Sejuknya Kampung Halaman Bagian 01 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
SINAR matahari pagi yang cerah telah menyegarkan tubuh Manggada dan Laksana yang berjalan di belakang Ki Pandi. Mereka melintasi bulak panjang yang digelari padi-padi muda. Yang nampak dari ujung sampai ke ujung cakrawala adalah warna yang hijau segar. Satu-satu titik embun yang masih bergayut nampak berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari.

Ki Pandi yang bongkok itu berjalan sambil menundukkan kepalanya. Nampaknya memang ada yang sedang direnungkannya. Sementara itu di belakang mereka, Manggada dan Laksana masih juga sempat berkelakar Dengan dahi yang berkerut Laksana berkata,

"Sebenarnya aku merasa kecewa terhadap sikap Winih..."

"Kenapa?” bertanya Manggada "bukankah ia bersikap baik terhadap kita. Jika kelak kita kembali, maka ia masih akan tetap menganggap kita sebagai kakaknya sendiri"

"Itulah sebabnya aku menjadi kecewa?”

"Kenapa?” desak Manggada.

"Aku lebih senang jika kelak, apabila kita kembali, kita, setidak-tidaknya aku, dianggap sebagai orang lain. Namun diterima dengan baik” jawab Laksana.

"Aku tidak tahu maksudmu?” gumam Manggada.

"Ah, kau. Penalaranmu memang tumpul. Kau tahu, jika aku dianggap sebagai kakaknya, aku akan tetap saja menjadi kakaknya. Tetapi jika aku dianggap orang lain, maka mungkin, hanya mungkin, kedudukanku terhadap Winih akan dapat berubah. Ia terlalu cantik untuk menjadi adikku."

Manggada tertawa. Katanya “Kau memang gila. Kau kira kau pantas bermimpi seperti itu."

Laksanapun tertawa pula, sehingga Ki Pandipun telah berpaling sambil bertanya. “Ada apa?"

Manggadalah yang menjawab “Laksana sedang bermimpi..."

"Mimpi apa?” bertanya Ki Pandi pula.

"Mimpi tentang seorang gadis yang cantik. Tetapi gadis itu berilmu sangat tinggi, sehingga jika gadis itu marah, maka Laksana di hadapannya akan menjadi seekor tikus di hadapan seekor kucing yang sedang menyusui dan bahkan sedang lapar” jawab Manggada.

Ki Pandipun tersenyum pula. Ia segera tahu, apa yang sedang dijadikan bahan kelakar anak-anak muda itu. Karena itu, maka iapun berkata, “Aku tahu. Mimpi yang demikian adalah mimpi yang wajar bagi anak-anak muda. Jika seorang anak muda ingin melihat mimpinya menjadi kenyataan, maka ia harus berjuang. Bukan menunggu seperti menunggu titiknya embun di siang hari.”

"Ah, tidak Ki Pandi” jawab Laksana "Manggada berbohong. Aku sama sekali tidak bermimpi, karena bermimpipun aku tidak berani"

"Kenapa tidak berani?” bertanya Ki Pandi justru sambil tertawa.

"Aku bukan apa-apa Ki Pandi. Eh, sepantasnya aku menjadi cantriknya” jawab Laksana.

"Jangan begitu” berkata Ki Pandi. Lalu katanya “Aku tahu bahwa kalian tidak bersungguh-sungguh. Tetapi pada kesempatan lain, jika kalian bersungguh-sungguh, maka kalian harus berbuat sesuatu"

"Berbuat apa?” bertanya Manggada.

"He, nampaknya kau yang justru lebih dahulu ingin berbuat sesuatu itu” potong Laksana.

Manggada tertawa. Katanya “Tidak. Aku hanya ingin tahu. Seperti yang dikatakan oleh Ki Pandi, mungkin pada kesempatan lain aku menjadi seekor tikus"

Ki Pandi yang kemudian berjalan di antara kedua orang anak muda itu kemudian berkata “Nah, anak-anak muda. Agar kalian tidak sekedar menjadi tikus, maka kalian harus belajar menjadi kucing."

Manggadalah yang menyahut “Tetapi berapa panjang waktu yang diperlukan bagi seekor tikus untuk menjadi seekor kucing?"

Ki Pandi menepuk bahu Manggada sambil berkata “Kalian telah dihinggapi penyakit rendah diri"

Manggada memang tidak membantah. Katanya “Di lingkungan keluarga Kiai Gumrah, kami berdua benar-benar merasa tidak berarti apa-apa.”

"Kalian memang salah menilai diri kalian” berkata Ki Pandi "kalian mengira bahwa harga diri seseorang semata-mata ditentukan oleh kemampuannya dalam olah kanuragan. He, bukankah Winih itu dapat mengatakan kepada kalian bahwa kepribadian seseorang merupakan bagian dari harga diri seseorang."

Kedua orang anak muda itu mengangguk-anguk. Sementara Ki Pandi berkata selanjutnya "Sebaiknya kalian mulai sekarang berusaha untuk menghapus perasaan rendah diri itu. Jika perasaan itu terlanjur barakar di dalam diri kalian, maka akibatnya akan menjadi kurang baik bagi kalian. Kalian akan terpisah, dan bahkan memisahkan diri dari pergaulan yang seharusnya tidak perlu. Kalian membayang-bayangi diri kalian dengan berbagai macam penilaian yang tidak berarti. Kau ingin satu contoh yang ujud tentang seseorang yang mempunyai perasaan rendah diri."

Kedua orang anak muda itu tidak menjawab. Sedangkan Ki Pandi berkata selanjutnya, "Nah, aku adalah contoh yang dekat di hadapan kalian. Aku adalah seorang yang ditelan oleh perasaan rendah diri itu. Sejak aku menjadi cacat, maka aku merasa tidak pantas lagi bergaul dengan banyak orang. Aku jarang sekali berkumpul dengan anak-anak muda sebayaku waktu itu. Aku lebih senang menyendiri dan hidup di dunia angan-angan. Selebihnya aku telah memaksa diri untuk menguasai berbagai macam ilmu. Dalam perguruanpun aku masih saja dibayangi oleh perasaan rendah diri itu. Untuk menutupinya, maka aku berusaha untuk menjadi salah seorang di antara murid-murid terbaik diperguruanku."

Ki Pandi itu berhenti sejenak. Wajahnya nampak menjadi bersungguh-sungguh. Lalu katanya pula, "Namun betapapun juga aku memiliki ilmu yang tinggi, tetapi hidupku tidak banyak berarti, justru karena kepribadianku rapuh. Aku tetap terasing dari pergaulan. Dan aku tetap menjadi seseorang yang lain dari kehidupan yang wajar"

"Tetapi Ki Pandi sudah berbuat banyak untuk memerangi dunia hitam.” berkata Manggada.

"Tetapi gerakku sangat terbatas. Kadang-kadang aku memang merasa diriku menjadi pahlawan. Tetapi perasaan itu adalah sekedar untuk mengimbangi perasaan rendah diriku, sehingga justru karena itu, maka aku seakan-akan menjadi manusia lain dari kewajaran hidup seseorang. Bahkan mungkin seperti hantu yang sesekali muncul kemudian menghilang lagi"

Kedua anak muda itu terdiam. Mereka tidak tahu, apa yang harus mereka katakan.

Sementara itu Ki Pandi masih berkata, “Sekarang aku melihat anak-anak muda yang juga merasa rendah diri. Tetapi aku tahu, bahwa kalian merasa rendah diri hanya pada satu sisi, yaitu pada sisi olah kanuragan. Jika apa yang kalian anggap kekurangan itu sudah terangkat, maka kalian tentu tidak akan merasa rendah diri lagi. Berbeda dengan aku. Apapun yang dapat aku perbuat, tetapi cacat ini akan selalu melekat padaku, sehingga aku akan tetap merasa rendah diri untuk sepanjang umurku"

"Tetapi bukankah Ki Pandi menyadari bahwa perasaan rendah diri itu seharusnya disingkirkan, karena tidak berarti apa-apa dan bahkan hanya merugikan diri sendiri, sebagaimana Ki Pandi nasehatkan kepada kami?” bertanya Laksana.

Ki Pandi itu tersenyum. Katanya, "Memang agaknya lebih mudah untuk menasehati orang lain daripada menasehati diri sendiri."

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Namun keduanya tidak bertanya lebih banyak lagi. Untuk beberapa saat mereka sempat merenungi diri mereka, bagaimana mereka merasa sangat kecil di antara raksasa-raksasa di dunia olah kanuragan. Bahkan Winih, gadis yang cantik itupun memiliki ilmu yang tinggi pula.

Sementara itu, matahari telah memanjat langit semakin tinggi. Panasnya terasa mulai menggatalkan kulit. Di langit, awan yang tipis mengalir tertiup angin semilir. Daun pohon turi yang tumbuh di sebelah menyebelah jalan menggeliat perlahan-lahan.

Dalam pada itu, tiba-tiba saja Manggada bertanya. “Ki Pandi. Apakah Ki Pandi mengetahui tentang tombak dan payung yang disimpan oleh Kiai Gumrah itu."

Ki Pandi menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Aku tidak tahu pasti. Tetapi menurut dugaaanku, pusaka-pusaka itu adalah lambang perguruan mereka."

"Tetapi menurut Kiai Gumrah, ada tanda-tanda dari pemilik pusaka-pusaka itu. Hanya mereka yang memiliki tanda-tanda itulah yang akan dapat mengambil pusaka-pusaka itu” desis Laksana.

"Mungkin benar. Tetapi tanda-tanda yang dimaksud justru dibawa oleh salah seorang atau dua murid yang lain. Mungkin Kiai Padma yang disebut juragan itu. Mungkin orang lain” jawab Ki Pandi.

"Tetapi apa hubungannya dengan pendapat Panembahan Lebdagati bahwa jika sampai purnama besok lusa pusaka-pusaka itu belum dimandikan dengan darah yang masih mengalir di jantung, maka tuahnya akan hilang?” bertanya Manggada.

"Bukankah kau tahu latar belakang kepercayaan Panembahan itu? Tetapi mungkin ada maksud lain yang dapat dipertimbangkan. Mungkin Panembahan itu memang berniat membunuh orang-orang yang sementara dapat bekerja bersamanya. Dengan alasan mempertahankan tuah pada pusaka-pusaka itu, maka ia akan menusuk setiap jantung dari orang-orang yang untuk sementara dapat bekerja bersamanya merampas pusaka-pusaka itu. Tetapi aku yakin, bahwa bukan Panembahan itu saja yang merencanakan pengkhianatan seperti itu. Tentu juga yang lain-lain. Kiai Kajar, pemimpin Padepokan Susuhing Angin, Kiai Windu Kusuma dan orang-orang yang terlibat di dalamnya, karena pusaka-pusaka itu memang benar-benar benda yang harganya sangat mahal. Emas dan permata yang melekat pada pusaka-pusaka itu akan dapat dipergunakan untuk membeli sebuah negeri."

"Tetapi darimana Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya mendapatkan benda-benda itu"

"Aku tidak tahu pasti. Tetapi sebagaimana pernah aku dengar tanpa mengetahui kebenarannya, bahwa perguruan Kiai Gumrah itu didirikan oleh seorang bangsawan keturunan Majapahit. Pusaka-pusaka itu tentu juga berasal dari Majapahit jika berita yang aku dengar itu benar.” jawab Ki Pandi.

Manggada dan Laksana menganguk-angguk pula. Namun mereka tidak bertanya lagi. Sehingga untuk sesaat kemudian, merekapun berjalan sambil berdiam diri.

Dalam pada itu, haripun beringsut dari waktu ke waktu. Ketika matahari mulai menuruni sisi langit, maka ketiga orang itu telah singgah di sebuah kedai yang terhitung ramai. Beberapa orang telah singgah di kedai itu ketika Ki Pandi, Manggada dan Laksana melangkah masuk.

Tetapi ketika Manggada dan Laksana akan melangkah ke tengah-tengah ruangan kedai itu, Ki Pandi menggamit mereka sambil berkata “Kita duduk di sudut itu saja"

"Kenapa?” bertanya Manggada.

"Tidak menjadi perhatian banyak orang” jawab Ki Pandi.

Manggada dan Laksana tidak membantah. Merekapun mengikut Ki Pandi yang memilih tempat di sudut sebagaimana kebiasaan Ki Pandi yang lebih senang menyendiri. Meskipun demikian, ada juga beberapa orang anak muda yang memperhatikannya. Nampaknya justru anak-anak muda dari lingkungan orang berada. Sambil sekali-sekali memandang Ki Pandi, mereka menahan tertawa mereka disela-sela bisik-bisik lirih. Namun kadang-kadang suara tertawa mereka meledak tanpa dikendalikan lagi.

Namun nampaknya Ki Pandi tidak menghiraukan mereka. Kepada Manggada dan Laksana ia berdesis, “Aku sudah terlalu sering menjadi bahan tertawaan. Dan itu membuat aku semakin merasa rendah diri"

"Aku akan membungkam mulut mereka yang tertawa itu” desis Laksana.

