Matahari Senja
Bagian 14
KEDUA orang yang telah membenturkan ilmunya itu telah terlempar beberapa langkah surut. Ki Lemah Teles terdorong beberapa langkah dan kemudian jatuh terguling. Dengan serta merta Ki Lemah Teles telah berusaha untuk bangkit. Tetapi ternyata bahwa punggungnya yang terasa bagaikan patah tidak mampu lagi menahan tubuhnya, sehingga Ki Lemah Teles itu telah terjatuh kembali. Terdengar Ki Lemah Teles itu mengerang kesakitan.
Namun dalam pada itu, Lembu Palang, yang semula datang, untuk sekedar melihat pertunjukan yang baginya dianggapnya sangat menarik, karena ia menduga bahwa orang-orang Lebdagati akan membantai sisa-sisa para pengikut Ki Banyu Bening, ternyata mengalami nasib yang lebih buruk. Ketika ia harus membenturkan ilmunya melawan ilmu Ki Lemah Teles, ternyata bahwa tingkat ilmunya berada selapis di bawah ilmu Ki Lemah Teles. Karena itu, maka isi dada Lembu Palang itu seakan-akan telah terbakar.
Ki Jagaprana sempat melihat benturan kekuatan itu. Dengan serta-merta ia pun telah berlari mendekati Ki Lemah Teles yang terbaring kesakitan.
Namun Ki Lemah Teles itu masih sempat bertanya, ”Bagaimana keadaan Kebo Edan itu?”
“Ia dalam keadaan yang sangat parah, Ki Lemah Teles.” jawab Ki Jagaprana.
“Aku juga dalam keadaan parah. Tetapi siapakah menurut pendapatmu yang keadaannya lebih baik. Aku atau Lembu Palang?"
“Kau masih berada dalam keadaan lebih baik.”
“Jangan mencoba menipu aku. Persoalan kita masih belum selesai. Kita masih akan berperang tanding.”
“Sudahlah. Sekarang tenangkan hatimu. Cobalah mengatur pernafasanmu untuk mengatasi perasaan sakitmu. Jika kau berhasil mengerahkan daya tahan tubuhmu, maka kau tentu dapat mengatasi rasa sakitmu.”
Ki Lemah Teles termangu-mangu sejenak. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Keadaan Lembu Palang memang lebih parah lagi. Tetapi tidak seorang pun diantara kawan-kawannya atau pengikut Panembahan Lebdagati yang sempat mendekatinya.
Sementara itu pertempuran masih berlangsung terus, meski pun jumlah para pengikut Panembahan Lebdagati menjadi semakin susut. Yang kemudian justru mendekati Lembu Palang yang terbaring diam adalah Ki Jagaprana setelah Manggada dan Laksana membawa Ki Lemah Teles menepi.
Ki Lemah Teles yang diangkat oleh Manggada dan Laksana itu harus menahan sakit di punggungnya yang terasa semakin menggigit. Bahkan dadanya pun mulai terasa sesak. Dalam benturan ilmu yang terjadi, maka dadanya pun terasa menjadi sakit pula.
Ki Jagaprana sempat meraba dada Lembu Palang. Detak jantungnya sudah menjadi tidak teratur lagi. Semakin lama semakin perlahan.
“Dimana Panembahan Lebdagati?” desisnya tanpa mengetahui siapakah yang berjongkok disampingnya, karena matanya yang menjadi kabur.
“Ia masih terlibat dalam pertempuran!” jawab Ki Jagaprana.
”Sampaikan kepadanya. Aku memperingatkannya agar ia meninggalkan tempat ini. Panembahan Lebdagati itu telah salah membuat perhitungan atas orang-orang yang diburunya.”
“Baik. Aku akan menyampaikannya jika aku berpeluang” jawab Ki Jagaprana.
“Ternyata ia telah terjebak disini.” desis Lembu Palang yang menjadi semakin sendat, bahkan kemudian terdiam.
Ki Jagaprana pun meraba dadanya. Detak jantung ia sudah tidak terasa ditangannya. Dari sela-sela bibir Lembu Palang itu nampak darah, sementara matanya pun telah terpejam. Lembu Palang terbunuh justru saat ia tidak bersiap untuk mati. Ia datang karena ia ingin ikut membabat ilalang. Namun yang terjadi adalah sebaliknya.
Dalam pada itu, pertempuran yang terjadi di padukuhan itu justru semakin menyebar. Tetapi para pengikut Panembahan Lebdagati telah semakin menyusut. Mereka yang terluka terbaring di-pinggir jalan, di sudut-sudut halaman dan bahkan di tangga-tangga pendapa. Mereka tidak dapat bertahan jika kebetulan mereka bertemu dengan Ki Jagaprana atau bahkan Ki Ajar Pangukan sendiri.
Sementara itu Manggada dan Laksana pun telah mengacaukan para pengikut Panembahan Lebdagati dengan ilmu mereka yang memanjat semakin tinggi. Sementara orang-orangnya menjadi semakin kalang kabut.
Panembahan Lebdagati sendiri tengah bertempur dengan Ki Pandi. Keduanya adalah orang-orang yang memiliki ilmu dari sumber yang sama. Namun arah perkembangannya yang menjadi jauh berbeda, bahkan bertentangan.
Dengan demikian, maka kedua-duanya seakan-akan tidak dapat menyembunyikan unsur-unsur gerak dasar mereka, meski pun kadang-kadang masing-masing menjadi terkejut karena unsur-unsur gerak baru yang tumbuh disaat ilmu mereka berkembang.
Ternyata Panembahan Lebdagati itu pun telah menyesali kesalahannya sebagaimana dilakukannya beberapa kali. Ia selalu salah menilai kekuatan orang bongkok dan kawan-kawannya itu. Meski pun kawan orang bongkok saat ini berbeda dengan kawan-kawannya yang terdahulu, namun mereka masih juga orang-orang yang berilmu tinggi. Dalam pertempuran itu, meski pun kedua-duanya mengerahkan kemampuan mereka, namun masing-masing merasa bahwa mereka akan terjebak dalam pertempuran tanpa akhir.
Sementara itu Panembahan Lebdagati pun mengetahui, bahwa ada beberapa orang berilmu tinggi yang akan dapat membantu orang bongkok yang telah menjebaknya dalam padukuhan kecil itu. Meski pun demikian, pertempuran diantara keduanya masih berlangsung di halaman yang seakan-akan sengaja memisahkan diri dari keseluruhan pertempuran.
Dalam pada itu, para pengikut Panembahan Lebdagati yang menebar, harus menghadapi perlawanan yang keras dari para pengikut Ki Warana. Sementara itu, Manggada dan Laksana telah meninggalkan Ki Lemah Teles yang sudah dirawat oleh beberapa orang padukuhan yang ikut bertempur bersama para pengikut Ki Warana. Bahkan Ki Bekel sendiri telah menunggui Ki Lemah Teles. Sedangkan Ki Jagaprana telah berada di pertempuran pula. Tanpa Manggada, Laksana, Ki Jagaprana dan Ki Ajar Pangukan, maka para pengikut Ki Warana tentu akan segera mengalami kesulitan.
Ki Warana yang telah berhasil memancing Panembahan Lebdagati dan meninggalkannya setelah berhadapan dengan Ki Pandi, bersama-sama dengan Ki Bekel dan beberapa yang lain berusaha membawa Ki Lemah Teles ke rumah Ki Bekel. Ki Lemah Teles sendiri masih tetap dicengkam oleh perasaan sakit. Apalagi ketika tubuhnya diangkat oleh beberapa orang. Tetapi ia sadar, bahwa keadaan itu adalah keadaan yang terbaik bagi dirinya.
Ki Warana dan Ki Bekel bersama beberapa orang berusaha menembus pertempuran yang kadang-kadang terjadi di tengah jalan, disimpang empat atau di tikungan-tikungan. Namun ternyata bahwa Ki Warana dan Ki Bekel serta beberapa orang itu mampu menembus jalan sampai kerumah Ki Bekel, sementara Manggada dan Laksana sempat mengamati sambil bertempur untuk mencegah para pengikut Panembahan Lebdagati memasuki padukuhan sampai kerumah Ki Bekel itu.
Sebenarnyalah bahwa kemudian keadaan para pengikut Panembahan Lebdagati menjadi semakin sulit. Korban berjatuhan semakin banyak. Sementara mereka tidak tahu apa yang terjadi dengan Panembahan Lebdagati sendiri.
Dalam pada itu Panembahan Lebdagati telah menjadi gelisah. Meski pun ia tidak dapat melihat pertempuran dalam keseluruhan, namun panggraita Panembahan Lebdagati yang tajam itu dapat melihat bahwa keadaan para pengikutnya menjadi sulit oleh kenyataan yang mereka hadapi di padukuhan itu.
Karena itu, maka Panembahan Lebdagati itu tidak mempunyai pilihan lain. Meski pun ia masih bertempur terus dengan mengerahkan segenap kemampuannya, namun Panembahan Lebdagati sudah mulai mencoba melihat kemungkinan lain dari pertempuran itu.
Dalam pada itu, maka Ki Pandi pun ternyata tidak dapat dengan cepat mengakhiri pertempuran sebagaimana Panembahan Lebdagati. Keduanya yang memiliki dasar ilmu yang sama, dalam perkembangannya ternyata yang satu juga tidak melampaui yang lain.
Namun baik para pengikut Panembahan Lebdagati, mau pun para pengikut Ki Warana atau penghuni padukuhan itu, menjadi berdebar-debar dan bahkan ngeri ketika mereka melihat akibat dari benturan ilmu kedua orang itu. Karena mereka semula tidak melihat langsung pertempuran antara orang bongkok melawan Panembahan Lebdagati itu.
Maka mereka agak terkejut ketika tiba-tiba saja mereka melihat angin pusaran yang memutar seisi sebuah kebun di padukuhan itu. Namun tiba-tiba saja angin pusaran itu pun pecah diguncang oleh ledakan petir yang menggelegar.
Dengan demikian, maka mereka pun segera mengetahui, bahwa dua orang raksasa dalam olah kanuragan sedang bertempur di kebun itu. Bagi para pengikut Panembahan Lebdagati, mereka pun segera mengetahui, bahwa Panembahan itu sedang bertempur di kebun itu.
Pada kesempatan lain, tiba-tiba saja mereka melihat lidah api yang menyala dan menjilat-jilat. Bahkan dedaunan pun menyala terbakar pula. Namun lembaran awan yang basah telah turun menyelimuti kebun yang menjadi dingin membeku.
Sebenarnyalah, Panembahan Lebdagati masih mencoba dengan tataran kemampuannya yang tertinggi untuk menghentikan perlawanan Ki Pandi. Tetapi ternyata setelah berpisah dan menempuh jalan hidup yang berbeda, Ki Pandi masih saja mampu mengimbangi ilmu Panembahan Lebdagati.
Akhirnya Panembahan Lebdagati pun telah menghentakkan sejenis ilmunya yang sangat berbahaya. Panembahan itu justru berdiri tegak sambil mengacukan tangannya dengan telapak tangan menghadap kearah lawannya. Loncatan-loncatan cahaya yang berwarna kemerah-merahan tiba-tiba saja telah meluncur dari telapak tangannya itu, seakan-akan beribu-ribu petir kecil meluncur menyambar-nyambar kearah orang bongkok itu.
Ki Pandi yang mengira bahwa lawannya akan mempergunakan Aji Gelap Ngampar terkejut. Rupa-rupanya Panembahan Lebdagati mengetahui bahwa Ajinya Gelap Ngampar tidak akan berarti apa-apa bagi orang bongkok itu. Karena itu, maka Panembahan Lebdagati telah mempergunakan ilmunya yang lain.
Loncatan-loncatan beribu petir yang nampaknya kecil-kecil itu seakan-akan telah membelenggu Ki Pandi dan dengan kekuatan yang sangat besar telah menarik tubuhnya mendekat Panembahan Lebdagati.
Ki Pandi harus mengerahkan tenaganya untuk menahan dirinya agar tidak terhisap oleh kekuatan ilmu Panembahan Lebdagati itu. Bahkan dalam saat-saat yang paling berbahaya itu, Ki Pandi harus mampu mengambil sikap, agar ia tidak dihancurkan oleh saudara seperguruannya yang telah menempuh jalan sesat itu.
Ki Pandi yang harus bertahan dari hisapan kekuatan lawannya itu pun kemudian berdiri sambil menyilangkan tangannya didadanya. Kedua kakinya melekat diatas tanah dengan kuatnya, seakan-akan telah menghunjam ke dalam bumi. Tetapi setapak demi setapak Ki Pandi masih juga beringsut semakin mendekati lawannya. Bahkan kemudian semakin dekat dan semakin dekat.
Panembahan Lebdagati semakin mengerahkan kekuatan ilmunya. Ia semakin berpengharapan bahwa Ki Pandi akan menjadi semakin dekat, sehingga Panembahan Lebdagati itu akan dapat menggapai dengan kerisnya.
Namun semakin dekat orang itu dari Panembahan Lebdagati, ternyata udara terasa menjadi semakin panas. Dari tubuh Ki Pandi itu telah memancar kekuatan api dan dalam dirinya, sehingga tubuh orang bongkok itu seakan-akan telah menjadi bara yang panasnya melampaui panasnya bara batok kelapa.
