Sang Penerus Bagian 17 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
NYI PRAWARA termangu-mangu. Sementara Manggada dan Laksana melangkah mendekati pintu butulan. Tetapi Nyi Prawara telah memberi isyarat, agar mereka berhenti beberapa langkah dari pintu butulan itu.

"Tetapi siapa kau Ki Sanak?" bertanya Nyai Prawara, sementara Winih telah mempersiapkan dirinya menghadapi segala kemungkinan.

Namun suara itu terdengar lagi. “Aku tidak mengharapkan mereka keluar. Aku hanya ingin memberikan pesan."

Nyi Prawara termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun telah memberikan isyarat kepada Manggada dan Laksana untuk mendekati pintu.

"Siapakah kau Ki Sanak?" bertanya Manggada.

"Kau masih ingat aku? Ki Pandi" terdengar suara di luar.

"Ki Pandi..." hampir berbareng Manggada dan Laksana mengulang nama itu.

"Ya. Dengarlah suara kedua sahabatku itu."

Manggada dan Laksana saling berpandangan. Yang kemudian terdengar adalah suara dua ekor harimau menggeram.

"Aku kenal, Ki Pandi..." sahut Manggada.

"Nah, aku hanya ingin memberikan isyarat. Di banjar tua itu, saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah telah bertemu dan berbicara tentang Kiai Windu Kusuma dan orang yang mereka kenal dengan sebutan Panembahan. Sebenarnyalah Panembahan itu adalah Panembahan yang pernah kita kenal dahulu. Yang mencari gadis-gadis bersih untuk mencuci kerisnya dengan darah gadis-gadis bersih itu. Sekarang iapun mulai haus akan darah lagi. Nah, katakan kepada Kiai Gumrah, bahwa meskipun aku tidak berkepentingan langsung, tetapi aku akan menyertai mereka jika mereka akan pergi menemui Ki Windu Kusuma dan Panembahan itu. Salah seorang saudara seperguruannya ada pula yang bergabung dengan Kiai Windu Kusuma. Namanya Kiai Kajar."

"Ya!" jawab Manggada dan Laksana yang juga sudah mendengar tentang seseorang yang bernama Kiai Kajar sebagaimana dikatakan oleh kedua orang tawanan itu.

"Karena itu, maka aku minta kau sampaikan keinginanku menyertai mereka. Kita akan bertemu lagi pada kesempatan lain. Aku ingin mendapat keterangan, apakah niatku ini diterima atau tidak. Aku tidak mempunyai pamrih apapun juga dalam soal ini, kecuali menghentikan perbuatan Panembahan yang sudah dikuasai oleh kuasa kegelapan itu." berkata suara di luar dinding.

"Apakah Ki Pandi ingin bertemu dan berbicara dengan kakek atau paman Prawara, atau bibi yang sekarang ada di rumah?" bertanya Manggada.

"Bukankah Nyi Prawara sudah mendengar kata-kataku? Bukankah aku tidak perlu mengulanginya!?” bertanya Ki Pandi.

"Tetapi Ki Pandi belum berbicara dengan bibi..." desis Manggada.

"Baiklah..." berkata Ki Pandi "Aku mohon Nyi Prawara sudi mendengarkan aku."

"Aku mendengar Ki Sanak." jawab Nyi Prawara.

"Aku berkata sebenarnya Nyai. Aku tidak mempunyai pamrih apapun, karena kehidupan duniawi sudah lampau bagiku."

"Tetapi sebaiknya Ki Sanak bertemu dengan ayah." jawab Nyi Prawara.

"Aku akan menemuinya pada kesempatan lain." jawab Ki Pandi.

Nyi Prawara masih akan berbicara lagi. Tetapi Ki Pandi itu berdesis "Aku mohon diri. Pertemuan di banjar itu sudah selesai. Mereka sudah datang kemari."

"Satu kesempatan Ki Sanak. Bukankah Ki Sanak dapat bertemu dengan banyak orang sekaligus?" berkata Nyi Prawara.

Tetapi sudah tidak terdengar jawaban lagi. Yang berada di dalam dinding rumah itu tidak mendengar suara kaki Ki Pandi yang beringsut menjauh. Demikian pula kedua ekor harimau yang agaknya ikut bersama Ki Pandi.

"Orang itu sudah pergi...!" desis Laksana. Sebenarnyalah sejenak kemudian, pintu rumah itu diketuk orang. Terdengar suara beberapa orang bercakap-cakap di luar. Bahkan terdengar suara tertawa pula di antara mereka.

Yang kemudian terdengar adalah suara Ki Prawara "Buka pintunya Nyi..."

Laksanalah yang dengan tergesa-gesa membuka pintu, sementara Winih dan ibunya justru pergi ke dapur untuk menyiapkan minuman yang masih saja hangat. Demikian pintu terbuka, maka beberapa orang telah memasuki pintu dapur. Tetapi ruang dalam rumah Kiai Gumrah yang memang tidak terlalu luas itu segera terasa sesak, sementara masih ada beberapa orang yang berdiri di luar. Namun Kiai Gumrah pun ternyata kemudian berkata,

"Kita semuanya akan berada di luar saja. Kita dapat duduk di mana saja, sementara minuman hangat akan disuguhkan."

Orang-orang yang sudah terlanjur berada di ruang dalam itupun keluar lagi sambil bergeremang. Namun kemudian mereka duduk tersebar di amben bambu, di bebatur rumah atau di tlundak pintu.

Tetapi ketika Manggada dan Laksana menghidangkan minuman dan makanan, maka yang duduk ditelundak itupun terpaksa berdiri. Namun ternyata bahwa Kiai Gumrah dan kawan-kawannya dapat menikmati wedang jahe dan ketela pohon rebus yang hangat bersama-sama. Sementara itu, dua orang tawanan Kiai Gumrah ada di antara mereka pula.

Beberapa saat setelah mereka meneguk minuman dan makan beberapa kerat ketela pohon, maka tiba-tiba orang-orang yang ada di halaman itu dikejutkan oleh suara seruling yang terdengar mengalun di antara desah angin malam.

Sejenak halaman rumah Kiai Gumrah itu menjadi hening. Orang-orang yang ada di halaman sambil minum dan makan ketela pohon itu seakan-akan telah terpukau mendengar suara seruling itu. Namun mereka bukan saja tertarik oleh suara seruling yang ngelangut, menggetarkan jantung. Apalagi di malam yang hening.

Namun mereka juga tertarik karena mereka merasakan tenaga yang terlontar bersama suara seruling itu. Tenaga itu telah menggetarkan udara malam melibat dan menyentuh perasaan orang-orang yang mendengarnya.

Kiai Gumrahlah yang kemudian bangkit berdiri dan berkata kepada kawan-kawannya "Orang yang meniup seruling itu agaknya ingin tahu, apakah jantung kita masih tetap berdegup."

"Siapakah orang itu?" bertanya Buta Ijo "Apakah aku harus berteriak untuk menghentikan suara seruling itu?"

"Bukan suara seruling itu yang berhenti" jawab juragan gula "Tetapi tetangga-tetangga Kiai Gumrahlah yang akan terbangun semuanya"

Buta Ijo itu tertawa. Justru berkepanjangan. Kiai Gumrah tidak mencegahnya. Ia tahu, bahwa Buta Ijo itu tidak senang mendengar suara seruling yang ngelangut. Seakan-akan ratapan dari dalam dasar luweng yang sangat dalam.

Tetapi suara seruling itu tidak berhenti. Nadanya justru meninggi, seakan-akan menggapai lapisan awan ditataran langit ketujuh. Namun kemudian menukik menyambar seperti burung elang yang sering nampak berterbangan di atas padukuhan itu.

"Setan itu..." geram Buta Ijo.

"Tenanglah..." berkata juragan gula itu "Kau tidak usah menjadi gelisah seperti itu. Bukankah suara seruling itu tidak mengganggu kita?"

"Memang tidak. Tetapi aku merasakan betapa sombongnya orang yang meniup seruling ini." jawab Buta Ijo itu.

"Aku tidak yakin, bahwa ia seorang yang sombong. Tetapi aku justru mengira bahwa orang itu ingin memperkenalkan diri." jawab Kiai Gumrah.

"Kau rasakan suara itu mulai menggelitik?" bertanya Buta Ijo.

"Hanya menggelitik. Tidak menyakiti.” jawab Kiai Gumrah.

"Aku lebih senang disakiti daripada digelitik" jawab Buta Ijo itu.

Namun tiba-tiba saja Manggada yang ada di ruang dalam melangkah keluar. Sejenak ia berdiri termangu-mangu. Namun kemudian katanya kepada Kiai Gumrah "Kek, barangkali aku tahu, siapakah yang meniup seruling itu!"

"He, darimana kau tahu?" bertanya Buto Ijo itu dengan serta-merta.

Manggada memang ragu-ragu. Tetapi Kiai Gumrah itupun berkata "Katakan apa yang kau ketahui"

Manggada menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan jantungnya yang berdetak semakin keras karena semua mata memandang ke arahnya. Namun kemudian iapun berkata "Kek. Aku menduga bahwa yang meniup seruling itu adalah Ki Pandi."

"Siapakah Ki Pandi itu?" bertanya orang yang selalu menyebut dirinya berilmu tinggi.

"Orang yang memiliki kedua ekor harimau yang selalu datang setiap saat diperlukan. Seakan-akan mereka tahu kapan mereka harus datang membantu." jawab Manggada.

"Orang bongkok itu!" berkata Kiai Gumrah kemudian.

"Orang bongkok dari hutan Jatimalang?" bertanya orang yang kekurus-kurusan yang lebih banyak memejamkan matanya dan terkantuk-kantuk. Namun dapat menangkap semua pembicaraan di sekitarnya dengan jelas.

"Ia tidak berasal dari hutan Jatimalang" jawab orang yang bertubuh sedang, berkumis panjang "Ia memang pernah tinggal di hutan itu. Tetapi tidak terlalu lama"

"Kiai mengenalnya?" bertanya Manggada.

"Pada umumnya kami mengenalnya" jawab Kiai Gumrah "Tetapi tidak terlalu akrab..."

"He, darimana kau tahu bahwa yang meniup seruling itu orang bongkok dari Jatimalang?" bertanya Buta Ijo.

"Kami berdua pernah tinggal bersamanya. Bersama Ki Ajar Pangukan di belakang hutan Jatimalang" jawab Manggada.

Semua orang justru tertarik pada pengakuan Manggada itu kecuali Kiai Gumrah, karena ia pernah mendengarnya.

"Jadi kau juga pernah tinggal di hutan Jatimalang?" bertanya orang yang menyebut dirinya berilmu tinggi.

"Ya, Kiai..." jawab Manggada "Kami datang ke belakang hutan Jatimalang bersama Ki Wiradadi, seorang yang mencari anak gadisnya yang hilang. Kami bertemu dengan Ki Ajar Pangukan dan Ki Pandi. Bahkan kemudian sekelompok prajurit Pajang yang mencium keberadaan Panembahan Lebdagati di belakang hutan Jatimalang, di lereng gunung, telah datang pula. Tetapi Panembahan Lebdagati itu berhasil melepaskan diri."

