Matahari Senja Bagian 08 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Arya Manggada - Matahari Senja Bagian 08
Karya : Singgih Hadi Mintardja

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
SUARA itu berhenti sejenak. Sementara kakak Ki Krawangan yang telah sadar sepenuhnya itu berteriak pula, "He, pengecut. Nampakkan dirimu. Jangan memfitnah sambil bersembunyi.”

"Aku telah mengalahkan kau!" terdengar lagi suara dari kegelapan "Sekarang sadarilah. Jika sementara ini kalian harus mengorbankan seekor anak binatang di bawah purnama, maka beberapa saat lagi kalian akan digiring untuk mengorbankan anak manusia. Bayangkan, setiap bulan seorang bayi akan mati. Gila. Bahkan tidak hanya di padukuhan ini saja. Apakah kalian akan melakukan upacara yang gila itu? Hari ini orang-orang padepokan itu sudah berniat mengorbankan seseorang sebagai langkah awal niat mereka menggiring kalian untuk mengorbankan bayi disetiap bulan purnama, karena orang yang kalian anggap pemimpin padepokan itu telah terganggu penalarannya."

"Cukup, fitnah itu sama sekali tidak benat.” Teriak kakak Ki Krawangan.
Tetapi suara tertawa itu masih berkepanjangan. Kata-kata di sela-sela derai tertawa itu masih terdengar. “Nah, kalian yang waras, yang masih mempunyai daya penalaran yang utuh, apakah kalian justru akan jatuh di bawah pengaruh orang gila? Orang yang terganggu kesadarannya oleh dendam kebencian?”

“Cukup, cukup!” bukan hanya kakak Ki Krawangan saja yang berteriak, tetapi seorang cantrik yang telah sadar sepenuhnya berteriak pula, sementara orang yang bertubuh raksasa itu menggeram. Ia tidak berani berteriak, agar darah di lukanya tidak memancar lagi.

Namun suara itu masih terdengar, “Selamat malam saudara-saudaraku. Selama padepokan itu masih ada, maka kita masih akan sering berjumpa dimanapun."

“Gila... He orang-orang gila. Aku bunuh kalian pada saatnya.

Tetapi suara itu menjawab, “Jika kami ingin membunuhmu, maka kami tentu sudah melakukannya. Tetapi kami bukan orang-orang yang menjadi mata gelap, kehilangan pegangan dan membunuh sasaran yang tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan yang sebenarnya terjadi. Nah, tolong, sampaikan kepada Kiai Banyu Bening, jika ia masih tidak menghentikan perbuatan gilanya, maka kami benar-benar akan memperlakukannya seperti orang gila."

“Diam, diam, diam,!” teriak kakak Ki Krawangan. Suara tertawa itu masih bergema. Semakin lama terdengar semakin jauh, sehingga akhirnya hilang sama sekali. Malam kembali menjadi sepi. Ketegangan masih mencengkam setiap jantung.

Orang-orang padepokan yang masih lemah itu dicengkam oleh kemarahan, kebencian, dendam tetapi juga kekhawatiran. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka tidak dapat memburu orang-orang yang telah menghinakan mereka dan bahkan menyebut nama Kiai Banyu Bening.

Namun sejenak kemudian, maka orang yang bertubuh raksasa itu berkata, “Biarlah orang-orang padukuhan itu pergi. Kita akan membuat perhitungan dengan mereka kelak, karena mereka tidak mau membantu kita, disaat kita dalam kesulitan.”

Kakak Ki Krawangan tidak menyahut. Tetapi bagaimanapun juga ia merasa cemas tentang adiknya. Orang-orang padepokan dapat menyangka, bahwa adiknya benar-benar telah berhubungan dengan orang bongkok itu.

“Besok aku harus berbicara dengan Krawangan,“ berkata orang itu di dalam hatinya.

Dalam pada itu, maka orang-orang padukuhan itupun segera pulang ke rumah mereka masing-masing ketika mereka sudah mendapat ijin dari orang-orang padepokan. Namun ancaman orang bertubuh raksasa itu didengar oleh salah seorang padukuhan itu, sehingga ia menjadi ketakutan.

Ternyata perasaan takut itu kemudian telah menjalar pula ke setiap orang yang mendapat berita tentang ancaman itu. Namun sebelum orang-orang itu memasuki gerbang padukuhan, maka seseorang telah berlari-lari keluar dari regol padukuhan. Justru orang yang belum mereka kenal.

“Siapa yang terikat di halaman banjar? Siapa?” teriak orang itu.

“Siapa? Siapa?“ setiap orang pun telah bertanya pula. Namun karena itu, maka orang-orang itu tidak jadi langsung pulang ke rumah. Tetapi mereka berduyun-duyun pergi ke banjar.

Sebenarnyalah dua orang terikat pada dua batang pohon yang tumbuh di halaman banjar. Orang yang juga belum mereka kenal. Kedua orang itu agaknya telah pingsan meskipun keduanya masih hidup. Agaknya keduanya telah menjadi kepanasan oleh lidah api yang menelan banjar padukuhan mereka. Banjar yang mereka dirikan dengan susah payah itu telah menjadi abu diterpa oleh kemarahan Sang Maha Api karena pokal orang bongkok itu.

Kedua orang itu tubuhnya basah oleh keringat. Sementara udara di halaman banjar itu masih terasa panas, meskipun api sebagian besar sudah padam.

Seorang penghuni padukuhan yang sudah separo baya berkata, “Ambil air. Kita harus segera mendinginkan mereka.”

Seseorangpun telah berlari-lari ke sumur. Dengan upih orang itu membawa air yang kemudian telah disiramkan ke wajah kedua orang yang pingsan itu. Kedua orang itu mulai menggeliat. Bahkan kemudian keduanya mulai menggelengkan kepalanya serta membuka matanya.

Namun adalah diluar dugaan ketika tiba-tiba sesosok tubuh yang hanya nampak hitam di kelamnya malam muncul dari antara sisa kayu dan pecahan genting yang berserakan di bekas banjar itu berdiri, sementara malam seakan-akan menjadi semakin hitam.

Orang-orang yang berada di halaman padukuhan itu termangu-mangu. Oncor di regol halaman banjar masih menyala, meskipun cahayanya tidak dapat menggapai seluruh halaman, juga tidak dapat menerangi sosok tubuh yang muncul dan dalam sisa-sisa kebakaran itu, meskipun disana-sini masih nampak lidah api menyala meskipun hanya sejengkal. Juga masih ada kayu yang membara dan kerangka bambu yang meledak.

Orang-orang yang ada di halaman itu merasa bulu-bulu tengkuk mereka meremang ketika mereka mendengar sosok yang hitam itu tertawa berkepanjangan.

“He, orang-orang padukuhan yang dungu? Kenapa kalian percaya bahwa banjar kalian telah ditelan oleh murka Sang Maha api karena terhina oleh persembahan orang bongkok itu? Kalian mengira bahwa kuasa Sang Maha Api itu mengatasi segala-galanya, sehingga mampu menghukum kalian dengan menelan banjar itu? Semua itu omong kosong. Lihatlah dua orang yang terikat itu. Merekalah yang telah membakar banjar kalian atas perintah orang-orang dari padepokan. Mereka ingin meyakinkan kalian, betapa besar kuasa Sang Maha Api, sementara orang-orang itu sendiri tidak percaya akan kuasa Sang Maha Api itu sendiri. Lihat kedua orang itu. Apa yang telah mereka lakukan? Tanyakan kepada mereka, mereka tentu tidak dapat menjawab, karena mereka juga tidak tahu, tidak pernah merasa bersentuhan, apalagi bahwa Sang Maha Api itu menanggal didalam dirinya. Yang mereka tahu adalah, bahwa api itu panas. Sedangkan sinar matahari juga panas dan bersumber dari Maha Sumbernya di langit. Yang mereka tahu bahwa api itu memancarkan sinar sebagaimana bulan di langit.”

Halaman itu telah dicengkam oleh ketegangan Sementara itu, kedua orang yang terikat itu menggeretakkan gigi mereka. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa karena mereka masih terikat pada batang pepohonan.

Dalam pada itu, sosok yang kehitam-hitaman itu masih berkata, ”Sekarang kalian berhadapan dengan kenyataan. Tidak ada kuasa Sang Maha Api yang dapat murka karena orang bongkok itu telah menghinanya. Yang terjadi adalah dua orang itulah yang telah membakar banjar ini.”

Orang-orang padukuhan itu semuanya telah memandang kedua orang yang terikat itu dengan penuh kebencian. Namun sosok yang hitam itu berkata pula, ”Tetapi kalian jangan bertindak apa-apa. Kita justru harus melaporkannya. Jika kalian berbuat sesuatu atas kedua orang itu, maka seisi padepokan itu akan marah dan mendatangi kalian untuk membalas dendam. Karena itu, jangan kecewa bahwa orang yang membakar banjar padukuhanmu aku lepaskan. Keduanya telah melakukan tugas mereka dengan baik, membakar banjar padukuhan.

Orang-orang padukuhan itu memang menjadi bimbang. Ia tidak tahu pasti maksud sosok yang tiba-tiba saja muncul dari reruntuhan banjar yang terbakar itu. Namun sosok itupun kemudian telah melangkah kearah kedua orang yang terikat itu sambil berkata,

”Biarlah keduanya kembali ke padepokannya. Biarlah keduanya melaporkan kepada orang yang menyebut dirinya Banyu Bening tetapi tidak tahu artinya, bahwa orang-orang padukuhan itu sudah tahu, merekalah yang membakar banjar padukuhan. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan setandan pisang yang disiapkan untuk persembahan dari orang bongkok itu.”

Tidak seorangpun yang berbicara di antara orang-orang yang ada di halaman banjar itu. Mereka merasa seakan-akan mereka berada didalam sanggar. Suasananya justru lebih mencekam ketika bayangan itu melangkah mendekati kedua orang yang terikat di batang pepohonan itu.

Sejenak kemudian orang itu mencabut sebuah pisau kecil. Kemudian dengan pisau itu, ia telah memutuskan tali pengikat kedua orang itu. Adalah diluar dugaan, bahwa tiba-tiba seorang yang bertubuh gemuk telah menyerang orang yang melepaskan talinya itu. Dengan cepat ia mengayunkan tangannya menghantam kearah kening.

Tetapi orang itu sendirilah yang kemudian menjerit sambil meloncat surut. Ternyata tangannya sama sekali tidak menyentuh kening. Tetapi tangan itu telah menyambar tajamnya pisau di tangan orang yang telah memotong tali pengikatnya.

Orang itu tertawa. Katanya, “Bukan salahku. Jika kalian masih saja keras kepala, maka pisau ini akan menggorok leher kalian berdua.”

Orang itu memegangi tangannya yang berdarah. Tetapi ia tidak menjawab.

”Nah, sekarang pergilah. Katakan kepada Banyu Bening yang tidak bening itu, bahwa kami akan tetap menentangnya sampai ia menyadari, bahwa yang dilakukan itu sama sekali tidak pantas. Ia merasa terpukul karena anaknya terbakar. Tetapi pada suatu saat ia akan merasa terhibur melihat bayi-bayi yang terbakar seperti anaknya. Sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan matahari dan bulan.”

Kedua orang itu termangu-mangu, sehingga orang yang semula muncul dari antara reruntuhan itu membentak mereka, “Cepat, pergi atau aku akan mengambil keputusan lain.”

Keduanya pun kemudian dengan tergesa-gesa melangkah menjauhi orang yang melepaskan mereka itu. Sementara orang-orang padukuhan telah melihatnya. Namun ketika keduanya sampai di regol, seorang diantara keduanya berteriak,

“Awas. Pada suatu saat aku akan kembali untuk membunuhmu. Kau akan mati di atas api persembahan. Tubuhmu akan hancur menjadi debu. Ingat besok jika purnama naik, maka kami benar-benar akan mengorbankan kau. Jika kau bersembunyi, maka salah seorang penghuni padukuhan ini akan kami korbankan. Demikian berturut-turut setiap purnama. Kecuali jika ada seorang bayi yang diserahkan.”

