Sejuknya Kampung Halaman Bagian 18 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Arya Manggada - Sejuknya Kampung Halaman Bagian 18
Karya : Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
WIRA SABET dan Sura Gentong yang telah yakin akan mampu menguasai padukuhan Gemawang dan bahkan kemudian Kademangan Kleringan bersama Ki Sapa Aruh, benar-benar menjadi sangat marah karena serangan yang tiba-tiba dan sama sekali tidak diduga.

Keduanya merasa bahwa keberanian orang-orang Gemawang telah benar-benar dihancurkan. Anak-anak muda yang mencoba untuk mengganggu rencananya telah tertangkap dan dibawa ke barak itu. Sura Gentonglah yang sangat menyesal, kenapa ia tidak membunuh saja Ki Jagabaya dari sebelumnya.

Dalam pada itu, Ki Sapa Aruh bertempur dengan sengitnya melawan Ki Pandi, orang bongkok namun berilmu tinggi. Keduanya justru telah memisahkan diri dari hiruk pikuk pertempuran. Keduanya seakan-akan telah memilih tempat yang tidak akan terganggu oleh orang lain.

Ternyata di halaman barak itu, Ki Srayatapa yang berhadapan dengan perawat kuda tua itupun telah bertempur tanpa terganggu oleh pertempuran di sekitarnya. Agaknya masing-masing telah terikat dan berhadapan dengan lawan mereka.
Manggada yang bertempur melawan saudara seperguruan Wira Sabet yang berwajah tampan itu telah mulai meningkatkan ilmu dari tataran ke tataran. Ia sadar, bahwa lawannya itu tentu memiliki kelebihan dari kebanyakan orang. Namun Manggada juga bukan orang kebanyakan. Lawan Manggada memang merasa aneh menghadapi anak muda itu. Anak muda yang dianggapnya budak itu tiba-tiba saja bertempur melawannya.

Lawan Manggada menggeram ketika ia benar-benar tidak mampu menghancurkan lawannya dalam waktu singkat. Bahkan ketika ia berusaha dengan mengerahkan kemampuannya, budak yang masih muda itu masih saja mampu mengimbanginya.

Sementara itu, lawan Laksana yang berwajah garang itu justru lebih berhati-hati menghadapi lawan yang masih muda. Orang itu meningkatkan ilmunya selapis demi selapis. Ia sadar sepenuhnya, bahwa ia tidak akan dapat dengan cepat mengalahkan lawannya yang muda itu. Bahkan orang itu sempat mengaguminya. Katanya,

“Jika kau memilik ilmu sedemikian baiknya, demikian pula saudaramu itu, maka aku yakin bahwa kalian memasuki barak ini tentu dengan sengaja. Orang-orangku tidak akan mampu menangkap kalian berdua meskipun orang-orangku itu bertiga.”

“Kami memang ingin melihat rumah tangga paman Wira Sabet dan paman Sura Gentong...” jawab Laksana.

“Aku percaya bahwa kau memang sengaja melakukannya.” jawab orang itu.

Laksana tidak menjawab. Tetapi sikap lawannya itu justru membuatnya lebih berhati-hati. Ia sadar bahwa lawannya itu menghadapinya dengan bersungguh-sungguh. Tidak sekedar dihanyutkan oleh perasaan marahnya.

Di arena pertempuran yang lain, Sampurna dan anak-anak muda Gemawang bertempur melawan para pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong. Ternyata anak-anak muda itu tidak mengecewakan. Apalagi di antara mereka terdapat orang-orang Rejandani yang dipimpin langsung oleh Ki Demang yang berpengalaman.

Sementara pertempuran di barak itu berkobar semakin panas, maka di Gemawang, jalan-jalan masih saja nampak sepi. Orang-orang Gemawang tidak tahu apa yang sudah dilakukan oleh Ki Jagabaya dan beberapa orang anak muda yang ternyata telah berhasil dibangunkan oleh Sampurna. Namun yang mereka ketahui, bahwa mereka tidak melihat Ki Jagabaya dan Sampurna lewat di jalan-jalan padukuhan.

Tetapi tidak banyak perubahan sikap terjadi di Gemawang. Sejak semula orang-orang Gemawang memang lebih banyak berada di dalam lingkungan rumah dan halamannya saja. Demikian Manggada dan Laksana dibawa oleh para pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong, maka jalan-jalan di Gemawang menjadi semakin sepi.

Namun dalam pada itu, Wisesa telah menyempatkan diri pergi ke rumah Ki Jagabaya. Ketika ia mengetuk pintu, maka yang terdengar bukan suara Sampurna, tetapi suara Tantri di belakang pintu seketeng.

“Kau siapa?” bertanya Tantri meskipun ia juga sudah terbiasa mendengar irama ketukan pintu Wisesa.

“Aku, Tantri...” jawab Wisesa.

“Untuk apa kau kemari?” bertanya Tantri “Sebaiknya kau pulang saja. Bukankah aku pernah mengatakan, bahwa dalam keadaan seperti ini, kita tidak usah bertemu dan berbicara tentang apapun karena akhirnya pembicaraan kita akan berselisih semakin lama semakin jauh.”

“Tetapi, beri kesempatan aku kali ini saja untuk menemuimu Tantri. Aku hanya sebentar. Tidak lebih...” Wisesa justru mulai merengek seperti anak-anak yang kehilangan mainan.

Akhirnya hati Tantri menjadi lunak juga. Bagaimanapun juga, Wisesa sudah terlalu sering datang ke rumahnya. Karena itu, maka Tantri itupun mulai mengangkat selarak pintu seketengnya sambil berkata, “Baiklah. Aku mempunyai waktu sebentar. Tetapi hanya sebentar.”

“Aku juga hanya sebentar Tantri” jawab Wisesa. Demikian pintu terbuka, maka Wisesa itupun segera melangkah masuk sambil berkata “Selarak pintunya lagi Tantri.”

“Tidak. Bukankah kau hanya sebentar?” sahut Tantri.

“Meskipun demikian, orang-orang Wira Sabet dan Sura Gentong selalu berkeliaran.” jawab Wisesa.

“Tetapi tidak hari-hari ini. Wira Sabet dan Sura Gentong serta para pengikutnya tidak akan datang.” jawab Tantri.

“Kenapa? Setiap saat mereka dapat saja datang kemari.” jawab Wisesa.

“Hari ini justru ayah pergi ke baraknya bersama anak-anak muda pedukuhan Gemawang yang masih punya sisa-sisa keberaniannya untuk melakukan apa yang kau takutkan itu Wisesa.”

“Maksudmu menyerang barak Wira Sabet dan Sura Gentong?” wajah Wisesa menjadi tegang.

“Ya!” jawab Tantri “Ayah tidak mempunyai pilihan lain, sementara Ki Bekel masih saja tetap ragu-ragu.”

“Tantri, ayahmu dan Sampurna telah menyurukkan kepala anak-anak muda ke mulut buaya.”

“Apa yang sebenarnya kau maui?” bertanya Tantri.

“Tetapi kenapa aku tidak kau persilahkan duduk?” bertanya Wisesa.

“Kau hanya sebentar disini.” jawab Tantri.

“Tantri, aku sudah memperingatkan beberapa kali, cara yang ditempuh Ki Jagabaya dan Sampurna itu salah. Sebaiknya mereka tidak mempergunakan kekerasan. Aku sedang memikirkan gagasan-gagasan baru yang dapat menyelesaikan persoalan kita disini dengan Wira Sabet dan Sura Gentong itu.”

“Telan kembali gagasan-gagasanmu itu.” berkata Tantri dengan serta merta “Semua orang akan jemu mendengar gagasan-gagasanmu yang tidak pernah sesuai dengan pendapat orang lain.”

"Tantri, kenapa kau tiba-tiba menjadi kasar begitu?” bertanya Wisesa.

“Sudahlah. Pulanglah!” berkata Tantri.

“Kau mengusir aku?”

“Bukankah kau sendiri mengatakan bahwa kau hanya sebentar?”

Wajah Wisesa menjadi merah. Dipandanginya Tantri dengan tajamnya. Sudah lama ia sering mengunjungi gadis itu. Tantri tentu tahu, bahwa kedatangan Wisesa tentu bukannya tanpa maksud. Sebelum Manggada dan Laksana datang ke pedukuhan itu, sikap Tantri dinilainya baik kepadanya. Bahkan Tantri telah memberinya harapan-harapan. Namun tiba-tiba Tantri berubah menjadi keras dan bahkan kasar.

Tiba-tiba iblis telah mengembuskan pikiran buruk ke dalam otak anak muda itu. Dengan nada berat Wisesa itu bertanya, “Jadi, ayah dan kakakmu sekarang pergi ke barak Wira Sabet dan Sura Gentong?”

“Ya!” jawab Tantri berperasangka buruk.

Tiba-tiba mata Wisesa itu menjadi liar. Ia memandang keliling. Namun ia tidak melihat seorangpun. Tantri mengerutkan dahinya. Ia melihat perubahan sikap dan sorot yang memancar di mata Wisesa. Dengan suara yang bagaikan ditelan di tenggorokan Wisesa berkata, “Aku akan bertemu dengan ibumu...”

“Ibu sedang sibuk di dapur.” jawab Tantri.

“Siapa saja yang dapat aku ajak bicara di rumah ini?”

“Tidak ada!” jawab Tantri “Dua orang pembantu ayah telah ikut bersama ayah. Pembantu perempuan ibu sedang pergi membeli kebutuhan ibu di dapur."

“Kau bohong...!” geram Wisesa.

“Buat apa aku membohongimu?” jawab Tantri “sekarang sebaiknya kau pergi....!”

“Tantri...” berkata Wisesa yang menjadi semakin liar “Aku memang akan segera pergi. Aku akan pergi bersamamu.”

“Bersama aku?” bertanya Tantri.

“Ya. Aku sangat mencintaimu. Kita akan dapat hidup bersama di luar pedukuhan ini. Aku yakin, bahwa Ki Jagabaya akan gagal dan Wira sabet serta Sura Gentong akan menjadi semakin garang. Kau tentu benar-benar akan diambil menjadi isterinya.”

“Ayah tidak akan gagal...” jawab Tantri.

“Kau salah menilai usaha yang dilakukan oleh ayahmu, Tantri.” berkata Wisesa itu selanjutnya.

“Tidak...” jawab Tantri “Aku yakin!”

“Apapun yang terjadi, aku akan membawamu pergi dari rumah ini. Kau dapat berada di rumah nenekku di kademangan lain. Kau akan lepas dari buruan Sura Gentong.”

“Tidak. Aku tidak akan pergi.” jawab Tantri.

“Aku akan membawamu.” berkata Wisesa kemudian.

Tantri melangkah surut ketika Wisesa bergeser mendekatinya. Dengan nada tinggi Tantri berkata, “Jadi kau tanyakan ibuku, pembantu-pembantu di rumah ini sekedar untuk meyakinkan bahwa rumah ini kosong, sehingga kau dapat memaksa aku pergi bersamamu kerumali nenekmu?”

“Ya. Kau tidak mempunyai pilihan lain.” berkata Wisesa dengan mata yang semakin liar.

Tantri menjadi semakin ngeri melihat mata Wisesa. Tetapi ia masih menjawab, “Wisesa. Kau kira kau dapat membawaku keluar dari halaman ini? Seandainya hal itu dapat kau lakukan, apakah kau akan menyeret aku di sepanjang jalan padukuhan? Aku punya mulut yang dapat berteriak-teriak Wisesa.”

