Sejuknya Kampung Halaman Bagian 10 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
KETIKA Ki Jagabaya dan ketiga orang anak muda itu berdiri di tepi pembaringan, maka keadaan orang itu sudah menjadi lebih baik. Luka-lukanya sudah dibersihkan dan diobati. Meskipun orang itu kadang-kadang masih menyeringai menahan pedih, tetapi ia sudah dapat lebih lancar berbicara.

“Mereka mencari Sampurna, Manggada dan Laksana“ berkata orang itu “Ketika aku mereka tangkap, maka aku tidak dapat ingkar dan terpaksa mengatakan tentang kalian bertiga.”

Tetapi di luar dugaan, ketiga orang anak muda itu tidak menjadi ketakutan. Bahkan Manggada bertanya dengan wajah yang tegang oleh kemarahan yang bergejolak di dadanya,

“Apakah kira-kira mereka masih di tempat mereka menangkapmu?”

“Apa yang akan kau lakukan?” bertanya orang itu.

“Daripada mereka mencari kami, biarlah kami bertiga mencari mereka.” jawab Manggada.
Orang-orang yang mendengar jawaban itu memang terkejut. Sementara itu Sampurna berkata pula, “Semakin cepat, semakin baik. Keadaan seperti ini tidak boleh terjadi berlarut-larut.”

Namun seorang di antara mereka yang ada di ruangan itu berkata “Tetapi ingat anak-anak muda. Mereka adalah kaki tangan Wira Sabet dan Sura Gentong.”

“Kami tidak peduli. Siapapun yang telah memperlakukan keluarga padukuhan kami dengan kasar dan apalagi melukainya, maka mereka harus dibalas.”

“Tetapi tidak terhadap Wira Sabet dan Sura Gentong” berkata orang yang lain.

Namun jawab Ki Jagabaya juga mengejutkan. “Biarlah hal itu mereka lakukan. Aku justru sependapat. Apalagi aku sebagai Jagabaya disini bertanggung jawab atas keselamatan dan keamanan padukuhan ini.”

Orang-orang itu menjadi heran. Selama ini mereka tidak pernah mendengar seseorang yang berani menentang Wira Sabet dan Sura Gentong. Mereka menjadi keheranan dan terkejut melihat pada hari-hari terakhir tiga orang anak muda yang berkuda berkeliling padukuhan. Dan kini bahkan mereka akan langsung menemui ketiga orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong.

Seorang yang terhitung tua berkata, “Angger. Kita jangan kehilangan akal. Pikirkan keputusan angger untuk mencari orang-orang itu sekali lagi. Ki Jagabaya yang terpancang pada tugasnya itu kurang memperhatikan perkembangan Wira Sabet dan Sura Gentong, Ia bukan Wira Sabet dan Sura Gentong yang ketakutan, dan melarikan diri melihat orang-orang padukuhan ini datang dengan senjata seadanya. Tetapi ia sekarang adalah murid sebuah perguruan dan sudah memiliki ilmu yang tinggi. Apalagi ia datang bersama beberapa orang seperguruannya dan bahkan telah bekerja bersama dengan Ki Sapa Aruh.”

Tetapi jawab Ki Jagabaya, “Siapa yang mengatakan bahwa Wira Sabet dan Sura Gentong berilmu tinggi? Mereka sendirilah yang mengatakan kepada orang yang sempat ditemuinya untuk menakuti orang-orang padukuhan ini.”

Orang-orang yang ada di rumah itu menjadi semakin bingung. Sementara Ki Jagabaya berkata kepada Sampurna dan kedua kawannya, “Lihat, apakah ketiga orang itu masih ada disana...?”

Sampurna tidak menunggu lebih lama lagi. Bersama Manggada dan Laksana merekapun segera keluar dari rumah itu dan dalam sekejap, kuda-kuda mereka telah berderap menuju ke tempat yang ditunjukkan oleh orang yang terluka itu.

Sepeninggal ketiga orang anak muda itu, beberapa orang masih berusaha memperingatkan Ki Jagabaya. Namun Ki Jagabaya justru berkata, ”Jangan harapkan aku akan menyerah kepada mereka. Satu pemberitahuan yang pantas kalian dengar, bahwa Wira Sabet, Sura Gentong dan Ki Sapa Aruh berniat untuk merampas padukuhan ini dan menguasainya. Aku akan berjuang mati-matian sekedar untuk mempertahankan jabatanku, tetapi justru karena aku tahu apa yang akan terjadi jika mereka menguasai padukuhan ini. Ki Demang Kalegen tentu akan berada dibawah pengaruh Ki Sapa Aruh, Wira Sabet dan Sura Gentong. Karena itu, sebelum hal itu terjadi, maka aku akan berusaha mencegahnya dengan mengorbankan apa saja yang aku punya jika perlu."

Orang-orang yang mendengar tekad Ki Jagabaya itu menarik nafas dalam-dalam. Mereka sadari, bahwa Ki Jagabaya memang benar justru karena ia mengemban tugas. Sikap itu pantas mendapat dukungan dari setiap orang. Tetapi mereka tidak mempunyai keberanian untuk melakukannya. Karena itu, maka orang-orang yang ada di rumah itu hanya terdiam saja.

Beberapa saat kemudian, maka Ki Jagabaya itupun minta diri. Ia akan pulang dan kepada orang-orang yang ada di rumah itu ia berkata, “Ingat. Aku tidak akan pernah menyerah kepada Wira Sabet dan Sura Gentong.”

Orang-orang yang mendengar pernyataan itu hanya berdiam diri saja. Namun sepeninggal Ki Jagabaya, beberapa orang mulai berbincang. Mereka mulai menilai sikap Ki Jagabaya yang berani itu. Namun seorang di antara mereka berkata, “Ki Jagabaya nampaknya memang seorang bebahu padukuhan yang baik. Tetapi sikap Ki Jagabaya dan anaknya serta kedua kawannya itu dapat berakibat sangat buruk bagi kami. Mungkin Ki Jagabaya sendiri mampu melindungi dirinya sendiri. Tetapi apa yang dapat kami lakukan terhadap para pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong? Mereka hari ini melukai seorang warga padukuhan ini. Besok lagi, besok lagi dan bahkan mungkin mereka mulai membunuh.”

“Kita minta pertanggung-jawaban Ki Jagabaya“ sahut yang lain.

“Yang dapat dilakukan oleh Ki Jagabaya memang sangat terbatas. Mungkin ia sendiri akan mengalami kesulitan untuk melindungi dirinya dan keluarganya jika Wira Sabet dan Sura Gentong benar-benar mulai bertindak kasar” berkata yang lain lagi.

Seorang yang bermata dalam tiba-tiba saja berkata, “Kita akan minta kepada Ki Jagabaya untuk menghentikan perlawanannya.”

Ternyata pendapat itu mendapat dukungan beberapa orang. Seorang yang bertubuh tinggi berkata “Aku setuju. Ki Jagabaya harus menghentikan perlawanannya.”

Namun mereka tidak berani berbincang terlalu lama. Jika para pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong melihat mereka berkumpul, maka mungkin akan dapat terjadi salah paham yang dapat berakibat buruk bagi mereka.

Karena itu maka merekapun segera meninggalkan halaman rumah itu. Bahkan orang yang terluka itupun telah minta diri pula, karena menurut pendapatnya, ia sudah dapat berjalan sampai ke rumahnya.

Tetapi salah seorang laki-laki yang menolongnya berkata “Marilah. Aku antar kau sampai ke rumah.”

Dalam pada itu, maka Sampurná, Manggada dan Laksana telah sampai ke bulak persawahan. Orang yang disakiti itu mengatakan bahwa di tempat itu mereka bertemu dengan tiga orang yang menanyakan tentang tiga orang anak muda yang sering berkuda mengelilingi padukuhan Gemawang. Namun mereka sudah tidak menjumpai seorangpun.

“Iblis itu tentu sudah kembali ke sarangnya.” geram Sampurna menahan marah.

“Besok kita akan menemui mereka.” sahut Manggada.

“Mudah-mudahan mereka benar-benar mencari kita.” berkata Laksana pula.

Sampurna menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia bertanya “Lalu, apa yang akan kita lakukan sekarang?”

“Tidak ada” jawab Manggada “Kita kembali ke padukuhan. Kita katakan kepada orang-orang yang ketakutan itu, bahwa mereka tidak perlu takut menghadapi Wira Sabet dan Sura Gentong. Bahkan Ki Sapa Aruh.”

Demikianlah, maka mereka bertiga telah berderap kembali memasuki padukuhan. Tetapi rumah tempat orang yáng terluka itu mendapat pertolongan sementará, ternyata sudah menjadi sepi. Demikianlah, ketiga orang anak muda itupun langsung menuju ke rumah Ki Jagabaya.

Tetapi ketiga anak muda itu terkejut ketika mereka melihat dua orang yang sedang berbincang dengan Ki Jagabaya di serambi. Agaknya pembicaraan mereka tidak menemukan titik temu, sehingga nampaknya sedang terjadi perselisihan di antara mereka dengan Ki Jagabaya.

Ketika ketiga orang anak muda itu ikut duduk di serambi, maka mereka segera mengetahui bahwa orang itu telah minta kepada Ki Jagabaya untuk tidak melakukan perlawanan terhadap Wira Sabet dan Sura Gentong. Orang yang datang itu adalah orang yang bermata dalam yang ada pula di antara orang-orang yang mengerumuni orang yang dilukai oleh pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong itu.

“Ki Jagabaya...” berkata orang bermata dalam itu tanpa menghiraukan ketiga orang anak muda yang ikut duduk di serambi itu “Ki Jagabaya jangan terpancang pada kedudukan Ki Jagabaya. Mungkin Ki Jagabaya benar. Tetapi sama sekali tidak berperhitungan. Nah, sekarang korban telah mulai jatuh. Untung orang itu tidak dibunuh oleh pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong”

Pembicaraan mereka ternyata terputus ketika mereka mendengar pintu sekeeng diketuk orang. Selagi mereka bertanya-tanya siapa lagi yang telah datang, maka terdengar suara seseorang memanggil, Namun yang dipanggil adalah justru nama Tantri.