Tetapi demikian ia selesai berbicara dan melangkah untuk meninggalkan halaman banjar itu, sebuah pukulan yang keras telah mengenai mulutnya. Sambil meloncat surut dan bahkan hampir kehilangan keseimbangannya, orang itu mengaduh. Ternyata dua giginya telah tanggal dan darah mengalir dari sela-sela bibirnya.

“Kau sudah dibebaskan. Tetapi mulutmu masih saja meneriakkan kegilaanmu.”

Kedua orang yang akan meninggalkan halaman itu tersentak. Dipandanginya orang yang berdiri di hadapannya. Karena orang itu membelakangi oncor di regol halaman, maka wajah orang itu tidak nampak jelas.

“Kau sudah dibebaskan dan dapat kembali ke padepokan. Tetapi suaramu menyengat telinga. Sebenarnya aku ingin membunuhmu sekarang. Tetapi biarlah kau kembali kepada Kiai Banyu Bening untuk memberikan laporan lengkap tentang peristiwa yang terjadi disini. Juga tentang keberhasilanmu membakar banjar tepat pada waktu yang sudah diperhitungkan oleh kawan-kawanmu.”

Kedua urang itu tidak menyahut. Ketika mereka berpaling, mereka masih melihat orang yang melepaskannya itu berdiri di sebelah batang pohon itu. Ternyata ada beberapa orang-berilmu tinggi yang membayangi kekuatan padepokan mereka.

“Nah,“ berkata orang yang telah memukul mulut salah seorang dari kedua orang itu hingga berdarah. “Sekarang pergilah. Beritahukan kepada Banyu Bening, bahwa kami akan tetap membayanginya sampai ia menyadari, bahwa ia tidak dapat melontarkan dendamnya kepada bayi diseluruh permukaan bumi ini.”

Kedua orang itu masih berdiri mematung. Namun orang yang telah memukulnya itu berkata lagi, “Pergilah. Kesempatan bagi kalian masih terbuka.”

Kedua orang itupun kemudian telah beringsut perlahan-lahan. Namun kemudian keduanya seakan-akan telah meloncat dan berjalan dengan cepat meninggalkan regol banjar padukuhan itu.

Dalam pada itu, orang yang telah memutus tali yang mengikat kedua orang yang membakar banjar itu berkata kepada orang-orang yang berada di halaman, “Sekarang, pulanglah. Pesanku, jangan dengan serta-merta menentang orang-orang dari padepokan itu. Tetapi kalian sudah mengetahui, bahwa mereka telah berusaha memperbodoh kalian. Orang yang bernama Kiai Banyu Bening itu telah kehilangan anak bayinya yang terbakar. Ia merasa terpukul oleh peristiwa itu. Tetapi kami belum tahu pasti, siapakah yang telah bersalah atas kematian bayi itu. Mungkin justru Kiai Banyu Bening sendiri. Dan ia berusaha menimpakan kesalahannya kepada orang lain.”

Orang-orang yang berada di halaman itu memang telah tersentuh hatinya. Tetapi mereka menyadari, bahwa menentang orang-orang padepokan akan berarti hancurnya padukuhan mereka.

Demikianlah, maka satu-satu mereka telah keluar dari regol halaman banjar padukuhan yang telah menjadi abu. Di beberapa bagian api masih nampak menyala. Tetapi sudah menjadi semakin kecil. Masih ada pula bara yang merah diantara setumpuk reruntuhan. Namun sudah tidak banyak berarti lagi.

Sebuah kentungan yang menjadi kebanggaan padukuhan itu, karena besarnya dan bunyinya yang mendengung seperti gema yang menyusuri lembah di antara bukit-bukit, telah ikut menjadi abu pula. Malam itu setiap keluarga telah membicarakan banjar mereka yang terbakar. Satu dua diantara mereka telah membicarakan pula orang-orang yang disebut membakar banjar itu.

“Siapakah sebenarnya orang bongkok itu?“ desis Ki Krawangan yang duduk bersama keluarganya, ”Ternyata kedatangannya di padukuhan ini bukan sekedar kelaparan dan kehausan.”

Delima mengangguk-angguk. Tetapi ia sama sekali tidak menyahut. Yang kemudian berbicara adalah Nyi Krawangan, ”Orang bongkok itu agaknya membawa pesan yang lebih berarti bagi para penghuni padukuhan ini.”

Ki Krawangan mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Aku tidak tahu, bagaimana sikap kakang terhadap peristiwa yang baru saja terjadi di sanggar dan di banjar. Dua peristiwa yang memang saling berhubungan. Jika benar kedua orang itu membakar banjar, maka segala sesorah orang-orang padepokan itu adalah omong kosong.”

“Apalagi menilik keterangan orang yang tidak dikenal itu. Kiai Banyu Bening, eh, jabang bayi, aku telah menyebut namanya, orang yang dibayangi oleh dendam karena kematian bayinya itu, ingin melihat orang lain juga mengalami sebagaimana dialaminya."

“Jika demikian, ia adalah orang yang perlu dikasihaninya,” desis Ki Krawangan.

Nyi Krawangan termangu-mangu sejenak. Dipandanginya anak perempuannya. Delima memang menjadi gelisah, tetapi ia tetap berdiam diri. Namun peristiwa yang terjadi di sanggar itu nampaknya akan menjauhkan orang bongkok dan dua orang cucunya itu dari padukuhannya, karena orang-orang padukuhan ini telah mengenalnya.

Delima tidak dapat membayangkan tanggapan orang-orang dipadukuhannya terhadap Ki Pandi. Apakah mereka menjadi marah, merasa terhina, atau justru seperti ayah dan ibunya, yang nampaknya mempunyai sikap tersendiri terhadap orang bongkok itu.

Dalam pada itu, maka Ki Krawangan pun kemudian berkata, ”Sudahlah. Kita akan tidur. Kita akan melihat perkembangan keadaan esok pagi.”

Tetapi Nyi Krawangan agaknya justru merasa cemas. Karena itu, iapun bertanya kepada suaminya, ”Apakah orang-orang padepokan itu dapat menuduh kita terlibat dalam persoalan ini? Maksudku, apakah orang-orang padepokan menganggap bahwa kita telah menjadi jembatan kehadiran orang bongkok dan kawan-kawannya di padukuhan ini karena orang bongkok itu pernah berada dirumah ini?”

Ki Krawangan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Entahlah Nyi. Tetapi mudah-mudahan tidak. Karena itu, aku berharap besok kakang datang kemari. Aku ingin berbicara dengan kakang.”

Nyi Krawangan pun mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian berkata kepada Delima dan Kenanga, ”Sudahlah. Hari telah larut. Sebaiknya kita pergi tidur saja.”

Ketika kemudian Nyi Krawangan, Delima dan Kenanga sudah berbaring didalam biliknya, Ki Krawangan masih duduk di ruang tengah. Sebuah mangkuk berisi wedang jahe telah dihirupnya beberapa kali. Bagaimanapun juga Ki Krawangan juga menjadi gelisah. Orang-orang dari padepokan Kiai Banyu Bening itu memang dapat menuduhnya bahwa ia telah berhubungan sebelumnya dengan orang bongkok itu.

Kakaknya memang pernah memberitahukannya dan bahkan para cantrik pernah datang pula kepadanya. Baru menjelang dini, Ki Krawangan itu sempat tidur beberapa saat. Ketika fajar menyingsing, Ki Krawangan telah terbangun. Ia minta agar isterinya tidak pergi ke pasar atau ke mana-mana.

“Ada apa kakang?“ bertanya Nyi Krawangan.

“Apapun yang terjadi, kita ada dirumah.”

Nyi Krawangan mengangguk. Katanya, “Baiklah. Biarlah Delima mencuci di sumur saja nanti.”

Tetapi ketika kemudian matahari terbit, Delima telah mengumpulkan cuciannya di dalam bakul yang selalu dibawanya mencuci ke sungai.

“Delima,” berkata ibunya “Kau nanti tidak usah pergi ke sungai. Kau cuci saja pakaian kotor itu di sumur.”

“Kenapa?” bertanya Delima.

“Kau tahu bahwa baru semalam terjadi keributan. Banjar kita masih berasap. Kita tidak tahu apakah orang-orang dari padepokan semalam ada yang menjadi korban. Maksudku, terbunuh. Karena itu, maka sebaiknya kita berkumpul saja dirumah. Mungkin pamanmu akan datang memberikan penjelasan, apakah keluarga kita dianggap terlibat atau tidak.”

Delima termangu-mangu sejenak. Tetapi rasa-rasanya ia ingin pergi ke sungai, justru karena semalam terjadi keributan. Apakah orang bongkok itu masih datang atau benar-benar menjauhkan dirinya dari padukuhan ini. Karena itu, maka Delima itupun berkata, “Tetapi mencuci di sungai lebih bersih ibu. Lagi pula aku tidak usah menimba air.”

“Tetapi suasananya tidak menguntungkan Delima. Sebaiknya kau tetap dirumah. Jika terjadi sesuatu di padukuhan ini karena peristiwa yang terjadi semalam, kita sudah berkumpul di rumah.”

Delima menjadi kecewa. Tetapi ia memang menjadi cemas bahwa sesuatu akan terjadi di padukuhan itu sebagaimana dikatakan oleh ibunya. Bahkan mungkin sesuatu akan terjadi pada keluarganya, karena kecurigaan orang-orang dari padepokan Kiai Banyu Bening terhadap keluarganya. Orang-orang dari padepokan itu dapat menganggap bahwa keluarganya merupakan jembatan kehadiran orang bongkok itu di padukuhan.

Karena itu, maka Delima pun memutuskan untuk tidak pergi ke sungai hari iiu. Ia akan mencuci di sumur. Tetapi Delima itu pun kemudian berkata kepada adiknya, “Kau harus membantu aku menimba air.”

“Aku membantu menggosok dengan lerak saja,“ jawab Kenanga.

”Kau tidak boleh malas.”

”Aku sudah mencuci mangkuk.”

“Sudahlah,“ ibunya memotong, ”Bukankah ayahmu sudah mengisi jambangan sampai penuh. Nanti ayahmu akan mengisinya lagi.”

“Bukan karena jambangan penuh ibu. Tetapi Kenanga tidak boleh bermalas-malasan saja. Ia menjadi semakin tumbuh dan menjadi besar. Ia tidak boleh selalu bermanja-manja.”

“Delima, kau kenapa sebenarnya? Bukankah kau tidak pernah berkata demikian?”

Delima termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak menjawab lagi. Dipungutnya bakul yang berisi pakaian-pakaian kotor itu dan dibawanya ke sumur. Sambil berjalan ia melihat adiknya mengusap matanya yang basah. Sambil melangkah Delima berdesis perlahan yang hanya dapat didengarnya sendiri, ”Anak manja yang cengeng.”

Tetapi ketika ia mulai duduk di atas dingklik kayu setelah merendam pakaian-pakaian yang kotor itu, hatinya menjadi luluh melihat Kenanga melangkah mendekatinya sambil berusaha menghapus air matanya.

“Biar aku menimba air kak?” suaranya agak serak.

Delima memandang adiknya yang berdiri termangu-mangu. Namun katanya, ”Sudahlah Kenanga. Jambangan itu sudah penuh. Ayah sudah mengisinya.”

“Tetapi kak Delima marah.” berkata adiknya.

“Tidak. Aku tidak marah Kenanga.”

Kenanga masih ragu. Selangkah ia mendekat, sementara Delima berkata, “Marilah. Bantu aku menggosok dengan lerak!”

