Matahari Senja Bagian 07 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Arya Manggada - Matahari Senja Bagian 07
Karya : Singgih Hadi Mintardja

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
KI PANDI memang tidak dapat mengelak. Iapun berjalan di antara dua orang yang memegangi kedua lengannya. Semua mata memandang kearahnya. Seorang bongkok yang berjalan tertatih-tatih. Namun di wajahnya, betapa orang bongkok itu menjadi sangat cemas.

Delima menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Rasa-rasanya, ia ingin berteriak, bahwa orang bongkok itu adalah sahabatnya. Ia bukan orang jahat. Tetapi jangankan berteriak, berbisikpun mereka dilarang. Sejenak kemudian, diapit oleh dua orang laki-laki bertubuh tegap. Ki Pandi berdiri dihadapan kakak Ki Krawangan yang masih berada ditangga.

"Siapa kau he?" bertanya kakak Ki Krawangan itu. Ki Pandi menjadi bimbang. Ia tahu bahwa tidak seorangpun boleh berbicara. Karena itu, ia menduga bahwa pertanyaan itu memang merupakan satu pancingan agar ia melanggar ketentuan yang berlaku didalam sanggar itu.

"Kau siapa orang bongkok?” kakak Ki Krawangan itu mulai membentak.

Tetapi Ki Pandi masih belum menjawab, sehingga kakak Ki Krawangan itu berteriak, "He, apakah kau tuli?”
Ki Pandi mengerutkan dahinya. Tetapi kemudian Ki Pandi memberi isyarat dengan gerak tangannya, apakah ia dapat membuka mulutnya. Kakak Krawangan itu termangu-mangu sejenak. Ia memang agak ragu. Namun kemudian iapun berkata "Jawablah. Kau telah mendapat ijin untuk berbicara.”

Ki Pandi menarik nafas panjang. Dengan gagap iapun berkata, "Aku ingin mendengarkan sesorah di sanggar ini. Selama ini aku tidak mempunyai pegangan hidup menghadapi hari-hari tua yang tidak dapat aku elakkan. Aku ingin mendapatkan ketenangan di hari-hariku yang terakhir. Karena itu, aku datang kemari. Jika di-sini aku menemukan ketenangan, maka aku akan menyatakan diri dengan saudara-saudaraku disini.”

“Omong kosong!" geram kakak Ki Krawangan "Di hari-hari terakhir daerah ini telah didatangi oleh orang-orang asing yang mengganggu ketenangan hidup kami. Di padepokan, dua orang yang mengaku pedagang telah merusak suasana kehidupan damai di padepokan. Sekarang kau datang kemari dengan cara yang lain. Tetapi kami yakin bahwa kedatanganmu ada hubungannya dengan kedatangan kedua pedagang, itu”

"Aku tidak mengerti yang Ki Sanak katakan itu..." desis Ki Pandi “Aku adalah pengembara yang mengembara tanpa tujuan. Jika disini aku mendapatkan kedamaian hati, maka pengembaraanku akan berakhir disini. Aku akan tinggal disini meskipun aku harus menjadi budak dan bekerja apa saja.”

“Kau tidak dapat membohongi kami sebagaimana kedua orang yang mengaku pedagang itu. Ketika aku mendengar bahwa ada orang asing yang ingin ikut serta dalam kepercayaan kami, aku segera menjadi curiga justru baru saja dua orang yang mengaku pedagang telah datang di padepokan.”

“Tetapi aku bukan pedagang...”

"Baik..." berkata kakak Ki Krawangan “Karena kau orang asing disini, maka untuk menerimamu sebagai anggota dari kehidupan yang damai dan tentang disini, maka kau harus diuji. Besok malam kita akan berkumpul disini seperti sekarang ini. Kau harus menunjukkan kejujuranmu, bahwa kau benar-benar akan menjadi satu dengan lingkungan hidup di padukuhan ini dengan setia.”

"Apa yang harus aku lakukan?” bertanya Ki Pandi.

"Meskipun besok malam bulan belum penuh, tetapi kita akan menyerahkan korban. Kau yang harus mengumpulkan dahan-dahan kering besok siang. Kau yang harus mencari bahan persembahan. Kau pula yang harus membakarnya hidup-hidup diatas batu rias persembahan ini.”

Kerut kening Ki Pandi menjadi semakin dalam. Dengan suara yang bergetar ia bertanya "Kemana aku harus mencari bahan persembahan? Aku hanya seorang pengembara.”

"Terserah kepadamu. Jika kau tidak mendapatkan seekor binatang, maka kau akan dianggap sebagai anggauta yang paling terhormat jika kau dapat mempersembahkan yang lain.”

"Maksud Ki Sanak?” bertanya Ki Pandi.

"Itu tergantung pada tingkat kesungguhanmu untuk bergabung dengan kami." jawab kakak Ki Krawangan.

“Barangkali padi, jagung atau buah-buahan?” bertanya Ki Pandi

Wajah kakak Ki Krawangan menjadi tegang. Namun kemudian ia menjawab, "Sudah aku katakan. Nilai persembahanmu akan berbanding lurus dengan nilai kesetiaanmu kepada kepercayaan ini. Kami akan menentukan, apakah kau akan dapat diterima, dikukuhkan menjadi yang terbaik atau justru kau akan kami lemparkan menjadi-korban diatas batu alas persembahan kami itu.”

Sepercik cahaya memancar dari mata Ki Pandi. Namun kemudian iapun menunduk dalam-dalam. Sementara itu, kakak Ki Krawangarpun berkata, “Hari ini tidak ada sesorah. Besok, kita akan berkumpul lagi disini. Kita akan menyaksikan, persembahan apakah yang akan diserahkan oleh orang bongkok ini. Kita bersama-sama menilainya dan kita akan memutuskan, apakah ia dapat diterima atari tidak.”

Suasana didalam sanggar itu menjadi tegang. Kakak Ki Krawangan masih berdiri tegak di tangga. Dipandanginya orang-orang yang berdiri disekitarnya. Cahaya mata kakak Ki Krawangan itu bagaikan memancarkan pengaruh yang mencengkam semua jantung.

Demikianlah maka sejenak kemudian orang itupun berkata. "Sekarang kalian dapat meninggalkan sanggar ini. Besok kita akan bertemu lagi.“

Orang-orang yang berada di sanggar itu mulai bergerak. Mereka mengalir keluar dari sangar itu. Anak-anak dan remaja segera mencari orang tua masing-masing dan pulang dalam kelompok-kelompok kecil.

Ki Pandipun pulang bersama keluarga Ki Krawangan. Dengan nada berat Ki Krawangan berkata "Aku tidak tahu bahwa masih harus ada syaratnya bagi Ki Pandi untuk diterima menjadi keluarga didalam lingkungan kepercayaan kami.”

"Tetapi apa yang harus aku korbankan?" bertanya Ki Pandi.

"Aku juga tidak tahu, Ki Pandi." jawab Ki Krawangan.

Delima berjalan disebelah Ki Pandi sambil berdesis, "Tinggalkan saja padukuhan ini, kek.”

Ki Pandi menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba ia berkata "Aku akan memberikan korban buah-buahan. Jika korbanku diterima, maka akan menjadi kebiasaan yang lebih baik daripada mengorbankan seekor anak binatang."

“Ya" sahut Delima "Kakek dapat mencobanya.”

Tetapi Ki Krawangan memotong. "Ki Pandi. Apakah jenis korban itu dapat ditawar-tawar seperti itu? Jika tadi kakang mengatakan terserah kepada Ki Pandi, itu tentu semacam pendadaran bagi Ki Pandi. Jika Ki Pandi mengorbankan buah-buahan, maka aku kira Ki Pandi tidak akan dapat diterima.”

"Tetapi darimana aku mendapat seekor anak binatang.”

Ki Krawangan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab dengan nada berat "Ki Pandi. Aku masih mempunyai seekor anak kambing. Jika Ki Pandi memerlukan, biarlah anak kambing itu kita korbankan. Semakin banyak korban yang kita berikan, maka janji kesejahteraan tentu akan menjadi semakin dekat bagi kita sekeluarga. Tentu juga bagi Ki Pandi.”

"Kesejahteraan apa yang Ki Krawangan maksudkan?" bertanya Ki Pandi.

"Kesejahteraan lahir dan batin. Sawah kita akan menjadi subur. Dijauhkan dari segala macam hama. Sementara hidup kita akan tenang dan damai sepanjang jaman, lebih dari itu, kita akan mendapatkan tataran tertinggi di alam kematian.”

Ki Pandi mengangguk-angguk. Sementara Ki Krawangan berkata selanjutnya "Karena itu, maka sejak sekarang sudah mulai dianjurkan, meskipun masih belum terjadi, untuk memberikan korban yang derajatnya lebih tinggi.”

"Apakah yang derajatnya lebih tinggi dari seekor binatang?" bertanya Ki Pandi.

Ki Krawangan terdiam sejenak. Sementara itu kaki mereka melangkah terus mendekati rumah Ki Krawangan. Beberapa orang berjalan lebih cepat dan mendahului Ki Krawangan sekeluarga yang berjalan perlahan-lahan sambil berbincang.

"Ki Pandi" berkata Ki Krawangan kemudian, “Maksudku, bahwa korban seekor anak kambing mempunyai derajat lebih tinggi daripada korban seekor anak kucing misalnya atau anak ayam atau anak itik yang menetas dari sebutir telur."

Ki Pandi tidak segera menjawab. Tetapi bulu-bulu tengkuk Delima meremang. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya Delima menutup kedua telinganya dengan telapak tangannya.

"Delima. Kau kenapa?” bertanya ibuanya.

Delima tidak segera menjawab. Namun ketika ibunya memegangi pundaknya, gadis itu menjawab dengan suara parau “Malam ini terasa dingin ibu."

"Oh..." ibunya berdesis. Tetapi Kenanga tiba-tiba berkata “Aku justru berkeringat kak Delima. Aku kira udara terasa panas.”

"Tentu tidak. Angin yang basah membuat udara malam ini dingin sekali.”

"Sudahlah..." berkata ibunya "Jangan bertengkar.”

Namun dalam pada itu, Ki Pandi itupun kemudian berkata “Biarlah aku mencoba untuk menyerahkan korban buah-buahan. Mudah-mudahan justru akan membuka kebiasaan baru yang lebih baik dari kepercayaan ini.”

Ki Krawangan masih saja ragu-ragu. Katanya. "Sebaiknya Ki Pandi jangan mencoba-coba. Besok merupakan hari pendadaran bagi Ki Pandi. Jika Ki Pandi dianggap melakukan kesalahan, maka akibatnya dapat menyulitkan Ki Pandi sendiri.”

Ki Pandi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Tetapi aku akan berdoa semalam suntuk, agar yang aku lakukan itu justru dapat diterima dengan baik.”

Ki Krawangan memang tidak menjawab lagi. Segala sesuatunya memang terserah kepada Ki Pandi. Tetapi ia sudah menawarkan sesuatu yang terbaik bagi Ki Pandi. Seekor anak kambing.

Malam itu, Ki Pandi ternyata tidak bermalam dirumah Ki Krawangan meskipun Ki Krawangan mempersilahkan. Ki Pandi ternyata telah minta diri untuk memenuhi kewajibannya. menyediakan korban yang akan dibakar esok malam. Tetapi malam itu, Ki Pandi telah menghubungi Ki Ajar Pangukan dan orang-orang yang ada dirumah terpencil itu. Diberitahukannya, apa yang telah terjadi.

"Lalu, apa yang akan kau lakukan?" bertanya Ki Ajar Pangukan dengan dahi yang berkerut.

"Aku akan membawa pisang setandan. Aku akan mengorbankan pisang itu jika diterima.”

"Jika tidak?" bertanya Ki Ajar.

"Nasibku akan menjadi sangat buruk..." jawab Ki Pandi.

Ki Ajar dan orang-orang lain yang mendengarnya tertawa. Ki Jagapranapun berdesis "Jangan merajuk begitu Ki Pandi.”

Ki Pandipun tertawa pula. Sementara Manggada dengan ragu-ragu berkata "Ki Pandi. Malam nanti aku akan berada didekat sanggar itu. Aku akan mengikuti, apa yang akan terjadi.”

Ki Sambi Pitu tersenyum sambil menepuk bahu Manggada, “Jangan cemas anak muda. Kami semua juga akan berada di tempat itu. Kami tentu tidak akan sampai hati mendengar Ki Pandi merajuk dengan nada sedih, bahwa nasibnya menjadi sangat buruk.”

