Sejuknya Kampung Halaman Bagian 02 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
KI PANDI pun tersenyum. Kemudian, orang bongkok itu telah mengambil serulingnya. Ketika suara seruling yang melengking, maka dua ekor harimau telah muncul dari dalam hutan mendekati Ki Pandi sambil mengibaskan ekornya.

"Nah, kita akan tidur...” berkata Ki Pandi "Biarlah kedua ekor harimau itu disini sampai menjelang pagi. Besok, jika kita meninggalkan hutan ini, harimau ku akan tinggal di hutan ini. Biarlah mereka hidup di antara paugeran rimba yang berlaku. Sementara kita akan menjalani hidup dalam tatanan yang berbeda."

Kehadiran kedua ekor harimau itu memang membuat Manggada dan Laksana menjadi tenang. Merekapun kemudian berbaring di atas tanah berbatu padas. Meskipun tidak selembarpun alas yang mereka pergunakan, tetapi keadaan itu sudah jauh lebih baik dari saat mereka menjalani laku Tapa Ngidang di dalam hutan.

Meskipun hanya sebentar, ternyata mereka sempat memejamkan mata mereka. Menjelang matahari terbit, mereka terbangun. Bulan sudah menginjak batas langit, sementara kedua ekor harimau Ki Pandi sudah tidak nampak lagi. Tetapi Ki Pandi sendiri duduk bersandar sebatang pohon yang tumbuh di padang perdu itu.

Manggada dan Laksanapun kemudian membenahi diri dan pakaian mereka. Mereka tidak perlu lagi mandi, karena mereka lewat tengah malam baru saja mandi keramas.

"Nah, kita sudah siap sekarang...! berkata Ki Pandi.

"Kita akan menempuh jalan pulang, Ki Pandi...” berkata Manggada dengan nada tinggi. Nampak kegembiraan memancar di sorot matanya serta getar suaranya.

"Ya. Aku akan ikut bersama kalian sampai ke rumah kalian."

"Tidak hanya bersama kami sampai ke rumah kami, tetapi Ki Pandi akan tinggal bersama kami...” jawab Manggada.

Ki Pandi tersenyum. Katanya, "Tergantung kepada orang tua kalian.”

"Orang tuaku akan senang sekali menerima kehadiran Ki Pandi. Apalagi jika orang tuaku tahu apa yang telah Ki Pandi lakukan. Bukan saja Ki Pandi telah memberikan tuntunan bagi kami dalam ilmu kanuragan, tetapi juga apa yang lelah Ki Pandi lakukan bagi sesama. Usaha Ki Pandi untuk melawan kekuatan hitam menunjukkan sikap Ki Pandi menghadapi tatanan kehidupan!” berkata Manggada.

Ki Pandi tersenyum. Katanya, “Mudah-mudahan penilaianmu benar anak muda!"

Semua orang akan mengatakan demikian, Ki Pandi” sahut Laksana kecuali Panembahan Lebdagati”

Ki Pandi tertawa. Katanya, “Kalian pandai memuji. Aku senang mendapat pujian kalian"

"Kami tidak memuji...” jawab Laksana "Kami mengatakan sesuai dengan nurani kami."

Ki Pandi tertawa lebih keras lagi. Tetapi ia tidak menjawab. Meskipun demikian, hubungannya dengan anak-anak muda itu telah dapat membuatnya tertawa. Ki Pandi sendiri menyadari, bahwa ia jarang sekali sempat tertawa. Mungkin sekali dua kali dalam sepekan, tetapi bersama anak-anak muda itu, ia menjadi lebih sering tertawa.

Demikian, maka merekapun berjalan terus. Manggada dan Laksana bersepakat bahwa mereka akan berjalan melewati Pajang. Mereka sudah lama tidak melihat-lihat keadaan kota yang terhitung ramai itu. Ketiga orang itu memang berjalan menyusuri jalan yang langsung menuju Pajang. Manggada dan Laksana tidak ingin lagi berhenti di perjalanan. Mereka sudah terlalu lama mengembara.

Semakin dekat dengan Pajang, maka tatanan kehidupan pun mulai berubah. Jalan-jalan terasa lebih ramai. Rumah-rumah pun nampak lebih bersih dan terawat. Apalagi ketika mereka memasuki pintu gerbang kota. Maka terasa satu kehidupan yang bergetar lebih cepat.

Di jalan-jalan nampak orang yang berjalan hilir mudik. Sekali dua kali nampak orang-orang berkuda lewat. Rasa-rasanya setiap orang melakukan pekerjaan mereka dengan tergesa-gesa. Mereka nampak selalu berpacu dengan waktu.

Manggada dan Laksana melihat suasana itu dengan hati yang berdebaran, namun mereka dapat mengerti, bahwa tatanan kehidupan di Pajang memerlukan gerak yang lebih cepat. Waktu seakan-akan selalu memburu, sementara yang harus mereka lakukan masih belum selesai.

Manggada dan Laksana yang mulai merasa haus telah mengajak Ki Pandi untuk berhenti di sebuah kedai di pinggir jalan utama. Sambil tersenyum Ki Pandi berkata, “Tentu hidangan yang jauh lebih baik dari minuman dan makanan yang kita dapatkan di hutan itu"

Manggada dan Laksana tertawa. Disela-sela tertawanya, Manggada berkata, “Sulit bagi kita untuk mencari makanan sebagaimana kita dapatkan di hutan itu di seluruh kota ini..."

Ki Pandipun tertawa pula. Katanya, “Tetapi aku juga tidak berkeberatan makan dan minum apa adanya di kedai itu...”

Manggada dan Laksana tertawa semakin panjang. Demikianlah maka bertiga mereka memasuki kedai yang cukup besar itu. Kedai yang ramai dikunjungi oleh banyak orang. Seperti sebelumnya, maka Ki Pandi telah memilih tempat yang paling terpisah di kedai itu. Mereka duduk di sudut agak ke belakang, dekat pintu butulan yang sempit.

Baru ketika mereka sudah duduk, mereka menyadari, bahwa kedai itu termasuk kedai yang terbiasa disinggahi orang-orang yang mempunyai kedudukan yang baik. Ternyata dari pakaian mereka, sikap mereka dan cara mereka berbicara yang satu dengan yang lain.

Ki Pandilah yang mula-mula melihat hal itu. Karena itu maka ia pun berdesis “Kita telah tersesat."

"Kenapa?” bertanya Manggada.

"Kedai ini nampakya hanya dikunjungi orang-orang yang terpandang di kota ini"

Manggada tersenyum. Namun katanya, “Tetapi tidak ada larangan bagi siapapun yang masuk untuk membeli makanan dan minuman disini"

"Kita mempunyai uang Ki Pandi” sahut Laksana "Asal kita membayar harga makanan dan minuman sesuai dengan tarifnya, kita tentu tidak akan dianggap bersalah."

"Tetapi lihat orang-orang yang ada di kedai ini” berkata Ki Pandi "Mereka memandang kita dengan heran. Mungkin pakaian kita tidak seperti pakaian mereka. Pakaian kita termasuk kusut dan kumal. Yang lain menjadi heran melihat punggungku yang bongkok dan buruk."

Manggada menggeleng sambil berkata, “Tidak Ki Pandi. Seperti yang Ki Pandi katakan, bahwa Ki Pandi selalu dihantui oleh perasaan rendah diri"

Ki Pandi mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Mungkin memang demikian. Tetapi sebaikya kita mencari kedai yang lebih kecil yang memang diperuntukkan orang- orang kecil seperti kita"

Tetapi Laksana menyahut “Kita sudah terlanjur duduk disini, Ki Pandi. Sebaiknya kita acuhkan saja orang-orang lain itu"

Ki Pandi mengangguk-angguk. Ia mencoba untuk tidak memperhatikan orang lain. Tetapi ia mulai memperhatikan berjenis-jenis makanan yang tersedia. Beberapa saat kemudian, maka merekapun telah mendapatkan makan dan minuman yang mereka pesan. Namun pelayan kedai itupun agaknya telah memperlakukan tamu-tamunya menurut ujud lahiriahnya. Karena itu, maka sikapnya kepada Ki Pandi, Manggada dan Laksana juga agak kurang menyenangkan.

Tetapi ketiganya memang tidak menghiraukan sikap itu. Merekapun kemudian telah meneguk minuman hangat itu serta makanan yang telah mereka pesan. Ketiganya tidak mau kehilangan selera makan mereka karena hal-hal yang tidak berarti apa-apa bagi mereka. Mereka berpendirian, bahwa setelah mereka meninggalkan kedai itu, maka orang-orang yang memperhatikan mereka, termasuk pelayan kedai itu, tidak akan dijumpainya lagi.

Beberapa saat kemudian, maka Ki Pandi, Manggada dan Laksana itu sudah selesai dengan makanan dan minuman mereka. Tubuh mereka yang baru saja ditempa di tengah-tengah hutan itupun merasa mejadi semakin segar. Darah mereka menjadi panas dan jantung merekapun rasa-rasanya berdetak semakin mantap.

Namun yang dicemaskan Ki Pandi itupun terjadi. Tiba-tiba saja tiga orang anak muda yang nampaknya dari keluarga yang cukup terpandang telah mendekatinya. Seorang di antara mereka sambil tertawa berkata kepada kawannya. "Bagaimana mungkin kakek ini mempunyai kelebihan di punggungnya."

Kawan-kawan tertawa. Bahkan seorang yang lain ternyata lebih berani lagi. Diusapnya bongkok di punggung Ki Pandi itu sambil berkata, “Maaf kek. Aku tidak dapat menahan diri untuk tidak meraba punggung kakek yang sangat memilik perhatian ini."

Kawan-kawannya tertawa semakin keras. Bahkan seorang dari sekelompok anak muda yang yang lain, yang duduk di muka pintu berkata, “Bagaimana jika bongkok itu kita ambil dan kita minta pemilik kedai ini untuk menggorengnya?”

Seisi kedai itu tertawa meledak. Wajah Ki Pandi memang menjadi merah. Manggada dan Laksana tidak dapat berdiam diri mengalami perlakuan yang sangat buruk itu. tetapi ketika mereka bangkit, Ki Pandi berdesis “Jangan lakukan. Aku minta..."

"Tetapi itu sudah keterlaluan.” sahut Laksana.

"Tidak apa-apa. Nanti setelah kita meninggalkan kedai ini, kita tidak akan bertemu lagi dengan orang itu”

Manggada menggeram. Tetapi ia tidak mau melanggar perintah Ki Pandi.

Namun anak muda yang meraba punggung Ki Pandi itu justru yang menyahut Jangan marah. “Ki Sanak. Aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya ingin mengusap punggung ini"

Wajah Manggada dan Laksana bagaikan telah membara. Tetapi Ki Pandilah yang menjawab. “Aku tidak berkeberatan anak muda."

