Sejuknya Kampung Halaman Bagian 06 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
MANGGADA ragu-ragu sejenak. Namun Nyi Resa itupun berkata, “Marilah. Duduklah di dalam. Pamanmu ada di belakang...!”

Manggada dan Laksanapun kemudian telah masuk di ruang dalam. Sementara itu. Nyi Resapun segera menutup pintu rumahnya rapat-rapat. Sejenak kemudian, maka Ki Resa pun telah dipanggil pula. Seperti Nyi Resa, maka Ki Resa pun telah mempertanyakan kapan Manggada itu pulang.

"Kau sekarang telah menjadi anak muda yang dewasa. Tubuhmu nampak berkembang dengan baik. Sejak kanak-kanak kau memang sudah nampak bahwa kau akan tumbuh menjadi seorang anak muda yang gagah!"

"Ah, paman masih saja suka memuji...” jawab Manggada.

"Tidak. Aku tidak sekedar memuji, tetapi aku berkata sebenarnya?”

"Terima kasih, paman" jawab Manggada.

Namun kemudian Ki Resa itupun bertanya, “Tetapi bukankah ayahmu telah menceriterakan apa yang terjadi di padukuhan ini?”

"Sudah paman. Maksud paman tentang paman Wira Sabet dan paman Sura Gentong?”

"Ya. Tentang mereka” jawab Ki Resa.

Manggadapun kemudian menceritakan perjumpaannya dengan Wira Sabet kemarin, ia memang datang untuk melihat rumah Wira Sabet.

"Jadi kau sudah bertemu dan berbicara dengan Wira Sabet?” bertanya Ki Resa dengan heran.

"Ya, paman. Aku sudah mengatakan pula bahwa aku ingin memanjat pohon manggis atau pohon duwet di halaman rumahnya. Paman Wira Sabet ternyata tidak berkeberatan. Namun ternyata rumah itu agaknya sudah lama kosong. Bahkan tidak seorangpun keluarganya yang tinggal...”

"Rumah itu memang sudah lama kosong. Ketika Wira Sabet melarikan diri dari rumahnya, masih ada keluarganya yang menunggui rumah itu. Namun kemudian merekapun telah pergi pula dan rumah itu ditinggalkan kosong berkata Ki Resadana”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian bertanya, “Lalu dimana paman Wira Sabet sekarang tinggal?”

Ki Resa itu menggeleng. Katanya “Tidak seorangpun yang tahu ngger. Tidak ada orang yang berani bertanya. Bahkan melihat Wira Sabet di kejauhanpun orang-orang padukuhan ini sudah melarikan diri. Wira Sabet dan Sura Gentong adalah lambang dari kesulitan dan bencana”

“Tetapi ia tidak berbuat apa-apa ketika kami bertemu kemarin” berkata Manggada kemudian.

“Meskipun demikian, kau harus berhati-hati, ngger. Perjumpaanmu berikutnya, akan dapat menimbulkan kemungkinan yang lain. Ketika ia sadar bahwa kau adalah bagian dari isi padukuhan ini, maka kau akan dianggap sebagai musuhnya pula...” berkata Ki Resa itu kemudian.

Manggada termangu-mangu sejenak, sementara Laksana itupun bertanya, “Tetapi paman, apakah selama ini paman tidak pernah merasa diganggu oleh Wira Sabet yang rumahnya hanya bersebelahan dengan rumah paman?”

"Aku memang tidak ngger. Tetapi Wira Sabet dan Sura Gentong itu sampai saat ini dengan teratur tengah melakukan usaha untuk menakut-nakuti para penghuni padukuhan ini”

"Ternyata seisi padukuhan ini memang menjadi ketakutan. Sementara Ki Jagabaya masih tetap setia kepada tugasnya itu harus bekerja seorang diri." sahut Manggada.

Ki Resa menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah Ki Resa itu berkata, “Sebenarnya orang-orang padukuhan ini juga merasa berkewajiban membantunya. Tetapi kami tidak berdaya sama sekali”

"Dahulu seisi padukuhan ini mampu mengusir paman Wira Sabet dan pamar Sura Gentong.” desis Manggada.

"Tetapi keadaannya sudah berbeda. Dahulu mereka bukan orang-orang berilmu. Tetapi tidak lebih dari kita semuanya. Sekarang, Wira Sabet dan Sura Gentong adalah orang berilmu tinggi”

"Tetapi jika kita semuanya bangkit bersama-sama, apakah kita masih juga tidak mampu berbuat apa-apa?” bertanya Manggada.

Ki Resadana menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya dengan nada berat "Kita tidak akan selalu bersama-sama setiap saat. Pada saat kita sendiri-sendiri itulah, nyawa kita semuanya terancam. Hari ini dua orang, besok dua orang dan demikian pula di hari-hari berikutnya. Bukankah itu sangat mengerikan?”

Manggada dan Laksana melihat kecemasan membayang di wajah orang itu. Meskipun demikian Manggada masih juga berkata, “Paman, bukankah kita dapat menyiapkan anak-anak muda dan laki-laki yang masih mampu untuk mengangkat senjata untuk meronda setiap saat. Kita dapat mengatur dan membagi waktu sebaik-baiknya untuk melakukan pengamanan padukuhan ini. Kita isi gardu-gardu di ujung-ujung lorong. Siang dan malam”

"Jika kita berada di sawah atau di ladang?” bertanya Ki Resadana. Lalu katanya “Apalagi aku yang tinggal di sebelah dinding halaman rumahnya.”

Manggada dan Laksana menyadari, bahwa ia tidak akan dapat mendesak Ki Resadana untuk ikut bersamanya memihak Ki Jagabaya. Karena itu, maka Manggada itupun kemudian berkata “Baiklah paman. Kami dapat mengerti perasaan paman. Namun kami berdua mempertimbangkan untuk dapat berbuat sesuatu agar keadaan padukuhan ini menjadi tenang kembali, apapun caranya.”

Wajah Ki Resadana menjadi tegang. Katanya, "Meskipun kau berasal dari padukuhan ini, ngger. Tetapi kau termasuk orang baru disini. Kau tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin Ki Kertasana sudah berceritera. Tetapi kau tidak dapat membayangkan keadaan yang sesungguhnya di padukuhan ini”

"Aku mengerti, paman. Tetapi apakah kita akan membiarkan Ki Jagabaya terhimpit sendirian oleh kuasa Wira Sabet dan Sura Gentong dengan kesetiaannya kepada tugasnya?”

“Tetapi kami sayang akan jiwa kami. Ngger” jawab Ki Resadana dengan nada dalam.

Manggada dan Laksana akhirnya hanya dapat mengangguk-angguk. Bahkan kemudian Manggada itupun berkata “Baiklah paman. Kami mohon diri. Kami masih ingin melihat-lihat padukuhan yang sepi ini. Tetapi duwet di halaman rumah paman Wira Sabet itu berbuah lebat. Aku ingin memanjatnya.”

"Jangan ngger. Kau jangan membuat persoalan dengan orang itu. Sangat berbahaya bagimu...” cegah Ki Resadana.

"Tetapi aku sudah bertemu sendiri dengan Paman Wira sabet. Aku diijinkan memanjat pohon duwet dan pohon manggis di halaman rumahnya” jawab Manggada.

Ki Resadana menarik nafas dalam-dalam Manggada dan Laksana itu ternyata tidak mau mendengarkan peringatannya. Sebenarnyalah setelah Manggada dan Laksana minta diri, maka keduanya benar-benar pergi ke halaman rumah Wira Sabet yang kosong dan menjadi sangat kotor. Seperti yang dikatakan, maka Manggada dan Laksana benar-benar telah memanjat pohon manggis dan pohon duwet.

Dari halaman rumahnnya, Ki Resadana itu melihat keduanya bergayut dari satu cabang ke cabang yang lain. Apalagi Manggada yang memanjat pohon duwet yang telah menjadi besar dan tinggi. Ternyata yang melihat anak-anak muda memanjat itu bukan hanya Ki Resadana. Beberapa orang yang lain dengan tidak sengaja melihat juga keduanya memanjat.

Melihat tingkah kedua orang anak muda itu, beberapa orang tetangga Wira Sabet menjadi tegang. Tetapi mereka tidak dapat berbuat sesuatu. Orang yang tinggal di rumah yang berseberangan dengan rumah Wira Sabet itu terpaksa keluar dari regol halamannya untuk memperingatkan kedua anak muda itu. Tetapi di luar regol orang itu melihat Ki Resadana yang sambil melihat ke kedua ujung jalan, turun juga ke jalan.

"Siapakah anak-anak muda itu?" bertanya orang yang tinggal di seberang jalan.

"Anak Ki Kertasana" jawab Ki Resadana.

"Apakah anak-anak itu tidak tahu apa yang mereka lakukan” bertanya orang di seberang jalan.

Ki Resadana memang mendekati mereka. Sekali lagi ia memanggil Manggada. Namun Manggada sambil tersenyum berkata, “Duwet putih ini memang manis paman. Sejak kecil aku sudah sering memanjat pohon ini”

"Turunlah ngger..." minta Ki Resadana "keadaan sudah berubah. Itu terjadi sepuluh tahun yang lalu”

"Bagi kami, keadaan tidak berubah" jawab Manggada.

Ki Resadana dan orang di seberang jalan menjadi semakin gelisah. Apalagi mereka sudah mendengar bahwa kemarin Wira Sabet telah memasuki padukuhan itu. Bahkan kedua anak muda itu telah bertemu pula dengan mereka.

Selagi Ki Resadana dan dua orang dari seberang jalan termangu-mangu, maka seseorang telah berjalan tergesa-gesa, bahkan berlari-lari sambil memanggul cangkulnya. Ketika Ki Resadana bertanya, maka orang itu menjawab sambil meneruskan langkahnya,

"Wira Sabet datang lagi bersama pengawalnya”

"Celaka...!" desis Ki Resadana. Sementara itu kedua orang yang lain dengan tergesa-gesa telah masuk regol halaman rumah mereka masing-masing.

"Ngger, kau dengar, bahwa Wira Sabet memasuki padukuhan ini lagi” teriak ki Resadana.

"Tidak apa-apa, paman. Aku sudah mendapat ijinnya” jawab Manggada.

Resadana tidak menunggu lebih lama lagi. lapun tidak ingin bertemu dengan Wira Sabet, karena kemungkinan yang buruk akan dapat terjadi atas dirinya. Karena itu, maka Ki Resadanapun segera masuk regol halaman rumahnya. Sekali iagi ia masih sempat memandang Manggada dan Laksana yang memanjat semakin tinggi.