Panembahan Lebdagati menjadi berdebar-debar. Demikian orang bongkok itu beringsut semakin dekat, maka keringat ditubuh Panembahan Lebdagati pun menjadi semakin diperas dari dalam tubuhnya. Tetapi Panembahan Lebdagati tidak ingin melepaskan ikatan dan kekuatan ilmunya yang menghisap itu. Karena itu, maka Ki Pandi pun semakin lama menjadi semakin dekat pula.
Namun Ki Pandi bukan saja membuat tubuh Panembahan Lebdagati berkeringat karena panas, tetapi tubuh Ki Pandi itu seakan-akan menjadi sangat menyilaukan. Dari kedua mata Ki Pandi yang memandang mata Panembahan Lebdagati, memancar sinar yang putih seperti pantulan cahaya matahari diwajah air yang beriak kecil.
Panembahan Lebdagati ternyata sulit untuk mengatasi panas serta matanya yang menjadi silau. Ia seakan-akan tidak dapat melihat lagi jarak antara dirinya dengan orang bongkok itu. Dengan demikian, maka ilmunya itu pun tidak mampu mengakhiri pertempuran. Meski pun orang bongkok itu tidak mudah untuk mengalahkannya, namun Panembahan Lebdagati sendiri juga merasa sangat sulit untuk mengalahkan orang bongkok itu.
Karena itu, akhirnya Panembahan Lebdagati benar-benar sudah mengambil keputusan yang pasti. Dengan tiba-tiba saja Panembahan Lebdagati itu pun telah menghentikan ilmunya yang menghisap lawannya dan seakan-akan membelenggunya itu. Demikian tiba-tiba sehingga justru Ki Pandi terkejut karenanya.
Demikian Ki Pandi menyadari kedudukannya, maka ia melihat Panembahan Lebdagati itu bagaikan terbang meloncati dinding kebun yang telah menjadi berserakan itu. Ranting-ranting kayu dan dahan-dahan pepohonan berpatahan, bahkan dedaunan menjadi hangus terbakar.
Dengan serta-merta Ki Pandi pun telah berusaha memburunya. Ia masih mendengar suara Panembahan itu bagaikan teriakan elang yang berterbangan di langit. Namun Ki Pandi terkejut ketika dua ekor elang telah menukik langsung menyambarnya. Hampir saja kuku-kuku elang yang tajam itu menggores wajahnya. Ki Pandi harus menyelesaikan kedua ekor elang itu lebih dahulu. Namun yang sekejap itu telah dimanfaatkan Panembahan Lebdagati dengan sebaik-baiknya.
Ternyata burung-burung dilangit tidak hanya sepasang. Teriakan Panembahan Lebdagati itu telah memberikan aba-aba khusus kepada beberapa ekor elang yang berterbangan. Burung-burung tu pun telah berteriak-teriak pula dengan riuhnya. Seperti Panembahan Lebdagati, maka elang-elang itu telah memberikan isyarat agar para pengikut Panembahan Lebdagati mengundurkan diri.
Ki Pandi hanya dapat menggeram marah. Ia telah kehilangan buruannya. Panembahan Lebdagati memiliki kecepatan bergerak yang sangat mengagumkan. Apalagi Ki Pandi harus tertahan oleh burung-burung elang yang menyerang mengarah langsung ke wajah dari matanya.
Burung-burung elang yang berusaha menahannya agar Panembahan Lebdagati sempat menghindar dari medan. Dengan demikian, maka para pengikut Panembahan Lebdagati itu pun telah berusaha dengan cepat menarik diri dari pertempuran.
Para pengikut Ki Warana dan orang-orang padukuhan itu memang tidak dengan mudah berniat melepaskan para pengikut Panembahan Lebdagati yang melarikan diri. Namun agaknya orang yang mengendalikan burung-burung elang itu tidak hanya melepas dua tiga pasang burung elang. Tetapi sekelompok burung elang telah berterbangan menyambar-nyambar.
Burung-burung itu telah berusaha menahan orang-orang yang berusaha mengejar para pengikut Panembahan Lebdagati, sehingga dengan demikian, mereka yang melarikan diri telah mendapat peluang untuk lepas dari kejaran lawan-lawan mereka. Burung-burung elang itu ternyata memang sangat berbahaya. Kuku-kuku yang ujungnya diberi baja yang tajam itu benar-benar telah menghambat gerak maju orang-orang yang sedang mengejar para pengikut Panembahan Lebdagati.
Dengan demikian maka jarak diantara mereka pun menjadi semakin jauh. Beberapa orang yang lolos dari hambatan burung-burung elang itu pun akhirnya menghentikan usaha mereka mengejar lawan mereka, karena justru akan membahayakan diri mereka, karena orang-orang yang mereka kejar itu akan mampu memberikan perlawanan.
Namun dalam pada itu, Ki Warana telah menemui Ki Ajar Pangukan setelah ia menyadari bahwa Panembahan Lebdagati dan para pengikutnya telah melepaskan diri. Ki Pandi yang sudah lebih dahulu menemui Ki Ajar Pangukan nampak menyesali kegagalannya.
“Maaf Ki Ajar. Aku telah melakukannya sendiri dan gagal. Aku mencoba untuk tidak mengganggu orang lain ketika aku masih berpengharapan untuk dapat menangkapnya.”
“Bukan kau yang harus minta maaf kepadakau, Ki Bongkok. Tetapi justru aku. Kenapa aku dan orang-orang yang lain tidak tahu dan tidak sempat menghentikan Panembahan Lebdagati yang melarikan diri itu.”
Namun Ki Warana itu pun kemudian berkata ”Tetapi bagaimana dengan para cantrik Kiai Banyu Bening yang tertawan di padepokan itu. Apakah mereka tidak akan dibantai habis oleh para pengikut Panembahan Lebdagati?”
Ki Ajar Pangukan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya ”Jadi, bagaimana menurut pendapatmu?”
“Apakah tidak sebaiknya kita juga pergi ke padepokan?”
Ki Ajar Pangukan termanagu-mangu sejenak. Namun akhirnya ia mengangguk-angguk sambil berkata ”Aku mengerti Ki Warana.” Namun kemudian ia pun berpaling kepada Ki Pandi sambil bertanya, ”Bagaimana pendapatmu?”
“Aku setuju Ki Ajar. Tetapi biarlah Ki Sambi Pitu dan Ki Jagaprana berada disini. Mungkin Panembahan Lebdagati itu dengan licik kembali lagi kepadepokan ini. Ia akan dapat membantai orang-orang yang tinggal di padukuhan ini jika tidak ada orang yang dapat menghentikannya.”
“Baiklah. Kita akan berbicara dengan keduanya. Ki Lemah Teles yang terluka itu juga memerlukan perlindungan.”
Demikianlah dengan cepat, Ki Warana mengatur orang-orangnya. Sementara Ki Bekel telah menawarkan kepada orang-orang padukuhan itu, siapakah diantara mereka yang bersedia ikut bersama Ki Warana dan orang-orangnya mengejar Panembahan Lebdagati dan para pengikutnya.
“Sebagian dari kalian harus tinggal” berkata Ki Bekel.
Demikianlah, maka Ki Warana, orang-orangnya dan sebagian orang-orang padukuhan yang dengan suka rela ikut bersama mereka telah dengan cepat menyusul Panembahan Lebdagati dan para pengikutnya yang sudah menjadi lemah.
Mereka harus meninggalkan korban cukup banyak di padukuhan. Ki Sambi Pitu, Ki Jagaprana, Ki Ajar Pangukan sendiri, Manggada dan Laksana telah menghentikan banyak diantara mereka yang ternyata merasa terjebak.
Bagaimana pun juga Ki Warana tidak dapat tinggal diam, karena ia menyadari sepenuhnya, bahwa dendam para pengikut Panembahan Lebdagati tentu ditujukan kepada orang-orang yang berada didalam tangan mereka.
Dengan cepat iring-iringan itu pun bergerak mendekati padepokan. Namun Ki Warana menjadi sangat berdebar-debar bahwa orang terakhir dari para pengikut Panembahan Lebdagati yang melarikan diri sudah tidak dapat mereka lihat lagi. Burung-burung elang pun telah berputaran diatas padepokan, seakan-akan sedang menyaksikan satu pertunjukan yang sangat mengerikan.
Karena itu, maka Ki Warana menjadi semakin tergesa-gesa. Dibawanya orang-orangnya berlari-lari melintasi sawah, pategalan dan padang-padang perdu. Bahkan Ki Warana telah mengacu-acukan senjatanya untuk menarik perhatian burung-burung elang yang berterbangan.
Jika burung-burung elang itu melihat mereka datang, burung-burung itu tentu akan memberikan isyarat. Isyarat itu akan membuat orang-orang yang berada didalam padepokan itu mempersiapkan diri dan tidak sempat membantai kawan-kawan Ki Warana yang tertawan di padepokan itu.
Yang kemudian melambai-lambaikan senjatanya bukan saja Ki Warana. Tetapi para pengikutnya dan bahkan orang-orang dari padukuhan yang dengan suka rela membantu mereka, telah melakukan hal yang sama pula.
Sebenarnyalah bahwa burung-burung elang itu telah melihat kedatangan sebuah iring-iringan yang terhitung besar. Diantara mereka terdapat Ki ajar Pangukan, Ki Pandi, Manggada dan Laksana yang ikut menjadi cemas akan nasib bekas para pengikut Kiai Banyu Bening. Karena itu, maka burung-burung elang yang terbang berputaran itu pun telah menjadi bubar. Burung-burung itu dengan cepat melayang menyongsong iring-iringan yang berlari-larian menuju ke padepokan.
Beberapa ekor diantaranya telah berterbangan hilir mudik. Dengan caranya burung-burung itu telah memberikan isyarat bahwa sekelompok orang telah berdatangan ke padepokan itu. Beberapa saat lamanya burung-burung elang itu seolah-olah telah menjadi kebingungan. Mereka belum menerima aba-aba dari orang yang mengendalikannya. Namun agaknya orang yang mengendalikan burung-burung elang itu pun sedang kebingungan pula.
Beberapa saat kemudian, dua ekor diantara burung elang itu telah menukik dan hilang didalam padepokan. Namun sejenak kemudian sepasang burung itu telah muncul kembali. Naik ke angkasa tinggi sekali. Melampaui kawan-kawannnya yang gelisah. Burung elang itu lelah membuat beberapa gerakan khusus.
Namun kemudian burung-burung elang yang lain pun seakan-akan telah terhisap dan menukik turun kedalam padepokan. Beberapa saat kemudian sepi. Tidak seekor burung pun yang nampak terbang diatas padepokan atau disekitarnya. Ki Warana dan orang-orang yang sedang menuju ke padepokan itu justru menjadi berdebar-debar. Mereka tidak tahu, apa yang telah terjadi di padepokan.
“Mereka sedang mempersiapkan diri.” berkata orang-orang yang sedang menuju ke padepokan itu didalam hati. Mereka menduga, bahwa burung-burung elang itu sedang mendapat perintah-perintah khusus dari orang-orang yang mengendalikannya. Tetapi ternyata burung-burung itu tidak segera terbang lagi.
Sementara itu, Ki Warana yang berjalan dipaling depan telah mendekati padepokan itu. Sejenak ia berdiri termangu-mangu. Beberapa orang pun kemudian berdiri disebelahnya. Namun tidak seorang pun yang menyatakan pendapatnya.
Beberapa saat kemudian, Ki Ajar Pangukan dan Ki Pandi telah berdiri pula memandangi pintu gerbang padepokan yang tertutup rapat itu.Orang-orang yang kemudian berdiri termangu-mangu itu pun mencoba membayangkan, apa yang terdapat dibelakang dinding padepokan itu.
Panembahan Lebdagati dan pengikutnya yang bersiap-siap menerima kedatangannya lawan-lawannya. Atau mereka sedang sibuk membuat jebakan atau cara apa pun untuk melawan. Justru karena kekuatan mereka telah menyusut terlalu banyak. Orang-orang yang mereka tinggalkan di padepokan, yang masih segar dengan tenaga utuh, tentu akan dapat membantu mengisi kekosongan karena korban yang telah mereka tinggalkan di padukuhan.
Untuk beberapa saat lamanya, mereka berdiri termangu-mangu. Namun mereka tidak melihat tanda-tanda apa pun yang dapat mereka pergunakan untuk menduga, apa saja yang telah terjadi didalam lingkungan dinding padepokan.
Ki Pandi lah yang kemudian berkata kepada Laksana dan Manggada ”Lihatlah di seputar dinding padepokan ini. Berhati-hatilah. Bawalah tiga empat orang bersamamu.”
Namun Ki Warana sendiri menyahut, ”Aku akan pergi bersama mereka.”
“Baiklah.” sahut Ki Pandi ”tetapi jangan terperangkap dalam jebakan-jebakan yanga mereka buat.”
Demikianlah, Manggada, Laksana, Ki Warana dan tiga orang pengikutnya telah berjalan mendekati padepokan itu. Mereka pun kemudian berjalan dengan hati-hati mengitari padepokan yang nampak sepi itu.
Dengan senjata siap ditangan, sementara seorang dari mereka telah mempersiapkan anak panah sendaren yang siap memberikan isyarat kepada Ki Pandi dan Ki Ajar Pangukan, mereka berjalan mengelilingi padepokan. Tidak ada seorang pun yang nampak berdiri diatas panggungan di belakang dinding.
“Apakah panggungan itu memang sengaja dikosongkan?” desis Ki Warana.
Manggada dan Laksana tidak menjawab. Namun mereka justru berjalan lebih dekat lagi dengan dinding padepokan. Ketika mereka sempat didepan sebuah pintu butulan, Manggada pun berkata, ”Tunggu. Aku akan melihat pintu butulan itu.”
