Sang Penerus Bagian 11 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
LAKSANA tertawa. Hampir saja ia tidak dapat menahan suara tertawanya. Namun kemudian ia menutup mulutnya dengan telapak tangannya. Tetapi ia sempat berdesis "Ketiga-tiganya telah kita pertaruhkan dengan nyawa kita...”

"Sudahlah..." desis Manggada "Kau jangan mengigau begitu.”

Laksana tidak menjawab. Tetapi ia masih tersenyum sambil melangkah mengikuti Manggada yang pergi ke halaman belakang. Demikian keduanya berada di pintu butulan, mereka melihat Kiai Gumrah yang telah berdiri di longkangan bersama Ki Prawara memandang ke udara.

Tanpa ragu-ragu Manggada pun menebak. "Burung elang itu lagi, kek?"

"Ya. Kemarilah. Biarlah burung itu melihat bahwa kau berdua telah selamat sampai di rumah ini...”

Manggada dan Laksana pun segera turun ke longkangan. Mereka melihat sepasang burung elang yang terbang berputar-putar. Yang seekor tentu bukan elang yang telah terluka. Sedangkan yang seekor lagi nampaknya juga masih segar. Tetapi mereka memang tidak dapat membedakan seekor elang dengan elang yang lain.

Beberapa saat burung elang itu berputar-putar di atas rumah Kiai Gumrah. Sementara Manggada berdesis hampir kepada diri sendiri "Apakah ada semacam isyarat buat Darpati?"

Manggada terkejut ketika ia mendengar Ki Prawara bertanya "Kau yakin ada hubungan antara burung-burung itu dengan Darpati sehingga dengan demikian kau yakin bahwa yang telah terjadi itu sengaja dilakukan oleh Darpati sebagai jebakan?"

Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Baru kemudian Manggada menjawab sambil mengangguk kecil "Kami hanya menduga paman. Tetapi menurut pendengaran kami atas beberapa pendapat dari paman sendiri, kakek dan bibi agaknya memang demikian. Namun Winih akan berpendapat lain”

Ki Prawara mengangguk-angguk, Ketika Ki Prawara itu kemudian menengadahkan wajahnya, maka burung elang itu sudah terbang menjauh dan kemudian hilang di kejauhan.

"Winih telah membuat kepalaku menjadi pening" berkata Ki Prawara "Aku menyesal membawanya kemari sehingga ia bertemu dengan Darpati. Bagiku Darpati jauh lebih berbahaya dari Rambatan, karena kita tahu dengan pasti, siapakah Rambatan itu dan seberapa tinggi kemampuannya. Tetapi Darpati bagi kita masih terlalu asing. Sementara Winih telah langsung tertarik melihat ujud orang itu."

"Tetapi bagi seorang gadis seumur Winih, kita masih mempunyai kesempatan untuk mengarahkannya. Menurut pendapatku, sebaiknya kita berterus-terang bahwa kita menduga bahwa Darpati adalah salah seorang dari antara mereka yang ingin mengambil pusaka-pusaka itu” berkata Kiai Gumrah.

"Aku juga berpikir demikian ayah. Tetapi apakah Winih percaya? Apakah ia tidak mengira bahwa itu adalah sekedar alasan kita untuk mencegahnya berhubungan dengan Darpati?"

"Kita akan mencobanya...” berkata Kiai Gumrah.

Ki Prawara mengangguk-angguk. Katanya "Baiklah ayah. Kita memang harus berbicara dengan terbuka terhadap gadis itu. Kita berharap bahwa ia akan dapat mengerti apa yang sebaiknya dilakukan. Kita tidak ingin Winih menjadi semakin jauh terjerumus ke dalam ikatan batin dengan Darpati.”

Kiai Gumrah mengangguk-angguk saja. Namun katanya kemudian kepada Manggada dan Laksana "Kalian harus membantu kami.”

"Ya kakek...” jawab Manggada dan Laksana.

"Baiklah" jawab Kiai Gumrah "Kita harus menjaga agar persoalan kita tidak menjadi semakin kusut. Sementara Kiai Windu Kencana tentu sudah membicarakan rencananya semakin masak. Waktu kita menjadi semakin sempit. Orang yang kita harapkan dapat memberikan keterangan adalah Kundala. Tetapi jika benar Darpati adalah salah seorang di antara mereka, maka Kundala akan semakin sulit menghubungi kita. Apalagi jika pada suatu saat Darpati ada di sini, sengaja atau tidak sengaja melihat Kundala singgah.”

Ki Prawara mengangguk-angguk. Katanya "Kita harus menemukan satu cara untuk menyingkirkan Darpati dari Winih...”

Tetapi Ki Prawara dan Kiai Gumrah sepakat untuk berbicara langsung dengan Winih lebih dahulu. Menjelang sore hari, maka Manggada dan Laksana telah melakukan tugasnya sehari-hari. Mereka telah berada di banjar untuk membersihkan halaman banjar menggantikan pekerjaan Kiai Gumrah. Mengisi lampu dan kemudian menyiapkannya. Jika senja turun, maka mereka tinggal menyulutnya saja. Namun dalam pada itu, seorang anak muda yang agaknya tergesa-gesa datang menemui mereka.

"Ada apa?" bertanya Manggada.

"Rambatan..." desis anak muda itu.

"Kenapa dengan Rambatan?" bertanya Laksana sambil mengerutkan dahinya.

"Ia mendendammu...” jawab anak muda itu.

"Kenapa dendam aku?" bertanya Laksana pula.

"Ketika ia berniat mengajak adikmu singgah di rumahnya, maka niatnya itu telah terhalang!”

"Tetapi bukan kami yang menghalanginya. Tetapi Darpati.”

"Nampaknya ia tidak berani melawan orang itu. Selain itu ia tidak tahu di mana tinggalnya orang yang telah memukulinya bersama dengan beberapa orang anak muda dari padukuhan kami”

"Jadi dendamnya ditimpakan kepada kami?" bertanya Manggada dengan nada tinggi.

"Ya. Bahkan bukan hanya itu. Tetapi Rambatan telah mengadu kepada Ki Bekel. Meskipun Ki Bekel dan para bebahu padukuhan ini tidak senang terhadap Rambatan dan tingkah lakunya, tetapi bahwa anak-anaknya dipukuli oleh orang lain, Ki Bekel agaknya menjadi marah juga”

"Apakah Rambatan telah mengelabui Ki Bekel dengan keterangan palsu?" bertanya Manggada.