Ki Jagabaya itupun segera mengetahui bahwa yang datang adalah Wisesa. Dengan kesal Sampurna bangkit dan melangkah menuju ke pintu. Sebenarnyalah bahwa yang berdiri di belakang pintu adalah Wisesa.

“Marilah“ Sampurna mempersilahkan.

Setelah menutup dan menyelarak pintu, maka Sampurna telah mengajak Wisesa untuk duduk pula di serambi itu. Dalam pada itu, Ki Jagabaya yang tidak menghiraukan kehadiran Wisesa itupun kemudian berkata kepada orang yang bermata dalam itu,

“Dengar jawabanku sekali lagi. Aku tidak akan pernah tunduk kepada tekanan Wira Sabet dan Sura Gentong. Aku berharap orang-orang padukuhan ini bersedia bersamaku menentang mereka. Tetapi jika kalian tidak berani, maka jangan menghambat usaha kami”

“Kami tidak mungkin tinggal diam. Ki Jagabaya, karena yang akan mengalami bencana adalah kami, orang-orang sepadukuhan” jawab orang itu.

“Nah, kau tahu kenapa demikian?” bertanya Ki Jagabaya.

Orang itu tidak segera menjawab.

“Dengar...” berkata Ki Jagabaya “Karena mereka sebenarnya adalah penakut. Mereka sama sekali tidak berani berbuat apa-apa kepadaku. Kepada anakku dan kepada anak-anak muda ini. Aku dan anak-anak ini tidak mempunyai kelebihan apa-apa dari kalian. Tetapi karena kami berani menentang mereka, maka kami tidak menjadi sasaran usaha mereka menakut-nakuti orang-orang padukuhan ini”

“Tidak benar.” berkata orang itu “Kami tahu Ki Jagabaya mempunyai kelebihan. Anak laki-laki Ki Jagabaya itu tentu juga merasa mempunyai kelebihan. Entahlah dengan anak dan kemanakan Ki Kertasana itu”

“Jadi kalian menganggap bahwa aku mempunyai kelebihan dari kalian?” bertanya Ki Jagabaya.

“Ya” jawab orang itu.

“Jika demikian, yakinlah bahwa aku dan anak-anak muda ini berusaha untuk melindungi kalian” berkata Ki Jagabaya.

“Tetapi itu tidak mungkin Ki Jagabaya” berkata orang itu “Wira Sabet dan Sura Gentong serta beberapa orang saudara seperguruannya adalah orang-orang linuwih.

“Omong kosong...” bentak Ki Jagabaya yang menjadi marah “Mereka tidak berani datang kepadaku. Mereka tentu tahu, jika mereka mematahkan perlawananku, maka mereka tidak akan menemui perlawanan lagi disini. Tetapi mereka tidak berani datang”

“Mereka menunggu satu kesempatan yang baik” berkata orang yang bermata dalam itu.

“Aku tidak peduli....” jawab Ki Jagabaya.

“Tetapi kami minta dengan sangat Ki Jagabaya untuk tidak meneruskan perlawanan. Atas nama semua orang di padukuhan ini”

“Tidak...” jawab Ki Jagabaya yang menjadi semakin marah “Jika aku tidak mau, kalian mau apa? Kalian akan menentang aku? Lakukan. Aku akan memperlakukan kalian sebagaimana Wira Sabet dan Sura Gentong melakukan. Kau kira aku tidak dapat melakukan? Kau kira aku tidak dapat menyakiti dan bahkan membunuh orang yang menentang aku? Aku tidak takut seandainya kalian semuanya berpihak Wira Sabet dan Sura Gentong menentang aku. Aku tidak takut seandainya kalian semua ingin mengangkat Wira Sabet dan Sura Gentong menjadi Kami Tuwa dan Jagabaya di padukuhan Gemawang serta mengangkat Ki Sapa Aruh menjadi bekel”

Orang bermata dalam itu mengerutkan dahinya, sehingga matanya menjadi semakin dalam. Di luar sadarnya ia berkata “Tentu kami tidak menghendakinya, Ki Jagabaya”

“Nah, sekarang kalian dapat memilih. Wira Sabet dan Sura Gentong atau aku” geram Ki Jagabaya.

Orang bermata dalam itu memang menjadi bingung. Ia sadar, bahwa Ki Jagabaya adalah seorang yang berilmu. Merekapun menduga bahwa anak laki-lakinya juga berilmu. Karena itu, maka Ki Jagabaya akan dapat memperlakukan para penghuni padukuhan ini sebagaimana dilakukan oleh Wira Sabet dan Sura Gentong. Menyakiti dan bahkan membunuh orang yang tidak mendukungnya.

Dengan demikian maka orang-orang padukuhan itu akan terjepit di antara dua kekuatan yang tidak terlawan. Wira Sabet dan Sura Gentong di satu pihak, sedang di pihak yang lain Ki Jagabaya serta anaknya dan tentu dua orang anak muda yang bernama Manggada dan Laksana itu.

Sebelum orang itu menjawab, maka Ki Jagabayapun berkata, “Nah, sekarang pulanglah. Katakan kepada orang-orang Gemawang yang sependapat dengan kau berdua. Katakan, bahwa aku tidak akan pernah mundur. Aku akan menghancurkan siapa saja yang menentang aku. Aku yakin, bahwa aku memiliki kekuatan yang tidak kalah dengan Wira Sabet dan Sura Gentong”

Kedua orang itu tidak berani menjawab lagi. Mereka tahu bahwa Ki Jagabaya benar-benar sudah menjadi marah. Namun tiba-tiba di luar dugaan mereka, maka Wisesa pun berkata seperti orang mengigau saja,

“Aku sependapat dengan orang-orang itu. Ki Jagabaya. Ki Jagabaya memang harus menghentikan perlawanan terhadap Wira Sabet dan Sura Gentong. Tidak ada gunanya. Kami tahu, bahwa Ki Jagabaya memiliki kemampuan. Tetapi kemampuan Ki Jagabaya sangat terbatas. Mungkin Ki Jagabaya hanya dapat melindungi diri Ki Jagabaya saja. Tetapi bagaimana dengan orang-orang padukuhan ini atau bahkan keluarga Ki Jagabaya sendiri. Ki Jagabaya mempunyai anak dan isteri”

Wajah Ki Jagabaya menjadi merah. Tetapi Ki Jagabaya masih menanam kemarahannya. Dengan suara yang bergetar, Ki Jagabaya itupun bertanya, “Jadi, kau setuju jika Sura Gentong mengambil Tantri untuk menjadi isterinya?”

“Tidak. Tentu tidak” jawab Wisesa terbata-bata.

“Lalu apa yang dapat kau lakukan untuk mencegahnya? Jika aku menghentikan perlawanan, berarti aku harus menyerahkan segala-galanya. Kedudukan. Bukan saja aku sendiri, tetapi semua bebahu padukuhan ini. Kemudian anak perempuanku dan aku yakin, bahwa kemudian juga nyawaku”

“Tidak Ki Jagabaya. Kita harus mencari jalan lain” berkata Wisesa.

“Jalan yang mana?” bertanya Ki Jagabaya.

“Aku mempunyai gagasan yang akan dapat memberikan pemecahan atas persoalan ini” jawab Wisesa.

“Gagasan yang besar, yang akan dapat membebaskan kemelut di padukuhan ini sebagaimana pernah kau katakan?” tiba-tiba Laksana memotong.

Manggada menggamitnya. Ia tahu, suasananya sedang panas. Ki Jagabaya akan dapat meledak setiap saat. Namun Manggadapun sangat menyesalkan sikap Wisesa yang ternyata masih saja dungu dan cengeng itu.

Wisesa memandang Laksana dengan sorot mata penuh kebencian. Namun kemudian ia berkata kepada Ki Jagabaya tanpa menghiraukan Laksana lagi, “Ki Jagabaya. Jalan yang terakhir bagi Ki Jagabaya dan keluarga adalah menyingkir dari kademangan Kalegen”

“Menyingkir?” Ki Jagabaya mengulangi.

“Ya” Wisesa mengangkat wajahnya ”Satu gagasan yang paling baik yang dapat diberikan seseorang kepada Ki Jagabaya” jawab Wisesa.

Meskipun demikian, Ki Jagabaya itu sempat juga bertanya “Menyingkir ke mana?”

“Ke Pajang, ke dalam dinding kota...” jawab Wisesa.

“Ke rumah siapa? Mengungsi ke istana? Atau ke kandang gajah milik istana?” bertanya Ki Jagabaya yang hampir kehilangan kesabaran.

“Ke rumah pamanku” jawab Wisesa sambil menengadahkan dadanya “Aku mempunyai seorang paman yang tinggal di Pajang. Ia adalah seorang prajurit dari pasukan Pengawal istana. Ki Jagabaya dan keluarga Ki Jagabaya akan aman di rumah pamanku yang sangat besar itu. Wira Sabet dan Sura Gentong tentu tidak akan berani mengusik Ki Jagabaya, karena Ki Jagabaya tinggal di rumah seorang prajurit pilihan. Sementara itu, Ki Jagabaya tidak lagi perlu menghiraukan padukuhan ini, apakah Ki Sapa Arah akan menjadi Bekel, apakah Wira Sabet dan Sura Gentong akan menjadi bebahu, bukan lagi menjadi tanggung jawab Ki Jagabaya”

Bibir Ki Jagabaya menjadi gemetar menahan marah. Sementara itu Sampurna hampir tidak dapat menahan dirinya, sedangkan Manggada sekali lagi harus menggamit Laksana yang sudah beringsut setapak.

Sambil menahan kemarahan yang hampir meledakkan jantungnya, Ki Jagabaya bertanya, “Jadi menurut gagasan besarmu, sebaiknya aku mengungsi menghindari beban tugasku?”

