Sang Penerus Bagian 13 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
KIAI Gumrah dan Ki Prawara saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Kiai Gumrah berkata "Baiklah. Aku akan berbicara dengan angger Darpati...”

Bersama Winih maka Kiai Gumrah pun kemudian menemui Darpati di ruang dalam. Demikian Kiai Gumrah duduk, maka Darpati pun segera berkata "Kiai. Aku akan mengajak Winih, Manggada dan Laksana untuk berjalan-jalan. Kiai tidak usah cemas. Kami bertiga akan dapat melindungi Winih dari ancaman bahaya yang bagaimanapun besarnya. Karena itu, sebenarnya Kiai tidak mempunyai alasan untuk melarang Winih keluar hari ini...”

"Tetapi bukankah angger sendiri pernah mengatakan, bahwa sebaiknya Winih tidak usah pergi kemana-mana lebih dahulu dalam waktu-waktu seperti ini?" sahut Kiai Gumrah.

"Aku memang pernah mengatakannya. Tetapi seingatku, aku mengatakan bahwa Winih jangan pergi keluar dahulu tanpa aku. Jika sekarang aku ada, maka aku kira tidak ada keberatannya Winih berjalan keluar...” berkata Darpati.

Kiai Gumrah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya "Tetapi sebaiknya tidak saja ngger. Sebaiknya Winih dan juga angger Darpati serta Manggada dan Laksana tidak usah pergi keluar. Persoalannya ternyata menjadi semakin rumit. Kemarin, menjelang malam, anak-anak padukuhan ini telah berkelahi dengan Manggada dan Laksana..”

"Tetapi itu bukan persoalan baru Kiai" jawab Darpati "Rambatan memang membenci kami. Maksudku, aku, Manggada dan Laksana. Nampaknya ia ingin membalas dendam, justru selagi aku tidak ada. Mereka mengira bahwa mereka akan dapat mengalahkan Manggada dan Laksana. Apalagi mereka mendapat bantuan dari seorang yang dianggapnya berilmu tinggi...”

Kiai Gumrah termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Darpati dengan tajamnya. Namun Kiai Gumrah kemudian hanya menarik nafas dalam-dalam.

Sementara itu Darpati pun berkata "Nah, Kiai. Serahkan tanggung-jawab atas Winih kepadaku. Aku akan membawanya pulang dengan selamat.”

"Manggada dan Laksana?" bertanya Kiai Gumrah.

Darpati menjadi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya "Mereka adalah anak-anak muda yang berilmu. Karena itu, maka mereka akan dapat melindungi diri mereka sendiri”

Namun jawaban Kiai Gumrah membuat denyut jantung Darpati semakin cepat berdetak. Orang tua itupun kemudian menjawab. "Maaf ngger! Orang tua ini selalu saja dibayangi oleh kecemasan. Karena itu, maka sebaiknya angger tidak membawa Winih keluar hari ini. Aku bahkan ingin mempersilahkan angger duduk-duduk saja di sini. Aku sedang merebus ketela pohon dengan legen kelapa yang baru aku turunkan pagi tadi”

"Kiai..." Darpati mulai menjadi jengkel. "Apakah Kiai tidak percaya kepadaku?"

"Tentu ngger. Aku percaya kepada angger. Bahwa angger akan bertanggung jawab Tetapi kita tidak tahu, seberapa besarnya kekuatan orang yang ingin mengganggu ketenangan. Mungkin mereka memusuhi kami dan mencoba untuk menumpahkan permusuhan itu kepada Winih, Manggada dan Laksana. Atau orang itu memang memusuhi angger, karena orang itu tidak senang melihat angger berkawah dengan Winih atau alasan-alasan yang lain”

"Kiai..." berkata Darpati "Sekali lagi aku minta Kiai tidak mencemaskan keadaan Winih. Aku bertanggung jawab sepenuhnya. Apalagi Winih sudah dewasa, sehingga ia seharusnya tidak lagi terlalu dikekang seperti kanak-kanak”

"Itu terbalik ngger..." jawab Kiai Gumrah "Justru Winih sudah memasuki usia dewasanya. Gadis-gadis sebaya Winih memang sudah waktunya untuk dipingit. Ia harus tinggal saja di rumah sampai saatnya ayah dan ibunya menemukan jodoh baginya. Nah, ternyata ayah dan ibu Winih juga sudah membicarakannya dengan aku kakeknya, bahwa Winih harus sudah memasuki masa bahwa ia harus dipingit. Ayah dan ibunya mulai merasa cemas, bahwa Winih mulai berhubungan dengan laki-laki yang barangkali tidak sesuai dengan keinginan ayah dan ibunya”

"Kek..." di luar sadarnya Winih telah memotong pembicaraan kakeknya. Namun kata-katanya itupun bagaikan terputus di kerongkongan sehingga kemudian Winih pun terdiam, sambil menundukkan kepalanya.

Dalam pada itu, Darpatilah yang menyahut "Kiai, apakah dengan demikian berarti bahwa ayah dan ibu Winih menganggap bahwa aku tidak pantas berhubungan dengan Winih?"

"Bukan begitu ngger" jawab Kiai Gumrah "dalam usia sebagaimana Winih sekarang, maka hubungannya, dengan setiap laki-laki akan diputuskan. Bukan hanya angger Darpati”

"Itu tidak adil" Darpati hampir berteriak.

"Kenapa?" bertanya Kiai Gumrah.

"Aku telah berbuat baik atas Winih. Aku sudah menyelamatkannya dari tangan Rambatan. Kemudian menyelamatkannya di pancuran. Jika aku tidak berbuat demikian, maka mungkin Winih sudah disekap di rumah Rambatan atau dibawa oleh orang-orang liar yang datang ke pancuran itu”

"Tetapi itu bukan satu perbuatan yang berlebihan. Seandainya angger Darpati tidak ada, maka Manggada dan Laksana akan dapat melindunginya saat Rambatan ingin membawa Winih untuk mengambil ayam ke rumahnya. Sementara itu, tanpa angger Darpati maka Winih tidak akan pergi ke pancuran”

"Kek" sekali lagi Winih ingin memotong kata-kata kakeknya. Tetapi sekali lagi suaranya terhenti di kerongkongan.

Sementara itu Darpati berkata "Jadi Kiai menganggap apa yang pernah aku lakukan itu sia-sia?"

"Bukan ngger. Bukan begitu. Apa yang angger lakukan tidak aku anggap sia-sia. Tetapi aku juga tidak menanggapinya dengan berlebihan. Apa yang angger lakukan itu adalah sangat wajar. Setiap laki-laki akan berbuat seperti apa yang angger lakukan”

Wajah Darpati menjadi merah. Namun kemudian katanya “Apapun tanggapan Kiai, tetapi sekarang aku minta Winih dapat pergi bersamaku, bersama Manggada dan Laksana”

Kiai Gumrah termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba pertanyaan aneh "Bagaimana jika tanpa Manggada dan Laksana?"

"Tidak” jawab Darpati "Tentu tidak akan baik dilihat orang” Darpati berhenti sejenak, lalu katanya "Dan bukankah sikap Kiai aneh sekali? Kiai mengatakan bahwa Winih akan mulai dipingit. Kemudian justru Kiai menawarkan Winih pergi bersamaku tanpa orang lain?"

"Sudahlah ngger" berkata Kiai Gumrah "Lupakan keinginan angger mengajak Winih berjalan-jalan hari ini. Biarlah ia berada di rumah membantu ibunya mencetak gula. Ia harus belajar bekerja keras sebagaimana seorang gadis yang lain, anak orang-orang melarat seperti kakek ini”

"Jadi kakek ingin Winih juga menjadi orang melarat seperti Kiai?" bertanya Darpati.

"Kami bukan pemimpi ngger. Biarlah kami hidup dengan berjejak di atas bumi kita sendiri. Kami harus menerima kenyataan ini” jawab Kiai Gumrah.

Darpati benar-benar telah menjadi marah. Dengan lantang ia berkata "Jika Kiai ingin memisahkan Winih dari semua laki-laki, kemudian melarangnya pergi bersamaku, itu tidak adil”

"Kenapa tidak adil" bertanya Kiai Gumrah.

Wajah Darpati menjadi semakin tegang. Namun kemudian katanya "Kiai. Aku dan Winih memang belum terlalu lama saling berkenalan. Tetapi aku tahu. bahwa Winih tanggap akan perasaanku. Karena itu, maka tidak seorang pun yang dapat menghalangi hubungan kami. Kami berdua telah sama-sama dewasa, sehingga kami dapat menentukan jalan hidup kami sendiri”

"Angger Darpati bukan saja telah dewasa. Tetapi angger sudah terlalu matang serta berpengalaman berhubungan dengan bukan saja gadis-gadis, tetapi juga perempuan macam apapun” jawab Kiai Gumrah di luar dugaan.

Telinga Darpati bagaikan disentuh bara api. Wajahnya menjadi merah menyala. Dipandanginya Kiai Gumrah dengan matanya yang seolah-olah akan meloncat dari pelupuknya. Sedangkan Winih bergeser selangkah maju sambil berdesis "Kakek. Kenapa kakek berkata seperti itu?"

"Aku sudah memikirkan dengan baik apa yang aku katakan Winih" jawab Kiai Gumrah.

"Tetapi kata-kata kakek itu dapat menyakiti hatinya" berkata Winih dengan suara bergetar. Di matanya mulai nampak air matanya mengembun.

"Mungkin kata-kataku menyakiti hatinya. Tetapi jika aku yakin bahwa apa yang aku katakan itu satu kebenaran, maka apakah salahnya jika aku mengucapkannya?" sahut Kiai Gumrah.

Darpati memang menahan kemarahan yang menghentak-hentak di dadanya. Tetapi bagaimanapun juga Darpati mengetahui, bahwa Kiai Gumrah adalah seorang yang berilmu tinggi. Karena itu, betapa hatinya bergelora, namun Darpati harus menahan diri. Jika ia memaksakan kehendaknya, maka orang tua itupun agaknya tidak mau lagi melangkah surut.

Karena itu, maka Darpati itupun kemudian menggeram "Hanya karena aku mengingat hubunganku dengan Winih, aku tidak berbuat apa-apa sekarang ini. Tetapi kesabaran seseorang memang ada batasnya. Jika aku sekarang pergi, bukan berarti bahwa persoalan kita sudah selesai”

Darpati tidak menunggu jawaban. iapun segera melangkah pergi meninggalkan rumah Kiai Gumrah. Demikian Darpati pergi, maka Winih pun berkata di sela-sela isaknya yang tertahan.

"Kakek telah menyakiti hatinya. Seharusnya kakek tidak berkata seperti itu. Ia adalah seseorang yang mempunyai perasaan, sehingga ia telah tersinggung karenanya”

Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu ayah dan ibu Winih telah mendekatinya pula. Manggada dan Laksana sebenarnya juga ingin mendekat, tetapi mereka masih menjaga jarak, karena mereka merasa bahwa sebenarnya mereka tidak termasuk keluarga Ki Gumrah.

Sementara itu Kiai Gumrah pun berkata "Winih, Aku memang sengaja menyinggung perasaannya. Aku ingin tahu, apakah yang akan dilakukan oleh, Darpati jika ia marah”

"Karena kakek adalah kakekku, maka Darpati tentu tidak akan berbuat sesuatu” jawab Winih.

