Sejuknya Kampung Halaman Bagian 13 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Arya Manggada - Sejuknya Kampung Halaman Bagian 13
Karya : Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
TIBA-TIBA tangan orang itu telah mencengkam pundak Manggada, sehingga Manggada telah menyeringai kesakitan “Kalian memang anak-anak muda yang perkasa.”

Manggada tidak menjawab. Tetapi wajahnya membayangkan ketakutan. Sinar obor di sudut barak membuat wajah Manggada semakin nampak pucat.

Orang itu tertawa. Sementara yang seorang lagi telah menepuk pipi Laksana sambil berkata, “Kalian masih terlalu kanak-kanak untuk mengenal liku-liku kehidupan seutuhnya. Karena itu, kalian tidak tahu apa yang kalian lakukan dengan pameran keberanian dan sikap seorang pahlawan. Namun akhirnya kalian sekarang berada disini. Jangan menyesal.”

Manggada dan Laksana tidak menjawab sama sekali. Sementara Pideksa berkata “Paman Sura Gentong telah menyerahkan keduanya kepadaku, paman.”

Kedua orang itu mengangguk. Seorang di antara mereka berkata, “Apakah mereka akan ditugaskan mengurusi kuda-kuda ini?”

“Ya, paman. Karena mereka senang berkuda, maka mereka tentu senang pula mengurusi kuda-kuda.” jawab Pideksa.
Kedua orang itupun kemudian telah meninggalkan kandang kuda itu. Pideksa menarik nafas panjang. Demikian kedua orang itu hilang di balik bangunan dalam barak itu, maka Pideksapun berkata, “Marilah. Kalian harus kembali ke tempat tahanan itu.”

Manggada dan Laksana pun mengikuti Pideksa yang melangkah meninggalkan kandang itu dan membawanya kembali ke bilik mereka yang dijaga kuat.

Watang yang bertanggung jawab atas mereka yang ditahan, memandang kedua anak muda itu dengan mata yang merah. Seperti hantu yang haus menghisap darah korbannya, Watang menatap kedua tawanan itu dengan tajamnya. Tangannya sudah menjadi gatal untuk memilin tangan-tangan kedua orang tawanan itu dan mematahkannya.

Tetapi setiap kali Pideksa memperingatkan, bahwa Watang tidak boleh mengusik kedua orang tawanan muda itu. Malampun kemudian turun. Manggada dan Laksana memandang mangkuk yang berisi minum dan makan bagi mereka. Nasi dan sepotong ikan kering.

Tetapi makanan yang sangat sederhana itu bukan masalah bagi mereka. Di hutan selama sebulan mereka makan apa saja. Bahkan pucuk dedaunan, meskipun kadang-kadang mereka makan daging panggang dan buah-buahan jika mereka menemukan.

Malam itu, Manggada dan Laksana tidak segera dapat tidur. Mereka mencoba mereka-reka apa yang akan mereka alami esok. Namun Manggada sempat berbisik, “Masih terasa sisa hubungan masa kanak-kanakku dengan Pideksa. Ia masih juga berusaha melindungi kita”

“Paman Wira Sabet ternyata juga baik” berkata Laksana.

“Yang benar-benar bersifat permusuhan adalah paman Sura Gentong dan tentunya juga orang yang bernama Ki Sapa Aruh itu. Sementara saudara-saudara seperguruan paman Sura Gentong itu nampaknya hanya ingin menumpang saja untuk ikut menikmati hari-hari mendatang”

Manggada mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berdesis “Kita berharap bahwa ada orang yang mengikuti jejak kita.”

Laksana termangu-mangu sejenak. Dengan nada rendah iapun berdesis “Yang kita harapkan adalah Ki Pandi itu sendiri. Jika orang lain yang mencobanya, mungkin sekali mereka akan terperosok ke dalam bahaya”

Manggada mengangguk pula. Tetapi ia tidak menjawab. Laksanapun kemudian terdiam. Keduanya berusaha untuk dapat tidur. Mungkin besok mereka harus bekerja keras sebagai budak di barak itu. Namun keduanya justru bangkit dan duduk di pembaringan. Di kejauhan mereka mendengar aum harimau. Tidak hanya seekor. Tetapi dua ekor harimau yang mengaum bersentuhan dari sisi yang berbeda.

Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Mereka mengenal suara harimau itu. Meskipun aumnya sama dengan aum harimau yang lain, tetapi ada sesuatu yang dapat mereka kenali.

“Ki Pandi nampaknya sudah berada di sekitar barak ini” desis Manggada.

Laksana tersenyum. Katanya, “Mudah-mudahan kita dapat berbuat sesuatu di dalam barak ini”

“Tetapi kita tidak boleh tergesa-gesa...”

Namun justru karena aum harimau itu, maka keduanya kemudian dapat tidur nyenyak hampir sepanjang malam yang tersisa. Tetapi pagi-pagi mereka harus sudah bangun. Watang yang garang itu telah membangunkan mereka. Raksasa itu membuka selarak pintu dari luar dan langsung melangkah ke pembaringan.

Tanpa mengatakan sepatah katapun, kedua tangan orang itu telah mencengkeram baju Manggada dan Laksana. Dengan garangnya orang itu menariknya dan melemparkan kedua anak muda itu ke pintu. Manggada dan Laksana jatuh berguling. Dengan susah payah keduanya berusaha untuk bangkit berdiri. Dengan ketakutan keduanya kemudian berdiri di pintu.

“Pemalas!” geram Watang sambil melangkah mendekat.

Sementara Manggada dan Laksana itu melangkah surut.

“Kau harus sudah berada di tempat kerjamu” bentak orang itu “tetapi kau masih belum bangun”

“Maaf... Kami belum terbiasa!” jawab Manggada.

Namun tangan orang itu segera terayun ke wajah Manggada. Ketika Manggada melihat tangan orang itu bergerak, maka ia harus meningkatkan daya tahannya, agar rahangnya tidak terlepas. Tetapi Manggada harus terhuyung-huyung dan jatuh tersandar dinding. Kedua tangannya memegangi wajahnya yang kesakitan. Bahkan Manggada itu harus berjongkok menahan sakit sambil mengaduh tertahan.

“Ingat...” berkata Watang “Kalian tidak boleh membantah apa yang aku katakan. Jika saja Pideksa tidak menginginkan kalian, maka kalian telah aku hancurkan disini”

Laksana sama sekali tidak menjawab, sementara Manggada masih berjongkok sambil berdesah.

“Cepat, pergi ke tempat kerjamu. Dua orang pengawal di luar akan mengantarkanmu”

“Baiklah” sahut Laksana “Biarlah kami mandi dahulu”

Jawaban itu membuat Watang menjadi marah. Tiba-tiba tangannya terayun menghantam perut Laksana. Seperti Manggada iapun harus mengerahkan daya tahannya, sehingga serangan orang itu tidak merontokkan isi perutnya. Namun juga seperti Manggada, Laksana bahkan terlempar keluar dari biliknya dan jatuh berguling di tanah.

Dua orang pengawal yang berdiri di luar terkejut. Keduanya adalah justru orang-orang yang telah membawanya ke barak itu. Namun yang seorang lagi tidak ada di antara mereka. Adalah di luar sadar ketika kedua pengawal itu kemudian membantu Laksana berdiri.

Watang yang berdiri di muka pintu berkata, “Kenapa anak itu harus kalian tolong?”

Tetapi salah seorang pengawal itu menjawab, “Siapa yang menolongnya? Aku hanya ingin mereka cepat sampai di tempat kerja mereka. Setiap saat kuda-kuda itu akan dipakai. Jika saatnya datang dan kuda-kuda itu belum dibersihkan, maka kau akan bertanggung jawab.”

“Kenapa aku?” bertanya Watang.

“Anak-anak ini menjadi kesakitan dan tidak segera dapat melakukan pekerjaan mereka...”

Watang tidak menjawab. Namun dengan kakinya ia mendorong Manggada yang berjongkok sambil berkata, “Cepat. Jika kau tidak cepat bangkit, aku hancurkan tengkukmu.”

Manggadapun berusaha untuk segera bangkit. Demikian pula laksana. Tertatih-tatih keduanyapun kemudian digiring oleh kedua orang pengawal ke kandang.

“Bukankah kalian dipekerjakan di kandang kuda?” bertanya seorang di antara kedua pengawal itu.

“Ya” jawab Manggada sambil berpaling. Ketika ia sadar, bahwa Watang tidak melihat mereka lagi, maka Manggada pun segera berjalan dengan wajar.

Kedua orang pengawal itu mengerutkan dahinya. Ketika mereka melihat Laksana juga berjalan dengan tegak dan tidak lagi terbungkuk-bungkuk memegangi perutnya, maka salah seorang pengawai itu bertanya, “Kalian tidak apa-apa?”

Laksanalah yang menjawab, “Raksasa dungu itu hanya mengandalkan tenaga wadagnya saja. Tidak lebih...”

Kedua pengawal itu mengangguk-angguk. Mereka sudah tahu pasti kemampuan anak muda yang bernama Laksana itu. Bertiga mereka tidak mampu mengalahkannya. Namun Manggadapun kemudian bertanya, “Apakah kami tidak boleh mandi dahulu. Bukankah matahari belum terbit?”

Pengawal itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Kalian mandi bergantian setelah kalian berada di kandang. Jika seseorang di antara para pemimpin barak ini melihat ke kandang, nampaknya kalian sudah berada disana dan sudah mulai bekerja”

“Apakah terbiasa disini pekerjaan dimulai sebelum matahari terbit?” bertanya Manggada.

“Ya. Bagi budak-budak.” jawab pengawal itu.

Manggada dan Laksana tidak bertanya lagi. Merekapun berjalan terus menuju ke kandang. Sementara itu, telah terdengar pula bunyi orang menumbuk padi. Di dekat lumbung padi beberapa orang telah mulai menumbuk padi dengan lesung dan lumpang kayu. Sementara beberapa orang yang lain mulai membelah kayu dan mengangkut barang-barang dari satu tempat ke tempat lain.

“Apakah mereka juga budak-budak?” bertanya Manggada.

“Ya” jawab salah seorang pengawal.

“Darimana paman Wira Sabet dan Sura Gentong mendapatkan budak-budak itu?” bertanya Manggada pula.

“Aku tidak tahu darimana mereka bawa.” jawab pengawal itu.

“Tetapi bukankah sasaran paman Wira Sabet dan Sura Gentong adalah padukuhan kami dilandasi dendam yang menyala sejak keduanya meninggalkan padukuhan?”

