Sejuknya Kampung Halaman Bagian 07 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
“TIDAK...!” jawab Ki Jagabaya “Aku bertemu dengan Ki Resa di jalan ketika Ki Resadana sedang pergi ke rumahmu...”

“Ke rumahku?” bertanya Manggada dengan heran.

“Ya. Ki Resadana ingin memberitahukan kepada ayahmu, bahwa kau baru saja mekakukan pekerjaan yang sangat berbahaya. Menurut Ki Resa, ia tidak sampai hati untuk tetap berdiam diri. Jika terjadi sesuatu atas kalian berdua, maka Ki Resadana akan ikut merasa bersalah.”

Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Sambil mengangguk-angguk Manggada itupun berkata, “Ki Resa bermaksud baik. Tetapi paman Resadana tidak tahu maksudku yang sebenarnya meskipun aku sudah mengatakan. Aku berniat untuk menunjukkan kepada paman Wira Sabet bahwa ia bukan hantu di padukuhan ini...”

Ki Jagabaya tersenyum. Katanya, “Ia akan mendapat penjelasan dari ayahmu.”

Manggada mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Yang kemudian berbicara adalah Sampurna. Ia menyampaikan pendapat Wisesa untuk mencoba berbicara dengan Wira Sabet dan Sura Gentong.

Tetapi Ki Jagabaya berkata, “Tidak ada gunanya. Kita hanya akan mebuang-buang waktu dan tenaga.”

Namun Sampurna itupun berkata, “Manggada bersedia untuk melakukan pembicaraan pendahuluan ayah. Mungkin ada juga gunanya ayah menjajagi maksudnya?”

“Bukankah sudah jelas bagi kita, dan mereka datang untuk membalas dendam? Mereka dengan telah mengatur menimbulkan ketakutan dan ketegangan pada padukuhan ini. Mereka mengancam orang-orang padukuahn dengan segala macam cara!”

“Tetapi barangkali kedua orang itu akan dapat dihentikan dengan syarat tertentu. Mungkin mereka mengajukan syarat-syarat itu. Jika saja syarat itu masih wajar, bukankah kita akan dapat memenuhinya?”

Ki Jagabaya memandang Manggada dengan kerut di dahi. Namun kemudian ia bertanya, “Apakah kau ingin mencobanya?”

“Jika Ki Jagabaya setuju, kami akan mencoba berbicara. Tetapi hasilnya, kami tidak dapat mengatakannya.”

Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Jika kau ingin mencobanya, tetapi berhati-hatilah. Bagaimanapun juga kedua orang itu adalah orang-orang yang berbahaya. Bertahun-tahun mereka mempersiapkan diri untuk melakukan balas dendam. Karena itu, agaknya memang sulit untuk mencairkan maksud mereka itu. Tetapi agaknya segala cara memang dapat dicoba.”

“Terima kasih atas kepercayaan Ki Jagabaya. Sebenarnya kami telah didorong untuk ikut membantu memecahkan persoalan-persoalan yang timbul sejauh dapat kami lakukan.”

“Aku mengerti Manggada. Karena itu sejak semula aku menghargai kesediaanmu itu. Tentu saja segala sesuatunya tidak hanya tergantung kepada kalian berdua.”

Dengan persetujuan Ki Jagabaya itu, maka Manggada dan Laksana kemudian harus mempersiapkan diri untuk melakukan tugas yang labih berat. Beberapa saat kemudian, maka keduanya itupun telah minta diri. Tantri dan Nyi Jagabaya telah datang pula ke serambi saat keduanya akan meninggalkan rumah itu.

“Berhati-hatilah ngger....“ pesan Nyi Jagabaya.

“Ya Nyi. Kami akan berhati-hati” jawab Manggada.

Demikianlah, maka Manggada dan Laksana itupun meninggalkan rumah Ki Jagabaya. Di jalan pulang mereka tidak banyak bertemu dengan penghuni padukuhannya. Satu dua orang nampak turun ke jalan dengan tergesa-gesa. Kemudian hilang di balik pintu-pintu regol halaman.

“Aku tidak pernah mendengar suara orang menumbuk padi...“ berkata Laksana.

Manggada mengangguk. Katanya, “Ya. Aku tidak tahu bagaimana caranya mereka mendapatkan beras. Mungkin mereka juga menumbuk padi, tetapi di dalam rumah atau di dapur, sehingga suaranya dapat sedikit diredam agar tidak terdengar dari jalan ini”

Laksana mengangguk-angguk. Namun keduanya berhenti ketika mereka melihat seekor burung gelatik yang kakinya terikat benang terbang melintasi dinding halaman dan turun ke jalan. Tiba-tiba saja seorang anak muncul dari balik pintu regol. Agaknya gelatik itu adalah milik anak itu yang terlepas saat diunda benang. Tetapi demikian anak itu melihat Manggada dan Laksana, maka serta merta anak itu kembali masuk ke halaman.

Manggada sempat menangkap burung yang tidak dapat terbang jauh itu. Kemudian mendorong pintu regol untuk menyerahkan gelatik itu pada pemiliknya. Namun ia tidak melihat seseorang di halaman itu lagi. Karena itu, maka Manggada dan Laksana pun telah masuk pula ke halaman. Sambil mengetuk pinju rumah itu Manggada berkata,

“Aku mengembalikan burung yang terlepas itu. Bukalah pintu rumahmu. Aku tidak apa-apa. Jangan takut...”

Manggada dan Laksana mendengar anak itu merengek. Karena itu, ia mengulangi. “Ini gelatikmu adik kecil...”

Pintu rumah itu akhirnya terbuka. Seorang laki-laki berdiri di muka pintu rumah itu. Sejenak Manggada termangu-mangu. Namun kemudian sambil tersenyum ia berdesis, “Timbang. Bukankah kau Timbang yang rambutnya selalu dicukur dengan kuncung diubun-ubun?”

Orang itu memandang Manggada dengan tajamnya. Namun kemudian iapun tertawa pula sambil berkata, “Manggada. Kau tentu Manggada yang sudah sejak lama tidak nampak di padukuhan ini?”

“Ya, aku Manggada. Dan ini adalah adik sepupuku, Laksana”

“Marilah, masuklah...“ Timbang itu mempersilahkan.

Demikianlah, maka kedua orang anak muda itu duduk di ruang depan rumah Timbang yang tidak terlalu besar. Namun rumah yang sederhana itu nampak terpelihara rapi. Sementara itu seorang anak berdiri termangu-mangu didepan pintu ruang dalam.

“Siapakah anak ini?” bertanya Manggada.

“Anakku...!” jawab Timbang.

“Anakmu? Jadi kau sudah mempunyai anak?”

Timbang tersenyum sambil berkata, “Ya. Aku kawin muda...”

“Siapakah isterimu? Apakah juga anak padukuhan ini?” bertanya Manggada.

“Ya. Dari padukuhan ini. Tetapi tentu sudah bukan anak-anak lagi...” jawab Timbang.

“Siapakah isterimu itu?” bertanya Manggada.

Wajah Timbang itu menjadi kemerah-merahan. Ia sudah menduga bahwa Manggada tentu akan mentertawakannya. Namun demikian, Timbang itupun kemudian menjawab, “Perti”

Sebenarnyalah Manggada tertawa. Katanya, “Aku sudah mengira. Isterimu itu tentu Perti. Sejak kecil kalian selalu berdua. Bahkan kadang-kadang memisahkan diri dari kelompok anak-anak yang sedang bermain.”

Timbang juga tertawa. Sementara itu Manggada bertanya “Dimana isterimu sekarang, he? Ia tentu tidak akan lupa kepadaku, meskipun sudah lama tidak bertemu?”

Timbang memang agak ragu-ragu. Katanya, “Mungkin ia malu menemuimu.”

“Kenapa? Jika ia tidak mau keluar, aku akan mencarinya ke dalam...” berkata Manggada.

Timbang tertawa. Tetapi iapun kemudian bangkit berdiri. Tetapi sebelum ia beranjak pergi, Manggada berkata, “Ini gelatik anakmu yang lepas dan terbang keluar halaman...”

Timbang tertegun. Namun kemudian ia berlutut di sebelah anaknya sambil berkata, “Nah, mendekatlah. Paman itu baik. Ia akan mengembalikan gelatikmu yang terlepas.”

Anak itu memang ragu-ragu. Namun kemudian iapun melangkah mendekati. Ia menerima burung gelatik yang masih terikat benang yang diberikan oleh Manggada. Namun ayahnyapun berkata, “Kau harus mengucapkan apa?”

Anak itu memandang wajah Manggada. Wajah itu memang nampak bening dan tidak menakutkan. Karena itu maka anak itupun berkata, “Terima kasih, paman!”

“Bagus!“ sahut Manggada sambil menepuk pipi anak itu “Kau akan menjadi anak yang pandai”

Anak itupun kemudian segera berlari masuk ke ruang dalam. Sementara Manggada berkata, “Ia akan menjadi anak pandai. Berbeda dengan kau waktu kecil. Pemalu dan sedikit pemarah. Jika ada anak yang nakal terhadap Perti, kau langsung memukulnya, tidak peduli anak itu jauh lebih besar dari kau sendiri.”

“Ah, tidak!” jawab Timbang sambil memandangi Laksana yang tersenyum-senyum. Katanya kemudian kepada Laksana. “Kakak sepupumu ini termasuk anak yang paling suka berkelahi di masa kecilnya. Tetapi ia mempunyai kelebihan. Ia anak yang bandel. Jarang menangis meskipun ia menderita kesakitan yang sangat. Mungkin berkelahi, mungkin dilempar batu anak-anak nakal atau bahkan terjatuh dari pepohonan.”

Laksanapun tertawa mendengarnya. Ia percaya akan ceritera itu. Manggada sampai dewasanya termasuk anak muda yang mempunyai daya tahan yang sangat tinggi. Pandai memanjat dan memiliki ketrampilan sebagai perkembangan kebiasaan berkelahi di masa kecilnya.”

Tetapi Manggada itu sendiri berkata, “Aku bukan termasuk anak yang suka berkelahi. Hitung. Bukankah aku jarang sekali berkelahi?”

Timbangpun tertawa. Namun Manggada berkata pula, “Mana Perti itu? Atau aku yang mencarinya sampai kedapur?"