Namun kemudian. Ki Resadana itu telah masuk ke dalam rumahnya dengan jantung yang berdebar-debar. Bagaimanapun juga Ki Resadana ini telah mencemaskan nasib kedua orang anak muda yang amenurut pendapatnya tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya di padukuhan itu.

Sebenarnyalah, beberapa saat kemudian. Wira Sabet itu pun telah memasuki padukuhan. Pertanyaan Manggada kemarin tentang rumahnya ternyata telah menggelitiknya untuk sekai-sekali melihat, apa yang terjadi dengan rumah dan halamannya itu. Karena itu, maka Wira Sabet itupun telah menyusuri jalan yang langsung menuju ke rumahnya.

Ketika ia sampai ke depan rumahnya, maka Wira Sabet itupun berhenti, la melihat regol halaman rumahnya terbuka, sedangkan sampah kering berhamburan di halaman.

Namun Wira Sabet itu terkejut ketika ia mendengar seseorang berkata “Selamat pagi, paman...!”

Wira sabet mengangkat wajahnya. Jantungnya berdesir ketika ia melihat dua orang anak muda bergayut pada cabang pohon duwet dan pohon manggis. Tetapi sebelum Wira Sabet berkata sesuatu terdengar suara Manggada,

"Paman, aku benar-benar memanjat pohon duwet ini sebagaimana aku katakan kemarin. Terima kasih atas ijin paman. Duwet putih ini ternyata manis sekali. Sayang sekali, bahwa buahnya dibiarkan tua dan berjatuhan terhambur di bawah batangnya. Seperti dahulu, setiap hari aku akan datang mencari duwet dan manggis yang berbuah lebat tetapi terbuang-buang saja.”

Wira Sabet itu justru bagaikan terbungkam. Ia tidak dapat berkata sepatahkan. Dipandanginya saja anak-anak muda yang masih berada di dahan sambil menggapai buahnya yang memang lebat. Ki Resadana mendengar suara Manggada itu. Debar jantungnya terasa semakin cepat.

Sementara itu, Manggada bertanya dari atas pohon. "Apakah paman juga ingin membawa duwet dan manggis. Barangkali paman sendiri sudah lama tidak mencicipinya”

Wira Sabet masih saja termangu-mangu. Sebelum ia sempat menjawab, Manggada telah berkata pula "Aku akan turun membawa duwet ini bagi paman”

Hampir di luar sadarnya, Wira Sabet itu menjawab, “Tidak. Tidak usah. Aku tidak memerlukannya”

Ternyata Wira Sabet tidak menunggu lebih lama. la tidak senang mendengar pertanyaan-pertanyaan Manggada yang meluncur deras dari mulutnya. Tetapi rasa-rasanya ia tidak dapat menghentikannya. Karena itu, maka Wira sabet itupun segera melangkah pergi meninggalkan halaman rumahnya yang kosong dan kotor itu.

Tetapi Manggada masih saja beteriak "Paman, kemana kau paman?”

Wira Sabet tidak menjawab. Tetapi ia melangkah terus, menjauhi rumahnya itu. Manggada dan Laksana yang sedang memanjat itu melihat Wira Sabet dan kawan-kawannya pergi menjauh. Mereka berjalan cepat bahkan seperti orang yang sedang ketakutan. Seperti orang-orang padukuhan itu yang melihat kedatangan Wira Sabet itu sendiri.

Demikian Wira Sabet dan kawan-kawanma menjauh, maka Manggada dan Laksanapun segera turun. Keduanya tidak langsung pergi. Tetapi keduanya justru kembali ke rumah Ki Resadana.

"Luar biasa...!" desis Ki Resadana sambi! membuka pintu rumahnya kalian telah melakukan sesuatu yang sangat berani, yang tentu tidak pernah terpikir dan dilakukan oleh anak-anak muda padukuhan ini.

"Aku adalah anak muda dan padukuhan ini paman!”

"Tetapi kau sudah lama berada di luar padukuhan ini. Kau memang berbeda dengan anak-anak muda yang lain”

“Tetapi apa yang kau lakukan, adalah satu hal yang tidak masuk akal bagi kami...”

"Paman!" berkata Manggada "Apa yang kami lakukan adalah sekedar untuk mengatakan kepada Wira Sabet, bahwa usahanya untuk menakut-nakuti seisi padukuhan ini tidak berhasil. Setidak-tidaknya kami tidak menjadi ketakutan seperti orang lain. Sebenarnya kami berharap bahwa ada juga orang lain yang berbuat seperti kami. Atau setidak-tidaknya dapat membantu Ki Jagabaya yang setia dalam tugasnya.”

Ki Resadana menarik nafas dalam-dalaam. Namun bagaimanapun juga ia masih belum mempunyai keberanian untuk berbuat sesuatu, apalagi seperti anak-anak muda itu. Untuk beberapa lama Manggada dan Laksana berada di rumah Ki Resadana. Namun kemudian merekapun minta diri untuk meninggalkan rumah itu.

“Kalian akan pergi kemana?” bertanya Ki Resadana.

“Pulang. Tetapi kami akan singgah sebentar di rumah ki Jagabaya. Kami ingin berbicara bahwa kami baru saja bertemu dengan Wira Sabet”

Ki Resadana termangu-mangu sejenak. Dengan nada dalam iapun kemudian berkata “Memang satu kenyataan bahwa Wira Sabet masih juga dapat diajak berbicara. Tetapi aku tidak tahu, apakah Sura Gentong juga serba sedikit masih tersisa kewajarannya dalam hubungannya dengan sesama.”

Manggada mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Apakah menurut paman Resadana. Paman Sura Gentong lebih garang dari paman Wira Sabet?”

"Ya. Keduanya memang ditakuti. Tetapi sebenarnyalah belum ada orang yang pernah mengalami kesulitan karena Wira Sabet.”

"Bagaimana dengan paman Sura Gentong?” bertanya Manggada kemudian.

"Belum ada seorangpun yang pernah melihat Sura Gentong. Apalagi memasuki padukuhan ini...” jawab Resadana.

"Tetapi kenapa setiap orang mengatakan bahwa jika seseorang melihat saja, bahkan dari kejauhan paman Wira Sabet atau paman Sura Gentong akan mengalami bencana?”

KI Resadana mengangguk-angguk kecil. Jawabnya, "Aku sudah mengatakan, bahwa secara teratur keduanya sengaja menyebarkan suasana yang membuat orang-orang padukuhan ini ketakutan.”

"Nah, paman. Aku akan membantu Ki Jagabaya dengan cara yang sebaliknya. Sebagaimana paman ketahui. Wira Sabet sama sekali tidak menakutkan, la tidak berbuat apa-apa. Karena itu, besok dan besoknya lagi dan balikan kemudian seringkali, aku akan bermain-main di halaman rumah paman Wira Sabet. Kami berdua juga akan memetik duwet atau manggis atau apa saja yang ada.”

"Tetapi kalian tidak boleh lupa diri. Kalian harus tetap berhati-hati, karena kewajaran sikap Wira Sabet tentu berbeda dengan kewajaran sikap kita”

Manggada mengangguk. Ia menyadari akan kebenaran pesan itu. Katanya “Aku mengerti. Terima kasih paman. Aku akan berhati-hati”

Demikianlah, maka Manggada dan Laksanapun kemudian telah pergi ke rumah Ki Jagabaya. Mereka tidak lagi bertemu dengan Wira Sabet Agaknya Wira Sabet tela!: meninggalkan padukuhan itu. Ternyata satu dua oiang lelah nampak lagi berjalan tergesa-gesa di jalan padukuhan itu.

Ketika sampai ke rumah Ki Jagabaya, maka seperti biasanya pintu regol rumah itu sedikit terbuka. Demikian mereka memasuki halaman, maka merekapun langsung menuju ke seketeng. Ketika Manggada mengetuk pintu sebagaimana dilakukan kemarin, maka seseorang telah melangkah mendekati pintu itu.

"Siapa?" terdengar seseorang bertanya.

"Aku, Sampurna!" jawab Manggada yang tahu pasti, bahwa orang yang ada di balik pintu itu adalah Sampurna.

Sejenak kemudian, maka selarak pintu itupun telah diangkat. Ketika pintu dibuka, maka sebenarnyalah bahwa yang berdiri di belakang pintu itu adalah Sampurna. Seperti kemarin, maka Sampurna itu berpakaian lengkap dengan sebilah keris di punggungnya. Tetapi Manggada dan Laksana tidak bertanya lagi, apakah Sampurna akan pergi ke upacara.

Sambil tersenyum Sampurna pun telah mempersilahkan Manggada dan Laksana masuk seperti kemarin pula, maka pintu itupun segera ditutup dan diselarak. Ketika mereka berjalan ke serambi, Sampurna itu berkata, “Aku mempunyai seorang tamu. Nah, tentu kau ingat, siapa anak muda itu...”

"Apakah ia kawan kita bermain?” bertanya Manggada.

"Ya, umurnya setua aku.” jawab Sampurna.

Manggada mengerutkan dahinya. Tetapi ia belum melihat anak muda itu. Baru kemudian ketika ia memasuki gandok, maka tiba-tiba saja Manggada menyapanya sambil tertawa "Nah, ini tentu Wisesa. Aku tidak akan pernah melupakannya.”

Anak muda itupun bangkit pula. Dikerutkannya keningnya, sementara Sampurna bertanya, “Wisesa. apakah kau melupakannya?”

Wisesa memandang Manggada dan Laksana berganti-ganti. Sementara Sampurna berkata, “Yang seorang saja. Yang lain memang seorang tamu. Kau tentu belum mengenalnya”

"Manggada" desis Wisesa.

"Ternyata kamu masih ingat juga!" desis Sampurna.

"Anak keras kepala itu?" berkata Wisesa sambil tertawa "Marilah. Siapa yang seorang lagi?”

"Laksana. Sepupuku. Ia datang berkunjung kemari” jawab Manggada.

Ketika kemudian Manggada dan Laksana duduk, maka pembicaraan merekapun menjadi riuh. Hanya Laksana sajalah yang sekali-sekali tersenyum dan tertawa.

"Kenapa kau pulang?” bertanya Wisesa kemudian.

"Aku menjadi rindu kepada kampung halaman. Demikian aku memasuki kampung halaman ini. Maka terasa betapa sejuknya angin yang semilir lembut.” jawab Manggada.

