Sang Penerus Bagian 15 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
MESKIPUN kedua lawan Nyi Prawara itu bersenjata parang yang panjang dan besar, namun putaran rantai itu merupakan perisai yang sangat rapat bagi Nyi Prawara.

Sementara itu, Darpati masih saja berusaha untuk mempengaruhi perasaan Winih. Ia masih saja berterik aba-aba kepada kedua orang kawannya yang bertempur melawan Manggada dan Laksana, Bahkan kemudian iapun berteriak pula "Jika perempuan itu tidak mau menyerah sehingga kalian tidak dapat menawannya hidup-hidup, maka iapun pantas dibunuh”

“Jika demikian, maka tugas kami menjadi lebih ringan..." teriak salah seorang di antara kedua orang yang bertempur melawan Nyi Prawara itu.

Tetapi demikian mulutnya terkatup, maka ia harus mengaduh tertahan. Ternyata ujung rantai Nyi Prawara telah menyambarnya. Dengan tergesa-gesa orang itu bergeser ke samping untuk menghindar. Namun ujung rantai itu masih juga menyentuh lengan orang itu sehingga terluka. Orang itu mengumpat kasar dan kotor sehingga telinga Nyi Prawara menjadi panas.

“Kita sedang bertempur. Bukan mengumpat-umpat. Apalagi dengan kata-kata kotor dan kasar" berkata Nyi Prawara dengan lantang.

Tetapi lawannya justru mengetahui, bahwa kata-kata kotor dan kasar itu dapat mempengaruhi perasaan Nyi Prawara. Karena itu, maka orang itu justru mengulangi lagi. Mengumpat dengan kata-kata yang bahkan lebih kotor dan kasar.

Telinga Nyi Prawara terasa bagaikan disentuh bara. Kata-kata itu sangat menyakitkan hatinya sebagai seorang perempuan. Apalagi didengar pula oleh anak gadisnya yang sudah dewasa.

Namun berbeda dengan perhitungan lawannya. Mereka menganggap bahwa Nyi Prawara akan menjadi bingung dan tidak dapat memusatkan nalar budinya menghadapi kedua orang lawannya. Tetapi Nyi Prawara justru berbuat sebaliknya. Ia justru mengerahkan segenap kemampuannya dengan pemusatan nalar budinya untuk berusaha membungkam mulut orang yang berteriak-teriak dengan kata-kata kotor dan kasar itu.

Tetapi ternyata kemampuan Nyi Prawara memang tidak cukup tinggi untuk mengalahkah kedua orang lawannya. Sehingga dengan demikian, maka beberapa saat kemudian, Nyi Prawara memang hanya dapat bertahan sambil menanti pertolongan suami dan ayah mertuanya yang bertempur di halaman depan.

Dalam pada itu keadaan Manggada dan Laksana menjadi semakin sulit. Bahu Manggada telah terluka. Demikian pula lambung Laksana. Meskipun lukanya tidak terlalu dalam, tetapi darah sudah mengalir dari luka-luka itu.

"Sudah tiba saatnya kami mengakhiri pertempuran yang menjemukan ini" berkata lawan Laksana “kalian sudah mendapat kesempatan untuk memperpanjang hidup kalian beberapa saat. Sekarang, maka bersiaplah untuk mati.”

Manggada dan Laksana memang menjadi gelisah. Pedang mereka segera teracu ke arah lawan-lawan mereka yang nampaknya benar-benar akan segera mengakhiri pertempuran itu.

Namun sekali lagi yang tidak terduga itu terjadi. Tiba-tiba saja tanpa terdengar desah langkah kakinya, dua ekor Harimau yang sudah merunduk itupun meloncat Keluar dari persembunyiannya menyerang kedua orang lawan Manggada dan Laksana.

Kedua orang itu terkejut. Tetapi mereka tidak mempunyai banyak waktu. Mereka pun dengan serta merta telah berloncatan mengambil jarak dari Manggada dan Laksana untuk menghadapi kedua ekor harimau itu.

Namun Manggada dan Laksana yang seakan-akan telah mengenal kedua ekor harimau itu tidak melepaskan lawan-lawan mereka. Meskipun mereka juga terkejut, namun mereka pun segera mampu mengendalikan dirinya. Bahkan mereka pun segera menempatkan diri bertempur bersama kedua ekor harimau yang seakan-akan menguasai olah kanuragan itu.

Kedua orang lawan Manggada dan Laksana itu menjadi sangat gelisah. Ketika mereka hampir sampai pada saat-saat terakhir untuk menyelesaikan kedua anak muda itu, maka dua ekor harimau telah muncul dengan tiba-tiba.

Dengan demikian, maka pertempuran pun menjadi semakin sengit. Kedua orang kawan Darpati itu sudah mengetahui bahwa ada dua ekor harimau, yang kadang-kadang ikut campur, jika terjadi pertempuran. Ada di antara kawan mereka yang pernah terbunuh di halaman rumah Kiai Gumrah itu.

Tetapi yang lain mati di dekat air terjun kecil justru di saat mereka berusaha menjebak Manggada dan Laksana. Sehingga dengan demikian maka kehadiran kedua ekor harimau itu benar-benar telah menggelisahkan kedua orang itu.

Sementara itu, Manggada dan Laksana ternyata masih juga terus menyerang mereka. Pada saat-saat mereka bertempur melawan kedua ekor harimau itu, maka Manggada dan Laksana justru ikut menyerang mereka pula.

Ternyata kedua ekor harimau itu seakan-akan mampu menyesuaikan diri dengan serangan-serangan Manggada serta Laksana. Kedua ekor harimau itu tidak sebagaimana kebanyakan harimau, merunduk dan kemudian meloncat menerkam sasarannya. Tetapi kedua ekor harimau itu justru mendekati lawannya, menyerang dengan kedua kaki depannya yang-berkuku tajam. Bahkan gigi serta taringnya yang tajam siap pula mengoyak kulit lawannya.

Jika kedua orang yang diserangnya itu sempat mengayunkan atau menusukkan pedang, maka harimau itu bergeser surut. Namun dalam pada itu, Manggada dan Laksanalah yang mendapat kesempatan untuk menyerang.

Demikianlah, maka yang terjadi adalah sebagaimana yang pernah terjadi di pancuran itu. Kedua orang lawan Manggada dan Laksana itu tidak banyak mempunyai kesempatan. Beberapa kali keduanya berteriak memanggil Darpati. Tetapi ternyata Darpati tidak dapat berbuat banyak. Winih, gadis yang ingin diculiknya itu ternyata adalah seorang gadis yang berilmu tinggi pada usianya yang baru menginjak dewasa.

Kedua orang yang bertempur melawan Nyi Prawara pun menjadi gelisah. Mereka memang mendengar harimau itu menggeram. Apalagi kedua orang kawannya memang berteriak-teriak tentang kedua ekor harimau itu. Tetapi keduanya masih terikat dalam pertempuran melawan Nyi Prawara.

Namun teriakan-teriakan kawannya yang telah mulai dilukai oleh kuku-kuku harimau serta senjata Manggada dan Laksana itu, telah menggelitik kedua orang itu. Karena itu, maka salah seorang dari mereka pun telah meninggalkan Nyi Prawara untuk melihat keadaan kedua orang kawannya.

Tetapi usaha itu sama sekali tidak menolong. Seorang yang harus bertempur melawan Nyi Prawara itupun telah mengalami kesulitan pula. Rantai Nyi Prawara telah menyentuh tubuhnya lagi. Bahkan hampir saja mata orang itu dipatuk oleh ujung rantai Nyi Prawara yang menjadi semakin garang.

Darpati menyadari bahwa keadaannya serta kawan-kawannya menjadi semakin sulit. Karena itu, maka Darpati tidak dapat berpegang pada keinginannya saja. Ia harus menentukan sikap dalam keadaan yang sulit itu. Karena itu, maka niatnya untuk mengambil Winih dalam keadaan yang utuh pun telah ditinggalkannya.

Ternyata Winih bukan lagi sebuah golek kencana yang manis, yang hanya mampu tersenyum luruh dalam keadaan apapun serta diperlukan bagaimanapun. Juga bukan sekuntum kembang melati yang putih bersih dengan baunya yang wangi. Tetapi Winih adalah sekuntum kembang mawar yang meskipun semerbak tetapi berduri tajam.

Karena itu, maka Darpati pun telah menarik senjatanya. Sehelai pedang yang berkilat-kilat memantulkan cahaya oncor di serambi rumah Kiai Gumrah.

“Aku memang harus bersungguh-sungguh Winih!” geram Darpati “Kau sama sekali bukan lagi gadis yang menarik buatku. Bagiku sekarang, kau tidak lebih dari sesosok peri yang cantik, berbau wangi, tetapi pada suatu saat akan dapat menghisap darahku sampai kering”

“Bukan pada suatu saat Darpati. Tetapi sekarang!" jawah Winih yang juga mengurai senjatanya. Seperti senjata ibunya. Seutas rantai baja putih yang mengkilap. "Jangan menyesali diri Darpati" desis Winih "kawan-kawanmu akan mati. Harimau-harimau itu ternyata memiliki kepandaian yang lebih dari sejenisnya. Mereka seakan-akan mengerti, kapan mereka harus mengaum menggetarkan jantung, dan kapan mereka harus menyerang dengan diam-diam. Tetapi jangan menangisi kematian kawan-kawanmu itu”

Darpati memang menjadi semakin garang. Dengan ilmu pedangnya yang tinggi, ia menyerang Winih dengan cepat. Pedangnya berputaran terayun, mematuk dan menebas dengan cepatnya. Sehelai pedang Darpati itu seakan-akan telah berubah menjadi beberapa helai pedang yang tajam berkilauan.

Tetapi rantai Winih yang berputaran itu bagaikan kabut putih yang melindungi seluruh tubuhnya, sehingga berapapun banyak ujung pedang yang menyerang dari segala arah, akan membentur perisai kabut yang putih itu.

Demikianlah maka pertempuran di antara keduanya menjadi semakin sengit. Beberapa kali terdengar benturan antara daun pedang Darpati dengan rantai baja Winih, sehipgga bunga api pun nampak berhamburan.

Sementara itu, ketiga orang yang bertempur melawan Manggada dan Laksana benar-benar tidak dapat tertolong lagi. Kedua ekor harimau itu dengan garangnya telah mengoyak kulit mereka dengari kuku-kukunya yang tajam. Sementara itu, seorang di antara ketiganya yang berusaha melarikan diri, justru telah diterkam oleh salah satu dari antara kedua ekor harimau itu di punggungnya. Agaknya harimau itu tidak memperhitungkan apakah ia menyerang dari depan atau dari belakang. Sementara itu dua orang yang lain pun telah terkapar tanpa dapat bergerak lagi.

Dalam pada itu, lawan Nyi Prawara itupun tidak lagi dapat mengimbangi kemampuan perempuan yang semula tidak diperhitungkan itu. Setelah seorang kawannya berusaha membantu kedua lawan Mangagada dan Laksana, maka orang itupun segera mengalami kesulitan. Serangan-serangan Nyi Prawara datang membadai.

Rantai bajanya seakan-akan mempunyai mata di ujungnya. Kemana pun ia menghindar, maka ujung rantai itu rasa-rasanya selalu memburunya, Sehingga setiap kali terasa ujung rantai itu menyengat tubuhnya, sehingga luka-luka pun telah hinggap pula di mana-mana di tubuhnya.

Akhirnya orang itu tidak mampu lagi bertahan. Tubuhnya menjadi semakin lemah, sementara darahnya menjadi semakin banyak mengalir.

Nyi Prawara yang melihat lawannya tidak berdaya lagi, telah menghentikan serangan-serangannya. Sambil melipat rantainya ia bertanya "Apakah kau masih akan melawan?"

"Tidak!" suara itu bergetar. Kekuatannya seakan-akan telah terhisap habis.

“Pengecut kau!" teriak Darpati yang mendengar suaranya “Jika kau menyerah, maka akulah nanti yang akan membunuhmu!”

Tetapi Winihlah yang menyahut “Kau tidak akan dapat membunuhnya, Darpati. Kita masih belum tahu, siapa di antara kita yang akan menang!”

Darpati menggeram. Namun rantai baja Winih hampir saja menyambar keningnya. Dengan demikian, maka pertempuran pun telah berakhir kecuali antara Darpati dan Winih. Ketiga orang yang bertempur melawan Manggada dan Laksana telah terbunuh dengan luka luka yang segera dapat diketahui bahwa luka itu bukan luka oleh ujung-ujung pedang Manggada dan Laksana. Seorang lagi yang ditinggalkan kawannya bertempur melawan Nyi Prawara telah menjadi tidak berdaya.