"Tidak. Ki Bekel sudah mendapat laporan tentang apa yang terjadi. Ki Bekel memang menjadi marah kepada Rambatan dan memberinya peringatan. Tetapi disamping itu, Ki Bekel tidak mau anak padukuhan ini dipukuli oleh orang lain”

"Bukankah Rambatan berbuat salah? Jika tidak ada orang lain itu, maka adikku dapat saja mengalami hal yang buruk” jawab anak muda itu.

"Menurut Ki Bekel, Rambatan harus dilaporkan kepadanya. Bukan dipukuli dan bahkan dilukai" jawab anak muda itu.

"Terlambat. Jika saat itu, kami harus melapor kepada Ki Bekel, maka yang tidak diinginkan mungkin sudah terjadi. Sementara itu memang Rambatan dan kawan-kawannya yang justru mendahului sehingga timbul perselisihan itu” berkata Laksana.

"Ya. Aku mengerti. Tetapi berhati-hatilah. Atau pulang sajalah. Rambatan dan kawan-kawannya kadang-kadang tidak dapat menahan diri” berkata anak muda itu.

"Tetapi jika ia berbuat demikian, maka Darpati akan marah. Ia dapat berbuat banyak atas Rambatan dan kawan-kawannya” jawab Manggada.

"Betapapun tinggi kemampuan orang itu, tetapi Rambatan dapat menggerakkan banyak anak-anak muda padukuhan ini. Senang atau tidak senang, anak-anak muda itu tidak berani menolak jika Rambatan minta agar mereka melakukannya” berkata anak muda itu.

"Jika dasarnya adalah karena mereka takut terhadap Rambatan dan kawan-kawannya, maka ketakutan yang lebih besar akan mencegah mereka. Darpati pantas lebih ditakuti dari Rambatan” jawab Manggada.

"Tetapi orang yang bernama Darpati itu tidak bertemu setiap hari dengan anak-anak muda di padukuhan ini” berkata anak muda itu.

Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Manggada berdesis "Baiklah. Kami akan pulang. Pekerjaan kami memang sudah selesai. Tinggal nanti menyalakan lampu-lampu minyak itu”

Tetapi Laksana itu pun bertanya "Jika kami pulang, apakah Rambatan dan kawan-kawannya tidak akan menyusul kami?"

"Ada beberapa pertimbangan" berkata anak muda itu "Aku sudah berbicara dengan beberapa orang kawan. Rambatan agaknya segan datang ke rumahmu karena ada adikmu. Apalagi melakukan kekerasan terhadap kalian berdua”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Katanya "Jika Kiai Gumrah tidak terlalu sibuk, biar Kiai Gumrah sajalah nanti yang menyalakan lampu di banjar”

Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Dengan nada datar Manggada berkata "Baiklah. Aku akan berbicara dengan kakek”

Demikianlah, maka Manggada dan Laksana itu pun segera meninggalkan banjar itu, sementara anak muda itu pun telah pergi pula. Anak muda itu berusaha agar kedatangannya tidak diketahui oleh Rambatan atau kawan-kawannya yang seakan-akan telah menjadi pengikutnya.

Ketika Manggada dan Laksana sampai di rumah Kiai Gumrah, maka keduanya masih saja ragu-ragu. Apakah mereka akan mengatakannya apa yang akan dilakukan oleh Rambatan.

Tetapi tiba-tiba saja Laksana berkata "Aku tidak mau selalu menghindar dari setiap persoalan. Kita tidak akan dapat terus-menerus bersembunyi, Kakek juga tidak. Sementara itu Darpati sudah mengetahui bahwa kita bukan Rambatan”

Manggada mengangguk angguk. Namun tiba-tiba ia berdesis "Darpati sama sekali tidak merasa heran melihat kita berkelahi di dekat pancuran itu. Agaknya ia memang sudah mengetahui bahwa kita memang bukan orang yang sama sekali tidak berdaya”

"Agaknya memang demikian. Ketika ia melindungi Winih dari niat Rambatan mengajaknya singgah di rumahnya, ia sengaja mencegah kita berbuat sesuatu, jika kita berbuat sesuatu, maka kejantanannya akan menyusut di mata Winih” sahut Laksana.

Manggada termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya "Baiklah. Kita tidak akan menyembunyikan diri untuk seterusnya. Kita akan pergi ke banjar untuk menyalakan lampu nanti”

"Kita tidak usah minta pertimbangan kakek. Kita justru akan mengatakan kepada kakek, bahwa kita tidak mempunyai kesempatan untuk mengelakkan diri dari benturan kekerasan” berkata Laksana kemudian.

Manggada mengangguk-angguk. Rasa-rasanya memang menjemukan untuk terus-menerus berpura-pura. Karena itu, maka keduanya memang tidak mengatakan kepada Kiai Gumrah bahwa Rambatan akan mengajak kawan-kawannya melontarkan dendam dan kemarahannya kepada mereka berdua.

Tidak seperti yang dikatakan mereka kepada anak muda itu, maka Manggada dan Laksana justru dengan sengaja pergi ke banjar lama itu untuk menyalakan lampu minyak. Mereka sama sekali tidak merasa perlu lagi untuk menghindar, karena dengan demikian maka persoalan antara mereka dan Rambatan justru tidak akan segera dapat diselesaikan.

Manggada dan Laksana kemudian sepakat, jika mereka tidak melarikan diri, maka Rambatan dan kawan-kawannya tidak akan menakut-nakuti mereka lagi. Ternyata anak muda yang datang memberitahukan kepada mereka, bahwa Rambatan dan kawan-kawannya akan datang itu tidak berbohong. Demikian lampu-lampu minyak di banjar lama itu menyala, maka di halaman banjar itu telah menunggu beberapa orang anak muda yang dipimpin oleh Rambatan.

"Orang-orang yang mencegat Winih di bulak itu" desis Manggada yang hanya didengar oleh Laksana.

Laksana menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Rambatan benar-benar menjadi sakit hati. Agaknya ia ingin membangkitkan kepercayaan kawan-kawan yang telah menjadi pengikutnya itu. Jika mereka berhasil menghajar kami berdua, maka cacat nama Rambatan karena kekalahannya dari Darpati akan sedikit dipulihkan”

Tetapi Laksana itu pun berkata "Tetapi aku tidak mau dikalahkan. Aku akan berbuat sebagaimana dilakukan oleh Darpati”

Namun ketika keduanya turun dari tangga pendapa banjar lama, yang berdiri di paling depan bukan Rambatan, tetapi seorang yang sebelumnya belum pernah dilihat oleh Manggada dan Laksana.

"Hati-hati terhadap orang ini" bisik Manggada. Laksana mengangguk. Tetapi ia justru langsung melangkah mendapatkan orang itu.