"Aku yakin bahwa Panembahan di belakang hutan Jatimalang itu tentu Panembahan yang bekerja bersama Kiai Windu Kusuma dan Kiai Kajar" berkata Kiai Gumrah.

"Kita memang harus menghancurkan mereka. Kita tidak usah menunggu prajurit Pajang. Kita akan menyelesaikan persoalan dengan Kiai Windu Kusuma itu sendiri" berkata juragan gula itu.

Semuanya mengangguk-angguk. Suara seruling itu masih terdengar, mengalun menggetarkan udara malam yang terasa semakin dingin. Tetapi ketika mereka mengetahui bahwa yang membunyikan seruling itu adalah orang bongkok dari hutan Jatimalang, maka mereka tidak lagi merasa sangat terganggu. Getaran yang dilontarkan memang bukan getaran yang dapat mengguncang jantung. Namun seperti yang dikatakan oleh Kiai Gumrah, orang bongkok itu seakan-akan ingin memperkenalkan dirinya.

Manggada pun kemudian berkata lagi. "Ki Pandi pernah langsung bertempur dengan Panembahan. Namun Panembahan itu berhasil melepaskan diri. Agaknya usahanya untuk menghentikan langkah-langkah Panembahan yang dipengaruhi oleh kuasa kegelapan itu tidak akan berhenti..."

"Apakah orang bongkok itu selalu membawa seruling?" bertanya orang yang terkantuk-kantuk itu.

"Sepengetahuanku, ia memang mempunyai sebuah seruling” jawab Manggada.

"Kenapa ia tidak menemui kami sekarang?" bertanya Buta Ijo.

"Ia memang telah datang. Ia berbicara dengan kami. Juga dengan bibi Prawara. Tetapi Ki Pandi masih belum bersedia menemui kakek sekarang. Pada satu saat ia memang akan berusaha untuk dapat berbicara dengan kakek, karena Ki Pandi telah menyatakan untuk menyertai kakek dan saudara-saudaranya pergi ke sarang Kiai Windu Kusuma. Bahkan Ki Pandi juga mengetahui bahwa di sana ada seorang yang bernama Kiai Kajar."

"Darimana ia tahu?" bertanya Kiai Gumrah.

"Ki Pandi tidak mengatakannya, kek" jawab Manggada.

Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Katanya. "Baiklah. Biarlah aku menunggu kedatangannya. Tetapi jika kami sudah siap melangkah dan orang itu belum juga datang, maka aku tidak akan menunggunya lebih lama lagi."

Demikianlah, maka seorang di antara saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah itupun telah mengeluarkan rinding dari kantong ikat pinggangnya yang besar. Kemudian diletakannya rinding itu dimulutnya. Sejenak kemudian, beralunlah lagu yang berdengung menggetarkan udara malam, menyentuh getaran suara seruling yang masih terdengar.

Dengan irama yang berbeda kedua lontaran lagu itu mengalun meninggi. Namun seakan-akan semakin lama semakin tinggi, sehingga akhirnya keduanya berhenti sama sekali. Rasa-rasanya kedua irama itu terputus setelah keduanya yakin bahwa nada yang terlontar tidak akan mampu mencapai bintang.

Orang yang membunyikan rinding itu menarik nafas panjang. Kemudian tangannya menggapai mangkuk minumannya. Beberapa teguk minuman ditelannya seakan-akan orang itu baru saja berlari-lari mengelilingi padukuhan.

Manggada yang sudah duduk pula di bebatur rumah nafasnya menjadi tersengal-sengal. Namun kemudian iapun bangkit dan melangkah masuk ke ruang dalam. Di dalam dilihatnya Laksana juga terduduk diam.

Nyi Prawaralah yang kemudian menghampirinya. Dipandangnya Manggada dan dimintanya duduk di sebelah Laksana. Sambil memberikan dua mangkuk minuman, Nyi Prawara berkata "Minumlah"

Manggada dan Laksana pun kemudian minum beberapa teguk. Dada mereka kemudian terasa lapang. Meskipun suara seruling dan rinding yang berbaur dan melontarkan getaran itu tidak berniat menyerang siapapun juga, tetapi rasa-rasanya nafas kedua orang anak muda itu menjadi sesak.

"Kedua irama itu masih belum dapat luluh" desis Nyi Prawara "Tetapi dalam keadaan yang lebih baik, kedua irama itu akan dapat diatur lebih serasi, sehingga dapat saling menyerap atau saling memperkuat sesuai dengan kebutuhan"

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Ketika mereka sempat melihat Winih yang keluar dari dapur, maka nampaknya Winih sama sekali tidak terpengaruh oleh kedua irama yang masih terasa saling berebut untuk saling mengtasasi.

Dengan demikian maka Manggada dan Laksana itu justru merasa semakin kecil. Keduanya adalah orang yang paling lemah di antara sekian banyak orang yang berkumpul itu. Meskipun mereka sudah memiliki bekal ilmu kanuragan, namun ilmu mereka ternyata masih belum memadai dibandingkan dengan orang-orang yang berilmu tinggi itu.

Dalam pada itu, tiba-tiba Buta Ijo yang ada di halaman itu berkata lantang "He, aku akan pulang. Jika kalian masih akan duduk di sini sepanjang malam, terserah saja"

Namun orang yang terkantuk-kantuk itupun menyahut "Aku juga akan pulang. Aku sudah mengantuk"

Orang yang selalu menyebut dirinya berilmu tinggi itu menyahut "Aku tidak pernah melihat kau tidak mengantuk"

Yang lain pun tertawa hampir berbareng. Tetapi orang itu tidak menghiraukannya. Ia justru sudah mulai melangkah ke regol halaman. Namun juragan gula itu berkata, "He, kau belum minta diri kepada orang yang telah menyuguhkan minuman dan makanan ini. Begitu kau merasa kenyang, begitu kau pergi"

"O, baiklah. Tetapi kepada siapa?" orang itu bertanya.

"Sudahlah" berkata Kiai Gumrah "Biarlah aku yang menyampaikannya."

Demikianlah, maka saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah itupun segera minta diri. Satu-satu mereka keluar dari regol halaman. Melihat suasana di luar dan kemudian melangkah sendiri-sendiri atau sebanyak-banyaknya berdua. Mereka menuju ke arah yang berbeda-beda.

Namun jalan-jalan sudah menjadi sangat sepi. Tidak ada seorang pun yang lewat. Meskipun demikian, mereka mendengar kotekan anak-anak muda yang meronda agak di kejauhan. Beberapa saat kemudian, rumah Kiai Gumrah pun menjadi sepi.

Kedua orang tawanan itupun sudah berada di ruang dalam pula. Bagaimanapun juga, kepercayaan Kiai Gumrah dan keluarganya kepada mereka masih belum utuh, sehingga Kiai Gumrah pun berkata, "Maaf Ki Sanak. Kami masih akan mengikat kalian pada pembaringan kalian. Kami tidak dapat berbuat lain. Jika malam ini kami semuanya tertidur nyenyak, maka banyak hal akan dapat terjadi. Sementara itu kalian sudah mendengar rahasia besar sebagai keputusan pembicaraan di antara kami"

Kedua orang itu tidak dapat menolak. Mereka harus memberikan tangan dan kaki mereka untuk diikat dengan pembaringan. Meskipun demikian, di luar pengetahuan kedua orang tawanan itu, Kiai Gumrah dan keluarganya telah mengatur diri agar kedua orang itu tetap dapat diawasi setiap saat. Manggada dan Laksana pun ikut pula mendapat tugas bergantian.

Namun sebelum seisi rumah itu sempat tidur, mereka terkejut ketika mereka mendengar suara geramang beberapa orang yang berada di halaman. Bahkan kemudian terdengar pintu diketuk orang. Kiai Gumrah dan bahkan seisi rumah itu telah berkumpul di ruang dalam. Namun yang terdengar kemudian adalah suara anak-anak muda yang memanggil Manggada dan Laksana.

Ketika kemudian pintu dibuka, seorang telah menyerahkan sebakul kecil nasi dan lauk-pauknya sambil bertanya "He, kenapa kau tidak datang ke banjar? Kami makan-makan di sana bersama Ki Bekel untuk menghormati perubahan tatanan kehidupan yang terjadi di padukuhan ini"

"O" desis Manggada "Sayang sekali. Kami sedang sibuk dengan persoalan kami sendiri"

"Bukankah persoalan keluarga kalian dapat ditingalkan sebentar?" bertanya salah seorang anak muda itu.

"Sebenarnya demikian. Tetapi beberapa orang saudara kami baru saja pulang. Mereka datang berkunjung setelah untuk waktu yang lama kami berpisah" jawab Manggada.

Anak-anak muda itu tidak bertanya lagi. Namun yang menyerahkan bakul itu berkata "Kami memaksa Ki Bekel untuk menyisihkan hidangan sekedarnya. Kami ingin kalian berdua juga ikut menikmatinya. Semula Ki Bekel berkeberatan. Tetapi akhirnya ia tidak dapat mencegahnya"

"Terima kasih..." berkata Manggada dan Laksana bersamaan.

Sepeninggal anak-anak muda itu, Kiai Gumrah menarik nafas panjang. Ki Bekel agaknya memang sudah mencegahnya. Tetapi anak-anak itu tidak lagi dapat ditahan. Untunglah bahwa saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah sudah berlalu.

Demikianlah, maka keluarga Kiai Gumrah itu telah mempergunakan sisa malam untuk beristirahat, meskipun ada di antara mereka yang harus berjaga-jaga.

Pagi-pagi benar, seperti biasanya, seisi rumah itu sudah terbangun. Nyi Prawara dan Winih mulai sibuk di dapur. Sementara Manggada dan Laksana telah memerlukan pergi ke banjar untuk membersihkan halaman. Sedangkan seperti biasa pula. Kiai Gumrah mulai sibuk dengan bumbung-bumbung legennya.

Namun dalam pada itu, maka rencana yang dibuat oleh Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya sudah mulai pada langkah yang menentukan. Mereka mulai mempersiapkan diri menyerang sarang Kiai Windu Kusuma. Di tempat itu tinggal pula orang yang disebut Panembahan yang berakibat pada kuasa kegelapan, serta Kiai Kajar, justru saudara seperguruan yang dianggap salah satu dari orang-orang terbaik.

Di rumah, Kiai Gumrah dan keluarganya mengawasi kedua orang tawanannya semakin ketat. Kedua orang itu sudah mendengar rencana terpenting dari Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya. Sebelum mereka menyelesaikan persoalan mereka dengan Kiai Windu Kusuma, maka kedua orang itu sama sekali tidak akan diijinkan berhubungan dengan orang lain.