“Mungkin. Tetapi yang terjadi sekarang, keduanya bekerja bersama dengan Ki Sapa Aruh. Nampaknya Ki Sapa Aruh mempunyai sasaran yang lebih luas dari sekedar padukuhan Gemawang.”

“Kita berada di sebuah gerombolan perampok” desis Laksana.

Kedua pengawal itu saling berpandangan. Namun kemudian seorang di antara mereka berkata, “Ya. Ki Sapa Aruh mempunyai sebuah jaringan yang luas”

“Dan kalian adalah bagian dari mereka?” bertanya Manggada kemudian.

“Ya. Kami terperosok ke tempat ini. Kami tidak mempunyai pilihan lain pada waktu itu”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Namun mereka mengerti, meskipun keduanya termasuk di dalam lingkungan itu, tetapi di dasar hati mereka masih terdapat sepeletik api penalaran yang jernih.

Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, Manggada dan Laksana telah berada di kandang. Orang tua yang sudah lebih dahulu menjadi budak dan dipekerjakan di kandang itu telah berada di kandang itu pula.

Kedua pengawal itupun kemudian menyerahkan kedua orang anak muda itu sambil berkata, “Kakek tua. Awasi kedua anak muda ini. Jika mereka berusaha melarikan diri, maka kau harus membunyikan isyarat. Jika keduanya sampai berhasil menghilang dari barak ini, maka lehermu akan dijeret di tiang gantungan.”

“Tetapi, kenapa harus aku yang bertanggung jawab?” bertanya orang tua itu dengan suara gemetar.

“Kau tidak berhak bertanya. Sekali lagi membuka mulutmu, gigimu yang tersisa itu akan aku patahkan semuanya.”

Orang tua itu memang terdiam. Kepalanya terangguk-angguk kecil. Tetapi ia tidak berkata apa-apa lagi. Demikianlah, kedua orang pengawal itupun segera meniggalkan Manggada dan Laksana di kandang kuda itu.

Sepeninggal kedua pengawal itu, maka orang tua itupun berkata “Anak-anak muda. Jangan mencoba untuk melarikan diri. Ternyata leherku menjadi taruhan. Aku sudah tua. Aku tidak mau mati di tiang gantungan”

“Kami tidak akan melarikan diri, kek!” jawab Manggada “Jika kami berani mencoba dan gagal, maka nasib kami akan menjadi sangat buruk. Bukankah kemarin Pideksa itu mengatakannya disini ketika ia membawa kami kemari?”

Orang tua itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya “Apakah angger semalam dapat tidur?”

“Ya, kenapa?” bertanya Manggada.

“Jika demikian angger tidak mengalami goncangan perasaan seperti kami dan budak-budak yang lain. Demikian kami sampai di tempat ini.” berkata orang tua itu.

“Maksud kakek, mengalami ketakutan dan kecemasan?“ bertanya Laksana.

“Ya. Begitulah...”

“Tentu kek. Kami mengalami ketakutan yang amat sangat, sehingga jantung kami berdebaran”

Orang tua itu memandang Laksana sejenak. Namun kemudian orang tua itupun tersenyum “Kalian berdua hanya main-main”

“Maksud kakek?” bertanya Manggada dengan wajah menegang.

“Aku mendengar aum harimau semalam...” berkata orang itu.

“Kenapa? Bukankah barak ini terletak di hutan yang lebat? Tentu banyak binatang buas yang ada di hutan itu. Termasuk harimau. Harimau kumbang, harimau loreng dan barangkali juga harimau tutul.”

“Suara harimau itu aneh. Sebelum kalian bermalam disini, tidak pernah ada aum harimau seperti itu”

“Apa sebenarnya yang kakek maksud?” desak Manggada.

Orang tua itu tiba-tiba saja tertawa. Katanya, “Sejak aku melihat kalian kemarin, aku sudah mengira bahwa kalian bukan orang kebanyakan. Maksudku, di dalam diri kalian tersimpan sesuatu. Mungkin kalian dapat mengelabui Wira Sabet, Sura Gentong dan saudara-saudara seperguruannya. Tetapi kau tidak dapat mengelabui mata tuaku.”

Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Baru kemudian Matiggada bertanya “Kakek mengenal aum harimau itu?"

Orang itu tertawa lagi. Katanya “Harimau itu tentu harimau orang bongkok itu. Isyarat itu tentu diberikan kepada kalian berdua, karena sebelumnya, isyarat seperi itu tidak pernah aku dengar.”

“Jika demikian, maka kakek tentu juga bukan orang kebanyakan. Mungkin kakek saudara seperguruan Ki Pandi.”

“Bukan. Aku bukan saudara seperguruan Ki Pandi yang bongkok itu. Tetapi aku mengenalnya dengan baik. Iapun mengenal aku dengan baik. Tetapi sudah agak lama kami tidak bertemu”

“Aku yakin, bahwa kakek juga memiliki ilmu yang sangat tinggi seperti Ki Pandi.” berkata Laksana.

“Jarang ada orang yang memiliki ilmu setinggi orang bongkok itu.” jawab orang tua itu. Namun kemudian katanya “Hati-hatilah dengan Ki Sapa Aruh. Mungkin kalian sulit menyembunyikan kelebihan kalian terhadap orang itu. Namun untungnya, Ki Sapa Aruh jarang datang kemari. Jika ia datang, maka ia tidak pernah memperhatikan kami, budak-budak yang baginya tidak berarti sama sekali ini.”

“Tetapi kenapa kakek ada disini?” bertanya Laksana.

“Jawabnya sama jika ada orang yang bertanya kepada kalian, kenapa kalian berada disini?”

Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Manggadapun berkata “Apakah kami boleh mengetahui nama atau sebutan kakek?”

“Disini aku dipanggil Sampar. Tetapi orang bongkok itu mengenali aku dengan sebutan, Carang Aking.”

“Bagaimana kami memanggil kakek?” bertanya Manggada. “Disini sudah tentu kalian memanggil aku kakek Sampar”

“Baiklah kek. Tetapi justru sekarang aku berani minta ijin untuk mandi bergantian” berkata Manggada.

“Di sudut itu ada sumur. Tetapi jangan menimbulkan banyak suara. Hari masih sangat pagi. Sumur itu memang diperuntukkan bagi orang-orang yang mereka sebut budak-budak.”

Sejenak kemudian, Manggada dan Laksana sudah mandi bergantian. Namun mereka sudah mulai berkeringat lagi ketika matahari terbit, karena keduanya sibuk membersihkan kandang, menyediakan makan bagi kuda-kuda sekandang, kemudian juga membersihkan kuda-kuda itu.

Dalam pada itu, bagaimanapun juga orang tua Manggada dan Laksana menjadi sangat gelisah. Kedua anak muda itu telah mengambil satu langkah yang sangat berbahaya. Namun hati mereka menjadi agak tenang ketika Ki Pandi mengatakan kepada mereka, bahwa Ki Pandi sudah dapat mengetahui dimana kedua orang anak muda itu berada.

“Mereka sengaja memberikan petunjuk kepadaku.” berkata Ki Pandi.

“Jika demikian, apakah kita akan mengambilnya?” berkata Ki Citrabawa.

“Jika keduanya tidak dapat keluar dari tempat itu, kita memang akan mengambilnya” berkata Ki Pandi “Tetapi tentu kita tidak akan tergesa-gesa. Aku sedang mencari jalan untuk dapat memasuki barak itu nanti malam. Mudah-mudahan aku mendapat kesempatan berhubungan dengan keduanya”

“Tetapi itu sangat berbahaya pula.” berkata Ki Kertasana.

“Mudah-mudahan aku dapat menghindarinya.” sahut Ki Pandi. Namun wajahnya menampakkan kesungguhannya untuk melakukan sebagaimana dikatakannya.”

Ki Kertasana dan Ki Citrabawa yang memang meyakini kemampuan Ki Pandi itu hanya mengangguk-angguk saja. Keduanya percaya bahwa Ki Pandi tidak akan membiarkan Manggala dan Laksana mengalami kesulitan dan apalagi mengalami bencana.

Dalam pada itu, Ki Kertasana dan Ki Citrabawa yang sebelumnya seolah-olah tidak melibatkan diri dengan keadaan yang mencengkam padukuhan Gemawang, bahkan orang-orang Gemawang menganggap bahwa keduanya bersikap sebagaimana para penghuni yang lain, memutuskan untuk mulai berbuat sesuatu. Justru karena anak-anak mereka sudah terlibat semakin jauh.

Karena itu, maka keduanya bersepakat untuk menghubungi Ki Jagabaya untuk menentukan langkah-langkah lebih jauh. Namun setelah Manggada dan Laksana dibawa ke barak Wira Sabet dan Sura Gentong, untuk beberapa hari tidak nampak lagi para pengikut keduanya itu berkeliaran di padukuhan Gemawang. Mungkin mereka menganggap bahwa setelah Manggada dan Laksana berhasil mereka tangkap, maka tidak akan ada lagi orang-orang Gemawang yang akan berani menentang mereka kecuali Ki Jagabaya yang ternyata tidak berhasil membangkitkan keberanian orang-orang Gemawang.

Dalam pada itu, Ki Jagabaya pun untuk sementara telah mengekang tingkah laku Sampurna agar anaknya itu tidak terperangkap ke dalam kesulitan.. “Aku tidak mengira, bahwa Laksana memiliki kemampuan yang sangat tinggi, ayah” berkata Sampurna.

Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Katanya, “Tentu Manggada juga memiliki kemampuan setingkat dengan adik sepupunya.”

“Ya” sahut Sampurna “Aku menjadi merasa kecil di hadapan mereka.”

“Adalah satu keberuntungan bagi kita, bahwa kedua orang anak muda itu memahami sikap kita. Bahkan keduanya dengan ikhlas telah membantu kita”

“Itulah agaknya mereka dengan berani menemui Ki Wira Sabet dan Ki Sura Gentong. Agaknya jika terpaksa mereka tidak akan menjadi ketakutan untuk memberikan perlawanan”

“Banyak yang dapat kita harapkan dari mereka” berkata Ki Jagabaya.

Ketika Ki Kertasana dan Ki Citrabawa menemuinya, maka Ki Jagabaya menyambutnya dengan gembira. Ternyata niatnya untuk mempertahankan padukuhan Gemawang bukan sekedar mimpi buruk, beberapa orang yang memiliki kemampuan yang meyakinkan, telah menyatakan dukungan mereka terhadap sikapnya yang teguh.