Yang mendengarkannyapun tertawa. Namun Sampurna berkata, “Tetapi setelah kau memasuki lorong-lorongnya, maka kau akan merasa, betapa panasnya terik matahari di padukuhan ini.”

"Ya” jawab Manggada "Tetapi pada sualu saat padukuhan ini akan menjadi sejuk kembali...”

"Aku berharap demikian" jawab Sampurna.

Namun dalam pada itu, Laksana sempat memperhatikan Wisesa. Ketika Sampurna dan Manggada membicarakan padukuhan itu, agaknya ia menjadi gelisah. Bahkan sama sekali tidak menyahut dan apalagi menanggapi beberapa kali ia justru melemparkan pandangan matanya ke arah pintu serambi.

Namun pembicaraan itu terhenti ketika Tantri membawa minuman keluar. Namun iapun kemudian berkata sambil tersenyum "Maaf Manggada. Aku belum tahu kalau tamunya bertambah...”

Sambil tersenyum Manggada menyahut “Aku sudah merasa cemas, bahwa kami berdua tidak terhitung.”

Tantri tersenyum pula. Katanya, “Sabarlah Manggada Nanti aku buatkan buat kalian.”

"Terima kasih...!" Laksanalah yang menyahut.

Tantri sempat memandang Laksana sekilas. Namun kemudian gadis itu menundukkan wajahnya meskipun senyumnya masih nampak tergayut dibibirnya.

Wisesa memandang Laksana dengan dahi berkerut. Nampaknya ia kurang senang melihat sikap Laksana. Apalagi ketika ia melihat laksana yang memandang Tantri dengan tanpa berkedip.

Namun sejenak kemudian Tantri itupun telah beringsut dan kembali masuk ke ruang dalam. Sementara Sampurna berkata, Aku belum mempersilahkan kau minum. Wisesa. Kita menunggu sampai minuman buat Manggada dan Laksana dihidangkan”

Wisesa mengangguk. Iapun kemudian mencoba untuk tersenyum pula. Sebenarnyalah bahwa sejenak kemudian, Tantri telah datang lagi sambil membawa minuman buat Manggada dan Laksana. Bahkan kemudian Tantri itu sempat mempersilahkan, "Minumlah Manggada”

"Terima kasih Tantri.. ” jawab Manggada sambil mengangguk.

Manggadapun kemudian berpaling kepada Laksana sambil berkata “Nah, hanya aku yang dipersilahkan minum. Kau tidak”

Laksana mengerutkan dahinya. Namun Tantri dengan cepat berkata, “Tentu semuanya. Silahkan”

Manggada tertawa. Sementara Sampurna berkata, “Kau masih seperti dahulu. Kau termasuk anak-anak yang paling ribut di masa remajamu. Tetapi meskipun umurmu beberapa tahun lebih muda dari aku, kau lebih senang bermain-main dengan anak-anak sebayaku daripada anak-anak sebayamu. He, bukankah kau ingat Wisesa? Tetapi meskipun Manggada termasuk yang paling kecil di antara kita, tetapi ia benar-benar anak yang bandel...”

"Ya, aku ingat" jawab Wisesa pendek.

Namun Sampurna itu berkata selanjutnya, "Meskipun demikian. Manggada tidak pernah berani melawan Tantri. Meskipun Tantri perempuan, tetapi ia senang berkelahi di masa remaja kecilnya.”

"Bohong...!" sahut Tantri.

"Bukankah disini banyak saksi?” jawab Sampurna.

"Sudah, sudah..." potong Tantri.

Sampurna yang tertawa itu berkata selanjutnya, "Tetapi Manggada tetap bandel dan nakal sampai dewasanya. Jika tidak, maka ia tidak menyatakan niatnya bekerja sama dengan ayah.”

"Ah, itu adalah kewajiban bagiku. Bagi anak-anak muda padukuhan ini. Bukankah begitu Wisesa?" Manggada justru bertanya.

"Ya" jawab Wisesa asal saja.

Tetapi Sampurna terkejut. Sambil mengerutkan dahinya, ia bertanya “Apakah kau juga akan melakukannya sebagaimana Manggada dan Laksana, sepupunya itu?”

Wisesa baru mulai berpikir. Dengan ragu-ragu ia bertanya “Maksudmu?”

"Manggada dan Laksana telah menyatakan diri dengan suka rela akan membantu ayah mengatasi kemelut yang terjadi di padukuhan ini. Maksudku, persoalan yang menyangkut Wira sabet dan Sura Gentong.”

"Ah..." Wisesa terkejut "Apa yang akan dilakukan oleh Manggada dan Laksana?”

"Tentu saja kita belum mempunyai rencana apa-apa. Tetapi kesediaannya membantu ayah telah sangat membesarkan hati ayah, bahwa masih ada anak-anak muda yang bersedia melakukan tugas-tugas mulia bagi kampung halamannya.”

Wisesa mengerutkan dahinya. Tetapi ia tidak menjawab. Dalam pada itu, Tantri mempersilahkan sekali lagi "Nah, silahkan. Minumlah. Aku akan membantu ibu di dapur.”

"Terima kasih" Laksana lagi yang menyahut.

Sepeninggal Tantri, maka Sampurna telah mulai mengenang lagi masa kanak-kanak mereka yang riang dan ceria. Sambil berangan-angan ia berkata, “Kita tidak pernah takut bermain di halaman di kebun atau bahkan di prapatan-prapatan. Siang atau malam. Apalagi saat bulan terang, namun suaranyapun merendah "Sekarang, anak-anak itu sama sekali tidak berkesempatan lagi. Setidak tidaknya untuk sementara”

"Hanya untuk sementara..." berkata Manggada kemudian "Mudah-mudahan suasana seperti ini segera berakhir”

"Maksudmu?" tiba-tiba Wisesa bertanya.

Sampurnalah yang menjawab “Maksud Manggada, kita akan segera menghentikan tingkah laku Wira Sabet dan Sura Gentong.”

Wisesa menarik nafas dalam-dalam. Katanya ”Aku sudah memperingatkan Sampurna, bahwa yang dilakukan Ki Jagabaya itu sia-sia. Wira Sabet dan Sura Gentong bukan orang kebanyakan. Apalagi setelah ia bekerja sama dengan Ki Sapa Aruh”

Jadi maksudmu, suasana seperti ini akan dibiarkan berkepanjangan?” bertanya Sampurna. Lalu katanya, “Wisesa, ayah adalah seorang bebahu padukuhan. Bagaimanapun juga ia harus berbuat sesuatu bagi kebaikan padukuhan ini sessuai dengan tugasnya”

"Tetapi Ki Jagabaya hanya sendiri, Sampurna. Kau lihat, apakah Ki Bekel dan para bebahu juga mendukung kesetiaan Ki Jagabaya dalam tugasnya?” bertanya Wisesa.

"Jadi menurut pendapatmu, kita biarkan saja padukuhan ini menjadi sesepi kuburan sekarang ini?”

"Tentu tidak" jawab Wisesa "Aku sudah mengusulkan, dan barangkali sudah langsung aku sampaikan kepada Ki Jagabaya, bahwa kita harus berani melihat kenyataan. Kita harus berani mendengarkan, apa yang sebenarnya dimaui oleh Wira Sabet dan Sura Gentong. Jika kita dapat memenuhinya, maka persoalannya akan segera dapat diselesaikan”

"Memang satu pikiran yang baik" jawab Sampurna "Tetapi seperti yang dikatakan oleh ayah, bahwa dengan demikian maka kita akan mengorbankan seisi padukuhan ini”

"Ah, aku kira tidak, Sampurna. Memang mungkin kita harus memberikan pengorbanan. Tetapi sepanjang pengorbanan itu wajar, maka kita tidak mempunyai pilihan lain”

"Yang sulit adalah ukuran kewajaran itu!” berkata Sampurna.

"Kita belum pernah mencobanya" berkata Wisesa.

Sampurna mengangguk-angguk. Katanya. “Memang masuk akal. Tetapi sudah tentu melalui pembicaraan yang panjang dan tentu tawar-menawar. Untuk melakukan hal itu kita memerlukan orang yang berani melakukannya. Sementara orang-orang padukuhan ini merasa bahwa melihat keduanya dari kejauhan saja sudah dianggap satu bencana.”

"Mungkin Ki Jagabaya dapat melakukannya" berkata Wisesa.

"Seandainya ayah ingin mencobanya, apakah kau bersedia bertemu dan berbicara dengan Wira Sabet, Wisesa?”

Wajah Wisesa itu tiba-tiba menjadi tegang. Katanya “Kenapa harus aku? Bukankah itu tugas Ki Jagabaya?”

"Mungkin itu termasuk tugas ayah. Tetapi tentu ada perantara yang membuat hubungan untuk melakukan satu pembicaraan”

"Kenapa tidak kau saja Sampurna”

"Aku anak Jagabaya itu. Sebaiknya memang orang lain” jawab Sampurna.

Tiba-tiba Manggadalah yang menyahut. “Aku bersedia berbicara dengan paman Wira Sabet...”

"Kau...?" wajah Wisesa menjadi tegang kembali.

“Ya. Aku memang suuah menyatakan kesediaanku untuk membantu Ki Jagabaya. Apa salahnya” bertanya Manggada.

Wisesa memandang Manggada dan Sampurna berganti-ganti. Dengan nada berat iapun berkata “Kita tidak sedang bermain-main seperti dahulu Manggada. Kita tidak sedang bermain soyang atau bermain ular naga. Juga tidak gobag sodor atau permainan yang lain. Kalau kau dahulu dikenal sebagai anak yang bandel dan keras kepala dalam bermain, akibatnya akan jauh berbeda jika kau menjadi keras kepala sekarang ini”

Manggada mengangguk-angguk Katanya "Hal ini aku lakukan karena aku ingin menyumbangkan sesuatu bagi kampung halaman ini, Wisesa. Tata kehidupan di padukuhan ini harus segera berubah. Dorongan itulah yang memaksa aku untuk bersedia melakukan tugas ini jika Ki Jagabaya sependapat dan membebankannya kepadaku.”

"Nampaknya, setelah kau pulang dari rantau, kau ingin disebut sebagai pahlawan disini" berkata Wisesa selanjutnya "ketahuilah, bahwa seseorang yang melihat Wira Sabet dan Sura Gentong adalah pertanda bahwa orang itu akan mengalami bencana, mungkin datangnya dari kedua orang itu atau dari pengikut mereka atau dari Ki Sapa Aruh...”

