ANGGAPAN itulah yang ternyata kemudian merupakan salah satu kelemahan bagi Kiai Windu Kusuma, karena ia menganggap bahwa tidak ada orang yang dapat memberikan keterangan lebih banyak tentang isi dan kekuatan kelompok Kiai Windu Kusuma dan orang yang disebutnya Panembahan itu.
Mereka menganggap bahwa Kiai Gumrah tidak akan berani berbuat lebih jauh dari sekedar mempertahankan diri di rumahnya karena ia tidak mempunyai gambaran sama sekali tentang lawannya yang ingin mendapatkan pusaka-pusaka yang disimpannya itu.
Kiai Windu Kusuma memang tidak mengingkari kemungkinan bahwa Kiai Gumrah akan dapat mengetahui letak persembunyiannya dengan mengikuti arah terbang burung-burung elang yang dipergunakannya untuk mengetahui beberapa hal tentang keadaan Kiai Gumrah, lingkungannya dan bahkan beberapa kegiatannya. Tetapi persembunyian itu ternyata bukan merupakan satu hal yang sangat penting bagi mereka.
Sebenarnyalah pengamatan salah seorang kawan Kiai Gumrah atas sarang lawannya masih jauh dari yang diharapkan. Untunglah bahwa Kiai Gumrah dan kawan-kawannya berhasil menangkap dua orang pengikut Darpati yang telah berusaha untuk mengambil pusaka-pusaka yang tersimpan di rumah Kiai Gumrah itu dengan caranya, setelah mereka berhasil mengelabui dan menggerakkan orang-orang padukuhan bahkan termasuk Ki Bekel pula.
Ternyata perlakuan yang baik, serta perawatan yang bersungguh-sungguh telah membuat hati kedua orang tawanan itu berguncang. Jika mereka semula berniat untuk tidak mengatakan sesuatu tentang kelompoknya, maka kemudian sedikit demi sedikit tekad yang semula mengeras seperti batu hitam itu mulai mencair.
Kiai Gumrah sejak semula memang meyakini, bahwa sikap dan perlakuan yang baik, akan dapat mengkikis kekerasan hati kedua orang tawanannya. Karena itu maka perlahan-lahan Kiai Gumrah dapat menggiring mereka ke dalam satu pembicaraan yang bersungguh-sungguh.
Ketika keadaan kedua orang itu menjadi sedikit baik, maka mereka mulai dapat duduk di amben yang besar di ruang dalam rumah Kiai Gumrah. Tali yang mengikat dengan pembaringan mereka telah dilepas di saat-saat tertentu, sebagaimana saat mereka duduk di ruang dalam bersama dengan Kiai Gumrah dan Ki Prawara.
Meskipun tangan dan kakinya tidak terikat, tetapi kedua orang itu menyadari, bahwa ia berada di satu lingkungan yang dikelilingi oleh orang-orang berilmu tinggi. Ternyata dua orang perempuan yang ada di rumah itu adalah perempuan yang berilmu tinggi pula. Seorang di antaranya berhasil membunuh Darpati, sedangkan yang seorang lagi telah mengalahkan salah seorang dari kedua orang tawanan itu.
Setelah menghirup beberapa teguk minuman hangat, maka mereka mulai berbincang tentang beberapa hal yang menyangkut tentang kelompok yang dipimpin oleh Kiai Windu Kusuma. Kedua orang itu memang tidak segera menjawab pertanyaan-pertanyaan Kiai Gumrah. Namun sedikit demi sedikit Kiai Gumrah meyakinkan kepada keduanya, bahwa keduanya bagi Kiai Windu Kusuma sudah dianggap sebagai orang-orang yang hilang.
"Ki Sanak!" berkata Kiai Gumrah "Dikuburan itu terdapat delapan onggok tanah galian baru. Seorang di antara kawanku menyaksikan dua orang pengikut Kiai Windu Kusuma yang datang dan menghitungnya."
"Bagaimana kawan Kiai dapat mengerti, bahwa kedua orang itu adalah pengikut Kiai Windu Kusuma?" bertanya salah seorang dari kedua orang tawanan itu.
"Kawanku bersembunyi di balik sebuah gerumbul yang tidak terlalu jauh. Ia mendengar percakapan kedua orang itu, sehingga kawanku yakin bahwa Kiai Windu Kusuma telah menganggap kalian orang-orang yang telah dikubur bersama enam orang kawan kalian."
Orang itu masih merasa ragu. Namun kemudian Kiai Gumrah berkata "Ki Sanak. Justru kalian sudah dianggap hilang, aku merasa kasihan kepada kalian. Kalian tidak akan dapat berlindung kepada siapapun. Seandainya mereka tahu bahwa kalian masih ada, mungkin mereka akan berusaha untuk membebaskan kalian. Tetapi mungkin juga sebaliknya. Mereka akan berusaha membunuh kalian agar kalian tidak dapat berbicara lagi. Tetapi dengan dua onggok tanah kuburan itu, kalian tidak akan lagi merasa dibayangi oleh ancaman pembunuhan itu"
Kedua orang itu termangu-mangu sejenak, sementara Kiai Gumrah pun berkata, "Pertimbangkan keadaanmu baik-baik Ki Sanak. Karena kalian tentu tidak akan merasa senang untuk benar-benar berada dikuburan itu, siapapun yang mengantarkan kalian kesana."
Keduanya mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, "Aku mengerti Kiai. Aku pun merasa perlakuan Kiai dan keluarga Kiai terlalu baik buat kami. Karena itu, maka rasa-rasanya kami memang harus menilai sikap kami"
"Kalian masih mempunyai waktu Ki Sanak" berkata Kiai Gumrah "Meskipun sangat sempit. Sekarang, beristirahatlah agar keadaan kalian menjadi semakin baik!"
"Tidak Kiai. Kami sudah cukup beristirahat" berkata orang itu.
"Jika demikian, apakah kita dapat berbicara lebih lanjut?" berkata Kiai Gumrah.
Kedua orang itu menarik nafas dalam-dalam. Sejenak mereka saling berpandangan. Namun kemudian seorang di antara mereka berkata “Kami sudah mengetahui apa yang Kiai inginkan"
"Sukurlah" jawab Kiai Gumrah. Tetapi kemudian ia justru bertanya "Apa menurut pendapatmu yang ingin aku ketahui itu?"
"Tentu kekuatan dan sarang para pengikut Kiai Windu Kusuma" jawab seorang di antara keduanya.
"Kami sudah mengetahui sarang mereka. Tetapi yang memang belum kami ketahui sepenuhnya adalah kekuatan mereka"
Wajah kedua orang itu berkerut. Namun seorang di antara mereka berkata "Darimana Kiai mengetahuinya?"
"Kawan-kawan kami berhasil mengikuti arah terbang burung-burung elang yang sering dilepaskan oleh para pengikut Kiai Windu Kusuma" jawab Kiai Gumrah.
Kedua orang itu mengangguk-angguk. Namun kemudian seorang di antara mereka berkata "Kiai. Aku sekarang sudah di sini. Aku kira aku memang tidak akan dapat kembali kelingkunganku yang lama. Jika aku kembali, maka nasibku pun akan menjadi buruk sekali. Karena itu, maka aku justru akan menitipkan hidup matiku kepada Kiai"
"Ki Sanak. Sebenarnyalah bahwa kami bukan sekelompok pembunuh yang haus melihat darah tertumpah. Jika kami melakukan kekerasan itu semata-mata, karena kami sekedar mempertahankan diri dan mempertahankan hak kami. Karena itu, maka jika kalian memang ingin mendapat perlindungan kami, maka kami tentu tidak akan berkeberatan. Tetapi apakah hal ini ada hubungannya dengan pengenalan kami atas sarang Kiai Windu Kusuma dan para pengikutnya atau bahkan sarang orang yang disebut Panembahan itu?"
Kedua orang itu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata “Ya Kiai. Kami ingin memperingatkan bahwa pengenalan Kiai atas sarang Kiai Windu Kusuma dan orang yang disebut Panembahan itu tidak lengkap"
Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia bertanya “Apakah yang kau maksud tidak lengkap? Bukankah sudah aku katakan, bahwa kami memang belum mengetahui dengan pasti kekuatan mereka?"
"Bukan hanya kekuatan mereka, Kiai" jawab orang itu "Tetapi juga sarang mereka yang sebenarnya. Karena sarang burung-burung elang itu bukan sarang Kiai Windu Kusuma yang sebenarnya. Rumah itu memang dipergunakan oleh Kiai Windu Kusuma. Tetapi hanya beberapa orang saja yang tinggal di sana. Terutama orang yang mampu mengendalikan burung-burung elang itu. Sedangkan yang lain berada di tempat yang terpisah.”
Wajah Kiai Gumrah nampak berkerut. Keterangan itu sangat menarik perhatiannya. Tetapi Kiai Gumrah tidak segera mempercayainya begitu saja. Bahkan Ki Prawara dengan serta-merta bertanya "Apakah kau berkata sebenarnya?"
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia dapat mengerti bahwa Kiai Gumrah dan Ki Prawara itu tentu tidak begitu saja mempercayainya. Karena itu, maka katanya,
Mereka menganggap bahwa Kiai Gumrah tidak akan berani berbuat lebih jauh dari sekedar mempertahankan diri di rumahnya karena ia tidak mempunyai gambaran sama sekali tentang lawannya yang ingin mendapatkan pusaka-pusaka yang disimpannya itu.
Kiai Windu Kusuma memang tidak mengingkari kemungkinan bahwa Kiai Gumrah akan dapat mengetahui letak persembunyiannya dengan mengikuti arah terbang burung-burung elang yang dipergunakannya untuk mengetahui beberapa hal tentang keadaan Kiai Gumrah, lingkungannya dan bahkan beberapa kegiatannya. Tetapi persembunyian itu ternyata bukan merupakan satu hal yang sangat penting bagi mereka.
Sebenarnyalah pengamatan salah seorang kawan Kiai Gumrah atas sarang lawannya masih jauh dari yang diharapkan. Untunglah bahwa Kiai Gumrah dan kawan-kawannya berhasil menangkap dua orang pengikut Darpati yang telah berusaha untuk mengambil pusaka-pusaka yang tersimpan di rumah Kiai Gumrah itu dengan caranya, setelah mereka berhasil mengelabui dan menggerakkan orang-orang padukuhan bahkan termasuk Ki Bekel pula.
Ternyata perlakuan yang baik, serta perawatan yang bersungguh-sungguh telah membuat hati kedua orang tawanan itu berguncang. Jika mereka semula berniat untuk tidak mengatakan sesuatu tentang kelompoknya, maka kemudian sedikit demi sedikit tekad yang semula mengeras seperti batu hitam itu mulai mencair.
Kiai Gumrah sejak semula memang meyakini, bahwa sikap dan perlakuan yang baik, akan dapat mengkikis kekerasan hati kedua orang tawanannya. Karena itu maka perlahan-lahan Kiai Gumrah dapat menggiring mereka ke dalam satu pembicaraan yang bersungguh-sungguh.
Ketika keadaan kedua orang itu menjadi sedikit baik, maka mereka mulai dapat duduk di amben yang besar di ruang dalam rumah Kiai Gumrah. Tali yang mengikat dengan pembaringan mereka telah dilepas di saat-saat tertentu, sebagaimana saat mereka duduk di ruang dalam bersama dengan Kiai Gumrah dan Ki Prawara.
Meskipun tangan dan kakinya tidak terikat, tetapi kedua orang itu menyadari, bahwa ia berada di satu lingkungan yang dikelilingi oleh orang-orang berilmu tinggi. Ternyata dua orang perempuan yang ada di rumah itu adalah perempuan yang berilmu tinggi pula. Seorang di antaranya berhasil membunuh Darpati, sedangkan yang seorang lagi telah mengalahkan salah seorang dari kedua orang tawanan itu.
