Sejuknya Kampung Halaman Bagian 15 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Arya Manggada - Sejuknya Kampung Halaman Bagian 15
Karya : Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
Mereka yang ada di bilik itupun tertawa tertahan. Namun dalam pada itu, maka Ki Pandipun telah minta diri. Dengan sangat berhati-hati ia telah meninggalkan barak itu.

Sepeninggal Ki Pandi, Manggada dan Laksana masih berbincang tentang berbagai kemungkinan sambil menunggu kedatangan beberapa orang penghuni barak itu dengan kuda-kuda mereka. Sementara Ki Carang Aking berbaring sambil membayangkan apa yang dapat terjadi di kemudian. Apabila kegiatan Wira Sabet dan Sura Gentong itu tidak dihentikan, maka akibatnya akan parah bagi banyak pihak.

Apalagi jika mereka berhasil menguasai padukuhan Gemawang dengan alasan yang telah direka-rekanya, dihubungkan dengan dendam mereka atas orang-orang padukuhan Gemawang. Seolah-olah mereka memang mempunyai hak yang sah untuk melepaskan dendam mereka.

Namun mereka telah memperhitungkan kemungkinan yang lebih jauh dari sekedar menguasai padukuhan Gemawang dan bahkan kemudian Kademangan Kalegen. Dengan menguasai Kademangan itu, maka mereka mempunyai landasan yang sangat mapan bagi pekerjaan mereka yang kotor itu.
Namun dalam pada itu, telah terdengar pula derap kaki kuda, sehingga mereka bertiga harus bangkit dan menerima kuda yang baru datang itu. Sedangkan untuk menunggu kuda berikutnya, maka bertiga mereka telah membagi waktu. Seorang dari mereka harus tetap terjaga. Jika seorang di antara saudara seperguruan Wira Sabet datang tanpa ada yang mengetahuinya, maka kemarahan mereka akan dapat berakibat sangat buruk bagi Sampar dan kemudian kedua orang anak muda yang membantunya itu.

Baru setelah kuda terakhir datang, maka mereka dapat tidur dengan nyenyak sampai dini hari. Namun Manggada, Laksana dan Sampar telah mendapat kesan, bahwa barak itu menjadi sibuk. Sebelum matahari naik dua orang sudah meninggalkan barak itu dengan kudanya.

Kemudian Wira Sabet dan Pideksa. Demikian matahari naik lebih tinggi, Sura Gentong dan saudara seperguruannya yang berwajah tampan itu telah pergi pula. Sampar yang tua, yang telah lebih lama berada di tempat itu, berdesis, “Kesibukan ini memang mendebarkan...”

“Kenapa?” bertanya Manggada.

“Kesibukan seperti ini adalah pertanda, bahwa mereka menemukan sasaran. Mereka nampaknya sedang meyakinkan, apakah malam nanti mereka dapat melakukannya”

“Melakukan apa?” bertanya Laksana.

“Perampokan” jawab orang tua itu.

Manggada dan Laksana berpandangan sejenak. Namun keduanya tidak berbicara lagi. Mereka sudah mengerti, apa yang kira-kira akan terjadi malam nanti.

Hari itu Sampar nampak gelisah. Menjelang tengah hari, maka kedua orang yang menyabit rumput telah datang ke kandang sambil membawa masing-masing sekeranjang rumput segar. Seorang di antara keduanya berjalan dengan sebelah kaki yang timpang. Bahkan tangan dan separuh tubuhnya nampak lemah.

Sedangkan yang lain memandang dunia dengan penuh keheranan, meskipun umurnya sudah sepertiga abad. Sekali-kali ia nampak tersenyum-senyum melihat sekelilingnya. Namun kemudian wajahnya menjadi murung.

“Inilah kedua kemanakanku itu” berkata Ki Carang Aking. Manggada dan Laksana tersenyum. Mereka yakin bahwa keduanya adalah murid Ki Carang Aking.

Karena itu, maka Laksanapun telah mendekati orang yang nampaknya akan terganggu syarafnya itu sambil bertanya “Kau dapat juga menyabit rumput sekeranjang penuh?”

Orang itu tertawa. Namun sebelum ia mengucapkan sepatah katapun, Ki Carang Akingpun berkata “Mereka sudah tahu, siapakah kalian”

Orang yang tertawa itu tiba-tiba mengerutkan dahinya, sementara Ki Carang Aking berkata “Ia berada di tempat ini dengan tujuan yang sama sebagaimana kita disini. Mereka adalah anak-anak muda Gemawang. Bukankah kalian sudah mendengar nama mereka berdua?”

Orang yang sehari-hari nampak seperti terganggu syarafnya itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jika aku harus melakukan peranan ini sebulan lagi, maka aku benar-benar dapat menjadi gila”

Manggada dan Laksana tertawa. Sementara Ki Carang Aking pun tersenyum sambil berkata “Kita sedang berusaha untuk secepatnya menyelesaikan tugas kita disini”

Orang yang timpang itupun telah menjadi tegak pula sambil berkata “Aku sudah lelah. Setiap malam aku harus memijit kakiku yang timpang ini”

“Kita semua berpura-pura disini” berkata Ki Carang Aking.

“Tetapi kedua anak muda ini lain, guru. Mereka tidak perlu menjadi cacat. Mungkin mereka hanya berpura-pura tunduk kepada segala perintah” berkata orang yang pura-pura cacad itu.

“Semuanya akan segera kita selesaikan” jawab gurunya. Namun pembicaraan itupun segera terhenti. Mereka mendengar derap kaki kuda yang mendekat.

Demikianlah, maka kedua orang yang cacat itupun segera meletakkan keranjang yang penuh rumput itu dan mengambil keranjang yang kosong. Mereka harus pergi lagi ke bagian belakang barak itu untuk menyabit rumput. Mereka harus melakukan pekerjaan itu sehari penuh. Mereka hanya berhenti di siang hari untuk makan. Hari itu memang terasa sibuk. Satu-satu para penghuni barak itupun kembali. Namun agaknya mereka masih harus berbicara panjang di antara mereka.

Di sore hari, ketika Manggada dan Laksana baru saja selesai membersihkan kuda-kuda yang baru saja dipakai, tiga orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong telah datang menemui Manggada dan Laksana. Keduanya dipanggil ke sudut kandang untuk diberi keterangan tentang pertemuan mereka dengan Wisesa hari itu di padukuhan Gemawang.

“Kami sudah menakut-nakutinya” berkata salah seorang dari mereka “kami mengatakan bahwa ia telah memfitnah. Bukan saja Manggada dan Laksana, tetapi terutama kawan-kawan kami yang dikatakan telah kalian kalahkan itu”

“O” Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sambil tersenyum Laksana bertanya “Apa katanya?”

“Anak itu memang menjadi ketakutan. Bahkan hampir pingsan. Kami memaksanya berjanji untuk tidak memfitnah lagi. Jika sekali lagi ia berbicara tentang kekalahan para pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong, maka kami akan mengoyakkan mulutnya.

“Aku kira ia benar-benar akan diam” berkata Manggada kemudian, sementara Laksana menyambung “ia tidak akan mempunyai keberanian untuk memperbandingkan sikap kalian dengan kawan-kawan kalian yang lain”

“Baiklah” berkata salah seorang dari ketiga orang itu “kami harus segera bersiap-siap untuk tugas khusus malam ini”

“Tugas khusus apa?” bertanya Manggada.

“Kami mempunyai sasaran yang sangat baik malam ini”

Manggada dan Laksanapun segera mengetahui maksud orang itu. Dengan nada datar Manggada bertanya “Dimana?”

“Saudagar emas dan permata serta wesi aji. Tiga orang pedagang yang membawa dagangan cukup banyak. Mereka akan berada di rumah saudagar emas dan permata pula. Esok pagi mereka akan bersama-sama pergi ke pesisir Utara dengan membawa dagangannya itu. Ki Sapa Aruh telah memerintahkan kami untuk bergerak. Kami tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang jarang ada. Empat orang pedagang dengan dagangannya telah berkumpul. Seakan-akan mereka memang menyediakan emas, permata dan yang tidak kalah nilainya adalah wesi aji itu”

“Dimana rumah saudagar itu?” bertanya Manggada sambil lalu.

Orang-orang itu sama sekali tidak mencemaskan keduanya, bahwa keduanya akan membocorkan rahasia itu, karena keduanya tidak akan dapat keluar dari tempat itu. Karena itu seorang di antara mereka berkata, “Tidak terlalu jauh dari tempat ini. Saudagar itu tinggal di padukuhan Rejandani Kulon. Saudagar emas yang tinggal di Rejandani itu kebetulan anak Ki Demang Rejandani itu sendiri”

“Kapan kalian akan berangkat?” bertanya Manggada.

“Biasanya kami lakukan tugas itu pada tengah malam,” jawab orang itu.

Manggada dan Laksana tidak bertanya lebih banyak lagi. Sementara itu, ketiga orang itupun segera meninggalkan mereka sebelum orang lain memperhatikannya. Sepeninggal ketiga orang itu, maka Manggada dan Laksana segera menghubungi Ki Carang Aking dan menceriterakan apa yang mereka dengar dari ketiga orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong itu.

“Menarik sekali” desis Ki Carang Aking “Tetapi apa yang dapat kita lakukan karena kita berada disini?”

“Kita akan menceriterakan kepada Ki Pandi jika ia benar-benar datang” desis Manggada.

Ki Carang Aking mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Mudah-mudahan ada satu cara untuk membantu saudagar-saudagar itu”

Dengan demikian, maka yang dapat mereka lakukan hanyalah menunggu. Namun mereka menyadari, bahwa tugas mereka akan menjadi berat. Mereka tentu akan mendapat perintah untuk menyiapkan tidak hanya lima atau enam ekor kuda. Tetapi tentu lebih dari itu.

“Menjelang tengah malam, kuda-kuda itu tentu harus siap” berkata-Ki Carang Aking.

“Apakah kita dapat menyiapkan mulai sekarang?” bertanya Laksana.

“Bagaimana mungkin” jawab Manggada “Bukankah kita tidak tahu bahwa kuda-kuda itu akan dipergunakan malam nanti?”

Laksana mengerutkan dahinya. Namun iapun kemudian tertawa kecil sambil berdesis “Ya. Alangkah bodohnya”

Karena itu, tidak ada yang dapat mereka kerjakan mendahului perintah, karena hal itu akan dapat membuat para pemimpin barak itu menjadi curiga. Ketika kemudian senja lewat dan malam turun, mereka benar-benar menanti kedatangan Ki Pandi.

“Sebagaimana pesan Ki Pandi, kita harus menutup pintu” berkata Laksana.

Ki Carang Aking mengangguk-angguk. Sementara itu merekapun duduk di dalam bilik itu sambil berbicara di antara mereka agar jika Ki Pandi berada di luar, ia dapat mendengar bahwa tidak ada orang lain di dalam bilik itu.

Ki Pandi memang benar datang. Dari jauh ia sudah melihat pintu tertutup. Karena itu, maka iapun dengan sangat berhati-hati mendekati pintu yang tertutup itu.

Beberapa saat Ki Pandi memang berdiri di luar. Ia mendengarkan pembicaraan orang-orang yang ada di dalam. Baru ketika ia yakin bahwa tidak ada orang lain, maka iapun telah mengetuk pintu. Tidak terlalu keras, tetapi segera didengar oleh mereka yang ada di dalam bilik itu.

Ketika kemudian Ki Pandi duduk di dalam bilik itu, serta pintu telah ditutup kembali, Manggada dan Laksanapun segera menceriterakan rencana para penghuni barak itu untuk merampok beberapa orang saudagar emas, permata serta wesi aji yang akan berkumpul di rumah anak Ki Demang Rejandani dan tinggal di Rejandani Kulon.