Timbang tidak dapat berbuat lain. Iapun kemudian masuk ke ruang dalam rumahnya untuk memanggil isterinya. Perti yang ada di dapur juga tidak dapat menolak ketika suaminya membimbingnya ke ruang depan rumahnya yang tidak besar itu. Kepada isterinya Timbang berkata, “Lebih baik kau kesana daripada Manggada melihat isi rumah dan dapur kita...”

Perti memang menjadi tersipu-sipu. Tetapi iapun kemudian muncul juga di ruang depan.

“Nah...” berkata Manggada sambil bangkit berdiri “Tetapi aku yakin, bahwa yang ini bukan sekedar bermain-main?”

Perti menunduk untuk mnyembunyikan wajahnya yang kemerah-merahan. Namun kemudian dengan suara lirih ia bertanya, “Kapan kau kembali Manggada?”

“Baru beberapa hari...” jawab Manggada yang kemudian telah dipersilahkan untuk duduk kembali.

“Kemana kau selama ini?” bertanya Perti kemudian.

“Aku berada di rumah paman. Ini adik sepupuku, putra paman itu!” jawab Manggada.

Perti menganggukkan kepalanya. Namun ia masih saja banyak menunduk. Manggadalah yang kemudian bertanya, “Tetapi bukankah rumahmu dahulu tidak disini, Timbang?”

“Ya. Rumah orang tuaku ada di sebelah tikungan itu. Tetapi setelah kami berkeluarga, maka kami membuat gubug kecil ini di tanah milik kakek.” jawab Timbang.

“Ternyata kalian telah pantas disebut ayah dan ibu...” berkata Manggada kemudian.

“Kau pun sudah pantas!” desis Perti.

Manggada tertawa. Sementara Timbang mengingat-ingat, “Anak perempuan yang manakah yang di masa kecilmu selalu dekat denganmu di setiap permainan?”

“Aku dekat dengan semua kawan-kawanku, laki-laki atau perempuan” jawab Manggada.

Tetapi Perti itu berkata, “Kau sering berkelahi dengan Tantri waktu kau kecil...”

Manggada tertawa. Katanya, “Ya, justru berkelahi...”

Demikianlah, beberapa saat mereka sempat berbicara tentang masa kecil mereka. Namun kemudian Perti itu berkata, “Baiklah. Silahkan duduk. Aku akan pergi ke dapur. Mungkin kalian haus?”

“Tidak. Terima kasih. Aku baru saja minum?” jawab Manggada yang bahkan kemudian berkata “Aku justru akan minta diri”

“Kau pergi kemana saja Manggada?” bertanya Timbang.

“Melihat-lihat keadaan padukuhan ini. Nampaknya terlalu sepi dan suasananya tidak menarik!” jawab Manggada.

“Apakah kau sudah tahu sebabnya?” bertanya Timbang pula.

“Sudah. Aku sudah mengatahui sebabnya.” jawab Manggada “Karena itu aku sedang mencari kawan-kawan bermain yang bersedia ikut memecahkan persoalan ini.”

“Apa maksudmu?” bertanya Timbang.

“Kita harus mencegah suasana seperti ini berkepanjangan. Suasana padukuhan ini harus dikembalikan seperti sediakala. Tenang, tenteram, tetapi hidup dan beriak.” jawab Manggada.

“Apakah kau belum tahu bahwa persoalannya mempunyai hubungan dengan dendam Wira Sabet dan Sura Gentong?” bertanya Timbang.

“Ya. Aku sudah tahu. Karena itu, kami berdua berniat untuk berbicara dengan Wira Sabet dan Sura Gentong untuk mendapatkan penyelesaian yang tuntas sehingga suasana yang tidak menentu ini tidak berkepanjangan. Bayangkan, bahwa sawah dan ladang tidak terpelihara dengan baik sekarang ini. Parit dan jalan-jalan tidak terawat karena semua orang berada dalam ketakutan. Jika keadaan seperti ini berlangsung lama, maka kesejahteraan penghuni padukuhan ini akan menjadi semakin lama semakin menurun. Hasil sawah akan susut dan pategalan bahkan tidak tergarap. Semua orang keluar dari rumahnya dengan tergesa-gesa karena mereka menghindari Wira Sabet dan Sura Gentong.” berkata Manggada dengan sungguh-sungguh.

“Itu tugas para bebahu. Disini ada Ki Bekel, Ki Jagabaya dan bebahu yang lain. Biarlah mereka mencari penyelesaian. Kita tinggal menunggu.” jawab Timbang.

Tetapi Manggada berkata sambil tertawa, “Kenapa kau tidak marah-marah kepada Wira Sabet dan Sura Gentong seperti masa kanak-kanakmu. Kau sama sekali tidak dapat tersinggung selembar benang pakaianmu. Kecuali oleh Perti...?”

“Ah...” Timbang tersenyum.

Sementara itu Manggada berkata selanjutnya, “Sudahlah. Kami mohon diri. Jika untuk sementara kau masih belum ingin untuk melibatkan diri, berdoa sajalah bagi kami. Mudah-mudahan kami dapat menemukan jalan keluar dari persoalan ini.”

Wajah Timbang menegang. Kemudian katanya, “Manggada. Untuk waktu yang lama kau meninggalkan padukuhan ini. Karena itu kau tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi disini. Karena itu, demi persahabatan kita sejak masa kanak-kanak, aku ingin memberikan peringatan kepadamu, bahwa sebaiknya kau urungkan saja niatmu untuk ikut mencampuri urusan ini.”

Sebelum Manggada menjawab, Perti pun berkata, “Manggada. Tidak seorangpun yang berani berbuat sesuatu disini. Bahkan nampaknya Ki Bekel pun tidak.”

“Baiklah...” sahut Manggada “Aku akan memperhatikan pendapatmu. Terima kasih atas kebaikan hatimu, karena aku tahu, peringatan itu kau berikan karena kau masih tetap menganggap aku sahabatmu sebagaimana di masa kanak-kanak itu.”

Demikianlah, maka Manggada dan Laksanapun segera minta diri. Dielusnya kapala anak Timbang itu sambil berkata “Jangan kau lepaskan lagi burung gelatikmu, adik kecil...”

Anak itu mengangguk, sementara Manggada berkata pula, “Paman minta diri, ya..”

Anak itu mengangguk lagi. Timbang dan Perti mengantar Manggada dan Laksana sampai ke pintu regol. Namun demikian keduanya turun ke jalan, maka Timbangpun segera menutup pintu regol itu. Tetapi tidak diselarak sebagaimana pintu-pintu regol halaman rumah yang lain.

Disepanjang jalan pulang, Manggada dan Laksana masih saja memperbincangkan sikap orang-orang padukuhan itu. Tetapi keduanya tidak dapat mengingkari kenyataan, betapa penghuni padukuhan itu dicengkam oleh ketakutan.

Demikianlah, beberapa saat kemudian, Manggada dan Laksana telah sampai ke rumah. Demikian mereka masuk ke ruang dalam, maka Ki Kertasana pun memberi isyarat agar keduanya ikut duduk bersama di amben besar di ruang itu bersama Ki Citrabawa dan Ki Pandi.

Dengan nada datar Ki Kertasana pun berkata, “Baru saja Ki Resa pulang...”

“Ki Resadana, maksud ayah?” bertanya Manggada.

“Ya. Ke Resa yang rumahnya di sebelah rumah Wira Sabet.”

Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Manggada itupun bertanya, “Apa yang dikatakannya?”

“Aku tahu, ia bermaksud baik. Ia mencoba untuk memperingatkan kami, orang-orang tua ini. bahwa kau telah melakukan satu perbuatan yang tidak dapat dimengerti oleh Ki Resa bahkan orang-orang sepadukuhan.”

“Ya. Ki Resa pun sudah langsung memperingatkan aku.”

“Kau harus tahu. Bahwa maksud Ki Resa itu baik...” berkata Ki Kertasana kemudian.

“Ya. Kami mengerti. Lalu, apa yang ayah katakan kemudian kepadanya?” bertanya Manggada.

“Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih dan berjanji untuk menyampaikan pesannya kepada kalian berdua.” jawab Ki Kertasana.

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Namun kemudian Manggada pun telah menceriterakan kesediaannya untuk berbicara dengan Wira Sabet.

“Ki Jagabaya telah menyetujuinya” berkata Manggada.

Ki Kertasana menarik nafas panjang. Kamudian katanya, “Memang satu langkah yang berbahaya”

“Satu kemungkinan ayah...” berkata Manggada “Jika kemungkinan ini gagal, maka agaknya tidak ada kemungkinan lain kecuali dengan kekerasan. Cara yang sebaiknya dihindari sejauh-jauhnya. Namun yang justru merupakan cara yang paling sering dipergunakan oleh banyak orang.”

Ki Kertasana mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Jika kalian merasa mampu melakukannya. Namun orang-orang tua hanya dapat berpesan agar kalian sangat berhati-hati. Sesuatu yang tidak terduga mungkin akan terjadi.”

“Baiklah ayah.. ” jawab Manggada “Besok aku akan berusaha menemui paman Wira Sabet. Kami memang berharap bahwa yang dapat kami temui mula-mula adalah paman Wira Sabet. Bukan paman Sura Gentong...”

Ki Kertasana memang sependapat. Katanya, “Agaknya Wira Sabet memang tidak segarang Sura Gentong. Apalagi kesalahan ini bermula dari tingkah laku Sura Gentong. Saat itu Wira Sabet hanya membela adiknya yang dalam keadaan terjepit. Tetapi ternyata ia sudah melukai Ki Jagabaya sehingga karena itu, maka ia telah menjadi buruan pula pada waktu itu. Namun setelah bertahun-tahun berlalu, maka keduanya kembali tidak lagi sebagai buruan, tetapi justru sebagai orang-orang yang sangat ditakuti”

“Tetapi bukankah belum pernah ada orang yang membuktikan atau menjajagi kemampuan mereka yang sebenarnya?” bertanya Laksana tiba-tiba.

“Nampaknya memang belum. Tetapi sikapnya, kawan-kawan yang dibawanya serta saudara-saudara seperguruannya telah meyakinkan orang-orang padukuhan ini, bahwa Wira Sabet dan Sura Gentong adalah orang-orang yang sangat ditakuti”

Manggada mengangguk-angguk. Sementara Laksanapun berkata, “Cara mereka menakuti-nakuti orang-orang padukuhan ini memang pantas mendapat pujian, paman. ”

Ki Kertasana tidak membantah. Namun satu kenyataan bahwa seluruh isi padukuhan itu menjadi ketakutan kecuali Ki Jagabaya dan anak laki-laki. Bahkan Nyi Jagabaya dan Tantri nampaknya juga tidak menjadi ketakutan. Meskipun membayang juga kecemasan.