"Bagus jawab anak muda itu kau memang orang yang baik?” anak muda itu berhenti sejenak. Namun kemudian katanya “Tetapi sayang. Aku justru mengharap kedua anak yang bersamamu itu marah"

"Tidak. Mereka tidak akan marah. Mereka adalah kemenakan-kemenakanku. Aku Kira, kami memang tidak akan dapat marah kepada kalian anak anak muda”

"Ternyata kau cukup cerdik.” berkata anak muda yang lain "he, apakah kau tahu siapa kami"

"Tidak” jawab Ki Pandi "Tetapi kami memang harus menghormati kalian"

Anak muda yang masih saja memegangi punggung Ki Pandi itu berkata “Ternyata kau bijaksana. Baiklah. Silahkan makan dan minum"

Ketiga anak muda itu bergeser manjauh dan kembali duduk di tempatnya semula. Namun anak muda yang berada di depan pintu itu berteriak lagi "He, kenapa kalian tidak jadi mengambil kelebihan pada punggung kakek itu? Ambil dan serahkan pada pemilik kedai ini”

Beberapa orang yang ada di kedai itu tertawa. Sementara itu, Ki Pandi pun berkata “Marilah. Kita tinggalkan kedai ini. Hal-hal seperti ini akan terulang dan terulang sebagaimana yang terjadi sebelum kita memasuki hutan itu. Karena itu, kalianpun tahu, kenapa aku menjadi rendah diri. Dahulu, ketika aku masih muda, aku berusaha menutupi perasaan ini dengan tingkah laku yang aneh-aneh. Di perguruan aku berusaha untuk menunjukkan kelebihanku dalam olah kanuragan. Aku menjadi sagat mudah tersinggung dan aku sering membuat onar. Tetapi masa-masa seperti itu sudah lampau. Kini aku hanya dapat menerima setiap perlakuan seperti itu dengan menekan perasaanku, karena agaknya tidak pantas lagi bagiku untuk berkelahi di sembarang tempat."

Manggada dan Laksana menarik nafas dalam-dalam. Namun dengan nada berat Laksana berkata, “Bagaimana jika kami saja yang berkelahi sekarang"

Ki Pandi menggeleng. Katanya “Tidak. Jangan.”

Namun agaknya orang-orang di kedai itu masih saja memperolok-olokkannya. Sekali-sekali terdengar gelak tertawa di antara mereka. Bahkan ampat orang anak muda yang baru masuk kedai itupun telah ikut pula memperolok-olokkannya. Agaknya anak muda itupun termasuk anak-anak muda dari lingkungan yang sama.

Namun tiba tiba semua gelak itupun terhenti. Orang-orang yang ada di dalam kedai itu nampak menjadi gelisah. Lebih-lebih beberapa kelompok anak muda yang sudah ada di dalam kedai. Sedangkan orang-orang yang lebih tuapun menundukkan kepala mereka. Semua perhatian tiba-tiba telah terikat pada mangkok-mangkok minuman dan makanan mereka.

Beberapa saat kemudian, seorang anak muda memasuki kedai itu, diiringi oleh dua orang yang bertubuh tinggi kekar dan berwajah garang. Tiga orang anak muda yang telah memperolok-olokkan Ki Pandi dengan meraba-raba bongkoknya itu nampak menjadi sangat gelisah. Setelah mereka saling memberi isyarat, maka ketiganya tiba-tiba telah bangkit berdiri dan berlari lewat pintu butulan di dekat tempat Ki Pandi duduk.

Namun langkahnyapun terhenti. Di luar pintu telah telah berdiri pula seorang yang bertubuh tinggi berbadan kekar seperti dua orang yang mengikuti anak muda yang baru masuk itu.

"Apakah kalian akan lari?” bertanya orang yang sudah berdiri di pintu itu.

Ketiga anak muda itu melangkah mundur. Wajah mereka menjadi tegang. Sementara anak muda yang baru masuk bersama dua orang itu masih berdiri di pintu kedai itu.

"Kau tidak akan dapat lari kemana-mana sekarang” berkata anak muda yang baru datang itu.

Ketiga orang anak muda itu memang tidak dapat melarikan diri lagi. Sementara itu. anak-anak muda yang lain nampaknya tidak ingin terlibat. Bahkan orang-orang yang lebih tua tidak ada yang berani berbuat sesuatu.

"Aku ingin membuat perhitungan sekarang” berkata anak muda itu "Aku mencarimu selama dua hari. Baru sekarang aku menemukanmu disini"

Ketiga orang anak muda itu tidak menjawab. Tetapi wajah-wajah mereka nampak menjadi sangat tegang.

"Dua hari yang lalu kalian telah memukuli saudara sepupuku. Apakah kalian belum mengenal aku?”

"Tetapi, tetapi…" salah seorang dari ketiga orang itu menjawab dengan gagap "kami tidak tahu bahwa anak itu sepupumu. Anak itulah yang mendahului menimbulkan persoalan. Justru saat itu kami sedang baristirahat”

"Kau dapat mengatakan dengan alasan apapun juga. Tetapi yang sudah terjadi adalah bahwa kalian telah memukuli kemanakanku sampai terluka cukup parah” jawab anak muda itu.

"Tetapi anak itulah yang memancing persoalan.” jawab salah seorang dari ketiga anak muda itu.

"Aku tidak peduli..." anak muda itu membentak.

Ketiga orang itu menjadi semakin pucat. Sementara itu anak muda itu berkata, “Kalian harus tahu siapa aku"

"Ya. Kami tahu...” jawab anak muda yang menjadi ketakutan itu.

“Nah, kita sudah saling mengenal, siapa kalian dan siapa aku. Karena itu terserah kepada kalian, apakah kalian akan melawan atau kalian akan membiarkan kami memperlakukan kalian seperti kalian memperlakukan sepupuku."

"Tetapi ia menyerang kami dengan pisau. Kami tidak bersalah" seorang di antara ketiganya hampir berteriak.

Tetapi anak muda itu sama sekali tidak menghiraukannya. Selangkah ia maju. Ketika kakinya menyentuh kaki seorang yang duduk sambil menunduk di dekatnya, maka kaki itupun dikibaskannya keras-keras sehingga orang itu telah terpental dari tempat duduknya dan jatuh terguling di tanah. Demikian orang itu berusaha bangkit, maka anak muda itupun membelalakkan matanya sambil berkata, “Kau akan mencoba menghina aku, he”

"Tidak. Tidak..." orang itu menjadi ketakutan "Aku sama sekali tidak sengaja. Aku mohon ampun!"

Anak muda itu melangkah lagi. Iapun kemudian telah memandangi orang-orang yang ada di kedai itu. Bukan hanya ketiga orang anak muda yang menjadi ketakutan itu. Tiba-tiba matanya terhenti ketika ia melihat Ki Pandi, Manggada dan Laksana. Dengan wajah yang tegang ia berkata, “Ada juga kutu-kutu busuk yang masuk ke kedai ini..."

Ki Pandi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia berdesis perlahan sekali, "Kalian harus tetap menahan diri."

"Apakah kedai ini sudah berubah menjadi ruang makan bagi pengemis-pengemis” berkata anak muda itu keras-keras.

Suasana masih tetap diam namun tegang. Adalah di luar dugaan bahwa anak muda itu justru melangkah mendekati Ki Pandi "He, kakek bongkok. Kau kenal aku?"

Ki Pandi memandang anak muda itu sekilas. Namun kemudian iapun menggeleng sambil menjawab, “Tidak anak muda!"

"Nah, sekarang kesempatan bagimu untuk mengenalku. Aku adalah penguasa di lingkungan ini. Semua orang harus tunduk kepadaku”

Ki Pandi yang memang tidak ingin ribut itu mengangguk sambi menjawab “Aku mengerti anak muda"

"Dengar. Aku tidak senang melihat pengemis di kedai ini” geram orang itu.

Ki Pandi menarik nafas dalam-dalam. Di luar sadarnya, ia memandang berkeliling. Orang-orang yang ada di dalam kedai itu memang orang-orang yang agaknya datang dari tataran yang baik. Tetapi ketika hal itu dibicarakan dengan Manggada dan Laksana, maka keduanya menganggap bahwa kedai itu diperuntukkan bagi siapa saja yang sanggup membayar, sehingga karena itu, maka mereka bertiga tidak segera pergi. Namun ternyata hal itu mempunyai akibat yang panjang.

Anak muda itupun kemudian berkata “Baiklah. Kali ini aku maafkan kalian. Tetapi untuk selanjutnya kalian tidak boleh lagi masuk ke dalam kedai ini"

"Baiklah anak muda” jawab Ki Pandi "kami akan segera meninggalkan kedai ini"

Anak mua itupun telah memanggil pemilik kedai itu dengan isyarat tangannya. Dengan tergesa-gesa pemilik kedai itupun berlari-lari kecil mendekat. "Suruh orang-orang itu pergi setelah membayar.”

Pemilik kedai itu mengangguk hormat. Katanya “Baiklah anak muda!"

Manggada tidak menunggu orang itu minta dibayar harga makanan dan minuman yang telah mereka pesan. Ketika orang itu mendekatinya, maka Manggadapun segera bertanya sambil mengambil kampil kecil dari kantong ikat pinggangnya. Di kampil itu masih tersimpan sisa uangnya yang sudah tidak terlalu banyak lagi. Tetapi justru karena mereka sudah berada di jalan pulang, maka mereka tidak akan memerlukan banyak uang lagi di perjalanan.

Setelah membayar beberapa keping uang sebagaimana disebut oleh pemilik kedai itu, maka mereka bertigapun melangkah keluar diikuti pandangan berpasang-pasang mata dari orang-orang yang ada di kedai itu. Sebenarnya perasaan Manggada dan Laksana telah memberontak di dalam dadanya. Tetapi mereka sangat menghormati Ki Pandi, sehingga mereka tidak berbuat sesuatu karena Ki Pandi selalu mencegahnya.

Demikian Ki Pandi, Manggada dan Laksana keluar dari kedai itu, maka perhatian anak muda itu kembali tertuju kepada ketiga orang anak muda yang masih ada di dalam kedai itu. Semula mereka mengira bahwa perhatian anak muda yang baru datang itu telah beralih. Namun ternyata perhatiannya kembali tertuju kepadanya.

Di luar, Ki Pandi, Manggada dan Laksana masih berdiri termangu-mangu. Seorang yang umurnya sudah sebaya dengan Ki Pandi telah datang mendekatinya. “Apakah kau diperlakukan kasar oleh anak-anak di dalam kedai itu? Dan yang terakhir anak muda yang baru datang bersama tiga orang pengawalnya?” bertanya orang itu.

"Ah, tidak apa-apa Ki Sanak” jawab Ki Pandi “Aku mengenal sikap anak-anak muda yang kadang-kadang meledak-ledak"

Orang itu memandang ke pintu kedai itu. Lalu katanya “Tetapi anak-anak itu kadang-kadang memang keterlaluan. Aku melihat apa yang mereka lakukan atas Ki Sanak"

Ki Pandi tersenyum. Katanya “Aku sudah melupakannya."

