Matahari Senja Bagian 02 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Arya Manggada - Matahari Senja Bagian 02
Karya : Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
PENUNGGU banjar itu termangu-mangu sejenak. Nampak keraguan semakin bergejolak didadanya. Namun agaknya penunggu banjar itu tidak sampai hati untuk menolak permintaan ketiga orang yang minta ijin untuk menginap itu.

"Siapakah sebenarnya ki sanak bertiga ini?" bertanya penunggu banjar itu.

"Kami adalah pengembara yang menyusuri jalan-jalan yang panjang." jawab Ki Pandi.

"Untuk apa? Jika kalian melakukan sesuatu, kalian tentu mempunyai maksud tertentu." bertanya penunggu banjar itu.

"Benar Ki sanak..." jawab Ki Pandi "Kedua kemenakanku ini ingin memperluas pengalaman hidupnya. Mereka ingin melihat tempat-tempat yang jauh yang belum pernah dilihatnya. Mereka ingin melihat tatanan kehidupan yang beraneka di tanah ini.”

Penunggu banjar itu mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata "Sebenarnya kami tidak berkeberatan. Para pejalan dan barangkali juga pengembara, bermalam di banjar ini. Tetapi kalian datang pada saat yang kurang baik”

Ki Pandi termangu-mangu sejenak. Namun rasa-rasnya ia mendapat jalan justru untuk menanyakan, apa yang sedang terjadi di padukuhan itu. Karena itu, maka Ki Pandi itupun bertanya "Apa yang sebenarnya terjadi disini?"

Penunggu banjar itu memandang Ki Pandi dan kedua orang anak muda yang menyertainya itu dengan tajamnya. Namun orang itupun berkata, "Siapakah nama kalian?"

"Orang memanggilku Ki Pandi. Kedua kemenakanku ini adalah Manggada dan Laksana”

Penunggu banjar itu mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Pandilah yang bertanya "Apakah aku diperkenankan mengenal nama Ki sanak?"

Orang itu menarik nafas panjang. Jawabnya, "Namaku Kerta. Orang memanggilku Kerta Banjar, karena di padukuhan ini ada tiga orang yang bernama Kerta.”

Ki Pandipun mengangguk-angguk. Namun ia masih juga bertanya "Tetapi tadi Ki Kerta mengatakan bahwa kami datang pada waktu yang kurang baik”

"Ya, Ki Pandi..." jawab penunggu banjar itu "Dalam waktu terakhir ini, padukuhan kami sedang dibayangi oleh ancaman yang mencemaskan seisi padukuhan”

"Apa yang telah terjadi?"

"Dipadukuhan ini tinggal seorang yang sangat disegani oleh para penghuni padukuhan ini. Ia seorang yang sangat baik. Ia suka menolong sesama dan memberikan bantuan apa saja yang dibutuhkan oleh orang banyak dalam batas kemampuannya”

Ki Pandi mengangguk-angguk pula.

"Namun pada hari-hari terakhir ini, seorang berkuda telah mencarinya. Seorang yang tidak dikenal...” orang itu melanjutkan.

"Ia bertanya kepada orang-orang padukuhan ini dimana orang yang baik itu tinggal. Orang-orang padukuhan ini yang tidak tahu maksudnya telah menunjukkan tempat tinggal orang yang dicarinya. Tetapi akhirnya kami mengetahui bahwa orang yang mencarinya itu tidak berniat baik.”

"Apa yang akan dilakukannya?" bertanya Ki Pandi.

"Orang berkuda itu menantang untuk berperang tanding.” jawab Ki Kerta Banjar.

"Apa yang ia kehendaki?" bertanya Ki Pandi.

"Kami tidak mengetahuinya. Orang yang kami anggap orang baik dan disegani seisi padukuhan inipun tidak mau mengatakannya, persoalan apakah yang membuat orang berkuda itu menantangnya untuk berperang tanding.”

"Apakah keduanya masih terhitung muda, separo baya atau justru sudah memasuki usia tua?" bertanya Ki Pandi kemudian.

"Mereka sudah menjelang masa-masa tua. Orang yang dihormati di padukuhan inipun sudah memasuki hari tuanya. Rambutnya sudah mulai memutih. Demikian pula janggut dan kumisnya.”

"Tetapi apakah orang berkuda itu mengganggu seisi padukuhan ini?" bertanya Ki Pandi.

"Tidak. Orang itu tidak mengganggu seisi padukuhan ini. Tetapi tantangan itu membuat seisi padukuhan ini gelisah. Kami sudah menyatakan keinginan kami untuk membantu. Tetapi orang yang kami segani itu tidak menghendakinya. Ia menganggap bahwa persoalan itu adalah persoalan pribadinya. Karena itu tidak sepantasnya, orang-orang padukuhan ini melibatkan diri.”

"Jika demikian, kenapa seisi padukuhan ini menjadi ketakutan? Bukankah tantangan itu semata-mata ditujukan kepada seseorang? "bertanya Ki Pandi.

"Tetapi seakan-akan orang itu telah menjadi bagian dari kami, seisi padukuhan ini.” jawab Ki Kerta Banjar.

"Siapakah nama orang yang disegani itu?" tiba-tiba saja Ki Pandi bertanya.

Penunggu banjar itu menjadi ragu-ragu pula. Namun kemudian ia menjawab, "Kami, seisi padukuhan ini memanggilnya Ki Sambi Pitu”

"Sambi Pitu" Ki Pandi mengulang. Wajahnya nampak berkerut. Tetapi kemudian ia menarik nafas dalam-dalam.

Hampir diluar sadarnya, Laksana bertanya "Ki Pandi mengenal nama itu?"

Ki Pandi menggeleng sambil menjawab, "Tentu tidak. Yang aku kenali tidak lebih dari tetangga-tetanggaku dan sanak-kadangku.”

Laksana menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Ki Pandilah yang kemudian berkata, "Ki Kerta. Menurut pendapatku, orang-orang padukuhan ini tidak usah merasa ketakutan. Agaknya ancaman itu semata-mata hanya ditujukan kepada Ki Sambi Pitu saja”

"Kami tidak dapat memisahkan diri kami dari orang tua itu” jawab Ki Kerta Banjar.

"Seandainya orang-orang padukuhan ini sudah siap membantu, kenapa mereka menjadi ketakutan?" bertanya Ki Pandi.

"Ki Sanak..." berkata Ki Kerta Banjar "Bukankah wajar, jika terjadi benturan kekerasan, maka akan timbul ketakutan? Bahkan orang-orang padukuhan ini terutama perempuan dan anak-anak sudah menjadi ketakutan sejak beberapa hari yang lalu.”

Ki Pandi mengangguk-angguk. Katanya, "Tetapi bukankah kehadiran kami tidak menambah kegelisahan yang terjadi di padukuhan ini?"

"Tidak. Tidak Ki Pandi" jawab Ki Kerta Banjar "Jika kalian hanya ingin bermalam disini, silahkan. Tetapi jika kalian mendengar derap kaki kuda itu, kalian jangan terkejut.”

"Apakah orang berkuda itu sering kali datang?" bertanya Ki Pandi.

"Ya. Tiba-tiba saja kami mendengar derap kaki kuda menjelang tengah malam. Kuda itu berputar-putar di jalan-jalan padukuhan. Namun kemudian derap kaki kuda itupun menghilang.”

"Setiap malam?" bertanya Manggada.

"Tidak" jawab Ki Kerta "Tetapi sering kali”

Manggada mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Dalam pada itu, maka Ki Kerta pun kemudian telah mempersilahkan tamunya untuk mengikutinya ke banjar. Ki Kerta telah menunjukkan tempat bagi ketiganya untuk bermalam.

"Serambi ini memang kami sediakan bagi mereka yang singgah dan bermalam di banjar ini" berkata Ki Kerta. Lalu katanya pula "Di halaman samping terdapat pakiwan. Bawa lampu minyak di sudut itu jika kalian ingin pergi ke pakiwan”

"Terima kasih Ki Kerta..." jawab Ki Pandi.

Namun Laksana sempat bertanya "Apakah tidak ada anak-anak muda yang bertugas ronda di banjar setiap malam?"

"Sejak orang berkuda itu berkeliaran di padukuhan, maka anak-anak muda tidak meronda di banjar. Tetapi mereka berkumpul di rumah Ki Bekel. Mereka merasa cemas bahwa orang berkuda itu juga memusuhi Ki Bekel”

Ki Pandi hanya mengangguk-angguk saja. Sementara Ki Kerta kemudian berkata "Silahkan beristirahat Ki Sanak. Mudah-mudahan kalian tidak merasa terganggu disini”

"Terima kasih Ki Kerta..." jawab Ki Pandi.

Ki Kertapun kemudian meninggalkan ketiga orang itu diserambi banjar yang disekat dengan dinding bambu. Diserambi itu terdapat sebuah amben yang agak besar, diterangi sebuah lampu minyak yang berkeredipan.

Sepeninggal Ki Kerta, maka mereka bertigapun bergantian pergi ke pakiwan. Baru kemudian mereka duduk berbincang-bincang sebelum mereka membaringkan tubuh mereka di amben yang agak besar itu.

Tetapi sebelum mereka sempat berbaring, Ki Kerta telah datang lagi sambil membawa minuman hangat serta nasi beras gaga yang kemerah-merahan.

"Marilah Ki Sanak. Nasinya sudah dingin, tetapi sayurnya sudah dipanasi. Silahkan minum dan makan seadanya...”

"Kami sangat berterima kasih, Ki Kerta. Kami telah membuat Ki Kerta dan keluarga Ki Kerta menjadi sibuk.”

"Bukankah itu sudah merupakan tugas kami?" sahut Ki Kerta.

Ki Pandi, Manggada dan Laksana tidak ingin mengecewakan kebaikan hati Ki Kerta. Karena itu maka merekapun telah minum dan makan hidangan itu.

"Bukan sekedar agar tidak mengecewakan mereka." desis Laksana "Tetapi aku memang merasa lapar.”

Manggada tersenyum. Katanya, "Aku sudah menduga melihat caramu makan.”

"Apakah kau tidak lapar?" bertanya Laksana.

Menggada tertawa sambil berpaling kepada Ki Pandi. Demikian mereka selesai makan, serta membenahinya dan membawa mangkuk yang kotor ke rumah Ki Kerta, maka mereka telah duduk di tangga banjar padukuhan itu. Udara memang terasa lebih sejuk di luar daripada di serambi yang disekat dengan dinding bambu itu.

Sementara itu, Ki Pandi pun kemudian berkala "Aku tidak dapat menjawab pertanyaan kalian dihadapan Ki Kerta, apakah aku mengenal Ki Sambi Pitu. Sebenarnya aku sudah mengenalnya meskipun tidak begitu akrab. Ia memang orang yang baik. Bahkan aku ingin menemuinya dan menanyakan siapakah yang dimaksud dengan orang berkuda oleh Ki Kerta itu.

"Apakah besok kita akan singgah?" bertanya Manggada.