Tetapi Manggada tertawa. Katanya, “Berita itu terlalu dibesar-besarkan. Atau sengaja dilontarkan oleh para pengikut paman Wira Sabet dan Sura Gentong.”

"Kau memang keras kepala. Tetapi jika kemudian batok kepalamu yang keras itu akan berlobang oleh tongkat Wira Sabet, adalah salahmu sendiri" geram Wisesa.

"Aku telah bertemu dan berbicara dengan paman Wira Sabet. Aku baru saja memanjat pohon manggis dan duwet di halaman rumahnya justru ditunggui oleh paman Wira Sabet sendiri...”

"Omong kosong" Wisesa hampir berteriak.

"Kenapa harus berbohong? Tetapi jika kau tidak percaya, bertanyalah kepada Ki Resadana dan tetangga yang rumahnya berseberangan dengan rumah paman Wira Sabet.”

Wajah Wisesa menjadi tegang, sementara Manggada berceritera tentang pertemuannya dengan Wira Sabet, kemarin dan pagi hari itu.

“Ternyata aku dapat berbicara dengan paman Wira Sabet seperti biasa. Bahkan paman Wira Sabet tidak berkeberatan aku memanjat pohon manggis dan duwetnya”

"Aku tidak percaya." potong Wisesa.

Tetapi Sampurna yang menyahut. “Aku percaya. Sejak kecil Manggada tidak suka berbohong. Justru karena ia keras kepala. Nanti kita akan berbicara dengan ayah.”

"Dimana Ki Jagabaya sekarang?” bertanya Manggada.

"Ayah baru keluar sebentar. Mungkin menemui beberapa bebahu padukuhan. Ayah banyak berceritera tentang kesediaanmu membantunya kepada orang-orang padukuhan ini” berkata Sampurna.

Dengan nada datar Wisesa berkata. “Memang sekarang kesempatan anak-anak muda padukuhan Gemawaug untuk menjadi pahlawan. Tetapi juga sekarang anak-anak muda yang sombong akan dijerat oleh kesombongannya sendiri”

Manggada mengerutkan dahinya. Tetapi ia tidak menjawab. Sementara itu. Wisesapun berkata, “Baiklah. Aku akan minta diri. Namun aku masih ingin memperingatkan Manggada. Kita kawan bermain sejak kanak-kanak. Karena itu, aku tidak ingin melihat Mangada akan digilas oleh sikap keras kepalanya yang tanpa perhitungan sama sekali. Bahkan kini ia tidak saja bengal dan keras kepala, tetapi juga sombong.”

"Ah..., jangan begitu Wisesa." sahut Manggada "Kita sudah lama tidak bertemu. Sebaiknya kita bicarakan saja hal-hal yang baik.”

"Aku bermaksud baik, Manggada. Sebelum kau terjerumus, aku ingin kau bergeser surut”

"Aku akan memikirkannya” jawab Manggada.

Demikianlah, maka Wisesa itupun minta diri. Sampurna, Manggada dan Laksanapun bangkit pula dan mengantarnya. Mereka turun dari serambi.

"Di mana Tantri, aku akan minta diri?” berkata Wisesa itu.

"O" Sampurna melangkah kembali “Aku akan memanggilnya.”

Sejenak kemudian Tantri itupun telah keluar bersama Sampurna. Dengan nada tinggi Wisesa itupun berkata “Sudahlah Tantri. Aku hanya singgah saja. Besok aku akan singgah lagi. Besok aku akan membawa bibit kemuning. Bukankah yang kau tanyakan bibit pohon kemuning, bukan bibit pohon pacar?”

"Ya. kemuning" jawab Tantri "Terima kasih sebelumnya”

Sampurna. Manggada dan Laksana mengantar Wisesa sampai ke pintu seketeng. Sampurna mengangkat selarak pintu dan membukanya. Bertiga mereka memperhatikan Wisesa yang melangkah menuju ke pintu regol halaman. Ketika ia keluar dari regol. maka nampak ia ragu-ragu. Kemudian kepalanya menjenguk ke kanan dan ke kiri. Baru kemudian Wisesa turun ke jalan dan sambil menutup pintu regol maka Wisesa itu pergi. Sambil menutup pintu seketeng dan menyelaraknya.

Sampurna berkata, “Ia sering datang kemari...”

"Oh" Manggada mengangguk-angguk.

Sementara itu Sampurnapun berkata selanjutnya, "Nampaknya ia mulai tertarik kepada Tantri yang menjadi dewasa. Tetapi nampaknya ia tidak senang kepadamu.”

"Kenapa?” bertanya Manggada.

"Kau dekat dengan Tantri sejak remaja kecil. Meskipun kau jugalah yang paling sering berkelahi dengan Tantri.”

Manggada tertawa. Katanya, “Itu sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu. Waktu itu kami masih kanak-kanak. Yang kami pikirkan tidak ada lain kecuali permainan yang kadang-kadang memang menimbulkan pertengkaran. Tetapi bukankah Tantri juga sering berkelahi dengan Wisesa?”

"Bahkan sungguh-sungguh berkelahi..." jawab Sampurna "Tetapi Wisesa waktu itu masih sering menangis dan melapor kepada orang tuanya. Jika orang tuanya ikut campur, maka Tantri dan kita semuanya berlari menghambur meninggalkan lapangan permainan.”

Merekapun tertawa serentak. Laksana yang tidak melihat masa kecil itu ikut tersenyum-senyum. Meskipun ia baru saja berkenalan dengan Wisesa, namun kesannya memang kurang menyenangkan. Ketika mereka sampai ke pintu serambi, ternyata Tantri masih berdiri di belakang pintu.

Sampurna yang melihat Tantri itu berdiri termangu-mangu, berkata, “Wisesa akan lebih sering datang kemari Tantri...!”

"Untuk apa? Ia tidak berani membantu ayah...” jawab Tantri.

"Wisesa datang memang tidak untuk ayah...!" jawab Sampurna.

"Lalu apa?” bertanya Tantri.

"Ia datang untuk menemuimu?" jawab Sampurna.

"Untuk apa?” bertanya Tantri.

"Ah, kau bukan gadis kecil yang bertingkah seperti laki-laki lagi. Kau sekarang sudah gadis dewasa. Nah, Wisesa sudah lupa masa-masa kau menggigitnya sampai telinganya berdarah, menangis meraung-raung. Kemudian orang tuanya datang sambil marah-marah!” berkata Sampurna sambil tertawa.

"Kalau aku sudah dewasa, lalu apa maunya?” bertanya Tantri.

"Tidak apa-apa. Sebenarnya ia menjadi ketakutan. Ketika seseorang memberitahukan bahwa Wira Sabet memasuki padukuhan ini, ia lari masuk dan singgah di rumah ini...”

"Nah, bukankah ia tidak mencari aku?” sahut Tantri

. "Tetapi bukankah seperti parang bermata dua. Ke sana menggores kemari menggores pula. Wisesa bersembunyi sekaligus datang menemuimu.” berkata Sampurna sambil tertawa pula.

"Ah sudah-sudah. Besok jika ia datang, aku tidak mau membuat minuman buatnya.” berkata Tantri.

Tiba-tiba saja Laksana memotong. "Gigit saja telinganya sekali lagi, Tantri...”

Sampurna dan Manggada tertawa serentak. Tantri sendiri mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia tertawa sambi! menjawab, “Aku akan menggigit hidungnya.”

Keempatnya tertawa berkepanjangan. Manggada sempat berangan-angan mengenang masa kecilnya. Tantri saat itu memang nakal sekali, la senang berkelahi seperti anak laki-laki. Memanjat dan tingkah laku anak laki-laki yang lain.

Namun kemudian Sampurna pun mempersilahkan mereka untuk duduk di serambi sambil berkata, “Kita minum lagi. Atau barangkali di dapur ada makanan, biarlah Tantri mengambilnya.”

Demikianlah, merekapun duduk lagi di serambi. Tantri memang mengambil beberapa potong makanan di dapur. Ternyata ibunya masih mempunyai beberapa bungkus hawug-hawug dan nagasan.

Ketika kemudian Tantri kembali ke dapur untuk membantu ibunya, maka Sampurna itupun berkata, “Aku akan berkata kepada ayah. Apakah ayah bersedia berbicara dengan Wira Sabet dan Sura Gentong. Barangkali akan terdapat satu persetujuan yang memungkinkan mengurangi atau bahkan jika mungkin mengatasi ketegangan di padukuhan Gemawang.”

"Aku akan menjadi perantara..." berkata Manggada "Aku akan menemui paman Wira Sabet. Mudah-mudahan dalam waktu dekat, ia datang lagi ke padukuhan ini. Karena jika bukan ia yang datang, kita tidak dapat menemukan tempat tinggalnya.”

Sampurna mengangguk-angguk. Katanya “Ya. Memang sulit untuk mencari tempat tinggalnya. Hal ini memang pernah disampaikan kepada ayah. Tetapi waktu itu ayah kurang memperhatikan karena menurut ayah kemungkinan penyelesaian dengan cara itu kecil sekali. Ayah menganggap bahwa Wira Sabet dan Sura Gentong tidak akan dapat diajak berbicara.”

"Aku akan mencoba. Besok, lusa dan hari-hari berikutnya aku akan datang ke rumah paman Wira Sabet.”

Demikianlah keduanya masih berbicara agak panjang tentang rencana itu sambil menunggu Ki Jagabaya pulang. Baru setelah mereka menghabiskan semangkuk minuman dan beberapa bungkus makanan, Ki Jagabaya itu datang. Bahkan Ki Jagabaya itu langsung duduk di serambi bersama-sama dengan anak-anak muda itu.

Sebelum Manggada dan Laksana berceritera tentang pertemuannya dengan Wira Sabet, Ki Jagabaya itu berkata, “Aku mendengar bahwa kalian telah bertemu dan berbicara dengan Wira Sabet?”

“Ya. Ki Jagabaya..." jawab Manggada "Kami bertemu dengan paman Wira Sabet di rumahnya. Tetapi dari siapa Ki Jagabaya mengetahui bahwa kami telah bertemu dan berbicara dengan paman Wira Sabet?”

"Aku bertemu dengan Ki Resadana. Ialah yang berceritera kepadaku bahwa kalian berdua telah melakukan sesuatu yang menurut ki Resadana tidak masuk akal...”

"Apakah Ki Jagabaya pergi ke rumah Paman Resa...?” bertanya Manggada pula....