Sementara itu Darpati tidak dapat mengingkari kenyataan. Tetapi iapun merasa bahwa ia tidak mungkin dapat melarikan diri. Dua ekor harimau yang masih berkeliaran di halaman itu tentu akan membantu mengejarnya.

Karena itu, maka satu-satunya cara yang dapat ditempuh adalah menangkap Winih dan mempergunakannya sebagai perisai untuk keluar dari halaman rumah itu. Tetapi untuk mengalahkan Winih itupun masih merupakan teka-teki baginya, apakah ia dapat melakukannya.

Tetapi Darpati adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi dan pengalaman yang luas. Bagaimanapun juga ia mempunyai cara-cara yang licik untuk mempengaruhi lawannya. Ketika rantai baja Winih rasa-rasanya semakin berbahaya baginya, bahkan rasa-rasanya ujung-ujung rantai itu sudah mulai menyentuh pakaiannya, maka Darpati justru telah berdesis,

"Winih, pertempuran di antara kita adalah pertempuran yang tidak adil...”

"Kenapa?" bertanya Winih yang tetap berhati-hati. Ia sudah memperhitungkan bahwa Darpati ingin memecah perhatiannya. “Kau nampaknya bersungguh-sungguh ingin membunuhku!" desis Darpati.

"Jika kau menyerah, aku tidak akan membunuhmu!" Jawab Winih sambil meloncat memutar rantainya. Ketika ia kemudian menggeliat, maka rantainya itupun seakan-akan ikut menggeliat pula. Tiba-tiba saja ujung rantai itu seolah-olah terjulur lurus menusuk ke arah jantung.

Darpati dengan tergesa-gesa meloncat surut. Ujung rantai Winih memang belum berhasil menggapai sasaran. Dalam pada itu Darpati berdesis, "Winih... Sebenarnyalah jika aku ingin membunuhmu, maka kau memang sudah mati. Aku sebenarnya memang berniat untuk melakukannya. Tetapi setiap kali aku memandang wajahnya yang cantik, aku menjadi ragu-ragu. Bagaimanapun juga aku harus mengakui bahwa aku mencintaimu”

"Cukup...!" bentak Winih sambil menyerang.

Sementara Darpati pun telah bergeser lagi beberapa langkah surut. "Winih. Kenapa kita harus berdiri berseberangan? Apakah kita tidak dapat memilih jalan kita sendiri? Kita masing-masing meninggalkan landasan tempat kita berdiri. Kita menjadi orang lain sama sekali. Tidak di pihakmu, tetapi juga tidak di pihakku. Bukankah dengan demikian kita akan dapat hidup bersama tanpa dibayangi oleh rasa permusuhan...”

"Tutup mulutmu!" serangan Winih justru mengejutkan Darpati. Ternyata serangan itu tidak sempat dihindarinya dengan baik. Karena itu, maka ujung rantai Winih telah menyentuh lambung Darpati, Meskipun tidak dalam, tetapi luka itu ternyata telah menitikkan darah.

"Winih!" desis Darpati "kau bersungguh-sungguh?”

"Sebagaimana kau katakan, kau pun bersungguh-sungguh. Maka aku pun bersungguh-sungguh” jawab Winih.

"Aku memang berniat demikian Winih. Tetapi ternyata aku tidak dapat melakukannya. Kau terlalu cantik untuk dimusuhi. Dan kulitmu terlalu lembut untuk dilukai. Bagaimanapun juga aku berusaha membuat diriku sendiri membencimu, tetapi aku tidak dapat ingkar, bahwa aku ternyata tetap mencintaimu.”

"Kau jangan mengigau. Bersiaplah. Aku bersungguh-sungguh. Aku akan membunuhmu” geram Winih.

“Di hadapanmu, maka nalar dan perasaanku tidak dapat menyatu. Bahkan tiba-tiba saja aku ingin melihat kau tersenyum lagi” desis Darpati.

"Tidak. Tidak" Winih berteriak, ia tidak ingin mendengar lagi kata-kata Darpati yang dapat mengganggu perasaannya itu. Sebenarnyalah bahwa pemusatan nalar budi Winih telah terganggu. Ketika ujung pedang Darpati kemudian terjulur maka Darpati benar-benar telah mampu menembus perisai putaran rantai Winih. Terdengar Winih berdesah tertahan. Selangkah ia meloncat surut. Ternyata lengannya telah benar-benar tergores ujung pedang Darpati.

Nyi Prawara yang berdiri beberapa langkah dari arena pertempuran itu melihat dalam keremangan malam Winih tergores senjata. Karena itu, di luar sadarnya Nyi Prawara itu telah berloncatan mendekat. Demikian pula Manggada dan Laksana yang telah kehilangan lawannya, bahkan kedua ekor harimau yang ternyata masih berada di kebon di belakang rumah Kiai Gumrah itu sekali-sekali nampak hilir mudik tanpa memperdengarkan suaranya sama sekali.

Dalam pada itu, Darpati pun berdesis. "Winih. Kau terluka? Aku benar-benar tidak sengaja Winih. Aku benar-benar tidak sampai hati menyentuh kulitmu yang lembut.”

"Tidak. Jangan katakan itu!" Winih berteriak lagi.

Sementara itu Darpati melihat kesempatan terbuka. Ia memang tidak mau membunuh Winih. Ia ingin menangkapnya hidup-hidup dan menjadikannya perisai untuk meninggalkan halaman itu. Jika ia berhasil maka ia akan dapat memancing pusaka pusaka itu sebagaimana direncanakan sejak kedatangannya jika ia tidak dapat langsung mengambil pusaka-pusaka itu.

Dalam kesempatan itu, maka Darpati telah meloncat mendekati Winih sambil menjulurkan pedangnya. Ia ingin menekan tubuh Winih dengan pedang itu dan mengancamnya, sementara tangannya yang lain akan berusaha menangkap pergelangan Winih pada tangan yang memegangi senjatanya.

Kesempatan itu memang hanya diperolehnya sekejap, saat Winih dihempaskan ke dalam hentakan perasaannya sebagai seorang gadis yang tumbuh dewasa. Jika keperkasaan gadis itu kembali lagi menguasainya serta kesadaran ilmunya yang tinggi menghentaknya, maka kecil sekali harapan Darpati dapat melindungi dirinya sendiri, karena sebenarnyalah bahwa Darpati harus mengakui, bahwa sulit baginya untuk dapat mengalahkan Winih.

Dalam sekejap, perasaan Winih memang terguncang. Bagaimanapun juga ia memang pernah tertarik kepada orang yang bernama Darpati itu. Karena itu kata-katanya yang lembut seperti hembusan semilirnya angin, rasa-rasanya sempat mengasah pemusatan nalar budinya.

Namun ibunya yang berdiri semakin dekat, mendengar dan mengetahui kelicikan cara yang dipergunakan oleh Darpati yang agaknya memang sudah mempunyai pengalaman yang sangat luas dalam hubungannya dengan banyak macam perempuan. Karena itu, maka bersamaan dengan saat Darpati meloncat, Nyi Prawara berteriak, "Winih. Hati-hati...”

Winih tersentak. Tetapi Darpati telah meloncat sambil mengacukan pedangnya. Kesempatan Winih memang terlalu sempit. Yang dapat dilakukannya kemudian untuk menghindari ujung pedang yang hampir menggapai tubuhnya itu adalah dengan menjatuhkan dirinya, ia berharap bahwa lontaran tubuh Darpati yang kuat akan dapat melemparkan Darpati itu melampauinya tanpa melukainya.

Tetapi Darpati tidak menyerangnya dengan sepenuh tenaga. Darpati hanya ingin mengancamnya. Karena itu, ketika Winih menjatuhkan dirinya untuk menghindar, maka daya dorong tubuh Darpati tidak cukup melontarkan tubuhnya melewati tubuh Winih yang sudah siap melemparkannya semakin jauh dengan kedua kakinya, justru karena itu, maka tubuh Darpati itu memang telah terlempar, tetapi tidak cukup jauh. Bahkan tubuh itu telah terhempas jatuh dekat di sebelah tubuh Winih.

Tetapi tendangan kaki Winih yang mengenai perut Darpati telah membuat orang itu kesakitan. Dalam pada itu, maka hampir serentak keduanya telah berusaha untuk bangkit. Ketika Darpati sempat berdiri tegak, maka Winihlah yang justru telah mendapat kesempatan.

Dengan kecepatan yang sangat tinggi serta kemarahan yang menghentak-hentak di dadanya, Winih telah mengayunkan rantai bajanya menyerang Darpati yang baru berusaha mempersiapkan dirinya menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.

Yang terjadi kemudian ternyata telah mengejutkan orang-orang yang ada di kebun Kiai Gumrah itu. Rantai baja Winih yang diayunkannya dengan kecepatan yang tinggi serta sepenuh tenaga itu telah mengenai tubuh Darpati yang berusaha menangkis tetapi terlambat. Terdengar Darpati memekik kesakitan. Tubuhnya terdorong surut. Sebuah luka yang panjang telah menyilang di dadanya.

Sesaat ia berdiri termangu-mangu. Namun wajahnya seakan-akan telah berubah. Matanya menjadi merah menyala. Giginya gemeretak. Perlahan-lahan Darpati mengangkat pedangnya dan mengacukannya kepada Winih sambil berkata,

"Kau adalah perempuan cantik yang paling garang yang pernah aku temui. Lebih dari seratus perempuan yang pernah aku miliki. Dan sekarang kau akan menjadi satu di antara mereka. Tidak seorang pun di antara mereka yang berkesempatan memilih apa yang dapat mereka lakukan selain menjalankan segala perintahku dan memenuhi segala keinginanku sampai aku menjadi jemu dan mencampakkannya.”

Winih menjadi gemetar. Ia melihat sesosok iblis yang menjadi merah oleh darahnya sendiri. Namun selangkah demi selangkah Darpati masih bergerak maju dengan pedang yang terjulur. Jantung Winih rasa-rasanya berdetak semakin cepat. Sebagai seorang yang memiliki ilmu yang tinggi, Winih dibekali oleh ketahanan jiwani yang kokoh. Namun Winih memang belum mempunyai cukup banyak pengalaman. Karena itu, ketika ia melihat Darpati yang bersimbah darah itu melangkah mendekatinya, jiwanya seakan-akan telah terguncang.

Tetapi ia tidak mau membiarkan dirinya diterkam oleh iblis itu. Ketika sosok yang menjadi menakutkan itu mendekatinya sambil mengacukan pedangnya, maka Winih seakan-akan telah kehilangan pengendalian diri. Begitu kerasnya jiwanya terguncang, sehingga Winih seakan-akan tidak tahu lagi apa yang dilakukannya.

Winih baru sadar, ketika ia mendengar ibunya menjerit memanggil namanya. Bahkan kemudian ibunya itu telah memeluknya dari belakang dan menariknya menjauhi sosok tubuh yang kemudian terhuyung-huyung dan jatuh terjerembab di tanah.

"Winih, Winih. Hentikan!" teriak ibunya.

Winih yang masih saja gemetar bagaikan terbangun dari mimpi yang sangat buruk. Ketika ibunya kemudian mengguncang tubuhnya, maka Winih pun melihat sosok tubuh yang terbaring itu. Darpati telah terbunuh dengan luka arang keranjang. Winihlah yang kemudian menjerit tinggi. Sambil memejamkan matanya ia memeluk ibunya erat-erat seakan-akan tidak mau melepaskannya lagi.

Jerit Nyi Prawara dan Winih ternyata terdengar dari halaman di depan. Sejenak kemudian, maka beberapa orang telah berlari-larian mendekati mereka. Kiai Gumrah, Ki Prawara serta juragan gula yang semula ikut bertempur di halaman melawan orang-orang yang ternyata cukup liat dan berilmu tinggi, sehingga memerlukan waktu yang cukup lama.

“Apa yang terjadi?" bertanya Kiai Gumrah. Namun ketika ia melihat sosok tubuh yang arang keranjang serta rantai yang masih ada ditangan Winih, maka Kiai Gumrah-itu pun bertanya. "Apa yang telah kau lakukan, Winih?"

Winih masih berada di dalam pelukan ibunya. Bahkan sifat kegadisannya tiba-tiba telah muncul. Winih itu menangis terisak-isak. Sekan-akan ia ingin menyembunyikan wajahnya dari bayangan yang mengerikan itu di dada ibunya.

