Dewa Arak - Penjarah Perawan - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Dewa Arak - Penjarah Perawan
Karya : Ajisaka
Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak Karya Ajisaka
SATU

"Benarkah... penjahat terkutuk itu memiliki ilmu menghilang, Kang?" sebuah suara lembut menguak keheningan malam yang sudah mendekati dini hari.

Sosok berpakaian ungu yang diajukan pertanyaan tidak segera menjawab. Kakinya terus saja dilangkahkan. Saat itu dia dan temannya, seorang wanita muda berpakaian putih, tengah menyusuri Jalan tanah di luar sebuah desa. Tampaknya mereka tidak sedang tergesa-gesa.

"Entahlah, Melati. Aku tidak bisa memastikan. Tapi kalau menurut pendapatku, tidak," jawab pemuda berpakaian ungu yang berambut putih keperakan seraya menoleh.

Gadis berpakaian putih yang ternyata Melati tidak memberi tanggapan. Pandangannya diarahkan ke tanah, seperti tengah menghitung langkahnya.

Sekarang dapat diduga siapa sepasang muda-mudi itu. Ya! Mereka adalah Arya Buana yang berjuluk Dewa Arak, dan Melati. Di bahu kanan Melati terpanggul tubuh seorang wanita berpakaian biru. Wanita itu adalah Trijati.
(Untuk lebih jelasnya silakan baca serial Dewa Arak episode Manusia Kelelawar).

"Kalau tidak menghilang, bagaimana mungkin dia bisa lenyap begitu saja, Kang?!" tanya Melati setelah beberapa saat tercenung.

"Aku sendiri belum bisa menduganya, Melati," Arya mengangkat bahu. "Hhh...! Kalau nanti bertemu lagi, tak akan kubiarkan dia lolos!"

"Benar, Kang! Makhluk keji seperti dia sudah sepantasnya dilenyapkan dari muka bumi!" sambung Melati geram.

Arya diam. Pemuda itu tidak menanggapi ucapan kekasihnya. Dan karena Melati tidak melanjutkan ucapannya, suasana pun jadi hening. Yang terdengar hanya suara serangga malam. Sepasang muda-mudi itu mengayunkan langkah tanpa berkata-kata. Mendadak...

"Kakang...! Lihat...!" seru Melati menudingkan jari telunjuknya ke depan.

Arya mengangguk-anggukkan kepala. Sebenarnya tanpa diberitahu pun dia telah melihatnya. Yang ditunjukkan kekasihnya adalah serombongan orang yang tengah bergerak menuju ke arah mereka berdua. Sekali lihat, Arya dan Melati dapat menduga jumlah rombongan itu tak kurang dari dua puluh orang. Beberapa di antara mereka membawa obor.

"Apakah mereka orang-orang yang melakukan pengejaran terhadap penjahat keji itu, Kang?!" tanya Melati meminta kepastian.

"Kurasa demikian, Melati," jawab Arya, "Bukankah berkat petunjuk mereka kita dapat menemukan penjahat keji itu?!"

"Aku agak ragu, Kang. Tadi jumlah mereka tidak sebanyak itu. Bahkan tidak ada yang membawa obor," bantah Melati.

"Barangkali tadi kejadiannya belum diketahui banyak orang," jelas Arya.

Melati mengangguk-angguk. Rupanya gadis itu menerima penjelasan kekasihnya. Tidak ada lagi pertanyaan yang diajukan. Maka dengan berdiam diri, Arya dan Melati melanjutkan perjalanan.

Pasangan pendekar muda itu menempuh arah yang tengah ditinggalkan rombongan di depan. Sedangkan rombongan itu menempuh arah sebaliknya. Tampaknya mereka saling mendekati. Kedua kelompok itu akhirnya bertemu di tengah perjalanan.

"Maaf, benarkah wanita ini yang dibawa kabur penjahat itu, Ki?" dengan sopan Arya mengajukan pertanyaan pada salah seorang di antara dua kakek yang berada di baris terdepan dalam rombongan yang cukup besar itu.

Pandangan anggota rombongan itu serentak mengarah pada Arya. Untung Melati cepat tanggap. Gadis itu menurunkan tubuh Trijati dari panggulannya. Maka orang-orang itu pun mengarahkan pandangannya pada Trijati yang masih tak sadarkan diri.

"Benar," jawab orang yang ditanya sambil menganggukkan kepala. Dia seorang kakek bertubuh tinggi besar dan terlihat angker karena kumis, jenggot, dan cambang bauknya yang lebat. Siapa lagi kalau bukan Jayeng Praja.

"Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda," ujar kakek berkumis melintang yang berdiri di sebelah Jayeng Praja. Dia adalah Pendekar Tinju Maut.

"Lupakanlah, Ki," jawab Dewa Arak bijaksana. "Merupakan kewajiban kita semua untuk tolong-menolong. Kebetulan aku lewat tempat ini dan mendengar penculikan mempelai wanita."

Jayeng Praja dan Pendekar Tinju Maut mengangguk-angguk membenarkan ucapan Arya. Kemudian keduanya saling bertukar pandang. Hanya sebentar saja. Tapi sudah cukup untuk mengetahui perasaan masing-masing.

Ternyata perasaan yang bergayut di hati mereka sama. Keduanya heran melihat Arya dan Melati berhasil membawa pulang Trijati. Sebab Jayeng Praja maupun Pendekar Tinju Maut tahu Sangkala tidak akan mungkin merelakan Trijati dibawa begitu saja oleh pasangan muda-mudi itu. Arya dan Melati pasti membawa Trijati dengan kekerasan!

Mungkinkah itu? Pertanyaan itu bergayut di benak Jayeng Praja dan Pendekar Tinju Maut. Kalau benar, berarti Arya dan Melati telah berhasil mengalahkan Sangkala! Rasanya mustahil! Kedua kawan Ki Ageng Sora tidak percaya pasangan muda itu mampu mengalahkan Sangkala. Mereka saja, ditambah murid-murid Perguruan Banteng Putih, tidak mampu menghalangi kepergian Sangkala. Mungkinkah Arya dan Melati mampu?

"Maaf, Ki. Kurasa sudah saatnya kami mohon diri. Perjalanan yang akan kami tempuh masih jauh," ucap Arya ketika telah menyerahkan Trijati pada Jayeng Praja.

"Ah! Mengapa terburu-buru, Anak Muda," ujar Ki Rawung. "Kalian berdua baru saja tiba. Tentu masih lelah. Apakah tidak sebaiknya tinggal dulu di desa kami untuk beberapa hari?"

"Benar, Anak Muda," sambung Jayeng Praja, "Rasanya tidak pantas menerima pertolongan tanpa memberikan balasan."

"Maaf, Ki. Kami memberikan pertolongan dengan ikhlas. Tidak terbersit sedikit pun keinginan untuk mendapat balasan," jelas Arya sopan tapi tegas.

"Kami pun tidak menganggap kau memberikan pertolongan dengan pamrih, Anak Muda," lanjut Jayeng Praja cepat karena menyadari kesalahan ucapnya. "Tapi..., maksud kami begini, Anak Muda. Hm.... Rasanya tidak pantas Jika kami tidak mengenalmu, orang yang telah memberikan pertolongan pada kami. Aku, Jayeng Praja."

"Aku Loka Arya," sambung Pendekar Tinju Maut.

"Dan aku, Rawung, Kepala Desa Kawung," sambut Ki Rawung.

"Namaku Arya dan kawanku ini, Melati," balas Arya memperkenalkan diri.

"Arya...."

Hampir bersamaan Jayeng Praja dan Pendekar Tinju Maut menggumamkan nama itu seraya berpandangan satu sama lain. Dahi keduanya berkerut dalam seperti tengah mengingat-ingat sesuatu. Dan rupanya Pendekar Tinju Maut berhasil mengingatnya.

"Arya...?! Rasanya aku pernah mendengar nama itu.... Kalau tidak salah Arya Buana...," Pendekar Tinju Maut menggantung ucapannya.

"Memang itulah namaku selengkapnya, Ki," terpaksa Arya mengakuinya.

"Ah...! Jadi..., sekarang kami berhadapan dengan seorang pendekar muda yang julukannya telah membuat persada ini gempar...!" ujar Jayeng Praja dan Pendekar Tinju Maut bersamaan. "Bukankah kau Dewa Arak...?!"

Seketika itu pula wajah Arya merah padam karena malu dan tidak enak. "Rasanya berita itu terlalu berlebihan, Ki. Dan...."

"Berlebihan atau tidak yang penting sekarang kau harus tinggal di desa ini dulu, Dewa Arak," potong Pendekar Tinju Maut yang memang mempunyai watak sangat terbuka. "Banyak hal yang ingin kami perbincangkan denganmu. Kami yakin kau akan berminat mendengarkannya. Sebab ini ada hubungannya dengan tugasmu sebagai seorang pendekar! Bagaimana? Kau setuju?!"

Dewa Arak tidak segera memberi tanggapan. Pemuda itu tercenung sebentar mempertimbangkannya. Tapi sesaat kemudian kepalanya dianggukkan. Wajah Pendekar Tinju Maut, Jayeng Praja, dan Ki Rawung berseri-seri mendengar persetujuan pemuda berambut putih keperakan itu.

"Sebelumnya kami ucapkan terima kasih atas kesediaanmu memenuhi ajakan kami, Dewa Arak,'' ujar Jayeng Praja gembira.

"Lupakanlah, Ki."

"Kalau demikian, mari ikut kami, Dewa Arak," lanjut Jayeng Praja.

Sesaat kemudian rombongan dari Desa Kawung bergerak ke arah semula. Kali ini jumlah mereka lebih banyak dari sebelumnya. Rombongan itu bertambah dua orang. Arya dan Melati.

* * *

"Ki...." Arya membuka pembicaraan ketika dirinya, Melati, Jayeng Praja, Pendekar Tinju Maut, Ki Rawung, Ranjita, dan dua orang murid utama Perguruan Banteng Putih telah duduk bersila di ruang tengah bangunan Perguruan Banteng Putih.

"Ada apa, Dewa Arak?" tanya Jayeng Praja pelan.

Ucapan Arya memang ditujukan pada Ketua Perguruan Harimau Terbang. Meskipun demikian, semua yang hadir ikut memasang telinga. Mereka ingin mengetahui masalah yang akan dibicarakan Dewa Arak dengan Jayeng Praja.

"Boleh aku mengajukan pertanyaan?" tanya Dewa Arak hati-hati.

''Tentu saja boleh, Dewa Arak," jawab Jayeng Praja cepat, "Dengan senang hati aku akan menjawabnya. Tapi..., tentu saja sebatas pengetahuanku...."

''Terima kasih, Ki. Ucapanmu akan kuperhatikan," janji Arya. "Begini, Ki.... Dalam perjalanan kami berdua menemukan beberapa mayat yang masih baru. Kalau tidak salah... sembilan orang! Ya, sembilan orang! Mereka mengenakan pakaian yang warna dan lambangnya sama dengan pakaianmu. Aku tidak tahu... apakah ini hanya kebetulan... atau memang ada hubungannya?"

"Apakah kau menemukan mayat-mayat itu di dalam Hutan Sawan, Dewa Arak?" tanya Jayeng Praja meminta penegasan setelah termenung sejenak.

"Benar, Ki!" sambut Arya bersemangat. "Kau juga mengetahui kejadian itu?"

"Hhh...!" Jayeng Praja menghela napas berat. Membuang beban yang mengganjal hatinya. "Mayat-mayat yang kau temukan itu memang ada hubungannya denganku, Dewa Arak. Mereka murid-muridku," kemudian dengan singkat tapi jelas, Ketua Perguruan Harimau Terbang itu menceritakan tentang usaha sampingan perguruan silat yang dikelolanya.

"Jadi..., begitulah akhirnya, Dewa Arak. Putri saudagar itu lenyap. Kami tidak tahu nasib yang dialaminya. Tapi menurut Sangkala, gadis itu telah mati. Sangkala yang membunuhnya. Begitu pengakuannya," tutur Jayeng Praja mengakhiri kisahnya.

"Sangkala...?!" Arya mengernyitkan kening. Pemuda itu memang tidak tahu orang yang dikejar-kejarnya bernama Sangkala.

"Orang yang menculik mempelai wanita itu bernama Sangkala, Dewa Arak," kali ini Pendekar Tinju Maut yang memberikan jawaban.

Arya mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti. "Rupanya kalian mengenalnya dengan baik?" Melati ikut berbicara.

"Aku dan dia tidak," jawab Jayeng Praja menunjuk Pendekar Tinju Maut, "Kami bukan penduduk sini. Tapi kenalan Ki Ageng Sora yang kebetulan datang karena mendapat undangan untuk menghadiri pesta pernikahan."

"Jadi..., Sangkala... penduduk desa ini?!" Arya melanjutkan pertanyaan kekasihnya.

"Begitulah, Dewa Arak!" Ki Rawung menyambuti, "Dia adalah murid Ki Ageng Sora, Ketua Perguruan Banteng Putih."

Lalu Kepala Desa Kawung itu menceritakan semua kejadian mengenai Sangkala. Arya dan Melati mendengarkan dengan penuh perhatian. Mereka tidak memotong hingga Ki Rawung menyelesaikan ceritanya.

Sementara itu di luar bangunan Perguruan Banteng Putih, murid-murid perguruan itu tampak berjaga-jaga. Sikap mereka sangat waspada. Terlihat jelas kesungguhan murid-murid Perguruan Banteng Putih. Padahal saat itu suasana di persada terasa panas. Matahari yang berada tepat di atas ke-pala memancarkan sinarnya dengan garang.

Meskipun wajah mereka memancarkan kegarangan, tapi raut kesedihan yang mendalam tetap terlihat! Semalam Ketua Perguruan Banteng Putih tewas di tangan Sangkala. Baru tadi pagi mereka memakamkannya.

Kekhawatiran akan terulangnya peristiwa semalam menyebabkan murid-murid Perguruan Banteng Putih berjaga-jaga, meskipun di siang hari. Sebab tindakan Sangkala tentu tidak akan berhenti sampai di situ. Pemuda berwajah bopeng itu pasti akan terus merongrong hingga sakit hatinya terbalas.

Karena itu mereka terus berjaga-jaga. Mata mereka diedarkan ke sekeliling tempat itu. Bahkan di kejauhan. Tapi kelihatannya keadaan aman. Tidak terlihat tanda-tanda akan ada orang menyatroni Perguruan Banteng Putih.

Karena terlalu memusatkan perhatian pada sosok manusia, murid-murid Perguruan Banteng Putih tidak menaruh perhatian ketika sesosok bayangan hitam sebesar kepalan tangan melesat masuk wilayah perguruan. Padahal, beberapa di antaranya melihat sosok hitam itu adalah kelelawar!

Tapi guncangan perasaan akibat kematian guru sekaligus ketua membuat mereka tidak menyadari keanehan itu. Mana ada kelelawar berkeliaran siang hari? Maka leluasalah kelelawar yang merupakan penjelmaan Sangkala melaksanakan keinginannya.

Lagi-lagi keuntungan berpihak pada Sangkala. Dengan bentuknya yang kecil, pemuda itu tidak mengalami kesulitan memasuki setiap kamar melalui jendela. Baik yang terbuka lebar maupun yang terkuak sedikit.

Entah untuk ke berapa kali menyelusup ke dalam ruangan-ruangan yang ada. Kelelawar penjelmaan Sangkala akhirnya menjumpai ruangan yang dihuni Trijati. Kilatan aneh tampak pada sepasang mata kelelawar jadi-jadian itu melihat Trijati terbaring lemas di pembaringan. Rupanya guncangan batin yang dialami karena kematian ayahnya cukup berat. Sejak kemarin malam hingga sekarang Trijati belum juga sadarkan diri.

Bluppp!

Begitu telah berada di dalam ruangan, kelelawar itu berubah bentuk menjadi... Sangkala! Kepulan asap tipis menyebar. Baru saja Sangkala hendak beranjak mendekati pembaringan, tiba-tiba kelopak mata Trijati bergerak membuka. Bulu mata lentik itu pun mengerjap-ngerjap pelan. Sepasang mata Trijati terbuka.

Namun seketika itu pula membelalak lebar memperlihatkan keterkejutan yang sangat. Sebelum mulut mungil itu mengeluarkan jeritan, Sangkala telah lebih dulu bertindak. Jari telunjuk kanannya ditudingkan! Dan....

Tukkk!

Sekujur tubuh Trijati yang menegang langsung lunglai. Dengan jitu dan dari jauh, Sangkala berhasil menotoknya hingga lemas! Sungguh sebuah ilmu yang mukjizat. Inilah salah satu keistimewaan jurus 'Kelelawar'.

He he he...!" Sangkala tertawa dalam hati melihat rencananya berjalan dengan baik. Kemudian tanpa menunggu lebih lama, mengingat kesempatan yang tidak memungkinkan, dihampirinya Trijati dengan sorot mata liar.

Trijati hanya bisa menatap dengan ngeri. Hanya itu yang dapat dilakukannya. Sangkala telah menotok urat bicaranya, sehingga gadis itu tidak mampu mengeluarkan suara sedikit pun.

"Trijati...," terdengar Sangkala berdesis pelan, "Sungguh tidak kusangka bisa menikmati tubuhmu..."

Usai berkata, pemuda berwajah bopeng itu menindih Trijati. Dengan kasar dan buas diciuminya wajah putri Ki Ageng Sera. Tidak hanya itu. Bagaikan bermata, kedua tangannya menanggalkan pakaian calon korbannya satu persatu. Dengan mulut mengulum bibir Trijati dengan buas, Sangkala berhasil melucuti pakaiannya dan pakaian Trijati. Sekarang tubuh keduanya telah polos sama sekali, tanpa selembar benang pun menutupi.

Seperti juga waktu menjarah tubuh Wulan dan Widuri, kali ini pun Sangkala terlihat demikian bersemangat. Tidak hanya wajah Trijati saja yang dicium. Dengan ganas, kasar, dan penuh nafsu diciuminya juga leher Trijati, terus turun ke dada.

Ingin rasanya Trijati menjerit sekeras-kerasnya agar ada yang datang menolong. Tapi ada daya? Tidak ada sedikit pun suara keluar dari kerongkongannya. Karena takut dan ngeri akan bahaya yang tengah mengancam, Trijati menangis tanpa suara. Hanya linangan air mata yang menjadi tanda ke hancuran hatinya.

DUA

Napas Sangkala memburu seperti habis berlari jauh ketika menciumi sekujur tubuh Trijati. Tangannya sibuk bergerilya. Meraba dan meremas apa yang dapat diremas. Tak lama kemudian, sekujur tubuh Sangkala menegang beberapa saat sebelum akhirnya mengendur kembali.

Sangkala tersenyum puas seraya bangkit dari tubuh Trijati. Dihapusnya peluh yang membasahi sekujur tubuh, tanpa mempedulikan Trijati yang merasa dunia mendadak gelap. Linangan air mata pada kedua pipinya menjadi tanda kehancuran hati putri Ki Ageng Sora. Tapi, di saat Sangkala tengah sibuk dengan pekerjaannya, pendengarannya yang tajam menangkap suara langkah-langkah kaki mendekati tempat itu.

Walaupun dari bunyi langkahnya Sangkala tahu kepandaian pemiliknya tidak perlu dikhawatirkan, tapi pemuda itu tidak berani menganggap remeh. Jika keberadaannya diketahui, bahaya besar mengancamnya. Di situ ada Dewa Arak dan kawannya! Kalau mereka mengeroyoknya pasti dia akan dapat dirobohkan! Sangkala tidak menginginkan hal itu terjadi. Maka, Sangkala buru-buru memberesi pakaiannya dan mengenakan dengan tergesa-gesa.

Kriiittt...!

Bertepatan dengan selesainya Sangkala berpakaian terdengar bunyi bergerit nyaring diiringi membukanya daun pintu kamar. Sangkala terkejut. Saat itu juga dia sadar tidak ada kesempatan baginya untuk kabur atau bersembunyi. Dugaannya tidak keliru. Di ambang pintu berdiri sesosok tubuh kekar seorang pemuda. Ranjita!

"Kau...! Keparat...!" Ranjita bukan main terkejutnya melihat pemandangan yang terpampang di hadapannya. Saat itulah Sangkala mengibaskan tangan kirinya.

Wusss!

Serangkum angin dahsyat menyambar ke arah Ranjita. Tibanya begitu mendadak, sangat cepat. Padahal saat itu putra Ki Rawung sedang tidak bersiap. Maka....

Desss!

"Aaakh...!" Pekikan menyayat keluar dari mulut Ranjita. Tubuhnya terlempar ke belakang. Darah segar memancar deras dari mulut, hidung, dan telinga. Seketika itu pula nyawa Ranjita melayang ke alam baka.

Tapi Sangkala hanya memperhatikan sekilas. Pemuda itu menyadari keadaannya yang tidak menguntungkan, maka tubuhnya segera berbalik. Sangkala bermaksud melarikan diri. Dasar Sangkala memang memiliki watak keji! Dalam kedudukan seperti itu, masih sempat juga dikirimkan totokan jarak jauh ke arah Trijati.

Cittt, tasss!

Tanpa mampu menjerit karena urat bicaranya telah ditotok, Trijati terkulai lemas. Nyawanya telah melayang. Totokan jarak jauh Sangkala memecahkan ubun-ubunnya!

Saat itulah Dewa Arak muncul di ambang pintu. Jeritan menyayat Ranjita terdengar jelas olehnya dan yang lainnya, yang masih terlibat percakapan. Serempak mereka melesat ke arah asal suara. Dewa Araklah yang tiba lebih dulu.

Sekarang, begitu berada diambang pintu dan melihat Sangkala melesat keluar, kedua tangannya segera dihentakkan. Dewa Arak mengirimkan serangan pukulan jarah jauh.

Wusss!

Gelombang angin dahsyat meluncur ke arah Sangkala. Pemuda berwatak bejat itu tampak sangat terkejut. Disadarinya betapa berbahaya serangan jarak jauh Dewa Arak. Tangannya segera dikibaskan memapaki serangan itu dengan pengerahan seluruh tenaga dalamnya. Sehingga....

Blarrr!

Bunyi menggelegar seperti halilintar menyambar terdengar begitu dua pukulan jarah jauh berbenturan. Ruangan itu bergetar hebat seperti akan runtuh. Tubuh Dewa Arak terjengkang ke belakang. Demikian pula Sangkala. Benturan dahsyat itu mengakibatkan tubuhnya terpental ke depan menabrak sebagian jendela.

Brakkk!

Tubuh Sangkala terus meluncur ke bawah. Kamar Trijati memang berada di lantai dua. Rupanya nasib buruk masih menyertai Sangkala. Di saat tubuhnya melayang ke bawah, murid-murid Perguruan Banteng Putih yang sudah mengetahui ada keributan di dalam bangunan menyambut luncuran tubuh Sangkala dengan tusukan senjata. Sangkala kelihatan tidak gugup. Tanpa ragu dipapakinya tusukan beraneka ragam senjata itu dengan tangan dan kaki telanjang!

Tak, tak, takkk!

Bunyi berdetak keras terdengar ketika tangan dan kaki Sangkala berbenturan dengan senjata-senjata itu. Tubuh murid-murid Perguruan Banteng Putih terhuyung-huyung ke belakang dengan tangan terasa sakit.

Sedangkan Sangkala mempergunakan tenaga benturan itu untuk bersalto beberapa kali. Kemudian mendarat di luar kepungan. Dan dengan secepatnya melesat meninggalkan tempat itu. Tentu saja murid-murid Perguruan Banteng Putih tidak membiarkannya. Mereka bergegas mengejar.

Tapi, mereka kalah cepat dengan Dewa Arak! Laksana bayangan, pendekar muda yang julukannya menggemparkan dunia persilatan itu menguntit di belakang Sangkala. Di belakang Dewa Arak, Melati, Jayeng Praja, Pendekar Tinju Maut, dan yang lainnya ikut mengejar.

Meskipun kecepatan lari mereka tidak seperti Dewa Arak maupun Sangkala, tapi tetap saja pengejaran terus dilakukan. Semua itu diketahui dengan pasti oleh Sangkala. Itu sebabnya kecepatan larinya ditambah.

Dewa Arak mengerutkan sepasang alisnya ketika melihat Sangkala melesat ke belakang. Mengapa penjahat keji itu tidak melesat ke depan? Pemuda berambut putih keperakan itu tidak menduga Sangkala mempunyai rencana lain sehingga memilih melarikan diri melalui jalan belakang.

Sebagai bekas murid Perguruan Banteng Putih Sangkala tentu saja mengetahui seluk-beluk bangunan. Pemuda itu tahu di belakang terdapat gudang. Sebuah tempat yang kumuh karena jarang dibersihkan. Malah dibiarkan begitu saja. Ke sanalah Sangkala menuju! Masih berjarak beberapa tombak dari pintu gudang, Sangkala telah menghentakkan kedua tangannya.

Wusss! Brakkk!

Daun pintu gudang langsung hancur berantakan. Serpihan kayu berpentalan tak tentu arah. Tak mampu menahan pukulan jarak jauh Sangkala yang dahsyat. Tanpa menunggu lebih lama, Sangkala melesat ke dalam dan menyelinap!

Dewa Arak tidak berani bertindak gegabah dengan begitu saja masuk. Bukan tidak mungkin Sangkala telah menunggu dan akan membokongnya. Pemuda itu tampak sangat hati-hati ketika melesat masuk ke dalam gudang. Tapi sikap Dewa Arak sia-sia. Tidak terjadi hal-hal yang dikhawatirkan saat telah berada di dalam.

"Hm...." Dewa Arak menggumam pelan seraya merayapi tempat itu dengan pandang matanya. Terlihat jelas tempat itu sudah lama tidak terurus. Debu tebal memenuhi ruangan. Bahkan sarang laba-laba tersebar di setiap sudut.

Gudang itu berbentuk persegi panjang. Ukurannya kurang lebih tiga kali dua tombak. Cukup luas. Bahkan kelihatan terlalu luas. Karena isinya tidak banyak dan tidak ada yang tinggi atau besar. Jadi, tak ada yang dapat dijadikan tempat untuk bersembunyi. Demikian kesimpulan pemuda berambut putih keperakan itu. Arya menjadi penasaran. Itu berarti Sangkala berhasil mengecoh dirinya lagi. Sangkala lenyap kembali seperti sebelumnya!

"Apa yang terjadi, Kang?" tanya Melati yang telah berada di belakang Arya.

"Si keparat itu lenyap lagi, Melati," jawab Arya putus asa.

Bisa dimaklumi perasaan hati Arya saat itu. Di gudang tidak terlihat Sangkala. Padahal, pintu dan jendela tertutup rapat serta dipenuhi debu tebal. Ini membuktikan tidak ada seorang pun yang telah keluar dari dalam gudang.

"Lalu ke mana perginya, Sangkala?" pertanyaan itu bergayut di benak Dewa Arak.

"Bagaimana, Dewa Arak?" begitu tiba, Jayeng Praja mengajukan pertanyaan. Sementara pandangannya diedarkan ke sekeliling ruangan.

Dewa Arak hanya mengangkat bahu.

"Mustahil!" desis Pendekar Tinju Maut yang juga telah tiba. Nada suaranya menyiratkan ketidakpercayaan, "Mungkinkah dia bisa menghilang atau menembus dinding?"

"Apa pun caranya, yang jelas Sangkala mampu meloloskan diri dari kejaran kita!" timpal Ki Rawung tanpa menyembunyikan rasa takut dan ngeri yang mencekam hatinya.

"Maaf, Ki. Kalau menurut pendapatku... tidak mungkin Sangkala meloloskan diri dengan menembus dinding atau menghilang," ujar Dewa Arak.

Jayeng Praja, Pendekar Tinju Maut, dan Ki Rawung segera mengalihkan tatapannya.

"Mengapa kau berpendapat demikian, Dewa Arak?" tanya Pendekar Tinju Maut tidak sabar. Sementara Jayeng Praja dan Ki Rawung menganggukkan kepala mendukung pertanyaan itu.

Arya tidak segera menjawab. Pemuda itu terdiam beberapa saat. "Memang aku mempunyai alasan yang cukup kuat," ujar pemuda berambut putih keperakan itu, "Pertama, berdasarkan pengalamanku sendiri ketika untuk pertama kali dia berhasil menyelamatkan diri secara aneh. Kedua adalah sifat ilmu yang disebutkan Pendekar Tinju Maut. Maaf, bukan maksudku menggurui."

"Buang jauh-jauh perasaan tidak enak itu, Dewa Arak. Dan jelaskan maksud ucapanmu. Aku belum mengerti maksudmu!" sergah Pendekar Tinju Maut.

"Baiklah, Ki. Aku akan menjelaskannya. Pertama kali Sangkala berhasil meloloskan diri dariku adalah ketika dia menyelinap ke balik semak-semak. Berdasarkan itu rasanya tidak mungkin dia menggunakan ilmu yang dapat membuat raganya menembus dinding! Sebab untuk apa ilmu itu digunakan? Tubuhnya tetap terlihat. Jadi, kemungkinan dia menggunakan ilmu 'Halimun'."

Sampai di sini Dewa Arak menghentikan uraiannya. Dilihatnya Jayeng Praja, Pendekar Tinju Maut, Ki Rawung, dan yang lainnya mengangguk-angguk membenarkan pendapatnya.

"Tapi, pendapat ini pun kurasa tidak benar. Bila Sangkala memiliki ilmu 'Halimun' pasti digunakannya dalam pertarungan. Dengan tubuh yang tidak terlihat, lebih mudah baginya untuk mengalahkan lawan," lanjut Arya. "Rasanya hal itu mustahil bila melihat keadaan di sini. Tidak mungkin lenyapnya Sangkala karena menggunakan ilmu 'Halimun'."

"Jelaskan alasan ketidaksetujuanmu dengan dugaan itu, Dewa Arak!" sergah Pendekar Tinju Maut.

"Karena... sepengetahuanku..., ilmu 'Halimun' tidak membuat raga kita menghilang. Tapi hanya menipu pandangan orang. Dengan kata lain, orang yang bersangkutan tetap berada di tempat itu. Hanya mata orang lain tidak melihatnya. Jadi... bila Sangkala mempergunakan ilmu 'Halimun', dia masih berada di sini! Apakah kalian semua yakin dia masih berada di sini?!"

Arya menutup penjelasannya dengan pertanyaan. Pandangannya diedarkan berkeliling ingin melihat tanggapan orang-orang yang hadir. Tapi semuanya terdiam. Tak satu pun memberikan tanggapan.

"Menurutku, Sangkala tidak berada di sini. Kalau dia ada..., tentu kita akan diserangnya. Dengan keadaannya yang tidak terlihat sangat mudah baginya membunuh kita satu persatu," sambung Arya menguatkan pendapatnya.

Tanpa sadar semua yang berada di situ kembali mengangguk-anggukkan kepala.

"Kalau begitu..., bagaimana penjahat bejat itu bisa berada di kamar Trijati, Dewa Arak?! Padahal, penjagaan sangat ketat. Kami yakin bila Sangkala melakukan cara yang wajar akan diketahui kedatangannya," ujar Bongara.

Murid-murid Perguruan Banteng Putih tampak mendukung ucapan Bongara. Pandangan mereka mengatakan semua itu. Mereka merasa telah menunaikan tugas dengan baik. Tapi, mengapa Sangkala dapat masuk juga? Itu yang tidak mereka mengerti.

"Hal itulah yang ingin kutanyakan pada kalian," ujar Dewa Arak cepat, "Perlu kalian ketahui, menurut dugaanku kemungkinan besar ini benar. Sangkala masuk ke tempat ini dengan tidak wajar. Apa ilmu yang digunakannya, belum bisa ditebak. Yang pasti jenis ilmu di dunia persilatan sangat beragam. Banyak! Bahkan tidak terhitung. Banyak diantaranya yang tidak masuk akal! Karena itu, aku ingin mengajukan pertanyaan pada para penjaga. Apa kalian tidak melihat sesuatu selama berjaga-jaga. Apa saja, masuk akal maupun tidak!"

Suasana langsung hening ketika Dewa Arak menyelesaikan perkataannya. Murid-murid Perguruan Banteng Putih saling berpandangan. Dahi mereka berkernyit mencoba mengingat-ingat.

"Ah...! Aku ingat...!" ucap salah seorang dari mereka yang bertubuh kecil kurus. Ucapan yang dikeluarkan setengah berteriak itu membuat semua orang menoleh ke arahnya.

"Katakan, Tambu...!" perintah Ki Rawung tak sabar.

"Di saat tengah berjaga aku melihat sosok hitam sebesar kepalan tangan melesat masuk. Tapi, aku tidak peduli. Saat itu pikiranku hanya tertuju pada Sangkala. Seorang manusia! Bukan binatang!" jelas murid Perguruan Banteng Putih yang bernama Tambu.

"Sosok hitam sebesar kepalan tangan?! Apa kau tidak melihat dengan lebih jelas, Tambu?" tanya Arya meminta penegasan.

Tambu terdiam. Laki-laki itu kelihatan ragu-ragu untuk mengatakannya.

"Katakanlah, Tambu. Jangan ragu-ragu. Percayalah. Sedikit apa pun keterangan yang kau berikan akan berguna banyak untuk melenyapkan Sangkala selama-lamanya," dukung Arya.

"Apa yang dikatakan Dewa Arak benar, Tambu. Katakanlah. Jangan ragu-ragu," timpal Jayeng Praja ikut memberi semangat.

"Aku tidak yakin akan penglihatanku.... Sosok hitam itu terbang sangat cepat. Tapi, dari cara terbangnya bisa kutebak sosok hitam itu adalah kelelawar!"

"Kelelawar?!" Ucapan itu serempak keluar dari mulut semua orang yang berada di situ. Tak terkecuali Dewa Arak dan Melati.

"Apa kau tidak salah lihat, Tambu?!" sergah Ki Rawung. "Kelelawar? Di siang hari seperti ini?! Ah! Kurasa kau mengada-ada!"

Seketika itu pula wajah Tambu merah padam menahan malu. Tapi sebelum sempat menyesali keterangan yang diberikannya, dukungan untuknya pun datang.

"Kurasa dia tidak mengada-ada, Ki! Aku yakni Tambu tidak salah lihat! Sosok hitam yang dilihat Tambu mungkin saja kelelawar. Sedang kemunculannya pada waktu yang tidak tepat karena binatang itu bukan kelelawar biasa. Kelelawar itu merupakan penjelmaan Sangkala!" urai Arya.

"Kau mempercayai keterangannya, Dewa Arak?" tanya Kepala Desa Kawung setengah tak percaya.

"Benar!" Mantap dan tegas jawaban pemuda berambut putih keperakan itu. "Tidak ada alasan bagiku meragukannya, Ki. Bukti-bukti yang kutemukan cukup mendukung keterangan Tambu!"

"Bisa kau jelaskan bukti-bukti yang kau maksud, Dewa Arak?" kejar Ki Rawung masih tak percaya.

"Tentu, Ki," Dewa Arak menganggukkan kepala, "Pertama, waktu Sangkala lenyap ketika menyelinap di balik semak-semak dan pepohonan aku menemukan beberapa ekor kelelawar. Aku yakin satu di antaranya merupakan jelmaan Sangkala. Kedua, lenyapnya Sangkala di sini. Kalian saksikan sendiri, hanya binatang kecil seperti kelelawar yang mampu melewati lubang kecil di atas pintu itu"

Ki Rawung terdiam. Demikian pula Jayeng Praja, Pendekar Tinju Maut, dan yang lainnya. Sesaat kemudian, beberapa murid Perguruan Banteng Putih yang bertugas di bagian belakang angkat bicara.