Ki Pandi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Sebaiknya rencana itu kita gagalkan. Kita harus membantu para saudagar itu. Kita memang tidak bersangkut-paut dengan mereka. Jika kita tidak mendengar rencana ini, maka kita tidak akan merasa dibebani penyesalan jika esok kita mendengar berita tentang perampokan itu. Dan mungkin tindak kekerasan yang lain, karena aku yakin keempat orang saudagar itu tidak akan menyerahkan barang dagangan mereka yang nilainya sangat tinggi begitu saja. Kitapun tahu bahwa saudagar keliling yang sering menempuh perjalanan jauh biasanya memiliki kepercayaan diri serta bekal kemampuan olah kanuragan”

“Jadi bagaimana menurut Ki Pandi?” bertanya Ki Carang Aking.

“Aku akan pergi ke Rejandani itu” berkata Ki Pandi. Lalu katanya “Aku menduga bahwa kekuatan yang dibawa oleh orang-orang dari barak ini cukup besar, sehingga keempat orang itu tidak akan mampu melawan”

“Aku sependapat, Ki Pandi. Tetapi sayang, bahwa aku tidak dapat membantu, justru sebentar lagi, aku tentu akan mendapat tugas untuk menyiapkan kuda-kuda ini”

“Baiklah. Jika demikian aku minta diri. Aku akan pergi ke Rejandani”

Ki Carang Aking, Manggada dan Laksana tidak menahannya lebih lama. Kesempatannya tidak terlalu panjang, karena tengah malam nanti, Wira Sabet, Sura Gentong dan saudara-saudara seperguruannya, bahkan beberapa orang pengikutnya yang terpercaya akan merampok saudagar-saudagar itu.

Dengan sedikit petunjuk dari Manggada yang sedikit banyak tahu arah Kademangan Rejandani, maka Ki Pandipun telah langsung menuju ke Kademangan itu. Tidak terlalu sulit menemukan rumah Ki Demang. Tetapi waktu menjadi semakin sempit

Ketika Ki Pandi memasuki halaman Kademangan, maka Kademangan itu nampaknya sudah menjadi sepi. Tidak ada peronda di rumah itu. Tetapi ada gardu disimpang tiga, hanya beberapa puluh langkah saja dari rumah Ki Demang.

Ki Pandi memang menjadi ragu-ragu. Ia berjalan dengan hati-hati mengelilingi rumah itu. Dari jarak yang agak jauh, Ki Pandi melihat beberapa ekor kuda berada di dalam kandang, sehingga ia percaya, bahwa di rumah itu memang sedang ada tamu, sehingga kandang kuda yang cukup besar itu terasa agak sempit bagi beberapa ekor kuda yang ada di dalamnya.

Tetapi Ki Pandi sudah bertekad untuk memberitahukan rencana para perampok itu. Karena itulah, maka Ki Pandipun kemudian kembali ke halaman depan. Iapun naik ke pendapa dan melangkah ke pringgitan. Perlahan-lahan ia mengetuk pintu rumah Ki Demang. Sekali dua kali ketukan pintu itu tidak dijawab. Karena itu, maka Ki Pandipun mengetuk lebih keras lagi.

Meskipun tidak ada jawaban, namun telinganya yang tajam mendengar langkah-langkah di ruang dalam rumah itu. Karena itu, maka iapun kemudian menunggu pintu itu dibuka. Tetapi Ki Pandi tidak mendengar langkah mendekati pintu. Beberapa saat kemudian, maka langkah-langkah itupun seakan-akan justru menjauh dan kemudian hilang dari pendengarannya.

Tetapi tidak lama. Beberapa saat kemudian, ia justru mendengar pintu seketenglah yang terbuka. Ki Pandi menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, bahwa pemilik rumah itu, atau bahkan mungkin tamu-tamunya, menjadi sangat berhati-hati.

Sebenarnyalah Ki Pandipun kemudian melihat seorang yang muncul dari pintu seketeng. Sambil melangkah ke tangga pendapa orang itu bertanya, “Siapakah kau Ki Sanak. Dan apakah keperluanmu malam-malam begini datang kemari?”

Ki Pandi menarik nafas dalam-dalam. Namun ia menyadari, bahwa dari seketeng sebelah yang lain, dua orang telah keluar pula dan turun ke halaman. Ki Pandi masih berdiri di muka pintu pringgitan. Katanya, “Ada sesuatu yang penting dan segera harus aku beri tahukan kepada kalian. Tetapi siapakah di antara kalian putera Ki Demang Rejandani yang menjadi saudagar emas dan permata?”

“Aku” jawab orang itu. Orang yang masih terhitung muda dengan kumis yang tebal di atas bibirnya.

“Baiklah. Aku mohon kesempatan untuk berbicara sejenak. Maaf, jika aku harus melakukannya dengan cepat, karena waktunya sangat sempit” berkata Ki Pandi.

“Siapa sebenarnya kau ini?” bertanya anak Ki Demang itu.

“Itu tidak penting. Tetapi aku minta kata-kataku didengar” berkata Ki Pandi.

“Apa yang ingin kau katakan?”

Ki Pandi melangkah mendekati orang itu. Tetapi orang itu berkata “Berdiri sajalah disitu”

“Tetapi yang ingin aku katakan ini penting bagi Ki Sanak, karena bukan saja menyangkut barang-barang dagangan Ki Sanak dan kawan-kawan Ki Sanak, tetapi juga keselamatan Ki Sanak sendiri bersama dengan kawan-kawan Ki Sanak”

“Apa yang kau ketahui tentang kami? Kami tidak mempunyai barang-barang berharga. Aku memang mengaku anak Ki Demang. Tetapi bukan pedagang emas dan permata.

“Kenapa harus kau ingkari, Ki Sanak. Tetapi siapapun Ki Sanak, aku mohon Ki Sanak menyadari bahwa sekelompok perampok tengah dalam perjalanan kemari. Sebaiknya Ki Sanak membawa barang-barang berharga itu menyingkir dari rumah ini. Sebaiknya rumah ini dikosongkan, sementara satu dua orang pembantu di rumah ini harus diberi pesan, bagaimana mereka menjawab pertanyaan para perampok itu”

“Ki Sanak. Jika kau sedang mengigau, sebaiknya kau tidak berada di rumahku. Pergilah”

“Aku berkata sebenarnya Ki Sanak. Pembantu itu harus mengatakan bahwa di rumah ini tidak ada tamu. Ki Demang dan Nyi Demang sebaiknya juga meninggalkan rumah ini dan berada di banjar saja bersama para peronda. Pembantu itu dapat mengatakan bahwa Ki Demang dan Nyi Demang sedang pergi”

“Ayah dan ibuku memang tidak sedang di rumah, Ki Sanak. Pamanku sedang menikahkan anaknya”

“Jika demikian, silahkan kalian pergi. Meskipun aku melihat ada gardu di sebelah, namun kekuatan para perampok itu terlalu besar untuk ditandingi”

Anak Ki Demang itu kemudian justru menggeram “Apakah kau salah seorang dari mereka dan berusaha untuk menakut-nakuti kami, agar kami tidak memberikan perlawanan?”

“Bukan sekedar tidak memberikan perlawanan. Tetapi aku mohon kalian menyingkir”

“Pergilah, atau aku bahkan akan menangkapmu”

Ki Pandi termangu-mangu sejenak. Bahkan seorang yang berdiri di sisi lain dari pendapa itu menggeram, “Orang bongkok. Kau jangan mencoba mengganggu ketenangan kami”

Ki Pandi menarik nafas dalam-dalam Ternyata orang-orang itu tidak mempercayainya. Mungkin karena ujud lahiriahnya, maka ia dianggap orang yang kurang waras, yang tersesat di Kademangan Rejandani.

“Pergilah” berkata anak Ki Demang itu “kami malam ini harus beristirahat sebaik-baiknya. Besok kami akan menempuh perjalanan panjang”

“Aku mohon kalian mendengarkan kata-kataku” berkata Ki Pandi sekali lagi.

“Kau orang aneh. Untuk apa sebenarnya permainan ini kau lakukan. Apakah kau memang sedang memancing persoalan, atau mencoba membuka kesempatan bagi gerombolanmu untuk masuk ke dalam rumahku? Dengar Ki Sanak, sekali lagi aku peringatkan kau agar pergi. Jika tidak, maka kami akan menangkapmu. Malam ini juga kami akan memerintahkan anak-anak muda untuk memanggil ayah dan mengadilimu”

Ki Pandi kehilangan harapannya untuk memberi peringatan kepada orang-orang itu. Sebenarnya ia memang mempunyai pamrih. Jika ia berhasil menyelamatkan emas dan permata dan bahkan wesi aji dari saudagar-saudagar itu, maka pada kesempatan lain, ia akan dapat minta bantuan mereka untuk menyelamatkan padukuhan Gemawang, karena Kademangan Kalegen nampaknya ragu-ragu menghadapi Ki Sapa Aruh. Tetapi nampaknya usaha itu sia-sia.

Dengan kecewa Ki Pandipun kemudian melangkah turun dari pendapa. Demikian ia berdiri di halaman, maka ia melihat empat orang yang berada didekat pintu seketeng sebelah-menyebelah.

“Wira Sabet dan Sura Gentong cukup teliti memperhitungkan sasarannya. Atau barangkali atas petunjuk Ki Sapa Aruh” berkata Ki Pandi di dalam hatinya.

Dengan hati yang berat Ki Pandi melangkah keluar dari halaman rumah itu. Namun sebelum ia keluar dari regol halaman, ia pun masih berkata, “Aku minta kalian mengingat peringatanku ini Ki Sanak. Jika terjadi sesuatu atas kalian, maka kalian jangan menyesal.
Keempat orang itu tidak menjawab. Sementara itu, Ki Pandi yang kecewa itupun melangkah keluar lewat pintu regol halaman.

“Ada juga orang gila datang malam-malam begini” berkata salah seorang dari mereka”

“Lupakan” berkata anak Ki Demang yang berkumis itu “kita masih mempunyai waktu untuk tidur lagi”

Tetapi seorang di antara mereka itupun berkata, “Perasaanku menjadi tidak enak. Jika orang itu tidak mempunyai keterangan tentang yang dikatakannya itu, apakah sebenarnya tujuannya?”

“Mungkin ia memang orang gila” desis yang lain “atau bahkan sedang menjajagi apakah kami menjadi ketakutan”

“Sudahlah” berkata anak Ki Demang “Sudahlah. Kita tidur saja lagi”

Sementara itu waktu bergulir semakin jauh. Walaupun menjadi semakin malam. Keempat orang itu sudah berada di dalam rumah lagi. Keempat orang itu memang sengaja tidur di ruang dalam bersama-sama. Ketiga orang tamu yang bermalam di rumah itu, tidak dipersilahkan tidur di gandok, karena mereka bersama-sama menjaga barang-barang mereka yang nilainya tinggi.

Sejenak kemudian, maka ketiga orang di antara mereka segera tertidur lagi. Yang seorang lagi masih saja merasa gelisah. Ia tidak menjadi ketakutan. Tetapi peringatan yang diberikan orang bongkok itu membuatnya berhati-hati. Ada perasaan tidak enak yang menggelitik jantungnya.

Beberapa saat orang itu berbaring tanpa dapat memejamkan matanya. Karena itu maka iapun justru bangkit dan duduk di ruang dalam. Suara-suara malam di luar dinding rumah itu membuat malam menjadi semakin mencengkamnya. Sementara itu, ketiga orang kawannya, termasuk anak Ki Demang telah tertidur nyenyak. Seorang di antara mereka justru mendengkur seirama dengan tarikan nafasnya yang teratur.

Orang itu mengerutkan dahinya ketika ia mendengar jauh dalam keheningan malam suara derap kaki kuda. Semakin lama menjadi semakin jelas. Tidak hanya satu dua. Tetapi di telinganya terdengar banyak sekali.

Orang itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Bahkan ia sempat bertanya kepada diri sendiri, “Apakah karena kegelisahanku, tiba-tiba saja telingaku seakan-akan mendengar derap kaki kuda sedemikian banyaknya?”

Tetapi suara derap kaki kuda itu tidak segera lenyap. Bahkan semakin lama menjadi semakin jelas. Orang itu tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun segera membangunkan ketiga orang kawannya yang masih tidur nyenyak.

“Ada apa?” bertanya anak Ki Demang.

“Kau dengar derap kaki kuda itu?” bertanya orang yang membangunkannya.

“Kaki kuda apa?” anak Ki Demang itu memang bangkit dan bahkan duduk dibibir amben besar di ruang dalam.

