Sang Penerus Bagian 12 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
Wajah Manggada dan Laksana memang menjadi tegang sejenak. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Kiai Gumrah justru percaya kepada Rambatan. Bahkan kemudian Kiai Gumrah itu berkata,

"Sudahlah Rambatan. Pulanglah. Ajak kawan-kawanmu. Sebenarnya kau tidak terlibat dalam persoalan ini...”

Rambatan mengangguk-angguk sambil berkata "Terima kasih Kiai. Terima kasih!”

Manggada dan Laksana tidak mengatakan sesuatu. Mereka memandang Rambatan dengan tajamnya. Sementara itu Kiai Gumrah telah mengulanginya lagi "Pulanglah. Ajak kawan-kawanmu..”

Rambatan pun mulai beringsut. Meskipun-tubuhnya terasa sakit di punggung, pinggang, kening dan bahkan di mana-mana, namun bahwa ia diperkenankan pulang telah membuat hatinya sedikit lapang.

Namun ketika Rambatan itu mulai menyeret kakinya turun pendapa banjar tua itu, tiba-tiba saja beberapa orang telah memasuki halaman banjar itu. Di antara mereka terdapat Ki Bekel.

Belum lagi berhenti melangkah, Ki Bekel sudah berteriak "He, apa yang kalian lakukan terhadap anak-anak padukuhanku?"

Kiai Gumrah pun kemudian melangkah turun pula diikuti oleh Manggada dan Laksana. Dengan nada rendah Kiai Gumrah bertanya "Apakah yang Ki Bekel maksudkan?"

Ki Bekel dan beberapa orang yang datang bersamanya, di antara mereka adalah bebahu padukuhan itu, telah berhenti di tengah-tengah halaman. Sekali lagi ia bertanya "Apa yang kalian lakukan di sini?"

"Aku baru saja datang Ki Bekel” jawab Kiai Gumrah.

"Aku bertanya kepada cucu-cucumu itu. Mereka bukan anak padukuhan ini. Mereka orang asing bagi kami. Tetapi mereka sudah berani menyakiti anak-anakku. Betapa nakalnya Rambatan, tetapi ia tetap anakku. Mungkin aku memang harus mengajarinya untuk berlaku lebih baik. Tetapi aku tidak senang jika orang lain menyakitinya seperti itu. Beberapa hari yang lalu, hal yang serupa telah terjadi. Orang asing telah menyakiti Rambatan. Sekarang cucu-cucumu Kiai Gumrah”

"Yang terjadi adalah perselisihan di antara anak-anak muda Ki Bekel” jawab Kiai Gumrah.

"Bukankah kau dapat mengajari cucu-cucumu? Jika ia datang ke padukuhan ini hanya untuk memamerkan kemampuannya berkelahi, maka aku tidak akan segan-segan mengambil tindakan. Bukan hanya terhadap cucu-cucumu. Tetapi juga terhadapmu. Kau harus ingat, bahwa kau berada di padukuhan ini karena kami, orang-orang sepadukuhan ini menaruh belas kasihan kepadamu. Kami tahu bahwa kau memerlukan pegangan untuk dapat hidup dan mencukupi kebutuhanmu sehari-hari. Kami sudah memberikan kesempatan kepadamu untuk dapat hidup dengan sekedar penghasilan atas tanah yang kami berikan kepadamu di sebelah banjar itu dengan memberimu pekerjaan sebagai penjaga banjar. Ternyata sekarang kau telah mensia-siakan kebaikan hati kami dengan membiarkan cucu-cucumu menyakiti anak-anak padukuhan ini...”

"Aku mohon maaf Ki Bekel. Aku akan berusaha sebaik-baiknya untuk mencegah hal seperti ini terjadi.” berkata Kiai Gumrah.

"Kali ini aku masih memaafkan cucu-cucumu. Tetapi lain kali tidak. Jika terjadi lagi hal seperti ini, aku akan mengusir mereka dari padukuhan ini. Jika perlu, maka kau pun akan dapat kami usir dari padukuhan ini” berkata Ki Bekel.

"Aku mengerti Ki Bekel. Aku akan berbuat sebaik-baiknya agar cucu-cucuku tidak melakukannya lagi.”

Ki Bekel itu pun kemudian berpaling kepada Rambatan sambil berkata "Marilah. Ikut aku. Kau dapat pulang ke rumahmu. Demikian pula kawan-kawanmu itu.”

Ki Bekel tidak lagi mengatakan kepada Kiai Gumrah. Ia pun kemudian mengajak Rambatan dan kawan-kawannya pulang. Namun mereka sempat melihat bekas-bekas perkelahian itu pada Rambatan dan kawan-kawannya yang masih saja merasa kesakitan.

Demikian Ki Bekel dan orang-orang yang datang bersamanya itu meninggalkan regol halaman banjar, maka Manggada pun segera berkata kepada Kiai Gumrah "Kami mohon maaf kek. Kami tidak ingin menyulitkan kakek”

Kiai Gumrah tersenyum. Katanya "Aku mengerti apa yang kalian lakukan. Aku melihat semuanya. Karena itu maka kalian tidak bersalah. Agaknya kalian telah merasa jemu untuk terus-menerus berpura-pura. Bukan saja kalian, tetapi ternyata aku pun menjadi jemu. Jika tidak ada Kiai Windu Kusuma serta orang yang disebut Panembahan itu, maka aku kira aku masih dapat hidup tenang tanpa terusik. Namun ternyata bahwa telah tiba waktunya, perubahan-perubahan sikap dan tingkah-laku harus terjadi. Sebenarnyalah bahwa karena itu, maka aku pun sudah menjadi jemu untuk berpura-pura. Apalagi menghadapi Kiai Windu Kusuma.”

Manggada dan Laksana itu pun mengangguk-angguk. Dengan nada datar Laksana bertanya "Apakah sikap Ki Bekel itu wajar, kek?"

Kiai Gumrah tertawa. Katanya "Tidak. Aku menganggap sikap itu sama sekali tidak wajar”

"Jadi apakah ada hubungannya dengan laki-laki yang kekurus-kurusan itu?" bertanya Manggada.

Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Semakin lama persoalan yang terjadi disekeliling kita memang menjadi semakin rumit. Karena itu, maka kita harus membuat pertimbangan-pertimbangan lain. Jika selama ini kami selalu berpura-pura, kami anggap bahwa cara itu adalah cara yang paling baik untuk menyembunyikan beberapa benda pusaka yang agaknya memang telah mengundang persoalan”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sementara Kiai Gumrah berkata selanjutnya "Kehadiran Prawara adalah salah satu di antara banyak hal yang akan kami lakukan untuk meninggalkan sikap kepura-puraan ini. Kami memang sedang menghubungkan persoalan yang kita hadapi sekarang serta kehadiran Kiai Windu Kusuma dengan musuh bebuyutan perguruan kami”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Ternyata yang mereka ketahui tentang Kiai Gumrah baru sebagian kecil saja dari seluruh persoalannya. Tentang pusaka-pusaka itu. Tentang orang-orang tua pembuat gula kelapa. Kemudian tentang perguruannya dan musuh bebuyutan dari perguruannya itu dalam hubungannya dengan Kiai Windu Kusuma dan orang yang disebut Panembahan itu.

Namun yang juga sangat menarik baginya adalah kehadiran sepasang harimau yang menurut dugaan Manggada dan Laksana adalah harimau peliharaan milik Ki Pandi, orang bongkok yang berilmu sangat tinggi itu.

Namun dalam itu, Kiai Gumrah pun berkata "Tetapi marilah, kita pulang saja. Kita akan berbicara di rumah dengan Prawara. Kita dapat mendengar pendapatnya”

Manggada dan Laksana pun kemudian mengikuti Kiai Gumrah meninggalkan banjar tua itu. Sehingga dengan demikian maka banjar itu menjadi lengang. Lampu minyak yang menyala di pendapa dan di beberapa ruang penting di banjar itu, masih mengedipkan sinarnya yang kekuning-kuningan.

Di rumah, Kiai Gumrah telah menceriterakan apa yang terjadi di banjar kepada anak dan menantunya. Ki Prawara yang mendengarkan dengan sungguh-sungguh itu pun kemudian berkata "Peristiwa ini justru penting ayah”

"Ya” jawab ayahnya "Nah, siapakah orang yang disebut kekurus-kurusan oleh Manggada dan Laksana itu?"

"Tentu ada hubungannya dengan Darpati. Demikian pula tindakan yang telah diambil oleh Ki Bekel yang sebelumnya tidak banyak berbuat sesuatu terhadap Rambatan dan bahkan nampaknya ada keseganan untuk menanganinya. Justru tiba-tiba saja ia berusaha melindunginya dan bersikap memusuhi manggada dan Laksana, meskipun persoalan itu bermula dari tindakan Darpati...” berkata Kiai Gumrah.

"Tentu ada orang yang mulai menghasut" berkata Ki Prawara.

Tiba-tiba saja Nyi Prawara menyela. "Kesempatan yang baik untuk berbicara dengan Winih”

Ki Prawara mengangguk-angguk. Katanya "Ya. Kita akan berbicara dengan Winih”

Nyi Prawaralah yang kemudian bangkit untuk memanggil Winih. Ketika ia memasuki bilik Winih yang sempit, maka dilihatnya gadis itu berbaring menengadahkan wajahnya memandang langit-langit. Lampu minyak yang redup menerangi bilik kecil itu.

Nyi Prawara pun kemudian duduk di bibir amben. Dengan nada keibuan ia berkata "Winih. Ayah dan kakek memanggilmu.”

"Aku sudah mengantuk ibu...!” desis Winih.

"Hanya sebentar saja Winih" berkata ibunya.

"Apakah begitu penting sehingga tidak dapat dibicarakan esok pagi?" bertanya Winih.

Ibunya mengangguk. Katanya "Persoalannya memang penting. Tetapi ayah dan kakekmu tidak akan berbicara banyak”

"Tentu tentang Darpati" gumam Winih "kenapa ayah dan kakek meributkan persoalan itu. Curiga dan bahkan mempunyai prasangka yang sangat buruk, sedangkan orang itu tidak berbuat apa-apa kecuali menolong aku sampai dua kali”

"Bertanyalah kepada ayah dan kakekmu. Marilah, hari belum terlalu malam” berkata ibunya.

Winih tidak dapat menolak. Ia pun kemudian bangkit dan membenahi pakaiannya. Seperti yang direncanakan, maka Kiai Gumrah pun berkata berterus-terang kepada Winih, tentang kecurigaan mereka yang semakin tajam terhadap Darpati. Peristiwa yang terjadi di banjar itu termasuk permainan Darpati sebagaimana yang terjadi di pancuran sebelumnya.

"Nampaknya Darpati memang ingin menyingkirkan Manggada dan Laksana”

Winih yang memang sudah menduga tentang apa yang akan dikatakan kakeknya menundukkan kepalanya. Tetapi ia masih menyahut "Jika Darpati ingin menyingkirkan kakang Manggada dan Laksana, karena ia mempunyai kemampuan untuk melakukannya”

"Belum tentu Winih" jawab kakeknya "Darpati memang berilmu tinggi. Ilmunya tentu lebih tinggi dari Manggada dan Laksana. Tetapi jika harus menghadapi mereka berdua, mungkin Darpati masih harus berpikir ulang. Selebihnya, jika hal itu dilakukannya sendiri dan kau sempat mengetahuinya, maka ia tidak akan dapat mengharapkanmu lagi. Meskipun baginya kau hanya salah satu di antara sekian banyak perempuan yang pernah singgah di hati iblisnya itu”

"Kakek sudah menghukumnya sebelum dapat membuktikannya” berkata Winih.