"Ki Sanak memang bijaksana” jawab orang itu. Namun katanya kemudian "Tetapi hukuman itu akhirnya datang sendiri. Kau belum mengenal anak muda yang datang dengan pengawalnya itu"

"Belum Ki Sanak!” jawab Ki Pandi.

"Anak itu anak orang yang sangat kaya. Orang-orang di sekitar tempat ini, termasuk pemilik kedai itu, mendapat pinjaman uang dari orang tua anak muda itu sebagai modal. Itulah sebabnya maka ia sangat dihormati di lingkungan ini. Kedudukannnya justru melampaui kedudukan Ki Demang sendiri. Ia dapat berbuat apa saja sekehendak hatinya. Nah, tiga orang anak muda itu akan mengalami nasib buruk di tangannya. Ketiga orang pengawalnya itu akan memperlakukan ketiga orang anak muda itu menjadi barang mainan. Mereka pulang dengan tulang-tulang yang retak"

"Apakah Ki Demang tidak mampu mengatasinya?" bertanya Ki Pandi “Atau barangkali prajurit Pajang"

"Ki Demang sudah tidak berdaya. Sementara itu, mereka tidak berani melaporkan kepada prajurit Pajang. Mungkin prajurit Pajang dapat bertindak. Namun nasib mereka yang berani melaporkan itu akan menjadi lebih buruk lagi"

Wajah Ki Pandi nampak berkerut. Sementara orang itu berkata “Lebih dari itu, ayah anak muda itu mempunyai banyak kawan di lingkungan keprajuritan. Hubungan yang baik itu sangat mempengaruhi sikap mereka"

Ki Pandi mengangguk-angguk. Namun sebelum ia menyahut, maka iapun terkejut melihat anak muda yang terlempar dari pintu kedai itu dan jatuh di halaman.

"Ampun. Aku minta ampun” anak muda itu hampir menangis.

Seorang yang bertubuh tinggi keker melangkah mendekatinya. Dengan tangkasnya ia menggapai baju anak muda yang terjatuh itu. Kemudian ditariknya sehingga anak muda itu berdiri. Namun sebuah pukul yang sangat keras telah mengenai perutnya. Anak muda itu terbungkuk kesakitan. Tetapi pukulan yang lain melayang mengenai wajahnya, sehingga sekali lagi anak muda itu terjatuh di halaman.

Ki Pandi, Manggada dan Laksana berdiri termangu-mangu. Sedang orang yang sudah sebaya dengan Ki Pandi itu berkata “Lebih baik kita pergi. Jika kita masih tetap disini, maka kita tentu akan dianggap mencampuri persoalan mereka"

Ki Pandi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya “Silahkan menyingkir Ki Sanak. Aku akan menonton disini"

Orang itu menjadi heran. Dengan nada tinggi ia berkata “Apa yang sebenarnya kau kehendaki? Kau sudah mendapat perlakuan kasar. Kau sudah diusir seperti seorang pengemis meskipun kau mampu membayar harga makanan dan minumanmu. Sekarang kau akan menonton apa yang bakal terjadi disini. Bukankah itu akan berakibat buruk bagi kalian?”

"Kasihan anak-anak muda yang bakal mengalami nasib buruk itu” berkata Ki Pandi.

"Itu hukuman bagi mereka. Bukankah mereka telah memperolok-olokkan Ki Sanak"

"Tetapi kenakalan itu masih merupakan kenakalan anak-anak muda. Namun agaknya anak muda yang berpengawal itu telah melakukan perbuatan-perbuatan yang lebih kasar lagi, justru karena ia mempunyai kedudukan yang kuat, serta pengawal yang berilmu tinggi” berkata Ki Pandi “Bahkan menurut perhitunganku, anak muda itu tentu juga sering memeras orang-orang yang telah meminjam uang kepada ayahnya di luar pengetahuan ayahnya itu sendiri"

"Ya” jawab orang itu darimana kau tahu...?"

"Aku hanya menduga...” jawab Ki Pandi. Namun kemudian katanya “Meskipun aku juga berprihatin melihat anak-anak muda yang tidak lagi menaruh hormat kepada orang-orang tua sebagaimana dilakukan oleh ketiga orang anak muda yang memperolok-olokkan aku, tetapi aku merasa sangat menyesali sikap dan tindakan anak muda yang berpengawal itu. Tingkah lakunya sudah mengarah pada laku kejahatan, la menakut-nakuti orang di satu lingkungan tertentu dan memeras mereka dengan semena-mena!”

"Aku sependapat Ki Sanak. Tetapi apa yang dapat kau lakukan atas mereka?” sahut orang itu.

Namun keadaan menjadi bertambah tegang, ketika dua orang anak muda yang lain dilemparkan keluar pula. Mereka mulai merengek minta ampun. Tetapi ketiga orang yang bertubuh tinggi berbadan kekar dan berwajah garang itu tanpa belas kasihan telah menghajar mereka. Sedangkan anak muda yang ditakuti itu berdiri bertolak pinggang di muka pintu.

Ki Pandi berdiri termangu-mangu. Kemudian ia berpaling kepada Manggada dan Laksana sambil berkata, “Kalian harus mencegah perlakuan yang sewenang-wenang itu.”

Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Semula Ki Pandi mencegah mereka untuk turun tangan. Namun tiba-tiba Ki Pandi itu justru memberikan perintah kepada mereka untuk berbuat sesuatu.

Melihat kedua anak muda itu ragu-ragu, maka Ki Pandi pun berkata sekali lagi, "Cegah orang itu. Mereka tidak berhak memperlakukan anak-anak muda itu seperti itu. Jika anak-anak muda itu bersalah, maka ia harus diserahkan kepada Ki Demang atau bebahu yang ditugaskannya"

Manggada dan Laksana mengangguk kecil. Tanpa bertanya lebih lanjut, maka merekapun melangkah mendekati anak muda yang bertolak pinggang itu. Anak muda itu memang menjadi heran melihat kedua orang yang telah diusirnya itu mendatanginya. Dengan lantang anak muda itu membentaknya,

"He, untuk apa kau datang kepadaku?"

Suaranya justru telah menghentikan pengawalnya yang masih saja menyakiti ketiga anak muda yang sudah minta ampun itu. Bahkan mulut mereka sudah mulai berdarah, karena bibir mereka yang pecah atau gigi mereka yang terlepas.

"Hentikan perbuatan itu Ki Sanak!” berkata Manggada.

"Perbuatan yang mana?” bartanya anak muda itu.

"Anak-anak muda yang dipukuli oleh pengawalmu itu sudah merengek minta ampun. Ternyata mereka memang tidak lebih dari anak-anak yang hanya dapat menangis dan minta ampun jika mereka menghadapi kesulitan, meskipun mereka anak-anak yang tidak tahu diri dan mengenal unggah-ungguh” jawab Manggada.

Wajah anak muda itu menjadi merah. Tidak pernah ada orang yang berani mencegah perbualan-perbuatannya. Karena itu, maka iapun berteriak, "He, pengemis buruk. Kau tidak mengenal aku, he. Bukankah aku sudah mengatakan bahwa aku penguasa di lingkungan ini"

"Mungkin, tetapi mereka tidak mengakuimu. Akupun bukan orang yang termasuk mempunyai pinjaman kepada orang tuamu. Karena itu, aku dapat bersikap sesuai dengan kemauanku atasmu."

"Setan kau!" suara anak muda itu mulai bergetar oleh kemarahan yang membakar ubun-ubunnya "Kalian mau apa sekarang"

Laksanalah yang menyahut “Bagus. Aku menunggu pertanyaan itu. Dengar. Sekarang aku akan mencegah perbuatan orang-orangmu itu. Jika perlu dengan kekerasan"

Kemarahan anak muda itu tidak terbendung lagi. Karena itu, maka iapun berteriak kepada orang-orangnya "Koyaklah mulut anak-anak gila ini"

Ketiga orang pengawai anak muda itupun meninggalkan korban-korban mereka. Dengan gigi yang gemeretak, maka mereka segera melangkah mendekati Manggada dan Laksana. Ketiga orang anak muda yang tulang-tulangnya bagaikan retak itu berusaha bangkit. Namun mereka hanya dapat beringsut beberapa langkah, sementara Manggada berkata “Jangan takut anak-anak manis. Kau tidak akan dipukuli lagi"

Ketiga orang anak muda itupun menjadi heran. Anak-anak muda itu adalah anak-anak muda yang duduk bersama orang bongkok yang telah diperolok-olokkannya. Ketika itu mereka tidak berbuat apa-apa.

Meskipun nampaknya mereka tersinggung, tetapi justru orang bongkok itu sendirilah yang menenangkan mereka, sehingga keduanya tidak berbuat apa-apa. Bahkan ketika salah seorang dari mereka mengharap kedua anak muda itu marah, ternyata keduanya tidak bangkit dari tempat duduknya.

Namun kini anak-anak muda itu telah menantang ketiga orang pengawal anak muda yang sangat disegani di lingkungan itu. Dalam pada itu, ketiga orang pengawal itu sudah siap. Namun karena yang akan mereka hadapi hanya dua orang anak muda saja, maka seorang di antara mereka terpaksa mengalah.

"Kau bereskan anak-anak yang telah memukuli sepupuku itu” berkata anak muda yang disegani itu.

Orang itu memang berpaling kepada tiga orang anak muda yang sudah berhasil bangkit untuk duduk di pinggir halaman itu.

Sementara itu Laksanalah yang berteriak kepada mereka, "Bangkit. Lawan orang yang akan memukulimu. Bukankah kalian laki-laki sejati? Kalian hanya berani memperolok-olokkan orang tua yang kau anggap tidak mampu berbuat apa-apa. Tetapi menghadapi orang yang kau anggap kuat, kau sama sekali tidak berani berbuat apa-apa. Bahkan merengek minta ampun"

"Cukup!” bentak anak muda yang membawa tiga orang pengawal itu. Lalu katanya kepada kedua orang pengawalnya "Buat mereka menjadi jera.”

Kedua orang pengawal itupun segera melangkah maju. Seorang mendekati Manggada dan seorang lagi mendekati Laksana. Dalam pada itu, beberapa orang yang ada di kedai itupun telah keluar. Mereka melihat dua orang anak muda yang datang bersama orang bongkok itu sudah berhadapan dengan orang-orang yang sangat ditakuti di tempat itu. Bahkan Ki Demang pun tidak dapat berbuat apa-apa terhadap mereka. Tetapi kedua orang anak muda yang berpakaian kusut itu nampaknya sama sekali tidak merasa takut. Tetapi beberapa orang berbisik di antara mereka.