Kenanga pun kemudian berjongkok di sebelah Delima. Dicobanya untuk membantu mencuci pakaian-pakaian yang kotor itu. Dalam pada itu, Delima sempat merenungi dirinya sendiri. Kenapa tiba-tiba saja ia menjadi kesal. Namun akhirnya Delima menyadari bahwa ia menjadi kecewa karena ia tidak dapat pergi ke sungai untuk bertemu dan berbicara dengan orang bongkok itu. Tetapi ia telah menimpakan kekesalannya itu kepada adiknya.

Dalam pada itu, Ki Krawangan yang duduk di ruang dalam masih saja merasa gelisah. Nyi Krawangan yang sibuk di dapur, sempat melupakan kegelisahannya sejenak, justru karena kesibukannya. Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka Ki Krawangan bergegas menyongsong kakaknya yang benar-benar telah datang ke rumahnya. Dipersilahkannya kakaknya itu duduk didalam. Rasa-rasanya Ki Krawangan tidak sabar menunggu, apa yang akan dikatakan oleh kakaknya itu.

“Krawangan,“ berkata kakaknya “Beberapa orang kawanku memang mempertanyakan hubunganmu dengan orang bongkok itu.”

“Tetapi kakang tahu, bahwa aku tidak mempunyai hubungan apa-apa.”

“Ya. Para cantrik yang kemarin ada disini itu juga mengatakan bahwa kau tidak mempunyai hubungan apa-apa.” kakaknya itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya “Tetapi sekarang yang ada hanya aku, Krawangan. Aku ingin kau berkata dengan jujur. Apakah sebenarnya kau mempunyai hubungan atau tidak.”

Sementara itu Delima yang diberitahu oleh ibunya, bahwa pamannya telah datang, berkata kepada adiknya, ”Kau tunggu cucian ini Kenanga. Jika kau dapat membantu, lakukanlah. Tetapi jika kau merasa lelah, tunggui sajalah disini.”

Kenanga yang masih dibayangi oleh kemarahan kakaknya tidak berani membantah. Sambil mengangguk Kenanga menyahut, “Baik, kak. Tetapi jangan lama-lama.”

“Tidak. Aku tidak akan menunggui pembicaraan ayah dan paman sampai selesai.”

Bersama ibunya, maka Delima pun kemudian masuk ke dalam. Tetapi keduanya tidak menemui pamannya. Keduanya berusaha mendengarkan pembicaraan Ki Krawangan dengan kakaknya yang menjadi salah seorang penghuni padepokan Kiai Banyu Bening dari balik dinding.

Dalam pada itu, Krawangan berusaha menjelaskan sekali lagi, kenapa orang bongkok itu pernah berada dirumahnya sebelum terjadi peristiwa yang mengguncang tatanan yang dibuat oleh orang-orang dari padepokan Kiai Banyu Bening itu.

Kakak Ki Krawangan itu mengangguk-angguk. Dengan nada berat ia berkata, ”Ternyata segala sesuatunya telah disusun dengan rapi oleh orang bongkok itu. Tetapi kenapa ia telah memilih rumah ini? Apakah orang bongkok itu mengetahui, bahwa kau adalah adik dari salah seorang penghuni padepokan itu?”

“Aku tidak tahu, kakang. Yang aku ketahui, orang bongkok itu ada didepan rumahku. Sementara itu, ia mengaku kelaparan dan kehausan.”

Kakak Ki Krawangan itu kemudian berdesis, ”Ternyata kelompok mereka terdiri dari beberapa orang berilmu tinggi. Semalam, tiga orang kawanku terluka cukup berat. Seorang diantaranya jiwanya sangat terancam. Sedangkan yang lain, semuanya terluka dan pingsan. Aku juga tiba-tiba saja tidak ingat apa-apa lagi.”

Ki Krawangan mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian justru telah bercerita dua orang yang telah diikat di Banjar. Dua orang yang oleh orang yang tidak dikenal ini dikatakan telah membakar banjar dengan sengaja untuk memberikan kesan kemurkaan Sang Maha api.”

Wajah kakak Ki Krawangan itu menjadi tegang. Sementara kepada kakaknya, Ki Krawangan itu berkata, “Aku hanya berani mengatakan kepadamu kakang. Aku tidak berani mengatakan kepada siapapun juga, karena akan dapat menimbulkan salah paham. Bahkan aku tidak berani membicarakannya dengan orang-orang yang juga mendengar langsung keterangan orang yang tiba-tiba saja muncul dari reruntuhan banjar itu.”

“Mereka akan dapat menghancurkan padepokan Kiai Banyu Bening itu.”

Ki Krawangan melihat kecemasan di wajah kakaknya. Namun kemudian diberanikan dirinya untuk bertanya, ”Kakang, kakang minta agar aku berkata dengan jujur. Akupun telah menjawab semua pertanyaan kakang dengan jujur. Sekarang, apakah aku juga dapat minta kakang menjawab pertanyaanku dengan jujur dan tidak menimbulkan salah paham. Jika kakang bersedia menjawab dan tidak akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, maka aku akan mengajukan beberapa pertanyaan. Tetapi jika kakang berkeberatan, maka akupun akan mengurungkannya.”

Wajah kakak Ki Krawangan itu menjadi tegang. Tetapi ia seakan-akan mempunyai hutang kepada adiknya. Ketika adiknya itu menagihnya, maka sulit baginya untuk mengelak. “Apa yang akan kau tanyakan?“ desis kakaknya.

Ki Krawangan menarik nafas dalam-dalam. Kemudian barulah ia bertanya, ”Apakah yang dikatakan oleh orang yang tiba-tiba saja muncul dari rerumputan itu benar?”

“Yang mana yang kau maksudkan?” kakak Ki Krawangan memang menjadi agak bingung.

“Maksudku, aku ingin mendapat jawaban tentang apakah benar bahwa banjar itu memang sengaja dibakar? Kemudian apakah benar, bahwa sebenarnya upacara yang dilakukan setiap bulan purnama yang mengarah kepada penyerahan korban seorang bayi itu semata-mata karena dendam yang membakar jantung Kiai Banyu Bening dan sama sekali tidak ada hubungan dengan kepercayaan tentang kesejahteraan lahir dan batin?"

Wajah kakak Ki Krawangan menjadi sangat tegang. Dengan nada berat ia berkata, ”Jangan bertanya kepada siapapun tentang kebenaran ceritera itu. Jika terdengar orang-orang dari padepokan, maka kau akan dapat dibunuh.”

“Sudah aku katakan, kakang. bahwa aku tidak berani berbicara tentang keterangan orang-arang yang tidak dikenal itu dengan siapapun juga. Bahkan dengan orang-orang yang langsung mendengarnya.”

Kakak Ki Krawangan itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, ”Krawangan. Jika semula aku hanya ingin tahu tentang isi padepokan Kiai Banyu Bening, maka akhirnya aku terjerat didalamnya. Sulit bagiku dan bagi orang-orang yang sudah terikat dapat melepaskan diri. Kami, orang-orang padepokan Kiai Banyu Bening itu, satu dengan yang lain selalu saling mencurigai, saling mengawasi dan jika perlu saling membunuh di antara kami.”

“Jadi bagaimana menurut pendapat kakang tentang ceritera orang yang tidak dikenal itu?”

Kakak Ki Krawangan itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, ”Sebagian besar dari yang dikatakannya itu benar, Krawangan. Banjar ini memang sengaja dibakar. Aku sebagai penghuni padukuhan ini sebenarnya merasa berkeberatan. Tetapi aku tidak berani mencegahnya, agar tidak menimbulkan masalah baru. Sedangkan dendam yang menyala dihati Kiai Banyu Bening tentang bayinya yang terbakar itu juga benar.”

“Jika demikian, apa artinya sebuah padepokan dengan para pengikutnya yang besar dan bahkan semakin besar? Mungkin Kiai Banyu Bening mendapat kepuasan kelak, jika korban bayi itu sudah dimulai. Ia akan merasa bahwa ia tidak sendiri kehilangan anak bayinya yang ditelan api. Ia akan tertawa mendengar jerit bayi yang kepanasan dan kemudian membakarnya menjadi abu. Tetapi apa yang didapatkan oleh para pengikutnya, seperti kakang, misalnya. Atau orang bertubuh raksasa yang terluka itu. Atau yang lain lagi. Bahkan yang hampir mati terbunuh oleh orang- orang yang tidak dikenal itu."

“Krawangan, isi padepokan itu bukan sekedar orang-orang yang sesorah mengelabuhi banyak orang dengan ceritera Sang Maha Api. Tetapi dipimpin oleh Kiai Banyu Bening sendiri sekelompok orang telah berkeliaran dengan alasan untuk mendapatkan dana bagi perkembangan padepokannya serta menyebarkan kepercayaan untuk mendapatkan kesejahteraan lahir dan batin.”

“Bagaimana cara mereka untuk mendapatkan dana itu?”

“Kau sengaja bertanya untuk memancing agar aku menyebutnya? Baiklah. Kami memang sering melakukan perampokan. Tentu tidak atas nama padepokan Kiai Banyu Bening. Selanjutnya, di kemudian hari, jika kami sudah berhasil mengikat orang-orang yang sudah terlanjur percaya, maka kami akan dapat memeras mereka. Uang dan barang-barang itu akan mengalir dengan sendirinya ke padepokan kami.”

“Dan kakang menjadi salah seorang diantara mereka?” bertanya Ki Krawangan.

“Aku sudah terlanjur terlibat didalamnya. Sulit bagiku untuk melepaskan diri. Jika aku hilang dari lingkungan mereka, maka semua keluargaku tentu akan ditumpas habis. Termasuk kau dan anak isterimu. Apalagi sekarang, setelah orang bongkok itu hadir di padukuhan ini,” kakaknya berhenti sejenak. Namun kemudian dengan kerut yang semakin dalam di keningnya ia berkata, “Selama ini aku adalah salah seorang diantara mereka yang mendapat kepercayaan itu untuk tetap dapat berbuat banyak. Tetapi aku sebenarnya sedang mencari jalan untuk keluar dari neraka itu. Apalagi Kiai Banyu Bening sudah mengatakan niatnya, untuk benar-benar mengorbankan seorang bayi meskipun baru akan dilakukan di padepokan itu saja.”

Ki Krawangan menarik nafas dalam-dalam. Semula ia tidak mengira bahwa kakaknya itu justru merasa tersiksa. Ia mengira bahwa kakaknya benar-benar merasa terpanggil untuk bekerja keras menyebarkan kepercayaan yang sekedar menjadi selubung dari satu gerakan yang kotor. Dendam dan pemerasan. Tetapi Krawangan sendiri tidak berdaya untuk membantu kakaknya melepaskan diri dari lingkungan yang terkutuk itu.

Kakaknya yang melihat wajah Ki Krawangan menjadi muram, berkata “Sudahlah. Jangan hiraukan aku. Aku akan dapat menjaga diriku sendiri.”

Ki Krawangan mengangguk-angguk. Katanya, “Maaf kakang. Aku tidak dapat membantu apapun juga.”

“Aku mengerti...” jawab kakaknya, "Jika kau melibatkan diri, maka kaulah yang lebih terancam daripada aku sendiri. Bahkan dengan anak dan isterimu. Karena itu, kau justru harus berdiri pada jarak tertentu. Sementara ini aku masih orang yang dipercaya sehingga sikapku masih harus tidak berubah.”

Ki Krawangan mengangguk-angguk sambil berdesis, “Baik kakang.”

Demikianlah, maka kakak Ki Krawangan itupun segera minta diri. Sebelum ia meninggalkan tempat itu ia berkata, “Kau harus berhati-hati Krawangan. Meskipun sampai saat ini kau masih dianggap bersih tetapi kau termasuk salah seorang yang pernah dibicarakan oleh para pemimpin padepokan Kiai Banyu Bening itu.”

