Sejuknya Kampung Halaman Bagian 03 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
LAKSANA yang mendengar teriakan-teriakan itu justru tidak tahan lagi. Justru karena lawannya sudah tidak berdaya. Karena itu, maka ketika anak muda itu berteriak sekali lagi dan bahkan lebih keras, maka Laksana telah meloncat menghampirinya. Dengan cepat tangannya telah menggapai baju anak itu dan menariknya sambil berkata,

“Kenapa kau hanya berteriak-teriak saja. Kenapa bukan kau sendiri yang memasuki arena dan berkelahi?"

Anak muda itu terkejut. Ia tidak pernah mengalami perlakuan yang demikian, karena itu, maka iapun berteriak "Lepaskan bajuku. Kau akan menyesal dengan perlakuanmu...!"

Tetapi Laksana tidak melepaskannya. Justru tangannya terayun menampar wajah anak muda itu sambil membentak, "Diam kau, atau aku buat kau terdiam...!"

Tamparan di wajahnya itu benar-benar mengejutkannya. Bagaimana mungkin hal seperti itu terjadi. Seorang anak muda yang berpakaian kumal telah berani menamparnya.

Tetapi Laksana masih saja memegangi bajunya sambil membentak-bentaknya, "Ayo. Aku tantang kau berkelahi. Mau tidak mau..."

Sebelum anak itu menjawab, maka Laksana telah menyeretnya dan mendorongnya ke halaman. Demikian kerasnya dorongan Laksana sehingga anak muda itu telah jatuh terjerembab. Wajahnya terantuk tanah, sehingga menjadi kotor karenanya.

Laksana yang berdiri di dekatnya membentaknya, “Bangkit. Kita berkelahi..."

Anak itu benar-benar menjadi bingung. Orangnya yang terakhirpun telah terbaring pula di tanah. Sebenarnya Manggada tahu, bahwa lawannya itu masih mungkin untuk bangkit dan memberikan perlawanan. Tetapi agaknya orang itu tidak melihat lagi harapan untuk dapat bertahan, sehingga karena itu, ketika ia terjatuh, maka iapun berpura tidak lagi mampu berdiri.

Karena anak muda itu masih belum bangkit, maka Laksana telah menarik lagi bajunya. Sekali lagi Laksana menampar wajah anak muda itu. Tiba-tiba saja anak muda itu telah kehilangan pegangan. Ia tidak terbiasa berbuat sesuatu selain berteriak-teriak memberikan perintah. Ketika kemudian orang-orang yang mengawalnya itu tidak berdaya, maka anak muda itupun tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Karena itu, ketika Laksana mengguncang bajunya, maka tiba-tiba saja anak itu menagis.

"Ampun. Aku minta ampun...!"

Hampir saja Laksana tidak mampu mengendalikan dirinya. Tetapi kemudian Laksana itu menyadari, bahwa anak muda itu telah benar-benar menjadi ketakutan. Karena itu, maka Laksana pun telah melepaskannya dan berkata,

“Aku akan datang lagi ke lingkungan ini. Jika kau masih berbuat sebagaimana kau lakukan sekarang, maka aku akan menghancurkanmu. Katakan kepada ayahmu, bahwa aku akan tetap berbuat tanpa harus tunduk kepadamu dan kepada ayahmu. Disini tentu ada paugeran yang berlaku bagi setiap orang. Termasuk kau dan ayahmu, sehingga kalian tidak dapat berbuat sekehendakmu sendiri."

Anak muda itu tidak dapat menjawab sama sekali. Tangisnya justru menjadi-jadi. Rasa-rasanya anak muda itu tidak lagi merasa malu. Orang yang menyaksikan peristiwa itu memang menjadi berdebar-debar. Mereka yakin bahwa orang-orang yang berani melawan anak muda itu tentu orang yang sama sekali tidak mengenalnya.

Namun yang perasaanya terguncang bukan saja anak muda yang menangis itu, tetapi tiga orang anak muda yang telah dihajar oleh ketiga pengawal anak muda yang menangis itupun menjadi sangat gelisah menghadapi kenyataan itu. Mereka tidak dapat mengerti, kenapa kedua anak muda yang berpakaian kusut itu tidak berbuat sesuatu atas diri mereka ketika mereka memperolok-olokkan orang tua yang bongkok yang justru mencegahnya. Jika saja kedua anak muda itu tidak dapat dikendalikan oleh orang yang bongkok itu, maka mereka bertiga akan mengalami nasib yang lebih buruk lagi.

Sementara itu, Laksana telah melepaskan anak muda yang menangis itu. Sedangkan Manggada pun telah bergeser menjauh. Ki Pandi yang telah memberikan obat kepada salah seorang pengawal yang dadanya terluka di dalam itupun telah bangkit dan berdiri pula.

"Marilah...!” berkata Ki Pandi "Kita tinggalkan saja tempat ini. Kita tidak mempunyai kepentingan apa-apa lagi disini."

Manggada telah melangkah mendekati Ki Pandi. Tetapi Laksana justru melangkah mendekati ketiga orang anak muda yang telah memperolok-olokkan Ki Pandi yang masih saja bingung manghadapi kenyataan itu.

Laksana yang kemudian berdiri di hadapan ketiga orang anak muda itu berkata, “Sekarang kalian bangkit berdiri."

Ketiga orang anak muda itupun benar-benar ketakutan. Karena itu, merekapun dengan gemetar telah bangkit berdiri pula, betapapun tubuh mereka masih merasa nyeri. Tiba-tiba Laksana telah menyambar ikat kepala mereka, membantingnya di tanah dan menginjaknya. Sambil mengusap kepala ketiga orang anak muda itu ia berkata,

“Tiba-tiba saja aku ingin mengusap kepala kalian. Kepala anak-anak muda yang tidak lebih dari pengecut. Kenapa kalian sama sekali tidak berani melawan? Apakah kalian hanya berani memperolok-olokkan orang tua yang kau anggap tidak berdaya? Atau kau anggap pengemis sebagaimana dikatakan oleh anak cengeng itu."

Ketiganya sama sekali tidak menjawab. Merekapun sama sekali tidak berbuat apa-apa ketika kepala mereka diguncang-guncang oleh Laksana. Ketiga anak muda itu melangkah mundur. Wajah mereka menjadi tegang. Sementara anak muda yang baru masuk bersama dua orang itu masih berdiri di pintu kedai itu.

Ki Pandi hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Sementara Manggada hanya memandanginya saja. Namun akhirnya Ki Pandi itu memberinya isyarat untuk meninggalkan anak-anak muda itu. Bertiga merekapun kemudian bersiap meninggalkan kedai itu dengan meninggalkan berbagai macam kesan di hati orang-orang yang menyaksikannya.

Bahkan orang yang umurnya sebaya dengan Ki Pandi itu melangkah mendekatinya sambil berkata, “Maafkan aku Ki Sanak. Aku tidak mengenal Ki Sanak sebelumnya, Jika Ki Sanak tidak berkeberatan, apakah Ki Sanak dapat memberitahukan kepadaku, siapa Ki Sanak itu sebenarnya?"

Ki Pandi tersenyum. Katanya, “Kami adalah pengembara yang tidak berarti apa-apa. Tetapi peristiwa ini telah sangat menarik perhatian kami, sehingga agaknya kami akan sering lewat jalan ini."

Demikianlah, sejenak kemudian maka Ki Pandi telah mengajak Manggada dan Laksana meninggalkan tempat itu. Merekapun kemudian melangkah menyusuri jalan panjang. Namun kemudian mereka berbelok memasuki jalan yang lebih kecil.

Sambil berjalan meninggalkan tempat itu, mereka menyadari, bahwa apa yang terjadi telah menjadi tontonan orang banyak. Bukan saja orang-orang yang ada di kedai itu. Tetapi orang-orang yang kebetulan lewat, juga terhenti untuk menyaksikan apa yang terjadi.

Bahkan Ki Pandi, Manggada dan Laksana telah bertemu dengan empat orang prajurit berkuda yang berpacu menuju ke arah yang berlawanan. Sebenarnyalah bahwa ternyata ada juga yang melaporkan peristiwa itu ke sebuah barak prajurit, sehingga Senapati yang mendapat laporan itu telah mengirimkan empat orang prajurit berkuda untuk melerai keadaan. Namun ketika mereka sampai di kedai itu, maka perkelahianpun sudah berhenti.

Tetapi para prajurit itu masih menemukan orang-orang yang telah terluka serta anak-anak muda yang kesakitan. Juga anak muda yang telah menangis itu meskipun sudah berhasil menguasai gejolak perasaannya sehingga tangisnya pun telah berhenti.

Dari orang-orang yang masih mengerumuni halaman kedai itu meskipun dari jarak yang tidak terlalu dekat, para prajurit telah mendapat keterangan apa yang telah terjadi. Karena itu, para prajurit itu minta pemilik kedai itu datang ke barak untuk memberikan keterangan tentang perkelahian di kedainya itu.

"Tetapi tiga di antara para pelaku itu sudah pergi...” berkata pemilik kedai itu.

"Nanti di barak kau akan dimintai keterangan selengkapnya.” berkata prajurit yang tertua.

Sementara itu Ki Pandi, Manggada dan Laksana sudah berjalan semakin jauh. Para prajurit itu memang tidak berusaha mencarinya. Merekapun sudah mengenali anak muda dengan ketiga orang pengawal itu, sehingga para prajurit itu sudah mengira bahwa anak muda itulah yang bersalah. Namun ia agaknya telah terbentur pada sekelompok orang berilmu tinggi, sehingga ketiga orang pengawalnya itu tidak berdaya sama sekali.

Kepada anak muda yang cengeng itu prajurit yang tertua berkata, “Kaupun setiap saat diperlukan harus datang ke barak."