“Nyi, bukankah kau ada di sini?” bertanya Ki Prawara.

"Nanti aku ceriterakan apa yang terjadi. Tetapi Winih tidak dapat berbuat lain...” jawab Nyi Prawara.

Kiai Gumrah dan Ki Prawara saling berpandangan sejenak. Kemudian mereka pun melihat Manggada dan Laksana yang sudah terluka dan berdarah, berdiri termangu-mangu. Namun orang-orang yang datang kemudian itu tidak lagi melihat kedua ekor harimau itu lagi. Namun ketika mereka melihat luka-luka di tubuh ketiga orang yang terbunuh itu, maka mereka pun segera mengenali bahwa dua ekor harimau itu telah ikut campur pula.

Di antara mereka terdapat seorang yang terduduk lemas. Orang itu tidak lagi mampu berbuat sesuatu. Bahkan tidak lagi dapat melarikan dirinya. Kepada Kiai Gumrah, Nyi Prawara yang masih memeluk anaknya itu berkata, "Orang itu salah seorang dari mereka yang datang menyerang kami...”

Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Katanya "Ternyata Darpatilah yang mengatur segala-galanya. Aku sudah berbicara dengan Ki Bekel dan seorang di antara orang-orang Darpati yang dapat kami tangkap hidup-hidup”

“Apakah Ki Bekel masih ada di halaman?” bertanya Nyi Prawara.

“Semuanya masih lengkap. Memang ada orang-orang berilmu yang dapat melarikan diri. Tetapi ada yang berhasil kami tangkap!” jawab Kiai Gumrah. Lalu katanya pula. “Tetapi aku akan membawa Ki Bekel kemari. Aku akan menunjukkan kepadanya, apa yang telah terjadi di sini.”

Nyi Prawara mengangguk kecil. Namun katanya. ”Aku akan membawa Winih masuk. Biarlah Manggada dan Laksana berceritera.”

"Mereka juga terluka?" bertanya Kiai Gumrah.

"Ya. Aku akan menyiapkan obat bagi semuanya, termasuk Winih yang juga terluka.” jawab Nyi Prawara.

Nyi Prawara pun kemudian telah mengajak Winih masuk ke ruang dalam. Dihiburnya anaknya sebagaimana seorang ibu. yang dengan penuh kasih membesarkan hati anaknya yang terguncang perasaannya. Dibelainya rambutnya dan diusapnya air mata yang meleleh di pipi.

"Aku telah membunuhnya ibu. Bukan sekedar membunuh, tetapi aku telah berbuat lebih dari membunuh" desis Winih.

"Bukan salahmu, Winih. Orang itu telah membuatmu kehilangan kendali. Ia bermaksud mempengaruhi pemusatan nalar budimu karena ilmunya yang berada di bawah ilmumu. Tetapi ia benar-benar memiliki pengalaman yang sangat luas. Baik dalam, olah kanuragan, maupun dalam hubungannya dengan perempuan, sehingga ia mampu mengusik kelemahan-kelemahan yang ada pada perasaan seorang perempuan." berkata ibunya. Setelah berhenti sejenak, iapun berkata, "Tetapi perbuatannya itu justru telah menjerumuskannya ke dalam satu keadaan yang sangat pahit. Meskipun demikian, orang itu sendirilah yang bersalah, sehingga ia mendapat perlakuan yang sangat buruk.”

Winih tidak menjawab. Tetapi sikap ibunya, belaian tangannya serta kata-katanya yang lembut membuat perasaan Winih yang terguncang menjadi sedikit tenang.

Sementara itu Manggada dan Laksana telah berceritera tentang peristiwa yang mereka alami bersama Nyi Prawara dan Winih. Kemudian munculnya kedua ekor harimau yang memang sering datang justru pada saat-saat yang sangat diperlukan.

"Aku percaya bahwa kedua ekor harimau itu milik Setan Bongkok itu!" desis Kiai Gumrah.

"Ki Pandi yang kakek maksud?" bertanya Manggada.

"Ya. Orang aneh itu!" jawab Kiai Gumrah.

Manggada mengerutkan dahinya. Namun di hatinya iapun berkata, "Kakek juga seorang yang aneh.”

Seperti yang dikatakannya, maka Kiai Gumrah pun telah memanggil Ki Bekel untuk melihat apa yang terjadi di kebun belakang rumahnya. Dua orang bebahu dan beberapa orang yang lain diminta pula oleh Kiai Gumrah untuk melihat sendiri, apa yang baru saja terjadi. Mereka juga dipersilahkan untuk melihat tiga sosok tubuh yang dikoyak-koyak oleh kuku dan taring binatang buas.

"Nah, aku minta Ki Bekel berbicara dengan seorang di antara mereka yang masih hidup itu." berkata Kiai Gumrah "Agar Ki Bekel akan mendapat gambaran yang lebih jelas, apa terjadi di rumah ini!”

Sikap Ki Bekel sudah jauh berubah, ia tidak lagi menganggap Kiai Gumrah sebagai seorang penyadap legen dan pembuat gula kelapa saja. Tetapi dengan mata kepala sendiri ia melihat apa yang telah dilakukan oleh Kiai Gumrah itu, sehingga Ki Bekel tidak lagi mempunyai penilaian yang salah.

Meskipun demikian ia tetap saja merasa heran atas kedunguannya, kenapa selama ini ia menganggap bahwa Kiai Gumrah adalah seorang yang tidak berharga di padukuhannya kecuali sekedar seorang penunggu banjar lama. Demikian pula atas beberapa orang kawan Kiai Gumrah yang ternyata memiliki kemampuan yang sangat tinggi.

"Seandainya mereka tidak dapat mengendalikan diri dan memusuhi kami, maka orang-orang sepadukuhan tentu tidak akan dapat melawan mereka!” berkata Ki Bekel di dalam hatinya.

Apalagi ketika Kiai Gumrah yang berhasil menguasainya untuk menghindari benturan kekerasan, namun yang sama sekali tidak dihiraukan oleh sekelompok orang yang menghasutnya, membuatnya merasa berhutang budi. Seandainya Kiai Gumrah memang bermaksud buruk, maka ia tentu sudah mati di halaman rumah itu. Penyesalan telah memenuhi kepala Ki Bekel. Janji, upah dan suap yang diterimanya dari orang-orang itu hampir saja harus diimbali dengan nyawanya.

Beberapa saat kemudian, maka Ki Bekel, beberapa orang bebahu serta para pembuat gula itu telah membicarakan langkah-langkah yang akan mereka ambil. Yang harus mereka lakukan pertama-tama adalah menguburkan orang-orang yang terbunuh, termasuk Darpati. Tiga orang yang dikoyak-koyak harimau dan dua orang yang bertempur di halaman melawan para pembuat gula dan Ki Prawara.

"Aku mohon bantuan Ki Bekel untuk memerintahkan orang-orang yang sudah berada di halaman rumah ini" berkata Kiai Gumrah.

"Baik. Baik Kiai. Kami akan membantu apa saja yang dapat kami lakukan." jawab Ki Bekel.

Seperti yang dikatakannya, maka Ki Bekel pun kemudian minta kepada orang-orang yang datang bersamanya untuk membantu menguburkan orang-orang yang terbunuh di halaman dan di kebun Kiai Gumrah itu.

"Kita bawa sosok-sosok tubuh itu dan kita. tempatkan di banjar lama. Besok, demikian matahari terbit, maka kita akan menguburkan mereka." berkata Ki Bekel.

Demikianlah, maka setelah halaman rumah itu dibersihkan, Ki Bekel, para bebahu dan orang-orang yang mengikutinya, telah minta diri. Sebagian dari mereka akan tetap berada di banjar menunggui sosok-sosok tubuh dari korban yang jatuh di halaman rumah Kiai Gumrah itu.

Sebelum meninggalkan halaman rumah Kiai Gumrah, Ki Bekel mewakili orang-orang yang datang bersamanya telah minta maaf yang sebesar-besarnya kepada Kiai Gumrah.

"Kami telah salah memilih langkah..." berkata Ki Bekel.

"Tidak..." jawab Kiai Gumrah “Ki Bekel tidak salah pilih”

"Maksud Kiai?" bertanya Ki Bekel.

"Ki Bekel sudah tahu bahwa jalan yang Ki Bekel pilih itu tidak wajar. Ki Bekel tahu bahwa Ki Bekel telah dihasut, diberi janji-janji, bahkan suap. Tetapi Ki Bekel tetap saja melakukannya. Bukankah itu satu kesengajaan? Satu penyalah-gunaan kedudukan yang Ki Bekel emban?"

Ki Bekel tidak dapat menjawab. Ia hanya dapat menundukkan kepalanya. Namun kemudian terdengar ia berdesis "Ya Kiai. Sekali lagi kami mohon maaf.”

"Baiklah. Setiap orang dapat melakukan kesalahan Tetapi hendaknya kita tidak selalu mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama, justru yang pernah kita akui sebagai satu kesalahan” berkata Kiai Gumrah.

Ki Bekel hanya dapat berdesis "Ya Kiai...”

"Sekarang, jika Ki Bekel ingin pulang, silahkan. Tetapi besok aku serahkan segala sesuatunya tentang sosok-sosok tubuh itu kepada Ki Bekel.” berkata Kiai Gumrah kemudian.

"Baik, Kiai. Baik. Aku akan mengurusnya...!”

Kiai Gumrah tidak berbicara lagi. Sementara itu Ki Bekel pun telah minta diri dan meninggalkan halaman rumah itu. Sementara itu, beberapa orang di antara mereka telah mengurus dan memindahkan sosok-sosok tubuh itu ke banjar.

Sementara itu, Nyi Prawara telah menyiapkan obat-obatan buat mereka yang terluka. Selain penghuni rumah itu, Nyi Prawara juga menyiapkan obat bagi orang yang telah dikalahkannya dan seorang lagi yang tertangkap di halaman depan. Orang itu juga telah terluka, sehingga tidak sempat melarikan diri sebagaimana beberapa orang kawan mereka.

Dari keduanya Kiai Gumrah dan orang-orang yang ada di rumah itu mendengar, apa yang telah dilakukan oleh Darpati sepengetahuan Kiai Windu Kencana. Darpati memang mendapat kesempatan untuk mencoba mengambil pusaka-pusaka itu dengan caranya. Namun ternyata cara itu telah gagal.

Dalam pada itu, hampir semalam suntuk Nyi Prawara telah mengobati orang-orang yang terluka. Manggada dan Laksana yang tidak terlalu parah lukanya, telah duduk di dapur sambil menunggui perapian. Mereka telah merebus air untuk membuat minuman bagi mereka yang telah bekerja keras, termasuk kawan-kawan Kiai Gumrah. Meskipun demikian, Nyi Prawara juga berpesan kepada keduanya agar mereka tidak bergerak terlalu banyak.

"Jika air telah mendidih, beritahu aku..." berkata Nyi Prawara sambil mengobati bekas lawannya yang dilukainya dengan ujung rantainya serta seorang lagi di antara orang-orang yang datang menyerang, yang bertempur di halaman depan.

Peristiwa itu telah mendorong Kiai Gumrah dan kawan-kawannya untuk mengambil tindakan yang lebih jelas. Dengan nada tinggi juragan gula itu berkata, "Kita tidak dapat hanya sekedar menunggu sekarang ini. Permusuhan di antara kita dengan mereka sudah semakin terbuka. Jika. kita sekedar menunggu, maka pada suatu saat kita akan dapat lengah sehingga kita benar-benar akan dapat mereka hancurkan”

Kiai Gumrah mengangguk-angguk Sementara seorang di antara kawan-kawan Kiai Gumrah itu berkata, "Kita, sudah tahu sarang mereka. Apalagi kesulitan kita jika kita akan menyerang?"

Kiai Gumrah. menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya. "Kita belum dapat menggambarkan kekuatan mereka. Menurut perhitunganku, saat ini orang yang disebut Panembahan itu telah berada di antara mereka.”

Juragan gula itupun kemudian berkata. "Kita memang harus membicarakannya dengan bersungguh-sungguh. Tetapi segala-galanya bukan lagi rahasia sekarang. Kita sudah cukup lama berpura-pura, sementara mereka masih saja memburu kita sampai sekarang. Padahal kita merasa yakin bahwa kita tidak bersalah. Apa yang kita lakukan sesuai dengan garis yang telah ditentukan oleh perguruan kita.”

“Kita memang sudah pasti sekarang. Nama-nama Windu Kusuma dan orang-orang yang bekerja bersamanya, orang yang disebut Panembahan dan orang-orang yang lain lagi, adalah orang-orang yang telah bekerja bersama dengan pengkhianat itu.” berkata salah seorang kawan Kiai Gumrah yang lain.