“Jari-jariku terlalu kuat Tantri. Aku dapat mencekikmu sehingga suaramu tidak akan sempat melintasi kerongkonganmu.”

“Tetapi aku dapat mati karenanya. Apa gunanya membawa mayatku ke rumah nenekmu? Kau tentu akan mendapat kesulitan jika hal itu kau lakukan. Nah, kau sadari itu?”

Wisesa menjadi termangu-mangu. Namun kemudian ia berkata, “Tantri, apapun yang akan terjadi, aku akan membawamu pergi dari rumah ini. Kau akan menjadi isteriku. Aku harap kau tidak akan mempersulit perjalanan kita. Kita akan berjalan sebagai sepasang pengantin baru. Aku akan menggandeng tanganmu atau kau akan berpegangan lenganku. Aku minta kau tidak akan berteriak-teriak di sepanjang jalan, karena hal itu hanya akan membuatmu sengsara. Aku dapat memperlakukan dirimu sekehendakku, bahkan aku akan meyiksamu dengan cara apapun juga. Nah, marilah Tantri. Bukankah kita saling mencintai.”

“Wisesa. Apakah kau sudah gila? Jika kau paksa aku dengan cara apapun, maka besok ayah akan mencarimu dan membunuhmu.”

“Ayahmu akan mati di barak Wira Sabet dan Sura Gentong. Orang yang datang kepadanya, tidak akan dapat pulang kembali.”

“Jika bukan ayah, tentu kakang Sampurna akan melakukannya.”

“Kakangmu itu juga akan mati.”

“Jika bukan mereka, tentu Manggada dan Laksana.”

Mendengar nama itu disebut, Wisesa benar-benar menjadi sangat marah. Katanya “Jangan memaksaku membunuhmu.”

“Apakah itu pertanda cintamu padaku?” bertanya Tantri.

“Jarak antara cinta dan kebencian itu hanya selangkah. Jarak antara mencumbu dan membunuh tidak lebih dari satu lambaian tangan.” jawab Wisesa yang matanya sudah menjadi merah.

Wajah Tantri memang tegang. Sementara Wisesa bergeser lagi selangkah maju. “Tidak ada gunanya kau menolak aku Tantri. Aku dapat berbuat lembut, tetapi aku juga dapat berbuat kasar.”

“Kau sudah menjadi gila Wisesa.” desis Tantri.

“Bukan baru sekarang. Sudah lama aku tergila-gila kepadamu. Karena itu, kau jangan membuat aku semakin gila, karena dengan demikian, aku akan dapat lupa diri.”

Namun jawaban Tantri mengejutkan Wisesa. Ia tersentak sehingga matanya terbelalak. “Wisesa...” berkata Tantri “Jika kau akan memaksaku, maka sudah tentu aku akan mempertahankan diri. He, kau ingat masa kanak-kanak kita. Jika kita berkelahi, maka kaulah yang menangis meskipun kau laki-laki. Bukan aku...”

Sejenak Wisesa tercenung. Namun kemudian ia menggeram “Tetapi aku sekarang bukan anak kecil lagi Tantri. Aku sekarang tumbuh dan menjadi kuat. Kau tidak akan mampu melawan kehendakku...”

Tetapi Tantri masih menjawab, “Aku juga bukan kanak-kanak yang hanya dapat mencakar mukamu atau menarik rambutmu jika kita berkelahi. Tetapi sekarang aku mempunyai kemampuan lebih banyak, karena seperti kau, aku sekarang tumbuh menjadi dewasa."

“Tantri, apa yang akan kau lakukan?” bertanya Wisesa. “Aku akan melawan jika kau melakukan tindak kekerasan.”

“Kau masih bermimpi dengan masa kanak-kanakmu itu. Itu sudah lama lampau Tantri.”

“Ya. Itu sudah lama lampau. Dan dalam waktu yang lama itu, aku menjadi matang menghadapi persoalan-persoalan. Juga menghadapi sikapmu karena kau sudah kehabisan akal. Kau tidak berani melakukan sebagaimana yang telah dilakukan oleh Manggada, Laksana dan kakang Sampurna. Kemudian kau mencoba menutupi harga dirimu itu, kau telah membuat gagasan-gagasan gila yang tidak masuk akal itu.”

Wisesa menggeram. Ia menjadi marah sekali. Sebagai seorang laki-laki ia benar-benar merasa terhina. Karena itu, maka katanya “Apapun yang akan terjadi, aku akan membawamu. Tubuhmu, hidup atau mati akan aku seret sepanjang jalan sampai ke rumah nenekku.”

“Apakah kau sudah memikirkan kemungkinan untuk bertemu dengan orang-orang Wira Sabet dan Sura Gentong?”

“Mereka tidak akan berkeliaran hari ini. Ayahmu dan orang-orang itu sedang pergi ke tempat tinggal mereka.”

“Mungkin ayah dan kakang Sampurna sudah dikalahkannya. Mereka sedang berkeliaran untuk mencari anak-anak muda di padukuhan ini. Sementara itu mereka menemukan kau dan aku di jalan. Apakah kau sedang menggandeng tanganku, atau aku sedang berpegangan lenganmu atau kau sedang menyeret mayatku.”

Wajah Wisesa menjadi tegang. Matanya bertambah liar dan bertambah merah pula. Hembusan suara iblis semakin mencengkamnya, sehingga ia pun kemudian berkata, “Aku tidak perduli. Aku tidak perduli. Aku memerlukanmu...”

Tangan Wisesa memang terjulur untuk menggapai tangan Tantri. Tetapi Tantri justru telah menangkapnya. Menarik dengan kerasnya, sehingga tubuh Wisesa itu seakan-akan melekat ketubuh Tantri. Namun tiba-tiba saja terdengar Wisesa itu berteriak kesakitan. Tangan Tantri yang lain dengan kerasnya telah memukul perut Wisesa. Ketika kemudian Tantri mendorongnya, maka Wisesa itupun jatuh terlentang sambil menyeringai kesakitan.

Tertatih-tatih Wisesa bangkit. Kemarahannya benar-benar telah membakar ubun-ubunya. Dengan geram ia berkata, “Tantri. Kau seorang perempuan. Aku seorang laki-laki. Apapun yang dapat kau lakukan, kau tidak akan dapat melawan aku...”

Namun belum lagi Wisesa terkatub rapat, tangan Tantri telah menyambar mulutnya, sehingga Wisesa mengaduh kesakitan. Ketika ia merasakan cairan yang hangat di mulutnya, maka dengan berdebar-debar Wisesa mengusapnya. Ternyata jari-jarinya menjadi merah oleh darah. Wisesa benar-benar tidak dapat mengekang dirinya. Tantri bukan hanya menyakitinya. Tetapi ia sudah menitikan darah dari sela-sela bibirnya. Karena itu, maka Wisesapun kemudian telah menjulurkan tangannya kearah leher Tantri.

Namun yang terjadi benar-benar di luar dugaan. Tantri justru menyambut tangan itu, ditangkapnya pergelangan tangan Wisesa, kemudian Tantri memutar tubuhnya membelakangi anak muda itu. Dengan pundaknya, ia mengangkat tubuh Wisesa dipangkal lengannya, sementara sambil merendah Tantri menarik tangan Wisesa itu kuat-kuat.
Wisesa sama sekali tidak menduga, bahwa hal itu akan dilakukan oleh Tantri. Karena itu, maka iapun terlempar, berputar sekali dan kemudian jatuh terbanting di tanah. Wisesa benar-benar berteriak bukan saja karena kesakitan, tetapi putaran tubuhnya itu benar-benar membuat ketakutan. Untuk beberapa saat Wisesa terbaring di tanah. Pungungnya serasa akan patah. Sementara itu Tantri berdiri di sebelahnya sambil bertolak pinggang.

“Bangkitlah...” desis Tantri. Dengan kakinya ia mengguncang tubuh Wisesa yang masih mengaduh sambil menggeliat.

“Bangkitlah...” teriak Tantri. Kita akan meyelesaikan persoalan kita sampai tuntas. Kau atau aku yang tubuhnya akan diseret sepanjang jalan padukuhan.”

“Ampun Tantri...“ Wisesa merintih.

Sementara Tantri justru berkata lantang, “Bangkitlah, bangkit atau aku bunuh kau tanpa perlawanan...”

“Ampun Tantri, ampun...“ Wisesa memang berusaha bangkit meskipun punggungnya bagaikan patah.

“Kita selesaikan persoalan kita!” geram Tantri.

“Ampun, aku mohon ampun Tantri...” Wisesa hampir menangis.

“Kau masih saja anak cengeng. Kau bukan anak muda yang seperti katamu tumbuh menjadi kuat.”

“Ampun, aku minta ampun.” tangis Wisesa tanpa malu-malu.

Sementara itu, terdengar suara pintu serambi. “Apa yang terjadi?”

Tantri berpaling, dilihatnya ibunya melangkah mendekati anaknya yang masih berdiri tegak sambil bertolak pinggang, “Apa yang kau perbuat Tantri?”

“Ia sudah menghina aku ibu...” jawab Tantri.

Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian berdiri di sebelah anak perempuannya sambil berkata, “Sudahlah. Jangan berkelahi lagi. Biarlah Wisesa bangkit...”

“Aku sudah menyuruhnya bangkit atau aku cekik lehernya sampai mati...” jawab Tantri.

“Aku sudah minta ampun.“ tangis Wisesa.

“Sudahlah. Bangkitlah dan pulang.” berkata Nyi Jagabaya.

Wisesa berusaha untuk bangkit. Batapapun punggung terasa nyeri. Tapi selagi Nyi Jagabaya menyuruhnya pergi, maka ia akan pergi. Tertatih-tatih Wisesa bangkit dan melangkah pergi setelah ia minta diri kepada Nyi Jagabaya.

“Anak itu gila...” berkata Tantri. “Selagi kami menjadi tegang menunggu ayah dan kakang Sampurna kembali, anak itu mulai berbuat kasar...”

“Sudahlah. Selarakkan pintu seketeng itu.”

Sementara itu di barak Wira Sabet dan Sura Gentong, pertempuran masih berlangsung sengit. Ketika keringat mulai membasah di telapak tangan, maka para penghuni barak itu menjadi semakin garang. Namun lawan-lawan mereka menjadi semakin garang pula.

Wira Sabet yang bertempur melawan Ki Kertasana menjadi heran. Ia tidak melihat kemampuan orang yang lebih banyak diam itu. Namun tiba-tiba ia kini turun ke gelanggang pertempuran dengan ilmunya yang tinggi.

Sementara itu, Ki Citrabawa bertempur dengan sengitnya melawan Sura Gentong. Ternyata Sura Gentong memang jauh lebih kasar dari Wira Sabet sendiri. Apalagi ia sama sekali belum mengenal lawannya sebelumnya.

Sementara itu, empat orang saudagar perhiasan itu masih bertempur melawan dua orang saudara seperguruan Wira Sabet dan Sura Gentong. Ternyata bahwa mereka perlahan-lahan mulai mendesak kedua orang lawan mereka.

Dalam pada itu, budak-budak yang ada di barak itupun menjadi kebingungan. Ada diantara mereka yang justru menjadi gemetar dan terduduk tanpa dapat berbuat apa-apa. Ketakutan yang sangat telah melanda jantungnya.