Suara tertawa orang-orang tua itu menjadi semakin berkepanjangan. Bahkan Ki Pandipun tidak dapat menahan tertawanya pula. Dihari berikutnya, menjelang tengah hari, Ki Pandi sudah berada di sanggar sambil membawa setandan pisang raja yang besar. Dengan ragu-ragu ia memasuki sanggar yang kosong itu. Diletakkannya pisang itu diatas alas penyerahan korban.

Namun Ki Pandi masih harus mencari kayu kering untuk menyalakan api saat korban diserahkan. Selagi Ki Pandi menyusun dahan dan ranting kayu kering yang dikumpulkannya, maka iapun mendengar lembut mendekatinya.

"Kek...” terdengar suara Delima.

Ki Pandi berpaling. Dilihatnya Delima yang ragu-ragu berdiri beberapa langkah dibelakangnya. “Nah, Delima..." berkata Ki Pandi "korbanku sudah siap.”

Tetapi wajah Delima masih saja suram. Bahkan dengan nada dalam ia berkata, "Pamanku tadi menemui ayah, kek.”

"Oh..." Ki Pandi mengangguk-angguk "Apa ada hubungannya dengan aku?”

"Ya, kek. Paman memperingatkan ayah, agar ayah tidak berhubungan dengan kakek."

Ki Pandi menarik nafas dalam-dalam. Sementara Delima berkata selanjutnya, "Ketika ayah mengatakan bahwa kakek akan ikut ke sanggar, paman tidak berkeberatan. Tetapi ternyata bahwa semalam paman tidak sendiri. Mereka bersikap kasar kepada kakek. Menurut pendengaranku, orang-orang padepokan itu telah mencurigai semua orang yang dianggap asing, karena dua orang yang datang ke padepokan telah mengacaukan ketenangan padepokan itu.”

Ki Pandi termangu-mangu, sementara Delima berkata selanjutnya, "Paman baru tahu tentang dua orang asing yang mengacaukan padepokan itu kemudian. Bahkan kemudian padepokan itu telah mengambil sikap khusus kepada kakek.”

"Apa hubungannya kedua orang yang mengacaukan padepokan itu dengan aku, Delima?”

"Aku tidak tahu, kek. Tetapi orang-orang padepokan itu menjadi semakin berhati-hati. Kedua orang asing yang datang di padepokan itu telah melukai beberapa orang padepokan. Bahkan ada yang parah.”

"Kemudian aku menjadi sasaran dendam mereka?”

"Entahlah, kek. Tetapi sebaiknya kakek meninggalkan tempat ini. Nanti malam kakek tidak usah datang, karena kedatangan kakek akan dapat mencelakakan diri kakek sendiri.”

Ki Pandi tersenyum sambil melangkah mendekati Delima. Ditepuknya pundak Delima sambil berkata "Terima kasih atas peringatanmu Delima. Tetapi biarlah aku lebih banyak mengetahui tentang kepercayaan yang aneh ini. Jangan cemaskan aku.”

"Tetapi...." wajah Delima menjadi muram.

Sementara Ki Pandi berkata, "Aku akan berusaha menjaga diriku sendiri, Delima. Pulanglah dengan tenang.”

Delima termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Delima itu telah meninggalkan sanggar. Di pintu ia berpaling dan berhenti sejenak. Namun kemudian iapun telah melangkah lagi meninggalkan Ki Pandi yang menyiapkan korban yang akan diserahkannya.

Hari itu Ki Pandi tidak pergi ke rumah Ki Krawangan. Bukan karena ia mencurigainya. Tetapi Ki Pandi justru menjaga agar Ki Krawangan tidak mengalami kesulitan justru karena sikapnya. Sebenarnyalah bahwa dirumah Ki Krawangan telah hadir dua orang cantrik dari padepokan untuk mengawasi hubungan antara Ki Pandi dan Ki Krawangan. Kakak Ki Krawangan sendiri mencurigai seakan-akan ada hubungan khusus antara orang bongkok itu dengan Ki Krawangan.

Namun justru karena Ki Pandi tidak datang ke rumah Ki Krawangan, maka kecurigaan itupun menjadi berkurang. Mereka mempercayai ceritera Ki Krawangan, bahwa orang bongkok itu datang kerumahnya dalam keadaan kelaparan dan kehausan. Sesudah minum dan makan, orang itupun telah pergi. Ia datang untuk bersama-sama pergi ke sanggar. Sesudah itu, ia telah pergi lagi.

"Baiklah..." berkata salah seorang cantrik yang bertugas di rumah Ki Krawangan itu. "Namun karena itu, maka Ki Krawangan jangan berusaha membantunya jika padepokan mengambil sikap tertentu kepada orang bongkok itu.”

Ketika kemudian senja turun, maka seperti yang dikatakan oleh kakak Ki Krawangan di sanggar semalam, bahwa malam itu, orang-orang padukuhan itu harus berkumpul kembali di sanggar.

Ki Krawangan dan keluarganya, memenuhi perintah itu, malam itu juga pergi ke sanggar. Namun disepanjang jalan, Ki Krawangan dengan nada ragu berbicara pula tentang Ki Pandi.

"Apakah orang bongkok itu meninggalkan padukuhan?” desis Ki Krawangan.

Tidak seorangpun yang menjawab. Namun kemudian dengan ragu-ragu pula isteri Ki Krawangan berkata hampir kepada diri sendiri, "Sebaiknya ia memang meninggalkan padukuhan ini.”

Ki Krawangan terkejut mendengar kata-kata isterinya. Bahkan Nyi Krawangan sendiri juga terkejut mendengar kata-katanya itu. Sedangkan Delima menjadi tegang. Hanya Kenanga yang tidak begitu memahami perasaan kedua orang tuanya dan kakaknya.

Selama itu, tidak ada orang padukuhan yang bersikap lain dari sikap orang-orang padepokan, termasuk kakak Ki Krawangan. Jika orang-orang padepokan menghendaki orang bongkok itu datang dengan persembahan korban, maka yang lain harus bersikap demikian pula. Karena itu, sikap Nyi Krawangan terasa menjadi asing. Seakan-akan Nyi Krawangan itu berusaha untuk melindungi orang bongkok yang justru sedang dicurigai itu.

Namun kemudian Ki Krawangan sendiri berdesis, "Ya. Memang sebaiknya orang bongkok itu meninggalkan padukuhan ini. Betapapun ia ingin mencari kedamaian hati, tetapi pada saat kakinya mulai melangkah masuk, ia sudah terantuk batu.”

Delima menarik nafas dalam-dalam. Ternyata sikap batinnya tidak berbeda dengan sikap batin ayah dan ibunya, meskipun dengan demikian menjadi berbeda dengan sikap orang-orang padukuhan itu yang tentu ingin melihat apa yang akan dibawa Ki Pandi ke sanggar. Bagaimana puia keputusan orang-orang padepokan tentang korban yang akan dipersembahkan oleh orang bongkok itu.

Namun demikian orang-orang padukuhan itu memasuki sanggar, maka merekapun segera dicengkam oleh suasana yang tegang. Demikian mereka melihat setandan pisang yang diletakkan diatas seonggok kayu kering di atas batu persembahan, maka merekapun segera menduga, bahwa sesuatu akan terjadi di sanggar itu.

Ketika Ki Krawangan dan keluarganya memasuki sanggar, mereka melihat Ki Pandi berdiri diapit oleh dua orang cantrik dari padepokan. Sedangkan kakak Ki Krawangan rasa-rasanya tidak sabar menunggu orang-orang padukuhan itu berkumpul. Namun akhirnya, orang-orang padukuhan itu sudah berdiri pada deret-deret sebagaimana biasanya.

Delima benar-benar gelisah melihat Ki Pandi yang nampaknya sudah tidak berdaya lagi untuk menyelamatkan diri. Beberapa saat kemudian, maka suasanapun menjadi semakin tegang. Kakak Ki Krawangan sudah berdiri ditangga bangunan batu alas meletakkan korban itu. Orang-orang padukuhan yang berdiri dalam deretan-deretan, itupun menjadi semakin tegang. Tidak seorangpun yang bergerak. Bahkan mata merekapun seakan-akan tidak berkedip lagi.

Kakak Ki Krawangan yang berdiri ditangga itupun kemudian berkata, "Saudara-saudaraku. Disini sekarang ada orang yang lebih tua dari aku dalam tataran kedudukan kami di padepokan. Karena itu, biarlah saudaraku yang lebih tua itu mengambil keputusan tentang orang bongkok itu.”

Orang-orang padukuhan itu menjadi semakin berdebar-debar. Mereka tidak tahu, perasaan apakah yang sebenarnya bergejolak didalam hati mereka. Sepercik kegelisahan menyala didada orang-orang itu. Mereka merasa iba melihat orang bongkok yang berdiri diapit oleh dua orang cantrik yang masih muda serta bertubuh tegap kekar.

Mereka yakin bahwa orang bongkok itu akan mendapatkan hukuman, karena ia telah berani membawa persembahan yang tidak memadai. Namun sementara itu, orang-orang itu juga merasa tersinggung. Orang bongkok itu seakan-akan dengan sengaja merendahkan derajat kepercayaan mereka. Seakan-akan orang bongkok itu dengan sengaja menjajagi tatanan yang berlaku di antara mereka.

Sementara itu, kakak Ki Krawangan itupun bergeser menepi. Sedangkan seorang yang lain, seorang yang bertubuh raksasa telah naik dan berdiri disebelah kakak Ki Krawangan.

Ki Pandi mengerutkan dahinya. Ia teringat ceritera Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles tentang orang yang mula-mula melihat keduanya dari lubang di pintu gerbang padepokan. Tetapi Ki Pandi, bahwa orang itu bukan yang dimaksud oleh Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles.

Orang yang bertubuh raksasa dan berdiri di tangga itupun kemudian berkata, "Aku akan mengambil alih tugas saudaraku. Persoalannya memang tidak sederhana. Bukan sekedar seseorang yang ingin mencari kesejahteraan hidup lahir dan batin. Serta bukan orang yang mencari ketentraman sejati dibawah naungan kuasa api yang menghembuskan kehidupan serta memancarkan kesejukan dan kedamaian hati di malam hari.”

Orang-orang yang mendengarkan sesorah itu menjadi semakin tegang. Mereka semakin yakin bahwa sesuatu yang tidak diharapkan akan terjadi malam itu di sanggar mereka.

Dalam pada itu, orang bertubuh raksasa itupun berkata, “Ternyata orang bongkok yang datang ke sanggar ini tidak berbeda dengan kedua orang asing yang telah mendatangi padepokan. Mereka bukan saja telah menghina kepercayaan yang kita junjung tinggi, tetapi mereka telah menyerang dan melukai saudara-saudara kita yang justru ingin menolong mereka, menunjukkan jalan keluar dari lingkungan ini. Saudara-saudara kita yang sama sekali tidak menduga itu tidak sempat membela diri.”

Ki Pandi yang telah mendengar ceritera Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles, segera menghubungkan dengan ceritera orang bertubuh raksasa itu, meskipun ceritera itu sudah diputar-balikkannya. Namun Ki Pandi sama sekali tidak mengatakan sesuatu.

Orang bertubuh raksasa itupun berkata selanjutnya, “Nah, bukankah orang bongkok ini juga telah menghina kita semuanya. Lihat, apa yang dipersiapkannya diatas alas persembahan kita. Selama ini kita selalu mempersembahkan korban yang bernyawa. Tetapi orang bongkok itu telah membawa setandan pisang kemari.”

Orang itu terdiam sejanak. Ketika ia memandang Ki Pandi yang berdiri termangu-inangu, maka semua orang telah memandang Ki Pandi pula. "Apakah kita akan membiarkan pengalaman ini terjadi atas kita? Kita tentu akan memaafkan orang-orang yang menghina kita sendiri. Tetapi tidak menghina penguasa Maha Api di langit yang memancarkan nafas kehidupan atas bumi ini.”

Suara orang bertubuh raksasa itu semakin menggelegar. Lalu katanya pula, “Nah, siapakah diantara kita yang membiarkan penghinaan ini terjadi? Siapa?”

Semua orang yang ada di sanggar itu tetap terdiam diri. Dalam keadaan yang biasa, jika mereka datang untuk mendengarkan sesorah, mereka sudah harus berdiam diri. Apalagi dalam keadaan yang sangat tegang itu.