"Bukan itu alasannya, Winih. Darpati bukan jenis orang yang mempunyai pertimbangan unggah-ungguh atau berusaha untuk menjaga perasaan orang lain. Kau tahu, bagaimana sikapnya, terhadap aku, ayah dan ibumu sejak ia datang untuk pertama kalinya ke rumah ini beberapa saat yang lalu. Kau tahu bagaimana sikap Darpati terhadap Manggada dan Laksana yang seharusnya dihormatinya sebagai saudara tua. Tetapi ia tidak bersikap seperti itu. Karena itu, jika ia marah, ia tidak akan mempedulikan apakah aku kakeknya atau bukan. Bahkan terhadap kedua orang tuamu pun ia tidak akan menghiraukannya. Apalagi Manggada dan Laksana”

"Tetapi nyatanya, Darpati tidak berbuat apa-apa kek. meskipun ia merasa sangat tersinggung. Bukankah ia berkata bahwa karena hubunganku dengan Darpati, maka Darpati tidak berbuat apa-apa sekarang ini” nada suara Winih menjadi semakin tinggi.

Tetapi Kiai Gumrah menggeleng. Katanya "Tidak Winih. Ia tidak berbuat apa-apa bukan karena hubungannya denganmu. Sudah aku katakan, ia tidak akan menghormati aku, kakekmu, juga ayah dan ibumu”

"Jadi kenapa Darpati tidak berbuat sesuatu dalam keadaan marah seperti itu?" bertanya Winih di sela-sela isaknya.

"Ia tidak berbuat sesuatu karena ia tahu, bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan aku atau ayahmu. Ia tahu bahwa dalam keadaan yang memaksa aku dapat membunuhnya” jawab Kiai Gumrah.

Kening Winih berkerut mendengar jawaban kakeknya. Tiba-tiba saja isaknya berhenti. Dengan nada dalam ia bertanya "Maksud kakek?"

"Ia mengenali keluarga kita dengan baik. Ia tahu pasti bahwa aku sedang melindungi pusaka-pusaka itu, dan ia termasuk bagian dari mereka yang menginginkan pusaka itu”

Wajah Winih menegang. Namun tiba-tiba saja ia berkata "Prasangka kakek selalu lari kesana. Kecurigaan terhadap siapapun karena ayah sedang melindungi pusaka-pusaka itu. Mungkin kakek benar bahwa Darpati telah banyak berhubungan dengan perempuan. Mungkin benar Darpati mengetahui bahwa kekek dan ayah memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi apakah hal itu selalu berhubungan dengan niat untuk mengambil pusaka-pusaka itu? Apakah kakek menganggap bahwa Darpati bersikap baik kepadaku karena ia mendapat tugas untuk mengambil pusaka-pusaka itu?"

"Bahkan kedua-duanya, Winih. Darpati memang menghendaki kau dan pusaka-pusaka itu” jawab Kiai Gumrah.

"Kakek" potong Winih "Kakek sudah berprasangka buruk terhadap seseorang”

"Dengar Winih. Ia tentu sudah mendengar dari lingkungannya bahwa aku tidak akan dapat dikalahkannya. Karena itu ia tidak berbuat apa-apa meskipun ia tersinggung. Karena itu, maka pertimbangkan baik-baik. Penalaranmu jangan menjadi buram karena kau sudah menjadi silau melihat ujud lahiriahnya. Darpati akan merasa berhasil jika ia dapat menangkapmu dalam perangkapnya sekaligus mendapat jalan untuk mengambil pusaka-pusaka itu. Sementara nasibmu tentu akan menjadi seperti banyak perempuan yang sebelumnya pernah singgah dalam kehidupan Darpati”

“Tidak. Tidak" Winih hampir berteriak. iapun kemudian berlari masuk ke dalam biliknya. Sambil terisak Winih menelungkupkan wajahnya di pembaringan. Air matanya mengalir tanpa terbendung lagi.

Sementara itu ibunyalah yang datang mendekatinya dan duduk di bibir pembaringan. Sambil mengusap rambut anaknya ibunya berkata “Winih, agaknya kau memang harus menghadapi kenyataan, yang pahit”

"Apakah ibu juga mempunyai prasangka buruk terhadap Darpati sebagaimana kakek dan ayah?" bertanya Winih meskipun sebenarnya Winih pun tahu, bahwa ibunya pun bersikap demikian sebagaimana pernah dikatakannya. Tetapi rasa-rasanya Winih masih ingin meyakinkannya.

Ibunya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya masih dengan lembut "Winih. Ternyata aku tidak dapat bersikap lain. Aku juga mencurigai Darpati. Mungkin kau pernah mendengar atau membaca kesan sikap ibu seperti itu sebelumnya”

Winih masih saja terisak Namun jawabnya tidak diduga oleh ibunya. Katanya "Ibu, aku akan mencoba untuk memikirkannya dengan sebaik-baiknya. Aku akan mencoba mempergunakan penalaran dan perasaanku serta mencoba untuk berbincang dengan firasat yang aku tangkap selama ini”

Ibunya tiba-tiba saja memeluk Winih yang memang kemudian bangkit dan duduk disamping ibunya "Kau memberi harapan baru bagi kami sekeluarga Winih. Ayah dan ibumu merasa sangat sedih atas sikapmu akhir-akhir ini. Bahkan kakek sudah memutuskan untuk bertindak lebih keras lagi sebagaimana dilakukannya itu”

Winih mengangguk kecil. Katanya "Aku mohon maaf ibu. Tetapi jika aku boleh berterus-terang, sebenarnya sulit bagiku untuk mengerti sikap dan pendapat kakek, ayah dan ibu. Namun aku akan mencoba melihat kenyataan itu betapapun pahitnya. Tetapi jika ternyata prasangka kakek, ayah dan ibu tidak terbukti?"

"Kakek, ayah dan ibu tidak bermaksud menyakiti hatimu Winih. Karena itu, jika ternyata dugaan kami salah, sudah tentu kami tidak akan berkeras untuk memisahkanmu dari padanya”

Winih mengangguk kecil. Ia mengerti bahwa kakek, ayah dan ibunya berniat baik, meskipun Winih masih ingin, membuktikan kebenaran dugaan mereka terhadap Darpati.

Sementara itu, Manggada dan Laksana pun telah, dipanggil oleh Kiai Gumrah. Kepada kedua anak muda itu, Kiai Gumrah telah memberitahukan sikapnya terhadap Darpati. Dengan nada berat Kiai Gumrah itupun kemudian berpesan,

"Karena itu ngger. Kalian berdua harus menjadi semakin berhati-hati. Aku menjadi semakin yakin, bahwa Darpati memang ingin menyingkirkan kalian berdua, apapun alasannya. Mungkin Darpati tahu pasti, bahwa kau dengan Winih sama sekali tidak mempunyai hubungan darah, sehingga Darpati ingin menyingkirkan kalian karena kalian terlalu dekat dengan Winih”

"Tetapi mungkin Darpati juga berniat mengurangi kekuatan yang ada di rumah ini” desis Ki Prawara.

"Manggada dan Laksana tidak terlalu diperhitungkan, karena kemampuan mereka masih dianggap tidak terlalu mengganggu” jawab Kiai Gumrah.

Ki Prawara mengangguk-angguk. Katanya "Agaknya memang demikian. Karena itu, nanti sore jika kalian akan membersihkan dan menyalakan lampu di banjar tua itu, biarlah aku menyertai kalian karena persoalannya agaknya menjadi semakin bersungguh-sungguh”

Manggada dan Laksana tidak menjawab. Dengan dahi yang berkerut mereka mengangguk-angguk mengiakan. Sementara itu Kiai Gumrah pun berkata "Waktu memang menjadi semakin mendesak. Orang yang disebut Panembahan itu tidak akan bermain-main dengan setiap kesempatan karena orang itu mempunyai batas waktu yang semakin mendekat”

Manggada dan Laksana masih saja mengangguk-angguk. Tetapi mereka memang dapat mengerti, bahwa udara di rumah tua itu menjadi semakin hari semakin panas. Hari itu Manggada dan Laksana memang tidak keluar dari halaman rumah Kiai Gumrah. Sementara Kiai Gumrah sendiri telah pergi ke rumah pedagang gula untuk menyerahkan gulanya yang masih hangat.

Namun seisi rumah itu tahu, bahwa Kiai Gumrah tidak sekedar menyerahkan gulanya. Tetapi ia telah memberitahukan persoalan yang terjadi di rumahnya kepada pedagang gula itu. Dengan demikian maka kawan-kawan Kiai Gumrah pun akan segera mendengarnya pula.

Sementara itu di rumah, Ki Prawara, Manggada dan Laksana tetap saja berhati-hati. Kemarahan Darpati akan dapat menimbulkan persoalan khusus disamping usaha sekelompok orang untuk mendapatkan pusaka-pusaka yang tersimpan di rumah Kiai Gumrah.

Seperti biasanya Kiai Gumrah tidak terlalu lama pergi meninggalkan rumahnya. Ketika ia kemudian kembali, maka Kiai Gumrah seperti biasanya membawa uang harga gulanya yang diserahkannya kepada juragan gula yang menampungnya.

Menjelang sore hari, maka juragan gula itu bersama seorang kawannya telah datang pula ke rumah Kiai Gumrah. Seperti biasa mereka berbicara kesana-kemari. Berkelakar dan sekali-sekali terdengar mereka tertawa serentak. Ki Prawara pun telah ikut pula berbincang di antara mereka.

Namun di sela-sela kelakar mereka itu, terselip juga pembicaraan yang berarti. Juragan gula dan kawannya itu minta keterangan lebih terperinci tentang peristiwa yang menimpa Manggada dan Laksana di banjar, serta sikap Darpati yang marah itu.

Manggada dan Laksana yang menghidangkan suguhan bagi mereka, sedikit-sedikit ikut mendengar pembicaraan mereka itu. Apalagi Kiai Gumrah memang tidak berniat untuk merahasiakan pembicaraan itu terhadap Manggada dan Laksana.

Namun dalam pada itu, selagi mereka sibuk berbincang dan sekali-sekali terdengar suara tertawa meledak, tiba-tiba saja seorang anak muda telah datang mengetuk pintu rumah itu. Manggadalah yang kemudian membukakan pintu. Ia melihat seorang anak muda yang telah begitu saja menyusup masuk.

"Kau?" desis Manggada yang mengenal anak muda itu.

"Dengar" berkata anak muda itu serta merta dengan suara bergetar di sela-sela nafasnya yang terengah-engah "nanti setelah senja atau di saat malam mulai turun, Ki Bekel dan beberapa orang bebahu akan datang kemari”

"Untuk apa?" bertanya Manggada yang terkejut “Apakah masih ada hubungannya dengan persoalan Rambatan?"

"Ya. Alasannya memang demikian. Tetapi justru Rambatan setuju aku datang memberitahukan hal ini kepadamu atau bahkan kepada kakekmu” jawab anak muda itu.

"Sikap Rambatan tidak aku mengerti" berkata Manggada.

"Peristiwa yang terjadi kemarin telah mengguncang perasaan dan penalarannya. Nampaknya ia akan berubah. Karena itu, ia justru menganjurkan aku datang kemari” jawab anak muda itu.

"Jadi, apa yang akan terjadi?" bertanya Manggada.

"Ki Bekel telah dihasut oleh orang-orang yang tidak dikenal” jawab anak muda itu.

Manggada mengerutkan keningnya. Keterangan itu agaknya cukup penting, sehingga Manggada pun berkata "Marilah. Bicarakan dengan kakek”

Anak muda itupun kemudian telah dibawa ke ruang dalam untuk bertema dengan Kiai Gumrah yang sedang menemui tamu-tamunya. Tetapi Kiai Gumrah tidak mengajak anak muda itu untuk berbicara di antara mereka. Bahkan katanya,

"Biarlah tamu-tamuku mendengarnya. Mungkin keterangan ini penting bukan saja bagi kami sekeluarga. Tetapi juga bagi tamu-tamuku”

Anak muda itu memang termangu-mangu. Namun kemudian katanya "Seseorang telah menghasut Ki Bekel sebagaimana seseorang telah menghasut Rambatan kemarin”

"Apa saja yang dikatakannya?" bertanya Kiai Gumrah.

