Dewa Arak - Manusia Kelelawar - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Dewa Arak - Manusia Kelelawar
Karya : Ajisaka

Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak Karya Ajisaka
SATU

"Ha ha ha...!"

Tawa keras menggelegar menguak kesunyian pagi. Panjang dan hampir tidak putus-putus. Ada nada kegembiraan yang sangat di dalamnya. Suara itu berasal dari salah satu di antara sekian banyak goa yang terdapat di Bukit Kematian. Sebuah bukit yang jarang didatangi orang.

Setiap orang yang datang ke sana tidak akan pernah kembali lagi. Mungkin itulah sebabnya bukit itu dinamakan Bukit Kematian. Menurut cerita yang tersebar di dunia persilatan, di sekitar Bukit Kematian banyak terdapat tempat-tempat yang berbahaya.

Lumpur hidup serta jalan-jalan setapak yang terdapat di antara hamparan padang rumput setinggi satu setengah tombak, menyembunyikan bahaya berupa ular-ular beracun dan serangga-serangga berbisa. Semua itu hanya sebagian kecil dari bahaya-bahaya yang menghadang perjalanan menuju Bukit Kematian. Tak aneh jika tempat itu ditakuti tokoh-tokoh persilatan.

Sedangkan bagi penduduk sekitar tempat itu, Bukit Kematian merupakan tempat keramat. Mereka percaya bukit itu dihuni berbagai macam makhluk halus. Dan tidak seorang pun berani menginjakkan kaki di sana.

Tapi kenyataannya pagi itu terdengar suara tawa dari salah satu goa di Bukit Kematian! Apakah tawa itu keluar dari mulut siluman atau makhluk halus lainnya seperti yang dipercayai penduduk sekitar tempat itu?

Mendadak dari dalam goa melesat sesosok bayangan. Gerakannya cepat bukan main. Sehingga yang terlihat hanya sekelebatan bayangan putih yang tidak jelas. Tahu-tahu di depan goa itu telah berdiri sesosok tubuh kurus kering berpakaian putih.

Silumankah sosok berpakaian putih itu? Rasanya tidak! Mungkinkah siluman keluar di pagi hari? Sosok berpakaian putih itu pasti seorang manusia! Kedua kakinya menginjak tanah! Namun bukti yang lebih meyakinkan kalau sosok berpakaian putih itu seorang manusia adalah pernyataannya. Ucapan yang dikeluarkan setelah sosok itu membiarkan tubuhnya bermandikan cahaya lembut matahari pagi.

"Sekarang tibalah waktunya bagiku untuk mencoba kedahsyatan ilmu yang kudapat!"

Usai berkata demikian, sosok berpakaian putih mengembangkan kedua tangannya ke samping. Gerakannya mengingatkan orang pada unggas yang sedang membuka sayapnya. Hanya sosok itu menggerakkannya perlahan-lahan, tapi penuh tenaga. Bunyi menderu seperti angin ribut terdengar mengiringi.

Ini menjadi pertanda kalau sosok berpakaian putih memiliki tenaga dalam tinggi! Hanya orang-orang yang memiliki tenaga dalam tinggilah yang mampu menimbulkan bunyi deru angin setiap kali menggerakkan tangannya.

Ternyata tidak hanya deru angin saja yang timbul. Sepasang matanya pun berubah. Kelihatan seperti memanjang dan memipih, tajam berkilat mengeluarkan sinar kehijauan. Mirip mata seekor kucing!

Hanya sesaat sosok berpakaian putih bersikap demikian. Kemudian diawali bunyi mencicit nyaring seperti suara tikus, sosok itu melompat ke atas. Ringan bukan main gerakan sosok berpakaian putih. Bagai sehelai daun kering, tubuhnya melayang ke atas. Dan setibanya di sana tangan kanannya dikibaskan.

Wuttt! Blarrr!
Bunyi hiruk-pikuk langsung terdengar ketika angin kibasan sosok berpakaian putih menghantam batu sebesar kerbau. Padahal batu itu berada dalam jarak tak kurang dari lima tombak! Tapi, kenyataannya hancur! Satu bukti lagi betapa kuat tenaga dalam sosok berpakaian putih itu.

Jliggg!

"Ha ha ha...!" Begitu kedua kakinya mendarat ringan di ranah, sosok berpakaian putih mengumbar tawanya yang terdengar lepas penuh dengan kegembiraan. "Sekarang aku telah menjadi orang sakti! Ha ha ha...! Tidak sia-sia pengorbananku selama ini! Tunggulah cecunguk-cecunguk tak tahu diri! Aku, Sangkala, akan membuat perhitungan dengan kalian. Ha ha ha...!"

Masih dengan tawa yang tidak putus sosok berpakaian putih yang ternyata bernama Sangkala melesat pergi meninggalkan tempat itu. Luar biasa! Hanya dengan sekali lesatan tubuhnya telah berada belasan tombak di depan. Tanpa memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi jarak sejauh itu tidak akan bisa dicapai!

Baru beberapa kali lesatan Sangkala menghentikan larinya. Pandangannya diarahkan ke depan ke tempat terhamparnya padang rumput setinggi satu setengah tombak.

"Orang lain mungkin sulit melewati tempat ini... Tapi untukku.... Ha ha ha...! Tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi langkahku! Sangkala akan menjadi jago nomor satu di dunia persilatan. Ha ha ha...!"

Untuk kesekian kalinya Sangkala tertawa tergelak-gelak. Cukup lama sebelum akhirnya berhenti. Lebih tepatnya dihentikan secara mendadak. Sekarang tarikan wajahnya menampakkan kesungguhan. Tidak terlihat lagi raut kegembiraan di wajahnya. Sangkala berdiam diri sebentar seperti tengah berpikir keras. Mendadak ia memutar tubuhnya ke kiri dengan dibarengi gerakan tangannya. Hingga....

Bluppp!

Tubuh Sangkala lenyap! Di tempatnya semula berdiri tampak kepulan asap dan seekor kelelawar!

Cit, cit, cit! Diiringi bunyi mencicit yang keluar dari mulutnya, kelelawar itu terbang di atas hamparan rumput! Kalau kebetulan ada yang melihat kejadian ini tentu akan heran bukan main. Bagaimana mungkin kelelawar melakukan kegiatannya di siang hari? Padahal binatang itu biasanya tidur di siang hari. Dan baru keluar pada malam hari.

* * *

Matahari telah bergeser jauh dari tempat terbitnya. Meskipun demikian belum mencapai titik tengah ketika sebuah iring-iringan kereta kuda memasuki mulut Hutan Sawang.

Iring-iringan itu terdiri dari sebuah kereta dan delapan ekor kuda. Kedudukan binatang yang rata-rata berpenunggang sosok-sosok berwajah gagah itu melindungi kereta. Tiga di bagian belakang dan depan serta satu pada masing-masing sisi kereta.

Seperti juga binatang tunggangannya yang semua berwarna hitam, sosok-sosok gagah di atas punggung kuda itu pun mengenakan pakaian yang sama. Kuning kentang. Pada bagian dada kiri tersulam gambar kepala seekor harimau. Pedang bergagang kepala harimau tampak di balik punggung mereka. Senjata-senjata itu membuktikan rombongan ini bukan terdiri dari orang-orang lemah.

Menilik sikap sosok-sosok di atas punggung kuda hitam yang terlihat begitu melindungi kereta, bisa diperkirakan orang yang berada di dalamnya adalah orang penting.

"Hooop...!"

Tiba-tiba salah satu dari tiga penunggang kuda terdepan mengangkat tangan kanannya ke atas seraya menarik tali kekang binatang tunggangannya.

Seketika itu pula, rombongan yang berada di belakang tiga sosok itu menghentikan langkah kuda mereka. Dan seiring dengan itu, masing-masing sosok berpakaian kuning bersikap waspada. Mereka melihat sesosok tubuh berpakaian putih berdiri menghadang jalan.

Salah seorang dari tiga penunggang kuda terdepan, seorang lelaki tegap berkumis tebal, melompat turun. Indah dan manis gerakannya. Bahkan ketika kedua kakinya didaratkan di tanah, tidak terdengar bunyi yang berarti. Itu pertanda ilmu meringankan tubuhnya cukup tinggi.

Lalu dengan langkah dan sikap tenang, lelaki berkumis tebal itu menghampiri sosok berpakaian putih yang terdiri dalam jarak sepuluh tombak di depannya. Tindakan lelaki berkumis tebal yang menjadi pimpinan iring-iringan itu tidak luput dari perhatian rekan-rekannya dan sosok berpakaian putih.

Sosok berpakaian putih itu ternyata seorang pemuda yang berusia sekitar dua puluh lima tahun. Kulit wajahnya pucat seperti lama tidak terkena sinar matahari. Seperti juga lelaki berkumis tebal, pemuda itu pun bersikap tenang. Kedua tangannya tetap dilipat di depan dada.

"Maaf, Kisanak. Bisakah kau menyingkir sebentar? Kami hendak lewat, dan sedang memburu waktu. atas kesediaanmu kami mengucapkan terima kasih," ujar lelaki berkumis tebal pelan dan sopan.

"Bagaimana kalau aku tidak mau?!" sahut pemuda berpakaian putih dingin.

Seketika itu pula wajah lelaki berkumis tebal berubah. Sepasang matanya berkilat marah. Tapi hanya sebentar, sesaat kemudian raut wajahnya kembali seperti biasa. Rupanya lelaki berkumis tebal itu mampu menguasai perasaannya.

"Maaf, Kisanak. Mungkin perlu kau ketahui kami adalah orang-orang Perguruan Harimau Terbang. Kebetulan aku pemimpin rombongan ini. Namaku Kulana! Saat ini kami sedang mendapat tugas yang harus cepat kami laksanakan. Kami tidak mempunyai banyak waktu. Sekali lagi kuminta kau menyingkir dari tempatmu, Kisanak. Berilah kami kesempatan untuk lewat."

"Cuhhh!" Tanggapan dari pemuda berpakaian putih adalah semburan ludah ke tanah. Kasar dan menjijikkan sekali caranya. "Siapa pun kalian aku tidak peduli! Dari Perguruan Harimau Terbang atau Perguruan Macan Ompong bukan urusanku! Yang jelas kalau ingin lewat jalan ini kalian harus menyingkirkan aku!"

"Keparat!" Terdengar makian keras penuh kemarahan. Disusul kemudian dengan melompatnya seorang penunggang kuda yang tadi berada di sebelah Kulana. Dia seorang lelaki bertubuh pendek kekar.

"Biar aku yang melemparkan pemuda sombong itu, Kakang!" pinta lelaki pendek kekar ketika telah berada di dekat Kulana.

Kulana tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah lelaki pendek kekar itu sejenak. "Baik! Tapi hati-hati, Cakra! Jangan bertindak sembrono. Aku yakin dia bukan orang sembarangan," beri tahu lelaki berkumis tebal seraya melangkah mundur memberi kesempatan pada rekannya.

"Mengapa harus membuang-buang waktu?! Lebih baik kalian semua maju bersama!" tantang pemuda berpakaian putih tanpa menyembunyikan rasa sombong. Hingga semua orang yang berada di dalam rombongan Perguruan Harimau Terbang gusar.

Hal yang sama pun dialami Cakra! Kemarahannya semakin berkobar mendengar sesumbar lawan. Maka diputuskan segera melaksanakan maksudnya. "Manusia sombong! Awas seranganku ! Hih!"

Cakra membuka serangan dengan sebuah tendangan lurus ke arah dada. Deru angin cukup keras mengiringi tibanya serangan itu, pertanda tenaga dalamnya cukup tinggi. Tapi pemuda berpakaian putih tetap bersikap tenang. Tidak terlihat tanda-tanda dia akan melakukan tindakan. Baik tangkisan maupun elakan.

Malah begitu serangan Cakra menyambar semakin dekat, pemuda berpakaian putih menurunkan kedua tangannya. Sebuah tindakan yang membuat ancaman bahaya semakin besar. Karena bagian dadanya terbuka lebar.

Karuan saja semua orang yang berada di situ terkejut. Tidak terkecuali Cakra! Sudah gilakah pemuda berpakaian putih itu! Kalau tidak, mana mungkin membiarkan serangan lawan menghantamnya? Ataukah dia memiliki kepandaian yang demikian tinggi sehingga berani menerima serangan lawan?

Pertanyaan-pertanyaan itu menggayuti semua kepala anggota rombongan Perguruan Harimau Terbang. Sekarang mereka menunggu kenyataan yang akan terjadi dengan perasaan tegang. Dan mereka tidak perlu menunggu terlalu lama untuk membuktikan kenyataan itu. Sesaat kemudian....

Bukkk!

Telak dan keras sekali kaki Cakra mendarat di dada pemuda berpakaian putih. Akibatnya benar-benar mengejutkan! Seharusnya pemuda berpakaian putih itu kesakitan. Tapi yang terjadi sebaliknya. Cakralah yang menjerit-jerit kesakitan sambil memegangi kakinya.

Pemuda bertubuh pendek kekar itu merasakan kakinya bukan menghantam tubuh manusia yang terdiri dari daging dan tulang. Tapi, mengenai bongkahan baja keras! Rasa sakit yang sangat langsung menderanya.

Tentu saja rekan-rekan Cakra terkejut bukan main melihat kenyataan itu. Sekarang mereka sadar kalau pemuda berpakaian putih memiliki kepandaian tinggi. Seketika itu pula, bagai diberi perintah, mereka melompat dari punggung kuda masing-masing. Sudah dapat diduga maksudnya! Apalagi kalau bukan ingin membantu Cakra? Tapi....

"Hentikan! Jangan ada seorang pun yang berpindah dari kedudukan masing-masing!"

Seruan Kulana membuat anggota rombongan Perguruan Harimau Terbang yang berada di samping dan belakang kereta menghentikan tindakan. Mereka menyadari adanya kebenaran dalam ucapan itu.

"Ha ha ha...! Mengapa berhenti? Tidak usah malu-malu! Teruskan saja maksud kalian untuk mengeroyokku agar pertarungan jadi lebih menarik! Ha ha ha...!" pemuda berpakaian putih mengeluarkan perkataannya dengan penuh ejekan. Sikapnya terlihat sangat memandangang rendah.

"Siapa kau, Kisanak?! Mengapa tanpa alasan kau mengganggu kami?! Setahuku Perguruan Harimau Terbang tidak mempunyai urusan denganmu!" ujar Kulana sambil melangkah maju. Sedikit pun tidak dipedulikannya sikap sombong pemuda berpakaian putih.

"Ha ha ha...!" lagi-lagi pemuda berpakaian putih tertawa sebelum menjawab pertanyaan Kulana. "Terima kasih atas pertanyaanmu, Monyet Jelek! Memang aku lupa memperkenalkan diri! Nah! Dengarkan baik-baik! Namaku Sangkala! Kau dengar?!"

"Sangkala?!" gumam Kulana dengan dahi berkerut. Lelaki berkumis tebal ini mencoba mengingat-ingat barangkali pernah didengarnya tokoh persilatan yang mempunyai nama demikian. Tapi sampai lelah dia menguras benaknya tidak didapatkannya tokoh persilatan yang mempunyai nama seperti itu.

"Kau belum mengemukakan alasanmu menghadang perjalanan kami, Sangkala?!" ujar Kulana mengingatkan.

"Sederhana saja, Kulana," timpal Sangkala tenang.

"Apa?!"

"Membunuh kalian!"

"Keparat!" maki Kulana geram merasa dipermainkan Sangkala. Dan....

Srattt!

Sinar terang menyilaukan mata berpendar ketika pimpinan rombongan Perguruan Harimau Terbang mencabut pedangnya. Kejadian yang menimpa Cakra menyebabkan Kulana tanpa ragu-ragu menghunus senjata. Apalagi menyadari Sangkala seorang lawan yang tangguh.

"Hm!" Sebuah dengusan pendek Sangkala menyambuti tindakan Kulana. Seperti juga sebelumnya, pemuda berpakaian putih itu tetap bersikap tenang seolah tidak ada bahaya maut mengancamnya.

"Cabut senjatamu, Sangkala!" seru Kulana melihat pemuda berpakaian putih itu masih berdiam diri.

"Tidak usah berlagak gagah, Kulana!" ejek Sangkala, "Seranglah aku! Jangan ragu-ragu untuk mengeluarkan seluruh kemampuanmu."

"Sombong! Ingat, Sangkala! Bukan aku yang bertindak curang menyerang lawan yang tidak bersenjata. Tapi kau sendiri yang mengabaikan kesempatan yang kuberikan!"

"Tidak usah banyak bicara! Kalau kau memang bukan pengecut, serang aku!" tandas Sangkala tidak peduli.

Wajah Kulana langsung merah padam. Sepasang matanya berkilat-kilat memancarkan amarah. Geram melihat sikap Sangkala yang terlalu sombong. Maka....

"Hiaaat..!" Diawali teriakan nyaring yang membuat suasana di sekitar tempat itu bergetar hebat Kulana melancarkan serangan perdananya. Pedangnya ditusukkan ke arah leher Sangkala!

Cittt!

Bunyi mencicit dari udara yang robek terdengar ketika pedang Kulana meluncur menuju sasaran. Cepat bukan main luncuran serangan itu. Tapi masih lebih cepat gerakan Sangkala. Hanya dengan memiringkan kepalanya ke kanan, tanpa bergeser dari tempatnya semula, Sangkala membuat serangan itu kandas. Ujung pedang Kulana lewat beberapa jari di sebelah kiri leher Sangkala.

Melihat serangan perdananya berhasil dielakkan lawan dengan mudah, Kulana jadi penasaran. Segera dikirimkan serangan susulannya. Pedangnya diayunkan mendatar ke arah leher!

Wuttt!

Untuk yang kedua kalinya babatan pedang Kulana hanya mengenai angin. Sangkala telah menarik kepalanya ke belakang. Dan hebatnya gerakan itu dilakukan tanpa menggeser kaki!

Tapi Kulana tidak putus asa. Bahkan sebaliknya! Serangan-serangan yang dikirimkannya semakin dahsyat. Pedangnya berkelebatan cepat mengancam berbagai bagian berbahaya di tubuh Sangkala. Disertai bunyi mencicit yang menyakitkan telinga.

Berturut-turut Kulana melancarkan serangan dahsyat. Tapi semua berhasil dipunahkan Sangkala dengan mengelak tanpa menggeser kaki! Laksana bayangan, tubuhnya digerakan ke sana kemari mengelakkan serangan Kulana.

"Hih!" Kulana menggertakkan gigi. Rasa marah dan sakit hati berkecamuk di hatinya melihat serangan demi serangan yang dikirimkan dipatahkan lawan dengan demikian mudah.

"Sekarang giliranku!"

Di antara bunyi riuh rendah berkelebatannya pedang Kulana terdengar seruan Sangkala. Tapi Kulana yang tengah dilanda amarah tidak mempedulikannya. Lelaki berkumis tebal itu terus melancarkan serangan. Pedang di tangannya dikelebatkan ke berbagai bagian berbahaya di tubuh Sangkala. Namun....

Tappp!

"Akh!"

DUA

Jeritan pendek bernada kaget keluar dari mulut Kulana ketika batang pedangnya berhasil dicengkeram Sangkala. Kejadiannya berlangsung sangat cepat dan tidak terduga-duga.

Meskipun demikian Kulana tidak kehilangan akal. Secepat batang pedangnya tercengkeram secepat itu pula ditariknya seraya mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Tergambar di benaknya jari-jari Sangkala putus tersayat mata pedangnya. Paling tidak tangan itu terluka! Dan bila hal itu terjadi Sangkala pasti akan melepaskan cengkeramannya.

Tapi harapan Kulana pupus. Pedang itu sekali pun tidak bergeming dari cengkeramana Sangkala, Seolah bukan dicengkeram tangan manusia tapi jepitan baja! Betapa pun dikerahkan seluruh tenaganya, tetap saja tidak bergeming! Meskipun demikian Kulana tidak putus asa. Maksudnya tetap diteruskan sampai wajahnya merah padam dan napasnya terengah-engah.

Berbeda dengan Kulana, keadaan Sangkala biasa saja. Tidak terlihat tandatanda pemuda itu mengerahkan tenaganya. Raut wajahnya tetap seperti semula. Tenang dan dingin. Semua kejadian itu disaksikan dengan jelas oleh semua anggota Perguruan Harimau Terbang. Terutama Cakra dan rekannya yang berada di bagian depan. Tanpa diberitahu mereka mengerti pimpinannya berada dalam kedudukan yang tidak menguntungkan!

Sadar jika keadaan itu dibiarkan akan membahayakan keselamatan Kulana, Cakra dan rekannya segera bertindak! Bagai telah disepakati sebelumnya, keduanya menghunus senjata dan melompat ke dalam kancah pertarungan.

Sing sing sing...!

Bunyi mendesing terdengar ketika dua batang pedang itu meluncur ke arah leher Sangkala. Cakra mengirimkan serangan dari sebelah kanan, sedangkan rekannya dari kiri. Kedua serangan itu dilakukan dari atas. Tindakan itu seperti gerakan seekor burung garuda hendak menerkam mangsa.

Hebat dan cepat serangan gabungan ini. Namun tanggapan yang diberikan Sangkala jauh lebih cepat. Sekali jari-jari tangannya yang mencengkeram, bergerak terdengar bunyi 'tak', disusul patahnya pedang Kulana! Padahal saat itu Kulana tengah bersitegang menarik senjatanya!

Kelanjutan kejadian itu sudah dapat diduga! Kulana terdorong deras ke belakang terbawa tenaga tarikannya. Potongan pedangnya tergenggam di tangan! Di saat itulah Sangkala bertindak! Tangan kanannya dikibaskan!

Singngng!

Seketika itu pula potongan pedang Kulana meluncur dalam kecepatan tinggi ke arah pemiliknya! Sementara Kulana masih terbawa tenaga tarikannya. Keadaan pimpinan rombongan Perguruan Harimau Terbang sangat berbahaya. Tindakan Sangkala tidak berhenti sampai di situ. Kedua tangannya disampokkan ke atas.

Trakkk, trakkk, cappp!

"Akh...!" Luar biasa! Dalam waktu sekejap rentetan peristiwa itu terjadi! Kegagalan Cakra dan rekannya karena serangan mereka berhasil dipunahkan Sangkala dengan sampokan tangannya yang membuat pedang mereka patah hampir bersamaan dengan amblasnya potongan pedang Kulana di perut majikannya sendiri. Kulana memekik kesakitan!

"Kakang...!" Cakra dan rekannya menjerit kaget melihat kejadian yang menimpa Kulana. Jeritan itu langsung keluar begitu keduanya berhasil mematahkan kekuatan yang membuat tubuh mereka melayang akibat sampokan Sangkala.

Seiring keluarnya jeritan itu Cakra dan rekannya meluruk ke arah Kulana yang berdiri limbung sambil memegangi perutnya. Sungguh tangguh daya tahan Kulana. Dia mampu berdiri di tanah dengan kedua kaki.

Padahal potongan pedang amblas di dalam perutnya. Bukan hanya Cakra dan rekannya yang meluruk ke arah lelaki berkumis tebal itu. Anggota rombongan Perguruan Harimau Terbang yang lainnya pun melakukan hal yang sama. Sedangkan Sangkala hanya tertawa-tawa.

Tawa gembira penuh dengan nada ejekan. Masih dengan tawa yang tidak putus, Sangkala memperhatikan semua kesibukan rombongan Perguruan Harimau Terbang. Tampak olehnya, Cakra dan kawan-kawannya mengerumuni Kulana. Tubuh pimpinan rombongan Perguruan Harimau Terbang itu setengah terbaring di tanah. Kalau tidak ada tangan Cakra yang menegakkan punggungnya, pasti tubuh Kulana terbaring.

"Kakang...! Kuatkan hatimu...! Kau akan sembuh, Kang," ucap Cakra terbata-bata dengan suara bergetar. Terlihat jelas kesedihan Cakra, baik dalam nada suara maupun tarikan wajahnya. Gambaran perasaan yang sama membias di wajah semua anggota Perguruan Harimau Terbang.

"Tidak, Cakra, Hhh... hhh.... Aku ti... tidak kuat lagi. Hhh... hhh.... Lak., laksanakan tugas kalian se... sebaik-baiknya. Dan... akh...!" Seiring dengan terkulainya kepala Kulana nyawanya pun melayang ke alam baka.

"Kang...! Kakang Kulana...!" Dengan kalap Cakra mengguncang-guncangkan tubuh Kulana. Sikap lelaki pendek kekar itu menunjukkan ketidakrelaannya akan kematian Kulana. Sebab Kulana adalah kakak kandung Cakra!

Tawa gembira penuh ejekan membuat Cakra dan rekan-rekannya teringat kembali akan keberadaan Sangkala. Seiring dengan itu, perasaan geram dan keinginan untuk membalas dendam pun timbul.

"Tenangkanlah hatimu, Kang. Akan kubalaskan semua sakit hatimu!" sambil berkata demikian, dengan hati-hati Cakra membaringkan tubuh Kulana di tanah. Kemudian dirinya kembali berdiri dan menatap Sangkala. Terlihat jelas sinar kemarahan dan kebencian di sana!

"Kubunuh kau, Iblis Keji!" desis Cakra dengan suara bergetar. Lalu....

Srattt! Sinar terang berpendar ketika lelaki pendek kekar yang tengah dilanda amarah itu mencabut pedangnya.

Bukan hanya Cakra yang menghunus senjata. Enam rekannya pun melakukan tindakan yang sama. Dalam cekaman perasaan marah, rombongan Perguruan Harimau Terbang seperti tidak mempedulikan sikap gagah lagi.Walaupun lawan yang akan dihadapi hanya seorang dan bertangan kosong. Sementara, mereka berjumlah tujuh orang! Dan masih ditambah lagi dengan senjata di genggaman! Kelihatan sangat tidak adil!

Tapi Sangkala tidak mempedulikan hal itu. Sikap yang ditunjukkannya malah menyiratkan dia memandang remeh lawan-lawannya. Pemuda itu tetap tenang, meskipun rombongan Perguruan Harimau Terbang telah melakukan penyerangan.

"Hiaaat...!" Diawali teriakan keras, Cakra yang sudah tidak kuat menahan amarahnya mulai bergerak. Rekan-rekannya mengikuti. Mereka tahu Cakra bukan tandingan Sangkala yang hebat. Kalau tidak dibantu, lelaki pendek kekar itu akan tewas di tangan lawan.

Pertarungan pun tidak bisa dihindarkan lagi. Tujuh orang gagah dari Perguruan Harimau Terbang menyerang laksana macan luka. Pedang-pedang di tangan mereka berkelebat cepat mengancam berbagai bagian tubuh Sangkala.

Tapi Sangkala tetap tenang. Ditunggunya hingga serangan-serangan itu menyambar dekat. Baru setelah hampir menyentuh tubuhnya, pemuda berpakaian putih itu memberikan tanggapan.

Menggiriskan sekali tindakan Sangkala! Babatan, tetakan, dan tusukan senjata lawan dipapakinya dengan tangan kosong. Bunyi berdetak keras seperti logam-logam keras beradu terdengar ketika sepasang tangan Sangkala berbenturan dengan senjata-senjata lawan.

Kedua tangan Sangkala sedikit pun tidak terluka! Malah sebaliknya, setiap kali terjadi benturan, tubuh anggota Perguruan Harimau Terbang terhuyung-huyung ke belakang.

Meskipun demikian, mereka tidak gentar. Tanpa mempedulikan rasa sakit, rombongan Perguruan Harimau Terbang kembali melancarkan serangan. Pertarungan sengit kembali berlanjut.

Tapi setelah pertarungan berlangsung hampir sepuluh jurus, rombongan Perguruan Harimau Terbang harus mengakui kehebatan Sangkala. Sebenarnya sejak semula pun sudah dapat diketahui kalau Sangkala terlalu tangguh untuk dihadapi mereka. Cakra dan kawan-kawannya tak ubahnya semut-semut yang menerjang api, roboh sebelum berhasil mendekati sasaran.

"Ha ha ha...! Hanya sampai di sinikah kemampuan kalian? Benar-benar mengecewakan!" ujar Sangkala keras mengatasi bisingnya suasana pertarungan. Jelas pemuda itu mengerahkan tenaga dalamnya.

Tidak ada tanggapan dari anggota rombongan Perguruan Harimau Terbang. Walaupun sebenarnya hati mereka terbakar karena perasaan geram yang melanda, yang dilakukan mereka hanya semakin memperhebat serangan. Tapi rupanya Sangkala tidak mempedulikan ada tanggapan atau tidak. Ini terbukti beberapa saat kemudian!

"Bersiaplah kalian! Sekarang aku akan membalas...!" usai berkata, Sangkala menjejakkan kaki. Seketika itu pula tubuhnya mencelat tinggi ke atas melewati kepala para pengeroyoknya. Lalu....

Jliggg!

Ringan laksana daun kering, Sangkala mendaratkan kedua kakinya di tanah di luar kepungan. Kemudian tanpa menunggu lebih lama lagi kedua tangannya dikembangkan seperti unggas membuka sayap.

Sangkala menyusun jari-jarinya membentuk cakar aneh. Kaki kanannya berada di depan agak dijinjitkan. Sedangkan kaki kirinya di belakang sedikit menekuk. Inilah jurus 'Kelelawar' andalannya. Cukup aneh pembukaan jurus 'Kelelawar' Sangkala. Tak heran jika rombongan Perguruan Harimau Terbang terkejut bercampur heran.

Tapi hanya sesaat Cakra dan kawan-kawannya dikungkung perasaan heran. Kemudian dengan diawali teriakan-teriakan keras memekakkan telinga, mereka meluruk ke arah Sangkala. Pedang di tangan mereka siap dikelebatkan.

"Cit, cit, cit!"

Bunyi mendecit terdengar dari mulut Sangkala. Nyaring dan menyakitkan telinga. Belum lagi gema suara itu lenyap, Sangkala melakukan tindakan yang sama dengan lawan-lawannya. Pemuda itu memapaki serbuan rombongan Perguruan Harimau Terbang.

Melihat kenyataan itu, Cakra tidak tinggal diam. Tanpa membuang-buang waktu mereka segera menyambut papakan Sangkala dengan ayunan pedang.

Sing sing sing...!

Crat, crat, crat!

"Akh, akh, akh...!"

Rentetan kejadian itu berlangsung demikian cepat sehingga sulit untuk dirinci. Yang jelas, jeritan menyayat itu keluar susul-menyusul dari mulut rombongan Perguruan Harimau Terbang. Tubuh mereka berpentalan ke belakang. Jatuh berdebuk di tanah. Berkelojotan sejenak sebelum akhirnya diam untuk selamanya. Cakra dan rekan-rekannya tewas dengan mengenaskan. Cakar-cakar Sangkala telah meminta korban.

"Ha ha ha...!"

Sangkala tertawa tergelak keras dan penuh kegembiraan. Dipandanginya mayat ketujuh lawannya sejenak. Mereka korban kedahsyatan jurus 'Kelelawar'nya.

Jurus 'Kelelawar' memang sangat dahsyat! Dalam penggunaan ilmu itu tubuh Sangkala jadi demikian ringan. Kecepatan geraknya menakjubkan. Dengan mengandalkan kecepatan gerak itulah Sangkala berhasil membinasakan lawan-lawannya. Ketujuh anggota Perguruan Harimau Terbang tewas terkena sambaran cakar pemuda berpakaian putih itu.

Masih dengan tawa yang belum putus Sangkala mengalihkan perhatian ke arah kereta. Pertama kali yang dilihatnya adalah kusir kereta. Lelaki anggota Perguruan Harimau Terbang itu meremang bulu kuduknya. Nyalinya langsung menciut. Disadarinya dia bukan tandingan Sangkala yang sangat menggiriskan! Keyakinan akan ketidak-mampuan dirinya membuat kusir itu mengambil tindakan pengamanan. Inilah tindakan yang diambil.

Ctar, ctar, ctar!

"Hiya! Hiyaaa...!"

Dengan perasaan kalap yang tergambar jelas di wajahnya, lelaki itu menggebah kuda. Binatang tunggangan itu pun berlari.

"Hmh!" Sangkala mendengus melihat tindakan sang Kusir! Dengan sorot mata bengis tangannya ditudingkan ke arah binatang penghela kereta.

"Cit, cit, cit!"

Terdengar bunyi mendecit yang menyakitkan telinga. Sesaat kemudian, akibat yang mengagumkan segera terjadi. Lari kuda penarik kereta langsung berhenti.

Kusir kereta tampak sangat kebingungan. Perasaan takut yang mendera membuatnya tidak dapat berpikir panjang. Cambuk di tangannya dilecutkan ke bagian belakang tubuh kuda!

Ctar, ctar, ctar!

Keras bukan main bunyi yang terdengar. Sang Kusir telah mengerahkan segenap tenaganya. Tapi sampai lelah dia melecutkan cambuknya kuda itu tetap diam! Hingga lelaki itu sadar tindakannya sia-sia. Meskipun tidak mengetahui bagaimana hal itu terjadi, tapi dia yakin Sangkala telah menotok kudanya dari jauh!

Kusir kereta itu pun menjadi nekat. Pedang yang tergantung di punggungnya segera dicabut lalu melompat turun.

Jliggg!
Begitu kedua kakinya menginjak tanah, secepat itu pula ia melancarkan serangan ke arah Sangkala. Pedangnya diputar seperti kitiran, kemudian ditusukkan ke dada lawan. Sangkala tersenyum mengejek melihat serangan itu. Ditunggunya hingga dekat, baru kemudian tangannya bergerak cepat.

Tappp!

Mata pedang anggota Perguruan Harimau Terbang itu berhasil ditangkap Sangkala. Dan sebelum lawannya sempat berbuat sesuatu, Sangkala telah bertindak lebih dulu. Sebagian tenaga dalamnya dikerahkan untuk mendorong pedang yang dicengkeramnya. Akibatnya....

Cappp!

"Akh...!" Kusir kereta yang malang itu mengeluarkan jeritan menyayat ketika pedangnya menancap di perut hingga tembus ke punggung. Tentu saja dengan gagang lebih dulu. Wajah sisa anggota Perguruan Harimau Terbang menegang menahan rasa sakit yang sangat. Sepasang matanya membelalak lebar.

Namun itu hanya berlangsung sekejap. Begitu Sangkala melepaskan cekatannya, tubuh kusir itu pun ambruk Dan seiring dengan robohnya tubuh itu nyawanya melayang ke alam baka!

"Ha ha ha...!"

Entah untuk yang keberapa kali Sangkala mengumbar tawa kegembiraan. Hanya kali ini lebih singkat dari sebelumnya. Setelah menghentikan tawa, Sangkala mengayunkan langkah menghampiri kereta kuda. Kelihatannya sembarangan saja kakinya dilangkahkan, tapi hasil yang dicapai benar-benar menakjubkan! Sekali mengayun kaki pemuda itu telah berada di dekat kereta.

"Hih!"

Brakkk! Daun pintu kereta lepas dengan menimbulkan bunyi keras ketika tangan Sangkala yang berisi tenaga dalam menariknya.

"Auwww...!" Teriakan melengking nyaring terdengar seiring jebolnya pintu kereta. Jeritan itu menunjukkan pemiliknya seorang wanita!

Dugaan itu memang tidak salah! Di dalam kereta duduk dengan tubuh menggigil seorang gadis berusia sekitar dua puluh tahun. Meskipun sebagian wajahnya tertutup oleh kedua tangan, tampak wajahnya yang cantik. Kulitnya putih, halus, dan mulus. Pakaian indah berwarna hijau pupus membungkus tubuh montoknya. Agaknya gadis itu berasal dari keluarga berada.

"Hmh!" Sorot kekejaman segera membayang di wajah dan sepasang mata Sangkala ketika melihat isi kereta.

Sementara gadis berpakaian hijau semakin ketakutan. Disadarinya ada bahaya mengancam. Maka tanpa pikir panjang, masih dengan jeritan-jeritan minta tolong, dibukanya pintu kereta yang lain.

Kriiit...!

Seiring dengan terbukanya pintu kereta, gadis berpakaian hijau melompat keluar. Sudah bisa diduga maksudnya. Apalagi kalau bukan hendak Melarikan diri?

"Akan lari ke mana kau, Makhluk Jahanam?!" desis Sangkala penuh ancaman. Tidak hanya itu saja! Tanpa merasa kasihan sedikit pun, diambilnya sebutir kerikil dan dilemparkan ke arah gadis berpakaian hijau.

Wuttt! Tukkk!

"Akh!" Tubuh gadis berpakaian hijau tersungkur ke tanah diiringi jeritan kesakitan. Batu yang dilemparkan Sangkala mengenai belakang lututnya. Gadis berpakaian hijau itu belum sempat berbuat sesuatu ketika Sangkala melesat menyambar tubuhnya dan membawanya kabur.

"Tolooong...! Lepaskan aku, Iblis Keji...!" teriak gadis berpakaian hijau, kalap.

Tapi Sangkala tidak peduli. Pemuda itu terus berlari. Hanya beberapa kali lesatan, tubuhnya telah lenyap dari tempat itu.

* * *

TIGA

"Apa kau mendengarnya, Melati?" tanya seorang pemuda berpakaian ungu sambil menghentikan ayunan langkahnya. Saat itu pemuda berpakaian ungu tengah berjalan bersisian dengan seorang gadis berpakaian putih di dalam sebuah hutan.

"Mendengar apa, Kang?" gadis berpakaian putih yang dipanggil Melati balas bertanya. Sepasang matanya yang bening dan indah menatap wajah pemuda berpakaian ungu penuh selidik.

Pemuda berpakaian ungu yang berambut panjang, berwarna putih keperakan tidak segera menjawab. Dia tercenung sejenak seperti tengah memikirkan sesuatu.

"Teriakan minta tolong. Apa kau mendengarnya?" tanya pemuda berambut putih keperakan lebih jelas.

"Tidak, Kang Arya," jawab Melati setelah menelengkan kepala sebentar untuk mendengar jeritan yang dimaksud.

"Sekarang memang sudah tidak terdengar lagi, Melati," jawab pemuda berpakaian ungu yang tidak lain Arya Buana yang berjuluk Dewa Arak.

"Sejak tadi pun aku tidak mendengar apa-apa. Sebenarnya..., apakah kau mendengarnya, Kang?" Melati jadi penasaran.

"Benar, Melati," Arya menganggukkan kepala, "Memang samar dan tidak begitu jelas. Tapi, aku tahu orang yang meminta tolong itu seorang wanita. Nadanya melengking tinggi. Sepertinya dia sangat ketakutan!"

"Apakah tidak mungkin kau salah dengar saja. Kang?" Melati meragukan pendengaran kekasihnya.

"Aku yakin tidak salah dengar, Melati," mantap dan tegas kata-kata Arya.

"Kalau begitu, apa lagi yang harus ditunggu? Ayo kita selidiki, Kang!" ajak Melati penuh semangat.

Sambil berkata demikian, gadis berpakaian putih itu bersiap-siap melesat meninggalkan tempat itu. Tapi, sekujur urat-urat saraf dan otot-otot tubuhnya yang telah menegang langsung mengendur kembali. Arya tidak menunjukkan tanda-tanda akan meninggalkan tempat itu.

"Suara yang tertangkap telingaku terlalu lemah, Melati. Jadi tidak bisa kupastikan dari mana datangnya. Kalau saja terdengar lagi, meskipun hanya sekali, mungkin bisa kuketahui arahnya," Arya menerangkan keengganannya melakukan pengejaran.

"Bagaimana kalau kita mencarinya, Kang? Aku yakin asalnya dari hutan ini!" usul Melati bersemangat.

Pemuda berambut putih keperakan menatap wajah kekasihnya sebentar sebelum menganggukkan kepala menyetujui. "Asal kau tahu saja, Melati. Hutan ini cukup luas. Mencari asal suara tadi tanpa mengetahui arahnya seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami! Sulit!"

"Tapi... biar bagaimanapun itu lebih baik daripada kita berdiam diri di sini, Kang!" bantah Melati tak mau kalah, "Aku yakin... kita akan berhasil menemukan sumber suara itu. Mudah-mudahan kita dapat menolongnya?"

"Yang kau katakan tidak salah, Melati," sahut Arya membenarkan. "Mari kita cari sumber jeritan itu."

Melati menyunggingkan senyum manis. Sesaat kemudian, sepasang muda-mudi itu mulai melakukan pencarian. Mereka mencari dengan lambat karena mereka tidak tahu arah yang harus ditempuh. Sambil menindakkan kaki, pendengarannya dipasang tajam-tajam. Itu dilakukan karena sepercik harapan yang bergayut di hati. Barangkali saja jeritan itu kembali terdengar.

Cukup lama juga pasangan pendekar muda itu mencari. Tak jarang mereka harus memapas semak-semak yang menghalangi jalan mereka. Sampai akhirnya....

"Melati...," sapaan Arya membuat gadis berpakaian putih itu menoleh.

"Ada apa, Kang?" tanya Melati ingin tahu. Gadis itu tahu Arya tidak akan memanggilnya bila tidak ada sesuatu yang ingin diberitahu.

"Lihat itu, Melati," jawab Arya menudingkan telunjuknya ke tanah.

Melati mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjuk kekasihnya. Gadis itu melihatnya. Ada lekukan selebar dua jari di tanah tidak tertutup rumput. Lekukan itu memanjang. Jumlahnya tidak satu, tapi dua. Jarak antara keduanya terpisah sekitar setengah tombak.

"Bukankah ini bekas gilasan roda kereta, Kang?" duga Melati meminta pendapat kekasihnya.