Dalam pada itu, orang itupun kemudian berteriak "Kita akan membunuh orang yang telah menghina penguasa kehidupan ini dan membebankan tanggung jawab di pundaknya. Jika tidak, maka kemarahan yang akan menimpa kita semua akan berakibat sangat buruk bagi kita dan bagi kehidupan di bumi.”

Orang-orang yang ada di sanggar itu menjadi semakin tegang. Jantung mereka serasa berdetak semakin cepat. Rasa-rasanya mereka sudah dijalari kekecewaan dan kemarahan pula terhadap orang bongkok yang hanya membawa setandan pisang itu.

Delima juga menjadi semakin tegang. Bukan karena merasa terhina oleh korban yang terletak diatas seonggok kayu itu. Tetapi Delima mencemaskan nasib Ki Pandi yang terasa menjadi semakin dekat dan akrab itu. Tetapi Ki Pandi masih saja berdiri diam. Bahkan nampaknya justru menjadi semakin tenang, meskipun kepalanya masih tetap menunduk.

Namun dalam pada itu, orang bertubuh raksasa itupun berkata dengan lantang, "Nah, kita tentu tidak akan membiarkan penguasa Maha Api itu akan murka kepada kita. Kita tidak mau menerima akibat buruk karena orang bongkok itu telah menghina Maha Api di langit. Karena itu, maka kita harus menyerahkan penebusan dari penghinaan ini sekarang. Meskipun saat ini bukan saatnya menyerahkan persembahan sebagaimana biasanya. Tetapi kita harus membersihkan noda yang telah terpercik di sanggar ini.”

Orang itu berhenti sejenak. Wajah-wajah menjadi bertambah tegang. Lebih-lebih Delima dan bahkan juga ayah dan ibunya. Kenanga yang berdiri di antara gadis-gadis remaja yang lain, tidak begitu mengerti, apa yang akan terjadi.

"Nah..." berkata orang bertubuh raksasa itu "sekarang juga kita harus mendapatkan persembahan dari mahluk yang bernyawa untuk menebus penghinaan itu. Jika tidak, maka mungkin besok, bahkan mungkin nanti atau kapanpun dapat terjadi, kemarahan iti. akan menimpa kita.”

Suara orang itu terputus ketika tiba-tiba saja mereka melihat cahaya merah dilangit. Mereka melihat asap yang membubung, kemudian mereka juga melihat lidah api yang menjilat. Tidak terlalu jauh.

"Ampuni kami ya Maha Api..." teriak orang bertubuh raksasa itu. "Murkamu telah datang menimpa kami.”

Orang-orang yang ada di sanggar itu menjadi gelisah. Mereka sadar sesadar-sadarnya bahwa telah terjadi kebakaran di padukuhan mereka. Sementara itu, semua orang tidak ada di padukuhan, tetapi mereka berada di sanggar, sehingga tidak seorangpun yang akan dapat memendamkan api itu. Yang tinggal di padukuhan hanyalah orang-orang tua, orang-orang sakit dan bayi-bayi"

Namun, orang bertubuh raksasa itu berteriak, "Kita tidak akan mampu melawan kemurkaan itu. Agaknya telah terjadi kebakaran. Tetapi tentu bukan kebakaran biasa. Disini seseorang telah menghina Sang Maha Api. Dan dengan serta merta murkanya telah menimpa kita. Jika penghinaan ini tidak segera ditebus, murka itu tentu akan semakin menjalar. Mungkin akibatnya akan menimpa, seluruh padukuhan dan mungkin seluruh negeri dan bahkan mungkin seluruh bumi."

Kegelisaan semakin mencengkam. Tetapi orang itu berkata, “Jangan tinggalkan tempat ini. Orang yang telah menghina itu harus mempertanggung-jawabkan kesalahannya. Diatas alas tempat kita menyerahkan korban itu harus ada korban mahluk bernyawa sekarang juga."

Dalam pada itu selagi suasana disanggar itu menjadi semakin tegang maka seseorang berjalan tertatih-tatih ke pintu, gerbang sanggar. Tetapi orang itu berhenti sebelum ia melangkah masuk. Ia sadar, bahwa ia tidak boleh berbicara jika ia berada didalam sanggar. Karena itu, selagi ia masih berada diluar, maka iapun telah berteriak, "Banjar padukuhan kita terbakar.”

Semua orang berpaling dan memandang ke pintu gerbang. Mereka melihat seorang tua yang berdiri gemetar laki tua yang sedang sakit. Orang-orang yang berada di dalam sanggar itu menjadi semakin tegang. Dua orang cantrik telah berlari kearah orang tua itu. Ketika orang tua itu hampir saja terjatuh karena tubuhnya yang sakit itu menjadi lemah serta letih, maka kedua orang cantrik itu sempat menolongnya.

"Banjar padukuhan itu terbakar..." orang itu berdesis lagi.

Seorang dari kedua cantrik itu telah melangkah masuk kedalam sanggar. Dengan lantang ia berkata, "Banjar padukuhan itu telah terbakar. Murka Sang Maha Api telah menimpa kita.”

Orang bertubuh raksasa yang berdiri ditangga bangunan batu sebagai alas persembahan itu berkata, "Kita harus cepat-cepat menyerahkan korban agar kemarahan itu mereda.”

Orang-orang yang berdiri di sanggar itu telah dicengkam oleh suasana yang tidak menentu. Mereka menjadi sangat ketakutan melihat bahwa api telah mulai menelan korban dipadukuhan mereka. Banjar padukuhan mereka tiba-tiba saja telah terbakar.

Dalam ketegangan itu, maka orang bertubuh raksasa itupun berteriak nyaring, "Ya, Sang Maha Api. Hentikan murkamu atas kami. Sekarang kami akan menyerahkan korban untuk menebus kesalahan kami, karena kami telah berani menghina kuasa Sang Maha Api. Meskipun korban yang kami serahkan kali ini, bukan korban dibawah wajah purnama yang lembut, serta bukan pula korban yang kehadirannya diatas bumi ini berada dibawah percikan cahaya api damaimu, namun kami mohon, korban yang kami serahkan ini dapat menebus kesalahan yang pernah dilakukannya sendiri karena ia telah menghina kuasamu yang tidak terbatas.”

Semua orang terkejut mendengarnya. Seorang laki-laki kurus menjadi gemetar. Sementara Ki Krawangan menjadi gelisah. Delima berusaha untuk tidak menjadi pingsan, karena ia tahu maksud orang bertubuh raksasa itu. Ki Pandilah yang akan dikorbankan.

Sebenarnyalah sesaat kemudian orang-orang padepokan yang berada di sanggar itu telah mengerumuni Ki Pandi, termasuk kakak Ki Krawangan dan orang bertubuh raksasa itu. Dengan paksa maka Ki Pandipun telah dibawa naik keatas alas tempat penyerahan korban itu. Diatas tempat itu telah tersedia seonggok kayu untuk membakar setandan pisang yang diletakkan oleh Ki Pandi. Namun kayu itu tidak cukup banyak.

Karena itu, maka orang bertubuh raksasa itupun berkata “Agar korban yang kita serahkan sempurna, maka semua orang laki-laki harus keluar dari sanggar dengan cepat untuk mencari kayu bakar. Siapa yang tidak melakukannya, maka ia akan dikutuk oleh Sang Maha Api itu.”

Demikian, maka setiap orang laki-laki telah menghambur keluar untuk mencari kayu bakar. Laki-laki tua yang sedang sakit dan kelelahan itu duduk bersandar dinding sanggar. Tetapi ia terada diluar sanggar.

Para cantrik yang menolongnya telah masuk kedalam sanggar pula, dan membiarkannya duduk sendiri. Namun orang itu menjadi heran ketika dua orang anak muda mendekatinya sementara orang-orang disanggar itu sedang ribut untuk mencari kayu bakar.

"Duduk sajalah kek..." desis seorang diantara mereka.

"Siapakah kalian anak-anak muda?" bertanya orang itu.

"Kami bukan siapa-siapa kek. Kami hanya ingin melihat apa yang terjadi.”

Orang tua itu tidak berdaya lagi, sementara kedua orang anak muda itu masih berjongkok disebelah-menyebelahnya. Orang-orang laki-laki yang mencari kayu bakar sambil berlari itu tidak menghiraukan kedua orang anak muda iiu. Mereka mengira bahwa keduanya adalah saudara-saudara mereka yang sedang menolong orang tua yang sakit itu. Namun beberapa saat kemudian, suasana mulai menjadi sepi. Orang-orang padukuhan itu telah berdiri ditempatnya di sanggar, sementara seonggok kayu bakar telah tertimbun di alas tempat menyerahkan Kurban itu.

Dalam pada itu, maka cahaya merah dilangitpun sudah mereda. Nampaknya Banjar padukuhan itu telah hampir seluruhnya menjadi abu. Untunglah bahwa halaman Banjar itu cukup luas sehingga diharapkan api tidak menjalar kemana-mana. Apalagi malam itu angin tidak begitu kencang bertiup. Tidak pula pepohonan disekitar Banjar padukuhan itu.

Dalam pada itu, Ki Pandi telah berada ditangan orang-orang padepokan. Orang yang bertubuh raksasa itu telah berada ditangga pula sambil berkata, "Nah, nampaknya persembahan kami berkenan dihati Sang Maha Api. Sebelum persembahan kami ini kami serahkan, api yang membakar Banjar padukuhan kami telah mereda. Satu pertanda yang baik bagi kita. Karena itu, maka persembahan kami ini akan segera kami serahkan dengan perantaraan api pula.”

Darah Delima bagaikan berhenti mengalir. Namun Delima tidak pingsan. Ia melihat orang bongkok itu didorong untuk naik keatas bangunan batu sebagai alas persembahan itu. Delima dan orang-orang yang hadir di sanggar itu menjadi heran. Ia tidak melihat orang bongkok itu menjadi gelisah, ketakutan atau bahkan meronta. Ia sama sekali tidak melawan.

Namun ketika orang-orang padepokan itu akan mengikatnya, orang bongkok itu berkata "Aku tak perlu diikat. Aku akan berbaring diatas api.”

Orang-orang padepokan itu termangu-mangu sejenak. Namun orang bertubuh raksasa itu berkata "Ikat orang itu. Jika api menjilat tubuhnya, ia akan meronta atau bahkan berusaha melarikan diri.”

Tetapi orang bongkok itu menyahut, "Sudah aku katakan, aku tidak mau diikat."

"Persetan!" geram orang bertubuh raksasa itu "Ikat orang itu. Cepat.”

Para cantrik mulai memegangi tangan Ki Pandi. Seorang yang membawa tali yang dibuat dari sabut telah mulai melingkarkan tali itu ditubuh Ki Pandi. Namun yang tidak diduga telah terjadi. Cantrik yang membawa tali itu telah terlempar. Kepalanya membentur bangunan batu yang dipergunakan sebagai alas penyerahan persembahan itu. Demikian kerasnya, sehingga cantrik itu langsung menjadi pingsan.

Sebelum orang-orang padepokan itu menyadari apa yang telah terjadi, seorang lagi cantrik yang memegangi tangan Ki Pandi itu pingsan pula. Pukulan yang keras mengenai ulu hatinya, sehingga cantrik itu terbongkok kesakitan. Namun kemudian sisi telapak tangan Ki Pandi telah mengenai tengkuk cantrik itu sehingga ia jatuh tersungkur. Giliran berikutnya adalah cantrik seorang lagi yang memegangi tangan Ki Pandi yang lain. Ayunan tangan yang keras telah menampar keningnya.

Nyala api encor di sanggar itupun menjadi semakin kuning dan akhirnya menjadi semakin kabur. Ketika sebuah pukulan lagi mengenai pangkal lehernya, maka Semuanya menjadi gelap. Yang terjadi demikian cepatnya, sehingga orang-orang padepokan yang lain, yang kedudukannya lebih tua dari para cantrik itu tidak sempat menolongnya.

Namun kakak Ki Krawangan, orang bertubuh raksasa dan orang-orang padepokan yang lain dengan cepat menyadari keadaan. Karena itu, maka merekapun segera mempersiapkan diri. Orang bertubuh raksasa itu sempat berteriak, "Orang bongkok itu menjadi gila. Tangkap orang itu agar kita tak kehilangan bahan korban yang akan kita serahkan, yang justru sudah berkenan dihati Sang Maha Api.”

