Dyah Ratna Wulan Jilid 01 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Dyah Ratna Wulan

Karya : Kho Ping Hoo
Cerita Silat Indonesia Karya Kho Ping Hoo
Jilid 01
SETELAH Sang Prabu Kertarajasa mangkat pada tahun 1309, putera mahkota, Raden Kalagemet naik tahta Kerajaan Majapahit menggantikan kedudukan ayahnya, dan bergelar Sang Parbu Jayanagara. Akan tetapi, raja muda ini banyak menimbulkan perasaan kecewa dan tidak senang di kalangan para panglima tua, yaitu panglima-panglima mendiang Prabu Kertarajasa.

Banyak hal yang tidak mereka setujui berhubung dengan penobatan itu. Pertama menurut faham mereka, Raden Kalagement masih terlampau muda untuk memikul tugas menjadi raja di Kerajaan Majapahit yang demikian besar dan jaya dan mereka menyangsikan apakah pemuda yang baru berusia lima belas tahun ini akan dapat memberi pimpinan yang bijaksana seperti mendiang ayahnya.

Kedua, mereka berpendapat bahwa sungguhpun Raden Kalagemet merupakan putera tunggal karena keturunan yang lain adalah putri-puteri belaka, namun ibu dari putera mahkota ini adalah seorang puteri dari Malayu yang bernama Dara Petak atau Sri Indreswari. Hal ini amat mengecewakan hati para panglima karena menurut pendapat mereka, yang berhak menjadi raja di Majapahit harus seorang keturunan Majapahit aseli.

Adapun hal ketiga yang amat mendatangkan rasa tidak puas dan tidak senang kepada mereka adalah bahwa di dalam pemerintahan Jayanagara ini terdapat seorang Kepala Agama Syiwa yang sangat besar kekuasaannya. Kepala Agama Syiwa ini bernama Bagawan Mahapati yang amat sakti mandraguna, cerdik pandai lagi kebal terhadap segala macam senjata. Bagawan Mahapati tidak disukai oleh para panglima yang telah banyak membantu Raden Wijaya atau Prabu Kertarajasa dalam membangun keraton Majapahit.

Menurut anggapan mereka, Bagawan Mahapati ini adalah seorang pendeta yang mabok akan kemewahan hidup dan kedudukan tinggi, bahkan mereka menaruh hati syakwasangka bahwa bukan tak mungkin pendeta itu telah mempergunakan aji kesaktiannya untuk memasang guna-guna sehingga Prabu Jayanagara yang masih muda itu berada di bawah pengaruhnya. Telah banyak panglima-panglima tua yang mengajukan usul dan nasihat kepada Prabu Jayanagara agar supaya mereka itu dienyahkan dari kerajaan.

Akan tetapi, segala nasihat ini tidak dihiraukan oleh Sang Parbu yang masih muda belia itu, terutama sekali oleh karena ibunya juga berfihak dan membela Bagawan Mahapati. Tiga hal diatas itu merupakan sebagian daripada sebab-sebab sehingga tak lama sejak Sang Prabu Jayanagara naik tahta, timbulah pemberontakan-pemberontakan yang dipimpin oleh para panglima ayahnya dahulu.

Di antaranya: Rangga Lawe, Sora dan Nambi. Rangga Lawe adalah seorang panglima gagah perkasa yang menjadi bupati di Tuban. Dahulu, panglima ini pernah di janjikan pangkat patih oleh mendiang Prabu Kertarajasa, akan tetapi janji ini tak pernah dipenuhi. Juga Prabu Jayanagara yang diam-diam mendapat bujukan dan bisikan dari Bagawan Mahapati, tidak mau memenuhi janji mendiang ayahnya itu.

Maka berontaklah Rangga Lawe. Akan tetapi, masih banyak panglima-panglima gagah perkasa yang membela Prabu Jayanagara, terutama berkat kesaktian Bagawan Mahapati, maka gagallah pemberontakan Rangga Lawe itu. Ia tewas oleh panglima tua Kebo Anabrang.

Panglima sora menjadi marah sekali mendengar tentang tewasnya Rangga Lawe dalam tangan Kebo Anabrang karena sesungguhnya mereka semua itu adalah kawan-kawan seperjuangan ketika masih membela Prabu Kertarajasa dahulu.

Sora mencari Kebo Anabrang sebagai pembalasan dendam atas kematian Rangga Lawe. Setelah itu, maka berontaklah pula Panglima Sora yang pada waktu itu menjabat patih di Daha. Akan tetapi, ternyata Prabu Jayanagara masih dibela oleh orang-orang pandai sehingga pemberontakan inipun gagal, Patih Sora dapat dibinasakan.

Setelah itu, pemberontakan-pemberontakan susul-menyusul, diantaranya pemberontakan Juru Demung dalam tahun 1313 dan Gajah Biru dalam tahun 1314. Namun, semua pemberontakan itu dapat dipadamkan.

Yang paling hebat adalah pemberontakan yang dilakukan oleh Raden Nambi, putera dari Aria Wiraraja, karena sebetulnya diantara semua pemberontakan yang timbul, pemberontakan inilah yang amat menyusahkan hati Sang Prabu Jayanagara. Hubungannya dengan Aria Wiraraja dan Raden Nambi tadinya amat baiknya dan mereka ini telah dianggap sebagai keluarga dekat.

Aria Wiraraja adalah seorang panglima yang amat setia dan paling besar jasanya terhadap mendiang Prabu Kertarajasa,dan jasanya dalam membangun Majapahit amatlah besarnya. Oleh karena itu mendiang Parabu Kertarajasa membalas jasa Aria Wirarajadengan mengangkatnya menjadi perdana menteri dan menjadikannya wakil raja di Lumajang, sedangkan puteranya Raden Nambi, diangkat menjadi patih di Majapahit.

Semenjak terjadi peberontakan-pemberontakan dan tewasnya Rangga Lawe dan lain-lain panglima tua. Aria Wiraraja merasa tak senang sekali dan ia tidak pernah datang berkujung menghadap kepada raja di Majapahit, dan pada masa itu, “mogok sowan” ini dilakukan untuk menyatakan bahwa ia tidak setuju dengan pemerintahan Prabu Jayanagara.

Raden Nambi yang menjadi patih di Majapahit, juga diam-diam meninggalkan ibukota dan tinggal di Lumajang bersama-sama ayahnya. Tentu saja hal ini amat mengecewakan dan menyedihkan hati Prabu Jayanagara. Beberapa kali Bagawan Mahapati dan lain-lain panglima membujuk kepada raja untuk menggempur Lumajang, akan tetapi, Sang Prabu masih merasa segan dan malu hati untuk memerangi Aria Wiraraja, orang tua yang telah banyak berjasa itu.

Akhirnya setelah Aria Wiraraja meninggal dunia, barulah tentara Majapahit dikerahkan dan di bawah pimpinan raja sendiri, Lumajang digempur. Raden Nambi dan anak buahnya melakukan perlawanan mati-matian sehingga korban di kedua pihak jatuh bertumpuk-tumpuk. Betapapun juga, pihak Majapahit lebih kuat dan lebih banyak, terutama berkat kesaktian Bagawan Mahapati, akhirnya Raden Nambi beserta seluruh keluarganya dibinasakan.

Di antara banyak panglima di Lumajang yang gugur dalam peperangan menghadapi serbuan tentara Majapahit, terdapat seorang senopati muda yang gagah perkasa bernama Nagawisena. Senopati ini adalah seorang muda yang menjadi sahabat baik Raden Nambi dan tadinya juga tinggal di ibukota dan ikut pergi dengan Raden Nambi dari Kota Raja untuk menyatakan tidak senangnya terhadap pemerintahan terhadap Jayanagara.

Isteri Nagawisesa adalah seorang cantik jelita yang berkulit kekuning-kuningan dan bernama Dara Lasmi, yang sesungguhnya adalah seorang wanita dari Malayu. Ketika dahulu kedua puteri dari Malayu, Dara Petak dan Dara Jingga yang menjadi isteri-isteri dari Prabu Kertarajasa, datang di Majapahit, Lasmi menjadi seorang di antara pelayan-pelayan kedua puteri itu, dan masih kanak-kanak.

Berkat ketangkasan dan jasa Nagawisena, maka akhirnya ia jutuh cinta kepada Lasmi, mendapat kurnia raja dan dinikahkan dengan Lasmi. Dalam pernikahan ini, mereka mendapatkan seorang puteri yang diberi nama Ratna Wulan. Ketika Nagawisena gugur dalam perang melawan tentara Majapahit, Dara Lasmi membawa anaknya lari dari Lumajang.

Sambil menahan tangisnya karena kehancuran hatinya mendengar betapa suaminya yang tercinta itu gugur dalam peperangan dan ia tidak mempunyai kesempatan untuk menengok jenazah suaminya, Dara Lasmi menarik tangan puterinya yang baru berusia sepuluh tahun ini, berlari-lari keluar dari gerbang kota Lumajang sebelah barat. Sebagaimana sudah lajim terjadi dalam sebuah keributan, terutama keributan yang ditimbulkan oleh perang.

Banyak hal-hal yang tak patut terjadi dan dilakukan oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab. Demikianpun dalam petempuran di Lumajang ini, banyak anak buah dari bala tentara Majapahit melakukan penyelewengan-penyelewengan merampok harta benda penduduk Lumajang, dan bini orang yang masih muda dan cantik.

Oleh karena itu, usaha Dara Lasmi untuk melarikan diri keluar dari kota bukanlah hal yang mudah. Baru saja keluar dari rumahnya, ia telah bertemu dengan dua orang tentara Majapahit yang segera menyerbunya ketika melihat wanita muda yang cantik jelita ini berlari dengan anaknya. Dara Lasmi berdiri dengan mata terbelalak lebar ketika melihat dua orang tentara musuh itu maju mendekat. Ia mendekap anaknya yang menangis ketakutan, lalu menghadapi kedua tentara Majapahit itu sambil berkata.

“Jangan kalian menggangguku, aku adalah isteri dari Senopati Nagawisena!” Ia hendak mempergunakan nama suaminya yang cukup terkenal untuk membikin takut kedua orang itu. Akan tetapi mereka bahkan tertawa geli mendengar Dara Lasmi menyebut nama ini.

Seorang di antara mereka, yang bermuka bopeng karena dimakan penyakit cacar berkata. “Ha,ha, ha, jadi kau puteri dari Malayu? Kebetulan sekali, sudah lama aku mengilar dan merindukan seorang puteri Malayu!” Ia melangkah maju dengan kedua tangan dibentangkan, siap untuk menubruk.

“Mundur!” teriak Dara Lasmi.” Apakah kau tidak takut kepada Senopati Nagawisena? Akan dihancurkan kepalamu kalau ia mendengar tentang ke kurang ajaranmu!”

Tentara yang seorang lagi, yang bermuka hitam,tertawa mengejek. “Ha,ha! Jangan kau menakut-nakuti kami, manis! Suamimu, pemberontak Nagawisena itu, telah mempus dimedan yuda!” Kemudian ia berkata kepada kawannya yang bermuka bopeng. “Bandu, biarlah kau mendapatkan puteri Malayu yang denok ayu ini, dan perawan kecil yang molek mungil itu bagianku. Aku cukup sabar menanti barang lima tahun lagi, tentu ia akan menjadi bunga yang lebih harum dan segar daripada ibunya.Ha, ha,ha,!”

Selagi kedua orang itu tertawa-tawa dengan lagak menjemukan, marahlah Dara Lasmi. Ucapan-ucapan yang amat menghina itu membuat mukanya yang cantik menjadi merah padam dan kemarahannya tak dapat ditahan lagi. Ia lalu membawa Diah Ratna Wulan ke tepi jalan, kemudian ia mencabut keris yang terselip di ikat pinggangnya. Gerakannya cepat dan trengginas sekali. Memang nasib kedua orang tentara Majapahit itu yang sial.

Mereka tidak tahu siapakah adanya wanita cantik yang mereka ganggu. Dara Lasmi bukanlah wanita sembarangan dan dahulu, ketika ia masih tinggal bersama dengan orang tuanya di tanah Malayu, ia telah mendapat latihan pencak silat dari ayahnya, seorang pendekar yang cukup terkenal. Setelah menjadi isteri Nagawisena, Dara Lasmi bahkan memperdalam ilmu silatnya. Suaminya sendiri, Nagawisena, banyak mendapat kemajuan dalam ilmu berkelahinya dari isterinya ini.

Kedua orang tentara Majapahit itu makin keras suaranya ketika melihat Dara Lasmi mencabut keris. Apakah daya seorang wanita lemah lembut dan secantik itu? Sebagai dua orang perajurit yang kenyang akan pengalaman pertempuran tentu saja sikap Dara Lasmi tidak menakutkan hati mereka, bahkan menggelikan. Mereka saling padang, kemudian si muka bopeng berkata.

“Lihat calon kekasihku ini! Gagah sekali bukan? Biar kutangkap dia!” Sambil berkata demikian, si muka bopeng itu menubruk maju sambil mengembangkan kedua lengannya, bagaikan seekor harimau menubruk kambing.

Akan tetapi, dengan pandangan matanya yang tajam. Dara Lasmi berlaku waspada dan cepat sekali ia melangkah kesamping, mengelak dari terkaman laki-laki buas itu. Begitu tubuh laki-laki itu menyambar lewat, secepat kilat kerisnya menyambar kearah lambung. Perajurit itu terkejut sekali dan cepat memiringkan tubuhnya ke samping untuk menghindarkan diri dari tusukan maut ini.

Akan tetapi ia kalah cepat dan kulitnya masih tergores keris sehingga mengucurlah darah dari lambungnya! Barulah terbuka mata kedua orang perajurit itu! Rasa sakit karena kulit lambungnya pecah membuat si muka bopeng menjadi marah sekali dan sekaligus kegairahan hatinya memiliki puteri jelita itu berubah menjadi nafsu untuk membunuh! Ia mencabut klewangnya yang tergantung di pinggang.

“Kau ingin mampus!” serunya dan klewangnya menyambar kearah leher Dara Lasmi!

Akan tetapi, pada saat itu, Dara Lasmi telah berubah menjadi seorang pendekar wanita. Setiap otot dan urat di dalam tubuhnya menegang, sepasang matanya yang indah bening itu memancarkan cahaya berapi, hawa yang keluar dari pernapasan panas! Ketika Klewang ditangan lawannya menyabar kearah leher tanpa berkedip sedikitpun.

Dara Lasmi mengelak cepat, bukan untuk menjauhi lawan, akan tetapi bahkan ia menyelinap di bawah sambaran klewang itu dan kaki kanannya melangkah masuk di barengi dengan luncuran kerisnya yang cepat sekali gerakannya, maka. “cepp!” keris itu menancap perut lawannya sampai ke gagangnya!

Sebagai seorang ahli silat yang mahir, Dara Lasmi secepat itu pula mencabut kerisnya, dibarengi dengan gerakan tangan kiri mendorong ke depan dan tubuhnya cepat membalik kebelakang menjauhi lawan. Untuk beberapa saat tubuh si muka bopeng seperti kejang dan kaku, klewangnya terlepas dari tangan, matanya memandang terbelalak ke depan. Kemudian ia memekik ngeri, kedua tangannya mendekap perut yang mengucurkan banyak darah dan tubuhnya mulai bergoyang-goyang kekanan kiri, kedua kakinya limbung terhuyung-huyung dan akhirnya ia roboh bagaikan pohon pisang di tumbangkan orang!

Si muka hitam semenjak tadi berdiri kesima dan bengong, hampir tak percaya akan kejadian yang disaksikannya. Setelah melihat kawannya roboh tak berkutik lagi, barulah ia sadar bahwa ia bukan sedang mimpi. Dipegangnya tombak di tangan. Sebenarnya ia telah merasa ngeri dan seram menghadapi seorang puteri yang luar biasa ini, akan tetapi ia bermaksud untuk merobohkan puteri itu dengan sekali tusukan tombaknya.

Dara Lasmi berlaku tenang sekali. Ketika tombak yang ditujukan kearah dadanya itu meluncur dengan kencangnya, ia hanya menggeser kakinya dan memiringkan tubuhnya sehingga tombak yang ditusukkan itu meluncur lewat di samping tubuhnya, kemudian sebelum lawannya sempat menarik kembali tombak itu, tangan kirinya cepat menangkap batang tombak dan kakinya melangkah maju dengan keris di tangan kanan yang masih berlumuran darah itu siap ditusukkan.