“Bukan mengungsi Ki Jagabaya. Sebaiknya kita memang mempergunakan istilah menyingkir” jawab Wisesa.

“Baiklah Wisesa” berkata Ki Jagabaya “Daripada, aku harus menyingkir, aku kira lebih baik aku memenuhi saja permintaan Sura Gentong. Selain jabatan bebahu padukuhan ini, Tantri juga akan aku serahkan”

"Tidak” sahut Wisesa dengan serta merta “Tantri tidak boleh jatuh ketangan Sura Gentong”

“Aku akan menyerahkannya. Dengan demikian aku akan aman dan tidak akan terganggu lagi. Aku tidak perlu pergi ke Pajang. Tetapi aku akan tetap tinggal di rumah. Sura Gentong akan menjadi menantuku, sehingga akupun akan menjadi orang yang ditakuti seperti Sura Gentong”

“Tetapi jangan serahkan Tantri. Lebih baik Ki Jagabaya menyingkir”

“Dengar anak cengeng” bentak Ki Jagabaya yang kemarahannya sudah sampai ke ubun-ubun “Aku tidak mempunyai pilihan lain”

“Tetapi tidak untuk menyerahkan Tantri” sahut Wisesa dengan nada tinggi.

“Kecuali jika kau dapat melindungi Tantri dan kami sekeluarga. Maka aku akan bersikap lain”

Wajah Wisesa menjadi pucat. Sementara Ki Jagabaya berkata, “Aku muak dengan gagasan-gagasan yang tidak dapat dilaksanakan seperti gagasan-gagasanmu itu”

Wajah Wisesa menjadi pucat. Ia baru sadar, bahwa Ki Jagabaya benar-benar menjadi sangat marah. Karena itu, maka Wisesa tidak berani lagi mengangkat wajahnya yang kemudian menunduk dalam-dalam.

Sementara itu, Ki Jagabayapun telah berkata pula kepada orang bermata tajam, “Aku ulangi kata-kataku. Aku tidak akan pernah menyerah kepada Wira Sabet dan Sura Gentong. Bahkan aku menantang siapapun yang berani menghalangi aku, akan mengalami nasib yang sangat buruk. Ternyata aku bukan Orang yang lebih beradab dari Wira Sabet dan Sura Gentong.”

Kedua orang itupun tidak berani mengucapkan sepatah kata lagi di hadapan Ki Jagabaya, meskipun sebenarnya mereka tetap menginginkan Ki Jagabaya "mengurungkan perlawanannya dan bahkan gagasan Wisesa itu telah menimbulkan satu sikap baru untuk menghadapi persoalan yang sedang berlangsung di padukuhan itu.

Dalam pada itu, maka Ki Jagabayapun berkata, “Nah, sekarang pergilah. Katakan kepada semua orang padukuhan ini. Siapa yang mencoba menentang aku, akan aku hancurkan sama sekali daripada mereka kelak akan berpihak kepada Wira Sabet dan Sura Gentong”

Kedua orang itupun segera minta diri pula dengan jantung yang berdebaran. Mereka masih saja cemas ketika Sampurna mengantar mereka ke pintu seketeng. Demikian mereka keluar, maka Sampurnapun berkata,

“Nah, aku sudah mendengar sikap ayah. Jangan mencoba menentangnya, agar ayah tidak menjadi semakin marah. Sampai saat ini ayah masih berpikir, berjuang untuk padukuhan Gemawang. Tidak untuk dirinya sendiri. Tetapi jika orang-orang Gemawang ini justru menentangnya, maka ayah akan dapat bersikap lain. Sementara itu kalian harus menyadari, tidak seorangpun di padukuhan ini yang mampu melawan ayah dan tentu juga aku dan kedua orang sahabatku itu. Manggada dan Laksana. Ingat kata-kata ayah, bahwa ternyata ayah bukan orang yang lebih beradab dari Wira Sabet dan Sura Gentong. Maksud ayah tentu, apabila orang lain memulainya”

Kedua orang itu tidak menjawab. Baru kemudian setelah mereka keluar dari regol halaman rumah Ki Jagabaya, orang yang bermata tajam itu berkata “Kedudukan kita justru menjadi semakin rumit. Dua kekuatan yang tidak dapat kami lawan telah menghimpit kita. Sehingga kita akan dapat mati terjepit ditengahnya”

“Apakah kita harus berpihak?” bertanya kawannya.

“Berpihak kepada siapa?” bertanya orang bermata dalam.

“Kita harus memperhitungkan, kekuatan siapakah yang lebih besar. Wira Sabet dan Sura Gentong yang dibantu oleh Ki Sapa Aruh, atau Ki Jagabaya”

“Kekuatan Ki Jagabaya tidak seberapa dibanding dengan kekuatan Wira Sabet dan Sura Gentong...”

“Tentu masih lebih besar kekuatan Wira Sabet dan Sura Gentong” jawab kawannya.

“Jadi menurut pendapatmu, kita akan berpihak kepada Wira Sabet dan Sura Gentong?” bertanya orang bermata tajam itu.

“Bukankah itu lebih aman? Kesempatan kita untuk selamat jauh lebih besar” jawab kawannya.

“Tetapi apakah dengan demikian kita tidak berkhianat terhadap Ki Jagabaya?” orang bermata tajam itu masih bertanya lagi.

“Kita sudah mencoba untuk memperingatkannya. Tetapi Ki Jagabaya tidak mendengarkan peringatan kami. Karena itu, maka kita tentu tidak akan bersalah, jika kita mengambil sikap lain...”

Tetapi orang bermata tajam itu masih nampak ragu-ragu. Katanya “Kita bicarakan dengan kawan-kawan kita yang lain malam nanti. Kita akan mengumpulkan mereka dan kita akan mengambil keputusan. Bukankah Wira Sabet dan Sura Gentong selama ini tidak pernah datang ke padukuhan malam hari?”

“Tetapi itu sangat berbahaya jika ada satu dua orang pengikut mereka yang melihat. Mereka tidak tahu apa yang kami lakukan, sehingga akan dapat menimbulkan salah paham” sahut kawannya Orang bermata tajam itu mengangguk-angguk. lapun menyadari, bahwa para pengikut Wiia Sabet dan Sura Gentong dapat saja mengawasi padukuhan itu di luar pengetahuan mereka.

Karena itu, maka niat untuk bertemu dengan orang-orang padukuhan itupun dibatalkannya. Orang bermata tajam itupun kemudian berkata “Kita akan bertemu dan berbicara seorang demi seorang untuk menghindari salah paham.

“Ya. Baru kemudian jika persoalannya sudah jelas kita akan menyatakan sikap. Jika perlu kita akan menemui pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong...”

Tetapi orang bermata dalam itu masih saja ragu-ragu. Katanya “Kita akan melihat perkembangan keadaan.”

Kawannya tidak menjawab. Namun ia mengusulkan untuk menemui orang yang telah terluka itu.

“Bagaimana pendapatnya tentang sikap Ki Jagabaya itu” berkata kawannya.

Ketika keduanya berjalan menyusuri jalan padukuhan, mereka terkejut mendengar derap kaki kuda. Ternyata Sampurna, Manggada dan Laksana telah melarikan kuda mereka di sepanjang jalan padukuhan itu pula.

Tetapi hari itu ketiga anak muda itu tidak bertemu dengan orang-orang Wira Sabet dan Sura Gentong. Namun hampir setiap orang yang menemui mereka telah memperingatkan, agar mereka tidak melakukan perbuatan yang sangat berbahaya itu.

“Mereka sedang mencari kalian ngger” berkata seorang yang rambutnya sudah ditumbuhi uban.

“Terima kasih atas peringatan paman...” jawab Sampurna “Tetapi persoalannya harus segera diselesaikan”

Orang yang rambut sudah ubanan itu hanya dapat menggelengkan kepalanya saja. Sementara itu, kawan orang yang bermata dalam itu berdesis, “Biarkan saja mereka menyombongkan dirinya. Aku juga berharap bahwa mereka benar-benar akan bertemu dengan orang-orang Wira Sabet dan Sura Gentong yang mencari mereka”

Kawannya yang bermata dalam itu tidak menjawab. Ketika matahari turun semakin rendah, maka ketiga orang anak muda itupun telah pulang ke rumah mereka masing-masing. Namun mereka telah berjanji, di keesokan harinya mereka akan mencari para pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong.

Dalam pada itu, lepas senja, setelah makan malam, Ki Jagabaya masih berbincang dengan isteri dan anak-anaknya. Ki Jagabaya ternyata sangat menyesali sikap orang-orang padukuhan Gemawang. Mereka justru minta agar Ki Jagabaya menghentikan perlawanannya terhadap Wira Sabet dan Sura Gentong.

“Orang-orang itu benar-benar telah menjadi ketakutan” berkata Sampurna.

“Ya. Mereka kehilangan akal. Sementara itu, Wisesa masih saja gila dengan gagasan-gagasannya” desis Ki Jagabaya.

“Hampir saja aku memukul mulutnya.“ gumam Sampurna.

“Pemimpin yang hidupnya tidak berjejak di atas tanah” berkata Ki Jagabaya.

“Tetapi ia tidak rela jika Tantri diserahkan kepada Sura Gentong” berkata Sampurna sambil memandang Tantri.

“Apa?“ bertanya Tantri dengan suara melengking.

“Tidak” jawab Sampurna.

“Apa yang kau katakan tadi?” desak Tantri yang bergeser mendekati kakaknya.

“Tidak. Aku tidak berkata apa-apa...” Sampurna bergeser menjauh sambil tersenyum.

“Kau mentertawakan aku, ya“ Tantri mulai menggapai Sampurna. Tetapi Sampurna bergeser semakin jauh “Tidak. Aku tidak bermaksud mentertawakanmu. Aku justru mentertawakan Wisesa”

“Kau kira aku tidak berani memilin leher anak itu? Sejak kecil ia tidak berani melawan aku” berkata Tantri.

“Tetapi ia rajin berkunjung kemari...” sahut Sampurna.