Anak muda yang sudah tidak menangis lagi itu berkata, “Aku akan memberitahukan kepada ayahku atas perlakuan kalian."

Prajurit itu ternyata telah tersinggung. Meskipun mereka mengetahui siapakah ayah anak itu, serta hubungannya yang luas dengan para Senapati dan pemimpin di Pajang, namun dalam menjalankan tugasnya, prajurit itu tidak mau direndahkan. Karena itu, maka prajurit yang tertua itu mendekatinya sambil berkata,

“Coba, katakan sekali lagi. Maka aku akan menyumbat mulutmu dengan pedangku."

Anak muda itu menjadi ketakutan kembali. Bahkan mulutnya mulai bergetar dan matanya mulai mengembun lagi. Tetapi prajurit itu tidak mau memperpanjang persoalan. Iapun kemudian telah mendekati tiga orang anak muda yang masih kesakitan sambil berkata, “Kalianpun harus bersiap-siap dan datang jika kalian kami panggil"

"Kami akan melakukannya.” jawab ketiganya hampir berbareng.

Demikianlah, maka para prajurit itupun meninggalkan kedai itu. Sedangkan orang-orang yang berkerumunpun telah pergi pula satu persatu. Sedangkan ketiga anak muda yang kesakitan itupun dengan sisa tenaganya berusaha untuk menjauhi tempat itu pula.

Yang tinggal kemudian hanyalah anak muda dan ketiga orang pengawalnya. Seorang yang berpura-pura tidak dapat bangkit itu telah berdiri. Yang lainpun mulai dapat bangkit dan duduk sambil bersandar pada tangannya. Pengawal yang dadanya terluka di dalam itu sudah menjadi bertambah baik pula keadaannya setelah Ki Pandi mengobatinya.

Pemilik kedai dan pelayan-pelayannyalah yang kemudian berusaha menolong mereka dan membawanya ke dalam kedai.

Dalam pada itu, Ki Pandi, Manggada dan Laksana sudah menjadi semakin jauh. Mereka tidak lagi mengikuti jalan induk yang akan sampai ke pintu gerbang kota yang lain. Tetapi mereka telah memilih jalan yang lebih kecil dan keluar dari kota Pajang lewat pintu gerbang samping yang lebih kecil.

"Satu hal yang tanpa kalian sengaja tetapi dapat memberikan petunjuk penting bagi kalian.” berkata Ki Pandi.

"Tentang apa, Ki Pandi?” bertanya Manggada.

"Kalian masih belum mampu menilai dengan tepat kemampuan kalian sendiri.” jawab Ki Pandi.

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Mereka memang masih harus menilai lagi kemampuan mereka yang sudah meningkat setelah mereka berada di hutan dari purnama sampai ke purnama.

Dalam pada itu, Ki Pandipun berkata pula "Agaknya angger Manggada masih terkejut melihat serangannya yang hampir saja membunuh orang bertubuh raksasa itu. Seandainya daya tahan orang itu tidak cukup tinggi, maka ia tentu sudah tidak tertolong lagi."

Manggada mengangguk-angguk. Sebenarnyalah bahwa ia masih belum tahu pasti, seberapa tinggi tataran ilmu serta kekuatan tenaganya setelah ia melakukan Tapa Ngidang. Namun hal itu juga tergantung kepada kemampuan serta daya tahan lawannya. Tetapi Manggada dan Laksana memang menyadari, bahwa mereka harus melakukan pengamatan lebih seksama tentang peningkatan ilmu mereka itu.

"Kita akan melakukannya setelah kalian berada di rumah nanti...” berkata Ki Pandi.

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk mengiakan. Dengan sungguh-sungguh Manggada berkata “Kami tentu akan sangat berterima kasih Ki Pandi. Jika pada suatu saat paman melihat bagaimana kami dapat meningkatkan kemampuan kami, maka paman tentu akan sangat bergembira. Sudah tentu ayah juga."

"Semuanya itu sudah tentu sebagian besar tergantung kepada kalian berdua sendiri. Kemauan kalian serta tenaga dasar yang ada di dalam diri kalian” berkata Ki Pandi. Lalu katanya pula "Tetapi tentu saja dengan harapan, bahwa apa yang telah kalian miliki itu akan berarti bagi sesama. Bukan sebaliknya justru merugikan sesama."

Manggada dan Laksana masih saja mengangguk-angguk. Beberapa kali mereka mendengar petunjuk itu. Bukan saja dari Ki Pandi, tetapi juga dari guru mereka, dari orang tua mereka dan bahkan dari Kiai Gumrah.

Demikianlah, mereka bertigapun telah melanjutkan perjalanan mereka justru menjauhi Pajang. Mereka telah berjalan lagi di antara bulak-bulak sawah. Kehidupan mulai nampak berbeda dari kehidupan di kota yang sibuk. Jalan-jalan tidak lagi terlalu ramai. Tatanan rumah dan halaman. Bahkan sifat dan kebiasaan penghuni-penghuninya.

Semakin jauh mereka dari kota, maka mereka tidak lagi merasa dikelilingi oleh kesibukan dan ketergesa-gesaan. Tetapi juga tidak lagi dibayangi oleh kehidupan anak-anak muda yang menggelisahkan, meskipun jumlah mereka sebenarnya terhitung kecil. Meskipun sebenarnya kenakalan itu ada dimana-mana, tetapi karena kahidupan di kota yang berbeda dengan kehidupan di luarnya, maka ujud kenakalannyapun berbeda pula.

Dalam pada itu, agaknya Ki Pandipun sedang memikirkan sikap anak-anak muda yang baru saja ditemuinya. Dengan nada rendah Ki Pandi itupun berkata “Angger berdua. Di sepanjang perjalanan kita, maka kita sudah melihat berbagai macam sikap dan sifat anak anak muda. Anak anak muda yang ada di sekitar Kiai Gumrah. Kau kenal anak-anak muda yang nakal bahkan keterlaluan sehingga sudah merugikan banyak orang seperti Rambatan. Tetapi kau kenal juga anak-anak muda yang baik di padukuhan itu. Kau kenal juga Darpati dan Winih."

Manggada dan Laksana menjadi termangu-mangu sejenak. Ternyata banyak hal yang diketahui oleh Ki Pandi. Agaknya Ki Pandi dapat membaca perasaan anak-anak itu. Katanya kemudian,

"Aku mengetahuinya dari sedikit pengamatanku. Namun juga dari ceritera Kiai Gumrah.” ia berhenti sejenak, lalu "Kau lihat anak-anak muda di perjalanan kita ke Pajang, sebelum dan sesudah kita melampaui hutan itu. Sehingga dengan demikian, maka kau akan dapat membuat perbandingan-perbandingan. Justru kalian juga termasuk anak-anak muda, maka kalian tentu mempunyai kesempatan untuk menentukan sikap dan pilihan bagi jalan kehidupan kalian."

Manggada dan Laksana itupun mengangguk-angguk. Sementara Ki Pandi berkata “Memang ada di antara anak-anak muda yang memilih untuk hidup dalam kesenangan dan kepuasan keduniawian yang dapat langsung dirasakannya sesaat. Tetapi ada yang meletakkan harapannya pada masa depan. Bahkan ada yang memikirkan ruang lingkup kehidupan yang lebih luas dari kehidupan dirinya sendiri."

Manggada dan Laksana mendengarkan keterangan itu dengan bersungguh-sungguh pula. Agaknya Ki Pandi memang tersentuh melihat kehidupan anak-anak muda yang dijumpainya dalam perjalanan hidupnya.

Dalam pada itu, maka merekapun melangkah semakin lama semakin jauh dari Pajang. Mereka sudah berada di antara hijaunya tanaman di sawah dan pategalan. Angin terasa semilir berhembus mengguncang batang-batang padi muda yang nampak segar terendam di air yang tergenang.

Wajah kedua anak muda itu manjadi semakin cerah. Lebih-lebih lagi Manggada. Mereka sudah memasuki jalan yang langsung menuju padukuhannya. Kampung halamannya. Laksanapun pernah mengunjungi pamannya itu. Meskipun itu sudah lama terjadi, tetapi lamat-lamat ia masih dapat mengenali jalan yang dilaluinya, karena agaknya masih belum banyak berubah.

"Perjalanan kita sudah menjadi semakin dekat...” berkata Manggada dengan wajah yang mamancarkan kegembiraannya.

Ki Pandi mengangguk-angguk. Katanya “Keluarga kalian tentu akan bergembira pula menerima kedatangan kalian."

"Ya. Jika saja ayah tahu bahwa kami sudah agak lama berangkat dari rumah paman, maka ayah dan ibu tentu sudah menunggu-nunggu dengan cemas. Kedatangan kami tentu akan sangat menggembirakan mereka” desis Manggada.

Ki Pandi mengangguk-angguk. Tetapi rasa-rasanya ia akan ikut bergembira melihat pertemuan antara anak-anak muda itu dengan kedua orang tuanya. Demikianlah ketika mereka mendekati padukuhan Gemawang yang terletak di Kademangan Kalegen, maka merekapun menjadi berdebar-debar. Sudah lama Manggada meninggalkan Kademangan Kalegen, sementara Laksana juga pernah mengunjungi pamannya ketika ia menginjak remaja.

Terasa angin yang sejuk berhembus perlahan menggoyang dedaunan. Padukuhan Gemawang yang merupakan bagian dari Kademangan Kalegen nampak tenang dikejauhan. Pohon nyiur yang berdiri berjajar di batas padukuhan seakan-akan melambai menyambut kedatangan Manggada dan sepupunya Laksana.

Ketika mereka memasuki regol padukuhan di bawah lindungan bayangan pepohonan, Manggada menarik nafas sambil berdesis, yang seakan-akan hanya ditujukan kepada dirinya sendiri saja, "Alangkah sejuknya udara di kampung halaman"

Namun Laksana yang mendengarnya berdesis juga "Ya, alangkah sejuknya!"

