Matahari Senja
Bagian 09
ORANG yang berdiri diatas tanggul itu melangkah turun. Demikian ia berdiri di tepian, maka suaranya yang berat terdengar lagi, ”Lepaskan, biarlah aku membawanya pulang. Gadis itu anak adikku.”
“Aku tidak peduli,“ jawab salah seorang dari kedua orang itu.
“Aku memberi peringatan terakhir kepada kalian. Jika kalian tidak melepaskannya, maka kita akan membuat perhitungan menurut kebiasaan kita, orang-orang padepokan Kiai Banyu Bening."
“Bagus,” sahut seorang diantara kedua orang yang menangkap Delima itu, ”Kami akan membunuhmu. Kaulah yang mencari persoalan. Karena itu, jika kau mati, adalah karena salahmu sendiri."
Wajah Ki Warana, kakak Ki Krawangan itu menjadi merah. Dengan geram ia berkata, “Jadi kau berdua sudah berani menentang aku, he? Berapa lama kalian berada di padepokan. Kalian sudah berani menentang orang-orang tua di padepokan itu. Karena itu, maka kalian tidak pantas lagi berada di padepokan Kiai Banyu Bening, karena kau tentu hanya akan membuat air yang mengalir dari padepokan menjadi keruh.”
Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Tetapi benak mereka telah dicengkam oleh nafsu iblis yang menyuruk kedalamnya. Karena itu seorang diantara mereka berkata, “Ki Warana. Kami berani menentangmu, karena kau memiliki kelainan dari orang-orang tua yang lain. Mereka tidak akan pernah menghalangi apapun yang kami lakukan. Tetapi kau telah mencoba merampas sesuap nasi yang sudah berada di mulutku. Karena itu, siapa pun orangnya, akan kami lawan dengan segenap kemampuan kami. Tetapi melawan orang-orang tua yang tidak berarti seperti kau, tidak boleh setengah-setengah. Jika kakiku menginjak ular, maka sebaiknya aku injak kepalanya sampai mati, agar ular itu tidak akan mematuk aku dikemudian hari.”
Ki Warana tidak dapat menahan diri lagi. Iapun segera bergeser mendekati kedua orang itu. Kedua orang itupun segera bersiap pula. Seorang di antara mereka masih memegangi Delima. Dengan geram Ki Warana pun telah menyerang salah seorang diantara mereka, sedangkan yang lain justru telah menyeret Delima agak menjauh.
Sejenak kemudian, terjadi perkelahian antara salah seorang diantara kedua orang itu dengan Ki Warana. Namun Ki Warana memang memiliki banyak kelebihan. Dalam waktu singkat, lawannya telah terdesak. Beberapa kali serangan Ki Warana sempat mendorong lawannya, sehingga kadang-kadang keseimbangannya pun telah terguncang.
Namun dalam keadaan yang paling gawat bagi orang itu, terdengar kawannya berteriak, “Cukup. Hentikan perkelahian atau gadis itu akan mati.”
Ki Warana terkejut. Iapun kemudian melihat tangan orang yang memegangi Delima itu mencengkam lehernya. “Setan licik,“ geram Ki Warana “Jika kalian laki-laki sebagaimana penghuni padepokan Kiai Banyu Bening, lepaskan gadis itu. Kita bertempur sampai tuntas disini. Aku tidak berkeberatan jika kalian bertempur berdua."
“Persetan dengan igauanmu itu. Sekarang kau harus memilih, kau atau gadis ini yang mati.”
Wajah Ki Warana menjadi sangat tegang. Tetapi Delima seakan-akan tidak lagi dapat bernafas. Tangan orang itu benar-benar telah mulai mencekik leher Delima.
“Cepat, katakan. Kau atau gadis ini yang akan mati.” Ki Warana menjadi semakin tegang. Namun kemudian iapun berdesis, “Jika kau bunuh aku, apa jaminanmu, bahwa gadis itu akan tetap hidup tanpa kau sakiti?”
“Kau tidak dapat menuntut jaminan apapun. Sekarang, berbaringlah menelungkup. Kami akan menghancurkan kepalamu dengan batu. Jika kau mati ditepian, maka anak ini akan tetap hidup.”
Namun tiba-tiba Delima berteriak, “Jangan hiraukan aku paman.”
Tetapi suaranya pun segera tertelan. Tangan yang kuat telah menutup mulutnya. Tetapi nampaknya Delima memang sudah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Ketika tangan itu menutup mulutnya, Delima justru telah membuka mulutnya itu. Demikian tangan itu berada diantara giginya, maka Delima telah menggigit tangan itu keras-keras.
Orang itu berteriak kesakitan. Justru pada saat itu, Delima merenggut dirinya dari tangan orang itu dan berusaha berlari meninggalkan tepian. Ki Warana tanggap akan keadaan itu. Dengan cepat ia meloncat memburu ketika orang yang kesakitan tangannya yang berusaha menggapai Delima lagi.
Orang itu memang mengurungkan niatnya mengejar Delima. Ia harus dengan cepat mempersiapkan diri melawan Ki Warana yang menyerangnya seperti badai. Tetapi pada saat itu, orang yang hampir dikalahkan oleh Ki Warana itulah yang kemudian berlari memburu Delima yang naik keatas tanggul.
Delima memang mempunyai sedikit waktu berlebih. Tetapi ia memang tidak setangkas lawannya. Ketika ia hampir sampai diatas tanggul, maka orang yang mengejarnya itu hampir saja dapat menggapainya. Tetapi tiba-tiba saja orang itu menjerit kesakitan. Tubuhnya meluncur dan berguling jatuh ke tepian. Sementara itu Delima telah berdiri di atas tanggul.
Namun yang sangat mengejutkan orang-orang yang berada di tepian itu adalah, seorang yang bertubuh bongkok duduk diatas tanggul itu. Ki Warana pun berdiri termangu-mangu. Ia tahu, bahwa orang bongkok itu telah memusuhi seisi padepokan Kiai Banyu Bening.
Tetapi orang bongkok itupun kemudian berkata, “Delima, beruntunglah bahwa kau telah ditolong oleh pamanmu. Tetapi persoalan pamanmu dengan kedua orang itu belum selesai.”
“Setan, kau bengkok.” geram salah seorang dari kedua orang yang akan menyeret Delima “jangan lari. Kami akan membunuhmu.”
Orang bongkok itu tertawa. Katanya, ”Kalian tidak usah mengurusi aku. Aku berjanji tidak akan mencampuri persoalan kalian sendiri. Akupun tidak akan mengganggu Delima. Ia anak baik. Sudah sepantasnya ia kembali kepada orang tuanya.”
Ki Warana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian dengan nada rendah ia berkata, “Kau ingin mengambil keuntungan dari keadaan kami sekarang ini bongkok?”
“Tidak Ki sanak...“ jawab Ki Pandi “Tetapi baiklah. Jika kalian menganggap aku mengganggu. Biarlah aku pergi.”
“Dan kau akan mempergunakan kesempatan itu untuk mengganggu Delima?” bertanya Ki Warana.
Ki Warana justru terkejut ketika Delima menjawab, “Tidak paman. Kakek bongkok itu tidak akan mengganggu Delima.”
Ternyata yang terkejut bukan hanya Ki Warana. Tetapi Delima sendiri ternyata juga terkejut. Tetapi ia sudah terlanjur mengucapkannya. Tetapi kedua orang yang mengganggu Delima itulah yang agaknya tidak ingin melepaskan Delima. Karena itu, maka seorang diantara mereka berkata kepada Ki Warana Kita tunda persoalan kita. Kita selesaikan dahulu orang bongkok itu.”
“Kemudian kau akan mengulanginya. Menangkap Delima dan mengancamku?”
“Pengkhianat kau,” geram orang itu.
Ki Warana sendiri tidak mengerti, kenapa tiba-tiba saja ia mempercayai orang bongkok itu, bahwa ia tidak akan mengganggu Delima. Karena itu, maka ia menganggap bahwa Delima telah aman ditangan orang bongkok itu. Ki Warana menganggap bahwa kedua orang itu justru lebih berbahaya dari orang bongkok itu.
Yang terjadi di sanggar itu juga menunjukkan bahwa orang bongkok dan kawan-kawannya bukan orang jahat. Ternyata mereka tidak membunuh kawan-kawannya yang sudah tidak berdaya. Mereka justru meninggalkan kawan-kawannya dari padepokan meskipun mereka dapat membunuhnya dengan mudah jika mereka inginkan.
Karena itu, maka iapun kemudian berkata, “Biarlah Delima dibawa oleh orang bongkok itu. Aku sendiri tidak tahu kenapa aku justru lebih percaya kepada orang bongkok itu daripada kepada kawan-kawanku sendiri.”
“Bagus,“ geram salah seorang dari kedua orang yang merasa kehilangan Delima itu, ”Satu pihak diantara kita memang harus mati. Jika kau masih hidup, maka kau tentu akan melaporkan tingkah laku kami. Sebaliknya kami pun akan melaporkan pengkhianatanmu, karena kau lebih mempercayai orang bongkok yang sudah jelas ingin menghancurkan padepokan kita daripada kawan sendiri.”
“Persoalannya bukan persoalan padepokan atau yang bersangkut paut dengan padepokan. Tetapi persoalannya menyangkut kemanakanku, anak adikku. Nah, karena kita masing-masing mempunyai mulut, sehingga kami masing-masing dapat memberikan laporan, maka terserah kepada Kiai Banyu Bening, siapakah yang akan dipercaya.”
“Itu sama sekali tidak perlu...” jawab orang iiu, ”Karena kau akan mati disini. Mayatmu akan dibawa hanyut oleh arus sungai itu meskipun tidak terlalu kuat. Saudara-saudara kita di padepokan akan mengira bahwa kau telah dibunuh oleh orang bongkok itu dengan kejam karena mayatmu akan kulumatkan. Jika mayatmu kemudian hilang sampai ke muara, maka saudara-saudara kita di padepokan akan mengira bahwa telah melarikan diri.”
“Bagus!” Ki Warana mengangguk-angguk. “Jika demikian, biar kalian sajalah yang mati.”
Kedua orang itu tidak menunggu lebih lama lagi. Tiba-tiba saja keduanya menyerang hampir bersamaan. Jika seorang melawan seorang, mereka tidak dapat mengalahkan Ki Warana, maka berdua mereka tentu akan dapat menang. Tetapi sebenarnyalah bahwa Ki Warana memang seorang yang berilmu tinggi. Meskipun kedua orang lawannya menyerangnya seperti banjir bandang, namun tidak mudah bagi mereka untuk dapat mengalahkan Ki Warana. Sementara itu Ki Warana pun tidak lagi mengekang diri. Dengan kelebihannya, maka Ki Warana segera mampu mendesak kedua orang lawannya.
Tetapi kedua orang itu agaknya tidak mau melihat kenyataan. Karena itu, maka keduanya masih berusaha untuk dapat memenangkan perkelahian itu. Kedua orang itu berusaha untuk memecah perhatian Ki Warana, Mereka menyerang dari dua jurusan yang berbeda. Namun mereka berusaha untuk dapat melakukannya berganti-ganti, susul menyusul tidak henti-hentinya.
Tetapi Ki Warana sama sekali tidak menjadi bingung, meskipun kadang-kadang ia juga terkejut mengalami serangan yang datang tidak terduga. Tetapi Warana masih saja mampu mengatasi keduanya, sehingga kedua lawannya itu semakin terdesak.
Namun justru karena keduanya tidak lagi mampu menguasai Ki Warana, maka keduanyapun telah menggenggam senjata ditangan mereka. Keduanya telah menarik pedang yang tergantung di lambung mereka. Ki Warana yang melihat kedua orang lawannya telah menggenggam senjata, meloncat beberapa langkah surut.
Dengan wajah yang tegang iapun kemudian berkata, “Senjata kalian akan mempercepat kematian kalian. Bersiaplah untuk mati.”
