Matahari Senja Bagian 15 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Arya Manggada - Matahari Senja Bagian 15
Karya : Singgih Hadi Mintardja

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
MANGGADA tidak menjawab lagi. Dibiarkannya Laksana berjalan menyusuri tanggul. Dan bahkan Manggada pun telah mengikutinya dibelakangnya pula. Namun keduanya tertegun. Dari kejauhan mereka melihat, bahwa yang berada di tepian bukan hanya Delima. Tetapi beberapa orang perempuan telah berada di tepian itu pula.

“Nah, bukankah orang-orang dari padukuhan ini menganggap bahwa keadaan telah menjadi tenang, sehingga mereka telah berani turun ke tepian?” bertanya Laksana.

“Apakah kau juga akan menemui Delima sekarang ini?” bertanya Manggada.

Laksana menggeleng. Katanya ”Nanti saja.”

“Kita menunggu sampai mereka selesai? Jika mereka pulang, maka Delima tentu akan pulang bersama mereka pula.”

“Tidak. Kita akan berjalan lewat tanggul di seberang. Jika Delima melihat kita menyusuri tanggul itu, maka ia tentu akan tinggal lebih lama dari kawan-kawannya.”
Manggada tidak membantah Mereka pun kemudian berjalan melingkar dan menyeberangi sungai itu. Seperti dikatakan oleh Manggada dan laksana, keduanya berjalan saja diatas tanggul di-seberang. Mereka sama sekali tidak berpaling, seakan-akan mereka tidak memperhatikan sama sekali perempuan-perempuan yang sedang mencuci itu.

Perempuan-perempuan yang sedang mencuci ditepian itu pun melihat mereka pula. Tetapi keduanya sama sekali tidak menarik perhatian mereka. Tanggul itu memang dilewati banyak orang. Diantara mereka adalah orang-orang yang memang belum mereka kenal.

Berbeda dengan kawan-kawannya, Delima yang melihat dua orang anak muda itu lewat, menjadi berdebar-debar. Meski pun keduanya sama sekali tidak berpaling, tetapi Delima tahu, bahwa keduanya akan menemuinya setelah kawan-kawannya pulang.

Tetapi selain kedua orang anak muda itu, ternyata ada dua orang laki-laki yang lain yang berjalan justru diatas tanggul disisi yang lain. Keduanya justru berhenti ketika mereka melihat beberapa orang perempuan sedang mencuci itu. Perempuan-perempuan yang sedang mencuci itu mulai menjadi gelisah.

Nampaknya keduanya menaruh perhatian terhadap mereka yang sedang mencuci itu. Delima pun menjadi gelisah pula. Ketika ia memandang ke atas tanggul di seberang, ternyata Manggada dan Laksana telah tidak nampak lagi.

“Seandainya mereka masih ada.” berkata Delima didalam hatinya. Meski pun demikian, Delima masih juga berharap bahwa mereka berdua masih berada disekitar tempat itu, karena Delima pun berharap untuk dapat bertemu dengan anak-anak muda itu setelah kawan-kawannya pulang.

Kedua orang yang berada diatas tanggul itu masih berdiri dilemparnya. Sejenak keduanya saling berbicara perlahan-lahan. Agaknya keduanya sedang membicarakan, apakah yang akan mereka lakukan.

Perempuan-perempuan itu menjadi cemas, ketika kedua orang itu pun kemudian justru turun dari atas tanggul dan melangkah mendekati mereka yang sedang mencuci itu. Beberapa orang diantara perempuan itu justru telah mencebur kedalam air dengan pakaian mereka yang memang sudah basah. Wajah kedua orang itu memang kelihatan garang. Bahkan berkesan menyeramkan.

“Jangan takut.” berkata salah seorang dari mereka ”Aku hanya ingin bertanya.”

Perempuan-perempuan itu justru terdiam bagaikan membeku. Delima yang pernah didatangi orang-orang yang tidak dikenalnya, masih juga merasa takut. Jika saja ia tidak ditolong oleh pamannya, maka ia sudah menjadi korban keganasan orang-orang dari padepokan pamannya itu sendiri.

Ketika mula-mula orang bongkok itu mendatanginya, Delima pun menjadi ketakutan. Tetapi wajah orang bongkok itu nampak lembut sehingga akhirnya ia justru menjadi akrab. Bukan saja dengan orang bongkok itu sendiri, tetapi juga dengan anak-anak muda yang sering bersamanya.

Sementara itu, orang yang berwajah garang itu berkata selanjutnya, ”Aku hanya ingin mengetahui, dimana letaknya padepokan Kiai Banyu Bening. Menurut pendengaranku, padepokan itu ada disekitar tempat ini.”

Perempuan-perempuan itu tahu benar, dimanakah letak padepokan itu. Tetapi mereka tidak tahu perkembangan terakhir yang telah terjadi di padepokan itu. Mereka hanya tahu bahwa telah terjadi perang. Orang-orang lewat, dipasar dan di kedai-kedai berbicara tentang perang yang telah terjadi di padepokan, kemudian merambat kesekitarnya. Segala macam upacara telah terhenti. Kemudian mereka pun tahu bahwa perang telah selesai. Tetapi perkembangan keadaan masih belum mereka ketahui dengan pasti.

Karena perempuan-perempuan itu tidak segera menjawab, maka laki-laki itu mengulangi pertanyaannya, ”He, kenapa kalian. diam saja? Dimana letak padepokan Kiai Banyu Bening?”

Wajah orang itu nampak berkerut. Sementara itu orang itu berkata dengan nada yang merendah, ”Jangan takut kepada orang-orang padepokan itu. Kami akan melindungi kalian jika mereka marah hanya karena kalian menunjukkan kepada kami, dimana letak padepokan Kiai Banyu Bening.”

Dalam ketegangan itu, akhirnya Delimalah kemudian menjawab, ”Tidak terlalu jauh dari padukuhan ini memang terdapat sebuah padepokan paman. Tetapi kami tidak tahu siapakah yang tinggal di padepokan itu.”

Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Seorang diantara mereka kemudian bertanya pula, ”Apakah kau tidak pernah mendengar nama pemimpin dari padepokan itu?”

Delima menggeleng. Katanya ”Tidak paman. Padepokan itu nampaknya memang menutup diri.”

Kedua orang itu mengangguk-angguk. Seorang diantara mereka berkata ”Tunjukkan arahnya.”

Delima memang menunjuk kearah padepokan yang sebenarnya diketahuinya padepokan Kiai Banyu Bening. Namun Delima pun tahu serba sedikit bahwa telah terjadi pertempuran di padepokan itu. Selanjutnya, Delima memang tidak tahu, apa yang kemudian terjadi.

Kedua orang itu pun kemudian telah melangkah meninggalkan tepian. Demikian orang-orang itu pergi, maka perempuan-perempuan yang sedang mencuci itu sibuk mengemasi cucian mereka. Meski pun ada diantara mereka yang belum selesai, namun mereka menjadi tergesa-gesa pulang. Kedua orang yang bertanya tentang padepokan itu membuat mereka menjadi ketakutan.

Tetapi ternyata Delima tidak ingin pulang bersama mereka. Ia yakin bahwa kedua anak muda yang dilihatnya lewat tanggul di seberang sungai itu masih ada di sekitar tempat itu. Ketika kawan-kawannya siap untuk meninggalkan tepian, maka Delima itu pun berkata, ”Kurang sedikit. Silahkan.”

“Kau tidak takut sendiri ditepian, Delima?” bertanya seorang kawannya.

“Hanya kurang sedikit, sebelum kalian sampai ke tikungan, aku sudah menyusul.”

Kawan-kawannya saling berpandangan sejenak. Namun sekali lagi Delima berkata, ”Pulanglah. Aku tidak apa-apa disini.”

Mula-mula kawan-kawannya tidak sampai hati meninggalkan Delima sendiri. Namun ketika beberapa kali Delima minta mereka mendahuluinya, maka mereka pun telah bergerak meninggalkan tepian. Sebenarnyalah Delima memang ragu-ragu. Demikian kawan-kawannya naik keatas tanggul, Delima pun segera mengemasi cuciannya pula. Jika ia tidak yakin kedua anak muda itu ada disekitarnya, maka Delima akan segera berlari menyusul mereka.

Beberapa saat kemudian, kawan-kawan Delima itu sudah tidak nampak lagi. Mereka telah hilang dibalik pepohonan ketika mereka memasuki lorong sempit diujung padukuhannya. Delima mulai menjadi gelisah. Ia masih berdiri ditepian memandangi tanggul diseberang sungai.

Tetapi ia tidak segera melihat kedua orang anak muda yang sering datang bersama orang yang bongkok itu. Delima terkejut sekali ketika tiba-tiba saja dua orang muncul dan berdiri diatas tanggul sungai itu. Hampir saja Delima menjerit. Namun untunglah, bahwa mulutnya masih terkatup.

“Kalian mengejutkan aku.” desis Delima.

Keduanya tertawa pendek. Sementara Delima berkata, ”Aku sudah akan pulang. Nanti kawan-kawan itu menjadi gelisah. Jika mereka menyampaikan kegelisahan mereka pada orang-orang padukuhan, maka beberapa orang akan berdatangan kemari.”

“Kenapa kau tidak pulang bersama mereka saja?” bertanya Laksana.