"Dugaan Dewa Arak benar! Kami melihat seekor kelelawar keluar dari dalam gudang ini. Sayang kami tidak tahu kelelawar itu penjelmaan Sangkala. Kalau tidak... sudah kami sate dia!" geram lelaki bertahi lalat besar di pipi kanan.

"Ah...! Benar demikian?!" tanya Arya penuh semangat.
"Benar!" jawab laki-laki bertahi lalat sambil menganggukkan kepala.

"Kalau demikian, sekarang telah kita ketahui cara Sangkala menghilang. Tapi, ingat jangan ada seorang pun yang membocorkannya. Bila hal ini sampai terdengar Sangkala, pasti dia akan bertindak lebih hati-hati!" ujar Dewa Arak mengingatkan.

"Apa yang kau katakan benar, Dewa Arak. Lebih baik kita bersikap seolah-olah tidak mengetahui cara dia meloloskan diri. Mau tidak mau ini akan membuat kewaspadaannya berkurang. Dengan demikian, kesempatan meringkusnya hanya tinggal menunggu waktu yang tepat!" dukung Pendekar Tinju Maut, "Bukankah demikian, Jayeng?''

"Benar," Jayeng Praja mengangguk, "Tapi... kemungkinan besar aku tidak bisa ikut membantu meringkus penjahat keji itu...."

"Mengapa, Jayeng? tanya Pendekar Tinju Mau heran.

"Hhh...!" Jayeng Praja menghela napas, "Kau kan tahu, Loka. Perguruanku tengah dilanda musibah. Aku harus kembali ke perguruan dan mengabarkan kepada saudagar itu akan kejadian yang menimpa putrinya. Entah bagaimana jadinya...."

Seketika orang-orang pun terdiam. Mereka bisa menerima alasan yang dikemukakan Ketua Perguruan Harimau Terbang. Mereka tahu tidak mungkin menahan-nahan kepergian Jayeng Praja.

"Lagi pula... di sini tenagaku tidak berarti. Berbeda dengan di perguruanku. Di sana kehadiran dan tenagaku sangat dibutuhkan! Dengan keberadaan Dewa Arak di sini, sepuluh orang sepertiku pun sudah tidak berarti. Sekarang juga aku mohon diri kepada kalian semua...," usai berkata, Jayeng Praja mengayunkan kaki meninggalkan tempat itu. Sementara semua yang hadir hanya bisa menatap kepergiannya.

"Hhh...!" Terdengar helaan napas berat. Ternyata Ki Rawung yang mengeluarkannya, "Aku pun tidak bisa berlama-lama di sini. Ranjita anakku, telah meninggal. Aku harus mengurus pemakamannya."

"Sabar, Rawung," cegah Pendekar Tinju Maut, "Lebih baik kita mengurusnya bersama-sama. Bukan hanya Ranjita yang tewas di tangan Sangkala. Trijati pun demikian. Biarlah aku mewakili kawanku, Ki Ageng Sora, untuk mengurus perguruannya. Kurasa dia tidak keberatan."

Sesaat kemudian dengan didahului Pendekar Tinju Maut dan Ki Rawung, rombongan itu bergerak meninggalkan gudang. Tujuan mereka jelas. Tempat pemakaman.

* * *

TIGA

Sementara itu, jauh dari Perguruan Banten Putih, orang yang tengah dibicarakan sedang terbaring lemah dilantai sebuah rumah kosong yang sudah tidak berpenghuni. Tampaknya Sangkala terluka.

''Keparat! Kalau tidak ada kawan-kawannya, sudah kuhancur lumatkan pemuda berambut setan itu'' Desis Sangkala sangat geram. Kemudian pemuda berwatak bejat itu mengusap dadanya. Bagian itu terasa sesak akibat berbenturan pukulan jarak jauh dengan Dewa Arak.

Tapi ini tidak menjadi bukti tenaga dalam Sangkala berada di bawah Dewa Arak. Yang jelas kedudukan Dewa Arak lebih menguntungkan. Sangkala tidak sempat mengerahkan seluruh tenaganya ketika mengadu benturan dengan lawan. Sebab waktunya tidak memungkinkan.

''Kelak akan kucari pemuda berambut setan itu. Akan kubuktikan siapa di antara kami yang paling hebat!'' Desis Sangkala penuh dendam.

"Hhh...!" Sangkala menghela napas berat. Dibiarkannya angan-angannya melayang ke masa beberapa bulan lalu. Sewaktu dirinya belum memiliki kekuatan seperti ini. Saat itu dia sedang dikejar-kejar rombongan dari Desa Kawung yang dipimpin Ki Ageng Sora.

Sangkala tidak tahu Ranjita dan Bongara ikut terjun ke dalam danau untuk menangkapnya. Sayangnya Ranjita tidak berani meneruskan pencariannya karena lubang dinding danau yang mempunyai daya tarik luar biasa. Rombongan dari Desa Kawung pun gagal menangkapnya. (Untuk lebih jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode Manusia Kelelawar)

Sebenarnya ke manakah perginya Sangkala? Benarkah seperti yang diduga Ranjita? Benarkah Sangkala masuk ke dalam rongga di salah satu dinding danau?

Kesimpulan yang didapat Ranjita memang tidak keliru! Sangkala berenang melalui rongga itu. Bukan karena sengaja, tapi secara kebetulan! Kalau Ranjita langsung mundur begitu melihat keanehan pada lobang itu, tidak demikian dengan Sangkala! Ketidakinginan mati secara menyedihkan membuat Sangkala bertindak nekat. Tanpa kenal takut didekatinya lubang itu.

Luar biasa! Meskipun jaraknya masih dua tombak, tubuh Sangkala terseret ke arah lubang. Sangkala yang telah nekat dan lebih rela mati di danau itu tidak melakukan perlawanan. Maka dengan mudah tubuhnya tertarik ke lubang hingga masuk ke dalamnya.

Ternyata kekuatan yang ada di balik lobang itu lebih dahsyat. Sangkala yang telah lelah karena pengaruh luka-lukanya tidak kuat bertahan. Dia pingsan!

Entah berapa lama pemuda itu tidak sadarkan diri. Yang diketahuinya begitu sadar dia telah berada di sebuah ruangan berhawa lembab. Di dekatnya terdapat sebuah sumur yang airnya bergolak ke atas.

Dari keadaan ini Sangkala segera dapat menarik kesimpulan. Tubuhnya dilemparkan ke sini oleh air yang bergolak ke atas itu. Sangkala memperhatikan keadaan sekelilingnya. Lumut dan tumbuhan air menghiasi sekeliling ruangan.

"Akh...!" Sangkala memekik kesakitan ketika berusaha bangkit. Pemuda itu segera teringat akan luka-luka yang dideritanya. Ya! Pada empat bagian tubuhnya telah menancap pisau-pisau Ki Ageng Sora.

Teringat akan hal itu Sangkala mengarahkan pandangan ke belakang pahanya. Pemuda berwajah bopeng itu terkejut. Tidak dijumpainya pisau-pisau itu ada di sana. Sangkala terheran-heran. Bukankah dia belum mencabutnya? Mengapa pisau-pisau itu tidak ada lagi?

Rasa penasaran membuatnya memeriksa punggungnya. Hasil yang didapatkan Sangkala tak berbeda. Pisau-pisau yang menancap punggung kanan dan kirinya juga sudah tidak ada, walaupun rasa sakit masih mendera. Mungkinkah pisau-pisau itu terlepas sendiri ketika tubuhnya tertarik ke rongga dinding danau kecil itu? Tanya Sangkala dalam hati. Atau ada kemungkinan lain?

Tapi hanya sebentar Sangkala membiarkan benaknya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan itu. Sesaat kemudian dilupakannya. Dia tahu pertanyaan itu tak bisa dijawabnya.

Sangkala memutuskan untuk memeriksa ruangan tempatnya terdampar. Meskipun rasa sakit mendera sekujur tubuh dan tenaga yang ada hanya tinggal sisa-sisa, pemuda itu berusaha bangkit. Dengan tertatih-tatih dan lebih mendekati merangkak daripada berjalan, Sangkala meninggalkan tempatnya berbaring. Pemuda itu mulai memeriksa sekitar ruangan. Hasil yang didapatkannya benar-benar mengejutkan!

Ruangan itu ternyata tidak mempunyai jalan keluar. Tapi ada dua buah lubang. Yang satu sebuah lubang bergaris tengah hampir satu tombak dan berjarak sekitar enam tombak dari sumur aneh itu. Tapi lubang itu tertutup batu besar dari luar. Besar dan tampak kokoh.

Sementara lubang yang lain tidak menghubungkan tempat itu dengan dunia luar. Lubang yang ukurannya lebih kecil dari yang pertama menghubungkan ruangan tempat Sangkala berada dengan ruangan lain yang lebih kecil, berbentuk persegi panjang. Ukurannya tak lebih dari tiga dua tombak.

Tapi justru karena tempat yang kecil itu Sangkala terpekik kaget. Langkahnya terhenti di pinggiran lubang. Sepasang matanya hampir tidak berkedip. Sangkala menatap ke salah satu dinding ruangan itu. Pemandangan yang mengejutkan memang berada di sana. Tampak sebuah kerangka manusia dalam keadaan duduk bersila. Kedua tangannya dengan jari-jari terbuka berada di atas lutut.

Setelah berhasil menguasai perasaan, baru Sangkala mengayunkan langkah mendekat. Rasa kagum dan sangat ngeri menggayuti hatinya. Sangkala tahu kerangka itu pasti milik seorang tokoh persilatan. Yang aneh, mengapa meski telah mati tengkoraknya tidak rubuh? Ini merupakan peristiwa yang mengejutkan. Sangkala menduga tokoh itu sangat pandai dan berilmu tinggi. Tapi mengapa dia tewas dalam keadaan seperti itu?

Sambil terus melangkah, Sangkala mengedarkan pandangan berkeliling. Pada dinding yang berada di sebelah ruangan dilihatnya guratan-guratan berbentuk tulisan. Perasaan ingin tahu membuat Sangkala mengarahkan langkahnya ke tempat guratan berada. Hanya dalam beberapa tindak, dia telah berada di dekat dinding itu. Seperti yang diduganya semula, guratan-guratan itu memang berupa tulisan. Bekas murid Perguruan Banteng Putih itu sempat kaget ketika mengetahui tulisan itu dibuat dengan jari tangan manusia!

Sangkala semakin bertambah yakin orang yang telah menjadi tengkorak itu memang seorang tokoh tingkat tinggi. Sebab membutuhkan tenaga dalam tinggi untuk mengguratkan jari pada dinding ruangan yang terbuat dari batu keras itu. Dengan penuh minat, Sangkala membaca tulisan yang tertera di dinding.

Belasan tahun menanggung rindu
Menyiksa diri untuk menuntut ilmu
Semua itu demi si dara ayu
Yang menembakkan panah asmara di hatiku

Harapan hanya tinggal angan
Si dara ayu menolak pinangan
Tak ada guna semua kepandaian
Lebih baik kutemui kematian


"Hhh...!" Sangkala menghela napas selesai membaca tulisan itu. Kini telah diketahuinya sedikit riwayat hidup tokoh yang telah menjadi tengkorak itu.

Tokoh itu ternyata mencintai seorang wanita. Untuk menarik hatinya, ia berkeras sampai memiliki ilmu yang tinggi. Tapi sayang cintanya ditolak si dara ayu. Tokoh itu patah hati. Putus asa. Lalu bunuh diri. Rasa simpati muncul di hati Sangkala. Nasib tokoh itu sama benar dengan dirinya.

Teringat akan tokoh yang telah menjadi tengkorak membuat Sangkala mengalihkan pandangan ke arahnya. Diperhatikannya beberapa saat sebelum kakinya dilangkahkan mendekat.

"Kasihan kau, Kisanak," desis Sangkala penuh haru ingat akan dirinya sendiri. "Kau hidup sendirian. Tidak ada yang menemani. Bahkan sampai mati kau masih tersiksa. Tidak ada yang menguburmu. Tunggulah sebentar. Akan kubuatkan tempat beristirahat yang layak untukmu."

Sangkala lalu menggali sebuah lubang di dalam ruangan. Untung pemuda itu menemukan sebuah pedang. Dengan senjata itu, dia membuat lubang kuburan. Susah payah Sangkala melakukan semua itu. Keadaan dirinya memang tidak memungkinkan. Ditambah lagi tanah di tempat itu keras bukan main.

Akhirnya setelah memakan waktu cukup lama terbentuk juga sebuah lubang untuk mengubur kerangka itu. Semangat Sangkala pun bangkit. Tanpa disadari tubuhnya mulai agak segar karena terbawa semangat. Sangkala kemudian beranjak menghampiri tengkorak tokoh yang malang itu. Untuk terakhir kali, dipandanginya kerangka itu.

Setelah merasa cukup, Sangkala mengulurkan tangan ingin mengangkat kerangka itu dan menguburkannya. Khawatir akan menyebabkan kerusakan, Sangkala bertindak hati-hati sekali. Dicarinya bagian yang sekiranya tidak menimbulkan kerusakan bila kerangka itu diangkat.

Dan ketika sudah merasa yakin akan pilihannya, Sangkala menjulurkan tangan. Dengan hati-hati dicekalnya kerangka itu dan diangkatnya. Tapi baru saja kerangka itu terangkat sedikit, tiba-tiba....

Grrrggghhh...!

Bunyi berderak terdengar keras. Sangkala terperanjat dan melangkah mundur. Ruangan itu terasa bergetar. Dengan rasa tegang, Sangkala menunggu kejadian selanjutnya. Ternyata bunyi berderak keras dan bergetarnya ruangan itu terjadi karena bergesernya lantai ruangan sehingga tercipta rongga! Di dalamnya tampak sebuah peti kecil berwarna hitam dan berukir.

Pemandangan yang terpampang di hadapannya membuat Sangkala merasa heran. Apa isi peti itu? Pertanyaan itu bergelayut di benaknya. Tapi Sangkala tidak memikirkan lebih jauh. Diputuskannya untuk mengubur kerangka itu lebih dulu. Seperti sebelumnya, Sangkala memasukkan kerangka itu dengan hati-hati.

Saat itulah terjadi peristiwa yang mengejutkan. Dari bagian atas ruangan yang tepat berada di atas lubang tempat peti hitam berada meluncur puluhan batang tombak! Bunyi mendesing nyaring mengiringi luncuran tombak-tombak hingga menancap di dasar lubang. Beberapa di antaranya mengenai peti!

"Ah...!" Sangkala bergidik melihatnya. Kalau tadi dia bertindak ceroboh dan langsung memutuskan mengambil peti itu, pasti sudah tewas tersate. Lubang berbentuk bujur sangkar dengan panjang sisi satu tombak itu dipenuhi luncuran tombak dalam jumlah tak kurang lima puluh batang! Bagaimana dia bisa selamat?

Sangkala lalu melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Ditimbuninya lubang yang baru dibuatnya dengan batu-batu dan tanah. Tak lupa dipasangnya sebuah batu berbentuk persegi sebagai nisannya. Setelah itu, Sangkala mengalihkan perhatian pada lubang tempat peti hitam berada. Tapi lubang tidak bisa dimasuki lagi. Karena dipenuhi tancapan tombak.

Namun itu tidak menjadi halangan bagi Sangkala. Tanpa menemui kesulitan dicabutnya tombak-tombak itu. Satu persatu! Berdiri bulu kuduk pemuda berwajah bopeng itu melihat ujung tombak bersemu kehijauan pertanda mengandung racun! Sangkala ngeri membayangkan dirinya menjadi sasaran tombak-tombak itu.

Dalam waktu singkat semua tombak-tombak itu berhasil dicabut Sangkala. Sekarang lubang itu terlihat lagi. Demikian pula peti kecil berukir itu.

"Hhh...!" Sangkala menghela napas lega. Tubuhnya direbahkan sebentar untuk beristirahat. Tampaknya pemuda berwajah bopeng itu telah banyak mengeluarkan tenaga. Padahal, saat itu keadaannya kurang menguntungkan. Tak heran bila dia dilanda rasa lelah yang sangat. Sangkala tidak terlalu lama beristirahat. Ketika rasa lelah mulai berkurang, diputuskannya untuk meneruskan maksudnya.

"Hih!"

Jliggg!

Meskipun dengan agak terhuyung, Sangkala berhasil hinggap di dasar lubang tempat peti berada. Diambilnya peti itu, dan dibawanya naik ke atas. Apa isi peti kecil ini? Pertanyaan itu kembali muncul di benaknya. Karena dorongan rasa ingin tahu yang memuncak, Sangkala membukanya. Peti kecil itu ternyata tidak dikunci. Sehingga Sangkala tidak menemui kesulitan.

Klakkk!

Tutup peti berhasil dibukanya. Tampak setumpuk lembaran kulit binatang berisikan tulisan. Sangkala mengambil lembar pertama dan membacanya.

Muridku...
Apabila surat ini telah kau baca, berarti kau telah menjadi muridku. Kuucapkan selamat! Karena kau akan mewarisi ilmu-ilmu tingkat tinggi. Dengan berhasilnya kau membaca surat ini, kau telah lulus dari dua buah ujian yang kuberikan. Sekali lagi, selamat.
Tertanda: Gurumu.


Sangkala mengangguk-angguk tanda mengerti. Diam-diam pemuda berwajah bopeng itu kagum akan siasat yang dipergunakan tokoh misterius itu. Jika tadi dia bersikap tidak peduli pada kerangkanya, pasti tidak akan menjadi murid tokoh itu.

Tapi hal yang lebih menyeramkan akan dialami bila dia melupakan kerangka yang akan dikuburnya. Bila saat itu dia sampai terpancing, mungkin sekarang Sangkala telah menjadi sate. Sangkala kembali mengulurkan tangan mengambil lembaran yang kedua. Kemudian dibacanya.

Muridku....
Telah kuputuskan untuk mewariskan sebuah ilmu yang lebih pantas dikatakan ilmu mukjizat. Ilmu ini kunamakan jurus 'Kelelawar'. Karena kuambil dan kuciptakan berdasarkan perilaku binatang itu dalam mempertahankan hidupnya. Baik ketika menghadapi musuh maupun calon korbannya.

Ilmu ini kuciptakan bertahun-tahun. Bahkan belasan tahun. Tapi untukmu telah kubuat sedemikian rupa sehingga kau hanya membutuhkan waktu empat puluh satu hari untuk menguasainya.

Caranya adalah dengan bertapa. Selama empat puluh satu hari kau harus bertapa di tempat aku dulu duduk bersemadi sampai ajal menjemputku.

Muridku... perlu kau ketahui, di waktu kau bertapa akan terdapat cobaan-cobaan. Hanya dua macam. Setiap kali lulus dari satu cobaan, kau akan mendapat ganjaran.

Akhirnya kuucapkan selamat berjuang, muridku. Kudoakan kau berhasil menyelesaikan tapamu.
Gurumu.

Sangkala merapikan kembali lembaran-lembaran kulit binatang itu. Kemudian ditutupnya peti itu, dan dikembalikan ke tempat semula.

EMPAT

Sejak saat itu Sangkala melaksanakan petunjuk yang diberikan guru tanpa nama itu. Sangkala mulai bertapa. Dibentuknya sikap seperti orang hendak bersemadi. Duduk bersila dengan punggung lurus. Tapi kedua tangan Sangkala tidak diletakkan di depan dada. Melainkan ditaruh di atas kedua lututnya. Napasnya pun biasa. Tidak menuruti aturan seperti orang bersemadi.

Pemberitahuan yang diberikan gurunya ternyata bukan hanya bualan. Cobaan mulai datang. Tapi Sangkala tidak tahu setelah bertapa berapa lama cobaan itu datang. Cobaan itu terasa aneh bagi Sangkala. Pemuda berwajah bopeng itu memejamkan mata, tapi dia seperti melihat jelas cobaan yang melanda.

Cobaan pertama, muncul kobaran api di sekitar tempatnya bertapa. Dia seperti berada di tengah-tengah. Sangkala merasakan sekujur tubuhnya panas bukan main. Semakin lama rasa panas yang mendera semakin menjadi-jadi. Bahkan Sangkala merasakan tubuhnya seperti terbakar.

Kalau menuruti perasaan, mungkin Sangkala sudah menyerah. Tapi teringat akan dendamnya pada orang-orang yang mengucilkan kehidupannya membuat semangatnya berkobar. Hingga bekas murid Perguruan Banteng Putih itu memutuskan tidak akan menyerah.

Betapapun rasa panas mendera dan dalam pikiran terlihat tubuhnya ditelan api sehingga tidak terlihat lagi, Sangkala terus bertahan. Entah berapa lama siksaan api itu melanda, Sangkala tidak tahu. Yang dirasakan hanya satu, rasa panas yang sangat. Sampai akhirnya api itu mengecil dan padam sama sekali.

Tapi itu tidak berarti ujian telah berakhir. Sama sekali tidak! Begitu api padam, muncul cobaan lain. Angin puyuh datang dan menyergap Sangkala. Kemudian menerbangkannya ke sana kemari sekehendak hati.

Hampir saja Sangkala menjerit dan membatalkan tapanya. Tapi kembali ingatan akan dendamnya membuat pemuda itu berusaha bertahan. Dan seperti juga sebelumnya, angin topan itu akhirnya lenyap. Seiring dengan lenyapnya angin topan, Sangkala merasakan dirinya berada di sebuah tempat yang asing. Semua serba putih. Tidak kelihatan bukit, gunung, batu, pohon maupun rumput. Yang ada hanya hamparan tanah berwarna putih. Tidak ada sesuatu pun di atas tanah itu.

Sejenak Sangkala kebingungan. Kemudian tanpa diketahui dari mana datangnya, di hadapan Sangkala telah berdiri seorang kakek bertubuh sedang berpakaian coklat. Sebenarnya perawakan tubuh kakek berpakaian coklat itu gagah. Dadanya bidang, kekar, dan tegap berisi. Tapi, semua itu tertutup oleh keadaan wajahnya. Wajah kakek itu penuh bopeng seperti bekas kena penyakit cacar!

"Bersiaplah, Sangkala," ujar kakek berpakaian coklat. Nada suara kakek bopeng itu begitu dingin. Demikian pula tarikan wajah dan sorot matanya. Sepertinya bukan milik manusia!

Sangkala agak bergidik juga melihatnya. Apalagi ketika melihat gaya bicara kakek berpakaian coklat itu. Kedua bibirnya tidak bergerak sedikit pun ketika berbicara. Sesuatu yang unik dan tidak masuk akal. Demikian pendapat Sangkala.

"Mengapa bengong, Sangkala?!" tegur kakek bopeng tetap dengan nada dingin, "Jangan membuang-buang waktu. Aku akan mewariskan jurus 'Kelelawar' andalanku. Kau siap menerimanya?"

"Si... siap, Guru!" Sangkala berusaha memantapkan jawabannya. Tapi karena rasa takut masih melanda, suaranya gemetar seperti orang demam.

Namun rupanya kakek berpakaian coklat tidak mempedulikan perasaan yang bergayut di hati Sangkala. Begitu dilihatnya pemuda itu menyatakan kesediaan, langsung saja diberikan petunjuk-petunjuk mengenai jurus 'Kelelawar'. Maka tanpa disadari Sangkala, meskipun pada lahirnya dia bertapa, tapi badan halus atau apa pun namanya tengah mendapat bimbingan gurunya.

Aneh lagi di tempat yang unik itu Sangkala tinggal selama sepuluh tahun! Selama itu dia berlatih keras mempelajari jurus 'Kelelawar'. Hingga Sangkala dapat mengubah dirinya menjadi kelelawar. Tepat sepuluh tahun, ketika dirasakan Sangkala telah menguasai jurus 'Kelelawar' dengan baik, kakek bopeng mengajaknya bicara empat mata.

"Sangkala...!"

"Ya, Guru," jawab Sangkala penuh rasa hormat.

"Kau telah menguasai jurus 'Kelelawar'. Itu berarti waktu perpisahan telah tiba. Jagalah dirimu baik-baik, Sangkala. Sekarang tapamu telah selesai. Selamat tinggal..!" kakek berpakaian coklat yang selama ini telah membimbingnya kemudian lenyap dari pandangan.

Sangkala yang tidak menyangka perpisahan akan terjadi secepat ini tampak kaget bukan main, "Guru...!" seru Sangkala kalap, "Jangan tinggalkan aku, Guru! Kembalilah, Guru! Guru...!"

Sangkala berlari ke sana kemari memanggil gurunya. Tapi usahanya sia-sia. Gurunya tetap tidak menunjukkan diri. Namun Sangkala tidak putus asa. Terus dicarinya kakek bopeng itu. Tenggorokan dan kakinya sampai lelah tetap saja tidak terlihat tanda-tanda gurunya akan muncul.

"Ah...! Guru...! Kembalilah, Guru...!" keluh Sangkala setengah putus asa. Pemuda berwajah bopeng itu menutup wajahnya dengan kedua belah tangan. Cukup lama dia bersikap demikian, sebelum akhirnya menyadari kenyataan gurunya telah pergi.

Maka diputuskan untuk menghentikan usahanya. Kedua tangannya dijauhkan dari wajahnya. Kejadian selanjutnya benar-benar membuat Sangkala membelalakkan mata. Dia telah berada di tempat semula. Ruangan tempat dia menemukan kerangka. Bahkan masih duduk tempat kerangka itu semula berada.

"Ahhh...!" Sebuah keluhan keluar dari mulut Sangkala. Keluhan ketidak mengertian. Sungguh tidak dimengertinya semua kejadian yang dialami. Apakah semua itu bukan mimpi dan benar-benar nyata? Benarkah dia telah mempelajari jurus 'Kelelawar' dari seorang kakek bopeng selama sepuluh tahun di sebuah tempat yang aneh? Tapi, mengapa sekarang dia berada di tempat ini?

Sangkala menggoyang-goyangkan kepala membuang semua pertanyaan yang berkecamuk di benaknya. Kemudian dicobanya untuk mengingat-ingat. Sangkala pun teringat. Dirinya sedang bertapa agar mendapat ilmu dahsyat dalam waktu singkat. Apakah ini berarti tapanya telah selesai dan dia telah mendapat jurus 'Kelelawar'?

Seketika itu pula timbul keinginan di hati Sangkala untuk membuktikannya. Dan betapa gembiranya pemuda itu ketika dirasakan di bawah pusarnya ada hawa aneh yang berputaran keras. Sebagai seorang pesilat Sangkala tahu hawa yang berputar itu adalah tenaga dalam.

"Benarkah aku telah memiliki ilmu yang tinggi?"

Karena penasaran, dicobanya bangkit berdiri. Ingin dibuktikan sendiri benarkah dia telah menguasai jurus 'Kelelawar' dengan cara yang aneh? Tapi Sangkala segera mengurungkan niatnya ketika melihat keadaan dirinya. Tubuhnya kurus kering seperti tidak berdaging. Hanya tinggal tulang dibungkus kulit!

Hampir saja Sangkala menjerit kaget. Pemuda itu baru sadar telah sekian puluh hari tidak makan! Empat puluh satu hari hanya bertapa tanpa makan dan minum. Itu sebabnya, Sangkala membatalkan maksudnya. Khawatir dirinya tidak akan sanggup melatih ilmunya.

Sangkala merubah keputusannya. Pemuda itu ingin mencari makanan untuk mengembalikan keadaan tubuhnya seperti semula. Tapi ternyata di tempat itu tidak ada sesuatu yang dapat dimakan. Betapapun Sangkala berusaha mencari, tetap saja tidak diketemukan. Maka dengan terpaksa dilahapnya lumut dan jamur yang tumbuh di situ.

Selama beberapa hari Sangkala harus menghilangkan rasa jijiknya untuk memakan tumbuh-tumbuhan itu. Sebelum akhirnya dia berhasil keluar dari sana dengan cara menghancurkan batu besar yang menutup lubang keluar ruangan itu.

* * *

"Hhh...!" Sangkala menghela napas berat ketika teringat kembali akan nasibnya sekarang. Dia berlari tunggang-langgang menyelamatkan selembar nyawanya. Itu terjadi karena Dewa Arak ada di tengah-tengah musuhya.

Sangkala sadar selama ada Dewa Arak di Desa Kawung sulit baginya untuk membalas dendam dengan leluasa. Dewa Arak memiliki kepandaian yang tinggi dan tidak berada di bawahnya. Padahal pemuda berambut putih keperakan itu tidak sendiri, masih banyak kawan-kawannya yang lain. Kalau mereka semua turun tangan, pasti dia akan celaka.

Sangkala tidak ingin pengalaman seperti itu terulang lagi. Dia benci menjadi orang kalah. Sejak dulu dirinya selalu kalah. Sekarang pemuda itu tidak ingin kalah lagi. Maka otaknya diputar mencari jalan keluar memecahkan masalah ini.

Cukup lama Sangkala berpikir keras. Sampai akhirnya dia berhasil menemukan cara yang dianggapnya sangat jitu. Kalau Dewa Arak mempunyai pengikut, mengapa dia tidak? Ya! Dia harus mempunyai pengikut agar dapat mengimbangi kedudukan!

Puas akan keputusannya Sangkala tersenyum. Tapi untuk mencari pengikut, luka dalamnya harus disembuhkan lebih dulu. Memang, tidak parah. Tapi Sangkala tidak mau meremehkan. Sesaat kemudian, bekas murid Perguruan Banteng Putih itu terlelap dalam semadinya.

* * *

Sang Surya baru saja menampakkan diri di ufuk timur dalam bentuk bola raksasa merah yang menyorotkan sinar lembut ke bumi. Tiupan angin semilir, kicau burung, serta kokok ayam jantan menyemaraki suasana pagi yang sejuk.

Tapi kesejukan pagi itu tidak dirasakan orang-orang yang berada di depan pintu gerbang Perguruan Harimau Terbang. Sorot ketegangan tampak pada wajah kelima sosok tubuh itu. Dua di antara mereka berpakaian kuning kentang dengan sulaman kepala seekor harimau di bagian dada kiri.

Agaknya dua orang itu murid-murid Perguruan Harimau Terbang. Sedangkan yang tiga orang adalah seorang laki-laki setengah baya bertubuh kecil kurus dan berpakaian indah, didampingi dua orang bertubuh tinggi besar dan bertampang seram.

"Sayang sekali, Tuan. Aku tidak bisa memberikan keterangan. Kami harap sabar menunggu hingga Ki Jayeng Praja kembali," kata murid Perguruan Harimau Terbang yang berambut kemerahan.

"Apa kau bilang?" sambut lelaki berpakaian indah dengan nada tinggi. "Aku harus menunggu?! Hey! Dengar baik-baik! Bila sampai siang nanti tidak juga kudapatkan jawaban mengenai keadaan putriku, jangan salahkan jika aku bertindak sendiri!"

"Keparat!" Murid Perguruan Harimau Terbang yang lain menggertakkan gigi mendengar ancaman itu. Tampak dia sangat marah dan merasa tersinggung. Sepasang matanya yang sipit semakin tidak terlihat karena kebiasaannya menyipitkan mata jika sedang marah.

"Hehhh?! Kau berani memakiku?!" sergah lelaki berpakaian indah. Lelaki setengah baya itu adalah saudagar yang menitipkan putrinya pada pengawalan murid-murid Perguruan Harimau Terbang. "Bodong! Beri dia pelajaran!"

Bodong, salah satu dari dua lelaki bertubuh tinggi besar dan bertampang seram, mengepal-ngepalkan kedua tangannya hingga terdengar bunyi berkerotokan keras. Itu dilakukan sambil mengayunkan kaki lebar-lebar ke arah murid Perguruan Harimau Terbang yang bermata sipit.

Tapi lelaki bermata sipit sedikit pun tidak merasa gentar. Tanpa ragu disambutnya kedatangan Bodong dengan hangat. Dia ikut melangkah maju. Hingga mereka saling mendekati. Sementara saudagar itu, rekan Bodong, dan murid Perguruan Harimau Terbang yang lain menonton. Mereka ingin melihat kejadian selanjutnya.

Dengan mata hampir tidak berkedip, ketiga orang itu menyaksikan Bodong dan murid Perguruan Harimau Terbang telah siap bertarung. Kedua orang itu saling tatap sejenak dalam jarak satu tombak. Mereka seperti sedang mengadu kekuatan pandang mata. Dan sesaat kemudian, Bodong membuka serangan dengan teriakan keras membahana.

Wuttt!

Angin menderu cukup keras ketika Bodong mengayunkan kepalanya yang besar. Arah yang dituju ulu hati!

"Hmh!" Murid Perguruan Harimau Terbang mendengus. Sikapnya menunjukkan dia tak menganggap serangan Bodong suatu ancaman yang membahayakan.

"Hih!" Sambil menggertakkan gigi, lelaki bermata sipit itu menarik kaki kanannya mundur. Pada saat yang bersamaan tangan kirinya diayunkan menetak serangan lawan dengan gerakan dari luar ke dalam! Maka...,

Takkk!

Benturan keras dua tangan yang dialiri tenaga dalam tidak dapat dihindarkan lagi. Tubuh mereka terhuyung mundur. Bodong terhuyung dua langkah. Sementara lawannya empat langkah. Seringai kesakitan terukir di wajah murid Perguruan Harimau Terbang. Tenaga dalam Bodong ternyata lebih unggul. Juga dalam kekuatan tulang tangannya.

"Ha ha ha...!" Bodong tertawa tergelak menyadari kelebihannya. "Sebentar lagi bukan tanganmu, tapi kepalamu yang akan kuhancurkan!"

Usai berkata, Bodong melancarkan serangan bertubi-tubi dengan pukulan kanan kiri. Kali ini bagian yang diserangnya adalah wajah. Rupanya Bodong ingin membuktikan sesumbarnya.

Murid Perguruan Harimau Terbang itu kelihatan tidak berani bertindak gegabah. Disadari kalau lawan memiliki kelebihan, baik dalam tenaga maupun kekuatan tubuh. Maka diputuskannya untuk menghadapi dengan cara lain. Lelaki bermata sipit itu pun melaksanakan rencananya.

"Hih!"

Serangan-serangan Bodong hanya mengenai tempat kosong. Lewat beberapa jengkal di bawah kaki murid Perguruan Harimau Terbang itu. Rupanya, lelaki bermata sipit itu melompat ke atas untuk mengelakkan serangan lawan. Tidak hanya itu. Begitu tubuhnya berada di atas, kakinya dijejakkan ke arah kepala Bodong.

Wuttt!

Bodong menyadari akan bahaya yang mengancam. Lelaki tinggi besar itu tahu jejakan kaki murid Perguruan Harimau Terbang bisa menghancurkan kepalanya. Maka buru-buru dielakkannya serangan itu dengan melakukan lompatan harimau.

"Hup!"

Dengan bertumpu pada kedua tangan, Bodong menggulingkan tubuhnya di tanah. Dan segera bangkit dengan cepat. Bertepatan dengan berhasilnya Bodong memperbaiki kedudukan, laki-laki bermata sipit itu telah siap melancarkan serangan susulan. Keduanya bertukar pandang sekilas dengan sikap waspada karena tahu lawan yang dihadapi tidak dapat dipandang ringan.

Sesaat kemudian, dengan diawali teriakan keras yang memecahkan keheningan suasana pagi, kedua orang itu saling terjang. Pertarungan sengit pun tidak dapat dielakkan lagi. Kedua belah pihak tampak memiliki kemampuan seimbang. Masing-masing mempunyai kelebihan yang berlainan.

Bodong memiliki kelebihan pada tenaga dalam dan kekuatan tubuh. Tapi dalam hal kelincahan lawannya lebih unggul. Dan karena kedua belah pihak menyadari kelebihannya dan mempergunakannya dengan penuh, maka pertarungan pun berlangsung seimbang.

LIMA

Jurus demi jurus berlalu. Tak terasa pertarungan sudah memasuki jurus kedua puluh lima. Selama itu belum tampak tanda-tanda siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Padahal di luar kancah pertarungan telah terjadi perubahan yang cukup menyolok.