Ki Warana tidak sempat mencegah. Manggada itu pun segera berlari mendekati pintu butulan itu. Ternyata pintu butulan itu tertutup rapat. Bahkan diselarak dengan kuatnya. Beberapa saat Manggada berdiri didepan pintu itu. Dicobanya untuk mendengarkan sesuatu di dalam padepokan, tetapi ia juga tidak mendengar apa pun juga.
Sejenak kemudian ia pun telah kembali menemui Ki Warana dan Laksana. Sambil memberitahukan apa yang dilihatnya, mereka telah berjalan lagi mengitari padepokan itu. Tetapi dibagian belakang padepokan itu pun nampaknya sepi-sepi saja.
Ketika mereka sampai ke pintu butulan di belakang, maka mereka bertigalah yang mendekat. Ki Warana sempat berpesan kepada ketiga orang pengikutnya, agar jika perlu, mereka jangan segan-segan melepaskan anak panah sendaren untuk memberikan isyarat kepada Ki Ajar Pangukan dan Ki Pandi.
Ketika bertiga mereka mendekati pintu butulan itu, maka mereka memang menjadi berdebar-debar. Ketika Ki Warana menyentuh pintu itu, maka ternyata pintu itu tidak diselarak. Perlahan-lahan Ki Warana mendorong pintu itu sehingga terbuka sepenuhnya.
“Pintu ini tidak diselarak.” desis Ki Warana.
“Aneh!” sahut Manggada.
Tetapi Laksana memperingatkan, ”Hati-hati. Jangan terjebak.”
Ki Warana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, ”Tetapi nampaknya padepokan ini memang kosong.”
“Ya” Manggada mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian ”Meski pun demikian kita harus tetap mencurigai. Mungkin mereka sengaja bersembunyi di setiap bangunan. Baru kemudian mereka menjebak kita.”
“Jika demikian, kita akan memasuki padepokan ini dengan kekuatan penuh.”
Mereka pun kemudian telah menjauhi pintu butulan itu. Ki Warana pun kemudian berkata ”Aku akan menjemput mereka.”
Manggada dan Laksana pun berdiri beberapa puluh langkah dari pintu butulan itu, untuk mengawasi kemungkinan-kemungkinan yang belum dapat mereka perhitungkan. Seorang diantara pengikut Ki Warana yang membawa panah sendaren tinggal bersama mereka, sementara Ki Warana dan orang-orangnya yang lain telah kembali menemui Ki Ajar Pangukan.
Ketika Ki Ajar mendengar laporan itu, maka katanya, ”Baiklah. Kita akan memasuki padepokan ini dengan kesiagaan tertinggi. Mungkin kita akan menghadapi sesuatu yang tiba-tiba saja diluar perhitungan kita.”
Demikianlah, maka seluruh kekuatan yang datang ke padepokan itu telah bergerak. Mereka semuanya berada disisi sebelah dan di belakang padepokan. Dengan hati-hati Ki Ajar Pangukan dan Ki Pandi memasuki pintu butulan itu, diikuti oleh Ki Warana, Manggada dan Laksana. Kemudian berurutan para pengikut Ki Warana dan orang-orang padukuhan yang ikut bersama mereka.
Ki Ajar Pangukan pun kemudian menyarankan agar orang-orang itu tidak dengan tergesa-gesa menebar. Meski pun kemudian orang-orang itu mengalir ke dalam padepokan, tetapi mereka masih tetap berada dalam jangkauan pengawasan Ki Warana. Ketika orang terakhir telah memasuki padepokan itu, maka Ki Ajar Pangukan telah membawa mereka bergerak lebih ke tengah-tengah padepokan itu.
“Kau lebih mengenal tempat ini, Ki Warana.” berkata Ki Ajar.
“Ya, Ki Ajar.” jawab Ki Warana.
“Jika demikian, kau tuntun kami, kemana kami harus pergi.”
Ki Warana pun telah membawa seluruh pasukannya menuju ke depan bangunan induk padepokan itu. Namun tiba-tiba saja sekelompok diantara orang-orangnya yang berjalan melalui celah-celah dua bangunan terhenti. Mereka mendengar sesuatu dari dalam bangunan itu, sehingga salah seorang dari mereka telah memberitahu kepada Ki Warana tentang suara-suara yang mencurigakan itu.
Ki Warana menjadi sangat tertarik mendengar suara-suara itu. Bersama Ki Ajar Pangukan, Ki Pandi, Manggada dan Laksana mereka telah mendekati pintu bangunan itu.
“Ki Warana...” Ki Ajar Pangukan itu pun bertanya ”Bangunan ini pada saat Kiai Banyu Bening masih tinggal di padepokan ini dipergunakan untuk apa?”
“Dahulu bangunan ini dipergunakan untuk tempat tinggal sebagian dari para cantrik, Ki Ajar.”
Ki Ajar mengangguk-angguk. Katanya ”Kita akan melihat, apa yang ada didalam bangunan ini.”
“Biarlah aku masuk lebih dahulu.” berkata Ki Warana. Ki Ajar termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian dua orang pengikut Ki Warana berkata ”Marilah. Kita masuk lebih dahulu.”
Ki Warana mengangguk kecil. Dengan senjata telanjang, Ki Warana dan kedua orang itu pun segera berdiri didepan pintu. Seorang diantara keduanya yang bersenjata tombak telah melangkah sambil merundukkan ujung tombaknya. Dengan ujung tombaknya orang itu mendorong pintu bangunan itu.
Perlahan-lahan pintu itu terbuka. Ujung tombak orang itulah yang lebih dahulu memasuki ruangan yang terhitung luas itu. Baru kemudian orang itu perlahan-lahan melangkah masuk pula diikuti oleh seorang kawannya. Demikian keduanya meloncat kesamping pintu, maka Ki Warana telah memasuki mangan itu pula dengan ujung senjata teracu.
Namun ketiga orang itu pun bagaikan membeku. Mereka melihat beberapa orang yang terbaring silang menyilang. Tubuh mereka berlumuran darah yang masih basah.
“Mereka ada disini.” teriak Ki Warana.
“Siapa?” bertanya Ki Ajar Pangukan.
“Kawan-kawan kita. Kita terlambat. Mereka benar-benar sudah membantai kawan-kawan kita.”
Ki Ajar Pangukan dan Pandi pun segera berloncatan masuk. Mereka pun menarik nafas dalam-dalam menyaksikan kengerian yang sangat mendalam di ruangan yang terhitung luas itu. Namun Ki Pandi itu pun kemudian berkata, ”Masih ada yang hidup. Kita harus menolong mereka.”
Ki Warana pun kemudian memerintahkan orang-orangnya untuk mengamati kawan-kawan mereka yang menjadi tawanan Panembahan Lebdagati dan yang telah dibantai diruangan itu. Ternyata memang masih banyak diantara mereka yang belum benar-benar mati. Agaknya para pengikut Panembahan Lebdagati itu telah melakukannya dengan tergesa-gesa.
Dalam pada itu, maka beberapa orang telah melihat keadaan bangunan sebelah. Ternyata bangunan di sebelahnya benar-benar kosong. Karena itu, maka orang-orang yang masih bernafas telah dipindahkan keruangan sebelah. Sementara beberapa orang mengumpulkan kawan-kawan mereka yang masih selamat, maka Ki Ajar Pangukan, Ki Pandi, Manggada dan Laksana telah melihat-lihat keadaan padepokan itu bersama sekelompok orang-orang padukuhan yang menyertai mereka.
“Mengerikan!” desis salah seorang dari orang-orang padukuhan itu.
“Mereka sudah kehilangan landasan kemanusiaan mereka.” desis yang lain.
“Untunglah bahwa padepokan ini sudah kosong ketika kita masuk kemari. Seandainya belum, apakah kita tidak justru membeku ketakutan di tengah-tengah padepokan yang asing ini?”
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Sementara mereka menjadi semakin berdebar-debar ketika mereka sempat melihat beberapa pucuk senjata yang tertinggal. Di bangunan induk padepokan itu terdapat beberapa pucuk senjata disudut. Sebuah kapak yang besar yang tergolek diantara tangkai sebuah canggah yang pada mata canggahnya terdapat gerigi menduri-pandan. Kemudian sebuah tombak berkait dan yang lain sebuah trisula disamping beberapa tombak seperti tombak kebanyakan.
Namun ternyata bahwa padepokan itu memang sudah ditinggalkan oleh panembahan Lebdagati dan para pengikutnya. Didapur perapian masih menyala. Tiga buah bakul besar berisi nasi yang masih hangat. Sayur yang masih berada didalam kuali yang masih berada diatas api.
Nampaknya para pengikut Panembahan Lebdagati yang bertugas di dapur tengah menyediakan makan bagi orang-orangnya yang menurut perhitungan akan segera kembali dari pertempuran. Ternyata Panembahan Lebdagati memang telah kembali. Tetapi dalam keadaan yang jauh berbeda dari yang mereka kehendaki.
Sementara itu, Ki Warana telah selesai mengumpulkan kawan-kawannya yang benar-benar telah terbunuh. Namun hatinya masih juga terhibur, bahwa ternyata masih lebih banyak yang berkesempatan untuk tetap hidup daripada yang benar-benar mati.
Ki Aajar Pangukan dan Ki Pandi pun kemudian telah membantu Ki Warana mengobati merawat orang-orang yang terluka parah. Dengan obat-obat yang ada, mereka mencoba untuk memperingan penderitaan orang-orang yang terluka.
“Kami mempunyai tanaman yang dapat diramu menjadi obat-obatan.” berkata Ki Warana.
Ki Pandi agaknya tertarik pada keterangan Ki Warana itu. Karena itu, maka ia pun bertanya, ”Dimana?”
Ki Warana pun kemudian memanggil seorang dari antara orang-orang yang ikut bersamanya dan yang sebelumnya pernah memelihara kebun tanaman yang dapat dipergunakan sebagai obat-obatan itu, ”Tunjukkan Ki Pandi tanaman itu jika masih ada.”
Orang itu pun kemudian telah membawa Ki Pandi ke bagian belakang kebun padepokan itu. Ternyata kebun itu masih utuh. Kebun khusus yang dipagari disudut kebun yang ada didalam lingkungan padepokan itu.
Ki Pandi yang kemudian berdiri diantara berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang dapat dipakai sebagai obat-obatan itu menarik nafas dalam-dalam. Gumamnya, ”Begitu lengkap. Tentu ada seorang yang mengetahui benar tentang obat-obatan diantara para pengikut Kiai Banyu Bening.”
Namun ketika hal itu kemudian ditanyakannya kepada Ki Warana, maka dengan nada dalam Ki Warana itu berkata, ”Orang itu ada diantara mereka yang tertangkap oleh para pengikut Panembahan Lebdagati. Ia ada diantara orang-orang yang terbunuh itu.”
“Sayang sekali...” desis Ki Pandi ”Kenapa ia tidak lari bersama Ki Warana dan sebagian dari penghuni padepokan ini?”
“Ia terlalu setia kepada Kiai Banyu Bening. Karena itu, maka ia tidak akan mau meninggalkan padepokan ini.”
“Tetapi bukankah Kiai Banyu Bening sudah terbunuh?”
“Setianya tidak terbatas-pada masa hidup Kiai Banyu Bening. Aku yakin itu, karena aku mengenalnya dengan baik.”
Ki Pandi mengangguk-anggguk. Katanya, ”Sekarang yang tinggal hanyalah bekas-bekas kemampuannya. Tetapi peninggalannya itu akan sangat berharga jika kita dapat memanfaatkannya.”
“Aku harap Ki Pandi dan Ki Ajar Pangukan dapat mempergunakannya.”
“Kami akan mencoba...” jawab Ki Pandi ”Mudah-mudahan akan berarti bagi saudara-saudara kita yang sedang terluka itu.”
Hari itu, Ki Pandi dan Ki Ajar Pangukan memang berusaha untuk membuat obat dari dedaunan, akar-akaran dan berbagai macam bunga yang ada di kebun yang khusus itu menurut pengenalan mereka, sebanyak-banyaknya karena orang yang terluka pun cukup banyak. Mereka telah membuat obat yang dioleskan, ditaburkan dan diminum oleh orang-orang yang terluka itu.
Namun dalam pada itu, Ki Ajar Pangukan telah minta agar beberapa orang pergi ke padukuhan, untuk memberitahukan apa yang telah terjadi, agar Ki Bekel tidak menjadi sangat cemas.
“Kami akan berada di padepokan ini.” pesan Ki Ajar Pangukan kepada orang itu ”Kami harus merawat orang-orang yang terluka.”
Sebenarnyalah bahwa Ki Bekel, Ki Sambi Pitu dan Ki Jagaprana serta orang-orang yang berada di padukuhan itu merasa lega bahwa tidak terjadi pertempuran yang harus merenggut korban lagi.
“Mudah-mudahan untuk selanjutnya tidak akan terjadi benturan kekerasan,” berkata Ki Bekel yang harus menyerahkan beberapa orang padukuhan itu sebagai korban dalam pertempuran yang baru saja terjadi. Meski pun hal itu sudah diduga sebelumnya, namun perpisahan dengan orang-orang terbaik membuat hati Ki Bekel menjadi sedih. Apalagi ketika Ki Bekel melihat, bagaimana keluarga mereka yang meneteskan air mata.
