Sejuknya Kampung Halaman Bagian 17 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Arya Manggada - Sejuknya Kampung Halaman Bagian 17
Karya : Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
MENJELANG fajar, maka Ki Jagabaya masih sempat memperingatkan orang-orang yang siap bergerak itu. untuk memeriksa senjata mereka. Di pertempuran yang akan terjadi, senjata-senjata itu jangan mengecewakan. Bahkan beberapa orang telah membawa senjata rangkap. Disamping sebilah pedang, ada yang masih membawa keris atau pisau belati yang panjang.

Anak-anak muda Gemawang, yang belum berpengalaman telah mendapat petunjuk bahwa lawan mereka mungkin akan mempergunakan senjata yang tidak biasa mereka jumpai. Mungkin tongkat besi, kapak, rantai baja dan bahkan mungkin senjata lontar seperti paser dan cakram. Karena itu, maka Ki Jagabaya pun telah memperingatkan mereka agar mereka tidak mencoba untuk bertempur seorang-seorang.

Namun Ki Kertasanapun kemudian berkata, “Meskipun kalian harus berhati-hati, tetapi tidak semua orang yang berada di barak itu memiliki kemampuan bertempur. Mungkin mereka nampak garang, tetapi mereka tidak mempunyai otak yang cukup baik untuk membuat perhitungan-perhitungan yang mapan di pertempuran. Karena itu, maka kalianpun jangan sampai kehilangan perhitungan. Jika perlu jangan segan-segan menjauhi lawan yang memang tidak terlawan. Kalian tidak sendiri dalam pertempuran itu.”

Ketika langit menjadi kemerah-merahan, maka Ki Pandi meninggalkan perkemahan itu untuk memanggil kedua ekor harimaunya. Kemudian diperintahkannya kedua ekor harimau itu mendekati barak dan memberikan isyarat dengan auman mereka yang memang agak berbeda dengan aum harimau kebanyakan. Namun hanya orang-orang tertentu sajalah yang dapat membedakannya.
Sementara itu, seperti biasa Ki Carang Aking, Manggada dan Laksana telah berada di kandang saat warna fajar mulai nampak di langit. Sementara kedua murid Ki Carang Aking telah menyiapkan keranjang mereka yang biasa mereka pergunakan untuk menyabit rumput. Namun mereka tidak segera meninggalkan kandang. Mereka sudah mendapat penjelasan dari Ki Carang Aking, bahwa pagi itu akan terjadi sesuatu yang mungkin akan menentukan keberadaan barak itu.

“Kita menunggu isyarat” berkata Ki Carang Aking.

“Isyarat apa yang akan diberikan oleh Ki Pandi?” desis Manggada.

“Mungkin mereka langsung datang menyerang” jawab Ki Carang Aking.

Namun dalam pada itu, maka tiba-tiba saja mereka mendengar aum harimau tidak terlalu jauh dari barak itu. Aum harimau yang berbeda dengan aum harimau liar yang berada di hutan itu. Ki Carang Aking yang mengenal suara harimau itupun berdesis, “Aum harimau itu. Nampaknya Ki Pandi benar-benar akan datang.”

Namun yang mendengar suara itu bukannya hanya Ki Carang Aking, kedua muridnya, Manggada dan Laksana saja. Tetapi aum harimau yang mempunyai ciri tersendiri itu juga didengar oleh Ki Sapa Aruh. Ki Sapa Aruh pun kemudian memanggil seorang kawannya yang datang bersamanya serta Wira Sabet dan Sura Gentong.

Demikian mereka datang, maka Ki Sapa Aruh itupun segera bertanya, “Kalian dengar aum harimau itu?”

Wira Sabet dan Sura Gentong termangu-mangu sejenak. Mereka memang tidak begitu menghiraukannya. Namun kawan Ki Sapa Aruh yang datang bersamanya itu langsung berkata, “Apakah orang bongkok itu ada disini?”

“Maksudmu?” bertanya Sura Gentong.

“Apakah di antara orang-orang yang bekerja untukmu disini terdapat orang bongkok?” bertanya Ki Sapa Aruh.

“Maksud Ki Sapa Aruh, budak-budak itu?” bertanya Sura Gentong.

“Ya” jawab Ki Sapa Aruh.

Sura Gentong pun kemudian bertanya kepada Pideksa yang juga telah hadir pula disitu, “He, apakah di antara budak-budak itu terdapat orang bongkok?”

Pideksa menggeleng sambil berdesis, “Tidak paman. Tidak ada orang bongkok di barak ini.”

Tetapi Ki Sapa Aruh yang tertarik oleh aum harimau itu berkata, “Aku ingin melihat orang-orangmu yang ada di barak ini”

“Maksud Ki Sapa Aruh?” bertanya Pideksa.

“Kumpulkan semua orang. Aku ingin melihat mereka seorang demi seorang” jawab Ki Sapa Aruh.

Pideksa tidak segera mengerti maksud Ki Sapa Aruh. Karena itu Ki Sapa Aruh itupun menjelaskan, “Semua orang yang kau sebut budak-budak itu harus dikumpulkan sekarang. Mereka semua tentu sudah bangun dan mulai melakukan tugas mereka sendiri-sendiri”

“Lakukan Pideksa.” berkata Wira Sabet “Perintahkan satu dua orang untuk memanggil kawan-kawannya. Jangan ada yang terlampaui seorangpun”

“Baik ayah” jawab Pideksa yang kemudian turun ke halaman.

Dipanggilnya seorang yang disebutnya budak yang sudah mulai menyapu halaman. Dengan ketakutan budak yang sedang menyapu halaman itu melangkah mendekat sambil merunduk-runduk.

“Panggil semua kawan-kawanmu. Ingat, semua budak-budak yang ada di barak ini. Dari mereka yang setiap hari mengisi jambangan pakiwan, mereka yang menumbuk padi, mereka yang menyabit rumput, mereka yang memelihara dan merawat kuda dan semua orang yang lain”

“Baik, baik anak muda...” jawab orang itu.

“Lakukan beranting supaya lebih cepat. Dengar, perintah ini datang dari Ki Sapa Aruh. Karena itu, maka harus kau lakukan dengan sebaik-baiknya”

Orang yang menyapu halaman itupun segera berlari-lari memanggil semua orang yang dianggap budak-budak di barak itu. Yang seorang meneruskan panggilan itu kepada yang lain tanpa ada yang terlampaui. Di kandang kuda, Ki Carang Aking menjadi berdebar-debar. Ia sadar, bahwa Ki Sapa Aruh tentu menaruh kecurigaan terhadap sesuatu.

“Tentu aum harimau itu” desis Ki Carang Aking.

“Apakah Ki Sapa Aruh dapat mengenali suara harimau itu?” bertanya Manggada.

“Ki Sapa Aruh adalah orang yang memiliki pengalaman dan pengenalan di dunia olah kanuragan secara luas. Ia tentu sudah mendengar tentang seorang bongkok yang dapat mengendalikan sepasang harimau meskipun mungkin Ki Pandi sendiri belum mengenal Ki Sapa Aruh selain isyarat tentang pribadinya” sahut Ki Carang Aking yang nampak lebih bersungguh-sungguh.

“Ki Pandi memang pernah menyebut Ki Sapa Aruh sebagai seorang yang berilmu sangat tinggi” sahut Manggada.

“Nah, agaknya Ki Pandi tidak memperhitungkan bahwa isyaratnya itu dapat memanggil perhatian Ki Sapa Aruh.” desis Ki Carang Aking. Namun katanya kemudian “tetapi kita tidak usah cemas. Sebentar lagi Ki Pandi dan orang-orang yang menyertainya itu akan datang. Sekarang, marilah kita ikut terkumpul dengan orang-orang yang disebutnya budak-budak itu”

Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, di halaman depan barak itu, orang-orang yang disebutnya budak-budak itu telah berkumpul. Di antara mereka memang terdapat Manggada, Laksana, Ki Carang Aking dan kedua orang muridnya.

Yang ikut menjadi berdebar-debar adalah ketiga orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong yang telah membawa Manggada dan Laksana memasuki barak itu. Jika akhirnya Manggada dan Laksana dapat dikenali kemampuannya oleh Ki Sapa Aruh, maka ketiga orang itu tentu akan mengalami kesulitan pula.

Tetapi untuk mengenal orang-orang yang disebut budak itu, Ki Sapa Aruh memerlukan waktu. Ketika ia mulai menuruni tangga bangunan induk barak itu, maka Ki Jagabaya telah mulai bergerak. Sekali lagi Ki Jagabaya memperingatkan anak-anak muda Gemawang yang berhasil di gelitik untuk bangkit itu, agar mereka bertempur dalam kelompok-kelompok kecil sehingga mereka akan dapat saling membantu.

Ki Carang Aking yang tua itu berdiri di deret paling belakang dari antara orang-orang yang disebut budak-budak itu. Sementara Ki Sapa Aruh mulai mengenali orang-orang yang disebut budak-budak itu seorang demi seorang.

Ki Carang Aking memang menjadi tegang. Jika Ki Pandi datang terlambat, maka mungkin sekali ia harus mengambil sikap tersendiri. Ki Sapa Aruh termasuk orang yang tidak dapat ditawar lagi sikapnya. Ia akan dapat bertindak tanpa menunggu otaknya sempat membuat pertimbangan-pertimbangan lain.

Dalam pada itu, langitpun menjadi semakin merah. Di halaman barak itu, Ki Sapa Aruh memanggil orang-orang yang telah berkumpul itu seorang demi seorang. Para penghuni barak itu memperhatikan sikap Ki Sapa Aruh dengan tegang. Mereka menyaksikan, bagaimana Ki Sapa Aruh menyentuh, menekan dada dan punggung seseorang, kemudian mengguncang bahu dan pundaknya.

Dua tiga orang sudah lewat. Tetapi tidak ada orang yang mencurigakan. Sementara itu, yang disebut orang bongkok itupun tidak ada pula di antara mereka. Tetapi Ki Sapa Aruh ingin melihat semua orang yang dikumpulkan itu sampai orang yang terakhir.

“Jika orang bongkok itu tidak ada di antara mereka, tentu orang lain yang sengaja disusupkan di antara para budak itu...” berkata Ki Sapa Aruh kepada kawannya yang berdiri disampingnya ikut melihat kemungkinan-kemungkinan yang tersembunyi pada budak-budak itu.

Sementara itu Wira Sabet dan Sura Gentong serta saudara-saudara seperguruannya memperhatikan pengamatan Ki Sapa Aruh itu dengan saksama. Lima, enam dan sepuluh orang telah dilampaui. Sementara itu, langitpun menjadi semakin terang. Bayangan sinar matahari mulai menyeruak keremangan fajar.

Dalam pada itu, Ki Jagabaya dan kawan-kawannya telah merayap semakin dekat. Mereka mendekati barak tidak dari arah depan. Tetapi mereka berusaha mendekati pintu butulan. Ki Pandi yang paling mengenal barak itu, berada di paling depan bersama Ki Jagabaya. Mereka berusaha untuk menghindari penglihatan para penghuni barak yang bertugas berjaga-jaga untuk mencapai jarak yang sependek-pendeknya.

Para penghuni barak itu memang agak lengah. Mereka merasa tempat mereka itu tidak diketahui oleh siapapun kecuali penghuni barak itu sendiri. Setiap orang yang sudah berada di dalam barak itu tidak akan pernah dapat keluar lagi. Dengan demikian, maka Ki Pandi dan Ki Jagabaya berhasil mendekati pintu butulan pada dinding di sisi sebelah kiri dari lingkungan barak yang tertutup itu.