Selanjutnya,
Sejuknya Kampung Halaman Bagian 07

Sejuknya Kampung Halaman Bagian 06

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
MANGGADA ragu-ragu sejenak. Namun Nyi Resa itupun berkata, “Marilah. Duduklah di dalam. Pamanmu ada di belakang...!”

Manggada dan Laksanapun kemudian telah masuk di ruang dalam. Sementara itu. Nyi Resapun segera menutup pintu rumahnya rapat-rapat. Sejenak kemudian, maka Ki Resa pun telah dipanggil pula. Seperti Nyi Resa, maka Ki Resa pun telah mempertanyakan kapan Manggada itu pulang.

"Kau sekarang telah menjadi anak muda yang dewasa. Tubuhmu nampak berkembang dengan baik. Sejak kanak-kanak kau memang sudah nampak bahwa kau akan tumbuh menjadi seorang anak muda yang gagah!"

"Ah, paman masih saja suka memuji...” jawab Manggada.

"Tidak. Aku tidak sekedar memuji, tetapi aku berkata sebenarnya?”

"Terima kasih, paman" jawab Manggada.

Namun kemudian Ki Resa itupun bertanya, “Tetapi bukankah ayahmu telah menceriterakan apa yang terjadi di padukuhan ini?”

"Sudah paman. Maksud paman tentang paman Wira Sabet dan paman Sura Gentong?”

"Ya. Tentang mereka” jawab Ki Resa.

Manggadapun kemudian menceritakan perjumpaannya dengan Wira Sabet kemarin, ia memang datang untuk melihat rumah Wira Sabet.

"Jadi kau sudah bertemu dan berbicara dengan Wira Sabet?” bertanya Ki Resa dengan heran.

"Ya, paman. Aku sudah mengatakan pula bahwa aku ingin memanjat pohon manggis atau pohon duwet di halaman rumahnya. Paman Wira Sabet ternyata tidak berkeberatan. Namun ternyata rumah itu agaknya sudah lama kosong. Bahkan tidak seorangpun keluarganya yang tinggal...”

"Rumah itu memang sudah lama kosong. Ketika Wira Sabet melarikan diri dari rumahnya, masih ada keluarganya yang menunggui rumah itu. Namun kemudian merekapun telah pergi pula dan rumah itu ditinggalkan kosong berkata Ki Resadana”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian bertanya, “Lalu dimana paman Wira Sabet sekarang tinggal?”

Ki Resa itu menggeleng. Katanya “Tidak seorangpun yang tahu ngger. Tidak ada orang yang berani bertanya. Bahkan melihat Wira Sabet di kejauhanpun orang-orang padukuhan ini sudah melarikan diri. Wira Sabet dan Sura Gentong adalah lambang dari kesulitan dan bencana”

“Tetapi ia tidak berbuat apa-apa ketika kami bertemu kemarin” berkata Manggada kemudian.

“Meskipun demikian, kau harus berhati-hati, ngger. Perjumpaanmu berikutnya, akan dapat menimbulkan kemungkinan yang lain. Ketika ia sadar bahwa kau adalah bagian dari isi padukuhan ini, maka kau akan dianggap sebagai musuhnya pula...” berkata Ki Resa itu kemudian.

Manggada termangu-mangu sejenak, sementara Laksana itupun bertanya, “Tetapi paman, apakah selama ini paman tidak pernah merasa diganggu oleh Wira Sabet yang rumahnya hanya bersebelahan dengan rumah paman?”

"Aku memang tidak ngger. Tetapi Wira Sabet dan Sura Gentong itu sampai saat ini dengan teratur tengah melakukan usaha untuk menakut-nakuti para penghuni padukuhan ini”

"Ternyata seisi padukuhan ini memang menjadi ketakutan. Sementara Ki Jagabaya masih tetap setia kepada tugasnya itu harus bekerja seorang diri." sahut Manggada.

Ki Resa menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah Ki Resa itu berkata, “Sebenarnya orang-orang padukuhan ini juga merasa berkewajiban membantunya. Tetapi kami tidak berdaya sama sekali”

"Dahulu seisi padukuhan ini mampu mengusir paman Wira Sabet dan pamar Sura Gentong.” desis Manggada.

"Tetapi keadaannya sudah berbeda. Dahulu mereka bukan orang-orang berilmu. Tetapi tidak lebih dari kita semuanya. Sekarang, Wira Sabet dan Sura Gentong adalah orang berilmu tinggi”

"Tetapi jika kita semuanya bangkit bersama-sama, apakah kita masih juga tidak mampu berbuat apa-apa?” bertanya Manggada.

Ki Resadana menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya dengan nada berat "Kita tidak akan selalu bersama-sama setiap saat. Pada saat kita sendiri-sendiri itulah, nyawa kita semuanya terancam. Hari ini dua orang, besok dua orang dan demikian pula di hari-hari berikutnya. Bukankah itu sangat mengerikan?”

Manggada dan Laksana melihat kecemasan membayang di wajah orang itu. Meskipun demikian Manggada masih juga berkata, “Paman, bukankah kita dapat menyiapkan anak-anak muda dan laki-laki yang masih mampu untuk mengangkat senjata untuk meronda setiap saat. Kita dapat mengatur dan membagi waktu sebaik-baiknya untuk melakukan pengamanan padukuhan ini. Kita isi gardu-gardu di ujung-ujung lorong. Siang dan malam”

"Jika kita berada di sawah atau di ladang?” bertanya Ki Resadana. Lalu katanya “Apalagi aku yang tinggal di sebelah dinding halaman rumahnya.”

Manggada dan Laksana menyadari, bahwa ia tidak akan dapat mendesak Ki Resadana untuk ikut bersamanya memihak Ki Jagabaya. Karena itu, maka Manggada itupun kemudian berkata “Baiklah paman. Kami dapat mengerti perasaan paman. Namun kami berdua mempertimbangkan untuk dapat berbuat sesuatu agar keadaan padukuhan ini menjadi tenang kembali, apapun caranya.”

Wajah Ki Resadana menjadi tegang. Katanya, "Meskipun kau berasal dari padukuhan ini, ngger. Tetapi kau termasuk orang baru disini. Kau tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin Ki Kertasana sudah berceritera. Tetapi kau tidak dapat membayangkan keadaan yang sesungguhnya di padukuhan ini”

"Aku mengerti, paman. Tetapi apakah kita akan membiarkan Ki Jagabaya terhimpit sendirian oleh kuasa Wira Sabet dan Sura Gentong dengan kesetiaannya kepada tugasnya?”

“Tetapi kami sayang akan jiwa kami. Ngger” jawab Ki Resadana dengan nada dalam.

Manggada dan Laksana akhirnya hanya dapat mengangguk-angguk. Bahkan kemudian Manggada itupun berkata “Baiklah paman. Kami mohon diri. Kami masih ingin melihat-lihat padukuhan yang sepi ini. Tetapi duwet di halaman rumah paman Wira Sabet itu berbuah lebat. Aku ingin memanjatnya.”

"Jangan ngger. Kau jangan membuat persoalan dengan orang itu. Sangat berbahaya bagimu...” cegah Ki Resadana.

"Tetapi aku sudah bertemu sendiri dengan Paman Wira sabet. Aku diijinkan memanjat pohon duwet dan pohon manggis di halaman rumahnya” jawab Manggada.

Ki Resadana menarik nafas dalam-dalam Manggada dan Laksana itu ternyata tidak mau mendengarkan peringatannya. Sebenarnyalah setelah Manggada dan Laksana minta diri, maka keduanya benar-benar pergi ke halaman rumah Wira Sabet yang kosong dan menjadi sangat kotor. Seperti yang dikatakan, maka Manggada dan Laksana benar-benar telah memanjat pohon manggis dan pohon duwet.

Dari halaman rumahnnya, Ki Resadana itu melihat keduanya bergayut dari satu cabang ke cabang yang lain. Apalagi Manggada yang memanjat pohon duwet yang telah menjadi besar dan tinggi. Ternyata yang melihat anak-anak muda memanjat itu bukan hanya Ki Resadana. Beberapa orang yang lain dengan tidak sengaja melihat juga keduanya memanjat.

Melihat tingkah kedua orang anak muda itu, beberapa orang tetangga Wira Sabet menjadi tegang. Tetapi mereka tidak dapat berbuat sesuatu. Orang yang tinggal di rumah yang berseberangan dengan rumah Wira Sabet itu terpaksa keluar dari regol halamannya untuk memperingatkan kedua anak muda itu. Tetapi di luar regol orang itu melihat Ki Resadana yang sambil melihat ke kedua ujung jalan, turun juga ke jalan.

"Siapakah anak-anak muda itu?" bertanya orang yang tinggal di seberang jalan.

"Anak Ki Kertasana" jawab Ki Resadana.

"Apakah anak-anak itu tidak tahu apa yang mereka lakukan” bertanya orang di seberang jalan.

Ki Resadana memang mendekati mereka. Sekali lagi ia memanggil Manggada. Namun Manggada sambil tersenyum berkata, “Duwet putih ini memang manis paman. Sejak kecil aku sudah sering memanjat pohon ini”

"Turunlah ngger..." minta Ki Resadana "keadaan sudah berubah. Itu terjadi sepuluh tahun yang lalu”

"Bagi kami, keadaan tidak berubah" jawab Manggada.

Ki Resadana dan orang di seberang jalan menjadi semakin gelisah. Apalagi mereka sudah mendengar bahwa kemarin Wira Sabet telah memasuki padukuhan itu. Bahkan kedua anak muda itu telah bertemu pula dengan mereka.

Selagi Ki Resadana dan dua orang dari seberang jalan termangu-mangu, maka seseorang telah berjalan tergesa-gesa, bahkan berlari-lari sambil memanggul cangkulnya. Ketika Ki Resadana bertanya, maka orang itu menjawab sambil meneruskan langkahnya,

"Wira Sabet datang lagi bersama pengawalnya”

"Celaka...!" desis Ki Resadana. Sementara itu kedua orang yang lain dengan tergesa-gesa telah masuk regol halaman rumah mereka masing-masing.

"Ngger, kau dengar, bahwa Wira Sabet memasuki padukuhan ini lagi” teriak ki Resadana.

"Tidak apa-apa, paman. Aku sudah mendapat ijinnya” jawab Manggada.

Resadana tidak menunggu lebih lama lagi. lapun tidak ingin bertemu dengan Wira Sabet, karena kemungkinan yang buruk akan dapat terjadi atas dirinya. Karena itu, maka Ki Resadanapun segera masuk regol halaman rumahnya. Sekali iagi ia masih sempat memandang Manggada dan Laksana yang memanjat semakin tinggi.