“Dengarlah baik-baik” berkata orang itu.

Kedua orang yang lainpun telah duduk pula. Seorang di antara mereka sempat berkata “Kau dibayangi oleh ceritera orang bongkok itu”

Tetapi anak Ki Demang itu justru berdesis “Ya. Aku sudah mendengarnya”

Akhirnya keempat orang itu menjadi yakin. Mereka mendengar derap kaki kuda. Dengan cepat keempatnya berloncatan menggapai senjata mereka masing-masing. Anak Ki Demang mengambil tombak di ploncongnya. Sementara seorang kawannya menjinjing pedang panjang. Seorang lagi bersenjata sepasang tongkat baja yang dihubungkan dengan seutas rantai yang agak panjang. Sedangkan seorang lagi menyelipkan kerisnya yang besar dan panjang melampaui ukuran keris kebanyakan di punggungnya.

“Apakah orang bongkok itu tidak berbohong?” desis orang yang sejak semula sudah ragu-ragu itu.

Ketiga orang kawannya hanya terdiam. Mereka menjadi tegang ketika suara derap kaki kuda itu menjadi semakin dekat. Anak Ki Demang itu menggeretakkan giginya ketika ia mendengar derap kaki kuda itu memasuki halaman rumahnya.

“Setan. Orang bongkok itu tidak berbohong. Mungkin ia gila, tetapi ia berkata sebenarnya...”

“Kita harus bersiap menghadapinya”

Sejenak kemudian maka merekapun mendengar orang-orang di halaman itu berloncatan turun. Mereka mendengar langkah beberapa orang ke halaman samping, sedangkan beberapa orang yang lain naik ke pendapa.

Sementara itu, tiga ekor kuda telah langsung berhenti di depan gardu. Ada lima anak muda yang sedang meronda. Namun ketika ketiga orang berkuda itu mengancam mereka, maka mereka tidak berani berbuat apa-apa.

“Jika kalian mencoba melibatkan diri, maka kalian akan menyesal” berkata salah seorang dari ketiga orang berkuda itu.

Kelima anak muda itu memang tidak akan dapat melawan mereka, sehingga mereka lebih baik berdiam diri saja di dalam gardu. Sementara itu, orang-orang yang berada di halaman rumah Ki Demang, telah mengawasi segala pintu keluar rumah itu. Bahkan sampai ke pintu dapur sekalipun.

Empat orang kemudian telah berdiri di depan pintu pringgitan. Seorang di antara mereka adalah seorang yang umurnya sudah melampaui pertengahan abad. Namun badannya masih nampak, kuat, kekar dan tegar. Orang itulah yang mengetuk pintu pringgitan

“Buka pintumu atau aku rusakkan. Kalian yang ada di dalam tidak mempunyai pilihan apapun kecuali mendengarkan dan melakukan segala perintah kami. Kami tahu, bahwa ada empat orang yang ada di dalam. Ki Demang dan Nyi Demang sedang pergi ke peralatan pernikahan kemanakannya”

Orang-orang yang berada di dalam rumah itu menjadi semakin tegang. Tetapi tidak seorangpun yang membuka pintunya. Ternyata bukan hanya pintu pringgitan saja yang diketuk. Tetapi pintu butulan di gladri sebelah kanan juga diketuk. Justru lebih keras. Terdengar suara lantang,

“Buka pintu. Cepat...!”

Tetapi keempat orang itu tidak membuka pintu. Karena itu, maka orang-orang yang berdiri di depan pintu pringgitan itu tidak sabar lagi. Mereka mulai menghentak-hentak pintu itu semakin lama menjadi semakin keras.

Orang yang sudah berumur lebih setengah abad itu menjadi semakin tidak sabar. Karena itu, maka dengan kekuatannya yang melampaui takaran kekuatan wajarnya, orang itu telah menghentakkan pintu itu, sehingga pintu dari dinding gebyog itu pecah dan roboh ke dalam, sehingga pintu itupun kemudian menjadi menganga.

Namun nampaknya tidak diduga sebelumnya, bahwa dengan tiba-tiba empat orang yang ada di ruang dalam itupun telah meloncat menyerang, sehingga orang-orang yang berdiri di pintu itu berloncatan mundur. Dengan kecepatan yang tinggi, keempat orang itu berloncatan melintasi pendapa dan turun ke halaman.

Agaknya mereka memilih bertempur di halaman daripada di pendapa. Karena di halaman mereka tidak akan terganggu oleh tiang-tiang yang berdiri tegak membeku. Tetapi demikian keempat orang itu berdiri di pendapa, maka beberapa orang telah menyusul mereka dan bahkan kemudian mengepung mereka.

Orang yang mengetuk dan kemudian merusakkan pintu itu pun telah melangkah dan kemudian berdiri di tangga pendapa sambil berkata, “Ki Sanak. Aku tahu, kau adalah orang-orang yang berilmu. Tetapi akupun tahu bahwa ilmu kalian masih belum apa-apa bagiku dan bagi orang-orangku. Karena itu, maka sebaiknya kalian menyerah saja. Jika kalian menyerah, maka kalian akan kami perlakukan dengan baik. Tetapi jika kalian melawan, maka nasib kalian akan menjadi lebih buruk lagi”

“Kau siapa?” bertanya anak Ki Demang.

“Orang memanggilku Ki Sapa Aruh...” jawab orang itu. Wajah anak Ki Demang itu menjadi tegang. Sementara itu Ki Sapa Arah itupun berkata, “Kau pernah mendengar namaku? Mungkin namaku memang belum terlalu banyak dikenal disini”

Anak Ki Demang menggeram. Ternyata ia memang pernah mendengar nama Ki Sapa Arah. Namun ketika tiba-tiba saja ia berhadapan, maka hatinya memang menjadi sangat berdebar-debar.

“Nah, Ki Sanak. Marilah kita menyelesaikan persoalan kita dengan baik. Kami bukan orang yang senang mempergunakan kekerasan untuk tujuan apapun. Kami juga bukan orang yang senang berselisih di antara sesama. Karena itu, marilah kita sama-sama mengekang diri agar tidak terjadi perselisihan” berkata Ki Sapa Aruh dengan nada yang lunak.

“Apa maksudmu?” bertanya anak Ki Demang.

“Aku datang dengan tujuan yang baik. Aku ingin meneruskan keinginan kawan-kawan kami yang sedang kekurangan untuk minta bantuan kalian untuk sedikit meringankan beban hidup mereka sehari-hari. Adalah tidak wajar jika mereka hidup dalam kekurangan dan bahkan hampir kelaparan, sementara kalian dapat hidup dengan berlebihan”

Wajah anak Ki Demang itu menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia menyahut, “Siapa yang hidup berlebihan?”

“Tentu saja yang kami maksudkan adalah kalian. Juga para bebahu Kademangan ini dan para saudagar kaya. Dengan memeras orang-orang yang justru sedang membutuhkan pertolongan, kalian mendapatkan untung yang berlebihan” jawab Ki Sapa Arah.

“Itu tidak benar. Kami tidak hidup berlebihan. Kami memang mencari untung dengan pekerjaan kami. Tetapi bukankah itu wajar? Jika ada sedikit tersisa serta kesempatan untuk hidup kecukupan itu adalah hasil kerja keras kami. Juga para bebahu Kademangan. Sawah pelungguh yang mereka dapatkan di dasari oleh paugeran yang berlaku dan sah. Merekapun harus bekerja keras untuk dapat hidup dengan layak”

Tetapi Ki Sapa Aruh tertawa. Katanya, “Kau dapat berkata apa saja. Tetapi aku tahu, bahwa kalian telah mendatangi orang-orang yang terjepit oleh satu kebutuhan. Kalian memanfaatkan keterjepitan orang itu untuk dapat membeli perhiasan mereka, emas dan permata dengan harga murah. Kemudian kalian jual perhiasan itu dengan harga yang berlipat”

“Ki Sanak!” jawab anak Ki Demang “Apa sebenarnya yang kalian maui. Kalian tidak perlu mengusik pekerjaan yang memang kami lakukan dengan wajar itu. Kami tidak pernh memaksakan kehendak kami untuk membeli atau menjual apapun kepada kami. Kamipun tidak pernah memaksakan harga kepada mereka yang menjual atau membeli barang-barang dagangan kami”
“Baiklah. Apapun alasan kalian, tetapi bagi kami, kalian adalah sama jahatnya dengan lintah yang selalu menghisap darah. Sekarang sudah saatnya kami minta kembali darah yang telah kau hisap dan kau simpan sebagai harta kekayaan yang sangat besar. Nah, berikan emas, permata dan wesi aji yang kalian siapkan dan yang akan kalian bawa besok”

“Tidak” jawab anak Ki Demang “kalian tidak dapat merampas milik kami. Hak kami, apapun alasannya”

“Ki Sanak. Bukankah aku sudah mengatakan bahwa kami adalah orang-orang yang tidak suka kekerasan? Apalagi aku yang sudah menjadi semakin tua. Aku ingin dapat hidup tenang dan tenteram. Karena itu, aku minta kalian tidak membuat persoalan yang akan dapat menimbulkan perselisihan."

“Aku tidak mengerti jalan pikiranmu itu Ki Sapa Aruh. Tegasnya, aku tidak akan memberikan sebutir permatapun kepada kalian?” geram anak Ki Demang itu.

“Itulah yang tidak aku senangi. Ternyata kau adalah orang yang keras hati, yang mencoba memaksakan tindak kekerasan terjadi...” nada suara Ki Sapa Aruhpun meninggi.

“Kau jangan berbicara dengan memutar balikkan penalaran orang waras. Sekarang pergilah sebelum kami kehabisan kesabaran...” berkata anak Ki Demang yang mulai menjadi pening mendengarkan kata-kata Ki Sapa Aruh.

Tetapi Ki Sapa Aruh justru tertawa. Katanya, “Orang-orang yang di kepalanya selalu dipenuhi dengan nafsu kekerasan, tentu sulit dapat mengerti keinginanku. Tetapi baiklah. Meskipun kami orang-orang yang tidak suka berselisih, namun kami juga tidak ingin melepaskan landasan hidup kami. Kami akan mewakili orang-orang miskin yang pernah kau cekik lehernya dan kau hisap darahnya sehingga kering. Berikan emas, permata dan wesi aji itu kepada kami”

“Tidak...” jawab anak Ki Demang.

“Jika kau berkeras tidak mau memberikan emas, permata dan wesi aji itu kepada kami, maka dengan terpaksa sekali kami akan mengambilnya”

“Kami akan mempertahankan hak kami” jawab anak Ki Demang.

Ki Sapa Aruh itu mengerutkan dahinya. Ia sudah cukup panjang berbicara, sehingga kemudian iapun telah memberikan isyarat kepada orang-orangnya untuk bersiap.

Keempat orang pedagang emas, permata dan wesi aji itupun bersiap pula menghadapi segala kemungkinan. Namun mereka harus melihat kenyataan, bahwa lawan yang berdiri di sekitarnya terlalu banyak. Sementara itu, keempat orang itupun menyadari bahwa selain orang-orang yang ada di sekitarnya, masih ada yang lain di halaman samping bahkan di halaman belakang.

Tetapi keempat orang itu tidak membiarkan miliknya dirampok apapun alasannya. Bahkan yang tidak dapat diikuti dengan nalarnya. Apa yang mereka miliki itu, menurut pendapat mereka adalah hasil kerja keras mereka. Bukan karena memeras, merampas atau menipu orang lain.

Karena keempat orang itu tidak mau menyerahkan milik mereka, maka Ki Sapa Aruhpun kemudian telah memerintahkan orang-orangnya untuk segera menangkap keempat orang itu.

“Kita akan memaksa mereka melakukan sebagaimana aku katakan...” berkata Ki Sapa Aruh. “Mereka ternyata sama sekali tidak menghargai niat kita untuk menyelesaikan persoalan ini dengan baik-baik tanpa harus melakukan kekerasan”

Keempat orang pedagang emas dan permata itu sudah tidak mau mendengar lagi. Justru merekalah yang lebih dahulu menyerang, karena jumlah lawan mereka terlalu banyak, sehingga keempat orang itu tidak ingin mendapat tekanan lebih dahulu.