"Aku ingin segalanya tidak terlambat. Darpati termasuk salah seorang di antara mereka yang ingin mendapatkan pusaka-pusaka itu. Sedangkan ayahmu atau ibumu tentu mengetahui nilai pusaka-pusaka itu bagi perguruan kami”

Manggada dan Laksana memang agak terkejut mendengar pernyataan itu, sehingga keduanya telah memperhatikan tanggapan Winih. Namun Winih tidak terkejut, sehingga Manggada dan Laksana mendapat kesimpulan bahwa Winih memang sudah mengetahui nilai dari pusaka-pusaka itu.

Winih tidak menyahut. Tetapi matanya menjadi semakin redup. Sementara itu, ibunya berkata "Winih. Kami tidak ingin menyakiti hatimu. Kami hanya ingin menyelamatkan apa yang masih kita miliki. Kau dan pusaka-pusaka itu”

Winih memandang ibunya sekilas. Namun sambil menunduk ia pun berkata "Kita terlalu mencemaskan pusaka-pusaka itu. Demikian kita berhati-hati, sehingga kita menjadi curiga kepada setiap orang yang berhubungan dengan keluarga kita”

"Bukan begitu Winih. Kita tidak kehilangan penalaran kita. Jika kita mencurigai Darpati, tentu kita mempunyai alasan-alasan tertentu. Sebaliknya kau tidak boleh menjadi silau terhadap ujud lahiriah yang kau hadapi, sehingga kau kehilangan penalaranmu yang bening”

"Aku sudah cukup dewasa kek. Aku tahu apa yang harus aku lakukan” jawab Winih.

"Tidak" ayahnyalah yang menyahut "Ternyata kau tidak mampu melihat anak muda yang barangkali di matamu nampak tampan, baik hati dan bertanggung jawab, tetapi yang menurut pengamatan kami, ia justru seorang yang sama sekali tidak menghargai perempuan. Selebihnya, ia mempunyai maksud yang lebih buruk lagi daripada sekedar merampas segala milikmu yang paling berharga, karena ia juga akan merampas pusaka-pusaka itu”

"Itu hanya sebuah prasangka" berkata Winih "kita harus membuktikannya”

"Tetapi dengar Winih" berkata ayahnya "Sejak saat ini, kau tidak boleh lagi pergi keluar halaman rumah ini. Aku tidak berniat untuk memingitmu sebagaimana gadis-gadis pingitan. Tetapi kita sedang dalam bahaya. Kita harus berhati-hati”

Winih memang terkejut. Tetapi ia tidak membantah, ia sudah menjadi pening sehingga nalarnya tidak lagi dapat bekerja dengan baik. Yang terasa kemudian adalah kejengkelan, marah dan perasaan-perasaan lain yang membuat dadanya menjadi sakit.

"Sudahlah" berkata ayahnya "Jika kau akan tidur, tidurlah. Tetapi jika kau ingin mendengarkan kami berbincang, duduk sajalah di situ”

Winih tidak menjawab. Tetapi gadis itu segera bangkit dan tanpa berkata apapun juga ia pergi ke biliknya dan menjatuhkan dirinya di pembaringannya.

Ibunyalah yang menyusulnya. Masih dengan sikap seorang-ibu ia berkata "Kami lakukan semuanya itu untuk kebaikanmu Winih”

Winih tidak menjawab. Tetapi ia telah menyembunyikan wajah di bantalnya sambil menelungkup. Lamat-lamat terdengar Winih berdesis "Ayah, kakek dan ibu tidak adil. Ayah dan kakek menilai kakang Darpati hanya sekedar mengurai peristiwa-peristiwa yang terjadi. Sementara itu, uraian yang berdasarkan dugaan-dugaan itu tidak selalu benar. Tetapi ayah dan kakek dan bahkan ibu sudah menjatuhkan keputusan untuk menghukum kakang Darpati”

"Sudahlah Winih. Peristiwa yang terjadi beruntun dalam waktu yang terhitung singkat ini membuat dugaan kami semakin meyakinkan. Tetapi sudahlah. Sekarang beristirahatlah. Sebaiknya kau memang tidur” berkata ibunya.

Winih tidak menjawab. Sementara itu ibunya pun telah keluar dari bilik anak gadisnya. Ketika ia melihat Manggada dan Laksana masih duduk di amben besar di ruang dalam, maka Nyi Prawara itu mendekatinya sambil berkata "Lihat luka-lukamu?”

Manggada dan Laksana telah membuka bajunya. Ternyata luka Laksana telah mengembun lagi. Darah setitik-setitik keluar dari lukanya yang sudah diobati oleh Nyi Prawara.

"Marilah, aku ganti obat kalian...!” berkata Nyi Prawara.

Luka yang sudah hampir dilupakan itu memang mulai terasa sedikit nyeri. Namun Nyi Prawara segera mengobatinya. Beberapa saat kemudian, maka Kiai Gumrah pun telah menyuruh Manggada dan Laksana untuk beristirahat. Sementara itu bersama Ki Prawara, keduanya justru pergi keluar Kepada Nyi Prawara suaminya berkata.

"Aku akan berada di luar. Udara terasa panas malam ini”

"Berhati-hatilah kakang!" pesan Nyi Prawara.

Suaminya tersenyum. Katanya "Dalam keadaan seperti ini, kami selalu berhati-hati Nyi”

Ketika keduanya telah berada di luar dan menutup pintu butulan, maka Nyi Prawara pun telah pergi ke bilik Winih. "Aku temani kau tidur" berkata Nyi Prawara "Aku tahu, bahwa kau tidak mudah untuk tidur malam ini”

Winih memang tidak menjawab. Tetapi ia pun beringut dan memberi tempat kepada ibunya di pembaringannya yang tidak begitu luas itu. Di luar, Ki Prawara duduk di bebatur samping rumah, sedangkan Kiai Gumrah berjalan saja hilir mudik. Seakan-akan kepada diri sendiri Kiai Gumrah itu berkata.

"Sudah larut malam, tetapi orang itu masih belum datang”

"Mungkin malam ini. Tetapi mungkin juga besok malam, ayah" jawab Ki Prawara.

"Aku harap ia datang, berhasil atau tidak berhasil" berkata Kiai Gumrah.

Ki Prawara tidak menjawab. Sambil bersandar dinding ia memandangi pepohonan yang menjadi kehitam-hitaman di gelapnya malam. Namun keduanya pun telah bergeser dan duduk di serambi depan rumah Kiai Gumrah.

Jalan di depan rumah Kiai Gumrah itu sudah sepi. Tidak seorang pun yang lewat di malam yang kelam. Di kejauhan terdengar suara kentongan yang mengisyaratkan, bahwa malam sudah sampai kepertengahannya.

"Malam berjalan begitu cepatnya" berkata Kiai Gumrah.

"Ya. Suara kentongan itu” jawab Ki Prawara. Lalu katanya pula "Kentongan itu memang kentongan yang bagus. Suaranya seperti bergema”

"Kentongan itulah yang dahulu berada di banjar ini. Tetapi ketika dipergunakan banjar yang baru, maka kentongan itu pun dipindahkan ke banjar yang baru. Sedangkan di banjar ini ditaruh kentongan yang lebih kecil. Tetapi kentongan itu jarang sekali aku tabuh”

"Kenapa?" bertanya Ki Prawara.

"Suaranya kurang baik dan jangkauannya tidak cukup jauh” jawab Kiai Gumrah.

Ki Prawara mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab lagi.

Sementara itu, Kiai Gumrah yang kemudian berjalan hilir mudik di halaman rumahnya, tiba-tiba berhenti. Sambil bergeser mendekati Ki Prawara ia berdesis. "Ada orang di luar regol. Aku melihat bayangannya. Mudah-mudahan orang itulah yang kami tunggu malam ini”

Ki Prawara tidak menjawab. Namun kemudian ia pun telah bangkit pula dan bergeser menepi. Demikianlah, untuk beberapa lama mereka menunggu. Tetapi tidak seorang pun yang memasuki halaman rumah itu lewat regol yang memang sedikit terbuka.

Namun Kiai Gumrah itu kemudian berpaling, sebagaimana Ki Prawara yang berkisar dan menghadap kearah halaman samping rumah Kiai Gumrah itu. Terdengar suara tertawa perlahan. Seseorang telah muncul dari bayangan hitam pepohonan.

Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Aku kira Kiai Windu Kusuma atau orang yang disebut Panembahan itu”

"Bukankah aku berjanji akan datang?" jawab orang itu.

"Kau sudah berada di regol. Kenapa kau bersusah payah masuk halaman rumahku dengan meloncati dinding, sementara regol halaman itu sudah terbuka?”

"Bukankah terlalu biasa masuk halaman rumah seseorang lewat pintu regol yang terbuka?" orang itu justru bertanya.

"Maksudmu?" bertanya Kiai Gumrah.

"Aku ingin menunjukkan bahwa aku dapat melakukan hal yang tidak biasa” jawab orang itu sambil tertawa.

"Ah, kau. Kenapa kau harus mempersulit diri?” bertanya Ki Prawara

"Bukankah aku orang berilmu tinggi?" orang itu tertawa semakin keras.

"Jangan berteriak-teriak di malam hari" berkata Kiai Gumrah "Suaramu akan didengar oleh orang-orang yang sedang tertidur nyenyak”

Orang itu menutup mulutnya. Suara tertawanya pun segera terhenti. Namun kemudian katanya "Nah, aku datang untuk memberikan laporan”

"Marilah, duduklah” Kiai Gumrah mempersilahkan tamunya.

"Di mana?" bertanya orang yang baru datang itu yang juga seorang pedagang gula.

"Di sini saja" jawab Kiai Gumrah.

"Kita akan berbicara" desis orang itu.

"Lebih baik di sini. Jika ada orang yang mendengarkan, kita justru dapat melihat. Tetapi jika kita berada di dalam, maka kita tidak tahu apakah di luar ada orang yang mendengarkan atau tidak” jawab Kiai Gumrah.

Orang itu mengangguk-angguk. Ia pun kemudian telah duduk pula di atas amben bambu di serambi rumah Kiai Gumrah. Sementara itu, malampun menjadi semakin malam.

Namun Ki Prawara justru bangkit untuk menutup pintu regol dan menyelaraknya dari dalam. Ketika ia sudah duduk kembali, maka ia pun berkata. "Ternyata tamu kita tidak memerlukan pintu itu. Karena itu lebih baik ditutup dan diselarak”

Tamunya tertawa lagi. Tetapi ia tidak menyahut. Sementara itu, Kiai Gumrah dan Ki Prawara telah duduk bersama tamunya. Dengan nada rendah Kiai Gumrah mulai bersungguh-sungguh, "Kau berhasil?"

Orang itu termangu-mangu sejenak. Baru kemudian ia menjawab "Dapat disebut berhasil, tetapi dapat juga belum”

"Kenapa?" bertanya Kiai Gumrah.

"Aku telah menemukan rumah tempat burung elang itu turun. Bahkan ketika aku mengamati hari ini, aku sempat melihat dua ekor burung itu muncul dari halaman belakang rumah itu, sehingga aku yakin, bahwa rumah itu adalah sarang beberapa ekor burung elang yang dapat dikendalikan itu” jawab tamunya.

