Sejuknya Kampung Halaman Bagian 09 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
MANGGADA tertegun sejenak. Namun seperti juga Laksana, maka Manggadapun segera mengetahui, bahwa ternyata Sura Gentong jauh lebih kasar dari Wira Sabet.

“Inikah bocah edan itu?” geram Sura Gentong.

“Ia baru pulang beberapa hari yang lalu, paman...” Pideksa yang menjawab.

“Aku tidak peduli. Orang-orang yang berani menatap wajah Wira Sabet dan Sura Gentong akan dibuat jera untuk selama-lamanya.” berkata Sura Gentong.

“Maksud paman?” bertanya Pideksa.

“Orang itu akan menjadi buta. Tetapi bagi orang yang belum mengenal kami dengan baik, maka dosanya akan diperingan. Ia akan menjadi buta matanya sebelah.”

“Itu tidak perlu.” desis Wira Sabet.

“Ia benar-benar orang baru disini.” sambung Pideksa.

“Aku tidak peduli. Tetapi ia adalah kaki tangannya jagabaya yang tamak itu. Orang yang telah membantu Ki Jagabaya akan mendapat hukuman tersendiri” berkata Sura Gentong.
Namun tiba-tiba Wira Sabet berkata, “Pergilah. Kali ini kau diampuni.”

“Tunggu." geram Sura Gentong “Apakah kakang sudah mengatakan syarat yang kami minta sebelum pembicaraan dilakukan?”

Wira Sabet menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sudah mengatakan, bahwa pembicaraan itu tidak akan dapat dilakukan kapanpun dimanapun.”

“Bukan begitu pesan Ki Sapa Aruh.” berkata Sura Gentong “Ki Sapa Aruh mengisyaratkan bahwa pembicaraan itu dapat saja dilakukan. Tetapi dengan syarat, semua bebahu padukuhan meletakkan jabatan. Ki Sapa Aruh akan memegang jabatan Bekel. Kakang Wira Sabet menjadi Kami Tuwa dan aku menjadi Jagabaya."

Wajah Manggada dan Laksana terasa menjadi panas. Namun keduanya tidak mengatakan sesuatu.

Sementara itu Wira Sabet berkata lagi, “Cepat pergi. Kalian diampuni kali ini. Tetapi untuk selanjutnya, jika kalian berani menatap wajah kami, maka mata kalian akan menjadi buta.”

“Masih belum selesai.” berkata Sura Gentong “Masih ada satu syarat lagi. Karena Ki Jagabaya telah membunuh perempuan calon isteriku, maka ia harus menggantinya. Aku inginkan Tantri menjadi isteriku.”

Telinga Laksana bagaikan tersentuh bara. Namun ketika ia beringsut, maka Manggada telah menggamitnya. Namun dalam pada itu, sebelum Wira Sabet mengusir lagi kedua anak muda itu, Sura Gentong justru berkata, “Aku akan pergi. Jika aku lebih lama disini, aku akan benar-benar membuat sebelah mata anak-anak itu menjadi buta.”

Tanpa menunggu jawaban, maka Sura Gentong itupun segera meninggalkan halaman rumah Wira Sabet itu. Wira Sabet, Pideksa dan kedua orang kawannya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Wira Sabet itupun berkata,

“Sebaiknya kau tidak melibatkan diri dalam hal ini. Temui Ki Jagabaya, katakan syarat yang sudah terlanjur diucapkan oleh Sura Gentong itu yang semula ingin aku sembunyikan saja. Kemudian kau menarik diri dari persoalan ini. Sebaiknya kalian, selalu berada di rumah. Agaknya itu akan lebih baik bagi kalian.”

Manggada dan Laksana tidak menjawab. Sementara itu Pideksa berkata, “Bukankah segala-galanya sudah berubah? Aku tidak dapat menjadi cengeng dengan mengenang masa lalu, karena masa lalu tidak akan pernah datang kembali, betapapun kerinduan menusuk sampai ke pusat jantung. Hati-hatilah Manggada. Sebaiknya kau minggir saja dari persoalan ini. Aku tahu bahwa kau tentu berkeberatan. Kau termasuk anak yang keras kepala, berani dan bengal. Tetapi kau cerdas dan bandel...”

Pideksa tidak menunggu jawaban. Iapun kemudian memberi isyarat kepada ayahnya untuk meninggalkan tempat itu. Namun di regol ia berkata, “Ayah masih tetap mengijinkanmu memanjat pohon duwet dan pohon manggis itu.”

Manggada dan Laksana sama sekali tidak menjawab. Baru setelah mereka pergi, keduanya menarik nafas dalam-dalam. “Sura Gentonglah yang sudah menjadi gila.” geram Manggada.

“Nampaknya tidak ada jalan lain kecuali dengan kekerasan.” desis Laksana.

Manggada menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada itu, keduanya terkejut ketika mereka mendengar semak tersibak. Ketika mereka berpaling dan bergeser selangkah, maka mereka melihat sekilas dua ekor harimau hilang di balik semak-semak yang banyak terdapat di halaman yang luas itu.

Kedua orang anak muda itu saling berpandangan. Merekapun yakin bahwa kedua ekor harimau itu adalah harimau Ki Pandi. Merekapun segera tahu pula bahwa selama Ki Pandi pergi semalam, tentu Ki Pandi telah memanggil harimaunya.

“Kecuali dengan serulingnya, Ki Pandi mempunyai cara berhubungan dengan kedua ekor harimaunya dari jarak jauh.” berkata Manggada kemudian.

Laksana mengangguk-angguk. Namun iapun bergumam, “Kenapa Wira Sabet dan Sura Gentong tidak kita selesaikan sama sekali. Kita tahu disini ada Ki Pandi. Apalagi ada dua ekor harimaunya. Seandainya Ki Sapa Aruh dan orang-orangnya masih mendendam, maka kekuatan mereka telah jauh menyusut tanpa Wira Sabet dan Sura Gentong.”

“Tetapi sasaran dendam Ki Sapa Aruh tentu tidak pandang bulu. Orang-orang padukuhan ini akan mengalami nasib buruk, karena kita tidak akan dapat berada di segala tempat. Sementara Ki Sapa Aruh akan dapat mengirimkan orang-orangnya kemanapun yang dikehendaki” jawab Manggada.

Laksana menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun kemudian mengangguk sambil berdesis, “Ya. Ki Sapa aruh dapat berbuat licik sekali.”

“Kecuali jika kita sempat mematangkan perlawanan orang-orang padukuhan ini.” berkata Manggada.

Laksana tidak menjawab. Tetapi ia masih saja mengangguk-angguk. Demikianlah, maka Manggada dan Laksanapun kemudian keluar dari halaman rumah yang kotor itu. Demikian mereka turun ke jalan, maka merekapun melihat Ki Pandi dan Ki Resadana keluar dari pintu regol.

“Nampaknya sulit untuk dapat berbicara dengan mereka.” berkata Laksana.

“Kami dari balik dinding mendengar pembicaraan kalian dengan Wira Sabet dan kemudian Sura Gentong.” berkata Ki Pandi.

“Kami berdua akan berbicara dengan Ki Jagabaya.” berkata Manggada.

“Tetapi siapa yang dimaksud dengan Tantri?” bertanya Ki Pandi.

“Seorang gadis kemarin sore.“ Ki Resadanalah yang menyahut. “Umurnya masih belum setua Pideksa.”

“Ya. Lebih muda dari Pideksa. Ia pantas menjadi anak bungsu Sura Gentong jika ia mempunyai sepuluh orang saudara.” sahut Laksana.

Ki Pandi mengangguk-angguk. Katanya, “Nampaknya memang sulit untuk berbicara dengan Sura Gentong. Sebenarnya tanpa pengaruh Sura Gentong dan Ki Sapa Aruh, Wira Sabet masih dapat diajak berbicara. Tetapi tidak demikian halnya dengan Sura Gentong.”

Ki Resa mengangguk-angguk. Namun dengan nada cemas ia berkata “Sudahlah ngger. Sebaiknya kalian berdua tidak usah turut campur. Atau bahkan sebaiknya kalian kembali saja ke tempat kalian selama ini tinggal.”

“Mungkin kami berdua dapat mengungsi, paman. Tetapi bagaimana dengan ayah dan ibu?" jawab Manggada.

“Jika perlu bawa saja ayah dan ibu kalian bersama kalian” jawab Ki Resa.

“Nampaknya ayah dan ibu tentu berkeberatan. Disini mereka dilahirkan. Disini sawah dan tanah pategalan mereka digelar. Apakah semuanya itu harus ditinggalkan tanpa melakukan pembelaan sama sekali?”

“Pembelaan? Apa maksudmu? Apakah kalian akan melawan Wira Sabet dan Sura Gentong?” bertanya Ki Resa.

“Jika tidak demikian, maka setidak-tidaknya kami mendapatkan penyelesaian yang terbaik” jawab Manggada.

Ki Resa menarik nafas dalam-dalam, la sudah berusaha menemui orang tua kedua anak muda itu. Namun ternyata kedua anak muda itu sama sekali tidak menarik diri. Bahkan orang tua mereka agaknya tidak dengan keras melarang mereka.

Namun dengan demikian, timbul sedikit sentuhan di hati Ki Resadana. Jika anak-anak yang untuk waktu yang lama sudah meninggalkan kampung halamannya masih menganggap perlu untuk berbuat sesuatu bagi kebaikan padukuhannya, apakah Ki Resa justru akan mengingkari tugas-tugas semacam itu?

Namun bagaimanapun juga yang dilakukan oleh anak-anak muda itu memerlukan keberanian. Dan keberanian itu tidak dimilikinya dan tidak pula dimiliki oleh orang-orang padukuhan itu.

Dalam pada itu, maka Manggada, Laksana dan Ki Pandipun kemudian telah minta diri kepada Ki Resa. Mereka akan memberian laporan tentang kewajiban yang mereka pikul untuk bertemu dan berbicara dengan Wira Sabet dan bahkan Sura Gentong kepada Ki Jagabaya.

Ki Resapun kemudian hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kesungguhan kedua orang anak muda itu untuk berbuat sesuatu bagi padukuhan mereka. Seperti yang direncanakan, maka kedua orang anak muda itu memang pergi ke rumah Ki Jagabaya. Namun Ki Pandi tidak pergi bersama mereka. Tetapi Ki Pandi berniat langsung kembali ke rumah Ki Kertasana.

Namun sebelum mereka berpisah, Laksana sempat bertanya “Apakah kedua ekor harimau itu akan tetap berada disana?”

“Tidak. Biarlah malam nanti keduanya kembali ke hutan. Tetapi tidak perlu hutan yang kita pergunakan untuk Tapa Ngidang itu. Tetapi hutan yang lebih dekat di sebelah Barat padukuhan ini. Meskipun hutan itu kecil, namun kedua ekor harimau itu tidak akan menjadi kelaparan sebagaimana jika keduanya tetap berada di halaman rumah itu. Bahkan jika keduanya kelaparan, mereka akan dapat berbuat hal-hal yang tidak sepatutnya mereka lakukan?”

“Apakah mereka dapat menyerang seseorang?” bertanya Laksana.

“Tanpa perintahku tidak. Tetapi mereka sering melakukannya terhadap seekor ternak, jika benar-benar kelaparan” jawab Ki Pandi.

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sementara itu, maka merekapun telah sampai ke simpang tiga. Manggada dan Laksana berbelok ke kiri, sedangkan Ki Pandi berbelok ke kanan.

Demikianlah, beberapa saat kemudian, maka keduanya telah sampai di rumah Ki Jagabaya. Ternyata Ki Jagabaya tidak sedang bepergian. Namun, lebih dahulu dari mereka berdua, Wisesa telah berada di rumah itu pula.

Sampurna seperti biasanya mempersilahkan Manggada dan Laksana duduk di serambi bersama Wisesa. Kepada Tantri yang ada di dapur, Sampurna minta agar ia membuat minuman lagi bagi kedua orang tamu yang datang kemudian itu. Seterusnya Sampurna telah menemui ayahnya untuk memberitahukan kedatangan Manggada dan Laksana.

“Baiklah...” berkata Ki Jagabaya “Sebentar lagi aku datang”

Ketika kemudian Sampurna duduk lagi di serambi, maka Tantri telah menghidangkan minuman dan makanan bagi Manggada dan Laksana yang duduk bersama Wisesa.

“Darimana saja kalian berdua?” bertanya Tantri.

