Golok Yanci Pedang Pelangi Jilid 10

Cerita Silat Mandarin Golok Yanci Pedang Pelangi Jilid 10 karya Gu Long
Sonny Ogawa

Golok Yanci Pedang Pelangi Jilid 10

Cerita silat Mandarin Karya Gu Long
“Menyembunyikan orang di dalam es?” seperti baru sadar akan sesuatu Pang Goan segera berseru, “maksudmu, kita simpan orang di dalam balok es, lalu meneroboskannya lewat liang api?”

“Benar. Keadaan ini persis seperti peti mati kaca yang tadi kubicarakan, kurasa hanya dengan cara ini saja orang bisa melewati liang api tanpa kuatir terbakar tubuhnya!”

“Kalau begitu mari kita coba sekarang juga….” seru Hui Beng-cu dengan girang.

Tapi Pang Goan segera menggoyang tangan dan mencegah gadis itu berbicara lebih jauh, kepada Ho Leng-hong ia berkata, “Apakah kau berhasil menemukan sebab-sebab kegagalan mereka?”

“Ya!” jawab Leng-hong sambil mengangguk, “mereka gunakan air dingin untuk membuat panggung es lebih dulu, kemudian menyuruh puteranya berbaring di atas panggung itu, lalu ayahnya menyirami tubuh anaknya dengan air dingin, karena udara dalam ruangan ini sangat dingin maka dalam waktu singkat sekeliling tubuh puteranya sudah dilapisi oleh es beku, cara ini memang sempurna, sayang mereka telah melupakan suatu hal kecil, yakni setelah air itu membeku maka lapisan es itu akan melengket menjadi satu dengan lantai dan tak mungkin bisa di gerakkan lagi, jelas ayahnya menjadi gelisah, dalam keadaan begini, maka ia ingin menggunakan air panas untuk melumerkan lapisan es, sebab itu tangannya menjadi melepuh dan luka parah, akibatnya mereka berdua mati di tepi kolam.”

Sambil mendengarkan uraian tersebut, Pang Goan mengangguk, katanya kemudian, “Mungkin juga tenaga dalam puteranya tidak cukup kuat dan tak sanggup bertahan lama dalam es, akibatnya ia mati sesak di situ.”

“Padahal kalau ingin menghindari pembekuan antara balok es dengan lapisan es di lantai, asal kita lapisi secarik kain lebih dulu di tanah sebelum pembentukan balok es, hal ini akan beres dengan sendirinya, kendati demikian masih ada dua hal yang merupakan kekurangan besar yang sulit untuk diatasi.”

“Dua hal bagaimana itu?”

“Pertama, cara ini terlalu menyerempet bahaya, sebab siapapun tidak tahu berapa panjang jarak liang api itu dengan daerah aman, kalau jaraknya lebih jauh dari perkiraan, akibatnya balok es itu habis cair lebih dulu sebelum sampai di tempat tujuan, dalam keadaan demikian kita bakal mati konyol.”

“Ya, kecuali cara ini tak ada jalan lain yang lebih baik lagi, tapi tetap berharga untuk menempuh bahaya ini. Coba sebutkan pula kekurangan kedua!”

“Kedua, untuk mewujudkan cara ini kita harus korbankan seseorang untuk tetap tinggal di sini, selain itu datarkah liang api itu? Tiadakah tikungan lainnya? Hal ini masih bergantung pada nasib mujur masing-masing, jelas tak mungkin diselidiki sebelumnya.”

Pang Goan menengadah dan menarik napas panjang, “Tiada sesuatu cara yang sempurna, kurasa inilah satu-satunya cara yang bisa kita coba sekalipun tetap harus menyerempet bahaya. Bahwa seseorang harus berkorban dan tetap tinggal di sini, kurasa jauh lebih baik daripada semua orang mampus sekaligus, biar aku saja yang tinggal di sini.”

“Tidak bisa, Toako adalah pemilik Cian-sui-hu, kalau dibilang siapa yang harus berkorban maka sepantasnya akulah yang tetap tinggal di sini,” kata Leng-hong.

“Tidak, orang yang tinggal harus memiliki tenaga dalam yang sempurna, dengan demikian baru bisa cepat mendorong kedua rekannya melewati liang api itu, tenaga dalammu tak dapat menandingi kelihaianku, buat apa kau berebut denganku?”

“Tapi cara ini akulah yang mendapatkan, aku berhak untuk membagi tugas kerja untuk kalian.”

“Dalam hal ini jangan dibicarakan soal hak, kita mesti berbicara mengikuti keadaan umumnya, di antara kita bertiga, Siau-cu adalah kaum perempuan, jelas ia tak boleh tinggal di sini, sedang kau adalah satu-satunya orang berhasil menguasai ilmu golok Ang-siu-to-hoat, maka kaupun tak boleh tinggal di sini.”

“Di antara kalian berdua, yang seorang adalah pemilik Cian-sui-hu, sedang yang lain adalah puteri kesayangan dari Hiang-in-hu, kematian kalian berdua sangat mempengaruhi keadaan orang banyak, jadi kalian sama-sama tak boleh tinggal di sini, hanya aku seorang yang hidup sebatang kara tanpa sanak tanpa keluarga, maka pantas kalau aku yang ditinggal di sini...”

“Cukup! Cukup!” teriak Hui Beng-cu dengan suara lantang, “kalian dua orang lelaki selalu ribut setiap menghadapi persoalan, sungguh menjemukan! Menurut penilaianku, yang tinggal di sini justru paling aman, sedang orang yang pertama yang harus melewati liang api itu justru paling berbahaya, sekarang kalian saling berebut sendiri, apakah kalian sama-sama takut mati?”

“Darimana kau tahu yang tetap tinggal di sini justru yang paling aman?” tanya Leng-hong dengan penasaran.

“Kenapa tidak?” jawab Beng-cu, “coba bayangkan sendiri, bila tidak berhasil melampaui liang api, orang yang disimpan dalam balok es pasti akan mati lebih dulu, sebaliknya kalau berhasil, maka orang yang lolos itu masih bisa berusaha untuk mengadakan pertolongan pada temannya lewat pintu istana sebelah depan, bukankah yang tinggal di sini paling aman?”

Ho Leng-hong dan Pang Goan menundukkan kepalanya dan berpikir, mereka tidak bicara lagi. Ucapan Hui Beng-cu memang masuk diakal, tapi juga belum tentu benar, karena orang yang berada dalam balok es meski termasuk menyerempet bahaya toh ia masih ada harapan untuk hidup, sebaliknya mereka yang tinggal dalam istana es dengan ransum yang sudah habis, paling banyak cuma bisa bertahan selama dua belas jam saja, padahal keadaan dalam Mi-kok amat kacau, siapa yang berani menjamin yang sudah lolos itu akan memberi pertolongan dengan lancar dalam sehari semalam yang amat singkat? Kalau pertolongan datangnya terlambat, niscaya orang itu akan tewas juga.

Berputar pikiran Pang Goan, tiba-tiba ia berkata, “Lote, begini saja. Salah seorang di antara kita berdua harus dapat menembus liang api ini meski menyerempet bahaya, sedangkan yang lain tetap tinggal di sini, untuk adilnya, marilah kita undi saja?”

Leng-hong termenung agak lama, akhirnya ia setuju juga. Dari sakunya Pang Goan mengambil keluar beberapa keping uang perak, sambil digenggam dalam tangan katanya, “Mari kita bertaruh jumlah kepingan perak dalam genggamanku ini, kita bertaruh dalam jumlah ganjil atau genap, yang salah menebak dia harus menyerempet bahaya untuk menerobos liang api, sedang yang menebak dengan jitu tetap tinggal di sini, taruhan hanya berlangsung sekali dan tak boleh menyesal. Nah, tebaklah lebih dulu.”

“Uang perak itu milikmu, tentu saja kau tahu jumlahnya,” kata Leng-hong.

“Sebab itulah kupersilakan kepadamu untuk menebak lebih dulu, dengan demikian baru adil namanya.”

Leng-hong berpikir sebentar, lalu katanya, “Baiklah, aku tebak ganjil!”

Pang Goan segera membuka telapak tangannya sambil tertawa, “Maaf, tebakanmu keliru, perak ini berjumlah enam keping, jadi genap!”

Ho Leng-hong mencoba untuk memperhatikan keenam keping uang perak itu, empat di antaranya berwarna lusuh, jelas sudah lama, sedang dua keping lainnya berwarna agak baru, jelas secara diam-diam Pang Goan telah meremukkan kepingan perak yang agak besar menjadi dua keping kecil.

Ditatapnya Pang Goan dengan rasa haru, ia tak tega membongkar rahasia itu, terpaksa katanya dengan menghela napas, “Legakan hatimu Toako, bila aku beruntung bisa lolos dengan selamat, dalam waktu dua belas jam kami pasti akan kembali ke sini untuk menolongmu.”

“Kaupun jangan kuatir,” sahut Pang Goan dengan tertawa, “sepergi kalian nanti, aku akan tidur sekenyangnya di sini, siapa tahu begitu mendusin dari tidurku nanti, pintu istana telah terbuka lebar.”

Habis berkata ia mulai membentang selembar pakaian di tanah dan membuat panggung es. Pang Goan dan Hui Beng-cu segera bekerja sama menyiramkan air kolam ke atas tubuh Ho Leng-hong, air yang diambil dari kolam segera membeku, tak lama kemudian sebatas dada Ho Leng-hong ke bawah sudah dilapisi oleh lapisan es yang tebal. Akhirnya bagian kepala pun dilapisi es, ia harus menahan napas hingga keluar dari liang api itu, otomatis pembentukan lapisan es dilakukan dengan lebih cepat.

Sesaat sebelum mengguyurkan air dingin ke wajah Ho Leng-hong, tiba-tiba Pang Goan berbisik, “Golok mestika Yan-ci-po-to yang didapatkan Ci-moay-hwe adalah golok yang asli, tapi mata golok telah kupoles dengan air raksa sehingga kelihatan amat tumpul, asal golok itu kau garang sebentar di atas api, ketajamannya akan segera pulih kembali... Cian-sui-hu dan Thian-po-hu kuserahkan kepadamu, semoga kau melindungi Wan-kun dan menyayangi anaknya...”

Jelas ucapan itu merupakan pesan terakhirnya sebelum berpisah, ini membuktikan pula tekadnya untuk mengorbankan diri sendiri serta tidak ada niat untuk melanjutkan hidup.

Ho Leng-hong merasa darah dalam rongga dadanya bergolak keras, hampir saja ia melompat bangun. Tapi sebelum ia sempat berusaha, bahkan sebelum ia mengangguk atau melakukan gerakan yang lain, air dingin telah diguyurkan pada wajahnya...

Ho Leng-hong memejamkan mata dan menutup pernapasan, telinganya sudah tak dapat mendengar apa-apa lagi, ia hanya merasa tubuhnya seakan-akan berada dalam sebuah peti mati besar yang amat dingin, iapun merasa sekujur badan bagaikan diikat kencang-kencang oleh tali yang kuat sehingga sama sekali tak berkutik.