Hari itu, mereka yang sudah terlanjur berada di padepokan, tetap tinggal di padepokan, sedangkan yang berada di padukuhan tetap pula berada di padukuhan. Ki Sambi Pitu dan Ki Jagaprana berusaha untuk merawat Ki Lemah Teles sebaik-baiknya, sementara tabib terbaik dari padukuhan itu dibantu oleh beberapa orang, bekerja keras untuk merawat orang-orang yang terluka. Bahkan para pengikut Panembahan Lebdagati. Namun para tawanan itu harus dijaga dengan ketat, agar mereka tidak menimbulkan kesulitan.
Ketika malam kemudian menyelimuti padukuhan dan padepokan yang baru saja mengalami goncangan-goncangan karena pertempuran yang telah merenggut korban jiwa itu, para pemimpinnya masih juga mengatur penjagaan sebaik-baiknya, karena tidak mustahil masih akan terjadi sesuatu.
Orang-orang yang berada di padepokan telah menempatkan beberapa orang penjaga di panggungan dibelakang dinding. Sementara itu, Ki Ajar Pangukan dan Ki Pandi bergantian mengelilingi padepokan itu di malam hari. Sedangkan Manggada dan Laksana berada di bangunan induk bersama orang-orang padukuhan yang masih berada di padepokan.
Dalam pada itu, Ki Bekel pun telah mengatur orang-orangnya pula untuk mengamati keadaan. Disetiap sudut dan lekuk padukuhan, Ki Bekel menempatkan orang-orangnya untuk berjaga-jaga. Demikian pula disetiap regol jalan yang keluar dan memasuki padukuhan.
Sementara itu, Ki Sambi Pitu dan Ki Jagaprana berada di rumah Ki Bekel merawat Ki Lemah Teles yang berangsur menjadi baik. Ternyata ketahanan tubuh Ki Lemah Teles cukup tinggi, sehingga ia masih mampu mengatasi perasaan sakit yang timbul karena luka-lukanya yang parah.
Demikianlah, kesiagaan yang tinggi masih terdapat baik di padepokan mau pun di padukuhan. Namun ternyata di malam itu tidak ada sesuatu yang terjadi. Ki Pandi yang menempatkan kedua ekor harimaunya di luar padepokan juga tidak melihat sesuatu yang mencurigakan, sehingga kedua ekor harimau itu tidak memberikan isyarat apapun.
Di hari berikutnya, setelah semua korban dimakamkan, baik yang ada di padepokan, mau pun yang ada di padukuhan, maka Ki Warana mulai membicarakan hari depan padepokan yang telah direbut kembali dari tangan Panembahan Lebdagati itu.
“Bukankah Ki Warana pantas untuk menjadi pemimpin di padepokan ini menggantikan kedudukan Kiai Banyu Bening? Hanya menggantikan kedudukannya. Menggantikan kedudukannya sebagai pemimpin dari padepokan ini. Bukan pemimpin dalam arti penyebaran kepercayaan sesat yang berlandaskan pada dendamnya itu.”
Tetapi Ki Warana menjawab, ”Mungkin aku dapat melakukannya, mengatur tumbuh dan berkembangnya padepokan ini. Tetapi sulit bagiku untuk dapat mempertahankannya. Jika Panembahan Lebdagati itu datang kembali, maka aku tentu hanya dapat menyerahkan padepokan ini kepadanya. Bahkan menyerahkan nyawaku pula.”
Ki Pandi dan Ki Ajar Pangukan mengerti alasan itu. Karena itu, maka Ki Pandi itu pun berkata, ”Ki Ajar Pangukan yang tempat tinggalnya paling dekat dari padepokan ini akan dapat memberikan petunjuknya.”
“Seorang diantara kita sebaiknya memang tinggal disini.” berkata Ki Ajar Pangukan.
“Bagaimana kalau Ki Ajar?”
“Lalu rumahku?” bertanya Ki Ajar.
“Rumah itu dapat ditinggalkan saja. Bukankah Ki Ajar juga sendiri saja dirumah?”
Ki Ajar tersenyum. Katanya, ”Aku sudah tinggal cukup lama dirumah itu, sehingga ikatan antara aku dan rumah itu sudah demikian eratnya. Bagaimana jika Ki Bongkok saja yang tinggal disini? Jika Ki Bongkok tinggal disini, Panembahan Lebdagati tentu tidak akan berani datang lagi.”
Ki Bongkok menarik nafas dalam-dalam. Katanya, ”Aku tidak terbiasa tinggal disatu rumah. Aku pun masih harus mencari dan menemukan Panembahan Lebdagati itu. Karena itu, seandainya aku harus memimpin sebuah padepokan, maka aku tidak akan pernah ada ditempat.”
Ki Ajar Pangukan mengangguk-angguk. Sementara Ki Warana berkata, ”Aku mohon seseorang bersedia melindungi kami. Dendam Panembahan Lebdagati tentu tidak akan pernah padam. Persoalannya bukan sekedar padepokan ini. Tetapi kaki Gunung Lawu disebrang hutan Jatimalang ini diakunya sebagai daerah kuasa Panembahan Lebdagati itu.”
Ki Pandi yang termangu-mangu itu tiba-tiba berdesis ”Bagaimana dengan Ki Lemah Teles. Jika ia bersedia tinggal di padepokan ini, maka ia akan menemukan satu dunia yang lain. Ia tidak akan merasa kesepian dan tidak merasa terbuang dari lingkungan dunia kanuragan, sehingga mencari kawan untuk berkelahi.”
Ki Ajar Pangukan mengangguk-angguk. Katanya, ”Kita akan mencoba untuk berbicara dengan orang itu. Ia sudah menjadi semakin baik.”
Hari itu juga, Ki Ajar Pangukan dan Ki Pandi telah pergi menemui Ki Lemah Teles. Sebelumnya keduanya telah berbicara pula dengan Ki Sambi Pitu dan Ki Jagaprana, tentang perrmintaan Ki Warana untuk menempatkan seseorang yang dapat dianggap sebagai pemimpin tertinggi di padepokan itu, sementara untuk mengatur pertumbuhan dan perkembangan padepokan ini Ki Warana akan melakukannya.”
Ternyata semuanya setuju, bahwa Ki Lemah Teles akan diminta untuk tinggal dan memimpin padepokan itu. Ketika hal itu kemudian disampaikan kepada Ki Lemah Teles, maka dengan serta-merta ia berkata, ”Kalian ingin aku mengorbankan bayi setiap bulan purnama?”
“Tentu tidak.” jawab Ki Pangukan ”Justru kau harus berusaha meyakinkan orang-orang yang sudah mulai terpengaruh oleh kepercayaan Kiai Banyu Bening yang dilandasi oleh dendam dan kebenciannya itu, bahwa apa yang dikatakan dan diajarkan oleh Kiai Banyu Bening itu adalah justru akan menjauhkan mereka dari sumber hidup mereka.”
Ki Lemah Teles termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Sambi Pitu berkata, ”Jika kau memimpin padepokan itu, maka kami akan ikut merasa memiliki. Setiap kali kami merasa jenuh tinggal dirumah, kami dapat pergi ke kaki Gunung Lawu untuk tinggal beberapa hari di padepokanmu. Tentu sebuah padepokan yang lain dengan padepokan Kiai Banyu Bening dan padepokan Panembahan Lebdagati. Padepokanmu akan menjadi padepokan yang mendapat sinar terang dari Yang Maha Pencipta karena kau akan memimpin seisi padepokan untuk mengenalinya. Bukan hanya seisi padepokan, tetapi juga orang-orang yang tinggal disekitarnya.”
Ki Lemah Teles termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, ”Aku akan memikirkannya.”
“Kau perlukan waktu berapa hari untuk menentukan jawabanmu itu?” bertanya Ki Sambi Pitu.
“Tergantung pada turunnya terang dihatiku.” jawab Ki Lemah Tetes.
“Baiklah.” berkata Ki Ajar Pangukan ”Bukankah kita masing-masing tidak tergesa-gesa? Kita akan dapat untuk beberapa lama tinggal di padepokan ini sambil menunggu keputusan Ki Lemah Teles. Tetapi menurut perhitungan kami, Ki Lemah Teles tidak akan menolaknya. Di padepokan ini Ki Lemah Teles akan menemukan apa yang terasa hilang selama ini.”
“Aku juga berharap.” berkata Ki Bekel ”Padukuhan ini akan ikut merasa tenang, jika satu atau dua orang berilmu tinggi berada di padepokan ini. Selama ini padukuhan ini terkait dengan padepokan itu. Jika terjadi perubahan di padepokan itu, maka kami pun akan ikut pula mengalami perubahan. Sepeninggal Kiai Banyu Bening, mungkin kami akan mendapatkan petunjuk baru yang benar-benar dapat memberikan pengharapan bagi kami.”
Ki Lemah Teles memang belum memberikan harapan pasti. Agaknya Ki Lemah Teles ingin menyembuhkan luka-luka dalamnya ketika ia membenturkan ilmunya melawan kekuatan ilmu Lembu Palang. Namun di hari-hari berikutnya, tatanan di padukuhan yang menjadi ajang pertempuran yang menentukan itu sudah menjadi wajar kembali. Sementara itu, Ki Lemah Teles sudah berada di padepokan. Demikian pula Ki Sambi Pitu dan Ki Jagaprana.
“Jika Ki Bekel memerlukan sesuatu, Ki Bekel dapat memberitahukan kepada kami di padepokan itu.” berkata Ki Ajar Pangukan.
“Baik Ki Ajar. Kami tentu masih sangat memerlukan kehadiran Ki Ajar dan yang lain. Perubahan sikap dan tatanan kehidupan yang akan terjadi sejalan dengan perubahan yang terjadi di padepokan memerlukan tuntunan yang mapan.”
“Baik, Ki Bekel. Kami tidak akan segera meninggalkan padepokan itu.”
Dengan demikian, maka gelombang pembaharuan di padepokan itu pun telah menyentuh padukuhan-padukuhan yang lain pula. Gejolak yang terjadi sejak Panembahan Lebdagati menduduki padepokan itu untuk beberapa lama, masih terasa.
Namun Ki Warana sudah berjanji untuk bekerja keras. Wajah padukuhan-padukuhan di sekitar padepokan itu harus segera berubah. Para penghuni padukuhan itu harus menjadi yakin, bahwa kepercayaan yang disebarkan oleh Kiai Banyu Bening itu, semata-mata merupakan percikan dendam pribadinya, karena anaknya yang karena sesuatu hal telah terbakar.
Demikianlah dari hari ke hari kehidupan di kaki Gunung Lawu itu menjadi semakin tenang. Sedikit demi sedikit Ki Warana, yang sebelumnya sering memberikan sesorah di padukuhan-padukuhan, berubah untuk meyakinkan perubahan yang terjadi di padepokan itu justru akan dapat memberikan jalan yang terang.
Manggada dan Laksana pun sudah sering berjalan-jalan keluar dari padepokan. Bersama kedua ekor harimau peliharaan Ki Pandi, mereka menyusuri padang-padang perdu melihat-lihat keadaan di lereng Gunung Lawu. Mereka pun sempat menyusup kedalam hutan yang letaknya agak lebih tinggi dari padukuhan dan padepokan yang baru saja direbut kembali dari tangan Panembahan Lebdagati itu.
Ternyata hutan itu masih merupakan hutan yang lebat dan dihuni oleh berjenis-jenis binatang termasuk binatang buas. Tetapi Manggada dan Laksana sudah terbiasa berada ditengah-tengah hutan yang lebat. Karena itu, maka ia sama sekali tidak menjadi canggung. Apalagi bersama mereka, dua ekor harimau yang besar dan kuat bahkan memiliki kelebihan dari harimau kebanyakan ada bersama mereka.
Namun pada hari berikutnya, ternyata Laksana telah mempunyai rencana. Ia mengajak Manggada untuk pergi ke sebuah padukuhan yang pernah mereka kunjungi sebelumnya.
“Ah, kau!” desis Manggada.
“Apa salahnya?” bertanya Laksana.
“Kau harus berbicara dengan Ki Pandi.”
Laksana termangu-mangu. Katanya, ”Apakah untuk itu aku harus mendapat ijin?”
“Bukan ijin. Tetapi agar Ki Pandi tahu, kita berada dimana.” jawab Manggada.
Laksana akhirnya menurut juga. Ia pun telah memberitahukan kepada Ki Pandi, kemana ia akan pergi bersama Manggada.
Ki Warana ternyata mendengar pula pembicaraan itu. Karena itu, maka Ki Warana pun kemudian berkata, ”Tolong ngger. Sampaikan salamku kepada Krawangan. Sejak peristiwa itu terjadi, ia tentu belum mendengar kabar tentang perkembangan terakhir padepokan ini. Juga tentang keselamatanku.”
“Baik Ki Warana.” jawab Laksana.
Berdua mereka pergi ke padukuhan tempat Ki Krawangan tinggal. Dua ekor harimau yang menyertai mereka, berhenti dan bersembunyi di semak-semak agak jauh dari padukuhan agar tidak menakut-nakuti orang yang melihatnya. Tetapi ternyata Laksana tidak langsung pergi ke padukuhan. Tetapi ia telah mengikuti jalan kecil menuju ke tanggul.
“He, kita pergi ke mana?” bertanya Manggada.
“Sebentar. Aku akan melihat ke tepian.”
“Untuk apa?”
“Tidak apa-apa!” jawab Laksana.
Manggada menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu bahwa Laksana ingin melihat, apakah Delima ada di tepian atau tidak. “Belum ada yang berani mencuci ditepian.” berkata Manggada.