Namun pagi itu, ketika Kiai Gumrah telah mengumpulkan bumbungnya yang baru saja di pungut dari batang-batang kelapa dan dituang di tempayan, sementara Manggada dan Laksana yang sudah terbiasa membantunya sedang sibuk dengan perapian, maka mereka pun telah dikejutkan oleh kedatangan seseorang yang pernah mereka kenal. Kundala. Kiai Gumrah memang terkejut. Dengan tergopoh-gopoh dipersilahkan Kundala itu masuk ke dapur.

Tetapi Kundala itu berkata "Waktuku hanya sedikit sekali, Kiai"

"Apakah kau sedang bertugas?" bertanya Kiai Gumrah.

"Ya, Kiai. Aku harus menghubungi seseorang di pasar dan membawanya ke sarang kami"

"Apakah kau sudah pergi ke pasar?" bertanya Kiai Gumrah.

"Aku baru berangkat ke pasar. Aku memerlukan singgah sebentar" jawab Kundala.

"Apakah kau yakin bahwa kau tidak diawasi?" bertanya Kiai Gumrah pula.

"Aku yakin, karena aku memilih jalan bulak" jawab Kundala.

"Sekarang, apa yang akan kau katakan?" bertanya Kiai Gumrah selanjutnya.

"Panembahan tidak sabar lagi. Malam setelah tiga hari mendatang, rumah ini akan didatanginya dengan kekuatan penuh. Orang yang akan aku hubungi adalah salah satu di antara orang terpenting di lingkungan kelompok Panembahan"

"Apakah Panembahan itu bernama Lebdagati?" bertanya Kiai Gumrah.

"Aku tidak tahu Kiai. Yang aku ketahui hanyalah Panembahan begitu saja."

Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Katanya "Jadi mereka akan datang tiga hari lagi?"

"Ya. Ada beberapa orang berilmu tinggi. Juga para pengikutnya akan dikerahkan. Mereka mempunyai tataran ilmu yang bermacam-macam. Ada yang terhitung tinggi, sedang dan ada yang sekedar mengandalkan kekuatan wadagnya saja"

"Terima kasih, Kundala. Aku akan mempersiapkan diri untuk melawan mereka" berkata Kiai Gumrah.

"Tetapi Kiai, kekuatan mereka cukup besar. Apakah tidak sebaiknya Kiai menyingkir saja? Ketika Darpati datang kemari bersama beberapa orang kawannya, itu tentu hanya sekedar penjajagan, meskipun Darpati bersama tujuh orang lainnya harus dikorbankan, dan bahkan ada di antara mereka yang berilmu tinggi hampir setingkat Darpati sendiri. Tetapi yang dipersiapkan nanti adalah jauh lebih besar dari itu. Mungkin berlipat tiga atau empat"

"Kau akan ikut serta?" bertanya Kiai Gumrah.

"Ya, Kiai. Aku akan ikut bersama mereka!" jawab Kundala.

Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Ketika kemudian Ki Prawara datang, maka dipersilahkannya Ki Prawara untuk ikut berbincang. Namun agaknya waktu Kundala amat sempit. Karena itu, maka katanya "Aku harus segera pergi ke pasar. Sebentar lagi siang itu tentu menyusul untuk mengawasi perjalananku"

"Terima kasih Kundala. Berhati-hatilah" pesan Kiai Gumrah.

Demikianlah, maka Kundala pun segera meninggalkan tempat itu. Manggada dan Laksana masih tetap duduk diperapian. Sementara Nyi Prawara dan Winih pun telah mendekat Kiai Gumrah untuk ikut mendengar keterangan Kundala.

Kiai Gumrah pun tidak merahasiakannya pula. Bahkan kepada Manggada dan Laksana. Namun Kiai Gumrah masih menjaga, agar para tawanannya yang masih saja diikat di ruang dalam tidak ikut mendengarnya.

"Jadi, langkah apa yang akan kita ambil?" bertanya Ki Prawara.

"Aku akan berbicara dengan beberapa orang yang dapat aku hubungi. Menurut pendapatku, rencana kita tetap. Kita akan menyerang sarang mereka. Tentu sebelum mereka datang lebih dahulu"

"Waktunya sangat sempit, ayah!" desis Nyi Prawara.

"Kita tidak mempunyai pilihan lain. Menurut pendapatku, kita akan lebih banyak mendapat kesempatan jika kita menyerang. Tidak hanya sekedar bertahan."

"Lalu, bagaimana dengan pusaka-pusaka itu?" bertanya Winih.

"Kita akan membawanya. Kita akan mempergunakannya. Tentu orang yang paling bertanggung jawablah yang akan maju ke medan dengan mempergunakan senjata pusaka perguruan itu. Kiai Kajar tentu akan berkerut jantungnya melihat pusaka itu langsung kita pergunakan di medan"

Ki Prawara menarik nafas panjang. Katanya. "Tetapi bagaimana dengan songsong itu?"

"Kita akan membawanya pula. Songsong itu juga dapat dipergunakan sebagai senjata. Bukankah kau tahu? Jari-jarinya yang terbuat dari baja menjadikan songsong itu tidak mudah rusak. Jika kainnya koyak, bukankah dapat diganti lagi dengan yang baru dan diwarnai sebagaimana warna semula"

Ki Prawara mengangguk-angguk. Katanya "Jika demikian, kita harus bergerak lebih cepat dari yang direncanakan."

"Aku akan menemui juragan gula itu dan selanjutnya pergi ke pasar" berkata Kiai Gumrah. "Mudah-mudahan aku dapat melihat Kundala selain menemui saudara-saudaranya Hati-hatilah di rumah. Meskipun di siang hari dapat saja terjadi sesuatu"

Dengan membawa sisa gula yang ada, maka Kiai Gumrah pun telah pergi ke rumah juragan gula. Yang penting baginya, bukannya menyerahkan gulanya dan menerima uangnya, tetapi ia harus bergerak lebih cepat dari yang direncanakan.

Hari itu juga jaringan hubungan saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah mulai bergerak. Sebelum senja, maka semua orang harus berhasil ditemui. Mereka bukan sekedar melakukan hubungan, tetapi mereka sudah memutuskan, bahwa malam ketiga, semalam sebelum Kiai Windu Kusuma merencanakan untuk mengambil pusaka-pusaka itu, mereka akan menyerang sarangnya.

Rencana yang disusun dengan cepat di pasar, telah tersebar kepada semua saudara seperguruan Kiai Gumrah. Di mana mereka harus berkumpul, saatnya dan kelengkapan yang harus disediakan.

Sementara itu, ketika Kiai Gumrah masih berada di pasar bersama dua tiga orang penjual gula, termasuk juragan gula itu, ternyata mereka sempat melihat orang yang dijemput oleh Kundala. Dengan sengaja Kundala mengajak orang itu berjalan melewati sisi pasar yang khusus dipergunakan bagi para pedagang dan penjual gula kelapa.

"Dua orang!” desis Kiai Gumrah.

Juragan gula itu mengangguk-angguk. Katanya "Menurut ingatanku, yang tua itu datang dari perguruan Susuhing Angin...!"

"Ya. Aku masih ingat. Yang muda itu tentu salah seorang dari perguruan itu juga. Mungkin murid utama dari pemimpin perguruan Susuhing Angin itu." jawab Kiai Gumrah.

"Iblis itu telah melibatkan perguruan yang banyak dikenal itu pula."

"Apakah orang itu tidak mengenal kita?" desis Kiai Gumrah.

"Mereka tidak sempat berpaling ke arah kita. Apalagi kita sempat menyembunyikan wajah kita. Tetapi agaknya mereka memang tidak mengira bahwa kita ada di sini" jawab juragan gula itu.

Kiai Gumrah mengangguk-angguk. iapun berpendapat, bahwa kedua orang yang berjalan bersama Kundala itu tidak melihat mereka di antara keranjang-keranjang gula yang berserakan.

Ketika Kiai Gumrah tiba di rumahnya, maka iapun telah mempersiapkan segala sesuatu. Bukan saja senjata-senjata mereka serta pusaka-pusaka yang mereka rawat dan mereka jaga dengan baik itu. Tetapi juga persiapan ketahanan jiwani untuk menghadapi satu tugas yang sangat berat.

"Kita, seisi rumah ini akan berangkat semuanya..." berkata Kiai Gumrah "Semua pusaka yang ada akan ikut dalam pertempuran"

Nyi Prawara menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Baiklah. Kita semuanya harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya..."

Namun tiba-tiba saja hampir di luar sadarnya Manggada bertanya. "Bagaimana dengan Ki Pandi?"

"Jika aku bertemu sebelum saat pertempuran terjadi, maka aku akan memberitahukan kepadanya. Jika ia datang terlambat, apa boleh buat" jawab Kiai Gumrah.

Manggada tidak bertanya lagi. Ia sadar, bahwa Kiai Gumrah tidak dapat bergantung kepada Ki Pandi. Apalagi setelah ia mendengar bahwa Panembahan akan mengambil langkah terakhir karena purnama sudah menjadi semakin dekat.

Di hari berikutnya, maka beberapa orang sengaja datang ke pasar untuk saling bertemu. Sedangkan disore hari, bahkan sampai malam, beberapa orang yang lain telah datang pula ke rumah Kiai Gumrah untuk mendapatkan penjelasan.

Namun saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah benar-benar sudah siap untuk menghadapi tugas yang berat itu. Kepada saudara-saudara seperguruannya. Kiai Gumrah juga sudah mengatakan niat Ki Pandi untuk bersama mereka menghadapi Kiai Windu Kusuma dan orang yang disebut Panembahan itu.

"Satu hal yang barangkali ada di antara kalian yang belum mengetahui, bahwa Ki Pandi memelihara dua ekor harimau yang akan dapat diajak bersamanya dalam tugas-tugas beratnya" berkata Kiai Gumrah.

"Bagaimana kita dapat menghubunginya?" bertanya orang yang selalu menyebut dirinya berilmu tinggi.

"Kita hanya dapat menunggu orang bongkok itu datang kepada kita!" jawab Kiai Gumrah.

Dalam pada itu, kedua orang tawanan yang ada di rumah Kiai Gumrah itupun melihat kesibukan yang semakin meningkat. Tetapi mereka merasa bahwa mereka sama sekali tidak berhak untuk bertanya apapun kecuali jika Kiai Gumrah mengajak mereka berbicara.

Ketika matahari terbit di hari berikutnya, maka keluarga Kiai Gumrah mulai dibayangi ketegangan. Hari itu adalah hari yang menentukan. Menjelang malam mereka akan berkumpul di tempat yang ditentukan, kemudian mereka akan menyerang sarang Kiai Windu Kusuma yang di dalamnya terdapat pula orang yang disebut Panembahan, Kiai Kajar serta orang yang baru datang dari perguruan Susuhing Angin.

Namun Kiai Gumrah masih juga pergi ke pasar untuk mengadakan hubungan terakhir sebelum segalanya dimulai. Di pasar, Kiai Gumrah juga melihat Kundala berjalan dengan seorang kawannya. Namun Kiai Gumrah merasa bersukur bahwa Kundala masih mendengar suara nuraninya yang paling dalam, sehingga ia tidak mengatakan kepada kawannya tentang kegiatan Kiai Gumrah itu.

