TERIAKAN Kiai Gumrah justru mengejutkan sehingga Ki Bekel dan orang-orang yang berkumpul di halaman Kiai Gumrah itu terdiam. Kesempatan itu dipergunakan oleh Kiai Gumrah untuk berbicara selanjutnya,
"Nah, siapa yang dapat menunjukkan kesalahanku atau kesalahan cucu-cucuku. Maksudku tentu kesalahan yang mendasar. Yang berarti, sehingga pantas dijadikan alasan untuk mengusir aku dari padukuhan ini. Katakan. Siapa yang akan mengatakannya?"
Orang-orang itu justru terdiam "Atau sekedar prasangka buruk? Atau lebih buruk dari itu? Fitnah, hasutan orang lain karena iri, dengki atau kepentingan-kepentingan yang lain?”
Ki Bekel yang tidak siap menerima pertanyaan, yang beruntun itu justru terdiam. Meskipun wajahnya menjadi tegang, tetapi mulutnya justru terbungkam. Ia tidak dapat langsung menjawab. Apalagi orang-orang lain yang mengikutinya sambil membawa obor itu. Mereka benar-benar menjadi bingung.
Sementara beberapa orang di antara mereka sebelumnya sama sekali tidak mempunyai persoalan apapun dengan Kiai Gumrah yang mereka kenal sebagai seorang penyadap legen kelapa untuk dibuat gula. Bahkan ada di antara mereka yang menganggap bahwa Kiai Gumrah adalah seorang tua yang baik dan ramah.
Untuk sesaat halaman rumah Kiai Gumrah itu menjadi hening. Ki Bekel hanya berdiri termangu-mangu saja. Sementara orang-orang yang membawa obor di halaman itu menjadi bingung.
Namun tiba-tiba dalam keheningan itu terdengar seseorang berteriak, "Kiai Gumrah. Jangan berpura-pura tidak tahu akan kesalahanmu sendiri. Memang bukan sekedar lampu banjar tua atau halaman banjar itu yang kotor. Juga bukan sekedar karena cucu-cucumu yang berkelahi dan memukuli Rambatan yang tidak bersalah meskipun Rambatan kami anggap anak nakal di sini. Tetapi yang lebih mendasar dari kesalahanmu adalah, bahwa kau adalah seorang tukang tenung. Kau mempunyai kemampuan ilmu sihir yang kau pergunakan untuk tujuan yang buruk. Kau sudah membunuh beberapa orang dengan tenungmu atas upah orang lain.”
Kiai Gumrahlah yang kemudian terkejut mendengar jawaban itu. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa tuduhan yang dilemparkannya adalah pekerjaan yang sama sekali tidak dimengertinya. Tenung. Karena itu, maka Kiai Gumrah pun langsung mengerti, bahwa orang yang menghasut Ki Bekel adalah orang yang benar-benar menghendaki kehancurannya.
Dengan demikian, maka hampir di luar kesadarannya iapun berdesis kepada kawan-kawannya "Kita benar-benar berhadapan dengan mereka. Tetapi kita belum tahu, sejauh mana sasaran yang mereka kehendaki dengan permainan yang kotor ini”
Kawan-kawannya pun mengangguk-angguk. Mereka pun melihat permainan yang kotor dan licik itu. Bahkan orang-orang yang berniat mengambil pusaka-pusaka itu sampai hati mengumpankan orang-orang yang tidak tahu apa yang sebenarnya mereka lakukan itu.
Dalam pada itu, maka terdengar suara itu lagi, "Jika kita ingin padukuhan kita bersih, maka orang tua itu harus diusir dari padukuhan ini”
"Jika perlu bunuh saja" suara itu terdengar lagi.
Tetapi tidak terdengar sahutan yang serta-merta. Orang-orang yang membawa obor itu tidak lagi berteriak-teriak. Namun dalam pada itu, Ki Bekel yang seakan-akan sudah terbangun dari mimpinya itu tiba-tiba saja telah berteriak pula.
"Nah, apa katamu Kiai Gumrah. Berapa orang yang telah kau bunuh dengan tenagamu dengan upah orang lain? Orang-orang yang tidak pernah bersalah kepadamu dan bahkan belum pernah mengenalmu, harus mati karena ilmu hitammu...”
Dan suara itu terdengar lagi "Bunuh saja. Bunuh saja”
Karena tidak ada sahutan yang gemuruh, maka Ki Bekel pun kemudian berteriak "He, saudara-saudaraku. Jika kemarin kiai Gumrah telah membunuh orang yang tidak kalian kenal, apa kata kalian jika besok atau lusa kalian sendiri yang akan dibunuhnya? Apalagi setelah Kiai Gumrah melihat kalian datang malam ini bersamaku untuk mengusirnya.”
Beberapa orang memang mulai terpengaruh lagi. Tetapi tidak menghentak dan bahkan ada orang yang sempat berpikir apa yang sebenarnya dilakukannya.
Dalam pada itu Kiai Gumrah pun berkata, "Saudara saudaraku. Satu perbuatan yang keji telah dilakukan oleh sekelompok orang yang datang untuk menghasut Ki Bekel dan bahkan menghasut kalian semuanya. Jika aku pernah membunuh seorang pun dengan tenung, nah, katakan siapakah yang telah aku bunuh itu. Apa pula tanda-tandanya bahwa akulah yang telah membunuhnya? Sebelum kalian datang ke rumahku hari ini, apakah kalian pernah mendengar sepatah kata pun dari siapapun yang mengatakan bahwa aku memiliki ilmu tenung? Tidak saudara-saudaraku. Baru-saat ini orang yang menuduhku mempunyai ilmu tenung itu ingat, tuduhan apakah yang terbaik dikatakan untuk memperkuat niatnya mengusir aku, meskipun aku tidak tahu apakah tujuannya yang sebenarnya”
"Jangan dengarkan ia membual" terdengar suara dari antara orang-orang yang membawa obor itu "orang tua tukang tenung itu harus diusir dari padukuhan ini”
Dan suara yang itu-itu juga terdengar lagi "Bunuh saja orang tua tukang tenung itu”
Tetapi dengan cepat Kiai Gumrah berkata, "Saudara-saudaraku. Kalian tidak usah bersusah payah membunuh aku. Jika kalian dapat membuktikan bahwa aku tukang tenung, maka aku akan membunuh diri di hadapan saudara-saudaraku malam ini juga”
"Bohong. Omong kosong" teriak seseorang "Selama ini orang yang kau bunuh adalah orang-orang yang tidak tinggal di padukuhan ini. Tetapi besok, lusa dan kesempatan berikutnya?"
Ki Bekel pun berteriak pula "Orang itu memang licik. Sekarang kita harus segera bertindak. Usir orang itu. Usir juga kawan-kawannya. Mereka tentu juga tukang tenung atau pembantu-pembantu Kiai Gumrah”
Tetapi juragan gula itulah yang kemudian melangkah maju sambil berkata "Ki Sanak. Apakah kalian lupa kepadaku? Apakah kalian belum mengenal aku? Sebagian besar dari Ki Sanak tentu pernah berhubungan dengan aku. Mungkin di pasar atau di rumah atau di mana saja. Demikian pula kawan-kawanku yang hari ini sengaja datang untuk sekedar berbincang di rumah ini. Bukankah gula kami tetap manis? Nah, kenapa tiba-tiba saja kalian seperti orang bermimpi dan berbicara tentang tenung?"
“Cukup. Cukup!" Ki Bekel berteriak. Lalu katanya kepada orang-orang yang datang bersamanya “Nah, kalian sudah mulai merasakan, betapa tajamnya pengaruh sihirnya atas kalian. Kalian yang datang dengan tekad yang bulat, kini kalian seakan-akan telah kehilangan diri kalian, masing-masing. Karena itu, maka kalian harus cepat bertindak sebelum kalian akan menjadi lemas dan jatuh pingsan di halaman rumah ini. Padukuhan ini mulai besok akan dimakan page-blug Pagi sakit, sore mati dan sore mulai sakit, paginya sudah mati”
Beberapa orang mulai tergerak lagi. Para bebahu yang sudah terbius oleh janji-janji yang muluk tanpa menghiraukan kebenaran telah berteriak pula "Usir orang itu!”
Dan suara itu terdengar lagi "Bunuh saja. Bunuh saja”
Orang-orang yang membawa obor itu menjadi semakin kebingungan. Tetapi ketika Ki Bekel dan para bebahu mulai bergerak dan berteriak-teriak, maka beberapa orang pun telah mulai melakukannya pula.
Namun dalam sekilas Kiai Gumrah dan kawan-kawannya sempat melihat beberapa orang yang tidak dikenalnya di antara mereka yang membawa obor itu. Karena itu, maka Kiai Gumrah pun berteriak keras-keras,
"He, lihat. Siapakah yang berteriak paling keras di antara kalian? Selain Ki Bekel, lihat, apakah kalian, orang-orang padukuhan ini mengenali beberapa orang di antara kalian? Orang yang justru berusaha mempengaruhi kesadaran kalian? Ingat, kita adalah sama-sama penghuni padukuhan ini. Kita sudah mengenal masing-masing lahir dan batinnya. Tetapi kalian lihat, siapakah orang-orang yang paling gigih mengajukan tuntunan terhadap kami malam ini?"
Tetapi Ki Bekel tidak memberi kesempatan berpikir kepada orang-orangnya. iapun kemudian berteriak, "Cepat, usir orang itu. Semakin cepat semakin baik”
Tetapi Ki Bekel tidak mampu menggerakkan semua orang yang datang ke halaman rumah Kiai Gumrah. Memang beberapa orang yang melihat beberapa orang bebahu mendesak maju, mereka pun ikut-ikutan pula. Bahkan beberapa orang telah mendorong mereka dari belakang. Ketika seorang di antara mereka berpaling, ternyata yang mendorongnya adalah orang yang tidak dikenalnya. Bukan penghuni padukuhan itu.
Sementara itu, Kiai Gumrah sesaat menjadi bingung. Ia tidak ingin berkelahi melawan tetangga-tetangganya sendiri. Tetapi iapun tidak mau menjadi bulan-bulanan oleh Ki Bekel yang telah dihasut oleh orang-orang yang tidak dikenal itu.
Karena itu, ketika sebagian dari orang-orang yang datang ke halaman rumah Kiai Gumrah itu mulai bergerak, maka Kiai Gumrah pun berdesis kepada kawan-kawannya "Apa boleh buat. Kita tidak akan mengumpankan diri dimakan api obor-obor itu. Tetapi kita harus tahu diri, siapapun yang kita hadapi”
Kawan-kawan Kiai Gumrah itupun menyadari, bahwa yang akan mereka hadapi bukan orang-orang padukuhan itu. Tetapi orang-orang yang justru tidak dikenal yang berteriak-teriak paling keras untuk memacu kemarahan orang-orang padukuhan itu.
Namun Kiai Gumrah kemudian telah membuat rencana tersendiri. Ketika orang-orang itu mendesak maju, maka iapun meloncat dengan cepatnya. Jauh melampaui kecepatan yang dapat dibayangkan oleh orang-orang padukuhan itu, yang tidak mengetahui kemampuan Kiai Gumrah yang sebenarnya.
Sebelum orang-orang yang datang ke rumahnya itu menyadari, maka Kiai Gumrah telah menangkap Ki Bekel. Diputarnya tangan Ki Bekel itu setelah ditarik beberapa langkah surut menjauhi orang-orang yang bergerak itu.
Adalah di luar kemampuan pengamatan orang-orang yang mengikutinya termasuk para bebahu, maka Kiai Gumrah itu telah menarik keris Ki Bekel itu sendiri. Sambil mengacukan ujung keris itu ke leher Ki Bekel, maka Kiai Gumrah pun berteriak "Berhenti. Atau Ki Bekel ini akan menjadi mayat”
Orang-orang yang mengikuti Ki Bekel itu terkejut. Mereka memang berhenti bergerak. Di hadapan mereka, diterangi oleh cahaya obor, maka mereka melihat ujung keris Ki Bekel itu sendiri telah melekat di lehernya.