Tetapi orang-orang padukuhan itu tidak segera berbuat sesuatu jantung mereka justru terasa terguncang. Apalagi ketika kemudian Ki Pandi meloncat naik keatas bangunan batu sebagai alas untuk menyerahkan persembahan itu.

"Saudara-saudaraku..." berkata Ki Pandi "Kalian harus segera menyadari, bahwa aliran hitam ini akan merusak tata kehidupan kalian. Orang-orang ini telah membawa kalian dan bahkan kewadagan kalian. Orang-orang ini telah membawa kalian ke jalan sesat, mengingkari kuasa Yang Maha Agung yang telah menciptakan langit dan bumi. Termasuk matahari dan bulan. Karena itu, tidak sewajarnya kalian menyembah matahari dan bulan yang disebut dengan nama apapun juga.”

Ki Pandi tidak sempat berbicara lebih panjang. Orang yang bertubuh raksasa itu meloncat menyusulnya dan langsung menyerangnya. Bahkan dua orang yang lainpun Kini datang membantunya pula. Keributanpun tidak dapat dihindari lagi. Orang-orang padepokan telah berkerumun disekitar bangunan batu untuk menyerahkan persembahan itu. Mereka berusaha untuk menangkap orang bongkok yang akan dijadikan bahan persembahan bagi Sang Maha Api.

Namun dalam pada itu, keributan itupun telah menjalar. Tiba-tiba saja dua orang anak muda telah melibatkan diri, menyerang orang-orang yang berkerumun mengepung orang bongkok itu. Delima tiba-tiba saja melonjak kegirangan. Dua orang anak muda itu dikenalnya pula. Mereka adalah anak-anak muda yang sering datang bersama orang bongkok itu.

Perkelahianpun segera terpecah. Manggada dan Laksana telah mengambil tempatnya sendiri. Mereka telah bersiap menghadapi orang-orang padepokan yang ada di sanggar itu. Orang-orang padukuhan yang berada di sanggar itu menjadi ketakutan. Tetapi mereka tidak berani meninggalkan sanggar itu. Mereka hanya bergeser menjauh dan berdiri berdesakan melekat dinding sanggar.

Ternyata yang kemudian bertempur melawan orang-orang padepokan itu tidak hanya orang bongkok dan dua orang anak muda saja. Tetapi ada orang lain yang telah melibatkan diri pula diantara mereka.

Beberapa saat kemudian, sanggar itu benar-benar menjadi kacau ketika oncor-oncor yang menerangi sanggar itu padam satu demi satu. Keributan itupun tidak tertahankan lagi. Orang-orang padukuhan telah berlari-larian tidak tentu arah. Mereka menjadi kebingungan. Sementara itu agaknya ada orang yang dengan sengaja telah mengacaukan mereka. Orang yang berlari-larian menyusup diantara orang-orang padukuhan itu.

Dalam kekacauan itu tiba-tiba mereka melihat dua oncor yang menyala. Dua oncor yang berada disebelah menyebelah pintu gerbang sanggar terbuka itu. Arus orang-orang yang kebingungan itu tidak tertahankan lagi. Mereka berlari-larian keluar dari sanggar melalui pintu gerbang yang tiba-tiba telah terbuka selebar-lebarnya.

Terdengar anak-anak berteriak-teriak ketakutan. Bahkan kemudian suara tangispun melengking dimana-mana. Namun beberapa saat kemudian beberapa buah oncor telah menyala kembali disekitar pintu gerbang. Dua, tiga kemudian empat buah.

Dalam kekisruhan itu terdengar seseorang berteriak. “Jangan berdesakan. He, hati-hati. Berjalanlah dengan tertib. Sebaiknya orang laki-laki tidak ikut berdesakan dipintu gerbang. Biarlah perempuan dan anak-anak berjalan lebih dahulu. Orang-orang laki-laki sebaiknya justru ikut mengatur agar tidak terjadi kecelakaan.”

Tidak seorangpun diantara orang-orang padukuhan yang mengetahui, siapakah yang telah berteriak itu. Namun beberapa orang laki-laki telah tergugah hatinya. Mereka segera menepi dan mulai ikut mengatur arus keluar orang-orang padukuhan itu.

Empat orang laki-laki yang memegang oncor justru bingung sendiri. Mereka tidak tahu siapakah yang telah meletakkan oncor di tangan mereka. Tiba-tiba saja mereka merasa bahwa mereka telah memegang oncor.

Beberapa saat kemudian, maka sanggar itu telah menjadi kosong. Orang-orang padukuhan sudah berada diluarnya. Namun masih ada satu dua orang anak-anak yang menangis karena mereka belum menemukan orang tua mereka. Tetapi dalam waktu singkat, karena orang-orang padukuhan itu sudah saling mengenal, anak-anak itupun telah berada ditangan ayah dan ibunya.

Namun dalam pada itu, didalam sanggar, pertempuran masih berlangsung. Orang-orang padepokan yang berada di sanggar itu telah bertempur dengan orang-orang yang tidak meraka kenal selain orang bongkok itu.

Delima juga sudah berada diluar, masih saja berdebar-debar, la tidak tahu apa yang terjadi didalam sanggar itu. Tetapi Delima dan orang-orang padukuhan masih mendengar keributan didalam sanggar.

Sementara itu, keempat orang yang memegang obor telah berada diluar sanggar pula. Namun orang-orang padukuhan itu tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Karena itu, maka mereka hanya berkumpul saja di sekitar sanggar mereka. Sementara didalam sanggar itu masih terjadi pertempuran.

Didalam sanggar itu, Ki Pandi bersama Manggada, Laksana dan beberapa orang tua yang lain telah bertempur melawan orang-orang padepokan. Ternyata mereka tidak memerlukan waktu yang terlalu lama. Beberapa saat kemudian, maka pertempuran itupun segera berakhir.

Tetapi orang-orang yang berada diluar sanggar tidak segera mengetahui, apa yang sebenarnya terjadi di sanggar itu. Ketika kemudian tidak lagi terdengar suara apapun didalam sanggar, mereka justru semakin ragu-ragu.

Delima yang gelisah berdiri didepan pintu gerbang. Ki Krawangan yang melihat Delima berdiri didepan pintu segera menariknya sambil berkata, "Delima, apa yang kau cari? Kau tahu bahwa telah terjadi sesuatu yang tidak kita mengerti.”

Delima tidak membantah. Iapun kemudian bergeser menjauhi pintu gerbang. Namun suasana didalam sanggar itu masih sepi. Angin malam berhembus semakin dingin. Sekali-sekali masih terdengar anak-anak merengek. Namun dengan susah payah ibunya telah menenangkannya.

Empat orang laki-laki masih tetap memegang obor dan berdiri tidak jauh dari pintu gerbang yang masih terbuka lebar. Namun orang-orang yang berada diluar tidak segera dapat melihat, apa yang telah terjadi dalam kegelapan.

Akhirnya, orang-orang yang memegang oncor itu sepakat untuk melihat, apa yang terjadi didalam sanggar. Dengan hati-hati keempat orang itu melangkah masuk. Ketika mereka melihat sebuah oncor yang masih terpancang ditempatnya. maka oncor itupun telah dinyalakannya pula. Demikian pula beberapa buah oncor yang lain.

Namun keempat orang itu terkejut bukan buatan. Orang-orang padepokan yang ada disanggar itu telah terbaring diam diantara mereka nampak terluka. Darah mengalir dari luka yang menganga itu. Ketika keempat orang itu mendekat, maka mereka menyadari bahwa adat diantara mereka masih bernafas. Karena itu, maka, dua diantara keempat orang itu pun Segera berlari keluar memanggil kawan-kawannya.

“Kita harus menolong mereka!" berkata orang itu diluar sanggar!

"Kenapa?" bertanya-beberapa orang bersama-sama "Mereka terluka." jawab orang yang bertubuh-tinggi.

"Kenapa?" bertanya orang-orang yang menjadi semakin kebingungan.

"Entahlah, kita bawa saja mereka keluar. Kita akan mencoba menolong mereka."

Beberapa orang laki-laki segera berlari memasuki sanggar. Tanpa mengatakan sesuatu lagi, merekapun telah membawa orang-orang padepokan yang terbaring diam. Ada diantara mereka yang terluka. Tetapi ada yang ditubuhnya sama sekali tidak terdapat segores kecil lukapun, namun orang itu telah pingsan atau bahkan mati.

Demikianlah, maka orang-orang yang terbaring diam itu telah dibawa keluar dari sanggar. Diluar sanggar orang-orang padukuhan itu berbicara dengan leluasa. Sedangkan didalam sanggar, meskipun bukan saatnya upacara atau mendengarkan sesorah, namun rasa-rasanya segan juga untuk berbicara. Beberapa orang telah mencari air, sedangkan yang lain sibuk mengusap kening dan dahi.

Orang bertubuh raksasa itu, terluka dilambungnya. Tidak oleh goresan senjata. Tetapi luka itu cukup dalam. Tiga goresan nampak menyilang, seakan-akan goresan tiga buah jari tangan tangan berkuku tajam. Kakak Ki Krawangan justru sama sekali tidak terluka. Namun ia juga telah menjadi pingsan.

Beberapa saat kemudian, setelah orang-orang padukuhan itu menjadi sibuk satu dua orang mulai sadar. Kakak Ki Krawangan itupuh menggeliat, sementara orang bertubuh raksasa itu mulai mengerang kesakitan.

Ketika orang bertubuh raksasa itu mulai bergerak, maka darah yang mengalir sernakin banyak mengalir dari lukanya. Tetapi. orang itu ternyata membawa obat untuk mengurangi arus darahnya. Ia minta seseorang menaburkan semacam serbuk dari sebuah bumbung kecil dialas lukanya itu. Terasa luka itu menjadi pedih sekali. Tetapi darahnyapun menjadi semakin sedikit mengalir dari luka itu.

Beberapa orang lain yang terluka juga telah mendapat pengobatan yang sama, sementara kakak Ki Krawangan setelah diberi air beberapa tetes di bibirhyapun telah menjadi sadar pula.

"Iblis bongkok" geram kakak Ki Krawangan.

"Apa yang telah terjadi, kakang?" bertanya Ki Krawangan yang berjongkok disebelah kakaknya.

"Orang yang pernah kau tolong itu ternyata tidak kurang dari sosok iblis yang paling jahat.”

"Aku tidak mengira kakang. Ia tampak lemah dan sakit pada waktu itu." jawab Ki Krawangan.

"Ia datang bersama beberapa orang kawannya untuk mengacaukan upacara persembahan itu." berkata kakak Ki Krawangan itu pula.

"Tetapi apa maksud orang bongkok itu?" bertanya Ki Krawangan.

"Ia berniat mengacaukan upacara ini. Bahkan mengacaukan akal kita sehingga kepercayaan kita menjadi menipis, ia datang dengan membawa kepercayaan baru untuk menyesatkan jalan hidup kita menuju ke kesejahteraan lahir dan batin.”

Delima yang mendengar keterangan pamannya itu hampir saja tidak dapat menahan hati. Menurut pendapatnya, kepercayaan yang diajarkan oleh pamannya itulah yang sesat.

Sebenarnyalah Ki Krawangan juga ragu. Setelah hutan lebat yang seakan-akan memagari lingkungan yang luas dibawah kaki Gunung Lawu itu terbuka, maka para penghuninya mempunyai hubungan yang lebih luas dengan orang-orang dari seberang hutan. Tetapi Ki Krawangan tidak menjawab. Demikian pula Delima yang merasa lebih baik diam saja daripada membuka persoalan baru dengan orang-orang padepokan.

Dalam pada itu, selagi ketegangan mencengkam orang-orang yang berada di sekitar sanggar itu, telah terdengar suara dari dalam kegelapan. Suara yang tidak jelas sumbernya. Seakan-akan melingkar-lingkar di udara yang kelam. Suara tertawa yang berkepanjangan. Disela-sela suara tertawa itu terdengar kata-kata,

"He, kalian orang-orang sesat. Apa sebenarnya yang kalian cari dengan cara yang tidak pantas itu? Kalian telah digiring oleh seorang yang menjadi gila karena kehilangan anak bayinya. Orang yang gila karena keluarganya yang pecah dan menjadi berkeping-keping. Mungkin juga karena salahnya sendiri. Namun kemudian, ia telah mencari sasaran untuk menimpakan kesalahan itu. Ia membenci semua bayi. Ia ingin semua bayi mati seperti anaknya. Dalam api...”
Selanjutnya,
Matahari Senja Bagian 08

Matahari Senja Bagian 07

Arya Manggada - Matahari Senja Bagian 07
Karya : Singgih Hadi Mintardja

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
KI PANDI memang tidak dapat mengelak. Iapun berjalan di antara dua orang yang memegangi kedua lengannya. Semua mata memandang kearahnya. Seorang bongkok yang berjalan tertatih-tatih. Namun di wajahnya, betapa orang bongkok itu menjadi sangat cemas.