Namun ketika keduanya memberikan isyarat bagi kawan-kawannya yang kemudian mendekati sambil berlari-lari, maka kehadiran mereka telah menarik perhatian seorang penghuni barak itu yang sedang bertugas mengawasi pintu butulan itu. Meskipun pengawasan mereka lebih banyak ditujukan untuk menjaga agar tidak ada budak yang melarikan diri, namun hiruk-pikuk di luar dinding telah memaksanya untuk dengan segera memanjat tangga panggungan di sebelah pintu butulan itu.

Orang itupun terkejut ketika ia melihat sekelompok orang telah berada di depan pintu butulan. Dengan serta-merta, orang itupun berteriak memberitahukan bahwa barak mereka telah diserang.

“Sekelompok orang berusaha memecahkan pintu butulan dari luar...“ teriak orang itu.

Teriakan itu didengar oleh penghuni barak yang lain, yang ikut pula berteriak memberitahukan serangan itu. Sementara itu, langit sudah menjadi terang. Cahaya matahari mulai nampak di bibir awan yang tipis yang dihanyutkan angin pagi. Teriakan itu benar-benar mengejutkan seisi barak.

Ki Sapa Aruh yang sedang sibuk itupun terkejut pula. Kepada kawannya ia berkata, “Tentu orang bongkok itu.”

“Ya” jawab kawannya. “Agaknya ia ingin membunuh dirinya."

“Lanjutkan pekerjaan yang menjemukan ini. Aku akan melihat, apakah benar orang bongkok itu datang. Jika ia benar-benar mencampuri persoalanku, maka aku akan menyelesaikannya sekarang. Hati-hati, tentu ada orang-orangnya yang disusupkan di antara budak-budak ini”

Kawan Ki Sapa Aruh itu mengangguk. Sementara itu, Ki Sapa Aruh pun telah mengajak Wira Sabet dan Sura Gentong untuk pergi ke pintu butulan.

“Biar Pideksa membantumu disini. Yang lain akan pergi bersamaku.” berkata Ki Sapa Aruh.

Ki Sapa Aruh pun segera meninggalkan tempat itu bersama Wira Sabet dan Sura Gentong. Dua orang saudara seperguruan merekapun ikut pula bersama mereka, sedangkan yang lain menunggui kawan Ki Sapa Aruh yang sedang melihat budak-budak yang ada di halaman itu seorang demi seorang.

Ki Carang Aking yang berdiri di deret paling belakang bersama dua orang muridnya serta Manggada dan laksana menarik nafas panjang. Meskipun demikian, mereka masih harus memperhitungkan kawan Ki Sapa Aruh yang tentu terhitung orang berilmu tinggi pula.

Seorang demi seorang yang diamatinya telah lepas tanpa menimbulkan kecurigaan. Sentuhan tangannya pada pusat dan simpul-simpul syaraf sama sekali tidak menimbulkan getar yang menarik perhatiannya. Namun menjelang orang-orang yang terakhir membuat Ki Carang Aking menjadi semakin berdebar-debar. Ia harus mengambil satu sikap, jika ternyata orang itu dapat menyentuh dengan kesadaran perabanya, kemampuan Ki Carang Aking itu.

Menjelang orang terakhir sebelum kawan Ki Sapa Aruh itu memanggil Ki Carang Aking, maka Ki Carang Aking menggamit Manggada dan Laksana serta memberi isyarat kepada kedua orang muridnya.

Dalam pada itu, Ki Jagabaya dan kawan-kawannya ternyata telah mampu memecahkan pintu butulan. Dengan sepotong kayu yang cukup besar, mereka beramai-ramai menghantam pintu itu dari luar. Ketika mereka menghantamkan sepotong kayu itu untuk yang ketiga kalinya, maka pintu itupun pecah dan butulan itupun menganga lebar-lebar.

Ki Jagabaya dan kawan-kawannya itupun kemudian telah menyusup memasuki pintu butulan itu. Namun demikian mereka berada di dalam, maka merekapun terhenti. Ki Sapa Aruh, Wira Sabet, Sura Gentong dan saudara-saudara seperguruannya yang menyertainya, telah berdiri menghadang bersama para pengikutnya. Orang-orang yang nampaknya kasar dan keras dengan senjata di tangan mereka masing-masing.

Anak-anak muda Gemawang yang datang bersama Ki Jagabaya itu memang menjadi berdebar-debar. Mereka mulai memperhatikan senjata-senjata yang ada di tangan para penghuni barak itu. Seperti telah diberitahukan kepada mereka, bahwa penghuni barak itu mempergunakan berbagai macam senjata yang tidak terbiasa dipergunakan kebanyakan orang.

Sebenarnyalah bahwa ada di antara mereka yang membawa tongkat besi, kapak, bindi dan bahkan canggah yang nampak mengerikan. Seorang yang bertubuh gemuk meskipun tidak terlalu tinggi, membawa pedang yang bergerigi di punggungnya. Sedangkan yang lain membawa tombak pendek dengan mata tombak berkait.

Senjata-senjata itu memang mengerikan. Tetapi meieka selalu ingat pada pesan Ki Jagabaya, bahwa mereka tidak akan bertempur seorang-seorang, mereka akan bertempur dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari tiga atau empat orang.

“Aku sudah mengira.” berkata Ki Sapa Aruh “Orang bongkok itu menjadi biang keladi yang mengganggu ketenangan padepokan kami ini”

“Padepokan? Adakah ini sebuah padepokan yang mengajarkan budi pekerti, unggah-ungguh dan mengajarkan ketakwaan terhadap Yang Maha Esa?” bertanya Ki Pandi.

“Kau kira padepokan ini tempat apa?” Ki Sapa Aruh itu ganti bertanya.

Namun Ki Jagabaya Gemawang itulah yang menyahut, “Bertanyalah kepada Wira Sabet dan Sura Gentong. Ia tahu pasti, tempat ini tempat apa. He, siapakah kau?”

“Oh, jadi kau belum mengenal aku?” Ki Sapa Aruh itupun kemudian berpaling kepada Wira Sabet dan Sura Gentong. “Siapakah orang yang sombong ini?”

“Orang inilah yang sampai sekarang masih mengaku Jagabaya padukuhan Gemawang. Orang itulah yang telah membunuh isteriku...” jawab Sura Gentong.

Ki Sapa Aruh mengangguk-angguk. Katanya, “Sebaiknya kau mengenal aku, meskipun barangkali kau sudah mengenal namaku. Akulah yang dipanggil Ki Sapa Aruh.”

Ki Jagabaya mengangguk-angguk di luar sadarnya. Namun ia memang menjadi berdebar-debar, Ia sudah mendengar betapa orang yang bernama Sapa Aruh itu memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Namun Ki Pandi yang dapat melihat betapa pengaruh nama itu dapat menggetarkan jantung Ki Jagabaya dan barangkali beberapa orang yang lain itupun berkata,

“Ki Jagabaya. Orang inilah yang namanya selalu disebut-sebut orang. Mungkin bayangan kita tentang Ki Sapa Aruh agak berbeda dengan apa yang kita temui sekarang ini.”

“Setan bongkok, apa maksudmu?” bertanya Ki Sapa Aruh.

“Aku hanya ingin menempatkan kau di tempat yang sewajarnya. Sampai sekarang, orang yang mendengar namamu menjadi berdebar-debar, sementara kau sendiri tidak mempunyai kelebihan apa-apa...” jawab Ki Pandi.

Ki Sapa Aruh menggeram. Sementara Ki Jagabaya menjadi semakin berdebar-debar. Ia menganggap Ki Sapa Aruh orang yang berilmu sangat tinggi, sehingga untuk menahannya, maka sekelompok orang yang berilmu harus bersama-sama melawannya. Tetapi Ki Pandi nampaknya tidak begitu silau terhadap orang itu.

“Kau jangan mencoba menyembunyikan kecemasanmu. Bersiaplah. Aku akan membuktikan, bahwa kau akan menyesali kata-katamu itu.” geram Ki Sapa Aruh.

Tetapi Ki Pandi menyahut, “Jika aku datang kemari, Ki Sapa Aruh, aku memang merencanakan sebuah pertemuan. Biarlah kawan-kawanku yang datang bersamaku berusaha untuk mencegah orang-orangmu yang akan mengganggu permainan kita.”

Ki Sapa Aruh itupun kemudian memberi isyarat kepada Wira Sabet dan Sura Gentong serta dua orang saudara seperguruannya untuk segera melibatkan dirinya. Sementara itu, langitpun menjadi semakin terang.

Ketika Sura Gentong bersiap untuk bertempur, maka ia pun berkata, “Satu kesempatan yang bagus. Ki Jagabaya, kita membuat perhitungan sekarang.”

Tetapi Ki Kertasana dengan cepat menyahut, “Tidak Ki Sura Gentong. Ki Jagabaya mempunyai tugas tersendiri. Ia memegang pimpinan dalam tugas ini, sehingga ia tidak boleh terikat dalam pertempuran melawan siapapun.”

“Ki Kertasana. Apa maksudmu?” bertanya Wira Sabet.

“Biarlah aku mewakilinya.” jawab Ki Kertasana.

“Setan kau. Apakah kau tahu apa yang sedang kau lakukan?” bertanya Wira Sabet.

“Aku menyadari sepenuhnya, Ki Wira Sabet...!"

Wajah Wira Sabet menjadi merah. Ia mengenal Ki Kertasana sebagai seorang pendiam yang tidak terlalu banyak melibatkan diri dalam persoalan-persoalan yang terjadi di padukuhan Gemawang. Ia bukan pula termasuk orang-orang yang beramai-ramai mengusirnya dan bahkan rasa-rasanya dengan penuh kebencian orang-orang padukuhan itu akan membunuhnya waktu itu. Tetapi Wira Sabet tidak mempunyai banyak waktu. Sementara itu, beberapa orang benar-benar sudah terlibat dalam pertempuran yang segera menyala.

“Jika demikian, bersiaplah untuk mati...” geram Wira Sabet. “Aku tidak peduli siapa kau, karena kau sudah melibatkan diri dalam perbuatan gila ini.”

Ki Kertasana pun telah bersiap sepenuhnya. Namun ia masih berkata, “Ki Wira Sabet, jika aku ikut datang kemari, karena aku ingin mengambil anakku, Manggada yang kau perlakukan dengan kasar disini bersama adik sepupunya, Laksana.”

Sura Gentong itu memang teringat kepada Manggada yang ada di dalam barak itu bersama sepupunya Laksana. Dengan geram Wira Sabet itu menyahut, “Anakmu berusaha merusak rencanaku.”
Ki Kertasaha tidak berbicara lebih banyak lagi. Iapun kemudian telah bergeser sambil memperpsiapkan diri menghadapi orang yang mendendam seisi padukuhan Gemawang, terutama Ki Jagabaya.

Dalam pada itu, maka Sura Gentong pun telah melibat ke dalam pertempuran pula. Namun ia harus berhadapan dengan Ki Citrabawa yang belum dikenalnya.

“Aku ayah Laksana. Anak yang telah diambil dan di perlakukan sebagai budak disini...” berkata Ki Citrabawa.

“Darimana kau tahu bahwa anakmu diperlakukan sebagai budak disini?” bertanya Sura Gentong.

Citrabawa tersenyum. Katanya, “Kau tentu mencurigai bahwa ada di antara orang-orangmu yang berkhianat.”