Sementara Kiai Windu Kusuma masih juga mempercayainya meskipun kemampuan Kundala dianggap kurang memadai lagi di antara para pengikut Kiai Windu Kusuma. Meskipun demikian, Kundala masih sering mendapat tugas-tugas khusus sebagaimana dilakukannya itu. Meskipun hanya sekedar sebagai penghubung.

Dalam pada itu Kiai Gumrah masih juga bertemu dan berbicara dengan beberapa orang saudara seperguruannya. Pertemuan itu memang penting, justru pada saat-saat terakhir menjelang pertempuran yang menentukan.

Untuk meyakinkan keberhasilan rencananya, Kiai Windu Kusuma memang mengirimkan orang untuk melihat keadaan rumah Kiai Gumrah. Yang mendapatkan tugas memang bukan Kundala, karena Kiai Windu Kusuma mencemaskan, bahwa Kundala akan dapat dikenali oleh Kiai Gumrah atau cucu-cucunya.

Orang itu memang melaporkan bahwa terdapat kesibukan di rumah penjual gula itu. Namun kesibukan itu masih terbatas sekali. Orang itu belum melihat usaha-usaha Kiai Gumrah untuk menyusun pertahanan di rumahnya. Orang-orang yang berdatangan pun telah meninggalkan rumahnya. Bahkan tidak ada lagi nampak orang-orang yang bermalam di rumahnya.

Namun Kundala tahu benar, kapan orang itu mengawasi rumah Kiai Gumrah, dan kapan rumah itu terlepas dari pengawasan. Di siang hari rumah itu justru jarang sekali diawasi. Sekali-sekali memang ada orang yang ditugaskan. Namun di kesempatan lain, Kiai Windu Kusuma sekedar melepaskan burung-burung elang yang telah mendapat latihan khusus itu.

Pada hari yang terakhir itu, Kiai Gumrah memang tidak terlalu lama berada di pasar. Ketika matahari memanjat langit semakin tinggi, justru saat pasar sedang mencapai puncak keramaiannya, Kiai Gumrah telah meninggalkan pasar, karena masih banyak yang harus dipersiapkan. Ia tidak dapat ingkar akan tugas yang dibebankan kepadanya, karena ia dianggap saudara seperguruan yang terbaik.

Karena itu, ia akan memikul tanggung-jawab terberat atas rencana mereka. Penyerangan ke sarang Kiai Windu Kusuma, karena Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya menganggap langkah itu merupakan cara yang terbaik untuk mempertahankan diri serta mempertahankan hak mereka.

Namun ketika Kiai Gumrah mendekati sudut padukuhannya, iapun tertegun. Ia melihat seseorang yang duduk di atas seonggok batu padas di bawah sebatang pohon turi.

"Orang bongkok itu..." desis Kiai Gumrah.

Orang itu memang Ki Pandi. Demikian ia melihat Kiai Gumrah melangkah mendekatinya, maka iapun mulai beringsut.

"Apakah kau menunggu aku?" bertanya Kiai Gumrah.

"Ya!" jawab orang itu.

"Ada sesuatu yang ingin kau katakan?" bertanya Kiai Gumrah pula.

"Aku sudah berpesan kepada cucumu, bahwa aku akan menemuimu sekitar dua tiga hari kemudian. Nah, hari ini aku memerlukan menemuimu."

"Ya. Cucu-cucuku sudah mengatakannya. Juga sudah mengatakan niatmu untuk bersama-sama menghancurkan Panembahan yang mengabdi pada kuasa kegelapan itu."

“Aku menempatkan diri dalam pasukanmu. Aku menunggu perintahmu. Aku hanya seorang diri bersama dua ekor harimauku. Mereka akan ikut bersamaku." berkata Ki Pandi.

Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Meskipun tidak terlalu akrab, namun Kiai Gumrah mempercayai Ki Pandi, sehingga karena itu, maka Kiai Gumrah pun telah memberitahukan rencananya untuk menyerang malam nanti.

"Apakah kalian sudah menguasai medan?" bertanya Ki Pandi.

"Saat kami berkumpul nanti, dua orang yang kami tugaskan untuk melihat dan mengamati keadaan akan memberikan laporan tentang medan. Selain itu, ada dua orang tawanan kami yang bersedia menguraikan serba sedikit sasaran yang akan kita datangi malam nanti. Juga sedikit tentang kekuatan mereka."

"Aku juga mempunyai beberapa keterangan. Aku juga akan membantu memberikan keterangan itu jika diperlukan nanti." berkata Ki Pandi kemudian.

"Terima kasih. Mudah-mudahan keterangan yang kami dapatkan itu akan mencukupi, sehingga kami tidak salah menilai lawan serta menilai medan." berkata Kiai Gumrah.

Ki Pandi mengangguk-angguk. Katanya. "Aku nanti akan datang bersama kedua ekor harimauku."

Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Katanya "Terima kasih atas kesediaanmu. Mudah-mudahan kita berhasil..."

Ki Pandi mengangguk kecil. Katanya "Kegilaan Panembahan itu harus dihentikan. Ia tidak berhak lagi hidup di muka bumi karena bayangan kegelapan yang menguasai jantungnya.”

"Kami akan menunggumu. Kami berharap bahwa kami akan mendapat keterangan yang cukup sehingga kami tidak justru akan terjebak disarang mereka." berkata Kiai Gumrah kemudian sambil melangkah melanjutkan perjalanannya.

Sementara itu di kejauhan dua ekor burung elang terbang dengan cepat melintas. Tetapi Kiai Gumrah sudah hilang di balik regol padukuhannya. Ketika Kiai Gumrah itu berpaling, maka orang bongkok itu sudah tidak dilihatnya lagi.

"Setan bongkok itu memang berilmu sangat tinggi." desis Kiai Gumrah.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, Kiai Gumrah sudah berada di rumahnya. iapun segera mengatur segala sesuatunya yang berhubungan dengan rencana mereka. Kepada seisi rumahnya yang berkumpul Kiai Gumrah berkata,

“Sebelum rumah ini mendapat pengawasan yang lebih ketat, karena besok mereka akan menyerang kita, maka sebaiknya kalian berada dibanjar tua itu. Kita akan berangkat dari banjar itu. Yang mereka awasi tentu rumah kita..."

Seisi rumah itu memang dapat mengerti. Karena itu, mereka tidak bertanya terlalu banyak. Ki Prawara, Nyi Prawara dan Winih segera berbenah diri. Nyi Prawara dan Winiih pun segera mengenakan pakaian khusus mereka, siap untuk menghadapi segala kemungkinan.

Manggada dan Laksana pun telah bersiap-siap pula. Namun mereka berdua merasa diri mereka terlalu kecil di antara keluarga rumah itu. Meskipun keduanya telah memiliki bekal olah kanuragan, namun dibanding dengan ilmu Winih, masih terpaut agak terlalu banyak. Apalagi dengan kedua orang tua mereka dan Kiai Gumrah, serta saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah.

Namun Laksana yang melihat Winih dalam pakaian khususnya berdesis, "Gadis itu nampak semakin cantik. Tubuhnya semakin kelihatan ramping, namun tangkas dan lincah."

"Kau akan berguru kepadanya?" bertanya Manggada sambil tersenyum.

Laksana pun tersenyum pula. Katanya. "Malam nanti kita akan menjadi kelinci di antara sekawanan harimau."

Manggada mengangguk-angguk. Katanya kemudian. "Satu pengalaman yang menarik."

"Apakah kita masih sempat menganggap yang akan terjadi malam nanti satu pengalaman?" bertanya Laksana.

Manggada menarik nafas dalam-dalam. Dengan dahi yang berkerut ia menjawab. “Apapun yang akan terjadi atas diri kita, maka kita harus siap mengalaminya. Sejak semula kita sendirilah yang berniat untuk melibatkan diri. Pada hari-hari pertama kita disini, Kiai Gumrah sudah berusaha mengusir kita agar kita tidak terlibat. Tetapi kitalah yang berkeras untuk tetap tinggal.”

Laksana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya "Semuanya sudah terjadi. Kita memang tidak dapat melangkah surut."

Pembicaraan keduanya pun terputus. Kiai Gumrah minta agar mereka semuanya pergi ke banjar. "Jika mereka mengirimkan orang, maka mereka tidak akan mengamati banjar tua itu" berkata Kiai Gumrah.

Tetapi rencana itu tertunda, ketika Manggada melihat dua ekor elang yang berterbangan.

"Tidak akan lama..." berkata Kiai Gumrah "Justru tampakkan dirimu di halaman."

Manggada dan Laksana pun kemudian justru telah memungut kayu bakar yang sedang dijemur di halaman samping, sekedar untuk menyatakan bahwa di rumah itu tidak terdapat perubahan apa-apa. Penghuninya masih tetap ada di tempat dengan kesibukan sehari-hari pula.

Seperti yang diduga, maka elang itu tidak terlalu lama berputar-putar. Beberapa saat kemudian, maka kedua ekor elang itupun segera pergi tanpa melakukan gerakan-gerakan yang menarik perhatian.

"Hati-hatilah..." pesan Kiai Gumrah "Tidak terlalu jauh dari tempat ini tentu ada pengikut Kiai Windu Kusuma yang melihat gerakan-gerakan elang itu serta memberikan tafsiran artinya. Biarlah Manggada dan Laksana melihat keluar halaman.”

Manggada dan Laksana pun kemudian telah pergi ke regol halaman. Satu dua orang lewat di jalan di depan rumah Kiai Gumrah. Namun mereka sama sekali tidak memperhatikan rumah itu.

Sementara itu, Ki Prawara, Nyi Prawara dan Winih telah pergi ke banjar lewat pintu butulan yang dibuat pada dinding yang memisahkan halaman rumah Kiai Gumrah dengan halaman banjar. Pintu itu sangat berarti bagi Kiai Gumrah selama ia bertugas menjaga dan membersihkan banjar tua itu.

Seperti keinginan Kiai Gumrah, maka Ki Prawara, Nyi Prawara dan Winih telah diperintahkan pula untuk membawa tombak-tombak pusaka yang disimpannya serta sebuah songsong yang berwarna kuning keemasan dengan lingkaran hijau itu.

Ketika Manggada dan Laksana kemudian masuk kembali ke dalam rumah, maka Kiai Gumrah pun telah memerintahkan agar Manggada dan Laksana juga pergi ke banjar.

Sejenak keduanya termangu-mangu. Dengan ragu Manggada bertanya "Bagaimana dengan kedua orang tawanan itu?"

“Biarlah mereka tinggal di rumah..." jawab Kiai Gumrah.

“Tetapi...” Manggada tidak meneruskan kata-katanya, karena Kiai Gumrah telah menyahutnya sambil tersenyum.

"Aku akan membuat mereka tertidur untuk semalam suntuk...."