Kedua orang lawannya sama sekali tidak mendengarkannya. Jantung mereka telah membeku. Bahwa Delima lepas dari tangan mereka, membuat kedua orang itu seakan-akan menjadi gila.
Demikianlah, maka pertempuran itu menjadi semakin sengit. Ki Warana juga sudah memegang senjata ditangannya. Kedua orang yang kehilangan buruannya itu menyerang berganti-ganti dari arah yang berbeda. Namun kadang-kadang keduanya justru mengambil kesempatan untuk bersama-sama meloncat maju dengan senjata teracu.
Dalam pertempuran bersenjata, Ki Warana memang harus mengerahkan kemampuannya untuk melawan kedua orang itu. Ia harus mengerahkan tenaganya. Perhatiannya yang terpecah membuatnya kadang-kadang harus meloncat mengambil jarak.
Namun ternyata bahwa Ki Warana yang bertempur dengan tangkas itu sempat membuat kedua lawannya terkejut ketika Ki Warana itu seakan-akan terbang menyerang keduanya berganti-ganti. Demikian cepatnya senjatanya menyambar lawannya yang seorang kemudian yang lainnya, Dalam puncak kemarahannya, maka Ki Warana telah melenting dengan senjata terjulur lurus menyusup pertahanan salah seorang lawannya.
Terdengar teriakan nyaring. Ujung pedang Ki Warana sempat menembus dada orang itu sehingga meraba jantung. Ketika Ki Warana menarik senjatanya, maka darahpun telah memancar dari dadanya, menghambur di tepian.
Sementara itu, kawannya tidak berhasil menyelamatkannya. Ketika ia menyerang Ki Warana, ujung pedang Ki Warana sudah terlanjur menikam jantung. Melihat kawannya sudah tidak berdaya, maka lawan Ki Warana yang seorang lagi menjadi gentar. Berdua mereka tidak mampu mengimbangi kemampuannya. Apalagi seorang diri.
Karena itu, maka orang itu berusaha untuk melarikan diri dari arena pertempuran. Namun orang itu gagal memanfaatkan kesempatan. Ketika ia melangkah meninggalkan arena, senjata Ki Warana justru telah mencapai punggungnya. Orang itupun menjerit kesakitan. Ujung senjata Ki Warana telah menembus pula punggung lawannya yang seorang lagi.
Ki Warana pun kemudian berdiri termangu-mangu memandang dua sosok tubuh yang terbaring diam di tepian. Darah yang mengalir dari luka mereka membasahi pasir dan kerikil yang terserak. Beberapa saat Ki Warana berdiri mematung. Ternyata ia sudah membunuh kawannya sendiri. Namun Ki Warana akan dapat mempertanggung jawabkan tindakannya, karena kedua orang kawannya itu telah mengganggu seorang gadis yang justru adalah kemanakannya.
Selagi Ki Warana masih berdiri termangu-mangu, maka terdengar suara Delima dari atas tanggul, ”Paman....”
Ki Warana tersentak. Ketika ia berpaling, dilihatnya Delima berdiri disebelah orang bongkok itu. Bagaimanapun juga, Ki Warana menjadi berdebar-debar. Orang bongkok itu tentu orang yang berilmu sangat tinggi. Ia tidak tahu apa yang telah dilakukan ketika tiba-tiba saja salah seorang diantara kedua orang yang mengganggu Delima, yang hampir berhasil menangkap gadis itu selagi ia memanjat tanggul, telah menjadi kesakitan dan berguling dari lereng tanggul itu.
Orang bongkok itu pula bersama-sama dengan beberapa orang kawannya telah mengacaukan pertemuan di sanggar. Bahkan orang bongkok yang hampir saja dikorbankan diatas api itu bersama-sama dengan kawan-kawannya, telah mengalahkan beberapa orang kawan-kawannya dari padepokan Kiai Banyu Bening.
Karena itu, jika ia harus berhadapan seorang melawan seorang dengan orang bongkok itu, maka ia harus sangat berhati-hati. “Atau segala sesuatunya memang harus berakhir disini” berkata Ki Warana itu didalam hatinya.
Tetapi ia. menjadi heran ketika Delima justru menggandeng tangan orang bongkok itu turun ketepian. Kepada orang bongkok itu. Delima berkata, ”Ini adalah pamanku, kek. Kakak ayahku.”
Ki Pandi tersenyum. Katanya, “Bukankah kita sudah berkenalan, Ki Warana?“
“Ya,“ jawab Ki Warana.
“Paman...“ berkata Delima “Sambil mengamati paman bertempur melawan kedua orang itu, aku sempat berceritera tentang paman.”
“Tentang apa? Wajah Ki Warana menjadi tegang.
”Tentang niat paman keluar dari padepokan Banyu Bening” jawab Delima.
“Siapa yang mengatakannya?” Ki Warana menjadi tegang, “Ayahmu?“
“Tidak, paman. Aku telah mendengar sendiri ayah berbicara dengan paman dirumah.” jawab Delima.
“Delima, kau telah melanggar unggah-ungguh. Kau tidak boleh mendengarkan orang-orang tua berbincang.”
“Maaf, paman. Aku tidak sengaja mendengarkan paman dan ayah berbincang. Tetapi aku kebetulan duduk dibelakang dinding dan mendengarnya. Aku mencoba untuk melupakan pembicaraan itu, tetapi aku membayangkan betapa paman setiap hari merasa tersiksa, karena apa yang paman lakukan, sama sekali tidak sesuai dengan nurani paman sendiri, karena itu, ketika hari ini kebetulan aku bertemu dengan kakek bongkok, yang pernah aku kenal di rumahku dan kemudian aku lihat kehadirannya di sanggar, maka aku ingin mempertemukan paman dengan kakek bongkok ini.”
“Delima...” berkata pamannya "Apakah sebelumnya orang bongkok itu sering datang kerumahmu?”
“Sekali paman. Ketika kakek bongkok itu mengaku kelaparan dan kehausan. Ayah dan ibu merasa iba melihatnya dan kemudian menolongnya. Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba saja kakek bongkok ini mengatakan kepada ayah, berniat untuk ikut mendengarkan sesorah didalam sanggar, sehingga kita lihat, apa yang terjadi kemudian.”
Ki Warana itu berdiri termangu-mangu. Sementara itu, Ki Pandi pun melangkah mendekat sambil berkata, “Ki Warana. Aku memang sudah mendengar dari Delima, apa yang Ki Warana katakan kepada Ki Krawangan. Jika aku menemui Ki Warana sekarang, aku berniat untuk membantu agar Ki Warana tidak selalu dibelenggu oleh keadaan.”
Ki Warana menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Untuk waktu yang pendek ini, belum ada yang dapat aku lakukan, Ki Sanak. Aku berterima kasih atas sikapmu. Aku kira kau mendendamku. Tetapi temyata dugaanku keliru.”
“Baiklah, Ki Warana. Aku akan selalu menghubungi anak ini. Justru karena ia seorang gadis maka ia akan luput dari pengawasan kawan-kawanmu.”
Ki Warana mengangguk-angguk.
“Nah, sekarang, bagaimana dengan kedua orang kawanmu itu?”
Ki Warana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya kepada Delima “Menyingkirlah Delima. Aku akan menguburkan kedua orang kawahku ini di tepian. Aku tidak dapat berbuat lain.”
“Duduklah diatas batu itu,“ berkata Ki Pandi “Aku akan membantu pamanmu. Kau tidak perlu melihat apa yang terjadi dengan kedua orang itu.”
Delima pun kemudian menurut. Ia duduk diatas sebuah batu yang besar sambil mengulangi membersihkan pakaian yang kotor lagi oleh debu dan pasir ketika bakulnya tertumpah.
Ki Pandi memang telah membantu Ki Warana membuat lubang di tepian yang memang agak lunak. Kemudian memasukkan tubuh itu kedalamnya dan menimbuninya dengan batu-batu kali. Agar tidak menarik perhatian, maka disekitarnya telah ditaburkan batu kerikil dan pasir sebagaimana semula.
Dirumah, Ki Krawangan dan Nyi Krawangan menjadi gelisah. Delima sudah terlalu lama pergi. Beberapa kali Kenanga sudah menanyakan, kenapa Delima masih belum pulang.
“Aku akan pergi ke tepian...“ berkata Ki Krawangan “Mungkin terjadi sesuatu dengan anak itu.”
“Anak ini memang keras kepala!” desis ibunya “Seharusnya ia tidak pergi ke sungai.”
Ki Krawangan pun kemudian bersiap-siap untuk pergi ke sungai. Tetapi justru karena suasana yang masih belum menentu, maka Ki Krawanganpun telah menyelipkan pedang dilambungnya. Tetapi demikian Ki Krawangan keluar dari regol halaman, maka dilihatnya Delima melangkah sambil menjinjing bakul berisi cuciannya. Ki Krawangan menarik nafas dalam-dalam. Apalagi ketika ia melihat wajah Delima yang tidak memberikan kesah sesuatu yang menggelisahkan.
“Ayah akan kemana?“ bertanya Delima ketika ia melihat ayahnya berdiri termangu-mangu di depan regol halaman rumahnya.
“Kemana saja kau Delima?” ayahnya ganti bertanya, “Kami menjadi gelisah. Adikmu mulai merengek karena kau tidak segera pulang. Justru dalam suasana yang tidak menentu ini.”
“Sekarang ayah akan mencari aku?”
“Ya. Aku akan menyusulmu ketepian.”
Delima tersenyum. Katanya, ”Aku sudah pulang, ayah. Bukankah aku tidak apa-apa?”
“Kau memang tidak apa-apa. Tetapi jantung kamilah yang apa-apa.”
Delima justru tertawa. Katanya, ”Sebenarnya aku sudah selesai beberapa waktu yang lalu.”
“Jadi kenapa kau baru pulang sekarang?”
“Ketika aku naik tebing, aku tergelincir. Pakaian yang sudah bersih itu tumpah dan menjadi kotor kembali. Nah, aku terpaksa mencucinya lagi ayah.”
“Bukankah ibumu sudah mengatakan, bahwa sebaiknya kau mencuci dirumah saja.”
Delima memandang ayahnya sekilas. Ia memang melihat kecemasan membayang di mata ayahnya. Karena itu, maka Delimapun berkata, ”Marilah ayah. Mungkin ibu juga gelisah.”
“Tidak sekedar mungkin. Bukankah aku sudah mengatakan, seisi rumah menjadi gelisah. Kenanga sudah ribut saja menanyakan kenapa kau tidak segera pulang.”
Keduanya pun kemudian masuk kembali ke regol halaman rumah menyeberangi halaman. Kenanga yang melihat Delima datang diiringi oleh ayahnya, segera berlari-lari mendapatkannya.
“Lama sekali kau di tepian kak?“ bertanya adiknya.
Delima mengusap pipi adiknya sambil berkata “Aku harus mencucinya dua kali, karena cucian yang sudah bersih itu tumpah karena aku tergelincir ketika aku naik tanggul.”
“Ah, lain kali hati-hati ya kak. Kau tidak terluka?”
Pertanyaan adiknya tiba-tiba membuat Delima merasa pedih di kakinya. Teringat olehnya betapa ngerinya ketika kawan pamannya itu menarik kakinya ketika ia hampir sampai keatas tanggul. Ketika ia kemudian mengamati kakinya, baru ia melihat bahwa kakinya memang tergores kerikil.
“Sakit kak?” bertanya adiknya.
Tetapi Delima tersenyum. Katanya, “Tidak. Hanya sedikit pedih. Tetapi segera akan baik.”
“Aku carikan daun metir, kak.”
“Ah. tidak seberapa,“ jawab Delima.
Ketika ia masuk ke dapur, ibunyapun menyatakan kegelisahannya karena Delima tidak segera pulang. Ketika kemudian Delima menjemur cuciannya dibelakang rumahnya, matahari telah menjadi agak tinggi. Ia memang terlambat pulang.