Dengan demikian, maka pertempuranpun segera terjadi. Dengan tangkasnya keempat orang pedagang emas dan permata itu berloncatan di halaman menghadapi lawan yang terlalu banyak. Namun dengan berani keempat orang itu bertempur. Senjata mereka terayun-ayun dengan cepatnya menebas dan mematuk.

Ki Sapa Aruh sendiri tidak langsung turun ke arena. Bahkan Wira Sabet dan Sura Gentong yang ikut datang ke rumah itu masih berdiri di tangga pendapa, meskipun mereka sudah menggenggam senjata telanjang di tangan. Tetapi Pideksa sudah mulai terlibat dalam pertempuran itu bersama keempat orang saudara seperguruan Wira Sabet dan Sura Gentong, disamping beberapa orang pengikutnya yang lain.

Dalam pada itu, di atas sebatang pohon nangka yang besar, di halaman sebelah, Ki Pandi duduk melekat pada sebatang dahan yang besar. Oleh ketajaman penglihatannya ia dapat menyaksikan pertempuran yang terjadi di halaman rumah Ki Demang itu. Nyala lampu minyak di pendapa dapat sedikit membantunya, sehingga dengan tegang Ki Pandi melihat bahwa keempat orang saudagar itu mulai terdesak.

Namun dengan demikian Ki Pandi sempat melihat kemampuan para penghuni barak Wira Sabet dan Sura Gentong itu. Ki Pandipun melihat seberapa jauh tataran ilmu saudara-saudara seperguruan Wira Sabet dan Sura Gentong. Bahkan Ki Pandi juga dapat menilai kemampuan Pideksa, anak Wira Sabet itu.

Untuk beberapa saat pertempuran itu berlangsung. Keempat orang saudagar itu masih bertempur dengan berani. Meskipun mereka mulai mengalami kesulitan, tetapi mereka sama sekali tidak menjadi gentar. Agaknya Ki Sapa Aruh menjadi tidak sabar Karena itu, maka iapun memberi isyarat agar Wira Sabet dan Sura Gentong bersama dirinya sendiri segera memasuki arena.

“Kita tangkap keempat orang itu hidup-hidup. Kita memang bukan pembunuh-pembunuh yang tidak berjantung. Kita akan mengampuni mereka setelah kita mendapatkan apa yang kita cari...” teriak Ki Sapa Aruh yang bersama Wira Sabet dan Sura Gentong telah menuruni arena pertempuran.

Pertempuranpun menjadi semakin sengit. Tetapi keempat orang saudagar itu benar-benar telah kehilangan kesempatan untuk mempertahankan diri.

Sementara seisi rumah Ki Demang itu sudah terbangun. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Beberapa orang membentak dengan kasar dan mengancam akan membunuh siapapun yang berniat membantu keempat orang saudagar itu.

Sebenarnyalah keempat orang saudagar itu menyadari, bahwa mereka tidak akan dapat minta pertolongan kepada siapapun juga. Sehingga karena itu maka mereka harus menyadarkan diri kepada kemampuan mereka berempat

Tetapi mereka memang tidak dapat mengingkari kenyataan. Semakin lama mereka menjadi semakin tidak berdaya. Apalagi setelah Ki Sapa Aruh sendiri, Wira Sabet dan Sura Gentong ikut dalam pertempuran. Dengan cepat kemampuan perlawanan keempat orang saudagar itupun menyusut

Ki Pandi yang duduk di atas dahan pohon nangka menyaksikan pertempuran itu dengan sungguh-sungguh. Ia melihat bagaimana Ki Sapa Aruh sendiri turun di gelanggang. Ia sempat melihat unsur-unsur gerak yang dipergunakannya, meskipun Ki Pandi tahu, bahwa Ki Sapa Aruh dalam pertempuran itu tidak merasa perlu untuk menumpahkan segala macam kemampuannya. Namun dalam pada itu, Ki Pandi dapat menilai tataran kemampuan Wira Sabet dan Sura Gentong.

Beberapa saat kemudian, maka keempat orang saudagar itu telah menjadi tidak berdaya. Senjata mereka tidak mampu lagi melindungi diri mereka dengan baik. Dalam pertempuran yang tidak terlalu lama itu, maka keempat orang saudagar itu semuanya telah terluka. Sementara itu, Ki Sapa Aruh dengan kemampuannya yang tinggi benar-benar mampu menguasai keempat orang itu bersama-sama dengan Wira Sabet Sura Gentong dan saudara-saudara seperguruannya.

“Kita tidak akan membunuh mereka...” berkata Ki Sapa Aruh.

Pertempuran itupun kemudian telah terhenti. Sura Gentong dengan garangnya telah mendorong anak Ki Demang dengan kakinya, sehingga anak Ki Demang itu jatuh tertelungkup di hadapanKi Sapa Aruh. Tidak ada lagi yang dapat melawan. Senjata-senjata mereka pun telah dirampas.

Ki Pandi yang menyaksikan berakhirnya pertempuran itu menjadi tegang. Seorang yang bertubuh sedang, dengan wajah yang tampan serta penampilan yang bersih serta wajah yang cerah ternyata telah memperlakukan keempat orang saudagar itu dengan kasar sebagaimana Sura Gentong. Sementara itu, seorang yang berwajah bengis justru hanya berdiri saja termangu-mangu menyaksikan sikap kawannya itu.

“Ki Sanak” berkata Ki Sapa Aruh kemudian “Kami memang bukan orang-orang yang haus darah. Sudah aku katakan, bahwa kami ingin menghindari setiap pertengkaran, apalagi kekerasan. Tetapi kalian telah memancing persoalan, sehingga kekerasan telah terjadi. Nah, sekarang, agar pekerjaan kami segera selesai, tunjukkan barang-barang simpanan kalian”

Anak Ki Demang itu tidak segera menyahut. Meskipun tubuhnya telah menjadi lemah, namun mereka masih mencoba bertahan. Tetapi Ki Pandi terkejut, sehingga debar jantungnya terasa menjadi semakin cepat, ketika ia melihat perlakuan orang yang berwajah tampan itu. Demikian kasarnya dan bahkan buas sekali. Jauh berbeda dengan kesan yang nampak pada ujud lahiriahnya.

Ki Sapa Aruh ternyata tidak mencegah perlakuan itu. Bahkan sambil tertawa ia berkata, “Nah, Ki Sanak. Aku tidak mempunyai banyak waktu. Jika kau tidak menunjukkan benda-benda berharga itu, maka kami dengan sangat menyesal akan berbuat lebih jauh lagi. Kami akan membakar rumah Ki Demang ini. Aku tidak tahu apakah nilai rumah dan isinya ini lebih besar atau lebih kecil dari benda-benda berharga yang kau pertahankan itu. Selebihnya, kalian akan mengalami perlakuan yang sangat buruk. Kami minta ampun atas kekhilafan kami memperlakukan Ki Sanak tidak sebagaimana seharusnya. Tetapi hal itu kami lakukan atas landasan kesetiaan kami kepada orang-orang yang telah kau peras selama ini”

Akhirnya keempat orang itu memang tidak mempunyai pilihan lain. Jika rumah itu benar-benar dibakar, maka Ki Demang akan ikut memikul beban. Karena itu, maka seorang di antara keempat saudagar itu berkata kepada anak Ki Demang, “Jangan libatkan Ki Demang dalam persoalan ini”

“Maksudmu?” bertanya anak Ki Demang dengan suara parau.

“Kita terpaksa menyerahkan apa yang mereka kehendaki, tetapi dengan janji, bahwa rumah ini tidak akan dibakar”

“Satu pikiran yang bijaksana” desis Ki Sapa Arah “Seperti berulang kali aku katakan, kami bukan orang-orang yang tidak berjantung. Jika apa yang kami inginkan sudah berada di tangan kami, maka kami tidak akan berbuat lebih jauh lagi”

Anak Ki Demang itu tidak dapat mengelak lagi. Ketiga orang kawannya memang sudah nampak terlalu letih dan kesakitan. Tubuh mereka telah terluka sebagaimana anak Ki Demang itu sendiri. Karena itu, maka iapun tidak dapat berbuat lain. Dengan suara yang bergetar ia berkata, “Aku akan menunjukkan dimana dagangan kami itu kami simpan”

“Katakan...” berkata Ki Sapa Aruh.

Anak Ki Demang itu berusaha untuk bangkit berdiri sambil berkata “Aku akan menunjukkan”

Tetapi di luar dugaan, bahwa sarung pedang orang yang berwajah tampan itu telah menghantam tengkuknya sehingga anak Ki Demang itu jatuh terduduk. Ki Sapa Arah tertawa. Namun ia berkata, “Biar ia mengatakannya. Sarung pedangmu dapat membuatnya pingsan”

Anak Ki demang itu berdesah kesakitan. Sementara Ki Sapa Arah berkata, “Katakan saja. Kau tidak usah bersusah payah menunjukkan kepada kami. Aku tidak ingin merepotkan kau dan kawan-kawanmu. Kalian tentu letih dan perlu beristirahat”

Hati keempat orang itu menjadi sangat sakit sebagaimana tubuh mereka. Tetapi mereka tidak dapat berbuat sesuatu. Karena anak Ki Demang itu tidak segera mengatakan sebagaimana dikehendaki oleh Ki Sapa Aruh, maka Ki Sapa Aruh itupun melangkah mendekat sambil berdesis,

“Apakah kau sengaja mengulur waktu? Kau tidak dapat mengharap bantuan dari siapapun. Seandainya ada juga beberapa orang anak muda yang mencoba membantu kalian, maka akibatnya akan menjadi buruk sekali. Korban akan jatuh. Anak-anak muda itu akan terbunuh disini tanpa mengerti kenapa mereka harus mati. Keluarga merekalah kelak yang akan menyadari, bahwa mereka telah menjadi tumbal kekayaan kalian. Keluarga mereka tidak akan pernah mendapatkan imbalan apapun dari kalian meskipun mereka mati karena mereka mempertahankan harta-benda kalian itu”

Anak Ki Demang itu menggeram. Tetapi ia memang tidak mempunyai pilihan. Karena itu, maka anak Ki Demang itupun berkata, “Yang kalian cari ada di sentong sebelah kiri. Dibawah gledeg bambu tempat pakaianku”

Ki Sapa Aruh tertawa. Sambil menepuk wajah anak Ki Demang ia berkata, “Ternyata kau adalah seorang anak yang manis. Terima kasih. Aku akan melihatnya. Tetapi aku peringatkan, bahwa kau tidak boleh bohong. Jika kau berbohong, maka kau bukan lagi anak yang manis. Tetapi kau tentu anak yang nakal, yang pantas dicubit pantatnya”

Anak Ki Demang tidak menjawab. Ia memang sudah berkata sebenarnya karena ia sama sekali tidak melihat peluang lagi.

Ki Sapa Aruh pun kemudian telah mengajak Wira Sabet dan Sura Gentong untuk masuk ke dalam rumah itu. Sementara itu, saudara seperguruan Wira Sabet yang berwajah tampan itu tiba-tiba saja telah menekan punggung anak Ki Demang itu sehingga anak Ki Demang itu hampir saja jatuh terjerembab.

Ki Pandi hanya dapat menyaksikan semua itu dari tempatnya bersembunyi. Ia tidak dapat berbuat sesuatu. Jika ia mencampuri persoalan itu, maka keadaannya akan menjadi semakin parah bagi keempat orang saudagar emas itu. Ia sendiri tentu akan terikat dalam pertempuran dengan Ki Sapa Aruh dan tentu beberapa orang akan membantu. Mungkin ia akan dapat meloloskan diri. Tetapi keempat orang itu justru akan menjadi sasaran kemarahan orang-orang itu. Karena itu, maka Ki Pandi hanya dapat menahan gejolak jantung di dalam dadanya.