“Ya, kakang. Tetapi sebenarnyalah aku tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan orang bongkok itu.”

Sejenak kemudian, maka kakak Ki Krawangan itu telah meninggalkan rumah adiknya. Sementara Ki Krawangan mengantarnya sampai ke luar regol halaman rumahnya. Ketika seseorang lewat didepan regol itu, maka iapun telah mengangguk dalam-dalam. Mereka menganggap bahwa kakak Ki Krawangan itu adalah salah satu dari antara orang-orang yang dihormati di padepokan Kiai Banyu Bening, karena kakak Ki Krawangan itu sudah mendapat wewenang untuk memberikan sesorah di sanggar diluar padukuhan itu. Karena kakaknya itu pula, maka Ki Krawangan sendiri termasuk orang yang dihormati pula di padukuhan itu.

Delima dan ibunya mendengar semua pembicaraan itu. Ibunya, seperti juga ayahnya, sama sekali tidak melihat jalan yang dapat ditetapkan oleh kakak Ki Krawangan itu. Namun Delima agak sungkan untuk menyampaikannya kepada orang bongkok itu apabila mendapat kesempatan.

“Besok aku akan mencuci di kali. Mudah-mudahan orang bongkok itu masih mau datang lagi.” berkata Delima didalam hatinya. Sebenarnyalah di keesokan harinya, Delima telah minta ijin ayah dan ibunya untuk mencuci di kali.

“Suasananya masih belum menentu, Delima,” berkata ibunya.

“Jika terjadi sesuatu, tentu telah terjadi kemarin, ibu,” jawab Delima “Agaknya memang tidak terjadi sesuatu. Apakah paman mengatakan bahwa orang-orang dari padepokan itu akan berbuat sesuatu atas orang-orang padukuhan ini?”

“Tidak” jawab ayahnya, “Tetapi kita harus tetap berhati-hati.”

“Bukankah aku tidak akan berbuat apa-apa, ayah. Hanya mencuci pakaian. Tidak lebih.”

Ki Krawangan menarik nafas panjang. Namun akhirnya ia berkata, “Tetapi jangan terlalu lama. Kaupun harus berhati-hati. Jika bukan orang dari padepokan, mungkin orang-orang yang tidak kita kenal itu masih berkeliaran disini. Terutama orang bongkok itu.”

“Bukankah orang bongkok itu tidak berniat jahat? Ia justru mencoba untuk mengingatkan kita, bahwa jalan yang selama ini kita tempuh harus kita pertimbangkan lagi.”

“Delima...!“ potong ayahnya “Kau jangan berkata begitu. Hati-hatilah dengan setiap kata yang kau lontarkan. Jika lidahmu tergelincir maka kau akan dapat terjerumus kedalam kesulitan.”

Delima memandang ayahnya dengan tajamnya. Namun kemudian ia mengangguk kecil sambil menjawab, ”Ya, ayah.”

“Untuk selanjutnya, kau jangan mengatakan apa saja tentang hubungan kita dengan orang-orang dari padepokan Kiai Banyu Bening, Mereka adalah orang-orang tanpa hati tanpa jantung.”

Delima mengangguk pula. Katanya, ”Ya, ayah.”

“Nah, berhati-hatilah. Jangan terlalu lama.”

Delima pun kemudian membawa bakul berisi pakaian yang kotor itu ke sungai. Seperti biasanya iapun merendam cuciannya. Satu-satu ia mulai mencuci dengan lerak. Beberapa saat lamanya Delima mencuci. Ternyata memang belum ada orang lain yang keluar dan mencuci pakaiannya di kali sebagaimana dilakukan oleh Delima, sehingga karena itu, maka Delima itupun berada di tepian itu sendiri.

Setiap kali Delima selalu memandang gerumbul-gerumbul diseberang. Orang bongkok dan kedua orang cucunya, atau kadang-kadang sendiri, sering keluar dari gerumbul disederang. Namun setelah ia menunggu beberapa lama, namun orang bongkok itu belum juga keluar dari dalam gerumbul.

“Agaknya kakek bongkok itu tidak mau lagi datang,“ berkata Delima didalam hatinya.

Sebenarnya, ingin menceriterakan sikap pamannya yang sangat menarik baginya. Pamannya yang harus berada ditempat yang dibencinya, sehingga karena itu, maka ia merasa selalu tersiksa. Tetapi Delima masih menunggu. Ia masih tetap mencuci meskipun sebenarnya cuciannya sudah bersih. Sekali-sekali Delima meletakkan cuciannya. Bangkit terdiri dan menggeliat karena pinggulnya terasa menjadi pegal. Namun orang bongkok itu tidak juga datang.

Akhirnya Delima menjadi kesal. Dimasukkannya cuciannya yang sudah bersih itu kedalam bakulnya. Dibenahinya pakaiannya, kemudian Delima pun siap untuk meninggalkan tepian. Namun langkah Delima berhenti. Dua orang laki-laki berjalan kearahnya. Dua orang laki-laki yang agaknya belum dikenalnya. Tetapi ketika kedua orang itu menjadi semakin dekat, maka Delimapun merasa pernah melihat wajah kedua orang itu. Namun Delima tidak menghiraukannya. Ia tidak tahu pasti, apakah ia pernah melihat atau belum.

Tetapi ketika ia melangkah sambil menjinjing bakulnya, salah seorang dari kedua orang itu memanggilnya, “NDuk. Tunggu.”

Karena tidak ada orang lain, maka Delimapun merasa bahwa orang itu telah memanggilnya. Karena itu, maka Delimapun telah berhenti.

“Tunggu,” berkata orang itu pula. ”Kenapa kau tergesa-gesa pergi? Bukankah hari masih pagi?”

Delima merasakan nada yang tidak wajar pada suara laki-laki itu. Karena itu, maka iapun justru telah melangkah pula naik ke tanggul. Tetapi laki-laki itu berkata lebih keras lagi. “Tunggu, he nduk. Jangan pergi. Ada yang ingin aku katakan kepadamu.”

Delima tidak menghiraukannya. Justru ia menjadi semakin ketakutan. Karena itu, maka ia berusaha untuk. semakin cepat meninggalkan tempat itu. Tetapi kedua orang laki-laki itu juga melangkah semakin cepat. Ketika Delima hampir mencapai ujung tanggul, kedua orang itu sudah berada dibawahnya. Bahkah seorang diantara mereka telah memegang kaki Delima dan menariknya dengan kasar.

Delima terseret turun. Bakulnya terlepas dari tangannya dan bahkan ia sendiri bergulir beberapa kali dan kemudian terbaring kembali di tepian. Delima dengan tergesa-gesa berusaha bangkit. Sementara kedua orang laki-laki itu tertawa berkepanjangan.

“Kau akan lari kemana nduk?” bertanya salah seorang dari keduanya.

Wajah Delima menjadi pucat. Ia menyesal, bahwa ia telah pergi ke kali untuk mencuci. Kenapa ia tidak mendengarkan nasehat ayah dan ibunya, agar tidak pergi dalam suasana yang masih tidak menentu. Tiba-tiba saja Delima mulai mengenali kedua orang itu. Keduanya tentu orang dari padepokan Kiai Banyu Bening.

Dengan gagap Delima pun bertanya. “Siapakah kalian berdua?”

Kedua orang itu masih tertawa. Seorang dari merekapun kemudian menyahut, “Tidak ada gunanya kau mengetahui siapa kami.”

“Kenapa kalian menggangguku?“ bertanya Delima pula.

“Kami tidak mengganggumu. Kami hanya ingin duduk-duduk bersamamu disini. Kenapa kau lari?”

“Aku harus segera pulang. Aku harus masak bagi keluargaku.”

“Itu tidak perlu.” jawab salah seorang dari kedua orang itu ”Lebih baik bersama kami disini.”

Delima benar-benar menjadi ketakutan. Mata kedua orang laki-laki itu menjadi semakin liar. Tepian itu memang sepi. Biasanya banyak kawan-kawannya yang mencuci pakaian. Sekali-sekali ada orang yang memandikan kerbau atau sapinya. Sering juga anak-anak yang menggembalakan kambingnya bermain-main di tepian. Atau seorang pencari ikan yang menyusuri arus sungai itu. Tetapi hari itu tepian itu sama sekali tidak disentuh kaki seorangpun kecuali Delima.

Ternyata kedua orang ini benar-benar menjadi liar. Seorang diantara mereka berkata, “Marilah. Kita bawa anak ini ke seberang."

“Jangan...!” Delima mulai menangis.

“Diam kau,” bentak salah seorang dari kedua orang itu.

”Aku akan berteriak!“ tangis Delima.

“Tidak akan ada orang yang mendengar. Tetapi jika kau lakukan juga, aku akan membunuhmu.”

Ternyata Delima tidak menghiraukannya. Ia benar-benar berteriak nyaring. Tetapi dengan cepat, kedua orang laki-laki itu menyergapnya dan menutup mulutnya dengan telapak tangan.

“Iblis betina,“ geram yang seorang.

Tetapi yang seorang berkata, “Aku senang kepada perempuan yang tidak mudah menyerah. Marilah, kita bawa anak ini keseberang. Cepat.”

Namun sebelum kedua orang laki-laki itu menyeret Delima keseberang, maka tiba-tiba seseorang telah berdiri diatas tanggul memandangi mereka dengan dahi yang berkerut. Kedua orang laki-laki yang menyeret Delima itu terkejut. Tetapi keduanya menarik nafas lega. Seorang diantara mereka berdesis, ”Ki Warana. Aku kira siapa?”

“Apa yang kalian lakukan?“ bertanya orang itu.

Kedua orang laki-laki itu tertawa. Katanya, “Biasa, Ki Warana. Kami sudah terlalu lama tenggelam didalam tugas yang tidak berkeputusan. Tiba-tiba saja kami melihat perempuan yang kesepian ini. Kami memang merasa kasihan, sehingga kami perlu menemaninya.“

Delima memandang orang yang berdiri di atas tanggul itu dengan mata yang tanpa berkedip. Tetapi mulutnya justru bagaikan membeku. Delima tidak tahu, apa yang akan terjadi kemudian atas dirinya meskipun orang itu hadir diatas tanggul. Namun dengan nada berat orang itu berkata, “Lepaskan anak, itu...”

“He?” kedua orang laki-laki ini terkejut. ”Lepaskan,..!” suara orang yang berdiri di atas tanggul itu menjadi semakin keras.

Delima mendengar kata-kata itu. Tiba-tiba saja ketegangan yang mencengkamnya sehingga membuat mulutnya bagaikan membeku itu, larut dalam satu pengharapan. Karena ini, maka tiba-tiba saja Delima berteriak, ”Paman.”

Kedua orang laki-laki itu terkejut. Sejenak mereka termangu-mangu, tetapi mereka belum melepaskan Delima.

“Lepaskan,” berkata orang yang berdiri diatas tanggul itu semakin lantang. ”Anak itu kemanakanku, kalian dengar?”

”Tetapi, tetapi...” salah seorang laki-laki itu berdesis.

“Biarlah anak itu pulang kepada orang tuanya.”

Namun tiba-tiba seorang dari kedua orang itu berkata, “Ki Warana, hal itu tidak biasa. Biasanya tidak ada orang yang mencampuri persoalan orang lain di padepokan.”

“Ini bukan persoalan orang lain. Aku sudah mengatakan, anak itu kemanakanku, apakah kalian tuli?”