Bahkan Ki Pandi pun menyahut. “Setelah kita berjemur dipanasnya matahari menjelang sore hari, maka berlindung di bawah bayang pepohonan memang terasa sejuk sekali"

Laksana yang justru berjalan di depan berkata “Aku masih ingat dengan jelas, kemana kakiku harus melangkah."

Manggada tertawa. Katanya “Kau tentu masih ingat jalan-jalan di padukuhan Gemawang. Bahkan di kademangan Kalegen. Bukankah kau pernah berada disini beberapa lama ketika itu"

"Ya” jawab Laksana "Belum banyak terdapat perubahan sampai sekarang ini."

Namun tiba-tiba Manggada mengerutkan dahinya ketika ia melihat seorang anak kecil berlari ketakutan melihat kehadiran mereka. Bahkan kemudian ia sempat memperhatikan halaman di sebelah menyebelah jalan. Dari regol-regol halaman ia melihat beberapa buah rumah yang pintunya tertutup rapat. Bahkan halaman-halaman rumah dan jalan-jalanpun rasa-rasanya terlalu sepi. Tidak seorangpun dijumpainya di jalan-jalan. Anak kecil yang dilihatnya justru berlari ketakutan dan hilang di balik regol.

Ketika ia berpaling kepada Ki Pandi, maka dilihatnya dahi Ki Pandipun berdesis “Apakah sejak dahulu padukuhan ini terlalu lengang?"

"Tidak” jawab Manggada "Padukuhan ini terhitung padukuhan yang besar. Jalan ini merupakan jalan induk yang paling banyak dilalui orang di padukuhan ini. Betapa sepinya sebuah padukuhan, tetapi tentu tidak sesepi ini."

Ki Pandi mengangguk-angguk. Katanya, “Apakah ada sesuatu yang membuat padukuhan ini terlalu sepi?"

"Memang mungkin Ki Pandi. Tetapi apa?” sahut Manggada.

Ki Pandi mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun bertanya “Apakah rumahmu berada di sisi lain dari padukuhan ini?” bertanya Ki Pandi.

"Rumah kami ada ditengah-tengah padukuhan” jawab Manggada.

Ki Pandi mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak berbicara apapun lagi. Ketiga orang itu berjalan semakin ke dalam. Namun suasananya masih saja tetap lengang. Mereka semakin berdebar-debar ketika melihat seorang anak yang akan berlari melintasi jalan padukuhan. Tetapi ketika anak itu melihat mereka, maka iapun segera berbalik dan berlari masuk ke dalam regol halaman rumahnya.

Ketiga orang itu memperhatikan keadaan itu dengan dahi yang berkerut. Teka-teki itu rasa-rasanya semakin menggelitik. Namun ketegangan perasaan mereka menjadi berkurang ketika mereka melihat seorang yang berjalan sambil membawa cangkul di pundaknya. Orang itupun nampaknya agak tergesa, sehingga langkahnya pun menjadi panjang-panjang.

"Paman Wangking...” desisi Manggada yang mempercepat langkanya pula.

Beberapa langkah sebelum mereka berpapasan, orang itu tiba-tiba telah berbelok turun ke jalan yang lebih kecil. Namun Manggada itu berlari-lari mandapatkannya sambil memanggil namanya.

"Paman. Paman Wangking..."

Orang itu memang berhenti. Wajahnya menjadi tegang. Namun dengan tajamnya ia memandangi Manggada yang berlari-lari mendapatkannya sambil bertanya “Paman, apakah paman tidak ingat lagi kepadaku?"

"Kau siapa?” bertanya orang yang dipanggilnya Wangking itu.

"Aku Manggada..."

"Manggada, he kaukah itu?"

"Ya paman. Aku Manggada. Paman ingat sekarang!"

Orang itu meletakkan cangkulnya. Ditepuknya pundak Manggada sambil berkata, “Kau sudah sebesar ini sekarang. Hampir saja aku tidak mengenalmu lagi. Dimana saja kau selama ini?"

"Aku berada di rumah paman” jawab Manggada. Lalu katanya “Ini adik seppupuku. Dan ini Ki Pandi. Seseorang yang banyak membantuku dalam perjalanan hidupku"

Orang itu berpaling kepada Ki Pandi sambil mengangguk hormat. Sementara itu Ki Pandipun berkata “Adalah kebetulan bahwa kami menempuh perjalanan yang searah!"

"Jika ada kesempatan, silahkan singgah di rumahku Ki Pandi” berkata orang itu "Rumahku tinggal beberapa langkah saja dari sini."

"Terimakasih Ki Wangking. Besok, aku akan memerlukan singgah” jawab Ki Pandi.

"Aku sudah agak lama meninggalkan ayah dan ibu, paman. Aku ingin melihatnya lebih dahulu. Besok aku antar Ki Pandi singgah di rumah Ki Wangking.” berkata Manggada. Namun kemudian Iapun bertanya “Tetapi rasa-rasanya padukuhan ini menjadi sangat sepi sekarang, paman. Biasanya rumah-rumah belum menutup pintu di saat seperti ini..."

"Sebentar lagi senja turun...” jawab Ki Wangking.

"Ya. Tetapi suasananya terasa lain sekali dengan hari-hari yang pernah aku saksikan di padukuhan ini beberapa tahun yang lalu.” berkata Manggada kemudian "Bahkan aku melihat anak-anak yang ketakutan melihat kami lewat."

Ki Wangkingpun melihat sekelilingnya. Rasa-rasanya memang aneh, bahwa orang itu nampak gelisah. Padahal sejak dilahirkan, Ki Wangking tinggal di padukuhan itu. Bahkan kemudian katanya. “Baiklah Manggada. Pulanglah. Ayah dan ibumu tentu sudah menunggu." namun kemudian ditambahkannya "Menurut pengetahuanku di rumahmu kini sedang ada tamu. Tetapi aku kurang tahu, siapakah tamu di rumahmu itu."

"Tamu?” bertanya Manggada.

"Ya. Tetapi saatnya memang agak kurang tepat. Tetapi tamu di rumahmu itu tentu tidak tahu apa yang sedang terjadi di padukuhan ini.” berkata Ki Wangking.

"Apakah yang sebenarnya terjadi?” bertanya Manggada.

"Ayahmu akan dapat mengatakan kepadamu nanti. Cepat-cepat sajalah pulang.” berkata Ki Wangking. Namun kemudian iapun berkata dengan nada gelisah "Marilah. Aku juga ingin segera sampai ke rumah."

"Terima kasih, paman.” sahut Manggada.

Ternyata Ki Wangking itupun segera melangkah sambil menjinjing cangkulnya "Marilah anak-anak muda. Marilah Ki Pandi. Aku tunggu kalian singgah"

Manggada, Laksana dan Ki Pandi menjadi semakin heran. Namun kemudian merekapun segera melanjutkan langkah mereka. Mereka justru semakin ingin cepat-cepat sampai ke rumah Manggada untuk mengetahui apa yang tengah terjadi di padukuhan itu.

Di tikungan, mereka melihat seorang perempuan melintas. Cepat sekali. Namun Manggada segera mengenal perempuan itu. Karena itu, maka iapun telah memanggilnya "Bibi, bibi Gangsal..."

Perempuan itu memang berpaling. Ketika ia melihat Manggada maka iapun berkata tertahan, "Apakah aku berhadapan dengan Manggada yang sering mamanjat pohon duwet di rumah sebelah?"

"Ya bibi. Bukankah rumah sebelah itu rumah Pamrih, anak yang umurnya sebayaku kawan memanjat pohon duwet itu!"

"Manggada...!” Perempuan itu mengangguk-angguk. "Kau sudah begitu besar. Tetapi kemana kau selama ini?” bertanya perempuan itu.

"Aku berada di rumah paman, bibi” jawab Manggada.

Perempuan itu nampaknya masih ingin bertanya lebih panjang. Tetapi tiba-tiba wajahnya berkerut. Katanya “Pulanglah ngger. Bukankah kau belum sampai ke rumahmu?"

"Belum bibi” jawab Manggada.

"Nah, pulanglah, sebentar lagi senja turun.” berkata perempuan itu Aaku juga harus segera pulang."

Manggada tidak sempat memperkenalkan saudara sepupunya dan Ki Pandi. Namun bahwa semua orang nampaknya merasa gelisah, menjadi semakin terasa. Sehingga karena itu, maka Manggada pun semakin ingin cepat sampai di rumah.

Demikianlah, mereka bertiga tidak berhenti lagi. Mereka tidak lagi bertemu dengan seorang pun. Ketika senja turun, maka semua pintu rumah menjadi semakin tertutup rapat. Mereka bertiga hanya dapat melihat cahaya lampu minyak yang menyusup di antara lubang dinding yang tidak rapat. Sementara regol-regol halaman pada umumnya memang tidak tertutup rapat.

Ketika Manggada sampai dimuka regol halaman rumahnya, maka pintu rumahnyapun sudah tertutup. Tetapi pintu regolnya masih sedikit terbuka. Rumah Manggada adalah sebuah rumah yang sedang. Lengkap dengan pringgitan, pendapa dan gandok. Dua buah seketheng di sebelah-menyebelah pendapa memisahkan longkangan dengan halaman depan yang memang agak luas.

Jantung Manggada terasa bergejolak semakin cepat. Kepada Ki Pandi Manggada itu berkata “Inilah rumahku, Ki Pandi...”

Ki Pandi mengangguk-angguk. Katanya “Rumah yang bagus!"

"Rumah yang sederhana...” sahut Manggada.

"Tetapi rumahmu terpelihara dengan rapi, Manggada. Bersih dan terawat baik..."