"Jika demikian, maka agaknya kau telah berhasil" desis Kiai Gumrah.

"Aku memang berhasil menemukan rumahnya. Tetapi aku belum dapat mengetahui kegiatan yang dilakukan di dalam rumah itu. Rumah yang berdinding agak tinggi dan kesannya memang tertutup. Regolnya tidak pernah terbuka. Jarang sekali ada orang keluar masuk lewat regol halaman. Jika ada juga orang yang keluar atau masuk, maka kesannya orang itu bukan orang kebanyakan. Wajah-wajah mereka nampak mengandung rahasia”

"Apakah orang tua saja yang keluar masuk rumah itu! Atau orang muda juga?" bertanya Kiai Gumrah.

"Ada yang tua. Tetapi ada juga yang muda" jawab tamunya.

Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Katanya "Tolong, jika kau masih sempat melihat lagi keadaan rumah itu, awasi, jika ada orang muda yang keluar atau masuk, ingat-ingat cirinya. Mungkin orang itu dapat kita kenali”

Orang itu mengangguk-angguk. Katanya. "Baiklah. Aku akan mengamati terus. Kebetulan di depan rumah itu, meskipun agak menyamping, terdapat sebuah warung. Ketika aku menawarkan gula dengan harga yang lebih murah dari harga yang sebenarnya, warung itu nampaknya senang menerimanya. Sambil menyerahkan gula, aku dapat minum-minum barang sebentar di warung itu”

"Bagus. Tetapi hati-hatilah. Mungkin kau pun diawasi oleh orang yang tinggal di rumah itu tanpa kau sadari. Jika kau tertangkap, terbukti atau tidak, maka kau tentu akan dihancurkannya. Mereka tentu tidak mempunyai pertimbangan perikemanusiaan”

Orang itu mengangguk-angguk. Katanya "Aku akan berhati-hati. Aku mempunyai modal yang sangat berarti bagi tugasku”

"Apa? Ilmumu yang tinggi? Di rumah itu tentu terdapat banyak orang berilmu tinggi” jawab Kiai Gumrah.

"Bukan ilmu yang tinggi. Tetapi aku telah mempelajari ilmu yang khusus, bagaimana dapat berlari kencang sekali. Aku telah belajar secara khusus mengetrapkan tenaga dalam untuk mendorong gerak kaki jika kita sedang melarikan diri”

"Ah, kau" desis Kiai Gumrah.

Orang itu tetawa. Ki Prawara pun tertawa pula. Namun Kiai Gumrah pun kemudian berkata. "Jika benar kita akhirnya mengetahui dengan pasti tempat tinggal mereka, maka kita bukan sekedar menjadi sasaran. Tetapi jika perlu kita dapat datang mengunjungi rumah itu”

"Aku sependapat" berkata tamu Kiai Gumrah itu ”Rasa-rasanya menjadi muak untuk selalu berjaga-jaga, kapan kita akan disergap. Sebaiknya kita pun sekali waktu datang menyergapnya”

"Bagus" sahut orang itu "tetapi kita harus ingat, bahwa benda yang diperebutkan itu ada di sini. Jika kita menyerang mereka, maka ada kemungkinan buruk dapat terjadi dengan pusaka-pusaka itu. Bahkan anak-anak pun akan mampu mengambilnya. Justru karena kita pergi ke rumah mereka yang jaraknya cukup jauh. Rumah itu berada di padukuhan lain”

"Bukankah ada di antara kita yang tinggal?" bertanya Kiai Gumrah.

"Seberapa besarnya tenaga kita" tamunya justru ganti bertanya "jika kita tidak pergi semua ke rumah yang tertutup itu, maka kemungkinan buruk dapat terjadi pula atas kita, karena aku yakin bahwa di rumah ini terdapat orang-orang berilmu tinggi”

Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Prawara berkata "Ya. Kita dapat mengerti. Karena itu untuk sementara kau awasi saja rumah ini. Meskipun demikian dalam waktu singkat kita harus dapat segera mengambil sikap, karena nampaknya mereka pun tidak akan menunggu terlalu lama lagi”

"Sebelum purnama dibulan depan" berkata Kiai Gumrah.

Tamu Kiai Gumrah itu mengangguk-angguk. Katanya "Baiklah. Aku akan terus-menerus mengawasinya. Tentu saja jika keadaan memungkinkan, karena aku tidak mau mati digebugi oleh orang-orang yang tinggal di rumah yang tertutup itu”

"He, bukankah kau berilmu tinggi?" bertanya Ki Prawara.

Orang itu tertawa. Jawabnya "Aku memang berilmu tinggi. Tetapi orang-orang yang tinggal di rumah itu berilmu lebih tinggi lagi”

Kiai Gumrah pun tertawa. Demikian pula Ki Prawara. Disela-sela tertawanya Kiai Gumrah berkata "Kau sudah menyerah sebelum bertempur”

"Bukan begitu, tetapi aku mempunyai perhitungan yang tajam dan cermat atas persoalan yang sedang aku hadapi” jawab orang itu masih sambil tertawa. Kiai Gumrah pun masih tertawa berkepanjangan pula

. "Duduk sajalah dahulu, biar aku mengambil minuman di dapur. Meskipun barangkali sudah tidak panas lagi. Tetapi barangkali kau merasa haus" berkata Ki Prawara.

"Tidak. Tidak usah. Aku akan segera minta diri" sahut orang itu. Lalu katanya pula “Aku harus menengok rumah dahulu sebelum besok pagi-pagi aku membawa gula kewarung yang ada di depan rumah yang tertutup itu. Tetapi gulaku tinggal sedikit. Sehari kemarin aku tidak sempat membuat gula”

"Aku masih mempunyai persediaan gula" berkata Kiai Gumrah.

"Terima kasih. Kau tidak pernah dapat membuat gula yang berwarna jernih. Gulamu terlalu hitam. Sedangkan kedai itu minta gula yang berwarna jernih”

"Kau belum melihat gulaku yang terakhir" berkata Kiai Gumrah.

"Tentu juga sehitam kulitmu" jawab orang itu sambil bangkit berdiri dan bergeser. Meskipun demikian ia masih berkata "Orang yang kulitnya hitam, jika membuat gula tentu hitam juga”

"Omong kosong" sahut Kiai Gumrah "kau sudah pandai membual sekarang”

Orang itu tertawa lagi. Katanya "Sudahlah. Aku akan pulang. Besok aku masih harus mengawasi rumah itu. Tugas yang sebenarnya tidak aku sukai”

"Kenapa kau menawarkan dirimu untuk melakukannya?”

Orang itu tertawa semakin keras. Katanya "Tidak sejak mula-mula. Sebenarnya aku ingin menolak tugas ini. Tetapi ternyata pemilik warung di depan rumah yang tertutup itu adalah seorang janda dan tidak mempunyai anak pula.”

"Setan kau!" geram Kiai Gumrah "He, bukankah rambutmu sudah putih?"

"Kenapa kalau rambutku sudah putih?" orang itu justru bertanya.

"Kau tidak pantas lagi mengintai seorang janda yang belum mempunyai anak. Jika kau ingin kawin lagi sepeninggal isterimu yang dipanggil kembali oleh Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang itu, sebaiknya kau mencari perempuan yang sebaya dengan umurmu, sehingga jika kau besok atau lusa juga dipanggil menghadap-Nya, isterimu tidak akan terlalu lama menjanda lagi.”

"He, kau kira aku yang membutuhkan janda itu?" orang itu membelalakkan matanya.

"Jadi?" bertanya Ki Prawara.

"Aku sedang mencari jodoh buat adikku yang bungsu. Isterinya meninggal saat melahirkan. Demikian pula anaknya.”

Kiai Gumrah dan Ki Prawara tertawa. Disela-sela tertawanya, Ki Prawara berkata. "Maaf. Kami tidak tahu bahwa kau mempunyai seorang adik bungsu yang memerlukan seorang isteri”

Sambil melangkah pergi orang itu masih bergumam "Kalian selalu berprasangka buruk terhadapku.”

"Maaf, kami sudah minta maaf...!”

"Sudahlah, aku akan pergi” berkata orang itu.

"Apakah kau akan lewat regol halaman?" bertanya Kiai Gumrah.

"Tidak. Aku seorang yang berilmu tinggi. Aku harus melakukan sesuatu yang tidak biasa dilakukan orang lain. Aku akan meninggalkan rumah ini lewat jalan yang aku lalui saat aku memasuki halaman rumah ini” jawab orang itu.

"Pergilah" desis Kiai Gumrah.

Orang itu pun kemudian melangkah kekegelapan di sisi rumah Kiai Gumrah. Sebagaimana saat ia datang, maka ia pun tidak keluar dari halaman rumah itu lewat regol.

Kiai Gumrah menggeleng-gelengkan kepalanya sambil bergumam. "Orang itu memang aneh-aneh saja”

Tetapi Ki Prawara menjawab. "Siapakah di antara kita yang tidak aneh-aneh? Ayah sendiri, kawan-kawan ayah yang sering datang kemari itu dan barangkali aku juga jika aku berada di antara kawan-kawan ayah”

Kiai Gumrah mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun tertawa. Katanya "Ya. Tetapi, dengan berbuat yang aneh-aneh itu, maka kita mendapat kepuasan tersendiri”

Ki Prawara juga tertawa. Namun demikian Kiai Gumrah pun tertawa berkepanjangan. Ketika suara tertawa Kiai Gumrah mereda, maka ia pun kemudian berkata "Marilah, kita masuk ke dalam. Rasa-rasanya malam menjadi semakin dingin”

Ki Prawara pun telah bangkit pula. Keduanya pun kemudian masuk kembali ke dalam lewat pintu butulan. Namun sebelum mereka sempat berbaring di amben panjang, terdengar pintu butulan itu diketuk orang.

"Siapa?" bertanya Kiai Gumrah.

"Aku" jawab orang yang mengetuk pintu itu, yang ternyata adalah tamunya yang baru saja meninggalkan halaman rumah Kiai Gumrah.

Dengan tergesa-gesa Kiai Gumrah membuka pintu butulan diikuti oleh Ki Prawara. "Ada apa lagi?" bertanya Kiai Gumrah.

Wajah orang itu nampak bersungguh-sungguh. Katanya "Hati-hatilah. Aku melihat sesosok bayangan di sudut halaman rumahmu. Meskipun bayangan itu berada di luar dinding, tetapi dalam sekejap ia akan dapat berada di dalam dinding”

"Apakah bayangan itu melihatmu?" bertanya Kiai Gumrah.

"Mungkin, ketika aku meloncati dinding. Tetapi bayangan itu justru menghilang. Mungkin sekarang bayangan itu sedang mengintai aku yang memberitahukan kehadirannya kepadamu”

"Berhati-hatilah. Atau kau akan bermalam di sini?" bertanya Kiai Gumrah.

"Kenapa? Kau kira aku ketakutan melihat bayangan itu? Aku justru datang untuk memperingatkanmu. Kaulah yang harus berhati-hati” berkata orang itu dengan dahi berkerut.

"Ya, ya. Aku akan berhati-hati. Tetapi kau juga harus berhati-hati” jawab Kiai Gumrah.

Tetapi orang itu menjawab, justru agak keras "Kau tidak usah merisaukan aku. Bukankah aku berilmu tinggi?"

Kiai Gumrah hanya menarik nafas panjang saja, sementara tamunya itu pun kemudian telah meninggalkannya tanpa berpaling lagi, sehingga sejenak kemudian, ia pun telah hilang dari penglihatan Kiai Gumrah dan Ki Prawara.