Namun kemudian. Ki Resadana itu telah masuk ke dalam rumahnya dengan jantung yang berdebar-debar. Bagaimanapun juga Ki Resadana ini telah mencemaskan nasib kedua orang anak muda yang amenurut pendapatnya tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya di padukuhan itu.

Sebenarnyalah, beberapa saat kemudian. Wira Sabet itu pun telah memasuki padukuhan. Pertanyaan Manggada kemarin tentang rumahnya ternyata telah menggelitiknya untuk sekai-sekali melihat, apa yang terjadi dengan rumah dan halamannya itu. Karena itu, maka Wira Sabet itupun telah menyusuri jalan yang langsung menuju ke rumahnya.

Ketika ia sampai ke depan rumahnya, maka Wira Sabet itupun berhenti, la melihat regol halaman rumahnya terbuka, sedangkan sampah kering berhamburan di halaman.

Namun Wira Sabet itu terkejut ketika ia mendengar seseorang berkata “Selamat pagi, paman...!”

Wira sabet mengangkat wajahnya. Jantungnya berdesir ketika ia melihat dua orang anak muda bergayut pada cabang pohon duwet dan pohon manggis. Tetapi sebelum Wira Sabet berkata sesuatu terdengar suara Manggada,

"Paman, aku benar-benar memanjat pohon duwet ini sebagaimana aku katakan kemarin. Terima kasih atas ijin paman. Duwet putih ini ternyata manis sekali. Sayang sekali, bahwa buahnya dibiarkan tua dan berjatuhan terhambur di bawah batangnya. Seperti dahulu, setiap hari aku akan datang mencari duwet dan manggis yang berbuah lebat tetapi terbuang-buang saja.”

Wira Sabet itu justru bagaikan terbungkam. Ia tidak dapat berkata sepatahkan. Dipandanginya saja anak-anak muda yang masih berada di dahan sambil menggapai buahnya yang memang lebat. Ki Resadana mendengar suara Manggada itu. Debar jantungnya terasa semakin cepat.

Sementara itu, Manggada bertanya dari atas pohon. "Apakah paman juga ingin membawa duwet dan manggis. Barangkali paman sendiri sudah lama tidak mencicipinya”

Wira Sabet masih saja termangu-mangu. Sebelum ia sempat menjawab, Manggada telah berkata pula "Aku akan turun membawa duwet ini bagi paman”

Hampir di luar sadarnya, Wira Sabet itu menjawab, “Tidak. Tidak usah. Aku tidak memerlukannya”

Ternyata Wira Sabet tidak menunggu lebih lama. la tidak senang mendengar pertanyaan-pertanyaan Manggada yang meluncur deras dari mulutnya. Tetapi rasa-rasanya ia tidak dapat menghentikannya. Karena itu, maka Wira sabet itupun segera melangkah pergi meninggalkan halaman rumahnya yang kosong dan kotor itu.

Tetapi Manggada masih saja beteriak "Paman, kemana kau paman?”

Wira Sabet tidak menjawab. Tetapi ia melangkah terus, menjauhi rumahnya itu. Manggada dan Laksana yang sedang memanjat itu melihat Wira Sabet dan kawan-kawannya pergi menjauh. Mereka berjalan cepat bahkan seperti orang yang sedang ketakutan. Seperti orang-orang padukuhan itu yang melihat kedatangan Wira Sabet itu sendiri.

Demikian Wira Sabet dan kawan-kawanma menjauh, maka Manggada dan Laksanapun segera turun. Keduanya tidak langsung pergi. Tetapi keduanya justru kembali ke rumah Ki Resadana.

"Luar biasa...!" desis Ki Resadana sambi! membuka pintu rumahnya kalian telah melakukan sesuatu yang sangat berani, yang tentu tidak pernah terpikir dan dilakukan oleh anak-anak muda padukuhan ini.

"Aku adalah anak muda dan padukuhan ini paman!”

"Tetapi kau sudah lama berada di luar padukuhan ini. Kau memang berbeda dengan anak-anak muda yang lain”

“Tetapi apa yang kau lakukan, adalah satu hal yang tidak masuk akal bagi kami...”

"Paman!" berkata Manggada "Apa yang kami lakukan adalah sekedar untuk mengatakan kepada Wira Sabet, bahwa usahanya untuk menakut-nakuti seisi padukuhan ini tidak berhasil. Setidak-tidaknya kami tidak menjadi ketakutan seperti orang lain. Sebenarnya kami berharap bahwa ada juga orang lain yang berbuat seperti kami. Atau setidak-tidaknya dapat membantu Ki Jagabaya yang setia dalam tugasnya.”

Ki Resadana menarik nafas dalam-dalaam. Namun bagaimanapun juga ia masih belum mempunyai keberanian untuk berbuat sesuatu, apalagi seperti anak-anak muda itu. Untuk beberapa lama Manggada dan Laksana berada di rumah Ki Resadana. Namun kemudian merekapun minta diri untuk meninggalkan rumah itu.

“Kalian akan pergi kemana?” bertanya Ki Resadana.

“Pulang. Tetapi kami akan singgah sebentar di rumah ki Jagabaya. Kami ingin berbicara bahwa kami baru saja bertemu dengan Wira Sabet”

Ki Resadana termangu-mangu sejenak. Dengan nada dalam iapun kemudian berkata “Memang satu kenyataan bahwa Wira Sabet masih juga dapat diajak berbicara. Tetapi aku tidak tahu, apakah Sura Gentong juga serba sedikit masih tersisa kewajarannya dalam hubungannya dengan sesama.”

Manggada mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Apakah menurut paman Resadana. Paman Sura Gentong lebih garang dari paman Wira Sabet?”

"Ya. Keduanya memang ditakuti. Tetapi sebenarnyalah belum ada orang yang pernah mengalami kesulitan karena Wira Sabet.”

"Bagaimana dengan paman Sura Gentong?” bertanya Manggada kemudian.

"Belum ada seorangpun yang pernah melihat Sura Gentong. Apalagi memasuki padukuhan ini...” jawab Resadana.

"Tetapi kenapa setiap orang mengatakan bahwa jika seseorang melihat saja, bahkan dari kejauhan paman Wira Sabet atau paman Sura Gentong akan mengalami bencana?”

KI Resadana mengangguk-angguk kecil. Jawabnya, "Aku sudah mengatakan, bahwa secara teratur keduanya sengaja menyebarkan suasana yang membuat orang-orang padukuhan ini ketakutan.”

"Nah, paman. Aku akan membantu Ki Jagabaya dengan cara yang sebaliknya. Sebagaimana paman ketahui. Wira Sabet sama sekali tidak menakutkan, la tidak berbuat apa-apa. Karena itu, besok dan besoknya lagi dan balikan kemudian seringkali, aku akan bermain-main di halaman rumah paman Wira Sabet. Kami berdua juga akan memetik duwet atau manggis atau apa saja yang ada.”

"Tetapi kalian tidak boleh lupa diri. Kalian harus tetap berhati-hati, karena kewajaran sikap Wira Sabet tentu berbeda dengan kewajaran sikap kita”

Manggada mengangguk. Ia menyadari akan kebenaran pesan itu. Katanya “Aku mengerti. Terima kasih paman. Aku akan berhati-hati”

Demikianlah, maka Manggada dan Laksanapun kemudian telah pergi ke rumah Ki Jagabaya. Mereka tidak lagi bertemu dengan Wira Sabet Agaknya Wira Sabet tela!: meninggalkan padukuhan itu. Ternyata satu dua oiang lelah nampak lagi berjalan tergesa-gesa di jalan padukuhan itu.

Ketika sampai ke rumah Ki Jagabaya, maka seperti biasanya pintu regol rumah itu sedikit terbuka. Demikian mereka memasuki halaman, maka merekapun langsung menuju ke seketeng. Ketika Manggada mengetuk pintu sebagaimana dilakukan kemarin, maka seseorang telah melangkah mendekati pintu itu.

"Siapa?" terdengar seseorang bertanya.

"Aku, Sampurna!" jawab Manggada yang tahu pasti, bahwa orang yang ada di balik pintu itu adalah Sampurna.

Sejenak kemudian, maka selarak pintu itupun telah diangkat. Ketika pintu dibuka, maka sebenarnyalah bahwa yang berdiri di belakang pintu itu adalah Sampurna. Seperti kemarin, maka Sampurna itu berpakaian lengkap dengan sebilah keris di punggungnya. Tetapi Manggada dan Laksana tidak bertanya lagi, apakah Sampurna akan pergi ke upacara.

Sambil tersenyum Sampurna pun telah mempersilahkan Manggada dan Laksana masuk seperti kemarin pula, maka pintu itupun segera ditutup dan diselarak. Ketika mereka berjalan ke serambi, Sampurna itu berkata, “Aku mempunyai seorang tamu. Nah, tentu kau ingat, siapa anak muda itu...”

"Apakah ia kawan kita bermain?” bertanya Manggada.

"Ya, umurnya setua aku.” jawab Sampurna.

Manggada mengerutkan dahinya. Tetapi ia belum melihat anak muda itu. Baru kemudian ketika ia memasuki gandok, maka tiba-tiba saja Manggada menyapanya sambil tertawa "Nah, ini tentu Wisesa. Aku tidak akan pernah melupakannya.”

Anak muda itupun bangkit pula. Dikerutkannya keningnya, sementara Sampurna bertanya, “Wisesa. apakah kau melupakannya?”

Wisesa memandang Manggada dan Laksana berganti-ganti. Sementara Sampurna berkata, “Yang seorang saja. Yang lain memang seorang tamu. Kau tentu belum mengenalnya”

"Manggada" desis Wisesa.

"Ternyata kamu masih ingat juga!" desis Sampurna.

"Anak keras kepala itu?" berkata Wisesa sambil tertawa "Marilah. Siapa yang seorang lagi?”

"Laksana. Sepupuku. Ia datang berkunjung kemari” jawab Manggada.

Ketika kemudian Manggada dan Laksana duduk, maka pembicaraan merekapun menjadi riuh. Hanya Laksana sajalah yang sekali-sekali tersenyum dan tertawa.

"Kenapa kau pulang?” bertanya Wisesa kemudian.

"Aku menjadi rindu kepada kampung halaman. Demikian aku memasuki kampung halaman ini. Maka terasa betapa sejuknya angin yang semilir lembut.” jawab Manggada.