Delima menjadi agak bingung. Tetapi kemudian ia menjawab juga, ”Cucianku kurang sedikit. Dan sekarang aku sudah selesai.”

Laksana pun kemudian menuruni tebing sambil bertanya, "Kau takut kepada kedua orang yang menanyakan padepokan Kiai Banyu Bening itu?”

“Kau melihat mereka?” bertanaya Delima.

“Ketika aku melihat keduanya, aku segera mendekat. Aku sudah sejak tadi berada dibalik perdu itu.”

“Karena mereka berdua maka aku justru harus segera menyusul kawan-kawanmu. Aku memang yakin bahwa kalian masih ada ditempat ini. Aku ingin mendengar kabar pamanku.”

“Pamanmu tidak apa-apa. Ia mengirimkan salamnya kepada ayahmu. Pamanmu sekarang berada di padepokan.”

“Bagaimana dengan Kiai Banyu Bening atau orang yang membayangi padepokan Kiai Banyu Bening itu? Apakah benar bahwa padepokan itu sudah beralih tangan?”

“Ceriteranya panjang. Tetapi sampaikan saja kepada ayahmu, bahwa pamanmu tidak apa-apa dan bahkan sekarang menjadi salah seorang penentu di padepokan itu.”

“Kalian dengar kedua orang yang mencari padepokan Kiai Banyu Bening tadi?”

“Ya. Nampaknya masih akan ada persoalan lagi.”

“Ah, terima kasih. Aku harus segera menyusul kawan-kawanku sebelum mereka menjadi gelisah dan memberitahukan kepada orang-orang padukuhan.”

Laksana memang menjadi sedikit kecewa. Tetapi ia mengerti, bahwa kedatangan kedua orang yang mencari padepokan Kiai Banyu Bening itu telah merusak suasana. Namun Laksana tidak ingin menahan Delima lebih lama lagi.

Sejenak kemudian, maka Delima itu pun sudah naik keatas tanggul. Kepada Manggada dan Laksana ia pun berkata, ”Salamku kepada paman. Tolong, sampaikan pula tentang kedua orang yang mencari padepokan Kiai Banyu Bening itu.”

“Baik Delima,” jawab Laksana ”Pada kesempatan lain, aku akan datang lagi.”

“Mungkin kami tidak berada di tepian lagi besok. Kedua orang itu telah menakut-nakuti kawan-kawanku. Sendiri aku juga takut, sementara kalian belum pasti ada di tepian.”

Laksana menarik nafas dalam-dalam. Suasananya benar-benar telah dirusak oleh kedua orang itu. Bukan hanya hari itu. Tetapi mungkin dalam tiga ampat hari mendatang, gadis-gadis itu masih belum berani turun ke sungai lagi.

Demikianlah, maka Delima pun berlari-lari kecil menyusul kawan-kawannya. Ia tidak ingin kawan-kawannya menjadi gelisah karena ia terlalu lama tidak segera nampak. Sebenarnyalah, kawan-kawan Delima itu terhenti di simpang empat di ujung padukuhan. Mereka memang mulai menjadi cemas.

Seorang laki-laki yang berjalan sambil membawa cangkul sempat bertanya, ”Ada yang kalian tunggu?”

“Kami menunggu Delima paman.”

“Dimana anak itu?”

“Kami bersama-sama mencuci di tepian. Ketika kami naik, Delima masih tinggal untuk menyelesaikan curiannya yang tinggal sedikit.”

“Kenapa kalian tidak menunggu di tepian?”

“Delima sendiri minta kami mendahului.”

Laki-laki itu mengangguk-angguk. Sambil melangkah pergi ia bergumam, ”Nanti ia akan pulang sendiri.”

Kawan-kawan Delima yang menunggu itu menjadi semakin gelisah. Mereka membayangkan, bahwa kedua orang laki-laki itu datang kembali, menangkap Delima dan membawanya pergi.

“Delima terlalu cantik untuk berada di tepian seorang diri.” berkata kawan-kawannya itu didalam hatinya.

Tiba-tiba serentak anak-anak melihat Delima berlari-lari kecil. Sambil melambaikan tangannya kawan-kawannya itu bersorak ketika mereka muncul dari balik tikungan. Delima bergegas menyusul.

“Kau membuat kami cemas.” berkata salah seorang dari kawan-kawannya itu.

Delima yang sudah berada diantara kawan-kawannya disela-sela nafasnya yang tersengal-sengal berkata, ”selembar cucianku jatuh di pasir tepian. Aku harus mencucinya kembali.”

“Jangan terlalu berani Delima.” desis kawannya yang sedikit lebih tua daripadanya.

“Sebenarnya aku juga ketakutan. Tetapi untunglah, laki-laki itu tidak kembali.”

“Besok kita tidak pergi ke tepian.” berkata seorang diantara mereka.

“Ya. Tentu tidak. Jika kita pergi juga ke tepian dan terjadi sesuatu, itu adalah salah kita sendiri.”

“Atau kita dapat mengajak dua tiga orang kawan laki-laki kita.”
“Tetapi orang-orang yang nampaknya garang itu sangat berbahaya.” sahut yang lain ”Anak-anak muda padukuhan ini tidak akan dapat melawan mereka.”

“Ya,” berkata Delima ”Wajahnya saja sudah menakutkan.”

“Marilah...” seorang diantara mereka mengajak kawan-kawannya pulang.

Ketika Delima sampai di rumah, ayahnya sudah siap pergi ke sawah. Namun Delima sempai berceritera bahwa ia bertemu dengan anak-anak muda yang sering lewat ditepian bersama Ki Pandi yang bongkok itu.

“Apakah orang bongkok itu juga datang?”

“Tidak ayah. Orang bongkok itu tidak nampak. Namun kedua anak muda itu mendapat pesan dari paman, salam paman bagi ayah. Selebihnya paman memberikan pesan pula, bahwa paman tidak apa-apa. Paman baik-baik saja.”

“Sukurlah...” ayahnya mengangguk-angguk.

Namun sebelum ayahnya bertanya lebih jauh tentang anak-anak muda itu, maka Delima pun telah menceriterakan kedatangan dua orang laki-laki yang garang, yang bertanya letak padepokan Kiai Banyu Bening.

“Apalagi yang akan terjadi?” desis Kiai Krawangan. Namun orang itu pun kemudian berkata ”Baiklah. Aku akan pergi ke sawah. Berhati-hatilah jika kau turun ke tepian.”

“Kawan-kawan sudah berjanji, esok kami tidak turun ke sungai ayah.”

“Bagus. Kau dapat mencuci pakaian di sumur. Bukankah airnya cukup banyak dan seberapa pun kau memakainya tidak akan kering. Bahkan dimusim kemarau sekalipun?”

“Ya, ayah!” jawab Delima.

Dalam pada itu, Manggada dan Laksana telah melangkah meninggalkan tepian menyusuri tanggul. Namun Manggada tiba-tiba saja memperlambat langkahnya sambil berkata, ”Kita harus mengambil jalan lain.”

“Kenapa?”bertanya Laksana.

“Mungkin kedua orang laki-laki itu juga pergi ke padepokan. Sebaiknya kita menghindar agar kita tidak bertemu dengan mereka.” jawab Manggada.

“Apa salahnya?” bertanya Laksana

“Mungkin akan dapat terjadi benturan.”

Laksana mengerutkan dahinya. Agaknya benturan kekerasan tidak menjadi persoalan bagi Laksana. Hampir bergumam Laksana itu berkata, ”Asal bukan kita yang mendahuluinya, benturan kekerasan itu bukan tanggung-jawab kita.”

“Kita belum tahu, apa maksud mereka mencari padepokan Kiai Banyu Bening.”

“Apa pun maksudnya, jika mereka tidak bermaksud buruk, maka berselisih jalan pun tidak akan timbul persoalan.”

“Tetapi sebaiknya kita hindari mereka agar tidak menimbulkan persoalan-persoalan baru, justru persoalan mereka yang sebenarnya bukan persoalan kita.”

Laksana tidak menjawab. Tetapi ia mengikuti langkah Manggada yang mencoba menghindari kedua orang yang sedang mencari padepokan Kiai Banyu Bening itu. Karena itu, maka keduanya telah mengambil jalan melingkar, meski pun dengan demikian perjalanan mereka menjadi lebih jauh. Namun keduanya masih harus mengajak kedua ekor harimau Ki Pandi yang menunggu mereka di semak-semak.

Ternyata kedua ekor harimau itu tidak beranjak dari tempatnya. Bahkan seekor diantaranya sempat tertidur ketika Manggada dan Laksana lewat. Dengan demikian, maka kedua orang anak muda itu telah berjalan melewati padang perdu yang luas, namun yang menurut pengamatan keduanya, padang perdu itu dapat dijadikan lahan persawahan jika air sempat menggapai tempat itu.

“Tinggal membuat parit. Agak di atas dapat ditemukan banyak mata air yang dapat dialirkan menjadi satu sehingga menjadi sebuah parit yang cukup deras.” berkata Manggada.

Laksana mengangguk-angguk. Katanya. ”Nampaknya orang-orang di daerah ini masih belum membutuhkan.”

“Mereka bukan orang-orang yang terbiasa bekerja keras. Justru apa yang ada telah memberikan pangan yang cukup, mereka tidak berusaha apa-apa lagi selain menikmati apa yang sudah ada.”