Manggada sudah menjadi berdebar-debar bahwa Laksana benar-benar akan membuat keributan. Tetapi Ki Pandi sendirilah yang mencegahnya. "Sudahlah. Aku merasa bahwa ujudku memang pantas untuk ditertawakan. Tetapi aku tidak kenal mereka dan mereka tidak kenal kau. Besok aku tidak akan bertemu dengan mereka lagi. Karena itu, biarkan saja mereka"

Laksana yang sudah siap untuk bangkit berdiri, menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk mengendapkan kembali perasaannya yang bergejolak. Namun ternyata Ki Pandi sempat menikmati minuman dan makanan yang dipesannya.

"Jarang sekali aku sempat mendapatkan minuman dan makanan seperti ini” berkata Ki Pandi "Biasanya aku minum air dari belik atau pancuran. Kemudian makan apa saja yang diketemukan. Buah-buahan dan akar-akaran. Namun sekali-sekali juga nasi dengan garam. Jika aku kembali ke rumah Ki Ajar Pangukan, maka aku dapat makan lebih teratur"

Kedua anak muda itu termangu-mangu sejenak. Dengan dahi yang berkerut Manggada bertanya. “Dimana Ki Ajar Pangukan sekarang?"

"Ia masih tetap berada di rumahnya yang dahulu. Ia tidak berpindah-pindah. Tetapi seperti aku, Ki Ajar memang sering mengembara. Namun sekali waktu, kami berada bersama-sama lagi di rumah itu” jawab Ki Pandi.

Manggada mengangguk kecil. Katanya “Sekali waktu aku ingin bertemu kembali dengan Ki Ajar."

"Besok pada suatu saat, kita datang ke rumahnya” sahut Ki Pandi.

Namun Laksana hampir tidak dapat memperhatikan pembicaraan itu. Perhatiannya justru tertuju kepada anak-anak muda yang masih saja memperhatikan Ki Pandi sambil sekali-sekali tertawa tertahan.

"Marilah” berkata Ki Pandi "Jika kalian sudah cukup, kita tinggalkan saja tempat ini"

Laksanalah yang kemudian berdiri dan melangkah mendapatkan pemilik kedai itu. Demikianlah, setelah membayar harga makanan dan minumannya, maka ketiga orang itu telah meninggalkan kedai itu. Tanpa berpaling lagi, Ki Pandi melangkahi tlundak pintu dan turun ke halaman diikuti oleh Manggada dan Laksana.

Ketiga orang itupun menepi ketika mendengar derap kaki beberapa ekor kuda. Ketika mereka berpaling, ternyata anak-anak muda di kedai itulah yang melarikan kuda mereka mendahului Ki Pandi, Manggada dan Laksana.

Ketiganya harus menutup hidung mereka karena debu yang kelabu berhamburan di belakang kaki-kaki kuda itu. Mereka bertiga masih mendengar anak-anak muda itu tertawa berkepanjangan. Sementara Ki Pandi berusaha untuk menghibur dirinya sendiri.

"Mereka tidak mentertawakan aku?"

Beberapa saat kemudian, mereka telah berada kembali di sebuah bulak yang terhitung panjang. Sementara matahari sudah menjadi semakin rendah. Di kejauhan mereka melihat hutan yang terbentang memanjang kearah Barat. Didepan hutan itu terdapat gumuk-gumuk kecil yang ditumbuhi gerumbul-gerumbul perdu yang membatasinya dengan daerah persawahan.

"Anak-anak muda” berkata Ki Pandi "Hutan itu sangat menarik perhatianku. Sudah beberapa kali aku berada di dalamnya untuk sekedar mengamati isinya. Kedua ekor harimauku juga ada di hutan itu."

"Jadi Ki Pandi sudah sering pergi ke hutan itu?” bertanya Manggada.

"Ya. Jika kalian bersedia, kita akan bermalan di hutan itu malam nanti.” ajak Ki Pandi.

Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Dengan ragu-ragu Manggada bertanya kepada adik sepupunya itu, "Bagaimana jika kita bermalam di hutan itu semalam sebagaimana dikatakan oleh Ki Pandi"

"Aku tidak berkeberatan...!” jawab Laksana.

"Baiklah!” berkata Ki Pandi "Kita akan langsung menuju ke hutan itu"

Demikianlah, maka bertiga mereka telah meninggalkan jalan yang mereka lalui. Mereka telah meloncati tanggul parit, mengikuti jalan pintas sepanjang pematang sawah menuju kepadang perdu dengan gumuk-gumuk kecil yang berserakan. Hanya ada satu dua batang pohon yang agak besar tumbuh disela-sela gumuk-gumuk kecil itu. Namun semakin dekat dengan hutan yang lebat itu, maka pepohonanpun menjadi semakin banyak.

Sebelum matahari terbenam, mereka telah berada di dalam hutan itu. Meskipun matahari masih nampak di langit, tetapi semakin dalam mereka memasuki hutan itu, maka rasa-rasanya malam sudah mulai turun. Tetapi dari sela-sela daun pepohonan yang rimbun masih nampak berkas-berkas cahaya matahari yang berhasil menyusup menimpa pohon-pohon raksasa yang bertebaran di antara beribu-ribu batang pohon yang seakan-akan saling berdesakan.

Manggada dan Laksana bukan untuk yang pertama kali memasuki hutan-hutan yang lebat. Ketika mereka masih berguru, mereka sudah sering mencari harimau untuk dikuliti. Kulitnya dapat mereka jual kepada beberapa orang pedagang yang memang mencari kulit harimau sebagai barang dagangan. Namun pamannyapun kemudian telah menasehatkan agar mereka menghentikan kegiatan itu.

Kemudian Manggada dan Laksana juga telah menyeberangi hutan Jatimalang bersama Ki Wiradadi yang kehilangan anak gadisnya. Justru di seberang hutan itulah Manggada dan Laksana bertemu dengan Ki Pandi dan Ki Ajar Pangukan. Karena itu, keduanya memang tidak terlalu canggung berada di dalam hutan yang terhitung lebat itu.

"Hutan ini merupakan hutan yang jarang disentuh kaki manusia.” berkata Ki Pandi. Lalu katanya selanjutnya "Hutan ini termasuk hutan yang lebat, sebagaimana hutan Jatimalang. Tetapi hutan ini tidak menyembunyikan satu lingkungan sebagaimana yang terdapat di belakang hutan Jatimalang."

"Jadi apa yang menarik dari hutan ini?” bertanya Laksana.

"Tidak seperti hutan Jatimalang yang miring karena letaknya di kaki gunung. Hutan ini datar. Ada rawa-rawa di dalamnya. Pohon-pohon raksasa yang jumlahnya lebih banyak. Batu-batu besar yang berserakan di dalamnya sebagaimana terdapat gumuk-gumuk kecil di padang perdu itu. Sedangkan dikedung bagian Barat hutan ini terdapat sarang sejenis buaya kerdil yang liar dan buas"

"Buaya kerdil?” ulang Manggada.

"Ya. Sejenis buaya yang tidak begitu besar. Tetapi justru sangat berbahaya. Geraknya lebih tangkas dan kebiasaannya bergerombol dan bergerak bersama-sama. Ketika terjadi perkelahian antara sekelompok buaya itu dengan sekelompok anjing hutan yang juga banyak terdapat di hutan ini, aku sempat merasa ngeri. Kedua-duanya merupakan jenis binatang yang bergerombol dan berkelahi bersama-sama."

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Nampaknya selain berceritera, Ki Pandi juga memberikan peringatan-peringatan dini kepada Manggada dan Laksana.

Sementara itu, maka langitpun menjadi semakin buram. Dari balik pegunungan disisi Timur, bulan yang hampir purnama mulai muncul. Meskipun demikian, di dalam hutan itu rasa-rasanya memang menjadi semakin kelam.

Namun mata Manggada dan Laksana sudah terlatih sejak mereka masih berguru pada Ki Citrabawa. Mereka sering memasuki hutan di malam hari untuk menangkap harimau.

Malam itu mereka bertiga bermalam di hutan itu. Sebenarnya bahwa di dalam hutan itu keadaannya jauh lebih berbahaya daripada keadaan di luar. Jika mereka bermalam dipategalan atau bahkan dibanjar padukuhan, maka mereka tidak akan diganggu oleh binatang buas sebagaimana jika mereka berada di dalam hutan.

Ketika mereka menemukan tempat yang agak lapang, maka mereka bertigapun beristirahat di atas sebuah batu yang besar dan tergolek dibawah sebatang pohon yang besar pula. Satu-satunya sinar bulan jatuh pula di atas tanah yang lembab.

Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak, ketika ia melihat Ki Pandi mengambil serulingnya. Kemudian diletakkannya ujung serulingnya di mulutnya. Sejenak kemudian terdengar suaranya yang membumbung menggetarkan dedaunan. Tidak terdengar lagu atau nada-nada dalam irama yang manis. Tetapi tidak lebih dari satu suitan yang nyaring.

Ternyata beberapa saat kemudian, terdengar aum harimau di kejauhan. Bersahutan. Manggada dan Laksanapun segera mengetahui, bahwa dua ekor harimau Ki Pandi telah mendengar isyarat pemiliknya. Karena itu, ketika dalam keremangan malam yang ditaburi cahaya bulan itu mereka melihat dua ekor harimau, maka Manggada dan Laksana justru merasa lebih tenang. Apalagi ketika kedua ekor harimau itu mendekat dan mendekam di sebelah batu besar itu.

Untuk beberapa saat kemudian, Manggada dan Laksana sempat memperhatikan suara-suara malam di hutan yang lebat. Bagi mereka suara-suara itu memang tidak asing lagi. Hutan yang pernah dirambahnya di malam hari juga memperdengarkan suara-suara yang hampir sama.

Ketika bulan menjadi semakin tinggi, maka cahayanya telah menembus dedaunan yang agak jarang di atas tempat duduk ketiga orang itu. Laksana yang duduk memeluk lututnya, sekali-sekali menepak nyamuk yang hinggap dan menggigit kulitnya.

Dalam pada itu, maka Ki Pandi yang untuk beberapa saat berdiam diri itupun berkata, “Anak-anak muda. Kalian telah cukup lama mengembara. Bagaimana pendapat kalian, jika pengembaraan kalian ditambah satu bulan lagi."

Manggada dan laksana tidak begitu memahami kata-kata Ki Pandi itu. Karena itu, maka Manggadapun bertanya, “Maksud Ki Pandi?"

"Kita akan tertahan sebulan lagi di perjalanan.” jawab Ki Pandi.

"Tetapi Pajang sudah dekat. Kemudian beberapa langkah lagi kita akan sampai ke tujuan” jawab Laksana.

"Ya. Aku tahu. Tetapi sebelum kalian sampai, apakah kalian bersedia menjalani laku sebulan lamanya bersamaku di hutan ini? Kita akan mulai nanti saat bulan purnama, dua hari lagi. Dan kita akan mengakhiri disaat purnama sebulan kemudian” berkata Ki Pandi.

"Tetapi kita sudah terlalu lama berada di perjalanan.” berkata Manggada.

"Jika waktu yang sudah terlalu lama itu ditambah dengan satu bulan lagi, maka tentu tidak akan terasa lebih lama” sahut Ki Pandi.

"Tetapi laku apa yang harus kami jalani Ki Pandi?” bertanya Manggada kemudian.

"Jika kalian bersedia, maka kalian akan mendapatkan banyak sekali bahan-bahan yang akan dapat melengkapi ilmu kalian. Mungkin tataran ilmu kalian tidak meningkat dengan jelas. Tetapi unsur-unsur ilmu kalian akan menjadi semakin lengkap. Kalian akan memiliki banyak cara untuk mengatasi kesulitan apabila kalian berhadapan dengan lawan yang berilmu tinggi sekalipun” jawab Ki Pandi.

Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Dengan ragu-ragu Laksana bertanya “Laku apa yang akan kita jalani seandainya kami bersedia melakukannya."

Ki Pandi menarik nafas panjang. Namun kemudian katanya dengan nada dalam, "Anak-anak muda, jika kalian bersedia, kalian akan aku minta menjalani Tapa Ngidang selama satu bulan di hutan ini. Dari purnama sampai ke purnama. Memang tidak ada hubungannya dengan kebulatan bulan di langit. Jika aku menyebutnya dari purnama sampai ke purnama itu sekedar sebagai ancar-ancar waktu saja"

Kedua orang anak muda itu saling berpandangan sejenak. Dengan dahi yang berkerut Manggada bertanya Laku apakah yang harus kami jalani denan Tapa Ngidang itu?"

"Kita berlaku seperti seekor kijang di dalam hutan ini.” jawab Ki Pandi.

"Seperti kijang?” ulang Laksana "Aku tidak dapat membayangkan, apa saja yang harus kami lakukan?”