Namun beberapa orang yang tubuhnya kuat masih sempat berbisik yang satu dengan yang lain. Beberapa orang bahkan telah bangkit. Di hatinya tumbuh keberaniannya untuk melibatkan diri dalam pertempuran itu. Jika orang-orang yang menyerang barak itu menang, maka mereka akan mendapat kesempatan untuk bebas dari perbudakan.

Karena itu, maka beberapa orangpun telah menyelinap mencari apa saja yang dapat mereka pergunakan sebagai senjata. Ada yang menemukan parang di dapur, ada yang mendapatkan kapak pembelah kayu, linggis pengelupas sabut kelapa atau apa saja. Bahkan potongan-potongan kayu dan selarak-selarak pintu.

Dengan demikian, maka pertempuranpun menjadi semakin menebar di seluruh sudut-sudut barak. Budak-budak yang ingin lepas itu juga dibekali dengan dendam kepada isi barak yang bertindak semena-mena terhadap mereka.

Para pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong menjadi semakin gelisah menghadapi tekanan yang semakin berat. Sementara itu para pemimpin mereka telah terikat pula dalam pertempuran yang rumit.

Saudara seperguruan Wira Sabet yang berwajah tampan dan selalu berpakaian rapi itu mengumpat dengan kasarnya, ketika serangan Manggada mulai menyentuh tubuhnya. Ia tidak lagi dapat merendahkan anak muda yang telah menempa dirinya dengan sungguh-sungguh itu. Bahkan dengan laku tapa ngidang di hutan sebelum mereka menginjakkan kakinya di halaman rumahnya.

Orang berwajah tampan itu sama sekali tidak menduga bahwa anak muda yang pernah dihinakannya itu pada suatu saat siap membalas sakit hatinya dengan cara yang lebih jantan. Namun orang itu tidak membiarkan dirinya dihinakan. Karena itu, maka iapun mengerahkan segenap kemampuannya untuk menghentikan perlawanan Manggada.

Tetapi Manggada pun telah meningkatkan kemampuannya pula. Bahkan bukan orang yang berwajah tampan itulah yang mendesak Manggada, tetapi perlahan-lahan Manggadalah yang telah mendesaknya. Serangan-serangannya yang cepat dan dilandasi dengan kemampuan yang tinggi telah membuat lawannya selalu terdesak.

Di bagian lain dari pertempuran itu, Ki Sapa Aruh telah mempertaruhkan segala-galanya untuk mengalahkan orang bongkok itu. Jika ia tidak dapat menghancurkan orang bongkok itu, maka bukan saja dirinya sendiri, namanya yang untuk waktu yang lama ditakuti, tetapi juga barak itu dengan segala isinya.”

Tetapi setiap kali ia meningkatkan tataran ilmunya, maka lawannya yang bongkok itupun mampu melakukannya pula, sehingga dengan demikian, maka pertempuranpun semakin lama menjadi semakin sengit. Orang-orang yang bertempur di sekitarnya yang sempat melihat sekilas pertempuran antara Ki Sapa Aruh dan Ki Pandi itu hanya dapat berdecak kagum, bahwa kedua orang itu memiliki ilmu yang sulit untuk dimengerti.

Di halaman barak, Ki Carang Aking masih juga bertempur melawan Ki Srayatapa, yang sama sekali tidak mengira bahwa dibarak itu ia akan bertemu dengan orang yang berilmu tinggi, bahkan mampu mengimbangi tingkat ilmunya. Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan itu. Yang harus dilakukannya adalah berusaha menghancurkan lawannya yang tua itu.

Dalam pada itu, Ki Kertasana yang berhadapan dengan Wira Sabet telah terlibat dalam pertempuran yang sengit pula. Wira Sabet yang tidak mengira bahwa Kertasana yang sudah dikenalnya sejak lama itu ternyata memiliki ilmu yang tinggi.

“Kenapa baru sekarang kau tunjukkan kemampuanmu Ki Kertasana?” bertanya Wira Sabet ketika ia harus meloncat mengambil jarak ketika serangan Ki Kertasana menyulitkannya.

“Baru sekarang aku merasa perlu mempergunakannya, Ki Wira Sabet. Ternyata kau dan Sura Gentong telah memancing aku dan adikku untuk dengan terpaksa melakukan kekerasan ini karena kami tidak mempunyai pilihan lain.”

Wira Sabet tidak bertanya lebih jauh. Tetapi dikerahkannya ilmunya yang diterimanya selama ia berguru. Namun ternyata Ki Kertasana memiliki kematangan yang lebih tinggi.

Di sisi lain, Sura Gentong dengan garangnya berusaha untuk segera menghabisi Ki Citrabawa. Namun Sura Gentong telah membentur kekuatan ilmu lawannya. Citrabawa yang bukan orang Gemawang itu justru telah mendesak Sura Gentong. Ayah Laksana yang juga sekaligus menjadi gurunya dan guru Manggada itu, memiliki kelebihan dari Sura Gentong meskipun Sura Gentong telah berguru cukup lama.

Namun Sura Gentong yang marah sekali itu tidak mau melihat kenyataan itu. Ia bertempur semakin keras dan bahkan menjadi kasar sebagaimana tingkah lakunya. Kekasarannya itu kadang-kadang memang sempat mendesak Ki Citrabawa. Namun hanya sekedar hentakan-hentakan saja. Selanjutnya, maka Ki Citrabawa kembali menguasai medan.

Kekalahan-kekalahan yang terjadi kemudian, telah membuat Sura Gentong justru kehilangan akal. Ia menjadi semakin garang, kasar dan bahkan liar. Namun dengan demikian maka ia kehilangan kendali dan pengamalan diri. Kekasaran dan keliaran itulah yang membuat Ki Citrabawa harus meningkatkan ilmunya sampai ketataran tertinggi. Benturan-benturan yang keras tidak dapat dielakkannya lagi. Berkali-kali Sura Gentong harus terlempar jatuh di setiap benturan. Namun demikian ia bangkit, maka seperti seekor badak ia menyerang lawannya.

Akhirnya Ki Citrabawa tidak mempunyai pilihan lain. Ia hanya dapat menghentikan perlawanan Sura Gentong itu jika Sura Gentong sudah tidak berdaya sama sekali. Karena itu, maka Ki Citrabawa itupun segera meningkatkan ilmu sampai ketataran tertinggi. Dari Manggada dan Laksana ia telah mendengar sikap Sura Gentong. Apalagi Ki Citrabawa sebelumnya memang belum pernah mengenalnya. Karena itu, maka tanggapannya atas Sura Gentong pun baru terbentuk sejak ia berada di Gemawang.

Dengan hentakan puncak kemampuannya, maka Ki Citrabawa menjadi semakin berbahaya. Bahkan kemudian serangan-serangannya seakan-akan telah menggulung semua kemampuan Sura Gentong. Pada saat-saat terakhir dari pertempuran itu, Sura Gentong justru telah bertempur tanpa perhitungan lagi. Senjatanya, sebatang tongkat besi yang berkepala bulatan bergigi lembut, terayun-ayun mengerikan.

Namun Ki Citrabawa yang menggenggam pedang di tangannya, memiliki kecepatan gerak yang lebih tinggi. Pedang Ki Citrabawa yang besar itu mampu mengimbangi ayunan tongkat besi lawannya dalam benturan-benturan yang keras. Namun Citrabawa yang mengerahkan tingkat kemampuannya yang tertinggi itu telah berhasil dengan kecepatan melampaui kecepatan ayunan tongkat besi Sura Gentong menembus pertahanannya. Ujung pedang Ki Citrabawa sempat menggores lengan Sura Gentong.

Sura Gentong terkejut. Ketika ia bergeser surut, maka ujung pedang Ki Citrabawa sempat membentur tongkat besi Sura Gentong, sehingga tongkat itu terlepas dari tangannya.

“Menyerahlah...!” desis Ki Citrabawa.

Tetapi yang dilakukan oleh Sura Gentong adalah justru menarik sebuah luwuk dari sarungnya. Luwuk yang tidak terlalu besar, tetapi tentu berbahaya di tangan Sura Gentong yang kehilangan pengamatan diri itu. Karena itu, maka Ki Citrabawa pun dengan cepat sekali menghantam luwuk itu dengan pedangnya. Demikian tiba-tiba sehingga luwuk itu terlepas dari tangan Sura Gentong.

Sekali lagi Ki Citrabawa mengacukan pedangnya sambil berkata, “Menyerahlah...!”

Tetapi yang terjadi, membuat Ki Citrabawa kehilangan kesabaran. Tiba-tiba saja Sura Gentong telah melemparkan pisau-pisau kecil ke arah lawannya. Ki Citrabawa terkejut. Dengan serta-merta ia berloncatan mengelak. Tetapi sebilah pisau telah tersangkut di lengannya.

Kemarahan Ki Citrabawa tidak terbendung lagi. Ujung pedangnyapun kemudian telah memburu lawannya. Satu tusukan yang tepat menukik menembus dada Sura Gentong sampai ke jantung. Sura Gentong tidak sempat mengeluh. Tubuhnya rebah ketika Ki Citrabawa menarik ujung pedangnya. Ia kehilangan nyawanya bersama dengan hilangnya semua angan-angan gilanya.

Ki Citrabawa termangu-mangu sejenak. Dipandanginya tubuh yang terbaring diam itu. Sementara di sekitarnya, pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya. Namun kematian Sura Gentong adalah isyarat yang paling jelas, bahwa Gemawang akan dapat lepas dari impian-impian gila Sura Gentong yang dilambari oleh dendam yang membara di hatinya.

Tetapi kegilaan Sura Gentong bukan sekedar baru mulai sejak ia ingin menguasai Gemawang. Tetapi sejak ia hampir saja dihancurkan oleh orang-orang Gemawang oleh pokalnya sendiri, sehingga Sura Gentong itu harus melarikan diri. Ki Jagabaya yang melihat Sura Gentong terbujur diam telah mendekatinya. Kerut di keningnya menunjukkan gejolak di hatinya.
Sementara itu, Ki Pandi yang berilmu sangat tinggi itu masih bertempur melawan Ki Sapa Aruh. Betapapun ditakutinya nama Ki Sapa Aruh. Tetapi berhadapan dengan Ki Pandi, ternyata ia tidak mampu berbuat lebih banyak dari sekedar bertahan. Serangan-serangan Ki Pandi semakin lama semakin garang. Benturan-benturan telah terjadi. Beberapa kali Ki Sapa Aruh menerima kerataan, bahwa ia menjadi semakin terdesak.

Namun pada saat-saat terakhir, Ki Sapa Aruh telah bertekad untuk mempertaruhkan ilmu puncaknya. la sadar, bahwa Ki Pandi pun tentu akan membentur ilmu puncaknya dengan ilmu andalannya pula. Tetapi Ki Sapa Aruh tidak mempunyai pilihan lain. la harus dengan cepat memenangkan pertempuran, atau hancur sama sekali.

Sementara pertempuran di barak itu mencapai puncaknya, maka Ki Sapa Aruh telah mengerahkan segenap kemampuan ilmunya. Ketika ia menyilangkan tangannya di dadanya, maka Ki Pandi segera mengetahui apa yang akan terjadi. Karena itu, maka Ki Pandi pun telah mengetrapkan ilmu pamungkasnya pula.

Ki Citrabawa yang telah kehilangan lawannya sempat melihat apa yang terjadi. Demikian pula Ki Jagabaya. Mereka melihat dua sosok tubuh yang meluncur bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya. Benturan yang dahsyat pun telah terjadi. Benturan dua sosok tubuh yang dilambari dengan kemampuan ilmu mereka masing-masing yang sangat tinggi. Keduanya pun terlempar beberapa langkah surut. Keduanya jatuh terbanting di tanah.