"Apa boleh buat?” berkata Kiai Gumrah keras-keras "Kalian tidak akan dapat membunuh aku dua kali. Jika kalian benar-benar ingin membunuhku, maka Ki Bekel ini akan mati juga bersamaku”
Para bebahu padukuhan itu menjadi tegang. Sementara itu Ki Bekel sendiri sudah tidak berdaya. Tangannya yang sebelah terpilin di belakang tubuhnya, sementara ujung kerisnya sendiri melekat di lehernya.
"Ki Bekel..." berkata Kiai Gumrah "Perintahkan orang-orangmu untuk mundur”
Karena Ki Bekel masih berdiam diri, maka ujung keris itu mulai menekan kulitnya. Kiai Gumrah itupun berkata lagi "Cepat, atau Ki Bekel akan mati bersamaku”
Ki Bekel memang tidak dapat berbuat lagi. Dengan, suara parau ia berkata "Mundurlah. Mundurlah”
Suasana benar-benar menjadi tegang. Para bebahu dan orang-orang yang membawa obor itu tidak mempunyai pilihan lain. Setapak demi setapak mereka melangkah surut. Ternyata hal itu tidak mereka perhitungkan sebelumnya. Juga orang-orang yang tidak dikenal oleh orang-orang padukuhan itu tidak memperhitungkannya. Karena itu, ketika hal itu terjadi, mereka harus berpikir untuk mencari jalan keluar.
Namun satu hal harus terjadi, keributan di halaman rumah itu. Karena itu, ketika Ki Bekel yang tidak berdaya itu memerintahkan orang-orangnya untuk melangkah surut, maka beberapa orang tiba-tiba telah bergerak sambil berteriak,
"Bunuh tukang tenung itu. Jangan hiraukan Ki Bekel. Untuk mencapai satu tujuan yang besar, kita harus berani memberikan pengorbanan”
Para bebahu dan orang-orang padukuhan itu semakin menjadi bingung. Sementara beberapa orang mulai bergerak sambil mendorong orang-orang padukuhan itu untuk bergerak maju.
"Marilah, jangan hiraukan Ki Bekel..." teriak seseorang.
Tetapi Ki Bekel memberikan isyarat dengan tangannya yang sebelah, yang sengaja dilonggarkan oleh Kiai Gumrah sambil berteriak."Jangan. Mundurlah...”
Tetapi orang-orang itu berteriak "Kita selesaikan orang itu sekarang. Jangan menunda lagi”
Kiai Gumrahlah yang kemudian bergumam "Ki Bekel. Orang-orang itu tidak menghiraukan lagi nyawamu. Mereka membiarkan kau mati bersamaku”
"Tidak. Jangan lakukan itu. Aku masih ingin hidup" teriak Ki Bekel sambil meronta.
Kiai Gumrah terpaksa melonggarkan tekanan kerisnya agar tidak melukai leher Ki Bekel Dengan nada berat ia berkata "Kau lihat Ki Bekel, bahwa ternyata kau juga tidak berharga. Harga nyawamu sama dengan harga nyawaku.”
"Terkutuklah kalian. Jangan biarkan aku mati” Tetapi teriakan Ki Bekel benar-benar tidak berarti.
Seseorang di antara orang-orang yang menyusup itu berteriak "Relakan Ki Bekel. Kita akan segera memilih orang baru. Mungkin salah seorang dari para bebahu yang ada di sini akan dipilih menjadi Bekel di padukuhan ini”
"Setan kau!" geram Ki Bekel “Ternyata kalian adalah pengkhianat....”
"Jangan dengarkan Ki Bekel yang cengeng dan sedang merajuk itu, Ia harus rela menjadi korban bagi kepentingan padukuhan ini. Jika ia memang seorang pemimpin yang baik, maka seharusnya tidak memikirkan diri sendiri. Seandainya ia harus mati, maka kematiannya akan menjadi pupuk mensejahteraan rakyat padukuhan ini. Dengan demikian, maka Ki Bekel akan mati sebagai seorang pahlawan. Berbahagialah kalian mempunyai seorang pemimpin yang bersedia mengorbankan dirinya. Kalian pun selanjutnya akan memiliki seorang pahlawan yang akan dapat kalian ceriterakan kepada anak cucu kalian.”
Jantung orang-orang padukuhan itu, terutama para bebahu, menjadi semakin terguncang. Kata-kata itu memang sangat mempengaruhinya, sehingga mereka pun mulai bergerak lagi. Namun yang mereka hadapi kemudian seakan-akan bukan lagi Kiai Gumrah yang mereka kenal sehari-hari. Orang yang memilih tangan Ki. Bekel dan mengacukan ujung keris ke lehernya itu seolah-olah adalah orang lain. Seorang yang sangat garang dengan pandangan mata yang menyala bagaikan bara api.
Ketika orang-orang yang tidak dikenal itu mendorong beberapa orang maju, maka Kiai Gumrah pun berkata, "Ki Bekel. Sekarang kau dapat menilai sendiri. Bukankah, kau sekedar diumpankan untuk memancing kerusuhan di sini. Aku akan melepaskanmu. Terserah, apa yang akan kau lakukan. Tetapi aku akan melawan habis-habisan menghadapi orang-orang yang tidak dikenal itu”
Ki Bekel, tidak menjawab. Namun seperti yang dikatakan, ketika sekelompok orang benar-benar menyerang, maka Ki Bekel itu telah dilepaskannya. Didorongnya Ki Bekel ke samping, sementara Kiai Gumrah pun telah meloncat menghadapi orang-orang yang memang menyerangnya. Justru bukan orang-orang padukuhan itu.
Demikianlah, maka pertempuran pun telah terjadi. Kawan-kawan Kiai Gumrah dan Ki Prawara telah bertempur menghadapi beberapa orang yang ikut serta menyelinap di antara berpuluh orang yang datang ke halaman rumah itu.
Beberapa saat kemudian, pertempuran pun menjadi semakin sengit dan keras. Para pembuat gula itu benar-benar berubah. Mereka bukan orang-orang tua yang ramah, yang menerima uang keping demi keping ketika mereka menjual gulanya. Tetapi mereka telah menjadi orang-orang yang garang dan bertempur dengan mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan mereka.
Dalam pertempuran yang tegang itu terdengar Kiai Gumrah berkata, "Kalian tidak akan dapat ingkar lagi. Kalian adalah para pengikut Kiai Windu Kusuma”
"Persetan dengan igauanmu..." geram lawan Kiai Gumrah.
"Ki Bekel..." teriak Kiai Gumrah "Perhatikan mereka. Mereka adalah orang-orang jahat yang telah menghasut dan memperalat Ki Bekel untuk memusuhi kami.”
Ki Bekel berdiri termangu-mangu. Para bebahu pun telah berloncatan menepi. Mereka tidak lagi mengerti apa yang telah terjadi di halaman rumah Kiai Gumrah itu. Yang mereka lihat adalah pertempuran yang menjadi semakin sengit.
Orang-orang yang datang sambil membawa obor itu mulai sempat menilai apa yang telah mereka lakukan. Demikian pula beberapa orang bebahu. Bahkan Ki Bekel sendiri yang merasa dikhianati. Apalagi setelah ternyata Kiai Gumrah telah melepaskannya tanpa menyakitinya.
"Jika saja ia ingin membunuhku, maka ia tidak akan mengalami kesulitan” berkata Ki Bekel di dalam hatinya.
Dalam pada itu, pertempuran pun menjadi semakin cepat. Ternyata orang-orang yang menyusupi di antara berpuluh orang padukuhan itupun cukup banyak, sehingga Kiai Gumrah, enam tamunya dan Ki Prawara harus bekerja keras untuk bertahan. Namun mereka pun segera menyadari, bahwa yang dikirim oleh Kiai Windu Kusuma saat itu bukanlah orang yang terbaik.
Kiai Gumrah pun segera teringat akan Darpati yang hari itu menjadi sangat marah karena ia gagal membawa Winih, Manggada dan Laksana. Agaknya Darpati termasuk salah seorang yang menggerakkan orang-orang Kiai Windu Kusuma itu.
Sebenarnyalah bahwa Darpati memang ikut bergerak malam itu. Manggada dan Laksana yang ada di ruang belakang telah mendengar pintu diketuk orang perlahan-lahan. Namun keduanya tidak segera membukakannya.
Dalam keragu-raguan itu Winih pun telah datang pula sambil berdesis "Aku mendengar pintu diketuk orang.”
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Namun dengan berdesis Manggada.berkata. "Kita tidak dapat membukakannya.”
Winih memang tidak memaksa, tetapi tiba-tiba saja terdengar desis di pintu "Winih. Apakah kau mengalami kesulitan?"
Winih terkejut mendengar suara itu. Suara itu adalah suara Darpati. Namun ketika ia melangkah ke pintu, Manggada memperingatkannya "Winih. Jangan kau buka pintu itu.”
Winih memang menjadi, ragu-ragu. Namun terdengar lagi suara itu "Winih. Sebenarnya aku ingin tidak mempedulikan apa yang terjadi karena kakekmu telah menyakiti hatiku. Tetapi ternyata aku tidak sampai hati membiarkan kau terlindas oleh kerusuhan yang terjadi itu. Kakekmu, ayahmu dan kawan-kawannya agaknya mengalami kesulitan karena, yang datang bukan hanya orang-orang padukuhan ini. Tetapi juga beberapa orang yang tidak dikenal”
Manggadalah yang menyahut "Terima kasih atas kesediaanmu Darpati. Jika kakek mengalami kesulitan, turunlah ke medan pertempuran itu. Selamatkan kakek dan paman Prawara serta kawan-kawannya”
Sejenak tidak terdengar jawaban Darpati. Namun kemudian suara itu terdengar lagi “Manggada. Aku tidak dapat melakukannya karena hanya akan sia-sia saja. Orang-orang yang datang itu terlalu banyak. Bahkan di antara mereka terdapat orang-orang berilmu tinggi. Karena jalan yang terbaik bagi kalian adalah meninggalkan tempat ini meskipun hanya untuk sementara sebelum kita menemukan jalan lain”
"Tidak Darpati. Aku tidak dapat membuka pintu itu” jawab Manggada.
Namun dalam pada itu, Winih berdiri dengan tegang. Keringatnya mengalir membasahi keningnya. Dipandanginya pintu yang bergetar diketuk-ketuk dari luar. Sementara Manggada dan Laksana tidak mau membuka pintu itu.
Ketegangan yang sangat ternyata telah mencengkam jantung Winih. Ada sesuatu yang bergejolak di dadanya. Namun tiba-tiba di luar dugaan Manggada dan Laksana, Winih itupun dengan serta merta berlari menuju ke pintu. Tanpa minta pertimbangan siapapun juga, Winih telah mengangkat selarak pintu itu dan membukanya.
“Winih” Manggada dan Laksana yang terkejut itu berteriak.
Tetapi pintu itu sudah terbuka. Darpati yang berdiri di luar pintu itu juga terkejut. Ia memang tidak mengira bahwa pintu akan segera dibuka. Namun demikian ia melihat Winih berdiri di muka pintu, maka iapun segera menangkap tangannya dan menariknya keluar.
"Marilah Winih. Waktu kita sangat sempit...”
Sementara itu Nyi Prawara yang mendengar teriakan Manggada dan Laksana telah datang pula sambil bertanya, “Kenapa dengan Winih?"
Manggada tidak sempat menjawab, karena ia telah berlari menyusul. Laksana yang sedang melangkah itupun terhenti sambil menjawab "Winih telah membuka pintu. Ia sedang ditarik Darpati keluar”
Laksana tidak memberikan penjelasan lebih panjang. Tetapi iapun segera berlari menyusul. Di luar pintu ternyata Winih tidak begitu saja mengikuti Darpati yang berusaha menariknya. Sambil menahan dirinya Winih bertanya “Darpati. Kita, akan pergi ke mana?"