"Mereka belum mengenal kedua orang yang garang dan bengis itu. Mereka tentu akan mematahkan tangan atau kaki keduanya atau bahkan lehernya"

Sementara itu, orang yang umurnya sebaya dengan Ki Pandi berkata dengan nada cemas, "Kau umpankan anak-anak itu ke dalam mulut serigala yang sangat buas. Kau tentu belum mengenal mereka. Mereka dapat berbuat apa saja yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain. Apalagi terhadap orang yang sudah berani menentang anak muda yang mengendalikan mereka. Anak muda yang nampaknya tampan itu ternyata berhati iblis. Dan kau serahkan anak-anakmu itu ke tangannya yang merah oleh darah."

Ki Pandi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak berharap demikian. Aku tidak senang melihat tingkah laku anak muda dan pengawal-pengawalnya itu. Karena itu, aku berharap bahwa kedua orang kemenakanku itu dapat sedikit memperingatkannya agar untuk selanjutnya ia berhati-hati"

"Apakah kedua kemenakanmu itu mempunyai ilmu kebal?” bertanya orang itu.

"Tidak” jawab Ki Pandi. Namun katanya kemudian "Tetapi mereka berbekal niat yang baik"

"Niat saja tidak akan menolong mereka. Nasibnya akan menjadi lebih buruk dari ketiga orang anak muda itu”

Dalam pada itu, Manggada dan Laksanapun sudah mulai bergeser saling menjauhi. Mereka sudah siap menghadapi kedua orang yang bertubuh tinggi tegap itu. bahkan tenaga merekapun ternyata lebih kuat dari orang kebanyakan.

Orang-orang yang bertubuh raksasa itulah yang kemudian mulai menyerang. Mereka seakan-akan tidak memperhitungkan perlawanan kedua orang anak muda itu. Raksasa yang melawan Manggada itu justru telah melangkah maju sambil mejulurkan tangannya untuk menangkap anak muda itu, seakan-akan anak muda itu bukannya sasaran yang dapat bergerak dan apalagi melawan.

Manggada yang melihat lawannya itu ingin menangkapnya begitu saja, justru merasa tersinggung. Beberapa langkah ia mundur. Tidak untuk menghindari tangan lawannya yang akan menangkap lengannya itu. Tetapi ia justru mengambil ancang-ancang. Bahwa Manggada merasa tersingggung itu telah membuatnya berusaha untuk memberikan peringatan kepada lawannya pada serangannya yang pertama.

Demikianlah, ketika raksasa itu masih saja melangkah maju, maka dengan tiba-tiba saja Manggada telah melenting sambil memiringkan tubuhnya. Dikerahkannya tenaganya untuk melontarkan serangan kearah dada orang itu untuk menunjukkan bahwa lawannya tidak dapat menganggapnya seorang yang tidak berdaya. Tubuh Manggada meluncur dengan derasnya. Kakinya terjulur lurus menyamping. Langsung kearah dada.

Namun ternyata yang tidak terduga-duga itu terjadi. Manggada sendiri terkejut ketika kakinya menghantam dada orang itu. Ternyata pertahanan orang itu telah terguncang. Bahkan kemudian orang itu bagaikan dilemparkan langsung jatuh terbanting di tanah.

Terdengar mulutnya mengumpat kasar. Dengan sigapnya ia melenting untuk bangkit berdiri. Tetapi ternyata tubuhnya pun segera terhuyung-huyung. Ia hanya mampu berdiri beberapa kejap. Kemudian sekali lagi tubuhnya jatuh terguling. Bahkan dari mulutnya telah mengalir darah.

Orang itu mengerang kesakitan. Dipeganginya dadanya dengan kedua tangannya sambil menggeliat-geliat. Betapa wajahnya membayangkan kesakitan yang sangat. Bahkan kemudian nafasnya menjadi sesak.

"Gila...” teriak anak muda yang disegani itu "Apa yang telah terjadi denganmu?"

Tetapi orang bertubuh raksasa itu tidak dapat menjawab. Dari mulutnya masih terdengar erang kesakitan. Ki Pandi menjadi cemas. Ia tidak mengharap Manggada membunuh orang itu. Namun Ki Pandipun memaklumi, bahwa setelah berada di hutan selama sebulan, maka Manggada kehilangan pengamatan atas tingkat ilmunya. Manggada sendiri tidak sadar, bahwa ilmunya telah jauh meningkat dibandingkan sebelum ia menjalani laku Tapa Ngidang di hutan dari purnama sampai ke purnama.

Sementara itu, seorang di antara raksasa yang sudah berhadapan dengan Laksanapun menjadi cemas. Agaknya anak muda yang seorang lagi itupun memiliki kemampuan yang setingkat. Tetapi orang yang sudah siap menghadapi Laksana itu berkata pada diri sendiri. "Orang dungu itu telah lengah, sehingga ia tidak berdaya sama sekali ketika serangan itu datang." Karena itu, maka orang itupun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk menghadapi anak muda yang seorang lagi itu.

Sementara itu, anak muda yang ditakuti itupun berteriak kepada pengawal yang seorang lagi "Gantikan orang dungu itu. ia tidak pantas menjadi pengawalku lagi. Selesaikan kedua orang anak iblis itu. Apapun yang terjadi atas mereka"

Perintah itu jelas. Mereka tidak perlu mengekang diri lagi. bahkan seandainya anak-anak itu terbunuh oleh tangan-tangan mereka yang kasar itu. Manggada mundur beberapa langkah. Yang terjadi itu benar-benar di luar dugaannya sendiri. Karena itu, maka ia justru harus menilai kembali tenaga dan kemampuannya. Bahkan tanpa mengerahkan tenaga dalamnya.

Yang kemudian mulai menyerang adalah orang yang berhadapan dengan Laksana. Sebenarnyalah bahwa Laksana sendiri juga menjadi bimbang oleh kekuatan dan kemampuannya sendiri. Karena itu, maka Laksana harus mulai dari dasar kekuatannya, ia mulai mejajagi kekuatan dan kemampuan lawannya. Iapun tidak ingin jika lawannya kemudian terbunuh dalam pertempuran itu.

Namun dalam beberapa saat, laksanapun segera mengetahui, bahwa kekuatan lawannya yang bertubuh raksasa itu tidak akan mampu menggetarkan pertahanannya. Karena itu, maka Laksanapun tidak perlu bersusah payah menghindari serangan-serangan lawannya. Tetapi ia selalu menangkis dan bahkan membentur serangan lawannya. Dengan demikian, maka Laksana sekaligus dapat menjajagi bukan saja kekuatan dan kemampuan lawannya, tetapi kekuatan dan kemampuannya sendiri pula.

Ternyata orang bertubuh raksasa itu tidak banyak mempunyai kesempatan. Serangan-serangannya selalu kandas seakan-akan tidak berarti bagi lawannya yang masih muda itu. Setiap terjadi benturan, maka rasa-rasanya tulang-tulangnya menjadi retak.

Demikian pula orang yang kemudian menggantikan kawannya yang kesakitan itu, Iapun segera mulai terdesak, namun Manggada berusaha untuk lebih mengendalikan diri. Ia tidak ingin membunuh seorangpun. Bahkan iapun mulai menjadi cemas ketika ia melihat orang yang terbaring itu sama sekali tidak bergerak lagi.

Ki Pandi yang juga melihat orang itu tidak bergerak lagi, segera mendekatinya. Namun ternyata orang itu masih hidup. Namun tubuhnya sudah menjadi lemah sekali. Meskipun demikian, pernafasannya masih cukup baik. Ki Pandipun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berteriak kepada pemilik kedai yang berdiri termangu-mangu di pintu kedainya sambil gemeta.

"Ambil air, cepat..."

Pemilik kedai itu sekan-akan telah bergerak dengan sendirinya. Berlari-lari ia mengambil semangkuk air dan diserahkannya kepada Ki Pandi yang berjongkok di sebelah orang itu, sementara Manggada dan Laksana masih bertempur di halaman. Ki Pandi kemudian telah mengambil sebutir obat dari kantong ikat pinggangnya. Kemudian menyisipkannya di bibir orang itu.

Sambil menitikkan air di mulut orang itu Ki Pandi berkata “Telanlah. Keadaanmu akan berangsur baik."

Antara sadar dan tidak, maka orang itupun telah menelan air yang dituangkan perlahan-lahan di mulutnya. Obat yang diselipkan di bibir orang itupun lelah menjadi larut pula ikut tertelan lewat kerongkongannya. Terasa darahnya yang menjadi hangat merambat lewat urat-uratnya, mengalir ke seluruh tubuhnya. Perasaan sakit pun sedikit demi sedikit telah berkurang, sementara tenaganya terasa sedikit segar. Meskipun dadanya masih sakit dan tulang-tulangnya terasa nyeri, namun obat itu telah sangat membantunya mengurangi penderitaannya.

Sementara itu, pertempuran masih berlangsung, namun sudah tidak seimbang lagi. Manggada dan laksana telah mendesak lawannya sehingga sama sekali tidak berdaya lagi. Mereka tinggal dapat meloncat-loncat menghindar, berlari-lari kecil mengambil jarak dan balikan nampak di wajah mereka, betapa mereka mulai dicengkam oleh kecemasan yang sangat. 

Sekali-sekali serangan Manggada dan Laksana telah mengenai tubuh mereka. Perasaan sakit dan nyeri telah mencengkam seluruh tubuh mereka, lawan Manggada hidungnya sudah mulai berdarah. Sementara lawan Manggada matanya nampak lembab dan kebiru-biruan.

Anak muda yang disegani itu ternyata tidak mau melihat kenyataan. Ketika kedua pengawalnya itu tidak lagi mampu berbuat sesuatu, maka ia masih saja berteriak "Bunuh anak-anak iblis itu. Jangan takut, aku yang akan mempertanggung jawabkannya"

Tetapi kedua orang pengawalnya yang bertubuh raksasa itu tidak mampu berbuat sesuatu. Mereka tidak mampu lagi menghindari dan bahkan menangkis serangan-serangan anak-anak muda itu. Bahkan ketika Laksana sedikit terdorong melayangkan tangannya menebas dengan sisi telapak tangannya mengenai kening lawannya, maka lawannya itupun merasa bumi tempatnya berpijak menjadi berputar.

Laksana yang sudah siap melancarkan serangan berikutnya, telah tertahan dan bahkan mengurungkannya. Dibiarkannya lawannya berusaha memperbaiki keseimbangaannya yang goyah. Anak muda yang disegani itu menjadi semakin marah. Ketika orang yang berusaha untuk berdiri tegak itu gagal, sehingga ia jatuh terduduk, maka anak muda itupun berteriak,

"He, pengecut. Kenapa kau malah duduk disitu? Bangkit, bunuh lawanmu atau kau akan dihukum cambuk oleh ayah...!"

Orang itu memang masih berusaha untuk bangkit, tetapi ia tidak mampu lagi. Kepalanya benar-benar terasa pening dan segalanya telah berputar.

"Bangkit...!” teriak anak muda itu....

