Golok Yanci Pedang Pelangi Jilid 09 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Golok Yanci Pedang Pelangi Jilid 09
Karya : Gu Long
Penyadur : Gan K.L


Cerita silat Mandarin Karya Gu Long
KATA-KATA tak sedap itu semakin mengobarkan amarah Yu Ji-nio, saking tidak tahan tiba-tiba ia menjadi nekat, teriaknya, “Minggir kau! Akan kubunuh binatang ini lebih dulu baru kemudian menerima hukuman dari Kokcu.”

Sambil menjerit, golok panjang segera bergetar, dalam waktu singkat ia sudah melancarkan tiga-empat bacokan ke arah Pui Hui-ji. Sambil menangkis ancaman itu, Pui Hui-ji membentak pula kepada delapan orang gadis di sisinya, “Yu Ji-nio berani membangkang perintah dan mengkhianati kita, tangkap dia!”

Kedelapan anak dara tersebut mengiakan dan serentak mengangkat senjatanya. Yu Ji-nio semakin marah, bentaknya, “Kurang ajar, kalian berani turut perintah seorang pengawal barisan Pek-tui dan mengerubungi seorang anggota pasukan berbenang biru?”

Kedelapan orang itu saling pandang sekejap, betul juga, tak seorang pun berani maju. Peraturan dalam Mi-kok amat ketat dan disiplin, sekalipun Pui Hui-ji adalah orang kepercayaan Kokcu, namun ia cuma seorang pengawal bersulam benang putih, sebaliknya Yu Ji-nio adalah komandan pasukan benang biru, kedudukannya jauh lebih tinggi daripada Pui Hui-ji, apalagi kedelapan anak dara tersebut termasuk pasukan “Benang putih”, tingkatan mereka justru jauh di bawah Yu Ji-nio.

Sementara kedelapan anak dara itu ragu-ragu, mendadak Ho Leng-hong membentak, “Mau apa kalian berdiri tertegun di situ? Yu Ji-nio sudah gila, cepat laporkan kepada Kokcu kalian.”

Setelah diingatkan barulah anak dara itu sadar, segera ada tiga-empat orang lari ke ruang tengah untuk memberi laporan. Tiga-empat orang lainnya hanya berdiri tertegun di tempat dengan bingung, tidak tahu siapa yang harus dibantu?

Dalam pada itu antara Yu Ji-nio dengan Pui Hui-ji telah bertarung belasan gebrakan, cahaya golok gemerdep menyilaukan mata.

Ho Leng-hong memberi tanda kedipan mata kepada Pang Goan dan Hui Beng-cu, tiba-tiba ia mendekati seorang anak dara bergolok dan membentak, “Berikan senjatamu kepadaku! Kau mundur ke samping sana!”

Waktu itu anak dara itu sedang berdiri dengan wajah cemas, ketika mendengar bentakan tersebut, tanpa berpikir lagi dia segera mengangsurkan goloknya kepada Ho Leng-hong.

Pang Goan dan Hui Beng-cu bersama-sama juga mendekati dua anak dara lainnya dan mengambil golok mereka, namun kedua gadis tersebut kelihatan ragu-ragu. Akan tetapi ketika mereka lihat rekannya sudah menyerahkan goloknya kepada Ho Leng-hong, dan rupanya tindakan itu tidak keliru, akhirnya mereka pun serahkan goloknya kepada kedua orang itu.

Setelah senjata dalam genggaman, Leng-hong bertiga merasa semangat kembali berkobar. Leng-hong yang bertindak lebih dulu, sambil memutar goloknya ia terjun ke tengah gelanggang pertempuran.

Jurus ilmu golok yang digunakan persis seperti ilmu golok Ang-siu-to-hoat yang dimainkan Yu Ji-nio, sedang sasarannya adalah Pui Hui-ji. Tentu saja kejadian ini sangat mengejutkan Pui Hui-ji, cepat teriaknya, “Hei, Ho Leng-hong, kau salah sasaran....”

“Tidak, aku tidak salah sasaran,” jawab Leng-hong sambil tertawa, “setelah membereskan dirimu, barulah kami bereskan dia!”

Sambil berkata, golok berputar terus menyerang gadis itu dengan dahsyatnya. Untuk melawan Yu Ji-nio saja Pui Hui-ji sudah kewalahan apalagi sekarang bertambah dengan seorang Ho Leng-hong, ia semakin kepayahan dan tak tahan, karena gugup, permainan goloknya menjadi kacau, segera Leng-hong manfaatkan kesempatan itu, sekali sabat goloknya tepat mengenai lutut kanan gadis itu. Untung serangan tersebut dilancarkan dengan punggung golok, Pui Hui-ji mengeluh tertahan, kemudian roboh terjungkal.

Setelah berhasil dengan serangannya, Ho Leng-hong berpaling ke arah Yu Ji-nio dan berkata sambil tertawa, “Terima kasih banyak atas kesempatan yang kau berikan kepada kami untuk merebut golok, sekarang dosa mengkhianati lembah sudah pasti akan dituduhkan padamu, setelah kepergian kami, kaupun tak nanti bisa hidup aman, lebih baik ikut kami dan pergi bersama, tempat di dunia luar sangat luas, asal kau mau ikut kami, tanggung kau akan hidup senang bahagia...”

“Tutup mulut!” bentak Yu Ji-nio, “kau binatang, masih belum cukupkah penderitaan yang kau limpahkan padaku?”

“Walaupun aku pernah mencelakaimu, akupun telah menolongmu, jadi boleh dibilang sudah impas dan masing-masing tidak berutang kepada yang lain, jika kau tidak ikut kami pergi, bila Tong Siau-sian sampai di sini, semua dosa ini pasti akan dilimpahkan oleh budak Pui ke atas pundakmu, waktu itu meski menyesal juga sudah kasip.”

“Aku dapat menangkap kalian dan menjelaskan semua duduknya perkara di hadapan Kokcu.”

Ho Leng-hong tertawa, katanya, “Kau kira tiba waktunya nanti aku akan bantu bicara untukmu? Gadis-gadis pengawal itu semuanya menyaksikan cara bagaimana kubantu kau membereskan Pui Hui-ji, sekalipun kau memiliki tiga mulut juga sukar mengharap Tong Siau-sian akan percaya pada keteranganmu.”

Yu Ji-nio bungkam, sebab apa yang diucapkan Leng-hong memang benar, tapi ia dilahirkan di Mi-kok, dibesarkan juga dalam lembah tersebut, sesungguhnya ia merasa berat hati untuk mengkhianati lembah kesayangannya itu, tetapi kalau tidak pergi berarti dia bakal menanggung dosa besar, semua ini membuat hatinya menjadi bingung.

“Waktu sudah sangat mendesak sekali,” kembali Ho Leng-hong berkata, “jika kau tak mau ikut, kami akan segera berangkat!”

Tiba-tiba Pui Hui-ji meronta bangun berduduk ditanah, bentaknya, “Yu Ji-nio, kalau kau berani melepaskan ketiga orang itu, pasti perbuatanmu kulaporkan kepada Kokcu agar kau merasakan siksaan hidup yang paling kejam di dunia.”

Sebenarnya Yu Ji-nio masih ragu-ragu untuk mengambil keputusan, tapi setelah mendengar ancaman tersebut, kontan saja sekujur tubuhnya bergetar keras, bulu kuduknya pada berdiri, segera iapun mengambil keputusan. Tiba-tiba ia membalikkan mata goloknya yang tajam ke dada Pui Hui-ji dan menusuknya hingga tembus ke punggung. Di antara percikan darah yang berhamburan, terdengar ketiga gadis pengawal itu menjerit kaget.

Dengan ujung golok yang masih berlumuran darah, Yu Ji-nio menuding mereka sambil membentak, “Kalian budak sialan, biasanya kalian sok menggunakan kekuasaan Kokcu untuk berbuat sewenang-wenang, sudah cukup penderitaan yang kurasakan, tapi mengingat kalian adalah sesama saudara seperguruan, kuampuni jiwa kalian, cepat enyah!”

Tanpa sepotong besipun di tangan, gadis-gadis pengawal itu tidak dapat berkutik, terpaksa mereka turut perintah dan cepat kabur dari situ.

Rupanya Ho Leng-hong tidak mengira Yu Ji-nio bakal turun tangan kejam kepada Pui Hui-ji, sambil tertawa katanya, “Ji-nio, sekarang kita adalah kawan senasib, padahal jalan dalam Mi-kok tidak kami ketahui dengan jelas, cara bagaimana supaya bisa lolos dengan selamat, harap Ji-nio suka memberi petunjuk.”

Yu Ji-nio mendongak kepala sambil menarik napas panjang, katanya kemudian, “Kalian ikut diriku!”

Dengan mengikut di belakang Yu Ji-nio, dalam sekejap saja Ho Leng-hong bertiga telah melewati beberapa halaman luas, ternyata arah perjalanan mereka bukan menuju ke mulut lembah, sebaliknya malah kabur ke timur, menuju ke bangunan gedung sebelah timur itu.

“Yu Ji-nio!” Pang Goan menegur dengan suara tertahan, “kami hendak ke luar lembah kenapa kau bawa kami ke tempat tinggal mereka?”

“Tanda bahaya dengan cepat akan tersiar sampai di mana-mana, kini mulut lembah sudah tertutup, hakikatnya tak mungkin buat kita untuk menerobos keluar lagi.”

“Lantas apa yang harus kita lakukan sehingga bisa lolos dari cengkeraman mereka?”

“Dewasa ini kita tidak mempunyai cara kabur yang terbaik, maka sengaja kubawa kalian ke suatu tempat dan sementara bersembunyi di situ, dan menunggu kesempatan…”

“Tidak bisa,” cepat Pang Goan berhenti, “Malam ini kita harus menerjang keluar lembah ini, jika bersembunyi terus dalam lembah, cepat atau lambat jejak kita pasti akan ketahuan.”

“Ya, jika kau tidak bersedia menjadi penunjuk jalan, kami bisa berusaha sendiri,” sambung Hui Beng-cu.

Yu Ji-nio tertawa dingin, “Hehe... jika kalian tidak mau menurut nasihatku, akibatnya hanya satu, yakni pulang kembali ke dalam penjara.”

Ho Leng-hong segera menggoyang tangan mencegah Pang Goan dan Hui Beng-cu berkata lebih jauh, sambil tertawa katanya, “Ji-nio, sekarang kita adalah kawan senasib dan sependeritaan, tentu saja kami akan menuruti anjuranmu, tapi sepantasnya kaupun membeberkan rencanamu kepada kami, agar kami ikut tahu juga duduk persoalan yang sebenarnya.”

“Sudah kukatakan kepada kalian tadi, tak mungkin buat kabur pada saat ini, sementara kita mesti bersembunyi dulu sambil menunggu kesempatan.”

“Kau hendak mengajak kami bersembunyi di mana? Beberapa lama kita harus menyembunyikan diri?”

“Menurut apa yang kuketahui, di sudut timur gedung sana terdapat sebuah taman, dalam taman, terdapat gunung-gunungan, mari kita bersembunyi dalam gua di balik gunung-gunungan tersebut, tentang berapa lama, ini bergantung pada keadaan selanjutnya.”

“Setiap gua dalam gunung-gunungan tentu tak luput dari pemeriksaan, amankah tempat itu?”

“Tentu saja sangat aman.”

“Kenapa?” tanya Leng-hong.

“Sebab taman itu terletak di ruang sebelah timur, padahal gedung sebelah timur adalah Tiang-lo-wan. Kokcu tidak akur dengan pihak Tiang-lo-wan, para Popo tak akan mengizinkan mereka melakukan pencarian kemari.”

Leng-hong berpikir sejenak, kemudian katanya, “Tapi kau harus tahu, para Popo dari Tiang-lo-wan pun tak akan melepaskan kami dengan begitu saja.”

“Oleh karena itulah sengaja kupilih gedung timur sebagai tempat sembunyi, jejak kita pasti akan ditemukan oleh Kokcu, setelah dia tahu kita masuk ke gedung timur, tentu dia akan menaruh curiga jangan-jangan Tiang-lo-wan sengaja melindungi kita, sudah pasti mereka akan minta orang kepada para Popo, dengan demikian antara Kokcu dan para Popo akan terjadi perselisihan, bahkan pertarungan. Nah, saat itulah penjagaan di mulut lembah pasti kendur, lalu kita gunakan kesempatan baik itu untuk melarikan diri.”

Ho Leng-hong termenung sejenak, kemudian sambil tertawa dia mengangguk, “Baiklah, kalau begitu kita ikuti saja rencana Ji-nio!”

Karena Ho Leng-hong sudah menyatakan setuju, maka Pang Goan dan Hui Beng-cu juga tidak banyak komentar. Mereka lantas menyusup ke gedung sebelah timur dan bersembunyi dalam gua di balik gunung-gunungan, sepanjang perjalanan, karena dipimpin oleh Yu Ji-nio, maka jejak mereka tidak konangan.

Sesungguhnya gua dalam gunung-gunungan itu tidak termasuk tempat persembunyian yang rahasia, tapi berhubung termasuk dalam lingkungan pengaruh Tiang-lo-wan dan lagi tidak setiap orang boleh masuk ke sana, maka suasana amat tenang.

Setelah beristirahat sebentar, haripun sudah terang, dalam taman mulai terdengar suara langkah kaki para Popo yang sedang berjalan-jalan dan berlatih kungfu, tidak ada yang menyangka di dalam gua, di balik gunung-gunungan bersembunyi sekelompok pelarian.

Mendekati lohor, suara manusia di luar kedengaran makin bertambah ramai, tapi suasana dalam taman justru sepi, tak kelihatan seorang pun, menurut dugaan mereka, pastilah Kokcu Tong Siau-sian sedang memeriksa jejak kaki yang ditinggalkan mereka berempat semalam dan sedang menuntut kepada pihak Tiang-lo-wan untuk melakukan pemeriksaan, sudah barang tentu permintaan ini ditolak oleh para Popo.

Setengah hari kemudian sudah lewat, kini hari mulai gelap lagi, ternyata dalam taman tidak dilakukan penggeledahan, sedang suasana di luar rasanya dapat diduga biarpun tidak melihatnya sendiri. Setelah sehari penuh tidak mengisi perut, mereka berempat mulai merasa lapar sekali.

“Tunggulah kalian di sini dengan tenang,” akhirnya Yu Ji-nio berkata, “aku akan pergi mencari berita sambil berusaha mencari makanan.”

“Aku ikut!” Leng-hong berkata.

“Mana mungkin? Semua anggota dalam gedung ini adalah kaum perempuan, kalau kau ikut tentu tidak bebas bergerak. Percayalah, dengan cepat aku akan kembali lagi ke sini.”

“Kalau kau pergi sendirian, bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, siapa yang akan membawa kabar kemari? Lebih baik nona Hui menemani dirimu.”

Tentu saja Yu Ji-nio juga tahu pemuda itu merasa sangsi bila dirinya pergi seorang diri, maka Hui Beng-cu disuruh ikut sekalian mengawasi gerak-geriknya. Iapun tidak menolak, diajaknya Hui Beng-cu meninggalkan gua. Begitu mereka berangkat, Pang Goan dan Ho Leng-hong mulai mengadakan perundingan.

Sejak pengkhianatan Pang Wan-kun, tampaknya Pang Goan menaruh curiga terhadap siapapun, dengan hati yang kusut katanya, “Kulihat perempuan she Yu itu tidak bisa dipercaya, pada hakikatnya dia tidak ingin meninggalkan Mi-kok, sebaliknya bermaksud menggabungkan dengan pihak Tiang-lo-wan, dengan kepergiannya ini, ia pasti mengkhianati kita untuk membuat pahala bagi pihak Tiang-lo-wan.”

“Kemungkinan tersebut tentu saja bisa terjadi, tapi dewasa ini kita masih membutuhkan bantuannya untuk kabur dari lembah ini, sebagai kawan senasib kita harus percaya kepadanya, meskipun secara diam-diam kitapun harus waspada dan siap menghadapi segala kemungkinan yang tidak dinginkan.”

“Seandainya ia benar-benar mengkhianati kita, menurut kau apa yang harus kita lakukan?”

Leng-hong tersenyum getir, “Kita cuma bisa berharap agar tidak terjadi apa-apa, tapi kalau terjadi juga, hanya ada satu cara untuk kita, yakni bertarung mati-matian, kita tak boleh tertangkap lagi, untung aku telah berhasil menyadap beberapa jurus ilmu golok mereka, bila sampai terjadi pertarungan, mungkin jurus-jurus ilmu golok ini akan banyak membantu.”

“Ah, betul, memang hendak kutanyakan masalah ini, semalam ketika kau melabrak Pui Hui-ji, apakah Ang-siu-to-hoat dari Mi-kok ini yang kaugunakan?”

“Beberapa jurus serangan itu berhasil kusadap tatkala Yu Ji-nio bertarung melawan Pui Hui-ji, soal kesempurnaan tentu saja masih jauh, hanya bisa dikatakan dengan modal beberapa jurus ini kita bisa mengungkap rahasia ilmu golok mereka, bagaimana kalau kumainkan untuk Lotoako agar bilamana perlu jurus-jurus ilmu golok ini bisa kita gunakan untuk menghadapi segala kemungkinan?”

“Tunggu sebentar,” cegah Pang Goan sambil menggoyang tangan, “untuk menghindari segala kemungkinan, lebih baik kita berpindah tempat lebih dulu, kemudian baru berlatih ilmu golok itu.”

“Berpindah tempat? Kita bisa pindah ke mana?”

“Tempat manapun boleh asal jangan di gua ini, aku selalu merasa bahwa perempuan she Yu itu tidak bisa dipercaya, lebih baik kita sedia payung sebelum hujan.”

Kedua orang segera merangkak keluar gua, kemudian celingukan keempat penjuru, namun di sekitar situ tiada tempat lain yang bisa digunakan untuk sembunyi, kecuali di sudut pintu masuk taman terdapat sebuah gapura batu, belakang gapura dapat dipakai untuk tempat sembunyi dua orang.

Gapura itu mungkin tugu peringatan ketika membangun taman ini, sebab penuh berisikan tulisan, akan tetapi Pang Goan tidak berminat mengamatinya, ia menarik Ho Leng-hong dan buru-buru sembunyi di belakang tempat itu.

Baru saja mereka sembunyi dan belum sempat Leng-hong menerangkan jurus ilmu golok Ang-siu-to-hoat kepada Pang Goan, tiba-tiba dari luar taman ada suara langkah orang. Sebuah lentera muncul disusul dua orang, yang di depan adalah Yu Ji-nio, tapi yang di belakang bukan Hui Beng-cu.

Yu Ji-nio berjalan dengan wajah murung dan lemas sambil membawa lentera, sedang orang yang mengikut di belakangnya penuh dihiasi senyuman cerah, ternyata dia adalah Hoa Jin! Tidak kepalang murka Pang Goan, ia menggenggam gagang goloknya erat-erat dan meloloskannya dari sarung.

Ia berusaha keras menenangkan hatinya, apa mau dikata kelima jari tangannya yang menggenggam golok justru gemetar tiada hentinya, sulit rasanya untuk menenangkan perasaannya yang bergolak. Leng-hong juga menggenggam goloknya, Cuma tangan yang lain sekuat tenaga menekan punggung tangan Pang Goan, itu berarti ia tidak mengharapkan rekannya bertindak gegabah.

Mengikuti cahaya lentera akhirnya Yu Ji-nio membawa Hoa Jin berhenti di samping gunung-gunungan. Hoa Jin memandang sekejap ke arah perempuan itu. Lalu sambil tersenyum bertanya, “Di sini?”

Yu Ji-nio mengangguk.

Hoa Jin segera berdehem, lalu teriaknya, “Pang-tayhiap, Ho-tayhiap, silakan keluar, Popo telah menyiapkan meja perjamuan untuk menyambut kedatangan kalian.”

Pang Goan mendengus pelahan, lalu dengan suara tertahan ia mendamprat, “Perempuan keparat, ternyata dugaanku tidak meleset!”

“Agaknya Beng-cu sudah terjatuh ke tangan mereka, Lotoako, kita harus bertindak dengan kepala dingin!” bisik Ho Leng-hong.

“Urusan sudah menjadi begini, terpaksa kita harus bertarung sampai titik darah penghabisan, mari kita jagal dulu kedua perempuan busuk ini.”

“Jangan terburu nafsu,” cegah Leng-hong, “sekalipun hendak beradu jiwa, kita harus menyelamatkan dulu Beng-cu, mumpung mereka sedang menggeledah gua gunung-gunungan itu, mengapa kita tidak masuk ke gedung sana untuk menolong Beng-cu?”

“Betul!” mencorong tajam sinar mata Pang Goan, “kenapa aku tidak berpikir sampai ke situ?”

Begitulah, setelah mengambil keputusan kedua orang itu segera menyusup keluar gapura dengan sangat hati-hati, lalu menerobos keluar pintu taman dan percepat larinya menuju gedung sebelah timur.

Ketika diperiksa, mereka merasa sudah pernah masuk gedung sebelah timur itu, mereka pun masih ingat arah ruang tengah. Sambil merayap dengan setengah berjongkok, akhirnya sampai juga mereka di luar ruang tengah.

Sinar lampu menerangi ruangan itu, tapi tidak kedengaran sedikit suara pun, di depan pintu ruangan juga tidak tertampak sesosok bayangan manusia pun. Pang Goan coba mengintip melalui jendela, betul juga, sebuah meja perjamuan dengan aneka hidangan lezat tersedia di sana.

Arak telah memenuhi cawan, sayur masih mengepulkan asap panas, tapi hanya dua orang yang duduk berhadapan di meja perjamuan ini. Si tuan rumah adalah Tong-popo, sebaliknya tamunya adalah Hui Beng-cu. Suasana dalam ruangan amat hening, tidak tampak orang ketiga.

Setelah menyaksikan semua itu, Pang Goan jadi agak bingung, sebab tubuh Hui Beng-cu tidak diringkus dengan tali, tidak kelihatan seperti tertutuk jalan darahnya, sekalipun hanya duduk membungkam di situ, ternyata sikapnya sangat tenang, bahkan sekulum senyuman menghiasi ujung bibirnya.