Namun yang terjadi di tepian membuatnya sedikit berpengharapan, bukan saja tentang pamannya, tetapi justru seisi padukuhannva akan dapat menyadari jalan sesat yang telah mereka tempuh, bahwa selama ini mereka sekedar menjadi alas berpijak oleh seorang yang membenci kenyataan yang dialaminya. Kemudian dendamnya menebar ke lingkungan luas yang dapat dijangkaunya. Tetapi jalan tentu masih agak jauh.
Dalam pada itu, ketika Delima mendapat kesempatan untuk berbicara dengan ayahnya seorang diri, maka Delima pun telah menceriterakan apa yang telah terjadi di tepian. Hampir saja ia menjadi korban kebiadaban orang-orang dari padepokan Kiai Banyu Bening. Untunglah bahwa pamannya melihatnya. Bahkan kemudian ternyata bahwa orang bongkok itu juga berada di tempat itu.
“Paman telah membunuh dua orang kawannya, ayah.”
Ayahnya mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, ”Dengan demikian, pamanmu ada dalam bahaya.”
“Paman telah berbicara langsung dengan kakek bongkok itu, ayah. Tetapi nampaknya paman masih belum siap untuk mengambil langkah-langkah penting untuk meninggalkan padepokan.”
“Ya. Tentu tidak dapat dilakukan dengan serta-merta. Bukan karena pamanmu mencemaskan dirinya sendiri. Tetapi pamanmu justru memikirkan nasib kita sekeluarga.”
Delima mengangguk-angguk. Dugaannya tentang pamannya ternyata keliru. Pamannya bukannya orang yang tidak berjantung. Tetapi pamannya masih mempunyai perasaan wajar dan bahkan selalu memikirkan keselamalan adiknya.
Namun aknirnya Delima tidak dapat menyimpan rahasianya lagi. Ketika orang bongkok itu tidak lagi merupakan iblis yang dianggap menggoda untuk melemahkan kepercayaan keluarganya, Delima merasa aman untuk mengatakan kepada ayahnya, bahwa sejak sebelum peristiwa di sanggar itu terjadi, dan bahkan sejak sebelum orang bongkok itu datang sebagai orang yang kelaparan dan kehausan, Delima memang sudah mengenalnya.
“Jadi, kau sudah berhubungan dengan orang itu?” bertanya ayahnya.
“Ya, ayah,” jawab Delima “Tetapi aku takut mengatakannya kepada ayah.”
Ki Krawangan menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun berkata, “Untunglah, bahwa keadaan berkembang ke arah yang menguntungkan bagi kita. Sikap kakang yang tidak kita duga sebelumnya, serta perkembangan padepokan Kiai Banyu Bening itu sendiri. Seandainya yang terjadi sebaliknya, apa jadinya kita semuanya?”
“Jika perkembangannya tidak seperti ini, tentu aku tidak akan mengatakannya kepada ayah,”' jawab Delima.
“Baiklah Delima. Tetapi kau harus tetap berhati-hati. Kita tidak tahu, apa yang terjadi sebenarnya di sekitar kita. Kita tidak tahu, apakah orang-orang lain di padukuhan ini mempunyai perasaan yang sama seperti kita.”
“Aku kira demikian, ayah. Aku kira sebagian besar orang-orang padukuhan kita mempertanyakan kebenaran sesorah-sesorah yang sering kita dengar di sanggar. Apalagi setelah peristiwa yang terjadi di sanggar itu, serta banjar padukuhan kita terbakar. Orang yang tiba-tiba muncul dari reruntuhan itu tentu kawan kakek bongkok itu pula. Demikian pula yang tiba-tiba saja sudah berada di pintu gerbang halaman banjar.”
“Nampaknya mereka mempunyai kekuatan yang cukup,” berkata Ki Krawangan. Namun kemudian katanya “Meskipun demikian, sekali lagi aku peringatkan Delima, kita harus berhati-hati. Banyak kemungkinan masih dapat terjadi. Demikian juga hubungan kita dengan padepokan Kiai Banyu Bening itu.”
Delima mengangguk kecil. Namun iapun menyadari, bahwa banyak hal yang tidak dapat diperhitungkan dahulu mungkin akan terjadi. Peristiwa di pinggir kali itu, membuat Ki Krawangan sehari-harian merenung. Ia mulai menyadari, banwa anaknya memang sudah menginjak usia dewasanya. Sementara itu, orang-orang dari padepokan Kiai Banyu Bening sering berkeliaran kemana-mana. Mereka melakukan tindakan-tindakan yang tidak terkendali.
Agaknya, peristiwa yang hampir saja menimpa Delima itu juga pernah menimpa gadis yang lain. Tetapi gadis itu, atau mungkin orang tuanya, sama sekali tidak berani mengatakan kepada siapapun juga, karena orang-orang dari padepokan itu tentu mengancamnya untuk membunuh atau tindak kekerasan yang lain. Bersukurlah Ki Krawangan, bahwa anaknya ternyata masih selamat.
Tetapi tiba-tiba terbersit pertanyaan “Mengucap sukur kepada siapa? Sang Maha Api? Matahari atau rembulan?” Ki Krawangan menarik nafas dalam-dalam.
“Tidak. Tentu bukan Sang Maha Api yang telah menelan banjar padukuhan itu. Karena ternyata banjar padukuhan itu telah dibakar oleh orang-orang dari padepokan Kiai Banyu Bening.”
Dalam pada itu, dari hari ke hari, orang-orang padukuhan itu masih tetap merasa tegang. Mereka masih belum yakin, bahwa padukuhan mereka akan benar-benar menjadi tenang. Apalagi ketika kepada orang-orang padukuhan itu diberitahukan bahwa untuk sementara tidak ada kegiatan apa-apa didalam sanggar.
“Orang bongkok dan kawan-kawannya akan dapat mengacaukan suasana yang seharusnya hening itu.” berkata orang dari padepokan yang ditugaskan menemui orang-orang padukuhan.
Sementara itu. orang-orang tua yang berada dirumah Ki Ajar Pangukan pun tidak dengan tergesa-gesa mengambil tindakan. Mereka menunggu perkembangan keadaan. Namun mereka tidak henti-hentinya mengamati padepokan Kiai Banyu Bening, serta padukuhan yang pernah mereka rambah untuk menyatakan, bahwa ada pihak yang menentang perbuatan Kiai Banyu Bening, yang tidak lebih dari ungkapan gejolak perasaan pribadinya yang penuh dengan dendam dan nafsu.
Dihari-hari berikutnya, ternyata Ki Pandi pun masih juga sering menemui Delima di pinggir kali, ketika Delima mencuci pakaian. Bahkan masih belum ada orang lain yang berani melakukan sebagaimana yang dilakukan oleh Delima. Namun bagi Delima, hal itu justru menguntungkan baginya.
Justru karena tepian itu selalu sepi, maka bukan saja Ki Pandi yang sering datang, tetapi juga Manggada dan Laksana. Namun yang penting bagi Ki Pandi, ia justru dapat selalu berhubungan pula dengan Ki Warana. Ceritera yang menarik yang dibawa oleh Ki Warana adalah ceritera tentang burung-burung elang yang sering berterbangan diatas padepokan Kiai Banyu Bening.
Ki Pandi selalu tertarik setiap kali ia mendengar ceritera tentang burung-burung elang. Ia sendiri pernah melihat burung-burung elang itu terbang diatas padepokan Kiai Banyu Bening itu.
“Berhati-hatilah dengan burung elang itu...“ berkata Ki Pandi kepada Ki Warana ketika mereka bertemu di tepian, justru saat Delima sedang mencuci.
“Aku juga pernah mendengar ceritera tentang burung-burung elang itu,“ berkata Ki Warana.
“Burung-burung itu selalu membawa perlambang buruk. Burung-burung elang berkuku timah itu adalah milik seorang yang menamakan diri Panembahan Lebdagati.”
“Kiai Banyu Bening telah mendengar nama itu,“ desis Ki warana.
“Ia pernah membuat hal sama di daerah ini,” berkata Ki Pandi.
“Ya. Kiai Banyu Bening pernah mengatakan demikian. Karena itu, ia memilih tempat ini untuk mengembangkan kepercayaan yang disebarkannya, meskipun ia sendiri tidak pernah mempercayainya,“ sahut Ki Warana, “Namun Panembahan Lebdagati itu sudah lebur bersama padepokannya ketika padepokannya dihancurkan disini oleh pasukan Pajang dan orang-orang berilmu tinggi yang menentang kepercayaannya.”
“Aku ada diantara mereka waktu itu,“ berkata Ki Pandi.
Ki Warana mengangguk-angguk. Dengan demikian ia menjadi semakin yakin, bahwa orang bongkok itu tidak sekedar bermain-main jika ia berniat menghancurkan padepokan Kiai Banyu Baning.
“Berhati-hati sajalah,“ pesan Ki Pandi “Jika elang itu sudah semakin sering nampak dan berputar-putar, maka itu merupakan isyarat bahwa Panembahan Lebdagati akan segera datang.”
Ki Warana mengangguk-angguk. Katanya, “Kiai Banyu Bening menganggap bahwa Panembahan Lebdagati sudah benar-benar tidak ada. Jika ada orang yang menamakan Panembahan Lebdagati, maka tentu bukan Panembahan Lebdagati yang sebenarnya.”
”Tidak. Kiai Banyu Bening salah. Panembahan Lebdagati yang sebenarnya itu masih ada. Masih hidup. Ia masih menunjukkan gejala-gejala kesalahan penalaran.”
Ki Warana masih saja mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Pandi berkata, “Namun apa yang dikembangkan Panembahan Lebdagati adalah benar-benar yang diyakini. Sedangkan Kiai Banyu Bening justru sekedar pelepasan dendamnya karena ia sudah kehilangan anak bayinya yang mati di dalam nyala api.”
Ki Warana mengangguk-angguk sambil berdesis, “Ya. Agaknya memang demikian.”
“Dengan demikian, maka dari sisi keyakinan, Panembahan Lebdagati masih lebih jujur dari Kiai Banyu Bening. Tetapi sayang, bahwa keyakinan Panembahan itupun merupakan keyakinan yang sesat.” berkata Ki Pandi.
“Ya “jawab Ki Warana “Tetapi aku tidak tahu, apakah aku dapat memberi peringatan kepada Ki Banyu Bening.”
“Kaulah yang mengetahui kemungkinan itu. Tetapi untuk melengkapi keteranganku tentang Panembahan Lebdagati, aku beritahukan bahwa aku telah bertemu dan bertempur melawannya dalam memperebutkan pusaka-pusaka yang berada di tangan Kiai Gumrah, dari sebuah perguruan yang murid-muridnya sebagian besar menjadi pembuat dan pedagang gula kelapa.”
Ki Warana mengerutkan dahinya sambil bertanya, “Kau telah bertempur melawan Panembahan Lebdagati?”
“Ya. Sudah beberapakali aku alami. Tetapi aku tidak pernah berhasil mengalahkannya. Apalagi menangkap atau membinasakannya. Karena itu, maka aku yakin, bahwa Panembahan Lebdagati itu masih ada sampai sekarang! Elang-elang itu adalah pertanda dari perhatiannya kepada padepokan Kiai Banyu Bening. Aku tidak tahu, apakah Kiai Banyu Bening memiliki kemampuan sebagaimana Panembahan Lebdagati.”
“Kiai Banyu Bening juga seorang yang berilmu sangat tinggi. Tetapi aku juga tidak tahu, apakah ia mampu mengimbangi Panembahan Lebdagati, karena aku belum pernah menyaksikan ilmunya.”
Ki Pandipun kemudian berkata, Baiklah. Aku minta kau dapat memberi tahukan kepadanya, langsung atau lewat Delima setiap perkembangan yang terjadi di padepokanmu, juga dalam hubungannya dengan Panembahan Lebdagati.”
Ki Warana mengangguk-angguk. Namun kemudaan iapun minta diri meninggalkan Ki Pandi dan Delima di tepian.
Dihari berikutnya, Ki Pandi bersama Manggada dan Laksana telah melihat lagi, dua ekor burung elang yang berputar-putar tinggi di udara. Burung itu tidak menukik dan tidak pula menyambar-nyambar. Nampaknya burung-burung itu dalam keadaan tenang, meskipun agaknya ada sesuatu yang sedang diawasinya.
