Matahari Senja Bagian 13 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Arya Manggada - Matahari Senja Bagian 13
Karya : Singgih Hadi Mintardja

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
PANEMBAHAN Lebdagati mengangguk-angguk sambil tersenyum. Dengan nada datar ia berkata,”Terima kasih. Dengan demikian maka tugas kami akan semakin cepat selesai.”

“Aku tahu bahwa kau tidak memerlukan kami.“ berkata Lembu Palang. ”Orang-orangmu akan dengan cepat dapat membersihkan sisa-sisa pengikut Kiai Banyu Bening itu. Jika aku ikut bersamamu sama sekali bukan untuk membantumu. Tetapi sekedar ingin melepaskan kejenuhan. Kami akan sedikit terhibur dengan pekerjaan yang menyenangkan itu.”

“Kau memang gila!“ sahut Panembahan Lebdagati.

“Sudah beberapa lama jari-jari kami tidak menyentuh darah segar yang mengalir dari luka.“ berkata Lembu Palang.

“Setan kau!” geram Panembahan Lebdagati.

Lembu Palang tertawa. Katanya ”Anak-anak kami akan dapat kehilangan gairah perjuangan mereka jika mereka tidak mendapat kesempatan untuk membasahi senjata mereka dengan darah korbannya.” berkata Lembu Palang kemudian.

“Terserah kepadamu. Aku harap bahwa kau dan orang-orangmu mendapatkan apa yang kalian inginkan.” Berkata Panembahan Lebdagati “lusa aku akan menyabung ayam. Orangku baru saja mendapat tiga ekor ayam yang baik. Sementara itu sudah ada lima ekor ayam yang disiapkan untuk memasuki arena sabung ayam itu.”
Demikianlah, maka seisi padepokan itupun telah bersiap-siap. Seperti pesan Panembahan Lebdagati, mereka tidak boleh menganggap lawan mereka kecil. Tetapi bagaimanapun juga, orang-orang padepokan itu tidak melihat seorangpun yang harus mendapat perhatian khusus dari antara mereka yang berhasil melarikan diri dari padepokan yang waktu itu dipimpin oleh Kiai Banyu Bening.

Mungkin satu dua orang padukuhan yang bersedia membantunya memiliki kelebihan. Mungkin Ki Bekel, mungkin Ki Jagabaya atau yang lain. Namun mereka tidak akan berarti apa-apa bagi para pengikut Panembahan Lebdagati itu. Meskipun demikian, menjelang malam, Panembahan Lebdagati telah memberikan peringatan-peringatan lagi, agar para pengikutnya itu berhati-hati.

“Besok menjelang fajar kita berangkat. Kita akan mulai memasuki padukuhan itu setelah matahari terbit. Dengan demikian, kita tidak akan terjebak oleh keadaan medan yang belum kita kenal. Sebagaimana terjadi di padepokan ini, maka orang-orang yang melarikan diri itu pandai memanfaatkan medan, karena mereka mengenal jauh lebih baik dari kita.”

Para pengikut Panembahan Lebdagati itu memang mendengarkan peringatan itu, tetapi sebagian besar diantara mereka menganggap bahwa sikap berhati-hati Panembahan Lebdagati agak berlebihan.

“Beberapa kali Panembahan Lebdagati mengalami kegagalan. Bayangan yang muram itulah yang membuatnya menjadi sangat berhati-hati.” berkata salah seorang diantara para pengikutnya.

“Tidak ada salahnya Panembahan menjadi sangat berhati-hati. Tetapi kitapun harus ingat, bahwa penggraita Panembahan itu sangat tajam. Meskipun Panembahan secara wadag belum pernah melihat kekuatan lawan, tetapi Panembahan seakan-akan dapat mengetahuinya. Karena itu, maka peringatannya tidak boleh kita abaikan.” sahut yang lain, seorang yang janggutnya sudah mulai nampak menjadi abu-abu.

Dalam pada itu, maka Panembahan Lebdagati pun segera memperingatkan pula agar mereka beristirahat sebaik-baiknya. Terutama mereka yang telah ditunjuk untuk bersama Panembahan pergi ke padukuhan yang dianggap telah menantang isi padepokan itu.

Lembu Palang masih saja mentertawakan sikap Panembahan Lebdagati yang terlalu berhati-hati itu. Meskipun demikian, ia tidak mengatakan apa-apa lagi tentang persiapan yang nampak bersungguh-sungguh itu.

“Hanya untuk membunuh kecoak,“ desis Lembu Palang.

Malam itu padepokan menjadi sepi. Para pengikut Panembahan Lebdagati tidak berkeliaran didalam padepokan. Seperti yang dinasehatkan oleh Panembahan, maka mereka pun telah berada di pembaringan. Hanya para petugas khusus sajalah yang justru mulai bersiap-siap untuk menyalakan perapian, karena sebelum berangkat di dini hari, orang-orang yang akan pergi ke padukuhan itu akan makan lebih dahulu.

Demikianlah, sedikit lewat tengah malam, maka seisi padepokan itu sudah terbangun. Mereka mulai bersiap-siap untuk pergi ke padukuhan. Orang-orang yang tidak dapat ikut serta karena harus berjaga-jaga di padepokan, merasa menyesal, kenapa mereka tidak diikut sertakan membantai sisa-sisa pengikut Kiai Banyu Bening dan orang-orang padukuhan yang dungu, yang telah berani menentang Panembahan Lebdagati. Mereka menganggap bahwa tugas yang akan dilakukan di padepokan itu adalah tugas yang ringan dan menyenangkan.

Demikianlah, menjelang fajar, maka Panembahan Lebdagati telah siap untuk berangkat. Telah terdengar suara kentongan yang memberi isyarat, semua orang yang akan berangkat harus sudah bersiap dalam kelompoknya masing-masing.

Dalam pada itu, Ki Pandi serta Manggada dan Laksana yang sedang bertugas mengawasi padepokan itu sejak lewat tengah malam, dapat merasakan kegiatan yang meningkat malam itu. Ketika lewat tengah malam mereka berada ditempat yang terlindung dibalik gerumbul perdu, mereka telah melihat bahwa padepokan itu nampak lebih tenang dari biasanya. Agaknya di halaman padepokan itu terpasang obor lebih banyak dari malam-malam yang lewat.

Ketika mereka bertiga melihat asap yang mengepul, maka mereka bertiga mengambil kesimpulan bahwa ada kegiatan di dapur padepokan itu. Ki Pandi pun segera memerintahkan Manggada dan Laksana kembali ke padukuhan untuk memberitahukan, bahwa kemungkinan besar, orang-orang padepokan akan menyerang pagi itu.

“Biarlah padukuhan itu bersiap. Peringatan, agar api di dapur pun harus segera dinyalakan. Jika pertempuran itu menelan waktu yang panjang, tenaga kita akan cepat menjadi susut."

Manggada dan Laksana pun. segera kembali ke padukuhan, sementara Ki Pandi mengawasi kegiatan di padepokan itu. Manggada dan Laksana yang memberikan laporan kepada Ki Ajar Pangukan, kepada Ki Warana dan Ki Bekel, telah menyampaikan pesan Ki Pandi, terutama kepada Ki Bekel, bahwa api di dapur pun harus segera dinyalakan pula.

Padukuhan itu pun telah menjadi sibuk pula. Ki Warana telah membangunkan orang-orangnya dan menempatkan mereka sesuai dengan rencana. Sementara itu, orang-orang padukuhan pun telah dibangunkan pula tanpa isyarat sama sekali. Tidak sebuah pun kentingan yang dipukul untuk memberikan aba-aba.

Anak-anak muda yang menghadapi di banjar dan di rumah Ki Bekel telah bersiaga pula menghadapi segala kemungkinan, sehingga dengan demikian maka perempuan dan anak anak-anak mengungsi tidak merasa sangat ketakutan.

Mereka yang bertahan di padukuhan itu pun telah bersiaga sepenuhnya. Anak-anak yang membawa busur telah mempersiapkan anak panah sepenuh endong yang mereka bawa Yang lain telah mempersiapkan lembing bambu yang mereka buat sendiri dengan ujung besi yang runcing.

Ketika langit menjadi merah menjelang fajar, maka Ki Pandi yang mengawasi padepokan itu melihat pintu gerbang padepokan telah terbuka. Perlahan-lahan sepasukan pengikut Panembahan Lebdagati telah berderap keluar lewat pintu gerbang padepokan.

Ki Pandi pun kemudian telah bergerak perlahan-lahan. Ia harus mendapat kepastian bahwa pasukan itu memang bergerak menuju ke padukuhan. Dalam kegelapan dilandasi dengan ilmunya yang tinggi Ki Pandi mengamati gerak pasukan itu, sehingga akhirnya ia yakin, bahwa pasukan itu memang menuju ke padukuhan. Karena itu, maka Ki Pandi pun segera bergerak dengan cepat mendahului gerak pasukan yang maju dengan lamban.

Dalam pada itu, langit pun menjadi semakin merah. Ketika fajar menyingsing, Ki Pandi sudah ada di padukuhan. Kepada Ki Ajar Pangukan dan orang-orang tua yang tinggal dirumahnya, kepada Ki Warana dan Ki Bekel, Ki Pandi memberikan penjelasan tentang gerakan yang telah dilihatnya.

“Kita harus berhati-hati. Panembahan Lebdagati ternyata telah membawa kekuatan yang besar. Agaknya ia tidak ingin menganggap kita terlalu kecil.”

Dengan demikian, maka orang-orang yang berada di padepokan itu telah meningkatkan persiapan mereka. Sebenarnyalah bahwa Panembahan Lebdagati telah membawa pasukannya menuju ke padukuhan yang telah berani melakukan persiapan untuk melawannya.

Beberapa saat kemudian, maka pasukan Panembahan Lebdagati itu telah menjadi semakin dekat. Beberapa puluh langkah dari dinding padepokan pasukan itu berhenti, sementara langit menjadi semakin merah.

Tiga orang, diantaranya adalah Panembahan Lebdagati sendiri telah melangkah mendekati regol padepokan. Dengan lantang Panembahan Lebdagati yang kemudian berdiri tegak menghadap ke regol padepokan itu pun berkata, “He, siapakah yang memimpin orang-orang di padepokan ini untuk menentang kuasaku?”

Yang melangkah kepintu regol yang kemudian dibuka adalah Ki Warana dan dua orang pengikutnya. “Aku, Warana.”

“Apakah kau salah seorang pengikut Kiai Banyu Bening?” bertanya Panembahan Lebdagati.

“Ya. Aku adalah salah seorang pengikut Kiai Banyu Bening. Aku dan sekelompok kawan-kawan berhasil lolos dari padepokan itu dan sempat menyusun kekuatan di padukuhan ini.”

“Apakah kau tidak ingat, bahwa Kiai Banyu Bening tidak mampu melawan aku? Apalagi kau dan pengikut-pengikutmu. Bahkan seandainya para penghuni padukuhan ini seluruhnya ikut membantumu, maka dalam waktu sekejap kalian akan kami tumpas habis. Karena itu, selagi belum terjadi, aku perintahkan kalian untuk menyerah. Seperti kawan-kawanmu yang menyerah di padepokan, mereka kami beri kesempatan untuk menunjukkan kesetiaannya jika mereka ingin hidup untuk waktu yang lebih panjang.”

“Panembahan Lebdagati.” sahut Ki Warana ”Kami sudah bertekad untuk menuntut balas kematian Kiai Banyu Bening. Karena itu, maka serahkan orang yang bertanggung jawab atas kematian Kiai Banyu Bening, agar tidak semua orangmu akan menjadi korban. Jika orang itu kau sendiri Panembahan, maka kau harus dengan ikhlas menanggung beban tanggung jawab itu.”

“Setan kau!” geram Panembahan Lebdagati ”Kau kira kau siapa dan berbicara dengan siapa., he?”

“Namaku Warana. Aku salah seorang kepercayaan Kiai Banyu Bening. Ketika kau membunuh Kiai Banyu Bening, aku tidak menungguinya. Karena itu, ketika aku mendengar kabar kematiannya, aku bawa orang-orangku menyingkir, karena aku yakin bahwa kau akan memburu kami seperti sekarang ini. Nah, dalam kesempatan inilah, maka kau akan menerima beban pertanggungan.jawabmu itu.”

“Warana, bagaimana mungkin kau dapat mengalahkan aku, jika Banyu Bening itu saja tidak mampu melakukannya. Apakah kau memiliki ilmu melampaui tataran ilmu Kiai banyu Bening?”

“Itu bukan soal, Panembahan. Tetapi kau telah melanggar hak orang lain. Karena itu, kau harus dihukum.”

Lembu Palang ternyata tidak telaten mendengar percakapan itu. Karena itu, maka ia pun melangkah menyusul Panembahan Lebdagati. Sambil bertolak pinggang Lembu Palang itu berteriak ”Kalian menyerah atau tidak?”

Ki Warana termangu-mangu sejenak. Sementara itu, Ki Lemah Teles yang berdiri dibelakang selapis pengikut Ki Warana sehingga tidak begitu jelas nampak dari tempat Lembu Palang berdiri, telah berdesis, ”Bukankah itu Lembu edan itu?”

Ki Sambi Pitu yang berdiri disebelahnya dan melihat Lembu Palang dari sela-sela kepala orang yang berdiri didepannya tertawa pendek. Katanya, ”Nah, kau akan bertemu dengan sahabatmu itu.”