Sejenak kemudian, maka pintu itu pun telah tertutup kembali. Dengan nada dalam Kiai Gumrah berkata "Ternyata rumah ini selalu diawasi. Jika tidak dengan burung-burung elang itu, maka mereka telah mengirimkan orang kemari. Tetapi agaknya orang itu masih berada di luar dinding.”

"Tetapi orang itu tidak akan mengganggu kita ayah.” berkata Ki Prawara.

"Ya. Orang itu tentu hanya sekedar mengawasi saja” desis Kiai Gumrah "Sudahlah, beristirahatlah”

Ki Prawara pun kemudian telah berada di ruang tengah. Ketika ia duduk di amben yang besar, maka ia pun memperhatikan Manggada dan Laksana yang berbaring dengan mata terpejam. Namun sambil tersenyum ia berdesis. "Tidurlah. Tidak ada apa-apa. Kami hanya mencari angin di luar.”

Manggada dan Laksana membuka matanya. Ternyata Ki Prawara tahu bahwa mereka memang belum dapat tidur. Dengan nada rendah Manggada berkata. "Ada tamu di luar paman?"

Ki Prawara tersenyum. "Kau mendengar percakapan kami?" bertanya Ki Prawara.

"Tidak paman. Tetapi aku mendengar suaranya tertawanya”

"Sudahlah, tidurlah” desis Ki Prawara kemudian.

Sementara itu Kiai Gumrah masih saja berada di dapur. Bahkan kemudian ia pun berbaring di amben yang ada di dapur. Ia memang sering tidur di tempat itu atau di amben yang lain di ruang dalam.

Namun bukan hanya Manggada dan Laksana saja yang masih belum tidur. Winih dan ibunya pun ternyata masih belum tidur juga. Bahkan mereka mendengar pembicaraan Kiai Gumrah dan tamunya yang datang kembali di muka pintu butulan untuk memberitahukan bahwa ada bayangan di luar dinding halaman rumah Kiai Gumrah.

Malam itu, para penghuni rumah Kiai Gumrah itu tidak dapat tidur nyenyak. Manggada dan Laksana pun seakan-akan mempergunakan waktu yang tinggal sedikit itu untuk tidur bergantian. Kiai Gumrah, bahkan menjelang fajar baru dapat tidur sekejap ketika Ki Prawara keluar lewat pintu butulan pergi ke pakiwan.

"Tidurlah ayah!" desis Ki Prawara "Aku sudah sempat tidur sekejap.”

Kiai Gumrah baru dapat tidur dengan tenang, meskipun hanya sebentar, karena ia tahu, bahwa Ki Prawara tidak akan tidur lagi.

Ketika matahari naik, maka Kiai Gumrah sudah berada di kebun kelapanya. Ia pun mulai memanjat batang-batang kelapa untuk mengganti bumbung-bumbung legennya. Manggada dan Laksana mengikutinya untuk membantu membawa bumbung-bumbung legen yang akan dipasang dan yang baru saja diturunkan. Sementara itu, yang lain seisi rumah itu telah melakukan tugas mereka masing-masing pula.

Ketika matahari sepenggalah, maka Kiai Gumrah telah sibuk di perapian memanasi legen untuk dibuat gula. Demikian Kiai Gumrah menuang jladren yang sudah mengental ke dalam tempurung kelapa untuk mencetak, maka terdengar orang mengetuk pintu Jepan sambil memanggil nama Winih.

"Siapa orang itu?" bertanya Kiai Gumrah yang sudah menduga bahwa orang itu tentu Darpati.

Manggada yang menjenguk keluar memang melihat bahwa orang yang datang itu adalah Darpati.

"Apakah Winih sudah mandi?" bertanya Darpati.

Manggada mengerutkan dahinya. Pertanyaan itu terdengar aneh. Demikian Manggada muncul, maka yang ditanyakan adalah, apakah Winih sudah mandi.

"Kenapa?" bertanya Darpati ketika ia melihat Manggada agak kebingungan.

Ternyata Darpati tidak menunggu Manggada mempersilahkan. Ia pun segera melangkahi tlundak pintu, bahkan seakan-akan telah menyibak jalan menyisihkan Manggada yang berdiri di pintu dan kemudian duduk di ruang dalam.

"He, kau belum menjawab, apakah Winih sudah mandi” berkata Darpati.

"Kenapa kau tanyakan hal itu?" Manggada justru bertanya.

Darpati tertawa. Katanya "Aku ingin membawa Winih berjalan-jalan. Aku ingin mengajakmu pula bersama Laksana”

"Kemana?" bertanya Manggada.

"Tentu tidak kepancuran itu lagi” jawab Darpati.

"Biarlah winih nanti yang bertanya kepadaku. Aku akan menjawab hanya kepada Winih” jawab Darpati.

Manggada menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Katanya "Aku akan menanyakan kepada Winih, apakah ia sudah mandi atau belum”

Darpati tertawa, ia tahu bahwa pertanyaannya itu membuat Manggada menjadi kesal. Tetapi juga karena ia tidak mau menjawab pertanyaan Manggada, kemana ia akan mengajak Winih.

Sementara itu, ternyata Nyi Prawara mendengar kata-kata Darpati itu. Karena itu ia pun berbisik ditelinga Winih “Kau ingat pesan ayahmu?"

"Kenapa ibu?" Winih masih bertanya.

Ibunya meletakkan jarinya di bibirnya sambil berdesis "Ayahmu sudah memberikan alasan-alasannya. Kau harus mengerti”

Winih menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti bahwa ibunya minta agar ia tidak berbicara terlalu keras. Tetapi bahwa ia tidak boleh keluar dari halaman rumah kakeknya itu telah membuatnya bersedih. Apalagi Darpati telah menjemputnya. Baginya Darpati adalah seorang anak muda yang baik, yang tidak ditemuinya di tempat tinggalnya. Bahkan telah menunjukkan kesediaannya untuk menolongnya ketika ia mendapat gangguan di perjalanan pulang.

"Apa yang kau pikirkan Winih" desis ibunya "Bukankah kau mendengar ceritera kakek semalam? Darpati bukan satu-satunya orang yang dapat menyelamatkanmu. Seandainya waktu itu Darpati tidak menolongmu, Manggada dan Laksana tentu akan dapat melakukannya. Bedanya, Manggada dan Laksana tidak dengan mudah menunjukkan kemampuannya. Hanya jika perlu, sebagaimana terjadi di pancuran dan semalam di banjar tua itu. Dalam keadaan yang tidak dapat dihindarinya lagi, maka keduanya baru mempergunakan kemampuannya. Berbeda dengan Darpati. Ia dengan sengaja, bahkan ia akan mencari banyak kesempatan untuk menunjukkan kelebihannya”

"Bukan ibu, bukan itu sebabnya" berkata Winih.

Namun sekali lagi ibunya menempelkan jari-jarinya, justru di bibir Winih. Winih terdiam. Namun kemudian ia meneruskan, "Barangkali tidak terpikir olehnya untuk berbuat seperti itu”

"Sudahlah Winih. Turuti saja perintah ayah dan kakekmu”

"Tetapi ibu dapat minta agar ayah tidak berkeras seperti itu” minta Winih.

Tetapi jawaban ibunya benar-benar membuat Winih bersedih. Katanya "Winih. Seandainya ayah dan kakekmu tidak melarangmu, maka akulah yang akan melarangmu”

Winih tidak dapat mendesak lagi. Kadang-kadang ia memang dapat merubah sikap ayahnya lewat ibunya. Tetapi jika ibunyalah yang berkeras melarangnya, maka larangan itu harus ditaatinya.

Sementara itu Manggada telah berdiri di pintu bilik Winih. Ia memang tidak segera mengetuk pintu lereg yang sudah sedikit terbuka. Tetapi ia sempat mendengar pembicaraan Winih dengan ibunya, meskipun hanya lamat-lamat dan tidak lengkap. Namun Manggada mengerti, bahwa ibunya, memang melarang Winih untuk pergi, apalagi bersama Darpati. Namun kemudian Manggada itu pun telah mengetuk pintu bilik Winih yang memang terasa sempit.

"Marilah" desis ibu Winih perlahan-lahan "Kami sudah mendengar beberapa pertanyaan Darpati. Tolong, jawablah. Winih belum mandi...”

"Tidak" potong Winih "Aku sendiri yang akan mengatakannya bahwa aku tidak akan pergi kemana pun sesuai dengan perintah kakek, ayah, ibu dan barangkali juga kakang Manggada dan Laksana.”

"Aku?" bertanya Manggada.

"Sudahlah" potong Nyi Prawara. Lalu katanya kepada Winih perlahan-lahan tetapi tegas "Temuilah jika kau sendiri ingin mengatakan bahwa kau tidak akan pergi kemanapun, siapapun yang melarangmu” Ibunya yang mulai menunjukkan sikap kerasnya.

Winih tidak menjawab. Ia memang bangkit berdiri dan berjalan ke ruang depan tanpa membenahi pakaiannya. Meskipun Winih sudah mandi, tetapi ia tidak berpakaian dan berhias sebagaimana jika ia akan pergi.

Demikian Winih keluar ke ruang dalam, maka Darpati pun bangkit berdiri sambil berkata, "He, kau belum siap?”

"Untuk apa?" bertanya Winih.

"Kita akan berjalan-jalan. Kau tidak usah sendiri. Biarlah Manggada dan Laksana ikut bersama kita...” jawab Darpati.

"Aku tidak siap untuk pergi Darpati” jawab Winih.

"Bukankah kau sudah mandi? Berpakaianlah, aku akan menunggu.” berkata Darpati kemudian.

Tetapi Winih menjawab "Aku hari ini tidak akan pergi, Darpati. Keadaan di sekitarku menjadi tidak menentu. Perkelahian, kekerasan dan kejadian-kejadian yang membuat aku ketakutan untuk keluar dari halaman rumah kakek ini...” jawab Winih.

"Kenapa kau takut? Kau akan pergi bersama aku dan Manggada serta Laksana. Apapun yang akan terjadi, maka kami bertiga tentu akan dapat mengatasinya!” berkata Darpati.

"Tidak Darpati. Kakek, ayah dan ibu mencemaskan keselamatanku. Meskipun aku pergi bersamamu serta kakang Manggada dan Laksana, namun jika bahayanya terlalu besar, ada kemungkinan kalian tidak dapat mengatasi...” jawab Winih.

"Aku ingin berbicara dengan kakek dan ayahmu, Winih...!” berkata. Darpati kemudian.

"Tentang apa?" bertanya Winih.

"Aku akan memberi penjelasan kepada mereka, agar mereka tidak dibayangi oleh kecemasan.” berkata Darpati.

Winih termangu-mangu sejenak. Agaknya memang lebih baik jika Darpati itu berbicara dengan kakek dan ayahnya, agar ia tidak menjadi marah kepadanya. Karena dengan demikian maka Darpati akan mengetahui, bahwa bukan ia yang menolak ajakannya. Karena itu, maka Winih pun kemudian telah mendapatkan kakeknya di ruang sebelah.

"Kakek sudah mendengar?" desis Winih perlahan.

"Aku dan ayahmu sudah mendengar..." jawab Kiai Gumrah.

"Jika demikian, biar kakek atau ayah sajalah yang menjawab...!" minta Winih.