Pertempuran di sekitar peristiwa itu terjadi seakan-akan justru telah terhenti. Mereka menyempatkan diri melihat apa yang telah terjadi. Perlahan-lahan Ki Pandi mulai menggeliat. Sambil berdesah menahan nyeri di dadanya, Ki Pandi itu bangkit. Ki Citrabawa dan Ki Jagabaya pun telah mendekatinya dengan tergesa-gesa untuk membantu orang bongkok itu duduk.

Dengan suara yang lemah dan gemetar, Ki Pandi itupun bertanya. “Bagaimana dengan Ki Sapa Aruh?"

Mereka yang seakan-akan telah melupakan Ki Sapa Aruh itu serentak berpaling. Yang mereka lihat adalah sesosok tubuh yang terbaring diam.

“Tolong bantu aku melihatnya...!” desis Ki Pandi.

Ki Citrabawa dan Ki Jagabaya telah membantu Ki Pandi melangkah perlahan-lahan mendekati sosok tubuh Ki Sapa Aruh yang terbaring diam. Ketika Ki Pandi berjongkok disampingnya, dan berdesis memanggil namanya, maka Ki Sapa Aruh itu membuka matanya. Namun mata itu sudah menjadi redup dan bahkan hampir padam sama sekali. Namun dari bibirnya masih terdengar desisnya perlahan, “Kau orang yang luar biasa Bongkok...!”

Ki Pandi menarik nafas dalam. Namun kemudian Ki Sapa Aruh pun telah memejamkan matanya untuk selama-lamanya. Ki Pandi itupun kemudian bangkit berdiri dibantu oleh Citrabawa dan Ki Jagabaya. Kepada orang-orang yang berdiri mematung di sekitarnya ia berkata,

“Apakah pertempuran masih akan diteruskan. Ki Sapa Aruh sudah terbunuh. Sura Gentong juga sudah tidak ada lagi. Segala-galanya kini tergantung kepada Ki Wira Sabet...”

Wira Sabet termangu-mangu sejenak. Pertempuran di sekitarnya memang tiba-tiba saja telah berhenti. Ternyata seorang saudara seperguruan Wira Sabet telah terbunuh juga dipertempuran itu oleh anak Ki Demang Rejandani dan seorang kawannya. Sementara saudaranya yang lain telah terluka pula.

“Tidak ada gunanya kau bertahan Wira Sabet...” berkata Ki Pandi kemudian.

“Sudahlah Ki Wira Sabet...” berkata Ki Kertasana. “Kita dapat melupakan permusuhan ini. Bukankah kita masih tetap merindukan padukuhan Gemawang yang sejuk, tenang dan damai?”

Wira Sabet menundukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Aku menyerah...”

“Jika demikian, perintahkan pengikut-pengikutmu menyerah...” berkata Ki Kertasana.

Wira Sabet memang memerintahkan pengikut-pengikutnya menyerah. Tidak ada lagi gunanya bertempur terus. Wira Sabet dan pengikutnya tentu tidak akan mampu berbuat banyak.

Namun demikian, Ki Srayatapa ternyata tidak mau mengakui kekalahan itu. Dengan lantang ia berkata, “Kau pengecut Wira Sabet. Setelah saudaramu terbunuh dan kemudian Ki Sapa Aruh yang telah banyak sekali berjasa kepadamu, kau telah menyerah...”

“Kematian-kematian berikutnya tidak akan ada artinya lagi Ki Srayatapa...”

Namun yang menyahut adalah saudara seperguruan Wira Sabet yang berwajah tampan, “Aku akan berhenti bertempur setelah mematahkan leher anak yang sombong ini...”

Tetapi Manggada tidak memberikan banyak waktu. Ia pun kemudian berkata, “Bersiaplah. Kita selesaikan persoalan kita. Lepas dari persoalan yang terjadi antara barak ini dengan padukuhan Gemawang...”

Berbeda dengan orang itu, maka lawan Laksana justru telah menghentikan pertempuran itu. Ia menyadari sepenuhnya, bahwa kemampuannya yang dianggapnya sudah cukup tinggi itu, ternyata tidak mampu mengimbangi kemampuan anak yang masih dianggapnya sangat muda itu.

Pertempuran di barak itu sebagian besar sudah berhenti. Namun Ki Srayatapa sama sekali tidak menghiraukannya. Sementara itu, Ki Carang Aking tidak ingin dianggap licik dengan melibatkan orang lain dalam pertempuran itu.

Namun Ki Carang Aking itulah yang kemudian tidak ingin bertempur terlalu lama. Jika yang lain telah berhenti, maka iapun ingin segera berhenti, apapun yang terjadi. Dengan mengerahkan segenap kemampuan ilmu puncaknya, maka Ki Carang Aking telah meloncat menyerang lawannya, Ki Srayatapa.

Sementara Ki Srayatapa yang melihat sikap lawannya itupun segera mempersiapkan diri untuk membentur ilmu orang tua perawat kuda itu. Benturan yang keras pun telah terjadi pula. Namun ternyata bahwa tataran ilmu Ki Srayatapa masih selapis dibawah tataran ilmu Ki Carang Aking. Dengan demikian, maka Ki Srayatapa itu telah terlempar beberapa langkah. Ia pun kemudian jatuh terguling dengan derasnya. Ia tidak dapat mengelak sama sekali ketika kepalanya kemudian membentur batu bebatur bangunan induk barak itu.

Sementara itu, Ki Carang Aking tergetar dan terdorong surut. Tetapi ia masih tetap tegak meskipun ia harus mengatasi perasaan sakit yang menyengat dadanya. Ki Srayatapa tidak sempat mengaduh. Bukan saja karena hentakan ilmu lawannya. Tetapi kepalanya yang membentur batu di bebatur rumahnya itu telah mengalirkan darah.

Dalam pada itu, Manggada yang masih bertempur melawan saudara seperguruan Wira Sabet yang berwajah tampan itu berkata, “Nah, apakah kau masih belum akan menyerah?”

“Persetan...!” geramnya “Aku tidak peduli apakah mereka nanti akan membunuhku. Tetapi kau juga harus mati...” Dengan ganasnya orang itupun kemudian telah menyerang Manggada.

Namun Manggada yang telah sampai pada tingkat tertinggi ilmunya itu menjadi sangat liat. Tubuhnya menjadi lentur dan geraknya menjadi semakin cepat. Orang berwajah tampan itu sama sekali tidak sempat menyentuh tubuh Manggada.

Namun tiba-tiba orang itupun berkata, “He anak sombong. Cari senjata, kita akan bertempur dengan senjata...”

Manggada termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Ki Kertasana telah melemparkan pedangnya kepada anaknya, sementara orang berwajah tampan itu telah menggenggam pedang pula.

Namun justru karena itu, maka pertempuran itu menjadi semakin cepat berakhir. Kemampuan dan kecepatan gerak Manggada ternyata tidak dapat diimbangi oleh lawannya. Karena itu, maka ujung pedang Manggada pun segores-segores telah mengoyak tubuh orang berwajah tampan itu. Tetapi tidak ada tanda-tanda bahwa lawannya itu akan menyerah. Bahkan sambil mengumpat-umpat orang itu bertempur semakin liar meskipun darah telah mengalir membasahi pakaiannya.

Manggada yang muda itu ternyata tidak dapat mengekang dirinya lagi. Ia menjadi semakin benci kepada lawannya yang tidak tahu diri itu. Karena itu, maka sebuah loncatan panjang dengan pedang yang lurus terjulur kearah dada telah mengakhiri pertempuran itu. Demikian orang itu roboh di tanah, maka pertempuran di barak itu benar-benar telah berhenti.

Laksana yang berdiri termangu-mangu melihat ketiga orang yang pernah menangkapnya dan membawanya masuk ke dalam barak itu bersama dengan Manggada. Dua orang di antaranya telah terluka, meskipun tidak terlalu parah. Namun seorang murid Ki Carang Aking pun telah terluka pula.

Disamping mereka itu, pertempuran itu memang tidak dapat menghindari korban. Seorang anak muda Gemawang telah gugur, disamping beberapa orang yang terluka. Dua di antaranya terhitung parah. Sementara itu, seorang anak muda Rejandani juga gurur. Tiga orang terluka cukup parah, termasuk seorang saudagar, kawan anak Ki Demang.

Meskipun pertempuran itu telah selesai, tetapi masih ada persoalan lain yang harus diselesaikan. Orang-orang yang menyerah itu akan menjadi persoalan pula bagi Gemawang dan Rejandani. Namun demikian, maka ancaman-ancaman dan ketakutan tidak akan melanda padukuhan gemawang lagi. Orang-orang Gemawang akan menikmati lagi sejuknya kampung halaman mereka.

Sementara itu Wira Sabet telah menunjukkan dimana disimpan perhiasan-perhiasan bukan saja yang telah mereka rampok dari anak Ki Demang Rejandani dan kawan-kawannya. Tetapi juga yang pernah mereka rampok dari banyak orang.

Pembicaraan antara Ki Jagabaya Gemawang dan Ki Demang Rejandani menimbulkan kesepakatan bahwa orang-orang yang tertawan itu untuk sementara akan dibawa ke Rejandani, justru karena Rejandani tidak mengalami goncangan-goncangan sebagaimana dialami oleh Gemawang dan bahkan Kademangan Kleringan. Namun Ki Demang Rejandani minta agar khususnya Wira Sabet dan saudara seperguruannya yang masih ada, dibawa ke Gemawang.

“Di Gemawang ada orang-orang berilmu tinggi...” berkata Ki Demang.

“Bukankah Rejandani dapat minta bantuan Ki Carang Aking?” bertanya Ki Pandi.

Tetapi Ki Carang Aking tersenyum sambil menjawab, “Seperti burung yang terlepas dari sangkarnya. Aku akan terbang jauh menembus mega-mega putih. Sayapku sudah terlalu lama terkekang di barak buruk itu...”

Tidak seorangpun dapat mengekangnya. Ki Carang Aking memang tidak akan dapat bertahan terlalu lama di satu tempat.

Di hari-hari berikutnya, maka Gemawang telah mulai dengan menata diri kembali. Bayangan ketakutan telah hilang seperti embun yang disengat oleh panasnya sinar matahari.

Di padukuhan, Ki Jagabaya telah mengijinkan Wira Sabet untuk menempati rumahnya kembali bersama anaknya, Pideksa, bersama tiga orang pengikutnya yang telah dikalahkan oleh Laksana. Baru kemudian hal itu diketahui oleh Wira Sabet dan Pideksa. Tetapi mereka tidak menjadi heran, karena Laksana mampu mengalahkan saudara seperguruan Wira Sabet.

Namun Sampurna, Manggada dan Laksana sempat tertawa ketika mereka mendengar ceritera Tantri tentang Wisesa yang mencoba untuk memaksanya mengikutinya ke rumah neneknya.

“Sejak saat itu, Wisesa tidak pernah datang lagi...” berkata Tantri.