"Orang itu mengatakan kepada Ki Bekel bahwa Kiai dan keluarga Kiai sangat membahayakan bagi penghuni padukuhan ini. Kiai dan keluarga Kiai dianggap bertindak sewenang-wenang terhadap anak-anak muda di padukuhan ini, meskipun anak muda itu bersalah. Jika kemarin Rambatan berhasil dibujuknya. mereka sekarang telah membujuk Ki Bekel meskipun orangnya lain. Tetapi aku yakin, bahwa orang yang membujuk Rambatan dan orang yang mempunyai kepentingan yang sama”

Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Dengan nada berat iapun bertanya "Bagaimana sikap Ki Bekel serta sikap Rambatan?"

"Setelah peristiwa kemarin, Rambatan justru berubah. Ia merasa diperalat oleh orang yang tidak dikenal dengan memanfaatkan sikap serta namanya yang sudah cacat. Sedangkan Ki Bekel nampaknya bukan saja sekedar dibujuk. Tetapi dengan janji-janji yang tidak kami ketahui. Bahkan mungkin uang. Rambatan yang justru berubah sikap tidak setuju dengan sikap Ki Bekel itu. Apalagi anak-anak muda yang lain”

"Lalu tindakan apa yang akan diambil oleh Ki Bekel?” bertanya Kai Gumrah.

“Kiai dan seisi rumah ini akan diusir. Bahkan orang-yang membujuk Ki Bekel itu menganjurkan agar Kiai tidak diperkenankan membawa apapun juga, karena segala milik Kiai Gumrah itu adalah hasil yang diperoleh selama Kiai tinggal dipadukuhan ini. Karena Kiai dianggap berkhianat terhadap padukuhan ini, maka apa yang Kiai peroleh di padukuhan ini harus kembali kepada padukuhan ini pula”

Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Dengan agak ragu Kiai Gumrah bertanya "Bagaimana menurut pendapatmu?"

Anak muda itu dengan serta-merta menjawab, "Itu tidak masuk akal. Karena itu, anak-anak muda yang mengenal Kiai Gumrah dengan baik serta yang pada akhir-akhir ini bergaul dengan Manggada dan Laksana, menganggap hal itu tidak dapat diterima begitu saja. Bahkan Rambatan yang juga merasa pernah diperalat, juga menganggap bahwa Ki Bekel telah diperalat. Apalagi setelah ada keterangan yang bocor dari salah seorang bebahu, bahwa orang yang menghasut Ki Bekel itu telah memberikan uang serta janji-janji”

"Jadi apa yang terjadi ini merupakan kelanjutan dari peristiwa yang terjadi kemarin di banjar tua?" bertanya Kiai Gumrah.

"Agaknya memang demikian!" jawab anak muda itu.

Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Katanya "Terima kasih anak muda. Kami akan berhati-hati menghadapi persoalan ini”

"Kiai" berkata anak muda itu "jika ada sesuatu yang berharga di rumah Kiai, sebaiknya Kiai menyingkirkan lebih dahulu karena agaknya Ki Bekel benar-benar telah terhasut dan bahkan dengan sungguh-sungguh berniat melaksanakannya”

Kiai Gumrah itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ngger. Tidak ada yang pantas aku singkirkan dari rumah ini. Aku tidak mempunyai apa-apa selain beberapa buah amben bambu dan gledeg bambu. Tetapi apakah aku akan dengan suka-rela meninggalkan rumah ini, itulah yang sedang aku pikirkan”

"Kiai..." berkata anak muda itu “Ada beberapa orang bebahu yang juga terhasut. Ada beberapa orang anak muda penjilat yang akan mendukung Ki Bekel yang merasa berhak mempergunakan kuasanya sewenang-wenang yang tentu juga karena ada janji. Bukankah dengan demikian sebaiknya Kiai tidak melawan mereka”

"Angger..." berkata Kiai Gumrah "kami seisi rumah ini memang tidak akan mampu melawan mereka. Tetapi bukankah kami wajib mempertahankan hak kami?”

"Kiai, Manggada dan Laksana memiliki kemampuan untuk berkelahi sebagaimana terjadi di banjar kemarin. Tetapi jika yang bakal datang itu adalah Ki Bekel sendiri serta beberapa orang bebahu yang juga termasuk Ki Jagabaya dan beberapa orang anak muda, apa yang dapat dilakukan oleh Manggada dan Laksana?"

Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Katanya "Kami akan memikirkannya ngger. Aku menyatakan sangat berterima-kasih atas kesediaanmu memberitahukan hal ini kepadaku...”

"Kiai. hal ini aku lakukan, karena kami tahu, Kiai tidak bersalah. Bahkan Rambatan pun menganggap demikian pula” jawab anak muda itu bersungguh-sungguh "tetapi sekali lagi kami minta, Kiai jangan mencoba untuk mempertahankan hak Kiai atas tanah ini, karena agaknya hal itulah yang mereka harapkan”

"Kenapa mereka mengharapkan hal itu?" bertanya Kiai Gumrah dengan heran.

"Mereka mempunyai alasan untuk berbuat kasar. Mereka akan mengusir Kiai dengan kekerasan” jawab anak muda itu.

Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Katanya kemudian "Terima kasih ngger atas keteranganmu. Ternyata masih adat juga anak-anak muda yang berbicara dengan hati nuraninya”

"Baiklah, Kiai. Aku minta diri. Jika Ki Bekel dan orang-orang yang sejalan dengan sikapnya mengetahui aku ada di sini, mereka tentu akan marah kepadaku” jawab anak muda itu.

Dengan demikian, maka anak muda itupun segera meninggalkan rumah Kiai Gumrah. Dengan hati-hati anak muda itupun segera menghilang di tikungan jalan sempit di sebelah halaman rumah Kiai Gumrah itu.

Sepeninggal anak muda itu, Kiai Gumrah pun bertanya kepada Manggada dan Laksana yang ikut mendengarkan pembicaraan itu "Apakah anak muda itu juga yang kemarin datang memberitahukan niat Rambatan untuk membalas dendam?"

"Bukan kek. Tetapi anak muda ini adalah sahabat dari anak muda yang datang kemarin. Mereka selalu bersama-sama pergi ke sawah dan bahkan meronda di malam hari. Merekalah yang sering duduk berlama-lama di banjar tua itu bersama kami berdua”

"Baiklah” berkata Kiai Gumrah "Aku justru menganggap bahwa persoalannya menjadi semakin jelas. Tentu ada hubungannya dengan sikap Darpati”

"Jika demikian, kita harus semakin berhati-hati" berkata juragan gula itu.

"Aku memang menjadi agak bingung" desis Kiai Gumrah "Bagaimana cara kami menghadapi orang-orang padukuhan ini. Mereka adalah orang-orang yang tidak tahu menahu, apa yang sebenarnya mereka lakukan. Tetapi sudah tentu bahwa kami tidak dapat begitu saja mengungsi dari tempat ini sambd membawa pusaka-pusaka itu”

"Satu langkah yang cerdik dari para pengikut Kiai Windu Kusuma" berkata juragan juragan gula itu "Tetapi juga tidak mustahil bahwa di antara para bebahu itu terdapat para pengikut Kiai Windu Kusuma atau orang yang disebut Panembahan itu”

"Jadi, apa yang sebaiknya kita lakukan?" bertanya Kiai Gumrah.

"Aku akan memanggil beberapa orang kita. Mungkin kita memang harus berkelahi meskipun kita harus menyesuaikan diri dengan siapa kita berhadapan. Jika ada di antara mereka orang-orang Kiai Windu Kusuma atau bahkan para pengikut orang yang disebut Panembahan itu, apaboleh buat. Kita tidak sekedar bermain-main. Tetapi jika yang datang benar-benar hanya orang-orang padukuhan ini, tentu kita akan berbuat lain, meskipun akhirnya kita tidak akan keluar dari rumah ini”

Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Katanya "Baiklah. Beritahukan beberapa kawan kita”

Kedua orang tamu Kiai Gumrah itupun segera minta diri. Juragan gula itupun berkata "Aku akan sampai kemari lagi sebelum senja bersama beberapa orang kawan”

"Jangan datang bersama-sama" pesan Kiai Gumrah "Datanglah seorang demi seorang”

Juragan gula itu tersenyum. Katanya "Kau kira aku sudah menjadi demikian dungu sehingga kau perlu berpesan seperti itu?"

"Siapa yang mengatakan bahwa aku menganggapmu semakin dungu sekarang ini? Dengar, aku menganggapmu dungu sejak dahulu”

"Setan kau. Jika demikian, aku akan duduk di sini saja sambil menghirup minuman hangat” jawab juragan gula itu.

Tetapi kawannya menariknya sambil berkata "Kau bukan saja menjadi semakin dungu. Tetapi, kau juga menjadi cengeng dan perajuk sekarang”

Juragan gula itu tertawa sambil bangkit berdiri sementara kawannya berkata “Kita tidak mempunyai waktu lagi”

Demikianlah, maka kedua orang tamu itupun telah meninggalkan rumah Kiai Gumrah untuk memberitahukan beberapa orang kawan mereka tentang peristiwa yang akan terjadi di rumah Kiai Gumrah,

Dalam pada itu, Kiai Gumrah pun telah menjadi semakin berhati-hati. Manggada dan Laksana harus mengawasi halaman belakang rumah Kiai Gumrah. Mungkin ada sesuatu yang mencurigakan.

Kepada mereka berdua Kiai Gumrah berpesan, agar mereka tidak usah pergi ke banjar. Menjelang senja, seperti yang dijanjikan, juragan gula itu telah datang. Kemudian disusul seorang demi seorang para pembuat dan penjual gula. Sebagian dari mereka telah dikenal oleh Manggada dan Laksana. Tetapi yang lain terhitung orang-orang baru bagi kedua orang anak muda itu,

Ketika mereka sudah berkumpul di ruang dalam, maka rasa-rasanya ruangannya menjadi terlalu sempit. Sementara Nyi Prawara. Winih, Manggada dan Laksana menjadi sibuk membuat dan menghidangkan minuman dan ketela rebus.

"Berapa orang?" bertanya Nyi Prawara yang menyiapkan hidangan bagi tamu-tamu Kiai Gumrah.

"Enam orang” jawab Manggada.

"Jadi semuanya ada delapan termasuk kakek dan paman Prawara” berkata Laksana kemudian.

Nyi Prawara mengangguk-angguk. Tetapi hidangan yang disediakan akan lebih dari mencukupi bagi keenam tamu itu. Sejenak kemudian, maka pembicaraan yang riuh telah terjadi di ruang dalam. Seperti biasanya, jika kawan-kawan Kiai Gumrah yang pada umumnya memang sudah setengah baya dan bahkan lewat setengah abad itu berkumpul, maka suasana menjadi ramai.

Mereka berbicara apa saja. Kadang-kadang mereka tidak menahan diri untuk berbicara semakin lama semakin keras. Suara tertawa yang kadang-kadang meledak mewarnai pembicaraan mereka.

Namun dalam pada itu, setelah mereka minum beberapa teguk serta menelan sepotong-sepotong ketela rebus, mereka bertanya “Kenapa kami diundang untuk datang ke rumah ini?”

Sebelum Kiai Gumrah menjawab, seorang di antara para tamu itu menyahut "Biasanya Kiai Gumrah memperingati hari kelahirannya. Bahkan tumbuk ageng”

"Kenapa biasanya?" bertanya yang lain “Bukankah tumbuk ageng itu hanya terjadi sekali dalam hidup seseorang?"