Ternyata anak laki-laki Ki Jagabaya itu selalu membawa keris meskipun ia sedang di rumah. Demikianlah, maka Manggada dan Laksana sudah sepakat, di keesokan harinya, mereka akan berada di halaman rumah Wira Sabet lagi.

“Mudah-mudahan Wira Sabet melihat halaman rumahnya yang kotor itu.. ” berkata Laksana.

Di malam hari, ketika Manggada dan Laksana duduk di serambi, Ki Pandi telah duduk pula bersama mereka. Ketiganya berbincang tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi jika Wira Sabet dan Sura Gentong tidak dapat diajak berbicara”

“Kita harus bersepakat dengan Ki Jagabaya. Jika terjadi sesuatu, maka baik pada keluarga Ki Jagabaya, maupun keluarga kita disini, masing-masing membunyikan tanda bahaya. Jika kekuatan kita dan kekuatan yang ada di rumah Ki Jagabaya bergabung, mungkin akan dapat mengatasi kekuatan Wira Sabet dan kawan-kawannya, termasuk Ki Sapa Aruh” berkata Laksana.

“Kita disini mempunyai banyak kawan” sahut Manggada “sedangkan Ki Jagabaya hanya dua orang, tetapi isyarat itu mungkin akan mempunyai pengaruh yang lebih luas jika perlawanan memang sudah terjadi”

Dalam pada itu, Ki Pandipun berkata “Yang penting memang keluarga ki Jagabayalah yang harus membunyikan isyarat jika terjadi sesuatu atas keluarga mereka. Tetapi Nyi Jagabaya dan anak perempuannya tentu termasuk orang-orang yang berani”

“Apakah Tantri memiliki kelebihan sebagaimana Winih?” tiba-tiba Laksana bertanya.

“Aku kira tidak” jawab Manggada “Tantri tidak pernah meninggalkan rumahnya. Jika ia memiliki kemampuan tentu hanya warisan dari ayahnya. Mungkin serba sedikit Tantri memiliki bekal untuk membela diri”

“Baiklah” berkata Laksana “besok kita menemui Wira sabet, kemudian memberikan laporan kepada Ki Jagabaya”

Demikian seperti yang mereka rencanakan, maka ketika matahari mulai memanjat kaki langit, Manggada dan Laksanapun telah bersiap. Setelah makan pagi, maka mereka berdua telah pergi ke halaman rumah Wira Sabet.

Ketika Ki Resa melihat keduanya, ia menjadi terkejut. Setelah melihat tidak ada orang lain di sepanjang jalan, maka iapun medekati Manggada dan Laksana sambil berkata, "Aku kemarin pergi ke rumahmu. Apakah ayahmu tidak mengatakan sesuatu?”

“Ya, paman. Ayah memang menyampaikan pesan bagi kami berdua. Bahkan ayah juga sudah berpesan, agar kami tidak datang kembali ke halaman rumah ini” jawab Manggada.

“Jadi kenapa kau kembali lagi?” desak Ki Resa.

“Kami masih saja selalu ingin berbicara dengan paman Wira Sabet” jawab Manggada.

“Sekali lagi aku peringatkan, ngger. Itu sangat berbahaya”

“Kami mengucapkan terima kasih paman. Sebagaimana ayah katakan, maksud paman memang baik. Tetapi kami mempunyai pertimbangan tersendiri paman”

Ki Resa menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada itu, dua orang berjalan tergesa-gesa melewati jalan di muka rumah Wira Sabet. Ketika Ki Resa bertanya, apa yang terjadi, maka seorang di antara mereka menjawab, “Wira Sabet dan anaknya bersama dua orang pengawalnya akan lewat jalan ini”

Kedua orang itu tidak berhenti. Tetapi merekapun berjalan semakin cepat. Dalam pada itu Ki Resapun menjadi gelisah. Katanya, “Marilah ngger. Masuk ke rumahku”

Tetapi Manggada tersenyum sambil menjawab, “Aku disini saja, paman.”

Karena Manggada dan Laksana tetap tidak mau ketika Ki Resa mendesak, maka Ki Resa sendiri dengan tergesa-gesa masuk ke regol sambil bergumam “Anak-anak yang keras kepala...”

Sepeninggal Ki Resa, maka Manggada dan Laksanapun telah duduk di tangga rumah Wira Sabet yang tidak terpelihara itu. Namun bagaimanapun juga, keduanya memang menjadi berdebar-debar. Tetapi karena keduanya sudah bertekad untuk menjadi penghubung antara bebahu padukuhan itu dengan Wira Sabet, maka mereka benar-benar berusaha untuk dapat berbicara.

Demikianlah, seperti yang dikatakan oleh kedua orang yang dengan tergesa-gesa melintas di jalan di depan rumah itu, maka Wira Sabet benar-benar telah lewat. Bahkan kemudian berhenti dan melangkah memasuki halaman rumahnya. Wira Sabet terkejut ketika ia melihat kedua orang anak muda itu sudah duduk di tangga rumahnya.

“Maaf paman. Pagi-pagi kami sudah ada disini. Kami memang tidak mempunyai pekerjaan apapun di rumah. Karena itu, maka kami segera teringat pohon duwet dan pohon manggis yang kebetulan sedang berbuah...” berkata Manggada.

Wira Sabet tidak sempat menjawab. Tiba-tiba saja Manggada yang melihat anak Wira Sabet yang datang bersama ayahnya itu dengan serta merta telah menyapanya, “He, kau Pideksa. Seperti namamu, kau tumbuh menjadi seorang anak muda yang gagah”

Manggada memang sebenarnya agak ragu. Apakah Pideksa itu masih juga seperti masa kecil mereka, saat mereka bermain bersama dan sekali-sekali bertengkar dan berkelahi, namun kemudian bermain kembali.

Tetapi ternyata Pideksa itupun menanggapi. Meskipun anak muda itu harus mengingat sejenak. Tetapi iapun segera melangkah mendekati sambil berkata, “Manggada. Bukankah kau Manggada?”

“Ya” jawab Manggada yang melangkah mendekat sambil berkata, “Sudah lama sekali kita tidak bertemu. Baru beberapa hari aku pulang dari rumah pamanku. Dan ini adalah adik sepupuku.”

Pideksa memandang Laksana sekilas. Ketika Laksana mengangguk, maka Pideksa pun mengangguk pula. “Aku memang mendengar kau baru saja pulang” jawab Pideksa kemudian.

“Aku merasa rindu pada kampung halamanku...” berkata Manggada.

Pideksa mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian “Aku juga sudah lama meninggalkan padukuhan ini. Sekarang aku juga ingin pulang kembali...”

“Padukuhan ini akan menjadi ceria kembali. Kita akan membangunkan keceriaan masa kanak-kanak kita...” berkata Manggada.

“Tetapi keadaan sudah berubah...” berkata Pideksa yang kemudian berpaling kepada ayahnya. Katanya, “Harus ada pembaharuan di padukuhan ini...”

“Aku sudah pernah mengatakannya kepada Manggada.“ berkata Wira Sabet.

“Jadi ayah pernah bertemu dengan Manggada sebelumnya?” bertanya Pideksa.

“Ya. Bukankah aku sudah mengatakannya? Karena itu, aku sengaja mengajakmu. Bukankah kalian kawan bermain di masa kanak-kanak?!”

Pideksa mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Kami adalah kawan bermain di masa kanak-kanak. Tetapi apakah kami masih akan dapat bersahabat seperti di masa kanak-kanak itu?”

“Kenapa tidak?” bertanya Manggada.

“Sudah aku katakan. Keadaan sudah berubah!” jawab Pideksa. Lalu katanya pula, “Kita harus berani berbuat sesuatu untuk membangunkan orang-orang padukuhan ini yang tertidur.”

“Aku sependapat...” jawab Manggada dengan serta merta “Jika kita, maksudku, anak-anak muda bangkit untuk berbuat sesuatu yang berarti, maka segala sesuatunya tentu akan segera menjadi baik.”

“Kalian tidak perlu berbicara tentang perubahan-perubahan. Itu sudah kami pikirkan. Kalian akan menerima perintah-perintah untuk malakukan tugas-tugas kalian.” berkata Wira Sabet kemudian.

“Tetapi ayah memerlukan pikiran dan pendapat anak-anak muda...“ sahut Pideksa.

“Itu akan dilakukan kemudian...” jawab Wira Sabet “Tetapi kamilah yang akan meletakkan dasar-dasar pembaharuan itu.”

“Itulah yang ingin kami bicarakan dengan paman.” berkata Manggada meskipun dengan agak ragu.

Wira Sabet mengerutkan keningnya. Dipandanginya Manggada dan Laksana yang baginya merupakan orang-orang aneh di padukuhan itu. Keduanya sama sekali tidak menjadi ketakutan melihat kedatangannya. Namun Wira Sabet berpendapat, mungkin karena kedua orang anak muda itu masih belum tahu benar, apa yang telah terjadi di padukuhan itu.

“Apa yang ingin kau bicarakan dengan ayah?” justru Pideksalah yang bertanya.

Manggada termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Paman, aku mohon waktu sejenak untuk berbicara dengan paman. Persoalannya memang demikian mendesak, sementara kami belum tahu dimana paman tinggal.”

Wajah Wira Sabet berkerut. Sementara itu, dua orang pengikutnyapun memperhatikan Manggada dengan sungguh-sungguh.

“Kalian akan berbicara tentang apa?” bertanya Wira Sabet meskipun ia tidak begitu senang mendengarnya.

“Tentang padukuhan kita ini, paman.” jawab Manggada.

“Sudah aku katakan, biarlah kami yang meletakkan dasar-dasar dari perubahan-perubahan yang perlu bagi padukuhan kita. Kalian dan orang-orang padukuhan ini tinggal melaksanakan belandaskan dasar-dasar yang akan kami letakkan itu”

Manggada dan Laksana justru melangkah mendekati Wira Sabet, sementara Pideksa pun telah bergeser pula. “Paman” berkata Manggada “Kami mohon waktu sebentar saja untuk menyampaikan satu pesan”

Wira Sabet termangu-mangu sejenak. Namun Pideksalah yang kemudia bertanya, “Pesan apa dan dari siapa?”