"Marilah Winih" sahut Darpati "Jangan bertanya sekarang. Kita menyelamatkan diri lebih dahulu. Baru nanti kita berbincang”
Namun dalam pada itu, Manggada dan kemudian disusul oleh Laksana pun telah berdiri di sebelah Winih. Dengan nada berat Manggada bertanya. “Apa yang akan kau lakukan Darpati?”
"Sudah aku katakan. Aku akan menyelamatkan Winih” jawab Darpati.
"Tidak. Kau tidak dapat membawanya pergi" jawab Manggada.
"Manggada" desis Darpati "Apakah kau tidak sayang kepada adikmu? Bukankah seharusnya kau ikut membantuku, menyelamatkan adikmu. Kenapa justru kau berniat menghalanginya? Apakah dengan demikian bukan berarti bahwa kau ikut menjerumuskan adikmu dalam kesulitan?"
“Apapun yang kau katakan, tetapi kami tidak dapat melepaskan Winih pergi” geram Laksana.
"Laksana. Aku mencintai, Winih. Barangkah kata-kata itu belum pernah aku katakan. Bahkan kepada Winih sendiri. Tetapi sikapku dan perbuatanku telah menyiratkan nilai dari sikapku itu. Karena itu, maka aku pun ingin menyelamatkannya”
“Terima kasih atas niatmu. Tetapi kami tidak setuju dengan cara yang kau tempuh” Jawab Laksana.
“Jika demikian, apa boleh buat. Aku akan mempergunakan caraku yang mungkin tidak sesuai dengan maksudmu” berkata Darpati.
"Aku akan membawa Winih kembali masuk ke ruang dalam" berkata Manggada.
"Tidak. Aku akan membawa Winih pergi" geram Darpati.
Ketika Darpati akan menarik Winih semakin jauh, Manggada dan Laksana telah bergerak untuk menghalanginya. Namun Darpati pun tertawa pendek. Katanya "Manggada dan Laksana. Kita sudah saling mengetahui kemampuan kita masing-masing. Nah, apakah kau akan berani melawan aku?"
"Apapun yang terjadi, kami tidak akan melepaskan Winih" jawab Manggada.
Darpati memang menjadi kehilangan kesabarannya. Sambil mendorong Winih ke samping ia berkata, "Aku terpaksa melakukannya, Winih. Waktu kita tidak banyak, sementara orang-orang itu menjadi semakin buas. Jika mereka berhasil mengalahkan kakek, ayahmu dan kawan-kawannya, maka nasibmu akan menjadi sangat buruk”
Manggada dan Laksana tidak mempedulikannya lagi. Mereka pun segera melangkah mendekati Darpati yang telah siap pula menghadapinya. Sejenak kemudian, maka Manggada dan Laksana itu telah bertempur melawan Darpati. Sejak semula Manggada dan Laksana telah menyadari, bahwa ilmu mereka tidak akan mampu melawan Darpati. Namun keduanya, tidak mempunyai pilihan lain karena mereka tidak akan dapat membiarkan Winih dibawa oleh Darpati yang memang mencurigakan sejak semula.
Namun Manggada dan Laksana bukannya tidak berkemampuan sama sekali. Keduanya pernah menerima ajaran tentang olah kanuragan. Keduanya pernah berhubungan dengan seorang Ajar yang telah membantunya meningkatkan landasan ilmu mereka. Mereka pun memiliki pengalaman yang cukup banyak selama pengembaraan mereka. Karena itu, meskipun pada dasarnya Darpati adalah seorang yang berilmu tinggi, namun Darpati tidak dapat serta-merta menghentikan perlawanan Manggada dan Laksana.
Dengan demikian maka Darpati pun menjadi semakin marah. Sambil menghentakkan kemampuannya, maka Darpati pun berkata "Kalian memang harus dibunuh. Jangan menyesal bahwa aku akan benar-benar melakukannya”
Manggada dan Laksana menyadari, bahwa Darpati tidak main-main dengan ancamannya. Ketika Darpati sampai ke puncak ilmunya yang tinggi, maka Manggada dan Laksana mulai mengalami kesulitan. Tetapi karena mereka pemah ditempa selama mereka berguru serta pengalamannya yang luas, maka keduanya tidak segera menjadi gentar. Betapapun Darpati mengancam, menggertak dan menghentakkan ilmunya, namun Manggada dan Laksana sama sekali tidak beranjak dari arena.
Sementara itu Darpatilah yang menjadi cemas. Meskipun setiap kali ia berhasil mendesak kedua orang anak muda itu, namun keduanya ternyata cukup kuat untuk mengatasinya. Dalam keadaan yang semakin gawat, karena Darpati memperhitungkan perlawanan yang diberikan oleh Kiai Gumrah dan kawan-kawannya, maka tiba-tiba saja Darpati itu bersuit nyaring.
Adalah sangat mengejutkan bahwa beberapa orang telah muncul dari dalam kegelapan. Dengan serta merta mereka teiah mengepung Manggada dan Laksana. Manggada dan Laksana meloncat surut. Jantung mereka memang menjadi berdebaran. empat orang yang garang dengan senjata ditangan itu nampaknya benar-benar pembunuh yang tidak berjantung.
Winih yang juga terkejut melihat kehadiran mereka tiba-tiba saja melangkah maju sambil bertanya "Apa artinya ini Darpati ? Siapakah mereka dan untuk apa mereka datang kemari?"
“Waktu kita sangat sempit, Winih. Aku terpaksa minta bantuan mereka. Mereka tidak akan berbuat apa-apa. Mereka hanya akan menahan Manggada dan Laksana yang mencoba menghalangimu. Sementara itu kita akan pergi menyelamatkan diri”
"Tetapi apa yang kau lakukan ini sudah berlebihan Darpati” berkata Winih “Aku mengenali keempat orang itu sebagaimana empat orang yang ada di pancuran itu. Meskipun keempat orang yang ada dipancuran itu sudah mati, tetapi rasa-rasanya mereka telah muncul kembali saat ini”
“Winih” kata Darpati “Kau jangan membayangkan yang bukan-bukan seperti itu. Kita tidak mempunyai waktu. Jika saja Manggada dan Laksana tidak mengganggu rencana ini, maka aku tidak akan memanggil mereka, karena sebenarnyalah mereka adalah orang-orang yang aku minta membantuku menyelamatkanmu”
"Darpati" desis Winih kemudian "Aku menjadi semakin tidak mengerti akan sikapmu. Kenapa kau dengan orang-orangmu tidak turun ke medan membantu kakek dan ayah?"
"Tidak ada gunanya Winih" jawab Darpati "Orang yang datang itu terlalu kuat”
"Tetapi kau dan empat orang itu tentu akan sangat berarti bagi kakek, ayah serta kawan-kawan mereka” jawab Winih.
"Sudahlah” berkata Darpati “kita tidak usah berbantah sekarang. Marilah, kita tinggalkan tempat ini”
Namun jawab Winih kemudian justru tidak ragu-ragu lagi "Tidak Darpati. Aku tidak dapat meninggalkan kakek, ayah, ibu serta kakang Manggada dan Laksana dalam kesulitan”
“Apa maksudmu Winih” suara Darpati menjadi meninggi
"Aku akan tetap tinggal bersama mereka apapun yang akan terjadi di rumah ini” jawab Winih.
"Winih, kau jangan bodoh”
"Tidak Darpati. Aku tidak dapat pergi”
"Jika semua orang terbunuh di rumah ini, siapakah yang akan meneruskan keturunan mereka? Keluarga ini akan terputus tanpa anak turun yang dapat melanjutkan kesinambungan hidup mereka” berkata Darpati.
“Itu lebih baik daripada aku hidup dalam siksaan kenangan karena aku kehilangan segala-galanya" jawab Winih.
“Kau tidak akan kehilangan aku, Winih” berkata Darpati bersungguh-sungguh.
"Tetapi kau orang baru bagiku, Darpati. Aku tidak ingin berpisah dari apa yang pernah aku miliki sebelumnya, sedangkan kau bagiku masih merupakan seseorang yang berdiri di luar pintu”
“Winih" berkata Darpati yang menjadi tidak sabar lagi "kita tidak mempunyai waktu untuk berbicara sekarang”
“Tinggalkan aku Darpati. Terima kasih atas segala kebaikanmu sampai saat ini” berkata Winih.
"Tidak. Aku akan pergi bersamamu" sahut Darpati.
“Aku akan tetap berada bersama kakang Manggada dan Laksana apapun yang terjadi” berkata Winih kemudian.
Wajah Darpati menjadi merah. Kesabaran telah sampai ke batas, sehingga iapun berkata “Jika demikian, aku akan membawamu. Maaf jika aku bersikap agak keras, semata-mata demi keselamatanmu”
Tetapi ketika Darpati akan menarik tangan Winih, tiba-tiba saja terdengar suara seorang perempuan "Akhirnya kami yakin ngger, bahwa kami memang tidak dapat mempercayaimu”
"Bibi" Manggada dan Laksana hampir berbareng berdesis "berbahaya bagi bibi untuk turun sekarang”
"Apa boleh buat. Aku tentu tidak akan membiarkan anakku dibawa orang yang meragukan” jawab Nyi Prawara.
"Nyi Prawara!" berkata Darpati "Aku sedang menyelamatkan Winih”
"Tidak. Kau tidak menyelamatkan Winih. Tetapi kau sedang menculik Winih” jawab Nyi Prawara.
Ternyata Darpati memang tidak dapat ingkar lagi. Dengan geram iapun kemudian menjawab "Baik. Baik. Katakanlah aku sedang menculik Winih. Nah, apa yang akan kalian perbuat?”
Suasana menjadi tegang. Darpati telah memegangi pergelangan tangan Winih kuat-kuat dan siap untuk menyeretnya. Katanya kemudian, kepada keempat orang yang mengepung Manggada dan Laksana. "Selesaikan saja mereka. Aku tidak memerlukannya lagi. Manggada dan Laksana memang harus dibunuh. Terserah kau apakan perempuan itu. Sementara aku akan membawa gadis ini pergi”
“Darpati" berkata Nyi Prawara “Ternyata kau memang tidak dapat dicegah lagi. Niatmu membawa Winih sudah bulat. Tetapi katakan, apa yang sebenarnya sedang kau lakukan? Apakah kau mengambil Winih karena Winih seorang gadis yang berkenan di hatimu atau kau mempunyai kepentingan yang lain?”
“Kau berusaha mengulur waktu, Nyai. Tetapi baiklah aku menjawab. Aku memerlukan Winih untuk banyak keperluan. Aku mengambilnya karena ia seorang gadis yang cantik. Tetapi juga akan dapat aku pergunakan sebagai umpan untuk memancing pusaka-pusaka itu. Kelak, aku akan menukarkan Winih dengan pusaka-pusaka itu jika aku sudah menjadi jemu padanya. Jika Kiai Gumrah menolak, maka gadis ini akan mati”
"Licik kau Darpati..." desis Winih.
"Jangan menyesal Winih. Nah, sekarang sudah sampai saatnya kita pergi. Ucapkan selamat tinggal kepada ibumu. Mungkin kau masih akan bertemu lagi kelak, jika kakekmu menyerahkan pusaka-pusaka itu. Tetapi yang pasti, kau tidak akan bertemu lagi dengan Manggada dan Laksana yang akan mati malam ini”
Tetapi ketika Darpati menariknya, maka Winih telah mengibaskan tangan Darpati sehingga genggaman terlepas. Dengan cepat Winih berusaha berlari menjauhi Darpati. Namun Darpati sudah tentu tidak melepaskannya. Dengan kecepatan yang tinggi Darpati meloncat sambil menjulurkan tangannya untuk menggapai pundak Winih.
Tetapi yang tidak pernah diduga sebelumnya telah terjadi. Demikian tangan Darpati terjulur, maka Winih justru berhenti sambil merendahkan dirinya. Dengan merendah Winih menarik Darpati lewat di atas pundaknya. Dengan ayunan tubuh Darpati sendiri, maka Darpati itu telah terlempar lewat di atas pundak Winih.