"Benar, Melati," jawab Arya menganggukkan kepala.

"Berarti mulai ada titik terang yang dapat membantu kita menuju sasaran, Kang."

"Kira-kira begitu, Melati," Arya memberikan persetujuan. "Aku yakin bekas roda kereta ini mempunyai hubungan dengan asal jeritan yang sedang kita selidiki."

"Benar, Kang," dukung Melati atas dugaan Arya, "Bahkan aku mempunyai dugaan."

"Dugaan Apa, Melati? Katakanlah, jangan ragu-ragu," timpal Arya memberi dorongan.

"Jeritan yang kau dengar berasal dari orang yang menaiki kereta ini. Dia menjerit karena dicegat perampok-perampok?!" urai Melati.

Arya mengangguk-anggukkan kepala. Tampaknya pemuda itu menyetujui dugaan yang diajukan Melati.

"Sekarang titik terang telah berhasil kita dapatkan. Melati. Hanya saja yang menjadi tanda tanya, arah mana yang harus kita tempuh? Ingat, kita tidak lahu arah yang ditempuh kereta kuda ini. Yang jelas salah satunya adalah tempat asal kepergiannya. Jadi, jangan sampai kita salah memilihnya. Kupercayakan padamu arah yang harus kita tempuh. Bagaimana, Melati. Mana arah yang harus dipilih?"

Mendapat kepercayaan itu, Melati tidak berani bertindak sembarangan. Disadarinya kalau arah yang diambil benar, mereka akan menemukan pemilik suara itu. Bahkan bukan tidak mungkin dapat menyelamatkannya.

Itu sebabnya Melati tidak segera menjawab. Diperhatikannya guratan roda kereta itu beberapa saat. Melati berjongkok untuk melihat lebih jelas tanda-tanda yang ada. Beberapa saat kemudian, Melati berhasil menetapkan pilihan.

"Kupilih yang ini, Kang!" tunjuk Melati.

"Kalau begitu, mari kita bergegas!" sambut Arya cepat.

Pemuda berambut putih keperakan itu tidak perlu menunggu lama untuk mendapatkan tanggapan atas ajakannya. Melati langsung melangkah lebar mengikuti jejak-jejak yang terlihat.

Arya dan Melati harus berhati-hati sekali. Bebarapa kali jejak roda kereta itu tidak tampak. Bahkan tidak berbekas sama sekali ketika melewati tanah berumput tebal. Tapi syukurlah berkat keuletan mereka pencaharian itu sampai pada tempat Sangkala melakukan penghadangan.

"Kakang! Lihat...!" seru Melati sambil menudingkan jari telunjuk kanannya ke depan.

Sebenarnya tanpa diberitahu, Arya melihat semua itu. Pemandangan itu demikian mencolok! Sehingga meskipun jarak mereka masih sepuluh tombak, telah terlihat cukup jelas.

Cukup menggiriskan hati, pemandangan yang terpampang di hadapan sepasang pendekar muda berwajah elok itu. Mayat-mayat anggota Perguruan Harimau Terbang berserakan di sana-sini dalam keadaan mengenaskan. Sementara tak jauh dari situ tampak sebuah kereta dengan binatang penghelanya yang masih berdiri kaku seperti patung.

Melati yang mempunyai watak tidak sabarar, segera mengayunkan kaki mendekati tempat bergeletakannya mayat-mayat itu. Tapi...

"Tunggu, Melati!" teriakan itu membuat Melati menghentikan maksudnya. Ditolehnya Arya dengan sorot mata penuh pertanyaan. "Jangan bertindak gegabah. Siapa tahu pelaku semua kekejian ini belum pergi!" Arya menjelaskan maksud cegahannya.

Melati terdiam. Ada kebenaran yang tidak bisa dibantah dalam ucapan kekasihnya. Maka meskipun kakinya tetap diayunkan mendekati tempat mayat-mayat itu tergolek, tindakannya lebih berhati-hati.

Bukan hanya gadis berpakaian putih itu saja yang bersikap waspada. Dewa Arak pun demikian. Sekujur otot dan urat saraf mereka menegang. Pendengaran dan penglihatan mereka dipasang setajam mungkin, siap menghadapi segala kemungkinan.

Tapi tindakan hati-hati yang dilakukan sepasang pendekar muda itu sia-sia. Sampai mereka berada dekat dengan mayat Kulana serta rekan-rekannya, kejadian yang tidak diharapkan tidak terjadi. Keadaan tetap aman.

"Bagaimana, Kang? Apa yang dapat kau simpulkan dari mayat-mayat ini?" tanya Melati tetap dengan sikap waspada.

Dewa Arak tidak segera memberikan tanggapan. Pemuda itu tercenung beberapa saat mencari jawaban. "Tidak banyak, Melati. Tapi yang jelas dugaanmu harus diperbaiki. Tidak benar orang-orang ini terbunuh karena dicegat perampok."

"Yaaah...!" desah Melati pelan. "Rasanya kau benar, Kang. Mayat-mayat itu sepertinya berasal dari satu kelompok. Kurasa kepandaian mereka cukup tinggi. Jadi andaikata yang melakukan penghadangan perampok-perampok hutan ini, sudah pasti bila terjadi perkelahian di antara mereka ada yang tewas! Padahal kenyataannya tidak. Berarti bukan perampok yang telah mencegat perjalanan kelompok ini"

"Aku pun menduga demikian, Melati," dukung Arya, "Kalau tidak satu tentu ada beberapa tokoh rimba persilatan yang mencegat perjalanan mereka. Karena lawan terlalu kuat, mereka dapat dibinasakan."

"Aku setuju dengan dugaanmu, Kang. Kukira pun demikian!" seru Melati keras.

Dewa Arak hanya mengangkat bahu, "Sekarang tinggal satu lagi yang belum kita periksa yaitu kereta! Aku yakin orang yang berada di dalam kereta merupakan tokoh penting. Buktinya dia dikawal!"

"Apakah dia pun mengalami nasib serupa. Kang?!"

"Jawaban itu hanya bisa diperoleh kalau kita menyelidiki kereta itu, Melati," ucap Arya.

Melati sekilas mengalihkan pandangan ke arah kereta kuda, "Sepertinya tidak ada kehidupan di sana. Jangan-jangan orang yang berada di dalam kereta telah tewas. Lihat saja keadaan pintunya?!"

Arya diam saja. Apa yang dikatakan Melati benar. Tidak ada tanda kehidupan dari kereta kuda itu. Meskipun demikian, Dewa Arak dan Melati tetap mendekati kereta. Masih dengan sikap hati-hati. Maka....

"Kosong...?!" desis Arya dan Melati hampir bersamaan ketika telah berada tepat di samping kereta.

"Hm...!" Dewa Arak bergumam sambil mengangguk-anggukkan kepala. Diperhatikannya pintu kereta yang sudah tidak berdaun lagi. Tanpa ada yang menceritakan pun sudah bisa ditebak peristiwa yang telah terjadi.

"Isi kereta ini seorang wanita, Kang," ujar Melati. Melihat kekasihnya tercenung dengan pandangan tertuju pada bagian dalam kereta.

"Yah...," sahut Arya mendesah seraya mengangkat wajahnya. "Dialah yang berteriak-teriak minta tolong. Karena jaraknya terlampau jauh, tidak terdengar jelas."

Kali ini Melati tidak memberikan tanggapan. Gadis itu berdiam diri.

"Kita semakin mendekati sasaran, Melati. Mari teruskan pencarian kita...," sambung Arya seraya mengayunkan langkah meninggalkan tempat itu. Tanpa membantah Melati segera mengayunkan langkah, mengikuti Arya yang telah melangkah lebih dulu.

Untuk kedua kalinya Arya dan Melati harus berusaha keras. Masih sama dengan tujuan semula, mencari pemilik jeritan minta tolong. Sepasang pendekar itu melakukan pencarian dengan penuh seksama. Tak jarang semak-semak yang lebat dikuak. Mata mereka diedarkan ke sana kemari. Pendengarannya pun dipasang setajam mungkin agar dapat mendengar bunyi sepelan apa pun. Kesabaran serta kerja keras Dewa Arak dan Melati ternyata tidak sia-sia.

"Ah...!" Arya mengeluarkan seruan. Tapi lebih tepat keluhan. Suara yang dikeluarkan demikian pelan dan dibarengi dengan menundukkan wajah.

Tentu saja tindakan Arya membuat Melati merasa heran. Pandangannya diarahkan ke tempat pemuda berambut putih keperakan tadi memandang. Dan....

"Ikh...!" Jeritan kaget langsung keluar dari mulut Melati. Tanpa sadar tangan kanannya ditutupkan ke mulut.

Memang tidak aneh kalau Melati sampai demikian terkejut dan Arya menundukkan kepala! Tidak jauh dari mereka, dalam jarak sekitar tiga tombak, terpampang tubuh seorang gadis berpakaian hijau dalam keadaan mengerikan.

Betapa tidak? Tubuhnya menempel di sebatang pohon besar dengan kedudukan tangan dan kaki merentang, Keadaannya amat menggiriskan hati! Hampir sekujur tubuhnya dipenuhi darah oleh luka-luka sayatan.

Bahkan warna pakaiannya sebagian besar telah berganti merah karena noda darah. Itu pun kalau masih bisa disebut pakaian. Karena sudah robek di sana-sani. Keadaan gadis berpakaian hijau itu lebih mendekati orang yang tidak berpakaian.

"Biadab!" Setelah terdiam beberapa saat karena perasaan hatinya yang terguncang, keluar juga sebuah makian Melati. Tarikan wajah dan sorot matanya memancarkan kemarahan yang sangat.

"Keji!" sambung Arya geram, "Siapa pun pelakunya, dia tidak pantas dibiarkan hidup lebih lama!"

Dengan perasaan marah berkobar di dada, Arya dan Melati menghampiri. Jarak yang cukup jauh membuat mereka tidak dapat melihat mengapa tubuh gadis berpakaian hijau itu dapat menempel di batang pohon. Hanya dalam beberapa langkah pasangan pendekar muda itu dapat mengetahui kenyataan itu membuat kemarahan mereka semakin bergejolak.

"Iblis!"

Hampir bersamaan makian itu keluar dari mulut Arya dan Melati. Itu terjadi ketika keduanya telah melihat mengapa tubuh gadis malang itu dapat menempel pada batang pohon! Pada kedua telapak tangan dan kakinya ditancapkan ranting sebesar ibu jari yang tembus hingga ke batang pohon! Keji!

"Kalau aku tidak dapat menemukan dan membasmi iblis keji ini, biar aku mati saja!" janji Arya sungguh-sungguh. Untuk pertama kalinya Dewa Arak mengambil keputusan akan membunuh calon lawannya. Padahal tokoh itu belum dilihatnya.

"Kau benar, Kang. Tanganku pun sudah gatal ingin segera mencekik hancur batang leher iblis keji itu!" sambung Melati tidak kalah geramnya.

"Nanti itu akan kita lakukan, Melati. Sekarang yang paling penting menguburkan mayat gadis itu! Lakukanlah, Melati," perintah Arya.

Melihat perubahan wajah kekasihnya, Melati mengarahkan pandangan ke tempat pemuda berambut putih keperakan tadi memandang. Gadis berpakaian putih segera melaksanakan perintah kekasihnya.

Hanya dengan sekali hentakan tubuhnya melayang ke atas! Entah bagaimana caranya gadis itu melakukan, tapi begitu tubuhnya melayang turun, di tangannya terpondong tubuh gadis berpakaian hijau.

Jliggg!

Ringan laksana sehelai daun kering Melati menjejakkan kedua kakinya di tanah. Kemudian bersama-sama Arya dicarinya tempat yang cocok untuk menguburkan gadis berpakaian hijau yang malang itu.

Baik Arya maupun Melati tidak tahu kalau gerak-gerik mereka diperhatikan seekor kelelawar! Kalau diperhatikan memang aneh! Mungkinkah ada kelelawar berkeliaran di siang hari? Jawabannya adalah mustahil! Tapi karena kelelawar itu penjelmaan Sangkala, ketidakmungkinan itu bisa saja terjadi.

Kelelawar hitam itu terus mengawasi perbuatan pasangan pendekar muda itu. Bahkan sampai Melati menguburkan mayat gadis berpakaian hijau. Sepasang matanya berpijar ketika mendengar ucapan Melati seusai menguburkan mayat gadis itu.

"Siapa pun dirimu, aku berjanji akan membalas sakit hatimu. Akan kucari pelaku tindak kekejian ini!" ucap Melati sambil mendongakkan wajah.

"Hhh...!" Arya menghela napas berat mendengar ucapan kekasihnya. Tidak dicegahnya Melati mengucapkan janjinya. Pemuda itu tahu Melati merasa geram pada pelaku kekejian itu. Dia pun dilanda perasaa yang sama. Perlahan-lahan ditepuk-tepuknya pundak Melati untuk memberi ketabahan hati.

Gadis berpakaian putih itu menoleh menatap wajah Arya sejenak. Kemudian wajahnya dijatuhkan di pelukan kekasihnya. Pemuda berambut putih keperakan itu mengusap-usap kepala Melati penuh kasih.

"Mari kita cari pelaku kekejian ini, Melati. Aku yakin dia belum pergi jauh. Darah gadis yang malang itu masih hangat," ajak Arya pelan.

Melati hanya bisa menganggukkan kepala. Sesaat kemudian pasangan pendekar muda itu melangkah meninggalkan tempat itu!

EMPAT

"Cit, cit, cit!"

Diiringi suara mendecit nyaring, kelelawar berbulu hitam meluncur turun dari pohon tempatnya bertengger. Binatang malam itu turun ketika Arya dan Melati telah jauh meninggalkan tempat itu.

Bluppp!

Bunyi letupan pelan terdengar. Disusul dengan munculnya asap putih yang cukup tebal. Sebelum asap itu sirna dari pandangan, berdiri tegak seorang pemuda berpakaian putih yang tidak lain Sangkala! Pemuda itu menatap kuburan gadis berpakaian hijau dengan sinar mata yang sulit diartikan.

"Kau korban pertamaku, Wanita Sundal! Masih banyak lagi wanita lain yang akan bernasib sama sepertimu," desis Sangkala dengan nada kejam sehingga terdengar menyeramkan.

Yang lebih menyeramkan lagi suara itu dikeluarkan tanpa menggerakkan bibir sedikit pun! Dari sini bisa diduga ketinggian ilmu pemuda berpakaian putih itu. Hanya orang-orang yang berkepandaian tinggilah yang mampu melakukan hal itu.

"Trijati..., sebenarnya kaulah yang harus jadi korban pertamaku," desis Sangkala masih tanpa menggerakkan bibir. "Tapi biarlah kau menjadi korban berikutnya."

Mengucapkan nama Trijati membuat Sangkala teringat akan kejadian beberapa bulan lalu. Kejadian yang membuatnya tersesat ke Bukit Kematian.

* * *

Matahari belum menampakkan diri. Hari masih terlalu pagi. Tapi, dalam suasana seperti itu Sangkala sudah keluar meninggalkan bangunan Perguruan Banteng Putih, perguruannya. Entah mengapa pemuda itu sendiri tidak tahu. Yang jelas dia ingin pergi ke sungai dan mandi!

Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang cukup tinggi, tanpa membutuhkan waktu terlalu lama, Sangkala telah berada di dekat tempat yang ditujunya. Semula Sangkala ingin segera terjun ke sungai, tapi suara-suara yang tertangkap telinga membuat pemuda itu membatalkan maksudnya. Suara orang bercakap-cakap diselingai percikan air. Suara wanita.

Seketika itu pula muncul dorongan kuat di hati Sangkala untuk melakukan hal yang tidak pantas. Dia tahu di sungai itu ada wanita-wanita sedang mandi. Dengan detak jantung yang lebih cepat Sangkala menghampiri asal suara itu. Pemuda berpakaian putih itu tampak hati-hati sekali. Dia tidak ingin tindakannya diketahui.

Usaha Sangkala tidak sia-sia. Pemuda itu berhasil mencapai tempat yang diinginkan untuk melakukan tindakan tidak pantasnya. Sangkala bersembunyi di balik sebuah batu besar dan mengintai ke sungai.

Deggg!

Dada Sangkala bagai diseruduk kerbau liar ketika melihat pemandangan yang terpampang di hadapannya. Dua orang gadis tengah mandi di sungai dalam keadaan bugil!

Dalam keremangan suasana dini hari tampak cukup jelas lekuk-lekuk tubuh dua gadis itu. Dengan susah payah Sangkala menelan ludah membasahi tenggorokannya yang mendadak terasa kering. Dua gadis itu dikenalnya betul. Mereka adalah kembang-kembang desanya Desa Kawung. Wulan dan Widuri nama gadis itu.

Sangkala merayapi tubuh Wulan dan Widuri dengan lahap. Memang diam-diam Sangkala menaruh hati pada kembang-kembang Desa Kawung itu. Sayangnya Sangkala bukan termasuk lelaki yang berani mendekati wanita. Tambahan lagi wajahnya tidak bisa diandalkan. Sangkala berwajah buruk. Kulitnya hitam dan wajahnya dipenuhi bopeng. Tak aneh jika gadis-gadis, apalagi Wulan dan Widuri, tidak pernah menghiraukannya.

Itu sebabnya kesempatan bagus itu tidak disia-siakan Sangkala. Akibat selanjutnya pun harus ditanggung. Sangkala merasa napasnya mulai memburu. Pikiran-pikiran jelek bermunculan di benaknya.

Meskipun demikian maksud jelek itu hanya sampai di pikiran, tidak sampai pada pelaksanaan. Sangkala adalah murid Perguruan Banteng Putih, sebuah perguruan silat aliran putih. Pemuda itu telah mendapat didikan menjadi seorang pendekar. Karena itu, betapa pun keinginan melaksanakan pikiran-pikiran yang ada di benaknya demikian besar, Sangkala tidak mau melakukannya.

Apalagi terhadap kedua orang gadis yang dikenalnya. Rasanya keadaan akan berlangsung seperti itu jika saja tidak terjadi sebuah peristiwa yang mengejutkan hati. Tanpa sengaja kaki Sangkala menyentuh sebuah batu. Sialnya batu itu bulat dan terletak di tempat yang tidak memungkinkannya diam bila tersenggol!

Dengan diiringi bunyi riuh rendah, batu itu menggelinding ke arah sungai. Tempat Sangkala bersembunyi letaknya memang lebih tinggi dari sungai. Tak heran bila batu itu menuju ke sana.

Bunyi yang cukup berisik itu menarik perhatian Wulan dan Widuri. Keduanya segera menghentikan kesibukan dan memandang berkeliling. Tubuh mereka direndam ke dalam sungai. Sekarang yang menyembul dari permukaan air mulai dari bagian dada atas. Dugaan jelek muncul di benak dua kembang Desa Kawung itu.

"Siapa di situ? Cepat tunjukkan diri!" seru gadis yang bertahi lalat di pipi. Itulah Widuri.

"Benar! Kalau tidak, kami akan berteriak! Biar orang-orang desa datang dan menangkapmu!" timpal Wulan mengancam.

Ucapan itu terpaksa dikeluarkan Wulan ketika telah menunggu beberapa saat tidak ada tanda-tanda munculnya sosok tubuh yang mengintai. Sementara itu Sangkala mulai bingung. Diam-diam disesalinya keberadaan batu itu. Kalau tidak, Wulan dan Widuri tidak akan curiga.

"Kuhitung sampai tiga!" sambung Wulan "Bila tidak mau menunjukkan diri, kami akan berteriak agar orang-orang desa kemari."

Karuan saja ucapan Wulan membuat Sangkala semakin kelabakan. Perasaan gelisah melanda hatinya. Dia khawatir Wulan dan Widuri melaksanakan ancamannya. Dapat dibayangkan betapa malu dirinya nanti. Sementara itu Wulan mulai menghitung.

"Satu..., dua..., ti...!"

"Tunggu!" Sangkala menunjukkan diri. Pemuda berwajah bopeng itu akhirnya mengambil keputusan seperti itu. Di benaknya telah dirancang alasan-alasan yang akan dikemukakan karena keberadaannya di tempat itu. Tentu saja dia mengharapkan kedua gadis manis itu mau mengerti. Tapi harapan Sangkala tampaknya tidak terwujud.

"Kau...?! Jadi kau yang telah mengintip kami mandi?!" tanya Wulan tanpa menyembunyikan rasa jijiknya. "Cihhh! Manusia tak tahu diri! Apa kau tidak bercermin?! Dasar Kadal Buduk!" timpal Widuri tak kalah kasar.

"Cepat pergi dari sini, Binatang!" usir Wulan tanpa kenal rasa kasihan.

"Benar! Cepat pergi! Atau... kau ingin kami panggil orang-orang desa kemari?" ancam Widuri.

Sangkala hanya berdiri terpaku. Untung saja suasana masih remang-remang. Kalau tidak, akan terlihat jelas betapa wajahnya berubah-ubah. Sebentar merah sebentar putih. Sangkala sungguh tidak menyangka akan seperti ini sambutan yang diterimanya. Pemuda itu menyadari kesalahannya dan keburukan rupanya. Tapi tidak berarti seenaknya saja orang mempermalukan dirinya.

Sangkala mempunyai perasaan yang peka. Tak heran jika dia tersinggung bukan main mendapat perlakuan seperti itu. Rasa sakit hati membuat otaknya tidak dapat berpikir jernih. Yang ada di benaknya hanya satu, membalas sakit hati ini! Itu sebabnya pemuda itu bukannya menyingkir malah menghampiri Wulan dan Widuri. Tentu saja tindakan Sangkala membuat kedua gadis manis itu kaget. Mereka saling pandang dengan perasaan gugup.

"Pergi kau, Kadal Buduk!" maki Widuri. "Benar! Pergi, manusia tak tahu diri!"

Tapi Sangkala tidak mempedulikan ucapan kedua kembang desa itu. Kakinya tetap diayunkan menghampiri kedua gadis itu. Mulutnya mendesiskan ancaman, "Orang-orang seperti kalian memang harus diberi pelajaran biar tidak seenaknya menghina orang...."

Melihat Sangkala terus saja menghampiri, Widuri dan Wulan jadi ketakutan. Mereka merasa ada bahaya mengancam. Tanpa mempedulikan keadaan tubuh yang polos, keduanya saling mendahului berlari ke darat sambil berteriak-teriak minta tolong.

"Tolooong...! Tolooong...!"

Suasana dini hari yang hening pun pecah oleh suara teriakan Wulan dan Widuri. Hingga Sangkala merasa khawatir. Pemuda itu takut sebelum maksudnya terlaksana, para penduduk Desa Kawung telah datang lebih dulu. Maka diputuskannya untuk bertindak cepat.

Dengan beberapa kali lesatan, Sangkala telah menghadang jalan Wulan dan Widuri. Itu tidak aneh. Kedua kembang Desa Kawung itu tidak mempunyai kemampuan bela diri seperti halnya Sangkala. Dan sebelum Widuri dan Wulan menyadari sepenuhnya apa yang terjadi, tangan Sangkala telah bergerak menotok.

Tuk, tukkk!
"Akh!" Disertai keluhan lirih, tubuh mereka terkulai lemas. Sudah dapat dipastikan tubuh keduanya akan jatuh kalau Sangkala tidak segera menangkapnya.

"Sebentar lagi kalian akan menerima akibat kesombongan sikap kalian," desis Sangkala tajam penuh ancaman. Kemudian Sangkala melesat pergi dengar membawa tubuh kedua gadis manis itu di bahunya. Dengan beberapa kali lesatan tubuh Sangkala lenyap ditelan keremangan pagi.

Brukkk! Brukkk!

Tanpa merasa kasihan sedikit pun Sangkala melemparkan kedua tubuh molek itu di tanah. Untunglah ada lapisan jerami yang cukup tebal sehingga Wulan dan Widuri tidak terlalu merasa sakit.

"Hhh...!" Sangkala menyandarkan punggungnya ke dinding. Saat ini dia bersama dua kembang Desa Kawung berada di tempat persembunyian yang ditemukan Sangkala secara tidak sengaja. Sebuah goa batu yang cukup besar dan terletak di dalam Hutan Randu. Letaknya cukup tersembunyi karena tertutup kerimbunan semak-semak dan ilalang yang lebat.

Sangkala yakin tidak ada orang yang mengetahui tempat persembunyiannya. Dengan demikian, dia aman tinggal di sini. Disadarinya kalau mulai saat ini dirinya menjadi buron. Penduduk Desa Kawung tentu mencarinya. Gurunya pun tidak akan tinggal diam. Ketua Perguruan Banteng Putih itu pasti marah besar! Sudah pasti Ki Ageng Sora, gurunya, akan mengutus anggota Perguruan Banteng Putih untuk mencarinya.

Keyakinan bahwa tempatnya tidak akan bisa ditemukan membuat Sangkala mengalihkan perhatian pada tubuh Widuri dan Wulan yang tergolek dalam keadaan tanpa sehelai benang pun. Seketika itu nafsu bifahi Sangkala kembali bangkit. Dengan napas agak memburu dan langkah lebar didekatinya Wulan dan Widuri.

Sementara kedua kembang Desa Kawung dilanda rasa takut yang sangat. Mereka menyadari bahaya mengerikan yang tengah mengancam. Sayang tidak ada yang dapat mereka lakukan kecuali menatap Sangkala dengan ngeri.

"He he he...!" Sangkala terkekeh. Terlihat jelas pemuda berwajah bopeng itu gembira. Itu memang tidak salah! Sangkala gembira melihat sorot kengerian dalam wajah maupun sinar mata Wulan dan Widuri. Padahal biasanya wajah dan sinar mata kedua gadis itu selalu penuh hinaan dan cemoohan bila menatap ke arahnya.

"Sekarang akan kalian rasakan pembalasanku, Wanita-wanita Sombong!" ujar Sangkala bergetar penuh dendam, "Mau atau tidak kalian harus menuruti keinginanku!"

Usai berkata, dengan penuh nafsu Sangkala menindih tubuh Wulan. Dengan kasar diciuminya sekujur tubuh gadis itu. Tidak hanya itu. Kedua tangannya bergerak liar ke sana kemari! Meremas apa yang dapat diremas dengan kasar!

Tidak ada yang dapat dilakukan Wulan untuk mencegah tindakan Sangkala. Tubuhnya terasa lemas. Bahkan gadis itu tidak mampu mengeluarkan suara karena Sangkala telah menotok urat bicaranya. Yang dapat dilakukan Wulan hanya menangis tanpa suara. Menangis karena takut bahaya yang tengah mengancamnya dan tindakan Sangkala yang kasar.

Semua kejadian itu disaksikan Widuri dengan perasaan ngeri. Disadarinya nasib yang dialami Wulan akan menimpanya pula. Ingin rasanya dia menjerit sekeras-kerasnya. Tapi, sayang itu tidak dapat dilakukan. Karena tidak tahan melihat pemandangan yang terpampang di hadapannya, Widuri memejamkan mata.

Memang Widuri tidak mengalami kesulitan untuk memejamkan mata. Tapi, tidak demikian dengan telinga. Gadis itu tidak mampu menutup pendengarannya. Hingga Widuri mendengar kegaduhan yang berada di dekatnya. Kegaduhan yang tercipta di saat Sangkala menggumuli Wulan.

Sebenarnya suara gaduh itu tidak dapat terjadi. Urat bicara Wulan telah ditotok sehingga tidak dapat mengeluarkan suara. Jangankan rintihan atau makian, bisikan pun gadis itu tidak mampu. Tapi karena Sangkala tidak dapat menahan diri, suara itu terjadi. Dalam menikmati tubuh Wulan, dari mulut Sangkala keluar bunyi riuh rendah seperti kucing kelaparan diberi ikan!

Kegaduhan yang berasal dari mulut Sangkala yang tidak dapat dicegah Widuri masuk ke telinga. Sehingga meskipun tidak melihat kejadiannya, Widuri tetap merasa tersiksa.

Apalagi kegaduhan itu berlangsung lama. Sepertinya Sangkala tidak berniat segera mengakhiri permainannya. Dan ketika Widuri sudah hampir tidak kuat terus-menerus memejamkan mata, kegaduhan itu baru berakhir. Ini membuat Widuri merasa ngeri!

Terhentinya kegaduhan itu pertanda Sangkala telah menyelesaikan kebiadabannya. Berarti kegadisan Wulan telah dilahapnya. Kini gilirannya hanya tinggal menunggu waktu! Kalau saja dapat, ingin rasanya Widuri membunuh diri! Tapi apa daya? Gadis itu tidak mampu menggerakkan anggota tubuhnya.

Dugaan Widuri ternyata tidak meleset. Dirinya pun tidak luput dari kebiadaban Sangkala. Sama seperti Wulan, Widuri tidak mampu berbuat apa-apa. Yang dapat dilakukannya hanya mengucurkan air mata tanpa suara, diiringi jeritan pilu di hati!

Berbeda dengan Widuri dan Wulan, Sangkala yang telah gila oleh amukan nafsu birahi dan rasa sakit hati malah bergembira! Tanpa rasa kasihan sedikit pun dijarahnya sekujur tubuh kedua gadis kembang Desa Kawung dengan tidak pernah merasa puas.

Kesenangan membuat Sangkala lupa diri. Yang ada di benaknya hanya memuaskan nafsu birahi! Tidak dipikirkannya kemungkinan penduduk Desa Kawung menemukan tempat persembunyiannya. Telah dua hari berlalu tidak ada tanda-tanda orang mendekati tempat persembunyiannya, membuat pemuda itu merasa tenang.

Bagaimana mungkin orang dapat menemukan tempat persembunyianku? Pikir Sangkala meremehkan. Dia tidak pernah keluar dari tempatnya! Makanan dan minuman tersedia di situ. Meskipun hanya buah-buahan dan air gunung! Di goa itu memang banyak terdapat pohon buah.

Sebenarnya tempat persembunyian Sangkala tidak pantas disebut goa. Jalan masuknya memang berbentuk goa dengan garis tengah satu tombak. Tapi panjangnya hanya sekitar sepuluh tombak. Setelah itu lorong berakhir, berganti dengan ruangan persegi panjang berukuran cukup luas.

Masing-masing sisi dibatasi tebing tinggi dengan atap langit. Di ruangan luas itulah tumbuh berbagai jenis pohon dan terdapat sebuah danau kecil. Tempat yang dipilih Sangkala adalah dinding tebing tempat lorong goa. Di situ terdapat celah yang cukup luas. Jadi tempat yang dipilihnya beratapkan dinding tebing.

Karena berada di lekukan tebing, tempat Sangkala cukup terlindung. Baik dari sinar matahari maupun hujan. Hanya saja tidak terlindung dari hembusan angin. Perasaan yakin yang sangat akan keamanan tempatnya menyebabkan Sangkala dapat bersenang-senang dengan tenang.

Demikian pula siang itu. Setelah puas menikmati tubuh Widuri, entah untuk yang ke berapa, dan beristirahat sejenak, Sangkala segera beranjak mendekati pohon jambu untuk menikmati makan siang. Dalam beberapa langkah, pemuda itu telah berada di dekat pohon jambu air yang berwarna putih. Lincah laksana kera dia memanjat kemudian memetiki buahnya dan ditaruh dalam kantung yang telah disiapkan.

Sehabis memetik jambu, seperti biasa, Sangkala akan memandikan Wulan dan Widuri, lalu memberinya makan. Tentu saja Sangkala membebaskan totokannya agar kedua kembang Desa Kawung itu dapat makan.

Tapi siang ini, di saat Sangkala tengah sibuk memetik jambu, penduduk Desa Kawung yang dipimpin Ketua Perguruan Banteng Putih dan Kepala Desa Kawung telah berhasil menemukan goa yang terlindung semak-semak itu. Setelah dua hari mereka menjelajahi seluruh penjuru hutan.

"Aku yakin dia berada di sini, Ki Rawung," ucap Ki Ageng Sora, Ketua Perguruan Banteng Putih, sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah goa yang berada tak jauh di depan mereka.

Ki Rawung, Kepala Desa Kawung, bertubuh kecil kurus itu tidak segera menanggapi ucapan Ki Ageng Sora. Ditatapnya wajah Ketua Perguruan Banteng Putih itu sejenak.

"Bagaimana kalau Sangkala tidak berada di sini, Ki Ageng?!" tanya Ki Rawung merasa tidak yakin.

"Kalau demikian, aku tidak tahu lagi harus mencari ke mana, Ki. Hampir seluruh isi hutan ini telah kita jelajahi!" Ki Ageng Sora menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas. Benaknya diputar mencari kata-kata yang tepat untuk melanjutkan uraiannya. "Sementara murid-muridku yang kusebar untuk menanyakan kepada penduduk sekitar, barangkali melihat ke mana murid murtadku itu kabur, mendapat jawaban yang tidak memuaskan! Tidak ada seorang pun yang melihat Sangkala! Jadi kesimpulanku, Sangkala ada di hutan ini. Aku yakin di goa inilah Sangkala bersembunyi!" tandas Ki Ageng Sora sangat yakin.

Raut keyakinan tampak jelas pada wajah dan sepasang mata lelaki yang memiliki potongan kurang cocok untuk menjadi seorang ketua perguruan silat itu. Betapa tidak? Tubuh kakek itu tinggi kurus. Bahkan terlalu kurus hingga mirip batang bambu. Kulitnya yang hitam berkilat tampak semakin hitam karena terbungkus pakaian serba putih. Sepasang matanya menjorok jauh di dalam rongganya, mirip mata orang yang penyakitan.

Tapi justru sepasang mata itulah yang menjadi bukti bahwa Ki Ageng Sora bukan orang sembarangan. Matanya tajam berkilat. Sikapnya pun terlihat berwibawa. Tarikan wajah maupun nada bicaranya membuat orang yang mendengarnya merasa segan. Hal demikian pula yang dialami Ki Rawung.

Mendengar uraian Ki Ageng Sora, Kepala Desa Kawung itu tidak membantah lagi. Dia hanya mengangkat bahu dan menyerahkan keputusan itu pada Ki Ageng Sora. Dan lelaki tinggi kurus itu tidak membuang-buang waktu dengan berdiam diri di situ.

"Mari kita masuk. Tapi ingat, hati-hati. Barangkali saja ada jebakan di dalamnya," beritahu Ki Ageng Sora.

Maka dengan dipimpin Ketua Perguruan Banteng Putih, rombongan penduduk Desa Kawung dan murid-murid Perguruan Banteng Putih berbondong-bondong masuk ke dalam goa. Ki Ageng Sora yang berada paling depan bertindak sangat hati-hati. Sementara di belakangnya berbaris satu-satu Ki Rawung, murid-murid Perguruan Banteng Putih, serta para penduduk Desa Kawung.

Tidak berapa lama kemudian Ki Ageng Sora melihat sinar terang. Sebagai seorang yang kenyang pengalaman dia segera tahu, di sana terdapat dunia luar. Dengan kata lain, goa tersebut berakhir di sana.

Setelah melangkah beberapa tindak lagi, Ketua Perguruan Banteng Putih telah berada di bagian akhir lorong goa. Sesampainya di sana, wajah Ki Ageng Sora berubah hebat. Wajahnya menampakkan rasa kagetnya yang sangat. Tapi meskipun begitu kakinya tetap dilangkahkan.

LIMA

Widuri, Wulan....!

Panggilan itu hanya dikeluarkan Ki Ageng Sora dalam hati. Dia khawatir ucapan itu akan didengar Sangkala yang diyakininya berada di dekat situ.Di samping itu, Ketua Perguruan Banteng Putih tidak ingin menimbulkan kegemparan pada rombongannya. Dikhawatirkan bila hal itu terjadi Sangkala akan menyadari adanya bahaya dan mempergunakan kedua kembang desa itu sebagai sandera.

Karena itu, begitu kakinya hampir meninggalkan lorong goa dan memasuki ruangan luas, tubuhnya dibalikkan. Dengan isyarat lelaki itu memberi tahu rombongan agar tidak menimbulkan suara. Ki Ageng Sora juga memerintahkan agar isyarat yang diberikannya diteruskan kepada yang lain. Hasilnya, isyarat itu disampaikan secara berantai.

Usaha Ki Ageng Sora tidak sia-sia. Ketika semua anggota rombongan melihat keadaan Wulan dan Widuri, sama sekali tidak terdengar seruan kekagetan. Padahal raut wajah dan sorot mata mereka memancarkan keterkejutan yang sangat.

Lagi-lagi dengan gerak isyarat, Ki Ageng Sora memerintahkan salah seorang muridnya untuk memberi penutup tubuh pada Wulan dan Widuri. Kemudian membebaskan totokan yang membelenggu mereka. Tanpa menunggu lebih lama, orang murid Ketua Perguruan Banteng Putih segera melaksanakan perintah itu.

Sementara itu, Ki Ageng Sora mengedarkan pandang ke sekeliling tempat itu. Hanya dengan sekali lihat dia dapat mengetahui tempat itu tidak mempunyai jalan keluar. Berarti Sangkala masih berada di tempat ini!

"Itu dia...!"

Seorang pemuda berwajah tampan serta gagah karena bentuk rahangnya yang kokoh menunjuk ke satu arah. Seketika itu juga, semua pasang mata terarah ke sana. Dan mereka melihatnya! Sangkala tengah sibuk memetik jambu!

Ternyata bukan hanya rombongan Ki Ageng Sora yang mendengar seruan pemuda berahang kokoh itu, Sangkala pun mendengarnya. Pemuda berwajah bopeng itu segera menoleh ke arah asal suara! Saat itu Sangkala memunggungi tempat Ki Ageng Sora dan rombongannya berada.

Dapat dibayangkan betapa kagetnya Sangkala melihat rombongan itu. Disadarinya bahaya besar tengah mengancam. Tanpa menunggu, pemuda itu segera melompat dari pohon. Tak dipedulikannya buah-buah yang telah dipetiknya berhamburan ke tanah.

Jliggg!

Karena tergesa-gesa, Sangkala hampir jatuh tersungkur ketika mendaratkan kedua kakinya di tanah. Tapi itu tidak dipedulikannya. Langsung saja dia berlari! Yang ada di benaknya hanya satu, menjauhi rombongan orang-orang itu!

Sangkala tidak sempat berpikir kalau jalan untuk lolos sudah tidak ada lagi. Jalan masuk yang sekaligus jalan keluar dari tempat itu telah dihadang rombongan pengejarnya!

Melihat Sangkala melarikan diri, rombongan Ki Ageng Sora yang terdiri dari murid-murid Perguruan Banteng Putih dan penduduk Desa Kawung segera bergerak mengejar. Meskipun mereka tahu jalan untuk lolos sudah tidak ada lagi, tapi kemarahan yang hebat membuat mereka tidak tahan menunggu lebih lama untuk menghukum Sangkala.

Kesudahannya sudah dapat diduga. Kejar-mengejar antara Sangkala dan rombongan Ki Ageng Sora pun terjadi. Dari sekian banyak anggota rombongan, hanya dua orang yang tidak ikut melakukan pengejaran. Mereka adalah Ki Ageng Sora dan Ki Rawung. Kedua sesepuh Desa Kawung itu hanya memperhatikan kejar-mengejar yang terjadi di depan mata mereka. Tidak terlihat tanda-tanda mereka akan melakukan tindakan pencegahan.

Sementara itu, jarak antara Sangkala dengan pengejarnya semakin dekat. Lari pemuda berwajah bopeng itu agak terpincang-pincang. Rupanya lompatan yang dilakukan terburu-buru dari atas pohon dan tidak mendarat dengan benar membuat kakinya terkilir!

"Mau lari ke mana, Manusia Bejat...!" seru seorang penduduk sambil mengamang-amangkan goloknya.

"Jangan harap lolos dari tangan kami...!" sambung penduduk lainnya.

"Kau akan menerima balasan atas perbuatan kejimu, Sangkala!" teriak seorang murid Perguruan Banteng Putih.

"Kau akan kami bakar hidup-hidup...!" timpa yang lain.

"Siksa dia dulu sampai setengah mati...!"

"Ganyang...!"

"Cincang tubuhnya sampai hancur...!"

Riuh rendah teriak para pengejar Sangkala. Hingga Sangkala semakin ketakutan. Apalagi ketika disadari jaraknya dengan mereka semakin bertambah dekat. Perasaan takut dan cemas yang melanda pun semakin besar.

"Hih...!" Salah seorang murid Perguruan Banteng Putih yang sudah tidak sabar lagi menunggu saat melakukan hukuman melemparkan golok yang sejak tadi digenggamnya.

Singngng...! Cappp!

"Akh...!" Sangkala menjerit keras ketika golok yang dilemparkan murid Perguruan Banteng Putih yang bertubuh pendek gemuk itu menancap di bagian belakang paha kanannya. Tubuh Sangkala langsung tersungkur.

Dan sebelum Sangkala bangkit, para pengejarnya telah menyusul dan mengurungnya. Tapi anehnya mereka tidak segera menyerangnya. Rupanya sengaja memberi kesempatan padanya untuk melakukan perlawanan.

"Bangun, Manusia Berhati Binatang!" seru pemuda berahang kokoh sangat geram.

Sangkala menggertakkan gigi. Kemudian dengan sekali sentak, dicabutnya golok yang menancap di paha kanannya. Darah membanjir keluar. Tapi sesaat kemudian terhenti ketika Sangkala menotok jalan darah di sekitar luka.

Seusai mengurus lukanya, Sangkala mengalihkan perhatian kepada orang-orang yang mengurungnya. Pemuda itu tahu dirinya tidak mungkin akan mendapat pengampunan. Maka diputuskannya untuk mengadakan perlawanan mati-matian. Setidak-tidaknya sebelum mati dia berhasil membawa beberapa orang di antara mereka untuk menemaninya ke akherat.