Sementara itu, Ki Sapa Aruh telah hilang di balik pintu pringgitan untuk melihat dan kemudian mengambil barang-barang yang nilainya tentu sangat tinggi...
Selanjutnya,
Sejuknya Kampung Halaman Bagian 16

Sejuknya Kampung Halaman Bagian 15

Arya Manggada - Sejuknya Kampung Halaman Bagian 15
Karya : Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
Mereka yang ada di bilik itupun tertawa tertahan. Namun dalam pada itu, maka Ki Pandipun telah minta diri. Dengan sangat berhati-hati ia telah meninggalkan barak itu.

Sepeninggal Ki Pandi, Manggada dan Laksana masih berbincang tentang berbagai kemungkinan sambil menunggu kedatangan beberapa orang penghuni barak itu dengan kuda-kuda mereka. Sementara Ki Carang Aking berbaring sambil membayangkan apa yang dapat terjadi di kemudian. Apabila kegiatan Wira Sabet dan Sura Gentong itu tidak dihentikan, maka akibatnya akan parah bagi banyak pihak.

Apalagi jika mereka berhasil menguasai padukuhan Gemawang dengan alasan yang telah direka-rekanya, dihubungkan dengan dendam mereka atas orang-orang padukuhan Gemawang. Seolah-olah mereka memang mempunyai hak yang sah untuk melepaskan dendam mereka.

Namun mereka telah memperhitungkan kemungkinan yang lebih jauh dari sekedar menguasai padukuhan Gemawang dan bahkan kemudian Kademangan Kalegen. Dengan menguasai Kademangan itu, maka mereka mempunyai landasan yang sangat mapan bagi pekerjaan mereka yang kotor itu.
Namun dalam pada itu, telah terdengar pula derap kaki kuda, sehingga mereka bertiga harus bangkit dan menerima kuda yang baru datang itu. Sedangkan untuk menunggu kuda berikutnya, maka bertiga mereka telah membagi waktu. Seorang dari mereka harus tetap terjaga. Jika seorang di antara saudara seperguruan Wira Sabet datang tanpa ada yang mengetahuinya, maka kemarahan mereka akan dapat berakibat sangat buruk bagi Sampar dan kemudian kedua orang anak muda yang membantunya itu.

Baru setelah kuda terakhir datang, maka mereka dapat tidur dengan nyenyak sampai dini hari. Namun Manggada, Laksana dan Sampar telah mendapat kesan, bahwa barak itu menjadi sibuk. Sebelum matahari naik dua orang sudah meninggalkan barak itu dengan kudanya.

Kemudian Wira Sabet dan Pideksa. Demikian matahari naik lebih tinggi, Sura Gentong dan saudara seperguruannya yang berwajah tampan itu telah pergi pula. Sampar yang tua, yang telah lebih lama berada di tempat itu, berdesis, “Kesibukan ini memang mendebarkan...”

“Kenapa?” bertanya Manggada.

“Kesibukan seperti ini adalah pertanda, bahwa mereka menemukan sasaran. Mereka nampaknya sedang meyakinkan, apakah malam nanti mereka dapat melakukannya”

“Melakukan apa?” bertanya Laksana.

“Perampokan” jawab orang tua itu.

Manggada dan Laksana berpandangan sejenak. Namun keduanya tidak berbicara lagi. Mereka sudah mengerti, apa yang kira-kira akan terjadi malam nanti.

Hari itu Sampar nampak gelisah. Menjelang tengah hari, maka kedua orang yang menyabit rumput telah datang ke kandang sambil membawa masing-masing sekeranjang rumput segar. Seorang di antara keduanya berjalan dengan sebelah kaki yang timpang. Bahkan tangan dan separuh tubuhnya nampak lemah.

Sedangkan yang lain memandang dunia dengan penuh keheranan, meskipun umurnya sudah sepertiga abad. Sekali-kali ia nampak tersenyum-senyum melihat sekelilingnya. Namun kemudian wajahnya menjadi murung.

“Inilah kedua kemanakanku itu” berkata Ki Carang Aking. Manggada dan Laksana tersenyum. Mereka yakin bahwa keduanya adalah murid Ki Carang Aking.

Karena itu, maka Laksanapun telah mendekati orang yang nampaknya akan terganggu syarafnya itu sambil bertanya “Kau dapat juga menyabit rumput sekeranjang penuh?”

Orang itu tertawa. Namun sebelum ia mengucapkan sepatah katapun, Ki Carang Akingpun berkata “Mereka sudah tahu, siapakah kalian”

Orang yang tertawa itu tiba-tiba mengerutkan dahinya, sementara Ki Carang Aking berkata “Ia berada di tempat ini dengan tujuan yang sama sebagaimana kita disini. Mereka adalah anak-anak muda Gemawang. Bukankah kalian sudah mendengar nama mereka berdua?”

Orang yang sehari-hari nampak seperti terganggu syarafnya itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jika aku harus melakukan peranan ini sebulan lagi, maka aku benar-benar dapat menjadi gila”

Manggada dan Laksana tertawa. Sementara Ki Carang Aking pun tersenyum sambil berkata “Kita sedang berusaha untuk secepatnya menyelesaikan tugas kita disini”

Orang yang timpang itupun telah menjadi tegak pula sambil berkata “Aku sudah lelah. Setiap malam aku harus memijit kakiku yang timpang ini”

“Kita semua berpura-pura disini” berkata Ki Carang Aking.

“Tetapi kedua anak muda ini lain, guru. Mereka tidak perlu menjadi cacat. Mungkin mereka hanya berpura-pura tunduk kepada segala perintah” berkata orang yang pura-pura cacad itu.

“Semuanya akan segera kita selesaikan” jawab gurunya. Namun pembicaraan itupun segera terhenti. Mereka mendengar derap kaki kuda yang mendekat.

Demikianlah, maka kedua orang yang cacat itupun segera meletakkan keranjang yang penuh rumput itu dan mengambil keranjang yang kosong. Mereka harus pergi lagi ke bagian belakang barak itu untuk menyabit rumput. Mereka harus melakukan pekerjaan itu sehari penuh. Mereka hanya berhenti di siang hari untuk makan. Hari itu memang terasa sibuk. Satu-satu para penghuni barak itupun kembali. Namun agaknya mereka masih harus berbicara panjang di antara mereka.

Di sore hari, ketika Manggada dan Laksana baru saja selesai membersihkan kuda-kuda yang baru saja dipakai, tiga orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong telah datang menemui Manggada dan Laksana. Keduanya dipanggil ke sudut kandang untuk diberi keterangan tentang pertemuan mereka dengan Wisesa hari itu di padukuhan Gemawang.

“Kami sudah menakut-nakutinya” berkata salah seorang dari mereka “kami mengatakan bahwa ia telah memfitnah. Bukan saja Manggada dan Laksana, tetapi terutama kawan-kawan kami yang dikatakan telah kalian kalahkan itu”

“O” Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sambil tersenyum Laksana bertanya “Apa katanya?”

“Anak itu memang menjadi ketakutan. Bahkan hampir pingsan. Kami memaksanya berjanji untuk tidak memfitnah lagi. Jika sekali lagi ia berbicara tentang kekalahan para pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong, maka kami akan mengoyakkan mulutnya.

“Aku kira ia benar-benar akan diam” berkata Manggada kemudian, sementara Laksana menyambung “ia tidak akan mempunyai keberanian untuk memperbandingkan sikap kalian dengan kawan-kawan kalian yang lain”

“Baiklah” berkata salah seorang dari ketiga orang itu “kami harus segera bersiap-siap untuk tugas khusus malam ini”

“Tugas khusus apa?” bertanya Manggada.

“Kami mempunyai sasaran yang sangat baik malam ini”

Manggada dan Laksanapun segera mengetahui maksud orang itu. Dengan nada datar Manggada bertanya “Dimana?”

“Saudagar emas dan permata serta wesi aji. Tiga orang pedagang yang membawa dagangan cukup banyak. Mereka akan berada di rumah saudagar emas dan permata pula. Esok pagi mereka akan bersama-sama pergi ke pesisir Utara dengan membawa dagangannya itu. Ki Sapa Aruh telah memerintahkan kami untuk bergerak. Kami tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang jarang ada. Empat orang pedagang dengan dagangannya telah berkumpul. Seakan-akan mereka memang menyediakan emas, permata dan yang tidak kalah nilainya adalah wesi aji itu”

“Dimana rumah saudagar itu?” bertanya Manggada sambil lalu.

Orang-orang itu sama sekali tidak mencemaskan keduanya, bahwa keduanya akan membocorkan rahasia itu, karena keduanya tidak akan dapat keluar dari tempat itu. Karena itu seorang di antara mereka berkata, “Tidak terlalu jauh dari tempat ini. Saudagar itu tinggal di padukuhan Rejandani Kulon. Saudagar emas yang tinggal di Rejandani itu kebetulan anak Ki Demang Rejandani itu sendiri”

“Kapan kalian akan berangkat?” bertanya Manggada.

“Biasanya kami lakukan tugas itu pada tengah malam,” jawab orang itu.

Manggada dan Laksana tidak bertanya lebih banyak lagi. Sementara itu, ketiga orang itupun segera meninggalkan mereka sebelum orang lain memperhatikannya. Sepeninggal ketiga orang itu, maka Manggada dan Laksana segera menghubungi Ki Carang Aking dan menceriterakan apa yang mereka dengar dari ketiga orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong itu.

“Menarik sekali” desis Ki Carang Aking “Tetapi apa yang dapat kita lakukan karena kita berada disini?”

“Kita akan menceriterakan kepada Ki Pandi jika ia benar-benar datang” desis Manggada.

Ki Carang Aking mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Mudah-mudahan ada satu cara untuk membantu saudagar-saudagar itu”

Dengan demikian, maka yang dapat mereka lakukan hanyalah menunggu. Namun mereka menyadari, bahwa tugas mereka akan menjadi berat. Mereka tentu akan mendapat perintah untuk menyiapkan tidak hanya lima atau enam ekor kuda. Tetapi tentu lebih dari itu.

“Menjelang tengah malam, kuda-kuda itu tentu harus siap” berkata-Ki Carang Aking.

“Apakah kita dapat menyiapkan mulai sekarang?” bertanya Laksana.

“Bagaimana mungkin” jawab Manggada “Bukankah kita tidak tahu bahwa kuda-kuda itu akan dipergunakan malam nanti?”

Laksana mengerutkan dahinya. Namun iapun kemudian tertawa kecil sambil berdesis “Ya. Alangkah bodohnya”

Karena itu, tidak ada yang dapat mereka kerjakan mendahului perintah, karena hal itu akan dapat membuat para pemimpin barak itu menjadi curiga. Ketika kemudian senja lewat dan malam turun, mereka benar-benar menanti kedatangan Ki Pandi.

“Sebagaimana pesan Ki Pandi, kita harus menutup pintu” berkata Laksana.

Ki Carang Aking mengangguk-angguk. Sementara itu merekapun duduk di dalam bilik itu sambil berbicara di antara mereka agar jika Ki Pandi berada di luar, ia dapat mendengar bahwa tidak ada orang lain di dalam bilik itu.

Ki Pandi memang benar datang. Dari jauh ia sudah melihat pintu tertutup. Karena itu, maka iapun dengan sangat berhati-hati mendekati pintu yang tertutup itu.

Beberapa saat Ki Pandi memang berdiri di luar. Ia mendengarkan pembicaraan orang-orang yang ada di dalam. Baru ketika ia yakin bahwa tidak ada orang lain, maka iapun telah mengetuk pintu. Tidak terlalu keras, tetapi segera didengar oleh mereka yang ada di dalam bilik itu.

Ketika kemudian Ki Pandi duduk di dalam bilik itu, serta pintu telah ditutup kembali, Manggada dan Laksanapun segera menceriterakan rencana para penghuni barak itu untuk merampok beberapa orang saudagar emas, permata serta wesi aji yang akan berkumpul di rumah anak Ki Demang Rejandani dan tinggal di Rejandani Kulon.