“Tetapi Delima lain. Ia lebih senang mencuci ditepian daripada di rumahnya sendiri. Bukankah keadaan sudah lebih baik sekarang ini? Pada saat yang gawat itu, Delima masih juga mencuci ditepian....”
Namun dalam pada itu, Lembu Palang, yang semula datang, untuk sekedar melihat pertunjukan yang baginya dianggapnya sangat menarik, karena ia menduga bahwa orang-orang Lebdagati akan membantai sisa-sisa para pengikut Ki Banyu Bening, ternyata mengalami nasib yang lebih buruk. Ketika ia harus membenturkan ilmunya melawan ilmu Ki Lemah Teles, ternyata bahwa tingkat ilmunya berada selapis di bawah ilmu Ki Lemah Teles. Karena itu, maka isi dada Lembu Palang itu seakan-akan telah terbakar.
Ki Jagaprana sempat melihat benturan kekuatan itu. Dengan serta-merta ia pun telah berlari mendekati Ki Lemah Teles yang terbaring kesakitan.
Namun Ki Lemah Teles itu masih sempat bertanya, ”Bagaimana keadaan Kebo Edan itu?”
“Ia dalam keadaan yang sangat parah, Ki Lemah Teles.” jawab Ki Jagaprana.
“Aku juga dalam keadaan parah. Tetapi siapakah menurut pendapatmu yang keadaannya lebih baik. Aku atau Lembu Palang?"
“Kau masih berada dalam keadaan lebih baik.”
“Jangan mencoba menipu aku. Persoalan kita masih belum selesai. Kita masih akan berperang tanding.”
“Sudahlah. Sekarang tenangkan hatimu. Cobalah mengatur pernafasanmu untuk mengatasi perasaan sakitmu. Jika kau berhasil mengerahkan daya tahan tubuhmu, maka kau tentu dapat mengatasi rasa sakitmu.”
Ki Lemah Teles termangu-mangu sejenak. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Keadaan Lembu Palang memang lebih parah lagi. Tetapi tidak seorang pun diantara kawan-kawannya atau pengikut Panembahan Lebdagati yang sempat mendekatinya.
Sementara itu pertempuran masih berlangsung terus, meski pun jumlah para pengikut Panembahan Lebdagati menjadi semakin susut. Yang kemudian justru mendekati Lembu Palang yang terbaring diam adalah Ki Jagaprana setelah Manggada dan Laksana membawa Ki Lemah Teles menepi.
Ki Lemah Teles yang diangkat oleh Manggada dan Laksana itu harus menahan sakit di punggungnya yang terasa semakin menggigit. Bahkan dadanya pun mulai terasa sesak. Dalam benturan ilmu yang terjadi, maka dadanya pun terasa menjadi sakit pula.
Ki Jagaprana sempat meraba dada Lembu Palang. Detak jantungnya sudah menjadi tidak teratur lagi. Semakin lama semakin perlahan.
“Dimana Panembahan Lebdagati?” desisnya tanpa mengetahui siapakah yang berjongkok disampingnya, karena matanya yang menjadi kabur.
“Ia masih terlibat dalam pertempuran!” jawab Ki Jagaprana.
”Sampaikan kepadanya. Aku memperingatkannya agar ia meninggalkan tempat ini. Panembahan Lebdagati itu telah salah membuat perhitungan atas orang-orang yang diburunya.”
“Baik. Aku akan menyampaikannya jika aku berpeluang” jawab Ki Jagaprana.
“Ternyata ia telah terjebak disini.” desis Lembu Palang yang menjadi semakin sendat, bahkan kemudian terdiam.
Ki Jagaprana pun meraba dadanya. Detak jantung ia sudah tidak terasa ditangannya. Dari sela-sela bibir Lembu Palang itu nampak darah, sementara matanya pun telah terpejam. Lembu Palang terbunuh justru saat ia tidak bersiap untuk mati. Ia datang karena ia ingin ikut membabat ilalang. Namun yang terjadi adalah sebaliknya.
Dalam pada itu, pertempuran yang terjadi di padukuhan itu justru semakin menyebar. Tetapi para pengikut Panembahan Lebdagati telah semakin menyusut. Mereka yang terluka terbaring di-pinggir jalan, di sudut-sudut halaman dan bahkan di tangga-tangga pendapa. Mereka tidak dapat bertahan jika kebetulan mereka bertemu dengan Ki Jagaprana atau bahkan Ki Ajar Pangukan sendiri.
Sementara itu Manggada dan Laksana pun telah mengacaukan para pengikut Panembahan Lebdagati dengan ilmu mereka yang memanjat semakin tinggi. Sementara orang-orangnya menjadi semakin kalang kabut.
Panembahan Lebdagati sendiri tengah bertempur dengan Ki Pandi. Keduanya adalah orang-orang yang memiliki ilmu dari sumber yang sama. Namun arah perkembangannya yang menjadi jauh berbeda, bahkan bertentangan.
Dengan demikian, maka kedua-duanya seakan-akan tidak dapat menyembunyikan unsur-unsur gerak dasar mereka, meski pun kadang-kadang masing-masing menjadi terkejut karena unsur-unsur gerak baru yang tumbuh disaat ilmu mereka berkembang.
Ternyata Panembahan Lebdagati itu pun telah menyesali kesalahannya sebagaimana dilakukannya beberapa kali. Ia selalu salah menilai kekuatan orang bongkok dan kawan-kawannya itu. Meski pun kawan orang bongkok saat ini berbeda dengan kawan-kawannya yang terdahulu, namun mereka masih juga orang-orang yang berilmu tinggi. Dalam pertempuran itu, meski pun kedua-duanya mengerahkan kemampuan mereka, namun masing-masing merasa bahwa mereka akan terjebak dalam pertempuran tanpa akhir.
Sementara itu Panembahan Lebdagati pun mengetahui, bahwa ada beberapa orang berilmu tinggi yang akan dapat membantu orang bongkok yang telah menjebaknya dalam padukuhan kecil itu. Meski pun demikian, pertempuran diantara keduanya masih berlangsung di halaman yang seakan-akan sengaja memisahkan diri dari keseluruhan pertempuran.
Dalam pada itu, para pengikut Panembahan Lebdagati yang menebar, harus menghadapi perlawanan yang keras dari para pengikut Ki Warana. Sementara itu, Manggada dan Laksana telah meninggalkan Ki Lemah Teles yang sudah dirawat oleh beberapa orang padukuhan yang ikut bertempur bersama para pengikut Ki Warana. Bahkan Ki Bekel sendiri telah menunggui Ki Lemah Teles. Sedangkan Ki Jagaprana telah berada di pertempuran pula. Tanpa Manggada, Laksana, Ki Jagaprana dan Ki Ajar Pangukan, maka para pengikut Ki Warana tentu akan segera mengalami kesulitan.
Ki Warana yang telah berhasil memancing Panembahan Lebdagati dan meninggalkannya setelah berhadapan dengan Ki Pandi, bersama-sama dengan Ki Bekel dan beberapa yang lain berusaha membawa Ki Lemah Teles ke rumah Ki Bekel. Ki Lemah Teles sendiri masih tetap dicengkam oleh perasaan sakit. Apalagi ketika tubuhnya diangkat oleh beberapa orang. Tetapi ia sadar, bahwa keadaan itu adalah keadaan yang terbaik bagi dirinya.
Ki Warana dan Ki Bekel bersama beberapa orang berusaha menembus pertempuran yang kadang-kadang terjadi di tengah jalan, disimpang empat atau di tikungan-tikungan. Namun ternyata bahwa Ki Warana dan Ki Bekel serta beberapa orang itu mampu menembus jalan sampai kerumah Ki Bekel, sementara Manggada dan Laksana sempat mengamati sambil bertempur untuk mencegah para pengikut Panembahan Lebdagati memasuki padukuhan sampai kerumah Ki Bekel itu.
Sebenarnyalah bahwa kemudian keadaan para pengikut Panembahan Lebdagati menjadi semakin sulit. Korban berjatuhan semakin banyak. Sementara mereka tidak tahu apa yang terjadi dengan Panembahan Lebdagati sendiri.
Dalam pada itu Panembahan Lebdagati telah menjadi gelisah. Meski pun ia tidak dapat melihat pertempuran dalam keseluruhan, namun panggraita Panembahan Lebdagati yang tajam itu dapat melihat bahwa keadaan para pengikutnya menjadi sulit oleh kenyataan yang mereka hadapi di padukuhan itu.
Karena itu, maka Panembahan Lebdagati itu tidak mempunyai pilihan lain. Meski pun ia masih bertempur terus dengan mengerahkan segenap kemampuannya, namun Panembahan Lebdagati sudah mulai mencoba melihat kemungkinan lain dari pertempuran itu.
Dalam pada itu, maka Ki Pandi pun ternyata tidak dapat dengan cepat mengakhiri pertempuran sebagaimana Panembahan Lebdagati. Keduanya yang memiliki dasar ilmu yang sama, dalam perkembangannya ternyata yang satu juga tidak melampaui yang lain.
Namun baik para pengikut Panembahan Lebdagati, mau pun para pengikut Ki Warana atau penghuni padukuhan itu, menjadi berdebar-debar dan bahkan ngeri ketika mereka melihat akibat dari benturan ilmu kedua orang itu. Karena mereka semula tidak melihat langsung pertempuran antara orang bongkok melawan Panembahan Lebdagati itu.
Maka mereka agak terkejut ketika tiba-tiba saja mereka melihat angin pusaran yang memutar seisi sebuah kebun di padukuhan itu. Namun tiba-tiba saja angin pusaran itu pun pecah diguncang oleh ledakan petir yang menggelegar.
Dengan demikian, maka mereka pun segera mengetahui, bahwa dua orang raksasa dalam olah kanuragan sedang bertempur di kebun itu. Bagi para pengikut Panembahan Lebdagati, mereka pun segera mengetahui, bahwa Panembahan itu sedang bertempur di kebun itu.
Pada kesempatan lain, tiba-tiba saja mereka melihat lidah api yang menyala dan menjilat-jilat. Bahkan dedaunan pun menyala terbakar pula. Namun lembaran awan yang basah telah turun menyelimuti kebun yang menjadi dingin membeku.
Sebenarnyalah, Panembahan Lebdagati masih mencoba dengan tataran kemampuannya yang tertinggi untuk menghentikan perlawanan Ki Pandi. Tetapi ternyata setelah berpisah dan menempuh jalan hidup yang berbeda, Ki Pandi masih saja mampu mengimbangi ilmu Panembahan Lebdagati.
Akhirnya Panembahan Lebdagati pun telah menghentakkan sejenis ilmunya yang sangat berbahaya. Panembahan itu justru berdiri tegak sambil mengacukan tangannya dengan telapak tangan menghadap kearah lawannya. Loncatan-loncatan cahaya yang berwarna kemerah-merahan tiba-tiba saja telah meluncur dari telapak tangannya itu, seakan-akan beribu-ribu petir kecil meluncur menyambar-nyambar kearah orang bongkok itu.
Ki Pandi yang mengira bahwa lawannya akan mempergunakan Aji Gelap Ngampar terkejut. Rupa-rupanya Panembahan Lebdagati mengetahui bahwa Ajinya Gelap Ngampar tidak akan berarti apa-apa bagi orang bongkok itu. Karena itu, maka Panembahan Lebdagati telah mempergunakan ilmunya yang lain.
Loncatan-loncatan beribu petir yang nampaknya kecil-kecil itu seakan-akan telah membelenggu Ki Pandi dan dengan kekuatan yang sangat besar telah menarik tubuhnya mendekat Panembahan Lebdagati.
Ki Pandi harus mengerahkan tenaganya untuk menahan dirinya agar tidak terhisap oleh kekuatan ilmu Panembahan Lebdagati itu. Bahkan dalam saat-saat yang paling berbahaya itu, Ki Pandi harus mampu mengambil sikap, agar ia tidak dihancurkan oleh saudara seperguruannya yang telah menempuh jalan sesat itu.
Ki Pandi yang harus bertahan dari hisapan kekuatan lawannya itu pun kemudian berdiri sambil menyilangkan tangannya didadanya. Kedua kakinya melekat diatas tanah dengan kuatnya, seakan-akan telah menghunjam ke dalam bumi. Tetapi setapak demi setapak Ki Pandi masih juga beringsut semakin mendekati lawannya. Bahkan kemudian semakin dekat dan semakin dekat.
Panembahan Lebdagati semakin mengerahkan kekuatan ilmunya. Ia semakin berpengharapan bahwa Ki Pandi akan menjadi semakin dekat, sehingga Panembahan Lebdagati itu akan dapat menggapai dengan kerisnya.
Namun semakin dekat orang itu dari Panembahan Lebdagati, ternyata udara terasa menjadi semakin panas. Dari tubuh Ki Pandi itu telah memancar kekuatan api dan dalam dirinya, sehingga tubuh orang bongkok itu seakan-akan telah menjadi bara yang panasnya melampaui panasnya bara batok kelapa.
Panembahan Lebdagati menjadi berdebar-debar. Demikian orang bongkok itu beringsut semakin dekat, maka keringat ditubuh Panembahan Lebdagati pun menjadi semakin diperas dari dalam tubuhnya. Tetapi Panembahan Lebdagati tidak ingin melepaskan ikatan dan kekuatan ilmunya yang menghisap itu. Karena itu, maka Ki Pandi pun semakin lama menjadi semakin dekat pula.