Ternyata dikeesokan harinya, Delima telah berceritera kepada Ki Pandi yang datang bersama Manggada dan Laksana pula. "Paman baru saja meninggalkan tempat ini,“ berkata Delima ”Ia harus segera berada di padepokan.”
“Apa ada sesuatu yang penting?“ bertanya Ki Pandi.
“Paman minta disampaikan kepada kakek, bahwa kemarin di padepokan telah datang dua orang utusan Panembahan Lebdagati.”
“O,” wajah Ki Pandi berkerut. Sementara Manggada bertanya, “Apa yang dibicarakan oleh utusan itu?”
“Paman tidak mengatakannya. Tetapi paman berpesan, bahwa paman ingin bertemu dengan Ki Pandi lewat tengah hari di sini.”
“Baiklah, nduk,” berkata Ki Pandi kemudian, “nanti kami akan datang kemari.”
“Apakah aku juga harus datang kemari, kek?” bertanya Delima.
“Ah, tentu tidak,” jawab Ki Pandi, “Keadaan menjadi makin gawat, nduk. Persoalannya tidak lagi terbatas antara padepokan Kiai Banyu Bening dengan kakek yang bongkok ini, tetapi melihat Panembahan Lebdagati pula.”
Delima dapat mengerti keterangan Ki Pandi itu. Karena itu, maka iapun menjawab, “Baiklah kek. Tetapi besok pagi aku akan berada disini lagi.”
“Tetapi kau harus melihat suasana, Delima. Jika suasananya tidak memungkinkan, maka kau harus tetap tinggal dirumah. Yang perlu kau ketahui Delima, para pengikut Panembahan Lebdagati tidak kalah liarnya dengan orang-orang padepokan Kiai Banyu Bening. Bahkan kemampuan orang-orangnya agak lebih tinggi dari orang-orang padepokan itu.”
Delima mcngangguak-angguk. Katanya, ”Baik, kek.”
“Nah, sekarang, jika kau sudah selesai, pulanglah. Keadaan lingkungan ini benar-benar menjadi semakin gawat.” Berkata Ki Pandi.
Ternyata Delima menuruti nasehat itu. Ia pun segera mengemasi cuciannya dan kemudian menjinjingnya. Ketika ia mulai naik tanggul, maka Laksana telah menyusulnya sambil berkata, ”Marilah, aku.bawakan bakul itu.”
“Aku sudah terbiasa membawa bakul sambil memanjat naik.”
“Tetapi jika ada yang membantumu, bukankah itu lebih baik?”
Delima tidak menolak ketika Laksana kemudian mengambil, bakul cucian itu dari tangannya. Manggada hanya memandanginya saja sambil tersenyum. Tetapi ketika Delima sudah sampai diatas tanggul, maka iapun berkata, “Sudahlah. Biar aku membawa bakul itu.”
“Aku antar kau sampai kerumahmu,“ berkata Laksana.
Tetapi Delima berkata “Bukankah keadaan sekarang menjadi semakin gawat? Jika aku pulang bersama seseorang, maka tentu akan sangat menarik perhatian. Meskipun kita dapat mengabaikan perhatian tetangga-tetangga, tetapi tentu kita tidak dapat mengabaikan perhatian orang-orang padepokan dan mungkin para pengikut Panembahan Lebdagati itu."
Laksana tersenyum masam. Tetapi ia sempat juga berkata, ”Bagaimana jika kita juga mengabaikan perhatian orang-orang padepokan Kiai Banyu Bening dan para pengikut Panembahan Lebdagati.”
“Mungkin akibatnya tidak terasa bagimu. Tetapi bagiku? Bagi keluargaku?”
Laksana tertawa. Katanya, ”Ah, bukankah aku tidak bersungguh-sungguh?”
Wajah Delima berkerut. Tetapi iapun kemudian tertawa pula. ”Sampai besok,” desis Delima.
Ketika Delima kemudian menjadi semakin jauh dan mendekati padukuhannya, maka Laksanapun segera turun kembali ketepian. Bertiga mereka meninggalkan tepian. Mereka akan kembali lagi sesuai dengan pesan Ki Warana lewat lengah hari.
Demikianlah, maka lewat lengah hari, Ki Pandi, Manggada dan Laksana telah berada kembali di tepian. Mereka menunggu kedatangan Ki Warana untuk mendengarkan perkembangan terakhir padepokan Kiai Banyu Bening. Ketiga orang itu tidak perlu menunggu terlalu lama. Beberapa saat kemudian, maka Ki Warana benar-benar datang sesuai dengan pesannya lewat Delima.
“Mereka adalah cucu-cucuku,“ berkata Ki Pandi, ketika Ki Warana memandangi Manggada dan Laksana.
”Mereka juga ada di sanggar malam itu" desis Ki Warana.
“Ya. sahut Ki Pandi. ”Mereka berusaha menolong kakeknya...”
“Tidak Ki Sanak. Bukan mereka berusaha menolong kakeknya. Tetapi semuanya sudah terpencar. Sejak kau kelaparan dan kehausan di rumah Krawangan.”
Ki Pandi tertawa. Katanya “Ya. Sekarang aku tidak akan ingkar. Kami memang telah membuat rencana itu, meskipun sebagian sedikit menyimpang. Tetapi untunglah bahwa kami dapat menyelesaikan bagian pertama dari permainan kami dengan baik meskipun ada unsur keberuntungan.”
“Kalian terdiri dari orang-orang berilmu tinggi...” jawab Ki Warana.
“Nah, sekarang, apakah yang akan kau katakan kepada kami?”
“Di padepokan kami telah datang dua orang utusan Panembahan Lebdagati.”
Ki Pandi mengerutkan dahinya. Sambil mengangguk-angguk ia pun kemudian berkata, “Jadi mereka telah benar-benar datang?”
“Ya, Ki Pandi.”
“Apa yang mereka katakan?“ bertanya Ki Pandi. “Panembahan Lebdagati menuntut agar apa yang dianggapnya haknya, supaya dikembalikan.”
“Apa yang dimaksud?”
“Daerah ini. Panembahan Lebdagati menuntut agar Kiai Banyu Bening meninggalkan lingkungan ini dan menyerahkan padepokannya kepada Penambahan Lebdagati yang akan menanamkan kembali pengaruhnya di daerah ini. Panembahan Lebdagati merasa bahwa tanah ini adalah tanahnya.”
“Apa jawab Kiai.Banyu Bening?”
“Tentu saja Kiai Banyu Bening tidak ingin menyerahkannya. Ia pun tidak akan meninggalkan tempat itu. Ketika Kiai Banyu Bening membangun padepokannya, maka Panembahan Lebdagati sudah tidak ada di tempat itu.”
Ki Pandi mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berkata “Jika Kiai Banyu Bening bersungguh-sungguh ingin mempertahankan padepokannya, ia harus benar-benar mempersiapkan dirinya. Panembahan Lebdagati masih mendapat kepercayaan dari beberapa orang pemimpin padepokan yang melandasi ilmunya dengan kepercayaan-kepercayaan hitam yang akan dapat diajaknya bergerak.”
“Kiai Banyu Bening memang telah mulai mempersiapkan dirinya. Tetapi Kiai Banyu Bening tetap menganggap bahwa Panembahan Lebdagati yang mengirimkan utusannya itu bukan Panembahan Lebdagati yang sebenarnya.”
“Kau benar-benar tidak dapat, memperingatkannya?“ bertanya Ki Pandi.
“Dalam keadaan yang demikian, Kiai Banyu Bening tidak dapat mendengarkan pendapat orang lain.”
“Bagaimana pendapat pembantu-pembantu Kiai Banyu Bening?”
“Sebagian besar dari mereka juga tidak percaya bahwa yang mengirimkan utusan itu adalah Panembahan Lebgadati.”
“Apakah Kiai Banyu Bening pernah mengenal wajah Panembahan Lebdagati?”
Ki Warana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Aku tidak tahu, Ki Pandi. Tetapi menilik setiap pembicaraan mengenai Panembahan itu, nampaknya Kiai Banyu Bening pernah bertemu dan berbicara dengan Panembahan Lebdagati. Namun yang terang, Kiai Banyu Bening mengakui bahwa Panembahan Lebdagati adalah orang yang berilmu sangat tinggi. Namun sebagaimana dikatakannya, bahwa Kiai Banyu Bening telah siap menghadapinya, meskipun orang yang mengaku Panembahan Lebdagati itu memiliki ilmu setinggi Panembahan Lebdagati sendiri.”
Ki Pandi mengangguk-angguk. Katanya, “Meskipun aku belum pernah menjajagi kemampuan Kiai Banyu Bening, namun rasa-rasanya sulit bagi Kiai Banyu Bening untuk mengimbangi kemampuan Panembahan Lebdagati.”
Ki Warana mengerutkan dahinya. Dengan ragu ia berkata, ”Tetapi Kiai Banyu Bening juga memiliki ilmu yang sangat tinggi.”
“Mudah-mudahan,” jawab Ki Pandi. Namun kemudian ia berkata “Tetapi sebaiknya kau berhati-hati Ki Warana. Bukan maksudku untuk menghasutmu agar kau berkhianat terhadap Kiai Banyu Bening, tetapi nurani Ki Warana sendiri sudah memanggil, agar Ki Warana meninggalkan padepokan yang diwarnai oleh kepalsuan sikap pemimpinnya. Kiai Banyu Bening sama sekali tidak jujur dengan kepercayaan yang disebarkannya. Disinilah letak kelebihan Panembahan Lebdagati. la bersikap jujur terhadap kepercayaannya, meskipun kepercayaan itu adalah kepercayaan hitam yang harus dihapuskan. Karena itu, jika terjadi perang antara kedua padepokan yang sama-sama harus dimusnahkan itu, sebaiknya Ki Warana berusaha untuk melepaskan diri. Jika Ki Warana tidak bersiap-siap sejak semula, maka Ki Warana akan terjebak kedalam satu pertempuran yang akan mengikat Ki Warana.”
Ki Warana termangu-mangu. Memang sulit untuk melakukannya. Meskipun ia sendiri merasa tersiksa hatinya selama ia berada di padepokan itu, namun untuk begitu saja meninggalkan justru di saat yang gawat, rasa-rasanya Ki Warana itu tidak akan sampai hati. Seandainya ia tidak membela Kiai Banyu Bening, namun apakah ia akan dapat membiarkan kawan-kawannya yang setiap hari selalu berhubungan, digilas oleh kekuatan lain tanpa melibatkan dirinya?
Ki Pandi melihat keragu-raguan ini. Karena itu, maka iapun berkata, ”Ki Warana. Kekuatan dan kemampuan Ki Warana seorang diri tidak banyak berpengaruh. Namun keselamatan Ki Warana sangat berarti bagi Ki Warana sendiri. Bukan keselamatan kewadagan saja, tetapi juga keselamatan jiwa Ki Warana. Jika Ki Warana bertempur dipihak Kiai Banyu Bening, itu akan berarti bahwa Ki Warana telah ikut serta mempertahankan sesuatu yang tidak sesuai dengan nurani Ki Warana sendiri.”
“Tetapi Ki Pandi, seandainya Kiai Banyu Bening dikalahkan oleh Panembahan Lebdagati, apakah bukan berarti bahwa kepercayaan hitam Panembahan Lebdagati akan berkembang lagi di daerah ini? Betapa jujurnya Panembahan Lebdagati terhadap kepercayaannya, namun kepercayaan itu sendiri adalah kepercayaan yang sesat. Bagi orang lain, justru akan menjadi lebih berbahaya karena orang yang menerima keyakinan itupun akan menjadi yakin dan mengakar. Tidak seperti orang-orang yang menerima kepercayaan yang sekedar pura-pura, sehingga bagi para pengikutnya pun kepercayaan itu hanya sekedar mengambang saja?”