Setelah menghirup beberapa teguk minuman hangat, maka mereka mulai berbincang tentang beberapa hal yang menyangkut tentang kelompok yang dipimpin oleh Kiai Windu Kusuma. Kedua orang itu memang tidak segera menjawab pertanyaan-pertanyaan Kiai Gumrah. Namun sedikit demi sedikit Kiai Gumrah meyakinkan kepada keduanya, bahwa keduanya bagi Kiai Windu Kusuma sudah dianggap sebagai orang-orang yang hilang.
"Ki Sanak!" berkata Kiai Gumrah "Dikuburan itu terdapat delapan onggok tanah galian baru. Seorang di antara kawanku menyaksikan dua orang pengikut Kiai Windu Kusuma yang datang dan menghitungnya."
"Bagaimana kawan Kiai dapat mengerti, bahwa kedua orang itu adalah pengikut Kiai Windu Kusuma?" bertanya salah seorang dari kedua orang tawanan itu.
"Kawanku bersembunyi di balik sebuah gerumbul yang tidak terlalu jauh. Ia mendengar percakapan kedua orang itu, sehingga kawanku yakin bahwa Kiai Windu Kusuma telah menganggap kalian orang-orang yang telah dikubur bersama enam orang kawan kalian."
Orang itu masih merasa ragu. Namun kemudian Kiai Gumrah berkata "Ki Sanak. Justru kalian sudah dianggap hilang, aku merasa kasihan kepada kalian. Kalian tidak akan dapat berlindung kepada siapapun. Seandainya mereka tahu bahwa kalian masih ada, mungkin mereka akan berusaha untuk membebaskan kalian. Tetapi mungkin juga sebaliknya. Mereka akan berusaha membunuh kalian agar kalian tidak dapat berbicara lagi. Tetapi dengan dua onggok tanah kuburan itu, kalian tidak akan lagi merasa dibayangi oleh ancaman pembunuhan itu"
Kedua orang itu termangu-mangu sejenak, sementara Kiai Gumrah pun berkata, "Pertimbangkan keadaanmu baik-baik Ki Sanak. Karena kalian tentu tidak akan merasa senang untuk benar-benar berada dikuburan itu, siapapun yang mengantarkan kalian kesana."
Keduanya mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, "Aku mengerti Kiai. Aku pun merasa perlakuan Kiai dan keluarga Kiai terlalu baik buat kami. Karena itu, maka rasa-rasanya kami memang harus menilai sikap kami"
"Kalian masih mempunyai waktu Ki Sanak" berkata Kiai Gumrah "Meskipun sangat sempit. Sekarang, beristirahatlah agar keadaan kalian menjadi semakin baik!"
"Tidak Kiai. Kami sudah cukup beristirahat" berkata orang itu.
"Jika demikian, apakah kita dapat berbicara lebih lanjut?" berkata Kiai Gumrah.
Kedua orang itu menarik nafas dalam-dalam. Sejenak mereka saling berpandangan. Namun kemudian seorang di antara mereka berkata “Kami sudah mengetahui apa yang Kiai inginkan"
"Sukurlah" jawab Kiai Gumrah. Tetapi kemudian ia justru bertanya "Apa menurut pendapatmu yang ingin aku ketahui itu?"
"Tentu kekuatan dan sarang para pengikut Kiai Windu Kusuma" jawab seorang di antara keduanya.
"Kami sudah mengetahui sarang mereka. Tetapi yang memang belum kami ketahui sepenuhnya adalah kekuatan mereka"
Wajah kedua orang itu berkerut. Namun seorang di antara mereka berkata "Darimana Kiai mengetahuinya?"
"Kawan-kawan kami berhasil mengikuti arah terbang burung-burung elang yang sering dilepaskan oleh para pengikut Kiai Windu Kusuma" jawab Kiai Gumrah.
Kedua orang itu mengangguk-angguk. Namun kemudian seorang di antara mereka berkata "Kiai. Aku sekarang sudah di sini. Aku kira aku memang tidak akan dapat kembali kelingkunganku yang lama. Jika aku kembali, maka nasibku pun akan menjadi buruk sekali. Karena itu, maka aku justru akan menitipkan hidup matiku kepada Kiai"
"Ki Sanak. Sebenarnyalah bahwa kami bukan sekelompok pembunuh yang haus melihat darah tertumpah. Jika kami melakukan kekerasan itu semata-mata, karena kami sekedar mempertahankan diri dan mempertahankan hak kami. Karena itu, maka jika kalian memang ingin mendapat perlindungan kami, maka kami tentu tidak akan berkeberatan. Tetapi apakah hal ini ada hubungannya dengan pengenalan kami atas sarang Kiai Windu Kusuma dan para pengikutnya atau bahkan sarang orang yang disebut Panembahan itu?"
Kedua orang itu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata “Ya Kiai. Kami ingin memperingatkan bahwa pengenalan Kiai atas sarang Kiai Windu Kusuma dan orang yang disebut Panembahan itu tidak lengkap"
Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia bertanya “Apakah yang kau maksud tidak lengkap? Bukankah sudah aku katakan, bahwa kami memang belum mengetahui dengan pasti kekuatan mereka?"
"Bukan hanya kekuatan mereka, Kiai" jawab orang itu "Tetapi juga sarang mereka yang sebenarnya. Karena sarang burung-burung elang itu bukan sarang Kiai Windu Kusuma yang sebenarnya. Rumah itu memang dipergunakan oleh Kiai Windu Kusuma. Tetapi hanya beberapa orang saja yang tinggal di sana. Terutama orang yang mampu mengendalikan burung-burung elang itu. Sedangkan yang lain berada di tempat yang terpisah.”
Wajah Kiai Gumrah nampak berkerut. Keterangan itu sangat menarik perhatiannya. Tetapi Kiai Gumrah tidak segera mempercayainya begitu saja. Bahkan Ki Prawara dengan serta-merta bertanya "Apakah kau berkata sebenarnya?"
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia dapat mengerti bahwa Kiai Gumrah dan Ki Prawara itu tentu tidak begitu saja mempercayainya. Karena itu, maka katanya,
"Kiai. Bukankah Kiai mempunyai kawan-kawan yang memiliki ilmu yang tinggi? Jumlah kawan-kawan Kiai memang tidak begitu banyak. Tetapi kawan-kawan Kiai benar-benar memiliki kelebihan dari orang-orang kebanyakan. Hadirnya dua ekor harimau itu juga merupakan rahasia tersendiri bagi Kiai Windu Kusuma. Semuanya itu merupakan satu landasan yang sangat berarti bagi Kiai. Sementara itu salah seorang di antara kawan-kawan Kiai tentu akan dapat menyelidiki tempat sebenarnya dari Kiai Windu Kusuma dan kawan-kawannya. Bahkan sekarang, orang yang disebut Panembahan itu telah ada di sana pula."
Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Dengan kening yang berkerut iapun kemudian bertanya "Siapakah nama Panembahan itu?"
"Kami hanya menyebutnya dengan Panembahan begitu saja."
"Baiklah. Kita tidak mempersoalkan namanya. Tetapi kami yakin bahwa Panembahan itu adalah Panembahan yang pernah kami kenal namanya, karena Panembahan yang kami kenal namanya itu juga mempunyai tingkah laku sebagaimana Panembahan yang ada di antara kalian. Jika Panembahan yang kami kenal namanya itu menurut pendengaran kami telah mengorbankan gadis-gadis untuk membuat pusakanya yang berupa sebilah keris menjadi pusaka yang terbaik di dunia, maka sekarang Panembahan yang ada di antaramu itu akan memelihara dan meningkatkan tuah dari pusaka-pusaka yang akan diambilnya dari rumahku ini dengan menikam jantung manusia yang masih segar. Bukankah pada kedua-duanya berarti membasahi pusaka-pusaka itu dengan darah. Satu lambang betapa hausnya Panembahan itu terhadap darah yang tertumpah. Bahkan mungkin Panembahan itupun mengerti bahwa darah itu tidak akan berarti apa-apa, apalagi memberikan tuah. Tetapi kepuasan Panembahan itu mula-mula justru saat ia melihat darah yang memancar. Namun lambat laun, kebiasaan untuk mencari kepuasan itu telah diberinya alasan yang lebih mapan agar ia dapat melakukannya dengan lebih mantap...!"
Tetapi kedua orang itu hampir bersamaan menggeleng. Seorang di antaranya berkata "Tidak Kiai. Meskipun mungkin ada juga sedikit kebenarannya. Tetapi sebenarnya Panembahan itu adalah salah seorang yang memuja kuasa kegelapan!"
Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Sementara Ki Prawara bertanya, “Apa tandanya bahwa Panembahan itu menuju kuasa kegelapan?"
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya. "Tingkah lakunya yang aneh. Benda-benda yang melekat pada dirinya, serta korban yang selalu diberikannya kepada kuasa yang dipujanya itu. Kami memang menjadi curiga bahwa yang dikorbankan itu merupakan bagian yang diambilnya dari tubuh manusia, terutama darah."
"Kapan Panembahan itu menyerahkan korbannya?" bertanya Kiai Gumrah.
"Kiai..." berkata orang itu "Kami adalah orang-orang yang sebenarnya adalah pengikut Kiai Windu Kusuma, sehingga kami tidak terlalu banyak mengetahui apa yang dilakukan oleh Panembahan. Tetapi menurut pendengaranku, Panembahan setiap bulan purnama telah menyerahkan korban."
Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Dengan demikian maka ia menjadi semakin yakin bahwa Panembahan itu adalah orang yang sangat berbahaya. Ia dapat berbuat apa saja di luar dugaan setiap saat, sehingga yang tidak terbayangkan pun akan dapat dilakukan pula. Namun Kiai Gumrah pun kemudian bertanya,
"Tetapi kenapa Kiai Windu Kusuma telah terlibat dalam kegiatan panembahan itu?"
Kedua orang itu menggeleng. Seorang di antara mereka berkata "Kami tidak tahu, hubungan apakah yang telah mendorong Kiai Windu Kusuma untuk melibatkan diri dalam perebutan pusaka-pusaka itu. Tetapi nampaknya pengaruh Panembahan itu terhadap Kiai Windu Kusuma cukup kuat, sehingga mau tidak mau Kiai Windu Kusuma harus terlibat ke dalamnya"
Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Namun ia percaya akan keterangan itu. Karena itu, maka Kiai Gumrah dan Ki Prawara mengangguk-angguk mengiakan. "Kami harus segera membicarakannya" berkata Kiai Gumrah "Kami minta kalian bersedia berbicara bersama kami terutama untuk menilai kekuatan Panembahan dan Kiai Windu Kusuma"
Kedua orang itu mengangguk kecil. Namun kemudian seorang di antara mereka berkata "Masih ada satu pihak lagi yang terlibat dalam hubungan ini. Jika aku tidak mengatakannya, maka aku cemas bahwa penilaian Kiai atas kekuatan Panembahan tidak lengkap. Karena itu, sebaiknya Kiai juga mengetahuinya!"
"Siapa lagi yang terlibat dalam hubungannya dengan niat Panembahan?" bertanya Kiai Gumrah.
"Tetapi nampaknya orang itu tergerak sekedar karena nilai kebendaan yang diinginkannya" jawab orang itu.
"Siapa orang itu?" bertanya Kiai Gumrah selanjutnya.
Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian orang itu berkata "Aku hanya mendengar namanya disebut Kiai Kajar”
Wajah Kiai Gumrah dan Ki Prawara menjadi tegang. Di luar sadarnya Ki Prawara berdesis. "Iblis itu benar-benar berkhianat..."
"Kiai kenal orang itu?" bertanya salah seorang dari kedua tawanan itu.
"Ya. Orang itu adalah saudara seperguruanku." berkata Kiai Gumrah "Karena itulah agaknya Kiai Windu Kusuma dan bahkan Panembahan itu mengetahui bahwa di sini tersimpan pusaka-pusaka yang diinginkannya."