“Jika aku sempat berhubungan dengan Wira Sabet dan Sura Gentong, aku akan menegaskan sikapku lagi” berkata Ki Jagabaya.

“Sudah sampai saatnya kita berbuat tegas” berkata Ki Kertasana “Ki Pandi, orang tua yang sekarang tinggal di rumah kami, telah berhasil menemukan barak Wira Sabet dan Sura Gentong.”

Orang itu tertawa lagi. Katanya, “Harimau itu tentu harimau orang bongkok itu. Isyarat itu tentu diberikan kepada kalian berdua, karena sebelumnya, isyarat itu tidak pernah aku dengar.”

“Tetapi apakah mungkin kita memasuki barak mereka?” desis Ki Citrabawa “Bukankah menurut Ki Pandi, barak itu dihuni oleh banyak orang. Selain saudara seperguruan Wira Sabet dan Sura Gentong, di barak itu juga tinggal Ki Sapa Aruh dan para pengikutnya. Sementara Ki Pandi masih belum dapat mengetahui lebih banyak daripada penglihatannya sekilas dari kejauhan.”

Ki Kertasana menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Kita memang tidak dapat berbuat dengan tergesa-gesa. Tetapi kita juga tidak dapat membiarkan keadaan seperti ini berlangsung terlalu lama”

“Baiklah...“ Ki Jagabaya berkata dengan sungguh-sungguh “kita akan berbuat lebih banyak lagi”

Tetapi sementara itu, orang-orang Gemawang sendiri sama sekali tidak membantu. Bahkan mereka masih saja mengusulkan agar Ki Jagabaya mengurungkan niatnya untuk melawan Wira Sabet dan Sura Gentong.

Tetapi diam-diam ceritera tentang perkelahian antara Laksana melawan ketiga orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong itu menjalar dari mulut ke mulut. Bagi mereka, apa yang terjadi itu merupakan satu rahasia yang sulit mereka pecahkan. Laksana telah memenangkan perkelahian itu. Tetapi berdua dengan Manggada, mereka justru telah menyerahkan diri dan dibawa ke sarang Wira Sabet dan Sura Gentong.

Kenyataan itu ternyata telah menimbulkan tanggapan yang berbeda di antara orang-orang padukuhan Gemawang. Sebagian dari mereka menjadi semakin ketakutan, karena mereka memperhitungkan, akan timbul persoalan-persoalan baru yang akan menambah kesulitan para penghuni padukuhan Gemawang. Tetapi sebagian yang lain mulai mempertimbangkan kemungkinan yang lain pula.

Bahwa Manggada dan Laksana telah menyerahkan diri setelah memenangkan satu pertempuran, sangat membingungkan orang-orang Gemawang. Beberapa orang anak muda menganggap bahwa yang dilakukan oleh Manggada dan Laksana adalah satu usaha dengan mempertaruhkan jiwa mereka untuk kepentingan padukuhan Gemawang.

“Apakah kita akan membiarkannya?” desis seorang anak muda.

“Kita kenal Manggada di masa menjelang remaja. Apakah kini kita akan membiarkannya berjuang sendiri bagi padukuhan ini? Kita harus mencari jawaban, kenapa Manggada dan Laksana justru menyerahkan diri...” sahut yang lain.

“Kita akan menghubungi Sampurna. Ia tentu tahu pasti, upa yang sedang dilakukan oleh Manggada dan Laksana. Saat itu Manggada dan Laksana mencegah agar Sampurna tidak ikut menyerahkan dirinya”

"Tetapi bagaimana dengan ketiga orang yang sudah dikalahkan itu?” bertanya anak muda yang lain lagi.

Akhirnya mereka memutuskan untuk berbicara dengan Sampurna. Dua di antara mereka akan mewakili kawan-kawan mereka menemui Sampurna di rumahnya, karena sejak Manggada dan Laksana ditangkap, Sampurna jarang nampak di jalan-jalan padukuhan.”

Ketika kedua orang itu pergi ke rumah Sampurna, maka mereka telah bertemu dengan Wisesa yang juga akan pergi menemui Tantri.

“Kalian akan pergi ke mana?” bertanya Wisesa.

“Kami akan menemui Sampurna” jawab salah seorang anak muda itu.

“Benar?” bertanya Wisesa pula.

“Benar, kenapa?” bertanya anak muda itu.

“Kau tidak akan menemui Tantri?” desak Wisesa.

“Untuk apa? Kami memerlukan Sampurna” sahut anak muda yang seorang. Anak muda itu tahu bahwa Wisesa nampaknya sangat tertarik kepada Tantri, sehingga setiap anak muda yang datang ke rumah Ki Jagabaya dianggap akan menemui Tantri.

Wisesa menarik nafas panjang. Tetapi iapun kemudian bertanya “Untuk apa kalian akan berbicara dengan Sampurna?”

“Kami ingin menanyakan, kenapa Manggada dan Laksana yang telah memenangkan perkelahian itu justru harus menyerahkan diri untuk dibawa ke tempat Wira Sabet dan Sura Gentong?” jawab anak muda itu.

“Itu hanya omong kosong saja...” desis Wisesa “Manggada dan Laksana, dan ternyata juga Sampurna, hanya anak-anak muda yang pandai membual”

“Sumber ceritera ini tidak dari Manggada dan Laksana” jawab anak muda itu “Juga tidak dari Sampurna. Tetapi dari beberapa orang yang melihat perkelahian itu”

Tetapi Wisesa tetap menggeleng. Katanya, “Ceritera itu tidak dapat dipercaya. Aku juga sudah mendengar dongeng itu. Katanya Laksana mampu mengalahkan ketiga orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong, Bukankah itu tidak masuk akal? Seorang lawan seorangpun Laksana tidak akan dapat berbuat apa-apa. Apalagi melawan tiga orang”

“Kita akan bertanya kepada Sampurna” jawab anak muda itu.

“Sampurna adalah kawan dekatnya. Tentu ia akan mengiakannya. Bahkan membumbuinya, sehingga ceriteranya akan menjadi semakin sedap” berkata Wisesa kemudian.

Mereka tidak meneruskan pembicaraan itu, karena mereka sudah berdiri di regol halaman Ki Jagabaya. Karena itu, maka merekapun kemudian melangkah masuk sambil berdiam diri. Seorang dari antara anak-anak muda itu telah menutup pintu regol. Tetapi tidak diselarak dari dalam.

Wisesalah yang mengetuk pintu seketheng. Karena itu, maka Sampurna yang sudah terbiasa mendengar ketukan itu, segera mengetahui bahwa Wisesa telah datang berkunjung.

“Ada tamu, Tantri” desis Sampurna.

“Kenapa anak itu masih juga datang kemari? Bukankah ayah pernah marah kepadanya?”

“Kau kira anak itu punya perasaan?” sahut Sampurna.

“Kakang tidak usah membuka pintunya” geram Tantri.

“Ah, kasihan. Nanti ia akan menunggu sampai senja. Tetapi kemudian Wisesa tidak berani pulang sendiri, sehingga aku harus mengantarkannya” berkata Sampurna sambil tertawa.

“Kenapa harus bersusah-susah mengurusinya?” wajah Tantri menjadi semakin gelap.

“Kenapa kau justru marah kepadaku?” bertanya Sampurna.

Sebelum Tantri menjawab, pintu itu sudah diketuk pula dengan gaya ketukan Wisesa. Sampurna menarik nafas dalam-dalam, sementara Tantri telah melangkah masuk ke ruang dalam. Sampurnalah yang kemudian membuka pintu seketheng betapapun segannya.

Tetapi Sampurna terkejut ketika ia melihat Wisesa tidak sendiri. Dua orang anak muda menyertainya masuk ke halaman samping rumahnya. Tetapi Sampurna mengenal keduanya dengan baik, karena keduanya adalah kawan bermainnya pula.

Ketiganyapun kemudian dipersilahkan duduk di serambi. Sementara Sampurna memberitahukan kepada Tantri bahwa tamu tidak hanya seorang, tetapi tiga orang.

“Kenapa kalau tiga?” bertanya Tantri dengan wajah gelap.

Sampurna tertawa. Katanya “Jika kau menghidangkan minuman, jangan hanya semangkuk buat Wisesa”

Tantri tiba-tiba bangkit. Sampurna tahu apa yang akan dilakukan adiknya. Karena itu, maka iapun segera berlari keluar dari dapur. Tetapi suara tertawanya masih tertinggal, sehingga Tantri itupun berkata, “Awas kau nanti...”

Di serambi Sampurna kemudian duduk menemui ketiga orang anak muda itu. Baru kemudian ia mengetahui bahwa dua orang anak muda itu tidak dengan sengaja datang bersama-sama dengan Wisesa.

“Kami bertemu di jalan...” berkata salah seorang dari kedua orang anak muda itu.

“Jadi, apakah kalian mempunyai keperluan lain atau sekedar singgah?” bertanya Sampurna. Karena tidak terbiasa ada orang yang datang menemuinya sejak keadaan padukuhan itu menjadi buram.

Seorang dari anak muda itupun menjawab, “Sampurna. Kami mengikuti perkembangan terakhir dari perkembangan padukuhan kita ini. Kami telah mendengar bahwa Manggada dan Laksana telah ditangkap dan dibawa oleh para pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong. Sementara itu, ada orang yang melihat bahwa sebenarnya Laksana sendiri telah dapat mengalahkan ketiga orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong itu."

Sampurna menarik nafas panjang. Perhatian anak muda terhadap peristiwa itu justru memberikan harapan kepadanya.

Tetapi Wisesalah yang menyahut, “Kenapa kau terpancing oleh berita yang menyesatkan itu. Adalah tidak masuk akal bahwa setelah memenangkan perkelahian itu, Manggada dan Laksana kemudian menjadi tahanan para pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong. Apa yang terjadi adalah karena kesombongan keduanya, sehingga keduanya harus menanggung akibat yang mungkin sangat buruk”

“Wisesa” berkata Sampurna kemudian “Ketika peristiwa itu terjadi, aku berada di antara mereka. Bahkan semula aku telah menyediakan diri untuk ditangkap bersama Manggada dan Laksana. Tetapi Manggada dan Laksana memperingatkan aku, agar aku tidak ikut bersama mereka. Mereka menganggap bahwa tumpuan dendam terutama tertuju kepada ayah, sehingga aku akan dapat menjadi sasaran dendam mereka atau aku akan dapat dijadikan taruhan. Karena itu, maka akupun telah mengurungkan niatku untuk menyerahkan diri sebagaimana Manggada dan Laksana”

“Bukankah itu tidak masuk akal?” sahut Wisesa.