Darpati adalah seorang yang berilmu tinggi. Tetapi karena yang dihadapinya itu sama sekali tidak diduganya, maka ia memang menjadi lengah. Meskipun demikian, kelihaian tubuhnya telah menolongnya. Darpati jatuh dengan mapan. Ia sempat berguling dua kali di tanah, kemudian meloncat bangkit dengan wajah yang merah menyala.
"Winih...!" Darpati menggeram.
Ternyata Winih sudah berubah. Ia bukan lagi gadis yang lembut yang mulai meningkat dewasa. Wajahnya memang masih tetap cantik, tetapi sorot matanya yang tajam bagaikan menusuk langsung ke pusat jantung Darpati.
Ketika Darpati melangkah mendekat, maka Winih telah menyingsingkan kain panjangnya. Ternyata Winih memang sudah mengenakan pakaian khusus di bawah kain panjangnya itu.
Darpati berdiri termangu-mangu. Bahkan orang-orang yang ada di sekitarnya pun bagaikan membeku Manggada dan Laksana justru menjadi bingung. Bahkan empat orang yang muncul dari kegelapan itupun berdiri mematung pula.
"Darpati..." terdengar suara Winih yang bergetar "Aku ternyata hampir saja menjadi korbanmu. Aku tidak mengira bahwa kau dapat berlaku sedemikian liciknya, sehingga aku hampir saja terjerumus ke dalam kesulitan”
"Winih...!” geram Darpati “Kau ternyata juga tidak jujur. Kau tidak pernah menunjukkan kesan, bahwa kau memiliki kelebihan dari kebanyakan perempuan. Sehingga seandainya aku tidak berniat memanfaatkan hubungan kita, kau pun tidak mempercayai aku sepenuhnya. Dengan demikian maka kita ternyata berdiri pada sikap yang sama”
"Tidak Darpati" jawab Winih "Jika aku tidak menunjukkan pribadiku seutuhnya, justru aku ingin menjaga wibawamu sebagai seorang laki-laki. Aku tidak mau menyinggung perasaanmu, karena aku menduga bahwa apa yang kau perbuat terhadapku, termasuk perlindunganmu itu kau lakukan karena kau merasa sebagai seorang laki-laki. Jika kau sadari bahwa apa yang kau lakukan itu sia-sia, maka kau tentu akan kecewa”
"Sekarang kita sudah tidak berpura-pura lagi Winih. Aku tidak dan kau pun tidak” geram Darpati kemudian.
“Bagus Darpati, aku sudah melihat bagaimana kau bertempur. Aku sadar, bahwa apa yang aku lihat itu tentu belum seluruhnya. Apalagi ketika kau bertempur melawan dua orang di pancuran itu. Tetapi waktu itu keraguanku agaknya telah disaput asap yang telah mengaburkan mata hatiku memandang bentuk lahiriahmu. Bahkan aku telah mengabaikan nasehat ayah, ibu dan kakekku yang mempunyai pandangan yang lebih wajar karena mereka tidak terlihat dalam perasaan yang lain” sahut Winih.
"Bersiaplah Winih, kita akan benar-benar bertempur. Aku tidak akan sekedar bermain-main atau karena aku kau anggap mencintaimu, maka aku akan menahan diri dalam keadaan-keadaan yang menentukan” geram Darpati.
“Aku mengerti Darpati. Aku pun tidak akan menahan diri meskipun aku tidak ingkar, bahwa aku memang pernah tertarik kepadamu” jawab Winih.
"Tetapi ingat, Manggada dan Laksana akan mati malam ini. Jika kau berkeras melawan betapapun tinggi ilmumu, namun kau tentu akan tunduk kepadaku, jika kau tidak ingin ibumu menjadi korban pula” ancam Darpati.
Tetapi Nyi Prawara yang melihat anak perempuannya telah bangkit itupun berkata "Jangan hiraukan aku Winih. Aku tidak apa-apa. Tidak pula akan terjadi apa-apa atasku”
Darpati termangu-mangu sejenak. Suara itu bukan suara seorang perempuan yang cemas dan ketakutan. Tetapi suara itu justru merupakan suara seorang yang penuh akan kepercayaan dan keyakinan atas kemampuannya. Karena itu, maka Darpati tidak mau menunggu lebih lama lagi. iapun segera berteriak kepada orang-orangnya.
"Selesaikan kedua orang anak muda itu. Mereka harus mati. Tangkap perempuan tua yang sombong itu. Kita akan dapat memanfaatkannya. Jika ternyata tidak, kita akan dapat membunuhnya kelak. Biarlah aku mengurus gadis manis ini. Bagaimanapun juga aku memerlukannya. Setidak-tidaknya untuk beberapa bulan”
Winih yang mendengar kata-kata Darpati itu jantungnya bagaikan tersentuh api. Karena itu, maka iapun segera meloncat menyerang. Namun Darpati berhasil menghindarinya dengan bergeser selangkah ke samping. Dengan demikian, maka pertempuran pun segera telah mulai.
Ternyata Nyi Prawara bukan sekedar seorang perempuan yang pandai menunggui perapian menanak nasi dan membuat wedang jahe yang manis. Bukan pula sekedar memiliki kemampuan tentang obat-obatan, tetapi juga seorang perempuan yang memiliki kelebihan.
Dalam keadaan yang gawat itu, Nyi Prawara sebagaimana juga Winih telah menyingsingkan kain panjangnya. Nyi Prawara pun telah mengenakan pakaian khusus pula untuk menghadapi orang-orang yang telah siap menyerangnya. Bahkan Nyi Prawara itu sempat berkata, “Angger Manggada dan Laksana. Pertahankan dirimu. Bertempurlah berpasangan”
Manggada dan Laksana tidak menjawab. Tetapi keduanya telah merapat. Mereka sadar, bahwa kemampuan mereka masih di bawah kemampuan Darpati dan bahkan mungkin juga di bawah kemampuan orang-orang Darpati itu.
Dalam pada itu, maka dua orang kawan Darpati itu segera bersiap melawan Manggada dan Laksana. Sementara dua orang lagi telah beriap untuk menangkap hidup-hidup Nyi Prawara. Namun baik Manggada dan Laksana, maupun Nyi Prawara, telah bersiap pula menghadapi mereka.
Sejenak kemudian, maka pertempuran pun telah berlangsung dengan cepat. Manggada dan Laksana telah berusaha mengerahkan segenap kemampuan mereka. Namun dalam waktu yang pendek, maka kedua orang lawan mereka pun telah mampu menekan kedua orang anak muda itu.
Namun Manggada dan Laksana tidak mudah berputus asa. Keduanya telah mengerahkan kemampuan mereka. Namun ternyata lawan-lawan mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi, sehingga sejenak kemudian Manggada dan Laksana telah terdesak, semakin lama semakin jauh memasuki kebun rumah Kiai Gumrah.
Nyi Prawara yang bertempur melawan kedua orang lawannya ternyata masih mampu bertahan. Kedua orang lawannya yang berumu tinggi itu telah membentur perlawanan yang keras dari seorang perempuan. Namun semakin lama Nyi Prawara pun mulai mengalami kesulitan pula. Meskipun ternyata ilmu Nyi Prawara berada pada tataran yang lebih tinggi dari dugaan kedua orang lawannya.
Meskipun demikian, Nyi Prawara masih berusaha untuk memperpanjang waktu perlawanannya. Nyi Prawara masih berharap bahwa suami dan mertuanya akan dapat lebih cepat menyelesaikan lawan-lawannya di halaman depan sebelum Nyi Prawara kehabisan kesempatan mempertahankan diri.
Namun Nyi Prawara itu mulai menjadi cemas melihat kesulitan yang dialami oleh Manggada dan Laksana. Tetapi Nyi Prawara masih belum mendapat kesempatan untuk membantu mereka.
Sementara itu, Winih benar-benar sudah bertempur dengan Darpati. Keduanya telah meningkatkan ilmu mereka semakin tinggi. Darpati memang menjadi heran, bahwa Winih ternyata mampu mengimbangi kemampuannya. Bahkan kadang-kadang. gadis itu telah mengejutkannya.
Ketika serangan Winih sempat menyusup di sela-sela pertahanan Darpati dan mengenai bahunya, maka Darpati itu telah meloncat surut. Serangan Winih terasa sakit di bahunya. Keempat jari-jari tangan Winih yang terbuka dan merapat, rasa-rasanya bagaikan meretakkan tulangnya.
"Ternyata gadis ini memiliki ilmu iblis" geram Darpati di dalam hatinya "sikapnya yang seakan-akan tidak tahu apa apa itu ternyata justru ungkapan dari kepercayaannya akan kemampuannya, sehingga ia tidak merasa gentar sama sekali”
Sebenarnyalah Winih sama sekali tidak terguncang oleh serangan-serangan Darpati yang datang beruntun bagaikan arus ombak yang menepis tebing. Seperti kokohnya batu karang ia menghalau setiap serangan. Bahkan benturan-benturan yang terjadi memperingatkan Darpati, bahwa Winih memiliki tenaga dalam yang sangat besar.
"Gadis itu masih muda..." berkata Darpati kepada diri sendiri "Apakah sejak di dalam kandungan ibunya ia sudah belajar olah kanuragan?"
Namun Nyi Prawara juga seorang perempuan yang berilmu tinggi. Melawan dua orang kawan Darpati yang dianggap akan dengan mudah menyelesaikan tugas mereka, ternyata Nyi Prawara masih mampu bertahan, betapa ia sekali-sekali harus berloncatan surut.
Yang mencemaskan adalah Manggada dan Laksana. Darpati yang mulai gelisah menahan kemampuan Winih yang ternyata tidak kalah dari ilmunya, telah berusaha mempengaruhi ketahanan jiwani Winih dengan kata-katanya. Dengan lantang Darpati berteriak.
"Jangan menunggu apa-apa. Bunuh kedua orang kelinci kecil itu”
Kedua orang yang melawan Manggada dan Laksana memang tidak akan mendapat banyak kesulitan. Meskipun Manggada dan Laksana pernah berguru sehingga menguasai landasan kemampuan dasar dari perguruan kecilnya, namun menghadapi dua orang berilmu tinggi, keduanya memang mengalami kesulitan. Tataran ilmu Manggada dan Laksana masih belum setingkat dengan kedua orang lawannya itu.
Teriakan itu memang mempengaruhi perasaan Winih. Winih memang menjadi gelisah melihat. Manggada dan Laksana. Meskipun keduanya baru dikenalnya di rumah kakeknya, tetapi justru karena keduanya diaku sebagai cucu oleh Kiai Gumrah, maka rasa-rasanya mereka sudah menjadi seperti sanak kadang sendiri.
Karena itu, bagaimanapun juga Winih tidak dapat bertempur tanpa mempedulikan keadaan Manggada dan Laksana. Tetapi Winih sendiri menghadapi Darpati yang berilmu tinggi, sehingga karena itu, maka Winih memang menjadi gelisah sebagaimana dikehendaki oleh Darpati.
Dalam kegelisahan itu, maka Winih menjadi kurang dapat memusatkan perhatiannya kepada lawannya. Sekali-sekali Winih masih juga berusaha berpaling ke arah Manggada dan Laksana.
Tetapi Manggada dan Laksana menjadi semakin terdesak ke dalam kegelapan. Sementara itu, Nyi Prawara juga masih belum dapat mengatasi lawannya. Bahkan sekali-sekali Nyi Prawara memang harus mengambil jarak untuk memperbaiki keadaannya.
Dalam pada itu, karena kedua lawannya bersenjata, maka Nyi Prawara pun telah mengurai senjatanya pula. Seutas rantai baja yang tidak terlalu panjang dan tidak terlalu besar. Namun di tangan Nyi Prawara rantai itu menjadi sangat berbahaya. Ujungnya bergerak menyambar-nyambar. Kemudian terayun menebas keatas dada. Tetapi tiba-tiba mematuk ke arah kerung lawan-lawannya...