Selanjutnya,
Sang Penerus Bagian 18

Sang Penerus Bagian 17

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
NYI PRAWARA termangu-mangu. Sementara Manggada dan Laksana melangkah mendekati pintu butulan. Tetapi Nyi Prawara telah memberi isyarat, agar mereka berhenti beberapa langkah dari pintu butulan itu.

"Tetapi siapa kau Ki Sanak?" bertanya Nyai Prawara, sementara Winih telah mempersiapkan dirinya menghadapi segala kemungkinan.

Namun suara itu terdengar lagi. “Aku tidak mengharapkan mereka keluar. Aku hanya ingin memberikan pesan."

Nyi Prawara termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun telah memberikan isyarat kepada Manggada dan Laksana untuk mendekati pintu.

"Siapakah kau Ki Sanak?" bertanya Manggada.

"Kau masih ingat aku? Ki Pandi" terdengar suara di luar.

"Ki Pandi..." hampir berbareng Manggada dan Laksana mengulang nama itu.

"Ya. Dengarlah suara kedua sahabatku itu."

Manggada dan Laksana saling berpandangan. Yang kemudian terdengar adalah suara dua ekor harimau menggeram.

"Aku kenal, Ki Pandi..." sahut Manggada.

"Nah, aku hanya ingin memberikan isyarat. Di banjar tua itu, saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah telah bertemu dan berbicara tentang Kiai Windu Kusuma dan orang yang mereka kenal dengan sebutan Panembahan. Sebenarnyalah Panembahan itu adalah Panembahan yang pernah kita kenal dahulu. Yang mencari gadis-gadis bersih untuk mencuci kerisnya dengan darah gadis-gadis bersih itu. Sekarang iapun mulai haus akan darah lagi. Nah, katakan kepada Kiai Gumrah, bahwa meskipun aku tidak berkepentingan langsung, tetapi aku akan menyertai mereka jika mereka akan pergi menemui Ki Windu Kusuma dan Panembahan itu. Salah seorang saudara seperguruannya ada pula yang bergabung dengan Kiai Windu Kusuma. Namanya Kiai Kajar."

"Ya!" jawab Manggada dan Laksana yang juga sudah mendengar tentang seseorang yang bernama Kiai Kajar sebagaimana dikatakan oleh kedua orang tawanan itu.

"Karena itu, maka aku minta kau sampaikan keinginanku menyertai mereka. Kita akan bertemu lagi pada kesempatan lain. Aku ingin mendapat keterangan, apakah niatku ini diterima atau tidak. Aku tidak mempunyai pamrih apapun juga dalam soal ini, kecuali menghentikan perbuatan Panembahan yang sudah dikuasai oleh kuasa kegelapan itu." berkata suara di luar dinding.

"Apakah Ki Pandi ingin bertemu dan berbicara dengan kakek atau paman Prawara, atau bibi yang sekarang ada di rumah?" bertanya Manggada.

"Bukankah Nyi Prawara sudah mendengar kata-kataku? Bukankah aku tidak perlu mengulanginya!?” bertanya Ki Pandi.

"Tetapi Ki Pandi belum berbicara dengan bibi..." desis Manggada.

"Baiklah..." berkata Ki Pandi "Aku mohon Nyi Prawara sudi mendengarkan aku."

"Aku mendengar Ki Sanak." jawab Nyi Prawara.

"Aku berkata sebenarnya Nyai. Aku tidak mempunyai pamrih apapun, karena kehidupan duniawi sudah lampau bagiku."

"Tetapi sebaiknya Ki Sanak bertemu dengan ayah." jawab Nyi Prawara.

"Aku akan menemuinya pada kesempatan lain." jawab Ki Pandi.

Nyi Prawara masih akan berbicara lagi. Tetapi Ki Pandi itu berdesis "Aku mohon diri. Pertemuan di banjar itu sudah selesai. Mereka sudah datang kemari."

"Satu kesempatan Ki Sanak. Bukankah Ki Sanak dapat bertemu dengan banyak orang sekaligus?" berkata Nyi Prawara.

Tetapi sudah tidak terdengar jawaban lagi. Yang berada di dalam dinding rumah itu tidak mendengar suara kaki Ki Pandi yang beringsut menjauh. Demikian pula kedua ekor harimau yang agaknya ikut bersama Ki Pandi.

"Orang itu sudah pergi...!" desis Laksana. Sebenarnyalah sejenak kemudian, pintu rumah itu diketuk orang. Terdengar suara beberapa orang bercakap-cakap di luar. Bahkan terdengar suara tertawa pula di antara mereka.

Yang kemudian terdengar adalah suara Ki Prawara "Buka pintunya Nyi..."

Laksanalah yang dengan tergesa-gesa membuka pintu, sementara Winih dan ibunya justru pergi ke dapur untuk menyiapkan minuman yang masih saja hangat. Demikian pintu terbuka, maka beberapa orang telah memasuki pintu dapur. Tetapi ruang dalam rumah Kiai Gumrah yang memang tidak terlalu luas itu segera terasa sesak, sementara masih ada beberapa orang yang berdiri di luar. Namun Kiai Gumrah pun ternyata kemudian berkata,

"Kita semuanya akan berada di luar saja. Kita dapat duduk di mana saja, sementara minuman hangat akan disuguhkan."

Orang-orang yang sudah terlanjur berada di ruang dalam itupun keluar lagi sambil bergeremang. Namun kemudian mereka duduk tersebar di amben bambu, di bebatur rumah atau di tlundak pintu.

Tetapi ketika Manggada dan Laksana menghidangkan minuman dan makanan, maka yang duduk ditelundak itupun terpaksa berdiri. Namun ternyata bahwa Kiai Gumrah dan kawan-kawannya dapat menikmati wedang jahe dan ketela pohon rebus yang hangat bersama-sama. Sementara itu, dua orang tawanan Kiai Gumrah ada di antara mereka pula.

Beberapa saat setelah mereka meneguk minuman dan makan beberapa kerat ketela pohon, maka tiba-tiba orang-orang yang ada di halaman itu dikejutkan oleh suara seruling yang terdengar mengalun di antara desah angin malam.

Sejenak halaman rumah Kiai Gumrah itu menjadi hening. Orang-orang yang ada di halaman sambil minum dan makan ketela pohon itu seakan-akan telah terpukau mendengar suara seruling itu. Namun mereka bukan saja tertarik oleh suara seruling yang ngelangut, menggetarkan jantung. Apalagi di malam yang hening.

Namun mereka juga tertarik karena mereka merasakan tenaga yang terlontar bersama suara seruling itu. Tenaga itu telah menggetarkan udara malam melibat dan menyentuh perasaan orang-orang yang mendengarnya.

Kiai Gumrahlah yang kemudian bangkit berdiri dan berkata kepada kawan-kawannya "Orang yang meniup seruling itu agaknya ingin tahu, apakah jantung kita masih tetap berdegup."

"Siapakah orang itu?" bertanya Buta Ijo "Apakah aku harus berteriak untuk menghentikan suara seruling itu?"

"Bukan suara seruling itu yang berhenti" jawab juragan gula "Tetapi tetangga-tetangga Kiai Gumrahlah yang akan terbangun semuanya"

Buta Ijo itu tertawa. Justru berkepanjangan. Kiai Gumrah tidak mencegahnya. Ia tahu, bahwa Buta Ijo itu tidak senang mendengar suara seruling yang ngelangut. Seakan-akan ratapan dari dalam dasar luweng yang sangat dalam.

Tetapi suara seruling itu tidak berhenti. Nadanya justru meninggi, seakan-akan menggapai lapisan awan ditataran langit ketujuh. Namun kemudian menukik menyambar seperti burung elang yang sering nampak berterbangan di atas padukuhan itu.

"Setan itu..." geram Buta Ijo.

"Tenanglah..." berkata juragan gula itu "Kau tidak usah menjadi gelisah seperti itu. Bukankah suara seruling itu tidak mengganggu kita?"

"Memang tidak. Tetapi aku merasakan betapa sombongnya orang yang meniup seruling ini." jawab Buta Ijo itu.

"Aku tidak yakin, bahwa ia seorang yang sombong. Tetapi aku justru mengira bahwa orang itu ingin memperkenalkan diri." jawab Kiai Gumrah.

"Kau rasakan suara itu mulai menggelitik?" bertanya Buta Ijo.

"Hanya menggelitik. Tidak menyakiti.” jawab Kiai Gumrah.

"Aku lebih senang disakiti daripada digelitik" jawab Buta Ijo itu.

Namun tiba-tiba saja Manggada yang ada di ruang dalam melangkah keluar. Sejenak ia berdiri termangu-mangu. Namun kemudian katanya kepada Kiai Gumrah "Kek, barangkali aku tahu, siapakah yang meniup seruling itu!"

"He, darimana kau tahu?" bertanya Buto Ijo itu dengan serta-merta.

Manggada memang ragu-ragu. Tetapi Kiai Gumrah itupun berkata "Katakan apa yang kau ketahui"

Manggada menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan jantungnya yang berdetak semakin keras karena semua mata memandang ke arahnya. Namun kemudian iapun berkata "Kek. Aku menduga bahwa yang meniup seruling itu adalah Ki Pandi."

"Siapakah Ki Pandi itu?" bertanya orang yang selalu menyebut dirinya berilmu tinggi.

"Orang yang memiliki kedua ekor harimau yang selalu datang setiap saat diperlukan. Seakan-akan mereka tahu kapan mereka harus datang membantu." jawab Manggada.

"Orang bongkok itu!" berkata Kiai Gumrah kemudian.

"Orang bongkok dari hutan Jatimalang?" bertanya orang yang kekurus-kurusan yang lebih banyak memejamkan matanya dan terkantuk-kantuk. Namun dapat menangkap semua pembicaraan di sekitarnya dengan jelas.

"Ia tidak berasal dari hutan Jatimalang" jawab orang yang bertubuh sedang, berkumis panjang "Ia memang pernah tinggal di hutan itu. Tetapi tidak terlalu lama"

"Kiai mengenalnya?" bertanya Manggada.

"Pada umumnya kami mengenalnya" jawab Kiai Gumrah "Tetapi tidak terlalu akrab..."

"He, darimana kau tahu bahwa yang meniup seruling itu orang bongkok dari Jatimalang?" bertanya Buta Ijo.

"Kami berdua pernah tinggal bersamanya. Bersama Ki Ajar Pangukan di belakang hutan Jatimalang" jawab Manggada.

Semua orang justru tertarik pada pengakuan Manggada itu kecuali Kiai Gumrah, karena ia pernah mendengarnya.

"Jadi kau juga pernah tinggal di hutan Jatimalang?" bertanya orang yang menyebut dirinya berilmu tinggi.

"Ya, Kiai..." jawab Manggada "Kami datang ke belakang hutan Jatimalang bersama Ki Wiradadi, seorang yang mencari anak gadisnya yang hilang. Kami bertemu dengan Ki Ajar Pangukan dan Ki Pandi. Bahkan kemudian sekelompok prajurit Pajang yang mencium keberadaan Panembahan Lebdagati di belakang hutan Jatimalang, di lereng gunung, telah datang pula. Tetapi Panembahan Lebdagati itu berhasil melepaskan diri."