“Masuk akal atau tidak, tetapi itulah yang terjadi“ jawab Sampurna.

“Aku percaya” jawab salah seorang dari kedua orang anak muda itu “Aku sudah bertemu pula dengan orang yang telah melihat langsung apa yang terjadi”

“Terima kasih” sahut Sampurna.

"Tetapi kami menjadi bingung, kenapa keduanya justru menyerahkan diri mereka?” bertanya salah seorang dari kedua orang anak muda itu.

“Manggada dan Laksana menganggap bahwa cara itu adalah cara yang terbaik untuk mengetahui dimana Wira Sabet dan Sura Gentong itu tinggal...” jawab Sampurna.

“Lalu, apa hasilnya?” Wisesa memotong “Meskipun mereka mengetahui tempat tinggal Wira Sabet dan Sura Gentong, namun keduanya kemudian menjadi tawanan, apakah itu berarti bagi kita disini?”

“Sekarang memang belum. Tetapi kita berharap bahwa pada suatu saat, pengorbanan mereka akan sangat berarti”

“Kami mengerti...” sahut salah seorang dari kedua orang anak muda itu “Yang ingin kami tanyakan, apakah yang sebaiknya kami lakukan justru setelah Manggada dan Laksana mengorbankan diri mereka. Kami sebenarnya juga merasa cemas, bahwa Manggada dan Laksana akan mengalami nasib buruk”

Wajah Sampurna menjadi cerah. Ia melihat perubahan sikap anak-anak muda itu, justru setelah Manggada dan Laksana menyerahkan dirinya meskipun dalam perkelahian yang terjadi, Laksana sendiri dapat mengalahkan tiga orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong.

Dengan nada tinggi Sampurna berkata, "Satu pertanda yang bagus. Aku minta kalian dapat mempertimbangkan kemungkinan yang dapat kalian lakukan. Ingat, ayah akan tetap mempertahankan sikapnya. Melawan orang-orang Wira Sabet dan Sura Gentong. Ayah memang tidak mempunyai pilihan lain. Ada atau tidak ada yang memberikan bantuan kekuatan, maka ayah akan tetap berusaha membebaskan padukuhan ini dari bayangan Wira Sabet dan Sura Gentong yang menakutkan itu. Ayah sama sekali tidak sedang berjuang untuk mempertahankan kedudukannya. Tetapi lebih daripada itu. Ayah ingin padukuhan kita bebas dari bayangan kelam Wira Sabet dan Sura Gentong. Manggada dan Laksana serta keluarganya mengerti maksud ayah. Karena itu, maka mereka telah menyatakan diri untuk membantu ayah. Bahkan manggada dan Laksana telah mengambil sikap yang sangat berbahaya bagi keselamatan mereka.”

Kedua orang anak muda itu mengangguk-angguk. Sementara Wisesa berkata, “Aku ingin memperingatkan kalian. Jangan main-main dengan Wira Sabet dan Sura Gentong”

“Tidak. Kami tidak sedang bermain-main. Bagaimana jika kami menawarkan kesediaanmu melindungi Tantri dari dendam Sura Gentong yang garang itu?”

“Kau akan mengadu aku dengan Sura Gentong seperti mengadu jengkerik?” bertanya Wisesa.

Sampurna tertawa. Katanya, “Sudahlah Wisesa. Sebaiknya kau tinggal di dapur saja. Menjerang air, menanak nasi dan mengukur kelapa”

Wajah Wisesa menjadi merah, tetapi ia tidak segera dapat mengatakan sesuatu, justru karena gejolak jantungnya yang semakin cepat.

Dalam pada itu, maka Tantri pun muncul dari balik pintu membawa hidangan bagi ketiga orang tamunya dan bagi kakaknya. Sekilas ia memandang wajah kakaknya. Ternyata Sampurna tersenyum kepadanya. Hampir saja Tantri menggapai kakaknya di lengannya dan mencubitnya keras-keras. Tetapi sebelum hal itu terjadi, Sampurna sudah bergeser menjauh. Tetapi Tantri tidak duduk di serambi itu. Setelah meletakkan minuman dan makanan, iapun segera masuk kembali ke ruang dalam.

Wisesa hampir saja memanggilnya. Tetapi ketika ia teringat bahwa di serambi itu ada dua orang anak muda yang lain, maka niatnya itupun diurungkannya. Dalam pada itu, maka Sampurna pun berkata kepada anak-anak muda,

“Nah, jika kalian memang benar-benar mulai terpanggil untuk menegakkan ketenangan di padukuhan kita ini, marilah. Ayah akan menyambut dengan gembira. Selebihnya, aku ingin mempersilahkan kalian menghimpun kawan-kawan kita yang memiliki keberanian untuk berbuat sesuatu. Aku tahu, bahwa para pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong bukan sekedar orang kebanyakan seperti kita. Tetapi dengan lambaran keberanian dan tekad maka kita tentu akan dapat berbuat banyak. Sementara itu di antara kita terdapat anak-anak muda seperti Manggada dan Laksana.”

Kedua orang anak muda itu mengangguk-angguk. Sementara Sampurna berkata pula, “Aku akan menghubungi keluarga Manggada dan Laksana. Mungkin mereka sudah mendengar berita tentang kedua orang anak muda itu”

Kedua anak muda itu memang belum menyatakan kesanggupan mereka. Nampaknya mereka masih harus mempertimbangkan beberapa hal. Namun bahwa sepeletik api kepedulian anak-anak muda itu atas keadaan padukuhannya, telah menggembirakan Sampurna.

Sejenak kemudian, maka kedua orang anak muda itupun telah minta diri, sementara Wisesa masih ingin tinggal di rumah itu. Apalagi Tantri masih belum menemuinya karena ada kedua orang tamu anak muda yang lain.

Sepeninggal kedua anak muda itu, maka Wisesapun berkata, “Kau telah memberikan gambaran yang salah kepada anak-anak muda itu. Apakah kau kelak tidak akan menyesal menyaksikan mereka mengalami nasib buruk? Seandainya kau berhasil membakar keberanian mereka dan dengan membabi buta melawan orang-orang Wira Sabet dan Sura Gentong yang sudah berpengalaman dan memiliki kemampuan yang tinggi, namun kemudian jatuh korban yang tidak terhitung, kau harus bertanggung jawab.”

Sampurna termangu-mangu sejenak. Meskipun ia menganggap Wisesa tidak lebih dari seorang anak muda yang cengeng, tetapi pendapatnya itu memang perlu mendapat perhatian. Bukan untuk mengurungkan kesediaan mereka menyelamatkan padukuhan Gemawang, tetapi satu cara untuk tidak membiarkan anak-anak muda itu menjadi korban. Karena Sampurna tidak segera menjawab, maka Wisesa itu berkata selanjutnya,

“Nah, bukankah kau menjadi ragu-ragu?"

“Tidak” jawab Sampurna “Aku tidak menjadi ragu-ragu. Tetapi pendapatmu memang harus mendapat perhatian. Kami akan tetap melakukan perlawanan, tetapi dengan usaha agar korban tidak terlalu banyak jatuh.”

“Jika ada satu orang saja yang menjadi korban, maka kaulah yang bertanggung jawab”

“Kita semuanya bertanggung jawab” jawab Sampurna.

“Tidak. Aku tentu tidak akan bersedia untuk ikut bertanggung jawab, karena aku mempunyai gagasan lain.”

“Kecuali kau” jawab Sampurna pendek.

Sekali lagi wajah Wisesa menjadi merah. Sementara itu Sampurnapun kemudian bangkit berdiri dan meninggalkan ruang itu.

Sampurna yang kemudian pergi ke dapur berkata kepada adiknya “Temuilah anak itu. Jika aku terlalu lama berbicara dengan Wisesa, mungkin aku akan kehilangan kesabaran.”

“Kenapa tidak kau usir saja?” bertanya Tantri.

"Aku masih mencoba mengendalikan diri dan mengingat unggah-ungguh. Sebagai tuan rumah, aku masih harus berusaha menghormati seorang tamu betapapun perasaan kita bergejolak.”

Tantri menggeleng. Katanya, “Biar saja ia duduk di serambi”

“Jangan begitu Tantri. Temuilah anak itu. Kau dapat saja berusaha untuk menjauhinya. Tetapi dengan baik-baik.”

“Dengan baik-baik bagaimana? Ia tidak mempunyai perasaan sehingga tidak mungkin aku menolaknya dengan cara baik-baik itu. Kepada Wisesa aku harus berterus terang”

“Jangan. Orang-orang cengeng seperti itu akan dapat berbuat licik untuk mencapai maksudnya. Justru karena ia pengecut.”

Tantri termangu-mangu sejenak. Dengan nada tinggi ia bergumam, “Jika ia marah, apa yang akan dilakukannya?”

“Justru yang tidak terduga-duga.” jawab Sampurna yang kemudian masih membujuk adiknya “Sudahlah. Pergi ke serambi sejenak”

Tantri akhirnya pergi juga ke serambi untuk menemui Wisesa.

“Tantri...” berkata Wisesa setelah Tantri duduk di pendapa. “Aku minta kau bantu aku. Cobalah menjelaskan kepada kakakmu, bahwa menyeret anak-anak muda Gemawang untuk melawan Wira Sabet dan Sura Gentong adalah langkah yang sangat berbahaya bagi keselamatan anak-anak muda Gemawang. Mungkin Sampurna sendiri dapat disebut pahlawan kelak. Tetapi ia harus berdiri di atas alas tubuh kawan-kawan kita yang menjadi korban”

Telinga Tantri serasa menjadi panas. Tetapi ia justru tidak menjawabnya. Tantri justru berkata tentang persoalan yang lain sama sekali. Dengan nada datar ia berkata, “Aku telah membuang bibit pohon kemuning yang kau berikan”

“Kenapa?” bertanya Wisesa.

“Jadi untuk apa? Kau tidak memperbolehkan pohon itu aku tanam di depan. Padahal aku ingin menanamnya di halaman depan rumah ini”

“Tetapi kau tidak perlu membuangnya Tantri. Aku sudah berusaha dengan susah payah.”