Delima menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Rasa-rasanya, ia ingin berteriak, bahwa orang bongkok itu adalah sahabatnya. Ia bukan orang jahat. Tetapi jangankan berteriak, berbisikpun mereka dilarang. Sejenak kemudian, diapit oleh dua orang laki-laki bertubuh tegap. Ki Pandi berdiri dihadapan kakak Ki Krawangan yang masih berada ditangga.

"Siapa kau he?" bertanya kakak Ki Krawangan itu. Ki Pandi menjadi bimbang. Ia tahu bahwa tidak seorangpun boleh berbicara. Karena itu, ia menduga bahwa pertanyaan itu memang merupakan satu pancingan agar ia melanggar ketentuan yang berlaku didalam sanggar itu.

"Kau siapa orang bongkok?” kakak Ki Krawangan itu mulai membentak.

Tetapi Ki Pandi masih belum menjawab, sehingga kakak Ki Krawangan itu berteriak, "He, apakah kau tuli?”
Ki Pandi mengerutkan dahinya. Tetapi kemudian Ki Pandi memberi isyarat dengan gerak tangannya, apakah ia dapat membuka mulutnya. Kakak Krawangan itu termangu-mangu sejenak. Ia memang agak ragu. Namun kemudian iapun berkata "Jawablah. Kau telah mendapat ijin untuk berbicara.”

Ki Pandi menarik nafas panjang. Dengan gagap iapun berkata, "Aku ingin mendengarkan sesorah di sanggar ini. Selama ini aku tidak mempunyai pegangan hidup menghadapi hari-hari tua yang tidak dapat aku elakkan. Aku ingin mendapatkan ketenangan di hari-hariku yang terakhir. Karena itu, aku datang kemari. Jika di-sini aku menemukan ketenangan, maka aku akan menyatakan diri dengan saudara-saudaraku disini.”

“Omong kosong!" geram kakak Ki Krawangan "Di hari-hari terakhir daerah ini telah didatangi oleh orang-orang asing yang mengganggu ketenangan hidup kami. Di padepokan, dua orang yang mengaku pedagang telah merusak suasana kehidupan damai di padepokan. Sekarang kau datang kemari dengan cara yang lain. Tetapi kami yakin bahwa kedatanganmu ada hubungannya dengan kedatangan kedua pedagang, itu”

"Aku tidak mengerti yang Ki Sanak katakan itu..." desis Ki Pandi “Aku adalah pengembara yang mengembara tanpa tujuan. Jika disini aku mendapatkan kedamaian hati, maka pengembaraanku akan berakhir disini. Aku akan tinggal disini meskipun aku harus menjadi budak dan bekerja apa saja.”

“Kau tidak dapat membohongi kami sebagaimana kedua orang yang mengaku pedagang itu. Ketika aku mendengar bahwa ada orang asing yang ingin ikut serta dalam kepercayaan kami, aku segera menjadi curiga justru baru saja dua orang yang mengaku pedagang telah datang di padepokan.”

“Tetapi aku bukan pedagang...”

"Baik..." berkata kakak Ki Krawangan “Karena kau orang asing disini, maka untuk menerimamu sebagai anggota dari kehidupan yang damai dan tentang disini, maka kau harus diuji. Besok malam kita akan berkumpul disini seperti sekarang ini. Kau harus menunjukkan kejujuranmu, bahwa kau benar-benar akan menjadi satu dengan lingkungan hidup di padukuhan ini dengan setia.”

"Apa yang harus aku lakukan?” bertanya Ki Pandi.

"Meskipun besok malam bulan belum penuh, tetapi kita akan menyerahkan korban. Kau yang harus mengumpulkan dahan-dahan kering besok siang. Kau yang harus mencari bahan persembahan. Kau pula yang harus membakarnya hidup-hidup diatas batu rias persembahan ini.”

Kerut kening Ki Pandi menjadi semakin dalam. Dengan suara yang bergetar ia bertanya "Kemana aku harus mencari bahan persembahan? Aku hanya seorang pengembara.”

"Terserah kepadamu. Jika kau tidak mendapatkan seekor binatang, maka kau akan dianggap sebagai anggauta yang paling terhormat jika kau dapat mempersembahkan yang lain.”

"Maksud Ki Sanak?” bertanya Ki Pandi.

"Itu tergantung pada tingkat kesungguhanmu untuk bergabung dengan kami." jawab kakak Ki Krawangan.

“Barangkali padi, jagung atau buah-buahan?” bertanya Ki Pandi

Wajah kakak Ki Krawangan menjadi tegang. Namun kemudian ia menjawab, "Sudah aku katakan. Nilai persembahanmu akan berbanding lurus dengan nilai kesetiaanmu kepada kepercayaan ini. Kami akan menentukan, apakah kau akan dapat diterima, dikukuhkan menjadi yang terbaik atau justru kau akan kami lemparkan menjadi-korban diatas batu alas persembahan kami itu.”

Sepercik cahaya memancar dari mata Ki Pandi. Namun kemudian iapun menunduk dalam-dalam. Sementara itu, kakak Ki Krawangarpun berkata, “Hari ini tidak ada sesorah. Besok, kita akan berkumpul lagi disini. Kita akan menyaksikan, persembahan apakah yang akan diserahkan oleh orang bongkok ini. Kita bersama-sama menilainya dan kita akan memutuskan, apakah ia dapat diterima atari tidak.”

Suasana didalam sanggar itu menjadi tegang. Kakak Ki Krawangan masih berdiri tegak di tangga. Dipandanginya orang-orang yang berdiri disekitarnya. Cahaya mata kakak Ki Krawangan itu bagaikan memancarkan pengaruh yang mencengkam semua jantung.

Demikianlah maka sejenak kemudian orang itupun berkata. "Sekarang kalian dapat meninggalkan sanggar ini. Besok kita akan bertemu lagi.“

Orang-orang yang berada di sanggar itu mulai bergerak. Mereka mengalir keluar dari sangar itu. Anak-anak dan remaja segera mencari orang tua masing-masing dan pulang dalam kelompok-kelompok kecil.

Ki Pandipun pulang bersama keluarga Ki Krawangan. Dengan nada berat Ki Krawangan berkata "Aku tidak tahu bahwa masih harus ada syaratnya bagi Ki Pandi untuk diterima menjadi keluarga didalam lingkungan kepercayaan kami.”

"Tetapi apa yang harus aku korbankan?" bertanya Ki Pandi.

"Aku juga tidak tahu, Ki Pandi." jawab Ki Krawangan.

Delima berjalan disebelah Ki Pandi sambil berdesis, "Tinggalkan saja padukuhan ini, kek.”

Ki Pandi menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba ia berkata "Aku akan memberikan korban buah-buahan. Jika korbanku diterima, maka akan menjadi kebiasaan yang lebih baik daripada mengorbankan seekor anak binatang."

“Ya" sahut Delima "Kakek dapat mencobanya.”

Tetapi Ki Krawangan memotong. "Ki Pandi. Apakah jenis korban itu dapat ditawar-tawar seperti itu? Jika tadi kakang mengatakan terserah kepada Ki Pandi, itu tentu semacam pendadaran bagi Ki Pandi. Jika Ki Pandi mengorbankan buah-buahan, maka aku kira Ki Pandi tidak akan dapat diterima.”

"Tetapi darimana aku mendapat seekor anak binatang.”

Ki Krawangan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab dengan nada berat "Ki Pandi. Aku masih mempunyai seekor anak kambing. Jika Ki Pandi memerlukan, biarlah anak kambing itu kita korbankan. Semakin banyak korban yang kita berikan, maka janji kesejahteraan tentu akan menjadi semakin dekat bagi kita sekeluarga. Tentu juga bagi Ki Pandi.”

"Kesejahteraan apa yang Ki Krawangan maksudkan?" bertanya Ki Pandi.

"Kesejahteraan lahir dan batin. Sawah kita akan menjadi subur. Dijauhkan dari segala macam hama. Sementara hidup kita akan tenang dan damai sepanjang jaman, lebih dari itu, kita akan mendapatkan tataran tertinggi di alam kematian.”

Ki Pandi mengangguk-angguk. Sementara Ki Krawangan berkata selanjutnya "Karena itu, maka sejak sekarang sudah mulai dianjurkan, meskipun masih belum terjadi, untuk memberikan korban yang derajatnya lebih tinggi.”

"Apakah yang derajatnya lebih tinggi dari seekor binatang?" bertanya Ki Pandi.

Ki Krawangan terdiam sejenak. Sementara itu kaki mereka melangkah terus mendekati rumah Ki Krawangan. Beberapa orang berjalan lebih cepat dan mendahului Ki Krawangan sekeluarga yang berjalan perlahan-lahan sambil berbincang.

"Ki Pandi" berkata Ki Krawangan kemudian, “Maksudku, bahwa korban seekor anak kambing mempunyai derajat lebih tinggi daripada korban seekor anak kucing misalnya atau anak ayam atau anak itik yang menetas dari sebutir telur."

Ki Pandi tidak segera menjawab. Tetapi bulu-bulu tengkuk Delima meremang. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya Delima menutup kedua telinganya dengan telapak tangannya.

"Delima. Kau kenapa?” bertanya ibuanya.

Delima tidak segera menjawab. Namun ketika ibunya memegangi pundaknya, gadis itu menjawab dengan suara parau “Malam ini terasa dingin ibu."

"Oh..." ibunya berdesis. Tetapi Kenanga tiba-tiba berkata “Aku justru berkeringat kak Delima. Aku kira udara terasa panas.”

"Tentu tidak. Angin yang basah membuat udara malam ini dingin sekali.”

"Sudahlah..." berkata ibunya "Jangan bertengkar.”

Namun dalam pada itu, Ki Pandi itupun kemudian berkata “Biarlah aku mencoba untuk menyerahkan korban buah-buahan. Mudah-mudahan justru akan membuka kebiasaan baru yang lebih baik dari kepercayaan ini.”

Ki Krawangan masih saja ragu-ragu. Katanya. "Sebaiknya Ki Pandi jangan mencoba-coba. Besok merupakan hari pendadaran bagi Ki Pandi. Jika Ki Pandi dianggap melakukan kesalahan, maka akibatnya dapat menyulitkan Ki Pandi sendiri.”

Ki Pandi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Tetapi aku akan berdoa semalam suntuk, agar yang aku lakukan itu justru dapat diterima dengan baik.”

Ki Krawangan memang tidak menjawab lagi. Segala sesuatunya memang terserah kepada Ki Pandi. Tetapi ia sudah menawarkan sesuatu yang terbaik bagi Ki Pandi. Seekor anak kambing.

Malam itu, Ki Pandi ternyata tidak bermalam dirumah Ki Krawangan meskipun Ki Krawangan mempersilahkan. Ki Pandi ternyata telah minta diri untuk memenuhi kewajibannya. menyediakan korban yang akan dibakar esok malam. Tetapi malam itu, Ki Pandi telah menghubungi Ki Ajar Pangukan dan orang-orang yang ada dirumah terpencil itu. Diberitahukannya, apa yang telah terjadi.

"Lalu, apa yang akan kau lakukan?" bertanya Ki Ajar Pangukan dengan dahi yang berkerut.

"Aku akan membawa pisang setandan. Aku akan mengorbankan pisang itu jika diterima.”

"Jika tidak?" bertanya Ki Ajar.

"Nasibku akan menjadi sangat buruk..." jawab Ki Pandi.

Ki Ajar dan orang-orang lain yang mendengarnya tertawa. Ki Jagapranapun berdesis "Jangan merajuk begitu Ki Pandi.”

Ki Pandipun tertawa pula. Sementara Manggada dengan ragu-ragu berkata "Ki Pandi. Malam nanti aku akan berada didekat sanggar itu. Aku akan mengikuti, apa yang akan terjadi.”

Ki Sambi Pitu tersenyum sambil menepuk bahu Manggada, “Jangan cemas anak muda. Kami semua juga akan berada di tempat itu. Kami tentu tidak akan sampai hati mendengar Ki Pandi merajuk dengan nada sedih, bahwa nasibnya menjadi sangat buruk.”