Akan tetapi, si muka hitam itu ternyata berhati pengecut dan tiba-tiba ia melepaskan tombaknya lalu membalikkan tubuh dan lari tunggang langgang! Dara Lasmi melepaskan tombak itu dan memandang dengan dada masih berombak karena marah, melihat orang yang berlari cepat dan hanya nampak kedua telapak kaki orang itu yang seakan-akan menendangi pantatnya sendiri!

Diah Ratna Wulan berlari memeluk ibunya. Barulah Dara Lasmi lenyap marahnya dan ia mengucap syukur kepada Gusti yang Maha Agung bahwa yang menyerangnya hanya dua orang. Kalau yang menyerangnya berjumlah banyak, sungguhpun ia akan dapat melindungi diri sendiri, akan tetapi belum tentu ia akan dapat melindungi anaknya. Pikiran ini membuat ia cepat memasuki rumahnya kembali dan ketika tak lama kemudian ia keluar, ia telah berubah menjadi seorang wanita yang berpakaian compang camping dan mukanya penuh dengan lumpur dan arang, menutupi kecantikannya.

Demikianlah, wanita yang bernasib malang ini, lalu pergi keluar dari pintu gerbang sebelah barat. Untung baginya bahwa di situ sunyi karena peperangan berlangsung disebelah utara kota dan ia dapat keluar dari Lumajang dengan selamat. Dengan tindakan cepat ia mengandeng anaknya berlari terus kebarat.

Diah Ratna Wulan biarpun baru berusia sepuluh tahun, akan tetapi ia memiliki kekerasan hati seperti ibunya. Biarpun ia telah merasa betapa kedua kakinya lelah dan sakit sekali, ia menguatkan hati dan menggigit bibirnya,terus berjalan setengah berlari di samping ibunya. Baru setelah mereka berjalan lama dan jauh meninggalkan kota sehingga suara pekik sorak orang-orang yang bertempur tak kedengaran lagi, Ratna Wulan mengeluh dan berkata perlahan.

“Ibu. apakah kita tidak mengaso dulu?”

Dara Lasmi berhenti dan mnunduk memandang kearah kedua kaki puterinya. Hatinya terasa perih seperti tertusuk pisau ketika melihat betapa kedua kaki anaknya itu bengkak-bengkak dan pinggirnya telah pecah-pecah. Dua titik air mata menetes turun dan ia cepat merangkul anaknya.

“Manis, kita belum boleh mengaso dulu?” Dara Lasmi berhenti dan menunduk, memandang ke arah kedua kaki puterinya. Hatinya terasa perih seperti tertusuk pisau ketika melihat betapa kedua kaki anaknya itu bengkak-bengkak dan pinggirnya telah pecah-pecah. Dua titik air mata menetes turun dan ia cepat merangkul anaknya.

“Manis, kita belum boleh mengaso, belum cukup jauh dari Lumajang. Marilah kau kugendong, nak!” Setelah berkata demikian, Dara Lasmi lalu menggendong anaknya dan terus berlari lagi, lurus kearah barat di mana nampak menjulang tinggi Gunung Mahameru. Sebagai seorang isteri senopati yang dapat disebut bangsawan juga, ia jarang sekali melakukan perjalanan keluar rumah dari rumah, apalagi melakukan perjalanan sejauh itu, belum pernah ia lakukan.

Maka tentu saja telapak kakinya menjadi lemah dan kulit telapak kakinya yang halus lemas bagaikan sutera. Kini, melakukan perjalanan jauh melalui tanah berbatu dan menerjang tetumbuhan berduri, kedua kakinya telah luka-luka dan telapak kakinya bahkan telah bengkak dan pecah-pecah. Akan tetapi, ia menguatkan diri dan sambil menggendong anaknya yang telah kepayahan, ia berlari terus memasuki hutan dikaki Gunung Mahameru itu.

Haripun mulai menjadi gelap karena senjakala mendatang. Setelah tiba di dalam hutan yang sunyi, barulah ia berhenti mengaso di dekat sebatang anak sungai yang amat jernih airnya. Ia menurunkan Diah Ratna Wulan yang segera duduk di atas rumput dan menggosok-gosok kakinya yang amat sakit. Anak itu mulai menangis perlahan-lahan sambil mengeluh.

“Sakitkah kakimu,Wulan?” Tanya ibunya dengan suara penuh iba.

Ratna Wulan hanya mengangguk dan ibunya lalu memeriksa kaki anaknya yang pecah-pecah kulit telapaknya itu. Ia lalu menggendong anknya kedalam anak sungai dan mencuci kaki anak itu. Ratna Wulan menjerit kesakitan karena luka-luka di telapak kaki itu ketika terkena air yang dingin terasa sakit dan perih sekali.

“Biarlah sakit sedikit, Wulan. Luka-luka ini harus dicuci, kalau tidak, akan menjadi bengkak dan menghebat.”

Setelah telapak kaki Ratna Wulan dicuci bersih, Dara Lasmi lalu memotong ujung kembennya (kain pengikat pinggang) dengan keris, dan dibalutnyalah kedua kaki anaknya itu. Setelah itu, barulah ia mencuci dan membalut kedua kakinya sendiri dan kedua orang yang bernasib malang ini lalu mengaso di bawah sebatang pohon ketapang.

Rasa sakit pada kakinya mengurang dan hal ini membuat Ratna Wulan dapat merasai rasa lapar yang menyerang perutnya. Beberapakali ia memandang ibunya yang duduk melamun seperti kehilangan semangat itu, akan tetapi ia tidak membuka mulut. Ia maklum bahwa semenjak pagi tadi ibunya pun belum makan dan maklum pula bahwa ibunya tidak membawa makanan apa-apa, maka ia tidak berani menyatakan bahwa perutnya lapar.

“Ibu,” akhirnya suara anak itu memecah kesunyian. Ibunya memandang dan seakan-akan baru sadar dari mimpi, karena ia lalu mendekati anaknya dan merangkulnya. Kepala anaknya diraih dan didekap di atas pangkuannya dan kembali air mata mulai membasahi bulu matanya.

“Ada apakah, Wulan? Masih sakitkah kakimu?” Ia menekan perasaannya agar supaya anaknya jangan sampai mendengar suaranya yang mengandung isak. Ratna Wulan menggeleng diatas pangkuan ibunya, akan tetapi anak ini tak dapat menahan lagi dan mulai menangis tersedu-sedan. Dengan penuh kasih sayang dan keharuan hati, Dara Lasmi mengelus-elus rambut anaknya yang hitam dan panjang itu, lalu berkata,

“Anakku sayang kau lelah sekali? Biarlah malam ini kita mengaso di sini, dan besok kalau kau tidak kuat berjalan, ibu akan menggendongmu.”

Ratna Wulan menahan isaknya. “Ibu besok kita akan pergi kemanakah?”

Kalau saja orang lain yang mengajukan pertanyaan ini, tentu Dara Lasmi takkan kuat menahan tangisnya, karena sesungguhnya ia sendiri pun tidak tahu ke manakah ia harus pergi. Akan tetapi ia tidak mau menyusahkan hati anaknya, anak yang masih kecil dan belum tahu apa-apa ini, maka ia menjawab sambil memaksa bibirnya terseyum karena anaknya telah memandang wajahnya.

“Wulan, besok kita pergi mendaki bukit itu. Disana indah sekali pemandangannya, kita selanjutnya tinggal dipuncak gunung, di mana banyak terdapat binatang yang indah-indah. Aku akan menangkap kijang, kelinci, dan pelanduk untukmu. Disana banyak pula kembang yang cantik dan harum baunya, banyak pula buah-buahan yang lezat rasanya.” Mendengar ibunya menyebut buah, terasa pula lapar didalam perut Ratna Wulan.

“Banyak buah-buah, ibu?”

“Ya, nak, banyak buah-buahan yang lezat. Pisang, jambu, mangga, jeruk, semua terdapat di puncakitu. Maka sekarang tidurlah agar besok pagi kita dapat melanjutkan perjalanan.” Hening sejenak.

“Ibu.?”

“Ya, sayang?”

“Betul-betul banyak buah disana, bu?”

“Tentu, nak. Ibu tak pernah membohong, bukan?”

“Dan sekarang. ke manakah kita harus mencari makanan, ibu?”

Dara Lasmi merasa seakan-akan lehernya tercekik dan biarpun ia telah menahannya, namun dua butir air mata tak dapat dicegah lagi, menitik turun dari kedua matanya.

“Wulan, anakku. Kau... kau laparkah?”

Ratna Wulan mempererat pelukan kedua tangannya ke pinggang ibunya akan tetapi ia tidak menjawab. Dan dalam kesunyian itu, terdengar jawaban dari perut anak itu yang berkeruyuk menyatakan kelaparannya. Bukan main terharunya hati Dara Lasmi. Ia memeluk anaknya dan menciumi mukanya.

“Wulan. anakku, sayang. tahankanlah untuk malam ini, anakku. Besok akan kucarikan makanan untukmu!” Dan kini ia tak dapat menahan lagi membanjirnya air matanya yang membasahi rambut anaknya. Ratna Wulan juga menangis lagi dan memeluk pinggang ibunya makin erat.

“Wulan, kau sudah besar, usiamu sudah sepuluh tahun. Kau harus dapat menahan penderitaan Ini dengan gagah, seperti Pendekar Wanita Hamili yang gagah perkasa itu!”

“Ibu, ceritakanlah tentang Pendekar Hamili itu.” Keadaan telah gelap benar karena malam telah tiba. Kalau keadaan tidak segelap itu tentu Dara Lasmi akan melanjutkan perjalanan, mencari tempat di mana mungkin terdapat pohon yang berbuah. Maka ialalu mulai bercerita untuk menghibur anaknya.

“Puteri Hamili dibuang ke dalam hutan belukar oleh ibu tirinya yang kejam, dengan maksud agar supaya Puteri Hamili mati kelaparan di dalam hutan yang hanya penuh dengan pohon jati dan randu itu. Telah tiga hari tiga malam Puteri Hamili berjalan di dalam hutan tak kuasa mencari jalan keluar, karena hutan itu amat luas dan liar. Selama tiga hari tiga malam, Puteri Hamili tidak makan nasi sebutirpun dan tidak minum air barang setetespun. Ia merasa amat lapar.”

“Tentu ia lapar sekali, ibu, dan juga haus.”

“Memang, Wulan, lebih lapar dan lebih haus daripada kita.”

“Ia kuat sekali, ibu.”

“Memang, Puteri Hamili amat kuat dan gagah perkasa. Pada hari keempat, datanglah seekor srigala jahat dan kejam menjumpainya.”

“Srigala itu yang bagaimana, ibu?”

“Srigala adalah anjing hutan, yang jauh lebih kejam dan lebih kotor daripada anjing, lagi pula ia besar dan kuat serta liar sekali!”

“Aduh, tentu Puteri Hamili amat ketakutan.”

“Tidak, Wulan. Puetri Hamili tak kenal takut! Ia gagah perkasa lagi kuat imannya. Srigala datang membawa seikat buah pisang yang sudah masak, dan dengan suara penuh bujuk rayu ia mempersembahkan pisang raja itu kepada Puteri Halimi sambil bernyanyi :

“Duhai Hamili yang cantik rupawan
Hamba datang menghibur tuan,
Terimalah seikat pisang raja
Asalkan mau menjadi isteri hamba!”


Dara Lasmi menceritakan dongeng ini sambil meniru suara yang parau dan menyanyikan lagu itu sehingga anaknya amat tertarik.

“Ia menipu! Ia mau membujuk dan menipu! Bagaimana seorang puteri cantik harus menjadi isteri srigala?” teriak Ratna Wulan dengan gembira, lupa sama sekali akan rasa laparnya! Ibunya tersenyum.

“Kalau kau menjadi Hamili, apakah kau akan mau menerima persembahan itu, Wulan?”

“Tidak sudi, tidak sudi!” jawab anaknya.

“Sungguhpun kau amat lapar?”

“Tidak sudi! Biar kutahan rasa laparku!” jawab pula anak itu penuh semangat.

“Nah, demikianpun Puteri Halimi. Ia menolak keras dan menjawab dengan nyanyian pula :

“Wahai srigala jahanam angkara!
Tiga hari tiga malam aku berpuasa,
Namun bujukanmu ini,
Tak sudi aku terima!

Ketahuilah,
Puteri Hamili tahan menderita.
Lapar dan haus gangguan biasa.
Enyahlah kau, srigala enyahlah!
Puteri Hamili puteri yang gagah!”


“Bagus!” Ratna Wulan berteriak sambil tersenyum-senyum dan bertepuk tangan.

“Demi mendengar jawaban ini, srigala menjadi marah lalu ia menyerang puteri ini dengan terkamannya sambil membuka mulutnya yang lebar penuh dengan gigi yang runcing dan mengerikan.”

“Aduh, lalu bagaimana, ibu?” Ratna Wulan menggunakan kedua tangannya menekan kedua pipi dan matanya terbelalak lebar memandang wajah ibunya yang hanya nampak samara-samar di bawah penerangan bintang-bintang yang suram itu.

“Puteri Hamili tak gentar sedikitpun juga. Ia mencabut pedangnya dan dengan gagah ia melawan sehingga srigala itu mati dengan dada tertembus pedang.”

Ratna Wulan menarik napas panjang karena lega hatinya. Ia lalu merebahkan tubuhnya di atas rumput, dan meletakkan kepalanya diatas pangkuan ibunya. Dara Lasmi melanjutkan ceritanya diseling nyanyian-nyanyian yang merdu, karena memang suaranya amat nyaring dan ia pandai sekali bernyanyi dan mendongeng. Akhirnya tertidurlah Ratna Wulan tanpa teringat sedikitpun akan kelaparan perutnya.

Setelah tarikan napas anak itu menyatakan bahwa ia telah tidur nyenyak barulah Dara Lasmi menghentikan nyanyian-nyanyiannya dan ia lalu duduk melamun sambil menaruh tangannya diatas kepala anaknya. Ia mengenangkan segala peristiwa pagi tadi dan tak terasa pula ia menangis lagi, yang ditahan-tahannya agar jangan sampai menimbulkan suara dan mengganggu anaknya yang sedang tidur.

Hatinya penuh dendam dan sakit hati kepada Kartika yang telah menjadi pembunuh suaminya. Kalau Suaminya sebagai seorang senopati gugur di dalam peperangan secara sah, ia akan rela karena gugur adalah hal yang tidak memalukan dan sudah sewajarnya bagi seorang panglima perang.

Ia takkan menaruh hati dendam kepada siapapun juga, tidak kepada Kerajaan Majapahit, maupun kepada orang-orang tertentu. Kewajiban seorang panglima dan perajurit hanya untuk membela Negara dan bangsa, membela kerajaan dan junjungan, membela pimpinannya, tanpa memusingkan pikiran tentang urusan yang menimbulkan pertikaian dan peperangan itu. Kalau ia menang, ia akan memperoleh jasa dan kedudukan, kalau ia gugur, ia akan menjadi kesuma Negara dan menjadi pahlawan.

Sepekan sebelum terjadi peperangan, Kartika datang dari Kota Raja mengunjungi suaminya. Sikapnya ketika memandangnya telah menimbulkan rasa jijik dan tak senang di dalam hatinya karena sebagai seorang wanita yang berperasaan halus ia dapat menangkap arti sinar mata laki-laki itu. Akan tetapi oleh karena Kartika dan suaminya, telah menjadi sahabat karib semenjak mereka masih tinggal di Kota Raja, maka ia diam saja dan pura-pura tidak melihat sinar mata yang mengandung kekurangajaran itu.

Kartika adalah murid tersayang dari Bagawan Mahapati, dan kedatangannya itu untuk membujuk-bujuk Nagawisena agar supaya suka membantu serbuan tentara Majapahit dan suka membela Prabu Jayanagara. Akan tetapi, suaminya menjawab dengan suara tetap.

“Kartika, kalau saja yang mengeluarkan ucapan ini bukan kau, yang telah kuanggap sebagai saudara sendiri, tentu sekarang juga bukan mulutku yang bicara, melainkan kerisku. Dengarlah! Aku telah bersumpah setia kepada Raden Nambi dan sebagai seorang senopati Lumajang, aku akan membela Lumajang dengan jiwa dan ragaku. Siapapun juga yang mengganggu Lumajang, akan kuhadapi dengan keris di tangan dan biarpun aku harus berkorban nyawa, aku rela.”