"Anak-anak muda, di hutan yang tidak pernah dikunjungi orang ini, bahkan orang mencari kayu sekalipun, kita akan menanggalkan semua pakaian kita. Kita akan memakai cawat dari kulit kayu. Kita akan hidup di hutan ini dengan cara seperti seekor kijang. Kita akan makan dan minum dari apa saja yang kita temukan di hutan ini. Kita akan menjelajah hutan dari ujung sampai ke ujung."

"Lalu apa yang akan kami dapatkan dari laku itu?” bertanya Manggada.

"Anak-anak muda. Tapa Ngidang bukan berarti kita menjadi kijang. Kita memang berlaku seperti kijang. Kita tetap saja dalam pribadi kita masing-masing. Kita tetap seseorang yang mempunyai akal budi. Jika kita lepaskan pakaian kita, karena pakaian itu dapat mengganggu gerak kita, serta pakaian kita akan dapat menjadi rusak, sedangkan hal itu sebenarnya tidak perlu. Kita akan berlari-lari di dalam lebatnya dedaunan dan akar-akar serta sulur-sulur kayu bahkan di antara semak dan duri. Tetapi kita tidak seperti kijang yang hanya dapat melarikan diri jika bertemu dengan binatang buas. Tetapi kita akan mampu melawannya, atau kita dapat memanjat pohon. Sedangkan seekor kijang tidak dapat melakukannya. Dengan laku itu kita akan melihat dan mengamati apa saja yang dilakukan oleh binatang binatang hutan. Dari seekor harimau, buaya di rawa-rawa, berjenis-jenis kera pepohonan, ular bahkan binatang-binatang kecil sampai ke tikus tanah. Bagaimana mereka mencari mangsanya, namun juga bagaimana binatang-binatang yang lebih lemah menyelamatkan dirinya dari tangan binatang-binatang yang jauh lebih kuat."

Manggada dan Laksana menarik nafas dalam-dalam. Mereka membayangkan betapa beratnya laku yang harus dijalaninya. Dingin malam, gatalnya dedaunan yang berbulu, goresan-goresan duri dan ranting-ranting perdu. Bahkan racun dari serangga-serangga berbisa serta sengat lebah lebah raksasa.

Untuk beberapa saat kedua anak itu mulai merenung. Namun akhirnya Manggada itupun berkata kepada Laksana "Marilah kita coba. Kita berharap bahwa laku itu akan memberikan arti bagi kita, khususnya di dalam olah kanuragan."

"Tidak hanya olah kanuragan” berkata Ki Pandi "Tetapi kalian juga akan mengenal jenis-jenis tanaman jauh lebih banyak. Kalian juga akan dapat mengenali tingkah laku binatang yang sebelumnya tidak pernah kalian lihat. Selain itu, kalian juga akan mengenali jenis-jenis tanah di dalam hutan serta arti matahari dan bulan. Kalian akan lebih mengenali siang dan malam karena kalian tidak akan pernah menghindarinya. Hujan, angin dan dinginnya malam.”

Laksanapun ternyata mengangguk sambil menjawab “Baiklah. Kita akan menunda perjalanan pulang kita sebulan lagi, meskipun kita sudah tidak terlalu jauh lagi dari rumah."

Demikianlah, maka Ki Pandi telah mempersiapkan anak-anak muda itu untuk menjalani laku Tapa Ngidang. Sebelum purnama naik, selama dua hari mereka membiasakan diri serta mengenali isi hutan itu. Mereka mulai makan apa yang ada serta minum dari sulur-sulur kayu yang dipotong ujungnya atau air belik yang bening dibawah pohon-pohon raksasa.

Menjelang purnama, maka Ki Pandi mengajari anak-anak muda itu membuat pakaian dari kulit kayu. Beberapa lembar kulit kayu yang berserat, dikeringkan. Kemudian kulit kayu itu ditumbuk perlahan-lahan sehingga menjadi lemas, sehingga jika dikenakannya tidak membuat kulit mereka menjadi lecet. Merekapun telah membuat tali dari serat kekayuan untuk membuat tali ikat pinggang.

Ketika semua perlengkapan dan pakaian khusus mereka sudah siap, maka menjelang malam merekapun telah melepaskan pakaian mereka, membungkusnya dengan rapi dan diikatkan pada dahan pohon yang cukup besar, sehingga tidak mudah jatuh, bahkan diambil oleh binatang yang memanjat, terutama kera. Demikian bulan mulai nampak di langit, maka bertiga mereka telah mengenakan pakaian yang mereka buat dari kulit kayu.

"Malam ini tentu akan terasa sangat dingin bagi kalian. Gatal-gatal pada kulit kalian serta perasaan-perasaan lain yang tidak menyenangkan. Tetapi kalian harus menganggap hahwa hal itu merupakan pendadaran, apakah kalian pantas menjalani laku Tapa Ngidang atau tidak."

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Dingin malam yang kemudian turun memang nulai terasa menyentuh kulit. Tetapi mereka sebelumnya juga sudah sering melepas baju mereka di malam hari. Bahkan ketika mereka masih menempa diri, maka mereka sudah terbiasa berada di hutan tanpa baju meskipun tidak mengenakan pakaian khusus dari kulit kayu.

Malam itu Manggada dan Laksana masih belum mengalami laku yang sebenarnya, selain hanya berjalan menyusuri hutan yang sepi itu. Sekali-sekali, jika mereka sampai di tempat yang agak lapang, mereka sempat memandangi bulatnya bulan dari sela-sela dedaunan. Namun kemudian langitpun rasa-rasanya segera menjadi pepat sekali setelah mereka menyusup kembali di antara pohon-pohon raksasa.

Tetapi malam itu Ki Pandi sudah mengatakan bahwa sejak esok pagi, mereka akan benar-benar menjalani laku Tapa Ngidang. Demikianlah, lewat tengah malam mereka mencari tempat untuk tidur. Menurut Ki Pandi, yang terbaik bagi mereka adalah tidur di atas dahan yang besar. Manggada dan Laksana sependapat. Mereka pernah mengalaminya, tidur di atas dahan sebatang pohon yang besar.

Tetapi Ki Pandi minta keduanya tetap berhati-hati. Salah seorang dari antara kalian harus tetap terjaga. Disini ada sejenis harimau yang berkeliaran di dahan-dahan. Macan Kumbang yang berwarna hitam. Selain itu, mungkin kera-kera yang nakal akan dapat juga mengganggu. Selain binatang-binatang berkaki dan buas, maka ular harus mendapat perhatian mereka pula.

Malam itu, Manggada dan Laksana memang sulit untuk dapat tidur. Rasa-rasanya mereka berarap bahwa harimau-harimau peliharaan Ki Pandi akan lewat. Kehadiran kedua ekor harimau itu akan dapat membuat mereka lebih tenang. Tetapi agaknya Ki Pandi sudah memberi isyarat agar kedua ekor harimaunya itu menjauh.

Namun meskipun hanya sesaat-sesaat Manggada dan Laksana dapat juga tidur bergantian. Ketika bulan tenggelam, serta cahaya fajar mulai nampak, maka Manggada yang menggeliat sambil duduk dialas dahan yang besar itu berkata “Dimana kita mandi"

"Siapa yang akan mandi?” bertanya Ki Pandi.

"Aku. Kita. Bukankah kita akan mandi...!"

"Kita tidak perlu mandi dengan teratur sebagaimana sebelumya. Mungkin nanti, besok atau lusa kita akan menyeberangi sungai yang mengalir ditengah-tengah hutan ini. Dalam kesempatan itu, kita sekaligus akan mandi” jawab Ki Pandi.

Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Laksanapun bertanya, “Jadi mungkin kita belum tentu mandi dalam sehari? Justru saat kita bergulat dengan tanah berlumpur, pepohonan dan sampah yang tertimbun karena daun-daun kering yang berguguran. Bahkan mungkin lugut yang gatal dari beberapa jenis pohon dan dedaunan. Bahkan juga keringat kita sendiri yang tentu akan banyak mengalir"

Ki Pandi mengangguk sambil menjawab “Ya. Kita tidak akan mandi. Kecuali jika kita menyeberangi sungai. Tetapi ingat, bahwa di kedung di tikungan sungai yang mengalir di hutan ini, banyak terdapat buaya kerdil yang sangat liar dan buas"

Manggada dan Laksana hanya dapat mengangguk-angguk saja. "Nah, sekarang kita benar-benar akan melakukan Tapa Ngidang itu. Marilah. Ikuti aku. Kita akan menjelajahi hutan ini. Tentu saja pertama-tama untuk mengenalinya. Namun kemudian benar-benar memperhatikan dan memahami isinya.” Ki Pandi berhenti sejenak. Lalu katanya lagi. "Tapa Ngidang yang sebenarnya termasuk Tapa Mbisu. Tetapi kita tidak akan melakukannya. Kita akan tetap berbicara karena kita memang dapat berbicara."

Manggada dan Laksana itupun kemudian melangkah mengikuti Ki Pandi yang bongkok itu. Mula-mula mereka berjalan saja di antara pohon-pohon raksasa. Sekali-sekali mereka memang melihat semak-semak yang berguncang. Seekor kijang berlari dengan kencangnya.

Ki Pandi itu berjalan semakin lama semakin cepat. Bahkan kemudian ia mulai berlari-lari kecil. Menyusup semak-semak dan meloncati batang-batang kayu yang roboh. Manggada dan Laksana hanya mengikutinya saja. Keduanya juga ikut menyusup semak-semak dan meloncati batang-batang kayu yang roboh.

Demikianlah, maka mereka telah melintas hutan yang panjang itu. Ketika mereka sampai di sebuah rawa yang menggenang, maka mereka telah melingkari tepi-tepi rawa itu. Berbagai tumbuh-tumbuhan air tumbuh di dalam rawa-rawa itu. Tidak kalah hebatnya dengan batang-batang pohon yang tumbuh di tanah.

Pada hari yang pertama itu, agaknya Ki Pandi masih belum memperkenalkan Manggada dan Laksana dengan isi rawa-rawa itu. Karena itu, maka mereka tidak berhenti. Hanya kaki-kaki mereka sajalah yang berdecak pada air berlumpur di ujung rawa-rawa itu. Ki Pandi memang belum membawa anak-anak muda itu sepenuhnya pada laku yang terlalu berat. Tetapi Ki Pandi menuntun sedikit demi sedikit agar keduanya tidak mengalami gangguan badani, juga jiwani.

Namun ternyata Manggada dan Laksana yang dengan mantap menjalani laku itu, telah menunjukkan betapa mereka dengan sungguh-sungguh melakukan apa saja yang diperintahkan oleh Ki Pandi. Sejak hari yang pertama, mereka telah menunjukkan, bahwa mereka memiliki bekal yang cukup banyak untuk meningkat pada jenjang kemampuan berikut dan berikutnya.

Dengan demikian, maka Ki Pandipun menjadi semakin berharap atas kedua orang anak muda itu. Seperti yang direncanakannya, maka dari hari ke hari, laku yang dijalani menjadi semakin berat. Mereka tidak saja berlari-lari menyusuri hutan itu sejak matahari belum terbit. Tetapi mereka juga mulai berhubungan dengan penghuninya. Mereka mulai memperhatikan isi hutan itu dari jenis binatang yang kecil sampai pada binatang yang terbesar yang terdapat di hutan itu.

Berkali-kali mereka bertemu dengan harimau yang bukan milik ki Pandi. Namun jika masih ada kemungkinan untuk menghindar, mereka selalu menghindarinya. Yang mereka perhatikan, bagaimana binatang-binatang itu mempertahankan hidupnya dalam garangnya pergaulan di dalam rimba yang lebat.

Tetapi semakin lama mereka berada di hutan, maka mereka tidak selalu dapat menghindari pertarungan yang keras melawan binatang-binatang liar di dalam hutan beberapa jenis harimau pernah mereka hadapi. Namun mereka masih menghindar jika bertemu dengan sekelompok anjing hutan liar yang sangat berbahaya.

Jika tidak mungkin lagi menghindar, maka Ki Pandi terpaksa memanggil kedua ekor harimaunya untuk mengusir anjing-anjing hutan yang ganas dan licik itu. Namun yang biasa dilakukan oleh ketiga orang itu jika mereka bertemu dengan gerombolan anjing liar adalah dengan memanjat sebatang pohon.

Yang menarik perhatian mereka adalah kelompok-kelompok buaya kerdil yang hidup di dalam kedung. Sebuah tikungan sungai yang airnya cukup dalam. Seperti yang diceritakan oleh Ki Pandi, maka Manggada dan Laksana juga sempat melihat, pertarungan yang mengerikan antara sekelompok buaya kerdil melawan sekelompok anjing hutan liar yang lapar.

Pertarungan itu dimulai ketika beberapa ekor anjing hutan yang haus minum dari air kedung itu. Tiba-tiba saja seekor di antaranya telah disambar oleh seekor buaya kerdil. Lengking anjing itu ternyata telah memanggil segerombolan kawan-kawannya. Dengan demikian, maka pertarunganpun tidak dapat dihindarkan ketika sekelompok buaya kerdil naik ke darat.