“Aku tidak tahu lagi, buat apa bibit pohon kemuning itu bagiku. Tidak ada tempat lagi untuk menanamnya selain di halaman depan. Sedangkan kau tidak memperbolehkannya....”
Selanjutnya,
Sejuknya Kampung Halaman Bagian 14

Sejuknya Kampung Halaman Bagian 13

Arya Manggada - Sejuknya Kampung Halaman Bagian 13
Karya : Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
TIBA-TIBA tangan orang itu telah mencengkam pundak Manggada, sehingga Manggada telah menyeringai kesakitan “Kalian memang anak-anak muda yang perkasa.”

Manggada tidak menjawab. Tetapi wajahnya membayangkan ketakutan. Sinar obor di sudut barak membuat wajah Manggada semakin nampak pucat.

Orang itu tertawa. Sementara yang seorang lagi telah menepuk pipi Laksana sambil berkata, “Kalian masih terlalu kanak-kanak untuk mengenal liku-liku kehidupan seutuhnya. Karena itu, kalian tidak tahu apa yang kalian lakukan dengan pameran keberanian dan sikap seorang pahlawan. Namun akhirnya kalian sekarang berada disini. Jangan menyesal.”

Manggada dan Laksana tidak menjawab sama sekali. Sementara Pideksa berkata “Paman Sura Gentong telah menyerahkan keduanya kepadaku, paman.”

Kedua orang itu mengangguk. Seorang di antara mereka berkata, “Apakah mereka akan ditugaskan mengurusi kuda-kuda ini?”

“Ya, paman. Karena mereka senang berkuda, maka mereka tentu senang pula mengurusi kuda-kuda.” jawab Pideksa.
Kedua orang itupun kemudian telah meninggalkan kandang kuda itu. Pideksa menarik nafas panjang. Demikian kedua orang itu hilang di balik bangunan dalam barak itu, maka Pideksapun berkata, “Marilah. Kalian harus kembali ke tempat tahanan itu.”

Manggada dan Laksana pun mengikuti Pideksa yang melangkah meninggalkan kandang itu dan membawanya kembali ke bilik mereka yang dijaga kuat.

Watang yang bertanggung jawab atas mereka yang ditahan, memandang kedua anak muda itu dengan mata yang merah. Seperti hantu yang haus menghisap darah korbannya, Watang menatap kedua tawanan itu dengan tajamnya. Tangannya sudah menjadi gatal untuk memilin tangan-tangan kedua orang tawanan itu dan mematahkannya.

Tetapi setiap kali Pideksa memperingatkan, bahwa Watang tidak boleh mengusik kedua orang tawanan muda itu. Malampun kemudian turun. Manggada dan Laksana memandang mangkuk yang berisi minum dan makan bagi mereka. Nasi dan sepotong ikan kering.

Tetapi makanan yang sangat sederhana itu bukan masalah bagi mereka. Di hutan selama sebulan mereka makan apa saja. Bahkan pucuk dedaunan, meskipun kadang-kadang mereka makan daging panggang dan buah-buahan jika mereka menemukan.

Malam itu, Manggada dan Laksana tidak segera dapat tidur. Mereka mencoba mereka-reka apa yang akan mereka alami esok. Namun Manggada sempat berbisik, “Masih terasa sisa hubungan masa kanak-kanakku dengan Pideksa. Ia masih juga berusaha melindungi kita”

“Paman Wira Sabet ternyata juga baik” berkata Laksana.

“Yang benar-benar bersifat permusuhan adalah paman Sura Gentong dan tentunya juga orang yang bernama Ki Sapa Aruh itu. Sementara saudara-saudara seperguruan paman Sura Gentong itu nampaknya hanya ingin menumpang saja untuk ikut menikmati hari-hari mendatang”

Manggada mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berdesis “Kita berharap bahwa ada orang yang mengikuti jejak kita.”

Laksana termangu-mangu sejenak. Dengan nada rendah iapun berdesis “Yang kita harapkan adalah Ki Pandi itu sendiri. Jika orang lain yang mencobanya, mungkin sekali mereka akan terperosok ke dalam bahaya”

Manggada mengangguk pula. Tetapi ia tidak menjawab. Laksanapun kemudian terdiam. Keduanya berusaha untuk dapat tidur. Mungkin besok mereka harus bekerja keras sebagai budak di barak itu. Namun keduanya justru bangkit dan duduk di pembaringan. Di kejauhan mereka mendengar aum harimau. Tidak hanya seekor. Tetapi dua ekor harimau yang mengaum bersentuhan dari sisi yang berbeda.

Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Mereka mengenal suara harimau itu. Meskipun aumnya sama dengan aum harimau yang lain, tetapi ada sesuatu yang dapat mereka kenali.

“Ki Pandi nampaknya sudah berada di sekitar barak ini” desis Manggada.

Laksana tersenyum. Katanya, “Mudah-mudahan kita dapat berbuat sesuatu di dalam barak ini”

“Tetapi kita tidak boleh tergesa-gesa...”

Namun justru karena aum harimau itu, maka keduanya kemudian dapat tidur nyenyak hampir sepanjang malam yang tersisa. Tetapi pagi-pagi mereka harus sudah bangun. Watang yang garang itu telah membangunkan mereka. Raksasa itu membuka selarak pintu dari luar dan langsung melangkah ke pembaringan.

Tanpa mengatakan sepatah katapun, kedua tangan orang itu telah mencengkeram baju Manggada dan Laksana. Dengan garangnya orang itu menariknya dan melemparkan kedua anak muda itu ke pintu. Manggada dan Laksana jatuh berguling. Dengan susah payah keduanya berusaha untuk bangkit berdiri. Dengan ketakutan keduanya kemudian berdiri di pintu.

“Pemalas!” geram Watang sambil melangkah mendekat.

Sementara Manggada dan Laksana itu melangkah surut.

“Kau harus sudah berada di tempat kerjamu” bentak orang itu “tetapi kau masih belum bangun”

“Maaf... Kami belum terbiasa!” jawab Manggada.

Namun tangan orang itu segera terayun ke wajah Manggada. Ketika Manggada melihat tangan orang itu bergerak, maka ia harus meningkatkan daya tahannya, agar rahangnya tidak terlepas. Tetapi Manggada harus terhuyung-huyung dan jatuh tersandar dinding. Kedua tangannya memegangi wajahnya yang kesakitan. Bahkan Manggada itu harus berjongkok menahan sakit sambil mengaduh tertahan.

“Ingat...” berkata Watang “Kalian tidak boleh membantah apa yang aku katakan. Jika saja Pideksa tidak menginginkan kalian, maka kalian telah aku hancurkan disini”

Laksana sama sekali tidak menjawab, sementara Manggada masih berjongkok sambil berdesah.

“Cepat, pergi ke tempat kerjamu. Dua orang pengawal di luar akan mengantarkanmu”

“Baiklah” sahut Laksana “Biarlah kami mandi dahulu”

Jawaban itu membuat Watang menjadi marah. Tiba-tiba tangannya terayun menghantam perut Laksana. Seperti Manggada iapun harus mengerahkan daya tahannya, sehingga serangan orang itu tidak merontokkan isi perutnya. Namun juga seperti Manggada, Laksana bahkan terlempar keluar dari biliknya dan jatuh berguling di tanah.

Dua orang pengawal yang berdiri di luar terkejut. Keduanya adalah justru orang-orang yang telah membawanya ke barak itu. Namun yang seorang lagi tidak ada di antara mereka. Adalah di luar sadar ketika kedua pengawal itu kemudian membantu Laksana berdiri.

Watang yang berdiri di muka pintu berkata, “Kenapa anak itu harus kalian tolong?”

Tetapi salah seorang pengawal itu menjawab, “Siapa yang menolongnya? Aku hanya ingin mereka cepat sampai di tempat kerja mereka. Setiap saat kuda-kuda itu akan dipakai. Jika saatnya datang dan kuda-kuda itu belum dibersihkan, maka kau akan bertanggung jawab.”

“Kenapa aku?” bertanya Watang.

“Anak-anak ini menjadi kesakitan dan tidak segera dapat melakukan pekerjaan mereka...”

Watang tidak menjawab. Namun dengan kakinya ia mendorong Manggada yang berjongkok sambil berkata, “Cepat. Jika kau tidak cepat bangkit, aku hancurkan tengkukmu.”

Manggadapun berusaha untuk segera bangkit. Demikian pula laksana. Tertatih-tatih keduanyapun kemudian digiring oleh kedua orang pengawal ke kandang.

“Bukankah kalian dipekerjakan di kandang kuda?” bertanya seorang di antara kedua pengawal itu.

“Ya” jawab Manggada sambil berpaling. Ketika ia sadar, bahwa Watang tidak melihat mereka lagi, maka Manggada pun segera berjalan dengan wajar.

Kedua orang pengawal itu mengerutkan dahinya. Ketika mereka melihat Laksana juga berjalan dengan tegak dan tidak lagi terbungkuk-bungkuk memegangi perutnya, maka salah seorang pengawai itu bertanya, “Kalian tidak apa-apa?”

Laksanalah yang menjawab, “Raksasa dungu itu hanya mengandalkan tenaga wadagnya saja. Tidak lebih...”

Kedua pengawal itu mengangguk-angguk. Mereka sudah tahu pasti kemampuan anak muda yang bernama Laksana itu. Bertiga mereka tidak mampu mengalahkannya. Namun Manggadapun kemudian bertanya, “Apakah kami tidak boleh mandi dahulu. Bukankah matahari belum terbit?”

Pengawal itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Kalian mandi bergantian setelah kalian berada di kandang. Jika seseorang di antara para pemimpin barak ini melihat ke kandang, nampaknya kalian sudah berada disana dan sudah mulai bekerja”

“Apakah terbiasa disini pekerjaan dimulai sebelum matahari terbit?” bertanya Manggada.

“Ya. Bagi budak-budak.” jawab pengawal itu.

Manggada dan Laksana tidak bertanya lagi. Merekapun berjalan terus menuju ke kandang. Sementara itu, telah terdengar pula bunyi orang menumbuk padi. Di dekat lumbung padi beberapa orang telah mulai menumbuk padi dengan lesung dan lumpang kayu. Sementara beberapa orang yang lain mulai membelah kayu dan mengangkut barang-barang dari satu tempat ke tempat lain.

“Apakah mereka juga budak-budak?” bertanya Manggada.

“Ya” jawab salah seorang pengawal.

“Darimana paman Wira Sabet dan Sura Gentong mendapatkan budak-budak itu?” bertanya Manggada pula.

“Aku tidak tahu darimana mereka bawa.” jawab pengawal itu.

“Tetapi bukankah sasaran paman Wira Sabet dan Sura Gentong adalah padukuhan kami dilandasi dendam yang menyala sejak keduanya meninggalkan padukuhan?”