"Baiklah" berkata Kiai Gumrah, "kita memang harus membicarakannya dengan bersungguh-sungguh. Kawan kita akan memastikan sasaran yang harus kita tuju. Kita memang tidak akan menunggu Kiai Windu Kusuma dan Sang Panembahan itu datang kemari. Menurut keterangan seorang di antara mereka yang berbaik hati menghubungi kita, maka sebelum purnama, pusaka-pusaka itu sudah harus berada ditangannya. Bahkan harus sudah menyentuh jantung segar seseorang agar tuahnya tidak akan berkurang.”

"Satu senjata yang mengerikan. Itu adalah sekedar perlambang bahwa Panembahan itu akan menghabisi kita semuanya dengan tombak kita sendiri” berkata juragan gula itu.

"Tetapi Panembahan yang agaknya adalah Panembahan itu juga, benar-benar telah membasahi kerisnya dengan darah gadis-gadis. Agaknya ia benar-benar percaya justru karena ilmu hitamnya, bahwa hal yang demikian itu dapat memberikan arti bagi pusaka-pusakanya.”

Kawan-kawan Kiai Gumrah itu mengangguk-angguk. Agaknya Panembahan itu memang percaya bahwa dengan menusukkan ujung tombak itu pada jantung segar di dalam diri seseorang, maka pusaka-pusaka itu akan menjadi semakin bertuah. Sementara itu, selama pusaka-pusaka itu disimpan oleh Kiai Gumrah, maka hal seperti itu sama sekali tidak pernah dilakukannya. Bahkan terpikir pun tidak.

Karena itu, maka Kiai Gumrah itupun berkata, "Baiklah. Kita memang harus membicarakannya dengan sungguh-sungguh. Kita akan datang kepada mereka. Semakin cepat semakin baik. Kita atau merekalah yang akan hancur.”

Tetapi Kiai Gumrah minta agar kawan-kawan mereka tidak meninggalkan rumahnya untuk sementara. Dengan nada berat ia berkata, "Sejak sekarang kita tidak akan ragu-ragu mempergunakan isyarat. Kentongan misalnya.”

"Jika demikian kenapa kita tidak dapat meninggalkan rumahmu ini?" bertanya seseorang.

"Aku dan satu dua orang di antara kalian akan ikut pergi ke kuburan jika orang-orang padukuhan nanti menguburkan orang-orang yang terbunuh itu” berkata Kiai Gumrah.

"Untuk apa?" bertanya seorang yang lain.

"Kita harus mampu membuat permainan yang dapat mengimbangi permainan mereka” jawab Kiai Gumrah.

"Maksudmu?" bertanya seorang kawannya.

"Berapa orang lawan yang terbunuh di rumah ini?” desis Kiai Gumrah.

"Empat orang di belakang, termasuk Darpati dan dua di halaman depan" sahut juragan gula itu.

"Enam orang!" desis Kiai Gumrah. Lalu katanya "Jika demikian maka kuburan itu harus berjumlah delapan.”

"Kenapa?" bertanya salah seorang kawannya yang lain "Apakah kita akan mengubur kedua orang lain hidup-hidup?"

Kiai Gumrah tersenyum. Beberapa orang-kawannya termangu-mangu. Namun seorang demi seorang kemudian mulai memahami. Ki Prawara pun kemudian mengangguk-angguk pula.

Demikianlah, seperti yang direncanakan, maka ketika matahari mulai memanjat langit, maka orang-orang padukuhan itu dipimpin langsung oleh Ki Bekel telah mengusung beberapa sosok tubuh yang terbaring di banjar lama. Mereka dibawa kekuburan tua untuk dikuburkan. Enam gundukan tanah berjajar di tempat yang agak terpisah.

Kiai Gumrah, juragan gula dan seorang kawannya ada di antara mereka yang membawa tubuh-tubuh yang sudah membeku itu. Maka seperti yang direncanakan, setelah orang-orang padukuhan itu meninggalkan kuburan, Kiai Gumrah dan kedua kawannya telah membuat dua gundukan tanah di sebelah gundukan yang berjajar itu. Dengan demikian, maka dua gundukan tanah itu memang menyerupai benar kuburan-kuburan baru yang lain.

Baru setelah Kiai Gumrah dan kedua kawannya kembali, maka. orang-orang yang berkumpul di rumah Kiai Gumrah itu minta diri untuk kembali ke rumah mereka masing-masing.

"Kita sekarang tidak usah merasa segan untuk membunyikan isyarat dengan kentongan." berkata juragan gula itu.

“Ya” jawab Kiai Gumrah "Kita dapat membuat persetujuan, bunyi isyarat yang harus kita bunyikan dalam keadaan tertentu, tetapi tidak mengacaukan tanda-tanda atau-isyarat yang sudah terbiasa dipergunakan di dalam tatahan kehidupan di padukuhan ini.”

Demikianlah, Kiai Gumrah dan kawan-kawannya yang dalam kehidupan mereka sehari-hari pada umumnya menjadi penyadap legen kelapa serta membuatnya menjadi gula, tidak lagi berusaha membuat tirai yang dapat menyembunyikan kenyataan mereka. Justru keadaan telah menyudutkan mereka untuk menyatakan diri, siapakah sebenarnya mereka itu. Usaha mereka untuk dapat hidup tenang sebagaimana para petani di padukuhan itu, ternyata telah dikacaukan oleh perbuatan yang tidak bertanggung jawab.

Dalam pada itu, Kiai Gumrah dan kawan-kawannya sepakat untuk membiarkan kedua orang yang terluka itu berada di rumah Kiai Gumrah. Mereka harus mendapat pengobatan yang baik, namun juga pengawasan yang saksama, karena mereka tidak boleh terlepas dari tangan mereka. Karena itu, maka dengan terpaksa sekali Kiai Gumrah harus mengikat tangan mereka selama mereka berbaring di pembaringan, meskipun ikatannya cukup longgar.

"Maaf Ki Sanak!" berkata Kiai Gumrah "Kami tidak dapat berbuat lain.”

Kedua orang itu tidak menjawab. Namun mereka mengerti, bahwa yang dilakukan terhadap keduanya itu adalah wajar sebagaimana sikap mereka yang sedang bermusuhan. Bahkan keduanya tidak mengalami perlakuan yang buruk, itupun sudah merupakan satu kelebihan tersendiri.

Sementara itu, maka keluarga Kiai Gumrah. yang menjadi semakin besar itupun telah membagi tugas mengawasi orang-orang yang menjadi tawanan, mereka dan yang tangannya terikat pada tiang di pembaringan mereka.

Demikianlah maka, kegagalan rencana Darpati untuk mengambil pusaka-pusaka yang tersimpan di rumah Kiai Gumrah, atau mengambil Winih yang akan dapat dipertukarkan dengan pusaka-pusaka itu telah mendapat perhatian tersendiri dari para pengikut Kiai Windu Kusuma. Ketika beberapa orang datang memberitahukan kegagalan itu, serta kegagalan mereka memanfaatkan orang-orang sepadukuhan, maka Kiai Windu Kusuma menyadari, bahwa mereka harus mengambil jalan lain.

Namun timbul kecemasan di antara para pengikut Kiai Windu Kusuma, bahwa ada di antara orang-orang yang tertangkap hidup-hidup sehingga mereka akan dapat memberikan beberapa keterangan kepada Kiai Gumrah. Karena sebenarnyalah mereka mengetahui, bahwa Kiai Gumrah bukan sekedar penyadap legen kelapa dan pembuat gula. Yang tersebar di padukuhan itu, sebenarnyalah murid-murid dari satu perguruan yang besar.

"Kita harus yakin, bahwa tidak ada orang yang tertangkap hidup-hidup" berkata Kiai Windu Kusuma.

Maka Kiai Windu Kusuma itupun telah memerintahkan orang-orangnya untuk menyelidiki kemungkinan itu.

"Kita dapat mencari sumber keterangan dari orang-orang padukuhan itu. Tentu ada di antara mereka yang membantu melakukan penguburan." berkata Kiai Windu Kusuma.

Namun seorang yang lain berkata, "Kenapa kita harus mengambil langkah yang berbahaya? Orang-orang padukuhan itu sekarang tentu menjadi sangat curiga terhadap orang yang tidak mereka kenal”

"Tetapi kita harus tahu pasti nasib orang-orang kita yang tidak, kembali...” jawab Kiai Windu Kusuma. "Semua ada delapan orang termasuk Darpati sendiri.”

"Bukankah ada jalan yang lebih mudah. Kita pergi ke kuburan itu. Kita hitung, ada berapa kuburan baru yang ada. Orang-orang kita yang terbunuh itu tentu dikubur menjadi satu. Seandainya ada orang-orang padukuhan itu yang terbunuh, maka tubuh mereka tentu akan dikubur ditempat yang terpisah, karena mereka tentu akan membedakan, kuburan pahlawan-pahlawan mereka dengan tubuh-tubuh dari orang-orang yang mereka anggap orang-orang jahat. Apalagi setelah Ki Bekel dan orang-orang padukuhan itu berubah pikiran.”

Kiai Windu Kusuma itupun mengangguk-angguk. Katanya, "Bagus. Perintahkan satu dua untuk melihat ke kuburan itu.”

Demikianlah, maka dua orang di antara para pengikut Kiai Windu Kusuma itu telah melihat kuburan yang diketahuinya sebagai tempat untuk mengubur korban yang jatuh dalam pertempuran semalam. Dua ekor burung elang sempat melihat iring-iringan penguburan itu, sehingga dua orang pengikut Kiai Windu Kusuma itu segera mengetahui kuburan yang dicarinya karena kedua ekor elang itu terbang berputaran di atasnya.

Ketika kuburan itu sudah menjadi sepi, maka dua orang pengikut Kiai Windu Kusuma itupun telah masuk ke dalamnya untuk menghitung, berapa orang yang dikuburkan oleh orang-orang padukuhan.

"Delapan...!" desis salah seorang daripadanya.

Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Katanya. “Kita sudah terlalu banyak memberikan korban. Tetapi persoalannya masih belum selesai. Pusaka-pusaka yang dikehendaki oleh Panembahan itu belum dapat kita kuasai...”

"Tetapi bahwa kedelapan orang termasuk Darpati itu ternyata sudah mati semua adalah lebih baik daripada ada di antara mereka yang tertangkap hidup. Yang tertangkap hidup itu, akan dapat memberikan banyak, keterangan kepada Kiai Gumrah dan kawan-kawannya.” Berkata orang yang pertama.

Kawannya mengangguk-angguk. Katanya "Ya. Memang lebih baik jika semuanya mati. Kita tidak mencemaskan lagi, apa saja yang akan diceriterakan kepada orang-orang yang menangkapnya. Betapapun ketahanan jiwani seseorang, namun jika dipaksa dengan kekerasan, maka biasanya mulutnya akan terbuka pula...”

"Nampaknya Kiai Gumrah dan kawan-kawannya juga sudah mulai kehilangan kesabaran. Delapan orang kawan kita dibunuhnya!”

"Kita tentu dapat mengerti, kenapa mereka berbuat demikian. Apalagi menghadapi orang-orang dalam kelompok-kelompok baru di lingkungan kita. Mereka lebih keras dari orang-orang lama seperti kita ini”

"Tetapi Darpati sudah mati. Ia terlalu yakin akan kemampuannya. Aku dengar Kundala pernah memperingatkannya!”

"Kundala sekarang sudah tidak banyak berarti lagi bagi para pemimpin kita!”

Keduanya pun kemudian telah meninggalkan kuburan itu. Mereka yakin, bahwa semua orang yang tidak sempat meloloskan diri dari halaman rumah Kiai Gumrah telah terbunuh. Namun dengan demikian, maka para pengikut Kiai Windu Kusuma tidak mempersoalkannya lagi.

Demikian keduanya meninggalkan kuburan, maka seseorang telah muncul dari balik gerumbul. Orang itu adalah salah seorang kawan Kiai Gumrah yang ingin meyakinkan, apakah perhitungan Kiai Gumrah itu benar.

Ternyata bahwa Kiai Windu Kusuma benar-benar telah memerintahkan orangnya untuk menghitung jumlah kuburan baru di tempat yang agak terpisah dari yang lain. Dengan demikian, maka orang itupun yakin pula, bahwa Kiai Windu Kusuma menganggap bahwa semua orangnya yang hilang itu telah terbunuh....