Tantri tiba-tiba bangkit. Tetapi Sampurna meloncat menjauh sambil berkata “Sudahlah, Tantri. Aku menyerah. ”

“Tidak. Aku belum membalas.” sahut Tantri.

“Sudahlah...” potong Ki Jagabaya “Aku benar-benar sedang prihatin”

“Tetapi ayah harus menghukumnya. Ia yang mula-mula mengganggu aku.” sahut Tantri.

“Duduklah yang baik” berkata Ki Jagabaya.

Keduanyapun segera duduk kembali.. Sementara Ki Jagabaya berkata, “Apa yang dapat kita lakukan jika orang-orang padukuhan ini justru menentang kita?”

“Ayah...” berkata Sampurna kemudian bersungguh-sungguh “Besok, aku, Manggada dan Laksana akan mencari orang-orang Wira Sabet itu. Kami tidak akan berdiam diri justru mereka mencari kami”

“Lalu, apa yang akan kalian lakukan?” bertanya Ki Jagabaya.

Sampurna termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya “Bukankah mereka juga mencari kami?”

Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita menunggu perkembangan keadaan.”

Dalam pada itu, di rumahnya Manggada dan Laksana juga menceriterakan apa yang sudah terjadi. Mereka juga menyesali sikap orang-orang padukuhan Gemawang yang ketakutan, sehingga mereka kehilangan pertimbangan penalaran yang bening.

“Jika keadaan berlarut-larut, maka orang-orang padukuhan ini akan benar-benar kehilangan diri mereka.” desis Ki Citrabawa.

Seperti Sampurna, maka Manggada dan Laksana juga menyatakan, bahwa mereka bukan saja dicari oleh para pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong. Tetapi merekalah yang besok akan mencarinya. Demikianlah, kegelisahan dan ketegangan yang semakin memanas telah mewarnai padukuhan Gemawang. Beberapa orang sempat saling mengunjungi untuk membicarakan sikap Ki Jagabaya.

Pada umumnya orang-orang Gemawang menganggap Ki Jagabaya itu seorang yang keras kepala, sehingga tidak mau melihat kenyataan yang dihadapinya. Bahkan ada yang menganggap bahwa Ki Jagabaya sekedar berjuang untuk mempertahankan kedudukannya.

“Ia sampai hati telah mengorbankan penghuni padukuhan ini.” berkata seorang di antara mereka yang ketakutan.

Namun ketika matahari kemudian terbit di keesokan harinya, orang-orang padukuhan Gemawang telah mendengar derap kaki kuda berlari-lari di jalan-jalan padukuhan. Tiga orang anak muda telah berkeliaran di atas punggung kuda mereka tanpa mengenal takut sama sekali.

Tetapi sikap orang-orang padukuhan itu ternyata telah berubah. Mereka tidak lagi berniat untuk memperingatkan ketiga orang anak muda itu. Bahkan orang-orang Gemawang berharap bahwa ketiga anak muda itu segera menjadi jera, setelah orang-orang Wira Sabet dan Sura Gentong menemukan mereka.

Orang yang telah dipukuli oleh pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong itu berkata kepada seorang tetangganya yang datang mengunjunginya. "Ketiga orang itu tentu akan segera menemukan mereka setelah orang-orang Wira Sabet dan Sura Gentong itu mengetahui siapa mereka itu. Jika ketiga orang anak muda itu sudah mengalami seperti yang aku alami, barulah mereka akan menjadi jera dan tidak akan menyombongkan dirinya lagi.”

Tetangganya mengangguk-angguk sambil bergumam “Apakah karena ayahnya seorang Jagabaya, maka anak itu menjadi demikian sombongnya.”

“Anak itu salah menilai kekuatan ayahnya sekarang ini.” desis orang yang terluka itu.

Namun dalam pada itu, Sampurna, Manggada dan Laksana masih saja menelusuri jalan-jalan padukuhan Gemawang tanpa mengenal takut sama sekali. Namun dalam pada itu, ternyata beberapa orang yang pergi ke sawah telah kembali lagi ke padukuhan. Mereka telah melihat tiga orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong menuju ke padukuhan.

Seorang di antara mereka berjalan bergegas sambil berkata, “Selagi masih ada kesempatan, aku ingin memperingatkan anak-anak muda yang berkeliaran di atas punggung kuda itu.”

Tetapi kawannya berkata, “Untuk apa kita bersusah payah melakukannya? Kita biarkan saja mereka menjadi jera. Tidak kurang dan antara kita yang sudah memperingatkan mereka. Tetapi dengan sombong mereka menolaknya. Bahkan mereka juga sudah tahu bahwa tiga orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong mencari mereka. Tetapi mereka dengan sombong pala justru mencari ketiga orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong itu. Bukankah itu sudah berlebihan?”

Seorang yang lain justru berkata “Aku ingin melihat ketiga orang anak muda yang sombong itu dipukuli babak belur oleh pengikutnya Wira Sabet dan Sura Gentong sebagaimana seorang dari antara kita kemarin.”

“Bagaimana jika mereka bertiga dibunuh oleh para pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong?” bertanya orang yang pertama.

Kawan-kawannya itu terdiam. Nampaknya mereka memang berpikir sambil melangkah cepat-cepat pulang. Tiba-tiba seorang dari antara mereka berkata, “Tidak. Mereka tidak akan dibunuh. Tetapi mereka akan dibuat jera dan bahkan kuda mereka akan dirampas. Itu saja.”

Yang lain mengangguk-angguk. Sementara itu, mereka telah memasuki padukuhan Gemawang. Berlari-lari kecil mereka berjalan di jalan padukuhan menuju ke rumah mereka masing-masing. Namun seorang di antara mereka masih berkata, “Aku ingin melihat anak-anak sombong itu dipukuli.”

Demikianlah, maka sejenak kemudian, orang-orang itu telah hilang di belakang regol halaman mereka masing-masing. Namun sebenarnyalah bahwa ada di antara mereka yang memang ingin melihat Sampurna, Manggada dan Laksana disakiti oleh para pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong, agar mereka menjadi jera. Bahkan dengan demikian Ki Jagabaya akan dapat menjadi sadar.

Ternyata ketiga orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong itu telah memasuki padukuhan Gemawang tanpa mengenal takut. Seorang di antara mereka telah berteriak,

“He orang-orang Gemawang. Kali ini kami tidak akan berbuat apa-apa atas kalian. Jangan takut. Kami hanya akan menangkap ketiga orang anak muda yang sombong itu. Tetapi jika kita tidak berhasil menangkap mereka, maka kami akan mengambil tiga orang yang manapun yang dapat kami tangkap di antara para penghuni padukuhan ini.”

Teriakan-teriakan itu bergema menusuk ke dalam setiap pintu rumah. Orang-orang Gemawang itu menjadi ketakutan. Mereka berharap agar para pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong itu dapat bertemu dengan Sampurna, Manggada dan Laksana.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja terdengar derap kaki kuda. Ternyata Sampurna, Manggada dan Laksana yang menyusuri jalan padukuhan itu tidak mengetahui bahwa tiga orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong berada di padukuhan itu. Tidak ada seorangpun yang telah memberitahukan kepada mereka. Meskipun orang-orang yang berlari-lari kecil menghindari kehadiran ketiga orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong itu ada yang berpapasan dengan ketiga orang anak muda itu. Tetapi mereka tidak memberitahukannya.

Namun orang-orang itu kemudian menjadi kecewa. Bagaimanapun juga mereka merasa ngeri, apa yang akan terjadi dengan ketiga orang anak muda itu apabila mereka benar-benar bertemu dengan orang-orang yang sedang mencari mereka itu. Demikian pula orang-orang yang berada di sebelah-menyebelah jalan padukuhan. Baru saja mereka mendengar teriakan orang-orang yang mereka takuti itu, tiba-tiba merekapun mendengar derap kaki kuda.

“Apa yang akan terjadi dengan anak-anak muda itu?” bertanya orang-orang itu di dalam hati mereka.

Dalam pada itu, ketiga orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong yang juga mendengar derap kaki kuda segera bersiap. Mereka merasa bahwa mereka akan segera dapat melakukan tugas mereka dengan baik.

“Kita akan menangkap mereka dan membawa mereka menghadap Ki Wira Sabet dan Ki Sura Gentong...” berkata salah seorang dari ketiga orang itu.

“Jika mereka melawan, kita benar-benar akan mempergunakan kekerasan.” desis yang lain.

Mereka tidak berbicara lebih jauh. Mereka mulai melihat tiga orang anak muda di punggung kudanya mendekati mereka. Dengan serta merta, maka ketiga orang itupun segera berloncatan ketengah jalan dan memberi isyarat ketiga orang penunggang kuda itu untuk berhenti.

Sampurna yang berkuda di paling depan segera memberi isyarat pula kepada Manggada dan Laksana. Dengan serta merta ketiganya telah menarik kendali kuda mereka sehingga ketiganya telah berhenti sebelah mereka menjadi terlalu dekat dengan ketiga orang itu.

“Tentu. mereka itulah yang kita cari...” desis Sampurna.

Laksana tidak menunggu lebih lama lagi. Ia adalah orang yang pertama meloncat turun dari punggung kudanya. Manggada dan Sampurnapun segera telah meloncat turun pula. Mereka telah mengikat kuda mereka pada batang perdu di pinggir jalan itu. Baru kemudian mereka bertiga melangkah mendekati ketiga orang yang telah menunggu itu.

Ketiga orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong ilu termangu-mangu sejenak. Mereka justru merasa heran. Ketiga orang anak muda itu sama sekali tidak nampak menjadi gentar.

“Mereka memang sombong.” geram salah seorang dari ketiga orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong itu.

Kawannyapun menyahut, “Sebentar lagi mereka akan menjadi jera.”

