Sejuknya Kampung Halaman Bagian 05 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
KI JAGABAYA mengangguk-angguk Dengan nada dalam ia berkata, “Aku sangat menghargai sikapmu Ki Kertasana. Seberapapun bantuan yang kau berikan, tentu akan sangat berarti bagi kami. Setidak-tidaknya akan semakin mendorong hati kami untuk menjalankan tugas kami. karena ternyata masih ada juga orang yang menghargai tugas-tugas kami...”

"Itu sebenarnya adalah tugas kami orang padukuhan, karena apa yang Ki Jagabaya lakukan itu adalah karena kedudukan Ki Jagabaya. Sementara kami, orang-orang padukuhan inilah yang membebankan kedudukan itu di pundak Ki Jagabaya!”

Ki Jagabaya tersenyum. Katanya, “Sudah lama aku tidak mendengar seseorang mengatakan hal itu, Ki Kertasana. Karena itu, maka hatiku rasa-rasanya membengkak mendengar kata-katamu.”

"Aku tidak bermaksud apa-apa, Ki Jagabaya. Aku mengatakan apa adanya sesuai dengan perasaanku.” sahut Ki Kertasana.

"Baiklah. Jika demikian maka aku menjadi semakin mantap!” berkata Ki Jagabaya, yang kemudian telah minta diri untuk kembali pulang.

Tetapi Ki Kertasana masih menahannya ketika kemudian minuman dan makananpun dihidangkan. Demikianlah, maka kedatangan Ki Jagabaya ke rumah Ki Kertasana itu mempunyai arti tersendiri bagi keluarga Ki Kertasana. Mereka seakan-akan telah terikat dalam satu persetujuan dengan Ki Jagabaya, bahwa mereka akan membantu kesulitan-kesulitan yang akan dialami oleh Ki Jagabaya dalam tugasnya.

Terutama untuk menghadapi Wira Sabet dan Sura Gentong. Bahkan kemudian orang yang bernama Ki Sapa Aruh itu. Namun hal itu memang sudah mereka kehendaki. Mereka memang berniat untuk ikut membebaskan padukuhan mereka dari ketakutan.

Sepeninggal Ki Jagabaya, Ki Kertasana telah memberitahukan kepada Manggada dan Laksana, bahwa mereka untuk selanjutnya tidak akan dapat mencuci tangan jika terjadi sesuatu.

"Kami mengerti ayah..." sahut Manggada "Mudah mudahan yang kita lakukan tidak sia-sia!”

“Baiklah. Meskipun demikian kalian tidak perlu berkeliling padukuhan dan menyatakan diri sebagai orang-orang yang mempunyai keberanian untuk membantu Ki Jagabaya.” pesan Ki Kertasana.

"Tetapi bagaimana kami dapat memancing pendapat orang-orang padukuhan ini jika kami tidak berceritera kepada mereka?” bertanya Manggada.

"Serahkan kepada Ki Jagabaya..." jawab Ki Kertasana "Biarlah Ki Jagabaya berbicara dengan orang-orang padukuhan ini. Dengan demikian tidak akan ada orang yang menganggap kita terlalu sombong sekedar untuk mendapatkan pujian.”

Manggada mengangguk-angguk. Sementara Laksana bertanya “Tetapi bukankan kami dibenarkan untuk mendorong dan mempengaruhi orang-orang padukuhan ini, terutama anak-anak mudanya untuk bangkit?”

Ki Kertasana termangu mangu sejenak Namun kemudian jawabnya "Ya. Tetapi masih dalam batas kewajaran saja.”

Demikianlah, maka Manggada dan Laksanapun telah minta diri kepada Ki Kertasana dan Ki Citrabawa. Mereka ingin melihat-lihat keadaan padukuhan yang lengang itu. Setidak-tidaknya orang-orang padukuhan itu tidak terlalu dalam dicengkam oleh ketakutan.

"Seperti yang dikatakan oleh kakang Kertasana, kalian tidak perlu memamerkan ilmu kalian di sepanjang jalan. Kalian juga tidak perlu menepuk dada dan menyatakan bahwa kalian sama sekali tidak merasa ketakutan karena ulah Wira Sabet dan Sura Gentong.” pesan Ki Citrabawa.

"Tentu tidak ayah. Kami tidak akan mengatakan apa-apa kecuali berjalan-jalan saja.”

"Jangan terlalu lama. Sebelum senja kalian harus sudah kembali pulang.” pesan Ki Kertasana.

Demikianlah, maka Manggada dan Laksana itupun telah turun ke jalan Mereka memang melihat jalan-jalan yang masih lengang. Namun yang dikatakan Laksana pertama kali demikian mereka meninggalkan regol halaman rumah adalah, "Gadis yang disebut Tantri itu sangat cantik.”

“Kau sudah mulai lagi." sahut Manggada "Mana lebih cantik. Winih atau Tantri atau siapa?”

Laksana tersenyum. Katanya “Banyak gadis-gadis cantik dimana-mana.”

"Setidak-tidaknya menurut penglihatan matamu.”

"Tidak. Bukan hanya penglihatan mataku. He, apakah kau tidak mengatakan bahwa Winih cantik. Dan kemudian Tantri juga cantik?" jawab Laksana.

"Sudahlah. Kita tidak berbicara tentang gadis-gadis cantik saja!” sahut Manggada.

Laksana tertawa. Katanya “Baiklah. Sekarang kita berbicara tentang jalan yang sepi ini.”

Namun keduanya kemudian tertarik melihat seorang petani yang berlari-lari kecil sambil menjinjing cangkulnya. Ketika kemudian mereka berpapasan dengan orang itu. maka Manggadapun menyapanya, "Paman Langgeng. Bukankah paman itu paman Langgeng?"

Orang itu berhenti. Tetapi nampak ia masih sangat gelisah. "Kau siapa?" orang itu bertanya

"Aku Manggada, anak Ki Kertasana!”

"O. Jadi kau sudah pulang?” bertanya orang itu.

"Ya, paman!” jawab Manggada.

Namun dengan gelisah orang yang dipanggil paman Langgeng itu berkata “Pulanglah. Bukan waktunya untuk berjalan menyusuri padukuhan”

"Ada apa?” bertanya Manggada.

"Cepat, mari ikut aku...!” ajak orang itu. Langgeng itu tidak menunggu lagi. Dengan tergesa-gesa ia meninggalkan tempat itu sambil berkata sekali lagi. "Cepat. Ikut aku!”

Manggada dan Laksana yang memang ingin tahu itupun segera berlari-lari kecil mengikuti Langgeng. Dengan nada tinggi Manggada masih bertanya “Ada apa sebenarnya paman?”

Langgeng tidak menjawab. Namun ia berjalan semakin cepat. Manggada dan Laksana yang mengikutinya berjalan semakin cepat pula. Beberapa saat kemudian, merekapun telah memasuki sebuah regol halaman yang langsung ditutup oleh Langgeng. Tetapi nampaknya sengaja tidak terlalu rapat dan tidak diselarak pula.

"Marilah. Masuklah“ ajak Langgeng.

Rumah Langgeng bukan rumah orang berada. Karena itu, maka rumahnya bukan rumah joglo. Pendapanya hanya sebumbungan rumah bentuk limasan. Langgeng mangajak Manggada dan Laksana langsung masuk ke ruang dalam. Pulutnya memang tidak diselarak dari dalam. Namun demikian mereka masuk, maka Langgeng telah menyelarak pintu itu.

"Kenapa diselarak” bertanya Manggada.

"Agar tidak dimasuki orang" jawab Langgeng.

"Kenapa regol itu tidak diselarak” desak Laksana.

"Tidak boleh" jawab Langgeng.

"Siapa yang tidak memperbolehkan?” bertanya Laksana.

"Wira Sabet dan Sura Gentong" jawab Langgeng.

Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Manggada bertanya “Siapakah yang mengatakan bahwa Wira Sabet dan Sura Gentong melarang menyelalrak pintu regol halaman?”

"Setiap orang mengatakan demikian. Dari mulut ke mulut Wira Sabet dan Sura Gentong tidak senang melihat pintu regol ditutup rapat, apalagi diselarak”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Agaknya berita dari mulut ke mulut yang agaknya ditaati oleh semua orang merupakan pertanda, seberapa besarnya pengaruh nama Wira Sabet dan Sura Gentong. Apalagi kemudian ditambah dengan orang yang namanya saja telah menggetarkan jantung. Dan bahkan jarang orang yang berani menyebut nama itu. Ki Sapa Aruh.

Dalam pada itu, ketika kemudian mereka duduk di amben bambu di ruang dalam itu. Manggada bertanya “Tetapi kenapa paman berlari-lari dari sawah sampai ke rumah paman?”

"Seorang yang datang dari ujung melihat Wira Sabet lewat bersama dengan dua orang kawannya”

“Hanya melihat Wira Sabet lewat" bertanya Manggada.

"Bukan hanya melihat, tetapi itu dapat berarti satu bencana yang sulit dihindari” jawab Langgeng.

"Kenapa bencana. Bukankah orang yang memberitahukan hal itu kepada paman juga tidak mengalami sesuatu?” bertanya Laksana yang menjadi keheranan.

"Itu bencana dapat terjadi satu di antara seribu" jawab Langgeng yang masih saja berdebar-debar.

"Apakah pernah ada orang yang mengalami bencana setelah melihat Wira Sabet atau Sura Gentong? Bukankah maksudnya mereka telah dianiaya oleh kedua orang itu?” bertanya Laksana pula.

Langgeng termangu-mangu sejenak la memang mencoba mengingat-ingat. "Apakah ada orang yang pernah mengalaminya”

Namun kemudian iapun menggeleng "Agaknya memang belum”

"Nah" berkata Manggada "Aku percaya bahwa belum ada orang yang mengalami bencana itu karena bencana itu memang belum terjadi kecuali di dalam angan-angan setiap orang”

"Tetapi Wira Sabet dan Sura Gentong memang menakutkan” berkata Langgeng dengan dahi yang berkerut.

"Ya. Aku percaya. Mereka memang menakutkan, karena mereka memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi lebih menakutkan lagi adalah namanya di dalam angan-angan setiap orang di padukuhan ini” berkata Manggada.

Langgeng menarik nafas dalam-dalam. Namun bagaimanapun juga bulu tengkuknya akan berdiri setiap ia mendengar nama Wira Sabet dan Sura Gentong. Apalagi nama Ki Sapa Aruh. Adalah di luar sadarnya, bahwa Langgeng itu telah mengintip keluar lewat lubang dinding di sebelah pintu lereg. Semula ia tidak melihat sesuatu. Yang dilihatnya adalah daun pintu regolnya yang tidak tertutup rapat.

Namun tiba-tiba saja daun pintu regol itu bergerak. Perlahan-lahan pintu itu terbuka. langgeng melihat sebuah kepala, yang tersembul dari balik pintu regolnya. Langgeng hampir menjadi pingsan. Tubuhnya menjadi gemetar dan keringatnya membasahi seluruh tubuhnya. Dengan kedua tangan Langgeng bergayut pada tiang di sebelah pintu itu.

"Kenapa kau paman...” bertanya Manggada dan Laksana hampir berbareng, keduanyapun berlari mendekatinya.