Selanjutnya,
Sang Penerus Bagian 13

Sang Penerus Bagian 12

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
Wajah Manggada dan Laksana memang menjadi tegang sejenak. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Kiai Gumrah justru percaya kepada Rambatan. Bahkan kemudian Kiai Gumrah itu berkata,

"Sudahlah Rambatan. Pulanglah. Ajak kawan-kawanmu. Sebenarnya kau tidak terlibat dalam persoalan ini...”

Rambatan mengangguk-angguk sambil berkata "Terima kasih Kiai. Terima kasih!”

Manggada dan Laksana tidak mengatakan sesuatu. Mereka memandang Rambatan dengan tajamnya. Sementara itu Kiai Gumrah telah mengulanginya lagi "Pulanglah. Ajak kawan-kawanmu..”

Rambatan pun mulai beringsut. Meskipun-tubuhnya terasa sakit di punggung, pinggang, kening dan bahkan di mana-mana, namun bahwa ia diperkenankan pulang telah membuat hatinya sedikit lapang.

Namun ketika Rambatan itu mulai menyeret kakinya turun pendapa banjar tua itu, tiba-tiba saja beberapa orang telah memasuki halaman banjar itu. Di antara mereka terdapat Ki Bekel.

Belum lagi berhenti melangkah, Ki Bekel sudah berteriak "He, apa yang kalian lakukan terhadap anak-anak padukuhanku?"

Kiai Gumrah pun kemudian melangkah turun pula diikuti oleh Manggada dan Laksana. Dengan nada rendah Kiai Gumrah bertanya "Apakah yang Ki Bekel maksudkan?"

Ki Bekel dan beberapa orang yang datang bersamanya, di antara mereka adalah bebahu padukuhan itu, telah berhenti di tengah-tengah halaman. Sekali lagi ia bertanya "Apa yang kalian lakukan di sini?"

"Aku baru saja datang Ki Bekel” jawab Kiai Gumrah.

"Aku bertanya kepada cucu-cucumu itu. Mereka bukan anak padukuhan ini. Mereka orang asing bagi kami. Tetapi mereka sudah berani menyakiti anak-anakku. Betapa nakalnya Rambatan, tetapi ia tetap anakku. Mungkin aku memang harus mengajarinya untuk berlaku lebih baik. Tetapi aku tidak senang jika orang lain menyakitinya seperti itu. Beberapa hari yang lalu, hal yang serupa telah terjadi. Orang asing telah menyakiti Rambatan. Sekarang cucu-cucumu Kiai Gumrah”

"Yang terjadi adalah perselisihan di antara anak-anak muda Ki Bekel” jawab Kiai Gumrah.

"Bukankah kau dapat mengajari cucu-cucumu? Jika ia datang ke padukuhan ini hanya untuk memamerkan kemampuannya berkelahi, maka aku tidak akan segan-segan mengambil tindakan. Bukan hanya terhadap cucu-cucumu. Tetapi juga terhadapmu. Kau harus ingat, bahwa kau berada di padukuhan ini karena kami, orang-orang sepadukuhan ini menaruh belas kasihan kepadamu. Kami tahu bahwa kau memerlukan pegangan untuk dapat hidup dan mencukupi kebutuhanmu sehari-hari. Kami sudah memberikan kesempatan kepadamu untuk dapat hidup dengan sekedar penghasilan atas tanah yang kami berikan kepadamu di sebelah banjar itu dengan memberimu pekerjaan sebagai penjaga banjar. Ternyata sekarang kau telah mensia-siakan kebaikan hati kami dengan membiarkan cucu-cucumu menyakiti anak-anak padukuhan ini...”

"Aku mohon maaf Ki Bekel. Aku akan berusaha sebaik-baiknya untuk mencegah hal seperti ini terjadi.” berkata Kiai Gumrah.

"Kali ini aku masih memaafkan cucu-cucumu. Tetapi lain kali tidak. Jika terjadi lagi hal seperti ini, aku akan mengusir mereka dari padukuhan ini. Jika perlu, maka kau pun akan dapat kami usir dari padukuhan ini” berkata Ki Bekel.

"Aku mengerti Ki Bekel. Aku akan berbuat sebaik-baiknya agar cucu-cucuku tidak melakukannya lagi.”

Ki Bekel itu pun kemudian berpaling kepada Rambatan sambil berkata "Marilah. Ikut aku. Kau dapat pulang ke rumahmu. Demikian pula kawan-kawanmu itu.”

Ki Bekel tidak lagi mengatakan kepada Kiai Gumrah. Ia pun kemudian mengajak Rambatan dan kawan-kawannya pulang. Namun mereka sempat melihat bekas-bekas perkelahian itu pada Rambatan dan kawan-kawannya yang masih saja merasa kesakitan.

Demikian Ki Bekel dan orang-orang yang datang bersamanya itu meninggalkan regol halaman banjar, maka Manggada pun segera berkata kepada Kiai Gumrah "Kami mohon maaf kek. Kami tidak ingin menyulitkan kakek”

Kiai Gumrah tersenyum. Katanya "Aku mengerti apa yang kalian lakukan. Aku melihat semuanya. Karena itu maka kalian tidak bersalah. Agaknya kalian telah merasa jemu untuk terus-menerus berpura-pura. Bukan saja kalian, tetapi ternyata aku pun menjadi jemu. Jika tidak ada Kiai Windu Kusuma serta orang yang disebut Panembahan itu, maka aku kira aku masih dapat hidup tenang tanpa terusik. Namun ternyata bahwa telah tiba waktunya, perubahan-perubahan sikap dan tingkah-laku harus terjadi. Sebenarnyalah bahwa karena itu, maka aku pun sudah menjadi jemu untuk berpura-pura. Apalagi menghadapi Kiai Windu Kusuma.”

Manggada dan Laksana itu pun mengangguk-angguk. Dengan nada datar Laksana bertanya "Apakah sikap Ki Bekel itu wajar, kek?"

Kiai Gumrah tertawa. Katanya "Tidak. Aku menganggap sikap itu sama sekali tidak wajar”

"Jadi apakah ada hubungannya dengan laki-laki yang kekurus-kurusan itu?" bertanya Manggada.

Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Semakin lama persoalan yang terjadi disekeliling kita memang menjadi semakin rumit. Karena itu, maka kita harus membuat pertimbangan-pertimbangan lain. Jika selama ini kami selalu berpura-pura, kami anggap bahwa cara itu adalah cara yang paling baik untuk menyembunyikan beberapa benda pusaka yang agaknya memang telah mengundang persoalan”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sementara Kiai Gumrah berkata selanjutnya "Kehadiran Prawara adalah salah satu di antara banyak hal yang akan kami lakukan untuk meninggalkan sikap kepura-puraan ini. Kami memang sedang menghubungkan persoalan yang kita hadapi sekarang serta kehadiran Kiai Windu Kusuma dengan musuh bebuyutan perguruan kami”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Ternyata yang mereka ketahui tentang Kiai Gumrah baru sebagian kecil saja dari seluruh persoalannya. Tentang pusaka-pusaka itu. Tentang orang-orang tua pembuat gula kelapa. Kemudian tentang perguruannya dan musuh bebuyutan dari perguruannya itu dalam hubungannya dengan Kiai Windu Kusuma dan orang yang disebut Panembahan itu.

Namun yang juga sangat menarik baginya adalah kehadiran sepasang harimau yang menurut dugaan Manggada dan Laksana adalah harimau peliharaan milik Ki Pandi, orang bongkok yang berilmu sangat tinggi itu.

Namun dalam itu, Kiai Gumrah pun berkata "Tetapi marilah, kita pulang saja. Kita akan berbicara di rumah dengan Prawara. Kita dapat mendengar pendapatnya”

Manggada dan Laksana pun kemudian mengikuti Kiai Gumrah meninggalkan banjar tua itu. Sehingga dengan demikian maka banjar itu menjadi lengang. Lampu minyak yang menyala di pendapa dan di beberapa ruang penting di banjar itu, masih mengedipkan sinarnya yang kekuning-kuningan.

Di rumah, Kiai Gumrah telah menceriterakan apa yang terjadi di banjar kepada anak dan menantunya. Ki Prawara yang mendengarkan dengan sungguh-sungguh itu pun kemudian berkata "Peristiwa ini justru penting ayah”

"Ya” jawab ayahnya "Nah, siapakah orang yang disebut kekurus-kurusan oleh Manggada dan Laksana itu?"

"Tentu ada hubungannya dengan Darpati. Demikian pula tindakan yang telah diambil oleh Ki Bekel yang sebelumnya tidak banyak berbuat sesuatu terhadap Rambatan dan bahkan nampaknya ada keseganan untuk menanganinya. Justru tiba-tiba saja ia berusaha melindunginya dan bersikap memusuhi manggada dan Laksana, meskipun persoalan itu bermula dari tindakan Darpati...” berkata Kiai Gumrah.

"Tentu ada orang yang mulai menghasut" berkata Ki Prawara.

Tiba-tiba saja Nyi Prawara menyela. "Kesempatan yang baik untuk berbicara dengan Winih”

Ki Prawara mengangguk-angguk. Katanya "Ya. Kita akan berbicara dengan Winih”

Nyi Prawaralah yang kemudian bangkit untuk memanggil Winih. Ketika ia memasuki bilik Winih yang sempit, maka dilihatnya gadis itu berbaring menengadahkan wajahnya memandang langit-langit. Lampu minyak yang redup menerangi bilik kecil itu.

Nyi Prawara pun kemudian duduk di bibir amben. Dengan nada keibuan ia berkata "Winih. Ayah dan kakek memanggilmu.”

"Aku sudah mengantuk ibu...!” desis Winih.

"Hanya sebentar saja Winih" berkata ibunya.

"Apakah begitu penting sehingga tidak dapat dibicarakan esok pagi?" bertanya Winih.

Ibunya mengangguk. Katanya "Persoalannya memang penting. Tetapi ayah dan kakekmu tidak akan berbicara banyak”

"Tentu tentang Darpati" gumam Winih "kenapa ayah dan kakek meributkan persoalan itu. Curiga dan bahkan mempunyai prasangka yang sangat buruk, sedangkan orang itu tidak berbuat apa-apa kecuali menolong aku sampai dua kali”

"Bertanyalah kepada ayah dan kakekmu. Marilah, hari belum terlalu malam” berkata ibunya.

Winih tidak dapat menolak. Ia pun kemudian bangkit dan membenahi pakaiannya. Seperti yang direncanakan, maka Kiai Gumrah pun berkata berterus-terang kepada Winih, tentang kecurigaan mereka yang semakin tajam terhadap Darpati. Peristiwa yang terjadi di banjar itu termasuk permainan Darpati sebagaimana yang terjadi di pancuran sebelumnya.

"Nampaknya Darpati memang ingin menyingkirkan Manggada dan Laksana”

Winih yang memang sudah menduga tentang apa yang akan dikatakan kakeknya menundukkan kepalanya. Tetapi ia masih menyahut "Jika Darpati ingin menyingkirkan kakang Manggada dan Laksana, karena ia mempunyai kemampuan untuk melakukannya”

"Belum tentu Winih" jawab kakeknya "Darpati memang berilmu tinggi. Ilmunya tentu lebih tinggi dari Manggada dan Laksana. Tetapi jika harus menghadapi mereka berdua, mungkin Darpati masih harus berpikir ulang. Selebihnya, jika hal itu dilakukannya sendiri dan kau sempat mengetahuinya, maka ia tidak akan dapat mengharapkanmu lagi. Meskipun baginya kau hanya salah satu di antara sekian banyak perempuan yang pernah singgah di hati iblisnya itu”

"Kakek sudah menghukumnya sebelum dapat membuktikannya” berkata Winih.