"Nah, siapa yang dapat menunjukkan kesalahanku atau kesalahan cucu-cucuku. Maksudku tentu kesalahan yang mendasar. Yang berarti, sehingga pantas dijadikan alasan untuk mengusir aku dari padukuhan ini. Katakan. Siapa yang akan mengatakannya?"
Orang-orang itu justru terdiam "Atau sekedar prasangka buruk? Atau lebih buruk dari itu? Fitnah, hasutan orang lain karena iri, dengki atau kepentingan-kepentingan yang lain?”
Ki Bekel yang tidak siap menerima pertanyaan, yang beruntun itu justru terdiam. Meskipun wajahnya menjadi tegang, tetapi mulutnya justru terbungkam. Ia tidak dapat langsung menjawab. Apalagi orang-orang lain yang mengikutinya sambil membawa obor itu. Mereka benar-benar menjadi bingung.
Sementara beberapa orang di antara mereka sebelumnya sama sekali tidak mempunyai persoalan apapun dengan Kiai Gumrah yang mereka kenal sebagai seorang penyadap legen kelapa untuk dibuat gula. Bahkan ada di antara mereka yang menganggap bahwa Kiai Gumrah adalah seorang tua yang baik dan ramah.
Untuk sesaat halaman rumah Kiai Gumrah itu menjadi hening. Ki Bekel hanya berdiri termangu-mangu saja. Sementara orang-orang yang membawa obor di halaman itu menjadi bingung.
Namun tiba-tiba dalam keheningan itu terdengar seseorang berteriak, "Kiai Gumrah. Jangan berpura-pura tidak tahu akan kesalahanmu sendiri. Memang bukan sekedar lampu banjar tua atau halaman banjar itu yang kotor. Juga bukan sekedar karena cucu-cucumu yang berkelahi dan memukuli Rambatan yang tidak bersalah meskipun Rambatan kami anggap anak nakal di sini. Tetapi yang lebih mendasar dari kesalahanmu adalah, bahwa kau adalah seorang tukang tenung. Kau mempunyai kemampuan ilmu sihir yang kau pergunakan untuk tujuan yang buruk. Kau sudah membunuh beberapa orang dengan tenungmu atas upah orang lain.”
Kiai Gumrahlah yang kemudian terkejut mendengar jawaban itu. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa tuduhan yang dilemparkannya adalah pekerjaan yang sama sekali tidak dimengertinya. Tenung. Karena itu, maka Kiai Gumrah pun langsung mengerti, bahwa orang yang menghasut Ki Bekel adalah orang yang benar-benar menghendaki kehancurannya.
Dengan demikian, maka hampir di luar kesadarannya iapun berdesis kepada kawan-kawannya "Kita benar-benar berhadapan dengan mereka. Tetapi kita belum tahu, sejauh mana sasaran yang mereka kehendaki dengan permainan yang kotor ini”
Kawan-kawannya pun mengangguk-angguk. Mereka pun melihat permainan yang kotor dan licik itu. Bahkan orang-orang yang berniat mengambil pusaka-pusaka itu sampai hati mengumpankan orang-orang yang tidak tahu apa yang sebenarnya mereka lakukan itu.
Dalam pada itu, maka terdengar suara itu lagi, "Jika kita ingin padukuhan kita bersih, maka orang tua itu harus diusir dari padukuhan ini”
"Jika perlu bunuh saja" suara itu terdengar lagi.
Tetapi tidak terdengar sahutan yang serta-merta. Orang-orang yang membawa obor itu tidak lagi berteriak-teriak. Namun dalam pada itu, Ki Bekel yang seakan-akan sudah terbangun dari mimpinya itu tiba-tiba saja telah berteriak pula.
"Nah, apa katamu Kiai Gumrah. Berapa orang yang telah kau bunuh dengan tenagamu dengan upah orang lain? Orang-orang yang tidak pernah bersalah kepadamu dan bahkan belum pernah mengenalmu, harus mati karena ilmu hitammu...”
Dan suara itu terdengar lagi "Bunuh saja. Bunuh saja”
Karena tidak ada sahutan yang gemuruh, maka Ki Bekel pun kemudian berteriak "He, saudara-saudaraku. Jika kemarin kiai Gumrah telah membunuh orang yang tidak kalian kenal, apa kata kalian jika besok atau lusa kalian sendiri yang akan dibunuhnya? Apalagi setelah Kiai Gumrah melihat kalian datang malam ini bersamaku untuk mengusirnya.”
Beberapa orang memang mulai terpengaruh lagi. Tetapi tidak menghentak dan bahkan ada orang yang sempat berpikir apa yang sebenarnya dilakukannya.
Dalam pada itu Kiai Gumrah pun berkata, "Saudara saudaraku. Satu perbuatan yang keji telah dilakukan oleh sekelompok orang yang datang untuk menghasut Ki Bekel dan bahkan menghasut kalian semuanya. Jika aku pernah membunuh seorang pun dengan tenung, nah, katakan siapakah yang telah aku bunuh itu. Apa pula tanda-tandanya bahwa akulah yang telah membunuhnya? Sebelum kalian datang ke rumahku hari ini, apakah kalian pernah mendengar sepatah kata pun dari siapapun yang mengatakan bahwa aku memiliki ilmu tenung? Tidak saudara-saudaraku. Baru-saat ini orang yang menuduhku mempunyai ilmu tenung itu ingat, tuduhan apakah yang terbaik dikatakan untuk memperkuat niatnya mengusir aku, meskipun aku tidak tahu apakah tujuannya yang sebenarnya”
"Jangan dengarkan ia membual" terdengar suara dari antara orang-orang yang membawa obor itu "orang tua tukang tenung itu harus diusir dari padukuhan ini”
Dan suara yang itu-itu juga terdengar lagi "Bunuh saja orang tua tukang tenung itu”
Tetapi dengan cepat Kiai Gumrah berkata, "Saudara-saudaraku. Kalian tidak usah bersusah payah membunuh aku. Jika kalian dapat membuktikan bahwa aku tukang tenung, maka aku akan membunuh diri di hadapan saudara-saudaraku malam ini juga”
"Bohong. Omong kosong" teriak seseorang "Selama ini orang yang kau bunuh adalah orang-orang yang tidak tinggal di padukuhan ini. Tetapi besok, lusa dan kesempatan berikutnya?"
Ki Bekel pun berteriak pula "Orang itu memang licik. Sekarang kita harus segera bertindak. Usir orang itu. Usir juga kawan-kawannya. Mereka tentu juga tukang tenung atau pembantu-pembantu Kiai Gumrah”
Tetapi juragan gula itulah yang kemudian melangkah maju sambil berkata "Ki Sanak. Apakah kalian lupa kepadaku? Apakah kalian belum mengenal aku? Sebagian besar dari Ki Sanak tentu pernah berhubungan dengan aku. Mungkin di pasar atau di rumah atau di mana saja. Demikian pula kawan-kawanku yang hari ini sengaja datang untuk sekedar berbincang di rumah ini. Bukankah gula kami tetap manis? Nah, kenapa tiba-tiba saja kalian seperti orang bermimpi dan berbicara tentang tenung?"
“Cukup. Cukup!" Ki Bekel berteriak. Lalu katanya kepada orang-orang yang datang bersamanya “Nah, kalian sudah mulai merasakan, betapa tajamnya pengaruh sihirnya atas kalian. Kalian yang datang dengan tekad yang bulat, kini kalian seakan-akan telah kehilangan diri kalian, masing-masing. Karena itu, maka kalian harus cepat bertindak sebelum kalian akan menjadi lemas dan jatuh pingsan di halaman rumah ini. Padukuhan ini mulai besok akan dimakan page-blug Pagi sakit, sore mati dan sore mulai sakit, paginya sudah mati”
Beberapa orang mulai tergerak lagi. Para bebahu yang sudah terbius oleh janji-janji yang muluk tanpa menghiraukan kebenaran telah berteriak pula "Usir orang itu!”
Dan suara itu terdengar lagi "Bunuh saja. Bunuh saja”
Orang-orang yang membawa obor itu menjadi semakin kebingungan. Tetapi ketika Ki Bekel dan para bebahu mulai bergerak dan berteriak-teriak, maka beberapa orang pun telah mulai melakukannya pula.
Namun dalam sekilas Kiai Gumrah dan kawan-kawannya sempat melihat beberapa orang yang tidak dikenalnya di antara mereka yang membawa obor itu. Karena itu, maka Kiai Gumrah pun berteriak keras-keras,
"He, lihat. Siapakah yang berteriak paling keras di antara kalian? Selain Ki Bekel, lihat, apakah kalian, orang-orang padukuhan ini mengenali beberapa orang di antara kalian? Orang yang justru berusaha mempengaruhi kesadaran kalian? Ingat, kita adalah sama-sama penghuni padukuhan ini. Kita sudah mengenal masing-masing lahir dan batinnya. Tetapi kalian lihat, siapakah orang-orang yang paling gigih mengajukan tuntunan terhadap kami malam ini?"
Tetapi Ki Bekel tidak memberi kesempatan berpikir kepada orang-orangnya. iapun kemudian berteriak, "Cepat, usir orang itu. Semakin cepat semakin baik”
Tetapi Ki Bekel tidak mampu menggerakkan semua orang yang datang ke halaman rumah Kiai Gumrah. Memang beberapa orang yang melihat beberapa orang bebahu mendesak maju, mereka pun ikut-ikutan pula. Bahkan beberapa orang telah mendorong mereka dari belakang. Ketika seorang di antara mereka berpaling, ternyata yang mendorongnya adalah orang yang tidak dikenalnya. Bukan penghuni padukuhan itu.
Sementara itu, Kiai Gumrah sesaat menjadi bingung. Ia tidak ingin berkelahi melawan tetangga-tetangganya sendiri. Tetapi iapun tidak mau menjadi bulan-bulanan oleh Ki Bekel yang telah dihasut oleh orang-orang yang tidak dikenal itu.
Karena itu, ketika sebagian dari orang-orang yang datang ke halaman rumah Kiai Gumrah itu mulai bergerak, maka Kiai Gumrah pun berdesis kepada kawan-kawannya "Apa boleh buat. Kita tidak akan mengumpankan diri dimakan api obor-obor itu. Tetapi kita harus tahu diri, siapapun yang kita hadapi”
Kawan-kawan Kiai Gumrah itupun menyadari, bahwa yang akan mereka hadapi bukan orang-orang padukuhan itu. Tetapi orang-orang yang justru tidak dikenal yang berteriak-teriak paling keras untuk memacu kemarahan orang-orang padukuhan itu.
Namun Kiai Gumrah kemudian telah membuat rencana tersendiri. Ketika orang-orang itu mendesak maju, maka iapun meloncat dengan cepatnya. Jauh melampaui kecepatan yang dapat dibayangkan oleh orang-orang padukuhan itu, yang tidak mengetahui kemampuan Kiai Gumrah yang sebenarnya.
Sebelum orang-orang yang datang ke rumahnya itu menyadari, maka Kiai Gumrah telah menangkap Ki Bekel. Diputarnya tangan Ki Bekel itu setelah ditarik beberapa langkah surut menjauhi orang-orang yang bergerak itu.
Adalah di luar kemampuan pengamatan orang-orang yang mengikutinya termasuk para bebahu, maka Kiai Gumrah itu telah menarik keris Ki Bekel itu sendiri. Sambil mengacukan ujung keris itu ke leher Ki Bekel, maka Kiai Gumrah pun berteriak "Berhenti. Atau Ki Bekel ini akan menjadi mayat”
Orang-orang yang mengikuti Ki Bekel itu terkejut. Mereka memang berhenti bergerak. Di hadapan mereka, diterangi oleh cahaya obor, maka mereka melihat ujung keris Ki Bekel itu sendiri telah melekat di lehernya.