Orang pertama yang menerima tatapan Sangkala adalah pemuda berahang kokoh. Dia tahu siapa pemuda itu. Ranjita, putra Ki Rawung. Setelah itu pandangannya diarahkan kepada murid Perguruan Banteng Putih yang bertubuh pendek gemuk. Bongara namanya, tatapan Sangkala penuh dendam!

"Biar aku yang melenyapkan manusia binatang ini!" ujar Ranjita gagah.

"Tidak, Ranjita!" bantah Bongara. "Biar aku yang membereskannya. Ingat! Dia adalah murid Perguruan Banteng Putih, jadi merupakan kewajiban bagiku selaku saudara seperguruan untuk memberi hukuman!"

"Tidak adil!" selak seorang laki-laki setengah baya bertubuh tinggi kurus. "Meskipun dia anggota Perguruan Banteng Putih, tapi yang menderita kerugian aku! Widuri adalah putriku! Jadi akulah yang berhak menghukumnya!"

"Aku juga! Wulan, yang menjadi korban kebiadabannya adalah anakku!" sambung penduduk Desa Kawung lainnya.

Kemudian tanpa memberi kesempatan kepada Bongara dan Ranjita untuk menanggapi, orangtua Wulan dan Widuri segera meluruk ke arah Sangkala. Senjata berupa kapak dan golok yang tergenggam di tangan mereka diayunkan ke tubuh pemuda itu.

Wuttt!

Melihat ancaman bahaya maut meluruk ke arahnya, Sangkala tidak tinggal diam. Meskipun sebelah kakinya terluka, yang sedikit banyak mengurangi kelincahannya, tetapi pemuda itu tidak mengalami kesulitan mengelakkan serangan mereka. Kedua orang itu adalah penduduk desa yang hampir tidak menguasai ilmu bela diri. Andaikata memiliki pun hanya sekadarnya.

Tak aneh bila hanya dengan sebuah elakan sederhana, Sangkala berhasil mengelakkan serangan-serangan itu. Tidak hanya itu saja. Begitu berhasil mengelak, kaki kirinya bergerak berturut-turut melancarkan serangan balasan!

Bukkk, bukkk!

"Akh!"

Kedua orangtua kembang Desa Kawung itu memekik kesakitan ketika tendangan Sangkala mendarat di paha mereka. Keras bukan main. Tubuh mereka terjengkang ke belakang dan jatuh terguling-guling di tanah.

Karuan saja amarah penduduk semakin berkobar. Bagai diberi perintah, mereka menyerbu Sangkala dengan senjata di tangan.

Tak pelak lagi, belasan senjata yang terdiri dari beraneka ragam bentuk itu meluruk ke segala bagian tubuh Sangkala! Meihat hal ini, Ranjita, Bongara, dan murid-murid Perguruan Banteng Putih membiarkan saja. Mereka tahu tidak ada gunanya mencegah. Penduduk yang telah kalap itu tidak akan mau mendengarkan. Karena tidak ingin ikut mengeroyok mereka terpaksa berdiri menonton.

Sementara, Sangkala yang melihat ancaman bahaya maut itu berusaha melawan. Dengan golok di tangan, pemuda itu bertarung mati-matian. Hebat bukan main tindakan Sangkala. Amukannya bagai macan luka. Meskipun dia telah terluka, tapi tetap mampu melakukan perlawanan sengit. Pada hal jumlah lawan tak kurang dari tiga belas orang. Pemuda itu dapat mengimbangi. Sangkala mampu mengelakkan setiap serangan lawan.

Bahkan melancarkan serangan yang jauh lebih dahsyat! Tidak sampai lima jurus dua lawannya terkapar dan terlempar dari kancah pertarungan terkena babatan goloknya. Kenyataan itu membuat teman-teman mereka menjadi geram bukan main. Orang-orang yang menonton pun dilanda perasaan sama.

"Keparat'" geram Ranjita penuh kemarahan. "Kalau dibiarkan terus, manusia biadab itu bisa membunuh mereka semua!"

"Lalu..., apa yang akan kau lakukan? Ikut terjun dalam kancah pertarungan? Mengeroyok lawan yang terluka?!" tanya Bongara mengejek.

Wajah Ranjita langsung merah padam. "Aku bukan orang seperti itu, Bongara! Kalau orang-orang dungu itu tidak mendahuluiku, tubuh manusia berhati binatang itu telah kujadikan daging cincang!"

"Ingin kulihat bukti ucapanmu, Ranjita," sambut Bongara meremehkan.

Bongara sedikit pun tidak bermaksud membela Sangkala. Ucapannya itu dikeluarkan karena tidak senangnya akan kesombongan Ranjita. Ucapan Ranjita yang mengatakan mampu mengalahkan Sangkala membuat Bongara tidak senang. Sebab kepandaian Bongara boleh dibilang setingkat dengan Sangkala.

Kalau Ranjita sesumbar mampu mengalahkan Sangkala, bukankah itu sama saja Ranjita meremehkannya? Padahal hanya sampai di mana kepandaian putra kepala desa itu? Ranjita hanya belajar ilmu silat dari Ki Rawung!

Mendengar tantangan Bongara, Ranjita yang memang sudah dibakar amarah jadi semakin kalap. "Orang-orang dungu! Menyingkirlah kalian! Biarkan aku yang menghabisi nyawa manusia binatang itu!" teriak Ranjita keras.

Tapi sampai lelah berteriak-teriak, tidak ada tanggapan sama sekali. Penduduk tetap melancarkan serangan terhadap Sangkala.

"Manusia-manusia dungu!" maki Ranjita geram menyadari seruannya tidak dipedulikan. "Biar kalian semua tewas di tangannya!"

Harapan Ranjita langsung terkabul. Belum juga gema ucapannya lenyap, terdengar jeritan menyayat hati. Disusul robohnya dua orang lawan Sangkala. Kepala mereka terpisah dari tubuh ketika golok Sangkala menabas batang leher mereka.

"Keparat!" geram Ki Ageng Sora dan Ki Rawung hamir bersamaan. Mereka saling bertukar pandang.

"Tidak akan kubiarkan murid murtad itu semakin mencoreng nama Perguruan Banteng Putih dengan darah penduduk Desa Kawung!" desis Ki Ageng Sora geram. Usai berkata lelaki tinggi kurus itu memasukkan tangannya ke balik baju. Ketika dikeluarkan kembali tampak empat batang pisau di tangannya.

Tentu saja kelakuan Ketua Perguruan Banteng Putih tidak luput dari perhatian Ki Rawung. Namun Kepala Desa Kawung itu tidak mengatakan apa-apa. Dia yakin Ki Ageng Sora telah memikirkan masak-masak tindakannya. Maka lelaki kecil kurus itu diam saja.

Sementara itu, setelah memperhatikan kancah pertarungan sesaat, Ki Ageng Sora mengibaskan tangannya. Seketika itu pula...,

Sing, sing, sing...!

Bunyi desing nyaring yang menyakitkan telinga terdengar ketika pisau-pisau itu meluncur ke arah Sangkala. Bukan hanya Sangkala yang terkejut Bongara dan semua murid Perguruan Banteng Putih pun demikian. Mereka tidak menyangka gurunya akan turun tangan.

Tapi keterkejutan yang melanda Bongara dan rekan-rekannya tidak sebesar Sangkala. Saat itu dia baru saja mengelakkan serangan lawan-lawannya. Keduduannya sangat tidak menguntungkan. Baik untuk menangkis maupun mengelak. Tapi meskipun demikian, Sangkala tidak mau menyerah begitu saja. Sedapat mungkin diusahakannya mengelak. Tapi...,

Cap, cap, cap!

"Akh!" Sangkala memekik kesakitan. Pisau-pisau itu mendarat di sasaran yang dituju Ki Ageng Sora. Dua menancap di punggung atas. Kanan dan kiri. Sedangkan sisanya menancap di paha atas bagian belakang. Juga di kanan dan kiri. Tubuh Sangkala langsung ambruk di tanah. Tidak seperti sebelumnya. Kali ini pemuda berwajah bopeng itu tidak bisa bangkit lagi!

Kesempatan itu tidak disia-siakan para pengeroyoknya. Dengan sorot mata menyiratkan dendam, mereka mengayunkan senjata masing-masing. Nyawa Sangkala sudah dapat dipastikan akan melayang saat itu juga. Tapi sebelum hal itu terjadi...,

"Tahan...!"

Suara bentakan keras yang mengandung pengaruh kuat membuat penduduk Desa Kawung menghentikan gerakan mereka. Senjata-senjata yang beraneka ragam jenis itu tertahan di udara. Dengan penuh tanda tanya mereka mengalihkan pandangan ke arah Ki Ageng Sora. Lelaki tinggi kurus itulah yang mengeluarkan cegahan tadi.

Ternyata bukan hanya penduduk Desa Kawung itu yang tercekam rasa heran. Ranjita dan seluruh murid Perguruan Banteng Putih pun menatap wajah Ki Ageng Sora penuh rasa heran.

"Kalian jangan salah paham," ujar Ki Ageng Sora tenang. "Kalian tidak perlu khawatir. Aku tidak akan membela Sangkala. Dia tidak kuanggap sebagai murid lagi! Aku mencegah semata-mata untuk kepentingan kalian juga!"

Ki Ageng Sora menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas. Sementara penduduk Desa Kawung, Ranjita, dan semua murid Perguruan Banteng Putih menunggu kelanjutan ucapan itu dengan tidak sabar.

"Perlu kalian ketahui, orang yang mempunyai kesalahan seperti Sangkala terlalu enak untuk mati dengan demikian mudah! Dia telah merusak masa depan dua orang gadis, membuat kotor Desa Kawung, dan mencemarkan nama Perguruan Banteng Putih! Hukuman langsung mati terlalu enak baginya!" urai Ki Ageng Sora.

"Lalu.., apa yang harus kita lakukan, Ki?" tanya Ranjita ingin tahu.

Putra Kepala Desa Kawung itu sangat dendam kepada Sangkala. Ini tentu saja ada alasanya. Ranjita iri karena Sangkala yang berwajah buruk berhasil menikmati kegadisan Wulan dan Widuri. Padahal dia sudah lama menginginkan mereka!

"Dia harus disiksa sebelum dibakar hidup-hidup!" tegas Ki Ageng Sora.

"Akurrr...!"

Serentak semua orang yang ada di situ menganggukkan tanda setuju. Ki Ageng Sora tersenyum pahit melihat sambutan yang demikian penuh semangat. Di hati kecilnya sebenarnya dia tidak setuju. Tapi kejahatan yang dilakukan Sangkala sangat dibencinya. Maka hatinya dikuatkan untuk memutuskan hal itu.

"Kalau begitu, tunggu apa lagi?!" tanya Ki Ageng Sora setengah memerintah. "Siksa dia! Lalu kita seret ke desa, dan bakar di hadapan seluruh penduduk. Hukuman ini akan membuat orang lain yang melakukan tindakan seperti ini berpikir seribu kali!"

Saat itu juga para penduduk menghampiri Sangkala yang tergolek di tanah. Mereka saling mendahului untuk melihat pemuda berwajah bopeng itu. Sesaat kemudian penyiksaan terhadap Sangkala pun dilaksanakan.

Dalam gelora amarah dan kebencian yang meluap-luap, para penduduk Desa Kawung jadi manusia-manusia yang tidak punya rasa belas kasihan. Mereka menghajar sekujur tubuh Sangkala. Tidak hanya dengan tendangan atau pukulan tangan kosong. Tapi juga dengan senjata tumpul. Sedikit pun tidak mereka pedulikan rintih kesakitan yang keluar dari mulut Sangkala!

Bukkk, bukkk, desss!

"Akh!" Jeritan kesakitan tak henti-hentinya keluar dari mulut Sangkala, seiring dengan mendaratnya siksaan-siksaan penduduk Desa Kawung.

Hanya dalam sekejap sekujur tubuhnya telah penuh luka! Darah mengalir di sana-sini. Pakaiannya compang-camping tak karuan. Wajahnya pun hampir tidak bisa dikenali lagi. Karena telah bengkak-bengkak. Tapi penduduk Desa Kawung tetap meneruskan siksaannya.

Bukkk, bukkk, bukkk!

ENAM

"Cukup!"

Untuk kedua kali Ki Ageng Sora mengeluarkan cegahan. Seperti juga sebelumnya, penduduk Desa Kawung menuruti perintahnya. Tapi bukan karena patuh. Ada pengaruh aneh yang membuat mereka terpaksa menghentikan gerakannya.

Sebenarnya Ki Ageng Sora tidak menggunakan ilmu gaib atau sihir. Lelaki tinggi kurus itu mengerahkan tenaga dalamnya. Getaran tenaga dalam itu menyebabkan orang yang kurang kuat tenaga dalamnya langsung terpengaruh. Mereka terkesima. Hingga tindakan mereka terhenti.

"Dia sudah tidak berdaya. Bila kalian teruskan, mungkin dia akan mati! Dan jika hal itu terjadi, rencana yang telah kita susun akan berantakan! Kalian paham?!" lanjut Ki Ageng Sora menjelaskan.

Bagai diberi perintah, serempak penduduk Desa Kawung mengalihkan perhatian ke arah Sangkala. Mereka membenarkan pendapat Ki Ageng Sora. Sangkala memang sudah tidak berdaya. Keadaannya sangat mengenaskan! Bahkan beberapa saat sebelum Ki Ageng Sora mengeluarkan cegahan, dia sudah tidak mampu menjerit lagi. Tubuhnya telah demikian lemah.

Keadaan Sangkala pun dilihat Ranjita dan murid-murid Perguruan Banteng Putih yang sejak tadi berdiri menyaksikan. Senyum gembira dan puas tersungging di bibir putra Kepala Desa Kawung. Tapi Ranjita tidak bisa terlalu lama tenggelam dalam alun kegembiraannya. Karena....

"Mengapa kalian hanya bengong saja?! Seret manusia biadab itu!" perintah Ki Ageng Sora lagi.

Seruan yang diucapkan keras itu membuat para penduduk kelabakan. Mereka bingung memikirkan alat yang dapat digunakan untuk menarik Sangkala. Namun Ranjita yang cerdik menemukan pemecahannya. Sabuk yang melilit pinggangnya di lepas. Lalu....

Ctarrr!

Setelah lebih dulu melecutkan sabuknya hingga mengeluarkan bunyi keras, Ranjita meluncurkan ujung sabuknya pada tangan Sangkala.

Rrrttt!

Dengan gerakan yang indah dipandang, sabuk itu membelit tangan Sangkala. Sungguh sebuah pertunjukan yang cukup hebat. Dari sini bisa diketahui Ranjita memiliki tenaga dalam cukup kuat. Karena hanya orang-orang yang mempunyai tenaga dalam cukup kuatlah yang mampu memainkan sabuk! Apalagi memainkannya sebagus Ranjita!

Seperti yang sudah diduga Ranjita, penduduk Desa Kawung terpaku melihat pertunjukannya. Tatapan mata mereka menyiratkan kekaguman. Bahkan sorot seperti itu terlihat pula pada sepasang mata Ki Ageng Sora! Walaupun sebenarnya lelaki tinggi kurus itu mampu memainkan berlipat kali lebih baik dari Ranjita. Tapi tetap saja dia merasa kagum. Sebab tidak semua murid Perguruan Banteng Putih mampu melakukan.

Kalau mau jujur dan tidak menuruti hati yang panas, Bongara harus mengakui Ranjita memang lawan yang tangguh. Tapi karena sejak pertama sudah muncul rasa tidak suka pada sikap Ranjita yang terlalu memandang remeh orang, yang ditunjukkan Bongara hanya senyum sinis.

Sikapnya menunjukkan tindakan Ranjita tidak berarti apa-apa baginya. Ranjita tentu saja diam-diam tahu, pemuda itu jengkel bukan main. Tapi Ranjita pura-pura tidak tahu. Diberikannya ujung sabuk yang dipegangnya pada salah seorang penduduk Desa Kawung.

"Nih, seret..!" Hanya itu yang diucapkan Ranjita pada penduduk Desa Kawung yang menerimanya dengan wajah berseri-seri.

Ki Ageng Sora dan Ki Rawung membalikkan tubuh dan berjalan meninggalkan tempat itu. Tujuan mereka jelas. Mulut goa yang menembus Hutan Randu. Di belakang kedua orang itu berjalan Ranjita dan murid-murid Perguruan Banteng Putih. Sedangkan rombongan penduduk Desa Kawung berada paling belakang, dengan salah seorang di antara mereka menyeret tubuh Sangkala.

Dapat dibayangkan penderitaan yang dialami Sangkala. Dalam keadaan lebih mendekati mati, mana sekujur tubuhnya tidak ada yang luput dari luka, pemuda itu diseret-seret. Padahal tanah di sini tidak rata! Banyak bagian-bagian yang menonjol dan runcing! Dengan sendirinya luka yang diderita Sangkala semakin parah.

Memang pantas dipuji kekuatan Sangkala. Dalam keadaan seperti itu dia masih sanggup memutar otaknya. Disadarinya perjalanan menuju Desa Kawung masih jauh. Bahkan melalui medan yang tidak rata. Dengan demikian dia akan tersiksa lama sebelum akhirnya dibakar hidup-hidup dengan disaksikan orang sedesa!

Sangkala tidak menginginkan hal itu terjadi! Dia tidak ingin mati seperti binatang! Kalau memang harus mati, dia ingin secara terhormat. Lebih baik mati di sini daripada di Desa Kawung!

Luar biasa! Keinginan yang demikian kuat itu membuat keadaan Sangkala membaik. Bahkan seperti tidak terluka sama sekali. Ini sebenarnya tidak aneh! Ada saat-saat tertentu di mana tenaga tersembunyi dapat keluar dengan kemampuan lebih hebat dari biasanya. Tapi tentu saja ada hal-hal yang menyebabkan tenaga tersembunyi itu keluar.

Demikian pula dengan Sangkala! Keinginan yang amat kuat untuk tidak tewas secara mengenaskan di Desa Kawung menyebabkan kemampuan tersembunyinya keluar. Kesempatan itu segera dipergunakan Sangkala sebaik-baiknya.

"Hih!"

"Akh!" Dengan sekali sentakan Sangkala membuat penduduk yang menyeret tubuhnya terjengkang ke belakang. Akibatnya, pegangan pada ujung sabuknya terlepas. Kesempatan itu dipergunakan Sangkala untuk bangkit berdiri. Kemudian berlari!

Tentu saja tindakan Sangkala tidak dibiarkan. Saat itu juga semua anggota rombongan, kecuali Ki Ageng Sora dan Ki Rawung, bergegas mengejarnya. Begitu juga orang yang bertugas menyeret Sangkala. Meski agak tertinggal di belakang teman-temannya.

Kembali kejar-mengejar antara Sangkala dan rombongan Ki Ageng Sora terjadi. Tapi dalam pengaruh kekuatan tersembunyi yang mendadak keluar, Sangkala mampu meninggalkan lawan-lawannya. Semakin lama jarak antara mereka terpaut semakin jauh!

Semua itu tidak lepas dari perhatian Ki Ageng Sora dan Ki Rawung. Namun Ketua Perguruan Banteng Putih tetap berdiam diri. Lelaki tinggi kurus itu tidak terkejut melihat Sangkala mampu melarikan diri. Bahkan dengan kecepatan yang cukup menakjubkan. Ki Ageng Sora tidak khawatir Sangkala dapat lolos dari tempat itu.

Jika pemuda berwajah bopeng itu ingin keluar dari tempat itu, arah yang dituju adalah arah yang ditempuh rombongannya! Sedangkan Sangkala menuju arah lain!

Itu sebabnya Ki Ageng Sora tidak mengambil tindakan apa pun. Yang dilakukannya hanya memperhatikan kejar-mengejar yang tengah terjadi. Sepasang alis Ki Ageng Sora baru berkerut ketika melihat arah yang dituju Sangkala. Bekas muridnya itu menuju danau.

Berbagai pertanyaan muncul di benak Ki Ageng Sora. Mengapa Sangkala menuju ke sana? Apakah dia berlari tanpa memikirkan arah yang dituju? Atau Sangkala mempunyai pemikiran lain? Barangkali saja pemuda berwajah bopeng itu hendak menceburkan diri ke danau!

Dan Sangkala memang bermaksud demikian! Pemuda itu tidak ingin ditangkap dan dihukum secara menyedihkan di desa tempat tinggalnya! Maka dia melarikan diri ke danau. Sangkala ingin menceburkan diri ke sana. Itu telah dipikirkannya sebelum memutuskan untuk melarikan diri.

Rasanya kali ini keinginan Sangkala akan terlaksana. Jarak antara dia dan para pengejarnya semakin jauh. Meskipun itu berlangsung sedikit demi sedikit. Perlahan tapi pasti Sangkala mendekati danau. Rasanya bekas murid Perguruan Banteng Putih itu tidak bisa terjangkau lagi oleh lawan. Kenyataan itu segera terbukti.

"Hiyaaa...!" Diawali dengan teriakan melengking nyaring yang membuat gema ke seluruh penjuru tempat itu, Sangkala melompat ke danau. Sesaat tubuhnya melayang di udara sebelum akhirnya....

Byurrr!
Air muncrat tinggi ke udara ketika tubuh Sangkala membentur permukaan danau. Tubuh Sangkala langsung tenggelam! Kejadian itu disaksikan Ranjita, Bongara, dan yang lainnya. Tapi apa yang dapat mereka lakukan? Saat tubuh Sangkala menimpa permukaan danau, jarak antara mereka masih terpaut beberapa tombak! Baru setelah beberapa saat tubuh Sangkala tenggelam, rombongan pengejar itu tiba di pinggir danau.

"Pasang mata kalian baik-baik!" perintah Ranjita, "Aku yakin dia akan muncul ke permukaan!"

"Benar!" sambung Bongara mendukung ucapan Ranjita. "Apa yang dikatakan Ranjita benar. Lebih baik kita berpencar! Dia pasti akan muncul ke permukaan!"

Tanpa menunggu lagi, rombongan itu menyebar ke sekitar danau. Seperti juga Ranjita dan Bongara, mereka yakin Sangkala akan muncul ke permukaan. Itu sudah pasti! Manusia mana yang sanggup bertahan lama di dalam air? Hanya dalam sekejap rombongan pengejar dari Desa Kawung itu telah berada di kedudukan masing-masing. Pandangan mereka ditujukan ke permukaan danau. Hampir tidak pernah mereka mengedipkan mata, khawatir di saat sepasang mata mereka berkedip Sangkala muncul ke permukaan.

Dengan tidak sabar Ranjita dan yang lain menunggu kemunculan Sangkala. Tapi sampai cukup lama menunggu, Sangkala tidak memunculkan diri. Padahal mata mereka telah lelah dipaksa terbelalak terus.

"Gila!" Sebuah makian geram keluar dari mulut Ranjita. Terlihat putra Ki Rawung itu sudah tidak kuat lagi menahan sabar. Bongara yang berada tidak jauh dari Ranjita menoleh. Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Ranjita.

"Rasanya tidak mungkin kita terus-menerus menunggu seperti ini, Bongara," ujar Ranjita pelan.

"Aku pun berpendapat demikian, Ranjita," sahut Bongara dengan nada sama. Telah lenyap perselisihan antara mereka melihat buruan yang sama-sama dikejar berhasil lolos. "Tapi..., apa yang dapat kita lakukan?!"

"Bagaimana kalau kita terjun juga, Bongara?" usul Ranjita, "Siapa tahu manusia keji itu telah menjadi setan air?!"

"Dugaanmu tidak berbeda denganku," timpal Bongara. "Aku pun tidak percaya Sangkala mampu bertahan begitu lama di dalam air!"

"Barangkali dia berada di permukaan air dan menggunakan batang alang-alang untuk bernapas?!" duga Ranjita tiba-tiba.

"Kurasa dugaanmu keliru, Ranjita," bantah Bongara. "Aku tidak melihat benda yang kau maksudkan di permukaan air. Aku tahu, semula aku pun berpendapat demikian. Tapi setelah kuedarkan pandangan, dan tidak kutemukan benda itu, aku yakin Sangkala tidak menggunakan cara itu."

"Jadi...," Ranjita menggantung ucapannya.

"Aku lebih condong dia telah menjadi setan air sekarang!" tegas Bongara. "Kurasa dugaan ini tidak berlebihan. Kau tahu sendiri kan keadaannya?"

Ranjita tampak ragu. Dia tidak memberikan tanggapan yang bersifat menyetujui pendapat Bongara. "Memang kuakui Sangkala terluka parah. Tapi..., apakah kau tidak melihat kejadian aneh tadi? Dia mampu berlari dengan kecepatan lebih dari sewaktu sehatnya!"

"Itu terjadi karena keinginannya yang besar untuk meloloskan diri, Ranjita. Aku tahu pasti kemampuan seperti itu tidak akan bertahan lama. Lagi pula kemampuan demikian tidak berlaku di dalam air!" bantah Bongara menguatkan alasannya. "Kalau menambah kemampuan mungkin benar. Tapi jika kemampuan tak wajar itu menyebabkannya mampu menahan napas demikian lama di dalam air, kurasa tidak mungkin. Dan lagi seperti yang tadi kukatakan, kemampuan seperti itu tidak akan bertahan lama."

Ranjita langsung terdiam. Disadari ada kebenaran yang tidak bisa dibantah dalam ucapan Bongara. "Jadi..., kesimpulan yang paling mungkin Sangkala telah menjadi setan air!" tandas Ranjita.

"Itulah yang harus kita buktikan!" sambut Bongara, "Karena itu aku menyetujui usulmu, Ranjita. Aku khawatir ada hal-hal tidak terduga yang akan merugikan kita."

"Maksudmu..., Sangkala berhasil meloloskan diri. Begitu?!" tanya Ranjita meminta kepastian.

"Mudah-mudahan saja tidak," jawab Bongara berkilah.

"Kalau begitu kita harus bergegas, Bongara! Lebih cepat kita terjun ke dalam danau lebih baik!" tegas Ranjita cepat.

"Benar, Ranjita!" Baru saja Bongara menyelesaikan ucapannya, Ranjita melompat ke danau! Itu dilakukan tanpa membuka pakaiannya.

Bongara tidak mau kalah. Dia ikut melompat menyusul tubuh putra Kepala Desa Kawung yang masih berada di udara. Dalam kedudukan melayang di udara, Bongara memberi perintah. "Kalian semua tetap di darat! Awasi terus permukaan air!"

Byurrr! Byurrr...!

Air danau muncrat tinggi-tinggi dua kali berturut-turut. Itu terjadi ketika tubuh Ranjita dan Bongara membentur permukaan danau kecil itu. Tubuh kedua pemuda-perkasa itu tenggelam ke dalam danau.

Mereka menyelam semakin dalam. Berbeda dengan yang terlihat dari daratan, dalam danau itu ternyata cukup jernih. Hingga Ranjita dan Bongara dapat melihat pemandangan di dalamnya.

Untuk beberapa saat kedua pemuda itu tidak melakukan pencarian. Mereka hanya mengedarkan pandangan ke sana kemari. Barangkali saja dapat menemukan Sangkala. Setelah merasa yakin usahanya tidak membuahkan hasil, dengan isyarat Bongara mengajak berpencar. Usul itu langsung disetujui Ranjita. Sesaat kemudian, Bongara dan Ranjita berenang menempuh arah pilihan masing-masing.

Ternyata meskipun kelihatannya kecil danau itu luas juga. Beberapa kali Ranjita dan Bongara harus muncul ke permukaan untuk mengambil napas sebelum meneruskan pencarian. Usaha kedua pemuda perkasa itu tidak sia-sia. Setelah bersusah-payah berenang ke sana kemari, akhirnya Ranjita menemukan sebab mengapa Sangkala tidak muncul-muncul ke permukaan. Pada salah satu dinding di dalam danau, ada lubang bergaris tengah sekitar setengah tombak!

Sekali lihat Ranjita tahu lubang itu berhubungan dengan bagian luar tempat terpencil itu. Kesimpulan ini membuat Ranjita lemas. Sangkala telah berhasil meloloskan diri. Meskipun demikian, karena rasa ingin tahu, didekatinya lubang itu. Hasilnya benar-benar membuat Ranjita kaget!

Ada daya tarik yang amat kuat dari lubang itu. Padahal jarak antara dia dengan lubang itu masih tiga tombak. Menyadari kenyataan ini, Ranjita bergegas berenang ke permukaan. Sesampainya di sana di tunggunya Bongara muncul.

"Hentikan usahamu, Bongara!" seru Ranjita ketika Bongara muncul ke permukaan untuk mengambil napas. Rupanya murid Perguruan Banteng Putih itu masih bermaksud melanjutkan pencarian.

"Mengapa, Ranjita?!" tanya Bongara ingin tahu, "Apa kau telah menemukan Sangkala?"

Ranjita menggeleng dengan lesu. "Dia berhasil kabur dari danau, Bongara. Aku melihat ada lubang yang berhubungan dengan tempat di luar danau ini!"

"Keparat!" Bongara memaki geram mendengar pemberitahuan Ranjita. Kemudian dengan lesu diikutinya tindakan putra Ki Rawung, berenang menuju tepi danau.

"Cepat tinggalkan tempat ini! Sangkala telah lolos! Kita harus segera mengejarnya!" seru Bongara ketika telah berada di pinggir danau.

Rombongan dari Desa Kawung segera beranjak meninggalkan tempat itu. Tujuan mereka adalah lorong goa tempat mereka masuk. Bongara dan Ranjita berjalan di belakang mereka. Ki Ageng Sora dan Ki Rawung mendapat laporan dari Bongara. Maka tanpa membuang-buang waktu, Ki Ageng Sora memimpin rombongan melakukan pengejaran. Tak lupa Wulan dan Widuri yang masih tergolek pingsan mereka bawa.

Begitu berada di luar, Ki Ageng Sora membagi rombongannya. Ketua Perguruan Banteng Putih itu tahu dengan berpencar-pencar seperti itu kemungkinan menemukan Sangkala semakin besar. Tak lupa diberitahukannya agar kelompok yang menemukan Sangkala memberi tanda.

Rupanya Ki Ageng Sora telah bertekad menangkap murid yang sudah tidak diakuinya itu. Semua tenaga yang ada dikerahkan. Semua dapat dijelajahi. Tapi Sangkala tetap tidak diketemukan. Pemuda berwajah bopeng itu seperti lenyap ditelan bumi.

Yang lebih menyulitkan ternyata tembusan danau kecil di tempat persembunyian Sangkala tidak ada! Ki Ageng Sora pun sadar tembusan danau itu ada di dalam tanah!

* * *

TUJUH

"Ranjita... Bongara..., Ki Ageng Sora...Tunggulah pembalasanku! Kalian orang-orang yang telah membuatku sengsara," desis Sangkala penuh dendam. Rupanya ingatan akan perlakuan yang diterimanya dari ketiga orang itu membuat Sangkala sadar dari alam pikirannya yang melayang ke masa beberapa bulan lalu.

Bunyi berkerotokan keras seperti tulang patah terdengar seusai desisan penuh dendamnya. Kejadian yang menggiriskan hati. Sebab pemuda berwajah bopeng itu tidak melakukan tindakan apa pun. Agaknya kemarahan membuat tenaga dalamnya berkeliaran sendiri, hingga menimbulkan bunyi berkerotokan seperti itu.

"Tapi bukan hanya kalian yang akan menerima pembalasanku," sambung Sangkala masih dengan berdesis. "Semua penduduk Desa Kawung akan mendapat balasannya. Ha ha ha...!"

Usai berkata, Sangkala melesat meninggalkan tempat itu. Tujuannya Desa Kawung. Pemuda itu hendak membalas sakit hatinya beberapa bulan lalu.

* * *

Sang Surya sudah sejak tadi tenggelam di barat. Sekarang dewi malam yang menggantikan tugasnya menerangi persada. Meskipun saat itu tidak muncul dalam bentuk yang utuh, namun cukup mampu mangusir kegelapan. Apalagi saat itu langit tampak cerah. Bintang-bintang bertaburan di angkasa. Berkelap-kelip ceria karena tidak ada segumpal awan pun menggantung di sana. Hingga suasana persada semakin cerah.

Ternyata tidak hanya suasana di langit saja yang cerah ceria. Hal yang sama pun terjadi di Desa Kawung. Obor terpancang di setiap rumah penduduk dalam jumlah yang lebih banyak dari biasa, sehingga keadaan desa terang benderang. Jelas ada sesuatu yang lain di Desa Kawung.

Dan memang dugaan itu tidak salah. Di mulut desa terpasang umbul-umbul indah dalam bentuk beraneka ragam. Hiasan yang sama dipasang di depan rumah Ki Ageng Sora.

Di tempat tinggal Ki Ageng Sora, di Perguruan Banteng Putih, rampak meriah. Umbul-umbul terpajang berderet rapi dan teratur mulai dari pintu gerbang sampai ke bagian dalam. Obor-obor pun terpancang di sana-sani, membuat tempat itu terang-benderang seperti siang hari.

Rupanya di sana tengah dilangsungkan pesta pernikahan. Sang Mempelai adalah Trijati, putri Ki Ageng Sora, dengan Ranjita, putra Kepala Desa Kawung.

Kesibukan pun melanda Perguruan Banteng Putih. Murid-murid perguruan itu, yang tidak berapa banyak, tampak kerepotan melayani tamu yang datang untuk mengucapkan selamat. Tamu-tamu yang hadir memang tidak sedikit. Karena kedua mempelai sama-sama berasal dari keluarga terpandang. Para tamu tidak hanya dari Desa Kawung. Tapi juga dari desa-desa sekitar.

Sementara itu di pelaminan Trijati dan Ranjita tak henti-hentinya mengembangkan senyum pada tamu-tamu yang datang. Keduanya tampak sangat gembira. Tak aneh, pernikahan itu berlangsung atas dasar cinta kasih mereka berdua.

Tidak jauh dari sepasang mempelai, di tempat duduk kehormatan, duduk keluarga Ki Ageng Sora, keluarga Kepala Desa Kawung, dan tamu-tamu kehormatan, yang terdiri dari kepala-kepala desa dan ketua-ketua perguruan silat di sekitar Desa Kawung. Mereka terlihat tidak kalah gembiranya dengan kedua mempelai. Sesekali terdengar gelak tawa di antara pembicaraan mereka.

"Pernikahan putrimu membuatku merasa tua sekali, Sora," ucapan itu keluar dari mulut seorang lelaki berpakaian coklat. Raut wajahnya gagah dengan kumis tebal melintang menghias bawah hidungnya.

"Mengapa kau berkata demikian, Loka?!" tanya kakek berpakaian kuning tersenyum geli. Meskipun senyum menghias bibirnya, tapi tetap saja tidak mampu mengusir keangkeran kakek itu. Bentuk wajahnya yang persegi mirip harimau penuh ditumbuhi bulu. Tidak hanya kumis dan jenggot, tapi juga cambang! Sepasang alisnya tebal dan hitam. Tubuhnya tinggi besar. Pada bagian dada kiri pakaiannya tersulam gambar kepala seekor harimau! Lengkaplah sudah semua yang membuat kakek itu terlihat angker.

"Betapa tidak, Jayeng?!" sahut lelaki berkumis melintang yang dipanggil Loka meminta dukungan. "Kau kan tahu usiaku hanya selisih satu tahun dengan Ki Ageng Sora. Kalau anaknya sudah berkeluarga, bukankah sebentar lagi dia akan menjadi kakek?! Itu berarti aku tidak muda lagi?!"

"Ha ha ha..!"

Serempak Ki Ageng Sora dan kakek berpakaian kuning yang dipanggil Jayeng, sebenarnya mempunyai nama lengkap Jayeng Praja, tertawa bergerak. Geli mendengar pertanyaan Loka yang bernama lengkap Loka Arya.

"Mengapa kalian tertawa?!" tanya Loka Arya setengah memprotes.

"Kami merasa geli, Loka," Ki Ageng Sora menjawab setengah tertawa. Rupanya perasaan geli masih melanda hatinya.

"Benar, Loka," sambut Jayeng Praja, "Sepertinya kau khawatir menjadi tua?! Percayalah, sekalipun tua kau masih disegani kawan dan ditakuti lawan! Meskipun bertambah tua kau tetap berjuluk Pendekar Tinju Maut!"

"Tepat!" timpal Ki Ageng Sora cepat, "Bahkan aku berani bertaruh keampuhan tinjumu semakin meningkat dengan semakin bertambahnya usiamu!"

"Ha ha ha...!" sekarang ganti Loka Arya berjuluk Pendekar Tinju Maut tertawa terkekeh. "Luar bisa! Ternyata waktu yang sekian lama tidak mengubah sikap kalian! Kurasa sudah saatnya kalian berdua membuang semua pujian kosong itu! Apa hebatnya ilmu 'Tinju Maut'ku dibanding jurus 'Harimau Terbang' milikmu, Jayeng?! Atau permainan kepalamu yang mampu menghancurkan apa saja yang terbentur, Sora?!" ujar Loka Arya merendah.

"Ha ha ha...!" Ki Ageng Sora dan Jayeng Praja tertawa bergelak.

"Aku telah mendengar kabar perguruanmu menyediakan jasa pengawalan. Untuk orang-orang yang hendak bepergian jauh maupun pengiriman barang berharga. Bukankah demikian, Jayeng?!" sambung Loka Arya.

"Hhh...!" Jayeng Praja menghela napas berat dengan wajah mendadak berubah muram.

Tentu saja perubahan sikap kakek berwajah mirip harimau itu membuat Ki Ageng Sora dan Pendekar Tinju Maut heran. Senyum yang tersungging di bibir mereka langsung lenyap. Dan dengan tatapan penuh selidik serta rasa ingin tahu dipandanginya wajah Jayeng Praja.

"Mengapa, Jayeng?! Adakah ucapanku yang salah dan tidak berkenan di hatimu?!" tanya Pendekar Tinju Maut sungguh-sungguh. Tidak ada lagi nada main-main dalam suara Loka Arya. Seperti juga Ki Ageng Sora, dia tahu Jayeng Praja tidak akan bersikap seperti itu bila tidak ada masalah.

"Tidak, Loka. Tidak ada yang salah dengan ucapanmu," Jayeng Praja menggelengkan kepala sambil tersenyum.

Tapi, Ki Ageng Sora dan Pendekar Tinju Maut bukan orang bodoh. Mereka tahu senyum Jayeng Praja hanya pulasan dan tidak keluar dari lubuk hatinya. Hingga kedua tokoh itu penasaran, terutama Pendekar Tinju Maut yang memang memiliki watak agak berangasan.

"Kalau orang lain mungkin dapat kau bohongi, Jayeng. Tapi, pada kami kau tidak mungkin dapat. Mulutmu dapat membohongi kami, tapi matamu mengatakan yang sebaliknya. Apakah kau tidak percaya lagi pada kami, Jayeng?! Sehingga kau tidak mau mengemukakan persoalan yang kau hadapi?!" terdengar jelas nada penasaran dalam ucapan Pendekar Tinju Maut.

Tapi, Jayeng Praja tetap diam. Melihat kenyataan itu, Ki Ageng Sora khawatir Pendekar Tinju Maut akan mengeluarkan ucapan bernada lebih keras. Maka diputuskannya untuk mendahului bicara.

"Apa yang dikatakan Loka benar, Jayeng. Kami adalah sahabat-sahabatmu. Rasanya tidak pada tempatnya jika kau menyembunyikan masalah yang kau hadapi. Percayalah, masalahmu adalah masalah kami juga. Katakanlah, Jayeng. Jangan buat kami penasaran. Kau ingat ikrar kita setelah menghancurkan Gerombolan Kuda Iblis?!"

Rupanya ucapan Ki Ageng Sora mengenai sasaran. Ada riak di wajah Jayeng Praja, meskipun dia masih tetap diam. Melihat itu, Pendekar Tinju Maut bermaksud menyambung ucapannya yang tadi tertunda karena didahului Ki Ageng Sora. Tapi sebelum maksudnya dilaksanakan, Ki Ageng Sora memberi isyarat agar membiarkan Jayeng Praja.

Meskipun rasa tidak puas melanda hati, Loka Arya bersedia menuruti isyarat rekannya. Dia tahu Ketua Perguruan Banteng Putih itu mempunyai alasan melarangnya berbicara. Dugaan Pendekar Tinju Maut tidak salah. Ki Ageng Sora memang mempunyai alasan kuat. Ketua Perguruan Banteng Putih itu yakin Jayeng Praja terpengaruh ucapannya. Keluarnya penjelasan kakek tinggi besar itu hanya tinggal menunggu waktu. Memang sebenarnya demikian. Ucapan Ki Ageng Sora berpengaruh kuat.

Ucapan itu mengingatkan Jayeng Praja pada masa mudanya. Dulu, lebih dua puluh tahun lalu, dia seperti juga Ki Ageng Sora dan Loka Arya adalah pendekar-pendekar pembela kebenaran. Setiap ada tindak ketidakadilan mereka pasti turun tangan. Dan mereka selalu berhasil menumpasnya. Tak terhitung sudah tokoh-tokoh golongan hitam yang tewas. Sehingga nama mereka bertiga menjulang di dunia persilatan.