Sementara itu yang seorang lagi berkata “Kita lumatkan dahulu mereka sebelum kita bawa menghadap Ki Wira Sabet dan Ki Sura Gentong...”
Selanjutnya,
Sejuknya Kampung Halaman Bagian 11

Sejuknya Kampung Halaman Bagian 10

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
KETIKA Ki Jagabaya dan ketiga orang anak muda itu berdiri di tepi pembaringan, maka keadaan orang itu sudah menjadi lebih baik. Luka-lukanya sudah dibersihkan dan diobati. Meskipun orang itu kadang-kadang masih menyeringai menahan pedih, tetapi ia sudah dapat lebih lancar berbicara.

“Mereka mencari Sampurna, Manggada dan Laksana“ berkata orang itu “Ketika aku mereka tangkap, maka aku tidak dapat ingkar dan terpaksa mengatakan tentang kalian bertiga.”

Tetapi di luar dugaan, ketiga orang anak muda itu tidak menjadi ketakutan. Bahkan Manggada bertanya dengan wajah yang tegang oleh kemarahan yang bergejolak di dadanya,

“Apakah kira-kira mereka masih di tempat mereka menangkapmu?”

“Apa yang akan kau lakukan?” bertanya orang itu.

“Daripada mereka mencari kami, biarlah kami bertiga mencari mereka.” jawab Manggada.
Orang-orang yang mendengar jawaban itu memang terkejut. Sementara itu Sampurna berkata pula, “Semakin cepat, semakin baik. Keadaan seperti ini tidak boleh terjadi berlarut-larut.”

Namun seorang di antara mereka yang ada di ruangan itu berkata “Tetapi ingat anak-anak muda. Mereka adalah kaki tangan Wira Sabet dan Sura Gentong.”

“Kami tidak peduli. Siapapun yang telah memperlakukan keluarga padukuhan kami dengan kasar dan apalagi melukainya, maka mereka harus dibalas.”

“Tetapi tidak terhadap Wira Sabet dan Sura Gentong” berkata orang yang lain.

Namun jawab Ki Jagabaya juga mengejutkan. “Biarlah hal itu mereka lakukan. Aku justru sependapat. Apalagi aku sebagai Jagabaya disini bertanggung jawab atas keselamatan dan keamanan padukuhan ini.”

Orang-orang itu menjadi heran. Selama ini mereka tidak pernah mendengar seseorang yang berani menentang Wira Sabet dan Sura Gentong. Mereka menjadi keheranan dan terkejut melihat pada hari-hari terakhir tiga orang anak muda yang berkuda berkeliling padukuhan. Dan kini bahkan mereka akan langsung menemui ketiga orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong.

Seorang yang terhitung tua berkata, “Angger. Kita jangan kehilangan akal. Pikirkan keputusan angger untuk mencari orang-orang itu sekali lagi. Ki Jagabaya yang terpancang pada tugasnya itu kurang memperhatikan perkembangan Wira Sabet dan Sura Gentong, Ia bukan Wira Sabet dan Sura Gentong yang ketakutan, dan melarikan diri melihat orang-orang padukuhan ini datang dengan senjata seadanya. Tetapi ia sekarang adalah murid sebuah perguruan dan sudah memiliki ilmu yang tinggi. Apalagi ia datang bersama beberapa orang seperguruannya dan bahkan telah bekerja bersama dengan Ki Sapa Aruh.”

Tetapi jawab Ki Jagabaya, “Siapa yang mengatakan bahwa Wira Sabet dan Sura Gentong berilmu tinggi? Mereka sendirilah yang mengatakan kepada orang yang sempat ditemuinya untuk menakuti orang-orang padukuhan ini.”

Orang-orang yang ada di rumah itu menjadi semakin bingung. Sementara Ki Jagabaya berkata kepada Sampurna dan kedua kawannya, “Lihat, apakah ketiga orang itu masih ada disana...?”

Sampurna tidak menunggu lebih lama lagi. Bersama Manggada dan Laksana merekapun segera keluar dari rumah itu dan dalam sekejap, kuda-kuda mereka telah berderap menuju ke tempat yang ditunjukkan oleh orang yang terluka itu.

Sepeninggal ketiga orang anak muda itu, beberapa orang masih berusaha memperingatkan Ki Jagabaya. Namun Ki Jagabaya justru berkata, ”Jangan harapkan aku akan menyerah kepada mereka. Satu pemberitahuan yang pantas kalian dengar, bahwa Wira Sabet, Sura Gentong dan Ki Sapa Aruh berniat untuk merampas padukuhan ini dan menguasainya. Aku akan berjuang mati-matian sekedar untuk mempertahankan jabatanku, tetapi justru karena aku tahu apa yang akan terjadi jika mereka menguasai padukuhan ini. Ki Demang Kalegen tentu akan berada dibawah pengaruh Ki Sapa Aruh, Wira Sabet dan Sura Gentong. Karena itu, sebelum hal itu terjadi, maka aku akan berusaha mencegahnya dengan mengorbankan apa saja yang aku punya jika perlu."

Orang-orang yang mendengar tekad Ki Jagabaya itu menarik nafas dalam-dalam. Mereka sadari, bahwa Ki Jagabaya memang benar justru karena ia mengemban tugas. Sikap itu pantas mendapat dukungan dari setiap orang. Tetapi mereka tidak mempunyai keberanian untuk melakukannya. Karena itu, maka orang-orang yang ada di rumah itu hanya terdiam saja.

Beberapa saat kemudian, maka Ki Jagabaya itupun minta diri. Ia akan pulang dan kepada orang-orang yang ada di rumah itu ia berkata, “Ingat. Aku tidak akan pernah menyerah kepada Wira Sabet dan Sura Gentong.”

Orang-orang yang mendengar pernyataan itu hanya berdiam diri saja. Namun sepeninggal Ki Jagabaya, beberapa orang mulai berbincang. Mereka mulai menilai sikap Ki Jagabaya yang berani itu. Namun seorang di antara mereka berkata, “Ki Jagabaya nampaknya memang seorang bebahu padukuhan yang baik. Tetapi sikap Ki Jagabaya dan anaknya serta kedua kawannya itu dapat berakibat sangat buruk bagi kami. Mungkin Ki Jagabaya sendiri mampu melindungi dirinya sendiri. Tetapi apa yang dapat kami lakukan terhadap para pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong? Mereka hari ini melukai seorang warga padukuhan ini. Besok lagi, besok lagi dan bahkan mungkin mereka mulai membunuh.”

“Kita minta pertanggung-jawaban Ki Jagabaya“ sahut yang lain.

“Yang dapat dilakukan oleh Ki Jagabaya memang sangat terbatas. Mungkin ia sendiri akan mengalami kesulitan untuk melindungi dirinya dan keluarganya jika Wira Sabet dan Sura Gentong benar-benar mulai bertindak kasar” berkata yang lain lagi.

Seorang yang bermata dalam tiba-tiba saja berkata, “Kita akan minta kepada Ki Jagabaya untuk menghentikan perlawanannya.”

Ternyata pendapat itu mendapat dukungan beberapa orang. Seorang yang bertubuh tinggi berkata “Aku setuju. Ki Jagabaya harus menghentikan perlawanannya.”

Namun mereka tidak berani berbincang terlalu lama. Jika para pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong melihat mereka berkumpul, maka mungkin akan dapat terjadi salah paham yang dapat berakibat buruk bagi mereka.

Karena itu maka merekapun segera meninggalkan halaman rumah itu. Bahkan orang yang terluka itupun telah minta diri pula, karena menurut pendapatnya, ia sudah dapat berjalan sampai ke rumahnya.

Tetapi salah seorang laki-laki yang menolongnya berkata “Marilah. Aku antar kau sampai ke rumah.”

Dalam pada itu, maka Sampurná, Manggada dan Laksana telah sampai ke bulak persawahan. Orang yang disakiti itu mengatakan bahwa di tempat itu mereka bertemu dengan tiga orang yang menanyakan tentang tiga orang anak muda yang sering berkuda mengelilingi padukuhan Gemawang. Namun mereka sudah tidak menjumpai seorangpun.

“Iblis itu tentu sudah kembali ke sarangnya.” geram Sampurna menahan marah.

“Besok kita akan menemui mereka.” sahut Manggada.

“Mudah-mudahan mereka benar-benar mencari kita.” berkata Laksana pula.

Sampurna menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia bertanya “Lalu, apa yang akan kita lakukan sekarang?”

“Tidak ada” jawab Manggada “Kita kembali ke padukuhan. Kita katakan kepada orang-orang yang ketakutan itu, bahwa mereka tidak perlu takut menghadapi Wira Sabet dan Sura Gentong. Bahkan Ki Sapa Aruh.”

Demikianlah, maka mereka bertiga telah berderap kembali memasuki padukuhan. Tetapi rumah tempat orang yáng terluka itu mendapat pertolongan sementará, ternyata sudah menjadi sepi. Demikianlah, ketiga orang anak muda itupun langsung menuju ke rumah Ki Jagabaya.

Tetapi ketiga anak muda itu terkejut ketika mereka melihat dua orang yang sedang berbincang dengan Ki Jagabaya di serambi. Agaknya pembicaraan mereka tidak menemukan titik temu, sehingga nampaknya sedang terjadi perselisihan di antara mereka dengan Ki Jagabaya.

Ketika ketiga orang anak muda itu ikut duduk di serambi, maka mereka segera mengetahui bahwa orang itu telah minta kepada Ki Jagabaya untuk tidak melakukan perlawanan terhadap Wira Sabet dan Sura Gentong. Orang yang datang itu adalah orang yang bermata dalam yang ada pula di antara orang-orang yang mengerumuni orang yang dilukai oleh pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong itu.

“Ki Jagabaya...” berkata orang bermata dalam itu tanpa menghiraukan ketiga orang anak muda yang ikut duduk di serambi itu “Ki Jagabaya jangan terpancang pada kedudukan Ki Jagabaya. Mungkin Ki Jagabaya benar. Tetapi sama sekali tidak berperhitungan. Nah, sekarang korban telah mulai jatuh. Untung orang itu tidak dibunuh oleh pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong”

Pembicaraan mereka ternyata terputus ketika mereka mendengar pintu sekeeng diketuk orang. Selagi mereka bertanya-tanya siapa lagi yang telah datang, maka terdengar suara seseorang memanggil, Namun yang dipanggil adalah justru nama Tantri.