“Aduh, sahabatku yang kucinta!” Kartika dengan wajahnya yang tampan itu membayangkan keharuan hati dan mulutnya mengeluarkan ucapan yang amat manis. ”Bagaimana hatiku akan rela melihat kau binasa di bawah serbuan tentara Majapahit?”

“Apa boleh buat, Kartika. Kalau sudah tiba masanya kau menjadi perajurit Majapahit dan menyerbu ke Lumajang, terpaksa aku akan meramkan mata dan menghadapimu dengan senjata di tangan, dengan pendirian bahwa penyerbu Lumajang adalah musuh Negara yang harus kulawan dengan gigih.”

Kartika menjadi amat kecewa mendengar pernyataan Nagawisena yang tak tertundukkan itu, maka sebagai penutup kata ia berkata., “Nagawisena, sahabatku. Betapapun menyesal dan kecewa rasa hatiku, namun apabila benar-benar Barisan Majapahit menyerbu ke sini, akan kuusahakan agar kau jangan sampai tewas dalam peperangan itu.”

“Tewas hanyalah berpulang ke tempat asal, Kartika. Dan tiada yang lebih mulia bagi seorang senopati melainkan tewas dengan tombak tertancap di dada.”

Demikianlah, Kartika kembali keKota Raja melaporkan kegagalannya. Dan pagi tadi, ketika perang tanding sedang memuncak dan ramainya. Nagawisena yang mengamuk hebat tiba-tiba berhadapan dengan Kartika.

“Sayang, Kartika! Terpaksa kita harus berhadapan dengan senjata di tangan!” kata Nagawisena dengan gagah.

Akan tetapi, tiba-tiba Kartika melemparkan senjatanya ke atas tanah dan berkata dengan suara berduka. “Ngawisena, benar-benarkah akan sekejam itu hatimu? Tidak ingatkah kau betapa dahulu kita di masa kanak-kanak bersama-sama mandi di Begawan, mencari sarang-sarang burung dan bermain-main? Ah, kawan, aku tak tega mengangkat senjata kepadamu!”

“Kartika, jangan kau selemah itu!” kata Nagawisena sambil mengertak giginya, mengeraskan ati.

“Tidak, Nagawisena, tidak! Kita tak boleh saling meyerangi! Simpanlah kembali kerismu dan biarkan aku memelukmu sekali lagi!”

“Kita di medan perang, Kartika, jangan bersikap seperti wanita lemah!”

“Kabulkan permintaanku yang terakhir ini, Nagawisena. Simpanlah senjatamu dan biarkan aku memelukmu sekali lagi. Setelah itu, terserah kepadamu kalau hendak melanjutkan pertempuran. Pelukan terakhir ini berarti banyak bagiku, sahabatku yang baik. Siapa tahu, kalau bukan kau tentu Aku yang akan gugur di medan yuda ini.”

Lemah hati Nagawisena mendengar ini. Dimasukkannya kembali kerisnya diwarangka keris dan mereka lalu saling memeluk sebagai dua orang sahabat karib. Akan tetapi, ketika dua orang muda itu saling memeluk, tiba-tiba senopati dari Majapahit cepat menusuk lambung Nagawisena dari belakang dengan kerisnya. Pelukan terlepas dan Nagawisena terhuyung-huyung lalu roboh mandi darah! Kartika yang berhati palsu itu hanya tersenyum menyerigai dan berkata kepada Nagawisena yang menggeletak di atas rumput.

“Salahmu sendiri mengapa kau tidak mendengar bujukanku!”

Demikian terjadilah peristiwa itu. Dara Lasmi mengertak gigi, mengepal tangan dan matanya memancarkan cahaya berapi. Ia mengetahui semua peristiwa ini dari seorang perajurit Lumajang yang menceritakannya dengan jelas kepadanya, sekalian menggambarkan tentang tewasnya suaminya.

“Bangsat Kartika, keparat jahanam! Aku bersumpah hendak membalas kekejaman dan kecurangan ini! Kalau aku sendiri tidak dapat turun tangan membalaskan dendam suamiku, tentu anakku yang akan membalaskan sakit hati ayahnya!”

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Dara Lasmi telah melanjutkan perjalanannya mendaki Gunung Mahameru yang amat tinggi itu. Dapat dibayangkan betapa sukarnya perjalanan itu, akan tetapi puteri yang bersemangat besar ini biarpun dengan terpincang-pincang, tetap melanjutkan langkahnya sambil menggendong Ratna Wulan di punggungnya. Kadang-kadang anak yang menaruh hati kasihan kepada ibunya ini minta turun dan ikut berjalan terpincang-pincang.

Untung sekali, di lereng bukit itu mereka lewat dalam sebuah hutan di mana banyak terdapat pohon-pohon berbuah, maka dengan girang Dara Lasmi lalu mencari buah-buah pisang dan lain-lain untuk anaknya dan dia sendiri. Sungguhpun dengan hanya merasa puas, namun makanan itu cukuplah untuk menentramkan cacing-cacing di dalam perut yang mengeliat-geliat.

Akan tetapi sadar mereka harus mengalami banyak penderitaan. Baru saja perut mereka terisi dan mereka terhindar balik gerombolan-gerombolan pohon muncul orang-orang lelaki yang kelihatan kasar dan liar. Jumlah mereka dua belas orang dan di tangan mereka kelihatan golok-golok yang mengkilap dan tajam!

Dara Lasmi merasa terkejut sekali dan wajahnya menjadi pucat. Kedua kakinya luka-luka dan sakit sekali sedangkan tubuhnya telah menjadi lemah karena lelah. Bagaimana harus membela melindungi anaknya? Karena merasa bahwa ia tidak akan dapat mempertahankan diri apabila ia melawan, maka Dara Lasmi lalu menggendong anaknya dan cepat berlari pergi dari situ!

Kawanan perampok itu tertawa mengejek dan mereka mulai melakukan pengejaran sambil berteriak-teriak karena sungguhpun pakaian Dara Lasmi sudah tak karuan lagi macamnya, namun kecantikan wanita itu masih amat menggiurkan. Dara Lasmi tidak menghiraukan lagi kedua telapak kakinya yang pecah-pecah dan berdarah, tidak merasakan lagi perih-perih kerikil tajam itu.

Akan tetapi, kedua kakinya makin lemas dan beberapa kali ia terhuyung-huyung hampir jatuh. Pengejarnya makin dekat saja dan suara teriakan mereka terdengar keras. Tak lama kemudian, langkah kaki pengejar pertama telah berada di dekat Dara Lasmi. Derap kakinya telah terdengar, bahkan bunyi pernapasannya telah terdengar pula. Dara Lasmi makin gelisah dan ketika di depannya terdapat sebuah batu yang agak besar, dalam kegugupannya ia melompati batu itu.

Malang baginya, ia tergelincir dan tubuhnya terguling di atas tanah berbatu-batu. Walaupun demikian, ia masih ingat untuk mendekap anaknya dan melindungi kepala anaknya dengan kedua lengannya. Beberapa kali ia menggelundung dan mendapat luka-luka dikening dan kedua lengannya. Perih dan sakit sekali tubuhnya terasa sakit. Ratna Wulan menangis karena ketika ibunya terjatuh, kakinya tergencet dan berdarah, sakitnya bukan main.

“Ha,ha, ha! Kau hendak lari kemana, manis,” pengejar yang paling cepat larinya tertawa. “Aku yang lebih dahulu menangkapmu, maka akulah yang berhak atas dirimu!” Sambil tertawa bergelak, perampok itu maju menghampiri.

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar seruan suara yang halus dan berpengaruh, “Jangan mengganggu orang!”

Mendengar suara yang amat berpengaruh ini, bagaikan ada tenaga yang menahan gerakan perampok yang hendak menubruk Dara Lasmi itu. Ia cepat menengok dan melihat seorang kakek tua turun dari lereng bukit dengan tindakan kaki tenang.

Sementara itu, Dara Lasmi mengeluh dan merangkak bangun, memijit-mijit kaki anaknya yang berdarah sambil menghiburnya. Wanita ini sama sekali tidak memperdulikan luka-lukanya sendiri dan sibuk mendiamkan Ratna Wulan yang menangis.

Perampok itu menjadi marah dan pada saat itu, kawan-kawannya yang tadi mengejar telah sampai di situ pula. Mereka lalu memandang kepada kakek itu telah turun dari bukit. Kakek ini telah tua, bajunya berlengan panjang warna putih, celananya sampai di bawah lutut berwarna hitam, tangan kanan memegang sebatang tongkat hitam. Rambut kepala dan kumis serta jenggotnya panjang berwarna putih, nampak mengkilap bagaikan perak ketika tertimpa sinar matahari. Perampok yang marah itu lalu membentak.

“He, kakek tua renta! Mengapa kau berani menghalangi maksudku? Apakah kau telah bosan hidup?”

“Semenjak dahulu, sekarang dan kemudian aku selalu hidup, bagaimana dapat disebut bosan?” kata kakek itu dengan suaranya yang lemah lembut dan sabar. “Kalian janganlah mengganggu wanita ini. Lihat keadaannya demikian sengsara, tidak kasihan bahkan mau mengganggu, apakah itu bukan perbuatan yang melanggar prikemanusiaan?”

Berandal-berandal itu adalah orang-orang kasar yang setengah liar, mana tahu tentang prikemanusiaan? Seorang di antara mereka berkata kepada pemimpinnya yang tadi mengejar Dara Lasmi.

“Kakang Singo, mengapa perdulikan ocehan seorang kakek yang sudah mau mati? Tangkap saja perempuan itu!” Mereka serentak maju hendak menangkap Dara Lasmi, akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan kakek itu dengan suara gemuruh.

“Jangan bergerak!” Dan aneh! Dua belas orang perampok yang tinggi besar dan kuat itu tiba-tiba berdiri diam dalam gerakan masing-masing, ada yang sedang mengulur tangan, ada yang sedang berlari, ada pula yang sedang menengok, semua berdiri diam dan kaku tak dapat bergerak seperti patung batu-batu.

Melihat keanehan ini, Dara Lasmi tertegun dan berdiri dengan bengong, kemudian ia maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang tua yang sakti, maka sambil menggendong anaknya dan berjalan terpincang-pincang ia lalu menghampiri kakek itu dan menjatuhkan diri berlutut, menyembah, lalu ibu yang sengsara itu terjungkal pingsan bersama Ratna Wulan di dalam gendongannya.

“Jagad Dewa Batara!” Kakek itu menyebut. “Kasihan sekali nasibmu yang buruk ini, nini!”

Ketika Dara Lasmi siuman kembali dari pingsannya, dengan amat heran ia mendapatkan dirinya telah berada dalam sebuah pondok bilik yang amat sederhana dan Ratna Wulan telah tidur nyenyak di sebelahnya, yaitu di atas sebuah pembaringan bambu yang bersih. Ia bangun perlahan dan memandang ke kanan kiri.

Pondok itu tak berkamar, hanya kecil saja bagaikan gubuk ditengah sawah. Ia turun dari pembaringan bambu itu dan merasa makin terheran ketika merasa betapa kedua kakinya telah sembuh sama sekali. Ketika keluar dari sebuah pintu yang kecil di depan pondok, angin sejuk meniup perlahan dan ia merasa tubuhnya menjadi segar dan berbareng perutnya terasa lapar sekali.

Setelah ia keluar dari pondok, ia menahan seruannya karena merasa amat kagum. Pemandangan di luar pondok benar-benar mengagumkan dan indah sekali. Ternyata bahwa pondok itu berada di puncak Gunung Mahameru dan didepannya terbentang luas tamasya alam yang indah menawan hati. Bunga-bunga harum indah tumbuh di sana-sini, pohon-pohon yang penuh buah-buahan terdapat banyak sekali disekitar tempat itu. Suara burung yang berkicau membuat ia merasa seakan-akan berada di alam mimpi.

Ternyata bahwa saat itu metahari baru saja terbit, maka ia merasa heran bagaimana ia bisa berada di tempat ini. Ia teringat kepada kakek yang menolongnya, maka ia menduga bahwa tentu kakek itu yang membawa mereka berdua ketempat ini. Dara Lasmi mencari-cari dengan matanya, namun kakek itu tidak nampak berada di sekitar tempat itu.

“Ibu.!” tiba-tiba terdengar Ratna Wulan memanggilnya. Ia kembali ke dalam pondok dan anaknya telah turun dari pembaringan. Juga keadaan Ratna Wulan amat sehat dan segar. Agaknya hawa gunung yang sejuk mambuat mereka merasa amat segar dan sehat.

“Sudah bangunkah kalian?” tiba-tiba terdengar suara halus bertanya. Suara ini datangnya dari depan pondok.

Maka Dara Lasmi lalu mengandeng tangan anaknya dan segera keluar dari pondok. Ternyata bahwa yang bicara itu adalah kakek yang kemarin menolong mereka, maka Dara Lasmi lalu mengajak anaknya cepat-cepat berlutut menyembah memberi hormat.

“Sungguh hamba amat bersyukur dan berterimakasih kepada eyang yang telah menolong kami berdua. Kalau tidak ada eyang yang menolong kami, entah bagaiamana jadinya dengan nasib diriku!” Tak tertahan lagi, saking terharunya, Dara Lasmi mengucurkan air matanya.

“Bersyukurlah kepada Yang Maha Adil, nini, dan jangan berterima kasih kepadaku. Memang kau dan anakmu sudah berjodoh untuk bertemu dengan aku, maka sekarang ceritakanlah mengapa kau seorang wanita muda bersama anakmu sampai tersasar ke lereng Gunung Mahameru dan berada dalam keadaan yang demikian sengsara?”

Sambil mengucurkan air matanya, Lasmi menceritakan pengalamannya. Akhirnya, ia menutup penuturannya sambil menyembah. “Oleh karena hamba telah tertolong oleh eyang dan telah berada di sini, maka nasib hamba berdua selanjutnya, hamba serahkan pada eyang. Kalau eyang sudi, biarlah hamba tinggal bersama anak hamba di sini, menjadi pelayan dan mengerjakan segala keperluan eyang.”

Kakek itu mengelus-elus jenggotnya yang panjang sambil menarik napas. “Hm, Mahapati agaknya yang menjadi gara-gara. Sungguh sayang Majapahit yang jaya dikotori oleh bagawan itu. Nini, jangan kau berduka, karena betapapun juga, suamimu gugur sebagai seorang ksatria utama. Kau tinggalah di sini bersama anakmu dan asal saja kau tidak teringat akan kemewahan hidup dikota dan cukup merasa puas dengan apa yang ada, kau tentu akan menemui kebahagiaan hidup ditempat sunyi ini. Di lereng sebelah utara, tak jauh dari sini, terdapat beberapa kelompok dusun sehingga kau tak perlu khawatirakan kesunyian, sungguhpun di sini kau takkan bertemu dengan orang-orang gunung yang sederhana saja. Adapun anakmu ini, jiwa ksatria ayahnya menurun kepadanya, maka biarlah ia kudidik dan menjadi muridku.”

Bukan main girangnya hati Dara Lasmi, dan kini yang mengalir turun dari matanya adalah air mata kebahagiaan. “Terima kasih, eyang. Sungguh kata-kata eyang itu merupakan pendengaran yang paling indah dan membesarkan hati bagi hamba.”

“Kau anak yang baik, nini, dan demi Yang Maha Adil, kebaikan selalu mendatangkan kebaikan.”

Kakek tua itu bukan lain ialah Sang Panembahan Mahendraguna, seorang pertapa sakti yang telah puluhan tahun bertapa di puncak Gunung Mahameru. Orang-orang dusun yang tinggal di sekitar gunung itu, menyebutnya dengan sederhana saja, yaitu Eyang semeru.

Selain bertapa kakek ini suka bertani, menanam sayur-sayur dan suka pula berjalan-jalan ke kampung-kampung untuk memberi wejangan-wejangan kepada orang-orang kampung dan gunung, bahkan tak jarang ia menolong mereka yang menderita sakit. Tak seorangpun tahu darimana asalnya kakek luar biasa ini yang hidupnya amat sederhana, akan tetapi tak seorangpun diantara mereka yang tidak menaruh hormat terhadap Eyang Semeru.

Demikianlah, semenjak tertolong oleh kakek sakti ini Dara Lasmi hidup di puncak Mahameru, mengatur segala keperluan kakek itu dan juga mendidik Ratna Wulan anak tunggalnya yang terkasih. Tepat sebagaimana yang dikatakan oleh Eyang Semeru, semenjak tinggal di gunung itu, Ratna Wulan memperlihatkan bahwa ia memiliki ketangkasan dan sifat-sifat keperwiraan, tiada bedanya dengan seorang anak laki-laki. Ia mendapat latihan-latihan ilmu pencak silat dari ibunya dan dalam waktu setahun saja, semua kepandaian ibunya telah diwarisinya sampai tamat!