“Aku baru saja pergi ke rumah paman Wira Sabet” jawab Manggada. Namun sementara itu Laksana sibuk memperhatikan Tantri. Apa jadinya jika gadis cantik itu benar-benar harus diserahkan kepada Sura Gentong untuk menebus dendam yang menyala di hati orang yang garang itu.

“Apakah kalian bertemu dengan Wira Sabet?” bertanya Tantri pula.

“Ya” jawab Manggada “Bahkan juga paman Sura Gentong”

“Jadi kalian bertemu juga dengan Sura Gentong?” bertanya Sampurna?

“Ya“ Manggada mengangguk-angguk. Lalu katanya pula “Karena itu aku langsung datang kemari untuk melaporkannya kepada Ki Jagabaya”

“Apa kata mereka?” bertanya Wisesa “Apakah mereka menerima gagasan besarku demi kesejahteraan padukuhan ini?”

Manggada termangu-mangu sejenak. Namun Sampurnalah yang menjawab, “Biarlah kita menunggu ayah. Manggada dan Laksana akan memberikan laporan kepada ayah.”

“Apa bedanya? Aku adalah seorang yang telah melahirkan gagasan besar itu...” berkata Wisesa “Bukankah kita akan membicarakan bersama pada akhirnya?”

“Baiklah” berkata Sampurna “Karena itu, sebaiknya kita menunggu ayah”

Wisesa mengerutkan dahinya. Sebelum ia menjawab Tantri telah bangkit dan melangkah meninggalkan serambi itu. Sejenak kemudian, maka Ki Jagabaya pun telah ikut duduk di serambi itu bersama Manggada, Laksana dan Wisesa.

Ki Jagabaya itupun segera bertanya, “Apakah kau bertemu dengan Wira Sabet dan Sura Gentong?”

“Ya, Ki Jagabaya. Aku telah bertemu dengan mereka berdua”

“Apakah kau membicarakan tentang satu kemungkinan untuk mengadakan satu pembicaraan?” bertanya Ki Jagabaya.

“Ya, sesuai dengan gagasanku.” sahut Wisesa.

Manggada memandang Wisesa sekilas. Namun ia tidak menghiraukannya lagi. “Kami sudah mencoba untuk berbicara dengan mereka Ki Jagabaya. Sebenarnya aku yakin bahwa paman Wira Sabet akan dapat mengerti dan menerima rencana pembicaraan itu” jawab Manggada.

“Karena itu adalah gagasan terbaik yang dapat dilahirkan oleh seseorang dalam keadaan seperti ini” sahut Wisesa.

Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun kemudian mengangguk-angguk sambil berdesis “Ya. Gagasan terbaik”

Manggadapun kemudian telah melaporkan pertemuannya dengan Wira Sabet dan Sura Gentong. Manggada menceriterakan perbedaan sikap antara kakak beradik itu.

“Apakah syarat yang telah diajukan oleh Sura Gentong?” bertanya Ki Jagabaya.

Satu persatu Manggada menguraikan syarat-syarat yang dikehendaki oleh Sura Gentong dan Ki Sapa Aruh. Justru karena Tantri telah meninggalkan serambi Itu, maka Manggada pun berkata, “Syarat terakhir yang dikehendaki oleh Sura Gentong adalah ganti atas meninggalnya bakal isterinya saat itu”

“Tetapi perempuan itu membunuh diri.” berkata Ki Jagabaya “Namun nampaknya Sura Gentong menuduh bahwa aku telah membunuhnya. Atau seandainya sebenarnya ia mengetahui, tetapi ia tentu akan berpura-pura tidak mengetahuinya. Dengan demikian maka ia akan dapat menuntut ganti atas kematian isterinya”

“Agaknya memang demikian Ki Jagabaya.” jawab Manggada.

Namun kemudian Ki Jagabaya itu berkata, “Apakah ia juga mengatakan ganti seperti apa yang dikehendakinya?”

Jantung Manggada pun menjadi berdebar-debar. Rasa-rasanya sulit untuk mengatakannya, bahwa Sura Gentong menghendaki Tantri, gadis Ki Jagabaya itu. Sejenak Manggada memandang Laksana. Tetapi Laksana menundukkan kepalanya. Akhirnya, meskipun betapa berat bibirnya bergerak, Manggada harus mengatakannya, “Ki Jagabaya Yang dikehendaki Sura Gentong adalah Tantri.”

“Tantri“ suara Ki Jagabaya menghentak. Wajahnya menjadi merah. Demikian pula Sampurna. Bahkan Wisesa.

Dengan suara bergetar Wisea berkata, “Gila. Apakah Sura Gentong sudah gila? Berapa umur Sura Gentong. Dan berapa umur Tantri?”

“Ya” desis Manggada “Sura Gentong agaknya, memang sudah gila”

Tetapi tiba-tiba Wisesa terkejut. Ia sudah mengumpati Sura Gentong. Wisesa sadar, bahwa ia telah melakukan kesalahan yang sangat besar. Jangankan mengumpati, mencercanya saja, seseorang akan dapat mengalami bencana. Wajah Wisesa menjadi pucat. Keringat dingin mengalir dari seluruh tubuhnya. Tetapi ia sudah terlanjur mengucapkannya.

Tetapi Manggada dan Laksana mengira bahwa Wisesa itu menjadi demikian marahnya, sehingga wajahnya justru menjadi pucat dan keringatnya membasahi pakaiannya.

Ki Jagabayalah yang benar-benar menjadi marah. Dengan geram ia berkata, “Angger berdua. Jika Ki Sapa Aruh ingin menjadi Bekel, Wira Sabet menghendaki kedudukan Kami Tuwal dan Sura Gentong sendiri ingin merampas kedudukanku sebagai Jagabaya, jika hal itu diterima oleh rakyat padukuhan Gemawang, aku tidak akan berkeberatan. Tetapi permintaannya yang terakhir membuat telingaku menjadi panas. Agaknya Sura Gentong benar-benar mencari alasan untuk melakukan kekerasan di padukuhan ini.”

“Agaknya memang demikian Ki Jagabaya.“ Laksanalah yang menyahut. “Aku juga berpendapat, bahwa tidak ada jalan lain kecuali menghancurkan Sura Gentong dan Ki Sapa Aruh. Jika keduanya dapat di lenyapkan, maka Wira Sabet sendiri tentu masih dapat mempergunakan penalarannya. Demikian pula agaknya dengan anaknya, Pideksa.”

“Manggada dan Laksana” berkata Ki Jagabaya kemudian “Aku berterima kasih atas kesediaan kalian membantu mencari penyelesaian sebaik-baiknya atas persoalan yang terjadi di padukuhan ini. Tetapi ternyata kalian telah terbentur pada sikap yang keras dan menyakitkan hati. Itu bukan salah kalian. Karena itu, agaknya aku tidak mempunyai pilihan lain. Aku akan mempersiapan diri menghadapi mereka apapun yang terjadi. Mungkin keluarga kami akan ditumpas habis. Tetapi aku tidak berkeberatan karena aku menganggap hal itu lebih baik daripada memenuhi permintaan mereka.”

“Ki Jagabaya tidak sendiri...” berkata Laksana “Sejak kami menghadap, kami sudah menyatakan bahwa keluarga kami akan berdiri di belakang Ki Jagabaya. Apapun yang terjadi, karena padukuhan ini adalah padukuhan kami, kampung halaman kami”

“Tetapi kau tahu bahwa Wira Sabet dan Sura Gentong memiliki kekuatan yang besar sehingga melawan mereka akan dapat berakibat sangat buruk!” berkata Ki Jagabaya.

“Itu sudah kami perhitungkan.” jawab Manggada.

Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sangat berterima kasih. Nanti aku akan menemui Ki Bekel. Aku akan minta pendapatnya untuk yang terakhir kalinya. Jika Ki Bekel masih saja ragu-ragu, aku akan meninggalkannya.”

Dalam pada itu, tiba-tiba saja Sampurna berkata kepada Wisesa “Bagaimana dengan kau Wisesa? Kau sudah mendengar betapa menyakitkan hati tuntutan Sura Gentong itu? Gagasanmu yang besar itu ternyata merupakan satu alasan yang paling baik bagi Sura Gentong untuk menghina keluarga kami. Nah, kami memang harus mempertimbangkannya, apakah kami akan menyerahkan Tantri atau tidak.”

“Tentu tidak!” desis Wisesa.

Sampurna termangu-mangu sejenak. Namun dalam kekalutan pikiran, Ki Jagabaya mengerti maksud anak laki-lakinya. Karena itu, ia tidak menyela pembicaraan anaknya dengan Wisesa. Sementara itu, Sampurnapun bertanya, “Apa yang harus kita lakukan jika Sura Gentong itu datang kemari dan minta untuk membawa Tantri sekarang ini?”

Wajah Wisesa yang pucat menjadi semakin pucat. Setiap kali ia teringat bahwa ia terlanjur mengumpati Sura Gentong. Satu tindakan yang sangat disesalinya.”

Namun tiba-tiba Sampurna bertanya. “Jika Sura Gentong itu datang untuk mengambil Tantri, apakah kau bersedia menghalanginya dengan cara apapun juga?”

Wisesa tergagap. Ia tidak dapat segera menjawab pertanyaan itu. Bahkan rasanya ia menjadi semakin ketakutan, sehingga tubuhnya menjadi sangat dingin. Karena Wisesa tidak segera menjawab, maka Sampurna berkata, “Tetapi aku yakin, bahwa akan ada orang yang membantu kami mempertahankannya seandainya kau tidak bersedia melakukan itu Wisesa.”

Perasaan Wisesa justru telah terguncang-guncang, la manjadi sakit hati jika ada orang yang berjasa melindungi Tantri. Tetapi ia sendiri tidak berani melakukannya, karena Wira Sabet dan Sura Gentong tidak ubahnya sebagai siluman yang sangat menakutkan baginya. Namun justru karena itu, maka Wisesa bahkan menjadi bagaikan orang yang kehabisan akal. Keringatnya sajalah yang mengalir semakin deras.

Manggada dan Laksana yang mengerti maksud Sampurna, sama sekali tidak menyahut. Mereka bahkan hanya berdiam diri saja. Namun akhirnya Sampurna pun tidak lagi menyudutkan Wisesa. Tetapi ia berkata bersunguh-sungguh kepada Manggada dan Laksana, “Jika demikian, maka kita harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Setiap saat suasana yang panas ini akan dapat meledak.”

“Kami menunggu perintah Ki Jagabaya.” berkata Manggada “Jika kami mendengar isyarat, kami akan segera datang.”

“Baiklah“ Ki Jagabayalah yang menyahut “Seperti yang aku katakan tadi, aku akan menemui Ki Bekel. Keadaan sudah memuncak. Agaknya memang tidak ada jalan lain kecuali dengan kekerasan.”

Demikianlah, maka Manggada dan Laksana pun kemudian telah minta diri. Sementara itu Wisesapun bertanya, “Apakah kau akan lewat jalan Selatan?”

“Kenapa?” bertanya Manggada.

“Kita dapat berjalan bersama-sama” jawab Wisesa.

Manggada menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu bahwa Wisesa menjadi tiba-tiba menjadi ketakutan, sehingga ia memerlukan kawan untuk berjalan pulang. Karena itu, maka iapun menjawab, “Aku dapat lewat jalan mana saja. Meskipun sedikit berputar, baiklah, aku akan pulang lewat jalan Selatan”

Hampir saja Laksana mengganggunya lagi. Tetapi Manggada sudah memandanginya dengan sikap yang bersunguh-sungguh sehingga Laksana pun telah mengurungkan niatnya. Sejenak kemudian, maka Sampurna, Tantri dan ibunya telah melepas Manggada dan Laksana pulang bersama Wisesa, sementara Ki Jagabaya pun akan pergi ke rumah Ki Bekel.

Di sepanjang jalan Wisesa yang berjalan tergesa-gesa sama sekali tidak mengatakan sesuatu. Ia berjalan paling depan. Namun sekali-sekali ia berpaling sambil berkata “Marilah. Kenapa kalian berjalan sangat lamban?”

Tetapi Laksana justru bertanya “Kenapa kau tergesa-gesa?”

“Aku masih mempunyai banyak pekerjaan di rumah” jawab Wisesa.