Orang itu mengerutkan dahinya. Dengan tajamnya ia memandang Laksana yang kemudian berdiri di hadapannya. Seakan-akan tidak ada persoalan apapun, Laksana berkata "Selamat malam, Ki Sanak. Apakah kalian mempunyai keperluan?"

"Siapa kau?" bertanya orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu.

"Aku adalah cucu Kiai Gumrah, yang terbiasa merawat banjar lama ini. Bukankah Rambatan dan anak-anak muda padukuhan ini mengetahuinya? Tetapi justru aku yang bertanya kepada Ki Sanak. Selama aku berada di sini, aku belum pernah bertemu dengan Ki Sanak.

"Persetan dengan kau" jawab orang itu "Aku tidak peduli apakah kau mengenal aku atau tidak. Tetapi di bulak itu kalian telah menyakiti hatiku, hati kawan-kawanku” jawab orang itu.

"Tetapi apa hubunganmu dengan persoalan yang pernah terjadi antara Darpati dan Rambatan? Jika Rambatan mendendam dan datang kepadamu untuk minta bantuanmu, maka sasaran dendamnya seharusnya adalah Darpati, bukan kami" berkata Laksana.

"Tidak ada dendam dan aku tidak peduli dengan Darpati. Aku datang membalas sakit hatiku dan sakit hati kawan-kawanku”

"Ya. Tetapi kenapa kau dan kawan-kawanmu menjadi sakit hati kepada kami? Jangan berputar-putar. Berkatalah terus-terang. Rambatan gagal mengganggu adikku Winih. Tetapi ia tidak berani membalas dendam kepada Darpati. Sekarang ia datang kepadaku bersama kawan-kawannya, bahkan dengan kau yang asing bagi padukuhan ini” Laksana berkata lantang.

"Persetan semuanya itu. Aku tidak peduli. Apapun sebab dan alasannya, bahkan seandainya tanpa alasan sekali pun. Kami ingin memukuli kalian berdua sampai kalian berdua tidak dapat bangkit berdiri. Itu saja”

Laksana menggeram. Wajahnya menjadi panas. Dengan geram ia berkata "Kau kira kami akan menyerahkan diri kami untuk diperlakukan demikian? He, berapa kau diupah untuk berbuat demikian atasku oleh Rambatan?"

"Setan kau" jawab orang itu dengan suara bergetar oleh kemarahan yang menghentak dadanya "Aku bukan orang upahan”

"Tentu kau orang upahan" jawab Laksana "apapun ujud upahnya. Mungkin bukan uang. Mungkin kesempatan, mungkin pujian atau mungkin kau ingin menjadi pahlawan dan dikagumi kawan-kawanmu”

"Cukup. Kau yang hanya dua orang itu akan berbuat apa, he? Jika kalian mempersulit diri, maka nasib kalian akan semakin buruk. Lebih buruk lagi jika kami nanti datang ke rumahmu untuk mengambil adikmu itu. Karena itu, sebaiknya kalian dengar dan lakukan perintah kami”

"Melakukan perintahmu untuk memukuli diri sendiri?" bertanya Laksana.

"Satu pendapat yang bagus!" berkata orang yang tinggi kekurus-kurusan itu.

Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Sambil tersenyum orang itu berkata "Kami ingin melihat kalian berdua berkelahi. Kalian harus bersungguh-sungguh sehingga salah seorang di antara kalian tidak dapat bangkit lagi. Nah, yang menang akan kami maafkan. Yang kalah, akan mengalami nasib yang lebih buruk lagi”

Tetapi Laksana tersenyum. Katanya "Bagaimana jika kalian saja yang berkelahi? Yang menang akan aku maafkan”

Wajah orang itu menjadi merah. Sambil berpaling kepada Rambatan ia berkata "Rambatan. Aku sependapat dengan kau, bahwa kedua-duanya harus mendapat pelajaran yang setimpal dengan kesombongannya. Mereka telah berpihak kepada orang yang dengan sengaja melawanmu. Nah, sekarang kau pantas memberikan hukuman kepada mereka.

"Jangan menunggu lagi" berkata Rambatan "Aku sudah tidak sabar”

"Marilah" berkata orang yang kekurus-kurusan itu "kita sebagaimana aku katakan, akan memukuli mereka sampai mereka tidak dapat bangkit lagi”

Adalah tidak diduga sama sekali, bahwa tiba-tiba saja Laksana justru telah meloncat menyerang orang yang kekurus-kurusan itu. la menganggap bahwa orang itu adalah orang yang paling diandalkan di antara sekelompok orang yang dipimpin oleh Rambatan itu.

Serangan yang tiba-tiba itu sangat mengejutkan orang yang tinggi agak kekurus-kurusan itu. Karena itu, maka ia tidak sempat menghindar. Yang dapat dilakukan adalah berusaha melindungi dadanya yang menjadi sasaran serangan kaki Laksana dengan tangannya.

Serangan Laksana demikian kerasnya didorong oleh segenap kekuatannya. Kakinya yang terjulur itu telah menghantam tangan orang yang kekurus-kurusan yang bersilang di dadanya. Demikian kerasnya serangan itu, sehingga dorongan kekuatannya yang menghentak pada tangan yang bersilang itu telah menekan dadanya pula.

Orang itu pun telah terdorong beberapa langkah surut. Bahkan ia pun telah kehilangan keseimbangannya, sehingga terhuyung-huyung menimpa beberapa orang yang berdiri di belakangnya.

Namun dengan demikian orang itu tidak jatuh terlentang di halaman banjar itu. Dengan sigapnya orang itu segera memperbaiki keseimbangannya yang goyah. Sejenak kemudian ia sudah berdiri tegak sambil mengumpat. Namun kemudian mulutnya harus menyeringai menahan sakit. Dadanya serasa menjadi sesak. Sedangkan tulang-tulang iganya bagaikan menjadi retak.

"Setan yang licik..." geram orang itu.

Tetapi Laksana tidak mau mendengarnya. Ia pun dengan cepat telah menyerang pula. Rambatan juga terkejut melihat serangan Laksana. Ia tidak menduga sama sekali, bahwa Laksana itu mampu bergerak demikian cepatnya. Dengan mendorong kawannya yang bertubuh kekurus-kurusan itu sehingga kehilangan keseimbangannya.

Karena itu, maka dengan cepat Rambatan mempersiapkan diri. Ia adalah anak muda yang ditakuti oleh seisi padukuhan itu. Karena itu, maka ia pun dapat bersikap garang pula.

Tetapi Manggada dengan cepat mendapatkannya sambil berkata "Jangan campuri persoalan mereka!”

"Iblis kau. Ternyata kalian tidak tahu diri. Kalian harus menyadari dengan siapa kalian berhadapan”

"Aku tahu. Aku berhadapan dengan Rambatan" jawab Manggada.