“Bukankah sudah aku katakan, bahwa kepercayaan yang ditebarkan oleh Panembahan Lebdagati itu pun harus dimusnahkan?”
Ki Warana mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti. Ki Pandi...”
“Aku tidak peduli,“ jawab salah seorang dari kedua orang itu.
“Aku memberi peringatan terakhir kepada kalian. Jika kalian tidak melepaskannya, maka kita akan membuat perhitungan menurut kebiasaan kita, orang-orang padepokan Kiai Banyu Bening."
“Bagus,” sahut seorang diantara kedua orang yang menangkap Delima itu, ”Kami akan membunuhmu. Kaulah yang mencari persoalan. Karena itu, jika kau mati, adalah karena salahmu sendiri."
Wajah Ki Warana, kakak Ki Krawangan itu menjadi merah. Dengan geram ia berkata, “Jadi kau berdua sudah berani menentang aku, he? Berapa lama kalian berada di padepokan. Kalian sudah berani menentang orang-orang tua di padepokan itu. Karena itu, maka kalian tidak pantas lagi berada di padepokan Kiai Banyu Bening, karena kau tentu hanya akan membuat air yang mengalir dari padepokan menjadi keruh.”
Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Tetapi benak mereka telah dicengkam oleh nafsu iblis yang menyuruk kedalamnya. Karena itu seorang diantara mereka berkata, “Ki Warana. Kami berani menentangmu, karena kau memiliki kelainan dari orang-orang tua yang lain. Mereka tidak akan pernah menghalangi apapun yang kami lakukan. Tetapi kau telah mencoba merampas sesuap nasi yang sudah berada di mulutku. Karena itu, siapa pun orangnya, akan kami lawan dengan segenap kemampuan kami. Tetapi melawan orang-orang tua yang tidak berarti seperti kau, tidak boleh setengah-setengah. Jika kakiku menginjak ular, maka sebaiknya aku injak kepalanya sampai mati, agar ular itu tidak akan mematuk aku dikemudian hari.”
Ki Warana tidak dapat menahan diri lagi. Iapun segera bergeser mendekati kedua orang itu. Kedua orang itupun segera bersiap pula. Seorang di antara mereka masih memegangi Delima. Dengan geram Ki Warana pun telah menyerang salah seorang diantara mereka, sedangkan yang lain justru telah menyeret Delima agak menjauh.
Sejenak kemudian, terjadi perkelahian antara salah seorang diantara kedua orang itu dengan Ki Warana. Namun Ki Warana memang memiliki banyak kelebihan. Dalam waktu singkat, lawannya telah terdesak. Beberapa kali serangan Ki Warana sempat mendorong lawannya, sehingga kadang-kadang keseimbangannya pun telah terguncang.
Namun dalam keadaan yang paling gawat bagi orang itu, terdengar kawannya berteriak, “Cukup. Hentikan perkelahian atau gadis itu akan mati.”
Ki Warana terkejut. Iapun kemudian melihat tangan orang yang memegangi Delima itu mencengkam lehernya. “Setan licik,“ geram Ki Warana “Jika kalian laki-laki sebagaimana penghuni padepokan Kiai Banyu Bening, lepaskan gadis itu. Kita bertempur sampai tuntas disini. Aku tidak berkeberatan jika kalian bertempur berdua."
“Persetan dengan igauanmu itu. Sekarang kau harus memilih, kau atau gadis ini yang mati.”
Wajah Ki Warana menjadi sangat tegang. Tetapi Delima seakan-akan tidak lagi dapat bernafas. Tangan orang itu benar-benar telah mulai mencekik leher Delima.
“Cepat, katakan. Kau atau gadis ini yang akan mati.” Ki Warana menjadi semakin tegang. Namun kemudian iapun berdesis, “Jika kau bunuh aku, apa jaminanmu, bahwa gadis itu akan tetap hidup tanpa kau sakiti?”
“Kau tidak dapat menuntut jaminan apapun. Sekarang, berbaringlah menelungkup. Kami akan menghancurkan kepalamu dengan batu. Jika kau mati ditepian, maka anak ini akan tetap hidup.”
Namun tiba-tiba Delima berteriak, “Jangan hiraukan aku paman.”
Tetapi suaranya pun segera tertelan. Tangan yang kuat telah menutup mulutnya. Tetapi nampaknya Delima memang sudah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Ketika tangan itu menutup mulutnya, Delima justru telah membuka mulutnya itu. Demikian tangan itu berada diantara giginya, maka Delima telah menggigit tangan itu keras-keras.
Orang itu berteriak kesakitan. Justru pada saat itu, Delima merenggut dirinya dari tangan orang itu dan berusaha berlari meninggalkan tepian. Ki Warana tanggap akan keadaan itu. Dengan cepat ia meloncat memburu ketika orang yang kesakitan tangannya yang berusaha menggapai Delima lagi.
Orang itu memang mengurungkan niatnya mengejar Delima. Ia harus dengan cepat mempersiapkan diri melawan Ki Warana yang menyerangnya seperti badai. Tetapi pada saat itu, orang yang hampir dikalahkan oleh Ki Warana itulah yang kemudian berlari memburu Delima yang naik keatas tanggul.
Delima memang mempunyai sedikit waktu berlebih. Tetapi ia memang tidak setangkas lawannya. Ketika ia hampir sampai diatas tanggul, maka orang yang mengejarnya itu hampir saja dapat menggapainya. Tetapi tiba-tiba saja orang itu menjerit kesakitan. Tubuhnya meluncur dan berguling jatuh ke tepian. Sementara itu Delima telah berdiri di atas tanggul.
Namun yang sangat mengejutkan orang-orang yang berada di tepian itu adalah, seorang yang bertubuh bongkok duduk diatas tanggul itu. Ki Warana pun berdiri termangu-mangu. Ia tahu, bahwa orang bongkok itu telah memusuhi seisi padepokan Kiai Banyu Bening.
Tetapi orang bongkok itupun kemudian berkata, “Delima, beruntunglah bahwa kau telah ditolong oleh pamanmu. Tetapi persoalan pamanmu dengan kedua orang itu belum selesai.”
“Setan, kau bengkok.” geram salah seorang dari kedua orang yang akan menyeret Delima “jangan lari. Kami akan membunuhmu.”
Orang bongkok itu tertawa. Katanya, ”Kalian tidak usah mengurusi aku. Aku berjanji tidak akan mencampuri persoalan kalian sendiri. Akupun tidak akan mengganggu Delima. Ia anak baik. Sudah sepantasnya ia kembali kepada orang tuanya.”
Ki Warana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian dengan nada rendah ia berkata, “Kau ingin mengambil keuntungan dari keadaan kami sekarang ini bongkok?”
“Tidak Ki sanak...“ jawab Ki Pandi “Tetapi baiklah. Jika kalian menganggap aku mengganggu. Biarlah aku pergi.”
“Dan kau akan mempergunakan kesempatan itu untuk mengganggu Delima?” bertanya Ki Warana.
Ki Warana justru terkejut ketika Delima menjawab, “Tidak paman. Kakek bongkok itu tidak akan mengganggu Delima.”
Ternyata yang terkejut bukan hanya Ki Warana. Tetapi Delima sendiri ternyata juga terkejut. Tetapi ia sudah terlanjur mengucapkannya. Tetapi kedua orang yang mengganggu Delima itulah yang agaknya tidak ingin melepaskan Delima. Karena itu, maka seorang diantara mereka berkata kepada Ki Warana Kita tunda persoalan kita. Kita selesaikan dahulu orang bongkok itu.”
“Kemudian kau akan mengulanginya. Menangkap Delima dan mengancamku?”
“Pengkhianat kau,” geram orang itu.
Ki Warana sendiri tidak mengerti, kenapa tiba-tiba saja ia mempercayai orang bongkok itu, bahwa ia tidak akan mengganggu Delima. Karena itu, maka ia menganggap bahwa Delima telah aman ditangan orang bongkok itu. Ki Warana menganggap bahwa kedua orang itu justru lebih berbahaya dari orang bongkok itu.
Yang terjadi di sanggar itu juga menunjukkan bahwa orang bongkok dan kawan-kawannya bukan orang jahat. Ternyata mereka tidak membunuh kawan-kawannya yang sudah tidak berdaya. Mereka justru meninggalkan kawan-kawannya dari padepokan meskipun mereka dapat membunuhnya dengan mudah jika mereka inginkan.
Karena itu, maka iapun kemudian berkata, “Biarlah Delima dibawa oleh orang bongkok itu. Aku sendiri tidak tahu kenapa aku justru lebih percaya kepada orang bongkok itu daripada kepada kawan-kawanku sendiri.”
“Bagus,“ geram salah seorang dari kedua orang yang merasa kehilangan Delima itu, ”Satu pihak diantara kita memang harus mati. Jika kau masih hidup, maka kau tentu akan melaporkan tingkah laku kami. Sebaliknya kami pun akan melaporkan pengkhianatanmu, karena kau lebih mempercayai orang bongkok yang sudah jelas ingin menghancurkan padepokan kita daripada kawan sendiri.”
“Persoalannya bukan persoalan padepokan atau yang bersangkut paut dengan padepokan. Tetapi persoalannya menyangkut kemanakanku, anak adikku. Nah, karena kita masing-masing mempunyai mulut, sehingga kami masing-masing dapat memberikan laporan, maka terserah kepada Kiai Banyu Bening, siapakah yang akan dipercaya.”
“Itu sama sekali tidak perlu...” jawab orang iiu, ”Karena kau akan mati disini. Mayatmu akan dibawa hanyut oleh arus sungai itu meskipun tidak terlalu kuat. Saudara-saudara kita di padepokan akan mengira bahwa kau telah dibunuh oleh orang bongkok itu dengan kejam karena mayatmu akan kulumatkan. Jika mayatmu kemudian hilang sampai ke muara, maka saudara-saudara kita di padepokan akan mengira bahwa telah melarikan diri.”
“Bagus!” Ki Warana mengangguk-angguk. “Jika demikian, biar kalian sajalah yang mati.”
Kedua orang itu tidak menunggu lebih lama lagi. Tiba-tiba saja keduanya menyerang hampir bersamaan. Jika seorang melawan seorang, mereka tidak dapat mengalahkan Ki Warana, maka berdua mereka tentu akan dapat menang. Tetapi sebenarnyalah bahwa Ki Warana memang seorang yang berilmu tinggi. Meskipun kedua orang lawannya menyerangnya seperti banjir bandang, namun tidak mudah bagi mereka untuk dapat mengalahkan Ki Warana. Sementara itu Ki Warana pun tidak lagi mengekang diri. Dengan kelebihannya, maka Ki Warana segera mampu mendesak kedua orang lawannya.
Tetapi kedua orang itu agaknya tidak mau melihat kenyataan. Karena itu, maka keduanya masih berusaha untuk dapat memenangkan perkelahian itu. Kedua orang itu berusaha untuk memecah perhatian Ki Warana, Mereka menyerang dari dua jurusan yang berbeda. Namun mereka berusaha untuk dapat melakukannya berganti-ganti, susul menyusul tidak henti-hentinya.
Tetapi Ki Warana sama sekali tidak menjadi bingung, meskipun kadang-kadang ia juga terkejut mengalami serangan yang datang tidak terduga. Tetapi Warana masih saja mampu mengatasi keduanya, sehingga kedua lawannya itu semakin terdesak.
Namun justru karena keduanya tidak lagi mampu menguasai Ki Warana, maka keduanyapun telah menggenggam senjata ditangan mereka. Keduanya telah menarik pedang yang tergantung di lambung mereka. Ki Warana yang melihat kedua orang lawannya telah menggenggam senjata, meloncat beberapa langkah surut.
Dengan wajah yang tegang iapun kemudian berkata, “Senjata kalian akan mempercepat kematian kalian. Bersiaplah untuk mati.”
Kedua orang lawannya sama sekali tidak mendengarkannya. Jantung mereka telah membeku. Bahwa Delima lepas dari tangan mereka, membuat kedua orang itu seakan-akan menjadi gila.