Namun Laksana menjawab lagi “Aku tidak. Jika aku tergesa-gesa, aku akan mengambil jalan lain yang lebih dekat dari jalan ini”

Wisesa terdiam. Ia berusaha menahan perasaannya yang bergejolak. Kebenciannya kepada kedua orang anak muda itu menjadi semakin meningkat. Sejak kanak-kanak ia memang tidak begitu senang berkawan dengan Manggada yang dianggapnya sangat nakal, keras kepala dan bengal. Tetapi Manggada itu terlalu dekat dengan Tantri. Meskipun keduanya sering berkelahi, tetapi setiap kali keduanya telah menjadi rukun kembali. Sedangkan kepada Laksana, Wisesa tidak menyukainya demikian ia mengenalnya.

Wisesa masih tetap berjalan di paling depan. Namun begitu ia melihat regol rumahnya, maka iapun berkata, “Aku tidak telaten berjalan bersama orang-orang malas. Kenapa kau mengambil jalan ini? Sebaiknya aku berjalan saja dahulu.”

Wisesa tidak menunggu jawaban, la berjalan semakin cepat. Bahkan kemudian berlari-lari kecil masuk ke dalam regol halamannya tanpa berpaling lagi. Laksana tertawa. Tetapi ia tidak berkata sesuatu. Ketika mereka sampai di rumah, maka merekapun segera menceriterakan pertemuan mereka dengan Wira Sabet dan Sura Gentong.

Meskipun sebagian telah diceriterakan oleh Ki Pandi yang telah mendahului pulang, namun Manggada dan Laksana masih juga dengan bersungguh-sungguh menceriterakan kembali. Merekapun juga berceritera bahwa mereka telah singgah di rumah Ki Jagabaya dan memberikan laporan tentang pembicaraan mereka dengan Wira Sabet dan Sura Gentong.

“Apa yang dikatakan oleh Ki Jagabaya?” bertanya Ki Kertasana.

“Ki Jagabaya menjadi sangat marah, la bertekad untuk melawan Wira Sabet dan Sura Gentong meskipun keduanya telah bekerja sama dengan Ki Sapa Aruh” jawab Manggada.

Ki Kertasana menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Nampaknya segala usaha memang akan sia-sia jika sikap Sura Gentong demikian kasarnya. Apa boleh buat jika harus diselesaikan dengan kekerasan”

“Kita memang tidak mempunyai pilihan lain. Hanya soal waktu sajalah yang menentukan benturan kekerasan yang bakal terjadi. Tetapi kita tidak tahu seberapa banyak sebenarnya kekuatan lawan itu. Kita juga tidak tahu tataran kemampuan mereka” berkata Ki Pandi.

Ki Kertasana, Ki Citrabawa. Manggada dan Laksanapun mengangguk-angguk. Mereka megerti maksud Ki Pandi. Namun mereka memang tidak mempunyai gambaran, bagaimana caranya mereka dapat mengetahui kekuatan lawannya itu. Sementara itu tidak seorangpun tahu, dimana Wira Sabet dan Sura Gentong tinggal. Apalagi Ki Sapa Aruh.

Agaknya mereka akan mengalami kesulitan untuk bertanya kepada siapapun tentang kedua orang itu. Seandainya ada yang pernah melihat, tentu tidak lebih dari arah kedatangan mereka. Terutama Wira Sabet yang memang lebih sering nampak daripada Sura Gentong. Itupun agaknya sulit memancing keterangan mereka.

Dalam pada itu, maka Manggada pun berkata, “Untuk sedikit mengurangi ketakutan yang mencengkam orang-orang padukuhan Gemawang, maka kita memang harus berbuat sesuatu. Jika keberatan mereka serba sedikit timbul, maka mereka akan berbicara setidaknya dimana mereka pernah melihat Wira Sabet atau dari mana ia datang. Mungkin kita dapat menelusuri dan mengetahui tempat tinggal mereka”

“Tetapi itu berbahaya sekali ngger” desis Ki Pandi.

“Bukankah kita perlu mengetahui gambaran kekuatan mereka?” desis Mangagada.

“Tetapi tentu tidak dengan cara itu” sahut Ki Pandi.

“Jadi, apa yang sebaiknya kita lakukan?”

“Kita akan menyiapkan kemampuan yang ada pada kita setinggi-tingginya. Untuk sementara hanya itu yang dapat kita lakukan” jawab Ki Pandi.

Manggada mengangguk-angguk. Demikian pula Laksana. Namun tiba-tiba saja Manggada berkata, “Aku ingin membangunkan orang-orang padukuhan ini dengan cara yang lain. Kami berdua akan mengelilingi padukuhan ini berkuda. Aku akan mengajak Sampurna, anak Ki Jagabaya”

“Untuk apa?”bertanya Ki Kertasana.

“Untuk membesarkan hati orang-orang padukuhan ini” jawab Manggada.

“Jika kalian bertemu dengan Wira Sabet atau orang-orangnya yang tersinggung atas perbuatan kalian?” bertanya Ki Kertasana.

“Apa boleh buat” jawab Manggada “Kekerasan nampaknya tidak dapat dihindari. Seandainya akan menjadi api yang menyulut pertempuran, bukankah kita sudah siap meskipun kita belum mengetahui dengan pasti besarnya kekuatan mereka?”

Ki Kertasana menarik nafas dalam-dalam. Sementara Manggada berkata, “Tetapi jika benturan kekerasan itu memang harus terjadi, biarlah terjadi. Keadaan padukuhan ini harus segera berubah.”

Orang-orang tua yang mendengar ketetapan hati Manggada itu hanya menarik nafas panjang. Anak semuda Manggada biasanya memang ingin memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapinya dengan cepat. Apalagi setelah cara lain yang lebih lunak sudah ditempuh dan tidak berhasil.

Karena itu, maka Ki Kertasana itupun hanya berpesan, “Tetapi berhati-hatilah. Kita menghadapi bukan saja orang-orang yang mendendam, tetapi juga orang-orang yang tamak seperti Ki Sapa Aruh yang memanfaatkan keadaan dan mem-peralat Wira Sabet dan Sura Gentong untuk kepentingannya sendiri”

“Baik ayah...” jawab Manggada, sementara Laksana berkata “Semakin lama keadaan ini berlangsung, maka orang-orang padukuhan ini akan menjadi semakin ketakutan dan bahkan tidak berani membuka pintu rumahnya, sehingga jika lumbung padi mereka sudah kosong, maka mereka akan dapat menjadi-kelaparan. Bahkan meskipun padi disawah menguning, tidak seorangpun yang akan berani memetiknya jika Wira Sabet dan Sura Gentong berdiri di tengah-tengah bulak itu”

“Ya. Kemungkinan itu dapat terjadi” desis Ki Kertasana.

Dengan demikian maka Manggada dan Laksanapun telah minta ijin untuk mempergunakan kuda yang ada di kandang. Mereka akan mempergunakannya untuk mencoba membangkitkan keberanian orang-orang padukuhan yang dicengkam oleh ketakutan itu.

Di sore hari, ketika Ki Pandi, Manggada dan Laksana duduk di serambi gandok, maka merekapun terkejut melihat pintu regol yang tidak diselarak itu terbuka. Serentak mereka bangkit berdiri. Namun merekapun menarik nafas dalam-dalam ketika mereka melihat Ki Jagabayalah yang memasuki regol halaman itu.

“Marilah Ki Jagabaya!“ Manggada mempersilahkan. Sejenak kemudian, Ki Jagabaya itupun sudah duduk di pringgitan bersama Ki Kertasana, Ki Citrabawa, Ki Pandi, Manggada dan Laksana.

Dengan kecewa Ki Jagabaya menceriterakan sikap Ki Bekel yang masih tetap ragu-ragu. Dengan nada rendah Ki Jagabaya berkata, “Ki Bekel tidak dapat berbuat banyak. Ia selalu dibayangi oleh keselamatan keluarganya. Ia mempunyai tujuh orang anak. Sebagian masih kecil-kecil. Di antara mereka belum ada yang dapat membantu ayahnya jika keadaan menjadi semakin buruk.”

“Apakah Ki Bekel itu lebih muda dari Ki Jagabaya?” bertanya Ki Pandi.

“Ya. Terpaut agak banyak. Aku sudah menjabat sebagai Jagabaya ketika padukuhan ini dijabat oleh ayah Ki Bekel yang sekarang.” suara Ki Jagabaya itu merendah “Tetapi Ki Bekel yang dahulu memiliki keberanian jauh lebih besar dari Ki Bekel yang sekarang. Namun agaknya aku dapat mengerti, jika Wira Sabet dan Sura Gentong itu datang ke rumah Ki Bekel, maka anak-anaknya tentu akan mengalami nasib buruk, seandainya Ki Bekel itu sendiri melawan.”

Ki Kertasana pun kemudian menyahut “Jika demikian, maka kita harus menghadapinya tanpa Ki Bekel. Tetapi jika harus terjadi demikian, maka apaboleh buat”

“Terima kasih Ki Kertasana dan seluruh keluarga disini yang telah dengan suka-rela membantu kami yang masih berusaha untuk menegakkan harga diri padukuhan ini”

“Bagi kami, apa yang kami lakukan itu merupakan bagian dari kewajiban kami sebagai penghuni padukuhan Gemawang, karena kami merasa ikut memiliki sehingga kami pun harus ikut mempertahankannya dari laku yang menyimpang”

Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Sementara Manggada mengatakan rencananya untuk berusaha membangkitkan sedikit keberanian orang-orang padukuhan itu. “Baiklah. Aku akan mengatakannya kepada Sampurna. Agaknya ia tidak akan berkeberatan." Demikianlah, setelah mendapat hidangan minuman dan makanan, maka Ki Jagabayapun segera minta diri.

Seperti yang direncanakan di keesokan harinya, maka Manggada dan Laksana sucah siap dengan kuda mereka. Sejenak kemudian keduanya telah berderap menyusuri jalan padukuhan. Mula-mula keduanya pergi ke rumah Ki Jagabaya. Kemudian bersama Sampurna yang ternyata sependapat dengan Manggada dan Laksana telah mengelilingi padukuhan mereka.

Derap kaki-kaki kuda itu memang menarik perhatian. Orang yang tergesa-gesa berjalan di jalan padukuhan untuk satu keperluan yang mendesak terkejut melihat ketiga orang anak muda itu. Yang langsung mereka kenali adalah Sampurna. Namun kemudian juga Manggada. Seorang laki-laki yang bertubuh kuat kekar memandang ketiganya dengan penuh keheranan.

“Angger bertiga, apa kalian menyadari, bahwa yang kalian lakukan itu dapat mengundang kesulitan?” bertanya laki-laki itu.

“Kenapa?” bertanya Sampurna.

“Wira Sabet dan bahkan Sura Gentong sering datang ke padukuhan ini”

“Apa salahanya? Bukankah kami berada dipadukuhan kami sendiri? Sebagaimana paman juga berada di padukuhan paman sendiri?” jawab Sampurna.

Orang itu mengerutkan dahinya. Katanya, “Meskipun demikian, tetapi bukankah kalian tahu bahwa suasana padukuhan ini baru panas?”

“Maksud paman?” bertanya Sampurna.

“Ah, seperti orang asing saja kau ngger.” sahut orang itu.

“Maksud paman, padukuhan kita sedang dalam keadaan ketakutan karena Wira Sabet dan Sura Gentong?” bertanya Sampurna pula.

“Ya, ngger. Jika angger bertiga bertemu dengan mereka, maka kemungkinan buruk dapat terjadi atas engger bertiga.”

“Itulah yang ingin kami tunjukkan kepada paman dan kepada seisi padukuhan ini. Kami tidak takut, paman. Kenapa harus takut kepada paman Wira Sabet dan Sura Gentong? Mereka dahulu juga penghuni padukuhan ini. Bukankah kita sudah saling mengenal?”

“Kau tiba-tiba menjadi aneh, ngger. Setiap orang menjadi ketakutan dan bersembunyi jika kedua orang itu atau salah seorang daripadanya lewat di padukuhan ini”

“Paman. Sekali lagi kami ingin mengatakan kepada semua orang. Kita tidak perlu takut. Aku tidak takut. Manggada dan Laksana ini juga tidak takut. Dan semua orang seharusnya tidak takut menghadapi mereka. Seandainya kedua orang itu ingin berbuat sesuatu yang tidak semestinya di padukuhan iini, maka kita bersama-sama akan bangkit dan mengusir mereka sebagaimana pernah kita lakukan beberapa tahun yang silam.”