Tong-popo sendiri duduk dengan mata setengah terpejam, sikapnya tampak bersungguh-sungguh sedang melayani tamunya, sikap ini jauh berbeda dengan sikap kerengnya ketika di sidang pengadilan tempo hari, bahkan seperti dua orang yang berlainan.

Ho Leng-hong mengernyitkan alis, jelas iapun bingung oleh apa yang dilihatnya ini. Pang Goan segera menuding diri sendiri, lalu menuding ke ruang dalam dan membuat kode tangan, maksudnya Ho Leng-hong diminta menunggu di luar ruangan, sementara dia akan masuk untuk menolong orang.

Leng-hong menggeleng kepala sambil memberi tanda pula, artinya ia telah memahami rahasia golok Ang-siu-to-hoat, jadi lebih baik dia yang masuk ke dalam untuk menolong orang, sedangkan Pang Goan diminta menunggu di luar saja.

Kedua orang itu tahu bahwa tenaga dalam Tong-popo amat sempurna, sebab itu mereka hanya bertukar pendapat dengan isyarat tangan, sama sekali tidak berani menimbulkan suara, meski demikian, ternyata perbuatan mereka tak dapat mengelabui ketajaman pendengaran Tong-popo.

Mendadak nenek itu membuka matanya sambil menengadah, kemudian tersenyum ke arah luar jendela, katanya, “Silakan kalian masuk ke sini, sayur dan arak sudah dingin!”

Pang Goan dan Leng-hong sama-sama terkejut, mereka saling pandang sekejap dengan perasaan tergetar, akhirnya terpaksa mereka mendorong pintu dan masuk ke dalam.

Buru-buru Beng-cu berdiri, katanya dengan tersenyum, “Pang-toako, Ho-toako, kita benar-benar dungu, padahal Tong-popo sama sekali tidak bermusuhan dengan kita, coba lihatlah, ketika mendengar kita kelaparan seharian, buru-buru dititahkan orang menyiapkan makanan dan arak untuk kita, kemudian menyuruh pula Hoa-toanio untuk menjemput kalian, apakah kalian tidak berjumpa?”

Setelah gadis itu selesai berkata baru Pang Goan mendapat kesempatan untuk buka suara, katanya, “Aku suruh kau mencari berita, kenapa kau malah memperlihatkan jejakmu?”

“Pang-toako, jangan kau marah,” kata Hui Beng-cu sambil tertawa, sesungguhnya jejak kita sudah diketahui oleh Tong-popo, bahkan ia mengirim orang-orangnya menjaga pintu taman, oleh karena pada siang hari kurang bebas untuk mengadakan pertemuan, maka begitu aku dan Yu Ji-nio keluar dari taman kami segera diundang kemari.”

“Benar!” kata Tong-popo sambil tersenyum, “sesungguhnya gerak-gerik kalian semalam telah kuketahui semua dengan jelas, lagipula akupun menduga kalian tak akan sanggup menerobos keluar lewat mulut lembah, untuk itu hanya tempat inilah yang bisa dibuat bersembunyi, karena itulah sengaja kutitahkan orang untuk membuka pintu masuk sehingga dengan leluasa kalian bisa sampai di taman bunga di timur gedung ini.”

“Hm, jadi semua perbuatan kami sudah dalam perhitungan Popo?” dengus Pang Goan.

“Bukannya berada dalam perhitungan,” jawab Tong-popo sambil tertawa, “tapi perkembangan situasilah yang memaksa kalian berbuat demikian, atau dengan perkataan lain takdir telah mengatur segala sesuatu menjadi begini. Saudara berdua, sayur dan arak sudah hampir dingin, mengapa tidak duduk dan makan, kemudian baru bicara lagi.”

Pang Goan memandang sekejap ke arah Ho Leng-hong, akhirnya mereka duduk di sebelah kiri dan kanan Tong-popo sambil menggenggam gagang golok.

Rupanya Tong-popo tidak menghiraukan sikap mereka itu, sambil mengangkat cawan katanya dengan tersenyum, “Tentunya kalian sudah lapar bukan? Bila perut dalam keadaan kosong, janganlah bicara masalah besar, bagaimana kalau pembicaraan dilanjutkan setelah makan kenyang nanti?”
“Betul juga perkataanmu,” jawab Pang Goan, “bagaimanapun seorang manusia hanya membunyi selembar nyawa, setelah kenyang baru ada kekuatan untuk beradu jiwa. Mari, kita keringkan dulu secawan!”

Disambarnya cawan arak di hadapannya, lalu sekali tenggak dihabiskan isinya. Ho Leng-hong dan Hui Beng-cu memang sudah lapar, maka tanpa sungkan mereka lantas bersantap dengan lahapnya. Rupanya Tong-popo tidak lapar, namun ia mengiringi para tamunya minum arak dan makan, sekalipun tiada gelak tertawa selama perjamuan berlangsung, suasananya ternyata damai dan tenang.

Tak lama kemudian, Hoa Jin dan Yu Ji-nio telah kembali ke situ, cuma karena kedudukan yang berbeda, mereka hanya melayani di samping, anehnya selama inipun tidak nampak orang luar masuk ke ruangan tersebut.

Setelah perjamuan berlangsung sekian lama, baru Tong-popo angkat bicara lagi, katanya, “Aku rasa kalian pasti kurang begitu paham dengan situasi dalam lembah Mi-kok bukan? Kokcu yang sekarang, Tong Siau-sian, tentu menjelek-jelekkan pihak Tiang-lo-wan kami, di hadapan kalian tentu dikatakan para Popo hendak merebut kekuasaan dan mengincar Kokcu. Mengenai persoalan ini harus kuberikan penjelasan lebih dulu secara ringkas, bagaimana kalau sambil bersantap kalian dengarkan kisahku tentang persoalan yang mengakibatkan persengketaan kami dengan Kokcu?”

Waktu itu mulut Pang Goan sedang penuh dengan makanan, bercampur dengan suara kunyahan katanya, “Katakan saja, akan kami dengarkan dengan saksama.”

Tong-popo lantas bercerita, “Menurut peraturan leluhur kami, Kokcu harus dijabat oleh anggota keluarga turun temurun, dan lagi dia harus seorang gadis, maka sebelum Kokcu itu menginjak dewasa ia harus menuruti petunjuk pihak Tiang-lo-wan, bila ia sudah dewasa nanti baru diselenggarakan upacara cari jodoh, itupun pihak Tiang-lo-wan yang menyelenggarakan. Tegasnya, meskipun kedudukan Kokcu berasal dari keluarga yang turun-temurun, hakikatnya kekuasaan tetap dipegang oleh Tiang-lo-wan, hanya setelah menikah atau sebelum Kokcu yang akan datang menginjak dewasa dan menduduki jabatan tersebut, Kokcu baru memegang hak penuh terlepas dari kekuasaan Tiang-lo-wan...”

Selama ini Pang Goan hanya makan minum dengan kepala tertunduk, seakan-akan sama sekali tidak memperhatikan keterangan tersebut, kini tiba-tiba ia menyela, “Apa yang dinamakan upacara cari jodoh?”

“Cari jodoh adalah memilihkan suami untuk Kokcu, yang berarti pula sebagai persiapan untuk kelahiran Kokcu generasi penerus, agar kedudukan yang turun-temurun itu jangan sampai terputus di tengah jalan.”

“Siapa pula yang berhak dipilih menjadi suami Kokcu?”
“Setiap lelaki yang belum menikah yang menetap dalam lembah ini berhak ikut serta dalam pemilihan ini, tentu saja pemilihan tersebut mencakup soal raut wajah, perawakan, kecerdasan... dan lain sebagainya. Tiang-lo-wan berhak melakukan penelitian sebelum pemilihan berlangsung, kemudian bila cocok baru orang itu boleh ikut serta dalam kontes pemilihan tersebut.”

“Bagaimana pula kontes pemilihan itu dilangsungkan?”

“Sangat sederhana sekali, bila Kokcu menginjak dewasa, Tiang-lo-wan mulai memperhatikan pemuda-pemuda tampan dan pintar yang berada dalam lembah ini sebagai persiapan untuk turut serta dalam kontes yang akan diselenggarakan, bila pemuda yang cukup memenuhi syarat sudah mencapai sepuluh orang ke atas, kami baru menyelenggarakan upacara pemilihan untuk Kokcu, pada saat itu seluruh penduduk lembah akan berkumpul, bernyanyi dan menari bersama, jika Kokcu tertarik kepada salah seorang, dia akan mengalungkan karangan bunga yang telah disiapkan pada leher orang itu, dan orang yang terpilih pun akan menjadi Mi-kok Huma (menantu Mi-kok), malam itu juga pesta perkawinan diselenggarakan, tapi Huma hanya diperkenankan berkumpul selama tiga hari dengan Kokcu, hari keempat dia harus pindah dari gedung itu untuk menunggu perintah selanjutnya.”

“Mengapa begitu?” tanya Pang Goan.

“Sebab penghuni gedung hanya kaum wanita, sedang Huma cuma bertugas memberi keturunan, bila bulan kedua Kokcu masih belum mengandung, ia diperbolehkan menginap tiga hari lagi dalam gedung, tapi jika setahun kemudian belum hamil juga, maka pemilihan terpaksa diselenggarakan sekali lagi.”

Rupanya Pang Goan mulai tertarik oleh cerita tersebut, kembali ia bertanya, “Seandainya mengandung, ternyata bukan bayi perempuan yang dilahirkan, lalu bagaimana?”

“Jika dalam tiga kali kandungan bukan bayi perempuan yang dilahirkan, maka harus diselenggarakan pemilihan lagi, anak laki-laki yang dilahirkan akan dipelihara oleh pihak suami, bila bayi yang dilahirkan Kokcu adalah perempuan, maka Huma dan Kokcu baru boleh meneruskan hubungan suami isteri selamanya.”

“Wah, aku jadi teringat kepada kehidupan semut dan lebah,” kata Pang Goan sambil tertawa.

“Ya, apa boleh buat? Untuk melaksanakan peraturan nenek moyang kami, terpaksa kami harus berbuat demikian, meski begitu, terhadap perempuan lain dalam lembah ini tidak ada pembatasan apapun.”

“Apa maksudmu memberitahukan hal ini kepada kami?”

“Aku memberitahukan semua ini dengan harapan agar kalian memahami proses terjadinya Kokcu dalam lembah kami, atau dengan perkataan lain ingin kubuktikan bahwa pihak Tiang-lo-wan tidak bermaksud merebut kekuasaan Kokcu, sebab meski Tong Siau-sian adalah Kokcu, sebelum kawin dia masih di bawah pengawasan Tiang-lo-wan, ucapannya hanya bermaksud menghasut karena ia hendak mengelabui kalian serta mempergunakan tenaga kalian untuk kepentingannya mencapai maksud pengkhianatannya terhadap peraturan nenek moyang kami.”

“Dia seorang Kokcu? Masa mengkhianati lembah sendiri?” kata Pang Goan tercengang.

“Seperti kuterangkan tadi, Kokcu hanya namanya saja, padahal tidak banyak kekuasaan yang dimilikinya, jangan kau lihat usia Tong Siau-sian masih kecil, tapi ambisinya besar sekali. Ia tidak puas dengan peraturan yang ditinggalkan nenek moyang kami, ia menganggap kekuasaan Tiang-lo-wan melampaui kekuasaan seorang Kokcu, maka Tiang-lo-wan hendak dibubarkan agar kekuasaan terpusat di tangannya seorang, untuk mencapai tujuan ini tak segan-segannya bersekongkol dengan kekuatan luar untuk menindas sesama anggota sendiri.”

“Kukira masalah ini tak ada sangkut pautnya dengan kami, persoalan itu hanya urusan rumah tangga kalian sendiri,” kata Pang Goan sambil tertawa, “lagipula kamipun tak mempunyai kekuatan cukup untuk membantu, lebih-lebih tak kami kehendaki mencampuri urusan ini.”

“Bila Pang-tayhiap berdiri di luar garis, hal ini lebih baik lagi, tapi tidak seharusnya kalian serahkan golok mestika Yan-ci-po-to tersebut kepada Tong Siau-sian, sebab hal ini sama dengan membantu mereka untuk menentang Tiang-lo-wan.”

Pang Goan menggeleng kepala, “Kami hanya ingin menukar Yan-ci-po-to dengan rahasia Ang-siu-to-hoat serta meninggalkan lembah ini dengan selamat, tidak terlintas ingatan dalam benak kami untuk memusuhi pihak manapun.”

“Kalau begitu, seandainya Tiang-lo-wan dengan syarat yang sama ingin menukar golok itu dengan kalian, tentu kalian setuju bukan?”

“Sayang golok mustikanya cuma satu,” kata Pang Goan sambil angkat bahu, “kami telah memberikan selembar peta tempat menyimpan golok untuk Tong Siau-sian, tak mungkin memintanya kembali.”

“Ah, kalau cuma begitu, apa susahnya? Pang-tayhiap kan bisa membuatkan selembar peta lagi untuk kami, kujamin Ang-siu-to-hoat pasti akan kuberikan kepada kalian, dan kalian pun akan kami antar keluar lembah ini dengan selamat.”

“Sungguhkah perkataanmu?”

“Memangnya cuma main-main?”

“Jadi kalau kubuatkan selembar peta lagi untukmu, kau akan mengantar kami meninggalkan lembah ini?”

“Benar!”

Tampaknya perasaan Pang Goan agak “tertarik”, ia berpikir sebentar lalu berkata, “Bisa saja kukabulkan permintaanmu, cuma kami harus tinggalkan lembah ini lebih dahulu, setibanya di luar lembah peta tersebut baru kuserahkan kepadamu, setuju?”

“Tentu saja setuju, cuma kalau tanpa bukti, cara bagaimana kami bisa percaya kau tak akan ingkar janji setibanya di luar lembah? Lagipula darimana kami bisa tahu peta penyimpanan golok itu asli atau tidak?”

“Lantas bagaimana pendapatmu?”

“Kalau menurut pendapatku, tentu saja aku berharap bisa mendapatkan golok mestika Yan-ci-po-to lebih dahulu baru kemudian mengantar kalian keluar dari lembah, untuk ini tentu juga kalian tak akan percaya kepadaku, maka lebih baik kita mencari suatu cara yang sempurna agar kedua belah pihak sama-sama aman.”

“Betul, memang tepat sekali perkataan Popo, coba katakan!”

“Bicara terus terang, menurut peraturan lembah kami, tiada kesempatan sama sekali buat kalian untuk meninggalkan Mi-kok, sekalipun aku ada maksud mengantar kalian pergi, itupun tak bisa kulakukan secara terang-terangan, aku hanya bisa membantu secara diam-diam.”

“Soal ini aku dapat memahaminya!”

“Aku pikir yang paling kalian takuti terhadap Mi-kok adalah Ang-siu-to-hoat kami, seandainya kalian berhasil menguasai ilmu golok itu, sekalipun tak usah kami lindungi juga dapat menerjang keluar sendiri, maka tak ada salahnya kalau kita tukar peta tersebut dengan To-hoat lebih dahulu, bila golok mestika itu sudah kudapatkan dan kalian pun sudah menguasai ilmu Ang-siu-to-hoat tersebut, waktu itu aku bisa mengatur kesempatan baik untuk kalian pergi dari lembah ini, entah setujukah kalian dengan usulku ini?”

Pang Goan termenung sebentar, lalu berkata, “Popo akan menyiapkan kesempatan yang bagaimanakah untuk kami? Dapatkah kau ungkapkan dulu kepada kami?”

“Setelah peta kudapatkan, kalian akan kuantar dulu ke suatu tempat yang aman, rahasia dan tenang agar kalian bisa melatih Ang-siu-to-hoat dengan bersungguh hati, bila golok mestika telah kami dapatkan, Tiang-lo-hwe akan mengundang penduduk untuk menyelenggarakan pesta pemilihan suami buat Tong Siau-sian, nah, tatkala semua rakyat lembah itu sedang berpesta pora, secara diam-diam kalian bisa tinggalkan lembah ini dengan selamat.”

“Akal bagus!” sorak Pang Goan sambil bertepuk tangan, “kita tetapkan begini saja, sekarang ambilkan kertas dan pit!”

Tak terlukiskan rasa girang Tong-popo, cepat ia siapkan sendiri kertas dan pit, bahkan Hoa Jin dan Yu Ji-nio pun disuruh pergi agar rahasia tak sampai bocor.

Setelah sekeliling tak ada orang, Ho Leng-hong baru berbisik, “Lotoako, jangan buru-buru kau buatkan peta itu, jelas nenek ini mempunyai rencana keji...”

“Peduli amat, sahut Pang Goan dengan suara lirih, “bagaimanapun tempat itu cuma sebuah liang tinja, biarkan saja mereka saling berebutan tahi.”

Tak lama kemudian peta telah selesai dibuat, Tong-popo memeriksanya sejenak, kemudian menyatakan rasa puasnya, hari itu juga ia siapkan burung merpati untuk mengantar peta itu keluar lembah.

Kemudian kepada Hoa Jin pesannya pula, “Cepat siapkan barang-barang kebutuhan untuk Pang-tayhiap, akan kuantar sendiri mereka bertiga ke tempat berlatih ilmu golok itu.”

Tak lama kemudian Hoa Jin datang melapor, “Semua barang keperluan telah siap!”

Dengan wajah berseri Tong-popo segera mengulapkan tangan seraya berkata, “Saudara bertiga, mari ikut padaku!”

Keluar dari ruangan, ada empat orang perempuan dengan “benang biru” pada gaunnya telah menanti, di tangan masing-masing membawa sebuah bungkusan besar. Menyusuri kegelapan malam mereka berputar keluar dan menuju ke timur sana, sepanjang perjalanan tak ada yang berbicara, mereka tidak membawa lampu, jelas hendak menghindari pengintaian pihak Tong Siau-sian.

Tak lama kemudian mereka sudah keluar perkampungan bagian belakang, arah yang dituju ternyata adalah dasar lembah, lagipula makin ke depan perjalanan makin sulit, pemandangan di sekitar sana pun makin gersang, jangankan bangunan rumah, pepohonan pun jarang.

Suatu perasaan waswas tiba-tiba muncul dalam hati Ho Leng-hong, segera bisiknya, “Toako, tampaknya keadaan semakin tak beres, coba perhatikan tanah lumpur ini!”

Pang Goan menunduk, air mukanya kontan berubah.

“Kenapa dengan tanah lumpur itu?” tanya Hui Beng-cu tercengang, rupanya ia tidak menemukan sesuatu yang aneh.

“Tanah di sini jauh berbeda dengan tanah di depan lembah sana,” Leng-hong menerangkan, “makin ke dalam warna tanahnya makin gelap, coba lihat, bukankah tanahnya sekarang berwarna hitam pekat? Lagi pula dasar lembah ini kecuali batu karang hampir boleh dibilang tiada tumbuhan lain….”

“Lalu apa artinya semua itu?” tanya Hui Beng-cu belum juga mengerti.

“Itu berarti tempat yang akan kita tuju kemungkinan besar adalah istana es dan liang api.”

Sekujur badan Hui Beng-cu bergetar keras, akhirnya ia mengerti. Urusan telah jelas, dan merekapun sampai di tempat tujuan.

* * *

Di bawah tebing terjal di dasar lembah berdiri sederetan rumah batu, dalam rumah itu berdiri tiga orang perempuan. Ketiga orang perempuan itu telah berusia lanjut, kedudukan mereka pun amat tinggi, dua diantaranya berpangkat “benang biru”, sedang yang ketiga ternyata berpangkat “benang perak”, berarti diapun seorang Tianglo.

Tianglo tersebut berusia delapan puluh tahun lebih, meski rambutnya telah beruban, wajahnya wajah bocah, sayang matanya buta, kelopak matanya mencekung, kelihatan dua lekukan yang dalam. Kedua nenek lainnya yang berpangkat “benang biru” berusia sekitar lima puluhan, ternyata mereka pun orang buta.

Ketika Tong-popo membawa rombongan itu sampai di depan rumah batu, ketiga nenek buta itu lantas mendengar suara kedatangan mereka dan menyongsong di depan pintu. Hampir semua orang buta memiliki suatu keistimewaan yang sama, yakni pendengaran yang tajam.

Sikap Tong-popo terhadap nenek buta yang paling tua menghormat sekali, dengan hangat dan tertawa ia menyapa, “Enci Po, sudah lama aku tidak berkunjung kemari, baik-baikkah kau selama ini?”

“Seperti biasa,” jawab nenek buta she Po itu ketus, “asal bisa makan dan minum, rasanya juga sudah cukup puas.”

“Itulah baru dinamakan Hok-ki,” kata Tong-popo sambil tertawa, “tidak seperti diriku ini, dari pagi sampai malam sibuk selalu, padahal juga tidak kuketahui sibuk apa, sehingga ingin makan atau minum pun tak punya waktu…”

Tiba-tiba nenek she Po itu memotong, “Ada keperluan apa kau datang ke lembah belakang ini?”

“Aku mengantar tiga orang tamu kemari.”

“Tunjukkan lencana nomor kuncimu!” perintah nenek Po sambil ulurkan tangannya.

Dari sakunya Tong-popo mengeluarkan sebuah lencana tembaga kecil, lalu sambil tersenyum diserahkan ke tangan salah seorang nenek “benang biru”, oleh perempuan itu baru diserahkan kepada nenek Po.

Bentuk lencana tersebut tidak jauh berbeda dengan lencana biasa, cuma di atas lencana ini terdapat lubang sehingga kelihatan agak istimewa. Dengan teliti nenek Po meraba sekeliling lencana tersebut, kemudian miringkan kepala sambil bertanya, “Berapa orang?”

“Tiga orang!”

“Berapa orang lelaki dan berapa orang perempuan?”

“Dua tamu lelaki dan seorang gadis remaja!”

“Perlu dibagi menjadi berkelompok?”

“Tidak usah, mereka berasal dari satu rombongan.”

“Baik!” kata nenek Po kemudian, “tinggalkan semua barang keperluan dan kau boleh segera kembali!”

“Enci Po, ketiga orang tamu kita memiliki kungfu yang lumayan, kau kudu baik-baik melayani mereka.”