"Dan kau tahu siapa Rambatan itu?" bertanya Rambatan itu lagi.

"Tentu. Kau adalah anak muda yang disegani di padukuhan ini. Sehingga kau seakan-akan dapat berbuat apa saja menurut kehendakmu sendiri”

"Nah, jika demikian, kenapa kau berani menentang aku?"

"Karena aku bukan orang padukuhan ini" jawab Manggada “Aku datang ke padukuhan ini hanya sekedar untuk menengok kakekku. Karena itu, maka aku tidak terikat oleh keadaan yang berlaku di padukuhan ini. Juga keseganan anak-anak muda padukuhan ini terhadapmu”

"Kau akan menyesal anak sombong. Apalagi jika mau tahu, siapakah kawanku itu” geram Rambatan.

"Siapa?" bertanya Manggada.

"Ia datang dari jauh. Ia datang untuk menolongku dari penghinaan orang seperti yang kau sebut Darpati itu. Dan apalagi kau berdua. Malam ini kami akan membuat kalian jera. Besok atau lusa kami akan menghancurkan Darpati”

“Siapakah orang itu?" desak Manggada.

“Kau tidak perlu tahu lebih banyak. Tetapi ia seolah-olah datang dari langit”

Manggada termangu mangu sejenak. Ia sempat melihat bagaimana Laksana bertempur melawan orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu. Rambatan yang juga berpaling kepada kawannya yang kekurus-kurusan itu, sempat terkejut. Laksana telah mendesaknya sehingga beberapa kali orang itu berloncatan surut.

Namun Rambatan pun kemudian membentak kawan-kawannya yang seperti kebingungan menyaksikan pertempuran itu "He, kenapa kau menjadi seperti patung?”

Seorang kawannya menjawab "Bukankah orang itu tidak mau diganggu jika ia sudah mulai bertempur?"

"Persetan. Sekarang, hancurkan yang satu ini” perintah Rambatan.

Kawan-kawan Rambatan itu pun segera bergerak. Namun seperti Laksana, maka Manggada pun tidak mau terlambat. Dengan cepat ia menyerang seorang yang ingin menunjukkan keberaniannya, maju terlalu dekat dengan Manggada.

Serangan Manggada pun tidak tanggung-tanggung pula. Begitu cepat dan langsung ke sasaran. Dengan dilandasi kekuatannya yang besar, maka kakinya yang telah terlatih itu terjulur langsung menikam arah ulu hati.

Anak muda yang dikenai serangan itu mengaduh. Tubuhnya pun kemudian terbanting jatuh terguling di tanah. Namun ia pun kemudian telah berguling-guling sambil memegangi arah ulu hatinya yang bagaikan terkoyak itu. Rambatan yang marah pun menerkamnya. Rasa-rasanya ia ingin meremas leher Manggada yang telah melumpuhkannya seorang kawannya.

Tetapi Manggada yang terlatih itu tidak mudah untuk disentuhnya. Karena itu, maka tangannya sama sekali tidak mengenai sasaran. Sementara itu Manggada pun telah berloncatan di antara beberapa orang lawannya. Kakinya yang terayun mendatar telah menyambar seorang lagi di antara kawan-kawan Rambatan.

Orang itu masih berusaha menahan ayunan kaki Manggada dengan tangannya. Tetapi ayunan kaki itu demikian kerasnya, sehingga tangan orang itu justru bagaikan dihentakkan dengan sangat kerasnya sehingga tulangnya serasa menjadi retak. Orang itu mengaduh tertahan. Ia pun meloncat beberapa langkah surut sambil memegangi sebelah tangannya dengan tangannya yang lain.

Rambatan memang menjadi semakin marah. Tetapi Manggada pun tidak ingin bertempur terlalu lama. ia pun segera berloncatan. Kaki dan tangannya menyambar-nyambar seperti burung sikatan. Kawan-kawan Rambatan pun seakan-akan telah kehilangan kesempatan melawan. Ketika mereka melawan Darpati, mereka tidak tahu apa yang terjadi atas diri mereka. Yang mereka ketahui adalah, bahwa mereka telah terlempar dan kesakitan.

Namun melawan Manggada mereka juga tidak mempunyai kesempatan untuk membalas serangan-serangan yang datang beruntun. Bahkan Rambatan pun kemudian menjadi bingung ketika kedua tangan Manggada telah mengenai kedua sisi pelipisnya hampir bersamaan.

Sementara itu, Laksana masih bertempur melawan orang yang kekurus-kurusan itu. Ternyata bahwa orang itu juga memiliki bekal kemampuan yang cukup. Karena itu, maka Laksana harus mengerahkan kemampuannya untuk mengatasinya.

Beruntunglah Laksana bahwa ia telah menyerang lebih dahulu, sehingga setiap kali orang itu harus memegangi dadanya yang menjadi sakit serta nafasnya yang sesak, sehingga bagaimanapun juga dapat mengganggu kemantapannya bertempur.

Namun Laksana telah ditempa selain oleh ayahnya, juga kesempatannya untuk meningkatkan ilmunya dalam bimbingan Ki Ajar Pangukan. Karena itu, meskipun lawannya juga berbekal ilmu, namun Laksana sama sekali tidak tergetar karenanya. Bahkan semakin lama semakin nampak bahwa Laksana memiliki kelebihan dari lawannya itu.

Dalam pada itu, Ramnbatan memang mengalami kesulitan pula menghadapi Manggada. Bersama kawan-kawannya ia telah menjadi semakin terdesak. Dua orang kawannya telah menjadi kesakitan. Kemudian Rambatan telah beberapa kali dikenai oleh serangan-serangan Manggada.

Kemampuannya mulai disengat oleh perasaan nyeri. Bahkan kemudian bahu-nya pun telah kesakitan pula. Sedangkan serangan-serangan Manggada semakin lama justru menjadi semakin cepat.

Meskipun tidak segarang Darpati, namun Manggada ternyata memang tidak mudah dikuasai oleh Rambatan dan kawan-kawannya, bahkan seorang lagi telah terlempar dari perkelahian itu dan terdorong jatuh menimpa sebatang pohon di halaman banjar lama itu. Sehingga kepalanya menjadi sangat pening.

Ketika ia mencoba untuk bangkit ternyata halaman banjar itu rasa-rasanya menjadi berputar. Karena itu, maka orang itu pun telah menjatuhkan dirinya dan duduk sambil menyembunyikan wajahnya di belakang kedua tangannya. Namun bumi tempat ia duduk itu pun rasa-rasanya masih saja berputar. Rambatan menjadi semakin marah. Tetapi ia harus melihat kenyataan. Kawan-kawannya menjadi semakin berkurang.