Laksana mengangguk-angguk. Tiba-tiba wajahnya nampak bersungguh-sungguh. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu. Namun ternyata untuk mendapatkan kembali kampung halaman yang sejuk, tenteram dan damai serta sejahtera, masih banyak sekali yang harus dikerjakan.
SELESAI
Selanjutnya, Arya Manggada seri ke 5
Matahari Senja

Sejuknya Kampung Halaman Bagian 18

Arya Manggada - Sejuknya Kampung Halaman Bagian 18
Karya : Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
WIRA SABET dan Sura Gentong yang telah yakin akan mampu menguasai padukuhan Gemawang dan bahkan kemudian Kademangan Kleringan bersama Ki Sapa Aruh, benar-benar menjadi sangat marah karena serangan yang tiba-tiba dan sama sekali tidak diduga.

Keduanya merasa bahwa keberanian orang-orang Gemawang telah benar-benar dihancurkan. Anak-anak muda yang mencoba untuk mengganggu rencananya telah tertangkap dan dibawa ke barak itu. Sura Gentonglah yang sangat menyesal, kenapa ia tidak membunuh saja Ki Jagabaya dari sebelumnya.

Dalam pada itu, Ki Sapa Aruh bertempur dengan sengitnya melawan Ki Pandi, orang bongkok namun berilmu tinggi. Keduanya justru telah memisahkan diri dari hiruk pikuk pertempuran. Keduanya seakan-akan telah memilih tempat yang tidak akan terganggu oleh orang lain.

Ternyata di halaman barak itu, Ki Srayatapa yang berhadapan dengan perawat kuda tua itupun telah bertempur tanpa terganggu oleh pertempuran di sekitarnya. Agaknya masing-masing telah terikat dan berhadapan dengan lawan mereka.
Manggada yang bertempur melawan saudara seperguruan Wira Sabet yang berwajah tampan itu telah mulai meningkatkan ilmu dari tataran ke tataran. Ia sadar, bahwa lawannya itu tentu memiliki kelebihan dari kebanyakan orang. Namun Manggada juga bukan orang kebanyakan. Lawan Manggada memang merasa aneh menghadapi anak muda itu. Anak muda yang dianggapnya budak itu tiba-tiba saja bertempur melawannya.

Lawan Manggada menggeram ketika ia benar-benar tidak mampu menghancurkan lawannya dalam waktu singkat. Bahkan ketika ia berusaha dengan mengerahkan kemampuannya, budak yang masih muda itu masih saja mampu mengimbanginya.

Sementara itu, lawan Laksana yang berwajah garang itu justru lebih berhati-hati menghadapi lawan yang masih muda. Orang itu meningkatkan ilmunya selapis demi selapis. Ia sadar sepenuhnya, bahwa ia tidak akan dapat dengan cepat mengalahkan lawannya yang muda itu. Bahkan orang itu sempat mengaguminya. Katanya,

“Jika kau memilik ilmu sedemikian baiknya, demikian pula saudaramu itu, maka aku yakin bahwa kalian memasuki barak ini tentu dengan sengaja. Orang-orangku tidak akan mampu menangkap kalian berdua meskipun orang-orangku itu bertiga.”

“Kami memang ingin melihat rumah tangga paman Wira Sabet dan paman Sura Gentong...” jawab Laksana.

“Aku percaya bahwa kau memang sengaja melakukannya.” jawab orang itu.

Laksana tidak menjawab. Tetapi sikap lawannya itu justru membuatnya lebih berhati-hati. Ia sadar bahwa lawannya itu menghadapinya dengan bersungguh-sungguh. Tidak sekedar dihanyutkan oleh perasaan marahnya.

Di arena pertempuran yang lain, Sampurna dan anak-anak muda Gemawang bertempur melawan para pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong. Ternyata anak-anak muda itu tidak mengecewakan. Apalagi di antara mereka terdapat orang-orang Rejandani yang dipimpin langsung oleh Ki Demang yang berpengalaman.

Sementara pertempuran di barak itu berkobar semakin panas, maka di Gemawang, jalan-jalan masih saja nampak sepi. Orang-orang Gemawang tidak tahu apa yang sudah dilakukan oleh Ki Jagabaya dan beberapa orang anak muda yang ternyata telah berhasil dibangunkan oleh Sampurna. Namun yang mereka ketahui, bahwa mereka tidak melihat Ki Jagabaya dan Sampurna lewat di jalan-jalan padukuhan.

Tetapi tidak banyak perubahan sikap terjadi di Gemawang. Sejak semula orang-orang Gemawang memang lebih banyak berada di dalam lingkungan rumah dan halamannya saja. Demikian Manggada dan Laksana dibawa oleh para pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong, maka jalan-jalan di Gemawang menjadi semakin sepi.

Namun dalam pada itu, Wisesa telah menyempatkan diri pergi ke rumah Ki Jagabaya. Ketika ia mengetuk pintu, maka yang terdengar bukan suara Sampurna, tetapi suara Tantri di belakang pintu seketeng.

“Kau siapa?” bertanya Tantri meskipun ia juga sudah terbiasa mendengar irama ketukan pintu Wisesa.

“Aku, Tantri...” jawab Wisesa.

“Untuk apa kau kemari?” bertanya Tantri “Sebaiknya kau pulang saja. Bukankah aku pernah mengatakan, bahwa dalam keadaan seperti ini, kita tidak usah bertemu dan berbicara tentang apapun karena akhirnya pembicaraan kita akan berselisih semakin lama semakin jauh.”

“Tetapi, beri kesempatan aku kali ini saja untuk menemuimu Tantri. Aku hanya sebentar. Tidak lebih...” Wisesa justru mulai merengek seperti anak-anak yang kehilangan mainan.

Akhirnya hati Tantri menjadi lunak juga. Bagaimanapun juga, Wisesa sudah terlalu sering datang ke rumahnya. Karena itu, maka Tantri itupun mulai mengangkat selarak pintu seketengnya sambil berkata, “Baiklah. Aku mempunyai waktu sebentar. Tetapi hanya sebentar.”

“Aku juga hanya sebentar Tantri” jawab Wisesa. Demikian pintu terbuka, maka Wisesa itupun segera melangkah masuk sambil berkata “Selarak pintunya lagi Tantri.”

“Tidak. Bukankah kau hanya sebentar?” sahut Tantri.

“Meskipun demikian, orang-orang Wira Sabet dan Sura Gentong selalu berkeliaran.” jawab Wisesa.

“Tetapi tidak hari-hari ini. Wira Sabet dan Sura Gentong serta para pengikutnya tidak akan datang.” jawab Tantri.

“Kenapa? Setiap saat mereka dapat saja datang kemari.” jawab Wisesa.

“Hari ini justru ayah pergi ke baraknya bersama anak-anak muda pedukuhan Gemawang yang masih punya sisa-sisa keberaniannya untuk melakukan apa yang kau takutkan itu Wisesa.”

“Maksudmu menyerang barak Wira Sabet dan Sura Gentong?” wajah Wisesa menjadi tegang.

“Ya!” jawab Tantri “Ayah tidak mempunyai pilihan lain, sementara Ki Bekel masih saja tetap ragu-ragu.”

“Tantri, ayahmu dan Sampurna telah menyurukkan kepala anak-anak muda ke mulut buaya.”

“Apa yang sebenarnya kau maui?” bertanya Tantri.

“Tetapi kenapa aku tidak kau persilahkan duduk?” bertanya Wisesa.

“Kau hanya sebentar disini.” jawab Tantri.

“Tantri, aku sudah memperingatkan beberapa kali, cara yang ditempuh Ki Jagabaya dan Sampurna itu salah. Sebaiknya mereka tidak mempergunakan kekerasan. Aku sedang memikirkan gagasan-gagasan baru yang dapat menyelesaikan persoalan kita disini dengan Wira Sabet dan Sura Gentong itu.”

“Telan kembali gagasan-gagasanmu itu.” berkata Tantri dengan serta merta “Semua orang akan jemu mendengar gagasan-gagasanmu yang tidak pernah sesuai dengan pendapat orang lain.”

"Tantri, kenapa kau tiba-tiba menjadi kasar begitu?” bertanya Wisesa.

“Sudahlah. Pulanglah!” berkata Tantri.

“Kau mengusir aku?”

“Bukankah kau sendiri mengatakan bahwa kau hanya sebentar?”

Wajah Wisesa menjadi merah. Dipandanginya Tantri dengan tajamnya. Sudah lama ia sering mengunjungi gadis itu. Tantri tentu tahu, bahwa kedatangan Wisesa tentu bukannya tanpa maksud. Sebelum Manggada dan Laksana datang ke pedukuhan itu, sikap Tantri dinilainya baik kepadanya. Bahkan Tantri telah memberinya harapan-harapan. Namun tiba-tiba Tantri berubah menjadi keras dan bahkan kasar.

Tiba-tiba iblis telah mengembuskan pikiran buruk ke dalam otak anak muda itu. Dengan nada berat Wisesa itu bertanya, “Jadi, ayah dan kakakmu sekarang pergi ke barak Wira Sabet dan Sura Gentong?”

“Ya!” jawab Tantri berperasangka buruk.

Tiba-tiba mata Wisesa itu menjadi liar. Ia memandang keliling. Namun ia tidak melihat seorangpun. Tantri mengerutkan dahinya. Ia melihat perubahan sikap dan sorot yang memancar di mata Wisesa. Dengan suara yang bagaikan ditelan di tenggorokan Wisesa berkata, “Aku akan bertemu dengan ibumu...”

“Ibu sedang sibuk di dapur.” jawab Tantri.

“Siapa saja yang dapat aku ajak bicara di rumah ini?”

“Tidak ada!” jawab Tantri “Dua orang pembantu ayah telah ikut bersama ayah. Pembantu perempuan ibu sedang pergi membeli kebutuhan ibu di dapur."

“Kau bohong...!” geram Wisesa.

“Buat apa aku membohongimu?” jawab Tantri “sekarang sebaiknya kau pergi....!”

“Tantri...” berkata Wisesa yang menjadi semakin liar “Aku memang akan segera pergi. Aku akan pergi bersamamu.”

“Bersama aku?” bertanya Tantri.

“Ya. Aku sangat mencintaimu. Kita akan dapat hidup bersama di luar pedukuhan ini. Aku yakin, bahwa Ki Jagabaya akan gagal dan Wira sabet serta Sura Gentong akan menjadi semakin garang. Kau tentu benar-benar akan diambil menjadi isterinya.”

“Ayah tidak akan gagal...” jawab Tantri.

“Kau salah menilai usaha yang dilakukan oleh ayahmu, Tantri.” berkata Wisesa itu selanjutnya.

“Tidak...” jawab Tantri “Aku yakin!”

“Apapun yang terjadi, aku akan membawamu pergi dari rumah ini. Kau dapat berada di rumah nenekku di kademangan lain. Kau akan lepas dari buruan Sura Gentong.”

“Tidak. Aku tidak akan pergi.” jawab Tantri.

“Aku akan membawamu.” berkata Wisesa kemudian.

Tantri melangkah surut ketika Wisesa bergeser mendekatinya. Dengan nada tinggi Tantri berkata, “Jadi kau tanyakan ibuku, pembantu-pembantu di rumah ini sekedar untuk meyakinkan bahwa rumah ini kosong, sehingga kau dapat memaksa aku pergi bersamamu kerumali nenekmu?”

“Ya. Kau tidak mempunyai pilihan lain.” berkata Wisesa dengan mata yang semakin liar.

Tantri menjadi semakin ngeri melihat mata Wisesa. Tetapi ia masih menjawab, “Wisesa. Kau kira kau dapat membawaku keluar dari halaman ini? Seandainya hal itu dapat kau lakukan, apakah kau akan menyeret aku di sepanjang jalan padukuhan? Aku punya mulut yang dapat berteriak-teriak Wisesa.”