Selanjutnya,
Sang Penerus Bagian 16

Sang Penerus Bagian 15

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
MESKIPUN kedua lawan Nyi Prawara itu bersenjata parang yang panjang dan besar, namun putaran rantai itu merupakan perisai yang sangat rapat bagi Nyi Prawara.

Sementara itu, Darpati masih saja berusaha untuk mempengaruhi perasaan Winih. Ia masih saja berterik aba-aba kepada kedua orang kawannya yang bertempur melawan Manggada dan Laksana, Bahkan kemudian iapun berteriak pula "Jika perempuan itu tidak mau menyerah sehingga kalian tidak dapat menawannya hidup-hidup, maka iapun pantas dibunuh”

“Jika demikian, maka tugas kami menjadi lebih ringan..." teriak salah seorang di antara kedua orang yang bertempur melawan Nyi Prawara itu.

Tetapi demikian mulutnya terkatup, maka ia harus mengaduh tertahan. Ternyata ujung rantai Nyi Prawara telah menyambarnya. Dengan tergesa-gesa orang itu bergeser ke samping untuk menghindar. Namun ujung rantai itu masih juga menyentuh lengan orang itu sehingga terluka. Orang itu mengumpat kasar dan kotor sehingga telinga Nyi Prawara menjadi panas.

“Kita sedang bertempur. Bukan mengumpat-umpat. Apalagi dengan kata-kata kotor dan kasar" berkata Nyi Prawara dengan lantang.

Tetapi lawannya justru mengetahui, bahwa kata-kata kotor dan kasar itu dapat mempengaruhi perasaan Nyi Prawara. Karena itu, maka orang itu justru mengulangi lagi. Mengumpat dengan kata-kata yang bahkan lebih kotor dan kasar.

Telinga Nyi Prawara terasa bagaikan disentuh bara. Kata-kata itu sangat menyakitkan hatinya sebagai seorang perempuan. Apalagi didengar pula oleh anak gadisnya yang sudah dewasa.

Namun berbeda dengan perhitungan lawannya. Mereka menganggap bahwa Nyi Prawara akan menjadi bingung dan tidak dapat memusatkan nalar budinya menghadapi kedua orang lawannya. Tetapi Nyi Prawara justru berbuat sebaliknya. Ia justru mengerahkan segenap kemampuannya dengan pemusatan nalar budinya untuk berusaha membungkam mulut orang yang berteriak-teriak dengan kata-kata kotor dan kasar itu.

Tetapi ternyata kemampuan Nyi Prawara memang tidak cukup tinggi untuk mengalahkah kedua orang lawannya. Sehingga dengan demikian, maka beberapa saat kemudian, Nyi Prawara memang hanya dapat bertahan sambil menanti pertolongan suami dan ayah mertuanya yang bertempur di halaman depan.

Dalam pada itu keadaan Manggada dan Laksana menjadi semakin sulit. Bahu Manggada telah terluka. Demikian pula lambung Laksana. Meskipun lukanya tidak terlalu dalam, tetapi darah sudah mengalir dari luka-luka itu.

"Sudah tiba saatnya kami mengakhiri pertempuran yang menjemukan ini" berkata lawan Laksana “kalian sudah mendapat kesempatan untuk memperpanjang hidup kalian beberapa saat. Sekarang, maka bersiaplah untuk mati.”

Manggada dan Laksana memang menjadi gelisah. Pedang mereka segera teracu ke arah lawan-lawan mereka yang nampaknya benar-benar akan segera mengakhiri pertempuran itu.

Namun sekali lagi yang tidak terduga itu terjadi. Tiba-tiba saja tanpa terdengar desah langkah kakinya, dua ekor Harimau yang sudah merunduk itupun meloncat Keluar dari persembunyiannya menyerang kedua orang lawan Manggada dan Laksana.

Kedua orang itu terkejut. Tetapi mereka tidak mempunyai banyak waktu. Mereka pun dengan serta merta telah berloncatan mengambil jarak dari Manggada dan Laksana untuk menghadapi kedua ekor harimau itu.

Namun Manggada dan Laksana yang seakan-akan telah mengenal kedua ekor harimau itu tidak melepaskan lawan-lawan mereka. Meskipun mereka juga terkejut, namun mereka pun segera mampu mengendalikan dirinya. Bahkan mereka pun segera menempatkan diri bertempur bersama kedua ekor harimau yang seakan-akan menguasai olah kanuragan itu.

Kedua orang lawan Manggada dan Laksana itu menjadi sangat gelisah. Ketika mereka hampir sampai pada saat-saat terakhir untuk menyelesaikan kedua anak muda itu, maka dua ekor harimau telah muncul dengan tiba-tiba.

Dengan demikian, maka pertempuran pun menjadi semakin sengit. Kedua orang kawan Darpati itu sudah mengetahui bahwa ada dua ekor harimau, yang kadang-kadang ikut campur, jika terjadi pertempuran. Ada di antara kawan mereka yang pernah terbunuh di halaman rumah Kiai Gumrah itu.

Tetapi yang lain mati di dekat air terjun kecil justru di saat mereka berusaha menjebak Manggada dan Laksana. Sehingga dengan demikian maka kehadiran kedua ekor harimau itu benar-benar telah menggelisahkan kedua orang itu.

Sementara itu, Manggada dan Laksana ternyata masih juga terus menyerang mereka. Pada saat-saat mereka bertempur melawan kedua ekor harimau itu, maka Manggada dan Laksana justru ikut menyerang mereka pula.

Ternyata kedua ekor harimau itu seakan-akan mampu menyesuaikan diri dengan serangan-serangan Manggada serta Laksana. Kedua ekor harimau itu tidak sebagaimana kebanyakan harimau, merunduk dan kemudian meloncat menerkam sasarannya. Tetapi kedua ekor harimau itu justru mendekati lawannya, menyerang dengan kedua kaki depannya yang-berkuku tajam. Bahkan gigi serta taringnya yang tajam siap pula mengoyak kulit lawannya.

Jika kedua orang yang diserangnya itu sempat mengayunkan atau menusukkan pedang, maka harimau itu bergeser surut. Namun dalam pada itu, Manggada dan Laksanalah yang mendapat kesempatan untuk menyerang.

Demikianlah, maka yang terjadi adalah sebagaimana yang pernah terjadi di pancuran itu. Kedua orang lawan Manggada dan Laksana itu tidak banyak mempunyai kesempatan. Beberapa kali keduanya berteriak memanggil Darpati. Tetapi ternyata Darpati tidak dapat berbuat banyak. Winih, gadis yang ingin diculiknya itu ternyata adalah seorang gadis yang berilmu tinggi pada usianya yang baru menginjak dewasa.

Kedua orang yang bertempur melawan Nyi Prawara pun menjadi gelisah. Mereka memang mendengar harimau itu menggeram. Apalagi kedua orang kawannya memang berteriak-teriak tentang kedua ekor harimau itu. Tetapi keduanya masih terikat dalam pertempuran melawan Nyi Prawara.

Namun teriakan-teriakan kawannya yang telah mulai dilukai oleh kuku-kuku harimau serta senjata Manggada dan Laksana itu, telah menggelitik kedua orang itu. Karena itu, maka salah seorang dari mereka pun telah meninggalkan Nyi Prawara untuk melihat keadaan kedua orang kawannya.

Tetapi usaha itu sama sekali tidak menolong. Seorang yang harus bertempur melawan Nyi Prawara itupun telah mengalami kesulitan pula. Rantai Nyi Prawara telah menyentuh tubuhnya lagi. Bahkan hampir saja mata orang itu dipatuk oleh ujung rantai Nyi Prawara yang menjadi semakin garang.

Darpati menyadari bahwa keadaannya serta kawan-kawannya menjadi semakin sulit. Karena itu, maka Darpati tidak dapat berpegang pada keinginannya saja. Ia harus menentukan sikap dalam keadaan yang sulit itu. Karena itu, maka niatnya untuk mengambil Winih dalam keadaan yang utuh pun telah ditinggalkannya.

Ternyata Winih bukan lagi sebuah golek kencana yang manis, yang hanya mampu tersenyum luruh dalam keadaan apapun serta diperlukan bagaimanapun. Juga bukan sekuntum kembang melati yang putih bersih dengan baunya yang wangi. Tetapi Winih adalah sekuntum kembang mawar yang meskipun semerbak tetapi berduri tajam.

Karena itu, maka Darpati pun telah menarik senjatanya. Sehelai pedang yang berkilat-kilat memantulkan cahaya oncor di serambi rumah Kiai Gumrah.

“Aku memang harus bersungguh-sungguh Winih!” geram Darpati “Kau sama sekali bukan lagi gadis yang menarik buatku. Bagiku sekarang, kau tidak lebih dari sesosok peri yang cantik, berbau wangi, tetapi pada suatu saat akan dapat menghisap darahku sampai kering”

“Bukan pada suatu saat Darpati. Tetapi sekarang!" jawah Winih yang juga mengurai senjatanya. Seperti senjata ibunya. Seutas rantai baja putih yang mengkilap. "Jangan menyesali diri Darpati" desis Winih "kawan-kawanmu akan mati. Harimau-harimau itu ternyata memiliki kepandaian yang lebih dari sejenisnya. Mereka seakan-akan mengerti, kapan mereka harus mengaum menggetarkan jantung, dan kapan mereka harus menyerang dengan diam-diam. Tetapi jangan menangisi kematian kawan-kawanmu itu”

Darpati memang menjadi semakin garang. Dengan ilmu pedangnya yang tinggi, ia menyerang Winih dengan cepat. Pedangnya berputaran terayun, mematuk dan menebas dengan cepatnya. Sehelai pedang Darpati itu seakan-akan telah berubah menjadi beberapa helai pedang yang tajam berkilauan.

Tetapi rantai Winih yang berputaran itu bagaikan kabut putih yang melindungi seluruh tubuhnya, sehingga berapapun banyak ujung pedang yang menyerang dari segala arah, akan membentur perisai kabut yang putih itu.

Demikianlah maka pertempuran di antara keduanya menjadi semakin sengit. Beberapa kali terdengar benturan antara daun pedang Darpati dengan rantai baja Winih, sehipgga bunga api pun nampak berhamburan.

Sementara itu, ketiga orang yang bertempur melawan Manggada dan Laksana benar-benar tidak dapat tertolong lagi. Kedua ekor harimau itu dengan garangnya telah mengoyak kulit mereka dengari kuku-kukunya yang tajam. Sementara itu, seorang di antara ketiganya yang berusaha melarikan diri, justru telah diterkam oleh salah satu dari antara kedua ekor harimau itu di punggungnya. Agaknya harimau itu tidak memperhitungkan apakah ia menyerang dari depan atau dari belakang. Sementara itu dua orang yang lain pun telah terkapar tanpa dapat bergerak lagi.

Dalam pada itu, lawan Nyi Prawara itupun tidak lagi dapat mengimbangi kemampuan perempuan yang semula tidak diperhitungkan itu. Setelah seorang kawannya berusaha membantu kedua lawan Mangagada dan Laksana, maka orang itupun segera mengalami kesulitan. Serangan-serangan Nyi Prawara datang membadai.

Rantai bajanya seakan-akan mempunyai mata di ujungnya. Kemana pun ia menghindar, maka ujung rantai itu rasa-rasanya selalu memburunya, Sehingga setiap kali terasa ujung rantai itu menyengat tubuhnya, sehingga luka-luka pun telah hinggap pula di mana-mana di tubuhnya.

Akhirnya orang itu tidak mampu lagi bertahan. Tubuhnya menjadi semakin lemah, sementara darahnya menjadi semakin banyak mengalir.

Nyi Prawara yang melihat lawannya tidak berdaya lagi, telah menghentikan serangan-serangannya. Sambil melipat rantainya ia bertanya "Apakah kau masih akan melawan?"

"Tidak!" suara itu bergetar. Kekuatannya seakan-akan telah terhisap habis.

“Pengecut kau!" teriak Darpati yang mendengar suaranya “Jika kau menyerah, maka akulah nanti yang akan membunuhmu!”

Tetapi Winihlah yang menyahut “Kau tidak akan dapat membunuhnya, Darpati. Kita masih belum tahu, siapa di antara kita yang akan menang!”

Darpati menggeram. Namun rantai baja Winih hampir saja menyambar keningnya. Dengan demikian, maka pertempuran pun telah berakhir kecuali antara Darpati dan Winih. Ketiga orang yang bertempur melawan Manggada dan Laksana telah terbunuh dengan luka luka yang segera dapat diketahui bahwa luka itu bukan luka oleh ujung-ujung pedang Manggada dan Laksana. Seorang lagi yang ditinggalkan kawannya bertempur melawan Nyi Prawara telah menjadi tidak berdaya.