"Ya. Jika kalian tidak berkeberatan, maka kita akan singgah dirumah orang itu. Seharusnya orang seperti Ki Sambi Pitu itu tidak mempunyai musuh. Jika ada orang yang mendendamnya dan bahkan menantangnya untuk berperang tanding, maka persoalannya agaknya sulit dimengerti”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak bertanya lagi. Ketika mereka sudah merasa lebih segar oleh sejuknya udara malam, maka mereka bertigapun telah kembali kedalam bilik mereka yang panas. Namun merekapun segera berbaring. Tetapi mereka sudah berjanji, bahwa seorang diantara mereka tidak boleh tidur, bergantian untuk sekedar berjaga-jaga karena mereka berada ditempat yang asing.

Menurut persetujuan mereka, maka yang pertama-tama berjaga-jaga adalah Laksana. Ia akan membangunkan Manggada jika ia sudah menjadi sangat mengantuk lewat tengah malam. Tetapi ketika Ki Pandi dan Manggada mulai memejamkan mata mereka, maka tiba-tiba saja mereka mendengar derap kaki kuda berlari kencang lewat jalan induk padukuhan itu. Derap kaki kuda itu terasa bagaikan mengguncang tiang-tiang banjar yang berdiri dipinggir jalan induk itu.

"Itulah yang dikatakan oleh Ki Kerta" desis Ki Pandi yang kemudian bangkit dan duduk bersandar dinding.

"Mudah-mudahan perang tanding itu tidak terjadi malam ini..." berkata Manggada.

"Ya" sahut Laksana "Sehingga kita besok masih mempunyai kesempatan untuk berbincang dan mengetahui, siapakah yang telah menantangnya untuk berperang tanding”

"Tetapi orang yang menantangnya itu sudah sering memacu kudanya berputar-putar di padukuhan ini. Namun perang tanding itu masih juga belum terjadi” desis Manggada.

Ki Pandi mengangguk-angguk. Tetapi ia justru menjadi gelisah. Tiba-tiba saja ia berkata, "Biarlah kalian tinggal disini. Aku akan melihat, apa yang terjadi?”

"Apakah Ki Pandi akan pergi kerumah orang itu?" bertanya Manggada.

"Ya" jawab Ki Pandi "Tetapi aku tidak akan menemuinya sekarang”

"Apakah Ki Pandi sudah mengetahui letak rumahnya?” bertanya Laksana.

"Belum" jawab Ki Pandi "Tetapi biarlah aku mencarinya. Kita tahu arah derap kaki kuda yang lewat tadi. Jika kuda itu berderap lagi lewat jalan ini, maka suara derap kakinya akan dapat aku pergunakan sebagai ancar-ancar untuk menemukan rumahnya yang agaknya juga berada ditempat yang mudah diketemukan”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk mengiakan. Mereka menyadari, bahwa sebaiknya mereka memang tinggal di banjar karena jika terjadi sesuatu mereka tidak justru menjadi beban Ki Pandi.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, Ki Pandi telah meninggalkan banjar itu dengan diam-diam. Ia menyelinap keluar dari halaman dan berjalan dikegelapan. Ki Pandi tahu bahwa seperti di banjar, maka gardu-gardu perondan pun menjadi sepi.

Tetapi justru karena itu, tidak seorangpun yang dapat ditanya, dimana rumah Ki Sambi Pitu. Bahkan seandainya ada beberapa orang digardu, pertanyaan tentang letak rumah Ki Sambi Pitu akan dapat menimbulkan persoalan.

Ki Pandi tertarik ketika ia mendengar lagi derap kaki kuda. Ternyata sejenak kemudian maka derap kaki kuda di malam yang sepi itu justru melingkar sehingga kuda itu seakan-akan ingin menyusul perjalanan Ki Pandi. Dengan cepat Ki Pandi berusaha untuk meloncati dinding halaman yang tidak terlalu tinggi, sehingga demikian kuda itu lewat, maka Ki Pandi sudah berada di balik dinding. Namun demikian kuda itu berderap, maka Ki Pandipun dengan cepat telah meloncat turun kembali di jalan dan berlari menyusul derap kaki kuda itu.

Tetapi Ki Pandi tidak perlu berlari terlalu jauh. Ia memperlambat larinya ketika ia menyadari bahwa kuda itu sudah berhenti beberapa puluh langkah saja dihadapannya. Ki Pandi menyadari, bahwa ia harus sangat berhati-hati. Orang berkuda yang sudah berani menantang Ki Sambi Pitu itu tentu orang yang berilmu sangat tinggi.

Karena itu, maka Ki Pandipun kemudian telah meloncat pula ke halaman samping. Ia merasa lebih aman untuk mendekati orang berkuda itu lewat halaman, menyusup diantara beberapa batang pepohonan daripada lewat jalan yang terbuka.

Ki Pandi berhenti dihalaman sebelah. Dengan sangat berhati-hati ia memperhatikan seseorang yang berdiri di sebuah halaman yang tidak begitu luas, yang ditanami beberapa batang pohon bunga ceplok piring dan bunga soka. Baunya semerbak di malam hari. Dari tempatnya bersembunyi Ki Pandi mendengar orang yang berdiri di halaman itu berkata keras-keras tanpa ragu, bahwa suaranya itu dapat didengar oleh tetangga Ki Sambi Pitu,

"He, dengar Ki Sambi Pitu. Aku memperingatkanmu. Dua malam lagi, aku menunggumu di bulak Parapat. Kita akan membuat perhitungan sampai tuntas. Hutangmu harus kau bayar bersama bunganya sekali”

Ki Pandi menarik nafas dalam-dalam. Agaknya dendam membara dihati orang yang menantang Ki Sambi Pitu itu. Dengan jantung yang berdebaran Ki Pandi melihat dari halaman sebelah, pintu rumah itu terbuka. Sesosok tubuh melangkah keluar dan berdiri di tangga sambil menjawab,

"Kau selalu menggangguku Ki Lemah Teles. Sudah aku katakan, bahwa dua malam lagi aku akan pergi ke bulak Parapat. Aku terima tantanganmu meskipun aku tidak pernah mengakui mempunyai hutang apapun kepadamu.”

"Jangan mengigau. Banyak orang yang tidak mengakui hutangnya kepada orang lain atau sengaja melupakannya. Tetapi orang yang mempunyai piutang tentu bersikap lain.”

"Terserah apa saja alasanmu. Aku tahu semuanya itu sekedar kau pergunakan untuk memancing perang tanding. Sudah aku katakan bahwa kau tidak perlu memakai alasan apapun juga. Kita akan berperang tanding dibulak Parapat dua malam mendatang. Sekarang pergilah, biar aku dapat tidur nyenyak. Derap kaki kudamu telah mengganggu dan membangunkan anak-anak yang tidur dipelukan ibunya. Sementara mereka tidak tahu menahu tentang persoalan kita.”

Orang yang disebut Ki Lemah Teles itu tidak menjawab. Iapun melangkah keluar dari halaman dan langsung meloncat ke punggung kudanya. Ketika kemudian sosok yang berdiri di tangga itu masuk kembali kedalam rumahnya, maka Ki Pandipun telah merenungi peristiwa yang dilihatnya itu. Ternyata Ki Pandi telah mengenal kedua orang yang bermusuhan itu. Ia mengenal Ki Sambi Pitu. Iapun mengenal Ki Lemah Teles pula. Dua orang yang berilmu sangat tinggi.

Namun yang tidak diketahuinya adalah sebab dari pertengkaran di antara mereka berdua. Tetapi Ki Pandi itupun segera menyadari dirinya, bahwa ia berada di halaman orang. Karena itu maka iapun segera beringsut meninggalkan tempat itu. Ki Pandi itu menarik nafas dalam-dalam ketika ia mendengar derap kaki kuda itu lagi. Ternyata Ki Lemah Teles tidak segera pergi dari padukuhan itu. Tetapi kudanya masih saja berlari-larian berputar-putar di jalan-jalan padukuhan.

"Orang aneh..." desis Ki Pandi. Karena itu, maka Ki Pandi itupun berjalan dengan hati-hati. Ia harus memasang telinganya, agar ia tidak dengan tiba-tiba saja bertemu, berpapasan di simpang tiga atau simpang empat atau didahului oleh orang berkuda itu. Ketika Ki Pandi kemudian telah berada di banjar lagi dan duduk diamben yang agak besar itu bersama Manggada dan Laksana, maka iapun telah menceriterakan apa yang lelah dilihatnya.

"Bagaimana menurut pendapat Ki Pandi?" bertanya Manggada "Apa yang dimaksud dengan hutang Ki Sambi Pitu kepada Ki Lemah Teles itu?"

Ki Pandi menggeleng. Katanya "Aku tidak tahu. Tetapi menurut Ki Sambi Pitu, agaknya Ki Lemah Teles sekedar mencari persoalan untuk menantangnya berperang tanding”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk kecil. Namun Laksanapun kemudian bertanya pula, "Apakah Ki Lemah Teles menurut pengenalan Ki Pandi seorang yang jahat?"

Ki Pandi menggeleng. Katanya, "Tidak. Ki Lemah Teles juga bukan seorang yang jahat. Tetapi dua orang yang baik hati sekalipun pada suatu saat akan dapat berselisih pendapat, bertentangan kepentingannya atau justru mempunyai kepentingan yang sama terhadap sesuatu hal atau persoalan-persoalan yang lain”

"Tetapi jika bukan persoalan yang mendasar, keduanya tentu tidak akan memasuki perang tanding" berkata Manggada.

Ki Pandi mengangguk-angguk. Katanya "Ya. Tentu ada persoalan yang mendasar. Karena itu, biarlah besok kita singgah sebentar dirumah Ki Sambi Pitu”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Keduanya memang menjadi tertarik oleh persoalan yang timbul diantara orang-orang yang berilmu tinggi itu. Namun kemudian Ki Pandipun berkata, "Tidurlah, hari sudah larut. Biarlah aku yang berjaga-jaga”

"Ki Pandi tentu letih. Biarlah kami berdua bergantian" jawab Manggada.

"Aku dapat tidak memejamkan mata selama sepekan terus-menerus siang dan malam. Bahkan lebih” jawab Ki Pandi sambil tersenyum.

Manggada dan Laksana menarik nafas dalam-dalam. Tetapi mereka percaya kata-kata Ki Pandi itu. Karena itu, maka Manggada dan Laksanapun kemudian telah berbaring di amben itu. Mereka masih sempat berangan-angan sejenak. Namun kemudian keduanyapun telah tertidur nyenyak.

Pagi-pagi sekali ketiga orang itu sudah bangun. Mereka segera mengisi jambangan untuk mandi bergantian. Sebelum matahari terbit, ketiganya sudah siap untuk melanjutkan perjalanan. Tetapi ketika mereka minta diri, Ki Kerta Banjar telah mempersilahkan mereka minum minuman hangat. Rebus ketela yang masih mengepulkan asap, baunya menyentuh hidung Manggada dan Laksana.

Keduanya sempat berpandangan dan menahan senyum dibibir mereka. Baru setelah mereka bertiga minum dan makan ketela rebus itu, maka mereka telah dilepas oleh Ki Kerta Banjar untuk melanjutkan perjalanan. Tetapi ketiga orang itu sama sekali tidak mengatakan bahwa mereka ingin singgah dirumah Ki Sambi Pitu.

Ketiga orang itupun kemudian melangkah meninggalkan banjar padukuhan. Matahari yang terbit, memancarkan sinarnya yang cerah. Satu dua titik embun masih bergayutan diujung dedaunan yang merunduk. Manggada dan Laksana berjalan dibelakang Ki Pandi yang melangkah berbongkok-bongkok. Burung-burung yang berkicau membuat suasana pagi menjadi gembira.