“Ya” jawab Sura Gentong “Setelah kami menghancurkan kalian, kami akan dapat menemukannya.”

Citrabawa tidak sempat menyahut karena Sura Gentong telah mulai menyerangnya. Dengan demikian, maka pertempuranpun segera berkobar. Sementara Ki Sapa Aruh bersiap menghadapi Ki Pandi, maka orang-orang Gemawang dan Rejandani telah terlibat dalam pertempuran.

Namun sebelum Ki Sapa Aruh sendiri mulai bertempur, ia sempat melihat anak Demang Rejandani yang pernah dirampoknya. Karena itu, maka ia pun berteriak hampir di luar sadarnya, “He saudagar perhiasan dan wesi aji anak Demang Rejandani. Kenapa tiba-tiba saja kau ikut dalam rombongan tikus-tikus Gemawang ini?”

“Aku akan mengambil milikku itu kembali...” jawab anak Ki Demang Rejandani.

Tetapi Ki Sapa Aruh itu menjawab, “Kau tidak akan mendapatkan perhiasan dan wesi aji itu kembali. Tetapi kau justru akan menyerahkan nyawamu sebagaimana tikus-tikus dari Gemawang ini."

Tetapi Ki Demang yang mendengar pembicaraan itupun berkata, “Barak ini akan dihancurkan hari ini. Kami tidak akan memberi kesempatan lagi kepada kalian. Beruntunglah kami, tikus-tikus kecil yang hari ini mendapat perlindungan dari orang-orang berilmu yang akan dapat mematahkan kegiatan kalian untuk selanjutnya.”

“Setan, siapa kau?” bertanya Ki Sapa Aruh.

“Aku Demang Rejandani” jawab Ki Demang.

“Oh, jadi kau bawa anakmu untuk membunuh diri disini...” geram Ki Sapa Aruh.

Ki Demang tidak menjawab. Ia pun segera terlibat dalam pertempuran. Ternyata para pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong cukup banyak. Dua orang saudara seperguruan Wira Sabet dan Sura Gentong yang ikut merampok dirumah Ki Demang Rejandani telah bertempur pula melawan saudagar-saudagar perhiasan yang telah diperlakukan dengan kasar itu.

Sementara itu, Ki Pandi yang masih berdiri termangu-mangu itupun kemudian bertanya, “Apakah kau sudah selesai dengan sesorahmu. Aku datang untuk mencari kawan bermain. Karena itu, aku jangan kau tinggal berbicara saja dengan setiap orang yang datang memasuki barakmu itu...”

“Iblis bongkok. Kau akan menyesal dengan kesombonganmu. Kau sudah mengajak orang-orang itu datang kemari. Kematian demi kematian akan membebani saat terakhirmu. Seharusnya jika kau ingin membunuh dirimu, datanglah seorang diri. Jangan mengajak orang lain ikut membunuh diri bersamamu.”

Ki Pandi mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya, “Apakah kau sudah selesai? Jika kau masih akan berbicara, berbicaralah. Apa saja, sebelum kau akan terdiam untuk selama-lamanya. Aku masih akan memberimu waktu...”

Ki Sapa Aruh menjadi sangat marah. Ia tidak berbicara lagi. Tetapi ia pun dengan serta-merta telah meloncat menyerang Ki Pandi. Tetapi Ki Pandi sudah menyiapkan diri sebaik-baiknya. Karena itu serangan Ki Sapa Aruh itupun mampu dielakkannya.

Pertempuranpun kemudian telah menebar. Anak-anak muda Gemawang yang belum berpengalaman tidak melupakan pesan dari Ki Jagabaya. Sementara Sampurna berada di antara mereka sambil memberikan petunjuk-petunjuk.

Selain anak-anak muda Gemawang, maka orang-orang Kademangan Rejandani pun telah terlibat pula dalam pertempuran yang menjadi semakin sengit. Ki Demang berusaha untuk membangkitkan tekad yang terguncang oleh kenyataan yang mereka hadapi.

Namun orang-orang Rejandani itu menjadi berbesar hati ketika mereka sempat melihat anak Ki Demang itu bertempur dengan garang bersama-sama dengan ketiga orang kawannya, sementara rasa-rasanya Ki Demang selalu ada disamping mereka.

Ketika pertempuran itu berlangsung semakin sengit, maka di halaman barak itu, Ki Srayatapa, kawan Ki Sapa Aruh yang mengambil alih tugasnya meneliti orang-orang yang dianggap budak di barak itu, sudah sampai pada orang-orang terakhir. Orang yang kemudian dipanggilnya adalah orang tua yang ditugaskan untuk merawat kuda-kuda di kandang.

Ketika namanya dipanggil, maka iapun berbisik kepada Manggada, “Lindungi aku. Ia akan mengetahui siapa aku dan kami akan bertempur disini...”

Manggada mengangguk kecil. Ia sadar, bahwa di tempat itu masih ada Pideksa dan dua orang saudara seperguruan Wira Sabet dan Sura Gentong. Tetapi baik Manggada, maupun Laksana, agaknya merasa segan untuk berhadapan dengan Pideksa. Anak muda itu, secara tidak langsung berusaha untuk meringankan tekanan-tekanan atas diri mereka berdua. Bagaimanapun juga Pideksa adalah kawan bermain Manggada di masa kecilnya. Sisa-sisa persahabatan di masa kecil itu masih saja membekas di dalam dada mereka.

Jika pertempuran harus terjadi di tempat itu, maka Manggada dan Laksana akan berusaha berhadapan dengan kedua orang saudara seperguruan Wira Sabet dan Sura Gentong. Meskipun keduanya adalah orang-orang yang berpengalaman, namun Manggada dan Laksanapun selain memiliki pengalaman yang cukup, juga telah menempa diri dalam tataran-tataran yang semakin tinggi.

Ketika Manggada memandang wajah tampan salah seorang saudara seperguruan Wira Sabet, maka dadanya menjadi berdebar-debar. Orang yang nampaknya bersih dan ramah itu, justru pernah merendahkannya dan bahkan menghinanya. Orang itu pernah menginjak punggungnya, menganggapnya landasan untuk naik ke punggung kuda dan sikap-sikap yang menyakitkan hatinya.

Sementara itu, Ki Carang Aking telah melangkah dengan ragu-ragu mendekati Ki Srayatapa, kawan dekat Ki Sapa Aruh. Sejenak kemudian, maka orang tua itu sudah berdiri terbungkuk-bungkuk di hadapan orang yang sedang meneliti orang-orang yang dianggap budak itu untuk menemukan seorang yang dicurigai menyusup ke dalam barak itu.

Orang tua itu memang telah merasa bahwa ia tidak akan dapat melepaskan diri. Karena itu, justru bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Ketika Ki Srayatapa meletakkan tangannya di pundak orang tua itu, ia terkejut. Tetapi ia masih tetap menahan diri. Perlahan-lahan ia menyentuh punggung Ki Carang Aking di sebelah-menyebelah tulang belakang.

Terasa getaran ilmu yang tinggi menyentuh ujung jari Ki Srayatapa yang sangat peka. Dengan segera ia mengetahui bahwa orang tua itu adalah orang yang berilmu. Karena itu, maka ia tidak akan memberinya kesempatan. Ia ingin langsung menghancurkan simpul-simpul syaraf di punggungnya.

Tetapi Ki Carang Aking yang berilmu tinggi itupun merasakan getar syaraf di ujung-ujung jari Ki Srayatapa. Terasa di ujung jari itu denyut jantungnya yang menjadi semakin cepat sejalan dengan gejolak di dadanya. Karena itu, sebelum ujung-ujung jari itu menekan dan menghancurkan simpul-simpul syarafnya, maka Ki Carang Aking itupun segera meloncat menjauh.

Ki Srayatapa terkejut. Ia kehilangan kesempatan yang sangat baik. Tetapi orang tua itu memang sudah terlepas dari tangannya. “Kenapa kau menghindar, kek?” bertanya Ki Srayatapa.

“Sakit sekali. Punggung tua ini sama sekali tidak tahan atas tekanan yang sangat lemah sekalipun.” jawab Ki Carang Aking.

Tetapi Ki Srayatapa itu tertawa. Katanya, “Bukankah aku belum mulai menekan punggungmu?”

Ki Carang Aking pun tertawa pula. Katanya, “Jari-jarimu ternyata sangat kasar, sehingga sentuhan lembut sekalipun telah menyakiti kulitku."

Orang-orang yang disebut budak-budak di barak itu menjadi heran dan bahkan kemudian tegang melihat sikap orang tua perawat kuda itu. “Apa yang dilakukannya?” mereka saling bertanya di antara para budak itu.

Tidak seorangpun yang dapat memberi jawaban. Namun mereka menjadi heran dan bahkan menjadi sangat tegang. Kedua orang saudara seperguruan Wira Sabet dan Sura Gentong itupun bergeser mendekat pula. Hampir berbareng mereka bertanya,

“Kenapa dengan orang tua itu?”

“Sudah berapa lama ia berada disini?” bertanya Ki Srayatapa kepada orang yang berwajah tampan itu.

“Sudah lama...” jawabnya.

“Dan kalian tidak tahu tentang orang tua itu?” bertanya Ki Srayatapa pula.

“Kenapa dengan orang itu?” bertanya saudara seperguruannya yang seorang lagi.
Ki Srayatapa tersenyum. Katanya, “Kalian tidak memperhatikan orang-orang yang kalian jadikan budak-budak kalian itu. Ki Sapa Aruh pun tidak. Ternyata orang ini adalah orang yang sedang dicari oleh Ki Sapa Aruh.”

“Orang itu tidak bongkok...” berkata saudara seperguruan Wira Sabet yang berwajah tampan itu.

“Memang bukan orang ini yang disebutnya orang bongkok itu. Tetapi orang ini tidak kalah berbahayanya dengan orang bongkok itu. Isyarat aum harimau peliharaan orang bongkok itu tentu ditujukan kepada orang ini.”

“Jika demikian, serahkan orang tua itu kepadaku.” berkata orang yang berwajah tampan itu.

Tetapi Ki Srayatapa itu tertawa. Katanya, “Orang ini bukan lawanmu”

“Maksud Ki Srayatapa? Apakah anak-anak dapat menyelesaikan jika terhitung orang berilmu tinggi?”

“Maksudku bukan anak-anak. Bahkan kaupun tidak akan dapat menyelesaikannya” berkata Ki Srayatapa.

“Jadi?” bertanya orang berwajah tampan itu.

“Yang dapat menyelesaikan adalah aku atau Ki Sapa Aruh sendiri” jawab Ki Srayatapa.

“Jadi?” bertanya saudara seperguruan Wira Sabet yang seorang lagi.

“Ia adalah seorang yang berilmu sangat tinggi, sehingga kalian justru tidak melihat kelebihannya. Tetapi perannya di barak ini akan berakhir hari ini.”

“Kepung orang ini. Ia tidak boleh lepas. Aku sendiri akan menyelesaikannya..”

Namun ketika orang-orang itu bergeser untuk mengepung Ki Carang Aking, maka hiruk-pikuk pertempuran terdengar semakin mendekat.

“Setan!” geram Ki Srayatapa “Orang-orang itu tentu telah mendapat isyarat dari dalam. Dan orang yang memberikan isyarat itu adalah orang ini.”

“Jika demikian, kita akan meremukkan kepalanya.” geram saudara seperguruan Wira Sabet yang berwajah tampan itu.