Namun ia tahu dengan jelas, justru dalam detik-detik yang singkat inilah mati-hidupnya akan ditentukan, kalau usahanya meloloskan diri gagal, maka kemungkinan besar tidurnya ini akan berlangsung untuk selamanya, atau mungkin juga badannya akan hancur lebur terbakar menjadi abu.

Ia bukan seorang laki-laki pengecut yang takut mati, tapi ia selalu berharap dapat hidup lebih lama karena tanggung jawab yang berada di pundaknya teramat berat, semua ini membuatnya tak boleh mati dan juga tak berani mati.

Mendadak ia merasakan sekujur badan bergetar keras dan seperti melayang di udara... hawa dingin di sekelilingnya lenyap dengan cepat, disusul kemudian udara yang amat panas menyerang tubuhnya. Sudah pasti lapisan es yang membungkus tubuhnya mulai cair tertimpa panasnya api.

Udara yang panas membuat anak muda itu teringat pada api yang berkobar dalam liang api, dalam detik yang amat singkat ini, kemungkinan besar tubuhnya akan terbakar lenyap tak berbekas. Segala apapun tak berani dibayangkan Ho Leng-hong lagi, ia hanya berharap semoga tubuhnya yang sedang melayang dapat berhenti dengan cepat.

Asal sudah berhenti maka mati-hidupnya akan diketahui, jika berada di luar liang api berati umurnya masih panjang, kalau berada dalam liang maka jangan harap akan hidup terus.

Tapi justru guncangan tersebut dan gerakan melayang belum juga berhenti, sebaliknya hawa panas yang menyengat badan kian lama kian sukar ditahan, seakan-akan berada dalam sebuah kukusan raksasa yang airnya mendidih.

Dia ingin melihat keadaan itu, namun matanya tak sanggup dibuka, ingin berteriak namun tiada suara yang keluar, ingin meronta namun tiada tenaga, dalam keadaan serba susah ia merasa seakan-akan sekujur badan menjadi kaku, seperti terbakar, dan berubah menjadi abu, berubah menjadi asap.

Blang! Terjadi getaran yang dahsyat, lalu ia tak sadarkan diri.


Rasanya baru terjadi dalam sekejap, tapi juga seakan-akan sudah berlangsung sangat lama. Ho Leng-hong membuka matanya, pertama-tama ia lihat langit yang biru, kemudian ia merasa sekelilingnya berbau belerang yang amat tebal.

Reaksinya yang pertama adalah ingin melompat bangun dan duduk, tapi sebuah tangan segera menekan tubuhnya, menyusul bergema suara nyaring merdu di sisi telinganya,

“Jangan sembarangan bergerak, apakah kau ingin membuat terbalik perahu ini agar semua orang berubah seperti ayam kucemplung kali?”

Itulah tangan seorang perempuan, suara perempuan, bahkan kedengaran seperti sudah dikenalnya. Mula-mula Ho Leng-hong mengira perempuan itu adalah Hui Beng-cu, tapi setelah berpaling baru diketahui bahwa ia berbaring di atas sebuah perahu kecil, orang yang sedang mendayung perahu itu adalah seorang gadis asing.

Perahu itu kecil sekali, si nona masih amat muda, sekilas pandang bisa diketahui bahwa usianya baru dua puluh tahunan, mukanya bulat telur dengan mata yang besar dan jeli, bajunya berwarna hijau dengan gaun berwarna biru, separuh gaunnya basah kuyup.

Leng-hong mencoba untuk duduk, sayang sampan itu terlampau kecil, baru saja ia bergerak segera menimbulkan guncangan keras. Buru-buru nona berbaju hijau itu menghentikan dayungnya, dengan setengah mengomel dan setengah tertawa katanya,

“Eh, bagaimana kamu ini?” Suruh jangan bergerak, kenapa kau tidak mau menurut perkataanku? Coba lihatlah, lantaran ingin menolongmu, gaunku menjadi basah kuyup, atau kau baru puas bila melihat sekujur badanku menjadi basah?”

Terpaksa Leng-hong berbaring kembali, dengan menyesal katanya, “O, maaf, aku tidak bermaksud demikian, aku hanya ingin... ingin....”

Nona berbaju hijau itu kembali mendayung, tukasnya, “Bukankah kau ingin bertanya padaku, seorang kawan perempuanmu apakah juga sudah tertolong, begitu bukan?”

“Benar! apakah nona melihatnya?” seru Leng-hong gelisah.

Nona berbaju hijau itu tertawa, “Tentu saja telah kulihat dia, kalau tidak, darimana kutahu kau masih mempunyai seorang kawan?”

“Sekarang ia berada di mana? Bagaimana keadaannya?”

“Jangan kuatir, ia baik-baik saja dan berada di perahu lain, mungkin sudah berangkat pulang duluan, taciku yang membawa perahu tersebut.”

“Terima kasih banyak nona...”

Demi mengetahui Hui Beng-cu juga sudah tertolong, ia tak tahu haruskah bergirang atau sedih? Girang karena mereka berdua akhirnya berhasil lolos dari liang api dengan selamat, sedih karena meski Hui Beng-cu berhasil lolos dan tertolong, ini membuktikan pula bahwa di antara mereka berdua tentu terpaut suatu jarak waktu yang cukup lama, hal ini kemungkinan besar mempengaruhi keselamatan jiwa Pang Goan yang berada di dalam istana es.

Tempat ini merupakan sebuah telaga kecil di atas gunung, luasnya tidak seberapa besar, berhubung letaknya dekat kawah, maka air telaga pun menjadi panas dan mengandung belerang. Ho Leng-hong sangat menguatirkan keselamatan Pang Goan, segera ia tanya pula, “Nona, tahukah kau sudah berapa lama aku tercebur ke dalam telaga?”

“Hahaha, lucu amat pertanyaanmu,” kata si nona baju hijau sambil tertawa, “masa kau sendiri tidak tahu sudah berapa lama tercebur ke dalam telaga?”

“Terus terang, ketika tercebur ke dalam telaga aku berada dalam keadaan tak sadar, hakikatnya aku tidak tahu soal waktu.”

“Apa sebabnya kau sampai tercebur ke dalam telaga?”

“Tentang ini...” Ho Leng-hong tak ingin menyinggung masalah lembah Mi-kok, terpaksa bohongnya, “aku dengan nona Hui sedang mencari obat di atas gunung, karena kurang hati-hati kami berdua terpeleset jatuh ke bawah.”

“Mencari obat? Mencari obat apa? Gunung ini tandus dan gersang, rumput pun tak bisa tumbuh, apalagi tumbuhan obat segala?”

Seketika Leng-hong tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Memang betul, bukit belakang dekat Mi-kok memang sebuah bukit yang gersang dan gundul, hanya di seberang telaga saja ada tumbuh-tumbuhan.

Untung otaknya dapat berputar cepat, buru-buru katanya lagi sambil tertawa, “Obat yang kami cari bukan sembarangan rumput obat, melainkan sejenis benda yang tertanam dalam tanah, bila digali keluar akan bisa dipakai untuk bahan mesiu.”

“O, tahulah aku sekarang, kalian pasti sedang mencari belerang.”

“Bukan, bukan belerang, tapi sejenis benda yang hampir mirip dengan belerang.”

Ia merasa gadis berbaju hijau ini mempunyai daya pikir yang bagus, terutama bila menghubungkan persoalan yang satu dengan lainnya, nona itu pun suka tanya macam-macam, maka ia tak berani bicara secara pasti.

Ternyata kali ini si nona tidak mendesak lebih jauh, sambil tertawa katanya, “Ah, pokoknya aku tahu kalian bukan datang untuk mencari obat, persoalan ini tidak menyangkut diriku dan akupun tak ingin banyak bertanya, dulu ibu sering berkata kepadaku, ‘Kalau bertemu orang, bicaralah tiga patah kata saja, agar jangan disangka yang bukan-bukan oleh orang.’ Rupanya kalian mempunyai jalan pikiran seperti itu?”

“Nona salah paham...” kata Leng-hong sambil tertawa getir. Cepat-cepat dia alihkan pembicaraan ke soal lain, katanya, “Terima kasih banyak atas bantuan nona. Bolehkah kutahu siapa namamu?”

“Kau tanya namaku? atau juga keluargaku?”

“Tentu saja menanyakan semuanya, sebab sebenarnya kita akan berkunjung ke rumahmu serta mengucapkan terima kasih langsung kepada ibumu.”

“Tidak usah, ibuku sudah lama tiada, di rumah hanya ada tiga orang kakak beradik, kami dari keluarga Kim, Toaci bernama Lam-giok, aku bernama Lik-giok dan adikku bernama Hong-giok, maka panggil saja namaku Lik-giok!”

Sementara itu perahu sudah menepi dan berlabuh di sebuah selat yang menyorok ke dalam. Setelah menambat perahunya, Kim Lik-giok melompat ke daratan lebih dulu, kemudian menjulurkan tangannya seraya berkata, “Turunlah dengan pelahan, jangan sampai membuat sampan terbalik.”

Pelahan Ho Leng-hong berduduk dan mengatur napas, ternyata isi perutnya tidak terluka, hanya sekujur badan terasa pegal, keempat anggota badannya lemas dan tak bertenaga, maka di bawah bimbingan Lik-giok iapun naik ke darat.

Tak jauh di depan sana berlabuh pula sebuah sampan kecil, papan geladaknya basah, tapi tak nampak manusia, rupanya Hui Beng-cu benar-benar sudah tertolong dan mendarat duluan.

Ketika Lik-giok melihat langkah Leng-hong amat susah, serta merta dipayangnya pemuda itu sambil berkata, “Tangga batu ini tinggi, mari kubimbing kau ke atas.”

Buru-buru Ho Leng-hong mengucapkan terima kasih, di bawah bimbingan Lik-giok selangkah demi selangkah ia naiki tangga batu itu. Tangga batu itu mencapai seratus undak lebih, pada ujung tangga tersebut berupa sebuah tanah lapang berumput yang luas, beberapa tombak di sebelah depan sana berdirilah tiga buah rumah gubuk berpagar bambu.

Ketika mencapai tepi pagar bambu, Ho Leng-hong sudah kepayahan hingga napas tersengal, dengan susah payah ia memasuki rumah tersebut, suasana di situ amat hening dan tak nampak sesosok bayangan manusia pun.

Lik-giok membimbingnya masuk ke dalam sebuah kamar di samping kanan, lalu katanya, “Lepaskan dulu pakaianmu yang basah, akan kubawa untuk dijemur, setelah kering nanti dikenakan kembali.”

Leng-hong coba memperhatikan sekejap sekeliling ruangan, ditemuinya kecuali sebuah selimut di atas pembaringan, di situ tidak ditemukan secuwil kain pun, hal ini membuatnya ragu.

“Ayo, cepat lepas pakaianmu,” desak Lik-giok lagi, “jangan sampai masuk angin karena memakai baju yang basah kuyup.”

Leng-hong tertawa jengah, katanya, “Nona, apakah kaupunya pakaian untuk lelaki? Pinjamkan untukku!”