"Aku ingin segalanya tidak terlambat. Darpati termasuk salah seorang di antara mereka yang ingin mendapatkan pusaka-pusaka itu. Sedangkan ayahmu atau ibumu tentu mengetahui nilai pusaka-pusaka itu bagi perguruan kami”

Manggada dan Laksana memang agak terkejut mendengar pernyataan itu, sehingga keduanya telah memperhatikan tanggapan Winih. Namun Winih tidak terkejut, sehingga Manggada dan Laksana mendapat kesimpulan bahwa Winih memang sudah mengetahui nilai dari pusaka-pusaka itu.

Winih tidak menyahut. Tetapi matanya menjadi semakin redup. Sementara itu, ibunya berkata "Winih. Kami tidak ingin menyakiti hatimu. Kami hanya ingin menyelamatkan apa yang masih kita miliki. Kau dan pusaka-pusaka itu”

Winih memandang ibunya sekilas. Namun sambil menunduk ia pun berkata "Kita terlalu mencemaskan pusaka-pusaka itu. Demikian kita berhati-hati, sehingga kita menjadi curiga kepada setiap orang yang berhubungan dengan keluarga kita”

"Bukan begitu Winih. Kita tidak kehilangan penalaran kita. Jika kita mencurigai Darpati, tentu kita mempunyai alasan-alasan tertentu. Sebaliknya kau tidak boleh menjadi silau terhadap ujud lahiriah yang kau hadapi, sehingga kau kehilangan penalaranmu yang bening”

"Aku sudah cukup dewasa kek. Aku tahu apa yang harus aku lakukan” jawab Winih.

"Tidak" ayahnyalah yang menyahut "Ternyata kau tidak mampu melihat anak muda yang barangkali di matamu nampak tampan, baik hati dan bertanggung jawab, tetapi yang menurut pengamatan kami, ia justru seorang yang sama sekali tidak menghargai perempuan. Selebihnya, ia mempunyai maksud yang lebih buruk lagi daripada sekedar merampas segala milikmu yang paling berharga, karena ia juga akan merampas pusaka-pusaka itu”

"Itu hanya sebuah prasangka" berkata Winih "kita harus membuktikannya”

"Tetapi dengar Winih" berkata ayahnya "Sejak saat ini, kau tidak boleh lagi pergi keluar halaman rumah ini. Aku tidak berniat untuk memingitmu sebagaimana gadis-gadis pingitan. Tetapi kita sedang dalam bahaya. Kita harus berhati-hati”

Winih memang terkejut. Tetapi ia tidak membantah, ia sudah menjadi pening sehingga nalarnya tidak lagi dapat bekerja dengan baik. Yang terasa kemudian adalah kejengkelan, marah dan perasaan-perasaan lain yang membuat dadanya menjadi sakit.

"Sudahlah" berkata ayahnya "Jika kau akan tidur, tidurlah. Tetapi jika kau ingin mendengarkan kami berbincang, duduk sajalah di situ”

Winih tidak menjawab. Tetapi gadis itu segera bangkit dan tanpa berkata apapun juga ia pergi ke biliknya dan menjatuhkan dirinya di pembaringannya.

Ibunyalah yang menyusulnya. Masih dengan sikap seorang-ibu ia berkata "Kami lakukan semuanya itu untuk kebaikanmu Winih”

Winih tidak menjawab. Tetapi ia telah menyembunyikan wajah di bantalnya sambil menelungkup. Lamat-lamat terdengar Winih berdesis "Ayah, kakek dan ibu tidak adil. Ayah dan kakek menilai kakang Darpati hanya sekedar mengurai peristiwa-peristiwa yang terjadi. Sementara itu, uraian yang berdasarkan dugaan-dugaan itu tidak selalu benar. Tetapi ayah dan kakek dan bahkan ibu sudah menjatuhkan keputusan untuk menghukum kakang Darpati”

"Sudahlah Winih. Peristiwa yang terjadi beruntun dalam waktu yang terhitung singkat ini membuat dugaan kami semakin meyakinkan. Tetapi sudahlah. Sekarang beristirahatlah. Sebaiknya kau memang tidur” berkata ibunya.

Winih tidak menjawab. Sementara itu ibunya pun telah keluar dari bilik anak gadisnya. Ketika ia melihat Manggada dan Laksana masih duduk di amben besar di ruang dalam, maka Nyi Prawara itu mendekatinya sambil berkata "Lihat luka-lukamu?”

Manggada dan Laksana telah membuka bajunya. Ternyata luka Laksana telah mengembun lagi. Darah setitik-setitik keluar dari lukanya yang sudah diobati oleh Nyi Prawara.

"Marilah, aku ganti obat kalian...!” berkata Nyi Prawara.

Luka yang sudah hampir dilupakan itu memang mulai terasa sedikit nyeri. Namun Nyi Prawara segera mengobatinya. Beberapa saat kemudian, maka Kiai Gumrah pun telah menyuruh Manggada dan Laksana untuk beristirahat. Sementara itu bersama Ki Prawara, keduanya justru pergi keluar Kepada Nyi Prawara suaminya berkata.

"Aku akan berada di luar. Udara terasa panas malam ini”

"Berhati-hatilah kakang!" pesan Nyi Prawara.

Suaminya tersenyum. Katanya "Dalam keadaan seperti ini, kami selalu berhati-hati Nyi”

Ketika keduanya telah berada di luar dan menutup pintu butulan, maka Nyi Prawara pun telah pergi ke bilik Winih. "Aku temani kau tidur" berkata Nyi Prawara "Aku tahu, bahwa kau tidak mudah untuk tidur malam ini”

Winih memang tidak menjawab. Tetapi ia pun beringut dan memberi tempat kepada ibunya di pembaringannya yang tidak begitu luas itu. Di luar, Ki Prawara duduk di bebatur samping rumah, sedangkan Kiai Gumrah berjalan saja hilir mudik. Seakan-akan kepada diri sendiri Kiai Gumrah itu berkata.

"Sudah larut malam, tetapi orang itu masih belum datang”

"Mungkin malam ini. Tetapi mungkin juga besok malam, ayah" jawab Ki Prawara.

"Aku harap ia datang, berhasil atau tidak berhasil" berkata Kiai Gumrah.

Ki Prawara tidak menjawab. Sambil bersandar dinding ia memandangi pepohonan yang menjadi kehitam-hitaman di gelapnya malam. Namun keduanya pun telah bergeser dan duduk di serambi depan rumah Kiai Gumrah.

Jalan di depan rumah Kiai Gumrah itu sudah sepi. Tidak seorang pun yang lewat di malam yang kelam. Di kejauhan terdengar suara kentongan yang mengisyaratkan, bahwa malam sudah sampai kepertengahannya.

"Malam berjalan begitu cepatnya" berkata Kiai Gumrah.

"Ya. Suara kentongan itu” jawab Ki Prawara. Lalu katanya pula "Kentongan itu memang kentongan yang bagus. Suaranya seperti bergema”

"Kentongan itulah yang dahulu berada di banjar ini. Tetapi ketika dipergunakan banjar yang baru, maka kentongan itu pun dipindahkan ke banjar yang baru. Sedangkan di banjar ini ditaruh kentongan yang lebih kecil. Tetapi kentongan itu jarang sekali aku tabuh”

"Kenapa?" bertanya Ki Prawara.

"Suaranya kurang baik dan jangkauannya tidak cukup jauh” jawab Kiai Gumrah.

Ki Prawara mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab lagi.

Sementara itu, Kiai Gumrah yang kemudian berjalan hilir mudik di halaman rumahnya, tiba-tiba berhenti. Sambil bergeser mendekati Ki Prawara ia berdesis. "Ada orang di luar regol. Aku melihat bayangannya. Mudah-mudahan orang itulah yang kami tunggu malam ini”

Ki Prawara tidak menjawab. Namun kemudian ia pun telah bangkit pula dan bergeser menepi. Demikianlah, untuk beberapa lama mereka menunggu. Tetapi tidak seorang pun yang memasuki halaman rumah itu lewat regol yang memang sedikit terbuka.

Namun Kiai Gumrah itu kemudian berpaling, sebagaimana Ki Prawara yang berkisar dan menghadap kearah halaman samping rumah Kiai Gumrah itu. Terdengar suara tertawa perlahan. Seseorang telah muncul dari bayangan hitam pepohonan.

Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Aku kira Kiai Windu Kusuma atau orang yang disebut Panembahan itu”

"Bukankah aku berjanji akan datang?" jawab orang itu.

"Kau sudah berada di regol. Kenapa kau bersusah payah masuk halaman rumahku dengan meloncati dinding, sementara regol halaman itu sudah terbuka?”

"Bukankah terlalu biasa masuk halaman rumah seseorang lewat pintu regol yang terbuka?" orang itu justru bertanya.

"Maksudmu?" bertanya Kiai Gumrah.

"Aku ingin menunjukkan bahwa aku dapat melakukan hal yang tidak biasa” jawab orang itu sambil tertawa.

"Ah, kau. Kenapa kau harus mempersulit diri?” bertanya Ki Prawara

"Bukankah aku orang berilmu tinggi?" orang itu tertawa semakin keras.

"Jangan berteriak-teriak di malam hari" berkata Kiai Gumrah "Suaramu akan didengar oleh orang-orang yang sedang tertidur nyenyak”

Orang itu menutup mulutnya. Suara tertawanya pun segera terhenti. Namun kemudian katanya "Nah, aku datang untuk memberikan laporan”

"Marilah, duduklah” Kiai Gumrah mempersilahkan tamunya.

"Di mana?" bertanya orang yang baru datang itu yang juga seorang pedagang gula.

"Di sini saja" jawab Kiai Gumrah.

"Kita akan berbicara" desis orang itu.

"Lebih baik di sini. Jika ada orang yang mendengarkan, kita justru dapat melihat. Tetapi jika kita berada di dalam, maka kita tidak tahu apakah di luar ada orang yang mendengarkan atau tidak” jawab Kiai Gumrah.

Orang itu mengangguk-angguk. Ia pun kemudian telah duduk pula di atas amben bambu di serambi rumah Kiai Gumrah. Sementara itu, malampun menjadi semakin malam.

Namun Ki Prawara justru bangkit untuk menutup pintu regol dan menyelaraknya dari dalam. Ketika ia sudah duduk kembali, maka ia pun berkata. "Ternyata tamu kita tidak memerlukan pintu itu. Karena itu lebih baik ditutup dan diselarak”

Tamunya tertawa lagi. Tetapi ia tidak menyahut. Sementara itu, Kiai Gumrah dan Ki Prawara telah duduk bersama tamunya. Dengan nada rendah Kiai Gumrah mulai bersungguh-sungguh, "Kau berhasil?"

Orang itu termangu-mangu sejenak. Baru kemudian ia menjawab "Dapat disebut berhasil, tetapi dapat juga belum”

"Kenapa?" bertanya Kiai Gumrah.

"Aku telah menemukan rumah tempat burung elang itu turun. Bahkan ketika aku mengamati hari ini, aku sempat melihat dua ekor burung itu muncul dari halaman belakang rumah itu, sehingga aku yakin, bahwa rumah itu adalah sarang beberapa ekor burung elang yang dapat dikendalikan itu” jawab tamunya.