“Angger. Jangan pura-pura tidak tahu. Keduanya bukan Wira Sabet dan Sura Gentong beberapa tahun yang silam. Mereka sekarang adalah dua orang yang berilmu tinggi. Mereka datang bersama saudara-saudara seperguruan mereka dan bahkan bersama Ki Sapa Aruh yang ditakuti oleh banyak orang”

Tetapi Sampurna tertawa. Katanya “Satu mimpi buruk paman. Bangunlah. Kita akan melihat satu kenyataan bahwa keduanya akan lari terbirit-birit melihat seisi padukuhan ini bangkit, berkumpul dan dengan berani menentangnya. Tetapi jika kita, penghuni padukuhan ini menjadi ketakutan, maka keduanya akan memasuki padukuhan ini dengan dada tengadah, menakut-nakuti kita dan akhirnya menggilas kita semuanya. Kita kemudian harus tunduk dibawah telapak kakinya dan melakukan segala perintahnya meskipun bertentangan dengan nurani kita sendiri.”

Orang bertubuh kuat dan kekar itu termangu-mangu. Rasa-rasanya ia berada di dalam satu dunia yang asing. Sikap ketiga orang anak muda itu aneh. “Ada yang tidak wajar” desis orang itu “Ketidak wajaran itu ada pada kalian bertiga atau ada padaku. Tetapi rasa-rasanya aku tersuruk ke dalam satu keadaan yang membingungkan”

“Kenapa?” Sampurna masih saja tertawa. Bahkan kemudian Manggada dan Laksanapun tertawa pula melihat orang itu kebingungan. Dengan nada tinggi Manggada berkata, “Paman nampak bingung justru karena paman telah terbius oleh dongeng yang tersebar selama ini, bahwa Wira Sabet dan Sura Gentong adalah dua orang yang menakutkan. Tetapi jika paman tidak menjadi ketakutan, maka paman tidak usah bingung. Kita bersama-sama akan mengusir mereka. Bahkan bersama saudara-saudara seperguruannya dan sekaligus Ki Sapa Aruh.”

“Ini aneh. Aneh sekali bahwa anak-anak muda berani mengatakan hal seperti itu”

“Bukan hal yang aneh paman. Justru inilah satu kewajaran sikap orang-orang yang berniat untuk melindungi padukuhannya.” berkata Sampurna. Lalu katanya pula “Nah, terserah kepada paman. Tetapi menilik ujud tubuh paman yang kuat dan kekar itu, maka Wira Sabet dan Sura Gentong tentu akan berpikir dua kali untuk melawan paman."

Orang itu benar-benar menjadi bingung. Biasanya ia melihat orang-orang menjadi ketakutan jika mereka mendengar nama Wira Sabet dan Sura Gentong. Bahkan orang-orang akan segera masuk regol halaman dan hilang dibalik pintu rumahnya. Jika mereka tidak sempat mencapai rumah mereka, maka merekapun akan segera memasuki rumah tetangga-tetangganya untuk menyembunyikan diri.

Tetapi kali ini ia bertemu dengan anak-anak muda yang menyebut nama Wira Sabet dan Sura Gentong sambil tertawa. Seperti mereka menyebut Ki Jagabaya dan Ki Bekel. Orang yang bertubuh kuat dan kekar itu bergumam, “Sampurna itu adalah anak Ki Jagabaya.”

Sementara itu Sampurna, Manggada dan Laksana telah menjelajahi padukuhan Gemawang. Mereka bertemu dengan orang-orang yang menjadi keheranan seperti orang bertubuh kuat dan kekar itu. Bahkan anak-anak muda sebaya merekapun merasa heran melihat sikap itu. Sikap yang tidak sama seperti sikap orang-orang padukuhan itu pada umumnya.

Namun hari itu Sampurna, Manggada dan Laksana telah mulai menggelitik jantung orang-orang padukuhan itu. Mereka memang heran. Tetapi sikap ketiga anak muda itu mulai mereka renungkan. Tetapi sebagian besar dari orang-orang padukuhan itu justru menjadi cemas bahwa anak-anak muda itu akan mengalami kesulitan.

Tetapi hari itu, Wira Sabet dan Sura Gentong tidak memasuki padukuhan. Karena itu, maka Sampurna, Manggada dan Laksana dapat mengelilingi padukuhannya tanpa terganggu sama sekali.

Meskipun demikian tingkah laku ketiga orang anak muda itu tidak lepas dari pengawasan orang-orang Wira Sabet dan Sura Gentong. Ternyata ada dua orang pengikut mereka yang melihat ketiga orang anak muda berkuda mengelilingi padukuhan tanpa rasa takut sama sekali.

Ketika hal itu mereka laporkan kepada Wira Sabet dan Sura Gentong, maka Sura Gentong pun membentak dengan kasar, “Siapakah mereka itu?”

“Kami belum tahu!” jawab pengikutnya.

Pideksa yang juga mendengar laporan itu berkata di dalam hatinya “Tentu Manggada dan adik sepupunya itu. Tetapi siapa yang seorang lagi?”

Namun Pideksa sama sekali tidak menyebut nama mereka di hadapan pamannya yang garang sekali itu. Wira Sabet pun menggeram. Tetapi gejolak di dadanya berbeda dengan gejolak kemarahan Sura Gentong. Wira Sabet menjadi sangat kecewa terhadap sikap anak-anak muda itu. ia sudah memperingatkan bahwa sebaiknya mereka tidak melibatkan dirinya dalam persoalan yang menyangkut dendam mereka kepada bebahu padukuhan itu.

“Mereka memang keras kepala.” berkata Wira Sabet di dalam hatinya. Seperti Pideksa iapun segera menduga bahwa anak-anak muda itu tentu Manggada dan Laksana. Tetapi iapun bertanya, “Siapakah yang seorang lagi?”

Dalam pada itu, Sura Gentong pun berkata lantang kepada pengikutnya “Besok kalian harus mengetahui siapakah ketiga orang anak muda itu”

Pengikut Sura Gentong itu mengangguk sambil menjawab “Baik. Besok aku tentu mengetahui siapakah mereka itu”

Demikianlah, dihari berikutnya Sampurna, Manggada dan Laksana mengulangi sebagaimana dilakukan sehari sebelumnya. Bertiga mereka mengelilingi padukuhan. Bahkan mereka telah memasuki regol-regol halaman rumah kawan-kawan mereka untuk menyatakan sikap mereka.

Tetapi orang-orang padukuhan itu masih saja menganggap kelakuan ketiga anak muda itu sebagai sesuatu yang aneh, yang tidak masuk akal dan bahkan rasa-rasanya tidak dapat terjadi. Namun yang mereka cemaskan bahwa tingkah laku anak-anak muda itu akan menimbulkan kesulitan bagi padukuhan mereka, ternyata memang terjadi.

Ketika matahari sedikit melewati puncak langit, maka seorang laki-laki yang masih terhitung muda, berjalan terhuyung-huyung memasuki regol padukuhan. Pakaiannya bukan saja basah oleh keringat, tetapi juga oleh darah. Demikian orang itu sempat berpegangan pada tiang regol padukuhan, maka iapun berteriak dengan sisa kekuatannya,

“Tolong, tolong....”

Suaranya melengking menggetarkan udara padukuhan Gemawang. Beberapa orang yang tinggal tidak jauh dari regol itu memang mendengar teriakan itu. Tetapi mereka merasa ragu-ragu untuk keluar dari halaman rumah mereka.

Namun ketika orang itu berteriak sekali lagi, maka satu dua orang mulai keluar dari rumahnya. Dengan ragu-ragu mereka mengintip dari balik pintu regol halaman. Baru ketika mereka yakin tidak melihat sesuatu, maka mereka perlahan-lahan dan berhati-hati keluar dan turun ke jalan.

Demikian mereka melihat seseorang berdiri berpegangan tiang regol padukuhan, maka tiga orang laki-laki segera berlari mendekatinya. Dengan cepat mereka menangkap orang yang hampir roboh karena kekuatannya seakan-akan telah terkuras sebagaimana darahnya yang mengalir dari tubuhnya.

Dengan cepat ketiga orang laki-laki itu telah membawa orang yang terluka itu ke rumah yang terletak di ujung padukuhan. Sementara itu beberapa orang yang lain yang datang kemudian, telah mengikuti mereka memasuki halaman rumah itu pula.

“Apa yang telah terjadi?” mereka pun telah saling bertanya.

Tidak seorangpun yang segera dapat menjawab, sementara orang yang terluka itupun masih sulit untuk dapat diajak berbicara. Baru kemudian, setelah agak menjadi tenang, serta setelah minum beberapa teguk, ia berceritera dengan kata-kata yang sendat tentang apa yang telah terjadi atas dirinya.

“Tiga laki-laki itu mencari tiga orang berkuda.” berkata orang itu.

“Ketiga anak-anak muda itu?” desis seseorang.

“Ya” jawab orang yang terluka itu.

“Apa yang kau katakan?” bertanya salah seorang yang menolongnya.

“Aku tidak dapat berbohong. Mereka mencekikku. Memukulku dan melukai tubuhku dengan pisau” jawab orang itu “Aku terpaksa mengatakan bahwa mereka adalah Sampurna, anak Ki Jagabaya, Manggada, anak Ki Kertasana dan sepupunya Laksana”

Ketiga orang yang menolongnya itu saling berpandangan. Seorang di antara mereka berkata “Aku sudah memperingatkan ketiga orang anak muda itu. Sebaiknya beritahukan mereka, agar mereka tidak melakukannya lagi, karena mereka benar-benar telah dicari”

“Kenapa tidak dibiarkan saja? Biar mereka menjadi jera dan kesombongan mereka sendiri” jawab yang seorang.

“Jangan...” berkata yang lain lagi “Sebaiknya seseorang datang kepada mereka dan memberitahukan kepada mereka, apa yang telah terjadi. Jika mereka sudah melihat sendiri, maka mereka tentu akan memikirkan kembali tingkah laku mereka”

Yang lain ternyata sependapat. Karena itu, maka salah seorang dari ketiga orang itu telah memberitahukan kepada orang-orang yang ada di halaman, agar salah seorang dari mereka menemui Sampurna, anak Ki Jagabaya. Sementara yang lain diminta untuk mengamati keadaan.

“Mungkin pengikut Sura Gentong itu datang kemari” desis orang itu. Karena orang itu yakin bahwa ketiga orang yang mencari anak-anak muda yang berkuda mengelilingi padukuhan itu adalah pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong.

Dengan tergesa-gesa, bahkan berlari-lari kecil seseorang telah pergi ke rumah Ki Jagabaya. Demikian ia bertemu dengan Sampurna, maka ia langsung memberitahukan apa yang telah terjadi di ujung jalan induk padukuhan itu.

“Jadi pengikut Sura Gentong telah menyakiti salah seorang penghuni padukuhan ini?” bertanya Sampurna.

“Ya...” berkata orang itu. “Ia sekarang masih dirawat.”

“Aku akan segera datang.” berkata Sampurna. Namun Ki Jagabayapun berkata, “Aku juga” Lalu katanya kepada orang yang memberitahukan itu “Pergilah dahulu. Nanti kami segera menyusul.”

Orang itu tidak membantah. Iapun segera meninggalkan rumah Ki jagabaya. Kembali ia berlari-lari. Jantungnya berdebar-debar kalau saja ia juga bertemu dengan ketiga orang pengikut Sura Gentong itu.

Sejenak kemudian Ki Jagabayapun telah meninggalkan rumahnya bersama Sampurna. Kepada Tantri ia berpesan “Jika terjadi sesuatu, bunyikan isyarat. Kami tentu mendengarnya”

“Ya, ayah...” jawab Tantri.

Sejenak kemudian maka keduanya telah turun ke jalan, Ki Jagabaya hanya berjalan kaki, sementara Sampurna berkuda, karena ia ingin mengajak Manggada dan Laksana. Beberapa saat kemudian, maka orang-orang yang ada di halaman rumah tempat orang yang terluka itu dirawat, telah menyibak. Ki Jagabayalah yang lebih dahulu sampai di rumah itu.

Namun sebelum Ki Jagabaya melangkah masuk ke dalam, maka terdengar derap kaki kuda. Sampurna, Manggada dan Laksana telah sampai pula ke tempat itu. Setelah menambatkan kuda-kuda mereka, maka bersama Ki Jagabaya, mereka telah masuk ke ruang dalam untuk melihat keadaan orang yang telah mengalami kesulitan karena tingkah laku para pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong itu....
Selanjutnya,
Sejuknya Kampung Halaman Bagian 10

Sejuknya Kampung Halaman Bagian 09

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
MANGGADA tertegun sejenak. Namun seperti juga Laksana, maka Manggadapun segera mengetahui, bahwa ternyata Sura Gentong jauh lebih kasar dari Wira Sabet.