"Apa boleh buat?” berkata Kiai Gumrah keras-keras "Kalian tidak akan dapat membunuh aku dua kali. Jika kalian benar-benar ingin membunuhku, maka Ki Bekel ini akan mati juga bersamaku”
Para bebahu padukuhan itu menjadi tegang. Sementara itu Ki Bekel sendiri sudah tidak berdaya. Tangannya yang sebelah terpilin di belakang tubuhnya, sementara ujung kerisnya sendiri melekat di lehernya.
"Ki Bekel..." berkata Kiai Gumrah "Perintahkan orang-orangmu untuk mundur”
Karena Ki Bekel masih berdiam diri, maka ujung keris itu mulai menekan kulitnya. Kiai Gumrah itupun berkata lagi "Cepat, atau Ki Bekel akan mati bersamaku”
Ki Bekel memang tidak dapat berbuat lagi. Dengan, suara parau ia berkata "Mundurlah. Mundurlah”
Suasana benar-benar menjadi tegang. Para bebahu dan orang-orang yang membawa obor itu tidak mempunyai pilihan lain. Setapak demi setapak mereka melangkah surut. Ternyata hal itu tidak mereka perhitungkan sebelumnya. Juga orang-orang yang tidak dikenal oleh orang-orang padukuhan itu tidak memperhitungkannya. Karena itu, ketika hal itu terjadi, mereka harus berpikir untuk mencari jalan keluar.
Namun satu hal harus terjadi, keributan di halaman rumah itu. Karena itu, ketika Ki Bekel yang tidak berdaya itu memerintahkan orang-orangnya untuk melangkah surut, maka beberapa orang tiba-tiba telah bergerak sambil berteriak,
"Bunuh tukang tenung itu. Jangan hiraukan Ki Bekel. Untuk mencapai satu tujuan yang besar, kita harus berani memberikan pengorbanan”
Para bebahu dan orang-orang padukuhan itu semakin menjadi bingung. Sementara beberapa orang mulai bergerak sambil mendorong orang-orang padukuhan itu untuk bergerak maju.
"Marilah, jangan hiraukan Ki Bekel..." teriak seseorang.
Tetapi Ki Bekel memberikan isyarat dengan tangannya yang sebelah, yang sengaja dilonggarkan oleh Kiai Gumrah sambil berteriak."Jangan. Mundurlah...”
Tetapi orang-orang itu berteriak "Kita selesaikan orang itu sekarang. Jangan menunda lagi”
Kiai Gumrahlah yang kemudian bergumam "Ki Bekel. Orang-orang itu tidak menghiraukan lagi nyawamu. Mereka membiarkan kau mati bersamaku”
"Tidak. Jangan lakukan itu. Aku masih ingin hidup" teriak Ki Bekel sambil meronta.
Kiai Gumrah terpaksa melonggarkan tekanan kerisnya agar tidak melukai leher Ki Bekel Dengan nada berat ia berkata "Kau lihat Ki Bekel, bahwa ternyata kau juga tidak berharga. Harga nyawamu sama dengan harga nyawaku.”
"Terkutuklah kalian. Jangan biarkan aku mati” Tetapi teriakan Ki Bekel benar-benar tidak berarti.
Seseorang di antara orang-orang yang menyusup itu berteriak "Relakan Ki Bekel. Kita akan segera memilih orang baru. Mungkin salah seorang dari para bebahu yang ada di sini akan dipilih menjadi Bekel di padukuhan ini”
"Setan kau!" geram Ki Bekel “Ternyata kalian adalah pengkhianat....”
"Jangan dengarkan Ki Bekel yang cengeng dan sedang merajuk itu, Ia harus rela menjadi korban bagi kepentingan padukuhan ini. Jika ia memang seorang pemimpin yang baik, maka seharusnya tidak memikirkan diri sendiri. Seandainya ia harus mati, maka kematiannya akan menjadi pupuk mensejahteraan rakyat padukuhan ini. Dengan demikian, maka Ki Bekel akan mati sebagai seorang pahlawan. Berbahagialah kalian mempunyai seorang pemimpin yang bersedia mengorbankan dirinya. Kalian pun selanjutnya akan memiliki seorang pahlawan yang akan dapat kalian ceriterakan kepada anak cucu kalian.”
Jantung orang-orang padukuhan itu, terutama para bebahu, menjadi semakin terguncang. Kata-kata itu memang sangat mempengaruhinya, sehingga mereka pun mulai bergerak lagi. Namun yang mereka hadapi kemudian seakan-akan bukan lagi Kiai Gumrah yang mereka kenal sehari-hari. Orang yang memilih tangan Ki. Bekel dan mengacukan ujung keris ke lehernya itu seolah-olah adalah orang lain. Seorang yang sangat garang dengan pandangan mata yang menyala bagaikan bara api.
Ketika orang-orang yang tidak dikenal itu mendorong beberapa orang maju, maka Kiai Gumrah pun berkata, "Ki Bekel. Sekarang kau dapat menilai sendiri. Bukankah, kau sekedar diumpankan untuk memancing kerusuhan di sini. Aku akan melepaskanmu. Terserah, apa yang akan kau lakukan. Tetapi aku akan melawan habis-habisan menghadapi orang-orang yang tidak dikenal itu”
Ki Bekel, tidak menjawab. Namun seperti yang dikatakan, ketika sekelompok orang benar-benar menyerang, maka Ki Bekel itu telah dilepaskannya. Didorongnya Ki Bekel ke samping, sementara Kiai Gumrah pun telah meloncat menghadapi orang-orang yang memang menyerangnya. Justru bukan orang-orang padukuhan itu.
Demikianlah, maka pertempuran pun telah terjadi. Kawan-kawan Kiai Gumrah dan Ki Prawara telah bertempur menghadapi beberapa orang yang ikut serta menyelinap di antara berpuluh orang yang datang ke halaman rumah itu.
Beberapa saat kemudian, pertempuran pun menjadi semakin sengit dan keras. Para pembuat gula itu benar-benar berubah. Mereka bukan orang-orang tua yang ramah, yang menerima uang keping demi keping ketika mereka menjual gulanya. Tetapi mereka telah menjadi orang-orang yang garang dan bertempur dengan mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan mereka.
Dalam pertempuran yang tegang itu terdengar Kiai Gumrah berkata, "Kalian tidak akan dapat ingkar lagi. Kalian adalah para pengikut Kiai Windu Kusuma”
"Persetan dengan igauanmu..." geram lawan Kiai Gumrah.
"Ki Bekel..." teriak Kiai Gumrah "Perhatikan mereka. Mereka adalah orang-orang jahat yang telah menghasut dan memperalat Ki Bekel untuk memusuhi kami.”
Ki Bekel berdiri termangu-mangu. Para bebahu pun telah berloncatan menepi. Mereka tidak lagi mengerti apa yang telah terjadi di halaman rumah Kiai Gumrah itu. Yang mereka lihat adalah pertempuran yang menjadi semakin sengit.
Orang-orang yang datang sambil membawa obor itu mulai sempat menilai apa yang telah mereka lakukan. Demikian pula beberapa orang bebahu. Bahkan Ki Bekel sendiri yang merasa dikhianati. Apalagi setelah ternyata Kiai Gumrah telah melepaskannya tanpa menyakitinya.
"Jika saja ia ingin membunuhku, maka ia tidak akan mengalami kesulitan” berkata Ki Bekel di dalam hatinya.
Dalam pada itu, pertempuran pun menjadi semakin cepat. Ternyata orang-orang yang menyusupi di antara berpuluh orang padukuhan itupun cukup banyak, sehingga Kiai Gumrah, enam tamunya dan Ki Prawara harus bekerja keras untuk bertahan. Namun mereka pun segera menyadari, bahwa yang dikirim oleh Kiai Windu Kusuma saat itu bukanlah orang yang terbaik.
Kiai Gumrah pun segera teringat akan Darpati yang hari itu menjadi sangat marah karena ia gagal membawa Winih, Manggada dan Laksana. Agaknya Darpati termasuk salah seorang yang menggerakkan orang-orang Kiai Windu Kusuma itu.
Sebenarnyalah bahwa Darpati memang ikut bergerak malam itu. Manggada dan Laksana yang ada di ruang belakang telah mendengar pintu diketuk orang perlahan-lahan. Namun keduanya tidak segera membukakannya.
Dalam keragu-raguan itu Winih pun telah datang pula sambil berdesis "Aku mendengar pintu diketuk orang.”
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Namun dengan berdesis Manggada.berkata. "Kita tidak dapat membukakannya.”
Winih memang tidak memaksa, tetapi tiba-tiba saja terdengar desis di pintu "Winih. Apakah kau mengalami kesulitan?"
Winih terkejut mendengar suara itu. Suara itu adalah suara Darpati. Namun ketika ia melangkah ke pintu, Manggada memperingatkannya "Winih. Jangan kau buka pintu itu.”
Winih memang menjadi, ragu-ragu. Namun terdengar lagi suara itu "Winih. Sebenarnya aku ingin tidak mempedulikan apa yang terjadi karena kakekmu telah menyakiti hatiku. Tetapi ternyata aku tidak sampai hati membiarkan kau terlindas oleh kerusuhan yang terjadi itu. Kakekmu, ayahmu dan kawan-kawannya agaknya mengalami kesulitan karena, yang datang bukan hanya orang-orang padukuhan ini. Tetapi juga beberapa orang yang tidak dikenal”
Manggadalah yang menyahut "Terima kasih atas kesediaanmu Darpati. Jika kakek mengalami kesulitan, turunlah ke medan pertempuran itu. Selamatkan kakek dan paman Prawara serta kawan-kawannya”
Sejenak tidak terdengar jawaban Darpati. Namun kemudian suara itu terdengar lagi “Manggada. Aku tidak dapat melakukannya karena hanya akan sia-sia saja. Orang-orang yang datang itu terlalu banyak. Bahkan di antara mereka terdapat orang-orang berilmu tinggi. Karena jalan yang terbaik bagi kalian adalah meninggalkan tempat ini meskipun hanya untuk sementara sebelum kita menemukan jalan lain”
"Tidak Darpati. Aku tidak dapat membuka pintu itu” jawab Manggada.
Namun dalam pada itu, Winih berdiri dengan tegang. Keringatnya mengalir membasahi keningnya. Dipandanginya pintu yang bergetar diketuk-ketuk dari luar. Sementara Manggada dan Laksana tidak mau membuka pintu itu.
Ketegangan yang sangat ternyata telah mencengkam jantung Winih. Ada sesuatu yang bergejolak di dadanya. Namun tiba-tiba di luar dugaan Manggada dan Laksana, Winih itupun dengan serta merta berlari menuju ke pintu. Tanpa minta pertimbangan siapapun juga, Winih telah mengangkat selarak pintu itu dan membukanya.
“Winih” Manggada dan Laksana yang terkejut itu berteriak.
Tetapi pintu itu sudah terbuka. Darpati yang berdiri di luar pintu itu juga terkejut. Ia memang tidak mengira bahwa pintu akan segera dibuka. Namun demikian ia melihat Winih berdiri di muka pintu, maka iapun segera menangkap tangannya dan menariknya keluar.
"Marilah Winih. Waktu kita sangat sempit...”
Sementara itu Nyi Prawara yang mendengar teriakan Manggada dan Laksana telah datang pula sambil bertanya, “Kenapa dengan Winih?"
Manggada tidak sempat menjawab, karena ia telah berlari menyusul. Laksana yang sedang melangkah itupun terhenti sambil menjawab "Winih telah membuka pintu. Ia sedang ditarik Darpati keluar”
Laksana tidak memberikan penjelasan lebih panjang. Tetapi iapun segera berlari menyusul. Di luar pintu ternyata Winih tidak begitu saja mengikuti Darpati yang berusaha menariknya. Sambil menahan dirinya Winih bertanya “Darpati. Kita, akan pergi ke mana?"