“Jari-jariku terlalu kuat Tantri. Aku dapat mencekikmu sehingga suaramu tidak akan sempat melintasi kerongkonganmu.”

“Tetapi aku dapat mati karenanya. Apa gunanya membawa mayatku ke rumah nenekmu? Kau tentu akan mendapat kesulitan jika hal itu kau lakukan. Nah, kau sadari itu?”

Wisesa menjadi termangu-mangu. Namun kemudian ia berkata, “Tantri, apapun yang akan terjadi, aku akan membawamu pergi dari rumah ini. Kau akan menjadi isteriku. Aku harap kau tidak akan mempersulit perjalanan kita. Kita akan berjalan sebagai sepasang pengantin baru. Aku akan menggandeng tanganmu atau kau akan berpegangan lenganku. Aku minta kau tidak akan berteriak-teriak di sepanjang jalan, karena hal itu hanya akan membuatmu sengsara. Aku dapat memperlakukan dirimu sekehendakku, bahkan aku akan meyiksamu dengan cara apapun juga. Nah, marilah Tantri. Bukankah kita saling mencintai.”

“Wisesa. Apakah kau sudah gila? Jika kau paksa aku dengan cara apapun, maka besok ayah akan mencarimu dan membunuhmu.”

“Ayahmu akan mati di barak Wira Sabet dan Sura Gentong. Orang yang datang kepadanya, tidak akan dapat pulang kembali.”

“Jika bukan ayah, tentu kakang Sampurna akan melakukannya.”

“Kakangmu itu juga akan mati.”

“Jika bukan mereka, tentu Manggada dan Laksana.”

Mendengar nama itu disebut, Wisesa benar-benar menjadi sangat marah. Katanya “Jangan memaksaku membunuhmu.”

“Apakah itu pertanda cintamu padaku?” bertanya Tantri.

“Jarak antara cinta dan kebencian itu hanya selangkah. Jarak antara mencumbu dan membunuh tidak lebih dari satu lambaian tangan.” jawab Wisesa yang matanya sudah menjadi merah.

Wajah Tantri memang tegang. Sementara Wisesa bergeser lagi selangkah maju. “Tidak ada gunanya kau menolak aku Tantri. Aku dapat berbuat lembut, tetapi aku juga dapat berbuat kasar.”

“Kau sudah menjadi gila Wisesa.” desis Tantri.

“Bukan baru sekarang. Sudah lama aku tergila-gila kepadamu. Karena itu, kau jangan membuat aku semakin gila, karena dengan demikian, aku akan dapat lupa diri.”

Namun jawaban Tantri mengejutkan Wisesa. Ia tersentak sehingga matanya terbelalak. “Wisesa...” berkata Tantri “Jika kau akan memaksaku, maka sudah tentu aku akan mempertahankan diri. He, kau ingat masa kanak-kanak kita. Jika kita berkelahi, maka kaulah yang menangis meskipun kau laki-laki. Bukan aku...”

Sejenak Wisesa tercenung. Namun kemudian ia menggeram “Tetapi aku sekarang bukan anak kecil lagi Tantri. Aku sekarang tumbuh dan menjadi kuat. Kau tidak akan mampu melawan kehendakku...”

Tetapi Tantri masih menjawab, “Aku juga bukan kanak-kanak yang hanya dapat mencakar mukamu atau menarik rambutmu jika kita berkelahi. Tetapi sekarang aku mempunyai kemampuan lebih banyak, karena seperti kau, aku sekarang tumbuh menjadi dewasa."

“Tantri, apa yang akan kau lakukan?” bertanya Wisesa. “Aku akan melawan jika kau melakukan tindak kekerasan.”

“Kau masih bermimpi dengan masa kanak-kanakmu itu. Itu sudah lama lampau Tantri.”

“Ya. Itu sudah lama lampau. Dan dalam waktu yang lama itu, aku menjadi matang menghadapi persoalan-persoalan. Juga menghadapi sikapmu karena kau sudah kehabisan akal. Kau tidak berani melakukan sebagaimana yang telah dilakukan oleh Manggada, Laksana dan kakang Sampurna. Kemudian kau mencoba menutupi harga dirimu itu, kau telah membuat gagasan-gagasan gila yang tidak masuk akal itu.”

Wisesa menggeram. Ia menjadi marah sekali. Sebagai seorang laki-laki ia benar-benar merasa terhina. Karena itu, maka katanya “Apapun yang akan terjadi, aku akan membawamu. Tubuhmu, hidup atau mati akan aku seret sepanjang jalan sampai ke rumah nenekku.”

“Apakah kau sudah memikirkan kemungkinan untuk bertemu dengan orang-orang Wira Sabet dan Sura Gentong?”

“Mereka tidak akan berkeliaran hari ini. Ayahmu dan orang-orang itu sedang pergi ke tempat tinggal mereka.”

“Mungkin ayah dan kakang Sampurna sudah dikalahkannya. Mereka sedang berkeliaran untuk mencari anak-anak muda di padukuhan ini. Sementara itu mereka menemukan kau dan aku di jalan. Apakah kau sedang menggandeng tanganku, atau aku sedang berpegangan lenganmu atau kau sedang menyeret mayatku.”

Wajah Wisesa menjadi tegang. Matanya bertambah liar dan bertambah merah pula. Hembusan suara iblis semakin mencengkamnya, sehingga ia pun kemudian berkata, “Aku tidak perduli. Aku tidak perduli. Aku memerlukanmu...”

Tangan Wisesa memang terjulur untuk menggapai tangan Tantri. Tetapi Tantri justru telah menangkapnya. Menarik dengan kerasnya, sehingga tubuh Wisesa itu seakan-akan melekat ketubuh Tantri. Namun tiba-tiba saja terdengar Wisesa itu berteriak kesakitan. Tangan Tantri yang lain dengan kerasnya telah memukul perut Wisesa. Ketika kemudian Tantri mendorongnya, maka Wisesa itupun jatuh terlentang sambil menyeringai kesakitan.

Tertatih-tatih Wisesa bangkit. Kemarahannya benar-benar telah membakar ubun-ubunya. Dengan geram ia berkata, “Tantri. Kau seorang perempuan. Aku seorang laki-laki. Apapun yang dapat kau lakukan, kau tidak akan dapat melawan aku...”

Namun belum lagi Wisesa terkatub rapat, tangan Tantri telah menyambar mulutnya, sehingga Wisesa mengaduh kesakitan. Ketika ia merasakan cairan yang hangat di mulutnya, maka dengan berdebar-debar Wisesa mengusapnya. Ternyata jari-jarinya menjadi merah oleh darah. Wisesa benar-benar tidak dapat mengekang dirinya. Tantri bukan hanya menyakitinya. Tetapi ia sudah menitikan darah dari sela-sela bibirnya. Karena itu, maka Wisesapun kemudian telah menjulurkan tangannya kearah leher Tantri.

Namun yang terjadi benar-benar di luar dugaan. Tantri justru menyambut tangan itu, ditangkapnya pergelangan tangan Wisesa, kemudian Tantri memutar tubuhnya membelakangi anak muda itu. Dengan pundaknya, ia mengangkat tubuh Wisesa dipangkal lengannya, sementara sambil merendah Tantri menarik tangan Wisesa itu kuat-kuat.
Wisesa sama sekali tidak menduga, bahwa hal itu akan dilakukan oleh Tantri. Karena itu, maka iapun terlempar, berputar sekali dan kemudian jatuh terbanting di tanah. Wisesa benar-benar berteriak bukan saja karena kesakitan, tetapi putaran tubuhnya itu benar-benar membuat ketakutan. Untuk beberapa saat Wisesa terbaring di tanah. Pungungnya serasa akan patah. Sementara itu Tantri berdiri di sebelahnya sambil bertolak pinggang.

“Bangkitlah...” desis Tantri. Dengan kakinya ia mengguncang tubuh Wisesa yang masih mengaduh sambil menggeliat.

“Bangkitlah...” teriak Tantri. Kita akan meyelesaikan persoalan kita sampai tuntas. Kau atau aku yang tubuhnya akan diseret sepanjang jalan padukuhan.”

“Ampun Tantri...“ Wisesa merintih.

Sementara Tantri justru berkata lantang, “Bangkitlah, bangkit atau aku bunuh kau tanpa perlawanan...”

“Ampun Tantri, ampun...“ Wisesa memang berusaha bangkit meskipun punggungnya bagaikan patah.

“Kita selesaikan persoalan kita!” geram Tantri.

“Ampun, aku mohon ampun Tantri...” Wisesa hampir menangis.

“Kau masih saja anak cengeng. Kau bukan anak muda yang seperti katamu tumbuh menjadi kuat.”

“Ampun, aku minta ampun.” tangis Wisesa tanpa malu-malu.

Sementara itu, terdengar suara pintu serambi. “Apa yang terjadi?”

Tantri berpaling, dilihatnya ibunya melangkah mendekati anaknya yang masih berdiri tegak sambil bertolak pinggang, “Apa yang kau perbuat Tantri?”

“Ia sudah menghina aku ibu...” jawab Tantri.

Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian berdiri di sebelah anak perempuannya sambil berkata, “Sudahlah. Jangan berkelahi lagi. Biarlah Wisesa bangkit...”

“Aku sudah menyuruhnya bangkit atau aku cekik lehernya sampai mati...” jawab Tantri.

“Aku sudah minta ampun.“ tangis Wisesa.

“Sudahlah. Bangkitlah dan pulang.” berkata Nyi Jagabaya.

Wisesa berusaha untuk bangkit. Batapapun punggung terasa nyeri. Tapi selagi Nyi Jagabaya menyuruhnya pergi, maka ia akan pergi. Tertatih-tatih Wisesa bangkit dan melangkah pergi setelah ia minta diri kepada Nyi Jagabaya.

“Anak itu gila...” berkata Tantri. “Selagi kami menjadi tegang menunggu ayah dan kakang Sampurna kembali, anak itu mulai berbuat kasar...”

“Sudahlah. Selarakkan pintu seketeng itu.”

Sementara itu di barak Wira Sabet dan Sura Gentong, pertempuran masih berlangsung sengit. Ketika keringat mulai membasah di telapak tangan, maka para penghuni barak itu menjadi semakin garang. Namun lawan-lawan mereka menjadi semakin garang pula.

Wira Sabet yang bertempur melawan Ki Kertasana menjadi heran. Ia tidak melihat kemampuan orang yang lebih banyak diam itu. Namun tiba-tiba ia kini turun ke gelanggang pertempuran dengan ilmunya yang tinggi.

Sementara itu, Ki Citrabawa bertempur dengan sengitnya melawan Sura Gentong. Ternyata Sura Gentong memang jauh lebih kasar dari Wira Sabet sendiri. Apalagi ia sama sekali belum mengenal lawannya sebelumnya.

Sementara itu, empat orang saudagar perhiasan itu masih bertempur melawan dua orang saudara seperguruan Wira Sabet dan Sura Gentong. Ternyata bahwa mereka perlahan-lahan mulai mendesak kedua orang lawan mereka.

Dalam pada itu, budak-budak yang ada di barak itupun menjadi kebingungan. Ada diantara mereka yang justru menjadi gemetar dan terduduk tanpa dapat berbuat apa-apa. Ketakutan yang sangat telah melanda jantungnya.