“Inikah bocah edan itu?” geram Sura Gentong.

“Ia baru pulang beberapa hari yang lalu, paman...” Pideksa yang menjawab.

“Aku tidak peduli. Orang-orang yang berani menatap wajah Wira Sabet dan Sura Gentong akan dibuat jera untuk selama-lamanya.” berkata Sura Gentong.

“Maksud paman?” bertanya Pideksa.

“Orang itu akan menjadi buta. Tetapi bagi orang yang belum mengenal kami dengan baik, maka dosanya akan diperingan. Ia akan menjadi buta matanya sebelah.”

“Itu tidak perlu.” desis Wira Sabet.

“Ia benar-benar orang baru disini.” sambung Pideksa.

“Aku tidak peduli. Tetapi ia adalah kaki tangannya jagabaya yang tamak itu. Orang yang telah membantu Ki Jagabaya akan mendapat hukuman tersendiri” berkata Sura Gentong.
Namun tiba-tiba Wira Sabet berkata, “Pergilah. Kali ini kau diampuni.”

“Tunggu." geram Sura Gentong “Apakah kakang sudah mengatakan syarat yang kami minta sebelum pembicaraan dilakukan?”

Wira Sabet menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sudah mengatakan, bahwa pembicaraan itu tidak akan dapat dilakukan kapanpun dimanapun.”

“Bukan begitu pesan Ki Sapa Aruh.” berkata Sura Gentong “Ki Sapa Aruh mengisyaratkan bahwa pembicaraan itu dapat saja dilakukan. Tetapi dengan syarat, semua bebahu padukuhan meletakkan jabatan. Ki Sapa Aruh akan memegang jabatan Bekel. Kakang Wira Sabet menjadi Kami Tuwa dan aku menjadi Jagabaya."

Wajah Manggada dan Laksana terasa menjadi panas. Namun keduanya tidak mengatakan sesuatu.

Sementara itu Wira Sabet berkata lagi, “Cepat pergi. Kalian diampuni kali ini. Tetapi untuk selanjutnya, jika kalian berani menatap wajah kami, maka mata kalian akan menjadi buta.”

“Masih belum selesai.” berkata Sura Gentong “Masih ada satu syarat lagi. Karena Ki Jagabaya telah membunuh perempuan calon isteriku, maka ia harus menggantinya. Aku inginkan Tantri menjadi isteriku.”

Telinga Laksana bagaikan tersentuh bara. Namun ketika ia beringsut, maka Manggada telah menggamitnya. Namun dalam pada itu, sebelum Wira Sabet mengusir lagi kedua anak muda itu, Sura Gentong justru berkata, “Aku akan pergi. Jika aku lebih lama disini, aku akan benar-benar membuat sebelah mata anak-anak itu menjadi buta.”

Tanpa menunggu jawaban, maka Sura Gentong itupun segera meninggalkan halaman rumah Wira Sabet itu. Wira Sabet, Pideksa dan kedua orang kawannya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Wira Sabet itupun berkata,

“Sebaiknya kau tidak melibatkan diri dalam hal ini. Temui Ki Jagabaya, katakan syarat yang sudah terlanjur diucapkan oleh Sura Gentong itu yang semula ingin aku sembunyikan saja. Kemudian kau menarik diri dari persoalan ini. Sebaiknya kalian, selalu berada di rumah. Agaknya itu akan lebih baik bagi kalian.”

Manggada dan Laksana tidak menjawab. Sementara itu Pideksa berkata, “Bukankah segala-galanya sudah berubah? Aku tidak dapat menjadi cengeng dengan mengenang masa lalu, karena masa lalu tidak akan pernah datang kembali, betapapun kerinduan menusuk sampai ke pusat jantung. Hati-hatilah Manggada. Sebaiknya kau minggir saja dari persoalan ini. Aku tahu bahwa kau tentu berkeberatan. Kau termasuk anak yang keras kepala, berani dan bengal. Tetapi kau cerdas dan bandel...”

Pideksa tidak menunggu jawaban. Iapun kemudian memberi isyarat kepada ayahnya untuk meninggalkan tempat itu. Namun di regol ia berkata, “Ayah masih tetap mengijinkanmu memanjat pohon duwet dan pohon manggis itu.”

Manggada dan Laksana sama sekali tidak menjawab. Baru setelah mereka pergi, keduanya menarik nafas dalam-dalam. “Sura Gentonglah yang sudah menjadi gila.” geram Manggada.

“Nampaknya tidak ada jalan lain kecuali dengan kekerasan.” desis Laksana.

Manggada menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada itu, keduanya terkejut ketika mereka mendengar semak tersibak. Ketika mereka berpaling dan bergeser selangkah, maka mereka melihat sekilas dua ekor harimau hilang di balik semak-semak yang banyak terdapat di halaman yang luas itu.

Kedua orang anak muda itu saling berpandangan. Merekapun yakin bahwa kedua ekor harimau itu adalah harimau Ki Pandi. Merekapun segera tahu pula bahwa selama Ki Pandi pergi semalam, tentu Ki Pandi telah memanggil harimaunya.

“Kecuali dengan serulingnya, Ki Pandi mempunyai cara berhubungan dengan kedua ekor harimaunya dari jarak jauh.” berkata Manggada kemudian.

Laksana mengangguk-angguk. Namun iapun bergumam, “Kenapa Wira Sabet dan Sura Gentong tidak kita selesaikan sama sekali. Kita tahu disini ada Ki Pandi. Apalagi ada dua ekor harimaunya. Seandainya Ki Sapa Aruh dan orang-orangnya masih mendendam, maka kekuatan mereka telah jauh menyusut tanpa Wira Sabet dan Sura Gentong.”

“Tetapi sasaran dendam Ki Sapa Aruh tentu tidak pandang bulu. Orang-orang padukuhan ini akan mengalami nasib buruk, karena kita tidak akan dapat berada di segala tempat. Sementara Ki Sapa Aruh akan dapat mengirimkan orang-orangnya kemanapun yang dikehendaki” jawab Manggada.

Laksana menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun kemudian mengangguk sambil berdesis, “Ya. Ki Sapa aruh dapat berbuat licik sekali.”

“Kecuali jika kita sempat mematangkan perlawanan orang-orang padukuhan ini.” berkata Manggada.

Laksana tidak menjawab. Tetapi ia masih saja mengangguk-angguk. Demikianlah, maka Manggada dan Laksanapun kemudian keluar dari halaman rumah yang kotor itu. Demikian mereka turun ke jalan, maka merekapun melihat Ki Pandi dan Ki Resadana keluar dari pintu regol.

“Nampaknya sulit untuk dapat berbicara dengan mereka.” berkata Laksana.

“Kami dari balik dinding mendengar pembicaraan kalian dengan Wira Sabet dan kemudian Sura Gentong.” berkata Ki Pandi.

“Kami berdua akan berbicara dengan Ki Jagabaya.” berkata Manggada.

“Tetapi siapa yang dimaksud dengan Tantri?” bertanya Ki Pandi.

“Seorang gadis kemarin sore.“ Ki Resadanalah yang menyahut. “Umurnya masih belum setua Pideksa.”

“Ya. Lebih muda dari Pideksa. Ia pantas menjadi anak bungsu Sura Gentong jika ia mempunyai sepuluh orang saudara.” sahut Laksana.

Ki Pandi mengangguk-angguk. Katanya, “Nampaknya memang sulit untuk berbicara dengan Sura Gentong. Sebenarnya tanpa pengaruh Sura Gentong dan Ki Sapa Aruh, Wira Sabet masih dapat diajak berbicara. Tetapi tidak demikian halnya dengan Sura Gentong.”

Ki Resa mengangguk-angguk. Namun dengan nada cemas ia berkata “Sudahlah ngger. Sebaiknya kalian berdua tidak usah turut campur. Atau bahkan sebaiknya kalian kembali saja ke tempat kalian selama ini tinggal.”

“Mungkin kami berdua dapat mengungsi, paman. Tetapi bagaimana dengan ayah dan ibu?" jawab Manggada.

“Jika perlu bawa saja ayah dan ibu kalian bersama kalian” jawab Ki Resa.

“Nampaknya ayah dan ibu tentu berkeberatan. Disini mereka dilahirkan. Disini sawah dan tanah pategalan mereka digelar. Apakah semuanya itu harus ditinggalkan tanpa melakukan pembelaan sama sekali?”

“Pembelaan? Apa maksudmu? Apakah kalian akan melawan Wira Sabet dan Sura Gentong?” bertanya Ki Resa.

“Jika tidak demikian, maka setidak-tidaknya kami mendapatkan penyelesaian yang terbaik” jawab Manggada.

Ki Resa menarik nafas dalam-dalam, la sudah berusaha menemui orang tua kedua anak muda itu. Namun ternyata kedua anak muda itu sama sekali tidak menarik diri. Bahkan orang tua mereka agaknya tidak dengan keras melarang mereka.

Namun dengan demikian, timbul sedikit sentuhan di hati Ki Resadana. Jika anak-anak yang untuk waktu yang lama sudah meninggalkan kampung halamannya masih menganggap perlu untuk berbuat sesuatu bagi kebaikan padukuhannya, apakah Ki Resa justru akan mengingkari tugas-tugas semacam itu?

Namun bagaimanapun juga yang dilakukan oleh anak-anak muda itu memerlukan keberanian. Dan keberanian itu tidak dimilikinya dan tidak pula dimiliki oleh orang-orang padukuhan itu.

Dalam pada itu, maka Manggada, Laksana dan Ki Pandipun kemudian telah minta diri kepada Ki Resa. Mereka akan memberian laporan tentang kewajiban yang mereka pikul untuk bertemu dan berbicara dengan Wira Sabet dan bahkan Sura Gentong kepada Ki Jagabaya.

Ki Resapun kemudian hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kesungguhan kedua orang anak muda itu untuk berbuat sesuatu bagi padukuhan mereka. Seperti yang direncanakan, maka kedua orang anak muda itu memang pergi ke rumah Ki Jagabaya. Namun Ki Pandi tidak pergi bersama mereka. Tetapi Ki Pandi berniat langsung kembali ke rumah Ki Kertasana.

Namun sebelum mereka berpisah, Laksana sempat bertanya “Apakah kedua ekor harimau itu akan tetap berada disana?”

“Tidak. Biarlah malam nanti keduanya kembali ke hutan. Tetapi tidak perlu hutan yang kita pergunakan untuk Tapa Ngidang itu. Tetapi hutan yang lebih dekat di sebelah Barat padukuhan ini. Meskipun hutan itu kecil, namun kedua ekor harimau itu tidak akan menjadi kelaparan sebagaimana jika keduanya tetap berada di halaman rumah itu. Bahkan jika keduanya kelaparan, mereka akan dapat berbuat hal-hal yang tidak sepatutnya mereka lakukan?”

“Apakah mereka dapat menyerang seseorang?” bertanya Laksana.

“Tanpa perintahku tidak. Tetapi mereka sering melakukannya terhadap seekor ternak, jika benar-benar kelaparan” jawab Ki Pandi.

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sementara itu, maka merekapun telah sampai ke simpang tiga. Manggada dan Laksana berbelok ke kiri, sedangkan Ki Pandi berbelok ke kanan.

Demikianlah, beberapa saat kemudian, maka keduanya telah sampai di rumah Ki Jagabaya. Ternyata Ki Jagabaya tidak sedang bepergian. Namun, lebih dahulu dari mereka berdua, Wisesa telah berada di rumah itu pula.

Sampurna seperti biasanya mempersilahkan Manggada dan Laksana duduk di serambi bersama Wisesa. Kepada Tantri yang ada di dapur, Sampurna minta agar ia membuat minuman lagi bagi kedua orang tamu yang datang kemudian itu. Seterusnya Sampurna telah menemui ayahnya untuk memberitahukan kedatangan Manggada dan Laksana.

“Baiklah...” berkata Ki Jagabaya “Sebentar lagi aku datang”

Ketika kemudian Sampurna duduk lagi di serambi, maka Tantri telah menghidangkan minuman dan makanan bagi Manggada dan Laksana yang duduk bersama Wisesa.

“Darimana saja kalian berdua?” bertanya Tantri.