Suara tertawa orang-orang tua itu menjadi semakin berkepanjangan. Bahkan Ki Pandipun tidak dapat menahan tertawanya pula. Dihari berikutnya, menjelang tengah hari, Ki Pandi sudah berada di sanggar sambil membawa setandan pisang raja yang besar. Dengan ragu-ragu ia memasuki sanggar yang kosong itu. Diletakkannya pisang itu diatas alas penyerahan korban.

Namun Ki Pandi masih harus mencari kayu kering untuk menyalakan api saat korban diserahkan. Selagi Ki Pandi menyusun dahan dan ranting kayu kering yang dikumpulkannya, maka iapun mendengar lembut mendekatinya.

"Kek...” terdengar suara Delima.

Ki Pandi berpaling. Dilihatnya Delima yang ragu-ragu berdiri beberapa langkah dibelakangnya. “Nah, Delima..." berkata Ki Pandi "korbanku sudah siap.”

Tetapi wajah Delima masih saja suram. Bahkan dengan nada dalam ia berkata, "Pamanku tadi menemui ayah, kek.”

"Oh..." Ki Pandi mengangguk-angguk "Apa ada hubungannya dengan aku?”

"Ya, kek. Paman memperingatkan ayah, agar ayah tidak berhubungan dengan kakek."

Ki Pandi menarik nafas dalam-dalam. Sementara Delima berkata selanjutnya, "Ketika ayah mengatakan bahwa kakek akan ikut ke sanggar, paman tidak berkeberatan. Tetapi ternyata bahwa semalam paman tidak sendiri. Mereka bersikap kasar kepada kakek. Menurut pendengaranku, orang-orang padepokan itu telah mencurigai semua orang yang dianggap asing, karena dua orang yang datang ke padepokan telah mengacaukan ketenangan padepokan itu.”

Ki Pandi termangu-mangu, sementara Delima berkata selanjutnya, "Paman baru tahu tentang dua orang asing yang mengacaukan padepokan itu kemudian. Bahkan kemudian padepokan itu telah mengambil sikap khusus kepada kakek.”

"Apa hubungannya kedua orang yang mengacaukan padepokan itu dengan aku, Delima?”

"Aku tidak tahu, kek. Tetapi orang-orang padepokan itu menjadi semakin berhati-hati. Kedua orang asing yang datang di padepokan itu telah melukai beberapa orang padepokan. Bahkan ada yang parah.”

"Kemudian aku menjadi sasaran dendam mereka?”

"Entahlah, kek. Tetapi sebaiknya kakek meninggalkan tempat ini. Nanti malam kakek tidak usah datang, karena kedatangan kakek akan dapat mencelakakan diri kakek sendiri.”

Ki Pandi tersenyum sambil melangkah mendekati Delima. Ditepuknya pundak Delima sambil berkata "Terima kasih atas peringatanmu Delima. Tetapi biarlah aku lebih banyak mengetahui tentang kepercayaan yang aneh ini. Jangan cemaskan aku.”

"Tetapi...." wajah Delima menjadi muram.

Sementara Ki Pandi berkata, "Aku akan berusaha menjaga diriku sendiri, Delima. Pulanglah dengan tenang.”

Delima termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Delima itu telah meninggalkan sanggar. Di pintu ia berpaling dan berhenti sejenak. Namun kemudian iapun telah melangkah lagi meninggalkan Ki Pandi yang menyiapkan korban yang akan diserahkannya.

Hari itu Ki Pandi tidak pergi ke rumah Ki Krawangan. Bukan karena ia mencurigainya. Tetapi Ki Pandi justru menjaga agar Ki Krawangan tidak mengalami kesulitan justru karena sikapnya. Sebenarnyalah bahwa dirumah Ki Krawangan telah hadir dua orang cantrik dari padepokan untuk mengawasi hubungan antara Ki Pandi dan Ki Krawangan. Kakak Ki Krawangan sendiri mencurigai seakan-akan ada hubungan khusus antara orang bongkok itu dengan Ki Krawangan.

Namun justru karena Ki Pandi tidak datang ke rumah Ki Krawangan, maka kecurigaan itupun menjadi berkurang. Mereka mempercayai ceritera Ki Krawangan, bahwa orang bongkok itu datang kerumahnya dalam keadaan kelaparan dan kehausan. Sesudah minum dan makan, orang itupun telah pergi. Ia datang untuk bersama-sama pergi ke sanggar. Sesudah itu, ia telah pergi lagi.

"Baiklah..." berkata salah seorang cantrik yang bertugas di rumah Ki Krawangan itu. "Namun karena itu, maka Ki Krawangan jangan berusaha membantunya jika padepokan mengambil sikap tertentu kepada orang bongkok itu.”

Ketika kemudian senja turun, maka seperti yang dikatakan oleh kakak Ki Krawangan di sanggar semalam, bahwa malam itu, orang-orang padukuhan itu harus berkumpul kembali di sanggar.

Ki Krawangan dan keluarganya, memenuhi perintah itu, malam itu juga pergi ke sanggar. Namun disepanjang jalan, Ki Krawangan dengan nada ragu berbicara pula tentang Ki Pandi.

"Apakah orang bongkok itu meninggalkan padukuhan?” desis Ki Krawangan.

Tidak seorangpun yang menjawab. Namun kemudian dengan ragu-ragu pula isteri Ki Krawangan berkata hampir kepada diri sendiri, "Sebaiknya ia memang meninggalkan padukuhan ini.”

Ki Krawangan terkejut mendengar kata-kata isterinya. Bahkan Nyi Krawangan sendiri juga terkejut mendengar kata-katanya itu. Sedangkan Delima menjadi tegang. Hanya Kenanga yang tidak begitu memahami perasaan kedua orang tuanya dan kakaknya.

Selama itu, tidak ada orang padukuhan yang bersikap lain dari sikap orang-orang padepokan, termasuk kakak Ki Krawangan. Jika orang-orang padepokan menghendaki orang bongkok itu datang dengan persembahan korban, maka yang lain harus bersikap demikian pula. Karena itu, sikap Nyi Krawangan terasa menjadi asing. Seakan-akan Nyi Krawangan itu berusaha untuk melindungi orang bongkok yang justru sedang dicurigai itu.

Namun kemudian Ki Krawangan sendiri berdesis, "Ya. Memang sebaiknya orang bongkok itu meninggalkan padukuhan ini. Betapapun ia ingin mencari kedamaian hati, tetapi pada saat kakinya mulai melangkah masuk, ia sudah terantuk batu.”

Delima menarik nafas dalam-dalam. Ternyata sikap batinnya tidak berbeda dengan sikap batin ayah dan ibunya, meskipun dengan demikian menjadi berbeda dengan sikap orang-orang padukuhan itu yang tentu ingin melihat apa yang akan dibawa Ki Pandi ke sanggar. Bagaimana puia keputusan orang-orang padepokan tentang korban yang akan dipersembahkan oleh orang bongkok itu.

Namun demikian orang-orang padukuhan itu memasuki sanggar, maka merekapun segera dicengkam oleh suasana yang tegang. Demikian mereka melihat setandan pisang yang diletakkan diatas seonggok kayu kering di atas batu persembahan, maka merekapun segera menduga, bahwa sesuatu akan terjadi di sanggar itu.

Ketika Ki Krawangan dan keluarganya memasuki sanggar, mereka melihat Ki Pandi berdiri diapit oleh dua orang cantrik dari padepokan. Sedangkan kakak Ki Krawangan rasa-rasanya tidak sabar menunggu orang-orang padukuhan itu berkumpul. Namun akhirnya, orang-orang padukuhan itu sudah berdiri pada deret-deret sebagaimana biasanya.

Delima benar-benar gelisah melihat Ki Pandi yang nampaknya sudah tidak berdaya lagi untuk menyelamatkan diri. Beberapa saat kemudian, maka suasanapun menjadi semakin tegang. Kakak Ki Krawangan sudah berdiri ditangga bangunan batu alas meletakkan korban itu. Orang-orang padukuhan yang berdiri dalam deretan-deretan, itupun menjadi semakin tegang. Tidak seorangpun yang bergerak. Bahkan mata merekapun seakan-akan tidak berkedip lagi.

Kakak Ki Krawangan yang berdiri ditangga itupun kemudian berkata, "Saudara-saudaraku. Disini sekarang ada orang yang lebih tua dari aku dalam tataran kedudukan kami di padepokan. Karena itu, biarlah saudaraku yang lebih tua itu mengambil keputusan tentang orang bongkok itu.”

Orang-orang padukuhan itu menjadi semakin berdebar-debar. Mereka tidak tahu, perasaan apakah yang sebenarnya bergejolak didalam hati mereka. Sepercik kegelisahan menyala didada orang-orang itu. Mereka merasa iba melihat orang bongkok yang berdiri diapit oleh dua orang cantrik yang masih muda serta bertubuh tegap kekar.

Mereka yakin bahwa orang bongkok itu akan mendapatkan hukuman, karena ia telah berani membawa persembahan yang tidak memadai. Namun sementara itu, orang-orang itu juga merasa tersinggung. Orang bongkok itu seakan-akan dengan sengaja merendahkan derajat kepercayaan mereka. Seakan-akan orang bongkok itu dengan sengaja menjajagi tatanan yang berlaku di antara mereka.

Sementara itu, kakak Ki Krawangan itupun bergeser menepi. Sedangkan seorang yang lain, seorang yang bertubuh raksasa telah naik dan berdiri disebelah kakak Ki Krawangan.

Ki Pandi mengerutkan dahinya. Ia teringat ceritera Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles tentang orang yang mula-mula melihat keduanya dari lubang di pintu gerbang padepokan. Tetapi Ki Pandi, bahwa orang itu bukan yang dimaksud oleh Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles.

Orang yang bertubuh raksasa dan berdiri di tangga itupun kemudian berkata, "Aku akan mengambil alih tugas saudaraku. Persoalannya memang tidak sederhana. Bukan sekedar seseorang yang ingin mencari kesejahteraan hidup lahir dan batin. Serta bukan orang yang mencari ketentraman sejati dibawah naungan kuasa api yang menghembuskan kehidupan serta memancarkan kesejukan dan kedamaian hati di malam hari.”

Orang-orang yang mendengarkan sesorah itu menjadi semakin tegang. Mereka semakin yakin bahwa sesuatu yang tidak diharapkan akan terjadi malam itu di sanggar mereka.

Dalam pada itu, orang bertubuh raksasa itupun berkata, “Ternyata orang bongkok yang datang ke sanggar ini tidak berbeda dengan kedua orang asing yang telah mendatangi padepokan. Mereka bukan saja telah menghina kepercayaan yang kita junjung tinggi, tetapi mereka telah menyerang dan melukai saudara-saudara kita yang justru ingin menolong mereka, menunjukkan jalan keluar dari lingkungan ini. Saudara-saudara kita yang sama sekali tidak menduga itu tidak sempat membela diri.”

Ki Pandi yang telah mendengar ceritera Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles, segera menghubungkan dengan ceritera orang bertubuh raksasa itu, meskipun ceritera itu sudah diputar-balikkannya. Namun Ki Pandi sama sekali tidak mengatakan sesuatu.

Orang bertubuh raksasa itupun berkata selanjutnya, “Nah, bukankah orang bongkok ini juga telah menghina kita semuanya. Lihat, apa yang dipersiapkannya diatas alas persembahan kita. Selama ini kita selalu mempersembahkan korban yang bernyawa. Tetapi orang bongkok itu telah membawa setandan pisang kemari.”

Orang itu terdiam sejanak. Ketika ia memandang Ki Pandi yang berdiri termangu-inangu, maka semua orang telah memandang Ki Pandi pula. "Apakah kita akan membiarkan pengalaman ini terjadi atas kita? Kita tentu akan memaafkan orang-orang yang menghina kita sendiri. Tetapi tidak menghina penguasa Maha Api di langit yang memancarkan nafas kehidupan atas bumi ini.”

Suara orang bertubuh raksasa itu semakin menggelegar. Lalu katanya pula, “Nah, siapakah diantara kita yang membiarkan penghinaan ini terjadi? Siapa?”

Semua orang yang ada di sanggar itu tetap terdiam diri. Dalam keadaan yang biasa, jika mereka datang untuk mendengarkan sesorah, mereka sudah harus berdiam diri. Apalagi dalam keadaan yang sangat tegang itu.