Semula ketiga tokoh pembela kebenaran itu tidak saling mengenal. Mereka baru berkenalan dan saling bahu-membahu ketika menghadapi kelompok perampok yang berjuluk Gerombolan Kuda Iblis. Karena setiap kali melakukan keonaran selalu berkuda, dan kuda yang mereka gunakan berwarna putih. Kalau saja tidak bekerja sama, mungkin mereka telah tewas! Gerombolan Kuda Iblis sangat tangguh dan licik. Melalui kerja sama yang rapi, ketiganya berhasil menumpas Gerombolan Kuda Iblis.

Itulah perkenalan mereka yang pertama dan yang terakhir. Sejak saat itu mereka berpisah dan menempuh jalan semula. Berjuang sendiri-sendiri. Namun sebelum berpisah mereka sempat berikrar untuk saling membantu bila ada di antara mereka bertiga yang mendapat kesulitan.

"Hhh...!" Jayeng Praja menghela napas berat teringat akan kejadian itu. Kemudian pandangannya dialihkan pada Ki Ageng Sora dan Loka Arya yang masih menunggunya mengutarakan masalahnya.

"Kalian memang kawan-kawan yang baik, ujar Jayeng Praja mengawali pembicaraan "Semula aku tidak ingin memberitahu siapa pun karena ini tanggung jawabku."

"Lupakanlah pendirianmu yang keliru itu, Jayeng. Ketahuilah, masalahmu adalah masalah kami juga! Bukankah demikian, Sora?!"

Pendekar Tinju Maut segera memotong. Ki Ageng Sora menganggukkan kepala, "Benar, Jayeng, Loka Arya tidak salah. Masalahmu adalah masalah kami. Tentu saja sepanjang masalah itu tidak menyangkut urusan dalam perguruan! Namun, meskipun demikian ada baiknya kau menceritakan pada kami. Jika menurut kami urusan itu terlampau pribadi, dengan senang hati kami akan membiarkanmu menyelesaikan sendiri."

Pendekar Tinju Maut mengangguk-angguk. Ucapan Ki Ageng Sora benar. Pandangan Ketua Perguruan Banteng Putih itu demikian bijaksana. Dalam hati Loka Arya kagum atas sikap Ki Ageng Sora. Bukan hanya Pendekar Tinju Maut yang mengakui kebenaran pendapat Ki Ageng Sora. Jayeng Praja pun demikian. Untuk itu, tidak ada alasan lagi baginya menyembunyikan masalah yang merisaukan hatinya.

"Kalau benar demikian, kalian dengarlah baik-baik," ujar Jayeng Praja. "Seperti yang dikatakan Loka Arya tadi, aku memang mempunyai sebuah perguruan yang kuberi nama Perguruan Harimau Terbang. Cukup banyak murid yang kumiliki. Hingga akhirnya aku mempunyai pemikiran menggunakan kepandaian mereka untuk mencari uang. "

Jayeng Praja menghentikan ucapannya untuk mengambil napas. "Sejak saat itu, Perguruan Harimau Terbang menyediakan jasa pengawalan. Baik untuk pengiriman barang-barang berharga maupun orang yang melakukan perjalanan."

Lagi-lagi Jayeng Praja menghentikan ceritanya. Kali ini digunakan untuk melihat tanggapan kedua rekannya. Tapi Ki Ageng Sora maupun Pendekar Tinju Maut tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dengan sabar mereka menunggu Ketua Perguruan Harimau Terbang itu melanjutkan ceritanya. Sebenarnya baik Ki Ageng Sora maupun Loka Arya sudah dapat menerka kelanjutan cerita Jayeng Praja. Tapi, mereka tidak mau memotong.

Seperti telah sepakat sebelumnya, keduanya memutuskan untuk mendengarkan hingga Jayeng Praja menyelesaikan kisahnya. Dan Jayeng Praja memang melanjutkan ceritanya ketika melihat tidak ada tanggapan dari kedua rekannya.

"Beberapa hari yang lalu, seorang saudagar kaya datang dan meminta putrinya diantarkan ke Kadipaten Kulon. Putri saudagar itu ingin menjenguk kakek dan neneknya. Karena khawatir akan keselamatan putrinya, mengingat perjalanan yang sangat jauh, dia tidak mempercayakan pengawalan itu pada tukang-tukang pukulnya."

Kembali Jayeng Praja menghentikan cerita. Kini lebih lama dari sebelumnya. Tarikan wajah dan sinar matanya menyiratkan perasaan terpukul yang sangat. Ki Ageng Sora dan Pendekar Tinju Maut tidak mau mengusiknya. Mereka membiarkan. Keduanya tahu tidak ada gunanya menghibur Jayeng Praja. Kakek tinggi besar itu tidak membutuhkan hiburan.

"Semula saudagar itu meminta aku sendiri yang mengawal putrinya. Tapi, kuyakinkan bahwa murid-muridku dapat diandalkan," lanjut Jayeng Praja dengan lirih. "Hhh...! Sedikit pun tidak kusangka kekhawatiran saudagar itu tenyata beralasan. Dua hari yang lalu burung merpati putih dengan kain merah di kaki kanannya tiba di perguruanku! Padahal burung merpati dengan kain kuning baru saja tiba. Itu berarti bahaya besar tengah menimpa rombongan yang mengawal putri saudagar itu!"

"Tunggu dulu, Jayeng," potong Pendekar Tinju Maut cepat. "Burung merpati dengan kain merah di kaki kanannya?! Aku tak mengerti maksudmu?!"

Jayeng Praja menatap wajah Loka Arya sejenak. Kemudian beralih pada Ki Ageng Sora. Ketua Perguruan Banteng Putih itu menganggukkan kepala. Ki Ageng Sora juga tidak mengerti maksud Jayeng Praja.

"Begini Sora, Loka. Aku mempunyai cara untuk mengetahui keadaan murid-muridku yang sedang mengadakan pengawalan. Caranya dengan menggunakan burung merpati yang telah kami latih untuk kembali ke perguruan meski dilepas dari tempat mana pun."

Jayeng Praja menjelaskan. Sementara Ki Ageng Sora dan Pendekar Tinju Maut mendengarkan dengan penuh perhatian.

"Rombongan Perguruan Harimau Terbang yang sedang bertugas kuberi tiga buah pita. Masing-masing berwarna hijau, kuning, dan merah. Pita itu untuk diikatkan pada kaki burung merpati. Pita hijau berarti mereka telah sampai di tujuan dengan selamat. Pita kuning berarti rombongan tengah dihadang bahaya. Sedangkan pita merah menunjukkan rombongan mengalami kesulitan menghadapi bahaya yang mengancam. Dengan kata lain, lawan yang dihadapi jauh lebih kuat. Dan di antara mereka ada yang gugur!"

Ki Ageng Sora dan Pendekar Tinju Maut tampak mengangguk-angguk. Rupanya mereka telah memahami maksud ucapan Jayeng Praja.

"Padahal sesaat setelah kedatangan burung dengan pita kuning, serombongan anggota Perguruan Harimau Terbang yang memang telah disiapkan untuk berjaga-jaga sudah akan berangkat. Saat itulah burung berpita merah datang," lanjut Jayeng Praja.

"Jadi..., rombongan cadangan itu tidak jadi diberangkatkan, Jayeng?!" potong Pendekar Tinju Maut.

"Tentu saja jadi, Loka!" jawab Jayeng Praja cepat. "Dengan kuda-kuda pilihan yang tangguh memiliki kecepatan lari mengangumkan rombongan itu berangkat."

"Dan hasilnya... bagaimana, Jayeng?!" tanya Loka Arya tak sabar.

"Menyedihkan," jawab Jayeng Praja dengan suara tersekat di tenggorokan. Agaknya kakek berwajah mirip harimau itu masih terpengaruh dengan kejadian itu. "Mereka semua binasa dalam keadaan menyedihkan. Sedangkan putri saudagar itu lenyap! Entah bagaimana aku harus mempertanggungjawabkan semua ini..!"

"Berdoalah semoga putri saudagar itu tidak mengalami kejadian apa pun," ucap Ki Ageng Sora ketika Jayeng Praja telah menyelesaikan ceritanya.

"Yahhh.... Hanya itu yang dapat kulakukan," sahut Ketua Perguruan Harimau Terbang itu dengan mendesah. "Telah kuperintahkan sebagian besar murid-murid perguruanku untuk mencari putri saudagar itu. Tapi hasilnya nol besar! Kami tidak mendapatkan jejaknya sama sekali!"

"Apakah saudagar itu sudah tahu kejadian yang menimpa putrinya?" tanya Ki Ageng Sora ingin tahu.

DELAPAN

Jayeng Praja menggelengkan kepala. "Belum. Kami belum memberitahukannya. Sulit kubayangkan bagaimana tanggapannya. Hhh...! Entah apa yang harus kulakukan. Kalau harta, mungkin dapat kami usahakan penggantiannya. Tapi ini nyawa manusia. Bagaimana pertanggungjawabannya?"

Terdengar jelas kegetiran dalam suara Ketua Perguruan Harimau Terbang itu. Tarikan wajah dan sorot matanya memancarkan keputus-asaan yang dalam. Sementara Ki Ageng Sora dan Pendekar Tinju Maut saling berpandangan. Mereka sadar tidak ada yang dapat dilakukan untuk menolong Jayeng Praja.

"Apa kau tahu pelakunya, Jayeng?!" tanya Pendekar Tinju Maut tidak berusaha menyembunyikan perasaan geramnya.

Jayeng Praja menggeleng.

"Atau... barangkali kau punya dugaan siapa pelakunya?" kejar Pendekar Tinju Maut.

Lagi-lagi Jayeng Praja menggeleng tidak tahu, "Siapa adanya pelaku pembunuhan itu masih gelap bagiku, Loka," jelas Jayeng Praja. "Orang itu tidak meninggalkan jejak sama sekali."

"Hm...!" Pendekar Tinju Maut menggumam. Tangan kanannya mengelus-elus dagu. Sepasang alisnya berkerut. Tampaknya dia sedang berpikir keras.

"Mungkinkah itu perbuatan orang-orang yang sakit hati dengan tindakan kita dulu?!" duga Ki Ageng Sora tiba-tiba. "Ingat, Jayeng. Kita telah banyak menanam permusuhan di waktu lalu!"

"Itu bisa saja terjadi," sambut Pendekar Tinju Maut mendukung.

"Hhh...!" Jayeng Praja menghela napas berat. Mungkin saja dugaan rekan-rekannya itu benar. Tapi, dia tidak memberikan tanggapan. Sedangkan Ki Ageng Sora dan Pendekar Tinju Maut tidak berbicara lagi. Suasana hening pun melingkupi mereka.

Lain halnya yang terjadi pada kelompok Ki Rawung dengan kepala-kepala desa lain yang menjadi rekannya. Antara Ki Ageng Sora dan Ki Rawung memang telah sepakat untuk duduk di tempat yang agak terpisah. Masing-masing ingin berkumpul dengan kawan lama.

Di kelompok Ki Rawung sesekali terdengar tawa yang cukup memekakkan telinga. Rupanya mereka terlibat percakapan yang menggembirakan. Demikian pula di tempat para tamu lainnya. Suara tawa sesekali meningkahi percakapan mereka. Mendadak....

"Ha ha ha...!" Terdengar rawa keras menggelegar mengalahkan semua tawa yang ada. Suara tawa itu mampu membuat isi dada orang yang mendengarnya tergetar hebat.

Seketika itu pula, semua pasang mata tertuju ke arah asal tawa. Tidak terkecuali Ki Ageng Sora, Pendekar Tinju Maut, dan Jayeng Praja. Sorot mata ketiga tokoh tua itu memancarkan rasa terkejut. Tentu saja semua itu ada alasannya. Mereka merasakan dadanya agak terguncang oleh tawa itu. Ketiga lelaki itu pun sadar pemilik tawa itu memiliki tenaga dalam sangat kuat. Itu berarti seorang yang berkepandaian tinggi. Kalau tidak bermaksud baik tentu merupakan lawan yang sangat tangguh.

Pemilik tawa itu ternyata berada di depan perguruan. Entah bagaimana caranya dia masuk. Tahu-tahu sudah berada di dalam tanpa sepengetahuan murid-murid Ki Ageng Sora yang bertugas menjaga pintu gerbang. Padahal, saat itu suasana sudah sepi. Tidak ada tamu yang datang lagi. Tapi mengapa pemilik tawa itu bisa berada di dalam? Kenyataan itu mengejutkan penjaga-penjaga pintu gerbang. Dengan agak tergesa dua di antara mereka bergerak menghampiri pemilik tawa.

"Hey! Berhenti! Mengapa menimbulkan keributan di sini?! Cepat keluar sebelum kupatahkan kakimu!" ancam seorang murid Perguruan Banteng Putih yang bermulut lebar.

Pemilik tawa itu, yang mengenakan pakaian putih, menghentikan tawanya. Wajahnya tetap di tundukkan seperti tadi. Dengan wajah menunduk dia berbalik menghadapi dua orang murid Perguruan Banteng Putih yang menghampirinya.

"Benarkah kalian mampu melakukannya? Kalau begitu, lakukanlah," sahut sosok berpakaian putih tenang.

Sementara itu Ki Ageng Sora mengernyitkan dahi. Lelaki tinggi kurus itu sedang berpikir. Sepasang matanya menatap penuh selidik ke arah sosok berpakaian putih. Kelakuan Ketua Perguruan Banteng Putih rupanya diperhatikan rekan-rekannya Jayeng Praja dan Pendekar Tinju Maut menjadi heran.

"Mengapa, Sora?! Apa kau mengenalnya?" tanya Jayeng Praja ingin tahu.

"Entahlah, Jayeng," jawab Ki Ageng Sora tidak yakin. "Rasanya aku pernah mendengar suaranya. Bukan hanya mendengar, tapi kenal betul. Tapi aku lupa, kapan dan di mana"

Jayeng Praja dan Pendekar Tinju Maut bertukar pandang mendengar jawaban lelaki tinggi kurus itu.

"Ingat-ingatlah, Sora. Coba perhatikan baik-baik," beritahu Pendekar Tinju Maut, "Aku yakin kau benar. Kau dan dia saling mengenal. Kau lihat sendiri kan. Orang itu seperti menyembunyikan wajahnya agar tidak terlihat."

"Yang dikatakan Loka Arya memang tidak salah, Sora," dukung Jayeng Praja, "Aku juga yakin kau dan dia saling kenal"

Ucapan rekan-rekannya memaksa Ki Ageng Sora untuk terus memperhatikan sosok berpakaian putih. Ingin diketahuinya bagaimana tindakan sosok itu dengan ancaman dua orang muridnya. Syukur jika di antara mereka terjadi pertarungan. Barangkali dari gerakannya bisa diketahui siapa sebenarnya sosok berpakaian putih itu.

Sementara murid Perguruan Banteng Putih yang berbibir tebal sudah tidak kuat lagi menahan sabar. Tanpa menunggu lebih lama serangannya yang berupa pukulan bertubi-tubi dilancarkan ke arah dada sosok berpakaian putih!

"Hmh!" Sosok berpakaian putih mendengus melihat serangan itu. Sikapnya jelas memandang rendah serangan lawan. Sosok itu tidak melakukan tindakan apa pun. Tidak mengelak maupun menangkis! Kesudahannya sudah dapat diduga.

Bukkk, bukkk, bukkk!

Berturut-turut pukulan lelaki berbibir tebal mendarat di sasaran yang dituju. Namun hasilnya membuat semua mata yang menyaksikan terbelalak. Bukan sosok berpakaian putih yang berteriak-teriak kesakitan, tapi lelaki berbibir tebal.

Murid Perguruan Banteng Putih itu merasakan betapa kedua tangannya bukan memukul tubuh manusia. Tapi gumpalan baja keras yang membuat kedua tangannya sakit. Dan sebelum lelaki berbibir tebal itu sempat berbuat sesuatu, tangan kanan sosok berpakaian putih berkelebat. Cepat bukan main. Sehingga yang terlihat hanya sekelebatan bayangan putih. Bahkan arah yang dituju sukar diketahui. Dan....

Prokkk!

"Akh...!" Lelaki berbibir tebal hanya sempat mengeluarkan jeritan singkat ketika tangan sosok berpakaian putih menghantam pelipisnya hingga hancur. Saat itu juga nyawanya melayang meninggalkan raga.

Tentu saja kejadian yang sangat mengejutkan itu membuat semua orang yang berada di situ terperanjat. Tak terkecuali Ki Ageng Sora, Pendekar Tinju Maut, dan Jayeng Praja.

Hanya sosok berpakaian putih yang bersikap tidak peduli. Tanpa memperhatikan teman murid Perguruan Banteng Putih yang dibinasakannya, tubuhnya dibalikkan. Dan kakinya melangkah menuju tempat sepasang mempelai berada.

Saat sosok berpakaian putih berbalik itulah Ki Ageng Sora melihat wajahnya. Memang hanya sekilas. Tapi itu sudah cukup baginya. Wajah sosok berpakaian putih itu sangat dikenalnya. Orang itu adalah...

"Sangkala...!" desis Ki Ageng Sora kaget. Tak disangka secepat itu murid murtadnya kembali, dengan membawa kepandaian menakjubkan!

"Jadi..., dia muridmu yang murtad itu, Sora.?!" Hampir bersamaan pertanyaan diajukan Pendekar Tinju Maut dan Jayeng Praja. Ki Ageng Sora memang telah menceritakan perihal Sangkala.

Begitu mengetahui sosok berpakaian putih itu Sangkala, Ki Ageng Sora segera mengetahui maksud kedatangannya. Apalagi kalau bukan untuk membalas dendam? Dan dari tindakannya tadi, Ki Ageng Sora tahu tingkat kepandaian Sangkala telah meningkat berlipat kali hanya dalam waktu singkat. Entah bagaimana cara Sangkala mempelajarinya. Ki Ageng Sora tidak mampu menduga.

Melihat Sangkala menghampiri Ranjita dan Trijati, Ki Ageng Sora khawatir bukan main. Ada bahaya besar tengah mengancam keselamatan anak dan menantunya. Maka tanpa pikir panjang lagi, ia itu melompat dari tempat duduknya. Lelaki tinggi kurus itu bersalto beberapa kali sebelum meluruk turun sambil melancarkan serangan berupa cengkeraman ke kepala Sangkala. Gerakannya seperti burung garuda menyambar mangsa.

Melihat serangan itu, Sangkala terpaksa mengurungkan maksudnya mendekati Trijati dan Ranjita. Jika dia bersikeras meneruskan maksudnya, sebelum tercapai, cengkeraman Ki Ageng Sora akan lebih dulu tiba. Sangkala tidak menginginkan hal itu terjadi.

Pemuda itu tahu betapa dahsyatnya serangan itu. Cengkeraman Ki Ageng Sora mampu menghancurkan batu karang yang paling keras. Bisa dibayangkan bila mengenai kepala manusia! Tapi meskipun demikian, Sangkala tidak gentar. Tanpa ragu-ragu dipapakinya serangan itu dengan sampokan kedua tangannya.

Prattt, prattt!

"Aikh...!" Jeritan kaget bercampur kesakitan keluar dari mulut Ki Ageng Sora, ketika tangannya berbenturan dengan tangan Sangkala. Jari-jari tangannya terasa sakit. Bahkan untuk beberapa saat seperti lumpuh. Yang lebih gila tubuh Ki Ageng Sora terpental jauh ke belakang! Padahal Sangkala sedikit pun tidak bergeming. Itu menunjukkan tenaga dalam murid murtad Perguruan Banteng Putih itu berada jauh di atas gurunya.

Tentu saja kejadian itu tidak hanya mengejutkan Ki Ageng Sora. Tapi juga semua yang hadir dan mengenal Sangkala. Tidak salahkah penglihatan mereka? Benarkah Ki Ageng Sora terjengkang karena berbenturan dengan Sangkala, bekas muridnya? Benarkah hanya dalam beberapa bulan pemuda berwajah bopeng itu telah menjadi orang yang demikian hebat? Bagaimana mungkin itu bisa terjadi?

Pertanyaan-pertanyaan itu membebani benak mereka. Tidak terkecuali Jayeng Praja dan Pendekar Tinju Maut. Justru mereka berdua yang mengalami keterkejutan paling besar. Mereka adalah ahli-ahli silat yang berpengalaman luas. Karenanya mereka tahu tidak mungkin Sangkala dapat melampaui Ki Ageng Sora, meskipun mendapat guru yang sangat pandai.

Lagi pula, mana mungkin dalam waktu yang sangat singkat mampu memiliki tenaga dalam melebihi Ketua Perguruan Banteng Putih. Ki Ageng Sora bukan tokoh sembarangan. Dia merupakan tokoh tingkat tinggi golongan putih! Walaupun tidak termasuk datuk, tapi tidak mudah menemukan tokoh yang berkepandaian setingkat dengannya. Namun kenyataannya dalam benturan tenaga Sangkala lebih unggul!

Adakah yang salah? Atau... jangan-jangan Ki Ageng Sora tidak mengerahkan seluruh tenaganya! Mereka tidak tahu Ki Ageng Sora sudah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Kini Ketua Perguruan Banteng Putih itu tidak gegabah lagi melancarkan serangan. Dia sadar Sangkala telah memiliki kepandaian tinggi. Entah dengan cara bagaimana!

Sementara itu, begitu melihat tubuh Ki Ageng Sora terlempar, murid-murid Perguruan Banteng Putih yang berdatangan karena mendengar bunyi ribut-ribut langsung bergerak melancarkan serangan. Tapi...

"Tahan...! Kalian jangan turun tangan! Biar aku yang mengurusnya. Dia bukan Sangkala yang kalian kenal! Dengan mudah akan dibantainya kalian semua!" cegah Ki Ageng Sora buru-buru.

Murid-murid Perguruan Banteng Putih pun mengurungkan maksudnya. Bukan takut pada Sangkala karena belum merasakan kelihaiannya. Tapi karena patuh pada guru mereka.

"Ha ha ha...!" Sangkala tergelak. Pemuda itu tidak gentar meskipun tahu tidak ada jalan keluar meninggalkan tempat itu. Bahkan pemuda berwajah bopeng itu memandang rendah lawan-lawannya.

Melihat hal itu, Ki Ageng Sora tidak sanggup lagi menahan sabar. "Murid laknat! Bila tidak dapat membunuhmu, lebih baik aku mati bunuh diri! Hih!"

Baru saja ucapannya lenyap, Ki Ageng Sora segera melancarkan serangan. Ketua Perguruan Banteng Putih itu membuka serangan dengan tendangan kaki kanan lurus ke arah pusar.

Wuttt!

Hanya dengan mendoyongkan tubuh ke kiri dan tanpa memindahkan kaki, Sangkala berhasil menggagalkan serangan gurunya. Kaki Ki Ageng Sora meluncur beberapa jari di sebelah kanan Sangkala.

Tapi, serangan Ki Ageng Sora tidak berhenti sampai di situ. Kegagalan serangan pertamanya sudah diperhitungkan. Maka begitu Sangkala berhasil mengelak, segera disusuli dengan serangan berikutnya. Sadar akan kelihaian bekas muridnya, Ki Ageng Sora tidak ragu-ragu lagi mengerahkan seluruh kemampuannya.

Hebat bukan main serangan-serangan lelaki tinggi kurus itu. Bunyi menderu, dan mendecit mengiringi bergeraknya tangan serta kakinya. Susul-menyusul hampir tiada henti seperti gelombang laut.

Meskipun demikian Sangkala mampu meredam semua serangan lawan. Lincah bagai kera dan gesit laksana bayangan, Sangkala mengelakkan semua serangan. Itu dilakukannya seperti tanpa mengalami kesulitan sedikit pun.

"Mengingat kau pernah menjadi guruku, kuberi kesempatan padamu untuk menyerangku sebanyak sepuluh jurus. Pergunakanlah sebaik-baiknya, Ki Ageng Sora," ujar Sangkala di sela-sela kesibukannya mengelakkan serangan.

"Tutup mulutmu. Manusia Jahanam!" maki Ki Ageng Sora sangat geram.

Akibatnya, serangan-serangan yang dilancarkannya semakin dahsyat. Itu terjadi karena kemarahannya. Ucapan Sangkala menunjukkan pemuda itu memandang rendah dirinya. Ki Ageng Sora tersinggung dan marah besar! Namun meskipun Ki Ageng Sora menguras seluruh kemampuannya, tetap saja semua serangannya berhasil dielakkan Sangkala.

Sikap sombong pemuda berwajah bopeng itu memang beralasan. Pemuda itu sempat berbicara di saat serangan Ki Ageng Sora datang bertubi-tubi, membuktikan serangan-serangan itu tidak merepotkannya. Jurus demi jurus berlalu. Tak terasa sudah sepuluh jurus Ki Ageng Sora melancarkan serangan. Dan selama itu tak satu pun yang mengenai sasaran.

"Sekarang giliranku...!" ujar Sangkala memperingatkan. "Bersiap-siaplah, Ki Ageng Sora! Ketahuilah, aku tidak ragu untuk membunuhmu!"

"Tutup mulutmu, Jahanam!" Makian penuh kegeraman menyambut ucapan Sangkala. Ditambah dengan sebuah tendangan kaki kanan ke arah leher!

"Hmh!" Sangkala mendengus melihat serangan itu. Tidak terlihat tandatanda dia akan mengelak. Sangkala telah siap melaksanakan maksudnya. Itu terjadi kemudian. Begitu kaki Ki Ageng Sora menyambar dekat, dengan kecepatan yang sukar diikuti mata Sangkala menggerakkan tangan kanannya. Dan…

Tappp!

"Hehhh?!" Ki Ageng Sora memekik kaget melihat pergelangan kakinya dicekal lawan. Tahu ada bahaya besar mengancam kakinya buru-buru ditarik agar lepas dari cekalan. Kembali Ki Ageng Sora dilanda kaget. Jangankan menarik, membuat bergeming pun tidak mampu. Kakinya seperti terjepit catut baja!

"Ha ha ha...!" Sangkala tertawa bergelak melihat wajah Ki Ageng Sora yang merah padam karena mengerahkan seluruh tenaganya. Masih dengan tawa yang belum putus, Sangkala menggerakkan jari-jari tangannya meremas.

Krrrkkk!

"Aaakh...!" Ki Ageng Sora tidak mampu menahan jerit kesakitan ketika tulang kakinya hancur di remas Sangkala.

Tindakan Sangkala tidak berhenti sampai di situ. Tangannya disentakkan. Tak pelak lagi tubuh Ki Ageng Sora terhuyung ke arahnya. Padahal, Ki Ageng Sora telah berusaha menahan. Tapi lelaki tinggi kurus itu tidak mampu. Di saat tubuh Ki Ageng Sora melayang, tangan kanan Sangkala bergerak menghentak ke depan!

Wuttt! Prakkk!

"Akh...!" Hanya jeritan pendek yang dapat dikeluarkan Ki Ageng Sora. Tubuhnya ambruk ke tanah dengan tulang pelipis hancur! Tragis sekali kematian Ketua Perguruan Banteng Putih itu!

Rentetan kejadian itu berlangsung demikian cepat. Tidak seorang pun sempat berbuat sesuatu. Mereka baru sadar ketika tubuh Ki Ageng Sora telah ambruk ke tanah.

"Biadab!" Hampir bersamaan bentakan keras itu dikeluarkan Jayeng Praja dan Pendekar Tinju Maut. Seiring dengan teriakan itu keduanya melesat dari tempat duduk. Cepat gerakan kedua kawan Ki Ageng Sora itu, tapi masih lebih cepat tindakan murid-murid Perguruan Banteng Putih!

Diawali teriakan-teriakan kemarahan mereka menyerang Sangkala. Tempat yang lebih dekat dengan Sangkala memungkinkan serangan mereka tiba lebih dulu dari Jayeng Praja dan Pendekar Tinju Maut.

Karena murid-murid Perguruan Banteng Putih menggunakan senjata dan menyerang serempak, tak pelak lagi hujan senjata meluruk ke berbagai bagian tubuh Sangkala. Tapi dengan kecepatan gerak luar biasa, Sangkala menyelinap di antara sambaran senjata lawan. Serangan murid-murid Perguruan Banteng Putih mengenai tempat kosong! Dan dengan lihai Sangkala melesat keluar dari kepungan.

Pemuda yang diamuk dendam itu melangkah tenang menghampiri Ranjita dan Trijati. Karuan saja Ranjita kelabakan bukan main. Bahaya maut sedang mengancamnya. Sementara Trijati sudah tak sadarkan diri di bangku pengantinnya. Rupanya guncangan batin melihat kematian ayahnya di depan mata terlalu berat untuknya. Tapi sebelum Sangkala berhasil melaksanakan maksudnya pada Ranjita yang telah bersiap-siap mengadakan perlawanan mendadak....

Jliggg!

Jayeng Praja dan Pendekar Tinju Maut telah berada di depannya.

"Manusia Iblis! Orang seperti kau tidak pantas dibiarkan hidup!" geram Jayeng Praja.

Sangkala tersenyum mengejek. Diperhatikannya Jayeng Praja dan Pendekar Tinju Maut sesaat. "Pakaian dan gambar macanmu mengingatkan aku pada orang-orang yang menjadi korban pertamaku. Apa kau mempunyai hubungan dengan mereka?!"

"Ahhh...!" Jayeng Praja berseru kaget. Sungguh tidak disangka akan bertemu penjagal murid-muridnya. "Jadi..., kau yang telah melakukan tindakan keji itu?! Kau telah membunuh murid-muridku. Manusia Biadab! Sekarang katakan di mana gadis yang mereka kawal?!"

"Ooo.... Jadi mereka murid-muridmu? Lalu siapa gadis yang ada di dalam kereta? Anakmukah?!" ejek Sangkala tenang. "Sayang dia tidak cukup kuat melayaniku sampai puas. Maka...."

"Jahanam! Mampus kau!" Tanpa menunggu Sangkala menyelesaikan ucapannya, Jayeng Praja melancarkan serangan dengan geram. Tidak mendengar secara lengkap pun sudah dapat diduga nasib putri saudagar itu. Mati!

Melihat Jayeng Praja telah menyerang, Pendekar Tinju Maut tidak tinggal diam. Dia pun melakukan hal yang sama. Sebab Jayeng Praja tidak akan mampu menghadapi Sangkala sendiri. Tingkat kepandaian Ketua Perguruan Harimau Terbang itu setingkat dengan Ki Ageng Sora.

Tapi rupanya Sangkala tidak berminat untuk bertarung. Pemuda itu tidak menyambut serangan lawan-lawannya. Kakinya digenjot sehingga tubuhnya melayang ke atas melewati kepala kedua penyerangnya. Begitu kakinya mendarat di tanah, Sangkala melesat ke arah Trijati. Jelas, pemuda itu mengincar putri Ki Ageng Sora.

Ranjita pun tidak bisa tinggal diam. Pemuda itu tidak ingin istrinya mengalami nasib serupa dengan Wulan dan Widuri. Maka dengan berani dihadangnya Sangkala. Disambutnya kedatangan pemuda berwatak bejat itu dengan tusukan goloknya.

Namun hadangan itu tidak membuat Sangkala mengurungkan maksudnya. Ditangkapnya golok Ranjita. Hanya dengan sekali sentak tubuh Ranjita dilemparkan. Lalu dengan secepat kilat meluncur ke arah Trijati. Dan....

Tappp!

Begitu tubuh putri Ki Ageng Sora berhasil ditangkap, Sangkala melesat meninggalkan tempat itu. Tentu saja Jayeng Praja, Pendekar Tinju Maut, murid-murid Perguruan Banteng Putih, dan yang lainnya tidak membiarkan hal itu terjadi. Mereka segera menghadang.

Tapi kejadian sebelumnya terulang kembali. Dengan mudah Sangkala berhasil meloloskan diri. Lalu, dengan beberapa kali lesatan, pemuda berwatak bejat itu telah berada di luar bangunan Perguruan Banteng Putih.

Meskipun demikian, Sangkala tidak mengendurkan larinya. Pemuda itu terus melesat dengan kecepatan tinggi. Sehingga dalam waktu singkat bangunan Perguruan Banteng Putih telah jauh ditinggalkan. Baru setelah itu Sangkala mengendurkan larinya. Mendadak....

"Berhenti...!"

Terdengar bentakan keras. Menggelegar laksana sambaran halilintar. Bentakan itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Tapi bukan Sangkala kalau menjadi gentar. Dengan berani pemuda itu menghentikan langkah. Lalu berbalik untuk melihat orang yang telah mengeluarkan bentakan itu.

Empat tombak di depan Sangkala berdiri dua orang muda-mudi. Yang gadis mengenakan pakaian putih dan berambut panjang. Sedangkan orang yang berdiri di sebelahnya seorang pemuda berambut putih keperakan. Pakaian ungu membungkus tubuhnya yang kekar. Siapa lagi kalau bukan Dewa Arak dan Melati.

"Cepat serahkan wanita itu, Manusia Biadab!" tegas Dewa Arak lantang.

"Lagi-lagi kalian," sahut Sangkala tersenyum mengejek, "Kuberi kesempatan pada kalian pergi dari sini sebelum aku merubah keputusan! Cepat! Atau kalian ingin mengalami nasib yang sama dengan rombongan yang kalian temukan di hutan beberapa hari lalu?!"

Dewa Arak dan Melati langsung bertukar pandang mendengar ucapan itu. Mereka sungguh tidak menyangka orang yang menculik mempelai perempuan ternyata orang yang melakukan tindak kekejian terhadap gadis yang telah mereka kuburkan!

Dewa Arak dan Melati telah mengetahui Sangkala menculik mempelai wanita. Di perjalanan mereka bertemu dengan rombongan Jayeng Praja yang melakukan pengejaran.

"Jadi..., kau penjahat terkutuk itu?!" desis Melati geram. "Kalau begitu, mampuslah!"

Wuttt!

Bunyi deru angin keras terdengar ketika Melati melancarkan serangan. Tangan kanannya yang terkembang membentuk cakar diluncurkan ke arah ulu hati Sangkala. Dalam cekaman kemarahan yang menggelegak, Melati mengeluarkan ilmu 'Cakar Naga Merah' andalannya.

"Ah!" Sangkala berseru kaget melihat tangan Melati, sebatas pergelangan, merah seperti darah. Sekali lihat saja dia tahu kepandaian gadis berpakaian putih itu lebih tinggi dari Ki Ageng Sora. Maka Sangkala tidak berani bertindak main-main.

"Hih!" Sambil menggertakkan gigi, dipapakinya serangan Melati dengan pengerahan seluruh tenaga dalamnya. Dan...

Prattt!

Terdengar bunyi keras ketika dua tangan yang mengandung tenaga dalam tinggi berbenturan. Tubuh Melati terjengkang ke belakang. Sedangkan Sangkala terhuyung mundur selangkah. Ini menunjukkan tenaga dalam bekas murid Ki Ageng Sora itu lebih tinggi dari lawan.

Jliggg!

Begitu berhasil mendaratkan kaki di tanah, Melati segera bersiap melancarkan serangan berikutnya. Tapi, maksudnya terpaksa diurungkan ketika Dewa Arak menyentuh lengannya.

"Biar aku yang menghadapinya, Melati. Dia terlalu kuat untukmu," ujar Dewa Arak lembut. Lalu tanpa menunggu tanggapan Melati, Dewa Arak melangkah maju. Guci araknya yang tergantung di punggung segera diambil dan dituangkan ke mulutnya.

Gluk.... Gluk... Gluk...!

Terdengar bunyi tegukan ketika arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak. Sesaat kemudian kedudukan kaki pemuda berambut putih keperakan itu tidak jejak lagi. Oleng ke kanan dan kiri. Ilmu 'Belalang Sakti'nya telah siap dipergunakan!

Sementara itu Sangkala sadar lawannya kali ini jauh lebih pandai dari gadis berpakaian putih. Disadari pula Dewa Arak telah menggunakan ilmu andalan. Maka, tubuh Trijati dilemparkan ke tanah. Lalu pemuda berwajah bopeng itu mempersiapkan jurus 'Kelelawar'!

Diam-diam Sangkala menyesal telah memberitahukan dirinya pelaku tindak kekejian terhadap gadis berpakaian hijau. Itu membuatnya terlibat dalam keributan dengan tokoh-tokoh tingkat tinggi di saat dirinya tidak ingin bertarung. Tapi, nasi telah jadi bubur. Tidak ada jalan lain kecuali bertarung. Dan itulah yang dilakukan Sangkala sekarang.

"Cit, cit, cit!"

Diiringi bunyi berdecit nyaring dan gerakan tangannya, Sangkala melompat menerjang Dewa Arak. Ketika berada di udara, tangan kanannya disampokkan ke pelipis lawan.

Wuttt!

Hanya dengan merendahkan tubuh ke kanan. Dewa Arak berhasil membuat serangan itu mengenai tempat kosong. Sampokan Sangkala lewat beberapa jengkal di atas kepala. Dan karena kuatnya tenaga yang terkandung dalam serangan itu, rambut dan pakaian Arya berkibaran keras.

Kegagalan serangan pertamanya membuat Sangkala penasaran. Maka serangan-serangan susulannya pun semakin dahsyat. Tapi, Dewa Arak sanggup memunahkan. Bahkan serangan balasan yang dikirimkan pemuda berambut putih keperakan itu tidak kalah dahsyat. Pertarungan sengit dan menarik antara dua tokoh muda yang berkepandaian tinggi itu pun tidak bisa dielakkan lagi.

Hebat bukan main pertarungan yang terjadi. Bunyi mendecit, menderu, dan mengaung menyemaraki jalannya pertarungan. Ditambah dengan bunyi tegukan ketika Dewa Arak menenggak araknya di sela-sela berlangsungnya pertempuran.

Jurus demi jurus berlangsung cepat. Kedua belah pihak memiliki kecepatan gerak yang mengagumkan. Dewa Arak dan Sangkala memang menitik-beratkan pada ilmu meringankan tubuh. Tak terasa pertarungan telah berlangsung lebih dari seratus jurus. Dan selama itu belum tampak tanda-tanda pihak yang akan menang. Pertarungan masih berlangsung seimbang.

Kenyataan itu membuat Sangkala gelisah. Dewa Arak terlalu tangguh untuk dapat dirobohkan. Lagi pula, andaikan dapat pun membutuhkan waktu yang lama. Padahal, dia tidak ingin berlama-lama di tempat itu. Sebab keadaannya tidak menguntungkan. Bila Melati turun tangan, atau rombongan pengejar Perguruan Banteng Putih tiba dan mengeroyoknya, dia bisa celaka. Pemikiran ini menyebabkan Sangkala memutuskan untuk melarikan diri. Dan kesempatan untuk itu tiba. Itu terjadi pada jurus keseratus dua puluh tiga.

"Hih!" Sangkala melemparkan tubuhnya ke belakang dengan bersalto beberapa kali. Lalu berbalik dan melesat kabur. Dewa Arak yang sudah bertekad melenyapkan Sangkala tidak membiarkan hal itu. Arya melesat mengejar. Pada malam yang mulai beranjak dini hari itu pun terjadi kejar-mengejar.

Melihat hal itu, Melati tidak tinggal diam. Gadis itu ikut mengejar setelah menyambar tubuh Trijati dan meletakkannya di bahu kanan. Sementara itu Dewa Arak berusaha keras menyusul Sangkala. Tapi jarak antara mereka tidak berubah. Agaknya ilmu lari cepat mereka berimbang. Hingga...

Srakkk!

Sangkala menyelinap ke balik rimbunan semak-semak dan pepohonan. Tapi tanpa ragu sedikit pun Dewa Arak turut menerobos. Namun kenyataan yang dilihatnya membuat Dewa Arak tercengang. Sangkala tidak dijumpai ada di situ. Padahal di balik jajaran semak dan pepohonan terdapat tanah lapang yang membentang luas.

Mengapa Sangkala tidak terlihat lagi? Apakah pemuda berwajah bopeng itu menghilang? Kalau dia terus berlari, tentu akan terlihat oleh Arya. Karena jarak mereka sejak tadi tetap lima tombak.

Rasa penasaran membuat Dewa Arak mengedarkan pandangan ke sekitar tempat itu. Bahkan Arya memeriksa semak-semak dan pepohonan yang hanya sedikit. Tapi tetap saja tidak dijumpai sosok Sangkala. Yang dijumpai pemuda berambut putih keperakan itu hanya beberapa ekor kelelawar yang hinggap di salah satu cabang pohon. Tidak ada lagi yang lain. Saat itulah Dewa Arak melihat Melati di kejauhan tengah berlari ke arahnya.

"Bagaimana, Kakang?!" tanya gadis berpakaian putih itu ketika telah berada di dekat Arya.

"Dia menghilang begitu menyelinap ke balik semak-semak ini, Melati," jawab Arya lesu.

"Ah...! Begitukah?!" Melati tampak agak terkejut. "Lalu, apa yang kita lakukan sekarang?"

Dewa Arak tercenung sebentar seperti sedang berpikir. "Kurasa lebih baik kita kembalikan dulu gadis itu kepada keluarganya. Bagaimana, setuju?!"

Melati mengangguk diikutinya langkah kekasihnya yang telah lebih dulu meninggalkan tempat itu. Dewa Arak dan Melati sungguh tidak tahu seekor kelelawar memperhatikan kepergian mereka. Kelelawar itu adalah penjelmaan Sangkala!

Apakah tindakan Sangkala selanjutnya? Bagaimana dengan pembalasan dendamnya? Dan bagaimana Sangkala dapat memiliki ilmu-ilmu mukjizat hanya dalam beberapa bulan? Siapa tokoh yang menjadi guru Sangkala? Semua pertanyaan itu akan terjawab dalam serial Dewa Arak episode Penjarah Perawan yang merupakan lanjutan episode ini.
SELESAI
Selanjutnya,

Dewa Arak - Manusia Kelelawar

Dewa Arak - Manusia Kelelawar
Karya : Ajisaka

Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak Karya Ajisaka
SATU

"Ha ha ha...!"