Dara Lasmi memang sengaja mendidik puterinya agar supaya menjadi seorang pendekar wanita, karena tidak saja ketangkasan dan kegagahan diperlukan bagi seorang yang hidup di tempat berbahaya itu, juga ia bercita-cita untuk menyuruh anaknya ini kelak membalas dendam kepada Kartika!

Disamping memberi latihan silat, Dara Lasmi juga memberi latihan-latihan pekerjaan yang harus diketahui oleh seorang wanita, yaitu pekerjaan tangan, memasak dan lain. Alangkah girang hati Dara Lasmi ketika mendapat kenyataan bahwa setelah menamatkan pelajaran ilmu pencak silat yang ia berikan kepadanya, Ratna Wulan mulai mendapat pelajaran dari Eyang Semeru sendiri!

Dan ketika ia melihat cara Eyang Semeru memberi latihan keperwiraan kepada anaknya, Ia menjadi takjub karena ternyata bahwa kakek itu adalah seorang ahli yang sukar dicari bandingannya! Baru mendapat latihan beberapa bulan saja, sudah nampak kehebatan gerakan Ratna Wulan apabila anak itu sedang berlatih pencak. Gerakan-gerakannya selain cepat, juga amat luar biasa.

Dara Lasmi ketika masih kecil dan berada di rumah ayahnya yang menjadi pendekar pencak, sudah sering kali melihat kawan-kawan ayahnya bermain silat, akan tetapi belum pernah ia melihat gerakan-gerakan yang secepat dan sehebat ilmu pencak yang diajarkan oleh Eyang Semeru kepada Ratna Wulan.

Maka diam-diam wanita muda ini mengucap syukur di dalam hatinya kepada Yang Maha Agung yang telah mempertemukan ia dan anaknya dengan Eyang Semeru. Waktu beredar amat cepatnya. Tujuh tahun lewat tak terasa, seakan-akan tujuh tahun itu hanya tujuh hari saja.

Bagaikan sang waktu, segala apa di permukaan bumi ini bergerak maju, berubah dan tumbuh tak terasa pula. Benih bertunas, menjadi sehelai rumput hijau tak berarti, lalu tumbuh menjadi besar, bercabang, berdaun, berbunga, berbuah! Yang tadinya belum ada bermunculan, yang kecil menjadi besar, yang besar menjadi tua akhirnya kembali lenyap ditelan bumi.

Semua ini terjadi bersama peredaran waktu, tak terasa, tahu-tahu sudah terjadi dan demikian seterusnya, selama dunia masih ada. Akan tetapi, di antara segala benda di alam dunia, Gunung Mahameru termasuk benda yang amat kokoh kuat, agaknya tak terpengaruh oleh waktu, atau andaikata terpengaruh, maka perubahannya amat kecil, takkan terlihat oleh mata manusia. Keadaan Gunung Mahameru tujuh tahun yang lalu dengan keadaan sekarang, masih sama.

Gunung itu masih menjulang tinggi, kepalanya lenyap ditelan awan, bagaikan raksasa dalam Samadhi. Besar, tinggi, angker dan jaya, saksi mati segala peristiwa yang melihat semua itu dengan sabar dan diam. Mahameru maklum bahwa segala peristiwa yang terjadi di permukaan bumi ini memang harus terjadi dan semestinya demikian, maka ia tidak mau mengganggu gugat, tidak mendorong ataupun mencegah, menyerahkan segala sesuatunya kepada Pengaturnya.

Bunga-bunga berkembang dan merontok berulang kali di lereng Gunung Mahameru. Pohon-pohon tua tumbang dan pohon-pohon baru tumbuh. Namun keindahan lereng gunung itu tidak berubah, baik bunga-bunganya yang beraneka ragam dan warna serta keharumannya yang menyegarkan hawa itu, maupun kehijauan pohon-pohon yang memenuhi hutan-hutan di sekitar lambung dan kaki gunung.

Pada suatu pagi yang indah di lereng Gunung Mahameru. Sang Batara Surya baru saja muncul kembali setelah beristirahat semalam suntuk di belakang Gunung Mahameru. Cahayanya yang kuning kemerahan bagaikan sinar kencana murni itu menembus embun pagi yang tebal, seakan-akan merupakan air suci yang dituangkan dari Surgaloka.

Segala sesuatu merasakan kenikmatan hangat yang ditimbulkan oleh cahaya matahari, kenikmatan yang membuat segala benda merasa bersyukur bahwa ia masih hidup di permukaan bumi ini. Suara burung yang ratusan macamnya memnuhi udara dengan kicau dan nyanyi, amat merdu dan membangkitkan suasana gembira, tak kalah indahnya dengan bunyi nyanyian maupun indahnya dengan bunyi nyanyian maupun gamelan yang manapun juga.

Sukarlah menuturkan atau menggambarkan keindahan tamasya alam di pagi hari di lereng Gunung Mahameru itu, karena bahasa dunia tak cukup kuat untuk menggambarkan keindahan yang mulus dan suci itu. Kalau ada seseorang kebetulan berada ditempat itu dan menyaksikan segala keindahan ini, tanpa berdongak memanang keluasan langit yang maha hebat itu, ia akan merasa betapa kecil tak berarti adanya dia diantara segala keindahan yang mulia ini.

Setelah matahari naik makin tinggi, dari balik sekelompok pohon mawar gunung dengan bunganya yang berwarna merah muda, terdengar suara orang bersenandung. Dari suara senandung yang makin keras itu dapat diketahui bahwa orangnya tentu sedang menuju ke lereng itu.

Tak lama kemudian nampaklah orangnya yang bersenandung tadi. Dan kalau suaranya tadi amat merdu, maka orangnya lebih menarik lagi. Ia adalah seorang dara remaja yang usianya takkan lebih dari tujuh belas tahun. Kecantikan wajahnya menyaingi bunga mawar yang sedang mulai mekar, bahkan bunga melati dan kenanga yang tumbuh di dekat tempat itu menjadi kemerahan karena malu dan iri menyaksian keayuan dara itu.

Rambutnya hitam panjang terurai ke belakang punggung, segar dan gemuk, terhias kembang melati yang harum dan putih bersih. Di atas sebelah kiri dan di dekat telinga terhias dengan kembang mawar merah. Sepasang matanya lebar dan jernih sekali, dengan warna putih pada matanya yang mengingatkan orang akan permata yang menghias ujung daun di pagi hari ini, sedangkan manik matanya hitam dan mengeluarkan sinar tajam berkilat.

Sepasang mata yang pada ujungnya dikanan kiri meruncingitu menjadi lebih indah lagi oleh bulu mata yang panjang melengkung ke atas, ditambah oleh sepasang alis mata yang hitam dan kecil panjang berbentuk bulan sabit. Hidungnya kecil mancung dengan ujung yang manis. Dan alangkah indah bentuk mulutnya. Garis bibirnya membentuk potongan gendewa terpentang dan kulit bibirnya merah delima, membasah dan segar sehat!

Akan tetapi, di balik segala kecantikan yang benar-benar menggairahkan ini, tidak nampak kelemahan dan sifat menyerah yang biasanya terdapat pada seorang wanita, sebaliknya jelas sekali nampak sifat yang perkasa di balik kecantikannya itu. Terutama sekali sepasang matanya yang tajam itu menyinarkan semangat yang bernyala-nyala dan ketabahan yang luar biasa. Pakaiannya sederhana saja dan dari pakaiannya ini nampak pula sifat-sifatnya yang gagah.

Baju kutangnya terbuat daripada kain berwarna hitam, dengan hiasan renda putih dibagian pinggangnya, atas dan bawah. Baju kutangnya yang hanya membungkus dadanya setinggi bawah pangkal lengan itu melibat erat, namun masih belum cukup kuat untuk dapat menyembunyikan keindahan bentuk tubuhnya yang mulai berkembang.

Pinggangnya diikat dengan sabuk berkembang warna kuning dengan kembang-kembang merah di depannya, bagian penyambung sabuk itu, dihias dengan sebuah kembang perak dengan permata intan di tengahnya. Sebatang keris dengan warangkanya yang berukir dan gagangnya yang berbentuk kepala naga, terselip di balik sabuk, miring ke kiri. Dari pundak kirinya sampai ke pinggang kanannya melintang erat-erat sehelai tali lawe warna merah, yaitu pengikat tempat anak panah dan gendewanya.

Dipandang dari depan, maka yang nampak hanyalah gagang-gagang anak panahnya yang dipasangi bulu burung srikatan. Di pergelangan tangan kirinya nampak sebuah gelang emas berukir intan dengan mata intan, sedangkan pergelangan tangan kanannya dilingkari sebuah gelang kayu cendana menghitam yang berbentuk ular.

Berbeda dengan kebiasan-kebiasaan puteri pada masa itu, dara ini mengenakan kain batiknya agak tinggi di atas mata kakinya yang terhias gelang perak, dan hal ini memang disengaja karena dengan demikian gerakan langkah kakinya menjadi leluasa, seperti halnya kebiasaan perempuan-perempuan gunung di sekitar Gunung Mahameru itu mengenakan kainnya.

Inilah Diah Ratna Wulan yang kini telah menjadi seorang dara perkasa yang berilmu tinggi. Selama tujuh tahun Ratna Wulan menerima gembelangan-gemblengan ilmu pencak silat dari ibunya dan dari eyang gurunya, Bahkan ia telah mempelajari ilmu kebatinan sehingga tidak saja ilmu silatnya tinggi, akan tetapi iapun memiliki kekuatan batin yang mentakjubkan, yang membuat semangatnya bernyala-nyala, ketabahannya tak mengenal batas, dan gerak-geriknya tenang, penuh kepercayaan kepada diri sendiri.

Pada waktu itu, Panembahan Mahendraguna atau Eyang Semeru, yaitu eyang guru dari Ratna Wulan, telah sebulan lebih meninggalkan puncak Mahameru, melakukan lelana brata dan katanya hendak mengamankan daerah-daerah di tanah Jawa yang masih angker. Maka Ratna Wulan hanya tinggal berdua dengan ibunya yang kinipun telah menjadi seorang pertapa.

Dara Lasmi telah mempelajari filsafat kebatinan dari Eyang Semeru dan kini mulai menjalankan tapa brata. Akan tetapi, dendam di dalam hatinya biarpun kini tidak bernyala-nyala panas, namun api dendam itu masih belum padam. Ia belum menceritakan hal sakit hatinya itu kepada puterinya, oleh karena sungguhpun ia maklum bahwa kini anaknya telah menjadi seorang pendekar yang digdaya, jauh melebihi kegagahan mendiang ayahnya, namun ia mengangap anaknya masih terlampau muda.

Memang ada benarnya keraguan hati Dara Lasmi itu, oleh karena sesungguhnya, di samping ketenangan dan kepa daiannya yang tinggi, Ratna Wulan memiliki dasar tabiat yang keras hati dan tidak mau mengalah terhadap siapapun juga. Sifat inilah yang marupakan dorongan kepadanya sehingga ia dapat mengeduk semua ilmu dari Eyang Semeru. Tiap kali ia berlatih dengan gurunya itu dan dikalahkan, ia menjadi penasaran dan merengek-rengek kepada gurunya untuk diberi pelajaran ilmu baru yang digunakan oleh gurunya dalam mengalahkan tadi.

Seringkali Eyang Semeru berkata sambil tersenyum kepadanya. “Ratna Wulan, kau seperti anak kecil saja! Kau selalu merasa penasaran kalau dikalahkan dan ingin menambah pengertianmu. Sifat untuk selalu menambah kepandaian ini memang baik dan dapat memajukan kepandaianmu, akan tetapi jangan kau terlalu bernafsu oleh keinginan hendak memiliki seluruh kesaktian yang ada didunia ini. Hasrat hati memang selalu diliputi nafsu angkara murka dan kehendaknya kalau dapat akan dipeluknya Gunung Mahameru, tanpa mengingat bahwa sepasang lengannya hanya pendek saja. Ketahuilah, Wulan, manusia tetap makhluk yang lemah apabila di bandingkan dengan seluruh kebesarannya ini. Kepandaianmu tidak kenal batas dan tidak habisnya. Tak mungkin ada di dunia ini manusia yang dianggap paling pandai, karena sepandai-pandainya seseorang, akan ada yang melebihi lagi. Kalau kau menang dalam sesuatu hal terhadap orang lain, belum tentu kau akan menang pula darinya dalam hal lain. Dan akhirnya, sepandai-pandainya orang, ia akan merasa dirinya bodoh dan kecil kalau berhadapan dengan hukum dan kekuasaan alam!”

Betapapun juga, karena Eyang Semeru amat sayang kepada dara ini, ia turuti juga permintaannya dan karenanya, Ratna Wulan menjadi makin pandai saja. Baik ilmunya memanah, bersilat tangan kosong, main keris, maupun kekuatan batinnya, membuat ia menjadi seorang dara perkasa yang jarang terdapat keduanya pada zaman itu.

Selain keras hati dan tidak mau kalah, Ratna Wulan juga berwatak riang gembira dan amat jenaka pula sehingga kadang-kadang ia bertingkah kenes dan kewat, menggemaskan hati dan membuat orang ingin menggigit dengan gemas dan sayang! Kesukaan Ratna Wulan berburu binatang dan ia seringkali merantau di sekitar Gunung Mahameru, sehingga boleh dibilang semua penduduk di dusun-dusun sekitar lereng dan kaki gunung itu kenal belaka kepada dara perkasa ini.

Karena maklum bahwa dara ini adalah murid terkasih dari Eyang Semeru, maka mereka semua menghormatinya sebagai seorang dara yang berilmu tinggi. Tidak jarang Ratna Wulan menolong orang-orang dusun yang sedang ditimpa bencana. Pernah ia memburu dan membunuh seekor harimau buas yang mengacau dusun di kaki gunung sebelah selatan, dan pernah pula ia mengusir seorang laki-laki kasar yang menjagoi dan menghina penduduk kampung mengandalkan kekuatannya.

Pada hari itu, Ratna Wulan seperti biasa turun dari puncak gunung. Ia hendak memburu rusa, karena telah lama ia tidak makan daging rusa. Sudah beberapa tahun ibunya tidak makan daging, dan hanya makan sayur-sayuran saja, maka kalau ia mendapatkan hasil buruan, ia hanya makan bagian yang paling disukainya saja, sedangkan selebihnya ia berikan kepada orang-orang dusun terdekat.

Ratna Wulan telah melalui dua buah hutan, namun belum juga ia melihat seekor rusa pun. Ia menjadi jengkel dan kegembiraannya banyak berkurang. Mengapa ia demikian sial, pikirnya. Memang banyak ia melihat binatang-binatang lain, akan tetapi bukan watak dara itu untuk sembarangan melepas anak panah dan membunuh binatang tanpa maksud. Kalau ia ingin membunuh rusa, harus rusalah yang menjadi kurban anak panahnya, bukan binatang lain.

Ratna Wulan belum belum pernah membunuh binatang, kalau ia ingin makan daging itu, atau kalau binatang itu tidak menyerangnya. Biar bertemu dengan seekor harimau atau ular besar sekalipun, asalkan binatang ini tidak mengganggunya dan tidak mengganggu penduduk, ia tidak mau menyerang atau membinasakannya.

Setelah matahari naik tinggi dan tengah hari telah lewat, ia tiba di dalam sebuah hutan di sebelah utara gunung. Di luar hutan itu terdapat sebuah dusun yang disebut dusun Jatikembar. Nama ini diberikan orang kepada dusun itu karena di situ terdapat sepasang pohon jati yang besar dan tua dan yang bentuknya hampir sama, maka dikenal jati kembar.

Ratna Wulan telah dikenal baik oleh penduduk di situ, maka dara ini ingin singgah di situ melepas lelah. Tiba-tiba ia melihat berkelebatnya bayangan rusa. Hatinya berdebar girang dan bagaikan anak panah terlepas dari busurnya, tubuhnya melesat dan memburu rusa itu dengan cepatnya.

