Sejuknya Kampung Halaman Bagian 16 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Arya Manggada - Sejuknya Kampung Halaman Bagian 16
Karya : Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
BEBERAPA saat kemudian, maka Ki Sapa Aruh telah keluar pula lewat pintu pringgitan. Dengan wajah yang cerah ia telah memanggil Wira Sabet dan Sura Gentong.

Ketiga orang itu berbicara sejenak di pintu pringgitan. Kemudian Wira Sabet memberi isyarat kepada saudara-saudara seperguruannya untuk ikut masuk ke dalam rumah itu. Namun Sura Gentong sempat berteriak kepada orang-orangnya.

“Jaga keempat orang itu agar mereka tidak melarikan diri...”

Ki Pandi hanya dapat melihat segala yang terjadi itu dengan jantung yang bergejolak. Ia melihat kekerasan terjadi. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu.

Ki Sapa Aruh dan beberapa orang yang masuk ke dalam rumah itu segera telah keluar pula. Mereka membawa beberapa buah peti kecil yang isinya tentu barang dagangan yang nilainya sangat mahal. Tentu perhiasan emas dan berlian. Bahkan mungkin beberapa buah wesi aji. Mungkin keris dan mata tombak yang dianggap bertuah.
Anak Ki Demang dan ketiga orang kawannya yang telah terluka itu hanya dapat memandangi orang-orang yang telah membawa barang dagangan mereka tanpa dapat mencegahnya.

Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, Ki Sapa Aruh itupun berkata kepada anak Ki Demang dan ketiga orang kawannya, “Terima kasih anak-anak. Ternyata kalian adalah anak-anak yang bijaksana. Yang tahu apa yang sebaiknya kalian lakukan. Sekali lagi kami minta maaf, jika ada tingkah laku kami yang tidak berkenan di hati kalian.”

Keempat orang itu hanya dapat menggeretakkan gigi tanpa dapat berbuat sesuatu. Sejenak kemudian, maka terdengar isyarat. Seorang di antara mereka telah bersuit nyaring. Getar suaranya menyusup pepohonan dan menggetarkan udara Kademangan itu.

Isyarat itu ternyata telah disahut oleh pengikut-pengikut mereka yang berada di luar halaman rumah Ki Demang. Mereka yang berada di depan gardu, di simpang empat dan di tempat-tempat lain.

Dengan demikian, maka sejenak kemudian, maka Ki Sapa Aruh dan semua pengikutnya telah berderap di atas punggung kuda meninggalkan tempat itu. Bahkan mereka telah membawa beberapa ekor kuda yang ada di rumah Ki Demang. empat di antaranya adalah kuda yang telah disiapkan oleh Ki Demang dan kawan-kawannya untuk dipergunakan di keesokan harinya.

Sejenak kemudian, maka halaman rumah Ki Demang itu menjadi sepi. Namun hanya sebentar, karena sebentar kemudian, beberapa orang anak muda yang berada di gardupun telah berdatangan. Bahkan anak-anak muda yang tidak sedang meronda tetapi telah terbangun oleh derap kaki kuda yang berlari-lari di jalan-jalan padukuhan.

Tetapi yang mereka temui adalah anak Ki Demang serta tiga orang kawannya yang lemah karena letih, sakit karena luka-luka di tubuhnya serta sakit di hatinya. Anak-anak muda itu telah membantu mereka naik ke pendapa. Memang hanya itulah yang dapat mereka lakukan. Orang-orang yang datang merampok rumah itu sudah pergi jauh. Bahkan seandainya masih berada di halaman itupun, anak-anak muda itu tentu tidak akan dapat mencegah mereka.

Anak Ki Demang yang masih kesakitan itupun kemudian berkata kepada anak-anak muda itu, “Terima kasih atas perhatian kalian. Sekarang, pulanglah. Yang bertugas ronda, kembalilah ke gardu-gardu perondaan.”

“Bagaimana dengan kalian disini?” bertanya salah seorang di antara anak-anak muda itu.

“Tidak apa-apa. Kami dapat merawat diri kami sendiri.”

Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, “Kami minta maaf, bahwa kami tidak dapat berbuat sesuatu pada saat yang gawat itu”

Anak Ki Demang itu mencoba tersenyum. Katanya, “Aku mengerti. Orang-orang itu benar-benar orang-orang yang keras dan kasar.”

Demikianlah, anak-anak muda itupun minta diri. Sebagian dari mereka kembali ke gardu-gardu perondan. Yang lain pulang ke rumah masing-masing Sedang masih ada satu dua di antara mereka yang lelap berada di rumah Ki Demang. Dalam pada itu. para pembantu rumah itu baru berani keluar ketika mereka yakin, bahwa para perampok telah tidak ada lagi di halaman rumah itu.

“Tolong, sediakan air panas buat kami” berkata anak Ki Demang kepada seorang laki-laki separuh baya, pembantunya “Kami harus mencuci luka-luka kami.”

Orang itu mengangguk sambil berdesis, “Apa ada pesan yang lain?”

“Tidak” jawab anak Ki Demang itu.

Ketika pembantu rumah itu turun dari pendapa dan melangkah masuk lewat pintu seketeng, maka mereka yang ada di pendapa itu terkejut. Mereka melihat seorang yang bongkok berjalan dengan ragu-ragu ke arah mereka.

Anak-anak muda yang masih berada di pendapa rumah itupun segera berloncatan bangkit untuk mempersiapkan diri. Namun anak Ki Demang itupun berkata, “Biarlah orang itu naik”

Ki Pandi memang menjadi ragu-ragu. Namun seorang anak muda telah menyongsongnya dan mempersilahkannya naik. Ki Pandi pun kemudian duduk bersama anak Ki Demang, kawan-kawannya yang letih dan kesakitan serta beberapa orang anak muda yang masih berada di rumah itu.

“Maaf, Ki Sanak!” berkata Ki Pandi “Aku melihat apa yang terjadi. Tetapi aku tidak dapat berbuat apa-apa. Aku memanjat pohon di halaman sebelah, sehingga aku dapat mendengarkan sebagian dari pembicaraan kalian dengan orang-orang yang merampok Ki Sanak berempat itu”

Anak Ki Demang itu mengangguk-angguk kecil. Katanya “Akulah yang harus minta maaf, bahwa aku tidak mendengarkan petunjuk Kiai. Akhirnya aku harus mengalami keadaan seperti ini”

“Ki Sanak...” berkata Ki Pandi “Apakah ada niat kalian untuk melacak benda-benda yang mereka rampok itu?”

“Tentu saja niat itu ada, Kiai. Tetapi bagaimana kami dapat melakukannya. Kami tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa mereka terlalu kuat. Bahkan seandainya kami mengerahkan kekuatan se Kademangan, sulit bagi kami unluk dapat mengalahkan mereka. Korbanpun akan berjatuhan” jawab anak Ki Demang. Lalu katanya pula “Aku tidak dapat mengorbankan sedemikian banyaknya orang untuk kepentingan kami berempat. Bukan kepentingan Kademangan ini Kiai”

Ki Pandi menarik nafas panjang. Katanya “Aku menghargai sikap Ki Sanak. Tetapi kita juga dibebani tugas untuk menghentikan perbuatan mereka, agar dihari mendatang tidak akan jatuh lagi korban perampokan dan mungkin kekerasan yang dapat menimbulkan kematian”

Salah seorang di antara saudagar perluasan itu berkata “Tetapi apa yang dapat kami lakukan, Ki Sanak? Kematian akan berhamburan di antara anak-anak Kademangan Rejandani. Orang tua, saudara dan isteri yang kehilangan orang-orang yang dikasihi akan mengutuk kami berempat”

Ki Pandi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Bagaimana pendapat kalian, jika kami, maksudku bukan hanya aku seorang diri, menawarkan kerja sama. Kami memang berniat untuk menghentikan perbuatan mereka. Kami memang tidak melihat kemungkinan lain kecuali dengan kekerasan. Jika hal ini harus dilakukan, bukan berarti bahwa kita adalah orang-orang yang tidak waras lagi, atau otak kita sudah dikotori dengan impian-impian tentang perang, pembunuhan dan kekerasan-kekerasan serupa. Tetapi justru kami inginkan ketenangan dan ketenteraman”

Anak Ki Demang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi bagaimanakah caranya?”

“Jika Ki Sanak berniat, kita akan dapat membicarakan langkah-langkah yang dapat kita ambil”

“Kami memerlukan penjelasan, Kiai” sahut anak Ki Demang.

Ki Pandi menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya beberapa orang anak muda yang ada di pendapa itu. Baru kemudian ia berkata “Ki Sanak. Jika Ki sanak bersedia, kami akan menghubungi Ki Sanak kemudian. Tentu saja dalam waktu yang tidak terlalu lama.”

“Baiklah, Kiai. Kami akan menunggu. Tetapi sekali lagi kami nyatakan, bahwa kami berempat tidak ingin mengorbankan banyak orang hanya untuk memperoleh barang-barang kami itu kembali. Betapapun tinggi nilai barang dagangan kami, tetapi tentu tidak akan setinggi nilai nyawa seseorang.”

Ki Pandi mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sangat menghormati sikap Ki Sanak. Tetapi baiklah, sekarang aku minta diri. Jika Ki Sanak bertiga bersedia untuk sementara tinggal bersama disini, pada saat lain aku akan dapat menghubungi kalian utuh berempat. Tentu saja jika tidak ada keberatan apapun.”

“Baik Kiai” jawab salah semang kawan anak Ki Demang itu “kami akan tinggal disini. Tetapi tentu saja tidak untuk waktu yang terlalu lama.”

Ki Pandi mengangguk-angguk. Katanya “Tentu. Aku akan segera kembali jika segala sesuatunya sudah menjadi jelas.”

Ki Pandi yang bongkok itupun kemudian telah minta diri. Keempat orang saudagar itu memandanginya dari pendapa. Ketika mereka akan bangkit berdiri, Ki Pandi berkata, “Sudahlah. Duduk sajalah. Kalian harus segera mengobati luka-luka kalian. Apakah kalian sudah mempunyai obatnya?”

“Sudah Kiai” jawab anak Ki Demang “Ayah mempunyai persediaan beberapa jenis obat-obatan.”

Ki Pandi mengangguk-angguk. Namun orang bongkok itupun segera melintasi halaman dan hilang di balik regol.

* * * * * * * *

Di sisa malam menjelang fajar, Ki Carang Aking yang dipanggil Sampar di barak itu, Manggada dan Laksana menjadi sibuk. Mereka harus menerima dan merawat kuda-kuda yang semalam dipergunakan untuk merampok di Kademangan Rejandani. Dua orang penyabit rumput dan bahkan beberapa orang kawannya telah diminta untuk membantunya.

Terutama kuda-kuda para pemimpin barak itu. Wira Sabet, Sura Gentong, Pideksa dan saudara-saudara seperguruan Wira Sabet yang ada di barak itu. Namun ternyata di-antara mereka tidak terdapat Ki Sapa Aruh. Ternyata disisa malam itu Ki Sapa Aruh tidak ikut memasuki barak itu.

Tetapi Ki Carang Aking, Manggada dan Laksana menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat Wira Sabet, Sura Gentong dan Pideksa membawa beberapa peti kecil. Di antaranya agak panjang. Dengan demikian, maka mereka menduga, bahwa perampokan itu telah berhasil.

Ketika mereka sempat berbicara, Manggada berdesis, “Apakah Ki Pandi terlambat?”

Ki Carang Aking mengangguk kecil. Katanya, “Mungkin. Mungkin sekali Ki Pandi terlambat. Mudah-mudahan nanti malam Ki Pandi datang kemari. Kita akan mendapatkan keterangan tentang perampokan itu”

Betapapun keinginan Manggada dan Laksana mendesak, tetapi mereka memang harus menunggu untuk mendengar keterangan Ki Pandi secepatnya malam nanti. Tetapi mereka masih dapat mengharapkan ceritera dari pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong yang pernah dikalahkan oleh Laksana di padukuhan Gemawang.

Sampai fajar, Manggada, Laksana, Ki Carang Aking serta beberapa orang penyabk rumput masih sibuk di kandang kuda. Baru ketika langit menjadi terang, mereka sempat duduk beristirahat. Tetapi mereka sudah tidak mempunyai kesempatan untuk kembali ke pembaringan.