Manggada dan Laksana yang sudah memiliki pengalaman menghadapi benturan kekerasan, masih juga merasa sangat ngeri menyaksikan apa yang terjadi. Kedung itu menjadi merah, mereka tidak jelas melihat bagaimana pertarungan itu berakhir. Namun yang nampak kemudian adalah beberapa ekor anjing hutan terseret ke dalam kedung, sementara beberapa ekor buaya kerdil yang berkulit keras itu dapat juga terkoyak oleh gigi-gigi tajam anjing liar, sehingga beberapa ekor di antaranya harus tertinggal di darat. Mati.

"Itulah akibat jika terjadi pertempuran” berkata Ki Pandi "bukan saja antara binatang liar yang buas. Tetapi pertempuran antara sekelompok manusia melawan kelompok yang lain, akibatnya akan sama saja sebagaimana kau lihat yang terjadi di rumah Kiai Windu Kusuma..."

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Pandipun berkata selanjutnya, "Apalagi manusia mempunyai akal dan penalaran. Mereka dapat berbuat lebih jahat dari binatang-binatang liar itu..."

Manggada dan Laksana masih saja mendengarkan keterangan Ki Pandi itu sambil mengangguk-angguk. Demikianlah, selama Tapa Ngidang banyak sekali yang dapat dilihat oleh Manggada dan Laksana. Sementara itu, selama berada di hutan itu, Manggada dan Laksana telah menempa diri mereka pula. Selama menjalani laku, maka mereka makan apa saja yang mereka dapatkan di hutan itu.

Apa yang dapat dimakan oleh seekor kijang, maka merekapun dapat pula memakannya. Tetapi lebih dari itu, maka merekapun makan apa yang dapat dimakan oleh seekor kera. Bahkan apa yang dapat dimakan oleh seekor harimau. Sebagaimana dikatakan oleh Ki Pandi bahwa mereka tidak menjadi seekor kijang, tetapi mereka tetap berlandaskan akal budi mereka.

Karena itu, maka merekapun tetap menggunakan kemampuan membuat api. Kemampuan yang tidak dapat dilakukan seekor harimau jika harimau itu berhasil menangkap seekor kijang atau rusa. Dalam laku Tapa Ngidang, maka Manggada dan Laksana hampir di setiap dini hari, berlari-lari kencang, seperti seekor kijang yang sedang diburu oleh seekor harimau.

Menyusup di antara pohon-pohon perdu, melingkari pepohonan, meloncati batang-batang kayu yang melintang, menyusuri tepi rawa-rawa, menyeberangi sungai dan berloncatan di atas bebatuan serta mengatasi rintangan-rintangan yang lain. Mereka juga melatih ketajaman penglihatan mereka. Kepekaan mereka terhadap keadaan di sekitarnya. Namun juga pernafasan mereka.

Dari kehidupan berbagai macam binatang, mereka mendapatkan berbagai macam unsur gerak yang dapat mengisi kekurangan penguasaan mereka atas unsur-unsur gerak yang telah mereka pelajari. Ketrampilan mempergunakan tangan dan kaki, serta ketajaman naluri dan penggraita.

Ki Pandi yang mengamati kedua orang anak muda itu memang meyakini, bahwa keduanya akan mendapatkan sesuatu yang sangat berharga selama satu bulan berada di dalam hutan. Bukan saja kemampuan dalan olah kanuragan serta peningkatan tenaga dan daya tahan mereka, tetapi juga ketahanan jiwani yang akan dapat menjadi pendukung landasan pribadi mereka.

Dalam pada itu, dari hari ke hari, malampun rasa-rasanya menjadi semakin gelap. Sedikit demi sedikit, kebulatan bulanpun menjadi semakin menyusut, sehingga malampun menjadi gelap pekat. Namun mata Manggada dan Laksana menjadi terbiasa dengan gelapnya malam di dalam hutan.

Selain latihan yang dilakukan sedikit demi sedikit sesuai dengan susutnya cahaya bulan, keduanya memang sudah berbekal katajaman penglihatan dan pendengaran. Sehingga sebagaimana sebilah mata pisau yang tajam yang selalu diasah, akan menjadi semakin tajam pula.

Dengan demikian, maka apa yang dapat dicapai oleh Manggada dan Laksana selama mereka berada di hutan dalam laku Tapa Ngidang ternyata melampaui apa yang diperkirakan oleh Ki Pandi. Ketika bulan gelap, maka Manggada dan Laksana telah mampu menyerap pengalaman, pengenalan dan pengetahuan sebagaimana diperkirakan akan dapat diserap dalam jarak waktu dari purnama sampai ke purnama.

Demikian pula peningkatan kekuatan, ketrampilan dan ketahanan tubuhnya. Namun Ki Pandi tidak menghentikan laku Tapa Ngidang itu hanya setengah bulan. Laku itupun dilanjutakan hingga batas waktu yang sudah ditetapkan. Namun dengan hasil yang jauh lebih banyak dari yang diharapkan.

Justru setelah melihat hasil dari laku yang dijalani oleh Manggada dan Laksana, maka pada hari-hari terakhir, Ki Pandi telah membawa anak-anak muda itu memasuki satu laku yang lebih berat. Tiga malam mereka akan menjalani laku dengan berendam di sungai. Mereka memilih tempat yang agak jauh dari kedung, sarang buaya-buaya kerdil yang buas itu.

Kemudian tiga malam terakhir mereka berada di hutan itu, menjelang bulan purnama, mereka akan mejalani laku Tapa Ngalong. Di malam hari mereka akan bergayut pada dahan sebatang pohon yang tinggi dengan kaki mereka. Sementara di siang hari mereka tetap menjelajahi hutan itu dari ujung sampai keujung. Mereka sempat melengkapi pengenalan mereka dengan kehidupan burung-burung. Dari burung-burung kecil, sampai pada burung-burung buas yang berparuh melengkung.

Sekali-sekali mereka berlama-lama berada dibawah sebatang pohon raksasa yang menjadi sarang burung elang yang buas. Namun merekapun kadang-kadang berdiri ditepi hutan melihat burung alap-alap meluncur memburu mangsanya. Namun merekapun melihat bagaimana sejenis burung tekukur mampu melepaskan diri dari terkaman burung alap-alap yang mampu terbang lebih cepat dari burung yang diburunya.

Di kesempatan lain, mereka melihat seekor burung srigunting yang bertarung melawan burung elang yang lebih besar yang lebih besar dan buas. Namun kecepatan gerak burung yang lebih kecil itu membuat lawannya menjadi bingung, sehingga elang itu merasa lebih baik menyingkir untuk saja.

Demikianlah, haripun merangkak terus, sehingga akhirya laku Tapa Ngidang, berendam di air serta Tapa Ngalong, telah selesai dijalani. Sementara itu, di malam-malam terakhir, langit menjadi terang kembali. Bulan yang gelap semakin lama menjadi semakin terang, sehingga akhirnya, sampailah mereka pada malam purnama.

Bulan bulat bertengger di langit. Bintang nampak gemerlapan. Selembar-selembar awan yang tipis mengalir dihembus angin. Ki Pandi menganggap laku yang dijalani oleh Manggada dan Laksana sudah selesai. Menjelang tengah malam, saat inilah bulan berada di puncak, ketiga orang itupun telah mandi keramas di sungai.

Mereka membersihkan semua kotoran yang melekat di tubuh mereka, karena selama mereka menjalani laku, mereka tidak dapat mandi setiap hari. Beruntunglah bahwa mereka menjalani laku dengan berendam di dalam air selama tiga malam berturut-turut, sehingga kotoran di tubuh mereka hanyut dibawa arus sungai itu.

Selesai dengan mandi keramas, maka merekapun telah mencari pakaian mereka yang mereka simpan. Mereka mulai menanggalkan pakaian mereka yang dibuat dari kulit kayu diikat dengan tali serat pada pinggangnya. Demikian mereka mengenakan pakaian mereka, maka rasa-rasanya tubuh mereka menjadi hangat. Seluruh tubuh mereka seakan-akan telah terbungkus rapat.

Setelah sebulan mereka mengenakan pakaian dari kulit kayu, maka rasa-rasanya dengan berpakaian lengkap, gerak mereka memang menjadi lebih terbatas. Menjelang dini hari, maka merekapun telah mempersiapkan diri untuk keluar dari hutan itu. Ki Pandi mempergunakan kesempatan itu untuk berbicara bersungguh-sungguh dengan Manggada dan Laksana yang telah selesai menjalani laku.

"Anak-anak...” berkata Ki Pandi "Kalian telah melihat, mendengar dan mengalami peristiwa yang bermacam-macam di dalam hutan ini. Kalian telah berlatih dan menempa diri dengan berbagai macam cara. Kalian juga menempa jiwa kalian sehingga kalian menemukan arti dari kesabaran, ketekunan, keuletan, ketabahan dan lebih dari itu, kalian telah lebih banyak mengenali ciptaan dari Yang Maha Agung. Kalian lebih banyak melihat perbedaan antara kehidupan berjenis-jenis binatang dengan kehidupan manusia yang berakal budi. Di rimba ini, siapa yang kuat ialah yang menang tanpa menghiraukan kebenaran dan keadilan. Tidak ada usaha dari binatang-binatang itu untuk melindungi yang lemah dan melawan kelaliman. Dengan demikian, maka kalian akan lebih menghormati nilai-nilai yang dijunjung oleh kita manusia jika kita tidak mau disamakan dengan binatang yang hidup di hutan. Kita bukan mahluk yang menganut tatanan kehidupan rimba, siapa yang kuat ialah yang akan menang."

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Namun kata-kata Ki Pandi itu benar-benar telah menyentuh hatinya. Dengan demikian semakin terasa pula bahwa Sang Maha Pencipta yang bersifat Maha Pengasih dan Maha Penyayang memberikan kita akal dan pikiran yang dapat membedakan baik dan buruk, dan tidak menempuh kehidupan sebagaimana kehidupan di dalam rimba yang lebat itu.

Namun Ki Pandi itupun kemudian berkata, “Meskipun demikian anak-anak muda. Di lingkungan tatanan kehidupan manusia yang yang sewajarnya itu, masih ada juga yang menjalaninya sebagaimana tatanan kehidupan di dalam rimba. Ada satu dua orang, bahkan satu dua kelompok orang yang menganggap dalam tatanan kehidupan menusia itu juga berlaku paugeran siapakah yang kuat merekalah yang menang. Bahkan ada yang menganggap bahwa menelan sesamanya dapat menjadi pilihan yang sah untuk mencapai maksud serta keinginannya."

Manggada dan Laksana masih saja mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak menjawab. Sedangkan Ki Pandi masih berkata selanjutnya, "Nah, dalam kehidupan yang demikian, di antara orang-orang yang menghormati tata nilai kehidupan serta mereka yang sama sekali tidak menghargainya, kita harus menempatkan diri kita sebaik-baiknya. Kita yang telah mengenali tata kehidupan manusia dan tata kehidupan binatang di hutan, tentu akan mampu dengan landasan nalar dan budi memilih yang terbaik bagi kita dan bertanggung jawab kepada Sang Pencipta."

Manggada dan Laksana masih saja mengangguk-angguk. Namun dari sela-sela bibirnya. Manggada berdesis. “Kami mengerti, Ki Pandi..."

"Bagus!” berkata Ki Pandi "Jika demikian, mulai besok, kita akan memasuki kembali dunia kita dalam tatanan hidup mahluk Sang Pencipta yang dianugerahi akal dan pikiran."

Dengan demikian, maka Ki Pandipun membawa dua orang anak muda itu keluar dari hutan. Bulan yang bulat telah jauh condong di sebelah Barat. Namun sinarnya masih nampak gemerlapan memantul dari wajah dedaunan. Manggada dan Laksana kemudian berdiri di padang perdu yang luas bersambung bulak persawahan yang membentang sampai ke cakrawala.

"Tidurlah di atas bebatuan itu.” berkata Ki Pandi.

Manggada dan Laksanapun kemudian duduk di atas sebuah batu yang besar. Namun Manggada pun bertanya, “Bagaimana dengan Ki Pandi?"

"Aku juga akan tidur...” jawab Ki Pandi.

Namun Ki Pandi melihat keragu-raguan pada kedua orang anak muda itu. Bahkan Laksana pun kemudian berkata, “Ki Pandi memang harus beristirahat. Biarlah kami bergantian berjaga-jaga.”

"Waktunya tinggal sedikit. Sebentar lagi fajar akan datang. Jika kalian berjaga-jaga berganti ganti, maka tidak seorangpun di antara kalian yang sempal tidur...!"

"Tetapi binatang buas dari hutan itu akan dapat sampai ke tempat ini...."