Dalam pada itu, orang itupun kemudian berteriak "Kita akan membunuh orang yang telah menghina penguasa kehidupan ini dan membebankan tanggung jawab di pundaknya. Jika tidak, maka kemarahan yang akan menimpa kita semua akan berakibat sangat buruk bagi kita dan bagi kehidupan di bumi.”

Orang-orang yang ada di sanggar itu menjadi semakin tegang. Jantung mereka serasa berdetak semakin cepat. Rasa-rasanya mereka sudah dijalari kekecewaan dan kemarahan pula terhadap orang bongkok yang hanya membawa setandan pisang itu.

Delima juga menjadi semakin tegang. Bukan karena merasa terhina oleh korban yang terletak diatas seonggok kayu itu. Tetapi Delima mencemaskan nasib Ki Pandi yang terasa menjadi semakin dekat dan akrab itu. Tetapi Ki Pandi masih saja berdiri diam. Bahkan nampaknya justru menjadi semakin tenang, meskipun kepalanya masih tetap menunduk.

Namun dalam pada itu, orang bertubuh raksasa itupun berkata dengan lantang, "Nah, kita tentu tidak akan membiarkan penguasa Maha Api itu akan murka kepada kita. Kita tidak mau menerima akibat buruk karena orang bongkok itu telah menghina Maha Api di langit. Karena itu, maka kita harus menyerahkan penebusan dari penghinaan ini sekarang. Meskipun saat ini bukan saatnya menyerahkan persembahan sebagaimana biasanya. Tetapi kita harus membersihkan noda yang telah terpercik di sanggar ini.”

Orang itu berhenti sejenak. Wajah-wajah menjadi bertambah tegang. Lebih-lebih Delima dan bahkan juga ayah dan ibunya. Kenanga yang berdiri di antara gadis-gadis remaja yang lain, tidak begitu mengerti, apa yang akan terjadi.

"Nah..." berkata orang bertubuh raksasa itu "sekarang juga kita harus mendapatkan persembahan dari mahluk yang bernyawa untuk menebus penghinaan itu. Jika tidak, maka mungkin besok, bahkan mungkin nanti atau kapanpun dapat terjadi, kemarahan iti. akan menimpa kita.”

Suara orang itu terputus ketika tiba-tiba saja mereka melihat cahaya merah dilangit. Mereka melihat asap yang membubung, kemudian mereka juga melihat lidah api yang menjilat. Tidak terlalu jauh.

"Ampuni kami ya Maha Api..." teriak orang bertubuh raksasa itu. "Murkamu telah datang menimpa kami.”

Orang-orang yang ada di sanggar itu menjadi gelisah. Mereka sadar sesadar-sadarnya bahwa telah terjadi kebakaran di padukuhan mereka. Sementara itu, semua orang tidak ada di padukuhan, tetapi mereka berada di sanggar, sehingga tidak seorangpun yang akan dapat memendamkan api itu. Yang tinggal di padukuhan hanyalah orang-orang tua, orang-orang sakit dan bayi-bayi"

Namun, orang bertubuh raksasa itu berteriak, "Kita tidak akan mampu melawan kemurkaan itu. Agaknya telah terjadi kebakaran. Tetapi tentu bukan kebakaran biasa. Disini seseorang telah menghina Sang Maha Api. Dan dengan serta merta murkanya telah menimpa kita. Jika penghinaan ini tidak segera ditebus, murka itu tentu akan semakin menjalar. Mungkin akibatnya akan menimpa, seluruh padukuhan dan mungkin seluruh negeri dan bahkan mungkin seluruh bumi."

Kegelisaan semakin mencengkam. Tetapi orang itu berkata, “Jangan tinggalkan tempat ini. Orang yang telah menghina itu harus mempertanggung-jawabkan kesalahannya. Diatas alas tempat kita menyerahkan korban itu harus ada korban mahluk bernyawa sekarang juga."

Dalam pada itu selagi suasana disanggar itu menjadi semakin tegang maka seseorang berjalan tertatih-tatih ke pintu, gerbang sanggar. Tetapi orang itu berhenti sebelum ia melangkah masuk. Ia sadar, bahwa ia tidak boleh berbicara jika ia berada didalam sanggar. Karena itu, selagi ia masih berada diluar, maka iapun telah berteriak, "Banjar padukuhan kita terbakar.”

Semua orang berpaling dan memandang ke pintu gerbang. Mereka melihat seorang tua yang berdiri gemetar laki tua yang sedang sakit. Orang-orang yang berada di dalam sanggar itu menjadi semakin tegang. Dua orang cantrik telah berlari kearah orang tua itu. Ketika orang tua itu hampir saja terjatuh karena tubuhnya yang sakit itu menjadi lemah serta letih, maka kedua orang cantrik itu sempat menolongnya.

"Banjar padukuhan itu terbakar..." orang itu berdesis lagi.

Seorang dari kedua cantrik itu telah melangkah masuk kedalam sanggar. Dengan lantang ia berkata, "Banjar padukuhan itu telah terbakar. Murka Sang Maha Api telah menimpa kita.”

Orang bertubuh raksasa yang berdiri ditangga bangunan batu sebagai alas persembahan itu berkata, "Kita harus cepat-cepat menyerahkan korban agar kemarahan itu mereda.”

Orang-orang yang berdiri di sanggar itu telah dicengkam oleh suasana yang tidak menentu. Mereka menjadi sangat ketakutan melihat bahwa api telah mulai menelan korban dipadukuhan mereka. Banjar padukuhan mereka tiba-tiba saja telah terbakar.

Dalam ketegangan itu, maka orang bertubuh raksasa itupun berteriak nyaring, "Ya, Sang Maha Api. Hentikan murkamu atas kami. Sekarang kami akan menyerahkan korban untuk menebus kesalahan kami, karena kami telah berani menghina kuasa Sang Maha Api. Meskipun korban yang kami serahkan kali ini, bukan korban dibawah wajah purnama yang lembut, serta bukan pula korban yang kehadirannya diatas bumi ini berada dibawah percikan cahaya api damaimu, namun kami mohon, korban yang kami serahkan ini dapat menebus kesalahan yang pernah dilakukannya sendiri karena ia telah menghina kuasamu yang tidak terbatas.”

Semua orang terkejut mendengarnya. Seorang laki-laki kurus menjadi gemetar. Sementara Ki Krawangan menjadi gelisah. Delima berusaha untuk tidak menjadi pingsan, karena ia tahu maksud orang bertubuh raksasa itu. Ki Pandilah yang akan dikorbankan.

Sebenarnyalah sesaat kemudian orang-orang padepokan yang berada di sanggar itu telah mengerumuni Ki Pandi, termasuk kakak Ki Krawangan dan orang bertubuh raksasa itu. Dengan paksa maka Ki Pandipun telah dibawa naik keatas alas tempat penyerahan korban itu. Diatas tempat itu telah tersedia seonggok kayu untuk membakar setandan pisang yang diletakkan oleh Ki Pandi. Namun kayu itu tidak cukup banyak.

Karena itu, maka orang bertubuh raksasa itupun berkata “Agar korban yang kita serahkan sempurna, maka semua orang laki-laki harus keluar dari sanggar dengan cepat untuk mencari kayu bakar. Siapa yang tidak melakukannya, maka ia akan dikutuk oleh Sang Maha Api itu.”

Demikian, maka setiap orang laki-laki telah menghambur keluar untuk mencari kayu bakar. Laki-laki tua yang sedang sakit dan kelelahan itu duduk bersandar dinding sanggar. Tetapi ia terada diluar sanggar.

Para cantrik yang menolongnya telah masuk kedalam sanggar pula, dan membiarkannya duduk sendiri. Namun orang itu menjadi heran ketika dua orang anak muda mendekatinya sementara orang-orang disanggar itu sedang ribut untuk mencari kayu bakar.

"Duduk sajalah kek..." desis seorang diantara mereka.

"Siapakah kalian anak-anak muda?" bertanya orang itu.

"Kami bukan siapa-siapa kek. Kami hanya ingin melihat apa yang terjadi.”

Orang tua itu tidak berdaya lagi, sementara kedua orang anak muda itu masih berjongkok disebelah-menyebelahnya. Orang-orang laki-laki yang mencari kayu bakar sambil berlari itu tidak menghiraukan kedua orang anak muda iiu. Mereka mengira bahwa keduanya adalah saudara-saudara mereka yang sedang menolong orang tua yang sakit itu. Namun beberapa saat kemudian, suasana mulai menjadi sepi. Orang-orang padukuhan itu telah berdiri ditempatnya di sanggar, sementara seonggok kayu bakar telah tertimbun di alas tempat menyerahkan Kurban itu.

Dalam pada itu, maka cahaya merah dilangitpun sudah mereda. Nampaknya Banjar padukuhan itu telah hampir seluruhnya menjadi abu. Untunglah bahwa halaman Banjar itu cukup luas sehingga diharapkan api tidak menjalar kemana-mana. Apalagi malam itu angin tidak begitu kencang bertiup. Tidak pula pepohonan disekitar Banjar padukuhan itu.

Dalam pada itu, Ki Pandi telah berada ditangan orang-orang padepokan. Orang yang bertubuh raksasa itu telah berada ditangga pula sambil berkata, "Nah, nampaknya persembahan kami berkenan dihati Sang Maha Api. Sebelum persembahan kami ini kami serahkan, api yang membakar Banjar padukuhan kami telah mereda. Satu pertanda yang baik bagi kita. Karena itu, maka persembahan kami ini akan segera kami serahkan dengan perantaraan api pula.”

Darah Delima bagaikan berhenti mengalir. Namun Delima tidak pingsan. Ia melihat orang bongkok itu didorong untuk naik keatas bangunan batu sebagai alas persembahan itu. Delima dan orang-orang yang hadir di sanggar itu menjadi heran. Ia tidak melihat orang bongkok itu menjadi gelisah, ketakutan atau bahkan meronta. Ia sama sekali tidak melawan.

Namun ketika orang-orang padepokan itu akan mengikatnya, orang bongkok itu berkata "Aku tak perlu diikat. Aku akan berbaring diatas api.”

Orang-orang padepokan itu termangu-mangu sejenak. Namun orang bertubuh raksasa itu berkata "Ikat orang itu. Jika api menjilat tubuhnya, ia akan meronta atau bahkan berusaha melarikan diri.”

Tetapi orang bongkok itu menyahut, "Sudah aku katakan, aku tidak mau diikat."

"Persetan!" geram orang bertubuh raksasa itu "Ikat orang itu. Cepat.”

Para cantrik mulai memegangi tangan Ki Pandi. Seorang yang membawa tali yang dibuat dari sabut telah mulai melingkarkan tali itu ditubuh Ki Pandi. Namun yang tidak diduga telah terjadi. Cantrik yang membawa tali itu telah terlempar. Kepalanya membentur bangunan batu yang dipergunakan sebagai alas penyerahan persembahan itu. Demikian kerasnya, sehingga cantrik itu langsung menjadi pingsan.

Sebelum orang-orang padepokan itu menyadari apa yang telah terjadi, seorang lagi cantrik yang memegangi tangan Ki Pandi itu pingsan pula. Pukulan yang keras mengenai ulu hatinya, sehingga cantrik itu terbongkok kesakitan. Namun kemudian sisi telapak tangan Ki Pandi telah mengenai tengkuk cantrik itu sehingga ia jatuh tersungkur. Giliran berikutnya adalah cantrik seorang lagi yang memegangi tangan Ki Pandi yang lain. Ayunan tangan yang keras telah menampar keningnya.

Nyala api encor di sanggar itupun menjadi semakin kuning dan akhirnya menjadi semakin kabur. Ketika sebuah pukulan lagi mengenai pangkal lehernya, maka Semuanya menjadi gelap. Yang terjadi demikian cepatnya, sehingga orang-orang padepokan yang lain, yang kedudukannya lebih tua dari para cantrik itu tidak sempat menolongnya.

Namun kakak Ki Krawangan, orang bertubuh raksasa dan orang-orang padepokan yang lain dengan cepat menyadari keadaan. Karena itu, maka merekapun segera mempersiapkan diri. Orang bertubuh raksasa itu sempat berteriak, "Orang bongkok itu menjadi gila. Tangkap orang itu agar kita tak kehilangan bahan korban yang akan kita serahkan, yang justru sudah berkenan dihati Sang Maha Api.”