Sementara itu, orang yang kekurus-kurusan, yang diharapkannya akan dapat menyelesaikan persoalan, ternyata juga mengalami kesulitan melawan Laksana. Orang yang kekurus-kurusan itu mengumpat sejadi-jadinya ketika ia terlempar beberapa langkah surut karena kaki Laksana telah menghantam dada orang itu.

Sambil menggeram orang itu telah mengerahkan segenap kemampuannya. Namun Laksana pun telah meningkatkan ilmunya pula. Ketika orang kekurus-kurusan itu mencoba untuk menembus pertahanan Laksana dengan serangan tangannya yang terayun mendatar kearah kening, maka Laksana sempat merendahkan dirinya. Dengan cepat tangannya terjulur lurus dengan jari-jari telapak tangannya yang merapat, keempat jari-jari tangannya itu justru sempat menyusup di bawah ayunan tangan lawannya langsung mengenai lambungnya.

Orang itu menyeringai menahan sakit sambil meloncat surut. Namun kemudian sambil mengerahkan segenap tenaganya, dengan cepat orang itu melontarkan serangan kaki yang meluncur mengarah ke dada Laksana.

Tetapi Laksana memang lebih mapan. Demikian serangan itu datang, Laksana dengan cepat menjatuhkan dirinya. Kedua kakinya sempat terbuka dan bagaikan menyuruk menjepit kaki lawannya yang satu lagi. Demikian Laksana memutar tubuhnya, maka lawannya itu bagaikan dihentakkan jatuh ke samping.

Orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu tidak menahan dirinya, karena ia sadar, bahwa hal itu tidak mungkin dilakukan. Jepitan dan putaran kaki Laksana terlalu kuat untuk ditahan. Karena itu, maka ia justru menjatuhkan dirinya dan berusaha untuk berguling beberapa kali sambil melepaskan jepitan kaki Laksana.

Dengan tangkasnya orang itu melenting berdiri. Namun ternyata Laksana bergerak lebih cepat. Demikian orang itu berdiri, maka tangan Laksana telah terjulur menyambar dagunya. Pukulan itu telah menghentakkannya sehingga kepalanya terangkat. Dengan cepat serangan berikutnya telah menyusul pula. Tangan Laksana telah menghantam perut lawannya yang kekurus-kurusan itu sesaat kepalanya terangkat.

Pukulan Laksana itu menjadi demikian kerasnya sehingga orang itu terbungkuk kesakitan. Tetapi ternyata bahwa orang itu memiliki tubuh yang liat. Demikian Laksana mengayunkan sisi telapak tangannya ke arah tengkuknya saat ia membungkuk, ternyata orang itu sempat membentur tubuh Laksana dengan kepalanya. Demikian kerasnya sehingga keduanya jatuh berguling.

Namun orang itu luput dari serangan Laksana yang hampir saja mengakhiri perkelahian itu. Sejenak kemudian, keduanya pun telah bangkit berdiri dan bersiap untuk melanjutkan perkelahian, meskipun orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu masih harus menyeringai menahan sakit di perutnya.

Laksana yang meskipun tidak sedang kesakitan termangu-mangu sejenak. Ternyata lawannya memiliki daya tahan yang luar biasa. Meskipun ia mendapat kesempatan lebih banyak untuk mengenainya, tetapi lawannya itu masih dapat bertahan dan melawannya dengan kekuatannya yang masih saja tidak menyusut. Karena itu, maka Laksana menjadi lebih berhati-hati. Orang itu tentu memiliki sesuatu yang dapat dibanggakannya.

Namun dalam pada itu, Rambatan dan kawan-kawannya menjadi semakin lama semakin tidak berdaya melawan Manggada. Seorang demi seorang mereka terlempar dari arena, sehingga disaat terakhir Rambatan pun telah terdorong beberapa langkah surut. Ia masih sempat bertahan agar tidak terbanting jatuh.

Namun serangan Manggada berikutnya telah menghantam dadanya. Demikian kerasnya sehingga Rambatan tidak lagi mampu bertahan. Ketika ia terbanting jatuh, ia masih sempat melihat dedaunan yang menjadi kehitaman di-malam yang semakin gelap itu berputar. Namun kemudian Rambatan itu menjadi pingsan.

Ketika Rambatan kemudian kehilangan kesadarannya, Manggada telah meninggalkannya. Seperti Laksana, maka Manggada pun berkesimpulan bahwa orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu ternyata memiliki ketahanan tubuh yang sangat tinggi. Meskipun serangan Laksana semakin banyak mengenai tubuhnya dan bahkan menyakitinya, namun beberapa saat kemudian, perasaan sakit itu seakan-akan telah di atasinya.

Beberapa kali orang itu menahan desah kesakitan. Beberapa kali ia harus menyeringai jika serangan Laksana mengenainya. Bahkan orang itu nampaknya selalu terdesak dan tidak mempunyai kesempatan untuk membalas serangan-serangan Laksana yang datang beruntun. Tetapi untuk waktu yang lama Laksana masih saja belum dapat mengalahkan orang itu.

Ketika kekuatan dan tenaga Laksana sudah terasa mulai menyusut karena ia harus mengerahkan tenaganya, ternyata bahwa lawannya itu masih saja tegar dan liat. Karena itulah, maka Manggada merasa perlu untuk segera melibatkan diri. Sesuatu yang aneh pada lawannya itu, membuat Manggada meragukan, apakah Laksana akan dapat memenangkan pertempuran itu.

Orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu memang menjadi gelisah ketika ia melihat Rambatan dan kawan-kawannya menjadi tidak berdaya sama sekali. Bahkan Rambatan sendiri telah menjadi pingsan. Ia sudah menduga, bahwa anak muda yang seorang lagi tentu akan ikut berkelahi melawannya.

Sebenarnyalah sejenak kemudian, maka orang itu harus bertempur melawan Laksana dan Manggada. Dua orang anak muda yang telah memiliki dasar-dasar kemampuan olah kanuragan. Ternyata orang yang kekurus-kurusan itu memang menjadi semakin sulit. Tetapi semakin lama tubuhnya seakan-akan menjadi semakin liat. Sekali-sekali orang itu mengaduh dan menyeringai menahan sakit. Namun kemudian ia telah bertempur lagi dengan garangnya.

Bahkan sekali-sekali orang itu dengan sengaja telah membentur serangan Manggada atau Laksana. Meskipun orang itu terlempar dan terguling, jatuh, namun ia pun cepat bangkit dan bersiap melanjutkan pertempuran. Sesaat ia masih terdengar mengeluh atau mengurut pinggangnya yang kesakitan.