Rusa adalah seekor binatang yang dapat berlari amat cepatnya, akan tetapi oleh karena tahu bahwa dirinya dikejar orang, rusa itu berlari sambil sembunyi-sembunyi sehingga sebentar saja Ratna Wulan dapat mengejarnya....
Selanjutnya,

Dyah Ratna Wulan Jilid 01

Dyah Ratna Wulan

Karya : Kho Ping Hoo
Cerita Silat Indonesia Karya Kho Ping Hoo
Jilid 01
SETELAH Sang Prabu Kertarajasa mangkat pada tahun 1309, putera mahkota, Raden Kalagemet naik tahta Kerajaan Majapahit menggantikan kedudukan ayahnya, dan bergelar Sang Parbu Jayanagara. Akan tetapi, raja muda ini banyak menimbulkan perasaan kecewa dan tidak senang di kalangan para panglima tua, yaitu panglima-panglima mendiang Prabu Kertarajasa.

Banyak hal yang tidak mereka setujui berhubung dengan penobatan itu. Pertama menurut faham mereka, Raden Kalagement masih terlampau muda untuk memikul tugas menjadi raja di Kerajaan Majapahit yang demikian besar dan jaya dan mereka menyangsikan apakah pemuda yang baru berusia lima belas tahun ini akan dapat memberi pimpinan yang bijaksana seperti mendiang ayahnya.

Kedua, mereka berpendapat bahwa sungguhpun Raden Kalagemet merupakan putera tunggal karena keturunan yang lain adalah putri-puteri belaka, namun ibu dari putera mahkota ini adalah seorang puteri dari Malayu yang bernama Dara Petak atau Sri Indreswari. Hal ini amat mengecewakan hati para panglima karena menurut pendapat mereka, yang berhak menjadi raja di Majapahit harus seorang keturunan Majapahit aseli.

Adapun hal ketiga yang amat mendatangkan rasa tidak puas dan tidak senang kepada mereka adalah bahwa di dalam pemerintahan Jayanagara ini terdapat seorang Kepala Agama Syiwa yang sangat besar kekuasaannya. Kepala Agama Syiwa ini bernama Bagawan Mahapati yang amat sakti mandraguna, cerdik pandai lagi kebal terhadap segala macam senjata. Bagawan Mahapati tidak disukai oleh para panglima yang telah banyak membantu Raden Wijaya atau Prabu Kertarajasa dalam membangun keraton Majapahit.

Menurut anggapan mereka, Bagawan Mahapati ini adalah seorang pendeta yang mabok akan kemewahan hidup dan kedudukan tinggi, bahkan mereka menaruh hati syakwasangka bahwa bukan tak mungkin pendeta itu telah mempergunakan aji kesaktiannya untuk memasang guna-guna sehingga Prabu Jayanagara yang masih muda itu berada di bawah pengaruhnya. Telah banyak panglima-panglima tua yang mengajukan usul dan nasihat kepada Prabu Jayanagara agar supaya mereka itu dienyahkan dari kerajaan.

Akan tetapi, segala nasihat ini tidak dihiraukan oleh Sang Parbu yang masih muda belia itu, terutama sekali oleh karena ibunya juga berfihak dan membela Bagawan Mahapati. Tiga hal diatas itu merupakan sebagian daripada sebab-sebab sehingga tak lama sejak Sang Prabu Jayanagara naik tahta, timbulah pemberontakan-pemberontakan yang dipimpin oleh para panglima ayahnya dahulu.

Di antaranya: Rangga Lawe, Sora dan Nambi. Rangga Lawe adalah seorang panglima gagah perkasa yang menjadi bupati di Tuban. Dahulu, panglima ini pernah di janjikan pangkat patih oleh mendiang Prabu Kertarajasa, akan tetapi janji ini tak pernah dipenuhi. Juga Prabu Jayanagara yang diam-diam mendapat bujukan dan bisikan dari Bagawan Mahapati, tidak mau memenuhi janji mendiang ayahnya itu.

Maka berontaklah Rangga Lawe. Akan tetapi, masih banyak panglima-panglima gagah perkasa yang membela Prabu Jayanagara, terutama berkat kesaktian Bagawan Mahapati, maka gagallah pemberontakan Rangga Lawe itu. Ia tewas oleh panglima tua Kebo Anabrang.

Panglima sora menjadi marah sekali mendengar tentang tewasnya Rangga Lawe dalam tangan Kebo Anabrang karena sesungguhnya mereka semua itu adalah kawan-kawan seperjuangan ketika masih membela Prabu Kertarajasa dahulu.

Sora mencari Kebo Anabrang sebagai pembalasan dendam atas kematian Rangga Lawe. Setelah itu, maka berontaklah pula Panglima Sora yang pada waktu itu menjabat patih di Daha. Akan tetapi, ternyata Prabu Jayanagara masih dibela oleh orang-orang pandai sehingga pemberontakan inipun gagal, Patih Sora dapat dibinasakan.

Setelah itu, pemberontakan-pemberontakan susul-menyusul, diantaranya pemberontakan Juru Demung dalam tahun 1313 dan Gajah Biru dalam tahun 1314. Namun, semua pemberontakan itu dapat dipadamkan.

Yang paling hebat adalah pemberontakan yang dilakukan oleh Raden Nambi, putera dari Aria Wiraraja, karena sebetulnya diantara semua pemberontakan yang timbul, pemberontakan inilah yang amat menyusahkan hati Sang Prabu Jayanagara. Hubungannya dengan Aria Wiraraja dan Raden Nambi tadinya amat baiknya dan mereka ini telah dianggap sebagai keluarga dekat.

Aria Wiraraja adalah seorang panglima yang amat setia dan paling besar jasanya terhadap mendiang Prabu Kertarajasa,dan jasanya dalam membangun Majapahit amatlah besarnya. Oleh karena itu mendiang Parabu Kertarajasa membalas jasa Aria Wirarajadengan mengangkatnya menjadi perdana menteri dan menjadikannya wakil raja di Lumajang, sedangkan puteranya Raden Nambi, diangkat menjadi patih di Majapahit.

Semenjak terjadi peberontakan-pemberontakan dan tewasnya Rangga Lawe dan lain-lain panglima tua. Aria Wiraraja merasa tak senang sekali dan ia tidak pernah datang berkujung menghadap kepada raja di Majapahit, dan pada masa itu, “mogok sowan” ini dilakukan untuk menyatakan bahwa ia tidak setuju dengan pemerintahan Prabu Jayanagara.

Raden Nambi yang menjadi patih di Majapahit, juga diam-diam meninggalkan ibukota dan tinggal di Lumajang bersama-sama ayahnya. Tentu saja hal ini amat mengecewakan dan menyedihkan hati Prabu Jayanagara. Beberapa kali Bagawan Mahapati dan lain-lain panglima membujuk kepada raja untuk menggempur Lumajang, akan tetapi, Sang Prabu masih merasa segan dan malu hati untuk memerangi Aria Wiraraja, orang tua yang telah banyak berjasa itu.

Akhirnya setelah Aria Wiraraja meninggal dunia, barulah tentara Majapahit dikerahkan dan di bawah pimpinan raja sendiri, Lumajang digempur. Raden Nambi dan anak buahnya melakukan perlawanan mati-matian sehingga korban di kedua pihak jatuh bertumpuk-tumpuk. Betapapun juga, pihak Majapahit lebih kuat dan lebih banyak, terutama berkat kesaktian Bagawan Mahapati, akhirnya Raden Nambi beserta seluruh keluarganya dibinasakan.

Di antara banyak panglima di Lumajang yang gugur dalam peperangan menghadapi serbuan tentara Majapahit, terdapat seorang senopati muda yang gagah perkasa bernama Nagawisena. Senopati ini adalah seorang muda yang menjadi sahabat baik Raden Nambi dan tadinya juga tinggal di ibukota dan ikut pergi dengan Raden Nambi dari Kota Raja untuk menyatakan tidak senangnya terhadap pemerintahan terhadap Jayanagara.

Isteri Nagawisesa adalah seorang cantik jelita yang berkulit kekuning-kuningan dan bernama Dara Lasmi, yang sesungguhnya adalah seorang wanita dari Malayu. Ketika dahulu kedua puteri dari Malayu, Dara Petak dan Dara Jingga yang menjadi isteri-isteri dari Prabu Kertarajasa, datang di Majapahit, Lasmi menjadi seorang di antara pelayan-pelayan kedua puteri itu, dan masih kanak-kanak.

Berkat ketangkasan dan jasa Nagawisena, maka akhirnya ia jutuh cinta kepada Lasmi, mendapat kurnia raja dan dinikahkan dengan Lasmi. Dalam pernikahan ini, mereka mendapatkan seorang puteri yang diberi nama Ratna Wulan. Ketika Nagawisena gugur dalam perang melawan tentara Majapahit, Dara Lasmi membawa anaknya lari dari Lumajang.

Sambil menahan tangisnya karena kehancuran hatinya mendengar betapa suaminya yang tercinta itu gugur dalam peperangan dan ia tidak mempunyai kesempatan untuk menengok jenazah suaminya, Dara Lasmi menarik tangan puterinya yang baru berusia sepuluh tahun ini, berlari-lari keluar dari gerbang kota Lumajang sebelah barat. Sebagaimana sudah lajim terjadi dalam sebuah keributan, terutama keributan yang ditimbulkan oleh perang.

Banyak hal-hal yang tak patut terjadi dan dilakukan oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab. Demikianpun dalam petempuran di Lumajang ini, banyak anak buah dari bala tentara Majapahit melakukan penyelewengan-penyelewengan merampok harta benda penduduk Lumajang, dan bini orang yang masih muda dan cantik.

Oleh karena itu, usaha Dara Lasmi untuk melarikan diri keluar dari kota bukanlah hal yang mudah. Baru saja keluar dari rumahnya, ia telah bertemu dengan dua orang tentara Majapahit yang segera menyerbunya ketika melihat wanita muda yang cantik jelita ini berlari dengan anaknya. Dara Lasmi berdiri dengan mata terbelalak lebar ketika melihat dua orang tentara musuh itu maju mendekat. Ia mendekap anaknya yang menangis ketakutan, lalu menghadapi kedua tentara Majapahit itu sambil berkata.

“Jangan kalian menggangguku, aku adalah isteri dari Senopati Nagawisena!” Ia hendak mempergunakan nama suaminya yang cukup terkenal untuk membikin takut kedua orang itu. Akan tetapi mereka bahkan tertawa geli mendengar Dara Lasmi menyebut nama ini.

Seorang di antara mereka, yang bermuka bopeng karena dimakan penyakit cacar berkata. “Ha,ha, ha, jadi kau puteri dari Malayu? Kebetulan sekali, sudah lama aku mengilar dan merindukan seorang puteri Malayu!” Ia melangkah maju dengan kedua tangan dibentangkan, siap untuk menubruk.

“Mundur!” teriak Dara Lasmi.” Apakah kau tidak takut kepada Senopati Nagawisena? Akan dihancurkan kepalamu kalau ia mendengar tentang ke kurang ajaranmu!”

Tentara yang seorang lagi, yang bermuka hitam,tertawa mengejek. “Ha,ha! Jangan kau menakut-nakuti kami, manis! Suamimu, pemberontak Nagawisena itu, telah mempus dimedan yuda!” Kemudian ia berkata kepada kawannya yang bermuka bopeng. “Bandu, biarlah kau mendapatkan puteri Malayu yang denok ayu ini, dan perawan kecil yang molek mungil itu bagianku. Aku cukup sabar menanti barang lima tahun lagi, tentu ia akan menjadi bunga yang lebih harum dan segar daripada ibunya.Ha, ha,ha,!”

Selagi kedua orang itu tertawa-tawa dengan lagak menjemukan, marahlah Dara Lasmi. Ucapan-ucapan yang amat menghina itu membuat mukanya yang cantik menjadi merah padam dan kemarahannya tak dapat ditahan lagi. Ia lalu membawa Diah Ratna Wulan ke tepi jalan, kemudian ia mencabut keris yang terselip di ikat pinggangnya. Gerakannya cepat dan trengginas sekali. Memang nasib kedua orang tentara Majapahit itu yang sial.

Mereka tidak tahu siapakah adanya wanita cantik yang mereka ganggu. Dara Lasmi bukanlah wanita sembarangan dan dahulu, ketika ia masih tinggal bersama dengan orang tuanya di tanah Malayu, ia telah mendapat latihan pencak silat dari ayahnya, seorang pendekar yang cukup terkenal. Setelah menjadi isteri Nagawisena, Dara Lasmi bahkan memperdalam ilmu silatnya. Suaminya sendiri, Nagawisena, banyak mendapat kemajuan dalam ilmu berkelahinya dari isterinya ini.

Kedua orang tentara Majapahit itu makin keras suaranya ketika melihat Dara Lasmi mencabut keris. Apakah daya seorang wanita lemah lembut dan secantik itu? Sebagai dua orang perajurit yang kenyang akan pengalaman pertempuran tentu saja sikap Dara Lasmi tidak menakutkan hati mereka, bahkan menggelikan. Mereka saling padang, kemudian si muka bopeng berkata.

“Lihat calon kekasihku ini! Gagah sekali bukan? Biar kutangkap dia!” Sambil berkata demikian, si muka bopeng itu menubruk maju sambil mengembangkan kedua lengannya, bagaikan seekor harimau menubruk kambing.

Akan tetapi, dengan pandangan matanya yang tajam. Dara Lasmi berlaku waspada dan cepat sekali ia melangkah kesamping, mengelak dari terkaman laki-laki buas itu. Begitu tubuh laki-laki itu menyambar lewat, secepat kilat kerisnya menyambar kearah lambung. Perajurit itu terkejut sekali dan cepat memiringkan tubuhnya ke samping untuk menghindarkan diri dari tusukan maut ini.

Akan tetapi ia kalah cepat dan kulitnya masih tergores keris sehingga mengucurlah darah dari lambungnya! Barulah terbuka mata kedua orang perajurit itu! Rasa sakit karena kulit lambungnya pecah membuat si muka bopeng menjadi marah sekali dan sekaligus kegairahan hatinya memiliki puteri jelita itu berubah menjadi nafsu untuk membunuh! Ia mencabut klewangnya yang tergantung di pinggang.

“Kau ingin mampus!” serunya dan klewangnya menyambar kearah leher Dara Lasmi!

Akan tetapi, pada saat itu, Dara Lasmi telah berubah menjadi seorang pendekar wanita. Setiap otot dan urat di dalam tubuhnya menegang, sepasang matanya yang indah bening itu memancarkan cahaya berapi, hawa yang keluar dari pernapasan panas! Ketika Klewang ditangan lawannya menyabar kearah leher tanpa berkedip sedikitpun.

Dara Lasmi mengelak cepat, bukan untuk menjauhi lawan, akan tetapi bahkan ia menyelinap di bawah sambaran klewang itu dan kaki kanannya melangkah masuk di barengi dengan luncuran kerisnya yang cepat sekali gerakannya, maka. “cepp!” keris itu menancap perut lawannya sampai ke gagangnya!

Sebagai seorang ahli silat yang mahir, Dara Lasmi secepat itu pula mencabut kerisnya, dibarengi dengan gerakan tangan kiri mendorong ke depan dan tubuhnya cepat membalik kebelakang menjauhi lawan. Untuk beberapa saat tubuh si muka bopeng seperti kejang dan kaku, klewangnya terlepas dari tangan, matanya memandang terbelalak ke depan. Kemudian ia memekik ngeri, kedua tangannya mendekap perut yang mengucurkan banyak darah dan tubuhnya mulai bergoyang-goyang kekanan kiri, kedua kakinya limbung terhuyung-huyung dan akhirnya ia roboh bagaikan pohon pisang di tumbangkan orang!

Si muka hitam semenjak tadi berdiri kesima dan bengong, hampir tak percaya akan kejadian yang disaksikannya. Setelah melihat kawannya roboh tak berkutik lagi, barulah ia sadar bahwa ia bukan sedang mimpi. Dipegangnya tombak di tangan. Sebenarnya ia telah merasa ngeri dan seram menghadapi seorang puteri yang luar biasa ini, akan tetapi ia bermaksud untuk merobohkan puteri itu dengan sekali tusukan tombaknya.

Dara Lasmi berlaku tenang sekali. Ketika tombak yang ditujukan kearah dadanya itu meluncur dengan kencangnya, ia hanya menggeser kakinya dan memiringkan tubuhnya sehingga tombak yang ditusukkan itu meluncur lewat di samping tubuhnya, kemudian sebelum lawannya sempat menarik kembali tombak itu, tangan kirinya cepat menangkap batang tombak dan kakinya melangkah maju dengan keris di tangan kanan yang masih berlumuran darah itu siap ditusukkan.