"Aku yakin bahwa Panembahan di belakang hutan Jatimalang itu tentu Panembahan yang bekerja bersama Kiai Windu Kusuma dan Kiai Kajar" berkata Kiai Gumrah.

"Kita memang harus menghancurkan mereka. Kita tidak usah menunggu prajurit Pajang. Kita akan menyelesaikan persoalan dengan Kiai Windu Kusuma itu sendiri" berkata juragan gula itu.

Semuanya mengangguk-angguk. Suara seruling itu masih terdengar, mengalun menggetarkan udara malam yang terasa semakin dingin. Tetapi ketika mereka mengetahui bahwa yang membunyikan seruling itu adalah orang bongkok dari hutan Jatimalang, maka mereka tidak lagi merasa sangat terganggu. Getaran yang dilontarkan memang bukan getaran yang dapat mengguncang jantung. Namun seperti yang dikatakan oleh Kiai Gumrah, orang bongkok itu seakan-akan ingin memperkenalkan dirinya.

Manggada pun kemudian berkata lagi. "Ki Pandi pernah langsung bertempur dengan Panembahan. Namun Panembahan itu berhasil melepaskan diri. Agaknya usahanya untuk menghentikan langkah-langkah Panembahan yang dipengaruhi oleh kuasa kegelapan itu tidak akan berhenti..."

"Apakah orang bongkok itu selalu membawa seruling?" bertanya orang yang terkantuk-kantuk itu.

"Sepengetahuanku, ia memang mempunyai sebuah seruling” jawab Manggada.

"Kenapa ia tidak menemui kami sekarang?" bertanya Buta Ijo.

"Ia memang telah datang. Ia berbicara dengan kami. Juga dengan bibi Prawara. Tetapi Ki Pandi masih belum bersedia menemui kakek sekarang. Pada satu saat ia memang akan berusaha untuk dapat berbicara dengan kakek, karena Ki Pandi telah menyatakan untuk menyertai kakek dan saudara-saudaranya pergi ke sarang Kiai Windu Kusuma. Bahkan Ki Pandi juga mengetahui bahwa di sana ada seorang yang bernama Kiai Kajar."

"Darimana ia tahu?" bertanya Kiai Gumrah.

"Ki Pandi tidak mengatakannya, kek" jawab Manggada.

Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Katanya. "Baiklah. Biarlah aku menunggu kedatangannya. Tetapi jika kami sudah siap melangkah dan orang itu belum juga datang, maka aku tidak akan menunggunya lebih lama lagi."

Demikianlah, maka seorang di antara saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah itupun telah mengeluarkan rinding dari kantong ikat pinggangnya yang besar. Kemudian diletakannya rinding itu dimulutnya. Sejenak kemudian, beralunlah lagu yang berdengung menggetarkan udara malam, menyentuh getaran suara seruling yang masih terdengar.

Dengan irama yang berbeda kedua lontaran lagu itu mengalun meninggi. Namun seakan-akan semakin lama semakin tinggi, sehingga akhirnya keduanya berhenti sama sekali. Rasa-rasanya kedua irama itu terputus setelah keduanya yakin bahwa nada yang terlontar tidak akan mampu mencapai bintang.

Orang yang membunyikan rinding itu menarik nafas panjang. Kemudian tangannya menggapai mangkuk minumannya. Beberapa teguk minuman ditelannya seakan-akan orang itu baru saja berlari-lari mengelilingi padukuhan.

Manggada yang sudah duduk pula di bebatur rumah nafasnya menjadi tersengal-sengal. Namun kemudian iapun bangkit dan melangkah masuk ke ruang dalam. Di dalam dilihatnya Laksana juga terduduk diam.

Nyi Prawaralah yang kemudian menghampirinya. Dipandangnya Manggada dan dimintanya duduk di sebelah Laksana. Sambil memberikan dua mangkuk minuman, Nyi Prawara berkata "Minumlah"

Manggada dan Laksana pun kemudian minum beberapa teguk. Dada mereka kemudian terasa lapang. Meskipun suara seruling dan rinding yang berbaur dan melontarkan getaran itu tidak berniat menyerang siapapun juga, tetapi rasa-rasanya nafas kedua orang anak muda itu menjadi sesak.

"Kedua irama itu masih belum dapat luluh" desis Nyi Prawara "Tetapi dalam keadaan yang lebih baik, kedua irama itu akan dapat diatur lebih serasi, sehingga dapat saling menyerap atau saling memperkuat sesuai dengan kebutuhan"

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Ketika mereka sempat melihat Winih yang keluar dari dapur, maka nampaknya Winih sama sekali tidak terpengaruh oleh kedua irama yang masih terasa saling berebut untuk saling mengtasasi.

Dengan demikian maka Manggada dan Laksana itu justru merasa semakin kecil. Keduanya adalah orang yang paling lemah di antara sekian banyak orang yang berkumpul itu. Meskipun mereka sudah memiliki bekal ilmu kanuragan, namun ilmu mereka ternyata masih belum memadai dibandingkan dengan orang-orang yang berilmu tinggi itu.

Dalam pada itu, tiba-tiba Buta Ijo yang ada di halaman itu berkata lantang "He, aku akan pulang. Jika kalian masih akan duduk di sini sepanjang malam, terserah saja"

Namun orang yang terkantuk-kantuk itupun menyahut "Aku juga akan pulang. Aku sudah mengantuk"

Orang yang selalu menyebut dirinya berilmu tinggi itu menyahut "Aku tidak pernah melihat kau tidak mengantuk"

Yang lain pun tertawa hampir berbareng. Tetapi orang itu tidak menghiraukannya. Ia justru sudah mulai melangkah ke regol halaman. Namun juragan gula itu berkata, "He, kau belum minta diri kepada orang yang telah menyuguhkan minuman dan makanan ini. Begitu kau merasa kenyang, begitu kau pergi"

"O, baiklah. Tetapi kepada siapa?" orang itu bertanya.

"Sudahlah" berkata Kiai Gumrah "Biarlah aku yang menyampaikannya."

Demikianlah, maka saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah itupun segera minta diri. Satu-satu mereka keluar dari regol halaman. Melihat suasana di luar dan kemudian melangkah sendiri-sendiri atau sebanyak-banyaknya berdua. Mereka menuju ke arah yang berbeda-beda.

Namun jalan-jalan sudah menjadi sangat sepi. Tidak ada seorang pun yang lewat. Meskipun demikian, mereka mendengar kotekan anak-anak muda yang meronda agak di kejauhan. Beberapa saat kemudian, rumah Kiai Gumrah pun menjadi sepi.

Kedua orang tawanan itupun sudah berada di ruang dalam pula. Bagaimanapun juga, kepercayaan Kiai Gumrah dan keluarganya kepada mereka masih belum utuh, sehingga Kiai Gumrah pun berkata, "Maaf Ki Sanak. Kami masih akan mengikat kalian pada pembaringan kalian. Kami tidak dapat berbuat lain. Jika malam ini kami semuanya tertidur nyenyak, maka banyak hal akan dapat terjadi. Sementara itu kalian sudah mendengar rahasia besar sebagai keputusan pembicaraan di antara kami"

Kedua orang itu tidak dapat menolak. Mereka harus memberikan tangan dan kaki mereka untuk diikat dengan pembaringan. Meskipun demikian, di luar pengetahuan kedua orang tawanan itu, Kiai Gumrah dan keluarganya telah mengatur diri agar kedua orang itu tetap dapat diawasi setiap saat. Manggada dan Laksana pun ikut pula mendapat tugas bergantian.

Namun sebelum seisi rumah itu sempat tidur, mereka terkejut ketika mereka mendengar suara geramang beberapa orang yang berada di halaman. Bahkan kemudian terdengar pintu diketuk orang. Kiai Gumrah dan bahkan seisi rumah itu telah berkumpul di ruang dalam. Namun yang terdengar kemudian adalah suara anak-anak muda yang memanggil Manggada dan Laksana.

Ketika kemudian pintu dibuka, seorang telah menyerahkan sebakul kecil nasi dan lauk-pauknya sambil bertanya "He, kenapa kau tidak datang ke banjar? Kami makan-makan di sana bersama Ki Bekel untuk menghormati perubahan tatanan kehidupan yang terjadi di padukuhan ini"

"O" desis Manggada "Sayang sekali. Kami sedang sibuk dengan persoalan kami sendiri"

"Bukankah persoalan keluarga kalian dapat ditingalkan sebentar?" bertanya salah seorang anak muda itu.

"Sebenarnya demikian. Tetapi beberapa orang saudara kami baru saja pulang. Mereka datang berkunjung setelah untuk waktu yang lama kami berpisah" jawab Manggada.

Anak-anak muda itu tidak bertanya lagi. Namun yang menyerahkan bakul itu berkata "Kami memaksa Ki Bekel untuk menyisihkan hidangan sekedarnya. Kami ingin kalian berdua juga ikut menikmatinya. Semula Ki Bekel berkeberatan. Tetapi akhirnya ia tidak dapat mencegahnya"

"Terima kasih..." berkata Manggada dan Laksana bersamaan.

Sepeninggal anak-anak muda itu, Kiai Gumrah menarik nafas panjang. Ki Bekel agaknya memang sudah mencegahnya. Tetapi anak-anak itu tidak lagi dapat ditahan. Untunglah bahwa saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah sudah berlalu.

Demikianlah, maka keluarga Kiai Gumrah itu telah mempergunakan sisa malam untuk beristirahat, meskipun ada di antara mereka yang harus berjaga-jaga.

Pagi-pagi benar, seperti biasanya, seisi rumah itu sudah terbangun. Nyi Prawara dan Winih mulai sibuk di dapur. Sementara Manggada dan Laksana telah memerlukan pergi ke banjar untuk membersihkan halaman. Sedangkan seperti biasa pula. Kiai Gumrah mulai sibuk dengan bumbung-bumbung legennya.

Namun dalam pada itu, maka rencana yang dibuat oleh Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya sudah mulai pada langkah yang menentukan. Mereka mulai mempersiapkan diri menyerang sarang Kiai Windu Kusuma. Di tempat itu tinggal pula orang yang disebut Panembahan yang berakibat pada kuasa kegelapan, serta Kiai Kajar, justru saudara seperguruan yang dianggap salah satu dari orang-orang terbaik.

Di rumah, Kiai Gumrah dan keluarganya mengawasi kedua orang tawanannya semakin ketat. Kedua orang itu sudah mendengar rencana terpenting dari Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya. Sebelum mereka menyelesaikan persoalan mereka dengan Kiai Windu Kusuma, maka kedua orang itu sama sekali tidak akan diijinkan berhubungan dengan orang lain.