Namun setelah ia berloncatan lagi, maka perasaan sakit itu rasa-rasanya telah hilang. Orang yang kekusus-kurusan itu telah melupakan perasaan sakitnya yang terdahulu ketika serangan Manggada dan Laksana yang kemudian mengenainya lagi.

Namun bagaimanapun juga, melawan kedua orang anak muda yang mempunyai landasan ilmu yang semakin mapan itu pun memang terlalu berat baginya. Betapapun ia memiliki ketahanan tubuh yang sangat tinggi, tetapi serangan kedua orang anak muda itu menjadi semakin sering mengenainya.

Seperti Manggada dan Laksana yang menjadi heran karena lawan mereka yang memiliki daya tahan tubuh yang sangat tinggi itu, maka orang yang kekurus-kurusan itu pun merasa heran, bahwa tenaga dan kemampuan kedua anak muda itu juga tidak segera terasa menyusut.

Meskipun sebenarnya Laksana sudah mulai merasa bahwa kekuatannya tidak lagi sesegar saat ia mulai bertempur dan bahkan sebenarnya sudah mulai menyusut, namun ketika Manggada kemudian bertempur bersamanya, maka Laksana masih dapat menghentakkan tenaganya sehingga rasa-rasanya kekuatannya masih utuh.

Dengan demikian maka orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu harus menyadari kenyataan yang dihadapinya. Bagaimanapun juga, agaknya terlalu berat baginya untuk melawan kedua orang anak muda itu. Karena itu, maka orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu tidak ingin memaksa diri melawan kedua orang anak muda yang sebelumnya disangka tidak akan dapat melawannya bersama dengan Rambatan dan kawan-kawannya.

Rambatan dan kawan-kawannya diharap dapat menguasai seorang di antara kedua orang anak muda itu. Kemudian orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu akan menguasai seorang yang lain. Namun ternyata Rambatan dan kawan-kawannya menjadi tidak berdaya.

Karena itu, maka orang itu pun telah mengambil satu keputusan untuk meninggalkan perkelahian itu. Ia merasa bahwa ia tidak akan berhasil, sementara itu, persoalannya justru akan dapat mengembang seandainya kedua orang itu kemudian dapat menguasainya. Maka ketika ia kemudian mendapat kesempatan, orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu telah mempergunakannya sebaik-baiknya.

Dengan cepat orang itu pun segera meloncat ke dalam gelap. Ketika itu melenting hinggap di atas dinding halaman banjar tua itu. Kemudian dengan cepat meluncur seperti terbang, turun dalam bayangan pepohonan di luar dinding banjar.

Manggada dan Laksana memang mengejarnya. Tetapi ketika keduanya meloncat turun pula di luar dinding halaman, mereka seakan-akan telah kehilangan jejak. Orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu sudah tidak nampak lagi.

Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Namun kemudian keduanya telah meloncati dinding itu dan kembali memasuki halaman banjar. Di halaman itu masih terbaring Rambatan yang pingsan serta beberapa orang yang kesakitan.

Ketika Manggada dan Laksana mendekati Rambatan yang masih terbaring, ternyata ia sudah mulai menyadari keadaannya. Perlahan-lahan matanya mulai terbuka. Di bawah cahaya lampu minyak di pendapa banjar yang berkeredipan ditiup angin, Rambatan nampak menahan sakit di tubuhnya.

"Rambatan..." Laksana mengguncang tubuh yang mu lai bergerak itu.

Wajah Rambatan justru menjadi pucat, ketika ia melihat Laksana berdiri di sebelahnya.

"Bangun..." perintah Laksana "Cepat. Aku ingin bicara!”

Rambatan memang menjadi ketakutan. Apalagi ketika ia melihat Manggada yang menatapnya dengan tajamnya. Bahkan Manggada itu pun kemudian berkata pula,

"Bangunlah. Kita akan berbicara atau kita harus berkelahi lagi”

"Tidak. Aku tidak ingin berkelahi lagi" jawab Rambatan yang menjadi ketakutan.

"Bagus..." jawab Manggada "Jika demikian, marilah. Kita akan naik ke pendapa. Kita akan berbicara”

"Apa yang akan kita bicarakan?" bertanya Rambatan.

"Apa saja. Kau harus menjawab pertanyaan-pertanyaanku...” jawab Laksana.

"Apa yang akan kau tanyakan?" bertanya Rambatan pula.

"Sekarang ikut naik atau kita akan berkelahi. Kami berdua, kau seorang diri, karena kawan-kawanmu masih kesakitan.”

Rambatan sempat memandang berkeliling. Kawan-kawannya sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa. Meskipun mereka sudah duduk, tetapi mereka rasa-rasanya sulit untuk bangkit berdiri. Rambatan pun kemudian duduk pula. Bahkan kemudian dengan susah payah ia pun bangkit berdiri tertatih-tatih. Meskipun tubuhnya masih terasa sakit, namun ia memaksa diri untuk naik kependapa. Ternyata kedua orang anak muda itu bukan anak muda kebanyakan sebagaimana anak-anak muda padukuhan itu.

Ketika mereka sudah duduk di pendapa, maka Manggada dan Laksana yang duduk di sebelah menyebelahnya mulai mengajukan beberapa pertanyaan. Dengan suara bergetar Rambatan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan Manggada dan Laksana.

"Aku tidak percaya jika kau belum mengenal orang itu tadi sebelumnya...!" geram Laksana.

"Benar. Aku belum mengenalnya" jawab Rambatan.

"Jika ia belum mengenalmu, kenapa ia bersedia membantumu?" desak Manggada.

"Ia datang kepadaku dan menawarkan bantuannya." jawab Rambatan. Wajahnya menjadi semakin pucat, sedangkan keringat dingin membasahi punggungnya.

"Kau jangan berbohong...!" geram Manggada "Kau tahu bahwa aku dapat memilin lehermu? Kawan-kawanmu tidak akan berani membantumu sementara orang yang kau anggap akan dapat menyelesaikan dendammu itu sudah melarikan diri”

Wajah Rambatan menjadi semakin pucat. Dengan suara yang terbata-bata Rambatan menjawab "Aku tidak berbohong. Aku berkata sebenarnya.”

"Jika demikian, ceriterakan kepadaku, bagaimana terjadi, bahwa orang itu bersedia membantumu sehingga kau bawa orang itu kemari?” desak Laksana.

Rambatan memang menjadi sangat ragu-ragu. Tetapi ketika Laksana memegang pergelangan tangannya, maka Rambatan yang disegani oleh orang-orang sepadukuhan itu terpaksa berceritera tentang orang yang kekurus-kurusan itu.