Namun yang mereka harapkan itupun datang, bahwa lebih cepat dari dugaan mereka. Tiga orang pengikut Wira Sabet yang pernah dikalahkan oleh Laksana itupun datang ke kandang. Seorang dari mereka berkata “Hari ini, dua orang di antara kami akan bertugas di Gemawang. Apakah kalian ada pesan untuk anak muda yang cengeng itu?”

Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Manggada menggeleng sambil menjawab “Tidak. Tidak ada pesan khusus. Tetapi amati anak itu agar tidak berusaha menemui kawan-kawan kalian yang lain. Kalian harus selalu menakut-nakutinya agar anak itu benar-benar diam”

Keduanya mengangguk. Tetapi yang seorang kemudian bertanya “Jika kami tidak menemuinya di jalan-jalan padukuhan?”

Manggadapun kemudian memberikan ancar-ancar rumah Wisesa. Katanya “Jika perlu, cari anak itu di rumahnya.”

“Baiklah...!” berkata orang itu sambil beranjak pergi. Tetapi Manggada sempat bertanya sambil lalu “Bagaimana tugas kalian semalam?”

“Kami berhasil baik.” jawab orang itu.

“Apakah kalian semalam pergi bersama Ki Sapa Aruh?” bertanya Manggada.

“Ya” jawab orang itu.

“Apakah Ki Sapa Aruh tidak kembali ke barak ini?” bertanya Laksana.

Orang itu menggeleng. Katanya “Tidak. Ki Sapa Aruh langsung pergi ke tempat lain. Ia masih mempunyai tugas penting yang harus dilakukan”

“Kapan ia akan datang kemari?” bertanya Manggada pula.

“Aku tidak tahu. Tetapi di pekan mendatang, nampaknya Ki Sapa Aruh akan lebih lama berada di tempat ini. Agaknya persoalan padukuhan Gemawang sudah akan di tanganinya dengan sungguh-sungguh. Apalagi mengingat perkembangan di padukuhan itu pada saat terakhir, yang agaknya sudah dilaporkan oleh Ki Wira Sabet dan Sura Gentong kepada Ki Sapa Aruh”

“Jadi selama ini persoalannya masih belum di tangani dengan sungguh-sungguh?”

“Belum. Selama ini Ki Sapa Aruh masih mempunyai persoalan penting yang harus diselesaikan. Nampaknya persoalan itu sudah selesai sekarang, sehingga menurut pembicaraannya dengan Wira Sabet dan Sura Gentong yang sempat aku dengar, Gemawang dan Kademangan Kalegen baru akan di tangani dengan sungguh-sungguh”

Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Sementara orang itu berkata “Bukankah selama ini kami baru berusaha menakut-nakuti dan mematangkan keadaan? Namun dalam suasana yang berkembang sebagaimana kami kehendaki, maka justru telah terjadi perubahan yang berlawanan dari kehendak kami. Sebelum keadaan itu berkembang lebih buruk, sementara Ki Sapa Aruh sudah mempunyai kesempatan, maka persoalan Gemawang dan Kalegen akan segera diselesaikan”

Manggada tidak bertanya lagi. Demikian pula Laksana. Sementara Sampar pura-pura tidak mendengarkan pembicaraan itu. Ia masih menyibukkan diri dengan kuda-kuda di kandang. Terutama kuda putih, justru karena pemiliknya orang yang sangat keras dan kasar.

Namun, sepeninggal orang-orang itu, maka Manggada dan Laksana telah duduk bersama Ki Carang Aking di belakang kuda. Ternyata mereka telah membicarakan keterangan ketiga, orang pengikut Wira Sabet itu.

“Kita harus berbicara dengan Ki Pandi secepatnya” berkata Ki Carang Aking “Mudah-mudahan nanti malam ia benar-benar datang. Persoalannya tidak dapat ditunda-tunda lagi.”

“Kita hanya dapat menunggu” sahut Manggada. Namun kemudian katanya “Tetapi menilik keberhasilan perampokan semalam, maka menurut pendapatku, Ki Pandi akan datang nanti malam. Ki Pandi tentu akan memberi penjelasan tentang usahanya yang gagal itu.”

Ki Carang Aking mengangguk-angguk. Katanya “Banyak yang dapat kita ketahui disini. Tetapi ternyata gerak kami sangat terbatas. Rasa-rasanya aku ingin mengikuti Ki Pandi untuk dapat lebih banyak bergerak”

Ki Carang Aking akan keluar dari barak ini?” bertanya Laksana.

Ki Carang Aking mengerutkan dahinya. Namun kemudian sambil tersenyum ia berkata “Tidak. Untuk sementara aku akan tetap bersama disini.”

Dalam pada itu, Ki Pandi yang sudah berada di rumah Ki Kertasana menceriterakan apa yang telah dilakukannya semalam. Bahkan ia lelah gagal mencegah perampokan atas keempat orang saudagar perhiasan emas, berlian dan bahkan juga wesi aji.

“Tetapi aku telah menawarkan kerja sama dengan mereka jika mereka ingin melacak perluasan dan wesi aji yang berhasil dirampok itu” berkata Ki Pandi.

“Apakah mereka bersedia?” bertanya Ki Citrabawa.

“Nampaknya mereka mempertimbangkannya. Yang tidak mereka inginkan adalah jika mereka harus mengorbankan orang lain untuk mengambil kembali barang dagangan mereka itu.”

Ki Kertasana dan Ki Citrabawa mengangguk-angguk. Dengan dahi yang berkerut Ki Kertasana bertanya, “Apakah mereka bersedia melakukannya bersama kita. Kita bukan sekedar bersedia berkorban untuk mengambil perhiasan yang dirampas itu. Tetapi kita mempunyai kepentingan sendiri”

“Itulah yang ingin aku tawarkan kepada mereka” jawab Ki Pandi.

“Apakah mereka berempat memiliki bekal yang cukup untuk melakukannya?” bertanya Ki Citrabawa.

“Menurut pengamatanku, mereka mempunyai ilmu yang tinggi. Tetapi malam itu mereka menghadapi terlalu banyak lawan, sehingga mereka tidak dapat mempertahankan diri”

“Jika demikian, sebaiknya kita segera menghubungi mereka untuk menyusun rencana selanjutnya” berkata Ki Citrabawa pula.

“Kita hubungi Ki Jagabaya” berkata Ki Kertasana.

Orang-orang padukuhan Gemawang itupun harus berpacu dengan waktu. Karena itu, maka Ki Kertasanapun segera menghubungi Ki Jagabaya untuk membuat rencana lebih jauh.

“Baiklah Ki Kertasana” berkata Ki Jagabaya “Kita memang harus segera berbuat sesuatu. Sementara kita sudah berhasil menghimpun beberapa orang anak muda. Memberikan sedikit bekal bagi mereka, jika mereka benar-benar akan memasuki barak Wira Sabet dan Sura Gentong”

Sampurna yang ikut menemui Ki Kertasana itupun berkata, “Kami sudah siap, Ki Kertasana. Sementara Manggada dan Laksana sudah berada di dalam barak itu. Jika kita terlalu lama menunggu, maka aku mencemaskan keadaan Manggada dan Laksana. Jika orang-orang di barak itu tahu, bahwa Manggada dan Laksana sengaja memasuki barak itu, maka keselamatan keduanya akan terancam”

“Baiklah” berkata Ki Kertasana “Jika kita menganggap bahwa keadaan sudah memungkinkan, maka kita akan dapat segera bergerak. Kita tidak akan menunggu mereka datang ke padukuhan ini karena dengan demikian keadaan padukuhan ini akan menjadi ajang pertempuran. Orang-orang Wira Sabet dan Sura Gentong itu mungkin akan menimbulkan kerusakan yang besar. Bukan saja atas bangunan-bangunan, tetapi mungkin juga atas para penghuni padukuhan ini. Apalagi jika mereka terdesak”

Ki Jagabayapun mengangguk-angguk. Sementara itu, Ki Kertasana telah menceriterakan pula tentang keempat orang saudagar yang nampaknya akan bersedia bergabung dengan mereka. Demikianlah, maka mereka sependapat, bahwa mereka harus segera bertindak agar keadaan padukuhan mereka dan bahkan Kademangan mereka tidak menjadi semakin muram sehingga tata kehidupan tidak dapat dikendalikan dengan sewajarnya.

Dalam pada itu, pada hari itu juga, dua orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong telah datang ke padukuhan. Kedatangan mereka seperti biasa menimbulkan kecemasan dan ketakutan. Beberapa orang yang berada di luar halaman, segera masuk dan menutup pintu regol halaman rumah mereka. Namun tidak diselarak sebagaimana selalu mereka lakukan.

Kedua orang itu selain menyusuri jalan padukuhan, ternyata mereka sempat singgah pula di rumah Wisesa. Seperti pesan Manggada dan Laksana, maka keduanya berusaha untuk menakut-nakuti Wisesa, agar ia tidak lagi berusaha untuk mempersoalkan keberadaan Manggada dan Laksana di barak Wira Sabet dan Sura Gentong.

Ternyata Wisesa benar-benar menjadi ketakutan, sehingga anak muda itu agaknya tidak akan mengucapkannya lagi kepada siapapun juga. Karena jika alasan keberadaan Manggada dan Laksana yang sebenarnya diketahui, yang akan mengalami bencana bukan saja Manggada dan Laksana, tetapi juga ketiga orang yang telah membawanya masuk.

Sementara itu Ki Jagabaya dan Sampurna benar-benar telah mempersiapkan rencana untuk justru datang ke barak Wira Sabet dan Sura Gentong. Sampurna hari itu juga telah menghubungi anak-anak muda yang telah menyatakan kesediaannya untuk membantunya membebaskan padukuhan mereka dari bayangan kegarangan Wira Sabet dan Sura Gentong.

Ketika kemudian malam turun, maka seperti yang diharapkan, maka Ki Pandi telah mengunjungi Manggada dan Laksana. Ki Carang Aking pun telah ikut terlibat pula dalam pembicaraan yang sungguh-sungguh tentang berbagai hal yang menyangkut rencana Ki Jagabaya untuk justru menyerang barak itu lebih dahulu.

“Empat orang saudagar itu akan aku hubungi pula. Jika mereka menyatakan kesediaan mereka, maka kita akan segera mulai”

“Nampaknya perhiasan dan wesi aji yang dirampas itu memang dibawa kemari” berkata Ki Carang Aking “Dengan demikian, maka jika kita berhasil, maka keempai orang saudagar itu akan mendapatkan barang-barang mereka yang harganya sangat tinggi itu kembali.”
Namun dalam pada itu, Manggada pun telah mengatakannya pula, bahwa agaknya Ki Sapa Aruh telah berniat untuk dengan bersungguh-sungguh menangani persoalan padukuhan Gemawang dan Kademangan Kalegen. Nampaknya tugas-tugas yang lain akan dikesampingkan. Perkembangan terakhir di padukuhan Gemawang agaknya tidak sejalan dengan rencana Wira Sabet dan Sura Gentong.

“Baiklah, Ki Pandi” berkata Ki Carang Aking “Ki Pandi agaknya harus semakin sering mengunjungi kami disini.”

“Bukankah hampir setiap malam aku datang kemari? “Lebih dari setiap malam” desis Ki Carang Aking. “Jadi maksudmu juga di siang hari?” bertanya Ki Pandi pula.

“Tidak. Itu akan sulit dilakukan. Maksudku, jika perlu satu malam dua kali. Mungkin tentang hasil sebuah pembicaraan harus segera kami dengar atau sebaliknya” berkata Ki Carang Aking.

Ki Pandi termangu-mangu. Namun kemudian katanya “Jika saja aku masih semuda Manggada dan Laksana”

Ki Carang Aking tersenyum. Katanya “Kenapa bukan aku yang mencoba membantu Ki Pandi keluar masuk barak ini.”