“Aku baru saja pergi ke rumah paman Wira Sabet” jawab Manggada. Namun sementara itu Laksana sibuk memperhatikan Tantri. Apa jadinya jika gadis cantik itu benar-benar harus diserahkan kepada Sura Gentong untuk menebus dendam yang menyala di hati orang yang garang itu.

“Apakah kalian bertemu dengan Wira Sabet?” bertanya Tantri pula.

“Ya” jawab Manggada “Bahkan juga paman Sura Gentong”

“Jadi kalian bertemu juga dengan Sura Gentong?” bertanya Sampurna?

“Ya“ Manggada mengangguk-angguk. Lalu katanya pula “Karena itu aku langsung datang kemari untuk melaporkannya kepada Ki Jagabaya”

“Apa kata mereka?” bertanya Wisesa “Apakah mereka menerima gagasan besarku demi kesejahteraan padukuhan ini?”

Manggada termangu-mangu sejenak. Namun Sampurnalah yang menjawab, “Biarlah kita menunggu ayah. Manggada dan Laksana akan memberikan laporan kepada ayah.”

“Apa bedanya? Aku adalah seorang yang telah melahirkan gagasan besar itu...” berkata Wisesa “Bukankah kita akan membicarakan bersama pada akhirnya?”

“Baiklah” berkata Sampurna “Karena itu, sebaiknya kita menunggu ayah”

Wisesa mengerutkan dahinya. Sebelum ia menjawab Tantri telah bangkit dan melangkah meninggalkan serambi itu. Sejenak kemudian, maka Ki Jagabaya pun telah ikut duduk di serambi itu bersama Manggada, Laksana dan Wisesa.

Ki Jagabaya itupun segera bertanya, “Apakah kau bertemu dengan Wira Sabet dan Sura Gentong?”

“Ya, Ki Jagabaya. Aku telah bertemu dengan mereka berdua”

“Apakah kau membicarakan tentang satu kemungkinan untuk mengadakan satu pembicaraan?” bertanya Ki Jagabaya.

“Ya, sesuai dengan gagasanku.” sahut Wisesa.

Manggada memandang Wisesa sekilas. Namun ia tidak menghiraukannya lagi. “Kami sudah mencoba untuk berbicara dengan mereka Ki Jagabaya. Sebenarnya aku yakin bahwa paman Wira Sabet akan dapat mengerti dan menerima rencana pembicaraan itu” jawab Manggada.

“Karena itu adalah gagasan terbaik yang dapat dilahirkan oleh seseorang dalam keadaan seperti ini” sahut Wisesa.

Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun kemudian mengangguk-angguk sambil berdesis “Ya. Gagasan terbaik”

Manggadapun kemudian telah melaporkan pertemuannya dengan Wira Sabet dan Sura Gentong. Manggada menceriterakan perbedaan sikap antara kakak beradik itu.

“Apakah syarat yang telah diajukan oleh Sura Gentong?” bertanya Ki Jagabaya.

Satu persatu Manggada menguraikan syarat-syarat yang dikehendaki oleh Sura Gentong dan Ki Sapa Aruh. Justru karena Tantri telah meninggalkan serambi Itu, maka Manggada pun berkata, “Syarat terakhir yang dikehendaki oleh Sura Gentong adalah ganti atas meninggalnya bakal isterinya saat itu”

“Tetapi perempuan itu membunuh diri.” berkata Ki Jagabaya “Namun nampaknya Sura Gentong menuduh bahwa aku telah membunuhnya. Atau seandainya sebenarnya ia mengetahui, tetapi ia tentu akan berpura-pura tidak mengetahuinya. Dengan demikian maka ia akan dapat menuntut ganti atas kematian isterinya”

“Agaknya memang demikian Ki Jagabaya.” jawab Manggada.

Namun kemudian Ki Jagabaya itu berkata, “Apakah ia juga mengatakan ganti seperti apa yang dikehendakinya?”

Jantung Manggada pun menjadi berdebar-debar. Rasa-rasanya sulit untuk mengatakannya, bahwa Sura Gentong menghendaki Tantri, gadis Ki Jagabaya itu. Sejenak Manggada memandang Laksana. Tetapi Laksana menundukkan kepalanya. Akhirnya, meskipun betapa berat bibirnya bergerak, Manggada harus mengatakannya, “Ki Jagabaya Yang dikehendaki Sura Gentong adalah Tantri.”

“Tantri“ suara Ki Jagabaya menghentak. Wajahnya menjadi merah. Demikian pula Sampurna. Bahkan Wisesa.

Dengan suara bergetar Wisea berkata, “Gila. Apakah Sura Gentong sudah gila? Berapa umur Sura Gentong. Dan berapa umur Tantri?”

“Ya” desis Manggada “Sura Gentong agaknya, memang sudah gila”

Tetapi tiba-tiba Wisesa terkejut. Ia sudah mengumpati Sura Gentong. Wisesa sadar, bahwa ia telah melakukan kesalahan yang sangat besar. Jangankan mengumpati, mencercanya saja, seseorang akan dapat mengalami bencana. Wajah Wisesa menjadi pucat. Keringat dingin mengalir dari seluruh tubuhnya. Tetapi ia sudah terlanjur mengucapkannya.

Tetapi Manggada dan Laksana mengira bahwa Wisesa itu menjadi demikian marahnya, sehingga wajahnya justru menjadi pucat dan keringatnya membasahi pakaiannya.

Ki Jagabayalah yang benar-benar menjadi marah. Dengan geram ia berkata, “Angger berdua. Jika Ki Sapa Aruh ingin menjadi Bekel, Wira Sabet menghendaki kedudukan Kami Tuwal dan Sura Gentong sendiri ingin merampas kedudukanku sebagai Jagabaya, jika hal itu diterima oleh rakyat padukuhan Gemawang, aku tidak akan berkeberatan. Tetapi permintaannya yang terakhir membuat telingaku menjadi panas. Agaknya Sura Gentong benar-benar mencari alasan untuk melakukan kekerasan di padukuhan ini.”

“Agaknya memang demikian Ki Jagabaya.“ Laksanalah yang menyahut. “Aku juga berpendapat, bahwa tidak ada jalan lain kecuali menghancurkan Sura Gentong dan Ki Sapa Aruh. Jika keduanya dapat di lenyapkan, maka Wira Sabet sendiri tentu masih dapat mempergunakan penalarannya. Demikian pula agaknya dengan anaknya, Pideksa.”

“Manggada dan Laksana” berkata Ki Jagabaya kemudian “Aku berterima kasih atas kesediaan kalian membantu mencari penyelesaian sebaik-baiknya atas persoalan yang terjadi di padukuhan ini. Tetapi ternyata kalian telah terbentur pada sikap yang keras dan menyakitkan hati. Itu bukan salah kalian. Karena itu, agaknya aku tidak mempunyai pilihan lain. Aku akan mempersiapan diri menghadapi mereka apapun yang terjadi. Mungkin keluarga kami akan ditumpas habis. Tetapi aku tidak berkeberatan karena aku menganggap hal itu lebih baik daripada memenuhi permintaan mereka.”

“Ki Jagabaya tidak sendiri...” berkata Laksana “Sejak kami menghadap, kami sudah menyatakan bahwa keluarga kami akan berdiri di belakang Ki Jagabaya. Apapun yang terjadi, karena padukuhan ini adalah padukuhan kami, kampung halaman kami”

“Tetapi kau tahu bahwa Wira Sabet dan Sura Gentong memiliki kekuatan yang besar sehingga melawan mereka akan dapat berakibat sangat buruk!” berkata Ki Jagabaya.

“Itu sudah kami perhitungkan.” jawab Manggada.

Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sangat berterima kasih. Nanti aku akan menemui Ki Bekel. Aku akan minta pendapatnya untuk yang terakhir kalinya. Jika Ki Bekel masih saja ragu-ragu, aku akan meninggalkannya.”

Dalam pada itu, tiba-tiba saja Sampurna berkata kepada Wisesa “Bagaimana dengan kau Wisesa? Kau sudah mendengar betapa menyakitkan hati tuntutan Sura Gentong itu? Gagasanmu yang besar itu ternyata merupakan satu alasan yang paling baik bagi Sura Gentong untuk menghina keluarga kami. Nah, kami memang harus mempertimbangkannya, apakah kami akan menyerahkan Tantri atau tidak.”

“Tentu tidak!” desis Wisesa.

Sampurna termangu-mangu sejenak. Namun dalam kekalutan pikiran, Ki Jagabaya mengerti maksud anak laki-lakinya. Karena itu, ia tidak menyela pembicaraan anaknya dengan Wisesa. Sementara itu, Sampurnapun bertanya, “Apa yang harus kita lakukan jika Sura Gentong itu datang kemari dan minta untuk membawa Tantri sekarang ini?”

Wajah Wisesa yang pucat menjadi semakin pucat. Setiap kali ia teringat bahwa ia terlanjur mengumpati Sura Gentong. Satu tindakan yang sangat disesalinya.”

Namun tiba-tiba Sampurna bertanya. “Jika Sura Gentong itu datang untuk mengambil Tantri, apakah kau bersedia menghalanginya dengan cara apapun juga?”

Wisesa tergagap. Ia tidak dapat segera menjawab pertanyaan itu. Bahkan rasanya ia menjadi semakin ketakutan, sehingga tubuhnya menjadi sangat dingin. Karena Wisesa tidak segera menjawab, maka Sampurna berkata, “Tetapi aku yakin, bahwa akan ada orang yang membantu kami mempertahankannya seandainya kau tidak bersedia melakukan itu Wisesa.”

Perasaan Wisesa justru telah terguncang-guncang, la manjadi sakit hati jika ada orang yang berjasa melindungi Tantri. Tetapi ia sendiri tidak berani melakukannya, karena Wira Sabet dan Sura Gentong tidak ubahnya sebagai siluman yang sangat menakutkan baginya. Namun justru karena itu, maka Wisesa bahkan menjadi bagaikan orang yang kehabisan akal. Keringatnya sajalah yang mengalir semakin deras.

Manggada dan Laksana yang mengerti maksud Sampurna, sama sekali tidak menyahut. Mereka bahkan hanya berdiam diri saja. Namun akhirnya Sampurna pun tidak lagi menyudutkan Wisesa. Tetapi ia berkata bersunguh-sungguh kepada Manggada dan Laksana, “Jika demikian, maka kita harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Setiap saat suasana yang panas ini akan dapat meledak.”

“Kami menunggu perintah Ki Jagabaya.” berkata Manggada “Jika kami mendengar isyarat, kami akan segera datang.”

“Baiklah“ Ki Jagabayalah yang menyahut “Seperti yang aku katakan tadi, aku akan menemui Ki Bekel. Keadaan sudah memuncak. Agaknya memang tidak ada jalan lain kecuali dengan kekerasan.”

Demikianlah, maka Manggada dan Laksana pun kemudian telah minta diri. Sementara itu Wisesapun bertanya, “Apakah kau akan lewat jalan Selatan?”

“Kenapa?” bertanya Manggada.

“Kita dapat berjalan bersama-sama” jawab Wisesa.

Manggada menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu bahwa Wisesa menjadi tiba-tiba menjadi ketakutan, sehingga ia memerlukan kawan untuk berjalan pulang. Karena itu, maka iapun menjawab, “Aku dapat lewat jalan mana saja. Meskipun sedikit berputar, baiklah, aku akan pulang lewat jalan Selatan”

Hampir saja Laksana mengganggunya lagi. Tetapi Manggada sudah memandanginya dengan sikap yang bersunguh-sungguh sehingga Laksana pun telah mengurungkan niatnya. Sejenak kemudian, maka Sampurna, Tantri dan ibunya telah melepas Manggada dan Laksana pulang bersama Wisesa, sementara Ki Jagabaya pun akan pergi ke rumah Ki Bekel.

Di sepanjang jalan Wisesa yang berjalan tergesa-gesa sama sekali tidak mengatakan sesuatu. Ia berjalan paling depan. Namun sekali-sekali ia berpaling sambil berkata “Marilah. Kenapa kalian berjalan sangat lamban?”

Tetapi Laksana justru bertanya “Kenapa kau tergesa-gesa?”

“Aku masih mempunyai banyak pekerjaan di rumah” jawab Wisesa.