Tetapi kedua orang itu tidak mau kehilangan korbannya. Karena itu, maka seorang diantara mereka berkata, “Kami tidak akan melepaskan anak ini. Kami memerlukannya...”
Selanjutnya,
Matahari Senja Bagian 09

Matahari Senja Bagian 08

Arya Manggada - Matahari Senja Bagian 08
Karya : Singgih Hadi Mintardja

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
SUARA itu berhenti sejenak. Sementara kakak Ki Krawangan yang telah sadar sepenuhnya itu berteriak pula, "He, pengecut. Nampakkan dirimu. Jangan memfitnah sambil bersembunyi.”

"Aku telah mengalahkan kau!" terdengar lagi suara dari kegelapan "Sekarang sadarilah. Jika sementara ini kalian harus mengorbankan seekor anak binatang di bawah purnama, maka beberapa saat lagi kalian akan digiring untuk mengorbankan anak manusia. Bayangkan, setiap bulan seorang bayi akan mati. Gila. Bahkan tidak hanya di padukuhan ini saja. Apakah kalian akan melakukan upacara yang gila itu? Hari ini orang-orang padepokan itu sudah berniat mengorbankan seseorang sebagai langkah awal niat mereka menggiring kalian untuk mengorbankan bayi disetiap bulan purnama, karena orang yang kalian anggap pemimpin padepokan itu telah terganggu penalarannya."

"Cukup, fitnah itu sama sekali tidak benat.” Teriak kakak Ki Krawangan.
Tetapi suara tertawa itu masih berkepanjangan. Kata-kata di sela-sela derai tertawa itu masih terdengar. “Nah, kalian yang waras, yang masih mempunyai daya penalaran yang utuh, apakah kalian justru akan jatuh di bawah pengaruh orang gila? Orang yang terganggu kesadarannya oleh dendam kebencian?”

“Cukup, cukup!” bukan hanya kakak Ki Krawangan saja yang berteriak, tetapi seorang cantrik yang telah sadar sepenuhnya berteriak pula, sementara orang yang bertubuh raksasa itu menggeram. Ia tidak berani berteriak, agar darah di lukanya tidak memancar lagi.

Namun suara itu masih terdengar, “Selamat malam saudara-saudaraku. Selama padepokan itu masih ada, maka kita masih akan sering berjumpa dimanapun."

“Gila... He orang-orang gila. Aku bunuh kalian pada saatnya.

Tetapi suara itu menjawab, “Jika kami ingin membunuhmu, maka kami tentu sudah melakukannya. Tetapi kami bukan orang-orang yang menjadi mata gelap, kehilangan pegangan dan membunuh sasaran yang tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan yang sebenarnya terjadi. Nah, tolong, sampaikan kepada Kiai Banyu Bening, jika ia masih tidak menghentikan perbuatan gilanya, maka kami benar-benar akan memperlakukannya seperti orang gila."

“Diam, diam, diam,!” teriak kakak Ki Krawangan. Suara tertawa itu masih bergema. Semakin lama terdengar semakin jauh, sehingga akhirnya hilang sama sekali. Malam kembali menjadi sepi. Ketegangan masih mencengkam setiap jantung.

Orang-orang padepokan yang masih lemah itu dicengkam oleh kemarahan, kebencian, dendam tetapi juga kekhawatiran. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka tidak dapat memburu orang-orang yang telah menghinakan mereka dan bahkan menyebut nama Kiai Banyu Bening.

Namun sejenak kemudian, maka orang yang bertubuh raksasa itu berkata, “Biarlah orang-orang padukuhan itu pergi. Kita akan membuat perhitungan dengan mereka kelak, karena mereka tidak mau membantu kita, disaat kita dalam kesulitan.”

Kakak Ki Krawangan tidak menyahut. Tetapi bagaimanapun juga ia merasa cemas tentang adiknya. Orang-orang padepokan dapat menyangka, bahwa adiknya benar-benar telah berhubungan dengan orang bongkok itu.

“Besok aku harus berbicara dengan Krawangan,“ berkata orang itu di dalam hatinya.

Dalam pada itu, maka orang-orang padukuhan itupun segera pulang ke rumah mereka masing-masing ketika mereka sudah mendapat ijin dari orang-orang padepokan. Namun ancaman orang bertubuh raksasa itu didengar oleh salah seorang padukuhan itu, sehingga ia menjadi ketakutan.

Ternyata perasaan takut itu kemudian telah menjalar pula ke setiap orang yang mendapat berita tentang ancaman itu. Namun sebelum orang-orang itu memasuki gerbang padukuhan, maka seseorang telah berlari-lari keluar dari regol padukuhan. Justru orang yang belum mereka kenal.

“Siapa yang terikat di halaman banjar? Siapa?” teriak orang itu.

“Siapa? Siapa?“ setiap orang pun telah bertanya pula. Namun karena itu, maka orang-orang itu tidak jadi langsung pulang ke rumah. Tetapi mereka berduyun-duyun pergi ke banjar.

Sebenarnyalah dua orang terikat pada dua batang pohon yang tumbuh di halaman banjar. Orang yang juga belum mereka kenal. Kedua orang itu agaknya telah pingsan meskipun keduanya masih hidup. Agaknya keduanya telah menjadi kepanasan oleh lidah api yang menelan banjar padukuhan mereka. Banjar yang mereka dirikan dengan susah payah itu telah menjadi abu diterpa oleh kemarahan Sang Maha Api karena pokal orang bongkok itu.

Kedua orang itu tubuhnya basah oleh keringat. Sementara udara di halaman banjar itu masih terasa panas, meskipun api sebagian besar sudah padam.

Seorang penghuni padukuhan yang sudah separo baya berkata, “Ambil air. Kita harus segera mendinginkan mereka.”

Seseorangpun telah berlari-lari ke sumur. Dengan upih orang itu membawa air yang kemudian telah disiramkan ke wajah kedua orang yang pingsan itu. Kedua orang itu mulai menggeliat. Bahkan kemudian keduanya mulai menggelengkan kepalanya serta membuka matanya.

Namun adalah diluar dugaan ketika tiba-tiba sesosok tubuh yang hanya nampak hitam di kelamnya malam muncul dari antara sisa kayu dan pecahan genting yang berserakan di bekas banjar itu berdiri, sementara malam seakan-akan menjadi semakin hitam.

Orang-orang yang berada di halaman padukuhan itu termangu-mangu. Oncor di regol halaman banjar masih menyala, meskipun cahayanya tidak dapat menggapai seluruh halaman, juga tidak dapat menerangi sosok tubuh yang muncul dan dalam sisa-sisa kebakaran itu, meskipun disana-sini masih nampak lidah api menyala meskipun hanya sejengkal. Juga masih ada kayu yang membara dan kerangka bambu yang meledak.

Orang-orang yang ada di halaman itu merasa bulu-bulu tengkuk mereka meremang ketika mereka mendengar sosok yang hitam itu tertawa berkepanjangan.

“He, orang-orang padukuhan yang dungu? Kenapa kalian percaya bahwa banjar kalian telah ditelan oleh murka Sang Maha api karena terhina oleh persembahan orang bongkok itu? Kalian mengira bahwa kuasa Sang Maha Api itu mengatasi segala-galanya, sehingga mampu menghukum kalian dengan menelan banjar itu? Semua itu omong kosong. Lihatlah dua orang yang terikat itu. Merekalah yang telah membakar banjar kalian atas perintah orang-orang dari padepokan. Mereka ingin meyakinkan kalian, betapa besar kuasa Sang Maha Api, sementara orang-orang itu sendiri tidak percaya akan kuasa Sang Maha Api itu sendiri. Lihat kedua orang itu. Apa yang telah mereka lakukan? Tanyakan kepada mereka, mereka tentu tidak dapat menjawab, karena mereka juga tidak tahu, tidak pernah merasa bersentuhan, apalagi bahwa Sang Maha Api itu menanggal didalam dirinya. Yang mereka tahu adalah, bahwa api itu panas. Sedangkan sinar matahari juga panas dan bersumber dari Maha Sumbernya di langit. Yang mereka tahu bahwa api itu memancarkan sinar sebagaimana bulan di langit.”

Halaman itu telah dicengkam oleh ketegangan Sementara itu, kedua orang yang terikat itu menggeretakkan gigi mereka. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa karena mereka masih terikat pada batang pepohonan.

Dalam pada itu, sosok yang kehitam-hitaman itu masih berkata, ”Sekarang kalian berhadapan dengan kenyataan. Tidak ada kuasa Sang Maha Api yang dapat murka karena orang bongkok itu telah menghinanya. Yang terjadi adalah dua orang itulah yang telah membakar banjar ini.”

Orang-orang padukuhan itu semuanya telah memandang kedua orang yang terikat itu dengan penuh kebencian. Namun sosok yang hitam itu berkata pula, ”Tetapi kalian jangan bertindak apa-apa. Kita justru harus melaporkannya. Jika kalian berbuat sesuatu atas kedua orang itu, maka seisi padepokan itu akan marah dan mendatangi kalian untuk membalas dendam. Karena itu, jangan kecewa bahwa orang yang membakar banjar padukuhanmu aku lepaskan. Keduanya telah melakukan tugas mereka dengan baik, membakar banjar padukuhan.

Orang-orang padukuhan itu memang menjadi bimbang. Ia tidak tahu pasti maksud sosok yang tiba-tiba saja muncul dari reruntuhan banjar yang terbakar itu. Namun sosok itupun kemudian telah melangkah kearah kedua orang yang terikat itu sambil berkata,

”Biarlah keduanya kembali ke padepokannya. Biarlah keduanya melaporkan kepada orang yang menyebut dirinya Banyu Bening tetapi tidak tahu artinya, bahwa orang-orang padukuhan itu sudah tahu, merekalah yang membakar banjar padukuhan. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan setandan pisang yang disiapkan untuk persembahan dari orang bongkok itu.”

Tidak seorangpun yang berbicara di antara orang-orang yang ada di halaman banjar itu. Mereka merasa seakan-akan mereka berada didalam sanggar. Suasananya justru lebih mencekam ketika bayangan itu melangkah mendekati kedua orang yang terikat di batang pepohonan itu.

Sejenak kemudian orang itu mencabut sebuah pisau kecil. Kemudian dengan pisau itu, ia telah memutuskan tali pengikat kedua orang itu. Adalah diluar dugaan, bahwa tiba-tiba seorang yang bertubuh gemuk telah menyerang orang yang melepaskan talinya itu. Dengan cepat ia mengayunkan tangannya menghantam kearah kening.

Tetapi orang itu sendirilah yang kemudian menjerit sambil meloncat surut. Ternyata tangannya sama sekali tidak menyentuh kening. Tetapi tangan itu telah menyambar tajamnya pisau di tangan orang yang telah memotong tali pengikatnya.

Orang itu tertawa. Katanya, “Bukan salahku. Jika kalian masih saja keras kepala, maka pisau ini akan menggorok leher kalian berdua.”

Orang itu memegangi tangannya yang berdarah. Tetapi ia tidak menjawab.

”Nah, sekarang pergilah. Katakan kepada Banyu Bening yang tidak bening itu, bahwa kami akan tetap menentangnya sampai ia menyadari, bahwa yang dilakukan itu sama sekali tidak pantas. Ia merasa terpukul karena anaknya terbakar. Tetapi pada suatu saat ia akan merasa terhibur melihat bayi-bayi yang terbakar seperti anaknya. Sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan matahari dan bulan.”

Kedua orang itu termangu-mangu, sehingga orang yang semula muncul dari antara reruntuhan itu membentak mereka, “Cepat, pergi atau aku akan mengambil keputusan lain.”

Keduanya pun kemudian dengan tergesa-gesa melangkah menjauhi orang yang melepaskan mereka itu. Sementara orang-orang padukuhan telah melihatnya. Namun ketika keduanya sampai di regol, seorang diantara keduanya berteriak,

“Awas. Pada suatu saat aku akan kembali untuk membunuhmu. Kau akan mati di atas api persembahan. Tubuhmu akan hancur menjadi debu. Ingat besok jika purnama naik, maka kami benar-benar akan mengorbankan kau. Jika kau bersembunyi, maka salah seorang penghuni padukuhan ini akan kami korbankan. Demikian berturut-turut setiap purnama. Kecuali jika ada seorang bayi yang diserahkan.”