"Lihat, siapa itu” desis Langgeng.

Manggadapun kemudian telah mengintip pula dari lubang dinding itu. Dilihatnya seseorang berdiri bertolak pinggang memandangi halaman yang kosong itu dari sudut sampai ke sudut. Manggada segera dapat mengenali orang itu sebagaimana ia mengenalinya sebelum ia meninggalkan padukuhan itu. Di telinga Laksana Manggada itu berdesis, “Orang itu adalah Wira Sabet”

Laksana tidak menunggu. Didorongnya saja Manggada agar Laksana itu mendapat kesempatan untuk meiihat orang yang disebut Wira Sabet itu. Wira Sabet masih berdiri di pintu regol yang terbuka. Di luar pintu nampak dua orang yang berdiri termangu-mangu.

"Hanya tiga orang" desis Laksana.

Manggada mengerti maksud Laksana. Namun ia menggeleng sambil berkata lirih "Kita belum siap...”

Laksana terdiam sejenak. Namun kemudian iapun berdesis “Tidak lebih dari seekor kucing hutan”

“Sst" Manggada meletakkan jari-jari telunjuknya di mulutnya. Katanya “Telinganya sangat tajam”

Keduanya terdiam. Ternyata Wira Sabet itu tidak melangkah memasuki halaman rumah itu, tetapi ia berputar dan melangkah keluar. Sesaat kemudian, la pun telah hilang dari penglihatan bersama dengan kedua orang pengiringnya.

Laksana menarik nafas dalam-dalam. Namun kedua anak muda itu terkejut ketika mereka berpaling kepada Langgeng yang duduk di amben bambu. Wajahnya pucat, keringatnya membasahi seluruh tubuhnya, bahkan pakaiannya, sedangkan bibirnya menjadi gemetar.

"Kau kenapa paman?” bertanya Manggada yang mendekatinya.

Suaranya menjadi gagap. Katanya “Orang-orang itu....”

"Ya. Aku masih mengenalnya, la adalah Wira. Sabet" sahut Manggada.

"Ya. Ia sudah sampai ke regol rumah ini” Langgeng masih seperti orang menggigil kedinginan.

"Tetapi bukankah ia tidak berbuat apa-apa?” bertanya Manggada "bukankah ia hanya lewat dan berhenti sesaat di regol rumah paman”

Langgeng mengangguk-angguk. Namun katanya “Untunglah bibimu tidak ada di rumah. Jika ia tahu Wira Sabet berdiri di regol, aku kira ia sudah menjadi pingsan”

Mangada menarik nafas dalam-dalam. Namun ia sadar, bahwa dengan cara itu Wira Sabet dan Sura Gentong ingin mematangkan keadaan, sehingga datang saatnya ia benar-benar menguasai padukuhan ini dan sekaligus membalas dendam kepada Ki Jagabaya.

Sementara itu Laksanapun bertanya kepada Langgeng "Dimana bibi sekarang, paman?”

"Ia berada di rumah orang tuanya untuk sementara” jawab langgeng.

"Jadi paman sendiri” bertanya Laksana pula.

"Ya, Aku sendiri. Barangkali itu lebih baik daripada setiap kali bibimu pingsan ketakutan”

Manggada dan Laksana hanya mengangguk-angguk saja. Namun apa yang terjadi atas Langgeng adalah gambaran tentang para penghuni padukuhan Gemawang itu. Untuk beberapa saat lamanya, Manggada dan Laksana berada di rumah Langgeng. Namun kemudian keduanyapun minta diri untuk kembali.

"Orang itu masih belum jauh. Bagaimana jika mereka kembali dan berpapasan dengan kalian di jalan?”

"Kenapa? Asal aku tidak berbuat apa-apa, aku kira mereka pun tidak akan berbuat apa apa pula” jawab Manggada.

"Jangan mencari kesulitan Manggada" berkata Langgeng.

"Tidak paman. Aku akan berusaha untuk tidak betemu dengan Wira Sabet. Bukankah Wira Sabet pergi ke Selatan? Nah. aku akan pergi ke Utara”

Ternyata Langgeng tidak dapat menahan Manggada dan Laksana. Keduama berkeras untuk meninggalkan rumah itu

"Menurut pesan ayah. sebelum senja aku sudah harus berada di rumah” berkata Manggada.

Langgeng terpaksa melepaskan mereka. Namun, demikian kedua orang anak muda itu keluar dari pintu rumahnya turun ke halaman, maka pintu itupun telah ditutup dan diselarak. Tetapi Langgeng mengamati Manggada dan Laksana dai lubang dinding. Baru setelah ia yakin, Manggada dan Laksana mengambil arah yang berlawanan dengan Wira Sabet. Langgeng itu beringsut dan duduk di amben bambu yang besar di ruang dalam rumahnya.

Dalam pada itu. Manggada dan Laksana memang menuju ke arah yang yang berlainan dengan arah yang ditempuh Wira Sabet. Tetapi Manggada telah mengajak Laksana untuk menempuh jalan melingkar, sehingga mereka akan dapat berpapasan langsung dengan orang yang sangat ditakuti itu.

Sebenarnyalah ketika mereka muncul di sebuah tikungan, maka dari arah yang lain. mereka melihat Wira Sabet bersama dua orang kawannya menuju ke arahnya.

"Kita temui orang itu" berkata Manggada.

"Apakah kita akan membuat penyelesaian” bertanya Laksana.

"Tidak sekarang. Sura Gentong dan Ki Sapa Aruh akan dapat menghancurkan padukuhan ini Tetapi juga dapat terjadi sebaliknya, kitalah yang tidak akan dapat pulang”

"Jadi untuk apa kita menemuinya” bertanya Laksana pula.

"Aku yang akan berbicara. Sesuaikan saja sikapmu” Laksana menarik nafas dalam-dalam. Namun Manggada masih berkata “Tetapi kau harus tetap berhati-hati. Ada beberapa kemungkinan dapat terjadi”

Laksana mengangguk, sementara itu Wira Sabet telah menjadi semakin dekat. Agaknya Wira Sabet pun menjadi heran melihat dua orang anak muda yang berjalan justru menyongsongnya. Dengan kening yang berkerut ia bertanya kepada kawannya,

"Siapakah anak-anak gila itu? Apakah mereka sengaja menantang aku?”

Kedua orang kawannya tidak menjawab Mereka memang belum mengenal, siapakah kedua orang anak muda itu. Dalam pada itu, bagaimanapun jaga Manggada dan Laksana menjadi berdebar-debar. Tetapi Manggada sudah bertekad untuk menemui orang yang ditakuti di seluruh padukuhan dan bahkan Kademangan Kalegen itu.

Wajah Wira Sabet benar-benar menjadi tegang. Semakin dekat Manggada dan Laksana, kerut di dahi Wira Sabet itu menjadi semakin dalam. Namun beberapa langkah di hadapannya. Manggada dan Laksana telah berhenti. Dipandanginya wajah Wira Sabet dengan saksama, sehingga Wira Sabet menjadi semakin heran, bahwa anak-anak muda itu berani memandangnya seperti itu.

Tetapi sebelum Wira Sabet berbuat sesuatu. Manggada telah melangkah mendekatinya sambil tertawa kecil. Sekali ia mengangguk hormat sambil berkata “Paman. Bukankah aku berhadaan dengan paman Wira Sabet?”

Wira Sabet termangu-mangu sejenak. Wajahnya memang nampak seram. Namun dengan nada ringan Manggada bertanya “Apakah paman lupa kepadaku?"

"Kau ini siapa?” bertanya Wira Sabet.

"Aku Manggada, paman. Aku anak Ki Kertasana. Bukankah aku sering bermain di jalan di depan rumah paman waktu itu. Tetapi kemudian aku memang pergi meninggalkan padukuhan ini bertahun-tahun, karena aku berada di rumah pamanku. Aku telah diangkat menjadi anaknya. Nah. ini adalah anak pamanku itu. Sehingga dengan demikian, kami telah menjadi dua bersaudara”

Wira Sabet masih saja termangu-mangu. Sementara Manggada meneruskan "Bukankah di muka rumah paman Wira Sabet terdapat sebatang pohon manggis. Paman sering memberi aku manggis dan bahkan sering mengijinkan aku memanjat pohon duwet di sebelah pendapa rumah paman?" Manggada berhenti sejenak, lalu "Tetapi aku masih remaja waktu itu. Dan itu sudah terjadi bertahun-taun yang lalu. Tetapi jika paman masih mengijinkan, aku masih ingin juga memanjat pohon duwet itu”

Wira Sabet justru menjadi bingung menanggapi sikap Manggada. Selama ini tidak seorangpun penghuni padukuhan itu yang berani menyapanya. Bahkan orang-orang akan menyingkir dan bersembunyi. Wira Sabet memang berbangga bahwa ia ditakuti oleeh seisi padukuhan dan bahkan seisi Kademangan.

Namun keadaan yang tiba-tiba tanpa diduganya itu justru telah merambah, menyentuh perasaannya yang paling dalam Karena itu, maka di luar sadarnya. Wira Sabet berkata “Jika kau mau, ambillah. Duwet itu sedang berbuah sekarang. Tetapi aku sendiri tidak ada di rumah itu”

"O, apakah paman Wira Sabet telah pindah rumah. Atau sering bepergian jauh? Tetapi bukankah bibi ada di rumah?” bertanya Manggada.

Wira Sabet memang bertambah bingung menanggapi sikap Manggada. Namun Wira Sabet itu sempat bertanya “Sejak kapan kau pulang?”

"Kemarin, paman" jawab Manggada. Lalu katanya “Saudara sepupuku, yang kemudian telah menjadi saudaraku setelah aku diangkat anak oleh paman, ingin melihat-lihat padukuhan ini. Tetapi rasa-rasanya padukuhan ini semakin lama menjadi semakin mundur”

"Apakah ayahmu tidak menceriterakan apa-apa tentang padukuhan ini” bertanya Wira Sabet pula.

"Ayah sudah berceritera bahwa air dari sungai kecil itu sudah berhasil diangkat naik dan dapat mengaliri sawah di bulak sebelah Selatan padukuhan ini, sehingga hasil padi telah meningkat. Tetapi disisi lain ayah juga menceriterakan bahwa orang-orang padukuhan ini menjadi malas bekerja. Rumput-rumput dibiarkan tumbuh di sela-sela batang padi. Bahkan air yang sudah terangkat itu lebih banyak disia-siakan. Apalagi pekerjaan-pekerjaan yang lain semakin lama menjadi semakin tidak dihiraukan”

Wira Sabet mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun memotong kata-kata Manggada “Ayahmu benar. Itulah gambaran kehidupan padukuhan ini sekarang. Semua orang menjadi malas dan kehilangan gairah untuk bekerja. Semua ini adalah kesalahan bebahu padukuhan yang tidak mampu menggerakkan para penghuni padukuhan ini. Karena itu, maka harus ada pembaharuan di padukuhan ini”

Manggada mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi, yang dikatakan ayah itu benar? Semula aku meragukannya. Karena itu, maka aku dan saudaraku ini ingin melihat perkembangan terakhir padukuhan Gemawang ini”

Namun Wira Sabet berkata “Pulanglah. Bertanyalah kepada ayahmu apa yang sebenarnya terjadi”

“Baiklah paman. Tetapi apakah paman bersedia singgah di rumah kami. Ayah ada di rumah sekarang. Pada kesempatan lain, aku akan datang lagi ke rumah paman untuk memanjat pohon duwet itu lagi. Atau barangkali pohon manggis jika musimnya manggis berbuah."