“Wah, sulit, di rumah hanya terdiri dari tiga orang perempuan, darimana datangnya pakaian lelaki? Lebih baik berbaringlah dalam selimut, bagaimanapun toh tak ada orang lagi, jangan kuatir ketahuan orang lain.”

“Aku rasa... hal ini kurang baik!”

“Kenapa tidak baik? Itu pembaringanku, aku rela digunakan olehmu, siapa yang berani mengatakan tidak?”

Gadis itu ternyata tidak banyak pikir, sebaliknya Ho Leng-hong merasa malu untuk melepaskan pakaian dan berbaring dalam keadaan telanjang bulat di atas pembaringan si nona.

Bukannya dia tidak berpengalaman dalam keadaan demikian, tapi gadis itu tak pernah dikenalnya, tak pernah mempunyai hubungan apa-apa, lagi telah menolong jiwanya, kendatipun ia bukan seorang Kuncu (gentleman), tapi dia tak ingin melakukan sesuatu yang melanggar tata susila, apalagi berduaan saja dalam sebuah kamar dengan seorang gadis muda.

Tapi dalam kamar tidak tersedia pakaian kering sebagai penggantinya, bagaimana pun mustahil baginya untuk berbaring di atas pembaringan dalam keadaan basah kuyup...

Sementara ia merasa serba susah, dengan tidak sabar Lik-giok berkata, “Mengakunya seorang lelaki sejati, tapi tidak tegas menghadapi persoalan, sekarang kusediakan dulu makanan untukmu, bila aku kembali nanti ternyata bajumu belum dilepas, jangan menyesal jika aku yang akan mencopot bajumu.”

Sepeninggal Lik-giok, Ho Leng-hong merasa kehabisan akal, terpaksa ia lepaskan baju yang basah dan buru-buru menyusup ke dalam selimut. Tak lama kemudian Lik-giok telah kembali sambil membawa semangkuk besar bubur hangat, katanya sambil tertawa,

“Kutahu perutmu tentu lapar, cepat habiskan bubur ini sementara kujemurkan pakaianmu yang basah ini.”

Leng-hong memang sangat lapar, baru saja Lik-giok keluar kamar, separuh mangkuk bubur sudah berpindah ke perutnya. Manusia adalah besi, nasi adalah baja.

Setelah semangkuk bubur habis dimakan, Ho Leng-hong merasa semangatnya pulih kembali, rasa linu pegal berkurang banyak, iapun ingin cepat-cepat bertemu dengan Hui Beng-cu dan berusaha lekas kembali ke Mi-kok untuk menolong Pang Goan.

Siapa tahu Lik-giok sudah pergi lama sekali dan belum juga kembali, suasana di sekeliling sana amat sepi tak terdengar suara apapun, seakan-akan rumah itu kokang, tak berpenghuni. Lambat laun, cahaya matahari di luar jendela pun condong ke barat.

Makin ditunggu Leng-hong merasakan keadaan semakin tidak beres, sebenarnya ia ingin bangun untuk memeriksa, apa daya, tubuhnya dalam keadaan bugil, beberapa kali ia mencoba berteriak, namun tak seorang pun yang menjawab. Tak lama kemudian sang surya telah tenggelam di balik bukit, senja pun tiba.

Leng-hong jadi teringat kembali akan suara Lik-giok yang seperti sudah dikenalnya, menyusul kemudian iapun teringat bahwa Lik-giok tak pernah tanya nama dan alamatnya, padahal di sekitar lembah tak ada penduduk, mana mungkin ada orang luar yang bertempat tinggal di dekat Mi-kok...

“Wah, celaka, aku tertipu!” Dengan terperanjat Ho Leng-hong melompat bangun, baru saja dia hendak merobek selimut untuk menutupi bagian tubuhnya yang terlarang agar bisa keluar dari situ, mendadak bayangan seorang muncul di depan pintu.

Dia adalah seorang nona berbaju merah, entah sedari kapan nona itu sudah berdiri di luar pintu sambil memandangnya dengan senyum dikulum.

“Ho-tayhiap, masih kenal padaku?” sapa gadis itu sambil tertawa cekikikan. Warna pakaian yang sudah dikenalnya dengan suara yang amat dikenal pula.

Rasa ngeri muncul dari lubuk hati Ho Leng-hong, tanpa terasa ia berseru, “Samkongcu!”

Cepat-cepat ia menyusup lagi ke dalam selimut dan menutupi tubuhnya yang bugil itu. Sambil tertawa cekikikan Samkongcu melangkah ke dalam ruangan, kemudian katanya, “Tak kusangka Ho-tayhiap masih ingat padaku, cuma Samkongcu hanya sebutan yang berlaku dalam organisasi Ci-moay-hwe, namaku sekarang adalah Kim Hong-giok!”

“O, kalau begitu Kim Lam-giok dan Kim Lik-giok adalah Toakongcu dan Jikongcu dari Ci-moay-hwe?” pekik Ho Leng-hong dengan kaget.

“Ho-tayhiap memang tak malu disebut sebagai orang pintar,” goda Samkongcu sambil tertawa, “aku berurutan nomor tiga, tentu saja di atasku masih ada dua orang kakak, sudah lama sekali kami bertiga dari Ci-moay-hwe menanti kedatangan Ho-tayhiap di sini.”

“Mau apa kalian menantikan kedatanganku?”

“Bersahabat, membicarakan transaksi dagang dan kedua belah pihak akan sama-sama mendapatkan untung.”

Ho Leng-hong tertawa dingin, “Hehehe, kalian telah memperalat diriku sebagai Nyo Cu-wi, lalu mencuri golok Yan-ci-po-to, kemudian memfitnah kami agar ditangkap pihak Mi-kok... tidak cukupkah kalian membikin celaka kami ini? Apa lagi yang perlu dibicarakan? Maaf, aku tidak berminat lagi.”

Samkongcu tidak menyangkal semua tuduhan tersebut, dengan wajah masih dihiasi senyuman ia berkata, “Urusan yang sudah lewat lebih baik jangan dibicarakan lagi, yang perlu dibicarakan adalah masalah sekarang, masalah yang menyangkut tiga nyawa, kupikir Ho-tayhiap pasti masih berminat.”

Karena ucapan yang penuh keyakinan itu mau-tak-mau Ho Leng-hong harus memperhatikan, tanyanya, “Tiga nyawa yang mana?”

“Kau, Hui Beng-cu serta Pang Goan yang masih tertinggal dalam istana es dan menunggu pertolonganmu.”

“Kau mengetahui semuanya?” desis Leng-hong.

Samkongcu manggut-manggut, “Bagaimanapun Hui Beng-cu masih muda dan lebih jujur dibandingkan dirimu, ia telah menceritakan semua kejadian kepada kami. Nah, bagaimana? Waktu tidak banyak, bersediakah kau melakukan suatu barter yang adil?”

Menyinggung soal waktu, Leng-hong merasa gelisah sekali, teringat pada Pang Goan yang sedang menunggu dalam istana es ditambah lagi cuaca mulai gelap, kendatipun gemas, tapi apa daya?”

Akhirnya dengan perasaan apa boleh buat ia menghela napas panjang, sedapatnya ia bersikap tenang, katanya sambil tertawa, “Baiklah, anggap saja kau yang menang, pertukaran apa yang kau inginkan?”

“Tiga nyawa ditukar dengan rahasia ilmu golok Ang-siu-to-hoat, adil bukan?”

“Kim Hong-giok, kau jangan keliru, aku Ho Leng-hong bukan anggota lembah Mi-kok.”

“Aku tahu,” rupanya Kim Hong-giok sudah mempunyai perhitungan sendiri, ia berkata lebih jauh, “aku tahu baru saja kau menerobos istana es dan menembus kawah api, baru lolos dari kematian, tidak mungkin kau keluar dengan tangan hampa bukan?”

Leng-hong tertawa getir, “Kalau sudah tahu kami baru lolos dari kematian, mestinya kau juga harus tahu bahwa kami tak punya waktu untuk mempelajari ilmu golok tersebut.”

“Buat orang lain mungkin ucapan ini benar, tapi tak berlaku bagimu,” kata Kim Hong-giok dengan tertawa.

“Tapi aku kan sama saja, juga seorang manusia.”

“Benar, kau memang manusia, tapi bukan manusia goblok, kau adalah seorang manusia cerdas yang tak akan melupakan apa yang pernah kau lihat.”

Kemudian ditatapnya wajah Ho Leng-hong dengan serius, katanya lebih jauh, “Menurut apa yang kuketahui, sewaktu berada di Tiang-lo-wan dalam Mi-kok, cukup menyaksikan jalannya pertarungan antara Pui Hui-ji dengan Yu Ji-nio, beberapa jurus ilmu golok mereka tentu berhasil kau sadap, kukira hal ini pernah terjadi bukan?”

“Tapi bukankah kau sendiri pernah juga menyadap To-kiam-hap-ping-kiam-hoat Pang-toako dengan cara menyuruh keempat perempuan Ainu itu mengerubutinya?”

“Sebab itulah lebih baik kita bicara blak-blakan, apapun tak usah membohongi yang lain,” kata Kim Hong-giok sambil tertawa.

Leng-hong berpikir sebentar, lalu katanya, “Bukankah kau telah bersekongkol dengan orang-orang dari Mi-kok? Untuk mencuri belajar ilmu golok mereka sesungguhnya bukan pekerjaan yang sulit, mengapa kau harus mengincar aku orang she Ho?”

“Ini disebabkan oleh dua alasan, pertama mengenai untung-rugi kedua pihak, jadi tak mungkin berhubungan secara jujur, kedua, aku ingin membuktikan apakah ilmu golok yang mereka pelajari adalah ilmu golok yang komplit? Ataukah masih ada bagian yang sengaja mereka rahasiakan?”

Ho Leng-hong tak ingin membuang waktu percuma, setelah termenung sebentar, jawabnya, “Baiklah, kukabulkan permintaanmu, tapi ada syaratnya yang harus kaupenuhi dulu.”

“Katakan!”

“Bukankah kau bilang akan bertukar syarat denganku dengan jaminan tiga nyawa, diantaranya termasuk juga Pang-toako? Oleh karena itu, kau harus membantu menolong Pang-toako lebih dahulu sebelum ilmu golok Ang-siu-to-hoat kuberitahukan kepadamu.”

“Maksudmu aku harus membantumu menyerbu ke Mi-kok, membuka pintu istana es dan mempersilakan Pang Goan keluar dengan terang-terangan?”

“Betul!”

“Maaf, aku tidak memiliki kekuatan tersebut. Bila istana es bisa kumasuki sekehendak hatiku, apa perlunya aku bertukar syarat denganmu?”

“Sekarang Pang-toako belum lolos dari bahaya, jadi kau tidak dapat melaksanakan syarat kita, lalu apa gunanya kaubicara pertukaran kepadaku.”

“Soal ini...” Kim Hong-giok berpikir sejenak, “Yang bisa kulakukan hanya mengantarmu kembali ke Mi-kok, di samping itu kuberikan pula perlindungan serta keleluasaan untuk bergerak, mengenai pertolongan atas Pang Goan adalah urusanmu sendiri, maaf bila aku tak dapat membantu apa-apa.”