Orang-orang padukuhan itu yang sudah mulai turun ke jalan-jalan, melihat ketiga orang itu dengan dahi berkerut. Mereka yang akan pergi ke pasar atau pergi ke sawah, menganggap Ki Pandi, Manggada dan Laksana sebagai orang-orang asing. Namun ada di antara mereka yang memang menduga, bahwa ketiganya adalah pejalan yang telah menginap di banjar padukuhan mereka.

"Tentu bukan orang berkuda itu..." desis seseorang kepada kawannya yang berjalan disampingnya sambil membawa cangkul, karena keduanya memang akan pergi ke sawah.

Ki Pandi dan kedua anak muda itu berjalan termangu-mangu. Sekali-sekali jika tatapan mata mereka bertemu dengan orang-orang padukuhan itu yang menandangi mereka, maka merekapun telah menganggukkan kepala. Seperti yang mereka rencanakan, maka merekapun telah menyusuri jalan padukuhan menuju ke rumah Ki Sambi Pitu.

Kedatangan mereka di hari yang masih terhitung pagi itu memang mengejutkan. Seorang yang rambutnya sudah ditumbuhi uban yang keputih-putihan itu termangu-mangu sejenak ketika ia melihat seorang yang berjalan terbongkok-bongkok memasuki halaman rumahnya.

"Ki Bongkok" desis orang itu.

"Apakah kau masih dapat mengenali aku, Ki Sambi Pitu?"

"Tentu, tentu Ki Bongkok. Marilah, naiklah." berkata Ki Sambi Pitu.

Ki Pandipun kemudian telah naik kependapa rumah Ki Sambi Pitu yang tidak terlalu besar. Berbeda dengan pendapa rumah pada umumnya yang berbentuk joglo, maka pendapa rumah Ki Sambi Pitu yang tidak begitu besar itu dibuat dalam bentuk limasan, sehingga kesannya menjadi lebih sederhana.

Setelah mereka saling mempertanyakan keselamatan masing-masing, maka Ki Sambi Pitu itupun bertanya, "Ki Bongkok. Aku merasa aneh bahwa tiba-tiba saja Ki Bongkok telah mengunjungi aku. Apalagi hari masih sepagi ini”

Ki Pandi mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Aku minta maaf, Ki Sambi Pitu, bahwa di hari yang masih pagi ini aku sudah mengganggu ketenangan Ki Sambi Pitu”

"Tidak, Ki Bongkok. Aku sama sekali tidak merasa terganggu. Aku senang mendapat kunjungan seseorang dihari tuaku. Rasa-rasanya hidup menjadi semakin sepi. Tetapi kedatangan Ki Bongkok membuat aku merasa bahwa aku tidak hidup sendiri dan terasing disini”

"Bukankah sikap orang-orang padukuhan ini baik terhadap Ki Sambi Pitu?"

"Baik. Baik sekali. Aku merasa berada diantara keluarga sendiri” Ki Sambi Pitu berhenti sejenak. Namun kemudian katanya “Tetapi kunjungan Ki Bongkok yang datang dari dunia yang pernah kami huni bersama, rasa-rasanya hidup ini masih tersisa”

"Bukankah bukan aku satu-satunya orang yang sering berkunjung kerumah Ki Sambi Pitu?"

"Tidak ada, Ki Bongkok. Justru itu aku merasa bahwa segala sesuatunya sudah lewat”

"Tentu tidak Ki Sambi Pitu. Aku yang kurang-lebih sebaya dengan Ki Sambi Pitu merasa bahwa hidupku masih berarti. He, bukankah itu tergantung kepada kita sendiri?"

"Ya. Ya. Aku juga mencoba memberi arti dari sisa hidupku ini bagi tetangga-tetanggaku yang baik di padukuhan ini. Tetapi karena rasa-rasanya kami datang dari dunia yang berbeda, maka kehadiran seseorang dari dunia kita, membuat aku sangat bergembira hari ini”

"Ki Sambi Pitu. Bukankah Ki Lemah Teles juga sering berkunjung kemari?"

"O" Ki Sambi Pitu mengangguk-angguk "Ya. Ki Lemah Teles memang sering datang kemari. Tetapi ia lebih banyak mengganggu daripada satu kunjungan seorang sahabat”

Ki Pandi mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berkata "Maaf, Ki Sambi Pitu. Apakah Ki Lemah Teles sering datang mengganggu Ki Sambi Pitu?"

"Ya. Tetapi aku senang. Meskipun ia datang mengganggu, tetapi justru karena itu, maka aku menganggap bahwa ia masih menghargai aku yang pernah hidup di dunia pada tataran yang sama dengan Ki Lemah Teles itu sendiri”

Ki Pandi mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berkata, “Apa saja yang dilakukan oleh Ki Lemah Teles sehingga Ki Sambi Pitu merasa terganggu karenanya?"
Ki Sambi Pitu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun tersenyum sambil berkata "Ki Lemah Teles masih selalu mengajak bergurau dihari-hari tua.”

Ki Pandi masih ingin bertanya lebih jauh. Tetapi Ki Sambi Pitu telah lebih dahulu bertanya, "Ki Bongkok, siapakah nama kedua orang anak muda itu?"

"Mereka adalah kemanakanku, Ki Sambi Pitu." jawab Ki Pandi.

"Kau tidak usah berbohong kepadaku." desis Ki Sambi Pitu "Keduanya tentu bukan kemanakanmu.”

Ki Pandi tertawa. Katanya "Siapapun mereka, tetapi mereka sekarang bersamaku. Namanya Manggada dan Laksana.”

Ki Sambi Pilu mengangguk-angguk sambil tersenyum. Katanya, "Anak-anak yang kokoh”

"Mereka ingin melihat-lihat tempat yang jauh yang belum pernah dilihatnya. Semalam kami sampai di padukuhan ini. Kami minta belas kasihan kepada Ki Kerta Banjar untuk bermalam di banjar padukuhan.”

"Itu sebabnya, maka kalian sepagi ini sudah berada disini. Tetapi siapakah yang memberitahukan kepada kalian bahwa aku tinggal disini?"

"Suara kuda yang berderap mengelilingi padukuhan inilah yang menuntun aku sampai ke rumah ini”

"Jadi kau tentu tahu apa yang telah terjadi?”

Ki Pandi tidak ingkar. Karena itu, maka iapun mengangguk sambil menjawab "Ya. Aku mendengar pembicaraan kalian. Aku minta maaf atas keinginan tahuku itu”

"Tidak apa-apa. Setiap orang berhak mengetahuinya, karena Ki Lemah Teles dengan sengaja berteriak-teriak.”

"Karena persoalan yang kurang aku mengerti itulah, maka aku memerlukan datang kepadamu pagi ini” berkata Ki Pandi kemudian.

Ki Sambi Pitu mengangguk-angguk. Katanya dengan nada rendah, "Apakah kau ingin tahu kenapa Ki Lemah Teles menantang aku berperang tanding?"

Ki Pandi mengangguk kecil. Katanya "Ya. Menurut pendapatku, kau dan Ki Lemah Teles tidak akan berbenturan kepentingan. Kalian saling mengenal sejak lama. Seandainya ada persoalan, tentu sudah kalian selesaikan sebelum rambut kalian mulai ditumbuhi uban seperti sekarang ini”

Ki Sambi Pitu menarik nafas dalam-dalam. Wajahnya yang semula nampak cerah, telah berkerut dan nampak bersungguh-sungguh. "Ia menganggap aku berhutang kepadanya.” berkata Ki Sambi Pitu "Sebelumnya ia memang tidak pernah menyebut-nyebutnya. Namun tiba-tiba ia datang minta aku melunasi hutangku dengan menantang untuk berperang tanding.”

"Apakah yang dimaksud dengan hutang itu?" bertanya Ki Pandi.

"Itulah yang membuat aku bingung." jawab Ki Sambi Pitu.

"Ternyata kau terima tantangannya." desis Ki Pandi.

"Ya. Aku menganggapnya satu kehormatan bahwa ia masih menghargai kemampuanku sama dengan dirinya” jawab Ki Sambi Pitu.

"Tetapi bukankah itu tidak bijaksana?" bertanya Ki Pandi.

"Justru aku merasa bahwa sisa hidupku masih berarti. Kalah atau menang, hidup atau mati, tidak penting bagiku. Tetapi aku masih sempat untuk menerima penilaian yang tinggi dari Ki Lemah Teles." jawab Ki Sambi Pitu.

Ki Pandi mengerutkan dahinya. Ternyata jalan pikiran Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles hampir bersamaan justru di hari tua mereka. Agaknya justru karena keduanya adalah orang-orang penting dan dihormati, sehingga mereka merasa, bahwa akhirnya mereka tercampak dan tidak berarti apa-apa lagi bagi dunia yang pernah menjadi lingkungan hidupnya sebagai orang-orang berilmu tinggi.

Dalam pada itu, maka pembicaraan merekapun terputus. Seorang pembantu dirumah Ki Sambi Pitu telah menghidangkan minuman panas bagi tamu-tamunya. Untuk selanjutnya, Ki Sambi Pitu justru mencoba untuk menghindari pembicaraan tentang tantangan Ki Lemah Teles itu. Dipersilahkannya ketiga orang tamunya untuk minum.

Sementara itu, Ki Sambi Pitu mulai berceritera tentang masa mudanya yang panjang serta masa muda Ki Pandi yang bongkok itu menurut pengenalannya. Namun tiba-tiba saja Ki Sambi Pitu bertanya "Dimana binatang peliharaanmu itu? Kau sembelih ketika kau kelaparan?"

"Tentu tidak" jawab Ki Pandi "Aku tinggalkan keduanya disebuah hutan yang aku anggap aman bagi keduanya”

Ki Sambi Pitu tertawa. Katanya "Seharusnya kau mencari lagi anak harimau, atau anak orang hutan atau bahkan anak gajah, kau ajari binatang-binatang itu menurut segala perintahmu"

“Kau.” Ki Pandi tertawa, sementara Ki Sambi Pitu berkata selanjutnya "Kau akan menjadi seorang raja di hutan, karena kau akan dapat menguasai segala-galanya jika binatang-binatang terkuat menjadi pendukungmu. Kau dapat memaksakan kehendakmu terhadap seisi hutan karena binatang-binatang yang lebih kecil dan lemah tidak akan berani melawanmu.”

Ki Pandi tertawa semakin keras. Manggada dan Laksanapun tertawa pula. Namun dengan demikian, maka Ki Pandi menjadi sulit untuk mencari jalan kembali pada pembicaraan mereka tentang Ki Lemah Teles. Apalagi Ki Sambi Pitu selalu berusaha menghindari pembicaraan itu. Karena itu, maka akhirnya Ki Pandi justru minta diri untuk melanjutkan perjalanan mereka.