Manggada memandang Wira Sabet sejenak. Ia masih berpengharapan bahwa Wira Sabet akan mau mendengarkannya.

Sebenarnyalah Wira Sabet itu berkata, “Katakan...”

“Paman. Di padukuhan ini masih terdapat bebahu-bebahu yang sampai saat ini masih tetap diakui kedudukannya. Karena itu, bukankah lebih baik jika diselenggarakan satu pembicaraan antara paman dan para bebahu? Menurut keterangan yang kami dengar, padukuhan ini tiba-tiba saja telah dicengkam oleh satu keadaan yang tidak pasti. Satu dengan yang lain tidak mengetahui apa yang dikehendaki oleh masing-masing pihak. Akibatnya adalah kebekuan dan ketegangan seperti sekarang ini. Bahkan padukuhan ini seakan-akan sedang dirambah oleh wabah yang sangat menakutkan sehingga setiap orang tidak berhubungan yang satu dengan yang lain. Jika keadaan ini berlangsung lebih lama, maka kehidupan di padukuhan ini akan berhenti.”

Wajah Wira Sabet menjadi tegang. Ia menjadi semakin heran menghadapi sikap kedua orang anak muda itu. Sementara itu, Manggada pun berkata selanjutnya,

“Karena itu paman, maka diperlukan satu pemecahan. Harus ada jalan keluarnya, agar kehidupan di padukuhan ini dapat kembali seperti sediakala. Kanak-kanak dapat bermain dengan bebas di halaman dan bahkan di jalan-jalan padukuhan. Orang-orang pergi ke sawah dan pategalan tanpa dibayangi oleh ketakutan dan kecemasan. Perempuan yang ditinggal suami pergi ke sawah tidak dihantui oleh hal-hal yang tidak dimengerti”

Kening Wira Sabet menjadi semakin berkerut. Namun Manggada itu masih berkata pula “Paman. Jika paman bersedia, maka para bebahu menghendaki untuk berbicara mencari pemecahan yang paling baik bagi padukuhan ini”

Wira Sabet menjadi semakin tegang. Namun kemudian iapun bertanya dengan nada berat “Siapa yang memberikan pesan itu? Siapa pula yang menyatakan bersedia untuk melakukan pembicaraan dengan kami?”

“Ki Jagabaya” jawab Manggada “Jika paman bersedia, maka dapat ditentukan, kapan pembicaraan itu dilakukan dan dimana”

Wira Sabet itupun menggeram. Dengan lantang ia berkata “Kau kira aku seorang yang dungu?”

Manggada mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia berkata “Mungkin akulah yang dungu. Tetapi mengapa?”

“Ki Jagabaya tentu berusaha menjebakku. Ia masih menyimpan dendam di hatinya, karena aku pernah melukainya. Saat itu aku memang tidak sengaja. Dalam keadaan yang hiruk pikuk, maka golok di tanganku telah menggores dadanya, sehingga sebuah luka yang agak dalam menyilang panjang...”

“Tetapi Ki Jagabaya tidak pernah mengatakannya. Yang disebutnya adalah satu usaha untuk memecahkan satu persoalan yang kini mencengkam padukuhan ini. Tatanan kehidupan yang porak poranda. Kecemasan dan ketakutan yang mencengkan serta ketimpangan-ketimpangan lain yang perlu dibenahi...”

“Tetapi itu semua hanyalah lamis. Yang sebenarnya adalah, Ki Jagabaya itu ingin membalas dendam dengan cara yang paling licik. Ia tidak berani menentangku perang tanding atau cara lain yang lebih jantan”

“Memang tidak, paman...“ sahut Manggada, “Ki Jagabaya memang berusaha untuk mencari pemecahan masalah dengan mengesampingkan penggunaan kekerasan.”

“Itu dilakukan karena ia berada dalam ketakutan...” Wira Sabet hampir berteriak.

“Mungkin paman benar. Ki Jagabaya memang dicengkam oleh ketakutan. Bukan saja bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi seisi padukuhan ini. Karena jika keadaan ini berlangsung lama, maka seperti yang aku katakan tadi, kehidupan di padukuhan ini akan menjadi semakin surut. Orang-orang padukuhan ini akan menjadi kekurangan pangan, kehilangan kesempatan dan akhirnya menjadi putus asa...”

“Itu adalah salah mereka sendiri. Jika mereka tidak bertindak sewenang-wenang dan tidak merasa bersalah, maka mereka tidak akan merasa ketakutan...”

“Ketakutan atas dendam dan kebencian terhadap mereka?”

“Itu adalah bayangan di kepala mereka masing-masing. Tidak ada yang mendendam dan tidak ada yang menaburkan kebencian. Jika yang dimaksudkan mendendam dan menyebarkan kebencian itu adalah aku dan adikku, maka yang sebenarnya kami berdua hanya ingin membuat satu langkah pembaharuan justru untuk kesejahteraan padukuhan ini” berkata Wira Sabet.

Dalam pada itu Pideksa pun menyambung, “Nah, meskipun kau anak padukuhan ini, tetapi kau dalam persoalan ini dapat dianggap orang baru yang salah menilai keadaan...”

Tetapi Manggada menjawab, “Tetapi justru karena kesalah-pahaman itulah, maka aku semakin yakin bahwa pertemuan dan pembicaraan itu perlu dilakukan. Dengan saling memberikan penjelasan maka persoalannya akan dapat diluruskan. Bahkan mungkin rancangan paman tentang pembaharuan itu justru akan mendapat dukungan dari para bebahu padukuhan ini..”

Wira Sabet termangu-mangu sejenak. Namun Pideksalah yang kemudian menyahut, “Mungkin pikiran Manggada ada juga benarnya ayah. Jika keinginan ayah dan paman Sura Gentong dapat dimengerti dan diterima oleh para bebahu, bukankah tidak ada alasan untuk menitikkan keringat dan apalagi darah.”

Wira Sabet masih nampak ragu-ragu. Namun kemudian katanya, “Aku akan membicarakannya dengan pamanmu Sura Gentong dan Ki Sapa Aruh...”

“Jika demikian, maka besok kita akan menemui Manggada lagi...” berkata Pideksa.

“Baiklah. Besok kau tunggu aku disini pada waktu seperti ini. Aku akan memberikan keterangan tentang pendapatmu itu...”

“Terima kasih paman...” jawab Manggada.

“Sekarang, aku akan kembali untuk membicarakannya...” berkata Wira Sabet itu sambil melangkah.

Namun Manggada itu berkata, “Paman, bukankah aku masih diijinkan untuk mengambil duwet?”

“Ambillah seberapa kau suka...” jawab Wira Sabet.

“Terima kasih paman...” jawab Manggada. Namun kemudian Manggada itupun masih bertanya kepada Pideksa “Pideksa, apakah kau masih juga sering mencari ikan dan ketam di sungai kecil itu?”

Pideksa yang juga sudah melangkah mengikuti ayahnya berhenti dan berpaling. Sambil tertawa ia berkata, “Itu terjadi masa kanak-kanak kita Manggada. Sekarang kita sudah berubah. Kau tentu tidak pernah pula turun ke sungai untuk mencari ketam dan ikan sejak kau pulang”

Manggada mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tertawa. Ketika Pideksa sudah akan melangkah, Manggada bertanya lagi, “Pideksa, apakah kau masih sering bertemu dengan Timbang, Wisesa dan barangkali Sampurna? Apakah kau juga pernah singgah di rumah paman Resa sebelah?”

Pideksa tertawa berkepanjangan. Katanya, “Mereka tidak pernah nampak. Tetapi akupun jarang sekali datang ke padukuhan ini. Tidak tentu sepuluh hari atau setengah bulan sekali. Meskipun demikian, aku tahu, kau masih juga anak yang paling berani di antara kawan-kawan kita bermain, Manggada...”

“Apa hubungannya dengan keberanian?” bertanya Manggada.

“Aku melihat jawabnya di senyummu itu...” jawab Pideksa.

Pideksa tidak menunggu jawaban Manggada. Iapun kemudian telah melangkah pergi mengikuti ayahnya yang sudah turun ke jalan. Kedua orang kawan ayahnya yang menyertai merekapun segera pergi pula meninggalkan halaman rumah yang kotor itu.

Ternyata Wira Sabet tidak meneruskan perjalanannya mengelilingi padukuhan itu seperti kemarin. Tetapi Wira sabet telah melangkah kembali ke arah darimana ia datang.

Sepeninggal Wira Sabet, anaknya dan kawan-kawannya, maka Laksana pun bergumam, “Anak itu cukup cerdik”

“Ya. Sejak kanak-kanak ia memang terhitung cerdik, tetapi juga licik. Aku tidak tahu apa sebenarnya yang bermain di kepalanya. Apakah ia sejalan dengan sikap ayah dan pamannya atau ada perbedaan-perbedaan yang berarti. Namun bagaimanapun juga, kita harus berhati-hati terhadapnya...” sahut Manggada.

“Nah, sekarang apa yang akan kita lakukan?”

“Kita pergi ke rumah Ki Jagabaya. Tetapi kita akan singgah sebentar di rumah Ki Resa sebelah...”

“Untuk apa?” bertanya Laksana.

“Paman Resa tentu menjadi cemas tentang nasib kita. Karena itu, jika ia melihat kita tidak mengalami sesuatu, maka ia akan menjadi tenang” jawab Manggada.

Sebenarnyalah mereka berdua telah singgah di rumah Ki Resa. Demikian mereka dipersilahkan masuk ke ruang dalam, maka Ki Resa itupun berkata, “Hatiku tinggal sebesar biji sawi, ngger. Aku cemas apakah kalian tidak mengalami nasib buruk...”

“Ternyata kami tidak mengalami perlakuan buruk, paman. Kita dapat berbicara dengan lebih terbuka. Bahkan Pideksa masih tetap mengenal aku sebagai kawannya bermain di masa kanak-kanak...”

“Beruntunglah kau...” berkata Ki Resa. Namun katanya kemudian “Meskipun demikian, aku tetap memperingatkanmu. Jauhi orang itu sebelum kau mengalami perlakuan yang tidak diharapkan”

“Aku berharap bahwa usahaku untuk mendekatinya berhasil, paman...” jawab Manggada yang kemudian minta diri untuk meninggalkan rumah Ki Resadana....