Tetapi orang-orang padukuhan itu tidak segera berbuat sesuatu jantung mereka justru terasa terguncang. Apalagi ketika kemudian Ki Pandi meloncat naik keatas bangunan batu sebagai alas untuk menyerahkan persembahan itu.

"Saudara-saudaraku..." berkata Ki Pandi "Kalian harus segera menyadari, bahwa aliran hitam ini akan merusak tata kehidupan kalian. Orang-orang ini telah membawa kalian dan bahkan kewadagan kalian. Orang-orang ini telah membawa kalian ke jalan sesat, mengingkari kuasa Yang Maha Agung yang telah menciptakan langit dan bumi. Termasuk matahari dan bulan. Karena itu, tidak sewajarnya kalian menyembah matahari dan bulan yang disebut dengan nama apapun juga.”

Ki Pandi tidak sempat berbicara lebih panjang. Orang yang bertubuh raksasa itu meloncat menyusulnya dan langsung menyerangnya. Bahkan dua orang yang lainpun Kini datang membantunya pula. Keributanpun tidak dapat dihindari lagi. Orang-orang padepokan telah berkerumun disekitar bangunan batu untuk menyerahkan persembahan itu. Mereka berusaha untuk menangkap orang bongkok yang akan dijadikan bahan persembahan bagi Sang Maha Api.

Namun dalam pada itu, keributan itupun telah menjalar. Tiba-tiba saja dua orang anak muda telah melibatkan diri, menyerang orang-orang yang berkerumun mengepung orang bongkok itu. Delima tiba-tiba saja melonjak kegirangan. Dua orang anak muda itu dikenalnya pula. Mereka adalah anak-anak muda yang sering datang bersama orang bongkok itu.

Perkelahianpun segera terpecah. Manggada dan Laksana telah mengambil tempatnya sendiri. Mereka telah bersiap menghadapi orang-orang padepokan yang ada di sanggar itu. Orang-orang padukuhan yang berada di sanggar itu menjadi ketakutan. Tetapi mereka tidak berani meninggalkan sanggar itu. Mereka hanya bergeser menjauh dan berdiri berdesakan melekat dinding sanggar.

Ternyata yang kemudian bertempur melawan orang-orang padepokan itu tidak hanya orang bongkok dan dua orang anak muda saja. Tetapi ada orang lain yang telah melibatkan diri pula diantara mereka.

Beberapa saat kemudian, sanggar itu benar-benar menjadi kacau ketika oncor-oncor yang menerangi sanggar itu padam satu demi satu. Keributan itupun tidak tertahankan lagi. Orang-orang padukuhan telah berlari-larian tidak tentu arah. Mereka menjadi kebingungan. Sementara itu agaknya ada orang yang dengan sengaja telah mengacaukan mereka. Orang yang berlari-larian menyusup diantara orang-orang padukuhan itu.

Dalam kekacauan itu tiba-tiba mereka melihat dua oncor yang menyala. Dua oncor yang berada disebelah menyebelah pintu gerbang sanggar terbuka itu. Arus orang-orang yang kebingungan itu tidak tertahankan lagi. Mereka berlari-larian keluar dari sanggar melalui pintu gerbang yang tiba-tiba telah terbuka selebar-lebarnya.

Terdengar anak-anak berteriak-teriak ketakutan. Bahkan kemudian suara tangispun melengking dimana-mana. Namun beberapa saat kemudian beberapa buah oncor telah menyala kembali disekitar pintu gerbang. Dua, tiga kemudian empat buah.

Dalam kekisruhan itu terdengar seseorang berteriak. “Jangan berdesakan. He, hati-hati. Berjalanlah dengan tertib. Sebaiknya orang laki-laki tidak ikut berdesakan dipintu gerbang. Biarlah perempuan dan anak-anak berjalan lebih dahulu. Orang-orang laki-laki sebaiknya justru ikut mengatur agar tidak terjadi kecelakaan.”

Tidak seorangpun diantara orang-orang padukuhan yang mengetahui, siapakah yang telah berteriak itu. Namun beberapa orang laki-laki telah tergugah hatinya. Mereka segera menepi dan mulai ikut mengatur arus keluar orang-orang padukuhan itu.

Empat orang laki-laki yang memegang oncor justru bingung sendiri. Mereka tidak tahu siapakah yang telah meletakkan oncor di tangan mereka. Tiba-tiba saja mereka merasa bahwa mereka telah memegang oncor.

Beberapa saat kemudian, maka sanggar itu telah menjadi kosong. Orang-orang padukuhan sudah berada diluarnya. Namun masih ada satu dua orang anak-anak yang menangis karena mereka belum menemukan orang tua mereka. Tetapi dalam waktu singkat, karena orang-orang padukuhan itu sudah saling mengenal, anak-anak itupun telah berada ditangan ayah dan ibunya.

Namun dalam pada itu, didalam sanggar, pertempuran masih berlangsung. Orang-orang padepokan yang berada di sanggar itu telah bertempur dengan orang-orang yang tidak meraka kenal selain orang bongkok itu.

Delima juga sudah berada diluar, masih saja berdebar-debar, la tidak tahu apa yang terjadi didalam sanggar itu. Tetapi Delima dan orang-orang padukuhan masih mendengar keributan didalam sanggar.

Sementara itu, keempat orang yang memegang obor telah berada diluar sanggar pula. Namun orang-orang padukuhan itu tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Karena itu, maka mereka hanya berkumpul saja di sekitar sanggar mereka. Sementara didalam sanggar itu masih terjadi pertempuran.

Didalam sanggar itu, Ki Pandi bersama Manggada, Laksana dan beberapa orang tua yang lain telah bertempur melawan orang-orang padepokan. Ternyata mereka tidak memerlukan waktu yang terlalu lama. Beberapa saat kemudian, maka pertempuran itupun segera berakhir.

Tetapi orang-orang yang berada diluar sanggar tidak segera mengetahui, apa yang sebenarnya terjadi di sanggar itu. Ketika kemudian tidak lagi terdengar suara apapun didalam sanggar, mereka justru semakin ragu-ragu.

Delima yang gelisah berdiri didepan pintu gerbang. Ki Krawangan yang melihat Delima berdiri didepan pintu segera menariknya sambil berkata, "Delima, apa yang kau cari? Kau tahu bahwa telah terjadi sesuatu yang tidak kita mengerti.”

Delima tidak membantah. Iapun kemudian bergeser menjauhi pintu gerbang. Namun suasana didalam sanggar itu masih sepi. Angin malam berhembus semakin dingin. Sekali-sekali masih terdengar anak-anak merengek. Namun dengan susah payah ibunya telah menenangkannya.

Empat orang laki-laki masih tetap memegang obor dan berdiri tidak jauh dari pintu gerbang yang masih terbuka lebar. Namun orang-orang yang berada diluar tidak segera dapat melihat, apa yang telah terjadi dalam kegelapan.

Akhirnya, orang-orang yang memegang oncor itu sepakat untuk melihat, apa yang terjadi didalam sanggar. Dengan hati-hati keempat orang itu melangkah masuk. Ketika mereka melihat sebuah oncor yang masih terpancang ditempatnya. maka oncor itupun telah dinyalakannya pula. Demikian pula beberapa buah oncor yang lain.

Namun keempat orang itu terkejut bukan buatan. Orang-orang padepokan yang ada disanggar itu telah terbaring diam diantara mereka nampak terluka. Darah mengalir dari luka yang menganga itu. Ketika keempat orang itu mendekat, maka mereka menyadari bahwa adat diantara mereka masih bernafas. Karena itu, maka, dua diantara keempat orang itu pun Segera berlari keluar memanggil kawan-kawannya.

“Kita harus menolong mereka!" berkata orang itu diluar sanggar!

"Kenapa?" bertanya-beberapa orang bersama-sama "Mereka terluka." jawab orang yang bertubuh-tinggi.

"Kenapa?" bertanya orang-orang yang menjadi semakin kebingungan.

"Entahlah, kita bawa saja mereka keluar. Kita akan mencoba menolong mereka."

Beberapa orang laki-laki segera berlari memasuki sanggar. Tanpa mengatakan sesuatu lagi, merekapun telah membawa orang-orang padepokan yang terbaring diam. Ada diantara mereka yang terluka. Tetapi ada yang ditubuhnya sama sekali tidak terdapat segores kecil lukapun, namun orang itu telah pingsan atau bahkan mati.

Demikianlah, maka orang-orang yang terbaring diam itu telah dibawa keluar dari sanggar. Diluar sanggar orang-orang padukuhan itu berbicara dengan leluasa. Sedangkan didalam sanggar, meskipun bukan saatnya upacara atau mendengarkan sesorah, namun rasa-rasanya segan juga untuk berbicara. Beberapa orang telah mencari air, sedangkan yang lain sibuk mengusap kening dan dahi.

Orang bertubuh raksasa itu, terluka dilambungnya. Tidak oleh goresan senjata. Tetapi luka itu cukup dalam. Tiga goresan nampak menyilang, seakan-akan goresan tiga buah jari tangan tangan berkuku tajam. Kakak Ki Krawangan justru sama sekali tidak terluka. Namun ia juga telah menjadi pingsan.

Beberapa saat kemudian, setelah orang-orang padukuhan itu menjadi sibuk satu dua orang mulai sadar. Kakak Ki Krawangan itupuh menggeliat, sementara orang bertubuh raksasa itu mulai mengerang kesakitan.

Ketika orang bertubuh raksasa itu mulai bergerak, maka darah yang mengalir sernakin banyak mengalir dari lukanya. Tetapi. orang itu ternyata membawa obat untuk mengurangi arus darahnya. Ia minta seseorang menaburkan semacam serbuk dari sebuah bumbung kecil dialas lukanya itu. Terasa luka itu menjadi pedih sekali. Tetapi darahnyapun menjadi semakin sedikit mengalir dari luka itu.

Beberapa orang lain yang terluka juga telah mendapat pengobatan yang sama, sementara kakak Ki Krawangan setelah diberi air beberapa tetes di bibirhyapun telah menjadi sadar pula.

"Iblis bongkok" geram kakak Ki Krawangan.

"Apa yang telah terjadi, kakang?" bertanya Ki Krawangan yang berjongkok disebelah kakaknya.

"Orang yang pernah kau tolong itu ternyata tidak kurang dari sosok iblis yang paling jahat.”

"Aku tidak mengira kakang. Ia tampak lemah dan sakit pada waktu itu." jawab Ki Krawangan.

"Ia datang bersama beberapa orang kawannya untuk mengacaukan upacara persembahan itu." berkata kakak Ki Krawangan itu pula.

"Tetapi apa maksud orang bongkok itu?" bertanya Ki Krawangan.

"Ia berniat mengacaukan upacara ini. Bahkan mengacaukan akal kita sehingga kepercayaan kita menjadi menipis, ia datang dengan membawa kepercayaan baru untuk menyesatkan jalan hidup kita menuju ke kesejahteraan lahir dan batin.”

Delima yang mendengar keterangan pamannya itu hampir saja tidak dapat menahan hati. Menurut pendapatnya, kepercayaan yang diajarkan oleh pamannya itulah yang sesat.

Sebenarnyalah Ki Krawangan juga ragu. Setelah hutan lebat yang seakan-akan memagari lingkungan yang luas dibawah kaki Gunung Lawu itu terbuka, maka para penghuninya mempunyai hubungan yang lebih luas dengan orang-orang dari seberang hutan. Tetapi Ki Krawangan tidak menjawab. Demikian pula Delima yang merasa lebih baik diam saja daripada membuka persoalan baru dengan orang-orang padepokan.

Dalam pada itu, selagi ketegangan mencengkam orang-orang yang berada di sekitar sanggar itu, telah terdengar suara dari dalam kegelapan. Suara yang tidak jelas sumbernya. Seakan-akan melingkar-lingkar di udara yang kelam. Suara tertawa yang berkepanjangan. Disela-sela suara tertawa itu terdengar kata-kata,

"He, kalian orang-orang sesat. Apa sebenarnya yang kalian cari dengan cara yang tidak pantas itu? Kalian telah digiring oleh seorang yang menjadi gila karena kehilangan anak bayinya. Orang yang gila karena keluarganya yang pecah dan menjadi berkeping-keping. Mungkin juga karena salahnya sendiri. Namun kemudian, ia telah mencari sasaran untuk menimpakan kesalahan itu. Ia membenci semua bayi. Ia ingin semua bayi mati seperti anaknya. Dalam api...”
Selanjutnya,
Matahari Senja Bagian 08