Selanjutnya,
Sejuknya Kampung Halaman Bagian 03

Sejuknya Kampung Halaman Bagian 02

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
KI PANDI pun tersenyum. Kemudian, orang bongkok itu telah mengambil serulingnya. Ketika suara seruling yang melengking, maka dua ekor harimau telah muncul dari dalam hutan mendekati Ki Pandi sambil mengibaskan ekornya.

"Nah, kita akan tidur...” berkata Ki Pandi "Biarlah kedua ekor harimau itu disini sampai menjelang pagi. Besok, jika kita meninggalkan hutan ini, harimau ku akan tinggal di hutan ini. Biarlah mereka hidup di antara paugeran rimba yang berlaku. Sementara kita akan menjalani hidup dalam tatanan yang berbeda."

Kehadiran kedua ekor harimau itu memang membuat Manggada dan Laksana menjadi tenang. Merekapun kemudian berbaring di atas tanah berbatu padas. Meskipun tidak selembarpun alas yang mereka pergunakan, tetapi keadaan itu sudah jauh lebih baik dari saat mereka menjalani laku Tapa Ngidang di dalam hutan.

Meskipun hanya sebentar, ternyata mereka sempat memejamkan mata mereka. Menjelang matahari terbit, mereka terbangun. Bulan sudah menginjak batas langit, sementara kedua ekor harimau Ki Pandi sudah tidak nampak lagi. Tetapi Ki Pandi sendiri duduk bersandar sebatang pohon yang tumbuh di padang perdu itu.

Manggada dan Laksanapun kemudian membenahi diri dan pakaian mereka. Mereka tidak perlu lagi mandi, karena mereka lewat tengah malam baru saja mandi keramas.

"Nah, kita sudah siap sekarang...! berkata Ki Pandi.

"Kita akan menempuh jalan pulang, Ki Pandi...” berkata Manggada dengan nada tinggi. Nampak kegembiraan memancar di sorot matanya serta getar suaranya.

"Ya. Aku akan ikut bersama kalian sampai ke rumah kalian."

"Tidak hanya bersama kami sampai ke rumah kami, tetapi Ki Pandi akan tinggal bersama kami...” jawab Manggada.

Ki Pandi tersenyum. Katanya, "Tergantung kepada orang tua kalian.”

"Orang tuaku akan senang sekali menerima kehadiran Ki Pandi. Apalagi jika orang tuaku tahu apa yang telah Ki Pandi lakukan. Bukan saja Ki Pandi telah memberikan tuntunan bagi kami dalam ilmu kanuragan, tetapi juga apa yang lelah Ki Pandi lakukan bagi sesama. Usaha Ki Pandi untuk melawan kekuatan hitam menunjukkan sikap Ki Pandi menghadapi tatanan kehidupan!” berkata Manggada.

Ki Pandi tersenyum. Katanya, “Mudah-mudahan penilaianmu benar anak muda!"

Semua orang akan mengatakan demikian, Ki Pandi” sahut Laksana kecuali Panembahan Lebdagati”

Ki Pandi tertawa. Katanya, “Kalian pandai memuji. Aku senang mendapat pujian kalian"

"Kami tidak memuji...” jawab Laksana "Kami mengatakan sesuai dengan nurani kami."

Ki Pandi tertawa lebih keras lagi. Tetapi ia tidak menjawab. Meskipun demikian, hubungannya dengan anak-anak muda itu telah dapat membuatnya tertawa. Ki Pandi sendiri menyadari, bahwa ia jarang sekali sempat tertawa. Mungkin sekali dua kali dalam sepekan, tetapi bersama anak-anak muda itu, ia menjadi lebih sering tertawa.

Demikian, maka merekapun berjalan terus. Manggada dan Laksana bersepakat bahwa mereka akan berjalan melewati Pajang. Mereka sudah lama tidak melihat-lihat keadaan kota yang terhitung ramai itu. Ketiga orang itu memang berjalan menyusuri jalan yang langsung menuju Pajang. Manggada dan Laksana tidak ingin lagi berhenti di perjalanan. Mereka sudah terlalu lama mengembara.

Semakin dekat dengan Pajang, maka tatanan kehidupan pun mulai berubah. Jalan-jalan terasa lebih ramai. Rumah-rumah pun nampak lebih bersih dan terawat. Apalagi ketika mereka memasuki pintu gerbang kota. Maka terasa satu kehidupan yang bergetar lebih cepat.

Di jalan-jalan nampak orang yang berjalan hilir mudik. Sekali dua kali nampak orang-orang berkuda lewat. Rasa-rasanya setiap orang melakukan pekerjaan mereka dengan tergesa-gesa. Mereka nampak selalu berpacu dengan waktu.

Manggada dan Laksana melihat suasana itu dengan hati yang berdebaran, namun mereka dapat mengerti, bahwa tatanan kehidupan di Pajang memerlukan gerak yang lebih cepat. Waktu seakan-akan selalu memburu, sementara yang harus mereka lakukan masih belum selesai.

Manggada dan Laksana yang mulai merasa haus telah mengajak Ki Pandi untuk berhenti di sebuah kedai di pinggir jalan utama. Sambil tersenyum Ki Pandi berkata, “Tentu hidangan yang jauh lebih baik dari minuman dan makanan yang kita dapatkan di hutan itu"

Manggada dan Laksana tertawa. Disela-sela tertawanya, Manggada berkata, “Sulit bagi kita untuk mencari makanan sebagaimana kita dapatkan di hutan itu di seluruh kota ini..."

Ki Pandipun tertawa pula. Katanya, “Tetapi aku juga tidak berkeberatan makan dan minum apa adanya di kedai itu...”

Manggada dan Laksana tertawa semakin panjang. Demikianlah maka bertiga mereka memasuki kedai yang cukup besar itu. Kedai yang ramai dikunjungi oleh banyak orang. Seperti sebelumnya, maka Ki Pandi telah memilih tempat yang paling terpisah di kedai itu. Mereka duduk di sudut agak ke belakang, dekat pintu butulan yang sempit.

Baru ketika mereka sudah duduk, mereka menyadari, bahwa kedai itu termasuk kedai yang terbiasa disinggahi orang-orang yang mempunyai kedudukan yang baik. Ternyata dari pakaian mereka, sikap mereka dan cara mereka berbicara yang satu dengan yang lain.

Ki Pandilah yang mula-mula melihat hal itu. Karena itu maka ia pun berdesis “Kita telah tersesat."

"Kenapa?” bertanya Manggada.

"Kedai ini nampakya hanya dikunjungi orang-orang yang terpandang di kota ini"

Manggada tersenyum. Namun katanya, “Tetapi tidak ada larangan bagi siapapun yang masuk untuk membeli makanan dan minuman disini"

"Kita mempunyai uang Ki Pandi” sahut Laksana "Asal kita membayar harga makanan dan minuman sesuai dengan tarifnya, kita tentu tidak akan dianggap bersalah."

"Tetapi lihat orang-orang yang ada di kedai ini” berkata Ki Pandi "Mereka memandang kita dengan heran. Mungkin pakaian kita tidak seperti pakaian mereka. Pakaian kita termasuk kusut dan kumal. Yang lain menjadi heran melihat punggungku yang bongkok dan buruk."

Manggada menggeleng sambil berkata, “Tidak Ki Pandi. Seperti yang Ki Pandi katakan, bahwa Ki Pandi selalu dihantui oleh perasaan rendah diri"

Ki Pandi mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Mungkin memang demikian. Tetapi sebaikya kita mencari kedai yang lebih kecil yang memang diperuntukkan orang- orang kecil seperti kita"

Tetapi Laksana menyahut “Kita sudah terlanjur duduk disini, Ki Pandi. Sebaiknya kita acuhkan saja orang-orang lain itu"

Ki Pandi mengangguk-angguk. Ia mencoba untuk tidak memperhatikan orang lain. Tetapi ia mulai memperhatikan berjenis-jenis makanan yang tersedia. Beberapa saat kemudian, maka merekapun telah mendapatkan makan dan minuman yang mereka pesan. Namun pelayan kedai itupun agaknya telah memperlakukan tamu-tamunya menurut ujud lahiriahnya. Karena itu, maka sikapnya kepada Ki Pandi, Manggada dan Laksana juga agak kurang menyenangkan.

Tetapi ketiganya memang tidak menghiraukan sikap itu. Merekapun kemudian telah meneguk minuman hangat itu serta makanan yang telah mereka pesan. Ketiganya tidak mau kehilangan selera makan mereka karena hal-hal yang tidak berarti apa-apa bagi mereka. Mereka berpendirian, bahwa setelah mereka meninggalkan kedai itu, maka orang-orang yang memperhatikan mereka, termasuk pelayan kedai itu, tidak akan dijumpainya lagi.

Beberapa saat kemudian, maka Ki Pandi, Manggada dan Laksana itu sudah selesai dengan makanan dan minuman mereka. Tubuh mereka yang baru saja ditempa di tengah-tengah hutan itupun merasa mejadi semakin segar. Darah mereka menjadi panas dan jantung merekapun rasa-rasanya berdetak semakin mantap.

Namun yang dicemaskan Ki Pandi itupun terjadi. Tiba-tiba saja tiga orang anak muda yang nampaknya dari keluarga yang cukup terpandang telah mendekatinya. Seorang di antara mereka sambil tertawa berkata kepada kawannya. "Bagaimana mungkin kakek ini mempunyai kelebihan di punggungnya."

Kawan-kawan tertawa. Bahkan seorang yang lain ternyata lebih berani lagi. Diusapnya bongkok di punggung Ki Pandi itu sambil berkata, “Maaf kek. Aku tidak dapat menahan diri untuk tidak meraba punggung kakek yang sangat memilik perhatian ini."

Kawan-kawannya tertawa semakin keras. Bahkan seorang dari sekelompok anak muda yang yang lain, yang duduk di muka pintu berkata, “Bagaimana jika bongkok itu kita ambil dan kita minta pemilik kedai ini untuk menggorengnya?”

Seisi kedai itu tertawa meledak. Wajah Ki Pandi memang menjadi merah. Manggada dan Laksana tidak dapat berdiam diri mengalami perlakuan yang sangat buruk itu. tetapi ketika mereka bangkit, Ki Pandi berdesis “Jangan lakukan. Aku minta..."

"Tetapi itu sudah keterlaluan.” sahut Laksana.

"Tidak apa-apa. Nanti setelah kita meninggalkan kedai ini, kita tidak akan bertemu lagi dengan orang itu”

Manggada menggeram. Tetapi ia tidak mau melanggar perintah Ki Pandi.

Namun anak muda yang meraba punggung Ki Pandi itu justru yang menyahut Jangan marah. “Ki Sanak. Aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya ingin mengusap punggung ini"

Wajah Manggada dan Laksana bagaikan telah membara. Tetapi Ki Pandilah yang menjawab. “Aku tidak berkeberatan anak muda."