"Tetapi Kiai Gumrah tidak. Ia memperingati hari apapun dengan istilah tumbuk ageng. Juga jika ia ingin bermain dadu dengan mengundang beberapa orang kawan. iapun menyebutnya memperingati hari tumbuk agengnya”

"Sekarang kita memang akan memperingati tumbuk ageng" berkata Kiai Gumrah "Tetapi juragan kita itu tentu sudah mengatakan kenapa kalian diminta datang”

"Katakanlah" berkata juragan gula itu "itu penting, karena kau yang menjadi tuan rumah sekarang ini”

Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian mengatakan, kenapa ia mengharap kawan-kawannya yang sempat dihubungi untuk datang.

"Jadi Ki Bekel malam ini akan datang kemari?" bertanya seseorang.

"Ya" jawab Kiai Gumrah "Seperti pendapat anak-anak muda padukuhan ini, niat Ki Bekel itu memang tidak masuk akal jika tidak ada seseorang yang membujuknya, menghasutnya atau menyuapnya. Orang-orang itu agaknya ingin mempergunakan semua cara yang mungkin ditempuh untuk mencapai maksudnya. Bahkan juga membenturkan kekuasaan Ki Bekel dengan kekuatan kita yang tentu sudah mereka ketahui”

"Apakah mereka tidak memperhitungkan bahwa langkah yang mereka ambil itu akan sia-sia saja?" desis seorang yang lain.

"Aku tidak tahu apa maksud mereka sebenarnya dengan langkah yang diambilnya kali ini” berkata Kiai Gumrah kemudian.

"Baiklah" berkata juragan gula itu "Kita akan menunggu, apa yang nanti akan terjadi”

"Tetapi jika Kiai Windu Kusuma datang dengan seluruh kekuatannya, menumpang gejolak yang telah dibuatnya, maka kita akan mengalami kesulitan” berkata Kiai Gumrah.

“Aku belum yakin, kalau Kiai Windu Kusuma memakai cara ini untuk tujuan akhir. Mungkin ia sekedar memancing satu pergolakan untuk rencananya yang lebih besar" sahut juragan gula itu.

Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya "Sudahlah, Kita menunggu apa yang terjadi. Aku akan pergi ke dapur lebih dahulu”

Di dapur Kiai Gumrah telah memberikan beberapa pesan kepada Nyi Prawara dan kepada Winih. Agaknya Kiai Gumrah menanggapi peristiwa yang akan terjadi itu dengan bersungguh-sungguh. Ketika senja mulai turun, Manggada dan Laksana diperingatkan oleh Kiai Gumrah untuk tidak pergi ke banjar lama karena kemungkinan-kemungkinan buruk akan dapat terjadi.

"Kita akan menunggu di sini" berkata Kiai Gumrah.

"Tetapi banjar itu akan tetap gelap" desis Manggada.

"Biar sajalah untuk malam ini. Atau mungkin malam-malam berikutnya. Jika Ki Bekel nanti benar-benar datang, mungkin akan ada perubahan-perubahan terjadi di padukuhan ini”

Manggada hanya dapat mengangguk-angguk saja. Sementara Kiai Gumrah berkata "Hati-hatilah, Perhatikan halaman belakang rumah ini. Tetapi kau tidak perlu keluar dan turun ke halaman belakang karena hal itu juga berbahaya bagi kalian berdua”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk kecil. Mereka memang dapat menyadari, bahwa bahaya akan mengintip mereka setiap saat.

Sementara itu, lampu pun telah dinyalakan di rumah Kiai Gumrah. Bahkan oncor di regol pun telah menyala pula. Tetapi banjar, lama padukuhan itu masih tetap gelap karena Manggada dan Laksana tidak, datang kebanjar untuk membersihkan banjar dan menyalakan lampu-lampu minyak sebagaimana dilakukannya setiap hari.

Ketika malam mulai turun, maka pembicaraan di antara orang-orang tua di ruang tengah itupun menjadi semakin mereda. Bagaimanapun juga terasa bahwa mereka mulai diusik oleh ketegangan. Menurut keterangan anak muda yang datang ke rumah itu, Ki Bekel akan datang lepas senja atau saat malam mulai turun.

Ketika di ruang dalam itu tidak lagi terdengar suara gurau dan tawa, maka seperti yang mereka tunggu, maka Ki Bekel benar-benar telah datang ke rumah itu. Ternyata bukan sekedar Ki Bekel dan beberapa orang bebahu, tetapi berpuluh-puluh orang padukuhan itu dengan membawa obor ditangan telah memasuki halaman rumah Kiai Gumrah.

Suara riuh di halaman memang membuat orang-orang yang ada di dalam rumah itu terkejut. Mereka memang sudah menunggu kedatangan Ki Bekel. Tetapi ternyata bahwa Ki Bekel telah membawa banyak orang datang ke halaman rumah itu.

"Apa pula yang dilakukan Ki Bekel itu?" desis Kiai Gumrah.

Kawan-kawannya tidak menyahut. Namun merekapun mendengar bahwa di halaman rumahnya itu telah berkumpul orang-orang yang membawa obor sambil berteriak memanggil-manggil “Kiai Gumrah, keluarlah”

Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian memanggil Nyi Prawara, Winih, Manggada dan Laksana. Kepada mereka Kiai Gumrah berkata. "Jangan keluar. Kalian sebaiknya tetap berada di dalam. Selain untuk kepentingan kalian, awasi pusaka-pusaka ini. Mungkin Ki Bekel telah diperalat oleh orang-orang yang menginginkan pusaka-pusaka itu. Dalam kekisruhan ini, mereka dapat memanfaatkannya untuk mengambil pusaka-pusaka itu. Berhati-hatilah”

"Baik kakek..." jawab Manggada dan Laksana hampir berbareng.

Demikianlah, maka Kiai Gumrah pun telah melangkah ke pintu. Sebelum ia membuka pintu itu, maka terdengar-pintu itu diketuk keras-keras dari luar. Terdengar suara Ki Bekel memanggil-manggil.

“Kiai Gumrah. Keluarlah. Cepat, sebelum kami menjadi semakin marah...!”

Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun segera membuka pintu. Ki Bekel memang berdiri di depan pintu. Ketika pintu itu terbuka, maka Ki Bekel pun segera melangkah surut. Beberapa orang pun telah ikut melangkah surut pula. Ki Bekel itu mengerutkan dahinya ketika ia melihat beberapa orang lain telah keluar pula dan rumah Kiai Gumrah.

"Jadi kalian sudah bersiap-siap menyambut kedatangan kami, he?" berteriak Ki Bekel.

"Ki Bekel" berkata Kiai Gumrah “Aku tidak tahu apa yang telah terjadi. Tetapi perkenankan aku mengucapkan selamat datang kepada Ki Bekel dan beberapa puluh orang saudara-saudaraku yang malam ini datang ke rumahku.”

"Kiai Gumrah" berkata Ki Bekel "Aku akan langsung ke persoalannya saja. Aku datang untuk menjatuhkan keputusan bahwa kau harus meninggalkan rumah ini. Rumah dan halaman yang kami sediakan bagimu dan keluargamu ternyata tidak berarti sama sekali bagi padukuhan ini. Justru sebaliknya, kehadiranmu di rumah ini telah membuat persoalan yang sangat merugikan padukuhan ini.”

Kiai Gumrah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya "Ki Bekel. Aku tidak tahu apa maksud Ki Bekel sebenarnya.”

"Jangan berpura-pura. Aku sudah memperingatkanmu, jika kau berbuat kesalahan lagi, maka kau akan kami usir dari padukuhan ini. Ternyata kau tidak mendengarkan peringatanku itu. Dan kau benar-benar telah melakukan kesalahan lagi. Bahkan nampaknya kau sengaja bersama cucu-cucumu. Karena itu, maka kami sudah kehabisan kesabaran. Kalian, seisi rumah ini harus pergi. Tetapi karena segala milikmu adalah hasil dari tanah dan ladangmu, termasuk kebun kelapamu, maka kau tidak berhak membawanya. Semuanya harus kau tinggalkan. Yang dapat kau bawa hanyalah pakaian yang sekarang melekat di tubuhmu itu saja.”

"Ah...” desah Kiai Gumrah “Ki Bekel jangan bergurau.”

"Setan kau. Aku tidak bergurau. Aku bersungguh-sungguh. Kalian kami usir dari padukuhan ini. Kalian tidak perlu bertanya lagi. Kalian tentu sudah tahu akan kesalahan kalian.”

"Ki Bekel" berkata Kiai Gumrah “Ketika aku menerima peringatan dari Ki Bekel kemarin, maka aku pun telah mengingatnya dengan baik. Aku sudah menasehati cucu-cucuku agar mereka tidak melakukan kesalahan lagi.”

“Omong kosong...” geram Ki Bekel “Kau lihat, malam ini banjar lama itu gelap gulita. Halamannya kotor seperti rumah yang sudah bertahun-tahun tidak berpenghuni...”

"Oh...!" Kiai Gumrah mengangguk-angguk “Tetapi bukankah itu kesalahan yang tidak mendasar? Tidak sebagaimana dilakukannya kemarin. Sehari ini aku marahi cucu-cucuku, sehingga mereka dan juga aku, justru lupa menyalakan lampu. Sementara itu, kesalahan kecil itu apakah seimbang dengan keputusan yang Ki Bekel ambil untuk mengusir kami dari rumah ini?"

"Jangan banyak bicara" berkata Ki Bekel "kami tidak ingin berbantah tentang apapun juga. Tetapi keputusan kami sudah bulat. Kalian harus pergi” Bahkan Ki Bekel itu tiba-tiba saja menghadap kepada orang-orang yang mengikutinya sambil bertanya "He, apakah pendapat kalian tentang kakek tua yang keras kepala ini?"

"Usir saja. Usir saja!" terdengar teriakan gemuruh. Bahkan seseorang di antara mereka berteriak,  "Jika perlu, bunuh saja.”

Celakanya beberapa orang menyahut “Bunuh saja. Bunuh saja.”

Kiai Gumrah memang menjadi tegang. Bukan karena ia ketakutan menghadapi orang banyak. Tetapi Kiai Gumrah memang bingung, apa yang harus dilakukan terhadap orang-orang itu.

Ketika teriakan orang-orang itu menjadi semakin keras, maka Ki Bekel berkata "Nah, kau dengar tuntutan mereka atas kalian? Karena itu, sekarang kalian dan orang-orang yang kalian kumpulkan di rumah ini harus pergi tanpa membawa apapun juga.”

"Ki Bekel" sahut Kiai Gumrah "ternyata Ki Bekel tidak adil. Beritahu kesalahanku. Beri aku kesempatan untuk membela diri. Jika ternyata aku benar-benar bersalah, maka aku tidak akan berkeberatan untuk pergi.”

"Jangan banyak bicara" geram Ki Bekel "aku masih dapat menahan kemarahan orang-orang yang sebagaimana kau dengar sendiri ingin membunuhmu...!”

"Tetapi Ki Bekel harus memberikan penjelasan" sahut Ki Gumrah “Ki Bekel tidak dapat berlaku sewenang-wenang. Ki Bekel harus menenangkan orang-orang itu. Atau Ki Bekel dapat menunjuk salah seorang di antara mereka untuk mengatakan apa kesalahanku sehingga mereka ingin mengusirku, bahkan membunuhku.”

"Cukup...!" teriak Ki Bekel "Aku tidak sedang berbantah. Tetapi aku sedang memerintahkan kau pergi dari padukuhan ini...”

"Itu tidak cukup" tiba-tiba saja Kiai Gumrah juga berteriak "Aku tidak menerima perlakuan yang tidak adil ini...”