“Mungkin. Tetapi yang terjadi sekarang, keduanya bekerja bersama dengan Ki Sapa Aruh. Nampaknya Ki Sapa Aruh mempunyai sasaran yang lebih luas dari sekedar padukuhan Gemawang.”

“Kita berada di sebuah gerombolan perampok” desis Laksana.

Kedua pengawal itu saling berpandangan. Namun kemudian seorang di antara mereka berkata, “Ya. Ki Sapa Aruh mempunyai sebuah jaringan yang luas”

“Dan kalian adalah bagian dari mereka?” bertanya Manggada kemudian.

“Ya. Kami terperosok ke tempat ini. Kami tidak mempunyai pilihan lain pada waktu itu”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Namun mereka mengerti, meskipun keduanya termasuk di dalam lingkungan itu, tetapi di dasar hati mereka masih terdapat sepeletik api penalaran yang jernih.

Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, Manggada dan Laksana telah berada di kandang. Orang tua yang sudah lebih dahulu menjadi budak dan dipekerjakan di kandang itu telah berada di kandang itu pula.

Kedua pengawal itupun kemudian menyerahkan kedua orang anak muda itu sambil berkata, “Kakek tua. Awasi kedua anak muda ini. Jika mereka berusaha melarikan diri, maka kau harus membunyikan isyarat. Jika keduanya sampai berhasil menghilang dari barak ini, maka lehermu akan dijeret di tiang gantungan.”

“Tetapi, kenapa harus aku yang bertanggung jawab?” bertanya orang tua itu dengan suara gemetar.

“Kau tidak berhak bertanya. Sekali lagi membuka mulutmu, gigimu yang tersisa itu akan aku patahkan semuanya.”

Orang tua itu memang terdiam. Kepalanya terangguk-angguk kecil. Tetapi ia tidak berkata apa-apa lagi. Demikianlah, kedua orang pengawal itupun segera meniggalkan Manggada dan Laksana di kandang kuda itu.

Sepeninggal kedua pengawal itu, maka orang tua itupun berkata “Anak-anak muda. Jangan mencoba untuk melarikan diri. Ternyata leherku menjadi taruhan. Aku sudah tua. Aku tidak mau mati di tiang gantungan”

“Kami tidak akan melarikan diri, kek!” jawab Manggada “Jika kami berani mencoba dan gagal, maka nasib kami akan menjadi sangat buruk. Bukankah kemarin Pideksa itu mengatakannya disini ketika ia membawa kami kemari?”

Orang tua itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya “Apakah angger semalam dapat tidur?”

“Ya, kenapa?” bertanya Manggada.

“Jika demikian angger tidak mengalami goncangan perasaan seperti kami dan budak-budak yang lain. Demikian kami sampai di tempat ini.” berkata orang tua itu.

“Maksud kakek, mengalami ketakutan dan kecemasan?“ bertanya Laksana.

“Ya. Begitulah...”

“Tentu kek. Kami mengalami ketakutan yang amat sangat, sehingga jantung kami berdebaran”

Orang tua itu memandang Laksana sejenak. Namun kemudian orang tua itupun tersenyum “Kalian berdua hanya main-main”

“Maksud kakek?” bertanya Manggada dengan wajah menegang.

“Aku mendengar aum harimau semalam...” berkata orang itu.

“Kenapa? Bukankah barak ini terletak di hutan yang lebat? Tentu banyak binatang buas yang ada di hutan itu. Termasuk harimau. Harimau kumbang, harimau loreng dan barangkali juga harimau tutul.”

“Suara harimau itu aneh. Sebelum kalian bermalam disini, tidak pernah ada aum harimau seperti itu”

“Apa sebenarnya yang kakek maksud?” desak Manggada.

Orang tua itu tiba-tiba saja tertawa. Katanya, “Sejak aku melihat kalian kemarin, aku sudah mengira bahwa kalian bukan orang kebanyakan. Maksudku, di dalam diri kalian tersimpan sesuatu. Mungkin kalian dapat mengelabui Wira Sabet, Sura Gentong dan saudara-saudara seperguruannya. Tetapi kau tidak dapat mengelabui mata tuaku.”

Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Baru kemudian Matiggada bertanya “Kakek mengenal aum harimau itu?"

Orang itu tertawa lagi. Katanya “Harimau itu tentu harimau orang bongkok itu. Isyarat itu tentu diberikan kepada kalian berdua, karena sebelumnya, isyarat seperi itu tidak pernah aku dengar.”

“Jika demikian, maka kakek tentu juga bukan orang kebanyakan. Mungkin kakek saudara seperguruan Ki Pandi.”

“Bukan. Aku bukan saudara seperguruan Ki Pandi yang bongkok itu. Tetapi aku mengenalnya dengan baik. Iapun mengenal aku dengan baik. Tetapi sudah agak lama kami tidak bertemu”

“Aku yakin, bahwa kakek juga memiliki ilmu yang sangat tinggi seperti Ki Pandi.” berkata Laksana.

“Jarang ada orang yang memiliki ilmu setinggi orang bongkok itu.” jawab orang tua itu. Namun kemudian katanya “Hati-hatilah dengan Ki Sapa Aruh. Mungkin kalian sulit menyembunyikan kelebihan kalian terhadap orang itu. Namun untungnya, Ki Sapa Aruh jarang datang kemari. Jika ia datang, maka ia tidak pernah memperhatikan kami, budak-budak yang baginya tidak berarti sama sekali ini.”

“Tetapi kenapa kakek ada disini?” bertanya Laksana.

“Jawabnya sama jika ada orang yang bertanya kepada kalian, kenapa kalian berada disini?”

Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Manggadapun berkata “Apakah kami boleh mengetahui nama atau sebutan kakek?”

“Disini aku dipanggil Sampar. Tetapi orang bongkok itu mengenali aku dengan sebutan, Carang Aking.”

“Bagaimana kami memanggil kakek?” bertanya Manggada. “Disini sudah tentu kalian memanggil aku kakek Sampar”

“Baiklah kek. Tetapi justru sekarang aku berani minta ijin untuk mandi bergantian” berkata Manggada.

“Di sudut itu ada sumur. Tetapi jangan menimbulkan banyak suara. Hari masih sangat pagi. Sumur itu memang diperuntukkan bagi orang-orang yang mereka sebut budak-budak.”

Sejenak kemudian, Manggada dan Laksana sudah mandi bergantian. Namun mereka sudah mulai berkeringat lagi ketika matahari terbit, karena keduanya sibuk membersihkan kandang, menyediakan makan bagi kuda-kuda sekandang, kemudian juga membersihkan kuda-kuda itu.

Dalam pada itu, bagaimanapun juga orang tua Manggada dan Laksana menjadi sangat gelisah. Kedua anak muda itu telah mengambil satu langkah yang sangat berbahaya. Namun hati mereka menjadi agak tenang ketika Ki Pandi mengatakan kepada mereka, bahwa Ki Pandi sudah dapat mengetahui dimana kedua orang anak muda itu berada.

“Mereka sengaja memberikan petunjuk kepadaku.” berkata Ki Pandi.

“Jika demikian, apakah kita akan mengambilnya?” berkata Ki Citrabawa.

“Jika keduanya tidak dapat keluar dari tempat itu, kita memang akan mengambilnya” berkata Ki Pandi “Tetapi tentu kita tidak akan tergesa-gesa. Aku sedang mencari jalan untuk dapat memasuki barak itu nanti malam. Mudah-mudahan aku mendapat kesempatan berhubungan dengan keduanya”

“Tetapi itu sangat berbahaya pula.” berkata Ki Kertasana.

“Mudah-mudahan aku dapat menghindarinya.” sahut Ki Pandi. Namun wajahnya menampakkan kesungguhannya untuk melakukan sebagaimana dikatakannya.”

Ki Kertasana dan Ki Citrabawa yang memang meyakini kemampuan Ki Pandi itu hanya mengangguk-angguk saja. Keduanya percaya bahwa Ki Pandi tidak akan membiarkan Manggala dan Laksana mengalami kesulitan dan apalagi mengalami bencana.

Dalam pada itu, Ki Kertasana dan Ki Citrabawa yang sebelumnya seolah-olah tidak melibatkan diri dengan keadaan yang mencengkam padukuhan Gemawang, bahkan orang-orang Gemawang menganggap bahwa keduanya bersikap sebagaimana para penghuni yang lain, memutuskan untuk mulai berbuat sesuatu. Justru karena anak-anak mereka sudah terlibat semakin jauh.

Karena itu, maka keduanya bersepakat untuk menghubungi Ki Jagabaya untuk menentukan langkah-langkah lebih jauh. Namun setelah Manggada dan Laksana dibawa ke barak Wira Sabet dan Sura Gentong, untuk beberapa hari tidak nampak lagi para pengikut keduanya itu berkeliaran di padukuhan Gemawang. Mungkin mereka menganggap bahwa setelah Manggada dan Laksana berhasil mereka tangkap, maka tidak akan ada lagi orang-orang Gemawang yang akan berani menentang mereka kecuali Ki Jagabaya yang ternyata tidak berhasil membangkitkan keberanian orang-orang Gemawang.

Dalam pada itu, Ki Jagabaya pun untuk sementara telah mengekang tingkah laku Sampurna agar anaknya itu tidak terperangkap ke dalam kesulitan.. “Aku tidak mengira, bahwa Laksana memiliki kemampuan yang sangat tinggi, ayah” berkata Sampurna.

Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Katanya, “Tentu Manggada juga memiliki kemampuan setingkat dengan adik sepupunya.”

“Ya” sahut Sampurna “Aku menjadi merasa kecil di hadapan mereka.”

“Adalah satu keberuntungan bagi kita, bahwa kedua orang anak muda itu memahami sikap kita. Bahkan keduanya dengan ikhlas telah membantu kita”

“Itulah agaknya mereka dengan berani menemui Ki Wira Sabet dan Ki Sura Gentong. Agaknya jika terpaksa mereka tidak akan menjadi ketakutan untuk memberikan perlawanan”

“Banyak yang dapat kita harapkan dari mereka” berkata Ki Jagabaya.

Ketika Ki Kertasana dan Ki Citrabawa menemuinya, maka Ki Jagabaya menyambutnya dengan gembira. Ternyata niatnya untuk mempertahankan padukuhan Gemawang bukan sekedar mimpi buruk, beberapa orang yang memiliki kemampuan yang meyakinkan, telah menyatakan dukungan mereka terhadap sikapnya yang teguh.