"Ayah dan ibu memang senang merawat rumah, termasuk halamannya dan tanam-tanaman di atasnya!” jawab Manggada.

Ki Pandi mengangguk-angguk, sementara itu senjapun menjadi semakin temaram. Di pendapa rumah orang tua Manggada, lampu sudah menyala. Demikian pula di serambi gandok dan bahkan di seketheng. Namun rumah itu nampak sepi. Ketiga orang itupun kemudian memasuki halaman rumah. Manggada mempersilahkan Ki Pandi naik ke pendapa dan duduk di atas tikar pandan yang memang sudah digelar di pringgitan.

Manggada yang menjadi berdebar-debar mendekati pintu pringgitan. Sementara Laksana ikut saja di belakangnya. Perlahan-lahan Manggada mengetuk pintu. Semula ia ingin mengganggu kedua orang tuanya dan mengejutkan mereka. Namun karena suasana nampaknya tidak menguntungkan, maka niatnya diurungkan. Ia tidak mau benar-benar membuat orang tuanya benar-benar terkejut.

Ternyata ketukannya itu segera didengar oleh orang yang berada di belakang pintu. Sesaat Manggada dan Laksana mendengar orang-orang berbisik di dalam. Baru kemudian dengan suara yang ragu terdengar seseorang bertanya, “Siapa di luar?"

Meskipun sudah lama Manggada meninggalkan rumahnya, namun Manggada masih ingat benar. Suara itu suara ayahnya. Karena itu, maka Manggada itupun segera menyahut. “Ini kami ayah. Manggada dan Laksana."

"Manggada dan Laksana!" terdengar suara perempuan. Ibu Manggada.

Sejenak kemudian pintu pringgitan itupun terbuka. Dengan tergesa-gesa seseorang telah mengangkat selarak pintu. Ketika pintu dibuka, maka ayah dan ibu Manggada berdiri di muka pintu. Demikian mereka melihat Manggada, maka ibunya segera memeluknya, sementara ayah Manggada memegangi kedua bahu Laksana sambil mengguncang-guncangnya. Seperti anaknya, maka Laksana nampak tumbuh menjadi anak muda yang kokoh kuat. Tangan ayah Manggada segera merasakan betapa kerasnya tulang-tulang Laksana dan betapa liat kulitnya.

Namun yang kemudian terkejut adalah Manggada dan Laksana. Ternyata di belakang ayah dan ibu Manggada berdiri ayah dan ibu Laksana.

"Ayah dan ibu ada disini?” bertanya Laksana gagap.

Ibu Laksanapun memeluknya pula. Setitik air mata menetes di bahu anaknya. Ia menahan tangis ketika melepas anaknya itu pergi bersama Manggada. Tetapi setelah kegelisahan mencengkam jantungnya, maka kini ia bertemu lagi dengan anaknya.

"Marilah, masuklah..." ayah Manggada mampersilahkan keduanya.

Tetapi Manggada berkata, “Ayah. Aku datang bersama seseorang. Seseorang yang telah banyak membantu dan bahkan melindungi aku selama dalam perjalanan."

Ayah Manggada mengerutkan dahinya. Namun kemudian katanya “Persilahkan ia masuk...!"

Manggada pun kemudian melangkah mendekati Ki Pandi diikuti oleh ayahnya. Ki Pandi pun kemudian telah bangkit berdiri pula. Dengan hormat ia mengangguk dalam-dalam. Demikian pula ayah Manggada, sementara Manggada berkata, “Ki Pandi. Ini Ayahku. Kebetulan ayah dan ibu Laksana pun ada disini pula."

Kepada ayahnya, Manggada telah memperkenalkan Ki Pandi pula. Dikatakannya bahwa selama dalam perjalanan Ki Pandi telah banyak berbuat bagi Manggada dan Laksana.

"Aku mempersilahkan Ki Pandi duduk di dalam saja!” ayahnya mempersilahkan.

Memang tidak terbiasa bagi orang yang baru dikenalnya langsung dipersilahkan duduk di ruang dalam. Biasanya seorang tamu diterima di pendapa atau di pringgitan. Tetapi Ki Pandi yang sudah menangkap suasana di padukuhan itupun mengerti, kenapa ia dipersilahkan masuk ke ruang dalam. Demikianlah, maka sejenak kemudian, mereka sudah berada di ruang dalam rumah keluarga Manggada. Suasana yang gembira meliputi pertemuan itu.

"Aku sudah hampir sepuluh hari berada di rumah ini” berkata Ki Citrabawa kepada Manggada dan Laksana. "Sejak kalian meninggalkan rumah kami, maka kami tidak lagi mendengar kabar beritanya. Kami berharap kalian datang menengok kami. Tetapi sampai kegelisahan kami memuncak, kalian sama sekali tidak muncul. Ketika kami tidak tahan lagi, terutama ibumu, maka kami telah pergi menyusul kalian. Demikian kami sampai di rumah ini, kegelisahan itu justru semakin bertambah, karena ternyata kalian belum sampai di rumah ini.”

"Maafkan kami paman.” jawab Manggada dengan nada rendah.

"Ketika paman dan bibimu datang kemarin, Manggada, serta menceritakan bahwa kalian sudah lama berangkat meninggalkan rumah pamanmu, jantungku dan jantung ibumu rasa-rasanya akan terlepas dari tangkainya” berkata ayah Manggada.

Manggada dan Laksana hanya menundukkan kepalanya saja. Mereka memang bersalah, karena dengan demikian maka mereka telah membuat kedua keluarga mereka sangat gelisah. Apalagi setelah Ki Citrabawa datang mengunjungi Ki Kertasana, ayah Manggada.

"Aku bertemu dengan kedua anak muda ini dibelakang hutan Jatimalang.” berkata Ki Pandi menyela.

"Hutan Jatimalang...!" Ki Citrabawa mengulang hampir tidak percaya "Kenapa kalian sampai ke belakang hutan Jatimalang?"

"Ceriteranya panjang paman.” jawab Manggada.

"Baiklah” berkata Ki Citrabawa "Besok kalian harus berceritera panjang sepanjang perjalanan kalian."

"Baik paman. Namun yang dapat kami beritahukan, seandainya kami tidak bertemu dengan Ki Pandi dan Ki Ajar Pangutan, mungkin kami memang tidak akan dapat sampai ke rumah ini..."

Tetapi Ki Pandi pun menyahut. “Aku hanya menjadi penunjuk jalan karena agaknya keduanya kebingungan.”

"Kami mengucapkan terima kasih Ki Pandi” berkata Ki Kertasana sambil mengangguk-angguk. Lalu katanya selanjutnya "Agaknya mereka telah bertualang."

"Itulah yang kami cemaskan, kakang!” sahut Ki Citrabawa "Karena itu, aku sudah banyak berpesan ketika mereka meninggalkan rumahku, bahwa mereka tidak perlu merasa perlu untuk mencoba kemampuan mereka terhadap siapapun dan terhadap apapun."

Manggada dan Laksana hanya berdiam diri saja. Namun Ki Pandi lah yang kemudian berkata, “Mereka memang tidak berusaha untuk mencoba ilmu mereka dengan siapapun. Tetapi agaknya mereka tertarik untuk menjenguk betapa jauhnya cakrawala. Jika kemudian mereka harus mempertahankan dirinya, itu adalah perbuatan yang wajar bagi setiap orang yang merasa terancam. Namun satu hal yang dapat dibanggakan dari kedua anak muda itu adalah, dorongan nurani mereka untuk membantu kesulitan orang lain...!"

Ki Kertasana dan Ki Citrabawa mengangguk-angguk. Satu kebanggaan memang bergejolak di dalam dada orang-orang tua Manggada dan Laksana itu. Namun Ki Kertasana itu berkata, “Tetapi selama ini dada kami bagaikan dipanggang di atas api."

Ki Pandi tersenyum, katanya. “Selama perjalanan mereka, kedua anak muda ini tentu mendapat banyak sekali pengalaman meskipun kadang-kadang cukup berbahaya. Namun Tuhan Yang Maha Pengasih masih tetap melindungi mereka."

Dalam pada itu, maka Nyi Kertasana dan Nyi Citrabawa pun telah minta diri pergi ke dapur untuk membuat minuman dan menyiapkan makan malam. Demikian kedua orang perempuan itu meninggalkan ruang dalam, maka Manggada yang sudah tidak sabar lagi itupun bertanya,

“Ayah. Ketika kami memasuki padukuhan Gemawang ini terasa suasananya terasa agak berbeda. Apakah hal seperti itu hanya terjadi di padukuhan Gemawang atau diseluruh Kademangan Kalegen?”

"Suasana apa yang kau rasakan?” bertanya Ki Kertasana.

"Lengang dan gelisah” jawab Manggada.

Ki Kertasana mengangguk-angguk. Katanya. “Ya. Suasana itu telah mencengkam padukuhan ini. Meskipun juga sedikit terasa di padukuhan lain di Kademangan Kalegen, tetapi tidak sedalam di padukuhan Gemawang."

"Kenapa demikian ayah? Apa yang telah terjadi disini?” bertanya Manggada pula.

"Satu kebetulan, dalam suasana yang mencengkam itu, paman dan bibimu datang kemari, sehingga mereka tidak dapat melihat-lihat suasana yang sewajarnya di padukuhan ini. Apalagi karena kalian berdua masih belum sampai di rumah. Kegelisahan yang mencengkam padukuhan ini masih ditambah lagi dengan kegelisahan yang mencuat dari dada ini."

Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Namun kemudian keduanya telah menunduk lagi. Sementara itu, Ki Kertasana melanjutkan,

"Kegelisahan ini bermula dari berita bahwa dua orang kakak beradik yang sudah lama hilang dari padukuhan ini akan kembali lagi...