Namun Laksana menjawab lagi “Aku tidak. Jika aku tergesa-gesa, aku akan mengambil jalan lain yang lebih dekat dari jalan ini”

Wisesa terdiam. Ia berusaha menahan perasaannya yang bergejolak. Kebenciannya kepada kedua orang anak muda itu menjadi semakin meningkat. Sejak kanak-kanak ia memang tidak begitu senang berkawan dengan Manggada yang dianggapnya sangat nakal, keras kepala dan bengal. Tetapi Manggada itu terlalu dekat dengan Tantri. Meskipun keduanya sering berkelahi, tetapi setiap kali keduanya telah menjadi rukun kembali. Sedangkan kepada Laksana, Wisesa tidak menyukainya demikian ia mengenalnya.

Wisesa masih tetap berjalan di paling depan. Namun begitu ia melihat regol rumahnya, maka iapun berkata, “Aku tidak telaten berjalan bersama orang-orang malas. Kenapa kau mengambil jalan ini? Sebaiknya aku berjalan saja dahulu.”

Wisesa tidak menunggu jawaban, la berjalan semakin cepat. Bahkan kemudian berlari-lari kecil masuk ke dalam regol halamannya tanpa berpaling lagi. Laksana tertawa. Tetapi ia tidak berkata sesuatu. Ketika mereka sampai di rumah, maka merekapun segera menceriterakan pertemuan mereka dengan Wira Sabet dan Sura Gentong.

Meskipun sebagian telah diceriterakan oleh Ki Pandi yang telah mendahului pulang, namun Manggada dan Laksana masih juga dengan bersungguh-sungguh menceriterakan kembali. Merekapun juga berceritera bahwa mereka telah singgah di rumah Ki Jagabaya dan memberikan laporan tentang pembicaraan mereka dengan Wira Sabet dan Sura Gentong.

“Apa yang dikatakan oleh Ki Jagabaya?” bertanya Ki Kertasana.

“Ki Jagabaya menjadi sangat marah, la bertekad untuk melawan Wira Sabet dan Sura Gentong meskipun keduanya telah bekerja sama dengan Ki Sapa Aruh” jawab Manggada.

Ki Kertasana menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Nampaknya segala usaha memang akan sia-sia jika sikap Sura Gentong demikian kasarnya. Apa boleh buat jika harus diselesaikan dengan kekerasan”

“Kita memang tidak mempunyai pilihan lain. Hanya soal waktu sajalah yang menentukan benturan kekerasan yang bakal terjadi. Tetapi kita tidak tahu seberapa banyak sebenarnya kekuatan lawan itu. Kita juga tidak tahu tataran kemampuan mereka” berkata Ki Pandi.

Ki Kertasana, Ki Citrabawa. Manggada dan Laksanapun mengangguk-angguk. Mereka megerti maksud Ki Pandi. Namun mereka memang tidak mempunyai gambaran, bagaimana caranya mereka dapat mengetahui kekuatan lawannya itu. Sementara itu tidak seorangpun tahu, dimana Wira Sabet dan Sura Gentong tinggal. Apalagi Ki Sapa Aruh.

Agaknya mereka akan mengalami kesulitan untuk bertanya kepada siapapun tentang kedua orang itu. Seandainya ada yang pernah melihat, tentu tidak lebih dari arah kedatangan mereka. Terutama Wira Sabet yang memang lebih sering nampak daripada Sura Gentong. Itupun agaknya sulit memancing keterangan mereka.

Dalam pada itu, maka Manggada pun berkata, “Untuk sedikit mengurangi ketakutan yang mencengkam orang-orang padukuhan Gemawang, maka kita memang harus berbuat sesuatu. Jika keberatan mereka serba sedikit timbul, maka mereka akan berbicara setidaknya dimana mereka pernah melihat Wira Sabet atau dari mana ia datang. Mungkin kita dapat menelusuri dan mengetahui tempat tinggal mereka”

“Tetapi itu berbahaya sekali ngger” desis Ki Pandi.

“Bukankah kita perlu mengetahui gambaran kekuatan mereka?” desis Mangagada.

“Tetapi tentu tidak dengan cara itu” sahut Ki Pandi.

“Jadi, apa yang sebaiknya kita lakukan?”

“Kita akan menyiapkan kemampuan yang ada pada kita setinggi-tingginya. Untuk sementara hanya itu yang dapat kita lakukan” jawab Ki Pandi.

Manggada mengangguk-angguk. Demikian pula Laksana. Namun tiba-tiba saja Manggada berkata, “Aku ingin membangunkan orang-orang padukuhan ini dengan cara yang lain. Kami berdua akan mengelilingi padukuhan ini berkuda. Aku akan mengajak Sampurna, anak Ki Jagabaya”

“Untuk apa?”bertanya Ki Kertasana.

“Untuk membesarkan hati orang-orang padukuhan ini” jawab Manggada.

“Jika kalian bertemu dengan Wira Sabet atau orang-orangnya yang tersinggung atas perbuatan kalian?” bertanya Ki Kertasana.

“Apa boleh buat” jawab Manggada “Kekerasan nampaknya tidak dapat dihindari. Seandainya akan menjadi api yang menyulut pertempuran, bukankah kita sudah siap meskipun kita belum mengetahui dengan pasti besarnya kekuatan mereka?”

Ki Kertasana menarik nafas dalam-dalam. Sementara Manggada berkata, “Tetapi jika benturan kekerasan itu memang harus terjadi, biarlah terjadi. Keadaan padukuhan ini harus segera berubah.”

Orang-orang tua yang mendengar ketetapan hati Manggada itu hanya menarik nafas panjang. Anak semuda Manggada biasanya memang ingin memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapinya dengan cepat. Apalagi setelah cara lain yang lebih lunak sudah ditempuh dan tidak berhasil.

Karena itu, maka Ki Kertasana itupun hanya berpesan, “Tetapi berhati-hatilah. Kita menghadapi bukan saja orang-orang yang mendendam, tetapi juga orang-orang yang tamak seperti Ki Sapa Aruh yang memanfaatkan keadaan dan mem-peralat Wira Sabet dan Sura Gentong untuk kepentingannya sendiri”

“Baik ayah...” jawab Manggada, sementara Laksana berkata “Semakin lama keadaan ini berlangsung, maka orang-orang padukuhan ini akan menjadi semakin ketakutan dan bahkan tidak berani membuka pintu rumahnya, sehingga jika lumbung padi mereka sudah kosong, maka mereka akan dapat menjadi-kelaparan. Bahkan meskipun padi disawah menguning, tidak seorangpun yang akan berani memetiknya jika Wira Sabet dan Sura Gentong berdiri di tengah-tengah bulak itu”

“Ya. Kemungkinan itu dapat terjadi” desis Ki Kertasana.

Dengan demikian maka Manggada dan Laksanapun telah minta ijin untuk mempergunakan kuda yang ada di kandang. Mereka akan mempergunakannya untuk mencoba membangkitkan keberanian orang-orang padukuhan yang dicengkam oleh ketakutan itu.

Di sore hari, ketika Ki Pandi, Manggada dan Laksana duduk di serambi gandok, maka merekapun terkejut melihat pintu regol yang tidak diselarak itu terbuka. Serentak mereka bangkit berdiri. Namun merekapun menarik nafas dalam-dalam ketika mereka melihat Ki Jagabayalah yang memasuki regol halaman itu.

“Marilah Ki Jagabaya!“ Manggada mempersilahkan. Sejenak kemudian, Ki Jagabaya itupun sudah duduk di pringgitan bersama Ki Kertasana, Ki Citrabawa, Ki Pandi, Manggada dan Laksana.

Dengan kecewa Ki Jagabaya menceriterakan sikap Ki Bekel yang masih tetap ragu-ragu. Dengan nada rendah Ki Jagabaya berkata, “Ki Bekel tidak dapat berbuat banyak. Ia selalu dibayangi oleh keselamatan keluarganya. Ia mempunyai tujuh orang anak. Sebagian masih kecil-kecil. Di antara mereka belum ada yang dapat membantu ayahnya jika keadaan menjadi semakin buruk.”

“Apakah Ki Bekel itu lebih muda dari Ki Jagabaya?” bertanya Ki Pandi.

“Ya. Terpaut agak banyak. Aku sudah menjabat sebagai Jagabaya ketika padukuhan ini dijabat oleh ayah Ki Bekel yang sekarang.” suara Ki Jagabaya itu merendah “Tetapi Ki Bekel yang dahulu memiliki keberanian jauh lebih besar dari Ki Bekel yang sekarang. Namun agaknya aku dapat mengerti, jika Wira Sabet dan Sura Gentong itu datang ke rumah Ki Bekel, maka anak-anaknya tentu akan mengalami nasib buruk, seandainya Ki Bekel itu sendiri melawan.”

Ki Kertasana pun kemudian menyahut “Jika demikian, maka kita harus menghadapinya tanpa Ki Bekel. Tetapi jika harus terjadi demikian, maka apaboleh buat”

“Terima kasih Ki Kertasana dan seluruh keluarga disini yang telah dengan suka-rela membantu kami yang masih berusaha untuk menegakkan harga diri padukuhan ini”

“Bagi kami, apa yang kami lakukan itu merupakan bagian dari kewajiban kami sebagai penghuni padukuhan Gemawang, karena kami merasa ikut memiliki sehingga kami pun harus ikut mempertahankannya dari laku yang menyimpang”

Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Sementara Manggada mengatakan rencananya untuk berusaha membangkitkan sedikit keberanian orang-orang padukuhan itu. “Baiklah. Aku akan mengatakannya kepada Sampurna. Agaknya ia tidak akan berkeberatan." Demikianlah, setelah mendapat hidangan minuman dan makanan, maka Ki Jagabayapun segera minta diri.

Seperti yang direncanakan di keesokan harinya, maka Manggada dan Laksana sucah siap dengan kuda mereka. Sejenak kemudian keduanya telah berderap menyusuri jalan padukuhan. Mula-mula keduanya pergi ke rumah Ki Jagabaya. Kemudian bersama Sampurna yang ternyata sependapat dengan Manggada dan Laksana telah mengelilingi padukuhan mereka.

Derap kaki-kaki kuda itu memang menarik perhatian. Orang yang tergesa-gesa berjalan di jalan padukuhan untuk satu keperluan yang mendesak terkejut melihat ketiga orang anak muda itu. Yang langsung mereka kenali adalah Sampurna. Namun kemudian juga Manggada. Seorang laki-laki yang bertubuh kuat kekar memandang ketiganya dengan penuh keheranan.

“Angger bertiga, apa kalian menyadari, bahwa yang kalian lakukan itu dapat mengundang kesulitan?” bertanya laki-laki itu.

“Kenapa?” bertanya Sampurna.

“Wira Sabet dan bahkan Sura Gentong sering datang ke padukuhan ini”

“Apa salahanya? Bukankah kami berada dipadukuhan kami sendiri? Sebagaimana paman juga berada di padukuhan paman sendiri?” jawab Sampurna.

Orang itu mengerutkan dahinya. Katanya, “Meskipun demikian, tetapi bukankah kalian tahu bahwa suasana padukuhan ini baru panas?”

“Maksud paman?” bertanya Sampurna.

“Ah, seperti orang asing saja kau ngger.” sahut orang itu.

“Maksud paman, padukuhan kita sedang dalam keadaan ketakutan karena Wira Sabet dan Sura Gentong?” bertanya Sampurna pula.

“Ya, ngger. Jika angger bertiga bertemu dengan mereka, maka kemungkinan buruk dapat terjadi atas engger bertiga.”

“Itulah yang ingin kami tunjukkan kepada paman dan kepada seisi padukuhan ini. Kami tidak takut, paman. Kenapa harus takut kepada paman Wira Sabet dan Sura Gentong? Mereka dahulu juga penghuni padukuhan ini. Bukankah kita sudah saling mengenal?”

“Kau tiba-tiba menjadi aneh, ngger. Setiap orang menjadi ketakutan dan bersembunyi jika kedua orang itu atau salah seorang daripadanya lewat di padukuhan ini”

“Paman. Sekali lagi kami ingin mengatakan kepada semua orang. Kita tidak perlu takut. Aku tidak takut. Manggada dan Laksana ini juga tidak takut. Dan semua orang seharusnya tidak takut menghadapi mereka. Seandainya kedua orang itu ingin berbuat sesuatu yang tidak semestinya di padukuhan iini, maka kita bersama-sama akan bangkit dan mengusir mereka sebagaimana pernah kita lakukan beberapa tahun yang silam.”