Demikianlah, maka pertempuran itu menjadi semakin sengit. Ki Warana juga sudah memegang senjata ditangannya. Kedua orang yang kehilangan buruannya itu menyerang berganti-ganti dari arah yang berbeda. Namun kadang-kadang keduanya justru mengambil kesempatan untuk bersama-sama meloncat maju dengan senjata teracu.
Dalam pertempuran bersenjata, Ki Warana memang harus mengerahkan kemampuannya untuk melawan kedua orang itu. Ia harus mengerahkan tenaganya. Perhatiannya yang terpecah membuatnya kadang-kadang harus meloncat mengambil jarak.
Namun ternyata bahwa Ki Warana yang bertempur dengan tangkas itu sempat membuat kedua lawannya terkejut ketika Ki Warana itu seakan-akan terbang menyerang keduanya berganti-ganti. Demikian cepatnya senjatanya menyambar lawannya yang seorang kemudian yang lainnya, Dalam puncak kemarahannya, maka Ki Warana telah melenting dengan senjata terjulur lurus menyusup pertahanan salah seorang lawannya.
Terdengar teriakan nyaring. Ujung pedang Ki Warana sempat menembus dada orang itu sehingga meraba jantung. Ketika Ki Warana menarik senjatanya, maka darahpun telah memancar dari dadanya, menghambur di tepian.
Sementara itu, kawannya tidak berhasil menyelamatkannya. Ketika ia menyerang Ki Warana, ujung pedang Ki Warana sudah terlanjur menikam jantung. Melihat kawannya sudah tidak berdaya, maka lawan Ki Warana yang seorang lagi menjadi gentar. Berdua mereka tidak mampu mengimbangi kemampuannya. Apalagi seorang diri.
Karena itu, maka orang itu berusaha untuk melarikan diri dari arena pertempuran. Namun orang itu gagal memanfaatkan kesempatan. Ketika ia melangkah meninggalkan arena, senjata Ki Warana justru telah mencapai punggungnya. Orang itupun menjerit kesakitan. Ujung senjata Ki Warana telah menembus pula punggung lawannya yang seorang lagi.
Ki Warana pun kemudian berdiri termangu-mangu memandang dua sosok tubuh yang terbaring diam di tepian. Darah yang mengalir dari luka mereka membasahi pasir dan kerikil yang terserak. Beberapa saat Ki Warana berdiri mematung. Ternyata ia sudah membunuh kawannya sendiri. Namun Ki Warana akan dapat mempertanggung jawabkan tindakannya, karena kedua orang kawannya itu telah mengganggu seorang gadis yang justru adalah kemanakannya.
Selagi Ki Warana masih berdiri termangu-mangu, maka terdengar suara Delima dari atas tanggul, ”Paman....”
Ki Warana tersentak. Ketika ia berpaling, dilihatnya Delima berdiri disebelah orang bongkok itu. Bagaimanapun juga, Ki Warana menjadi berdebar-debar. Orang bongkok itu tentu orang yang berilmu sangat tinggi. Ia tidak tahu apa yang telah dilakukan ketika tiba-tiba saja salah seorang diantara kedua orang yang mengganggu Delima, yang hampir berhasil menangkap gadis itu selagi ia memanjat tanggul, telah menjadi kesakitan dan berguling dari lereng tanggul itu.
Orang bongkok itu pula bersama-sama dengan beberapa orang kawannya telah mengacaukan pertemuan di sanggar. Bahkan orang bongkok yang hampir saja dikorbankan diatas api itu bersama-sama dengan kawan-kawannya, telah mengalahkan beberapa orang kawan-kawannya dari padepokan Kiai Banyu Bening.
Karena itu, jika ia harus berhadapan seorang melawan seorang dengan orang bongkok itu, maka ia harus sangat berhati-hati. “Atau segala sesuatunya memang harus berakhir disini” berkata Ki Warana itu didalam hatinya.
Tetapi ia. menjadi heran ketika Delima justru menggandeng tangan orang bongkok itu turun ketepian. Kepada orang bongkok itu. Delima berkata, ”Ini adalah pamanku, kek. Kakak ayahku.”
Ki Pandi tersenyum. Katanya, “Bukankah kita sudah berkenalan, Ki Warana?“
“Ya,“ jawab Ki Warana.
“Paman...“ berkata Delima “Sambil mengamati paman bertempur melawan kedua orang itu, aku sempat berceritera tentang paman.”
“Tentang apa? Wajah Ki Warana menjadi tegang.
”Tentang niat paman keluar dari padepokan Banyu Bening” jawab Delima.
“Siapa yang mengatakannya?” Ki Warana menjadi tegang, “Ayahmu?“
“Tidak, paman. Aku telah mendengar sendiri ayah berbicara dengan paman dirumah.” jawab Delima.
“Delima, kau telah melanggar unggah-ungguh. Kau tidak boleh mendengarkan orang-orang tua berbincang.”
“Maaf, paman. Aku tidak sengaja mendengarkan paman dan ayah berbincang. Tetapi aku kebetulan duduk dibelakang dinding dan mendengarnya. Aku mencoba untuk melupakan pembicaraan itu, tetapi aku membayangkan betapa paman setiap hari merasa tersiksa, karena apa yang paman lakukan, sama sekali tidak sesuai dengan nurani paman sendiri, karena itu, ketika hari ini kebetulan aku bertemu dengan kakek bongkok, yang pernah aku kenal di rumahku dan kemudian aku lihat kehadirannya di sanggar, maka aku ingin mempertemukan paman dengan kakek bongkok ini.”
“Delima...” berkata pamannya "Apakah sebelumnya orang bongkok itu sering datang kerumahmu?”
“Sekali paman. Ketika kakek bongkok itu mengaku kelaparan dan kehausan. Ayah dan ibu merasa iba melihatnya dan kemudian menolongnya. Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba saja kakek bongkok ini mengatakan kepada ayah, berniat untuk ikut mendengarkan sesorah didalam sanggar, sehingga kita lihat, apa yang terjadi kemudian.”
Ki Warana itu berdiri termangu-mangu. Sementara itu, Ki Pandi pun melangkah mendekat sambil berkata, “Ki Warana. Aku memang sudah mendengar dari Delima, apa yang Ki Warana katakan kepada Ki Krawangan. Jika aku menemui Ki Warana sekarang, aku berniat untuk membantu agar Ki Warana tidak selalu dibelenggu oleh keadaan.”
Ki Warana menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Untuk waktu yang pendek ini, belum ada yang dapat aku lakukan, Ki Sanak. Aku berterima kasih atas sikapmu. Aku kira kau mendendamku. Tetapi temyata dugaanku keliru.”
“Baiklah, Ki Warana. Aku akan selalu menghubungi anak ini. Justru karena ia seorang gadis maka ia akan luput dari pengawasan kawan-kawanmu.”
Ki Warana mengangguk-angguk.
“Nah, sekarang, bagaimana dengan kedua orang kawanmu itu?”
Ki Warana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya kepada Delima “Menyingkirlah Delima. Aku akan menguburkan kedua orang kawahku ini di tepian. Aku tidak dapat berbuat lain.”
“Duduklah diatas batu itu,“ berkata Ki Pandi “Aku akan membantu pamanmu. Kau tidak perlu melihat apa yang terjadi dengan kedua orang itu.”
Delima pun kemudian menurut. Ia duduk diatas sebuah batu yang besar sambil mengulangi membersihkan pakaian yang kotor lagi oleh debu dan pasir ketika bakulnya tertumpah.
Ki Pandi memang telah membantu Ki Warana membuat lubang di tepian yang memang agak lunak. Kemudian memasukkan tubuh itu kedalamnya dan menimbuninya dengan batu-batu kali. Agar tidak menarik perhatian, maka disekitarnya telah ditaburkan batu kerikil dan pasir sebagaimana semula.
Dirumah, Ki Krawangan dan Nyi Krawangan menjadi gelisah. Delima sudah terlalu lama pergi. Beberapa kali Kenanga sudah menanyakan, kenapa Delima masih belum pulang.
“Aku akan pergi ke tepian...“ berkata Ki Krawangan “Mungkin terjadi sesuatu dengan anak itu.”
“Anak ini memang keras kepala!” desis ibunya “Seharusnya ia tidak pergi ke sungai.”
Ki Krawangan pun kemudian bersiap-siap untuk pergi ke sungai. Tetapi justru karena suasana yang masih belum menentu, maka Ki Krawanganpun telah menyelipkan pedang dilambungnya. Tetapi demikian Ki Krawangan keluar dari regol halaman, maka dilihatnya Delima melangkah sambil menjinjing bakul berisi cuciannya. Ki Krawangan menarik nafas dalam-dalam. Apalagi ketika ia melihat wajah Delima yang tidak memberikan kesah sesuatu yang menggelisahkan.
“Ayah akan kemana?“ bertanya Delima ketika ia melihat ayahnya berdiri termangu-mangu di depan regol halaman rumahnya.
“Kemana saja kau Delima?” ayahnya ganti bertanya, “Kami menjadi gelisah. Adikmu mulai merengek karena kau tidak segera pulang. Justru dalam suasana yang tidak menentu ini.”
“Sekarang ayah akan mencari aku?”
“Ya. Aku akan menyusulmu ketepian.”
Delima tersenyum. Katanya, ”Aku sudah pulang, ayah. Bukankah aku tidak apa-apa?”
“Kau memang tidak apa-apa. Tetapi jantung kamilah yang apa-apa.”
Delima justru tertawa. Katanya, ”Sebenarnya aku sudah selesai beberapa waktu yang lalu.”
“Jadi kenapa kau baru pulang sekarang?”
“Ketika aku naik tebing, aku tergelincir. Pakaian yang sudah bersih itu tumpah dan menjadi kotor kembali. Nah, aku terpaksa mencucinya lagi ayah.”
“Bukankah ibumu sudah mengatakan, bahwa sebaiknya kau mencuci dirumah saja.”
Delima memandang ayahnya sekilas. Ia memang melihat kecemasan membayang di mata ayahnya. Karena itu, maka Delimapun berkata, ”Marilah ayah. Mungkin ibu juga gelisah.”
“Tidak sekedar mungkin. Bukankah aku sudah mengatakan, seisi rumah menjadi gelisah. Kenanga sudah ribut saja menanyakan kenapa kau tidak segera pulang.”
Keduanya pun kemudian masuk kembali ke regol halaman rumah menyeberangi halaman. Kenanga yang melihat Delima datang diiringi oleh ayahnya, segera berlari-lari mendapatkannya.
“Lama sekali kau di tepian kak?“ bertanya adiknya.
Delima mengusap pipi adiknya sambil berkata “Aku harus mencucinya dua kali, karena cucian yang sudah bersih itu tumpah karena aku tergelincir ketika aku naik tanggul.”
“Ah, lain kali hati-hati ya kak. Kau tidak terluka?”
Pertanyaan adiknya tiba-tiba membuat Delima merasa pedih di kakinya. Teringat olehnya betapa ngerinya ketika kawan pamannya itu menarik kakinya ketika ia hampir sampai keatas tanggul. Ketika ia kemudian mengamati kakinya, baru ia melihat bahwa kakinya memang tergores kerikil.
“Sakit kak?” bertanya adiknya.
Tetapi Delima tersenyum. Katanya, “Tidak. Hanya sedikit pedih. Tetapi segera akan baik.”
“Aku carikan daun metir, kak.”
“Ah. tidak seberapa,“ jawab Delima.
Ketika ia masuk ke dapur, ibunyapun menyatakan kegelisahannya karena Delima tidak segera pulang. Ketika kemudian Delima menjemur cuciannya dibelakang rumahnya, matahari telah menjadi agak tinggi. Ia memang terlambat pulang.
Namun yang terjadi di tepian membuatnya sedikit berpengharapan, bukan saja tentang pamannya, tetapi justru seisi padukuhannva akan dapat menyadari jalan sesat yang telah mereka tempuh, bahwa selama ini mereka sekedar menjadi alas berpijak oleh seorang yang membenci kenyataan yang dialaminya. Kemudian dendamnya menebar ke lingkungan luas yang dapat dijangkaunya. Tetapi jalan tentu masih agak jauh.