"Marilah Winih" sahut Darpati "Jangan bertanya sekarang. Kita menyelamatkan diri lebih dahulu. Baru nanti kita berbincang”
Namun dalam pada itu, Manggada dan kemudian disusul oleh Laksana pun telah berdiri di sebelah Winih. Dengan nada berat Manggada bertanya. “Apa yang akan kau lakukan Darpati?”
"Sudah aku katakan. Aku akan menyelamatkan Winih” jawab Darpati.
"Tidak. Kau tidak dapat membawanya pergi" jawab Manggada.
"Manggada" desis Darpati "Apakah kau tidak sayang kepada adikmu? Bukankah seharusnya kau ikut membantuku, menyelamatkan adikmu. Kenapa justru kau berniat menghalanginya? Apakah dengan demikian bukan berarti bahwa kau ikut menjerumuskan adikmu dalam kesulitan?"
“Apapun yang kau katakan, tetapi kami tidak dapat melepaskan Winih pergi” geram Laksana.
"Laksana. Aku mencintai, Winih. Barangkah kata-kata itu belum pernah aku katakan. Bahkan kepada Winih sendiri. Tetapi sikapku dan perbuatanku telah menyiratkan nilai dari sikapku itu. Karena itu, maka aku pun ingin menyelamatkannya”
“Terima kasih atas niatmu. Tetapi kami tidak setuju dengan cara yang kau tempuh” Jawab Laksana.
“Jika demikian, apa boleh buat. Aku akan mempergunakan caraku yang mungkin tidak sesuai dengan maksudmu” berkata Darpati.
"Aku akan membawa Winih kembali masuk ke ruang dalam" berkata Manggada.
"Tidak. Aku akan membawa Winih pergi" geram Darpati.
Ketika Darpati akan menarik Winih semakin jauh, Manggada dan Laksana telah bergerak untuk menghalanginya. Namun Darpati pun tertawa pendek. Katanya "Manggada dan Laksana. Kita sudah saling mengetahui kemampuan kita masing-masing. Nah, apakah kau akan berani melawan aku?"
"Apapun yang terjadi, kami tidak akan melepaskan Winih" jawab Manggada.
Darpati memang menjadi kehilangan kesabarannya. Sambil mendorong Winih ke samping ia berkata, "Aku terpaksa melakukannya, Winih. Waktu kita tidak banyak, sementara orang-orang itu menjadi semakin buas. Jika mereka berhasil mengalahkan kakek, ayahmu dan kawan-kawannya, maka nasibmu akan menjadi sangat buruk”
Manggada dan Laksana tidak mempedulikannya lagi. Mereka pun segera melangkah mendekati Darpati yang telah siap pula menghadapinya. Sejenak kemudian, maka Manggada dan Laksana itu telah bertempur melawan Darpati. Sejak semula Manggada dan Laksana telah menyadari, bahwa ilmu mereka tidak akan mampu melawan Darpati. Namun keduanya, tidak mempunyai pilihan lain karena mereka tidak akan dapat membiarkan Winih dibawa oleh Darpati yang memang mencurigakan sejak semula.
Namun Manggada dan Laksana bukannya tidak berkemampuan sama sekali. Keduanya pernah menerima ajaran tentang olah kanuragan. Keduanya pernah berhubungan dengan seorang Ajar yang telah membantunya meningkatkan landasan ilmu mereka. Mereka pun memiliki pengalaman yang cukup banyak selama pengembaraan mereka. Karena itu, meskipun pada dasarnya Darpati adalah seorang yang berilmu tinggi, namun Darpati tidak dapat serta-merta menghentikan perlawanan Manggada dan Laksana.
Dengan demikian maka Darpati pun menjadi semakin marah. Sambil menghentakkan kemampuannya, maka Darpati pun berkata "Kalian memang harus dibunuh. Jangan menyesal bahwa aku akan benar-benar melakukannya”
Manggada dan Laksana menyadari, bahwa Darpati tidak main-main dengan ancamannya. Ketika Darpati sampai ke puncak ilmunya yang tinggi, maka Manggada dan Laksana mulai mengalami kesulitan. Tetapi karena mereka pemah ditempa selama mereka berguru serta pengalamannya yang luas, maka keduanya tidak segera menjadi gentar. Betapapun Darpati mengancam, menggertak dan menghentakkan ilmunya, namun Manggada dan Laksana sama sekali tidak beranjak dari arena.
Sementara itu Darpatilah yang menjadi cemas. Meskipun setiap kali ia berhasil mendesak kedua orang anak muda itu, namun keduanya ternyata cukup kuat untuk mengatasinya. Dalam keadaan yang semakin gawat, karena Darpati memperhitungkan perlawanan yang diberikan oleh Kiai Gumrah dan kawan-kawannya, maka tiba-tiba saja Darpati itu bersuit nyaring.
Adalah sangat mengejutkan bahwa beberapa orang telah muncul dari dalam kegelapan. Dengan serta merta mereka teiah mengepung Manggada dan Laksana. Manggada dan Laksana meloncat surut. Jantung mereka memang menjadi berdebaran. empat orang yang garang dengan senjata ditangan itu nampaknya benar-benar pembunuh yang tidak berjantung.
Winih yang juga terkejut melihat kehadiran mereka tiba-tiba saja melangkah maju sambil bertanya "Apa artinya ini Darpati ? Siapakah mereka dan untuk apa mereka datang kemari?"
“Waktu kita sangat sempit, Winih. Aku terpaksa minta bantuan mereka. Mereka tidak akan berbuat apa-apa. Mereka hanya akan menahan Manggada dan Laksana yang mencoba menghalangimu. Sementara itu kita akan pergi menyelamatkan diri”
"Tetapi apa yang kau lakukan ini sudah berlebihan Darpati” berkata Winih “Aku mengenali keempat orang itu sebagaimana empat orang yang ada di pancuran itu. Meskipun keempat orang yang ada dipancuran itu sudah mati, tetapi rasa-rasanya mereka telah muncul kembali saat ini”
“Winih” kata Darpati “Kau jangan membayangkan yang bukan-bukan seperti itu. Kita tidak mempunyai waktu. Jika saja Manggada dan Laksana tidak mengganggu rencana ini, maka aku tidak akan memanggil mereka, karena sebenarnyalah mereka adalah orang-orang yang aku minta membantuku menyelamatkanmu”
"Darpati" desis Winih kemudian "Aku menjadi semakin tidak mengerti akan sikapmu. Kenapa kau dengan orang-orangmu tidak turun ke medan membantu kakek dan ayah?"
"Tidak ada gunanya Winih" jawab Darpati "Orang yang datang itu terlalu kuat”
"Tetapi kau dan empat orang itu tentu akan sangat berarti bagi kakek, ayah serta kawan-kawan mereka” jawab Winih.
"Sudahlah” berkata Darpati “kita tidak usah berbantah sekarang. Marilah, kita tinggalkan tempat ini”
Namun jawab Winih kemudian justru tidak ragu-ragu lagi "Tidak Darpati. Aku tidak dapat meninggalkan kakek, ayah, ibu serta kakang Manggada dan Laksana dalam kesulitan”
“Apa maksudmu Winih” suara Darpati menjadi meninggi
"Aku akan tetap tinggal bersama mereka apapun yang akan terjadi di rumah ini” jawab Winih.
"Winih, kau jangan bodoh”
"Tidak Darpati. Aku tidak dapat pergi”
"Jika semua orang terbunuh di rumah ini, siapakah yang akan meneruskan keturunan mereka? Keluarga ini akan terputus tanpa anak turun yang dapat melanjutkan kesinambungan hidup mereka” berkata Darpati.
“Itu lebih baik daripada aku hidup dalam siksaan kenangan karena aku kehilangan segala-galanya" jawab Winih.
“Kau tidak akan kehilangan aku, Winih” berkata Darpati bersungguh-sungguh.
"Tetapi kau orang baru bagiku, Darpati. Aku tidak ingin berpisah dari apa yang pernah aku miliki sebelumnya, sedangkan kau bagiku masih merupakan seseorang yang berdiri di luar pintu”
“Winih" berkata Darpati yang menjadi tidak sabar lagi "kita tidak mempunyai waktu untuk berbicara sekarang”
“Tinggalkan aku Darpati. Terima kasih atas segala kebaikanmu sampai saat ini” berkata Winih.
"Tidak. Aku akan pergi bersamamu" sahut Darpati.
“Aku akan tetap berada bersama kakang Manggada dan Laksana apapun yang terjadi” berkata Winih kemudian.
Wajah Darpati menjadi merah. Kesabaran telah sampai ke batas, sehingga iapun berkata “Jika demikian, aku akan membawamu. Maaf jika aku bersikap agak keras, semata-mata demi keselamatanmu”
Tetapi ketika Darpati akan menarik tangan Winih, tiba-tiba saja terdengar suara seorang perempuan "Akhirnya kami yakin ngger, bahwa kami memang tidak dapat mempercayaimu”
"Bibi" Manggada dan Laksana hampir berbareng berdesis "berbahaya bagi bibi untuk turun sekarang”
"Apa boleh buat. Aku tentu tidak akan membiarkan anakku dibawa orang yang meragukan” jawab Nyi Prawara.
"Nyi Prawara!" berkata Darpati "Aku sedang menyelamatkan Winih”
"Tidak. Kau tidak menyelamatkan Winih. Tetapi kau sedang menculik Winih” jawab Nyi Prawara.
Ternyata Darpati memang tidak dapat ingkar lagi. Dengan geram iapun kemudian menjawab "Baik. Baik. Katakanlah aku sedang menculik Winih. Nah, apa yang akan kalian perbuat?”
Suasana menjadi tegang. Darpati telah memegangi pergelangan tangan Winih kuat-kuat dan siap untuk menyeretnya. Katanya kemudian, kepada keempat orang yang mengepung Manggada dan Laksana. "Selesaikan saja mereka. Aku tidak memerlukannya lagi. Manggada dan Laksana memang harus dibunuh. Terserah kau apakan perempuan itu. Sementara aku akan membawa gadis ini pergi”
“Darpati" berkata Nyi Prawara “Ternyata kau memang tidak dapat dicegah lagi. Niatmu membawa Winih sudah bulat. Tetapi katakan, apa yang sebenarnya sedang kau lakukan? Apakah kau mengambil Winih karena Winih seorang gadis yang berkenan di hatimu atau kau mempunyai kepentingan yang lain?”
“Kau berusaha mengulur waktu, Nyai. Tetapi baiklah aku menjawab. Aku memerlukan Winih untuk banyak keperluan. Aku mengambilnya karena ia seorang gadis yang cantik. Tetapi juga akan dapat aku pergunakan sebagai umpan untuk memancing pusaka-pusaka itu. Kelak, aku akan menukarkan Winih dengan pusaka-pusaka itu jika aku sudah menjadi jemu padanya. Jika Kiai Gumrah menolak, maka gadis ini akan mati”
"Licik kau Darpati..." desis Winih.
"Jangan menyesal Winih. Nah, sekarang sudah sampai saatnya kita pergi. Ucapkan selamat tinggal kepada ibumu. Mungkin kau masih akan bertemu lagi kelak, jika kakekmu menyerahkan pusaka-pusaka itu. Tetapi yang pasti, kau tidak akan bertemu lagi dengan Manggada dan Laksana yang akan mati malam ini”
Tetapi ketika Darpati menariknya, maka Winih telah mengibaskan tangan Darpati sehingga genggaman terlepas. Dengan cepat Winih berusaha berlari menjauhi Darpati. Namun Darpati sudah tentu tidak melepaskannya. Dengan kecepatan yang tinggi Darpati meloncat sambil menjulurkan tangannya untuk menggapai pundak Winih.
Tetapi yang tidak pernah diduga sebelumnya telah terjadi. Demikian tangan Darpati terjulur, maka Winih justru berhenti sambil merendahkan dirinya. Dengan merendah Winih menarik Darpati lewat di atas pundaknya. Dengan ayunan tubuh Darpati sendiri, maka Darpati itu telah terlempar lewat di atas pundak Winih.