Selanjutnya,
Sejuknya Kampung Halaman Bagian 08

Sejuknya Kampung Halaman Bagian 07

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
“TIDAK...!” jawab Ki Jagabaya “Aku bertemu dengan Ki Resa di jalan ketika Ki Resadana sedang pergi ke rumahmu...”

“Ke rumahku?” bertanya Manggada dengan heran.

“Ya. Ki Resadana ingin memberitahukan kepada ayahmu, bahwa kau baru saja mekakukan pekerjaan yang sangat berbahaya. Menurut Ki Resa, ia tidak sampai hati untuk tetap berdiam diri. Jika terjadi sesuatu atas kalian berdua, maka Ki Resadana akan ikut merasa bersalah.”

Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Sambil mengangguk-angguk Manggada itupun berkata, “Ki Resa bermaksud baik. Tetapi paman Resadana tidak tahu maksudku yang sebenarnya meskipun aku sudah mengatakan. Aku berniat untuk menunjukkan kepada paman Wira Sabet bahwa ia bukan hantu di padukuhan ini...”

Ki Jagabaya tersenyum. Katanya, “Ia akan mendapat penjelasan dari ayahmu.”

Manggada mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Yang kemudian berbicara adalah Sampurna. Ia menyampaikan pendapat Wisesa untuk mencoba berbicara dengan Wira Sabet dan Sura Gentong.

Tetapi Ki Jagabaya berkata, “Tidak ada gunanya. Kita hanya akan mebuang-buang waktu dan tenaga.”

Namun Sampurna itupun berkata, “Manggada bersedia untuk melakukan pembicaraan pendahuluan ayah. Mungkin ada juga gunanya ayah menjajagi maksudnya?”

“Bukankah sudah jelas bagi kita, dan mereka datang untuk membalas dendam? Mereka dengan telah mengatur menimbulkan ketakutan dan ketegangan pada padukuhan ini. Mereka mengancam orang-orang padukuahn dengan segala macam cara!”

“Tetapi barangkali kedua orang itu akan dapat dihentikan dengan syarat tertentu. Mungkin mereka mengajukan syarat-syarat itu. Jika saja syarat itu masih wajar, bukankah kita akan dapat memenuhinya?”

Ki Jagabaya memandang Manggada dengan kerut di dahi. Namun kemudian ia bertanya, “Apakah kau ingin mencobanya?”

“Jika Ki Jagabaya setuju, kami akan mencoba berbicara. Tetapi hasilnya, kami tidak dapat mengatakannya.”

Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Jika kau ingin mencobanya, tetapi berhati-hatilah. Bagaimanapun juga kedua orang itu adalah orang-orang yang berbahaya. Bertahun-tahun mereka mempersiapkan diri untuk melakukan balas dendam. Karena itu, agaknya memang sulit untuk mencairkan maksud mereka itu. Tetapi agaknya segala cara memang dapat dicoba.”

“Terima kasih atas kepercayaan Ki Jagabaya. Sebenarnya kami telah didorong untuk ikut membantu memecahkan persoalan-persoalan yang timbul sejauh dapat kami lakukan.”

“Aku mengerti Manggada. Karena itu sejak semula aku menghargai kesediaanmu itu. Tentu saja segala sesuatunya tidak hanya tergantung kepada kalian berdua.”

Dengan persetujuan Ki Jagabaya itu, maka Manggada dan Laksana kemudian harus mempersiapkan diri untuk melakukan tugas yang labih berat. Beberapa saat kemudian, maka keduanya itupun telah minta diri. Tantri dan Nyi Jagabaya telah datang pula ke serambi saat keduanya akan meninggalkan rumah itu.

“Berhati-hatilah ngger....“ pesan Nyi Jagabaya.

“Ya Nyi. Kami akan berhati-hati” jawab Manggada.

Demikianlah, maka Manggada dan Laksana itupun meninggalkan rumah Ki Jagabaya. Di jalan pulang mereka tidak banyak bertemu dengan penghuni padukuhannya. Satu dua orang nampak turun ke jalan dengan tergesa-gesa. Kemudian hilang di balik pintu-pintu regol halaman.

“Aku tidak pernah mendengar suara orang menumbuk padi...“ berkata Laksana.

Manggada mengangguk. Katanya, “Ya. Aku tidak tahu bagaimana caranya mereka mendapatkan beras. Mungkin mereka juga menumbuk padi, tetapi di dalam rumah atau di dapur, sehingga suaranya dapat sedikit diredam agar tidak terdengar dari jalan ini”

Laksana mengangguk-angguk. Namun keduanya berhenti ketika mereka melihat seekor burung gelatik yang kakinya terikat benang terbang melintasi dinding halaman dan turun ke jalan. Tiba-tiba saja seorang anak muncul dari balik pintu regol. Agaknya gelatik itu adalah milik anak itu yang terlepas saat diunda benang. Tetapi demikian anak itu melihat Manggada dan Laksana, maka serta merta anak itu kembali masuk ke halaman.

Manggada sempat menangkap burung yang tidak dapat terbang jauh itu. Kemudian mendorong pintu regol untuk menyerahkan gelatik itu pada pemiliknya. Namun ia tidak melihat seseorang di halaman itu lagi. Karena itu, maka Manggada dan Laksana pun telah masuk pula ke halaman. Sambil mengetuk pinju rumah itu Manggada berkata,

“Aku mengembalikan burung yang terlepas itu. Bukalah pintu rumahmu. Aku tidak apa-apa. Jangan takut...”

Manggada dan Laksana mendengar anak itu merengek. Karena itu, ia mengulangi. “Ini gelatikmu adik kecil...”

Pintu rumah itu akhirnya terbuka. Seorang laki-laki berdiri di muka pintu rumah itu. Sejenak Manggada termangu-mangu. Namun kemudian sambil tersenyum ia berdesis, “Timbang. Bukankah kau Timbang yang rambutnya selalu dicukur dengan kuncung diubun-ubun?”

Orang itu memandang Manggada dengan tajamnya. Namun kemudian iapun tertawa pula sambil berkata, “Manggada. Kau tentu Manggada yang sudah sejak lama tidak nampak di padukuhan ini?”

“Ya, aku Manggada. Dan ini adalah adik sepupuku, Laksana”

“Marilah, masuklah...“ Timbang itu mempersilahkan.

Demikianlah, maka kedua orang anak muda itu duduk di ruang depan rumah Timbang yang tidak terlalu besar. Namun rumah yang sederhana itu nampak terpelihara rapi. Sementara itu seorang anak berdiri termangu-mangu didepan pintu ruang dalam.

“Siapakah anak ini?” bertanya Manggada.

“Anakku...!” jawab Timbang.

“Anakmu? Jadi kau sudah mempunyai anak?”

Timbang tersenyum sambil berkata, “Ya. Aku kawin muda...”

“Siapakah isterimu? Apakah juga anak padukuhan ini?” bertanya Manggada.

“Ya. Dari padukuhan ini. Tetapi tentu sudah bukan anak-anak lagi...” jawab Timbang.

“Siapakah isterimu itu?” bertanya Manggada.

Wajah Timbang itu menjadi kemerah-merahan. Ia sudah menduga bahwa Manggada tentu akan mentertawakannya. Namun demikian, Timbang itupun kemudian menjawab, “Perti”

Sebenarnyalah Manggada tertawa. Katanya, “Aku sudah mengira. Isterimu itu tentu Perti. Sejak kecil kalian selalu berdua. Bahkan kadang-kadang memisahkan diri dari kelompok anak-anak yang sedang bermain.”

Timbang juga tertawa. Sementara itu Manggada bertanya “Dimana isterimu sekarang, he? Ia tentu tidak akan lupa kepadaku, meskipun sudah lama tidak bertemu?”

Timbang memang agak ragu-ragu. Katanya, “Mungkin ia malu menemuimu.”

“Kenapa? Jika ia tidak mau keluar, aku akan mencarinya ke dalam...” berkata Manggada.

Timbang tertawa. Tetapi iapun kemudian bangkit berdiri. Tetapi sebelum ia beranjak pergi, Manggada berkata, “Ini gelatik anakmu yang lepas dan terbang keluar halaman...”

Timbang tertegun. Namun kemudian ia berlutut di sebelah anaknya sambil berkata, “Nah, mendekatlah. Paman itu baik. Ia akan mengembalikan gelatikmu yang terlepas.”

Anak itu memang ragu-ragu. Namun kemudian iapun melangkah mendekati. Ia menerima burung gelatik yang masih terikat benang yang diberikan oleh Manggada. Namun ayahnyapun berkata, “Kau harus mengucapkan apa?”

Anak itu memandang wajah Manggada. Wajah itu memang nampak bening dan tidak menakutkan. Karena itu maka anak itupun berkata, “Terima kasih, paman!”

“Bagus!“ sahut Manggada sambil menepuk pipi anak itu “Kau akan menjadi anak yang pandai”

Anak itupun kemudian segera berlari masuk ke ruang dalam. Sementara Manggada berkata, “Ia akan menjadi anak pandai. Berbeda dengan kau waktu kecil. Pemalu dan sedikit pemarah. Jika ada anak yang nakal terhadap Perti, kau langsung memukulnya, tidak peduli anak itu jauh lebih besar dari kau sendiri.”

“Ah, tidak!” jawab Timbang sambil memandangi Laksana yang tersenyum-senyum. Katanya kemudian kepada Laksana. “Kakak sepupumu ini termasuk anak yang paling suka berkelahi di masa kecilnya. Tetapi ia mempunyai kelebihan. Ia anak yang bandel. Jarang menangis meskipun ia menderita kesakitan yang sangat. Mungkin berkelahi, mungkin dilempar batu anak-anak nakal atau bahkan terjatuh dari pepohonan.”

Laksanapun tertawa mendengarnya. Ia percaya akan ceritera itu. Manggada sampai dewasanya termasuk anak muda yang mempunyai daya tahan yang sangat tinggi. Pandai memanjat dan memiliki ketrampilan sebagai perkembangan kebiasaan berkelahi di masa kecilnya.”

Tetapi Manggada itu sendiri berkata, “Aku bukan termasuk anak yang suka berkelahi. Hitung. Bukankah aku jarang sekali berkelahi?”

Timbangpun tertawa. Namun Manggada berkata pula, “Mana Perti itu? Atau aku yang mencarinya sampai kedapur?"