Sementara itu Darpati tidak dapat mengingkari kenyataan. Tetapi iapun merasa bahwa ia tidak mungkin dapat melarikan diri. Dua ekor harimau yang masih berkeliaran di halaman itu tentu akan membantu mengejarnya.

Karena itu, maka satu-satunya cara yang dapat ditempuh adalah menangkap Winih dan mempergunakannya sebagai perisai untuk keluar dari halaman rumah itu. Tetapi untuk mengalahkan Winih itupun masih merupakan teka-teki baginya, apakah ia dapat melakukannya.

Tetapi Darpati adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi dan pengalaman yang luas. Bagaimanapun juga ia mempunyai cara-cara yang licik untuk mempengaruhi lawannya. Ketika rantai baja Winih rasa-rasanya semakin berbahaya baginya, bahkan rasa-rasanya ujung-ujung rantai itu sudah mulai menyentuh pakaiannya, maka Darpati justru telah berdesis,

"Winih, pertempuran di antara kita adalah pertempuran yang tidak adil...”

"Kenapa?" bertanya Winih yang tetap berhati-hati. Ia sudah memperhitungkan bahwa Darpati ingin memecah perhatiannya. “Kau nampaknya bersungguh-sungguh ingin membunuhku!" desis Darpati.

"Jika kau menyerah, aku tidak akan membunuhmu!" Jawab Winih sambil meloncat memutar rantainya. Ketika ia kemudian menggeliat, maka rantainya itupun seakan-akan ikut menggeliat pula. Tiba-tiba saja ujung rantai itu seolah-olah terjulur lurus menusuk ke arah jantung.

Darpati dengan tergesa-gesa meloncat surut. Ujung rantai Winih memang belum berhasil menggapai sasaran. Dalam pada itu Darpati berdesis, "Winih... Sebenarnyalah jika aku ingin membunuhmu, maka kau memang sudah mati. Aku sebenarnya memang berniat untuk melakukannya. Tetapi setiap kali aku memandang wajahnya yang cantik, aku menjadi ragu-ragu. Bagaimanapun juga aku harus mengakui bahwa aku mencintaimu”

"Cukup...!" bentak Winih sambil menyerang.

Sementara Darpati pun telah bergeser lagi beberapa langkah surut. "Winih. Kenapa kita harus berdiri berseberangan? Apakah kita tidak dapat memilih jalan kita sendiri? Kita masing-masing meninggalkan landasan tempat kita berdiri. Kita menjadi orang lain sama sekali. Tidak di pihakmu, tetapi juga tidak di pihakku. Bukankah dengan demikian kita akan dapat hidup bersama tanpa dibayangi oleh rasa permusuhan...”

"Tutup mulutmu!" serangan Winih justru mengejutkan Darpati. Ternyata serangan itu tidak sempat dihindarinya dengan baik. Karena itu, maka ujung rantai Winih telah menyentuh lambung Darpati, Meskipun tidak dalam, tetapi luka itu ternyata telah menitikkan darah.

"Winih!" desis Darpati "kau bersungguh-sungguh?”

"Sebagaimana kau katakan, kau pun bersungguh-sungguh. Maka aku pun bersungguh-sungguh” jawab Winih.

"Aku memang berniat demikian Winih. Tetapi ternyata aku tidak dapat melakukannya. Kau terlalu cantik untuk dimusuhi. Dan kulitmu terlalu lembut untuk dilukai. Bagaimanapun juga aku berusaha membuat diriku sendiri membencimu, tetapi aku tidak dapat ingkar, bahwa aku ternyata tetap mencintaimu.”

"Kau jangan mengigau. Bersiaplah. Aku bersungguh-sungguh. Aku akan membunuhmu” geram Winih.

“Di hadapanmu, maka nalar dan perasaanku tidak dapat menyatu. Bahkan tiba-tiba saja aku ingin melihat kau tersenyum lagi” desis Darpati.

"Tidak. Tidak" Winih berteriak, ia tidak ingin mendengar lagi kata-kata Darpati yang dapat mengganggu perasaannya itu. Sebenarnyalah bahwa pemusatan nalar budi Winih telah terganggu. Ketika ujung pedang Darpati kemudian terjulur maka Darpati benar-benar telah mampu menembus perisai putaran rantai Winih. Terdengar Winih berdesah tertahan. Selangkah ia meloncat surut. Ternyata lengannya telah benar-benar tergores ujung pedang Darpati.

Nyi Prawara yang berdiri beberapa langkah dari arena pertempuran itu melihat dalam keremangan malam Winih tergores senjata. Karena itu, di luar sadarnya Nyi Prawara itu telah berloncatan mendekat. Demikian pula Manggada dan Laksana yang telah kehilangan lawannya, bahkan kedua ekor harimau yang ternyata masih berada di kebon di belakang rumah Kiai Gumrah itu sekali-sekali nampak hilir mudik tanpa memperdengarkan suaranya sama sekali.

Dalam pada itu, Darpati pun berdesis. "Winih. Kau terluka? Aku benar-benar tidak sengaja Winih. Aku benar-benar tidak sampai hati menyentuh kulitmu yang lembut.”

"Tidak. Jangan katakan itu!" Winih berteriak lagi.

Sementara itu Darpati melihat kesempatan terbuka. Ia memang tidak mau membunuh Winih. Ia ingin menangkapnya hidup-hidup dan menjadikannya perisai untuk meninggalkan halaman itu. Jika ia berhasil maka ia akan dapat memancing pusaka pusaka itu sebagaimana direncanakan sejak kedatangannya jika ia tidak dapat langsung mengambil pusaka-pusaka itu.

Dalam kesempatan itu, maka Darpati telah meloncat mendekati Winih sambil menjulurkan pedangnya. Ia ingin menekan tubuh Winih dengan pedang itu dan mengancamnya, sementara tangannya yang lain akan berusaha menangkap pergelangan Winih pada tangan yang memegangi senjatanya.

Kesempatan itu memang hanya diperolehnya sekejap, saat Winih dihempaskan ke dalam hentakan perasaannya sebagai seorang gadis yang tumbuh dewasa. Jika keperkasaan gadis itu kembali lagi menguasainya serta kesadaran ilmunya yang tinggi menghentaknya, maka kecil sekali harapan Darpati dapat melindungi dirinya sendiri, karena sebenarnyalah bahwa Darpati harus mengakui, bahwa sulit baginya untuk dapat mengalahkan Winih.

Dalam sekejap, perasaan Winih memang terguncang. Bagaimanapun juga ia memang pernah tertarik kepada orang yang bernama Darpati itu. Karena itu kata-katanya yang lembut seperti hembusan semilirnya angin, rasa-rasanya sempat mengasah pemusatan nalar budinya.

Namun ibunya yang berdiri semakin dekat, mendengar dan mengetahui kelicikan cara yang dipergunakan oleh Darpati yang agaknya memang sudah mempunyai pengalaman yang sangat luas dalam hubungannya dengan banyak macam perempuan. Karena itu, maka bersamaan dengan saat Darpati meloncat, Nyi Prawara berteriak, "Winih. Hati-hati...”

Winih tersentak. Tetapi Darpati telah meloncat sambil mengacukan pedangnya. Kesempatan Winih memang terlalu sempit. Yang dapat dilakukannya kemudian untuk menghindari ujung pedang yang hampir menggapai tubuhnya itu adalah dengan menjatuhkan dirinya, ia berharap bahwa lontaran tubuh Darpati yang kuat akan dapat melemparkan Darpati itu melampauinya tanpa melukainya.

Tetapi Darpati tidak menyerangnya dengan sepenuh tenaga. Darpati hanya ingin mengancamnya. Karena itu, ketika Winih menjatuhkan dirinya untuk menghindar, maka daya dorong tubuh Darpati tidak cukup melontarkan tubuhnya melewati tubuh Winih yang sudah siap melemparkannya semakin jauh dengan kedua kakinya, justru karena itu, maka tubuh Darpati itu memang telah terlempar, tetapi tidak cukup jauh. Bahkan tubuh itu telah terhempas jatuh dekat di sebelah tubuh Winih.

Tetapi tendangan kaki Winih yang mengenai perut Darpati telah membuat orang itu kesakitan. Dalam pada itu, maka hampir serentak keduanya telah berusaha untuk bangkit. Ketika Darpati sempat berdiri tegak, maka Winihlah yang justru telah mendapat kesempatan.

Dengan kecepatan yang sangat tinggi serta kemarahan yang menghentak-hentak di dadanya, Winih telah mengayunkan rantai bajanya menyerang Darpati yang baru berusaha mempersiapkan dirinya menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.

Yang terjadi kemudian ternyata telah mengejutkan orang-orang yang ada di kebun Kiai Gumrah itu. Rantai baja Winih yang diayunkannya dengan kecepatan yang tinggi serta sepenuh tenaga itu telah mengenai tubuh Darpati yang berusaha menangkis tetapi terlambat. Terdengar Darpati memekik kesakitan. Tubuhnya terdorong surut. Sebuah luka yang panjang telah menyilang di dadanya.

Sesaat ia berdiri termangu-mangu. Namun wajahnya seakan-akan telah berubah. Matanya menjadi merah menyala. Giginya gemeretak. Perlahan-lahan Darpati mengangkat pedangnya dan mengacukannya kepada Winih sambil berkata,

"Kau adalah perempuan cantik yang paling garang yang pernah aku temui. Lebih dari seratus perempuan yang pernah aku miliki. Dan sekarang kau akan menjadi satu di antara mereka. Tidak seorang pun di antara mereka yang berkesempatan memilih apa yang dapat mereka lakukan selain menjalankan segala perintahku dan memenuhi segala keinginanku sampai aku menjadi jemu dan mencampakkannya.”

Winih menjadi gemetar. Ia melihat sesosok iblis yang menjadi merah oleh darahnya sendiri. Namun selangkah demi selangkah Darpati masih bergerak maju dengan pedang yang terjulur. Jantung Winih rasa-rasanya berdetak semakin cepat. Sebagai seorang yang memiliki ilmu yang tinggi, Winih dibekali oleh ketahanan jiwani yang kokoh. Namun Winih memang belum mempunyai cukup banyak pengalaman. Karena itu, ketika ia melihat Darpati yang bersimbah darah itu melangkah mendekatinya, jiwanya seakan-akan telah terguncang.

Tetapi ia tidak mau membiarkan dirinya diterkam oleh iblis itu. Ketika sosok yang menjadi menakutkan itu mendekatinya sambil mengacukan pedangnya, maka Winih seakan-akan telah kehilangan pengendalian diri. Begitu kerasnya jiwanya terguncang, sehingga Winih seakan-akan tidak tahu lagi apa yang dilakukannya.

Winih baru sadar, ketika ia mendengar ibunya menjerit memanggil namanya. Bahkan kemudian ibunya itu telah memeluknya dari belakang dan menariknya menjauhi sosok tubuh yang kemudian terhuyung-huyung dan jatuh terjerembab di tanah.

"Winih, Winih. Hentikan!" teriak ibunya.

Winih yang masih saja gemetar bagaikan terbangun dari mimpi yang sangat buruk. Ketika ibunya kemudian mengguncang tubuhnya, maka Winih pun melihat sosok tubuh yang terbaring itu. Darpati telah terbunuh dengan luka arang keranjang. Winihlah yang kemudian menjerit tinggi. Sambil memejamkan matanya ia memeluk ibunya erat-erat seakan-akan tidak mau melepaskannya lagi.

Jerit Nyi Prawara dan Winih ternyata terdengar dari halaman di depan. Sejenak kemudian, maka beberapa orang telah berlari-larian mendekati mereka. Kiai Gumrah, Ki Prawara serta juragan gula yang semula ikut bertempur di halaman melawan orang-orang yang ternyata cukup liat dan berilmu tinggi, sehingga memerlukan waktu yang cukup lama.

“Apa yang terjadi?" bertanya Kiai Gumrah. Namun ketika ia melihat sosok tubuh yang arang keranjang serta rantai yang masih ada ditangan Winih, maka Kiai Gumrah-itu pun bertanya. "Apa yang telah kau lakukan, Winih?"

Winih masih berada di dalam pelukan ibunya. Bahkan sifat kegadisannya tiba-tiba telah muncul. Winih itu menangis terisak-isak. Sekan-akan ia ingin menyembunyikan wajahnya dari bayangan yang mengerikan itu di dada ibunya.