Orang yang menyaksikan jalannya pertarungan tidak hanya tiga orang, tapi belasan orang. Riuhnya bunyi pertarungan mengundang murid-murid Perguruan Harimau Terbang lainnya untuk mendatangi tempat itu.

"Kalau dibiarkan terus, pertarungan ini tidak akan pernah berakhir," ujar murid Perguruan Harimau Terbang yang berjenggot panjang. Sambil berkata demikian, lelaki itu mengelus-elus jenggotnya. Kemudian dengan sekali genjot tubuhnya melayang memasuki kancah pertarungan. Dan....

Jliggg!

Ringan laksana sehelai daun kering, lelaki berjenggot panjang mendaratkan kedua kakinya di tanah. Tepat di tengah-tengah arena pertarungan.

Tampak lelaki berjenggot panjang melakukan tindakan yang tepat. Keberadaannya tepat pada saat Bodong dan laki-laki bermata sipit tengah berjauhan. Agaknya dia telah memperhitungkan tindakannya. Keberadaan lelaki itu membuat mereka yang bertarung tidak dapat bergerak lagi.

"Kakang Subali..!" seru laki-laki bermata sipit terkejut.

Lelaki berjenggot panjang yang ternyata bernama Subali tidak bisa memberikan tanggapan. Sebab...,

"Ooo...! Rupanya kalian ingin mengeroyok?!'' ejek Bodong. "Silakan! Silakan...! Jangan kalian kira aku akan gentar!"

"Tutup mulutmu, Kerbau Goblok!" maki Subali geram. Lelaki itu tersinggung mendengar tuduhan Bodong. "Aku bukan orang sepertimu! Cepat menyingkir dari sini sebelum hilang kesabaranku!"

"Ha ha ha...!" Bodong menanggapi peringatan Subali dengan tawa tergelak sambil bertolak pinggang. Tampaknya dia tidak memandang sebelah mata pun pada Subali. "Kau kira aku gampang ditakut-takuti?! Ho ho ho...! Kau keliru, Kambing Tua! Jangankan hanya gertak sambal, ancaman maut sekalipun aku tidak gentar!"

Hebat bukan main pengaruh ucapan Bodong. Wajah Subali merah padam. Sepasang matanya berkilat-kilat menyiratkan kemarahan. Dan bunyi gemeretak keluar dari mulutnya.

"Ingat, Kerbau Goblok! Aku telah memberimu kesempatan! Tapi kau menyia-nyiakan. Jangan salahkan aku jika bertindak keras terhadapmu!"

"Diam, Kambing Tua! Jangan mengembik-ngembik terus! Aku bosan mendengarnya! Hiyaaat...!" Diiringi teriakan keras, Bodong meluruk ke arah Subali. Kedua tangannya yang terkepal dipukulkan bertubi-tubi ke arah dada lawan.

Bet, bet, bet!

Bunyi cukup keras yang mengiringi datangnya pukulan menunjukkan serangan itu dilancarkan dengan pengerahan tenaga dalam cukup tinggi!

Tapi Subali tetap tenang. Ditunggunya hingga serangan Bodong semakin dekat. Ketika hal itu terjadi, lelaki berjenggot panjang itu baru bertindak. Kakinya dilangkahkan ke kanan sambil mendoyongkan tubuh. Hasilnya memang jitu! Serangan-serangan Bodong menyambar lewat beberapa jari di sebelah kirinya.

Saat itulah Subali bertindak! Tangan kirinya diletakkan ke arah kuduk lawan. Bodong terkejut bukan main. Sebisanya lelaki tinggi besar itu berusaha mengelak.

Dukkk!
"Uh...! '' Bodong mengeluh tertahan sebelum ambruk ke tanah. Dia tidak berhasil mengelakkan serangan Subali. Gerakan lelaki berjenggot panjang itu terlalu cepat.

Sekilas Subali menatap Bodong yang pingsan. Kemudian pandangannya dialihkan pada laki-laki berpakaian indah dan rekan Bodong yang sejak tadi hanya menonton.

"Apa arti semua ini, Juragan Bilawa?" tanya Subali seraya menghampiri mereka.

"Aku tidak ada urusan denganmu, Subali!" sergah laki-laki berpakaian indah. "Cepat beritahukan kedatanganku pada Jayeng Praja!"

"Sayang sekali, Juragan Bilawa! Guruku sedang tidak berada di tempat. Mari kita ke dalam dan membicarakan urusan ini!"

"Aku tidak sudi ke dalam, Subali! Aku ingin bicara di sini! Cepat, panggil Jayeng Praja kemari! Tak kusangka dia akan bertindak sepengecut ini!'' seru Juragan Bilawa dengan suara semakin meninggi.

Wajah semua murid Perguruan Harimau Terbang tampak merah padam menahan marah. Beberapa di antara mereka telah mencabut senjata dan siap memenggal kepala orang yang telah mengeluarkan hinaan kotor terhadap ketua perguruan mereka.

Rupanya Subali cukup tanggap akan hal itu. Karena dia pun didera perasaan yang sama. Tapi laki-laki berjenggot panjang itu tidak mau bertindak sembrono. Tangan kanannya segera diangkat untuk menenangkan rekan-rekannya.

"Juragan Bilawa! Ku mohon tarik kembali kata-katamu, atau kau ingin ku lemparkan ke luar seperti anjing buduk?!" ujar Subali dengan suara bergetar.

Juragan Bilawa tahu Subali tidak main-main dengan ancamannya. Maka meskipun amarah yang hebat bergolak di dalam dada, diputuskan untuk sedikit menenangkan diri. Laki-laki berpakaian indah itu tidak ingin dilemparkan Subali

"Sudah kukatakan padamu, Subali. Aku tidak ingin berurusan denganmu. Aku hanya mempunyai urusan dengan Jayeng Praja, ketuamu!" tandas Juragan Bilawa tetap dengan nada tinggi.

"Harus berapa kali kukatakan padamu, Juragan Bilawa?! Guruku sedang pergi karena suatu urusan. Aku, murid kepalanya, ditugaskan untuk menggantikan mengurus perguruan ini. Apa pun masalah pribadi guruku!" jelas Subali.

"Hhh...!" Juragan Bilawa menghembuskan napas berat. Kelihatan jelas dia sangat kecewa mendengar keterangan Subali. Laki-laki berpakaian indah itu tercenung di tempatnya. Kelakuan Juragan Bilawa menjadi perhatian murid-murid Perguruan Harimau Terbang, dan tukang pukulnya. Tapi mereka membiarkan saja. Sesaat kemudian...,

"Baiklah kalau memang demikian, Subali. Aku datang untuk mengetahui nasib putriku...."

"Aku tidak mengerti maksudmu, Juragan Bilawa?" tanya Subali pura-pura tidak tahu.

"Kau tidak usah berpura-pura, Subali!" tuding Juragan Bilawa. "Aku datang kemari untuk menanyakan bagaimana pekerjaan kalian. Apa yang terjadi dengan putriku?! Mengapa dia tidak pernah sampai ke tempat yang dituju?!"

"Hhh...!" Subali menghela napas. Disadari tidak ada gunanya lagi menyembunyikan masalah itu. Dia terpaksa harus memberitahu dengan sejujurnya. Subali lalu menceritakan semua yang diketahuinya tanpa ada yang disembunyikan.

"Jadi... putriku belum ditemukan?! Ohhh...!" keluh Juragan Bilawa. Wajahnya pucat pasi, "Sutini..., apa yang terjadi dengan dirimu...?"

Namun hanya sesaat Juragan Bilawa larut dalam kesedihan. Sebentar kemudian dia telah berhasil menguasai perasaan. Dengan wajah beringas, pandangannya diedarkan berkeliling.

"Harus kalian ketahui... aku tidak bisa menerima hal ini! Kalian harus bertanggung jawab atas lenyapnya putriku!"

Setelah mengeluarkan kata-kata itu, Juragan Bilawa membalikkan tubuh dan berjalan meninggalkan tempat itu. Tanpa banyak cakap, tukang pukulnya mengikuti sambil memanggul tubuh Bodong. Mereka menuju kereta kuda. Sesaat kemudian, debu mengepul tinggi mengiringi kepergian kereta kuda yang bagus dan indah milik Juragan Bilawa. Subali dan adik-adik seperguruannya memandang kereta hingga lenyap di kejauhan.

"Hhh...!" Subali menghela napas. Ditatapnya satu persatu adik-adik seperguruannya. "Perguruan kita berada dalam kesulitan besar. Aku tidak yakin guru dapat menemukan putri Juragan Bilawa," ujar Subali prihatin.

Tidak ada tanggapan atas ucapannya. Murid-murid Perguruan Harimau Terbang terdiam. Seperti juga Subali, mereka merasa prihatin dengan musibah yang menimpa perguruannya.

"Semoga guru berhasil menemukan putri Juragan Bilawa. Dan mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu yang menimpa dirinya," Subali melanjutkan kata-katanya.

Ucapan itu dikeluarkan sambil mengayunkan kaki memasuki bangunan perguruan. Di dalam ucapannya memang terkandung harapan. Tapi semua murid Perguruan Harimau Terbang tahu Subali sendiri tidak yakin dengan ucapannya. Nada ketidakyakinan dapat ditangkap jelas dalam perkataannya.

Meskipun demikian, tak satu pun di antara mereka membuka suara. Takut salah bicara. Lagi pula rasa prihatin membuat mereka kehilangan semangat untuk berbicara.

Yang dapat dilakukan murid-murid Perguruan Harimau Terbang hanya bisa berharap agar putri Juragan Bilawa selamat. Walau mereka tahu harapan itu sangat kecil. Tewasnya seluruh rombongan murid Perguruan Harimau Terbang yang mengawalnya sudah merupakan pertanda buruk.

Dengan benak diliputi masalah putri Juragan Bilawa, murid-murid Perguruan Harimau Terbang kembali ke tempatnya masing-masing. Dalam sekejap suasana hiruk-pikuk pun lenyap. Yang tersisa hanya keheningan. Apalagi ketika pintu gerbang Perguruan Harimau Terbang ditutup.

* * *

"Hiya...! Hiyaaa…!"

Ctarrr!

Sambil mengeluarkan teriakan-teriakan untuk memacu semangat kudanya, Jayeng Praja mengayunkan pecut ke bagian belakang tubuh binatang itu. Usaha Ketua Perguruan Harimau Terbang itu tidak sia-sia. Lari kuda hitam tunggangannya jauh lebih cepat dari sebelumnya.

Jayeng Praja terpaksa menggunakan kuda karena ingin cepat tiba di Perguruan Harimau Terbang. Dia ingin segera menjelaskan permasalahan sebenarnya kepada Juragan Bilawa. Terserah bagaimana tindakan yang akan dilakukan orangtua Surini itu padanya.

Karena ingin buru-buru tiba, Jayeng Praja memacu kudanya seperti orang kurang waras. Perjalanan yang dilakukannya hampir tanpa henti. Dua hari kemudian, dia telah keluar dari Desa Karang Gantung. Itu membuat semangatnya bertambah. Dia hanya tinggal melewati sebuah hutan kecil. Setelah itu, Desa Karang Awang akan dimasukinya. Itulah desa tempat perguruannya berada.

Sang Surya telah hampir mencapai titik tengahnya ketika kuda Jayeng Praja memasuki hutan kecil. Hutan yang dikenal dengan nama Hutan Kapur. Meskipun di dalam hutan, Jayeng Praja tidak mengendurkan lari kudanya. Dengan kecepatan tinggi, binatang tunggangan berwarna hitam itu menapaki jalan tanah di dalam hutan yang ditumbuhi sedikit rumput. Mendadak...

Rrrttt!

"Hieeeh...!"

"Hey!" Jayeng Praja berseru kaget ketika tiba-tiba kudanya terjungkal ke depan seperti terkait sesuatu. Tubuh Ketua Perguruan Harimau Terbang itu pun ikut terjungkal ke depan. Tapi dengan sebuah salto yang manis dan indah dilihat, Jayeng Praja berhasil mematahkan daya dorong tubuhnya. Dan....

"Hup!" Dengan mantap Jayeng Praja berhasil mendaratkan kedua kakinya di tanah. Dan secepat itu pula dia memasang sikap waspada. Lelaki itu melempar pandang ke arah binatang tunggangannya. Kudanya tergeletak di tanah. Tampaknya binatang itu mengalami luka yang cukup parah.

"Paling tidak beberapa kakinya patah!'' Hanya sekilas Jayeng Praja memperhatikan. Kemudian pandangannya dialihkan pada tempat kuda hitam itu terjungkal. Dan..., kewaspadaannya pun semakin ditingkatkan! Di tempat kuda hitam itu terjungkal terentang seutas tambang. Ujung-ujung tambang sebesar ibu jari itu diikatkan pada dua batang pohon yang mengapit jalan yang dilalui kuda Jayeng Praja.

Melihat kenyataan itu, Jayeng Praja segera mengetahui kejadian yang menimpa dirinya telah di rencanakan. Ada seseorang atau mungkin lebih yang sengaja ingin menghalangi perjalanannya. Yakin dengan kesimpulan yang didapatnya, Jayeng Praja mengedarkan pandangan ke arah timbunan semak-semak dan pepohonan yang berada di sekitar tempat itu.

"Keluar kau, Pengecut! Jangan beraninya hanya bermain kucing-kucingan. Ayo, hadapi aku secara terang-terangan. Keluar kau...!" ucapan Jayeng Praja menggema ke seluruh penjuru hutan. Ketua Perguruan Harimau Terbang itu mengerahkan tenaga dalamnya.

Hasilnya langsung terlihat. Semak-semak da pepohonan itu bergerak-gerak diiringi bunyi berkeresekan. Sesaat kemudian, muncul sosok-sosok tubuh yang memiliki perawakan dan raut wajah kasar. Begitu muncul, sosok-sosok kasar itu langsung berpencar. Hanya dalam sekejap Jayeng Praja telah terkurung. Lelaki itu mengedarkan pandangan berkeliling menghitung jumlah mereka.

Lima belas orang, ujar Jayeng Praja dalam hati. Sadar kalau orang-orang kasar itu tidak bermaksud baik, Ketua Perguruan Harimau Terbang tampak bersikap waspada. Urat-urat saraf dan otot-otot tubuhnya menegang. Siap digunakan bila menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan.

Tapi kelima belas orang kasar itu tidak menampakkan tanda-tanda akan melancarkan serangan. Mereka berdiam diri saja. Semula Jayeng Praja heran melihat tingkah para pengepungnya. Mengapa mereka tidak menyerang? Tapi sesaat kemudian, Jayeng Praja mendapat jawabannya.

"Ha ha ha...!" Sebuah tawa keras menggelegar membuat sekitar tempat itu bergetar hebat. Pertanda pemiliknya memiliki tenaga dalam yang sangat kuat. Dan sebelum gema tawa itu lenyap, sesosok bayangan kuning berkelebat. Tahu-tahu di belakang belasan orang kasar itu berdiri angker sesosok tubuh.

"Ha ha ha...! Mengapa tergesa-gesa sekali, Jayeng?! Adakah urusan penting yang ingin kau selesaikan?" ejek sosok yang baru datang. Sosok itu seorang lelaki berwajah kuning. Tubuhnya yang kurus kering terbungkus pakaian dari kulit ular berwarna kuning coklat.

"Ular Muka Kuning...! '' desis Jayeng Praja kaget. Agaknya mengenal tokoh itu.

Ular Muka Kuning adalah seorang seorang kepala rampok yang memiliki kepandaian tinggi. Namun bukan hal itu yang menyebabkan setiap orang takut kepadanya. Tapi tindakannya yang keji dan telengas! Sepengetahuan Jayeng Praja, kepala rampok itu tidak beroperasi di wilayah ini. Mengapa dia berada di sini?

"Mengapa, Jayeng? Kau kaget?!" tanya Ular Muka Kuning. Nada suaranya terdengar merendahkan lawan bicaranya.

Pertanyaan itu membuat alun pikiran Jayeng Praja terputus. "Dengan terus terang kukatakan aku memang terkejut. Sepengetahuanku tempat ini tidak termasuk daerah jarahanmu."

ENAM

"Ha ha ha...!" Ular Muka Kuning tergelak. Sebuah tawa penuh kegembiraan. "Ucapanmu tidak salah, Jayeng. Daerah ini memang bukan wilayahku. Aku juga tidak berminat menjarah daerah-daerah di sekitar tempat ini! Apa yang akan kudapatkan di tempat yang hanya ditinggali penduduk miskin?!"

"Lalu..., mengapa kau dan rombonganmu berada di sini?"

"Karena sebuah pekerjaan yang menjanjikan hadiah besar," jawab Ular Muka Kuning tenang.

"Pekerjaan dengan imbalan besar?" Jayeng Praja mengernyitkan dahi.

"Jangan berpura-pura bodoh, Jayeng!" sergah Ular Muka Kuning. "Apa kau tidak dapat menerka pekerjaan yang kumaksud?"

Wajah Jayeng Praja langsung berubah. Melihat sikap Ular Muka Kuning dan penghadangan yang mereka lakukan, sudah dapat diperkirakan pekerjaan itu. Tapi, Jayeng Praja belum yakin. Benarkah pekerjaan itu ada hubungannya dengan dirinya? Kalau benar, mengapa?

"Apakah pekerjaanmu ada hubungannya dengan diriku, Ular Muka Kuning?"

"Ha ha ha...! Kau lucu sekali, Jayeng!" Ular Muka Kuning tertawa geli. "Bukan hanya berhubungan. Tapi memang menyangkut dirimu! Pekerjaan dengan imbalan besar itu adalah membawamu hidup-hidup ke perguruanmu untuk menyaksikan Perguruan Harimau Terbang lenyap dari muka bumi! Ha ha ha...!"

"Gila!" Tanpa sadar Jayeng Praja menyerukan kata itu.

"Kau kaget, Jayeng?"

"Bukan hanya kaget, Ular Muka Kuning. Tapi juga heran. Aku tidak menyangka kau dan rombonganmu tak ubahnya budak-budak yang dapat disuruh melakukan apa saja. Katakan padaku, siapa yang menyuruhmu?!"

"Rupanya kau termasuk orang yang tidak mempunyai penghargaan atas sebuah tugas, Jayeng!" rutuk Ular Muka Kuning. "Sebagai seorang pemilik jasa pengawalan, seharusnya kau tahu, tidak pantas memberitahu orang yang telah memberi tugas! Apalagi bila yang menanyakan calon korban itu sendiri!"

Jayeng Praja terdiam. Disadari ada kebenaran yang tidak bisa dipungkiri dalam pernyataan Ular Muka Kuning.

"Sekarang bersiap-siaplah, Jayeng Praja. Aku akan memulai tugas yang diberikan padaku!" kali ini ucapan Ular Muka Kuning terdengar penuh wibawa. "Anak-anak! Tangkap dia!"

Tanpa menunggu perintah dua kali, belasan orang kasar yang sejak tadi berdiam diri mendengarkan pembicaraan itu langsung bertindak.

Srat, srat!

Bunyi terhunusnya senjata gerombolan Ular Muka Kuning menyakitkan gendang telinga. Mereka bersenjata golok!

"Uh!" Jayeng Praja menundukkan wajah. Batang-batang golok yang putih berkilat itu tertimpa sinar matahari dan memantul ke wajahnya. Sinarnya menyilaukan mata. Yang lebih menjengkelkan, anak buah Ular Muka Kuning membolak-balik batang golok mereka. Hingga pantulan sinar sang Surya mendarat tepat di wajah Jayeng Praja.

"Cepat lumpuhkan dia, anak-anak!" Ular Muka Kuning yang sudah tidak sabar lagi segera mengeluarkan perintah susulan.

Mendengar perintah itu, rombongan orang kasar yang mengenakan rompi kulit ular berwarna kuning coklat meluruk ke arah Jayeng Praja. Dari mulut mereka keluar teriakan-teriakan keras membahana.

Sing sing sing!

Diiringi bunyi mendesing nyaring, golok-golok itu menyambar ke berbagai bagian tubuh Jayeng Praja.

Jayeng Praja tetap bersikap tenang. Perhatiannya dipusatkan pada pendengaran. Sebab lawan menyerang dari berbagai arah. Malah sebagian dari belakang, tempat yang tak terjangkau sepasang matanya. Kalau mengandalkan penglihatan saja, pasti dia akan celaka.

Begitu serangan-serangan lawan menyambar dekat, Jayeng Praja bertindak cepat. Tanpa ragu-ragu senjata andalannya yang selalu terselip di pinggang dikeluarkan. Sebuah ruyung baja berbatang dua yang antara ujung satu dengan lainnya disambung dengan sebuah rantai baja. Jayeng Praja memutar senjatanya.

Wuk, wuk, wuk!

Bunyi menderu-deru seperti angin ribut segera terdengar. Memang hebat tenaga dalam yang dimiliki Ketua Perguruan Harimau Terbang itu.

Trang, trang, trang!

Terdengar bunyi berdentang nyaring ketika golok-golok yang mengancam tubuh Jayeng Praja tertangkis batang ruyung. Teriakan-teriakan kaget keluar dari mulut anak buah Ular Muka Kuning. Tangan yang menggenggam golok terasa panas dan sakit. Bahkan senjata mereka hampir terlepas dari genggaman.

"Menyingkirlah kalian...! Yang pantas menjadi lawanku adalah pimpinan kalian, Ular Muka Kuning," ucap Jayeng Praja penuh wibawa. Sambil memberikan peringatan, Jayeng Praja memutar-mutar ruyungnya.

"Ha ha ha...!" Ular Muka Kuning tergelak, "Jangan terlalu cepat berbangga diri, Jayeng! Asal kau tahu saja... itu belum apa-apa. Yang mereka lakukan baru sebagian kecil dari kemampuan yang dimiliki. Sabarlah! Tak lama lagi kau akan melihat kedahsyatan anak buahku yang terkenal dengan julukan Gerombolan Ular Maut! Ayo, Anak-anak! Tunjukkan kemampuan kalian!"

Baru saja Ular Muka Kuning mengakhiri ucapannya, anak buahnya yang berjuluk Gerombolan Ular Maut telah bergerak. Terdengar sebuah siulan nyaring pendek. Jayeng Praja tidak mengetahui dari mana asalnya. Yang jelas dari salah seorang di antara anggota gerombolan itu.

Begitu bunyi siulan lenyap, terjadi perubahan besar dengan tindakan Gerombolan Ular Maut. Semua anggota meninggalkan tempatnya masing-masing dan berkumpul di depan Jayeng Praja.

Semula Jayeng Praja menduga siulan itu sebagai tanda dimulainya serangan. Apalagi ketika sesaat kemudian, terlihat ada gerakan-gerakan dari para pengeroyoknya. Ketua Perguruan Harimau Terbang itu pun langsung waspada. Ruyung di tangannya siap dilayangkan. Tapi, Jayeng Praja menghentikan tindakannya ketika mengetahui lawan-lawannya tidak menyerang. Malah berkumpul di depannya.

Sebagai seorang ahli silat yang berpengalaman, Jayeng Praja segera mengetahui lawan mengubah taktik pertarungan. Itu bisa diketahui oleh Jayeng Praja dari kedudukan yang dibentuk lawan-lawannya. Belasan orang kasar itu menyusun diri menjadi dua baris. Jayeng Praja tidak perlu menunggu terlalu lama untuk membuktikan kebenaran dugaannya. Sekejap kemudian, dilihatnya sendiri kenyataan itu.

"Hiaaat...!" Didahului teriakan nyaring lelaki berkulit kemerahan, serangan perdana mereka meluncur. Memang pantas dipuji bentuk penyerangan belasan anak buah Ular Muka Kuning itu. Barisan depan menerjang Jayeng Praja. Dari atas, golok yang tercekal diayunkan ke bagian tubuh atas lawan.

"Hmh...!" Jayeng Praja mendengus, mengejek bentuk penyerangan itu. Apakah hanya seperti ini kemampuan yang dibanggakan Ular Muka Kuning?! Kalau benar, betapa picik pandangannya!

Tapi Jayeng Praja tidak mau membiarkan benaknya dikungkung pikiran-pikiran itu. Maka buru-buru diusirnya! Kemudian perhatiannya dipusatkan untuk menghadapi keroyokan lawan.

"Hih!"

Wuttt! Trangngng!

Bunyi berdentang keras terdengar ketika batang ruyung Jayeng Praja berhasil mematahkan serangan lawan. Kemudian seperti sebelumnya pun terjadi. Tubuh tujuh anggota Gerombolan Ular Maut terjengkang ke belakang dengan tangan terasa sakit. Sementara Jayeng Praja tidak bergeming sedikit pun.

Tapi sebelum Ketua Perguruan Harimau Terbang itu berbuat sesuatu, serangan susulan telah meluncur datang. Itu berasal dari delapan orang yang berada di baris kedua! Berbeda dengan tujuh rekannya, delapan anggota Ular Muka Kuning itu melancarkan serangan lewat bawah. Dengan bersamaan tapi teratur baik, mereka menggulingkan tubuh.

Delapan anak buah Ular Muka Kuning baru bangkit berdiri setelah berada di dekat lawan. Seketika itu pula mereka melancarkan serangan. Yang lebih gila sebagian dari mereka menyerang kaki. Sedangkan sisanya melancarkan serangan ke bagian sekitar perut.

Karuan saja Jayeng Praja terperanjat bukan main. Tibanya serangan itu hanya berselisih waktu sedikit sekali dengan serangan pertama tadi. Akibatnya, Jayeng Praja tidak mempunyai kesempatan untuk menangkis. Terpaksa dia melompat mundur menyelamatkan diri.

Usaha yang dilakukan Ketua Perguruan Harimau Terbang memang tidak sia-sia. Serangan lawan berhasil dipunahkan semua. Tapi seperti juga kejadian sebelumnya, ketika Jayeng Praja belum sempat berbuat lebih jauh, serangan berikutnya muncul. Kali ini dari tujuh orang penyerang pertama. Demikian seterusnya, silih berganti.

Sekarang Jayeng Praja baru mengerti mengapa Ular Muka Kuning begitu membanggakan anak buahnya. Ternyata pimpinan rampok itu tidak membual! Gerombolan Ular Maut memang sungguh luar biasa. Mereka mampu bekerja sama dengan baik. Jayeng Praja benar-benar kewalahan. Sekali pun tidak diberi kesempatan untuk melancarkan serangan balasan. Jayeng Praja hanya dapat mengelak. Paling jauh menangkis. Yang jelas, dia terus dipaksa mundur!

Jayeng Praja menggertakkan gigi. Jika keadaan seperti ini dibiarkan terus dia akan rugi. Robohnya dia hanya tinggal menunggu waktu. Sayang dirinya tidak mampu berbuat sesuatu. Lawan-lawannya tidak memberi kesempatan padanya untuk memperbaiki diri.

Tidak sampai tiga puluh jurus bertarung, napas Jayeng Praja telah memburu. Ini tidak aneh. Usianya telah lanjut dan dari sejak jurus pertama terus dipaksa mengerahkan seluruh kemampuan secara penuh. Pada jurus ke tiga puluh tujuh....

Srat, sret!

"Akh!" Jayeng Praja mengeluh tertahan. Dua serangan lawan tidak dapat dielakkan. Golok-golok itu menyerempet pahanya. Darah tampak merembas keluar dari bagian yang terluka. Dengan sendirinya, gerakan Jayeng Praja agak terhambat. Ketua Perguruan Harimau Terbang memang berhasil mengelakkan serangan golok yang mengancam bagian atas tubuhnya. Tapi, serangan lanjutan yang berupa tendangan dan pukulan tidak mampu dielakkan.

Buk, buk, buk!

Bunyi berdebuk keras mengiringi terjengkangnya tubuh Jayeng Praja ke belakang. Sesaat tubuh itu terhuyung-huyung sebelum akhirnya jatuh terduduk di tanah.

"Cukup...!" Bentakan keras Ular Muka Kuning membuat Jayeng Praja selamat dari serangan Gerombolan Ular Maut. Serentak mereka menghentikan gerakan.

"Ha ha ha...!" Ular Muka Kuning tertawa ketika telah berada di dekat Jayeng Praja. "Bagaimana, Jayeng?! Apakah kau masih meragukan kemampuan anak buahku? Masih banyak kemampuan lain yang mereka miliki!"

"Aku sudah kalah, Ular Muka Kuning! Mau bunuh? Silakan!" ujar Jayeng Praja tanpa rasa takut sedikit pun. Padahal, saat itu keadaannya sangat tidak menguntungkan. Jayeng Praja sudah tidak berdaya. Tubuhnya terbaring di tanah. Tidak mampu bangkit lagi. Luka-luka yang dideritanya cukup parah!

"Sayang sekali, Jayeng. Aku tidak dapat melakukannya. Biarlah orang yang meminta jasaku yang melakukannya," sahut Ular Muka Kuning ringan.

"Sungguh tidak kusangka kau seorang pengecut, Ular Muka Kuning. Siapa orang yang telah menyuruhmu, sehingga kau sangat takut kepadanya?" sindir Jayeng Praja seraya tersenyum mengejek.

"Tutup mulutmu, Bangsat! Hih!"

Tukkk!

"Akh!" Jayeng Praja memekik kesakitan ketika Ular Muka Kuning yang geram mendengar ejekannya menendang mulutnya. Kelihatannya pelan saja. Tapi akibatnya hebat! Beberapa buah gigi Jayeng Praja copot. Tak pelak lagi, darah mengalir keluar.

Meskipun demikian, Jayeng Praja tidak menjadi gentar. Walaupun dari sudut-sudut mulutnya mengalir darah, dipaksakan juga untuk mengulas senyum mengejek.

"Perlu kau ketahui, Manusia Dungu!" lanjut Ular Muka Kuning dengan nada tinggi, "Aku adalah orang yang sangat menghargai janji. Aku telah berjanji membawamu hidup-hidup dan menyerahkan padanya! Kau dengar itu, Manusia Dungu?!"

Kemudian tanpa memberi kesempatan pada Jayeng Praja untuk memberikan tanggapan, Ular Muka Kuning mengalihkan perhatian pada anak buahnya.

"Bawa dia!" perintah pimpinan Gerombolan Ular Maut itu penuh wibawa.

Salah seorang anak buahnya segera mendekati Jayeng Praja. Saat itulah Ular Muka Kuning menotok Ketua Perguruan Harimau Terbang untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Seketika itu pula tubuh Jayeng Praja lemas.

"Mari kita tinggalkan tempat ini..!" usai berkata, Ular Muka Kuning mengayun langkah meninggalkan tempat itu. Diikuti semua anak buahnya.

Tempat itu kembali dikungkung kesunyian. Tidak ada lagi kegaduhan. Yang tinggal hanya kesunyian semata.

* * *

Jayeng Praja merasa heran melihat rombongan yang dipimpin Ular Muka Kuning menempuh jalan yang akan dilaluinya. Semakin lama hati Jayeng Praja semakin berdebar tegang. Dia merasa pasti tempat yang dituju rombongan Ular Muka Kuning adalah Perguruan Harimau Terbang!

Dugaan Jayeng Praja tidak keliru. Ular Muka Kuning memang membawanya menuju Perguruan Harimau Terbang. Itu sudah bukan dugaan lagi. Sebab saat ini mereka setelah berada di luar bangunan perguruan.

Apa yang akan dilakukan Ular Muka Kuning dengan mendatangi perguruannya? Jayeng Praja bertanya dalam hati. Bukankah keberadaan mereka di depan pintu gerbang akan menarik perhatian murid-murid Perguruan Harimau Terbang?

Tapi betapa kagetnya Jayeng Praja melihat Ular Muka Kuning dan rombongannya memasuki bangunan perguruan. Apakah ini tidak salah? Tindakan ini akan menyulut sebuah pertarungan!

Namun tampaknya kekhawatiran Jayeng Praja tidak beralasan. Tanpa menemui kesulitan sedikit pun Ular Muka Kuning dan rombongannya berhasil memasuki Perguruan Harimau Terbang.

Jayeng Praja terkejut bukan main melihat tidak ada seorang pun di dalam perguruan. Ke mana murid-muridnya? Apa yang telah terjadi? Pertanyaan-pertanyaan itu menghinggapi benak Ketua Perguruan Harimau Terbang.

Sementara itu rombongan Ular Muka Kuning terus mengayunkan kaki semakin masuk ke dalam bangunan. Tidak berapa lama kemudian mereka berhenti.

"Ah...! Kiranya kalian...! Bagaimana, berhasil?!" terdengar sebuah suara menyambut kehadiran rombongan Ular Muka Kuning.

Cukup keras juga ucapan itu dikeluarkan. Suaranya menggema ke seluruh penjuru tempat itu. Tentu saja Jayeng Praja mendengarnya. Sepasang alisnya tampak berkerut. Suara itu seperti pernah didengarnya. Tapi dia lupa, kapan dan di mana.

Meskipun demikian, Ketua Perguruan Harimau Terbang itu tidak putus asa. Dicobanya untuk mengingat-ingat. Barangkali saja akan berhasil.

TUJUH

Di saat Jayeng Praja tengah berpikir keras, terdengar tawa khas Ular Muka Kuning.

"Ha ha ha...! Tentu saja berhasil.... Asal kau tahu saja, tidak ada kata gagal bagi Ular Muka Kuning. Ha ha ha...!"

"Ha ha ha...! Bagus...! Bagus! Memang sudah kuduga kau akan berhasil, Ular Muka Kuning," sambut pemilik suara pertama yang sekarang diketahui Jayeng Praja sebagai orang yang telah menyewa Ular Muka Kuning.

"Ha ha ha...! Terima kasih atas kepercayaan yang kau berikan. O... ya, Ludira! Cepat berikan hasil pekerjaan kita...!" perintah Ular Muka Kuning pada anak buahnya yang memanggul Jayeng Praja.

"Baik, Ketua...!" lelaki kasar yang bernama Ludira melemparkan tubuh Jayeng Praja.

Brukkk!

Seringai kesakitan tersungging di mulut Jayeng Praja. Tubuhnya membentur tanah dengan keras. Namun tidak sedikit pun keluar keluhan dari mulutnya.

Sebuah kebetulan terjadi. Jayeng Praja tergeletak di tanah dengan wajah menghadap tempat pemilik suara itu berada. Akibatnya benar-benar luar biasa. Sepasang mata Jayeng Praja membelalak lebar. Tarikan wajahnya menyiratkan keterkejutan yang sangat.

"Kaaau..., kau...!" terbata-bata Jayeng Praja mengeluarkan kata-kata karena lidahnya mendadak kelu.

"Benar, aku! Mengapa kaget?!" tanya si pemilik suara mengejek.

Jayeng Praja menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang mendadak kering. "Mengapa kau lakukan semua ini, Juragan Bilawa?! Apa artinya?!" terdengar jelas, nada penasaran dalam pertanyaan Ketua Perguruan Harimau Terbang.

"Kau tidak usah berpura-pura, Jayeng!" sergah orang yang menyewa rombongan Ular Muka Kuning, yang ternyata Juragan Bilawa. "Mana anakku?!"

"Hhh...!" Jayeng Praja menghela napas. Sungguh tidak disangka Juragan Bilawa telah mengetahuinya lebih dulu.

"Kau tidak bisa berbohong, Jayeng Praja!" ujar Juragan Bilawa lagi sebelum lawan bicaranya sempat berkata. "Aku telah tahu semuanya! Beberapa hari yang lalu utusan orangtuaku datang menanyakan Sutini! Akhirnya aku tahu telah terjadi sesuatu atas dirinya!"

Lelaki berpakaian indah itu menghentikan ucapannya sebentar untuk mengambil napas, "Itu saja sudah cukup untuk membuatku sakit hati! Apalagi ketika kutahu kau tidak memberitahukannya padaku. Kau malah menyembunyikannya, Jayeng Praja!"