"Aku kira tidak Kiai..." sahut orang itu "Kiai Windu Kusuma memang mengetahui adanya pusaka-pusaka itu dari Kiai Kajar. Tetapi Panembahan itu tidak. Seakan-akan ia tahu segala-galanya, terutama tentang pusaka-pusaka yang menurut pendapatnya sangat bertuah."
"Kau tentu tidak mengetahui segala-galanya. Meski ada yang terlampaui..." berkata Kiai Gumrah.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk sambil berkata, "Ya. Aku memang bukan termasuk salah seorang pemimpin yang ikut menentukan. Tetapi aku mendapat sedikit kepercayaan. Bukan dari Panembahan, tetapi dari Kiai Windu Kusuma."
Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Hampir saja ia bertanya tentang Kundala. Tetapi niatnya diurungkannya. Agaknya masih belum saatnya, Kiai Gumrah menyebut kehadiran Kundala di rumah itu. Masih banyak kemungkinan dapat terjadi atas kedua orang itu, juga atas Kundala, sehingga kemungkinan buruk dapat saja terjadi atas mereka.
Namun pembicaraan itu telah memberikan banyak bahan bagi Kiai Gumrah. Ia sadar, bahwa satu pertemuan yang lebih besar harus diselenggarakan. Kiai Gumrah sudah dapat membayangkan, bahwa yang dihadapi adalah satu kekuatan yang cukup besar.
Ternyata meskipun Kiai Gumrah telah memasuki usia tuanya, namun ia masih melangkah dengan tegar. Dalam waktu singkat ia sudah menghubungi kawan-kawannya. Beranting mereka menyampaikan undangan Kiai Gumrah bagi kawan-kawannya yang tidak kurang dari saudara-saudara seperguruannya.
"Besok sore kita bertemu. Aku akan meminjam banjar tua itu untuk mengadakan pertemuan. Aku akan minta agar Ki Bekel tidak mengatakan kepada siapapun, bahwa kita akan mengadakan pertemuan di banjar. Anak-anak muda padukuhan ini juga tidak perlu mengetahui, sehingga karena itu, maka biarlah Ki Bekel membuat satu kegiatan apapun bagi anak-anak muda agar mereka tidak berkeliaran ke banjar tua..." berkata Kiai Gumrah kepada salah seorang pedagang gula yang termasuk saudara seperguruannya.
Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Dengan kening yang berkerut iapun kemudian bertanya "Siapakah nama Panembahan itu?"
"Kami hanya menyebutnya dengan Panembahan begitu saja."
"Baiklah. Kita tidak mempersoalkan namanya. Tetapi kami yakin bahwa Panembahan itu adalah Panembahan yang pernah kami kenal namanya, karena Panembahan yang kami kenal namanya itu juga mempunyai tingkah laku sebagaimana Panembahan yang ada di antara kalian. Jika Panembahan yang kami kenal namanya itu menurut pendengaran kami telah mengorbankan gadis-gadis untuk membuat pusakanya yang berupa sebilah keris menjadi pusaka yang terbaik di dunia, maka sekarang Panembahan yang ada di antaramu itu akan memelihara dan meningkatkan tuah dari pusaka-pusaka yang akan diambilnya dari rumahku ini dengan menikam jantung manusia yang masih segar. Bukankah pada kedua-duanya berarti membasahi pusaka-pusaka itu dengan darah. Satu lambang betapa hausnya Panembahan itu terhadap darah yang tertumpah. Bahkan mungkin Panembahan itupun mengerti bahwa darah itu tidak akan berarti apa-apa, apalagi memberikan tuah. Tetapi kepuasan Panembahan itu mula-mula justru saat ia melihat darah yang memancar. Namun lambat laun, kebiasaan untuk mencari kepuasan itu telah diberinya alasan yang lebih mapan agar ia dapat melakukannya dengan lebih mantap...!"
Tetapi kedua orang itu hampir bersamaan menggeleng. Seorang di antaranya berkata "Tidak Kiai. Meskipun mungkin ada juga sedikit kebenarannya. Tetapi sebenarnya Panembahan itu adalah salah seorang yang memuja kuasa kegelapan!"
Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Sementara Ki Prawara bertanya, “Apa tandanya bahwa Panembahan itu menuju kuasa kegelapan?"
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya. "Tingkah lakunya yang aneh. Benda-benda yang melekat pada dirinya, serta korban yang selalu diberikannya kepada kuasa yang dipujanya itu. Kami memang menjadi curiga bahwa yang dikorbankan itu merupakan bagian yang diambilnya dari tubuh manusia, terutama darah."
"Kapan Panembahan itu menyerahkan korbannya?" bertanya Kiai Gumrah.
"Kiai..." berkata orang itu "Kami adalah orang-orang yang sebenarnya adalah pengikut Kiai Windu Kusuma, sehingga kami tidak terlalu banyak mengetahui apa yang dilakukan oleh Panembahan. Tetapi menurut pendengaranku, Panembahan setiap bulan purnama telah menyerahkan korban."
Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Dengan demikian maka ia menjadi semakin yakin bahwa Panembahan itu adalah orang yang sangat berbahaya. Ia dapat berbuat apa saja di luar dugaan setiap saat, sehingga yang tidak terbayangkan pun akan dapat dilakukan pula. Namun Kiai Gumrah pun kemudian bertanya,
"Tetapi kenapa Kiai Windu Kusuma telah terlibat dalam kegiatan panembahan itu?"
Kedua orang itu menggeleng. Seorang di antara mereka berkata "Kami tidak tahu, hubungan apakah yang telah mendorong Kiai Windu Kusuma untuk melibatkan diri dalam perebutan pusaka-pusaka itu. Tetapi nampaknya pengaruh Panembahan itu terhadap Kiai Windu Kusuma cukup kuat, sehingga mau tidak mau Kiai Windu Kusuma harus terlibat ke dalamnya"
Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Namun ia percaya akan keterangan itu. Karena itu, maka Kiai Gumrah dan Ki Prawara mengangguk-angguk mengiakan. "Kami harus segera membicarakannya" berkata Kiai Gumrah "Kami minta kalian bersedia berbicara bersama kami terutama untuk menilai kekuatan Panembahan dan Kiai Windu Kusuma"
Kedua orang itu mengangguk kecil. Namun kemudian seorang di antara mereka berkata "Masih ada satu pihak lagi yang terlibat dalam hubungan ini. Jika aku tidak mengatakannya, maka aku cemas bahwa penilaian Kiai atas kekuatan Panembahan tidak lengkap. Karena itu, sebaiknya Kiai juga mengetahuinya!"
"Siapa lagi yang terlibat dalam hubungannya dengan niat Panembahan?" bertanya Kiai Gumrah.
"Tetapi nampaknya orang itu tergerak sekedar karena nilai kebendaan yang diinginkannya" jawab orang itu.
"Siapa orang itu?" bertanya Kiai Gumrah selanjutnya.
Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian orang itu berkata "Aku hanya mendengar namanya disebut Kiai Kajar”
Wajah Kiai Gumrah dan Ki Prawara menjadi tegang. Di luar sadarnya Ki Prawara berdesis. "Iblis itu benar-benar berkhianat..."
"Kiai kenal orang itu?" bertanya salah seorang dari kedua tawanan itu.
"Ya. Orang itu adalah saudara seperguruanku." berkata Kiai Gumrah "Karena itulah agaknya Kiai Windu Kusuma dan bahkan Panembahan itu mengetahui bahwa di sini tersimpan pusaka-pusaka yang diinginkannya."
"Aku kira tidak Kiai..." sahut orang itu "Kiai Windu Kusuma memang mengetahui adanya pusaka-pusaka itu dari Kiai Kajar. Tetapi Panembahan itu tidak. Seakan-akan ia tahu segala-galanya, terutama tentang pusaka-pusaka yang menurut pendapatnya sangat bertuah."
"Kau tentu tidak mengetahui segala-galanya. Meski ada yang terlampaui..." berkata Kiai Gumrah.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk sambil berkata, "Ya. Aku memang bukan termasuk salah seorang pemimpin yang ikut menentukan. Tetapi aku mendapat sedikit kepercayaan. Bukan dari Panembahan, tetapi dari Kiai Windu Kusuma."
Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Hampir saja ia bertanya tentang Kundala. Tetapi niatnya diurungkannya. Agaknya masih belum saatnya, Kiai Gumrah menyebut kehadiran Kundala di rumah itu. Masih banyak kemungkinan dapat terjadi atas kedua orang itu, juga atas Kundala, sehingga kemungkinan buruk dapat saja terjadi atas mereka.
Namun pembicaraan itu telah memberikan banyak bahan bagi Kiai Gumrah. Ia sadar, bahwa satu pertemuan yang lebih besar harus diselenggarakan. Kiai Gumrah sudah dapat membayangkan, bahwa yang dihadapi adalah satu kekuatan yang cukup besar.
Ternyata meskipun Kiai Gumrah telah memasuki usia tuanya, namun ia masih melangkah dengan tegar. Dalam waktu singkat ia sudah menghubungi kawan-kawannya. Beranting mereka menyampaikan undangan Kiai Gumrah bagi kawan-kawannya yang tidak kurang dari saudara-saudara seperguruannya.
"Besok sore kita bertemu. Aku akan meminjam banjar tua itu untuk mengadakan pertemuan. Aku akan minta agar Ki Bekel tidak mengatakan kepada siapapun, bahwa kita akan mengadakan pertemuan di banjar. Anak-anak muda padukuhan ini juga tidak perlu mengetahui, sehingga karena itu, maka biarlah Ki Bekel membuat satu kegiatan apapun bagi anak-anak muda agar mereka tidak berkeliaran ke banjar tua..." berkata Kiai Gumrah kepada salah seorang pedagang gula yang termasuk saudara seperguruannya.
Kiai Gumrah pun telah menemui juragan gula itu pula, agar ia menyampaikan kepada saudara-saudara seperguruannya yang esok pagi menyerahkan gula kelapa kepadanya.
"Apakah kawan-kawan yang lain sudah tahu?" bertanya juragan gula itu.
"Beranting..." jawab Kiai Gumrah "Di pasar besok mudah-mudahan banyak yang dapat ditemui. Jika tidak, maka biarlah saudara-saudara kita saling mengunjungi di rumah mereka masing-masing."
Malam itu juga Kiai Gumrah telah menemui Ki Bekel. Ia minta ijin untuk menggunakan banjar tua yang untuk waktu yang terhitung panjang telah ditungguinya, dibersihkan dan dijaga dengan baik.
"Tentu..." berkata Ki Bekel "Kiai Gumrah dapat saja mempergunakan banjar itu untuk keperluan apapun.”
"Tetapi aku mohon anak-anak muda tidak mengganggu pertemuan kami. Biasanya ada beberapa anak muda yang singgah di banjar itu di malam hari. Sebenarnya aku merasa senang akan kehadiran anak-anak muda itu. Tetapi kali ini aku mohon Ki Bekel mengatur satu pertemuan di banjar baru, agar anak-anak muda tidak pergi ke banjar lama."
Ki Bekel termangu-mangu. Katanya "Aku tidak berkeberatan. Tetapi apa alasanku untuk mengikat mereka di banjar baru...?"
Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Tanpa alasan apapun, Ki Bekel memang tidak dapat menahan anak-anak muda di banjar baru. Namun tiba-tiba Kiai Gumrah berkata, "Ki Bekel. Selama ini Rambatan dan beberapa orang kawannya seakan-akan telah terpisah dari anak-anak muda yang lain. Tetapi pada saat terakhir, agaknya Rambatan telah berubah sikap. Apakah Ki Bekel dapat mempergunakannya sebagai alasan?"
"Maksud Kiai Gumrah?" bertanya Ki Bekel.