Ki Jagabaya itupun segera mengetahui bahwa yang datang adalah Wisesa. Dengan kesal Sampurna bangkit dan melangkah menuju ke pintu. Sebenarnyalah bahwa yang berdiri di belakang pintu adalah Wisesa.

“Marilah“ Sampurna mempersilahkan.

Setelah menutup dan menyelarak pintu, maka Sampurna telah mengajak Wisesa untuk duduk pula di serambi itu. Dalam pada itu, Ki Jagabaya yang tidak menghiraukan kehadiran Wisesa itupun kemudian berkata kepada orang yang bermata dalam itu,

“Dengar jawabanku sekali lagi. Aku tidak akan pernah tunduk kepada tekanan Wira Sabet dan Sura Gentong. Aku berharap orang-orang padukuhan ini bersedia bersamaku menentang mereka. Tetapi jika kalian tidak berani, maka jangan menghambat usaha kami”

“Kami tidak mungkin tinggal diam. Ki Jagabaya, karena yang akan mengalami bencana adalah kami, orang-orang sepadukuhan” jawab orang itu.

“Nah, kau tahu kenapa demikian?” bertanya Ki Jagabaya.

Orang itu tidak segera menjawab.

“Dengar...” berkata Ki Jagabaya “Karena mereka sebenarnya adalah penakut. Mereka sama sekali tidak berani berbuat apa-apa kepadaku. Kepada anakku dan kepada anak-anak muda ini. Aku dan anak-anak ini tidak mempunyai kelebihan apa-apa dari kalian. Tetapi karena kami berani menentang mereka, maka kami tidak menjadi sasaran usaha mereka menakut-nakuti orang-orang padukuhan ini”

“Tidak benar.” berkata orang itu “Kami tahu Ki Jagabaya mempunyai kelebihan. Anak laki-laki Ki Jagabaya itu tentu juga merasa mempunyai kelebihan. Entahlah dengan anak dan kemanakan Ki Kertasana itu”

“Jadi kalian menganggap bahwa aku mempunyai kelebihan dari kalian?” bertanya Ki Jagabaya.

“Ya” jawab orang itu.

“Jika demikian, yakinlah bahwa aku dan anak-anak muda ini berusaha untuk melindungi kalian” berkata Ki Jagabaya.

“Tetapi itu tidak mungkin Ki Jagabaya” berkata orang itu “Wira Sabet dan Sura Gentong serta beberapa orang saudara seperguruannya adalah orang-orang linuwih.

“Omong kosong...” bentak Ki Jagabaya yang menjadi marah “Mereka tidak berani datang kepadaku. Mereka tentu tahu, jika mereka mematahkan perlawananku, maka mereka tidak akan menemui perlawanan lagi disini. Tetapi mereka tidak berani datang”

“Mereka menunggu satu kesempatan yang baik” berkata orang yang bermata dalam itu.

“Aku tidak peduli....” jawab Ki Jagabaya.

“Tetapi kami minta dengan sangat Ki Jagabaya untuk tidak meneruskan perlawanan. Atas nama semua orang di padukuhan ini”

“Tidak...” jawab Ki Jagabaya yang menjadi semakin marah “Jika aku tidak mau, kalian mau apa? Kalian akan menentang aku? Lakukan. Aku akan memperlakukan kalian sebagaimana Wira Sabet dan Sura Gentong melakukan. Kau kira aku tidak dapat melakukan? Kau kira aku tidak dapat menyakiti dan bahkan membunuh orang yang menentang aku? Aku tidak takut seandainya kalian semuanya berpihak Wira Sabet dan Sura Gentong menentang aku. Aku tidak takut seandainya kalian semua ingin mengangkat Wira Sabet dan Sura Gentong menjadi Kami Tuwa dan Jagabaya di padukuhan Gemawang serta mengangkat Ki Sapa Aruh menjadi bekel”

Orang bermata dalam itu mengerutkan dahinya, sehingga matanya menjadi semakin dalam. Di luar sadarnya ia berkata “Tentu kami tidak menghendakinya, Ki Jagabaya”

“Nah, sekarang kalian dapat memilih. Wira Sabet dan Sura Gentong atau aku” geram Ki Jagabaya.

Orang bermata dalam itu memang menjadi bingung. Ia sadar, bahwa Ki Jagabaya adalah seorang yang berilmu. Merekapun menduga bahwa anak laki-lakinya juga berilmu. Karena itu, maka Ki Jagabaya akan dapat memperlakukan para penghuni padukuhan ini sebagaimana dilakukan oleh Wira Sabet dan Sura Gentong. Menyakiti dan bahkan membunuh orang yang tidak mendukungnya.

Dengan demikian maka orang-orang padukuhan itu akan terjepit di antara dua kekuatan yang tidak terlawan. Wira Sabet dan Sura Gentong di satu pihak, sedang di pihak yang lain Ki Jagabaya serta anaknya dan tentu dua orang anak muda yang bernama Manggada dan Laksana itu.

Sebelum orang itu menjawab, maka Ki Jagabayapun berkata, “Nah, sekarang pulanglah. Katakan kepada orang-orang Gemawang yang sependapat dengan kau berdua. Katakan, bahwa aku tidak akan pernah mundur. Aku akan menghancurkan siapa saja yang menentang aku. Aku yakin, bahwa aku memiliki kekuatan yang tidak kalah dengan Wira Sabet dan Sura Gentong”

Kedua orang itu tidak berani menjawab lagi. Mereka tahu bahwa Ki Jagabaya benar-benar sudah menjadi marah. Namun tiba-tiba di luar dugaan mereka, maka Wisesa pun berkata seperti orang mengigau saja,

“Aku sependapat dengan orang-orang itu. Ki Jagabaya. Ki Jagabaya memang harus menghentikan perlawanan terhadap Wira Sabet dan Sura Gentong. Tidak ada gunanya. Kami tahu, bahwa Ki Jagabaya memiliki kemampuan. Tetapi kemampuan Ki Jagabaya sangat terbatas. Mungkin Ki Jagabaya hanya dapat melindungi diri Ki Jagabaya saja. Tetapi bagaimana dengan orang-orang padukuhan ini atau bahkan keluarga Ki Jagabaya sendiri. Ki Jagabaya mempunyai anak dan isteri”

Wajah Ki Jagabaya menjadi merah. Tetapi Ki Jagabaya masih menanam kemarahannya. Dengan suara yang bergetar, Ki Jagabaya itupun bertanya, “Jadi, kau setuju jika Sura Gentong mengambil Tantri untuk menjadi isterinya?”

“Tidak. Tentu tidak” jawab Wisesa terbata-bata.

“Lalu apa yang dapat kau lakukan untuk mencegahnya? Jika aku menghentikan perlawanan, berarti aku harus menyerahkan segala-galanya. Kedudukan. Bukan saja aku sendiri, tetapi semua bebahu padukuhan ini. Kemudian anak perempuanku dan aku yakin, bahwa kemudian juga nyawaku”

“Tidak Ki Jagabaya. Kita harus mencari jalan lain” berkata Wisesa.

“Jalan yang mana?” bertanya Ki Jagabaya.

“Aku mempunyai gagasan yang akan dapat memberikan pemecahan atas persoalan ini” jawab Wisesa.

“Gagasan yang besar, yang akan dapat membebaskan kemelut di padukuhan ini sebagaimana pernah kau katakan?” tiba-tiba Laksana memotong.

Manggada menggamitnya. Ia tahu, suasananya sedang panas. Ki Jagabaya akan dapat meledak setiap saat. Namun Manggadapun sangat menyesalkan sikap Wisesa yang ternyata masih saja dungu dan cengeng itu.

Wisesa memandang Laksana dengan sorot mata penuh kebencian. Namun kemudian ia berkata kepada Ki Jagabaya tanpa menghiraukan Laksana lagi, “Ki Jagabaya. Jalan yang terakhir bagi Ki Jagabaya dan keluarga adalah menyingkir dari kademangan Kalegen”

“Menyingkir?” Ki Jagabaya mengulangi.

“Ya” Wisesa mengangkat wajahnya ”Satu gagasan yang paling baik yang dapat diberikan seseorang kepada Ki Jagabaya” jawab Wisesa.

Meskipun demikian, Ki Jagabaya itu sempat juga bertanya “Menyingkir ke mana?”

“Ke Pajang, ke dalam dinding kota...” jawab Wisesa.

“Ke rumah siapa? Mengungsi ke istana? Atau ke kandang gajah milik istana?” bertanya Ki Jagabaya yang hampir kehilangan kesabaran.

“Ke rumah pamanku” jawab Wisesa sambil menengadahkan dadanya “Aku mempunyai seorang paman yang tinggal di Pajang. Ia adalah seorang prajurit dari pasukan Pengawal istana. Ki Jagabaya dan keluarga Ki Jagabaya akan aman di rumah pamanku yang sangat besar itu. Wira Sabet dan Sura Gentong tentu tidak akan berani mengusik Ki Jagabaya, karena Ki Jagabaya tinggal di rumah seorang prajurit pilihan. Sementara itu, Ki Jagabaya tidak lagi perlu menghiraukan padukuhan ini, apakah Ki Sapa Arah akan menjadi Bekel, apakah Wira Sabet dan Sura Gentong akan menjadi bebahu, bukan lagi menjadi tanggung jawab Ki Jagabaya”

Bibir Ki Jagabaya menjadi gemetar menahan marah. Sementara itu Sampurna hampir tidak dapat menahan dirinya, sedangkan Manggada sekali lagi harus menggamit Laksana yang sudah beringsut setapak.

Sambil menahan kemarahan yang hampir meledakkan jantungnya, Ki Jagabaya bertanya, “Jadi menurut gagasan besarmu, sebaiknya aku mengungsi menghindari beban tugasku?”