Yang mendengarkannyapun tertawa. Namun Sampurna berkata, “Tetapi setelah kau memasuki lorong-lorongnya, maka kau akan merasa, betapa panasnya terik matahari di padukuhan ini.”

"Ya” jawab Manggada "Tetapi pada sualu saat padukuhan ini akan menjadi sejuk kembali...”

"Aku berharap demikian" jawab Sampurna.

Namun dalam pada itu, Laksana sempat memperhatikan Wisesa. Ketika Sampurna dan Manggada membicarakan padukuhan itu, agaknya ia menjadi gelisah. Bahkan sama sekali tidak menyahut dan apalagi menanggapi beberapa kali ia justru melemparkan pandangan matanya ke arah pintu serambi.

Namun pembicaraan itu terhenti ketika Tantri membawa minuman keluar. Namun iapun kemudian berkata sambil tersenyum "Maaf Manggada. Aku belum tahu kalau tamunya bertambah...”

Sambil tersenyum Manggada menyahut “Aku sudah merasa cemas, bahwa kami berdua tidak terhitung.”

Tantri tersenyum pula. Katanya, “Sabarlah Manggada Nanti aku buatkan buat kalian.”

"Terima kasih...!" Laksanalah yang menyahut.

Tantri sempat memandang Laksana sekilas. Namun kemudian gadis itu menundukkan wajahnya meskipun senyumnya masih nampak tergayut dibibirnya.

Wisesa memandang Laksana dengan dahi berkerut. Nampaknya ia kurang senang melihat sikap Laksana. Apalagi ketika ia melihat laksana yang memandang Tantri dengan tanpa berkedip.

Namun sejenak kemudian Tantri itupun telah beringsut dan kembali masuk ke ruang dalam. Sementara Sampurna berkata, Aku belum mempersilahkan kau minum. Wisesa. Kita menunggu sampai minuman buat Manggada dan Laksana dihidangkan”

Wisesa mengangguk. Iapun kemudian mencoba untuk tersenyum pula. Sebenarnyalah bahwa sejenak kemudian, Tantri telah datang lagi sambil membawa minuman buat Manggada dan Laksana. Bahkan kemudian Tantri itu sempat mempersilahkan, "Minumlah Manggada”

"Terima kasih Tantri.. ” jawab Manggada sambil mengangguk.

Manggadapun kemudian berpaling kepada Laksana sambil berkata “Nah, hanya aku yang dipersilahkan minum. Kau tidak”

Laksana mengerutkan dahinya. Namun Tantri dengan cepat berkata, “Tentu semuanya. Silahkan”

Manggada tertawa. Sementara Sampurna berkata, “Kau masih seperti dahulu. Kau termasuk anak-anak yang paling ribut di masa remajamu. Tetapi meskipun umurmu beberapa tahun lebih muda dari aku, kau lebih senang bermain-main dengan anak-anak sebayaku daripada anak-anak sebayamu. He, bukankah kau ingat Wisesa? Tetapi meskipun Manggada termasuk yang paling kecil di antara kita, tetapi ia benar-benar anak yang bandel...”

"Ya, aku ingat" jawab Wisesa pendek.

Namun Sampurna itu berkata selanjutnya, "Meskipun demikian. Manggada tidak pernah berani melawan Tantri. Meskipun Tantri perempuan, tetapi ia senang berkelahi di masa remaja kecilnya.”

"Bohong...!" sahut Tantri.

"Bukankah disini banyak saksi?” jawab Sampurna.

"Sudah, sudah..." potong Tantri.

Sampurna yang tertawa itu berkata selanjutnya, "Tetapi Manggada tetap bandel dan nakal sampai dewasanya. Jika tidak, maka ia tidak menyatakan niatnya bekerja sama dengan ayah.”

"Ah, itu adalah kewajiban bagiku. Bagi anak-anak muda padukuhan ini. Bukankah begitu Wisesa?" Manggada justru bertanya.

"Ya" jawab Wisesa asal saja.

Tetapi Sampurna terkejut. Sambil mengerutkan dahinya, ia bertanya “Apakah kau juga akan melakukannya sebagaimana Manggada dan Laksana, sepupunya itu?”

Wisesa baru mulai berpikir. Dengan ragu-ragu ia bertanya “Maksudmu?”

"Manggada dan Laksana telah menyatakan diri dengan suka rela akan membantu ayah mengatasi kemelut yang terjadi di padukuhan ini. Maksudku, persoalan yang menyangkut Wira sabet dan Sura Gentong.”

"Ah..." Wisesa terkejut "Apa yang akan dilakukan oleh Manggada dan Laksana?”

"Tentu saja kita belum mempunyai rencana apa-apa. Tetapi kesediaannya membantu ayah telah sangat membesarkan hati ayah, bahwa masih ada anak-anak muda yang bersedia melakukan tugas-tugas mulia bagi kampung halamannya.”

Wisesa mengerutkan dahinya. Tetapi ia tidak menjawab. Dalam pada itu, Tantri mempersilahkan sekali lagi "Nah, silahkan. Minumlah. Aku akan membantu ibu di dapur.”

"Terima kasih" Laksana lagi yang menyahut.

Sepeninggal Tantri, maka Sampurna telah mulai mengenang lagi masa kanak-kanak mereka yang riang dan ceria. Sambil berangan-angan ia berkata, “Kita tidak pernah takut bermain di halaman di kebun atau bahkan di prapatan-prapatan. Siang atau malam. Apalagi saat bulan terang, namun suaranyapun merendah "Sekarang, anak-anak itu sama sekali tidak berkesempatan lagi. Setidak tidaknya untuk sementara”

"Hanya untuk sementara..." berkata Manggada kemudian "Mudah-mudahan suasana seperti ini segera berakhir”

"Maksudmu?" tiba-tiba Wisesa bertanya.

Sampurnalah yang menjawab “Maksud Manggada, kita akan segera menghentikan tingkah laku Wira Sabet dan Sura Gentong.”

Wisesa menarik nafas dalam-dalam. Katanya ”Aku sudah memperingatkan Sampurna, bahwa yang dilakukan Ki Jagabaya itu sia-sia. Wira Sabet dan Sura Gentong bukan orang kebanyakan. Apalagi setelah ia bekerja sama dengan Ki Sapa Aruh”

Jadi maksudmu, suasana seperti ini akan dibiarkan berkepanjangan?” bertanya Sampurna. Lalu katanya, “Wisesa, ayah adalah seorang bebahu padukuhan. Bagaimanapun juga ia harus berbuat sesuatu bagi kebaikan padukuhan ini sessuai dengan tugasnya”

"Tetapi Ki Jagabaya hanya sendiri, Sampurna. Kau lihat, apakah Ki Bekel dan para bebahu juga mendukung kesetiaan Ki Jagabaya dalam tugasnya?” bertanya Wisesa.

"Jadi menurut pendapatmu, kita biarkan saja padukuhan ini menjadi sesepi kuburan sekarang ini?”

"Tentu tidak" jawab Wisesa "Aku sudah mengusulkan, dan barangkali sudah langsung aku sampaikan kepada Ki Jagabaya, bahwa kita harus berani melihat kenyataan. Kita harus berani mendengarkan, apa yang sebenarnya dimaui oleh Wira Sabet dan Sura Gentong. Jika kita dapat memenuhinya, maka persoalannya akan segera dapat diselesaikan”

"Memang satu pikiran yang baik" jawab Sampurna "Tetapi seperti yang dikatakan oleh ayah, bahwa dengan demikian maka kita akan mengorbankan seisi padukuhan ini”

"Ah, aku kira tidak, Sampurna. Memang mungkin kita harus memberikan pengorbanan. Tetapi sepanjang pengorbanan itu wajar, maka kita tidak mempunyai pilihan lain”

"Yang sulit adalah ukuran kewajaran itu!” berkata Sampurna.

"Kita belum pernah mencobanya" berkata Wisesa.

Sampurna mengangguk-angguk. Katanya. “Memang masuk akal. Tetapi sudah tentu melalui pembicaraan yang panjang dan tentu tawar-menawar. Untuk melakukan hal itu kita memerlukan orang yang berani melakukannya. Sementara orang-orang padukuhan ini merasa bahwa melihat keduanya dari kejauhan saja sudah dianggap satu bencana.”

"Mungkin Ki Jagabaya dapat melakukannya" berkata Wisesa.

"Seandainya ayah ingin mencobanya, apakah kau bersedia bertemu dan berbicara dengan Wira Sabet, Wisesa?”

Wajah Wisesa itu tiba-tiba menjadi tegang. Katanya “Kenapa harus aku? Bukankah itu tugas Ki Jagabaya?”

"Mungkin itu termasuk tugas ayah. Tetapi tentu ada perantara yang membuat hubungan untuk melakukan satu pembicaraan”

"Kenapa tidak kau saja Sampurna”

"Aku anak Jagabaya itu. Sebaiknya memang orang lain” jawab Sampurna.

Tiba-tiba Manggadalah yang menyahut. “Aku bersedia berbicara dengan paman Wira Sabet...”

"Kau...?" wajah Wisesa menjadi tegang kembali.

“Ya. Aku memang suuah menyatakan kesediaanku untuk membantu Ki Jagabaya. Apa salahnya” bertanya Manggada.

Wisesa memandang Manggada dan Sampurna berganti-ganti. Dengan nada berat iapun berkata “Kita tidak sedang bermain-main seperti dahulu Manggada. Kita tidak sedang bermain soyang atau bermain ular naga. Juga tidak gobag sodor atau permainan yang lain. Kalau kau dahulu dikenal sebagai anak yang bandel dan keras kepala dalam bermain, akibatnya akan jauh berbeda jika kau menjadi keras kepala sekarang ini”

Manggada mengangguk-angguk Katanya "Hal ini aku lakukan karena aku ingin menyumbangkan sesuatu bagi kampung halaman ini, Wisesa. Tata kehidupan di padukuhan ini harus segera berubah. Dorongan itulah yang memaksa aku untuk bersedia melakukan tugas ini jika Ki Jagabaya sependapat dan membebankannya kepadaku.”

"Nampaknya, setelah kau pulang dari rantau, kau ingin disebut sebagai pahlawan disini" berkata Wisesa selanjutnya "ketahuilah, bahwa seseorang yang melihat Wira Sabet dan Sura Gentong adalah pertanda bahwa orang itu akan mengalami bencana, mungkin datangnya dari kedua orang itu atau dari pengikut mereka atau dari Ki Sapa Aruh...”