“Menyenangkan sekali. Sudah lama aku rindukan orang itu. Sekarang aku dapat menemuinya disini.”

“Tetapi berhati-hatilah. Umurmu sudah menjadi semakin tua.” pesan Ki Sambi Pitu.

“Iblis kau. Kau kira umur Kebo edan itu tidak bertambah tua pula?”

Ki Sambi Pitu tertawa. Katanya, ”Bagus. Ternyata seumurmu masih juga akan mendapat lawan yang seumur. Bukankah selama ini kau mengembara mencari musuh, agar kau tetap yakin bahwa ilmumu masih berada, dalam tataran tertinggi.”

”Jangan mengigau lagi, ilmuku memang masih yang terbaik sekarang ini" jawab Ki Lemah Teles.

Tetapi Lembu Palang sendiri tidak mengira bahwa diantara beberapa buah kepala yang berderet di belakang Ki Warana itu terdapat kepala Ki Lemah Teles dan Ki Sambi Pitu selain beberapa orang berilmu tingi yang lain. Apalagi orang bongkok yang sengaja tidak menampakkan dirinya.

Dalam pada itu, Ki Warana pun berteriak pula, ”Tidak akan ada penyerahan. Kami sudah bertekad untuk melawan. Bahkan membalas dendam atas kematian Kiai Banyu Bening. Panembahan Lembdagati. Jika kau ingin para pengikutmu selamat, maka berlututlah dihadapanku.”

Jantung Panembahan Lebdagati bagaikan dihentak dari tangkainya. Penghinaan itu tidak dapat dimanfaatkan. Karena itu, maka ia pun berkata ”Bagus. Kau akan menyesal bahwa kau sudah menghina Panembahan Lebdagati. Orang yang berani menyebut namanya tanpa arti, sudah pantas untuk dihukum mati. Apalagi orang yang telah berani menghinanya.”

“Apakah ada hukuman yang lebih berat dari hukuman mati?” bertanya Ki Warana.

“Jangan bertanya kepadaku. Ingat, apa yang pernah dilakukan oleh Kiai Banyu Bening. Ia sering melakukannya. Menjatuhkan hukuman yang lebih berat dari hukuman mati.”

“Tetapi kau tidak akan pernah dapat melakukannya atasku. Di bawah lidahku tersimpan serbuk racun yang dibalut dengan selaput lemak yang tipis. Jika aku harus jatuh ketanganmu, maka racun itu akan tertelan. Dan kau tidak akan dapat menghukumku.”

“Pengecut yang licik. Jika kau ingin membunuh diri, kenapa kau ajak pengikut-pengikutmu sebanyak itu?”

“Mereka adalah pengikut-pengikut setia Kiai Banyu Bening.”

“Panembahan...!” potong Lembu Palang ”Apakah kita hanya akan berbicara saja panjang lebar?"

“Aku sudah siap.” sahut Panembahan itu.

“Jika demikian, berikan aba-aba. Tanganku sudah gatal. Aku ingin menebas batang ilalang di padukuhan itu dengan pedangku."

Panembahan Lebdagati mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya ”Aku akan kembali ke dalam pasukanku. Aku ingin bergerak bersama-sama dengan mereka. Nampaknya orang-orang di padukuhan itu telah siap menunggu kita.”

Lembu Palang tertawa. Katanya, ”Orang-orang yang putus asa. Mereka sudah menyiapkan racun untuk membunuh diri mereka sendiri, sehingga kita tidak perlu melakukannya. Tetapi aku ingin membunuh mereka sebelum mereka sempat membunuh diri dengan racun dimulutnya itu.”

“Jika kau sempat, jangan beri kesempatan mereka membunuh diri. Aku ingin menghukum mereka lebih berat dari hukuman mati.”

Lembu Palang itu tertawa. Katanya ”Apakah kau masih seperti beberapa tahun lalu?”

“Aku tidak berubah. Celakalah orang yang berani melawan aku dan kemudian jatuh ke tanganku hidup-hidup.”

Lembu Palang tertawa. Katanya ”Apalagi yang kau tunggu?”

Panembahan Lebdagati pun kemudian melangkah menjauhi regol dan kembali kepada para pengikutnya, diikuti oleh pengawalnya dan dipaling belakang berjalan Lembu Palang dengan kepala tengadah.
Ketika Lembu Palang itu berpaling, maka orang-orang yang berada di padukuhan telah menutup pintu regol dan menyelaraknya rapat-rapat. Sementara itu, para pengikut Ki Warana serta orang-orang padukuhan itu telah menebar. Mereka bersiap dibelakang dinding padukuhan yang tidak setinggi dinding padepokan.

Dalam pada itu, Ki Ajar Pangukan dan orang-orang tua yang tinggal bersamanya telah menempatkan diri pula. Ki Lemah Teles telah berkata kepada Ki Ajar Pangukan, bahwa ia sudah siap untuk menghadapi Lembu Palang.

“Nampaknya kau menyimpan dendam kepadanya?”

“Bukan dendam.” jawab Ki Lemah Teles ”Aku hanya ingin membuat perhitungan. Ia telah membunuh salah seorang sepupuku. Sepupuku telah dirampoknya dalam perjalanan di malam hari. Sepupuku memang bukan seorang yang berilmu setataran dengan Kebo edan itu. Dua orang kawan seperjalanannya juga dibunuh oleh kawan-kawan Lembu Palang itu. Tetapi seorang lagi yang diduga telah mati, ternyata masih hidup. Orang itulah yang mengatakan kepadaku, siapakah yang telah membunuh sepupuku itu.”

“Kau tidak mencarinya waktu itu?” bertanya Ki Ajar Pangukan.

”Aku masih terikat dalam sebuah keluarga sehingga aku masih segan untuk mengembara mencarinya. Tetapi tiba-tiba saja sekarang aku dapat bertemu Lembu Palang itu.”

“Seandainya kau bertemu tidak dalam keadaan seperti ini, apakah kau juga akan menantangnya berperang tanding?” bertanya Ki Ajar.

“Aku akan menantangnya.” geram Ki Lemah Teles.

Ki Ajar tertawa. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Demikianlah, maka orang-orang tua itu pun segera menempatkan dirinya. Tetapi mereka tidak berada terlalu jauh dari regol padukuhan. Mereka menduga, bahwa para pemimpin dari padukuhan yang telah di rampas oleh Panembahan Lebdagati itu pun akan berusaha memasuki padukuhan lewat regol yang akan dibuka dengan paksa.

Meski pun demikian, orang-orang padukuhan serta para pengikut Ki Warana telah mendapat pesan, jika perlu mereka harus segera memberikan isyarat dengan kentomgan atau dengan penghubung.

“Jika kalian mengalami kesulitan dengan seseorang yang berilmu tinggi, maka kalian harus segera memukul tengara,” pesan Ki Warana kepada orang-orangnya, sebagaimana Ki Bekel juga berpesan kepada orang-orang padukuhan itu.

Sementara itu, di banjar dan dirumah Ki Bekel pun ditempatkan pula orang-orang yang harus melindungi perempuan dan anak-anak. Bahkan para remaja pun telah minta untuk dipersenjatai pula. Jika perlu mereka akan ikut terjun dalam pertempuran.

Dalam pada itu, Panembahan Lebdagati telah memerintahkan orang-orangnya yang cukup banyak untuk bergerak. Seperti yang dipesankan mewanti-wanti, agar para pengikutnya tidak memandang rendah lawan mereka.

“Seperti yang pernah terjadi, mereka tentu akan menahan gerak maju kita dengan panah dan lembing. Tetapi kita tahu, bagaimana kita menghindar, menangkis atau menahannya dengan perisai.” berkata Panembahan Lebdagati.

Para pengikutnya yang telah ikut menyerang padepokan dan merebutnya dari Kiai Banyu Bening telah berpengalaman menghadapi gaya bertahan para pengikut Kiai Banyu Bening itu. Demikianlah, maka Panembahan Lebdagati pun telah memerintahkan orang-orangnya untuk menyerang.

Sementara itu langit nampak cerah. Cahaya matahari sudah mulai tersangkut di ujung pepohonan yang tinggi. Ketika orang-orang padukuhan dan para pengikut Ki Warana kemudian melihat pasukan Panembahan Lebdagati yang datang seperti gelombang di bibir lautan, maka jantung mereka memang menjadi berdebar-debar.

“Jumlah mereka masih cukup banyak.” desis seorang pengikut Ki Warana.

“Tetapi korban mereka juga cukup banyak ketika pertempuran di padepokan itu selesai.”

Kawannya terdiam. Namun ia masih mempunyai keyakinan diri untuk mampu bertahan atas serangan Panembahan Lebdagati.

Orang-orang padukuhan itu pun menjadi gelisah. Mereka bukan orang-orang yang terbiasa mengalami kekerasan. Tetapi mereka tidak mempunyai pilihan. Anak-anak muda itu tentu tidak akan membiarkan padukuhan mereka dihancurkan oleh Penambahan Lebdagati bersama para pengikutnya. Karena itu, maka mereka pun telah bertekad untuk mempertahankan kampung halaman.

Demikianlah, seruan yang mengguntur telah diteriakkan oleh Ki Warana disambut oleh para pengikutnya untuk mulai menghambat gerak maju gerakan Panembahan Lebdagati. Dengan demikian, maka sejenak kemudian, anak panah pun telah meloncat dari busurnya. Susul menyusul seperti air hujan yang dicurahkan dari langit.

Para pengikut Panembahan Lebdagati sudah memperhitungkan bahwa mereka akan menghadapi serangan seperti itu. Karena itu, maka mereka pun telah bersiap-siap untuk mengatasinya.

Namun bagaimana pun juga mereka mempersiapkan diri untuk menyusup diantara semburan anak panah, namun ada juga diantara mereka yang tidak berhasil. Ada diantara para pengikut Panembahan Lebdagati itu yang terhenti ditempatnya, karena anak panah yang terhunjam di dadanya.

Tetapi ada pula yang merintih kesakitan karena anak panah itu menyambar bahunya. Dengan luka-lukanya orang itu harus merangkak menjauhi dinding padukuhan, agar anak panah berikutnya tidak melukainya lebih parah lagi.

Yang menggelisahkan para pengikut Panembahan Lebdagati itu adalah serangan anak panah yang tidak tepat mengenai sasaran telah menghentikan beberapa orang yang berlari-lari menggapai dinding padukuhan.

Ternyata bahwa orang-orang yang tinggal dirumah Ki Ajar Pangukan telah menggenggam busur pula. Mereka tidak sekedar melepaskan anak panah tanpa membidik lebih dahulu. Tetapi anak panah yang terlepas dari busur mereka, mampu menembus dinding dada sasarannya dan menyentuh jantung .

Tetapi arus serangan itu mengalir demikian derasnya. Meski pun jumlahnya sudah menyusut sebelum mereka mencapai dinding padukuhan, tetapi jumlah mereka masih cukup banyak untuk mengguncang ketahanan hati para pengikut Ki Warana dan para penghuni padukuhan itu.

Tetapi para pengikut Ki Warana dan orang-orang padukuhan itu pun benar-benar sudah siap. Meski pun jumlah para pengikut Panembahan Lebdagati cukup banyak, tetapi para pengikut Ki Warana dan orang-orang padukuhan itu yang terdiri dari bukan saja anak-anak muda, tetapi hampir semua orang laki-laki yang masih mampu mengangkat senjata, ternyata masih lebih banyak lagi.

Dalam pada itu, orang-orang padukuhan itu selalu mengingat pesan, agar mereka tidak bertempur seorang-seorang. Mereka harus berusaha untuk bertempur dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari tiga atau empat orang untuk menghadapi lawan. Karena itu, sejak mereka bersiap dibelakang dinding padukuhan mereka sudah mengikat diri dalam kelompok-kelompok itu. Mereka telah memilih kawan mereka masing-masing.

Dalam pada itu, maka para pengikut Panembahan Lebdagati yang langsung menyerang kearah regol padukuhan yang tertutup rapat itu pun telah berusaha memecah pintu. Pintu yang diselarak itu, memang tidak sekokoh pintu gerbang padepokan.

Karena itu, didorong oleh beberapa orang dari luar, maka perlahan-lahan dinding itu menjadi retak. Akhirnya pecah dan terbuka. Bersamaan dengan itu, maka disebelah-menyebelah, para pengikut Panembahan Lebdagati itu pun telah berusaha meloncati dinding padukuhan.

Orang-orang yang bertahan dibelakang dinding telah bersiap untuk menerima mereka dengan ujung-ujung senjata. Sehingga beberapa orang diantara mereka demikian turun dari atas dinding, langsung roboh jatuh ditanah sambil mengerang kesakitan. Bahkan ada diantara mereka yang untuk seterusnya tidak akan pernah bangkit lagi.

Namun akhirnya orang-orang yang menyerang padukuhan itu telah berhasil menginjakkan kakinya didalam dinding, sehingga dengan demikian, maka pertempuran pun segera terjadi dengan sengitnya.

Para pengikut Panembahan Lebdagati adalah orang-orang yang telah berpengalaman. Namun mereka menjadi heran melihat lawan mereka menyambut kedatangan mereka dengan girangnya. Dendam yang tersimpan didada para pengikut Ki Warana, serta tekad untuk mempertahankan kampung halaman yang membakar jantung para penghuni padukuhan itu, telah mendorong mereka untuk bertempur tanpa mengenal takut.