"Terima kasih akan kunjungan kalian.. " berkata Ki Sambi Pitu "Aku masih berharap bahwa kalian masih sudi singgah dirumahku ini. Dengan kehadiran mereka yang sebaya dengan aku, maka rasa-rasanya aku tidak terlalu terpisah dari duniaku”

"Kau sudah mendapatkan dunia yang baru, Ki Sambi Pitu” berkata Ki Pandi "Dunia yang lebih baik. Lebih sejuk dan tentu terasa damai. Ternyata yang mengguncang kedamaian hidupmu diduniamu yang baru itu adalah orang-orang yang datang dari duniamu yang kau anggap sudah meninggalkanmu itu”

Ki Sambi Pitu mengerutkan dahinya. Ia nampak merenung. Namun kemudian sambil menarik nafas ia berkata "Mungkin kau benar Ki Bongkok. Tetapi kadang-kadang sulit bagi kita untuk berbicara sekedar berpijak pada nalar”

Ki Pandi mengangguk. Katanya "Ya. Kau juga benar...”

Demikianlah maka Ki Pandipun telah meninggalkan Ki Sambi Pitu. Bertiga mereka menyusuri jalan keluar dari padukuhan itu, memasuki bulak persawahan yang luas. Matahari sudah menjadi semakin tinggi. Orang-orang yang bekerja di sawah mulai berkeringat. Dari ujung padukuhan terdengar suara orang menumbuk padi. Lenguh anak lembu berbaur dengan tangis bayi yang minta minum susu ibunya.

Ki Pandi, Manggada dan Laksana berjalan menyusuri jalan ditengah-tengah kotak-kotak sawah yang terbentang luas. Seorang petani berdiri sambil meneguk air sejuk dari sebuah gendi yang terbuat dari tanah liat. Ternyata Ki Pandi sambil lalu sempat bertanya kepada seseorang, "Apakah Ki Sanak mengetahui, dimanakah letak Bulak Parapat?"

"Apakah Ki Sanak akan pergi ke sana?" bertanya orang itu.

"Ya" jawab ki Pandi.

"Untuk apa?" orang itu nampak keheranan.

"Tidak apa-apa. Sekedar melihat-lihat.” jawab Ki Pandi.

Kening orang itu berkerut. Dengan nada tinggi ia berkata “Bulak Parapat adalah nama sebuah hutan perdu yang membentang dibawah bukit kecil itu.”

Ki Pandi termangu-mangu sejenak. Seperti juga Manggada dan Laksana ia mengira bahwa Bulak Parapat adalah sebuah bulak persawahan sebagaimana sedang dilaluinya itu. Namun ternyata Bulak Parapat adalah nama sebuah hutan perdu di lereng bukit kecil, Namun Ki Pandi yang cepat berpikir itu segera menyahut, “Terima kasih Ki Sanak”

"Tetapi apa kepentingan kalian dengan Bulak Parapat?" orang itu masih mendesak.

"Kami adalah pembuat gerabah dari tanah liat. Kami ingin membuktikan, apakah benar kata orang, bahwa tanah liat di Bulak Parapat lebih baik dari tanah liat dari tempat yang lain.”

Ternyata jawab orang itu tidak disangka-sangka, "Mungkin keterangan itu benar. Bukit kecil itu seluruhnya terdiri dari tanah liat yang warnanya merah agak keputih-putihan. Aku tidak tahu, apakah itu termasuk tanah liat yang baik atau bukan.”

"Dengan jari-jari kita dapat mengetahui, apakah tanah liat itu baik atau tidak, lembut atau kasar, keras atau lentur.” sahut Ki Pandi.

Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, "Jika ternyata tanah liat di bukit itu baik, maka tempat itu tentu akan menjadi ramai.”

"Terima kasih Ki Sanak." berkata Ki Pandi kemudian "Aku akan pergi ke bukit kecil itu untuk melihat, apakah tanah liat disana cukup baik.”

Ki Pandipun kemudian mengajak Manggada dan Laksana untuk meneruskan perjalanan. Namun orang yang telah menunjukkan letak Bulak Parapat itu berkata, "Jalan ini yang harus kalian tempuh. Bukan kesana.”

"Terima kasih Ki Sanak. Nanti kami akan pergi ke bukit itu. Tetapi kami masih mempunyai sedikit kepentingan yang lain.” sahut Ki Pandi.

Orang itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Ki Pandi, Manggada dan Laksana kemudian telah meneruskan langkah mereka. Namun kemudian Ki Pandipun telah membuat rencana. Pada saat perang tanding itu dilaksanakan dua malam lagi, mereka bertiga akan berada di Bulak Parapat itu.

"Lalu kita sekarang akan pergi kemana? Tentunya kita masih belum langsung menuju ke Jatimalang.”

"Belum..." jawab Ki Pandi. Lalu katanya kemudian "Bukankah kita terbiasa tidur dimanapun juga. Jika kita ingin sedikit bermanja-manja, kita dapat menginap di banjar padukuhan. Tetapi, jika tidak, maka kita dapat saja tidur di pinggir hutan, di pategalan atau bahwa di Bulak Parapat itu sekali.”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sebenarnya mereka memang ingin segera melihat kembali hutan Jatimalang, dan terutama lereng kaki Gunung Lawu dibelakang hutan Jatimalang itu. Tetapi mereka sadar, jika mereka memaksa juga untuk berangkat, Ki Pandi tentu akan menjadi sangat kecewa. Karena itu, maka Manggada dan Laksanapun tinggal menurut saja, kemana Ki Pandi akan pergi.

"Kita masih mempunyai waktu. ." berkata Ki Pandi tiba-tiba "Untuk memanfaatkan waktu itu sebaik-baiknya, maka kita tidak usah berada terlalu jauh dari hutan Bulak Parapat itu.”

Demikianlah, sambil menunggu, Ki Pandi telah mengajak Manggada dan Laksana menuju ke hutan kecil tidak begitu jauh dari Bulak Parapat. Di hutan itu Ki Pandi telah mempergunakan waktunya yang dua hari itu untuk membimbing Manggada dan Laksana memperdalam ilmu yang mereka miliki.

Ternyata bahwa keduanya telah meningkat semakin jauh dari dasar ilmu yang mereka warisi dari Ki Citrabawa. Meskipun demikian, bagi Manggada dan Laksana, ilmu yang mereka terima dari Ki Citrabawa merupakan alas ilmu mereka yang kemudian berkembang semakin tinggi.

Selama dua hari ketiga orang itu keluar dari hutan. Mereka memburu binatang dan membuat perapian. Meskipun mereka tidak lagi melakukan Tapa Ngidang, namun ternyata yang dua hari itu dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh Manggada dan Laksana.

Meskipun ketiga orang itu tidak berkepentingan langsung dengan perang tanding yang bakal terjadi antara Ki Sambi Pitu dengan Ki Lemah Teles, namun ternyata mereka ikut menjadi tegang ketika saat-saat yang ditentukan itu tiba.

Ki Pandi yang sudah melihat-lihat hutan perdu yang disebut Bulak Parapat itu dapat menduga, dimana perang tanding itu akan dilakukan. Didalam lingkungan hutan perdu itu terdapat sepetak tanah yang lebih lapang dari yang lain tidak ditumbuhi pohon-pohon perdu dan bahkan semak-semak berduri.

Sejak senja turun, maka Ki Pandi telah menempatkan Manggada dan Laksana di antara pohon-pohon perdu yang rapat, yang dapat melindungi mereka, sehingga tidak mudah dilihat oleh orang yang lewat dekat mereka sekalipun. Ki Pandi juga sudah mengajari, bagaimana mereka harus mengatur pernafasan mereka, agar dapat menyerap bunyi tarikan nafas mereka sedalam-dalamnya sehingga suaranya tidak lebih dari gesekan daun-daun yang paling lembut.

Malam itu ternyata langit jernih. Yang nampak hanyalah bintang-bintang yang berhamburan. Selembar awan tipis terbang melintas dan lenyap di cakrawala. Ketika malam menjadi semakin dalam, Manggada dan Laksana mulai menjadi gelisah. Kulit mereka mulai terasa gatal digigit nyamuk yang buas di hutan perdu itu.

Ki Pandi yang melihat gelagat itupun berkata, "Belum tengah malam. Kita harus sabar menunggu. Kesabaran merupakan salah satu syarat bagi keberhasilan.”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sebenarnyalah menjelang tengah malam, maka mereka telah mendengar derap kaki kuda memasuki hutan perdu itu. Seperti yang diperhitungkan oleh Ki Pandi, maka orang berkuda itu melintasi semak-semak dan gerumbul-gerumbul perdu disela-sela batang ilalang, menuju ketempat yang lebih lapang dari lingkungan disekitarnya. Beberapa saat kudanya berputar-putar. Namun kemudian orang itu telah meloncat turun dan mengikat kudanya pada pohon batang perdu dipinggir tempat yang lapang itu.

Untuk beberapa saat, orang itu menunggu. Ketika ia mulai gelisah, maka didengarnya suara tembang yang ngelangut. Suara tembang itu seakan-akan menyelusuri hutan perdu yang tidak terlalu luas yang membentang didekat sebuah bukit kecil. Orang berkuda yang berdiri termangu-mangu itupun tiba-tiba saja telah berteriak,

"He, kau orang yang licik. Aku hampir jemu menunggumu. Cepat, kemarilah. Aku tidak mempunyai banyak waktu.”

Suara tembang itu masih terdengar. Semakin lama nadanya seakan-akan menjadi semakin tinggi, melengking di sepinya malam. Menggetarkan udara membentur lereng bukit. Orang berkuda itu berteriak sekali lagi,

"Cepat, aku sudah jemu menunggumu. Jika kau merasa ketakutan untuk menerima tantanganku, maka datanglah berlutut dan mohon ampun atas segala kesalahanmu. Maka hutangmupun akan aku anggap lunas.”

Suara tembang itu menjadi semakin perlahan. Akhirnya suara itupun berhenti sama sekali. Ternyata beberapa saat kemudian, seseorang melangkah mendekati orang yang datang berkuda itu. Manggada dan Laksana yang melihat semuanya dari jarak yang tidak terlalu dekat, segera dapat membedakan. Orang yang datang berkuda itu tentu Ki Lemah Teles. Sedangkan orang yang sempat melontarkan tembang itu tentu Ki Sambi Pitu.

Meskipun tidak ada bulan dilangit, namun keredipan bintang dapat membantu Manggada dan Laksana melihat kedua orang yang berdiri ditempat terbuka itu. Ternyata bahwa Ki Lemah Teles adalah seorang yang bertubuh kecil, dapat disebut pendek menurut ukuran yang wajar. Sementara Ki Sambi Pitu adalah seorang yang ukuran tubuhnya sedang-sedang saja sebagaimana orang kebanyakan.

"Nah..." berkata Ki Lemah Teles "Sekarang katakan, apakah kau akan membayar hutangmu, atau kau akan mohon ampun atau kita akan berperang tanding”

"Ki Lemah Teles..." jawab Ki Sambi Pitu "Sudah aku katakan, bahwa tanpa alasan apapun kau dapat menantang aku untuk berperang tanding. Karena itu, kau tidak usah menyebut-nyebut tentang hutang itu, karena sebenarnya aku tidak mengerti sama sekali, apa yang kau maksud dengan hutangku dan yang sudah kau sebut lebih dari seribu kali itu.”

"Sudah aku katakan, orang yang mempunyai hutang kadang-kadang dengan sengaja melupakannya atau berpura-pura lupa.”