“Ki Warana akan dapat memanfaatkan tanah ini. Tentu saja dengan seijin lingkungannya.”

Manggada mengangguk-angguk. Sementara itu keduanya berjalan terus melalui jalan setapak dan bahkan kemudian, mereka menyusuri gumuk-gumuk kecil berbatu padas. Namun tiba-tiba saja kedua ekor harimau itu menjadi gelisah. Agaknya ada sesuatu yang menarik perhatian mereka. Manggada dan Laksana pun menjadi semakin berhati-hati. Agaknya dibalik batu-batu itu ada sesuatu yang membuat kedua ekor harimau itu gelisah.

Manggada dan Laksana yang sudah semakin terbiasa dengan kedua ekor harimau itu telah memberi isyarat, agar keduanya menunggu sementara Manggada dan Laksana dengan sangat berhati-hati melihat keadaan dibalik batu-batu padas itu. Keduanya tertegun ketika mereka mendengar suara orang yang sedang bercakap-cakap.

Manggada dan Laksana pun segera mengetahui. Bahwa yang sedang berbincang itu tentu lebih dari dua orang. Manggada pun kemudian memberi isyarat kepada Laksana untuk melangkah mundur. Agaknya Manggada tidak ingin terlibat dalam perselisihan dengan orang-orang yang tidak dikenal itu. Karena itu, maka Manggada menganggap lebih baik mereka tidak bertemu dengan orang-orang itu.

Namun demikian Manggada dan Laksana bergeser menjauh, tiba-tiba saja mereka mendengar seseorang berteriak, ”He, berhenti. Jangan bergerak.”

Manggada dan Laksana terkejut. Ketika mereka menengadahkan wajah mereka, maka mereka melihat seorang yang berdiri diatas batu padas yang besar dengan tombak di tangan. Tombak yang sudah siap dilontarkan kearah Manggada atau Laksana.

Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Tetapi mereka memang tidak beringsut dari tempatnya. Orang-orang yang berada dibalik batu-batu padas itu pun mendengar teriakan itu. Karena itu, maka mereka pun berlari-larian melingkari batu padas itu. Manggada dan Laksana masih berdiri ditempatnya. Mereka sempat menghitung orang-orang yang kemudian mengerumuninya.

“Empat orang. Lima orang dengan yang diatas.”

Sementara itu orang yang tertua diantara mereka dan berdiri dipaling depan bertanya dengan nada datar, ”Siapakah kalian?”

Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Manggada pun menjawab, ”Kami datang dari padukuhan dipinggir sungai itu, Ki Sanak.”

“Untuk apa kalian datang kemari?” bertanya orang itu.

Manggada pun menjawab meski pun agak ragu, ”Kami sedang melihat kemungkinan untuk memperluas lahan sawah kami, Ki Sanak. Tempat ini memang sangat memungkinkan. Sementara penghuni padukuhan kami menjadi semakin banyak, sedang sawah kami tidak cukup luas.”

Orang itu mengangguk-angguk. Ternyata jawaban Manggada masuk di akal mereka. Yang kemudian bertanya adalah justru Manggada, ”Siapakah Ki Sanak ini? Agaknya kami masih belum pernah bertemu dengan kalian selama ini.”

“Kami datang dari jauh.” jawab orang yang tertua diantara mereka ”Kami sedang mencari seseorang yang bernama Kiai Banyu Bening. Nama yang dipakai sejak orang itu mendirikan satu padepokan di kaki Gunung Lawu ini,”

“Apakah kalian termasuk murid dari padepokan itu?” bertanya Manggada.

“Ternyata kau anak yang dungu!” sahut orang itu ”Jika aku murid dari padepokan itu, tentu aku tidak perlu mencarinya.”

“Mungkin Ki Sanak murid yang sudah tuntas sehingga meninggalkan padepokan. Sementara itu padepokan itu telah berpindah tempat.”

Orang itu tertawa. Katanya, ”Memang mungkin,” Namun seorang yang lain tiba-tiba saja telah bertanya, ”Kau melihat padepokan Kiai Banyu Bening itu?”

“Kami tidak tahu Ki Sanak. Yang kami tahu, disana ada sebuah padepokan, Tetapi aku tidak tahu siapakah pemimpin dari padepokan itu.”

“Ya. Empat kawanku sedang melihat padepokan itu. Mudah-mudahan benar bahwa padepokan itu adalah padepokan Kiai Banyu Bening.”

“Untuk apa kalian mencari Kiai Banyu Bening?” bertanya Laksana tiba-tiba.

Orang itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun menjawab, ”Tidak apa-apa. Kami mempunyai kepentingan pribadi dengan Kiai Banyu Bening.”

“Cobalah. Datanglah ke padepokan itu. Mungkin di padepokan itu tinggal orang yang sedang kalian cari.”

“Sudah aku katakan, empat orang kawanku sudah pergi ke-sana untuk mengetahuinya.”

“Baiklah. Jika Demikian, kami minta diri.” berkata Manggada.

“Kalian akan pergi kemana?” bertanya orang itu.

“Kami masih akan melihat lingkungan yang luas. Bukan saja melihat kesuburan tanahnya, tetapi juga letaknya apakah mungkin kami dapat menggali sebuah parit induk melalui daerah ini, meski pun dasar sungai itu termasuk terlalu rendah, atau menanmpung air dari banyak mata air.”

Orang tertua diantara mereka itu pun mengangguk sambil menjawab, ”Pergilah. Tetapi kalian tidak usah berceritera tentang kehadiran kami disini. Kami tidak ingin membuat persoalan dengan orang-orang padukuhan, sasaran kami terutama adalah Kiai Banyu Bening.”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sementara orang itu pun berkata selanjutnya, ”Jangan membuat orang-orang padukuhan ketakutan. Kami tidak mempunyai persoalan dengan mereka. Kecuali jika mereka sengaja mencampuri persoalan kami.”

“Baiklah!” berkata Manggada ”Kami bukan orang yang sedang mencampuri persoaan orang lain.”

“Bagus!” sahut orang itu ”Pergilah. Lakukan pekerjaanmu sebaik-baiknya.”

Namun Laksana tiba-tiba menyahut, ”Kami sekaligus sedang menggembalakan ternak kami.”

“Ternak?” tiba-tiba saja seorang diantara mreka bertanya ”Ternak apa? Kambing? Atau apa? Kami sudah lama tidak makan daging kambing. Jika kau mengembalakan kambing, tinggal seekor untuk kami.”

“Ternakku hanya dua ekor” Jawab Laksana.

“Tidak apa. Satu untuk kami.”

Tetapi yang tertua dari antara mereka pun berkata, ”Ternaknya hanya dua ekor. Jika satu kau ambil, maka ia hanya tinggal mempunyai seekor.”

“Tidak apa. Ia akan dapat membeli lagi.”

“Bawa ternakmu pergi” berkata orang itu.

Namun agaknya yang lain berusaha memaksanya. ”Biar sajalah. Kami memerlukan seekor. Bukankah itu lebih baik daripada aku merampasnya semua.”

Laksana lah yang kemudian berkata, ”Biarlah aku panggil ternak yang sedang aku gembalakan.”

Orang yang tertua itu menjadi heran. Agaknya anak muda itu tidak berkeberatan jika seekor ternaknya harus ditinggalkannya di padang perdu itu. Seperti yang diajarkan Ki Pandi, maka Laksana pun telah memberikan isyarat memanggil kedua ekor harimaunya yang ditinggalkannya. Meskipiun tidak memakai suara seruling, tetapi kedua ekor harimau itu pun mengerti pula isyarat itu, sehingga kedua-nya pun segera mendekati Laksana.

Orang-orang itu terkejut melihat dua ekor harimau yang besar dan tegar berjalan mendekat, Dengan serta merta mereka pun segera mempersiapkan senjata mereka. Namun Laksana sambil tersenyum berkata, ”Inilah ternak kami yang kami gembalakan.”

“Setan kau!,” geram salah seorang dari mereka.

Manggada dan Laksana pun kemudian meninggalkan orang-orang yang memandanginya dengan termangu-mangu. Laksana berjalan sambil memegangi tengkuk salah seekor dari kedua harimau yang mengikutinya, sementara yang seekor lagi berjalan di depan.

“Kau dapat membuat mereka curiga.” berkata Manggada.

“Mereka tidak akan berbuat apa-apa!” jawab Laksana.

“Tetapi sebenarnya tak perlu kau lakukan.”

“Bukankah mereka benar-benar tidak berbuat apa-apa?”

“Tetapi penilaian mereka terhadap kita telah berubah.”

Laksana tidak menjawab. Tetapi menurut pendapatnya, sama sekali tidak terjadi akibat buruk dari kelakarnya yang mendebarkan itu.

Manggada dan Laksana pun berjalan semakin menjauhi orang-orang yang berada di belakang gumuk kecil berbatu-batu padas itu. Namun mereka tidak akan memilih jalan lagi. Justru ia berusaha menghindari pertemuan dengan dua orang yang tidak dikenalnya, mereka malahan bertemu dengan sekelompok orang yang lebih banyak. Untunglah orang-orang itu tidak berbuat apa-apa atas diri Manggada dan Laksana, sehingga tidak terjadi benturan kekerasan.
Manggada dan Laksana pun berjalan semakin jauh. Mereka langsung berjalan menuju ke padepokan. Ketika mereka sampai di padepokan, maka Manggada dan Laksana pun segera menyampaikan apa yang mereka lihat dan dengar kepada Ki Pandi.