Selanjutnya,
Sejuknya Kampung Halaman Bagian 04

Sejuknya Kampung Halaman Bagian 03

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
LAKSANA yang mendengar teriakan-teriakan itu justru tidak tahan lagi. Justru karena lawannya sudah tidak berdaya. Karena itu, maka ketika anak muda itu berteriak sekali lagi dan bahkan lebih keras, maka Laksana telah meloncat menghampirinya. Dengan cepat tangannya telah menggapai baju anak itu dan menariknya sambil berkata,

“Kenapa kau hanya berteriak-teriak saja. Kenapa bukan kau sendiri yang memasuki arena dan berkelahi?"

Anak muda itu terkejut. Ia tidak pernah mengalami perlakuan yang demikian, karena itu, maka iapun berteriak "Lepaskan bajuku. Kau akan menyesal dengan perlakuanmu...!"

Tetapi Laksana tidak melepaskannya. Justru tangannya terayun menampar wajah anak muda itu sambil membentak, "Diam kau, atau aku buat kau terdiam...!"

Tamparan di wajahnya itu benar-benar mengejutkannya. Bagaimana mungkin hal seperti itu terjadi. Seorang anak muda yang berpakaian kumal telah berani menamparnya.

Tetapi Laksana masih saja memegangi bajunya sambil membentak-bentaknya, "Ayo. Aku tantang kau berkelahi. Mau tidak mau..."

Sebelum anak itu menjawab, maka Laksana telah menyeretnya dan mendorongnya ke halaman. Demikian kerasnya dorongan Laksana sehingga anak muda itu telah jatuh terjerembab. Wajahnya terantuk tanah, sehingga menjadi kotor karenanya.

Laksana yang berdiri di dekatnya membentaknya, “Bangkit. Kita berkelahi..."

Anak itu benar-benar menjadi bingung. Orangnya yang terakhirpun telah terbaring pula di tanah. Sebenarnya Manggada tahu, bahwa lawannya itu masih mungkin untuk bangkit dan memberikan perlawanan. Tetapi agaknya orang itu tidak melihat lagi harapan untuk dapat bertahan, sehingga karena itu, ketika ia terjatuh, maka iapun berpura tidak lagi mampu berdiri.

Karena anak muda itu masih belum bangkit, maka Laksana telah menarik lagi bajunya. Sekali lagi Laksana menampar wajah anak muda itu. Tiba-tiba saja anak muda itu telah kehilangan pegangan. Ia tidak terbiasa berbuat sesuatu selain berteriak-teriak memberikan perintah. Ketika kemudian orang-orang yang mengawalnya itu tidak berdaya, maka anak muda itupun tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Karena itu, ketika Laksana mengguncang bajunya, maka tiba-tiba saja anak itu menagis.

"Ampun. Aku minta ampun...!"

Hampir saja Laksana tidak mampu mengendalikan dirinya. Tetapi kemudian Laksana itu menyadari, bahwa anak muda itu telah benar-benar menjadi ketakutan. Karena itu, maka Laksana pun telah melepaskannya dan berkata,

“Aku akan datang lagi ke lingkungan ini. Jika kau masih berbuat sebagaimana kau lakukan sekarang, maka aku akan menghancurkanmu. Katakan kepada ayahmu, bahwa aku akan tetap berbuat tanpa harus tunduk kepadamu dan kepada ayahmu. Disini tentu ada paugeran yang berlaku bagi setiap orang. Termasuk kau dan ayahmu, sehingga kalian tidak dapat berbuat sekehendakmu sendiri."

Anak muda itu tidak dapat menjawab sama sekali. Tangisnya justru menjadi-jadi. Rasa-rasanya anak muda itu tidak lagi merasa malu. Orang yang menyaksikan peristiwa itu memang menjadi berdebar-debar. Mereka yakin bahwa orang-orang yang berani melawan anak muda itu tentu orang yang sama sekali tidak mengenalnya.

Namun yang perasaanya terguncang bukan saja anak muda yang menangis itu, tetapi tiga orang anak muda yang telah dihajar oleh ketiga pengawal anak muda yang menangis itupun menjadi sangat gelisah menghadapi kenyataan itu. Mereka tidak dapat mengerti, kenapa kedua anak muda yang berpakaian kusut itu tidak berbuat sesuatu atas diri mereka ketika mereka memperolok-olokkan orang tua yang bongkok yang justru mencegahnya. Jika saja kedua anak muda itu tidak dapat dikendalikan oleh orang yang bongkok itu, maka mereka bertiga akan mengalami nasib yang lebih buruk lagi.

Sementara itu, Laksana telah melepaskan anak muda yang menangis itu. Sedangkan Manggada pun telah bergeser menjauh. Ki Pandi yang telah memberikan obat kepada salah seorang pengawal yang dadanya terluka di dalam itupun telah bangkit dan berdiri pula.

"Marilah...!” berkata Ki Pandi "Kita tinggalkan saja tempat ini. Kita tidak mempunyai kepentingan apa-apa lagi disini."

Manggada telah melangkah mendekati Ki Pandi. Tetapi Laksana justru melangkah mendekati ketiga orang anak muda yang telah memperolok-olokkan Ki Pandi yang masih saja bingung manghadapi kenyataan itu.

Laksana yang kemudian berdiri di hadapan ketiga orang anak muda itu berkata, “Sekarang kalian bangkit berdiri."

Ketiga orang anak muda itupun benar-benar ketakutan. Karena itu, merekapun dengan gemetar telah bangkit berdiri pula, betapapun tubuh mereka masih merasa nyeri. Tiba-tiba Laksana telah menyambar ikat kepala mereka, membantingnya di tanah dan menginjaknya. Sambil mengusap kepala ketiga orang anak muda itu ia berkata,

“Tiba-tiba saja aku ingin mengusap kepala kalian. Kepala anak-anak muda yang tidak lebih dari pengecut. Kenapa kalian sama sekali tidak berani melawan? Apakah kalian hanya berani memperolok-olokkan orang tua yang kau anggap tidak berdaya? Atau kau anggap pengemis sebagaimana dikatakan oleh anak cengeng itu."

Ketiganya sama sekali tidak menjawab. Merekapun sama sekali tidak berbuat apa-apa ketika kepala mereka diguncang-guncang oleh Laksana. Ketiga anak muda itu melangkah mundur. Wajah mereka menjadi tegang. Sementara anak muda yang baru masuk bersama dua orang itu masih berdiri di pintu kedai itu.

Ki Pandi hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Sementara Manggada hanya memandanginya saja. Namun akhirnya Ki Pandi itu memberinya isyarat untuk meninggalkan anak-anak muda itu. Bertiga merekapun kemudian bersiap meninggalkan kedai itu dengan meninggalkan berbagai macam kesan di hati orang-orang yang menyaksikannya.

Bahkan orang yang umurnya sebaya dengan Ki Pandi itu melangkah mendekatinya sambil berkata, “Maafkan aku Ki Sanak. Aku tidak mengenal Ki Sanak sebelumnya, Jika Ki Sanak tidak berkeberatan, apakah Ki Sanak dapat memberitahukan kepadaku, siapa Ki Sanak itu sebenarnya?"

Ki Pandi tersenyum. Katanya, “Kami adalah pengembara yang tidak berarti apa-apa. Tetapi peristiwa ini telah sangat menarik perhatian kami, sehingga agaknya kami akan sering lewat jalan ini."

Demikianlah, sejenak kemudian maka Ki Pandi telah mengajak Manggada dan Laksana meninggalkan tempat itu. Merekapun kemudian melangkah menyusuri jalan panjang. Namun kemudian mereka berbelok memasuki jalan yang lebih kecil.

Sambil berjalan meninggalkan tempat itu, mereka menyadari, bahwa apa yang terjadi telah menjadi tontonan orang banyak. Bukan saja orang-orang yang ada di kedai itu. Tetapi orang-orang yang kebetulan lewat, juga terhenti untuk menyaksikan apa yang terjadi.

Bahkan Ki Pandi, Manggada dan Laksana telah bertemu dengan empat orang prajurit berkuda yang berpacu menuju ke arah yang berlawanan. Sebenarnyalah bahwa ternyata ada juga yang melaporkan peristiwa itu ke sebuah barak prajurit, sehingga Senapati yang mendapat laporan itu telah mengirimkan empat orang prajurit berkuda untuk melerai keadaan. Namun ketika mereka sampai di kedai itu, maka perkelahianpun sudah berhenti.

Tetapi para prajurit itu masih menemukan orang-orang yang telah terluka serta anak-anak muda yang kesakitan. Juga anak muda yang telah menangis itu meskipun sudah berhasil menguasai gejolak perasaannya sehingga tangisnya pun telah berhenti.

Dari orang-orang yang masih mengerumuni halaman kedai itu meskipun dari jarak yang tidak terlalu dekat, para prajurit telah mendapat keterangan apa yang telah terjadi. Karena itu, para prajurit itu minta pemilik kedai itu datang ke barak untuk memberikan keterangan tentang perkelahian di kedainya itu.

"Tetapi tiga di antara para pelaku itu sudah pergi...” berkata pemilik kedai itu.

"Nanti di barak kau akan dimintai keterangan selengkapnya.” berkata prajurit yang tertua.

Sementara itu Ki Pandi, Manggada dan Laksana sudah berjalan semakin jauh. Para prajurit itu memang tidak berusaha mencarinya. Merekapun sudah mengenali anak muda dengan ketiga orang pengawal itu, sehingga para prajurit itu sudah mengira bahwa anak muda itulah yang bersalah. Namun ia agaknya telah terbentur pada sekelompok orang berilmu tinggi, sehingga ketiga orang pengawalnya itu tidak berdaya sama sekali.

Kepada anak muda yang cengeng itu prajurit yang tertua berkata, “Kaupun setiap saat diperlukan harus datang ke barak."