"Lupa atau berpura-pura lupa atau apapun yang kau katakan, sekarang aku minta kau sebut, berapa hutangku kepadamu dan atas dasar apa kau nilai apa yang kau sebut dengan hutang itu...” berkata Ki Sambi Pitu...
Selanjutnya,
Matahari Senja Bagian 03

Matahari Senja Bagian 02

Arya Manggada - Matahari Senja Bagian 02
Karya : Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
PENUNGGU banjar itu termangu-mangu sejenak. Nampak keraguan semakin bergejolak didadanya. Namun agaknya penunggu banjar itu tidak sampai hati untuk menolak permintaan ketiga orang yang minta ijin untuk menginap itu.

"Siapakah sebenarnya ki sanak bertiga ini?" bertanya penunggu banjar itu.

"Kami adalah pengembara yang menyusuri jalan-jalan yang panjang." jawab Ki Pandi.

"Untuk apa? Jika kalian melakukan sesuatu, kalian tentu mempunyai maksud tertentu." bertanya penunggu banjar itu.

"Benar Ki sanak..." jawab Ki Pandi "Kedua kemenakanku ini ingin memperluas pengalaman hidupnya. Mereka ingin melihat tempat-tempat yang jauh yang belum pernah dilihatnya. Mereka ingin melihat tatanan kehidupan yang beraneka di tanah ini.”

Penunggu banjar itu mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata "Sebenarnya kami tidak berkeberatan. Para pejalan dan barangkali juga pengembara, bermalam di banjar ini. Tetapi kalian datang pada saat yang kurang baik”

Ki Pandi termangu-mangu sejenak. Namun rasa-rasnya ia mendapat jalan justru untuk menanyakan, apa yang sedang terjadi di padukuhan itu. Karena itu, maka Ki Pandi itupun bertanya "Apa yang sebenarnya terjadi disini?"

Penunggu banjar itu memandang Ki Pandi dan kedua orang anak muda yang menyertainya itu dengan tajamnya. Namun orang itupun berkata, "Siapakah nama kalian?"

"Orang memanggilku Ki Pandi. Kedua kemenakanku ini adalah Manggada dan Laksana”

Penunggu banjar itu mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Pandilah yang bertanya "Apakah aku diperkenankan mengenal nama Ki sanak?"

Orang itu menarik nafas panjang. Jawabnya, "Namaku Kerta. Orang memanggilku Kerta Banjar, karena di padukuhan ini ada tiga orang yang bernama Kerta.”

Ki Pandipun mengangguk-angguk. Namun ia masih juga bertanya "Tetapi tadi Ki Kerta mengatakan bahwa kami datang pada waktu yang kurang baik”

"Ya, Ki Pandi..." jawab penunggu banjar itu "Dalam waktu terakhir ini, padukuhan kami sedang dibayangi oleh ancaman yang mencemaskan seisi padukuhan”

"Apa yang telah terjadi?"

"Dipadukuhan ini tinggal seorang yang sangat disegani oleh para penghuni padukuhan ini. Ia seorang yang sangat baik. Ia suka menolong sesama dan memberikan bantuan apa saja yang dibutuhkan oleh orang banyak dalam batas kemampuannya”

Ki Pandi mengangguk-angguk pula.

"Namun pada hari-hari terakhir ini, seorang berkuda telah mencarinya. Seorang yang tidak dikenal...” orang itu melanjutkan.

"Ia bertanya kepada orang-orang padukuhan ini dimana orang yang baik itu tinggal. Orang-orang padukuhan ini yang tidak tahu maksudnya telah menunjukkan tempat tinggal orang yang dicarinya. Tetapi akhirnya kami mengetahui bahwa orang yang mencarinya itu tidak berniat baik.”

"Apa yang akan dilakukannya?" bertanya Ki Pandi.

"Orang berkuda itu menantang untuk berperang tanding.” jawab Ki Kerta Banjar.

"Apa yang ia kehendaki?" bertanya Ki Pandi.

"Kami tidak mengetahuinya. Orang yang kami anggap orang baik dan disegani seisi padukuhan inipun tidak mau mengatakannya, persoalan apakah yang membuat orang berkuda itu menantangnya untuk berperang tanding.”

"Apakah keduanya masih terhitung muda, separo baya atau justru sudah memasuki usia tua?" bertanya Ki Pandi kemudian.

"Mereka sudah menjelang masa-masa tua. Orang yang dihormati di padukuhan inipun sudah memasuki hari tuanya. Rambutnya sudah mulai memutih. Demikian pula janggut dan kumisnya.”

"Tetapi apakah orang berkuda itu mengganggu seisi padukuhan ini?" bertanya Ki Pandi.

"Tidak. Orang itu tidak mengganggu seisi padukuhan ini. Tetapi tantangan itu membuat seisi padukuhan ini gelisah. Kami sudah menyatakan keinginan kami untuk membantu. Tetapi orang yang kami segani itu tidak menghendakinya. Ia menganggap bahwa persoalan itu adalah persoalan pribadinya. Karena itu tidak sepantasnya, orang-orang padukuhan ini melibatkan diri.”

"Jika demikian, kenapa seisi padukuhan ini menjadi ketakutan? Bukankah tantangan itu semata-mata ditujukan kepada seseorang? "bertanya Ki Pandi.

"Tetapi seakan-akan orang itu telah menjadi bagian dari kami, seisi padukuhan ini.” jawab Ki Kerta Banjar.

"Siapakah nama orang yang disegani itu?" tiba-tiba saja Ki Pandi bertanya.

Penunggu banjar itu menjadi ragu-ragu pula. Namun kemudian ia menjawab, "Kami, seisi padukuhan ini memanggilnya Ki Sambi Pitu”

"Sambi Pitu" Ki Pandi mengulang. Wajahnya nampak berkerut. Tetapi kemudian ia menarik nafas dalam-dalam.

Hampir diluar sadarnya, Laksana bertanya "Ki Pandi mengenal nama itu?"

Ki Pandi menggeleng sambil menjawab, "Tentu tidak. Yang aku kenali tidak lebih dari tetangga-tetanggaku dan sanak-kadangku.”

Laksana menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Ki Pandilah yang kemudian berkata, "Ki Kerta. Menurut pendapatku, orang-orang padukuhan ini tidak usah merasa ketakutan. Agaknya ancaman itu semata-mata hanya ditujukan kepada Ki Sambi Pitu saja”

"Kami tidak dapat memisahkan diri kami dari orang tua itu” jawab Ki Kerta Banjar.

"Seandainya orang-orang padukuhan ini sudah siap membantu, kenapa mereka menjadi ketakutan?" bertanya Ki Pandi.

"Ki Sanak..." berkata Ki Kerta Banjar "Bukankah wajar, jika terjadi benturan kekerasan, maka akan timbul ketakutan? Bahkan orang-orang padukuhan ini terutama perempuan dan anak-anak sudah menjadi ketakutan sejak beberapa hari yang lalu.”

Ki Pandi mengangguk-angguk. Katanya, "Tetapi bukankah kehadiran kami tidak menambah kegelisahan yang terjadi di padukuhan ini?"

"Tidak. Tidak Ki Pandi" jawab Ki Kerta Banjar "Jika kalian hanya ingin bermalam disini, silahkan. Tetapi jika kalian mendengar derap kaki kuda itu, kalian jangan terkejut.”

"Apakah orang berkuda itu sering kali datang?" bertanya Ki Pandi.

"Ya. Tiba-tiba saja kami mendengar derap kaki kuda menjelang tengah malam. Kuda itu berputar-putar di jalan-jalan padukuhan. Namun kemudian derap kaki kuda itupun menghilang.”

"Setiap malam?" bertanya Manggada.

"Tidak" jawab Ki Kerta "Tetapi sering kali”

Manggada mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Dalam pada itu, maka Ki Kerta pun kemudian telah mempersilahkan tamunya untuk mengikutinya ke banjar. Ki Kerta telah menunjukkan tempat bagi ketiganya untuk bermalam.

"Serambi ini memang kami sediakan bagi mereka yang singgah dan bermalam di banjar ini" berkata Ki Kerta. Lalu katanya pula "Di halaman samping terdapat pakiwan. Bawa lampu minyak di sudut itu jika kalian ingin pergi ke pakiwan”

"Terima kasih Ki Kerta..." jawab Ki Pandi.

Namun Laksana sempat bertanya "Apakah tidak ada anak-anak muda yang bertugas ronda di banjar setiap malam?"

"Sejak orang berkuda itu berkeliaran di padukuhan, maka anak-anak muda tidak meronda di banjar. Tetapi mereka berkumpul di rumah Ki Bekel. Mereka merasa cemas bahwa orang berkuda itu juga memusuhi Ki Bekel”

Ki Pandi hanya mengangguk-angguk saja. Sementara Ki Kerta kemudian berkata "Silahkan beristirahat Ki Sanak. Mudah-mudahan kalian tidak merasa terganggu disini”

"Terima kasih Ki Kerta..." jawab Ki Pandi.

Ki Kertapun kemudian meninggalkan ketiga orang itu diserambi banjar yang disekat dengan dinding bambu. Diserambi itu terdapat sebuah amben yang agak besar, diterangi sebuah lampu minyak yang berkeredipan.

Sepeninggal Ki Kerta, maka mereka bertigapun bergantian pergi ke pakiwan. Baru kemudian mereka duduk berbincang-bincang sebelum mereka membaringkan tubuh mereka di amben yang agak besar itu.

Tetapi sebelum mereka sempat berbaring, Ki Kerta telah datang lagi sambil membawa minuman hangat serta nasi beras gaga yang kemerah-merahan.

"Marilah Ki Sanak. Nasinya sudah dingin, tetapi sayurnya sudah dipanasi. Silahkan minum dan makan seadanya...”

"Kami sangat berterima kasih, Ki Kerta. Kami telah membuat Ki Kerta dan keluarga Ki Kerta menjadi sibuk.”

"Bukankah itu sudah merupakan tugas kami?" sahut Ki Kerta.

Ki Pandi, Manggada dan Laksana tidak ingin mengecewakan kebaikan hati Ki Kerta. Karena itu maka merekapun telah minum dan makan hidangan itu.

"Bukan sekedar agar tidak mengecewakan mereka." desis Laksana "Tetapi aku memang merasa lapar.”

Manggada tersenyum. Katanya, "Aku sudah menduga melihat caramu makan.”

"Apakah kau tidak lapar?" bertanya Laksana.

Menggada tertawa sambil berpaling kepada Ki Pandi. Demikian mereka selesai makan, serta membenahinya dan membawa mangkuk yang kotor ke rumah Ki Kerta, maka mereka telah duduk di tangga banjar padukuhan itu. Udara memang terasa lebih sejuk di luar daripada di serambi yang disekat dengan dinding bambu itu.

Sementara itu, Ki Pandi pun kemudian berkala "Aku tidak dapat menjawab pertanyaan kalian dihadapan Ki Kerta, apakah aku mengenal Ki Sambi Pitu. Sebenarnya aku sudah mengenalnya meskipun tidak begitu akrab. Ia memang orang yang baik. Bahkan aku ingin menemuinya dan menanyakan siapakah yang dimaksud dengan orang berkuda oleh Ki Kerta itu.

"Apakah besok kita akan singgah?" bertanya Manggada.