“Itu lebih berbahaya...“ Manggadalah yang menyahut “Setiap saat orang-orang di barak ini memerlukan kita. Pagi, siang, malam dan kapan saja mereka kehendaki tanpa mengenal waktu. Saat mereka akan pergi dan saat mereka kembali”

Ki Carang Aking mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berdesis “Aku tidak terbiasa mengungkung diri seperti ini. Aku terbiasa terbang kesana kemari menuruti keinginan sepasang kakiku ini”

Tetapi Ki Pandi segera menyahut “Siapa yang mengikatmu disini? Ki Sapa Aruh?”

Ki Carang Aking tersenyum. Katanya “Ya. Ki Sapa Aruh”

“Kau mengeluh karena kau telah membawa beban yang kau letakkan sendiri dipundakmu?” berkata Ki Pandi.

Ki Carang Aking bahkan tertawa. Katanya, “Aku tidak mengira bahwa keterkaitanku akan menjadi berlama-lama seperti ini. Tetapi aku agaknya dapat mengharap, bahwa aku akan segera dapat meninggalkan penjara ini, setelah kalian datang.”

Ki Pandi pun hanya tersenyum lalu keluar dari barak.

Demikianlah, maka sejak hari itu, Ki Jagabaya di Gemawang telah meningkatkan segala persiapan meskipun dengan diam-diam. Sementara Ki Pandi lelah menghubungi lagi anak Ki Demang Rejandani yang telah dirampok habis-habisan oleh Ki Sapa Aruh dan para pengikutnya.

“Tidak akan ada korban yang sia-sia” berkata Ki Pandi “Jika orang-orang Gemawang terlibat dalam hal ini, sama sekali tidak ada hubungannya dengan perhiasan dan wesi aji yang dirampok itu. Tetapi karena orang-orang Gemawang mempunyai kepentingan sendiri. Selama ini mereka berada dalam bayangan kekuatan orang-orang yang telah merampok kalian disini”

Bukan saja anak Ki Demang Rejandani yang menemui Ki Pandi. Tetapi Ki Demang sendiri ikut menemuinya dan bahkan Ki Demang itulah yang menjawab,

“Ki Sanak. Kami akan bekerja sama dengan Ki Sanak. Persoalannya bukan sekedar mereka merampok anakku. Tetapi perampokan itu telah melanggar hak atas orang-orang Kademangan Rejandani. Karena itu, bukan saja anakku dan ketiga orang saudagar kawan-kawannya itu yang akan melibatkan diri. Tetapi aku dan beberapa orang terpilih dari Kademangan ini. Menurut keterangan anakku, kelompok perampok itu adalah kelompok yang sangat kuat. Karena itu, maka tanpa kerja sama dengan pihak lain, Kademangan ini agaknya juga akan mengalami kesulitan”

Namun Ki Pandi pun telah berterus terang, bahwa orang-orang padukuhan Gemawang dan bahkan Kademangan Kalegen dibayangi oleh ketakutan. Nampaknya terhadap orang-orang Gemawang dan Kalegen yang lebih berbicara adalah justru dendam dihati Wira Sabet dan Sura Gentong.

“Kami sedang mencari sisa-sisa keberanian di hati anak-anak mudanya” berkata Ki Pandi.

Ki Demang Rejandani itu mengangguk-angguk. Katanya “Kami dapat mengerti, Ki Sanak. Jika setiap hari mereka selalu ditakuti dengan segala macam cara, maka lambat laun, mereka benar-benar kehilangan keberanian.”

“Beruntunglah bahwa kami masih menemukan kekuatan yang tersimpan di padukuhan Gemawang sehingga kami masih dapat merencanakan satu langkah yang mungkin sangat berbahaya” berkata Ki Pandi. Namun kemudian katanya pula “Apalagi yang dihadapi adalah Ki Sapa Aruh!”

Ki Demang mengerutkan dahinya. Kalanya, “Nama itu memang dapai menggejutkan jantung. Tidak ada orang yang dapat melawannya. Karena itu untuk membatasi kemampuannya, harus disiapkan beberapa orang yang khusus akan menghadapinya”

“Ya“ Ki Pandi mengangguk-angguk “Kita akan membicarakannya dengan matang sebelum kita melangkah. Tetapi kesediaan Ki Demang telah membesarkan hati kami. Ki Jagabaya padukuhan Gemawang akan mengatur segala-galanya”

“Baiklah...” berkata Ki Demang Rejandani “Bahwa mereka telah merampok di daerah kami, tentu menjadi kewajiban kami untuk mencegah hal itu terulang lagi. Adalah juga tugas kami untuk menemukan kembali barang-barang yang telah dirampok itu. Bukan karena sebagian daripadanya adalah milik anakku, tetapi siapapun yang mengalami, maka kami semuanya mempunyai tugas untuk mengambilnya kembali. Karena itu, sebelum penghuni Kademangan ini mengalami nasib seperti orang-orang Gemawang yang telah dicengkam oleh ketakutan karena keberhasilan para pengikut Sapa Aruh untuk menciptakan suasana seperti itu, maka kami harus bertindak lebih cepat.”

“Ya Ki Demang!” berkata Ki Pandi “Jika keadaan ini berlangsung terlalu lama, maka Gemawang dan bahkan Kademangan Kalegen benar-benar tidak akan mampu berbuat apa-apa lagi. Dengan demikian maka Gemawang tidak akan pernah dapat bangkit lagi, karena pimpinan padukuhan itu akan berada di tangan Ki Sapa Aruh, yang perlahan-lahan tetapi pasti juga akan menguasai Kademangan Kalegen seluruhnya."

“Baiklah Ki Pandi...” berkata Ki Demang Rejandani “kami menunggu saat untuk bertindak. Kapanpun, kami sudah siap. Tidak hanya keempat orang yang sudah dirampok itu. Aku sendiri dan beberapa orang terkuat di Kademangan ini akan ikut serta”

Kesediaan Ki Demang itu membesarkan hati Ki Pandi. Kesediaan ini kemudian telah diteruskan kepada Ki Kertasana yang kemudian menyampaikannya kepada Ki Jagabaya.

“Baiklah...” berkata Ki Jagabaya “Kita akan segera mulai. Tetapi sebaiknya kita bertemu langsung dan membuat rencana-rencana yang matang dengan Ki Demang, agar kita tidak terperosok ke dalam kesulitan karena salah paham.”

Sebenarnyalah Ki Jagabaya dan Ki Kertasana serta Ki Pandi telah pergi ke Kademangan Rejandani untuk menemui Ki Demang dan keempat saudagar perhiasan dan wesi aji itu. Akhirnya mereka menentukan, bahwa mereka dalam waktu dekat akan menyerang barak Wira Sabet dan Sura Gentong di sekitar pekan mendatang.

“Kita mengalami kesulitan untuk menentukan, apakah kita akan menunggu kedatangan Ki Sapa Aruh atau tidak?” berkata Ki Pandi “Jika kita menunggu, maka dapat terjadi kesulitan yang sulit di atasi oleh Manggada dan Laksana, karena sulit untuk mengetahui Ki Sapa Aruh. Tetapi jika tidak menunggu kehadirannya, maka ia akan tetap merupakan duri yang ada di dalam daging bagi ketenangan hidup khususnya di Gemawang”

“Ki Pandi benar...” berkata Ki Kertasana. Untuk hal itu, maka sebaiknya Ki Pandi berbicara langsung dengan anak-anak itu. Bukankah Ki Pandi dapat memasuki barak itu kapan saja?”

“Hanya di waktu malam...” jawab Ki Pandi.

“Nah, jika demikian, maka nanti malam Ki Pandi dapat membicarakannya dengan Manggada dan Laksana...” berkata Ki Kertasana yang selalu dibayangi kecemasan tentang anak dan kemanakannya itu.

Ki Pandi mengangguk mengiakan. Katanya kemudian, “Besok kita akan berbicara lagi”

Demikianlah, maka Ki Jagabaya, Ki Kertasana dan Ki Pandi pun telah minta diri untuk kembali ke Gemawang. Malam itu, seperti biasanya, Ki Pandi mengunjungi Manggada dan Laksana. Ki Pandi pun kemudian menceriterakan pertemuannya dengan Ki Jagabaya, Ki Kertasana dan Ki Demang Rejandani.

“Aku sanggup menemui mereka esok dengan membawa laporan, bagaimana menurut pendapat kalian dan Ki Carang Aking?”

“Memang rumit Ki Pandi. Kedua-duanya mengandung kemungkinan baik tetapi juga kemungkinan buruk” jawab Ki Carang Aking. Namun katanya kemudian “Tetapi aku condong untuk menunggu kedatangan Ki Sapa Aruh. Orang itu harus kita hancurkan sampai tuntas. Agaknya tidak akan terlalu lama lagi. Selebihnya, Ki Sapa Aruh tidak begitu memperhatikan keadaan budak-budaknya, sehingga ia tidak dapat mengenali budak-budak itu dengan baik. Karena itu maka kelebihan satu dua orang di barak itu tidak akan menarik perhatiannya.”

Ki Pandi mengangguk-angguk. Namun agaknya ia masih mencemaskan nasib Manggada dan Laksana. Karena itu, maka ia pun kemudian bertanya, “Seandainya sengaja atau tidak sengaja Ki Sapa Aruh menemukan kalian disini?”

“Jika hal itu terjadi, maka apa boleh buat. Jika hidupku harus berakhir disini. Tetapi jika aku mati, maka Ki Sapa Aruh tentu akan mati juga...” jawab Ki Carang Aking.

Ki Pandi masih mengangguk-angguk. Tetapi seandainya terjadi demikian, maka Manggada dan Laksana masih tetap berada dalam bahaya. Ki Carang Aking yang melihat keragu-raguan itu berkata, “Untuk mengatasi kemungkinan itu, maka sebaiknya Ki Pandi segera mempersiapkan orang-orang yang bersedia melibatkan diri untuk melawan para penghuni barak itu. Ki Pandi akan membawa mereka secepat mungkin demikian diketahui Ki Sapa Aruh itu datang”

“Baiklah. Meskipun tetap mengandung bahaya, tetapi aku akan menempuh jalan ini. Besok aku akan minta Ki Jagabaya mempersiapkan segala-galanya!” berkata Ki Pandi.

“Kami akan memberikan isyarat Ki Pandi” berkata Manggada kemudian “jika kami ketahui ia berada disini di siang hari, maka kami akan menaruh sebuah cemeti kuda di ujung senggol timba itu. Bukankah ujung senggot itu akan nampak dari luar dinding?”

Sambil tersenyum Ki Pandi menjawab “Dari jarak berapa puluh langkah aku dapat berdiri paling dekat dengan barak ini? Apakah kira-kira mata tuaku masih dapat melihat ujung cemeti itu? Kecuali itu, apakah berarti siang dan malam aku harus menunggui barak ini?”

Ki Carang Akingpun tertawa. Katanya, “Tetapi aku sependapat bahwa isyarat itu akan ditaruh di ujung senggot timba itu. Jika cemeti itu terlalu kecil, maka kami akan menaruh apa saja di ujung senggot itu”

“Bukankah ilu tidak perlu. Setiap malam aku datang kemari” berkata Ki Pandi.

“Maksudku, jika Ki Sapa Aruh datang di pagi hari. Maka waktu yang sehari menunggu kedatangan Ki Pandi di malam hari, tentu terlalu lama. Mungkin Ki Sapa Aruh itu sudah sempat melakukan sesuatu disini. Sementara itu, Ki Pandi kami mohon untuk melihat-lihat meskipun dari kejauhan di siang hari."

Ki Pandi tertawa. Katanya, “Baiklah. Aku terima beban ini, karena agaknya memang hanya aku yang dapat melakukannya”

Demikianlah, maka di tengah malam dengan hati-hati Ki Pandi pun telah keluar dari barak itu dengan meloncati dinding sebagaimana sering dilakukannya. Ternyata Ki Pandi yang meskipun sudah terhitung tua itu, adalah seorang penghubung yang baik, lagi-pagi ia sudah berbicara dengan Ki Kertasana dan Ki Citrabawa. Ki Kertasana kemudian berbicara dengan Ki Jagabaya dan bersama-sama pergi ke rumah Ki Demang Rejandani dengan Ki Pandi pula.