"Tanpa aku ketahui asal-usulnya, maka ia datang kepadaku. Begitu tiba-tiba. Ia menawarkan jasa baiknya jika aku ingin membalas dendam. Aku sudah mengatakan kepadanya, bahwa aku mendendam kepada Darpati. Tetapi orang itu justru menunjuk kalian berdua merupakan bagian dari sasaran dendamku. Sementara itu, aku tidak akan dapat mencari di mana Darpati tinggal” berkata Rambatan.

"Apakah orang itu mengenal Darpati? Apakah ia tahu apa yang telah terjadi di bulak saat kau mencegat Winih? Apa pula yang diketahuinya tentang kami berdua?" bertanya Manggada.

"Tidak banyak yang diketahuinya selain bahwa kalian harus mendapat sedikit peringatan atas tingkah laku kalian” jawab Rambatan.

"Tingkah laku yang mana?" desak Laksana.

"Orang itu tidak mengatakannya” jawab Rambatan.

"Dan kau lakukan apa yang dikatakannya seperti korban yang dicocok hidung?" bertanya Manggada.

"Bukan maksudku...” jawab Rambatan.

"Omong kosong. Kau memang mempunyai kebiasaan buruk. Kau mempunyai kesenangan berkelahi dan menyakiti hati orang lain. Menyakiti tubuhnya, tetapi juga menyakiti hatinya.” geram Laksana yang kemudian mengguncang tubuh Rambatan sambil berkata selanjutnya "Katakan, siapa nama orang itu?"

Rambatan menjadi semakin ketakutan. Tetapi kemudian ia memberanikan diri untuk menjawab "Aku tidak tahu.”

"Setan kau..." Laksana menjadi marah "Lalu apa yang kau ketahui, he? Apakah aku harus mencekikmu?"

"Benar, aku tidak tahu namanya." bukan hanya suara Rambatan yang bergetar. Tetapi tubuhnya juga mulai gemetar.

"Jadi kau benar-benar tidak tahu apa-apa tentang orang itu atau demikian pandainya kau berbohong?" bentak Laksana.

"Aku benar-benar tidak tahu.” jawab Rambatan hampir menangis karena ketakutan.

Laksana yang menahan kemarahannya itu menggeram "Kau tahu bahwa apa yang kau katakan itu tidak masuk akal?”

"Tetapi sebenarnyalah demikian yang terjadi. Aku dan kawan-kawanku tidak mengenal orang itu. Ia datang dan menawarkan diri untuk membantuku. Itu saja...” suara Rambatan menjadi hampir tidak terdengar.

"Dan kau tidak bertanya lebih lanjut?" Laksana mulai mengguncang tubuh Rambatan dengan memegang bajunya.

Rambatan semakin gemetar dan ketakutan. Justru karena itu, maka ia tidak mampu lagi berkata sesuatu.

Dalam pada itu, tiba-tiba saja terdengar suara Kiai Gumrah yang memasuki regol halaman banjar tua itu. Sambil bergegas mendekati Manggada dan Laksana ia bertanya "Ada apa? Ada apa dengan Rambatan?"

Laksana harus melepaskan pegangannya atas baju Rambatan. Bahkan ia pun telah bergeser surut.

"Apa yang terjadi?" bertanya Kiai Gumrah.

"Katakan apa yang terjadi kepada kakek." geram Laksana.

"Apa yang terjadi Rambatan?" bertanya Kiai Gumrah "Aku minta maaf, jika kedua cucuku telah mengganggumu.”

"Kek" berkata Laksana "Aku tidak ingin terus-menerus menyembunyikan diri. Dalam keadaan seperti ini aku tidak dapat berbuat lain kecuali melawan.”

Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Rambatan telah diminta untuk menceriterakan apa yang telah terjadi di banjar tua itu. Dengan singkat Rambatan telah menceriterakan apa yang telah terjadi. Ia pun menceriterakan tentang orang yang bertubuh kekurus-kurusan yang sebenarnya sama sekali tidak dikenalnya itu.

"Apakah kita dapat percaya dengan ceritera itu kek?" bertanya Laksana.

Tetapi Kiai Gumrah mengangguk kecil sambil menjawab. "Aku percaya kepadanya. Ia telah berceritera apa adanya...”

Selanjutnya,
Sang Penerus Bagian 12

Sang Penerus Bagian 11

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
LAKSANA tertawa. Hampir saja ia tidak dapat menahan suara tertawanya. Namun kemudian ia menutup mulutnya dengan telapak tangannya. Tetapi ia sempat berdesis "Ketiga-tiganya telah kita pertaruhkan dengan nyawa kita...”

"Sudahlah..." desis Manggada "Kau jangan mengigau begitu.”

Laksana tidak menjawab. Tetapi ia masih tersenyum sambil melangkah mengikuti Manggada yang pergi ke halaman belakang. Demikian keduanya berada di pintu butulan, mereka melihat Kiai Gumrah yang telah berdiri di longkangan bersama Ki Prawara memandang ke udara.

Tanpa ragu-ragu Manggada pun menebak. "Burung elang itu lagi, kek?"

"Ya. Kemarilah. Biarlah burung itu melihat bahwa kau berdua telah selamat sampai di rumah ini...”

Manggada dan Laksana pun segera turun ke longkangan. Mereka melihat sepasang burung elang yang terbang berputar-putar. Yang seekor tentu bukan elang yang telah terluka. Sedangkan yang seekor lagi nampaknya juga masih segar. Tetapi mereka memang tidak dapat membedakan seekor elang dengan elang yang lain.

Beberapa saat burung elang itu berputar-putar di atas rumah Kiai Gumrah. Sementara Manggada berdesis hampir kepada diri sendiri "Apakah ada semacam isyarat buat Darpati?"

Manggada terkejut ketika ia mendengar Ki Prawara bertanya "Kau yakin ada hubungan antara burung-burung itu dengan Darpati sehingga dengan demikian kau yakin bahwa yang telah terjadi itu sengaja dilakukan oleh Darpati sebagai jebakan?"

Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Baru kemudian Manggada menjawab sambil mengangguk kecil "Kami hanya menduga paman. Tetapi menurut pendengaran kami atas beberapa pendapat dari paman sendiri, kakek dan bibi agaknya memang demikian. Namun Winih akan berpendapat lain”

Ki Prawara mengangguk-angguk, Ketika Ki Prawara itu kemudian menengadahkan wajahnya, maka burung elang itu sudah terbang menjauh dan kemudian hilang di kejauhan.

"Winih telah membuat kepalaku menjadi pening" berkata Ki Prawara "Aku menyesal membawanya kemari sehingga ia bertemu dengan Darpati. Bagiku Darpati jauh lebih berbahaya dari Rambatan, karena kita tahu dengan pasti, siapakah Rambatan itu dan seberapa tinggi kemampuannya. Tetapi Darpati bagi kita masih terlalu asing. Sementara Winih telah langsung tertarik melihat ujud orang itu."