"Pergilah kesana. Rumahku itu kosong sekarang. Tetapi aku ijinkan kau mengambil manggis dan duwet”

“Terima kasih paman. Nah. sekarang paman mau pergi kemana atau dari mana?”

"Seperti kau. Melihat-lihat kemalasan orang-orang padukuhan ini”

Manggada tidak bertanya lagi. Wira Sabet pun kemudian telah melangkah melanjutkan perjalanannya. Namun ia masih berpesan "Pulanglah. Bertanyalah apa yang terjadi di padukuhan ini”

"Baik paman..." jawab Manggada. Demikianlah, maka Wira Sabetpun berjalan terus.

Manggada dan Laksana masih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Laksana itupun berkata, “Nampaknya ia masih seperti orang kebanyakan. Ia masih mau menjawab pertanyaan-pertanyaanmu”

Mudah-mudahan ia masih dapat diajak berbicara. Tetapi entahlah dengan Sura Gentong. Apalagi Ki Sapa Aruh?”

Keduanyapun kemudian telah melangkah pula menuju ke arah yang berbeda. Namun kemudian keduanya telah memutuskan untuk segera pulang dan memberitahukan perjumpaannya dengan Wira Sabet.

Di rumah, kedua anak muda itu menceriterakan apa yang mereka alami Sikap Langgeng yang ketakutan serta tanggapan Wira Sabet terhadap mereka berdua. Nampaknya Wira Sabet masih dapat diajak berbicara. Mungkin juga tentang hal-hal yang lebih besar tentang padukuhan Gemawang ini.

Tetapi Ki Kertasana itupun berkata, “Kemungkinannya sangat tipis. Jika ia bersikap sebagaimana kebanyakan orang, itu karena ia mengahadapi satu keadaan yang tiba-tiba, yang sebelumnya tidak pernah diduganya. Tetapi apa yang dilakukan oleh Wira Sabet dan Sura Gentong selama ini, nampaknya dengan sengaja mereka berusaha untuk menkut-nakuti semua orang Gemawang, dan bahkan seisi kademangan Kalegen”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sementara ayahnya itupun berkata selanjutnya, “Tetapi lebih dari Wira Sabet, Sura Gentong adalah orang yang kasar dan garang. Sedangkan orang yang bernama Ki Sapa Aruh itu, secara pribadi aku belum mengenalnya. Tetapi nama itu memang cukup menggetarkan jantung orang yang mendengarnya”

Manggada dan Laksana masih saja menganguk-angguk. Sementara itu Ki Citrabawa pun berkata, “Sesuai dengan keterangan kakang Kertasana. maka kalian harus berhati-hati jika kalian bertemu, berpapasan apalagi berhubungan dengan Wira Sabet. Lebih lebih lagi dengan Sura Gentong atau Ki Sapa Aruh. Agaknya peristiwa yang pernah melemparkannya keluar dari padukuhan ini telah membuat jiwa mereka meledak-ledak selain sifat dan watak mereka yang memang kasar”

Manggada dengan nada rendah menjawab, "Baik, paman. Kami akan selalu memperhatikan keadaan”

"Tetapi apakah kau benar-benar akan pergi ke rumah Wira Sabet” bertanya Ki Kertasana.

"Ya" jawab Manggada "Kami memang benar-benar ingin datang ke rumahnya. Kami berharap bahwa Wira Sabet itu masih juga menyadari akan pentingnya kendali penalaran atas segala tingkah lakunya Sehingga ia tidak berdiri di atas lambaran dendam semata-mata”

"Baiklah" berkata Ki Kertasana "Tetapi seperti pesan pamanmu, berhati-hatilah. Orang-orang seperti Wira Sabet memang tidak dapat dijajagi sikapnya. Apa yang kau lihat akan dapat berubah setiap saat”

"Besok kami akan pergi ke rumahnya, ayah” berkata Manggada kemudian.

Ayahnya mengangguk-angguk. Namun katanya, “Aku kira ia tidak mudah ditemui di rumahnya. Meskipun demikian, kalian dapat mencobanya. Tetapi jika kalian tidak menemuinya di rumahnya yang lebih sering kosong, jangan mencoba mencari ke tempat lain. Apalagi di luar padukuhan ini”

Manggada mengangguk kecil. Katanya “Baik ayah. Rasa-rasanya memang sulit untuk mnecari tempat tinggalnya di luar padukuhan ini”

Untuk beberapa lamanya mereka masih berbincang-bincang tentang padukuhan yang lengang itu. Namun kemudian, setelah makan malam, maka Manggada dan Laksanapun telah duduk di serambi bersama Ki Pandi.

Ki Pandi yang lebih banyak diam dalam pembicaraan tentang keadaan padukuhan itu. berkata, “Angger berdua, kalian memang harus sangat berhati-hati menghadapi persoalan ini. Orang yang bernama Sapa Aruh itu memang orang berilmu tinggi. Aku tidak mengira bahwa ia berkeliaran sampai ke tempat ini. Bahkan mungkin sudah cukup lama. Ternyata ia telah menjadi hantu yang menakut-nakuti lingkungan ini. Aku kagum melihat keberanian Ki Jagabaya serta kesetiaannya pada tugasnya. Tetapi aku tidak yakin. apakah ia memiliki bekal yang cukup untuk menghadapi orang-orang seperti Wira Sabet. Sura Gentong dan kawan-kawannya. Apalagi orang yang bernama Ki Sapa Aruh itu. Karena itu, ia memang memerlukan orang lain untuk membantunya. Bahkan mungkin lebih tepat disebut melindunginya”

"Anak Ki jagabaya itu juga baru pulang dari perguruannya karena dipanggil oleh ayahnya” berkata Manggada.

"Aku belum pernah melihat anak itu. Mudah-mudahan ia mempunyai bekal ilmu yang tinggi. Tetapi berdua dengan ayahnya, maka keadaannya akan menjadi sangat gawat. Sampai saat ini rasa-rasanya Wira Sabet dan Sura Gentong masih belum berbuat sesuatu kecuali menakut-nakuti orang-orang Gemawang. Karena itu. mereka masih belum berbuat sesuatu atas Ki Jagabaya dan anaknya. Namun pada suatu ketika Ki Jagabaya dan anaknya tentu akan diselesaikan dengan cepat jika tidak mendapat bantuan yang cukup”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Dengan nada dalam Laksana itu berdesis “Agaknya memang sulit untuk membangkitkan keberanian orang-orang padukuhan ini”

"Tetapi kita masih dapat berharap. Sedangkan harapan lain kita dapat berbicara dengan Wira Sabet” sahut Manggada.

"Nampaknya sulit untuk menembus kekerasan hati Wira Sabet dan Sura Gentong mengingat lalar belakang kehidupannya sebagaimana diceiriterakan oleh Ki Kertasana. Namun demikian tidak ada salahnya untuk berbicara dengan Orang itu”

Manggada mengerutkan dahinya. Katanya “Setidak-tidaknya untuk menunjukkan kepada mereka, bahwa ada orang yang tidak menjadi ketakutan karena solah tingkahnya itu”

"Kau melangkah terlalu cepat" berkata Ki Pandi “Aku setuju, tetapi jangan tergesa-gesa. Jika mungkin kita dapat melihat serba sedikit tentang kekuatan yang ada di belakangnya selain Ki Sapa Aruh.”

Manggada dan Laksana memahami betapa luasnya pengalaman Ki Pandi merasakan kebenaran pesan itu. Tanpa mengetaui serba sedikit apa yang mereka hadapi, maka rasa-rasanya mereka akan dapat terjebak ke dalam satu pusaran kekuatan yang tidak dapat mereka lawan, atau setidak-tidaknya mereka tidak sempat memperhitungkan cara untuk mengatasinya.

Malam itu Ki Pandi masih memberikan pesan-pesan khusus menghadapi orang-orang yang jantungnya telah hangus dibakar oleh api dendam. Orang-orang yang demikian agaknya sudah sulit untuk membuat pertimbangan-pertimbangan yang wajar. Sementara Ki Sapa Aruh dapat bekerja sama dengan mereka meskipun latar belakang kepentingannya berbeda. Menjelang tengah malam, pembicaraan mereka baru berakhir. Manggada dan Laksanapun segera menuju ke biliknya. Demikian pula dengan Ki Pandi.

Di hari berikutnya. Manggada dan Laksana benar-benar ingin pergi ke rumah Wira Sabet. Ki Kertasana dan Ki Citra-bawa masih juga memberikan beberapa pesan. Karena mereka menyadari, betapa orang yang bernama Wira Sabet itu sangat berbahaya. Sesaat kemudian, ketika matahari mulai naik. Manggada dan Laksana sudah turun ke jalan. Jalan-jalan di padukuhan masih tetap lengang. Namun Manggada dan Laksana melihat satu dua orang pergi ke sawah dengan tergesa-gesa.

Orang-orang yang berpapasan di jalan sempit juga bertanya kapan anak itu pulang. Seorang yang rambutnya sudah putih, berjalan dengan tenang menyusuri tanggul parit sambil memanggul cangkul. Tidak seperti orang yang lain yang nampak selalu tergesa-gesa, maka orang tua itu telah menarik perhatian Manggada dan Laksana.

Karena itu, maka keduanyapun telah mendekatinya. Manggadapun segera dapat mengenalinya. Karena itu. maka Manggadapun segera bertanya, “Kakek. Apakah kakek ingat kepadaku, yang dahulu sering mengganggu kakek jika kakek membuat gula kelapa?”

Orang tua itu mengerinyitkan alisnya. Dengan suaranya yang lemah ia bertanya “Kau siapa, he?”

"Manggada. kek. Anak Ki Kertasana”

"O, Jadi kau anak Kertasana? Sekarang kau sudah besar. Sudah sebesar ayahmu. He. siapakah anak muda itu”

“Namanya Laksana kek. Sepupuku" jawab Manggada.

"Kemana kau selama ini?” bertanya kakek itu.

"Di rumah paman kek. Membantu menggarap sawah” jawab Manggada sambil berjalan di sebelah kakek itu.

"Kau pulang pada saat yang kurang baik. Manggada”

"Aku tahu, kek. Ayah sudah berceritera” jawab Manggada "Tetapi kenapa kakek nampaknya tidak terpengaruh oleh keadaan di padukuhan ini”

Orang itu tertawa. Katanya “Bakankah aku sudah tua? Buat apa aku ikut-ikutan menjadi ketakutan seperti orang lain? Aku sudah tidak berarti apa-apa lagi. Aku tidak mempunyai tanggungan seorangpun lagi. Tidak ada isteri, tidak ada anak”

“Tetapi bukankah kakek mempunyai isteri dan anak" bertanya Manggada

"Dahulu Manggada. Dahulu aku mempunyai isteri dan anak. Tetapi isteriku itu sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Sedang anakku pergi tidak menentu” jawab orang tua itu.