Tawa keras menggelegar menguak kesunyian pagi. Panjang dan hampir tidak putus-putus. Ada nada kegembiraan yang sangat di dalamnya. Suara itu berasal dari salah satu di antara sekian banyak goa yang terdapat di Bukit Kematian. Sebuah bukit yang jarang didatangi orang.

Setiap orang yang datang ke sana tidak akan pernah kembali lagi. Mungkin itulah sebabnya bukit itu dinamakan Bukit Kematian. Menurut cerita yang tersebar di dunia persilatan, di sekitar Bukit Kematian banyak terdapat tempat-tempat yang berbahaya.

Lumpur hidup serta jalan-jalan setapak yang terdapat di antara hamparan padang rumput setinggi satu setengah tombak, menyembunyikan bahaya berupa ular-ular beracun dan serangga-serangga berbisa. Semua itu hanya sebagian kecil dari bahaya-bahaya yang menghadang perjalanan menuju Bukit Kematian. Tak aneh jika tempat itu ditakuti tokoh-tokoh persilatan.

Sedangkan bagi penduduk sekitar tempat itu, Bukit Kematian merupakan tempat keramat. Mereka percaya bukit itu dihuni berbagai macam makhluk halus. Dan tidak seorang pun berani menginjakkan kaki di sana.

Tapi kenyataannya pagi itu terdengar suara tawa dari salah satu goa di Bukit Kematian! Apakah tawa itu keluar dari mulut siluman atau makhluk halus lainnya seperti yang dipercayai penduduk sekitar tempat itu?

Mendadak dari dalam goa melesat sesosok bayangan. Gerakannya cepat bukan main. Sehingga yang terlihat hanya sekelebatan bayangan putih yang tidak jelas. Tahu-tahu di depan goa itu telah berdiri sesosok tubuh kurus kering berpakaian putih.

Silumankah sosok berpakaian putih itu? Rasanya tidak! Mungkinkah siluman keluar di pagi hari? Sosok berpakaian putih itu pasti seorang manusia! Kedua kakinya menginjak tanah! Namun bukti yang lebih meyakinkan kalau sosok berpakaian putih itu seorang manusia adalah pernyataannya. Ucapan yang dikeluarkan setelah sosok itu membiarkan tubuhnya bermandikan cahaya lembut matahari pagi.

"Sekarang tibalah waktunya bagiku untuk mencoba kedahsyatan ilmu yang kudapat!"

Usai berkata demikian, sosok berpakaian putih mengembangkan kedua tangannya ke samping. Gerakannya mengingatkan orang pada unggas yang sedang membuka sayapnya. Hanya sosok itu menggerakkannya perlahan-lahan, tapi penuh tenaga. Bunyi menderu seperti angin ribut terdengar mengiringi.

Ini menjadi pertanda kalau sosok berpakaian putih memiliki tenaga dalam tinggi! Hanya orang-orang yang memiliki tenaga dalam tinggilah yang mampu menimbulkan bunyi deru angin setiap kali menggerakkan tangannya.

Ternyata tidak hanya deru angin saja yang timbul. Sepasang matanya pun berubah. Kelihatan seperti memanjang dan memipih, tajam berkilat mengeluarkan sinar kehijauan. Mirip mata seekor kucing!

Hanya sesaat sosok berpakaian putih bersikap demikian. Kemudian diawali bunyi mencicit nyaring seperti suara tikus, sosok itu melompat ke atas. Ringan bukan main gerakan sosok berpakaian putih. Bagai sehelai daun kering, tubuhnya melayang ke atas. Dan setibanya di sana tangan kanannya dikibaskan.

Wuttt! Blarrr!
Bunyi hiruk-pikuk langsung terdengar ketika angin kibasan sosok berpakaian putih menghantam batu sebesar kerbau. Padahal batu itu berada dalam jarak tak kurang dari lima tombak! Tapi, kenyataannya hancur! Satu bukti lagi betapa kuat tenaga dalam sosok berpakaian putih itu.

Jliggg!

"Ha ha ha...!" Begitu kedua kakinya mendarat ringan di ranah, sosok berpakaian putih mengumbar tawanya yang terdengar lepas penuh dengan kegembiraan. "Sekarang aku telah menjadi orang sakti! Ha ha ha...! Tidak sia-sia pengorbananku selama ini! Tunggulah cecunguk-cecunguk tak tahu diri! Aku, Sangkala, akan membuat perhitungan dengan kalian. Ha ha ha...!"

Masih dengan tawa yang tidak putus sosok berpakaian putih yang ternyata bernama Sangkala melesat pergi meninggalkan tempat itu. Luar biasa! Hanya dengan sekali lesatan tubuhnya telah berada belasan tombak di depan. Tanpa memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi jarak sejauh itu tidak akan bisa dicapai!

Baru beberapa kali lesatan Sangkala menghentikan larinya. Pandangannya diarahkan ke depan ke tempat terhamparnya padang rumput setinggi satu setengah tombak.

"Orang lain mungkin sulit melewati tempat ini... Tapi untukku.... Ha ha ha...! Tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi langkahku! Sangkala akan menjadi jago nomor satu di dunia persilatan. Ha ha ha...!"

Untuk kesekian kalinya Sangkala tertawa tergelak-gelak. Cukup lama sebelum akhirnya berhenti. Lebih tepatnya dihentikan secara mendadak. Sekarang tarikan wajahnya menampakkan kesungguhan. Tidak terlihat lagi raut kegembiraan di wajahnya. Sangkala berdiam diri sebentar seperti tengah berpikir keras. Mendadak ia memutar tubuhnya ke kiri dengan dibarengi gerakan tangannya. Hingga....

Bluppp!

Tubuh Sangkala lenyap! Di tempatnya semula berdiri tampak kepulan asap dan seekor kelelawar!

Cit, cit, cit! Diiringi bunyi mencicit yang keluar dari mulutnya, kelelawar itu terbang di atas hamparan rumput! Kalau kebetulan ada yang melihat kejadian ini tentu akan heran bukan main. Bagaimana mungkin kelelawar melakukan kegiatannya di siang hari? Padahal binatang itu biasanya tidur di siang hari. Dan baru keluar pada malam hari.

* * *

Matahari telah bergeser jauh dari tempat terbitnya. Meskipun demikian belum mencapai titik tengah ketika sebuah iring-iringan kereta kuda memasuki mulut Hutan Sawang.

Iring-iringan itu terdiri dari sebuah kereta dan delapan ekor kuda. Kedudukan binatang yang rata-rata berpenunggang sosok-sosok berwajah gagah itu melindungi kereta. Tiga di bagian belakang dan depan serta satu pada masing-masing sisi kereta.

Seperti juga binatang tunggangannya yang semua berwarna hitam, sosok-sosok gagah di atas punggung kuda itu pun mengenakan pakaian yang sama. Kuning kentang. Pada bagian dada kiri tersulam gambar kepala seekor harimau. Pedang bergagang kepala harimau tampak di balik punggung mereka. Senjata-senjata itu membuktikan rombongan ini bukan terdiri dari orang-orang lemah.

Menilik sikap sosok-sosok di atas punggung kuda hitam yang terlihat begitu melindungi kereta, bisa diperkirakan orang yang berada di dalamnya adalah orang penting.

"Hooop...!"

Tiba-tiba salah satu dari tiga penunggang kuda terdepan mengangkat tangan kanannya ke atas seraya menarik tali kekang binatang tunggangannya.

Seketika itu pula, rombongan yang berada di belakang tiga sosok itu menghentikan langkah kuda mereka. Dan seiring dengan itu, masing-masing sosok berpakaian kuning bersikap waspada. Mereka melihat sesosok tubuh berpakaian putih berdiri menghadang jalan.

Salah seorang dari tiga penunggang kuda terdepan, seorang lelaki tegap berkumis tebal, melompat turun. Indah dan manis gerakannya. Bahkan ketika kedua kakinya didaratkan di tanah, tidak terdengar bunyi yang berarti. Itu pertanda ilmu meringankan tubuhnya cukup tinggi.

Lalu dengan langkah dan sikap tenang, lelaki berkumis tebal itu menghampiri sosok berpakaian putih yang terdiri dalam jarak sepuluh tombak di depannya. Tindakan lelaki berkumis tebal yang menjadi pimpinan iring-iringan itu tidak luput dari perhatian rekan-rekannya dan sosok berpakaian putih.

Sosok berpakaian putih itu ternyata seorang pemuda yang berusia sekitar dua puluh lima tahun. Kulit wajahnya pucat seperti lama tidak terkena sinar matahari. Seperti juga lelaki berkumis tebal, pemuda itu pun bersikap tenang. Kedua tangannya tetap dilipat di depan dada.

"Maaf, Kisanak. Bisakah kau menyingkir sebentar? Kami hendak lewat, dan sedang memburu waktu. atas kesediaanmu kami mengucapkan terima kasih," ujar lelaki berkumis tebal pelan dan sopan.

"Bagaimana kalau aku tidak mau?!" sahut pemuda berpakaian putih dingin.

Seketika itu pula wajah lelaki berkumis tebal berubah. Sepasang matanya berkilat marah. Tapi hanya sebentar, sesaat kemudian raut wajahnya kembali seperti biasa. Rupanya lelaki berkumis tebal itu mampu menguasai perasaannya.

"Maaf, Kisanak. Mungkin perlu kau ketahui kami adalah orang-orang Perguruan Harimau Terbang. Kebetulan aku pemimpin rombongan ini. Namaku Kulana! Saat ini kami sedang mendapat tugas yang harus cepat kami laksanakan. Kami tidak mempunyai banyak waktu. Sekali lagi kuminta kau menyingkir dari tempatmu, Kisanak. Berilah kami kesempatan untuk lewat."

"Cuhhh!" Tanggapan dari pemuda berpakaian putih adalah semburan ludah ke tanah. Kasar dan menjijikkan sekali caranya. "Siapa pun kalian aku tidak peduli! Dari Perguruan Harimau Terbang atau Perguruan Macan Ompong bukan urusanku! Yang jelas kalau ingin lewat jalan ini kalian harus menyingkirkan aku!"

"Keparat!" Terdengar makian keras penuh kemarahan. Disusul kemudian dengan melompatnya seorang penunggang kuda yang tadi berada di sebelah Kulana. Dia seorang lelaki bertubuh pendek kekar.

"Biar aku yang melemparkan pemuda sombong itu, Kakang!" pinta lelaki pendek kekar ketika telah berada di dekat Kulana.

Kulana tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah lelaki pendek kekar itu sejenak. "Baik! Tapi hati-hati, Cakra! Jangan bertindak sembrono. Aku yakin dia bukan orang sembarangan," beri tahu lelaki berkumis tebal seraya melangkah mundur memberi kesempatan pada rekannya.

"Mengapa harus membuang-buang waktu?! Lebih baik kalian semua maju bersama!" tantang pemuda berpakaian putih tanpa menyembunyikan rasa sombong. Hingga semua orang yang berada di dalam rombongan Perguruan Harimau Terbang gusar.

Hal yang sama pun dialami Cakra! Kemarahannya semakin berkobar mendengar sesumbar lawan. Maka diputuskan segera melaksanakan maksudnya. "Manusia sombong! Awas seranganku ! Hih!"

Cakra membuka serangan dengan sebuah tendangan lurus ke arah dada. Deru angin cukup keras mengiringi tibanya serangan itu, pertanda tenaga dalamnya cukup tinggi. Tapi pemuda berpakaian putih tetap bersikap tenang. Tidak terlihat tanda-tanda dia akan melakukan tindakan. Baik tangkisan maupun elakan.

Malah begitu serangan Cakra menyambar semakin dekat, pemuda berpakaian putih menurunkan kedua tangannya. Sebuah tindakan yang membuat ancaman bahaya semakin besar. Karena bagian dadanya terbuka lebar.

Karuan saja semua orang yang berada di situ terkejut. Tidak terkecuali Cakra! Sudah gilakah pemuda berpakaian putih itu! Kalau tidak, mana mungkin membiarkan serangan lawan menghantamnya? Ataukah dia memiliki kepandaian yang demikian tinggi sehingga berani menerima serangan lawan?

Pertanyaan-pertanyaan itu menggayuti semua kepala anggota rombongan Perguruan Harimau Terbang. Sekarang mereka menunggu kenyataan yang akan terjadi dengan perasaan tegang. Dan mereka tidak perlu menunggu terlalu lama untuk membuktikan kenyataan itu. Sesaat kemudian....

Bukkk!

Telak dan keras sekali kaki Cakra mendarat di dada pemuda berpakaian putih. Akibatnya benar-benar mengejutkan! Seharusnya pemuda berpakaian putih itu kesakitan. Tapi yang terjadi sebaliknya. Cakralah yang menjerit-jerit kesakitan sambil memegangi kakinya.

Pemuda bertubuh pendek kekar itu merasakan kakinya bukan menghantam tubuh manusia yang terdiri dari daging dan tulang. Tapi, mengenai bongkahan baja keras! Rasa sakit yang sangat langsung menderanya.

Tentu saja rekan-rekan Cakra terkejut bukan main melihat kenyataan itu. Sekarang mereka sadar kalau pemuda berpakaian putih memiliki kepandaian tinggi. Seketika itu pula, bagai diberi perintah, mereka melompat dari punggung kuda masing-masing. Sudah dapat diduga maksudnya! Apalagi kalau bukan ingin membantu Cakra? Tapi....

"Hentikan! Jangan ada seorang pun yang berpindah dari kedudukan masing-masing!"

Seruan Kulana membuat anggota rombongan Perguruan Harimau Terbang yang berada di samping dan belakang kereta menghentikan tindakan. Mereka menyadari adanya kebenaran dalam ucapan itu.

"Ha ha ha...! Mengapa berhenti? Tidak usah malu-malu! Teruskan saja maksud kalian untuk mengeroyokku agar pertarungan jadi lebih menarik! Ha ha ha...!" pemuda berpakaian putih mengeluarkan perkataannya dengan penuh ejekan. Sikapnya terlihat sangat memandangang rendah.

"Siapa kau, Kisanak?! Mengapa tanpa alasan kau mengganggu kami?! Setahuku Perguruan Harimau Terbang tidak mempunyai urusan denganmu!" ujar Kulana sambil melangkah maju. Sedikit pun tidak dipedulikannya sikap sombong pemuda berpakaian putih.

"Ha ha ha...!" lagi-lagi pemuda berpakaian putih tertawa sebelum menjawab pertanyaan Kulana. "Terima kasih atas pertanyaanmu, Monyet Jelek! Memang aku lupa memperkenalkan diri! Nah! Dengarkan baik-baik! Namaku Sangkala! Kau dengar?!"

"Sangkala?!" gumam Kulana dengan dahi berkerut. Lelaki berkumis tebal ini mencoba mengingat-ingat barangkali pernah didengarnya tokoh persilatan yang mempunyai nama demikian. Tapi sampai lelah dia menguras benaknya tidak didapatkannya tokoh persilatan yang mempunyai nama seperti itu.

"Kau belum mengemukakan alasanmu menghadang perjalanan kami, Sangkala?!" ujar Kulana mengingatkan.

"Sederhana saja, Kulana," timpal Sangkala tenang.

"Apa?!"

"Membunuh kalian!"

"Keparat!" maki Kulana geram merasa dipermainkan Sangkala. Dan....

Srattt!

Sinar terang menyilaukan mata berpendar ketika pimpinan rombongan Perguruan Harimau Terbang mencabut pedangnya. Kejadian yang menimpa Cakra menyebabkan Kulana tanpa ragu-ragu menghunus senjata. Apalagi menyadari Sangkala seorang lawan yang tangguh.

"Hm!" Sebuah dengusan pendek Sangkala menyambuti tindakan Kulana. Seperti juga sebelumnya, pemuda berpakaian putih itu tetap bersikap tenang seolah tidak ada bahaya maut mengancamnya.

"Cabut senjatamu, Sangkala!" seru Kulana melihat pemuda berpakaian putih itu masih berdiam diri.

"Tidak usah berlagak gagah, Kulana!" ejek Sangkala, "Seranglah aku! Jangan ragu-ragu untuk mengeluarkan seluruh kemampuanmu."

"Sombong! Ingat, Sangkala! Bukan aku yang bertindak curang menyerang lawan yang tidak bersenjata. Tapi kau sendiri yang mengabaikan kesempatan yang kuberikan!"

"Tidak usah banyak bicara! Kalau kau memang bukan pengecut, serang aku!" tandas Sangkala tidak peduli.

Wajah Kulana langsung merah padam. Sepasang matanya berkilat-kilat memancarkan amarah. Geram melihat sikap Sangkala yang terlalu sombong. Maka....

"Hiaaat..!" Diawali teriakan nyaring yang membuat suasana di sekitar tempat itu bergetar hebat Kulana melancarkan serangan perdananya. Pedangnya ditusukkan ke arah leher Sangkala!

Cittt!

Bunyi mencicit dari udara yang robek terdengar ketika pedang Kulana meluncur menuju sasaran. Cepat bukan main luncuran serangan itu. Tapi masih lebih cepat gerakan Sangkala. Hanya dengan memiringkan kepalanya ke kanan, tanpa bergeser dari tempatnya semula, Sangkala membuat serangan itu kandas. Ujung pedang Kulana lewat beberapa jari di sebelah kiri leher Sangkala.

Melihat serangan perdananya berhasil dielakkan lawan dengan mudah, Kulana jadi penasaran. Segera dikirimkan serangan susulannya. Pedangnya diayunkan mendatar ke arah leher!

Wuttt!

Untuk yang kedua kalinya babatan pedang Kulana hanya mengenai angin. Sangkala telah menarik kepalanya ke belakang. Dan hebatnya gerakan itu dilakukan tanpa menggeser kaki!

Tapi Kulana tidak putus asa. Bahkan sebaliknya! Serangan-serangan yang dikirimkannya semakin dahsyat. Pedangnya berkelebatan cepat mengancam berbagai bagian berbahaya di tubuh Sangkala. Disertai bunyi mencicit yang menyakitkan telinga.

Berturut-turut Kulana melancarkan serangan dahsyat. Tapi semua berhasil dipunahkan Sangkala dengan mengelak tanpa menggeser kaki! Laksana bayangan, tubuhnya digerakan ke sana kemari mengelakkan serangan Kulana.

"Hih!" Kulana menggertakkan gigi. Rasa marah dan sakit hati berkecamuk di hatinya melihat serangan demi serangan yang dikirimkan dipatahkan lawan dengan demikian mudah.

"Sekarang giliranku!"

Di antara bunyi riuh rendah berkelebatannya pedang Kulana terdengar seruan Sangkala. Tapi Kulana yang tengah dilanda amarah tidak mempedulikannya. Lelaki berkumis tebal itu terus melancarkan serangan. Pedang di tangannya dikelebatkan ke berbagai bagian berbahaya di tubuh Sangkala. Namun....

Tappp!

"Akh!"

DUA

Jeritan pendek bernada kaget keluar dari mulut Kulana ketika batang pedangnya berhasil dicengkeram Sangkala. Kejadiannya berlangsung sangat cepat dan tidak terduga-duga.

Meskipun demikian Kulana tidak kehilangan akal. Secepat batang pedangnya tercengkeram secepat itu pula ditariknya seraya mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Tergambar di benaknya jari-jari Sangkala putus tersayat mata pedangnya. Paling tidak tangan itu terluka! Dan bila hal itu terjadi Sangkala pasti akan melepaskan cengkeramannya.

Tapi harapan Kulana pupus. Pedang itu sekali pun tidak bergeming dari cengkeramana Sangkala, Seolah bukan dicengkeram tangan manusia tapi jepitan baja! Betapa pun dikerahkan seluruh tenaganya, tetap saja tidak bergeming! Meskipun demikian Kulana tidak putus asa. Maksudnya tetap diteruskan sampai wajahnya merah padam dan napasnya terengah-engah.

Berbeda dengan Kulana, keadaan Sangkala biasa saja. Tidak terlihat tandatanda pemuda itu mengerahkan tenaganya. Raut wajahnya tetap seperti semula. Tenang dan dingin. Semua kejadian itu disaksikan dengan jelas oleh semua anggota Perguruan Harimau Terbang. Terutama Cakra dan rekannya yang berada di bagian depan. Tanpa diberitahu mereka mengerti pimpinannya berada dalam kedudukan yang tidak menguntungkan!

Sadar jika keadaan itu dibiarkan akan membahayakan keselamatan Kulana, Cakra dan rekannya segera bertindak! Bagai telah disepakati sebelumnya, keduanya menghunus senjata dan melompat ke dalam kancah pertarungan.

Sing sing sing...!

Bunyi mendesing terdengar ketika dua batang pedang itu meluncur ke arah leher Sangkala. Cakra mengirimkan serangan dari sebelah kanan, sedangkan rekannya dari kiri. Kedua serangan itu dilakukan dari atas. Tindakan itu seperti gerakan seekor burung garuda hendak menerkam mangsa.

Hebat dan cepat serangan gabungan ini. Namun tanggapan yang diberikan Sangkala jauh lebih cepat. Sekali jari-jari tangannya yang mencengkeram, bergerak terdengar bunyi 'tak', disusul patahnya pedang Kulana! Padahal saat itu Kulana tengah bersitegang menarik senjatanya!

Kelanjutan kejadian itu sudah dapat diduga! Kulana terdorong deras ke belakang terbawa tenaga tarikannya. Potongan pedangnya tergenggam di tangan! Di saat itulah Sangkala bertindak! Tangan kanannya dikibaskan!

Singngng!

Seketika itu pula potongan pedang Kulana meluncur dalam kecepatan tinggi ke arah pemiliknya! Sementara Kulana masih terbawa tenaga tarikannya. Keadaan pimpinan rombongan Perguruan Harimau Terbang sangat berbahaya. Tindakan Sangkala tidak berhenti sampai di situ. Kedua tangannya disampokkan ke atas.

Trakkk, trakkk, cappp!

"Akh...!" Luar biasa! Dalam waktu sekejap rentetan peristiwa itu terjadi! Kegagalan Cakra dan rekannya karena serangan mereka berhasil dipunahkan Sangkala dengan sampokan tangannya yang membuat pedang mereka patah hampir bersamaan dengan amblasnya potongan pedang Kulana di perut majikannya sendiri. Kulana memekik kesakitan!

"Kakang...!" Cakra dan rekannya menjerit kaget melihat kejadian yang menimpa Kulana. Jeritan itu langsung keluar begitu keduanya berhasil mematahkan kekuatan yang membuat tubuh mereka melayang akibat sampokan Sangkala.

Seiring keluarnya jeritan itu Cakra dan rekannya meluruk ke arah Kulana yang berdiri limbung sambil memegangi perutnya. Sungguh tangguh daya tahan Kulana. Dia mampu berdiri di tanah dengan kedua kaki.

Padahal potongan pedang amblas di dalam perutnya. Bukan hanya Cakra dan rekannya yang meluruk ke arah lelaki berkumis tebal itu. Anggota rombongan Perguruan Harimau Terbang yang lainnya pun melakukan hal yang sama. Sedangkan Sangkala hanya tertawa-tawa.

Tawa gembira penuh dengan nada ejekan. Masih dengan tawa yang tidak putus, Sangkala memperhatikan semua kesibukan rombongan Perguruan Harimau Terbang. Tampak olehnya, Cakra dan kawan-kawannya mengerumuni Kulana. Tubuh pimpinan rombongan Perguruan Harimau Terbang itu setengah terbaring di tanah. Kalau tidak ada tangan Cakra yang menegakkan punggungnya, pasti tubuh Kulana terbaring.

"Kakang...! Kuatkan hatimu...! Kau akan sembuh, Kang," ucap Cakra terbata-bata dengan suara bergetar. Terlihat jelas kesedihan Cakra, baik dalam nada suara maupun tarikan wajahnya. Gambaran perasaan yang sama membias di wajah semua anggota Perguruan Harimau Terbang.

"Tidak, Cakra, Hhh... hhh.... Aku ti... tidak kuat lagi. Hhh... hhh.... Lak., laksanakan tugas kalian se... sebaik-baiknya. Dan... akh...!" Seiring dengan terkulainya kepala Kulana nyawanya pun melayang ke alam baka.

"Kang...! Kakang Kulana...!" Dengan kalap Cakra mengguncang-guncangkan tubuh Kulana. Sikap lelaki pendek kekar itu menunjukkan ketidakrelaannya akan kematian Kulana. Sebab Kulana adalah kakak kandung Cakra!

Tawa gembira penuh ejekan membuat Cakra dan rekan-rekannya teringat kembali akan keberadaan Sangkala. Seiring dengan itu, perasaan geram dan keinginan untuk membalas dendam pun timbul.

"Tenangkanlah hatimu, Kang. Akan kubalaskan semua sakit hatimu!" sambil berkata demikian, dengan hati-hati Cakra membaringkan tubuh Kulana di tanah. Kemudian dirinya kembali berdiri dan menatap Sangkala. Terlihat jelas sinar kemarahan dan kebencian di sana!

"Kubunuh kau, Iblis Keji!" desis Cakra dengan suara bergetar. Lalu....

Srattt! Sinar terang berpendar ketika lelaki pendek kekar yang tengah dilanda amarah itu mencabut pedangnya.

Bukan hanya Cakra yang menghunus senjata. Enam rekannya pun melakukan tindakan yang sama. Dalam cekaman perasaan marah, rombongan Perguruan Harimau Terbang seperti tidak mempedulikan sikap gagah lagi.Walaupun lawan yang akan dihadapi hanya seorang dan bertangan kosong. Sementara, mereka berjumlah tujuh orang! Dan masih ditambah lagi dengan senjata di genggaman! Kelihatan sangat tidak adil!

Tapi Sangkala tidak mempedulikan hal itu. Sikap yang ditunjukkannya malah menyiratkan dia memandang remeh lawan-lawannya. Pemuda itu tetap tenang, meskipun rombongan Perguruan Harimau Terbang telah melakukan penyerangan.

"Hiaaat...!" Diawali teriakan keras, Cakra yang sudah tidak kuat menahan amarahnya mulai bergerak. Rekan-rekannya mengikuti. Mereka tahu Cakra bukan tandingan Sangkala yang hebat. Kalau tidak dibantu, lelaki pendek kekar itu akan tewas di tangan lawan.

Pertarungan pun tidak bisa dihindarkan lagi. Tujuh orang gagah dari Perguruan Harimau Terbang menyerang laksana macan luka. Pedang-pedang di tangan mereka berkelebat cepat mengancam berbagai bagian tubuh Sangkala.

Tapi Sangkala tetap tenang. Ditunggunya hingga serangan-serangan itu menyambar dekat. Baru setelah hampir menyentuh tubuhnya, pemuda berpakaian putih itu memberikan tanggapan.

Menggiriskan sekali tindakan Sangkala! Babatan, tetakan, dan tusukan senjata lawan dipapakinya dengan tangan kosong. Bunyi berdetak keras seperti logam-logam keras beradu terdengar ketika sepasang tangan Sangkala berbenturan dengan senjata-senjata lawan.

Kedua tangan Sangkala sedikit pun tidak terluka! Malah sebaliknya, setiap kali terjadi benturan, tubuh anggota Perguruan Harimau Terbang terhuyung-huyung ke belakang.

Meskipun demikian, mereka tidak gentar. Tanpa mempedulikan rasa sakit, rombongan Perguruan Harimau Terbang kembali melancarkan serangan. Pertarungan sengit kembali berlanjut.

Tapi setelah pertarungan berlangsung hampir sepuluh jurus, rombongan Perguruan Harimau Terbang harus mengakui kehebatan Sangkala. Sebenarnya sejak semula pun sudah dapat diketahui kalau Sangkala terlalu tangguh untuk dihadapi mereka. Cakra dan kawan-kawannya tak ubahnya semut-semut yang menerjang api, roboh sebelum berhasil mendekati sasaran.

"Ha ha ha...! Hanya sampai di sinikah kemampuan kalian? Benar-benar mengecewakan!" ujar Sangkala keras mengatasi bisingnya suasana pertarungan. Jelas pemuda itu mengerahkan tenaga dalamnya.

Tidak ada tanggapan dari anggota rombongan Perguruan Harimau Terbang. Walaupun sebenarnya hati mereka terbakar karena perasaan geram yang melanda, yang dilakukan mereka hanya semakin memperhebat serangan. Tapi rupanya Sangkala tidak mempedulikan ada tanggapan atau tidak. Ini terbukti beberapa saat kemudian!

"Bersiaplah kalian! Sekarang aku akan membalas...!" usai berkata, Sangkala menjejakkan kaki. Seketika itu pula tubuhnya mencelat tinggi ke atas melewati kepala para pengeroyoknya. Lalu....

Jliggg!

Ringan laksana daun kering, Sangkala mendaratkan kedua kakinya di tanah di luar kepungan. Kemudian tanpa menunggu lebih lama lagi kedua tangannya dikembangkan seperti unggas membuka sayap.

Sangkala menyusun jari-jarinya membentuk cakar aneh. Kaki kanannya berada di depan agak dijinjitkan. Sedangkan kaki kirinya di belakang sedikit menekuk. Inilah jurus 'Kelelawar' andalannya. Cukup aneh pembukaan jurus 'Kelelawar' Sangkala. Tak heran jika rombongan Perguruan Harimau Terbang terkejut bercampur heran.

Tapi hanya sesaat Cakra dan kawan-kawannya dikungkung perasaan heran. Kemudian dengan diawali teriakan-teriakan keras memekakkan telinga, mereka meluruk ke arah Sangkala. Pedang di tangan mereka siap dikelebatkan.

"Cit, cit, cit!"

Bunyi mendecit terdengar dari mulut Sangkala. Nyaring dan menyakitkan telinga. Belum lagi gema suara itu lenyap, Sangkala melakukan tindakan yang sama dengan lawan-lawannya. Pemuda itu memapaki serbuan rombongan Perguruan Harimau Terbang.

Melihat kenyataan itu, Cakra tidak tinggal diam. Tanpa membuang-buang waktu mereka segera menyambut papakan Sangkala dengan ayunan pedang.

Sing sing sing...!

Crat, crat, crat!

"Akh, akh, akh...!"

Rentetan kejadian itu berlangsung demikian cepat sehingga sulit untuk dirinci. Yang jelas, jeritan menyayat itu keluar susul-menyusul dari mulut rombongan Perguruan Harimau Terbang. Tubuh mereka berpentalan ke belakang. Jatuh berdebuk di tanah. Berkelojotan sejenak sebelum akhirnya diam untuk selamanya. Cakra dan rekan-rekannya tewas dengan mengenaskan. Cakar-cakar Sangkala telah meminta korban.

"Ha ha ha...!"

Sangkala tertawa tergelak keras dan penuh kegembiraan. Dipandanginya mayat ketujuh lawannya sejenak. Mereka korban kedahsyatan jurus 'Kelelawar'nya.

Jurus 'Kelelawar' memang sangat dahsyat! Dalam penggunaan ilmu itu tubuh Sangkala jadi demikian ringan. Kecepatan geraknya menakjubkan. Dengan mengandalkan kecepatan gerak itulah Sangkala berhasil membinasakan lawan-lawannya. Ketujuh anggota Perguruan Harimau Terbang tewas terkena sambaran cakar pemuda berpakaian putih itu.

Masih dengan tawa yang belum putus Sangkala mengalihkan perhatian ke arah kereta. Pertama kali yang dilihatnya adalah kusir kereta. Lelaki anggota Perguruan Harimau Terbang itu meremang bulu kuduknya. Nyalinya langsung menciut. Disadarinya dia bukan tandingan Sangkala yang sangat menggiriskan! Keyakinan akan ketidak-mampuan dirinya membuat kusir itu mengambil tindakan pengamanan. Inilah tindakan yang diambil.

Ctar, ctar, ctar!

"Hiya! Hiyaaa...!"

Dengan perasaan kalap yang tergambar jelas di wajahnya, lelaki itu menggebah kuda. Binatang tunggangan itu pun berlari.

"Hmh!" Sangkala mendengus melihat tindakan sang Kusir! Dengan sorot mata bengis tangannya ditudingkan ke arah binatang penghela kereta.

"Cit, cit, cit!"

Terdengar bunyi mendecit yang menyakitkan telinga. Sesaat kemudian, akibat yang mengagumkan segera terjadi. Lari kuda penarik kereta langsung berhenti.

Kusir kereta tampak sangat kebingungan. Perasaan takut yang mendera membuatnya tidak dapat berpikir panjang. Cambuk di tangannya dilecutkan ke bagian belakang tubuh kuda!

Ctar, ctar, ctar!

Keras bukan main bunyi yang terdengar. Sang Kusir telah mengerahkan segenap tenaganya. Tapi sampai lelah dia melecutkan cambuknya kuda itu tetap diam! Hingga lelaki itu sadar tindakannya sia-sia. Meskipun tidak mengetahui bagaimana hal itu terjadi, tapi dia yakin Sangkala telah menotok kudanya dari jauh!

Kusir kereta itu pun menjadi nekat. Pedang yang tergantung di punggungnya segera dicabut lalu melompat turun.

Jliggg!
Begitu kedua kakinya menginjak tanah, secepat itu pula ia melancarkan serangan ke arah Sangkala. Pedangnya diputar seperti kitiran, kemudian ditusukkan ke dada lawan. Sangkala tersenyum mengejek melihat serangan itu. Ditunggunya hingga dekat, baru kemudian tangannya bergerak cepat.

Tappp!

Mata pedang anggota Perguruan Harimau Terbang itu berhasil ditangkap Sangkala. Dan sebelum lawannya sempat berbuat sesuatu, Sangkala telah bertindak lebih dulu. Sebagian tenaga dalamnya dikerahkan untuk mendorong pedang yang dicengkeramnya. Akibatnya....

Cappp!

"Akh...!" Kusir kereta yang malang itu mengeluarkan jeritan menyayat ketika pedangnya menancap di perut hingga tembus ke punggung. Tentu saja dengan gagang lebih dulu. Wajah sisa anggota Perguruan Harimau Terbang menegang menahan rasa sakit yang sangat. Sepasang matanya membelalak lebar.

Namun itu hanya berlangsung sekejap. Begitu Sangkala melepaskan cekatannya, tubuh kusir itu pun ambruk Dan seiring dengan robohnya tubuh itu nyawanya melayang ke alam baka!

"Ha ha ha...!"

Entah untuk yang keberapa kali Sangkala mengumbar tawa kegembiraan. Hanya kali ini lebih singkat dari sebelumnya. Setelah menghentikan tawa, Sangkala mengayunkan langkah menghampiri kereta kuda. Kelihatannya sembarangan saja kakinya dilangkahkan, tapi hasil yang dicapai benar-benar menakjubkan! Sekali mengayun kaki pemuda itu telah berada di dekat kereta.

"Hih!"

Brakkk! Daun pintu kereta lepas dengan menimbulkan bunyi keras ketika tangan Sangkala yang berisi tenaga dalam menariknya.

"Auwww...!" Teriakan melengking nyaring terdengar seiring jebolnya pintu kereta. Jeritan itu menunjukkan pemiliknya seorang wanita!

Dugaan itu memang tidak salah! Di dalam kereta duduk dengan tubuh menggigil seorang gadis berusia sekitar dua puluh tahun. Meskipun sebagian wajahnya tertutup oleh kedua tangan, tampak wajahnya yang cantik. Kulitnya putih, halus, dan mulus. Pakaian indah berwarna hijau pupus membungkus tubuh montoknya. Agaknya gadis itu berasal dari keluarga berada.

"Hmh!" Sorot kekejaman segera membayang di wajah dan sepasang mata Sangkala ketika melihat isi kereta.

Sementara gadis berpakaian hijau semakin ketakutan. Disadarinya ada bahaya mengancam. Maka tanpa pikir panjang, masih dengan jeritan-jeritan minta tolong, dibukanya pintu kereta yang lain.

Kriiit...!

Seiring dengan terbukanya pintu kereta, gadis berpakaian hijau melompat keluar. Sudah bisa diduga maksudnya. Apalagi kalau bukan hendak Melarikan diri?

"Akan lari ke mana kau, Makhluk Jahanam?!" desis Sangkala penuh ancaman. Tidak hanya itu saja! Tanpa merasa kasihan sedikit pun, diambilnya sebutir kerikil dan dilemparkan ke arah gadis berpakaian hijau.

Wuttt! Tukkk!

"Akh!" Tubuh gadis berpakaian hijau tersungkur ke tanah diiringi jeritan kesakitan. Batu yang dilemparkan Sangkala mengenai belakang lututnya. Gadis berpakaian hijau itu belum sempat berbuat sesuatu ketika Sangkala melesat menyambar tubuhnya dan membawanya kabur.

"Tolooong...! Lepaskan aku, Iblis Keji...!" teriak gadis berpakaian hijau, kalap.

Tapi Sangkala tidak peduli. Pemuda itu terus berlari. Hanya beberapa kali lesatan, tubuhnya telah lenyap dari tempat itu.

* * *

TIGA

"Apa kau mendengarnya, Melati?" tanya seorang pemuda berpakaian ungu sambil menghentikan ayunan langkahnya. Saat itu pemuda berpakaian ungu tengah berjalan bersisian dengan seorang gadis berpakaian putih di dalam sebuah hutan.

"Mendengar apa, Kang?" gadis berpakaian putih yang dipanggil Melati balas bertanya. Sepasang matanya yang bening dan indah menatap wajah pemuda berpakaian ungu penuh selidik.

Pemuda berpakaian ungu yang berambut panjang, berwarna putih keperakan tidak segera menjawab. Dia tercenung sejenak seperti tengah memikirkan sesuatu.

"Teriakan minta tolong. Apa kau mendengarnya?" tanya pemuda berambut putih keperakan lebih jelas.

"Tidak, Kang Arya," jawab Melati setelah menelengkan kepala sebentar untuk mendengar jeritan yang dimaksud.

"Sekarang memang sudah tidak terdengar lagi, Melati," jawab pemuda berpakaian ungu yang tidak lain Arya Buana yang berjuluk Dewa Arak.

"Sejak tadi pun aku tidak mendengar apa-apa. Sebenarnya..., apakah kau mendengarnya, Kang?" Melati jadi penasaran.

"Benar, Melati," Arya menganggukkan kepala, "Memang samar dan tidak begitu jelas. Tapi, aku tahu orang yang meminta tolong itu seorang wanita. Nadanya melengking tinggi. Sepertinya dia sangat ketakutan!"

"Apakah tidak mungkin kau salah dengar saja. Kang?" Melati meragukan pendengaran kekasihnya.

"Aku yakin tidak salah dengar, Melati," mantap dan tegas kata-kata Arya.

"Kalau begitu, apa lagi yang harus ditunggu? Ayo kita selidiki, Kang!" ajak Melati penuh semangat.

Sambil berkata demikian, gadis berpakaian putih itu bersiap-siap melesat meninggalkan tempat itu. Tapi, sekujur urat-urat saraf dan otot-otot tubuhnya yang telah menegang langsung mengendur kembali. Arya tidak menunjukkan tanda-tanda akan meninggalkan tempat itu.

"Suara yang tertangkap telingaku terlalu lemah, Melati. Jadi tidak bisa kupastikan dari mana datangnya. Kalau saja terdengar lagi, meskipun hanya sekali, mungkin bisa kuketahui arahnya," Arya menerangkan keengganannya melakukan pengejaran.

"Bagaimana kalau kita mencarinya, Kang? Aku yakin asalnya dari hutan ini!" usul Melati bersemangat.

Pemuda berambut putih keperakan menatap wajah kekasihnya sebentar sebelum menganggukkan kepala menyetujui. "Asal kau tahu saja, Melati. Hutan ini cukup luas. Mencari asal suara tadi tanpa mengetahui arahnya seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami! Sulit!"

"Tapi... biar bagaimanapun itu lebih baik daripada kita berdiam diri di sini, Kang!" bantah Melati tak mau kalah, "Aku yakin... kita akan berhasil menemukan sumber suara itu. Mudah-mudahan kita dapat menolongnya?"

"Yang kau katakan tidak salah, Melati," sahut Arya membenarkan. "Mari kita cari sumber jeritan itu."

Melati menyunggingkan senyum manis. Sesaat kemudian, sepasang muda-mudi itu mulai melakukan pencarian. Mereka mencari dengan lambat karena mereka tidak tahu arah yang harus ditempuh. Sambil menindakkan kaki, pendengarannya dipasang tajam-tajam. Itu dilakukan karena sepercik harapan yang bergayut di hati. Barangkali saja jeritan itu kembali terdengar.

Cukup lama juga pasangan pendekar muda itu mencari. Tak jarang mereka harus memapas semak-semak yang menghalangi jalan mereka. Sampai akhirnya....

"Melati...," sapaan Arya membuat gadis berpakaian putih itu menoleh.

"Ada apa, Kang?" tanya Melati ingin tahu. Gadis itu tahu Arya tidak akan memanggilnya bila tidak ada sesuatu yang ingin diberitahu.

"Lihat itu, Melati," jawab Arya menudingkan telunjuknya ke tanah.

Melati mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjuk kekasihnya. Gadis itu melihatnya. Ada lekukan selebar dua jari di tanah tidak tertutup rumput. Lekukan itu memanjang. Jumlahnya tidak satu, tapi dua. Jarak antara keduanya terpisah sekitar setengah tombak.

"Bukankah ini bekas gilasan roda kereta, Kang?" duga Melati meminta pendapat kekasihnya.