Merekapun kemudian telah mendapatkan kesempatan, bahwa menjelang pekan mendatang, Ki Demang, anaknya bersama tiga orang kawannya dan beberapa orang terkuat dari Kademangan Rejandani akan berada di hutan dekat barak Wira Sabet dan Sura Gentong. Ki Pandi yang sudah terbiasa berada di hutan itu akan mengatur tempat bagi mereka. Demikian pula orang-orang padukuhan Gemawang. Mereka juga akan berkemah di hutan itu pula.
Namun dalam pada itu. Manggada dan Laksanapun berusaha untuk mengetahui kapan Ki Sapa Aruh akan datang ke barak itu. Justru sehari sebelum hitungan pekan itu sampai, Ki Sapa Aruh memang sudah berada di barak itu. Tetapi tidak sampai setengah hari. Nampaknya ia masih sangat sibuk sehingga sebelum matahari turun, ia sudah tidak ada lagi di barak.

Tetapi pada hari itu juga Manggada dan Laksana mendengar dari orang-orang yang pernah dikalahkan oleh Laksana itu, bahwa Ki Sapa Aruh akan kembali lagi dalam dua hari mendatang. Mereka mengatakan bahwa segala sesuatu sudah dipersiapkan untuk menyelesaikan persoalan padukuhan Gemawang.

“Dendam Ki Sura Gentong sudah sampai ke ubun-ubun...“ berkata salah seorang dari mereka.

“Apakah ia juga mengatakan kepada para pengikutnya tentang dendam itu?” bertanya Laksana.

“Ya” jawab orang itu “isterinya telah dibunuh oleh Ki Jagabaya. Karena itu, maka sebagai gantinya, maka ia akan mengambil anak Ki Jagabaya itu sebagai isterinya meskipun anak Ki Jagabaya itu masih terlalu muda”

“Itu tidak boleh terjadi...” desis Laksana.

Tetapi sambil tersenyum Manggada bertanya “Yang mana yang tidak boleh terjadi? Pembalasan dendam itu atau rencana Sura Gentong untuk mengambil anak Ki Jagabaya?”

“Kedua-duanya...” jawab Laksana. Tetapi Laksana itupun tertawa pula.

Demikianlah, maka keterangan itupun lelah disampaikan pula kepada Ki Pandi. Keterangan itulah yang dipergunakan sebagai ancar-ancar kehadiran Ki Sapa Aruh di barak itu. Dengan demikian, maka Ki Pandi pun segera mempersiapkan kekuatan yang akan menyerang barak itu. Ki Jagabaya, Ki Kertasana, Ki Citrabawa bersama beberapa orang anak muda yang dipimpin Sampurna telah berkemah di dalam hutan bersama Ki Demang Rejandani, anaknya dan ketiga orang kawannya, bersama beberapa orang yang dianggap memiliki kelebihan dan keberanian di Kademangan Rejandani.

Seperti yang dikatakan oleh orang-orang yang pernah dikalahkan oleh Laksana, maka dua hari kemudian, Ki Sapa Aruh benar-benar telah berada di barak itu. Tetapi Ki Sapa Aruh tidak sendiri. Ia datang bersama seorang kawannya dan beberapa orang pengikutnya.

Ki Carang Aking pun menjadi semakin berhati-hati. Ia telah memberitahukan kepada kedua orang muridnya yang juga berada di barak itu sebagai dua orang penyabit rumput. Sambil membersihkan kuda di kandang, maka Ki Carang Aking telah memberikan petunjuk-petunjuk kepada Manggada, Laksana dan dua orang muridnya yang sedang memotong-motong rumput bagi kuda-kuda yang sudah dibersihkan itu.

Untunglah, bahwa sebentar kemudian matahari turun. Ki Sapa Aruh yang memang tidak banyak menaruh perhatian kepada budak-budak itu tidak sempat melihat kekuatan-kekuatan yang tersembunyi di sekitar kandang kuda itu.

Malam itu, Ki Pandi telah datang pula ke kandang. Namun Ki Carang Aking telah memperingatkannya, bahwa malam itu Ki Sapa Aruh telah berada di barak.

“Ia bukan saja mempunyai penglihatan dan pendengaran yang tajam, tetapi penggraitanya melampaui panggraita seekor kuda.”

Ki Pandi mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan segera keluar dari barak ini. Tetapi kita harus membuat persetujuan. Kapan sebaiknya, kami akan menyerang barak ini”

“Jangan tertunda-tunda” jawab Ki Carang Aking “Jika kalian memang sudah siap, maka sebaiknya kalian melakukan serangan itu”

“Besok, saat fajar menyingsing, kami akan memasuki barak ini. Kami sudah mendapat keterangan dari kalian tentang kekuatan yang ada, sehingga kami dapat memperhitungkan kekuatan yang kami miliki.”

“Tetapi perlu diperhitungkan. Ki Sapa Aruh tidak datang sendiri. Ia datang dengan seorang kawannya yang mungkin juga berilmu tinggi serta empat orang pengikutnya. Agaknya mereka termasuk kepercayaan Ki Sapa Aruh untuk memperkuat kedudukannya disini jika pada saatnya ia akan memasuki padukuhan dan tentu selanjutnya Kademangan Kelegen.” berkata Ki Carang Aking selanjutnya.

Ki Pandi mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kami akan memperhitungkan kembali kekuatan yang ada pada kami”

“Hati-hatilah Ki Pandi” berkata Ki Carang Aking kemudian.

Demikianlah, dengan sangat berhati-hati Ki Pandi keluar dari dinding barak itu. Ia sudah terbiasa melakukannya. Tetapi justru karena Ki Sapa Aruh ada di barak itu, maka Ki Pandi harus menjadi lebih berhati-hati. Ketika Ki Pandi berada diperkemahan di hutan sebelah barak itu, maka iapun telah memberitahukan kehadiran Ki Sapa Aruh.

“Manggada dan Laksana tidak perlu memasang isyarat di ujung senggot timba. Sebenarnya akupun cemas, bahwa isyarat itu akan dapat memanggil kecurigaan kepada orang-orang yang ada di dalam barak itu...” berkata Ki Pandi pula.

Malam itu juga Ki Jagabaya dan Ki Demang Rejandani memutuskan untuk menyerang perkemahan itu esok saat fajar menyingsing. Karena itu, maka merekapun segera mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Mereka harus benar-benar siap untuk berperang sebagaimana sekelompok prajurit yang turun ke medan.

Menurut perhitungan Ki Pandi, maka kekuatan yang ada di perkemahan itu akan dapat mengatasi kekuatan yang ada di dalam barak. Meskipun demikian Ki Pandi itupun memperingatkan,

“Namun bagaimanapun juga kita harus menganggap bahwa kita akan berhadapan dengan lawan yang sangat tangguh. Di dalam barak itu tinggal orang-orang yang sudah terbiasa melakukan kekerasan. Bahkan hidup mereka sehari-hari memang diwarnai oleh kekerasan. Suasana yang sangat berbeda dengan suasana hidup kita sehari-hari. Apalagi Ki Sapa Aruh dan kepercayaannya. Mereka nampaknya memiliki kelebihan dari kebanyakan penghuni barak itu. Selain mereka masih ada saudara-saudara seperguruan Wira Sabet dan Sura Gentong.”

“Baik Ki Pandi...” berkata Ki Jagabaya “Kita sudah sepakat untuk bertempur dalam satu kekuatan. Mungkin ada di antara kita yang mempercayakan segala kemampuan kita secara pribadi. Tetapi pada dasarnya kita akan bertempur bersama-sama. Karena itu, maka jika perlu kita akan bertempur dalam kelompok-kelompok kecil tergantung pada lawan yang akan kita hadapi, karena agaknya sulit bagi kita untuk dapat memilih lawan.”

Ki Pandi mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sependapat. Kita akan bertempur dalam satu kebulatan kekuatan.”

“Di dalam barak itu ada Manggada dan Laksana...” berkata Ki Kertasana.

“Ya” sahut Ki Pandi. “Selain mereka masih ada tiga orang yang dapat membantu kita. Seorang tua yang berilmu tinggi bersama dua orang muridnya”

“Bagaimana mereka dapat berada disana? Apakah mereka dapat dipercaya?” bertanya Ki Jagabaya.

“Mereka sengaja menyusup sebagaimana Manggada dan Laksana. Tetapi tentu dengan cara yang berbeda. Agaknya Ki Carang Aking memang membayangi Ki Sapa Aruh...” jawab Ki Pandi.

“Tetapi bagaimana kita mengisyaratkan kepada mereka yang ada di dalam barak itu, bahwa kita akan menyerang mereka esok saat fajar menyingsing?” bertanya Ki Demang Rejandani.

“Bukankah aku baru saja dari barak itu? Meskipun belum pasti, tetapi aku sudah mengisyaratkan bahwa besok saat fajar menyingsing kita akan menyerang perkemahan itu. Meskipun demikian, biarlah nanti aku memberitahu isyarat lagi kepada mereka.”

“Ki Pandi akan memasuki barak itu lagi?” bertanya Ki Demang.

“Tidak. Itu tidak perlu. Biarlah kedua ekor harimau ku memberitahu isyarat itu esok menjelang fajar.”

“Harimau?” bertanya Ki Demang dan Ki Jagabaya hampir berbareng.

Ki Pandi mengerutkan keningnya. Ia tidak sengaja ingin menyebut kedua ekor harimaunya. Namun di luar sadarnya, ia sudah mengatakannya. Karena itu, maka iapun menjawab,

“Ya. aku memelihara dua ekor harimau yang dapat membantuku dalam keadaan yang khusus. Besok, aku juga akan membawanya. Tetapi mereka tidak akan melibatkan diri jika aku tidak memberikan perintah.”

Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Tetapi ia masih juga bertanya, “Apakah kedua ekor harimau itu tidak dapat salah menyerang kawan sendiri?”

“Aku sendiri harus mengendalikannya.” jawab Ki Pandi.

Demikianlah, maka keputusan itu telah disampaikan kepada semua orang yang berada di perkemahan itu. Merekapun telah mendapat penjelasan, siapakah yang akan mereka hadapi. Cara yang akan mereka pergunakan dalam pertempuran itu, sehingga karena itu, maka Ki Jagabaya pun berkata,

“Seperti yang sudah aku katakan kita tidak akan berpencaran. Seandainya kita memecah kelompok ini, maka kita harus masih tetap berada di dalam kelompok-kelompok meskipun lebih kecil. Kita harus menyadari, bahwa orang-orang yang ada di barak itu secara pribadi memiliki kemampuan dan bahkan kebiasaan untuk melakukan kekerasan. Namun dalam pada itu, kita berbekal tekad untuk memberantas kejahatan sebagaimana sering mereka lakukan. Dengan menghancurkan mereka, maka kita akan menghentikan kejahatan-kejahatan yang akan mereka lakukan kemudian.”

Demikianlah, maka Ki Jagabaya pun telah menasehatkan kepada orang-orang yang berada di perkemahan itu untuk beristirahat. Besok pagi-pagi mereka harus sudah bergerak ke barak itu.

Sementara itu, Ki Jagabaya telah menunjuk orang-orang yang khusus untuk menyiapkan perbekalan bagi mereka. Termasuk persediaan makan. Beberapa orang ditugaskan untuk mengambil makanan yang dipersiapkan di padukuhan. Meskipun jaraknya cukup jauh, tetapi itu adalah cara yang paling baik untuk tidak menarik perhatian, karena mereka tidak dapat menyiapkannya di perkemahan.

Tugas mereka yang mempersiapkan makan dan minum itu tidak kalah beratnya dari tugas yang dibebankan kepada mereka yang akan memasuki barak Wira Sabet dan Sura Gentong itu.

Malam itu, mereka yang akan turun ke medan masih sempat beristirahat meskipun tidak terlalu lama. Karena di dini hari, mereka harus sudah bangun dan mempersiapkan diri sebaik-baiknya.

Karena tugas-tugas kekerasan seperti itu bukannya kebiasaan mereka, maka beberapa orang memang menjadi tegang. Di dinginnya dini hari, keringat mereka sudah mulai membasahi pakaian mereka.