"Undang anak-anak muda termasuk Rambatan dan kawan-kawannya itu. Ki Bekel dapat mengatakan kepada mereka, bahwa pertemuan itu adalah pertemuan untuk menghilangkan jarak antara Rambatan dan kelompoknya dengan anak-anak muda yang lain. Katakan bahwa anak-anak muda padukuhan itu telah menyatu kembali. Rambatan telah meninggalkan cara hidupnya yang lama."
Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya "Bagus. Aku akan mengajak anak-anak itu makan untuk merayakan perubahan sikap sebagian dari anak-anak muda padukuhan ini. Dan lebih dari itu, juga sikapku sendiri. Bukankah perubahan sikapku juga pantas disambut baik dengan sebuah kegembiraan."
"Tentu..." Kiai Gumrah tertawa "Aku ikut bergembira. Sayang aku tidak dapat hadir dalam pertemuan untuk mensukuri beberapa perubahan yang terjadi di padukuhan ini." Kiai Gumrah berhenti sejenak, lalu, "Tetapi aku mohon Ki Bekel tidak mengatakan sesuatu tentang pertemuan itu tidak baik untuk diketahui oleh anak-anak muda itu. Kita masih harus tetap curiga, bahwa setelah berbagai perubahan sikap terjadi di padukuhan ini, ternyata masih ada satu dua orang yang meragukan sikapnya."
"Aku mengerti, Kiai. Aku akan berbuat sebaik-baiknya..." jawab Ki Bekel.
Demikianlah, maka ketika pasar mulai ramai, beberapa orang pedagang gula pun saling bertemu. Mereka telah menyebarkan panggilan dari Kiai Gumrah untuk bertemu di banjar tua yang untuk waktu yang terhitung lama ditunggui olehnya.
"Apakah tempat itu sudah diamankan?" bertanya salah seorang dari mereka.
"Itu tanggung jawab Kiai Gumrah” jawab saudagar gula yang menerima gula dari para pembuat gula yang jumlahnya sampai satu dua pedati. Sebagian besar dari gula-gula itu telah dikirimkan kepada pedagang gula di pasar-pasar yang lain, bahkan di padukuhan-padukuhan yang agak jauh.
Jaringan perdagangan gula itulah yang menjadi jalur hubungan antara Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya, meskipun tidak semua pedagang gula termasuk dalam lingkungan seperguruan Kiai Gumrah. Dengan demikian maka panggilan Kiai Gumrah itu telah merambat dari satu orang kepada orang yang lain, sehingga tersebar kepada saudara-saudara seperguruannya, bahwa setelah malam turun, maka mereka akan bertemu untuk berbicara di banjar tua di dekat rumah Kiai Gumrah.
Ketika kemudian senja mulai membayangi padukuhan itu, Kiai Gumrah pun mulai bersiap-siap. Ia berpesan kepada Nyi Prawara dan Winih, agar mereka berhati-hati di rumah. Demikian pula Manggada dan Laksana.
"Kalian tidak usah keluar dari rumah." pesan Kiai Gumrah.
Nyi Prawara mengangguk. Katanya. "Kami akan menempatkan kentongan kecil di dalam rumah ini ayah. Mungkin kami memerlukannya mengingat kekuatan lawan yang ternyata cukup besar. Mereka dapat datang setiap saat. Bahkan di saat yang tidak diduga-duga."
"Aku setuju. Biarlah Manggada memasukkan kentongan kecil di serambi belakang itu..." berkata Kiai Gumrah. Lalu katanya "Aku dan Prawara akan berada di banjar tua itu."
Nyi Prawara mengangguk. Dengan nada dalam ia berkata kepada Manggada "Ambillah kentongan di serambi belakang itu. Kita harus berhati-hati menghadapi mereka..."
Demikianlah, ketika Kiai Gumrah dan Ki Prawara pergi ke banjar, maka yang tinggal di rumah adalah Nyi Prawara, Winih, Manggada dan Laksana. Mereka duduk di ruang dalam, di depan sentong tempat Kiai Gumrah menyimpan pusaka-pusakanya. Namun untuk dapat mengamati langsung pusaka-pusaka itu, maka tirai di pintu bilik itupun telah disingkapkannya. Sehingga dengan demikian maka mereka dapat melihat langsung pusaka-pusaka yang sedang mereka lindungi itu.
Sementara itu, di banjar itu telah berkumpul lebih dari sepuluh orang. Semuanya sudah nampak separo baya. Bahkan Ki Prawara pun nampaknya terhitung muda di antara para pedagang dan pembuat gula itu. Dengan singkat Kiai Gumrah menguraikan tentang niat Kiai Windu Kusuma dan seorang yang disebut Panembahan untuk memiliki pusaka itu.
"Aku mengajak dua orang pengikut Kiai Windu Kusuma yang dapat kami tangkap..." berkata Kiai Gumrah.
Semua orang yang hadir di banjar itu telah memandang kedua orang tawanan yang menundukkan kepalanya. Namun Kiai Gumrah pun kemudian berkata, "Tetapi keduanya dapat aku anggap sebagai orang yang baik..."
"Kenapa?" bertanya seorang pembuat gula yang bertubuh tinggi besar, sehingga kawan-kawannya menyebutnya Buta Ijo.
"Mereka telah memberikan banyak petunjuk..." jawab Kiai Gumrah.
"Mereka berbicara karena terpaksa" desis seorang yang lain, yang rambut dan kumisnya sudah mulai memutih.
"Tidak. Aku tidak memaksa. Mereka berbicara atas kehendak mereka sendiri. Seandainya disebut terpaksa, bukan karena tekanan kekerasan..." jawab Kiai Gumrah yang kemudian dengan singkat menguraikan tentang delapan onggok kuburan.
"Bagaimanapun juga unsur keterpaksaan itu ada.” berkata raksasa itu pula.
"Jika kita membuat tataran, maka tataran kejahatan mereka masih belum terlalu tinggi, meskipun mereka termasuk orang-orang yang datang untuk membunuh cucu-cucuku dan bahkan menantuku." berkata Kiai Gumrah.
"Baiklah jika kau menganggap bahwa kesalahannya tidak sampai ke ubun-ubun. Nah, sekarang apa lagi?” bertanya yang lain, yang kurang sabar terhadap perkembangan pembicaraan itu.
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia mulai berbicara tentang pendapatnya bahwa sebaiknya mereka tidak sekedar menunggu Panembahan itu datang kepadanya.
"Satu pilihan yang paling baik." berkata juragan gula yang nampaknya agak terkantuk-kantuk.
"Apakah kita sudah mempunyai gambaran apa yang akan kita lakukan?" bertanya orang yang bertubuh raksasa yang jarang berhubungan dengan saudara-saudara seperguruannya.
Juragan gula itu tersenyum. Dengan nada rendah ia berkata "Kau selama ini selalu mengurung diri. He, kepada siapa gulamu kau jual? Kenapa tidak kepadaku?"
"Kau kira aku tidak perlu makan buat aku dan keluargaku..." jawab Buta Ijo itu "Kalau aku menjual gula itu kepadamu, berapa aku mendapat uang? Hasil penjualan gula itu masih harus dikurangi upah mengangkut gula dari tempatku yang cukup jauh dari rumahmu."
Juragan gula itu tertawa. Katanya, "Meskipun demikian, sekali-sekali kau hubungi aku. Dengan demikian kau tidak akan ketinggalan mengikuti perkembangan keadaan. Khususnya yang menyangkut keluarga seperguruan kita"
"Yang penting sekarang, beri aku keterangan tentang persoalan yang kita hadapi" berkata raksasa itu "Di sini bukan tempat untuk mencari dagangan..."
Yang lain tertawa. Kiai Gumrah pun tertawa pula. Namun kemudian ia berkata "Baiklah. Agaknya aku dapat sedikit memberikan keterangan"
Namun tiba-tiba kawan Kiai Gumrah yang pernah menemukan sarang burung elang itu berkata "Aku sudah menemukan sarang mereka yang ingin merampas pusaka-pusaka itu"
"Ya" jawab Kiai Gumrah "Tetapi masih perlu mendapat penjelasan tentang sarang itu"
Kawan Kiai Gumrah itu mengerutkan dahinya. Dengan nada berat ia bertanya. "Penjelasan apa lagi? Aku sudah menemukannya. Hanya orang berilmu tinggi mampu melakukannya.”
Beberapa orang tertawa serentak. Seorang yang berjanggut beberapa lembar saja berkata, “He, sejak kapan kau menyadap ilmu itu? Tiba-tiba saja kau mengaku berilmu tinggi."
"Sejak aku menemukan sarang itu, baru aku yakin bahwa aku berilmu tinggi" jawab orang itu.
Kawan-kawannya tertawa. Juragan gula yang sempat berbincang dengan Kiai Gumrah sebelum pertemuan itu dimulai berkata, “Kau dengar, bahwa penemuanmu masih memerlukan penjelasan."
"Penjelasan apa?" bertanya orang itu.
Kiai Gumrahlah yang kemudian mengatakan pengakuan kedua orang yang pengikut Kiai Windu Kusuma yang dapat ditangkapnya itu. Orang-orang yang ada di banjar tua itu mengangguk-angguk. Kemudian katanya,
"Aku orang berilmu tinggi. Biarlah aku menyelidiki sarang mereka sebagaimana dikatakan oleh kedua orang itu. Tetapi jika mereka berbohong, maka mereka akan aku gantung di depan sarang burung-burung elang itu."
Kiai Gumrah pun berpaling kepada kedua orang itu. Dengan dahi yang berkerut ia bertanya “Nah kau dengar? Bukankah kau tidak berbohong? Kau juga mendengar bahwa orang itu berilmu tinggi sehingga ia benar-benar akan dapat menggantung kalian tinggi-tinggi pada batang pohon randu alas."
Namun seorang yang lain menambahkannya. "Tetapi kedua orang itu harus diikat dahulu kaki dan tangannya. Jika tidak, maka ia tidak akan berani melakukannya meskipun ia berilmu tinggi."
Orang-orang yang hadir itu tertawa serentak. Orang yang menyebut dirinya berilmu tinggi itu juga tertawa. Kedua orang tawanan itu saling berpandangan. Mereka tidak melihat suasana seperti itu di sarang Kiai Windu Kusuma. Yang mereka lihat hampir setiap hari adalah wajah-wajah yang berkerut, sikap yang keras dan kasar.
Susunan hubungan yang satu dengan yang lain seakan-akan dibayangi oleh tataran kepemimpinan yang ketat, sehingga para pemimpin dapat berlaku sekehendak hatinya terhadap para pengikutnya. Bahkan di antara para pemimpin masih saja selalu timbul persoalan-persoalan yang harus dibicarakan dengan tegang. Apalagi ketika Panembahan bersama beberapa orang pengikutnya telah datang.
Tetapi di banjar tua itu ia melihat orang-orang berilmu tinggi itu dapat berbicara sambil bergurau dan tertawa. Mereka dapat meningkatkan pembicaraan mereka setingkat demi setingkat tanpa ketegangan sama sekali. Dengan demikian maka kedua orang itu merasa berada di dunia yang sama sekali berbeda isi dan suasananya.
Demikianlah, maka Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya itu mulai berbicara tentang sarang Kiai Windu Kusuma yang sebenarnya. Mereka memang menunjuk dua orang di antara mereka untuk menyelidiki sarang itu. Dari kedua orang tawanan itu, Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya mengetahui bahwa disamping orang-orang berilmu tinggi terdapat para pengikutnya yang jumlahnya cukup banyak.
Tiba-tiba saja Ki Prawara itupun bertanya kepada para tawanan itu. "Kau di lingkungan para pengikut Kiai Windu Kusuma termasuk tataran yang mana? Apakah kau termasuk pengikut yang tidak diperhitungkan atau pada tataran menengah atau kau terhitung berilmu tinggi?"