Selanjutnya,
Sejuknya Kampung Halaman Bagian 02

Sejuknya Kampung Halaman Bagian 01

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
SINAR matahari pagi yang cerah telah menyegarkan tubuh Manggada dan Laksana yang berjalan di belakang Ki Pandi. Mereka melintasi bulak panjang yang digelari padi-padi muda. Yang nampak dari ujung sampai ke ujung cakrawala adalah warna yang hijau segar. Satu-satu titik embun yang masih bergayut nampak berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari.

Ki Pandi yang bongkok itu berjalan sambil menundukkan kepalanya. Nampaknya memang ada yang sedang direnungkannya. Sementara itu di belakang mereka, Manggada dan Laksana masih juga sempat berkelakar Dengan dahi yang berkerut Laksana berkata,

"Sebenarnya aku merasa kecewa terhadap sikap Winih..."

"Kenapa?” bertanya Manggada "bukankah ia bersikap baik terhadap kita. Jika kelak kita kembali, maka ia masih akan tetap menganggap kita sebagai kakaknya sendiri"

"Itulah sebabnya aku menjadi kecewa?”

"Kenapa?” desak Manggada.

"Aku lebih senang jika kelak, apabila kita kembali, kita, setidak-tidaknya aku, dianggap sebagai orang lain. Namun diterima dengan baik” jawab Laksana.

"Aku tidak tahu maksudmu?” gumam Manggada.

"Ah, kau. Penalaranmu memang tumpul. Kau tahu, jika aku dianggap sebagai kakaknya, aku akan tetap saja menjadi kakaknya. Tetapi jika aku dianggap orang lain, maka mungkin, hanya mungkin, kedudukanku terhadap Winih akan dapat berubah. Ia terlalu cantik untuk menjadi adikku."

Manggada tertawa. Katanya “Kau memang gila. Kau kira kau pantas bermimpi seperti itu."

Laksanapun tertawa pula, sehingga Ki Pandipun telah berpaling sambil bertanya. “Ada apa?"

Manggadalah yang menjawab “Laksana sedang bermimpi..."

"Mimpi apa?” bertanya Ki Pandi pula.

"Mimpi tentang seorang gadis yang cantik. Tetapi gadis itu berilmu sangat tinggi, sehingga jika gadis itu marah, maka Laksana di hadapannya akan menjadi seekor tikus di hadapan seekor kucing yang sedang menyusui dan bahkan sedang lapar” jawab Manggada.

Ki Pandipun tersenyum pula. Ia segera tahu, apa yang sedang dijadikan bahan kelakar anak-anak muda itu. Karena itu, maka iapun berkata, “Aku tahu. Mimpi yang demikian adalah mimpi yang wajar bagi anak-anak muda. Jika seorang anak muda ingin melihat mimpinya menjadi kenyataan, maka ia harus berjuang. Bukan menunggu seperti menunggu titiknya embun di siang hari.”

"Ah, tidak Ki Pandi” jawab Laksana "Manggada berbohong. Aku sama sekali tidak bermimpi, karena bermimpipun aku tidak berani"

"Kenapa tidak berani?” bertanya Ki Pandi justru sambil tertawa.

"Aku bukan apa-apa Ki Pandi. Eh, sepantasnya aku menjadi cantriknya” jawab Laksana.

"Jangan begitu” berkata Ki Pandi. Lalu katanya “Aku tahu bahwa kalian tidak bersungguh-sungguh. Tetapi pada kesempatan lain, jika kalian bersungguh-sungguh, maka kalian harus berbuat sesuatu"

"Berbuat apa?” bertanya Manggada.

"He, nampaknya kau yang justru lebih dahulu ingin berbuat sesuatu itu” potong Laksana.

Manggada tertawa. Katanya “Tidak. Aku hanya ingin tahu. Seperti yang dikatakan oleh Ki Pandi, mungkin pada kesempatan lain aku menjadi seekor tikus"

Ki Pandi yang kemudian berjalan di antara kedua orang anak muda itu kemudian berkata “Nah, anak-anak muda. Agar kalian tidak sekedar menjadi tikus, maka kalian harus belajar menjadi kucing."

Manggadalah yang menyahut “Tetapi berapa panjang waktu yang diperlukan bagi seekor tikus untuk menjadi seekor kucing?"

Ki Pandi menepuk bahu Manggada sambil berkata “Kalian telah dihinggapi penyakit rendah diri"

Manggada memang tidak membantah. Katanya “Di lingkungan keluarga Kiai Gumrah, kami berdua benar-benar merasa tidak berarti apa-apa.”

"Kalian memang salah menilai diri kalian” berkata Ki Pandi "kalian mengira bahwa harga diri seseorang semata-mata ditentukan oleh kemampuannya dalam olah kanuragan. He, bukankah Winih itu dapat mengatakan kepada kalian bahwa kepribadian seseorang merupakan bagian dari harga diri seseorang."

Kedua orang anak muda itu mengangguk-anguk. Sementara Ki Pandi berkata selanjutnya "Sebaiknya kalian mulai sekarang berusaha untuk menghapus perasaan rendah diri itu. Jika perasaan itu terlanjur barakar di dalam diri kalian, maka akibatnya akan menjadi kurang baik bagi kalian. Kalian akan terpisah, dan bahkan memisahkan diri dari pergaulan yang seharusnya tidak perlu. Kalian membayang-bayangi diri kalian dengan berbagai macam penilaian yang tidak berarti. Kau ingin satu contoh yang ujud tentang seseorang yang mempunyai perasaan rendah diri."

Kedua orang anak muda itu tidak menjawab. Sedangkan Ki Pandi berkata selanjutnya, "Nah, aku adalah contoh yang dekat di hadapan kalian. Aku adalah seorang yang ditelan oleh perasaan rendah diri itu. Sejak aku menjadi cacat, maka aku merasa tidak pantas lagi bergaul dengan banyak orang. Aku jarang sekali berkumpul dengan anak-anak muda sebayaku waktu itu. Aku lebih senang menyendiri dan hidup di dunia angan-angan. Selebihnya aku telah memaksa diri untuk menguasai berbagai macam ilmu. Dalam perguruanpun aku masih saja dibayangi oleh perasaan rendah diri itu. Untuk menutupinya, maka aku berusaha untuk menjadi salah seorang di antara murid-murid terbaik diperguruanku."

Ki Pandi itu berhenti sejenak. Wajahnya nampak menjadi bersungguh-sungguh. Lalu katanya pula, "Namun betapapun juga aku memiliki ilmu yang tinggi, tetapi hidupku tidak banyak berarti, justru karena kepribadianku rapuh. Aku tetap terasing dari pergaulan. Dan aku tetap menjadi seseorang yang lain dari kehidupan yang wajar"

"Tetapi Ki Pandi sudah berbuat banyak untuk memerangi dunia hitam.” berkata Manggada.

"Tetapi gerakku sangat terbatas. Kadang-kadang aku memang merasa diriku menjadi pahlawan. Tetapi perasaan itu adalah sekedar untuk mengimbangi perasaan rendah diriku, sehingga justru karena itu, maka aku seakan-akan menjadi manusia lain dari kewajaran hidup seseorang. Bahkan mungkin seperti hantu yang sesekali muncul kemudian menghilang lagi"

Kedua anak muda itu terdiam. Mereka tidak tahu, apa yang harus mereka katakan.

Sementara itu Ki Pandi masih berkata, “Sekarang aku melihat anak-anak muda yang juga merasa rendah diri. Tetapi aku tahu, bahwa kalian merasa rendah diri hanya pada satu sisi, yaitu pada sisi olah kanuragan. Jika apa yang kalian anggap kekurangan itu sudah terangkat, maka kalian tentu tidak akan merasa rendah diri lagi. Berbeda dengan aku. Apapun yang dapat aku perbuat, tetapi cacat ini akan selalu melekat padaku, sehingga aku akan tetap merasa rendah diri untuk sepanjang umurku"

"Tetapi bukankah Ki Pandi menyadari bahwa perasaan rendah diri itu seharusnya disingkirkan, karena tidak berarti apa-apa dan bahkan hanya merugikan diri sendiri, sebagaimana Ki Pandi nasehatkan kepada kami?” bertanya Laksana.

Ki Pandi itu tersenyum. Katanya, "Memang agaknya lebih mudah untuk menasehati orang lain daripada menasehati diri sendiri."

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Namun keduanya tidak bertanya lebih banyak lagi. Untuk beberapa saat mereka sempat merenungi diri mereka, bagaimana mereka merasa sangat kecil di antara raksasa-raksasa di dunia olah kanuragan. Bahkan Winih, gadis yang cantik itupun memiliki ilmu yang tinggi pula.

Sementara itu, matahari telah memanjat langit semakin tinggi. Panasnya terasa mulai menggatalkan kulit. Di langit, awan yang tipis mengalir tertiup angin semilir. Daun pohon turi yang tumbuh di sebelah menyebelah jalan menggeliat perlahan-lahan.

Dalam pada itu, tiba-tiba saja Manggada bertanya. “Ki Pandi. Apakah Ki Pandi mengetahui tentang tombak dan payung yang disimpan oleh Kiai Gumrah itu."

Ki Pandi menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Aku tidak tahu pasti. Tetapi menurut dugaaanku, pusaka-pusaka itu adalah lambang perguruan mereka."

"Tetapi menurut Kiai Gumrah, ada tanda-tanda dari pemilik pusaka-pusaka itu. Hanya mereka yang memiliki tanda-tanda itulah yang akan dapat mengambil pusaka-pusaka itu” desis Laksana.

"Mungkin benar. Tetapi tanda-tanda yang dimaksud justru dibawa oleh salah seorang atau dua murid yang lain. Mungkin Kiai Padma yang disebut juragan itu. Mungkin orang lain” jawab Ki Pandi.

"Tetapi apa hubungannya dengan pendapat Panembahan Lebdagati bahwa jika sampai purnama besok lusa pusaka-pusaka itu belum dimandikan dengan darah yang masih mengalir di jantung, maka tuahnya akan hilang?” bertanya Manggada.

"Bukankah kau tahu latar belakang kepercayaan Panembahan itu? Tetapi mungkin ada maksud lain yang dapat dipertimbangkan. Mungkin Panembahan itu memang berniat membunuh orang-orang yang sementara dapat bekerja bersamanya. Dengan alasan mempertahankan tuah pada pusaka-pusaka itu, maka ia akan menusuk setiap jantung dari orang-orang yang untuk sementara dapat bekerja bersamanya merampas pusaka-pusaka itu. Tetapi aku yakin, bahwa bukan Panembahan itu saja yang merencanakan pengkhianatan seperti itu. Tentu juga yang lain-lain. Kiai Kajar, pemimpin Padepokan Susuhing Angin, Kiai Windu Kusuma dan orang-orang yang terlibat di dalamnya, karena pusaka-pusaka itu memang benar-benar benda yang harganya sangat mahal. Emas dan permata yang melekat pada pusaka-pusaka itu akan dapat dipergunakan untuk membeli sebuah negeri."

"Tetapi darimana Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya mendapatkan benda-benda itu"

"Aku tidak tahu pasti. Tetapi sebagaimana pernah aku dengar tanpa mengetahui kebenarannya, bahwa perguruan Kiai Gumrah itu didirikan oleh seorang bangsawan keturunan Majapahit. Pusaka-pusaka itu tentu juga berasal dari Majapahit jika berita yang aku dengar itu benar.” jawab Ki Pandi.

Manggada dan Laksana menganguk-angguk pula. Namun mereka tidak bertanya lagi. Sehingga untuk sesaat kemudian, merekapun berjalan sambil berdiam diri.

Dalam pada itu, haripun beringsut dari waktu ke waktu. Ketika matahari mulai menuruni sisi langit, maka ketiga orang itu telah singgah di sebuah kedai yang terhitung ramai. Beberapa orang telah singgah di kedai itu ketika Ki Pandi, Manggada dan Laksana melangkah masuk.

Tetapi ketika Manggada dan Laksana akan melangkah ke tengah-tengah ruangan kedai itu, Ki Pandi menggamit mereka sambil berkata “Kita duduk di sudut itu saja"

"Kenapa?” bertanya Manggada.

"Tidak menjadi perhatian banyak orang” jawab Ki Pandi.

Manggada dan Laksana tidak membantah. Merekapun mengikut Ki Pandi yang memilih tempat di sudut sebagaimana kebiasaan Ki Pandi yang lebih senang menyendiri. Meskipun demikian, ada juga beberapa orang anak muda yang memperhatikannya. Nampaknya justru anak-anak muda dari lingkungan orang berada. Sambil sekali-sekali memandang Ki Pandi, mereka menahan tertawa mereka disela-sela bisik-bisik lirih. Namun kadang-kadang suara tertawa mereka meledak tanpa dikendalikan lagi.

Namun nampaknya Ki Pandi tidak menghiraukan mereka. Kepada Manggada dan Laksana ia berdesis, “Aku sudah terlalu sering menjadi bahan tertawaan. Dan itu membuat aku semakin merasa rendah diri"

"Aku akan membungkam mulut mereka yang tertawa itu” desis Laksana.