"Bagus jawab anak muda itu kau memang orang yang baik?” anak muda itu berhenti sejenak. Namun kemudian katanya “Tetapi sayang. Aku justru mengharap kedua anak yang bersamamu itu marah"

"Tidak. Mereka tidak akan marah. Mereka adalah kemenakan-kemenakanku. Aku Kira, kami memang tidak akan dapat marah kepada kalian anak anak muda”

"Ternyata kau cukup cerdik.” berkata anak muda yang lain "he, apakah kau tahu siapa kami"

"Tidak” jawab Ki Pandi "Tetapi kami memang harus menghormati kalian"

Anak muda yang masih saja memegangi punggung Ki Pandi itu berkata “Ternyata kau bijaksana. Baiklah. Silahkan makan dan minum"

Ketiga anak muda itu bergeser manjauh dan kembali duduk di tempatnya semula. Namun anak muda yang berada di depan pintu itu berteriak lagi "He, kenapa kalian tidak jadi mengambil kelebihan pada punggung kakek itu? Ambil dan serahkan pada pemilik kedai ini”

Beberapa orang yang ada di kedai itu tertawa. Sementara itu, Ki Pandi pun berkata “Marilah. Kita tinggalkan kedai ini. Hal-hal seperti ini akan terulang dan terulang sebagaimana yang terjadi sebelum kita memasuki hutan itu. Karena itu, kalianpun tahu, kenapa aku menjadi rendah diri. Dahulu, ketika aku masih muda, aku berusaha menutupi perasaan ini dengan tingkah laku yang aneh-aneh. Di perguruan aku berusaha untuk menunjukkan kelebihanku dalam olah kanuragan. Aku menjadi sagat mudah tersinggung dan aku sering membuat onar. Tetapi masa-masa seperti itu sudah lampau. Kini aku hanya dapat menerima setiap perlakuan seperti itu dengan menekan perasaanku, karena agaknya tidak pantas lagi bagiku untuk berkelahi di sembarang tempat."

Manggada dan Laksana menarik nafas dalam-dalam. Namun dengan nada berat Laksana berkata, “Bagaimana jika kami saja yang berkelahi sekarang"

Ki Pandi menggeleng. Katanya “Tidak. Jangan.”

Namun agaknya orang-orang di kedai itu masih saja memperolok-olokkannya. Sekali-sekali terdengar gelak tertawa di antara mereka. Bahkan ampat orang anak muda yang baru masuk kedai itupun telah ikut pula memperolok-olokkannya. Agaknya anak muda itupun termasuk anak-anak muda dari lingkungan yang sama.

Namun tiba tiba semua gelak itupun terhenti. Orang-orang yang ada di dalam kedai itu nampak menjadi gelisah. Lebih-lebih beberapa kelompok anak muda yang sudah ada di dalam kedai. Sedangkan orang-orang yang lebih tuapun menundukkan kepala mereka. Semua perhatian tiba-tiba telah terikat pada mangkok-mangkok minuman dan makanan mereka.

Beberapa saat kemudian, seorang anak muda memasuki kedai itu, diiringi oleh dua orang yang bertubuh tinggi kekar dan berwajah garang. Tiga orang anak muda yang telah memperolok-olokkan Ki Pandi dengan meraba-raba bongkoknya itu nampak menjadi sangat gelisah. Setelah mereka saling memberi isyarat, maka ketiganya tiba-tiba telah bangkit berdiri dan berlari lewat pintu butulan di dekat tempat Ki Pandi duduk.

Namun langkahnyapun terhenti. Di luar pintu telah telah berdiri pula seorang yang bertubuh tinggi berbadan kekar seperti dua orang yang mengikuti anak muda yang baru masuk itu.

"Apakah kalian akan lari?” bertanya orang yang sudah berdiri di pintu itu.

Ketiga anak muda itu melangkah mundur. Wajah mereka menjadi tegang. Sementara anak muda yang baru masuk bersama dua orang itu masih berdiri di pintu kedai itu.

"Kau tidak akan dapat lari kemana-mana sekarang” berkata anak muda yang baru datang itu.

Ketiga orang anak muda itu memang tidak dapat melarikan diri lagi. Sementara itu. anak-anak muda yang lain nampaknya tidak ingin terlibat. Bahkan orang-orang yang lebih tua tidak ada yang berani berbuat sesuatu.

"Aku ingin membuat perhitungan sekarang” berkata anak muda itu "Aku mencarimu selama dua hari. Baru sekarang aku menemukanmu disini"

Ketiga orang anak muda itu tidak menjawab. Tetapi wajah-wajah mereka nampak menjadi sangat tegang.

"Dua hari yang lalu kalian telah memukuli saudara sepupuku. Apakah kalian belum mengenal aku?”

"Tetapi, tetapi…" salah seorang dari ketiga orang itu menjawab dengan gagap "kami tidak tahu bahwa anak itu sepupumu. Anak itulah yang mendahului menimbulkan persoalan. Justru saat itu kami sedang baristirahat”

"Kau dapat mengatakan dengan alasan apapun juga. Tetapi yang sudah terjadi adalah bahwa kalian telah memukuli kemanakanku sampai terluka cukup parah” jawab anak muda itu.

"Tetapi anak itulah yang memancing persoalan.” jawab salah seorang dari ketiga anak muda itu.

"Aku tidak peduli..." anak muda itu membentak.

Ketiga orang itu menjadi semakin pucat. Sementara itu anak muda itu berkata, “Kalian harus tahu siapa aku"

"Ya. Kami tahu...” jawab anak muda yang menjadi ketakutan itu.

“Nah, kita sudah saling mengenal, siapa kalian dan siapa aku. Karena itu terserah kepada kalian, apakah kalian akan melawan atau kalian akan membiarkan kami memperlakukan kalian seperti kalian memperlakukan sepupuku."

"Tetapi ia menyerang kami dengan pisau. Kami tidak bersalah" seorang di antara ketiganya hampir berteriak.

Tetapi anak muda itu sama sekali tidak menghiraukannya. Selangkah ia maju. Ketika kakinya menyentuh kaki seorang yang duduk sambil menunduk di dekatnya, maka kaki itupun dikibaskannya keras-keras sehingga orang itu telah terpental dari tempat duduknya dan jatuh terguling di tanah. Demikian orang itu berusaha bangkit, maka anak muda itupun membelalakkan matanya sambil berkata, “Kau akan mencoba menghina aku, he”

"Tidak. Tidak..." orang itu menjadi ketakutan "Aku sama sekali tidak sengaja. Aku mohon ampun!"

Anak muda itu melangkah lagi. Iapun kemudian telah memandangi orang-orang yang ada di kedai itu. Bukan hanya ketiga orang anak muda yang menjadi ketakutan itu. Tiba-tiba matanya terhenti ketika ia melihat Ki Pandi, Manggada dan Laksana. Dengan wajah yang tegang ia berkata, “Ada juga kutu-kutu busuk yang masuk ke kedai ini..."

Ki Pandi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia berdesis perlahan sekali, "Kalian harus tetap menahan diri."

"Apakah kedai ini sudah berubah menjadi ruang makan bagi pengemis-pengemis” berkata anak muda itu keras-keras.

Suasana masih tetap diam namun tegang. Adalah di luar dugaan bahwa anak muda itu justru melangkah mendekati Ki Pandi "He, kakek bongkok. Kau kenal aku?"

Ki Pandi memandang anak muda itu sekilas. Namun kemudian iapun menggeleng sambil menjawab, “Tidak anak muda!"

"Nah, sekarang kesempatan bagimu untuk mengenalku. Aku adalah penguasa di lingkungan ini. Semua orang harus tunduk kepadaku”

Ki Pandi yang memang tidak ingin ribut itu mengangguk sambi menjawab “Aku mengerti anak muda"

"Dengar. Aku tidak senang melihat pengemis di kedai ini” geram orang itu.

Ki Pandi menarik nafas dalam-dalam. Di luar sadarnya, ia memandang berkeliling. Orang-orang yang ada di dalam kedai itu memang orang-orang yang agaknya datang dari tataran yang baik. Tetapi ketika hal itu dibicarakan dengan Manggada dan Laksana, maka keduanya menganggap bahwa kedai itu diperuntukkan bagi siapa saja yang sanggup membayar, sehingga karena itu, maka mereka bertiga tidak segera pergi. Namun ternyata hal itu mempunyai akibat yang panjang.

Anak muda itupun kemudian berkata “Baiklah. Kali ini aku maafkan kalian. Tetapi untuk selanjutnya kalian tidak boleh lagi masuk ke dalam kedai ini"

"Baiklah anak muda” jawab Ki Pandi "kami akan segera meninggalkan kedai ini"

Anak mua itupun telah memanggil pemilik kedai itu dengan isyarat tangannya. Dengan tergesa-gesa pemilik kedai itupun berlari-lari kecil mendekat. "Suruh orang-orang itu pergi setelah membayar.”

Pemilik kedai itu mengangguk hormat. Katanya “Baiklah anak muda!"

Manggada tidak menunggu orang itu minta dibayar harga makanan dan minuman yang telah mereka pesan. Ketika orang itu mendekatinya, maka Manggadapun segera bertanya sambil mengambil kampil kecil dari kantong ikat pinggangnya. Di kampil itu masih tersimpan sisa uangnya yang sudah tidak terlalu banyak lagi. Tetapi justru karena mereka sudah berada di jalan pulang, maka mereka tidak akan memerlukan banyak uang lagi di perjalanan.

Setelah membayar beberapa keping uang sebagaimana disebut oleh pemilik kedai itu, maka mereka bertigapun melangkah keluar diikuti pandangan berpasang-pasang mata dari orang-orang yang ada di kedai itu. Sebenarnya perasaan Manggada dan Laksana telah memberontak di dalam dadanya. Tetapi mereka sangat menghormati Ki Pandi, sehingga mereka tidak berbuat sesuatu karena Ki Pandi selalu mencegahnya.

Demikian Ki Pandi, Manggada dan Laksana keluar dari kedai itu, maka perhatian anak muda itu kembali tertuju kepada ketiga orang anak muda yang masih ada di dalam kedai itu. Semula mereka mengira bahwa perhatian anak muda yang baru datang itu telah beralih. Namun ternyata perhatiannya kembali tertuju kepadanya.

Di luar, Ki Pandi, Manggada dan Laksana masih berdiri termangu-mangu. Seorang yang umurnya sudah sebaya dengan Ki Pandi telah datang mendekatinya. “Apakah kau diperlakukan kasar oleh anak-anak di dalam kedai itu? Dan yang terakhir anak muda yang baru datang bersama tiga orang pengawalnya?” bertanya orang itu.

"Ah, tidak apa-apa Ki Sanak” jawab Ki Pandi “Aku mengenal sikap anak-anak muda yang kadang-kadang meledak-ledak"

Orang itu memandang ke pintu kedai itu. Lalu katanya “Tetapi anak-anak itu kadang-kadang memang keterlaluan. Aku melihat apa yang mereka lakukan atas Ki Sanak"

Ki Pandi tersenyum. Katanya “Aku sudah melupakannya."