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kawan-kawan setataranku telah berkurang banyak. Ternyata Darpati yang ingin memenuhi keinginannya sendiri telah banyak mengorbankan kawan-kawan kami. Terakhir rencananya memang dapat diterima penalaran Kiai Windu Kusuma meskipun sebelumnya Darpati telah dimarahinya dan hampir kehilangan kepercayaan."
"Apa rencana terakhirnya?" bertanya Ki Prawara.
"Sebagaimana telah terjadi..." jawab orang itu. "Darpati ingin mengambil pusaka itu dengan caranya sendiri. Ia menghasut orang-orang padukuhan, termasuk Ki Bekel. Darpati memperhitungkan bahwa Kiai Gumrah akan sibuk melayani orang-orang padukuhan itu sementara ia akan mengambil pusaka-pusaka itu dengan beberapa orang terpilih. Sedangkan rencana kedua sebagai cadangan jika rencana pertama gagal, ia akan menculik Winih. Tetapi ternyata kedua-duanya gagal, bahkan Darpati sendiri terbunuh. Salah satu kesalahannya adalah, ia tidak tahu bahwa Winih ternyata berilmu tinggi dan bahkan dapat mengalahkannya."
Ki Prawara mengangguk-angguk. Katanya. "Nah, kalian dengar rencana itu? Jika demikian maka kedua orang ini tentu termasuk orang yang dipilih oleh Darpati. Karena itu, maka mereka adalah orang-orang yang berada pada tataran menengah."
"Sayang, aku tidak melihat tingkat kemampuannya." berkata orang bertubuh raksasa yang disebut Buta Ijo. Lalu katanya. “Bagaimana jika kedua orang itu kita adu sampai salah seorang di antara mereka mati? Kita tentu akan melihat catatan kemampuan mereka, orang-orang yang berada ditingkat menengah."
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam, sementara jantung kedua orang itu menjadi berdebar-debar. Namun mereka menjadi tenang ketika juragan gula itu berkata. "Jangan cemas. Buta Ijo itu memang senang menakut-nakuti orang. Tetapi sebenarnya hatinya lembut seperti beludru.”
"Persetan kau." geram Buta Ijo itu. Tetapi ia tidak berbicara lebih lanjut.
Dalam pada itu, meskipun sambil bergurau, namun orang-orang itu telah menemukan satu sikap yang sama. Mereka tidak akan menunggu lagi. Bahkan merekalah yang akan datang untuk menyerang sarang Kiai Windu Kusuma. Menurut pendapat mereka, itu adalah cara yang paling baik untuk mempertahankan pusaka-pusaka milik perguruan mereka yang bagi Kiai Gumrah memang benar-benar titipan sebagaimana dikatakannya kepada Manggada dan Laksana. Tetapi bukan titipan dari orang lain, namun titipan dari perguruannya sendiri.
Sebenarnyalah bahwa Manggada dan Laksana juga sudah meragukan kebenaran ceritera Kiai Gumrah tentang pusaka-pusaka itu. Namun demikian kedua orang anak muda itu memang merasa tidak berhak untuk mendapatkan keterangan yang lebih terperinci.
Namun Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya itu masih harus mendapatkan keterangan yang lebih terperinci tentang sarang Kiai Windu Kusuma dan orang yang disebut Panembahan itu.
"Kita serahkan saja kepada beberapa orang..." berkata Buta Ijo "Kita menunggu perintah, kapan kita akan melakukannya."
"Masih banyak yang harus kita bicarakan." berkata Kiai Gumrah.
"Aku tahu. Tetapi tidak perlu semuanya ikut berbicara. Kita tunjuk lima atau enam orang. Yang lain akan melaksanakan segala keputusannya tanpa membantah sama sekali..."
Sebelum Kiai Gumrah menjawab, maka beberapa orangpun berkata hampir berbareng, "Aku sependapat."
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa semuanya tidak berkeberatan. Namun Kiai Gumrah pun berkata. "Baiklah. Aku akan menunjuk lima orang, tentu saja dengan minta persetujuan kalian semuanya. Ingat, persetujuan, bukan kesanggupan, karena semua orang harus sanggup melakukan tugas betapapun beratnya."
Buta Ijo itu dengan serta merta menyahut. "Bagus, aku sependapat. Tetapi dengan syarat, bukan aku yang ditunjuk untuk bertugas apapun juga."
"Kenapa?" bertanya juragan gula itu.
"Aku sedang mempunyai pekerjaan yang sulit ditinggalkan." jawab Buto Ijo itu.
"Pekerjaan apa?" bertanya orang yang selalu mengaku berilmu tinggi itu. Bahkan katanya kemudian "Kita berdua akan menyelidiki sarang Kiai Windu Kusuma."
"Anakku yang bungsu sedang merajuk. Ia minta seekor kuda berbulu putih. Nah, aku sedang sibuk mencari uang untuk membeli kuda berbulu putih."
"He, isteriku juga sedang merajuk" berkata orang yang mengaku berilmu tinggi itu.
"Ah, kau juga akan membuat dongeng?" bertanya Buta Ijo.
"Kau mengaku bahwa kau telah membuat dongeng?" bertanya Kiai Gumrah kepada Buto Ijo itu.
Buta Ijo itu tertawa. Tetapi ia tidak menjawab. Namun akhirnya orang-orang yang berkumpul di banjar tua itu berhasil menunjuk lima orang yang akan memegang pimpinan untuk melakukan perlawanan dan bahkan menyerang sarang Kiai Windu Kusuma dan orang yang disebut Panembahan.
Di antara mereka adalah Kiai Gumrah, juragan gula, orang yang selalu menyebut dirinya berilmu tinggi, orang yang melihat dua orang pengikut Kiai Windu Kusuma menghitung onggokan tanah kuburan kawan-kawannya yang terbunuh di halaman rumah Kiai Gumrah dan seorang lagi yang sudah terbiasa duduk-duduk berbincang di rumah Kiai Gumrah.
Namun Kiai Gumrah itu berkata "Selain berlima, aku selalu menunggu pendapat kalian. Kawan-kawan yang sering datang ke rumahku justru aku minta selalu datang. Tidak terbatas hanya kelima orang ini saja"
"Tentu." jawab Buta Ijo.
"Kau juga akan selalu datang?" bertanya juragan gula itu.
Buta Ijo itu tertawa berkepanjangan. Namun dalam pada itu, maka Kiai Gumrah itupun berkata. "Masih ada satu hal yang penting kalian ketahui."
"Apa lagi?" bertanya seorang yang bertubuh kurus. Nampaknya matanya sudah lebih banyak terpejam. Hampir mengigau ia berkata dalam kantuknya. "Aku haus."
"Sayang!” berkata Kiai Gumrah "Aku tidak menyediakan minuman malam ini. Aku hanya mempunyai beberapa bumbung legen."
"Buat apa legen?" berkata Buta Ijo "Aku mempunyai legen setempayan besar penuh di rumah."
"Aku benar-benar minta maaf, bahwa aku tidak menyediakan minuman buat kalian" berkata Kiai Gumrah "Tetapi jangan takut. Biarlah di rumah Nyi Prawara merebus air.”
"Justru saat pertemuan ini sudah selesai" desah orang yang terkantuk-kantuk."
Kiai Gumrah pun segera berpaling kepada Ki Prawara sambil berdesis "Lihat, apakah isterimu merebus air? Aku masih ingin berbicara dengan mereka sebentar lagi."
Ki Prawara pun kemudian telah bangkit berdiri sambil berkata "Aku akan pulang dahulu"
Hampir berbareng beberapa orang berkata "Bagus. Ia akan melihat, apakah wedang jahenya sudah siap."
Demikianlah Ki Prawara dengan tergesa-gesa pulang melihat apakah isterinya merebus air. Meskipun ia dan ayahnya tidak memesannya, namun biasanya Nyi Prawara mengerti dengan sendirinya bahwa diperlukan minuman dan makanan.
Ketika Ki Prawara sampai ke rumah, maka sebenarnyalah Nyi Prawara memang sudah merebus air dan bahkan merebus ketela pohon. Namun Nyi Prawara itupun berkata, "Kalian tidak memberitahukan kepada kami, berapa orang yang datang, sehingga seberapa banyak kami harus merebus air dan ketela pohon."
"Yang kau sediakan sudah terlalu banyak. Baiklah, biar aku bawa hidangan ini kesana"
"Ayah membawanya sendiri?" bertanya Winih.
"Biarlah nanti satu dua orang membantu mengambilnya kemari" jawab Ki Prawara.
"Apakah kami dapat membantu membawanya?" bertanya Manggada dan Laksana hampir berbareng.
Tetapi Ki Prawara menggeleng. Katanya "Jangan. Kalian sebaiknya tetap tinggal di rumah. Jarak antara rumah ini ke banjar itu memang pendek saja. Meskipun demikian, biarlah aku dan orang-orang di banjar itu sajalah yang membawa hidangan itu kesana"
Manggada dan Laksana tidak membantah. Mereka sadar, bahwa orang-orang tua itu bersikap berhati-hati menghadapi suasana yang kurang menentu. Segala kemungkinan memang masih dapat terjadi. Apalagi terhadap mereka yang tataran ilmunya masih belum cukup tinggi.
Namun ketika Ki Prawara itu membuka pintu sambil membawa nampan berisi beberapa mangkuk minuman, iapun terkejut. Ia melihat bayangan dalam kegelapan malam. Karena itu, maka ia telah melangkah surut kembali. Diletakkannya mangkuk berisi minuman hangat itu. Bahkan kemudian disingsingkannya kain panjangnya.
Nyi Prawara dan Winih yang ada di dalam tidak melihat bayangan yang bergerak dengan cepat dalam kegelapan itu. Namun ketika ia melihat kesiagaan Ki Prawara, maka Nyi Prawara pun bertanya "Kau melihat sesuatu kakang?"
"Ya" jawab Ki Prawara "Aku melihat bayangan di kegelapan. Hanya sekilas. Tetapi kesannya, tentu orang berilmu tinggi"
"Jadi?" bertanya Nyi Prawara.
"Aku hanya melihat seorang saja. Biarlah aku pergi ke banjar tanpa membawa apa-apa. Nanti biar saja mereka datang kemari jika mereka haus. Sediakan saja minuman dan makanan itu" berkata Ki Prawara.
"Tempat terlalu sempit di sini." berkata Nyi Prawara.
"Pembicaraan kami sudah selesai di banjar. Karena itu, maka jika orang-orang yang ada di banjar itu tidak dapat masuk seluruhnya ke ruang dalam, biarlah sebagian berada di luar. Asal minuman itu masih hangat"
"Tetapi minuman itu sudah mulai dingin" jawab Nyi Prawara.
“Jika demikian biarlah sebagian masih tetap di atas perapian saja" jawab Ki Prawara.
Nyi Prawara mengangguk kecil. Namun ia berkata "Jika kakang pergi ke banjar, berhati-hatilah. Kakang sudah melihat bayangan orang di halaman. Mungkin ia tidak sendiri."
“Banjar itu tidak terlalu jauh. Jika aku berteriak memanggil dengan kata sandi, maka mereka tentu akan segera datang" jawab Ki Prawara.
“Mereka yang di kegelapan itu dapat berbuat licik.” desis Nyi Prawara kemudian. Namun kemudian katanya "Kami ada di sini. Pintu tidak diselarak."
"Kalian juga harus berhati-hati di rumah..." pesan Ki Prawara.
Ki Prawara memang menjadi sangat berhati-hati. Ia sadar, bahwa bayangan itu tentu orang yang berilmu tinggi. Ki Prawara tidak melihat, kemana orang itu menghilang. Namun Ki Prawara juga berilmu tinggi. Karena itu maka Ki Prawara sama sekali tidak menjadi gentar. Namun ia memang harus dengan saksama memperhatikan keadaan di sekitarnya.