Namun pagi itu, ketika Kiai Gumrah telah mengumpulkan bumbungnya yang baru saja di pungut dari batang-batang kelapa dan dituang di tempayan, sementara Manggada dan Laksana yang sudah terbiasa membantunya sedang sibuk dengan perapian, maka mereka pun telah dikejutkan oleh kedatangan seseorang yang pernah mereka kenal. Kundala. Kiai Gumrah memang terkejut. Dengan tergopoh-gopoh dipersilahkan Kundala itu masuk ke dapur.

Tetapi Kundala itu berkata "Waktuku hanya sedikit sekali, Kiai"

"Apakah kau sedang bertugas?" bertanya Kiai Gumrah.

"Ya, Kiai. Aku harus menghubungi seseorang di pasar dan membawanya ke sarang kami"

"Apakah kau sudah pergi ke pasar?" bertanya Kiai Gumrah.

"Aku baru berangkat ke pasar. Aku memerlukan singgah sebentar" jawab Kundala.

"Apakah kau yakin bahwa kau tidak diawasi?" bertanya Kiai Gumrah pula.

"Aku yakin, karena aku memilih jalan bulak" jawab Kundala.

"Sekarang, apa yang akan kau katakan?" bertanya Kiai Gumrah selanjutnya.

"Panembahan tidak sabar lagi. Malam setelah tiga hari mendatang, rumah ini akan didatanginya dengan kekuatan penuh. Orang yang akan aku hubungi adalah salah satu di antara orang terpenting di lingkungan kelompok Panembahan"

"Apakah Panembahan itu bernama Lebdagati?" bertanya Kiai Gumrah.

"Aku tidak tahu Kiai. Yang aku ketahui hanyalah Panembahan begitu saja."

Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Katanya "Jadi mereka akan datang tiga hari lagi?"

"Ya. Ada beberapa orang berilmu tinggi. Juga para pengikutnya akan dikerahkan. Mereka mempunyai tataran ilmu yang bermacam-macam. Ada yang terhitung tinggi, sedang dan ada yang sekedar mengandalkan kekuatan wadagnya saja"

"Terima kasih, Kundala. Aku akan mempersiapkan diri untuk melawan mereka" berkata Kiai Gumrah.

"Tetapi Kiai, kekuatan mereka cukup besar. Apakah tidak sebaiknya Kiai menyingkir saja? Ketika Darpati datang kemari bersama beberapa orang kawannya, itu tentu hanya sekedar penjajagan, meskipun Darpati bersama tujuh orang lainnya harus dikorbankan, dan bahkan ada di antara mereka yang berilmu tinggi hampir setingkat Darpati sendiri. Tetapi yang dipersiapkan nanti adalah jauh lebih besar dari itu. Mungkin berlipat tiga atau empat"

"Kau akan ikut serta?" bertanya Kiai Gumrah.

"Ya, Kiai. Aku akan ikut bersama mereka!" jawab Kundala.

Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Ketika kemudian Ki Prawara datang, maka dipersilahkannya Ki Prawara untuk ikut berbincang. Namun agaknya waktu Kundala amat sempit. Karena itu, maka katanya "Aku harus segera pergi ke pasar. Sebentar lagi siang itu tentu menyusul untuk mengawasi perjalananku"

"Terima kasih Kundala. Berhati-hatilah" pesan Kiai Gumrah.

Demikianlah, maka Kundala pun segera meninggalkan tempat itu. Manggada dan Laksana masih tetap duduk diperapian. Sementara Nyi Prawara dan Winih pun telah mendekat Kiai Gumrah untuk ikut mendengar keterangan Kundala.

Kiai Gumrah pun tidak merahasiakannya pula. Bahkan kepada Manggada dan Laksana. Namun Kiai Gumrah masih menjaga, agar para tawanannya yang masih saja diikat di ruang dalam tidak ikut mendengarnya.

"Jadi, langkah apa yang akan kita ambil?" bertanya Ki Prawara.

"Aku akan berbicara dengan beberapa orang yang dapat aku hubungi. Menurut pendapatku, rencana kita tetap. Kita akan menyerang sarang mereka. Tentu sebelum mereka datang lebih dahulu"

"Waktunya sangat sempit, ayah!" desis Nyi Prawara.

"Kita tidak mempunyai pilihan lain. Menurut pendapatku, kita akan lebih banyak mendapat kesempatan jika kita menyerang. Tidak hanya sekedar bertahan."

"Lalu, bagaimana dengan pusaka-pusaka itu?" bertanya Winih.

"Kita akan membawanya. Kita akan mempergunakannya. Tentu orang yang paling bertanggung jawablah yang akan maju ke medan dengan mempergunakan senjata pusaka perguruan itu. Kiai Kajar tentu akan berkerut jantungnya melihat pusaka itu langsung kita pergunakan di medan"

Ki Prawara menarik nafas panjang. Katanya. "Tetapi bagaimana dengan songsong itu?"

"Kita akan membawanya pula. Songsong itu juga dapat dipergunakan sebagai senjata. Bukankah kau tahu? Jari-jarinya yang terbuat dari baja menjadikan songsong itu tidak mudah rusak. Jika kainnya koyak, bukankah dapat diganti lagi dengan yang baru dan diwarnai sebagaimana warna semula"

Ki Prawara mengangguk-angguk. Katanya "Jika demikian, kita harus bergerak lebih cepat dari yang direncanakan."

"Aku akan menemui juragan gula itu dan selanjutnya pergi ke pasar" berkata Kiai Gumrah. "Mudah-mudahan aku dapat melihat Kundala selain menemui saudara-saudaranya Hati-hatilah di rumah. Meskipun di siang hari dapat saja terjadi sesuatu"

Dengan membawa sisa gula yang ada, maka Kiai Gumrah pun telah pergi ke rumah juragan gula. Yang penting baginya, bukannya menyerahkan gulanya dan menerima uangnya, tetapi ia harus bergerak lebih cepat dari yang direncanakan.

Hari itu juga jaringan hubungan saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah mulai bergerak. Sebelum senja, maka semua orang harus berhasil ditemui. Mereka bukan sekedar melakukan hubungan, tetapi mereka sudah memutuskan, bahwa malam ketiga, semalam sebelum Kiai Windu Kusuma merencanakan untuk mengambil pusaka-pusaka itu, mereka akan menyerang sarangnya.

Rencana yang disusun dengan cepat di pasar, telah tersebar kepada semua saudara seperguruan Kiai Gumrah. Di mana mereka harus berkumpul, saatnya dan kelengkapan yang harus disediakan.

Sementara itu, ketika Kiai Gumrah masih berada di pasar bersama dua tiga orang penjual gula, termasuk juragan gula itu, ternyata mereka sempat melihat orang yang dijemput oleh Kundala. Dengan sengaja Kundala mengajak orang itu berjalan melewati sisi pasar yang khusus dipergunakan bagi para pedagang dan penjual gula kelapa.

"Dua orang!” desis Kiai Gumrah.

Juragan gula itu mengangguk-angguk. Katanya "Menurut ingatanku, yang tua itu datang dari perguruan Susuhing Angin...!"

"Ya. Aku masih ingat. Yang muda itu tentu salah seorang dari perguruan itu juga. Mungkin murid utama dari pemimpin perguruan Susuhing Angin itu." jawab Kiai Gumrah.

"Iblis itu telah melibatkan perguruan yang banyak dikenal itu pula."

"Apakah orang itu tidak mengenal kita?" desis Kiai Gumrah.

"Mereka tidak sempat berpaling ke arah kita. Apalagi kita sempat menyembunyikan wajah kita. Tetapi agaknya mereka memang tidak mengira bahwa kita ada di sini" jawab juragan gula itu.

Kiai Gumrah mengangguk-angguk. iapun berpendapat, bahwa kedua orang yang berjalan bersama Kundala itu tidak melihat mereka di antara keranjang-keranjang gula yang berserakan.

Ketika Kiai Gumrah tiba di rumahnya, maka iapun telah mempersiapkan segala sesuatu. Bukan saja senjata-senjata mereka serta pusaka-pusaka yang mereka rawat dan mereka jaga dengan baik itu. Tetapi juga persiapan ketahanan jiwani untuk menghadapi satu tugas yang sangat berat.

"Kita, seisi rumah ini akan berangkat semuanya..." berkata Kiai Gumrah "Semua pusaka yang ada akan ikut dalam pertempuran"

Nyi Prawara menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Baiklah. Kita semuanya harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya..."

Namun tiba-tiba saja hampir di luar sadarnya Manggada bertanya. "Bagaimana dengan Ki Pandi?"

"Jika aku bertemu sebelum saat pertempuran terjadi, maka aku akan memberitahukan kepadanya. Jika ia datang terlambat, apa boleh buat" jawab Kiai Gumrah.

Manggada tidak bertanya lagi. Ia sadar, bahwa Kiai Gumrah tidak dapat bergantung kepada Ki Pandi. Apalagi setelah ia mendengar bahwa Panembahan akan mengambil langkah terakhir karena purnama sudah menjadi semakin dekat.

Di hari berikutnya, maka beberapa orang sengaja datang ke pasar untuk saling bertemu. Sedangkan disore hari, bahkan sampai malam, beberapa orang yang lain telah datang pula ke rumah Kiai Gumrah untuk mendapatkan penjelasan.

Namun saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah benar-benar sudah siap untuk menghadapi tugas yang berat itu. Kepada saudara-saudara seperguruannya. Kiai Gumrah juga sudah mengatakan niat Ki Pandi untuk bersama mereka menghadapi Kiai Windu Kusuma dan orang yang disebut Panembahan itu.

"Satu hal yang barangkali ada di antara kalian yang belum mengetahui, bahwa Ki Pandi memelihara dua ekor harimau yang akan dapat diajak bersamanya dalam tugas-tugas beratnya" berkata Kiai Gumrah.

"Bagaimana kita dapat menghubunginya?" bertanya orang yang selalu menyebut dirinya berilmu tinggi.

"Kita hanya dapat menunggu orang bongkok itu datang kepada kita!" jawab Kiai Gumrah.

Dalam pada itu, kedua orang tawanan yang ada di rumah Kiai Gumrah itupun melihat kesibukan yang semakin meningkat. Tetapi mereka merasa bahwa mereka sama sekali tidak berhak untuk bertanya apapun kecuali jika Kiai Gumrah mengajak mereka berbicara.

Ketika matahari terbit di hari berikutnya, maka keluarga Kiai Gumrah mulai dibayangi ketegangan. Hari itu adalah hari yang menentukan. Menjelang malam mereka akan berkumpul di tempat yang ditentukan, kemudian mereka akan menyerang sarang Kiai Windu Kusuma yang di dalamnya terdapat pula orang yang disebut Panembahan, Kiai Kajar serta orang yang baru datang dari perguruan Susuhing Angin.

Namun Kiai Gumrah masih juga pergi ke pasar untuk mengadakan hubungan terakhir sebelum segalanya dimulai. Di pasar, Kiai Gumrah juga melihat Kundala berjalan dengan seorang kawannya. Namun Kiai Gumrah merasa bersukur bahwa Kundala masih mendengar suara nuraninya yang paling dalam, sehingga ia tidak mengatakan kepada kawannya tentang kegiatan Kiai Gumrah itu.