"Ki Sanak memang bijaksana” jawab orang itu. Namun katanya kemudian "Tetapi hukuman itu akhirnya datang sendiri. Kau belum mengenal anak muda yang datang dengan pengawalnya itu"

"Belum Ki Sanak!” jawab Ki Pandi.

"Anak itu anak orang yang sangat kaya. Orang-orang di sekitar tempat ini, termasuk pemilik kedai itu, mendapat pinjaman uang dari orang tua anak muda itu sebagai modal. Itulah sebabnya maka ia sangat dihormati di lingkungan ini. Kedudukannnya justru melampaui kedudukan Ki Demang sendiri. Ia dapat berbuat apa saja sekehendak hatinya. Nah, tiga orang anak muda itu akan mengalami nasib buruk di tangannya. Ketiga orang pengawalnya itu akan memperlakukan ketiga orang anak muda itu menjadi barang mainan. Mereka pulang dengan tulang-tulang yang retak"

"Apakah Ki Demang tidak mampu mengatasinya?" bertanya Ki Pandi “Atau barangkali prajurit Pajang"

"Ki Demang sudah tidak berdaya. Sementara itu, mereka tidak berani melaporkan kepada prajurit Pajang. Mungkin prajurit Pajang dapat bertindak. Namun nasib mereka yang berani melaporkan itu akan menjadi lebih buruk lagi"

Wajah Ki Pandi nampak berkerut. Sementara orang itu berkata “Lebih dari itu, ayah anak muda itu mempunyai banyak kawan di lingkungan keprajuritan. Hubungan yang baik itu sangat mempengaruhi sikap mereka"

Ki Pandi mengangguk-angguk. Namun sebelum ia menyahut, maka iapun terkejut melihat anak muda yang terlempar dari pintu kedai itu dan jatuh di halaman.

"Ampun. Aku minta ampun” anak muda itu hampir menangis.

Seorang yang bertubuh tinggi keker melangkah mendekatinya. Dengan tangkasnya ia menggapai baju anak muda yang terjatuh itu. Kemudian ditariknya sehingga anak muda itu berdiri. Namun sebuah pukul yang sangat keras telah mengenai perutnya. Anak muda itu terbungkuk kesakitan. Tetapi pukulan yang lain melayang mengenai wajahnya, sehingga sekali lagi anak muda itu terjatuh di halaman.

Ki Pandi, Manggada dan Laksana berdiri termangu-mangu. Sedang orang yang sudah sebaya dengan Ki Pandi itu berkata “Lebih baik kita pergi. Jika kita masih tetap disini, maka kita tentu akan dianggap mencampuri persoalan mereka"

Ki Pandi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya “Silahkan menyingkir Ki Sanak. Aku akan menonton disini"

Orang itu menjadi heran. Dengan nada tinggi ia berkata “Apa yang sebenarnya kau kehendaki? Kau sudah mendapat perlakuan kasar. Kau sudah diusir seperti seorang pengemis meskipun kau mampu membayar harga makanan dan minumanmu. Sekarang kau akan menonton apa yang bakal terjadi disini. Bukankah itu akan berakibat buruk bagi kalian?”

"Kasihan anak-anak muda yang bakal mengalami nasib buruk itu” berkata Ki Pandi.

"Itu hukuman bagi mereka. Bukankah mereka telah memperolok-olokkan Ki Sanak"

"Tetapi kenakalan itu masih merupakan kenakalan anak-anak muda. Namun agaknya anak muda yang berpengawal itu telah melakukan perbuatan-perbuatan yang lebih kasar lagi, justru karena ia mempunyai kedudukan yang kuat, serta pengawal yang berilmu tinggi” berkata Ki Pandi “Bahkan menurut perhitunganku, anak muda itu tentu juga sering memeras orang-orang yang telah meminjam uang kepada ayahnya di luar pengetahuan ayahnya itu sendiri"

"Ya” jawab orang itu darimana kau tahu...?"

"Aku hanya menduga...” jawab Ki Pandi. Namun kemudian katanya “Meskipun aku juga berprihatin melihat anak-anak muda yang tidak lagi menaruh hormat kepada orang-orang tua sebagaimana dilakukan oleh ketiga orang anak muda yang memperolok-olokkan aku, tetapi aku merasa sangat menyesali sikap dan tindakan anak muda yang berpengawal itu. Tingkah lakunya sudah mengarah pada laku kejahatan, la menakut-nakuti orang di satu lingkungan tertentu dan memeras mereka dengan semena-mena!”

"Aku sependapat Ki Sanak. Tetapi apa yang dapat kau lakukan atas mereka?” sahut orang itu.

Namun keadaan menjadi bertambah tegang, ketika dua orang anak muda yang lain dilemparkan keluar pula. Mereka mulai merengek minta ampun. Tetapi ketiga orang yang bertubuh tinggi berbadan kekar dan berwajah garang itu tanpa belas kasihan telah menghajar mereka. Sedangkan anak muda yang ditakuti itu berdiri bertolak pinggang di muka pintu.

Ki Pandi berdiri termangu-mangu. Kemudian ia berpaling kepada Manggada dan Laksana sambil berkata, “Kalian harus mencegah perlakuan yang sewenang-wenang itu.”

Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Semula Ki Pandi mencegah mereka untuk turun tangan. Namun tiba-tiba Ki Pandi itu justru memberikan perintah kepada mereka untuk berbuat sesuatu.

Melihat kedua anak muda itu ragu-ragu, maka Ki Pandi pun berkata sekali lagi, "Cegah orang itu. Mereka tidak berhak memperlakukan anak-anak muda itu seperti itu. Jika anak-anak muda itu bersalah, maka ia harus diserahkan kepada Ki Demang atau bebahu yang ditugaskannya"

Manggada dan Laksana mengangguk kecil. Tanpa bertanya lebih lanjut, maka merekapun melangkah mendekati anak muda yang bertolak pinggang itu. Anak muda itu memang menjadi heran melihat kedua orang yang telah diusirnya itu mendatanginya. Dengan lantang anak muda itu membentaknya,

"He, untuk apa kau datang kepadaku?"

Suaranya justru telah menghentikan pengawalnya yang masih saja menyakiti ketiga anak muda yang sudah minta ampun itu. Bahkan mulut mereka sudah mulai berdarah, karena bibir mereka yang pecah atau gigi mereka yang terlepas.

"Hentikan perbuatan itu Ki Sanak!” berkata Manggada.

"Perbuatan yang mana?” bartanya anak muda itu.

"Anak-anak muda yang dipukuli oleh pengawalmu itu sudah merengek minta ampun. Ternyata mereka memang tidak lebih dari anak-anak yang hanya dapat menangis dan minta ampun jika mereka menghadapi kesulitan, meskipun mereka anak-anak yang tidak tahu diri dan mengenal unggah-ungguh” jawab Manggada.

Wajah anak muda itu menjadi merah. Tidak pernah ada orang yang berani mencegah perbualan-perbuatannya. Karena itu, maka iapun berteriak, "He, pengemis buruk. Kau tidak mengenal aku, he. Bukankah aku sudah mengatakan bahwa aku penguasa di lingkungan ini"

"Mungkin, tetapi mereka tidak mengakuimu. Akupun bukan orang yang termasuk mempunyai pinjaman kepada orang tuamu. Karena itu, aku dapat bersikap sesuai dengan kemauanku atasmu."

"Setan kau!" suara anak muda itu mulai bergetar oleh kemarahan yang membakar ubun-ubunnya "Kalian mau apa sekarang"

Laksanalah yang menyahut “Bagus. Aku menunggu pertanyaan itu. Dengar. Sekarang aku akan mencegah perbuatan orang-orangmu itu. Jika perlu dengan kekerasan"

Kemarahan anak muda itu tidak terbendung lagi. Karena itu, maka iapun berteriak kepada orang-orangnya "Koyaklah mulut anak-anak gila ini"

Ketiga orang pengawai anak muda itupun meninggalkan korban-korban mereka. Dengan gigi yang gemeretak, maka mereka segera melangkah mendekati Manggada dan Laksana. Ketiga orang anak muda yang tulang-tulangnya bagaikan retak itu berusaha bangkit. Namun mereka hanya dapat beringsut beberapa langkah, sementara Manggada berkata “Jangan takut anak-anak manis. Kau tidak akan dipukuli lagi"

Ketiga orang anak muda itupun menjadi heran. Anak-anak muda itu adalah anak-anak muda yang duduk bersama orang bongkok yang telah diperolok-olokkannya. Ketika itu mereka tidak berbuat apa-apa.

Meskipun nampaknya mereka tersinggung, tetapi justru orang bongkok itu sendirilah yang menenangkan mereka, sehingga keduanya tidak berbuat apa-apa. Bahkan ketika salah seorang dari mereka mengharap kedua anak muda itu marah, ternyata keduanya tidak bangkit dari tempat duduknya.

Namun kini anak-anak muda itu telah menantang ketiga orang pengawal anak muda yang sangat disegani di lingkungan itu. Dalam pada itu, ketiga orang pengawal itu sudah siap. Namun karena yang akan mereka hadapi hanya dua orang anak muda saja, maka seorang di antara mereka terpaksa mengalah.

"Kau bereskan anak-anak yang telah memukuli sepupuku itu” berkata anak muda yang disegani itu.

Orang itu memang berpaling kepada tiga orang anak muda yang sudah berhasil bangkit untuk duduk di pinggir halaman itu.

Sementara itu Laksanalah yang berteriak kepada mereka, "Bangkit. Lawan orang yang akan memukulimu. Bukankah kalian laki-laki sejati? Kalian hanya berani memperolok-olokkan orang tua yang kau anggap tidak mampu berbuat apa-apa. Tetapi menghadapi orang yang kau anggap kuat, kau sama sekali tidak berani berbuat apa-apa. Bahkan merengek minta ampun"

"Cukup!” bentak anak muda yang membawa tiga orang pengawal itu. Lalu katanya kepada kedua orang pengawalnya "Buat mereka menjadi jera.”

Kedua orang pengawal itupun segera melangkah maju. Seorang mendekati Manggada dan seorang lagi mendekati Laksana. Dalam pada itu, beberapa orang yang ada di kedai itupun telah keluar. Mereka melihat dua orang anak muda yang datang bersama orang bongkok itu sudah berhadapan dengan orang-orang yang sangat ditakuti di tempat itu. Bahkan Ki Demang pun tidak dapat berbuat apa-apa terhadap mereka. Tetapi kedua orang anak muda yang berpakaian kusut itu nampaknya sama sekali tidak merasa takut. Tetapi beberapa orang berbisik di antara mereka.