Manggada mengangguk-angguk sambil berdesis, “Maaf kek. Aku tidak tahu bahwa nenek sudah meninggal. Aku menyatakan ikut berduka kek”

"Terima kasih. Manggada. Tetapi. Kematian tidak selalu merupakan kedukaan. Aku kira Tuhan Yang Maha Kuasa sudah menentukan yang paling baik bagi nenekmu itu. Jika ia masih hidup, maka hatinya akan selalu tersiksa” jawab orang tua itu.

Manggada mulai merenung. Ia mulai mencoba mengingat keluarga kakek itu. Sementara kakek itupun berkata “Manggada. Sepeninggal nenekmu, aku sudah bukan apa-apa lagi.”

Wajah Manggada menjadi tegang. Keringatnya mulai mengalir membasahi punggungnya. Ia baru teringat tentang orang tua itu. Orang tua itu adalah ayah Wira Sabet dan Sura Gentong. Karena itu, maka Manggada pun menjadi sangat gelisah. Bahkan ia menjadi gagap "Tetapi, tetapi....”

Laksana menjadi heran melihat sikap Manggada. Tetapi sebelum ia berkata sesuatu, orang tua itu tersenyum sambil berkata, “Kau tidak usah menyesali pertanyaanmu, ngger. Sudah sekian tahun kau pergi, sehingga tentu ada sesuatu yang kau lupakan. Juga tentang anak-anakku. Aku sama sekali tidak merasa tersinggung, Manggada. Wira Sabet dan Sura Gentong memang anak-anakku. Keduanyalah yang telah membuat padukuhan ini menjadi seperti kuburan. Itulah sebabnya aku mengatakan bahwa kepergian nenekmu adalah satu hal yang terbaik bagi nenekmu, meskipun dengan demikian, maka aku merasa bahwa hidupku sebenarnya telah berakhir sejak nenekmu meninggal.”

Laksana yang mendengar kata-kata kakek itu menarik nafas dalam-dalam, ia mengerti, kenapa Manggada menjadi gagap dan bahkan kebingungan.

"Aku mohon maaf, kek..." berkata Manggada kemudian.

Kakek tua itu berhenti. Ditatapnya wajah Manggada dan Laksana berganti-ganti. Dengan nada lembut ia berkata “Kalian berdua adalah anak-anak muda yang sedang tumbuh. Kau dapat bercermin pada pengalaman hidupmu dan pengalaman orang lain. Kau dapat membaca yang manakah yang baik dan yang pantas kau lakukan dan yang manakah yang tidak baik dan tidak pantas kau lakukan. Karena sebenarnyalah kita dapat membedakan, mana yang baik dan mana yang tidak baik.”

"Ya kek" jawab Manggada. Sementara itu, keringatnya masih saja mengalir di kening dan punggungnya.

"Sudahlah. Lupakan pembicaraan kita. Kau jangan menjadi gelisah karenanya. Aku juga akan melupakannya” berkata orang tua itu.

"Tetapi bukankah kakek memaafkan aku?” bertanya Manggada pula.

"Tentu ngger. Tentu. Jika kita tidak memaafkan kesalahan orang lain kepada kita, maka Tuhan Yang Maha Pengampun pun tidak akan memaafkan kesalahan-kesalahan kita” jawab orang tua itu.

"Terima kasih, kek” berkata Manggada kemudian.

Kakek tua itu menepuk bahunya. Kemudian iapun bertanya “Sekarang kalian akan kemana?” bertanya kakek tua itu.

Manggada yang masih gelisah tidak berbohong. Jawabnya "Aku akan pergi ke rumah paman Wira Sabet, kek. Kemarin aku bertemu. Paman Wira Sabet menjanjikan kepadaku, bahwa aku diijinkan mengambil buah duwet dan manggis jika kebetulan berbuah."

Wajah kakek itu justru menegang. Dengan dahi yang berkerut ia bertanya “Dimana kau bertemu dengan pamanmu Wira Sabet?”

"Di lorong sebelah kek. Paman sedang berjalan-jalan di padukuhan.ini. Kami bertemu dan berbicara beberapa saat. Ternyata paman Wira Sabet juga tidak lupa kepadaku. Ketika aku minta diijinkan untuk mengambil duwet dan manggis sebagaimana masa remajaku, maka paman Wira Sabet tidak berkeberatan.”

"Tetapi bukankah kau sudah mendengar ceritera tentang pamanmu Wira Sabet dan Sura Gentong...” bertanya orang tua itu.

"Sudah kek. Tetapi ternyata paman Wira Sabet masih bersikap wajar kepadaku.”

Orang tua itu mengangguk-angguk. Katanya “Mudah mudahan masih ada tersisa betapapun tipisnya, kesadaran atas tata pergaulan antara sesamanya”

Manggada tidak menjawab. Namun ia melihat mata orang tua itu menjadi basah. Tetapi orang tua itu kemudian justru tersenyum dan berkata, “Singgahlah di rumahku ngger. Aku hidup seperti sekarang”

"Baiklah kek. Nanti aku akan singgah di rumah kakek. Tetapi bukankah kakek sekarang akan pergi ke sawah?”

Orang tua itu mengangguk-angguk. Katanya “Ya. Aku akan pergi ke sawah. Tidak ada orang yang mengairi sawah. Di padukuhan ini tidak ada orang yang bersedia membantuku lagi. Mereka semakin lama menjadi semakin jauh. Apalagi akhir-akhir ini setelah ada kabar bahwa kedua orang anakku itu akan pulang.”

"Jika kakek tidak berkeberatan, aku akan membantu kakek...”

Mata orang tua itu menjadi redup dan bahkan nampak menjadi basah lagi. Namun dengan cepat ia menguasai perasaannya dan berkata, "Terima kasih. Aku masih kuat untuk melakukan sendiri anak anak muda. Tetapi sekali lagi aku berharap, datanglah ke rumahku. Aku masih membuat gula kelapa seperti dulu”

"Sudah setua kakek ini masih juga menyadap legen kelapa?”

"Apakah aku sudah nampak tua sekali” bertanya orang itu sambil tersenyum.

"Kakek memang sudah nampak tua. Tetapi kakek masih nampak tegar menghadapi hari-hari yang keras bagi kakek”

"Sudahlah" berkata orang itu "Aku akan pergi ke sawah mumpung masih pagi”

"Silahkan kek. Aku akan mengunjungi rumah paman Wira Sabet. Mudah-mudahan ia ada di rumah”

Sekali lagi orang itu menepuk bahu Manggada. kemudian Laksana. Namun kemudian orang tua itu telah melangkah pergi menyusuri tanggul parit menuju ke sawah.

Manggada dan Laksana berdiri termangu-mangu. Dengan menyesal Manggada berkata, “Aku agaknya sudah pikun. Kenapa aku lupa bahwa orang tua itu adalah ayah paman Wira Sabet dan Sura Gentong. Perasaan orang tua itu tentu tersinggung. Namun ia berusaha untuk menahan diri.”

"Tetapi orang tua itupun dapat mengerti sikap kita, kakang. Karena itu ia tidak marah" sahut Laksana.

"Ia tidak marah kepada kita. Tetapi seakan-akan aku telah menaburkan garam pada luka di hatinya.”

Laksanapun kemudian berkata. “Tetapi ia cukup bijaksana. Ia tentu benar-benar akan melupakannya sebagaimana dikatakannya.”

"Ya" Manggada mengangguk "Aku juga yakin”

"Nanti atau besok, kita singgah di rumahnya!" berkata Laksana "Agaknya orang tua itu juga merasa sepi”

Manggada dan Laksana masih memandangi orang tua yang berjalan di tanggul parit itu. Ketika seseorang yang muncul dari sebuah lorong dan berjalan searah dengan orang tua itu, maka orang itu telah berusaha mencari jalan lain. Mengambil jalan pintas.

"Agaknya orang-orang padukuhan ini juga menjauhinya?” berkata Manggada.

Laksana mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian berkata, “Sudahlah. Kita lanjutkan saja rencana kita untuk mengunjungi rumah Wira Sabet.”

Berdua mereka telah berjalan lagi menuju ke rumah Wira Sabet. Tetapi seperti yang sudah diduga, rumah itu memang kosong. Rerumputan liar tumbuh di halaman yang kotor oleh daun-daun kering yang berguguran dari pepohonan tanpa pernah dibersihkan. Agaknya keluarga Ki Wira Sabetpun telah meninggalkan padukuhan itu. Sedangkan rumah itupun menjadi kosong.

Tetapi ternyata pohon manggis di halaman rumah itu berbuah lebat. Tidak seorangpun berani memasuki halaman itu dan apalagi mengambil buah dari pepohonan yang tumbuh di atasnya. Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak Mereka ragu-ragu untuk memasuki halaman itu meskipun mereka sudah mendapat ijin dari Wira Sabet itu sendiri. Untuk beberapa saat keduanya berdiri termangu-mangu. 'Tidak seorangpun nampak berjalan di jalan yang melewati depan rumah Wira Sabet.

"Marilah, kita lihat rumah sebelah..." berkata Manggada.

"Apakah kita akan singgah di rumah itu?” bertanya Laksana.

“Ya Hanya sebentar. Kita ingin mendapat sedikit keterangan tentang rumah Wira Sabet itu.”

Laksana mengangguk-angguk mengiakan. Karena itu, maka berdua mereka menuju ke regol halaman rumah di sebelah rumah Wira Sabet.

"Rumah itu memang tidak terlalu besar. Tetapi nampak bersih dan terawat. Sangat berbeda dengan rumah Wira Sabet yang memang kosong itu...!"

"Aku kenal orang yang tinggal di rumah ini" berkata Manggada. Lalu katanya pula." Namanya paman Resa. Lengkapnya Resadana.”

Laksana hanya mengangguk-angguk saja. Seperti rumah Langgeng, maka pintu regolnya tidak diselarak. Tetapi pintu rumah itu tertutup rapat dan bahkan tentu diselarak dari dalam. Manggada pun kemudian mengetuk pintu rumah itu perlahan-lahan. Tetapi tidak segera terdengar jawaban dari dalam, sehingga ketukan itu harus diulang beberapa kali. Baru sesaat kemudian, terdengar langkah menuju ke pintu. Terasa bahwa langkah itu tersendat dan ragu.

"Siapa?" terdengar suara seorang perempuan.

Aku Manggada, anak Ki Kertasana!” jawab Manggada.

"Manggada. Benarkah kau Manggada?" terdengar suara itu lagi masih penuh keragu-raguan.

Manggada ternyata masih mengenal suara itu. Karena itu, maka iapun menjawab “Ya bibi. Aku Manggada. Bibi Resa tentu masih ingat aku...?”

Sejenak kemudian terdengar selarak pintu diangkat. Seorang perempuan separo baya berdiri di muka pintu. Demikian ia melihat Manggada, maka iapun tersenyum sambil bertanya? “Kapan kau datang Manggala. Bukankah sudah lama kau meninggalkan padukuhan ini?”

"Dua hari yang lalu, bibi..." lalu Manggada pun telah memperkenalkan Laksana "Ini adalah saudara sepupuku, bibi...”

"Marilah. Masuklah...!" Nyi Resa itu mempersilahkan...