"Ya. Jika kalian tidak berkeberatan, maka kita akan singgah dirumah orang itu. Seharusnya orang seperti Ki Sambi Pitu itu tidak mempunyai musuh. Jika ada orang yang mendendamnya dan bahkan menantangnya untuk berperang tanding, maka persoalannya agaknya sulit dimengerti”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak bertanya lagi. Ketika mereka sudah merasa lebih segar oleh sejuknya udara malam, maka mereka bertigapun telah kembali kedalam bilik mereka yang panas. Namun merekapun segera berbaring. Tetapi mereka sudah berjanji, bahwa seorang diantara mereka tidak boleh tidur, bergantian untuk sekedar berjaga-jaga karena mereka berada ditempat yang asing.

Menurut persetujuan mereka, maka yang pertama-tama berjaga-jaga adalah Laksana. Ia akan membangunkan Manggada jika ia sudah menjadi sangat mengantuk lewat tengah malam. Tetapi ketika Ki Pandi dan Manggada mulai memejamkan mata mereka, maka tiba-tiba saja mereka mendengar derap kaki kuda berlari kencang lewat jalan induk padukuhan itu. Derap kaki kuda itu terasa bagaikan mengguncang tiang-tiang banjar yang berdiri dipinggir jalan induk itu.

"Itulah yang dikatakan oleh Ki Kerta" desis Ki Pandi yang kemudian bangkit dan duduk bersandar dinding.

"Mudah-mudahan perang tanding itu tidak terjadi malam ini..." berkata Manggada.

"Ya" sahut Laksana "Sehingga kita besok masih mempunyai kesempatan untuk berbincang dan mengetahui, siapakah yang telah menantangnya untuk berperang tanding”

"Tetapi orang yang menantangnya itu sudah sering memacu kudanya berputar-putar di padukuhan ini. Namun perang tanding itu masih juga belum terjadi” desis Manggada.

Ki Pandi mengangguk-angguk. Tetapi ia justru menjadi gelisah. Tiba-tiba saja ia berkata, "Biarlah kalian tinggal disini. Aku akan melihat, apa yang terjadi?”

"Apakah Ki Pandi akan pergi kerumah orang itu?" bertanya Manggada.

"Ya" jawab Ki Pandi "Tetapi aku tidak akan menemuinya sekarang”

"Apakah Ki Pandi sudah mengetahui letak rumahnya?” bertanya Laksana.

"Belum" jawab Ki Pandi "Tetapi biarlah aku mencarinya. Kita tahu arah derap kaki kuda yang lewat tadi. Jika kuda itu berderap lagi lewat jalan ini, maka suara derap kakinya akan dapat aku pergunakan sebagai ancar-ancar untuk menemukan rumahnya yang agaknya juga berada ditempat yang mudah diketemukan”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk mengiakan. Mereka menyadari, bahwa sebaiknya mereka memang tinggal di banjar karena jika terjadi sesuatu mereka tidak justru menjadi beban Ki Pandi.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, Ki Pandi telah meninggalkan banjar itu dengan diam-diam. Ia menyelinap keluar dari halaman dan berjalan dikegelapan. Ki Pandi tahu bahwa seperti di banjar, maka gardu-gardu perondan pun menjadi sepi.

Tetapi justru karena itu, tidak seorangpun yang dapat ditanya, dimana rumah Ki Sambi Pitu. Bahkan seandainya ada beberapa orang digardu, pertanyaan tentang letak rumah Ki Sambi Pitu akan dapat menimbulkan persoalan.

Ki Pandi tertarik ketika ia mendengar lagi derap kaki kuda. Ternyata sejenak kemudian maka derap kaki kuda di malam yang sepi itu justru melingkar sehingga kuda itu seakan-akan ingin menyusul perjalanan Ki Pandi. Dengan cepat Ki Pandi berusaha untuk meloncati dinding halaman yang tidak terlalu tinggi, sehingga demikian kuda itu lewat, maka Ki Pandi sudah berada di balik dinding. Namun demikian kuda itu berderap, maka Ki Pandipun dengan cepat telah meloncat turun kembali di jalan dan berlari menyusul derap kaki kuda itu.

Tetapi Ki Pandi tidak perlu berlari terlalu jauh. Ia memperlambat larinya ketika ia menyadari bahwa kuda itu sudah berhenti beberapa puluh langkah saja dihadapannya. Ki Pandi menyadari, bahwa ia harus sangat berhati-hati. Orang berkuda yang sudah berani menantang Ki Sambi Pitu itu tentu orang yang berilmu sangat tinggi.

Karena itu, maka Ki Pandipun kemudian telah meloncat pula ke halaman samping. Ia merasa lebih aman untuk mendekati orang berkuda itu lewat halaman, menyusup diantara beberapa batang pepohonan daripada lewat jalan yang terbuka.

Ki Pandi berhenti dihalaman sebelah. Dengan sangat berhati-hati ia memperhatikan seseorang yang berdiri di sebuah halaman yang tidak begitu luas, yang ditanami beberapa batang pohon bunga ceplok piring dan bunga soka. Baunya semerbak di malam hari. Dari tempatnya bersembunyi Ki Pandi mendengar orang yang berdiri di halaman itu berkata keras-keras tanpa ragu, bahwa suaranya itu dapat didengar oleh tetangga Ki Sambi Pitu,

"He, dengar Ki Sambi Pitu. Aku memperingatkanmu. Dua malam lagi, aku menunggumu di bulak Parapat. Kita akan membuat perhitungan sampai tuntas. Hutangmu harus kau bayar bersama bunganya sekali”

Ki Pandi menarik nafas dalam-dalam. Agaknya dendam membara dihati orang yang menantang Ki Sambi Pitu itu. Dengan jantung yang berdebaran Ki Pandi melihat dari halaman sebelah, pintu rumah itu terbuka. Sesosok tubuh melangkah keluar dan berdiri di tangga sambil menjawab,

"Kau selalu menggangguku Ki Lemah Teles. Sudah aku katakan, bahwa dua malam lagi aku akan pergi ke bulak Parapat. Aku terima tantanganmu meskipun aku tidak pernah mengakui mempunyai hutang apapun kepadamu.”

"Jangan mengigau. Banyak orang yang tidak mengakui hutangnya kepada orang lain atau sengaja melupakannya. Tetapi orang yang mempunyai piutang tentu bersikap lain.”

"Terserah apa saja alasanmu. Aku tahu semuanya itu sekedar kau pergunakan untuk memancing perang tanding. Sudah aku katakan bahwa kau tidak perlu memakai alasan apapun juga. Kita akan berperang tanding dibulak Parapat dua malam mendatang. Sekarang pergilah, biar aku dapat tidur nyenyak. Derap kaki kudamu telah mengganggu dan membangunkan anak-anak yang tidur dipelukan ibunya. Sementara mereka tidak tahu menahu tentang persoalan kita.”

Orang yang disebut Ki Lemah Teles itu tidak menjawab. Iapun melangkah keluar dari halaman dan langsung meloncat ke punggung kudanya. Ketika kemudian sosok yang berdiri di tangga itu masuk kembali kedalam rumahnya, maka Ki Pandipun telah merenungi peristiwa yang dilihatnya itu. Ternyata Ki Pandi telah mengenal kedua orang yang bermusuhan itu. Ia mengenal Ki Sambi Pitu. Iapun mengenal Ki Lemah Teles pula. Dua orang yang berilmu sangat tinggi.

Namun yang tidak diketahuinya adalah sebab dari pertengkaran di antara mereka berdua. Tetapi Ki Pandi itupun segera menyadari dirinya, bahwa ia berada di halaman orang. Karena itu maka iapun segera beringsut meninggalkan tempat itu. Ki Pandi itu menarik nafas dalam-dalam ketika ia mendengar derap kaki kuda itu lagi. Ternyata Ki Lemah Teles tidak segera pergi dari padukuhan itu. Tetapi kudanya masih saja berlari-larian berputar-putar di jalan-jalan padukuhan.

"Orang aneh..." desis Ki Pandi. Karena itu, maka Ki Pandi itupun berjalan dengan hati-hati. Ia harus memasang telinganya, agar ia tidak dengan tiba-tiba saja bertemu, berpapasan di simpang tiga atau simpang empat atau didahului oleh orang berkuda itu. Ketika Ki Pandi kemudian telah berada di banjar lagi dan duduk diamben yang agak besar itu bersama Manggada dan Laksana, maka iapun telah menceriterakan apa yang lelah dilihatnya.

"Bagaimana menurut pendapat Ki Pandi?" bertanya Manggada "Apa yang dimaksud dengan hutang Ki Sambi Pitu kepada Ki Lemah Teles itu?"

Ki Pandi menggeleng. Katanya "Aku tidak tahu. Tetapi menurut Ki Sambi Pitu, agaknya Ki Lemah Teles sekedar mencari persoalan untuk menantangnya berperang tanding”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk kecil. Namun Laksanapun kemudian bertanya pula, "Apakah Ki Lemah Teles menurut pengenalan Ki Pandi seorang yang jahat?"

Ki Pandi menggeleng. Katanya, "Tidak. Ki Lemah Teles juga bukan seorang yang jahat. Tetapi dua orang yang baik hati sekalipun pada suatu saat akan dapat berselisih pendapat, bertentangan kepentingannya atau justru mempunyai kepentingan yang sama terhadap sesuatu hal atau persoalan-persoalan yang lain”

"Tetapi jika bukan persoalan yang mendasar, keduanya tentu tidak akan memasuki perang tanding" berkata Manggada.

Ki Pandi mengangguk-angguk. Katanya "Ya. Tentu ada persoalan yang mendasar. Karena itu, biarlah besok kita singgah sebentar dirumah Ki Sambi Pitu”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Keduanya memang menjadi tertarik oleh persoalan yang timbul diantara orang-orang yang berilmu tinggi itu. Namun kemudian Ki Pandipun berkata, "Tidurlah, hari sudah larut. Biarlah aku yang berjaga-jaga”

"Ki Pandi tentu letih. Biarlah kami berdua bergantian" jawab Manggada.

"Aku dapat tidak memejamkan mata selama sepekan terus-menerus siang dan malam. Bahkan lebih” jawab Ki Pandi sambil tersenyum.

Manggada dan Laksana menarik nafas dalam-dalam. Tetapi mereka percaya kata-kata Ki Pandi itu. Karena itu, maka Manggada dan Laksanapun kemudian telah berbaring di amben itu. Mereka masih sempat berangan-angan sejenak. Namun kemudian keduanyapun telah tertidur nyenyak.

Pagi-pagi sekali ketiga orang itu sudah bangun. Mereka segera mengisi jambangan untuk mandi bergantian. Sebelum matahari terbit, ketiganya sudah siap untuk melanjutkan perjalanan. Tetapi ketika mereka minta diri, Ki Kerta Banjar telah mempersilahkan mereka minum minuman hangat. Rebus ketela yang masih mengepulkan asap, baunya menyentuh hidung Manggada dan Laksana.

Keduanya sempat berpandangan dan menahan senyum dibibir mereka. Baru setelah mereka bertiga minum dan makan ketela rebus itu, maka mereka telah dilepas oleh Ki Kerta Banjar untuk melanjutkan perjalanan. Tetapi ketiga orang itu sama sekali tidak mengatakan bahwa mereka ingin singgah dirumah Ki Sambi Pitu.

Ketiga orang itupun kemudian melangkah meninggalkan banjar padukuhan. Matahari yang terbit, memancarkan sinarnya yang cerah. Satu dua titik embun masih bergayutan diujung dedaunan yang merunduk. Manggada dan Laksana berjalan dibelakang Ki Pandi yang melangkah berbongkok-bongkok. Burung-burung yang berkicau membuat suasana pagi menjadi gembira.