Ki Pandi mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Kemudian dengan serta-merta ia pun bertanya, “Dimana kedua ekor harimau itu sekarang?”

“Mereka berada diluar seperti saat sebelum kami berangkat.”

Ki Pandi menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian memanggil kawan-kawannya serta Ki Warana untuk berbincang. Masih ada saja persoalan yang timbul.

Ki Warana pun termangu-mangu sejenak. Dengan ragu ia bertanya, ”Apakah yang sebenarnya mereka inginkan?”

“Ternyata banyak pihak yang mempunyai persoalan dengan Kiai Banyu Bening” desis Ki Lemah Teles.

“Untunglah jika mereka mau menyelesaikan persoalan itu sekarang, sehingga yang tinggal kemudian adalah ketenangan dan tatanan kehidupan yang mantap disini.” berkata Ki Ajar Pangukan.

“Kita memang sudah letih!” desis Ki Warana ”Meski pun demikian, jika kita dipaksa, maka kita akan mempertahankan padepokan ini dengan kekerasan.”

“Kita akan menunggu. Nampaknya keempat orang yang sedang mengamati padepokan ini masih ragu-ragu untuk datang langsung kemari.” berkata Ki Pandi.

Sebenarnyalah dua orang yang bertemu dengan beberapa orang perempuan yang sedang mandi itu telah menemui kawan-kawannya di gumuk kecil itu. Kemudian mereka berempat berniat untuk mencari keterangan lebih jauh tentang padepokan yang memang didirikan oleh Kiai Banyu Bening itu.

Akhirnya, keempat orang itu dapat meyakinkan, bahwa padepokan itu memang padepokan yang dipimpin oleh Kiai Banyu Bening, karena padepokan itu memang satu-satunya padepokan yang mereka jumpai didaerah itu.

Seorang laki-laki tahu pasti bahwa padepokan itu adalah padepokan Kiai Banyu Bening. Hampir disetiap padukuhan telah didirikan sanggar untuk melakukan upacara. Meski pun demikian, orang-orang padukuhan itu masih kurang mengerti, bagaimana keadaan padepokan itu setelah terjadi prtempuran-pertempuran yang menggetarkan jantung itu.

“Semua orang menunggu, apakah yang sebenarnya telah terjadi di padepokan itu. Perang disusul dengan perang.”

“Tetapi bukankah sekarang tidak sedang terjadi perang itu?” bertanya salah seorang dari keempat orang itu.

“Tidak Ki Sanak!” jawab laki-laki itu.

Tetapi keempat orang itu tidak langsung pergi ke padepokan itu. Mereka masih harus menemui kawan-kawan mereka untuk meminta pertimbangan, apakah yang sebaiknya harus mereka lakukan.

“Ada diantara kita yang harus datang memasuki padepokan itu.” berkata orang tertua diantara mereka.

“Siapa?” bertanya salah seorang kawannya.

“Aku sendiri” jawab yang tertua itu.

“Jangan sendiri.”

“Siapa akan pergi bersamaku?” bertanya orang tertua itu.

Seorang yang bertubuh sedang berkumis tebal berkata ”Aku.”

Demikianlah, maka mereka berdua pun telah pergi ke padepokan yang tidak diketahui dengan jelas, siapakah yang ada di dalamnya itu. Ketika keduanya sampai ke depan regol padepokan, maka keduanya termangu-mangu sejenak. Di hadapan mereka, regol padepokan itu berdiri dengan angkuhnya menantang kedatangan mereka berdua. Orang yang tertua itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ditetapkannya hatinya melangkah mendekati regol itu. Beberapa kali ia mengetuk pintu regol padepokan yang tertutup rapat itu.

Beberapa saat orang itu menunggu. Ia mengangkat wajahnya ketika dari atas panggung disebelah regol itu terdengar seseorang bertanya, ”He, siapakah kalian dan siapakah yang kau cari?”

“Perkenankan aku masuk. Ada sesuatu yang penting.” jawab orang yang berdiri didepan regol itu.

“Siapakah kalian?” bertanya orang yang ada dipanggungan.

“Nanti akan kami jelaskan...” jawab orang itu.

Orang yang berdiri diatas panggungan itu memandang berkeliling. Ia harus memastikan bahwa tidak ada kemungkinan buruk yang dapat terjadi di saat regol padepokan itu dibuka. Baru setelah ia yakin akan hal itu, maka ia pun memberi isyarat kepada penjaga regol itu, agar regol itu dibuka.

Perlahan-lahan regol padepokan itu pun terbuka. Beberapa orang yang berada dibelakang regol itu pun mempersilahkan kedua orang itu masuk. Demikian keduanya berada didalam, maka pintu regol itu pun segera tertutup kembali.

“Siapakah yang kalian cari?”

“Kami ingin bertemu dengan pemimpin padepokan ini.” jawab orang itu.

“Siapa?”

“Siapa pun orang itu.”

Para petugas di regol itu pun termangu-mangu sejenak. Seorang diantara mereka berkata, ”Tunggulah. Aku akan menyampaikannya.” Orang itu pun segera menemui Ki Warana untuk menyampaikan keinginan kedua orang yang telah memasuki regol halaman padepokan itu.

Ki Warana menjadi termang-mangu sejenak. Tetapi Ki Pandi yang mendengar pembicaraan itu berkata, ”Apakah tidak sebaiknya orang itu dipersilahkan naik?”

Ki Warana mengangguk sambil berkata, ”Baiklah. Biarlah mereka naik.”

Sejenak kemudian, maka kedua orang itu sudah duduk dipendapa, ditemui oleh Ki Warana, Ki Pandi dan Ki Ajar Pangukan.

“Siapakah yang kalian cari Ki Sanak?” bertanya Ki Warana.

Kedua orang itu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya sebuah bangunan batu yang ada di depan pendapa. Satu diantaranya menyerupai sebuah tugu. Diatasnya terdapat sebuah nisan kecil.

“Kenapa nisan itu ada disana?.” bertanya orang yang tertua itu.

“Nisan itu nisan seorang bayi yang mati terbakar” jawab Ki Warana.

Orang itu mengangguk-angguk. Katanya dengan pasti, ”Aku akan berbicara dengan Kiai Banyu Bening.”

Ki Warana mengerutkan dahinya. Katanya, ”Apakah kalian mempunyai kepentingan dengan Kiai Banyu Bening?”

“Ya, Ki Sanak.” jawab orang itu.

“Persoalan apakah yang kalian bawa?”

“Aku akan menyampaikannya sendiri.”

“Tetapi setiap orang yang datang untuk menemuinya harus memastikan, persoalan apakah yang akan dibicarakannya. Jika aku menyampaikan niat kalian menemuinya tanpa menyebutkan persoalan yang kalian bawa, maka Kiai Banyu Bening tidak akan menemui kalian.”

Orang itu menjadi ragu-ragu. Namun ia tidak mempunyai pilihan lain. Karena itu, maka katanya, ”Baiklah Ki Sanak. Jika hal itu menjadi syarat untuk dapat bertemu dengan Kiai Banyu Bening,” orang itu berhenti sejenak. Lalu katanya kemudian ”Kami datang untuk berbicara tentang nisan kecil itu.”

Ki Warana mengerutkan dahinya. Katanya, ”Tentang nisan kecil itu? Ada apa dengan nisan itu. Nisan itu adalah nisan anak Kiai Banyu Bening yang terbunuh didalam api, ketika api itu membakar rumahnya.”

“Benar.” orang itu mengangguk-angguk. Ia menjadi yakin, bahwa ia telah datang ketempat yang benar. Sementara itu, orang itu berkata selanjutnya. ”Persoalan itulah yang akan aku bicarakan dengan Kiai Banyu Bening.”

”Ki Sanak. Jangan mengganggu ketenangan Kiai Banyu Bening. Sejak lama ia berusaha melupakan persoalan yang terjadi pada anaknya itu. Jika Ki Sanak membicarakannya lagi, maka hatinya yang luka itu akan berdarah kembali.”

“Aku tidak dapat berbuat lain, Ki Sanak” jawab orang itu. Bahkan kemudian katanya ”Bukankah nisan itu selalu mengingatkannya kepada anaknya itu?”

“Tetapi tugu batu itu merupakan tempat yang sangat berarti baginya. Tempat itu merupakan sumber kekuatan dan ilmu Kiai Banyu Bening.”

“Sudahlah Ki Sanak.” berkata orang tertua itu ”Aku ingin berbicara dengan Kiai Banyu Bening. Persoalan ini hanya diketahui oleh Kiai Banyu Bening. Setelah bertahun-tahun kami mencarinya, maka kini kami sudah menemukannya disini.”

“Apakah kau pernah bertemu dengan Kiai Banyu Bening?” bertanya Ki Warana tiba-tiba.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya orang-orang yang duduk di sekitamya. Dengan ragu-ragu ia berkata, ”Sudah Ki Sanak. Tentu sudah.”