Tetapi ketika Ki Prawara itu keluar dari regol halaman rumah ayahnya, maka ia melihat lagi bayangan itu. Namun justru menjauhinya dan hilang dalam kegelapan. Demikian cepatnya bayangan itu hilang, sehingga Ki Prawara tidak dapat melihat ujudnya dengan jelas.
Ketika Ki Prawara sampai di banjar tua itu lagi, maka beberapa orang bertanya hampir berbareng, "He, kau tidak membawa apa-apa?"
Yang lain pun telah menyahut. "Kami sudah terlalu lama menunggu. Jika kami tahu bahwa kau datang tanpa membawa sesuatu, kami sudah pulang sejak tadi."
Ki Prawara tidak menghiraukan kata-kata itu. Namun iapun kemudian berkata "Ada sesuatu yang penting kalian ketahui.”
"Yang penting itu sudah dikatakan oleh Kiai Gumrah. Kau tidak usah mengulangi" berkata Buta Ijo itu.
Ki Prawara berpaling kepada ayahnya dan bertanya "Apa yang sudah ayah katakan?"
"Aku telah mengatakan bahwa Kiai Kajar berada di antara mereka yang ingin memiliki pusaka-pusaka itu" jawab Kiai Gumrah dengan nada tinggi.
"Iblis itu benar-benar berkhianat." berkata juragan gula itu “Sebenarnya ia termasuk orang terbaik di perguruan kita."
"Ia tidak usah ikut berusaha merampas pusaka-pusaka itu karena pusaka-pusaka itu termasuk miliknya juga!" berkata Buta Ijo. Lalu katanya pula "Dengan demikian ia berusaha untuk merampas miliknya sendiri."
Ki Prawara mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya "Bukan itu yang ingin aku katakan. Aku tahu bahwa hal itu tentu sudah dikatakan oleh ayah."
"Jadi apa yang akan kau katakan?" bertanya juragan gula itu, bahkan Kiai Gumrah pun telah bertanya pula "Apa ada yang lain yang penting diketahui oleh saudara-saudara kita?”
"Ya” jawab Ki Prawara “Ternyata ada orang di halaman rumah kita."
"Kau lihat itu?" bertanya Kiai Gumrah.
"Ya. Aku melihat orang itu sekilas dalam kegelapan. Tetapi aku tidak dapat melihat ujudnya. Demikian cepatnya orang itu menghilang" jawab Ki Prawara.
"Kesanmu orang berilmu tinggi?" bertanya Kiai Gumrah.
"Ya” jawab Ki Prawara "Karena itu aku mengurungkan untuk membawa mangkuk-mangkuk minuman kemari. Sementara itu di rumah selain minuman ada pula ketela rebus yang masih hangat."
"Kalau begitu, aku akan mengambilnya" berkata Buta Ijo.
"Kita tidak usah mengambilnya dan membawanya kemari. Kita nanti jika pembicaraan memang sudah selesai, bersama-sama pergi ke rumah. Kita akan minum dan makan ketela rebus di rumah. Biar berhimpitan, tetapi tentu lebih mapan. Kita tidak perlu membawa mangkuk kesana-kemari." berkata Ki Prawara.
"Baiklah" jawab orang yang bertubuh kekurusan "kita kesana sekarang. Sebentar lagi aku tentu sudah tertidur di sini."
Ki Prawara termangu-mangu sejenak. Namun iapun bertanya "Apakah pembicaraan kita sudah benar-benar selesai."
"Masih ada satu dua pesan yang penting" berkata Kiai Gumrah sambil beringsut setapak.
Sebenarnyalah Kiai Gumrah masih memberikan beberapa pesan kepada saudara-saudara seperguruannya. iapun masih perlu membicarakan langkah-langkah yang harus segera diambil bersama saudara-saudara seperguruannya meskipun mereka telah menunjuk lima orang yang akan mengatur segala-galanya.
"Dua hari lagi kalian wajib datang ke rumahku. Ada atau tidak ada kepentingan. Waktunya sudah terlalu sempit." berkata Kiai Gumrah "Tetapi harus diatur sehingga kalian tidak datang bersama-sama. Ada yang datang pagi, siang atau sore atau malam. Mungkin rumahku selalu diawasi."
Saudara-saudara seperguruannya mengangguk-angguk. Tidak seorang pun yang menolak. Namun dalam pada itu, selagi Kiai Gumrah masih berbicara dengan saudara-saudara seperguruannya, maka pintu rumah Kiai Gumrah diketuk orang perlahan-lahan. Bukan pintu depan, tetapi pintu butulan.
Seisi rumah itupun menjadi berdebar-debar. Manggada dan Laksana telah siap untuk pergi ke pintu. Namun Nyi Prawara telah menahannya. Ia memberi isyarat agar keduanya tidak membuka pintu itu lebih dahulu.
Nyi Prawaralah yang kemudian melangkah mendekati pintu sambil bertanya "Siapa?"
"Aku Nyai" jawab suara di luar.
"Aku siapa?" bertanya Nyi Prawara yang rasa-rasanya belum pernah mengenal suara itu.
"Aku ingin berbicara dengan Manggada dan Laksana, Nyai...!" jawab suara itu...
"Apakah kawan-kawan yang lain sudah tahu?" bertanya juragan gula itu.
"Beranting..." jawab Kiai Gumrah "Di pasar besok mudah-mudahan banyak yang dapat ditemui. Jika tidak, maka biarlah saudara-saudara kita saling mengunjungi di rumah mereka masing-masing."
Malam itu juga Kiai Gumrah telah menemui Ki Bekel. Ia minta ijin untuk menggunakan banjar tua yang untuk waktu yang terhitung panjang telah ditungguinya, dibersihkan dan dijaga dengan baik.
"Tentu..." berkata Ki Bekel "Kiai Gumrah dapat saja mempergunakan banjar itu untuk keperluan apapun.”
"Tetapi aku mohon anak-anak muda tidak mengganggu pertemuan kami. Biasanya ada beberapa anak muda yang singgah di banjar itu di malam hari. Sebenarnya aku merasa senang akan kehadiran anak-anak muda itu. Tetapi kali ini aku mohon Ki Bekel mengatur satu pertemuan di banjar baru, agar anak-anak muda tidak pergi ke banjar lama."
Ki Bekel termangu-mangu. Katanya "Aku tidak berkeberatan. Tetapi apa alasanku untuk mengikat mereka di banjar baru...?"
Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Tanpa alasan apapun, Ki Bekel memang tidak dapat menahan anak-anak muda di banjar baru. Namun tiba-tiba Kiai Gumrah berkata, "Ki Bekel. Selama ini Rambatan dan beberapa orang kawannya seakan-akan telah terpisah dari anak-anak muda yang lain. Tetapi pada saat terakhir, agaknya Rambatan telah berubah sikap. Apakah Ki Bekel dapat mempergunakannya sebagai alasan?"
"Maksud Kiai Gumrah?" bertanya Ki Bekel.
"Undang anak-anak muda termasuk Rambatan dan kawan-kawannya itu. Ki Bekel dapat mengatakan kepada mereka, bahwa pertemuan itu adalah pertemuan untuk menghilangkan jarak antara Rambatan dan kelompoknya dengan anak-anak muda yang lain. Katakan bahwa anak-anak muda padukuhan itu telah menyatu kembali. Rambatan telah meninggalkan cara hidupnya yang lama."
Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya "Bagus. Aku akan mengajak anak-anak itu makan untuk merayakan perubahan sikap sebagian dari anak-anak muda padukuhan ini. Dan lebih dari itu, juga sikapku sendiri. Bukankah perubahan sikapku juga pantas disambut baik dengan sebuah kegembiraan."
"Tentu..." Kiai Gumrah tertawa "Aku ikut bergembira. Sayang aku tidak dapat hadir dalam pertemuan untuk mensukuri beberapa perubahan yang terjadi di padukuhan ini." Kiai Gumrah berhenti sejenak, lalu, "Tetapi aku mohon Ki Bekel tidak mengatakan sesuatu tentang pertemuan itu tidak baik untuk diketahui oleh anak-anak muda itu. Kita masih harus tetap curiga, bahwa setelah berbagai perubahan sikap terjadi di padukuhan ini, ternyata masih ada satu dua orang yang meragukan sikapnya."
"Aku mengerti, Kiai. Aku akan berbuat sebaik-baiknya..." jawab Ki Bekel.
Demikianlah, maka ketika pasar mulai ramai, beberapa orang pedagang gula pun saling bertemu. Mereka telah menyebarkan panggilan dari Kiai Gumrah untuk bertemu di banjar tua yang untuk waktu yang terhitung lama ditunggui olehnya.
"Apakah tempat itu sudah diamankan?" bertanya salah seorang dari mereka.
"Itu tanggung jawab Kiai Gumrah” jawab saudagar gula yang menerima gula dari para pembuat gula yang jumlahnya sampai satu dua pedati. Sebagian besar dari gula-gula itu telah dikirimkan kepada pedagang gula di pasar-pasar yang lain, bahkan di padukuhan-padukuhan yang agak jauh.
Jaringan perdagangan gula itulah yang menjadi jalur hubungan antara Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya, meskipun tidak semua pedagang gula termasuk dalam lingkungan seperguruan Kiai Gumrah. Dengan demikian maka panggilan Kiai Gumrah itu telah merambat dari satu orang kepada orang yang lain, sehingga tersebar kepada saudara-saudara seperguruannya, bahwa setelah malam turun, maka mereka akan bertemu untuk berbicara di banjar tua di dekat rumah Kiai Gumrah.
Ketika kemudian senja mulai membayangi padukuhan itu, Kiai Gumrah pun mulai bersiap-siap. Ia berpesan kepada Nyi Prawara dan Winih, agar mereka berhati-hati di rumah. Demikian pula Manggada dan Laksana.
"Kalian tidak usah keluar dari rumah." pesan Kiai Gumrah.
Nyi Prawara mengangguk. Katanya. "Kami akan menempatkan kentongan kecil di dalam rumah ini ayah. Mungkin kami memerlukannya mengingat kekuatan lawan yang ternyata cukup besar. Mereka dapat datang setiap saat. Bahkan di saat yang tidak diduga-duga."
"Aku setuju. Biarlah Manggada memasukkan kentongan kecil di serambi belakang itu..." berkata Kiai Gumrah. Lalu katanya "Aku dan Prawara akan berada di banjar tua itu."
Nyi Prawara mengangguk. Dengan nada dalam ia berkata kepada Manggada "Ambillah kentongan di serambi belakang itu. Kita harus berhati-hati menghadapi mereka..."
Demikianlah, ketika Kiai Gumrah dan Ki Prawara pergi ke banjar, maka yang tinggal di rumah adalah Nyi Prawara, Winih, Manggada dan Laksana. Mereka duduk di ruang dalam, di depan sentong tempat Kiai Gumrah menyimpan pusaka-pusakanya. Namun untuk dapat mengamati langsung pusaka-pusaka itu, maka tirai di pintu bilik itupun telah disingkapkannya. Sehingga dengan demikian maka mereka dapat melihat langsung pusaka-pusaka yang sedang mereka lindungi itu.
Sementara itu, di banjar itu telah berkumpul lebih dari sepuluh orang. Semuanya sudah nampak separo baya. Bahkan Ki Prawara pun nampaknya terhitung muda di antara para pedagang dan pembuat gula itu. Dengan singkat Kiai Gumrah menguraikan tentang niat Kiai Windu Kusuma dan seorang yang disebut Panembahan untuk memiliki pusaka itu.
"Aku mengajak dua orang pengikut Kiai Windu Kusuma yang dapat kami tangkap..." berkata Kiai Gumrah.
Semua orang yang hadir di banjar itu telah memandang kedua orang tawanan yang menundukkan kepalanya. Namun Kiai Gumrah pun kemudian berkata, "Tetapi keduanya dapat aku anggap sebagai orang yang baik..."
"Kenapa?" bertanya seorang pembuat gula yang bertubuh tinggi besar, sehingga kawan-kawannya menyebutnya Buta Ijo.