Selanjutnya,
Sang Penerus Bagian 14

Sang Penerus Bagian 13

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
KIAI Gumrah dan Ki Prawara saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Kiai Gumrah berkata "Baiklah. Aku akan berbicara dengan angger Darpati...”

Bersama Winih maka Kiai Gumrah pun kemudian menemui Darpati di ruang dalam. Demikian Kiai Gumrah duduk, maka Darpati pun segera berkata "Kiai. Aku akan mengajak Winih, Manggada dan Laksana untuk berjalan-jalan. Kiai tidak usah cemas. Kami bertiga akan dapat melindungi Winih dari ancaman bahaya yang bagaimanapun besarnya. Karena itu, sebenarnya Kiai tidak mempunyai alasan untuk melarang Winih keluar hari ini...”

"Tetapi bukankah angger sendiri pernah mengatakan, bahwa sebaiknya Winih tidak usah pergi kemana-mana lebih dahulu dalam waktu-waktu seperti ini?" sahut Kiai Gumrah.

"Aku memang pernah mengatakannya. Tetapi seingatku, aku mengatakan bahwa Winih jangan pergi keluar dahulu tanpa aku. Jika sekarang aku ada, maka aku kira tidak ada keberatannya Winih berjalan keluar...” berkata Darpati.

Kiai Gumrah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya "Tetapi sebaiknya tidak saja ngger. Sebaiknya Winih dan juga angger Darpati serta Manggada dan Laksana tidak usah pergi keluar. Persoalannya ternyata menjadi semakin rumit. Kemarin, menjelang malam, anak-anak padukuhan ini telah berkelahi dengan Manggada dan Laksana..”

"Tetapi itu bukan persoalan baru Kiai" jawab Darpati "Rambatan memang membenci kami. Maksudku, aku, Manggada dan Laksana. Nampaknya ia ingin membalas dendam, justru selagi aku tidak ada. Mereka mengira bahwa mereka akan dapat mengalahkan Manggada dan Laksana. Apalagi mereka mendapat bantuan dari seorang yang dianggapnya berilmu tinggi...”

Kiai Gumrah termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Darpati dengan tajamnya. Namun Kiai Gumrah kemudian hanya menarik nafas dalam-dalam.

Sementara itu Darpati pun berkata "Nah, Kiai. Serahkan tanggung-jawab atas Winih kepadaku. Aku akan membawanya pulang dengan selamat.”

"Manggada dan Laksana?" bertanya Kiai Gumrah.

Darpati menjadi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya "Mereka adalah anak-anak muda yang berilmu. Karena itu, maka mereka akan dapat melindungi diri mereka sendiri”

Namun jawaban Kiai Gumrah membuat denyut jantung Darpati semakin cepat berdetak. Orang tua itupun kemudian menjawab. "Maaf ngger! Orang tua ini selalu saja dibayangi oleh kecemasan. Karena itu, maka sebaiknya angger tidak membawa Winih keluar hari ini. Aku bahkan ingin mempersilahkan angger duduk-duduk saja di sini. Aku sedang merebus ketela pohon dengan legen kelapa yang baru aku turunkan pagi tadi”

"Kiai..." Darpati mulai menjadi jengkel. "Apakah Kiai tidak percaya kepadaku?"

"Tentu ngger. Aku percaya kepada angger. Bahwa angger akan bertanggung jawab Tetapi kita tidak tahu, seberapa besarnya kekuatan orang yang ingin mengganggu ketenangan. Mungkin mereka memusuhi kami dan mencoba untuk menumpahkan permusuhan itu kepada Winih, Manggada dan Laksana. Atau orang itu memang memusuhi angger, karena orang itu tidak senang melihat angger berkawah dengan Winih atau alasan-alasan yang lain”

"Kiai..." berkata Darpati "Sekali lagi aku minta Kiai tidak mencemaskan keadaan Winih. Aku bertanggung jawab sepenuhnya. Apalagi Winih sudah dewasa, sehingga ia seharusnya tidak lagi terlalu dikekang seperti kanak-kanak”

"Itu terbalik ngger..." jawab Kiai Gumrah "Justru Winih sudah memasuki usia dewasanya. Gadis-gadis sebaya Winih memang sudah waktunya untuk dipingit. Ia harus tinggal saja di rumah sampai saatnya ayah dan ibunya menemukan jodoh baginya. Nah, ternyata ayah dan ibu Winih juga sudah membicarakannya dengan aku kakeknya, bahwa Winih harus sudah memasuki masa bahwa ia harus dipingit. Ayah dan ibunya mulai merasa cemas, bahwa Winih mulai berhubungan dengan laki-laki yang barangkali tidak sesuai dengan keinginan ayah dan ibunya”

"Kek..." di luar sadarnya Winih telah memotong pembicaraan kakeknya. Namun kata-katanya itupun bagaikan terputus di kerongkongan sehingga kemudian Winih pun terdiam, sambil menundukkan kepalanya.

Dalam pada itu, Darpatilah yang menyahut "Kiai, apakah dengan demikian berarti bahwa ayah dan ibu Winih menganggap bahwa aku tidak pantas berhubungan dengan Winih?"

"Bukan begitu ngger" jawab Kiai Gumrah "dalam usia sebagaimana Winih sekarang, maka hubungannya, dengan setiap laki-laki akan diputuskan. Bukan hanya angger Darpati”

"Itu tidak adil" Darpati hampir berteriak.

"Kenapa?" bertanya Kiai Gumrah.

"Aku telah berbuat baik atas Winih. Aku sudah menyelamatkannya dari tangan Rambatan. Kemudian menyelamatkannya di pancuran. Jika aku tidak berbuat demikian, maka mungkin Winih sudah disekap di rumah Rambatan atau dibawa oleh orang-orang liar yang datang ke pancuran itu”

"Tetapi itu bukan satu perbuatan yang berlebihan. Seandainya angger Darpati tidak ada, maka Manggada dan Laksana akan dapat melindunginya saat Rambatan ingin membawa Winih untuk mengambil ayam ke rumahnya. Sementara itu, tanpa angger Darpati maka Winih tidak akan pergi ke pancuran”

"Kek" sekali lagi Winih ingin memotong kata-kata kakeknya. Tetapi sekali lagi suaranya terhenti di kerongkongan.

Sementara itu Darpati berkata "Jadi Kiai menganggap apa yang pernah aku lakukan itu sia-sia?"

"Bukan ngger. Bukan begitu. Apa yang angger lakukan tidak aku anggap sia-sia. Tetapi aku juga tidak menanggapinya dengan berlebihan. Apa yang angger lakukan itu adalah sangat wajar. Setiap laki-laki akan berbuat seperti apa yang angger lakukan”

Wajah Darpati menjadi merah. Namun kemudian katanya “Apapun tanggapan Kiai, tetapi sekarang aku minta Winih dapat pergi bersamaku, bersama Manggada dan Laksana”

Kiai Gumrah termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba pertanyaan aneh "Bagaimana jika tanpa Manggada dan Laksana?"

"Tidak” jawab Darpati "Tentu tidak akan baik dilihat orang” Darpati berhenti sejenak, lalu katanya "Dan bukankah sikap Kiai aneh sekali? Kiai mengatakan bahwa Winih akan mulai dipingit. Kemudian justru Kiai menawarkan Winih pergi bersamaku tanpa orang lain?"

"Sudahlah ngger" berkata Kiai Gumrah "Lupakan keinginan angger mengajak Winih berjalan-jalan hari ini. Biarlah ia berada di rumah membantu ibunya mencetak gula. Ia harus belajar bekerja keras sebagaimana seorang gadis yang lain, anak orang-orang melarat seperti kakek ini”

"Jadi kakek ingin Winih juga menjadi orang melarat seperti Kiai?" bertanya Darpati.

"Kami bukan pemimpi ngger. Biarlah kami hidup dengan berjejak di atas bumi kita sendiri. Kami harus menerima kenyataan ini” jawab Kiai Gumrah.

Darpati benar-benar telah menjadi marah. Dengan lantang ia berkata "Jika Kiai ingin memisahkan Winih dari semua laki-laki, kemudian melarangnya pergi bersamaku, itu tidak adil”

"Kenapa tidak adil" bertanya Kiai Gumrah.

Wajah Darpati menjadi semakin tegang. Namun kemudian katanya "Kiai. Aku dan Winih memang belum terlalu lama saling berkenalan. Tetapi aku tahu. bahwa Winih tanggap akan perasaanku. Karena itu, maka tidak seorang pun yang dapat menghalangi hubungan kami. Kami berdua telah sama-sama dewasa, sehingga kami dapat menentukan jalan hidup kami sendiri”

"Angger Darpati bukan saja telah dewasa. Tetapi angger sudah terlalu matang serta berpengalaman berhubungan dengan bukan saja gadis-gadis, tetapi juga perempuan macam apapun” jawab Kiai Gumrah di luar dugaan.

Telinga Darpati bagaikan disentuh bara api. Wajahnya menjadi merah menyala. Dipandanginya Kiai Gumrah dengan matanya yang seolah-olah akan meloncat dari pelupuknya. Sedangkan Winih bergeser selangkah maju sambil berdesis "Kakek. Kenapa kakek berkata seperti itu?"

"Aku sudah memikirkan dengan baik apa yang aku katakan Winih" jawab Kiai Gumrah.

"Tetapi kata-kata kakek itu dapat menyakiti hatinya" berkata Winih dengan suara bergetar. Di matanya mulai nampak air matanya mengembun.

"Mungkin kata-kataku menyakiti hatinya. Tetapi jika aku yakin bahwa apa yang aku katakan itu satu kebenaran, maka apakah salahnya jika aku mengucapkannya?" sahut Kiai Gumrah.

Darpati memang menahan kemarahan yang menghentak-hentak di dadanya. Tetapi bagaimanapun juga Darpati mengetahui, bahwa Kiai Gumrah adalah seorang yang berilmu tinggi. Karena itu, betapa hatinya bergelora, namun Darpati harus menahan diri. Jika ia memaksakan kehendaknya, maka orang tua itupun agaknya tidak mau lagi melangkah surut.

Karena itu, maka Darpati itupun kemudian menggeram "Hanya karena aku mengingat hubunganku dengan Winih, aku tidak berbuat apa-apa sekarang ini. Tetapi kesabaran seseorang memang ada batasnya. Jika aku sekarang pergi, bukan berarti bahwa persoalan kita sudah selesai”

Darpati tidak menunggu jawaban. iapun segera melangkah pergi meninggalkan rumah Kiai Gumrah. Demikian Darpati pergi, maka Winih pun berkata di sela-sela isaknya yang tertahan.

"Kakek telah menyakiti hatinya. Seharusnya kakek tidak berkata seperti itu. Ia adalah seseorang yang mempunyai perasaan, sehingga ia telah tersinggung karenanya”

Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu ayah dan ibu Winih telah mendekatinya pula. Manggada dan Laksana sebenarnya juga ingin mendekat, tetapi mereka masih menjaga jarak, karena mereka merasa bahwa sebenarnya mereka tidak termasuk keluarga Ki Gumrah.

Sementara itu Kiai Gumrah pun berkata "Winih, Aku memang sengaja menyinggung perasaannya. Aku ingin tahu, apakah yang akan dilakukan oleh, Darpati jika ia marah”

"Karena kakek adalah kakekku, maka Darpati tentu tidak akan berbuat sesuatu” jawab Winih.