Darpati adalah seorang yang berilmu tinggi. Tetapi karena yang dihadapinya itu sama sekali tidak diduganya, maka ia memang menjadi lengah. Meskipun demikian, kelihaian tubuhnya telah menolongnya. Darpati jatuh dengan mapan. Ia sempat berguling dua kali di tanah, kemudian meloncat bangkit dengan wajah yang merah menyala.
"Winih...!" Darpati menggeram.
Ternyata Winih sudah berubah. Ia bukan lagi gadis yang lembut yang mulai meningkat dewasa. Wajahnya memang masih tetap cantik, tetapi sorot matanya yang tajam bagaikan menusuk langsung ke pusat jantung Darpati.
Ketika Darpati melangkah mendekat, maka Winih telah menyingsingkan kain panjangnya. Ternyata Winih memang sudah mengenakan pakaian khusus di bawah kain panjangnya itu.
Darpati berdiri termangu-mangu. Bahkan orang-orang yang ada di sekitarnya pun bagaikan membeku Manggada dan Laksana justru menjadi bingung. Bahkan empat orang yang muncul dari kegelapan itupun berdiri mematung pula.
"Darpati..." terdengar suara Winih yang bergetar "Aku ternyata hampir saja menjadi korbanmu. Aku tidak mengira bahwa kau dapat berlaku sedemikian liciknya, sehingga aku hampir saja terjerumus ke dalam kesulitan”
"Winih...!” geram Darpati “Kau ternyata juga tidak jujur. Kau tidak pernah menunjukkan kesan, bahwa kau memiliki kelebihan dari kebanyakan perempuan. Sehingga seandainya aku tidak berniat memanfaatkan hubungan kita, kau pun tidak mempercayai aku sepenuhnya. Dengan demikian maka kita ternyata berdiri pada sikap yang sama”
"Tidak Darpati" jawab Winih "Jika aku tidak menunjukkan pribadiku seutuhnya, justru aku ingin menjaga wibawamu sebagai seorang laki-laki. Aku tidak mau menyinggung perasaanmu, karena aku menduga bahwa apa yang kau perbuat terhadapku, termasuk perlindunganmu itu kau lakukan karena kau merasa sebagai seorang laki-laki. Jika kau sadari bahwa apa yang kau lakukan itu sia-sia, maka kau tentu akan kecewa”
"Sekarang kita sudah tidak berpura-pura lagi Winih. Aku tidak dan kau pun tidak” geram Darpati kemudian.
“Bagus Darpati, aku sudah melihat bagaimana kau bertempur. Aku sadar, bahwa apa yang aku lihat itu tentu belum seluruhnya. Apalagi ketika kau bertempur melawan dua orang di pancuran itu. Tetapi waktu itu keraguanku agaknya telah disaput asap yang telah mengaburkan mata hatiku memandang bentuk lahiriahmu. Bahkan aku telah mengabaikan nasehat ayah, ibu dan kakekku yang mempunyai pandangan yang lebih wajar karena mereka tidak terlihat dalam perasaan yang lain” sahut Winih.
"Bersiaplah Winih, kita akan benar-benar bertempur. Aku tidak akan sekedar bermain-main atau karena aku kau anggap mencintaimu, maka aku akan menahan diri dalam keadaan-keadaan yang menentukan” geram Darpati.
“Aku mengerti Darpati. Aku pun tidak akan menahan diri meskipun aku tidak ingkar, bahwa aku memang pernah tertarik kepadamu” jawab Winih.
"Tetapi ingat, Manggada dan Laksana akan mati malam ini. Jika kau berkeras melawan betapapun tinggi ilmumu, namun kau tentu akan tunduk kepadaku, jika kau tidak ingin ibumu menjadi korban pula” ancam Darpati.
Tetapi Nyi Prawara yang melihat anak perempuannya telah bangkit itupun berkata "Jangan hiraukan aku Winih. Aku tidak apa-apa. Tidak pula akan terjadi apa-apa atasku”
Darpati termangu-mangu sejenak. Suara itu bukan suara seorang perempuan yang cemas dan ketakutan. Tetapi suara itu justru merupakan suara seorang yang penuh akan kepercayaan dan keyakinan atas kemampuannya. Karena itu, maka Darpati tidak mau menunggu lebih lama lagi. iapun segera berteriak kepada orang-orangnya.
"Selesaikan kedua orang anak muda itu. Mereka harus mati. Tangkap perempuan tua yang sombong itu. Kita akan dapat memanfaatkannya. Jika ternyata tidak, kita akan dapat membunuhnya kelak. Biarlah aku mengurus gadis manis ini. Bagaimanapun juga aku memerlukannya. Setidak-tidaknya untuk beberapa bulan”
Winih yang mendengar kata-kata Darpati itu jantungnya bagaikan tersentuh api. Karena itu, maka iapun segera meloncat menyerang. Namun Darpati berhasil menghindarinya dengan bergeser selangkah ke samping. Dengan demikian, maka pertempuran pun segera telah mulai.
Ternyata Nyi Prawara bukan sekedar seorang perempuan yang pandai menunggui perapian menanak nasi dan membuat wedang jahe yang manis. Bukan pula sekedar memiliki kemampuan tentang obat-obatan, tetapi juga seorang perempuan yang memiliki kelebihan.
Dalam keadaan yang gawat itu, Nyi Prawara sebagaimana juga Winih telah menyingsingkan kain panjangnya. Nyi Prawara pun telah mengenakan pakaian khusus pula untuk menghadapi orang-orang yang telah siap menyerangnya. Bahkan Nyi Prawara itu sempat berkata, “Angger Manggada dan Laksana. Pertahankan dirimu. Bertempurlah berpasangan”
Manggada dan Laksana tidak menjawab. Tetapi keduanya telah merapat. Mereka sadar, bahwa kemampuan mereka masih di bawah kemampuan Darpati dan bahkan mungkin juga di bawah kemampuan orang-orang Darpati itu.
Dalam pada itu, maka dua orang kawan Darpati itu segera bersiap melawan Manggada dan Laksana. Sementara dua orang lagi telah beriap untuk menangkap hidup-hidup Nyi Prawara. Namun baik Manggada dan Laksana, maupun Nyi Prawara, telah bersiap pula menghadapi mereka.
Sejenak kemudian, maka pertempuran pun telah berlangsung dengan cepat. Manggada dan Laksana telah berusaha mengerahkan segenap kemampuan mereka. Namun dalam waktu yang pendek, maka kedua orang lawan mereka pun telah mampu menekan kedua orang anak muda itu.
Namun Manggada dan Laksana tidak mudah berputus asa. Keduanya telah mengerahkan kemampuan mereka. Namun ternyata lawan-lawan mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi, sehingga sejenak kemudian Manggada dan Laksana telah terdesak, semakin lama semakin jauh memasuki kebun rumah Kiai Gumrah.
Nyi Prawara yang bertempur melawan kedua orang lawannya ternyata masih mampu bertahan. Kedua orang lawannya yang berumu tinggi itu telah membentur perlawanan yang keras dari seorang perempuan. Namun semakin lama Nyi Prawara pun mulai mengalami kesulitan pula. Meskipun ternyata ilmu Nyi Prawara berada pada tataran yang lebih tinggi dari dugaan kedua orang lawannya.
Meskipun demikian, Nyi Prawara masih berusaha untuk memperpanjang waktu perlawanannya. Nyi Prawara masih berharap bahwa suami dan mertuanya akan dapat lebih cepat menyelesaikan lawan-lawannya di halaman depan sebelum Nyi Prawara kehabisan kesempatan mempertahankan diri.
Namun Nyi Prawara itu mulai menjadi cemas melihat kesulitan yang dialami oleh Manggada dan Laksana. Tetapi Nyi Prawara masih belum mendapat kesempatan untuk membantu mereka.
Sementara itu, Winih benar-benar sudah bertempur dengan Darpati. Keduanya telah meningkatkan ilmu mereka semakin tinggi. Darpati memang menjadi heran, bahwa Winih ternyata mampu mengimbangi kemampuannya. Bahkan kadang-kadang. gadis itu telah mengejutkannya.
Ketika serangan Winih sempat menyusup di sela-sela pertahanan Darpati dan mengenai bahunya, maka Darpati itu telah meloncat surut. Serangan Winih terasa sakit di bahunya. Keempat jari-jari tangan Winih yang terbuka dan merapat, rasa-rasanya bagaikan meretakkan tulangnya.
"Ternyata gadis ini memiliki ilmu iblis" geram Darpati di dalam hatinya "sikapnya yang seakan-akan tidak tahu apa apa itu ternyata justru ungkapan dari kepercayaannya akan kemampuannya, sehingga ia tidak merasa gentar sama sekali”
Sebenarnyalah Winih sama sekali tidak terguncang oleh serangan-serangan Darpati yang datang beruntun bagaikan arus ombak yang menepis tebing. Seperti kokohnya batu karang ia menghalau setiap serangan. Bahkan benturan-benturan yang terjadi memperingatkan Darpati, bahwa Winih memiliki tenaga dalam yang sangat besar.
"Gadis itu masih muda..." berkata Darpati kepada diri sendiri "Apakah sejak di dalam kandungan ibunya ia sudah belajar olah kanuragan?"
Namun Nyi Prawara juga seorang perempuan yang berilmu tinggi. Melawan dua orang kawan Darpati yang dianggap akan dengan mudah menyelesaikan tugas mereka, ternyata Nyi Prawara masih mampu bertahan, betapa ia sekali-sekali harus berloncatan surut.
Yang mencemaskan adalah Manggada dan Laksana. Darpati yang mulai gelisah menahan kemampuan Winih yang ternyata tidak kalah dari ilmunya, telah berusaha mempengaruhi ketahanan jiwani Winih dengan kata-katanya. Dengan lantang Darpati berteriak.
"Jangan menunggu apa-apa. Bunuh kedua orang kelinci kecil itu”
Kedua orang yang melawan Manggada dan Laksana memang tidak akan mendapat banyak kesulitan. Meskipun Manggada dan Laksana pernah berguru sehingga menguasai landasan kemampuan dasar dari perguruan kecilnya, namun menghadapi dua orang berilmu tinggi, keduanya memang mengalami kesulitan. Tataran ilmu Manggada dan Laksana masih belum setingkat dengan kedua orang lawannya itu.
Teriakan itu memang mempengaruhi perasaan Winih. Winih memang menjadi gelisah melihat. Manggada dan Laksana. Meskipun keduanya baru dikenalnya di rumah kakeknya, tetapi justru karena keduanya diaku sebagai cucu oleh Kiai Gumrah, maka rasa-rasanya mereka sudah menjadi seperti sanak kadang sendiri.
Karena itu, bagaimanapun juga Winih tidak dapat bertempur tanpa mempedulikan keadaan Manggada dan Laksana. Tetapi Winih sendiri menghadapi Darpati yang berilmu tinggi, sehingga karena itu, maka Winih memang menjadi gelisah sebagaimana dikehendaki oleh Darpati.
Dalam kegelisahan itu, maka Winih menjadi kurang dapat memusatkan perhatiannya kepada lawannya. Sekali-sekali Winih masih juga berusaha berpaling ke arah Manggada dan Laksana.
Tetapi Manggada dan Laksana menjadi semakin terdesak ke dalam kegelapan. Sementara itu, Nyi Prawara juga masih belum dapat mengatasi lawannya. Bahkan sekali-sekali Nyi Prawara memang harus mengambil jarak untuk memperbaiki keadaannya.
Dalam pada itu, karena kedua lawannya bersenjata, maka Nyi Prawara pun telah mengurai senjatanya pula. Seutas rantai baja yang tidak terlalu panjang dan tidak terlalu besar. Namun di tangan Nyi Prawara rantai itu menjadi sangat berbahaya. Ujungnya bergerak menyambar-nyambar. Kemudian terayun menebas keatas dada. Tetapi tiba-tiba mematuk ke arah kerung lawan-lawannya...
Selanjutnya, Sang Penerus Bagian 15 |