"Mereka telah memberikan banyak petunjuk..." jawab Kiai Gumrah.
"Mereka berbicara karena terpaksa" desis seorang yang lain, yang rambut dan kumisnya sudah mulai memutih.
"Tidak. Aku tidak memaksa. Mereka berbicara atas kehendak mereka sendiri. Seandainya disebut terpaksa, bukan karena tekanan kekerasan..." jawab Kiai Gumrah yang kemudian dengan singkat menguraikan tentang delapan onggok kuburan.
"Bagaimanapun juga unsur keterpaksaan itu ada.” berkata raksasa itu pula.
"Jika kita membuat tataran, maka tataran kejahatan mereka masih belum terlalu tinggi, meskipun mereka termasuk orang-orang yang datang untuk membunuh cucu-cucuku dan bahkan menantuku." berkata Kiai Gumrah.
"Baiklah jika kau menganggap bahwa kesalahannya tidak sampai ke ubun-ubun. Nah, sekarang apa lagi?” bertanya yang lain, yang kurang sabar terhadap perkembangan pembicaraan itu.
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia mulai berbicara tentang pendapatnya bahwa sebaiknya mereka tidak sekedar menunggu Panembahan itu datang kepadanya.
"Satu pilihan yang paling baik." berkata juragan gula yang nampaknya agak terkantuk-kantuk.
"Apakah kita sudah mempunyai gambaran apa yang akan kita lakukan?" bertanya orang yang bertubuh raksasa yang jarang berhubungan dengan saudara-saudara seperguruannya.
Juragan gula itu tersenyum. Dengan nada rendah ia berkata "Kau selama ini selalu mengurung diri. He, kepada siapa gulamu kau jual? Kenapa tidak kepadaku?"
"Kau kira aku tidak perlu makan buat aku dan keluargaku..." jawab Buta Ijo itu "Kalau aku menjual gula itu kepadamu, berapa aku mendapat uang? Hasil penjualan gula itu masih harus dikurangi upah mengangkut gula dari tempatku yang cukup jauh dari rumahmu."
Juragan gula itu tertawa. Katanya, "Meskipun demikian, sekali-sekali kau hubungi aku. Dengan demikian kau tidak akan ketinggalan mengikuti perkembangan keadaan. Khususnya yang menyangkut keluarga seperguruan kita"
"Yang penting sekarang, beri aku keterangan tentang persoalan yang kita hadapi" berkata raksasa itu "Di sini bukan tempat untuk mencari dagangan..."
Yang lain tertawa. Kiai Gumrah pun tertawa pula. Namun kemudian ia berkata "Baiklah. Agaknya aku dapat sedikit memberikan keterangan"
Namun tiba-tiba kawan Kiai Gumrah yang pernah menemukan sarang burung elang itu berkata "Aku sudah menemukan sarang mereka yang ingin merampas pusaka-pusaka itu"
"Ya" jawab Kiai Gumrah "Tetapi masih perlu mendapat penjelasan tentang sarang itu"
Kawan Kiai Gumrah itu mengerutkan dahinya. Dengan nada berat ia bertanya. "Penjelasan apa lagi? Aku sudah menemukannya. Hanya orang berilmu tinggi mampu melakukannya.”
Beberapa orang tertawa serentak. Seorang yang berjanggut beberapa lembar saja berkata, “He, sejak kapan kau menyadap ilmu itu? Tiba-tiba saja kau mengaku berilmu tinggi."
"Sejak aku menemukan sarang itu, baru aku yakin bahwa aku berilmu tinggi" jawab orang itu.
Kawan-kawannya tertawa. Juragan gula yang sempat berbincang dengan Kiai Gumrah sebelum pertemuan itu dimulai berkata, “Kau dengar, bahwa penemuanmu masih memerlukan penjelasan."
"Penjelasan apa?" bertanya orang itu.
Kiai Gumrahlah yang kemudian mengatakan pengakuan kedua orang yang pengikut Kiai Windu Kusuma yang dapat ditangkapnya itu. Orang-orang yang ada di banjar tua itu mengangguk-angguk. Kemudian katanya,
"Aku orang berilmu tinggi. Biarlah aku menyelidiki sarang mereka sebagaimana dikatakan oleh kedua orang itu. Tetapi jika mereka berbohong, maka mereka akan aku gantung di depan sarang burung-burung elang itu."
Kiai Gumrah pun berpaling kepada kedua orang itu. Dengan dahi yang berkerut ia bertanya “Nah kau dengar? Bukankah kau tidak berbohong? Kau juga mendengar bahwa orang itu berilmu tinggi sehingga ia benar-benar akan dapat menggantung kalian tinggi-tinggi pada batang pohon randu alas."
Namun seorang yang lain menambahkannya. "Tetapi kedua orang itu harus diikat dahulu kaki dan tangannya. Jika tidak, maka ia tidak akan berani melakukannya meskipun ia berilmu tinggi."
Orang-orang yang hadir itu tertawa serentak. Orang yang menyebut dirinya berilmu tinggi itu juga tertawa. Kedua orang tawanan itu saling berpandangan. Mereka tidak melihat suasana seperti itu di sarang Kiai Windu Kusuma. Yang mereka lihat hampir setiap hari adalah wajah-wajah yang berkerut, sikap yang keras dan kasar.
Susunan hubungan yang satu dengan yang lain seakan-akan dibayangi oleh tataran kepemimpinan yang ketat, sehingga para pemimpin dapat berlaku sekehendak hatinya terhadap para pengikutnya. Bahkan di antara para pemimpin masih saja selalu timbul persoalan-persoalan yang harus dibicarakan dengan tegang. Apalagi ketika Panembahan bersama beberapa orang pengikutnya telah datang.
Tetapi di banjar tua itu ia melihat orang-orang berilmu tinggi itu dapat berbicara sambil bergurau dan tertawa. Mereka dapat meningkatkan pembicaraan mereka setingkat demi setingkat tanpa ketegangan sama sekali. Dengan demikian maka kedua orang itu merasa berada di dunia yang sama sekali berbeda isi dan suasananya.
Demikianlah, maka Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya itu mulai berbicara tentang sarang Kiai Windu Kusuma yang sebenarnya. Mereka memang menunjuk dua orang di antara mereka untuk menyelidiki sarang itu. Dari kedua orang tawanan itu, Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya mengetahui bahwa disamping orang-orang berilmu tinggi terdapat para pengikutnya yang jumlahnya cukup banyak.
Tiba-tiba saja Ki Prawara itupun bertanya kepada para tawanan itu. "Kau di lingkungan para pengikut Kiai Windu Kusuma termasuk tataran yang mana? Apakah kau termasuk pengikut yang tidak diperhitungkan atau pada tataran menengah atau kau terhitung berilmu tinggi?"
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kawan-kawan setataranku telah berkurang banyak. Ternyata Darpati yang ingin memenuhi keinginannya sendiri telah banyak mengorbankan kawan-kawan kami. Terakhir rencananya memang dapat diterima penalaran Kiai Windu Kusuma meskipun sebelumnya Darpati telah dimarahinya dan hampir kehilangan kepercayaan."
"Apa rencana terakhirnya?" bertanya Ki Prawara.
"Sebagaimana telah terjadi..." jawab orang itu. "Darpati ingin mengambil pusaka itu dengan caranya sendiri. Ia menghasut orang-orang padukuhan, termasuk Ki Bekel. Darpati memperhitungkan bahwa Kiai Gumrah akan sibuk melayani orang-orang padukuhan itu sementara ia akan mengambil pusaka-pusaka itu dengan beberapa orang terpilih. Sedangkan rencana kedua sebagai cadangan jika rencana pertama gagal, ia akan menculik Winih. Tetapi ternyata kedua-duanya gagal, bahkan Darpati sendiri terbunuh. Salah satu kesalahannya adalah, ia tidak tahu bahwa Winih ternyata berilmu tinggi dan bahkan dapat mengalahkannya."
Ki Prawara mengangguk-angguk. Katanya. "Nah, kalian dengar rencana itu? Jika demikian maka kedua orang ini tentu termasuk orang yang dipilih oleh Darpati. Karena itu, maka mereka adalah orang-orang yang berada pada tataran menengah."
"Sayang, aku tidak melihat tingkat kemampuannya." berkata orang bertubuh raksasa yang disebut Buta Ijo. Lalu katanya. “Bagaimana jika kedua orang itu kita adu sampai salah seorang di antara mereka mati? Kita tentu akan melihat catatan kemampuan mereka, orang-orang yang berada ditingkat menengah."
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam, sementara jantung kedua orang itu menjadi berdebar-debar. Namun mereka menjadi tenang ketika juragan gula itu berkata. "Jangan cemas. Buta Ijo itu memang senang menakut-nakuti orang. Tetapi sebenarnya hatinya lembut seperti beludru.”
"Persetan kau." geram Buta Ijo itu. Tetapi ia tidak berbicara lebih lanjut.
Dalam pada itu, meskipun sambil bergurau, namun orang-orang itu telah menemukan satu sikap yang sama. Mereka tidak akan menunggu lagi. Bahkan merekalah yang akan datang untuk menyerang sarang Kiai Windu Kusuma. Menurut pendapat mereka, itu adalah cara yang paling baik untuk mempertahankan pusaka-pusaka milik perguruan mereka yang bagi Kiai Gumrah memang benar-benar titipan sebagaimana dikatakannya kepada Manggada dan Laksana. Tetapi bukan titipan dari orang lain, namun titipan dari perguruannya sendiri.
Sebenarnyalah bahwa Manggada dan Laksana juga sudah meragukan kebenaran ceritera Kiai Gumrah tentang pusaka-pusaka itu. Namun demikian kedua orang anak muda itu memang merasa tidak berhak untuk mendapatkan keterangan yang lebih terperinci.
Namun Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya itu masih harus mendapatkan keterangan yang lebih terperinci tentang sarang Kiai Windu Kusuma dan orang yang disebut Panembahan itu.
"Kita serahkan saja kepada beberapa orang..." berkata Buta Ijo "Kita menunggu perintah, kapan kita akan melakukannya."
"Masih banyak yang harus kita bicarakan." berkata Kiai Gumrah.
"Aku tahu. Tetapi tidak perlu semuanya ikut berbicara. Kita tunjuk lima atau enam orang. Yang lain akan melaksanakan segala keputusannya tanpa membantah sama sekali..."
Sebelum Kiai Gumrah menjawab, maka beberapa orangpun berkata hampir berbareng, "Aku sependapat."
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa semuanya tidak berkeberatan. Namun Kiai Gumrah pun berkata. "Baiklah. Aku akan menunjuk lima orang, tentu saja dengan minta persetujuan kalian semuanya. Ingat, persetujuan, bukan kesanggupan, karena semua orang harus sanggup melakukan tugas betapapun beratnya."
Buta Ijo itu dengan serta merta menyahut. "Bagus, aku sependapat. Tetapi dengan syarat, bukan aku yang ditunjuk untuk bertugas apapun juga."
"Kenapa?" bertanya juragan gula itu.
"Aku sedang mempunyai pekerjaan yang sulit ditinggalkan." jawab Buto Ijo itu.
"Pekerjaan apa?" bertanya orang yang selalu mengaku berilmu tinggi itu. Bahkan katanya kemudian "Kita berdua akan menyelidiki sarang Kiai Windu Kusuma."
"Anakku yang bungsu sedang merajuk. Ia minta seekor kuda berbulu putih. Nah, aku sedang sibuk mencari uang untuk membeli kuda berbulu putih."
"He, isteriku juga sedang merajuk" berkata orang yang mengaku berilmu tinggi itu.
"Ah, kau juga akan membuat dongeng?" bertanya Buta Ijo.
"Kau mengaku bahwa kau telah membuat dongeng?" bertanya Kiai Gumrah kepada Buto Ijo itu.