“Hmm! Jangan kuatir,” sahut nenek Po sambil mendengus, “sekalipun sepasang mataku sudah buta belum pernah ada seekor belut yang bisa lolos dari sela-sela jari tanganku.”

Mendengar ucapan tersebut, Ho Leng-hong bertiga saling pandang dengan terkesiap. Tong-popo segera menitahkan orang untuk menyerahkan bungkusan kepada mereka bertiga, lalu katanya sambil tertawa,

“Saudara bertiga, aku hanya mengantar kalian sampai di sini saja, urusan selanjutnya akan diatur nenek Po, moga-moga kalian bisa berlatih ilmu golok dengan tekun dan bersungguh hati, barang-barang ini pasti kalian butuhkan nanti, silakan kalian menerimanya.”

“Tapi tempat apakah ini,” seru Hui Beng-cu, “apa yang hendak kaulakukan terhadap kami?”

“Sambil angkat bahu Tong-popo tertawa, “Bukankah kalian bertiga ingin mencari suatu tempat yang sepi untuk berlatih Ang-siu-to-hoat? Nah, di sinilah tempat paling baik untuk berlatih ilmu golok tersebut.” Sehabis berkata ia lantas mengajak anak buahnya meninggalkan tempat itu.

Dengan suara tertahan Hui Beng-cu berkata, “Pang-toako, Ho-toako, kita tertipu, ternyata nenek she tong itu tidak bermaksud baik!”

Pang Goan tidak menjawab, buru-buru ia membuka salah satu bungkusan itu dan diperiksa isinya. Ternyata kecuali sebungkus ransum kering ada pula beberapa setel pakaian tebal anti dingin. Ketika bungkusan yang lain dibuka, ternyata isinya sama.

Sekarang Ho Leng-hong baru menghela napas panjang, keluhnya, “Berlatih ilmu golok di istana es. Ya, pasti tempat inilah Peng-kiong!”

“Benar!” sambung nenek Po mendadak, “tempat ini adalah istana es!”

* * *

Udara di dalam istana es dinginnya bukan kepalang, dalam rumah batu itupun tak kurang dinginnya. Ho Leng-hong bertiga mengenakan pakaian tebal anti dingin. Lalu di bawah “kawalan” nenek Po dan kedua orang petugas “benang biru” mereka digiring ke dalam rumah batu itu.

Wajah tiga orang perempuan itu lebih dingin daripada udara dalam ruangan tersebut, pakaian yang mereka kenakan juga sangat tipis. Dari sini dapat diketahui bahwa ketiga perempuan buta itu pasti memiliki tenaga dalam yang luar biasa hebatnya.

Oleh sebab itu Pang Goan bertiga sangat tahu diri, mereka menurut perintah tanpa membantah, merekapun tidak mengatur rencana untuk kabur, apalagi keadaan dalam lembah tersebut memang tidak memungkinkan orang untuk melarikan diri.

Setelah masuk ke dalam rumah batu, nenek Po menanyai dulu nama mereka bertiga, lalu sambil memberi tiga butir pil ia berkata, “Bila kalian tahu nama istana es tentu pernah mendengar juga nama liang api? Nah, agar kalian memiliki kesempatan untuk mempertahankan hidup secara adil, terlebih dahulu akan kuterangkan segala sesuatu yang menyangkut keadaan kedua tempat itu...”

Ketiga orang itu tidak bersuara, rupanya mereka sama sekali tidak tertarik untuk mempertahankan hidup.

Nenek Po melanjutkan perkataannya, “Istana es dan liang api adalah tempat aneh dalam lembah kami, tempat itu merupakan gudang penyimpan pusaka pemberian alam, dalam istana es itulah kitab ilmu golok Ang-siu-to-hoat disimpan, suhu dalam istana es dingin luar biasa, tiap titik air akan segera beku menjadi es, sekalipun ilmu silat seseorang amat lihay juga jangan harap akan hidup lebih enam jam di tempat itu...”

Setelah berhenti sebentar, sambil menuding ketiga biji obat itu, lanjutnya pula, “Cuma untuk memberi kesempatan kepada kalian agar bisa mendalami rahasia Ang-siu-to-hoat tersebut, maka barang siapa memasuki istana es akan diberi hadiah sebutir obat kuat, setiap orang yang makan pil itu bisa memperoleh kekuatan untuk menahan rasa dingin selama enam jam, atau dengan perkataan lain kalian mempunyai kesempatan untuk hidup dua belas jam dalam istana es, dalam waktu yang tersedia ini bukan saja dapat kalian gunakan mempelajari rahasia ilmu golok, kalian pun bisa memikirkan cara meloloskan diri dari situ.”

Ketiga orang itu tidak bersuara, tapi mereka mendengarkan keterangan itu dengan saksama, akhirnya dapat disimpulkan bahwa mereka masih ada kesempatan untuk lolos dengan selamat.

Terdengar nenek Po berkata lebih jauh, “Pintu istana es hanya bisa masuk dan tak bisa keluar, satu-satunya jalan bagi kalian untuk mencari hidup adalah menerobos liang api, tempat itu pun harus dilewati dalam waktu dua belas jam. Antara liang api dengan istana es hanya terbatas oleh sebuah gua, tapi suhu udara di kedua tempat sama sekali bertolak belakang, dalam liang api terdapat api alam yang sepanjang tahun menyemburkan api dahsyat, jangankan manusia, sebatang baja pun akan meleleh, maka jika kalian bisa menemukan cara bagus untuk menembus liang api tersebut, bukan saja dapat memperoleh ilmu Ang-siu-to-hoat yang maha sakti itu, kalian akan disambut pula oleh segenap rakyat lembah dengan segala kehormatan, kalau perempuan akan diangkat menjadi Kokcu, bila pria akan menjadi Huma... tentu saja semenjak lembah ini didirikan hingga kini belum pernah ada orang yang berhasil melintasi istana es dan liang api dengan selamat, sebaliknya jumlah yang tewas si situ justru tak terhitung banyaknya.”

Berbicara sampai di sini tiba-tiba ia tertawa bangga, katanya lagi, “Nah cukuplah keterangan ini, apa yang harus kukatakan telah kuucapkan, jika kalian masih ada pertanyaan boleh diajukan sekarang kepadaku, dengan senang hati akan kuterangkan, kalau tak ada pertanyaan, maka kalian akan kuantar masuk ke istana es.”

Hui Beng-cu hanya memandang Pang Goan dan Leng-hong dengan sedih, tiba-tiba air matanya jatuh bercucuran. Pang Goan menepuknya pelahan dan berkata pelahan dan berkata dengan suara getir,

“Siau-cu, jangan takut, manusia akhirnya akan mati, bukan sembarangan orang bisa mendapatkan kuburan yang panas-dingin komplit semacam ini, biasanya tempat yang mengandung unsur api dan air dikatakan Heng-sui yang baik, keturunan kita kelak tentu akan makmur.”

Hui Beng-cu tak dapat menerima kata-kata gurauan seperti itu, isak-tangisnya tak terbendungkan lagi, air matanya jatuh dengan derasnya.

Ho Leng-hong tetap bersikap tenang dan sedikitpun tanpa emosi, selang sejenak baru ia berkata, “Nenek, bolehkah kuajukan dua pertanyaan?”

“Katakan!”

“Pertama, benarkah ketiga biji obat pemberian nenek ini sangat manjur?”

“Tentu saja sangat manjur, aku dapat menghadiahkan obat itu kepada kalian, buat apa bohong? Kalau kau tidak percaya, setelah masuk ke dalam istana es nanti makanlah obat ini, dalam waktu dua belas jam kau takkan merasa kedinginan.”

Ho Leng-hong manggut-manggut, katanya lagi, “Kedua, aku ingin bertanya, andaikata nasib kami lagi mujur dan bisa lolos dari istana es dan liang api dalam keadaan hidup, benarkah akan memperoleh sanjungan dan penghormatan dari segenap rakyat lembah?”

“Betul, ini sudah merupakan peraturan nenek moyang kami, jadi bukan peraturan ciptaan kami.”

“Baik! Asal kami tidak mati pasti akan berkunjung pula ke lembah ini,” selesai berkata ia masukkan ketiga biji obat itu ke dalam sakunya.

Nenek Po segera membuka sebuah pintu di ruang belakang, lalu melangkah masuk lebih dulu. Tanpa ragu Ho Leng-hong menyusul di belakangnya. Pang Goan memayang Hui Beng-cu menyusul di belakangnya, sedangkan kedua perempuan tua berbenang biru berjalan paling belakang.

Di balik pintu adalah sebuah gua yang sangat gelap, di situ tak ada cahaya lampu, yang ada hanya hawa dingin yang merasuk tulang. Sekalipun matanya buta, ternyata langkah kaki nenek Po sangat cepat, untungnya permukaan gua amat datar dan tiada tikungan, tak lama kemudian sampailah mereka di depan sebuah pintu batu.

Lambat-laun Ho Leng-hong sudah mulai terbiasa dengan kegelapan, ia menghimpun segenap kekuatannya untuk memperhatikan keadaan sekeliling tempat itu. Ternyata pintu batu itu sangat tebal dan beratnya ribuan kati, gelang pintu terbuat dari baja dan tampaknya terdapat pula sebuah lubang kunci raksasa.

Nenek Po memasukkan lencana tembaga tadi ke dalam lubang kunci, setelah itu baru menggunakan sebuah anak kunci untuk membuka kunci pintu, pelahan pintu batu itu ditarik. Setelah pintu terbuka, segulung angin dingin pun berembus keluar, tanpa terasa Ho Leng-hong bertiga bergidik.

“Silakan masuk saudara bertiga!” kata nenek Po kemudian.

Leng-hong melongok ke dalam, di balik pintu merupakan sebuah gua karang, cuma dari kejauhan sana lamat-lamat kelihatan selapis cahaya putih seperti lapisan kabut. Ia menarik napas panjang-panjang, lalu melangkah masuk ke dalam gua itu.

Pang Goan bermaksud membimbing Hui Beng-cu masuk pula ke dalam gua, siapa tahu mendadak gadis itu meronta dan melepaskan diri dari pegangan Pang Goan, ia cabut golok panjang di pinggang orang she Pang itu, sambil memutar badan terus melancarkan serangan kilat ke arah kedua orang perempuan buta berbenang biru di belakangnya.

Perubahan kejadian ini sangat tiba-tiba, dalam kejutnya Pang Goan ingin mencegah, sayang tak sempat. Jangan kira kedua orang perempuan itu buta, ternyata perasaannya tajam sekali, baru saja Hui Beng-cu melolos golok, kedua orang itu segera menubruk maju dari kanan dan kiri.

Sambil membacok, Hui Beng-cu berteriak, “Aku tak mau ke istana es, kalau ingin nyawa cepat me...” Kata “menyingkir” belum selesai, pergelangan tangannya tahu-tahu kaku dan gadis itupun dicengkeram oleh salah seorang perempuan buta tadi.

Perempuan buta yang lain dengan cekatan merampas goloknya, lalu mendorong Hui Beng-cu ke dalam pintu. Buru-buru Pang Goan menyambutnya, dengan sempoyongan mereka berdua terdorong masuk ke dalam gua.

“Blang!” pintu batu tertutup rapat memisahkan gua tadi menjadi dua bagian. Sambil menutup wajahnya Hui Beng-cu menangis tersedu-sedu, pekiknya, “Pang-toako, Ho-toako, habislah riwayat kita, tak bisa tidak kita pasti mati dalam istana es ini.”

“Sekalipun harus mati, apa gunanya menangis?” jawab Leng-hong dengan tenang.

Hui Beng-cu mendongakkan kepalanya sambil berseru, “Ho-toako, kenapa kau tidak takut? Apakah sudah kautemukan akal untuk meloloskan diri?”

Leng-hong menggeleng kepala berulang kali, “Aku tidak takut karena takut tak dapat menyelamatkan jiwa kita, melawan juga bukan cara yang baik, maka tidak perlu kita lakukan perlawanan yang tak bermanfaat, kita harus menggunakan segenap kekuatan yang kita miliki untuk mencari jalan keluar.”

“Tapi istana es dan liang api jelas adalah jalan kematian, tidak mungkin kita bisa keluar dalam keadaan hidup,” keluh sang gadis sambil terisak.

“Sampai sekarang kita belum mencobanya, darimana kautahu jalan ini adalah jalan kematian?”

“Tidakkah kau dengar perkataan mereka? Sejak lembah Mi-kok ini ada, belum pernah ada orang berhasil lolos dari istana es dan liang api dalam keadaan hidup.”

“Itu kan perkataan mereka, kan tidak berarti dulu tak pernah ada orang yang berhasil dan seterusnya juga tak ada, aku yakin pasti ada orang yang berhasil menerobos kedua tempat itu.”

“Darimana kau tahu?”

“Bila tak pernah ada orang yang berhasil melewati istana es dan liang api, darimana bisa diketahui bahwa istana es dan liang api bisa menembus ke luar lembah? Darimana diketahui bahwa di belakang lembah adalah satu-satunya jalan keluar?”
Hui Beng-cu tertegun dan berhenti menangis, sesudah berpikir sebentar, katanya pula, “Mungkin tak pernah ada orang yang berhasil? Siapa tahu ucapan tersebut hanya mereka gunakan untuk membohongi orang lain?”

“Kalau bohong, tak mungkin nenek moyang lembah Mi-kok menetapkan peraturan untuk mengelu-elukan orang yang berhasil lolos dari dasar lembah ini!”

Hui Beng-cu jadi bungkam dan tak dapat membantah lagi. Selanjutnya Ho Leng-hong berkata pula, “Dari sini dapat diketahui bahwa istana es dan liang api bukan jalan buntu yang mematikan, tempat itu hanya bisa disebut sebagai jalan keluar yang sangat berbahaya, jika orang dulu bisa menembusnya, kenapa kita tak berusaha menembusnya pula?”

“Masuk akal,” kata Pang Goan, “mari kita coba sekarang juga!”

Tapi Ho Leng-hong menggoyangkan tangannya dan berkata, “Tunggu sebentar, jelas kita harus cari dan coba, cuma kita tak boleh bertindak ceroboh.”

“Lalu apa yang mesti kita lakukan?”

“Pertama kita harus mengendalikan sisa waktu hidup secermatnya, semakin lama waktu hidup kita, semakin besar pula harapan kita untuk lolos dari bahaya….”

“Betul!” Pang Goan manggut-manggut.

“Sejak kini kita hanya mempunyai waktu selama dua belas jam untuk hidup, dalam waktu ini di samping mencari jalan keluar kitapun harus berusaha mempelajari rahasia ilmu golok Ang-siu-to-hoat, jadi dua pekerjaan ini lebih baik dilaksanakan oleh dua orang, sementara seorang lainnya tetap tinggal di sini, tak boleh bergerak, tempat ini pasti jauh lebih hangat dibandingkan di dalam istana es, jadi orang yang tetap tinggal di sini tidak perlu makan obat, dengan tersisanya sebutir pil berarti akan memperpanjang waktu bergerak bagi kedua orang yang lain.”

“Daya ingatanmu tajam, tugas menghapalkan rahasia ilmu golok itu adalah bagianmu, sedang mencari jalan keluar serahkan saja kepadaku,” kata Pang Goan dengan cepat.

“Tidak!” seru Beng-cu, “kaum perempuan lebih teliti dan saksama, tugas mencari jalan keluar biar kulakukan untukmu, sedang Pang-toako beristirahat lebih dulu...”

“Tidak, kau adalah seorang gadis, kau lebih pantas beristirahat, biar segala pekerjaan diselesaikan oleh kaum pria saja.”

“Kalian tak usah berebut,” kata Leng-hong, “mencari jalan keluar adalah tugas yang berat, orang yang tetap tinggal di sini pun tak boleh minum obat, dia harus mengerahkan hawa murninya untuk melawan hawa dingin, keadaan semacam itu bukan perasaan yang nikmat.”

“Tak perlu berbuat demikian,” kata Pang Goan, “Siau-cu boleh minum obatnya, biar sebutir obatku yang disimpan, dapat menemukan jalan keluar atau tidak dalam waktu enam jam kukira sudah lebih dari cukup.”

“Masalah ini menyangkut mati-hidup kita, jangan kita menuruti perkiraan saja, pada umumnya untuk menghapalkan rahasia ilmu golok tidak perlu membutuhkan waktu sampai enam jam, tapi tugas ini sangat memeras pikiran dan tenaga. Sekalipun demikian tugas mencari jalan keluar tetap merupakan tugas terpenting, kalau jalan keluar tidak ditemukan, sekalipun ilmu golok sakti ini berhasil dihapalkan, lalu apa gunanya? Menurut pendapatku, obat itu sepantasnya diberikan semua untuk Pang-toako.”

Hui Beng-cu tertawa getir, katanya, “Paling banyak kita cuma ada waktu sehari untuk hidup, buat apa persoalan itu diributkan? Sungguh perbuatan yang tak ada harganya, sedikitnya kita harus tinjau dulu keadaan dalam istana es sebelum perundingan dilanjutkan, bagaimana pendapat kalian?”

“Betul!” kata Pang Goan, “sekalipun kita bakal mampus di sini, paling tidak harus kita tinjau dulu tempat kubur kita ini. Mari berangkat!”

Tanpa makan obat, berangkatlah ketiga orang itu menyusuri gua itu. Gumpalan cahaya putih itu makin lama makin cemerlang dan menyilaukan mata, tapi suhu udaranya makin lama makin dingin. Baru sampai di tengah jalan, ketiga orang itu sudah mulai merasakan sekujur badannya kaku, mau-tak-mau terpaksa mereka harus mengerahkan tenaga dalamnya untuk melawan rasa dingin yang luar biasa itu. Semakin mendekati mulut gua, biji mata semua orang seolah-olah ikut menjadi beku.

Tapi, pada saat itulah suatu pemandangan aneh tiba-tiba muncul di depan mata. Gua itu terletak dalam perut gunung, tingginya berpuluh tombak dengan lebar tiga sampai empat puluh tombak, bentuknya mirip sebuah tangkupan mangkuk besar.

Dalam gua tiada cahaya lampu, tapi suasana terang benderang bagaikan di siang hari, sebab seluruh permukaan dinding gua itu berlapiskan es yang tebal sekali, sementara dalam gua yang tingginya lebih lima kaki di depan sana api berkobar dengan keras.

Ketika cahaya api itu menimpa permukaan dinding es yang tebal, maka terpancar sinar refleks yang menyilaukan mata, keadaan ini ibaratnya sebuah cermin besar dalam ruangan yang tertimpa sinar matahari, hal ini membuat pemandangan dalam gua itu bagaikan sebuah dunia kaca, pemandangannya aneh, indah mempesonakan.

Rahasia Ang-siu-to-hoat yang dikatakan tiada tandingannya di dunia ini justru tersimpan dalam istana es yang indah, aneh dan fantastik ini. Bukan kitab pusaka atau kertas bergambar penjelasan yang berada di sana, melainkan manusia sungguhan yang memperagakan berbagai jurus serangan.

Ilmu golok itu semuanya terdiri dari sembilan jurus yang diperagakan oleh sembilan orang gadis berbaju merah, dan semuanya terbingkai dalam es beku di sekeliling gua. Tentu saja kesembilan gadis itu bukan orang hidup, tetapi kendati pun mayat itu sudah berusia ratusan tahun, oleh karena berada dalam lapisan es yang tebal, maka bukan saja tidak membusuk, malah bentuknya masih tetap utuh seperti hidup.

Selain kesembilan sosok mayat itu, masih ada dua puluhan sosok mayat lain yang tersebar di sekeliling gua, ada di antaranya yang sedang duduk bersila, jelas sedang memusatkan perhatiannya untuk mempelajari intisari ilmu golok tersebut, ada yang berbaring sambil melingkarkan badan, jelas tidak tahan melawan hawa dingin dan lapar, ada pula yang bermata melotot dengan wajah gusar, seakan-akan tidak rela mati dengan begitu saja, tapi ada pula yang bersikap tenang seakan-akan puas menghadapi kematian dalam keadaan seperti itu.

Mereka semua adalah kawanan jago persilatan yang berdatangan ke Mi-kok untuk belajar ilmu golok, tentu saja tujuh bersaudara Nyo dari Thian-po-hu termasuk di antaranya.

Pang Goan bertiga berdiri tertegun di depan pintu istana, pemandangan aneh itu membuat mereka terbelalak dan melongo, untuk sesaat tak tahu apa yang mesti dilakukan.

Tiba-tiba Ho Leng-hong bergidik, serunya cepat, “Cepat pejamkan mata dan mundur keluar!”

Bentakan itu dengan cepat menyadarkan Pang Goan dan Hui Beng-cu, buru-buru mereka kabur keluar dari gua tersebut. Sesudah mengatur pernapasan sejenak, Pang Goan menggeleng kepala sambil menghela napas, “Bahaya... sungguh teramat berbahaya!”

“Pemandangan tersebut sungguh merupakan pemandangan aneh yang sukar ditemui di dunia,” kata Hui Beng-cu pula, “ditambah lagi jurus-jurus ilmu golok yang indah dan memesona, membuat aku terkesima hingga lupa mengatur pernapasan. Ai, coba jika Ho-toako tidak membentak tepat pada saatnya, nyaris akupun mati kedinginan di situ.”

“Orang-orang itu justru mati dalam istana es lantaran kejadian demikian,” kata Ho Leng-hong dengan wajah serius, “sering kali orang terkesima bila menjumpai pemandangan seaneh itu, ketika mereka sadar akan bahaya, hawa dingin telah menyerang dan mereka sama mati kaku di situ, jangankan lolos dari tempat ini, mungkin kesempatan untuk mencari jalan keluar pun belum sempat dilakukan.”

Pang Goan manggut-manggut, “Untung kita masuk bertiga, coba kalau sendirian, mungkin tak seorangpun bisa lolos dari tempat ini dengan selamat.”

Leng-hong tertawa, katanya, “Cuma setelah ada pengalaman ini, berarti menambah kesempatan hidup kita.”

“Kenapa?” tanya Hui Beng-cu tercengang.

Leng-hong tidak menjawab, dia mengeluarkan obat itu dan ditelan sebutir, lalu sisanya yang dua butir diberikan kepada Pang Goan sambil berpesan, “Tunggulah di sini, aku akan masuk lebih duluan!”