Selanjutnya,
Sejuknya Kampung Halaman Bagian 06

Sejuknya Kampung Halaman Bagian 05

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
KI JAGABAYA mengangguk-angguk Dengan nada dalam ia berkata, “Aku sangat menghargai sikapmu Ki Kertasana. Seberapapun bantuan yang kau berikan, tentu akan sangat berarti bagi kami. Setidak-tidaknya akan semakin mendorong hati kami untuk menjalankan tugas kami. karena ternyata masih ada juga orang yang menghargai tugas-tugas kami...”

"Itu sebenarnya adalah tugas kami orang padukuhan, karena apa yang Ki Jagabaya lakukan itu adalah karena kedudukan Ki Jagabaya. Sementara kami, orang-orang padukuhan inilah yang membebankan kedudukan itu di pundak Ki Jagabaya!”

Ki Jagabaya tersenyum. Katanya, “Sudah lama aku tidak mendengar seseorang mengatakan hal itu, Ki Kertasana. Karena itu, maka hatiku rasa-rasanya membengkak mendengar kata-katamu.”

"Aku tidak bermaksud apa-apa, Ki Jagabaya. Aku mengatakan apa adanya sesuai dengan perasaanku.” sahut Ki Kertasana.

"Baiklah. Jika demikian maka aku menjadi semakin mantap!” berkata Ki Jagabaya, yang kemudian telah minta diri untuk kembali pulang.

Tetapi Ki Kertasana masih menahannya ketika kemudian minuman dan makananpun dihidangkan. Demikianlah, maka kedatangan Ki Jagabaya ke rumah Ki Kertasana itu mempunyai arti tersendiri bagi keluarga Ki Kertasana. Mereka seakan-akan telah terikat dalam satu persetujuan dengan Ki Jagabaya, bahwa mereka akan membantu kesulitan-kesulitan yang akan dialami oleh Ki Jagabaya dalam tugasnya.

Terutama untuk menghadapi Wira Sabet dan Sura Gentong. Bahkan kemudian orang yang bernama Ki Sapa Aruh itu. Namun hal itu memang sudah mereka kehendaki. Mereka memang berniat untuk ikut membebaskan padukuhan mereka dari ketakutan.

Sepeninggal Ki Jagabaya, Ki Kertasana telah memberitahukan kepada Manggada dan Laksana, bahwa mereka untuk selanjutnya tidak akan dapat mencuci tangan jika terjadi sesuatu.

"Kami mengerti ayah..." sahut Manggada "Mudah mudahan yang kita lakukan tidak sia-sia!”

“Baiklah. Meskipun demikian kalian tidak perlu berkeliling padukuhan dan menyatakan diri sebagai orang-orang yang mempunyai keberanian untuk membantu Ki Jagabaya.” pesan Ki Kertasana.

"Tetapi bagaimana kami dapat memancing pendapat orang-orang padukuhan ini jika kami tidak berceritera kepada mereka?” bertanya Manggada.

"Serahkan kepada Ki Jagabaya..." jawab Ki Kertasana "Biarlah Ki Jagabaya berbicara dengan orang-orang padukuhan ini. Dengan demikian tidak akan ada orang yang menganggap kita terlalu sombong sekedar untuk mendapatkan pujian.”

Manggada mengangguk-angguk. Sementara Laksana bertanya “Tetapi bukankan kami dibenarkan untuk mendorong dan mempengaruhi orang-orang padukuhan ini, terutama anak-anak mudanya untuk bangkit?”

Ki Kertasana termangu mangu sejenak Namun kemudian jawabnya "Ya. Tetapi masih dalam batas kewajaran saja.”

Demikianlah, maka Manggada dan Laksanapun telah minta diri kepada Ki Kertasana dan Ki Citrabawa. Mereka ingin melihat-lihat keadaan padukuhan yang lengang itu. Setidak-tidaknya orang-orang padukuhan itu tidak terlalu dalam dicengkam oleh ketakutan.

"Seperti yang dikatakan oleh kakang Kertasana, kalian tidak perlu memamerkan ilmu kalian di sepanjang jalan. Kalian juga tidak perlu menepuk dada dan menyatakan bahwa kalian sama sekali tidak merasa ketakutan karena ulah Wira Sabet dan Sura Gentong.” pesan Ki Citrabawa.

"Tentu tidak ayah. Kami tidak akan mengatakan apa-apa kecuali berjalan-jalan saja.”

"Jangan terlalu lama. Sebelum senja kalian harus sudah kembali pulang.” pesan Ki Kertasana.

Demikianlah, maka Manggada dan Laksana itupun telah turun ke jalan Mereka memang melihat jalan-jalan yang masih lengang. Namun yang dikatakan Laksana pertama kali demikian mereka meninggalkan regol halaman rumah adalah, "Gadis yang disebut Tantri itu sangat cantik.”

“Kau sudah mulai lagi." sahut Manggada "Mana lebih cantik. Winih atau Tantri atau siapa?”

Laksana tersenyum. Katanya “Banyak gadis-gadis cantik dimana-mana.”

"Setidak-tidaknya menurut penglihatan matamu.”

"Tidak. Bukan hanya penglihatan mataku. He, apakah kau tidak mengatakan bahwa Winih cantik. Dan kemudian Tantri juga cantik?" jawab Laksana.

"Sudahlah. Kita tidak berbicara tentang gadis-gadis cantik saja!” sahut Manggada.

Laksana tertawa. Katanya “Baiklah. Sekarang kita berbicara tentang jalan yang sepi ini.”

Namun keduanya kemudian tertarik melihat seorang petani yang berlari-lari kecil sambil menjinjing cangkulnya. Ketika kemudian mereka berpapasan dengan orang itu. maka Manggadapun menyapanya, "Paman Langgeng. Bukankah paman itu paman Langgeng?"

Orang itu berhenti. Tetapi nampak ia masih sangat gelisah. "Kau siapa?" orang itu bertanya

"Aku Manggada, anak Ki Kertasana!”

"O. Jadi kau sudah pulang?” bertanya orang itu.

"Ya, paman!” jawab Manggada.

Namun dengan gelisah orang yang dipanggil paman Langgeng itu berkata “Pulanglah. Bukan waktunya untuk berjalan menyusuri padukuhan”

"Ada apa?” bertanya Manggada.

"Cepat, mari ikut aku...!” ajak orang itu. Langgeng itu tidak menunggu lagi. Dengan tergesa-gesa ia meninggalkan tempat itu sambil berkata sekali lagi. "Cepat. Ikut aku!”

Manggada dan Laksana yang memang ingin tahu itupun segera berlari-lari kecil mengikuti Langgeng. Dengan nada tinggi Manggada masih bertanya “Ada apa sebenarnya paman?”

Langgeng tidak menjawab. Namun ia berjalan semakin cepat. Manggada dan Laksana yang mengikutinya berjalan semakin cepat pula. Beberapa saat kemudian, merekapun telah memasuki sebuah regol halaman yang langsung ditutup oleh Langgeng. Tetapi nampaknya sengaja tidak terlalu rapat dan tidak diselarak pula.

"Marilah. Masuklah“ ajak Langgeng.

Rumah Langgeng bukan rumah orang berada. Karena itu, maka rumahnya bukan rumah joglo. Pendapanya hanya sebumbungan rumah bentuk limasan. Langgeng mangajak Manggada dan Laksana langsung masuk ke ruang dalam. Pulutnya memang tidak diselarak dari dalam. Namun demikian mereka masuk, maka Langgeng telah menyelarak pintu itu.

"Kenapa diselarak” bertanya Manggada.

"Agar tidak dimasuki orang" jawab Langgeng.

"Kenapa regol itu tidak diselarak” desak Laksana.

"Tidak boleh" jawab Langgeng.

"Siapa yang tidak memperbolehkan?” bertanya Laksana.

"Wira Sabet dan Sura Gentong" jawab Langgeng.

Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Manggada bertanya “Siapakah yang mengatakan bahwa Wira Sabet dan Sura Gentong melarang menyelalrak pintu regol halaman?”

"Setiap orang mengatakan demikian. Dari mulut ke mulut Wira Sabet dan Sura Gentong tidak senang melihat pintu regol ditutup rapat, apalagi diselarak”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Agaknya berita dari mulut ke mulut yang agaknya ditaati oleh semua orang merupakan pertanda, seberapa besarnya pengaruh nama Wira Sabet dan Sura Gentong. Apalagi kemudian ditambah dengan orang yang namanya saja telah menggetarkan jantung. Dan bahkan jarang orang yang berani menyebut nama itu. Ki Sapa Aruh.

Dalam pada itu, ketika kemudian mereka duduk di amben bambu di ruang dalam itu. Manggada bertanya “Tetapi kenapa paman berlari-lari dari sawah sampai ke rumah paman?”

"Seorang yang datang dari ujung melihat Wira Sabet lewat bersama dengan dua orang kawannya”

“Hanya melihat Wira Sabet lewat" bertanya Manggada.

"Bukan hanya melihat, tetapi itu dapat berarti satu bencana yang sulit dihindari” jawab Langgeng.

"Kenapa bencana. Bukankah orang yang memberitahukan hal itu kepada paman juga tidak mengalami sesuatu?” bertanya Laksana yang menjadi keheranan.

"Itu bencana dapat terjadi satu di antara seribu" jawab Langgeng yang masih saja berdebar-debar.

"Apakah pernah ada orang yang mengalami bencana setelah melihat Wira Sabet atau Sura Gentong? Bukankah maksudnya mereka telah dianiaya oleh kedua orang itu?” bertanya Laksana pula.

Langgeng termangu-mangu sejenak la memang mencoba mengingat-ingat. "Apakah ada orang yang pernah mengalaminya”

Namun kemudian iapun menggeleng "Agaknya memang belum”

"Nah" berkata Manggada "Aku percaya bahwa belum ada orang yang mengalami bencana itu karena bencana itu memang belum terjadi kecuali di dalam angan-angan setiap orang”

"Tetapi Wira Sabet dan Sura Gentong memang menakutkan” berkata Langgeng dengan dahi yang berkerut.

"Ya. Aku percaya. Mereka memang menakutkan, karena mereka memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi lebih menakutkan lagi adalah namanya di dalam angan-angan setiap orang di padukuhan ini” berkata Manggada.

Langgeng menarik nafas dalam-dalam. Namun bagaimanapun juga bulu tengkuknya akan berdiri setiap ia mendengar nama Wira Sabet dan Sura Gentong. Apalagi nama Ki Sapa Aruh. Adalah di luar sadarnya, bahwa Langgeng itu telah mengintip keluar lewat lubang dinding di sebelah pintu lereg. Semula ia tidak melihat sesuatu. Yang dilihatnya adalah daun pintu regolnya yang tidak tertutup rapat.

Namun tiba-tiba saja daun pintu regol itu bergerak. Perlahan-lahan pintu itu terbuka. langgeng melihat sebuah kepala, yang tersembul dari balik pintu regolnya. Langgeng hampir menjadi pingsan. Tubuhnya menjadi gemetar dan keringatnya membasahi seluruh tubuhnya. Dengan kedua tangan Langgeng bergayut pada tiang di sebelah pintu itu.

"Kenapa kau paman...” bertanya Manggada dan Laksana hampir berbareng, keduanyapun berlari mendekatinya.