"Itu tidak benar!" bantah Jayeng Praja cepat, "Bukannya aku tidak mau memberitahukan mu, Juragan! Tapi, aku sendiri belum mengetahuinya secara jelas. Aku sedang mencari kepastiannya!"

"Ooo... Begitu," ejek Juragan Bilawa, "Lalu... bagaimana hasilnya?!"

Jayeng Praja tidak segera menjawab. Lelaki itu tercenung seperti sedang mempertimbangkan.

"Tanpa kau beritahukan pun aku bisa menduganya, Jayeng! Putriku tidak selamat kan?!"

Perlahan-lahan kepala Jayeng Praja mengangguk.

"Keparat!" Juragan Bilawa menggeram seperti harimau murka. "Kau telah menyebabkan kematian putriku, Jayeng! Tak akan kubiarkan kau hidup. Kau harus mati. Tentu saja tidak dengan cara yang enak. Kebetulan hanya tinggal kau saja yang belum mendapat giliran. Semua muridmu telah ku binasakan!"

"Apa?!" jerit Jayeng Praja kaget.

Kini dia mengerti mengapa suasana perguruannya begitu sunyi. Rupanya mereka telah dibinasakan Juragan Bilawa. Jayeng Praja merasa sangat terpukul mendengarnya. Dia tahu mengapa Juragan Bilawa dapat melakukan semua itu. Pasti karena mendapat bantuan Ular Muka Kuning.

"Sekarang terimalah kematianmu, Jayeng Praja!"

Dan sebelum gema ucapannya lenyap, Juragan Bilawa mencabut goloknya. Kemudian diayunkan ke batang leher Jayeng Praja!

Wuttt!

Crasss!

"Aaakh...!" Jayeng Praja menjerit memilukan ketika golok Juragan Bilawa membabat lehernya hingga putus. Saat itu juga, nyawanya melayang ke alam baka. Juragan Bilawa menatap mayat Jayeng Praja sekilas. Ada sorot kepuasan pada wajah dan sinar matanya.

"Sutini..., tenanglah kau di alam baka. Dendammu telah berhasil kubalaskan," ucap Juragan Bilawa pelan seraya mengedarkan pandangan ke langit.

Keadaan di tempat itu menjadi hening. Yang tinggal hanya Juragan Bilawa. Ular Muka Kuning dan anak buahnya telah meninggalkan tempat itu.

* * *

"Rasanya keadaan sudah aman, Ki. Mungkin Sangkala telah pergi dari sini"

Ucapan itu dikeluarkan Arya. Pagi hari itu dia berada di ruang tengah bangunan Perguruan Banteng Putih. Di dekat pemuda berambut putih keperakan itu duduk Melati, Ki Rawung, dan Pendekar Tinju Maut. Ki Rawung dan Pendekar Tinju Maut tampak saling bertukar pandang.

"Aku tidak yakin, Dewa Arak," jawab Pendekar Tinju Maut "Memang beberapa hari ini tidak ada kejadian yang dibuat Sangkala. Tapi menurut ku itu tidak menjadi tanda keadaan sudah aman."

"Barangkali dia telah meninggalkan desa ini, Ki," Melati ikut membuka suara, "Beberapa hari ini semua tempat yang sekiranya dijadikan persembunyian Sangkala telah kita periksa. Tapi tetap saja tidak kita temukan dirinya."

Arya mengangguk menyetujui pendapat kekasihnya. "Aku tidak sependapat denganmu, Melati," Ki Rawung membela Pendekar Tinju Maut. "Aku lebih condong pada pendapat Pendekar Tinju Maut"

"Dengan kata lain, Sangkala sedang menanti saat yang tepat untuk bertindak Begitu, Ki?" duga Arya.

"Benar, Dewa Arak," Pendekar Tinju Maut mengangguk.

"Aku mempunyai alasan kuat tindakan Sangkala tidak berhenti sampai di sini saja!" Ki Rawung menimpali.

Dewa Arak dan Melati menatap wajah Ki Rawung lekat-lekat. Memang tidak ada kata-kata yang diucapkan. Tapi, Ki Rawung tahu sepasang pendekar muda itu tengah menunggu jawaban.

"Sangkala memiliki watak pendendam," ucapan Ki Rawung memulai penjelasannya. "Aku yakin dia tidak menghentikan tindakannya sampai di sini. Pasti semua yang telah membuatnya sengsara akan dijadikan sasaran pembalasan."
Kepala Desa Kawung menghentikan ucapannya. Sekilas ditatapnya Dewa Arak dan Melati, ingin melihat tanggapannya. Tapi, tidak ada ucapan yang dikeluarkan mereka. Kelihatannya pasangan muda itu akan mendengarkan penjelasan Ki Rawung hingga tuntas.

"Aku yakin Sangkala mempunyai dendam pada semua orang di Desa Kawung ini. Tapi, bisa kupastikan sakit hatinya yang paling besar hanya ditujukan pada empat orang! Sebab merekalah penggeraknya!" sambung Ki Rawung.

"Empat orang, Ki?!" akhirnya Melati tak kuat menahan sabar. "Bisa kau beritahu siapa mereka?"

Ki Rawung melepaskan senyum getir. "Dua di antara empat orang itu telah berhasil dibunuh Sangkala, Melati. Bahkan baru-baru ini! Kau bisa menerka siapa?!"

Melati mengernyitkan dahi. Gadis berpakaian putih itu tengah berpikir, "Maksudmu..,, Ranjita, Ki?!" duga Melati agak ragu.

"Benar," Ki Rawung menganggukkan kepala, "Dan yang satunya Ki Ageng Sora."

Melati dan Arya bertukar pandang. Mereka telah mengetahui siapa Ki Ageng Sora. Juga Ranjita. Ki Rawung telah menceritakan semua kejadian itu.

"Lalu... yang dua lagi, Ki?!" desak Melati.

"Bongara dan aku sendiri," jawab Ki Rawung menunjuk dadanya.

"Ah...!" Seruan kaget itu keluar dari mulut Arya dan Melati. Sepasang muda-mudi berwajah elok itu tidak menyangka Ki Rawung termasuk orang yang diincar Sangkala. Berbeda dengan Arya dan Melati, Pendekar Tinju Maut tidak merasa kaget sedikit pun. Dia telah mendengar cerita itu sebelumnya dari Ki Ageng Sora.

Sekarang Dewa Arak dan Melati mengerti mengapa Ki Rawung bersikeras mengatakan keadaan masih belum aman. Tapi, mungkinlah tidak adanya tindakan dari Sangkala hanya karena menunggu kesempatan? Tak adakah kemungkinan lain?

"Bisa kuterima alasanmu, Ki. Bukan tidak mungkin dugaanmu benar. Tapi..., apakah hanya karena menunggu kesempatan Sangkala harus berdiam diri selama beberapa hari? Rasanya dugaan ini kurang masuk akal!" ujar Arya.

Ki Rawung dan Pendekar Tinju Maut tercenung. Mereka merasakan ucapan tokoh muda yang menggemparkan dunia persilatan itu ada benarnya. Memang rasanya hampir tidak masuk akal.

"Kau mempunyai dugaan lain, Dewa Arak?!" tanya Pendekar Tinju Maut.

"Benar, Ki," Dewa Arak menganggukkan kepala.

"Katakanlah, Dewa Arak. Kami ingin mendengarnya. Barangkali saja dugaanmu benar," timpal Ki Rawung.

Arya tidak segera mengutarakan pendapatnya. Pemuda itu terdiam sejenak memikirkan kata-kata yang tepat.

"Dari kedatangannya yang bertubi-tubi kemari, bisa kuperkirakan besarnya keinginan Sangkala untuk melampiaskan dendam. Kejadian yang menimpa Trijati pun menurutku sebagian kecil dipengaruhi dendam. Tapi, kenyataan telah menunjukkan pada Sangkala bahwa pihak yang akan menjadi pelampiasan dendamnya terlalu kuat untuknya. Karena itu, dia bermain kucing-kucingan. Sangkala melakukan siasat menyerang lalu lari."

Arya menghentikan ucapannya. Dilihatnya Pendekar Tinju Maut dan Ki Rawung mengangguk-angguk. Mungkin mereka telah dapat menebak kelanjutan ucapannya.

"Sekarang aku mengerti, Dewa Arak," potong Pendekar Tinju Maut sebelum Arya menyambung ucapannya. "Kalau aku tidak salah terka, kau menduga tidak ada teror Sangkala karena dia sedang mencari tambahan kekuatan! Bukankah begitu maksudmu, Dewa Arak?!"

"Benar, Ki!" jawab Dewa Arak mantap, "Aku yakin Sangkala tengah mencari pengikut. Tapi, mudah-mudahan saja dugaanku salah. Dan..," Dewa Arak menghentikan ucapannya ketika melihat seorang murid Perguruan Banteng Putih bergegas masuk.

"Ki...!" ucapan Bongara, terdengar panik.

"Bongara...," tegur Ki Rawung, "Mengapa kau...."

"Maaf, Ki," potong Bongara cepat, "Sangkala sedang menuju kemari!"

Serentak semua orang yang hadir saling berpandangan. Mereka tampak sangat terkejut. Bahkan Ki Rawung yang sempat tersinggung karena ucapannya dipotong Bongara langsung terlupa.

"Sangkala?" desis Ki Rawung, "Terang-terangan?"

"Benar, Ki," Bongara mengangguk.

"Ooo.... Rupanya dia telah berani muncul secara terbuka...."

"Sangkala tidak datang sendirian, Ki."

"Maksudmu...?!"
Ki Rawung meminta penegasan. Sementara Dewa Arak, Melati, dan Pendekar Tinju Maut menatap Bongara tajam-tajam. Baru saja mereka bicarakan kemungkinan itu, tahu-tahu Sangkala telah muncul dengan membawa rombongan! Apakah ini merupakan kebetulan?

"Dia datang bersama serombongan orang-orang wajah kasar, Ki. Jumlah mereka tak kurang dari lima puluh orang. Kulihat sebagian di antara mereka berpakaian kulit ular," jelas Bongara.

"Mungkinkah itu Gerombolan Ular Maut?!" celetuk Pendekar Tinju Maut.

"Gerombolan Ular Maut?!" ulang Dewa Arak seraya mengarahkan tatapannya pada Pendekar Tinju Maut.

"Rombongan perampok yang mempunyai pemimpin seorang tokoh golongan hitam. Ular Muka Kuning julukannya," jelas Pendekar Tinju Maut.

"Kalau begitu mari kita keluar, Ki! Kita harus bersiap-siap sebelum korban di pihak kita berjatuhan," sambil berkata, Dewa Arak mengayunkan kaki ke luar. Langkahnya segera diikuti semua orang yang berada di situ.

"Dewa Arak...," tanpa menghentikan ayunan kakinya, Pendekar Tinju Maut menyempatkan diri menyapa Arya.

"Ada apa, Ki?!" tanya pemuda berambut putih keperakan itu seraya terus mengayunkan kaki.

'"Apakah kau tidak memikirkan kemungkinan buruk bagi pihak kita?!"

Dewa Arak menganggukkan kepala. "Aku memikirkannya, Ki," jawab pemuda itu, "Melihat keberanian Sangkala menunjukkan diri agaknya dia merasa pihaknya lebih unggul. Kurasa sikap yang ditunjukkannya tidak berlebihan. Jumlah mereka di luar perkiraanku. Tapi..., apa yang dapat kita lakukan?! Mencari bala bantuan untuk mengimbangi kekuatan lawan? Rasanya sudah tidak mungkin. Tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali menghadapi mereka, Ki!"

"Aku dapat menyediakan bala bantuan itu, Dewa Arak," ujar Pendekar Tinju Maut yakin. "Malam ini mungkin rekan-rekanku telah tiba. Maaf, aku lupa memberitahukannya padamu. Beberapa bulan yang lalu, aku dan beberapa kawan segolongan mempunyai sebuah gagasan."

Pendekar Tinju Maut menghentikan ucapannya sejenak, "Gagasan itu adalah menjalin persaudaraan dalam tokoh golongan putih. Mengenai pemimpinnya belum dipastikan. Menunggu hasil pertemuan malam ini. Sekarang memang seharusnya aku pergi ke sana. Tapi, dengan kedatangan Sangkala terpaksa aku mengurungkan maksudku."

"Benar demikian, Ki?!" Dewa Arak memekik gembira. Namun sesaat kemudian seri wajahnya memudar. "Kalau boleh kutahu, di mana tempat berkumpulnya?"

"Legakan hatimu, Dewa Arak. Tempat mereka berkumpul tidak jauh dari sini. Di sebuah tanah lapang luas di dalam Hutan Kawung."

"Tapi..., bagaimana caranya kau menghubungi mereka, Ki?! Kurasa tidak mungkin jika kau harus mendatangi tempat itu dan kembali lagi kemari."

"Memang tidak, Dewa Arak. Aku tinggal melepas sebuah tanda minta bantuan kepada mereka. Ah…! Aku sungguh tidak menyangka semua ini akan sangat berarti. Kalau begitu, sekarang juga akan kukirim tanda pada mereka."

Pendekar Tinju Maut lalu mengeluarkan sebuah busur kecil dari balik bajunya. Beberapa batang anak-anak panah kecil tergenggam di tangannya. Tanpa menunggu lebih lama, rekan Ki Ageng Sora itu memasang anak-anak panah itu pada tali busur. Dan....

Twang, twang, twang...!

Bunyi berdentang nyaring terdengar ketika anak-anak panah itu meluncur ke angkasa. Sebuah peristiwa yang menakjubkan pun terjadi. Entah bagaimana caranya, begitu kekuatan yang mendorong anak panah itu habis, muncul bunga api berwarna-warni.

Tidak hanya sekali anak-anak panah itu diluncurkan Pendekar Tinju Maut. Tapi berkali-kali dengan selang waktu tertentu. Saat itulah Dewa Arak memerintahkan Bongara untuk menyambut kedatangan Sangkala dan gerombolannya.

Tanpa menunggu perintah dua kali, Bongara segera melesat cepat. Lalu memerintahkan rekan-rekannya untuk mempersiapkan diri. Tentu saja Dewa Arak dan Melati tidak tinggal diam. Mereka ikut maju.

Di saat semua orang yang berada di Perguruan Banteng Putih tengah dilanda kesibukan, di sebuah tanah lapang luas yang terletak di dalam hutan pun terjadi kegemparan. Itu terjadi ketika salah satu dari belasan orang yang ada di situ menunjukkan jarinya ke angkasa.

"Aneh...! Apa yang terjadi? Mengapa di langit sana berpercikan bunga-bunga api beraneka warna?! Sepertinya... bunga api itu merupakan isyarat..."

Ucapan sosok tinggi kurus yang berpakaian merah menarik perhatian sosok-sosok tubuh lainnya yang semula duduk bersila membentuk lingkaran. Sementara tak jauh dari tempat mereka terpancang obor-obor di tiang-tiang kayu.

"Ah!" Seruan kaget dikeluarkan seorang kakek berperut gendut. "Kau lihat itu, Pedang Kilat?!" tanya kakek berperut gendut menudingkan jari telunjuknya.

DELAPAN

Sosok yang disapa Pedang Kilat, yang sebenarnya mempunyai julukan Pendekar Pedang Kilat, melayangkan pandangan ke arah yang ditunjuk kakek gendut. Seketika itu pula wajahnya berubah.

"Gajah kecil! Bukankah itu isyarat meminta bantuan. Aku yakin yang melepaskan Pendekar Tinju Maut. Berarti dia berada dalam bahaya. Kita harus cepat menolongnya. Kau bisa menebak dari mana arahnya?!"

Kakek gendut yang berjuluk Gajah Kecil menganggukkan kepala setelah tercenung sesaat. "Kalau tidak salah, dari Desa Kawung!" jawab Gajah Kecil mantap.

"Kalau begitu, mari kita ke sana! Kita selamatkan Pendekar Tinju Maut!" ajak Pendekar Pedang Kilat penuh semangat.

"Akur!" sambut Gajah Kecil, "Mari, kawan-kawan. Kita selamatkan rekan kita yang sedang berada dalam bahaya. Ayo!"

Belasan orang yang terdiri dari tokoh-tokoh silat aliran putih itu pun bangkit dari duduknya. Sesaat kemudian rombongan itu, dengan dipimpin Gajah Kecil dan Pendekar Pedang Kilat, berbondong-bondong menuju Desa Kawung.

Ternyata bukan hanya rombongan Gajah Kecil yang melihat percikan bunga api berwarna-warni di angkasa. Rombongan yang dipimpin Sangkala pun demikian?

"Apa arti semua itu, Ular Muka Kuning?!" tanya Sangkala tidak mengerti.

''Itu merupakan isyarat Ketua," jawab Ular Muka Kuning penuh hormat "Isyarat yang ditujukan pada kawan si pelepas isyarat. Banyak artinya. Bisa merupakan tanda untuk menyerang atau membatalkannya. Bisa juga berarti permintaan bantuan."

"Keparat!" maki Sangkala sangat geram, "Kalau begitu, itu isyarat untuk meminta bantuan. Aku yakin! Asal tanda itu menurut dugaanku dari Perguruan Banteng Putih!"

"Kalau demikian, kita harus bergegas, Ketua!" sergah seorang lelaki berkulit hitam kelam. Pakaian yang terbuat dari kulit buaya membungkus tubuh kekarnya. "Sebelum bala bantuan itu tiba, kita hancur leburkan Perguruan Banteng Putih."

"Kau benar, Buaya Kulit Besi!" puji Sangkala. "Usulmu bagus. Mari kita bergegas!"

Cuping hidung lelaki berkulit hitam legam kelihatan kembang-kempis. Dia merasa bangga mendapat pujian dari pemimpinnya.

Sangkala rupanya telah berhasil mendapatkan pengikut. Tidak hanya Ular Muka Kuning dan rombongannya. Tapi juga gerombolan bajak sungai yang berada di bawah pimpinan Buaya Kulit Besi. Jumlah anak buah Buaya Kulit Besi jauh lebih banyak dari anak buah Ular Muka Kuning.

Rombongan Sangkala mempercepat langkahnya. Tak berapa lama kemudian, bangunan Perguruan Banteng Putih telah terlihat. Ini membuat semangat Sangkala dan rombongannya semakin besar! Seraya mengeluarkan teriakan-teriakan keras, gerombolan golongan hitam itu menyerbu.

Serbuan rombongan Sangkala mendapat sambutan hangat dari murid-murid Perguruan Banteng Putih yang dibantu Dewa Arak, Melati, Pendekar Tinju Maut dan Ki Rawung. Bagai telah diatur sebelumnya, masing-masing tokoh langsung memilih lawan-lawannya.

Dewa Arak bertemu dengan Sangkala, Melati menghadapi Buaya Kulit Besi, dan Pendekar Tinju Maut berhadapan dengan Ular Muka Kuning. Sedangkan murid-murid Perguruan Banteng Putih yang dibantu Ki Rawung berhadapan dengan gerombolan rampok dan bajak sungai.

"Sangkala! Manusia Biadab! Sudah saatnya manusia keji sepertimu dilenyapkan dari muka bumi!" seru Dewa Arak lantang.

"Ha ha ha...! Jangan mimpi dapat mengalahkanku, Dewa Arak! Kaulah yang akan kukirim ke neraka. Sekarang tidak ada lagi orang yang akan menghalangiku untuk melenyapkanmu. Bersiap-siaplah, Dewa Arak!" sambut Sangkala tak kalah garang.

Selesai berkata, Sangkala melancarkan serangan. Tahu akan kelihaian lawan, tanpa ragu-ragu dikeluarkannya jurus 'Kelelawar' andalannya.

"Hih!" Ringan dan cepat laksana bayangan, tubuh Sangkala melayang. Kedua tangannya yang membentuk cakar aneh meluncur menuju leher pemuda berambut putih keperakan itu!

Cit, cit, cit!

Bunyi mencicit terdengar seiring meluncurnya serangan Sangkala. Nyaring dan menyakitkan telinga! Bunyi itu tidak hanya keluar karena jari-jari tangan Sangkala yang merobek udara. Tapi juga berasal dari mulutnya. Inilah ciri khas penggunaan jurus 'Kelelawar'

Dewa Arak tidak berani bertindak gegabah. Telah dirasakannya kepandaian Sangkala. Jangankan terkena langsung, angin serangannya saja sudah cukup untuk melayangkan nyawanya. Tentu saja bila mengenai bagian yang mematikan seperti lehernya!

Itu sebabnya, Dewa Arak segera melompat ke samping kanan dengan lompatan harimau. Hasilnya memang tidak sia-sia. Serangan Sangkala mengenai tempat kosong. Di saat serangan itu tiba, Dewa Arak sudah tidak berada di tempatnya. Pemuda berambut putih keperakan itu sedang melayang di udara.

"Hup!" Dengan bertumpu pada kedua tangan, Dewa Arak menggulingkan tubuhnya di tanah. Beberapa gulingan dilakukan Arya sebelum akhirnya bangkit berdiri Dan secepat itu pula arak yang berada di dalam guci dituangkan ke mulut. Entah kapan dan bagaimana guci itu diambil dari pinggangnya, sulit untuk dilihat. Yang jelas....

Gluk.... Gluk.... Gluk...!

Terdengar bunyi tegukan ketika arak itu melalui tenggorokan Arya dalam perjalanan ke lambung. Hawa hangat berputar di bawah pusarnya. Lalu perlahan-lahan merayap naik ke kepala. Hasilnya kedua kaki Dewa Arak tidak menapak dengan mantap di tanah.

Kelihatannya lucu dan menggelikan sikap pemuda berambut putih keperakan itu. Tapi, jangan dipandang remeh. Saat itulah ilmu 'Belalang Sakti'nya siap dipergunakan! Dan serangan susulan Sangkala kembali meluncur ketika Dewa Arak tengah terhuyung ke sana kemari. Kali ini Sangkala melancarkan sampokan dengan tangan kanan ke pelipis Dewa Arak.

Wusss!

Kembali serangan Sangkala kandas. Sampokannya lewat beberapa jari di depan wajah Dewa Arak. Itu terjadi karena Dewa Arak menarik mundur kakinya dengan gerakan seperti orang mau jatuh. Meskipun demikian, akibat sampokan Sangkala cukup menggiriskan hati! Rambut dan pakaian Dewa Arak berkibaran keras seiring lewatnya sampokan itu.

Tapi serangan Sangkala tidak terhenti. Begitu sampokannya gagal, segera disusuli dengan serangan lanjutan. Tangan kirinya ditusukkan ke arah ulu hati lawan. Memang hebat serangan ini. Bila mengenai sasaran, sudah dapat dipastikan nyawa Dewa Arak melayang ke alam baka.

Namun, lagi-lagi Dewa Arak berhasil menunjukkan kehebatan ilmu 'Belalang Sakti'nya. Tanpa gugup sedikit pun, punggungnya ditekuk ke belakang sampai bagian pinggang ke atas mendatar. Maka, tusukan tangan Sangkala menggapai angin beberapa jari di atas dada Dewa Arak!

Dan sebelum Sangkala sempat bertindak, Dewa Arak telah mendahului. Masih dengan kedudukan seperti itu dikirimkannya serangan pada Sangkala. Kaki kanannya dilayangkan ke dada pemuda berwajah bopeng itu.

Wuttt!

"Hehhh?!" Sangkala terpekik kaget. Sungguh tidak disangkanya dalam keadaan seperti itu Dewa Arak mampu mengirimkan serangan yang sangat berbahaya. Sangkala tahu tendangan Dewa Arak mampu menghancurkan tulang-tulang dadanya.

Walaupun terkejut, bukan berarti Sangkala tidak mampu berbuat sesuatu. Meski serangan itu meluncur tiba-tiba dan tidak disangka-sangka. Ditambah dengan jaraknya yang sangat dekat. Tapi pemuda berwatak bejat itu sanggup menunjukkan kalau dirinya bukan orang yang mudah dipecundangi.

Dalam keadaan terjepit, Sangkala menjejakkan kakinya untuk melempar tubuhnya ke belakang. Gerakan itu membuat serangan Dewa Arak tidak berhasil mendarat di tempat yang semestinya.

Jliggg!

Begitu Sangkala mendaratkan kedua kakinya di tanah, Arya telah berhasil memperbaiki kedudukannya. Sesaat kedua tokoh muda itu bertukar pandang. Sekejap kemudian, Dewa Arak dan Sangkala kembali terlibat pertarungan sengit.

Pertarungan yang berlangsung bukan saja antara Dewa Arak dan Sangkala. Yang lain pun demikian. Riuh rendah suara pertempuran memenuhi tempat itu. Untung saja halaman depan Perguruan Banteng Putih luas, sehingga cukup untuk menampung mereka. Padahal, beberapa kelompok yang bertarung.

Namun di antara kelompok-kelompok itu yang paling menarik dan seimbang adalah pertarungan Dewa Arak dan Sangkala. Pada kelompok lain pertarungan berlangsung tidak seimbang. Meskipun menarik untuk disaksikan.

Di kancah pertarungan Melati dan Buaya Kulit Besi terlihat tidak seimbang. Keduanya telah mengeluarkan senjata dan ilmu andalan masing-masing. 'Ilmu Pedang Seribu Naga' Melati terlalu kuat untuk ditahan Buaya Kulit Besi dengan tongkatnya. Kepala bajak sungai itu terus-menerus didesak dan dihimpit. Padahal, pertarungan belum sampai lima belas jurus!

Ular Muka Kuning lebih beruntung. Pendekar Tinju Maut, meskipun tangguh, dapat diimbanginya. Seperti juga pertarungan Dewa Arak, pertarungan kedua tokoh tua berbeda aliran ini pun berlangsung seimbang.

Yang paling sial adalah Ki Rawung dan murid-murid Perguruan Banteng Putih. Memang lawan yang dihadapi berkepandaian setingkat dengan murid-murid Ki Ageng Sora. Tapi karena jumlah gerombolan tokoh hitam itu jauh lebih banyak, bahkan lebih dua kali lipat, mereka terdesak hebat. Dan itu terjadi hanya dalam beberapa gebrakan.

Ketika pertarungan telah berlangsung lima belas jurus, di pihak Perguruan Banteng Putih sudah tewas beberapa orang. Sementara di pihak lawan hanya satu. Itu pun hasil kerja keras Ki Rawung. Sudah dapat dipastikan tak lama lagi murid-murid Perguruan Banteng Putih dan Ki Rawung akan binasa. Mereka semua sudah terdesak hebat. Tapi di saat itulah Buaya Kulit Besi yang terdesak hebat oleh Melati memanggil anak buahnya.

"Hey! Manusia-manusia tolol...! Cepat bantu aku! Betina ini alot juga...!"

Tanpa menunggu perintah dua kali, gerombolan bajak sungai segera meninggalkan lawan mereka. Kemudian terjun ke dalam kancah pertarungan Melati. Dan memang dengan munculnya bala bantuan itu Buaya Kulit Besi mulai bisa bernapas lega. Karena Melati menghentikan desakannya. Gadis berpakaian putih itu terpaksa melakukannya.

Bila hal itu tidak dilakukan, niscaya dia akan tewas. Sebab begitu terjun dalam kancah pertarungan, gerombolan bajak sungai langsung melancarkan serangan ke Melati dengan senjata di tangan.

Dengan ikut campurnya gerombolan bajak sungai, pertarungan Melati dan Buaya Kulit Besi tidak berat sebelah lagi. Sekarang pimpinan bajak sungai dapat melancarkan serangan balasan. Tidak hanya menghindar seperti tadi.

Sementara itu murid-murid Perguruan Banteng Putih tetap tidak mampu menandingi lawan-lawannya, meskipun jumlah mereka sekarang berimbang. Itu karena Gerombolan Ular Maut bekerja sama dengan baik.

Semula, dengan keberadaan anak buah Buaya Kulit Besi, Gerombolan Ular Maut tidak bisa melakukan kerja sama. Maka, begitu gerombolan bajak sungai meninggalkan kancah pertarungan, mereka menggunakannya.

Hasilnya memang luar biasa! Murid-murid Perguruan Banteng Putih tidak bisa unjuk gigi. Bahkan Ki Rawung pun tidak mampu. Jadi, kepergian anak buah Buaya Kulit Besi tidak berarti sama sekali! Murid-murid Perguruan Banteng Putih tetap terdesak hebat.

Bahkan sekarang keadaan jauh lebih mengkhawatirkan. Ki Rawung tidak mampu berbuat sesuatu. Jatuhnya korban di pihak murid-murid Perguruan Banteng Putih tidak bisa dihindarkan lagi. Mereka saling berlomba untuk mengeluarkan lolong kematian.

"Aaa...!"

Untuk yang kesekian kali seorang murid Perguruan Banteng Putih mengeluarkan jeritan menyayat. Golok anak buah Ular Muka Kuning menebas batang lehernya hingga putus! Darah menyembur dari luka babatan, dan membasahi persada.

Melati, Dewa Arak, dan Pendekar Tinju Maut geram bukan main. Kalau menuruti perasaan, ingin rasanya mereka terjun ke dalam kancah pertarungan itu. Tapi apa daya? Mereka sendiri sedang berjuang keras agar tidak mati konyol di tangan lawan.

Di antara ketiga orang itu, Pendekar Tinju Mautlah yang paling terpengaruh. Wataknya yang berangasan membuatnya berang. Hingga mempengaruhi pemusatan pikirannya. Dia mulai dapat didesak Ular Muka Kuning. Bahkan pada jurus ketiga puluh tiga....

Bukkk!

"Akh...!" Pendekar Tinju Maut memekik kesakitan ketika pukulan Ular Muka Kuning menghantam bahunya. Tubuh lelaki tua itu terjengkang ke belakang.

''Terimalah kematianmu, Tua Bangka!" seru Ular Muka Kuning seraya melompat menerjang lawan yang masih terhuyung. Goloknya ditusukkan ke arah dada Pendekar Tinju Maut.

Pendekar Tinju Maut membelalakkan mata. Dia memutuskan menghadapi maut dengan mata terbuka. Karena menyadari tidak ada kesempatan baginya untuk mengelak maupun menangkis. Di saat gawat itulah Melati melejit ke atas keluar dari kepungan lawan. Dan selagi tubuhnya melayang, tangan kirinya dihentakkan ke depan. Inilah jurus 'Naga Merah Membuang Mustika'

Wusss! Bresss!

"Aaakh...!" Jeritan memilukan keluar dari mulut Ular Muka Kuning. Pukulan jarah jauh Melati mengenai dadanya dengan telak. Darah segar menyembur dari mulut, hidung, dan telinga. Pimpinan Gerombolan Ular Maut itu tewas seketika!

Memang mengenaskan sekali kematian Ular Muka Kuning. Munculnya serangan yang tidak disangka-sangka dan di saat tubuhnya tengah berada di udara menyulitkannya untuk mengelak. Akibatnya, tokoh golongan hitam itu tewas mengerikan!

"Ketua...!"

Desakan atas murid-murid Perguruan Banteng Putih langsung sirna. Gerombolan Ular Maut memburu tubuh ketuanya. Sedangkan Melati sudah disibukkan kembali oleh lawan-lawannya. Namun begitu melihat Gerombolan Ular Maut meluruk ke arah mayat Ular Muka Kuning, Pendekar Tinju Maut menghadangnya. Pertarungan pun tidak bisa dielakkan. Seru dan semakin ramai ketika Ki Rawung dan murid-murid Perguruan Banteng Putih ikut ambil bagian.

Mendadak terdengar bunyi riuh rendah. Sesaat kemudian, Pendekar Pedang Kilat, Gajah Kecil, dan rombongannya tiba. Tanpa banyak bicara mereka segera terjun ke dalam kancah pertarungan. Suasana di arena pertempuran pun berubah hebat. Sebagian dari mereka membantu Pendekar Tinju Maut. Sedangkan sisanya membantu Melati. Hingga Buaya Kulit Besi terpaksa menghadapi Melati seorang diri lagi.

Ternyata rombongan yang baru tiba terdiri dari tokoh-tokoh yang berkepandaian setingkat dengan Pendekar Tinju Maut. Jumlah mereka pun cukup banyak. Dengan mudah rombongan itu mematahkan perlawanan gerombolan perampok dan bajak sungai. Kerja sama Gerombolan Ular Maut tidak berguna. Rombongan Pendekar Pedang Kilat, dengan cerdik membuat mereka terpisah-pisah. Kemudian dengan mudah mereka dirobohkan.

Tak sampai dua puluh jurus pertarungan terhenti. Sisa gerombolan perampok dan bajak sungai menyerah. Karena hanya tinggal beberapa orang. Sebagian besar dari mereka tewas. Baru saja rombongan golongan hitam itu meletakkan senjata, terdengar lolongan panjang menyayat hati. Ternyata suara itu dikeluarkan oleh Buaya Kulit Besi. Pimpinan bajak sungai itu tewas dengan tulang dada hancur terkena tendangan Melati.

Sekarang hanya tinggal satu pertarungan lagi. Pertempuran Dewa Arak dan Sangkala yang masih berlangsung sengit. Tak heran jika semua mata menatap jalannya pertarungan tanpa berkedip.

"Terima kasih atas bantuanmu beserta rombongan, Gajah Kecil," Pendekar Tinju Maut mengucapkan rasa syukurnya.

"Lupakanlah," sahut Gajah Kecil tanpa mengalihkan pandangan dari pertarungan.

Sementara itu di arena pertempuran, Sangkala tahu hanya tinggal dirinya yang masih melakukan perlawanan. Kenyataan ini membuatnya gugup. Apalagi ketika menyadari Dewa Arak tidak akan mungkin dapat dikalahkan. Telah seratus lima puluh jurus berlalu, Dewa Arak tetap tidak dapat didesak. Bahkan dia yang mulai berhasil dijepit lawan.

Kenyataan ini membuat Sangkala tidak bersemangat lagi melanjutkan pertarungan. Pemuda berwajah bopeng itu memutuskan untuk kabur. Namun sayang kesempatan itu tidak pernah didapat. Dan sepertinya tidak akan mungkin didapatkan bila tidak dia sendiri yang membuatnya.

Berpikir demikian, Sangkala bertindak nekat. Mendadak dilancarkannya pukulan bertubi-tubi ke dada lawan. Pemuda itu berharap Dewa Arak akan mundur untuk mengelak. Dengan demikian, dia mempunyai kesempatan melarikan diri.

Sangkala salah duga! Dewa Arak tidak mundur, tapi melompat ke atas melewati kepalanya. Dari atas, pemuda berambut putih keperakan itu mengayunkan tangan kanannya. Sangkala kaget bukan main! Rasa kalap membuatnya tidak sempat memikirkan hal itu. Begitu menyadari adanya ancaman, diusahakan sebisa-bisanya mengelakkan serangan lawan. Tapi....

Plakkk!

"Ukh!" Hanya keluhan tertahan yang dapat diperdengarkan Sangkala. Nyawanya melayang ke akherat saat itu juga. Tamparan Arya telah membuat kepalanya retak-retak.

Jliggg!

Bertepatan dengan mendaratnya kedua kaki Dewa Arak, tubuh Sangkala ambruk ke tanah.

"Hhh...!" Dewa Arak menghembuskan napas berat. Sekarang perasaannya sudah lega. Tidak ada ganjalan lagi di dalam dada. Sumpahnya pada Sutini telah ditunaikan. Dia tidak mempunyai hutang lagi.

"Kakang...!"

Suara panggilan yang sangat dikenalnya membuat pemuda berambut putih keperakan itu menoleh. Dilihatnya Melati, kekasihnya, tersenyum. Arya balas tersenyum.