“Padahal dua masalah tersebut tak perlu bantuanmu, kauanggap aku tak bisa pergi sendiri ke Mi-kok?” seraya berkata ia lantas bangkit dan duduk di pembaringan...

Tapi baru setengah badan terangkat, cepat ia mengkeret lagi, tiba-tiba ia menemukan dirinya memang benar-benar tak bisa pergi lagi ke Mi-kok. Pertama, tentu saja karena ia berada dalam keadaan bugil dan tak mungkin turun dari pembaringan.

Kedua, ia merasa dalam dadanya seperti ada gumpalan hawa dingin yang menyumbat jalan pernapasannya dan membuat ia tak mungkin mengerahkan tenaga dalamnya.

Terhadap kesulitan yang pertama, ia masih sanggup untuk melakukannya dengan tebalkan muka, tapi terhadap kesulitan yang terakhir, mau-tak-mau ia terkejut juga, jelas dalam bubur panas tadi telah dicampuri sesuatu obat tertentu.

Kim Hong-giok tertawa genit, ucapnya dengan lembut, “Ho-tayhiap, sekarang apa mau bertukar syarat denganku? Aku tak terburu-buru ingin mengetahui Ang-siu-to-hoat, tapi kukuati Pang-tayhiap tidak memiliki waktu yang cukup untuk menunggu kedatanganmu.”

“Orang she Kim, kau benar-benar manusia rendah yang tak tahu malu,” damprat Leng-hong gemas.

Kim Hong-giok tidak menyangkal, mala ucapnya dengan tertawa, “Terhadap seorang yang telah belajar Ang-siu-to-hoat harus di hadapi seperti menghadapi seekor harimau ganas, mau-tak-mau kami harus waspada.”

“Baik! Aku mengaku kalah,” jawab Leng-hong sambil memejamkan mata, “beri aku pakaian dan obat penawar, segera kudemonstrasikan ilmu golok Ang-siu-to-hoat di hadapanmu.”

“Tahu begini, kita tak usah banyak bicara,” kata Kim Hong-giok sambil tersenyum.

Ia bertepuk tangan tiga kali, seorang perempuan setengah umur mengiakan dan melangkah masuk, di tangannya membawa pakaian Ho Leng-hong serta sebutir pil.

Kim Hong-giok meletakkan pakaian dan pil itu di ujung pembaringan, sambil bangkit berdiri katanya, “Waktu lebih berharga daripada emas, aku tak ingin mengganggumu lebih lama, harap kau lakukan seperti apa yang dijanjikan agar tidak mendatangkan kesulitan lagi bagi nona Hui. Nah, akan kutunggu jawabanmu di luar.”

Seperti seekor ayam jago yang kalah bertarung, terpaksa Leng-hong menuruti perintah si nona.


Ci-moay-hwe tidak malu disebut sebagai sebuah organisasi yang amat rahasia, hingga kini setiap langkah mereka selalu diatur dengan masak, setiap persolan selalu berada dalam perhitungan mereka, seolah-olah setiap urusan yang dicampuri Ci-moay-hwe pasti akan terjatuh dalam cengkeraman mereka, bahkan keadaan dalam lembah Mi-kok pun tidak terkecuali.

Akan tetapi, kendatipun Kim Hong-giok amat cerdik, tapi ia melalaikan sesuatu yang justru sangat penting artinya. Yakni ia tidak tahu bahwa ilmu golok Ang-siu-to-hoat sesungguhnya terdiri dari sembilan jurus.

Setiap orang yang pernah mendengar kisah mengenai Ang-ih Hui-nio dengan Oh It-to tentu mengetahui bahwa sejak suami-isteri ini berpisah, mereka telah bertarung sebanyak delapan kali dari setiap kali bertarung hanya terdiri dari satu jurus, yaitu asal mulanya ilmu golok Poh-in-pat-tay-sik dan ilmu golok Ang-siu-to-hoat.

Oleh sebab itu ketika Ho Leng-hong hanya memainkan delapan jurus, dan jurus kesembilan yang merupakan jurus terpenting sengaja dirahasiakan, Kim Hong-giok sedikitpun tidak merasa curiga.

Kendatipun hanya delapan jurus, ternyata sudah menarik segenap perhatiannya, secara beruntun dia paksa Ho Leng-hong berlatih tiga kali lagi baru garis besar ilmu golok itu berhasil di hapalkan olehnya, tentu saja belum mencakup intisarinya.

Kim Hong-giok memang cerdik, kalau Ho Leng-hong membutuhkan waktu dua-tiga jam untuk memahami satu jurus, maka Kim Hong-giok seluruhnya hanya perlu dua-tiga jam untuk memahami delapan jurus tersebut. Ketika delapan jurus serangan itu selesai dilatih, tengah malam pun sudah lewat.

“Hanya ini saja yang kuketahui,” demikian Leng-hong berkata kemudian, “kini Pang-toako sedang menunggu pertolongan dalam istana es, aku tak bisa membuang waktu lebih lama lagi, semoga perkataanmu bisa dipercaya dan berusaha membantu aku masuk kembali ke Mi-kok.”

“O, tentu! Bukan cuma membantumu kembali ke lembah saja, kami pun berharap setelah Pang Goan berhasil diselamatkan, kita masih bisa menjadi sahabat untuk seterusnya, maka kuputuskan untuk menemani kau berangkat ke Mi-kok.”

Leng-hong tercengang, ia tahu keberangkatan si nona ke Mi-kok pasti mengandung maksud tertentu, tapi untuk mengejar waktu ia tak sempat berpikir panjang lagi, dia hanya berharap bisa segera berangkat.

Agaknya Kim Hong-giok telah mengadakan persiapan, ketika gaun merahnya diberi sedikit perubahan dan ditambah jubah luar, maka berubahlah menjadi dandanan seorang pengawal “berbenang putih”, diajaknya Ho Leng-hong meninggalkan rumah gubuk itu.

Dari rumah gubuk menuju ke mulut lembah ternyata tidak jauh, Kim Hong-giok juga hapal dengan daerah ini, tak sampai setengah jam mereka telah tiba di tempat tujuan. Ketika tiba kembali di tempat lama, teringat pengalamannya ketika lolos dari bahaya, sungguh ngeri rasa hati Ho Leng-hong, ia berhenti di tempat kejauhan sambil bisiknya,

“Hei, kita akan masuk secara terang-terangan ataukah secara diam-diam?”

“Jangan kuatir,” jawab Kim Hong-giok sambil tertawa, “sudah kuatur segala sesuatunya.”

Ia menyulut api, kemudian obor itu digoyangkan ke atas tiga kali. Tak lama kemudian dari mulut lembah muncul segerombolan bayangan manusia yang bergerak mendekat dengan cepat. Mereka adalah lima gadis bergolok dan seorang utusan “berbenang biru”, sekilas pandang Ho Leng-hong kenal utusan tersebut sebagai Hoa Jin.

Kim Hong-giok membisikkan sesuatu kepada Hoa Jin, kemudian membaurkan diri ke dalam kelompok perempuan pengawal itu. Hoa Jin seperti tidak percaya dan terkejut, buru-buru ia maju ke depan dan mengamati wajah Ho Leng-hong dengan saksama, kemudian serunya tercengang, “Ah, rupanya benar-benar kau, sungguh tak pernah kusangka!”

“Akupun tak menyangka, tentu kemunculanku ini akan sangat mengecewakan nenek Tong dan saudara sekalian,” sahut Leng-hong dengan tertawa.

Hoa Jin tidak menjawab, dia memberi tanda dan berseru, “Pasang obor, bunyikan terompet penyambut tamu agung!”

Enam batang obor segera dipasang, menyusul kemudian suara terompet bergema nyaring. Dalam waktu singkat bunyi terompet bersahut-sahutan dari dalam lembah, cahaya obor bermunculan di mana-mana disusul gemuruh suara manusia.

“Hei, apa-apaan kau?” tegur Leng-hong tercengang.

Sambil memberi hormat, jawab Hoa Jin, “Ho-tayhiap berhasil menerobos istana es dan melewati kawah api dengan selamat, itu berarti kau telah menjadi tamu terhormat lembah kami, kedatanganmu akan disambut oleh segenap anggota masyarakat kami.”

Tidak banyak berbicara lagi, mereka lantas mengiringi Ho Leng-hong menuju ke mulut lembah. Sepanjang jalan tampak cahaya obor sambung-menyambung bagaikan ular panjang, sejak mulut lembah sepanjang jalan penuh berjejal manusia baik lelaki maupun perempuan, tua dan muda, saling berebut melihat kedatangan tamu agung tersebut. Bunyi terompet yang sahut menyahut agaknya telah membangunkan semua penduduk lembah dari tidurnya.

Gerak-gerik Ho Leng-hong menjadi tak bebas, sepanjang jalan ia dielu-elukan oleh masyarakat lembah, ia digiring menuju ke depan perkampungan di mana cahaya lampu pun terang benderang, Kokcu Tong Siau-sian beserta para Popo dari Tiang-lo-wan menyambut kedatangannya di pintu perkampungan.

Air muka Tong Siau-sian lebih banyak diliputi rasa kejut daripada rasa girang, gerak-geriknya tampak kikuk, sebaliknya para Tianglo tampak diliputi rasa gembira dan bangga. Ketika Ho Leng-hong tiba di tempat tujuan, serentak bunyi mercon digelar.

Tong Siau-sian mengalungkan sehelai selendang merah ke atas bahu Ho Leng-hong, kemudian bisiknya, “Semenjak berdirinya Mi-kok, Ho-tayhiap adalah orang pertama yang berhasil keluar dari istana es dalam keadaan hidup, dengan inilah kami mengucapkan selamat padamu.”

“Tidak berani,” sahut Leng-hong sambil menjura, “semua ini berkat nasibku yang mujur, juga berkat bantuan Kokcu.”

Entak mengapa, tiba-tiba air muka Tong Siau-sian bersemu merah. Tong-popo tertawa bergelak, “Hahaha, sungguh pandai bicara, mungkin takdir yang menghendaki Ho-tayhiap mencapai sukses.”

Diiringi orang banyak Ho Leng-hong dibawa masuk ke ruang tengah, Tong Siau-sian segera mempersilakan tamunya menempati kursi utama dengan didampingi para Tianglo di kedua sisinya, pelayan segera menghidangkan teh wangi.

Dulu sebagai tawanan dan kini sebagai tamu terhormat, ternyata Ho Leng-hong sama sekali tidak merasa senang, apa yang dipikirkan sekarang hanya bagaimana caranya memasuki istana es untuk menolong Pang Goan, cuma sayang ia tak punya kesempatan untuk buka suara.

Para pengawal berbenang putih belum berhak masuk ke dalam ruangan menemani tamu, jadi Kim Hong-giok pun tidak diketahui ke mana perginya. Setelah air teh dihidangkan, Tong Siau-sian kembali menitahkan orang untuk menyiapkan arak, sementara ia sendiri mohon diri untuk meninggalkan ruangan.