Sementara Kiai Windu Kusuma masih juga mempercayainya meskipun kemampuan Kundala dianggap kurang memadai lagi di antara para pengikut Kiai Windu Kusuma. Meskipun demikian, Kundala masih sering mendapat tugas-tugas khusus sebagaimana dilakukannya itu. Meskipun hanya sekedar sebagai penghubung.

Dalam pada itu Kiai Gumrah masih juga bertemu dan berbicara dengan beberapa orang saudara seperguruannya. Pertemuan itu memang penting, justru pada saat-saat terakhir menjelang pertempuran yang menentukan.

Untuk meyakinkan keberhasilan rencananya, Kiai Windu Kusuma memang mengirimkan orang untuk melihat keadaan rumah Kiai Gumrah. Yang mendapatkan tugas memang bukan Kundala, karena Kiai Windu Kusuma mencemaskan, bahwa Kundala akan dapat dikenali oleh Kiai Gumrah atau cucu-cucunya.

Orang itu memang melaporkan bahwa terdapat kesibukan di rumah penjual gula itu. Namun kesibukan itu masih terbatas sekali. Orang itu belum melihat usaha-usaha Kiai Gumrah untuk menyusun pertahanan di rumahnya. Orang-orang yang berdatangan pun telah meninggalkan rumahnya. Bahkan tidak ada lagi nampak orang-orang yang bermalam di rumahnya.

Namun Kundala tahu benar, kapan orang itu mengawasi rumah Kiai Gumrah, dan kapan rumah itu terlepas dari pengawasan. Di siang hari rumah itu justru jarang sekali diawasi. Sekali-sekali memang ada orang yang ditugaskan. Namun di kesempatan lain, Kiai Windu Kusuma sekedar melepaskan burung-burung elang yang telah mendapat latihan khusus itu.

Pada hari yang terakhir itu, Kiai Gumrah memang tidak terlalu lama berada di pasar. Ketika matahari memanjat langit semakin tinggi, justru saat pasar sedang mencapai puncak keramaiannya, Kiai Gumrah telah meninggalkan pasar, karena masih banyak yang harus dipersiapkan. Ia tidak dapat ingkar akan tugas yang dibebankan kepadanya, karena ia dianggap saudara seperguruan yang terbaik.

Karena itu, ia akan memikul tanggung-jawab terberat atas rencana mereka. Penyerangan ke sarang Kiai Windu Kusuma, karena Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya menganggap langkah itu merupakan cara yang terbaik untuk mempertahankan diri serta mempertahankan hak mereka.

Namun ketika Kiai Gumrah mendekati sudut padukuhannya, iapun tertegun. Ia melihat seseorang yang duduk di atas seonggok batu padas di bawah sebatang pohon turi.

"Orang bongkok itu..." desis Kiai Gumrah.

Orang itu memang Ki Pandi. Demikian ia melihat Kiai Gumrah melangkah mendekatinya, maka iapun mulai beringsut.

"Apakah kau menunggu aku?" bertanya Kiai Gumrah.

"Ya!" jawab orang itu.

"Ada sesuatu yang ingin kau katakan?" bertanya Kiai Gumrah pula.

"Aku sudah berpesan kepada cucumu, bahwa aku akan menemuimu sekitar dua tiga hari kemudian. Nah, hari ini aku memerlukan menemuimu."

"Ya. Cucu-cucuku sudah mengatakannya. Juga sudah mengatakan niatmu untuk bersama-sama menghancurkan Panembahan yang mengabdi pada kuasa kegelapan itu."

“Aku menempatkan diri dalam pasukanmu. Aku menunggu perintahmu. Aku hanya seorang diri bersama dua ekor harimauku. Mereka akan ikut bersamaku." berkata Ki Pandi.

Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Meskipun tidak terlalu akrab, namun Kiai Gumrah mempercayai Ki Pandi, sehingga karena itu, maka Kiai Gumrah pun telah memberitahukan rencananya untuk menyerang malam nanti.

"Apakah kalian sudah menguasai medan?" bertanya Ki Pandi.

"Saat kami berkumpul nanti, dua orang yang kami tugaskan untuk melihat dan mengamati keadaan akan memberikan laporan tentang medan. Selain itu, ada dua orang tawanan kami yang bersedia menguraikan serba sedikit sasaran yang akan kita datangi malam nanti. Juga sedikit tentang kekuatan mereka."

"Aku juga mempunyai beberapa keterangan. Aku juga akan membantu memberikan keterangan itu jika diperlukan nanti." berkata Ki Pandi kemudian.

"Terima kasih. Mudah-mudahan keterangan yang kami dapatkan itu akan mencukupi, sehingga kami tidak salah menilai lawan serta menilai medan." berkata Kiai Gumrah.

Ki Pandi mengangguk-angguk. Katanya. "Aku nanti akan datang bersama kedua ekor harimauku."

Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Katanya "Terima kasih atas kesediaanmu. Mudah-mudahan kita berhasil..."

Ki Pandi mengangguk kecil. Katanya "Kegilaan Panembahan itu harus dihentikan. Ia tidak berhak lagi hidup di muka bumi karena bayangan kegelapan yang menguasai jantungnya.”

"Kami akan menunggumu. Kami berharap bahwa kami akan mendapat keterangan yang cukup sehingga kami tidak justru akan terjebak disarang mereka." berkata Kiai Gumrah kemudian sambil melangkah melanjutkan perjalanannya.

Sementara itu di kejauhan dua ekor burung elang terbang dengan cepat melintas. Tetapi Kiai Gumrah sudah hilang di balik regol padukuhannya. Ketika Kiai Gumrah itu berpaling, maka orang bongkok itu sudah tidak dilihatnya lagi.

"Setan bongkok itu memang berilmu sangat tinggi." desis Kiai Gumrah.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, Kiai Gumrah sudah berada di rumahnya. iapun segera mengatur segala sesuatunya yang berhubungan dengan rencana mereka. Kepada seisi rumahnya yang berkumpul Kiai Gumrah berkata,

“Sebelum rumah ini mendapat pengawasan yang lebih ketat, karena besok mereka akan menyerang kita, maka sebaiknya kalian berada dibanjar tua itu. Kita akan berangkat dari banjar itu. Yang mereka awasi tentu rumah kita..."

Seisi rumah itu memang dapat mengerti. Karena itu, mereka tidak bertanya terlalu banyak. Ki Prawara, Nyi Prawara dan Winih segera berbenah diri. Nyi Prawara dan Winiih pun segera mengenakan pakaian khusus mereka, siap untuk menghadapi segala kemungkinan.

Manggada dan Laksana pun telah bersiap-siap pula. Namun mereka berdua merasa diri mereka terlalu kecil di antara keluarga rumah itu. Meskipun keduanya telah memiliki bekal olah kanuragan, namun dibanding dengan ilmu Winih, masih terpaut agak terlalu banyak. Apalagi dengan kedua orang tua mereka dan Kiai Gumrah, serta saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah.

Namun Laksana yang melihat Winih dalam pakaian khususnya berdesis, "Gadis itu nampak semakin cantik. Tubuhnya semakin kelihatan ramping, namun tangkas dan lincah."

"Kau akan berguru kepadanya?" bertanya Manggada sambil tersenyum.

Laksana pun tersenyum pula. Katanya. "Malam nanti kita akan menjadi kelinci di antara sekawanan harimau."

Manggada mengangguk-angguk. Katanya kemudian. "Satu pengalaman yang menarik."

"Apakah kita masih sempat menganggap yang akan terjadi malam nanti satu pengalaman?" bertanya Laksana.

Manggada menarik nafas dalam-dalam. Dengan dahi yang berkerut ia menjawab. “Apapun yang akan terjadi atas diri kita, maka kita harus siap mengalaminya. Sejak semula kita sendirilah yang berniat untuk melibatkan diri. Pada hari-hari pertama kita disini, Kiai Gumrah sudah berusaha mengusir kita agar kita tidak terlibat. Tetapi kitalah yang berkeras untuk tetap tinggal.”

Laksana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya "Semuanya sudah terjadi. Kita memang tidak dapat melangkah surut."

Pembicaraan keduanya pun terputus. Kiai Gumrah minta agar mereka semuanya pergi ke banjar. "Jika mereka mengirimkan orang, maka mereka tidak akan mengamati banjar tua itu" berkata Kiai Gumrah.

Tetapi rencana itu tertunda, ketika Manggada melihat dua ekor elang yang berterbangan.

"Tidak akan lama..." berkata Kiai Gumrah "Justru tampakkan dirimu di halaman."

Manggada dan Laksana pun kemudian justru telah memungut kayu bakar yang sedang dijemur di halaman samping, sekedar untuk menyatakan bahwa di rumah itu tidak terdapat perubahan apa-apa. Penghuninya masih tetap ada di tempat dengan kesibukan sehari-hari pula.

Seperti yang diduga, maka elang itu tidak terlalu lama berputar-putar. Beberapa saat kemudian, maka kedua ekor elang itupun segera pergi tanpa melakukan gerakan-gerakan yang menarik perhatian.

"Hati-hatilah..." pesan Kiai Gumrah "Tidak terlalu jauh dari tempat ini tentu ada pengikut Kiai Windu Kusuma yang melihat gerakan-gerakan elang itu serta memberikan tafsiran artinya. Biarlah Manggada dan Laksana melihat keluar halaman.”

Manggada dan Laksana pun kemudian telah pergi ke regol halaman. Satu dua orang lewat di jalan di depan rumah Kiai Gumrah. Namun mereka sama sekali tidak memperhatikan rumah itu.

Sementara itu, Ki Prawara, Nyi Prawara dan Winih telah pergi ke banjar lewat pintu butulan yang dibuat pada dinding yang memisahkan halaman rumah Kiai Gumrah dengan halaman banjar. Pintu itu sangat berarti bagi Kiai Gumrah selama ia bertugas menjaga dan membersihkan banjar tua itu.

Seperti keinginan Kiai Gumrah, maka Ki Prawara, Nyi Prawara dan Winih telah diperintahkan pula untuk membawa tombak-tombak pusaka yang disimpannya serta sebuah songsong yang berwarna kuning keemasan dengan lingkaran hijau itu.

Ketika Manggada dan Laksana kemudian masuk kembali ke dalam rumah, maka Kiai Gumrah pun telah memerintahkan agar Manggada dan Laksana juga pergi ke banjar.

Sejenak keduanya termangu-mangu. Dengan ragu Manggada bertanya "Bagaimana dengan kedua orang tawanan itu?"

“Biarlah mereka tinggal di rumah..." jawab Kiai Gumrah.

“Tetapi...” Manggada tidak meneruskan kata-katanya, karena Kiai Gumrah telah menyahutnya sambil tersenyum.

"Aku akan membuat mereka tertidur untuk semalam suntuk...."

Selanjutnya,
Sang Penerus Bagian 18