“Bukan mengungsi Ki Jagabaya. Sebaiknya kita memang mempergunakan istilah menyingkir” jawab Wisesa.

“Baiklah Wisesa” berkata Ki Jagabaya “Daripada, aku harus menyingkir, aku kira lebih baik aku memenuhi saja permintaan Sura Gentong. Selain jabatan bebahu padukuhan ini, Tantri juga akan aku serahkan”

"Tidak” sahut Wisesa dengan serta merta “Tantri tidak boleh jatuh ketangan Sura Gentong”

“Aku akan menyerahkannya. Dengan demikian aku akan aman dan tidak akan terganggu lagi. Aku tidak perlu pergi ke Pajang. Tetapi aku akan tetap tinggal di rumah. Sura Gentong akan menjadi menantuku, sehingga akupun akan menjadi orang yang ditakuti seperti Sura Gentong”

“Tetapi jangan serahkan Tantri. Lebih baik Ki Jagabaya menyingkir”

“Dengar anak cengeng” bentak Ki Jagabaya yang kemarahannya sudah sampai ke ubun-ubun “Aku tidak mempunyai pilihan lain”

“Tetapi tidak untuk menyerahkan Tantri” sahut Wisesa dengan nada tinggi.

“Kecuali jika kau dapat melindungi Tantri dan kami sekeluarga. Maka aku akan bersikap lain”

Wajah Wisesa menjadi pucat. Sementara Ki Jagabaya berkata, “Aku muak dengan gagasan-gagasan yang tidak dapat dilaksanakan seperti gagasan-gagasanmu itu”

Wajah Wisesa menjadi pucat. Ia baru sadar, bahwa Ki Jagabaya benar-benar menjadi sangat marah. Karena itu, maka Wisesa tidak berani lagi mengangkat wajahnya yang kemudian menunduk dalam-dalam.

Sementara itu, Ki Jagabayapun telah berkata pula kepada orang bermata tajam, “Aku ulangi kata-kataku. Aku tidak akan pernah menyerah kepada Wira Sabet dan Sura Gentong. Bahkan aku menantang siapapun yang berani menghalangi aku, akan mengalami nasib yang sangat buruk. Ternyata aku bukan Orang yang lebih beradab dari Wira Sabet dan Sura Gentong.”

Kedua orang itupun tidak berani mengucapkan sepatah kata lagi di hadapan Ki Jagabaya, meskipun sebenarnya mereka tetap menginginkan Ki Jagabaya "mengurungkan perlawanannya dan bahkan gagasan Wisesa itu telah menimbulkan satu sikap baru untuk menghadapi persoalan yang sedang berlangsung di padukuhan itu.

Dalam pada itu, maka Ki Jagabayapun berkata, “Nah, sekarang pergilah. Katakan kepada semua orang padukuhan ini. Siapa yang mencoba menentang aku, akan aku hancurkan sama sekali daripada mereka kelak akan berpihak kepada Wira Sabet dan Sura Gentong”

Kedua orang itupun segera minta diri pula dengan jantung yang berdebaran. Mereka masih saja cemas ketika Sampurna mengantar mereka ke pintu seketeng. Demikian mereka keluar, maka Sampurnapun berkata,

“Nah, aku sudah mendengar sikap ayah. Jangan mencoba menentangnya, agar ayah tidak menjadi semakin marah. Sampai saat ini ayah masih berpikir, berjuang untuk padukuhan Gemawang. Tidak untuk dirinya sendiri. Tetapi jika orang-orang Gemawang ini justru menentangnya, maka ayah akan dapat bersikap lain. Sementara itu kalian harus menyadari, tidak seorangpun di padukuhan ini yang mampu melawan ayah dan tentu juga aku dan kedua orang sahabatku itu. Manggada dan Laksana. Ingat kata-kata ayah, bahwa ternyata ayah bukan orang yang lebih beradab dari Wira Sabet dan Sura Gentong. Maksud ayah tentu, apabila orang lain memulainya”

Kedua orang itu tidak menjawab. Baru kemudian setelah mereka keluar dari regol halaman rumah Ki Jagabaya, orang yang bermata tajam itu berkata “Kedudukan kita justru menjadi semakin rumit. Dua kekuatan yang tidak dapat kami lawan telah menghimpit kita. Sehingga kita akan dapat mati terjepit ditengahnya”

“Apakah kita harus berpihak?” bertanya kawannya.

“Berpihak kepada siapa?” bertanya orang bermata dalam.

“Kita harus memperhitungkan, kekuatan siapakah yang lebih besar. Wira Sabet dan Sura Gentong yang dibantu oleh Ki Sapa Aruh, atau Ki Jagabaya”

“Kekuatan Ki Jagabaya tidak seberapa dibanding dengan kekuatan Wira Sabet dan Sura Gentong...”

“Tentu masih lebih besar kekuatan Wira Sabet dan Sura Gentong” jawab kawannya.

“Jadi menurut pendapatmu, kita akan berpihak kepada Wira Sabet dan Sura Gentong?” bertanya orang bermata tajam itu.

“Bukankah itu lebih aman? Kesempatan kita untuk selamat jauh lebih besar” jawab kawannya.

“Tetapi apakah dengan demikian kita tidak berkhianat terhadap Ki Jagabaya?” orang bermata tajam itu masih bertanya lagi.

“Kita sudah mencoba untuk memperingatkannya. Tetapi Ki Jagabaya tidak mendengarkan peringatan kami. Karena itu, maka kita tentu tidak akan bersalah, jika kita mengambil sikap lain...”

Tetapi orang bermata tajam itu masih nampak ragu-ragu. Katanya “Kita bicarakan dengan kawan-kawan kita yang lain malam nanti. Kita akan mengumpulkan mereka dan kita akan mengambil keputusan. Bukankah Wira Sabet dan Sura Gentong selama ini tidak pernah datang ke padukuhan malam hari?”

“Tetapi itu sangat berbahaya jika ada satu dua orang pengikut mereka yang melihat. Mereka tidak tahu apa yang kami lakukan, sehingga akan dapat menimbulkan salah paham” sahut kawannya Orang bermata tajam itu mengangguk-angguk. lapun menyadari, bahwa para pengikut Wiia Sabet dan Sura Gentong dapat saja mengawasi padukuhan itu di luar pengetahuan mereka.

Karena itu, maka niat untuk bertemu dengan orang-orang padukuhan itupun dibatalkannya. Orang bermata tajam itupun kemudian berkata “Kita akan bertemu dan berbicara seorang demi seorang untuk menghindari salah paham.

“Ya. Baru kemudian jika persoalannya sudah jelas kita akan menyatakan sikap. Jika perlu kita akan menemui pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong...”

Tetapi orang bermata dalam itu masih saja ragu-ragu. Katanya “Kita akan melihat perkembangan keadaan.”

Kawannya tidak menjawab. Namun ia mengusulkan untuk menemui orang yang telah terluka itu.

“Bagaimana pendapatnya tentang sikap Ki Jagabaya itu” berkata kawannya.

Ketika keduanya berjalan menyusuri jalan padukuhan, mereka terkejut mendengar derap kaki kuda. Ternyata Sampurna, Manggada dan Laksana telah melarikan kuda mereka di sepanjang jalan padukuhan itu pula.

Tetapi hari itu ketiga anak muda itu tidak bertemu dengan orang-orang Wira Sabet dan Sura Gentong. Namun hampir setiap orang yang menemui mereka telah memperingatkan, agar mereka tidak melakukan perbuatan yang sangat berbahaya itu.

“Mereka sedang mencari kalian ngger” berkata seorang yang rambutnya sudah ditumbuhi uban.

“Terima kasih atas peringatan paman...” jawab Sampurna “Tetapi persoalannya harus segera diselesaikan”

Orang yang rambut sudah ubanan itu hanya dapat menggelengkan kepalanya saja. Sementara itu, kawan orang yang bermata dalam itu berdesis, “Biarkan saja mereka menyombongkan dirinya. Aku juga berharap bahwa mereka benar-benar akan bertemu dengan orang-orang Wira Sabet dan Sura Gentong yang mencari mereka”

Kawannya yang bermata dalam itu tidak menjawab. Ketika matahari turun semakin rendah, maka ketiga orang anak muda itupun telah pulang ke rumah mereka masing-masing. Namun mereka telah berjanji, di keesokan harinya mereka akan mencari para pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong.

Dalam pada itu, lepas senja, setelah makan malam, Ki Jagabaya masih berbincang dengan isteri dan anak-anaknya. Ki Jagabaya ternyata sangat menyesali sikap orang-orang padukuhan Gemawang. Mereka justru minta agar Ki Jagabaya menghentikan perlawanannya terhadap Wira Sabet dan Sura Gentong.

“Orang-orang itu benar-benar telah menjadi ketakutan” berkata Sampurna.

“Ya. Mereka kehilangan akal. Sementara itu, Wisesa masih saja gila dengan gagasan-gagasannya” desis Ki Jagabaya.

“Hampir saja aku memukul mulutnya.“ gumam Sampurna.

“Pemimpin yang hidupnya tidak berjejak di atas tanah” berkata Ki Jagabaya.

“Tetapi ia tidak rela jika Tantri diserahkan kepada Sura Gentong” berkata Sampurna sambil memandang Tantri.

“Apa?“ bertanya Tantri dengan suara melengking.

“Tidak” jawab Sampurna.

“Apa yang kau katakan tadi?” desak Tantri yang bergeser mendekati kakaknya.

“Tidak. Aku tidak berkata apa-apa...” Sampurna bergeser menjauh sambil tersenyum.

“Kau mentertawakan aku, ya“ Tantri mulai menggapai Sampurna. Tetapi Sampurna bergeser semakin jauh “Tidak. Aku tidak bermaksud mentertawakanmu. Aku justru mentertawakan Wisesa”

“Kau kira aku tidak berani memilin leher anak itu? Sejak kecil ia tidak berani melawan aku” berkata Tantri.

“Tetapi ia rajin berkunjung kemari...” sahut Sampurna.