Begitu Tong Siau-sian pergi, Tong-popo lantas berkata dengan tertawa, “Ho-tayhiap, sejak kedatanganmu di lembah ini, aku sudah tahu bahwa kau bukan manusia sembarangan, buktinya memang demikian. Nah, aku ingin minta suguhan secawan arak darimu.”

“Popo terlalu sungkan, aku orang she Ho adalah manusia tak becus, keberhasilanku tak lebih lantaran nasib lagi mujur,” sahut pemuda itu.

Di luar ia berkata demikian, dalam hati pikirnya, “Mau minum arak boleh minum sepuasnya nanti, yang penting sekarang lekas buka istana es dan menjemput Pang-toako keluar dari situ...”

Di dengarnya Tong-popo berkata lagi sambil tertawa, “Ho-tayhiap adalah naga di antara manusia, semua Popo telah membuktikan sendiri, menurut pendapatku, persoalan inipun tak usah dirundingkan lagi, kita tentukan besok sebagai hari baik saja, entah bagaimana pendapat Cici sekalian?”

“Bagus sekali! Bagus sekali!” sahut para Tianglo serentak.

Lalu Tong-popo berkata kepada Ho Leng-hong, “Inilah rejeki Ho-tayhiap dan juga merupakan peraturan dari lembah kami, kukira Ho-tayhiap tak akan mengajukan pendapat lain bukan?”

Apa yang dipikirkan Ho Leng-hong sekarang bagaimana caranya masuk ke istana es, hakikatnya ia tidak menaruh perhatian terhadap apa yang mereka bicarakan, maka seenaknya saja ia mengangguk.

“Popo sekalian tak usah terlalu berlebihan, sudah kukatakan keberhasilanku adalah karena nasibku lagi mujur.”

Karena kurang memperhatikan, dia mengira orang sedang berunding untuk mengadakan pesta keesokan harinya untuk merayakan peristiwa besar ini.

“Baik!” ujar Tong-popo girang, “kita putuskan besok tengah hari sebagai saat bahagia, segera siarkan ke seluruh lembah agar bersiap mengadakan pesta.”

Ketika berita tersebut disiarkan, serentak semua anggota masyarakat lembah itu menyambutnya dengan sorak-sorai gembira, dentuman mercon segera berbunyi di mana-mana menambah semaraknya suasana.

Ho Leng-hong masih menyatakan terima kasih dengan senyum dikulum, setelah bunyi mercon mereda, ia baru memperoleh kesempatan untuk berkata, “Sesungguhnya kalian tak perlu merayakan kejadian ini secara besar-besaran, bila Popo sekalian ingin merayakannya, lebih baik kabulkan saja suatu permintaanku, untuk mana selamanya aku akan berterima kasih.”

Tong-popo tertawa, “Kini kita adalah orang sendiri, apa permintaanmu, asal dapat kulakukan pasti akan kukabulkan, buat apa sungkan-sungkan?”

“Popo tentu tahu bukan, aku mempunyai seorang teman she Pang yang masuk ke istana es bersamaku?”

“Benar, kau maksudkan Pang Goan, Pang-tayhiap pemilik Cian-sui-hu? kenapa dia?”

“Karena harus membantuku lolos, ia sendiri tak mampu meninggalkan tempat tersebut, hingga kini masih tertinggal di dalam istana es...”

“O, sayang sekali,” tukas Tong-popo, “padahal aku selalu menaruh hormat kepada Pang-tayhiap, ia rela membantu orang lain dengan mengorbankan diri sendiri, jiwa besarnya itu sungguh mengagumkan.”

“Popo telah salah mengartikan kata-kataku,” ucap Leng-hong sambil menggeleng kepala dan tertawa, “maksudku, hingga kini Pang-toako masih hidup dalam istana es, ia belum mati.”

Tong-popo melengak, tiba-tiba ia menengadah dan tertawa terbahak-bahak.

“Jangan tertawa Popo, aku bicara sesungguhnya,” kata Leng-hong.

Sambil tertawa Tong-popo berpaling ke arah para Tianglo lainnya seraya berkata, “Percayakah kalian? Ia bilang Pang Goan masih hidup dalam istana es, dan katanya ia tidak bohong? Hahaha…”

Beberapa nenek itupun ikut menggeleng kepala sambil tertawa, “Mungkin itulah harapan Ho-tayhiap, tentu saja kamipun berharap ia masih hidup, tapi harapan tinggal harapan, kenyataannya hal ini tak mungkin terjadi.”

“Ketika kumasuk ke istana es, bukankah kalian pun tidak percaya bahwa aku akan keluar dalam keadaan hidup?” kata Leng-hong serius, “tapi kenyataannya sekarang aku bisa keluar dengan selamat, ini kan juga suatu kenyataan!”

“Kami hanya mengakui kenyataan dan bukan khayalan, kecuali Pang Goan pun bisa keluar dengan selamat, siapapun tak akan percaya perkataanmu itu.”

“Kalau tidak percaya, boleh kita buka istana es dan memeriksanya?”

Tong-popo menggeleng kepala berulang kali, “Tidak mungkin! Menurut peraturan lembah hanya satu orang yang boleh masuk ke istana es, dan lagi diapun harus mempunyai alasan khusus, itupun harus memperoleh persetujuan dulu dari dewan para Tianglo.”

“Siapakah orang itu?” buru-buru Leng-hong bertanya.

“Kokcu!”

“Baik! Sekarang juga akan kutemui dia, kuharap Popo sekalian mengizinkan ia masuk ke istana es...”

Sambil tertawa kembali Tong-popo menggeleng kepala, “Ho-tayhiap, tak usah ke sana, sebelum tengah hari besok, Kokcu takkan menjumpai dirimu.”

“Kenapa?” tanya Leng-hong.

“Sebab kalian belum melakukan upacara nikah secara resmi, masa calon pengantin boleh bertemu muka dulu?”

Leng-hong tertegun, ia termangu-mangu.

Sambil tertawa kembali Tong-popo berkata, “Jangan terburu napsu, untuk menghormati kau sebagai orang pertama yang bisa keluar dari istana es, kami putuskan akan mengizinkan Kokcu masuk ke istana es satu kali guna melakukan pemeriksaan, akan tetapi itupun harus dilakukan seusai upacara nikah kalian tengah hari esok, harap kau bersabar dulu.”

“Tidak!” teriak Leng-hong sambil melonjak, “aku tidak mau menjadi Huma dari Mi-kok, lebih-lebih tidak ingin menetap di lembah ini, kembaliku kemari hanya bermaksud menolong Pang-toako…”

Air muka Tong-popo berubah masam, katanya dingin, “Ho-tayhiap, sebelum bicara hendaklah pikirkan dulu tiga kali. Inilah peraturan lembah dan kaupun telah menyetujuinya, kini berita perkawinan telah tersiar luas di seluruh lembah, kenapa kau malah mengucapkan kata-kata semacam itu?”

“Hei, sejak kapan aku menyetujui?”

“Bukankah tadi kau telah setuju, malahan kau minta agar jangan terlalu meriah, masa ucapanmu itu cuma omong kosong saja? Kami menjodohkan Kokcu kepadamu, meski hanya untuk memenuhi peraturan nenek moyang, itupun karena menghormati dirimu, masa kau bersikap plin-plan?”

“Bila kalian menghargai diriku, aku rela melepaskan kesempatan untuk kawin dengan Kokcu, aku hanya mohon agar Pang-toako diizinkan meninggalkan istana es.”

“Ah, perkataan apakah itu?” kata Tong-popo tak senang hati, “betapa terhormatnya seorang Kokcu, masa kau anggap perkawinan sebagai permainan kanak-kanak? Lagipula antara soal perkawinan dengan mati-hidup Pang Goan hakikatnya merupakan dua masalah yang tidak ada hubungannya, jika kau tidak tahu adat lagi, jangan menyesal bila kamipun tak akan sungkan-sungkan.”

Diam-diam Ho Leng-hong mengeluh, kini ia baru sadar bahwa dirinya telah terjebak oleh perangkap lawan. Persekongkolan antara Samkongcu Kim Hong-giok dengan Tong-popo untuk memaksanya kawin jelas suatu intrik yang busuk dengan tujuan tertentu, soal ini bisa tidak diurus, apakah dirinya mengawini Tong Siau-sian atau tidak juga bukan masalah penting, tapi Pang Goan yang menanti pertolongan dalam istana es jelas tak bisa ditunda-tunda lagi, betapapun tak dapat menunggu usainya upacara perkawinan tengah hari besok, persoalan ini justru masalah yang paling penting.

Dalam cemasnya hampir saja ia hendak menerjang masuk ke dalam istana es dengan kekerasan, tapi ia sadar kekuatannya terbatas, dua kepalan sukar menandingi empat tangan, apalagi jago-jago dalam lembah tak terhitung banyaknya. Ia sadar umpama istana es berhasil diterobos, Pang Goan dapat diselamatkan, belum tentu ia bisa lolos keluar Mi-kok, sekalipun bisa keluar dari lembah ini, Hui Beng-cu yang ada di tangan Ci-moay-hwe pasti juga akan celaka. Sungguh masalah pelik yang sukar diatasi. Untung Ho Leng-hong bukan seorang yang keras kepala, setelah berpikir sebentar, tiba-tiba senyuman menghiasi wajahnya.

“Ya, karena cemas aku sampai keblingar,” demikian katanya, “entah berapa banyak orang yang mengimpikan untuk menjadi Huma dari Mi-kok, masa kesempatan baik yang kudapatkan kutolak begitu saja? Sungguh tindakan yang salah besar.”

“Jadi sekarang kau sudah memahaminya?” tanya Tong-popo ketus.

“Ya, sudah paham, sebagai manusia mau-tak-mau harus memikirkan diri sendiri, hanya orang bodoh yang tidak menggunakan kesempatan baik ini, mengenai mati-hidup Pang Goan, aku telah berusaha sepenuh tenaga, kesetiaan kawan paling-paling cuma begini saja, kupercaya dia tak akan menyalahkan diriku.”

Tampaknya Tong-popo rada curiga terhadap perubahan sikapnya yang tiba-tiba itu, namun ia tidak mengusut lebih jauh, hanya katanya dengan hambar, “Kalau bisa demikian akan lebih baik, sudah sepantasnya kita berusaha sepenuh tenaga demi sahabat, tapi tidak perlu urus soal waktu yang cuma setengah hari saja.”

“Betul,” kata Leng-hong sambil tertawa, “bila ia sudah mati, cemas juga tak berguna, sebaliknya kalau ia tidak ditakdirkan mati, Pang-toako pasti dapat menunggu diriku setengah hari lagi.”

Sejak itu masalah yang menyangkut Pang Goan tidak disinggung-singgung lagi, Leng-hong bersenda-gurau dan tertawa, ia membual tentang pengalamannya ketika lolos dari istana es. Tak lama kemudian, perjamuan sudah siap, para Tianglo pun menemani Ho Leng-hong bersantap.