Tetapi sikap Ki Jagabaya, Ki Demang Rejandani, Ki Kertasana, Ki Citrabawa dan beberapa orang yang lain cukup meyakinkan, sehingga ketegangan beberapa orang itupun menjadi agak mengendor....
Selanjutnya,
Sejuknya Kampung Halaman Bagian 17

Sejuknya Kampung Halaman Bagian 16

Arya Manggada - Sejuknya Kampung Halaman Bagian 16
Karya : Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
BEBERAPA saat kemudian, maka Ki Sapa Aruh telah keluar pula lewat pintu pringgitan. Dengan wajah yang cerah ia telah memanggil Wira Sabet dan Sura Gentong.

Ketiga orang itu berbicara sejenak di pintu pringgitan. Kemudian Wira Sabet memberi isyarat kepada saudara-saudara seperguruannya untuk ikut masuk ke dalam rumah itu. Namun Sura Gentong sempat berteriak kepada orang-orangnya.

“Jaga keempat orang itu agar mereka tidak melarikan diri...”

Ki Pandi hanya dapat melihat segala yang terjadi itu dengan jantung yang bergejolak. Ia melihat kekerasan terjadi. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu.

Ki Sapa Aruh dan beberapa orang yang masuk ke dalam rumah itu segera telah keluar pula. Mereka membawa beberapa buah peti kecil yang isinya tentu barang dagangan yang nilainya sangat mahal. Tentu perhiasan emas dan berlian. Bahkan mungkin beberapa buah wesi aji. Mungkin keris dan mata tombak yang dianggap bertuah.
Anak Ki Demang dan ketiga orang kawannya yang telah terluka itu hanya dapat memandangi orang-orang yang telah membawa barang dagangan mereka tanpa dapat mencegahnya.

Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, Ki Sapa Aruh itupun berkata kepada anak Ki Demang dan ketiga orang kawannya, “Terima kasih anak-anak. Ternyata kalian adalah anak-anak yang bijaksana. Yang tahu apa yang sebaiknya kalian lakukan. Sekali lagi kami minta maaf, jika ada tingkah laku kami yang tidak berkenan di hati kalian.”

Keempat orang itu hanya dapat menggeretakkan gigi tanpa dapat berbuat sesuatu. Sejenak kemudian, maka terdengar isyarat. Seorang di antara mereka telah bersuit nyaring. Getar suaranya menyusup pepohonan dan menggetarkan udara Kademangan itu.

Isyarat itu ternyata telah disahut oleh pengikut-pengikut mereka yang berada di luar halaman rumah Ki Demang. Mereka yang berada di depan gardu, di simpang empat dan di tempat-tempat lain.

Dengan demikian, maka sejenak kemudian, maka Ki Sapa Aruh dan semua pengikutnya telah berderap di atas punggung kuda meninggalkan tempat itu. Bahkan mereka telah membawa beberapa ekor kuda yang ada di rumah Ki Demang. empat di antaranya adalah kuda yang telah disiapkan oleh Ki Demang dan kawan-kawannya untuk dipergunakan di keesokan harinya.

Sejenak kemudian, maka halaman rumah Ki Demang itu menjadi sepi. Namun hanya sebentar, karena sebentar kemudian, beberapa orang anak muda yang berada di gardupun telah berdatangan. Bahkan anak-anak muda yang tidak sedang meronda tetapi telah terbangun oleh derap kaki kuda yang berlari-lari di jalan-jalan padukuhan.

Tetapi yang mereka temui adalah anak Ki Demang serta tiga orang kawannya yang lemah karena letih, sakit karena luka-luka di tubuhnya serta sakit di hatinya. Anak-anak muda itu telah membantu mereka naik ke pendapa. Memang hanya itulah yang dapat mereka lakukan. Orang-orang yang datang merampok rumah itu sudah pergi jauh. Bahkan seandainya masih berada di halaman itupun, anak-anak muda itu tentu tidak akan dapat mencegah mereka.

Anak Ki Demang yang masih kesakitan itupun kemudian berkata kepada anak-anak muda itu, “Terima kasih atas perhatian kalian. Sekarang, pulanglah. Yang bertugas ronda, kembalilah ke gardu-gardu perondaan.”

“Bagaimana dengan kalian disini?” bertanya salah seorang di antara anak-anak muda itu.

“Tidak apa-apa. Kami dapat merawat diri kami sendiri.”

Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, “Kami minta maaf, bahwa kami tidak dapat berbuat sesuatu pada saat yang gawat itu”

Anak Ki Demang itu mencoba tersenyum. Katanya, “Aku mengerti. Orang-orang itu benar-benar orang-orang yang keras dan kasar.”

Demikianlah, anak-anak muda itupun minta diri. Sebagian dari mereka kembali ke gardu-gardu perondan. Yang lain pulang ke rumah masing-masing Sedang masih ada satu dua di antara mereka yang lelap berada di rumah Ki Demang. Dalam pada itu. para pembantu rumah itu baru berani keluar ketika mereka yakin, bahwa para perampok telah tidak ada lagi di halaman rumah itu.

“Tolong, sediakan air panas buat kami” berkata anak Ki Demang kepada seorang laki-laki separuh baya, pembantunya “Kami harus mencuci luka-luka kami.”

Orang itu mengangguk sambil berdesis, “Apa ada pesan yang lain?”

“Tidak” jawab anak Ki Demang itu.

Ketika pembantu rumah itu turun dari pendapa dan melangkah masuk lewat pintu seketeng, maka mereka yang ada di pendapa itu terkejut. Mereka melihat seorang yang bongkok berjalan dengan ragu-ragu ke arah mereka.

Anak-anak muda yang masih berada di pendapa rumah itupun segera berloncatan bangkit untuk mempersiapkan diri. Namun anak Ki Demang itupun berkata, “Biarlah orang itu naik”

Ki Pandi memang menjadi ragu-ragu. Namun seorang anak muda telah menyongsongnya dan mempersilahkannya naik. Ki Pandi pun kemudian duduk bersama anak Ki Demang, kawan-kawannya yang letih dan kesakitan serta beberapa orang anak muda yang masih berada di rumah itu.

“Maaf, Ki Sanak!” berkata Ki Pandi “Aku melihat apa yang terjadi. Tetapi aku tidak dapat berbuat apa-apa. Aku memanjat pohon di halaman sebelah, sehingga aku dapat mendengarkan sebagian dari pembicaraan kalian dengan orang-orang yang merampok Ki Sanak berempat itu”

Anak Ki Demang itu mengangguk-angguk kecil. Katanya “Akulah yang harus minta maaf, bahwa aku tidak mendengarkan petunjuk Kiai. Akhirnya aku harus mengalami keadaan seperti ini”

“Ki Sanak...” berkata Ki Pandi “Apakah ada niat kalian untuk melacak benda-benda yang mereka rampok itu?”

“Tentu saja niat itu ada, Kiai. Tetapi bagaimana kami dapat melakukannya. Kami tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa mereka terlalu kuat. Bahkan seandainya kami mengerahkan kekuatan se Kademangan, sulit bagi kami unluk dapat mengalahkan mereka. Korbanpun akan berjatuhan” jawab anak Ki Demang. Lalu katanya pula “Aku tidak dapat mengorbankan sedemikian banyaknya orang untuk kepentingan kami berempat. Bukan kepentingan Kademangan ini Kiai”

Ki Pandi menarik nafas panjang. Katanya “Aku menghargai sikap Ki Sanak. Tetapi kita juga dibebani tugas untuk menghentikan perbuatan mereka, agar dihari mendatang tidak akan jatuh lagi korban perampokan dan mungkin kekerasan yang dapat menimbulkan kematian”

Salah seorang di antara saudagar perluasan itu berkata “Tetapi apa yang dapat kami lakukan, Ki Sanak? Kematian akan berhamburan di antara anak-anak Kademangan Rejandani. Orang tua, saudara dan isteri yang kehilangan orang-orang yang dikasihi akan mengutuk kami berempat”

Ki Pandi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Bagaimana pendapat kalian, jika kami, maksudku bukan hanya aku seorang diri, menawarkan kerja sama. Kami memang berniat untuk menghentikan perbuatan mereka. Kami memang tidak melihat kemungkinan lain kecuali dengan kekerasan. Jika hal ini harus dilakukan, bukan berarti bahwa kita adalah orang-orang yang tidak waras lagi, atau otak kita sudah dikotori dengan impian-impian tentang perang, pembunuhan dan kekerasan-kekerasan serupa. Tetapi justru kami inginkan ketenangan dan ketenteraman”

Anak Ki Demang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi bagaimanakah caranya?”

“Jika Ki Sanak berniat, kita akan dapat membicarakan langkah-langkah yang dapat kita ambil”

“Kami memerlukan penjelasan, Kiai” sahut anak Ki Demang.

Ki Pandi menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya beberapa orang anak muda yang ada di pendapa itu. Baru kemudian ia berkata “Ki Sanak. Jika Ki sanak bersedia, kami akan menghubungi Ki Sanak kemudian. Tentu saja dalam waktu yang tidak terlalu lama.”

“Baiklah, Kiai. Kami akan menunggu. Tetapi sekali lagi kami nyatakan, bahwa kami berempat tidak ingin mengorbankan banyak orang hanya untuk memperoleh barang-barang kami itu kembali. Betapapun tinggi nilai barang dagangan kami, tetapi tentu tidak akan setinggi nilai nyawa seseorang.”

Ki Pandi mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sangat menghormati sikap Ki Sanak. Tetapi baiklah, sekarang aku minta diri. Jika Ki Sanak bertiga bersedia untuk sementara tinggal bersama disini, pada saat lain aku akan dapat menghubungi kalian utuh berempat. Tentu saja jika tidak ada keberatan apapun.”

“Baik Kiai” jawab salah semang kawan anak Ki Demang itu “kami akan tinggal disini. Tetapi tentu saja tidak untuk waktu yang terlalu lama.”

Ki Pandi mengangguk-angguk. Katanya “Tentu. Aku akan segera kembali jika segala sesuatunya sudah menjadi jelas.”

Ki Pandi yang bongkok itupun kemudian telah minta diri. Keempat orang saudagar itu memandanginya dari pendapa. Ketika mereka akan bangkit berdiri, Ki Pandi berkata, “Sudahlah. Duduk sajalah. Kalian harus segera mengobati luka-luka kalian. Apakah kalian sudah mempunyai obatnya?”

“Sudah Kiai” jawab anak Ki Demang “Ayah mempunyai persediaan beberapa jenis obat-obatan.”

Ki Pandi mengangguk-angguk. Namun orang bongkok itupun segera melintasi halaman dan hilang di balik regol.

* * * * * * * *

Di sisa malam menjelang fajar, Ki Carang Aking yang dipanggil Sampar di barak itu, Manggada dan Laksana menjadi sibuk. Mereka harus menerima dan merawat kuda-kuda yang semalam dipergunakan untuk merampok di Kademangan Rejandani. Dua orang penyabit rumput dan bahkan beberapa orang kawannya telah diminta untuk membantunya.

Terutama kuda-kuda para pemimpin barak itu. Wira Sabet, Sura Gentong, Pideksa dan saudara-saudara seperguruan Wira Sabet yang ada di barak itu. Namun ternyata di-antara mereka tidak terdapat Ki Sapa Aruh. Ternyata disisa malam itu Ki Sapa Aruh tidak ikut memasuki barak itu.

Tetapi Ki Carang Aking, Manggada dan Laksana menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat Wira Sabet, Sura Gentong dan Pideksa membawa beberapa peti kecil. Di antaranya agak panjang. Dengan demikian, maka mereka menduga, bahwa perampokan itu telah berhasil.

Ketika mereka sempat berbicara, Manggada berdesis, “Apakah Ki Pandi terlambat?”

Ki Carang Aking mengangguk kecil. Katanya, “Mungkin. Mungkin sekali Ki Pandi terlambat. Mudah-mudahan nanti malam Ki Pandi datang kemari. Kita akan mendapatkan keterangan tentang perampokan itu”

Betapapun keinginan Manggada dan Laksana mendesak, tetapi mereka memang harus menunggu untuk mendengar keterangan Ki Pandi secepatnya malam nanti. Tetapi mereka masih dapat mengharapkan ceritera dari pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong yang pernah dikalahkan oleh Laksana di padukuhan Gemawang.

Sampai fajar, Manggada, Laksana, Ki Carang Aking serta beberapa orang penyabk rumput masih sibuk di kandang kuda. Baru ketika langit menjadi terang, mereka sempat duduk beristirahat. Tetapi mereka sudah tidak mempunyai kesempatan untuk kembali ke pembaringan.