Tetapi Ki Warana itu pun berkata, ”Jika sudah, kenapa kau tidak tahu, bahwa Kiai Banyu Bening duduk diantara kita sekarang ini...?”
Selanjutnya,
Matahari Senja Bagian 16

Matahari Senja Bagian 15

Arya Manggada - Matahari Senja Bagian 15
Karya : Singgih Hadi Mintardja

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
MANGGADA tidak menjawab lagi. Dibiarkannya Laksana berjalan menyusuri tanggul. Dan bahkan Manggada pun telah mengikutinya dibelakangnya pula. Namun keduanya tertegun. Dari kejauhan mereka melihat, bahwa yang berada di tepian bukan hanya Delima. Tetapi beberapa orang perempuan telah berada di tepian itu pula.

“Nah, bukankah orang-orang dari padukuhan ini menganggap bahwa keadaan telah menjadi tenang, sehingga mereka telah berani turun ke tepian?” bertanya Laksana.

“Apakah kau juga akan menemui Delima sekarang ini?” bertanya Manggada.

Laksana menggeleng. Katanya ”Nanti saja.”

“Kita menunggu sampai mereka selesai? Jika mereka pulang, maka Delima tentu akan pulang bersama mereka pula.”

“Tidak. Kita akan berjalan lewat tanggul di seberang. Jika Delima melihat kita menyusuri tanggul itu, maka ia tentu akan tinggal lebih lama dari kawan-kawannya.”
Manggada tidak membantah Mereka pun kemudian berjalan melingkar dan menyeberangi sungai itu. Seperti dikatakan oleh Manggada dan laksana, keduanya berjalan saja diatas tanggul di-seberang. Mereka sama sekali tidak berpaling, seakan-akan mereka tidak memperhatikan sama sekali perempuan-perempuan yang sedang mencuci itu.

Perempuan-perempuan yang sedang mencuci ditepian itu pun melihat mereka pula. Tetapi keduanya sama sekali tidak menarik perhatian mereka. Tanggul itu memang dilewati banyak orang. Diantara mereka adalah orang-orang yang memang belum mereka kenal.

Berbeda dengan kawan-kawannya, Delima yang melihat dua orang anak muda itu lewat, menjadi berdebar-debar. Meski pun keduanya sama sekali tidak berpaling, tetapi Delima tahu, bahwa keduanya akan menemuinya setelah kawan-kawannya pulang.

Tetapi selain kedua orang anak muda itu, ternyata ada dua orang laki-laki yang lain yang berjalan justru diatas tanggul disisi yang lain. Keduanya justru berhenti ketika mereka melihat beberapa orang perempuan sedang mencuci itu. Perempuan-perempuan yang sedang mencuci itu mulai menjadi gelisah.

Nampaknya keduanya menaruh perhatian terhadap mereka yang sedang mencuci itu. Delima pun menjadi gelisah pula. Ketika ia memandang ke atas tanggul di seberang, ternyata Manggada dan Laksana telah tidak nampak lagi.

“Seandainya mereka masih ada.” berkata Delima didalam hatinya. Meski pun demikian, Delima masih juga berharap bahwa mereka berdua masih berada disekitar tempat itu, karena Delima pun berharap untuk dapat bertemu dengan anak-anak muda itu setelah kawan-kawannya pulang.

Kedua orang yang berada diatas tanggul itu masih berdiri dilemparnya. Sejenak keduanya saling berbicara perlahan-lahan. Agaknya keduanya sedang membicarakan, apakah yang akan mereka lakukan.

Perempuan-perempuan itu menjadi cemas, ketika kedua orang itu pun kemudian justru turun dari atas tanggul dan melangkah mendekati mereka yang sedang mencuci itu. Beberapa orang diantara perempuan itu justru telah mencebur kedalam air dengan pakaian mereka yang memang sudah basah. Wajah kedua orang itu memang kelihatan garang. Bahkan berkesan menyeramkan.

“Jangan takut.” berkata salah seorang dari mereka ”Aku hanya ingin bertanya.”

Perempuan-perempuan itu justru terdiam bagaikan membeku. Delima yang pernah didatangi orang-orang yang tidak dikenalnya, masih juga merasa takut. Jika saja ia tidak ditolong oleh pamannya, maka ia sudah menjadi korban keganasan orang-orang dari padepokan pamannya itu sendiri.

Ketika mula-mula orang bongkok itu mendatanginya, Delima pun menjadi ketakutan. Tetapi wajah orang bongkok itu nampak lembut sehingga akhirnya ia justru menjadi akrab. Bukan saja dengan orang bongkok itu sendiri, tetapi juga dengan anak-anak muda yang sering bersamanya.

Sementara itu, orang yang berwajah garang itu berkata selanjutnya, ”Aku hanya ingin mengetahui, dimana letaknya padepokan Kiai Banyu Bening. Menurut pendengaranku, padepokan itu ada disekitar tempat ini.”

Perempuan-perempuan itu tahu benar, dimanakah letak padepokan itu. Tetapi mereka tidak tahu perkembangan terakhir yang telah terjadi di padepokan itu. Mereka hanya tahu bahwa telah terjadi perang. Orang-orang lewat, dipasar dan di kedai-kedai berbicara tentang perang yang telah terjadi di padepokan, kemudian merambat kesekitarnya. Segala macam upacara telah terhenti. Kemudian mereka pun tahu bahwa perang telah selesai. Tetapi perkembangan keadaan masih belum mereka ketahui dengan pasti.

Karena perempuan-perempuan itu tidak segera menjawab, maka laki-laki itu mengulangi pertanyaannya, ”He, kenapa kalian. diam saja? Dimana letak padepokan Kiai Banyu Bening?”

Wajah orang itu nampak berkerut. Sementara itu orang itu berkata dengan nada yang merendah, ”Jangan takut kepada orang-orang padepokan itu. Kami akan melindungi kalian jika mereka marah hanya karena kalian menunjukkan kepada kami, dimana letak padepokan Kiai Banyu Bening.”

Dalam ketegangan itu, akhirnya Delimalah kemudian menjawab, ”Tidak terlalu jauh dari padukuhan ini memang terdapat sebuah padepokan paman. Tetapi kami tidak tahu siapakah yang tinggal di padepokan itu.”

Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Seorang diantara mereka kemudian bertanya pula, ”Apakah kau tidak pernah mendengar nama pemimpin dari padepokan itu?”

Delima menggeleng. Katanya ”Tidak paman. Padepokan itu nampaknya memang menutup diri.”

Kedua orang itu mengangguk-angguk. Seorang diantara mereka berkata ”Tunjukkan arahnya.”

Delima memang menunjuk kearah padepokan yang sebenarnya diketahuinya padepokan Kiai Banyu Bening. Namun Delima pun tahu serba sedikit bahwa telah terjadi pertempuran di padepokan itu. Selanjutnya, Delima memang tidak tahu, apa yang kemudian terjadi.

Kedua orang itu pun kemudian telah melangkah meninggalkan tepian. Demikian orang-orang itu pergi, maka perempuan-perempuan yang sedang mencuci itu sibuk mengemasi cucian mereka. Meski pun ada diantara mereka yang belum selesai, namun mereka menjadi tergesa-gesa pulang. Kedua orang yang bertanya tentang padepokan itu membuat mereka menjadi ketakutan.

Tetapi ternyata Delima tidak ingin pulang bersama mereka. Ia yakin bahwa kedua anak muda yang dilihatnya lewat tanggul di seberang sungai itu masih ada di sekitar tempat itu. Ketika kawan-kawannya siap untuk meninggalkan tepian, maka Delima itu pun berkata, ”Kurang sedikit. Silahkan.”

“Kau tidak takut sendiri ditepian, Delima?” bertanya seorang kawannya.

“Hanya kurang sedikit, sebelum kalian sampai ke tikungan, aku sudah menyusul.”

Kawan-kawannya saling berpandangan sejenak. Namun sekali lagi Delima berkata, ”Pulanglah. Aku tidak apa-apa disini.”

Mula-mula kawan-kawannya tidak sampai hati meninggalkan Delima sendiri. Namun ketika beberapa kali Delima minta mereka mendahuluinya, maka mereka pun telah bergerak meninggalkan tepian. Sebenarnyalah Delima memang ragu-ragu. Demikian kawan-kawannya naik keatas tanggul, Delima pun segera mengemasi cuciannya pula. Jika ia tidak yakin kedua anak muda itu ada disekitarnya, maka Delima akan segera berlari menyusul mereka.

Beberapa saat kemudian, kawan-kawan Delima itu sudah tidak nampak lagi. Mereka telah hilang dibalik pepohonan ketika mereka memasuki lorong sempit diujung padukuhannya. Delima mulai menjadi gelisah. Ia masih berdiri ditepian memandangi tanggul diseberang sungai.

Tetapi ia tidak segera melihat kedua orang anak muda yang sering datang bersama orang yang bongkok itu. Delima terkejut sekali ketika tiba-tiba saja dua orang muncul dan berdiri diatas tanggul sungai itu. Hampir saja Delima menjerit. Namun untunglah, bahwa mulutnya masih terkatup.

“Kalian mengejutkan aku.” desis Delima.

Keduanya tertawa pendek. Sementara Delima berkata, ”Aku sudah akan pulang. Nanti kawan-kawan itu menjadi gelisah. Jika mereka menyampaikan kegelisahan mereka pada orang-orang padukuhan, maka beberapa orang akan berdatangan kemari.”

“Kenapa kau tidak pulang bersama mereka saja?” bertanya Laksana.