“Nyi, bukankah kau ada di sini?” bertanya Ki Prawara.

"Nanti aku ceriterakan apa yang terjadi. Tetapi Winih tidak dapat berbuat lain...” jawab Nyi Prawara.

Kiai Gumrah dan Ki Prawara saling berpandangan sejenak. Kemudian mereka pun melihat Manggada dan Laksana yang sudah terluka dan berdarah, berdiri termangu-mangu. Namun orang-orang yang datang kemudian itu tidak lagi melihat kedua ekor harimau itu lagi. Namun ketika mereka melihat luka-luka di tubuh ketiga orang yang terbunuh itu, maka mereka pun segera mengenali bahwa dua ekor harimau itu telah ikut campur pula.

Di antara mereka terdapat seorang yang terduduk lemas. Orang itu tidak lagi mampu berbuat sesuatu. Bahkan tidak lagi dapat melarikan dirinya. Kepada Kiai Gumrah, Nyi Prawara yang masih memeluk anaknya itu berkata, "Orang itu salah seorang dari mereka yang datang menyerang kami...”

Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Katanya "Ternyata Darpatilah yang mengatur segala-galanya. Aku sudah berbicara dengan Ki Bekel dan seorang di antara orang-orang Darpati yang dapat kami tangkap hidup-hidup”

“Apakah Ki Bekel masih ada di halaman?” bertanya Nyi Prawara.

“Semuanya masih lengkap. Memang ada orang-orang berilmu yang dapat melarikan diri. Tetapi ada yang berhasil kami tangkap!” jawab Kiai Gumrah. Lalu katanya pula. “Tetapi aku akan membawa Ki Bekel kemari. Aku akan menunjukkan kepadanya, apa yang telah terjadi di sini.”

Nyi Prawara mengangguk kecil. Namun katanya. ”Aku akan membawa Winih masuk. Biarlah Manggada dan Laksana berceritera.”

"Mereka juga terluka?" bertanya Kiai Gumrah.

"Ya. Aku akan menyiapkan obat bagi semuanya, termasuk Winih yang juga terluka.” jawab Nyi Prawara.

Nyi Prawara pun kemudian telah mengajak Winih masuk ke ruang dalam. Dihiburnya anaknya sebagaimana seorang ibu. yang dengan penuh kasih membesarkan hati anaknya yang terguncang perasaannya. Dibelainya rambutnya dan diusapnya air mata yang meleleh di pipi.

"Aku telah membunuhnya ibu. Bukan sekedar membunuh, tetapi aku telah berbuat lebih dari membunuh" desis Winih.

"Bukan salahmu, Winih. Orang itu telah membuatmu kehilangan kendali. Ia bermaksud mempengaruhi pemusatan nalar budimu karena ilmunya yang berada di bawah ilmumu. Tetapi ia benar-benar memiliki pengalaman yang sangat luas. Baik dalam, olah kanuragan, maupun dalam hubungannya dengan perempuan, sehingga ia mampu mengusik kelemahan-kelemahan yang ada pada perasaan seorang perempuan." berkata ibunya. Setelah berhenti sejenak, iapun berkata, "Tetapi perbuatannya itu justru telah menjerumuskannya ke dalam satu keadaan yang sangat pahit. Meskipun demikian, orang itu sendirilah yang bersalah, sehingga ia mendapat perlakuan yang sangat buruk.”

Winih tidak menjawab. Tetapi sikap ibunya, belaian tangannya serta kata-katanya yang lembut membuat perasaan Winih yang terguncang menjadi sedikit tenang.

Sementara itu Manggada dan Laksana telah berceritera tentang peristiwa yang mereka alami bersama Nyi Prawara dan Winih. Kemudian munculnya kedua ekor harimau yang memang sering datang justru pada saat-saat yang sangat diperlukan.

"Aku percaya bahwa kedua ekor harimau itu milik Setan Bongkok itu!" desis Kiai Gumrah.

"Ki Pandi yang kakek maksud?" bertanya Manggada.

"Ya. Orang aneh itu!" jawab Kiai Gumrah.

Manggada mengerutkan dahinya. Namun di hatinya iapun berkata, "Kakek juga seorang yang aneh.”

Seperti yang dikatakannya, maka Kiai Gumrah pun telah memanggil Ki Bekel untuk melihat apa yang terjadi di kebun belakang rumahnya. Dua orang bebahu dan beberapa orang yang lain diminta pula oleh Kiai Gumrah untuk melihat sendiri, apa yang baru saja terjadi. Mereka juga dipersilahkan untuk melihat tiga sosok tubuh yang dikoyak-koyak oleh kuku dan taring binatang buas.

"Nah, aku minta Ki Bekel berbicara dengan seorang di antara mereka yang masih hidup itu." berkata Kiai Gumrah "Agar Ki Bekel akan mendapat gambaran yang lebih jelas, apa terjadi di rumah ini!”

Sikap Ki Bekel sudah jauh berubah, ia tidak lagi menganggap Kiai Gumrah sebagai seorang penyadap legen dan pembuat gula kelapa saja. Tetapi dengan mata kepala sendiri ia melihat apa yang telah dilakukan oleh Kiai Gumrah itu, sehingga Ki Bekel tidak lagi mempunyai penilaian yang salah.

Meskipun demikian ia tetap saja merasa heran atas kedunguannya, kenapa selama ini ia menganggap bahwa Kiai Gumrah adalah seorang yang tidak berharga di padukuhannya kecuali sekedar seorang penunggu banjar lama. Demikian pula atas beberapa orang kawan Kiai Gumrah yang ternyata memiliki kemampuan yang sangat tinggi.

"Seandainya mereka tidak dapat mengendalikan diri dan memusuhi kami, maka orang-orang sepadukuhan tentu tidak akan dapat melawan mereka!” berkata Ki Bekel di dalam hatinya.

Apalagi ketika Kiai Gumrah yang berhasil menguasainya untuk menghindari benturan kekerasan, namun yang sama sekali tidak dihiraukan oleh sekelompok orang yang menghasutnya, membuatnya merasa berhutang budi. Seandainya Kiai Gumrah memang bermaksud buruk, maka ia tentu sudah mati di halaman rumah itu. Penyesalan telah memenuhi kepala Ki Bekel. Janji, upah dan suap yang diterimanya dari orang-orang itu hampir saja harus diimbali dengan nyawanya.

Beberapa saat kemudian, maka Ki Bekel, beberapa orang bebahu serta para pembuat gula itu telah membicarakan langkah-langkah yang akan mereka ambil. Yang harus mereka lakukan pertama-tama adalah menguburkan orang-orang yang terbunuh, termasuk Darpati. Tiga orang yang dikoyak-koyak harimau dan dua orang yang bertempur di halaman melawan para pembuat gula dan Ki Prawara.

"Aku mohon bantuan Ki Bekel untuk memerintahkan orang-orang yang sudah berada di halaman rumah ini" berkata Kiai Gumrah.

"Baik. Baik Kiai. Kami akan membantu apa saja yang dapat kami lakukan." jawab Ki Bekel.

Seperti yang dikatakannya, maka Ki Bekel pun kemudian minta kepada orang-orang yang datang bersamanya untuk membantu menguburkan orang-orang yang terbunuh di halaman dan di kebun Kiai Gumrah itu.

"Kita bawa sosok-sosok tubuh itu dan kita. tempatkan di banjar lama. Besok, demikian matahari terbit, maka kita akan menguburkan mereka." berkata Ki Bekel.

Demikianlah, maka setelah halaman rumah itu dibersihkan, Ki Bekel, para bebahu dan orang-orang yang mengikutinya, telah minta diri. Sebagian dari mereka akan tetap berada di banjar menunggui sosok-sosok tubuh dari korban yang jatuh di halaman rumah Kiai Gumrah itu.

Sebelum meninggalkan halaman rumah Kiai Gumrah, Ki Bekel mewakili orang-orang yang datang bersamanya telah minta maaf yang sebesar-besarnya kepada Kiai Gumrah.

"Kami telah salah memilih langkah..." berkata Ki Bekel.

"Tidak..." jawab Kiai Gumrah “Ki Bekel tidak salah pilih”

"Maksud Kiai?" bertanya Ki Bekel.

"Ki Bekel sudah tahu bahwa jalan yang Ki Bekel pilih itu tidak wajar. Ki Bekel tahu bahwa Ki Bekel telah dihasut, diberi janji-janji, bahkan suap. Tetapi Ki Bekel tetap saja melakukannya. Bukankah itu satu kesengajaan? Satu penyalah-gunaan kedudukan yang Ki Bekel emban?"

Ki Bekel tidak dapat menjawab. Ia hanya dapat menundukkan kepalanya. Namun kemudian terdengar ia berdesis "Ya Kiai. Sekali lagi kami mohon maaf.”

"Baiklah. Setiap orang dapat melakukan kesalahan Tetapi hendaknya kita tidak selalu mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama, justru yang pernah kita akui sebagai satu kesalahan” berkata Kiai Gumrah.

Ki Bekel hanya dapat berdesis "Ya Kiai...”

"Sekarang, jika Ki Bekel ingin pulang, silahkan. Tetapi besok aku serahkan segala sesuatunya tentang sosok-sosok tubuh itu kepada Ki Bekel.” berkata Kiai Gumrah kemudian.

"Baik, Kiai. Baik. Aku akan mengurusnya...!”

Kiai Gumrah tidak berbicara lagi. Sementara itu Ki Bekel pun telah minta diri dan meninggalkan halaman rumah itu. Sementara itu, beberapa orang di antara mereka telah mengurus dan memindahkan sosok-sosok tubuh itu ke banjar.

Sementara itu, Nyi Prawara telah menyiapkan obat-obatan buat mereka yang terluka. Selain penghuni rumah itu, Nyi Prawara juga menyiapkan obat bagi orang yang telah dikalahkannya dan seorang lagi yang tertangkap di halaman depan. Orang itu juga telah terluka, sehingga tidak sempat melarikan diri sebagaimana beberapa orang kawan mereka.

Dari keduanya Kiai Gumrah dan orang-orang yang ada di rumah itu mendengar, apa yang telah dilakukan oleh Darpati sepengetahuan Kiai Windu Kencana. Darpati memang mendapat kesempatan untuk mencoba mengambil pusaka-pusaka itu dengan caranya. Namun ternyata cara itu telah gagal.

Dalam pada itu, hampir semalam suntuk Nyi Prawara telah mengobati orang-orang yang terluka. Manggada dan Laksana yang tidak terlalu parah lukanya, telah duduk di dapur sambil menunggui perapian. Mereka telah merebus air untuk membuat minuman bagi mereka yang telah bekerja keras, termasuk kawan-kawan Kiai Gumrah. Meskipun demikian, Nyi Prawara juga berpesan kepada keduanya agar mereka tidak bergerak terlalu banyak.

"Jika air telah mendidih, beritahu aku..." berkata Nyi Prawara sambil mengobati bekas lawannya yang dilukainya dengan ujung rantainya serta seorang lagi di antara orang-orang yang datang menyerang, yang bertempur di halaman depan.

Peristiwa itu telah mendorong Kiai Gumrah dan kawan-kawannya untuk mengambil tindakan yang lebih jelas. Dengan nada tinggi juragan gula itu berkata, "Kita tidak dapat hanya sekedar menunggu sekarang ini. Permusuhan di antara kita dengan mereka sudah semakin terbuka. Jika. kita sekedar menunggu, maka pada suatu saat kita akan dapat lengah sehingga kita benar-benar akan dapat mereka hancurkan”

Kiai Gumrah mengangguk-angguk Sementara seorang di antara kawan-kawan Kiai Gumrah itu berkata, "Kita, sudah tahu sarang mereka. Apalagi kesulitan kita jika kita akan menyerang?"

Kiai Gumrah. menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya. "Kita belum dapat menggambarkan kekuatan mereka. Menurut perhitunganku, saat ini orang yang disebut Panembahan itu telah berada di antara mereka.”

Juragan gula itupun kemudian berkata. "Kita memang harus membicarakannya dengan bersungguh-sungguh. Tetapi segala-galanya bukan lagi rahasia sekarang. Kita sudah cukup lama berpura-pura, sementara mereka masih saja memburu kita sampai sekarang. Padahal kita merasa yakin bahwa kita tidak bersalah. Apa yang kita lakukan sesuai dengan garis yang telah ditentukan oleh perguruan kita.”

“Kita memang sudah pasti sekarang. Nama-nama Windu Kusuma dan orang-orang yang bekerja bersamanya, orang yang disebut Panembahan dan orang-orang yang lain lagi, adalah orang-orang yang telah bekerja bersama dengan pengkhianat itu.” berkata salah seorang kawan Kiai Gumrah yang lain.