Ki Pandi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Sebaiknya rencana itu kita gagalkan. Kita harus membantu para saudagar itu. Kita memang tidak bersangkut-paut dengan mereka. Jika kita tidak mendengar rencana ini, maka kita tidak akan merasa dibebani penyesalan jika esok kita mendengar berita tentang perampokan itu. Dan mungkin tindak kekerasan yang lain, karena aku yakin keempat orang saudagar itu tidak akan menyerahkan barang dagangan mereka yang nilainya sangat tinggi begitu saja. Kitapun tahu bahwa saudagar keliling yang sering menempuh perjalanan jauh biasanya memiliki kepercayaan diri serta bekal kemampuan olah kanuragan”

“Jadi bagaimana menurut Ki Pandi?” bertanya Ki Carang Aking.

“Aku akan pergi ke Rejandani itu” berkata Ki Pandi. Lalu katanya “Aku menduga bahwa kekuatan yang dibawa oleh orang-orang dari barak ini cukup besar, sehingga keempat orang itu tidak akan mampu melawan”

“Aku sependapat, Ki Pandi. Tetapi sayang, bahwa aku tidak dapat membantu, justru sebentar lagi, aku tentu akan mendapat tugas untuk menyiapkan kuda-kuda ini”

“Baiklah. Jika demikian aku minta diri. Aku akan pergi ke Rejandani”

Ki Carang Aking, Manggada dan Laksana tidak menahannya lebih lama. Kesempatannya tidak terlalu panjang, karena tengah malam nanti, Wira Sabet, Sura Gentong dan saudara-saudara seperguruannya, bahkan beberapa orang pengikutnya yang terpercaya akan merampok saudagar-saudagar itu.

Dengan sedikit petunjuk dari Manggada yang sedikit banyak tahu arah Kademangan Rejandani, maka Ki Pandipun telah langsung menuju ke Kademangan itu. Tidak terlalu sulit menemukan rumah Ki Demang. Tetapi waktu menjadi semakin sempit

Ketika Ki Pandi memasuki halaman Kademangan, maka Kademangan itu nampaknya sudah menjadi sepi. Tidak ada peronda di rumah itu. Tetapi ada gardu disimpang tiga, hanya beberapa puluh langkah saja dari rumah Ki Demang.

Ki Pandi memang menjadi ragu-ragu. Ia berjalan dengan hati-hati mengelilingi rumah itu. Dari jarak yang agak jauh, Ki Pandi melihat beberapa ekor kuda berada di dalam kandang, sehingga ia percaya, bahwa di rumah itu memang sedang ada tamu, sehingga kandang kuda yang cukup besar itu terasa agak sempit bagi beberapa ekor kuda yang ada di dalamnya.

Tetapi Ki Pandi sudah bertekad untuk memberitahukan rencana para perampok itu. Karena itulah, maka Ki Pandipun kemudian kembali ke halaman depan. Iapun naik ke pendapa dan melangkah ke pringgitan. Perlahan-lahan ia mengetuk pintu rumah Ki Demang. Sekali dua kali ketukan pintu itu tidak dijawab. Karena itu, maka Ki Pandipun mengetuk lebih keras lagi.

Meskipun tidak ada jawaban, namun telinganya yang tajam mendengar langkah-langkah di ruang dalam rumah itu. Karena itu, maka iapun kemudian menunggu pintu itu dibuka. Tetapi Ki Pandi tidak mendengar langkah mendekati pintu. Beberapa saat kemudian, maka langkah-langkah itupun seakan-akan justru menjauh dan kemudian hilang dari pendengarannya.

Tetapi tidak lama. Beberapa saat kemudian, ia justru mendengar pintu seketenglah yang terbuka. Ki Pandi menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, bahwa pemilik rumah itu, atau bahkan mungkin tamu-tamunya, menjadi sangat berhati-hati.

Sebenarnyalah Ki Pandipun kemudian melihat seorang yang muncul dari pintu seketeng. Sambil melangkah ke tangga pendapa orang itu bertanya, “Siapakah kau Ki Sanak. Dan apakah keperluanmu malam-malam begini datang kemari?”

Ki Pandi menarik nafas dalam-dalam. Namun ia menyadari, bahwa dari seketeng sebelah yang lain, dua orang telah keluar pula dan turun ke halaman. Ki Pandi masih berdiri di muka pintu pringgitan. Katanya, “Ada sesuatu yang penting dan segera harus aku beri tahukan kepada kalian. Tetapi siapakah di antara kalian putera Ki Demang Rejandani yang menjadi saudagar emas dan permata?”

“Aku” jawab orang itu. Orang yang masih terhitung muda dengan kumis yang tebal di atas bibirnya.

“Baiklah. Aku mohon kesempatan untuk berbicara sejenak. Maaf, jika aku harus melakukannya dengan cepat, karena waktunya sangat sempit” berkata Ki Pandi.

“Siapa sebenarnya kau ini?” bertanya anak Ki Demang itu.

“Itu tidak penting. Tetapi aku minta kata-kataku didengar” berkata Ki Pandi.

“Apa yang ingin kau katakan?”

Ki Pandi melangkah mendekati orang itu. Tetapi orang itu berkata “Berdiri sajalah disitu”

“Tetapi yang ingin aku katakan ini penting bagi Ki Sanak, karena bukan saja menyangkut barang-barang dagangan Ki Sanak dan kawan-kawan Ki Sanak, tetapi juga keselamatan Ki Sanak sendiri bersama dengan kawan-kawan Ki Sanak”

“Apa yang kau ketahui tentang kami? Kami tidak mempunyai barang-barang berharga. Aku memang mengaku anak Ki Demang. Tetapi bukan pedagang emas dan permata.

“Kenapa harus kau ingkari, Ki Sanak. Tetapi siapapun Ki Sanak, aku mohon Ki Sanak menyadari bahwa sekelompok perampok tengah dalam perjalanan kemari. Sebaiknya Ki Sanak membawa barang-barang berharga itu menyingkir dari rumah ini. Sebaiknya rumah ini dikosongkan, sementara satu dua orang pembantu di rumah ini harus diberi pesan, bagaimana mereka menjawab pertanyaan para perampok itu”

“Ki Sanak. Jika kau sedang mengigau, sebaiknya kau tidak berada di rumahku. Pergilah”

“Aku berkata sebenarnya Ki Sanak. Pembantu itu harus mengatakan bahwa di rumah ini tidak ada tamu. Ki Demang dan Nyi Demang sebaiknya juga meninggalkan rumah ini dan berada di banjar saja bersama para peronda. Pembantu itu dapat mengatakan bahwa Ki Demang dan Nyi Demang sedang pergi”

“Ayah dan ibuku memang tidak sedang di rumah, Ki Sanak. Pamanku sedang menikahkan anaknya”

“Jika demikian, silahkan kalian pergi. Meskipun aku melihat ada gardu di sebelah, namun kekuatan para perampok itu terlalu besar untuk ditandingi”

Anak Ki Demang itu kemudian justru menggeram “Apakah kau salah seorang dari mereka dan berusaha untuk menakut-nakuti kami, agar kami tidak memberikan perlawanan?”

“Bukan sekedar tidak memberikan perlawanan. Tetapi aku mohon kalian menyingkir”

“Pergilah, atau aku bahkan akan menangkapmu”

Ki Pandi termangu-mangu sejenak. Bahkan seorang yang berdiri di sisi lain dari pendapa itu menggeram, “Orang bongkok. Kau jangan mencoba mengganggu ketenangan kami”

Ki Pandi menarik nafas dalam-dalam Ternyata orang-orang itu tidak mempercayainya. Mungkin karena ujud lahiriahnya, maka ia dianggap orang yang kurang waras, yang tersesat di Kademangan Rejandani.

“Pergilah” berkata anak Ki Demang itu “kami malam ini harus beristirahat sebaik-baiknya. Besok kami akan menempuh perjalanan panjang”

“Aku mohon kalian mendengarkan kata-kataku” berkata Ki Pandi sekali lagi.

“Kau orang aneh. Untuk apa sebenarnya permainan ini kau lakukan. Apakah kau memang sedang memancing persoalan, atau mencoba membuka kesempatan bagi gerombolanmu untuk masuk ke dalam rumahku? Dengar Ki Sanak, sekali lagi aku peringatkan kau agar pergi. Jika tidak, maka kami akan menangkapmu. Malam ini juga kami akan memerintahkan anak-anak muda untuk memanggil ayah dan mengadilimu”

Ki Pandi kehilangan harapannya untuk memberi peringatan kepada orang-orang itu. Sebenarnya ia memang mempunyai pamrih. Jika ia berhasil menyelamatkan emas dan permata dan bahkan wesi aji dari saudagar-saudagar itu, maka pada kesempatan lain, ia akan dapat minta bantuan mereka untuk menyelamatkan padukuhan Gemawang, karena Kademangan Kalegen nampaknya ragu-ragu menghadapi Ki Sapa Aruh. Tetapi nampaknya usaha itu sia-sia.

Dengan kecewa Ki Pandipun kemudian melangkah turun dari pendapa. Demikian ia berdiri di halaman, maka ia melihat empat orang yang berada didekat pintu seketeng sebelah-menyebelah.

“Wira Sabet dan Sura Gentong cukup teliti memperhitungkan sasarannya. Atau barangkali atas petunjuk Ki Sapa Aruh” berkata Ki Pandi di dalam hatinya.

Dengan hati yang berat Ki Pandi melangkah keluar dari halaman rumah itu. Namun sebelum ia keluar dari regol halaman, ia pun masih berkata, “Aku minta kalian mengingat peringatanku ini Ki Sanak. Jika terjadi sesuatu atas kalian, maka kalian jangan menyesal.
Keempat orang itu tidak menjawab. Sementara itu, Ki Pandi yang kecewa itupun melangkah keluar lewat pintu regol halaman.

“Ada juga orang gila datang malam-malam begini” berkata salah seorang dari mereka”

“Lupakan” berkata anak Ki Demang yang berkumis itu “kita masih mempunyai waktu untuk tidur lagi”

Tetapi seorang di antara mereka itupun berkata, “Perasaanku menjadi tidak enak. Jika orang itu tidak mempunyai keterangan tentang yang dikatakannya itu, apakah sebenarnya tujuannya?”

“Mungkin ia memang orang gila” desis yang lain “atau bahkan sedang menjajagi apakah kami menjadi ketakutan”

“Sudahlah” berkata anak Ki Demang “Sudahlah. Kita tidur saja lagi”

Sementara itu waktu bergulir semakin jauh. Walaupun menjadi semakin malam. Keempat orang itu sudah berada di dalam rumah lagi. Keempat orang itu memang sengaja tidur di ruang dalam bersama-sama. Ketiga orang tamu yang bermalam di rumah itu, tidak dipersilahkan tidur di gandok, karena mereka bersama-sama menjaga barang-barang mereka yang nilainya tinggi.

Sejenak kemudian, maka ketiga orang di antara mereka segera tertidur lagi. Yang seorang lagi masih saja merasa gelisah. Ia tidak menjadi ketakutan. Tetapi peringatan yang diberikan orang bongkok itu membuatnya berhati-hati. Ada perasaan tidak enak yang menggelitik jantungnya.

Beberapa saat orang itu berbaring tanpa dapat memejamkan matanya. Karena itu maka iapun justru bangkit dan duduk di ruang dalam. Suara-suara malam di luar dinding rumah itu membuat malam menjadi semakin mencengkamnya. Sementara itu, ketiga orang kawannya, termasuk anak Ki Demang telah tertidur nyenyak. Seorang di antara mereka justru mendengkur seirama dengan tarikan nafasnya yang teratur.

Orang itu mengerutkan dahinya ketika ia mendengar jauh dalam keheningan malam suara derap kaki kuda. Semakin lama menjadi semakin jelas. Tidak hanya satu dua. Tetapi di telinganya terdengar banyak sekali.

Orang itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Bahkan ia sempat bertanya kepada diri sendiri, “Apakah karena kegelisahanku, tiba-tiba saja telingaku seakan-akan mendengar derap kaki kuda sedemikian banyaknya?”

Tetapi suara derap kaki kuda itu tidak segera lenyap. Bahkan semakin lama menjadi semakin jelas. Orang itu tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun segera membangunkan ketiga orang kawannya yang masih tidur nyenyak.

“Ada apa?” bertanya anak Ki Demang.

“Kau dengar derap kaki kuda itu?” bertanya orang yang membangunkannya.

“Kaki kuda apa?” anak Ki Demang itu memang bangkit dan bahkan duduk dibibir amben besar di ruang dalam.