Sementara di kejauhan terdengar bunyi ayam jantan berkokok. Tak lama lagi sang surya akan muncul di ufuk timur. Sebuah lembaran hidup baru siap dimulai.
SELESAI
Selanjutnya,

Dewa Arak - Penjarah Perawan

Dewa Arak - Penjarah Perawan
Karya : Ajisaka
Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak Karya Ajisaka
SATU

"Benarkah... penjahat terkutuk itu memiliki ilmu menghilang, Kang?" sebuah suara lembut menguak keheningan malam yang sudah mendekati dini hari.

Sosok berpakaian ungu yang diajukan pertanyaan tidak segera menjawab. Kakinya terus saja dilangkahkan. Saat itu dia dan temannya, seorang wanita muda berpakaian putih, tengah menyusuri Jalan tanah di luar sebuah desa. Tampaknya mereka tidak sedang tergesa-gesa.

"Entahlah, Melati. Aku tidak bisa memastikan. Tapi kalau menurut pendapatku, tidak," jawab pemuda berpakaian ungu yang berambut putih keperakan seraya menoleh.

Gadis berpakaian putih yang ternyata Melati tidak memberi tanggapan. Pandangannya diarahkan ke tanah, seperti tengah menghitung langkahnya.

Sekarang dapat diduga siapa sepasang muda-mudi itu. Ya! Mereka adalah Arya Buana yang berjuluk Dewa Arak, dan Melati. Di bahu kanan Melati terpanggul tubuh seorang wanita berpakaian biru. Wanita itu adalah Trijati.
(Untuk lebih jelasnya silakan baca serial Dewa Arak episode Manusia Kelelawar).

"Kalau tidak menghilang, bagaimana mungkin dia bisa lenyap begitu saja, Kang?!" tanya Melati setelah beberapa saat tercenung.

"Aku sendiri belum bisa menduganya, Melati," Arya mengangkat bahu. "Hhh...! Kalau nanti bertemu lagi, tak akan kubiarkan dia lolos!"

"Benar, Kang! Makhluk keji seperti dia sudah sepantasnya dilenyapkan dari muka bumi!" sambung Melati geram.

Arya diam. Pemuda itu tidak menanggapi ucapan kekasihnya. Dan karena Melati tidak melanjutkan ucapannya, suasana pun jadi hening. Yang terdengar hanya suara serangga malam. Sepasang muda-mudi itu mengayunkan langkah tanpa berkata-kata. Mendadak...

"Kakang...! Lihat...!" seru Melati menudingkan jari telunjuknya ke depan.

Arya mengangguk-anggukkan kepala. Sebenarnya tanpa diberitahu pun dia telah melihatnya. Yang ditunjukkan kekasihnya adalah serombongan orang yang tengah bergerak menuju ke arah mereka berdua. Sekali lihat, Arya dan Melati dapat menduga jumlah rombongan itu tak kurang dari dua puluh orang. Beberapa di antara mereka membawa obor.

"Apakah mereka orang-orang yang melakukan pengejaran terhadap penjahat keji itu, Kang?!" tanya Melati meminta kepastian.

"Kurasa demikian, Melati," jawab Arya, "Bukankah berkat petunjuk mereka kita dapat menemukan penjahat keji itu?!"

"Aku agak ragu, Kang. Tadi jumlah mereka tidak sebanyak itu. Bahkan tidak ada yang membawa obor," bantah Melati.

"Barangkali tadi kejadiannya belum diketahui banyak orang," jelas Arya.

Melati mengangguk-angguk. Rupanya gadis itu menerima penjelasan kekasihnya. Tidak ada lagi pertanyaan yang diajukan. Maka dengan berdiam diri, Arya dan Melati melanjutkan perjalanan.

Pasangan pendekar muda itu menempuh arah yang tengah ditinggalkan rombongan di depan. Sedangkan rombongan itu menempuh arah sebaliknya. Tampaknya mereka saling mendekati. Kedua kelompok itu akhirnya bertemu di tengah perjalanan.

"Maaf, benarkah wanita ini yang dibawa kabur penjahat itu, Ki?" dengan sopan Arya mengajukan pertanyaan pada salah seorang di antara dua kakek yang berada di baris terdepan dalam rombongan yang cukup besar itu.

Pandangan anggota rombongan itu serentak mengarah pada Arya. Untung Melati cepat tanggap. Gadis itu menurunkan tubuh Trijati dari panggulannya. Maka orang-orang itu pun mengarahkan pandangannya pada Trijati yang masih tak sadarkan diri.

"Benar," jawab orang yang ditanya sambil menganggukkan kepala. Dia seorang kakek bertubuh tinggi besar dan terlihat angker karena kumis, jenggot, dan cambang bauknya yang lebat. Siapa lagi kalau bukan Jayeng Praja.

"Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda," ujar kakek berkumis melintang yang berdiri di sebelah Jayeng Praja. Dia adalah Pendekar Tinju Maut.

"Lupakanlah, Ki," jawab Dewa Arak bijaksana. "Merupakan kewajiban kita semua untuk tolong-menolong. Kebetulan aku lewat tempat ini dan mendengar penculikan mempelai wanita."

Jayeng Praja dan Pendekar Tinju Maut mengangguk-angguk membenarkan ucapan Arya. Kemudian keduanya saling bertukar pandang. Hanya sebentar saja. Tapi sudah cukup untuk mengetahui perasaan masing-masing.

Ternyata perasaan yang bergayut di hati mereka sama. Keduanya heran melihat Arya dan Melati berhasil membawa pulang Trijati. Sebab Jayeng Praja maupun Pendekar Tinju Maut tahu Sangkala tidak akan mungkin merelakan Trijati dibawa begitu saja oleh pasangan muda-mudi itu. Arya dan Melati pasti membawa Trijati dengan kekerasan!

Mungkinkah itu? Pertanyaan itu bergayut di benak Jayeng Praja dan Pendekar Tinju Maut. Kalau benar, berarti Arya dan Melati telah berhasil mengalahkan Sangkala! Rasanya mustahil! Kedua kawan Ki Ageng Sora tidak percaya pasangan muda itu mampu mengalahkan Sangkala. Mereka saja, ditambah murid-murid Perguruan Banteng Putih, tidak mampu menghalangi kepergian Sangkala. Mungkinkah Arya dan Melati mampu?

"Maaf, Ki. Kurasa sudah saatnya kami mohon diri. Perjalanan yang akan kami tempuh masih jauh," ucap Arya ketika telah menyerahkan Trijati pada Jayeng Praja.

"Ah! Mengapa terburu-buru, Anak Muda," ujar Ki Rawung. "Kalian berdua baru saja tiba. Tentu masih lelah. Apakah tidak sebaiknya tinggal dulu di desa kami untuk beberapa hari?"

"Benar, Anak Muda," sambung Jayeng Praja, "Rasanya tidak pantas menerima pertolongan tanpa memberikan balasan."

"Maaf, Ki. Kami memberikan pertolongan dengan ikhlas. Tidak terbersit sedikit pun keinginan untuk mendapat balasan," jelas Arya sopan tapi tegas.

"Kami pun tidak menganggap kau memberikan pertolongan dengan pamrih, Anak Muda," lanjut Jayeng Praja cepat karena menyadari kesalahan ucapnya. "Tapi..., maksud kami begini, Anak Muda. Hm.... Rasanya tidak pantas Jika kami tidak mengenalmu, orang yang telah memberikan pertolongan pada kami. Aku, Jayeng Praja."

"Aku Loka Arya," sambung Pendekar Tinju Maut.

"Dan aku, Rawung, Kepala Desa Kawung," sambut Ki Rawung.

"Namaku Arya dan kawanku ini, Melati," balas Arya memperkenalkan diri.

"Arya...."

Hampir bersamaan Jayeng Praja dan Pendekar Tinju Maut menggumamkan nama itu seraya berpandangan satu sama lain. Dahi keduanya berkerut dalam seperti tengah mengingat-ingat sesuatu. Dan rupanya Pendekar Tinju Maut berhasil mengingatnya.

"Arya...?! Rasanya aku pernah mendengar nama itu.... Kalau tidak salah Arya Buana...," Pendekar Tinju Maut menggantung ucapannya.

"Memang itulah namaku selengkapnya, Ki," terpaksa Arya mengakuinya.

"Ah...! Jadi..., sekarang kami berhadapan dengan seorang pendekar muda yang julukannya telah membuat persada ini gempar...!" ujar Jayeng Praja dan Pendekar Tinju Maut bersamaan. "Bukankah kau Dewa Arak...?!"

Seketika itu pula wajah Arya merah padam karena malu dan tidak enak. "Rasanya berita itu terlalu berlebihan, Ki. Dan...."

"Berlebihan atau tidak yang penting sekarang kau harus tinggal di desa ini dulu, Dewa Arak," potong Pendekar Tinju Maut yang memang mempunyai watak sangat terbuka. "Banyak hal yang ingin kami perbincangkan denganmu. Kami yakin kau akan berminat mendengarkannya. Sebab ini ada hubungannya dengan tugasmu sebagai seorang pendekar! Bagaimana? Kau setuju?!"

Dewa Arak tidak segera memberi tanggapan. Pemuda itu tercenung sebentar mempertimbangkannya. Tapi sesaat kemudian kepalanya dianggukkan. Wajah Pendekar Tinju Maut, Jayeng Praja, dan Ki Rawung berseri-seri mendengar persetujuan pemuda berambut putih keperakan itu.

"Sebelumnya kami ucapkan terima kasih atas kesediaanmu memenuhi ajakan kami, Dewa Arak,'' ujar Jayeng Praja gembira.

"Lupakanlah, Ki."

"Kalau demikian, mari ikut kami, Dewa Arak," lanjut Jayeng Praja.

Sesaat kemudian rombongan dari Desa Kawung bergerak ke arah semula. Kali ini jumlah mereka lebih banyak dari sebelumnya. Rombongan itu bertambah dua orang. Arya dan Melati.

* * *

"Ki...." Arya membuka pembicaraan ketika dirinya, Melati, Jayeng Praja, Pendekar Tinju Maut, Ki Rawung, Ranjita, dan dua orang murid utama Perguruan Banteng Putih telah duduk bersila di ruang tengah bangunan Perguruan Banteng Putih.

"Ada apa, Dewa Arak?" tanya Jayeng Praja pelan.

Ucapan Arya memang ditujukan pada Ketua Perguruan Harimau Terbang. Meskipun demikian, semua yang hadir ikut memasang telinga. Mereka ingin mengetahui masalah yang akan dibicarakan Dewa Arak dengan Jayeng Praja.

"Boleh aku mengajukan pertanyaan?" tanya Dewa Arak hati-hati.

''Tentu saja boleh, Dewa Arak," jawab Jayeng Praja cepat, "Dengan senang hati aku akan menjawabnya. Tapi..., tentu saja sebatas pengetahuanku...."

''Terima kasih, Ki. Ucapanmu akan kuperhatikan," janji Arya. "Begini, Ki.... Dalam perjalanan kami berdua menemukan beberapa mayat yang masih baru. Kalau tidak salah... sembilan orang! Ya, sembilan orang! Mereka mengenakan pakaian yang warna dan lambangnya sama dengan pakaianmu. Aku tidak tahu... apakah ini hanya kebetulan... atau memang ada hubungannya?"

"Apakah kau menemukan mayat-mayat itu di dalam Hutan Sawan, Dewa Arak?" tanya Jayeng Praja meminta penegasan setelah termenung sejenak.

"Benar, Ki!" sambut Arya bersemangat. "Kau juga mengetahui kejadian itu?"

"Hhh...!" Jayeng Praja menghela napas berat. Membuang beban yang mengganjal hatinya. "Mayat-mayat yang kau temukan itu memang ada hubungannya denganku, Dewa Arak. Mereka murid-muridku," kemudian dengan singkat tapi jelas, Ketua Perguruan Harimau Terbang itu menceritakan tentang usaha sampingan perguruan silat yang dikelolanya.

"Jadi..., begitulah akhirnya, Dewa Arak. Putri saudagar itu lenyap. Kami tidak tahu nasib yang dialaminya. Tapi menurut Sangkala, gadis itu telah mati. Sangkala yang membunuhnya. Begitu pengakuannya," tutur Jayeng Praja mengakhiri kisahnya.

"Sangkala...?!" Arya mengernyitkan kening. Pemuda itu memang tidak tahu orang yang dikejar-kejarnya bernama Sangkala.

"Orang yang menculik mempelai wanita itu bernama Sangkala, Dewa Arak," kali ini Pendekar Tinju Maut yang memberikan jawaban.

Arya mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti. "Rupanya kalian mengenalnya dengan baik?" Melati ikut berbicara.

"Aku dan dia tidak," jawab Jayeng Praja menunjuk Pendekar Tinju Maut, "Kami bukan penduduk sini. Tapi kenalan Ki Ageng Sora yang kebetulan datang karena mendapat undangan untuk menghadiri pesta pernikahan."

"Jadi..., Sangkala... penduduk desa ini?!" Arya melanjutkan pertanyaan kekasihnya.

"Begitulah, Dewa Arak!" Ki Rawung menyambuti, "Dia adalah murid Ki Ageng Sora, Ketua Perguruan Banteng Putih."

Lalu Kepala Desa Kawung itu menceritakan semua kejadian mengenai Sangkala. Arya dan Melati mendengarkan dengan penuh perhatian. Mereka tidak memotong hingga Ki Rawung menyelesaikan ceritanya.

Sementara itu di luar bangunan Perguruan Banteng Putih, murid-murid perguruan itu tampak berjaga-jaga. Sikap mereka sangat waspada. Terlihat jelas kesungguhan murid-murid Perguruan Banteng Putih. Padahal saat itu suasana di persada terasa panas. Matahari yang berada tepat di atas ke-pala memancarkan sinarnya dengan garang.

Meskipun wajah mereka memancarkan kegarangan, tapi raut kesedihan yang mendalam tetap terlihat! Semalam Ketua Perguruan Banteng Putih tewas di tangan Sangkala. Baru tadi pagi mereka memakamkannya.

Kekhawatiran akan terulangnya peristiwa semalam menyebabkan murid-murid Perguruan Banteng Putih berjaga-jaga, meskipun di siang hari. Sebab tindakan Sangkala tentu tidak akan berhenti sampai di situ. Pemuda berwajah bopeng itu pasti akan terus merongrong hingga sakit hatinya terbalas.

Karena itu mereka terus berjaga-jaga. Mata mereka diedarkan ke sekeliling tempat itu. Bahkan di kejauhan. Tapi kelihatannya keadaan aman. Tidak terlihat tanda-tanda akan ada orang menyatroni Perguruan Banteng Putih.

Karena terlalu memusatkan perhatian pada sosok manusia, murid-murid Perguruan Banteng Putih tidak menaruh perhatian ketika sesosok bayangan hitam sebesar kepalan tangan melesat masuk wilayah perguruan. Padahal, beberapa di antaranya melihat sosok hitam itu adalah kelelawar!

Tapi guncangan perasaan akibat kematian guru sekaligus ketua membuat mereka tidak menyadari keanehan itu. Mana ada kelelawar berkeliaran siang hari? Maka leluasalah kelelawar yang merupakan penjelmaan Sangkala melaksanakan keinginannya.

Lagi-lagi keuntungan berpihak pada Sangkala. Dengan bentuknya yang kecil, pemuda itu tidak mengalami kesulitan memasuki setiap kamar melalui jendela. Baik yang terbuka lebar maupun yang terkuak sedikit.

Entah untuk ke berapa kali menyelusup ke dalam ruangan-ruangan yang ada. Kelelawar penjelmaan Sangkala akhirnya menjumpai ruangan yang dihuni Trijati. Kilatan aneh tampak pada sepasang mata kelelawar jadi-jadian itu melihat Trijati terbaring lemas di pembaringan. Rupanya guncangan batin yang dialami karena kematian ayahnya cukup berat. Sejak kemarin malam hingga sekarang Trijati belum juga sadarkan diri.

Bluppp!

Begitu telah berada di dalam ruangan, kelelawar itu berubah bentuk menjadi... Sangkala! Kepulan asap tipis menyebar. Baru saja Sangkala hendak beranjak mendekati pembaringan, tiba-tiba kelopak mata Trijati bergerak membuka. Bulu mata lentik itu pun mengerjap-ngerjap pelan. Sepasang mata Trijati terbuka.

Namun seketika itu pula membelalak lebar memperlihatkan keterkejutan yang sangat. Sebelum mulut mungil itu mengeluarkan jeritan, Sangkala telah lebih dulu bertindak. Jari telunjuk kanannya ditudingkan! Dan....

Tukkk!

Sekujur tubuh Trijati yang menegang langsung lunglai. Dengan jitu dan dari jauh, Sangkala berhasil menotoknya hingga lemas! Sungguh sebuah ilmu yang mukjizat. Inilah salah satu keistimewaan jurus 'Kelelawar'.

He he he...!" Sangkala tertawa dalam hati melihat rencananya berjalan dengan baik. Kemudian tanpa menunggu lebih lama, mengingat kesempatan yang tidak memungkinkan, dihampirinya Trijati dengan sorot mata liar.

Trijati hanya bisa menatap dengan ngeri. Hanya itu yang dapat dilakukannya. Sangkala telah menotok urat bicaranya, sehingga gadis itu tidak mampu mengeluarkan suara sedikit pun.

"Trijati...," terdengar Sangkala berdesis pelan, "Sungguh tidak kusangka bisa menikmati tubuhmu..."

Usai berkata, pemuda berwajah bopeng itu menindih Trijati. Dengan kasar dan buas diciuminya wajah putri Ki Ageng Sera. Tidak hanya itu. Bagaikan bermata, kedua tangannya menanggalkan pakaian calon korbannya satu persatu. Dengan mulut mengulum bibir Trijati dengan buas, Sangkala berhasil melucuti pakaiannya dan pakaian Trijati. Sekarang tubuh keduanya telah polos sama sekali, tanpa selembar benang pun menutupi.

Seperti juga waktu menjarah tubuh Wulan dan Widuri, kali ini pun Sangkala terlihat demikian bersemangat. Tidak hanya wajah Trijati saja yang dicium. Dengan ganas, kasar, dan penuh nafsu diciuminya juga leher Trijati, terus turun ke dada.

Ingin rasanya Trijati menjerit sekeras-kerasnya agar ada yang datang menolong. Tapi ada daya? Tidak ada sedikit pun suara keluar dari kerongkongannya. Karena takut dan ngeri akan bahaya yang tengah mengancam, Trijati menangis tanpa suara. Hanya linangan air mata yang menjadi tanda ke hancuran hatinya.

DUA

Napas Sangkala memburu seperti habis berlari jauh ketika menciumi sekujur tubuh Trijati. Tangannya sibuk bergerilya. Meraba dan meremas apa yang dapat diremas. Tak lama kemudian, sekujur tubuh Sangkala menegang beberapa saat sebelum akhirnya mengendur kembali.

Sangkala tersenyum puas seraya bangkit dari tubuh Trijati. Dihapusnya peluh yang membasahi sekujur tubuh, tanpa mempedulikan Trijati yang merasa dunia mendadak gelap. Linangan air mata pada kedua pipinya menjadi tanda kehancuran hati putri Ki Ageng Sora. Tapi, di saat Sangkala tengah sibuk dengan pekerjaannya, pendengarannya yang tajam menangkap suara langkah-langkah kaki mendekati tempat itu.

Walaupun dari bunyi langkahnya Sangkala tahu kepandaian pemiliknya tidak perlu dikhawatirkan, tapi pemuda itu tidak berani menganggap remeh. Jika keberadaannya diketahui, bahaya besar mengancamnya. Di situ ada Dewa Arak dan kawannya! Kalau mereka mengeroyoknya pasti dia akan dapat dirobohkan! Sangkala tidak menginginkan hal itu terjadi. Maka, Sangkala buru-buru memberesi pakaiannya dan mengenakan dengan tergesa-gesa.

Kriiittt...!

Bertepatan dengan selesainya Sangkala berpakaian terdengar bunyi bergerit nyaring diiringi membukanya daun pintu kamar. Sangkala terkejut. Saat itu juga dia sadar tidak ada kesempatan baginya untuk kabur atau bersembunyi. Dugaannya tidak keliru. Di ambang pintu berdiri sesosok tubuh kekar seorang pemuda. Ranjita!

"Kau...! Keparat...!" Ranjita bukan main terkejutnya melihat pemandangan yang terpampang di hadapannya. Saat itulah Sangkala mengibaskan tangan kirinya.

Wusss!

Serangkum angin dahsyat menyambar ke arah Ranjita. Tibanya begitu mendadak, sangat cepat. Padahal saat itu putra Ki Rawung sedang tidak bersiap. Maka....

Desss!

"Aaakh...!" Pekikan menyayat keluar dari mulut Ranjita. Tubuhnya terlempar ke belakang. Darah segar memancar deras dari mulut, hidung, dan telinga. Seketika itu pula nyawa Ranjita melayang ke alam baka.

Tapi Sangkala hanya memperhatikan sekilas. Pemuda itu menyadari keadaannya yang tidak menguntungkan, maka tubuhnya segera berbalik. Sangkala bermaksud melarikan diri. Dasar Sangkala memang memiliki watak keji! Dalam kedudukan seperti itu, masih sempat juga dikirimkan totokan jarak jauh ke arah Trijati.

Cittt, tasss!

Tanpa mampu menjerit karena urat bicaranya telah ditotok, Trijati terkulai lemas. Nyawanya telah melayang. Totokan jarak jauh Sangkala memecahkan ubun-ubunnya!

Saat itulah Dewa Arak muncul di ambang pintu. Jeritan menyayat Ranjita terdengar jelas olehnya dan yang lainnya, yang masih terlibat percakapan. Serempak mereka melesat ke arah asal suara. Dewa Araklah yang tiba lebih dulu.

Sekarang, begitu berada diambang pintu dan melihat Sangkala melesat keluar, kedua tangannya segera dihentakkan. Dewa Arak mengirimkan serangan pukulan jarah jauh.

Wusss!

Gelombang angin dahsyat meluncur ke arah Sangkala. Pemuda berwatak bejat itu tampak sangat terkejut. Disadarinya betapa berbahaya serangan jarak jauh Dewa Arak. Tangannya segera dikibaskan memapaki serangan itu dengan pengerahan seluruh tenaga dalamnya. Sehingga....

Blarrr!

Bunyi menggelegar seperti halilintar menyambar terdengar begitu dua pukulan jarah jauh berbenturan. Ruangan itu bergetar hebat seperti akan runtuh. Tubuh Dewa Arak terjengkang ke belakang. Demikian pula Sangkala. Benturan dahsyat itu mengakibatkan tubuhnya terpental ke depan menabrak sebagian jendela.

Brakkk!

Tubuh Sangkala terus meluncur ke bawah. Kamar Trijati memang berada di lantai dua. Rupanya nasib buruk masih menyertai Sangkala. Di saat tubuhnya melayang ke bawah, murid-murid Perguruan Banteng Putih yang sudah mengetahui ada keributan di dalam bangunan menyambut luncuran tubuh Sangkala dengan tusukan senjata. Sangkala kelihatan tidak gugup. Tanpa ragu dipapakinya tusukan beraneka ragam senjata itu dengan tangan dan kaki telanjang!

Tak, tak, takkk!

Bunyi berdetak keras terdengar ketika tangan dan kaki Sangkala berbenturan dengan senjata-senjata itu. Tubuh murid-murid Perguruan Banteng Putih terhuyung-huyung ke belakang dengan tangan terasa sakit.

Sedangkan Sangkala mempergunakan tenaga benturan itu untuk bersalto beberapa kali. Kemudian mendarat di luar kepungan. Dan dengan secepatnya melesat meninggalkan tempat itu. Tentu saja murid-murid Perguruan Banteng Putih tidak membiarkannya. Mereka bergegas mengejar.

Tapi, mereka kalah cepat dengan Dewa Arak! Laksana bayangan, pendekar muda yang julukannya menggemparkan dunia persilatan itu menguntit di belakang Sangkala. Di belakang Dewa Arak, Melati, Jayeng Praja, Pendekar Tinju Maut, dan yang lainnya ikut mengejar.

Meskipun kecepatan lari mereka tidak seperti Dewa Arak maupun Sangkala, tapi tetap saja pengejaran terus dilakukan. Semua itu diketahui dengan pasti oleh Sangkala. Itu sebabnya kecepatan larinya ditambah.

Dewa Arak mengerutkan sepasang alisnya ketika melihat Sangkala melesat ke belakang. Mengapa penjahat keji itu tidak melesat ke depan? Pemuda berambut putih keperakan itu tidak menduga Sangkala mempunyai rencana lain sehingga memilih melarikan diri melalui jalan belakang.

Sebagai bekas murid Perguruan Banteng Putih Sangkala tentu saja mengetahui seluk-beluk bangunan. Pemuda itu tahu di belakang terdapat gudang. Sebuah tempat yang kumuh karena jarang dibersihkan. Malah dibiarkan begitu saja. Ke sanalah Sangkala menuju! Masih berjarak beberapa tombak dari pintu gudang, Sangkala telah menghentakkan kedua tangannya.

Wusss! Brakkk!

Daun pintu gudang langsung hancur berantakan. Serpihan kayu berpentalan tak tentu arah. Tak mampu menahan pukulan jarak jauh Sangkala yang dahsyat. Tanpa menunggu lebih lama, Sangkala melesat ke dalam dan menyelinap!

Dewa Arak tidak berani bertindak gegabah dengan begitu saja masuk. Bukan tidak mungkin Sangkala telah menunggu dan akan membokongnya. Pemuda itu tampak sangat hati-hati ketika melesat masuk ke dalam gudang. Tapi sikap Dewa Arak sia-sia. Tidak terjadi hal-hal yang dikhawatirkan saat telah berada di dalam.

"Hm...." Dewa Arak menggumam pelan seraya merayapi tempat itu dengan pandang matanya. Terlihat jelas tempat itu sudah lama tidak terurus. Debu tebal memenuhi ruangan. Bahkan sarang laba-laba tersebar di setiap sudut.

Gudang itu berbentuk persegi panjang. Ukurannya kurang lebih tiga kali dua tombak. Cukup luas. Bahkan kelihatan terlalu luas. Karena isinya tidak banyak dan tidak ada yang tinggi atau besar. Jadi, tak ada yang dapat dijadikan tempat untuk bersembunyi. Demikian kesimpulan pemuda berambut putih keperakan itu. Arya menjadi penasaran. Itu berarti Sangkala berhasil mengecoh dirinya lagi. Sangkala lenyap kembali seperti sebelumnya!

"Apa yang terjadi, Kang?" tanya Melati yang telah berada di belakang Arya.

"Si keparat itu lenyap lagi, Melati," jawab Arya putus asa.

Bisa dimaklumi perasaan hati Arya saat itu. Di gudang tidak terlihat Sangkala. Padahal, pintu dan jendela tertutup rapat serta dipenuhi debu tebal. Ini membuktikan tidak ada seorang pun yang telah keluar dari dalam gudang.

"Lalu ke mana perginya, Sangkala?" pertanyaan itu bergayut di benak Dewa Arak.

"Bagaimana, Dewa Arak?" begitu tiba, Jayeng Praja mengajukan pertanyaan. Sementara pandangannya diedarkan ke sekeliling ruangan.

Dewa Arak hanya mengangkat bahu.

"Mustahil!" desis Pendekar Tinju Maut yang juga telah tiba. Nada suaranya menyiratkan ketidakpercayaan, "Mungkinkah dia bisa menghilang atau menembus dinding?"

"Apa pun caranya, yang jelas Sangkala mampu meloloskan diri dari kejaran kita!" timpal Ki Rawung tanpa menyembunyikan rasa takut dan ngeri yang mencekam hatinya.

"Maaf, Ki. Kalau menurut pendapatku... tidak mungkin Sangkala meloloskan diri dengan menembus dinding atau menghilang," ujar Dewa Arak.

Jayeng Praja, Pendekar Tinju Maut, dan Ki Rawung segera mengalihkan tatapannya.

"Mengapa kau berpendapat demikian, Dewa Arak?" tanya Pendekar Tinju Maut tidak sabar. Sementara Jayeng Praja dan Ki Rawung menganggukkan kepala mendukung pertanyaan itu.

Arya tidak segera menjawab. Pemuda itu terdiam beberapa saat. "Memang aku mempunyai alasan yang cukup kuat," ujar pemuda berambut putih keperakan itu, "Pertama, berdasarkan pengalamanku sendiri ketika untuk pertama kali dia berhasil menyelamatkan diri secara aneh. Kedua adalah sifat ilmu yang disebutkan Pendekar Tinju Maut. Maaf, bukan maksudku menggurui."

"Buang jauh-jauh perasaan tidak enak itu, Dewa Arak. Dan jelaskan maksud ucapanmu. Aku belum mengerti maksudmu!" sergah Pendekar Tinju Maut.

"Baiklah, Ki. Aku akan menjelaskannya. Pertama kali Sangkala berhasil meloloskan diri dariku adalah ketika dia menyelinap ke balik semak-semak. Berdasarkan itu rasanya tidak mungkin dia menggunakan ilmu yang dapat membuat raganya menembus dinding! Sebab untuk apa ilmu itu digunakan? Tubuhnya tetap terlihat. Jadi, kemungkinan dia menggunakan ilmu 'Halimun'."

Sampai di sini Dewa Arak menghentikan uraiannya. Dilihatnya Jayeng Praja, Pendekar Tinju Maut, Ki Rawung, dan yang lainnya mengangguk-angguk membenarkan pendapatnya.

"Tapi, pendapat ini pun kurasa tidak benar. Bila Sangkala memiliki ilmu 'Halimun' pasti digunakannya dalam pertarungan. Dengan tubuh yang tidak terlihat, lebih mudah baginya untuk mengalahkan lawan," lanjut Arya. "Rasanya hal itu mustahil bila melihat keadaan di sini. Tidak mungkin lenyapnya Sangkala karena menggunakan ilmu 'Halimun'."

"Jelaskan alasan ketidaksetujuanmu dengan dugaan itu, Dewa Arak!" sergah Pendekar Tinju Maut.

"Karena... sepengetahuanku..., ilmu 'Halimun' tidak membuat raga kita menghilang. Tapi hanya menipu pandangan orang. Dengan kata lain, orang yang bersangkutan tetap berada di tempat itu. Hanya mata orang lain tidak melihatnya. Jadi... bila Sangkala mempergunakan ilmu 'Halimun', dia masih berada di sini! Apakah kalian semua yakin dia masih berada di sini?!"

Arya menutup penjelasannya dengan pertanyaan. Pandangannya diedarkan berkeliling ingin melihat tanggapan orang-orang yang hadir. Tapi semuanya terdiam. Tak satu pun memberikan tanggapan.

"Menurutku, Sangkala tidak berada di sini. Kalau dia ada..., tentu kita akan diserangnya. Dengan keadaannya yang tidak terlihat sangat mudah baginya membunuh kita satu persatu," sambung Arya menguatkan pendapatnya.

Tanpa sadar semua yang berada di situ kembali mengangguk-anggukkan kepala.

"Kalau begitu..., bagaimana penjahat bejat itu bisa berada di kamar Trijati, Dewa Arak?! Padahal, penjagaan sangat ketat. Kami yakin bila Sangkala melakukan cara yang wajar akan diketahui kedatangannya," ujar Bongara.

Murid-murid Perguruan Banteng Putih tampak mendukung ucapan Bongara. Pandangan mereka mengatakan semua itu. Mereka merasa telah menunaikan tugas dengan baik. Tapi, mengapa Sangkala dapat masuk juga? Itu yang tidak mereka mengerti.

"Hal itulah yang ingin kutanyakan pada kalian," ujar Dewa Arak cepat, "Perlu kalian ketahui, menurut dugaanku kemungkinan besar ini benar. Sangkala masuk ke tempat ini dengan tidak wajar. Apa ilmu yang digunakannya, belum bisa ditebak. Yang pasti jenis ilmu di dunia persilatan sangat beragam. Banyak! Bahkan tidak terhitung. Banyak diantaranya yang tidak masuk akal! Karena itu, aku ingin mengajukan pertanyaan pada para penjaga. Apa kalian tidak melihat sesuatu selama berjaga-jaga. Apa saja, masuk akal maupun tidak!"

Suasana langsung hening ketika Dewa Arak menyelesaikan perkataannya. Murid-murid Perguruan Banteng Putih saling berpandangan. Dahi mereka berkernyit mencoba mengingat-ingat.

"Ah...! Aku ingat...!" ucap salah seorang dari mereka yang bertubuh kecil kurus. Ucapan yang dikeluarkan setengah berteriak itu membuat semua orang menoleh ke arahnya.

"Katakan, Tambu...!" perintah Ki Rawung tak sabar.

"Di saat tengah berjaga aku melihat sosok hitam sebesar kepalan tangan melesat masuk. Tapi, aku tidak peduli. Saat itu pikiranku hanya tertuju pada Sangkala. Seorang manusia! Bukan binatang!" jelas murid Perguruan Banteng Putih yang bernama Tambu.

"Sosok hitam sebesar kepalan tangan?! Apa kau tidak melihat dengan lebih jelas, Tambu?" tanya Arya meminta penegasan.

Tambu terdiam. Laki-laki itu kelihatan ragu-ragu untuk mengatakannya.

"Katakanlah, Tambu. Jangan ragu-ragu. Percayalah. Sedikit apa pun keterangan yang kau berikan akan berguna banyak untuk melenyapkan Sangkala selama-lamanya," dukung Arya.

"Apa yang dikatakan Dewa Arak benar, Tambu. Katakanlah. Jangan ragu-ragu," timpal Jayeng Praja ikut memberi semangat.

"Aku tidak yakin akan penglihatanku.... Sosok hitam itu terbang sangat cepat. Tapi, dari cara terbangnya bisa kutebak sosok hitam itu adalah kelelawar!"

"Kelelawar?!" Ucapan itu serempak keluar dari mulut semua orang yang berada di situ. Tak terkecuali Dewa Arak dan Melati.

"Apa kau tidak salah lihat, Tambu?!" sergah Ki Rawung. "Kelelawar? Di siang hari seperti ini?! Ah! Kurasa kau mengada-ada!"

Seketika itu pula wajah Tambu merah padam menahan malu. Tapi sebelum sempat menyesali keterangan yang diberikannya, dukungan untuknya pun datang.

"Kurasa dia tidak mengada-ada, Ki! Aku yakni Tambu tidak salah lihat! Sosok hitam yang dilihat Tambu mungkin saja kelelawar. Sedang kemunculannya pada waktu yang tidak tepat karena binatang itu bukan kelelawar biasa. Kelelawar itu merupakan penjelmaan Sangkala!" urai Arya.

"Kau mempercayai keterangannya, Dewa Arak?" tanya Kepala Desa Kawung setengah tak percaya.

"Benar!" Mantap dan tegas jawaban pemuda berambut putih keperakan itu. "Tidak ada alasan bagiku meragukannya, Ki. Bukti-bukti yang kutemukan cukup mendukung keterangan Tambu!"

"Bisa kau jelaskan bukti-bukti yang kau maksud, Dewa Arak?" kejar Ki Rawung masih tak percaya.

"Tentu, Ki," Dewa Arak menganggukkan kepala, "Pertama, waktu Sangkala lenyap ketika menyelinap di balik semak-semak dan pepohonan aku menemukan beberapa ekor kelelawar. Aku yakin satu di antaranya merupakan jelmaan Sangkala. Kedua, lenyapnya Sangkala di sini. Kalian saksikan sendiri, hanya binatang kecil seperti kelelawar yang mampu melewati lubang kecil di atas pintu itu"

Ki Rawung terdiam. Demikian pula Jayeng Praja, Pendekar Tinju Maut, dan yang lainnya. Sesaat kemudian, beberapa murid Perguruan Banteng Putih yang bertugas di bagian belakang angkat bicara.