Timbang tidak dapat berbuat lain. Iapun kemudian masuk ke ruang dalam rumahnya untuk memanggil isterinya. Perti yang ada di dapur juga tidak dapat menolak ketika suaminya membimbingnya ke ruang depan rumahnya yang tidak besar itu. Kepada isterinya Timbang berkata, “Lebih baik kau kesana daripada Manggada melihat isi rumah dan dapur kita...”

Perti memang menjadi tersipu-sipu. Tetapi iapun kemudian muncul juga di ruang depan.

“Nah...” berkata Manggada sambil bangkit berdiri “Tetapi aku yakin, bahwa yang ini bukan sekedar bermain-main?”

Perti menunduk untuk mnyembunyikan wajahnya yang kemerah-merahan. Namun kemudian dengan suara lirih ia bertanya, “Kapan kau kembali Manggada?”

“Baru beberapa hari...” jawab Manggada yang kemudian telah dipersilahkan untuk duduk kembali.

“Kemana kau selama ini?” bertanya Perti kemudian.

“Aku berada di rumah paman. Ini adik sepupuku, putra paman itu!” jawab Manggada.

Perti menganggukkan kepalanya. Namun ia masih saja banyak menunduk. Manggadalah yang kemudian bertanya, “Tetapi bukankah rumahmu dahulu tidak disini, Timbang?”

“Ya. Rumah orang tuaku ada di sebelah tikungan itu. Tetapi setelah kami berkeluarga, maka kami membuat gubug kecil ini di tanah milik kakek.” jawab Timbang.

“Ternyata kalian telah pantas disebut ayah dan ibu...” berkata Manggada kemudian.

“Kau pun sudah pantas!” desis Perti.

Manggada tertawa. Sementara Timbang mengingat-ingat, “Anak perempuan yang manakah yang di masa kecilmu selalu dekat denganmu di setiap permainan?”

“Aku dekat dengan semua kawan-kawanku, laki-laki atau perempuan” jawab Manggada.

Tetapi Perti itu berkata, “Kau sering berkelahi dengan Tantri waktu kau kecil...”

Manggada tertawa. Katanya, “Ya, justru berkelahi...”

Demikianlah, beberapa saat mereka sempat berbicara tentang masa kecil mereka. Namun kemudian Perti itu berkata, “Baiklah. Silahkan duduk. Aku akan pergi ke dapur. Mungkin kalian haus?”

“Tidak. Terima kasih. Aku baru saja minum?” jawab Manggada yang bahkan kemudian berkata “Aku justru akan minta diri”

“Kau pergi kemana saja Manggada?” bertanya Timbang.

“Melihat-lihat keadaan padukuhan ini. Nampaknya terlalu sepi dan suasananya tidak menarik!” jawab Manggada.

“Apakah kau sudah tahu sebabnya?” bertanya Timbang pula.

“Sudah. Aku sudah mengatahui sebabnya.” jawab Manggada “Karena itu aku sedang mencari kawan-kawan bermain yang bersedia ikut memecahkan persoalan ini.”

“Apa maksudmu?” bertanya Timbang.

“Kita harus mencegah suasana seperti ini berkepanjangan. Suasana padukuhan ini harus dikembalikan seperti sediakala. Tenang, tenteram, tetapi hidup dan beriak.” jawab Manggada.

“Apakah kau belum tahu bahwa persoalannya mempunyai hubungan dengan dendam Wira Sabet dan Sura Gentong?” bertanya Timbang.

“Ya. Aku sudah tahu. Karena itu, kami berdua berniat untuk berbicara dengan Wira Sabet dan Sura Gentong untuk mendapatkan penyelesaian yang tuntas sehingga suasana yang tidak menentu ini tidak berkepanjangan. Bayangkan, bahwa sawah dan ladang tidak terpelihara dengan baik sekarang ini. Parit dan jalan-jalan tidak terawat karena semua orang berada dalam ketakutan. Jika keadaan seperti ini berlangsung lama, maka kesejahteraan penghuni padukuhan ini akan menjadi semakin lama semakin menurun. Hasil sawah akan susut dan pategalan bahkan tidak tergarap. Semua orang keluar dari rumahnya dengan tergesa-gesa karena mereka menghindari Wira Sabet dan Sura Gentong.” berkata Manggada dengan sungguh-sungguh.

“Itu tugas para bebahu. Disini ada Ki Bekel, Ki Jagabaya dan bebahu yang lain. Biarlah mereka mencari penyelesaian. Kita tinggal menunggu.” jawab Timbang.

Tetapi Manggada berkata sambil tertawa, “Kenapa kau tidak marah-marah kepada Wira Sabet dan Sura Gentong seperti masa kanak-kanakmu. Kau sama sekali tidak dapat tersinggung selembar benang pakaianmu. Kecuali oleh Perti...?”

“Ah...” Timbang tersenyum.

Sementara itu Manggada berkata selanjutnya, “Sudahlah. Kami mohon diri. Jika untuk sementara kau masih belum ingin untuk melibatkan diri, berdoa sajalah bagi kami. Mudah-mudahan kami dapat menemukan jalan keluar dari persoalan ini.”

Wajah Timbang menegang. Kemudian katanya, “Manggada. Untuk waktu yang lama kau meninggalkan padukuhan ini. Karena itu kau tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi disini. Karena itu, demi persahabatan kita sejak masa kanak-kanak, aku ingin memberikan peringatan kepadamu, bahwa sebaiknya kau urungkan saja niatmu untuk ikut mencampuri urusan ini.”

Sebelum Manggada menjawab, Perti pun berkata, “Manggada. Tidak seorangpun yang berani berbuat sesuatu disini. Bahkan nampaknya Ki Bekel pun tidak.”

“Baiklah...” sahut Manggada “Aku akan memperhatikan pendapatmu. Terima kasih atas kebaikan hatimu, karena aku tahu, peringatan itu kau berikan karena kau masih tetap menganggap aku sahabatmu sebagaimana di masa kanak-kanak itu.”

Demikianlah, maka Manggada dan Laksanapun segera minta diri. Dielusnya kapala anak Timbang itu sambil berkata “Jangan kau lepaskan lagi burung gelatikmu, adik kecil...”

Anak itu mengangguk, sementara Manggada berkata pula, “Paman minta diri, ya..”

Anak itu mengangguk lagi. Timbang dan Perti mengantar Manggada dan Laksana sampai ke pintu regol. Namun demikian keduanya turun ke jalan, maka Timbangpun segera menutup pintu regol itu. Tetapi tidak diselarak sebagaimana pintu-pintu regol halaman rumah yang lain.

Disepanjang jalan pulang, Manggada dan Laksana masih saja memperbincangkan sikap orang-orang padukuhan itu. Tetapi keduanya tidak dapat mengingkari kenyataan, betapa penghuni padukuhan itu dicengkam oleh ketakutan.

Demikianlah, beberapa saat kemudian, Manggada dan Laksana telah sampai ke rumah. Demikian mereka masuk ke ruang dalam, maka Ki Kertasana pun memberi isyarat agar keduanya ikut duduk bersama di amben besar di ruang itu bersama Ki Citrabawa dan Ki Pandi.

Dengan nada datar Ki Kertasana pun berkata, “Baru saja Ki Resa pulang...”

“Ki Resadana, maksud ayah?” bertanya Manggada.

“Ya. Ke Resa yang rumahnya di sebelah rumah Wira Sabet.”

Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Manggada itupun bertanya, “Apa yang dikatakannya?”

“Aku tahu, ia bermaksud baik. Ia mencoba untuk memperingatkan kami, orang-orang tua ini. bahwa kau telah melakukan satu perbuatan yang tidak dapat dimengerti oleh Ki Resa bahkan orang-orang sepadukuhan.”

“Ya. Ki Resa pun sudah langsung memperingatkan aku.”

“Kau harus tahu. Bahwa maksud Ki Resa itu baik...” berkata Ki Kertasana kemudian.

“Ya. Kami mengerti. Lalu, apa yang ayah katakan kemudian kepadanya?” bertanya Manggada.

“Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih dan berjanji untuk menyampaikan pesannya kepada kalian berdua.” jawab Ki Kertasana.

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Namun kemudian Manggada pun telah menceriterakan kesediaannya untuk berbicara dengan Wira Sabet.

“Ki Jagabaya telah menyetujuinya” berkata Manggada.

Ki Kertasana menarik nafas panjang. Kamudian katanya, “Memang satu langkah yang berbahaya”

“Satu kemungkinan ayah...” berkata Manggada “Jika kemungkinan ini gagal, maka agaknya tidak ada kemungkinan lain kecuali dengan kekerasan. Cara yang sebaiknya dihindari sejauh-jauhnya. Namun yang justru merupakan cara yang paling sering dipergunakan oleh banyak orang.”

Ki Kertasana mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Jika kalian merasa mampu melakukannya. Namun orang-orang tua hanya dapat berpesan agar kalian sangat berhati-hati. Sesuatu yang tidak terduga mungkin akan terjadi.”

“Baiklah ayah.. ” jawab Manggada “Besok aku akan berusaha menemui paman Wira Sabet. Kami memang berharap bahwa yang dapat kami temui mula-mula adalah paman Wira Sabet. Bukan paman Sura Gentong...”

Ki Kertasana memang sependapat. Katanya, “Agaknya Wira Sabet memang tidak segarang Sura Gentong. Apalagi kesalahan ini bermula dari tingkah laku Sura Gentong. Saat itu Wira Sabet hanya membela adiknya yang dalam keadaan terjepit. Tetapi ternyata ia sudah melukai Ki Jagabaya sehingga karena itu, maka ia telah menjadi buruan pula pada waktu itu. Namun setelah bertahun-tahun berlalu, maka keduanya kembali tidak lagi sebagai buruan, tetapi justru sebagai orang-orang yang sangat ditakuti”

“Tetapi bukankah belum pernah ada orang yang membuktikan atau menjajagi kemampuan mereka yang sebenarnya?” bertanya Laksana tiba-tiba.

“Nampaknya memang belum. Tetapi sikapnya, kawan-kawan yang dibawanya serta saudara-saudara seperguruannya telah meyakinkan orang-orang padukuhan ini, bahwa Wira Sabet dan Sura Gentong adalah orang-orang yang sangat ditakuti”

Manggada mengangguk-angguk. Sementara Laksanapun berkata, “Cara mereka menakuti-nakuti orang-orang padukuhan ini memang pantas mendapat pujian, paman. ”

Ki Kertasana tidak membantah. Namun satu kenyataan bahwa seluruh isi padukuhan itu menjadi ketakutan kecuali Ki Jagabaya dan anak laki-laki. Bahkan Nyi Jagabaya dan Tantri nampaknya juga tidak menjadi ketakutan. Meskipun membayang juga kecemasan.