“Dengarlah baik-baik” berkata orang itu.

Kedua orang yang lainpun telah duduk pula. Seorang di antara mereka sempat berkata “Kau dibayangi oleh ceritera orang bongkok itu”

Tetapi anak Ki Demang itu justru berdesis “Ya. Aku sudah mendengarnya”

Akhirnya keempat orang itu menjadi yakin. Mereka mendengar derap kaki kuda. Dengan cepat keempatnya berloncatan menggapai senjata mereka masing-masing. Anak Ki Demang mengambil tombak di ploncongnya. Sementara seorang kawannya menjinjing pedang panjang. Seorang lagi bersenjata sepasang tongkat baja yang dihubungkan dengan seutas rantai yang agak panjang. Sedangkan seorang lagi menyelipkan kerisnya yang besar dan panjang melampaui ukuran keris kebanyakan di punggungnya.

“Apakah orang bongkok itu tidak berbohong?” desis orang yang sejak semula sudah ragu-ragu itu.

Ketiga orang kawannya hanya terdiam. Mereka menjadi tegang ketika suara derap kaki kuda itu menjadi semakin dekat. Anak Ki Demang itu menggeretakkan giginya ketika ia mendengar derap kaki kuda itu memasuki halaman rumahnya.

“Setan. Orang bongkok itu tidak berbohong. Mungkin ia gila, tetapi ia berkata sebenarnya...”

“Kita harus bersiap menghadapinya”

Sejenak kemudian maka merekapun mendengar orang-orang di halaman itu berloncatan turun. Mereka mendengar langkah beberapa orang ke halaman samping, sedangkan beberapa orang yang lain naik ke pendapa.

Sementara itu, tiga ekor kuda telah langsung berhenti di depan gardu. Ada lima anak muda yang sedang meronda. Namun ketika ketiga orang berkuda itu mengancam mereka, maka mereka tidak berani berbuat apa-apa.

“Jika kalian mencoba melibatkan diri, maka kalian akan menyesal” berkata salah seorang dari ketiga orang berkuda itu.

Kelima anak muda itu memang tidak akan dapat melawan mereka, sehingga mereka lebih baik berdiam diri saja di dalam gardu. Sementara itu, orang-orang yang berada di halaman rumah Ki Demang, telah mengawasi segala pintu keluar rumah itu. Bahkan sampai ke pintu dapur sekalipun.

Empat orang kemudian telah berdiri di depan pintu pringgitan. Seorang di antara mereka adalah seorang yang umurnya sudah melampaui pertengahan abad. Namun badannya masih nampak, kuat, kekar dan tegar. Orang itulah yang mengetuk pintu pringgitan

“Buka pintumu atau aku rusakkan. Kalian yang ada di dalam tidak mempunyai pilihan apapun kecuali mendengarkan dan melakukan segala perintah kami. Kami tahu, bahwa ada empat orang yang ada di dalam. Ki Demang dan Nyi Demang sedang pergi ke peralatan pernikahan kemanakannya”

Orang-orang yang berada di dalam rumah itu menjadi semakin tegang. Tetapi tidak seorangpun yang membuka pintunya. Ternyata bukan hanya pintu pringgitan saja yang diketuk. Tetapi pintu butulan di gladri sebelah kanan juga diketuk. Justru lebih keras. Terdengar suara lantang,

“Buka pintu. Cepat...!”

Tetapi keempat orang itu tidak membuka pintu. Karena itu, maka orang-orang yang berdiri di depan pintu pringgitan itu tidak sabar lagi. Mereka mulai menghentak-hentak pintu itu semakin lama menjadi semakin keras.

Orang yang sudah berumur lebih setengah abad itu menjadi semakin tidak sabar. Karena itu, maka dengan kekuatannya yang melampaui takaran kekuatan wajarnya, orang itu telah menghentakkan pintu itu, sehingga pintu dari dinding gebyog itu pecah dan roboh ke dalam, sehingga pintu itupun kemudian menjadi menganga.

Namun nampaknya tidak diduga sebelumnya, bahwa dengan tiba-tiba empat orang yang ada di ruang dalam itupun telah meloncat menyerang, sehingga orang-orang yang berdiri di pintu itu berloncatan mundur. Dengan kecepatan yang tinggi, keempat orang itu berloncatan melintasi pendapa dan turun ke halaman.

Agaknya mereka memilih bertempur di halaman daripada di pendapa. Karena di halaman mereka tidak akan terganggu oleh tiang-tiang yang berdiri tegak membeku. Tetapi demikian keempat orang itu berdiri di pendapa, maka beberapa orang telah menyusul mereka dan bahkan kemudian mengepung mereka.

Orang yang mengetuk dan kemudian merusakkan pintu itu pun telah melangkah dan kemudian berdiri di tangga pendapa sambil berkata, “Ki Sanak. Aku tahu, kau adalah orang-orang yang berilmu. Tetapi akupun tahu bahwa ilmu kalian masih belum apa-apa bagiku dan bagi orang-orangku. Karena itu, maka sebaiknya kalian menyerah saja. Jika kalian menyerah, maka kalian akan kami perlakukan dengan baik. Tetapi jika kalian melawan, maka nasib kalian akan menjadi lebih buruk lagi”

“Kau siapa?” bertanya anak Ki Demang.

“Orang memanggilku Ki Sapa Aruh...” jawab orang itu. Wajah anak Ki Demang itu menjadi tegang. Sementara itu Ki Sapa Arah itupun berkata, “Kau pernah mendengar namaku? Mungkin namaku memang belum terlalu banyak dikenal disini”

Anak Ki Demang menggeram. Ternyata ia memang pernah mendengar nama Ki Sapa Arah. Namun ketika tiba-tiba saja ia berhadapan, maka hatinya memang menjadi sangat berdebar-debar.

“Nah, Ki Sanak. Marilah kita menyelesaikan persoalan kita dengan baik. Kami bukan orang yang senang mempergunakan kekerasan untuk tujuan apapun. Kami juga bukan orang yang senang berselisih di antara sesama. Karena itu, marilah kita sama-sama mengekang diri agar tidak terjadi perselisihan” berkata Ki Sapa Aruh dengan nada yang lunak.

“Apa maksudmu?” bertanya anak Ki Demang.

“Aku datang dengan tujuan yang baik. Aku ingin meneruskan keinginan kawan-kawan kami yang sedang kekurangan untuk minta bantuan kalian untuk sedikit meringankan beban hidup mereka sehari-hari. Adalah tidak wajar jika mereka hidup dalam kekurangan dan bahkan hampir kelaparan, sementara kalian dapat hidup dengan berlebihan”

Wajah anak Ki Demang itu menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia menyahut, “Siapa yang hidup berlebihan?”

“Tentu saja yang kami maksudkan adalah kalian. Juga para bebahu Kademangan ini dan para saudagar kaya. Dengan memeras orang-orang yang justru sedang membutuhkan pertolongan, kalian mendapatkan untung yang berlebihan” jawab Ki Sapa Arah.

“Itu tidak benar. Kami tidak hidup berlebihan. Kami memang mencari untung dengan pekerjaan kami. Tetapi bukankah itu wajar? Jika ada sedikit tersisa serta kesempatan untuk hidup kecukupan itu adalah hasil kerja keras kami. Juga para bebahu Kademangan. Sawah pelungguh yang mereka dapatkan di dasari oleh paugeran yang berlaku dan sah. Merekapun harus bekerja keras untuk dapat hidup dengan layak”

Tetapi Ki Sapa Aruh tertawa. Katanya, “Kau dapat berkata apa saja. Tetapi aku tahu, bahwa kalian telah mendatangi orang-orang yang terjepit oleh satu kebutuhan. Kalian memanfaatkan keterjepitan orang itu untuk dapat membeli perhiasan mereka, emas dan permata dengan harga murah. Kemudian kalian jual perhiasan itu dengan harga yang berlipat”

“Ki Sanak!” jawab anak Ki Demang “Apa sebenarnya yang kalian maui. Kalian tidak perlu mengusik pekerjaan yang memang kami lakukan dengan wajar itu. Kami tidak pernh memaksakan kehendak kami untuk membeli atau menjual apapun kepada kami. Kamipun tidak pernah memaksakan harga kepada mereka yang menjual atau membeli barang-barang dagangan kami”
“Baiklah. Apapun alasan kalian, tetapi bagi kami, kalian adalah sama jahatnya dengan lintah yang selalu menghisap darah. Sekarang sudah saatnya kami minta kembali darah yang telah kau hisap dan kau simpan sebagai harta kekayaan yang sangat besar. Nah, berikan emas, permata dan wesi aji yang kalian siapkan dan yang akan kalian bawa besok”

“Tidak” jawab anak Ki Demang “kalian tidak dapat merampas milik kami. Hak kami, apapun alasannya”

“Ki Sanak. Bukankah aku sudah mengatakan bahwa kami adalah orang-orang yang tidak suka kekerasan? Apalagi aku yang sudah menjadi semakin tua. Aku ingin dapat hidup tenang dan tenteram. Karena itu, aku minta kalian tidak membuat persoalan yang akan dapat menimbulkan perselisihan."

“Aku tidak mengerti jalan pikiranmu itu Ki Sapa Aruh. Tegasnya, aku tidak akan memberikan sebutir permatapun kepada kalian?” geram anak Ki Demang itu.

“Itulah yang tidak aku senangi. Ternyata kau adalah orang yang keras hati, yang mencoba memaksakan tindak kekerasan terjadi...” nada suara Ki Sapa Aruhpun meninggi.

“Kau jangan berbicara dengan memutar balikkan penalaran orang waras. Sekarang pergilah sebelum kami kehabisan kesabaran...” berkata anak Ki Demang yang mulai menjadi pening mendengarkan kata-kata Ki Sapa Aruh.

Tetapi Ki Sapa Aruh justru tertawa. Katanya, “Orang-orang yang di kepalanya selalu dipenuhi dengan nafsu kekerasan, tentu sulit dapat mengerti keinginanku. Tetapi baiklah. Meskipun kami orang-orang yang tidak suka berselisih, namun kami juga tidak ingin melepaskan landasan hidup kami. Kami akan mewakili orang-orang miskin yang pernah kau cekik lehernya dan kau hisap darahnya sehingga kering. Berikan emas, permata dan wesi aji itu kepada kami”

“Tidak...” jawab anak Ki Demang.

“Jika kau berkeras tidak mau memberikan emas, permata dan wesi aji itu kepada kami, maka dengan terpaksa sekali kami akan mengambilnya”

“Kami akan mempertahankan hak kami” jawab anak Ki Demang.

Ki Sapa Aruh itu mengerutkan dahinya. Ia sudah cukup panjang berbicara, sehingga kemudian iapun telah memberikan isyarat kepada orang-orangnya untuk bersiap.

Keempat orang pedagang emas, permata dan wesi aji itupun bersiap pula menghadapi segala kemungkinan. Namun mereka harus melihat kenyataan, bahwa lawan yang berdiri di sekitarnya terlalu banyak. Sementara itu, keempat orang itupun menyadari bahwa selain orang-orang yang ada di sekitarnya, masih ada yang lain di halaman samping bahkan di halaman belakang.

Tetapi keempat orang itu tidak membiarkan miliknya dirampok apapun alasannya. Bahkan yang tidak dapat diikuti dengan nalarnya. Apa yang mereka miliki itu, menurut pendapat mereka adalah hasil kerja keras mereka. Bukan karena memeras, merampas atau menipu orang lain.

Karena keempat orang itu tidak mau menyerahkan milik mereka, maka Ki Sapa Aruhpun kemudian telah memerintahkan orang-orangnya untuk segera menangkap keempat orang itu.

“Kita akan memaksa mereka melakukan sebagaimana aku katakan...” berkata Ki Sapa Aruh. “Mereka ternyata sama sekali tidak menghargai niat kita untuk menyelesaikan persoalan ini dengan baik-baik tanpa harus melakukan kekerasan”

Keempat orang pedagang emas dan permata itu sudah tidak mau mendengar lagi. Justru merekalah yang lebih dahulu menyerang, karena jumlah lawan mereka terlalu banyak, sehingga keempat orang itu tidak ingin mendapat tekanan lebih dahulu.