Orang-orang padukuhan itu yang sudah mulai turun ke jalan-jalan, melihat ketiga orang itu dengan dahi berkerut. Mereka yang akan pergi ke pasar atau pergi ke sawah, menganggap Ki Pandi, Manggada dan Laksana sebagai orang-orang asing. Namun ada di antara mereka yang memang menduga, bahwa ketiganya adalah pejalan yang telah menginap di banjar padukuhan mereka.

"Tentu bukan orang berkuda itu..." desis seseorang kepada kawannya yang berjalan disampingnya sambil membawa cangkul, karena keduanya memang akan pergi ke sawah.

Ki Pandi dan kedua anak muda itu berjalan termangu-mangu. Sekali-sekali jika tatapan mata mereka bertemu dengan orang-orang padukuhan itu yang menandangi mereka, maka merekapun telah menganggukkan kepala. Seperti yang mereka rencanakan, maka merekapun telah menyusuri jalan padukuhan menuju ke rumah Ki Sambi Pitu.

Kedatangan mereka di hari yang masih terhitung pagi itu memang mengejutkan. Seorang yang rambutnya sudah ditumbuhi uban yang keputih-putihan itu termangu-mangu sejenak ketika ia melihat seorang yang berjalan terbongkok-bongkok memasuki halaman rumahnya.

"Ki Bongkok" desis orang itu.

"Apakah kau masih dapat mengenali aku, Ki Sambi Pitu?"

"Tentu, tentu Ki Bongkok. Marilah, naiklah." berkata Ki Sambi Pitu.

Ki Pandipun kemudian telah naik kependapa rumah Ki Sambi Pitu yang tidak terlalu besar. Berbeda dengan pendapa rumah pada umumnya yang berbentuk joglo, maka pendapa rumah Ki Sambi Pitu yang tidak begitu besar itu dibuat dalam bentuk limasan, sehingga kesannya menjadi lebih sederhana.

Setelah mereka saling mempertanyakan keselamatan masing-masing, maka Ki Sambi Pitu itupun bertanya, "Ki Bongkok. Aku merasa aneh bahwa tiba-tiba saja Ki Bongkok telah mengunjungi aku. Apalagi hari masih sepagi ini”

Ki Pandi mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Aku minta maaf, Ki Sambi Pitu, bahwa di hari yang masih pagi ini aku sudah mengganggu ketenangan Ki Sambi Pitu”

"Tidak, Ki Bongkok. Aku sama sekali tidak merasa terganggu. Aku senang mendapat kunjungan seseorang dihari tuaku. Rasa-rasanya hidup menjadi semakin sepi. Tetapi kedatangan Ki Bongkok membuat aku merasa bahwa aku tidak hidup sendiri dan terasing disini”

"Bukankah sikap orang-orang padukuhan ini baik terhadap Ki Sambi Pitu?"

"Baik. Baik sekali. Aku merasa berada diantara keluarga sendiri” Ki Sambi Pitu berhenti sejenak. Namun kemudian katanya “Tetapi kunjungan Ki Bongkok yang datang dari dunia yang pernah kami huni bersama, rasa-rasanya hidup ini masih tersisa”

"Bukankah bukan aku satu-satunya orang yang sering berkunjung kerumah Ki Sambi Pitu?"

"Tidak ada, Ki Bongkok. Justru itu aku merasa bahwa segala sesuatunya sudah lewat”

"Tentu tidak Ki Sambi Pitu. Aku yang kurang-lebih sebaya dengan Ki Sambi Pitu merasa bahwa hidupku masih berarti. He, bukankah itu tergantung kepada kita sendiri?"

"Ya. Ya. Aku juga mencoba memberi arti dari sisa hidupku ini bagi tetangga-tetanggaku yang baik di padukuhan ini. Tetapi karena rasa-rasanya kami datang dari dunia yang berbeda, maka kehadiran seseorang dari dunia kita, membuat aku sangat bergembira hari ini”

"Ki Sambi Pitu. Bukankah Ki Lemah Teles juga sering berkunjung kemari?"

"O" Ki Sambi Pitu mengangguk-angguk "Ya. Ki Lemah Teles memang sering datang kemari. Tetapi ia lebih banyak mengganggu daripada satu kunjungan seorang sahabat”

Ki Pandi mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berkata "Maaf, Ki Sambi Pitu. Apakah Ki Lemah Teles sering datang mengganggu Ki Sambi Pitu?"

"Ya. Tetapi aku senang. Meskipun ia datang mengganggu, tetapi justru karena itu, maka aku menganggap bahwa ia masih menghargai aku yang pernah hidup di dunia pada tataran yang sama dengan Ki Lemah Teles itu sendiri”

Ki Pandi mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berkata, “Apa saja yang dilakukan oleh Ki Lemah Teles sehingga Ki Sambi Pitu merasa terganggu karenanya?"
Ki Sambi Pitu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun tersenyum sambil berkata "Ki Lemah Teles masih selalu mengajak bergurau dihari-hari tua.”

Ki Pandi masih ingin bertanya lebih jauh. Tetapi Ki Sambi Pitu telah lebih dahulu bertanya, "Ki Bongkok, siapakah nama kedua orang anak muda itu?"

"Mereka adalah kemanakanku, Ki Sambi Pitu." jawab Ki Pandi.

"Kau tidak usah berbohong kepadaku." desis Ki Sambi Pitu "Keduanya tentu bukan kemanakanmu.”

Ki Pandi tertawa. Katanya "Siapapun mereka, tetapi mereka sekarang bersamaku. Namanya Manggada dan Laksana.”

Ki Sambi Pilu mengangguk-angguk sambil tersenyum. Katanya, "Anak-anak yang kokoh”

"Mereka ingin melihat-lihat tempat yang jauh yang belum pernah dilihatnya. Semalam kami sampai di padukuhan ini. Kami minta belas kasihan kepada Ki Kerta Banjar untuk bermalam di banjar padukuhan.”

"Itu sebabnya, maka kalian sepagi ini sudah berada disini. Tetapi siapakah yang memberitahukan kepada kalian bahwa aku tinggal disini?"

"Suara kuda yang berderap mengelilingi padukuhan inilah yang menuntun aku sampai ke rumah ini”

"Jadi kau tentu tahu apa yang telah terjadi?”

Ki Pandi tidak ingkar. Karena itu, maka iapun mengangguk sambil menjawab "Ya. Aku mendengar pembicaraan kalian. Aku minta maaf atas keinginan tahuku itu”

"Tidak apa-apa. Setiap orang berhak mengetahuinya, karena Ki Lemah Teles dengan sengaja berteriak-teriak.”

"Karena persoalan yang kurang aku mengerti itulah, maka aku memerlukan datang kepadamu pagi ini” berkata Ki Pandi kemudian.

Ki Sambi Pitu mengangguk-angguk. Katanya dengan nada rendah, "Apakah kau ingin tahu kenapa Ki Lemah Teles menantang aku berperang tanding?"

Ki Pandi mengangguk kecil. Katanya "Ya. Menurut pendapatku, kau dan Ki Lemah Teles tidak akan berbenturan kepentingan. Kalian saling mengenal sejak lama. Seandainya ada persoalan, tentu sudah kalian selesaikan sebelum rambut kalian mulai ditumbuhi uban seperti sekarang ini”

Ki Sambi Pitu menarik nafas dalam-dalam. Wajahnya yang semula nampak cerah, telah berkerut dan nampak bersungguh-sungguh. "Ia menganggap aku berhutang kepadanya.” berkata Ki Sambi Pitu "Sebelumnya ia memang tidak pernah menyebut-nyebutnya. Namun tiba-tiba ia datang minta aku melunasi hutangku dengan menantang untuk berperang tanding.”

"Apakah yang dimaksud dengan hutang itu?" bertanya Ki Pandi.

"Itulah yang membuat aku bingung." jawab Ki Sambi Pitu.

"Ternyata kau terima tantangannya." desis Ki Pandi.

"Ya. Aku menganggapnya satu kehormatan bahwa ia masih menghargai kemampuanku sama dengan dirinya” jawab Ki Sambi Pitu.

"Tetapi bukankah itu tidak bijaksana?" bertanya Ki Pandi.

"Justru aku merasa bahwa sisa hidupku masih berarti. Kalah atau menang, hidup atau mati, tidak penting bagiku. Tetapi aku masih sempat untuk menerima penilaian yang tinggi dari Ki Lemah Teles." jawab Ki Sambi Pitu.

Ki Pandi mengerutkan dahinya. Ternyata jalan pikiran Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles hampir bersamaan justru di hari tua mereka. Agaknya justru karena keduanya adalah orang-orang penting dan dihormati, sehingga mereka merasa, bahwa akhirnya mereka tercampak dan tidak berarti apa-apa lagi bagi dunia yang pernah menjadi lingkungan hidupnya sebagai orang-orang berilmu tinggi.

Dalam pada itu, maka pembicaraan merekapun terputus. Seorang pembantu dirumah Ki Sambi Pitu telah menghidangkan minuman panas bagi tamu-tamunya. Untuk selanjutnya, Ki Sambi Pitu justru mencoba untuk menghindari pembicaraan tentang tantangan Ki Lemah Teles itu. Dipersilahkannya ketiga orang tamunya untuk minum.

Sementara itu, Ki Sambi Pitu mulai berceritera tentang masa mudanya yang panjang serta masa muda Ki Pandi yang bongkok itu menurut pengenalannya. Namun tiba-tiba saja Ki Sambi Pitu bertanya "Dimana binatang peliharaanmu itu? Kau sembelih ketika kau kelaparan?"

"Tentu tidak" jawab Ki Pandi "Aku tinggalkan keduanya disebuah hutan yang aku anggap aman bagi keduanya”

Ki Sambi Pitu tertawa. Katanya "Seharusnya kau mencari lagi anak harimau, atau anak orang hutan atau bahkan anak gajah, kau ajari binatang-binatang itu menurut segala perintahmu"

“Kau.” Ki Pandi tertawa, sementara Ki Sambi Pitu berkata selanjutnya "Kau akan menjadi seorang raja di hutan, karena kau akan dapat menguasai segala-galanya jika binatang-binatang terkuat menjadi pendukungmu. Kau dapat memaksakan kehendakmu terhadap seisi hutan karena binatang-binatang yang lebih kecil dan lemah tidak akan berani melawanmu.”

Ki Pandi tertawa semakin keras. Manggada dan Laksanapun tertawa pula. Namun dengan demikian, maka Ki Pandi menjadi sulit untuk mencari jalan kembali pada pembicaraan mereka tentang Ki Lemah Teles. Apalagi Ki Sambi Pitu selalu berusaha menghindari pembicaraan itu. Karena itu, maka akhirnya Ki Pandi justru minta diri untuk melanjutkan perjalanan mereka.