“Jika aku sempat berhubungan dengan Wira Sabet dan Sura Gentong, aku akan menegaskan sikapku lagi” berkata Ki Jagabaya.

“Sudah sampai saatnya kita berbuat tegas” berkata Ki Kertasana “Ki Pandi, orang tua yang sekarang tinggal di rumah kami, telah berhasil menemukan barak Wira Sabet dan Sura Gentong.”

Orang itu tertawa lagi. Katanya, “Harimau itu tentu harimau orang bongkok itu. Isyarat itu tentu diberikan kepada kalian berdua, karena sebelumnya, isyarat itu tidak pernah aku dengar.”

“Tetapi apakah mungkin kita memasuki barak mereka?” desis Ki Citrabawa “Bukankah menurut Ki Pandi, barak itu dihuni oleh banyak orang. Selain saudara seperguruan Wira Sabet dan Sura Gentong, di barak itu juga tinggal Ki Sapa Aruh dan para pengikutnya. Sementara Ki Pandi masih belum dapat mengetahui lebih banyak daripada penglihatannya sekilas dari kejauhan.”

Ki Kertasana menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Kita memang tidak dapat berbuat dengan tergesa-gesa. Tetapi kita juga tidak dapat membiarkan keadaan seperti ini berlangsung terlalu lama”

“Baiklah...“ Ki Jagabaya berkata dengan sungguh-sungguh “kita akan berbuat lebih banyak lagi”

Tetapi sementara itu, orang-orang Gemawang sendiri sama sekali tidak membantu. Bahkan mereka masih saja mengusulkan agar Ki Jagabaya mengurungkan niatnya untuk melawan Wira Sabet dan Sura Gentong.

Tetapi diam-diam ceritera tentang perkelahian antara Laksana melawan ketiga orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong itu menjalar dari mulut ke mulut. Bagi mereka, apa yang terjadi itu merupakan satu rahasia yang sulit mereka pecahkan. Laksana telah memenangkan perkelahian itu. Tetapi berdua dengan Manggada, mereka justru telah menyerahkan diri dan dibawa ke sarang Wira Sabet dan Sura Gentong.

Kenyataan itu ternyata telah menimbulkan tanggapan yang berbeda di antara orang-orang padukuhan Gemawang. Sebagian dari mereka menjadi semakin ketakutan, karena mereka memperhitungkan, akan timbul persoalan-persoalan baru yang akan menambah kesulitan para penghuni padukuhan Gemawang. Tetapi sebagian yang lain mulai mempertimbangkan kemungkinan yang lain pula.

Bahwa Manggada dan Laksana telah menyerahkan diri setelah memenangkan satu pertempuran, sangat membingungkan orang-orang Gemawang. Beberapa orang anak muda menganggap bahwa yang dilakukan oleh Manggada dan Laksana adalah satu usaha dengan mempertaruhkan jiwa mereka untuk kepentingan padukuhan Gemawang.

“Apakah kita akan membiarkannya?” desis seorang anak muda.

“Kita kenal Manggada di masa menjelang remaja. Apakah kini kita akan membiarkannya berjuang sendiri bagi padukuhan ini? Kita harus mencari jawaban, kenapa Manggada dan Laksana justru menyerahkan diri...” sahut yang lain.

“Kita akan menghubungi Sampurna. Ia tentu tahu pasti, upa yang sedang dilakukan oleh Manggada dan Laksana. Saat itu Manggada dan Laksana mencegah agar Sampurna tidak ikut menyerahkan dirinya”

"Tetapi bagaimana dengan ketiga orang yang sudah dikalahkan itu?” bertanya anak muda yang lain lagi.

Akhirnya mereka memutuskan untuk berbicara dengan Sampurna. Dua di antara mereka akan mewakili kawan-kawan mereka menemui Sampurna di rumahnya, karena sejak Manggada dan Laksana ditangkap, Sampurna jarang nampak di jalan-jalan padukuhan.”

Ketika kedua orang itu pergi ke rumah Sampurna, maka mereka telah bertemu dengan Wisesa yang juga akan pergi menemui Tantri.

“Kalian akan pergi ke mana?” bertanya Wisesa.

“Kami akan menemui Sampurna” jawab salah seorang anak muda itu.

“Benar?” bertanya Wisesa pula.

“Benar, kenapa?” bertanya anak muda itu.

“Kau tidak akan menemui Tantri?” desak Wisesa.

“Untuk apa? Kami memerlukan Sampurna” sahut anak muda yang seorang. Anak muda itu tahu bahwa Wisesa nampaknya sangat tertarik kepada Tantri, sehingga setiap anak muda yang datang ke rumah Ki Jagabaya dianggap akan menemui Tantri.

Wisesa menarik nafas panjang. Tetapi iapun kemudian bertanya “Untuk apa kalian akan berbicara dengan Sampurna?”

“Kami ingin menanyakan, kenapa Manggada dan Laksana yang telah memenangkan perkelahian itu justru harus menyerahkan diri untuk dibawa ke tempat Wira Sabet dan Sura Gentong?” jawab anak muda itu.

“Itu hanya omong kosong saja...” desis Wisesa “Manggada dan Laksana, dan ternyata juga Sampurna, hanya anak-anak muda yang pandai membual”

“Sumber ceritera ini tidak dari Manggada dan Laksana” jawab anak muda itu “Juga tidak dari Sampurna. Tetapi dari beberapa orang yang melihat perkelahian itu”

Tetapi Wisesa tetap menggeleng. Katanya, “Ceritera itu tidak dapat dipercaya. Aku juga sudah mendengar dongeng itu. Katanya Laksana mampu mengalahkan ketiga orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong, Bukankah itu tidak masuk akal? Seorang lawan seorangpun Laksana tidak akan dapat berbuat apa-apa. Apalagi melawan tiga orang”

“Kita akan bertanya kepada Sampurna” jawab anak muda itu.

“Sampurna adalah kawan dekatnya. Tentu ia akan mengiakannya. Bahkan membumbuinya, sehingga ceriteranya akan menjadi semakin sedap” berkata Wisesa kemudian.

Mereka tidak meneruskan pembicaraan itu, karena mereka sudah berdiri di regol halaman Ki Jagabaya. Karena itu, maka merekapun kemudian melangkah masuk sambil berdiam diri. Seorang dari antara anak-anak muda itu telah menutup pintu regol. Tetapi tidak diselarak dari dalam.

Wisesalah yang mengetuk pintu seketheng. Karena itu, maka Sampurna yang sudah terbiasa mendengar ketukan itu, segera mengetahui bahwa Wisesa telah datang berkunjung.

“Ada tamu, Tantri” desis Sampurna.

“Kenapa anak itu masih juga datang kemari? Bukankah ayah pernah marah kepadanya?”

“Kau kira anak itu punya perasaan?” sahut Sampurna.

“Kakang tidak usah membuka pintunya” geram Tantri.

“Ah, kasihan. Nanti ia akan menunggu sampai senja. Tetapi kemudian Wisesa tidak berani pulang sendiri, sehingga aku harus mengantarkannya” berkata Sampurna sambil tertawa.

“Kenapa harus bersusah-susah mengurusinya?” wajah Tantri menjadi semakin gelap.

“Kenapa kau justru marah kepadaku?” bertanya Sampurna.

Sebelum Tantri menjawab, pintu itu sudah diketuk pula dengan gaya ketukan Wisesa. Sampurna menarik nafas dalam-dalam, sementara Tantri telah melangkah masuk ke ruang dalam. Sampurnalah yang kemudian membuka pintu seketheng betapapun segannya.

Tetapi Sampurna terkejut ketika ia melihat Wisesa tidak sendiri. Dua orang anak muda menyertainya masuk ke halaman samping rumahnya. Tetapi Sampurna mengenal keduanya dengan baik, karena keduanya adalah kawan bermainnya pula.

Ketiganyapun kemudian dipersilahkan duduk di serambi. Sementara Sampurna memberitahukan kepada Tantri bahwa tamu tidak hanya seorang, tetapi tiga orang.

“Kenapa kalau tiga?” bertanya Tantri dengan wajah gelap.

Sampurna tertawa. Katanya “Jika kau menghidangkan minuman, jangan hanya semangkuk buat Wisesa”

Tantri tiba-tiba bangkit. Sampurna tahu apa yang akan dilakukan adiknya. Karena itu, maka iapun segera berlari keluar dari dapur. Tetapi suara tertawanya masih tertinggal, sehingga Tantri itupun berkata, “Awas kau nanti...”

Di serambi Sampurna kemudian duduk menemui ketiga orang anak muda itu. Baru kemudian ia mengetahui bahwa dua orang anak muda itu tidak dengan sengaja datang bersama-sama dengan Wisesa.

“Kami bertemu di jalan...” berkata salah seorang dari kedua orang anak muda itu.

“Jadi, apakah kalian mempunyai keperluan lain atau sekedar singgah?” bertanya Sampurna. Karena tidak terbiasa ada orang yang datang menemuinya sejak keadaan padukuhan itu menjadi buram.

Seorang dari anak muda itupun menjawab, “Sampurna. Kami mengikuti perkembangan terakhir dari perkembangan padukuhan kita ini. Kami telah mendengar bahwa Manggada dan Laksana telah ditangkap dan dibawa oleh para pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong. Sementara itu, ada orang yang melihat bahwa sebenarnya Laksana sendiri telah dapat mengalahkan ketiga orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong itu."

Sampurna menarik nafas panjang. Perhatian anak muda terhadap peristiwa itu justru memberikan harapan kepadanya.

Tetapi Wisesalah yang menyahut, “Kenapa kau terpancing oleh berita yang menyesatkan itu. Adalah tidak masuk akal bahwa setelah memenangkan perkelahian itu, Manggada dan Laksana kemudian menjadi tahanan para pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong. Apa yang terjadi adalah karena kesombongan keduanya, sehingga keduanya harus menanggung akibat yang mungkin sangat buruk”

“Wisesa” berkata Sampurna kemudian “Ketika peristiwa itu terjadi, aku berada di antara mereka. Bahkan semula aku telah menyediakan diri untuk ditangkap bersama Manggada dan Laksana. Tetapi Manggada dan Laksana memperingatkan aku, agar aku tidak ikut bersama mereka. Mereka menganggap bahwa tumpuan dendam terutama tertuju kepada ayah, sehingga aku akan dapat menjadi sasaran dendam mereka atau aku akan dapat dijadikan taruhan. Karena itu, maka akupun telah mengurungkan niatku untuk menyerahkan diri sebagaimana Manggada dan Laksana”

“Bukankah itu tidak masuk akal?” sahut Wisesa.