Akan tetapi, si muka hitam itu ternyata berhati pengecut dan tiba-tiba ia melepaskan tombaknya lalu membalikkan tubuh dan lari tunggang langgang! Dara Lasmi melepaskan tombak itu dan memandang dengan dada masih berombak karena marah, melihat orang yang berlari cepat dan hanya nampak kedua telapak kaki orang itu yang seakan-akan menendangi pantatnya sendiri!

Diah Ratna Wulan berlari memeluk ibunya. Barulah Dara Lasmi lenyap marahnya dan ia mengucap syukur kepada Gusti yang Maha Agung bahwa yang menyerangnya hanya dua orang. Kalau yang menyerangnya berjumlah banyak, sungguhpun ia akan dapat melindungi diri sendiri, akan tetapi belum tentu ia akan dapat melindungi anaknya. Pikiran ini membuat ia cepat memasuki rumahnya kembali dan ketika tak lama kemudian ia keluar, ia telah berubah menjadi seorang wanita yang berpakaian compang camping dan mukanya penuh dengan lumpur dan arang, menutupi kecantikannya.

Demikianlah, wanita yang bernasib malang ini, lalu pergi keluar dari pintu gerbang sebelah barat. Untung baginya bahwa di situ sunyi karena peperangan berlangsung disebelah utara kota dan ia dapat keluar dari Lumajang dengan selamat. Dengan tindakan cepat ia mengandeng anaknya berlari terus kebarat.

Diah Ratna Wulan biarpun baru berusia sepuluh tahun, akan tetapi ia memiliki kekerasan hati seperti ibunya. Biarpun ia telah merasa betapa kedua kakinya lelah dan sakit sekali, ia menguatkan hati dan menggigit bibirnya,terus berjalan setengah berlari di samping ibunya. Baru setelah mereka berjalan lama dan jauh meninggalkan kota sehingga suara pekik sorak orang-orang yang bertempur tak kedengaran lagi, Ratna Wulan mengeluh dan berkata perlahan.

“Ibu. apakah kita tidak mengaso dulu?”

Dara Lasmi berhenti dan mnunduk memandang kearah kedua kaki puterinya. Hatinya terasa perih seperti tertusuk pisau ketika melihat betapa kedua kaki anaknya itu bengkak-bengkak dan pinggirnya telah pecah-pecah. Dua titik air mata menetes turun dan ia cepat merangkul anaknya.

“Manis, kita belum boleh mengaso dulu?” Dara Lasmi berhenti dan menunduk, memandang ke arah kedua kaki puterinya. Hatinya terasa perih seperti tertusuk pisau ketika melihat betapa kedua kaki anaknya itu bengkak-bengkak dan pinggirnya telah pecah-pecah. Dua titik air mata menetes turun dan ia cepat merangkul anaknya.

“Manis, kita belum boleh mengaso, belum cukup jauh dari Lumajang. Marilah kau kugendong, nak!” Setelah berkata demikian, Dara Lasmi lalu menggendong anaknya dan terus berlari lagi, lurus kearah barat di mana nampak menjulang tinggi Gunung Mahameru. Sebagai seorang isteri senopati yang dapat disebut bangsawan juga, ia jarang sekali melakukan perjalanan keluar rumah dari rumah, apalagi melakukan perjalanan sejauh itu, belum pernah ia lakukan.

Maka tentu saja telapak kakinya menjadi lemah dan kulit telapak kakinya yang halus lemas bagaikan sutera. Kini, melakukan perjalanan jauh melalui tanah berbatu dan menerjang tetumbuhan berduri, kedua kakinya telah luka-luka dan telapak kakinya bahkan telah bengkak dan pecah-pecah. Akan tetapi, ia menguatkan diri dan sambil menggendong anaknya yang telah kepayahan, ia berlari terus memasuki hutan dikaki Gunung Mahameru itu.

Haripun mulai menjadi gelap karena senjakala mendatang. Setelah tiba di dalam hutan yang sunyi, barulah ia berhenti mengaso di dekat sebatang anak sungai yang amat jernih airnya. Ia menurunkan Diah Ratna Wulan yang segera duduk di atas rumput dan menggosok-gosok kakinya yang amat sakit. Anak itu mulai menangis perlahan-lahan sambil mengeluh.

“Sakitkah kakimu,Wulan?” Tanya ibunya dengan suara penuh iba.

Ratna Wulan hanya mengangguk dan ibunya lalu memeriksa kaki anaknya yang pecah-pecah kulit telapaknya itu. Ia lalu menggendong anknya kedalam anak sungai dan mencuci kaki anak itu. Ratna Wulan menjerit kesakitan karena luka-luka di telapak kaki itu ketika terkena air yang dingin terasa sakit dan perih sekali.

“Biarlah sakit sedikit, Wulan. Luka-luka ini harus dicuci, kalau tidak, akan menjadi bengkak dan menghebat.”

Setelah telapak kaki Ratna Wulan dicuci bersih, Dara Lasmi lalu memotong ujung kembennya (kain pengikat pinggang) dengan keris, dan dibalutnyalah kedua kaki anaknya itu. Setelah itu, barulah ia mencuci dan membalut kedua kakinya sendiri dan kedua orang yang bernasib malang ini lalu mengaso di bawah sebatang pohon ketapang.

Rasa sakit pada kakinya mengurang dan hal ini membuat Ratna Wulan dapat merasai rasa lapar yang menyerang perutnya. Beberapakali ia memandang ibunya yang duduk melamun seperti kehilangan semangat itu, akan tetapi ia tidak membuka mulut. Ia maklum bahwa semenjak pagi tadi ibunya pun belum makan dan maklum pula bahwa ibunya tidak membawa makanan apa-apa, maka ia tidak berani menyatakan bahwa perutnya lapar.

“Ibu,” akhirnya suara anak itu memecah kesunyian. Ibunya memandang dan seakan-akan baru sadar dari mimpi, karena ia lalu mendekati anaknya dan merangkulnya. Kepala anaknya diraih dan didekap di atas pangkuannya dan kembali air mata mulai membasahi bulu matanya.

“Ada apakah, Wulan? Masih sakitkah kakimu?” Ia menekan perasaannya agar supaya anaknya jangan sampai mendengar suaranya yang mengandung isak. Ratna Wulan menggeleng diatas pangkuan ibunya, akan tetapi anak ini tak dapat menahan lagi dan mulai menangis tersedu-sedan. Dengan penuh kasih sayang dan keharuan hati, Dara Lasmi mengelus-elus rambut anaknya yang hitam dan panjang itu, lalu berkata,

“Anakku sayang kau lelah sekali? Biarlah malam ini kita mengaso di sini, dan besok kalau kau tidak kuat berjalan, ibu akan menggendongmu.”

Ratna Wulan menahan isaknya. “Ibu besok kita akan pergi kemanakah?”

Kalau saja orang lain yang mengajukan pertanyaan ini, tentu Dara Lasmi takkan kuat menahan tangisnya, karena sesungguhnya ia sendiri pun tidak tahu ke manakah ia harus pergi. Akan tetapi ia tidak mau menyusahkan hati anaknya, anak yang masih kecil dan belum tahu apa-apa ini, maka ia menjawab sambil memaksa bibirnya terseyum karena anaknya telah memandang wajahnya.

“Wulan, besok kita pergi mendaki bukit itu. Disana indah sekali pemandangannya, kita selanjutnya tinggal dipuncak gunung, di mana banyak terdapat binatang yang indah-indah. Aku akan menangkap kijang, kelinci, dan pelanduk untukmu. Disana banyak pula kembang yang cantik dan harum baunya, banyak pula buah-buahan yang lezat rasanya.” Mendengar ibunya menyebut buah, terasa pula lapar didalam perut Ratna Wulan.

“Banyak buah-buah, ibu?”

“Ya, nak, banyak buah-buahan yang lezat. Pisang, jambu, mangga, jeruk, semua terdapat di puncakitu. Maka sekarang tidurlah agar besok pagi kita dapat melanjutkan perjalanan.” Hening sejenak.

“Ibu.?”

“Ya, sayang?”

“Betul-betul banyak buah disana, bu?”

“Tentu, nak. Ibu tak pernah membohong, bukan?”

“Dan sekarang. ke manakah kita harus mencari makanan, ibu?”

Dara Lasmi merasa seakan-akan lehernya tercekik dan biarpun ia telah menahannya, namun dua butir air mata tak dapat dicegah lagi, menitik turun dari kedua matanya.

“Wulan, anakku. Kau... kau laparkah?”

Ratna Wulan mempererat pelukan kedua tangannya ke pinggang ibunya akan tetapi ia tidak menjawab. Dan dalam kesunyian itu, terdengar jawaban dari perut anak itu yang berkeruyuk menyatakan kelaparannya. Bukan main terharunya hati Dara Lasmi. Ia memeluk anaknya dan menciumi mukanya.

“Wulan. anakku, sayang. tahankanlah untuk malam ini, anakku. Besok akan kucarikan makanan untukmu!” Dan kini ia tak dapat menahan lagi membanjirnya air matanya yang membasahi rambut anaknya. Ratna Wulan juga menangis lagi dan memeluk pinggang ibunya makin erat.

“Wulan, kau sudah besar, usiamu sudah sepuluh tahun. Kau harus dapat menahan penderitaan Ini dengan gagah, seperti Pendekar Wanita Hamili yang gagah perkasa itu!”

“Ibu, ceritakanlah tentang Pendekar Hamili itu.” Keadaan telah gelap benar karena malam telah tiba. Kalau keadaan tidak segelap itu tentu Dara Lasmi akan melanjutkan perjalanan, mencari tempat di mana mungkin terdapat pohon yang berbuah. Maka ialalu mulai bercerita untuk menghibur anaknya.

“Puteri Hamili dibuang ke dalam hutan belukar oleh ibu tirinya yang kejam, dengan maksud agar supaya Puteri Hamili mati kelaparan di dalam hutan yang hanya penuh dengan pohon jati dan randu itu. Telah tiga hari tiga malam Puteri Hamili berjalan di dalam hutan tak kuasa mencari jalan keluar, karena hutan itu amat luas dan liar. Selama tiga hari tiga malam, Puteri Hamili tidak makan nasi sebutirpun dan tidak minum air barang setetespun. Ia merasa amat lapar.”

“Tentu ia lapar sekali, ibu, dan juga haus.”

“Memang, Wulan, lebih lapar dan lebih haus daripada kita.”

“Ia kuat sekali, ibu.”

“Memang, Puteri Hamili amat kuat dan gagah perkasa. Pada hari keempat, datanglah seekor srigala jahat dan kejam menjumpainya.”

“Srigala itu yang bagaimana, ibu?”

“Srigala adalah anjing hutan, yang jauh lebih kejam dan lebih kotor daripada anjing, lagi pula ia besar dan kuat serta liar sekali!”

“Aduh, tentu Puteri Hamili amat ketakutan.”

“Tidak, Wulan. Puetri Hamili tak kenal takut! Ia gagah perkasa lagi kuat imannya. Srigala datang membawa seikat buah pisang yang sudah masak, dan dengan suara penuh bujuk rayu ia mempersembahkan pisang raja itu kepada Puteri Halimi sambil bernyanyi :

“Duhai Hamili yang cantik rupawan
Hamba datang menghibur tuan,
Terimalah seikat pisang raja
Asalkan mau menjadi isteri hamba!”


Dara Lasmi menceritakan dongeng ini sambil meniru suara yang parau dan menyanyikan lagu itu sehingga anaknya amat tertarik.

“Ia menipu! Ia mau membujuk dan menipu! Bagaimana seorang puteri cantik harus menjadi isteri srigala?” teriak Ratna Wulan dengan gembira, lupa sama sekali akan rasa laparnya! Ibunya tersenyum.

“Kalau kau menjadi Hamili, apakah kau akan mau menerima persembahan itu, Wulan?”

“Tidak sudi, tidak sudi!” jawab anaknya.

“Sungguhpun kau amat lapar?”

“Tidak sudi! Biar kutahan rasa laparku!” jawab pula anak itu penuh semangat.

“Nah, demikianpun Puteri Halimi. Ia menolak keras dan menjawab dengan nyanyian pula :

“Wahai srigala jahanam angkara!
Tiga hari tiga malam aku berpuasa,
Namun bujukanmu ini,
Tak sudi aku terima!

Ketahuilah,
Puteri Hamili tahan menderita.
Lapar dan haus gangguan biasa.
Enyahlah kau, srigala enyahlah!
Puteri Hamili puteri yang gagah!”


“Bagus!” Ratna Wulan berteriak sambil tersenyum-senyum dan bertepuk tangan.

“Demi mendengar jawaban ini, srigala menjadi marah lalu ia menyerang puteri ini dengan terkamannya sambil membuka mulutnya yang lebar penuh dengan gigi yang runcing dan mengerikan.”

“Aduh, lalu bagaimana, ibu?” Ratna Wulan menggunakan kedua tangannya menekan kedua pipi dan matanya terbelalak lebar memandang wajah ibunya yang hanya nampak samara-samar di bawah penerangan bintang-bintang yang suram itu.

“Puteri Hamili tak gentar sedikitpun juga. Ia mencabut pedangnya dan dengan gagah ia melawan sehingga srigala itu mati dengan dada tertembus pedang.”

Ratna Wulan menarik napas panjang karena lega hatinya. Ia lalu merebahkan tubuhnya di atas rumput, dan meletakkan kepalanya diatas pangkuan ibunya. Dara Lasmi melanjutkan ceritanya diseling nyanyian-nyanyian yang merdu, karena memang suaranya amat nyaring dan ia pandai sekali bernyanyi dan mendongeng. Akhirnya tertidurlah Ratna Wulan tanpa teringat sedikitpun akan kelaparan perutnya.

Setelah tarikan napas anak itu menyatakan bahwa ia telah tidur nyenyak barulah Dara Lasmi menghentikan nyanyian-nyanyiannya dan ia lalu duduk melamun sambil menaruh tangannya diatas kepala anaknya. Ia mengenangkan segala peristiwa pagi tadi dan tak terasa pula ia menangis lagi, yang ditahan-tahannya agar jangan sampai menimbulkan suara dan mengganggu anaknya yang sedang tidur.

Hatinya penuh dendam dan sakit hati kepada Kartika yang telah menjadi pembunuh suaminya. Kalau Suaminya sebagai seorang senopati gugur di dalam peperangan secara sah, ia akan rela karena gugur adalah hal yang tidak memalukan dan sudah sewajarnya bagi seorang panglima perang.

Ia takkan menaruh hati dendam kepada siapapun juga, tidak kepada Kerajaan Majapahit, maupun kepada orang-orang tertentu. Kewajiban seorang panglima dan perajurit hanya untuk membela Negara dan bangsa, membela kerajaan dan junjungan, membela pimpinannya, tanpa memusingkan pikiran tentang urusan yang menimbulkan pertikaian dan peperangan itu. Kalau ia menang, ia akan memperoleh jasa dan kedudukan, kalau ia gugur, ia akan menjadi kesuma Negara dan menjadi pahlawan.

Sepekan sebelum terjadi peperangan, Kartika datang dari Kota Raja mengunjungi suaminya. Sikapnya ketika memandangnya telah menimbulkan rasa jijik dan tak senang di dalam hatinya karena sebagai seorang wanita yang berperasaan halus ia dapat menangkap arti sinar mata laki-laki itu. Akan tetapi oleh karena Kartika dan suaminya, telah menjadi sahabat karib semenjak mereka masih tinggal di Kota Raja, maka ia diam saja dan pura-pura tidak melihat sinar mata yang mengandung kekurangajaran itu.

Kartika adalah murid tersayang dari Bagawan Mahapati, dan kedatangannya itu untuk membujuk-bujuk Nagawisena agar supaya suka membantu serbuan tentara Majapahit dan suka membela Prabu Jayanagara. Akan tetapi, suaminya menjawab dengan suara tetap.

“Kartika, kalau saja yang mengeluarkan ucapan ini bukan kau, yang telah kuanggap sebagai saudara sendiri, tentu sekarang juga bukan mulutku yang bicara, melainkan kerisku. Dengarlah! Aku telah bersumpah setia kepada Raden Nambi dan sebagai seorang senopati Lumajang, aku akan membela Lumajang dengan jiwa dan ragaku. Siapapun juga yang mengganggu Lumajang, akan kuhadapi dengan keris di tangan dan biarpun aku harus berkorban nyawa, aku rela.”