Dengan demikian, maka pertempuranpun segera terjadi. Dengan tangkasnya keempat orang pedagang emas dan permata itu berloncatan di halaman menghadapi lawan yang terlalu banyak. Namun dengan berani keempat orang itu bertempur. Senjata mereka terayun-ayun dengan cepatnya menebas dan mematuk.

Ki Sapa Aruh sendiri tidak langsung turun ke arena. Bahkan Wira Sabet dan Sura Gentong yang ikut datang ke rumah itu masih berdiri di tangga pendapa, meskipun mereka sudah menggenggam senjata telanjang di tangan. Tetapi Pideksa sudah mulai terlibat dalam pertempuran itu bersama keempat orang saudara seperguruan Wira Sabet dan Sura Gentong, disamping beberapa orang pengikutnya yang lain.

Dalam pada itu, di atas sebatang pohon nangka yang besar, di halaman sebelah, Ki Pandi duduk melekat pada sebatang dahan yang besar. Oleh ketajaman penglihatannya ia dapat menyaksikan pertempuran yang terjadi di halaman rumah Ki Demang itu. Nyala lampu minyak di pendapa dapat sedikit membantunya, sehingga dengan tegang Ki Pandi melihat bahwa keempat orang saudagar itu mulai terdesak.

Namun dengan demikian Ki Pandi sempat melihat kemampuan para penghuni barak Wira Sabet dan Sura Gentong itu. Ki Pandipun melihat seberapa jauh tataran ilmu saudara-saudara seperguruan Wira Sabet dan Sura Gentong. Bahkan Ki Pandi juga dapat menilai kemampuan Pideksa, anak Wira Sabet itu.

Untuk beberapa saat pertempuran itu berlangsung. Keempat orang saudagar itu masih bertempur dengan berani. Meskipun mereka mulai mengalami kesulitan, tetapi mereka sama sekali tidak menjadi gentar. Agaknya Ki Sapa Aruh menjadi tidak sabar Karena itu, maka iapun memberi isyarat agar Wira Sabet dan Sura Gentong bersama dirinya sendiri segera memasuki arena.

“Kita tangkap keempat orang itu hidup-hidup. Kita memang bukan pembunuh-pembunuh yang tidak berjantung. Kita akan mengampuni mereka setelah kita mendapatkan apa yang kita cari...” teriak Ki Sapa Aruh yang bersama Wira Sabet dan Sura Gentong telah menuruni arena pertempuran.

Pertempuranpun menjadi semakin sengit. Tetapi keempat orang saudagar itu benar-benar telah kehilangan kesempatan untuk mempertahankan diri.

Sementara seisi rumah Ki Demang itu sudah terbangun. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Beberapa orang membentak dengan kasar dan mengancam akan membunuh siapapun yang berniat membantu keempat orang saudagar itu.

Sebenarnyalah keempat orang saudagar itu menyadari, bahwa mereka tidak akan dapat minta pertolongan kepada siapapun juga. Sehingga karena itu maka mereka harus menyadarkan diri kepada kemampuan mereka berempat

Tetapi mereka memang tidak dapat mengingkari kenyataan. Semakin lama mereka menjadi semakin tidak berdaya. Apalagi setelah Ki Sapa Aruh sendiri, Wira Sabet dan Sura Gentong ikut dalam pertempuran. Dengan cepat kemampuan perlawanan keempat orang saudagar itupun menyusut

Ki Pandi yang duduk di atas dahan pohon nangka menyaksikan pertempuran itu dengan sungguh-sungguh. Ia melihat bagaimana Ki Sapa Aruh sendiri turun di gelanggang. Ia sempat melihat unsur-unsur gerak yang dipergunakannya, meskipun Ki Pandi tahu, bahwa Ki Sapa Aruh dalam pertempuran itu tidak merasa perlu untuk menumpahkan segala macam kemampuannya. Namun dalam pada itu, Ki Pandi dapat menilai tataran kemampuan Wira Sabet dan Sura Gentong.

Beberapa saat kemudian, maka keempat orang saudagar itu telah menjadi tidak berdaya. Senjata mereka tidak mampu lagi melindungi diri mereka dengan baik. Dalam pertempuran yang tidak terlalu lama itu, maka keempat orang saudagar itu semuanya telah terluka. Sementara itu, Ki Sapa Aruh dengan kemampuannya yang tinggi benar-benar mampu menguasai keempat orang itu bersama-sama dengan Wira Sabet Sura Gentong dan saudara-saudara seperguruannya.

“Kita tidak akan membunuh mereka...” berkata Ki Sapa Aruh.

Pertempuran itupun kemudian telah terhenti. Sura Gentong dengan garangnya telah mendorong anak Ki Demang dengan kakinya, sehingga anak Ki Demang itu jatuh tertelungkup di hadapanKi Sapa Aruh. Tidak ada lagi yang dapat melawan. Senjata-senjata mereka pun telah dirampas.

Ki Pandi yang menyaksikan berakhirnya pertempuran itu menjadi tegang. Seorang yang bertubuh sedang, dengan wajah yang tampan serta penampilan yang bersih serta wajah yang cerah ternyata telah memperlakukan keempat orang saudagar itu dengan kasar sebagaimana Sura Gentong. Sementara itu, seorang yang berwajah bengis justru hanya berdiri saja termangu-mangu menyaksikan sikap kawannya itu.

“Ki Sanak” berkata Ki Sapa Aruh kemudian “Kami memang bukan orang-orang yang haus darah. Sudah aku katakan, bahwa kami ingin menghindari setiap pertengkaran, apalagi kekerasan. Tetapi kalian telah memancing persoalan, sehingga kekerasan telah terjadi. Nah, sekarang, agar pekerjaan kami segera selesai, tunjukkan barang-barang simpanan kalian”

Anak Ki Demang itu tidak segera menyahut. Meskipun tubuhnya telah menjadi lemah, namun mereka masih mencoba bertahan. Tetapi Ki Pandi terkejut, sehingga debar jantungnya terasa menjadi semakin cepat, ketika ia melihat perlakuan orang yang berwajah tampan itu. Demikian kasarnya dan bahkan buas sekali. Jauh berbeda dengan kesan yang nampak pada ujud lahiriahnya.

Ki Sapa Aruh ternyata tidak mencegah perlakuan itu. Bahkan sambil tertawa ia berkata, “Nah, Ki Sanak. Aku tidak mempunyai banyak waktu. Jika kau tidak menunjukkan benda-benda berharga itu, maka kami dengan sangat menyesal akan berbuat lebih jauh lagi. Kami akan membakar rumah Ki Demang ini. Aku tidak tahu apakah nilai rumah dan isinya ini lebih besar atau lebih kecil dari benda-benda berharga yang kau pertahankan itu. Selebihnya, kalian akan mengalami perlakuan yang sangat buruk. Kami minta ampun atas kekhilafan kami memperlakukan Ki Sanak tidak sebagaimana seharusnya. Tetapi hal itu kami lakukan atas landasan kesetiaan kami kepada orang-orang yang telah kau peras selama ini”

Akhirnya keempat orang itu memang tidak mempunyai pilihan lain. Jika rumah itu benar-benar dibakar, maka Ki Demang akan ikut memikul beban. Karena itu, maka seorang di antara keempat saudagar itu berkata kepada anak Ki Demang, “Jangan libatkan Ki Demang dalam persoalan ini”

“Maksudmu?” bertanya anak Ki Demang dengan suara parau.

“Kita terpaksa menyerahkan apa yang mereka kehendaki, tetapi dengan janji, bahwa rumah ini tidak akan dibakar”

“Satu pikiran yang bijaksana” desis Ki Sapa Arah “Seperti berulang kali aku katakan, kami bukan orang-orang yang tidak berjantung. Jika apa yang kami inginkan sudah berada di tangan kami, maka kami tidak akan berbuat lebih jauh lagi”

Anak Ki Demang itu tidak dapat mengelak lagi. Ketiga orang kawannya memang sudah nampak terlalu letih dan kesakitan. Tubuh mereka telah terluka sebagaimana anak Ki Demang itu sendiri. Karena itu, maka iapun tidak dapat berbuat lain. Dengan suara yang bergetar ia berkata, “Aku akan menunjukkan dimana dagangan kami itu kami simpan”

“Katakan...” berkata Ki Sapa Aruh.

Anak Ki Demang itu berusaha untuk bangkit berdiri sambil berkata “Aku akan menunjukkan”

Tetapi di luar dugaan, bahwa sarung pedang orang yang berwajah tampan itu telah menghantam tengkuknya sehingga anak Ki Demang itu jatuh terduduk. Ki Sapa Arah tertawa. Namun ia berkata, “Biar ia mengatakannya. Sarung pedangmu dapat membuatnya pingsan”

Anak Ki demang itu berdesah kesakitan. Sementara Ki Sapa Arah berkata, “Katakan saja. Kau tidak usah bersusah payah menunjukkan kepada kami. Aku tidak ingin merepotkan kau dan kawan-kawanmu. Kalian tentu letih dan perlu beristirahat”

Hati keempat orang itu menjadi sangat sakit sebagaimana tubuh mereka. Tetapi mereka tidak dapat berbuat sesuatu. Karena anak Ki Demang itu tidak segera mengatakan sebagaimana dikehendaki oleh Ki Sapa Aruh, maka Ki Sapa Aruh itupun melangkah mendekat sambil berdesis,

“Apakah kau sengaja mengulur waktu? Kau tidak dapat mengharap bantuan dari siapapun. Seandainya ada juga beberapa orang anak muda yang mencoba membantu kalian, maka akibatnya akan menjadi buruk sekali. Korban akan jatuh. Anak-anak muda itu akan terbunuh disini tanpa mengerti kenapa mereka harus mati. Keluarga merekalah kelak yang akan menyadari, bahwa mereka telah menjadi tumbal kekayaan kalian. Keluarga mereka tidak akan pernah mendapatkan imbalan apapun dari kalian meskipun mereka mati karena mereka mempertahankan harta-benda kalian itu”

Anak Ki Demang itu menggeram. Tetapi ia memang tidak mempunyai pilihan. Karena itu, maka anak Ki Demang itupun berkata, “Yang kalian cari ada di sentong sebelah kiri. Dibawah gledeg bambu tempat pakaianku”

Ki Sapa Aruh tertawa. Sambil menepuk wajah anak Ki Demang ia berkata, “Ternyata kau adalah seorang anak yang manis. Terima kasih. Aku akan melihatnya. Tetapi aku peringatkan, bahwa kau tidak boleh bohong. Jika kau berbohong, maka kau bukan lagi anak yang manis. Tetapi kau tentu anak yang nakal, yang pantas dicubit pantatnya”

Anak Ki Demang tidak menjawab. Ia memang sudah berkata sebenarnya karena ia sama sekali tidak melihat peluang lagi.

Ki Sapa Aruh pun kemudian telah mengajak Wira Sabet dan Sura Gentong untuk masuk ke dalam rumah itu. Sementara itu, saudara seperguruan Wira Sabet yang berwajah tampan itu tiba-tiba saja telah menekan punggung anak Ki Demang itu sehingga anak Ki Demang itu hampir saja jatuh terjerembab.

Ki Pandi hanya dapat menyaksikan semua itu dari tempatnya bersembunyi. Ia tidak dapat berbuat sesuatu. Jika ia mencampuri persoalan itu, maka keadaannya akan menjadi semakin parah bagi keempat orang saudagar emas itu. Ia sendiri tentu akan terikat dalam pertempuran dengan Ki Sapa Aruh dan tentu beberapa orang akan membantu. Mungkin ia akan dapat meloloskan diri. Tetapi keempat orang itu justru akan menjadi sasaran kemarahan orang-orang itu. Karena itu, maka Ki Pandi hanya dapat menahan gejolak jantung di dalam dadanya.

Sementara itu, Ki Sapa Aruh telah hilang di balik pintu pringgitan untuk melihat dan kemudian mengambil barang-barang yang nilainya tentu sangat tinggi...
Selanjutnya,
Sejuknya Kampung Halaman Bagian 16