Tetapi Manggada tertawa. Katanya, “Berita itu terlalu dibesar-besarkan. Atau sengaja dilontarkan oleh para pengikut paman Wira Sabet dan Sura Gentong.”

"Kau memang keras kepala. Tetapi jika kemudian batok kepalamu yang keras itu akan berlobang oleh tongkat Wira Sabet, adalah salahmu sendiri" geram Wisesa.

"Aku telah bertemu dan berbicara dengan paman Wira Sabet. Aku baru saja memanjat pohon manggis dan duwet di halaman rumahnya justru ditunggui oleh paman Wira Sabet sendiri...”

"Omong kosong" Wisesa hampir berteriak.

"Kenapa harus berbohong? Tetapi jika kau tidak percaya, bertanyalah kepada Ki Resadana dan tetangga yang rumahnya berseberangan dengan rumah paman Wira Sabet.”

Wajah Wisesa menjadi tegang, sementara Manggada berceritera tentang pertemuannya dengan Wira Sabet, kemarin dan pagi hari itu.

“Ternyata aku dapat berbicara dengan paman Wira Sabet seperti biasa. Bahkan paman Wira Sabet tidak berkeberatan aku memanjat pohon manggis dan duwetnya”

"Aku tidak percaya." potong Wisesa.

Tetapi Sampurna yang menyahut. “Aku percaya. Sejak kecil Manggada tidak suka berbohong. Justru karena ia keras kepala. Nanti kita akan berbicara dengan ayah.”

"Dimana Ki Jagabaya sekarang?” bertanya Manggada.

"Ayah baru keluar sebentar. Mungkin menemui beberapa bebahu padukuhan. Ayah banyak berceritera tentang kesediaanmu membantunya kepada orang-orang padukuhan ini” berkata Sampurna.

Dengan nada datar Wisesa berkata. “Memang sekarang kesempatan anak-anak muda padukuhan Gemawaug untuk menjadi pahlawan. Tetapi juga sekarang anak-anak muda yang sombong akan dijerat oleh kesombongannya sendiri”

Manggada mengerutkan dahinya. Tetapi ia tidak menjawab. Sementara itu. Wisesapun berkata, “Baiklah. Aku akan minta diri. Namun aku masih ingin memperingatkan Manggada. Kita kawan bermain sejak kanak-kanak. Karena itu, aku tidak ingin melihat Mangada akan digilas oleh sikap keras kepalanya yang tanpa perhitungan sama sekali. Bahkan kini ia tidak saja bengal dan keras kepala, tetapi juga sombong.”

"Ah..., jangan begitu Wisesa." sahut Manggada "Kita sudah lama tidak bertemu. Sebaiknya kita bicarakan saja hal-hal yang baik.”

"Aku bermaksud baik, Manggada. Sebelum kau terjerumus, aku ingin kau bergeser surut”

"Aku akan memikirkannya” jawab Manggada.

Demikianlah, maka Wisesa itupun minta diri. Sampurna, Manggada dan Laksanapun bangkit pula dan mengantarnya. Mereka turun dari serambi.

"Di mana Tantri, aku akan minta diri?” berkata Wisesa itu.

"O" Sampurna melangkah kembali “Aku akan memanggilnya.”

Sejenak kemudian Tantri itupun telah keluar bersama Sampurna. Dengan nada tinggi Wisesa itupun berkata “Sudahlah Tantri. Aku hanya singgah saja. Besok aku akan singgah lagi. Besok aku akan membawa bibit kemuning. Bukankah yang kau tanyakan bibit pohon kemuning, bukan bibit pohon pacar?”

"Ya. kemuning" jawab Tantri "Terima kasih sebelumnya”

Sampurna. Manggada dan Laksana mengantar Wisesa sampai ke pintu seketeng. Sampurna mengangkat selarak pintu dan membukanya. Bertiga mereka memperhatikan Wisesa yang melangkah menuju ke pintu regol halaman. Ketika ia keluar dari regol. maka nampak ia ragu-ragu. Kemudian kepalanya menjenguk ke kanan dan ke kiri. Baru kemudian Wisesa turun ke jalan dan sambil menutup pintu regol maka Wisesa itu pergi. Sambil menutup pintu seketeng dan menyelaraknya.

Sampurna berkata, “Ia sering datang kemari...”

"Oh" Manggada mengangguk-angguk.

Sementara itu Sampurnapun berkata selanjutnya, "Nampaknya ia mulai tertarik kepada Tantri yang menjadi dewasa. Tetapi nampaknya ia tidak senang kepadamu.”

"Kenapa?” bertanya Manggada.

"Kau dekat dengan Tantri sejak remaja kecil. Meskipun kau jugalah yang paling sering berkelahi dengan Tantri.”

Manggada tertawa. Katanya, “Itu sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu. Waktu itu kami masih kanak-kanak. Yang kami pikirkan tidak ada lain kecuali permainan yang kadang-kadang memang menimbulkan pertengkaran. Tetapi bukankah Tantri juga sering berkelahi dengan Wisesa?”

"Bahkan sungguh-sungguh berkelahi..." jawab Sampurna "Tetapi Wisesa waktu itu masih sering menangis dan melapor kepada orang tuanya. Jika orang tuanya ikut campur, maka Tantri dan kita semuanya berlari menghambur meninggalkan lapangan permainan.”

Merekapun tertawa serentak. Laksana yang tidak melihat masa kecil itu ikut tersenyum-senyum. Meskipun ia baru saja berkenalan dengan Wisesa, namun kesannya memang kurang menyenangkan. Ketika mereka sampai ke pintu serambi, ternyata Tantri masih berdiri di belakang pintu.

Sampurna yang melihat Tantri itu berdiri termangu-mangu, berkata, “Wisesa akan lebih sering datang kemari Tantri...!”

"Untuk apa? Ia tidak berani membantu ayah...” jawab Tantri.

"Wisesa datang memang tidak untuk ayah...!" jawab Sampurna.

"Lalu apa?” bertanya Tantri.

"Ia datang untuk menemuimu?" jawab Sampurna.

"Untuk apa?” bertanya Tantri.

"Ah, kau bukan gadis kecil yang bertingkah seperti laki-laki lagi. Kau sekarang sudah gadis dewasa. Nah, Wisesa sudah lupa masa-masa kau menggigitnya sampai telinganya berdarah, menangis meraung-raung. Kemudian orang tuanya datang sambil marah-marah!” berkata Sampurna sambil tertawa.

"Kalau aku sudah dewasa, lalu apa maunya?” bertanya Tantri.

"Tidak apa-apa. Sebenarnya ia menjadi ketakutan. Ketika seseorang memberitahukan bahwa Wira Sabet memasuki padukuhan ini, ia lari masuk dan singgah di rumah ini...”

"Nah, bukankah ia tidak mencari aku?” sahut Tantri

. "Tetapi bukankah seperti parang bermata dua. Ke sana menggores kemari menggores pula. Wisesa bersembunyi sekaligus datang menemuimu.” berkata Sampurna sambil tertawa pula.

"Ah sudah-sudah. Besok jika ia datang, aku tidak mau membuat minuman buatnya.” berkata Tantri.

Tiba-tiba saja Laksana memotong. "Gigit saja telinganya sekali lagi, Tantri...”

Sampurna dan Manggada tertawa serentak. Tantri sendiri mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia tertawa sambi! menjawab, “Aku akan menggigit hidungnya.”

Keempatnya tertawa berkepanjangan. Manggada sempat berangan-angan mengenang masa kecilnya. Tantri saat itu memang nakal sekali, la senang berkelahi seperti anak laki-laki. Memanjat dan tingkah laku anak laki-laki yang lain.

Namun kemudian Sampurna pun mempersilahkan mereka untuk duduk di serambi sambil berkata, “Kita minum lagi. Atau barangkali di dapur ada makanan, biarlah Tantri mengambilnya.”

Demikianlah, merekapun duduk lagi di serambi. Tantri memang mengambil beberapa potong makanan di dapur. Ternyata ibunya masih mempunyai beberapa bungkus hawug-hawug dan nagasan.

Ketika kemudian Tantri kembali ke dapur untuk membantu ibunya, maka Sampurna itupun berkata, “Aku akan berkata kepada ayah. Apakah ayah bersedia berbicara dengan Wira Sabet dan Sura Gentong. Barangkali akan terdapat satu persetujuan yang memungkinkan mengurangi atau bahkan jika mungkin mengatasi ketegangan di padukuhan Gemawang.”

"Aku akan menjadi perantara..." berkata Manggada "Aku akan menemui paman Wira Sabet. Mudah-mudahan dalam waktu dekat, ia datang lagi ke padukuhan ini. Karena jika bukan ia yang datang, kita tidak dapat menemukan tempat tinggalnya.”

Sampurna mengangguk-angguk. Katanya “Ya. Memang sulit untuk mencari tempat tinggalnya. Hal ini memang pernah disampaikan kepada ayah. Tetapi waktu itu ayah kurang memperhatikan karena menurut ayah kemungkinan penyelesaian dengan cara itu kecil sekali. Ayah menganggap bahwa Wira Sabet dan Sura Gentong tidak akan dapat diajak berbicara.”

"Aku akan mencoba. Besok, lusa dan hari-hari berikutnya aku akan datang ke rumah paman Wira Sabet.”

Demikianlah keduanya masih berbicara agak panjang tentang rencana itu sambil menunggu Ki Jagabaya pulang. Baru setelah mereka menghabiskan semangkuk minuman dan beberapa bungkus makanan, Ki Jagabaya itu datang. Bahkan Ki Jagabaya itu langsung duduk di serambi bersama-sama dengan anak-anak muda itu.

Sebelum Manggada dan Laksana berceritera tentang pertemuannya dengan Wira Sabet, Ki Jagabaya itu berkata, “Aku mendengar bahwa kalian telah bertemu dan berbicara dengan Wira Sabet?”

“Ya. Ki Jagabaya..." jawab Manggada "Kami bertemu dengan paman Wira Sabet di rumahnya. Tetapi dari siapa Ki Jagabaya mengetahui bahwa kami telah bertemu dan berbicara dengan paman Wira Sabet?”

"Aku bertemu dengan Ki Resadana. Ialah yang berceritera kepadaku bahwa kalian berdua telah melakukan sesuatu yang menurut ki Resadana tidak masuk akal...”

"Apakah Ki Jagabaya pergi ke rumah Paman Resa...?” bertanya Manggada pula....

Selanjutnya,
Sejuknya Kampung Halaman Bagian 07