Ki Carang Aking sendiri justru tertawa sambil berkata, “Kita jangan disibukkan oleh persoalan kecil ini. Kalian harus tahu, bahwa barak ini sudah jatuh ketangan orang yang kau sebut orang bongkok itu. Bersama orang bongkok itu datang pula Ki Jagabaya Gemawang yang selama ini kalian takut-takuti. Kalian mengira bahwa Gemawang benar-benar sudah menjadi pingsan. Namun hari ini mereka datang untuk menunjukkan bahwa darah anak-anak muda Gemawang masih tetap menghangat di tubuhnya. Bahkan bersama mereka telah datang pula anak Demang Rejandani yang telah kalian rampok habis-habisan. Mereka datang untuk mengambil kembali perhiasan dan wesi aji yang telah kalian rampok itu.”

“Sudahlah...” sahut Ki Srayatapa “Kau tidak usah mengigau. Sekarang bersiaplah. Kau akan segera diakhiri disini. Baru kemudian aku dan Ki Sapa Aruh akan mengurusi orang bongkok itu.”

Kedua saudara seperguruan Wira Sabet dan Sura Gentong itu pun segera mempersiapkan diri. Demikian pula Pideksa dan beberapa orang pengikut yang lain.

Namun saudara seperguruan Wira Sabet yang tampan itu terkejut ketika Manggada tiba-tiba saja melangkah mendekatinya sambil berkata, “Ki Sanak. Aku ingin kau membungkuk dihadapanku. Aku ingin menginjak punggungmu sebagai landasan. Aku tidak ingin naik kuda sekarang ini. Tetapi aku ingin melihat kau dihinakan sebagaimana pernah kau lakukan atasku.”

Wajah orang itu menjadi merah seperti bara. Untuk sesaat orang itu justru bagaikan membeku. Kemarahan yang membakar jantungnya membuai mulutnya bagaikan tersumbat. Yang kemudian tertawa pula adalah Laksana. Dengan nada tinggi ia berkata,

“Kenapa kalian menjadi bingung? He, aku masih mempunyai seseorang untuk diajak bermain. Marilah. Bukankah kau saudara seperguruan paman Wira Sabet dan paman Sura Gentong?”

Saudara seperguruan Wira Sabet yang berwajah bengis itu juga menjadi bingung. Tetapi anak muda yang untuk beberapa lama dijadikan budak untuk merawat kuda itu meskipun seperti seseorang yang sedang bermain-main, namun cukup mengandung kesungguhan.

Dalam pada itu, Pideksa pun berteriak “He, Manggada dan Laksana, apa yang akan kalian lakukan?”

“Pideksa” jawab Manggada “Aku memang telah memilih lawan. Aku tidak dapat melawanmu dalam pertempuran yang bakal terjadi. Kita pernah bersahabat di masa kanak-kanak. Sikapmupun masih aku hargai. Aku masih merasakan sisa-sisa persahabatan kita selama kami berada di barak ini.”

“Tetapi kau harus menyadari, siapakah orang yang kau tantang itu?” Pideksa justru menjadi cemas.

“Aku akan mencobanya.” jawab Manggada.

Kecemasan memang membayang di wajah Pideksa. Namun saudara seperguruan Wira Sabet yang berwajah tampan itu justru mulai tersenyum. Wajahnya mulai nampak cerah lagi. Katanya, “Aku kagum kepadamu anak muda. Sejak semula aku memang sudah mengaguminya, bahwa kalian masih berani berkuda berkeliaran di padukuhan Gemawang di saat-saat yang paling gawat. Meskipun akhirnya kalian berhasil ditangkap dan dibawa masuk ke dalam barak ini. Sekarang aku menjadi semakin kagum bahwa kalian berdua berani menantang kami berdua.”

Manggada dan Laksana tidak menjawab lagi. Namun keduanyapun segera mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.

Ki Srayatapa pun kemudian berkata pula, “Anak-anak memang tidak tahu bahwa seharusnya mereka tidak menggembara. Itu bukan satu keberanian. Tetapi satu kebodohan.”

Tetapi Ki Carang Akinglah yang menyahut, “Tidak. Mereka tidak dapat disamakan dengan seorang anak kecil yang tiba-tiba saja memungut bara. Tetapi keduanya sadar, bagaimana cara memukul seekor serigala. Meskipun serigala itu setampan wajah domba yang manis sekalipun.”

Ki Srayatapa tidak mengumpatinya. Tetapi ia justru tertawa. Katanya “Jangan terlalu yakin Ki Sanak. Kau sendiri akan mati hari ini”

Kedua orang itupun telah bergeser pula. Seakan-akan mereka telah mencari tempat yang terbaik untuk bertempur. Sementara itu Pideksa sendiri menjadi bingung. Namun penyabit rumput yang sehari-hari dianggap kurang waras itupun telah mendekatinya sambil berkata, “Kita juga berkesempatan untuk bermain-main.”

Pideksa menarik nafas panjang. Katanya, “Ternyata kalian telah mengelabui kami selama ini.”

“Ya” jawab murid Ki Carang Aking itu “Sebelum kau bertanya, biarlah aku lebih dahulu menjawab. Namaku Sirat. Aku murid perawat kuda yang tua itu.”

Pideksa mengangguk-angguk. Katanya “Baiklah. Kita akan berhadapan dalam kedudukan yang berbeda sekarang.”

Sementara itu, pertempuran yang sengit telah terjadi di dalam lingkungan dinding barak itu. Ki Pandi masih bertempur melawan Ki Sapa Aruh. Keduanya adalah orang-orang berilmu sangat tinggi, sehingga beberapa orang yang menyaksikan menjadi bingung, apakah yang sebenarnya telah terjadi dengan kedua orang itu.

Di halaman depan barak itu, Ki Srayatapa pun telah bertempur pula melawan Ki Carang Aking, sementara Manggada dan Laksana telah terlibat dalam pertempuran yang garang melawan saudara-saudara seperguruan Wira Sabet dan Sura Gentong.

Saudara seperguruan Wira Sabet yang berwajah tampan itu ternyata memang seorang yang sangat bengis. Watak orang itu sangat jauh berbeda dengan ujudnya yang tampan, senyumnya yang banyak nampak tersungging di bibirnya. Bahkan kata-katanya yang kadang-kadang lembut dan ramah.

Demikian pertempuran mulai, maka orang itu telah menyerang dengan garang dan bahkan kasar. Seakan-akan orang itu ingin membunuh lawannya pada ayunan serangannya yang pertama. Tetapi orang itu sempat terkejut. Ternyata anak muda yang bernama Manggada dan yang telah menjadi budak beberapa lama di barak itu, tidak dapat langsung dilumatkannya. Bahkan Manggada masih sempat membalas serangan-serangannya dengan serangan pula.

“Anak iblis kau...” geram orang itu “Jika kau tidak segera mati, maka kau akan mengalami kematian yang paling menyengsarakan bagimu.”

Manggada tidak menjawab. Tetapi ia melihat saat kelengahan lawannya justru pada saat ia berbicara. Karena itu, maka Manggada telah memanfaatkan kesempatan itu, ia tidak menyerang kearah dada atau lambung lawannya, yang tentu akan dapat ditangkis atau dihindarinya.

Tetapi tiba-tiba saja Manggada menjatuhkan diri. Kakinya dengan cepat menyapu kaki lawannya. Manggada memang tidak berniat untuk dengan cepat menghentikan perlawanan saudara seperguruan Wira Sabet dengan serangannya itu. Tetapi ia justru ingin menghentak lawannya untuk mempengaruhi ketahanan jiwaninya.

Serangan dengan sapuan kaki itu memang tidak diduga-duga. Karena itulah, maka sapuan kaki itu benar-benar telah menebas kedua kakinya yang berdiri tegak disaat ia berbicara. Keseimbangan orang itu telah terguncang. Bahkan demikian derasnya sapuan kaki Manggada, maka orang itu telah kehilangan keseimbangannya. Tubuh orang berwajah tampan dan berpakaian rapi itu terbanting jatuh di tanah. Namun dengan sigapnya ia berguling dan kemudian melenting berdiri lagi.

Ketika orang itu tegak, ia melihat Manggada berdiri sambil tersenyum memandanginya. Bahkan anak muda itupun kemudian berkata, “Kenapa kau kotori pakaianmu yang tentu berharga mahal itu? Aku sendiri tidak peduli bahwa pakaianku akan menjadi kotor, karena setiap hari pakaian ini pula yang aku pakai bahkan tidur di kandang kuda sekalipun”

Orang berwajah tampan itu menggeram. Dengan mengerahkan tenaga dan kekuatannya orang itu meloncat menyerang dengan menjulurkan kakinya. Manggada yang mengetahui bahwa serangan itu dilandasi dengan kekuatan yang sangat besar, tidak berniat untuk membenturnya.

Dengan tangkasnya ia mengelak, sehingga serangan itu tidak mengenainya sama sekali. Namun dengan demikian, kemarahanpun telah meledak di kepalanya. Anak muda itu benar-benar telah menghinanya dengan cara yang sangat menyakitkan hati.

Dalam pada itu, Laksanapun telah bertempur pula melawan saudara seperguruan Wira Sabet yang lain. Saudara seperguruan Wira Sabet yang berwajah garang. Orang itu tidak banyak berbicara. Tetapi ketika pertempuran terjadi, maka orang itu mulai dengan hati-hati.

Laksana menanggapi sikap lawannya dengan sikap berhati-hati pula. Untuk beberapa saat mereka masih saling menjajagi. Bahkan orang yang pendiam itu sempat memperingatkan dirinya sendiri. “Jika anak ini tidak mempunyai bekal yang cukup, ia tidak akan berani melakukan sebagaimana dilakukannya sekarang ini."

Sementara itu Pideksa yang bertempur melawan salah seorang murid Ki Carang Aking sempat melihat bagaimana Manggada menjatuhkan saudara seperguruan ayahnya yang berwajah tampan itu.

“Tidak masuk akal...” desis Pideksa. Manggada adalah anak muda yang umurnya tidak terpaut banyak dengan dirinya. Tetapi Manggada ternyata telah memiliki ilmu yang tinggi. Yang luput dari penglihatan ayahnya dan orang-orang berilmu tinggi lainnya di barak itu.

Dengan demikian Pideksa pun menyadari, bahwa kehadiran Manggada dan Laksana di barak itu tentu telah disengaja dan diperhitungkannnya dengan sebaik-baiknya, sebagaimana kehadiran Ki Carang Aking yang secara kebetulan mereka bersama-sama di tempatkan di kandang kuda.

Dalam pada itu, para pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong memang menjadi heran, bahwa budak-budak itu ternyata memiliki ilmu yang tinggi. Bahkan dua orang penyabit rumput yang dianggap tidak waras itupun telah bertempur pula bersama Manggada dan Laksana.

Namun dalam pada itu, para pengikut yang lain tidak sempat turun kemedan melawan orang-orang yang selama dalam perbudakan bekerja untuk merawat kuda itu. Arus serangan yang memasuki barak dari pintu butulan itu telah sampai ke halaman depan barak itu.