"Bukan itu alasannya, Winih. Darpati bukan jenis orang yang mempunyai pertimbangan unggah-ungguh atau berusaha untuk menjaga perasaan orang lain. Kau tahu, bagaimana sikapnya, terhadap aku, ayah dan ibumu sejak ia datang untuk pertama kalinya ke rumah ini beberapa saat yang lalu. Kau tahu bagaimana sikap Darpati terhadap Manggada dan Laksana yang seharusnya dihormatinya sebagai saudara tua. Tetapi ia tidak bersikap seperti itu. Karena itu, jika ia marah, ia tidak akan mempedulikan apakah aku kakeknya atau bukan. Bahkan terhadap kedua orang tuamu pun ia tidak akan menghiraukannya. Apalagi Manggada dan Laksana”

"Tetapi nyatanya, Darpati tidak berbuat apa-apa kek. meskipun ia merasa sangat tersinggung. Bukankah ia berkata bahwa karena hubunganku dengan Darpati, maka Darpati tidak berbuat apa-apa sekarang ini” nada suara Winih menjadi semakin tinggi.

Tetapi Kiai Gumrah menggeleng. Katanya "Tidak Winih. Ia tidak berbuat apa-apa bukan karena hubungannya denganmu. Sudah aku katakan, ia tidak akan menghormati aku, kakekmu, juga ayah dan ibumu”

"Jadi kenapa Darpati tidak berbuat sesuatu dalam keadaan marah seperti itu?" bertanya Winih di sela-sela isaknya.

"Ia tidak berbuat sesuatu karena ia tahu, bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan aku atau ayahmu. Ia tahu bahwa dalam keadaan yang memaksa aku dapat membunuhnya” jawab Kiai Gumrah.

Kening Winih berkerut mendengar jawaban kakeknya. Tiba-tiba saja isaknya berhenti. Dengan nada dalam ia bertanya "Maksud kakek?"

"Ia mengenali keluarga kita dengan baik. Ia tahu pasti bahwa aku sedang melindungi pusaka-pusaka itu, dan ia termasuk bagian dari mereka yang menginginkan pusaka itu”

Wajah Winih menegang. Namun tiba-tiba saja ia berkata "Prasangka kakek selalu lari kesana. Kecurigaan terhadap siapapun karena ayah sedang melindungi pusaka-pusaka itu. Mungkin kakek benar bahwa Darpati telah banyak berhubungan dengan perempuan. Mungkin benar Darpati mengetahui bahwa kekek dan ayah memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi apakah hal itu selalu berhubungan dengan niat untuk mengambil pusaka-pusaka itu? Apakah kakek menganggap bahwa Darpati bersikap baik kepadaku karena ia mendapat tugas untuk mengambil pusaka-pusaka itu?"

"Bahkan kedua-duanya, Winih. Darpati memang menghendaki kau dan pusaka-pusaka itu” jawab Kiai Gumrah.

"Kakek" potong Winih "Kakek sudah berprasangka buruk terhadap seseorang”

"Dengar Winih. Ia tentu sudah mendengar dari lingkungannya bahwa aku tidak akan dapat dikalahkannya. Karena itu ia tidak berbuat apa-apa meskipun ia tersinggung. Karena itu, maka pertimbangkan baik-baik. Penalaranmu jangan menjadi buram karena kau sudah menjadi silau melihat ujud lahiriahnya. Darpati akan merasa berhasil jika ia dapat menangkapmu dalam perangkapnya sekaligus mendapat jalan untuk mengambil pusaka-pusaka itu. Sementara nasibmu tentu akan menjadi seperti banyak perempuan yang sebelumnya pernah singgah dalam kehidupan Darpati”

“Tidak. Tidak" Winih hampir berteriak. iapun kemudian berlari masuk ke dalam biliknya. Sambil terisak Winih menelungkupkan wajahnya di pembaringan. Air matanya mengalir tanpa terbendung lagi.

Sementara itu ibunyalah yang datang mendekatinya dan duduk di bibir pembaringan. Sambil mengusap rambut anaknya ibunya berkata “Winih, agaknya kau memang harus menghadapi kenyataan, yang pahit”

"Apakah ibu juga mempunyai prasangka buruk terhadap Darpati sebagaimana kakek dan ayah?" bertanya Winih meskipun sebenarnya Winih pun tahu, bahwa ibunya pun bersikap demikian sebagaimana pernah dikatakannya. Tetapi rasa-rasanya Winih masih ingin meyakinkannya.

Ibunya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya masih dengan lembut "Winih. Ternyata aku tidak dapat bersikap lain. Aku juga mencurigai Darpati. Mungkin kau pernah mendengar atau membaca kesan sikap ibu seperti itu sebelumnya”

Winih masih saja terisak Namun jawabnya tidak diduga oleh ibunya. Katanya "Ibu, aku akan mencoba untuk memikirkannya dengan sebaik-baiknya. Aku akan mencoba mempergunakan penalaran dan perasaanku serta mencoba untuk berbincang dengan firasat yang aku tangkap selama ini”

Ibunya tiba-tiba saja memeluk Winih yang memang kemudian bangkit dan duduk disamping ibunya "Kau memberi harapan baru bagi kami sekeluarga Winih. Ayah dan ibumu merasa sangat sedih atas sikapmu akhir-akhir ini. Bahkan kakek sudah memutuskan untuk bertindak lebih keras lagi sebagaimana dilakukannya itu”

Winih mengangguk kecil. Katanya "Aku mohon maaf ibu. Tetapi jika aku boleh berterus-terang, sebenarnya sulit bagiku untuk mengerti sikap dan pendapat kakek, ayah dan ibu. Namun aku akan mencoba melihat kenyataan itu betapapun pahitnya. Tetapi jika ternyata prasangka kakek, ayah dan ibu tidak terbukti?"

"Kakek, ayah dan ibu tidak bermaksud menyakiti hatimu Winih. Karena itu, jika ternyata dugaan kami salah, sudah tentu kami tidak akan berkeras untuk memisahkanmu dari padanya”

Winih mengangguk kecil. Ia mengerti bahwa kakek, ayah dan ibunya berniat baik, meskipun Winih masih ingin, membuktikan kebenaran dugaan mereka terhadap Darpati.

Sementara itu, Manggada dan Laksana pun telah, dipanggil oleh Kiai Gumrah. Kepada kedua anak muda itu, Kiai Gumrah telah memberitahukan sikapnya terhadap Darpati. Dengan nada berat Kiai Gumrah itupun kemudian berpesan,

"Karena itu ngger. Kalian berdua harus menjadi semakin berhati-hati. Aku menjadi semakin yakin, bahwa Darpati memang ingin menyingkirkan kalian berdua, apapun alasannya. Mungkin Darpati tahu pasti, bahwa kau dengan Winih sama sekali tidak mempunyai hubungan darah, sehingga Darpati ingin menyingkirkan kalian karena kalian terlalu dekat dengan Winih”

"Tetapi mungkin Darpati juga berniat mengurangi kekuatan yang ada di rumah ini” desis Ki Prawara.

"Manggada dan Laksana tidak terlalu diperhitungkan, karena kemampuan mereka masih dianggap tidak terlalu mengganggu” jawab Kiai Gumrah.

Ki Prawara mengangguk-angguk. Katanya "Agaknya memang demikian. Karena itu, nanti sore jika kalian akan membersihkan dan menyalakan lampu di banjar tua itu, biarlah aku menyertai kalian karena persoalannya agaknya menjadi semakin bersungguh-sungguh”

Manggada dan Laksana tidak menjawab. Dengan dahi yang berkerut mereka mengangguk-angguk mengiakan. Sementara itu Kiai Gumrah pun berkata "Waktu memang menjadi semakin mendesak. Orang yang disebut Panembahan itu tidak akan bermain-main dengan setiap kesempatan karena orang itu mempunyai batas waktu yang semakin mendekat”

Manggada dan Laksana masih saja mengangguk-angguk. Tetapi mereka memang dapat mengerti, bahwa udara di rumah tua itu menjadi semakin hari semakin panas. Hari itu Manggada dan Laksana memang tidak keluar dari halaman rumah Kiai Gumrah. Sementara Kiai Gumrah sendiri telah pergi ke rumah pedagang gula untuk menyerahkan gulanya yang masih hangat.

Namun seisi rumah itu tahu, bahwa Kiai Gumrah tidak sekedar menyerahkan gulanya. Tetapi ia telah memberitahukan persoalan yang terjadi di rumahnya kepada pedagang gula itu. Dengan demikian maka kawan-kawan Kiai Gumrah pun akan segera mendengarnya pula.

Sementara itu di rumah, Ki Prawara, Manggada dan Laksana tetap saja berhati-hati. Kemarahan Darpati akan dapat menimbulkan persoalan khusus disamping usaha sekelompok orang untuk mendapatkan pusaka-pusaka yang tersimpan di rumah Kiai Gumrah.

Seperti biasanya Kiai Gumrah tidak terlalu lama pergi meninggalkan rumahnya. Ketika ia kemudian kembali, maka Kiai Gumrah seperti biasanya membawa uang harga gulanya yang diserahkannya kepada juragan gula yang menampungnya.

Menjelang sore hari, maka juragan gula itu bersama seorang kawannya telah datang pula ke rumah Kiai Gumrah. Seperti biasa mereka berbicara kesana-kemari. Berkelakar dan sekali-sekali terdengar mereka tertawa serentak. Ki Prawara pun telah ikut pula berbincang di antara mereka.

Namun di sela-sela kelakar mereka itu, terselip juga pembicaraan yang berarti. Juragan gula dan kawannya itu minta keterangan lebih terperinci tentang peristiwa yang menimpa Manggada dan Laksana di banjar, serta sikap Darpati yang marah itu.

Manggada dan Laksana yang menghidangkan suguhan bagi mereka, sedikit-sedikit ikut mendengar pembicaraan mereka itu. Apalagi Kiai Gumrah memang tidak berniat untuk merahasiakan pembicaraan itu terhadap Manggada dan Laksana.

Namun dalam pada itu, selagi mereka sibuk berbincang dan sekali-sekali terdengar suara tertawa meledak, tiba-tiba saja seorang anak muda telah datang mengetuk pintu rumah itu. Manggadalah yang kemudian membukakan pintu. Ia melihat seorang anak muda yang telah begitu saja menyusup masuk.

"Kau?" desis Manggada yang mengenal anak muda itu.

"Dengar" berkata anak muda itu serta merta dengan suara bergetar di sela-sela nafasnya yang terengah-engah "nanti setelah senja atau di saat malam mulai turun, Ki Bekel dan beberapa orang bebahu akan datang kemari”

"Untuk apa?" bertanya Manggada yang terkejut “Apakah masih ada hubungannya dengan persoalan Rambatan?"

"Ya. Alasannya memang demikian. Tetapi justru Rambatan setuju aku datang memberitahukan hal ini kepadamu atau bahkan kepada kakekmu” jawab anak muda itu.

"Sikap Rambatan tidak aku mengerti" berkata Manggada.

"Peristiwa yang terjadi kemarin telah mengguncang perasaan dan penalarannya. Nampaknya ia akan berubah. Karena itu, ia justru menganjurkan aku datang kemari” jawab anak muda itu.

"Jadi, apa yang akan terjadi?" bertanya Manggada.

"Ki Bekel telah dihasut oleh orang-orang yang tidak dikenal” jawab anak muda itu.

Manggada mengerutkan keningnya. Keterangan itu agaknya cukup penting, sehingga Manggada pun berkata "Marilah. Bicarakan dengan kakek”

Anak muda itupun kemudian telah dibawa ke ruang dalam untuk bertema dengan Kiai Gumrah yang sedang menemui tamu-tamunya. Tetapi Kiai Gumrah tidak mengajak anak muda itu untuk berbicara di antara mereka. Bahkan katanya,

"Biarlah tamu-tamuku mendengarnya. Mungkin keterangan ini penting bukan saja bagi kami sekeluarga. Tetapi juga bagi tamu-tamuku”

Anak muda itu memang termangu-mangu. Namun kemudian katanya "Seseorang telah menghasut Ki Bekel sebagaimana seseorang telah menghasut Rambatan kemarin”

"Apa saja yang dikatakannya?" bertanya Kiai Gumrah.