Anak muda yang sudah tidak menangis lagi itu berkata, “Aku akan memberitahukan kepada ayahku atas perlakuan kalian."

Prajurit itu ternyata telah tersinggung. Meskipun mereka mengetahui siapakah ayah anak itu, serta hubungannya yang luas dengan para Senapati dan pemimpin di Pajang, namun dalam menjalankan tugasnya, prajurit itu tidak mau direndahkan. Karena itu, maka prajurit yang tertua itu mendekatinya sambil berkata,

“Coba, katakan sekali lagi. Maka aku akan menyumbat mulutmu dengan pedangku."

Anak muda itu menjadi ketakutan kembali. Bahkan mulutnya mulai bergetar dan matanya mulai mengembun lagi. Tetapi prajurit itu tidak mau memperpanjang persoalan. Iapun kemudian telah mendekati tiga orang anak muda yang masih kesakitan sambil berkata, “Kalianpun harus bersiap-siap dan datang jika kalian kami panggil"

"Kami akan melakukannya.” jawab ketiganya hampir berbareng.

Demikianlah, maka para prajurit itupun meninggalkan kedai itu. Sedangkan orang-orang yang berkerumunpun telah pergi pula satu persatu. Sedangkan ketiga anak muda yang kesakitan itupun dengan sisa tenaganya berusaha untuk menjauhi tempat itu pula.

Yang tinggal kemudian hanyalah anak muda dan ketiga orang pengawalnya. Seorang yang berpura-pura tidak dapat bangkit itu telah berdiri. Yang lainpun mulai dapat bangkit dan duduk sambil bersandar pada tangannya. Pengawal yang dadanya terluka di dalam itu sudah menjadi bertambah baik pula keadaannya setelah Ki Pandi mengobatinya.

Pemilik kedai dan pelayan-pelayannyalah yang kemudian berusaha menolong mereka dan membawanya ke dalam kedai.

Dalam pada itu, Ki Pandi, Manggada dan Laksana sudah menjadi semakin jauh. Mereka tidak lagi mengikuti jalan induk yang akan sampai ke pintu gerbang kota yang lain. Tetapi mereka telah memilih jalan yang lebih kecil dan keluar dari kota Pajang lewat pintu gerbang samping yang lebih kecil.

"Satu hal yang tanpa kalian sengaja tetapi dapat memberikan petunjuk penting bagi kalian.” berkata Ki Pandi.

"Tentang apa, Ki Pandi?” bertanya Manggada.

"Kalian masih belum mampu menilai dengan tepat kemampuan kalian sendiri.” jawab Ki Pandi.

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Mereka memang masih harus menilai lagi kemampuan mereka yang sudah meningkat setelah mereka berada di hutan dari purnama sampai ke purnama.

Dalam pada itu, Ki Pandipun berkata pula "Agaknya angger Manggada masih terkejut melihat serangannya yang hampir saja membunuh orang bertubuh raksasa itu. Seandainya daya tahan orang itu tidak cukup tinggi, maka ia tentu sudah tidak tertolong lagi."

Manggada mengangguk-angguk. Sebenarnyalah bahwa ia masih belum tahu pasti, seberapa tinggi tataran ilmu serta kekuatan tenaganya setelah ia melakukan Tapa Ngidang. Namun hal itu juga tergantung kepada kemampuan serta daya tahan lawannya. Tetapi Manggada dan Laksana memang menyadari, bahwa mereka harus melakukan pengamatan lebih seksama tentang peningkatan ilmu mereka itu.

"Kita akan melakukannya setelah kalian berada di rumah nanti...” berkata Ki Pandi.

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk mengiakan. Dengan sungguh-sungguh Manggada berkata “Kami tentu akan sangat berterima kasih Ki Pandi. Jika pada suatu saat paman melihat bagaimana kami dapat meningkatkan kemampuan kami, maka paman tentu akan sangat bergembira. Sudah tentu ayah juga."

"Semuanya itu sudah tentu sebagian besar tergantung kepada kalian berdua sendiri. Kemauan kalian serta tenaga dasar yang ada di dalam diri kalian” berkata Ki Pandi. Lalu katanya pula "Tetapi tentu saja dengan harapan, bahwa apa yang telah kalian miliki itu akan berarti bagi sesama. Bukan sebaliknya justru merugikan sesama."

Manggada dan Laksana masih saja mengangguk-angguk. Beberapa kali mereka mendengar petunjuk itu. Bukan saja dari Ki Pandi, tetapi juga dari guru mereka, dari orang tua mereka dan bahkan dari Kiai Gumrah.

Demikianlah, mereka bertigapun telah melanjutkan perjalanan mereka justru menjauhi Pajang. Mereka telah berjalan lagi di antara bulak-bulak sawah. Kehidupan mulai nampak berbeda dari kehidupan di kota yang sibuk. Jalan-jalan tidak lagi terlalu ramai. Tatanan rumah dan halaman. Bahkan sifat dan kebiasaan penghuni-penghuninya.

Semakin jauh mereka dari kota, maka mereka tidak lagi merasa dikelilingi oleh kesibukan dan ketergesa-gesaan. Tetapi juga tidak lagi dibayangi oleh kehidupan anak-anak muda yang menggelisahkan, meskipun jumlah mereka sebenarnya terhitung kecil. Meskipun sebenarnya kenakalan itu ada dimana-mana, tetapi karena kahidupan di kota yang berbeda dengan kehidupan di luarnya, maka ujud kenakalannyapun berbeda pula.

Dalam pada itu, agaknya Ki Pandipun sedang memikirkan sikap anak-anak muda yang baru saja ditemuinya. Dengan nada rendah Ki Pandi itupun berkata “Angger berdua. Di sepanjang perjalanan kita, maka kita sudah melihat berbagai macam sikap dan sifat anak anak muda. Anak anak muda yang ada di sekitar Kiai Gumrah. Kau kenal anak-anak muda yang nakal bahkan keterlaluan sehingga sudah merugikan banyak orang seperti Rambatan. Tetapi kau kenal juga anak-anak muda yang baik di padukuhan itu. Kau kenal juga Darpati dan Winih."

Manggada dan Laksana menjadi termangu-mangu sejenak. Ternyata banyak hal yang diketahui oleh Ki Pandi. Agaknya Ki Pandi dapat membaca perasaan anak-anak itu. Katanya kemudian,

"Aku mengetahuinya dari sedikit pengamatanku. Namun juga dari ceritera Kiai Gumrah.” ia berhenti sejenak, lalu "Kau lihat anak-anak muda di perjalanan kita ke Pajang, sebelum dan sesudah kita melampaui hutan itu. Sehingga dengan demikian, maka kau akan dapat membuat perbandingan-perbandingan. Justru kalian juga termasuk anak-anak muda, maka kalian tentu mempunyai kesempatan untuk menentukan sikap dan pilihan bagi jalan kehidupan kalian."

Manggada dan Laksana itupun mengangguk-angguk. Sementara Ki Pandi berkata “Memang ada di antara anak-anak muda yang memilih untuk hidup dalam kesenangan dan kepuasan keduniawian yang dapat langsung dirasakannya sesaat. Tetapi ada yang meletakkan harapannya pada masa depan. Bahkan ada yang memikirkan ruang lingkup kehidupan yang lebih luas dari kehidupan dirinya sendiri."

Manggada dan Laksana mendengarkan keterangan itu dengan bersungguh-sungguh pula. Agaknya Ki Pandi memang tersentuh melihat kehidupan anak-anak muda yang dijumpainya dalam perjalanan hidupnya.

Dalam pada itu, maka merekapun melangkah semakin lama semakin jauh dari Pajang. Mereka sudah berada di antara hijaunya tanaman di sawah dan pategalan. Angin terasa semilir berhembus mengguncang batang-batang padi muda yang nampak segar terendam di air yang tergenang.

Wajah kedua anak muda itu manjadi semakin cerah. Lebih-lebih lagi Manggada. Mereka sudah memasuki jalan yang langsung menuju padukuhannya. Kampung halamannya. Laksanapun pernah mengunjungi pamannya itu. Meskipun itu sudah lama terjadi, tetapi lamat-lamat ia masih dapat mengenali jalan yang dilaluinya, karena agaknya masih belum banyak berubah.

"Perjalanan kita sudah menjadi semakin dekat...” berkata Manggada dengan wajah yang mamancarkan kegembiraannya.

Ki Pandi mengangguk-angguk. Katanya “Keluarga kalian tentu akan bergembira pula menerima kedatangan kalian."

"Ya. Jika saja ayah tahu bahwa kami sudah agak lama berangkat dari rumah paman, maka ayah dan ibu tentu sudah menunggu-nunggu dengan cemas. Kedatangan kami tentu akan sangat menggembirakan mereka” desis Manggada.

Ki Pandi mengangguk-angguk. Tetapi rasa-rasanya ia akan ikut bergembira melihat pertemuan antara anak-anak muda itu dengan kedua orang tuanya. Demikianlah ketika mereka mendekati padukuhan Gemawang yang terletak di Kademangan Kalegen, maka merekapun menjadi berdebar-debar. Sudah lama Manggada meninggalkan Kademangan Kalegen, sementara Laksana juga pernah mengunjungi pamannya ketika ia menginjak remaja.

Terasa angin yang sejuk berhembus perlahan menggoyang dedaunan. Padukuhan Gemawang yang merupakan bagian dari Kademangan Kalegen nampak tenang dikejauhan. Pohon nyiur yang berdiri berjajar di batas padukuhan seakan-akan melambai menyambut kedatangan Manggada dan sepupunya Laksana.

Ketika mereka memasuki regol padukuhan di bawah lindungan bayangan pepohonan, Manggada menarik nafas sambil berdesis, yang seakan-akan hanya ditujukan kepada dirinya sendiri saja, "Alangkah sejuknya udara di kampung halaman"

Namun Laksana yang mendengarnya berdesis juga "Ya, alangkah sejuknya!"