Ternyata anak laki-laki Ki Jagabaya itu selalu membawa keris meskipun ia sedang di rumah. Demikianlah, maka Manggada dan Laksana sudah sepakat, di keesokan harinya, mereka akan berada di halaman rumah Wira Sabet lagi.

“Mudah-mudahan Wira Sabet melihat halaman rumahnya yang kotor itu.. ” berkata Laksana.

Di malam hari, ketika Manggada dan Laksana duduk di serambi, Ki Pandi telah duduk pula bersama mereka. Ketiganya berbincang tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi jika Wira Sabet dan Sura Gentong tidak dapat diajak berbicara”

“Kita harus bersepakat dengan Ki Jagabaya. Jika terjadi sesuatu, maka baik pada keluarga Ki Jagabaya, maupun keluarga kita disini, masing-masing membunyikan tanda bahaya. Jika kekuatan kita dan kekuatan yang ada di rumah Ki Jagabaya bergabung, mungkin akan dapat mengatasi kekuatan Wira Sabet dan kawan-kawannya, termasuk Ki Sapa Aruh” berkata Laksana.

“Kita disini mempunyai banyak kawan” sahut Manggada “sedangkan Ki Jagabaya hanya dua orang, tetapi isyarat itu mungkin akan mempunyai pengaruh yang lebih luas jika perlawanan memang sudah terjadi”

Dalam pada itu, Ki Pandipun berkata “Yang penting memang keluarga ki Jagabayalah yang harus membunyikan isyarat jika terjadi sesuatu atas keluarga mereka. Tetapi Nyi Jagabaya dan anak perempuannya tentu termasuk orang-orang yang berani”

“Apakah Tantri memiliki kelebihan sebagaimana Winih?” tiba-tiba Laksana bertanya.

“Aku kira tidak” jawab Manggada “Tantri tidak pernah meninggalkan rumahnya. Jika ia memiliki kemampuan tentu hanya warisan dari ayahnya. Mungkin serba sedikit Tantri memiliki bekal untuk membela diri”

“Baiklah” berkata Laksana “besok kita menemui Wira sabet, kemudian memberikan laporan kepada Ki Jagabaya”

Demikian seperti yang mereka rencanakan, maka ketika matahari mulai memanjat kaki langit, Manggada dan Laksanapun telah bersiap. Setelah makan pagi, maka mereka berdua telah pergi ke halaman rumah Wira Sabet.

Ketika Ki Resa melihat keduanya, ia menjadi terkejut. Setelah melihat tidak ada orang lain di sepanjang jalan, maka iapun medekati Manggada dan Laksana sambil berkata, "Aku kemarin pergi ke rumahmu. Apakah ayahmu tidak mengatakan sesuatu?”

“Ya, paman. Ayah memang menyampaikan pesan bagi kami berdua. Bahkan ayah juga sudah berpesan, agar kami tidak datang kembali ke halaman rumah ini” jawab Manggada.

“Jadi kenapa kau kembali lagi?” desak Ki Resa.

“Kami masih saja selalu ingin berbicara dengan paman Wira Sabet” jawab Manggada.

“Sekali lagi aku peringatkan, ngger. Itu sangat berbahaya”

“Kami mengucapkan terima kasih paman. Sebagaimana ayah katakan, maksud paman memang baik. Tetapi kami mempunyai pertimbangan tersendiri paman”

Ki Resa menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada itu, dua orang berjalan tergesa-gesa melewati jalan di muka rumah Wira Sabet. Ketika Ki Resa bertanya, apa yang terjadi, maka seorang di antara mereka menjawab, “Wira Sabet dan anaknya bersama dua orang pengawalnya akan lewat jalan ini”

Kedua orang itu tidak berhenti. Tetapi merekapun berjalan semakin cepat. Dalam pada itu Ki Resapun menjadi gelisah. Katanya, “Marilah ngger. Masuk ke rumahku”

Tetapi Manggada tersenyum sambil menjawab, “Aku disini saja, paman.”

Karena Manggada dan Laksana tetap tidak mau ketika Ki Resa mendesak, maka Ki Resa sendiri dengan tergesa-gesa masuk ke regol sambil bergumam “Anak-anak yang keras kepala...”

Sepeninggal Ki Resa, maka Manggada dan Laksanapun telah duduk di tangga rumah Wira Sabet yang tidak terpelihara itu. Namun bagaimanapun juga, keduanya memang menjadi berdebar-debar. Tetapi karena keduanya sudah bertekad untuk menjadi penghubung antara bebahu padukuhan itu dengan Wira Sabet, maka mereka benar-benar berusaha untuk dapat berbicara.

Demikianlah, seperti yang dikatakan oleh kedua orang yang dengan tergesa-gesa melintas di jalan di depan rumah itu, maka Wira Sabet benar-benar telah lewat. Bahkan kemudian berhenti dan melangkah memasuki halaman rumahnya. Wira Sabet terkejut ketika ia melihat kedua orang anak muda itu sudah duduk di tangga rumahnya.

“Maaf paman. Pagi-pagi kami sudah ada disini. Kami memang tidak mempunyai pekerjaan apapun di rumah. Karena itu, maka kami segera teringat pohon duwet dan pohon manggis yang kebetulan sedang berbuah...” berkata Manggada.

Wira Sabet tidak sempat menjawab. Tiba-tiba saja Manggada yang melihat anak Wira Sabet yang datang bersama ayahnya itu dengan serta merta telah menyapanya, “He, kau Pideksa. Seperti namamu, kau tumbuh menjadi seorang anak muda yang gagah”

Manggada memang sebenarnya agak ragu. Apakah Pideksa itu masih juga seperti masa kecil mereka, saat mereka bermain bersama dan sekali-sekali bertengkar dan berkelahi, namun kemudian bermain kembali.

Tetapi ternyata Pideksa itupun menanggapi. Meskipun anak muda itu harus mengingat sejenak. Tetapi iapun segera melangkah mendekati sambil berkata, “Manggada. Bukankah kau Manggada?”

“Ya” jawab Manggada yang melangkah mendekat sambil berkata, “Sudah lama sekali kita tidak bertemu. Baru beberapa hari aku pulang dari rumah pamanku. Dan ini adalah adik sepupuku.”

Pideksa memandang Laksana sekilas. Ketika Laksana mengangguk, maka Pideksa pun mengangguk pula. “Aku memang mendengar kau baru saja pulang” jawab Pideksa kemudian.

“Aku merasa rindu pada kampung halamanku...” berkata Manggada.

Pideksa mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian “Aku juga sudah lama meninggalkan padukuhan ini. Sekarang aku juga ingin pulang kembali...”

“Padukuhan ini akan menjadi ceria kembali. Kita akan membangunkan keceriaan masa kanak-kanak kita...” berkata Manggada.

“Tetapi keadaan sudah berubah...” berkata Pideksa yang kemudian berpaling kepada ayahnya. Katanya, “Harus ada pembaharuan di padukuhan ini...”

“Aku sudah pernah mengatakannya kepada Manggada.“ berkata Wira Sabet.

“Jadi ayah pernah bertemu dengan Manggada sebelumnya?” bertanya Pideksa.

“Ya. Bukankah aku sudah mengatakannya? Karena itu, aku sengaja mengajakmu. Bukankah kalian kawan bermain di masa kanak-kanak?!”

Pideksa mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Kami adalah kawan bermain di masa kanak-kanak. Tetapi apakah kami masih akan dapat bersahabat seperti di masa kanak-kanak itu?”

“Kenapa tidak?” bertanya Manggada.

“Sudah aku katakan. Keadaan sudah berubah!” jawab Pideksa. Lalu katanya pula, “Kita harus berani berbuat sesuatu untuk membangunkan orang-orang padukuhan ini yang tertidur.”

“Aku sependapat...” jawab Manggada dengan serta merta “Jika kita, maksudku, anak-anak muda bangkit untuk berbuat sesuatu yang berarti, maka segala sesuatunya tentu akan segera menjadi baik.”

“Kalian tidak perlu berbicara tentang perubahan-perubahan. Itu sudah kami pikirkan. Kalian akan menerima perintah-perintah untuk malakukan tugas-tugas kalian.” berkata Wira Sabet kemudian.

“Tetapi ayah memerlukan pikiran dan pendapat anak-anak muda...“ sahut Pideksa.

“Itu akan dilakukan kemudian...” jawab Wira Sabet “Tetapi kamilah yang akan meletakkan dasar-dasar pembaharuan itu.”

“Itulah yang ingin kami bicarakan dengan paman.” berkata Manggada meskipun dengan agak ragu.

Wira Sabet mengerutkan keningnya. Dipandanginya Manggada dan Laksana yang baginya merupakan orang-orang aneh di padukuhan itu. Keduanya sama sekali tidak menjadi ketakutan melihat kedatangannya. Namun Wira Sabet berpendapat, mungkin karena kedua orang anak muda itu masih belum tahu benar, apa yang telah terjadi di padukuhan itu.

“Apa yang ingin kau bicarakan dengan ayah?” justru Pideksalah yang bertanya.

Manggada termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Paman, aku mohon waktu sejenak untuk berbicara dengan paman. Persoalannya memang demikian mendesak, sementara kami belum tahu dimana paman tinggal.”

Wajah Wira Sabet berkerut. Sementara itu, dua orang pengikutnyapun memperhatikan Manggada dengan sungguh-sungguh.

“Kalian akan berbicara tentang apa?” bertanya Wira Sabet meskipun ia tidak begitu senang mendengarnya.

“Tentang padukuhan kita ini, paman.” jawab Manggada.

“Sudah aku katakan, biarlah kami yang meletakkan dasar-dasar dari perubahan-perubahan yang perlu bagi padukuhan kita. Kalian dan orang-orang padukuhan ini tinggal melaksanakan belandaskan dasar-dasar yang akan kami letakkan itu”

Manggada dan Laksana justru melangkah mendekati Wira Sabet, sementara Pideksa pun telah bergeser pula. “Paman” berkata Manggada “Kami mohon waktu sebentar saja untuk menyampaikan satu pesan”

Wira Sabet termangu-mangu sejenak. Namun Pideksalah yang kemudia bertanya, “Pesan apa dan dari siapa?”