Dalam pada itu, demikian pintu regol padukuhan itu pecah, maka Panembahan Lebdagati dan para pengawalnya yang terpilih telah memasuki padukuhan. Kemarahan Panembahan Lebdagati kepada Ki Warana yang telah menghinanya telah mendorongnya untuk segera menemukan orang itu. Namun Panembahan Lebdagati itu sudah berpesan, agar Ki Warana dapat ditangkap hidup-hidup.

“Siapa pun diantara kalian yang menemukan orang itu, aku ingin ia tertangkap hidup-hidup. Aku masih mempunyai persoalan yang harus aku selesaikan dengan orang itu dalam keadaan hidup.

Lembu Palang yang mendengar pesan itu tertawa. Katanya ”Kau akan mendapatkan permainan yang menyenangkn.”

“Ia telah merendahkan namaku.” geram Panembahan Lebdagati.

“Aku akan ikut mencari kecoak yang satu itu” berkata Lembu Palang.

Namun Lembu Palang itu terkejut ketika ia mendengar seseorang menyahut, ”Apakah kau tidak mencari aku Kebo edan?”

Lembu Palang berpaling. Tiba-tiba saja terasa jantungnya bagaikan berhenti berdetak. Diantara mereka yang sedang bertempur itu, seseorang melangkah kearahnya.

Orang itu berhenti beberapa langkah sambil bertolak pinggang ”Kau ingat kepadaku?”

“Iblis kau. Kenapa kau ada disini?” geram Lembu Palang.

“Aku memang menunggumu. Aku tahu beberapa hari yang lalu kau datang ke padukuhan yang telah direbut oleh Panembahan Lebdagati itu. Karena itu, aku sudah menduga bahwa kau akan ikut datang kemari memburu sisa-sisa para pengikut Kiai Banyu Bening. Nah, ternyata dugaanku benar.”

Wajah Lembu Palang ini menjadi panas. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa ia akan bertemu dengan Ki Lemah Teles di tempat itu. Sementara itu Panembahan Lebdagati sempat berkata, ”Nah, kau telah menemukan permainanmu sendiri, Lembu Palang. Biarlah aku mencari orang gila itu.”

Lembu Palang tidak menyahut. Tetapi ia tidak dapat lagi menganggap bahwa mereka sekedar sedang memburu kecoak di padukuhan itu. Ternyata diantara kecoak-kecoak itu terdapat seekor singa yang garang. Karena itu, maka mimpinya untuk menebus ilalang tiba-tiba saja telah hanyut oleh kegelisahannya menghadapi orang yang berilmu tinggi itu.

Meski pun Lembu Palang sendiri juga berilmu tinggi, tetapi bahwa tiba-tiba saja ia harus berhadapan dengan Ki Lemah Teles telah mengguncang jantungnya. Tetapi Lembu Palang tidak dapat menghindar. Ia harus menghadapinya.

“Sudah lama aku menunggu untuk dapat berhadapan dengan seorang yang telah membunuh saudara sepupuku.”

“Salahnya sendiri...” geram Lembu Palang ”Ia mati karena kesombongannya. Tetapi juga karena kelemahannya. Ia tidak mampu mengimbangi ilmuku, meski pun ia menantangku.”

“Jangan mengigau. Kau tidak sedang berperang tanding melawan sepupuku. Tetapi kau merampoknya. Kau samun sepupuku itu ketika ia sedang dalam perjalanan malam. Benar-benar satu perbuatan keji yang tidak dapat dimaafkan. Kau dan sepupuku telah saling berkenalan sebelumnya. Tentu saja sepupuku tidak mengira bahwa kau sampai hati melakukannya. Bahkan untuk menghilangkan jejak, kau bunuh sepupuku. Tetapi kejahatan yang kau lakukan tidak dapat kau sembunyikan, justru karena salah seorang kawan sepupuku yang telah disangka mati, masih dapat hidup dan berceritera apa yang telah terjadi.”

“Persetan semuanya itu..” geram Lembu Palang ”sekarang kita berada di medan pertempuran.”

Ki Lemah Teles tertawa. Katanya ”Kesempatan ini tidak akan aku sia-siakan. Kita akan menyelesaikan persoalan kita sampai tuntas. Pertempuran yang terjadi di sekitar kita hendaknya tidak mengganggu perhitungan yang sedang kita buat.”

Lembu Palang itu termangu-mangu sejenak. Tetapi ketika ia memandang disekitarnya, ia menjadi heran. Salah seorang pengawalnya tengah bertempur melawan seorang anak muda yang ternyata mampu mengimbangi ilmunya.

“Kau heran?” bertanya Ki Lemah Teles ”Anak itu bernama Manggada. Anak muda yang memiliki ilmu yang tinggi. Lawannya itu akan segera disapunya dari medan. Jangan heran jika kau melihat anak muda yang lain lagi. Laksana yang memiliki ilmu setataran dengan anak muda yang kau perhatikan itu.”

“Gila. Apa saja isi padukuhan ini? Apakah kalian sengaja menjebak Panembahan Lebdagati?” geram Lembu Palang.

“Kenapa kami harus menjebaknya? Kita memasuki medan yang terbuka. Bukan satu jebakan.”

Lembu Palang itu menggeram. Katanya, ”Jika demikian, maka aku harus dengan cepat menyelesaikanmu, agar aku dapat segera menangani orang-orang yang lain yang nampaknya telah bersembunyi di padukuhan ini pula.”

Tetapi Ki Lemah Teles tertawa. Katanya, ”Jangan menipu diri sendiri. Kau mengenal aku. Kebo edan. Bagaimana mungkin kau berkata begitu? Seandainya ilmumu lebih tinggi dari ilmuku, maka kau tahu bahwa kau tidak akan dapat menyelesaikan aku dengan cepat.”

“Cukup!” bentak Lembu Palang ”Bersiaplah untuk mati.”

“Kau tidak akan membentak-bentak untuk melapisi kecemasanmu sendiri, marilah, aku sudah merindukan kesempatan seperti ini.”

Lembu Palang tidak menyadari lagi. Pertemuannya yang tiba-tiba dengan Ki Lemah Teles memang membuatnya berdebar-debar. Tetapi Lembu Palang masih berdiri pada kemungkinan yang sama antara kalah dan menang. Karena itu, maka ia pun segera bersiap untuk bertempur, apa pun yang terjadi.

Dalam pada itu, pertempuran pun telah berkobar di padukuhan itu. Orang-orang yang telah berhasil memasuki padukuhan itu harus mengalami perlawanan yang keras dari para pengikut Ki Warana dan para penghuni padukuhan itu.

Namun bukan mereka saja yang berusaha menahan arus serangan para pengikut Panembahan Lebdagati. Ada kekuatan yang tidak terduga sebelumnya. Ternyata diantara mereka yang bertahan itu terdapat orang-orang yang berilmu tinggi. Dibelakang pintu gerbang ada dua orang anak muda yang dengan kemampuannya yang tinggi, telah menghadapi orang-orang yang datang bersama Lembu Palang.

Mereka bukan sekedar pengawal, tetapi mereka adalah orang-orang yang juga berkemampuan tinggi. Bahkan untuk beberapa lama mereka masih tetap bertempur dengan garangnya melawan orang-orang yang menjadi kebanggaan Lembu Palang itu.

Sementara itu, pertempuran memang telah menjalar sepanjang jalan induk, bahkan di halaman-halaman rumah di sekitarnya. Para pengikut Ki Warana yang telah mengenali medan dengan baik, sebagaimana mereka lakukan di padepokan, telah mencoba memanfaatkan medan pula.

Namun para pengikut Panembahan Lebdagati pun menjadi sangat berhati-hati. Mereka harus memperhatikan dinding-dinding halaman. Sudut-sudut rumah, dapur dan bahkan lumbung dan kandang, mereka harus memperhatikan pintu seketeng dan longkangan dirumah-rumah yang bertebar.

Dalam pada itu, Panembahan Lebdagati yang sedang mencari Ki Warana itu telah memasuki padukuhan semakin dalam. Setiap kali ia mengibaskan tangannya, maka orang-orang disekitarnya pun telah terlempar. Satu dua orang mengalami luka-luka dan harus segera beringsut menjauh.

“Warana, he, dimana kau Warana? Kau yang telah berani menghina harus berani bertanggung jawab. Jika tidak, maka orang-orangmu akan aku bantai habis. Kau tidak akan dapat melarikan diri lagi dari tanganku.”

Tiba-tiba saja orang yang bernama Ki Warana itu telah muncul dari balik dinding halaman di pinggir jalan itu. Dengan lantang ia pun menjawab, ”Aku disini, Panembahan.”

Panembahan Lebdagati yang marah itu telah berpaling kearah suara itu. Tetapi Ki Warana itu segera menghilang lagi di balik dinding, sehingga Panembahan Lebdagati itu berteriak, ”Pengecut. Jangan lari. Kau tidak akan lepas dari tanganku.”
Panembahan Lebdagati itupun kemudian bagaikan terbang meloncati dinding halaman itu. Ia yakin bahwa ia akan dapat memburu Warana yang telah menghilang dibalik dinding itu. Tetapi Panembahan Lebdagati itu terkejut sekali ketika demikian ia berdiri tegak dibalik dinding, dilihatnya seorang laki-laki duduk dibawah sebatang pohon kemiri yang besar. Orang itu seakan-akan sama sekali tidak menghiraukan kehadirannya. Ia masih asyik mengamati seruling ditangannya.

“Kau bongkok?” geram Panembahan Lebdagati.

Ki Pandi berpaling. Dipandanginya Panembahan Lebdagati itu dengan tajamnya. Perlahan-lahan Ki Pandi itu pun berdiri sambil berdesis, ”Kita bertemu lagi Panembahan.”

“Kau licik sekali. Agaknya kau peralat Ki Warana untuk memancing aku datang menemuimu.”

“Aku memang menunggumu, Panembahan. Tetapi hal ini tidak terjadi jika kau tidak merebut padepokan Kiai Banyu Bening."

“Aku mengambil hakku!” jawab Panembahan Lebdagati.

“Hak apa? Apakah kau mempunyai hak atas padepokan itu?”

“Tentu. Kau tahu bahwa aku pernah berada ditempat ini. Aku telah terusir dari padepokanku sehingga aku harus mengembara. Tetapi tiba-tiba saja aku mendengar bahwa ada orang lain yang telah membangun padepokan di tempat ini.”

“Panembahan. Sebenarnya aku dan beberapa orang kawanku berada disini untuk menghancurkan padepokan Kiai Banyu Bening yang telah menyebarkan kepercayaan yang sesat, bertolak dari perasaan dendamnya, karena anak bayinya yang terbunuh didalam api. Ia pun kemudian telah bertekad, untuk membakar bayi sebanyak-banyaknya, karena ia mendapat kepuasan jika ia mendengar bayi yang menangis menjerit-jerit di telan nyala api.”

Ki Pandi berhenti sejenak. Lalu katanya, ”Menurut penilaianku, dendam yang menyala dihati Kiai Banyu Bening itu harus dihentikan, karena dendam itu tidak kalah berbahayanya dengan kepercayaan sesatmu. Karena kau menginginkan sebilah keris yang mempunyai kekuatan tidak terbatas, sehingga kau akan menjadi orang yang tidak terkalahkan diseluruh permukaan bumi ini. Karena itu, padepokan Kiai Banyu Bening harus dihancurkan. Tetapi ternyata kemudian kau telah datang. Karena itu, maka aku telah menunggu. Tanpa menitikkan keringat kami telah berhasil menghancurkan padepokan Kiai banyu Bening. Dan sekarang tugas kami adalah menghancurkan padepokan yang telah bersalin tangan itu. Meski pun demikian aku ingin mengucapkan terima kasih kepadamu, bahwa kau telah membantu aku membunuh gerakan yang ditumbuhkan oleh Kiai Banyu Bening dan bersumber pada dendam yang membara itu.”

“Baiklah Bongkok. Sekarang sudah saatnya aku membunuhmu, agar kau untuk selanjutnya tidak selalu menggangguku.”

“Kau kira kau dapat membunuhku dengan mudah?” Ki Pandi justru bertanya.

“Kita akan melihat apa yang terjadi disini...” berkata Panembahan Lebdagati ”Penghuni padukuhan ini akan ditumpas habis. Orang-orang yang berhasil melarikan diri dari padepokan dan agaknya telah berada disini pula, akan dibantai sampai orang yang terakhir. Bongkok buruk, jika hal itu terjadi, maka kau lah yang bertanggung jawab, karena agaknya kau telah menggerakkan mereka untuk melakukan perbuatan bodoh itu.”

“Tidak Panembahan!” jawab Ki Pandi ”Yang akan dibantai bukan penghuni padukuhan ini. Bukan pula orang-orang yang lolos dari padepokan itu. Tetapi justru orang-orangmu. Aku disini tidak sendiri. Ada beberapa orang tua yang datang bersamaku.”

Wajah Panembahan Lebdagati menjadi tegang. Ia telah melihat seorang diantaranya telah menempatkan diri berhadapan dengan Lembu Palang. Meski pun Panembahan Lebdagati percaya akan kemampuan Lembu Palang, tetapi orang yang menemuinya itu tentu juga bukan orang kebanyakan.

“Panembahan!” desis Ki Pandi ”Kau nanti juga akan dapat bertemu dengan Ki Ajar Pangukan jika kau kehendaki.”

“Bawa iblis itu kemari. Aku akan menghancurkannya sama sekali.”

“Jangan membohongi dirimu sendiri. Kau tidak mampu mengalahkannya. Kekuatanmu menundukkan kehendak orang lain, ternyata tidak mampu mempengaruhinya.”