Bahkan Ki Pandi pun menyahut. “Setelah kita berjemur dipanasnya matahari menjelang sore hari, maka berlindung di bawah bayang pepohonan memang terasa sejuk sekali"

Laksana yang justru berjalan di depan berkata “Aku masih ingat dengan jelas, kemana kakiku harus melangkah."

Manggada tertawa. Katanya “Kau tentu masih ingat jalan-jalan di padukuhan Gemawang. Bahkan di kademangan Kalegen. Bukankah kau pernah berada disini beberapa lama ketika itu"

"Ya” jawab Laksana "Belum banyak terdapat perubahan sampai sekarang ini."

Namun tiba-tiba Manggada mengerutkan dahinya ketika ia melihat seorang anak kecil berlari ketakutan melihat kehadiran mereka. Bahkan kemudian ia sempat memperhatikan halaman di sebelah menyebelah jalan. Dari regol-regol halaman ia melihat beberapa buah rumah yang pintunya tertutup rapat. Bahkan halaman-halaman rumah dan jalan-jalanpun rasa-rasanya terlalu sepi. Tidak seorangpun dijumpainya di jalan-jalan. Anak kecil yang dilihatnya justru berlari ketakutan dan hilang di balik regol.

Ketika ia berpaling kepada Ki Pandi, maka dilihatnya dahi Ki Pandipun berdesis “Apakah sejak dahulu padukuhan ini terlalu lengang?"

"Tidak” jawab Manggada "Padukuhan ini terhitung padukuhan yang besar. Jalan ini merupakan jalan induk yang paling banyak dilalui orang di padukuhan ini. Betapa sepinya sebuah padukuhan, tetapi tentu tidak sesepi ini."

Ki Pandi mengangguk-angguk. Katanya, “Apakah ada sesuatu yang membuat padukuhan ini terlalu sepi?"

"Memang mungkin Ki Pandi. Tetapi apa?” sahut Manggada.

Ki Pandi mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun bertanya “Apakah rumahmu berada di sisi lain dari padukuhan ini?” bertanya Ki Pandi.

"Rumah kami ada ditengah-tengah padukuhan” jawab Manggada.

Ki Pandi mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak berbicara apapun lagi. Ketiga orang itu berjalan semakin ke dalam. Namun suasananya masih saja tetap lengang. Mereka semakin berdebar-debar ketika melihat seorang anak yang akan berlari melintasi jalan padukuhan. Tetapi ketika anak itu melihat mereka, maka iapun segera berbalik dan berlari masuk ke dalam regol halaman rumahnya.

Ketiga orang itu memperhatikan keadaan itu dengan dahi yang berkerut. Teka-teki itu rasa-rasanya semakin menggelitik. Namun ketegangan perasaan mereka menjadi berkurang ketika mereka melihat seorang yang berjalan sambil membawa cangkul di pundaknya. Orang itupun nampaknya agak tergesa, sehingga langkahnya pun menjadi panjang-panjang.

"Paman Wangking...” desisi Manggada yang mempercepat langkanya pula.

Beberapa langkah sebelum mereka berpapasan, orang itu tiba-tiba telah berbelok turun ke jalan yang lebih kecil. Namun Manggada itu berlari-lari mandapatkannya sambil memanggil namanya.

"Paman. Paman Wangking..."

Orang itu memang berhenti. Wajahnya menjadi tegang. Namun dengan tajamnya ia memandangi Manggada yang berlari-lari mendapatkannya sambil bertanya “Paman, apakah paman tidak ingat lagi kepadaku?"

"Kau siapa?” bertanya orang yang dipanggilnya Wangking itu.

"Aku Manggada..."

"Manggada, he kaukah itu?"

"Ya paman. Aku Manggada. Paman ingat sekarang!"

Orang itu meletakkan cangkulnya. Ditepuknya pundak Manggada sambil berkata, “Kau sudah sebesar ini sekarang. Hampir saja aku tidak mengenalmu lagi. Dimana saja kau selama ini?"

"Aku berada di rumah paman” jawab Manggada. Lalu katanya “Ini adik seppupuku. Dan ini Ki Pandi. Seseorang yang banyak membantuku dalam perjalanan hidupku"

Orang itu berpaling kepada Ki Pandi sambil mengangguk hormat. Sementara itu Ki Pandipun berkata “Adalah kebetulan bahwa kami menempuh perjalanan yang searah!"

"Jika ada kesempatan, silahkan singgah di rumahku Ki Pandi” berkata orang itu "Rumahku tinggal beberapa langkah saja dari sini."

"Terimakasih Ki Wangking. Besok, aku akan memerlukan singgah” jawab Ki Pandi.

"Aku sudah agak lama meninggalkan ayah dan ibu, paman. Aku ingin melihatnya lebih dahulu. Besok aku antar Ki Pandi singgah di rumah Ki Wangking.” berkata Manggada. Namun kemudian Iapun bertanya “Tetapi rasa-rasanya padukuhan ini menjadi sangat sepi sekarang, paman. Biasanya rumah-rumah belum menutup pintu di saat seperti ini..."

"Sebentar lagi senja turun...” jawab Ki Wangking.

"Ya. Tetapi suasananya terasa lain sekali dengan hari-hari yang pernah aku saksikan di padukuhan ini beberapa tahun yang lalu.” berkata Manggada kemudian "Bahkan aku melihat anak-anak yang ketakutan melihat kami lewat."

Ki Wangkingpun melihat sekelilingnya. Rasa-rasanya memang aneh, bahwa orang itu nampak gelisah. Padahal sejak dilahirkan, Ki Wangking tinggal di padukuhan itu. Bahkan kemudian katanya. “Baiklah Manggada. Pulanglah. Ayah dan ibumu tentu sudah menunggu." namun kemudian ditambahkannya "Menurut pengetahuanku di rumahmu kini sedang ada tamu. Tetapi aku kurang tahu, siapakah tamu di rumahmu itu."

"Tamu?” bertanya Manggada.

"Ya. Tetapi saatnya memang agak kurang tepat. Tetapi tamu di rumahmu itu tentu tidak tahu apa yang sedang terjadi di padukuhan ini.” berkata Ki Wangking.

"Apakah yang sebenarnya terjadi?” bertanya Manggada.

"Ayahmu akan dapat mengatakan kepadamu nanti. Cepat-cepat sajalah pulang.” berkata Ki Wangking. Namun kemudian iapun berkata dengan nada gelisah "Marilah. Aku juga ingin segera sampai ke rumah."

"Terima kasih, paman.” sahut Manggada.

Ternyata Ki Wangking itupun segera melangkah sambil menjinjing cangkulnya "Marilah anak-anak muda. Marilah Ki Pandi. Aku tunggu kalian singgah"

Manggada, Laksana dan Ki Pandi menjadi semakin heran. Namun kemudian merekapun segera melanjutkan langkah mereka. Mereka justru semakin ingin cepat-cepat sampai ke rumah Manggada untuk mengetahui apa yang tengah terjadi di padukuhan itu.

Di tikungan, mereka melihat seorang perempuan melintas. Cepat sekali. Namun Manggada segera mengenal perempuan itu. Karena itu, maka iapun telah memanggilnya "Bibi, bibi Gangsal..."

Perempuan itu memang berpaling. Ketika ia melihat Manggada maka iapun berkata tertahan, "Apakah aku berhadapan dengan Manggada yang sering mamanjat pohon duwet di rumah sebelah?"

"Ya bibi. Bukankah rumah sebelah itu rumah Pamrih, anak yang umurnya sebayaku kawan memanjat pohon duwet itu!"

"Manggada...!” Perempuan itu mengangguk-angguk. "Kau sudah begitu besar. Tetapi kemana kau selama ini?” bertanya perempuan itu.

"Aku berada di rumah paman, bibi” jawab Manggada.

Perempuan itu nampaknya masih ingin bertanya lebih panjang. Tetapi tiba-tiba wajahnya berkerut. Katanya “Pulanglah ngger. Bukankah kau belum sampai ke rumahmu?"

"Belum bibi” jawab Manggada.

"Nah, pulanglah, sebentar lagi senja turun.” berkata perempuan itu Aaku juga harus segera pulang."

Manggada tidak sempat memperkenalkan saudara sepupunya dan Ki Pandi. Namun bahwa semua orang nampaknya merasa gelisah, menjadi semakin terasa. Sehingga karena itu, maka Manggada pun semakin ingin cepat sampai di rumah.

Demikianlah, mereka bertiga tidak berhenti lagi. Mereka tidak lagi bertemu dengan seorang pun. Ketika senja turun, maka semua pintu rumah menjadi semakin tertutup rapat. Mereka bertiga hanya dapat melihat cahaya lampu minyak yang menyusup di antara lubang dinding yang tidak rapat. Sementara regol-regol halaman pada umumnya memang tidak tertutup rapat.

Ketika Manggada sampai dimuka regol halaman rumahnya, maka pintu rumahnyapun sudah tertutup. Tetapi pintu regolnya masih sedikit terbuka. Rumah Manggada adalah sebuah rumah yang sedang. Lengkap dengan pringgitan, pendapa dan gandok. Dua buah seketheng di sebelah-menyebelah pendapa memisahkan longkangan dengan halaman depan yang memang agak luas.

Jantung Manggada terasa bergejolak semakin cepat. Kepada Ki Pandi Manggada itu berkata “Inilah rumahku, Ki Pandi...”

Ki Pandi mengangguk-angguk. Katanya “Rumah yang bagus!"

"Rumah yang sederhana...” sahut Manggada.

"Tetapi rumahmu terpelihara dengan rapi, Manggada. Bersih dan terawat baik..."