“Angger. Jangan pura-pura tidak tahu. Keduanya bukan Wira Sabet dan Sura Gentong beberapa tahun yang silam. Mereka sekarang adalah dua orang yang berilmu tinggi. Mereka datang bersama saudara-saudara seperguruan mereka dan bahkan bersama Ki Sapa Aruh yang ditakuti oleh banyak orang”

Tetapi Sampurna tertawa. Katanya “Satu mimpi buruk paman. Bangunlah. Kita akan melihat satu kenyataan bahwa keduanya akan lari terbirit-birit melihat seisi padukuhan ini bangkit, berkumpul dan dengan berani menentangnya. Tetapi jika kita, penghuni padukuhan ini menjadi ketakutan, maka keduanya akan memasuki padukuhan ini dengan dada tengadah, menakut-nakuti kita dan akhirnya menggilas kita semuanya. Kita kemudian harus tunduk dibawah telapak kakinya dan melakukan segala perintahnya meskipun bertentangan dengan nurani kita sendiri.”

Orang bertubuh kuat dan kekar itu termangu-mangu. Rasa-rasanya ia berada di dalam satu dunia yang asing. Sikap ketiga orang anak muda itu aneh. “Ada yang tidak wajar” desis orang itu “Ketidak wajaran itu ada pada kalian bertiga atau ada padaku. Tetapi rasa-rasanya aku tersuruk ke dalam satu keadaan yang membingungkan”

“Kenapa?” Sampurna masih saja tertawa. Bahkan kemudian Manggada dan Laksanapun tertawa pula melihat orang itu kebingungan. Dengan nada tinggi Manggada berkata, “Paman nampak bingung justru karena paman telah terbius oleh dongeng yang tersebar selama ini, bahwa Wira Sabet dan Sura Gentong adalah dua orang yang menakutkan. Tetapi jika paman tidak menjadi ketakutan, maka paman tidak usah bingung. Kita bersama-sama akan mengusir mereka. Bahkan bersama saudara-saudara seperguruannya dan sekaligus Ki Sapa Aruh.”

“Ini aneh. Aneh sekali bahwa anak-anak muda berani mengatakan hal seperti itu”

“Bukan hal yang aneh paman. Justru inilah satu kewajaran sikap orang-orang yang berniat untuk melindungi padukuhannya.” berkata Sampurna. Lalu katanya pula “Nah, terserah kepada paman. Tetapi menilik ujud tubuh paman yang kuat dan kekar itu, maka Wira Sabet dan Sura Gentong tentu akan berpikir dua kali untuk melawan paman."

Orang itu benar-benar menjadi bingung. Biasanya ia melihat orang-orang menjadi ketakutan jika mereka mendengar nama Wira Sabet dan Sura Gentong. Bahkan orang-orang akan segera masuk regol halaman dan hilang dibalik pintu rumahnya. Jika mereka tidak sempat mencapai rumah mereka, maka merekapun akan segera memasuki rumah tetangga-tetangganya untuk menyembunyikan diri.

Tetapi kali ini ia bertemu dengan anak-anak muda yang menyebut nama Wira Sabet dan Sura Gentong sambil tertawa. Seperti mereka menyebut Ki Jagabaya dan Ki Bekel. Orang yang bertubuh kuat dan kekar itu bergumam, “Sampurna itu adalah anak Ki Jagabaya.”

Sementara itu Sampurna, Manggada dan Laksana telah menjelajahi padukuhan Gemawang. Mereka bertemu dengan orang-orang yang menjadi keheranan seperti orang bertubuh kuat dan kekar itu. Bahkan anak-anak muda sebaya merekapun merasa heran melihat sikap itu. Sikap yang tidak sama seperti sikap orang-orang padukuhan itu pada umumnya.

Namun hari itu Sampurna, Manggada dan Laksana telah mulai menggelitik jantung orang-orang padukuhan itu. Mereka memang heran. Tetapi sikap ketiga anak muda itu mulai mereka renungkan. Tetapi sebagian besar dari orang-orang padukuhan itu justru menjadi cemas bahwa anak-anak muda itu akan mengalami kesulitan.

Tetapi hari itu, Wira Sabet dan Sura Gentong tidak memasuki padukuhan. Karena itu, maka Sampurna, Manggada dan Laksana dapat mengelilingi padukuhannya tanpa terganggu sama sekali.

Meskipun demikian tingkah laku ketiga orang anak muda itu tidak lepas dari pengawasan orang-orang Wira Sabet dan Sura Gentong. Ternyata ada dua orang pengikut mereka yang melihat ketiga orang anak muda berkuda mengelilingi padukuhan tanpa rasa takut sama sekali.

Ketika hal itu mereka laporkan kepada Wira Sabet dan Sura Gentong, maka Sura Gentong pun membentak dengan kasar, “Siapakah mereka itu?”

“Kami belum tahu!” jawab pengikutnya.

Pideksa yang juga mendengar laporan itu berkata di dalam hatinya “Tentu Manggada dan adik sepupunya itu. Tetapi siapa yang seorang lagi?”

Namun Pideksa sama sekali tidak menyebut nama mereka di hadapan pamannya yang garang sekali itu. Wira Sabet pun menggeram. Tetapi gejolak di dadanya berbeda dengan gejolak kemarahan Sura Gentong. Wira Sabet menjadi sangat kecewa terhadap sikap anak-anak muda itu. ia sudah memperingatkan bahwa sebaiknya mereka tidak melibatkan dirinya dalam persoalan yang menyangkut dendam mereka kepada bebahu padukuhan itu.

“Mereka memang keras kepala.” berkata Wira Sabet di dalam hatinya. Seperti Pideksa iapun segera menduga bahwa anak-anak muda itu tentu Manggada dan Laksana. Tetapi iapun bertanya, “Siapakah yang seorang lagi?”

Dalam pada itu, Sura Gentong pun berkata lantang kepada pengikutnya “Besok kalian harus mengetahui siapakah ketiga orang anak muda itu”

Pengikut Sura Gentong itu mengangguk sambil menjawab “Baik. Besok aku tentu mengetahui siapakah mereka itu”

Demikianlah, dihari berikutnya Sampurna, Manggada dan Laksana mengulangi sebagaimana dilakukan sehari sebelumnya. Bertiga mereka mengelilingi padukuhan. Bahkan mereka telah memasuki regol-regol halaman rumah kawan-kawan mereka untuk menyatakan sikap mereka.

Tetapi orang-orang padukuhan itu masih saja menganggap kelakuan ketiga anak muda itu sebagai sesuatu yang aneh, yang tidak masuk akal dan bahkan rasa-rasanya tidak dapat terjadi. Namun yang mereka cemaskan bahwa tingkah laku anak-anak muda itu akan menimbulkan kesulitan bagi padukuhan mereka, ternyata memang terjadi.

Ketika matahari sedikit melewati puncak langit, maka seorang laki-laki yang masih terhitung muda, berjalan terhuyung-huyung memasuki regol padukuhan. Pakaiannya bukan saja basah oleh keringat, tetapi juga oleh darah. Demikian orang itu sempat berpegangan pada tiang regol padukuhan, maka iapun berteriak dengan sisa kekuatannya,

“Tolong, tolong....”

Suaranya melengking menggetarkan udara padukuhan Gemawang. Beberapa orang yang tinggal tidak jauh dari regol itu memang mendengar teriakan itu. Tetapi mereka merasa ragu-ragu untuk keluar dari halaman rumah mereka.

Namun ketika orang itu berteriak sekali lagi, maka satu dua orang mulai keluar dari rumahnya. Dengan ragu-ragu mereka mengintip dari balik pintu regol halaman. Baru ketika mereka yakin tidak melihat sesuatu, maka mereka perlahan-lahan dan berhati-hati keluar dan turun ke jalan.

Demikian mereka melihat seseorang berdiri berpegangan tiang regol padukuhan, maka tiga orang laki-laki segera berlari mendekatinya. Dengan cepat mereka menangkap orang yang hampir roboh karena kekuatannya seakan-akan telah terkuras sebagaimana darahnya yang mengalir dari tubuhnya.

Dengan cepat ketiga orang laki-laki itu telah membawa orang yang terluka itu ke rumah yang terletak di ujung padukuhan. Sementara itu beberapa orang yang lain yang datang kemudian, telah mengikuti mereka memasuki halaman rumah itu pula.

“Apa yang telah terjadi?” mereka pun telah saling bertanya.

Tidak seorangpun yang segera dapat menjawab, sementara orang yang terluka itupun masih sulit untuk dapat diajak berbicara. Baru kemudian, setelah agak menjadi tenang, serta setelah minum beberapa teguk, ia berceritera dengan kata-kata yang sendat tentang apa yang telah terjadi atas dirinya.

“Tiga laki-laki itu mencari tiga orang berkuda.” berkata orang itu.

“Ketiga anak-anak muda itu?” desis seseorang.

“Ya” jawab orang yang terluka itu.

“Apa yang kau katakan?” bertanya salah seorang yang menolongnya.

“Aku tidak dapat berbohong. Mereka mencekikku. Memukulku dan melukai tubuhku dengan pisau” jawab orang itu “Aku terpaksa mengatakan bahwa mereka adalah Sampurna, anak Ki Jagabaya, Manggada, anak Ki Kertasana dan sepupunya Laksana”

Ketiga orang yang menolongnya itu saling berpandangan. Seorang di antara mereka berkata “Aku sudah memperingatkan ketiga orang anak muda itu. Sebaiknya beritahukan mereka, agar mereka tidak melakukannya lagi, karena mereka benar-benar telah dicari”

“Kenapa tidak dibiarkan saja? Biar mereka menjadi jera dan kesombongan mereka sendiri” jawab yang seorang.

“Jangan...” berkata yang lain lagi “Sebaiknya seseorang datang kepada mereka dan memberitahukan kepada mereka, apa yang telah terjadi. Jika mereka sudah melihat sendiri, maka mereka tentu akan memikirkan kembali tingkah laku mereka”

Yang lain ternyata sependapat. Karena itu, maka salah seorang dari ketiga orang itu telah memberitahukan kepada orang-orang yang ada di halaman, agar salah seorang dari mereka menemui Sampurna, anak Ki Jagabaya. Sementara yang lain diminta untuk mengamati keadaan.

“Mungkin pengikut Sura Gentong itu datang kemari” desis orang itu. Karena orang itu yakin bahwa ketiga orang yang mencari anak-anak muda yang berkuda mengelilingi padukuhan itu adalah pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong.

Dengan tergesa-gesa, bahkan berlari-lari kecil seseorang telah pergi ke rumah Ki Jagabaya. Demikian ia bertemu dengan Sampurna, maka ia langsung memberitahukan apa yang telah terjadi di ujung jalan induk padukuhan itu.

“Jadi pengikut Sura Gentong telah menyakiti salah seorang penghuni padukuhan ini?” bertanya Sampurna.

“Ya...” berkata orang itu. “Ia sekarang masih dirawat.”

“Aku akan segera datang.” berkata Sampurna. Namun Ki Jagabayapun berkata, “Aku juga” Lalu katanya kepada orang yang memberitahukan itu “Pergilah dahulu. Nanti kami segera menyusul.”

Orang itu tidak membantah. Iapun segera meninggalkan rumah Ki jagabaya. Kembali ia berlari-lari. Jantungnya berdebar-debar kalau saja ia juga bertemu dengan ketiga orang pengikut Sura Gentong itu.

Sejenak kemudian Ki Jagabayapun telah meninggalkan rumahnya bersama Sampurna. Kepada Tantri ia berpesan “Jika terjadi sesuatu, bunyikan isyarat. Kami tentu mendengarnya”

“Ya, ayah...” jawab Tantri.

Sejenak kemudian maka keduanya telah turun ke jalan, Ki Jagabaya hanya berjalan kaki, sementara Sampurna berkuda, karena ia ingin mengajak Manggada dan Laksana. Beberapa saat kemudian, maka orang-orang yang ada di halaman rumah tempat orang yang terluka itu dirawat, telah menyibak. Ki Jagabayalah yang lebih dahulu sampai di rumah itu.

Namun sebelum Ki Jagabaya melangkah masuk ke dalam, maka terdengar derap kaki kuda. Sampurna, Manggada dan Laksana telah sampai pula ke tempat itu. Setelah menambatkan kuda-kuda mereka, maka bersama Ki Jagabaya, mereka telah masuk ke ruang dalam untuk melihat keadaan orang yang telah mengalami kesulitan karena tingkah laku para pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong itu....
Selanjutnya,
Sejuknya Kampung Halaman Bagian 10