"Benar, Melati," jawab Arya menganggukkan kepala.

"Berarti mulai ada titik terang yang dapat membantu kita menuju sasaran, Kang."

"Kira-kira begitu, Melati," Arya memberikan persetujuan. "Aku yakin bekas roda kereta ini mempunyai hubungan dengan asal jeritan yang sedang kita selidiki."

"Benar, Kang," dukung Melati atas dugaan Arya, "Bahkan aku mempunyai dugaan."

"Dugaan Apa, Melati? Katakanlah, jangan ragu-ragu," timpal Arya memberi dorongan.

"Jeritan yang kau dengar berasal dari orang yang menaiki kereta ini. Dia menjerit karena dicegat perampok-perampok?!" urai Melati.

Arya mengangguk-anggukkan kepala. Tampaknya pemuda itu menyetujui dugaan yang diajukan Melati.

"Sekarang titik terang telah berhasil kita dapatkan. Melati. Hanya saja yang menjadi tanda tanya, arah mana yang harus kita tempuh? Ingat, kita tidak lahu arah yang ditempuh kereta kuda ini. Yang jelas salah satunya adalah tempat asal kepergiannya. Jadi, jangan sampai kita salah memilihnya. Kupercayakan padamu arah yang harus kita tempuh. Bagaimana, Melati. Mana arah yang harus dipilih?"

Mendapat kepercayaan itu, Melati tidak berani bertindak sembarangan. Disadarinya kalau arah yang diambil benar, mereka akan menemukan pemilik suara itu. Bahkan bukan tidak mungkin dapat menyelamatkannya.

Itu sebabnya Melati tidak segera menjawab. Diperhatikannya guratan roda kereta itu beberapa saat. Melati berjongkok untuk melihat lebih jelas tanda-tanda yang ada. Beberapa saat kemudian, Melati berhasil menetapkan pilihan.

"Kupilih yang ini, Kang!" tunjuk Melati.

"Kalau begitu, mari kita bergegas!" sambut Arya cepat.

Pemuda berambut putih keperakan itu tidak perlu menunggu lama untuk mendapatkan tanggapan atas ajakannya. Melati langsung melangkah lebar mengikuti jejak-jejak yang terlihat.

Arya dan Melati harus berhati-hati sekali. Bebarapa kali jejak roda kereta itu tidak tampak. Bahkan tidak berbekas sama sekali ketika melewati tanah berumput tebal. Tapi syukurlah berkat keuletan mereka pencaharian itu sampai pada tempat Sangkala melakukan penghadangan.

"Kakang! Lihat...!" seru Melati sambil menudingkan jari telunjuk kanannya ke depan.

Sebenarnya tanpa diberitahu, Arya melihat semua itu. Pemandangan itu demikian mencolok! Sehingga meskipun jarak mereka masih sepuluh tombak, telah terlihat cukup jelas.

Cukup menggiriskan hati, pemandangan yang terpampang di hadapan sepasang pendekar muda berwajah elok itu. Mayat-mayat anggota Perguruan Harimau Terbang berserakan di sana-sini dalam keadaan mengenaskan. Sementara tak jauh dari situ tampak sebuah kereta dengan binatang penghelanya yang masih berdiri kaku seperti patung.

Melati yang mempunyai watak tidak sabarar, segera mengayunkan kaki mendekati tempat bergeletakannya mayat-mayat itu. Tapi...

"Tunggu, Melati!" teriakan itu membuat Melati menghentikan maksudnya. Ditolehnya Arya dengan sorot mata penuh pertanyaan. "Jangan bertindak gegabah. Siapa tahu pelaku semua kekejian ini belum pergi!" Arya menjelaskan maksud cegahannya.

Melati terdiam. Ada kebenaran yang tidak bisa dibantah dalam ucapan kekasihnya. Maka meskipun kakinya tetap diayunkan mendekati tempat mayat-mayat itu tergolek, tindakannya lebih berhati-hati.

Bukan hanya gadis berpakaian putih itu saja yang bersikap waspada. Dewa Arak pun demikian. Sekujur otot dan urat saraf mereka menegang. Pendengaran dan penglihatan mereka dipasang setajam mungkin, siap menghadapi segala kemungkinan.

Tapi tindakan hati-hati yang dilakukan sepasang pendekar muda itu sia-sia. Sampai mereka berada dekat dengan mayat Kulana serta rekan-rekannya, kejadian yang tidak diharapkan tidak terjadi. Keadaan tetap aman.

"Bagaimana, Kang? Apa yang dapat kau simpulkan dari mayat-mayat ini?" tanya Melati tetap dengan sikap waspada.

Dewa Arak tidak segera memberikan tanggapan. Pemuda itu tercenung beberapa saat mencari jawaban. "Tidak banyak, Melati. Tapi yang jelas dugaanmu harus diperbaiki. Tidak benar orang-orang ini terbunuh karena dicegat perampok."

"Yaaah...!" desah Melati pelan. "Rasanya kau benar, Kang. Mayat-mayat itu sepertinya berasal dari satu kelompok. Kurasa kepandaian mereka cukup tinggi. Jadi andaikata yang melakukan penghadangan perampok-perampok hutan ini, sudah pasti bila terjadi perkelahian di antara mereka ada yang tewas! Padahal kenyataannya tidak. Berarti bukan perampok yang telah mencegat perjalanan kelompok ini"

"Aku pun menduga demikian, Melati," dukung Arya, "Kalau tidak satu tentu ada beberapa tokoh rimba persilatan yang mencegat perjalanan mereka. Karena lawan terlalu kuat, mereka dapat dibinasakan."

"Aku setuju dengan dugaanmu, Kang. Kukira pun demikian!" seru Melati keras.

Dewa Arak hanya mengangkat bahu, "Sekarang tinggal satu lagi yang belum kita periksa yaitu kereta! Aku yakin orang yang berada di dalam kereta merupakan tokoh penting. Buktinya dia dikawal!"

"Apakah dia pun mengalami nasib serupa. Kang?!"

"Jawaban itu hanya bisa diperoleh kalau kita menyelidiki kereta itu, Melati," ucap Arya.

Melati sekilas mengalihkan pandangan ke arah kereta kuda, "Sepertinya tidak ada kehidupan di sana. Jangan-jangan orang yang berada di dalam kereta telah tewas. Lihat saja keadaan pintunya?!"

Arya diam saja. Apa yang dikatakan Melati benar. Tidak ada tanda kehidupan dari kereta kuda itu. Meskipun demikian, Dewa Arak dan Melati tetap mendekati kereta. Masih dengan sikap hati-hati. Maka....

"Kosong...?!" desis Arya dan Melati hampir bersamaan ketika telah berada tepat di samping kereta.

"Hm...!" Dewa Arak bergumam sambil mengangguk-anggukkan kepala. Diperhatikannya pintu kereta yang sudah tidak berdaun lagi. Tanpa ada yang menceritakan pun sudah bisa ditebak peristiwa yang telah terjadi.

"Isi kereta ini seorang wanita, Kang," ujar Melati. Melihat kekasihnya tercenung dengan pandangan tertuju pada bagian dalam kereta.

"Yah...," sahut Arya mendesah seraya mengangkat wajahnya. "Dialah yang berteriak-teriak minta tolong. Karena jaraknya terlampau jauh, tidak terdengar jelas."

Kali ini Melati tidak memberikan tanggapan. Gadis itu berdiam diri.

"Kita semakin mendekati sasaran, Melati. Mari teruskan pencarian kita...," sambung Arya seraya mengayunkan langkah meninggalkan tempat itu. Tanpa membantah Melati segera mengayunkan langkah, mengikuti Arya yang telah melangkah lebih dulu.

Untuk kedua kalinya Arya dan Melati harus berusaha keras. Masih sama dengan tujuan semula, mencari pemilik jeritan minta tolong. Sepasang pendekar itu melakukan pencarian dengan penuh seksama. Tak jarang semak-semak yang lebat dikuak. Mata mereka diedarkan ke sana kemari. Pendengarannya pun dipasang setajam mungkin agar dapat mendengar bunyi sepelan apa pun. Kesabaran serta kerja keras Dewa Arak dan Melati ternyata tidak sia-sia.

"Ah...!" Arya mengeluarkan seruan. Tapi lebih tepat keluhan. Suara yang dikeluarkan demikian pelan dan dibarengi dengan menundukkan wajah.

Tentu saja tindakan Arya membuat Melati merasa heran. Pandangannya diarahkan ke tempat pemuda berambut putih keperakan tadi memandang. Dan....

"Ikh...!" Jeritan kaget langsung keluar dari mulut Melati. Tanpa sadar tangan kanannya ditutupkan ke mulut.

Memang tidak aneh kalau Melati sampai demikian terkejut dan Arya menundukkan kepala! Tidak jauh dari mereka, dalam jarak sekitar tiga tombak, terpampang tubuh seorang gadis berpakaian hijau dalam keadaan mengerikan.

Betapa tidak? Tubuhnya menempel di sebatang pohon besar dengan kedudukan tangan dan kaki merentang, Keadaannya amat menggiriskan hati! Hampir sekujur tubuhnya dipenuhi darah oleh luka-luka sayatan.

Bahkan warna pakaiannya sebagian besar telah berganti merah karena noda darah. Itu pun kalau masih bisa disebut pakaian. Karena sudah robek di sana-sani. Keadaan gadis berpakaian hijau itu lebih mendekati orang yang tidak berpakaian.

"Biadab!" Setelah terdiam beberapa saat karena perasaan hatinya yang terguncang, keluar juga sebuah makian Melati. Tarikan wajah dan sorot matanya memancarkan kemarahan yang sangat.

"Keji!" sambung Arya geram, "Siapa pun pelakunya, dia tidak pantas dibiarkan hidup lebih lama!"

Dengan perasaan marah berkobar di dada, Arya dan Melati menghampiri. Jarak yang cukup jauh membuat mereka tidak dapat melihat mengapa tubuh gadis berpakaian hijau itu dapat menempel di batang pohon. Hanya dalam beberapa langkah pasangan pendekar muda itu dapat mengetahui kenyataan itu membuat kemarahan mereka semakin bergejolak.

"Iblis!"

Hampir bersamaan makian itu keluar dari mulut Arya dan Melati. Itu terjadi ketika keduanya telah melihat mengapa tubuh gadis malang itu dapat menempel pada batang pohon! Pada kedua telapak tangan dan kakinya ditancapkan ranting sebesar ibu jari yang tembus hingga ke batang pohon! Keji!

"Kalau aku tidak dapat menemukan dan membasmi iblis keji ini, biar aku mati saja!" janji Arya sungguh-sungguh. Untuk pertama kalinya Dewa Arak mengambil keputusan akan membunuh calon lawannya. Padahal tokoh itu belum dilihatnya.

"Kau benar, Kang. Tanganku pun sudah gatal ingin segera mencekik hancur batang leher iblis keji itu!" sambung Melati tidak kalah geramnya.

"Nanti itu akan kita lakukan, Melati. Sekarang yang paling penting menguburkan mayat gadis itu! Lakukanlah, Melati," perintah Arya.

Melihat perubahan wajah kekasihnya, Melati mengarahkan pandangan ke tempat pemuda berambut putih keperakan tadi memandang. Gadis berpakaian putih segera melaksanakan perintah kekasihnya.

Hanya dengan sekali hentakan tubuhnya melayang ke atas! Entah bagaimana caranya gadis itu melakukan, tapi begitu tubuhnya melayang turun, di tangannya terpondong tubuh gadis berpakaian hijau.

Jliggg!

Ringan laksana sehelai daun kering Melati menjejakkan kedua kakinya di tanah. Kemudian bersama-sama Arya dicarinya tempat yang cocok untuk menguburkan gadis berpakaian hijau yang malang itu.

Baik Arya maupun Melati tidak tahu kalau gerak-gerik mereka diperhatikan seekor kelelawar! Kalau diperhatikan memang aneh! Mungkinkah ada kelelawar berkeliaran di siang hari? Jawabannya adalah mustahil! Tapi karena kelelawar itu penjelmaan Sangkala, ketidakmungkinan itu bisa saja terjadi.

Kelelawar hitam itu terus mengawasi perbuatan pasangan pendekar muda itu. Bahkan sampai Melati menguburkan mayat gadis berpakaian hijau. Sepasang matanya berpijar ketika mendengar ucapan Melati seusai menguburkan mayat gadis itu.

"Siapa pun dirimu, aku berjanji akan membalas sakit hatimu. Akan kucari pelaku tindak kekejian ini!" ucap Melati sambil mendongakkan wajah.

"Hhh...!" Arya menghela napas berat mendengar ucapan kekasihnya. Tidak dicegahnya Melati mengucapkan janjinya. Pemuda itu tahu Melati merasa geram pada pelaku kekejian itu. Dia pun dilanda perasaa yang sama. Perlahan-lahan ditepuk-tepuknya pundak Melati untuk memberi ketabahan hati.

Gadis berpakaian putih itu menoleh menatap wajah Arya sejenak. Kemudian wajahnya dijatuhkan di pelukan kekasihnya. Pemuda berambut putih keperakan itu mengusap-usap kepala Melati penuh kasih.

"Mari kita cari pelaku kekejian ini, Melati. Aku yakin dia belum pergi jauh. Darah gadis yang malang itu masih hangat," ajak Arya pelan.

Melati hanya bisa menganggukkan kepala. Sesaat kemudian pasangan pendekar muda itu melangkah meninggalkan tempat itu!

EMPAT

"Cit, cit, cit!"

Diiringi suara mendecit nyaring, kelelawar berbulu hitam meluncur turun dari pohon tempatnya bertengger. Binatang malam itu turun ketika Arya dan Melati telah jauh meninggalkan tempat itu.

Bluppp!

Bunyi letupan pelan terdengar. Disusul dengan munculnya asap putih yang cukup tebal. Sebelum asap itu sirna dari pandangan, berdiri tegak seorang pemuda berpakaian putih yang tidak lain Sangkala! Pemuda itu menatap kuburan gadis berpakaian hijau dengan sinar mata yang sulit diartikan.

"Kau korban pertamaku, Wanita Sundal! Masih banyak lagi wanita lain yang akan bernasib sama sepertimu," desis Sangkala dengan nada kejam sehingga terdengar menyeramkan.

Yang lebih menyeramkan lagi suara itu dikeluarkan tanpa menggerakkan bibir sedikit pun! Dari sini bisa diduga ketinggian ilmu pemuda berpakaian putih itu. Hanya orang-orang yang berkepandaian tinggilah yang mampu melakukan hal itu.

"Trijati..., sebenarnya kaulah yang harus jadi korban pertamaku," desis Sangkala masih tanpa menggerakkan bibir. "Tapi biarlah kau menjadi korban berikutnya."

Mengucapkan nama Trijati membuat Sangkala teringat akan kejadian beberapa bulan lalu. Kejadian yang membuatnya tersesat ke Bukit Kematian.

* * *

Matahari belum menampakkan diri. Hari masih terlalu pagi. Tapi, dalam suasana seperti itu Sangkala sudah keluar meninggalkan bangunan Perguruan Banteng Putih, perguruannya. Entah mengapa pemuda itu sendiri tidak tahu. Yang jelas dia ingin pergi ke sungai dan mandi!

Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang cukup tinggi, tanpa membutuhkan waktu terlalu lama, Sangkala telah berada di dekat tempat yang ditujunya. Semula Sangkala ingin segera terjun ke sungai, tapi suara-suara yang tertangkap telinga membuat pemuda itu membatalkan maksudnya. Suara orang bercakap-cakap diselingai percikan air. Suara wanita.

Seketika itu pula muncul dorongan kuat di hati Sangkala untuk melakukan hal yang tidak pantas. Dia tahu di sungai itu ada wanita-wanita sedang mandi. Dengan detak jantung yang lebih cepat Sangkala menghampiri asal suara itu. Pemuda berpakaian putih itu tampak hati-hati sekali. Dia tidak ingin tindakannya diketahui.

Usaha Sangkala tidak sia-sia. Pemuda itu berhasil mencapai tempat yang diinginkan untuk melakukan tindakan tidak pantasnya. Sangkala bersembunyi di balik sebuah batu besar dan mengintai ke sungai.

Deggg!

Dada Sangkala bagai diseruduk kerbau liar ketika melihat pemandangan yang terpampang di hadapannya. Dua orang gadis tengah mandi di sungai dalam keadaan bugil!

Dalam keremangan suasana dini hari tampak cukup jelas lekuk-lekuk tubuh dua gadis itu. Dengan susah payah Sangkala menelan ludah membasahi tenggorokannya yang mendadak terasa kering. Dua gadis itu dikenalnya betul. Mereka adalah kembang-kembang desanya Desa Kawung. Wulan dan Widuri nama gadis itu.

Sangkala merayapi tubuh Wulan dan Widuri dengan lahap. Memang diam-diam Sangkala menaruh hati pada kembang-kembang Desa Kawung itu. Sayangnya Sangkala bukan termasuk lelaki yang berani mendekati wanita. Tambahan lagi wajahnya tidak bisa diandalkan. Sangkala berwajah buruk. Kulitnya hitam dan wajahnya dipenuhi bopeng. Tak aneh jika gadis-gadis, apalagi Wulan dan Widuri, tidak pernah menghiraukannya.

Itu sebabnya kesempatan bagus itu tidak disia-siakan Sangkala. Akibat selanjutnya pun harus ditanggung. Sangkala merasa napasnya mulai memburu. Pikiran-pikiran jelek bermunculan di benaknya.

Meskipun demikian maksud jelek itu hanya sampai di pikiran, tidak sampai pada pelaksanaan. Sangkala adalah murid Perguruan Banteng Putih, sebuah perguruan silat aliran putih. Pemuda itu telah mendapat didikan menjadi seorang pendekar. Karena itu, betapa pun keinginan melaksanakan pikiran-pikiran yang ada di benaknya demikian besar, Sangkala tidak mau melakukannya.

Apalagi terhadap kedua orang gadis yang dikenalnya. Rasanya keadaan akan berlangsung seperti itu jika saja tidak terjadi sebuah peristiwa yang mengejutkan hati. Tanpa sengaja kaki Sangkala menyentuh sebuah batu. Sialnya batu itu bulat dan terletak di tempat yang tidak memungkinkannya diam bila tersenggol!

Dengan diiringi bunyi riuh rendah, batu itu menggelinding ke arah sungai. Tempat Sangkala bersembunyi letaknya memang lebih tinggi dari sungai. Tak heran bila batu itu menuju ke sana.

Bunyi yang cukup berisik itu menarik perhatian Wulan dan Widuri. Keduanya segera menghentikan kesibukan dan memandang berkeliling. Tubuh mereka direndam ke dalam sungai. Sekarang yang menyembul dari permukaan air mulai dari bagian dada atas. Dugaan jelek muncul di benak dua kembang Desa Kawung itu.

"Siapa di situ? Cepat tunjukkan diri!" seru gadis yang bertahi lalat di pipi. Itulah Widuri.

"Benar! Kalau tidak, kami akan berteriak! Biar orang-orang desa datang dan menangkapmu!" timpal Wulan mengancam.

Ucapan itu terpaksa dikeluarkan Wulan ketika telah menunggu beberapa saat tidak ada tanda-tanda munculnya sosok tubuh yang mengintai. Sementara itu Sangkala mulai bingung. Diam-diam disesalinya keberadaan batu itu. Kalau tidak, Wulan dan Widuri tidak akan curiga.

"Kuhitung sampai tiga!" sambung Wulan "Bila tidak mau menunjukkan diri, kami akan berteriak agar orang-orang desa kemari."

Karuan saja ucapan Wulan membuat Sangkala semakin kelabakan. Perasaan gelisah melanda hatinya. Dia khawatir Wulan dan Widuri melaksanakan ancamannya. Dapat dibayangkan betapa malu dirinya nanti. Sementara itu Wulan mulai menghitung.

"Satu..., dua..., ti...!"

"Tunggu!" Sangkala menunjukkan diri. Pemuda berwajah bopeng itu akhirnya mengambil keputusan seperti itu. Di benaknya telah dirancang alasan-alasan yang akan dikemukakan karena keberadaannya di tempat itu. Tentu saja dia mengharapkan kedua gadis manis itu mau mengerti. Tapi harapan Sangkala tampaknya tidak terwujud.

"Kau...?! Jadi kau yang telah mengintip kami mandi?!" tanya Wulan tanpa menyembunyikan rasa jijiknya. "Cihhh! Manusia tak tahu diri! Apa kau tidak bercermin?! Dasar Kadal Buduk!" timpal Widuri tak kalah kasar.

"Cepat pergi dari sini, Binatang!" usir Wulan tanpa kenal rasa kasihan.

"Benar! Cepat pergi! Atau... kau ingin kami panggil orang-orang desa kemari?" ancam Widuri.

Sangkala hanya berdiri terpaku. Untung saja suasana masih remang-remang. Kalau tidak, akan terlihat jelas betapa wajahnya berubah-ubah. Sebentar merah sebentar putih. Sangkala sungguh tidak menyangka akan seperti ini sambutan yang diterimanya. Pemuda itu menyadari kesalahannya dan keburukan rupanya. Tapi tidak berarti seenaknya saja orang mempermalukan dirinya.

Sangkala mempunyai perasaan yang peka. Tak heran jika dia tersinggung bukan main mendapat perlakuan seperti itu. Rasa sakit hati membuat otaknya tidak dapat berpikir jernih. Yang ada di benaknya hanya satu, membalas sakit hati ini! Itu sebabnya pemuda itu bukannya menyingkir malah menghampiri Wulan dan Widuri. Tentu saja tindakan Sangkala membuat kedua gadis manis itu kaget. Mereka saling pandang dengan perasaan gugup.

"Pergi kau, Kadal Buduk!" maki Widuri. "Benar! Pergi, manusia tak tahu diri!"

Tapi Sangkala tidak mempedulikan ucapan kedua kembang desa itu. Kakinya tetap diayunkan menghampiri kedua gadis itu. Mulutnya mendesiskan ancaman, "Orang-orang seperti kalian memang harus diberi pelajaran biar tidak seenaknya menghina orang...."

Melihat Sangkala terus saja menghampiri, Widuri dan Wulan jadi ketakutan. Mereka merasa ada bahaya mengancam. Tanpa mempedulikan keadaan tubuh yang polos, keduanya saling mendahului berlari ke darat sambil berteriak-teriak minta tolong.

"Tolooong...! Tolooong...!"

Suasana dini hari yang hening pun pecah oleh suara teriakan Wulan dan Widuri. Hingga Sangkala merasa khawatir. Pemuda itu takut sebelum maksudnya terlaksana, para penduduk Desa Kawung telah datang lebih dulu. Maka diputuskannya untuk bertindak cepat.

Dengan beberapa kali lesatan, Sangkala telah menghadang jalan Wulan dan Widuri. Itu tidak aneh. Kedua kembang Desa Kawung itu tidak mempunyai kemampuan bela diri seperti halnya Sangkala. Dan sebelum Widuri dan Wulan menyadari sepenuhnya apa yang terjadi, tangan Sangkala telah bergerak menotok.

Tuk, tukkk!
"Akh!" Disertai keluhan lirih, tubuh mereka terkulai lemas. Sudah dapat dipastikan tubuh keduanya akan jatuh kalau Sangkala tidak segera menangkapnya.

"Sebentar lagi kalian akan menerima akibat kesombongan sikap kalian," desis Sangkala tajam penuh ancaman. Kemudian Sangkala melesat pergi dengar membawa tubuh kedua gadis manis itu di bahunya. Dengan beberapa kali lesatan tubuh Sangkala lenyap ditelan keremangan pagi.

Brukkk! Brukkk!

Tanpa merasa kasihan sedikit pun Sangkala melemparkan kedua tubuh molek itu di tanah. Untunglah ada lapisan jerami yang cukup tebal sehingga Wulan dan Widuri tidak terlalu merasa sakit.

"Hhh...!" Sangkala menyandarkan punggungnya ke dinding. Saat ini dia bersama dua kembang Desa Kawung berada di tempat persembunyian yang ditemukan Sangkala secara tidak sengaja. Sebuah goa batu yang cukup besar dan terletak di dalam Hutan Randu. Letaknya cukup tersembunyi karena tertutup kerimbunan semak-semak dan ilalang yang lebat.

Sangkala yakin tidak ada orang yang mengetahui tempat persembunyiannya. Dengan demikian, dia aman tinggal di sini. Disadarinya kalau mulai saat ini dirinya menjadi buron. Penduduk Desa Kawung tentu mencarinya. Gurunya pun tidak akan tinggal diam. Ketua Perguruan Banteng Putih itu pasti marah besar! Sudah pasti Ki Ageng Sora, gurunya, akan mengutus anggota Perguruan Banteng Putih untuk mencarinya.

Keyakinan bahwa tempatnya tidak akan bisa ditemukan membuat Sangkala mengalihkan perhatian pada tubuh Widuri dan Wulan yang tergolek dalam keadaan tanpa sehelai benang pun. Seketika itu nafsu bifahi Sangkala kembali bangkit. Dengan napas agak memburu dan langkah lebar didekatinya Wulan dan Widuri.

Sementara kedua kembang Desa Kawung dilanda rasa takut yang sangat. Mereka menyadari bahaya mengerikan yang tengah mengancam. Sayang tidak ada yang dapat mereka lakukan kecuali menatap Sangkala dengan ngeri.

"He he he...!" Sangkala terkekeh. Terlihat jelas pemuda berwajah bopeng itu gembira. Itu memang tidak salah! Sangkala gembira melihat sorot kengerian dalam wajah maupun sinar mata Wulan dan Widuri. Padahal biasanya wajah dan sinar mata kedua gadis itu selalu penuh hinaan dan cemoohan bila menatap ke arahnya.

"Sekarang akan kalian rasakan pembalasanku, Wanita-wanita Sombong!" ujar Sangkala bergetar penuh dendam, "Mau atau tidak kalian harus menuruti keinginanku!"

Usai berkata, dengan penuh nafsu Sangkala menindih tubuh Wulan. Dengan kasar diciuminya sekujur tubuh gadis itu. Tidak hanya itu. Kedua tangannya bergerak liar ke sana kemari! Meremas apa yang dapat diremas dengan kasar!

Tidak ada yang dapat dilakukan Wulan untuk mencegah tindakan Sangkala. Tubuhnya terasa lemas. Bahkan gadis itu tidak mampu mengeluarkan suara karena Sangkala telah menotok urat bicaranya. Yang dapat dilakukan Wulan hanya menangis tanpa suara. Menangis karena takut bahaya yang tengah mengancamnya dan tindakan Sangkala yang kasar.

Semua kejadian itu disaksikan Widuri dengan perasaan ngeri. Disadarinya nasib yang dialami Wulan akan menimpanya pula. Ingin rasanya dia menjerit sekeras-kerasnya. Tapi, sayang itu tidak dapat dilakukan. Karena tidak tahan melihat pemandangan yang terpampang di hadapannya, Widuri memejamkan mata.

Memang Widuri tidak mengalami kesulitan untuk memejamkan mata. Tapi, tidak demikian dengan telinga. Gadis itu tidak mampu menutup pendengarannya. Hingga Widuri mendengar kegaduhan yang berada di dekatnya. Kegaduhan yang tercipta di saat Sangkala menggumuli Wulan.

Sebenarnya suara gaduh itu tidak dapat terjadi. Urat bicara Wulan telah ditotok sehingga tidak dapat mengeluarkan suara. Jangankan rintihan atau makian, bisikan pun gadis itu tidak mampu. Tapi karena Sangkala tidak dapat menahan diri, suara itu terjadi. Dalam menikmati tubuh Wulan, dari mulut Sangkala keluar bunyi riuh rendah seperti kucing kelaparan diberi ikan!

Kegaduhan yang berasal dari mulut Sangkala yang tidak dapat dicegah Widuri masuk ke telinga. Sehingga meskipun tidak melihat kejadiannya, Widuri tetap merasa tersiksa.

Apalagi kegaduhan itu berlangsung lama. Sepertinya Sangkala tidak berniat segera mengakhiri permainannya. Dan ketika Widuri sudah hampir tidak kuat terus-menerus memejamkan mata, kegaduhan itu baru berakhir. Ini membuat Widuri merasa ngeri!

Terhentinya kegaduhan itu pertanda Sangkala telah menyelesaikan kebiadabannya. Berarti kegadisan Wulan telah dilahapnya. Kini gilirannya hanya tinggal menunggu waktu! Kalau saja dapat, ingin rasanya Widuri membunuh diri! Tapi apa daya? Gadis itu tidak mampu menggerakkan anggota tubuhnya.

Dugaan Widuri ternyata tidak meleset. Dirinya pun tidak luput dari kebiadaban Sangkala. Sama seperti Wulan, Widuri tidak mampu berbuat apa-apa. Yang dapat dilakukannya hanya mengucurkan air mata tanpa suara, diiringi jeritan pilu di hati!

Berbeda dengan Widuri dan Wulan, Sangkala yang telah gila oleh amukan nafsu birahi dan rasa sakit hati malah bergembira! Tanpa rasa kasihan sedikit pun dijarahnya sekujur tubuh kedua gadis kembang Desa Kawung dengan tidak pernah merasa puas.

Kesenangan membuat Sangkala lupa diri. Yang ada di benaknya hanya memuaskan nafsu birahi! Tidak dipikirkannya kemungkinan penduduk Desa Kawung menemukan tempat persembunyiannya. Telah dua hari berlalu tidak ada tanda-tanda orang mendekati tempat persembunyiannya, membuat pemuda itu merasa tenang.

Bagaimana mungkin orang dapat menemukan tempat persembunyianku? Pikir Sangkala meremehkan. Dia tidak pernah keluar dari tempatnya! Makanan dan minuman tersedia di situ. Meskipun hanya buah-buahan dan air gunung! Di goa itu memang banyak terdapat pohon buah.

Sebenarnya tempat persembunyian Sangkala tidak pantas disebut goa. Jalan masuknya memang berbentuk goa dengan garis tengah satu tombak. Tapi panjangnya hanya sekitar sepuluh tombak. Setelah itu lorong berakhir, berganti dengan ruangan persegi panjang berukuran cukup luas.

Masing-masing sisi dibatasi tebing tinggi dengan atap langit. Di ruangan luas itulah tumbuh berbagai jenis pohon dan terdapat sebuah danau kecil. Tempat yang dipilih Sangkala adalah dinding tebing tempat lorong goa. Di situ terdapat celah yang cukup luas. Jadi tempat yang dipilihnya beratapkan dinding tebing.

Karena berada di lekukan tebing, tempat Sangkala cukup terlindung. Baik dari sinar matahari maupun hujan. Hanya saja tidak terlindung dari hembusan angin. Perasaan yakin yang sangat akan keamanan tempatnya menyebabkan Sangkala dapat bersenang-senang dengan tenang.

Demikian pula siang itu. Setelah puas menikmati tubuh Widuri, entah untuk yang ke berapa, dan beristirahat sejenak, Sangkala segera beranjak mendekati pohon jambu untuk menikmati makan siang. Dalam beberapa langkah, pemuda itu telah berada di dekat pohon jambu air yang berwarna putih. Lincah laksana kera dia memanjat kemudian memetiki buahnya dan ditaruh dalam kantung yang telah disiapkan.

Sehabis memetik jambu, seperti biasa, Sangkala akan memandikan Wulan dan Widuri, lalu memberinya makan. Tentu saja Sangkala membebaskan totokannya agar kedua kembang Desa Kawung itu dapat makan.

Tapi siang ini, di saat Sangkala tengah sibuk memetik jambu, penduduk Desa Kawung yang dipimpin Ketua Perguruan Banteng Putih dan Kepala Desa Kawung telah berhasil menemukan goa yang terlindung semak-semak itu. Setelah dua hari mereka menjelajahi seluruh penjuru hutan.

"Aku yakin dia berada di sini, Ki Rawung," ucap Ki Ageng Sora, Ketua Perguruan Banteng Putih, sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah goa yang berada tak jauh di depan mereka.

Ki Rawung, Kepala Desa Kawung, bertubuh kecil kurus itu tidak segera menanggapi ucapan Ki Ageng Sora. Ditatapnya wajah Ketua Perguruan Banteng Putih itu sejenak.

"Bagaimana kalau Sangkala tidak berada di sini, Ki Ageng?!" tanya Ki Rawung merasa tidak yakin.

"Kalau demikian, aku tidak tahu lagi harus mencari ke mana, Ki. Hampir seluruh isi hutan ini telah kita jelajahi!" Ki Ageng Sora menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas. Benaknya diputar mencari kata-kata yang tepat untuk melanjutkan uraiannya. "Sementara murid-muridku yang kusebar untuk menanyakan kepada penduduk sekitar, barangkali melihat ke mana murid murtadku itu kabur, mendapat jawaban yang tidak memuaskan! Tidak ada seorang pun yang melihat Sangkala! Jadi kesimpulanku, Sangkala ada di hutan ini. Aku yakin di goa inilah Sangkala bersembunyi!" tandas Ki Ageng Sora sangat yakin.

Raut keyakinan tampak jelas pada wajah dan sepasang mata lelaki yang memiliki potongan kurang cocok untuk menjadi seorang ketua perguruan silat itu. Betapa tidak? Tubuh kakek itu tinggi kurus. Bahkan terlalu kurus hingga mirip batang bambu. Kulitnya yang hitam berkilat tampak semakin hitam karena terbungkus pakaian serba putih. Sepasang matanya menjorok jauh di dalam rongganya, mirip mata orang yang penyakitan.

Tapi justru sepasang mata itulah yang menjadi bukti bahwa Ki Ageng Sora bukan orang sembarangan. Matanya tajam berkilat. Sikapnya pun terlihat berwibawa. Tarikan wajah maupun nada bicaranya membuat orang yang mendengarnya merasa segan. Hal demikian pula yang dialami Ki Rawung.

Mendengar uraian Ki Ageng Sora, Kepala Desa Kawung itu tidak membantah lagi. Dia hanya mengangkat bahu dan menyerahkan keputusan itu pada Ki Ageng Sora. Dan lelaki tinggi kurus itu tidak membuang-buang waktu dengan berdiam diri di situ.

"Mari kita masuk. Tapi ingat, hati-hati. Barangkali saja ada jebakan di dalamnya," beritahu Ki Ageng Sora.

Maka dengan dipimpin Ketua Perguruan Banteng Putih, rombongan penduduk Desa Kawung dan murid-murid Perguruan Banteng Putih berbondong-bondong masuk ke dalam goa. Ki Ageng Sora yang berada paling depan bertindak sangat hati-hati. Sementara di belakangnya berbaris satu-satu Ki Rawung, murid-murid Perguruan Banteng Putih, serta para penduduk Desa Kawung.

Tidak berapa lama kemudian Ki Ageng Sora melihat sinar terang. Sebagai seorang yang kenyang pengalaman dia segera tahu, di sana terdapat dunia luar. Dengan kata lain, goa tersebut berakhir di sana.

Setelah melangkah beberapa tindak lagi, Ketua Perguruan Banteng Putih telah berada di bagian akhir lorong goa. Sesampainya di sana, wajah Ki Ageng Sora berubah hebat. Wajahnya menampakkan rasa kagetnya yang sangat. Tapi meskipun begitu kakinya tetap dilangkahkan.

LIMA

Widuri, Wulan....!

Panggilan itu hanya dikeluarkan Ki Ageng Sora dalam hati. Dia khawatir ucapan itu akan didengar Sangkala yang diyakininya berada di dekat situ.Di samping itu, Ketua Perguruan Banteng Putih tidak ingin menimbulkan kegemparan pada rombongannya. Dikhawatirkan bila hal itu terjadi Sangkala akan menyadari adanya bahaya dan mempergunakan kedua kembang desa itu sebagai sandera.

Karena itu, begitu kakinya hampir meninggalkan lorong goa dan memasuki ruangan luas, tubuhnya dibalikkan. Dengan isyarat lelaki itu memberi tahu rombongan agar tidak menimbulkan suara. Ki Ageng Sora juga memerintahkan agar isyarat yang diberikannya diteruskan kepada yang lain. Hasilnya, isyarat itu disampaikan secara berantai.

Usaha Ki Ageng Sora tidak sia-sia. Ketika semua anggota rombongan melihat keadaan Wulan dan Widuri, sama sekali tidak terdengar seruan kekagetan. Padahal raut wajah dan sorot mata mereka memancarkan keterkejutan yang sangat.

Lagi-lagi dengan gerak isyarat, Ki Ageng Sora memerintahkan salah seorang muridnya untuk memberi penutup tubuh pada Wulan dan Widuri. Kemudian membebaskan totokan yang membelenggu mereka. Tanpa menunggu lebih lama, orang murid Ketua Perguruan Banteng Putih segera melaksanakan perintah itu.

Sementara itu, Ki Ageng Sora mengedarkan pandang ke sekeliling tempat itu. Hanya dengan sekali lihat dia dapat mengetahui tempat itu tidak mempunyai jalan keluar. Berarti Sangkala masih berada di tempat ini!

"Itu dia...!"

Seorang pemuda berwajah tampan serta gagah karena bentuk rahangnya yang kokoh menunjuk ke satu arah. Seketika itu juga, semua pasang mata terarah ke sana. Dan mereka melihatnya! Sangkala tengah sibuk memetik jambu!

Ternyata bukan hanya rombongan Ki Ageng Sora yang mendengar seruan pemuda berahang kokoh itu, Sangkala pun mendengarnya. Pemuda berwajah bopeng itu segera menoleh ke arah asal suara! Saat itu Sangkala memunggungi tempat Ki Ageng Sora dan rombongannya berada.

Dapat dibayangkan betapa kagetnya Sangkala melihat rombongan itu. Disadarinya bahaya besar tengah mengancam. Tanpa menunggu, pemuda itu segera melompat dari pohon. Tak dipedulikannya buah-buah yang telah dipetiknya berhamburan ke tanah.

Jliggg!

Karena tergesa-gesa, Sangkala hampir jatuh tersungkur ketika mendaratkan kedua kakinya di tanah. Tapi itu tidak dipedulikannya. Langsung saja dia berlari! Yang ada di benaknya hanya satu, menjauhi rombongan orang-orang itu!

Sangkala tidak sempat berpikir kalau jalan untuk lolos sudah tidak ada lagi. Jalan masuk yang sekaligus jalan keluar dari tempat itu telah dihadang rombongan pengejarnya!

Melihat Sangkala melarikan diri, rombongan Ki Ageng Sora yang terdiri dari murid-murid Perguruan Banteng Putih dan penduduk Desa Kawung segera bergerak mengejar. Meskipun mereka tahu jalan untuk lolos sudah tidak ada lagi, tapi kemarahan yang hebat membuat mereka tidak tahan menunggu lebih lama untuk menghukum Sangkala.

Kesudahannya sudah dapat diduga. Kejar-mengejar antara Sangkala dan rombongan Ki Ageng Sora pun terjadi. Dari sekian banyak anggota rombongan, hanya dua orang yang tidak ikut melakukan pengejaran. Mereka adalah Ki Ageng Sora dan Ki Rawung. Kedua sesepuh Desa Kawung itu hanya memperhatikan kejar-mengejar yang terjadi di depan mata mereka. Tidak terlihat tanda-tanda mereka akan melakukan tindakan pencegahan.

Sementara itu, jarak antara Sangkala dengan pengejarnya semakin dekat. Lari pemuda berwajah bopeng itu agak terpincang-pincang. Rupanya lompatan yang dilakukan terburu-buru dari atas pohon dan tidak mendarat dengan benar membuat kakinya terkilir!

"Mau lari ke mana, Manusia Bejat...!" seru seorang penduduk sambil mengamang-amangkan goloknya.

"Jangan harap lolos dari tangan kami...!" sambung penduduk lainnya.

"Kau akan menerima balasan atas perbuatan kejimu, Sangkala!" teriak seorang murid Perguruan Banteng Putih.

"Kau akan kami bakar hidup-hidup...!" timpa yang lain.

"Siksa dia dulu sampai setengah mati...!"

"Ganyang...!"

"Cincang tubuhnya sampai hancur...!"

Riuh rendah teriak para pengejar Sangkala. Hingga Sangkala semakin ketakutan. Apalagi ketika disadari jaraknya dengan mereka semakin bertambah dekat. Perasaan takut dan cemas yang melanda pun semakin besar.

"Hih...!" Salah seorang murid Perguruan Banteng Putih yang sudah tidak sabar lagi menunggu saat melakukan hukuman melemparkan golok yang sejak tadi digenggamnya.

Singngng...! Cappp!

"Akh...!" Sangkala menjerit keras ketika golok yang dilemparkan murid Perguruan Banteng Putih yang bertubuh pendek gemuk itu menancap di bagian belakang paha kanannya. Tubuh Sangkala langsung tersungkur.

Dan sebelum Sangkala bangkit, para pengejarnya telah menyusul dan mengurungnya. Tapi anehnya mereka tidak segera menyerangnya. Rupanya sengaja memberi kesempatan padanya untuk melakukan perlawanan.

"Bangun, Manusia Berhati Binatang!" seru pemuda berahang kokoh sangat geram.

Sangkala menggertakkan gigi. Kemudian dengan sekali sentak, dicabutnya golok yang menancap di paha kanannya. Darah membanjir keluar. Tapi sesaat kemudian terhenti ketika Sangkala menotok jalan darah di sekitar luka.

Seusai mengurus lukanya, Sangkala mengalihkan perhatian kepada orang-orang yang mengurungnya. Pemuda itu tahu dirinya tidak mungkin akan mendapat pengampunan. Maka diputuskannya untuk mengadakan perlawanan mati-matian. Setidak-tidaknya sebelum mati dia berhasil membawa beberapa orang di antara mereka untuk menemaninya ke akherat.