Dengan demikian, maka pertempuran itupun telah menyala di beberapa sudut barak. Betapapun garangnya para pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong, bahkan orang-orang yang dibawa Ki Sapa Aruh, namun kehadiran orang-orang Gemawang yang tidak diduganya itu benar-benar telah mengguncang seisi barak itu...
Selanjutnya,
Sejuknya Kampung Halaman Bagian 18

Sejuknya Kampung Halaman Bagian 17

Arya Manggada - Sejuknya Kampung Halaman Bagian 17
Karya : Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
MENJELANG fajar, maka Ki Jagabaya masih sempat memperingatkan orang-orang yang siap bergerak itu. untuk memeriksa senjata mereka. Di pertempuran yang akan terjadi, senjata-senjata itu jangan mengecewakan. Bahkan beberapa orang telah membawa senjata rangkap. Disamping sebilah pedang, ada yang masih membawa keris atau pisau belati yang panjang.

Anak-anak muda Gemawang, yang belum berpengalaman telah mendapat petunjuk bahwa lawan mereka mungkin akan mempergunakan senjata yang tidak biasa mereka jumpai. Mungkin tongkat besi, kapak, rantai baja dan bahkan mungkin senjata lontar seperti paser dan cakram. Karena itu, maka Ki Jagabaya pun telah memperingatkan mereka agar mereka tidak mencoba untuk bertempur seorang-seorang.

Namun Ki Kertasanapun kemudian berkata, “Meskipun kalian harus berhati-hati, tetapi tidak semua orang yang berada di barak itu memiliki kemampuan bertempur. Mungkin mereka nampak garang, tetapi mereka tidak mempunyai otak yang cukup baik untuk membuat perhitungan-perhitungan yang mapan di pertempuran. Karena itu, maka kalianpun jangan sampai kehilangan perhitungan. Jika perlu jangan segan-segan menjauhi lawan yang memang tidak terlawan. Kalian tidak sendiri dalam pertempuran itu.”

Ketika langit menjadi kemerah-merahan, maka Ki Pandi meninggalkan perkemahan itu untuk memanggil kedua ekor harimaunya. Kemudian diperintahkannya kedua ekor harimau itu mendekati barak dan memberikan isyarat dengan auman mereka yang memang agak berbeda dengan aum harimau kebanyakan. Namun hanya orang-orang tertentu sajalah yang dapat membedakannya.
Sementara itu, seperti biasa Ki Carang Aking, Manggada dan Laksana telah berada di kandang saat warna fajar mulai nampak di langit. Sementara kedua murid Ki Carang Aking telah menyiapkan keranjang mereka yang biasa mereka pergunakan untuk menyabit rumput. Namun mereka tidak segera meninggalkan kandang. Mereka sudah mendapat penjelasan dari Ki Carang Aking, bahwa pagi itu akan terjadi sesuatu yang mungkin akan menentukan keberadaan barak itu.

“Kita menunggu isyarat” berkata Ki Carang Aking.

“Isyarat apa yang akan diberikan oleh Ki Pandi?” desis Manggada.

“Mungkin mereka langsung datang menyerang” jawab Ki Carang Aking.

Namun dalam pada itu, maka tiba-tiba saja mereka mendengar aum harimau tidak terlalu jauh dari barak itu. Aum harimau yang berbeda dengan aum harimau liar yang berada di hutan itu. Ki Carang Aking yang mengenal suara harimau itupun berdesis, “Aum harimau itu. Nampaknya Ki Pandi benar-benar akan datang.”

Namun yang mendengar suara itu bukannya hanya Ki Carang Aking, kedua muridnya, Manggada dan Laksana saja. Tetapi aum harimau yang mempunyai ciri tersendiri itu juga didengar oleh Ki Sapa Aruh. Ki Sapa Aruh pun kemudian memanggil seorang kawannya yang datang bersamanya serta Wira Sabet dan Sura Gentong.

Demikian mereka datang, maka Ki Sapa Aruh itupun segera bertanya, “Kalian dengar aum harimau itu?”

Wira Sabet dan Sura Gentong termangu-mangu sejenak. Mereka memang tidak begitu menghiraukannya. Namun kawan Ki Sapa Aruh yang datang bersamanya itu langsung berkata, “Apakah orang bongkok itu ada disini?”

“Maksudmu?” bertanya Sura Gentong.

“Apakah di antara orang-orang yang bekerja untukmu disini terdapat orang bongkok?” bertanya Ki Sapa Aruh.

“Maksud Ki Sapa Aruh, budak-budak itu?” bertanya Sura Gentong.

“Ya” jawab Ki Sapa Aruh.

Sura Gentong pun kemudian bertanya kepada Pideksa yang juga telah hadir pula disitu, “He, apakah di antara budak-budak itu terdapat orang bongkok?”

Pideksa menggeleng sambil berdesis, “Tidak paman. Tidak ada orang bongkok di barak ini.”

Tetapi Ki Sapa Aruh yang tertarik oleh aum harimau itu berkata, “Aku ingin melihat orang-orangmu yang ada di barak ini”

“Maksud Ki Sapa Aruh?” bertanya Pideksa.

“Kumpulkan semua orang. Aku ingin melihat mereka seorang demi seorang” jawab Ki Sapa Aruh.

Pideksa tidak segera mengerti maksud Ki Sapa Aruh. Karena itu Ki Sapa Aruh itupun menjelaskan, “Semua orang yang kau sebut budak-budak itu harus dikumpulkan sekarang. Mereka semua tentu sudah bangun dan mulai melakukan tugas mereka sendiri-sendiri”

“Lakukan Pideksa.” berkata Wira Sabet “Perintahkan satu dua orang untuk memanggil kawan-kawannya. Jangan ada yang terlampaui seorangpun”

“Baik ayah” jawab Pideksa yang kemudian turun ke halaman.

Dipanggilnya seorang yang disebutnya budak yang sudah mulai menyapu halaman. Dengan ketakutan budak yang sedang menyapu halaman itu melangkah mendekat sambil merunduk-runduk.

“Panggil semua kawan-kawanmu. Ingat, semua budak-budak yang ada di barak ini. Dari mereka yang setiap hari mengisi jambangan pakiwan, mereka yang menumbuk padi, mereka yang menyabit rumput, mereka yang memelihara dan merawat kuda dan semua orang yang lain”

“Baik, baik anak muda...” jawab orang itu.

“Lakukan beranting supaya lebih cepat. Dengar, perintah ini datang dari Ki Sapa Aruh. Karena itu, maka harus kau lakukan dengan sebaik-baiknya”

Orang yang menyapu halaman itupun segera berlari-lari memanggil semua orang yang dianggap budak-budak di barak itu. Yang seorang meneruskan panggilan itu kepada yang lain tanpa ada yang terlampaui. Di kandang kuda, Ki Carang Aking menjadi berdebar-debar. Ia sadar, bahwa Ki Sapa Aruh tentu menaruh kecurigaan terhadap sesuatu.

“Tentu aum harimau itu” desis Ki Carang Aking.

“Apakah Ki Sapa Aruh dapat mengenali suara harimau itu?” bertanya Manggada.

“Ki Sapa Aruh adalah orang yang memiliki pengalaman dan pengenalan di dunia olah kanuragan secara luas. Ia tentu sudah mendengar tentang seorang bongkok yang dapat mengendalikan sepasang harimau meskipun mungkin Ki Pandi sendiri belum mengenal Ki Sapa Aruh selain isyarat tentang pribadinya” sahut Ki Carang Aking yang nampak lebih bersungguh-sungguh.

“Ki Pandi memang pernah menyebut Ki Sapa Aruh sebagai seorang yang berilmu sangat tinggi” sahut Manggada.

“Nah, agaknya Ki Pandi tidak memperhitungkan bahwa isyaratnya itu dapat memanggil perhatian Ki Sapa Aruh.” desis Ki Carang Aking. Namun katanya kemudian “tetapi kita tidak usah cemas. Sebentar lagi Ki Pandi dan orang-orang yang menyertainya itu akan datang. Sekarang, marilah kita ikut terkumpul dengan orang-orang yang disebutnya budak-budak itu”

Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, di halaman depan barak itu, orang-orang yang disebutnya budak-budak itu telah berkumpul. Di antara mereka memang terdapat Manggada, Laksana, Ki Carang Aking dan kedua orang muridnya.

Yang ikut menjadi berdebar-debar adalah ketiga orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong yang telah membawa Manggada dan Laksana memasuki barak itu. Jika akhirnya Manggada dan Laksana dapat dikenali kemampuannya oleh Ki Sapa Aruh, maka ketiga orang itu tentu akan mengalami kesulitan pula.

Tetapi untuk mengenal orang-orang yang disebut budak itu, Ki Sapa Aruh memerlukan waktu. Ketika ia mulai menuruni tangga bangunan induk barak itu, maka Ki Jagabaya telah mulai bergerak. Sekali lagi Ki Jagabaya memperingatkan anak-anak muda Gemawang yang berhasil di gelitik untuk bangkit itu, agar mereka bertempur dalam kelompok-kelompok kecil sehingga mereka akan dapat saling membantu.

Ki Carang Aking yang tua itu berdiri di deret paling belakang dari antara orang-orang yang disebut budak-budak itu. Sementara Ki Sapa Aruh mulai mengenali orang-orang yang disebut budak-budak itu seorang demi seorang.

Ki Carang Aking memang menjadi tegang. Jika Ki Pandi datang terlambat, maka mungkin sekali ia harus mengambil sikap tersendiri. Ki Sapa Aruh termasuk orang yang tidak dapat ditawar lagi sikapnya. Ia akan dapat bertindak tanpa menunggu otaknya sempat membuat pertimbangan-pertimbangan lain.

Dalam pada itu, langitpun menjadi semakin merah. Di halaman barak itu, Ki Sapa Aruh memanggil orang-orang yang telah berkumpul itu seorang demi seorang. Para penghuni barak itu memperhatikan sikap Ki Sapa Aruh dengan tegang. Mereka menyaksikan, bagaimana Ki Sapa Aruh menyentuh, menekan dada dan punggung seseorang, kemudian mengguncang bahu dan pundaknya.

Dua tiga orang sudah lewat. Tetapi tidak ada orang yang mencurigakan. Sementara itu, yang disebut orang bongkok itupun tidak ada pula di antara mereka. Tetapi Ki Sapa Aruh ingin melihat semua orang yang dikumpulkan itu sampai orang yang terakhir.

“Jika orang bongkok itu tidak ada di antara mereka, tentu orang lain yang sengaja disusupkan di antara para budak itu...” berkata Ki Sapa Aruh kepada kawannya yang berdiri disampingnya ikut melihat kemungkinan-kemungkinan yang tersembunyi pada budak-budak itu.

Sementara itu Wira Sabet dan Sura Gentong serta saudara-saudara seperguruannya memperhatikan pengamatan Ki Sapa Aruh itu dengan saksama. Lima, enam dan sepuluh orang telah dilampaui. Sementara itu, langitpun menjadi semakin terang. Bayangan sinar matahari mulai menyeruak keremangan fajar.

Dalam pada itu, Ki Jagabaya dan kawan-kawannya telah merayap semakin dekat. Mereka mendekati barak tidak dari arah depan. Tetapi mereka berusaha mendekati pintu butulan. Ki Pandi yang paling mengenal barak itu, berada di paling depan bersama Ki Jagabaya. Mereka berusaha untuk menghindari penglihatan para penghuni barak yang bertugas berjaga-jaga untuk mencapai jarak yang sependek-pendeknya.

Para penghuni barak itu memang agak lengah. Mereka merasa tempat mereka itu tidak diketahui oleh siapapun kecuali penghuni barak itu sendiri. Setiap orang yang sudah berada di dalam barak itu tidak akan pernah dapat keluar lagi. Dengan demikian, maka Ki Pandi dan Ki Jagabaya berhasil mendekati pintu butulan pada dinding di sisi sebelah kiri dari lingkungan barak yang tertutup itu.