"Jika demikian, maka agaknya kau telah berhasil" desis Kiai Gumrah.

"Aku memang berhasil menemukan rumahnya. Tetapi aku belum dapat mengetahui kegiatan yang dilakukan di dalam rumah itu. Rumah yang berdinding agak tinggi dan kesannya memang tertutup. Regolnya tidak pernah terbuka. Jarang sekali ada orang keluar masuk lewat regol halaman. Jika ada juga orang yang keluar atau masuk, maka kesannya orang itu bukan orang kebanyakan. Wajah-wajah mereka nampak mengandung rahasia”

"Apakah orang tua saja yang keluar masuk rumah itu! Atau orang muda juga?" bertanya Kiai Gumrah.

"Ada yang tua. Tetapi ada juga yang muda" jawab tamunya.

Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Katanya "Tolong, jika kau masih sempat melihat lagi keadaan rumah itu, awasi, jika ada orang muda yang keluar atau masuk, ingat-ingat cirinya. Mungkin orang itu dapat kita kenali”

Orang itu mengangguk-angguk. Katanya. "Baiklah. Aku akan mengamati terus. Kebetulan di depan rumah itu, meskipun agak menyamping, terdapat sebuah warung. Ketika aku menawarkan gula dengan harga yang lebih murah dari harga yang sebenarnya, warung itu nampaknya senang menerimanya. Sambil menyerahkan gula, aku dapat minum-minum barang sebentar di warung itu”

"Bagus. Tetapi hati-hatilah. Mungkin kau pun diawasi oleh orang yang tinggal di rumah itu tanpa kau sadari. Jika kau tertangkap, terbukti atau tidak, maka kau tentu akan dihancurkannya. Mereka tentu tidak mempunyai pertimbangan perikemanusiaan”

Orang itu mengangguk-angguk. Katanya "Aku akan berhati-hati. Aku mempunyai modal yang sangat berarti bagi tugasku”

"Apa? Ilmumu yang tinggi? Di rumah itu tentu terdapat banyak orang berilmu tinggi” jawab Kiai Gumrah.

"Bukan ilmu yang tinggi. Tetapi aku telah mempelajari ilmu yang khusus, bagaimana dapat berlari kencang sekali. Aku telah belajar secara khusus mengetrapkan tenaga dalam untuk mendorong gerak kaki jika kita sedang melarikan diri”

"Ah, kau" desis Kiai Gumrah.

Orang itu tetawa. Ki Prawara pun tertawa pula. Namun Kiai Gumrah pun kemudian berkata. "Jika benar kita akhirnya mengetahui dengan pasti tempat tinggal mereka, maka kita bukan sekedar menjadi sasaran. Tetapi jika perlu kita dapat datang mengunjungi rumah itu”

"Aku sependapat" berkata tamu Kiai Gumrah itu ”Rasa-rasanya menjadi muak untuk selalu berjaga-jaga, kapan kita akan disergap. Sebaiknya kita pun sekali waktu datang menyergapnya”

"Bagus" sahut orang itu "tetapi kita harus ingat, bahwa benda yang diperebutkan itu ada di sini. Jika kita menyerang mereka, maka ada kemungkinan buruk dapat terjadi dengan pusaka-pusaka itu. Bahkan anak-anak pun akan mampu mengambilnya. Justru karena kita pergi ke rumah mereka yang jaraknya cukup jauh. Rumah itu berada di padukuhan lain”

"Bukankah ada di antara kita yang tinggal?" bertanya Kiai Gumrah.

"Seberapa besarnya tenaga kita" tamunya justru ganti bertanya "jika kita tidak pergi semua ke rumah yang tertutup itu, maka kemungkinan buruk dapat terjadi pula atas kita, karena aku yakin bahwa di rumah ini terdapat orang-orang berilmu tinggi”

Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Prawara berkata "Ya. Kita dapat mengerti. Karena itu untuk sementara kau awasi saja rumah ini. Meskipun demikian dalam waktu singkat kita harus dapat segera mengambil sikap, karena nampaknya mereka pun tidak akan menunggu terlalu lama lagi”

"Sebelum purnama dibulan depan" berkata Kiai Gumrah.

Tamu Kiai Gumrah itu mengangguk-angguk. Katanya "Baiklah. Aku akan terus-menerus mengawasinya. Tentu saja jika keadaan memungkinkan, karena aku tidak mau mati digebugi oleh orang-orang yang tinggal di rumah yang tertutup itu”

"He, bukankah kau berilmu tinggi?" bertanya Ki Prawara.

Orang itu tertawa. Jawabnya "Aku memang berilmu tinggi. Tetapi orang-orang yang tinggal di rumah itu berilmu lebih tinggi lagi”

Kiai Gumrah pun tertawa. Demikian pula Ki Prawara. Disela-sela tertawanya Kiai Gumrah berkata "Kau sudah menyerah sebelum bertempur”

"Bukan begitu, tetapi aku mempunyai perhitungan yang tajam dan cermat atas persoalan yang sedang aku hadapi” jawab orang itu masih sambil tertawa. Kiai Gumrah pun masih tertawa berkepanjangan pula

. "Duduk sajalah dahulu, biar aku mengambil minuman di dapur. Meskipun barangkali sudah tidak panas lagi. Tetapi barangkali kau merasa haus" berkata Ki Prawara.

"Tidak. Tidak usah. Aku akan segera minta diri" sahut orang itu. Lalu katanya pula “Aku harus menengok rumah dahulu sebelum besok pagi-pagi aku membawa gula kewarung yang ada di depan rumah yang tertutup itu. Tetapi gulaku tinggal sedikit. Sehari kemarin aku tidak sempat membuat gula”

"Aku masih mempunyai persediaan gula" berkata Kiai Gumrah.

"Terima kasih. Kau tidak pernah dapat membuat gula yang berwarna jernih. Gulamu terlalu hitam. Sedangkan kedai itu minta gula yang berwarna jernih”

"Kau belum melihat gulaku yang terakhir" berkata Kiai Gumrah.

"Tentu juga sehitam kulitmu" jawab orang itu sambil bangkit berdiri dan bergeser. Meskipun demikian ia masih berkata "Orang yang kulitnya hitam, jika membuat gula tentu hitam juga”

"Omong kosong" sahut Kiai Gumrah "kau sudah pandai membual sekarang”

Orang itu tertawa lagi. Katanya "Sudahlah. Aku akan pulang. Besok aku masih harus mengawasi rumah itu. Tugas yang sebenarnya tidak aku sukai”

"Kenapa kau menawarkan dirimu untuk melakukannya?”

Orang itu tertawa semakin keras. Katanya "Tidak sejak mula-mula. Sebenarnya aku ingin menolak tugas ini. Tetapi ternyata pemilik warung di depan rumah yang tertutup itu adalah seorang janda dan tidak mempunyai anak pula.”

"Setan kau!" geram Kiai Gumrah "He, bukankah rambutmu sudah putih?"

"Kenapa kalau rambutku sudah putih?" orang itu justru bertanya.

"Kau tidak pantas lagi mengintai seorang janda yang belum mempunyai anak. Jika kau ingin kawin lagi sepeninggal isterimu yang dipanggil kembali oleh Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang itu, sebaiknya kau mencari perempuan yang sebaya dengan umurmu, sehingga jika kau besok atau lusa juga dipanggil menghadap-Nya, isterimu tidak akan terlalu lama menjanda lagi.”

"He, kau kira aku yang membutuhkan janda itu?" orang itu membelalakkan matanya.

"Jadi?" bertanya Ki Prawara.

"Aku sedang mencari jodoh buat adikku yang bungsu. Isterinya meninggal saat melahirkan. Demikian pula anaknya.”

Kiai Gumrah dan Ki Prawara tertawa. Disela-sela tertawanya, Ki Prawara berkata. "Maaf. Kami tidak tahu bahwa kau mempunyai seorang adik bungsu yang memerlukan seorang isteri”

Sambil melangkah pergi orang itu masih bergumam "Kalian selalu berprasangka buruk terhadapku.”

"Maaf, kami sudah minta maaf...!”

"Sudahlah, aku akan pergi” berkata orang itu.

"Apakah kau akan lewat regol halaman?" bertanya Kiai Gumrah.

"Tidak. Aku seorang yang berilmu tinggi. Aku harus melakukan sesuatu yang tidak biasa dilakukan orang lain. Aku akan meninggalkan rumah ini lewat jalan yang aku lalui saat aku memasuki halaman rumah ini” jawab orang itu.

"Pergilah" desis Kiai Gumrah.

Orang itu pun kemudian melangkah kekegelapan di sisi rumah Kiai Gumrah. Sebagaimana saat ia datang, maka ia pun tidak keluar dari halaman rumah itu lewat regol.

Kiai Gumrah menggeleng-gelengkan kepalanya sambil bergumam. "Orang itu memang aneh-aneh saja”

Tetapi Ki Prawara menjawab. "Siapakah di antara kita yang tidak aneh-aneh? Ayah sendiri, kawan-kawan ayah yang sering datang kemari itu dan barangkali aku juga jika aku berada di antara kawan-kawan ayah”

Kiai Gumrah mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun tertawa. Katanya "Ya. Tetapi, dengan berbuat yang aneh-aneh itu, maka kita mendapat kepuasan tersendiri”

Ki Prawara juga tertawa. Namun demikian Kiai Gumrah pun tertawa berkepanjangan. Ketika suara tertawa Kiai Gumrah mereda, maka ia pun kemudian berkata "Marilah, kita masuk ke dalam. Rasa-rasanya malam menjadi semakin dingin”

Ki Prawara pun telah bangkit pula. Keduanya pun kemudian masuk kembali ke dalam lewat pintu butulan. Namun sebelum mereka sempat berbaring di amben panjang, terdengar pintu butulan itu diketuk orang.

"Siapa?" bertanya Kiai Gumrah.

"Aku" jawab orang yang mengetuk pintu itu, yang ternyata adalah tamunya yang baru saja meninggalkan halaman rumah Kiai Gumrah.

Dengan tergesa-gesa Kiai Gumrah membuka pintu butulan diikuti oleh Ki Prawara. "Ada apa lagi?" bertanya Kiai Gumrah.

Wajah orang itu nampak bersungguh-sungguh. Katanya "Hati-hatilah. Aku melihat sesosok bayangan di sudut halaman rumahmu. Meskipun bayangan itu berada di luar dinding, tetapi dalam sekejap ia akan dapat berada di dalam dinding”

"Apakah bayangan itu melihatmu?" bertanya Kiai Gumrah.

"Mungkin, ketika aku meloncati dinding. Tetapi bayangan itu justru menghilang. Mungkin sekarang bayangan itu sedang mengintai aku yang memberitahukan kehadirannya kepadamu”

"Berhati-hatilah. Atau kau akan bermalam di sini?" bertanya Kiai Gumrah.

"Kenapa? Kau kira aku ketakutan melihat bayangan itu? Aku justru datang untuk memperingatkanmu. Kaulah yang harus berhati-hati” berkata orang itu dengan dahi berkerut.

"Ya, ya. Aku akan berhati-hati. Tetapi kau juga harus berhati-hati” jawab Kiai Gumrah.

Tetapi orang itu menjawab, justru agak keras "Kau tidak usah merisaukan aku. Bukankah aku berilmu tinggi?"

Kiai Gumrah hanya menarik nafas panjang saja, sementara tamunya itu pun kemudian telah meninggalkannya tanpa berpaling lagi, sehingga sejenak kemudian, ia pun telah hilang dari penglihatan Kiai Gumrah dan Ki Prawara.