"Dugaan Dewa Arak benar! Kami melihat seekor kelelawar keluar dari dalam gudang ini. Sayang kami tidak tahu kelelawar itu penjelmaan Sangkala. Kalau tidak... sudah kami sate dia!" geram lelaki bertahi lalat besar di pipi kanan.

"Ah...! Benar demikian?!" tanya Arya penuh semangat.
"Benar!" jawab laki-laki bertahi lalat sambil menganggukkan kepala.

"Kalau demikian, sekarang telah kita ketahui cara Sangkala menghilang. Tapi, ingat jangan ada seorang pun yang membocorkannya. Bila hal ini sampai terdengar Sangkala, pasti dia akan bertindak lebih hati-hati!" ujar Dewa Arak mengingatkan.

"Apa yang kau katakan benar, Dewa Arak. Lebih baik kita bersikap seolah-olah tidak mengetahui cara dia meloloskan diri. Mau tidak mau ini akan membuat kewaspadaannya berkurang. Dengan demikian, kesempatan meringkusnya hanya tinggal menunggu waktu yang tepat!" dukung Pendekar Tinju Maut, "Bukankah demikian, Jayeng?''

"Benar," Jayeng Praja mengangguk, "Tapi... kemungkinan besar aku tidak bisa ikut membantu meringkus penjahat keji itu...."

"Mengapa, Jayeng? tanya Pendekar Tinju Mau heran.

"Hhh...!" Jayeng Praja menghela napas, "Kau kan tahu, Loka. Perguruanku tengah dilanda musibah. Aku harus kembali ke perguruan dan mengabarkan kepada saudagar itu akan kejadian yang menimpa putrinya. Entah bagaimana jadinya...."

Seketika orang-orang pun terdiam. Mereka bisa menerima alasan yang dikemukakan Ketua Perguruan Harimau Terbang. Mereka tahu tidak mungkin menahan-nahan kepergian Jayeng Praja.

"Lagi pula... di sini tenagaku tidak berarti. Berbeda dengan di perguruanku. Di sana kehadiran dan tenagaku sangat dibutuhkan! Dengan keberadaan Dewa Arak di sini, sepuluh orang sepertiku pun sudah tidak berarti. Sekarang juga aku mohon diri kepada kalian semua...," usai berkata, Jayeng Praja mengayunkan kaki meninggalkan tempat itu. Sementara semua yang hadir hanya bisa menatap kepergiannya.

"Hhh...!" Terdengar helaan napas berat. Ternyata Ki Rawung yang mengeluarkannya, "Aku pun tidak bisa berlama-lama di sini. Ranjita anakku, telah meninggal. Aku harus mengurus pemakamannya."

"Sabar, Rawung," cegah Pendekar Tinju Maut, "Lebih baik kita mengurusnya bersama-sama. Bukan hanya Ranjita yang tewas di tangan Sangkala. Trijati pun demikian. Biarlah aku mewakili kawanku, Ki Ageng Sora, untuk mengurus perguruannya. Kurasa dia tidak keberatan."

Sesaat kemudian dengan didahului Pendekar Tinju Maut dan Ki Rawung, rombongan itu bergerak meninggalkan gudang. Tujuan mereka jelas. Tempat pemakaman.

* * *

TIGA

Sementara itu, jauh dari Perguruan Banten Putih, orang yang tengah dibicarakan sedang terbaring lemah dilantai sebuah rumah kosong yang sudah tidak berpenghuni. Tampaknya Sangkala terluka.

''Keparat! Kalau tidak ada kawan-kawannya, sudah kuhancur lumatkan pemuda berambut setan itu'' Desis Sangkala sangat geram. Kemudian pemuda berwatak bejat itu mengusap dadanya. Bagian itu terasa sesak akibat berbenturan pukulan jarak jauh dengan Dewa Arak.

Tapi ini tidak menjadi bukti tenaga dalam Sangkala berada di bawah Dewa Arak. Yang jelas kedudukan Dewa Arak lebih menguntungkan. Sangkala tidak sempat mengerahkan seluruh tenaganya ketika mengadu benturan dengan lawan. Sebab waktunya tidak memungkinkan.

''Kelak akan kucari pemuda berambut setan itu. Akan kubuktikan siapa di antara kami yang paling hebat!'' Desis Sangkala penuh dendam.

"Hhh...!" Sangkala menghela napas berat. Dibiarkannya angan-angannya melayang ke masa beberapa bulan lalu. Sewaktu dirinya belum memiliki kekuatan seperti ini. Saat itu dia sedang dikejar-kejar rombongan dari Desa Kawung yang dipimpin Ki Ageng Sora.

Sangkala tidak tahu Ranjita dan Bongara ikut terjun ke dalam danau untuk menangkapnya. Sayangnya Ranjita tidak berani meneruskan pencariannya karena lubang dinding danau yang mempunyai daya tarik luar biasa. Rombongan dari Desa Kawung pun gagal menangkapnya. (Untuk lebih jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode Manusia Kelelawar)

Sebenarnya ke manakah perginya Sangkala? Benarkah seperti yang diduga Ranjita? Benarkah Sangkala masuk ke dalam rongga di salah satu dinding danau?

Kesimpulan yang didapat Ranjita memang tidak keliru! Sangkala berenang melalui rongga itu. Bukan karena sengaja, tapi secara kebetulan! Kalau Ranjita langsung mundur begitu melihat keanehan pada lobang itu, tidak demikian dengan Sangkala! Ketidakinginan mati secara menyedihkan membuat Sangkala bertindak nekat. Tanpa kenal takut didekatinya lubang itu.

Luar biasa! Meskipun jaraknya masih dua tombak, tubuh Sangkala terseret ke arah lubang. Sangkala yang telah nekat dan lebih rela mati di danau itu tidak melakukan perlawanan. Maka dengan mudah tubuhnya tertarik ke lubang hingga masuk ke dalamnya.

Ternyata kekuatan yang ada di balik lobang itu lebih dahsyat. Sangkala yang telah lelah karena pengaruh luka-lukanya tidak kuat bertahan. Dia pingsan!

Entah berapa lama pemuda itu tidak sadarkan diri. Yang diketahuinya begitu sadar dia telah berada di sebuah ruangan berhawa lembab. Di dekatnya terdapat sebuah sumur yang airnya bergolak ke atas.

Dari keadaan ini Sangkala segera dapat menarik kesimpulan. Tubuhnya dilemparkan ke sini oleh air yang bergolak ke atas itu. Sangkala memperhatikan keadaan sekelilingnya. Lumut dan tumbuhan air menghiasi sekeliling ruangan.

"Akh...!" Sangkala memekik kesakitan ketika berusaha bangkit. Pemuda itu segera teringat akan luka-luka yang dideritanya. Ya! Pada empat bagian tubuhnya telah menancap pisau-pisau Ki Ageng Sora.

Teringat akan hal itu Sangkala mengarahkan pandangan ke belakang pahanya. Pemuda berwajah bopeng itu terkejut. Tidak dijumpainya pisau-pisau itu ada di sana. Sangkala terheran-heran. Bukankah dia belum mencabutnya? Mengapa pisau-pisau itu tidak ada lagi?

Rasa penasaran membuatnya memeriksa punggungnya. Hasil yang didapatkan Sangkala tak berbeda. Pisau-pisau yang menancap punggung kanan dan kirinya juga sudah tidak ada, walaupun rasa sakit masih mendera. Mungkinkah pisau-pisau itu terlepas sendiri ketika tubuhnya tertarik ke rongga dinding danau kecil itu? Tanya Sangkala dalam hati. Atau ada kemungkinan lain?

Tapi hanya sebentar Sangkala membiarkan benaknya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan itu. Sesaat kemudian dilupakannya. Dia tahu pertanyaan itu tak bisa dijawabnya.

Sangkala memutuskan untuk memeriksa ruangan tempatnya terdampar. Meskipun rasa sakit mendera sekujur tubuh dan tenaga yang ada hanya tinggal sisa-sisa, pemuda itu berusaha bangkit. Dengan tertatih-tatih dan lebih mendekati merangkak daripada berjalan, Sangkala meninggalkan tempatnya berbaring. Pemuda itu mulai memeriksa sekitar ruangan. Hasil yang didapatkannya benar-benar mengejutkan!

Ruangan itu ternyata tidak mempunyai jalan keluar. Tapi ada dua buah lubang. Yang satu sebuah lubang bergaris tengah hampir satu tombak dan berjarak sekitar enam tombak dari sumur aneh itu. Tapi lubang itu tertutup batu besar dari luar. Besar dan tampak kokoh.

Sementara lubang yang lain tidak menghubungkan tempat itu dengan dunia luar. Lubang yang ukurannya lebih kecil dari yang pertama menghubungkan ruangan tempat Sangkala berada dengan ruangan lain yang lebih kecil, berbentuk persegi panjang. Ukurannya tak lebih dari tiga dua tombak.

Tapi justru karena tempat yang kecil itu Sangkala terpekik kaget. Langkahnya terhenti di pinggiran lubang. Sepasang matanya hampir tidak berkedip. Sangkala menatap ke salah satu dinding ruangan itu. Pemandangan yang mengejutkan memang berada di sana. Tampak sebuah kerangka manusia dalam keadaan duduk bersila. Kedua tangannya dengan jari-jari terbuka berada di atas lutut.

Setelah berhasil menguasai perasaan, baru Sangkala mengayunkan langkah mendekat. Rasa kagum dan sangat ngeri menggayuti hatinya. Sangkala tahu kerangka itu pasti milik seorang tokoh persilatan. Yang aneh, mengapa meski telah mati tengkoraknya tidak rubuh? Ini merupakan peristiwa yang mengejutkan. Sangkala menduga tokoh itu sangat pandai dan berilmu tinggi. Tapi mengapa dia tewas dalam keadaan seperti itu?

Sambil terus melangkah, Sangkala mengedarkan pandangan berkeliling. Pada dinding yang berada di sebelah ruangan dilihatnya guratan-guratan berbentuk tulisan. Perasaan ingin tahu membuat Sangkala mengarahkan langkahnya ke tempat guratan berada. Hanya dalam beberapa tindak, dia telah berada di dekat dinding itu. Seperti yang diduganya semula, guratan-guratan itu memang berupa tulisan. Bekas murid Perguruan Banteng Putih itu sempat kaget ketika mengetahui tulisan itu dibuat dengan jari tangan manusia!

Sangkala semakin bertambah yakin orang yang telah menjadi tengkorak itu memang seorang tokoh tingkat tinggi. Sebab membutuhkan tenaga dalam tinggi untuk mengguratkan jari pada dinding ruangan yang terbuat dari batu keras itu. Dengan penuh minat, Sangkala membaca tulisan yang tertera di dinding.

Belasan tahun menanggung rindu
Menyiksa diri untuk menuntut ilmu
Semua itu demi si dara ayu
Yang menembakkan panah asmara di hatiku

Harapan hanya tinggal angan
Si dara ayu menolak pinangan
Tak ada guna semua kepandaian
Lebih baik kutemui kematian


"Hhh...!" Sangkala menghela napas selesai membaca tulisan itu. Kini telah diketahuinya sedikit riwayat hidup tokoh yang telah menjadi tengkorak itu.

Tokoh itu ternyata mencintai seorang wanita. Untuk menarik hatinya, ia berkeras sampai memiliki ilmu yang tinggi. Tapi sayang cintanya ditolak si dara ayu. Tokoh itu patah hati. Putus asa. Lalu bunuh diri. Rasa simpati muncul di hati Sangkala. Nasib tokoh itu sama benar dengan dirinya.

Teringat akan tokoh yang telah menjadi tengkorak membuat Sangkala mengalihkan pandangan ke arahnya. Diperhatikannya beberapa saat sebelum kakinya dilangkahkan mendekat.

"Kasihan kau, Kisanak," desis Sangkala penuh haru ingat akan dirinya sendiri. "Kau hidup sendirian. Tidak ada yang menemani. Bahkan sampai mati kau masih tersiksa. Tidak ada yang menguburmu. Tunggulah sebentar. Akan kubuatkan tempat beristirahat yang layak untukmu."

Sangkala lalu menggali sebuah lubang di dalam ruangan. Untung pemuda itu menemukan sebuah pedang. Dengan senjata itu, dia membuat lubang kuburan. Susah payah Sangkala melakukan semua itu. Keadaan dirinya memang tidak memungkinkan. Ditambah lagi tanah di tempat itu keras bukan main.

Akhirnya setelah memakan waktu cukup lama terbentuk juga sebuah lubang untuk mengubur kerangka itu. Semangat Sangkala pun bangkit. Tanpa disadari tubuhnya mulai agak segar karena terbawa semangat. Sangkala kemudian beranjak menghampiri tengkorak tokoh yang malang itu. Untuk terakhir kali, dipandanginya kerangka itu.

Setelah merasa cukup, Sangkala mengulurkan tangan ingin mengangkat kerangka itu dan menguburkannya. Khawatir akan menyebabkan kerusakan, Sangkala bertindak hati-hati sekali. Dicarinya bagian yang sekiranya tidak menimbulkan kerusakan bila kerangka itu diangkat.

Dan ketika sudah merasa yakin akan pilihannya, Sangkala menjulurkan tangan. Dengan hati-hati dicekalnya kerangka itu dan diangkatnya. Tapi baru saja kerangka itu terangkat sedikit, tiba-tiba....

Grrrggghhh...!

Bunyi berderak terdengar keras. Sangkala terperanjat dan melangkah mundur. Ruangan itu terasa bergetar. Dengan rasa tegang, Sangkala menunggu kejadian selanjutnya. Ternyata bunyi berderak keras dan bergetarnya ruangan itu terjadi karena bergesernya lantai ruangan sehingga tercipta rongga! Di dalamnya tampak sebuah peti kecil berwarna hitam dan berukir.

Pemandangan yang terpampang di hadapannya membuat Sangkala merasa heran. Apa isi peti itu? Pertanyaan itu bergelayut di benaknya. Tapi Sangkala tidak memikirkan lebih jauh. Diputuskannya untuk mengubur kerangka itu lebih dulu. Seperti sebelumnya, Sangkala memasukkan kerangka itu dengan hati-hati.

Saat itulah terjadi peristiwa yang mengejutkan. Dari bagian atas ruangan yang tepat berada di atas lubang tempat peti hitam berada meluncur puluhan batang tombak! Bunyi mendesing nyaring mengiringi luncuran tombak-tombak hingga menancap di dasar lubang. Beberapa di antaranya mengenai peti!

"Ah...!" Sangkala bergidik melihatnya. Kalau tadi dia bertindak ceroboh dan langsung memutuskan mengambil peti itu, pasti sudah tewas tersate. Lubang berbentuk bujur sangkar dengan panjang sisi satu tombak itu dipenuhi luncuran tombak dalam jumlah tak kurang lima puluh batang! Bagaimana dia bisa selamat?

Sangkala lalu melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Ditimbuninya lubang yang baru dibuatnya dengan batu-batu dan tanah. Tak lupa dipasangnya sebuah batu berbentuk persegi sebagai nisannya. Setelah itu, Sangkala mengalihkan perhatian pada lubang tempat peti hitam berada. Tapi lubang tidak bisa dimasuki lagi. Karena dipenuhi tancapan tombak.

Namun itu tidak menjadi halangan bagi Sangkala. Tanpa menemui kesulitan dicabutnya tombak-tombak itu. Satu persatu! Berdiri bulu kuduk pemuda berwajah bopeng itu melihat ujung tombak bersemu kehijauan pertanda mengandung racun! Sangkala ngeri membayangkan dirinya menjadi sasaran tombak-tombak itu.

Dalam waktu singkat semua tombak-tombak itu berhasil dicabut Sangkala. Sekarang lubang itu terlihat lagi. Demikian pula peti kecil berukir itu.

"Hhh...!" Sangkala menghela napas lega. Tubuhnya direbahkan sebentar untuk beristirahat. Tampaknya pemuda berwajah bopeng itu telah banyak mengeluarkan tenaga. Padahal, saat itu keadaannya kurang menguntungkan. Tak heran bila dia dilanda rasa lelah yang sangat. Sangkala tidak terlalu lama beristirahat. Ketika rasa lelah mulai berkurang, diputuskannya untuk meneruskan maksudnya.

"Hih!"

Jliggg!

Meskipun dengan agak terhuyung, Sangkala berhasil hinggap di dasar lubang tempat peti berada. Diambilnya peti itu, dan dibawanya naik ke atas. Apa isi peti kecil ini? Pertanyaan itu kembali muncul di benaknya. Karena dorongan rasa ingin tahu yang memuncak, Sangkala membukanya. Peti kecil itu ternyata tidak dikunci. Sehingga Sangkala tidak menemui kesulitan.

Klakkk!

Tutup peti berhasil dibukanya. Tampak setumpuk lembaran kulit binatang berisikan tulisan. Sangkala mengambil lembar pertama dan membacanya.

Muridku...
Apabila surat ini telah kau baca, berarti kau telah menjadi muridku. Kuucapkan selamat! Karena kau akan mewarisi ilmu-ilmu tingkat tinggi. Dengan berhasilnya kau membaca surat ini, kau telah lulus dari dua buah ujian yang kuberikan. Sekali lagi, selamat.
Tertanda: Gurumu.


Sangkala mengangguk-angguk tanda mengerti. Diam-diam pemuda berwajah bopeng itu kagum akan siasat yang dipergunakan tokoh misterius itu. Jika tadi dia bersikap tidak peduli pada kerangkanya, pasti tidak akan menjadi murid tokoh itu.

Tapi hal yang lebih menyeramkan akan dialami bila dia melupakan kerangka yang akan dikuburnya. Bila saat itu dia sampai terpancing, mungkin sekarang Sangkala telah menjadi sate. Sangkala kembali mengulurkan tangan mengambil lembaran yang kedua. Kemudian dibacanya.

Muridku....
Telah kuputuskan untuk mewariskan sebuah ilmu yang lebih pantas dikatakan ilmu mukjizat. Ilmu ini kunamakan jurus 'Kelelawar'. Karena kuambil dan kuciptakan berdasarkan perilaku binatang itu dalam mempertahankan hidupnya. Baik ketika menghadapi musuh maupun calon korbannya.

Ilmu ini kuciptakan bertahun-tahun. Bahkan belasan tahun. Tapi untukmu telah kubuat sedemikian rupa sehingga kau hanya membutuhkan waktu empat puluh satu hari untuk menguasainya.

Caranya adalah dengan bertapa. Selama empat puluh satu hari kau harus bertapa di tempat aku dulu duduk bersemadi sampai ajal menjemputku.

Muridku... perlu kau ketahui, di waktu kau bertapa akan terdapat cobaan-cobaan. Hanya dua macam. Setiap kali lulus dari satu cobaan, kau akan mendapat ganjaran.

Akhirnya kuucapkan selamat berjuang, muridku. Kudoakan kau berhasil menyelesaikan tapamu.
Gurumu.

Sangkala merapikan kembali lembaran-lembaran kulit binatang itu. Kemudian ditutupnya peti itu, dan dikembalikan ke tempat semula.

EMPAT

Sejak saat itu Sangkala melaksanakan petunjuk yang diberikan guru tanpa nama itu. Sangkala mulai bertapa. Dibentuknya sikap seperti orang hendak bersemadi. Duduk bersila dengan punggung lurus. Tapi kedua tangan Sangkala tidak diletakkan di depan dada. Melainkan ditaruh di atas kedua lututnya. Napasnya pun biasa. Tidak menuruti aturan seperti orang bersemadi.

Pemberitahuan yang diberikan gurunya ternyata bukan hanya bualan. Cobaan mulai datang. Tapi Sangkala tidak tahu setelah bertapa berapa lama cobaan itu datang. Cobaan itu terasa aneh bagi Sangkala. Pemuda berwajah bopeng itu memejamkan mata, tapi dia seperti melihat jelas cobaan yang melanda.

Cobaan pertama, muncul kobaran api di sekitar tempatnya bertapa. Dia seperti berada di tengah-tengah. Sangkala merasakan sekujur tubuhnya panas bukan main. Semakin lama rasa panas yang mendera semakin menjadi-jadi. Bahkan Sangkala merasakan tubuhnya seperti terbakar.

Kalau menuruti perasaan, mungkin Sangkala sudah menyerah. Tapi teringat akan dendamnya pada orang-orang yang mengucilkan kehidupannya membuat semangatnya berkobar. Hingga bekas murid Perguruan Banteng Putih itu memutuskan tidak akan menyerah.

Betapapun rasa panas mendera dan dalam pikiran terlihat tubuhnya ditelan api sehingga tidak terlihat lagi, Sangkala terus bertahan. Entah berapa lama siksaan api itu melanda, Sangkala tidak tahu. Yang dirasakan hanya satu, rasa panas yang sangat. Sampai akhirnya api itu mengecil dan padam sama sekali.

Tapi itu tidak berarti ujian telah berakhir. Sama sekali tidak! Begitu api padam, muncul cobaan lain. Angin puyuh datang dan menyergap Sangkala. Kemudian menerbangkannya ke sana kemari sekehendak hati.

Hampir saja Sangkala menjerit dan membatalkan tapanya. Tapi kembali ingatan akan dendamnya membuat pemuda itu berusaha bertahan. Dan seperti juga sebelumnya, angin topan itu akhirnya lenyap. Seiring dengan lenyapnya angin topan, Sangkala merasakan dirinya berada di sebuah tempat yang asing. Semua serba putih. Tidak kelihatan bukit, gunung, batu, pohon maupun rumput. Yang ada hanya hamparan tanah berwarna putih. Tidak ada sesuatu pun di atas tanah itu.

Sejenak Sangkala kebingungan. Kemudian tanpa diketahui dari mana datangnya, di hadapan Sangkala telah berdiri seorang kakek bertubuh sedang berpakaian coklat. Sebenarnya perawakan tubuh kakek berpakaian coklat itu gagah. Dadanya bidang, kekar, dan tegap berisi. Tapi, semua itu tertutup oleh keadaan wajahnya. Wajah kakek itu penuh bopeng seperti bekas kena penyakit cacar!

"Bersiaplah, Sangkala," ujar kakek berpakaian coklat. Nada suara kakek bopeng itu begitu dingin. Demikian pula tarikan wajah dan sorot matanya. Sepertinya bukan milik manusia!

Sangkala agak bergidik juga melihatnya. Apalagi ketika melihat gaya bicara kakek berpakaian coklat itu. Kedua bibirnya tidak bergerak sedikit pun ketika berbicara. Sesuatu yang unik dan tidak masuk akal. Demikian pendapat Sangkala.

"Mengapa bengong, Sangkala?!" tegur kakek bopeng tetap dengan nada dingin, "Jangan membuang-buang waktu. Aku akan mewariskan jurus 'Kelelawar' andalanku. Kau siap menerimanya?"

"Si... siap, Guru!" Sangkala berusaha memantapkan jawabannya. Tapi karena rasa takut masih melanda, suaranya gemetar seperti orang demam.

Namun rupanya kakek berpakaian coklat tidak mempedulikan perasaan yang bergayut di hati Sangkala. Begitu dilihatnya pemuda itu menyatakan kesediaan, langsung saja diberikan petunjuk-petunjuk mengenai jurus 'Kelelawar'. Maka tanpa disadari Sangkala, meskipun pada lahirnya dia bertapa, tapi badan halus atau apa pun namanya tengah mendapat bimbingan gurunya.

Aneh lagi di tempat yang unik itu Sangkala tinggal selama sepuluh tahun! Selama itu dia berlatih keras mempelajari jurus 'Kelelawar'. Hingga Sangkala dapat mengubah dirinya menjadi kelelawar. Tepat sepuluh tahun, ketika dirasakan Sangkala telah menguasai jurus 'Kelelawar' dengan baik, kakek bopeng mengajaknya bicara empat mata.

"Sangkala...!"

"Ya, Guru," jawab Sangkala penuh rasa hormat.

"Kau telah menguasai jurus 'Kelelawar'. Itu berarti waktu perpisahan telah tiba. Jagalah dirimu baik-baik, Sangkala. Sekarang tapamu telah selesai. Selamat tinggal..!" kakek berpakaian coklat yang selama ini telah membimbingnya kemudian lenyap dari pandangan.

Sangkala yang tidak menyangka perpisahan akan terjadi secepat ini tampak kaget bukan main, "Guru...!" seru Sangkala kalap, "Jangan tinggalkan aku, Guru! Kembalilah, Guru! Guru...!"

Sangkala berlari ke sana kemari memanggil gurunya. Tapi usahanya sia-sia. Gurunya tetap tidak menunjukkan diri. Namun Sangkala tidak putus asa. Terus dicarinya kakek bopeng itu. Tenggorokan dan kakinya sampai lelah tetap saja tidak terlihat tanda-tanda gurunya akan muncul.

"Ah...! Guru...! Kembalilah, Guru...!" keluh Sangkala setengah putus asa. Pemuda berwajah bopeng itu menutup wajahnya dengan kedua belah tangan. Cukup lama dia bersikap demikian, sebelum akhirnya menyadari kenyataan gurunya telah pergi.

Maka diputuskan untuk menghentikan usahanya. Kedua tangannya dijauhkan dari wajahnya. Kejadian selanjutnya benar-benar membuat Sangkala membelalakkan mata. Dia telah berada di tempat semula. Ruangan tempat dia menemukan kerangka. Bahkan masih duduk tempat kerangka itu semula berada.

"Ahhh...!" Sebuah keluhan keluar dari mulut Sangkala. Keluhan ketidak mengertian. Sungguh tidak dimengertinya semua kejadian yang dialami. Apakah semua itu bukan mimpi dan benar-benar nyata? Benarkah dia telah mempelajari jurus 'Kelelawar' dari seorang kakek bopeng selama sepuluh tahun di sebuah tempat yang aneh? Tapi, mengapa sekarang dia berada di tempat ini?

Sangkala menggoyang-goyangkan kepala membuang semua pertanyaan yang berkecamuk di benaknya. Kemudian dicobanya untuk mengingat-ingat. Sangkala pun teringat. Dirinya sedang bertapa agar mendapat ilmu dahsyat dalam waktu singkat. Apakah ini berarti tapanya telah selesai dan dia telah mendapat jurus 'Kelelawar'?

Seketika itu pula timbul keinginan di hati Sangkala untuk membuktikannya. Dan betapa gembiranya pemuda itu ketika dirasakan di bawah pusarnya ada hawa aneh yang berputaran keras. Sebagai seorang pesilat Sangkala tahu hawa yang berputar itu adalah tenaga dalam.

"Benarkah aku telah memiliki ilmu yang tinggi?"

Karena penasaran, dicobanya bangkit berdiri. Ingin dibuktikan sendiri benarkah dia telah menguasai jurus 'Kelelawar' dengan cara yang aneh? Tapi Sangkala segera mengurungkan niatnya ketika melihat keadaan dirinya. Tubuhnya kurus kering seperti tidak berdaging. Hanya tinggal tulang dibungkus kulit!

Hampir saja Sangkala menjerit kaget. Pemuda itu baru sadar telah sekian puluh hari tidak makan! Empat puluh satu hari hanya bertapa tanpa makan dan minum. Itu sebabnya, Sangkala membatalkan maksudnya. Khawatir dirinya tidak akan sanggup melatih ilmunya.

Sangkala merubah keputusannya. Pemuda itu ingin mencari makanan untuk mengembalikan keadaan tubuhnya seperti semula. Tapi ternyata di tempat itu tidak ada sesuatu yang dapat dimakan. Betapapun Sangkala berusaha mencari, tetap saja tidak diketemukan. Maka dengan terpaksa dilahapnya lumut dan jamur yang tumbuh di situ.

Selama beberapa hari Sangkala harus menghilangkan rasa jijiknya untuk memakan tumbuh-tumbuhan itu. Sebelum akhirnya dia berhasil keluar dari sana dengan cara menghancurkan batu besar yang menutup lubang keluar ruangan itu.

* * *

"Hhh...!" Sangkala menghela napas berat ketika teringat kembali akan nasibnya sekarang. Dia berlari tunggang-langgang menyelamatkan selembar nyawanya. Itu terjadi karena Dewa Arak ada di tengah-tengah musuhya.

Sangkala sadar selama ada Dewa Arak di Desa Kawung sulit baginya untuk membalas dendam dengan leluasa. Dewa Arak memiliki kepandaian yang tinggi dan tidak berada di bawahnya. Padahal pemuda berambut putih keperakan itu tidak sendiri, masih banyak kawan-kawannya yang lain. Kalau mereka semua turun tangan, pasti dia akan celaka.

Sangkala tidak ingin pengalaman seperti itu terulang lagi. Dia benci menjadi orang kalah. Sejak dulu dirinya selalu kalah. Sekarang pemuda itu tidak ingin kalah lagi. Maka otaknya diputar mencari jalan keluar memecahkan masalah ini.

Cukup lama Sangkala berpikir keras. Sampai akhirnya dia berhasil menemukan cara yang dianggapnya sangat jitu. Kalau Dewa Arak mempunyai pengikut, mengapa dia tidak? Ya! Dia harus mempunyai pengikut agar dapat mengimbangi kedudukan!

Puas akan keputusannya Sangkala tersenyum. Tapi untuk mencari pengikut, luka dalamnya harus disembuhkan lebih dulu. Memang, tidak parah. Tapi Sangkala tidak mau meremehkan. Sesaat kemudian, bekas murid Perguruan Banteng Putih itu terlelap dalam semadinya.

* * *

Sang Surya baru saja menampakkan diri di ufuk timur dalam bentuk bola raksasa merah yang menyorotkan sinar lembut ke bumi. Tiupan angin semilir, kicau burung, serta kokok ayam jantan menyemaraki suasana pagi yang sejuk.

Tapi kesejukan pagi itu tidak dirasakan orang-orang yang berada di depan pintu gerbang Perguruan Harimau Terbang. Sorot ketegangan tampak pada wajah kelima sosok tubuh itu. Dua di antara mereka berpakaian kuning kentang dengan sulaman kepala seekor harimau di bagian dada kiri.

Agaknya dua orang itu murid-murid Perguruan Harimau Terbang. Sedangkan yang tiga orang adalah seorang laki-laki setengah baya bertubuh kecil kurus dan berpakaian indah, didampingi dua orang bertubuh tinggi besar dan bertampang seram.

"Sayang sekali, Tuan. Aku tidak bisa memberikan keterangan. Kami harap sabar menunggu hingga Ki Jayeng Praja kembali," kata murid Perguruan Harimau Terbang yang berambut kemerahan.

"Apa kau bilang?" sambut lelaki berpakaian indah dengan nada tinggi. "Aku harus menunggu?! Hey! Dengar baik-baik! Bila sampai siang nanti tidak juga kudapatkan jawaban mengenai keadaan putriku, jangan salahkan jika aku bertindak sendiri!"

"Keparat!" Murid Perguruan Harimau Terbang yang lain menggertakkan gigi mendengar ancaman itu. Tampak dia sangat marah dan merasa tersinggung. Sepasang matanya yang sipit semakin tidak terlihat karena kebiasaannya menyipitkan mata jika sedang marah.

"Hehhh?! Kau berani memakiku?!" sergah lelaki berpakaian indah. Lelaki setengah baya itu adalah saudagar yang menitipkan putrinya pada pengawalan murid-murid Perguruan Harimau Terbang. "Bodong! Beri dia pelajaran!"

Bodong, salah satu dari dua lelaki bertubuh tinggi besar dan bertampang seram, mengepal-ngepalkan kedua tangannya hingga terdengar bunyi berkerotokan keras. Itu dilakukan sambil mengayunkan kaki lebar-lebar ke arah murid Perguruan Harimau Terbang yang bermata sipit.

Tapi lelaki bermata sipit sedikit pun tidak merasa gentar. Tanpa ragu disambutnya kedatangan Bodong dengan hangat. Dia ikut melangkah maju. Hingga mereka saling mendekati. Sementara saudagar itu, rekan Bodong, dan murid Perguruan Harimau Terbang yang lain menonton. Mereka ingin melihat kejadian selanjutnya.

Dengan mata hampir tidak berkedip, ketiga orang itu menyaksikan Bodong dan murid Perguruan Harimau Terbang telah siap bertarung. Kedua orang itu saling tatap sejenak dalam jarak satu tombak. Mereka seperti sedang mengadu kekuatan pandang mata. Dan sesaat kemudian, Bodong membuka serangan dengan teriakan keras membahana.

Wuttt!

Angin menderu cukup keras ketika Bodong mengayunkan kepalanya yang besar. Arah yang dituju ulu hati!

"Hmh!" Murid Perguruan Harimau Terbang mendengus. Sikapnya menunjukkan dia tak menganggap serangan Bodong suatu ancaman yang membahayakan.

"Hih!" Sambil menggertakkan gigi, lelaki bermata sipit itu menarik kaki kanannya mundur. Pada saat yang bersamaan tangan kirinya diayunkan menetak serangan lawan dengan gerakan dari luar ke dalam! Maka...,

Takkk!

Benturan keras dua tangan yang dialiri tenaga dalam tidak dapat dihindarkan lagi. Tubuh mereka terhuyung mundur. Bodong terhuyung dua langkah. Sementara lawannya empat langkah. Seringai kesakitan terukir di wajah murid Perguruan Harimau Terbang. Tenaga dalam Bodong ternyata lebih unggul. Juga dalam kekuatan tulang tangannya.

"Ha ha ha...!" Bodong tertawa tergelak menyadari kelebihannya. "Sebentar lagi bukan tanganmu, tapi kepalamu yang akan kuhancurkan!"

Usai berkata, Bodong melancarkan serangan bertubi-tubi dengan pukulan kanan kiri. Kali ini bagian yang diserangnya adalah wajah. Rupanya Bodong ingin membuktikan sesumbarnya.

Murid Perguruan Harimau Terbang itu kelihatan tidak berani bertindak gegabah. Disadari kalau lawan memiliki kelebihan, baik dalam tenaga maupun kekuatan tubuh. Maka diputuskannya untuk menghadapi dengan cara lain. Lelaki bermata sipit itu pun melaksanakan rencananya.

"Hih!"

Serangan-serangan Bodong hanya mengenai tempat kosong. Lewat beberapa jengkal di bawah kaki murid Perguruan Harimau Terbang itu. Rupanya, lelaki bermata sipit itu melompat ke atas untuk mengelakkan serangan lawan. Tidak hanya itu. Begitu tubuhnya berada di atas, kakinya dijejakkan ke arah kepala Bodong.

Wuttt!

Bodong menyadari akan bahaya yang mengancam. Lelaki tinggi besar itu tahu jejakan kaki murid Perguruan Harimau Terbang bisa menghancurkan kepalanya. Maka buru-buru dielakkannya serangan itu dengan melakukan lompatan harimau.

"Hup!"

Dengan bertumpu pada kedua tangan, Bodong menggulingkan tubuhnya di tanah. Dan segera bangkit dengan cepat. Bertepatan dengan berhasilnya Bodong memperbaiki kedudukan, laki-laki bermata sipit itu telah siap melancarkan serangan susulan. Keduanya bertukar pandang sekilas dengan sikap waspada karena tahu lawan yang dihadapi tidak dapat dipandang ringan.

Sesaat kemudian, dengan diawali teriakan keras yang memecahkan keheningan suasana pagi, kedua orang itu saling terjang. Pertarungan sengit pun tidak dapat dielakkan lagi. Kedua belah pihak tampak memiliki kemampuan seimbang. Masing-masing mempunyai kelebihan yang berlainan.

Bodong memiliki kelebihan pada tenaga dalam dan kekuatan tubuh. Tapi dalam hal kelincahan lawannya lebih unggul. Dan karena kedua belah pihak menyadari kelebihannya dan mempergunakannya dengan penuh, maka pertarungan pun berlangsung seimbang.

LIMA

Jurus demi jurus berlalu. Tak terasa pertarungan sudah memasuki jurus kedua puluh lima. Selama itu belum tampak tanda-tanda siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Padahal di luar kancah pertarungan telah terjadi perubahan yang cukup menyolok.