"Lihat, siapa itu” desis Langgeng.

Manggadapun kemudian telah mengintip pula dari lubang dinding itu. Dilihatnya seseorang berdiri bertolak pinggang memandangi halaman yang kosong itu dari sudut sampai ke sudut. Manggada segera dapat mengenali orang itu sebagaimana ia mengenalinya sebelum ia meninggalkan padukuhan itu. Di telinga Laksana Manggada itu berdesis, “Orang itu adalah Wira Sabet”

Laksana tidak menunggu. Didorongnya saja Manggada agar Laksana itu mendapat kesempatan untuk meiihat orang yang disebut Wira Sabet itu. Wira Sabet masih berdiri di pintu regol yang terbuka. Di luar pintu nampak dua orang yang berdiri termangu-mangu.

"Hanya tiga orang" desis Laksana.

Manggada mengerti maksud Laksana. Namun ia menggeleng sambil berkata lirih "Kita belum siap...”

Laksana terdiam sejenak. Namun kemudian iapun berdesis “Tidak lebih dari seekor kucing hutan”

“Sst" Manggada meletakkan jari-jari telunjuknya di mulutnya. Katanya “Telinganya sangat tajam”

Keduanya terdiam. Ternyata Wira Sabet itu tidak melangkah memasuki halaman rumah itu, tetapi ia berputar dan melangkah keluar. Sesaat kemudian, la pun telah hilang dari penglihatan bersama dengan kedua orang pengiringnya.

Laksana menarik nafas dalam-dalam. Namun kedua anak muda itu terkejut ketika mereka berpaling kepada Langgeng yang duduk di amben bambu. Wajahnya pucat, keringatnya membasahi seluruh tubuhnya, bahkan pakaiannya, sedangkan bibirnya menjadi gemetar.

"Kau kenapa paman?” bertanya Manggada yang mendekatinya.

Suaranya menjadi gagap. Katanya “Orang-orang itu....”

"Ya. Aku masih mengenalnya, la adalah Wira. Sabet" sahut Manggada.

"Ya. Ia sudah sampai ke regol rumah ini” Langgeng masih seperti orang menggigil kedinginan.

"Tetapi bukankah ia tidak berbuat apa-apa?” bertanya Manggada "bukankah ia hanya lewat dan berhenti sesaat di regol rumah paman”

Langgeng mengangguk-angguk. Namun katanya “Untunglah bibimu tidak ada di rumah. Jika ia tahu Wira Sabet berdiri di regol, aku kira ia sudah menjadi pingsan”

Mangada menarik nafas dalam-dalam. Namun ia sadar, bahwa dengan cara itu Wira Sabet dan Sura Gentong ingin mematangkan keadaan, sehingga datang saatnya ia benar-benar menguasai padukuhan ini dan sekaligus membalas dendam kepada Ki Jagabaya.

Sementara itu Laksanapun bertanya kepada Langgeng "Dimana bibi sekarang, paman?”

"Ia berada di rumah orang tuanya untuk sementara” jawab langgeng.

"Jadi paman sendiri” bertanya Laksana pula.

"Ya, Aku sendiri. Barangkali itu lebih baik daripada setiap kali bibimu pingsan ketakutan”

Manggada dan Laksana hanya mengangguk-angguk saja. Namun apa yang terjadi atas Langgeng adalah gambaran tentang para penghuni padukuhan Gemawang itu. Untuk beberapa saat lamanya, Manggada dan Laksana berada di rumah Langgeng. Namun kemudian keduanyapun minta diri untuk kembali.

"Orang itu masih belum jauh. Bagaimana jika mereka kembali dan berpapasan dengan kalian di jalan?”

"Kenapa? Asal aku tidak berbuat apa-apa, aku kira mereka pun tidak akan berbuat apa apa pula” jawab Manggada.

"Jangan mencari kesulitan Manggada" berkata Langgeng.

"Tidak paman. Aku akan berusaha untuk tidak betemu dengan Wira Sabet. Bukankah Wira Sabet pergi ke Selatan? Nah. aku akan pergi ke Utara”

Ternyata Langgeng tidak dapat menahan Manggada dan Laksana. Keduama berkeras untuk meninggalkan rumah itu

"Menurut pesan ayah. sebelum senja aku sudah harus berada di rumah” berkata Manggada.

Langgeng terpaksa melepaskan mereka. Namun, demikian kedua orang anak muda itu keluar dari pintu rumahnya turun ke halaman, maka pintu itupun telah ditutup dan diselarak. Tetapi Langgeng mengamati Manggada dan Laksana dai lubang dinding. Baru setelah ia yakin, Manggada dan Laksana mengambil arah yang berlawanan dengan Wira Sabet. Langgeng itu beringsut dan duduk di amben bambu yang besar di ruang dalam rumahnya.

Dalam pada itu. Manggada dan Laksana memang menuju ke arah yang yang berlainan dengan arah yang ditempuh Wira Sabet. Tetapi Manggada telah mengajak Laksana untuk menempuh jalan melingkar, sehingga mereka akan dapat berpapasan langsung dengan orang yang sangat ditakuti itu.

Sebenarnyalah ketika mereka muncul di sebuah tikungan, maka dari arah yang lain. mereka melihat Wira Sabet bersama dua orang kawannya menuju ke arahnya.

"Kita temui orang itu" berkata Manggada.

"Apakah kita akan membuat penyelesaian” bertanya Laksana.

"Tidak sekarang. Sura Gentong dan Ki Sapa Aruh akan dapat menghancurkan padukuhan ini Tetapi juga dapat terjadi sebaliknya, kitalah yang tidak akan dapat pulang”

"Jadi untuk apa kita menemuinya” bertanya Laksana pula.

"Aku yang akan berbicara. Sesuaikan saja sikapmu” Laksana menarik nafas dalam-dalam. Namun Manggada masih berkata “Tetapi kau harus tetap berhati-hati. Ada beberapa kemungkinan dapat terjadi”

Laksana mengangguk, sementara itu Wira Sabet telah menjadi semakin dekat. Agaknya Wira Sabet pun menjadi heran melihat dua orang anak muda yang berjalan justru menyongsongnya. Dengan kening yang berkerut ia bertanya kepada kawannya,

"Siapakah anak-anak gila itu? Apakah mereka sengaja menantang aku?”

Kedua orang kawannya tidak menjawab Mereka memang belum mengenal, siapakah kedua orang anak muda itu. Dalam pada itu, bagaimanapun jaga Manggada dan Laksana menjadi berdebar-debar. Tetapi Manggada sudah bertekad untuk menemui orang yang ditakuti di seluruh padukuhan dan bahkan Kademangan Kalegen itu.

Wajah Wira Sabet benar-benar menjadi tegang. Semakin dekat Manggada dan Laksana, kerut di dahi Wira Sabet itu menjadi semakin dalam. Namun beberapa langkah di hadapannya. Manggada dan Laksana telah berhenti. Dipandanginya wajah Wira Sabet dengan saksama, sehingga Wira Sabet menjadi semakin heran, bahwa anak-anak muda itu berani memandangnya seperti itu.

Tetapi sebelum Wira Sabet berbuat sesuatu. Manggada telah melangkah mendekatinya sambil tertawa kecil. Sekali ia mengangguk hormat sambil berkata “Paman. Bukankah aku berhadaan dengan paman Wira Sabet?”

Wira Sabet termangu-mangu sejenak. Wajahnya memang nampak seram. Namun dengan nada ringan Manggada bertanya “Apakah paman lupa kepadaku?"

"Kau ini siapa?” bertanya Wira Sabet.

"Aku Manggada, paman. Aku anak Ki Kertasana. Bukankah aku sering bermain di jalan di depan rumah paman waktu itu. Tetapi kemudian aku memang pergi meninggalkan padukuhan ini bertahun-tahun, karena aku berada di rumah pamanku. Aku telah diangkat menjadi anaknya. Nah. ini adalah anak pamanku itu. Sehingga dengan demikian, kami telah menjadi dua bersaudara”

Wira Sabet masih saja termangu-mangu. Sementara Manggada meneruskan "Bukankah di muka rumah paman Wira Sabet terdapat sebatang pohon manggis. Paman sering memberi aku manggis dan bahkan sering mengijinkan aku memanjat pohon duwet di sebelah pendapa rumah paman?" Manggada berhenti sejenak, lalu "Tetapi aku masih remaja waktu itu. Dan itu sudah terjadi bertahun-taun yang lalu. Tetapi jika paman masih mengijinkan, aku masih ingin juga memanjat pohon duwet itu”

Wira Sabet justru menjadi bingung menanggapi sikap Manggada. Selama ini tidak seorangpun penghuni padukuhan itu yang berani menyapanya. Bahkan orang-orang akan menyingkir dan bersembunyi. Wira Sabet memang berbangga bahwa ia ditakuti oleeh seisi padukuhan dan bahkan seisi Kademangan.

Namun keadaan yang tiba-tiba tanpa diduganya itu justru telah merambah, menyentuh perasaannya yang paling dalam Karena itu, maka di luar sadarnya. Wira Sabet berkata “Jika kau mau, ambillah. Duwet itu sedang berbuah sekarang. Tetapi aku sendiri tidak ada di rumah itu”

"O, apakah paman Wira Sabet telah pindah rumah. Atau sering bepergian jauh? Tetapi bukankah bibi ada di rumah?” bertanya Manggada.

Wira Sabet memang bertambah bingung menanggapi sikap Manggada. Namun Wira Sabet itu sempat bertanya “Sejak kapan kau pulang?”

"Kemarin, paman" jawab Manggada. Lalu katanya “Saudara sepupuku, yang kemudian telah menjadi saudaraku setelah aku diangkat anak oleh paman, ingin melihat-lihat padukuhan ini. Tetapi rasa-rasanya padukuhan ini semakin lama menjadi semakin mundur”

"Apakah ayahmu tidak menceriterakan apa-apa tentang padukuhan ini” bertanya Wira Sabet pula.

"Ayah sudah berceritera bahwa air dari sungai kecil itu sudah berhasil diangkat naik dan dapat mengaliri sawah di bulak sebelah Selatan padukuhan ini, sehingga hasil padi telah meningkat. Tetapi disisi lain ayah juga menceriterakan bahwa orang-orang padukuhan ini menjadi malas bekerja. Rumput-rumput dibiarkan tumbuh di sela-sela batang padi. Bahkan air yang sudah terangkat itu lebih banyak disia-siakan. Apalagi pekerjaan-pekerjaan yang lain semakin lama menjadi semakin tidak dihiraukan”

Wira Sabet mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun memotong kata-kata Manggada “Ayahmu benar. Itulah gambaran kehidupan padukuhan ini sekarang. Semua orang menjadi malas dan kehilangan gairah untuk bekerja. Semua ini adalah kesalahan bebahu padukuhan yang tidak mampu menggerakkan para penghuni padukuhan ini. Karena itu, maka harus ada pembaharuan di padukuhan ini”

Manggada mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi, yang dikatakan ayah itu benar? Semula aku meragukannya. Karena itu, maka aku dan saudaraku ini ingin melihat perkembangan terakhir padukuhan Gemawang ini”

Namun Wira Sabet berkata “Pulanglah. Bertanyalah kepada ayahmu apa yang sebenarnya terjadi”

“Baiklah paman. Tetapi apakah paman bersedia singgah di rumah kami. Ayah ada di rumah sekarang. Pada kesempatan lain, aku akan datang lagi ke rumah paman untuk memanjat pohon duwet itu lagi. Atau barangkali pohon manggis jika musimnya manggis berbuah."