Namun ketika keduanya memberikan isyarat bagi kawan-kawannya yang kemudian mendekati sambil berlari-lari, maka kehadiran mereka telah menarik perhatian seorang penghuni barak itu yang sedang bertugas mengawasi pintu butulan itu. Meskipun pengawasan mereka lebih banyak ditujukan untuk menjaga agar tidak ada budak yang melarikan diri, namun hiruk-pikuk di luar dinding telah memaksanya untuk dengan segera memanjat tangga panggungan di sebelah pintu butulan itu.

Orang itupun terkejut ketika ia melihat sekelompok orang telah berada di depan pintu butulan. Dengan serta-merta, orang itupun berteriak memberitahukan bahwa barak mereka telah diserang.

“Sekelompok orang berusaha memecahkan pintu butulan dari luar...“ teriak orang itu.

Teriakan itu didengar oleh penghuni barak yang lain, yang ikut pula berteriak memberitahukan serangan itu. Sementara itu, langit sudah menjadi terang. Cahaya matahari mulai nampak di bibir awan yang tipis yang dihanyutkan angin pagi. Teriakan itu benar-benar mengejutkan seisi barak.

Ki Sapa Aruh yang sedang sibuk itupun terkejut pula. Kepada kawannya ia berkata, “Tentu orang bongkok itu.”

“Ya” jawab kawannya. “Agaknya ia ingin membunuh dirinya."

“Lanjutkan pekerjaan yang menjemukan ini. Aku akan melihat, apakah benar orang bongkok itu datang. Jika ia benar-benar mencampuri persoalanku, maka aku akan menyelesaikannya sekarang. Hati-hati, tentu ada orang-orangnya yang disusupkan di antara budak-budak ini”

Kawan Ki Sapa Aruh itu mengangguk. Sementara itu, Ki Sapa Aruh pun telah mengajak Wira Sabet dan Sura Gentong untuk pergi ke pintu butulan.

“Biar Pideksa membantumu disini. Yang lain akan pergi bersamaku.” berkata Ki Sapa Aruh.

Ki Sapa Aruh pun segera meninggalkan tempat itu bersama Wira Sabet dan Sura Gentong. Dua orang saudara seperguruan merekapun ikut pula bersama mereka, sedangkan yang lain menunggui kawan Ki Sapa Aruh yang sedang melihat budak-budak yang ada di halaman itu seorang demi seorang.

Ki Carang Aking yang berdiri di deret paling belakang bersama dua orang muridnya serta Manggada dan laksana menarik nafas panjang. Meskipun demikian, mereka masih harus memperhitungkan kawan Ki Sapa Aruh yang tentu terhitung orang berilmu tinggi pula.

Seorang demi seorang yang diamatinya telah lepas tanpa menimbulkan kecurigaan. Sentuhan tangannya pada pusat dan simpul-simpul syaraf sama sekali tidak menimbulkan getar yang menarik perhatiannya. Namun menjelang orang-orang yang terakhir membuat Ki Carang Aking menjadi semakin berdebar-debar. Ia harus mengambil satu sikap, jika ternyata orang itu dapat menyentuh dengan kesadaran perabanya, kemampuan Ki Carang Aking itu.

Menjelang orang terakhir sebelum kawan Ki Sapa Aruh itu memanggil Ki Carang Aking, maka Ki Carang Aking menggamit Manggada dan Laksana serta memberi isyarat kepada kedua orang muridnya.

Dalam pada itu, Ki Jagabaya dan kawan-kawannya ternyata telah mampu memecahkan pintu butulan. Dengan sepotong kayu yang cukup besar, mereka beramai-ramai menghantam pintu itu dari luar. Ketika mereka menghantamkan sepotong kayu itu untuk yang ketiga kalinya, maka pintu itupun pecah dan butulan itupun menganga lebar-lebar.

Ki Jagabaya dan kawan-kawannya itupun kemudian telah menyusup memasuki pintu butulan itu. Namun demikian mereka berada di dalam, maka merekapun terhenti. Ki Sapa Aruh, Wira Sabet, Sura Gentong dan saudara-saudara seperguruannya yang menyertainya, telah berdiri menghadang bersama para pengikutnya. Orang-orang yang nampaknya kasar dan keras dengan senjata di tangan mereka masing-masing.

Anak-anak muda Gemawang yang datang bersama Ki Jagabaya itu memang menjadi berdebar-debar. Mereka mulai memperhatikan senjata-senjata yang ada di tangan para penghuni barak itu. Seperti telah diberitahukan kepada mereka, bahwa penghuni barak itu mempergunakan berbagai macam senjata yang tidak terbiasa dipergunakan kebanyakan orang.

Sebenarnyalah bahwa ada di antara mereka yang membawa tongkat besi, kapak, bindi dan bahkan canggah yang nampak mengerikan. Seorang yang bertubuh gemuk meskipun tidak terlalu tinggi, membawa pedang yang bergerigi di punggungnya. Sedangkan yang lain membawa tombak pendek dengan mata tombak berkait.

Senjata-senjata itu memang mengerikan. Tetapi meieka selalu ingat pada pesan Ki Jagabaya, bahwa mereka tidak akan bertempur seorang-seorang, mereka akan bertempur dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari tiga atau empat orang.

“Aku sudah mengira.” berkata Ki Sapa Aruh “Orang bongkok itu menjadi biang keladi yang mengganggu ketenangan padepokan kami ini”

“Padepokan? Adakah ini sebuah padepokan yang mengajarkan budi pekerti, unggah-ungguh dan mengajarkan ketakwaan terhadap Yang Maha Esa?” bertanya Ki Pandi.

“Kau kira padepokan ini tempat apa?” Ki Sapa Aruh itu ganti bertanya.

Namun Ki Jagabaya Gemawang itulah yang menyahut, “Bertanyalah kepada Wira Sabet dan Sura Gentong. Ia tahu pasti, tempat ini tempat apa. He, siapakah kau?”

“Oh, jadi kau belum mengenal aku?” Ki Sapa Aruh itupun kemudian berpaling kepada Wira Sabet dan Sura Gentong. “Siapakah orang yang sombong ini?”

“Orang inilah yang sampai sekarang masih mengaku Jagabaya padukuhan Gemawang. Orang itulah yang telah membunuh isteriku...” jawab Sura Gentong.

Ki Sapa Aruh mengangguk-angguk. Katanya, “Sebaiknya kau mengenal aku, meskipun barangkali kau sudah mengenal namaku. Akulah yang dipanggil Ki Sapa Aruh.”

Ki Jagabaya mengangguk-angguk di luar sadarnya. Namun ia memang menjadi berdebar-debar, Ia sudah mendengar betapa orang yang bernama Sapa Aruh itu memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Namun Ki Pandi yang dapat melihat betapa pengaruh nama itu dapat menggetarkan jantung Ki Jagabaya dan barangkali beberapa orang yang lain itupun berkata,

“Ki Jagabaya. Orang inilah yang namanya selalu disebut-sebut orang. Mungkin bayangan kita tentang Ki Sapa Aruh agak berbeda dengan apa yang kita temui sekarang ini.”

“Setan bongkok, apa maksudmu?” bertanya Ki Sapa Aruh.

“Aku hanya ingin menempatkan kau di tempat yang sewajarnya. Sampai sekarang, orang yang mendengar namamu menjadi berdebar-debar, sementara kau sendiri tidak mempunyai kelebihan apa-apa...” jawab Ki Pandi.

Ki Sapa Aruh menggeram. Sementara Ki Jagabaya menjadi semakin berdebar-debar. Ia menganggap Ki Sapa Aruh orang yang berilmu sangat tinggi, sehingga untuk menahannya, maka sekelompok orang yang berilmu harus bersama-sama melawannya. Tetapi Ki Pandi nampaknya tidak begitu silau terhadap orang itu.

“Kau jangan mencoba menyembunyikan kecemasanmu. Bersiaplah. Aku akan membuktikan, bahwa kau akan menyesali kata-katamu itu.” geram Ki Sapa Aruh.

Tetapi Ki Pandi menyahut, “Jika aku datang kemari, Ki Sapa Aruh, aku memang merencanakan sebuah pertemuan. Biarlah kawan-kawanku yang datang bersamaku berusaha untuk mencegah orang-orangmu yang akan mengganggu permainan kita.”

Ki Sapa Aruh itupun kemudian memberi isyarat kepada Wira Sabet dan Sura Gentong serta dua orang saudara seperguruannya untuk segera melibatkan dirinya. Sementara itu, langitpun menjadi semakin terang.

Ketika Sura Gentong bersiap untuk bertempur, maka ia pun berkata, “Satu kesempatan yang bagus. Ki Jagabaya, kita membuat perhitungan sekarang.”

Tetapi Ki Kertasana dengan cepat menyahut, “Tidak Ki Sura Gentong. Ki Jagabaya mempunyai tugas tersendiri. Ia memegang pimpinan dalam tugas ini, sehingga ia tidak boleh terikat dalam pertempuran melawan siapapun.”

“Ki Kertasana. Apa maksudmu?” bertanya Wira Sabet.

“Biarlah aku mewakilinya.” jawab Ki Kertasana.

“Setan kau. Apakah kau tahu apa yang sedang kau lakukan?” bertanya Wira Sabet.

“Aku menyadari sepenuhnya, Ki Wira Sabet...!"

Wajah Wira Sabet menjadi merah. Ia mengenal Ki Kertasana sebagai seorang pendiam yang tidak terlalu banyak melibatkan diri dalam persoalan-persoalan yang terjadi di padukuhan Gemawang. Ia bukan pula termasuk orang-orang yang beramai-ramai mengusirnya dan bahkan rasa-rasanya dengan penuh kebencian orang-orang padukuhan itu akan membunuhnya waktu itu. Tetapi Wira Sabet tidak mempunyai banyak waktu. Sementara itu, beberapa orang benar-benar sudah terlibat dalam pertempuran yang segera menyala.

“Jika demikian, bersiaplah untuk mati...” geram Wira Sabet. “Aku tidak peduli siapa kau, karena kau sudah melibatkan diri dalam perbuatan gila ini.”

Ki Kertasana pun telah bersiap sepenuhnya. Namun ia masih berkata, “Ki Wira Sabet, jika aku ikut datang kemari, karena aku ingin mengambil anakku, Manggada yang kau perlakukan dengan kasar disini bersama adik sepupunya, Laksana.”

Sura Gentong itu memang teringat kepada Manggada yang ada di dalam barak itu bersama sepupunya Laksana. Dengan geram Wira Sabet itu menyahut, “Anakmu berusaha merusak rencanaku.”
Ki Kertasaha tidak berbicara lebih banyak lagi. Iapun kemudian telah bergeser sambil memperpsiapkan diri menghadapi orang yang mendendam seisi padukuhan Gemawang, terutama Ki Jagabaya.

Dalam pada itu, maka Sura Gentong pun telah melibat ke dalam pertempuran pula. Namun ia harus berhadapan dengan Ki Citrabawa yang belum dikenalnya.

“Aku ayah Laksana. Anak yang telah diambil dan di perlakukan sebagai budak disini...” berkata Ki Citrabawa.

“Darimana kau tahu bahwa anakmu diperlakukan sebagai budak disini?” bertanya Sura Gentong.

Citrabawa tersenyum. Katanya, “Kau tentu mencurigai bahwa ada di antara orang-orangmu yang berkhianat.”