Namun Ki Pandi bukan saja membuat tubuh Panembahan Lebdagati berkeringat karena panas, tetapi tubuh Ki Pandi itu seakan-akan menjadi sangat menyilaukan. Dari kedua mata Ki Pandi yang memandang mata Panembahan Lebdagati, memancar sinar yang putih seperti pantulan cahaya matahari diwajah air yang beriak kecil.
Panembahan Lebdagati ternyata sulit untuk mengatasi panas serta matanya yang menjadi silau. Ia seakan-akan tidak dapat melihat lagi jarak antara dirinya dengan orang bongkok itu. Dengan demikian, maka ilmunya itu pun tidak mampu mengakhiri pertempuran. Meski pun orang bongkok itu tidak mudah untuk mengalahkannya, namun Panembahan Lebdagati sendiri juga merasa sangat sulit untuk mengalahkan orang bongkok itu.
Karena itu, akhirnya Panembahan Lebdagati benar-benar sudah mengambil keputusan yang pasti. Dengan tiba-tiba saja Panembahan Lebdagati itu pun telah menghentikan ilmunya yang menghisap lawannya dan seakan-akan membelenggunya itu. Demikian tiba-tiba sehingga justru Ki Pandi terkejut karenanya.
Demikian Ki Pandi menyadari kedudukannya, maka ia melihat Panembahan Lebdagati itu bagaikan terbang meloncati dinding kebun yang telah menjadi berserakan itu. Ranting-ranting kayu dan dahan-dahan pepohonan berpatahan, bahkan dedaunan menjadi hangus terbakar.
Dengan serta-merta Ki Pandi pun telah berusaha memburunya. Ia masih mendengar suara Panembahan itu bagaikan teriakan elang yang berterbangan di langit. Namun Ki Pandi terkejut ketika dua ekor elang telah menukik langsung menyambarnya. Hampir saja kuku-kuku elang yang tajam itu menggores wajahnya. Ki Pandi harus menyelesaikan kedua ekor elang itu lebih dahulu. Namun yang sekejap itu telah dimanfaatkan Panembahan Lebdagati dengan sebaik-baiknya.
Ternyata burung-burung dilangit tidak hanya sepasang. Teriakan Panembahan Lebdagati itu telah memberikan aba-aba khusus kepada beberapa ekor elang yang berterbangan. Burung-burung tu pun telah berteriak-teriak pula dengan riuhnya. Seperti Panembahan Lebdagati, maka elang-elang itu telah memberikan isyarat agar para pengikut Panembahan Lebdagati mengundurkan diri.
Ki Pandi hanya dapat menggeram marah. Ia telah kehilangan buruannya. Panembahan Lebdagati memiliki kecepatan bergerak yang sangat mengagumkan. Apalagi Ki Pandi harus tertahan oleh burung-burung elang yang menyerang mengarah langsung ke wajah dari matanya.
Burung-burung elang yang berusaha menahannya agar Panembahan Lebdagati sempat menghindar dari medan. Dengan demikian, maka para pengikut Panembahan Lebdagati itu pun telah berusaha dengan cepat menarik diri dari pertempuran.
Para pengikut Ki Warana dan orang-orang padukuhan itu memang tidak dengan mudah berniat melepaskan para pengikut Panembahan Lebdagati yang melarikan diri. Namun agaknya orang yang mengendalikan burung-burung elang itu tidak hanya melepas dua tiga pasang burung elang. Tetapi sekelompok burung elang telah berterbangan menyambar-nyambar.
Burung-burung itu telah berusaha menahan orang-orang yang berusaha mengejar para pengikut Panembahan Lebdagati, sehingga dengan demikian, mereka yang melarikan diri telah mendapat peluang untuk lepas dari kejaran lawan-lawan mereka. Burung-burung elang itu ternyata memang sangat berbahaya. Kuku-kuku yang ujungnya diberi baja yang tajam itu benar-benar telah menghambat gerak maju orang-orang yang sedang mengejar para pengikut Panembahan Lebdagati.
Dengan demikian maka jarak diantara mereka pun menjadi semakin jauh. Beberapa orang yang lolos dari hambatan burung-burung elang itu pun akhirnya menghentikan usaha mereka mengejar lawan mereka, karena justru akan membahayakan diri mereka, karena orang-orang yang mereka kejar itu akan mampu memberikan perlawanan.
Namun dalam pada itu, Ki Warana telah menemui Ki Ajar Pangukan setelah ia menyadari bahwa Panembahan Lebdagati dan para pengikutnya telah melepaskan diri. Ki Pandi yang sudah lebih dahulu menemui Ki Ajar Pangukan nampak menyesali kegagalannya.
“Maaf Ki Ajar. Aku telah melakukannya sendiri dan gagal. Aku mencoba untuk tidak mengganggu orang lain ketika aku masih berpengharapan untuk dapat menangkapnya.”
“Bukan kau yang harus minta maaf kepadakau, Ki Bongkok. Tetapi justru aku. Kenapa aku dan orang-orang yang lain tidak tahu dan tidak sempat menghentikan Panembahan Lebdagati yang melarikan diri itu.”
Namun Ki Warana itu pun kemudian berkata ”Tetapi bagaimana dengan para cantrik Kiai Banyu Bening yang tertawan di padepokan itu. Apakah mereka tidak akan dibantai habis oleh para pengikut Panembahan Lebdagati?”
Ki Ajar Pangukan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya ”Jadi, bagaimana menurut pendapatmu?”
“Apakah tidak sebaiknya kita juga pergi ke padepokan?”
Ki Ajar Pangukan termanagu-mangu sejenak. Namun akhirnya ia mengangguk-angguk sambil berkata ”Aku mengerti Ki Warana.” Namun kemudian ia pun berpaling kepada Ki Pandi sambil bertanya, ”Bagaimana pendapatmu?”
“Aku setuju Ki Ajar. Tetapi biarlah Ki Sambi Pitu dan Ki Jagaprana berada disini. Mungkin Panembahan Lebdagati itu dengan licik kembali lagi kepadepokan ini. Ia akan dapat membantai orang-orang yang tinggal di padukuhan ini jika tidak ada orang yang dapat menghentikannya.”
“Baiklah. Kita akan berbicara dengan keduanya. Ki Lemah Teles yang terluka itu juga memerlukan perlindungan.”
Demikianlah dengan cepat, Ki Warana mengatur orang-orangnya. Sementara Ki Bekel telah menawarkan kepada orang-orang padukuhan itu, siapakah diantara mereka yang bersedia ikut bersama Ki Warana dan orang-orangnya mengejar Panembahan Lebdagati dan para pengikutnya.
“Sebagian dari kalian harus tinggal” berkata Ki Bekel.
Demikianlah, maka Ki Warana, orang-orangnya dan sebagian orang-orang padukuhan yang dengan suka rela ikut bersama mereka telah dengan cepat menyusul Panembahan Lebdagati dan para pengikutnya yang sudah menjadi lemah.
Mereka harus meninggalkan korban cukup banyak di padukuhan. Ki Sambi Pitu, Ki Jagaprana, Ki Ajar Pangukan sendiri, Manggada dan Laksana telah menghentikan banyak diantara mereka yang ternyata merasa terjebak.
Bagaimana pun juga Ki Warana tidak dapat tinggal diam, karena ia menyadari sepenuhnya, bahwa dendam para pengikut Panembahan Lebdagati tentu ditujukan kepada orang-orang yang berada didalam tangan mereka.
Dengan cepat iring-iringan itu pun bergerak mendekati padepokan. Namun Ki Warana menjadi sangat berdebar-debar bahwa orang terakhir dari para pengikut Panembahan Lebdagati yang melarikan diri sudah tidak dapat mereka lihat lagi. Burung-burung elang pun telah berputaran diatas padepokan, seakan-akan sedang menyaksikan satu pertunjukan yang sangat mengerikan.
Karena itu, maka Ki Warana menjadi semakin tergesa-gesa. Dibawanya orang-orangnya berlari-lari melintasi sawah, pategalan dan padang-padang perdu. Bahkan Ki Warana telah mengacu-acukan senjatanya untuk menarik perhatian burung-burung elang yang berterbangan.
Jika burung-burung elang itu melihat mereka datang, burung-burung itu tentu akan memberikan isyarat. Isyarat itu akan membuat orang-orang yang berada didalam padepokan itu mempersiapkan diri dan tidak sempat membantai kawan-kawan Ki Warana yang tertawan di padepokan itu.
Yang kemudian melambai-lambaikan senjatanya bukan saja Ki Warana. Tetapi para pengikutnya dan bahkan orang-orang dari padukuhan yang dengan suka rela membantu mereka, telah melakukan hal yang sama pula.
Sebenarnyalah bahwa burung-burung elang itu telah melihat kedatangan sebuah iring-iringan yang terhitung besar. Diantara mereka terdapat Ki ajar Pangukan, Ki Pandi, Manggada dan Laksana yang ikut menjadi cemas akan nasib bekas para pengikut Kiai Banyu Bening. Karena itu, maka burung-burung elang yang terbang berputaran itu pun telah menjadi bubar. Burung-burung itu dengan cepat melayang menyongsong iring-iringan yang berlari-larian menuju ke padepokan.
Beberapa ekor diantaranya telah berterbangan hilir mudik. Dengan caranya burung-burung itu telah memberikan isyarat bahwa sekelompok orang telah berdatangan ke padepokan itu. Beberapa saat lamanya burung-burung elang itu seolah-olah telah menjadi kebingungan. Mereka belum menerima aba-aba dari orang yang mengendalikannya. Namun agaknya orang yang mengendalikan burung-burung elang itu pun sedang kebingungan pula.
Beberapa saat kemudian, dua ekor diantara burung elang itu telah menukik dan hilang didalam padepokan. Namun sejenak kemudian sepasang burung itu telah muncul kembali. Naik ke angkasa tinggi sekali. Melampaui kawan-kawannnya yang gelisah. Burung elang itu lelah membuat beberapa gerakan khusus.
Namun kemudian burung-burung elang yang lain pun seakan-akan telah terhisap dan menukik turun kedalam padepokan. Beberapa saat kemudian sepi. Tidak seekor burung pun yang nampak terbang diatas padepokan atau disekitarnya. Ki Warana dan orang-orang yang sedang menuju ke padepokan itu justru menjadi berdebar-debar. Mereka tidak tahu, apa yang telah terjadi di padepokan.
“Mereka sedang mempersiapkan diri.” berkata orang-orang yang sedang menuju ke padepokan itu didalam hati. Mereka menduga, bahwa burung-burung elang itu sedang mendapat perintah-perintah khusus dari orang-orang yang mengendalikannya. Tetapi ternyata burung-burung itu tidak segera terbang lagi.
Sementara itu, Ki Warana yang berjalan dipaling depan telah mendekati padepokan itu. Sejenak ia berdiri termangu-mangu. Beberapa orang pun kemudian berdiri disebelahnya. Namun tidak seorang pun yang menyatakan pendapatnya.
Beberapa saat kemudian, Ki Ajar Pangukan dan Ki Pandi telah berdiri pula memandangi pintu gerbang padepokan yang tertutup rapat itu.Orang-orang yang kemudian berdiri termangu-mangu itu pun mencoba membayangkan, apa yang terdapat dibelakang dinding padepokan itu.
Panembahan Lebdagati dan pengikutnya yang bersiap-siap menerima kedatangannya lawan-lawannya. Atau mereka sedang sibuk membuat jebakan atau cara apa pun untuk melawan. Justru karena kekuatan mereka telah menyusut terlalu banyak. Orang-orang yang mereka tinggalkan di padepokan, yang masih segar dengan tenaga utuh, tentu akan dapat membantu mengisi kekosongan karena korban yang telah mereka tinggalkan di padukuhan.
Untuk beberapa saat lamanya, mereka berdiri termangu-mangu. Namun mereka tidak melihat tanda-tanda apa pun yang dapat mereka pergunakan untuk menduga, apa saja yang telah terjadi didalam lingkungan dinding padepokan.
Ki Pandi lah yang kemudian berkata kepada Laksana dan Manggada ”Lihatlah di seputar dinding padepokan ini. Berhati-hatilah. Bawalah tiga empat orang bersamamu.”
Namun Ki Warana sendiri menyahut, ”Aku akan pergi bersama mereka.”
“Baiklah.” sahut Ki Pandi ”tetapi jangan terperangkap dalam jebakan-jebakan yanga mereka buat.”
Demikianlah, Manggada, Laksana, Ki Warana dan tiga orang pengikutnya telah berjalan mendekati padepokan itu. Mereka pun kemudian berjalan dengan hati-hati mengitari padepokan yang nampak sepi itu.
Dengan senjata siap ditangan, sementara seorang dari mereka telah mempersiapkan anak panah sendaren yang siap memberikan isyarat kepada Ki Pandi dan Ki Ajar Pangukan, mereka berjalan mengelilingi padepokan. Tidak ada seorang pun yang nampak berdiri diatas panggungan di belakang dinding.
“Apakah panggungan itu memang sengaja dikosongkan?” desis Ki Warana.
Manggada dan Laksana tidak menjawab. Namun mereka justru berjalan lebih dekat lagi dengan dinding padepokan. Ketika mereka sempat didepan sebuah pintu butulan, Manggada pun berkata, ”Tunggu. Aku akan melihat pintu butulan itu.”