Kelakuan Leng-hong bagaikan orang yang delapan keturunan tak pernah minum arak, setiap cawan yang diangkat segera dihabiskan, tentu saja beberapa orang nenek itu bukan tandingannya minum arak. Tak lama kemudian, para nenek itu menjadi mabuk dan pusing kepala, semua orang tak berani minum lagi, sedangkan Ho Leng-hong masih saja memaksanya minum, dalam keadaan demikian terpaksa nenek-nenek itu harus mengambil langkah seribu.

Perjamuan itu hanya berlangsung dalam waktu singkat dan diakhiri begitu saja. Bagaimanapun Tong-popo adalah nenek yang lanjut usia, setelah minum beberapa cawan arak akhirnya dia tak tahan, setelah menitahkan orang menyiapkan kamar tidur di bilik timur buat Ho Leng-hong, ia sendiri pun kembali ke Tiang-lo-wan untuk istirahat.

Leng-hong tahu bahwa di sekeliling bilik timur pasti tersebar para penjaga yang mengawasi gerak-geriknya, maka ia sengaja memanggil petugas penjaga untuk menghadap. Kepada penjaga itu dikatakannya, “Aku tahu penghuni perkampungan ini kebanyakan adalah kaum perempuan, padahal aku mempunyai kebiasaan tidur telanjang, oleh karena itu untuk menjaga tata kesopanan terpaksa pintu dan jendela akan kututup rapat, tolong nona sampaikan kepada semua orang, harap malam ini jangan mendekati kamar bilik timur.”

Semakin ia bersikap misterius, para penjaga semakin tak berani gegabah. Baru saja ia masuk kamar, penjaga itu segera melaporkan kejadian tersebut kepada Hoa Jin.”

Mendengar laporan tersebut, Hoa Jin tertawa dingin, katanya, “Kalian masih gadis dan belum kawin, tentu saja harus menghindarinya, lain dengan diriku yang sudah kawin dan pernah punya anak, aku tidak takut hal begitu, tugas jaga malam ini serahkan saja kepadaku.”

Ketika semua orang sudah beristirahat, Hoa Jin dengan golok terhunus mendatangi bilik timur, betul juga, lampu kamar telah dipadamkan, pintu mau pun jendela juga tertutup rapat. Pelahan Hoa Jin menghampiri jendela dan coba memperhatikannya, ternyata suasana dalam kamar amat hening, bahkan suara napas pun tidak terdengar.

Timbul curiga dalam hatinya, jangan-jangan Ho Leng-hong sudah tidak berada di dalam kamar lagi? Untuk melaksanakan tugasnya, mau-tak-mau dia harus “nyerempet bahaya” untuk melakukan pengintipan. Hoa Jin tarik napas panjang, setelah berhasil menenangkan hatinya, pelahan ia merobek sedikit kertas jendela dan mengintip ke dalam.

Hah, aneh benar! Hanya kegelapan dalam ruangan tersebut, apapun tidak dilihatnya. Ia mengucak mata kemudian mengerahkan ketajaman matanya untuk memperhatikan lebih jauh tapi tetap kegelapan saja yang di lihat, jangankan bayangan orang pembaringan dan meja kursi pun tidak kelihatan.

Akhirnya, setelah diperhatikan lebih jauh, ia menjadi paham, ternyata dibalik jendela telah ditutup secarik kain hitam, sudah barang tentu sulit bagi orang luar untuk melihat keadaan dalam kamar. Hoa Jin tertawa dingin, pelahan ia membuka daun jendela.

Kain hitam itu tergantung tiga kaki dari daun jendela, ia harus menyingkap kain tersebut untuk bisa melihat ke arah pembaringan, karena tiada jalan lain, terpaksa dengan sangat hati-hati ia memasukkan separoh badannya ke dalam jendela, kemudian dengan tangannya menyingkap kain hitam itu.

Mimpipun tak disangkanya kalau Ho Leng-hong justru bersembunyi di balik kain hitam itu, baru saja ujung kain tersingkap, mendadak sekujur badannya menjadi kaku dan jalan darah pada pergelangan tangannya kena dicengkeram oleh Ho Leng-hong. Belum sempat ia berteriak minta tolong, tahu-tahu jalan darah bisu sudah tertutuk, menyusul separuh badanya ikut tertarik masuk ke dalam ruangan.

Masih untung di halaman tiada orang lain, coba kalau perbuatan Hoa Jin “menerobos jendela” itu diketahui orang, biarpun keramas tujuh hari pun nodanya takkan tercuci bersih.

Sambil tertawa lirih Leng-hong berkata, “maaf, kukira budak-budak kecil itu tak pernah lihat, maka mereka ingin menambah pengalaman, tak tahunya Hoa-toaso sendiri yang berkunjung kemari, maaf kalau aku bersikap kurang sopan.”

Seraya berkata ia mulai mencopoti jubah luar Hoa Jin dan ambil goloknya, lalu dikenakan di tubuh sendiri, sekali lompat ia sudah keluar jendela, kemudian ia tutup kembali daun jendela dan berangkatlah ia menuju ke lembah belakang.

Hoa Jin tertutuk dan tak bisa berteriak, apalagi berkutik, terpaksa ia cuma bisa menyaksikan kepergian pemuda itu dengan mata melotot, entah harus gusar ataukah kecewa?

Sesaat menjelang fajar, biasanya merupakan suasana yang paling gelap. Ketika Ho Leng-hong tiba di lembah belakang, itulah saat fajar hampir menyingsing, dari kejauhan ia sudah berhenti, melepaskan baju merah Hoa Jin dan membuang pula sarung goloknya, sambil menghunus golok ia beristirahat sebentar untuk menunggu kesempatan.

Tiga orang nenek buta yang menjaga pintu masuk istana es itu terdiri dari seorang Tianglo dan dua orang “berbenang biru”, tentu saja kungfu mereka tidak lemah. Ho Leng-hong mengerti bahwa kehadirannya tak akan mampu mengelabuhi mereka, maka ia membuang lelah dulu agar bilamana perlu ia bisa menyerbu secara kekerasan.

Pemuda itu bertekad, bagaimanapun jua sebelum fajar menyingsing nanti dia sudah harus dapat menyelamatkan Pang Goan serta meninggalkan Mi-kok, kemudian baru berusaha menyelamatkan Hui Beng-cu. Seandainya di antara Pang Goan dan Hui Beng-cu dia hanya bisa menolong satu orang saja, dia pasti akan memilih Pang Goan karena ini adalah soal moral.

Bila pertolongan harus dibedakan mana lebih dulu, dia juga akan menolong Pang Goan duluan, sebab Hui Beng-cu yang berada di tangan Ci-moay-hwe tak akan segera mati, sebaliknya Pang Goan yang terkurung di istana es justru berada dalam keadaan kritis.

Pemilihan demikian adalah pemilihan terpaksa, sebab kecuali cara demikian ia tidak punya cara lain yang lebih sempurna. Oleh sebab itu, ketika sambil membawa golok ia berjalan mendekati rumah batu, hatinya merasa berat sekali. Setelah ambil keputusan yang terpaksa, tentu saja dia tak mau mengalami kegagalan di sini sana.

Betul juga, kedatangannya tak dapat mengelabui nenek Po yang berada dalam rumah batu, baru saja berada tiga kaki dari pintu rumah, dari dalam telah berkumandang suara bentakan, “Siapa di situ? Berhenti!”

Ho Leng-hong berjalan maju beberapa kaki lagi sebelum berhenti, goloknya segera disembunyikan di balik siku, sementara persiapan dilakukan secara diam-diam guna menghadapi segala kejadian yang tidak diinginkan.

Nenek Po diiringi dua orang perempuan buta lainnya menyongsong kedatangannya, dengan mata putih mendelik ia membentak. “Besar amat nyalimu! Suruh kau berhenti, ternyata kau malah berani maju dua kaki lagi sebelum berhenti? Sebutkan namamu!”

“Aku she Ho, ada urusan penting hendak masuk ke istana es, harap Popo mengabulkan permintaanku.”

“She Ho? Ho apa? Aku seperti merasa pernah kenal suaramu,” kata nenek Po dengan tercengang.

Leng-hong segera menyebutkan namanya, kemudian ia menambahkan, “Aku adalah orang yang masuk ke dalam istana es bersama dua orang rekanku beberapa hari yang lalu, apakah Popo masih ingat?”

Mendengar jawaban tersebut, nenek Po menjadi sangat girang, buru-buru sahutnya, “Ah, ya, yaa... aku masih ingat, aku masih ingat, kenapa tidak ingat? Aku dengar Ho-tayhiap telah lolos dari istana es dan kawah api dengan selamat, besok akan menjadi Huma lembah kami, hampir saja aku si nenek lupa menyampaikan selamat kepadamu.”

Kepada kedua orang perempuan buta lainnya ia lantas menitahkan, “Tamu terhormat telah datang, cepat mempersilakan Ho-tayhiap duduk di dalam, kita harus menyampaikan selamat kepadanya.”

Buru-buru kedua orang perempuan buta itu masuk ke dalam ruangan, memasang lampu dan mempersilakan Ho Leng-hong masuk ke dalam. Tindakan tersebut sedikit di luar dugaan Ho Leng-hong, katanya sambil tersenyum,

“Popo tak usah sungkan, aku masih ada seorang teman yang ketinggalan di dalam istana es, dia harus cepat ditolong keluar, sebab itulah mohon kepada Popo suka membukakan pintu istana, untuk mana kami akan sangat berterima kasih kepadamu.”

“Apa? Kau hendak masuk lagi ke istana es?”

“Betul, mohon Popo suka mengabulkan permintaanku ini.”

Nenek Po berpikir sebentar, kemudian katanya, “Baiklah, terpaksa kuucapkan selamat kepada Ho-tayhiap setelah upacara perkawinan besok.”

Ho Leng-hong tidak mengira orang akan mengabulkan permintaannya, dengan girang ia berseru, “Terima kasih banyak, nenek!!”

Selesai berkata ia langsung melangkah ke ruangan dalam. Mendadak nenek Po mengulurkan tangan ke depan sambil berseru, “Coba perlihatkan dulu!”

“Apa yang kau maksudkan,” tanya Ho Leng-hong tertegun.

“Lencana nomor, nomor kunci untuk membuka pintu istana!”

“Soal ini….” Leng-hong menjadi bingung, selang sejenak ia baru berkata lagi sambil tertawa, “Maaf, lantaran datang terburu-buru, kulupa minta Ho-pay (tanda nomor) dari Tong-popo, apakah bisa ditiadakan saja untuk kali ini?”

“Tidak, tidak bisa,” jawab nenek Po sambil geleng kepala, “untuk membuka pintu istana harus ada Ho-pay lebih dulu, terpaksa Ho-tayhiap harus kembali dulu ke Tiang-lo-wan untuk mengambil Ho-pay tersebut.”

“Tapi aku harus segera masuk, aku tak ada waktu untuk pergi datang lagi.”

“Maaf,” kata nenek Po sambil mengangkat bahu, “tanpa Ho-pay, siapapun jangan harap bisa memasuki istana es, aku hanya seorang penjaga pintu dan harus melaksanakan tugas, aku betul-betul tak bisa membantumu.”

“Keadaan sangat mendesak, tolonglah untuk sekali ini saja, sekembaliku dari sana nanti baru disusulkan tanda nomornya.”