Tetapi demikian ia selesai berbicara dan melangkah untuk meninggalkan halaman banjar itu, sebuah pukulan yang keras telah mengenai mulutnya. Sambil meloncat surut dan bahkan hampir kehilangan keseimbangannya, orang itu mengaduh. Ternyata dua giginya telah tanggal dan darah mengalir dari sela-sela bibirnya.

“Kau sudah dibebaskan. Tetapi mulutmu masih saja meneriakkan kegilaanmu.”

Kedua orang yang akan meninggalkan halaman itu tersentak. Dipandanginya orang yang berdiri di hadapannya. Karena orang itu membelakangi oncor di regol halaman, maka wajah orang itu tidak nampak jelas.

“Kau sudah dibebaskan dan dapat kembali ke padepokan. Tetapi suaramu menyengat telinga. Sebenarnya aku ingin membunuhmu sekarang. Tetapi biarlah kau kembali kepada Kiai Banyu Bening untuk memberikan laporan lengkap tentang peristiwa yang terjadi disini. Juga tentang keberhasilanmu membakar banjar tepat pada waktu yang sudah diperhitungkan oleh kawan-kawanmu.”

Kedua urang itu tidak menyahut. Ketika mereka berpaling, mereka masih melihat orang yang melepaskannya itu berdiri di sebelah batang pohon itu. Ternyata ada beberapa orang-berilmu tinggi yang membayangi kekuatan padepokan mereka.

“Nah,“ berkata orang yang telah memukul mulut salah seorang dari kedua orang itu hingga berdarah. “Sekarang pergilah. Beritahukan kepada Banyu Bening, bahwa kami akan tetap membayanginya sampai ia menyadari, bahwa ia tidak dapat melontarkan dendamnya kepada bayi diseluruh permukaan bumi ini.”

Kedua orang itu masih berdiri mematung. Namun orang yang telah memukulnya itu berkata lagi, “Pergilah. Kesempatan bagi kalian masih terbuka.”

Kedua orang itupun kemudian telah beringsut perlahan-lahan. Namun kemudian keduanya seakan-akan telah meloncat dan berjalan dengan cepat meninggalkan regol banjar padukuhan itu.

Dalam pada itu, orang yang telah memutus tali yang mengikat kedua orang yang membakar banjar itu berkata kepada orang-orang yang berada di halaman, “Sekarang, pulanglah. Pesanku, jangan dengan serta-merta menentang orang-orang dari padepokan itu. Tetapi kalian sudah mengetahui, bahwa mereka telah berusaha memperbodoh kalian. Orang yang bernama Kiai Banyu Bening itu telah kehilangan anak bayinya yang terbakar. Ia merasa terpukul oleh peristiwa itu. Tetapi kami belum tahu pasti, siapakah yang telah bersalah atas kematian bayi itu. Mungkin justru Kiai Banyu Bening sendiri. Dan ia berusaha menimpakan kesalahannya kepada orang lain.”

Orang-orang yang berada di halaman itu memang telah tersentuh hatinya. Tetapi mereka menyadari, bahwa menentang orang-orang padepokan akan berarti hancurnya padukuhan mereka.

Demikianlah, maka satu-satu mereka telah keluar dari regol halaman banjar padukuhan yang telah menjadi abu. Di beberapa bagian api masih nampak menyala. Tetapi sudah menjadi semakin kecil. Masih ada pula bara yang merah diantara setumpuk reruntuhan. Namun sudah tidak banyak berarti lagi.

Sebuah kentungan yang menjadi kebanggaan padukuhan itu, karena besarnya dan bunyinya yang mendengung seperti gema yang menyusuri lembah di antara bukit-bukit, telah ikut menjadi abu pula. Malam itu setiap keluarga telah membicarakan banjar mereka yang terbakar. Satu dua diantara mereka telah membicarakan pula orang-orang yang disebut membakar banjar itu.

“Siapakah sebenarnya orang bongkok itu?“ desis Ki Krawangan yang duduk bersama keluarganya, ”Ternyata kedatangannya di padukuhan ini bukan sekedar kelaparan dan kehausan.”

Delima mengangguk-angguk. Tetapi ia sama sekali tidak menyahut. Yang kemudian berbicara adalah Nyi Krawangan, ”Orang bongkok itu agaknya membawa pesan yang lebih berarti bagi para penghuni padukuhan ini.”

Ki Krawangan mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Aku tidak tahu, bagaimana sikap kakang terhadap peristiwa yang baru saja terjadi di sanggar dan di banjar. Dua peristiwa yang memang saling berhubungan. Jika benar kedua orang itu membakar banjar, maka segala sesorah orang-orang padepokan itu adalah omong kosong.”

“Apalagi menilik keterangan orang yang tidak dikenal itu. Kiai Banyu Bening, eh, jabang bayi, aku telah menyebut namanya, orang yang dibayangi oleh dendam karena kematian bayinya itu, ingin melihat orang lain juga mengalami sebagaimana dialaminya."

“Jika demikian, ia adalah orang yang perlu dikasihaninya,” desis Ki Krawangan.

Nyi Krawangan termangu-mangu sejenak. Dipandanginya anak perempuannya. Delima memang menjadi gelisah, tetapi ia tetap berdiam diri. Namun peristiwa yang terjadi di sanggar itu nampaknya akan menjauhkan orang bongkok dan dua orang cucunya itu dari padukuhannya, karena orang-orang padukuhan ini telah mengenalnya.

Delima tidak dapat membayangkan tanggapan orang-orang dipadukuhannya terhadap Ki Pandi. Apakah mereka menjadi marah, merasa terhina, atau justru seperti ayah dan ibunya, yang nampaknya mempunyai sikap tersendiri terhadap orang bongkok itu.

Dalam pada itu, maka Ki Krawangan pun kemudian berkata, ”Sudahlah. Kita akan tidur. Kita akan melihat perkembangan keadaan esok pagi.”

Tetapi Nyi Krawangan agaknya justru merasa cemas. Karena itu, iapun bertanya kepada suaminya, ”Apakah orang-orang padepokan itu dapat menuduh kita terlibat dalam persoalan ini? Maksudku, apakah orang-orang padepokan menganggap bahwa kita telah menjadi jembatan kehadiran orang bongkok dan kawan-kawannya di padukuhan ini karena orang bongkok itu pernah berada dirumah ini?”

Ki Krawangan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Entahlah Nyi. Tetapi mudah-mudahan tidak. Karena itu, aku berharap besok kakang datang kemari. Aku ingin berbicara dengan kakang.”

Nyi Krawangan pun mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian berkata kepada Delima dan Kenanga, ”Sudahlah. Hari telah larut. Sebaiknya kita pergi tidur saja.”

Ketika kemudian Nyi Krawangan, Delima dan Kenanga sudah berbaring didalam biliknya, Ki Krawangan masih duduk di ruang tengah. Sebuah mangkuk berisi wedang jahe telah dihirupnya beberapa kali. Bagaimanapun juga Ki Krawangan juga menjadi gelisah. Orang-orang dari padepokan Kiai Banyu Bening itu memang dapat menuduhnya bahwa ia telah berhubungan sebelumnya dengan orang bongkok itu.

Kakaknya memang pernah memberitahukannya dan bahkan para cantrik pernah datang pula kepadanya. Baru menjelang dini, Ki Krawangan itu sempat tidur beberapa saat. Ketika fajar menyingsing, Ki Krawangan telah terbangun. Ia minta agar isterinya tidak pergi ke pasar atau ke mana-mana.

“Ada apa kakang?“ bertanya Nyi Krawangan.

“Apapun yang terjadi, kita ada dirumah.”

Nyi Krawangan mengangguk. Katanya, “Baiklah. Biarlah Delima mencuci di sumur saja nanti.”

Tetapi ketika kemudian matahari terbit, Delima telah mengumpulkan cuciannya di dalam bakul yang selalu dibawanya mencuci ke sungai.

“Delima,” berkata ibunya “Kau nanti tidak usah pergi ke sungai. Kau cuci saja pakaian kotor itu di sumur.”

“Kenapa?” bertanya Delima.

“Kau tahu bahwa baru semalam terjadi keributan. Banjar kita masih berasap. Kita tidak tahu apakah orang-orang dari padepokan semalam ada yang menjadi korban. Maksudku, terbunuh. Karena itu, maka sebaiknya kita berkumpul saja dirumah. Mungkin pamanmu akan datang memberikan penjelasan, apakah keluarga kita dianggap terlibat atau tidak.”

Delima termangu-mangu sejenak. Tetapi rasa-rasanya ia ingin pergi ke sungai, justru karena semalam terjadi keributan. Apakah orang bongkok itu masih datang atau benar-benar menjauhkan dirinya dari padukuhan ini. Karena itu, maka Delima itupun berkata, “Tetapi mencuci di sungai lebih bersih ibu. Lagi pula aku tidak usah menimba air.”

“Tetapi suasananya tidak menguntungkan Delima. Sebaiknya kau tetap dirumah. Jika terjadi sesuatu di padukuhan ini karena peristiwa yang terjadi semalam, kita sudah berkumpul di rumah.”

Delima menjadi kecewa. Tetapi ia memang menjadi cemas bahwa sesuatu akan terjadi di padukuhan itu sebagaimana dikatakan oleh ibunya. Bahkan mungkin sesuatu akan terjadi pada keluarganya, karena kecurigaan orang-orang dari padepokan Kiai Banyu Bening terhadap keluarganya. Orang-orang dari padepokan itu dapat menganggap bahwa keluarganya merupakan jembatan kehadiran orang bongkok itu di padukuhan.

Karena itu, maka Delima pun memutuskan untuk tidak pergi ke sungai hari iiu. Ia akan mencuci di sumur. Tetapi Delima itu pun kemudian berkata kepada adiknya, “Kau harus membantu aku menimba air.”

“Aku membantu menggosok dengan lerak saja,“ jawab Kenanga.

”Kau tidak boleh malas.”

”Aku sudah mencuci mangkuk.”

“Sudahlah,“ ibunya memotong, ”Bukankah ayahmu sudah mengisi jambangan sampai penuh. Nanti ayahmu akan mengisinya lagi.”

“Bukan karena jambangan penuh ibu. Tetapi Kenanga tidak boleh bermalas-malasan saja. Ia menjadi semakin tumbuh dan menjadi besar. Ia tidak boleh selalu bermanja-manja.”

“Delima, kau kenapa sebenarnya? Bukankah kau tidak pernah berkata demikian?”

Delima termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak menjawab lagi. Dipungutnya bakul yang berisi pakaian-pakaian kotor itu dan dibawanya ke sumur. Sambil berjalan ia melihat adiknya mengusap matanya yang basah. Sambil melangkah Delima berdesis perlahan yang hanya dapat didengarnya sendiri, ”Anak manja yang cengeng.”

Tetapi ketika ia mulai duduk di atas dingklik kayu setelah merendam pakaian-pakaian yang kotor itu, hatinya menjadi luluh melihat Kenanga melangkah mendekatinya sambil berusaha menghapus air matanya.

“Biar aku menimba air kak?” suaranya agak serak.

Delima memandang adiknya yang berdiri termangu-mangu. Namun katanya, ”Sudahlah Kenanga. Jambangan itu sudah penuh. Ayah sudah mengisinya.”

“Tetapi kak Delima marah.” berkata adiknya.

“Tidak. Aku tidak marah Kenanga.”

Kenanga masih ragu. Selangkah ia mendekat, sementara Delima berkata, “Marilah. Bantu aku menggosok dengan lerak!”

