikan kesesatan kalian dengan jalan melarang kalian melakukan perampokan kepada orang-orang dusun!”

Untuk beberapa lama semua orang terdiam karena suara ini biarpun halus dan merdu, namun amat berpengaruh dan mengejutkan. Akan tetapi, hal itu hanya berlangsung sebentar, karena segera meledaklah suara ketawa mereka. Bahkan orang tua yang sabar itupun tersenyum geli melihat kecongkakan gadis ini.

“Nini,” katanya sambil menahan senyum, “kau benar-benar gagah berani. Akan tetapi, kau adalah seorang gadis lemah lembut dan cantik jelita, tak kalah oleh puteri-puteri Majapahit. Sedangkan kami adalah orang-orang kasar, perajurit-perajurit yang tangkas dan kuat. Dengan cara bagaimanakah kau dapat melarang kami?”

Semua orang terdiam sambil tersenyum dan memperhatikan dara itu karena ingin sekali mereka mendengar jawabannya.

“Aku melarang kalian mengganggu penduduk di sini, dan dengan cara apa saja yang akan kalian kehendaki. Dengan cara halus, aku hanya memberi nasihat dan peringatan saja, akan tetapi andaikata kalian menghendaki cara kasar, suruhlah maju orang yang terkuat di antara kalian untuk melawanku mengadu ketangkasan dan kegagahan!”

Orang yang tinggi besar tadi lalu melangkah maju dan mengangkat dadanya yang membusung ke depan. Ia memang nampak kuat sekali dan seluruh tubuhnya dilingkari otot-otot yang menonjol keluar dibawah kulitnya. Ia terkenal sebagai jagoan di antara rombongan orang itu dan namanya adalah Bejo...
Selanjutnya,