"Baiklah" berkata Kiai Gumrah, "kita memang harus membicarakannya dengan bersungguh-sungguh. Kawan kita akan memastikan sasaran yang harus kita tuju. Kita memang tidak akan menunggu Kiai Windu Kusuma dan Sang Panembahan itu datang kemari. Menurut keterangan seorang di antara mereka yang berbaik hati menghubungi kita, maka sebelum purnama, pusaka-pusaka itu sudah harus berada ditangannya. Bahkan harus sudah menyentuh jantung segar seseorang agar tuahnya tidak akan berkurang.”

"Satu senjata yang mengerikan. Itu adalah sekedar perlambang bahwa Panembahan itu akan menghabisi kita semuanya dengan tombak kita sendiri” berkata juragan gula itu.

"Tetapi Panembahan yang agaknya adalah Panembahan itu juga, benar-benar telah membasahi kerisnya dengan darah gadis-gadis. Agaknya ia benar-benar percaya justru karena ilmu hitamnya, bahwa hal yang demikian itu dapat memberikan arti bagi pusaka-pusakanya.”

Kawan-kawan Kiai Gumrah itu mengangguk-angguk. Agaknya Panembahan itu memang percaya bahwa dengan menusukkan ujung tombak itu pada jantung segar di dalam diri seseorang, maka pusaka-pusaka itu akan menjadi semakin bertuah. Sementara itu, selama pusaka-pusaka itu disimpan oleh Kiai Gumrah, maka hal seperti itu sama sekali tidak pernah dilakukannya. Bahkan terpikir pun tidak.

Karena itu, maka Kiai Gumrah itupun berkata, "Baiklah. Kita memang harus membicarakannya dengan sungguh-sungguh. Kita akan datang kepada mereka. Semakin cepat semakin baik. Kita atau merekalah yang akan hancur.”

Tetapi Kiai Gumrah minta agar kawan-kawan mereka tidak meninggalkan rumahnya untuk sementara. Dengan nada berat ia berkata, "Sejak sekarang kita tidak akan ragu-ragu mempergunakan isyarat. Kentongan misalnya.”

"Jika demikian kenapa kita tidak dapat meninggalkan rumahmu ini?" bertanya seseorang.

"Aku dan satu dua orang di antara kalian akan ikut pergi ke kuburan jika orang-orang padukuhan nanti menguburkan orang-orang yang terbunuh itu” berkata Kiai Gumrah.

"Untuk apa?" bertanya seorang yang lain.

"Kita harus mampu membuat permainan yang dapat mengimbangi permainan mereka” jawab Kiai Gumrah.

"Maksudmu?" bertanya seorang kawannya.

"Berapa orang lawan yang terbunuh di rumah ini?” desis Kiai Gumrah.

"Empat orang di belakang, termasuk Darpati dan dua di halaman depan" sahut juragan gula itu.

"Enam orang!" desis Kiai Gumrah. Lalu katanya "Jika demikian maka kuburan itu harus berjumlah delapan.”

"Kenapa?" bertanya salah seorang kawannya yang lain "Apakah kita akan mengubur kedua orang lain hidup-hidup?"

Kiai Gumrah tersenyum. Beberapa orang-kawannya termangu-mangu. Namun seorang demi seorang kemudian mulai memahami. Ki Prawara pun kemudian mengangguk-angguk pula.

Demikianlah, seperti yang direncanakan, maka ketika matahari mulai memanjat langit, maka orang-orang padukuhan itu dipimpin langsung oleh Ki Bekel telah mengusung beberapa sosok tubuh yang terbaring di banjar lama. Mereka dibawa kekuburan tua untuk dikuburkan. Enam gundukan tanah berjajar di tempat yang agak terpisah.

Kiai Gumrah, juragan gula dan seorang kawannya ada di antara mereka yang membawa tubuh-tubuh yang sudah membeku itu. Maka seperti yang direncanakan, setelah orang-orang padukuhan itu meninggalkan kuburan, Kiai Gumrah dan kedua kawannya telah membuat dua gundukan tanah di sebelah gundukan yang berjajar itu. Dengan demikian, maka dua gundukan tanah itu memang menyerupai benar kuburan-kuburan baru yang lain.

Baru setelah Kiai Gumrah dan kedua kawannya kembali, maka. orang-orang yang berkumpul di rumah Kiai Gumrah itu minta diri untuk kembali ke rumah mereka masing-masing.

"Kita sekarang tidak usah merasa segan untuk membunyikan isyarat dengan kentongan." berkata juragan gula itu.

“Ya” jawab Kiai Gumrah "Kita dapat membuat persetujuan, bunyi isyarat yang harus kita bunyikan dalam keadaan tertentu, tetapi tidak mengacaukan tanda-tanda atau-isyarat yang sudah terbiasa dipergunakan di dalam tatahan kehidupan di padukuhan ini.”

Demikianlah, Kiai Gumrah dan kawan-kawannya yang dalam kehidupan mereka sehari-hari pada umumnya menjadi penyadap legen kelapa serta membuatnya menjadi gula, tidak lagi berusaha membuat tirai yang dapat menyembunyikan kenyataan mereka. Justru keadaan telah menyudutkan mereka untuk menyatakan diri, siapakah sebenarnya mereka itu. Usaha mereka untuk dapat hidup tenang sebagaimana para petani di padukuhan itu, ternyata telah dikacaukan oleh perbuatan yang tidak bertanggung jawab.

Dalam pada itu, Kiai Gumrah dan kawan-kawannya sepakat untuk membiarkan kedua orang yang terluka itu berada di rumah Kiai Gumrah. Mereka harus mendapat pengobatan yang baik, namun juga pengawasan yang saksama, karena mereka tidak boleh terlepas dari tangan mereka. Karena itu, maka dengan terpaksa sekali Kiai Gumrah harus mengikat tangan mereka selama mereka berbaring di pembaringan, meskipun ikatannya cukup longgar.

"Maaf Ki Sanak!" berkata Kiai Gumrah "Kami tidak dapat berbuat lain.”

Kedua orang itu tidak menjawab. Namun mereka mengerti, bahwa yang dilakukan terhadap keduanya itu adalah wajar sebagaimana sikap mereka yang sedang bermusuhan. Bahkan keduanya tidak mengalami perlakuan yang buruk, itupun sudah merupakan satu kelebihan tersendiri.

Sementara itu, maka keluarga Kiai Gumrah. yang menjadi semakin besar itupun telah membagi tugas mengawasi orang-orang yang menjadi tawanan, mereka dan yang tangannya terikat pada tiang di pembaringan mereka.

Demikianlah maka, kegagalan rencana Darpati untuk mengambil pusaka-pusaka yang tersimpan di rumah Kiai Gumrah, atau mengambil Winih yang akan dapat dipertukarkan dengan pusaka-pusaka itu telah mendapat perhatian tersendiri dari para pengikut Kiai Windu Kusuma. Ketika beberapa orang datang memberitahukan kegagalan itu, serta kegagalan mereka memanfaatkan orang-orang sepadukuhan, maka Kiai Windu Kusuma menyadari, bahwa mereka harus mengambil jalan lain.

Namun timbul kecemasan di antara para pengikut Kiai Windu Kusuma, bahwa ada di antara orang-orang yang tertangkap hidup-hidup sehingga mereka akan dapat memberikan beberapa keterangan kepada Kiai Gumrah. Karena sebenarnyalah mereka mengetahui, bahwa Kiai Gumrah bukan sekedar penyadap legen kelapa dan pembuat gula. Yang tersebar di padukuhan itu, sebenarnyalah murid-murid dari satu perguruan yang besar.

"Kita harus yakin, bahwa tidak ada orang yang tertangkap hidup-hidup" berkata Kiai Windu Kusuma.

Maka Kiai Windu Kusuma itupun telah memerintahkan orang-orangnya untuk menyelidiki kemungkinan itu.

"Kita dapat mencari sumber keterangan dari orang-orang padukuhan itu. Tentu ada di antara mereka yang membantu melakukan penguburan." berkata Kiai Windu Kusuma.

Namun seorang yang lain berkata, "Kenapa kita harus mengambil langkah yang berbahaya? Orang-orang padukuhan itu sekarang tentu menjadi sangat curiga terhadap orang yang tidak mereka kenal”

"Tetapi kita harus tahu pasti nasib orang-orang kita yang tidak, kembali...” jawab Kiai Windu Kusuma. "Semua ada delapan orang termasuk Darpati sendiri.”

"Bukankah ada jalan yang lebih mudah. Kita pergi ke kuburan itu. Kita hitung, ada berapa kuburan baru yang ada. Orang-orang kita yang terbunuh itu tentu dikubur menjadi satu. Seandainya ada orang-orang padukuhan itu yang terbunuh, maka tubuh mereka tentu akan dikubur ditempat yang terpisah, karena mereka tentu akan membedakan, kuburan pahlawan-pahlawan mereka dengan tubuh-tubuh dari orang-orang yang mereka anggap orang-orang jahat. Apalagi setelah Ki Bekel dan orang-orang padukuhan itu berubah pikiran.”

Kiai Windu Kusuma itupun mengangguk-angguk. Katanya, "Bagus. Perintahkan satu dua untuk melihat ke kuburan itu.”

Demikianlah, maka dua orang di antara para pengikut Kiai Windu Kusuma itu telah melihat kuburan yang diketahuinya sebagai tempat untuk mengubur korban yang jatuh dalam pertempuran semalam. Dua ekor burung elang sempat melihat iring-iringan penguburan itu, sehingga dua orang pengikut Kiai Windu Kusuma itu segera mengetahui kuburan yang dicarinya karena kedua ekor elang itu terbang berputaran di atasnya.

Ketika kuburan itu sudah menjadi sepi, maka dua orang pengikut Kiai Windu Kusuma itupun telah masuk ke dalamnya untuk menghitung, berapa orang yang dikuburkan oleh orang-orang padukuhan.

"Delapan...!" desis salah seorang daripadanya.

Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Katanya. “Kita sudah terlalu banyak memberikan korban. Tetapi persoalannya masih belum selesai. Pusaka-pusaka yang dikehendaki oleh Panembahan itu belum dapat kita kuasai...”

"Tetapi bahwa kedelapan orang termasuk Darpati itu ternyata sudah mati semua adalah lebih baik daripada ada di antara mereka yang tertangkap hidup. Yang tertangkap hidup itu, akan dapat memberikan banyak, keterangan kepada Kiai Gumrah dan kawan-kawannya.” Berkata orang yang pertama.

Kawannya mengangguk-angguk. Katanya "Ya. Memang lebih baik jika semuanya mati. Kita tidak mencemaskan lagi, apa saja yang akan diceriterakan kepada orang-orang yang menangkapnya. Betapapun ketahanan jiwani seseorang, namun jika dipaksa dengan kekerasan, maka biasanya mulutnya akan terbuka pula...”

"Nampaknya Kiai Gumrah dan kawan-kawannya juga sudah mulai kehilangan kesabaran. Delapan orang kawan kita dibunuhnya!”

"Kita tentu dapat mengerti, kenapa mereka berbuat demikian. Apalagi menghadapi orang-orang dalam kelompok-kelompok baru di lingkungan kita. Mereka lebih keras dari orang-orang lama seperti kita ini”

"Tetapi Darpati sudah mati. Ia terlalu yakin akan kemampuannya. Aku dengar Kundala pernah memperingatkannya!”

"Kundala sekarang sudah tidak banyak berarti lagi bagi para pemimpin kita!”

Keduanya pun kemudian telah meninggalkan kuburan itu. Mereka yakin, bahwa semua orang yang tidak sempat meloloskan diri dari halaman rumah Kiai Gumrah telah terbunuh. Namun dengan demikian, maka para pengikut Kiai Windu Kusuma tidak mempersoalkannya lagi.

Demikian keduanya meninggalkan kuburan, maka seseorang telah muncul dari balik gerumbul. Orang itu adalah salah seorang kawan Kiai Gumrah yang ingin meyakinkan, apakah perhitungan Kiai Gumrah itu benar.

Ternyata bahwa Kiai Windu Kusuma benar-benar telah memerintahkan orangnya untuk menghitung jumlah kuburan baru di tempat yang agak terpisah dari yang lain. Dengan demikian, maka orang itupun yakin pula, bahwa Kiai Windu Kusuma menganggap bahwa semua orangnya yang hilang itu telah terbunuh....

Selanjutnya,
Sang Penerus Bagian 16