Ki Warana tidak sempat mencegah. Manggada itu pun segera berlari mendekati pintu butulan itu. Ternyata pintu butulan itu tertutup rapat. Bahkan diselarak dengan kuatnya. Beberapa saat Manggada berdiri didepan pintu itu. Dicobanya untuk mendengarkan sesuatu di dalam padepokan, tetapi ia juga tidak mendengar apa pun juga.
Sejenak kemudian ia pun telah kembali menemui Ki Warana dan Laksana. Sambil memberitahukan apa yang dilihatnya, mereka telah berjalan lagi mengitari padepokan itu. Tetapi dibagian belakang padepokan itu pun nampaknya sepi-sepi saja.
Ketika mereka sampai ke pintu butulan di belakang, maka mereka bertigalah yang mendekat. Ki Warana sempat berpesan kepada ketiga orang pengikutnya, agar jika perlu, mereka jangan segan-segan melepaskan anak panah sendaren untuk memberikan isyarat kepada Ki Ajar Pangukan dan Ki Pandi.
Ketika bertiga mereka mendekati pintu butulan itu, maka mereka memang menjadi berdebar-debar. Ketika Ki Warana menyentuh pintu itu, maka ternyata pintu itu tidak diselarak. Perlahan-lahan Ki Warana mendorong pintu itu sehingga terbuka sepenuhnya.
“Pintu ini tidak diselarak.” desis Ki Warana.
“Aneh!” sahut Manggada.
Tetapi Laksana memperingatkan, ”Hati-hati. Jangan terjebak.”
Ki Warana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, ”Tetapi nampaknya padepokan ini memang kosong.”
“Ya” Manggada mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian ”Meski pun demikian kita harus tetap mencurigai. Mungkin mereka sengaja bersembunyi di setiap bangunan. Baru kemudian mereka menjebak kita.”
“Jika demikian, kita akan memasuki padepokan ini dengan kekuatan penuh.”
Mereka pun kemudian telah menjauhi pintu butulan itu. Ki Warana pun kemudian berkata ”Aku akan menjemput mereka.”
Manggada dan Laksana pun berdiri beberapa puluh langkah dari pintu butulan itu, untuk mengawasi kemungkinan-kemungkinan yang belum dapat mereka perhitungkan. Seorang diantara pengikut Ki Warana yang membawa panah sendaren tinggal bersama mereka, sementara Ki Warana dan orang-orangnya yang lain telah kembali menemui Ki Ajar Pangukan.
Ketika Ki Ajar mendengar laporan itu, maka katanya, ”Baiklah. Kita akan memasuki padepokan ini dengan kesiagaan tertinggi. Mungkin kita akan menghadapi sesuatu yang tiba-tiba saja diluar perhitungan kita.”
Demikianlah, maka seluruh kekuatan yang datang ke padepokan itu telah bergerak. Mereka semuanya berada disisi sebelah dan di belakang padepokan. Dengan hati-hati Ki Ajar Pangukan dan Ki Pandi memasuki pintu butulan itu, diikuti oleh Ki Warana, Manggada dan Laksana. Kemudian berurutan para pengikut Ki Warana dan orang-orang padukuhan yang ikut bersama mereka.
Ki Ajar Pangukan pun kemudian menyarankan agar orang-orang itu tidak dengan tergesa-gesa menebar. Meski pun kemudian orang-orang itu mengalir ke dalam padepokan, tetapi mereka masih tetap berada dalam jangkauan pengawasan Ki Warana. Ketika orang terakhir telah memasuki padepokan itu, maka Ki Ajar Pangukan telah membawa mereka bergerak lebih ke tengah-tengah padepokan itu.
“Kau lebih mengenal tempat ini, Ki Warana.” berkata Ki Ajar.
“Ya, Ki Ajar.” jawab Ki Warana.
“Jika demikian, kau tuntun kami, kemana kami harus pergi.”
Ki Warana pun telah membawa seluruh pasukannya menuju ke depan bangunan induk padepokan itu. Namun tiba-tiba saja sekelompok diantara orang-orangnya yang berjalan melalui celah-celah dua bangunan terhenti. Mereka mendengar sesuatu dari dalam bangunan itu, sehingga salah seorang dari mereka telah memberitahu kepada Ki Warana tentang suara-suara yang mencurigakan itu.
Ki Warana menjadi sangat tertarik mendengar suara-suara itu. Bersama Ki Ajar Pangukan, Ki Pandi, Manggada dan Laksana mereka telah mendekati pintu bangunan itu.
“Ki Warana...” Ki Ajar Pangukan itu pun bertanya ”Bangunan ini pada saat Kiai Banyu Bening masih tinggal di padepokan ini dipergunakan untuk apa?”
“Dahulu bangunan ini dipergunakan untuk tempat tinggal sebagian dari para cantrik, Ki Ajar.”
Ki Ajar mengangguk-angguk. Katanya ”Kita akan melihat, apa yang ada didalam bangunan ini.”
“Biarlah aku masuk lebih dahulu.” berkata Ki Warana. Ki Ajar termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian dua orang pengikut Ki Warana berkata ”Marilah. Kita masuk lebih dahulu.”
Ki Warana mengangguk kecil. Dengan senjata telanjang, Ki Warana dan kedua orang itu pun segera berdiri didepan pintu. Seorang diantara keduanya yang bersenjata tombak telah melangkah sambil merundukkan ujung tombaknya. Dengan ujung tombaknya orang itu mendorong pintu bangunan itu.
Perlahan-lahan pintu itu terbuka. Ujung tombak orang itulah yang lebih dahulu memasuki ruangan yang terhitung luas itu. Baru kemudian orang itu perlahan-lahan melangkah masuk pula diikuti oleh seorang kawannya. Demikian keduanya meloncat kesamping pintu, maka Ki Warana telah memasuki mangan itu pula dengan ujung senjata teracu.
Namun ketiga orang itu pun bagaikan membeku. Mereka melihat beberapa orang yang terbaring silang menyilang. Tubuh mereka berlumuran darah yang masih basah.
“Mereka ada disini.” teriak Ki Warana.
“Siapa?” bertanya Ki Ajar Pangukan.
“Kawan-kawan kita. Kita terlambat. Mereka benar-benar sudah membantai kawan-kawan kita.”
Ki Ajar Pangukan dan Pandi pun segera berloncatan masuk. Mereka pun menarik nafas dalam-dalam menyaksikan kengerian yang sangat mendalam di ruangan yang terhitung luas itu. Namun Ki Pandi itu pun kemudian berkata, ”Masih ada yang hidup. Kita harus menolong mereka.”
Ki Warana pun kemudian memerintahkan orang-orangnya untuk mengamati kawan-kawan mereka yang menjadi tawanan Panembahan Lebdagati dan yang telah dibantai diruangan itu. Ternyata memang masih banyak diantara mereka yang belum benar-benar mati. Agaknya para pengikut Panembahan Lebdagati itu telah melakukannya dengan tergesa-gesa.
Dalam pada itu, maka beberapa orang telah melihat keadaan bangunan sebelah. Ternyata bangunan di sebelahnya benar-benar kosong. Karena itu, maka orang-orang yang masih bernafas telah dipindahkan keruangan sebelah. Sementara beberapa orang mengumpulkan kawan-kawan mereka yang masih selamat, maka Ki Ajar Pangukan, Ki Pandi, Manggada dan Laksana telah melihat-lihat keadaan padepokan itu bersama sekelompok orang-orang padukuhan yang menyertai mereka.
“Mengerikan!” desis salah seorang dari orang-orang padukuhan itu.
“Mereka sudah kehilangan landasan kemanusiaan mereka.” desis yang lain.
“Untunglah bahwa padepokan ini sudah kosong ketika kita masuk kemari. Seandainya belum, apakah kita tidak justru membeku ketakutan di tengah-tengah padepokan yang asing ini?”
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Sementara mereka menjadi semakin berdebar-debar ketika mereka sempat melihat beberapa pucuk senjata yang tertinggal. Di bangunan induk padepokan itu terdapat beberapa pucuk senjata disudut. Sebuah kapak yang besar yang tergolek diantara tangkai sebuah canggah yang pada mata canggahnya terdapat gerigi menduri-pandan. Kemudian sebuah tombak berkait dan yang lain sebuah trisula disamping beberapa tombak seperti tombak kebanyakan.
Namun ternyata bahwa padepokan itu memang sudah ditinggalkan oleh panembahan Lebdagati dan para pengikutnya. Didapur perapian masih menyala. Tiga buah bakul besar berisi nasi yang masih hangat. Sayur yang masih berada didalam kuali yang masih berada diatas api.
Nampaknya para pengikut Panembahan Lebdagati yang bertugas di dapur tengah menyediakan makan bagi orang-orangnya yang menurut perhitungan akan segera kembali dari pertempuran. Ternyata Panembahan Lebdagati memang telah kembali. Tetapi dalam keadaan yang jauh berbeda dari yang mereka kehendaki.
Sementara itu, Ki Warana telah selesai mengumpulkan kawan-kawannya yang benar-benar telah terbunuh. Namun hatinya masih juga terhibur, bahwa ternyata masih lebih banyak yang berkesempatan untuk tetap hidup daripada yang benar-benar mati.
Ki Aajar Pangukan dan Ki Pandi pun kemudian telah membantu Ki Warana mengobati merawat orang-orang yang terluka parah. Dengan obat-obat yang ada, mereka mencoba untuk memperingan penderitaan orang-orang yang terluka.
“Kami mempunyai tanaman yang dapat diramu menjadi obat-obatan.” berkata Ki Warana.
Ki Pandi agaknya tertarik pada keterangan Ki Warana itu. Karena itu, maka ia pun bertanya, ”Dimana?”
Ki Warana pun kemudian memanggil seorang dari antara orang-orang yang ikut bersamanya dan yang sebelumnya pernah memelihara kebun tanaman yang dapat dipergunakan sebagai obat-obatan itu, ”Tunjukkan Ki Pandi tanaman itu jika masih ada.”
Orang itu pun kemudian telah membawa Ki Pandi ke bagian belakang kebun padepokan itu. Ternyata kebun itu masih utuh. Kebun khusus yang dipagari disudut kebun yang ada didalam lingkungan padepokan itu.
Ki Pandi yang kemudian berdiri diantara berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang dapat dipakai sebagai obat-obatan itu menarik nafas dalam-dalam. Gumamnya, ”Begitu lengkap. Tentu ada seorang yang mengetahui benar tentang obat-obatan diantara para pengikut Kiai Banyu Bening.”
Namun ketika hal itu kemudian ditanyakannya kepada Ki Warana, maka dengan nada dalam Ki Warana itu berkata, ”Orang itu ada diantara mereka yang tertangkap oleh para pengikut Panembahan Lebdagati. Ia ada diantara orang-orang yang terbunuh itu.”
“Sayang sekali...” desis Ki Pandi ”Kenapa ia tidak lari bersama Ki Warana dan sebagian dari penghuni padepokan ini?”
“Ia terlalu setia kepada Kiai Banyu Bening. Karena itu, maka ia tidak akan mau meninggalkan padepokan ini.”
“Tetapi bukankah Kiai Banyu Bening sudah terbunuh?”
“Setianya tidak terbatas-pada masa hidup Kiai Banyu Bening. Aku yakin itu, karena aku mengenalnya dengan baik.”
Ki Pandi mengangguk-anggguk. Katanya, ”Sekarang yang tinggal hanyalah bekas-bekas kemampuannya. Tetapi peninggalannya itu akan sangat berharga jika kita dapat memanfaatkannya.”
“Aku harap Ki Pandi dan Ki Ajar Pangukan dapat mempergunakannya.”
“Kami akan mencoba...” jawab Ki Pandi ”Mudah-mudahan akan berarti bagi saudara-saudara kita yang sedang terluka itu.”
Hari itu, Ki Pandi dan Ki Ajar Pangukan memang berusaha untuk membuat obat dari dedaunan, akar-akaran dan berbagai macam bunga yang ada di kebun yang khusus itu menurut pengenalan mereka, sebanyak-banyaknya karena orang yang terluka pun cukup banyak. Mereka telah membuat obat yang dioleskan, ditaburkan dan diminum oleh orang-orang yang terluka itu.
Namun dalam pada itu, Ki Ajar Pangukan telah minta agar beberapa orang pergi ke padukuhan, untuk memberitahukan apa yang telah terjadi, agar Ki Bekel tidak menjadi sangat cemas.
“Kami akan berada di padepokan ini.” pesan Ki Ajar Pangukan kepada orang itu ”Kami harus merawat orang-orang yang terluka.”
Sebenarnyalah bahwa Ki Bekel, Ki Sambi Pitu dan Ki Jagaprana serta orang-orang yang berada di padukuhan itu merasa lega bahwa tidak terjadi pertempuran yang harus merenggut korban lagi.
“Mudah-mudahan untuk selanjutnya tidak akan terjadi benturan kekerasan,” berkata Ki Bekel yang harus menyerahkan beberapa orang padukuhan itu sebagai korban dalam pertempuran yang baru saja terjadi. Meski pun hal itu sudah diduga sebelumnya, namun perpisahan dengan orang-orang terbaik membuat hati Ki Bekel menjadi sedih. Apalagi ketika Ki Bekel melihat, bagaimana keluarga mereka yang meneteskan air mata.
Hari itu, mereka yang sudah terlanjur berada di padepokan, tetap tinggal di padepokan, sedangkan yang berada di padukuhan tetap pula berada di padukuhan. Ki Sambi Pitu dan Ki Jagaprana berusaha untuk merawat Ki Lemah Teles sebaik-baiknya, sementara tabib terbaik dari padukuhan itu dibantu oleh beberapa orang, bekerja keras untuk merawat orang-orang yang terluka. Bahkan para pengikut Panembahan Lebdagati. Namun para tawanan itu harus dijaga dengan ketat, agar mereka tidak menimbulkan kesulitan.