Sejenak kemudian, maka pintu itu pun telah tertutup kembali. Dengan nada dalam Kiai Gumrah berkata "Ternyata rumah ini selalu diawasi. Jika tidak dengan burung-burung elang itu, maka mereka telah mengirimkan orang kemari. Tetapi agaknya orang itu masih berada di luar dinding.”

"Tetapi orang itu tidak akan mengganggu kita ayah.” berkata Ki Prawara.

"Ya. Orang itu tentu hanya sekedar mengawasi saja” desis Kiai Gumrah "Sudahlah, beristirahatlah”

Ki Prawara pun kemudian telah berada di ruang tengah. Ketika ia duduk di amben yang besar, maka ia pun memperhatikan Manggada dan Laksana yang berbaring dengan mata terpejam. Namun sambil tersenyum ia berdesis. "Tidurlah. Tidak ada apa-apa. Kami hanya mencari angin di luar.”

Manggada dan Laksana membuka matanya. Ternyata Ki Prawara tahu bahwa mereka memang belum dapat tidur. Dengan nada rendah Manggada berkata. "Ada tamu di luar paman?"

Ki Prawara tersenyum. "Kau mendengar percakapan kami?" bertanya Ki Prawara.

"Tidak paman. Tetapi aku mendengar suaranya tertawanya”

"Sudahlah, tidurlah” desis Ki Prawara kemudian.

Sementara itu Kiai Gumrah masih saja berada di dapur. Bahkan kemudian ia pun berbaring di amben yang ada di dapur. Ia memang sering tidur di tempat itu atau di amben yang lain di ruang dalam.

Namun bukan hanya Manggada dan Laksana saja yang masih belum tidur. Winih dan ibunya pun ternyata masih belum tidur juga. Bahkan mereka mendengar pembicaraan Kiai Gumrah dan tamunya yang datang kembali di muka pintu butulan untuk memberitahukan bahwa ada bayangan di luar dinding halaman rumah Kiai Gumrah.

Malam itu, para penghuni rumah Kiai Gumrah itu tidak dapat tidur nyenyak. Manggada dan Laksana pun seakan-akan mempergunakan waktu yang tinggal sedikit itu untuk tidur bergantian. Kiai Gumrah, bahkan menjelang fajar baru dapat tidur sekejap ketika Ki Prawara keluar lewat pintu butulan pergi ke pakiwan.

"Tidurlah ayah!" desis Ki Prawara "Aku sudah sempat tidur sekejap.”

Kiai Gumrah baru dapat tidur dengan tenang, meskipun hanya sebentar, karena ia tahu, bahwa Ki Prawara tidak akan tidur lagi.

Ketika matahari naik, maka Kiai Gumrah sudah berada di kebun kelapanya. Ia pun mulai memanjat batang-batang kelapa untuk mengganti bumbung-bumbung legennya. Manggada dan Laksana mengikutinya untuk membantu membawa bumbung-bumbung legen yang akan dipasang dan yang baru saja diturunkan. Sementara itu, yang lain seisi rumah itu telah melakukan tugas mereka masing-masing pula.

Ketika matahari sepenggalah, maka Kiai Gumrah telah sibuk di perapian memanasi legen untuk dibuat gula. Demikian Kiai Gumrah menuang jladren yang sudah mengental ke dalam tempurung kelapa untuk mencetak, maka terdengar orang mengetuk pintu Jepan sambil memanggil nama Winih.

"Siapa orang itu?" bertanya Kiai Gumrah yang sudah menduga bahwa orang itu tentu Darpati.

Manggada yang menjenguk keluar memang melihat bahwa orang yang datang itu adalah Darpati.

"Apakah Winih sudah mandi?" bertanya Darpati.

Manggada mengerutkan dahinya. Pertanyaan itu terdengar aneh. Demikian Manggada muncul, maka yang ditanyakan adalah, apakah Winih sudah mandi.

"Kenapa?" bertanya Darpati ketika ia melihat Manggada agak kebingungan.

Ternyata Darpati tidak menunggu Manggada mempersilahkan. Ia pun segera melangkahi tlundak pintu, bahkan seakan-akan telah menyibak jalan menyisihkan Manggada yang berdiri di pintu dan kemudian duduk di ruang dalam.

"He, kau belum menjawab, apakah Winih sudah mandi” berkata Darpati.

"Kenapa kau tanyakan hal itu?" Manggada justru bertanya.

Darpati tertawa. Katanya "Aku ingin membawa Winih berjalan-jalan. Aku ingin mengajakmu pula bersama Laksana”

"Kemana?" bertanya Manggada.

"Tentu tidak kepancuran itu lagi” jawab Darpati.

"Biarlah winih nanti yang bertanya kepadaku. Aku akan menjawab hanya kepada Winih” jawab Darpati.

Manggada menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Katanya "Aku akan menanyakan kepada Winih, apakah ia sudah mandi atau belum”

Darpati tertawa, ia tahu bahwa pertanyaannya itu membuat Manggada menjadi kesal. Tetapi juga karena ia tidak mau menjawab pertanyaan Manggada, kemana ia akan mengajak Winih.

Sementara itu, ternyata Nyi Prawara mendengar kata-kata Darpati itu. Karena itu ia pun berbisik ditelinga Winih “Kau ingat pesan ayahmu?"

"Kenapa ibu?" Winih masih bertanya.

Ibunya meletakkan jarinya di bibirnya sambil berdesis "Ayahmu sudah memberikan alasan-alasannya. Kau harus mengerti”

Winih menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti bahwa ibunya minta agar ia tidak berbicara terlalu keras. Tetapi bahwa ia tidak boleh keluar dari halaman rumah kakeknya itu telah membuatnya bersedih. Apalagi Darpati telah menjemputnya. Baginya Darpati adalah seorang anak muda yang baik, yang tidak ditemuinya di tempat tinggalnya. Bahkan telah menunjukkan kesediaannya untuk menolongnya ketika ia mendapat gangguan di perjalanan pulang.

"Apa yang kau pikirkan Winih" desis ibunya "Bukankah kau mendengar ceritera kakek semalam? Darpati bukan satu-satunya orang yang dapat menyelamatkanmu. Seandainya waktu itu Darpati tidak menolongmu, Manggada dan Laksana tentu akan dapat melakukannya. Bedanya, Manggada dan Laksana tidak dengan mudah menunjukkan kemampuannya. Hanya jika perlu, sebagaimana terjadi di pancuran dan semalam di banjar tua itu. Dalam keadaan yang tidak dapat dihindarinya lagi, maka keduanya baru mempergunakan kemampuannya. Berbeda dengan Darpati. Ia dengan sengaja, bahkan ia akan mencari banyak kesempatan untuk menunjukkan kelebihannya”

"Bukan ibu, bukan itu sebabnya" berkata Winih.

Namun sekali lagi ibunya menempelkan jari-jarinya, justru di bibir Winih. Winih terdiam. Namun kemudian ia meneruskan, "Barangkali tidak terpikir olehnya untuk berbuat seperti itu”

"Sudahlah Winih. Turuti saja perintah ayah dan kakekmu”

"Tetapi ibu dapat minta agar ayah tidak berkeras seperti itu” minta Winih.

Tetapi jawaban ibunya benar-benar membuat Winih bersedih. Katanya "Winih. Seandainya ayah dan kakekmu tidak melarangmu, maka akulah yang akan melarangmu”

Winih tidak dapat mendesak lagi. Kadang-kadang ia memang dapat merubah sikap ayahnya lewat ibunya. Tetapi jika ibunyalah yang berkeras melarangnya, maka larangan itu harus ditaatinya.

Sementara itu Manggada telah berdiri di pintu bilik Winih. Ia memang tidak segera mengetuk pintu lereg yang sudah sedikit terbuka. Tetapi ia sempat mendengar pembicaraan Winih dengan ibunya, meskipun hanya lamat-lamat dan tidak lengkap. Namun Manggada mengerti, bahwa ibunya, memang melarang Winih untuk pergi, apalagi bersama Darpati. Namun kemudian Manggada itu pun telah mengetuk pintu bilik Winih yang memang terasa sempit.

"Marilah" desis ibu Winih perlahan-lahan "Kami sudah mendengar beberapa pertanyaan Darpati. Tolong, jawablah. Winih belum mandi...”

"Tidak" potong Winih "Aku sendiri yang akan mengatakannya bahwa aku tidak akan pergi kemana pun sesuai dengan perintah kakek, ayah, ibu dan barangkali juga kakang Manggada dan Laksana.”

"Aku?" bertanya Manggada.

"Sudahlah" potong Nyi Prawara. Lalu katanya kepada Winih perlahan-lahan tetapi tegas "Temuilah jika kau sendiri ingin mengatakan bahwa kau tidak akan pergi kemanapun, siapapun yang melarangmu” Ibunya yang mulai menunjukkan sikap kerasnya.

Winih tidak menjawab. Ia memang bangkit berdiri dan berjalan ke ruang depan tanpa membenahi pakaiannya. Meskipun Winih sudah mandi, tetapi ia tidak berpakaian dan berhias sebagaimana jika ia akan pergi.

Demikian Winih keluar ke ruang dalam, maka Darpati pun bangkit berdiri sambil berkata, "He, kau belum siap?”

"Untuk apa?" bertanya Winih.

"Kita akan berjalan-jalan. Kau tidak usah sendiri. Biarlah Manggada dan Laksana ikut bersama kita...” jawab Darpati.

"Aku tidak siap untuk pergi Darpati” jawab Winih.

"Bukankah kau sudah mandi? Berpakaianlah, aku akan menunggu.” berkata Darpati kemudian.

Tetapi Winih menjawab "Aku hari ini tidak akan pergi, Darpati. Keadaan di sekitarku menjadi tidak menentu. Perkelahian, kekerasan dan kejadian-kejadian yang membuat aku ketakutan untuk keluar dari halaman rumah kakek ini...” jawab Winih.

"Kenapa kau takut? Kau akan pergi bersama aku dan Manggada serta Laksana. Apapun yang akan terjadi, maka kami bertiga tentu akan dapat mengatasinya!” berkata Darpati.

"Tidak Darpati. Kakek, ayah dan ibu mencemaskan keselamatanku. Meskipun aku pergi bersamamu serta kakang Manggada dan Laksana, namun jika bahayanya terlalu besar, ada kemungkinan kalian tidak dapat mengatasi...” jawab Winih.

"Aku ingin berbicara dengan kakek dan ayahmu, Winih...!” berkata. Darpati kemudian.

"Tentang apa?" bertanya Winih.

"Aku akan memberi penjelasan kepada mereka, agar mereka tidak dibayangi oleh kecemasan.” berkata Darpati.

Winih termangu-mangu sejenak. Agaknya memang lebih baik jika Darpati itu berbicara dengan kakek dan ayahnya, agar ia tidak menjadi marah kepadanya. Karena dengan demikian maka Darpati akan mengetahui, bahwa bukan ia yang menolak ajakannya. Karena itu, maka Winih pun kemudian telah mendapatkan kakeknya di ruang sebelah.

"Kakek sudah mendengar?" desis Winih perlahan.

"Aku dan ayahmu sudah mendengar..." jawab Kiai Gumrah.

"Jika demikian, biar kakek atau ayah sajalah yang menjawab...!" minta Winih.

Selanjutnya,
Sang Penerus Bagian 13