“Tetapi aku akan membunuhnya jika aku berhasil menemuinya nanti sesudah aku membunuhmu.”

“Marilah, kita akan melihat, siapakah yang lebih kuat diantara kita. Kau atau aku. Kita dibesarkan diperguruan yang sama Panembahan. Kita mendapat landasan ilmu yang sama. Tetapi perkembangan ilmu kita berlainan. Jalan hidup kita pun berselisih. Aku mencoba untuk tetap mengemban kewajiban dari perguruanku, sementara itu kau telah tersesat semakin jauh.”

“Kau tidak usah menggurui aku. Minggirlah, jika kau masih ingin menghirup hangatnya sinar matahari.”

Orang bongkok itu tertawa. Katanya ”Kita sudah berhadapan sekarang. Beruntunglah kita mendapat tempat yang lapang dan tidak banyak terganggu di sini.”

Panembahan Lebdagati menggeram. Tetapi ia harus menghadapi orang bongkok itu. Dalam pada itu, maka para pengikut Panembahan Lebdagati ingin dengan cepat menyelesaikan lawan mereka yang disebut oleh Lembu Palang tidak lebih dari kecoak-kecoak yang mengotori geledeg tempat makanan.

Karena itu, maka mereka pun telah mengerahkan kemampuan mereka. Sebelum matahari sampai ke puncak, maka mereka berharap, orang-orang yang memberanikan diri melawan Panembahan Lebdagati itu sudah tertumpas habis.

Tetapi ternyata tidak semudah itu untuk melakukannya. Dalam pertempuran yang sengit, tiba-tiba saja sesosok bayangan telah menyambar-nyambar dengan garangnya. Sosok itu seakan-akan tidak dapat disentuh oleh ujung senjata, sehingga kehadirannya telah mengacaukan medan. Sekilas bayangan itu lewat dan hilang di balik dinding halaman. Namun beberapa orang pengikut Panembahan Lebdagati telah terluka.

Peristiwa itu telah membesarkan hati para pengikut Ki Warana dan orang-orang padukuhan itu. Mereka menjadi semakin berani. Apalagi jumlah lawan mereka pun telah susut pula.

Sementara itu Ki Jagaprana berdiri tegak sambil bertolak pinggang. Ia telah menunjukkan keperkasaannya. Meski pun umurnya sudah merambat melampaui pertengahan abad, namun ternyata bahwa ia masih seorang yang memiliki ilmu yang tinggi.

Ki Jagaprana menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja ia teringat kepada Ki Lemah Teles yang telah menantangnya untuk bertempur. Dan bahkan telah melukainya justru pada saat ia tidak mengira bahwa hal itu akan terjadi.

“Apakah ilmu Ki Lemah Teles memang lebih tinggi dari ilmuku?” bertanya Ki Jagaprana didalam hatinya. Namun tiba-tiba sepercik ingatan telah melonjak didalam hatinya ”Agaknya waktu itu Ki Lemah Teles sedang dihinggapi perasaan yang asing justru setelah ia merasa menjadi semakin tua. Ia merasa bahwa dirinya tidak berarti lagi, sehingga ia ingin menunjukkan, bahwa ia masih tetap Ki Lemah Teles sebagaimana Ki Lemah Teles sepuluh tahun sebelumnya."

Ki Jagaprana itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun segera menyadari, bahwa ia berada ditengah pertempuran. Sementara para pengikut Ki Warana dan orang-orang padukuhan itu tidak memiliki ilmu setinggi ilmu para pengikut Panembahan Lebdagati. Karena itu, maka Ki Jagaprana itu pun segera meloncat dan kembali ke arena pertempuran.

Tetapi ia tertegun sejenak melihat Ki Sambi Pitu yang berhadapan dengan empat orang yang bertempur sambil berputar-putar. Berganti-ganti keempat orang itu menyerang. Namun pada satu ketika keempatnya datang bersama-sama. Keempatnya menyambar-nyambar dari arah yang berbeda-beda. Senjata mereka mematuk dengan cepat, sementara mereka selalu bergerak dalam putaran yang sekali-sekali melebar, namun kemudian menyempit.

“Mereka menirukan elang yang bertempur di langit.” desis Ki Jagaprana.

Adalah diluar dugaan, bahwa Ki Jagaprana itu pun menengadahkan wajahnya kelangit. Ia memang melihat beberapa ekor burung elang berterbangan. Sejenak Ki Jagaprana termangu-mangu. Ternyata pengikut Panembahan Lebdagati ada juga yang harus diperhitungkan selain Lebdagati sendiri.

Sambil bertempur Ki Sambi Pitu yang melihat Ki Jagaprana termangu-mangu berteriak, ”He, apakah kau pernah berkenalan dengan kelompok Kukila Dahana?”

Ki Jagaprana mengerutkan dahinya. Ia pernah mendengar nama sekelompok orang berilmu tinggi yang menyebut nama kelompoknya dengan Kukila Dahana. Burung api yang sangat berbahaya. Sentuhan serangannya pada kulit lawannya, akan memberikan bekas seakan-akan kulit lawannya itu terjilat oleh api yang panasnya melampaui panasnya bara tempurung kelapa.

Karena itu, maka Ki jagaprana pun menyempatkan diri untuk melihat, apakah kemampuan mereka benar-benar tinggi sebagaimana ceritera yang pernah didengarnya.

Ternyata bahwa Ki Sambi Pitu seorang diri mampu mengimbangi mereka berempat. Meski pun Ki Sambi Pitu harus bertempur dengan puncak kemampuannya, namun keadaannya tidak terlalu membahayakan. Meski pun setiap kali Ki Sambi Pitu harus berloncatan mengambil jarak, namun Ki Jagaprana tidak akan mengganggunya, karena Ki Sambi Pitu akan dapat menjadi marah kepadanya. Kecuali jika Ki Sambi Pitu sendiri memanggilnya.

Ternyata Ki Sambi Pitu sama sekali tidak memberi isyarat kepadanya untuk melibatkan diri. Karena itu, beberapa saat, Ki Jagaprana hanya berdiri saja termangu-mangu. Namun sekali lagi ia pun teringat bahwa para pengikut Ki Warana dan orang-orang padukuhan itu harus bertempur dengan mengerahkan segenap tenaga, kekuatan dan kemampuan mereka.

Sementara itu orang-orang padukuhan itu sudah mulai menjadi letih. Mereka bukan orang-orang yang terlatih untuk bertempur. Sehingga ketahanan tubuh mereka tidak setinggi para pengikut Ki Warana dan apalagi para pengikut Panembahan Lebdagati. Karena itu, maka Ki Jagaprana pun segera kembali menceburkan diri dalam kancah pertempuran.

Dibagian lain, Manggada dan Laksana telah berganti lawan ketika lawan-lawan mereka merangkak menjauhi garangnya arena pertempuran. Baik Manggada mau pun Laksana telah berhasil melukai lawan-lawan mereka sehingga mereka harus berhenti bertempur.

Sedangkan di bagian lain lagi, Ki Ajar Pangukan membiarkan Ki Pandi menghadapi Panembahan Lebdagati. Ki Ajar sendiri harus bertempur melawan sekelompok orang diantara para pengikut Panembahan Lebdagati. Namun ternyata Ki Ajar Pangukan telah terlalu banyak menghisap lawan. Setiap kali seorang telah terlempar dari arena pertempuran.

Dalam pada itu, Ki Lemah Teles masih bertempur mengadu ilmu dengan Lembu Palang. Keduanya adalah orang yang berilmu tinggi. Keduanya memiliki kelebihan dan kelemahannya masing-masing.

Kegarangan Kebo Palang kadang-kadang mampu mendesak Ki Lemah Teles. Namun pada kesempatan lain, Ki Lemah Teles berhasil menyentuh lawannya dengan serangan-serangannya.

Kemarahan Lembu Palang pun menjadi semakin menjadi-jadi. Dikerahkannya semua kemampuan dan ilmunya untuk melawan orang yang menyebut dirinya Ki Lemah Teles itu.

Benturan-benturan pun telah terjadi. Ternyata bahwa Lembu Palang telah merambah kedalam ilmu puncaknya. Ki Lemah Teles mulai merasakan hembusan-hembusan ilmu yang sangat tajam menyentuhnya. Seperti sentuhan angin yang sekali-sekali menerpa wajahnya, maka Ki Lemah Teles merasakan sesuatu masuk kedalam lubang hidungnya. Tidak berbau sama sekali.

Namun ketajaman panggraita Ki Lemah Teles telah menangkap sentuhan ilmu Lembu Palang menyusup melalui indera penciumannya. Dengan cepat Ki Lemah Teles telah mengatur indera penciumannya yang menjadi pintu bagi kekuatan ilmu lawannya.

Seandainya Ki Lemah Teles tidak menyadarinya, maka ia akan menjadi semakin lama semakin lemah dan bahkan kehilangan tenaganya sama sekali. Untuk melawan Lembu Palang, maka Ki Lemah Teles telah melepaskan ilmunya pula.

Asap yang tipis tiba-tiba saja telah mengepul dari celah-celah jari tangan Ki Lemah Teles yang terjulur lurus menggapai kearah kepala Lembu Palang. Tangan Ki Lemah Teles memang tidak menyentuh kepala Lembu Palang, tetapi asap yang tipis itu berhembus ke wajahnya.

Tiba-tiba saja Lembu Palang itu meloncat mengambil jarak. Matanya menjadi sangat panas. Ternyata asap yang tipis itu mengandung semacam racun yang menyakiti mata Lembu Palang. Tetapi Lembu Palang bukan orang kebanyakan. Ia pun segera mengembus asap tipis itu sehingga hanyut menebar diudara.

Namun bukan berarti bahwa keduanya sudah tidak bertempur lagi. Keduanya masih saja berloncatan sambar menyambar. Bukan saja dengan kemampuan lewat ujud kewadagan, tetapi mereka telah saling membenturkan ilmu mereka yang tinggi.

Lembu Palang yang tidak mengira akan bertemu dengan Ki Lemah Teles di padukuhan itu, benar-benar berusaha untuk segera mengakhirinya, tetapi Ki Lemah Teles juga bukan orang kebanyakan. Bahkan setelah saling membenturkan ilmu mereka, Lembu Palang justru menjadi semakin terdesak.

Ada sepercik penyesalan, bahwa ia telah ikut pergi ke padukuhan itu. Menurut perhitungannya, ia akan dapat menghibur diri dengan berburu kecoak. Tetapi ternyata bahwa ia telah bertemu seorang raksasa dalam ilmu kanuragan.

Lembu Palang memang tidak dapat mengharapkan bantuan dari siapapun. Orang-orangnya yang ikut pula bersamanya pergi ke padukuhan itu tidak mampu pula untuk melindungi dirinya. Di hadapan anak-anak yang masih terlalu muda, mereka tidak berdaya untuk bertahan.

Karena itu, maka Lembu Palang pun telah mengerahkan ilmunya sampai pada ilmu pamungkasnya. Tetapi Ki Lemah Teles yang juga berilmu tinggi, tidak membiarkan dirinya digilas oleh kemampuan lawannya. Untuk beberapa lama Ki Lemah Teles sedang diganggu oleh kesadarannya bahwa ia menjadi semakin tua. Hidupnya menjadi semakin sepi dan ia merasa tidak berarti lagi.

Tetapi di pertempuran itu, ia telah bertemu dengan seseorang yang telah pernah menyakiti hatinya. Karena itu, maka Ki Lemah Teles itu pun merasa bahwa ia telah mendapat kesempatan bahwa ia bukan orang yang terbuang.

“Jika aku gagal, maka aku benar-benar orang yang tidak berarti lagi.” berkata Ki Lemah Teles didalam hatinya. Karena itu, maka Ki Lemah Teles pun telah meningkatkan ilmunya sampai ke puncak pula.

Dengan demikian, maka kemampuan dua jenis ilmu dalam puncak kemampuannya telah saling berbenturan. Lembu Palang yang marah, kecewa dan menyesal itu harus membenturkan ilmunya melawan Ki Lemah Teles yang mendendam serta sedang berusaha untuk menegakkan kepercayaan diri, bahwa pada umurnya yang semakin tua, ia masih tetap seorang yang berilmu tinggi dan yang masih mempunyai arti dalam lingkungan orang-orang yang berkemampuan tinggi.

Ketika keduanya sampai pada batas kemampuan mereka, maka benturan ilmu yang dahsyat tidak dapat dihindarkan. Ketika Lembu Palang meloncat menyerang dengan ayunan tangan yang memuat ilmu pamungkasnya, maka Ki Lemah Teles dengan cepat menanggapinya. Ayunan tangan Lembu Palang yang mengarah ke kepala Ki Lemah Teles telah membentur kekuatan ilmu tertinggi lawannya. Ki Lemah Teles telah mengayunkan tangannya pula.

Dengan demikian, maka benturan kedua ilmu tertinggi dari dua orang yang memiliki kekuatan, kemampuan dan ilmu yang sangat tinggi itu telah mengguncangkan medan. Getaran dari benturan itu seakan-akan telah mengetuk setiap dada dari pihak yang manapun.