Delima menjadi agak bingung. Tetapi kemudian ia menjawab juga, ”Cucianku kurang sedikit. Dan sekarang aku sudah selesai.”

Laksana pun kemudian menuruni tebing sambil bertanya, "Kau takut kepada kedua orang yang menanyakan padepokan Kiai Banyu Bening itu?”

“Kau melihat mereka?” bertanaya Delima.

“Ketika aku melihat keduanya, aku segera mendekat. Aku sudah sejak tadi berada dibalik perdu itu.”

“Karena mereka berdua maka aku justru harus segera menyusul kawan-kawanmu. Aku memang yakin bahwa kalian masih ada ditempat ini. Aku ingin mendengar kabar pamanku.”

“Pamanmu tidak apa-apa. Ia mengirimkan salamnya kepada ayahmu. Pamanmu sekarang berada di padepokan.”

“Bagaimana dengan Kiai Banyu Bening atau orang yang membayangi padepokan Kiai Banyu Bening itu? Apakah benar bahwa padepokan itu sudah beralih tangan?”

“Ceriteranya panjang. Tetapi sampaikan saja kepada ayahmu, bahwa pamanmu tidak apa-apa dan bahkan sekarang menjadi salah seorang penentu di padepokan itu.”

“Kalian dengar kedua orang yang mencari padepokan Kiai Banyu Bening tadi?”

“Ya. Nampaknya masih akan ada persoalan lagi.”

“Ah, terima kasih. Aku harus segera menyusul kawan-kawanku sebelum mereka menjadi gelisah dan memberitahukan kepada orang-orang padukuhan.”

Laksana memang menjadi sedikit kecewa. Tetapi ia mengerti, bahwa kedatangan kedua orang yang mencari padepokan Kiai Banyu Bening itu telah merusak suasana. Namun Laksana tidak ingin menahan Delima lebih lama lagi.

Sejenak kemudian, maka Delima itu pun sudah naik keatas tanggul. Kepada Manggada dan Laksana ia pun berkata, ”Salamku kepada paman. Tolong, sampaikan pula tentang kedua orang yang mencari padepokan Kiai Banyu Bening itu.”

“Baik Delima,” jawab Laksana ”Pada kesempatan lain, aku akan datang lagi.”

“Mungkin kami tidak berada di tepian lagi besok. Kedua orang itu telah menakut-nakuti kawan-kawanku. Sendiri aku juga takut, sementara kalian belum pasti ada di tepian.”

Laksana menarik nafas dalam-dalam. Suasananya benar-benar telah dirusak oleh kedua orang itu. Bukan hanya hari itu. Tetapi mungkin dalam tiga ampat hari mendatang, gadis-gadis itu masih belum berani turun ke sungai lagi.

Demikianlah, maka Delima pun berlari-lari kecil menyusul kawan-kawannya. Ia tidak ingin kawan-kawannya menjadi gelisah karena ia terlalu lama tidak segera nampak. Sebenarnyalah, kawan-kawan Delima itu terhenti di simpang empat di ujung padukuhan. Mereka memang mulai menjadi cemas.

Seorang laki-laki yang berjalan sambil membawa cangkul sempat bertanya, ”Ada yang kalian tunggu?”

“Kami menunggu Delima paman.”

“Dimana anak itu?”

“Kami bersama-sama mencuci di tepian. Ketika kami naik, Delima masih tinggal untuk menyelesaikan curiannya yang tinggal sedikit.”

“Kenapa kalian tidak menunggu di tepian?”

“Delima sendiri minta kami mendahului.”

Laki-laki itu mengangguk-angguk. Sambil melangkah pergi ia bergumam, ”Nanti ia akan pulang sendiri.”

Kawan-kawan Delima yang menunggu itu menjadi semakin gelisah. Mereka membayangkan, bahwa kedua orang laki-laki itu datang kembali, menangkap Delima dan membawanya pergi.

“Delima terlalu cantik untuk berada di tepian seorang diri.” berkata kawan-kawannya itu didalam hatinya.

Tiba-tiba serentak anak-anak melihat Delima berlari-lari kecil. Sambil melambaikan tangannya kawan-kawannya itu bersorak ketika mereka muncul dari balik tikungan. Delima bergegas menyusul.

“Kau membuat kami cemas.” berkata salah seorang dari kawan-kawannya itu.

Delima yang sudah berada diantara kawan-kawannya disela-sela nafasnya yang tersengal-sengal berkata, ”selembar cucianku jatuh di pasir tepian. Aku harus mencucinya kembali.”

“Jangan terlalu berani Delima.” desis kawannya yang sedikit lebih tua daripadanya.

“Sebenarnya aku juga ketakutan. Tetapi untunglah, laki-laki itu tidak kembali.”

“Besok kita tidak pergi ke tepian.” berkata seorang diantara mereka.

“Ya. Tentu tidak. Jika kita pergi juga ke tepian dan terjadi sesuatu, itu adalah salah kita sendiri.”

“Atau kita dapat mengajak dua tiga orang kawan laki-laki kita.”
“Tetapi orang-orang yang nampaknya garang itu sangat berbahaya.” sahut yang lain ”Anak-anak muda padukuhan ini tidak akan dapat melawan mereka.”

“Ya,” berkata Delima ”Wajahnya saja sudah menakutkan.”

“Marilah...” seorang diantara mereka mengajak kawan-kawannya pulang.

Ketika Delima sampai di rumah, ayahnya sudah siap pergi ke sawah. Namun Delima sempai berceritera bahwa ia bertemu dengan anak-anak muda yang sering lewat ditepian bersama Ki Pandi yang bongkok itu.

“Apakah orang bongkok itu juga datang?”

“Tidak ayah. Orang bongkok itu tidak nampak. Namun kedua anak muda itu mendapat pesan dari paman, salam paman bagi ayah. Selebihnya paman memberikan pesan pula, bahwa paman tidak apa-apa. Paman baik-baik saja.”

“Sukurlah...” ayahnya mengangguk-angguk.

Namun sebelum ayahnya bertanya lebih jauh tentang anak-anak muda itu, maka Delima pun telah menceriterakan kedatangan dua orang laki-laki yang garang, yang bertanya letak padepokan Kiai Banyu Bening.

“Apalagi yang akan terjadi?” desis Kiai Krawangan. Namun orang itu pun kemudian berkata ”Baiklah. Aku akan pergi ke sawah. Berhati-hatilah jika kau turun ke tepian.”

“Kawan-kawan sudah berjanji, esok kami tidak turun ke sungai ayah.”

“Bagus. Kau dapat mencuci pakaian di sumur. Bukankah airnya cukup banyak dan seberapa pun kau memakainya tidak akan kering. Bahkan dimusim kemarau sekalipun?”

“Ya, ayah!” jawab Delima.

Dalam pada itu, Manggada dan Laksana telah melangkah meninggalkan tepian menyusuri tanggul. Namun Manggada tiba-tiba saja memperlambat langkahnya sambil berkata, ”Kita harus mengambil jalan lain.”

“Kenapa?”bertanya Laksana.

“Mungkin kedua orang laki-laki itu juga pergi ke padepokan. Sebaiknya kita menghindar agar kita tidak bertemu dengan mereka.” jawab Manggada.

“Apa salahnya?” bertanya Laksana

“Mungkin akan dapat terjadi benturan.”

Laksana mengerutkan dahinya. Agaknya benturan kekerasan tidak menjadi persoalan bagi Laksana. Hampir bergumam Laksana itu berkata, ”Asal bukan kita yang mendahuluinya, benturan kekerasan itu bukan tanggung-jawab kita.”

“Kita belum tahu, apa maksud mereka mencari padepokan Kiai Banyu Bening.”

“Apa pun maksudnya, jika mereka tidak bermaksud buruk, maka berselisih jalan pun tidak akan timbul persoalan.”

“Tetapi sebaiknya kita hindari mereka agar tidak menimbulkan persoalan-persoalan baru, justru persoalan mereka yang sebenarnya bukan persoalan kita.”

Laksana tidak menjawab. Tetapi ia mengikuti langkah Manggada yang mencoba menghindari kedua orang yang sedang mencari padepokan Kiai Banyu Bening itu. Karena itu, maka keduanya telah mengambil jalan melingkar, meski pun dengan demikian perjalanan mereka menjadi lebih jauh. Namun keduanya masih harus mengajak kedua ekor harimau Ki Pandi yang menunggu mereka di semak-semak.

Ternyata kedua ekor harimau itu tidak beranjak dari tempatnya. Bahkan seekor diantaranya sempat tertidur ketika Manggada dan Laksana lewat. Dengan demikian, maka kedua orang anak muda itu telah berjalan melewati padang perdu yang luas, namun yang menurut pengamatan keduanya, padang perdu itu dapat dijadikan lahan persawahan jika air sempat menggapai tempat itu.

“Tinggal membuat parit. Agak di atas dapat ditemukan banyak mata air yang dapat dialirkan menjadi satu sehingga menjadi sebuah parit yang cukup deras.” berkata Manggada.

Laksana mengangguk-angguk. Katanya. ”Nampaknya orang-orang di daerah ini masih belum membutuhkan.”

“Mereka bukan orang-orang yang terbiasa bekerja keras. Justru apa yang ada telah memberikan pangan yang cukup, mereka tidak berusaha apa-apa lagi selain menikmati apa yang sudah ada.”