Dalam pada itu, ketika Delima mendapat kesempatan untuk berbicara dengan ayahnya seorang diri, maka Delima pun telah menceriterakan apa yang telah terjadi di tepian. Hampir saja ia menjadi korban kebiadaban orang-orang dari padepokan Kiai Banyu Bening. Untunglah bahwa pamannya melihatnya. Bahkan kemudian ternyata bahwa orang bongkok itu juga berada di tempat itu.
“Paman telah membunuh dua orang kawannya, ayah.”
Ayahnya mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, ”Dengan demikian, pamanmu ada dalam bahaya.”
“Paman telah berbicara langsung dengan kakek bongkok itu, ayah. Tetapi nampaknya paman masih belum siap untuk mengambil langkah-langkah penting untuk meninggalkan padepokan.”
“Ya. Tentu tidak dapat dilakukan dengan serta-merta. Bukan karena pamanmu mencemaskan dirinya sendiri. Tetapi pamanmu justru memikirkan nasib kita sekeluarga.”
Delima mengangguk-angguk. Dugaannya tentang pamannya ternyata keliru. Pamannya bukannya orang yang tidak berjantung. Tetapi pamannya masih mempunyai perasaan wajar dan bahkan selalu memikirkan keselamalan adiknya.
Namun aknirnya Delima tidak dapat menyimpan rahasianya lagi. Ketika orang bongkok itu tidak lagi merupakan iblis yang dianggap menggoda untuk melemahkan kepercayaan keluarganya, Delima merasa aman untuk mengatakan kepada ayahnya, bahwa sejak sebelum peristiwa di sanggar itu terjadi, dan bahkan sejak sebelum orang bongkok itu datang sebagai orang yang kelaparan dan kehausan, Delima memang sudah mengenalnya.
“Jadi, kau sudah berhubungan dengan orang itu?” bertanya ayahnya.
“Ya, ayah,” jawab Delima “Tetapi aku takut mengatakannya kepada ayah.”
Ki Krawangan menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun berkata, “Untunglah, bahwa keadaan berkembang ke arah yang menguntungkan bagi kita. Sikap kakang yang tidak kita duga sebelumnya, serta perkembangan padepokan Kiai Banyu Bening itu sendiri. Seandainya yang terjadi sebaliknya, apa jadinya kita semuanya?”
“Jika perkembangannya tidak seperti ini, tentu aku tidak akan mengatakannya kepada ayah,”' jawab Delima.
“Baiklah Delima. Tetapi kau harus tetap berhati-hati. Kita tidak tahu, apa yang terjadi sebenarnya di sekitar kita. Kita tidak tahu, apakah orang-orang lain di padukuhan ini mempunyai perasaan yang sama seperti kita.”
“Aku kira demikian, ayah. Aku kira sebagian besar orang-orang padukuhan kita mempertanyakan kebenaran sesorah-sesorah yang sering kita dengar di sanggar. Apalagi setelah peristiwa yang terjadi di sanggar itu, serta banjar padukuhan kita terbakar. Orang yang tiba-tiba muncul dari reruntuhan itu tentu kawan kakek bongkok itu pula. Demikian pula yang tiba-tiba saja sudah berada di pintu gerbang halaman banjar.”
“Nampaknya mereka mempunyai kekuatan yang cukup,” berkata Ki Krawangan. Namun kemudian katanya “Meskipun demikian, sekali lagi aku peringatkan Delima, kita harus berhati-hati. Banyak kemungkinan masih dapat terjadi. Demikian juga hubungan kita dengan padepokan Kiai Banyu Bening itu.”
Delima mengangguk kecil. Namun iapun menyadari, bahwa banyak hal yang tidak dapat diperhitungkan dahulu mungkin akan terjadi. Peristiwa di pinggir kali itu, membuat Ki Krawangan sehari-harian merenung. Ia mulai menyadari, banwa anaknya memang sudah menginjak usia dewasanya. Sementara itu, orang-orang dari padepokan Kiai Banyu Bening sering berkeliaran kemana-mana. Mereka melakukan tindakan-tindakan yang tidak terkendali.
Agaknya, peristiwa yang hampir saja menimpa Delima itu juga pernah menimpa gadis yang lain. Tetapi gadis itu, atau mungkin orang tuanya, sama sekali tidak berani mengatakan kepada siapapun juga, karena orang-orang dari padepokan itu tentu mengancamnya untuk membunuh atau tindak kekerasan yang lain. Bersukurlah Ki Krawangan, bahwa anaknya ternyata masih selamat.
Tetapi tiba-tiba terbersit pertanyaan “Mengucap sukur kepada siapa? Sang Maha Api? Matahari atau rembulan?” Ki Krawangan menarik nafas dalam-dalam.
“Tidak. Tentu bukan Sang Maha Api yang telah menelan banjar padukuhan itu. Karena ternyata banjar padukuhan itu telah dibakar oleh orang-orang dari padepokan Kiai Banyu Bening.”
Dalam pada itu, dari hari ke hari, orang-orang padukuhan itu masih tetap merasa tegang. Mereka masih belum yakin, bahwa padukuhan mereka akan benar-benar menjadi tenang. Apalagi ketika kepada orang-orang padukuhan itu diberitahukan bahwa untuk sementara tidak ada kegiatan apa-apa didalam sanggar.
“Orang bongkok dan kawan-kawannya akan dapat mengacaukan suasana yang seharusnya hening itu.” berkata orang dari padepokan yang ditugaskan menemui orang-orang padukuhan.
Sementara itu. orang-orang tua yang berada dirumah Ki Ajar Pangukan pun tidak dengan tergesa-gesa mengambil tindakan. Mereka menunggu perkembangan keadaan. Namun mereka tidak henti-hentinya mengamati padepokan Kiai Banyu Bening, serta padukuhan yang pernah mereka rambah untuk menyatakan, bahwa ada pihak yang menentang perbuatan Kiai Banyu Bening, yang tidak lebih dari ungkapan gejolak perasaan pribadinya yang penuh dengan dendam dan nafsu.
Dihari-hari berikutnya, ternyata Ki Pandi pun masih juga sering menemui Delima di pinggir kali, ketika Delima mencuci pakaian. Bahkan masih belum ada orang lain yang berani melakukan sebagaimana yang dilakukan oleh Delima. Namun bagi Delima, hal itu justru menguntungkan baginya.
Justru karena tepian itu selalu sepi, maka bukan saja Ki Pandi yang sering datang, tetapi juga Manggada dan Laksana. Namun yang penting bagi Ki Pandi, ia justru dapat selalu berhubungan pula dengan Ki Warana. Ceritera yang menarik yang dibawa oleh Ki Warana adalah ceritera tentang burung-burung elang yang sering berterbangan diatas padepokan Kiai Banyu Bening.
Ki Pandi selalu tertarik setiap kali ia mendengar ceritera tentang burung-burung elang. Ia sendiri pernah melihat burung-burung elang itu terbang diatas padepokan Kiai Banyu Bening itu.
“Berhati-hatilah dengan burung elang itu...“ berkata Ki Pandi kepada Ki Warana ketika mereka bertemu di tepian, justru saat Delima sedang mencuci.
“Aku juga pernah mendengar ceritera tentang burung-burung elang itu,“ berkata Ki Warana.
“Burung-burung itu selalu membawa perlambang buruk. Burung-burung elang berkuku timah itu adalah milik seorang yang menamakan diri Panembahan Lebdagati.”
“Kiai Banyu Bening telah mendengar nama itu,“ desis Ki warana.
“Ia pernah membuat hal sama di daerah ini,” berkata Ki Pandi.
“Ya. Kiai Banyu Bening pernah mengatakan demikian. Karena itu, ia memilih tempat ini untuk mengembangkan kepercayaan yang disebarkannya, meskipun ia sendiri tidak pernah mempercayainya,“ sahut Ki Warana, “Namun Panembahan Lebdagati itu sudah lebur bersama padepokannya ketika padepokannya dihancurkan disini oleh pasukan Pajang dan orang-orang berilmu tinggi yang menentang kepercayaannya.”
“Aku ada diantara mereka waktu itu,“ berkata Ki Pandi.
Ki Warana mengangguk-angguk. Dengan demikian ia menjadi semakin yakin, bahwa orang bongkok itu tidak sekedar bermain-main jika ia berniat menghancurkan padepokan Kiai Banyu Baning.
“Berhati-hati sajalah,“ pesan Ki Pandi “Jika elang itu sudah semakin sering nampak dan berputar-putar, maka itu merupakan isyarat bahwa Panembahan Lebdagati akan segera datang.”
Ki Warana mengangguk-angguk. Katanya, “Kiai Banyu Bening menganggap bahwa Panembahan Lebdagati sudah benar-benar tidak ada. Jika ada orang yang menamakan Panembahan Lebdagati, maka tentu bukan Panembahan Lebdagati yang sebenarnya.”
”Tidak. Kiai Banyu Bening salah. Panembahan Lebdagati yang sebenarnya itu masih ada. Masih hidup. Ia masih menunjukkan gejala-gejala kesalahan penalaran.”
Ki Warana masih saja mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Pandi berkata, “Namun apa yang dikembangkan Panembahan Lebdagati adalah benar-benar yang diyakini. Sedangkan Kiai Banyu Bening justru sekedar pelepasan dendamnya karena ia sudah kehilangan anak bayinya yang mati di dalam nyala api.”
Ki Warana mengangguk-angguk sambil berdesis, “Ya. Agaknya memang demikian.”
“Dengan demikian, maka dari sisi keyakinan, Panembahan Lebdagati masih lebih jujur dari Kiai Banyu Bening. Tetapi sayang, bahwa keyakinan Panembahan itupun merupakan keyakinan yang sesat.” berkata Ki Pandi.
“Ya “jawab Ki Warana “Tetapi aku tidak tahu, apakah aku dapat memberi peringatan kepada Ki Banyu Bening.”
“Kaulah yang mengetahui kemungkinan itu. Tetapi untuk melengkapi keteranganku tentang Panembahan Lebdagati, aku beritahukan bahwa aku telah bertemu dan bertempur melawannya dalam memperebutkan pusaka-pusaka yang berada di tangan Kiai Gumrah, dari sebuah perguruan yang murid-muridnya sebagian besar menjadi pembuat dan pedagang gula kelapa.”
Ki Warana mengerutkan dahinya sambil bertanya, “Kau telah bertempur melawan Panembahan Lebdagati?”
“Ya. Sudah beberapakali aku alami. Tetapi aku tidak pernah berhasil mengalahkannya. Apalagi menangkap atau membinasakannya. Karena itu, maka aku yakin, bahwa Panembahan Lebdagati itu masih ada sampai sekarang! Elang-elang itu adalah pertanda dari perhatiannya kepada padepokan Kiai Banyu Bening. Aku tidak tahu, apakah Kiai Banyu Bening memiliki kemampuan sebagaimana Panembahan Lebdagati.”
“Kiai Banyu Bening juga seorang yang berilmu sangat tinggi. Tetapi aku juga tidak tahu, apakah ia mampu mengimbangi Panembahan Lebdagati, karena aku belum pernah menyaksikan ilmunya.”
Ki Pandipun kemudian berkata, Baiklah. Aku minta kau dapat memberi tahukan kepadanya, langsung atau lewat Delima setiap perkembangan yang terjadi di padepokanmu, juga dalam hubungannya dengan Panembahan Lebdagati.”
Ki Warana mengangguk-angguk. Namun kemudaan iapun minta diri meninggalkan Ki Pandi dan Delima di tepian.
Dihari berikutnya, Ki Pandi bersama Manggada dan Laksana telah melihat lagi, dua ekor burung elang yang berputar-putar tinggi di udara. Burung itu tidak menukik dan tidak pula menyambar-nyambar. Nampaknya burung-burung itu dalam keadaan tenang, meskipun agaknya ada sesuatu yang sedang diawasinya.