“Ya” jawab Sura Gentong “Setelah kami menghancurkan kalian, kami akan dapat menemukannya.”

Citrabawa tidak sempat menyahut karena Sura Gentong telah mulai menyerangnya. Dengan demikian, maka pertempuranpun segera berkobar. Sementara Ki Sapa Aruh bersiap menghadapi Ki Pandi, maka orang-orang Gemawang dan Rejandani telah terlibat dalam pertempuran.

Namun sebelum Ki Sapa Aruh sendiri mulai bertempur, ia sempat melihat anak Demang Rejandani yang pernah dirampoknya. Karena itu, maka ia pun berteriak hampir di luar sadarnya, “He saudagar perhiasan dan wesi aji anak Demang Rejandani. Kenapa tiba-tiba saja kau ikut dalam rombongan tikus-tikus Gemawang ini?”

“Aku akan mengambil milikku itu kembali...” jawab anak Ki Demang Rejandani.

Tetapi Ki Sapa Aruh itu menjawab, “Kau tidak akan mendapatkan perhiasan dan wesi aji itu kembali. Tetapi kau justru akan menyerahkan nyawamu sebagaimana tikus-tikus dari Gemawang ini."

Tetapi Ki Demang yang mendengar pembicaraan itupun berkata, “Barak ini akan dihancurkan hari ini. Kami tidak akan memberi kesempatan lagi kepada kalian. Beruntunglah kami, tikus-tikus kecil yang hari ini mendapat perlindungan dari orang-orang berilmu yang akan dapat mematahkan kegiatan kalian untuk selanjutnya.”

“Setan, siapa kau?” bertanya Ki Sapa Aruh.

“Aku Demang Rejandani” jawab Ki Demang.

“Oh, jadi kau bawa anakmu untuk membunuh diri disini...” geram Ki Sapa Aruh.

Ki Demang tidak menjawab. Ia pun segera terlibat dalam pertempuran. Ternyata para pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong cukup banyak. Dua orang saudara seperguruan Wira Sabet dan Sura Gentong yang ikut merampok dirumah Ki Demang Rejandani telah bertempur pula melawan saudagar-saudagar perhiasan yang telah diperlakukan dengan kasar itu.

Sementara itu, Ki Pandi yang masih berdiri termangu-mangu itupun kemudian bertanya, “Apakah kau sudah selesai dengan sesorahmu. Aku datang untuk mencari kawan bermain. Karena itu, aku jangan kau tinggal berbicara saja dengan setiap orang yang datang memasuki barakmu itu...”

“Iblis bongkok. Kau akan menyesal dengan kesombonganmu. Kau sudah mengajak orang-orang itu datang kemari. Kematian demi kematian akan membebani saat terakhirmu. Seharusnya jika kau ingin membunuh dirimu, datanglah seorang diri. Jangan mengajak orang lain ikut membunuh diri bersamamu.”

Ki Pandi mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya, “Apakah kau sudah selesai? Jika kau masih akan berbicara, berbicaralah. Apa saja, sebelum kau akan terdiam untuk selama-lamanya. Aku masih akan memberimu waktu...”

Ki Sapa Aruh menjadi sangat marah. Ia tidak berbicara lagi. Tetapi ia pun dengan serta-merta telah meloncat menyerang Ki Pandi. Tetapi Ki Pandi sudah menyiapkan diri sebaik-baiknya. Karena itu serangan Ki Sapa Aruh itupun mampu dielakkannya.

Pertempuranpun kemudian telah menebar. Anak-anak muda Gemawang yang belum berpengalaman tidak melupakan pesan dari Ki Jagabaya. Sementara Sampurna berada di antara mereka sambil memberikan petunjuk-petunjuk.

Selain anak-anak muda Gemawang, maka orang-orang Kademangan Rejandani pun telah terlibat pula dalam pertempuran yang menjadi semakin sengit. Ki Demang berusaha untuk membangkitkan tekad yang terguncang oleh kenyataan yang mereka hadapi.

Namun orang-orang Rejandani itu menjadi berbesar hati ketika mereka sempat melihat anak Ki Demang itu bertempur dengan garang bersama-sama dengan ketiga orang kawannya, sementara rasa-rasanya Ki Demang selalu ada disamping mereka.

Ketika pertempuran itu berlangsung semakin sengit, maka di halaman barak itu, Ki Srayatapa, kawan Ki Sapa Aruh yang mengambil alih tugasnya meneliti orang-orang yang dianggap budak di barak itu, sudah sampai pada orang-orang terakhir. Orang yang kemudian dipanggilnya adalah orang tua yang ditugaskan untuk merawat kuda-kuda di kandang.

Ketika namanya dipanggil, maka iapun berbisik kepada Manggada, “Lindungi aku. Ia akan mengetahui siapa aku dan kami akan bertempur disini...”

Manggada mengangguk kecil. Ia sadar, bahwa di tempat itu masih ada Pideksa dan dua orang saudara seperguruan Wira Sabet dan Sura Gentong. Tetapi baik Manggada, maupun Laksana, agaknya merasa segan untuk berhadapan dengan Pideksa. Anak muda itu, secara tidak langsung berusaha untuk meringankan tekanan-tekanan atas diri mereka berdua. Bagaimanapun juga Pideksa adalah kawan bermain Manggada di masa kecilnya. Sisa-sisa persahabatan di masa kecil itu masih saja membekas di dalam dada mereka.

Jika pertempuran harus terjadi di tempat itu, maka Manggada dan Laksana akan berusaha berhadapan dengan kedua orang saudara seperguruan Wira Sabet dan Sura Gentong. Meskipun keduanya adalah orang-orang yang berpengalaman, namun Manggada dan Laksanapun selain memiliki pengalaman yang cukup, juga telah menempa diri dalam tataran-tataran yang semakin tinggi.

Ketika Manggada memandang wajah tampan salah seorang saudara seperguruan Wira Sabet, maka dadanya menjadi berdebar-debar. Orang yang nampaknya bersih dan ramah itu, justru pernah merendahkannya dan bahkan menghinanya. Orang itu pernah menginjak punggungnya, menganggapnya landasan untuk naik ke punggung kuda dan sikap-sikap yang menyakitkan hatinya.

Sementara itu, Ki Carang Aking telah melangkah dengan ragu-ragu mendekati Ki Srayatapa, kawan dekat Ki Sapa Aruh. Sejenak kemudian, maka orang tua itu sudah berdiri terbungkuk-bungkuk di hadapan orang yang sedang meneliti orang-orang yang dianggap budak itu untuk menemukan seorang yang dicurigai menyusup ke dalam barak itu.

Orang tua itu memang telah merasa bahwa ia tidak akan dapat melepaskan diri. Karena itu, justru bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Ketika Ki Srayatapa meletakkan tangannya di pundak orang tua itu, ia terkejut. Tetapi ia masih tetap menahan diri. Perlahan-lahan ia menyentuh punggung Ki Carang Aking di sebelah-menyebelah tulang belakang.

Terasa getaran ilmu yang tinggi menyentuh ujung jari Ki Srayatapa yang sangat peka. Dengan segera ia mengetahui bahwa orang tua itu adalah orang yang berilmu. Karena itu, maka ia tidak akan memberinya kesempatan. Ia ingin langsung menghancurkan simpul-simpul syaraf di punggungnya.

Tetapi Ki Carang Aking yang berilmu tinggi itupun merasakan getar syaraf di ujung-ujung jari Ki Srayatapa. Terasa di ujung jari itu denyut jantungnya yang menjadi semakin cepat sejalan dengan gejolak di dadanya. Karena itu, sebelum ujung-ujung jari itu menekan dan menghancurkan simpul-simpul syarafnya, maka Ki Carang Aking itupun segera meloncat menjauh.

Ki Srayatapa terkejut. Ia kehilangan kesempatan yang sangat baik. Tetapi orang tua itu memang sudah terlepas dari tangannya. “Kenapa kau menghindar, kek?” bertanya Ki Srayatapa.

“Sakit sekali. Punggung tua ini sama sekali tidak tahan atas tekanan yang sangat lemah sekalipun.” jawab Ki Carang Aking.

Tetapi Ki Srayatapa itu tertawa. Katanya, “Bukankah aku belum mulai menekan punggungmu?”

Ki Carang Aking pun tertawa pula. Katanya, “Jari-jarimu ternyata sangat kasar, sehingga sentuhan lembut sekalipun telah menyakiti kulitku."

Orang-orang yang disebut budak-budak di barak itu menjadi heran dan bahkan kemudian tegang melihat sikap orang tua perawat kuda itu. “Apa yang dilakukannya?” mereka saling bertanya di antara para budak itu.

Tidak seorangpun yang dapat memberi jawaban. Namun mereka menjadi heran dan bahkan menjadi sangat tegang. Kedua orang saudara seperguruan Wira Sabet dan Sura Gentong itupun bergeser mendekat pula. Hampir berbareng mereka bertanya,

“Kenapa dengan orang tua itu?”

“Sudah berapa lama ia berada disini?” bertanya Ki Srayatapa kepada orang yang berwajah tampan itu.

“Sudah lama...” jawabnya.

“Dan kalian tidak tahu tentang orang tua itu?” bertanya Ki Srayatapa pula.

“Kenapa dengan orang itu?” bertanya saudara seperguruannya yang seorang lagi.
Ki Srayatapa tersenyum. Katanya, “Kalian tidak memperhatikan orang-orang yang kalian jadikan budak-budak kalian itu. Ki Sapa Aruh pun tidak. Ternyata orang ini adalah orang yang sedang dicari oleh Ki Sapa Aruh.”

“Orang itu tidak bongkok...” berkata saudara seperguruan Wira Sabet yang berwajah tampan itu.

“Memang bukan orang ini yang disebutnya orang bongkok itu. Tetapi orang ini tidak kalah berbahayanya dengan orang bongkok itu. Isyarat aum harimau peliharaan orang bongkok itu tentu ditujukan kepada orang ini.”

“Jika demikian, serahkan orang tua itu kepadaku.” berkata orang yang berwajah tampan itu.

Tetapi Ki Srayatapa itu tertawa. Katanya, “Orang ini bukan lawanmu”

“Maksud Ki Srayatapa? Apakah anak-anak dapat menyelesaikan jika terhitung orang berilmu tinggi?”

“Maksudku bukan anak-anak. Bahkan kaupun tidak akan dapat menyelesaikannya” berkata Ki Srayatapa.

“Jadi?” bertanya orang berwajah tampan itu.

“Yang dapat menyelesaikan adalah aku atau Ki Sapa Aruh sendiri” jawab Ki Srayatapa.

“Jadi?” bertanya saudara seperguruan Wira Sabet yang seorang lagi.

“Ia adalah seorang yang berilmu sangat tinggi, sehingga kalian justru tidak melihat kelebihannya. Tetapi perannya di barak ini akan berakhir hari ini.”

“Kepung orang ini. Ia tidak boleh lepas. Aku sendiri akan menyelesaikannya..”

Namun ketika orang-orang itu bergeser untuk mengepung Ki Carang Aking, maka hiruk-pikuk pertempuran terdengar semakin mendekat.

“Setan!” geram Ki Srayatapa “Orang-orang itu tentu telah mendapat isyarat dari dalam. Dan orang yang memberikan isyarat itu adalah orang ini.”

“Jika demikian, kita akan meremukkan kepalanya.” geram saudara seperguruan Wira Sabet yang berwajah tampan itu.