“Masuk akal atau tidak, tetapi itulah yang terjadi“ jawab Sampurna.

“Aku percaya” jawab salah seorang dari kedua orang anak muda itu “Aku sudah bertemu pula dengan orang yang telah melihat langsung apa yang terjadi”

“Terima kasih” sahut Sampurna.

"Tetapi kami menjadi bingung, kenapa keduanya justru menyerahkan diri mereka?” bertanya salah seorang dari kedua orang anak muda itu.

“Manggada dan Laksana menganggap bahwa cara itu adalah cara yang terbaik untuk mengetahui dimana Wira Sabet dan Sura Gentong itu tinggal...” jawab Sampurna.

“Lalu, apa hasilnya?” Wisesa memotong “Meskipun mereka mengetahui tempat tinggal Wira Sabet dan Sura Gentong, namun keduanya kemudian menjadi tawanan, apakah itu berarti bagi kita disini?”

“Sekarang memang belum. Tetapi kita berharap bahwa pada suatu saat, pengorbanan mereka akan sangat berarti”

“Kami mengerti...” sahut salah seorang dari kedua orang anak muda itu “Yang ingin kami tanyakan, apakah yang sebaiknya kami lakukan justru setelah Manggada dan Laksana mengorbankan diri mereka. Kami sebenarnya juga merasa cemas, bahwa Manggada dan Laksana akan mengalami nasib buruk”

Wajah Sampurna menjadi cerah. Ia melihat perubahan sikap anak-anak muda itu, justru setelah Manggada dan Laksana menyerahkan dirinya meskipun dalam perkelahian yang terjadi, Laksana sendiri dapat mengalahkan tiga orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong.

Dengan nada tinggi Sampurna berkata, "Satu pertanda yang bagus. Aku minta kalian dapat mempertimbangkan kemungkinan yang dapat kalian lakukan. Ingat, ayah akan tetap mempertahankan sikapnya. Melawan orang-orang Wira Sabet dan Sura Gentong. Ayah memang tidak mempunyai pilihan lain. Ada atau tidak ada yang memberikan bantuan kekuatan, maka ayah akan tetap berusaha membebaskan padukuhan ini dari bayangan Wira Sabet dan Sura Gentong yang menakutkan itu. Ayah sama sekali tidak sedang berjuang untuk mempertahankan kedudukannya. Tetapi lebih daripada itu. Ayah ingin padukuhan kita bebas dari bayangan kelam Wira Sabet dan Sura Gentong. Manggada dan Laksana serta keluarganya mengerti maksud ayah. Karena itu, maka mereka telah menyatakan diri untuk membantu ayah. Bahkan manggada dan Laksana telah mengambil sikap yang sangat berbahaya bagi keselamatan mereka.”

Kedua orang anak muda itu mengangguk-angguk. Sementara Wisesa berkata, “Aku ingin memperingatkan kalian. Jangan main-main dengan Wira Sabet dan Sura Gentong”

“Tidak. Kami tidak sedang bermain-main. Bagaimana jika kami menawarkan kesediaanmu melindungi Tantri dari dendam Sura Gentong yang garang itu?”

“Kau akan mengadu aku dengan Sura Gentong seperti mengadu jengkerik?” bertanya Wisesa.

Sampurna tertawa. Katanya, “Sudahlah Wisesa. Sebaiknya kau tinggal di dapur saja. Menjerang air, menanak nasi dan mengukur kelapa”

Wajah Wisesa menjadi merah, tetapi ia tidak segera dapat mengatakan sesuatu, justru karena gejolak jantungnya yang semakin cepat.

Dalam pada itu, maka Tantri pun muncul dari balik pintu membawa hidangan bagi ketiga orang tamunya dan bagi kakaknya. Sekilas ia memandang wajah kakaknya. Ternyata Sampurna tersenyum kepadanya. Hampir saja Tantri menggapai kakaknya di lengannya dan mencubitnya keras-keras. Tetapi sebelum hal itu terjadi, Sampurna sudah bergeser menjauh. Tetapi Tantri tidak duduk di serambi itu. Setelah meletakkan minuman dan makanan, iapun segera masuk kembali ke ruang dalam.

Wisesa hampir saja memanggilnya. Tetapi ketika ia teringat bahwa di serambi itu ada dua orang anak muda yang lain, maka niatnya itupun diurungkannya. Dalam pada itu, maka Sampurna pun berkata kepada anak-anak muda,

“Nah, jika kalian memang benar-benar mulai terpanggil untuk menegakkan ketenangan di padukuhan kita ini, marilah. Ayah akan menyambut dengan gembira. Selebihnya, aku ingin mempersilahkan kalian menghimpun kawan-kawan kita yang memiliki keberanian untuk berbuat sesuatu. Aku tahu, bahwa para pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong bukan sekedar orang kebanyakan seperti kita. Tetapi dengan lambaran keberanian dan tekad maka kita tentu akan dapat berbuat banyak. Sementara itu di antara kita terdapat anak-anak muda seperti Manggada dan Laksana.”

Kedua orang anak muda itu mengangguk-angguk. Sementara Sampurna berkata pula, “Aku akan menghubungi keluarga Manggada dan Laksana. Mungkin mereka sudah mendengar berita tentang kedua orang anak muda itu”

Kedua anak muda itu memang belum menyatakan kesanggupan mereka. Nampaknya mereka masih harus mempertimbangkan beberapa hal. Namun bahwa sepeletik api kepedulian anak-anak muda itu atas keadaan padukuhannya, telah menggembirakan Sampurna.

Sejenak kemudian, maka kedua orang anak muda itupun telah minta diri, sementara Wisesa masih ingin tinggal di rumah itu. Apalagi Tantri masih belum menemuinya karena ada kedua orang tamu anak muda yang lain.

Sepeninggal kedua anak muda itu, maka Wisesapun berkata, “Kau telah memberikan gambaran yang salah kepada anak-anak muda itu. Apakah kau kelak tidak akan menyesal menyaksikan mereka mengalami nasib buruk? Seandainya kau berhasil membakar keberanian mereka dan dengan membabi buta melawan orang-orang Wira Sabet dan Sura Gentong yang sudah berpengalaman dan memiliki kemampuan yang tinggi, namun kemudian jatuh korban yang tidak terhitung, kau harus bertanggung jawab.”

Sampurna termangu-mangu sejenak. Meskipun ia menganggap Wisesa tidak lebih dari seorang anak muda yang cengeng, tetapi pendapatnya itu memang perlu mendapat perhatian. Bukan untuk mengurungkan kesediaan mereka menyelamatkan padukuhan Gemawang, tetapi satu cara untuk tidak membiarkan anak-anak muda itu menjadi korban. Karena Sampurna tidak segera menjawab, maka Wisesa itu berkata selanjutnya,

“Nah, bukankah kau menjadi ragu-ragu?"

“Tidak” jawab Sampurna “Aku tidak menjadi ragu-ragu. Tetapi pendapatmu memang harus mendapat perhatian. Kami akan tetap melakukan perlawanan, tetapi dengan usaha agar korban tidak terlalu banyak jatuh.”

“Jika ada satu orang saja yang menjadi korban, maka kaulah yang bertanggung jawab”

“Kita semuanya bertanggung jawab” jawab Sampurna.

“Tidak. Aku tentu tidak akan bersedia untuk ikut bertanggung jawab, karena aku mempunyai gagasan lain.”

“Kecuali kau” jawab Sampurna pendek.

Sekali lagi wajah Wisesa menjadi merah. Sementara itu Sampurnapun kemudian bangkit berdiri dan meninggalkan ruang itu.

Sampurna yang kemudian pergi ke dapur berkata kepada adiknya “Temuilah anak itu. Jika aku terlalu lama berbicara dengan Wisesa, mungkin aku akan kehilangan kesabaran.”

“Kenapa tidak kau usir saja?” bertanya Tantri.

"Aku masih mencoba mengendalikan diri dan mengingat unggah-ungguh. Sebagai tuan rumah, aku masih harus berusaha menghormati seorang tamu betapapun perasaan kita bergejolak.”

Tantri menggeleng. Katanya, “Biar saja ia duduk di serambi”

“Jangan begitu Tantri. Temuilah anak itu. Kau dapat saja berusaha untuk menjauhinya. Tetapi dengan baik-baik.”

“Dengan baik-baik bagaimana? Ia tidak mempunyai perasaan sehingga tidak mungkin aku menolaknya dengan cara baik-baik itu. Kepada Wisesa aku harus berterus terang”

“Jangan. Orang-orang cengeng seperti itu akan dapat berbuat licik untuk mencapai maksudnya. Justru karena ia pengecut.”

Tantri termangu-mangu sejenak. Dengan nada tinggi ia bergumam, “Jika ia marah, apa yang akan dilakukannya?”

“Justru yang tidak terduga-duga.” jawab Sampurna yang kemudian masih membujuk adiknya “Sudahlah. Pergi ke serambi sejenak”

Tantri akhirnya pergi juga ke serambi untuk menemui Wisesa.

“Tantri...” berkata Wisesa setelah Tantri duduk di pendapa. “Aku minta kau bantu aku. Cobalah menjelaskan kepada kakakmu, bahwa menyeret anak-anak muda Gemawang untuk melawan Wira Sabet dan Sura Gentong adalah langkah yang sangat berbahaya bagi keselamatan anak-anak muda Gemawang. Mungkin Sampurna sendiri dapat disebut pahlawan kelak. Tetapi ia harus berdiri di atas alas tubuh kawan-kawan kita yang menjadi korban”

Telinga Tantri serasa menjadi panas. Tetapi ia justru tidak menjawabnya. Tantri justru berkata tentang persoalan yang lain sama sekali. Dengan nada datar ia berkata, “Aku telah membuang bibit pohon kemuning yang kau berikan”

“Kenapa?” bertanya Wisesa.

“Jadi untuk apa? Kau tidak memperbolehkan pohon itu aku tanam di depan. Padahal aku ingin menanamnya di halaman depan rumah ini”

“Tetapi kau tidak perlu membuangnya Tantri. Aku sudah berusaha dengan susah payah.”

“Aku tidak tahu lagi, buat apa bibit pohon kemuning itu bagiku. Tidak ada tempat lagi untuk menanamnya selain di halaman depan. Sedangkan kau tidak memperbolehkannya....”
Selanjutnya,
Sejuknya Kampung Halaman Bagian 14