Manggada sudah menjadi berdebar-debar bahwa Laksana benar-benar akan membuat keributan. Tetapi Ki Pandi sendirilah yang mencegahnya. "Sudahlah. Aku merasa bahwa ujudku memang pantas untuk ditertawakan. Tetapi aku tidak kenal mereka dan mereka tidak kenal kau. Besok aku tidak akan bertemu dengan mereka lagi. Karena itu, biarkan saja mereka"

Laksana yang sudah siap untuk bangkit berdiri, menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk mengendapkan kembali perasaannya yang bergejolak. Namun ternyata Ki Pandi sempat menikmati minuman dan makanan yang dipesannya.

"Jarang sekali aku sempat mendapatkan minuman dan makanan seperti ini” berkata Ki Pandi "Biasanya aku minum air dari belik atau pancuran. Kemudian makan apa saja yang diketemukan. Buah-buahan dan akar-akaran. Namun sekali-sekali juga nasi dengan garam. Jika aku kembali ke rumah Ki Ajar Pangukan, maka aku dapat makan lebih teratur"

Kedua anak muda itu termangu-mangu sejenak. Dengan dahi yang berkerut Manggada bertanya. “Dimana Ki Ajar Pangukan sekarang?"

"Ia masih tetap berada di rumahnya yang dahulu. Ia tidak berpindah-pindah. Tetapi seperti aku, Ki Ajar memang sering mengembara. Namun sekali waktu, kami berada bersama-sama lagi di rumah itu” jawab Ki Pandi.

Manggada mengangguk kecil. Katanya “Sekali waktu aku ingin bertemu kembali dengan Ki Ajar."

"Besok pada suatu saat, kita datang ke rumahnya” sahut Ki Pandi.

Namun Laksana hampir tidak dapat memperhatikan pembicaraan itu. Perhatiannya justru tertuju kepada anak-anak muda yang masih saja memperhatikan Ki Pandi sambil sekali-sekali tertawa tertahan.

"Marilah” berkata Ki Pandi "Jika kalian sudah cukup, kita tinggalkan saja tempat ini"

Laksanalah yang kemudian berdiri dan melangkah mendapatkan pemilik kedai itu. Demikianlah, setelah membayar harga makanan dan minumannya, maka ketiga orang itu telah meninggalkan kedai itu. Tanpa berpaling lagi, Ki Pandi melangkahi tlundak pintu dan turun ke halaman diikuti oleh Manggada dan Laksana.

Ketiga orang itupun menepi ketika mendengar derap kaki beberapa ekor kuda. Ketika mereka berpaling, ternyata anak-anak muda di kedai itulah yang melarikan kuda mereka mendahului Ki Pandi, Manggada dan Laksana.

Ketiganya harus menutup hidung mereka karena debu yang kelabu berhamburan di belakang kaki-kaki kuda itu. Mereka bertiga masih mendengar anak-anak muda itu tertawa berkepanjangan. Sementara Ki Pandi berusaha untuk menghibur dirinya sendiri.

"Mereka tidak mentertawakan aku?"

Beberapa saat kemudian, mereka telah berada kembali di sebuah bulak yang terhitung panjang. Sementara matahari sudah menjadi semakin rendah. Di kejauhan mereka melihat hutan yang terbentang memanjang kearah Barat. Didepan hutan itu terdapat gumuk-gumuk kecil yang ditumbuhi gerumbul-gerumbul perdu yang membatasinya dengan daerah persawahan.

"Anak-anak muda” berkata Ki Pandi "Hutan itu sangat menarik perhatianku. Sudah beberapa kali aku berada di dalamnya untuk sekedar mengamati isinya. Kedua ekor harimauku juga ada di hutan itu."

"Jadi Ki Pandi sudah sering pergi ke hutan itu?” bertanya Manggada.

"Ya. Jika kalian bersedia, kita akan bermalan di hutan itu malam nanti.” ajak Ki Pandi.

Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Dengan ragu-ragu Manggada bertanya kepada adik sepupunya itu, "Bagaimana jika kita bermalam di hutan itu semalam sebagaimana dikatakan oleh Ki Pandi"

"Aku tidak berkeberatan...!” jawab Laksana.

"Baiklah!” berkata Ki Pandi "Kita akan langsung menuju ke hutan itu"

Demikianlah, maka bertiga mereka telah meninggalkan jalan yang mereka lalui. Mereka telah meloncati tanggul parit, mengikuti jalan pintas sepanjang pematang sawah menuju kepadang perdu dengan gumuk-gumuk kecil yang berserakan. Hanya ada satu dua batang pohon yang agak besar tumbuh disela-sela gumuk-gumuk kecil itu. Namun semakin dekat dengan hutan yang lebat itu, maka pepohonanpun menjadi semakin banyak.

Sebelum matahari terbenam, mereka telah berada di dalam hutan itu. Meskipun matahari masih nampak di langit, tetapi semakin dalam mereka memasuki hutan itu, maka rasa-rasanya malam sudah mulai turun. Tetapi dari sela-sela daun pepohonan yang rimbun masih nampak berkas-berkas cahaya matahari yang berhasil menyusup menimpa pohon-pohon raksasa yang bertebaran di antara beribu-ribu batang pohon yang seakan-akan saling berdesakan.

Manggada dan Laksana bukan untuk yang pertama kali memasuki hutan-hutan yang lebat. Ketika mereka masih berguru, mereka sudah sering mencari harimau untuk dikuliti. Kulitnya dapat mereka jual kepada beberapa orang pedagang yang memang mencari kulit harimau sebagai barang dagangan. Namun pamannyapun kemudian telah menasehatkan agar mereka menghentikan kegiatan itu.

Kemudian Manggada dan Laksana juga telah menyeberangi hutan Jatimalang bersama Ki Wiradadi yang kehilangan anak gadisnya. Justru di seberang hutan itulah Manggada dan Laksana bertemu dengan Ki Pandi dan Ki Ajar Pangukan. Karena itu, keduanya memang tidak terlalu canggung berada di dalam hutan yang terhitung lebat itu.

"Hutan ini merupakan hutan yang jarang disentuh kaki manusia.” berkata Ki Pandi. Lalu katanya selanjutnya "Hutan ini termasuk hutan yang lebat, sebagaimana hutan Jatimalang. Tetapi hutan ini tidak menyembunyikan satu lingkungan sebagaimana yang terdapat di belakang hutan Jatimalang."

"Jadi apa yang menarik dari hutan ini?” bertanya Laksana.

"Tidak seperti hutan Jatimalang yang miring karena letaknya di kaki gunung. Hutan ini datar. Ada rawa-rawa di dalamnya. Pohon-pohon raksasa yang jumlahnya lebih banyak. Batu-batu besar yang berserakan di dalamnya sebagaimana terdapat gumuk-gumuk kecil di padang perdu itu. Sedangkan dikedung bagian Barat hutan ini terdapat sarang sejenis buaya kerdil yang liar dan buas"

"Buaya kerdil?” ulang Manggada.

"Ya. Sejenis buaya yang tidak begitu besar. Tetapi justru sangat berbahaya. Geraknya lebih tangkas dan kebiasaannya bergerombol dan bergerak bersama-sama. Ketika terjadi perkelahian antara sekelompok buaya itu dengan sekelompok anjing hutan yang juga banyak terdapat di hutan ini, aku sempat merasa ngeri. Kedua-duanya merupakan jenis binatang yang bergerombol dan berkelahi bersama-sama."

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Nampaknya selain berceritera, Ki Pandi juga memberikan peringatan-peringatan dini kepada Manggada dan Laksana.

Sementara itu, maka langitpun menjadi semakin buram. Dari balik pegunungan disisi Timur, bulan yang hampir purnama mulai muncul. Meskipun demikian, di dalam hutan itu rasa-rasanya memang menjadi semakin kelam.

Namun mata Manggada dan Laksana sudah terlatih sejak mereka masih berguru pada Ki Citrabawa. Mereka sering memasuki hutan di malam hari untuk menangkap harimau.

Malam itu mereka bertiga bermalam di hutan itu. Sebenarnya bahwa di dalam hutan itu keadaannya jauh lebih berbahaya daripada keadaan di luar. Jika mereka bermalam dipategalan atau bahkan dibanjar padukuhan, maka mereka tidak akan diganggu oleh binatang buas sebagaimana jika mereka berada di dalam hutan.

Ketika mereka menemukan tempat yang agak lapang, maka mereka bertigapun beristirahat di atas sebuah batu yang besar dan tergolek dibawah sebatang pohon yang besar pula. Satu-satunya sinar bulan jatuh pula di atas tanah yang lembab.

Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak, ketika ia melihat Ki Pandi mengambil serulingnya. Kemudian diletakkannya ujung serulingnya di mulutnya. Sejenak kemudian terdengar suaranya yang membumbung menggetarkan dedaunan. Tidak terdengar lagu atau nada-nada dalam irama yang manis. Tetapi tidak lebih dari satu suitan yang nyaring.

Ternyata beberapa saat kemudian, terdengar aum harimau di kejauhan. Bersahutan. Manggada dan Laksanapun segera mengetahui, bahwa dua ekor harimau Ki Pandi telah mendengar isyarat pemiliknya. Karena itu, ketika dalam keremangan malam yang ditaburi cahaya bulan itu mereka melihat dua ekor harimau, maka Manggada dan Laksana justru merasa lebih tenang. Apalagi ketika kedua ekor harimau itu mendekat dan mendekam di sebelah batu besar itu.

Untuk beberapa saat kemudian, Manggada dan Laksana sempat memperhatikan suara-suara malam di hutan yang lebat. Bagi mereka suara-suara itu memang tidak asing lagi. Hutan yang pernah dirambahnya di malam hari juga memperdengarkan suara-suara yang hampir sama.

Ketika bulan menjadi semakin tinggi, maka cahayanya telah menembus dedaunan yang agak jarang di atas tempat duduk ketiga orang itu. Laksana yang duduk memeluk lututnya, sekali-sekali menepak nyamuk yang hinggap dan menggigit kulitnya.

Dalam pada itu, maka Ki Pandi yang untuk beberapa saat berdiam diri itupun berkata, “Anak-anak muda. Kalian telah cukup lama mengembara. Bagaimana pendapat kalian, jika pengembaraan kalian ditambah satu bulan lagi."

Manggada dan laksana tidak begitu memahami kata-kata Ki Pandi itu. Karena itu, maka Manggadapun bertanya, “Maksud Ki Pandi?"

"Kita akan tertahan sebulan lagi di perjalanan.” jawab Ki Pandi.

"Tetapi Pajang sudah dekat. Kemudian beberapa langkah lagi kita akan sampai ke tujuan” jawab Laksana.

"Ya. Aku tahu. Tetapi sebelum kalian sampai, apakah kalian bersedia menjalani laku sebulan lamanya bersamaku di hutan ini? Kita akan mulai nanti saat bulan purnama, dua hari lagi. Dan kita akan mengakhiri disaat purnama sebulan kemudian” berkata Ki Pandi.

"Tetapi kita sudah terlalu lama berada di perjalanan.” berkata Manggada.

"Jika waktu yang sudah terlalu lama itu ditambah dengan satu bulan lagi, maka tentu tidak akan terasa lebih lama” sahut Ki Pandi.

"Tetapi laku apa yang harus kami jalani Ki Pandi?” bertanya Manggada kemudian.

"Jika kalian bersedia, maka kalian akan mendapatkan banyak sekali bahan-bahan yang akan dapat melengkapi ilmu kalian. Mungkin tataran ilmu kalian tidak meningkat dengan jelas. Tetapi unsur-unsur ilmu kalian akan menjadi semakin lengkap. Kalian akan memiliki banyak cara untuk mengatasi kesulitan apabila kalian berhadapan dengan lawan yang berilmu tinggi sekalipun” jawab Ki Pandi.

Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Dengan ragu-ragu Laksana bertanya “Laku apa yang akan kita jalani seandainya kami bersedia melakukannya."

Ki Pandi menarik nafas panjang. Namun kemudian katanya dengan nada dalam, "Anak-anak muda, jika kalian bersedia, kalian akan aku minta menjalani Tapa Ngidang selama satu bulan di hutan ini. Dari purnama sampai ke purnama. Memang tidak ada hubungannya dengan kebulatan bulan di langit. Jika aku menyebutnya dari purnama sampai ke purnama itu sekedar sebagai ancar-ancar waktu saja"

Kedua orang anak muda itu saling berpandangan sejenak. Dengan dahi yang berkerut Manggada bertanya Laku apakah yang harus kami jalani denan Tapa Ngidang itu?"

"Kita berlaku seperti seekor kijang di dalam hutan ini.” jawab Ki Pandi.

"Seperti kijang?” ulang Laksana "Aku tidak dapat membayangkan, apa saja yang harus kami lakukan?”