"Mereka belum mengenal kedua orang yang garang dan bengis itu. Mereka tentu akan mematahkan tangan atau kaki keduanya atau bahkan lehernya"

Sementara itu, orang yang umurnya sebaya dengan Ki Pandi berkata dengan nada cemas, "Kau umpankan anak-anak itu ke dalam mulut serigala yang sangat buas. Kau tentu belum mengenal mereka. Mereka dapat berbuat apa saja yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain. Apalagi terhadap orang yang sudah berani menentang anak muda yang mengendalikan mereka. Anak muda yang nampaknya tampan itu ternyata berhati iblis. Dan kau serahkan anak-anakmu itu ke tangannya yang merah oleh darah."

Ki Pandi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak berharap demikian. Aku tidak senang melihat tingkah laku anak muda dan pengawal-pengawalnya itu. Karena itu, aku berharap bahwa kedua orang kemenakanku itu dapat sedikit memperingatkannya agar untuk selanjutnya ia berhati-hati"

"Apakah kedua kemenakanmu itu mempunyai ilmu kebal?” bertanya orang itu.

"Tidak” jawab Ki Pandi. Namun katanya kemudian "Tetapi mereka berbekal niat yang baik"

"Niat saja tidak akan menolong mereka. Nasibnya akan menjadi lebih buruk dari ketiga orang anak muda itu”

Dalam pada itu, Manggada dan Laksanapun sudah mulai bergeser saling menjauhi. Mereka sudah siap menghadapi kedua orang yang bertubuh tinggi tegap itu. bahkan tenaga merekapun ternyata lebih kuat dari orang kebanyakan.

Orang-orang yang bertubuh raksasa itulah yang kemudian mulai menyerang. Mereka seakan-akan tidak memperhitungkan perlawanan kedua orang anak muda itu. Raksasa yang melawan Manggada itu justru telah melangkah maju sambil mejulurkan tangannya untuk menangkap anak muda itu, seakan-akan anak muda itu bukannya sasaran yang dapat bergerak dan apalagi melawan.

Manggada yang melihat lawannya itu ingin menangkapnya begitu saja, justru merasa tersinggung. Beberapa langkah ia mundur. Tidak untuk menghindari tangan lawannya yang akan menangkap lengannya itu. Tetapi ia justru mengambil ancang-ancang. Bahwa Manggada merasa tersingggung itu telah membuatnya berusaha untuk memberikan peringatan kepada lawannya pada serangannya yang pertama.

Demikianlah, ketika raksasa itu masih saja melangkah maju, maka dengan tiba-tiba saja Manggada telah melenting sambil memiringkan tubuhnya. Dikerahkannya tenaganya untuk melontarkan serangan kearah dada orang itu untuk menunjukkan bahwa lawannya tidak dapat menganggapnya seorang yang tidak berdaya. Tubuh Manggada meluncur dengan derasnya. Kakinya terjulur lurus menyamping. Langsung kearah dada.

Namun ternyata yang tidak terduga-duga itu terjadi. Manggada sendiri terkejut ketika kakinya menghantam dada orang itu. Ternyata pertahanan orang itu telah terguncang. Bahkan kemudian orang itu bagaikan dilemparkan langsung jatuh terbanting di tanah.

Terdengar mulutnya mengumpat kasar. Dengan sigapnya ia melenting untuk bangkit berdiri. Tetapi ternyata tubuhnya pun segera terhuyung-huyung. Ia hanya mampu berdiri beberapa kejap. Kemudian sekali lagi tubuhnya jatuh terguling. Bahkan dari mulutnya telah mengalir darah.

Orang itu mengerang kesakitan. Dipeganginya dadanya dengan kedua tangannya sambil menggeliat-geliat. Betapa wajahnya membayangkan kesakitan yang sangat. Bahkan kemudian nafasnya menjadi sesak.

"Gila...” teriak anak muda yang disegani itu "Apa yang telah terjadi denganmu?"

Tetapi orang bertubuh raksasa itu tidak dapat menjawab. Dari mulutnya masih terdengar erang kesakitan. Ki Pandi menjadi cemas. Ia tidak mengharap Manggada membunuh orang itu. Namun Ki Pandipun memaklumi, bahwa setelah berada di hutan selama sebulan, maka Manggada kehilangan pengamatan atas tingkat ilmunya. Manggada sendiri tidak sadar, bahwa ilmunya telah jauh meningkat dibandingkan sebelum ia menjalani laku Tapa Ngidang di hutan dari purnama sampai ke purnama.

Sementara itu, seorang di antara raksasa yang sudah berhadapan dengan Laksanapun menjadi cemas. Agaknya anak muda yang seorang lagi itupun memiliki kemampuan yang setingkat. Tetapi orang yang sudah siap menghadapi Laksana itu berkata pada diri sendiri. "Orang dungu itu telah lengah, sehingga ia tidak berdaya sama sekali ketika serangan itu datang." Karena itu, maka orang itupun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk menghadapi anak muda yang seorang lagi itu.

Sementara itu, anak muda yang ditakuti itupun berteriak kepada pengawal yang seorang lagi "Gantikan orang dungu itu. ia tidak pantas menjadi pengawalku lagi. Selesaikan kedua orang anak iblis itu. Apapun yang terjadi atas mereka"

Perintah itu jelas. Mereka tidak perlu mengekang diri lagi. bahkan seandainya anak-anak itu terbunuh oleh tangan-tangan mereka yang kasar itu. Manggada mundur beberapa langkah. Yang terjadi itu benar-benar di luar dugaannya sendiri. Karena itu, maka ia justru harus menilai kembali tenaga dan kemampuannya. Bahkan tanpa mengerahkan tenaga dalamnya.

Yang kemudian mulai menyerang adalah orang yang berhadapan dengan Laksana. Sebenarnyalah bahwa Laksana sendiri juga menjadi bimbang oleh kekuatan dan kemampuannya sendiri. Karena itu, maka Laksana harus mulai dari dasar kekuatannya, ia mulai mejajagi kekuatan dan kemampuan lawannya. Iapun tidak ingin jika lawannya kemudian terbunuh dalam pertempuran itu.

Namun dalam beberapa saat, laksanapun segera mengetahui, bahwa kekuatan lawannya yang bertubuh raksasa itu tidak akan mampu menggetarkan pertahanannya. Karena itu, maka Laksanapun tidak perlu bersusah payah menghindari serangan-serangan lawannya. Tetapi ia selalu menangkis dan bahkan membentur serangan lawannya. Dengan demikian, maka Laksana sekaligus dapat menjajagi bukan saja kekuatan dan kemampuan lawannya, tetapi kekuatan dan kemampuannya sendiri pula.

Ternyata orang bertubuh raksasa itu tidak banyak mempunyai kesempatan. Serangan-serangannya selalu kandas seakan-akan tidak berarti bagi lawannya yang masih muda itu. Setiap terjadi benturan, maka rasa-rasanya tulang-tulangnya menjadi retak.

Demikian pula orang yang kemudian menggantikan kawannya yang kesakitan itu, Iapun segera mulai terdesak, namun Manggada berusaha untuk lebih mengendalikan diri. Ia tidak ingin membunuh seorangpun. Bahkan iapun mulai menjadi cemas ketika ia melihat orang yang terbaring itu sama sekali tidak bergerak lagi.

Ki Pandi yang juga melihat orang itu tidak bergerak lagi, segera mendekatinya. Namun ternyata orang itu masih hidup. Namun tubuhnya sudah menjadi lemah sekali. Meskipun demikian, pernafasannya masih cukup baik. Ki Pandipun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berteriak kepada pemilik kedai yang berdiri termangu-mangu di pintu kedainya sambil gemeta.

"Ambil air, cepat..."

Pemilik kedai itu sekan-akan telah bergerak dengan sendirinya. Berlari-lari ia mengambil semangkuk air dan diserahkannya kepada Ki Pandi yang berjongkok di sebelah orang itu, sementara Manggada dan Laksana masih bertempur di halaman. Ki Pandi kemudian telah mengambil sebutir obat dari kantong ikat pinggangnya. Kemudian menyisipkannya di bibir orang itu.

Sambil menitikkan air di mulut orang itu Ki Pandi berkata “Telanlah. Keadaanmu akan berangsur baik."

Antara sadar dan tidak, maka orang itupun telah menelan air yang dituangkan perlahan-lahan di mulutnya. Obat yang diselipkan di bibir orang itupun lelah menjadi larut pula ikut tertelan lewat kerongkongannya. Terasa darahnya yang menjadi hangat merambat lewat urat-uratnya, mengalir ke seluruh tubuhnya. Perasaan sakit pun sedikit demi sedikit telah berkurang, sementara tenaganya terasa sedikit segar. Meskipun dadanya masih sakit dan tulang-tulangnya terasa nyeri, namun obat itu telah sangat membantunya mengurangi penderitaannya.

Sementara itu, pertempuran masih berlangsung, namun sudah tidak seimbang lagi. Manggada dan laksana telah mendesak lawannya sehingga sama sekali tidak berdaya lagi. Mereka tinggal dapat meloncat-loncat menghindar, berlari-lari kecil mengambil jarak dan balikan nampak di wajah mereka, betapa mereka mulai dicengkam oleh kecemasan yang sangat. 

Sekali-sekali serangan Manggada dan Laksana telah mengenai tubuh mereka. Perasaan sakit dan nyeri telah mencengkam seluruh tubuh mereka, lawan Manggada hidungnya sudah mulai berdarah. Sementara lawan Manggada matanya nampak lembab dan kebiru-biruan.

Anak muda yang disegani itu ternyata tidak mau melihat kenyataan. Ketika kedua pengawalnya itu tidak lagi mampu berbuat sesuatu, maka ia masih saja berteriak "Bunuh anak-anak iblis itu. Jangan takut, aku yang akan mempertanggung jawabkannya"

Tetapi kedua orang pengawalnya yang bertubuh raksasa itu tidak mampu berbuat sesuatu. Mereka tidak mampu lagi menghindari dan bahkan menangkis serangan-serangan anak-anak muda itu. Bahkan ketika Laksana sedikit terdorong melayangkan tangannya menebas dengan sisi telapak tangannya mengenai kening lawannya, maka lawannya itupun merasa bumi tempatnya berpijak menjadi berputar.

Laksana yang sudah siap melancarkan serangan berikutnya, telah tertahan dan bahkan mengurungkannya. Dibiarkannya lawannya berusaha memperbaiki keseimbangaannya yang goyah. Anak muda yang disegani itu menjadi semakin marah. Ketika orang yang berusaha untuk berdiri tegak itu gagal, sehingga ia jatuh terduduk, maka anak muda itupun berteriak,

"He, pengecut. Kenapa kau malah duduk disitu? Bangkit, bunuh lawanmu atau kau akan dihukum cambuk oleh ayah...!"

Orang itu memang masih berusaha untuk bangkit, tetapi ia tidak mampu lagi. Kepalanya benar-benar terasa pening dan segalanya telah berputar.

"Bangkit...!” teriak anak muda itu....

Selanjutnya,
Sejuknya Kampung Halaman Bagian 03