Orang pertama yang menerima tatapan Sangkala adalah pemuda berahang kokoh. Dia tahu siapa pemuda itu. Ranjita, putra Ki Rawung. Setelah itu pandangannya diarahkan kepada murid Perguruan Banteng Putih yang bertubuh pendek gemuk. Bongara namanya, tatapan Sangkala penuh dendam!

"Biar aku yang melenyapkan manusia binatang ini!" ujar Ranjita gagah.

"Tidak, Ranjita!" bantah Bongara. "Biar aku yang membereskannya. Ingat! Dia adalah murid Perguruan Banteng Putih, jadi merupakan kewajiban bagiku selaku saudara seperguruan untuk memberi hukuman!"

"Tidak adil!" selak seorang laki-laki setengah baya bertubuh tinggi kurus. "Meskipun dia anggota Perguruan Banteng Putih, tapi yang menderita kerugian aku! Widuri adalah putriku! Jadi akulah yang berhak menghukumnya!"

"Aku juga! Wulan, yang menjadi korban kebiadabannya adalah anakku!" sambung penduduk Desa Kawung lainnya.

Kemudian tanpa memberi kesempatan kepada Bongara dan Ranjita untuk menanggapi, orangtua Wulan dan Widuri segera meluruk ke arah Sangkala. Senjata berupa kapak dan golok yang tergenggam di tangan mereka diayunkan ke tubuh pemuda itu.

Wuttt!

Melihat ancaman bahaya maut meluruk ke arahnya, Sangkala tidak tinggal diam. Meskipun sebelah kakinya terluka, yang sedikit banyak mengurangi kelincahannya, tetapi pemuda itu tidak mengalami kesulitan mengelakkan serangan mereka. Kedua orang itu adalah penduduk desa yang hampir tidak menguasai ilmu bela diri. Andaikata memiliki pun hanya sekadarnya.

Tak aneh bila hanya dengan sebuah elakan sederhana, Sangkala berhasil mengelakkan serangan-serangan itu. Tidak hanya itu saja. Begitu berhasil mengelak, kaki kirinya bergerak berturut-turut melancarkan serangan balasan!

Bukkk, bukkk!

"Akh!"

Kedua orangtua kembang Desa Kawung itu memekik kesakitan ketika tendangan Sangkala mendarat di paha mereka. Keras bukan main. Tubuh mereka terjengkang ke belakang dan jatuh terguling-guling di tanah.

Karuan saja amarah penduduk semakin berkobar. Bagai diberi perintah, mereka menyerbu Sangkala dengan senjata di tangan.

Tak pelak lagi, belasan senjata yang terdiri dari beraneka ragam bentuk itu meluruk ke segala bagian tubuh Sangkala! Meihat hal ini, Ranjita, Bongara, dan murid-murid Perguruan Banteng Putih membiarkan saja. Mereka tahu tidak ada gunanya mencegah. Penduduk yang telah kalap itu tidak akan mau mendengarkan. Karena tidak ingin ikut mengeroyok mereka terpaksa berdiri menonton.

Sementara, Sangkala yang melihat ancaman bahaya maut itu berusaha melawan. Dengan golok di tangan, pemuda itu bertarung mati-matian. Hebat bukan main tindakan Sangkala. Amukannya bagai macan luka. Meskipun dia telah terluka, tapi tetap mampu melakukan perlawanan sengit. Pada hal jumlah lawan tak kurang dari tiga belas orang. Pemuda itu dapat mengimbangi. Sangkala mampu mengelakkan setiap serangan lawan.

Bahkan melancarkan serangan yang jauh lebih dahsyat! Tidak sampai lima jurus dua lawannya terkapar dan terlempar dari kancah pertarungan terkena babatan goloknya. Kenyataan itu membuat teman-teman mereka menjadi geram bukan main. Orang-orang yang menonton pun dilanda perasaan sama.

"Keparat'" geram Ranjita penuh kemarahan. "Kalau dibiarkan terus, manusia biadab itu bisa membunuh mereka semua!"

"Lalu..., apa yang akan kau lakukan? Ikut terjun dalam kancah pertarungan? Mengeroyok lawan yang terluka?!" tanya Bongara mengejek.

Wajah Ranjita langsung merah padam. "Aku bukan orang seperti itu, Bongara! Kalau orang-orang dungu itu tidak mendahuluiku, tubuh manusia berhati binatang itu telah kujadikan daging cincang!"

"Ingin kulihat bukti ucapanmu, Ranjita," sambut Bongara meremehkan.

Bongara sedikit pun tidak bermaksud membela Sangkala. Ucapannya itu dikeluarkan karena tidak senangnya akan kesombongan Ranjita. Ucapan Ranjita yang mengatakan mampu mengalahkan Sangkala membuat Bongara tidak senang. Sebab kepandaian Bongara boleh dibilang setingkat dengan Sangkala.

Kalau Ranjita sesumbar mampu mengalahkan Sangkala, bukankah itu sama saja Ranjita meremehkannya? Padahal hanya sampai di mana kepandaian putra kepala desa itu? Ranjita hanya belajar ilmu silat dari Ki Rawung!

Mendengar tantangan Bongara, Ranjita yang memang sudah dibakar amarah jadi semakin kalap. "Orang-orang dungu! Menyingkirlah kalian! Biarkan aku yang menghabisi nyawa manusia binatang itu!" teriak Ranjita keras.

Tapi sampai lelah berteriak-teriak, tidak ada tanggapan sama sekali. Penduduk tetap melancarkan serangan terhadap Sangkala.

"Manusia-manusia dungu!" maki Ranjita geram menyadari seruannya tidak dipedulikan. "Biar kalian semua tewas di tangannya!"

Harapan Ranjita langsung terkabul. Belum juga gema ucapannya lenyap, terdengar jeritan menyayat hati. Disusul robohnya dua orang lawan Sangkala. Kepala mereka terpisah dari tubuh ketika golok Sangkala menabas batang leher mereka.

"Keparat!" geram Ki Ageng Sora dan Ki Rawung hamir bersamaan. Mereka saling bertukar pandang.

"Tidak akan kubiarkan murid murtad itu semakin mencoreng nama Perguruan Banteng Putih dengan darah penduduk Desa Kawung!" desis Ki Ageng Sora geram. Usai berkata lelaki tinggi kurus itu memasukkan tangannya ke balik baju. Ketika dikeluarkan kembali tampak empat batang pisau di tangannya.

Tentu saja kelakuan Ketua Perguruan Banteng Putih tidak luput dari perhatian Ki Rawung. Namun Kepala Desa Kawung itu tidak mengatakan apa-apa. Dia yakin Ki Ageng Sora telah memikirkan masak-masak tindakannya. Maka lelaki kecil kurus itu diam saja.

Sementara itu, setelah memperhatikan kancah pertarungan sesaat, Ki Ageng Sora mengibaskan tangannya. Seketika itu pula...,

Sing, sing, sing...!

Bunyi desing nyaring yang menyakitkan telinga terdengar ketika pisau-pisau itu meluncur ke arah Sangkala. Bukan hanya Sangkala yang terkejut Bongara dan semua murid Perguruan Banteng Putih pun demikian. Mereka tidak menyangka gurunya akan turun tangan.

Tapi keterkejutan yang melanda Bongara dan rekan-rekannya tidak sebesar Sangkala. Saat itu dia baru saja mengelakkan serangan lawan-lawannya. Keduduannya sangat tidak menguntungkan. Baik untuk menangkis maupun mengelak. Tapi meskipun demikian, Sangkala tidak mau menyerah begitu saja. Sedapat mungkin diusahakannya mengelak. Tapi...,

Cap, cap, cap!

"Akh!" Sangkala memekik kesakitan. Pisau-pisau itu mendarat di sasaran yang dituju Ki Ageng Sora. Dua menancap di punggung atas. Kanan dan kiri. Sedangkan sisanya menancap di paha atas bagian belakang. Juga di kanan dan kiri. Tubuh Sangkala langsung ambruk di tanah. Tidak seperti sebelumnya. Kali ini pemuda berwajah bopeng itu tidak bisa bangkit lagi!

Kesempatan itu tidak disia-siakan para pengeroyoknya. Dengan sorot mata menyiratkan dendam, mereka mengayunkan senjata masing-masing. Nyawa Sangkala sudah dapat dipastikan akan melayang saat itu juga. Tapi sebelum hal itu terjadi...,

"Tahan...!"

Suara bentakan keras yang mengandung pengaruh kuat membuat penduduk Desa Kawung menghentikan gerakan mereka. Senjata-senjata yang beraneka ragam jenis itu tertahan di udara. Dengan penuh tanda tanya mereka mengalihkan pandangan ke arah Ki Ageng Sora. Lelaki tinggi kurus itulah yang mengeluarkan cegahan tadi.

Ternyata bukan hanya penduduk Desa Kawung itu yang tercekam rasa heran. Ranjita dan seluruh murid Perguruan Banteng Putih pun menatap wajah Ki Ageng Sora penuh rasa heran.

"Kalian jangan salah paham," ujar Ki Ageng Sora tenang. "Kalian tidak perlu khawatir. Aku tidak akan membela Sangkala. Dia tidak kuanggap sebagai murid lagi! Aku mencegah semata-mata untuk kepentingan kalian juga!"

Ki Ageng Sora menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas. Sementara penduduk Desa Kawung, Ranjita, dan semua murid Perguruan Banteng Putih menunggu kelanjutan ucapan itu dengan tidak sabar.

"Perlu kalian ketahui, orang yang mempunyai kesalahan seperti Sangkala terlalu enak untuk mati dengan demikian mudah! Dia telah merusak masa depan dua orang gadis, membuat kotor Desa Kawung, dan mencemarkan nama Perguruan Banteng Putih! Hukuman langsung mati terlalu enak baginya!" urai Ki Ageng Sora.

"Lalu.., apa yang harus kita lakukan, Ki?" tanya Ranjita ingin tahu.

Putra Kepala Desa Kawung itu sangat dendam kepada Sangkala. Ini tentu saja ada alasanya. Ranjita iri karena Sangkala yang berwajah buruk berhasil menikmati kegadisan Wulan dan Widuri. Padahal dia sudah lama menginginkan mereka!

"Dia harus disiksa sebelum dibakar hidup-hidup!" tegas Ki Ageng Sora.

"Akurrr...!"

Serentak semua orang yang ada di situ menganggukkan tanda setuju. Ki Ageng Sora tersenyum pahit melihat sambutan yang demikian penuh semangat. Di hati kecilnya sebenarnya dia tidak setuju. Tapi kejahatan yang dilakukan Sangkala sangat dibencinya. Maka hatinya dikuatkan untuk memutuskan hal itu.

"Kalau begitu, tunggu apa lagi?!" tanya Ki Ageng Sora setengah memerintah. "Siksa dia! Lalu kita seret ke desa, dan bakar di hadapan seluruh penduduk. Hukuman ini akan membuat orang lain yang melakukan tindakan seperti ini berpikir seribu kali!"

Saat itu juga para penduduk menghampiri Sangkala yang tergolek di tanah. Mereka saling mendahului untuk melihat pemuda berwajah bopeng itu. Sesaat kemudian penyiksaan terhadap Sangkala pun dilaksanakan.

Dalam gelora amarah dan kebencian yang meluap-luap, para penduduk Desa Kawung jadi manusia-manusia yang tidak punya rasa belas kasihan. Mereka menghajar sekujur tubuh Sangkala. Tidak hanya dengan tendangan atau pukulan tangan kosong. Tapi juga dengan senjata tumpul. Sedikit pun tidak mereka pedulikan rintih kesakitan yang keluar dari mulut Sangkala!

Bukkk, bukkk, desss!

"Akh!" Jeritan kesakitan tak henti-hentinya keluar dari mulut Sangkala, seiring dengan mendaratnya siksaan-siksaan penduduk Desa Kawung.

Hanya dalam sekejap sekujur tubuhnya telah penuh luka! Darah mengalir di sana-sini. Pakaiannya compang-camping tak karuan. Wajahnya pun hampir tidak bisa dikenali lagi. Karena telah bengkak-bengkak. Tapi penduduk Desa Kawung tetap meneruskan siksaannya.

Bukkk, bukkk, bukkk!

ENAM

"Cukup!"

Untuk kedua kali Ki Ageng Sora mengeluarkan cegahan. Seperti juga sebelumnya, penduduk Desa Kawung menuruti perintahnya. Tapi bukan karena patuh. Ada pengaruh aneh yang membuat mereka terpaksa menghentikan gerakannya.

Sebenarnya Ki Ageng Sora tidak menggunakan ilmu gaib atau sihir. Lelaki tinggi kurus itu mengerahkan tenaga dalamnya. Getaran tenaga dalam itu menyebabkan orang yang kurang kuat tenaga dalamnya langsung terpengaruh. Mereka terkesima. Hingga tindakan mereka terhenti.

"Dia sudah tidak berdaya. Bila kalian teruskan, mungkin dia akan mati! Dan jika hal itu terjadi, rencana yang telah kita susun akan berantakan! Kalian paham?!" lanjut Ki Ageng Sora menjelaskan.

Bagai diberi perintah, serempak penduduk Desa Kawung mengalihkan perhatian ke arah Sangkala. Mereka membenarkan pendapat Ki Ageng Sora. Sangkala memang sudah tidak berdaya. Keadaannya sangat mengenaskan! Bahkan beberapa saat sebelum Ki Ageng Sora mengeluarkan cegahan, dia sudah tidak mampu menjerit lagi. Tubuhnya telah demikian lemah.

Keadaan Sangkala pun dilihat Ranjita dan murid-murid Perguruan Banteng Putih yang sejak tadi berdiri menyaksikan. Senyum gembira dan puas tersungging di bibir putra Kepala Desa Kawung. Tapi Ranjita tidak bisa terlalu lama tenggelam dalam alun kegembiraannya. Karena....

"Mengapa kalian hanya bengong saja?! Seret manusia biadab itu!" perintah Ki Ageng Sora lagi.

Seruan yang diucapkan keras itu membuat para penduduk kelabakan. Mereka bingung memikirkan alat yang dapat digunakan untuk menarik Sangkala. Namun Ranjita yang cerdik menemukan pemecahannya. Sabuk yang melilit pinggangnya di lepas. Lalu....

Ctarrr!

Setelah lebih dulu melecutkan sabuknya hingga mengeluarkan bunyi keras, Ranjita meluncurkan ujung sabuknya pada tangan Sangkala.

Rrrttt!

Dengan gerakan yang indah dipandang, sabuk itu membelit tangan Sangkala. Sungguh sebuah pertunjukan yang cukup hebat. Dari sini bisa diketahui Ranjita memiliki tenaga dalam cukup kuat. Karena hanya orang-orang yang mempunyai tenaga dalam cukup kuatlah yang mampu memainkan sabuk! Apalagi memainkannya sebagus Ranjita!

Seperti yang sudah diduga Ranjita, penduduk Desa Kawung terpaku melihat pertunjukannya. Tatapan mata mereka menyiratkan kekaguman. Bahkan sorot seperti itu terlihat pula pada sepasang mata Ki Ageng Sora! Walaupun sebenarnya lelaki tinggi kurus itu mampu memainkan berlipat kali lebih baik dari Ranjita. Tapi tetap saja dia merasa kagum. Sebab tidak semua murid Perguruan Banteng Putih mampu melakukan.

Kalau mau jujur dan tidak menuruti hati yang panas, Bongara harus mengakui Ranjita memang lawan yang tangguh. Tapi karena sejak pertama sudah muncul rasa tidak suka pada sikap Ranjita yang terlalu memandang remeh orang, yang ditunjukkan Bongara hanya senyum sinis.

Sikapnya menunjukkan tindakan Ranjita tidak berarti apa-apa baginya. Ranjita tentu saja diam-diam tahu, pemuda itu jengkel bukan main. Tapi Ranjita pura-pura tidak tahu. Diberikannya ujung sabuk yang dipegangnya pada salah seorang penduduk Desa Kawung.

"Nih, seret..!" Hanya itu yang diucapkan Ranjita pada penduduk Desa Kawung yang menerimanya dengan wajah berseri-seri.

Ki Ageng Sora dan Ki Rawung membalikkan tubuh dan berjalan meninggalkan tempat itu. Tujuan mereka jelas. Mulut goa yang menembus Hutan Randu. Di belakang kedua orang itu berjalan Ranjita dan murid-murid Perguruan Banteng Putih. Sedangkan rombongan penduduk Desa Kawung berada paling belakang, dengan salah seorang di antara mereka menyeret tubuh Sangkala.

Dapat dibayangkan penderitaan yang dialami Sangkala. Dalam keadaan lebih mendekati mati, mana sekujur tubuhnya tidak ada yang luput dari luka, pemuda itu diseret-seret. Padahal tanah di sini tidak rata! Banyak bagian-bagian yang menonjol dan runcing! Dengan sendirinya luka yang diderita Sangkala semakin parah.

Memang pantas dipuji kekuatan Sangkala. Dalam keadaan seperti itu dia masih sanggup memutar otaknya. Disadarinya perjalanan menuju Desa Kawung masih jauh. Bahkan melalui medan yang tidak rata. Dengan demikian dia akan tersiksa lama sebelum akhirnya dibakar hidup-hidup dengan disaksikan orang sedesa!

Sangkala tidak menginginkan hal itu terjadi! Dia tidak ingin mati seperti binatang! Kalau memang harus mati, dia ingin secara terhormat. Lebih baik mati di sini daripada di Desa Kawung!

Luar biasa! Keinginan yang demikian kuat itu membuat keadaan Sangkala membaik. Bahkan seperti tidak terluka sama sekali. Ini sebenarnya tidak aneh! Ada saat-saat tertentu di mana tenaga tersembunyi dapat keluar dengan kemampuan lebih hebat dari biasanya. Tapi tentu saja ada hal-hal yang menyebabkan tenaga tersembunyi itu keluar.

Demikian pula dengan Sangkala! Keinginan yang amat kuat untuk tidak tewas secara mengenaskan di Desa Kawung menyebabkan kemampuan tersembunyinya keluar. Kesempatan itu segera dipergunakan Sangkala sebaik-baiknya.

"Hih!"

"Akh!" Dengan sekali sentakan Sangkala membuat penduduk yang menyeret tubuhnya terjengkang ke belakang. Akibatnya, pegangan pada ujung sabuknya terlepas. Kesempatan itu dipergunakan Sangkala untuk bangkit berdiri. Kemudian berlari!

Tentu saja tindakan Sangkala tidak dibiarkan. Saat itu juga semua anggota rombongan, kecuali Ki Ageng Sora dan Ki Rawung, bergegas mengejarnya. Begitu juga orang yang bertugas menyeret Sangkala. Meski agak tertinggal di belakang teman-temannya.

Kembali kejar-mengejar antara Sangkala dan rombongan Ki Ageng Sora terjadi. Tapi dalam pengaruh kekuatan tersembunyi yang mendadak keluar, Sangkala mampu meninggalkan lawan-lawannya. Semakin lama jarak antara mereka terpaut semakin jauh!

Semua itu tidak lepas dari perhatian Ki Ageng Sora dan Ki Rawung. Namun Ketua Perguruan Banteng Putih tetap berdiam diri. Lelaki tinggi kurus itu tidak terkejut melihat Sangkala mampu melarikan diri. Bahkan dengan kecepatan yang cukup menakjubkan. Ki Ageng Sora tidak khawatir Sangkala dapat lolos dari tempat itu.

Jika pemuda berwajah bopeng itu ingin keluar dari tempat itu, arah yang dituju adalah arah yang ditempuh rombongannya! Sedangkan Sangkala menuju arah lain!

Itu sebabnya Ki Ageng Sora tidak mengambil tindakan apa pun. Yang dilakukannya hanya memperhatikan kejar-mengejar yang tengah terjadi. Sepasang alis Ki Ageng Sora baru berkerut ketika melihat arah yang dituju Sangkala. Bekas muridnya itu menuju danau.

Berbagai pertanyaan muncul di benak Ki Ageng Sora. Mengapa Sangkala menuju ke sana? Apakah dia berlari tanpa memikirkan arah yang dituju? Atau Sangkala mempunyai pemikiran lain? Barangkali saja pemuda berwajah bopeng itu hendak menceburkan diri ke danau!

Dan Sangkala memang bermaksud demikian! Pemuda itu tidak ingin ditangkap dan dihukum secara menyedihkan di desa tempat tinggalnya! Maka dia melarikan diri ke danau. Sangkala ingin menceburkan diri ke sana. Itu telah dipikirkannya sebelum memutuskan untuk melarikan diri.

Rasanya kali ini keinginan Sangkala akan terlaksana. Jarak antara dia dan para pengejarnya semakin jauh. Meskipun itu berlangsung sedikit demi sedikit. Perlahan tapi pasti Sangkala mendekati danau. Rasanya bekas murid Perguruan Banteng Putih itu tidak bisa terjangkau lagi oleh lawan. Kenyataan itu segera terbukti.

"Hiyaaa...!" Diawali dengan teriakan melengking nyaring yang membuat gema ke seluruh penjuru tempat itu, Sangkala melompat ke danau. Sesaat tubuhnya melayang di udara sebelum akhirnya....

Byurrr!
Air muncrat tinggi ke udara ketika tubuh Sangkala membentur permukaan danau. Tubuh Sangkala langsung tenggelam! Kejadian itu disaksikan Ranjita, Bongara, dan yang lainnya. Tapi apa yang dapat mereka lakukan? Saat tubuh Sangkala menimpa permukaan danau, jarak antara mereka masih terpaut beberapa tombak! Baru setelah beberapa saat tubuh Sangkala tenggelam, rombongan pengejar itu tiba di pinggir danau.

"Pasang mata kalian baik-baik!" perintah Ranjita, "Aku yakin dia akan muncul ke permukaan!"

"Benar!" sambung Bongara mendukung ucapan Ranjita. "Apa yang dikatakan Ranjita benar. Lebih baik kita berpencar! Dia pasti akan muncul ke permukaan!"

Tanpa menunggu lagi, rombongan itu menyebar ke sekitar danau. Seperti juga Ranjita dan Bongara, mereka yakin Sangkala akan muncul ke permukaan. Itu sudah pasti! Manusia mana yang sanggup bertahan lama di dalam air? Hanya dalam sekejap rombongan pengejar dari Desa Kawung itu telah berada di kedudukan masing-masing. Pandangan mereka ditujukan ke permukaan danau. Hampir tidak pernah mereka mengedipkan mata, khawatir di saat sepasang mata mereka berkedip Sangkala muncul ke permukaan.

Dengan tidak sabar Ranjita dan yang lain menunggu kemunculan Sangkala. Tapi sampai cukup lama menunggu, Sangkala tidak memunculkan diri. Padahal mata mereka telah lelah dipaksa terbelalak terus.

"Gila!" Sebuah makian geram keluar dari mulut Ranjita. Terlihat putra Ki Rawung itu sudah tidak kuat lagi menahan sabar. Bongara yang berada tidak jauh dari Ranjita menoleh. Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Ranjita.

"Rasanya tidak mungkin kita terus-menerus menunggu seperti ini, Bongara," ujar Ranjita pelan.

"Aku pun berpendapat demikian, Ranjita," sahut Bongara dengan nada sama. Telah lenyap perselisihan antara mereka melihat buruan yang sama-sama dikejar berhasil lolos. "Tapi..., apa yang dapat kita lakukan?!"

"Bagaimana kalau kita terjun juga, Bongara?" usul Ranjita, "Siapa tahu manusia keji itu telah menjadi setan air?!"

"Dugaanmu tidak berbeda denganku," timpal Bongara. "Aku pun tidak percaya Sangkala mampu bertahan begitu lama di dalam air!"

"Barangkali dia berada di permukaan air dan menggunakan batang alang-alang untuk bernapas?!" duga Ranjita tiba-tiba.

"Kurasa dugaanmu keliru, Ranjita," bantah Bongara. "Aku tidak melihat benda yang kau maksudkan di permukaan air. Aku tahu, semula aku pun berpendapat demikian. Tapi setelah kuedarkan pandangan, dan tidak kutemukan benda itu, aku yakin Sangkala tidak menggunakan cara itu."

"Jadi...," Ranjita menggantung ucapannya.

"Aku lebih condong dia telah menjadi setan air sekarang!" tegas Bongara. "Kurasa dugaan ini tidak berlebihan. Kau tahu sendiri kan keadaannya?"

Ranjita tampak ragu. Dia tidak memberikan tanggapan yang bersifat menyetujui pendapat Bongara. "Memang kuakui Sangkala terluka parah. Tapi..., apakah kau tidak melihat kejadian aneh tadi? Dia mampu berlari dengan kecepatan lebih dari sewaktu sehatnya!"

"Itu terjadi karena keinginannya yang besar untuk meloloskan diri, Ranjita. Aku tahu pasti kemampuan seperti itu tidak akan bertahan lama. Lagi pula kemampuan demikian tidak berlaku di dalam air!" bantah Bongara menguatkan alasannya. "Kalau menambah kemampuan mungkin benar. Tapi jika kemampuan tak wajar itu menyebabkannya mampu menahan napas demikian lama di dalam air, kurasa tidak mungkin. Dan lagi seperti yang tadi kukatakan, kemampuan seperti itu tidak akan bertahan lama."

Ranjita langsung terdiam. Disadari ada kebenaran yang tidak bisa dibantah dalam ucapan Bongara. "Jadi..., kesimpulan yang paling mungkin Sangkala telah menjadi setan air!" tandas Ranjita.

"Itulah yang harus kita buktikan!" sambut Bongara, "Karena itu aku menyetujui usulmu, Ranjita. Aku khawatir ada hal-hal tidak terduga yang akan merugikan kita."

"Maksudmu..., Sangkala berhasil meloloskan diri. Begitu?!" tanya Ranjita meminta kepastian.

"Mudah-mudahan saja tidak," jawab Bongara berkilah.

"Kalau begitu kita harus bergegas, Bongara! Lebih cepat kita terjun ke dalam danau lebih baik!" tegas Ranjita cepat.

"Benar, Ranjita!" Baru saja Bongara menyelesaikan ucapannya, Ranjita melompat ke danau! Itu dilakukan tanpa membuka pakaiannya.

Bongara tidak mau kalah. Dia ikut melompat menyusul tubuh putra Kepala Desa Kawung yang masih berada di udara. Dalam kedudukan melayang di udara, Bongara memberi perintah. "Kalian semua tetap di darat! Awasi terus permukaan air!"

Byurrr! Byurrr...!

Air danau muncrat tinggi-tinggi dua kali berturut-turut. Itu terjadi ketika tubuh Ranjita dan Bongara membentur permukaan danau kecil itu. Tubuh kedua pemuda-perkasa itu tenggelam ke dalam danau.

Mereka menyelam semakin dalam. Berbeda dengan yang terlihat dari daratan, dalam danau itu ternyata cukup jernih. Hingga Ranjita dan Bongara dapat melihat pemandangan di dalamnya.

Untuk beberapa saat kedua pemuda itu tidak melakukan pencarian. Mereka hanya mengedarkan pandangan ke sana kemari. Barangkali saja dapat menemukan Sangkala. Setelah merasa yakin usahanya tidak membuahkan hasil, dengan isyarat Bongara mengajak berpencar. Usul itu langsung disetujui Ranjita. Sesaat kemudian, Bongara dan Ranjita berenang menempuh arah pilihan masing-masing.

Ternyata meskipun kelihatannya kecil danau itu luas juga. Beberapa kali Ranjita dan Bongara harus muncul ke permukaan untuk mengambil napas sebelum meneruskan pencarian. Usaha kedua pemuda perkasa itu tidak sia-sia. Setelah bersusah-payah berenang ke sana kemari, akhirnya Ranjita menemukan sebab mengapa Sangkala tidak muncul-muncul ke permukaan. Pada salah satu dinding di dalam danau, ada lubang bergaris tengah sekitar setengah tombak!

Sekali lihat Ranjita tahu lubang itu berhubungan dengan bagian luar tempat terpencil itu. Kesimpulan ini membuat Ranjita lemas. Sangkala telah berhasil meloloskan diri. Meskipun demikian, karena rasa ingin tahu, didekatinya lubang itu. Hasilnya benar-benar membuat Ranjita kaget!

Ada daya tarik yang amat kuat dari lubang itu. Padahal jarak antara dia dengan lubang itu masih tiga tombak. Menyadari kenyataan ini, Ranjita bergegas berenang ke permukaan. Sesampainya di sana di tunggunya Bongara muncul.

"Hentikan usahamu, Bongara!" seru Ranjita ketika Bongara muncul ke permukaan untuk mengambil napas. Rupanya murid Perguruan Banteng Putih itu masih bermaksud melanjutkan pencarian.

"Mengapa, Ranjita?!" tanya Bongara ingin tahu, "Apa kau telah menemukan Sangkala?"

Ranjita menggeleng dengan lesu. "Dia berhasil kabur dari danau, Bongara. Aku melihat ada lubang yang berhubungan dengan tempat di luar danau ini!"

"Keparat!" Bongara memaki geram mendengar pemberitahuan Ranjita. Kemudian dengan lesu diikutinya tindakan putra Ki Rawung, berenang menuju tepi danau.

"Cepat tinggalkan tempat ini! Sangkala telah lolos! Kita harus segera mengejarnya!" seru Bongara ketika telah berada di pinggir danau.

Rombongan dari Desa Kawung segera beranjak meninggalkan tempat itu. Tujuan mereka adalah lorong goa tempat mereka masuk. Bongara dan Ranjita berjalan di belakang mereka. Ki Ageng Sora dan Ki Rawung mendapat laporan dari Bongara. Maka tanpa membuang-buang waktu, Ki Ageng Sora memimpin rombongan melakukan pengejaran. Tak lupa Wulan dan Widuri yang masih tergolek pingsan mereka bawa.

Begitu berada di luar, Ki Ageng Sora membagi rombongannya. Ketua Perguruan Banteng Putih itu tahu dengan berpencar-pencar seperti itu kemungkinan menemukan Sangkala semakin besar. Tak lupa diberitahukannya agar kelompok yang menemukan Sangkala memberi tanda.

Rupanya Ki Ageng Sora telah bertekad menangkap murid yang sudah tidak diakuinya itu. Semua tenaga yang ada dikerahkan. Semua dapat dijelajahi. Tapi Sangkala tetap tidak diketemukan. Pemuda berwajah bopeng itu seperti lenyap ditelan bumi.

Yang lebih menyulitkan ternyata tembusan danau kecil di tempat persembunyian Sangkala tidak ada! Ki Ageng Sora pun sadar tembusan danau itu ada di dalam tanah!

* * *

TUJUH

"Ranjita... Bongara..., Ki Ageng Sora...Tunggulah pembalasanku! Kalian orang-orang yang telah membuatku sengsara," desis Sangkala penuh dendam. Rupanya ingatan akan perlakuan yang diterimanya dari ketiga orang itu membuat Sangkala sadar dari alam pikirannya yang melayang ke masa beberapa bulan lalu.

Bunyi berkerotokan keras seperti tulang patah terdengar seusai desisan penuh dendamnya. Kejadian yang menggiriskan hati. Sebab pemuda berwajah bopeng itu tidak melakukan tindakan apa pun. Agaknya kemarahan membuat tenaga dalamnya berkeliaran sendiri, hingga menimbulkan bunyi berkerotokan seperti itu.

"Tapi bukan hanya kalian yang akan menerima pembalasanku," sambung Sangkala masih dengan berdesis. "Semua penduduk Desa Kawung akan mendapat balasannya. Ha ha ha...!"

Usai berkata, Sangkala melesat meninggalkan tempat itu. Tujuannya Desa Kawung. Pemuda itu hendak membalas sakit hatinya beberapa bulan lalu.

* * *

Sang Surya sudah sejak tadi tenggelam di barat. Sekarang dewi malam yang menggantikan tugasnya menerangi persada. Meskipun saat itu tidak muncul dalam bentuk yang utuh, namun cukup mampu mangusir kegelapan. Apalagi saat itu langit tampak cerah. Bintang-bintang bertaburan di angkasa. Berkelap-kelip ceria karena tidak ada segumpal awan pun menggantung di sana. Hingga suasana persada semakin cerah.

Ternyata tidak hanya suasana di langit saja yang cerah ceria. Hal yang sama pun terjadi di Desa Kawung. Obor terpancang di setiap rumah penduduk dalam jumlah yang lebih banyak dari biasa, sehingga keadaan desa terang benderang. Jelas ada sesuatu yang lain di Desa Kawung.

Dan memang dugaan itu tidak salah. Di mulut desa terpasang umbul-umbul indah dalam bentuk beraneka ragam. Hiasan yang sama dipasang di depan rumah Ki Ageng Sora.

Di tempat tinggal Ki Ageng Sora, di Perguruan Banteng Putih, rampak meriah. Umbul-umbul terpajang berderet rapi dan teratur mulai dari pintu gerbang sampai ke bagian dalam. Obor-obor pun terpancang di sana-sani, membuat tempat itu terang-benderang seperti siang hari.

Rupanya di sana tengah dilangsungkan pesta pernikahan. Sang Mempelai adalah Trijati, putri Ki Ageng Sora, dengan Ranjita, putra Kepala Desa Kawung.

Kesibukan pun melanda Perguruan Banteng Putih. Murid-murid perguruan itu, yang tidak berapa banyak, tampak kerepotan melayani tamu yang datang untuk mengucapkan selamat. Tamu-tamu yang hadir memang tidak sedikit. Karena kedua mempelai sama-sama berasal dari keluarga terpandang. Para tamu tidak hanya dari Desa Kawung. Tapi juga dari desa-desa sekitar.

Sementara itu di pelaminan Trijati dan Ranjita tak henti-hentinya mengembangkan senyum pada tamu-tamu yang datang. Keduanya tampak sangat gembira. Tak aneh, pernikahan itu berlangsung atas dasar cinta kasih mereka berdua.

Tidak jauh dari sepasang mempelai, di tempat duduk kehormatan, duduk keluarga Ki Ageng Sora, keluarga Kepala Desa Kawung, dan tamu-tamu kehormatan, yang terdiri dari kepala-kepala desa dan ketua-ketua perguruan silat di sekitar Desa Kawung. Mereka terlihat tidak kalah gembiranya dengan kedua mempelai. Sesekali terdengar gelak tawa di antara pembicaraan mereka.

"Pernikahan putrimu membuatku merasa tua sekali, Sora," ucapan itu keluar dari mulut seorang lelaki berpakaian coklat. Raut wajahnya gagah dengan kumis tebal melintang menghias bawah hidungnya.

"Mengapa kau berkata demikian, Loka?!" tanya kakek berpakaian kuning tersenyum geli. Meskipun senyum menghias bibirnya, tapi tetap saja tidak mampu mengusir keangkeran kakek itu. Bentuk wajahnya yang persegi mirip harimau penuh ditumbuhi bulu. Tidak hanya kumis dan jenggot, tapi juga cambang! Sepasang alisnya tebal dan hitam. Tubuhnya tinggi besar. Pada bagian dada kiri pakaiannya tersulam gambar kepala seekor harimau! Lengkaplah sudah semua yang membuat kakek itu terlihat angker.

"Betapa tidak, Jayeng?!" sahut lelaki berkumis melintang yang dipanggil Loka meminta dukungan. "Kau kan tahu usiaku hanya selisih satu tahun dengan Ki Ageng Sora. Kalau anaknya sudah berkeluarga, bukankah sebentar lagi dia akan menjadi kakek?! Itu berarti aku tidak muda lagi?!"

"Ha ha ha..!"

Serempak Ki Ageng Sora dan kakek berpakaian kuning yang dipanggil Jayeng, sebenarnya mempunyai nama lengkap Jayeng Praja, tertawa bergerak. Geli mendengar pertanyaan Loka yang bernama lengkap Loka Arya.

"Mengapa kalian tertawa?!" tanya Loka Arya setengah memprotes.

"Kami merasa geli, Loka," Ki Ageng Sora menjawab setengah tertawa. Rupanya perasaan geli masih melanda hatinya.

"Benar, Loka," sambut Jayeng Praja, "Sepertinya kau khawatir menjadi tua?! Percayalah, sekalipun tua kau masih disegani kawan dan ditakuti lawan! Meskipun bertambah tua kau tetap berjuluk Pendekar Tinju Maut!"

"Tepat!" timpal Ki Ageng Sora cepat, "Bahkan aku berani bertaruh keampuhan tinjumu semakin meningkat dengan semakin bertambahnya usiamu!"

"Ha ha ha...!" sekarang ganti Loka Arya berjuluk Pendekar Tinju Maut tertawa terkekeh. "Luar bisa! Ternyata waktu yang sekian lama tidak mengubah sikap kalian! Kurasa sudah saatnya kalian berdua membuang semua pujian kosong itu! Apa hebatnya ilmu 'Tinju Maut'ku dibanding jurus 'Harimau Terbang' milikmu, Jayeng?! Atau permainan kepalamu yang mampu menghancurkan apa saja yang terbentur, Sora?!" ujar Loka Arya merendah.

"Ha ha ha...!" Ki Ageng Sora dan Jayeng Praja tertawa bergelak.

"Aku telah mendengar kabar perguruanmu menyediakan jasa pengawalan. Untuk orang-orang yang hendak bepergian jauh maupun pengiriman barang berharga. Bukankah demikian, Jayeng?!" sambung Loka Arya.

"Hhh...!" Jayeng Praja menghela napas berat dengan wajah mendadak berubah muram.

Tentu saja perubahan sikap kakek berwajah mirip harimau itu membuat Ki Ageng Sora dan Pendekar Tinju Maut heran. Senyum yang tersungging di bibir mereka langsung lenyap. Dan dengan tatapan penuh selidik serta rasa ingin tahu dipandanginya wajah Jayeng Praja.

"Mengapa, Jayeng?! Adakah ucapanku yang salah dan tidak berkenan di hatimu?!" tanya Pendekar Tinju Maut sungguh-sungguh. Tidak ada lagi nada main-main dalam suara Loka Arya. Seperti juga Ki Ageng Sora, dia tahu Jayeng Praja tidak akan bersikap seperti itu bila tidak ada masalah.

"Tidak, Loka. Tidak ada yang salah dengan ucapanmu," Jayeng Praja menggelengkan kepala sambil tersenyum.

Tapi, Ki Ageng Sora dan Pendekar Tinju Maut bukan orang bodoh. Mereka tahu senyum Jayeng Praja hanya pulasan dan tidak keluar dari lubuk hatinya. Hingga kedua tokoh itu penasaran, terutama Pendekar Tinju Maut yang memang memiliki watak agak berangasan.

"Kalau orang lain mungkin dapat kau bohongi, Jayeng. Tapi, pada kami kau tidak mungkin dapat. Mulutmu dapat membohongi kami, tapi matamu mengatakan yang sebaliknya. Apakah kau tidak percaya lagi pada kami, Jayeng?! Sehingga kau tidak mau mengemukakan persoalan yang kau hadapi?!" terdengar jelas nada penasaran dalam ucapan Pendekar Tinju Maut.

Tapi, Jayeng Praja tetap diam. Melihat kenyataan itu, Ki Ageng Sora khawatir Pendekar Tinju Maut akan mengeluarkan ucapan bernada lebih keras. Maka diputuskannya untuk mendahului bicara.

"Apa yang dikatakan Loka benar, Jayeng. Kami adalah sahabat-sahabatmu. Rasanya tidak pada tempatnya jika kau menyembunyikan masalah yang kau hadapi. Percayalah, masalahmu adalah masalah kami juga. Katakanlah, Jayeng. Jangan buat kami penasaran. Kau ingat ikrar kita setelah menghancurkan Gerombolan Kuda Iblis?!"

Rupanya ucapan Ki Ageng Sora mengenai sasaran. Ada riak di wajah Jayeng Praja, meskipun dia masih tetap diam. Melihat itu, Pendekar Tinju Maut bermaksud menyambung ucapannya yang tadi tertunda karena didahului Ki Ageng Sora. Tapi sebelum maksudnya dilaksanakan, Ki Ageng Sora memberi isyarat agar membiarkan Jayeng Praja.

Meskipun rasa tidak puas melanda hati, Loka Arya bersedia menuruti isyarat rekannya. Dia tahu Ketua Perguruan Banteng Putih itu mempunyai alasan melarangnya berbicara. Dugaan Pendekar Tinju Maut tidak salah. Ki Ageng Sora memang mempunyai alasan kuat. Ketua Perguruan Banteng Putih itu yakin Jayeng Praja terpengaruh ucapannya. Keluarnya penjelasan kakek tinggi besar itu hanya tinggal menunggu waktu. Memang sebenarnya demikian. Ucapan Ki Ageng Sora berpengaruh kuat.

Ucapan itu mengingatkan Jayeng Praja pada masa mudanya. Dulu, lebih dua puluh tahun lalu, dia seperti juga Ki Ageng Sora dan Loka Arya adalah pendekar-pendekar pembela kebenaran. Setiap ada tindak ketidakadilan mereka pasti turun tangan. Dan mereka selalu berhasil menumpasnya. Tak terhitung sudah tokoh-tokoh golongan hitam yang tewas. Sehingga nama mereka bertiga menjulang di dunia persilatan.