Ternyata dikeesokan harinya, Delima telah berceritera kepada Ki Pandi yang datang bersama Manggada dan Laksana pula. "Paman baru saja meninggalkan tempat ini,“ berkata Delima ”Ia harus segera berada di padepokan.”
“Apa ada sesuatu yang penting?“ bertanya Ki Pandi.
“Paman minta disampaikan kepada kakek, bahwa kemarin di padepokan telah datang dua orang utusan Panembahan Lebdagati.”
“O,” wajah Ki Pandi berkerut. Sementara Manggada bertanya, “Apa yang dibicarakan oleh utusan itu?”
“Paman tidak mengatakannya. Tetapi paman berpesan, bahwa paman ingin bertemu dengan Ki Pandi lewat tengah hari di sini.”
“Baiklah, nduk,” berkata Ki Pandi kemudian, “nanti kami akan datang kemari.”
“Apakah aku juga harus datang kemari, kek?” bertanya Delima.
“Ah, tentu tidak,” jawab Ki Pandi, “Keadaan menjadi makin gawat, nduk. Persoalannya tidak lagi terbatas antara padepokan Kiai Banyu Bening dengan kakek yang bongkok ini, tetapi melihat Panembahan Lebdagati pula.”
Delima dapat mengerti keterangan Ki Pandi itu. Karena itu, maka iapun menjawab, “Baiklah kek. Tetapi besok pagi aku akan berada disini lagi.”
“Tetapi kau harus melihat suasana, Delima. Jika suasananya tidak memungkinkan, maka kau harus tetap tinggal dirumah. Yang perlu kau ketahui Delima, para pengikut Panembahan Lebdagati tidak kalah liarnya dengan orang-orang padepokan Kiai Banyu Bening. Bahkan kemampuan orang-orangnya agak lebih tinggi dari orang-orang padepokan itu.”
Delima mcngangguak-angguk. Katanya, ”Baik, kek.”
“Nah, sekarang, jika kau sudah selesai, pulanglah. Keadaan lingkungan ini benar-benar menjadi semakin gawat.” Berkata Ki Pandi.
Ternyata Delima menuruti nasehat itu. Ia pun segera mengemasi cuciannya dan kemudian menjinjingnya. Ketika ia mulai naik tanggul, maka Laksana telah menyusulnya sambil berkata, ”Marilah, aku.bawakan bakul itu.”
“Aku sudah terbiasa membawa bakul sambil memanjat naik.”
“Tetapi jika ada yang membantumu, bukankah itu lebih baik?”
Delima tidak menolak ketika Laksana kemudian mengambil, bakul cucian itu dari tangannya. Manggada hanya memandanginya saja sambil tersenyum. Tetapi ketika Delima sudah sampai diatas tanggul, maka iapun berkata, “Sudahlah. Biar aku membawa bakul itu.”
“Aku antar kau sampai kerumahmu,“ berkata Laksana.
Tetapi Delima berkata “Bukankah keadaan sekarang menjadi semakin gawat? Jika aku pulang bersama seseorang, maka tentu akan sangat menarik perhatian. Meskipun kita dapat mengabaikan perhatian tetangga-tetangga, tetapi tentu kita tidak dapat mengabaikan perhatian orang-orang padepokan dan mungkin para pengikut Panembahan Lebdagati itu."
Laksana tersenyum masam. Tetapi ia sempat juga berkata, ”Bagaimana jika kita juga mengabaikan perhatian orang-orang padepokan Kiai Banyu Bening dan para pengikut Panembahan Lebdagati.”
“Mungkin akibatnya tidak terasa bagimu. Tetapi bagiku? Bagi keluargaku?”
Laksana tertawa. Katanya, ”Ah, bukankah aku tidak bersungguh-sungguh?”
Wajah Delima berkerut. Tetapi iapun kemudian tertawa pula. ”Sampai besok,” desis Delima.
Ketika Delima kemudian menjadi semakin jauh dan mendekati padukuhannya, maka Laksanapun segera turun kembali ketepian. Bertiga mereka meninggalkan tepian. Mereka akan kembali lagi sesuai dengan pesan Ki Warana lewat lengah hari.
Demikianlah, maka lewat lengah hari, Ki Pandi, Manggada dan Laksana telah berada kembali di tepian. Mereka menunggu kedatangan Ki Warana untuk mendengarkan perkembangan terakhir padepokan Kiai Banyu Bening. Ketiga orang itu tidak perlu menunggu terlalu lama. Beberapa saat kemudian, maka Ki Warana benar-benar datang sesuai dengan pesannya lewat Delima.
“Mereka adalah cucu-cucuku,“ berkata Ki Pandi, ketika Ki Warana memandangi Manggada dan Laksana.
”Mereka juga ada di sanggar malam itu" desis Ki Warana.
“Ya. sahut Ki Pandi. ”Mereka berusaha menolong kakeknya...”
“Tidak Ki Sanak. Bukan mereka berusaha menolong kakeknya. Tetapi semuanya sudah terpencar. Sejak kau kelaparan dan kehausan di rumah Krawangan.”
Ki Pandi tertawa. Katanya “Ya. Sekarang aku tidak akan ingkar. Kami memang telah membuat rencana itu, meskipun sebagian sedikit menyimpang. Tetapi untunglah bahwa kami dapat menyelesaikan bagian pertama dari permainan kami dengan baik meskipun ada unsur keberuntungan.”
“Kalian terdiri dari orang-orang berilmu tinggi...” jawab Ki Warana.
“Nah, sekarang, apakah yang akan kau katakan kepada kami?”
“Di padepokan kami telah datang dua orang utusan Panembahan Lebdagati.”
Ki Pandi mengerutkan dahinya. Sambil mengangguk-angguk ia pun kemudian berkata, “Jadi mereka telah benar-benar datang?”
“Ya, Ki Pandi.”
“Apa yang mereka katakan?“ bertanya Ki Pandi. “Panembahan Lebdagati menuntut agar apa yang dianggapnya haknya, supaya dikembalikan.”
“Apa yang dimaksud?”
“Daerah ini. Panembahan Lebdagati menuntut agar Kiai Banyu Bening meninggalkan lingkungan ini dan menyerahkan padepokannya kepada Penambahan Lebdagati yang akan menanamkan kembali pengaruhnya di daerah ini. Panembahan Lebdagati merasa bahwa tanah ini adalah tanahnya.”
“Apa jawab Kiai.Banyu Bening?”
“Tentu saja Kiai Banyu Bening tidak ingin menyerahkannya. Ia pun tidak akan meninggalkan tempat itu. Ketika Kiai Banyu Bening membangun padepokannya, maka Panembahan Lebdagati sudah tidak ada di tempat itu.”
Ki Pandi mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berkata “Jika Kiai Banyu Bening bersungguh-sungguh ingin mempertahankan padepokannya, ia harus benar-benar mempersiapkan dirinya. Panembahan Lebdagati masih mendapat kepercayaan dari beberapa orang pemimpin padepokan yang melandasi ilmunya dengan kepercayaan-kepercayaan hitam yang akan dapat diajaknya bergerak.”
“Kiai Banyu Bening memang telah mulai mempersiapkan dirinya. Tetapi Kiai Banyu Bening tetap menganggap bahwa Panembahan Lebdagati yang mengirimkan utusannya itu bukan Panembahan Lebdagati yang sebenarnya.”
“Kau benar-benar tidak dapat, memperingatkannya?“ bertanya Ki Pandi.
“Dalam keadaan yang demikian, Kiai Banyu Bening tidak dapat mendengarkan pendapat orang lain.”
“Bagaimana pendapat pembantu-pembantu Kiai Banyu Bening?”
“Sebagian besar dari mereka juga tidak percaya bahwa yang mengirimkan utusan itu adalah Panembahan Lebgadati.”
“Apakah Kiai Banyu Bening pernah mengenal wajah Panembahan Lebdagati?”
Ki Warana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Aku tidak tahu, Ki Pandi. Tetapi menilik setiap pembicaraan mengenai Panembahan itu, nampaknya Kiai Banyu Bening pernah bertemu dan berbicara dengan Panembahan Lebdagati. Namun yang terang, Kiai Banyu Bening mengakui bahwa Panembahan Lebdagati adalah orang yang berilmu sangat tinggi. Namun sebagaimana dikatakannya, bahwa Kiai Banyu Bening telah siap menghadapinya, meskipun orang yang mengaku Panembahan Lebdagati itu memiliki ilmu setinggi Panembahan Lebdagati sendiri.”
Ki Pandi mengangguk-angguk. Katanya, “Meskipun aku belum pernah menjajagi kemampuan Kiai Banyu Bening, namun rasa-rasanya sulit bagi Kiai Banyu Bening untuk mengimbangi kemampuan Panembahan Lebdagati.”
Ki Warana mengerutkan dahinya. Dengan ragu ia berkata, ”Tetapi Kiai Banyu Bening juga memiliki ilmu yang sangat tinggi.”
“Mudah-mudahan,” jawab Ki Pandi. Namun kemudian ia berkata “Tetapi sebaiknya kau berhati-hati Ki Warana. Bukan maksudku untuk menghasutmu agar kau berkhianat terhadap Kiai Banyu Bening, tetapi nurani Ki Warana sendiri sudah memanggil, agar Ki Warana meninggalkan padepokan yang diwarnai oleh kepalsuan sikap pemimpinnya. Kiai Banyu Bening sama sekali tidak jujur dengan kepercayaan yang disebarkannya. Disinilah letak kelebihan Panembahan Lebdagati. la bersikap jujur terhadap kepercayaannya, meskipun kepercayaan itu adalah kepercayaan hitam yang harus dihapuskan. Karena itu, jika terjadi perang antara kedua padepokan yang sama-sama harus dimusnahkan itu, sebaiknya Ki Warana berusaha untuk melepaskan diri. Jika Ki Warana tidak bersiap-siap sejak semula, maka Ki Warana akan terjebak kedalam satu pertempuran yang akan mengikat Ki Warana.”
Ki Warana termangu-mangu. Memang sulit untuk melakukannya. Meskipun ia sendiri merasa tersiksa hatinya selama ia berada di padepokan itu, namun untuk begitu saja meninggalkan justru di saat yang gawat, rasa-rasanya Ki Warana itu tidak akan sampai hati. Seandainya ia tidak membela Kiai Banyu Bening, namun apakah ia akan dapat membiarkan kawan-kawannya yang setiap hari selalu berhubungan, digilas oleh kekuatan lain tanpa melibatkan dirinya?
Ki Pandi melihat keragu-raguan ini. Karena itu, maka iapun berkata, ”Ki Warana. Kekuatan dan kemampuan Ki Warana seorang diri tidak banyak berpengaruh. Namun keselamatan Ki Warana sangat berarti bagi Ki Warana sendiri. Bukan keselamatan kewadagan saja, tetapi juga keselamatan jiwa Ki Warana. Jika Ki Warana bertempur dipihak Kiai Banyu Bening, itu akan berarti bahwa Ki Warana telah ikut serta mempertahankan sesuatu yang tidak sesuai dengan nurani Ki Warana sendiri.”
“Tetapi Ki Pandi, seandainya Kiai Banyu Bening dikalahkan oleh Panembahan Lebdagati, apakah bukan berarti bahwa kepercayaan hitam Panembahan Lebdagati akan berkembang lagi di daerah ini? Betapa jujurnya Panembahan Lebdagati terhadap kepercayaannya, namun kepercayaan itu sendiri adalah kepercayaan yang sesat. Bagi orang lain, justru akan menjadi lebih berbahaya karena orang yang menerima keyakinan itupun akan menjadi yakin dan mengakar. Tidak seperti orang-orang yang menerima kepercayaan yang sekedar pura-pura, sehingga bagi para pengikutnya pun kepercayaan itu hanya sekedar mengambang saja?”
“Bukankah sudah aku katakan, bahwa kepercayaan yang ditebarkan oleh Panembahan Lebdagati itu pun harus dimusnahkan?”
Ki Warana mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti. Ki Pandi...”