Ketika malam kemudian menyelimuti padukuhan dan padepokan yang baru saja mengalami goncangan-goncangan karena pertempuran yang telah merenggut korban jiwa itu, para pemimpinnya masih juga mengatur penjagaan sebaik-baiknya, karena tidak mustahil masih akan terjadi sesuatu.
Orang-orang yang berada di padepokan telah menempatkan beberapa orang penjaga di panggungan dibelakang dinding. Sementara itu, Ki Ajar Pangukan dan Ki Pandi bergantian mengelilingi padepokan itu di malam hari. Sedangkan Manggada dan Laksana berada di bangunan induk bersama orang-orang padukuhan yang masih berada di padepokan.
Dalam pada itu, Ki Bekel pun telah mengatur orang-orangnya pula untuk mengamati keadaan. Disetiap sudut dan lekuk padukuhan, Ki Bekel menempatkan orang-orangnya untuk berjaga-jaga. Demikian pula disetiap regol jalan yang keluar dan memasuki padukuhan.
Sementara itu, Ki Sambi Pitu dan Ki Jagaprana berada di rumah Ki Bekel merawat Ki Lemah Teles yang berangsur menjadi baik. Ternyata ketahanan tubuh Ki Lemah Teles cukup tinggi, sehingga ia masih mampu mengatasi perasaan sakit yang timbul karena luka-lukanya yang parah.
Demikianlah, kesiagaan yang tinggi masih terdapat baik di padepokan mau pun di padukuhan. Namun ternyata di malam itu tidak ada sesuatu yang terjadi. Ki Pandi yang menempatkan kedua ekor harimaunya di luar padepokan juga tidak melihat sesuatu yang mencurigakan, sehingga kedua ekor harimau itu tidak memberikan isyarat apapun.
Di hari berikutnya, setelah semua korban dimakamkan, baik yang ada di padepokan, mau pun yang ada di padukuhan, maka Ki Warana mulai membicarakan hari depan padepokan yang telah direbut kembali dari tangan Panembahan Lebdagati itu.
“Bukankah Ki Warana pantas untuk menjadi pemimpin di padepokan ini menggantikan kedudukan Kiai Banyu Bening? Hanya menggantikan kedudukannya. Menggantikan kedudukannya sebagai pemimpin dari padepokan ini. Bukan pemimpin dalam arti penyebaran kepercayaan sesat yang berlandaskan pada dendamnya itu.”
Tetapi Ki Warana menjawab, ”Mungkin aku dapat melakukannya, mengatur tumbuh dan berkembangnya padepokan ini. Tetapi sulit bagiku untuk dapat mempertahankannya. Jika Panembahan Lebdagati itu datang kembali, maka aku tentu hanya dapat menyerahkan padepokan ini kepadanya. Bahkan menyerahkan nyawaku pula.”
Ki Pandi dan Ki Ajar Pangukan mengerti alasan itu. Karena itu, maka Ki Pandi itu pun berkata, ”Ki Ajar Pangukan yang tempat tinggalnya paling dekat dari padepokan ini akan dapat memberikan petunjuknya.”
“Seorang diantara kita sebaiknya memang tinggal disini.” berkata Ki Ajar Pangukan.
“Bagaimana kalau Ki Ajar?”
“Lalu rumahku?” bertanya Ki Ajar.
“Rumah itu dapat ditinggalkan saja. Bukankah Ki Ajar juga sendiri saja dirumah?”
Ki Ajar tersenyum. Katanya, ”Aku sudah tinggal cukup lama dirumah itu, sehingga ikatan antara aku dan rumah itu sudah demikian eratnya. Bagaimana jika Ki Bongkok saja yang tinggal disini? Jika Ki Bongkok tinggal disini, Panembahan Lebdagati tentu tidak akan berani datang lagi.”
Ki Bongkok menarik nafas dalam-dalam. Katanya, ”Aku tidak terbiasa tinggal disatu rumah. Aku pun masih harus mencari dan menemukan Panembahan Lebdagati itu. Karena itu, seandainya aku harus memimpin sebuah padepokan, maka aku tidak akan pernah ada ditempat.”
Ki Ajar Pangukan mengangguk-angguk. Sementara Ki Warana berkata, ”Aku mohon seseorang bersedia melindungi kami. Dendam Panembahan Lebdagati tentu tidak akan pernah padam. Persoalannya bukan sekedar padepokan ini. Tetapi kaki Gunung Lawu disebrang hutan Jatimalang ini diakunya sebagai daerah kuasa Panembahan Lebdagati itu.”
Ki Pandi yang termangu-mangu itu tiba-tiba berdesis ”Bagaimana dengan Ki Lemah Teles. Jika ia bersedia tinggal di padepokan ini, maka ia akan menemukan satu dunia yang lain. Ia tidak akan merasa kesepian dan tidak merasa terbuang dari lingkungan dunia kanuragan, sehingga mencari kawan untuk berkelahi.”
Ki Ajar Pangukan mengangguk-angguk. Katanya, ”Kita akan mencoba untuk berbicara dengan orang itu. Ia sudah menjadi semakin baik.”
Hari itu juga, Ki Ajar Pangukan dan Ki Pandi telah pergi menemui Ki Lemah Teles. Sebelumnya keduanya telah berbicara pula dengan Ki Sambi Pitu dan Ki Jagaprana, tentang perrmintaan Ki Warana untuk menempatkan seseorang yang dapat dianggap sebagai pemimpin tertinggi di padepokan itu, sementara untuk mengatur pertumbuhan dan perkembangan padepokan ini Ki Warana akan melakukannya.”
Ternyata semuanya setuju, bahwa Ki Lemah Teles akan diminta untuk tinggal dan memimpin padepokan itu. Ketika hal itu kemudian disampaikan kepada Ki Lemah Teles, maka dengan serta-merta ia berkata, ”Kalian ingin aku mengorbankan bayi setiap bulan purnama?”
“Tentu tidak.” jawab Ki Pangukan ”Justru kau harus berusaha meyakinkan orang-orang yang sudah mulai terpengaruh oleh kepercayaan Kiai Banyu Bening yang dilandasi oleh dendam dan kebenciannya itu, bahwa apa yang dikatakan dan diajarkan oleh Kiai Banyu Bening itu adalah justru akan menjauhkan mereka dari sumber hidup mereka.”
Ki Lemah Teles termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Sambi Pitu berkata, ”Jika kau memimpin padepokan itu, maka kami akan ikut merasa memiliki. Setiap kali kami merasa jenuh tinggal dirumah, kami dapat pergi ke kaki Gunung Lawu untuk tinggal beberapa hari di padepokanmu. Tentu sebuah padepokan yang lain dengan padepokan Kiai Banyu Bening dan padepokan Panembahan Lebdagati. Padepokanmu akan menjadi padepokan yang mendapat sinar terang dari Yang Maha Pencipta karena kau akan memimpin seisi padepokan untuk mengenalinya. Bukan hanya seisi padepokan, tetapi juga orang-orang yang tinggal disekitarnya.”
Ki Lemah Teles termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, ”Aku akan memikirkannya.”
“Kau perlukan waktu berapa hari untuk menentukan jawabanmu itu?” bertanya Ki Sambi Pitu.
“Tergantung pada turunnya terang dihatiku.” jawab Ki Lemah Tetes.
“Baiklah.” berkata Ki Ajar Pangukan ”Bukankah kita masing-masing tidak tergesa-gesa? Kita akan dapat untuk beberapa lama tinggal di padepokan ini sambil menunggu keputusan Ki Lemah Teles. Tetapi menurut perhitungan kami, Ki Lemah Teles tidak akan menolaknya. Di padepokan ini Ki Lemah Teles akan menemukan apa yang terasa hilang selama ini.”
“Aku juga berharap.” berkata Ki Bekel ”Padukuhan ini akan ikut merasa tenang, jika satu atau dua orang berilmu tinggi berada di padepokan ini. Selama ini padukuhan ini terkait dengan padepokan itu. Jika terjadi perubahan di padepokan itu, maka kami pun akan ikut pula mengalami perubahan. Sepeninggal Kiai Banyu Bening, mungkin kami akan mendapatkan petunjuk baru yang benar-benar dapat memberikan pengharapan bagi kami.”
Ki Lemah Teles memang belum memberikan harapan pasti. Agaknya Ki Lemah Teles ingin menyembuhkan luka-luka dalamnya ketika ia membenturkan ilmunya melawan kekuatan ilmu Lembu Palang. Namun di hari-hari berikutnya, tatanan di padukuhan yang menjadi ajang pertempuran yang menentukan itu sudah menjadi wajar kembali. Sementara itu, Ki Lemah Teles sudah berada di padepokan. Demikian pula Ki Sambi Pitu dan Ki Jagaprana.
“Jika Ki Bekel memerlukan sesuatu, Ki Bekel dapat memberitahukan kepada kami di padepokan itu.” berkata Ki Ajar Pangukan.
“Baik Ki Ajar. Kami tentu masih sangat memerlukan kehadiran Ki Ajar dan yang lain. Perubahan sikap dan tatanan kehidupan yang akan terjadi sejalan dengan perubahan yang terjadi di padepokan memerlukan tuntunan yang mapan.”
“Baik, Ki Bekel. Kami tidak akan segera meninggalkan padepokan itu.”
Dengan demikian, maka gelombang pembaharuan di padepokan itu pun telah menyentuh padukuhan-padukuhan yang lain pula. Gejolak yang terjadi sejak Panembahan Lebdagati menduduki padepokan itu untuk beberapa lama, masih terasa.
Namun Ki Warana sudah berjanji untuk bekerja keras. Wajah padukuhan-padukuhan di sekitar padepokan itu harus segera berubah. Para penghuni padukuhan itu harus menjadi yakin, bahwa kepercayaan yang disebarkan oleh Kiai Banyu Bening itu, semata-mata merupakan percikan dendam pribadinya, karena anaknya yang karena sesuatu hal telah terbakar.
Demikianlah dari hari ke hari kehidupan di kaki Gunung Lawu itu menjadi semakin tenang. Sedikit demi sedikit Ki Warana, yang sebelumnya sering memberikan sesorah di padukuhan-padukuhan, berubah untuk meyakinkan perubahan yang terjadi di padepokan itu justru akan dapat memberikan jalan yang terang.
Manggada dan Laksana pun sudah sering berjalan-jalan keluar dari padepokan. Bersama kedua ekor harimau peliharaan Ki Pandi, mereka menyusuri padang-padang perdu melihat-lihat keadaan di lereng Gunung Lawu. Mereka pun sempat menyusup kedalam hutan yang letaknya agak lebih tinggi dari padukuhan dan padepokan yang baru saja direbut kembali dari tangan Panembahan Lebdagati itu.
Ternyata hutan itu masih merupakan hutan yang lebat dan dihuni oleh berjenis-jenis binatang termasuk binatang buas. Tetapi Manggada dan Laksana sudah terbiasa berada ditengah-tengah hutan yang lebat. Karena itu, maka ia sama sekali tidak menjadi canggung. Apalagi bersama mereka, dua ekor harimau yang besar dan kuat bahkan memiliki kelebihan dari harimau kebanyakan ada bersama mereka.
Namun pada hari berikutnya, ternyata Laksana telah mempunyai rencana. Ia mengajak Manggada untuk pergi ke sebuah padukuhan yang pernah mereka kunjungi sebelumnya.
“Ah, kau!” desis Manggada.
“Apa salahnya?” bertanya Laksana.
“Kau harus berbicara dengan Ki Pandi.”
Laksana termangu-mangu. Katanya, ”Apakah untuk itu aku harus mendapat ijin?”
“Bukan ijin. Tetapi agar Ki Pandi tahu, kita berada dimana.” jawab Manggada.
Laksana akhirnya menurut juga. Ia pun telah memberitahukan kepada Ki Pandi, kemana ia akan pergi bersama Manggada.
Ki Warana ternyata mendengar pula pembicaraan itu. Karena itu, maka Ki Warana pun kemudian berkata, ”Tolong ngger. Sampaikan salamku kepada Krawangan. Sejak peristiwa itu terjadi, ia tentu belum mendengar kabar tentang perkembangan terakhir padepokan ini. Juga tentang keselamatanku.”
“Baik Ki Warana.” jawab Laksana.
Berdua mereka pergi ke padukuhan tempat Ki Krawangan tinggal. Dua ekor harimau yang menyertai mereka, berhenti dan bersembunyi di semak-semak agak jauh dari padukuhan agar tidak menakut-nakuti orang yang melihatnya. Tetapi ternyata Laksana tidak langsung pergi ke padukuhan. Tetapi ia telah mengikuti jalan kecil menuju ke tanggul.
“He, kita pergi ke mana?” bertanya Manggada.
“Sebentar. Aku akan melihat ke tepian.”
“Untuk apa?”
“Tidak apa-apa!” jawab Laksana.
Manggada menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu bahwa Laksana ingin melihat, apakah Delima ada di tepian atau tidak. “Belum ada yang berani mencuci ditepian.” berkata Manggada.
“Tetapi Delima lain. Ia lebih senang mencuci ditepian daripada di rumahnya sendiri. Bukankah keadaan sudah lebih baik sekarang ini? Pada saat yang gawat itu, Delima masih juga mencuci ditepian....”