“Ki Warana akan dapat memanfaatkan tanah ini. Tentu saja dengan seijin lingkungannya.”

Manggada mengangguk-angguk. Sementara itu keduanya berjalan terus melalui jalan setapak dan bahkan kemudian, mereka menyusuri gumuk-gumuk kecil berbatu padas. Namun tiba-tiba saja kedua ekor harimau itu menjadi gelisah. Agaknya ada sesuatu yang menarik perhatian mereka. Manggada dan Laksana pun menjadi semakin berhati-hati. Agaknya dibalik batu-batu itu ada sesuatu yang membuat kedua ekor harimau itu gelisah.

Manggada dan Laksana yang sudah semakin terbiasa dengan kedua ekor harimau itu telah memberi isyarat, agar keduanya menunggu sementara Manggada dan Laksana dengan sangat berhati-hati melihat keadaan dibalik batu-batu padas itu. Keduanya tertegun ketika mereka mendengar suara orang yang sedang bercakap-cakap.

Manggada dan Laksana pun segera mengetahui. Bahwa yang sedang berbincang itu tentu lebih dari dua orang. Manggada pun kemudian memberi isyarat kepada Laksana untuk melangkah mundur. Agaknya Manggada tidak ingin terlibat dalam perselisihan dengan orang-orang yang tidak dikenal itu. Karena itu, maka Manggada menganggap lebih baik mereka tidak bertemu dengan orang-orang itu.

Namun demikian Manggada dan Laksana bergeser menjauh, tiba-tiba saja mereka mendengar seseorang berteriak, ”He, berhenti. Jangan bergerak.”

Manggada dan Laksana terkejut. Ketika mereka menengadahkan wajah mereka, maka mereka melihat seorang yang berdiri diatas batu padas yang besar dengan tombak di tangan. Tombak yang sudah siap dilontarkan kearah Manggada atau Laksana.

Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Tetapi mereka memang tidak beringsut dari tempatnya. Orang-orang yang berada dibalik batu-batu padas itu pun mendengar teriakan itu. Karena itu, maka mereka pun berlari-larian melingkari batu padas itu. Manggada dan Laksana masih berdiri ditempatnya. Mereka sempat menghitung orang-orang yang kemudian mengerumuninya.

“Empat orang. Lima orang dengan yang diatas.”

Sementara itu orang yang tertua diantara mereka dan berdiri dipaling depan bertanya dengan nada datar, ”Siapakah kalian?”

Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Manggada pun menjawab, ”Kami datang dari padukuhan dipinggir sungai itu, Ki Sanak.”

“Untuk apa kalian datang kemari?” bertanya orang itu.

Manggada pun menjawab meski pun agak ragu, ”Kami sedang melihat kemungkinan untuk memperluas lahan sawah kami, Ki Sanak. Tempat ini memang sangat memungkinkan. Sementara penghuni padukuhan kami menjadi semakin banyak, sedang sawah kami tidak cukup luas.”

Orang itu mengangguk-angguk. Ternyata jawaban Manggada masuk di akal mereka. Yang kemudian bertanya adalah justru Manggada, ”Siapakah Ki Sanak ini? Agaknya kami masih belum pernah bertemu dengan kalian selama ini.”

“Kami datang dari jauh.” jawab orang yang tertua diantara mereka ”Kami sedang mencari seseorang yang bernama Kiai Banyu Bening. Nama yang dipakai sejak orang itu mendirikan satu padepokan di kaki Gunung Lawu ini,”

“Apakah kalian termasuk murid dari padepokan itu?” bertanya Manggada.

“Ternyata kau anak yang dungu!” sahut orang itu ”Jika aku murid dari padepokan itu, tentu aku tidak perlu mencarinya.”

“Mungkin Ki Sanak murid yang sudah tuntas sehingga meninggalkan padepokan. Sementara itu padepokan itu telah berpindah tempat.”

Orang itu tertawa. Katanya, ”Memang mungkin,” Namun seorang yang lain tiba-tiba saja telah bertanya, ”Kau melihat padepokan Kiai Banyu Bening itu?”

“Kami tidak tahu Ki Sanak. Yang kami tahu, disana ada sebuah padepokan, Tetapi aku tidak tahu siapakah pemimpin dari padepokan itu.”

“Ya. Empat kawanku sedang melihat padepokan itu. Mudah-mudahan benar bahwa padepokan itu adalah padepokan Kiai Banyu Bening.”

“Untuk apa kalian mencari Kiai Banyu Bening?” bertanya Laksana tiba-tiba.

Orang itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun menjawab, ”Tidak apa-apa. Kami mempunyai kepentingan pribadi dengan Kiai Banyu Bening.”

“Cobalah. Datanglah ke padepokan itu. Mungkin di padepokan itu tinggal orang yang sedang kalian cari.”

“Sudah aku katakan, empat orang kawanku sudah pergi ke-sana untuk mengetahuinya.”

“Baiklah. Jika Demikian, kami minta diri.” berkata Manggada.

“Kalian akan pergi kemana?” bertanya orang itu.

“Kami masih akan melihat lingkungan yang luas. Bukan saja melihat kesuburan tanahnya, tetapi juga letaknya apakah mungkin kami dapat menggali sebuah parit induk melalui daerah ini, meski pun dasar sungai itu termasuk terlalu rendah, atau menanmpung air dari banyak mata air.”

Orang tertua diantara mereka itu pun mengangguk sambil menjawab, ”Pergilah. Tetapi kalian tidak usah berceritera tentang kehadiran kami disini. Kami tidak ingin membuat persoalan dengan orang-orang padukuhan, sasaran kami terutama adalah Kiai Banyu Bening.”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sementara orang itu pun berkata selanjutnya, ”Jangan membuat orang-orang padukuhan ketakutan. Kami tidak mempunyai persoalan dengan mereka. Kecuali jika mereka sengaja mencampuri persoalan kami.”

“Baiklah!” berkata Manggada ”Kami bukan orang yang sedang mencampuri persoaan orang lain.”

“Bagus!” sahut orang itu ”Pergilah. Lakukan pekerjaanmu sebaik-baiknya.”

Namun Laksana tiba-tiba menyahut, ”Kami sekaligus sedang menggembalakan ternak kami.”

“Ternak?” tiba-tiba saja seorang diantara mreka bertanya ”Ternak apa? Kambing? Atau apa? Kami sudah lama tidak makan daging kambing. Jika kau mengembalakan kambing, tinggal seekor untuk kami.”

“Ternakku hanya dua ekor” Jawab Laksana.

“Tidak apa. Satu untuk kami.”

Tetapi yang tertua dari antara mereka pun berkata, ”Ternaknya hanya dua ekor. Jika satu kau ambil, maka ia hanya tinggal mempunyai seekor.”

“Tidak apa. Ia akan dapat membeli lagi.”

“Bawa ternakmu pergi” berkata orang itu.

Namun agaknya yang lain berusaha memaksanya. ”Biar sajalah. Kami memerlukan seekor. Bukankah itu lebih baik daripada aku merampasnya semua.”

Laksana lah yang kemudian berkata, ”Biarlah aku panggil ternak yang sedang aku gembalakan.”

Orang yang tertua itu menjadi heran. Agaknya anak muda itu tidak berkeberatan jika seekor ternaknya harus ditinggalkannya di padang perdu itu. Seperti yang diajarkan Ki Pandi, maka Laksana pun telah memberikan isyarat memanggil kedua ekor harimaunya yang ditinggalkannya. Meskipiun tidak memakai suara seruling, tetapi kedua ekor harimau itu pun mengerti pula isyarat itu, sehingga kedua-nya pun segera mendekati Laksana.

Orang-orang itu terkejut melihat dua ekor harimau yang besar dan tegar berjalan mendekat, Dengan serta merta mereka pun segera mempersiapkan senjata mereka. Namun Laksana sambil tersenyum berkata, ”Inilah ternak kami yang kami gembalakan.”

“Setan kau!,” geram salah seorang dari mereka.

Manggada dan Laksana pun kemudian meninggalkan orang-orang yang memandanginya dengan termangu-mangu. Laksana berjalan sambil memegangi tengkuk salah seekor dari kedua harimau yang mengikutinya, sementara yang seekor lagi berjalan di depan.

“Kau dapat membuat mereka curiga.” berkata Manggada.

“Mereka tidak akan berbuat apa-apa!” jawab Laksana.

“Tetapi sebenarnya tak perlu kau lakukan.”

“Bukankah mereka benar-benar tidak berbuat apa-apa?”

“Tetapi penilaian mereka terhadap kita telah berubah.”

Laksana tidak menjawab. Tetapi menurut pendapatnya, sama sekali tidak terjadi akibat buruk dari kelakarnya yang mendebarkan itu.

Manggada dan Laksana pun berjalan semakin menjauhi orang-orang yang berada di belakang gumuk kecil berbatu-batu padas itu. Namun mereka tidak akan memilih jalan lagi. Justru ia berusaha menghindari pertemuan dengan dua orang yang tidak dikenalnya, mereka malahan bertemu dengan sekelompok orang yang lebih banyak. Untunglah orang-orang itu tidak berbuat apa-apa atas diri Manggada dan Laksana, sehingga tidak terjadi benturan kekerasan.
Manggada dan Laksana pun berjalan semakin jauh. Mereka langsung berjalan menuju ke padepokan. Ketika mereka sampai di padepokan, maka Manggada dan Laksana pun segera menyampaikan apa yang mereka lihat dan dengar kepada Ki Pandi.