Dengan demikian, maka pertempuran itu seakan-akan telah terhenti. Setiap orang yang terlalu jauh dari kedua orang yang telah membenturkan dua ilmu puncak itu telah berpaling sehingga pertempuran pun seakan-akan telah terhenti sesaat....
Selanjutnya,
Matahari Senja Bagian 14

Matahari Senja Bagian 13

Arya Manggada - Matahari Senja Bagian 13
Karya : Singgih Hadi Mintardja

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
PANEMBAHAN Lebdagati mengangguk-angguk sambil tersenyum. Dengan nada datar ia berkata,”Terima kasih. Dengan demikian maka tugas kami akan semakin cepat selesai.”

“Aku tahu bahwa kau tidak memerlukan kami.“ berkata Lembu Palang. ”Orang-orangmu akan dengan cepat dapat membersihkan sisa-sisa pengikut Kiai Banyu Bening itu. Jika aku ikut bersamamu sama sekali bukan untuk membantumu. Tetapi sekedar ingin melepaskan kejenuhan. Kami akan sedikit terhibur dengan pekerjaan yang menyenangkan itu.”

“Kau memang gila!“ sahut Panembahan Lebdagati.

“Sudah beberapa lama jari-jari kami tidak menyentuh darah segar yang mengalir dari luka.“ berkata Lembu Palang.

“Setan kau!” geram Panembahan Lebdagati.

Lembu Palang tertawa. Katanya ”Anak-anak kami akan dapat kehilangan gairah perjuangan mereka jika mereka tidak mendapat kesempatan untuk membasahi senjata mereka dengan darah korbannya.” berkata Lembu Palang kemudian.

“Terserah kepadamu. Aku harap bahwa kau dan orang-orangmu mendapatkan apa yang kalian inginkan.” Berkata Panembahan Lebdagati “lusa aku akan menyabung ayam. Orangku baru saja mendapat tiga ekor ayam yang baik. Sementara itu sudah ada lima ekor ayam yang disiapkan untuk memasuki arena sabung ayam itu.”
Demikianlah, maka seisi padepokan itupun telah bersiap-siap. Seperti pesan Panembahan Lebdagati, mereka tidak boleh menganggap lawan mereka kecil. Tetapi bagaimanapun juga, orang-orang padepokan itu tidak melihat seorangpun yang harus mendapat perhatian khusus dari antara mereka yang berhasil melarikan diri dari padepokan yang waktu itu dipimpin oleh Kiai Banyu Bening.

Mungkin satu dua orang padukuhan yang bersedia membantunya memiliki kelebihan. Mungkin Ki Bekel, mungkin Ki Jagabaya atau yang lain. Namun mereka tidak akan berarti apa-apa bagi para pengikut Panembahan Lebdagati itu. Meskipun demikian, menjelang malam, Panembahan Lebdagati telah memberikan peringatan-peringatan lagi, agar para pengikutnya itu berhati-hati.

“Besok menjelang fajar kita berangkat. Kita akan mulai memasuki padukuhan itu setelah matahari terbit. Dengan demikian, kita tidak akan terjebak oleh keadaan medan yang belum kita kenal. Sebagaimana terjadi di padepokan ini, maka orang-orang yang melarikan diri itu pandai memanfaatkan medan, karena mereka mengenal jauh lebih baik dari kita.”

Para pengikut Panembahan Lebdagati itu memang mendengarkan peringatan itu, tetapi sebagian besar diantara mereka menganggap bahwa sikap berhati-hati Panembahan Lebdagati agak berlebihan.

“Beberapa kali Panembahan Lebdagati mengalami kegagalan. Bayangan yang muram itulah yang membuatnya menjadi sangat berhati-hati.” berkata salah seorang diantara para pengikutnya.

“Tidak ada salahnya Panembahan menjadi sangat berhati-hati. Tetapi kitapun harus ingat, bahwa penggraita Panembahan itu sangat tajam. Meskipun Panembahan secara wadag belum pernah melihat kekuatan lawan, tetapi Panembahan seakan-akan dapat mengetahuinya. Karena itu, maka peringatannya tidak boleh kita abaikan.” sahut yang lain, seorang yang janggutnya sudah mulai nampak menjadi abu-abu.

Dalam pada itu, maka Panembahan Lebdagati pun segera memperingatkan pula agar mereka beristirahat sebaik-baiknya. Terutama mereka yang telah ditunjuk untuk bersama Panembahan pergi ke padukuhan yang dianggap telah menantang isi padepokan itu.

Lembu Palang masih saja mentertawakan sikap Panembahan Lebdagati yang terlalu berhati-hati itu. Meskipun demikian, ia tidak mengatakan apa-apa lagi tentang persiapan yang nampak bersungguh-sungguh itu.

“Hanya untuk membunuh kecoak,“ desis Lembu Palang.

Malam itu padepokan menjadi sepi. Para pengikut Panembahan Lebdagati tidak berkeliaran didalam padepokan. Seperti yang dinasehatkan oleh Panembahan, maka mereka pun telah berada di pembaringan. Hanya para petugas khusus sajalah yang justru mulai bersiap-siap untuk menyalakan perapian, karena sebelum berangkat di dini hari, orang-orang yang akan pergi ke padukuhan itu akan makan lebih dahulu.

Demikianlah, sedikit lewat tengah malam, maka seisi padepokan itu sudah terbangun. Mereka mulai bersiap-siap untuk pergi ke padukuhan. Orang-orang yang tidak dapat ikut serta karena harus berjaga-jaga di padepokan, merasa menyesal, kenapa mereka tidak diikut sertakan membantai sisa-sisa pengikut Kiai Banyu Bening dan orang-orang padukuhan yang dungu, yang telah berani menentang Panembahan Lebdagati. Mereka menganggap bahwa tugas yang akan dilakukan di padepokan itu adalah tugas yang ringan dan menyenangkan.

Demikianlah, menjelang fajar, maka Panembahan Lebdagati telah siap untuk berangkat. Telah terdengar suara kentongan yang memberi isyarat, semua orang yang akan berangkat harus sudah bersiap dalam kelompoknya masing-masing.

Dalam pada itu, Ki Pandi serta Manggada dan Laksana yang sedang bertugas mengawasi padepokan itu sejak lewat tengah malam, dapat merasakan kegiatan yang meningkat malam itu. Ketika lewat tengah malam mereka berada ditempat yang terlindung dibalik gerumbul perdu, mereka telah melihat bahwa padepokan itu nampak lebih tenang dari biasanya. Agaknya di halaman padepokan itu terpasang obor lebih banyak dari malam-malam yang lewat.

Ketika mereka bertiga melihat asap yang mengepul, maka mereka bertiga mengambil kesimpulan bahwa ada kegiatan di dapur padepokan itu. Ki Pandi pun segera memerintahkan Manggada dan Laksana kembali ke padukuhan untuk memberitahukan, bahwa kemungkinan besar, orang-orang padepokan akan menyerang pagi itu.

“Biarlah padukuhan itu bersiap. Peringatan, agar api di dapur pun harus segera dinyalakan. Jika pertempuran itu menelan waktu yang panjang, tenaga kita akan cepat menjadi susut."

Manggada dan Laksana pun. segera kembali ke padukuhan, sementara Ki Pandi mengawasi kegiatan di padepokan itu. Manggada dan Laksana yang memberikan laporan kepada Ki Ajar Pangukan, kepada Ki Warana dan Ki Bekel, telah menyampaikan pesan Ki Pandi, terutama kepada Ki Bekel, bahwa api di dapur pun harus segera dinyalakan pula.

Padukuhan itu pun telah menjadi sibuk pula. Ki Warana telah membangunkan orang-orangnya dan menempatkan mereka sesuai dengan rencana. Sementara itu, orang-orang padukuhan pun telah dibangunkan pula tanpa isyarat sama sekali. Tidak sebuah pun kentingan yang dipukul untuk memberikan aba-aba.

Anak-anak muda yang menghadapi di banjar dan di rumah Ki Bekel telah bersiaga pula menghadapi segala kemungkinan, sehingga dengan demikian maka perempuan dan anak anak-anak mengungsi tidak merasa sangat ketakutan.

Mereka yang bertahan di padukuhan itu pun telah bersiaga sepenuhnya. Anak-anak yang membawa busur telah mempersiapkan anak panah sepenuh endong yang mereka bawa Yang lain telah mempersiapkan lembing bambu yang mereka buat sendiri dengan ujung besi yang runcing.

Ketika langit menjadi merah menjelang fajar, maka Ki Pandi yang mengawasi padepokan itu melihat pintu gerbang padepokan telah terbuka. Perlahan-lahan sepasukan pengikut Panembahan Lebdagati telah berderap keluar lewat pintu gerbang padepokan.

Ki Pandi pun kemudian telah bergerak perlahan-lahan. Ia harus mendapat kepastian bahwa pasukan itu memang bergerak menuju ke padukuhan. Dalam kegelapan dilandasi dengan ilmunya yang tinggi Ki Pandi mengamati gerak pasukan itu, sehingga akhirnya ia yakin, bahwa pasukan itu memang menuju ke padukuhan. Karena itu, maka Ki Pandi pun segera bergerak dengan cepat mendahului gerak pasukan yang maju dengan lamban.

Dalam pada itu, langit pun menjadi semakin merah. Ketika fajar menyingsing, Ki Pandi sudah ada di padukuhan. Kepada Ki Ajar Pangukan dan orang-orang tua yang tinggal dirumahnya, kepada Ki Warana dan Ki Bekel, Ki Pandi memberikan penjelasan tentang gerakan yang telah dilihatnya.

“Kita harus berhati-hati. Panembahan Lebdagati ternyata telah membawa kekuatan yang besar. Agaknya ia tidak ingin menganggap kita terlalu kecil.”

Dengan demikian, maka orang-orang yang berada di padepokan itu telah meningkatkan persiapan mereka. Sebenarnyalah bahwa Panembahan Lebdagati telah membawa pasukannya menuju ke padukuhan yang telah berani melakukan persiapan untuk melawannya.

Beberapa saat kemudian, maka pasukan Panembahan Lebdagati itu telah menjadi semakin dekat. Beberapa puluh langkah dari dinding padepokan pasukan itu berhenti, sementara langit menjadi semakin merah.

Tiga orang, diantaranya adalah Panembahan Lebdagati sendiri telah melangkah mendekati regol padepokan. Dengan lantang Panembahan Lebdagati yang kemudian berdiri tegak menghadap ke regol padepokan itu pun berkata, “He, siapakah yang memimpin orang-orang di padepokan ini untuk menentang kuasaku?”

Yang melangkah kepintu regol yang kemudian dibuka adalah Ki Warana dan dua orang pengikutnya. “Aku, Warana.”

“Apakah kau salah seorang pengikut Kiai Banyu Bening?” bertanya Panembahan Lebdagati.

“Ya. Aku adalah salah seorang pengikut Kiai Banyu Bening. Aku dan sekelompok kawan-kawan berhasil lolos dari padepokan itu dan sempat menyusun kekuatan di padukuhan ini.”

“Apakah kau tidak ingat, bahwa Kiai Banyu Bening tidak mampu melawan aku? Apalagi kau dan pengikut-pengikutmu. Bahkan seandainya para penghuni padukuhan ini seluruhnya ikut membantumu, maka dalam waktu sekejap kalian akan kami tumpas habis. Karena itu, selagi belum terjadi, aku perintahkan kalian untuk menyerah. Seperti kawan-kawanmu yang menyerah di padepokan, mereka kami beri kesempatan untuk menunjukkan kesetiaannya jika mereka ingin hidup untuk waktu yang lebih panjang.”

“Panembahan Lebdagati.” sahut Ki Warana ”Kami sudah bertekad untuk menuntut balas kematian Kiai Banyu Bening. Karena itu, maka serahkan orang yang bertanggung jawab atas kematian Kiai Banyu Bening, agar tidak semua orangmu akan menjadi korban. Jika orang itu kau sendiri Panembahan, maka kau harus dengan ikhlas menanggung beban tanggung jawab itu.”

“Setan kau!” geram Panembahan Lebdagati ”Kau kira kau siapa dan berbicara dengan siapa., he?”

“Namaku Warana. Aku salah seorang kepercayaan Kiai Banyu Bening. Ketika kau membunuh Kiai Banyu Bening, aku tidak menungguinya. Karena itu, ketika aku mendengar kabar kematiannya, aku bawa orang-orangku menyingkir, karena aku yakin bahwa kau akan memburu kami seperti sekarang ini. Nah, dalam kesempatan inilah, maka kau akan menerima beban pertanggungan.jawabmu itu.”

“Warana, bagaimana mungkin kau dapat mengalahkan aku, jika Banyu Bening itu saja tidak mampu melakukannya. Apakah kau memiliki ilmu melampaui tataran ilmu Kiai banyu Bening?”

“Itu bukan soal, Panembahan. Tetapi kau telah melanggar hak orang lain. Karena itu, kau harus dihukum.”

Lembu Palang ternyata tidak telaten mendengar percakapan itu. Karena itu, maka ia pun melangkah menyusul Panembahan Lebdagati. Sambil bertolak pinggang Lembu Palang itu berteriak ”Kalian menyerah atau tidak?”

Ki Warana termangu-mangu sejenak. Sementara itu, Ki Lemah Teles yang berdiri dibelakang selapis pengikut Ki Warana sehingga tidak begitu jelas nampak dari tempat Lembu Palang berdiri, telah berdesis, ”Bukankah itu Lembu edan itu?”

Ki Sambi Pitu yang berdiri disebelahnya dan melihat Lembu Palang dari sela-sela kepala orang yang berdiri didepannya tertawa pendek. Katanya, ”Nah, kau akan bertemu dengan sahabatmu itu.”