“Kau hendak ke mana?” seru Hui Beng-cu.

Leng-hong tidak menjawab melainkan masuk lagi ke dalam istana es. Tak lama kemudian, ketika pemuda itu muncul kembali, tangannya membawa sebuah bungkusan kain, ketika bungkusan itu dibuka, ternyata isinya adalah ransum kering serta belasan butir pil.

Ransum kering itu ada sebagian yang telah berubah warna dan tak bisa dimakan, tapi pil-pil itu sama bentuknya seperti pil yang diberikan nenek Po kepada mereka untuk melawan hawa dingin, bahkan bentuknya sama sekali belum berubah.

“Hei, darimana kau peroleh barang-barang itu?” seru Hui Beng-cu dengan mata terbelalak.

“Peristiwa barusan telah menimbulkan suatu pikiran dalam benakku,” tutur Leng-hong sambil tertawa, “Kupikir orang-orang yang mati dalam istana es pasti membawa ransum kering dan diberi pil, tapi sewaktu masuk ke istana es lantaran mereka mengira dengan tenaga dalam sendiri pasti mampu bertahan selama enam jam, pil-pil itu tidak mereka makan, ketika tubuhnya dirasakan mulai beku, tak sempat lagi untuk minum obat, sebab itulah sengaja kugeledah saku mereka, ternyata sebagian besar memang belum pernah menggunakan ransum serta obat mereka, dengan persediaan kita sekarang, paling sedikit kita bisa tahan hidup tiga-empat hari lagi lebih lama.”

Beng-cu sangat girang, cepat ia hitung barang-barang tersebut, ternyata masih ada enam-tujuh bagian ransum kering itu yang masih bisa digunakan, sedang pil penahan dingin berjumlah tiga belas biji, jadi kalau dibagi untuk tiga orang bisa digunakan untuk bertahan selama empat hari. Dengan kelebihan waktu empat hari mereka tidak sulit untuk mencari jalan keluar, rasa percaya diri sendiri seketika tambah kuat.

“Selanjutnya apa yang harus kita lakukan?” tanya Pang Goan kemudian.

“Bila Lotoako janji tidak akan berebut denganku, bagaimana kalau aku yang membagi tugas?”

“Baik, akan kuturuti perkataanmu,” kata Pang Goan sambil tertawa.

“Seperti semula, aku bertanggung jawab menghapalkan ilmu golok Ang-siu-to-hoat, Lotoako bertugas mencari jalan keluar, sedang Beng-cu tinggal di sini mengurusi obat dan ransum, cuma ada beberapa hal harus diperhatikan dan dipatuhi oleh kita bersama.”

“Apa itu? Katakan saja!”

“Pertama, perhatian kita harus tertuju pada tugas yang sedang dilaksanakan dan tak boleh bercabang pikiran pada soal lain, misalnya saja Toako yang bertugas mencari jalan keluar, maka kau tak boleh pencarkan perhatian untuk mempelajari ilmu golok.”

“Baik! Aku pasti dapat melakukannya!”

“Kedua, demi menjaga kekuatan tubuh kita maka semua orang harus makan obat pada saatnya, termasuk juga Beng-cu, kita tak boleh melawan hawa dingin dengan tenaga dalam, setiap tiga jam kita makan ransum sekali, setiap enam jam makan obat sekali, kita tak boleh berdiam terlalu lama dalam istana es ini, mengenai perhitungan waktu kita tugaskan Beng-cu untuk melakukannya, dan lagi setiap saat harus meninggalkan tanda, begitu waktunya sampai kau harus memanggil kami agar mengundurkan diri dari istana es untuk beristirahat.”

Hui Beng-cu mengangguk tanda setuju. Sayang dalam gua sukar untuk membedakan siang atau malam, jadi sulit untuk menentukan waktu secara tepat, terpaksa Beng-cu membagi ransum kering itu menjadi beberapa bagian dengan bobot yang sama, dengan perkiraan setiap bagian ransum itu cukup mengisi perut selama dua-tiga jam, dengan rasa lapar inilah ia menentukan waktu, sekalipun tidak cocok tapi masih bisa digunakan sebagai ancer-ancer untuk menentukan pagi harikah atau malam harikah waktu itu? Dan beberapa hari sudah dilewatkan?

Setelah makan kenyang, Pang Goan dan Leng-hong masuk ke istana es untuk melaksanakan tugas masing-masing, tiga jam kemudian sewaktu mengundurkan diri untuk mengisi perut pertama kalinya, air muka mereka tampak murung.
Leng-hong menyatakan bahwa ilmu golok Ang-siu-to-hoat meski hanya terdiri dari sembilan jurus, namun setiap jurus mengandung macam-macam perubahan, untuk mengingat gerakannya saja memang tidak sulit, tapi untuk meresapi intisari dari tiap gerakan, setiap jurusnya paling sedikit membutuhkan waktu dua-tiga jam.

Oleh sebab itu ia putuskan untuk menghapalkan jurusnya lebih dulu, kemudian bila sudah lolos dari bahaya baru akan diselami lagi gerak perubahan rahasianya. Kendatipun demikian, dalam tiga jam ia hanya berhasil mengingat empat jurus belaka, itu berarti belum mencapai setengah dari seluruh ilmu golok Ang-siu-to-hoat yang ada.

Sebaliknya Pang Goan hanya mengembalikan kertas putih alias kosong. Menurut hasil penelitiannya selama tiga jam, hakikatnya tiada jalan keluar di tempat tersebut. Sekeliling dinding istana es hanya terdiri dari es yang tebal, jangankan manusia, lalat pun tak bisa menerobos keluar dari situ, dua jalan tembus yang ditemukan di situ hanya terdiri dari jalan menuju pintu istana es ini serta jalan tembus menuju ke liang api.

Liang api itu hanya diketahui lima kaki tingginya, tapi berapa dalam liang tersebut dan berapa panjangnya ia tak tahu. Api yang menyembur keluar dari liang itu berlangsung tiada hentinya, antara liang api dengan istana es terpisah oleh sebuah kolam, ternyata air dalam kolam itu separuhnya dingin dan separuh lagi panas, perbedaan itu menyolok sekali dan ternyata tidak membaur menjadi satu.

Pang Goan pernah mencoba untuk melemparkan kepingan perak ke dalam liang api, tapi begitu kepingan perak itu masuk api segera sirna dan tidak menimbulkan suara apa-apa, jelas perak itu segera meleleh dan lenyap tak berbekas.

Selesai mendengar uraian tersebut, terpaksa Ho Leng-hong harus menghibur mereka, katanya, “Jangan putus asa, kalau jalan keluar itu mudah ditemukan niscaya tidak terjadi banyak orang mati dalam istana es, ilmu golok Ang-siu-to-hoat tentu juga sudah lama tersebar luas dalam dunia persilatan, carilah pelahan dan perhatikan tempat-tempat yang mencurigakan, asal nasib kita tidak ditakdirkan tamat di sini, akal untuk lolos dari sini pasti akan kita temukan, sebaliknya kalau memang sudah takdir, kitapun tak usah menyesal.”

Pang Goan menggeleng kepala tanpa menjawab, mukanya tampak sedih.

“Pang-toako,” tiba-tiba Beng-cu menyela, “kau telah memeriksa keadaan dalam istana es, apa salahnya kalau beristirahat dulu dan memikirkan suatu akal untuk melepaskan diri dari sini, sementara kesempatan ini biar kugunakan untuk melakukan pemeriksaan pula, bagaimanapun jalan pikiran satu orang tak akan menangkan hasil pemikiran dua orang.”

Leng-hong termenung sebentar, kemudian jawabnya, “Ya, hal ini memang bisa dicoba, tapi harus ada satu orang tinggal di sini untuk siap sedia menolong rekannya, bila ilmu golok Ang-siu-to-hoat telah berhasil kuhapalkan, kita bersama-sama melakukan pencarian lagi di sekitar tempat ini.”

Tiga jam kembali sudah lewat, Hui Beng-cu kembali dengan wajah murung dan putus asa. Berbeda dengan Ho Leng-hong, dengan penuh kegirangan ia berseru, “Kita tidak sia-sia makan obat kuat, lumayan juga hasil yang kita capai.”

“Hasil apa?” tanya Beng-cu.

“Pang-toako, bukankah kau pernah berkata bahwa Ang-ih Hui-nio pernah delapan kali mengalahkan To-seng (nabi golok) Oh It-to, sedang kedelapan jurus ilmu golok To-seng bukan lain adalah Poh-in-pat-tay-sik dari Thian-po-hu dewasa ini?”

“Benar!”

“Kalau begitu, seharusnya jurus ilmu golok yang ditinggalkan Ang-ih Hui-nio juga terdiri dari delapan jurus, tapi di dinding es itu kenapa terdapat sembilan jurus.”

“O, ini memang rada aneh, kenapa bisa kelebihan satu jurus?” seru Pang Goan keheranan.

“Mula-mula Siaute juga heran,” ujar Leng-hong sambil tertawa, “sebab itu akupun menaruh perhatian khusus terhadap jurus terakhir, itulah sebabnya aku bilang perjalanan kita kali ini tidak sia-sia, ternyata dalam jurus terakhir itulah tercantum seluruh intisari dan kekuatan dari segenap jurus serangan Ang-ih Hui-nio, dan di situ pula tercantum segenap kepandaian dahsyat yang diciptakan oleh Oh It-to sepanjang hidupnya.”

“Kenapa bisa begini?” tanya Pang Goan tercengang.

“Sebab setelah kalah delapan kali, Oh It-to memeras otak untuk mencari akal untuk memecahkan kehebatan ilmu golok Ang-ih Hui-nio, sayang niat tersebut rupanya tidak berhasil diwujudkan, tapi rahasia itu justru akhirnya berhasil dipecahkan sendiri oleh Ang-ih Hui-nio.”

“Jangan-jangan jurus kesembilan yang kau maksudkan itu?” tanya Pang Goan kaget.

“Benar, jurus kesembilan justru merupakan jurus tandingan untuk mematahkan kedelapan jurus lainnya, jadi asal jurus ini berhasil kita kuasai, maka secara gampang ilmu golok Ang-siu-to-hoat akan kita patahkan, dan kitapun tak perlu takut lagi menghadapi ilmu golok sakti dari Mi-kok ini.”

Pang Goan tertegun sejenak, kemudian seperti baru memahami sesuatu ia berseru, “Ya, pantas tong Siau-sian dan Tong-popo berusaha dengan segala akal untuk mendapatkan golok mestika Yan-ci-po-to, kiranya di sinilah letak alasannya.”

“Tahu begini, mestinya Siaute hapalkan dulu jurus tersebut, sedang kedelapan jurus lainnya tak ada artinya lagi.”

“Ah, kupikir tak bisa dikatakan demikian, sebab setiap jurus ilmu golok Ang-siu-to-hoat terkandung intisari ilmu golok, kendatipun jurus kesembilan bisa mematahkan ilmu golok Ang-siu-to-hoat, ini tidak berati jurus tersebut adalah jurus yang tak terkalahkan.”

Sementara kedua orang itu terlibat dalam pembicaraan serius tentang ilmu golok Ang-siu-to-hoat, dengan ogah-ogahan Hui Beng-cu menyela dari samping, “Bisa atau tidak bisa mematahkan ilmu golok Ang-siu-to-hoat tetap sama saja jika kita gagal meninggalkan tempat ini, apa gunanya semuanya itu?”

“Akal adalah hasil pemikiran manusia,” kata Leng-hong sambil tertawa, “kalau ilmu golok Ang-siu-to-hoat bisa dipecahkan, masakah hanya sebuah istana es tak mampu diatasi?”

Perkataan yang gagah ini pun tidak bisa dikatakan salah, sayang kenyataannya justru tidak segampang apa yang mereka bayangkan. Ho Leng-hong telah berhasil mengapalkan kesembilan jurus Ang-siu-to-hoat, namun Pang Goan dan Hui Beng-cu belum berhasil juga menemukan jalan keluarnya.

Bahkan Ho Leng-hong akhirnya ikut mencari, meneliti dan pemikiran, tapi jalan keluar tetap merupakan tanda tanya besar. Persediaan pil dan ransum kian menipis, tanda waktu yang diukir di atas dinding makin bertambah banyak, bekas telapak kaki ketiga orang itu hampir menjelajahi setiap jengkal tanah dalam istana es itu, namun tiada sesuatu yang berhasil ditemukan.

Kecuali pintu istana di mana mereka datang, serta gua menuju ke liang api, dalam istana es itu tidak ditemukan lubang lain, pun tidak ditemukan jalan keluar ketiga. Pintu istana telah terkunci dari luar, mustahil bagi mereka untuk mendobrak pintu dan kabur dari situ, kini satu-satunya jalan keluar bagi mereka hanya liang api dengan semburan api yang dahsyat itu.

Api yang menyembur keluar dari dasar bumi tak pernah padam, baik diguyur dengan air, ditutup dengan salju, ternyata sama sekali tak ada gunanya. Bahkan Ho Leng-hong telah mendorong sesosok mayat ke dalam liang api sebagai percobaan, hasilnya dalam sekejap mata mayat itu hangus dan lenyap, termasuk tulang-belulangnya lenyap begitu saja.

Berhadapan dengan kobaran api yang begini dahsyat, wajah mereka menjadi pucat. Untuk mengirit persediaan pil dan ransum yang makin menipis, terpaksa ketiga orang itu harus beroperasi secara bergilir, dan lagi merekapun berusaha memperpanjang waktu untuk mengisi perut, bagi mereka yang tidak beroperasi, maka orang itu harus berhenti makan pil dan mesti mengerahkan hawa murni sendiri untuk melawan hawa dingin.

Waktu berlalu dengan cepatnya, kini pil penahan dingin tinggal empat biji saja. Dengan perasaan apa daya terpaksa Ho Leng-hong menghentikan operasi pencarian, mereka bertiga duduk berdempet dalam gua, di samping mengerahkan tenaga untuk melawan hawa dingin, merekapun harus putar otak untuk mencari akal guna meloloskan diri dari situ.

Menyusul ransum yang mereka miliki mulai habis. Orang bilang, lapar dan dingin saling bergandengan. Artinya barang siapa berada dalam keadaan lapar, maka dia juga akan sulit melawan hawa dingin yang main mencekam.

Setelah ransum habis, suasana dalam istana es seolah-olah berubah menjadi neraka, hawa dingin kian menghebat, sekalipun mereka bertiga telah melingkarkan tubuh untuk menahan rasa dingin, namun rasa dingin tetap merasuk tulang sumsum.

Tiba-tiba Leng-hong meronta bangun berdiri, serunya, “Kita benar-benar amat bodoh, kenapa hanya duduk terpekur di sini? Apa salahnya kalau kita pergi mandi air panas?”

“Mandi?”serentak Pang Goan dan Hui Beng-cu memandang ke arah Ho Leng-hong dengan tercengang.

Leng-hong tertawa ewa, katanya lagi, “Masa kalian lupa? Meskipun tempat ini sangat dingin di samping liang api kan terdapat setengah kolam air yang hangat.”

Dengan cemas Pang Goan menghela napas, “Lote,” katanya, “jangan kau lakukan perbuatan bodoh itu, dengan jelas kau tahu air kolam itu separuhnya dingin dan separuh lagi panas, yang dingin bisa membekukan badan, dan yang panas dapat mematikan orang.”

“Hanya berduduk di sini, cepat atau lambat juga mati, daripada mati kedinginan enakan mati kepanasan, malam mampusnya bisa lebih cepatan,” kata Leng-hong.

Habis berkata, ia tarik napas panjang dan dengan sempoyongan melangkah masuk ke istana es. Buru-buru Pang Goan melompat bangun dan berseru, “Jangan pergi, aku masih ingin bicara lagi!”

“Tak usah bicara lagi Lotoako,” kata Leng-hong sambil berpaling, “hanya duduk belaka sambil menanti kematian, akhirnya tetap mati, setelah kupergi nanti gunakan keempat biji pil itu untuk bisa hidup dua belas jam lagi, hal ini jauh lebih baik daripada mampus semuanya.”

Selesai berkata ia percepat langkahnya dan masuk ke dalam gua. Gerak tubuh Pang Goan jauh lebih cepat lagi, sekali melompat ia menerjang tubuh Ho Leng-hong, serta merta mereka berdua bergumul menjadi satu.

“Hei, ingatlah waktu apa ini, masa kalian masih ada tenaga untuk berkelahi?” seru Beng-cu dengan suara gemetar, “simpan saja tenaga kalian agar bisa bertahan lebih lama, bukankah hal ini jauh lebih baik?”

Dengan sepenuh tenaga Pang Goan menindih tubuh Ho Leng-hong, lalu dengan napas tersengal katanya, “Bila obat itu habis daya kerjanya, akhirnya kita toh mati juga, tapi kalau ingin hidup, kita harus hidup bersama, mau mati biar mati bersama, apa bedanya antara enam jam dengan dua belas jam? Siau-cu, bawa kemari obat itu, ayo kita makan bersama sebutir obat dan bersama melewati sisa enam jam yang terakhir ini.”

Hui Beng-cu angsurkan obat itu ke tangannya, tanpa banyak bicara Pang Goan menjejalkan sebutir pil ke mulut Ho Leng-hong, sementara ia dan Beng-cu juga menelan sebutir, kemudian melepaskan pemuda itu dari tindihannya. Setelah obat itu masuk ke dalam perut, hawa hangat seketika menjalar ke seluruh tubuh.

Ho Leng-hong menggeleng kepala dan tertawa getir, ia berkata, “Lotoako, buat apa kau berbuat demikian...?” Tanpa terasa air mata jatuh berlinang membasahi pipinya.

“Hei, apa yang kau tangisi? Jangan bersikap tak becus seperti itu, masa tidak takut ditertawai Siau-cu?”

Air mata berderai membasahi wajah Ho Leng-hong, sambil menahan isak tangisnya ia berkata, “Aku menangis bukan lantaran takut mati, tapi apa yang kita alami tadi justru mengingatkan aku akan ibuku yang telah tiada...”

“Mengapa dengan ibumu?” tanya Pang Goan tercengang.

“Sewaktu kecil dulu watakku sangat keras kepala, masih kuingat suatu ketika tatkala aku jatuh sakit, ibu suruh aku minum obat tapi aku tak mau, ibu memaksaku untuk menghabiskan obat itu, akhirnya kejadian seperti tadi, obat itu tumpah ke tanah sedang ibuku kena kutendang waktu mencekoki obat ke mulutku...”

Kejadian itu merupakan pengalaman pada masa kecil yang mudah menimbulkan gelak tertawa, tapi entah mengapa, Pang Goan dan Hui Beng-cu tak mampu tertawa.

Ho Leng-hong terbuai lagi dalam lamunannya, “waktu kecil nakalku tidak ketolongan lagi, sampai ibuku kehabisan akal padaku, suatu hari seorang kakek tetangga mati, keluarganya mengeluarkan sebutir mutiara untuk dijual guna membeli peti mati, ibu merasa senang dengan mutiara itu tapi tak mampu membelinya, waktu itu aku berada di sisinya dan berkata, “Ibu, apa yang menarik dengan benda itu, bila aku dewasa nanti dan kaya, bila ibu meninggal pasti akan kubelikan sebuah peti mati kaca....”

Belum habis perkataannya, mendadak mencorong sinar matanya. Tiba-tiba ia melompat bangun dan lari masuk ke dalam istana es.

Pang Goan dan Hui Beng-cu kuatir ia mengalami kejadian di luar dugaan, buru-buru mereka mengejar ke dalam. Ketika itu daya kerja obat telah menyebar, setelah berada dalam istana es, mereka tidak merasa kedinginan. Ho Leng-hong langsung menghampiri kolam di tepi liang api itu, dengan mata melotot ditatapnya dua sosok mayat di tepi kolam tersebut dengan termangu.

Mayat tua dan muda itu mungkin terdiri dari seorang ayah dengan puteranya, anak berbaring di atas sebuah panggung es setinggi dua tombak, sedang ayahnya berjongkok di tepi kolam seperti sedang mengambil air, entah mengapa mereka berdua sama-sama mati kedinginan di situ. Pang Goan dan Hui Beng-cu berdiri saling pandang, mereka sama tercengang dan tidak mengerti.

Tiba-tiba Ho Leng-hong bertanya, “Coba kalian lihat, bukankah kematian kedua orang ini sangat aneh?”

“Benar, memang aneh, cuma makna apakah yang terkandung di balik keanehan itu?” ucap Pang Goan.

“Coba kau terka, apa yang sedang mereka lakukan?”

Pang Goan berpikir sejenak, lalu sahutnya, “Mungkin puteranya membeku karena kedinginan, maka ayahnya ingin mengguyur tubuhnya dengan air panas, sayang dia sendiripun tidak tahan hingga akhirnya ikut mati di tepi kolam...”

“Betul!” jawab Ho Leng-hong sambil mengangguk, “Ia memang sedang menolong puteranya, sebab kematian puteranya dalam keadaan beku adalah karena salah perhitungan.”

“Darimana kau tahu?” tanya Pang Goan terkejut.

“Coba kalian perhatikan dengan saksama, di sini terdapat dua bagian tempat yang pantas diperhatikan secara khusus. Pertama, di mana puteranya berbaring terdapat sebuah panggung es yang tingginya mencapai dua kaki, sesungguhnya di situ tiada bentuk tanah semacam itu. Kedua, telapak tangan ayahnya hancur, ini menunjukkan air yang diambil adalah air panas dan bukan air dingin.”

“Tapi apa artinya semuanya itu?” kembali Pang Goan bertanya.

“Kupikir mereka telah berhasil menemukan cara untuk meloloskan diri, sayang karena suatu kekeliruan kecil mengakibatkan usaha mereka gagal total, bahkan harus mati secara penasaran,” tutur Leng-hong.

Berdetak keras jantung Pang Goan dan Hui Beng-cu setelah mendengar perkataan itu, serentak mereka berseru, “Bagaimana caranya itu?”