"Orang itu mengatakan kepada Ki Bekel bahwa Kiai dan keluarga Kiai sangat membahayakan bagi penghuni padukuhan ini. Kiai dan keluarga Kiai dianggap bertindak sewenang-wenang terhadap anak-anak muda di padukuhan ini, meskipun anak muda itu bersalah. Jika kemarin Rambatan berhasil dibujuknya. mereka sekarang telah membujuk Ki Bekel meskipun orangnya lain. Tetapi aku yakin, bahwa orang yang membujuk Rambatan dan orang yang mempunyai kepentingan yang sama”

Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Dengan nada berat iapun bertanya "Bagaimana sikap Ki Bekel serta sikap Rambatan?"

"Setelah peristiwa kemarin, Rambatan justru berubah. Ia merasa diperalat oleh orang yang tidak dikenal dengan memanfaatkan sikap serta namanya yang sudah cacat. Sedangkan Ki Bekel nampaknya bukan saja sekedar dibujuk. Tetapi dengan janji-janji yang tidak kami ketahui. Bahkan mungkin uang. Rambatan yang justru berubah sikap tidak setuju dengan sikap Ki Bekel itu. Apalagi anak-anak muda yang lain”

"Lalu tindakan apa yang akan diambil oleh Ki Bekel?” bertanya Kai Gumrah.

“Kiai dan seisi rumah ini akan diusir. Bahkan orang-yang membujuk Ki Bekel itu menganjurkan agar Kiai tidak diperkenankan membawa apapun juga, karena segala milik Kiai Gumrah itu adalah hasil yang diperoleh selama Kiai tinggal dipadukuhan ini. Karena Kiai dianggap berkhianat terhadap padukuhan ini, maka apa yang Kiai peroleh di padukuhan ini harus kembali kepada padukuhan ini pula”

Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Dengan agak ragu Kiai Gumrah bertanya "Bagaimana menurut pendapatmu?"

Anak muda itu dengan serta-merta menjawab, "Itu tidak masuk akal. Karena itu, anak-anak muda yang mengenal Kiai Gumrah dengan baik serta yang pada akhir-akhir ini bergaul dengan Manggada dan Laksana, menganggap hal itu tidak dapat diterima begitu saja. Bahkan Rambatan yang juga merasa pernah diperalat, juga menganggap bahwa Ki Bekel telah diperalat. Apalagi setelah ada keterangan yang bocor dari salah seorang bebahu, bahwa orang yang menghasut Ki Bekel itu telah memberikan uang serta janji-janji”

"Jadi apa yang terjadi ini merupakan kelanjutan dari peristiwa yang terjadi kemarin di banjar tua?" bertanya Kiai Gumrah.

"Agaknya memang demikian!" jawab anak muda itu.

Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Katanya "Terima kasih anak muda. Kami akan berhati-hati menghadapi persoalan ini”

"Kiai" berkata anak muda itu "jika ada sesuatu yang berharga di rumah Kiai, sebaiknya Kiai menyingkirkan lebih dahulu karena agaknya Ki Bekel benar-benar telah terhasut dan bahkan dengan sungguh-sungguh berniat melaksanakannya”

Kiai Gumrah itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ngger. Tidak ada yang pantas aku singkirkan dari rumah ini. Aku tidak mempunyai apa-apa selain beberapa buah amben bambu dan gledeg bambu. Tetapi apakah aku akan dengan suka-rela meninggalkan rumah ini, itulah yang sedang aku pikirkan”

"Kiai..." berkata anak muda itu “Ada beberapa orang bebahu yang juga terhasut. Ada beberapa orang anak muda penjilat yang akan mendukung Ki Bekel yang merasa berhak mempergunakan kuasanya sewenang-wenang yang tentu juga karena ada janji. Bukankah dengan demikian sebaiknya Kiai tidak melawan mereka”

"Angger..." berkata Kiai Gumrah "kami seisi rumah ini memang tidak akan mampu melawan mereka. Tetapi bukankah kami wajib mempertahankan hak kami?”

"Kiai, Manggada dan Laksana memiliki kemampuan untuk berkelahi sebagaimana terjadi di banjar kemarin. Tetapi jika yang bakal datang itu adalah Ki Bekel sendiri serta beberapa orang bebahu yang juga termasuk Ki Jagabaya dan beberapa orang anak muda, apa yang dapat dilakukan oleh Manggada dan Laksana?"

Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Katanya "Kami akan memikirkannya ngger. Aku menyatakan sangat berterima-kasih atas kesediaanmu memberitahukan hal ini kepadaku...”

"Kiai. hal ini aku lakukan, karena kami tahu, Kiai tidak bersalah. Bahkan Rambatan pun menganggap demikian pula” jawab anak muda itu bersungguh-sungguh "tetapi sekali lagi kami minta, Kiai jangan mencoba untuk mempertahankan hak Kiai atas tanah ini, karena agaknya hal itulah yang mereka harapkan”

"Kenapa mereka mengharapkan hal itu?" bertanya Kiai Gumrah dengan heran.

"Mereka mempunyai alasan untuk berbuat kasar. Mereka akan mengusir Kiai dengan kekerasan” jawab anak muda itu.

Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Katanya kemudian "Terima kasih ngger atas keteranganmu. Ternyata masih adat juga anak-anak muda yang berbicara dengan hati nuraninya”

"Baiklah, Kiai. Aku minta diri. Jika Ki Bekel dan orang-orang yang sejalan dengan sikapnya mengetahui aku ada di sini, mereka tentu akan marah kepadaku” jawab anak muda itu.

Dengan demikian, maka anak muda itupun segera meninggalkan rumah Kiai Gumrah. Dengan hati-hati anak muda itupun segera menghilang di tikungan jalan sempit di sebelah halaman rumah Kiai Gumrah itu.

Sepeninggal anak muda itu, Kiai Gumrah pun bertanya kepada Manggada dan Laksana yang ikut mendengarkan pembicaraan itu "Apakah anak muda itu juga yang kemarin datang memberitahukan niat Rambatan untuk membalas dendam?"

"Bukan kek. Tetapi anak muda ini adalah sahabat dari anak muda yang datang kemarin. Mereka selalu bersama-sama pergi ke sawah dan bahkan meronda di malam hari. Merekalah yang sering duduk berlama-lama di banjar tua itu bersama kami berdua”

"Baiklah” berkata Kiai Gumrah "Aku justru menganggap bahwa persoalannya menjadi semakin jelas. Tentu ada hubungannya dengan sikap Darpati”

"Jika demikian, kita harus semakin berhati-hati" berkata juragan gula itu.

"Aku memang menjadi agak bingung" desis Kiai Gumrah "Bagaimana cara kami menghadapi orang-orang padukuhan ini. Mereka adalah orang-orang yang tidak tahu menahu, apa yang sebenarnya mereka lakukan. Tetapi sudah tentu bahwa kami tidak dapat begitu saja mengungsi dari tempat ini sambd membawa pusaka-pusaka itu”

"Satu langkah yang cerdik dari para pengikut Kiai Windu Kusuma" berkata juragan juragan gula itu "Tetapi juga tidak mustahil bahwa di antara para bebahu itu terdapat para pengikut Kiai Windu Kusuma atau orang yang disebut Panembahan itu”

"Jadi, apa yang sebaiknya kita lakukan?" bertanya Kiai Gumrah.

"Aku akan memanggil beberapa orang kita. Mungkin kita memang harus berkelahi meskipun kita harus menyesuaikan diri dengan siapa kita berhadapan. Jika ada di antara mereka orang-orang Kiai Windu Kusuma atau bahkan para pengikut orang yang disebut Panembahan itu, apaboleh buat. Kita tidak sekedar bermain-main. Tetapi jika yang datang benar-benar hanya orang-orang padukuhan ini, tentu kita akan berbuat lain, meskipun akhirnya kita tidak akan keluar dari rumah ini”

Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Katanya "Baiklah. Beritahukan beberapa kawan kita”

Kedua orang tamu Kiai Gumrah itupun segera minta diri. Juragan gula itupun berkata "Aku akan sampai kemari lagi sebelum senja bersama beberapa orang kawan”

"Jangan datang bersama-sama" pesan Kiai Gumrah "Datanglah seorang demi seorang”

Juragan gula itu tersenyum. Katanya "Kau kira aku sudah menjadi demikian dungu sehingga kau perlu berpesan seperti itu?"

"Siapa yang mengatakan bahwa aku menganggapmu semakin dungu sekarang ini? Dengar, aku menganggapmu dungu sejak dahulu”

"Setan kau. Jika demikian, aku akan duduk di sini saja sambil menghirup minuman hangat” jawab juragan gula itu.

Tetapi kawannya menariknya sambil berkata "Kau bukan saja menjadi semakin dungu. Tetapi, kau juga menjadi cengeng dan perajuk sekarang”

Juragan gula itu tertawa sambil bangkit berdiri sementara kawannya berkata “Kita tidak mempunyai waktu lagi”

Demikianlah, maka kedua orang tamu itupun telah meninggalkan rumah Kiai Gumrah untuk memberitahukan beberapa orang kawan mereka tentang peristiwa yang akan terjadi di rumah Kiai Gumrah,

Dalam pada itu, Kiai Gumrah pun telah menjadi semakin berhati-hati. Manggada dan Laksana harus mengawasi halaman belakang rumah Kiai Gumrah. Mungkin ada sesuatu yang mencurigakan.

Kepada mereka berdua Kiai Gumrah berpesan, agar mereka tidak usah pergi ke banjar. Menjelang senja, seperti yang dijanjikan, juragan gula itu telah datang. Kemudian disusul seorang demi seorang para pembuat dan penjual gula. Sebagian dari mereka telah dikenal oleh Manggada dan Laksana. Tetapi yang lain terhitung orang-orang baru bagi kedua orang anak muda itu,

Ketika mereka sudah berkumpul di ruang dalam, maka rasa-rasanya ruangannya menjadi terlalu sempit. Sementara Nyi Prawara. Winih, Manggada dan Laksana menjadi sibuk membuat dan menghidangkan minuman dan ketela rebus.

"Berapa orang?" bertanya Nyi Prawara yang menyiapkan hidangan bagi tamu-tamu Kiai Gumrah.

"Enam orang” jawab Manggada.

"Jadi semuanya ada delapan termasuk kakek dan paman Prawara” berkata Laksana kemudian.

Nyi Prawara mengangguk-angguk. Tetapi hidangan yang disediakan akan lebih dari mencukupi bagi keenam tamu itu. Sejenak kemudian, maka pembicaraan yang riuh telah terjadi di ruang dalam. Seperti biasanya, jika kawan-kawan Kiai Gumrah yang pada umumnya memang sudah setengah baya dan bahkan lewat setengah abad itu berkumpul, maka suasana menjadi ramai.

Mereka berbicara apa saja. Kadang-kadang mereka tidak menahan diri untuk berbicara semakin lama semakin keras. Suara tertawa yang kadang-kadang meledak mewarnai pembicaraan mereka.

Namun dalam pada itu, setelah mereka minum beberapa teguk serta menelan sepotong-sepotong ketela rebus, mereka bertanya “Kenapa kami diundang untuk datang ke rumah ini?”

Sebelum Kiai Gumrah menjawab, seorang di antara para tamu itu menyahut "Biasanya Kiai Gumrah memperingati hari kelahirannya. Bahkan tumbuk ageng”

"Kenapa biasanya?" bertanya yang lain “Bukankah tumbuk ageng itu hanya terjadi sekali dalam hidup seseorang?"