Namun beberapa orang yang tubuhnya kuat masih sempat berbisik yang satu dengan yang lain. Beberapa orang bahkan telah bangkit. Di hatinya tumbuh keberaniannya untuk melibatkan diri dalam pertempuran itu. Jika orang-orang yang menyerang barak itu menang, maka mereka akan mendapat kesempatan untuk bebas dari perbudakan.

Karena itu, maka beberapa orangpun telah menyelinap mencari apa saja yang dapat mereka pergunakan sebagai senjata. Ada yang menemukan parang di dapur, ada yang mendapatkan kapak pembelah kayu, linggis pengelupas sabut kelapa atau apa saja. Bahkan potongan-potongan kayu dan selarak-selarak pintu.

Dengan demikian, maka pertempuranpun menjadi semakin menebar di seluruh sudut-sudut barak. Budak-budak yang ingin lepas itu juga dibekali dengan dendam kepada isi barak yang bertindak semena-mena terhadap mereka.

Para pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong menjadi semakin gelisah menghadapi tekanan yang semakin berat. Sementara itu para pemimpin mereka telah terikat pula dalam pertempuran yang rumit.

Saudara seperguruan Wira Sabet yang berwajah tampan dan selalu berpakaian rapi itu mengumpat dengan kasarnya, ketika serangan Manggada mulai menyentuh tubuhnya. Ia tidak lagi dapat merendahkan anak muda yang telah menempa dirinya dengan sungguh-sungguh itu. Bahkan dengan laku tapa ngidang di hutan sebelum mereka menginjakkan kakinya di halaman rumahnya.

Orang berwajah tampan itu sama sekali tidak menduga bahwa anak muda yang pernah dihinakannya itu pada suatu saat siap membalas sakit hatinya dengan cara yang lebih jantan. Namun orang itu tidak membiarkan dirinya dihinakan. Karena itu, maka iapun mengerahkan segenap kemampuannya untuk menghentikan perlawanan Manggada.

Tetapi Manggada pun telah meningkatkan kemampuannya pula. Bahkan bukan orang yang berwajah tampan itulah yang mendesak Manggada, tetapi perlahan-lahan Manggadalah yang telah mendesaknya. Serangan-serangannya yang cepat dan dilandasi dengan kemampuan yang tinggi telah membuat lawannya selalu terdesak.

Di bagian lain dari pertempuran itu, Ki Sapa Aruh telah mempertaruhkan segala-galanya untuk mengalahkan orang bongkok itu. Jika ia tidak dapat menghancurkan orang bongkok itu, maka bukan saja dirinya sendiri, namanya yang untuk waktu yang lama ditakuti, tetapi juga barak itu dengan segala isinya.”

Tetapi setiap kali ia meningkatkan tataran ilmunya, maka lawannya yang bongkok itupun mampu melakukannya pula, sehingga dengan demikian, maka pertempuranpun semakin lama menjadi semakin sengit. Orang-orang yang bertempur di sekitarnya yang sempat melihat sekilas pertempuran antara Ki Sapa Aruh dan Ki Pandi itu hanya dapat berdecak kagum, bahwa kedua orang itu memiliki ilmu yang sulit untuk dimengerti.

Di halaman barak, Ki Carang Aking masih juga bertempur melawan Ki Srayatapa, yang sama sekali tidak mengira bahwa dibarak itu ia akan bertemu dengan orang yang berilmu tinggi, bahkan mampu mengimbangi tingkat ilmunya. Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan itu. Yang harus dilakukannya adalah berusaha menghancurkan lawannya yang tua itu.

Dalam pada itu, Ki Kertasana yang berhadapan dengan Wira Sabet telah terlibat dalam pertempuran yang sengit pula. Wira Sabet yang tidak mengira bahwa Kertasana yang sudah dikenalnya sejak lama itu ternyata memiliki ilmu yang tinggi.

“Kenapa baru sekarang kau tunjukkan kemampuanmu Ki Kertasana?” bertanya Wira Sabet ketika ia harus meloncat mengambil jarak ketika serangan Ki Kertasana menyulitkannya.

“Baru sekarang aku merasa perlu mempergunakannya, Ki Wira Sabet. Ternyata kau dan Sura Gentong telah memancing aku dan adikku untuk dengan terpaksa melakukan kekerasan ini karena kami tidak mempunyai pilihan lain.”

Wira Sabet tidak bertanya lebih jauh. Tetapi dikerahkannya ilmunya yang diterimanya selama ia berguru. Namun ternyata Ki Kertasana memiliki kematangan yang lebih tinggi.

Di sisi lain, Sura Gentong dengan garangnya berusaha untuk segera menghabisi Ki Citrabawa. Namun Sura Gentong telah membentur kekuatan ilmu lawannya. Citrabawa yang bukan orang Gemawang itu justru telah mendesak Sura Gentong. Ayah Laksana yang juga sekaligus menjadi gurunya dan guru Manggada itu, memiliki kelebihan dari Sura Gentong meskipun Sura Gentong telah berguru cukup lama.

Namun Sura Gentong yang marah sekali itu tidak mau melihat kenyataan itu. Ia bertempur semakin keras dan bahkan menjadi kasar sebagaimana tingkah lakunya. Kekasarannya itu kadang-kadang memang sempat mendesak Ki Citrabawa. Namun hanya sekedar hentakan-hentakan saja. Selanjutnya, maka Ki Citrabawa kembali menguasai medan.

Kekalahan-kekalahan yang terjadi kemudian, telah membuat Sura Gentong justru kehilangan akal. Ia menjadi semakin garang, kasar dan bahkan liar. Namun dengan demikian maka ia kehilangan kendali dan pengamalan diri. Kekasaran dan keliaran itulah yang membuat Ki Citrabawa harus meningkatkan ilmunya sampai ketataran tertinggi. Benturan-benturan yang keras tidak dapat dielakkannya lagi. Berkali-kali Sura Gentong harus terlempar jatuh di setiap benturan. Namun demikian ia bangkit, maka seperti seekor badak ia menyerang lawannya.

Akhirnya Ki Citrabawa tidak mempunyai pilihan lain. Ia hanya dapat menghentikan perlawanan Sura Gentong itu jika Sura Gentong sudah tidak berdaya sama sekali. Karena itu, maka Ki Citrabawa itupun segera meningkatkan ilmu sampai ketataran tertinggi. Dari Manggada dan Laksana ia telah mendengar sikap Sura Gentong. Apalagi Ki Citrabawa sebelumnya memang belum pernah mengenalnya. Karena itu, maka tanggapannya atas Sura Gentong pun baru terbentuk sejak ia berada di Gemawang.

Dengan hentakan puncak kemampuannya, maka Ki Citrabawa menjadi semakin berbahaya. Bahkan kemudian serangan-serangannya seakan-akan telah menggulung semua kemampuan Sura Gentong. Pada saat-saat terakhir dari pertempuran itu, Sura Gentong justru telah bertempur tanpa perhitungan lagi. Senjatanya, sebatang tongkat besi yang berkepala bulatan bergigi lembut, terayun-ayun mengerikan.

Namun Ki Citrabawa yang menggenggam pedang di tangannya, memiliki kecepatan gerak yang lebih tinggi. Pedang Ki Citrabawa yang besar itu mampu mengimbangi ayunan tongkat besi lawannya dalam benturan-benturan yang keras. Namun Citrabawa yang mengerahkan tingkat kemampuannya yang tertinggi itu telah berhasil dengan kecepatan melampaui kecepatan ayunan tongkat besi Sura Gentong menembus pertahanannya. Ujung pedang Ki Citrabawa sempat menggores lengan Sura Gentong.

Sura Gentong terkejut. Ketika ia bergeser surut, maka ujung pedang Ki Citrabawa sempat membentur tongkat besi Sura Gentong, sehingga tongkat itu terlepas dari tangannya.

“Menyerahlah...!” desis Ki Citrabawa.

Tetapi yang dilakukan oleh Sura Gentong adalah justru menarik sebuah luwuk dari sarungnya. Luwuk yang tidak terlalu besar, tetapi tentu berbahaya di tangan Sura Gentong yang kehilangan pengamatan diri itu. Karena itu, maka Ki Citrabawa pun dengan cepat sekali menghantam luwuk itu dengan pedangnya. Demikian tiba-tiba sehingga luwuk itu terlepas dari tangan Sura Gentong.

Sekali lagi Ki Citrabawa mengacukan pedangnya sambil berkata, “Menyerahlah...!”

Tetapi yang terjadi, membuat Ki Citrabawa kehilangan kesabaran. Tiba-tiba saja Sura Gentong telah melemparkan pisau-pisau kecil ke arah lawannya. Ki Citrabawa terkejut. Dengan serta-merta ia berloncatan mengelak. Tetapi sebilah pisau telah tersangkut di lengannya.

Kemarahan Ki Citrabawa tidak terbendung lagi. Ujung pedangnyapun kemudian telah memburu lawannya. Satu tusukan yang tepat menukik menembus dada Sura Gentong sampai ke jantung. Sura Gentong tidak sempat mengeluh. Tubuhnya rebah ketika Ki Citrabawa menarik ujung pedangnya. Ia kehilangan nyawanya bersama dengan hilangnya semua angan-angan gilanya.

Ki Citrabawa termangu-mangu sejenak. Dipandanginya tubuh yang terbaring diam itu. Sementara di sekitarnya, pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya. Namun kematian Sura Gentong adalah isyarat yang paling jelas, bahwa Gemawang akan dapat lepas dari impian-impian gila Sura Gentong yang dilambari oleh dendam yang membara di hatinya.

Tetapi kegilaan Sura Gentong bukan sekedar baru mulai sejak ia ingin menguasai Gemawang. Tetapi sejak ia hampir saja dihancurkan oleh orang-orang Gemawang oleh pokalnya sendiri, sehingga Sura Gentong itu harus melarikan diri. Ki Jagabaya yang melihat Sura Gentong terbujur diam telah mendekatinya. Kerut di keningnya menunjukkan gejolak di hatinya.
Sementara itu, Ki Pandi yang berilmu sangat tinggi itu masih bertempur melawan Ki Sapa Aruh. Betapapun ditakutinya nama Ki Sapa Aruh. Tetapi berhadapan dengan Ki Pandi, ternyata ia tidak mampu berbuat lebih banyak dari sekedar bertahan. Serangan-serangan Ki Pandi semakin lama semakin garang. Benturan-benturan telah terjadi. Beberapa kali Ki Sapa Aruh menerima kerataan, bahwa ia menjadi semakin terdesak.

Namun pada saat-saat terakhir, Ki Sapa Aruh telah bertekad untuk mempertaruhkan ilmu puncaknya. la sadar, bahwa Ki Pandi pun tentu akan membentur ilmu puncaknya dengan ilmu andalannya pula. Tetapi Ki Sapa Aruh tidak mempunyai pilihan lain. la harus dengan cepat memenangkan pertempuran, atau hancur sama sekali.

Sementara pertempuran di barak itu mencapai puncaknya, maka Ki Sapa Aruh telah mengerahkan segenap kemampuan ilmunya. Ketika ia menyilangkan tangannya di dadanya, maka Ki Pandi segera mengetahui apa yang akan terjadi. Karena itu, maka Ki Pandi pun telah mengetrapkan ilmu pamungkasnya pula.

Ki Citrabawa yang telah kehilangan lawannya sempat melihat apa yang terjadi. Demikian pula Ki Jagabaya. Mereka melihat dua sosok tubuh yang meluncur bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya. Benturan yang dahsyat pun telah terjadi. Benturan dua sosok tubuh yang dilambari dengan kemampuan ilmu mereka masing-masing yang sangat tinggi. Keduanya pun terlempar beberapa langkah surut. Keduanya jatuh terbanting di tanah.