Namun yang mereka harapkan itupun datang, bahwa lebih cepat dari dugaan mereka. Tiga orang pengikut Wira Sabet yang pernah dikalahkan oleh Laksana itupun datang ke kandang. Seorang dari mereka berkata “Hari ini, dua orang di antara kami akan bertugas di Gemawang. Apakah kalian ada pesan untuk anak muda yang cengeng itu?”

Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Manggada menggeleng sambil menjawab “Tidak. Tidak ada pesan khusus. Tetapi amati anak itu agar tidak berusaha menemui kawan-kawan kalian yang lain. Kalian harus selalu menakut-nakutinya agar anak itu benar-benar diam”

Keduanya mengangguk. Tetapi yang seorang kemudian bertanya “Jika kami tidak menemuinya di jalan-jalan padukuhan?”

Manggadapun kemudian memberikan ancar-ancar rumah Wisesa. Katanya “Jika perlu, cari anak itu di rumahnya.”

“Baiklah...!” berkata orang itu sambil beranjak pergi. Tetapi Manggada sempat bertanya sambil lalu “Bagaimana tugas kalian semalam?”

“Kami berhasil baik.” jawab orang itu.

“Apakah kalian semalam pergi bersama Ki Sapa Aruh?” bertanya Manggada.

“Ya” jawab orang itu.

“Apakah Ki Sapa Aruh tidak kembali ke barak ini?” bertanya Laksana.

Orang itu menggeleng. Katanya “Tidak. Ki Sapa Aruh langsung pergi ke tempat lain. Ia masih mempunyai tugas penting yang harus dilakukan”

“Kapan ia akan datang kemari?” bertanya Manggada pula.

“Aku tidak tahu. Tetapi di pekan mendatang, nampaknya Ki Sapa Aruh akan lebih lama berada di tempat ini. Agaknya persoalan padukuhan Gemawang sudah akan di tanganinya dengan sungguh-sungguh. Apalagi mengingat perkembangan di padukuhan itu pada saat terakhir, yang agaknya sudah dilaporkan oleh Ki Wira Sabet dan Sura Gentong kepada Ki Sapa Aruh”

“Jadi selama ini persoalannya masih belum di tangani dengan sungguh-sungguh?”

“Belum. Selama ini Ki Sapa Aruh masih mempunyai persoalan penting yang harus diselesaikan. Nampaknya persoalan itu sudah selesai sekarang, sehingga menurut pembicaraannya dengan Wira Sabet dan Sura Gentong yang sempat aku dengar, Gemawang dan Kademangan Kalegen baru akan di tangani dengan sungguh-sungguh”

Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Sementara orang itu berkata “Bukankah selama ini kami baru berusaha menakut-nakuti dan mematangkan keadaan? Namun dalam suasana yang berkembang sebagaimana kami kehendaki, maka justru telah terjadi perubahan yang berlawanan dari kehendak kami. Sebelum keadaan itu berkembang lebih buruk, sementara Ki Sapa Aruh sudah mempunyai kesempatan, maka persoalan Gemawang dan Kalegen akan segera diselesaikan”

Manggada tidak bertanya lagi. Demikian pula Laksana. Sementara Sampar pura-pura tidak mendengarkan pembicaraan itu. Ia masih menyibukkan diri dengan kuda-kuda di kandang. Terutama kuda putih, justru karena pemiliknya orang yang sangat keras dan kasar.

Namun, sepeninggal orang-orang itu, maka Manggada dan Laksana telah duduk bersama Ki Carang Aking di belakang kuda. Ternyata mereka telah membicarakan keterangan ketiga, orang pengikut Wira Sabet itu.

“Kita harus berbicara dengan Ki Pandi secepatnya” berkata Ki Carang Aking “Mudah-mudahan nanti malam ia benar-benar datang. Persoalannya tidak dapat ditunda-tunda lagi.”

“Kita hanya dapat menunggu” sahut Manggada. Namun kemudian katanya “Tetapi menilik keberhasilan perampokan semalam, maka menurut pendapatku, Ki Pandi akan datang nanti malam. Ki Pandi tentu akan memberi penjelasan tentang usahanya yang gagal itu.”

Ki Carang Aking mengangguk-angguk. Katanya “Banyak yang dapat kita ketahui disini. Tetapi ternyata gerak kami sangat terbatas. Rasa-rasanya aku ingin mengikuti Ki Pandi untuk dapat lebih banyak bergerak”

Ki Carang Aking akan keluar dari barak ini?” bertanya Laksana.

Ki Carang Aking mengerutkan dahinya. Namun kemudian sambil tersenyum ia berkata “Tidak. Untuk sementara aku akan tetap bersama disini.”

Dalam pada itu, Ki Pandi yang sudah berada di rumah Ki Kertasana menceriterakan apa yang telah dilakukannya semalam. Bahkan ia lelah gagal mencegah perampokan atas keempat orang saudagar perhiasan emas, berlian dan bahkan juga wesi aji.

“Tetapi aku telah menawarkan kerja sama dengan mereka jika mereka ingin melacak perluasan dan wesi aji yang berhasil dirampok itu” berkata Ki Pandi.

“Apakah mereka bersedia?” bertanya Ki Citrabawa.

“Nampaknya mereka mempertimbangkannya. Yang tidak mereka inginkan adalah jika mereka harus mengorbankan orang lain untuk mengambil kembali barang dagangan mereka itu.”

Ki Kertasana dan Ki Citrabawa mengangguk-angguk. Dengan dahi yang berkerut Ki Kertasana bertanya, “Apakah mereka bersedia melakukannya bersama kita. Kita bukan sekedar bersedia berkorban untuk mengambil perhiasan yang dirampas itu. Tetapi kita mempunyai kepentingan sendiri”

“Itulah yang ingin aku tawarkan kepada mereka” jawab Ki Pandi.

“Apakah mereka berempat memiliki bekal yang cukup untuk melakukannya?” bertanya Ki Citrabawa.

“Menurut pengamatanku, mereka mempunyai ilmu yang tinggi. Tetapi malam itu mereka menghadapi terlalu banyak lawan, sehingga mereka tidak dapat mempertahankan diri”

“Jika demikian, sebaiknya kita segera menghubungi mereka untuk menyusun rencana selanjutnya” berkata Ki Citrabawa pula.

“Kita hubungi Ki Jagabaya” berkata Ki Kertasana.

Orang-orang padukuhan Gemawang itupun harus berpacu dengan waktu. Karena itu, maka Ki Kertasanapun segera menghubungi Ki Jagabaya untuk membuat rencana lebih jauh.

“Baiklah Ki Kertasana” berkata Ki Jagabaya “Kita memang harus segera berbuat sesuatu. Sementara kita sudah berhasil menghimpun beberapa orang anak muda. Memberikan sedikit bekal bagi mereka, jika mereka benar-benar akan memasuki barak Wira Sabet dan Sura Gentong”

Sampurna yang ikut menemui Ki Kertasana itupun berkata, “Kami sudah siap, Ki Kertasana. Sementara Manggada dan Laksana sudah berada di dalam barak itu. Jika kita terlalu lama menunggu, maka aku mencemaskan keadaan Manggada dan Laksana. Jika orang-orang di barak itu tahu, bahwa Manggada dan Laksana sengaja memasuki barak itu, maka keselamatan keduanya akan terancam”

“Baiklah” berkata Ki Kertasana “Jika kita menganggap bahwa keadaan sudah memungkinkan, maka kita akan dapat segera bergerak. Kita tidak akan menunggu mereka datang ke padukuhan ini karena dengan demikian keadaan padukuhan ini akan menjadi ajang pertempuran. Orang-orang Wira Sabet dan Sura Gentong itu mungkin akan menimbulkan kerusakan yang besar. Bukan saja atas bangunan-bangunan, tetapi mungkin juga atas para penghuni padukuhan ini. Apalagi jika mereka terdesak”

Ki Jagabayapun mengangguk-angguk. Sementara itu, Ki Kertasana telah menceriterakan pula tentang keempat orang saudagar yang nampaknya akan bersedia bergabung dengan mereka. Demikianlah, maka mereka sependapat, bahwa mereka harus segera bertindak agar keadaan padukuhan mereka dan bahkan Kademangan mereka tidak menjadi semakin muram sehingga tata kehidupan tidak dapat dikendalikan dengan sewajarnya.

Dalam pada itu, pada hari itu juga, dua orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong telah datang ke padukuhan. Kedatangan mereka seperti biasa menimbulkan kecemasan dan ketakutan. Beberapa orang yang berada di luar halaman, segera masuk dan menutup pintu regol halaman rumah mereka. Namun tidak diselarak sebagaimana selalu mereka lakukan.

Kedua orang itu selain menyusuri jalan padukuhan, ternyata mereka sempat singgah pula di rumah Wisesa. Seperti pesan Manggada dan Laksana, maka keduanya berusaha untuk menakut-nakuti Wisesa, agar ia tidak lagi berusaha untuk mempersoalkan keberadaan Manggada dan Laksana di barak Wira Sabet dan Sura Gentong.

Ternyata Wisesa benar-benar menjadi ketakutan, sehingga anak muda itu agaknya tidak akan mengucapkannya lagi kepada siapapun juga. Karena jika alasan keberadaan Manggada dan Laksana yang sebenarnya diketahui, yang akan mengalami bencana bukan saja Manggada dan Laksana, tetapi juga ketiga orang yang telah membawanya masuk.

Sementara itu Ki Jagabaya dan Sampurna benar-benar telah mempersiapkan rencana untuk justru datang ke barak Wira Sabet dan Sura Gentong. Sampurna hari itu juga telah menghubungi anak-anak muda yang telah menyatakan kesediaannya untuk membantunya membebaskan padukuhan mereka dari bayangan kegarangan Wira Sabet dan Sura Gentong.

Ketika kemudian malam turun, maka seperti yang diharapkan, maka Ki Pandi telah mengunjungi Manggada dan Laksana. Ki Carang Aking pun telah ikut terlibat pula dalam pembicaraan yang sungguh-sungguh tentang berbagai hal yang menyangkut rencana Ki Jagabaya untuk justru menyerang barak itu lebih dahulu.

“Empat orang saudagar itu akan aku hubungi pula. Jika mereka menyatakan kesediaan mereka, maka kita akan segera mulai”

“Nampaknya perhiasan dan wesi aji yang dirampas itu memang dibawa kemari” berkata Ki Carang Aking “Dengan demikian, maka jika kita berhasil, maka keempai orang saudagar itu akan mendapatkan barang-barang mereka yang harganya sangat tinggi itu kembali.”
Namun dalam pada itu, Manggada pun telah mengatakannya pula, bahwa agaknya Ki Sapa Aruh telah berniat untuk dengan bersungguh-sungguh menangani persoalan padukuhan Gemawang dan Kademangan Kalegen. Nampaknya tugas-tugas yang lain akan dikesampingkan. Perkembangan terakhir di padukuhan Gemawang agaknya tidak sejalan dengan rencana Wira Sabet dan Sura Gentong.

“Baiklah, Ki Pandi” berkata Ki Carang Aking “Ki Pandi agaknya harus semakin sering mengunjungi kami disini.”

“Bukankah hampir setiap malam aku datang kemari? “Lebih dari setiap malam” desis Ki Carang Aking. “Jadi maksudmu juga di siang hari?” bertanya Ki Pandi pula.

“Tidak. Itu akan sulit dilakukan. Maksudku, jika perlu satu malam dua kali. Mungkin tentang hasil sebuah pembicaraan harus segera kami dengar atau sebaliknya” berkata Ki Carang Aking.

Ki Pandi termangu-mangu. Namun kemudian katanya “Jika saja aku masih semuda Manggada dan Laksana”

Ki Carang Aking tersenyum. Katanya “Kenapa bukan aku yang mencoba membantu Ki Pandi keluar masuk barak ini.”