“Tidak bisa!” jawab nenek Po tegas.

Diam-diam Ho Leng-hong berpikir, “Nenek ini berdisiplin tegas dan tidak kenal kompromi, agaknya banyak bicara juga tak berguna, lebih baik kubekuk dulu orang ini....”

Begitu ingatan tersebut terlintas dalam benaknya, golok segera berputar dan siap melancarkan serangan. Pada saat itulah tiba-tiba dari belakang berkumandang suara orang berdehem lirih, menyusul kemudian seseorang berkata, “Ho-pay berada di sini!”

Buru-buru Leng-hong berpaling, ia lihat sesosok bayangan manusia berdiri di sana sambil mengangkat tinggi-tinggi sebuah lencana nomor kunci. Dia ternyata adalah Tong Siau-sian, sang Kokcu. Tampaknya Tong Siau-sian sudah berdiri lama di situ, hingga Leng-hong melihat jelas dia baru dia maju mendekat.

Rupanya dia kuatir Leng-hong salah mengartikan maksud kedatangannya, sambil berjalan mendekat katanya, “Leng-hong, kau memang terlalu terburu nafsu, nenek Po adalah seorang berhati baja yang tidak kenal kompromi, tanpa Ho-pay tak nanti kau diizinkan masuk. Karena kutahu kau tak akan berhasil, maka kususulkan Ho-pay kemari.”

Nada pembicaraan lembut dan hangat, bagaikan ucapan seorang calon isteri, ditambah pula Ho-pay tersebut memang berada di tangannya, ini membuktikan kedatangannya memang tidak bermaksud jahat. Ho Leng-hong menjadi bingung dan tak mampu bersuara.

“Hormat, Kokcu!” buru-buru nenek Po dan kedua orang buta itu memberi hormat.

“Tak usah banyak adat,” kata Tong Siau-sian sambil tertawa, “ambil Ho-pay ini dan tunggu di pintu istana, masih ada beberapa persoalan hendak kubicarakan dulu dengan Ho-tayhiap, sebentar aku menyusul ke sana.”

Nenek Po mengiakan, setelah menerima Ho-pay mereka mengundurkan diri dari situ. Setelah ketiga orang itu masuk ke dalam ruangan batu, Tong Siau-sian baru berkata sambil menghela napas sedih, “Jangan menatap aku dengan sinar mata seperti itu, dengan tulus ikhlas ingin kubantumu, Ho-pay itu asli, bukan palsu seperti peta penyimpan golokmu.”

“Urusan yang sudah lewat harap jangan dipikirkan lagi, Kokcu,” kata Ho Leng-hong sambil menjura, “bila sobatku bisa diselamatkan, selama hidup orang she Ho akan sangat berterima kasih kepadamu.”

“Aku tidak mengharapkan terima kasihmu,” kata Tong Siau-sian sambil tersenyum getir, “aku hanya ingin tanya satu soal, kuharap kau menjawab dengan jujur.”

“Katakan saja Kokcu, pasti akan kujawab dengan sejujurnya,” ucap Leng-hong cepat.

Tong Siau-sian menunduk kepala rendah-rendah, lalu dengan suara lirih bertanya, “Aku hanya ingin tahu, apa rencanamu menghadapi peristiwa besok.”

“Tentang ini....” Leng-hong agak sangsi, kemudian katanya dengan serius, “terus terang, aku merasa rendah diri, aku tak berani mengharapkan yang muluk-muluk dan mendapat jodoh Kokcu, kudatang kemari hanya ingin menolong temanku yang masih terkurung.”

Tong Siau-sian sama sekali tidak menunjukkan sikap di luar dugaan, ucapnya dengan tenang, “Setelah Pang-tayhiap berhasil diselamatkan, lalu bagaimana?”

“Setelah itu... tentu saja aku harus berusaha untuk menolong nona Hui dari Hiang-in-hu yang terjatuh di tangan Ci-moay-hwe.”

“Bila aku berhasil membantumu menyelamatkan nona Hui?”

“Kami... kami pasti akan sangat berterima kasih kepada Kokcu.”

“Hanya sepatah kata terima kasih saja dan habis perkara?”

“Tentu saja bila kaupun mengharapkan bantuanku, dengan sepenuh tenaga akan kulaksanakan demi membalas budi kebaikan Kokcu.”

“Seperti telah kukatakan tadi, aku tidak mengharapkan balasan apa-apa, aku hanya ingin tahu bagaimana rencanamu tentang persoalan besok?”

Lantaran di desak terus, Leng-hong merasa kewalahan, terpaksa katanya sambil tertawa, “Apa yang Kokcu ingin kulakukan, tentu akan kulakukannya.”

“Aku ingin mengetahui jalan pikiranmu sendiri!” desak Tong Siau-sian lebih jauh.

Leng-hong benar-benar kehabisan akal, terpaksa sambil angkat bahu katanya, “Apa lagi yang bisa kukatakan? Bila Kokcu tidak merasa derajatku terlampau rendah, tentu saja akupun akan menerimanya dengan senang hati, cuma bila burung gagak mendampingi burung hong, hal ini tentu akan menodai nama baik Kokcu...”

Tong Siau-sian mendongakkan kepalanya dan menatap pemuda itu tajam-tajam, kemudian tanyanya, “Tuluskah ucapanmu ini?”

“Setiap patah kataku keluar dari lubuk hatiku yang murni, tentu saja aku berbicara dengan tulus ikhlas.”

Tong Siau-sian mengembus napas pelahan, katanya, “Baik, aku percaya kepadamu, sekarang akupun ingin memberitahukan sepatah dua kata kepadamu, meskipun nenek Tong mengatur perkawinan ini atas dasar peraturan lembah, tapi iapun telah merundingkan suatu siasat keji dengan pihak Ci-moay-hwe untuk mencelakai jiwa kita berdua.”

“Hah?! Apa rencananya terhadap kita?”

“Persoalan ini panjang sekali untuk dibicarakan, lebih baik kita selamatkan dulu Pang-tayhiap.”

Mereka lantas menembus ruang batu dan masuk ke dalam gua, belum sampai beberapa langkah mendadak Tong Siau-sian berhenti seraya bertanya, “Yakinkah kau bahwa Pang-tayhiap masih hidup?”

“Dia pasti masih hidup, pil anti dingin yang dimilikinya masih sanggup mempertahankan hidupnya selama dua belas jam, padahal aku baru sepuluh jam meninggalkan istana es.”

“Kalau begitu, tunggu aku di pintu istana, akan kuwakilimu untuk menyelamatkan Pang-tayhiap.”

“Mengapa harus demikian?”

“Sebab nenek Po adalah seorang yang berdisiplin keras dan tidak kenal kompromi, menurut peraturan hanya aku seorang yang boleh masuk-keluar istana es, kendatipun kau memiliki Ho-pay juta tidak boleh masuk keluar seenaknya, setelah masuk ke dalam kau tak bisa keluar lagi, terutama bila nenek Po menutup pintu istana setelah kau masuk, bukankah hal ini akan menambah kesulitan pula?”

Ho Leng-hong tak pernah berpikir sampai di situ, ia menjadi tertegun, tiba-tiba ia dapat meresapi ucapan Tong Siau-sian itu, rupanya si nona mempunyai tujuan lain.

Dengan menggunakan nama nenek Po sebagai alasan rupanya ia ingin menunjukkan keikhlasannya yang benar-benar ingin membantu, bila Ho Leng-hong dibiarkan masuk sendiri ke istana es, mungkin dia akan sangsi bila pintu istana tiba-tiba ditutup, maka ia rela mewakilinya dengan meninggalkan Ho Leng-hong di luar sebagai tanda bahwa ia tidak berniat mencelakainya.

Padahal Ho Leng-hong tak pernah mencurigainya, meski demikian terharu juga hatinya, tentu saja dia tak tega untuk menolak maksud baik si nona. Maka sambil menggenggam tangannya dengan senyum dikulum ia berkata, “Kalau begitu kutitipkan tugas ini padamu, aku dan Pang-toako selamanya akan ingat atas budi kebaikanmu ini.”

Genggamannya yang hangat itu membuat Tong Siau-sian girang bercampur malu, buru-buru ia menarik kembali tangannya dan lari masuk ke sana. Dalam pada itu nenek Po dan kedua orang perempuan buta itu sudah lama sekali menunggu di pintu istana es.

Setibanya di hadapan mereka Tong Siau-sian segera berkata, “Ho-tayhiap telah memutuskan tidak masuk ke istana es, aku akan mewakilinya masuk ke dalam, tak lama aku berada di dalam. Kalian tunggu saja di sini dan pintu istana tak perlu dikunci.”

Sebetulnya nenek Po sudah siap mengeluarkan anak kuncinya untuk membuka pintu, ketika mendengar perkataan ini tiba-tiba ia berkata, “Bila Kokcu ingin masuk ke istana es, kau perlu minta persetujuan lebih dulu dari Tiang-lo-wan.”

“Tentu saja Tiang-lo-wan sudah setuju,” sahut Tong Siau-sian, “kalau tidak, darimana aku bisa mendapatkan Ho-pay?”

“Hanya Ho-pay saja masih tidak cukup, harap Kokcu tinggalkan pula Kim-to-leng, dengan demikian pintu istana baru takkan kukunci.”

“Apakah kau tidak tahu aku ini Kokcu?” tegur Tong Siau-sian dengan tidak senang.

Nenek Po segera membungkuk badan dan memberi hormat, “Hamba buta, sulit untuk menentukan diri seseorang hanya berdasarkan suara saja, lebih baik Kokcu bertindak menuruti peraturan agar hamba tidak serba sulit.”

Nenek ini betul-betul disiplin dan tidak kenal kompromi, dia hanya kenal benda dan tidak kenal orang, bahkan terhadap Kokcu sendiri pun tak mau memberi muka.

Tong Siau-sian berpaling ke arah Ho Leng-hong sambil tertawa getir, kemudian katanya lagi, “Nenek Po, jadi kau berkeras ingin minta Kim-to-leng daripada menurut perkataanku?”

“Hamba hanya melakukan tugas menurut peraturan, lencana nomor kunci hanya tanda masuk dan buka tanda keluar, bila ingin pintu istana tidak dikunci, Ho-pay dan Kim-to-leng harus lengkap tersedia.

Dengan perasaan apa boleh buat Tong Siau-sian geleng kepala berulang kali, “Ai, tak heran kalau selama hidup kau diberi bertugas menjaga pintu istana dan siapapun tak ada yang bisa menggeser kedudukanmu. Baiklah, Kim-to-leng berada di sini, ambillah!”

Nenek Po menjulurkan tangannya untuk menerima, siapa tahu tangan Tong Siau-sian mendadak menekan ke bawah, secepat kilat ia mencengkeram jalan darahnya. Kedua perempuan buta lainnya terperanjat, cepat mereka melolos senjata.

Dengan suara tertahan Tong Siau-sian membentak, “Leng-hong, kuasai mereka, cepat!”