“Menyembunyikan orang di dalam es!” jawab Leng-hong dengan serius...
Selanjutnya,
Golok Yanci Pedang Pelangi Jilid 10

Golok Yanci Pedang Pelangi Jilid 09

Golok Yanci Pedang Pelangi Jilid 09
Karya : Gu Long
Penyadur : Gan K.L


Cerita silat Mandarin Karya Gu Long
KATA-KATA tak sedap itu semakin mengobarkan amarah Yu Ji-nio, saking tidak tahan tiba-tiba ia menjadi nekat, teriaknya, “Minggir kau! Akan kubunuh binatang ini lebih dulu baru kemudian menerima hukuman dari Kokcu.”

Sambil menjerit, golok panjang segera bergetar, dalam waktu singkat ia sudah melancarkan tiga-empat bacokan ke arah Pui Hui-ji. Sambil menangkis ancaman itu, Pui Hui-ji membentak pula kepada delapan orang gadis di sisinya, “Yu Ji-nio berani membangkang perintah dan mengkhianati kita, tangkap dia!”

Kedelapan anak dara tersebut mengiakan dan serentak mengangkat senjatanya. Yu Ji-nio semakin marah, bentaknya, “Kurang ajar, kalian berani turut perintah seorang pengawal barisan Pek-tui dan mengerubungi seorang anggota pasukan berbenang biru?”

Kedelapan orang itu saling pandang sekejap, betul juga, tak seorang pun berani maju. Peraturan dalam Mi-kok amat ketat dan disiplin, sekalipun Pui Hui-ji adalah orang kepercayaan Kokcu, namun ia cuma seorang pengawal bersulam benang putih, sebaliknya Yu Ji-nio adalah komandan pasukan benang biru, kedudukannya jauh lebih tinggi daripada Pui Hui-ji, apalagi kedelapan anak dara tersebut termasuk pasukan “Benang putih”, tingkatan mereka justru jauh di bawah Yu Ji-nio.

Sementara kedelapan anak dara itu ragu-ragu, mendadak Ho Leng-hong membentak, “Mau apa kalian berdiri tertegun di situ? Yu Ji-nio sudah gila, cepat laporkan kepada Kokcu kalian.”

Setelah diingatkan barulah anak dara itu sadar, segera ada tiga-empat orang lari ke ruang tengah untuk memberi laporan. Tiga-empat orang lainnya hanya berdiri tertegun di tempat dengan bingung, tidak tahu siapa yang harus dibantu?

Dalam pada itu antara Yu Ji-nio dengan Pui Hui-ji telah bertarung belasan gebrakan, cahaya golok gemerdep menyilaukan mata.

Ho Leng-hong memberi tanda kedipan mata kepada Pang Goan dan Hui Beng-cu, tiba-tiba ia mendekati seorang anak dara bergolok dan membentak, “Berikan senjatamu kepadaku! Kau mundur ke samping sana!”

Waktu itu anak dara itu sedang berdiri dengan wajah cemas, ketika mendengar bentakan tersebut, tanpa berpikir lagi dia segera mengangsurkan goloknya kepada Ho Leng-hong.

Pang Goan dan Hui Beng-cu bersama-sama juga mendekati dua anak dara lainnya dan mengambil golok mereka, namun kedua gadis tersebut kelihatan ragu-ragu. Akan tetapi ketika mereka lihat rekannya sudah menyerahkan goloknya kepada Ho Leng-hong, dan rupanya tindakan itu tidak keliru, akhirnya mereka pun serahkan goloknya kepada kedua orang itu.

Setelah senjata dalam genggaman, Leng-hong bertiga merasa semangat kembali berkobar. Leng-hong yang bertindak lebih dulu, sambil memutar goloknya ia terjun ke tengah gelanggang pertempuran.

Jurus ilmu golok yang digunakan persis seperti ilmu golok Ang-siu-to-hoat yang dimainkan Yu Ji-nio, sedang sasarannya adalah Pui Hui-ji. Tentu saja kejadian ini sangat mengejutkan Pui Hui-ji, cepat teriaknya, “Hei, Ho Leng-hong, kau salah sasaran....”

“Tidak, aku tidak salah sasaran,” jawab Leng-hong sambil tertawa, “setelah membereskan dirimu, barulah kami bereskan dia!”

Sambil berkata, golok berputar terus menyerang gadis itu dengan dahsyatnya. Untuk melawan Yu Ji-nio saja Pui Hui-ji sudah kewalahan apalagi sekarang bertambah dengan seorang Ho Leng-hong, ia semakin kepayahan dan tak tahan, karena gugup, permainan goloknya menjadi kacau, segera Leng-hong manfaatkan kesempatan itu, sekali sabat goloknya tepat mengenai lutut kanan gadis itu. Untung serangan tersebut dilancarkan dengan punggung golok, Pui Hui-ji mengeluh tertahan, kemudian roboh terjungkal.

Setelah berhasil dengan serangannya, Ho Leng-hong berpaling ke arah Yu Ji-nio dan berkata sambil tertawa, “Terima kasih banyak atas kesempatan yang kau berikan kepada kami untuk merebut golok, sekarang dosa mengkhianati lembah sudah pasti akan dituduhkan padamu, setelah kepergian kami, kaupun tak nanti bisa hidup aman, lebih baik ikut kami dan pergi bersama, tempat di dunia luar sangat luas, asal kau mau ikut kami, tanggung kau akan hidup senang bahagia...”

“Tutup mulut!” bentak Yu Ji-nio, “kau binatang, masih belum cukupkah penderitaan yang kau limpahkan padaku?”

“Walaupun aku pernah mencelakaimu, akupun telah menolongmu, jadi boleh dibilang sudah impas dan masing-masing tidak berutang kepada yang lain, jika kau tidak ikut kami pergi, bila Tong Siau-sian sampai di sini, semua dosa ini pasti akan dilimpahkan oleh budak Pui ke atas pundakmu, waktu itu meski menyesal juga sudah kasip.”

“Aku dapat menangkap kalian dan menjelaskan semua duduknya perkara di hadapan Kokcu.”

Ho Leng-hong tertawa, katanya, “Kau kira tiba waktunya nanti aku akan bantu bicara untukmu? Gadis-gadis pengawal itu semuanya menyaksikan cara bagaimana kubantu kau membereskan Pui Hui-ji, sekalipun kau memiliki tiga mulut juga sukar mengharap Tong Siau-sian akan percaya pada keteranganmu.”

Yu Ji-nio bungkam, sebab apa yang diucapkan Leng-hong memang benar, tapi ia dilahirkan di Mi-kok, dibesarkan juga dalam lembah tersebut, sesungguhnya ia merasa berat hati untuk mengkhianati lembah kesayangannya itu, tetapi kalau tidak pergi berarti dia bakal menanggung dosa besar, semua ini membuat hatinya menjadi bingung.

“Waktu sudah sangat mendesak sekali,” kembali Ho Leng-hong berkata, “jika kau tak mau ikut, kami akan segera berangkat!”

Tiba-tiba Pui Hui-ji meronta bangun berduduk ditanah, bentaknya, “Yu Ji-nio, kalau kau berani melepaskan ketiga orang itu, pasti perbuatanmu kulaporkan kepada Kokcu agar kau merasakan siksaan hidup yang paling kejam di dunia.”

Sebenarnya Yu Ji-nio masih ragu-ragu untuk mengambil keputusan, tapi setelah mendengar ancaman tersebut, kontan saja sekujur tubuhnya bergetar keras, bulu kuduknya pada berdiri, segera iapun mengambil keputusan. Tiba-tiba ia membalikkan mata goloknya yang tajam ke dada Pui Hui-ji dan menusuknya hingga tembus ke punggung. Di antara percikan darah yang berhamburan, terdengar ketiga gadis pengawal itu menjerit kaget.

Dengan ujung golok yang masih berlumuran darah, Yu Ji-nio menuding mereka sambil membentak, “Kalian budak sialan, biasanya kalian sok menggunakan kekuasaan Kokcu untuk berbuat sewenang-wenang, sudah cukup penderitaan yang kurasakan, tapi mengingat kalian adalah sesama saudara seperguruan, kuampuni jiwa kalian, cepat enyah!”

Tanpa sepotong besipun di tangan, gadis-gadis pengawal itu tidak dapat berkutik, terpaksa mereka turut perintah dan cepat kabur dari situ.

Rupanya Ho Leng-hong tidak mengira Yu Ji-nio bakal turun tangan kejam kepada Pui Hui-ji, sambil tertawa katanya, “Ji-nio, sekarang kita adalah kawan senasib, padahal jalan dalam Mi-kok tidak kami ketahui dengan jelas, cara bagaimana supaya bisa lolos dengan selamat, harap Ji-nio suka memberi petunjuk.”

Yu Ji-nio mendongak kepala sambil menarik napas panjang, katanya kemudian, “Kalian ikut diriku!”

Dengan mengikut di belakang Yu Ji-nio, dalam sekejap saja Ho Leng-hong bertiga telah melewati beberapa halaman luas, ternyata arah perjalanan mereka bukan menuju ke mulut lembah, sebaliknya malah kabur ke timur, menuju ke bangunan gedung sebelah timur itu.

“Yu Ji-nio!” Pang Goan menegur dengan suara tertahan, “kami hendak ke luar lembah kenapa kau bawa kami ke tempat tinggal mereka?”

“Tanda bahaya dengan cepat akan tersiar sampai di mana-mana, kini mulut lembah sudah tertutup, hakikatnya tak mungkin buat kita untuk menerobos keluar lagi.”

“Lantas apa yang harus kita lakukan sehingga bisa lolos dari cengkeraman mereka?”

“Dewasa ini kita tidak mempunyai cara kabur yang terbaik, maka sengaja kubawa kalian ke suatu tempat dan sementara bersembunyi di situ, dan menunggu kesempatan…”

“Tidak bisa,” cepat Pang Goan berhenti, “Malam ini kita harus menerjang keluar lembah ini, jika bersembunyi terus dalam lembah, cepat atau lambat jejak kita pasti akan ketahuan.”

“Ya, jika kau tidak bersedia menjadi penunjuk jalan, kami bisa berusaha sendiri,” sambung Hui Beng-cu.

Yu Ji-nio tertawa dingin, “Hehe... jika kalian tidak mau menurut nasihatku, akibatnya hanya satu, yakni pulang kembali ke dalam penjara.”

Ho Leng-hong segera menggoyang tangan mencegah Pang Goan dan Hui Beng-cu berkata lebih jauh, sambil tertawa katanya, “Ji-nio, sekarang kita adalah kawan senasib dan sependeritaan, tentu saja kami akan menuruti anjuranmu, tapi sepantasnya kaupun membeberkan rencanamu kepada kami, agar kami ikut tahu juga duduk persoalan yang sebenarnya.”

“Sudah kukatakan kepada kalian tadi, tak mungkin buat kabur pada saat ini, sementara kita mesti bersembunyi dulu sambil menunggu kesempatan.”

“Kau hendak mengajak kami bersembunyi di mana? Beberapa lama kita harus menyembunyikan diri?”

“Menurut apa yang kuketahui, di sudut timur gedung sana terdapat sebuah taman, dalam taman, terdapat gunung-gunungan, mari kita bersembunyi dalam gua di balik gunung-gunungan tersebut, tentang berapa lama, ini bergantung pada keadaan selanjutnya.”

“Setiap gua dalam gunung-gunungan tentu tak luput dari pemeriksaan, amankah tempat itu?”

“Tentu saja sangat aman.”

“Kenapa?” tanya Leng-hong.

“Sebab taman itu terletak di ruang sebelah timur, padahal gedung sebelah timur adalah Tiang-lo-wan. Kokcu tidak akur dengan pihak Tiang-lo-wan, para Popo tak akan mengizinkan mereka melakukan pencarian kemari.”

Leng-hong berpikir sejenak, kemudian katanya, “Tapi kau harus tahu, para Popo dari Tiang-lo-wan pun tak akan melepaskan kami dengan begitu saja.”

“Oleh karena itulah sengaja kupilih gedung timur sebagai tempat sembunyi, jejak kita pasti akan ditemukan oleh Kokcu, setelah dia tahu kita masuk ke gedung timur, tentu dia akan menaruh curiga jangan-jangan Tiang-lo-wan sengaja melindungi kita, sudah pasti mereka akan minta orang kepada para Popo, dengan demikian antara Kokcu dan para Popo akan terjadi perselisihan, bahkan pertarungan. Nah, saat itulah penjagaan di mulut lembah pasti kendur, lalu kita gunakan kesempatan baik itu untuk melarikan diri.”

Ho Leng-hong termenung sejenak, kemudian sambil tertawa dia mengangguk, “Baiklah, kalau begitu kita ikuti saja rencana Ji-nio!”

Karena Ho Leng-hong sudah menyatakan setuju, maka Pang Goan dan Hui Beng-cu juga tidak banyak komentar. Mereka lantas menyusup ke gedung sebelah timur dan bersembunyi dalam gua di balik gunung-gunungan, sepanjang perjalanan, karena dipimpin oleh Yu Ji-nio, maka jejak mereka tidak konangan.

Sesungguhnya gua dalam gunung-gunungan itu tidak termasuk tempat persembunyian yang rahasia, tapi berhubung termasuk dalam lingkungan pengaruh Tiang-lo-wan dan lagi tidak setiap orang boleh masuk ke sana, maka suasana amat tenang.

Setelah beristirahat sebentar, haripun sudah terang, dalam taman mulai terdengar suara langkah kaki para Popo yang sedang berjalan-jalan dan berlatih kungfu, tidak ada yang menyangka di dalam gua, di balik gunung-gunungan bersembunyi sekelompok pelarian.

Mendekati lohor, suara manusia di luar kedengaran makin bertambah ramai, tapi suasana dalam taman justru sepi, tak kelihatan seorang pun, menurut dugaan mereka, pastilah Kokcu Tong Siau-sian sedang memeriksa jejak kaki yang ditinggalkan mereka berempat semalam dan sedang menuntut kepada pihak Tiang-lo-wan untuk melakukan pemeriksaan, sudah barang tentu permintaan ini ditolak oleh para Popo.

Setengah hari kemudian sudah lewat, kini hari mulai gelap lagi, ternyata dalam taman tidak dilakukan penggeledahan, sedang suasana di luar rasanya dapat diduga biarpun tidak melihatnya sendiri. Setelah sehari penuh tidak mengisi perut, mereka berempat mulai merasa lapar sekali.

“Tunggulah kalian di sini dengan tenang,” akhirnya Yu Ji-nio berkata, “aku akan pergi mencari berita sambil berusaha mencari makanan.”

“Aku ikut!” Leng-hong berkata.

“Mana mungkin? Semua anggota dalam gedung ini adalah kaum perempuan, kalau kau ikut tentu tidak bebas bergerak. Percayalah, dengan cepat aku akan kembali lagi ke sini.”

“Kalau kau pergi sendirian, bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, siapa yang akan membawa kabar kemari? Lebih baik nona Hui menemani dirimu.”

Tentu saja Yu Ji-nio juga tahu pemuda itu merasa sangsi bila dirinya pergi seorang diri, maka Hui Beng-cu disuruh ikut sekalian mengawasi gerak-geriknya. Iapun tidak menolak, diajaknya Hui Beng-cu meninggalkan gua. Begitu mereka berangkat, Pang Goan dan Ho Leng-hong mulai mengadakan perundingan.

Sejak pengkhianatan Pang Wan-kun, tampaknya Pang Goan menaruh curiga terhadap siapapun, dengan hati yang kusut katanya, “Kulihat perempuan she Yu itu tidak bisa dipercaya, pada hakikatnya dia tidak ingin meninggalkan Mi-kok, sebaliknya bermaksud menggabungkan dengan pihak Tiang-lo-wan, dengan kepergiannya ini, ia pasti mengkhianati kita untuk membuat pahala bagi pihak Tiang-lo-wan.”

“Kemungkinan tersebut tentu saja bisa terjadi, tapi dewasa ini kita masih membutuhkan bantuannya untuk kabur dari lembah ini, sebagai kawan senasib kita harus percaya kepadanya, meskipun secara diam-diam kitapun harus waspada dan siap menghadapi segala kemungkinan yang tidak dinginkan.”

“Seandainya ia benar-benar mengkhianati kita, menurut kau apa yang harus kita lakukan?”

Leng-hong tersenyum getir, “Kita cuma bisa berharap agar tidak terjadi apa-apa, tapi kalau terjadi juga, hanya ada satu cara untuk kita, yakni bertarung mati-matian, kita tak boleh tertangkap lagi, untung aku telah berhasil menyadap beberapa jurus ilmu golok mereka, bila sampai terjadi pertarungan, mungkin jurus-jurus ilmu golok ini akan banyak membantu.”

“Ah, betul, memang hendak kutanyakan masalah ini, semalam ketika kau melabrak Pui Hui-ji, apakah Ang-siu-to-hoat dari Mi-kok ini yang kaugunakan?”

“Beberapa jurus serangan itu berhasil kusadap tatkala Yu Ji-nio bertarung melawan Pui Hui-ji, soal kesempurnaan tentu saja masih jauh, hanya bisa dikatakan dengan modal beberapa jurus ini kita bisa mengungkap rahasia ilmu golok mereka, bagaimana kalau kumainkan untuk Lotoako agar bilamana perlu jurus-jurus ilmu golok ini bisa kita gunakan untuk menghadapi segala kemungkinan?”

“Tunggu sebentar,” cegah Pang Goan sambil menggoyang tangan, “untuk menghindari segala kemungkinan, lebih baik kita berpindah tempat lebih dulu, kemudian baru berlatih ilmu golok itu.”

“Berpindah tempat? Kita bisa pindah ke mana?”

“Tempat manapun boleh asal jangan di gua ini, aku selalu merasa bahwa perempuan she Yu itu tidak bisa dipercaya, lebih baik kita sedia payung sebelum hujan.”

Kedua orang segera merangkak keluar gua, kemudian celingukan keempat penjuru, namun di sekitar situ tiada tempat lain yang bisa digunakan untuk sembunyi, kecuali di sudut pintu masuk taman terdapat sebuah gapura batu, belakang gapura dapat dipakai untuk tempat sembunyi dua orang.

Gapura itu mungkin tugu peringatan ketika membangun taman ini, sebab penuh berisikan tulisan, akan tetapi Pang Goan tidak berminat mengamatinya, ia menarik Ho Leng-hong dan buru-buru sembunyi di belakang tempat itu.

Baru saja mereka sembunyi dan belum sempat Leng-hong menerangkan jurus ilmu golok Ang-siu-to-hoat kepada Pang Goan, tiba-tiba dari luar taman ada suara langkah orang. Sebuah lentera muncul disusul dua orang, yang di depan adalah Yu Ji-nio, tapi yang di belakang bukan Hui Beng-cu.

Yu Ji-nio berjalan dengan wajah murung dan lemas sambil membawa lentera, sedang orang yang mengikut di belakangnya penuh dihiasi senyuman cerah, ternyata dia adalah Hoa Jin! Tidak kepalang murka Pang Goan, ia menggenggam gagang goloknya erat-erat dan meloloskannya dari sarung.

Ia berusaha keras menenangkan hatinya, apa mau dikata kelima jari tangannya yang menggenggam golok justru gemetar tiada hentinya, sulit rasanya untuk menenangkan perasaannya yang bergolak. Leng-hong juga menggenggam goloknya, Cuma tangan yang lain sekuat tenaga menekan punggung tangan Pang Goan, itu berarti ia tidak mengharapkan rekannya bertindak gegabah.

Mengikuti cahaya lentera akhirnya Yu Ji-nio membawa Hoa Jin berhenti di samping gunung-gunungan. Hoa Jin memandang sekejap ke arah perempuan itu. Lalu sambil tersenyum bertanya, “Di sini?”

Yu Ji-nio mengangguk.

Hoa Jin segera berdehem, lalu teriaknya, “Pang-tayhiap, Ho-tayhiap, silakan keluar, Popo telah menyiapkan meja perjamuan untuk menyambut kedatangan kalian.”

Pang Goan mendengus pelahan, lalu dengan suara tertahan ia mendamprat, “Perempuan keparat, ternyata dugaanku tidak meleset!”

“Agaknya Beng-cu sudah terjatuh ke tangan mereka, Lotoako, kita harus bertindak dengan kepala dingin!” bisik Ho Leng-hong.

“Urusan sudah menjadi begini, terpaksa kita harus bertarung sampai titik darah penghabisan, mari kita jagal dulu kedua perempuan busuk ini.”

“Jangan terburu nafsu,” cegah Leng-hong, “sekalipun hendak beradu jiwa, kita harus menyelamatkan dulu Beng-cu, mumpung mereka sedang menggeledah gua gunung-gunungan itu, mengapa kita tidak masuk ke gedung sana untuk menolong Beng-cu?”

“Betul!” mencorong tajam sinar mata Pang Goan, “kenapa aku tidak berpikir sampai ke situ?”

Begitulah, setelah mengambil keputusan kedua orang itu segera menyusup keluar gapura dengan sangat hati-hati, lalu menerobos keluar pintu taman dan percepat larinya menuju gedung sebelah timur.

Ketika diperiksa, mereka merasa sudah pernah masuk gedung sebelah timur itu, mereka pun masih ingat arah ruang tengah. Sambil merayap dengan setengah berjongkok, akhirnya sampai juga mereka di luar ruang tengah.

Sinar lampu menerangi ruangan itu, tapi tidak kedengaran sedikit suara pun, di depan pintu ruangan juga tidak tertampak sesosok bayangan manusia pun. Pang Goan coba mengintip melalui jendela, betul juga, sebuah meja perjamuan dengan aneka hidangan lezat tersedia di sana.

Arak telah memenuhi cawan, sayur masih mengepulkan asap panas, tapi hanya dua orang yang duduk berhadapan di meja perjamuan ini. Si tuan rumah adalah Tong-popo, sebaliknya tamunya adalah Hui Beng-cu. Suasana dalam ruangan amat hening, tidak tampak orang ketiga.

Setelah menyaksikan semua itu, Pang Goan jadi agak bingung, sebab tubuh Hui Beng-cu tidak diringkus dengan tali, tidak kelihatan seperti tertutuk jalan darahnya, sekalipun hanya duduk membungkam di situ, ternyata sikapnya sangat tenang, bahkan sekulum senyuman menghiasi ujung bibirnya.