"Terima kasih akan kunjungan kalian.. " berkata Ki Sambi Pitu "Aku masih berharap bahwa kalian masih sudi singgah dirumahku ini. Dengan kehadiran mereka yang sebaya dengan aku, maka rasa-rasanya aku tidak terlalu terpisah dari duniaku”

"Kau sudah mendapatkan dunia yang baru, Ki Sambi Pitu” berkata Ki Pandi "Dunia yang lebih baik. Lebih sejuk dan tentu terasa damai. Ternyata yang mengguncang kedamaian hidupmu diduniamu yang baru itu adalah orang-orang yang datang dari duniamu yang kau anggap sudah meninggalkanmu itu”

Ki Sambi Pitu mengerutkan dahinya. Ia nampak merenung. Namun kemudian sambil menarik nafas ia berkata "Mungkin kau benar Ki Bongkok. Tetapi kadang-kadang sulit bagi kita untuk berbicara sekedar berpijak pada nalar”

Ki Pandi mengangguk. Katanya "Ya. Kau juga benar...”

Demikianlah maka Ki Pandipun telah meninggalkan Ki Sambi Pitu. Bertiga mereka menyusuri jalan keluar dari padukuhan itu, memasuki bulak persawahan yang luas. Matahari sudah menjadi semakin tinggi. Orang-orang yang bekerja di sawah mulai berkeringat. Dari ujung padukuhan terdengar suara orang menumbuk padi. Lenguh anak lembu berbaur dengan tangis bayi yang minta minum susu ibunya.

Ki Pandi, Manggada dan Laksana berjalan menyusuri jalan ditengah-tengah kotak-kotak sawah yang terbentang luas. Seorang petani berdiri sambil meneguk air sejuk dari sebuah gendi yang terbuat dari tanah liat. Ternyata Ki Pandi sambil lalu sempat bertanya kepada seseorang, "Apakah Ki Sanak mengetahui, dimanakah letak Bulak Parapat?"

"Apakah Ki Sanak akan pergi ke sana?" bertanya orang itu.

"Ya" jawab ki Pandi.

"Untuk apa?" orang itu nampak keheranan.

"Tidak apa-apa. Sekedar melihat-lihat.” jawab Ki Pandi.

Kening orang itu berkerut. Dengan nada tinggi ia berkata “Bulak Parapat adalah nama sebuah hutan perdu yang membentang dibawah bukit kecil itu.”

Ki Pandi termangu-mangu sejenak. Seperti juga Manggada dan Laksana ia mengira bahwa Bulak Parapat adalah sebuah bulak persawahan sebagaimana sedang dilaluinya itu. Namun ternyata Bulak Parapat adalah nama sebuah hutan perdu di lereng bukit kecil, Namun Ki Pandi yang cepat berpikir itu segera menyahut, “Terima kasih Ki Sanak”

"Tetapi apa kepentingan kalian dengan Bulak Parapat?" orang itu masih mendesak.

"Kami adalah pembuat gerabah dari tanah liat. Kami ingin membuktikan, apakah benar kata orang, bahwa tanah liat di Bulak Parapat lebih baik dari tanah liat dari tempat yang lain.”

Ternyata jawab orang itu tidak disangka-sangka, "Mungkin keterangan itu benar. Bukit kecil itu seluruhnya terdiri dari tanah liat yang warnanya merah agak keputih-putihan. Aku tidak tahu, apakah itu termasuk tanah liat yang baik atau bukan.”

"Dengan jari-jari kita dapat mengetahui, apakah tanah liat itu baik atau tidak, lembut atau kasar, keras atau lentur.” sahut Ki Pandi.

Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, "Jika ternyata tanah liat di bukit itu baik, maka tempat itu tentu akan menjadi ramai.”

"Terima kasih Ki Sanak." berkata Ki Pandi kemudian "Aku akan pergi ke bukit kecil itu untuk melihat, apakah tanah liat disana cukup baik.”

Ki Pandipun kemudian mengajak Manggada dan Laksana untuk meneruskan perjalanan. Namun orang yang telah menunjukkan letak Bulak Parapat itu berkata, "Jalan ini yang harus kalian tempuh. Bukan kesana.”

"Terima kasih Ki Sanak. Nanti kami akan pergi ke bukit itu. Tetapi kami masih mempunyai sedikit kepentingan yang lain.” sahut Ki Pandi.

Orang itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Ki Pandi, Manggada dan Laksana kemudian telah meneruskan langkah mereka. Namun kemudian Ki Pandipun telah membuat rencana. Pada saat perang tanding itu dilaksanakan dua malam lagi, mereka bertiga akan berada di Bulak Parapat itu.

"Lalu kita sekarang akan pergi kemana? Tentunya kita masih belum langsung menuju ke Jatimalang.”

"Belum..." jawab Ki Pandi. Lalu katanya kemudian "Bukankah kita terbiasa tidur dimanapun juga. Jika kita ingin sedikit bermanja-manja, kita dapat menginap di banjar padukuhan. Tetapi, jika tidak, maka kita dapat saja tidur di pinggir hutan, di pategalan atau bahwa di Bulak Parapat itu sekali.”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sebenarnya mereka memang ingin segera melihat kembali hutan Jatimalang, dan terutama lereng kaki Gunung Lawu dibelakang hutan Jatimalang itu. Tetapi mereka sadar, jika mereka memaksa juga untuk berangkat, Ki Pandi tentu akan menjadi sangat kecewa. Karena itu, maka Manggada dan Laksanapun tinggal menurut saja, kemana Ki Pandi akan pergi.

"Kita masih mempunyai waktu. ." berkata Ki Pandi tiba-tiba "Untuk memanfaatkan waktu itu sebaik-baiknya, maka kita tidak usah berada terlalu jauh dari hutan Bulak Parapat itu.”

Demikianlah, sambil menunggu, Ki Pandi telah mengajak Manggada dan Laksana menuju ke hutan kecil tidak begitu jauh dari Bulak Parapat. Di hutan itu Ki Pandi telah mempergunakan waktunya yang dua hari itu untuk membimbing Manggada dan Laksana memperdalam ilmu yang mereka miliki.

Ternyata bahwa keduanya telah meningkat semakin jauh dari dasar ilmu yang mereka warisi dari Ki Citrabawa. Meskipun demikian, bagi Manggada dan Laksana, ilmu yang mereka terima dari Ki Citrabawa merupakan alas ilmu mereka yang kemudian berkembang semakin tinggi.

Selama dua hari ketiga orang itu keluar dari hutan. Mereka memburu binatang dan membuat perapian. Meskipun mereka tidak lagi melakukan Tapa Ngidang, namun ternyata yang dua hari itu dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh Manggada dan Laksana.

Meskipun ketiga orang itu tidak berkepentingan langsung dengan perang tanding yang bakal terjadi antara Ki Sambi Pitu dengan Ki Lemah Teles, namun ternyata mereka ikut menjadi tegang ketika saat-saat yang ditentukan itu tiba.

Ki Pandi yang sudah melihat-lihat hutan perdu yang disebut Bulak Parapat itu dapat menduga, dimana perang tanding itu akan dilakukan. Didalam lingkungan hutan perdu itu terdapat sepetak tanah yang lebih lapang dari yang lain tidak ditumbuhi pohon-pohon perdu dan bahkan semak-semak berduri.

Sejak senja turun, maka Ki Pandi telah menempatkan Manggada dan Laksana di antara pohon-pohon perdu yang rapat, yang dapat melindungi mereka, sehingga tidak mudah dilihat oleh orang yang lewat dekat mereka sekalipun. Ki Pandi juga sudah mengajari, bagaimana mereka harus mengatur pernafasan mereka, agar dapat menyerap bunyi tarikan nafas mereka sedalam-dalamnya sehingga suaranya tidak lebih dari gesekan daun-daun yang paling lembut.

Malam itu ternyata langit jernih. Yang nampak hanyalah bintang-bintang yang berhamburan. Selembar awan tipis terbang melintas dan lenyap di cakrawala. Ketika malam menjadi semakin dalam, Manggada dan Laksana mulai menjadi gelisah. Kulit mereka mulai terasa gatal digigit nyamuk yang buas di hutan perdu itu.

Ki Pandi yang melihat gelagat itupun berkata, "Belum tengah malam. Kita harus sabar menunggu. Kesabaran merupakan salah satu syarat bagi keberhasilan.”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sebenarnyalah menjelang tengah malam, maka mereka telah mendengar derap kaki kuda memasuki hutan perdu itu. Seperti yang diperhitungkan oleh Ki Pandi, maka orang berkuda itu melintasi semak-semak dan gerumbul-gerumbul perdu disela-sela batang ilalang, menuju ketempat yang lebih lapang dari lingkungan disekitarnya. Beberapa saat kudanya berputar-putar. Namun kemudian orang itu telah meloncat turun dan mengikat kudanya pada pohon batang perdu dipinggir tempat yang lapang itu.

Untuk beberapa saat, orang itu menunggu. Ketika ia mulai gelisah, maka didengarnya suara tembang yang ngelangut. Suara tembang itu seakan-akan menyelusuri hutan perdu yang tidak terlalu luas yang membentang didekat sebuah bukit kecil. Orang berkuda yang berdiri termangu-mangu itupun tiba-tiba saja telah berteriak,

"He, kau orang yang licik. Aku hampir jemu menunggumu. Cepat, kemarilah. Aku tidak mempunyai banyak waktu.”

Suara tembang itu masih terdengar. Semakin lama nadanya seakan-akan menjadi semakin tinggi, melengking di sepinya malam. Menggetarkan udara membentur lereng bukit. Orang berkuda itu berteriak sekali lagi,

"Cepat, aku sudah jemu menunggumu. Jika kau merasa ketakutan untuk menerima tantanganku, maka datanglah berlutut dan mohon ampun atas segala kesalahanmu. Maka hutangmupun akan aku anggap lunas.”

Suara tembang itu menjadi semakin perlahan. Akhirnya suara itupun berhenti sama sekali. Ternyata beberapa saat kemudian, seseorang melangkah mendekati orang yang datang berkuda itu. Manggada dan Laksana yang melihat semuanya dari jarak yang tidak terlalu dekat, segera dapat membedakan. Orang yang datang berkuda itu tentu Ki Lemah Teles. Sedangkan orang yang sempat melontarkan tembang itu tentu Ki Sambi Pitu.

Meskipun tidak ada bulan dilangit, namun keredipan bintang dapat membantu Manggada dan Laksana melihat kedua orang yang berdiri ditempat terbuka itu. Ternyata bahwa Ki Lemah Teles adalah seorang yang bertubuh kecil, dapat disebut pendek menurut ukuran yang wajar. Sementara Ki Sambi Pitu adalah seorang yang ukuran tubuhnya sedang-sedang saja sebagaimana orang kebanyakan.

"Nah..." berkata Ki Lemah Teles "Sekarang katakan, apakah kau akan membayar hutangmu, atau kau akan mohon ampun atau kita akan berperang tanding”

"Ki Lemah Teles..." jawab Ki Sambi Pitu "Sudah aku katakan, bahwa tanpa alasan apapun kau dapat menantang aku untuk berperang tanding. Karena itu, kau tidak usah menyebut-nyebut tentang hutang itu, karena sebenarnya aku tidak mengerti sama sekali, apa yang kau maksud dengan hutangku dan yang sudah kau sebut lebih dari seribu kali itu.”

"Sudah aku katakan, orang yang mempunyai hutang kadang-kadang dengan sengaja melupakannya atau berpura-pura lupa.”

"Lupa atau berpura-pura lupa atau apapun yang kau katakan, sekarang aku minta kau sebut, berapa hutangku kepadamu dan atas dasar apa kau nilai apa yang kau sebut dengan hutang itu...” berkata Ki Sambi Pitu...
Selanjutnya,
Matahari Senja Bagian 03