“Aduh, sahabatku yang kucinta!” Kartika dengan wajahnya yang tampan itu membayangkan keharuan hati dan mulutnya mengeluarkan ucapan yang amat manis. ”Bagaimana hatiku akan rela melihat kau binasa di bawah serbuan tentara Majapahit?”

“Apa boleh buat, Kartika. Kalau sudah tiba masanya kau menjadi perajurit Majapahit dan menyerbu ke Lumajang, terpaksa aku akan meramkan mata dan menghadapimu dengan senjata di tangan, dengan pendirian bahwa penyerbu Lumajang adalah musuh Negara yang harus kulawan dengan gigih.”

Kartika menjadi amat kecewa mendengar pernyataan Nagawisena yang tak tertundukkan itu, maka sebagai penutup kata ia berkata., “Nagawisena, sahabatku. Betapapun menyesal dan kecewa rasa hatiku, namun apabila benar-benar Barisan Majapahit menyerbu ke sini, akan kuusahakan agar kau jangan sampai tewas dalam peperangan itu.”

“Tewas hanyalah berpulang ke tempat asal, Kartika. Dan tiada yang lebih mulia bagi seorang senopati melainkan tewas dengan tombak tertancap di dada.”

Demikianlah, Kartika kembali keKota Raja melaporkan kegagalannya. Dan pagi tadi, ketika perang tanding sedang memuncak dan ramainya. Nagawisena yang mengamuk hebat tiba-tiba berhadapan dengan Kartika.

“Sayang, Kartika! Terpaksa kita harus berhadapan dengan senjata di tangan!” kata Nagawisena dengan gagah.

Akan tetapi, tiba-tiba Kartika melemparkan senjatanya ke atas tanah dan berkata dengan suara berduka. “Ngawisena, benar-benarkah akan sekejam itu hatimu? Tidak ingatkah kau betapa dahulu kita di masa kanak-kanak bersama-sama mandi di Begawan, mencari sarang-sarang burung dan bermain-main? Ah, kawan, aku tak tega mengangkat senjata kepadamu!”

“Kartika, jangan kau selemah itu!” kata Nagawisena sambil mengertak giginya, mengeraskan ati.

“Tidak, Nagawisena, tidak! Kita tak boleh saling meyerangi! Simpanlah kembali kerismu dan biarkan aku memelukmu sekali lagi!”

“Kita di medan perang, Kartika, jangan bersikap seperti wanita lemah!”

“Kabulkan permintaanku yang terakhir ini, Nagawisena. Simpanlah senjatamu dan biarkan aku memelukmu sekali lagi. Setelah itu, terserah kepadamu kalau hendak melanjutkan pertempuran. Pelukan terakhir ini berarti banyak bagiku, sahabatku yang baik. Siapa tahu, kalau bukan kau tentu Aku yang akan gugur di medan yuda ini.”

Lemah hati Nagawisena mendengar ini. Dimasukkannya kembali kerisnya diwarangka keris dan mereka lalu saling memeluk sebagai dua orang sahabat karib. Akan tetapi, ketika dua orang muda itu saling memeluk, tiba-tiba senopati dari Majapahit cepat menusuk lambung Nagawisena dari belakang dengan kerisnya. Pelukan terlepas dan Nagawisena terhuyung-huyung lalu roboh mandi darah! Kartika yang berhati palsu itu hanya tersenyum menyerigai dan berkata kepada Nagawisena yang menggeletak di atas rumput.

“Salahmu sendiri mengapa kau tidak mendengar bujukanku!”

Demikian terjadilah peristiwa itu. Dara Lasmi mengertak gigi, mengepal tangan dan matanya memancarkan cahaya berapi. Ia mengetahui semua peristiwa ini dari seorang perajurit Lumajang yang menceritakannya dengan jelas kepadanya, sekalian menggambarkan tentang tewasnya suaminya.

“Bangsat Kartika, keparat jahanam! Aku bersumpah hendak membalas kekejaman dan kecurangan ini! Kalau aku sendiri tidak dapat turun tangan membalaskan dendam suamiku, tentu anakku yang akan membalaskan sakit hati ayahnya!”

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Dara Lasmi telah melanjutkan perjalanannya mendaki Gunung Mahameru yang amat tinggi itu. Dapat dibayangkan betapa sukarnya perjalanan itu, akan tetapi puteri yang bersemangat besar ini biarpun dengan terpincang-pincang, tetap melanjutkan langkahnya sambil menggendong Ratna Wulan di punggungnya. Kadang-kadang anak yang menaruh hati kasihan kepada ibunya ini minta turun dan ikut berjalan terpincang-pincang.

Untung sekali, di lereng bukit itu mereka lewat dalam sebuah hutan di mana banyak terdapat pohon-pohon berbuah, maka dengan girang Dara Lasmi lalu mencari buah-buah pisang dan lain-lain untuk anaknya dan dia sendiri. Sungguhpun dengan hanya merasa puas, namun makanan itu cukuplah untuk menentramkan cacing-cacing di dalam perut yang mengeliat-geliat.

Akan tetapi sadar mereka harus mengalami banyak penderitaan. Baru saja perut mereka terisi dan mereka terhindar balik gerombolan-gerombolan pohon muncul orang-orang lelaki yang kelihatan kasar dan liar. Jumlah mereka dua belas orang dan di tangan mereka kelihatan golok-golok yang mengkilap dan tajam!

Dara Lasmi merasa terkejut sekali dan wajahnya menjadi pucat. Kedua kakinya luka-luka dan sakit sekali sedangkan tubuhnya telah menjadi lemah karena lelah. Bagaimana harus membela melindungi anaknya? Karena merasa bahwa ia tidak akan dapat mempertahankan diri apabila ia melawan, maka Dara Lasmi lalu menggendong anaknya dan cepat berlari pergi dari situ!

Kawanan perampok itu tertawa mengejek dan mereka mulai melakukan pengejaran sambil berteriak-teriak karena sungguhpun pakaian Dara Lasmi sudah tak karuan lagi macamnya, namun kecantikan wanita itu masih amat menggiurkan. Dara Lasmi tidak menghiraukan lagi kedua telapak kakinya yang pecah-pecah dan berdarah, tidak merasakan lagi perih-perih kerikil tajam itu.

Akan tetapi, kedua kakinya makin lemas dan beberapa kali ia terhuyung-huyung hampir jatuh. Pengejarnya makin dekat saja dan suara teriakan mereka terdengar keras. Tak lama kemudian, langkah kaki pengejar pertama telah berada di dekat Dara Lasmi. Derap kakinya telah terdengar, bahkan bunyi pernapasannya telah terdengar pula. Dara Lasmi makin gelisah dan ketika di depannya terdapat sebuah batu yang agak besar, dalam kegugupannya ia melompati batu itu.

Malang baginya, ia tergelincir dan tubuhnya terguling di atas tanah berbatu-batu. Walaupun demikian, ia masih ingat untuk mendekap anaknya dan melindungi kepala anaknya dengan kedua lengannya. Beberapa kali ia menggelundung dan mendapat luka-luka dikening dan kedua lengannya. Perih dan sakit sekali tubuhnya terasa sakit. Ratna Wulan menangis karena ketika ibunya terjatuh, kakinya tergencet dan berdarah, sakitnya bukan main.

“Ha,ha, ha! Kau hendak lari kemana, manis,” pengejar yang paling cepat larinya tertawa. “Aku yang lebih dahulu menangkapmu, maka akulah yang berhak atas dirimu!” Sambil tertawa bergelak, perampok itu maju menghampiri.

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar seruan suara yang halus dan berpengaruh, “Jangan mengganggu orang!”

Mendengar suara yang amat berpengaruh ini, bagaikan ada tenaga yang menahan gerakan perampok yang hendak menubruk Dara Lasmi itu. Ia cepat menengok dan melihat seorang kakek tua turun dari lereng bukit dengan tindakan kaki tenang.

Sementara itu, Dara Lasmi mengeluh dan merangkak bangun, memijit-mijit kaki anaknya yang berdarah sambil menghiburnya. Wanita ini sama sekali tidak memperdulikan luka-lukanya sendiri dan sibuk mendiamkan Ratna Wulan yang menangis.

Perampok itu menjadi marah dan pada saat itu, kawan-kawannya yang tadi mengejar telah sampai di situ pula. Mereka lalu memandang kepada kakek itu telah turun dari bukit. Kakek ini telah tua, bajunya berlengan panjang warna putih, celananya sampai di bawah lutut berwarna hitam, tangan kanan memegang sebatang tongkat hitam. Rambut kepala dan kumis serta jenggotnya panjang berwarna putih, nampak mengkilap bagaikan perak ketika tertimpa sinar matahari. Perampok yang marah itu lalu membentak.

“He, kakek tua renta! Mengapa kau berani menghalangi maksudku? Apakah kau telah bosan hidup?”

“Semenjak dahulu, sekarang dan kemudian aku selalu hidup, bagaimana dapat disebut bosan?” kata kakek itu dengan suaranya yang lemah lembut dan sabar. “Kalian janganlah mengganggu wanita ini. Lihat keadaannya demikian sengsara, tidak kasihan bahkan mau mengganggu, apakah itu bukan perbuatan yang melanggar prikemanusiaan?”

Berandal-berandal itu adalah orang-orang kasar yang setengah liar, mana tahu tentang prikemanusiaan? Seorang di antara mereka berkata kepada pemimpinnya yang tadi mengejar Dara Lasmi.

“Kakang Singo, mengapa perdulikan ocehan seorang kakek yang sudah mau mati? Tangkap saja perempuan itu!” Mereka serentak maju hendak menangkap Dara Lasmi, akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan kakek itu dengan suara gemuruh.

“Jangan bergerak!” Dan aneh! Dua belas orang perampok yang tinggi besar dan kuat itu tiba-tiba berdiri diam dalam gerakan masing-masing, ada yang sedang mengulur tangan, ada yang sedang berlari, ada pula yang sedang menengok, semua berdiri diam dan kaku tak dapat bergerak seperti patung batu-batu.

Melihat keanehan ini, Dara Lasmi tertegun dan berdiri dengan bengong, kemudian ia maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang tua yang sakti, maka sambil menggendong anaknya dan berjalan terpincang-pincang ia lalu menghampiri kakek itu dan menjatuhkan diri berlutut, menyembah, lalu ibu yang sengsara itu terjungkal pingsan bersama Ratna Wulan di dalam gendongannya.

“Jagad Dewa Batara!” Kakek itu menyebut. “Kasihan sekali nasibmu yang buruk ini, nini!”

Ketika Dara Lasmi siuman kembali dari pingsannya, dengan amat heran ia mendapatkan dirinya telah berada dalam sebuah pondok bilik yang amat sederhana dan Ratna Wulan telah tidur nyenyak di sebelahnya, yaitu di atas sebuah pembaringan bambu yang bersih. Ia bangun perlahan dan memandang ke kanan kiri.

Pondok itu tak berkamar, hanya kecil saja bagaikan gubuk ditengah sawah. Ia turun dari pembaringan bambu itu dan merasa makin terheran ketika merasa betapa kedua kakinya telah sembuh sama sekali. Ketika keluar dari sebuah pintu yang kecil di depan pondok, angin sejuk meniup perlahan dan ia merasa tubuhnya menjadi segar dan berbareng perutnya terasa lapar sekali.

Setelah ia keluar dari pondok, ia menahan seruannya karena merasa amat kagum. Pemandangan di luar pondok benar-benar mengagumkan dan indah sekali. Ternyata bahwa pondok itu berada di puncak Gunung Mahameru dan didepannya terbentang luas tamasya alam yang indah menawan hati. Bunga-bunga harum indah tumbuh di sana-sini, pohon-pohon yang penuh buah-buahan terdapat banyak sekali disekitar tempat itu. Suara burung yang berkicau membuat ia merasa seakan-akan berada di alam mimpi.

Ternyata bahwa saat itu metahari baru saja terbit, maka ia merasa heran bagaimana ia bisa berada di tempat ini. Ia teringat kepada kakek yang menolongnya, maka ia menduga bahwa tentu kakek itu yang membawa mereka berdua ketempat ini. Dara Lasmi mencari-cari dengan matanya, namun kakek itu tidak nampak berada di sekitar tempat itu.

“Ibu.!” tiba-tiba terdengar Ratna Wulan memanggilnya. Ia kembali ke dalam pondok dan anaknya telah turun dari pembaringan. Juga keadaan Ratna Wulan amat sehat dan segar. Agaknya hawa gunung yang sejuk mambuat mereka merasa amat segar dan sehat.

“Sudah bangunkah kalian?” tiba-tiba terdengar suara halus bertanya. Suara ini datangnya dari depan pondok.

Maka Dara Lasmi lalu mengandeng tangan anaknya dan segera keluar dari pondok. Ternyata bahwa yang bicara itu adalah kakek yang kemarin menolong mereka, maka Dara Lasmi lalu mengajak anaknya cepat-cepat berlutut menyembah memberi hormat.

“Sungguh hamba amat bersyukur dan berterimakasih kepada eyang yang telah menolong kami berdua. Kalau tidak ada eyang yang menolong kami, entah bagaiamana jadinya dengan nasib diriku!” Tak tertahan lagi, saking terharunya, Dara Lasmi mengucurkan air matanya.

“Bersyukurlah kepada Yang Maha Adil, nini, dan jangan berterima kasih kepadaku. Memang kau dan anakmu sudah berjodoh untuk bertemu dengan aku, maka sekarang ceritakanlah mengapa kau seorang wanita muda bersama anakmu sampai tersasar ke lereng Gunung Mahameru dan berada dalam keadaan yang demikian sengsara?”

Sambil mengucurkan air matanya, Lasmi menceritakan pengalamannya. Akhirnya, ia menutup penuturannya sambil menyembah. “Oleh karena hamba telah tertolong oleh eyang dan telah berada di sini, maka nasib hamba berdua selanjutnya, hamba serahkan pada eyang. Kalau eyang sudi, biarlah hamba tinggal bersama anak hamba di sini, menjadi pelayan dan mengerjakan segala keperluan eyang.”

Kakek itu mengelus-elus jenggotnya yang panjang sambil menarik napas. “Hm, Mahapati agaknya yang menjadi gara-gara. Sungguh sayang Majapahit yang jaya dikotori oleh bagawan itu. Nini, jangan kau berduka, karena betapapun juga, suamimu gugur sebagai seorang ksatria utama. Kau tinggalah di sini bersama anakmu dan asal saja kau tidak teringat akan kemewahan hidup dikota dan cukup merasa puas dengan apa yang ada, kau tentu akan menemui kebahagiaan hidup ditempat sunyi ini. Di lereng sebelah utara, tak jauh dari sini, terdapat beberapa kelompok dusun sehingga kau tak perlu khawatirakan kesunyian, sungguhpun di sini kau takkan bertemu dengan orang-orang gunung yang sederhana saja. Adapun anakmu ini, jiwa ksatria ayahnya menurun kepadanya, maka biarlah ia kudidik dan menjadi muridku.”

Bukan main girangnya hati Dara Lasmi, dan kini yang mengalir turun dari matanya adalah air mata kebahagiaan. “Terima kasih, eyang. Sungguh kata-kata eyang itu merupakan pendengaran yang paling indah dan membesarkan hati bagi hamba.”

“Kau anak yang baik, nini, dan demi Yang Maha Adil, kebaikan selalu mendatangkan kebaikan.”

Kakek tua itu bukan lain ialah Sang Panembahan Mahendraguna, seorang pertapa sakti yang telah puluhan tahun bertapa di puncak Gunung Mahameru. Orang-orang dusun yang tinggal di sekitar gunung itu, menyebutnya dengan sederhana saja, yaitu Eyang semeru.

Selain bertapa kakek ini suka bertani, menanam sayur-sayur dan suka pula berjalan-jalan ke kampung-kampung untuk memberi wejangan-wejangan kepada orang-orang kampung dan gunung, bahkan tak jarang ia menolong mereka yang menderita sakit. Tak seorangpun tahu darimana asalnya kakek luar biasa ini yang hidupnya amat sederhana, akan tetapi tak seorangpun diantara mereka yang tidak menaruh hormat terhadap Eyang Semeru.

Demikianlah, semenjak tertolong oleh kakek sakti ini Dara Lasmi hidup di puncak Mahameru, mengatur segala keperluan kakek itu dan juga mendidik Ratna Wulan anak tunggalnya yang terkasih. Tepat sebagaimana yang dikatakan oleh Eyang Semeru, semenjak tinggal di gunung itu, Ratna Wulan memperlihatkan bahwa ia memiliki ketangkasan dan sifat-sifat keperwiraan, tiada bedanya dengan seorang anak laki-laki. Ia mendapat latihan-latihan ilmu pencak silat dari ibunya dan dalam waktu setahun saja, semua kepandaian ibunya telah diwarisinya sampai tamat!