Tong-popo sendiri duduk dengan mata setengah terpejam, sikapnya tampak bersungguh-sungguh sedang melayani tamunya, sikap ini jauh berbeda dengan sikap kerengnya ketika di sidang pengadilan tempo hari, bahkan seperti dua orang yang berlainan.

Ho Leng-hong mengernyitkan alis, jelas iapun bingung oleh apa yang dilihatnya ini. Pang Goan segera menuding diri sendiri, lalu menuding ke ruang dalam dan membuat kode tangan, maksudnya Ho Leng-hong diminta menunggu di luar ruangan, sementara dia akan masuk untuk menolong orang.

Leng-hong menggeleng kepala sambil memberi tanda pula, artinya ia telah memahami rahasia golok Ang-siu-to-hoat, jadi lebih baik dia yang masuk ke dalam untuk menolong orang, sedangkan Pang Goan diminta menunggu di luar saja.

Kedua orang itu tahu bahwa tenaga dalam Tong-popo amat sempurna, sebab itu mereka hanya bertukar pendapat dengan isyarat tangan, sama sekali tidak berani menimbulkan suara, meski demikian, ternyata perbuatan mereka tak dapat mengelabui ketajaman pendengaran Tong-popo.

Mendadak nenek itu membuka matanya sambil menengadah, kemudian tersenyum ke arah luar jendela, katanya, “Silakan kalian masuk ke sini, sayur dan arak sudah dingin!”

Pang Goan dan Leng-hong sama-sama terkejut, mereka saling pandang sekejap dengan perasaan tergetar, akhirnya terpaksa mereka mendorong pintu dan masuk ke dalam.

Buru-buru Beng-cu berdiri, katanya dengan tersenyum, “Pang-toako, Ho-toako, kita benar-benar dungu, padahal Tong-popo sama sekali tidak bermusuhan dengan kita, coba lihatlah, ketika mendengar kita kelaparan seharian, buru-buru dititahkan orang menyiapkan makanan dan arak untuk kita, kemudian menyuruh pula Hoa-toanio untuk menjemput kalian, apakah kalian tidak berjumpa?”

Setelah gadis itu selesai berkata baru Pang Goan mendapat kesempatan untuk buka suara, katanya, “Aku suruh kau mencari berita, kenapa kau malah memperlihatkan jejakmu?”

“Pang-toako, jangan kau marah,” kata Hui Beng-cu sambil tertawa, sesungguhnya jejak kita sudah diketahui oleh Tong-popo, bahkan ia mengirim orang-orangnya menjaga pintu taman, oleh karena pada siang hari kurang bebas untuk mengadakan pertemuan, maka begitu aku dan Yu Ji-nio keluar dari taman kami segera diundang kemari.”

“Benar!” kata Tong-popo sambil tersenyum, “sesungguhnya gerak-gerik kalian semalam telah kuketahui semua dengan jelas, lagipula akupun menduga kalian tak akan sanggup menerobos keluar lewat mulut lembah, untuk itu hanya tempat inilah yang bisa dibuat bersembunyi, karena itulah sengaja kutitahkan orang untuk membuka pintu masuk sehingga dengan leluasa kalian bisa sampai di taman bunga di timur gedung ini.”

“Hm, jadi semua perbuatan kami sudah dalam perhitungan Popo?” dengus Pang Goan.

“Bukannya berada dalam perhitungan,” jawab Tong-popo sambil tertawa, “tapi perkembangan situasilah yang memaksa kalian berbuat demikian, atau dengan perkataan lain takdir telah mengatur segala sesuatu menjadi begini. Saudara berdua, sayur dan arak sudah hampir dingin, mengapa tidak duduk dan makan, kemudian baru bicara lagi.”

Pang Goan memandang sekejap ke arah Ho Leng-hong, akhirnya mereka duduk di sebelah kiri dan kanan Tong-popo sambil menggenggam gagang golok.

Rupanya Tong-popo tidak menghiraukan sikap mereka itu, sambil mengangkat cawan katanya dengan tersenyum, “Tentunya kalian sudah lapar bukan? Bila perut dalam keadaan kosong, janganlah bicara masalah besar, bagaimana kalau pembicaraan dilanjutkan setelah makan kenyang nanti?”
“Betul juga perkataanmu,” jawab Pang Goan, “bagaimanapun seorang manusia hanya membunyi selembar nyawa, setelah kenyang baru ada kekuatan untuk beradu jiwa. Mari, kita keringkan dulu secawan!”

Disambarnya cawan arak di hadapannya, lalu sekali tenggak dihabiskan isinya. Ho Leng-hong dan Hui Beng-cu memang sudah lapar, maka tanpa sungkan mereka lantas bersantap dengan lahapnya. Rupanya Tong-popo tidak lapar, namun ia mengiringi para tamunya minum arak dan makan, sekalipun tiada gelak tertawa selama perjamuan berlangsung, suasananya ternyata damai dan tenang.

Tak lama kemudian, Hoa Jin dan Yu Ji-nio telah kembali ke situ, cuma karena kedudukan yang berbeda, mereka hanya melayani di samping, anehnya selama inipun tidak nampak orang luar masuk ke ruangan tersebut.

Setelah perjamuan berlangsung sekian lama, baru Tong-popo angkat bicara lagi, katanya, “Aku rasa kalian pasti kurang begitu paham dengan situasi dalam lembah Mi-kok bukan? Kokcu yang sekarang, Tong Siau-sian, tentu menjelek-jelekkan pihak Tiang-lo-wan kami, di hadapan kalian tentu dikatakan para Popo hendak merebut kekuasaan dan mengincar Kokcu. Mengenai persoalan ini harus kuberikan penjelasan lebih dulu secara ringkas, bagaimana kalau sambil bersantap kalian dengarkan kisahku tentang persoalan yang mengakibatkan persengketaan kami dengan Kokcu?”

Waktu itu mulut Pang Goan sedang penuh dengan makanan, bercampur dengan suara kunyahan katanya, “Katakan saja, akan kami dengarkan dengan saksama.”

Tong-popo lantas bercerita, “Menurut peraturan leluhur kami, Kokcu harus dijabat oleh anggota keluarga turun temurun, dan lagi dia harus seorang gadis, maka sebelum Kokcu itu menginjak dewasa ia harus menuruti petunjuk pihak Tiang-lo-wan, bila ia sudah dewasa nanti baru diselenggarakan upacara cari jodoh, itupun pihak Tiang-lo-wan yang menyelenggarakan. Tegasnya, meskipun kedudukan Kokcu berasal dari keluarga yang turun-temurun, hakikatnya kekuasaan tetap dipegang oleh Tiang-lo-wan, hanya setelah menikah atau sebelum Kokcu yang akan datang menginjak dewasa dan menduduki jabatan tersebut, Kokcu baru memegang hak penuh terlepas dari kekuasaan Tiang-lo-wan...”

Selama ini Pang Goan hanya makan minum dengan kepala tertunduk, seakan-akan sama sekali tidak memperhatikan keterangan tersebut, kini tiba-tiba ia menyela, “Apa yang dinamakan upacara cari jodoh?”

“Cari jodoh adalah memilihkan suami untuk Kokcu, yang berarti pula sebagai persiapan untuk kelahiran Kokcu generasi penerus, agar kedudukan yang turun-temurun itu jangan sampai terputus di tengah jalan.”

“Siapa pula yang berhak dipilih menjadi suami Kokcu?”
“Setiap lelaki yang belum menikah yang menetap dalam lembah ini berhak ikut serta dalam pemilihan ini, tentu saja pemilihan tersebut mencakup soal raut wajah, perawakan, kecerdasan... dan lain sebagainya. Tiang-lo-wan berhak melakukan penelitian sebelum pemilihan berlangsung, kemudian bila cocok baru orang itu boleh ikut serta dalam kontes pemilihan tersebut.”

“Bagaimana pula kontes pemilihan itu dilangsungkan?”

“Sangat sederhana sekali, bila Kokcu menginjak dewasa, Tiang-lo-wan mulai memperhatikan pemuda-pemuda tampan dan pintar yang berada dalam lembah ini sebagai persiapan untuk turut serta dalam kontes yang akan diselenggarakan, bila pemuda yang cukup memenuhi syarat sudah mencapai sepuluh orang ke atas, kami baru menyelenggarakan upacara pemilihan untuk Kokcu, pada saat itu seluruh penduduk lembah akan berkumpul, bernyanyi dan menari bersama, jika Kokcu tertarik kepada salah seorang, dia akan mengalungkan karangan bunga yang telah disiapkan pada leher orang itu, dan orang yang terpilih pun akan menjadi Mi-kok Huma (menantu Mi-kok), malam itu juga pesta perkawinan diselenggarakan, tapi Huma hanya diperkenankan berkumpul selama tiga hari dengan Kokcu, hari keempat dia harus pindah dari gedung itu untuk menunggu perintah selanjutnya.”

“Mengapa begitu?” tanya Pang Goan.

“Sebab penghuni gedung hanya kaum wanita, sedang Huma cuma bertugas memberi keturunan, bila bulan kedua Kokcu masih belum mengandung, ia diperbolehkan menginap tiga hari lagi dalam gedung, tapi jika setahun kemudian belum hamil juga, maka pemilihan terpaksa diselenggarakan sekali lagi.”

Rupanya Pang Goan mulai tertarik oleh cerita tersebut, kembali ia bertanya, “Seandainya mengandung, ternyata bukan bayi perempuan yang dilahirkan, lalu bagaimana?”

“Jika dalam tiga kali kandungan bukan bayi perempuan yang dilahirkan, maka harus diselenggarakan pemilihan lagi, anak laki-laki yang dilahirkan akan dipelihara oleh pihak suami, bila bayi yang dilahirkan Kokcu adalah perempuan, maka Huma dan Kokcu baru boleh meneruskan hubungan suami isteri selamanya.”

“Wah, aku jadi teringat kepada kehidupan semut dan lebah,” kata Pang Goan sambil tertawa.

“Ya, apa boleh buat? Untuk melaksanakan peraturan nenek moyang kami, terpaksa kami harus berbuat demikian, meski begitu, terhadap perempuan lain dalam lembah ini tidak ada pembatasan apapun.”

“Apa maksudmu memberitahukan hal ini kepada kami?”

“Aku memberitahukan semua ini dengan harapan agar kalian memahami proses terjadinya Kokcu dalam lembah kami, atau dengan perkataan lain ingin kubuktikan bahwa pihak Tiang-lo-wan tidak bermaksud merebut kekuasaan Kokcu, sebab meski Tong Siau-sian adalah Kokcu, sebelum kawin dia masih di bawah pengawasan Tiang-lo-wan, ucapannya hanya bermaksud menghasut karena ia hendak mengelabui kalian serta mempergunakan tenaga kalian untuk kepentingannya mencapai maksud pengkhianatannya terhadap peraturan nenek moyang kami.”

“Dia seorang Kokcu? Masa mengkhianati lembah sendiri?” kata Pang Goan tercengang.

“Seperti kuterangkan tadi, Kokcu hanya namanya saja, padahal tidak banyak kekuasaan yang dimilikinya, jangan kau lihat usia Tong Siau-sian masih kecil, tapi ambisinya besar sekali. Ia tidak puas dengan peraturan yang ditinggalkan nenek moyang kami, ia menganggap kekuasaan Tiang-lo-wan melampaui kekuasaan seorang Kokcu, maka Tiang-lo-wan hendak dibubarkan agar kekuasaan terpusat di tangannya seorang, untuk mencapai tujuan ini tak segan-segannya bersekongkol dengan kekuatan luar untuk menindas sesama anggota sendiri.”

“Kukira masalah ini tak ada sangkut pautnya dengan kami, persoalan itu hanya urusan rumah tangga kalian sendiri,” kata Pang Goan sambil tertawa, “lagipula kamipun tak mempunyai kekuatan cukup untuk membantu, lebih-lebih tak kami kehendaki mencampuri urusan ini.”

“Bila Pang-tayhiap berdiri di luar garis, hal ini lebih baik lagi, tapi tidak seharusnya kalian serahkan golok mestika Yan-ci-po-to tersebut kepada Tong Siau-sian, sebab hal ini sama dengan membantu mereka untuk menentang Tiang-lo-wan.”

Pang Goan menggeleng kepala, “Kami hanya ingin menukar Yan-ci-po-to dengan rahasia Ang-siu-to-hoat serta meninggalkan lembah ini dengan selamat, tidak terlintas ingatan dalam benak kami untuk memusuhi pihak manapun.”

“Kalau begitu, seandainya Tiang-lo-wan dengan syarat yang sama ingin menukar golok itu dengan kalian, tentu kalian setuju bukan?”

“Sayang golok mustikanya cuma satu,” kata Pang Goan sambil angkat bahu, “kami telah memberikan selembar peta tempat menyimpan golok untuk Tong Siau-sian, tak mungkin memintanya kembali.”

“Ah, kalau cuma begitu, apa susahnya? Pang-tayhiap kan bisa membuatkan selembar peta lagi untuk kami, kujamin Ang-siu-to-hoat pasti akan kuberikan kepada kalian, dan kalian pun akan kami antar keluar lembah ini dengan selamat.”

“Sungguhkah perkataanmu?”

“Memangnya cuma main-main?”

“Jadi kalau kubuatkan selembar peta lagi untukmu, kau akan mengantar kami meninggalkan lembah ini?”

“Benar!”

Tampaknya perasaan Pang Goan agak “tertarik”, ia berpikir sebentar lalu berkata, “Bisa saja kukabulkan permintaanmu, cuma kami harus tinggalkan lembah ini lebih dahulu, setibanya di luar lembah peta tersebut baru kuserahkan kepadamu, setuju?”

“Tentu saja setuju, cuma kalau tanpa bukti, cara bagaimana kami bisa percaya kau tak akan ingkar janji setibanya di luar lembah? Lagipula darimana kami bisa tahu peta penyimpanan golok itu asli atau tidak?”

“Lantas bagaimana pendapatmu?”

“Kalau menurut pendapatku, tentu saja aku berharap bisa mendapatkan golok mestika Yan-ci-po-to lebih dahulu baru kemudian mengantar kalian keluar dari lembah, untuk ini tentu juga kalian tak akan percaya kepadaku, maka lebih baik kita mencari suatu cara yang sempurna agar kedua belah pihak sama-sama aman.”

“Betul, memang tepat sekali perkataan Popo, coba katakan!”

“Bicara terus terang, menurut peraturan lembah kami, tiada kesempatan sama sekali buat kalian untuk meninggalkan Mi-kok, sekalipun aku ada maksud mengantar kalian pergi, itupun tak bisa kulakukan secara terang-terangan, aku hanya bisa membantu secara diam-diam.”

“Soal ini aku dapat memahaminya!”

“Aku pikir yang paling kalian takuti terhadap Mi-kok adalah Ang-siu-to-hoat kami, seandainya kalian berhasil menguasai ilmu golok itu, sekalipun tak usah kami lindungi juga dapat menerjang keluar sendiri, maka tak ada salahnya kalau kita tukar peta tersebut dengan To-hoat lebih dahulu, bila golok mestika itu sudah kudapatkan dan kalian pun sudah menguasai ilmu Ang-siu-to-hoat tersebut, waktu itu aku bisa mengatur kesempatan baik untuk kalian pergi dari lembah ini, entah setujukah kalian dengan usulku ini?”

Pang Goan termenung sebentar, lalu berkata, “Popo akan menyiapkan kesempatan yang bagaimanakah untuk kami? Dapatkah kau ungkapkan dulu kepada kami?”

“Setelah peta kudapatkan, kalian akan kuantar dulu ke suatu tempat yang aman, rahasia dan tenang agar kalian bisa melatih Ang-siu-to-hoat dengan bersungguh hati, bila golok mestika telah kami dapatkan, Tiang-lo-hwe akan mengundang penduduk untuk menyelenggarakan pesta pemilihan suami buat Tong Siau-sian, nah, tatkala semua rakyat lembah itu sedang berpesta pora, secara diam-diam kalian bisa tinggalkan lembah ini dengan selamat.”

“Akal bagus!” sorak Pang Goan sambil bertepuk tangan, “kita tetapkan begini saja, sekarang ambilkan kertas dan pit!”

Tak terlukiskan rasa girang Tong-popo, cepat ia siapkan sendiri kertas dan pit, bahkan Hoa Jin dan Yu Ji-nio pun disuruh pergi agar rahasia tak sampai bocor.

Setelah sekeliling tak ada orang, Ho Leng-hong baru berbisik, “Lotoako, jangan buru-buru kau buatkan peta itu, jelas nenek ini mempunyai rencana keji...”

“Peduli amat, sahut Pang Goan dengan suara lirih, “bagaimanapun tempat itu cuma sebuah liang tinja, biarkan saja mereka saling berebutan tahi.”

Tak lama kemudian peta telah selesai dibuat, Tong-popo memeriksanya sejenak, kemudian menyatakan rasa puasnya, hari itu juga ia siapkan burung merpati untuk mengantar peta itu keluar lembah.

Kemudian kepada Hoa Jin pesannya pula, “Cepat siapkan barang-barang kebutuhan untuk Pang-tayhiap, akan kuantar sendiri mereka bertiga ke tempat berlatih ilmu golok itu.”

Tak lama kemudian Hoa Jin datang melapor, “Semua barang keperluan telah siap!”

Dengan wajah berseri Tong-popo segera mengulapkan tangan seraya berkata, “Saudara bertiga, mari ikut padaku!”

Keluar dari ruangan, ada empat orang perempuan dengan “benang biru” pada gaunnya telah menanti, di tangan masing-masing membawa sebuah bungkusan besar. Menyusuri kegelapan malam mereka berputar keluar dan menuju ke timur sana, sepanjang perjalanan tak ada yang berbicara, mereka tidak membawa lampu, jelas hendak menghindari pengintaian pihak Tong Siau-sian.

Tak lama kemudian mereka sudah keluar perkampungan bagian belakang, arah yang dituju ternyata adalah dasar lembah, lagipula makin ke depan perjalanan makin sulit, pemandangan di sekitar sana pun makin gersang, jangankan bangunan rumah, pepohonan pun jarang.

Suatu perasaan waswas tiba-tiba muncul dalam hati Ho Leng-hong, segera bisiknya, “Toako, tampaknya keadaan semakin tak beres, coba perhatikan tanah lumpur ini!”

Pang Goan menunduk, air mukanya kontan berubah.

“Kenapa dengan tanah lumpur itu?” tanya Hui Beng-cu tercengang, rupanya ia tidak menemukan sesuatu yang aneh.

“Tanah di sini jauh berbeda dengan tanah di depan lembah sana,” Leng-hong menerangkan, “makin ke dalam warna tanahnya makin gelap, coba lihat, bukankah tanahnya sekarang berwarna hitam pekat? Lagi pula dasar lembah ini kecuali batu karang hampir boleh dibilang tiada tumbuhan lain….”

“Lalu apa artinya semua itu?” tanya Hui Beng-cu belum juga mengerti.

“Itu berarti tempat yang akan kita tuju kemungkinan besar adalah istana es dan liang api.”

Sekujur badan Hui Beng-cu bergetar keras, akhirnya ia mengerti. Urusan telah jelas, dan merekapun sampai di tempat tujuan.

* * *

Di bawah tebing terjal di dasar lembah berdiri sederetan rumah batu, dalam rumah itu berdiri tiga orang perempuan. Ketiga orang perempuan itu telah berusia lanjut, kedudukan mereka pun amat tinggi, dua diantaranya berpangkat “benang biru”, sedang yang ketiga ternyata berpangkat “benang perak”, berarti diapun seorang Tianglo.

Tianglo tersebut berusia delapan puluh tahun lebih, meski rambutnya telah beruban, wajahnya wajah bocah, sayang matanya buta, kelopak matanya mencekung, kelihatan dua lekukan yang dalam. Kedua nenek lainnya yang berpangkat “benang biru” berusia sekitar lima puluhan, ternyata mereka pun orang buta.

Ketika Tong-popo membawa rombongan itu sampai di depan rumah batu, ketiga nenek buta itu lantas mendengar suara kedatangan mereka dan menyongsong di depan pintu. Hampir semua orang buta memiliki suatu keistimewaan yang sama, yakni pendengaran yang tajam.

Sikap Tong-popo terhadap nenek buta yang paling tua menghormat sekali, dengan hangat dan tertawa ia menyapa, “Enci Po, sudah lama aku tidak berkunjung kemari, baik-baikkah kau selama ini?”

“Seperti biasa,” jawab nenek buta she Po itu ketus, “asal bisa makan dan minum, rasanya juga sudah cukup puas.”

“Itulah baru dinamakan Hok-ki,” kata Tong-popo sambil tertawa, “tidak seperti diriku ini, dari pagi sampai malam sibuk selalu, padahal juga tidak kuketahui sibuk apa, sehingga ingin makan atau minum pun tak punya waktu…”

Tiba-tiba nenek she Po itu memotong, “Ada keperluan apa kau datang ke lembah belakang ini?”

“Aku mengantar tiga orang tamu kemari.”

“Tunjukkan lencana nomor kuncimu!” perintah nenek Po sambil ulurkan tangannya.

Dari sakunya Tong-popo mengeluarkan sebuah lencana tembaga kecil, lalu sambil tersenyum diserahkan ke tangan salah seorang nenek “benang biru”, oleh perempuan itu baru diserahkan kepada nenek Po.

Bentuk lencana tersebut tidak jauh berbeda dengan lencana biasa, cuma di atas lencana ini terdapat lubang sehingga kelihatan agak istimewa. Dengan teliti nenek Po meraba sekeliling lencana tersebut, kemudian miringkan kepala sambil bertanya, “Berapa orang?”

“Tiga orang!”

“Berapa orang lelaki dan berapa orang perempuan?”

“Dua tamu lelaki dan seorang gadis remaja!”

“Perlu dibagi menjadi berkelompok?”

“Tidak usah, mereka berasal dari satu rombongan.”

“Baik!” kata nenek Po kemudian, “tinggalkan semua barang keperluan dan kau boleh segera kembali!”

“Enci Po, ketiga orang tamu kita memiliki kungfu yang lumayan, kau kudu baik-baik melayani mereka.”