“Menyenangkan sekali. Sudah lama aku rindukan orang itu. Sekarang aku dapat menemuinya disini.”

“Tetapi berhati-hatilah. Umurmu sudah menjadi semakin tua.” pesan Ki Sambi Pitu.

“Iblis kau. Kau kira umur Kebo edan itu tidak bertambah tua pula?”

Ki Sambi Pitu tertawa. Katanya, ”Bagus. Ternyata seumurmu masih juga akan mendapat lawan yang seumur. Bukankah selama ini kau mengembara mencari musuh, agar kau tetap yakin bahwa ilmumu masih berada, dalam tataran tertinggi.”

”Jangan mengigau lagi, ilmuku memang masih yang terbaik sekarang ini" jawab Ki Lemah Teles.

Tetapi Lembu Palang sendiri tidak mengira bahwa diantara beberapa buah kepala yang berderet di belakang Ki Warana itu terdapat kepala Ki Lemah Teles dan Ki Sambi Pitu selain beberapa orang berilmu tingi yang lain. Apalagi orang bongkok yang sengaja tidak menampakkan dirinya.

Dalam pada itu, Ki Warana pun berteriak pula, ”Tidak akan ada penyerahan. Kami sudah bertekad untuk melawan. Bahkan membalas dendam atas kematian Kiai Banyu Bening. Panembahan Lembdagati. Jika kau ingin para pengikutmu selamat, maka berlututlah dihadapanku.”

Jantung Panembahan Lebdagati bagaikan dihentak dari tangkainya. Penghinaan itu tidak dapat dimanfaatkan. Karena itu, maka ia pun berkata ”Bagus. Kau akan menyesal bahwa kau sudah menghina Panembahan Lebdagati. Orang yang berani menyebut namanya tanpa arti, sudah pantas untuk dihukum mati. Apalagi orang yang telah berani menghinanya.”

“Apakah ada hukuman yang lebih berat dari hukuman mati?” bertanya Ki Warana.

“Jangan bertanya kepadaku. Ingat, apa yang pernah dilakukan oleh Kiai Banyu Bening. Ia sering melakukannya. Menjatuhkan hukuman yang lebih berat dari hukuman mati.”

“Tetapi kau tidak akan pernah dapat melakukannya atasku. Di bawah lidahku tersimpan serbuk racun yang dibalut dengan selaput lemak yang tipis. Jika aku harus jatuh ketanganmu, maka racun itu akan tertelan. Dan kau tidak akan dapat menghukumku.”

“Pengecut yang licik. Jika kau ingin membunuh diri, kenapa kau ajak pengikut-pengikutmu sebanyak itu?”

“Mereka adalah pengikut-pengikut setia Kiai Banyu Bening.”

“Panembahan...!” potong Lembu Palang ”Apakah kita hanya akan berbicara saja panjang lebar?"

“Aku sudah siap.” sahut Panembahan itu.

“Jika demikian, berikan aba-aba. Tanganku sudah gatal. Aku ingin menebas batang ilalang di padukuhan itu dengan pedangku."

Panembahan Lebdagati mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya ”Aku akan kembali ke dalam pasukanku. Aku ingin bergerak bersama-sama dengan mereka. Nampaknya orang-orang di padukuhan itu telah siap menunggu kita.”

Lembu Palang tertawa. Katanya, ”Orang-orang yang putus asa. Mereka sudah menyiapkan racun untuk membunuh diri mereka sendiri, sehingga kita tidak perlu melakukannya. Tetapi aku ingin membunuh mereka sebelum mereka sempat membunuh diri dengan racun dimulutnya itu.”

“Jika kau sempat, jangan beri kesempatan mereka membunuh diri. Aku ingin menghukum mereka lebih berat dari hukuman mati.”

Lembu Palang itu tertawa. Katanya ”Apakah kau masih seperti beberapa tahun lalu?”

“Aku tidak berubah. Celakalah orang yang berani melawan aku dan kemudian jatuh ke tanganku hidup-hidup.”

Lembu Palang tertawa. Katanya ”Apalagi yang kau tunggu?”

Panembahan Lebdagati pun kemudian melangkah menjauhi regol dan kembali kepada para pengikutnya, diikuti oleh pengawalnya dan dipaling belakang berjalan Lembu Palang dengan kepala tengadah.
Ketika Lembu Palang itu berpaling, maka orang-orang yang berada di padukuhan telah menutup pintu regol dan menyelaraknya rapat-rapat. Sementara itu, para pengikut Ki Warana serta orang-orang padukuhan itu telah menebar. Mereka bersiap dibelakang dinding padukuhan yang tidak setinggi dinding padepokan.

Dalam pada itu, Ki Ajar Pangukan dan orang-orang tua yang tinggal bersamanya telah menempatkan diri pula. Ki Lemah Teles telah berkata kepada Ki Ajar Pangukan, bahwa ia sudah siap untuk menghadapi Lembu Palang.

“Nampaknya kau menyimpan dendam kepadanya?”

“Bukan dendam.” jawab Ki Lemah Teles ”Aku hanya ingin membuat perhitungan. Ia telah membunuh salah seorang sepupuku. Sepupuku telah dirampoknya dalam perjalanan di malam hari. Sepupuku memang bukan seorang yang berilmu setataran dengan Kebo edan itu. Dua orang kawan seperjalanannya juga dibunuh oleh kawan-kawan Lembu Palang itu. Tetapi seorang lagi yang diduga telah mati, ternyata masih hidup. Orang itulah yang mengatakan kepadaku, siapakah yang telah membunuh sepupuku itu.”

“Kau tidak mencarinya waktu itu?” bertanya Ki Ajar Pangukan.

”Aku masih terikat dalam sebuah keluarga sehingga aku masih segan untuk mengembara mencarinya. Tetapi tiba-tiba saja sekarang aku dapat bertemu Lembu Palang itu.”

“Seandainya kau bertemu tidak dalam keadaan seperti ini, apakah kau juga akan menantangnya berperang tanding?” bertanya Ki Ajar.

“Aku akan menantangnya.” geram Ki Lemah Teles.

Ki Ajar tertawa. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Demikianlah, maka orang-orang tua itu pun segera menempatkan dirinya. Tetapi mereka tidak berada terlalu jauh dari regol padukuhan. Mereka menduga, bahwa para pemimpin dari padukuhan yang telah di rampas oleh Panembahan Lebdagati itu pun akan berusaha memasuki padukuhan lewat regol yang akan dibuka dengan paksa.

Meski pun demikian, orang-orang padukuhan serta para pengikut Ki Warana telah mendapat pesan, jika perlu mereka harus segera memberikan isyarat dengan kentomgan atau dengan penghubung.

“Jika kalian mengalami kesulitan dengan seseorang yang berilmu tinggi, maka kalian harus segera memukul tengara,” pesan Ki Warana kepada orang-orangnya, sebagaimana Ki Bekel juga berpesan kepada orang-orang padukuhan itu.

Sementara itu, di banjar dan dirumah Ki Bekel pun ditempatkan pula orang-orang yang harus melindungi perempuan dan anak-anak. Bahkan para remaja pun telah minta untuk dipersenjatai pula. Jika perlu mereka akan ikut terjun dalam pertempuran.

Dalam pada itu, Panembahan Lebdagati telah memerintahkan orang-orangnya yang cukup banyak untuk bergerak. Seperti yang dipesankan mewanti-wanti, agar para pengikutnya tidak memandang rendah lawan mereka.

“Seperti yang pernah terjadi, mereka tentu akan menahan gerak maju kita dengan panah dan lembing. Tetapi kita tahu, bagaimana kita menghindar, menangkis atau menahannya dengan perisai.” berkata Panembahan Lebdagati.

Para pengikutnya yang telah ikut menyerang padepokan dan merebutnya dari Kiai Banyu Bening telah berpengalaman menghadapi gaya bertahan para pengikut Kiai Banyu Bening itu. Demikianlah, maka Panembahan Lebdagati pun telah memerintahkan orang-orangnya untuk menyerang.

Sementara itu langit nampak cerah. Cahaya matahari sudah mulai tersangkut di ujung pepohonan yang tinggi. Ketika orang-orang padukuhan dan para pengikut Ki Warana kemudian melihat pasukan Panembahan Lebdagati yang datang seperti gelombang di bibir lautan, maka jantung mereka memang menjadi berdebar-debar.

“Jumlah mereka masih cukup banyak.” desis seorang pengikut Ki Warana.

“Tetapi korban mereka juga cukup banyak ketika pertempuran di padepokan itu selesai.”

Kawannya terdiam. Namun ia masih mempunyai keyakinan diri untuk mampu bertahan atas serangan Panembahan Lebdagati.

Orang-orang padukuhan itu pun menjadi gelisah. Mereka bukan orang-orang yang terbiasa mengalami kekerasan. Tetapi mereka tidak mempunyai pilihan. Anak-anak muda itu tentu tidak akan membiarkan padukuhan mereka dihancurkan oleh Penambahan Lebdagati bersama para pengikutnya. Karena itu, maka mereka pun telah bertekad untuk mempertahankan kampung halaman.

Demikianlah, seruan yang mengguntur telah diteriakkan oleh Ki Warana disambut oleh para pengikutnya untuk mulai menghambat gerak maju gerakan Panembahan Lebdagati. Dengan demikian, maka sejenak kemudian, anak panah pun telah meloncat dari busurnya. Susul menyusul seperti air hujan yang dicurahkan dari langit.

Para pengikut Panembahan Lebdagati sudah memperhitungkan bahwa mereka akan menghadapi serangan seperti itu. Karena itu, maka mereka pun telah bersiap-siap untuk mengatasinya.

Namun bagaimana pun juga mereka mempersiapkan diri untuk menyusup diantara semburan anak panah, namun ada juga diantara mereka yang tidak berhasil. Ada diantara para pengikut Panembahan Lebdagati itu yang terhenti ditempatnya, karena anak panah yang terhunjam di dadanya.

Tetapi ada pula yang merintih kesakitan karena anak panah itu menyambar bahunya. Dengan luka-lukanya orang itu harus merangkak menjauhi dinding padukuhan, agar anak panah berikutnya tidak melukainya lebih parah lagi.

Yang menggelisahkan para pengikut Panembahan Lebdagati itu adalah serangan anak panah yang tidak tepat mengenai sasaran telah menghentikan beberapa orang yang berlari-lari menggapai dinding padukuhan.

Ternyata bahwa orang-orang yang tinggal dirumah Ki Ajar Pangukan telah menggenggam busur pula. Mereka tidak sekedar melepaskan anak panah tanpa membidik lebih dahulu. Tetapi anak panah yang terlepas dari busur mereka, mampu menembus dinding dada sasarannya dan menyentuh jantung .

Tetapi arus serangan itu mengalir demikian derasnya. Meski pun jumlahnya sudah menyusut sebelum mereka mencapai dinding padukuhan, tetapi jumlah mereka masih cukup banyak untuk mengguncang ketahanan hati para pengikut Ki Warana dan para penghuni padukuhan itu.

Tetapi para pengikut Ki Warana dan orang-orang padukuhan itu pun benar-benar sudah siap. Meski pun jumlah para pengikut Panembahan Lebdagati cukup banyak, tetapi para pengikut Ki Warana dan orang-orang padukuhan itu yang terdiri dari bukan saja anak-anak muda, tetapi hampir semua orang laki-laki yang masih mampu mengangkat senjata, ternyata masih lebih banyak lagi.

Dalam pada itu, orang-orang padukuhan itu selalu mengingat pesan, agar mereka tidak bertempur seorang-seorang. Mereka harus berusaha untuk bertempur dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari tiga atau empat orang untuk menghadapi lawan. Karena itu, sejak mereka bersiap dibelakang dinding padukuhan mereka sudah mengikat diri dalam kelompok-kelompok itu. Mereka telah memilih kawan mereka masing-masing.

Dalam pada itu, maka para pengikut Panembahan Lebdagati yang langsung menyerang kearah regol padukuhan yang tertutup rapat itu pun telah berusaha memecah pintu. Pintu yang diselarak itu, memang tidak sekokoh pintu gerbang padepokan.

Karena itu, didorong oleh beberapa orang dari luar, maka perlahan-lahan dinding itu menjadi retak. Akhirnya pecah dan terbuka. Bersamaan dengan itu, maka disebelah-menyebelah, para pengikut Panembahan Lebdagati itu pun telah berusaha meloncati dinding padukuhan.

Orang-orang yang bertahan dibelakang dinding telah bersiap untuk menerima mereka dengan ujung-ujung senjata. Sehingga beberapa orang diantara mereka demikian turun dari atas dinding, langsung roboh jatuh ditanah sambil mengerang kesakitan. Bahkan ada diantara mereka yang untuk seterusnya tidak akan pernah bangkit lagi.

Namun akhirnya orang-orang yang menyerang padukuhan itu telah berhasil menginjakkan kakinya didalam dinding, sehingga dengan demikian, maka pertempuran pun segera terjadi dengan sengitnya.

Para pengikut Panembahan Lebdagati adalah orang-orang yang telah berpengalaman. Namun mereka menjadi heran melihat lawan mereka menyambut kedatangan mereka dengan girangnya. Dendam yang tersimpan didada para pengikut Ki Warana, serta tekad untuk mempertahankan kampung halaman yang membakar jantung para penghuni padukuhan itu, telah mendorong mereka untuk bertempur tanpa mengenal takut.