Ki Pandi mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Kemudian dengan serta-merta ia pun bertanya, “Dimana kedua ekor harimau itu sekarang?”

“Mereka berada diluar seperti saat sebelum kami berangkat.”

Ki Pandi menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian memanggil kawan-kawannya serta Ki Warana untuk berbincang. Masih ada saja persoalan yang timbul.

Ki Warana pun termangu-mangu sejenak. Dengan ragu ia bertanya, ”Apakah yang sebenarnya mereka inginkan?”

“Ternyata banyak pihak yang mempunyai persoalan dengan Kiai Banyu Bening” desis Ki Lemah Teles.

“Untunglah jika mereka mau menyelesaikan persoalan itu sekarang, sehingga yang tinggal kemudian adalah ketenangan dan tatanan kehidupan yang mantap disini.” berkata Ki Ajar Pangukan.

“Kita memang sudah letih!” desis Ki Warana ”Meski pun demikian, jika kita dipaksa, maka kita akan mempertahankan padepokan ini dengan kekerasan.”

“Kita akan menunggu. Nampaknya keempat orang yang sedang mengamati padepokan ini masih ragu-ragu untuk datang langsung kemari.” berkata Ki Pandi.

Sebenarnyalah dua orang yang bertemu dengan beberapa orang perempuan yang sedang mandi itu telah menemui kawan-kawannya di gumuk kecil itu. Kemudian mereka berempat berniat untuk mencari keterangan lebih jauh tentang padepokan yang memang didirikan oleh Kiai Banyu Bening itu.

Akhirnya, keempat orang itu dapat meyakinkan, bahwa padepokan itu memang padepokan yang dipimpin oleh Kiai Banyu Bening, karena padepokan itu memang satu-satunya padepokan yang mereka jumpai didaerah itu.

Seorang laki-laki tahu pasti bahwa padepokan itu adalah padepokan Kiai Banyu Bening. Hampir disetiap padukuhan telah didirikan sanggar untuk melakukan upacara. Meski pun demikian, orang-orang padukuhan itu masih kurang mengerti, bagaimana keadaan padepokan itu setelah terjadi prtempuran-pertempuran yang menggetarkan jantung itu.

“Semua orang menunggu, apakah yang sebenarnya telah terjadi di padepokan itu. Perang disusul dengan perang.”

“Tetapi bukankah sekarang tidak sedang terjadi perang itu?” bertanya salah seorang dari keempat orang itu.

“Tidak Ki Sanak!” jawab laki-laki itu.

Tetapi keempat orang itu tidak langsung pergi ke padepokan itu. Mereka masih harus menemui kawan-kawan mereka untuk meminta pertimbangan, apakah yang sebaiknya harus mereka lakukan.

“Ada diantara kita yang harus datang memasuki padepokan itu.” berkata orang tertua diantara mereka.

“Siapa?” bertanya salah seorang kawannya.

“Aku sendiri” jawab yang tertua itu.

“Jangan sendiri.”

“Siapa akan pergi bersamaku?” bertanya orang tertua itu.

Seorang yang bertubuh sedang berkumis tebal berkata ”Aku.”

Demikianlah, maka mereka berdua pun telah pergi ke padepokan yang tidak diketahui dengan jelas, siapakah yang ada di dalamnya itu. Ketika keduanya sampai ke depan regol padepokan, maka keduanya termangu-mangu sejenak. Di hadapan mereka, regol padepokan itu berdiri dengan angkuhnya menantang kedatangan mereka berdua. Orang yang tertua itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ditetapkannya hatinya melangkah mendekati regol itu. Beberapa kali ia mengetuk pintu regol padepokan yang tertutup rapat itu.

Beberapa saat orang itu menunggu. Ia mengangkat wajahnya ketika dari atas panggung disebelah regol itu terdengar seseorang bertanya, ”He, siapakah kalian dan siapakah yang kau cari?”

“Perkenankan aku masuk. Ada sesuatu yang penting.” jawab orang yang berdiri didepan regol itu.

“Siapakah kalian?” bertanya orang yang ada dipanggungan.

“Nanti akan kami jelaskan...” jawab orang itu.

Orang yang berdiri diatas panggungan itu memandang berkeliling. Ia harus memastikan bahwa tidak ada kemungkinan buruk yang dapat terjadi di saat regol padepokan itu dibuka. Baru setelah ia yakin akan hal itu, maka ia pun memberi isyarat kepada penjaga regol itu, agar regol itu dibuka.

Perlahan-lahan regol padepokan itu pun terbuka. Beberapa orang yang berada dibelakang regol itu pun mempersilahkan kedua orang itu masuk. Demikian keduanya berada didalam, maka pintu regol itu pun segera tertutup kembali.

“Siapakah yang kalian cari?”

“Kami ingin bertemu dengan pemimpin padepokan ini.” jawab orang itu.

“Siapa?”

“Siapa pun orang itu.”

Para petugas di regol itu pun termangu-mangu sejenak. Seorang diantara mereka berkata, ”Tunggulah. Aku akan menyampaikannya.” Orang itu pun segera menemui Ki Warana untuk menyampaikan keinginan kedua orang yang telah memasuki regol halaman padepokan itu.

Ki Warana menjadi termang-mangu sejenak. Tetapi Ki Pandi yang mendengar pembicaraan itu berkata, ”Apakah tidak sebaiknya orang itu dipersilahkan naik?”

Ki Warana mengangguk sambil berkata, ”Baiklah. Biarlah mereka naik.”

Sejenak kemudian, maka kedua orang itu sudah duduk dipendapa, ditemui oleh Ki Warana, Ki Pandi dan Ki Ajar Pangukan.

“Siapakah yang kalian cari Ki Sanak?” bertanya Ki Warana.

Kedua orang itu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya sebuah bangunan batu yang ada di depan pendapa. Satu diantaranya menyerupai sebuah tugu. Diatasnya terdapat sebuah nisan kecil.

“Kenapa nisan itu ada disana?.” bertanya orang yang tertua itu.

“Nisan itu nisan seorang bayi yang mati terbakar” jawab Ki Warana.

Orang itu mengangguk-angguk. Katanya dengan pasti, ”Aku akan berbicara dengan Kiai Banyu Bening.”

Ki Warana mengerutkan dahinya. Katanya, ”Apakah kalian mempunyai kepentingan dengan Kiai Banyu Bening?”

“Ya, Ki Sanak.” jawab orang itu.

“Persoalan apakah yang kalian bawa?”

“Aku akan menyampaikannya sendiri.”

“Tetapi setiap orang yang datang untuk menemuinya harus memastikan, persoalan apakah yang akan dibicarakannya. Jika aku menyampaikan niat kalian menemuinya tanpa menyebutkan persoalan yang kalian bawa, maka Kiai Banyu Bening tidak akan menemui kalian.”

Orang itu menjadi ragu-ragu. Namun ia tidak mempunyai pilihan lain. Karena itu, maka katanya, ”Baiklah Ki Sanak. Jika hal itu menjadi syarat untuk dapat bertemu dengan Kiai Banyu Bening,” orang itu berhenti sejenak. Lalu katanya kemudian ”Kami datang untuk berbicara tentang nisan kecil itu.”

Ki Warana mengerutkan dahinya. Katanya, ”Tentang nisan kecil itu? Ada apa dengan nisan itu. Nisan itu adalah nisan anak Kiai Banyu Bening yang terbunuh didalam api, ketika api itu membakar rumahnya.”

“Benar.” orang itu mengangguk-angguk. Ia menjadi yakin, bahwa ia telah datang ketempat yang benar. Sementara itu, orang itu berkata selanjutnya. ”Persoalan itulah yang akan aku bicarakan dengan Kiai Banyu Bening.”

”Ki Sanak. Jangan mengganggu ketenangan Kiai Banyu Bening. Sejak lama ia berusaha melupakan persoalan yang terjadi pada anaknya itu. Jika Ki Sanak membicarakannya lagi, maka hatinya yang luka itu akan berdarah kembali.”

“Aku tidak dapat berbuat lain, Ki Sanak” jawab orang itu. Bahkan kemudian katanya ”Bukankah nisan itu selalu mengingatkannya kepada anaknya itu?”

“Tetapi tugu batu itu merupakan tempat yang sangat berarti baginya. Tempat itu merupakan sumber kekuatan dan ilmu Kiai Banyu Bening.”

“Sudahlah Ki Sanak.” berkata orang tertua itu ”Aku ingin berbicara dengan Kiai Banyu Bening. Persoalan ini hanya diketahui oleh Kiai Banyu Bening. Setelah bertahun-tahun kami mencarinya, maka kini kami sudah menemukannya disini.”

“Apakah kau pernah bertemu dengan Kiai Banyu Bening?” bertanya Ki Warana tiba-tiba.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya orang-orang yang duduk di sekitamya. Dengan ragu-ragu ia berkata, ”Sudah Ki Sanak. Tentu sudah.”

Tetapi Ki Warana itu pun berkata, ”Jika sudah, kenapa kau tidak tahu, bahwa Kiai Banyu Bening duduk diantara kita sekarang ini...?”
Selanjutnya,
Matahari Senja Bagian 16