Sesungguhnya Ho Leng-hong sendiripun merasa terkejut dan heran, tapi lantaran kedua perempuan buta itu sudah melolos golok masing-masing, tak sempat baginya untuk menganalisa sebab musabab terjadinya peristiwa itu, cepat iapun mencabut goloknya dan turun tangan.

Ilmu silat kedua orang perempuan buta itu sangat lihay, sayang Ho Leng-hong bukan saja memahami ilmu golok Ang-siu-to-hoat, iapun memiliki jurus sakti anti kelihaian ilmu golok tersebut, maka cuma lima gebrakan, kedua perempuan buta itu sudah terdesak hingga mundur ke sudut pintu istana dan tak mampu berkutik. Ho Leng-hong segera melompat maju dan membekuk kedua perempuan buta itu.

Cepat Tong Siau-sian menggeledah anak kunci dari saku nenek Po, setelah pintu istana terbuka, segera ia pesan, “Leng-hong, awasi mereka, aku pergi menolong Pang-tayhiap.”

Sebelum Leng-hong menjawab nona itu sudah menerobos masuk ke dalam istana es. Meskipun diliputi rasa sangsi, Leng-hong tidak sempat tanya gadis itu, dia hanya menduga tentu Tong Siau-sian mempunyai alasan yang memaksanya berbuat demikian, mungkin waktu sudah mendesak, ia tak ingin berdebat lebih jauh dengan nenek Po, maka terpaksa diambilnya tindakan tersebut.

Untung tindakannya ini bertujuan membantunya untuk menolong orang, jadi apapun juga tindakannya dapat dimaklumi. Hawa dingin yang berembus keluar dari balik pintu istana membuat orang tak tahan, terpaksa Leng-hong merapatkan pintu batu itu dan memindahkan tubuh nenek Po serta kedua perempuan buta itu ke kaki dinding sana agar jalan tidak teralang.

Tetapi, meski sudah ditunggu sekian lama, ternyata Tong Siau-sian belum muncul juga. Leng-hong mulai berpikir, “Jangan-jangan dia menjadi kaku kedinginan karena tidak makan obat anti dingin? Atau mungkin dia tidak kenal Pang-toako dan tidak menemukan di mana ia berada?”

Berpikir sampai di situ, hatinya terasa gelisah, buru-buru ia membuka pintu batu dan siap masuk ke dalam. Mendadak dari lorong gua berkumandang suara langkah kaki orang yang riuh. Buru-buru Ho Leng-hong menutup pintu batu, ia menatap ke sana, segera ia terperanjat. Sesosok bayangan orang muncul, orang itu memakai baju merah dengan sulaman benang emas, ternyata orang inipun Tong Siau-sian.

Leng-hong kucek-kucek matanya, ia pandang pintu batu di belakangnya, ia menjadi bingung. Gua itu gelap tak berlampu, dengan ketajaman matanya ia lihat Tong Siau-sian yang baru muncul ini tidak berbeda dengan Tong Siau-sian yang masuk ke istana es tadi, yang satu sudah berada dalam istana es dan yang lain baru datang, ini membuktikan bahwa salah seorang di antaranya adalah gadungan.

Ketika Tong Siau-sian yang baru datang ini menemukan Ho Leng-hong berada di sini, segera ia menegur, “Besar amat nyalimu, berani kau datangi istana es sendirian. Ketahuilah bahwa perbuatanmu ini merupakan pantangan besar lembah kami, kalau sampai ketahuan orang, kau bisa dijatuhi hukuman mati, mengerti?”

Leng-hong tidak menjawab, dia hanya mengawasi orang lekat-lekat, sebab ia benar-benar tak bisa membedakan manakah Tong Siau-sian yang asli. Karena pemuda itu tidak menjawab, Tong Siau-sian maju beberapa langkah lagi ke depan, ucapannya dengan suara tertahan,

“Orangnya sudah kau tolong belum? Sebentar fajar akan menyingsing, tidak cepat-cepat kau tinggalkan tempat ini, apalagi yang kautunggu?”

Leng-hong menarik napas panjang, pelahan dan sepatah demi sepatah ia menegur, “Siapa kau?”

“Hei, aneh benar kau ini? Masa tidak kenal siapakah aku?”

“Kenal sih kenal. Cuma aku tidak tahu kau ini asli ataukah yang gadungan?”

Tong Siau-sian melengak, “Dalam Mi-kok ini hanya ada aku seorang sebagai Kokcu, masa ada yang gadungan?”

“Betul,” Leng-hong mengangguk, “barusan ada seorang juga mengaku sebagai Kokcu dari Mi-kok, kini ia berada dalam istana es, aku tidak tahu siapakah di antara kalian yang gadungan, pokoknya salah satu pasti palsu.”

“Hah, masa ada kejadian begini?” seru Tong Siau-sian terperanjat, “Wah, kalau begitu dia pastilah Samkongcu Kim Hong-giok dari Ci-moay-hwe, konon dia cerdas dan berbakat, sesuatu yang dilihatnya tak pernah terlupa lagi, diapun pandai menirukan logat bicara orang lain, Ho-tayhiap, jangan kau tertipu olehnya...”

“Aku tak mau tertipu oleh siapapun, akupun enggan mengurusi siapakah di antara kalian ini Tong Siau-sian dan Kim Hong-giok, aku hanya ingin menolong orang, siapa bisa membantuku menolong orang, aku akan percaya kepadanya.”

“Bila kau berharap Kim Hong-giok akan membantumu menolong orang, keliru besarlah kau,” kata Tong Siau-sian dengan cemas, “tujuannya masuk ke istana es tidak lain adalah ingin mencuri belajar ilmu golok Ang-siu-to-hoat dari lembah kami.”

“Lantas, apa pula tujuanmu?”

“Aku...” rupanya Tong Siau-sian tidak tahu cara bagaimana harus memberi penjelasan, kakinya menggentak tanah dan serunya, “Tentu kuharap bisa membantumu, kalau tidak, tak nanti aku menyusul kemari.”

“Mengapa kau membantuku?”

“Karena Tong-popo dan Ci-moay-hwe telah bersekongkol dan bermaksud jahat terhadap kita berdua, kini situasinya tidak menguntungkan kita, kau dan aku harus bekerja sama untuk menghadapi musuh yang sama.”

“Kau maksudkan masalah perkawinan?”

“Benar, atas dasar peraturan leluhur ia paksa kita kawin, padahal tujuan sebenarnya adalah ingin membinasakan kita berdua, agar ia dapat mengangkangi Mi-kok sendirian.”

Nada ucapannya tak jauh berbeda dengan apa yang diucapkan Tong Siau-sian pertama tadi, siapa yang asli dan siapa yang gadungan? Makin lama semakin sulit untuk dibedakan.”

Leng-hong berpikir sebentar, katanya kemudian, “Dengan cara bagaimana kau bisa membuktikan bahwa dirimu adalah Tong Siau-sian sedang dia adalah Kim Hong-giok?”

“Gampang sekali, kau bisa tanya langsung kepada nenek Po, suruh dia saja yang membedakan.”

Leng-hong menggeleng kepala, “Dia seorang buta, jawabnya belum tentu tepat.”

“Kokcu mempunyai sebuah lencana Kim-to-leng, aku bisa menunjukkan kepadamu.”

Ho Leng-hong masih juga menggeleng kepala, “Belum pernah kulihat lencana tersebut, orang saja bisa dipalsukan apalagi cuma sebuah benda, kan bisa dicuri atau dipalsukan.”

Tong Siau-sian termenung sebentar, kemudian katanya, “Ah, betul, kepadaku mungkin kau tidak percaya, tapi terhadap Pang Wan-kun tentu kau percaya bukan? Dia berada di luar, kita boleh memanggilnya ke sini untuk menjadi saksi.”

“Bila seorang berada dalam ancaman sering kali dia akan bicara bohong, aku pernah tertipu satu kali, aku tak ingin tertipu untuk kedua kalinya.”

“Ai, lalu dengan cara bagaimana baru kau mau percaya?” tanya Tong Siau-sian dengan gelisah.

“Aku pikir, satu-satunya cara yang terbaik adalah menunggu sampai Tong Siau-sian itu keluar dari istana es, asal kalian berdua berhadapan satu sama lain, siapa asli dan siapa gadungan pasti akan segera ketahuan.”

“Tapi kalau menunggu sampai ia berhasil mempelajari ilmu golok Ang-siu-to-hoat, bukan saja jiwa Pang-tayhiap akan lenyap, kaupun takkan lolos dari kematian, bahkan akupun akan ikut menjadi korban.”

“Kenapa kau akan ikut jadi korban?”

“Peraturan dalam Mi-kok amat ketat, apabila salah seorang di antara suami-isteri melanggar peraturan lembah dan dijatuhi hukuman mati, maka orang satunya harus ikut berkorban pula, inilah rencana keji Tong-popo untuk mencelakai kita berdua.”

“Tapi kita sekarang kan belum resmi menikah!”

“Aku adalah seorang Kokcu, setelah perjodohan ditentukan berarti kita sudah menjadi suami-isteri... apalagi yang perlu kukatakan...”

Ia memang telah mengucapkan semuanya, lambat laun Ho Leng-hong juga mulai percaya, sebab sudah sekian lama Tong Siau-sian yang pertama masuk ke istana es dan hingga kini belum tampak keluar, jelaslah ia masuk ke dalam istana bukan untuk menolong Pang Goan.

Tapi, kendatipun ia mulai curiga bahwa gadis yang pertama adalah Kim Hong-giok, tapi karena urusan menyangkut keselamatan Pang Goan, dia tak berani bertindak secara gegabah. Sementara dia merasa ragu, tiba-tiba dari lorong gua berkumandang seruan yang gelisah,

“Kokcu, cepat dikit, Tiang-lo-wan sudah mulai bergerak, mungkin lenyapnya Ho-tayhiap telah mereka ketahui."

“Kaudengar tidak,” kata Tong Siau-sian dengan cemas, “sekarang keadaan sangat mendesak, apakah kau benar-benar rela terjatuh ke dalam perangkap Tong-popo?”

Sambil menggertak gigi Ho Leng-hong tetap membungkam. Sejenak kemudian di luar gua kembali terdengar seruan nyaring, “Kokcu, lampu merah tanda bahaya telah dipasang dalam perkampungan, kita tak bisa menunggu lagi...”

Ho Leng-hong jadi nekat, katanya tiba-tiba, “Pergilah lebih dulu, segera kususul.”

“Mau apa lagi kau tinggal di sini?”

“Aku harus menolong Pang-toako, kalau tidak, aku lebih rela mati di dalam istana es.”

“Sekarang kita sudah sehidup-semati, kalau kau tidak mau pergi, akupun tidak pergi, kutemani kau masuk ke istana es untuk menolong Pang-tayhiap,” kata Tong Siau-sian tegas.

Leng-hong tak bisa menolak niat orang, dia mengangguk dan segera mendorong pintu batu itu. Pintu baru terbuka, segera Tong Siau-sian menerobos masuk lebih dahulu. Di balik pintu itu masih terdapat sebuah lorong penghubung, tapi di bawah pantulan cahaya istana es dan kawah api, lamat-lamat dapat terlihat jelas keadaan lorong tersebut.


Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.