Orang yang menyaksikan jalannya pertarungan tidak hanya tiga orang, tapi belasan orang. Riuhnya bunyi pertarungan mengundang murid-murid Perguruan Harimau Terbang lainnya untuk mendatangi tempat itu.

"Kalau dibiarkan terus, pertarungan ini tidak akan pernah berakhir," ujar murid Perguruan Harimau Terbang yang berjenggot panjang. Sambil berkata demikian, lelaki itu mengelus-elus jenggotnya. Kemudian dengan sekali genjot tubuhnya melayang memasuki kancah pertarungan. Dan....

Jliggg!

Ringan laksana sehelai daun kering, lelaki berjenggot panjang mendaratkan kedua kakinya di tanah. Tepat di tengah-tengah arena pertarungan.

Tampak lelaki berjenggot panjang melakukan tindakan yang tepat. Keberadaannya tepat pada saat Bodong dan laki-laki bermata sipit tengah berjauhan. Agaknya dia telah memperhitungkan tindakannya. Keberadaan lelaki itu membuat mereka yang bertarung tidak dapat bergerak lagi.

"Kakang Subali..!" seru laki-laki bermata sipit terkejut.

Lelaki berjenggot panjang yang ternyata bernama Subali tidak bisa memberikan tanggapan. Sebab...,

"Ooo...! Rupanya kalian ingin mengeroyok?!'' ejek Bodong. "Silakan! Silakan...! Jangan kalian kira aku akan gentar!"

"Tutup mulutmu, Kerbau Goblok!" maki Subali geram. Lelaki itu tersinggung mendengar tuduhan Bodong. "Aku bukan orang sepertimu! Cepat menyingkir dari sini sebelum hilang kesabaranku!"

"Ha ha ha...!" Bodong menanggapi peringatan Subali dengan tawa tergelak sambil bertolak pinggang. Tampaknya dia tidak memandang sebelah mata pun pada Subali. "Kau kira aku gampang ditakut-takuti?! Ho ho ho...! Kau keliru, Kambing Tua! Jangankan hanya gertak sambal, ancaman maut sekalipun aku tidak gentar!"

Hebat bukan main pengaruh ucapan Bodong. Wajah Subali merah padam. Sepasang matanya berkilat-kilat menyiratkan kemarahan. Dan bunyi gemeretak keluar dari mulutnya.

"Ingat, Kerbau Goblok! Aku telah memberimu kesempatan! Tapi kau menyia-nyiakan. Jangan salahkan aku jika bertindak keras terhadapmu!"

"Diam, Kambing Tua! Jangan mengembik-ngembik terus! Aku bosan mendengarnya! Hiyaaat...!" Diiringi teriakan keras, Bodong meluruk ke arah Subali. Kedua tangannya yang terkepal dipukulkan bertubi-tubi ke arah dada lawan.

Bet, bet, bet!

Bunyi cukup keras yang mengiringi datangnya pukulan menunjukkan serangan itu dilancarkan dengan pengerahan tenaga dalam cukup tinggi!

Tapi Subali tetap tenang. Ditunggunya hingga serangan Bodong semakin dekat. Ketika hal itu terjadi, lelaki berjenggot panjang itu baru bertindak. Kakinya dilangkahkan ke kanan sambil mendoyongkan tubuh. Hasilnya memang jitu! Serangan-serangan Bodong menyambar lewat beberapa jari di sebelah kirinya.

Saat itulah Subali bertindak! Tangan kirinya diletakkan ke arah kuduk lawan. Bodong terkejut bukan main. Sebisanya lelaki tinggi besar itu berusaha mengelak.

Dukkk!
"Uh...! '' Bodong mengeluh tertahan sebelum ambruk ke tanah. Dia tidak berhasil mengelakkan serangan Subali. Gerakan lelaki berjenggot panjang itu terlalu cepat.

Sekilas Subali menatap Bodong yang pingsan. Kemudian pandangannya dialihkan pada laki-laki berpakaian indah dan rekan Bodong yang sejak tadi hanya menonton.

"Apa arti semua ini, Juragan Bilawa?" tanya Subali seraya menghampiri mereka.

"Aku tidak ada urusan denganmu, Subali!" sergah laki-laki berpakaian indah. "Cepat beritahukan kedatanganku pada Jayeng Praja!"

"Sayang sekali, Juragan Bilawa! Guruku sedang tidak berada di tempat. Mari kita ke dalam dan membicarakan urusan ini!"

"Aku tidak sudi ke dalam, Subali! Aku ingin bicara di sini! Cepat, panggil Jayeng Praja kemari! Tak kusangka dia akan bertindak sepengecut ini!'' seru Juragan Bilawa dengan suara semakin meninggi.

Wajah semua murid Perguruan Harimau Terbang tampak merah padam menahan marah. Beberapa di antara mereka telah mencabut senjata dan siap memenggal kepala orang yang telah mengeluarkan hinaan kotor terhadap ketua perguruan mereka.

Rupanya Subali cukup tanggap akan hal itu. Karena dia pun didera perasaan yang sama. Tapi laki-laki berjenggot panjang itu tidak mau bertindak sembrono. Tangan kanannya segera diangkat untuk menenangkan rekan-rekannya.

"Juragan Bilawa! Ku mohon tarik kembali kata-katamu, atau kau ingin ku lemparkan ke luar seperti anjing buduk?!" ujar Subali dengan suara bergetar.

Juragan Bilawa tahu Subali tidak main-main dengan ancamannya. Maka meskipun amarah yang hebat bergolak di dalam dada, diputuskan untuk sedikit menenangkan diri. Laki-laki berpakaian indah itu tidak ingin dilemparkan Subali

"Sudah kukatakan padamu, Subali. Aku tidak ingin berurusan denganmu. Aku hanya mempunyai urusan dengan Jayeng Praja, ketuamu!" tandas Juragan Bilawa tetap dengan nada tinggi.

"Harus berapa kali kukatakan padamu, Juragan Bilawa?! Guruku sedang pergi karena suatu urusan. Aku, murid kepalanya, ditugaskan untuk menggantikan mengurus perguruan ini. Apa pun masalah pribadi guruku!" jelas Subali.

"Hhh...!" Juragan Bilawa menghembuskan napas berat. Kelihatan jelas dia sangat kecewa mendengar keterangan Subali. Laki-laki berpakaian indah itu tercenung di tempatnya. Kelakuan Juragan Bilawa menjadi perhatian murid-murid Perguruan Harimau Terbang, dan tukang pukulnya. Tapi mereka membiarkan saja. Sesaat kemudian...,

"Baiklah kalau memang demikian, Subali. Aku datang untuk mengetahui nasib putriku...."

"Aku tidak mengerti maksudmu, Juragan Bilawa?" tanya Subali pura-pura tidak tahu.

"Kau tidak usah berpura-pura, Subali!" tuding Juragan Bilawa. "Aku datang kemari untuk menanyakan bagaimana pekerjaan kalian. Apa yang terjadi dengan putriku?! Mengapa dia tidak pernah sampai ke tempat yang dituju?!"

"Hhh...!" Subali menghela napas. Disadari tidak ada gunanya lagi menyembunyikan masalah itu. Dia terpaksa harus memberitahu dengan sejujurnya. Subali lalu menceritakan semua yang diketahuinya tanpa ada yang disembunyikan.

"Jadi... putriku belum ditemukan?! Ohhh...!" keluh Juragan Bilawa. Wajahnya pucat pasi, "Sutini..., apa yang terjadi dengan dirimu...?"

Namun hanya sesaat Juragan Bilawa larut dalam kesedihan. Sebentar kemudian dia telah berhasil menguasai perasaan. Dengan wajah beringas, pandangannya diedarkan berkeliling.

"Harus kalian ketahui... aku tidak bisa menerima hal ini! Kalian harus bertanggung jawab atas lenyapnya putriku!"

Setelah mengeluarkan kata-kata itu, Juragan Bilawa membalikkan tubuh dan berjalan meninggalkan tempat itu. Tanpa banyak cakap, tukang pukulnya mengikuti sambil memanggul tubuh Bodong. Mereka menuju kereta kuda. Sesaat kemudian, debu mengepul tinggi mengiringi kepergian kereta kuda yang bagus dan indah milik Juragan Bilawa. Subali dan adik-adik seperguruannya memandang kereta hingga lenyap di kejauhan.

"Hhh...!" Subali menghela napas. Ditatapnya satu persatu adik-adik seperguruannya. "Perguruan kita berada dalam kesulitan besar. Aku tidak yakin guru dapat menemukan putri Juragan Bilawa," ujar Subali prihatin.

Tidak ada tanggapan atas ucapannya. Murid-murid Perguruan Harimau Terbang terdiam. Seperti juga Subali, mereka merasa prihatin dengan musibah yang menimpa perguruannya.

"Semoga guru berhasil menemukan putri Juragan Bilawa. Dan mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu yang menimpa dirinya," Subali melanjutkan kata-katanya.

Ucapan itu dikeluarkan sambil mengayunkan kaki memasuki bangunan perguruan. Di dalam ucapannya memang terkandung harapan. Tapi semua murid Perguruan Harimau Terbang tahu Subali sendiri tidak yakin dengan ucapannya. Nada ketidakyakinan dapat ditangkap jelas dalam perkataannya.

Meskipun demikian, tak satu pun di antara mereka membuka suara. Takut salah bicara. Lagi pula rasa prihatin membuat mereka kehilangan semangat untuk berbicara.

Yang dapat dilakukan murid-murid Perguruan Harimau Terbang hanya bisa berharap agar putri Juragan Bilawa selamat. Walau mereka tahu harapan itu sangat kecil. Tewasnya seluruh rombongan murid Perguruan Harimau Terbang yang mengawalnya sudah merupakan pertanda buruk.

Dengan benak diliputi masalah putri Juragan Bilawa, murid-murid Perguruan Harimau Terbang kembali ke tempatnya masing-masing. Dalam sekejap suasana hiruk-pikuk pun lenyap. Yang tersisa hanya keheningan. Apalagi ketika pintu gerbang Perguruan Harimau Terbang ditutup.

* * *

"Hiya...! Hiyaaa…!"

Ctarrr!

Sambil mengeluarkan teriakan-teriakan untuk memacu semangat kudanya, Jayeng Praja mengayunkan pecut ke bagian belakang tubuh binatang itu. Usaha Ketua Perguruan Harimau Terbang itu tidak sia-sia. Lari kuda hitam tunggangannya jauh lebih cepat dari sebelumnya.

Jayeng Praja terpaksa menggunakan kuda karena ingin cepat tiba di Perguruan Harimau Terbang. Dia ingin segera menjelaskan permasalahan sebenarnya kepada Juragan Bilawa. Terserah bagaimana tindakan yang akan dilakukan orangtua Surini itu padanya.

Karena ingin buru-buru tiba, Jayeng Praja memacu kudanya seperti orang kurang waras. Perjalanan yang dilakukannya hampir tanpa henti. Dua hari kemudian, dia telah keluar dari Desa Karang Gantung. Itu membuat semangatnya bertambah. Dia hanya tinggal melewati sebuah hutan kecil. Setelah itu, Desa Karang Awang akan dimasukinya. Itulah desa tempat perguruannya berada.

Sang Surya telah hampir mencapai titik tengahnya ketika kuda Jayeng Praja memasuki hutan kecil. Hutan yang dikenal dengan nama Hutan Kapur. Meskipun di dalam hutan, Jayeng Praja tidak mengendurkan lari kudanya. Dengan kecepatan tinggi, binatang tunggangan berwarna hitam itu menapaki jalan tanah di dalam hutan yang ditumbuhi sedikit rumput. Mendadak...

Rrrttt!

"Hieeeh...!"

"Hey!" Jayeng Praja berseru kaget ketika tiba-tiba kudanya terjungkal ke depan seperti terkait sesuatu. Tubuh Ketua Perguruan Harimau Terbang itu pun ikut terjungkal ke depan. Tapi dengan sebuah salto yang manis dan indah dilihat, Jayeng Praja berhasil mematahkan daya dorong tubuhnya. Dan....

"Hup!" Dengan mantap Jayeng Praja berhasil mendaratkan kedua kakinya di tanah. Dan secepat itu pula dia memasang sikap waspada. Lelaki itu melempar pandang ke arah binatang tunggangannya. Kudanya tergeletak di tanah. Tampaknya binatang itu mengalami luka yang cukup parah.

"Paling tidak beberapa kakinya patah!'' Hanya sekilas Jayeng Praja memperhatikan. Kemudian pandangannya dialihkan pada tempat kuda hitam itu terjungkal. Dan..., kewaspadaannya pun semakin ditingkatkan! Di tempat kuda hitam itu terjungkal terentang seutas tambang. Ujung-ujung tambang sebesar ibu jari itu diikatkan pada dua batang pohon yang mengapit jalan yang dilalui kuda Jayeng Praja.

Melihat kenyataan itu, Jayeng Praja segera mengetahui kejadian yang menimpa dirinya telah di rencanakan. Ada seseorang atau mungkin lebih yang sengaja ingin menghalangi perjalanannya. Yakin dengan kesimpulan yang didapatnya, Jayeng Praja mengedarkan pandangan ke arah timbunan semak-semak dan pepohonan yang berada di sekitar tempat itu.

"Keluar kau, Pengecut! Jangan beraninya hanya bermain kucing-kucingan. Ayo, hadapi aku secara terang-terangan. Keluar kau...!" ucapan Jayeng Praja menggema ke seluruh penjuru hutan. Ketua Perguruan Harimau Terbang itu mengerahkan tenaga dalamnya.

Hasilnya langsung terlihat. Semak-semak da pepohonan itu bergerak-gerak diiringi bunyi berkeresekan. Sesaat kemudian, muncul sosok-sosok tubuh yang memiliki perawakan dan raut wajah kasar. Begitu muncul, sosok-sosok kasar itu langsung berpencar. Hanya dalam sekejap Jayeng Praja telah terkurung. Lelaki itu mengedarkan pandangan berkeliling menghitung jumlah mereka.

Lima belas orang, ujar Jayeng Praja dalam hati. Sadar kalau orang-orang kasar itu tidak bermaksud baik, Ketua Perguruan Harimau Terbang tampak bersikap waspada. Urat-urat saraf dan otot-otot tubuhnya menegang. Siap digunakan bila menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan.

Tapi kelima belas orang kasar itu tidak menampakkan tanda-tanda akan melancarkan serangan. Mereka berdiam diri saja. Semula Jayeng Praja heran melihat tingkah para pengepungnya. Mengapa mereka tidak menyerang? Tapi sesaat kemudian, Jayeng Praja mendapat jawabannya.

"Ha ha ha...!" Sebuah tawa keras menggelegar membuat sekitar tempat itu bergetar hebat. Pertanda pemiliknya memiliki tenaga dalam yang sangat kuat. Dan sebelum gema tawa itu lenyap, sesosok bayangan kuning berkelebat. Tahu-tahu di belakang belasan orang kasar itu berdiri angker sesosok tubuh.

"Ha ha ha...! Mengapa tergesa-gesa sekali, Jayeng?! Adakah urusan penting yang ingin kau selesaikan?" ejek sosok yang baru datang. Sosok itu seorang lelaki berwajah kuning. Tubuhnya yang kurus kering terbungkus pakaian dari kulit ular berwarna kuning coklat.

"Ular Muka Kuning...! '' desis Jayeng Praja kaget. Agaknya mengenal tokoh itu.

Ular Muka Kuning adalah seorang seorang kepala rampok yang memiliki kepandaian tinggi. Namun bukan hal itu yang menyebabkan setiap orang takut kepadanya. Tapi tindakannya yang keji dan telengas! Sepengetahuan Jayeng Praja, kepala rampok itu tidak beroperasi di wilayah ini. Mengapa dia berada di sini?

"Mengapa, Jayeng? Kau kaget?!" tanya Ular Muka Kuning. Nada suaranya terdengar merendahkan lawan bicaranya.

Pertanyaan itu membuat alun pikiran Jayeng Praja terputus. "Dengan terus terang kukatakan aku memang terkejut. Sepengetahuanku tempat ini tidak termasuk daerah jarahanmu."

ENAM

"Ha ha ha...!" Ular Muka Kuning tergelak. Sebuah tawa penuh kegembiraan. "Ucapanmu tidak salah, Jayeng. Daerah ini memang bukan wilayahku. Aku juga tidak berminat menjarah daerah-daerah di sekitar tempat ini! Apa yang akan kudapatkan di tempat yang hanya ditinggali penduduk miskin?!"

"Lalu..., mengapa kau dan rombonganmu berada di sini?"

"Karena sebuah pekerjaan yang menjanjikan hadiah besar," jawab Ular Muka Kuning tenang.

"Pekerjaan dengan imbalan besar?" Jayeng Praja mengernyitkan dahi.

"Jangan berpura-pura bodoh, Jayeng!" sergah Ular Muka Kuning. "Apa kau tidak dapat menerka pekerjaan yang kumaksud?"

Wajah Jayeng Praja langsung berubah. Melihat sikap Ular Muka Kuning dan penghadangan yang mereka lakukan, sudah dapat diperkirakan pekerjaan itu. Tapi, Jayeng Praja belum yakin. Benarkah pekerjaan itu ada hubungannya dengan dirinya? Kalau benar, mengapa?

"Apakah pekerjaanmu ada hubungannya dengan diriku, Ular Muka Kuning?"

"Ha ha ha...! Kau lucu sekali, Jayeng!" Ular Muka Kuning tertawa geli. "Bukan hanya berhubungan. Tapi memang menyangkut dirimu! Pekerjaan dengan imbalan besar itu adalah membawamu hidup-hidup ke perguruanmu untuk menyaksikan Perguruan Harimau Terbang lenyap dari muka bumi! Ha ha ha...!"

"Gila!" Tanpa sadar Jayeng Praja menyerukan kata itu.

"Kau kaget, Jayeng?"

"Bukan hanya kaget, Ular Muka Kuning. Tapi juga heran. Aku tidak menyangka kau dan rombonganmu tak ubahnya budak-budak yang dapat disuruh melakukan apa saja. Katakan padaku, siapa yang menyuruhmu?!"

"Rupanya kau termasuk orang yang tidak mempunyai penghargaan atas sebuah tugas, Jayeng!" rutuk Ular Muka Kuning. "Sebagai seorang pemilik jasa pengawalan, seharusnya kau tahu, tidak pantas memberitahu orang yang telah memberi tugas! Apalagi bila yang menanyakan calon korban itu sendiri!"

Jayeng Praja terdiam. Disadari ada kebenaran yang tidak bisa dipungkiri dalam pernyataan Ular Muka Kuning.

"Sekarang bersiap-siaplah, Jayeng Praja. Aku akan memulai tugas yang diberikan padaku!" kali ini ucapan Ular Muka Kuning terdengar penuh wibawa. "Anak-anak! Tangkap dia!"

Tanpa menunggu perintah dua kali, belasan orang kasar yang sejak tadi berdiam diri mendengarkan pembicaraan itu langsung bertindak.

Srat, srat!

Bunyi terhunusnya senjata gerombolan Ular Muka Kuning menyakitkan gendang telinga. Mereka bersenjata golok!

"Uh!" Jayeng Praja menundukkan wajah. Batang-batang golok yang putih berkilat itu tertimpa sinar matahari dan memantul ke wajahnya. Sinarnya menyilaukan mata. Yang lebih menjengkelkan, anak buah Ular Muka Kuning membolak-balik batang golok mereka. Hingga pantulan sinar sang Surya mendarat tepat di wajah Jayeng Praja.

"Cepat lumpuhkan dia, anak-anak!" Ular Muka Kuning yang sudah tidak sabar lagi segera mengeluarkan perintah susulan.

Mendengar perintah itu, rombongan orang kasar yang mengenakan rompi kulit ular berwarna kuning coklat meluruk ke arah Jayeng Praja. Dari mulut mereka keluar teriakan-teriakan keras membahana.

Sing sing sing!

Diiringi bunyi mendesing nyaring, golok-golok itu menyambar ke berbagai bagian tubuh Jayeng Praja.

Jayeng Praja tetap bersikap tenang. Perhatiannya dipusatkan pada pendengaran. Sebab lawan menyerang dari berbagai arah. Malah sebagian dari belakang, tempat yang tak terjangkau sepasang matanya. Kalau mengandalkan penglihatan saja, pasti dia akan celaka.

Begitu serangan-serangan lawan menyambar dekat, Jayeng Praja bertindak cepat. Tanpa ragu-ragu senjata andalannya yang selalu terselip di pinggang dikeluarkan. Sebuah ruyung baja berbatang dua yang antara ujung satu dengan lainnya disambung dengan sebuah rantai baja. Jayeng Praja memutar senjatanya.

Wuk, wuk, wuk!

Bunyi menderu-deru seperti angin ribut segera terdengar. Memang hebat tenaga dalam yang dimiliki Ketua Perguruan Harimau Terbang itu.

Trang, trang, trang!

Terdengar bunyi berdentang nyaring ketika golok-golok yang mengancam tubuh Jayeng Praja tertangkis batang ruyung. Teriakan-teriakan kaget keluar dari mulut anak buah Ular Muka Kuning. Tangan yang menggenggam golok terasa panas dan sakit. Bahkan senjata mereka hampir terlepas dari genggaman.

"Menyingkirlah kalian...! Yang pantas menjadi lawanku adalah pimpinan kalian, Ular Muka Kuning," ucap Jayeng Praja penuh wibawa. Sambil memberikan peringatan, Jayeng Praja memutar-mutar ruyungnya.

"Ha ha ha...!" Ular Muka Kuning tergelak, "Jangan terlalu cepat berbangga diri, Jayeng! Asal kau tahu saja... itu belum apa-apa. Yang mereka lakukan baru sebagian kecil dari kemampuan yang dimiliki. Sabarlah! Tak lama lagi kau akan melihat kedahsyatan anak buahku yang terkenal dengan julukan Gerombolan Ular Maut! Ayo, Anak-anak! Tunjukkan kemampuan kalian!"

Baru saja Ular Muka Kuning mengakhiri ucapannya, anak buahnya yang berjuluk Gerombolan Ular Maut telah bergerak. Terdengar sebuah siulan nyaring pendek. Jayeng Praja tidak mengetahui dari mana asalnya. Yang jelas dari salah seorang di antara anggota gerombolan itu.

Begitu bunyi siulan lenyap, terjadi perubahan besar dengan tindakan Gerombolan Ular Maut. Semua anggota meninggalkan tempatnya masing-masing dan berkumpul di depan Jayeng Praja.

Semula Jayeng Praja menduga siulan itu sebagai tanda dimulainya serangan. Apalagi ketika sesaat kemudian, terlihat ada gerakan-gerakan dari para pengeroyoknya. Ketua Perguruan Harimau Terbang itu pun langsung waspada. Ruyung di tangannya siap dilayangkan. Tapi, Jayeng Praja menghentikan tindakannya ketika mengetahui lawan-lawannya tidak menyerang. Malah berkumpul di depannya.

Sebagai seorang ahli silat yang berpengalaman, Jayeng Praja segera mengetahui lawan mengubah taktik pertarungan. Itu bisa diketahui oleh Jayeng Praja dari kedudukan yang dibentuk lawan-lawannya. Belasan orang kasar itu menyusun diri menjadi dua baris. Jayeng Praja tidak perlu menunggu terlalu lama untuk membuktikan kebenaran dugaannya. Sekejap kemudian, dilihatnya sendiri kenyataan itu.

"Hiaaat...!" Didahului teriakan nyaring lelaki berkulit kemerahan, serangan perdana mereka meluncur. Memang pantas dipuji bentuk penyerangan belasan anak buah Ular Muka Kuning itu. Barisan depan menerjang Jayeng Praja. Dari atas, golok yang tercekal diayunkan ke bagian tubuh atas lawan.

"Hmh...!" Jayeng Praja mendengus, mengejek bentuk penyerangan itu. Apakah hanya seperti ini kemampuan yang dibanggakan Ular Muka Kuning?! Kalau benar, betapa picik pandangannya!

Tapi Jayeng Praja tidak mau membiarkan benaknya dikungkung pikiran-pikiran itu. Maka buru-buru diusirnya! Kemudian perhatiannya dipusatkan untuk menghadapi keroyokan lawan.

"Hih!"

Wuttt! Trangngng!

Bunyi berdentang keras terdengar ketika batang ruyung Jayeng Praja berhasil mematahkan serangan lawan. Kemudian seperti sebelumnya pun terjadi. Tubuh tujuh anggota Gerombolan Ular Maut terjengkang ke belakang dengan tangan terasa sakit. Sementara Jayeng Praja tidak bergeming sedikit pun.

Tapi sebelum Ketua Perguruan Harimau Terbang itu berbuat sesuatu, serangan susulan telah meluncur datang. Itu berasal dari delapan orang yang berada di baris kedua! Berbeda dengan tujuh rekannya, delapan anggota Ular Muka Kuning itu melancarkan serangan lewat bawah. Dengan bersamaan tapi teratur baik, mereka menggulingkan tubuh.

Delapan anak buah Ular Muka Kuning baru bangkit berdiri setelah berada di dekat lawan. Seketika itu pula mereka melancarkan serangan. Yang lebih gila sebagian dari mereka menyerang kaki. Sedangkan sisanya melancarkan serangan ke bagian sekitar perut.

Karuan saja Jayeng Praja terperanjat bukan main. Tibanya serangan itu hanya berselisih waktu sedikit sekali dengan serangan pertama tadi. Akibatnya, Jayeng Praja tidak mempunyai kesempatan untuk menangkis. Terpaksa dia melompat mundur menyelamatkan diri.

Usaha yang dilakukan Ketua Perguruan Harimau Terbang memang tidak sia-sia. Serangan lawan berhasil dipunahkan semua. Tapi seperti juga kejadian sebelumnya, ketika Jayeng Praja belum sempat berbuat lebih jauh, serangan berikutnya muncul. Kali ini dari tujuh orang penyerang pertama. Demikian seterusnya, silih berganti.

Sekarang Jayeng Praja baru mengerti mengapa Ular Muka Kuning begitu membanggakan anak buahnya. Ternyata pimpinan rampok itu tidak membual! Gerombolan Ular Maut memang sungguh luar biasa. Mereka mampu bekerja sama dengan baik. Jayeng Praja benar-benar kewalahan. Sekali pun tidak diberi kesempatan untuk melancarkan serangan balasan. Jayeng Praja hanya dapat mengelak. Paling jauh menangkis. Yang jelas, dia terus dipaksa mundur!

Jayeng Praja menggertakkan gigi. Jika keadaan seperti ini dibiarkan terus dia akan rugi. Robohnya dia hanya tinggal menunggu waktu. Sayang dirinya tidak mampu berbuat sesuatu. Lawan-lawannya tidak memberi kesempatan padanya untuk memperbaiki diri.

Tidak sampai tiga puluh jurus bertarung, napas Jayeng Praja telah memburu. Ini tidak aneh. Usianya telah lanjut dan dari sejak jurus pertama terus dipaksa mengerahkan seluruh kemampuan secara penuh. Pada jurus ke tiga puluh tujuh....

Srat, sret!

"Akh!" Jayeng Praja mengeluh tertahan. Dua serangan lawan tidak dapat dielakkan. Golok-golok itu menyerempet pahanya. Darah tampak merembas keluar dari bagian yang terluka. Dengan sendirinya, gerakan Jayeng Praja agak terhambat. Ketua Perguruan Harimau Terbang memang berhasil mengelakkan serangan golok yang mengancam bagian atas tubuhnya. Tapi, serangan lanjutan yang berupa tendangan dan pukulan tidak mampu dielakkan.

Buk, buk, buk!

Bunyi berdebuk keras mengiringi terjengkangnya tubuh Jayeng Praja ke belakang. Sesaat tubuh itu terhuyung-huyung sebelum akhirnya jatuh terduduk di tanah.

"Cukup...!" Bentakan keras Ular Muka Kuning membuat Jayeng Praja selamat dari serangan Gerombolan Ular Maut. Serentak mereka menghentikan gerakan.

"Ha ha ha...!" Ular Muka Kuning tertawa ketika telah berada di dekat Jayeng Praja. "Bagaimana, Jayeng?! Apakah kau masih meragukan kemampuan anak buahku? Masih banyak kemampuan lain yang mereka miliki!"

"Aku sudah kalah, Ular Muka Kuning! Mau bunuh? Silakan!" ujar Jayeng Praja tanpa rasa takut sedikit pun. Padahal, saat itu keadaannya sangat tidak menguntungkan. Jayeng Praja sudah tidak berdaya. Tubuhnya terbaring di tanah. Tidak mampu bangkit lagi. Luka-luka yang dideritanya cukup parah!

"Sayang sekali, Jayeng. Aku tidak dapat melakukannya. Biarlah orang yang meminta jasaku yang melakukannya," sahut Ular Muka Kuning ringan.

"Sungguh tidak kusangka kau seorang pengecut, Ular Muka Kuning. Siapa orang yang telah menyuruhmu, sehingga kau sangat takut kepadanya?" sindir Jayeng Praja seraya tersenyum mengejek.

"Tutup mulutmu, Bangsat! Hih!"

Tukkk!

"Akh!" Jayeng Praja memekik kesakitan ketika Ular Muka Kuning yang geram mendengar ejekannya menendang mulutnya. Kelihatannya pelan saja. Tapi akibatnya hebat! Beberapa buah gigi Jayeng Praja copot. Tak pelak lagi, darah mengalir keluar.

Meskipun demikian, Jayeng Praja tidak menjadi gentar. Walaupun dari sudut-sudut mulutnya mengalir darah, dipaksakan juga untuk mengulas senyum mengejek.

"Perlu kau ketahui, Manusia Dungu!" lanjut Ular Muka Kuning dengan nada tinggi, "Aku adalah orang yang sangat menghargai janji. Aku telah berjanji membawamu hidup-hidup dan menyerahkan padanya! Kau dengar itu, Manusia Dungu?!"

Kemudian tanpa memberi kesempatan pada Jayeng Praja untuk memberikan tanggapan, Ular Muka Kuning mengalihkan perhatian pada anak buahnya.

"Bawa dia!" perintah pimpinan Gerombolan Ular Maut itu penuh wibawa.

Salah seorang anak buahnya segera mendekati Jayeng Praja. Saat itulah Ular Muka Kuning menotok Ketua Perguruan Harimau Terbang untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Seketika itu pula tubuh Jayeng Praja lemas.

"Mari kita tinggalkan tempat ini..!" usai berkata, Ular Muka Kuning mengayun langkah meninggalkan tempat itu. Diikuti semua anak buahnya.

Tempat itu kembali dikungkung kesunyian. Tidak ada lagi kegaduhan. Yang tinggal hanya kesunyian semata.

* * *

Jayeng Praja merasa heran melihat rombongan yang dipimpin Ular Muka Kuning menempuh jalan yang akan dilaluinya. Semakin lama hati Jayeng Praja semakin berdebar tegang. Dia merasa pasti tempat yang dituju rombongan Ular Muka Kuning adalah Perguruan Harimau Terbang!

Dugaan Jayeng Praja tidak keliru. Ular Muka Kuning memang membawanya menuju Perguruan Harimau Terbang. Itu sudah bukan dugaan lagi. Sebab saat ini mereka setelah berada di luar bangunan perguruan.

Apa yang akan dilakukan Ular Muka Kuning dengan mendatangi perguruannya? Jayeng Praja bertanya dalam hati. Bukankah keberadaan mereka di depan pintu gerbang akan menarik perhatian murid-murid Perguruan Harimau Terbang?

Tapi betapa kagetnya Jayeng Praja melihat Ular Muka Kuning dan rombongannya memasuki bangunan perguruan. Apakah ini tidak salah? Tindakan ini akan menyulut sebuah pertarungan!

Namun tampaknya kekhawatiran Jayeng Praja tidak beralasan. Tanpa menemui kesulitan sedikit pun Ular Muka Kuning dan rombongannya berhasil memasuki Perguruan Harimau Terbang.

Jayeng Praja terkejut bukan main melihat tidak ada seorang pun di dalam perguruan. Ke mana murid-muridnya? Apa yang telah terjadi? Pertanyaan-pertanyaan itu menghinggapi benak Ketua Perguruan Harimau Terbang.

Sementara itu rombongan Ular Muka Kuning terus mengayunkan kaki semakin masuk ke dalam bangunan. Tidak berapa lama kemudian mereka berhenti.

"Ah...! Kiranya kalian...! Bagaimana, berhasil?!" terdengar sebuah suara menyambut kehadiran rombongan Ular Muka Kuning.

Cukup keras juga ucapan itu dikeluarkan. Suaranya menggema ke seluruh penjuru tempat itu. Tentu saja Jayeng Praja mendengarnya. Sepasang alisnya tampak berkerut. Suara itu seperti pernah didengarnya. Tapi dia lupa, kapan dan di mana.

Meskipun demikian, Ketua Perguruan Harimau Terbang itu tidak putus asa. Dicobanya untuk mengingat-ingat. Barangkali saja akan berhasil.

TUJUH

Di saat Jayeng Praja tengah berpikir keras, terdengar tawa khas Ular Muka Kuning.

"Ha ha ha...! Tentu saja berhasil.... Asal kau tahu saja, tidak ada kata gagal bagi Ular Muka Kuning. Ha ha ha...!"

"Ha ha ha...! Bagus...! Bagus! Memang sudah kuduga kau akan berhasil, Ular Muka Kuning," sambut pemilik suara pertama yang sekarang diketahui Jayeng Praja sebagai orang yang telah menyewa Ular Muka Kuning.

"Ha ha ha...! Terima kasih atas kepercayaan yang kau berikan. O... ya, Ludira! Cepat berikan hasil pekerjaan kita...!" perintah Ular Muka Kuning pada anak buahnya yang memanggul Jayeng Praja.

"Baik, Ketua...!" lelaki kasar yang bernama Ludira melemparkan tubuh Jayeng Praja.

Brukkk!

Seringai kesakitan tersungging di mulut Jayeng Praja. Tubuhnya membentur tanah dengan keras. Namun tidak sedikit pun keluar keluhan dari mulutnya.

Sebuah kebetulan terjadi. Jayeng Praja tergeletak di tanah dengan wajah menghadap tempat pemilik suara itu berada. Akibatnya benar-benar luar biasa. Sepasang mata Jayeng Praja membelalak lebar. Tarikan wajahnya menyiratkan keterkejutan yang sangat.

"Kaaau..., kau...!" terbata-bata Jayeng Praja mengeluarkan kata-kata karena lidahnya mendadak kelu.

"Benar, aku! Mengapa kaget?!" tanya si pemilik suara mengejek.

Jayeng Praja menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang mendadak kering. "Mengapa kau lakukan semua ini, Juragan Bilawa?! Apa artinya?!" terdengar jelas, nada penasaran dalam pertanyaan Ketua Perguruan Harimau Terbang.

"Kau tidak usah berpura-pura, Jayeng!" sergah orang yang menyewa rombongan Ular Muka Kuning, yang ternyata Juragan Bilawa. "Mana anakku?!"

"Hhh...!" Jayeng Praja menghela napas. Sungguh tidak disangka Juragan Bilawa telah mengetahuinya lebih dulu.

"Kau tidak bisa berbohong, Jayeng Praja!" ujar Juragan Bilawa lagi sebelum lawan bicaranya sempat berkata. "Aku telah tahu semuanya! Beberapa hari yang lalu utusan orangtuaku datang menanyakan Sutini! Akhirnya aku tahu telah terjadi sesuatu atas dirinya!"

Lelaki berpakaian indah itu menghentikan ucapannya sebentar untuk mengambil napas, "Itu saja sudah cukup untuk membuatku sakit hati! Apalagi ketika kutahu kau tidak memberitahukannya padaku. Kau malah menyembunyikannya, Jayeng Praja!"