“Hmm! Jangan kuatir,” sahut nenek Po sambil mendengus, “sekalipun sepasang mataku sudah buta belum pernah ada seekor belut yang bisa lolos dari sela-sela jari tanganku.”

Mendengar ucapan tersebut, Ho Leng-hong bertiga saling pandang dengan terkesiap. Tong-popo segera menitahkan orang untuk menyerahkan bungkusan kepada mereka bertiga, lalu katanya sambil tertawa,

“Saudara bertiga, aku hanya mengantar kalian sampai di sini saja, urusan selanjutnya akan diatur nenek Po, moga-moga kalian bisa berlatih ilmu golok dengan tekun dan bersungguh hati, barang-barang ini pasti kalian butuhkan nanti, silakan kalian menerimanya.”

“Tapi tempat apakah ini,” seru Hui Beng-cu, “apa yang hendak kaulakukan terhadap kami?”

“Sambil angkat bahu Tong-popo tertawa, “Bukankah kalian bertiga ingin mencari suatu tempat yang sepi untuk berlatih Ang-siu-to-hoat? Nah, di sinilah tempat paling baik untuk berlatih ilmu golok tersebut.” Sehabis berkata ia lantas mengajak anak buahnya meninggalkan tempat itu.

Dengan suara tertahan Hui Beng-cu berkata, “Pang-toako, Ho-toako, kita tertipu, ternyata nenek she tong itu tidak bermaksud baik!”

Pang Goan tidak menjawab, buru-buru ia membuka salah satu bungkusan itu dan diperiksa isinya. Ternyata kecuali sebungkus ransum kering ada pula beberapa setel pakaian tebal anti dingin. Ketika bungkusan yang lain dibuka, ternyata isinya sama.

Sekarang Ho Leng-hong baru menghela napas panjang, keluhnya, “Berlatih ilmu golok di istana es. Ya, pasti tempat inilah Peng-kiong!”

“Benar!” sambung nenek Po mendadak, “tempat ini adalah istana es!”

* * *

Udara di dalam istana es dinginnya bukan kepalang, dalam rumah batu itupun tak kurang dinginnya. Ho Leng-hong bertiga mengenakan pakaian tebal anti dingin. Lalu di bawah “kawalan” nenek Po dan kedua orang petugas “benang biru” mereka digiring ke dalam rumah batu itu.

Wajah tiga orang perempuan itu lebih dingin daripada udara dalam ruangan tersebut, pakaian yang mereka kenakan juga sangat tipis. Dari sini dapat diketahui bahwa ketiga perempuan buta itu pasti memiliki tenaga dalam yang luar biasa hebatnya.

Oleh sebab itu Pang Goan bertiga sangat tahu diri, mereka menurut perintah tanpa membantah, merekapun tidak mengatur rencana untuk kabur, apalagi keadaan dalam lembah tersebut memang tidak memungkinkan orang untuk melarikan diri.

Setelah masuk ke dalam rumah batu, nenek Po menanyai dulu nama mereka bertiga, lalu sambil memberi tiga butir pil ia berkata, “Bila kalian tahu nama istana es tentu pernah mendengar juga nama liang api? Nah, agar kalian memiliki kesempatan untuk mempertahankan hidup secara adil, terlebih dahulu akan kuterangkan segala sesuatu yang menyangkut keadaan kedua tempat itu...”

Ketiga orang itu tidak bersuara, rupanya mereka sama sekali tidak tertarik untuk mempertahankan hidup.

Nenek Po melanjutkan perkataannya, “Istana es dan liang api adalah tempat aneh dalam lembah kami, tempat itu merupakan gudang penyimpan pusaka pemberian alam, dalam istana es itulah kitab ilmu golok Ang-siu-to-hoat disimpan, suhu dalam istana es dingin luar biasa, tiap titik air akan segera beku menjadi es, sekalipun ilmu silat seseorang amat lihay juga jangan harap akan hidup lebih enam jam di tempat itu...”

Setelah berhenti sebentar, sambil menuding ketiga biji obat itu, lanjutnya pula, “Cuma untuk memberi kesempatan kepada kalian agar bisa mendalami rahasia Ang-siu-to-hoat tersebut, maka barang siapa memasuki istana es akan diberi hadiah sebutir obat kuat, setiap orang yang makan pil itu bisa memperoleh kekuatan untuk menahan rasa dingin selama enam jam, atau dengan perkataan lain kalian mempunyai kesempatan untuk hidup dua belas jam dalam istana es, dalam waktu yang tersedia ini bukan saja dapat kalian gunakan mempelajari rahasia ilmu golok, kalian pun bisa memikirkan cara meloloskan diri dari situ.”

Ketiga orang itu tidak bersuara, tapi mereka mendengarkan keterangan itu dengan saksama, akhirnya dapat disimpulkan bahwa mereka masih ada kesempatan untuk lolos dengan selamat.

Terdengar nenek Po berkata lebih jauh, “Pintu istana es hanya bisa masuk dan tak bisa keluar, satu-satunya jalan bagi kalian untuk mencari hidup adalah menerobos liang api, tempat itu pun harus dilewati dalam waktu dua belas jam. Antara liang api dengan istana es hanya terbatas oleh sebuah gua, tapi suhu udara di kedua tempat sama sekali bertolak belakang, dalam liang api terdapat api alam yang sepanjang tahun menyemburkan api dahsyat, jangankan manusia, sebatang baja pun akan meleleh, maka jika kalian bisa menemukan cara bagus untuk menembus liang api tersebut, bukan saja dapat memperoleh ilmu Ang-siu-to-hoat yang maha sakti itu, kalian akan disambut pula oleh segenap rakyat lembah dengan segala kehormatan, kalau perempuan akan diangkat menjadi Kokcu, bila pria akan menjadi Huma... tentu saja semenjak lembah ini didirikan hingga kini belum pernah ada orang yang berhasil melintasi istana es dan liang api dengan selamat, sebaliknya jumlah yang tewas si situ justru tak terhitung banyaknya.”

Berbicara sampai di sini tiba-tiba ia tertawa bangga, katanya lagi, “Nah cukuplah keterangan ini, apa yang harus kukatakan telah kuucapkan, jika kalian masih ada pertanyaan boleh diajukan sekarang kepadaku, dengan senang hati akan kuterangkan, kalau tak ada pertanyaan, maka kalian akan kuantar masuk ke istana es.”

Hui Beng-cu hanya memandang Pang Goan dan Leng-hong dengan sedih, tiba-tiba air matanya jatuh bercucuran. Pang Goan menepuknya pelahan dan berkata pelahan dan berkata dengan suara getir,

“Siau-cu, jangan takut, manusia akhirnya akan mati, bukan sembarangan orang bisa mendapatkan kuburan yang panas-dingin komplit semacam ini, biasanya tempat yang mengandung unsur api dan air dikatakan Heng-sui yang baik, keturunan kita kelak tentu akan makmur.”

Hui Beng-cu tak dapat menerima kata-kata gurauan seperti itu, isak-tangisnya tak terbendungkan lagi, air matanya jatuh dengan derasnya.

Ho Leng-hong tetap bersikap tenang dan sedikitpun tanpa emosi, selang sejenak baru ia berkata, “Nenek, bolehkah kuajukan dua pertanyaan?”

“Katakan!”

“Pertama, benarkah ketiga biji obat pemberian nenek ini sangat manjur?”

“Tentu saja sangat manjur, aku dapat menghadiahkan obat itu kepada kalian, buat apa bohong? Kalau kau tidak percaya, setelah masuk ke dalam istana es nanti makanlah obat ini, dalam waktu dua belas jam kau takkan merasa kedinginan.”

Ho Leng-hong manggut-manggut, katanya lagi, “Kedua, aku ingin bertanya, andaikata nasib kami lagi mujur dan bisa lolos dari istana es dan liang api dalam keadaan hidup, benarkah akan memperoleh sanjungan dan penghormatan dari segenap rakyat lembah?”

“Betul, ini sudah merupakan peraturan nenek moyang kami, jadi bukan peraturan ciptaan kami.”

“Baik! Asal kami tidak mati pasti akan berkunjung pula ke lembah ini,” selesai berkata ia masukkan ketiga biji obat itu ke dalam sakunya.

Nenek Po segera membuka sebuah pintu di ruang belakang, lalu melangkah masuk lebih dulu. Tanpa ragu Ho Leng-hong menyusul di belakangnya. Pang Goan memayang Hui Beng-cu menyusul di belakangnya, sedangkan kedua perempuan tua berbenang biru berjalan paling belakang.

Di balik pintu adalah sebuah gua yang sangat gelap, di situ tak ada cahaya lampu, yang ada hanya hawa dingin yang merasuk tulang. Sekalipun matanya buta, ternyata langkah kaki nenek Po sangat cepat, untungnya permukaan gua amat datar dan tiada tikungan, tak lama kemudian sampailah mereka di depan sebuah pintu batu.

Lambat-laun Ho Leng-hong sudah mulai terbiasa dengan kegelapan, ia menghimpun segenap kekuatannya untuk memperhatikan keadaan sekeliling tempat itu. Ternyata pintu batu itu sangat tebal dan beratnya ribuan kati, gelang pintu terbuat dari baja dan tampaknya terdapat pula sebuah lubang kunci raksasa.

Nenek Po memasukkan lencana tembaga tadi ke dalam lubang kunci, setelah itu baru menggunakan sebuah anak kunci untuk membuka kunci pintu, pelahan pintu batu itu ditarik. Setelah pintu terbuka, segulung angin dingin pun berembus keluar, tanpa terasa Ho Leng-hong bertiga bergidik.

“Silakan masuk saudara bertiga!” kata nenek Po kemudian.

Leng-hong melongok ke dalam, di balik pintu merupakan sebuah gua karang, cuma dari kejauhan sana lamat-lamat kelihatan selapis cahaya putih seperti lapisan kabut. Ia menarik napas panjang-panjang, lalu melangkah masuk ke dalam gua itu.

Pang Goan bermaksud membimbing Hui Beng-cu masuk pula ke dalam gua, siapa tahu mendadak gadis itu meronta dan melepaskan diri dari pegangan Pang Goan, ia cabut golok panjang di pinggang orang she Pang itu, sambil memutar badan terus melancarkan serangan kilat ke arah kedua orang perempuan buta berbenang biru di belakangnya.

Perubahan kejadian ini sangat tiba-tiba, dalam kejutnya Pang Goan ingin mencegah, sayang tak sempat. Jangan kira kedua orang perempuan itu buta, ternyata perasaannya tajam sekali, baru saja Hui Beng-cu melolos golok, kedua orang itu segera menubruk maju dari kanan dan kiri.

Sambil membacok, Hui Beng-cu berteriak, “Aku tak mau ke istana es, kalau ingin nyawa cepat me...” Kata “menyingkir” belum selesai, pergelangan tangannya tahu-tahu kaku dan gadis itupun dicengkeram oleh salah seorang perempuan buta tadi.

Perempuan buta yang lain dengan cekatan merampas goloknya, lalu mendorong Hui Beng-cu ke dalam pintu. Buru-buru Pang Goan menyambutnya, dengan sempoyongan mereka berdua terdorong masuk ke dalam gua.

“Blang!” pintu batu tertutup rapat memisahkan gua tadi menjadi dua bagian. Sambil menutup wajahnya Hui Beng-cu menangis tersedu-sedu, pekiknya, “Pang-toako, Ho-toako, habislah riwayat kita, tak bisa tidak kita pasti mati dalam istana es ini.”

“Sekalipun harus mati, apa gunanya menangis?” jawab Leng-hong dengan tenang.

Hui Beng-cu mendongakkan kepalanya sambil berseru, “Ho-toako, kenapa kau tidak takut? Apakah sudah kautemukan akal untuk meloloskan diri?”

Leng-hong menggeleng kepala berulang kali, “Aku tidak takut karena takut tak dapat menyelamatkan jiwa kita, melawan juga bukan cara yang baik, maka tidak perlu kita lakukan perlawanan yang tak bermanfaat, kita harus menggunakan segenap kekuatan yang kita miliki untuk mencari jalan keluar.”

“Tapi istana es dan liang api jelas adalah jalan kematian, tidak mungkin kita bisa keluar dalam keadaan hidup,” keluh sang gadis sambil terisak.

“Sampai sekarang kita belum mencobanya, darimana kautahu jalan ini adalah jalan kematian?”

“Tidakkah kau dengar perkataan mereka? Sejak lembah Mi-kok ini ada, belum pernah ada orang berhasil lolos dari istana es dan liang api dalam keadaan hidup.”

“Itu kan perkataan mereka, kan tidak berarti dulu tak pernah ada orang yang berhasil dan seterusnya juga tak ada, aku yakin pasti ada orang yang berhasil menerobos kedua tempat itu.”

“Darimana kau tahu?”

“Bila tak pernah ada orang yang berhasil melewati istana es dan liang api, darimana bisa diketahui bahwa istana es dan liang api bisa menembus ke luar lembah? Darimana diketahui bahwa di belakang lembah adalah satu-satunya jalan keluar?”
Hui Beng-cu tertegun dan berhenti menangis, sesudah berpikir sebentar, katanya pula, “Mungkin tak pernah ada orang yang berhasil? Siapa tahu ucapan tersebut hanya mereka gunakan untuk membohongi orang lain?”

“Kalau bohong, tak mungkin nenek moyang lembah Mi-kok menetapkan peraturan untuk mengelu-elukan orang yang berhasil lolos dari dasar lembah ini!”

Hui Beng-cu jadi bungkam dan tak dapat membantah lagi. Selanjutnya Ho Leng-hong berkata pula, “Dari sini dapat diketahui bahwa istana es dan liang api bukan jalan buntu yang mematikan, tempat itu hanya bisa disebut sebagai jalan keluar yang sangat berbahaya, jika orang dulu bisa menembusnya, kenapa kita tak berusaha menembusnya pula?”

“Masuk akal,” kata Pang Goan, “mari kita coba sekarang juga!”

Tapi Ho Leng-hong menggoyangkan tangannya dan berkata, “Tunggu sebentar, jelas kita harus cari dan coba, cuma kita tak boleh bertindak ceroboh.”

“Lalu apa yang mesti kita lakukan?”

“Pertama kita harus mengendalikan sisa waktu hidup secermatnya, semakin lama waktu hidup kita, semakin besar pula harapan kita untuk lolos dari bahaya….”

“Betul!” Pang Goan manggut-manggut.

“Sejak kini kita hanya mempunyai waktu selama dua belas jam untuk hidup, dalam waktu ini di samping mencari jalan keluar kitapun harus berusaha mempelajari rahasia ilmu golok Ang-siu-to-hoat, jadi dua pekerjaan ini lebih baik dilaksanakan oleh dua orang, sementara seorang lainnya tetap tinggal di sini, tak boleh bergerak, tempat ini pasti jauh lebih hangat dibandingkan di dalam istana es, jadi orang yang tetap tinggal di sini tidak perlu makan obat, dengan tersisanya sebutir pil berarti akan memperpanjang waktu bergerak bagi kedua orang yang lain.”

“Daya ingatanmu tajam, tugas menghapalkan rahasia ilmu golok itu adalah bagianmu, sedang mencari jalan keluar serahkan saja kepadaku,” kata Pang Goan dengan cepat.

“Tidak!” seru Beng-cu, “kaum perempuan lebih teliti dan saksama, tugas mencari jalan keluar biar kulakukan untukmu, sedang Pang-toako beristirahat lebih dulu...”

“Tidak, kau adalah seorang gadis, kau lebih pantas beristirahat, biar segala pekerjaan diselesaikan oleh kaum pria saja.”

“Kalian tak usah berebut,” kata Leng-hong, “mencari jalan keluar adalah tugas yang berat, orang yang tetap tinggal di sini pun tak boleh minum obat, dia harus mengerahkan hawa murninya untuk melawan hawa dingin, keadaan semacam itu bukan perasaan yang nikmat.”

“Tak perlu berbuat demikian,” kata Pang Goan, “Siau-cu boleh minum obatnya, biar sebutir obatku yang disimpan, dapat menemukan jalan keluar atau tidak dalam waktu enam jam kukira sudah lebih dari cukup.”

“Masalah ini menyangkut mati-hidup kita, jangan kita menuruti perkiraan saja, pada umumnya untuk menghapalkan rahasia ilmu golok tidak perlu membutuhkan waktu sampai enam jam, tapi tugas ini sangat memeras pikiran dan tenaga. Sekalipun demikian tugas mencari jalan keluar tetap merupakan tugas terpenting, kalau jalan keluar tidak ditemukan, sekalipun ilmu golok sakti ini berhasil dihapalkan, lalu apa gunanya? Menurut pendapatku, obat itu sepantasnya diberikan semua untuk Pang-toako.”

Hui Beng-cu tertawa getir, katanya, “Paling banyak kita cuma ada waktu sehari untuk hidup, buat apa persoalan itu diributkan? Sungguh perbuatan yang tak ada harganya, sedikitnya kita harus tinjau dulu keadaan dalam istana es sebelum perundingan dilanjutkan, bagaimana pendapat kalian?”

“Betul!” kata Pang Goan, “sekalipun kita bakal mampus di sini, paling tidak harus kita tinjau dulu tempat kubur kita ini. Mari berangkat!”

Tanpa makan obat, berangkatlah ketiga orang itu menyusuri gua itu. Gumpalan cahaya putih itu makin lama makin cemerlang dan menyilaukan mata, tapi suhu udaranya makin lama makin dingin. Baru sampai di tengah jalan, ketiga orang itu sudah mulai merasakan sekujur badannya kaku, mau-tak-mau terpaksa mereka harus mengerahkan tenaga dalamnya untuk melawan rasa dingin yang luar biasa itu. Semakin mendekati mulut gua, biji mata semua orang seolah-olah ikut menjadi beku.

Tapi, pada saat itulah suatu pemandangan aneh tiba-tiba muncul di depan mata. Gua itu terletak dalam perut gunung, tingginya berpuluh tombak dengan lebar tiga sampai empat puluh tombak, bentuknya mirip sebuah tangkupan mangkuk besar.

Dalam gua tiada cahaya lampu, tapi suasana terang benderang bagaikan di siang hari, sebab seluruh permukaan dinding gua itu berlapiskan es yang tebal sekali, sementara dalam gua yang tingginya lebih lima kaki di depan sana api berkobar dengan keras.

Ketika cahaya api itu menimpa permukaan dinding es yang tebal, maka terpancar sinar refleks yang menyilaukan mata, keadaan ini ibaratnya sebuah cermin besar dalam ruangan yang tertimpa sinar matahari, hal ini membuat pemandangan dalam gua itu bagaikan sebuah dunia kaca, pemandangannya aneh, indah mempesonakan.

Rahasia Ang-siu-to-hoat yang dikatakan tiada tandingannya di dunia ini justru tersimpan dalam istana es yang indah, aneh dan fantastik ini. Bukan kitab pusaka atau kertas bergambar penjelasan yang berada di sana, melainkan manusia sungguhan yang memperagakan berbagai jurus serangan.

Ilmu golok itu semuanya terdiri dari sembilan jurus yang diperagakan oleh sembilan orang gadis berbaju merah, dan semuanya terbingkai dalam es beku di sekeliling gua. Tentu saja kesembilan gadis itu bukan orang hidup, tetapi kendati pun mayat itu sudah berusia ratusan tahun, oleh karena berada dalam lapisan es yang tebal, maka bukan saja tidak membusuk, malah bentuknya masih tetap utuh seperti hidup.

Selain kesembilan sosok mayat itu, masih ada dua puluhan sosok mayat lain yang tersebar di sekeliling gua, ada di antaranya yang sedang duduk bersila, jelas sedang memusatkan perhatiannya untuk mempelajari intisari ilmu golok tersebut, ada yang berbaring sambil melingkarkan badan, jelas tidak tahan melawan hawa dingin dan lapar, ada pula yang bermata melotot dengan wajah gusar, seakan-akan tidak rela mati dengan begitu saja, tapi ada pula yang bersikap tenang seakan-akan puas menghadapi kematian dalam keadaan seperti itu.

Mereka semua adalah kawanan jago persilatan yang berdatangan ke Mi-kok untuk belajar ilmu golok, tentu saja tujuh bersaudara Nyo dari Thian-po-hu termasuk di antaranya.

Pang Goan bertiga berdiri tertegun di depan pintu istana, pemandangan aneh itu membuat mereka terbelalak dan melongo, untuk sesaat tak tahu apa yang mesti dilakukan.

Tiba-tiba Ho Leng-hong bergidik, serunya cepat, “Cepat pejamkan mata dan mundur keluar!”

Bentakan itu dengan cepat menyadarkan Pang Goan dan Hui Beng-cu, buru-buru mereka kabur keluar dari gua tersebut. Sesudah mengatur pernapasan sejenak, Pang Goan menggeleng kepala sambil menghela napas, “Bahaya... sungguh teramat berbahaya!”

“Pemandangan tersebut sungguh merupakan pemandangan aneh yang sukar ditemui di dunia,” kata Hui Beng-cu pula, “ditambah lagi jurus-jurus ilmu golok yang indah dan memesona, membuat aku terkesima hingga lupa mengatur pernapasan. Ai, coba jika Ho-toako tidak membentak tepat pada saatnya, nyaris akupun mati kedinginan di situ.”

“Orang-orang itu justru mati dalam istana es lantaran kejadian demikian,” kata Ho Leng-hong dengan wajah serius, “sering kali orang terkesima bila menjumpai pemandangan seaneh itu, ketika mereka sadar akan bahaya, hawa dingin telah menyerang dan mereka sama mati kaku di situ, jangankan lolos dari tempat ini, mungkin kesempatan untuk mencari jalan keluar pun belum sempat dilakukan.”

Pang Goan manggut-manggut, “Untung kita masuk bertiga, coba kalau sendirian, mungkin tak seorangpun bisa lolos dari tempat ini dengan selamat.”

Leng-hong tertawa, katanya, “Cuma setelah ada pengalaman ini, berarti menambah kesempatan hidup kita.”

“Kenapa?” tanya Hui Beng-cu tercengang.

Leng-hong tidak menjawab, dia mengeluarkan obat itu dan ditelan sebutir, lalu sisanya yang dua butir diberikan kepada Pang Goan sambil berpesan, “Tunggulah di sini, aku akan masuk lebih duluan!”