“Itu lebih berbahaya...“ Manggadalah yang menyahut “Setiap saat orang-orang di barak ini memerlukan kita. Pagi, siang, malam dan kapan saja mereka kehendaki tanpa mengenal waktu. Saat mereka akan pergi dan saat mereka kembali”

Ki Carang Aking mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berdesis “Aku tidak terbiasa mengungkung diri seperti ini. Aku terbiasa terbang kesana kemari menuruti keinginan sepasang kakiku ini”

Tetapi Ki Pandi segera menyahut “Siapa yang mengikatmu disini? Ki Sapa Aruh?”

Ki Carang Aking tersenyum. Katanya “Ya. Ki Sapa Aruh”

“Kau mengeluh karena kau telah membawa beban yang kau letakkan sendiri dipundakmu?” berkata Ki Pandi.

Ki Carang Aking bahkan tertawa. Katanya, “Aku tidak mengira bahwa keterkaitanku akan menjadi berlama-lama seperti ini. Tetapi aku agaknya dapat mengharap, bahwa aku akan segera dapat meninggalkan penjara ini, setelah kalian datang.”

Ki Pandi pun hanya tersenyum lalu keluar dari barak.

Demikianlah, maka sejak hari itu, Ki Jagabaya di Gemawang telah meningkatkan segala persiapan meskipun dengan diam-diam. Sementara Ki Pandi lelah menghubungi lagi anak Ki Demang Rejandani yang telah dirampok habis-habisan oleh Ki Sapa Aruh dan para pengikutnya.

“Tidak akan ada korban yang sia-sia” berkata Ki Pandi “Jika orang-orang Gemawang terlibat dalam hal ini, sama sekali tidak ada hubungannya dengan perhiasan dan wesi aji yang dirampok itu. Tetapi karena orang-orang Gemawang mempunyai kepentingan sendiri. Selama ini mereka berada dalam bayangan kekuatan orang-orang yang telah merampok kalian disini”

Bukan saja anak Ki Demang Rejandani yang menemui Ki Pandi. Tetapi Ki Demang sendiri ikut menemuinya dan bahkan Ki Demang itulah yang menjawab,

“Ki Sanak. Kami akan bekerja sama dengan Ki Sanak. Persoalannya bukan sekedar mereka merampok anakku. Tetapi perampokan itu telah melanggar hak atas orang-orang Kademangan Rejandani. Karena itu, bukan saja anakku dan ketiga orang saudagar kawan-kawannya itu yang akan melibatkan diri. Tetapi aku dan beberapa orang terpilih dari Kademangan ini. Menurut keterangan anakku, kelompok perampok itu adalah kelompok yang sangat kuat. Karena itu, maka tanpa kerja sama dengan pihak lain, Kademangan ini agaknya juga akan mengalami kesulitan”

Namun Ki Pandi pun telah berterus terang, bahwa orang-orang padukuhan Gemawang dan bahkan Kademangan Kalegen dibayangi oleh ketakutan. Nampaknya terhadap orang-orang Gemawang dan Kalegen yang lebih berbicara adalah justru dendam dihati Wira Sabet dan Sura Gentong.

“Kami sedang mencari sisa-sisa keberanian di hati anak-anak mudanya” berkata Ki Pandi.

Ki Demang Rejandani itu mengangguk-angguk. Katanya “Kami dapat mengerti, Ki Sanak. Jika setiap hari mereka selalu ditakuti dengan segala macam cara, maka lambat laun, mereka benar-benar kehilangan keberanian.”

“Beruntunglah bahwa kami masih menemukan kekuatan yang tersimpan di padukuhan Gemawang sehingga kami masih dapat merencanakan satu langkah yang mungkin sangat berbahaya” berkata Ki Pandi. Namun kemudian katanya pula “Apalagi yang dihadapi adalah Ki Sapa Aruh!”

Ki Demang mengerutkan dahinya. Kalanya, “Nama itu memang dapai menggejutkan jantung. Tidak ada orang yang dapat melawannya. Karena itu untuk membatasi kemampuannya, harus disiapkan beberapa orang yang khusus akan menghadapinya”

“Ya“ Ki Pandi mengangguk-angguk “Kita akan membicarakannya dengan matang sebelum kita melangkah. Tetapi kesediaan Ki Demang telah membesarkan hati kami. Ki Jagabaya padukuhan Gemawang akan mengatur segala-galanya”

“Baiklah...” berkata Ki Demang Rejandani “Bahwa mereka telah merampok di daerah kami, tentu menjadi kewajiban kami untuk mencegah hal itu terulang lagi. Adalah juga tugas kami untuk menemukan kembali barang-barang yang telah dirampok itu. Bukan karena sebagian daripadanya adalah milik anakku, tetapi siapapun yang mengalami, maka kami semuanya mempunyai tugas untuk mengambilnya kembali. Karena itu, sebelum penghuni Kademangan ini mengalami nasib seperti orang-orang Gemawang yang telah dicengkam oleh ketakutan karena keberhasilan para pengikut Sapa Aruh untuk menciptakan suasana seperti itu, maka kami harus bertindak lebih cepat.”

“Ya Ki Demang!” berkata Ki Pandi “Jika keadaan ini berlangsung terlalu lama, maka Gemawang dan bahkan Kademangan Kalegen benar-benar tidak akan mampu berbuat apa-apa lagi. Dengan demikian maka Gemawang tidak akan pernah dapat bangkit lagi, karena pimpinan padukuhan itu akan berada di tangan Ki Sapa Aruh, yang perlahan-lahan tetapi pasti juga akan menguasai Kademangan Kalegen seluruhnya."

“Baiklah Ki Pandi...” berkata Ki Demang Rejandani “kami menunggu saat untuk bertindak. Kapanpun, kami sudah siap. Tidak hanya keempat orang yang sudah dirampok itu. Aku sendiri dan beberapa orang terkuat di Kademangan ini akan ikut serta”

Kesediaan Ki Demang itu membesarkan hati Ki Pandi. Kesediaan ini kemudian telah diteruskan kepada Ki Kertasana yang kemudian menyampaikannya kepada Ki Jagabaya.

“Baiklah...” berkata Ki Jagabaya “Kita akan segera mulai. Tetapi sebaiknya kita bertemu langsung dan membuat rencana-rencana yang matang dengan Ki Demang, agar kita tidak terperosok ke dalam kesulitan karena salah paham.”

Sebenarnyalah Ki Jagabaya dan Ki Kertasana serta Ki Pandi telah pergi ke Kademangan Rejandani untuk menemui Ki Demang dan keempat saudagar perhiasan dan wesi aji itu. Akhirnya mereka menentukan, bahwa mereka dalam waktu dekat akan menyerang barak Wira Sabet dan Sura Gentong di sekitar pekan mendatang.

“Kita mengalami kesulitan untuk menentukan, apakah kita akan menunggu kedatangan Ki Sapa Aruh atau tidak?” berkata Ki Pandi “Jika kita menunggu, maka dapat terjadi kesulitan yang sulit di atasi oleh Manggada dan Laksana, karena sulit untuk mengetahui Ki Sapa Aruh. Tetapi jika tidak menunggu kehadirannya, maka ia akan tetap merupakan duri yang ada di dalam daging bagi ketenangan hidup khususnya di Gemawang”

“Ki Pandi benar...” berkata Ki Kertasana. Untuk hal itu, maka sebaiknya Ki Pandi berbicara langsung dengan anak-anak itu. Bukankah Ki Pandi dapat memasuki barak itu kapan saja?”

“Hanya di waktu malam...” jawab Ki Pandi.

“Nah, jika demikian, maka nanti malam Ki Pandi dapat membicarakannya dengan Manggada dan Laksana...” berkata Ki Kertasana yang selalu dibayangi kecemasan tentang anak dan kemanakannya itu.

Ki Pandi mengangguk mengiakan. Katanya kemudian, “Besok kita akan berbicara lagi”

Demikianlah, maka Ki Jagabaya, Ki Kertasana dan Ki Pandi pun telah minta diri untuk kembali ke Gemawang. Malam itu, seperti biasanya, Ki Pandi mengunjungi Manggada dan Laksana. Ki Pandi pun kemudian menceriterakan pertemuannya dengan Ki Jagabaya, Ki Kertasana dan Ki Demang Rejandani.

“Aku sanggup menemui mereka esok dengan membawa laporan, bagaimana menurut pendapat kalian dan Ki Carang Aking?”

“Memang rumit Ki Pandi. Kedua-duanya mengandung kemungkinan baik tetapi juga kemungkinan buruk” jawab Ki Carang Aking. Namun katanya kemudian “Tetapi aku condong untuk menunggu kedatangan Ki Sapa Aruh. Orang itu harus kita hancurkan sampai tuntas. Agaknya tidak akan terlalu lama lagi. Selebihnya, Ki Sapa Aruh tidak begitu memperhatikan keadaan budak-budaknya, sehingga ia tidak dapat mengenali budak-budak itu dengan baik. Karena itu maka kelebihan satu dua orang di barak itu tidak akan menarik perhatiannya.”

Ki Pandi mengangguk-angguk. Namun agaknya ia masih mencemaskan nasib Manggada dan Laksana. Karena itu, maka ia pun kemudian bertanya, “Seandainya sengaja atau tidak sengaja Ki Sapa Aruh menemukan kalian disini?”

“Jika hal itu terjadi, maka apa boleh buat. Jika hidupku harus berakhir disini. Tetapi jika aku mati, maka Ki Sapa Aruh tentu akan mati juga...” jawab Ki Carang Aking.

Ki Pandi masih mengangguk-angguk. Tetapi seandainya terjadi demikian, maka Manggada dan Laksana masih tetap berada dalam bahaya. Ki Carang Aking yang melihat keragu-raguan itu berkata, “Untuk mengatasi kemungkinan itu, maka sebaiknya Ki Pandi segera mempersiapkan orang-orang yang bersedia melibatkan diri untuk melawan para penghuni barak itu. Ki Pandi akan membawa mereka secepat mungkin demikian diketahui Ki Sapa Aruh itu datang”

“Baiklah. Meskipun tetap mengandung bahaya, tetapi aku akan menempuh jalan ini. Besok aku akan minta Ki Jagabaya mempersiapkan segala-galanya!” berkata Ki Pandi.

“Kami akan memberikan isyarat Ki Pandi” berkata Manggada kemudian “jika kami ketahui ia berada disini di siang hari, maka kami akan menaruh sebuah cemeti kuda di ujung senggol timba itu. Bukankah ujung senggot itu akan nampak dari luar dinding?”

Sambil tersenyum Ki Pandi menjawab “Dari jarak berapa puluh langkah aku dapat berdiri paling dekat dengan barak ini? Apakah kira-kira mata tuaku masih dapat melihat ujung cemeti itu? Kecuali itu, apakah berarti siang dan malam aku harus menunggui barak ini?”

Ki Carang Akingpun tertawa. Katanya, “Tetapi aku sependapat bahwa isyarat itu akan ditaruh di ujung senggot timba itu. Jika cemeti itu terlalu kecil, maka kami akan menaruh apa saja di ujung senggot itu”

“Bukankah ilu tidak perlu. Setiap malam aku datang kemari” berkata Ki Pandi.

“Maksudku, jika Ki Sapa Aruh datang di pagi hari. Maka waktu yang sehari menunggu kedatangan Ki Pandi di malam hari, tentu terlalu lama. Mungkin Ki Sapa Aruh itu sudah sempat melakukan sesuatu disini. Sementara itu, Ki Pandi kami mohon untuk melihat-lihat meskipun dari kejauhan di siang hari."

Ki Pandi tertawa. Katanya, “Baiklah. Aku terima beban ini, karena agaknya memang hanya aku yang dapat melakukannya”

Demikianlah, maka di tengah malam dengan hati-hati Ki Pandi pun telah keluar dari barak itu dengan meloncati dinding sebagaimana sering dilakukannya. Ternyata Ki Pandi yang meskipun sudah terhitung tua itu, adalah seorang penghubung yang baik, lagi-pagi ia sudah berbicara dengan Ki Kertasana dan Ki Citrabawa. Ki Kertasana kemudian berbicara dengan Ki Jagabaya dan bersama-sama pergi ke rumah Ki Demang Rejandani dengan Ki Pandi pula.