Buta Ijo itu tertawa. Tetapi ia tidak menjawab. Namun akhirnya orang-orang yang berkumpul di banjar tua itu berhasil menunjuk lima orang yang akan memegang pimpinan untuk melakukan perlawanan dan bahkan menyerang sarang Kiai Windu Kusuma dan orang yang disebut Panembahan.
Di antara mereka adalah Kiai Gumrah, juragan gula, orang yang selalu menyebut dirinya berilmu tinggi, orang yang melihat dua orang pengikut Kiai Windu Kusuma menghitung onggokan tanah kuburan kawan-kawannya yang terbunuh di halaman rumah Kiai Gumrah dan seorang lagi yang sudah terbiasa duduk-duduk berbincang di rumah Kiai Gumrah.
Namun Kiai Gumrah itu berkata "Selain berlima, aku selalu menunggu pendapat kalian. Kawan-kawan yang sering datang ke rumahku justru aku minta selalu datang. Tidak terbatas hanya kelima orang ini saja"
"Tentu." jawab Buta Ijo.
"Kau juga akan selalu datang?" bertanya juragan gula itu.
Buta Ijo itu tertawa berkepanjangan. Namun dalam pada itu, maka Kiai Gumrah itupun berkata. "Masih ada satu hal yang penting kalian ketahui."
"Apa lagi?" bertanya seorang yang bertubuh kurus. Nampaknya matanya sudah lebih banyak terpejam. Hampir mengigau ia berkata dalam kantuknya. "Aku haus."
"Sayang!” berkata Kiai Gumrah "Aku tidak menyediakan minuman malam ini. Aku hanya mempunyai beberapa bumbung legen."
"Buat apa legen?" berkata Buta Ijo "Aku mempunyai legen setempayan besar penuh di rumah."
"Aku benar-benar minta maaf, bahwa aku tidak menyediakan minuman buat kalian" berkata Kiai Gumrah "Tetapi jangan takut. Biarlah di rumah Nyi Prawara merebus air.”
"Justru saat pertemuan ini sudah selesai" desah orang yang terkantuk-kantuk."
Kiai Gumrah pun segera berpaling kepada Ki Prawara sambil berdesis "Lihat, apakah isterimu merebus air? Aku masih ingin berbicara dengan mereka sebentar lagi."
Ki Prawara pun kemudian telah bangkit berdiri sambil berkata "Aku akan pulang dahulu"
Hampir berbareng beberapa orang berkata "Bagus. Ia akan melihat, apakah wedang jahenya sudah siap."
Demikianlah Ki Prawara dengan tergesa-gesa pulang melihat apakah isterinya merebus air. Meskipun ia dan ayahnya tidak memesannya, namun biasanya Nyi Prawara mengerti dengan sendirinya bahwa diperlukan minuman dan makanan.
Ketika Ki Prawara sampai ke rumah, maka sebenarnyalah Nyi Prawara memang sudah merebus air dan bahkan merebus ketela pohon. Namun Nyi Prawara itupun berkata, "Kalian tidak memberitahukan kepada kami, berapa orang yang datang, sehingga seberapa banyak kami harus merebus air dan ketela pohon."
"Yang kau sediakan sudah terlalu banyak. Baiklah, biar aku bawa hidangan ini kesana"
"Ayah membawanya sendiri?" bertanya Winih.
"Biarlah nanti satu dua orang membantu mengambilnya kemari" jawab Ki Prawara.
"Apakah kami dapat membantu membawanya?" bertanya Manggada dan Laksana hampir berbareng.
Tetapi Ki Prawara menggeleng. Katanya "Jangan. Kalian sebaiknya tetap tinggal di rumah. Jarak antara rumah ini ke banjar itu memang pendek saja. Meskipun demikian, biarlah aku dan orang-orang di banjar itu sajalah yang membawa hidangan itu kesana"
Manggada dan Laksana tidak membantah. Mereka sadar, bahwa orang-orang tua itu bersikap berhati-hati menghadapi suasana yang kurang menentu. Segala kemungkinan memang masih dapat terjadi. Apalagi terhadap mereka yang tataran ilmunya masih belum cukup tinggi.
Namun ketika Ki Prawara itu membuka pintu sambil membawa nampan berisi beberapa mangkuk minuman, iapun terkejut. Ia melihat bayangan dalam kegelapan malam. Karena itu, maka ia telah melangkah surut kembali. Diletakkannya mangkuk berisi minuman hangat itu. Bahkan kemudian disingsingkannya kain panjangnya.
Nyi Prawara dan Winih yang ada di dalam tidak melihat bayangan yang bergerak dengan cepat dalam kegelapan itu. Namun ketika ia melihat kesiagaan Ki Prawara, maka Nyi Prawara pun bertanya "Kau melihat sesuatu kakang?"
"Ya" jawab Ki Prawara "Aku melihat bayangan di kegelapan. Hanya sekilas. Tetapi kesannya, tentu orang berilmu tinggi"
"Jadi?" bertanya Nyi Prawara.
"Aku hanya melihat seorang saja. Biarlah aku pergi ke banjar tanpa membawa apa-apa. Nanti biar saja mereka datang kemari jika mereka haus. Sediakan saja minuman dan makanan itu" berkata Ki Prawara.
"Tempat terlalu sempit di sini." berkata Nyi Prawara.
"Pembicaraan kami sudah selesai di banjar. Karena itu, maka jika orang-orang yang ada di banjar itu tidak dapat masuk seluruhnya ke ruang dalam, biarlah sebagian berada di luar. Asal minuman itu masih hangat"
"Tetapi minuman itu sudah mulai dingin" jawab Nyi Prawara.
“Jika demikian biarlah sebagian masih tetap di atas perapian saja" jawab Ki Prawara.
Nyi Prawara mengangguk kecil. Namun ia berkata "Jika kakang pergi ke banjar, berhati-hatilah. Kakang sudah melihat bayangan orang di halaman. Mungkin ia tidak sendiri."
“Banjar itu tidak terlalu jauh. Jika aku berteriak memanggil dengan kata sandi, maka mereka tentu akan segera datang" jawab Ki Prawara.
“Mereka yang di kegelapan itu dapat berbuat licik.” desis Nyi Prawara kemudian. Namun kemudian katanya "Kami ada di sini. Pintu tidak diselarak."
"Kalian juga harus berhati-hati di rumah..." pesan Ki Prawara.
Ki Prawara memang menjadi sangat berhati-hati. Ia sadar, bahwa bayangan itu tentu orang yang berilmu tinggi. Ki Prawara tidak melihat, kemana orang itu menghilang. Namun Ki Prawara juga berilmu tinggi. Karena itu maka Ki Prawara sama sekali tidak menjadi gentar. Namun ia memang harus dengan saksama memperhatikan keadaan di sekitarnya.
Tetapi ketika Ki Prawara itu keluar dari regol halaman rumah ayahnya, maka ia melihat lagi bayangan itu. Namun justru menjauhinya dan hilang dalam kegelapan. Demikian cepatnya bayangan itu hilang, sehingga Ki Prawara tidak dapat melihat ujudnya dengan jelas.
Ketika Ki Prawara sampai di banjar tua itu lagi, maka beberapa orang bertanya hampir berbareng, "He, kau tidak membawa apa-apa?"
Yang lain pun telah menyahut. "Kami sudah terlalu lama menunggu. Jika kami tahu bahwa kau datang tanpa membawa sesuatu, kami sudah pulang sejak tadi."
Ki Prawara tidak menghiraukan kata-kata itu. Namun iapun kemudian berkata "Ada sesuatu yang penting kalian ketahui.”
"Yang penting itu sudah dikatakan oleh Kiai Gumrah. Kau tidak usah mengulangi" berkata Buta Ijo itu.
Ki Prawara berpaling kepada ayahnya dan bertanya "Apa yang sudah ayah katakan?"
"Aku telah mengatakan bahwa Kiai Kajar berada di antara mereka yang ingin memiliki pusaka-pusaka itu" jawab Kiai Gumrah dengan nada tinggi.
"Iblis itu benar-benar berkhianat." berkata juragan gula itu “Sebenarnya ia termasuk orang terbaik di perguruan kita."
"Ia tidak usah ikut berusaha merampas pusaka-pusaka itu karena pusaka-pusaka itu termasuk miliknya juga!" berkata Buta Ijo. Lalu katanya pula "Dengan demikian ia berusaha untuk merampas miliknya sendiri."
Ki Prawara mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya "Bukan itu yang ingin aku katakan. Aku tahu bahwa hal itu tentu sudah dikatakan oleh ayah."
"Jadi apa yang akan kau katakan?" bertanya juragan gula itu, bahkan Kiai Gumrah pun telah bertanya pula "Apa ada yang lain yang penting diketahui oleh saudara-saudara kita?”
"Ya” jawab Ki Prawara “Ternyata ada orang di halaman rumah kita."
"Kau lihat itu?" bertanya Kiai Gumrah.
"Ya. Aku melihat orang itu sekilas dalam kegelapan. Tetapi aku tidak dapat melihat ujudnya. Demikian cepatnya orang itu menghilang" jawab Ki Prawara.
"Kesanmu orang berilmu tinggi?" bertanya Kiai Gumrah.
"Ya” jawab Ki Prawara "Karena itu aku mengurungkan untuk membawa mangkuk-mangkuk minuman kemari. Sementara itu di rumah selain minuman ada pula ketela rebus yang masih hangat."
"Kalau begitu, aku akan mengambilnya" berkata Buta Ijo.
"Kita tidak usah mengambilnya dan membawanya kemari. Kita nanti jika pembicaraan memang sudah selesai, bersama-sama pergi ke rumah. Kita akan minum dan makan ketela rebus di rumah. Biar berhimpitan, tetapi tentu lebih mapan. Kita tidak perlu membawa mangkuk kesana-kemari." berkata Ki Prawara.
"Baiklah" jawab orang yang bertubuh kekurusan "kita kesana sekarang. Sebentar lagi aku tentu sudah tertidur di sini."
Ki Prawara termangu-mangu sejenak. Namun iapun bertanya "Apakah pembicaraan kita sudah benar-benar selesai."
"Masih ada satu dua pesan yang penting" berkata Kiai Gumrah sambil beringsut setapak.
Sebenarnyalah Kiai Gumrah masih memberikan beberapa pesan kepada saudara-saudara seperguruannya. iapun masih perlu membicarakan langkah-langkah yang harus segera diambil bersama saudara-saudara seperguruannya meskipun mereka telah menunjuk lima orang yang akan mengatur segala-galanya.
"Dua hari lagi kalian wajib datang ke rumahku. Ada atau tidak ada kepentingan. Waktunya sudah terlalu sempit." berkata Kiai Gumrah "Tetapi harus diatur sehingga kalian tidak datang bersama-sama. Ada yang datang pagi, siang atau sore atau malam. Mungkin rumahku selalu diawasi."
Saudara-saudara seperguruannya mengangguk-angguk. Tidak seorang pun yang menolak. Namun dalam pada itu, selagi Kiai Gumrah masih berbicara dengan saudara-saudara seperguruannya, maka pintu rumah Kiai Gumrah diketuk orang perlahan-lahan. Bukan pintu depan, tetapi pintu butulan.
Seisi rumah itupun menjadi berdebar-debar. Manggada dan Laksana telah siap untuk pergi ke pintu. Namun Nyi Prawara telah menahannya. Ia memberi isyarat agar keduanya tidak membuka pintu itu lebih dahulu.
Nyi Prawaralah yang kemudian melangkah mendekati pintu sambil bertanya "Siapa?"
"Aku Nyai" jawab suara di luar.
"Aku siapa?" bertanya Nyi Prawara yang rasa-rasanya belum pernah mengenal suara itu.
"Aku ingin berbicara dengan Manggada dan Laksana, Nyai...!" jawab suara itu...
Selanjutnya, Sang Penerus Bagian 17 |