Semula ketiga tokoh pembela kebenaran itu tidak saling mengenal. Mereka baru berkenalan dan saling bahu-membahu ketika menghadapi kelompok perampok yang berjuluk Gerombolan Kuda Iblis. Karena setiap kali melakukan keonaran selalu berkuda, dan kuda yang mereka gunakan berwarna putih. Kalau saja tidak bekerja sama, mungkin mereka telah tewas! Gerombolan Kuda Iblis sangat tangguh dan licik. Melalui kerja sama yang rapi, ketiganya berhasil menumpas Gerombolan Kuda Iblis.

Itulah perkenalan mereka yang pertama dan yang terakhir. Sejak saat itu mereka berpisah dan menempuh jalan semula. Berjuang sendiri-sendiri. Namun sebelum berpisah mereka sempat berikrar untuk saling membantu bila ada di antara mereka bertiga yang mendapat kesulitan.

"Hhh...!" Jayeng Praja menghela napas berat teringat akan kejadian itu. Kemudian pandangannya dialihkan pada Ki Ageng Sora dan Loka Arya yang masih menunggunya mengutarakan masalahnya.

"Kalian memang kawan-kawan yang baik, ujar Jayeng Praja mengawali pembicaraan "Semula aku tidak ingin memberitahu siapa pun karena ini tanggung jawabku."

"Lupakanlah pendirianmu yang keliru itu, Jayeng. Ketahuilah, masalahmu adalah masalah kami juga! Bukankah demikian, Sora?!"

Pendekar Tinju Maut segera memotong. Ki Ageng Sora menganggukkan kepala, "Benar, Jayeng, Loka Arya tidak salah. Masalahmu adalah masalah kami. Tentu saja sepanjang masalah itu tidak menyangkut urusan dalam perguruan! Namun, meskipun demikian ada baiknya kau menceritakan pada kami. Jika menurut kami urusan itu terlampau pribadi, dengan senang hati kami akan membiarkanmu menyelesaikan sendiri."

Pendekar Tinju Maut mengangguk-angguk. Ucapan Ki Ageng Sora benar. Pandangan Ketua Perguruan Banteng Putih itu demikian bijaksana. Dalam hati Loka Arya kagum atas sikap Ki Ageng Sora. Bukan hanya Pendekar Tinju Maut yang mengakui kebenaran pendapat Ki Ageng Sora. Jayeng Praja pun demikian. Untuk itu, tidak ada alasan lagi baginya menyembunyikan masalah yang merisaukan hatinya.

"Kalau benar demikian, kalian dengarlah baik-baik," ujar Jayeng Praja. "Seperti yang dikatakan Loka Arya tadi, aku memang mempunyai sebuah perguruan yang kuberi nama Perguruan Harimau Terbang. Cukup banyak murid yang kumiliki. Hingga akhirnya aku mempunyai pemikiran menggunakan kepandaian mereka untuk mencari uang. "

Jayeng Praja menghentikan ucapannya untuk mengambil napas. "Sejak saat itu, Perguruan Harimau Terbang menyediakan jasa pengawalan. Baik untuk pengiriman barang-barang berharga maupun orang yang melakukan perjalanan."

Lagi-lagi Jayeng Praja menghentikan ceritanya. Kali ini digunakan untuk melihat tanggapan kedua rekannya. Tapi Ki Ageng Sora maupun Pendekar Tinju Maut tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dengan sabar mereka menunggu Ketua Perguruan Harimau Terbang itu melanjutkan ceritanya. Sebenarnya baik Ki Ageng Sora maupun Loka Arya sudah dapat menerka kelanjutan cerita Jayeng Praja. Tapi, mereka tidak mau memotong.

Seperti telah sepakat sebelumnya, keduanya memutuskan untuk mendengarkan hingga Jayeng Praja menyelesaikan kisahnya. Dan Jayeng Praja memang melanjutkan ceritanya ketika melihat tidak ada tanggapan dari kedua rekannya.

"Beberapa hari yang lalu, seorang saudagar kaya datang dan meminta putrinya diantarkan ke Kadipaten Kulon. Putri saudagar itu ingin menjenguk kakek dan neneknya. Karena khawatir akan keselamatan putrinya, mengingat perjalanan yang sangat jauh, dia tidak mempercayakan pengawalan itu pada tukang-tukang pukulnya."

Kembali Jayeng Praja menghentikan cerita. Kini lebih lama dari sebelumnya. Tarikan wajah dan sinar matanya menyiratkan perasaan terpukul yang sangat. Ki Ageng Sora dan Pendekar Tinju Maut tidak mau mengusiknya. Mereka membiarkan. Keduanya tahu tidak ada gunanya menghibur Jayeng Praja. Kakek tinggi besar itu tidak membutuhkan hiburan.

"Semula saudagar itu meminta aku sendiri yang mengawal putrinya. Tapi, kuyakinkan bahwa murid-muridku dapat diandalkan," lanjut Jayeng Praja dengan lirih. "Hhh...! Sedikit pun tidak kusangka kekhawatiran saudagar itu tenyata beralasan. Dua hari yang lalu burung merpati putih dengan kain merah di kaki kanannya tiba di perguruanku! Padahal burung merpati dengan kain kuning baru saja tiba. Itu berarti bahaya besar tengah menimpa rombongan yang mengawal putri saudagar itu!"

"Tunggu dulu, Jayeng," potong Pendekar Tinju Maut cepat. "Burung merpati dengan kain merah di kaki kanannya?! Aku tak mengerti maksudmu?!"

Jayeng Praja menatap wajah Loka Arya sejenak. Kemudian beralih pada Ki Ageng Sora. Ketua Perguruan Banteng Putih itu menganggukkan kepala. Ki Ageng Sora juga tidak mengerti maksud Jayeng Praja.

"Begini Sora, Loka. Aku mempunyai cara untuk mengetahui keadaan murid-muridku yang sedang mengadakan pengawalan. Caranya dengan menggunakan burung merpati yang telah kami latih untuk kembali ke perguruan meski dilepas dari tempat mana pun."

Jayeng Praja menjelaskan. Sementara Ki Ageng Sora dan Pendekar Tinju Maut mendengarkan dengan penuh perhatian.

"Rombongan Perguruan Harimau Terbang yang sedang bertugas kuberi tiga buah pita. Masing-masing berwarna hijau, kuning, dan merah. Pita itu untuk diikatkan pada kaki burung merpati. Pita hijau berarti mereka telah sampai di tujuan dengan selamat. Pita kuning berarti rombongan tengah dihadang bahaya. Sedangkan pita merah menunjukkan rombongan mengalami kesulitan menghadapi bahaya yang mengancam. Dengan kata lain, lawan yang dihadapi jauh lebih kuat. Dan di antara mereka ada yang gugur!"

Ki Ageng Sora dan Pendekar Tinju Maut tampak mengangguk-angguk. Rupanya mereka telah memahami maksud ucapan Jayeng Praja.

"Padahal sesaat setelah kedatangan burung dengan pita kuning, serombongan anggota Perguruan Harimau Terbang yang memang telah disiapkan untuk berjaga-jaga sudah akan berangkat. Saat itulah burung berpita merah datang," lanjut Jayeng Praja.

"Jadi..., rombongan cadangan itu tidak jadi diberangkatkan, Jayeng?!" potong Pendekar Tinju Maut.

"Tentu saja jadi, Loka!" jawab Jayeng Praja cepat. "Dengan kuda-kuda pilihan yang tangguh memiliki kecepatan lari mengangumkan rombongan itu berangkat."

"Dan hasilnya... bagaimana, Jayeng?!" tanya Loka Arya tak sabar.

"Menyedihkan," jawab Jayeng Praja dengan suara tersekat di tenggorokan. Agaknya kakek berwajah mirip harimau itu masih terpengaruh dengan kejadian itu. "Mereka semua binasa dalam keadaan menyedihkan. Sedangkan putri saudagar itu lenyap! Entah bagaimana aku harus mempertanggungjawabkan semua ini..!"

"Berdoalah semoga putri saudagar itu tidak mengalami kejadian apa pun," ucap Ki Ageng Sora ketika Jayeng Praja telah menyelesaikan ceritanya.

"Yahhh.... Hanya itu yang dapat kulakukan," sahut Ketua Perguruan Harimau Terbang itu dengan mendesah. "Telah kuperintahkan sebagian besar murid-murid perguruanku untuk mencari putri saudagar itu. Tapi hasilnya nol besar! Kami tidak mendapatkan jejaknya sama sekali!"

"Apakah saudagar itu sudah tahu kejadian yang menimpa putrinya?" tanya Ki Ageng Sora ingin tahu.

DELAPAN

Jayeng Praja menggelengkan kepala. "Belum. Kami belum memberitahukannya. Sulit kubayangkan bagaimana tanggapannya. Hhh...! Entah apa yang harus kulakukan. Kalau harta, mungkin dapat kami usahakan penggantiannya. Tapi ini nyawa manusia. Bagaimana pertanggungjawabannya?"

Terdengar jelas kegetiran dalam suara Ketua Perguruan Harimau Terbang itu. Tarikan wajah dan sorot matanya memancarkan keputus-asaan yang dalam. Sementara Ki Ageng Sora dan Pendekar Tinju Maut saling berpandangan. Mereka sadar tidak ada yang dapat dilakukan untuk menolong Jayeng Praja.

"Apa kau tahu pelakunya, Jayeng?!" tanya Pendekar Tinju Maut tidak berusaha menyembunyikan perasaan geramnya.

Jayeng Praja menggeleng.

"Atau... barangkali kau punya dugaan siapa pelakunya?" kejar Pendekar Tinju Maut.

Lagi-lagi Jayeng Praja menggeleng tidak tahu, "Siapa adanya pelaku pembunuhan itu masih gelap bagiku, Loka," jelas Jayeng Praja. "Orang itu tidak meninggalkan jejak sama sekali."

"Hm...!" Pendekar Tinju Maut menggumam. Tangan kanannya mengelus-elus dagu. Sepasang alisnya berkerut. Tampaknya dia sedang berpikir keras.

"Mungkinkah itu perbuatan orang-orang yang sakit hati dengan tindakan kita dulu?!" duga Ki Ageng Sora tiba-tiba. "Ingat, Jayeng. Kita telah banyak menanam permusuhan di waktu lalu!"

"Itu bisa saja terjadi," sambut Pendekar Tinju Maut mendukung.

"Hhh...!" Jayeng Praja menghela napas berat. Mungkin saja dugaan rekan-rekannya itu benar. Tapi, dia tidak memberikan tanggapan. Sedangkan Ki Ageng Sora dan Pendekar Tinju Maut tidak berbicara lagi. Suasana hening pun melingkupi mereka.

Lain halnya yang terjadi pada kelompok Ki Rawung dengan kepala-kepala desa lain yang menjadi rekannya. Antara Ki Ageng Sora dan Ki Rawung memang telah sepakat untuk duduk di tempat yang agak terpisah. Masing-masing ingin berkumpul dengan kawan lama.

Di kelompok Ki Rawung sesekali terdengar tawa yang cukup memekakkan telinga. Rupanya mereka terlibat percakapan yang menggembirakan. Demikian pula di tempat para tamu lainnya. Suara tawa sesekali meningkahi percakapan mereka. Mendadak....

"Ha ha ha...!" Terdengar rawa keras menggelegar mengalahkan semua tawa yang ada. Suara tawa itu mampu membuat isi dada orang yang mendengarnya tergetar hebat.

Seketika itu pula, semua pasang mata tertuju ke arah asal tawa. Tidak terkecuali Ki Ageng Sora, Pendekar Tinju Maut, dan Jayeng Praja. Sorot mata ketiga tokoh tua itu memancarkan rasa terkejut. Tentu saja semua itu ada alasannya. Mereka merasakan dadanya agak terguncang oleh tawa itu. Ketiga lelaki itu pun sadar pemilik tawa itu memiliki tenaga dalam sangat kuat. Itu berarti seorang yang berkepandaian tinggi. Kalau tidak bermaksud baik tentu merupakan lawan yang sangat tangguh.

Pemilik tawa itu ternyata berada di depan perguruan. Entah bagaimana caranya dia masuk. Tahu-tahu sudah berada di dalam tanpa sepengetahuan murid-murid Ki Ageng Sora yang bertugas menjaga pintu gerbang. Padahal, saat itu suasana sudah sepi. Tidak ada tamu yang datang lagi. Tapi mengapa pemilik tawa itu bisa berada di dalam? Kenyataan itu mengejutkan penjaga-penjaga pintu gerbang. Dengan agak tergesa dua di antara mereka bergerak menghampiri pemilik tawa.

"Hey! Berhenti! Mengapa menimbulkan keributan di sini?! Cepat keluar sebelum kupatahkan kakimu!" ancam seorang murid Perguruan Banteng Putih yang bermulut lebar.

Pemilik tawa itu, yang mengenakan pakaian putih, menghentikan tawanya. Wajahnya tetap di tundukkan seperti tadi. Dengan wajah menunduk dia berbalik menghadapi dua orang murid Perguruan Banteng Putih yang menghampirinya.

"Benarkah kalian mampu melakukannya? Kalau begitu, lakukanlah," sahut sosok berpakaian putih tenang.

Sementara itu Ki Ageng Sora mengernyitkan dahi. Lelaki tinggi kurus itu sedang berpikir. Sepasang matanya menatap penuh selidik ke arah sosok berpakaian putih. Kelakuan Ketua Perguruan Banteng Putih rupanya diperhatikan rekan-rekannya Jayeng Praja dan Pendekar Tinju Maut menjadi heran.

"Mengapa, Sora?! Apa kau mengenalnya?" tanya Jayeng Praja ingin tahu.

"Entahlah, Jayeng," jawab Ki Ageng Sora tidak yakin. "Rasanya aku pernah mendengar suaranya. Bukan hanya mendengar, tapi kenal betul. Tapi aku lupa, kapan dan di mana"

Jayeng Praja dan Pendekar Tinju Maut bertukar pandang mendengar jawaban lelaki tinggi kurus itu.

"Ingat-ingatlah, Sora. Coba perhatikan baik-baik," beritahu Pendekar Tinju Maut, "Aku yakin kau benar. Kau dan dia saling mengenal. Kau lihat sendiri kan. Orang itu seperti menyembunyikan wajahnya agar tidak terlihat."

"Yang dikatakan Loka Arya memang tidak salah, Sora," dukung Jayeng Praja, "Aku juga yakin kau dan dia saling kenal"

Ucapan rekan-rekannya memaksa Ki Ageng Sora untuk terus memperhatikan sosok berpakaian putih. Ingin diketahuinya bagaimana tindakan sosok itu dengan ancaman dua orang muridnya. Syukur jika di antara mereka terjadi pertarungan. Barangkali dari gerakannya bisa diketahui siapa sebenarnya sosok berpakaian putih itu.

Sementara murid Perguruan Banteng Putih yang berbibir tebal sudah tidak kuat lagi menahan sabar. Tanpa menunggu lebih lama serangannya yang berupa pukulan bertubi-tubi dilancarkan ke arah dada sosok berpakaian putih!

"Hmh!" Sosok berpakaian putih mendengus melihat serangan itu. Sikapnya jelas memandang rendah serangan lawan. Sosok itu tidak melakukan tindakan apa pun. Tidak mengelak maupun menangkis! Kesudahannya sudah dapat diduga.

Bukkk, bukkk, bukkk!

Berturut-turut pukulan lelaki berbibir tebal mendarat di sasaran yang dituju. Namun hasilnya membuat semua mata yang menyaksikan terbelalak. Bukan sosok berpakaian putih yang berteriak-teriak kesakitan, tapi lelaki berbibir tebal.

Murid Perguruan Banteng Putih itu merasakan betapa kedua tangannya bukan memukul tubuh manusia. Tapi gumpalan baja keras yang membuat kedua tangannya sakit. Dan sebelum lelaki berbibir tebal itu sempat berbuat sesuatu, tangan kanan sosok berpakaian putih berkelebat. Cepat bukan main. Sehingga yang terlihat hanya sekelebatan bayangan putih. Bahkan arah yang dituju sukar diketahui. Dan....

Prokkk!

"Akh...!" Lelaki berbibir tebal hanya sempat mengeluarkan jeritan singkat ketika tangan sosok berpakaian putih menghantam pelipisnya hingga hancur. Saat itu juga nyawanya melayang meninggalkan raga.

Tentu saja kejadian yang sangat mengejutkan itu membuat semua orang yang berada di situ terperanjat. Tak terkecuali Ki Ageng Sora, Pendekar Tinju Maut, dan Jayeng Praja.

Hanya sosok berpakaian putih yang bersikap tidak peduli. Tanpa memperhatikan teman murid Perguruan Banteng Putih yang dibinasakannya, tubuhnya dibalikkan. Dan kakinya melangkah menuju tempat sepasang mempelai berada.

Saat sosok berpakaian putih berbalik itulah Ki Ageng Sora melihat wajahnya. Memang hanya sekilas. Tapi itu sudah cukup baginya. Wajah sosok berpakaian putih itu sangat dikenalnya. Orang itu adalah...

"Sangkala...!" desis Ki Ageng Sora kaget. Tak disangka secepat itu murid murtadnya kembali, dengan membawa kepandaian menakjubkan!

"Jadi..., dia muridmu yang murtad itu, Sora.?!" Hampir bersamaan pertanyaan diajukan Pendekar Tinju Maut dan Jayeng Praja. Ki Ageng Sora memang telah menceritakan perihal Sangkala.

Begitu mengetahui sosok berpakaian putih itu Sangkala, Ki Ageng Sora segera mengetahui maksud kedatangannya. Apalagi kalau bukan untuk membalas dendam? Dan dari tindakannya tadi, Ki Ageng Sora tahu tingkat kepandaian Sangkala telah meningkat berlipat kali hanya dalam waktu singkat. Entah bagaimana cara Sangkala mempelajarinya. Ki Ageng Sora tidak mampu menduga.

Melihat Sangkala menghampiri Ranjita dan Trijati, Ki Ageng Sora khawatir bukan main. Ada bahaya besar tengah mengancam keselamatan anak dan menantunya. Maka tanpa pikir panjang lagi, ia itu melompat dari tempat duduknya. Lelaki tinggi kurus itu bersalto beberapa kali sebelum meluruk turun sambil melancarkan serangan berupa cengkeraman ke kepala Sangkala. Gerakannya seperti burung garuda menyambar mangsa.

Melihat serangan itu, Sangkala terpaksa mengurungkan maksudnya mendekati Trijati dan Ranjita. Jika dia bersikeras meneruskan maksudnya, sebelum tercapai, cengkeraman Ki Ageng Sora akan lebih dulu tiba. Sangkala tidak menginginkan hal itu terjadi.

Pemuda itu tahu betapa dahsyatnya serangan itu. Cengkeraman Ki Ageng Sora mampu menghancurkan batu karang yang paling keras. Bisa dibayangkan bila mengenai kepala manusia! Tapi meskipun demikian, Sangkala tidak gentar. Tanpa ragu-ragu dipapakinya serangan itu dengan sampokan kedua tangannya.

Prattt, prattt!

"Aikh...!" Jeritan kaget bercampur kesakitan keluar dari mulut Ki Ageng Sora, ketika tangannya berbenturan dengan tangan Sangkala. Jari-jari tangannya terasa sakit. Bahkan untuk beberapa saat seperti lumpuh. Yang lebih gila tubuh Ki Ageng Sora terpental jauh ke belakang! Padahal Sangkala sedikit pun tidak bergeming. Itu menunjukkan tenaga dalam murid murtad Perguruan Banteng Putih itu berada jauh di atas gurunya.

Tentu saja kejadian itu tidak hanya mengejutkan Ki Ageng Sora. Tapi juga semua yang hadir dan mengenal Sangkala. Tidak salahkah penglihatan mereka? Benarkah Ki Ageng Sora terjengkang karena berbenturan dengan Sangkala, bekas muridnya? Benarkah hanya dalam beberapa bulan pemuda berwajah bopeng itu telah menjadi orang yang demikian hebat? Bagaimana mungkin itu bisa terjadi?

Pertanyaan-pertanyaan itu membebani benak mereka. Tidak terkecuali Jayeng Praja dan Pendekar Tinju Maut. Justru mereka berdua yang mengalami keterkejutan paling besar. Mereka adalah ahli-ahli silat yang berpengalaman luas. Karenanya mereka tahu tidak mungkin Sangkala dapat melampaui Ki Ageng Sora, meskipun mendapat guru yang sangat pandai.

Lagi pula, mana mungkin dalam waktu yang sangat singkat mampu memiliki tenaga dalam melebihi Ketua Perguruan Banteng Putih. Ki Ageng Sora bukan tokoh sembarangan. Dia merupakan tokoh tingkat tinggi golongan putih! Walaupun tidak termasuk datuk, tapi tidak mudah menemukan tokoh yang berkepandaian setingkat dengannya. Namun kenyataannya dalam benturan tenaga Sangkala lebih unggul!

Adakah yang salah? Atau... jangan-jangan Ki Ageng Sora tidak mengerahkan seluruh tenaganya! Mereka tidak tahu Ki Ageng Sora sudah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Kini Ketua Perguruan Banteng Putih itu tidak gegabah lagi melancarkan serangan. Dia sadar Sangkala telah memiliki kepandaian tinggi. Entah dengan cara bagaimana!

Sementara itu, begitu melihat tubuh Ki Ageng Sora terlempar, murid-murid Perguruan Banteng Putih yang berdatangan karena mendengar bunyi ribut-ribut langsung bergerak melancarkan serangan. Tapi...

"Tahan...! Kalian jangan turun tangan! Biar aku yang mengurusnya. Dia bukan Sangkala yang kalian kenal! Dengan mudah akan dibantainya kalian semua!" cegah Ki Ageng Sora buru-buru.

Murid-murid Perguruan Banteng Putih pun mengurungkan maksudnya. Bukan takut pada Sangkala karena belum merasakan kelihaiannya. Tapi karena patuh pada guru mereka.

"Ha ha ha...!" Sangkala tergelak. Pemuda itu tidak gentar meskipun tahu tidak ada jalan keluar meninggalkan tempat itu. Bahkan pemuda berwajah bopeng itu memandang rendah lawan-lawannya.

Melihat hal itu, Ki Ageng Sora tidak sanggup lagi menahan sabar. "Murid laknat! Bila tidak dapat membunuhmu, lebih baik aku mati bunuh diri! Hih!"

Baru saja ucapannya lenyap, Ki Ageng Sora segera melancarkan serangan. Ketua Perguruan Banteng Putih itu membuka serangan dengan tendangan kaki kanan lurus ke arah pusar.

Wuttt!

Hanya dengan mendoyongkan tubuh ke kiri dan tanpa memindahkan kaki, Sangkala berhasil menggagalkan serangan gurunya. Kaki Ki Ageng Sora meluncur beberapa jari di sebelah kanan Sangkala.

Tapi, serangan Ki Ageng Sora tidak berhenti sampai di situ. Kegagalan serangan pertamanya sudah diperhitungkan. Maka begitu Sangkala berhasil mengelak, segera disusuli dengan serangan berikutnya. Sadar akan kelihaian bekas muridnya, Ki Ageng Sora tidak ragu-ragu lagi mengerahkan seluruh kemampuannya.

Hebat bukan main serangan-serangan lelaki tinggi kurus itu. Bunyi menderu, dan mendecit mengiringi bergeraknya tangan serta kakinya. Susul-menyusul hampir tiada henti seperti gelombang laut.

Meskipun demikian Sangkala mampu meredam semua serangan lawan. Lincah bagai kera dan gesit laksana bayangan, Sangkala mengelakkan semua serangan. Itu dilakukannya seperti tanpa mengalami kesulitan sedikit pun.

"Mengingat kau pernah menjadi guruku, kuberi kesempatan padamu untuk menyerangku sebanyak sepuluh jurus. Pergunakanlah sebaik-baiknya, Ki Ageng Sora," ujar Sangkala di sela-sela kesibukannya mengelakkan serangan.

"Tutup mulutmu. Manusia Jahanam!" maki Ki Ageng Sora sangat geram.

Akibatnya, serangan-serangan yang dilancarkannya semakin dahsyat. Itu terjadi karena kemarahannya. Ucapan Sangkala menunjukkan pemuda itu memandang rendah dirinya. Ki Ageng Sora tersinggung dan marah besar! Namun meskipun Ki Ageng Sora menguras seluruh kemampuannya, tetap saja semua serangannya berhasil dielakkan Sangkala.

Sikap sombong pemuda berwajah bopeng itu memang beralasan. Pemuda itu sempat berbicara di saat serangan Ki Ageng Sora datang bertubi-tubi, membuktikan serangan-serangan itu tidak merepotkannya. Jurus demi jurus berlalu. Tak terasa sudah sepuluh jurus Ki Ageng Sora melancarkan serangan. Dan selama itu tak satu pun yang mengenai sasaran.

"Sekarang giliranku...!" ujar Sangkala memperingatkan. "Bersiap-siaplah, Ki Ageng Sora! Ketahuilah, aku tidak ragu untuk membunuhmu!"

"Tutup mulutmu, Jahanam!" Makian penuh kegeraman menyambut ucapan Sangkala. Ditambah dengan sebuah tendangan kaki kanan ke arah leher!

"Hmh!" Sangkala mendengus melihat serangan itu. Tidak terlihat tandatanda dia akan mengelak. Sangkala telah siap melaksanakan maksudnya. Itu terjadi kemudian. Begitu kaki Ki Ageng Sora menyambar dekat, dengan kecepatan yang sukar diikuti mata Sangkala menggerakkan tangan kanannya. Dan…

Tappp!

"Hehhh?!" Ki Ageng Sora memekik kaget melihat pergelangan kakinya dicekal lawan. Tahu ada bahaya besar mengancam kakinya buru-buru ditarik agar lepas dari cekalan. Kembali Ki Ageng Sora dilanda kaget. Jangankan menarik, membuat bergeming pun tidak mampu. Kakinya seperti terjepit catut baja!

"Ha ha ha...!" Sangkala tertawa bergelak melihat wajah Ki Ageng Sora yang merah padam karena mengerahkan seluruh tenaganya. Masih dengan tawa yang belum putus, Sangkala menggerakkan jari-jari tangannya meremas.

Krrrkkk!

"Aaakh...!" Ki Ageng Sora tidak mampu menahan jerit kesakitan ketika tulang kakinya hancur di remas Sangkala.

Tindakan Sangkala tidak berhenti sampai di situ. Tangannya disentakkan. Tak pelak lagi tubuh Ki Ageng Sora terhuyung ke arahnya. Padahal, Ki Ageng Sora telah berusaha menahan. Tapi lelaki tinggi kurus itu tidak mampu. Di saat tubuh Ki Ageng Sora melayang, tangan kanan Sangkala bergerak menghentak ke depan!

Wuttt! Prakkk!

"Akh...!" Hanya jeritan pendek yang dapat dikeluarkan Ki Ageng Sora. Tubuhnya ambruk ke tanah dengan tulang pelipis hancur! Tragis sekali kematian Ketua Perguruan Banteng Putih itu!

Rentetan kejadian itu berlangsung demikian cepat. Tidak seorang pun sempat berbuat sesuatu. Mereka baru sadar ketika tubuh Ki Ageng Sora telah ambruk ke tanah.

"Biadab!" Hampir bersamaan bentakan keras itu dikeluarkan Jayeng Praja dan Pendekar Tinju Maut. Seiring dengan teriakan itu keduanya melesat dari tempat duduk. Cepat gerakan kedua kawan Ki Ageng Sora itu, tapi masih lebih cepat tindakan murid-murid Perguruan Banteng Putih!

Diawali teriakan-teriakan kemarahan mereka menyerang Sangkala. Tempat yang lebih dekat dengan Sangkala memungkinkan serangan mereka tiba lebih dulu dari Jayeng Praja dan Pendekar Tinju Maut.

Karena murid-murid Perguruan Banteng Putih menggunakan senjata dan menyerang serempak, tak pelak lagi hujan senjata meluruk ke berbagai bagian tubuh Sangkala. Tapi dengan kecepatan gerak luar biasa, Sangkala menyelinap di antara sambaran senjata lawan. Serangan murid-murid Perguruan Banteng Putih mengenai tempat kosong! Dan dengan lihai Sangkala melesat keluar dari kepungan.

Pemuda yang diamuk dendam itu melangkah tenang menghampiri Ranjita dan Trijati. Karuan saja Ranjita kelabakan bukan main. Bahaya maut sedang mengancamnya. Sementara Trijati sudah tak sadarkan diri di bangku pengantinnya. Rupanya guncangan batin melihat kematian ayahnya di depan mata terlalu berat untuknya. Tapi sebelum Sangkala berhasil melaksanakan maksudnya pada Ranjita yang telah bersiap-siap mengadakan perlawanan mendadak....

Jliggg!

Jayeng Praja dan Pendekar Tinju Maut telah berada di depannya.

"Manusia Iblis! Orang seperti kau tidak pantas dibiarkan hidup!" geram Jayeng Praja.

Sangkala tersenyum mengejek. Diperhatikannya Jayeng Praja dan Pendekar Tinju Maut sesaat. "Pakaian dan gambar macanmu mengingatkan aku pada orang-orang yang menjadi korban pertamaku. Apa kau mempunyai hubungan dengan mereka?!"

"Ahhh...!" Jayeng Praja berseru kaget. Sungguh tidak disangka akan bertemu penjagal murid-muridnya. "Jadi..., kau yang telah melakukan tindakan keji itu?! Kau telah membunuh murid-muridku. Manusia Biadab! Sekarang katakan di mana gadis yang mereka kawal?!"

"Ooo.... Jadi mereka murid-muridmu? Lalu siapa gadis yang ada di dalam kereta? Anakmukah?!" ejek Sangkala tenang. "Sayang dia tidak cukup kuat melayaniku sampai puas. Maka...."

"Jahanam! Mampus kau!" Tanpa menunggu Sangkala menyelesaikan ucapannya, Jayeng Praja melancarkan serangan dengan geram. Tidak mendengar secara lengkap pun sudah dapat diduga nasib putri saudagar itu. Mati!

Melihat Jayeng Praja telah menyerang, Pendekar Tinju Maut tidak tinggal diam. Dia pun melakukan hal yang sama. Sebab Jayeng Praja tidak akan mampu menghadapi Sangkala sendiri. Tingkat kepandaian Ketua Perguruan Harimau Terbang itu setingkat dengan Ki Ageng Sora.

Tapi rupanya Sangkala tidak berminat untuk bertarung. Pemuda itu tidak menyambut serangan lawan-lawannya. Kakinya digenjot sehingga tubuhnya melayang ke atas melewati kepala kedua penyerangnya. Begitu kakinya mendarat di tanah, Sangkala melesat ke arah Trijati. Jelas, pemuda itu mengincar putri Ki Ageng Sora.

Ranjita pun tidak bisa tinggal diam. Pemuda itu tidak ingin istrinya mengalami nasib serupa dengan Wulan dan Widuri. Maka dengan berani dihadangnya Sangkala. Disambutnya kedatangan pemuda berwatak bejat itu dengan tusukan goloknya.

Namun hadangan itu tidak membuat Sangkala mengurungkan maksudnya. Ditangkapnya golok Ranjita. Hanya dengan sekali sentak tubuh Ranjita dilemparkan. Lalu dengan secepat kilat meluncur ke arah Trijati. Dan....

Tappp!

Begitu tubuh putri Ki Ageng Sora berhasil ditangkap, Sangkala melesat meninggalkan tempat itu. Tentu saja Jayeng Praja, Pendekar Tinju Maut, murid-murid Perguruan Banteng Putih, dan yang lainnya tidak membiarkan hal itu terjadi. Mereka segera menghadang.

Tapi kejadian sebelumnya terulang kembali. Dengan mudah Sangkala berhasil meloloskan diri. Lalu, dengan beberapa kali lesatan, pemuda berwatak bejat itu telah berada di luar bangunan Perguruan Banteng Putih.

Meskipun demikian, Sangkala tidak mengendurkan larinya. Pemuda itu terus melesat dengan kecepatan tinggi. Sehingga dalam waktu singkat bangunan Perguruan Banteng Putih telah jauh ditinggalkan. Baru setelah itu Sangkala mengendurkan larinya. Mendadak....

"Berhenti...!"

Terdengar bentakan keras. Menggelegar laksana sambaran halilintar. Bentakan itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Tapi bukan Sangkala kalau menjadi gentar. Dengan berani pemuda itu menghentikan langkah. Lalu berbalik untuk melihat orang yang telah mengeluarkan bentakan itu.

Empat tombak di depan Sangkala berdiri dua orang muda-mudi. Yang gadis mengenakan pakaian putih dan berambut panjang. Sedangkan orang yang berdiri di sebelahnya seorang pemuda berambut putih keperakan. Pakaian ungu membungkus tubuhnya yang kekar. Siapa lagi kalau bukan Dewa Arak dan Melati.

"Cepat serahkan wanita itu, Manusia Biadab!" tegas Dewa Arak lantang.

"Lagi-lagi kalian," sahut Sangkala tersenyum mengejek, "Kuberi kesempatan pada kalian pergi dari sini sebelum aku merubah keputusan! Cepat! Atau kalian ingin mengalami nasib yang sama dengan rombongan yang kalian temukan di hutan beberapa hari lalu?!"

Dewa Arak dan Melati langsung bertukar pandang mendengar ucapan itu. Mereka sungguh tidak menyangka orang yang menculik mempelai perempuan ternyata orang yang melakukan tindak kekejian terhadap gadis yang telah mereka kuburkan!

Dewa Arak dan Melati telah mengetahui Sangkala menculik mempelai wanita. Di perjalanan mereka bertemu dengan rombongan Jayeng Praja yang melakukan pengejaran.

"Jadi..., kau penjahat terkutuk itu?!" desis Melati geram. "Kalau begitu, mampuslah!"

Wuttt!

Bunyi deru angin keras terdengar ketika Melati melancarkan serangan. Tangan kanannya yang terkembang membentuk cakar diluncurkan ke arah ulu hati Sangkala. Dalam cekaman kemarahan yang menggelegak, Melati mengeluarkan ilmu 'Cakar Naga Merah' andalannya.

"Ah!" Sangkala berseru kaget melihat tangan Melati, sebatas pergelangan, merah seperti darah. Sekali lihat saja dia tahu kepandaian gadis berpakaian putih itu lebih tinggi dari Ki Ageng Sora. Maka Sangkala tidak berani bertindak main-main.

"Hih!" Sambil menggertakkan gigi, dipapakinya serangan Melati dengan pengerahan seluruh tenaga dalamnya. Dan...

Prattt!

Terdengar bunyi keras ketika dua tangan yang mengandung tenaga dalam tinggi berbenturan. Tubuh Melati terjengkang ke belakang. Sedangkan Sangkala terhuyung mundur selangkah. Ini menunjukkan tenaga dalam bekas murid Ki Ageng Sora itu lebih tinggi dari lawan.

Jliggg!

Begitu berhasil mendaratkan kaki di tanah, Melati segera bersiap melancarkan serangan berikutnya. Tapi, maksudnya terpaksa diurungkan ketika Dewa Arak menyentuh lengannya.

"Biar aku yang menghadapinya, Melati. Dia terlalu kuat untukmu," ujar Dewa Arak lembut. Lalu tanpa menunggu tanggapan Melati, Dewa Arak melangkah maju. Guci araknya yang tergantung di punggung segera diambil dan dituangkan ke mulutnya.

Gluk.... Gluk... Gluk...!

Terdengar bunyi tegukan ketika arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak. Sesaat kemudian kedudukan kaki pemuda berambut putih keperakan itu tidak jejak lagi. Oleng ke kanan dan kiri. Ilmu 'Belalang Sakti'nya telah siap dipergunakan!

Sementara itu Sangkala sadar lawannya kali ini jauh lebih pandai dari gadis berpakaian putih. Disadari pula Dewa Arak telah menggunakan ilmu andalan. Maka, tubuh Trijati dilemparkan ke tanah. Lalu pemuda berwajah bopeng itu mempersiapkan jurus 'Kelelawar'!

Diam-diam Sangkala menyesal telah memberitahukan dirinya pelaku tindak kekejian terhadap gadis berpakaian hijau. Itu membuatnya terlibat dalam keributan dengan tokoh-tokoh tingkat tinggi di saat dirinya tidak ingin bertarung. Tapi, nasi telah jadi bubur. Tidak ada jalan lain kecuali bertarung. Dan itulah yang dilakukan Sangkala sekarang.

"Cit, cit, cit!"

Diiringi bunyi berdecit nyaring dan gerakan tangannya, Sangkala melompat menerjang Dewa Arak. Ketika berada di udara, tangan kanannya disampokkan ke pelipis lawan.

Wuttt!

Hanya dengan merendahkan tubuh ke kanan. Dewa Arak berhasil membuat serangan itu mengenai tempat kosong. Sampokan Sangkala lewat beberapa jengkal di atas kepala. Dan karena kuatnya tenaga yang terkandung dalam serangan itu, rambut dan pakaian Arya berkibaran keras.

Kegagalan serangan pertamanya membuat Sangkala penasaran. Maka serangan-serangan susulannya pun semakin dahsyat. Tapi, Dewa Arak sanggup memunahkan. Bahkan serangan balasan yang dikirimkan pemuda berambut putih keperakan itu tidak kalah dahsyat. Pertarungan sengit dan menarik antara dua tokoh muda yang berkepandaian tinggi itu pun tidak bisa dielakkan lagi.

Hebat bukan main pertarungan yang terjadi. Bunyi mendecit, menderu, dan mengaung menyemaraki jalannya pertarungan. Ditambah dengan bunyi tegukan ketika Dewa Arak menenggak araknya di sela-sela berlangsungnya pertempuran.

Jurus demi jurus berlangsung cepat. Kedua belah pihak memiliki kecepatan gerak yang mengagumkan. Dewa Arak dan Sangkala memang menitik-beratkan pada ilmu meringankan tubuh. Tak terasa pertarungan telah berlangsung lebih dari seratus jurus. Dan selama itu belum tampak tanda-tanda pihak yang akan menang. Pertarungan masih berlangsung seimbang.

Kenyataan itu membuat Sangkala gelisah. Dewa Arak terlalu tangguh untuk dapat dirobohkan. Lagi pula, andaikan dapat pun membutuhkan waktu yang lama. Padahal, dia tidak ingin berlama-lama di tempat itu. Sebab keadaannya tidak menguntungkan. Bila Melati turun tangan, atau rombongan pengejar Perguruan Banteng Putih tiba dan mengeroyoknya, dia bisa celaka. Pemikiran ini menyebabkan Sangkala memutuskan untuk melarikan diri. Dan kesempatan untuk itu tiba. Itu terjadi pada jurus keseratus dua puluh tiga.

"Hih!" Sangkala melemparkan tubuhnya ke belakang dengan bersalto beberapa kali. Lalu berbalik dan melesat kabur. Dewa Arak yang sudah bertekad melenyapkan Sangkala tidak membiarkan hal itu. Arya melesat mengejar. Pada malam yang mulai beranjak dini hari itu pun terjadi kejar-mengejar.

Melihat hal itu, Melati tidak tinggal diam. Gadis itu ikut mengejar setelah menyambar tubuh Trijati dan meletakkannya di bahu kanan. Sementara itu Dewa Arak berusaha keras menyusul Sangkala. Tapi jarak antara mereka tidak berubah. Agaknya ilmu lari cepat mereka berimbang. Hingga...

Srakkk!

Sangkala menyelinap ke balik rimbunan semak-semak dan pepohonan. Tapi tanpa ragu sedikit pun Dewa Arak turut menerobos. Namun kenyataan yang dilihatnya membuat Dewa Arak tercengang. Sangkala tidak dijumpai ada di situ. Padahal di balik jajaran semak dan pepohonan terdapat tanah lapang yang membentang luas.

Mengapa Sangkala tidak terlihat lagi? Apakah pemuda berwajah bopeng itu menghilang? Kalau dia terus berlari, tentu akan terlihat oleh Arya. Karena jarak mereka sejak tadi tetap lima tombak.

Rasa penasaran membuat Dewa Arak mengedarkan pandangan ke sekitar tempat itu. Bahkan Arya memeriksa semak-semak dan pepohonan yang hanya sedikit. Tapi tetap saja tidak dijumpai sosok Sangkala. Yang dijumpai pemuda berambut putih keperakan itu hanya beberapa ekor kelelawar yang hinggap di salah satu cabang pohon. Tidak ada lagi yang lain. Saat itulah Dewa Arak melihat Melati di kejauhan tengah berlari ke arahnya.

"Bagaimana, Kakang?!" tanya gadis berpakaian putih itu ketika telah berada di dekat Arya.

"Dia menghilang begitu menyelinap ke balik semak-semak ini, Melati," jawab Arya lesu.

"Ah...! Begitukah?!" Melati tampak agak terkejut. "Lalu, apa yang kita lakukan sekarang?"

Dewa Arak tercenung sebentar seperti sedang berpikir. "Kurasa lebih baik kita kembalikan dulu gadis itu kepada keluarganya. Bagaimana, setuju?!"

Melati mengangguk diikutinya langkah kekasihnya yang telah lebih dulu meninggalkan tempat itu. Dewa Arak dan Melati sungguh tidak tahu seekor kelelawar memperhatikan kepergian mereka. Kelelawar itu adalah penjelmaan Sangkala!

Apakah tindakan Sangkala selanjutnya? Bagaimana dengan pembalasan dendamnya? Dan bagaimana Sangkala dapat memiliki ilmu-ilmu mukjizat hanya dalam beberapa bulan? Siapa tokoh yang menjadi guru Sangkala? Semua pertanyaan itu akan terjawab dalam serial Dewa Arak episode Penjarah Perawan yang merupakan lanjutan episode ini.
SELESAI
Selanjutnya,