Dalam pada itu, demikian pintu regol padukuhan itu pecah, maka Panembahan Lebdagati dan para pengawalnya yang terpilih telah memasuki padukuhan. Kemarahan Panembahan Lebdagati kepada Ki Warana yang telah menghinanya telah mendorongnya untuk segera menemukan orang itu. Namun Panembahan Lebdagati itu sudah berpesan, agar Ki Warana dapat ditangkap hidup-hidup.

“Siapa pun diantara kalian yang menemukan orang itu, aku ingin ia tertangkap hidup-hidup. Aku masih mempunyai persoalan yang harus aku selesaikan dengan orang itu dalam keadaan hidup.

Lembu Palang yang mendengar pesan itu tertawa. Katanya ”Kau akan mendapatkan permainan yang menyenangkn.”

“Ia telah merendahkan namaku.” geram Panembahan Lebdagati.

“Aku akan ikut mencari kecoak yang satu itu” berkata Lembu Palang.

Namun Lembu Palang itu terkejut ketika ia mendengar seseorang menyahut, ”Apakah kau tidak mencari aku Kebo edan?”

Lembu Palang berpaling. Tiba-tiba saja terasa jantungnya bagaikan berhenti berdetak. Diantara mereka yang sedang bertempur itu, seseorang melangkah kearahnya.

Orang itu berhenti beberapa langkah sambil bertolak pinggang ”Kau ingat kepadaku?”

“Iblis kau. Kenapa kau ada disini?” geram Lembu Palang.

“Aku memang menunggumu. Aku tahu beberapa hari yang lalu kau datang ke padukuhan yang telah direbut oleh Panembahan Lebdagati itu. Karena itu, aku sudah menduga bahwa kau akan ikut datang kemari memburu sisa-sisa para pengikut Kiai Banyu Bening. Nah, ternyata dugaanku benar.”

Wajah Lembu Palang ini menjadi panas. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa ia akan bertemu dengan Ki Lemah Teles di tempat itu. Sementara itu Panembahan Lebdagati sempat berkata, ”Nah, kau telah menemukan permainanmu sendiri, Lembu Palang. Biarlah aku mencari orang gila itu.”

Lembu Palang tidak menyahut. Tetapi ia tidak dapat lagi menganggap bahwa mereka sekedar sedang memburu kecoak di padukuhan itu. Ternyata diantara kecoak-kecoak itu terdapat seekor singa yang garang. Karena itu, maka mimpinya untuk menebus ilalang tiba-tiba saja telah hanyut oleh kegelisahannya menghadapi orang yang berilmu tinggi itu.

Meski pun Lembu Palang sendiri juga berilmu tinggi, tetapi bahwa tiba-tiba saja ia harus berhadapan dengan Ki Lemah Teles telah mengguncang jantungnya. Tetapi Lembu Palang tidak dapat menghindar. Ia harus menghadapinya.

“Sudah lama aku menunggu untuk dapat berhadapan dengan seorang yang telah membunuh saudara sepupuku.”

“Salahnya sendiri...” geram Lembu Palang ”Ia mati karena kesombongannya. Tetapi juga karena kelemahannya. Ia tidak mampu mengimbangi ilmuku, meski pun ia menantangku.”

“Jangan mengigau. Kau tidak sedang berperang tanding melawan sepupuku. Tetapi kau merampoknya. Kau samun sepupuku itu ketika ia sedang dalam perjalanan malam. Benar-benar satu perbuatan keji yang tidak dapat dimaafkan. Kau dan sepupuku telah saling berkenalan sebelumnya. Tentu saja sepupuku tidak mengira bahwa kau sampai hati melakukannya. Bahkan untuk menghilangkan jejak, kau bunuh sepupuku. Tetapi kejahatan yang kau lakukan tidak dapat kau sembunyikan, justru karena salah seorang kawan sepupuku yang telah disangka mati, masih dapat hidup dan berceritera apa yang telah terjadi.”

“Persetan semuanya itu..” geram Lembu Palang ”sekarang kita berada di medan pertempuran.”

Ki Lemah Teles tertawa. Katanya ”Kesempatan ini tidak akan aku sia-siakan. Kita akan menyelesaikan persoalan kita sampai tuntas. Pertempuran yang terjadi di sekitar kita hendaknya tidak mengganggu perhitungan yang sedang kita buat.”

Lembu Palang itu termangu-mangu sejenak. Tetapi ketika ia memandang disekitarnya, ia menjadi heran. Salah seorang pengawalnya tengah bertempur melawan seorang anak muda yang ternyata mampu mengimbangi ilmunya.

“Kau heran?” bertanya Ki Lemah Teles ”Anak itu bernama Manggada. Anak muda yang memiliki ilmu yang tinggi. Lawannya itu akan segera disapunya dari medan. Jangan heran jika kau melihat anak muda yang lain lagi. Laksana yang memiliki ilmu setataran dengan anak muda yang kau perhatikan itu.”

“Gila. Apa saja isi padukuhan ini? Apakah kalian sengaja menjebak Panembahan Lebdagati?” geram Lembu Palang.

“Kenapa kami harus menjebaknya? Kita memasuki medan yang terbuka. Bukan satu jebakan.”

Lembu Palang itu menggeram. Katanya, ”Jika demikian, maka aku harus dengan cepat menyelesaikanmu, agar aku dapat segera menangani orang-orang yang lain yang nampaknya telah bersembunyi di padukuhan ini pula.”

Tetapi Ki Lemah Teles tertawa. Katanya, ”Jangan menipu diri sendiri. Kau mengenal aku. Kebo edan. Bagaimana mungkin kau berkata begitu? Seandainya ilmumu lebih tinggi dari ilmuku, maka kau tahu bahwa kau tidak akan dapat menyelesaikan aku dengan cepat.”

“Cukup!” bentak Lembu Palang ”Bersiaplah untuk mati.”

“Kau tidak akan membentak-bentak untuk melapisi kecemasanmu sendiri, marilah, aku sudah merindukan kesempatan seperti ini.”

Lembu Palang tidak menyadari lagi. Pertemuannya yang tiba-tiba dengan Ki Lemah Teles memang membuatnya berdebar-debar. Tetapi Lembu Palang masih berdiri pada kemungkinan yang sama antara kalah dan menang. Karena itu, maka ia pun segera bersiap untuk bertempur, apa pun yang terjadi.

Dalam pada itu, pertempuran pun telah berkobar di padukuhan itu. Orang-orang yang telah berhasil memasuki padukuhan itu harus mengalami perlawanan yang keras dari para pengikut Ki Warana dan para penghuni padukuhan itu.

Namun bukan mereka saja yang berusaha menahan arus serangan para pengikut Panembahan Lebdagati. Ada kekuatan yang tidak terduga sebelumnya. Ternyata diantara mereka yang bertahan itu terdapat orang-orang yang berilmu tinggi. Dibelakang pintu gerbang ada dua orang anak muda yang dengan kemampuannya yang tinggi, telah menghadapi orang-orang yang datang bersama Lembu Palang.

Mereka bukan sekedar pengawal, tetapi mereka adalah orang-orang yang juga berkemampuan tinggi. Bahkan untuk beberapa lama mereka masih tetap bertempur dengan garangnya melawan orang-orang yang menjadi kebanggaan Lembu Palang itu.

Sementara itu, pertempuran memang telah menjalar sepanjang jalan induk, bahkan di halaman-halaman rumah di sekitarnya. Para pengikut Ki Warana yang telah mengenali medan dengan baik, sebagaimana mereka lakukan di padepokan, telah mencoba memanfaatkan medan pula.

Namun para pengikut Panembahan Lebdagati pun menjadi sangat berhati-hati. Mereka harus memperhatikan dinding-dinding halaman. Sudut-sudut rumah, dapur dan bahkan lumbung dan kandang, mereka harus memperhatikan pintu seketeng dan longkangan dirumah-rumah yang bertebar.

Dalam pada itu, Panembahan Lebdagati yang sedang mencari Ki Warana itu telah memasuki padukuhan semakin dalam. Setiap kali ia mengibaskan tangannya, maka orang-orang disekitarnya pun telah terlempar. Satu dua orang mengalami luka-luka dan harus segera beringsut menjauh.

“Warana, he, dimana kau Warana? Kau yang telah berani menghina harus berani bertanggung jawab. Jika tidak, maka orang-orangmu akan aku bantai habis. Kau tidak akan dapat melarikan diri lagi dari tanganku.”

Tiba-tiba saja orang yang bernama Ki Warana itu telah muncul dari balik dinding halaman di pinggir jalan itu. Dengan lantang ia pun menjawab, ”Aku disini, Panembahan.”

Panembahan Lebdagati yang marah itu telah berpaling kearah suara itu. Tetapi Ki Warana itu segera menghilang lagi di balik dinding, sehingga Panembahan Lebdagati itu berteriak, ”Pengecut. Jangan lari. Kau tidak akan lepas dari tanganku.”
Panembahan Lebdagati itupun kemudian bagaikan terbang meloncati dinding halaman itu. Ia yakin bahwa ia akan dapat memburu Warana yang telah menghilang dibalik dinding itu. Tetapi Panembahan Lebdagati itu terkejut sekali ketika demikian ia berdiri tegak dibalik dinding, dilihatnya seorang laki-laki duduk dibawah sebatang pohon kemiri yang besar. Orang itu seakan-akan sama sekali tidak menghiraukan kehadirannya. Ia masih asyik mengamati seruling ditangannya.

“Kau bongkok?” geram Panembahan Lebdagati.

Ki Pandi berpaling. Dipandanginya Panembahan Lebdagati itu dengan tajamnya. Perlahan-lahan Ki Pandi itu pun berdiri sambil berdesis, ”Kita bertemu lagi Panembahan.”

“Kau licik sekali. Agaknya kau peralat Ki Warana untuk memancing aku datang menemuimu.”

“Aku memang menunggumu, Panembahan. Tetapi hal ini tidak terjadi jika kau tidak merebut padepokan Kiai Banyu Bening."

“Aku mengambil hakku!” jawab Panembahan Lebdagati.

“Hak apa? Apakah kau mempunyai hak atas padepokan itu?”

“Tentu. Kau tahu bahwa aku pernah berada ditempat ini. Aku telah terusir dari padepokanku sehingga aku harus mengembara. Tetapi tiba-tiba saja aku mendengar bahwa ada orang lain yang telah membangun padepokan di tempat ini.”

“Panembahan. Sebenarnya aku dan beberapa orang kawanku berada disini untuk menghancurkan padepokan Kiai Banyu Bening yang telah menyebarkan kepercayaan yang sesat, bertolak dari perasaan dendamnya, karena anak bayinya yang terbunuh didalam api. Ia pun kemudian telah bertekad, untuk membakar bayi sebanyak-banyaknya, karena ia mendapat kepuasan jika ia mendengar bayi yang menangis menjerit-jerit di telan nyala api.”

Ki Pandi berhenti sejenak. Lalu katanya, ”Menurut penilaianku, dendam yang menyala dihati Kiai Banyu Bening itu harus dihentikan, karena dendam itu tidak kalah berbahayanya dengan kepercayaan sesatmu. Karena kau menginginkan sebilah keris yang mempunyai kekuatan tidak terbatas, sehingga kau akan menjadi orang yang tidak terkalahkan diseluruh permukaan bumi ini. Karena itu, padepokan Kiai Banyu Bening harus dihancurkan. Tetapi ternyata kemudian kau telah datang. Karena itu, maka aku telah menunggu. Tanpa menitikkan keringat kami telah berhasil menghancurkan padepokan Kiai banyu Bening. Dan sekarang tugas kami adalah menghancurkan padepokan yang telah bersalin tangan itu. Meski pun demikian aku ingin mengucapkan terima kasih kepadamu, bahwa kau telah membantu aku membunuh gerakan yang ditumbuhkan oleh Kiai Banyu Bening dan bersumber pada dendam yang membara itu.”

“Baiklah Bongkok. Sekarang sudah saatnya aku membunuhmu, agar kau untuk selanjutnya tidak selalu menggangguku.”

“Kau kira kau dapat membunuhku dengan mudah?” Ki Pandi justru bertanya.

“Kita akan melihat apa yang terjadi disini...” berkata Panembahan Lebdagati ”Penghuni padukuhan ini akan ditumpas habis. Orang-orang yang berhasil melarikan diri dari padepokan dan agaknya telah berada disini pula, akan dibantai sampai orang yang terakhir. Bongkok buruk, jika hal itu terjadi, maka kau lah yang bertanggung jawab, karena agaknya kau telah menggerakkan mereka untuk melakukan perbuatan bodoh itu.”

“Tidak Panembahan!” jawab Ki Pandi ”Yang akan dibantai bukan penghuni padukuhan ini. Bukan pula orang-orang yang lolos dari padepokan itu. Tetapi justru orang-orangmu. Aku disini tidak sendiri. Ada beberapa orang tua yang datang bersamaku.”

Wajah Panembahan Lebdagati menjadi tegang. Ia telah melihat seorang diantaranya telah menempatkan diri berhadapan dengan Lembu Palang. Meski pun Panembahan Lebdagati percaya akan kemampuan Lembu Palang, tetapi orang yang menemuinya itu tentu juga bukan orang kebanyakan.

“Panembahan!” desis Ki Pandi ”Kau nanti juga akan dapat bertemu dengan Ki Ajar Pangukan jika kau kehendaki.”

“Bawa iblis itu kemari. Aku akan menghancurkannya sama sekali.”

“Jangan membohongi dirimu sendiri. Kau tidak mampu mengalahkannya. Kekuatanmu menundukkan kehendak orang lain, ternyata tidak mampu mempengaruhinya.”