"Anak-anak muda, di hutan yang tidak pernah dikunjungi orang ini, bahkan orang mencari kayu sekalipun, kita akan menanggalkan semua pakaian kita. Kita akan memakai cawat dari kulit kayu. Kita akan hidup di hutan ini dengan cara seperti seekor kijang. Kita akan makan dan minum dari apa saja yang kita temukan di hutan ini. Kita akan menjelajah hutan dari ujung sampai ke ujung."

"Lalu apa yang akan kami dapatkan dari laku itu?” bertanya Manggada.

"Anak-anak muda. Tapa Ngidang bukan berarti kita menjadi kijang. Kita memang berlaku seperti kijang. Kita tetap saja dalam pribadi kita masing-masing. Kita tetap seseorang yang mempunyai akal budi. Jika kita lepaskan pakaian kita, karena pakaian itu dapat mengganggu gerak kita, serta pakaian kita akan dapat menjadi rusak, sedangkan hal itu sebenarnya tidak perlu. Kita akan berlari-lari di dalam lebatnya dedaunan dan akar-akar serta sulur-sulur kayu bahkan di antara semak dan duri. Tetapi kita tidak seperti kijang yang hanya dapat melarikan diri jika bertemu dengan binatang buas. Tetapi kita akan mampu melawannya, atau kita dapat memanjat pohon. Sedangkan seekor kijang tidak dapat melakukannya. Dengan laku itu kita akan melihat dan mengamati apa saja yang dilakukan oleh binatang binatang hutan. Dari seekor harimau, buaya di rawa-rawa, berjenis-jenis kera pepohonan, ular bahkan binatang-binatang kecil sampai ke tikus tanah. Bagaimana mereka mencari mangsanya, namun juga bagaimana binatang-binatang yang lebih lemah menyelamatkan dirinya dari tangan binatang-binatang yang jauh lebih kuat."

Manggada dan Laksana menarik nafas dalam-dalam. Mereka membayangkan betapa beratnya laku yang harus dijalaninya. Dingin malam, gatalnya dedaunan yang berbulu, goresan-goresan duri dan ranting-ranting perdu. Bahkan racun dari serangga-serangga berbisa serta sengat lebah lebah raksasa.

Untuk beberapa saat kedua anak itu mulai merenung. Namun akhirnya Manggada itupun berkata kepada Laksana "Marilah kita coba. Kita berharap bahwa laku itu akan memberikan arti bagi kita, khususnya di dalam olah kanuragan."

"Tidak hanya olah kanuragan” berkata Ki Pandi "Tetapi kalian juga akan mengenal jenis-jenis tanaman jauh lebih banyak. Kalian juga akan dapat mengenali tingkah laku binatang yang sebelumnya tidak pernah kalian lihat. Selain itu, kalian juga akan mengenali jenis-jenis tanah di dalam hutan serta arti matahari dan bulan. Kalian akan lebih mengenali siang dan malam karena kalian tidak akan pernah menghindarinya. Hujan, angin dan dinginnya malam.”

Laksanapun ternyata mengangguk sambil menjawab “Baiklah. Kita akan menunda perjalanan pulang kita sebulan lagi, meskipun kita sudah tidak terlalu jauh lagi dari rumah."

Demikianlah, maka Ki Pandi telah mempersiapkan anak-anak muda itu untuk menjalani laku Tapa Ngidang. Sebelum purnama naik, selama dua hari mereka membiasakan diri serta mengenali isi hutan itu. Mereka mulai makan apa yang ada serta minum dari sulur-sulur kayu yang dipotong ujungnya atau air belik yang bening dibawah pohon-pohon raksasa.

Menjelang purnama, maka Ki Pandi mengajari anak-anak muda itu membuat pakaian dari kulit kayu. Beberapa lembar kulit kayu yang berserat, dikeringkan. Kemudian kulit kayu itu ditumbuk perlahan-lahan sehingga menjadi lemas, sehingga jika dikenakannya tidak membuat kulit mereka menjadi lecet. Merekapun telah membuat tali dari serat kekayuan untuk membuat tali ikat pinggang.

Ketika semua perlengkapan dan pakaian khusus mereka sudah siap, maka menjelang malam merekapun telah melepaskan pakaian mereka, membungkusnya dengan rapi dan diikatkan pada dahan pohon yang cukup besar, sehingga tidak mudah jatuh, bahkan diambil oleh binatang yang memanjat, terutama kera. Demikian bulan mulai nampak di langit, maka bertiga mereka telah mengenakan pakaian yang mereka buat dari kulit kayu.

"Malam ini tentu akan terasa sangat dingin bagi kalian. Gatal-gatal pada kulit kalian serta perasaan-perasaan lain yang tidak menyenangkan. Tetapi kalian harus menganggap hahwa hal itu merupakan pendadaran, apakah kalian pantas menjalani laku Tapa Ngidang atau tidak."

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Dingin malam yang kemudian turun memang nulai terasa menyentuh kulit. Tetapi mereka sebelumnya juga sudah sering melepas baju mereka di malam hari. Bahkan ketika mereka masih menempa diri, maka mereka sudah terbiasa berada di hutan tanpa baju meskipun tidak mengenakan pakaian khusus dari kulit kayu.

Malam itu Manggada dan Laksana masih belum mengalami laku yang sebenarnya, selain hanya berjalan menyusuri hutan yang sepi itu. Sekali-sekali, jika mereka sampai di tempat yang agak lapang, mereka sempat memandangi bulatnya bulan dari sela-sela dedaunan. Namun kemudian langitpun rasa-rasanya segera menjadi pepat sekali setelah mereka menyusup kembali di antara pohon-pohon raksasa.

Tetapi malam itu Ki Pandi sudah mengatakan bahwa sejak esok pagi, mereka akan benar-benar menjalani laku Tapa Ngidang. Demikianlah, lewat tengah malam mereka mencari tempat untuk tidur. Menurut Ki Pandi, yang terbaik bagi mereka adalah tidur di atas dahan yang besar. Manggada dan Laksana sependapat. Mereka pernah mengalaminya, tidur di atas dahan sebatang pohon yang besar.

Tetapi Ki Pandi minta keduanya tetap berhati-hati. Salah seorang dari antara kalian harus tetap terjaga. Disini ada sejenis harimau yang berkeliaran di dahan-dahan. Macan Kumbang yang berwarna hitam. Selain itu, mungkin kera-kera yang nakal akan dapat juga mengganggu. Selain binatang-binatang berkaki dan buas, maka ular harus mendapat perhatian mereka pula.

Malam itu, Manggada dan Laksana memang sulit untuk dapat tidur. Rasa-rasanya mereka berarap bahwa harimau-harimau peliharaan Ki Pandi akan lewat. Kehadiran kedua ekor harimau itu akan dapat membuat mereka lebih tenang. Tetapi agaknya Ki Pandi sudah memberi isyarat agar kedua ekor harimaunya itu menjauh.

Namun meskipun hanya sesaat-sesaat Manggada dan Laksana dapat juga tidur bergantian. Ketika bulan tenggelam, serta cahaya fajar mulai nampak, maka Manggada yang menggeliat sambil duduk dialas dahan yang besar itu berkata “Dimana kita mandi"

"Siapa yang akan mandi?” bertanya Ki Pandi.

"Aku. Kita. Bukankah kita akan mandi...!"

"Kita tidak perlu mandi dengan teratur sebagaimana sebelumya. Mungkin nanti, besok atau lusa kita akan menyeberangi sungai yang mengalir ditengah-tengah hutan ini. Dalam kesempatan itu, kita sekaligus akan mandi” jawab Ki Pandi.

Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Laksanapun bertanya, “Jadi mungkin kita belum tentu mandi dalam sehari? Justru saat kita bergulat dengan tanah berlumpur, pepohonan dan sampah yang tertimbun karena daun-daun kering yang berguguran. Bahkan mungkin lugut yang gatal dari beberapa jenis pohon dan dedaunan. Bahkan juga keringat kita sendiri yang tentu akan banyak mengalir"

Ki Pandi mengangguk sambil menjawab “Ya. Kita tidak akan mandi. Kecuali jika kita menyeberangi sungai. Tetapi ingat, bahwa di kedung di tikungan sungai yang mengalir di hutan ini, banyak terdapat buaya kerdil yang sangat liar dan buas"

Manggada dan Laksana hanya dapat mengangguk-angguk saja. "Nah, sekarang kita benar-benar akan melakukan Tapa Ngidang itu. Marilah. Ikuti aku. Kita akan menjelajahi hutan ini. Tentu saja pertama-tama untuk mengenalinya. Namun kemudian benar-benar memperhatikan dan memahami isinya.” Ki Pandi berhenti sejenak. Lalu katanya lagi. "Tapa Ngidang yang sebenarnya termasuk Tapa Mbisu. Tetapi kita tidak akan melakukannya. Kita akan tetap berbicara karena kita memang dapat berbicara."

Manggada dan Laksana itupun kemudian melangkah mengikuti Ki Pandi yang bongkok itu. Mula-mula mereka berjalan saja di antara pohon-pohon raksasa. Sekali-sekali mereka memang melihat semak-semak yang berguncang. Seekor kijang berlari dengan kencangnya.

Ki Pandi itu berjalan semakin lama semakin cepat. Bahkan kemudian ia mulai berlari-lari kecil. Menyusup semak-semak dan meloncati batang-batang kayu yang roboh. Manggada dan Laksana hanya mengikutinya saja. Keduanya juga ikut menyusup semak-semak dan meloncati batang-batang kayu yang roboh.

Demikianlah, maka mereka telah melintas hutan yang panjang itu. Ketika mereka sampai di sebuah rawa yang menggenang, maka mereka telah melingkari tepi-tepi rawa itu. Berbagai tumbuh-tumbuhan air tumbuh di dalam rawa-rawa itu. Tidak kalah hebatnya dengan batang-batang pohon yang tumbuh di tanah.

Pada hari yang pertama itu, agaknya Ki Pandi masih belum memperkenalkan Manggada dan Laksana dengan isi rawa-rawa itu. Karena itu, maka mereka tidak berhenti. Hanya kaki-kaki mereka sajalah yang berdecak pada air berlumpur di ujung rawa-rawa itu. Ki Pandi memang belum membawa anak-anak muda itu sepenuhnya pada laku yang terlalu berat. Tetapi Ki Pandi menuntun sedikit demi sedikit agar keduanya tidak mengalami gangguan badani, juga jiwani.

Namun ternyata Manggada dan Laksana yang dengan mantap menjalani laku itu, telah menunjukkan betapa mereka dengan sungguh-sungguh melakukan apa saja yang diperintahkan oleh Ki Pandi. Sejak hari yang pertama, mereka telah menunjukkan, bahwa mereka memiliki bekal yang cukup banyak untuk meningkat pada jenjang kemampuan berikut dan berikutnya.

Dengan demikian, maka Ki Pandipun menjadi semakin berharap atas kedua orang anak muda itu. Seperti yang direncanakannya, maka dari hari ke hari, laku yang dijalani menjadi semakin berat. Mereka tidak saja berlari-lari menyusuri hutan itu sejak matahari belum terbit. Tetapi mereka juga mulai berhubungan dengan penghuninya. Mereka mulai memperhatikan isi hutan itu dari jenis binatang yang kecil sampai pada binatang yang terbesar yang terdapat di hutan itu.

Berkali-kali mereka bertemu dengan harimau yang bukan milik ki Pandi. Namun jika masih ada kemungkinan untuk menghindar, mereka selalu menghindarinya. Yang mereka perhatikan, bagaimana binatang-binatang itu mempertahankan hidupnya dalam garangnya pergaulan di dalam rimba yang lebat.

Tetapi semakin lama mereka berada di hutan, maka mereka tidak selalu dapat menghindari pertarungan yang keras melawan binatang-binatang liar di dalam hutan beberapa jenis harimau pernah mereka hadapi. Namun mereka masih menghindar jika bertemu dengan sekelompok anjing hutan liar yang sangat berbahaya.

Jika tidak mungkin lagi menghindar, maka Ki Pandi terpaksa memanggil kedua ekor harimaunya untuk mengusir anjing-anjing hutan yang ganas dan licik itu. Namun yang biasa dilakukan oleh ketiga orang itu jika mereka bertemu dengan gerombolan anjing liar adalah dengan memanjat sebatang pohon.

Yang menarik perhatian mereka adalah kelompok-kelompok buaya kerdil yang hidup di dalam kedung. Sebuah tikungan sungai yang airnya cukup dalam. Seperti yang diceritakan oleh Ki Pandi, maka Manggada dan Laksana juga sempat melihat, pertarungan yang mengerikan antara sekelompok buaya kerdil melawan sekelompok anjing hutan liar yang lapar.

Pertarungan itu dimulai ketika beberapa ekor anjing hutan yang haus minum dari air kedung itu. Tiba-tiba saja seekor di antaranya telah disambar oleh seekor buaya kerdil. Lengking anjing itu ternyata telah memanggil segerombolan kawan-kawannya. Dengan demikian, maka pertarunganpun tidak dapat dihindarkan ketika sekelompok buaya kerdil naik ke darat.