Merekapun kemudian telah mendapatkan kesempatan, bahwa menjelang pekan mendatang, Ki Demang, anaknya bersama tiga orang kawannya dan beberapa orang terkuat dari Kademangan Rejandani akan berada di hutan dekat barak Wira Sabet dan Sura Gentong. Ki Pandi yang sudah terbiasa berada di hutan itu akan mengatur tempat bagi mereka. Demikian pula orang-orang padukuhan Gemawang. Mereka juga akan berkemah di hutan itu pula.
Namun dalam pada itu. Manggada dan Laksanapun berusaha untuk mengetahui kapan Ki Sapa Aruh akan datang ke barak itu. Justru sehari sebelum hitungan pekan itu sampai, Ki Sapa Aruh memang sudah berada di barak itu. Tetapi tidak sampai setengah hari. Nampaknya ia masih sangat sibuk sehingga sebelum matahari turun, ia sudah tidak ada lagi di barak.

Tetapi pada hari itu juga Manggada dan Laksana mendengar dari orang-orang yang pernah dikalahkan oleh Laksana itu, bahwa Ki Sapa Aruh akan kembali lagi dalam dua hari mendatang. Mereka mengatakan bahwa segala sesuatu sudah dipersiapkan untuk menyelesaikan persoalan padukuhan Gemawang.

“Dendam Ki Sura Gentong sudah sampai ke ubun-ubun...“ berkata salah seorang dari mereka.

“Apakah ia juga mengatakan kepada para pengikutnya tentang dendam itu?” bertanya Laksana.

“Ya” jawab orang itu “isterinya telah dibunuh oleh Ki Jagabaya. Karena itu, maka sebagai gantinya, maka ia akan mengambil anak Ki Jagabaya itu sebagai isterinya meskipun anak Ki Jagabaya itu masih terlalu muda”

“Itu tidak boleh terjadi...” desis Laksana.

Tetapi sambil tersenyum Manggada bertanya “Yang mana yang tidak boleh terjadi? Pembalasan dendam itu atau rencana Sura Gentong untuk mengambil anak Ki Jagabaya?”

“Kedua-duanya...” jawab Laksana. Tetapi Laksana itupun tertawa pula.

Demikianlah, maka keterangan itupun lelah disampaikan pula kepada Ki Pandi. Keterangan itulah yang dipergunakan sebagai ancar-ancar kehadiran Ki Sapa Aruh di barak itu. Dengan demikian, maka Ki Pandi pun segera mempersiapkan kekuatan yang akan menyerang barak itu. Ki Jagabaya, Ki Kertasana, Ki Citrabawa bersama beberapa orang anak muda yang dipimpin Sampurna telah berkemah di dalam hutan bersama Ki Demang Rejandani, anaknya dan ketiga orang kawannya, bersama beberapa orang yang dianggap memiliki kelebihan dan keberanian di Kademangan Rejandani.

Seperti yang dikatakan oleh orang-orang yang pernah dikalahkan oleh Laksana, maka dua hari kemudian, Ki Sapa Aruh benar-benar telah berada di barak itu. Tetapi Ki Sapa Aruh tidak sendiri. Ia datang bersama seorang kawannya dan beberapa orang pengikutnya.

Ki Carang Aking pun menjadi semakin berhati-hati. Ia telah memberitahukan kepada kedua orang muridnya yang juga berada di barak itu sebagai dua orang penyabit rumput. Sambil membersihkan kuda di kandang, maka Ki Carang Aking telah memberikan petunjuk-petunjuk kepada Manggada, Laksana dan dua orang muridnya yang sedang memotong-motong rumput bagi kuda-kuda yang sudah dibersihkan itu.

Untunglah, bahwa sebentar kemudian matahari turun. Ki Sapa Aruh yang memang tidak banyak menaruh perhatian kepada budak-budak itu tidak sempat melihat kekuatan-kekuatan yang tersembunyi di sekitar kandang kuda itu.

Malam itu, Ki Pandi telah datang pula ke kandang. Namun Ki Carang Aking telah memperingatkannya, bahwa malam itu Ki Sapa Aruh telah berada di barak.

“Ia bukan saja mempunyai penglihatan dan pendengaran yang tajam, tetapi penggraitanya melampaui panggraita seekor kuda.”

Ki Pandi mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan segera keluar dari barak ini. Tetapi kita harus membuat persetujuan. Kapan sebaiknya, kami akan menyerang barak ini”

“Jangan tertunda-tunda” jawab Ki Carang Aking “Jika kalian memang sudah siap, maka sebaiknya kalian melakukan serangan itu”

“Besok, saat fajar menyingsing, kami akan memasuki barak ini. Kami sudah mendapat keterangan dari kalian tentang kekuatan yang ada, sehingga kami dapat memperhitungkan kekuatan yang kami miliki.”

“Tetapi perlu diperhitungkan. Ki Sapa Aruh tidak datang sendiri. Ia datang dengan seorang kawannya yang mungkin juga berilmu tinggi serta empat orang pengikutnya. Agaknya mereka termasuk kepercayaan Ki Sapa Aruh untuk memperkuat kedudukannya disini jika pada saatnya ia akan memasuki padukuhan dan tentu selanjutnya Kademangan Kelegen.” berkata Ki Carang Aking selanjutnya.

Ki Pandi mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kami akan memperhitungkan kembali kekuatan yang ada pada kami”

“Hati-hatilah Ki Pandi” berkata Ki Carang Aking kemudian.

Demikianlah, dengan sangat berhati-hati Ki Pandi keluar dari dinding barak itu. Ia sudah terbiasa melakukannya. Tetapi justru karena Ki Sapa Aruh ada di barak itu, maka Ki Pandi harus menjadi lebih berhati-hati. Ketika Ki Pandi berada diperkemahan di hutan sebelah barak itu, maka iapun telah memberitahukan kehadiran Ki Sapa Aruh.

“Manggada dan Laksana tidak perlu memasang isyarat di ujung senggot timba. Sebenarnya akupun cemas, bahwa isyarat itu akan dapat memanggil kecurigaan kepada orang-orang yang ada di dalam barak itu...” berkata Ki Pandi pula.

Malam itu juga Ki Jagabaya dan Ki Demang Rejandani memutuskan untuk menyerang perkemahan itu esok saat fajar menyingsing. Karena itu, maka merekapun segera mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Mereka harus benar-benar siap untuk berperang sebagaimana sekelompok prajurit yang turun ke medan.

Menurut perhitungan Ki Pandi, maka kekuatan yang ada di perkemahan itu akan dapat mengatasi kekuatan yang ada di dalam barak. Meskipun demikian Ki Pandi itupun memperingatkan,

“Namun bagaimanapun juga kita harus menganggap bahwa kita akan berhadapan dengan lawan yang sangat tangguh. Di dalam barak itu tinggal orang-orang yang sudah terbiasa melakukan kekerasan. Bahkan hidup mereka sehari-hari memang diwarnai oleh kekerasan. Suasana yang sangat berbeda dengan suasana hidup kita sehari-hari. Apalagi Ki Sapa Aruh dan kepercayaannya. Mereka nampaknya memiliki kelebihan dari kebanyakan penghuni barak itu. Selain mereka masih ada saudara-saudara seperguruan Wira Sabet dan Sura Gentong.”

“Baik Ki Pandi...” berkata Ki Jagabaya “Kita sudah sepakat untuk bertempur dalam satu kekuatan. Mungkin ada di antara kita yang mempercayakan segala kemampuan kita secara pribadi. Tetapi pada dasarnya kita akan bertempur bersama-sama. Karena itu, maka jika perlu kita akan bertempur dalam kelompok-kelompok kecil tergantung pada lawan yang akan kita hadapi, karena agaknya sulit bagi kita untuk dapat memilih lawan.”

Ki Pandi mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sependapat. Kita akan bertempur dalam satu kebulatan kekuatan.”

“Di dalam barak itu ada Manggada dan Laksana...” berkata Ki Kertasana.

“Ya” sahut Ki Pandi. “Selain mereka masih ada tiga orang yang dapat membantu kita. Seorang tua yang berilmu tinggi bersama dua orang muridnya”

“Bagaimana mereka dapat berada disana? Apakah mereka dapat dipercaya?” bertanya Ki Jagabaya.

“Mereka sengaja menyusup sebagaimana Manggada dan Laksana. Tetapi tentu dengan cara yang berbeda. Agaknya Ki Carang Aking memang membayangi Ki Sapa Aruh...” jawab Ki Pandi.

“Tetapi bagaimana kita mengisyaratkan kepada mereka yang ada di dalam barak itu, bahwa kita akan menyerang mereka esok saat fajar menyingsing?” bertanya Ki Demang Rejandani.

“Bukankah aku baru saja dari barak itu? Meskipun belum pasti, tetapi aku sudah mengisyaratkan bahwa besok saat fajar menyingsing kita akan menyerang perkemahan itu. Meskipun demikian, biarlah nanti aku memberitahu isyarat lagi kepada mereka.”

“Ki Pandi akan memasuki barak itu lagi?” bertanya Ki Demang.

“Tidak. Itu tidak perlu. Biarlah kedua ekor harimau ku memberitahu isyarat itu esok menjelang fajar.”

“Harimau?” bertanya Ki Demang dan Ki Jagabaya hampir berbareng.

Ki Pandi mengerutkan keningnya. Ia tidak sengaja ingin menyebut kedua ekor harimaunya. Namun di luar sadarnya, ia sudah mengatakannya. Karena itu, maka iapun menjawab,

“Ya. aku memelihara dua ekor harimau yang dapat membantuku dalam keadaan yang khusus. Besok, aku juga akan membawanya. Tetapi mereka tidak akan melibatkan diri jika aku tidak memberikan perintah.”

Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Tetapi ia masih juga bertanya, “Apakah kedua ekor harimau itu tidak dapat salah menyerang kawan sendiri?”

“Aku sendiri harus mengendalikannya.” jawab Ki Pandi.

Demikianlah, maka keputusan itu telah disampaikan kepada semua orang yang berada di perkemahan itu. Merekapun telah mendapat penjelasan, siapakah yang akan mereka hadapi. Cara yang akan mereka pergunakan dalam pertempuran itu, sehingga karena itu, maka Ki Jagabaya pun berkata,

“Seperti yang sudah aku katakan kita tidak akan berpencaran. Seandainya kita memecah kelompok ini, maka kita harus masih tetap berada di dalam kelompok-kelompok meskipun lebih kecil. Kita harus menyadari, bahwa orang-orang yang ada di barak itu secara pribadi memiliki kemampuan dan bahkan kebiasaan untuk melakukan kekerasan. Namun dalam pada itu, kita berbekal tekad untuk memberantas kejahatan sebagaimana sering mereka lakukan. Dengan menghancurkan mereka, maka kita akan menghentikan kejahatan-kejahatan yang akan mereka lakukan kemudian.”

Demikianlah, maka Ki Jagabaya pun telah menasehatkan kepada orang-orang yang berada di perkemahan itu untuk beristirahat. Besok pagi-pagi mereka harus sudah bergerak ke barak itu.

Sementara itu, Ki Jagabaya telah menunjuk orang-orang yang khusus untuk menyiapkan perbekalan bagi mereka. Termasuk persediaan makan. Beberapa orang ditugaskan untuk mengambil makanan yang dipersiapkan di padukuhan. Meskipun jaraknya cukup jauh, tetapi itu adalah cara yang paling baik untuk tidak menarik perhatian, karena mereka tidak dapat menyiapkannya di perkemahan.

Tugas mereka yang mempersiapkan makan dan minum itu tidak kalah beratnya dari tugas yang dibebankan kepada mereka yang akan memasuki barak Wira Sabet dan Sura Gentong itu.

Malam itu, mereka yang akan turun ke medan masih sempat beristirahat meskipun tidak terlalu lama. Karena di dini hari, mereka harus sudah bangun dan mempersiapkan diri sebaik-baiknya.

Karena tugas-tugas kekerasan seperti itu bukannya kebiasaan mereka, maka beberapa orang memang menjadi tegang. Di dinginnya dini hari, keringat mereka sudah mulai membasahi pakaian mereka.

Tetapi sikap Ki Jagabaya, Ki Demang Rejandani, Ki Kertasana, Ki Citrabawa dan beberapa orang yang lain cukup meyakinkan, sehingga ketegangan beberapa orang itupun menjadi agak mengendor....
Selanjutnya,
Sejuknya Kampung Halaman Bagian 17