"Ayah dan ibu memang senang merawat rumah, termasuk halamannya dan tanam-tanaman di atasnya!” jawab Manggada.

Ki Pandi mengangguk-angguk, sementara itu senjapun menjadi semakin temaram. Di pendapa rumah orang tua Manggada, lampu sudah menyala. Demikian pula di serambi gandok dan bahkan di seketheng. Namun rumah itu nampak sepi. Ketiga orang itupun kemudian memasuki halaman rumah. Manggada mempersilahkan Ki Pandi naik ke pendapa dan duduk di atas tikar pandan yang memang sudah digelar di pringgitan.

Manggada yang menjadi berdebar-debar mendekati pintu pringgitan. Sementara Laksana ikut saja di belakangnya. Perlahan-lahan Manggada mengetuk pintu. Semula ia ingin mengganggu kedua orang tuanya dan mengejutkan mereka. Namun karena suasana nampaknya tidak menguntungkan, maka niatnya diurungkan. Ia tidak mau benar-benar membuat orang tuanya benar-benar terkejut.

Ternyata ketukannya itu segera didengar oleh orang yang berada di belakang pintu. Sesaat Manggada dan Laksana mendengar orang-orang berbisik di dalam. Baru kemudian dengan suara yang ragu terdengar seseorang bertanya, “Siapa di luar?"

Meskipun sudah lama Manggada meninggalkan rumahnya, namun Manggada masih ingat benar. Suara itu suara ayahnya. Karena itu, maka Manggada itupun segera menyahut. “Ini kami ayah. Manggada dan Laksana."

"Manggada dan Laksana!" terdengar suara perempuan. Ibu Manggada.

Sejenak kemudian pintu pringgitan itupun terbuka. Dengan tergesa-gesa seseorang telah mengangkat selarak pintu. Ketika pintu dibuka, maka ayah dan ibu Manggada berdiri di muka pintu. Demikian mereka melihat Manggada, maka ibunya segera memeluknya, sementara ayah Manggada memegangi kedua bahu Laksana sambil mengguncang-guncangnya. Seperti anaknya, maka Laksana nampak tumbuh menjadi anak muda yang kokoh kuat. Tangan ayah Manggada segera merasakan betapa kerasnya tulang-tulang Laksana dan betapa liat kulitnya.

Namun yang kemudian terkejut adalah Manggada dan Laksana. Ternyata di belakang ayah dan ibu Manggada berdiri ayah dan ibu Laksana.

"Ayah dan ibu ada disini?” bertanya Laksana gagap.

Ibu Laksanapun memeluknya pula. Setitik air mata menetes di bahu anaknya. Ia menahan tangis ketika melepas anaknya itu pergi bersama Manggada. Tetapi setelah kegelisahan mencengkam jantungnya, maka kini ia bertemu lagi dengan anaknya.

"Marilah, masuklah..." ayah Manggada mampersilahkan keduanya.

Tetapi Manggada berkata, “Ayah. Aku datang bersama seseorang. Seseorang yang telah banyak membantu dan bahkan melindungi aku selama dalam perjalanan."

Ayah Manggada mengerutkan dahinya. Namun kemudian katanya “Persilahkan ia masuk...!"

Manggada pun kemudian melangkah mendekati Ki Pandi diikuti oleh ayahnya. Ki Pandi pun kemudian telah bangkit berdiri pula. Dengan hormat ia mengangguk dalam-dalam. Demikian pula ayah Manggada, sementara Manggada berkata, “Ki Pandi. Ini Ayahku. Kebetulan ayah dan ibu Laksana pun ada disini pula."

Kepada ayahnya, Manggada telah memperkenalkan Ki Pandi pula. Dikatakannya bahwa selama dalam perjalanan Ki Pandi telah banyak berbuat bagi Manggada dan Laksana.

"Aku mempersilahkan Ki Pandi duduk di dalam saja!” ayahnya mempersilahkan.

Memang tidak terbiasa bagi orang yang baru dikenalnya langsung dipersilahkan duduk di ruang dalam. Biasanya seorang tamu diterima di pendapa atau di pringgitan. Tetapi Ki Pandi yang sudah menangkap suasana di padukuhan itupun mengerti, kenapa ia dipersilahkan masuk ke ruang dalam. Demikianlah, maka sejenak kemudian, mereka sudah berada di ruang dalam rumah keluarga Manggada. Suasana yang gembira meliputi pertemuan itu.

"Aku sudah hampir sepuluh hari berada di rumah ini” berkata Ki Citrabawa kepada Manggada dan Laksana. "Sejak kalian meninggalkan rumah kami, maka kami tidak lagi mendengar kabar beritanya. Kami berharap kalian datang menengok kami. Tetapi sampai kegelisahan kami memuncak, kalian sama sekali tidak muncul. Ketika kami tidak tahan lagi, terutama ibumu, maka kami telah pergi menyusul kalian. Demikian kami sampai di rumah ini, kegelisahan itu justru semakin bertambah, karena ternyata kalian belum sampai di rumah ini.”

"Maafkan kami paman.” jawab Manggada dengan nada rendah.

"Ketika paman dan bibimu datang kemarin, Manggada, serta menceritakan bahwa kalian sudah lama berangkat meninggalkan rumah pamanmu, jantungku dan jantung ibumu rasa-rasanya akan terlepas dari tangkainya” berkata ayah Manggada.

Manggada dan Laksana hanya menundukkan kepalanya saja. Mereka memang bersalah, karena dengan demikian maka mereka telah membuat kedua keluarga mereka sangat gelisah. Apalagi setelah Ki Citrabawa datang mengunjungi Ki Kertasana, ayah Manggada.

"Aku bertemu dengan kedua anak muda ini dibelakang hutan Jatimalang.” berkata Ki Pandi menyela.

"Hutan Jatimalang...!" Ki Citrabawa mengulang hampir tidak percaya "Kenapa kalian sampai ke belakang hutan Jatimalang?"

"Ceriteranya panjang paman.” jawab Manggada.

"Baiklah” berkata Ki Citrabawa "Besok kalian harus berceritera panjang sepanjang perjalanan kalian."

"Baik paman. Namun yang dapat kami beritahukan, seandainya kami tidak bertemu dengan Ki Pandi dan Ki Ajar Pangutan, mungkin kami memang tidak akan dapat sampai ke rumah ini..."

Tetapi Ki Pandi pun menyahut. “Aku hanya menjadi penunjuk jalan karena agaknya keduanya kebingungan.”

"Kami mengucapkan terima kasih Ki Pandi” berkata Ki Kertasana sambil mengangguk-angguk. Lalu katanya selanjutnya "Agaknya mereka telah bertualang."

"Itulah yang kami cemaskan, kakang!” sahut Ki Citrabawa "Karena itu, aku sudah banyak berpesan ketika mereka meninggalkan rumahku, bahwa mereka tidak perlu merasa perlu untuk mencoba kemampuan mereka terhadap siapapun dan terhadap apapun."

Manggada dan Laksana hanya berdiam diri saja. Namun Ki Pandi lah yang kemudian berkata, “Mereka memang tidak berusaha untuk mencoba ilmu mereka dengan siapapun. Tetapi agaknya mereka tertarik untuk menjenguk betapa jauhnya cakrawala. Jika kemudian mereka harus mempertahankan dirinya, itu adalah perbuatan yang wajar bagi setiap orang yang merasa terancam. Namun satu hal yang dapat dibanggakan dari kedua anak muda itu adalah, dorongan nurani mereka untuk membantu kesulitan orang lain...!"

Ki Kertasana dan Ki Citrabawa mengangguk-angguk. Satu kebanggaan memang bergejolak di dalam dada orang-orang tua Manggada dan Laksana itu. Namun Ki Kertasana itu berkata, “Tetapi selama ini dada kami bagaikan dipanggang di atas api."

Ki Pandi tersenyum, katanya. “Selama perjalanan mereka, kedua anak muda ini tentu mendapat banyak sekali pengalaman meskipun kadang-kadang cukup berbahaya. Namun Tuhan Yang Maha Pengasih masih tetap melindungi mereka."

Dalam pada itu, maka Nyi Kertasana dan Nyi Citrabawa pun telah minta diri pergi ke dapur untuk membuat minuman dan menyiapkan makan malam. Demikian kedua orang perempuan itu meninggalkan ruang dalam, maka Manggada yang sudah tidak sabar lagi itupun bertanya,

“Ayah. Ketika kami memasuki padukuhan Gemawang ini terasa suasananya terasa agak berbeda. Apakah hal seperti itu hanya terjadi di padukuhan Gemawang atau diseluruh Kademangan Kalegen?”

"Suasana apa yang kau rasakan?” bertanya Ki Kertasana.

"Lengang dan gelisah” jawab Manggada.

Ki Kertasana mengangguk-angguk. Katanya. “Ya. Suasana itu telah mencengkam padukuhan ini. Meskipun juga sedikit terasa di padukuhan lain di Kademangan Kalegen, tetapi tidak sedalam di padukuhan Gemawang."

"Kenapa demikian ayah? Apa yang telah terjadi disini?” bertanya Manggada pula.

"Satu kebetulan, dalam suasana yang mencengkam itu, paman dan bibimu datang kemari, sehingga mereka tidak dapat melihat-lihat suasana yang sewajarnya di padukuhan ini. Apalagi karena kalian berdua masih belum sampai di rumah. Kegelisahan yang mencengkam padukuhan ini masih ditambah lagi dengan kegelisahan yang mencuat dari dada ini."

Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Namun kemudian keduanya telah menunduk lagi. Sementara itu, Ki Kertasana melanjutkan,

"Kegelisahan ini bermula dari berita bahwa dua orang kakak beradik yang sudah lama hilang dari padukuhan ini akan kembali lagi...

Selanjutnya,
Sejuknya Kampung Halaman Bagian 04