"Pergilah kesana. Rumahku itu kosong sekarang. Tetapi aku ijinkan kau mengambil manggis dan duwet”

“Terima kasih paman. Nah. sekarang paman mau pergi kemana atau dari mana?”

"Seperti kau. Melihat-lihat kemalasan orang-orang padukuhan ini”

Manggada tidak bertanya lagi. Wira Sabet pun kemudian telah melangkah melanjutkan perjalanannya. Namun ia masih berpesan "Pulanglah. Bertanyalah apa yang terjadi di padukuhan ini”

"Baik paman..." jawab Manggada. Demikianlah, maka Wira Sabetpun berjalan terus.

Manggada dan Laksana masih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Laksana itupun berkata, “Nampaknya ia masih seperti orang kebanyakan. Ia masih mau menjawab pertanyaan-pertanyaanmu”

Mudah-mudahan ia masih dapat diajak berbicara. Tetapi entahlah dengan Sura Gentong. Apalagi Ki Sapa Aruh?”

Keduanyapun kemudian telah melangkah pula menuju ke arah yang berbeda. Namun kemudian keduanya telah memutuskan untuk segera pulang dan memberitahukan perjumpaannya dengan Wira Sabet.

Di rumah, kedua anak muda itu menceriterakan apa yang mereka alami Sikap Langgeng yang ketakutan serta tanggapan Wira Sabet terhadap mereka berdua. Nampaknya Wira Sabet masih dapat diajak berbicara. Mungkin juga tentang hal-hal yang lebih besar tentang padukuhan Gemawang ini.

Tetapi Ki Kertasana itupun berkata, “Kemungkinannya sangat tipis. Jika ia bersikap sebagaimana kebanyakan orang, itu karena ia mengahadapi satu keadaan yang tiba-tiba, yang sebelumnya tidak pernah diduganya. Tetapi apa yang dilakukan oleh Wira Sabet dan Sura Gentong selama ini, nampaknya dengan sengaja mereka berusaha untuk menkut-nakuti semua orang Gemawang, dan bahkan seisi kademangan Kalegen”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sementara ayahnya itupun berkata selanjutnya, “Tetapi lebih dari Wira Sabet, Sura Gentong adalah orang yang kasar dan garang. Sedangkan orang yang bernama Ki Sapa Aruh itu, secara pribadi aku belum mengenalnya. Tetapi nama itu memang cukup menggetarkan jantung orang yang mendengarnya”

Manggada dan Laksana masih saja menganguk-angguk. Sementara itu Ki Citrabawa pun berkata, “Sesuai dengan keterangan kakang Kertasana. maka kalian harus berhati-hati jika kalian bertemu, berpapasan apalagi berhubungan dengan Wira Sabet. Lebih lebih lagi dengan Sura Gentong atau Ki Sapa Aruh. Agaknya peristiwa yang pernah melemparkannya keluar dari padukuhan ini telah membuat jiwa mereka meledak-ledak selain sifat dan watak mereka yang memang kasar”

Manggada dengan nada rendah menjawab, "Baik, paman. Kami akan selalu memperhatikan keadaan”

"Tetapi apakah kau benar-benar akan pergi ke rumah Wira Sabet” bertanya Ki Kertasana.

"Ya" jawab Manggada "Kami memang benar-benar ingin datang ke rumahnya. Kami berharap bahwa Wira Sabet itu masih juga menyadari akan pentingnya kendali penalaran atas segala tingkah lakunya Sehingga ia tidak berdiri di atas lambaran dendam semata-mata”

"Baiklah" berkata Ki Kertasana "Tetapi seperti pesan pamanmu, berhati-hatilah. Orang-orang seperti Wira Sabet memang tidak dapat dijajagi sikapnya. Apa yang kau lihat akan dapat berubah setiap saat”

"Besok kami akan pergi ke rumahnya, ayah” berkata Manggada kemudian.

Ayahnya mengangguk-angguk. Namun katanya, “Aku kira ia tidak mudah ditemui di rumahnya. Meskipun demikian, kalian dapat mencobanya. Tetapi jika kalian tidak menemuinya di rumahnya yang lebih sering kosong, jangan mencoba mencari ke tempat lain. Apalagi di luar padukuhan ini”

Manggada mengangguk kecil. Katanya “Baik ayah. Rasa-rasanya memang sulit untuk mnecari tempat tinggalnya di luar padukuhan ini”

Untuk beberapa lamanya mereka masih berbincang-bincang tentang padukuhan yang lengang itu. Namun kemudian, setelah makan malam, maka Manggada dan Laksanapun telah duduk di serambi bersama Ki Pandi.

Ki Pandi yang lebih banyak diam dalam pembicaraan tentang keadaan padukuhan itu. berkata, “Angger berdua, kalian memang harus sangat berhati-hati menghadapi persoalan ini. Orang yang bernama Sapa Aruh itu memang orang berilmu tinggi. Aku tidak mengira bahwa ia berkeliaran sampai ke tempat ini. Bahkan mungkin sudah cukup lama. Ternyata ia telah menjadi hantu yang menakut-nakuti lingkungan ini. Aku kagum melihat keberanian Ki Jagabaya serta kesetiaannya pada tugasnya. Tetapi aku tidak yakin. apakah ia memiliki bekal yang cukup untuk menghadapi orang-orang seperti Wira Sabet. Sura Gentong dan kawan-kawannya. Apalagi orang yang bernama Ki Sapa Aruh itu. Karena itu, ia memang memerlukan orang lain untuk membantunya. Bahkan mungkin lebih tepat disebut melindunginya”

"Anak Ki jagabaya itu juga baru pulang dari perguruannya karena dipanggil oleh ayahnya” berkata Manggada.

"Aku belum pernah melihat anak itu. Mudah-mudahan ia mempunyai bekal ilmu yang tinggi. Tetapi berdua dengan ayahnya, maka keadaannya akan menjadi sangat gawat. Sampai saat ini rasa-rasanya Wira Sabet dan Sura Gentong masih belum berbuat sesuatu kecuali menakut-nakuti orang-orang Gemawang. Karena itu. mereka masih belum berbuat sesuatu atas Ki Jagabaya dan anaknya. Namun pada suatu ketika Ki Jagabaya dan anaknya tentu akan diselesaikan dengan cepat jika tidak mendapat bantuan yang cukup”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Dengan nada dalam Laksana itu berdesis “Agaknya memang sulit untuk membangkitkan keberanian orang-orang padukuhan ini”

"Tetapi kita masih dapat berharap. Sedangkan harapan lain kita dapat berbicara dengan Wira Sabet” sahut Manggada.

"Nampaknya sulit untuk menembus kekerasan hati Wira Sabet dan Sura Gentong mengingat lalar belakang kehidupannya sebagaimana diceiriterakan oleh Ki Kertasana. Namun demikian tidak ada salahnya untuk berbicara dengan Orang itu”

Manggada mengerutkan dahinya. Katanya “Setidak-tidaknya untuk menunjukkan kepada mereka, bahwa ada orang yang tidak menjadi ketakutan karena solah tingkahnya itu”

"Kau melangkah terlalu cepat" berkata Ki Pandi “Aku setuju, tetapi jangan tergesa-gesa. Jika mungkin kita dapat melihat serba sedikit tentang kekuatan yang ada di belakangnya selain Ki Sapa Aruh.”

Manggada dan Laksana memahami betapa luasnya pengalaman Ki Pandi merasakan kebenaran pesan itu. Tanpa mengetaui serba sedikit apa yang mereka hadapi, maka rasa-rasanya mereka akan dapat terjebak ke dalam satu pusaran kekuatan yang tidak dapat mereka lawan, atau setidak-tidaknya mereka tidak sempat memperhitungkan cara untuk mengatasinya.

Malam itu Ki Pandi masih memberikan pesan-pesan khusus menghadapi orang-orang yang jantungnya telah hangus dibakar oleh api dendam. Orang-orang yang demikian agaknya sudah sulit untuk membuat pertimbangan-pertimbangan yang wajar. Sementara Ki Sapa Aruh dapat bekerja sama dengan mereka meskipun latar belakang kepentingannya berbeda. Menjelang tengah malam, pembicaraan mereka baru berakhir. Manggada dan Laksanapun segera menuju ke biliknya. Demikian pula dengan Ki Pandi.

Di hari berikutnya. Manggada dan Laksana benar-benar ingin pergi ke rumah Wira Sabet. Ki Kertasana dan Ki Citra-bawa masih juga memberikan beberapa pesan. Karena mereka menyadari, betapa orang yang bernama Wira Sabet itu sangat berbahaya. Sesaat kemudian, ketika matahari mulai naik. Manggada dan Laksana sudah turun ke jalan. Jalan-jalan di padukuhan masih tetap lengang. Namun Manggada dan Laksana melihat satu dua orang pergi ke sawah dengan tergesa-gesa.

Orang-orang yang berpapasan di jalan sempit juga bertanya kapan anak itu pulang. Seorang yang rambutnya sudah putih, berjalan dengan tenang menyusuri tanggul parit sambil memanggul cangkul. Tidak seperti orang yang lain yang nampak selalu tergesa-gesa, maka orang tua itu telah menarik perhatian Manggada dan Laksana.

Karena itu, maka keduanyapun telah mendekatinya. Manggadapun segera dapat mengenalinya. Karena itu. maka Manggadapun segera bertanya, “Kakek. Apakah kakek ingat kepadaku, yang dahulu sering mengganggu kakek jika kakek membuat gula kelapa?”

Orang tua itu mengerinyitkan alisnya. Dengan suaranya yang lemah ia bertanya “Kau siapa, he?”

"Manggada. kek. Anak Ki Kertasana”

"O, Jadi kau anak Kertasana? Sekarang kau sudah besar. Sudah sebesar ayahmu. He. siapakah anak muda itu”

“Namanya Laksana kek. Sepupuku" jawab Manggada.

"Kemana kau selama ini?” bertanya kakek itu.

"Di rumah paman kek. Membantu menggarap sawah” jawab Manggada sambil berjalan di sebelah kakek itu.

"Kau pulang pada saat yang kurang baik. Manggada”

"Aku tahu, kek. Ayah sudah berceritera” jawab Manggada "Tetapi kenapa kakek nampaknya tidak terpengaruh oleh keadaan di padukuhan ini”

Orang itu tertawa. Katanya “Bakankah aku sudah tua? Buat apa aku ikut-ikutan menjadi ketakutan seperti orang lain? Aku sudah tidak berarti apa-apa lagi. Aku tidak mempunyai tanggungan seorangpun lagi. Tidak ada isteri, tidak ada anak”

“Tetapi bukankah kakek mempunyai isteri dan anak" bertanya Manggada

"Dahulu Manggada. Dahulu aku mempunyai isteri dan anak. Tetapi isteriku itu sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Sedang anakku pergi tidak menentu” jawab orang tua itu.