"Itu tidak benar!" bantah Jayeng Praja cepat, "Bukannya aku tidak mau memberitahukan mu, Juragan! Tapi, aku sendiri belum mengetahuinya secara jelas. Aku sedang mencari kepastiannya!"

"Ooo... Begitu," ejek Juragan Bilawa, "Lalu... bagaimana hasilnya?!"

Jayeng Praja tidak segera menjawab. Lelaki itu tercenung seperti sedang mempertimbangkan.

"Tanpa kau beritahukan pun aku bisa menduganya, Jayeng! Putriku tidak selamat kan?!"

Perlahan-lahan kepala Jayeng Praja mengangguk.

"Keparat!" Juragan Bilawa menggeram seperti harimau murka. "Kau telah menyebabkan kematian putriku, Jayeng! Tak akan kubiarkan kau hidup. Kau harus mati. Tentu saja tidak dengan cara yang enak. Kebetulan hanya tinggal kau saja yang belum mendapat giliran. Semua muridmu telah ku binasakan!"

"Apa?!" jerit Jayeng Praja kaget.

Kini dia mengerti mengapa suasana perguruannya begitu sunyi. Rupanya mereka telah dibinasakan Juragan Bilawa. Jayeng Praja merasa sangat terpukul mendengarnya. Dia tahu mengapa Juragan Bilawa dapat melakukan semua itu. Pasti karena mendapat bantuan Ular Muka Kuning.

"Sekarang terimalah kematianmu, Jayeng Praja!"

Dan sebelum gema ucapannya lenyap, Juragan Bilawa mencabut goloknya. Kemudian diayunkan ke batang leher Jayeng Praja!

Wuttt!

Crasss!

"Aaakh...!" Jayeng Praja menjerit memilukan ketika golok Juragan Bilawa membabat lehernya hingga putus. Saat itu juga, nyawanya melayang ke alam baka. Juragan Bilawa menatap mayat Jayeng Praja sekilas. Ada sorot kepuasan pada wajah dan sinar matanya.

"Sutini..., tenanglah kau di alam baka. Dendammu telah berhasil kubalaskan," ucap Juragan Bilawa pelan seraya mengedarkan pandangan ke langit.

Keadaan di tempat itu menjadi hening. Yang tinggal hanya Juragan Bilawa. Ular Muka Kuning dan anak buahnya telah meninggalkan tempat itu.

* * *

"Rasanya keadaan sudah aman, Ki. Mungkin Sangkala telah pergi dari sini"

Ucapan itu dikeluarkan Arya. Pagi hari itu dia berada di ruang tengah bangunan Perguruan Banteng Putih. Di dekat pemuda berambut putih keperakan itu duduk Melati, Ki Rawung, dan Pendekar Tinju Maut. Ki Rawung dan Pendekar Tinju Maut tampak saling bertukar pandang.

"Aku tidak yakin, Dewa Arak," jawab Pendekar Tinju Maut "Memang beberapa hari ini tidak ada kejadian yang dibuat Sangkala. Tapi menurut ku itu tidak menjadi tanda keadaan sudah aman."

"Barangkali dia telah meninggalkan desa ini, Ki," Melati ikut membuka suara, "Beberapa hari ini semua tempat yang sekiranya dijadikan persembunyian Sangkala telah kita periksa. Tapi tetap saja tidak kita temukan dirinya."

Arya mengangguk menyetujui pendapat kekasihnya. "Aku tidak sependapat denganmu, Melati," Ki Rawung membela Pendekar Tinju Maut. "Aku lebih condong pada pendapat Pendekar Tinju Maut"

"Dengan kata lain, Sangkala sedang menanti saat yang tepat untuk bertindak Begitu, Ki?" duga Arya.

"Benar, Dewa Arak," Pendekar Tinju Maut mengangguk.

"Aku mempunyai alasan kuat tindakan Sangkala tidak berhenti sampai di sini saja!" Ki Rawung menimpali.

Dewa Arak dan Melati menatap wajah Ki Rawung lekat-lekat. Memang tidak ada kata-kata yang diucapkan. Tapi, Ki Rawung tahu sepasang pendekar muda itu tengah menunggu jawaban.

"Sangkala memiliki watak pendendam," ucapan Ki Rawung memulai penjelasannya. "Aku yakin dia tidak menghentikan tindakannya sampai di sini. Pasti semua yang telah membuatnya sengsara akan dijadikan sasaran pembalasan."
Kepala Desa Kawung menghentikan ucapannya. Sekilas ditatapnya Dewa Arak dan Melati, ingin melihat tanggapannya. Tapi, tidak ada ucapan yang dikeluarkan mereka. Kelihatannya pasangan muda itu akan mendengarkan penjelasan Ki Rawung hingga tuntas.

"Aku yakin Sangkala mempunyai dendam pada semua orang di Desa Kawung ini. Tapi, bisa kupastikan sakit hatinya yang paling besar hanya ditujukan pada empat orang! Sebab merekalah penggeraknya!" sambung Ki Rawung.

"Empat orang, Ki?!" akhirnya Melati tak kuat menahan sabar. "Bisa kau beritahu siapa mereka?"

Ki Rawung melepaskan senyum getir. "Dua di antara empat orang itu telah berhasil dibunuh Sangkala, Melati. Bahkan baru-baru ini! Kau bisa menerka siapa?!"

Melati mengernyitkan dahi. Gadis berpakaian putih itu tengah berpikir, "Maksudmu..,, Ranjita, Ki?!" duga Melati agak ragu.

"Benar," Ki Rawung menganggukkan kepala, "Dan yang satunya Ki Ageng Sora."

Melati dan Arya bertukar pandang. Mereka telah mengetahui siapa Ki Ageng Sora. Juga Ranjita. Ki Rawung telah menceritakan semua kejadian itu.

"Lalu... yang dua lagi, Ki?!" desak Melati.

"Bongara dan aku sendiri," jawab Ki Rawung menunjuk dadanya.

"Ah...!" Seruan kaget itu keluar dari mulut Arya dan Melati. Sepasang muda-mudi berwajah elok itu tidak menyangka Ki Rawung termasuk orang yang diincar Sangkala. Berbeda dengan Arya dan Melati, Pendekar Tinju Maut tidak merasa kaget sedikit pun. Dia telah mendengar cerita itu sebelumnya dari Ki Ageng Sora.

Sekarang Dewa Arak dan Melati mengerti mengapa Ki Rawung bersikeras mengatakan keadaan masih belum aman. Tapi, mungkinlah tidak adanya tindakan dari Sangkala hanya karena menunggu kesempatan? Tak adakah kemungkinan lain?

"Bisa kuterima alasanmu, Ki. Bukan tidak mungkin dugaanmu benar. Tapi..., apakah hanya karena menunggu kesempatan Sangkala harus berdiam diri selama beberapa hari? Rasanya dugaan ini kurang masuk akal!" ujar Arya.

Ki Rawung dan Pendekar Tinju Maut tercenung. Mereka merasakan ucapan tokoh muda yang menggemparkan dunia persilatan itu ada benarnya. Memang rasanya hampir tidak masuk akal.

"Kau mempunyai dugaan lain, Dewa Arak?!" tanya Pendekar Tinju Maut.

"Benar, Ki," Dewa Arak menganggukkan kepala.

"Katakanlah, Dewa Arak. Kami ingin mendengarnya. Barangkali saja dugaanmu benar," timpal Ki Rawung.

Arya tidak segera mengutarakan pendapatnya. Pemuda itu terdiam sejenak memikirkan kata-kata yang tepat.

"Dari kedatangannya yang bertubi-tubi kemari, bisa kuperkirakan besarnya keinginan Sangkala untuk melampiaskan dendam. Kejadian yang menimpa Trijati pun menurutku sebagian kecil dipengaruhi dendam. Tapi, kenyataan telah menunjukkan pada Sangkala bahwa pihak yang akan menjadi pelampiasan dendamnya terlalu kuat untuknya. Karena itu, dia bermain kucing-kucingan. Sangkala melakukan siasat menyerang lalu lari."

Arya menghentikan ucapannya. Dilihatnya Pendekar Tinju Maut dan Ki Rawung mengangguk-angguk. Mungkin mereka telah dapat menebak kelanjutan ucapannya.

"Sekarang aku mengerti, Dewa Arak," potong Pendekar Tinju Maut sebelum Arya menyambung ucapannya. "Kalau aku tidak salah terka, kau menduga tidak ada teror Sangkala karena dia sedang mencari tambahan kekuatan! Bukankah begitu maksudmu, Dewa Arak?!"

"Benar, Ki!" jawab Dewa Arak mantap, "Aku yakin Sangkala tengah mencari pengikut. Tapi, mudah-mudahan saja dugaanku salah. Dan..," Dewa Arak menghentikan ucapannya ketika melihat seorang murid Perguruan Banteng Putih bergegas masuk.

"Ki...!" ucapan Bongara, terdengar panik.

"Bongara...," tegur Ki Rawung, "Mengapa kau...."

"Maaf, Ki," potong Bongara cepat, "Sangkala sedang menuju kemari!"

Serentak semua orang yang hadir saling berpandangan. Mereka tampak sangat terkejut. Bahkan Ki Rawung yang sempat tersinggung karena ucapannya dipotong Bongara langsung terlupa.

"Sangkala?" desis Ki Rawung, "Terang-terangan?"

"Benar, Ki," Bongara mengangguk.

"Ooo.... Rupanya dia telah berani muncul secara terbuka...."

"Sangkala tidak datang sendirian, Ki."

"Maksudmu...?!"
Ki Rawung meminta penegasan. Sementara Dewa Arak, Melati, dan Pendekar Tinju Maut menatap Bongara tajam-tajam. Baru saja mereka bicarakan kemungkinan itu, tahu-tahu Sangkala telah muncul dengan membawa rombongan! Apakah ini merupakan kebetulan?

"Dia datang bersama serombongan orang-orang wajah kasar, Ki. Jumlah mereka tak kurang dari lima puluh orang. Kulihat sebagian di antara mereka berpakaian kulit ular," jelas Bongara.

"Mungkinkah itu Gerombolan Ular Maut?!" celetuk Pendekar Tinju Maut.

"Gerombolan Ular Maut?!" ulang Dewa Arak seraya mengarahkan tatapannya pada Pendekar Tinju Maut.

"Rombongan perampok yang mempunyai pemimpin seorang tokoh golongan hitam. Ular Muka Kuning julukannya," jelas Pendekar Tinju Maut.

"Kalau begitu mari kita keluar, Ki! Kita harus bersiap-siap sebelum korban di pihak kita berjatuhan," sambil berkata, Dewa Arak mengayunkan kaki ke luar. Langkahnya segera diikuti semua orang yang berada di situ.

"Dewa Arak...," tanpa menghentikan ayunan kakinya, Pendekar Tinju Maut menyempatkan diri menyapa Arya.

"Ada apa, Ki?!" tanya pemuda berambut putih keperakan itu seraya terus mengayunkan kaki.

'"Apakah kau tidak memikirkan kemungkinan buruk bagi pihak kita?!"

Dewa Arak menganggukkan kepala. "Aku memikirkannya, Ki," jawab pemuda itu, "Melihat keberanian Sangkala menunjukkan diri agaknya dia merasa pihaknya lebih unggul. Kurasa sikap yang ditunjukkannya tidak berlebihan. Jumlah mereka di luar perkiraanku. Tapi..., apa yang dapat kita lakukan?! Mencari bala bantuan untuk mengimbangi kekuatan lawan? Rasanya sudah tidak mungkin. Tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali menghadapi mereka, Ki!"

"Aku dapat menyediakan bala bantuan itu, Dewa Arak," ujar Pendekar Tinju Maut yakin. "Malam ini mungkin rekan-rekanku telah tiba. Maaf, aku lupa memberitahukannya padamu. Beberapa bulan yang lalu, aku dan beberapa kawan segolongan mempunyai sebuah gagasan."

Pendekar Tinju Maut menghentikan ucapannya sejenak, "Gagasan itu adalah menjalin persaudaraan dalam tokoh golongan putih. Mengenai pemimpinnya belum dipastikan. Menunggu hasil pertemuan malam ini. Sekarang memang seharusnya aku pergi ke sana. Tapi, dengan kedatangan Sangkala terpaksa aku mengurungkan maksudku."

"Benar demikian, Ki?!" Dewa Arak memekik gembira. Namun sesaat kemudian seri wajahnya memudar. "Kalau boleh kutahu, di mana tempat berkumpulnya?"

"Legakan hatimu, Dewa Arak. Tempat mereka berkumpul tidak jauh dari sini. Di sebuah tanah lapang luas di dalam Hutan Kawung."

"Tapi..., bagaimana caranya kau menghubungi mereka, Ki?! Kurasa tidak mungkin jika kau harus mendatangi tempat itu dan kembali lagi kemari."

"Memang tidak, Dewa Arak. Aku tinggal melepas sebuah tanda minta bantuan kepada mereka. Ah…! Aku sungguh tidak menyangka semua ini akan sangat berarti. Kalau begitu, sekarang juga akan kukirim tanda pada mereka."

Pendekar Tinju Maut lalu mengeluarkan sebuah busur kecil dari balik bajunya. Beberapa batang anak-anak panah kecil tergenggam di tangannya. Tanpa menunggu lebih lama, rekan Ki Ageng Sora itu memasang anak-anak panah itu pada tali busur. Dan....

Twang, twang, twang...!

Bunyi berdentang nyaring terdengar ketika anak-anak panah itu meluncur ke angkasa. Sebuah peristiwa yang menakjubkan pun terjadi. Entah bagaimana caranya, begitu kekuatan yang mendorong anak panah itu habis, muncul bunga api berwarna-warni.

Tidak hanya sekali anak-anak panah itu diluncurkan Pendekar Tinju Maut. Tapi berkali-kali dengan selang waktu tertentu. Saat itulah Dewa Arak memerintahkan Bongara untuk menyambut kedatangan Sangkala dan gerombolannya.

Tanpa menunggu perintah dua kali, Bongara segera melesat cepat. Lalu memerintahkan rekan-rekannya untuk mempersiapkan diri. Tentu saja Dewa Arak dan Melati tidak tinggal diam. Mereka ikut maju.

Di saat semua orang yang berada di Perguruan Banteng Putih tengah dilanda kesibukan, di sebuah tanah lapang luas yang terletak di dalam hutan pun terjadi kegemparan. Itu terjadi ketika salah satu dari belasan orang yang ada di situ menunjukkan jarinya ke angkasa.

"Aneh...! Apa yang terjadi? Mengapa di langit sana berpercikan bunga-bunga api beraneka warna?! Sepertinya... bunga api itu merupakan isyarat..."

Ucapan sosok tinggi kurus yang berpakaian merah menarik perhatian sosok-sosok tubuh lainnya yang semula duduk bersila membentuk lingkaran. Sementara tak jauh dari tempat mereka terpancang obor-obor di tiang-tiang kayu.

"Ah!" Seruan kaget dikeluarkan seorang kakek berperut gendut. "Kau lihat itu, Pedang Kilat?!" tanya kakek berperut gendut menudingkan jari telunjuknya.

DELAPAN

Sosok yang disapa Pedang Kilat, yang sebenarnya mempunyai julukan Pendekar Pedang Kilat, melayangkan pandangan ke arah yang ditunjuk kakek gendut. Seketika itu pula wajahnya berubah.

"Gajah kecil! Bukankah itu isyarat meminta bantuan. Aku yakin yang melepaskan Pendekar Tinju Maut. Berarti dia berada dalam bahaya. Kita harus cepat menolongnya. Kau bisa menebak dari mana arahnya?!"

Kakek gendut yang berjuluk Gajah Kecil menganggukkan kepala setelah tercenung sesaat. "Kalau tidak salah, dari Desa Kawung!" jawab Gajah Kecil mantap.

"Kalau begitu, mari kita ke sana! Kita selamatkan Pendekar Tinju Maut!" ajak Pendekar Pedang Kilat penuh semangat.

"Akur!" sambut Gajah Kecil, "Mari, kawan-kawan. Kita selamatkan rekan kita yang sedang berada dalam bahaya. Ayo!"

Belasan orang yang terdiri dari tokoh-tokoh silat aliran putih itu pun bangkit dari duduknya. Sesaat kemudian rombongan itu, dengan dipimpin Gajah Kecil dan Pendekar Pedang Kilat, berbondong-bondong menuju Desa Kawung.

Ternyata bukan hanya rombongan Gajah Kecil yang melihat percikan bunga api berwarna-warni di angkasa. Rombongan yang dipimpin Sangkala pun demikian?

"Apa arti semua itu, Ular Muka Kuning?!" tanya Sangkala tidak mengerti.

''Itu merupakan isyarat Ketua," jawab Ular Muka Kuning penuh hormat "Isyarat yang ditujukan pada kawan si pelepas isyarat. Banyak artinya. Bisa merupakan tanda untuk menyerang atau membatalkannya. Bisa juga berarti permintaan bantuan."

"Keparat!" maki Sangkala sangat geram, "Kalau begitu, itu isyarat untuk meminta bantuan. Aku yakin! Asal tanda itu menurut dugaanku dari Perguruan Banteng Putih!"

"Kalau demikian, kita harus bergegas, Ketua!" sergah seorang lelaki berkulit hitam kelam. Pakaian yang terbuat dari kulit buaya membungkus tubuh kekarnya. "Sebelum bala bantuan itu tiba, kita hancur leburkan Perguruan Banteng Putih."

"Kau benar, Buaya Kulit Besi!" puji Sangkala. "Usulmu bagus. Mari kita bergegas!"

Cuping hidung lelaki berkulit hitam legam kelihatan kembang-kempis. Dia merasa bangga mendapat pujian dari pemimpinnya.

Sangkala rupanya telah berhasil mendapatkan pengikut. Tidak hanya Ular Muka Kuning dan rombongannya. Tapi juga gerombolan bajak sungai yang berada di bawah pimpinan Buaya Kulit Besi. Jumlah anak buah Buaya Kulit Besi jauh lebih banyak dari anak buah Ular Muka Kuning.

Rombongan Sangkala mempercepat langkahnya. Tak berapa lama kemudian, bangunan Perguruan Banteng Putih telah terlihat. Ini membuat semangat Sangkala dan rombongannya semakin besar! Seraya mengeluarkan teriakan-teriakan keras, gerombolan golongan hitam itu menyerbu.

Serbuan rombongan Sangkala mendapat sambutan hangat dari murid-murid Perguruan Banteng Putih yang dibantu Dewa Arak, Melati, Pendekar Tinju Maut dan Ki Rawung. Bagai telah diatur sebelumnya, masing-masing tokoh langsung memilih lawan-lawannya.

Dewa Arak bertemu dengan Sangkala, Melati menghadapi Buaya Kulit Besi, dan Pendekar Tinju Maut berhadapan dengan Ular Muka Kuning. Sedangkan murid-murid Perguruan Banteng Putih yang dibantu Ki Rawung berhadapan dengan gerombolan rampok dan bajak sungai.

"Sangkala! Manusia Biadab! Sudah saatnya manusia keji sepertimu dilenyapkan dari muka bumi!" seru Dewa Arak lantang.

"Ha ha ha...! Jangan mimpi dapat mengalahkanku, Dewa Arak! Kaulah yang akan kukirim ke neraka. Sekarang tidak ada lagi orang yang akan menghalangiku untuk melenyapkanmu. Bersiap-siaplah, Dewa Arak!" sambut Sangkala tak kalah garang.

Selesai berkata, Sangkala melancarkan serangan. Tahu akan kelihaian lawan, tanpa ragu-ragu dikeluarkannya jurus 'Kelelawar' andalannya.

"Hih!" Ringan dan cepat laksana bayangan, tubuh Sangkala melayang. Kedua tangannya yang membentuk cakar aneh meluncur menuju leher pemuda berambut putih keperakan itu!

Cit, cit, cit!

Bunyi mencicit terdengar seiring meluncurnya serangan Sangkala. Nyaring dan menyakitkan telinga! Bunyi itu tidak hanya keluar karena jari-jari tangan Sangkala yang merobek udara. Tapi juga berasal dari mulutnya. Inilah ciri khas penggunaan jurus 'Kelelawar'

Dewa Arak tidak berani bertindak gegabah. Telah dirasakannya kepandaian Sangkala. Jangankan terkena langsung, angin serangannya saja sudah cukup untuk melayangkan nyawanya. Tentu saja bila mengenai bagian yang mematikan seperti lehernya!

Itu sebabnya, Dewa Arak segera melompat ke samping kanan dengan lompatan harimau. Hasilnya memang tidak sia-sia. Serangan Sangkala mengenai tempat kosong. Di saat serangan itu tiba, Dewa Arak sudah tidak berada di tempatnya. Pemuda berambut putih keperakan itu sedang melayang di udara.

"Hup!" Dengan bertumpu pada kedua tangan, Dewa Arak menggulingkan tubuhnya di tanah. Beberapa gulingan dilakukan Arya sebelum akhirnya bangkit berdiri Dan secepat itu pula arak yang berada di dalam guci dituangkan ke mulut. Entah kapan dan bagaimana guci itu diambil dari pinggangnya, sulit untuk dilihat. Yang jelas....

Gluk.... Gluk.... Gluk...!

Terdengar bunyi tegukan ketika arak itu melalui tenggorokan Arya dalam perjalanan ke lambung. Hawa hangat berputar di bawah pusarnya. Lalu perlahan-lahan merayap naik ke kepala. Hasilnya kedua kaki Dewa Arak tidak menapak dengan mantap di tanah.

Kelihatannya lucu dan menggelikan sikap pemuda berambut putih keperakan itu. Tapi, jangan dipandang remeh. Saat itulah ilmu 'Belalang Sakti'nya siap dipergunakan! Dan serangan susulan Sangkala kembali meluncur ketika Dewa Arak tengah terhuyung ke sana kemari. Kali ini Sangkala melancarkan sampokan dengan tangan kanan ke pelipis Dewa Arak.

Wusss!

Kembali serangan Sangkala kandas. Sampokannya lewat beberapa jari di depan wajah Dewa Arak. Itu terjadi karena Dewa Arak menarik mundur kakinya dengan gerakan seperti orang mau jatuh. Meskipun demikian, akibat sampokan Sangkala cukup menggiriskan hati! Rambut dan pakaian Dewa Arak berkibaran keras seiring lewatnya sampokan itu.

Tapi serangan Sangkala tidak terhenti. Begitu sampokannya gagal, segera disusuli dengan serangan lanjutan. Tangan kirinya ditusukkan ke arah ulu hati lawan. Memang hebat serangan ini. Bila mengenai sasaran, sudah dapat dipastikan nyawa Dewa Arak melayang ke alam baka.

Namun, lagi-lagi Dewa Arak berhasil menunjukkan kehebatan ilmu 'Belalang Sakti'nya. Tanpa gugup sedikit pun, punggungnya ditekuk ke belakang sampai bagian pinggang ke atas mendatar. Maka, tusukan tangan Sangkala menggapai angin beberapa jari di atas dada Dewa Arak!

Dan sebelum Sangkala sempat bertindak, Dewa Arak telah mendahului. Masih dengan kedudukan seperti itu dikirimkannya serangan pada Sangkala. Kaki kanannya dilayangkan ke dada pemuda berwajah bopeng itu.

Wuttt!

"Hehhh?!" Sangkala terpekik kaget. Sungguh tidak disangkanya dalam keadaan seperti itu Dewa Arak mampu mengirimkan serangan yang sangat berbahaya. Sangkala tahu tendangan Dewa Arak mampu menghancurkan tulang-tulang dadanya.

Walaupun terkejut, bukan berarti Sangkala tidak mampu berbuat sesuatu. Meski serangan itu meluncur tiba-tiba dan tidak disangka-sangka. Ditambah dengan jaraknya yang sangat dekat. Tapi pemuda berwatak bejat itu sanggup menunjukkan kalau dirinya bukan orang yang mudah dipecundangi.

Dalam keadaan terjepit, Sangkala menjejakkan kakinya untuk melempar tubuhnya ke belakang. Gerakan itu membuat serangan Dewa Arak tidak berhasil mendarat di tempat yang semestinya.

Jliggg!

Begitu Sangkala mendaratkan kedua kakinya di tanah, Arya telah berhasil memperbaiki kedudukannya. Sesaat kedua tokoh muda itu bertukar pandang. Sekejap kemudian, Dewa Arak dan Sangkala kembali terlibat pertarungan sengit.

Pertarungan yang berlangsung bukan saja antara Dewa Arak dan Sangkala. Yang lain pun demikian. Riuh rendah suara pertempuran memenuhi tempat itu. Untung saja halaman depan Perguruan Banteng Putih luas, sehingga cukup untuk menampung mereka. Padahal, beberapa kelompok yang bertarung.

Namun di antara kelompok-kelompok itu yang paling menarik dan seimbang adalah pertarungan Dewa Arak dan Sangkala. Pada kelompok lain pertarungan berlangsung tidak seimbang. Meskipun menarik untuk disaksikan.

Di kancah pertarungan Melati dan Buaya Kulit Besi terlihat tidak seimbang. Keduanya telah mengeluarkan senjata dan ilmu andalan masing-masing. 'Ilmu Pedang Seribu Naga' Melati terlalu kuat untuk ditahan Buaya Kulit Besi dengan tongkatnya. Kepala bajak sungai itu terus-menerus didesak dan dihimpit. Padahal, pertarungan belum sampai lima belas jurus!

Ular Muka Kuning lebih beruntung. Pendekar Tinju Maut, meskipun tangguh, dapat diimbanginya. Seperti juga pertarungan Dewa Arak, pertarungan kedua tokoh tua berbeda aliran ini pun berlangsung seimbang.

Yang paling sial adalah Ki Rawung dan murid-murid Perguruan Banteng Putih. Memang lawan yang dihadapi berkepandaian setingkat dengan murid-murid Ki Ageng Sora. Tapi karena jumlah gerombolan tokoh hitam itu jauh lebih banyak, bahkan lebih dua kali lipat, mereka terdesak hebat. Dan itu terjadi hanya dalam beberapa gebrakan.

Ketika pertarungan telah berlangsung lima belas jurus, di pihak Perguruan Banteng Putih sudah tewas beberapa orang. Sementara di pihak lawan hanya satu. Itu pun hasil kerja keras Ki Rawung. Sudah dapat dipastikan tak lama lagi murid-murid Perguruan Banteng Putih dan Ki Rawung akan binasa. Mereka semua sudah terdesak hebat. Tapi di saat itulah Buaya Kulit Besi yang terdesak hebat oleh Melati memanggil anak buahnya.

"Hey! Manusia-manusia tolol...! Cepat bantu aku! Betina ini alot juga...!"

Tanpa menunggu perintah dua kali, gerombolan bajak sungai segera meninggalkan lawan mereka. Kemudian terjun ke dalam kancah pertarungan Melati. Dan memang dengan munculnya bala bantuan itu Buaya Kulit Besi mulai bisa bernapas lega. Karena Melati menghentikan desakannya. Gadis berpakaian putih itu terpaksa melakukannya.

Bila hal itu tidak dilakukan, niscaya dia akan tewas. Sebab begitu terjun dalam kancah pertarungan, gerombolan bajak sungai langsung melancarkan serangan ke Melati dengan senjata di tangan.

Dengan ikut campurnya gerombolan bajak sungai, pertarungan Melati dan Buaya Kulit Besi tidak berat sebelah lagi. Sekarang pimpinan bajak sungai dapat melancarkan serangan balasan. Tidak hanya menghindar seperti tadi.

Sementara itu murid-murid Perguruan Banteng Putih tetap tidak mampu menandingi lawan-lawannya, meskipun jumlah mereka sekarang berimbang. Itu karena Gerombolan Ular Maut bekerja sama dengan baik.

Semula, dengan keberadaan anak buah Buaya Kulit Besi, Gerombolan Ular Maut tidak bisa melakukan kerja sama. Maka, begitu gerombolan bajak sungai meninggalkan kancah pertarungan, mereka menggunakannya.

Hasilnya memang luar biasa! Murid-murid Perguruan Banteng Putih tidak bisa unjuk gigi. Bahkan Ki Rawung pun tidak mampu. Jadi, kepergian anak buah Buaya Kulit Besi tidak berarti sama sekali! Murid-murid Perguruan Banteng Putih tetap terdesak hebat.

Bahkan sekarang keadaan jauh lebih mengkhawatirkan. Ki Rawung tidak mampu berbuat sesuatu. Jatuhnya korban di pihak murid-murid Perguruan Banteng Putih tidak bisa dihindarkan lagi. Mereka saling berlomba untuk mengeluarkan lolong kematian.

"Aaa...!"

Untuk yang kesekian kali seorang murid Perguruan Banteng Putih mengeluarkan jeritan menyayat. Golok anak buah Ular Muka Kuning menebas batang lehernya hingga putus! Darah menyembur dari luka babatan, dan membasahi persada.

Melati, Dewa Arak, dan Pendekar Tinju Maut geram bukan main. Kalau menuruti perasaan, ingin rasanya mereka terjun ke dalam kancah pertarungan itu. Tapi apa daya? Mereka sendiri sedang berjuang keras agar tidak mati konyol di tangan lawan.

Di antara ketiga orang itu, Pendekar Tinju Mautlah yang paling terpengaruh. Wataknya yang berangasan membuatnya berang. Hingga mempengaruhi pemusatan pikirannya. Dia mulai dapat didesak Ular Muka Kuning. Bahkan pada jurus ketiga puluh tiga....

Bukkk!

"Akh...!" Pendekar Tinju Maut memekik kesakitan ketika pukulan Ular Muka Kuning menghantam bahunya. Tubuh lelaki tua itu terjengkang ke belakang.

''Terimalah kematianmu, Tua Bangka!" seru Ular Muka Kuning seraya melompat menerjang lawan yang masih terhuyung. Goloknya ditusukkan ke arah dada Pendekar Tinju Maut.

Pendekar Tinju Maut membelalakkan mata. Dia memutuskan menghadapi maut dengan mata terbuka. Karena menyadari tidak ada kesempatan baginya untuk mengelak maupun menangkis. Di saat gawat itulah Melati melejit ke atas keluar dari kepungan lawan. Dan selagi tubuhnya melayang, tangan kirinya dihentakkan ke depan. Inilah jurus 'Naga Merah Membuang Mustika'

Wusss! Bresss!

"Aaakh...!" Jeritan memilukan keluar dari mulut Ular Muka Kuning. Pukulan jarah jauh Melati mengenai dadanya dengan telak. Darah segar menyembur dari mulut, hidung, dan telinga. Pimpinan Gerombolan Ular Maut itu tewas seketika!

Memang mengenaskan sekali kematian Ular Muka Kuning. Munculnya serangan yang tidak disangka-sangka dan di saat tubuhnya tengah berada di udara menyulitkannya untuk mengelak. Akibatnya, tokoh golongan hitam itu tewas mengerikan!

"Ketua...!"

Desakan atas murid-murid Perguruan Banteng Putih langsung sirna. Gerombolan Ular Maut memburu tubuh ketuanya. Sedangkan Melati sudah disibukkan kembali oleh lawan-lawannya. Namun begitu melihat Gerombolan Ular Maut meluruk ke arah mayat Ular Muka Kuning, Pendekar Tinju Maut menghadangnya. Pertarungan pun tidak bisa dielakkan. Seru dan semakin ramai ketika Ki Rawung dan murid-murid Perguruan Banteng Putih ikut ambil bagian.

Mendadak terdengar bunyi riuh rendah. Sesaat kemudian, Pendekar Pedang Kilat, Gajah Kecil, dan rombongannya tiba. Tanpa banyak bicara mereka segera terjun ke dalam kancah pertarungan. Suasana di arena pertempuran pun berubah hebat. Sebagian dari mereka membantu Pendekar Tinju Maut. Sedangkan sisanya membantu Melati. Hingga Buaya Kulit Besi terpaksa menghadapi Melati seorang diri lagi.

Ternyata rombongan yang baru tiba terdiri dari tokoh-tokoh yang berkepandaian setingkat dengan Pendekar Tinju Maut. Jumlah mereka pun cukup banyak. Dengan mudah rombongan itu mematahkan perlawanan gerombolan perampok dan bajak sungai. Kerja sama Gerombolan Ular Maut tidak berguna. Rombongan Pendekar Pedang Kilat, dengan cerdik membuat mereka terpisah-pisah. Kemudian dengan mudah mereka dirobohkan.

Tak sampai dua puluh jurus pertarungan terhenti. Sisa gerombolan perampok dan bajak sungai menyerah. Karena hanya tinggal beberapa orang. Sebagian besar dari mereka tewas. Baru saja rombongan golongan hitam itu meletakkan senjata, terdengar lolongan panjang menyayat hati. Ternyata suara itu dikeluarkan oleh Buaya Kulit Besi. Pimpinan bajak sungai itu tewas dengan tulang dada hancur terkena tendangan Melati.

Sekarang hanya tinggal satu pertarungan lagi. Pertempuran Dewa Arak dan Sangkala yang masih berlangsung sengit. Tak heran jika semua mata menatap jalannya pertarungan tanpa berkedip.

"Terima kasih atas bantuanmu beserta rombongan, Gajah Kecil," Pendekar Tinju Maut mengucapkan rasa syukurnya.

"Lupakanlah," sahut Gajah Kecil tanpa mengalihkan pandangan dari pertarungan.

Sementara itu di arena pertempuran, Sangkala tahu hanya tinggal dirinya yang masih melakukan perlawanan. Kenyataan ini membuatnya gugup. Apalagi ketika menyadari Dewa Arak tidak akan mungkin dapat dikalahkan. Telah seratus lima puluh jurus berlalu, Dewa Arak tetap tidak dapat didesak. Bahkan dia yang mulai berhasil dijepit lawan.

Kenyataan ini membuat Sangkala tidak bersemangat lagi melanjutkan pertarungan. Pemuda berwajah bopeng itu memutuskan untuk kabur. Namun sayang kesempatan itu tidak pernah didapat. Dan sepertinya tidak akan mungkin didapatkan bila tidak dia sendiri yang membuatnya.

Berpikir demikian, Sangkala bertindak nekat. Mendadak dilancarkannya pukulan bertubi-tubi ke dada lawan. Pemuda itu berharap Dewa Arak akan mundur untuk mengelak. Dengan demikian, dia mempunyai kesempatan melarikan diri.

Sangkala salah duga! Dewa Arak tidak mundur, tapi melompat ke atas melewati kepalanya. Dari atas, pemuda berambut putih keperakan itu mengayunkan tangan kanannya. Sangkala kaget bukan main! Rasa kalap membuatnya tidak sempat memikirkan hal itu. Begitu menyadari adanya ancaman, diusahakan sebisa-bisanya mengelakkan serangan lawan. Tapi....

Plakkk!

"Ukh!" Hanya keluhan tertahan yang dapat diperdengarkan Sangkala. Nyawanya melayang ke akherat saat itu juga. Tamparan Arya telah membuat kepalanya retak-retak.

Jliggg!

Bertepatan dengan mendaratnya kedua kaki Dewa Arak, tubuh Sangkala ambruk ke tanah.

"Hhh...!" Dewa Arak menghembuskan napas berat. Sekarang perasaannya sudah lega. Tidak ada ganjalan lagi di dalam dada. Sumpahnya pada Sutini telah ditunaikan. Dia tidak mempunyai hutang lagi.

"Kakang...!"

Suara panggilan yang sangat dikenalnya membuat pemuda berambut putih keperakan itu menoleh. Dilihatnya Melati, kekasihnya, tersenyum. Arya balas tersenyum.

Sementara di kejauhan terdengar bunyi ayam jantan berkokok. Tak lama lagi sang surya akan muncul di ufuk timur. Sebuah lembaran hidup baru siap dimulai.
SELESAI
Selanjutnya,