Dara Lasmi memang sengaja mendidik puterinya agar supaya menjadi seorang pendekar wanita, karena tidak saja ketangkasan dan kegagahan diperlukan bagi seorang yang hidup di tempat berbahaya itu, juga ia bercita-cita untuk menyuruh anaknya ini kelak membalas dendam kepada Kartika!

Disamping memberi latihan silat, Dara Lasmi juga memberi latihan-latihan pekerjaan yang harus diketahui oleh seorang wanita, yaitu pekerjaan tangan, memasak dan lain. Alangkah girang hati Dara Lasmi ketika mendapat kenyataan bahwa setelah menamatkan pelajaran ilmu pencak silat yang ia berikan kepadanya, Ratna Wulan mulai mendapat pelajaran dari Eyang Semeru sendiri!

Dan ketika ia melihat cara Eyang Semeru memberi latihan keperwiraan kepada anaknya, Ia menjadi takjub karena ternyata bahwa kakek itu adalah seorang ahli yang sukar dicari bandingannya! Baru mendapat latihan beberapa bulan saja, sudah nampak kehebatan gerakan Ratna Wulan apabila anak itu sedang berlatih pencak. Gerakan-gerakannya selain cepat, juga amat luar biasa.

Dara Lasmi ketika masih kecil dan berada di rumah ayahnya yang menjadi pendekar pencak, sudah sering kali melihat kawan-kawan ayahnya bermain silat, akan tetapi belum pernah ia melihat gerakan-gerakan yang secepat dan sehebat ilmu pencak yang diajarkan oleh Eyang Semeru kepada Ratna Wulan.

Maka diam-diam wanita muda ini mengucap syukur di dalam hatinya kepada Yang Maha Agung yang telah mempertemukan ia dan anaknya dengan Eyang Semeru. Waktu beredar amat cepatnya. Tujuh tahun lewat tak terasa, seakan-akan tujuh tahun itu hanya tujuh hari saja.

Bagaikan sang waktu, segala apa di permukaan bumi ini bergerak maju, berubah dan tumbuh tak terasa pula. Benih bertunas, menjadi sehelai rumput hijau tak berarti, lalu tumbuh menjadi besar, bercabang, berdaun, berbunga, berbuah! Yang tadinya belum ada bermunculan, yang kecil menjadi besar, yang besar menjadi tua akhirnya kembali lenyap ditelan bumi.

Semua ini terjadi bersama peredaran waktu, tak terasa, tahu-tahu sudah terjadi dan demikian seterusnya, selama dunia masih ada. Akan tetapi, di antara segala benda di alam dunia, Gunung Mahameru termasuk benda yang amat kokoh kuat, agaknya tak terpengaruh oleh waktu, atau andaikata terpengaruh, maka perubahannya amat kecil, takkan terlihat oleh mata manusia. Keadaan Gunung Mahameru tujuh tahun yang lalu dengan keadaan sekarang, masih sama.

Gunung itu masih menjulang tinggi, kepalanya lenyap ditelan awan, bagaikan raksasa dalam Samadhi. Besar, tinggi, angker dan jaya, saksi mati segala peristiwa yang melihat semua itu dengan sabar dan diam. Mahameru maklum bahwa segala peristiwa yang terjadi di permukaan bumi ini memang harus terjadi dan semestinya demikian, maka ia tidak mau mengganggu gugat, tidak mendorong ataupun mencegah, menyerahkan segala sesuatunya kepada Pengaturnya.

Bunga-bunga berkembang dan merontok berulang kali di lereng Gunung Mahameru. Pohon-pohon tua tumbang dan pohon-pohon baru tumbuh. Namun keindahan lereng gunung itu tidak berubah, baik bunga-bunganya yang beraneka ragam dan warna serta keharumannya yang menyegarkan hawa itu, maupun kehijauan pohon-pohon yang memenuhi hutan-hutan di sekitar lambung dan kaki gunung.

Pada suatu pagi yang indah di lereng Gunung Mahameru. Sang Batara Surya baru saja muncul kembali setelah beristirahat semalam suntuk di belakang Gunung Mahameru. Cahayanya yang kuning kemerahan bagaikan sinar kencana murni itu menembus embun pagi yang tebal, seakan-akan merupakan air suci yang dituangkan dari Surgaloka.

Segala sesuatu merasakan kenikmatan hangat yang ditimbulkan oleh cahaya matahari, kenikmatan yang membuat segala benda merasa bersyukur bahwa ia masih hidup di permukaan bumi ini. Suara burung yang ratusan macamnya memnuhi udara dengan kicau dan nyanyi, amat merdu dan membangkitkan suasana gembira, tak kalah indahnya dengan bunyi nyanyian maupun indahnya dengan bunyi nyanyian maupun gamelan yang manapun juga.

Sukarlah menuturkan atau menggambarkan keindahan tamasya alam di pagi hari di lereng Gunung Mahameru itu, karena bahasa dunia tak cukup kuat untuk menggambarkan keindahan yang mulus dan suci itu. Kalau ada seseorang kebetulan berada ditempat itu dan menyaksikan segala keindahan ini, tanpa berdongak memanang keluasan langit yang maha hebat itu, ia akan merasa betapa kecil tak berarti adanya dia diantara segala keindahan yang mulia ini.

Setelah matahari naik makin tinggi, dari balik sekelompok pohon mawar gunung dengan bunganya yang berwarna merah muda, terdengar suara orang bersenandung. Dari suara senandung yang makin keras itu dapat diketahui bahwa orangnya tentu sedang menuju ke lereng itu.

Tak lama kemudian nampaklah orangnya yang bersenandung tadi. Dan kalau suaranya tadi amat merdu, maka orangnya lebih menarik lagi. Ia adalah seorang dara remaja yang usianya takkan lebih dari tujuh belas tahun. Kecantikan wajahnya menyaingi bunga mawar yang sedang mulai mekar, bahkan bunga melati dan kenanga yang tumbuh di dekat tempat itu menjadi kemerahan karena malu dan iri menyaksian keayuan dara itu.

Rambutnya hitam panjang terurai ke belakang punggung, segar dan gemuk, terhias kembang melati yang harum dan putih bersih. Di atas sebelah kiri dan di dekat telinga terhias dengan kembang mawar merah. Sepasang matanya lebar dan jernih sekali, dengan warna putih pada matanya yang mengingatkan orang akan permata yang menghias ujung daun di pagi hari ini, sedangkan manik matanya hitam dan mengeluarkan sinar tajam berkilat.

Sepasang mata yang pada ujungnya dikanan kiri meruncingitu menjadi lebih indah lagi oleh bulu mata yang panjang melengkung ke atas, ditambah oleh sepasang alis mata yang hitam dan kecil panjang berbentuk bulan sabit. Hidungnya kecil mancung dengan ujung yang manis. Dan alangkah indah bentuk mulutnya. Garis bibirnya membentuk potongan gendewa terpentang dan kulit bibirnya merah delima, membasah dan segar sehat!

Akan tetapi, di balik segala kecantikan yang benar-benar menggairahkan ini, tidak nampak kelemahan dan sifat menyerah yang biasanya terdapat pada seorang wanita, sebaliknya jelas sekali nampak sifat yang perkasa di balik kecantikannya itu. Terutama sekali sepasang matanya yang tajam itu menyinarkan semangat yang bernyala-nyala dan ketabahan yang luar biasa. Pakaiannya sederhana saja dan dari pakaiannya ini nampak pula sifat-sifatnya yang gagah.

Baju kutangnya terbuat daripada kain berwarna hitam, dengan hiasan renda putih dibagian pinggangnya, atas dan bawah. Baju kutangnya yang hanya membungkus dadanya setinggi bawah pangkal lengan itu melibat erat, namun masih belum cukup kuat untuk dapat menyembunyikan keindahan bentuk tubuhnya yang mulai berkembang.

Pinggangnya diikat dengan sabuk berkembang warna kuning dengan kembang-kembang merah di depannya, bagian penyambung sabuk itu, dihias dengan sebuah kembang perak dengan permata intan di tengahnya. Sebatang keris dengan warangkanya yang berukir dan gagangnya yang berbentuk kepala naga, terselip di balik sabuk, miring ke kiri. Dari pundak kirinya sampai ke pinggang kanannya melintang erat-erat sehelai tali lawe warna merah, yaitu pengikat tempat anak panah dan gendewanya.

Dipandang dari depan, maka yang nampak hanyalah gagang-gagang anak panahnya yang dipasangi bulu burung srikatan. Di pergelangan tangan kirinya nampak sebuah gelang emas berukir intan dengan mata intan, sedangkan pergelangan tangan kanannya dilingkari sebuah gelang kayu cendana menghitam yang berbentuk ular.

Berbeda dengan kebiasan-kebiasaan puteri pada masa itu, dara ini mengenakan kain batiknya agak tinggi di atas mata kakinya yang terhias gelang perak, dan hal ini memang disengaja karena dengan demikian gerakan langkah kakinya menjadi leluasa, seperti halnya kebiasaan perempuan-perempuan gunung di sekitar Gunung Mahameru itu mengenakan kainnya.

Inilah Diah Ratna Wulan yang kini telah menjadi seorang dara perkasa yang berilmu tinggi. Selama tujuh tahun Ratna Wulan menerima gembelangan-gemblengan ilmu pencak silat dari ibunya dan dari eyang gurunya, Bahkan ia telah mempelajari ilmu kebatinan sehingga tidak saja ilmu silatnya tinggi, akan tetapi iapun memiliki kekuatan batin yang mentakjubkan, yang membuat semangatnya bernyala-nyala, ketabahannya tak mengenal batas, dan gerak-geriknya tenang, penuh kepercayaan kepada diri sendiri.

Pada waktu itu, Panembahan Mahendraguna atau Eyang Semeru, yaitu eyang guru dari Ratna Wulan, telah sebulan lebih meninggalkan puncak Mahameru, melakukan lelana brata dan katanya hendak mengamankan daerah-daerah di tanah Jawa yang masih angker. Maka Ratna Wulan hanya tinggal berdua dengan ibunya yang kinipun telah menjadi seorang pertapa.

Dara Lasmi telah mempelajari filsafat kebatinan dari Eyang Semeru dan kini mulai menjalankan tapa brata. Akan tetapi, dendam di dalam hatinya biarpun kini tidak bernyala-nyala panas, namun api dendam itu masih belum padam. Ia belum menceritakan hal sakit hatinya itu kepada puterinya, oleh karena sungguhpun ia maklum bahwa kini anaknya telah menjadi seorang pendekar yang digdaya, jauh melebihi kegagahan mendiang ayahnya, namun ia mengangap anaknya masih terlampau muda.

Memang ada benarnya keraguan hati Dara Lasmi itu, oleh karena sesungguhnya, di samping ketenangan dan kepa daiannya yang tinggi, Ratna Wulan memiliki dasar tabiat yang keras hati dan tidak mau mengalah terhadap siapapun juga. Sifat inilah yang marupakan dorongan kepadanya sehingga ia dapat mengeduk semua ilmu dari Eyang Semeru. Tiap kali ia berlatih dengan gurunya itu dan dikalahkan, ia menjadi penasaran dan merengek-rengek kepada gurunya untuk diberi pelajaran ilmu baru yang digunakan oleh gurunya dalam mengalahkan tadi.

Seringkali Eyang Semeru berkata sambil tersenyum kepadanya. “Ratna Wulan, kau seperti anak kecil saja! Kau selalu merasa penasaran kalau dikalahkan dan ingin menambah pengertianmu. Sifat untuk selalu menambah kepandaian ini memang baik dan dapat memajukan kepandaianmu, akan tetapi jangan kau terlalu bernafsu oleh keinginan hendak memiliki seluruh kesaktian yang ada didunia ini. Hasrat hati memang selalu diliputi nafsu angkara murka dan kehendaknya kalau dapat akan dipeluknya Gunung Mahameru, tanpa mengingat bahwa sepasang lengannya hanya pendek saja. Ketahuilah, Wulan, manusia tetap makhluk yang lemah apabila di bandingkan dengan seluruh kebesarannya ini. Kepandaianmu tidak kenal batas dan tidak habisnya. Tak mungkin ada di dunia ini manusia yang dianggap paling pandai, karena sepandai-pandainya seseorang, akan ada yang melebihi lagi. Kalau kau menang dalam sesuatu hal terhadap orang lain, belum tentu kau akan menang pula darinya dalam hal lain. Dan akhirnya, sepandai-pandainya orang, ia akan merasa dirinya bodoh dan kecil kalau berhadapan dengan hukum dan kekuasaan alam!”

Betapapun juga, karena Eyang Semeru amat sayang kepada dara ini, ia turuti juga permintaannya dan karenanya, Ratna Wulan menjadi makin pandai saja. Baik ilmunya memanah, bersilat tangan kosong, main keris, maupun kekuatan batinnya, membuat ia menjadi seorang dara perkasa yang jarang terdapat keduanya pada zaman itu.

Selain keras hati dan tidak mau kalah, Ratna Wulan juga berwatak riang gembira dan amat jenaka pula sehingga kadang-kadang ia bertingkah kenes dan kewat, menggemaskan hati dan membuat orang ingin menggigit dengan gemas dan sayang! Kesukaan Ratna Wulan berburu binatang dan ia seringkali merantau di sekitar Gunung Mahameru, sehingga boleh dibilang semua penduduk di dusun-dusun sekitar lereng dan kaki gunung itu kenal belaka kepada dara perkasa ini.

Karena maklum bahwa dara ini adalah murid terkasih dari Eyang Semeru, maka mereka semua menghormatinya sebagai seorang dara yang berilmu tinggi. Tidak jarang Ratna Wulan menolong orang-orang dusun yang sedang ditimpa bencana. Pernah ia memburu dan membunuh seekor harimau buas yang mengacau dusun di kaki gunung sebelah selatan, dan pernah pula ia mengusir seorang laki-laki kasar yang menjagoi dan menghina penduduk kampung mengandalkan kekuatannya.

Pada hari itu, Ratna Wulan seperti biasa turun dari puncak gunung. Ia hendak memburu rusa, karena telah lama ia tidak makan daging rusa. Sudah beberapa tahun ibunya tidak makan daging, dan hanya makan sayur-sayuran saja, maka kalau ia mendapatkan hasil buruan, ia hanya makan bagian yang paling disukainya saja, sedangkan selebihnya ia berikan kepada orang-orang dusun terdekat.

Ratna Wulan telah melalui dua buah hutan, namun belum juga ia melihat seekor rusa pun. Ia menjadi jengkel dan kegembiraannya banyak berkurang. Mengapa ia demikian sial, pikirnya. Memang banyak ia melihat binatang-binatang lain, akan tetapi bukan watak dara itu untuk sembarangan melepas anak panah dan membunuh binatang tanpa maksud. Kalau ia ingin membunuh rusa, harus rusalah yang menjadi kurban anak panahnya, bukan binatang lain.

Ratna Wulan belum belum pernah membunuh binatang, kalau ia ingin makan daging itu, atau kalau binatang itu tidak menyerangnya. Biar bertemu dengan seekor harimau atau ular besar sekalipun, asalkan binatang ini tidak mengganggunya dan tidak mengganggu penduduk, ia tidak mau menyerang atau membinasakannya.

Setelah matahari naik tinggi dan tengah hari telah lewat, ia tiba di dalam sebuah hutan di sebelah utara gunung. Di luar hutan itu terdapat sebuah dusun yang disebut dusun Jatikembar. Nama ini diberikan orang kepada dusun itu karena di situ terdapat sepasang pohon jati yang besar dan tua dan yang bentuknya hampir sama, maka dikenal jati kembar.

Ratna Wulan telah dikenal baik oleh penduduk di situ, maka dara ini ingin singgah di situ melepas lelah. Tiba-tiba ia melihat berkelebatnya bayangan rusa. Hatinya berdebar girang dan bagaikan anak panah terlepas dari busurnya, tubuhnya melesat dan memburu rusa itu dengan cepatnya.

Rusa adalah seekor binatang yang dapat berlari amat cepatnya, akan tetapi oleh karena tahu bahwa dirinya dikejar orang, rusa itu berlari sambil sembunyi-sembunyi sehingga sebentar saja Ratna Wulan dapat mengejarnya....
Selanjutnya,