Manggada dan Laksana yang sudah memiliki pengalaman menghadapi benturan kekerasan, masih juga merasa sangat ngeri menyaksikan apa yang terjadi. Kedung itu menjadi merah, mereka tidak jelas melihat bagaimana pertarungan itu berakhir. Namun yang nampak kemudian adalah beberapa ekor anjing hutan terseret ke dalam kedung, sementara beberapa ekor buaya kerdil yang berkulit keras itu dapat juga terkoyak oleh gigi-gigi tajam anjing liar, sehingga beberapa ekor di antaranya harus tertinggal di darat. Mati.

"Itulah akibat jika terjadi pertempuran” berkata Ki Pandi "bukan saja antara binatang liar yang buas. Tetapi pertempuran antara sekelompok manusia melawan kelompok yang lain, akibatnya akan sama saja sebagaimana kau lihat yang terjadi di rumah Kiai Windu Kusuma..."

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Pandipun berkata selanjutnya, "Apalagi manusia mempunyai akal dan penalaran. Mereka dapat berbuat lebih jahat dari binatang-binatang liar itu..."

Manggada dan Laksana masih saja mendengarkan keterangan Ki Pandi itu sambil mengangguk-angguk. Demikianlah, selama Tapa Ngidang banyak sekali yang dapat dilihat oleh Manggada dan Laksana. Sementara itu, selama berada di hutan itu, Manggada dan Laksana telah menempa diri mereka pula. Selama menjalani laku, maka mereka makan apa saja yang mereka dapatkan di hutan itu.

Apa yang dapat dimakan oleh seekor kijang, maka merekapun dapat pula memakannya. Tetapi lebih dari itu, maka merekapun makan apa yang dapat dimakan oleh seekor kera. Bahkan apa yang dapat dimakan oleh seekor harimau. Sebagaimana dikatakan oleh Ki Pandi bahwa mereka tidak menjadi seekor kijang, tetapi mereka tetap berlandaskan akal budi mereka.

Karena itu, maka merekapun tetap menggunakan kemampuan membuat api. Kemampuan yang tidak dapat dilakukan seekor harimau jika harimau itu berhasil menangkap seekor kijang atau rusa. Dalam laku Tapa Ngidang, maka Manggada dan Laksana hampir di setiap dini hari, berlari-lari kencang, seperti seekor kijang yang sedang diburu oleh seekor harimau.

Menyusup di antara pohon-pohon perdu, melingkari pepohonan, meloncati batang-batang kayu yang melintang, menyusuri tepi rawa-rawa, menyeberangi sungai dan berloncatan di atas bebatuan serta mengatasi rintangan-rintangan yang lain. Mereka juga melatih ketajaman penglihatan mereka. Kepekaan mereka terhadap keadaan di sekitarnya. Namun juga pernafasan mereka.

Dari kehidupan berbagai macam binatang, mereka mendapatkan berbagai macam unsur gerak yang dapat mengisi kekurangan penguasaan mereka atas unsur-unsur gerak yang telah mereka pelajari. Ketrampilan mempergunakan tangan dan kaki, serta ketajaman naluri dan penggraita.

Ki Pandi yang mengamati kedua orang anak muda itu memang meyakini, bahwa keduanya akan mendapatkan sesuatu yang sangat berharga selama satu bulan berada di dalam hutan. Bukan saja kemampuan dalan olah kanuragan serta peningkatan tenaga dan daya tahan mereka, tetapi juga ketahanan jiwani yang akan dapat menjadi pendukung landasan pribadi mereka.

Dalam pada itu, dari hari ke hari, malampun rasa-rasanya menjadi semakin gelap. Sedikit demi sedikit, kebulatan bulanpun menjadi semakin menyusut, sehingga malampun menjadi gelap pekat. Namun mata Manggada dan Laksana menjadi terbiasa dengan gelapnya malam di dalam hutan.

Selain latihan yang dilakukan sedikit demi sedikit sesuai dengan susutnya cahaya bulan, keduanya memang sudah berbekal katajaman penglihatan dan pendengaran. Sehingga sebagaimana sebilah mata pisau yang tajam yang selalu diasah, akan menjadi semakin tajam pula.

Dengan demikian, maka apa yang dapat dicapai oleh Manggada dan Laksana selama mereka berada di hutan dalam laku Tapa Ngidang ternyata melampaui apa yang diperkirakan oleh Ki Pandi. Ketika bulan gelap, maka Manggada dan Laksana telah mampu menyerap pengalaman, pengenalan dan pengetahuan sebagaimana diperkirakan akan dapat diserap dalam jarak waktu dari purnama sampai ke purnama.

Demikian pula peningkatan kekuatan, ketrampilan dan ketahanan tubuhnya. Namun Ki Pandi tidak menghentikan laku Tapa Ngidang itu hanya setengah bulan. Laku itupun dilanjutakan hingga batas waktu yang sudah ditetapkan. Namun dengan hasil yang jauh lebih banyak dari yang diharapkan.

Justru setelah melihat hasil dari laku yang dijalani oleh Manggada dan Laksana, maka pada hari-hari terakhir, Ki Pandi telah membawa anak-anak muda itu memasuki satu laku yang lebih berat. Tiga malam mereka akan menjalani laku dengan berendam di sungai. Mereka memilih tempat yang agak jauh dari kedung, sarang buaya-buaya kerdil yang buas itu.

Kemudian tiga malam terakhir mereka berada di hutan itu, menjelang bulan purnama, mereka akan mejalani laku Tapa Ngalong. Di malam hari mereka akan bergayut pada dahan sebatang pohon yang tinggi dengan kaki mereka. Sementara di siang hari mereka tetap menjelajahi hutan itu dari ujung sampai keujung. Mereka sempat melengkapi pengenalan mereka dengan kehidupan burung-burung. Dari burung-burung kecil, sampai pada burung-burung buas yang berparuh melengkung.

Sekali-sekali mereka berlama-lama berada dibawah sebatang pohon raksasa yang menjadi sarang burung elang yang buas. Namun merekapun kadang-kadang berdiri ditepi hutan melihat burung alap-alap meluncur memburu mangsanya. Namun merekapun melihat bagaimana sejenis burung tekukur mampu melepaskan diri dari terkaman burung alap-alap yang mampu terbang lebih cepat dari burung yang diburunya.

Di kesempatan lain, mereka melihat seekor burung srigunting yang bertarung melawan burung elang yang lebih besar yang lebih besar dan buas. Namun kecepatan gerak burung yang lebih kecil itu membuat lawannya menjadi bingung, sehingga elang itu merasa lebih baik menyingkir untuk saja.

Demikianlah, haripun merangkak terus, sehingga akhirya laku Tapa Ngidang, berendam di air serta Tapa Ngalong, telah selesai dijalani. Sementara itu, di malam-malam terakhir, langit menjadi terang kembali. Bulan yang gelap semakin lama menjadi semakin terang, sehingga akhirnya, sampailah mereka pada malam purnama.

Bulan bulat bertengger di langit. Bintang nampak gemerlapan. Selembar-selembar awan yang tipis mengalir dihembus angin. Ki Pandi menganggap laku yang dijalani oleh Manggada dan Laksana sudah selesai. Menjelang tengah malam, saat inilah bulan berada di puncak, ketiga orang itupun telah mandi keramas di sungai.

Mereka membersihkan semua kotoran yang melekat di tubuh mereka, karena selama mereka menjalani laku, mereka tidak dapat mandi setiap hari. Beruntunglah bahwa mereka menjalani laku dengan berendam di dalam air selama tiga malam berturut-turut, sehingga kotoran di tubuh mereka hanyut dibawa arus sungai itu.

Selesai dengan mandi keramas, maka merekapun telah mencari pakaian mereka yang mereka simpan. Mereka mulai menanggalkan pakaian mereka yang dibuat dari kulit kayu diikat dengan tali serat pada pinggangnya. Demikian mereka mengenakan pakaian mereka, maka rasa-rasanya tubuh mereka menjadi hangat. Seluruh tubuh mereka seakan-akan telah terbungkus rapat.

Setelah sebulan mereka mengenakan pakaian dari kulit kayu, maka rasa-rasanya dengan berpakaian lengkap, gerak mereka memang menjadi lebih terbatas. Menjelang dini hari, maka merekapun telah mempersiapkan diri untuk keluar dari hutan itu. Ki Pandi mempergunakan kesempatan itu untuk berbicara bersungguh-sungguh dengan Manggada dan Laksana yang telah selesai menjalani laku.

"Anak-anak...” berkata Ki Pandi "Kalian telah melihat, mendengar dan mengalami peristiwa yang bermacam-macam di dalam hutan ini. Kalian telah berlatih dan menempa diri dengan berbagai macam cara. Kalian juga menempa jiwa kalian sehingga kalian menemukan arti dari kesabaran, ketekunan, keuletan, ketabahan dan lebih dari itu, kalian telah lebih banyak mengenali ciptaan dari Yang Maha Agung. Kalian lebih banyak melihat perbedaan antara kehidupan berjenis-jenis binatang dengan kehidupan manusia yang berakal budi. Di rimba ini, siapa yang kuat ialah yang menang tanpa menghiraukan kebenaran dan keadilan. Tidak ada usaha dari binatang-binatang itu untuk melindungi yang lemah dan melawan kelaliman. Dengan demikian, maka kalian akan lebih menghormati nilai-nilai yang dijunjung oleh kita manusia jika kita tidak mau disamakan dengan binatang yang hidup di hutan. Kita bukan mahluk yang menganut tatanan kehidupan rimba, siapa yang kuat ialah yang akan menang."

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Namun kata-kata Ki Pandi itu benar-benar telah menyentuh hatinya. Dengan demikian semakin terasa pula bahwa Sang Maha Pencipta yang bersifat Maha Pengasih dan Maha Penyayang memberikan kita akal dan pikiran yang dapat membedakan baik dan buruk, dan tidak menempuh kehidupan sebagaimana kehidupan di dalam rimba yang lebat itu.

Namun Ki Pandi itupun kemudian berkata, “Meskipun demikian anak-anak muda. Di lingkungan tatanan kehidupan manusia yang yang sewajarnya itu, masih ada juga yang menjalaninya sebagaimana tatanan kehidupan di dalam rimba. Ada satu dua orang, bahkan satu dua kelompok orang yang menganggap dalam tatanan kehidupan menusia itu juga berlaku paugeran siapakah yang kuat merekalah yang menang. Bahkan ada yang menganggap bahwa menelan sesamanya dapat menjadi pilihan yang sah untuk mencapai maksud serta keinginannya."

Manggada dan Laksana masih saja mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak menjawab. Sedangkan Ki Pandi masih berkata selanjutnya, "Nah, dalam kehidupan yang demikian, di antara orang-orang yang menghormati tata nilai kehidupan serta mereka yang sama sekali tidak menghargainya, kita harus menempatkan diri kita sebaik-baiknya. Kita yang telah mengenali tata kehidupan manusia dan tata kehidupan binatang di hutan, tentu akan mampu dengan landasan nalar dan budi memilih yang terbaik bagi kita dan bertanggung jawab kepada Sang Pencipta."

Manggada dan Laksana masih saja mengangguk-angguk. Namun dari sela-sela bibirnya. Manggada berdesis. “Kami mengerti, Ki Pandi..."

"Bagus!” berkata Ki Pandi "Jika demikian, mulai besok, kita akan memasuki kembali dunia kita dalam tatanan hidup mahluk Sang Pencipta yang dianugerahi akal dan pikiran."

Dengan demikian, maka Ki Pandipun membawa dua orang anak muda itu keluar dari hutan. Bulan yang bulat telah jauh condong di sebelah Barat. Namun sinarnya masih nampak gemerlapan memantul dari wajah dedaunan. Manggada dan Laksana kemudian berdiri di padang perdu yang luas bersambung bulak persawahan yang membentang sampai ke cakrawala.

"Tidurlah di atas bebatuan itu.” berkata Ki Pandi.

Manggada dan Laksanapun kemudian duduk di atas sebuah batu yang besar. Namun Manggada pun bertanya, “Bagaimana dengan Ki Pandi?"

"Aku juga akan tidur...” jawab Ki Pandi.

Namun Ki Pandi melihat keragu-raguan pada kedua orang anak muda itu. Bahkan Laksana pun kemudian berkata, “Ki Pandi memang harus beristirahat. Biarlah kami bergantian berjaga-jaga.”

"Waktunya tinggal sedikit. Sebentar lagi fajar akan datang. Jika kalian berjaga-jaga berganti ganti, maka tidak seorangpun di antara kalian yang sempal tidur...!"

"Tetapi binatang buas dari hutan itu akan dapat sampai ke tempat ini...."

Selanjutnya,
Sejuknya Kampung Halaman Bagian 02