“Tetapi aku akan membunuhnya jika aku berhasil menemuinya nanti sesudah aku membunuhmu.”

“Marilah, kita akan melihat, siapakah yang lebih kuat diantara kita. Kau atau aku. Kita dibesarkan diperguruan yang sama Panembahan. Kita mendapat landasan ilmu yang sama. Tetapi perkembangan ilmu kita berlainan. Jalan hidup kita pun berselisih. Aku mencoba untuk tetap mengemban kewajiban dari perguruanku, sementara itu kau telah tersesat semakin jauh.”

“Kau tidak usah menggurui aku. Minggirlah, jika kau masih ingin menghirup hangatnya sinar matahari.”

Orang bongkok itu tertawa. Katanya ”Kita sudah berhadapan sekarang. Beruntunglah kita mendapat tempat yang lapang dan tidak banyak terganggu di sini.”

Panembahan Lebdagati menggeram. Tetapi ia harus menghadapi orang bongkok itu. Dalam pada itu, maka para pengikut Panembahan Lebdagati ingin dengan cepat menyelesaikan lawan mereka yang disebut oleh Lembu Palang tidak lebih dari kecoak-kecoak yang mengotori geledeg tempat makanan.

Karena itu, maka mereka pun telah mengerahkan kemampuan mereka. Sebelum matahari sampai ke puncak, maka mereka berharap, orang-orang yang memberanikan diri melawan Panembahan Lebdagati itu sudah tertumpas habis.

Tetapi ternyata tidak semudah itu untuk melakukannya. Dalam pertempuran yang sengit, tiba-tiba saja sesosok bayangan telah menyambar-nyambar dengan garangnya. Sosok itu seakan-akan tidak dapat disentuh oleh ujung senjata, sehingga kehadirannya telah mengacaukan medan. Sekilas bayangan itu lewat dan hilang di balik dinding halaman. Namun beberapa orang pengikut Panembahan Lebdagati telah terluka.

Peristiwa itu telah membesarkan hati para pengikut Ki Warana dan orang-orang padukuhan itu. Mereka menjadi semakin berani. Apalagi jumlah lawan mereka pun telah susut pula.

Sementara itu Ki Jagaprana berdiri tegak sambil bertolak pinggang. Ia telah menunjukkan keperkasaannya. Meski pun umurnya sudah merambat melampaui pertengahan abad, namun ternyata bahwa ia masih seorang yang memiliki ilmu yang tinggi.

Ki Jagaprana menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja ia teringat kepada Ki Lemah Teles yang telah menantangnya untuk bertempur. Dan bahkan telah melukainya justru pada saat ia tidak mengira bahwa hal itu akan terjadi.

“Apakah ilmu Ki Lemah Teles memang lebih tinggi dari ilmuku?” bertanya Ki Jagaprana didalam hatinya. Namun tiba-tiba sepercik ingatan telah melonjak didalam hatinya ”Agaknya waktu itu Ki Lemah Teles sedang dihinggapi perasaan yang asing justru setelah ia merasa menjadi semakin tua. Ia merasa bahwa dirinya tidak berarti lagi, sehingga ia ingin menunjukkan, bahwa ia masih tetap Ki Lemah Teles sebagaimana Ki Lemah Teles sepuluh tahun sebelumnya."

Ki Jagaprana itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun segera menyadari, bahwa ia berada ditengah pertempuran. Sementara para pengikut Ki Warana dan orang-orang padukuhan itu tidak memiliki ilmu setinggi ilmu para pengikut Panembahan Lebdagati. Karena itu, maka Ki Jagaprana itu pun segera meloncat dan kembali ke arena pertempuran.

Tetapi ia tertegun sejenak melihat Ki Sambi Pitu yang berhadapan dengan empat orang yang bertempur sambil berputar-putar. Berganti-ganti keempat orang itu menyerang. Namun pada satu ketika keempatnya datang bersama-sama. Keempatnya menyambar-nyambar dari arah yang berbeda-beda. Senjata mereka mematuk dengan cepat, sementara mereka selalu bergerak dalam putaran yang sekali-sekali melebar, namun kemudian menyempit.

“Mereka menirukan elang yang bertempur di langit.” desis Ki Jagaprana.

Adalah diluar dugaan, bahwa Ki Jagaprana itu pun menengadahkan wajahnya kelangit. Ia memang melihat beberapa ekor burung elang berterbangan. Sejenak Ki Jagaprana termangu-mangu. Ternyata pengikut Panembahan Lebdagati ada juga yang harus diperhitungkan selain Lebdagati sendiri.

Sambil bertempur Ki Sambi Pitu yang melihat Ki Jagaprana termangu-mangu berteriak, ”He, apakah kau pernah berkenalan dengan kelompok Kukila Dahana?”

Ki Jagaprana mengerutkan dahinya. Ia pernah mendengar nama sekelompok orang berilmu tinggi yang menyebut nama kelompoknya dengan Kukila Dahana. Burung api yang sangat berbahaya. Sentuhan serangannya pada kulit lawannya, akan memberikan bekas seakan-akan kulit lawannya itu terjilat oleh api yang panasnya melampaui panasnya bara tempurung kelapa.

Karena itu, maka Ki jagaprana pun menyempatkan diri untuk melihat, apakah kemampuan mereka benar-benar tinggi sebagaimana ceritera yang pernah didengarnya.

Ternyata bahwa Ki Sambi Pitu seorang diri mampu mengimbangi mereka berempat. Meski pun Ki Sambi Pitu harus bertempur dengan puncak kemampuannya, namun keadaannya tidak terlalu membahayakan. Meski pun setiap kali Ki Sambi Pitu harus berloncatan mengambil jarak, namun Ki Jagaprana tidak akan mengganggunya, karena Ki Sambi Pitu akan dapat menjadi marah kepadanya. Kecuali jika Ki Sambi Pitu sendiri memanggilnya.

Ternyata Ki Sambi Pitu sama sekali tidak memberi isyarat kepadanya untuk melibatkan diri. Karena itu, beberapa saat, Ki Jagaprana hanya berdiri saja termangu-mangu. Namun sekali lagi ia pun teringat bahwa para pengikut Ki Warana dan orang-orang padukuhan itu harus bertempur dengan mengerahkan segenap tenaga, kekuatan dan kemampuan mereka.

Sementara itu orang-orang padukuhan itu sudah mulai menjadi letih. Mereka bukan orang-orang yang terlatih untuk bertempur. Sehingga ketahanan tubuh mereka tidak setinggi para pengikut Ki Warana dan apalagi para pengikut Panembahan Lebdagati. Karena itu, maka Ki Jagaprana pun segera kembali menceburkan diri dalam kancah pertempuran.

Dibagian lain, Manggada dan Laksana telah berganti lawan ketika lawan-lawan mereka merangkak menjauhi garangnya arena pertempuran. Baik Manggada mau pun Laksana telah berhasil melukai lawan-lawan mereka sehingga mereka harus berhenti bertempur.

Sedangkan di bagian lain lagi, Ki Ajar Pangukan membiarkan Ki Pandi menghadapi Panembahan Lebdagati. Ki Ajar sendiri harus bertempur melawan sekelompok orang diantara para pengikut Panembahan Lebdagati. Namun ternyata Ki Ajar Pangukan telah terlalu banyak menghisap lawan. Setiap kali seorang telah terlempar dari arena pertempuran.

Dalam pada itu, Ki Lemah Teles masih bertempur mengadu ilmu dengan Lembu Palang. Keduanya adalah orang yang berilmu tinggi. Keduanya memiliki kelebihan dan kelemahannya masing-masing.

Kegarangan Kebo Palang kadang-kadang mampu mendesak Ki Lemah Teles. Namun pada kesempatan lain, Ki Lemah Teles berhasil menyentuh lawannya dengan serangan-serangannya.

Kemarahan Lembu Palang pun menjadi semakin menjadi-jadi. Dikerahkannya semua kemampuan dan ilmunya untuk melawan orang yang menyebut dirinya Ki Lemah Teles itu.

Benturan-benturan pun telah terjadi. Ternyata bahwa Lembu Palang telah merambah kedalam ilmu puncaknya. Ki Lemah Teles mulai merasakan hembusan-hembusan ilmu yang sangat tajam menyentuhnya. Seperti sentuhan angin yang sekali-sekali menerpa wajahnya, maka Ki Lemah Teles merasakan sesuatu masuk kedalam lubang hidungnya. Tidak berbau sama sekali.

Namun ketajaman panggraita Ki Lemah Teles telah menangkap sentuhan ilmu Lembu Palang menyusup melalui indera penciumannya. Dengan cepat Ki Lemah Teles telah mengatur indera penciumannya yang menjadi pintu bagi kekuatan ilmu lawannya.

Seandainya Ki Lemah Teles tidak menyadarinya, maka ia akan menjadi semakin lama semakin lemah dan bahkan kehilangan tenaganya sama sekali. Untuk melawan Lembu Palang, maka Ki Lemah Teles telah melepaskan ilmunya pula.

Asap yang tipis tiba-tiba saja telah mengepul dari celah-celah jari tangan Ki Lemah Teles yang terjulur lurus menggapai kearah kepala Lembu Palang. Tangan Ki Lemah Teles memang tidak menyentuh kepala Lembu Palang, tetapi asap yang tipis itu berhembus ke wajahnya.

Tiba-tiba saja Lembu Palang itu meloncat mengambil jarak. Matanya menjadi sangat panas. Ternyata asap yang tipis itu mengandung semacam racun yang menyakiti mata Lembu Palang. Tetapi Lembu Palang bukan orang kebanyakan. Ia pun segera mengembus asap tipis itu sehingga hanyut menebar diudara.

Namun bukan berarti bahwa keduanya sudah tidak bertempur lagi. Keduanya masih saja berloncatan sambar menyambar. Bukan saja dengan kemampuan lewat ujud kewadagan, tetapi mereka telah saling membenturkan ilmu mereka yang tinggi.

Lembu Palang yang tidak mengira akan bertemu dengan Ki Lemah Teles di padukuhan itu, benar-benar berusaha untuk segera mengakhirinya, tetapi Ki Lemah Teles juga bukan orang kebanyakan. Bahkan setelah saling membenturkan ilmu mereka, Lembu Palang justru menjadi semakin terdesak.

Ada sepercik penyesalan, bahwa ia telah ikut pergi ke padukuhan itu. Menurut perhitungannya, ia akan dapat menghibur diri dengan berburu kecoak. Tetapi ternyata bahwa ia telah bertemu seorang raksasa dalam ilmu kanuragan.

Lembu Palang memang tidak dapat mengharapkan bantuan dari siapapun. Orang-orangnya yang ikut pula bersamanya pergi ke padukuhan itu tidak mampu pula untuk melindungi dirinya. Di hadapan anak-anak yang masih terlalu muda, mereka tidak berdaya untuk bertahan.

Karena itu, maka Lembu Palang pun telah mengerahkan ilmunya sampai pada ilmu pamungkasnya. Tetapi Ki Lemah Teles yang juga berilmu tinggi, tidak membiarkan dirinya digilas oleh kemampuan lawannya. Untuk beberapa lama Ki Lemah Teles sedang diganggu oleh kesadarannya bahwa ia menjadi semakin tua. Hidupnya menjadi semakin sepi dan ia merasa tidak berarti lagi.

Tetapi di pertempuran itu, ia telah bertemu dengan seseorang yang telah pernah menyakiti hatinya. Karena itu, maka Ki Lemah Teles itu pun merasa bahwa ia telah mendapat kesempatan bahwa ia bukan orang yang terbuang.

“Jika aku gagal, maka aku benar-benar orang yang tidak berarti lagi.” berkata Ki Lemah Teles didalam hatinya. Karena itu, maka Ki Lemah Teles pun telah meningkatkan ilmunya sampai ke puncak pula.

Dengan demikian, maka kemampuan dua jenis ilmu dalam puncak kemampuannya telah saling berbenturan. Lembu Palang yang marah, kecewa dan menyesal itu harus membenturkan ilmunya melawan Ki Lemah Teles yang mendendam serta sedang berusaha untuk menegakkan kepercayaan diri, bahwa pada umurnya yang semakin tua, ia masih tetap seorang yang berilmu tinggi dan yang masih mempunyai arti dalam lingkungan orang-orang yang berkemampuan tinggi.

Ketika keduanya sampai pada batas kemampuan mereka, maka benturan ilmu yang dahsyat tidak dapat dihindarkan. Ketika Lembu Palang meloncat menyerang dengan ayunan tangan yang memuat ilmu pamungkasnya, maka Ki Lemah Teles dengan cepat menanggapinya. Ayunan tangan Lembu Palang yang mengarah ke kepala Ki Lemah Teles telah membentur kekuatan ilmu tertinggi lawannya. Ki Lemah Teles telah mengayunkan tangannya pula.

Dengan demikian, maka benturan kedua ilmu tertinggi dari dua orang yang memiliki kekuatan, kemampuan dan ilmu yang sangat tinggi itu telah mengguncangkan medan. Getaran dari benturan itu seakan-akan telah mengetuk setiap dada dari pihak yang manapun.

Dengan demikian, maka pertempuran itu seakan-akan telah terhenti. Setiap orang yang terlalu jauh dari kedua orang yang telah membenturkan dua ilmu puncak itu telah berpaling sehingga pertempuran pun seakan-akan telah terhenti sesaat....
Selanjutnya,
Matahari Senja Bagian 14