Kenanga pun kemudian berjongkok di sebelah Delima. Dicobanya untuk membantu mencuci pakaian-pakaian yang kotor itu. Dalam pada itu, Delima sempat merenungi dirinya sendiri. Kenapa tiba-tiba saja ia menjadi kesal. Namun akhirnya Delima menyadari bahwa ia menjadi kecewa karena ia tidak dapat pergi ke sungai untuk bertemu dan berbicara dengan orang bongkok itu. Tetapi ia telah menimpakan kekesalannya itu kepada adiknya.

Dalam pada itu, Ki Krawangan yang duduk di ruang dalam masih saja merasa gelisah. Nyi Krawangan yang sibuk di dapur, sempat melupakan kegelisahannya sejenak, justru karena kesibukannya. Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka Ki Krawangan bergegas menyongsong kakaknya yang benar-benar telah datang ke rumahnya. Dipersilahkannya kakaknya itu duduk didalam. Rasa-rasanya Ki Krawangan tidak sabar menunggu, apa yang akan dikatakan oleh kakaknya itu.

“Krawangan,“ berkata kakaknya “Beberapa orang kawanku memang mempertanyakan hubunganmu dengan orang bongkok itu.”

“Tetapi kakang tahu, bahwa aku tidak mempunyai hubungan apa-apa.”

“Ya. Para cantrik yang kemarin ada disini itu juga mengatakan bahwa kau tidak mempunyai hubungan apa-apa.” kakaknya itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya “Tetapi sekarang yang ada hanya aku, Krawangan. Aku ingin kau berkata dengan jujur. Apakah sebenarnya kau mempunyai hubungan atau tidak.”

Sementara itu Delima yang diberitahu oleh ibunya, bahwa pamannya telah datang, berkata kepada adiknya, ”Kau tunggu cucian ini Kenanga. Jika kau dapat membantu, lakukanlah. Tetapi jika kau merasa lelah, tunggui sajalah disini.”

Kenanga yang masih dibayangi oleh kemarahan kakaknya tidak berani membantah. Sambil mengangguk Kenanga menyahut, “Baik, kak. Tetapi jangan lama-lama.”

“Tidak. Aku tidak akan menunggui pembicaraan ayah dan paman sampai selesai.”

Bersama ibunya, maka Delima pun kemudian masuk ke dalam. Tetapi keduanya tidak menemui pamannya. Keduanya berusaha mendengarkan pembicaraan Ki Krawangan dengan kakaknya yang menjadi salah seorang penghuni padepokan Kiai Banyu Bening dari balik dinding.

Dalam pada itu, Krawangan berusaha menjelaskan sekali lagi, kenapa orang bongkok itu pernah berada dirumahnya sebelum terjadi peristiwa yang mengguncang tatanan yang dibuat oleh orang-orang dari padepokan Kiai Banyu Bening itu.

Kakak Ki Krawangan itu mengangguk-angguk. Dengan nada berat ia berkata, ”Ternyata segala sesuatunya telah disusun dengan rapi oleh orang bongkok itu. Tetapi kenapa ia telah memilih rumah ini? Apakah orang bongkok itu mengetahui, bahwa kau adalah adik dari salah seorang penghuni padepokan itu?”

“Aku tidak tahu, kakang. Yang aku ketahui, orang bongkok itu ada didepan rumahku. Sementara itu, ia mengaku kelaparan dan kehausan.”

Kakak Ki Krawangan itu kemudian berdesis, ”Ternyata kelompok mereka terdiri dari beberapa orang berilmu tinggi. Semalam, tiga orang kawanku terluka cukup berat. Seorang diantaranya jiwanya sangat terancam. Sedangkan yang lain, semuanya terluka dan pingsan. Aku juga tiba-tiba saja tidak ingat apa-apa lagi.”

Ki Krawangan mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian justru telah bercerita dua orang yang telah diikat di Banjar. Dua orang yang oleh orang yang tidak dikenal ini dikatakan telah membakar banjar dengan sengaja untuk memberikan kesan kemurkaan Sang Maha api.”

Wajah kakak Ki Krawangan itu menjadi tegang. Sementara kepada kakaknya, Ki Krawangan itu berkata, “Aku hanya berani mengatakan kepadamu kakang. Aku tidak berani mengatakan kepada siapapun juga, karena akan dapat menimbulkan salah paham. Bahkan aku tidak berani membicarakannya dengan orang-orang yang juga mendengar langsung keterangan orang yang tiba-tiba saja muncul dari reruntuhan banjar itu.”

“Mereka akan dapat menghancurkan padepokan Kiai Banyu Bening itu.”

Ki Krawangan melihat kecemasan di wajah kakaknya. Namun kemudian diberanikan dirinya untuk bertanya, ”Kakang, kakang minta agar aku berkata dengan jujur. Akupun telah menjawab semua pertanyaan kakang dengan jujur. Sekarang, apakah aku juga dapat minta kakang menjawab pertanyaanku dengan jujur dan tidak menimbulkan salah paham. Jika kakang bersedia menjawab dan tidak akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, maka aku akan mengajukan beberapa pertanyaan. Tetapi jika kakang berkeberatan, maka akupun akan mengurungkannya.”

Wajah kakak Ki Krawangan itu menjadi tegang. Tetapi ia seakan-akan mempunyai hutang kepada adiknya. Ketika adiknya itu menagihnya, maka sulit baginya untuk mengelak. “Apa yang akan kau tanyakan?“ desis kakaknya.

Ki Krawangan menarik nafas dalam-dalam. Kemudian barulah ia bertanya, ”Apakah yang dikatakan oleh orang yang tiba-tiba saja muncul dari rerumputan itu benar?”

“Yang mana yang kau maksudkan?” kakak Ki Krawangan memang menjadi agak bingung.

“Maksudku, aku ingin mendapat jawaban tentang apakah benar bahwa banjar itu memang sengaja dibakar? Kemudian apakah benar, bahwa sebenarnya upacara yang dilakukan setiap bulan purnama yang mengarah kepada penyerahan korban seorang bayi itu semata-mata karena dendam yang membakar jantung Kiai Banyu Bening dan sama sekali tidak ada hubungan dengan kepercayaan tentang kesejahteraan lahir dan batin?"

Wajah kakak Ki Krawangan menjadi sangat tegang. Dengan nada berat ia berkata, ”Jangan bertanya kepada siapapun tentang kebenaran ceritera itu. Jika terdengar orang-orang dari padepokan, maka kau akan dapat dibunuh.”

“Sudah aku katakan, kakang. bahwa aku tidak berani berbicara tentang keterangan orang-arang yang tidak dikenal itu dengan siapapun juga. Bahkan dengan orang-orang yang langsung mendengarnya.”

Kakak Ki Krawangan itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, ”Krawangan. Jika semula aku hanya ingin tahu tentang isi padepokan Kiai Banyu Bening, maka akhirnya aku terjerat didalamnya. Sulit bagiku dan bagi orang-orang yang sudah terikat dapat melepaskan diri. Kami, orang-orang padepokan Kiai Banyu Bening itu, satu dengan yang lain selalu saling mencurigai, saling mengawasi dan jika perlu saling membunuh di antara kami.”

“Jadi bagaimana menurut pendapat kakang tentang ceritera orang yang tidak dikenal itu?”

Kakak Ki Krawangan itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, ”Sebagian besar dari yang dikatakannya itu benar, Krawangan. Banjar ini memang sengaja dibakar. Aku sebagai penghuni padukuhan ini sebenarnya merasa berkeberatan. Tetapi aku tidak berani mencegahnya, agar tidak menimbulkan masalah baru. Sedangkan dendam yang menyala dihati Kiai Banyu Bening tentang bayinya yang terbakar itu juga benar.”

“Jika demikian, apa artinya sebuah padepokan dengan para pengikutnya yang besar dan bahkan semakin besar? Mungkin Kiai Banyu Bening mendapat kepuasan kelak, jika korban bayi itu sudah dimulai. Ia akan merasa bahwa ia tidak sendiri kehilangan anak bayinya yang ditelan api. Ia akan tertawa mendengar jerit bayi yang kepanasan dan kemudian membakarnya menjadi abu. Tetapi apa yang didapatkan oleh para pengikutnya, seperti kakang, misalnya. Atau orang bertubuh raksasa yang terluka itu. Atau yang lain lagi. Bahkan yang hampir mati terbunuh oleh orang- orang yang tidak dikenal itu."

“Krawangan, isi padepokan itu bukan sekedar orang-orang yang sesorah mengelabuhi banyak orang dengan ceritera Sang Maha Api. Tetapi dipimpin oleh Kiai Banyu Bening sendiri sekelompok orang telah berkeliaran dengan alasan untuk mendapatkan dana bagi perkembangan padepokannya serta menyebarkan kepercayaan untuk mendapatkan kesejahteraan lahir dan batin.”

“Bagaimana cara mereka untuk mendapatkan dana itu?”

“Kau sengaja bertanya untuk memancing agar aku menyebutnya? Baiklah. Kami memang sering melakukan perampokan. Tentu tidak atas nama padepokan Kiai Banyu Bening. Selanjutnya, di kemudian hari, jika kami sudah berhasil mengikat orang-orang yang sudah terlanjur percaya, maka kami akan dapat memeras mereka. Uang dan barang-barang itu akan mengalir dengan sendirinya ke padepokan kami.”

“Dan kakang menjadi salah seorang diantara mereka?” bertanya Ki Krawangan.

“Aku sudah terlanjur terlibat didalamnya. Sulit bagiku untuk melepaskan diri. Jika aku hilang dari lingkungan mereka, maka semua keluargaku tentu akan ditumpas habis. Termasuk kau dan anak isterimu. Apalagi sekarang, setelah orang bongkok itu hadir di padukuhan ini,” kakaknya berhenti sejenak. Namun kemudian dengan kerut yang semakin dalam di keningnya ia berkata, “Selama ini aku adalah salah seorang diantara mereka yang mendapat kepercayaan itu untuk tetap dapat berbuat banyak. Tetapi aku sebenarnya sedang mencari jalan untuk keluar dari neraka itu. Apalagi Kiai Banyu Bening sudah mengatakan niatnya, untuk benar-benar mengorbankan seorang bayi meskipun baru akan dilakukan di padepokan itu saja.”

Ki Krawangan menarik nafas dalam-dalam. Semula ia tidak mengira bahwa kakaknya itu justru merasa tersiksa. Ia mengira bahwa kakaknya benar-benar merasa terpanggil untuk bekerja keras menyebarkan kepercayaan yang sekedar menjadi selubung dari satu gerakan yang kotor. Dendam dan pemerasan. Tetapi Krawangan sendiri tidak berdaya untuk membantu kakaknya melepaskan diri dari lingkungan yang terkutuk itu.

Kakaknya yang melihat wajah Ki Krawangan menjadi muram, berkata “Sudahlah. Jangan hiraukan aku. Aku akan dapat menjaga diriku sendiri.”

Ki Krawangan mengangguk-angguk. Katanya, “Maaf kakang. Aku tidak dapat membantu apapun juga.”

“Aku mengerti...” jawab kakaknya, "Jika kau melibatkan diri, maka kaulah yang lebih terancam daripada aku sendiri. Bahkan dengan anak dan isterimu. Karena itu, kau justru harus berdiri pada jarak tertentu. Sementara ini aku masih orang yang dipercaya sehingga sikapku masih harus tidak berubah.”

Ki Krawangan mengangguk-angguk sambil berdesis, “Baik kakang.”

Demikianlah, maka kakak Ki Krawangan itupun segera minta diri. Sebelum ia meninggalkan tempat itu ia berkata, “Kau harus berhati-hati Krawangan. Meskipun sampai saat ini kau masih dianggap bersih tetapi kau termasuk salah seorang yang pernah dibicarakan oleh para pemimpin padepokan Kiai Banyu Bening itu.”