Manggada memandang Wira Sabet sejenak. Ia masih berpengharapan bahwa Wira Sabet akan mau mendengarkannya.

Sebenarnyalah Wira Sabet itu berkata, “Katakan...”

“Paman. Di padukuhan ini masih terdapat bebahu-bebahu yang sampai saat ini masih tetap diakui kedudukannya. Karena itu, bukankah lebih baik jika diselenggarakan satu pembicaraan antara paman dan para bebahu? Menurut keterangan yang kami dengar, padukuhan ini tiba-tiba saja telah dicengkam oleh satu keadaan yang tidak pasti. Satu dengan yang lain tidak mengetahui apa yang dikehendaki oleh masing-masing pihak. Akibatnya adalah kebekuan dan ketegangan seperti sekarang ini. Bahkan padukuhan ini seakan-akan sedang dirambah oleh wabah yang sangat menakutkan sehingga setiap orang tidak berhubungan yang satu dengan yang lain. Jika keadaan ini berlangsung lebih lama, maka kehidupan di padukuhan ini akan berhenti.”

Wajah Wira Sabet menjadi tegang. Ia menjadi semakin heran menghadapi sikap kedua orang anak muda itu. Sementara itu, Manggada pun berkata selanjutnya,

“Karena itu paman, maka diperlukan satu pemecahan. Harus ada jalan keluarnya, agar kehidupan di padukuhan ini dapat kembali seperti sediakala. Kanak-kanak dapat bermain dengan bebas di halaman dan bahkan di jalan-jalan padukuhan. Orang-orang pergi ke sawah dan pategalan tanpa dibayangi oleh ketakutan dan kecemasan. Perempuan yang ditinggal suami pergi ke sawah tidak dihantui oleh hal-hal yang tidak dimengerti”

Kening Wira Sabet menjadi semakin berkerut. Namun Manggada itu masih berkata pula “Paman. Jika paman bersedia, maka para bebahu menghendaki untuk berbicara mencari pemecahan yang paling baik bagi padukuhan ini”

Wira Sabet menjadi semakin tegang. Namun kemudian iapun bertanya dengan nada berat “Siapa yang memberikan pesan itu? Siapa pula yang menyatakan bersedia untuk melakukan pembicaraan dengan kami?”

“Ki Jagabaya” jawab Manggada “Jika paman bersedia, maka dapat ditentukan, kapan pembicaraan itu dilakukan dan dimana”

Wira Sabet itupun menggeram. Dengan lantang ia berkata “Kau kira aku seorang yang dungu?”

Manggada mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia berkata “Mungkin akulah yang dungu. Tetapi mengapa?”

“Ki Jagabaya tentu berusaha menjebakku. Ia masih menyimpan dendam di hatinya, karena aku pernah melukainya. Saat itu aku memang tidak sengaja. Dalam keadaan yang hiruk pikuk, maka golok di tanganku telah menggores dadanya, sehingga sebuah luka yang agak dalam menyilang panjang...”

“Tetapi Ki Jagabaya tidak pernah mengatakannya. Yang disebutnya adalah satu usaha untuk memecahkan satu persoalan yang kini mencengkam padukuhan ini. Tatanan kehidupan yang porak poranda. Kecemasan dan ketakutan yang mencengkan serta ketimpangan-ketimpangan lain yang perlu dibenahi...”

“Tetapi itu semua hanyalah lamis. Yang sebenarnya adalah, Ki Jagabaya itu ingin membalas dendam dengan cara yang paling licik. Ia tidak berani menentangku perang tanding atau cara lain yang lebih jantan”

“Memang tidak, paman...“ sahut Manggada, “Ki Jagabaya memang berusaha untuk mencari pemecahan masalah dengan mengesampingkan penggunaan kekerasan.”

“Itu dilakukan karena ia berada dalam ketakutan...” Wira Sabet hampir berteriak.

“Mungkin paman benar. Ki Jagabaya memang dicengkam oleh ketakutan. Bukan saja bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi seisi padukuhan ini. Karena jika keadaan ini berlangsung lama, maka seperti yang aku katakan tadi, kehidupan di padukuhan ini akan menjadi semakin surut. Orang-orang padukuhan ini akan menjadi kekurangan pangan, kehilangan kesempatan dan akhirnya menjadi putus asa...”

“Itu adalah salah mereka sendiri. Jika mereka tidak bertindak sewenang-wenang dan tidak merasa bersalah, maka mereka tidak akan merasa ketakutan...”

“Ketakutan atas dendam dan kebencian terhadap mereka?”

“Itu adalah bayangan di kepala mereka masing-masing. Tidak ada yang mendendam dan tidak ada yang menaburkan kebencian. Jika yang dimaksudkan mendendam dan menyebarkan kebencian itu adalah aku dan adikku, maka yang sebenarnya kami berdua hanya ingin membuat satu langkah pembaharuan justru untuk kesejahteraan padukuhan ini” berkata Wira Sabet.

Dalam pada itu Pideksa pun menyambung, “Nah, meskipun kau anak padukuhan ini, tetapi kau dalam persoalan ini dapat dianggap orang baru yang salah menilai keadaan...”

Tetapi Manggada menjawab, “Tetapi justru karena kesalah-pahaman itulah, maka aku semakin yakin bahwa pertemuan dan pembicaraan itu perlu dilakukan. Dengan saling memberikan penjelasan maka persoalannya akan dapat diluruskan. Bahkan mungkin rancangan paman tentang pembaharuan itu justru akan mendapat dukungan dari para bebahu padukuhan ini..”

Wira Sabet termangu-mangu sejenak. Namun Pideksalah yang kemudian menyahut, “Mungkin pikiran Manggada ada juga benarnya ayah. Jika keinginan ayah dan paman Sura Gentong dapat dimengerti dan diterima oleh para bebahu, bukankah tidak ada alasan untuk menitikkan keringat dan apalagi darah.”

Wira Sabet masih nampak ragu-ragu. Namun kemudian katanya, “Aku akan membicarakannya dengan pamanmu Sura Gentong dan Ki Sapa Aruh...”

“Jika demikian, maka besok kita akan menemui Manggada lagi...” berkata Pideksa.

“Baiklah. Besok kau tunggu aku disini pada waktu seperti ini. Aku akan memberikan keterangan tentang pendapatmu itu...”

“Terima kasih paman...” jawab Manggada.

“Sekarang, aku akan kembali untuk membicarakannya...” berkata Wira Sabet itu sambil melangkah.

Namun Manggada itu berkata, “Paman, bukankah aku masih diijinkan untuk mengambil duwet?”

“Ambillah seberapa kau suka...” jawab Wira Sabet.

“Terima kasih paman...” jawab Manggada. Namun kemudian Manggada itupun masih bertanya kepada Pideksa “Pideksa, apakah kau masih juga sering mencari ikan dan ketam di sungai kecil itu?”

Pideksa yang juga sudah melangkah mengikuti ayahnya berhenti dan berpaling. Sambil tertawa ia berkata, “Itu terjadi masa kanak-kanak kita Manggada. Sekarang kita sudah berubah. Kau tentu tidak pernah pula turun ke sungai untuk mencari ketam dan ikan sejak kau pulang”

Manggada mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tertawa. Ketika Pideksa sudah akan melangkah, Manggada bertanya lagi, “Pideksa, apakah kau masih sering bertemu dengan Timbang, Wisesa dan barangkali Sampurna? Apakah kau juga pernah singgah di rumah paman Resa sebelah?”

Pideksa tertawa berkepanjangan. Katanya, “Mereka tidak pernah nampak. Tetapi akupun jarang sekali datang ke padukuhan ini. Tidak tentu sepuluh hari atau setengah bulan sekali. Meskipun demikian, aku tahu, kau masih juga anak yang paling berani di antara kawan-kawan kita bermain, Manggada...”

“Apa hubungannya dengan keberanian?” bertanya Manggada.

“Aku melihat jawabnya di senyummu itu...” jawab Pideksa.

Pideksa tidak menunggu jawaban Manggada. Iapun kemudian telah melangkah pergi mengikuti ayahnya yang sudah turun ke jalan. Kedua orang kawan ayahnya yang menyertai merekapun segera pergi pula meninggalkan halaman rumah yang kotor itu.

Ternyata Wira Sabet tidak meneruskan perjalanannya mengelilingi padukuhan itu seperti kemarin. Tetapi Wira sabet telah melangkah kembali ke arah darimana ia datang.

Sepeninggal Wira Sabet, anaknya dan kawan-kawannya, maka Laksana pun bergumam, “Anak itu cukup cerdik”

“Ya. Sejak kanak-kanak ia memang terhitung cerdik, tetapi juga licik. Aku tidak tahu apa sebenarnya yang bermain di kepalanya. Apakah ia sejalan dengan sikap ayah dan pamannya atau ada perbedaan-perbedaan yang berarti. Namun bagaimanapun juga, kita harus berhati-hati terhadapnya...” sahut Manggada.

“Nah, sekarang apa yang akan kita lakukan?”

“Kita pergi ke rumah Ki Jagabaya. Tetapi kita akan singgah sebentar di rumah Ki Resa sebelah...”

“Untuk apa?” bertanya Laksana.

“Paman Resa tentu menjadi cemas tentang nasib kita. Karena itu, jika ia melihat kita tidak mengalami sesuatu, maka ia akan menjadi tenang” jawab Manggada.

Sebenarnyalah mereka berdua telah singgah di rumah Ki Resa. Demikian mereka dipersilahkan masuk ke ruang dalam, maka Ki Resa itupun berkata, “Hatiku tinggal sebesar biji sawi, ngger. Aku cemas apakah kalian tidak mengalami nasib buruk...”

“Ternyata kami tidak mengalami perlakuan buruk, paman. Kita dapat berbicara dengan lebih terbuka. Bahkan Pideksa masih tetap mengenal aku sebagai kawannya bermain di masa kanak-kanak...”

“Beruntunglah kau...” berkata Ki Resa. Namun katanya kemudian “Meskipun demikian, aku tetap memperingatkanmu. Jauhi orang itu sebelum kau mengalami perlakuan yang tidak diharapkan”

“Aku berharap bahwa usahaku untuk mendekatinya berhasil, paman...” jawab Manggada yang kemudian minta diri untuk meninggalkan rumah Ki Resadana....

Selanjutnya,
Sejuknya Kampung Halaman Bagian 08