Pertempuran di sekitar peristiwa itu terjadi seakan-akan justru telah terhenti. Mereka menyempatkan diri melihat apa yang telah terjadi. Perlahan-lahan Ki Pandi mulai menggeliat. Sambil berdesah menahan nyeri di dadanya, Ki Pandi itu bangkit. Ki Citrabawa dan Ki Jagabaya pun telah mendekatinya dengan tergesa-gesa untuk membantu orang bongkok itu duduk.

Dengan suara yang lemah dan gemetar, Ki Pandi itupun bertanya. “Bagaimana dengan Ki Sapa Aruh?"

Mereka yang seakan-akan telah melupakan Ki Sapa Aruh itu serentak berpaling. Yang mereka lihat adalah sesosok tubuh yang terbaring diam.

“Tolong bantu aku melihatnya...!” desis Ki Pandi.

Ki Citrabawa dan Ki Jagabaya telah membantu Ki Pandi melangkah perlahan-lahan mendekati sosok tubuh Ki Sapa Aruh yang terbaring diam. Ketika Ki Pandi berjongkok disampingnya, dan berdesis memanggil namanya, maka Ki Sapa Aruh itu membuka matanya. Namun mata itu sudah menjadi redup dan bahkan hampir padam sama sekali. Namun dari bibirnya masih terdengar desisnya perlahan, “Kau orang yang luar biasa Bongkok...!”

Ki Pandi menarik nafas dalam. Namun kemudian Ki Sapa Aruh pun telah memejamkan matanya untuk selama-lamanya. Ki Pandi itupun kemudian bangkit berdiri dibantu oleh Citrabawa dan Ki Jagabaya. Kepada orang-orang yang berdiri mematung di sekitarnya ia berkata,

“Apakah pertempuran masih akan diteruskan. Ki Sapa Aruh sudah terbunuh. Sura Gentong juga sudah tidak ada lagi. Segala-galanya kini tergantung kepada Ki Wira Sabet...”

Wira Sabet termangu-mangu sejenak. Pertempuran di sekitarnya memang tiba-tiba saja telah berhenti. Ternyata seorang saudara seperguruan Wira Sabet telah terbunuh juga dipertempuran itu oleh anak Ki Demang Rejandani dan seorang kawannya. Sementara saudaranya yang lain telah terluka pula.

“Tidak ada gunanya kau bertahan Wira Sabet...” berkata Ki Pandi kemudian.

“Sudahlah Ki Wira Sabet...” berkata Ki Kertasana. “Kita dapat melupakan permusuhan ini. Bukankah kita masih tetap merindukan padukuhan Gemawang yang sejuk, tenang dan damai?”

Wira Sabet menundukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Aku menyerah...”

“Jika demikian, perintahkan pengikut-pengikutmu menyerah...” berkata Ki Kertasana.

Wira Sabet memang memerintahkan pengikut-pengikutnya menyerah. Tidak ada lagi gunanya bertempur terus. Wira Sabet dan pengikutnya tentu tidak akan mampu berbuat banyak.

Namun demikian, Ki Srayatapa ternyata tidak mau mengakui kekalahan itu. Dengan lantang ia berkata, “Kau pengecut Wira Sabet. Setelah saudaramu terbunuh dan kemudian Ki Sapa Aruh yang telah banyak sekali berjasa kepadamu, kau telah menyerah...”

“Kematian-kematian berikutnya tidak akan ada artinya lagi Ki Srayatapa...”

Namun yang menyahut adalah saudara seperguruan Wira Sabet yang berwajah tampan, “Aku akan berhenti bertempur setelah mematahkan leher anak yang sombong ini...”

Tetapi Manggada tidak memberikan banyak waktu. Ia pun kemudian berkata, “Bersiaplah. Kita selesaikan persoalan kita. Lepas dari persoalan yang terjadi antara barak ini dengan padukuhan Gemawang...”

Berbeda dengan orang itu, maka lawan Laksana justru telah menghentikan pertempuran itu. Ia menyadari sepenuhnya, bahwa kemampuannya yang dianggapnya sudah cukup tinggi itu, ternyata tidak mampu mengimbangi kemampuan anak yang masih dianggapnya sangat muda itu.

Pertempuran di barak itu sebagian besar sudah berhenti. Namun Ki Srayatapa sama sekali tidak menghiraukannya. Sementara itu, Ki Carang Aking tidak ingin dianggap licik dengan melibatkan orang lain dalam pertempuran itu.

Namun Ki Carang Aking itulah yang kemudian tidak ingin bertempur terlalu lama. Jika yang lain telah berhenti, maka iapun ingin segera berhenti, apapun yang terjadi. Dengan mengerahkan segenap kemampuan ilmu puncaknya, maka Ki Carang Aking telah meloncat menyerang lawannya, Ki Srayatapa.

Sementara Ki Srayatapa yang melihat sikap lawannya itupun segera mempersiapkan diri untuk membentur ilmu orang tua perawat kuda itu. Benturan yang keras pun telah terjadi pula. Namun ternyata bahwa tataran ilmu Ki Srayatapa masih selapis dibawah tataran ilmu Ki Carang Aking. Dengan demikian, maka Ki Srayatapa itu telah terlempar beberapa langkah. Ia pun kemudian jatuh terguling dengan derasnya. Ia tidak dapat mengelak sama sekali ketika kepalanya kemudian membentur batu bebatur bangunan induk barak itu.

Sementara itu, Ki Carang Aking tergetar dan terdorong surut. Tetapi ia masih tetap tegak meskipun ia harus mengatasi perasaan sakit yang menyengat dadanya. Ki Srayatapa tidak sempat mengaduh. Bukan saja karena hentakan ilmu lawannya. Tetapi kepalanya yang membentur batu di bebatur rumahnya itu telah mengalirkan darah.

Dalam pada itu, Manggada yang masih bertempur melawan saudara seperguruan Wira Sabet yang berwajah tampan itu berkata, “Nah, apakah kau masih belum akan menyerah?”

“Persetan...!” geramnya “Aku tidak peduli apakah mereka nanti akan membunuhku. Tetapi kau juga harus mati...” Dengan ganasnya orang itupun kemudian telah menyerang Manggada.

Namun Manggada yang telah sampai pada tingkat tertinggi ilmunya itu menjadi sangat liat. Tubuhnya menjadi lentur dan geraknya menjadi semakin cepat. Orang berwajah tampan itu sama sekali tidak sempat menyentuh tubuh Manggada.

Namun tiba-tiba orang itupun berkata, “He anak sombong. Cari senjata, kita akan bertempur dengan senjata...”

Manggada termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Ki Kertasana telah melemparkan pedangnya kepada anaknya, sementara orang berwajah tampan itu telah menggenggam pedang pula.

Namun justru karena itu, maka pertempuran itu menjadi semakin cepat berakhir. Kemampuan dan kecepatan gerak Manggada ternyata tidak dapat diimbangi oleh lawannya. Karena itu, maka ujung pedang Manggada pun segores-segores telah mengoyak tubuh orang berwajah tampan itu. Tetapi tidak ada tanda-tanda bahwa lawannya itu akan menyerah. Bahkan sambil mengumpat-umpat orang itu bertempur semakin liar meskipun darah telah mengalir membasahi pakaiannya.

Manggada yang muda itu ternyata tidak dapat mengekang dirinya lagi. Ia menjadi semakin benci kepada lawannya yang tidak tahu diri itu. Karena itu, maka sebuah loncatan panjang dengan pedang yang lurus terjulur kearah dada telah mengakhiri pertempuran itu. Demikian orang itu roboh di tanah, maka pertempuran di barak itu benar-benar telah berhenti.

Laksana yang berdiri termangu-mangu melihat ketiga orang yang pernah menangkapnya dan membawanya masuk ke dalam barak itu bersama dengan Manggada. Dua orang di antaranya telah terluka, meskipun tidak terlalu parah. Namun seorang murid Ki Carang Aking pun telah terluka pula.

Disamping mereka itu, pertempuran itu memang tidak dapat menghindari korban. Seorang anak muda Gemawang telah gugur, disamping beberapa orang yang terluka. Dua di antaranya terhitung parah. Sementara itu, seorang anak muda Rejandani juga gurur. Tiga orang terluka cukup parah, termasuk seorang saudagar, kawan anak Ki Demang.

Meskipun pertempuran itu telah selesai, tetapi masih ada persoalan lain yang harus diselesaikan. Orang-orang yang menyerah itu akan menjadi persoalan pula bagi Gemawang dan Rejandani. Namun demikian, maka ancaman-ancaman dan ketakutan tidak akan melanda padukuhan gemawang lagi. Orang-orang Gemawang akan menikmati lagi sejuknya kampung halaman mereka.

Sementara itu Wira Sabet telah menunjukkan dimana disimpan perhiasan-perhiasan bukan saja yang telah mereka rampok dari anak Ki Demang Rejandani dan kawan-kawannya. Tetapi juga yang pernah mereka rampok dari banyak orang.

Pembicaraan antara Ki Jagabaya Gemawang dan Ki Demang Rejandani menimbulkan kesepakatan bahwa orang-orang yang tertawan itu untuk sementara akan dibawa ke Rejandani, justru karena Rejandani tidak mengalami goncangan-goncangan sebagaimana dialami oleh Gemawang dan bahkan Kademangan Kleringan. Namun Ki Demang Rejandani minta agar khususnya Wira Sabet dan saudara seperguruannya yang masih ada, dibawa ke Gemawang.

“Di Gemawang ada orang-orang berilmu tinggi...” berkata Ki Demang.

“Bukankah Rejandani dapat minta bantuan Ki Carang Aking?” bertanya Ki Pandi.

Tetapi Ki Carang Aking tersenyum sambil menjawab, “Seperti burung yang terlepas dari sangkarnya. Aku akan terbang jauh menembus mega-mega putih. Sayapku sudah terlalu lama terkekang di barak buruk itu...”

Tidak seorangpun dapat mengekangnya. Ki Carang Aking memang tidak akan dapat bertahan terlalu lama di satu tempat.

Di hari-hari berikutnya, maka Gemawang telah mulai dengan menata diri kembali. Bayangan ketakutan telah hilang seperti embun yang disengat oleh panasnya sinar matahari.

Di padukuhan, Ki Jagabaya telah mengijinkan Wira Sabet untuk menempati rumahnya kembali bersama anaknya, Pideksa, bersama tiga orang pengikutnya yang telah dikalahkan oleh Laksana. Baru kemudian hal itu diketahui oleh Wira Sabet dan Pideksa. Tetapi mereka tidak menjadi heran, karena Laksana mampu mengalahkan saudara seperguruan Wira Sabet.

Namun Sampurna, Manggada dan Laksana sempat tertawa ketika mereka mendengar ceritera Tantri tentang Wisesa yang mencoba untuk memaksanya mengikutinya ke rumah neneknya.

“Sejak saat itu, Wisesa tidak pernah datang lagi...” berkata Tantri.

Laksana mengangguk-angguk. Tiba-tiba wajahnya nampak bersungguh-sungguh. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu. Namun ternyata untuk mendapatkan kembali kampung halaman yang sejuk, tenteram dan damai serta sejahtera, masih banyak sekali yang harus dikerjakan.
SELESAI
Selanjutnya, Arya Manggada seri ke 5
Matahari Senja