Ki Carang Aking sendiri justru tertawa sambil berkata, “Kita jangan disibukkan oleh persoalan kecil ini. Kalian harus tahu, bahwa barak ini sudah jatuh ketangan orang yang kau sebut orang bongkok itu. Bersama orang bongkok itu datang pula Ki Jagabaya Gemawang yang selama ini kalian takut-takuti. Kalian mengira bahwa Gemawang benar-benar sudah menjadi pingsan. Namun hari ini mereka datang untuk menunjukkan bahwa darah anak-anak muda Gemawang masih tetap menghangat di tubuhnya. Bahkan bersama mereka telah datang pula anak Demang Rejandani yang telah kalian rampok habis-habisan. Mereka datang untuk mengambil kembali perhiasan dan wesi aji yang telah kalian rampok itu.”

“Sudahlah...” sahut Ki Srayatapa “Kau tidak usah mengigau. Sekarang bersiaplah. Kau akan segera diakhiri disini. Baru kemudian aku dan Ki Sapa Aruh akan mengurusi orang bongkok itu.”

Kedua saudara seperguruan Wira Sabet dan Sura Gentong itu pun segera mempersiapkan diri. Demikian pula Pideksa dan beberapa orang pengikut yang lain.

Namun saudara seperguruan Wira Sabet yang tampan itu terkejut ketika Manggada tiba-tiba saja melangkah mendekatinya sambil berkata, “Ki Sanak. Aku ingin kau membungkuk dihadapanku. Aku ingin menginjak punggungmu sebagai landasan. Aku tidak ingin naik kuda sekarang ini. Tetapi aku ingin melihat kau dihinakan sebagaimana pernah kau lakukan atasku.”

Wajah orang itu menjadi merah seperti bara. Untuk sesaat orang itu justru bagaikan membeku. Kemarahan yang membakar jantungnya membuai mulutnya bagaikan tersumbat. Yang kemudian tertawa pula adalah Laksana. Dengan nada tinggi ia berkata,

“Kenapa kalian menjadi bingung? He, aku masih mempunyai seseorang untuk diajak bermain. Marilah. Bukankah kau saudara seperguruan paman Wira Sabet dan paman Sura Gentong?”

Saudara seperguruan Wira Sabet yang berwajah bengis itu juga menjadi bingung. Tetapi anak muda yang untuk beberapa lama dijadikan budak untuk merawat kuda itu meskipun seperti seseorang yang sedang bermain-main, namun cukup mengandung kesungguhan.

Dalam pada itu, Pideksa pun berteriak “He, Manggada dan Laksana, apa yang akan kalian lakukan?”

“Pideksa” jawab Manggada “Aku memang telah memilih lawan. Aku tidak dapat melawanmu dalam pertempuran yang bakal terjadi. Kita pernah bersahabat di masa kanak-kanak. Sikapmupun masih aku hargai. Aku masih merasakan sisa-sisa persahabatan kita selama kami berada di barak ini.”

“Tetapi kau harus menyadari, siapakah orang yang kau tantang itu?” Pideksa justru menjadi cemas.

“Aku akan mencobanya.” jawab Manggada.

Kecemasan memang membayang di wajah Pideksa. Namun saudara seperguruan Wira Sabet yang berwajah tampan itu justru mulai tersenyum. Wajahnya mulai nampak cerah lagi. Katanya, “Aku kagum kepadamu anak muda. Sejak semula aku memang sudah mengaguminya, bahwa kalian masih berani berkuda berkeliaran di padukuhan Gemawang di saat-saat yang paling gawat. Meskipun akhirnya kalian berhasil ditangkap dan dibawa masuk ke dalam barak ini. Sekarang aku menjadi semakin kagum bahwa kalian berdua berani menantang kami berdua.”

Manggada dan Laksana tidak menjawab lagi. Namun keduanyapun segera mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.

Ki Srayatapa pun kemudian berkata pula, “Anak-anak memang tidak tahu bahwa seharusnya mereka tidak menggembara. Itu bukan satu keberanian. Tetapi satu kebodohan.”

Tetapi Ki Carang Akinglah yang menyahut, “Tidak. Mereka tidak dapat disamakan dengan seorang anak kecil yang tiba-tiba saja memungut bara. Tetapi keduanya sadar, bagaimana cara memukul seekor serigala. Meskipun serigala itu setampan wajah domba yang manis sekalipun.”

Ki Srayatapa tidak mengumpatinya. Tetapi ia justru tertawa. Katanya “Jangan terlalu yakin Ki Sanak. Kau sendiri akan mati hari ini”

Kedua orang itupun telah bergeser pula. Seakan-akan mereka telah mencari tempat yang terbaik untuk bertempur. Sementara itu Pideksa sendiri menjadi bingung. Namun penyabit rumput yang sehari-hari dianggap kurang waras itupun telah mendekatinya sambil berkata, “Kita juga berkesempatan untuk bermain-main.”

Pideksa menarik nafas panjang. Katanya, “Ternyata kalian telah mengelabui kami selama ini.”

“Ya” jawab murid Ki Carang Aking itu “Sebelum kau bertanya, biarlah aku lebih dahulu menjawab. Namaku Sirat. Aku murid perawat kuda yang tua itu.”

Pideksa mengangguk-angguk. Katanya “Baiklah. Kita akan berhadapan dalam kedudukan yang berbeda sekarang.”

Sementara itu, pertempuran yang sengit telah terjadi di dalam lingkungan dinding barak itu. Ki Pandi masih bertempur melawan Ki Sapa Aruh. Keduanya adalah orang-orang berilmu sangat tinggi, sehingga beberapa orang yang menyaksikan menjadi bingung, apakah yang sebenarnya telah terjadi dengan kedua orang itu.

Di halaman depan barak itu, Ki Srayatapa pun telah bertempur pula melawan Ki Carang Aking, sementara Manggada dan Laksana telah terlibat dalam pertempuran yang garang melawan saudara-saudara seperguruan Wira Sabet dan Sura Gentong.

Saudara seperguruan Wira Sabet yang berwajah tampan itu ternyata memang seorang yang sangat bengis. Watak orang itu sangat jauh berbeda dengan ujudnya yang tampan, senyumnya yang banyak nampak tersungging di bibirnya. Bahkan kata-katanya yang kadang-kadang lembut dan ramah.

Demikian pertempuran mulai, maka orang itu telah menyerang dengan garang dan bahkan kasar. Seakan-akan orang itu ingin membunuh lawannya pada ayunan serangannya yang pertama. Tetapi orang itu sempat terkejut. Ternyata anak muda yang bernama Manggada dan yang telah menjadi budak beberapa lama di barak itu, tidak dapat langsung dilumatkannya. Bahkan Manggada masih sempat membalas serangan-serangannya dengan serangan pula.

“Anak iblis kau...” geram orang itu “Jika kau tidak segera mati, maka kau akan mengalami kematian yang paling menyengsarakan bagimu.”

Manggada tidak menjawab. Tetapi ia melihat saat kelengahan lawannya justru pada saat ia berbicara. Karena itu, maka Manggada telah memanfaatkan kesempatan itu, ia tidak menyerang kearah dada atau lambung lawannya, yang tentu akan dapat ditangkis atau dihindarinya.

Tetapi tiba-tiba saja Manggada menjatuhkan diri. Kakinya dengan cepat menyapu kaki lawannya. Manggada memang tidak berniat untuk dengan cepat menghentikan perlawanan saudara seperguruan Wira Sabet dengan serangannya itu. Tetapi ia justru ingin menghentak lawannya untuk mempengaruhi ketahanan jiwaninya.

Serangan dengan sapuan kaki itu memang tidak diduga-duga. Karena itulah, maka sapuan kaki itu benar-benar telah menebas kedua kakinya yang berdiri tegak disaat ia berbicara. Keseimbangan orang itu telah terguncang. Bahkan demikian derasnya sapuan kaki Manggada, maka orang itu telah kehilangan keseimbangannya. Tubuh orang berwajah tampan dan berpakaian rapi itu terbanting jatuh di tanah. Namun dengan sigapnya ia berguling dan kemudian melenting berdiri lagi.

Ketika orang itu tegak, ia melihat Manggada berdiri sambil tersenyum memandanginya. Bahkan anak muda itupun kemudian berkata, “Kenapa kau kotori pakaianmu yang tentu berharga mahal itu? Aku sendiri tidak peduli bahwa pakaianku akan menjadi kotor, karena setiap hari pakaian ini pula yang aku pakai bahkan tidur di kandang kuda sekalipun”

Orang berwajah tampan itu menggeram. Dengan mengerahkan tenaga dan kekuatannya orang itu meloncat menyerang dengan menjulurkan kakinya. Manggada yang mengetahui bahwa serangan itu dilandasi dengan kekuatan yang sangat besar, tidak berniat untuk membenturnya.

Dengan tangkasnya ia mengelak, sehingga serangan itu tidak mengenainya sama sekali. Namun dengan demikian, kemarahanpun telah meledak di kepalanya. Anak muda itu benar-benar telah menghinanya dengan cara yang sangat menyakitkan hati.

Dalam pada itu, Laksanapun telah bertempur pula melawan saudara seperguruan Wira Sabet yang lain. Saudara seperguruan Wira Sabet yang berwajah garang. Orang itu tidak banyak berbicara. Tetapi ketika pertempuran terjadi, maka orang itu mulai dengan hati-hati.

Laksana menanggapi sikap lawannya dengan sikap berhati-hati pula. Untuk beberapa saat mereka masih saling menjajagi. Bahkan orang yang pendiam itu sempat memperingatkan dirinya sendiri. “Jika anak ini tidak mempunyai bekal yang cukup, ia tidak akan berani melakukan sebagaimana dilakukannya sekarang ini."

Sementara itu Pideksa yang bertempur melawan salah seorang murid Ki Carang Aking sempat melihat bagaimana Manggada menjatuhkan saudara seperguruan ayahnya yang berwajah tampan itu.

“Tidak masuk akal...” desis Pideksa. Manggada adalah anak muda yang umurnya tidak terpaut banyak dengan dirinya. Tetapi Manggada ternyata telah memiliki ilmu yang tinggi. Yang luput dari penglihatan ayahnya dan orang-orang berilmu tinggi lainnya di barak itu.

Dengan demikian Pideksa pun menyadari, bahwa kehadiran Manggada dan Laksana di barak itu tentu telah disengaja dan diperhitungkannnya dengan sebaik-baiknya, sebagaimana kehadiran Ki Carang Aking yang secara kebetulan mereka bersama-sama di tempatkan di kandang kuda.

Dalam pada itu, para pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong memang menjadi heran, bahwa budak-budak itu ternyata memiliki ilmu yang tinggi. Bahkan dua orang penyabit rumput yang dianggap tidak waras itupun telah bertempur pula bersama Manggada dan Laksana.

Namun dalam pada itu, para pengikut yang lain tidak sempat turun kemedan melawan orang-orang yang selama dalam perbudakan bekerja untuk merawat kuda itu. Arus serangan yang memasuki barak dari pintu butulan itu telah sampai ke halaman depan barak itu.

Dengan demikian, maka pertempuran itupun telah menyala di beberapa sudut barak. Betapapun garangnya para pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong, bahkan orang-orang yang dibawa Ki Sapa Aruh, namun kehadiran orang-orang Gemawang yang tidak diduganya itu benar-benar telah mengguncang seisi barak itu...
Selanjutnya,
Sejuknya Kampung Halaman Bagian 18