“Ya, kakang. Tetapi sebenarnyalah aku tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan orang bongkok itu.”

Sejenak kemudian, maka kakak Ki Krawangan itu telah meninggalkan rumah adiknya. Sementara Ki Krawangan mengantarnya sampai ke luar regol halaman rumahnya. Ketika seseorang lewat didepan regol itu, maka iapun telah mengangguk dalam-dalam. Mereka menganggap bahwa kakak Ki Krawangan itu adalah salah satu dari antara orang-orang yang dihormati di padepokan Kiai Banyu Bening, karena kakak Ki Krawangan itu sudah mendapat wewenang untuk memberikan sesorah di sanggar diluar padukuhan itu. Karena kakaknya itu pula, maka Ki Krawangan sendiri termasuk orang yang dihormati pula di padukuhan itu.

Delima dan ibunya mendengar semua pembicaraan itu. Ibunya, seperti juga ayahnya, sama sekali tidak melihat jalan yang dapat ditetapkan oleh kakak Ki Krawangan itu. Namun Delima agak sungkan untuk menyampaikannya kepada orang bongkok itu apabila mendapat kesempatan.

“Besok aku akan mencuci di kali. Mudah-mudahan orang bongkok itu masih mau datang lagi.” berkata Delima didalam hatinya. Sebenarnyalah di keesokan harinya, Delima telah minta ijin ayah dan ibunya untuk mencuci di kali.

“Suasananya masih belum menentu, Delima,” berkata ibunya.

“Jika terjadi sesuatu, tentu telah terjadi kemarin, ibu,” jawab Delima “Agaknya memang tidak terjadi sesuatu. Apakah paman mengatakan bahwa orang-orang dari padepokan itu akan berbuat sesuatu atas orang-orang padukuhan ini?”

“Tidak” jawab ayahnya, “Tetapi kita harus tetap berhati-hati.”

“Bukankah aku tidak akan berbuat apa-apa, ayah. Hanya mencuci pakaian. Tidak lebih.”

Ki Krawangan menarik nafas panjang. Namun akhirnya ia berkata, “Tetapi jangan terlalu lama. Kaupun harus berhati-hati. Jika bukan orang dari padepokan, mungkin orang-orang yang tidak kita kenal itu masih berkeliaran disini. Terutama orang bongkok itu.”

“Bukankah orang bongkok itu tidak berniat jahat? Ia justru mencoba untuk mengingatkan kita, bahwa jalan yang selama ini kita tempuh harus kita pertimbangkan lagi.”

“Delima...!“ potong ayahnya “Kau jangan berkata begitu. Hati-hatilah dengan setiap kata yang kau lontarkan. Jika lidahmu tergelincir maka kau akan dapat terjerumus kedalam kesulitan.”

Delima memandang ayahnya dengan tajamnya. Namun kemudian ia mengangguk kecil sambil menjawab, ”Ya, ayah.”

“Untuk selanjutnya, kau jangan mengatakan apa saja tentang hubungan kita dengan orang-orang dari padepokan Kiai Banyu Bening, Mereka adalah orang-orang tanpa hati tanpa jantung.”

Delima mengangguk pula. Katanya, ”Ya, ayah.”

“Nah, berhati-hatilah. Jangan terlalu lama.”

Delima pun kemudian membawa bakul berisi pakaian yang kotor itu ke sungai. Seperti biasanya iapun merendam cuciannya. Satu-satu ia mulai mencuci dengan lerak. Beberapa saat lamanya Delima mencuci. Ternyata memang belum ada orang lain yang keluar dan mencuci pakaiannya di kali sebagaimana dilakukan oleh Delima, sehingga karena itu, maka Delima itupun berada di tepian itu sendiri.

Setiap kali Delima selalu memandang gerumbul-gerumbul diseberang. Orang bongkok dan kedua orang cucunya, atau kadang-kadang sendiri, sering keluar dari gerumbul disederang. Namun setelah ia menunggu beberapa lama, namun orang bongkok itu belum juga keluar dari dalam gerumbul.

“Agaknya kakek bongkok itu tidak mau lagi datang,“ berkata Delima didalam hatinya.

Sebenarnya, ingin menceriterakan sikap pamannya yang sangat menarik baginya. Pamannya yang harus berada ditempat yang dibencinya, sehingga karena itu, maka ia merasa selalu tersiksa. Tetapi Delima masih menunggu. Ia masih tetap mencuci meskipun sebenarnya cuciannya sudah bersih. Sekali-sekali Delima meletakkan cuciannya. Bangkit terdiri dan menggeliat karena pinggulnya terasa menjadi pegal. Namun orang bongkok itu tidak juga datang.

Akhirnya Delima menjadi kesal. Dimasukkannya cuciannya yang sudah bersih itu kedalam bakulnya. Dibenahinya pakaiannya, kemudian Delima pun siap untuk meninggalkan tepian. Namun langkah Delima berhenti. Dua orang laki-laki berjalan kearahnya. Dua orang laki-laki yang agaknya belum dikenalnya. Tetapi ketika kedua orang itu menjadi semakin dekat, maka Delimapun merasa pernah melihat wajah kedua orang itu. Namun Delima tidak menghiraukannya. Ia tidak tahu pasti, apakah ia pernah melihat atau belum.

Tetapi ketika ia melangkah sambil menjinjing bakulnya, salah seorang dari kedua orang itu memanggilnya, “NDuk. Tunggu.”

Karena tidak ada orang lain, maka Delimapun merasa bahwa orang itu telah memanggilnya. Karena itu, maka Delimapun telah berhenti.

“Tunggu,” berkata orang itu pula. ”Kenapa kau tergesa-gesa pergi? Bukankah hari masih pagi?”

Delima merasakan nada yang tidak wajar pada suara laki-laki itu. Karena itu, maka iapun justru telah melangkah pula naik ke tanggul. Tetapi laki-laki itu berkata lebih keras lagi. “Tunggu, he nduk. Jangan pergi. Ada yang ingin aku katakan kepadamu.”

Delima tidak menghiraukannya. Justru ia menjadi semakin ketakutan. Karena itu, maka ia berusaha untuk. semakin cepat meninggalkan tempat itu. Tetapi kedua orang laki-laki itu juga melangkah semakin cepat. Ketika Delima hampir mencapai ujung tanggul, kedua orang itu sudah berada dibawahnya. Bahkah seorang diantara mereka telah memegang kaki Delima dan menariknya dengan kasar.

Delima terseret turun. Bakulnya terlepas dari tangannya dan bahkan ia sendiri bergulir beberapa kali dan kemudian terbaring kembali di tepian. Delima dengan tergesa-gesa berusaha bangkit. Sementara kedua orang laki-laki itu tertawa berkepanjangan.

“Kau akan lari kemana nduk?” bertanya salah seorang dari keduanya.

Wajah Delima menjadi pucat. Ia menyesal, bahwa ia telah pergi ke kali untuk mencuci. Kenapa ia tidak mendengarkan nasehat ayah dan ibunya, agar tidak pergi dalam suasana yang masih tidak menentu. Tiba-tiba saja Delima mulai mengenali kedua orang itu. Keduanya tentu orang dari padepokan Kiai Banyu Bening.

Dengan gagap Delima pun bertanya. “Siapakah kalian berdua?”

Kedua orang itu masih tertawa. Seorang dari merekapun kemudian menyahut, “Tidak ada gunanya kau mengetahui siapa kami.”

“Kenapa kalian menggangguku?“ bertanya Delima pula.

“Kami tidak mengganggumu. Kami hanya ingin duduk-duduk bersamamu disini. Kenapa kau lari?”

“Aku harus segera pulang. Aku harus masak bagi keluargaku.”

“Itu tidak perlu.” jawab salah seorang dari kedua orang itu ”Lebih baik bersama kami disini.”

Delima benar-benar menjadi ketakutan. Mata kedua orang laki-laki itu menjadi semakin liar. Tepian itu memang sepi. Biasanya banyak kawan-kawannya yang mencuci pakaian. Sekali-sekali ada orang yang memandikan kerbau atau sapinya. Sering juga anak-anak yang menggembalakan kambingnya bermain-main di tepian. Atau seorang pencari ikan yang menyusuri arus sungai itu. Tetapi hari itu tepian itu sama sekali tidak disentuh kaki seorangpun kecuali Delima.

Ternyata kedua orang ini benar-benar menjadi liar. Seorang diantara mereka berkata, “Marilah. Kita bawa anak ini ke seberang."

“Jangan...!” Delima mulai menangis.

“Diam kau,” bentak salah seorang dari kedua orang itu.

”Aku akan berteriak!“ tangis Delima.

“Tidak akan ada orang yang mendengar. Tetapi jika kau lakukan juga, aku akan membunuhmu.”

Ternyata Delima tidak menghiraukannya. Ia benar-benar berteriak nyaring. Tetapi dengan cepat, kedua orang laki-laki itu menyergapnya dan menutup mulutnya dengan telapak tangan.

“Iblis betina,“ geram yang seorang.

Tetapi yang seorang berkata, “Aku senang kepada perempuan yang tidak mudah menyerah. Marilah, kita bawa anak ini keseberang. Cepat.”

Namun sebelum kedua orang laki-laki itu menyeret Delima keseberang, maka tiba-tiba seseorang telah berdiri diatas tanggul memandangi mereka dengan dahi yang berkerut. Kedua orang laki-laki yang menyeret Delima itu terkejut. Tetapi keduanya menarik nafas lega. Seorang diantara mereka berdesis, ”Ki Warana. Aku kira siapa?”

“Apa yang kalian lakukan?“ bertanya orang itu.

Kedua orang laki-laki itu tertawa. Katanya, “Biasa, Ki Warana. Kami sudah terlalu lama tenggelam didalam tugas yang tidak berkeputusan. Tiba-tiba saja kami melihat perempuan yang kesepian ini. Kami memang merasa kasihan, sehingga kami perlu menemaninya.“

Delima memandang orang yang berdiri di atas tanggul itu dengan mata yang tanpa berkedip. Tetapi mulutnya justru bagaikan membeku. Delima tidak tahu, apa yang akan terjadi kemudian atas dirinya meskipun orang itu hadir diatas tanggul. Namun dengan nada berat orang itu berkata, “Lepaskan anak, itu...”

“He?” kedua orang laki-laki ini terkejut. ”Lepaskan,..!” suara orang yang berdiri di atas tanggul itu menjadi semakin keras.

Delima mendengar kata-kata itu. Tiba-tiba saja ketegangan yang mencengkamnya sehingga membuat mulutnya bagaikan membeku itu, larut dalam satu pengharapan. Karena ini, maka tiba-tiba saja Delima berteriak, ”Paman.”

Kedua orang laki-laki itu terkejut. Sejenak mereka termangu-mangu, tetapi mereka belum melepaskan Delima.

“Lepaskan,” berkata orang yang berdiri diatas tanggul itu semakin lantang. ”Anak itu kemanakanku, kalian dengar?”

”Tetapi, tetapi...” salah seorang laki-laki itu berdesis.

“Biarlah anak itu pulang kepada orang tuanya.”

Namun tiba-tiba seorang dari kedua orang itu berkata, “Ki Warana, hal itu tidak biasa. Biasanya tidak ada orang yang mencampuri persoalan orang lain di padepokan.”

“Ini bukan persoalan orang lain. Aku sudah mengatakan, anak itu kemanakanku, apakah kalian tuli?”

Tetapi kedua orang itu tidak mau kehilangan korbannya. Karena itu, maka seorang diantara mereka berkata, “Kami tidak akan melepaskan anak ini. Kami memerlukannya...”
Selanjutnya,
Matahari Senja Bagian 09