“Kau hendak ke mana?” seru Hui Beng-cu.

Leng-hong tidak menjawab melainkan masuk lagi ke dalam istana es. Tak lama kemudian, ketika pemuda itu muncul kembali, tangannya membawa sebuah bungkusan kain, ketika bungkusan itu dibuka, ternyata isinya adalah ransum kering serta belasan butir pil.

Ransum kering itu ada sebagian yang telah berubah warna dan tak bisa dimakan, tapi pil-pil itu sama bentuknya seperti pil yang diberikan nenek Po kepada mereka untuk melawan hawa dingin, bahkan bentuknya sama sekali belum berubah.

“Hei, darimana kau peroleh barang-barang itu?” seru Hui Beng-cu dengan mata terbelalak.

“Peristiwa barusan telah menimbulkan suatu pikiran dalam benakku,” tutur Leng-hong sambil tertawa, “Kupikir orang-orang yang mati dalam istana es pasti membawa ransum kering dan diberi pil, tapi sewaktu masuk ke istana es lantaran mereka mengira dengan tenaga dalam sendiri pasti mampu bertahan selama enam jam, pil-pil itu tidak mereka makan, ketika tubuhnya dirasakan mulai beku, tak sempat lagi untuk minum obat, sebab itulah sengaja kugeledah saku mereka, ternyata sebagian besar memang belum pernah menggunakan ransum serta obat mereka, dengan persediaan kita sekarang, paling sedikit kita bisa tahan hidup tiga-empat hari lagi lebih lama.”

Beng-cu sangat girang, cepat ia hitung barang-barang tersebut, ternyata masih ada enam-tujuh bagian ransum kering itu yang masih bisa digunakan, sedang pil penahan dingin berjumlah tiga belas biji, jadi kalau dibagi untuk tiga orang bisa digunakan untuk bertahan selama empat hari. Dengan kelebihan waktu empat hari mereka tidak sulit untuk mencari jalan keluar, rasa percaya diri sendiri seketika tambah kuat.

“Selanjutnya apa yang harus kita lakukan?” tanya Pang Goan kemudian.

“Bila Lotoako janji tidak akan berebut denganku, bagaimana kalau aku yang membagi tugas?”

“Baik, akan kuturuti perkataanmu,” kata Pang Goan sambil tertawa.

“Seperti semula, aku bertanggung jawab menghapalkan ilmu golok Ang-siu-to-hoat, Lotoako bertugas mencari jalan keluar, sedang Beng-cu tinggal di sini mengurusi obat dan ransum, cuma ada beberapa hal harus diperhatikan dan dipatuhi oleh kita bersama.”

“Apa itu? Katakan saja!”

“Pertama, perhatian kita harus tertuju pada tugas yang sedang dilaksanakan dan tak boleh bercabang pikiran pada soal lain, misalnya saja Toako yang bertugas mencari jalan keluar, maka kau tak boleh pencarkan perhatian untuk mempelajari ilmu golok.”

“Baik! Aku pasti dapat melakukannya!”

“Kedua, demi menjaga kekuatan tubuh kita maka semua orang harus makan obat pada saatnya, termasuk juga Beng-cu, kita tak boleh melawan hawa dingin dengan tenaga dalam, setiap tiga jam kita makan ransum sekali, setiap enam jam makan obat sekali, kita tak boleh berdiam terlalu lama dalam istana es ini, mengenai perhitungan waktu kita tugaskan Beng-cu untuk melakukannya, dan lagi setiap saat harus meninggalkan tanda, begitu waktunya sampai kau harus memanggil kami agar mengundurkan diri dari istana es untuk beristirahat.”

Hui Beng-cu mengangguk tanda setuju. Sayang dalam gua sukar untuk membedakan siang atau malam, jadi sulit untuk menentukan waktu secara tepat, terpaksa Beng-cu membagi ransum kering itu menjadi beberapa bagian dengan bobot yang sama, dengan perkiraan setiap bagian ransum itu cukup mengisi perut selama dua-tiga jam, dengan rasa lapar inilah ia menentukan waktu, sekalipun tidak cocok tapi masih bisa digunakan sebagai ancer-ancer untuk menentukan pagi harikah atau malam harikah waktu itu? Dan beberapa hari sudah dilewatkan?

Setelah makan kenyang, Pang Goan dan Leng-hong masuk ke istana es untuk melaksanakan tugas masing-masing, tiga jam kemudian sewaktu mengundurkan diri untuk mengisi perut pertama kalinya, air muka mereka tampak murung.
Leng-hong menyatakan bahwa ilmu golok Ang-siu-to-hoat meski hanya terdiri dari sembilan jurus, namun setiap jurus mengandung macam-macam perubahan, untuk mengingat gerakannya saja memang tidak sulit, tapi untuk meresapi intisari dari tiap gerakan, setiap jurusnya paling sedikit membutuhkan waktu dua-tiga jam.

Oleh sebab itu ia putuskan untuk menghapalkan jurusnya lebih dulu, kemudian bila sudah lolos dari bahaya baru akan diselami lagi gerak perubahan rahasianya. Kendatipun demikian, dalam tiga jam ia hanya berhasil mengingat empat jurus belaka, itu berarti belum mencapai setengah dari seluruh ilmu golok Ang-siu-to-hoat yang ada.

Sebaliknya Pang Goan hanya mengembalikan kertas putih alias kosong. Menurut hasil penelitiannya selama tiga jam, hakikatnya tiada jalan keluar di tempat tersebut. Sekeliling dinding istana es hanya terdiri dari es yang tebal, jangankan manusia, lalat pun tak bisa menerobos keluar dari situ, dua jalan tembus yang ditemukan di situ hanya terdiri dari jalan menuju pintu istana es ini serta jalan tembus menuju ke liang api.

Liang api itu hanya diketahui lima kaki tingginya, tapi berapa dalam liang tersebut dan berapa panjangnya ia tak tahu. Api yang menyembur keluar dari liang itu berlangsung tiada hentinya, antara liang api dengan istana es terpisah oleh sebuah kolam, ternyata air dalam kolam itu separuhnya dingin dan separuh lagi panas, perbedaan itu menyolok sekali dan ternyata tidak membaur menjadi satu.

Pang Goan pernah mencoba untuk melemparkan kepingan perak ke dalam liang api, tapi begitu kepingan perak itu masuk api segera sirna dan tidak menimbulkan suara apa-apa, jelas perak itu segera meleleh dan lenyap tak berbekas.

Selesai mendengar uraian tersebut, terpaksa Ho Leng-hong harus menghibur mereka, katanya, “Jangan putus asa, kalau jalan keluar itu mudah ditemukan niscaya tidak terjadi banyak orang mati dalam istana es, ilmu golok Ang-siu-to-hoat tentu juga sudah lama tersebar luas dalam dunia persilatan, carilah pelahan dan perhatikan tempat-tempat yang mencurigakan, asal nasib kita tidak ditakdirkan tamat di sini, akal untuk lolos dari sini pasti akan kita temukan, sebaliknya kalau memang sudah takdir, kitapun tak usah menyesal.”

Pang Goan menggeleng kepala tanpa menjawab, mukanya tampak sedih.

“Pang-toako,” tiba-tiba Beng-cu menyela, “kau telah memeriksa keadaan dalam istana es, apa salahnya kalau beristirahat dulu dan memikirkan suatu akal untuk melepaskan diri dari sini, sementara kesempatan ini biar kugunakan untuk melakukan pemeriksaan pula, bagaimanapun jalan pikiran satu orang tak akan menangkan hasil pemikiran dua orang.”

Leng-hong termenung sebentar, kemudian jawabnya, “Ya, hal ini memang bisa dicoba, tapi harus ada satu orang tinggal di sini untuk siap sedia menolong rekannya, bila ilmu golok Ang-siu-to-hoat telah berhasil kuhapalkan, kita bersama-sama melakukan pencarian lagi di sekitar tempat ini.”

Tiga jam kembali sudah lewat, Hui Beng-cu kembali dengan wajah murung dan putus asa. Berbeda dengan Ho Leng-hong, dengan penuh kegirangan ia berseru, “Kita tidak sia-sia makan obat kuat, lumayan juga hasil yang kita capai.”

“Hasil apa?” tanya Beng-cu.

“Pang-toako, bukankah kau pernah berkata bahwa Ang-ih Hui-nio pernah delapan kali mengalahkan To-seng (nabi golok) Oh It-to, sedang kedelapan jurus ilmu golok To-seng bukan lain adalah Poh-in-pat-tay-sik dari Thian-po-hu dewasa ini?”

“Benar!”

“Kalau begitu, seharusnya jurus ilmu golok yang ditinggalkan Ang-ih Hui-nio juga terdiri dari delapan jurus, tapi di dinding es itu kenapa terdapat sembilan jurus.”

“O, ini memang rada aneh, kenapa bisa kelebihan satu jurus?” seru Pang Goan keheranan.

“Mula-mula Siaute juga heran,” ujar Leng-hong sambil tertawa, “sebab itu akupun menaruh perhatian khusus terhadap jurus terakhir, itulah sebabnya aku bilang perjalanan kita kali ini tidak sia-sia, ternyata dalam jurus terakhir itulah tercantum seluruh intisari dan kekuatan dari segenap jurus serangan Ang-ih Hui-nio, dan di situ pula tercantum segenap kepandaian dahsyat yang diciptakan oleh Oh It-to sepanjang hidupnya.”

“Kenapa bisa begini?” tanya Pang Goan tercengang.

“Sebab setelah kalah delapan kali, Oh It-to memeras otak untuk mencari akal untuk memecahkan kehebatan ilmu golok Ang-ih Hui-nio, sayang niat tersebut rupanya tidak berhasil diwujudkan, tapi rahasia itu justru akhirnya berhasil dipecahkan sendiri oleh Ang-ih Hui-nio.”

“Jangan-jangan jurus kesembilan yang kau maksudkan itu?” tanya Pang Goan kaget.

“Benar, jurus kesembilan justru merupakan jurus tandingan untuk mematahkan kedelapan jurus lainnya, jadi asal jurus ini berhasil kita kuasai, maka secara gampang ilmu golok Ang-siu-to-hoat akan kita patahkan, dan kitapun tak perlu takut lagi menghadapi ilmu golok sakti dari Mi-kok ini.”

Pang Goan tertegun sejenak, kemudian seperti baru memahami sesuatu ia berseru, “Ya, pantas tong Siau-sian dan Tong-popo berusaha dengan segala akal untuk mendapatkan golok mestika Yan-ci-po-to, kiranya di sinilah letak alasannya.”

“Tahu begini, mestinya Siaute hapalkan dulu jurus tersebut, sedang kedelapan jurus lainnya tak ada artinya lagi.”

“Ah, kupikir tak bisa dikatakan demikian, sebab setiap jurus ilmu golok Ang-siu-to-hoat terkandung intisari ilmu golok, kendatipun jurus kesembilan bisa mematahkan ilmu golok Ang-siu-to-hoat, ini tidak berati jurus tersebut adalah jurus yang tak terkalahkan.”

Sementara kedua orang itu terlibat dalam pembicaraan serius tentang ilmu golok Ang-siu-to-hoat, dengan ogah-ogahan Hui Beng-cu menyela dari samping, “Bisa atau tidak bisa mematahkan ilmu golok Ang-siu-to-hoat tetap sama saja jika kita gagal meninggalkan tempat ini, apa gunanya semuanya itu?”

“Akal adalah hasil pemikiran manusia,” kata Leng-hong sambil tertawa, “kalau ilmu golok Ang-siu-to-hoat bisa dipecahkan, masakah hanya sebuah istana es tak mampu diatasi?”

Perkataan yang gagah ini pun tidak bisa dikatakan salah, sayang kenyataannya justru tidak segampang apa yang mereka bayangkan. Ho Leng-hong telah berhasil mengapalkan kesembilan jurus Ang-siu-to-hoat, namun Pang Goan dan Hui Beng-cu belum berhasil juga menemukan jalan keluarnya.

Bahkan Ho Leng-hong akhirnya ikut mencari, meneliti dan pemikiran, tapi jalan keluar tetap merupakan tanda tanya besar. Persediaan pil dan ransum kian menipis, tanda waktu yang diukir di atas dinding makin bertambah banyak, bekas telapak kaki ketiga orang itu hampir menjelajahi setiap jengkal tanah dalam istana es itu, namun tiada sesuatu yang berhasil ditemukan.

Kecuali pintu istana di mana mereka datang, serta gua menuju ke liang api, dalam istana es itu tidak ditemukan lubang lain, pun tidak ditemukan jalan keluar ketiga. Pintu istana telah terkunci dari luar, mustahil bagi mereka untuk mendobrak pintu dan kabur dari situ, kini satu-satunya jalan keluar bagi mereka hanya liang api dengan semburan api yang dahsyat itu.

Api yang menyembur keluar dari dasar bumi tak pernah padam, baik diguyur dengan air, ditutup dengan salju, ternyata sama sekali tak ada gunanya. Bahkan Ho Leng-hong telah mendorong sesosok mayat ke dalam liang api sebagai percobaan, hasilnya dalam sekejap mata mayat itu hangus dan lenyap, termasuk tulang-belulangnya lenyap begitu saja.

Berhadapan dengan kobaran api yang begini dahsyat, wajah mereka menjadi pucat. Untuk mengirit persediaan pil dan ransum yang makin menipis, terpaksa ketiga orang itu harus beroperasi secara bergilir, dan lagi merekapun berusaha memperpanjang waktu untuk mengisi perut, bagi mereka yang tidak beroperasi, maka orang itu harus berhenti makan pil dan mesti mengerahkan hawa murni sendiri untuk melawan hawa dingin.

Waktu berlalu dengan cepatnya, kini pil penahan dingin tinggal empat biji saja. Dengan perasaan apa daya terpaksa Ho Leng-hong menghentikan operasi pencarian, mereka bertiga duduk berdempet dalam gua, di samping mengerahkan tenaga untuk melawan hawa dingin, merekapun harus putar otak untuk mencari akal guna meloloskan diri dari situ.

Menyusul ransum yang mereka miliki mulai habis. Orang bilang, lapar dan dingin saling bergandengan. Artinya barang siapa berada dalam keadaan lapar, maka dia juga akan sulit melawan hawa dingin yang main mencekam.

Setelah ransum habis, suasana dalam istana es seolah-olah berubah menjadi neraka, hawa dingin kian menghebat, sekalipun mereka bertiga telah melingkarkan tubuh untuk menahan rasa dingin, namun rasa dingin tetap merasuk tulang sumsum.

Tiba-tiba Leng-hong meronta bangun berdiri, serunya, “Kita benar-benar amat bodoh, kenapa hanya duduk terpekur di sini? Apa salahnya kalau kita pergi mandi air panas?”

“Mandi?”serentak Pang Goan dan Hui Beng-cu memandang ke arah Ho Leng-hong dengan tercengang.

Leng-hong tertawa ewa, katanya lagi, “Masa kalian lupa? Meskipun tempat ini sangat dingin di samping liang api kan terdapat setengah kolam air yang hangat.”

Dengan cemas Pang Goan menghela napas, “Lote,” katanya, “jangan kau lakukan perbuatan bodoh itu, dengan jelas kau tahu air kolam itu separuhnya dingin dan separuh lagi panas, yang dingin bisa membekukan badan, dan yang panas dapat mematikan orang.”

“Hanya berduduk di sini, cepat atau lambat juga mati, daripada mati kedinginan enakan mati kepanasan, malam mampusnya bisa lebih cepatan,” kata Leng-hong.

Habis berkata, ia tarik napas panjang dan dengan sempoyongan melangkah masuk ke istana es. Buru-buru Pang Goan melompat bangun dan berseru, “Jangan pergi, aku masih ingin bicara lagi!”

“Tak usah bicara lagi Lotoako,” kata Leng-hong sambil berpaling, “hanya duduk belaka sambil menanti kematian, akhirnya tetap mati, setelah kupergi nanti gunakan keempat biji pil itu untuk bisa hidup dua belas jam lagi, hal ini jauh lebih baik daripada mampus semuanya.”

Selesai berkata ia percepat langkahnya dan masuk ke dalam gua. Gerak tubuh Pang Goan jauh lebih cepat lagi, sekali melompat ia menerjang tubuh Ho Leng-hong, serta merta mereka berdua bergumul menjadi satu.

“Hei, ingatlah waktu apa ini, masa kalian masih ada tenaga untuk berkelahi?” seru Beng-cu dengan suara gemetar, “simpan saja tenaga kalian agar bisa bertahan lebih lama, bukankah hal ini jauh lebih baik?”

Dengan sepenuh tenaga Pang Goan menindih tubuh Ho Leng-hong, lalu dengan napas tersengal katanya, “Bila obat itu habis daya kerjanya, akhirnya kita toh mati juga, tapi kalau ingin hidup, kita harus hidup bersama, mau mati biar mati bersama, apa bedanya antara enam jam dengan dua belas jam? Siau-cu, bawa kemari obat itu, ayo kita makan bersama sebutir obat dan bersama melewati sisa enam jam yang terakhir ini.”

Hui Beng-cu angsurkan obat itu ke tangannya, tanpa banyak bicara Pang Goan menjejalkan sebutir pil ke mulut Ho Leng-hong, sementara ia dan Beng-cu juga menelan sebutir, kemudian melepaskan pemuda itu dari tindihannya. Setelah obat itu masuk ke dalam perut, hawa hangat seketika menjalar ke seluruh tubuh.

Ho Leng-hong menggeleng kepala dan tertawa getir, ia berkata, “Lotoako, buat apa kau berbuat demikian...?” Tanpa terasa air mata jatuh berlinang membasahi pipinya.

“Hei, apa yang kau tangisi? Jangan bersikap tak becus seperti itu, masa tidak takut ditertawai Siau-cu?”

Air mata berderai membasahi wajah Ho Leng-hong, sambil menahan isak tangisnya ia berkata, “Aku menangis bukan lantaran takut mati, tapi apa yang kita alami tadi justru mengingatkan aku akan ibuku yang telah tiada...”

“Mengapa dengan ibumu?” tanya Pang Goan tercengang.

“Sewaktu kecil dulu watakku sangat keras kepala, masih kuingat suatu ketika tatkala aku jatuh sakit, ibu suruh aku minum obat tapi aku tak mau, ibu memaksaku untuk menghabiskan obat itu, akhirnya kejadian seperti tadi, obat itu tumpah ke tanah sedang ibuku kena kutendang waktu mencekoki obat ke mulutku...”

Kejadian itu merupakan pengalaman pada masa kecil yang mudah menimbulkan gelak tertawa, tapi entah mengapa, Pang Goan dan Hui Beng-cu tak mampu tertawa.

Ho Leng-hong terbuai lagi dalam lamunannya, “waktu kecil nakalku tidak ketolongan lagi, sampai ibuku kehabisan akal padaku, suatu hari seorang kakek tetangga mati, keluarganya mengeluarkan sebutir mutiara untuk dijual guna membeli peti mati, ibu merasa senang dengan mutiara itu tapi tak mampu membelinya, waktu itu aku berada di sisinya dan berkata, “Ibu, apa yang menarik dengan benda itu, bila aku dewasa nanti dan kaya, bila ibu meninggal pasti akan kubelikan sebuah peti mati kaca....”

Belum habis perkataannya, mendadak mencorong sinar matanya. Tiba-tiba ia melompat bangun dan lari masuk ke dalam istana es.

Pang Goan dan Hui Beng-cu kuatir ia mengalami kejadian di luar dugaan, buru-buru mereka mengejar ke dalam. Ketika itu daya kerja obat telah menyebar, setelah berada dalam istana es, mereka tidak merasa kedinginan. Ho Leng-hong langsung menghampiri kolam di tepi liang api itu, dengan mata melotot ditatapnya dua sosok mayat di tepi kolam tersebut dengan termangu.

Mayat tua dan muda itu mungkin terdiri dari seorang ayah dengan puteranya, anak berbaring di atas sebuah panggung es setinggi dua tombak, sedang ayahnya berjongkok di tepi kolam seperti sedang mengambil air, entah mengapa mereka berdua sama-sama mati kedinginan di situ. Pang Goan dan Hui Beng-cu berdiri saling pandang, mereka sama tercengang dan tidak mengerti.

Tiba-tiba Ho Leng-hong bertanya, “Coba kalian lihat, bukankah kematian kedua orang ini sangat aneh?”

“Benar, memang aneh, cuma makna apakah yang terkandung di balik keanehan itu?” ucap Pang Goan.

“Coba kau terka, apa yang sedang mereka lakukan?”

Pang Goan berpikir sejenak, lalu sahutnya, “Mungkin puteranya membeku karena kedinginan, maka ayahnya ingin mengguyur tubuhnya dengan air panas, sayang dia sendiripun tidak tahan hingga akhirnya ikut mati di tepi kolam...”

“Betul!” jawab Ho Leng-hong sambil mengangguk, “Ia memang sedang menolong puteranya, sebab kematian puteranya dalam keadaan beku adalah karena salah perhitungan.”

“Darimana kau tahu?” tanya Pang Goan terkejut.

“Coba kalian perhatikan dengan saksama, di sini terdapat dua bagian tempat yang pantas diperhatikan secara khusus. Pertama, di mana puteranya berbaring terdapat sebuah panggung es yang tingginya mencapai dua kaki, sesungguhnya di situ tiada bentuk tanah semacam itu. Kedua, telapak tangan ayahnya hancur, ini menunjukkan air yang diambil adalah air panas dan bukan air dingin.”

“Tapi apa artinya semuanya itu?” kembali Pang Goan bertanya.

“Kupikir mereka telah berhasil menemukan cara untuk meloloskan diri, sayang karena suatu kekeliruan kecil mengakibatkan usaha mereka gagal total, bahkan harus mati secara penasaran,” tutur Leng-hong.

Berdetak keras jantung Pang Goan dan Hui Beng-cu setelah mendengar perkataan itu, serentak mereka berseru, “Bagaimana caranya itu?”

“Menyembunyikan orang di dalam es!” jawab Leng-hong dengan serius...
Selanjutnya,
Golok Yanci Pedang Pelangi Jilid 10