"Tetapi Kiai Gumrah tidak. Ia memperingati hari apapun dengan istilah tumbuk ageng. Juga jika ia ingin bermain dadu dengan mengundang beberapa orang kawan. iapun menyebutnya memperingati hari tumbuk agengnya”

"Sekarang kita memang akan memperingati tumbuk ageng" berkata Kiai Gumrah "Tetapi juragan kita itu tentu sudah mengatakan kenapa kalian diminta datang”

"Katakanlah" berkata juragan gula itu "itu penting, karena kau yang menjadi tuan rumah sekarang ini”

Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian mengatakan, kenapa ia mengharap kawan-kawannya yang sempat dihubungi untuk datang.

"Jadi Ki Bekel malam ini akan datang kemari?" bertanya seseorang.

"Ya" jawab Kiai Gumrah "Seperti pendapat anak-anak muda padukuhan ini, niat Ki Bekel itu memang tidak masuk akal jika tidak ada seseorang yang membujuknya, menghasutnya atau menyuapnya. Orang-orang itu agaknya ingin mempergunakan semua cara yang mungkin ditempuh untuk mencapai maksudnya. Bahkan juga membenturkan kekuasaan Ki Bekel dengan kekuatan kita yang tentu sudah mereka ketahui”

"Apakah mereka tidak memperhitungkan bahwa langkah yang mereka ambil itu akan sia-sia saja?" desis seorang yang lain.

"Aku tidak tahu apa maksud mereka sebenarnya dengan langkah yang diambilnya kali ini” berkata Kiai Gumrah kemudian.

"Baiklah" berkata juragan gula itu "Kita akan menunggu, apa yang nanti akan terjadi”

"Tetapi jika Kiai Windu Kusuma datang dengan seluruh kekuatannya, menumpang gejolak yang telah dibuatnya, maka kita akan mengalami kesulitan” berkata Kiai Gumrah.

“Aku belum yakin, kalau Kiai Windu Kusuma memakai cara ini untuk tujuan akhir. Mungkin ia sekedar memancing satu pergolakan untuk rencananya yang lebih besar" sahut juragan gula itu.

Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya "Sudahlah, Kita menunggu apa yang terjadi. Aku akan pergi ke dapur lebih dahulu”

Di dapur Kiai Gumrah telah memberikan beberapa pesan kepada Nyi Prawara dan kepada Winih. Agaknya Kiai Gumrah menanggapi peristiwa yang akan terjadi itu dengan bersungguh-sungguh. Ketika senja mulai turun, Manggada dan Laksana diperingatkan oleh Kiai Gumrah untuk tidak pergi ke banjar lama karena kemungkinan-kemungkinan buruk akan dapat terjadi.

"Kita akan menunggu di sini" berkata Kiai Gumrah.

"Tetapi banjar itu akan tetap gelap" desis Manggada.

"Biar sajalah untuk malam ini. Atau mungkin malam-malam berikutnya. Jika Ki Bekel nanti benar-benar datang, mungkin akan ada perubahan-perubahan terjadi di padukuhan ini”

Manggada hanya dapat mengangguk-angguk saja. Sementara Kiai Gumrah berkata "Hati-hatilah, Perhatikan halaman belakang rumah ini. Tetapi kau tidak perlu keluar dan turun ke halaman belakang karena hal itu juga berbahaya bagi kalian berdua”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk kecil. Mereka memang dapat menyadari, bahwa bahaya akan mengintip mereka setiap saat.

Sementara itu, lampu pun telah dinyalakan di rumah Kiai Gumrah. Bahkan oncor di regol pun telah menyala pula. Tetapi banjar, lama padukuhan itu masih tetap gelap karena Manggada dan Laksana tidak, datang kebanjar untuk membersihkan banjar dan menyalakan lampu-lampu minyak sebagaimana dilakukannya setiap hari.

Ketika malam mulai turun, maka pembicaraan di antara orang-orang tua di ruang tengah itupun menjadi semakin mereda. Bagaimanapun juga terasa bahwa mereka mulai diusik oleh ketegangan. Menurut keterangan anak muda yang datang ke rumah itu, Ki Bekel akan datang lepas senja atau saat malam mulai turun.

Ketika di ruang dalam itu tidak lagi terdengar suara gurau dan tawa, maka seperti yang mereka tunggu, maka Ki Bekel benar-benar telah datang ke rumah itu. Ternyata bukan sekedar Ki Bekel dan beberapa orang bebahu, tetapi berpuluh-puluh orang padukuhan itu dengan membawa obor ditangan telah memasuki halaman rumah Kiai Gumrah.

Suara riuh di halaman memang membuat orang-orang yang ada di dalam rumah itu terkejut. Mereka memang sudah menunggu kedatangan Ki Bekel. Tetapi ternyata bahwa Ki Bekel telah membawa banyak orang datang ke halaman rumah itu.

"Apa pula yang dilakukan Ki Bekel itu?" desis Kiai Gumrah.

Kawan-kawannya tidak menyahut. Namun merekapun mendengar bahwa di halaman rumahnya itu telah berkumpul orang-orang yang membawa obor sambil berteriak memanggil-manggil “Kiai Gumrah, keluarlah”

Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian memanggil Nyi Prawara, Winih, Manggada dan Laksana. Kepada mereka Kiai Gumrah berkata. "Jangan keluar. Kalian sebaiknya tetap berada di dalam. Selain untuk kepentingan kalian, awasi pusaka-pusaka ini. Mungkin Ki Bekel telah diperalat oleh orang-orang yang menginginkan pusaka-pusaka itu. Dalam kekisruhan ini, mereka dapat memanfaatkannya untuk mengambil pusaka-pusaka itu. Berhati-hatilah”

"Baik kakek..." jawab Manggada dan Laksana hampir berbareng.

Demikianlah, maka Kiai Gumrah pun telah melangkah ke pintu. Sebelum ia membuka pintu itu, maka terdengar-pintu itu diketuk keras-keras dari luar. Terdengar suara Ki Bekel memanggil-manggil.

“Kiai Gumrah. Keluarlah. Cepat, sebelum kami menjadi semakin marah...!”

Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun segera membuka pintu. Ki Bekel memang berdiri di depan pintu. Ketika pintu itu terbuka, maka Ki Bekel pun segera melangkah surut. Beberapa orang pun telah ikut melangkah surut pula. Ki Bekel itu mengerutkan dahinya ketika ia melihat beberapa orang lain telah keluar pula dan rumah Kiai Gumrah.

"Jadi kalian sudah bersiap-siap menyambut kedatangan kami, he?" berteriak Ki Bekel.

"Ki Bekel" berkata Kiai Gumrah “Aku tidak tahu apa yang telah terjadi. Tetapi perkenankan aku mengucapkan selamat datang kepada Ki Bekel dan beberapa puluh orang saudara-saudaraku yang malam ini datang ke rumahku.”

"Kiai Gumrah" berkata Ki Bekel "Aku akan langsung ke persoalannya saja. Aku datang untuk menjatuhkan keputusan bahwa kau harus meninggalkan rumah ini. Rumah dan halaman yang kami sediakan bagimu dan keluargamu ternyata tidak berarti sama sekali bagi padukuhan ini. Justru sebaliknya, kehadiranmu di rumah ini telah membuat persoalan yang sangat merugikan padukuhan ini.”

Kiai Gumrah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya "Ki Bekel. Aku tidak tahu apa maksud Ki Bekel sebenarnya.”

"Jangan berpura-pura. Aku sudah memperingatkanmu, jika kau berbuat kesalahan lagi, maka kau akan kami usir dari padukuhan ini. Ternyata kau tidak mendengarkan peringatanku itu. Dan kau benar-benar telah melakukan kesalahan lagi. Bahkan nampaknya kau sengaja bersama cucu-cucumu. Karena itu, maka kami sudah kehabisan kesabaran. Kalian, seisi rumah ini harus pergi. Tetapi karena segala milikmu adalah hasil dari tanah dan ladangmu, termasuk kebun kelapamu, maka kau tidak berhak membawanya. Semuanya harus kau tinggalkan. Yang dapat kau bawa hanyalah pakaian yang sekarang melekat di tubuhmu itu saja.”

"Ah...” desah Kiai Gumrah “Ki Bekel jangan bergurau.”

"Setan kau. Aku tidak bergurau. Aku bersungguh-sungguh. Kalian kami usir dari padukuhan ini. Kalian tidak perlu bertanya lagi. Kalian tentu sudah tahu akan kesalahan kalian.”

"Ki Bekel" berkata Kiai Gumrah “Ketika aku menerima peringatan dari Ki Bekel kemarin, maka aku pun telah mengingatnya dengan baik. Aku sudah menasehati cucu-cucuku agar mereka tidak melakukan kesalahan lagi.”

“Omong kosong...” geram Ki Bekel “Kau lihat, malam ini banjar lama itu gelap gulita. Halamannya kotor seperti rumah yang sudah bertahun-tahun tidak berpenghuni...”

"Oh...!" Kiai Gumrah mengangguk-angguk “Tetapi bukankah itu kesalahan yang tidak mendasar? Tidak sebagaimana dilakukannya kemarin. Sehari ini aku marahi cucu-cucuku, sehingga mereka dan juga aku, justru lupa menyalakan lampu. Sementara itu, kesalahan kecil itu apakah seimbang dengan keputusan yang Ki Bekel ambil untuk mengusir kami dari rumah ini?"

"Jangan banyak bicara" berkata Ki Bekel "kami tidak ingin berbantah tentang apapun juga. Tetapi keputusan kami sudah bulat. Kalian harus pergi” Bahkan Ki Bekel itu tiba-tiba saja menghadap kepada orang-orang yang mengikutinya sambil bertanya "He, apakah pendapat kalian tentang kakek tua yang keras kepala ini?"

"Usir saja. Usir saja!" terdengar teriakan gemuruh. Bahkan seseorang di antara mereka berteriak,  "Jika perlu, bunuh saja.”

Celakanya beberapa orang menyahut “Bunuh saja. Bunuh saja.”

Kiai Gumrah memang menjadi tegang. Bukan karena ia ketakutan menghadapi orang banyak. Tetapi Kiai Gumrah memang bingung, apa yang harus dilakukan terhadap orang-orang itu.

Ketika teriakan orang-orang itu menjadi semakin keras, maka Ki Bekel berkata "Nah, kau dengar tuntutan mereka atas kalian? Karena itu, sekarang kalian dan orang-orang yang kalian kumpulkan di rumah ini harus pergi tanpa membawa apapun juga.”

"Ki Bekel" sahut Kiai Gumrah "ternyata Ki Bekel tidak adil. Beritahu kesalahanku. Beri aku kesempatan untuk membela diri. Jika ternyata aku benar-benar bersalah, maka aku tidak akan berkeberatan untuk pergi.”

"Jangan banyak bicara" geram Ki Bekel "aku masih dapat menahan kemarahan orang-orang yang sebagaimana kau dengar sendiri ingin membunuhmu...!”

"Tetapi Ki Bekel harus memberikan penjelasan" sahut Ki Gumrah “Ki Bekel tidak dapat berlaku sewenang-wenang. Ki Bekel harus menenangkan orang-orang itu. Atau Ki Bekel dapat menunjuk salah seorang di antara mereka untuk mengatakan apa kesalahanku sehingga mereka ingin mengusirku, bahkan membunuhku.”

"Cukup...!" teriak Ki Bekel "Aku tidak sedang berbantah. Tetapi aku sedang memerintahkan kau pergi dari padukuhan ini...”

"Itu tidak cukup" tiba-tiba saja Kiai Gumrah juga berteriak "Aku tidak menerima perlakuan yang tidak adil ini...”

Selanjutnya,
Sang Penerus Bagian 14