Tantri tiba-tiba bangkit. Tetapi Sampurna meloncat menjauh sambil berkata “Sudahlah, Tantri. Aku menyerah. ”

“Tidak. Aku belum membalas.” sahut Tantri.

“Sudahlah...” potong Ki Jagabaya “Aku benar-benar sedang prihatin”

“Tetapi ayah harus menghukumnya. Ia yang mula-mula mengganggu aku.” sahut Tantri.

“Duduklah yang baik” berkata Ki Jagabaya.

Keduanyapun segera duduk kembali.. Sementara Ki Jagabaya berkata, “Apa yang dapat kita lakukan jika orang-orang padukuhan ini justru menentang kita?”

“Ayah...” berkata Sampurna kemudian bersungguh-sungguh “Besok, aku, Manggada dan Laksana akan mencari orang-orang Wira Sabet itu. Kami tidak akan berdiam diri justru mereka mencari kami”

“Lalu, apa yang akan kalian lakukan?” bertanya Ki Jagabaya.

Sampurna termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya “Bukankah mereka juga mencari kami?”

Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita menunggu perkembangan keadaan.”

Dalam pada itu, di rumahnya Manggada dan Laksana juga menceriterakan apa yang sudah terjadi. Mereka juga menyesali sikap orang-orang padukuhan Gemawang yang ketakutan, sehingga mereka kehilangan pertimbangan penalaran yang bening.

“Jika keadaan berlarut-larut, maka orang-orang padukuhan ini akan benar-benar kehilangan diri mereka.” desis Ki Citrabawa.

Seperti Sampurna, maka Manggada dan Laksana juga menyatakan, bahwa mereka bukan saja dicari oleh para pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong. Tetapi merekalah yang besok akan mencarinya. Demikianlah, kegelisahan dan ketegangan yang semakin memanas telah mewarnai padukuhan Gemawang. Beberapa orang sempat saling mengunjungi untuk membicarakan sikap Ki Jagabaya.

Pada umumnya orang-orang Gemawang menganggap Ki Jagabaya itu seorang yang keras kepala, sehingga tidak mau melihat kenyataan yang dihadapinya. Bahkan ada yang menganggap bahwa Ki Jagabaya sekedar berjuang untuk mempertahankan kedudukannya.

“Ia sampai hati telah mengorbankan penghuni padukuhan ini.” berkata seorang di antara mereka yang ketakutan.

Namun ketika matahari kemudian terbit di keesokan harinya, orang-orang padukuhan Gemawang telah mendengar derap kaki kuda berlari-lari di jalan-jalan padukuhan. Tiga orang anak muda telah berkeliaran di atas punggung kuda mereka tanpa mengenal takut sama sekali.

Tetapi sikap orang-orang padukuhan itu ternyata telah berubah. Mereka tidak lagi berniat untuk memperingatkan ketiga orang anak muda itu. Bahkan orang-orang Gemawang berharap bahwa ketiga anak muda itu segera menjadi jera, setelah orang-orang Wira Sabet dan Sura Gentong menemukan mereka.

Orang yang telah dipukuli oleh pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong itu berkata kepada seorang tetangganya yang datang mengunjunginya. "Ketiga orang itu tentu akan segera menemukan mereka setelah orang-orang Wira Sabet dan Sura Gentong itu mengetahui siapa mereka itu. Jika ketiga orang anak muda itu sudah mengalami seperti yang aku alami, barulah mereka akan menjadi jera dan tidak akan menyombongkan dirinya lagi.”

Tetangganya mengangguk-angguk sambil bergumam “Apakah karena ayahnya seorang Jagabaya, maka anak itu menjadi demikian sombongnya.”

“Anak itu salah menilai kekuatan ayahnya sekarang ini.” desis orang yang terluka itu.

Namun dalam pada itu, Sampurna, Manggada dan Laksana masih saja menelusuri jalan-jalan padukuhan Gemawang tanpa mengenal takut sama sekali. Namun dalam pada itu, ternyata beberapa orang yang pergi ke sawah telah kembali lagi ke padukuhan. Mereka telah melihat tiga orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong menuju ke padukuhan.

Seorang di antara mereka berjalan bergegas sambil berkata, “Selagi masih ada kesempatan, aku ingin memperingatkan anak-anak muda yang berkeliaran di atas punggung kuda itu.”

Tetapi kawannya berkata, “Untuk apa kita bersusah payah melakukannya? Kita biarkan saja mereka menjadi jera. Tidak kurang dan antara kita yang sudah memperingatkan mereka. Tetapi dengan sombong mereka menolaknya. Bahkan mereka juga sudah tahu bahwa tiga orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong mencari mereka. Tetapi mereka dengan sombong pala justru mencari ketiga orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong itu. Bukankah itu sudah berlebihan?”

Seorang yang lain justru berkata “Aku ingin melihat ketiga orang anak muda yang sombong itu dipukuli babak belur oleh pengikutnya Wira Sabet dan Sura Gentong sebagaimana seorang dari antara kita kemarin.”

“Bagaimana jika mereka bertiga dibunuh oleh para pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong?” bertanya orang yang pertama.

Kawan-kawannya itu terdiam. Nampaknya mereka memang berpikir sambil melangkah cepat-cepat pulang. Tiba-tiba seorang dari antara mereka berkata, “Tidak. Mereka tidak akan dibunuh. Tetapi mereka akan dibuat jera dan bahkan kuda mereka akan dirampas. Itu saja.”

Yang lain mengangguk-angguk. Sementara itu, mereka telah memasuki padukuhan Gemawang. Berlari-lari kecil mereka berjalan di jalan padukuhan menuju ke rumah mereka masing-masing. Namun seorang di antara mereka masih berkata, “Aku ingin melihat anak-anak sombong itu dipukuli.”

Demikianlah, maka sejenak kemudian, orang-orang itu telah hilang di belakang regol halaman mereka masing-masing. Namun sebenarnyalah bahwa ada di antara mereka yang memang ingin melihat Sampurna, Manggada dan Laksana disakiti oleh para pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong, agar mereka menjadi jera. Bahkan dengan demikian Ki Jagabaya akan dapat menjadi sadar.

Ternyata ketiga orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong itu telah memasuki padukuhan Gemawang tanpa mengenal takut. Seorang di antara mereka telah berteriak,

“He orang-orang Gemawang. Kali ini kami tidak akan berbuat apa-apa atas kalian. Jangan takut. Kami hanya akan menangkap ketiga orang anak muda yang sombong itu. Tetapi jika kita tidak berhasil menangkap mereka, maka kami akan mengambil tiga orang yang manapun yang dapat kami tangkap di antara para penghuni padukuhan ini.”

Teriakan-teriakan itu bergema menusuk ke dalam setiap pintu rumah. Orang-orang Gemawang itu menjadi ketakutan. Mereka berharap agar para pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong itu dapat bertemu dengan Sampurna, Manggada dan Laksana.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja terdengar derap kaki kuda. Ternyata Sampurna, Manggada dan Laksana yang menyusuri jalan padukuhan itu tidak mengetahui bahwa tiga orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong berada di padukuhan itu. Tidak ada seorangpun yang telah memberitahukan kepada mereka. Meskipun orang-orang yang berlari-lari kecil menghindari kehadiran ketiga orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong itu ada yang berpapasan dengan ketiga orang anak muda itu. Tetapi mereka tidak memberitahukannya.

Namun orang-orang itu kemudian menjadi kecewa. Bagaimanapun juga mereka merasa ngeri, apa yang akan terjadi dengan ketiga orang anak muda itu apabila mereka benar-benar bertemu dengan orang-orang yang sedang mencari mereka itu. Demikian pula orang-orang yang berada di sebelah-menyebelah jalan padukuhan. Baru saja mereka mendengar teriakan orang-orang yang mereka takuti itu, tiba-tiba merekapun mendengar derap kaki kuda.

“Apa yang akan terjadi dengan anak-anak muda itu?” bertanya orang-orang itu di dalam hati mereka.

Dalam pada itu, ketiga orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong yang juga mendengar derap kaki kuda segera bersiap. Mereka merasa bahwa mereka akan segera dapat melakukan tugas mereka dengan baik.

“Kita akan menangkap mereka dan membawa mereka menghadap Ki Wira Sabet dan Ki Sura Gentong...” berkata salah seorang dari ketiga orang itu.

“Jika mereka melawan, kita benar-benar akan mempergunakan kekerasan.” desis yang lain.

Mereka tidak berbicara lebih jauh. Mereka mulai melihat tiga orang anak muda di punggung kudanya mendekati mereka. Dengan serta merta, maka ketiga orang itupun segera berloncatan ketengah jalan dan memberi isyarat ketiga orang penunggang kuda itu untuk berhenti.

Sampurna yang berkuda di paling depan segera memberi isyarat pula kepada Manggada dan Laksana. Dengan serta merta ketiganya telah menarik kendali kuda mereka sehingga ketiganya telah berhenti sebelah mereka menjadi terlalu dekat dengan ketiga orang itu.

“Tentu. mereka itulah yang kita cari...” desis Sampurna.

Laksana tidak menunggu lebih lama lagi. Ia adalah orang yang pertama meloncat turun dari punggung kudanya. Manggada dan Sampurnapun segera telah meloncat turun pula. Mereka telah mengikat kuda mereka pada batang perdu di pinggir jalan itu. Baru kemudian mereka bertiga melangkah mendekati ketiga orang yang telah menunggu itu.

Ketiga orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong ilu termangu-mangu sejenak. Mereka justru merasa heran. Ketiga orang anak muda itu sama sekali tidak nampak menjadi gentar.

“Mereka memang sombong.” geram salah seorang dari ketiga orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong itu.

Kawannyapun menyahut, “Sebentar lagi mereka akan menjadi jera.”

Sementara itu yang seorang lagi berkata “Kita lumatkan dahulu mereka sebelum kita bawa menghadap Ki Wira Sabet dan Ki Sura Gentong...”
Selanjutnya,
Sejuknya Kampung Halaman Bagian 11