Manggada mengangguk-angguk sambil berdesis, “Maaf kek. Aku tidak tahu bahwa nenek sudah meninggal. Aku menyatakan ikut berduka kek”

"Terima kasih. Manggada. Tetapi. Kematian tidak selalu merupakan kedukaan. Aku kira Tuhan Yang Maha Kuasa sudah menentukan yang paling baik bagi nenekmu itu. Jika ia masih hidup, maka hatinya akan selalu tersiksa” jawab orang tua itu.

Manggada mulai merenung. Ia mulai mencoba mengingat keluarga kakek itu. Sementara kakek itupun berkata “Manggada. Sepeninggal nenekmu, aku sudah bukan apa-apa lagi.”

Wajah Manggada menjadi tegang. Keringatnya mulai mengalir membasahi punggungnya. Ia baru teringat tentang orang tua itu. Orang tua itu adalah ayah Wira Sabet dan Sura Gentong. Karena itu, maka Manggada pun menjadi sangat gelisah. Bahkan ia menjadi gagap "Tetapi, tetapi....”

Laksana menjadi heran melihat sikap Manggada. Tetapi sebelum ia berkata sesuatu, orang tua itu tersenyum sambil berkata, “Kau tidak usah menyesali pertanyaanmu, ngger. Sudah sekian tahun kau pergi, sehingga tentu ada sesuatu yang kau lupakan. Juga tentang anak-anakku. Aku sama sekali tidak merasa tersinggung, Manggada. Wira Sabet dan Sura Gentong memang anak-anakku. Keduanyalah yang telah membuat padukuhan ini menjadi seperti kuburan. Itulah sebabnya aku mengatakan bahwa kepergian nenekmu adalah satu hal yang terbaik bagi nenekmu, meskipun dengan demikian, maka aku merasa bahwa hidupku sebenarnya telah berakhir sejak nenekmu meninggal.”

Laksana yang mendengar kata-kata kakek itu menarik nafas dalam-dalam, ia mengerti, kenapa Manggada menjadi gagap dan bahkan kebingungan.

"Aku mohon maaf, kek..." berkata Manggada kemudian.

Kakek tua itu berhenti. Ditatapnya wajah Manggada dan Laksana berganti-ganti. Dengan nada lembut ia berkata “Kalian berdua adalah anak-anak muda yang sedang tumbuh. Kau dapat bercermin pada pengalaman hidupmu dan pengalaman orang lain. Kau dapat membaca yang manakah yang baik dan yang pantas kau lakukan dan yang manakah yang tidak baik dan tidak pantas kau lakukan. Karena sebenarnyalah kita dapat membedakan, mana yang baik dan mana yang tidak baik.”

"Ya kek" jawab Manggada. Sementara itu, keringatnya masih saja mengalir di kening dan punggungnya.

"Sudahlah. Lupakan pembicaraan kita. Kau jangan menjadi gelisah karenanya. Aku juga akan melupakannya” berkata orang tua itu.

"Tetapi bukankah kakek memaafkan aku?” bertanya Manggada pula.

"Tentu ngger. Tentu. Jika kita tidak memaafkan kesalahan orang lain kepada kita, maka Tuhan Yang Maha Pengampun pun tidak akan memaafkan kesalahan-kesalahan kita” jawab orang tua itu.

"Terima kasih, kek” berkata Manggada kemudian.

Kakek tua itu menepuk bahunya. Kemudian iapun bertanya “Sekarang kalian akan kemana?” bertanya kakek tua itu.

Manggada yang masih gelisah tidak berbohong. Jawabnya "Aku akan pergi ke rumah paman Wira Sabet, kek. Kemarin aku bertemu. Paman Wira Sabet menjanjikan kepadaku, bahwa aku diijinkan mengambil buah duwet dan manggis jika kebetulan berbuah."

Wajah kakek itu justru menegang. Dengan dahi yang berkerut ia bertanya “Dimana kau bertemu dengan pamanmu Wira Sabet?”

"Di lorong sebelah kek. Paman sedang berjalan-jalan di padukuhan.ini. Kami bertemu dan berbicara beberapa saat. Ternyata paman Wira Sabet juga tidak lupa kepadaku. Ketika aku minta diijinkan untuk mengambil duwet dan manggis sebagaimana masa remajaku, maka paman Wira Sabet tidak berkeberatan.”

"Tetapi bukankah kau sudah mendengar ceritera tentang pamanmu Wira Sabet dan Sura Gentong...” bertanya orang tua itu.

"Sudah kek. Tetapi ternyata paman Wira Sabet masih bersikap wajar kepadaku.”

Orang tua itu mengangguk-angguk. Katanya “Mudah mudahan masih ada tersisa betapapun tipisnya, kesadaran atas tata pergaulan antara sesamanya”

Manggada tidak menjawab. Namun ia melihat mata orang tua itu menjadi basah. Tetapi orang tua itu kemudian justru tersenyum dan berkata, “Singgahlah di rumahku ngger. Aku hidup seperti sekarang”

"Baiklah kek. Nanti aku akan singgah di rumah kakek. Tetapi bukankah kakek sekarang akan pergi ke sawah?”

Orang tua itu mengangguk-angguk. Katanya “Ya. Aku akan pergi ke sawah. Tidak ada orang yang mengairi sawah. Di padukuhan ini tidak ada orang yang bersedia membantuku lagi. Mereka semakin lama menjadi semakin jauh. Apalagi akhir-akhir ini setelah ada kabar bahwa kedua orang anakku itu akan pulang.”

"Jika kakek tidak berkeberatan, aku akan membantu kakek...”

Mata orang tua itu menjadi redup dan bahkan nampak menjadi basah lagi. Namun dengan cepat ia menguasai perasaannya dan berkata, "Terima kasih. Aku masih kuat untuk melakukan sendiri anak anak muda. Tetapi sekali lagi aku berharap, datanglah ke rumahku. Aku masih membuat gula kelapa seperti dulu”

"Sudah setua kakek ini masih juga menyadap legen kelapa?”

"Apakah aku sudah nampak tua sekali” bertanya orang itu sambil tersenyum.

"Kakek memang sudah nampak tua. Tetapi kakek masih nampak tegar menghadapi hari-hari yang keras bagi kakek”

"Sudahlah" berkata orang itu "Aku akan pergi ke sawah mumpung masih pagi”

"Silahkan kek. Aku akan mengunjungi rumah paman Wira Sabet. Mudah-mudahan ia ada di rumah”

Sekali lagi orang itu menepuk bahu Manggada. kemudian Laksana. Namun kemudian orang tua itu telah melangkah pergi menyusuri tanggul parit menuju ke sawah.

Manggada dan Laksana berdiri termangu-mangu. Dengan menyesal Manggada berkata, “Aku agaknya sudah pikun. Kenapa aku lupa bahwa orang tua itu adalah ayah paman Wira Sabet dan Sura Gentong. Perasaan orang tua itu tentu tersinggung. Namun ia berusaha untuk menahan diri.”

"Tetapi orang tua itupun dapat mengerti sikap kita, kakang. Karena itu ia tidak marah" sahut Laksana.

"Ia tidak marah kepada kita. Tetapi seakan-akan aku telah menaburkan garam pada luka di hatinya.”

Laksanapun kemudian berkata. “Tetapi ia cukup bijaksana. Ia tentu benar-benar akan melupakannya sebagaimana dikatakannya.”

"Ya" Manggada mengangguk "Aku juga yakin”

"Nanti atau besok, kita singgah di rumahnya!" berkata Laksana "Agaknya orang tua itu juga merasa sepi”

Manggada dan Laksana masih memandangi orang tua yang berjalan di tanggul parit itu. Ketika seseorang yang muncul dari sebuah lorong dan berjalan searah dengan orang tua itu, maka orang itu telah berusaha mencari jalan lain. Mengambil jalan pintas.

"Agaknya orang-orang padukuhan ini juga menjauhinya?” berkata Manggada.

Laksana mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian berkata, “Sudahlah. Kita lanjutkan saja rencana kita untuk mengunjungi rumah Wira Sabet.”

Berdua mereka telah berjalan lagi menuju ke rumah Wira Sabet. Tetapi seperti yang sudah diduga, rumah itu memang kosong. Rerumputan liar tumbuh di halaman yang kotor oleh daun-daun kering yang berguguran dari pepohonan tanpa pernah dibersihkan. Agaknya keluarga Ki Wira Sabetpun telah meninggalkan padukuhan itu. Sedangkan rumah itupun menjadi kosong.

Tetapi ternyata pohon manggis di halaman rumah itu berbuah lebat. Tidak seorangpun berani memasuki halaman itu dan apalagi mengambil buah dari pepohonan yang tumbuh di atasnya. Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak Mereka ragu-ragu untuk memasuki halaman itu meskipun mereka sudah mendapat ijin dari Wira Sabet itu sendiri. Untuk beberapa saat keduanya berdiri termangu-mangu. 'Tidak seorangpun nampak berjalan di jalan yang melewati depan rumah Wira Sabet.

"Marilah, kita lihat rumah sebelah..." berkata Manggada.

"Apakah kita akan singgah di rumah itu?” bertanya Laksana.

“Ya Hanya sebentar. Kita ingin mendapat sedikit keterangan tentang rumah Wira Sabet itu.”

Laksana mengangguk-angguk mengiakan. Karena itu, maka berdua mereka menuju ke regol halaman rumah di sebelah rumah Wira Sabet.

"Rumah itu memang tidak terlalu besar. Tetapi nampak bersih dan terawat. Sangat berbeda dengan rumah Wira Sabet yang memang kosong itu...!"

"Aku kenal orang yang tinggal di rumah ini" berkata Manggada. Lalu katanya pula." Namanya paman Resa. Lengkapnya Resadana.”

Laksana hanya mengangguk-angguk saja. Seperti rumah Langgeng, maka pintu regolnya tidak diselarak. Tetapi pintu rumah itu tertutup rapat dan bahkan tentu diselarak dari dalam. Manggada pun kemudian mengetuk pintu rumah itu perlahan-lahan. Tetapi tidak segera terdengar jawaban dari dalam, sehingga ketukan itu harus diulang beberapa kali. Baru sesaat kemudian, terdengar langkah menuju ke pintu. Terasa bahwa langkah itu tersendat dan ragu.

"Siapa?" terdengar suara seorang perempuan.

Aku Manggada, anak Ki Kertasana!” jawab Manggada.

"Manggada. Benarkah kau Manggada?" terdengar suara itu lagi masih penuh keragu-raguan.

Manggada ternyata masih mengenal suara itu. Karena itu, maka iapun menjawab “Ya bibi. Aku Manggada. Bibi Resa tentu masih ingat aku...?”

Sejenak kemudian terdengar selarak pintu diangkat. Seorang perempuan separo baya berdiri di muka pintu. Demikian ia melihat Manggada, maka iapun tersenyum sambil bertanya? “Kapan kau datang Manggala. Bukankah sudah lama kau meninggalkan padukuhan ini?”

"Dua hari yang lalu, bibi..." lalu Manggada pun telah memperkenalkan Laksana "Ini adalah saudara sepupuku, bibi...”

"Marilah. Masuklah...!" Nyi Resa itu mempersilahkan...

Selanjutnya,
Sejuknya Kampung Halaman Bagian 06