"Tetapi bagi seorang gadis seumur Winih, kita masih mempunyai kesempatan untuk mengarahkannya. Menurut pendapatku, sebaiknya kita berterus-terang bahwa kita menduga bahwa Darpati adalah salah seorang dari antara mereka yang ingin mengambil pusaka-pusaka itu” berkata Kiai Gumrah.

"Aku juga berpikir demikian ayah. Tetapi apakah Winih percaya? Apakah ia tidak mengira bahwa itu adalah sekedar alasan kita untuk mencegahnya berhubungan dengan Darpati?"

"Kita akan mencobanya...” berkata Kiai Gumrah.

Ki Prawara mengangguk-angguk. Katanya "Baiklah ayah. Kita memang harus berbicara dengan terbuka terhadap gadis itu. Kita berharap bahwa ia akan dapat mengerti apa yang sebaiknya dilakukan. Kita tidak ingin Winih menjadi semakin jauh terjerumus ke dalam ikatan batin dengan Darpati.”

Kiai Gumrah mengangguk-angguk saja. Namun katanya kemudian kepada Manggada dan Laksana "Kalian harus membantu kami.”

"Ya kakek...” jawab Manggada dan Laksana.

"Baiklah" jawab Kiai Gumrah "Kita harus menjaga agar persoalan kita tidak menjadi semakin kusut. Sementara Kiai Windu Kencana tentu sudah membicarakan rencananya semakin masak. Waktu kita menjadi semakin sempit. Orang yang kita harapkan dapat memberikan keterangan adalah Kundala. Tetapi jika benar Darpati adalah salah seorang di antara mereka, maka Kundala akan semakin sulit menghubungi kita. Apalagi jika pada suatu saat Darpati ada di sini, sengaja atau tidak sengaja melihat Kundala singgah.”

Ki Prawara mengangguk-angguk. Katanya "Kita harus menemukan satu cara untuk menyingkirkan Darpati dari Winih...”

Tetapi Ki Prawara dan Kiai Gumrah sepakat untuk berbicara langsung dengan Winih lebih dahulu. Menjelang sore hari, maka Manggada dan Laksana telah melakukan tugasnya sehari-hari. Mereka telah berada di banjar untuk membersihkan halaman banjar menggantikan pekerjaan Kiai Gumrah. Mengisi lampu dan kemudian menyiapkannya. Jika senja turun, maka mereka tinggal menyulutnya saja. Namun dalam pada itu, seorang anak muda yang agaknya tergesa-gesa datang menemui mereka.

"Ada apa?" bertanya Manggada.

"Rambatan..." desis anak muda itu.

"Kenapa dengan Rambatan?" bertanya Laksana sambil mengerutkan dahinya.

"Ia mendendammu...” jawab anak muda itu.

"Kenapa dendam aku?" bertanya Laksana pula.

"Ketika ia berniat mengajak adikmu singgah di rumahnya, maka niatnya itu telah terhalang!”

"Tetapi bukan kami yang menghalanginya. Tetapi Darpati.”

"Nampaknya ia tidak berani melawan orang itu. Selain itu ia tidak tahu di mana tinggalnya orang yang telah memukulinya bersama dengan beberapa orang anak muda dari padukuhan kami”

"Jadi dendamnya ditimpakan kepada kami?" bertanya Manggada dengan nada tinggi.

"Ya. Bahkan bukan hanya itu. Tetapi Rambatan telah mengadu kepada Ki Bekel. Meskipun Ki Bekel dan para bebahu padukuhan ini tidak senang terhadap Rambatan dan tingkah lakunya, tetapi bahwa anak-anaknya dipukuli oleh orang lain, Ki Bekel agaknya menjadi marah juga”

"Apakah Rambatan telah mengelabui Ki Bekel dengan keterangan palsu?" bertanya Manggada.

"Tidak. Ki Bekel sudah mendapat laporan tentang apa yang terjadi. Ki Bekel memang menjadi marah kepada Rambatan dan memberinya peringatan. Tetapi disamping itu, Ki Bekel tidak mau anak padukuhan ini dipukuli oleh orang lain”

"Bukankah Rambatan berbuat salah? Jika tidak ada orang lain itu, maka adikku dapat saja mengalami hal yang buruk” jawab anak muda itu.

"Menurut Ki Bekel, Rambatan harus dilaporkan kepadanya. Bukan dipukuli dan bahkan dilukai" jawab anak muda itu.

"Terlambat. Jika saat itu, kami harus melapor kepada Ki Bekel, maka yang tidak diinginkan mungkin sudah terjadi. Sementara itu memang Rambatan dan kawan-kawannya yang justru mendahului sehingga timbul perselisihan itu” berkata Laksana.

"Ya. Aku mengerti. Tetapi berhati-hatilah. Atau pulang sajalah. Rambatan dan kawan-kawannya kadang-kadang tidak dapat menahan diri” berkata anak muda itu.

"Tetapi jika ia berbuat demikian, maka Darpati akan marah. Ia dapat berbuat banyak atas Rambatan dan kawan-kawannya” jawab Manggada.

"Betapapun tinggi kemampuan orang itu, tetapi Rambatan dapat menggerakkan banyak anak-anak muda padukuhan ini. Senang atau tidak senang, anak-anak muda itu tidak berani menolak jika Rambatan minta agar mereka melakukannya” berkata anak muda itu.

"Jika dasarnya adalah karena mereka takut terhadap Rambatan dan kawan-kawannya, maka ketakutan yang lebih besar akan mencegah mereka. Darpati pantas lebih ditakuti dari Rambatan” jawab Manggada.

"Tetapi orang yang bernama Darpati itu tidak bertemu setiap hari dengan anak-anak muda di padukuhan ini” berkata anak muda itu.

Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Manggada berdesis "Baiklah. Kami akan pulang. Pekerjaan kami memang sudah selesai. Tinggal nanti menyalakan lampu-lampu minyak itu”

Tetapi Laksana itu pun bertanya "Jika kami pulang, apakah Rambatan dan kawan-kawannya tidak akan menyusul kami?"

"Ada beberapa pertimbangan" berkata anak muda itu "Aku sudah berbicara dengan beberapa orang kawan. Rambatan agaknya segan datang ke rumahmu karena ada adikmu. Apalagi melakukan kekerasan terhadap kalian berdua”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Katanya "Jika Kiai Gumrah tidak terlalu sibuk, biar Kiai Gumrah sajalah nanti yang menyalakan lampu di banjar”

Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Dengan nada datar Manggada berkata "Baiklah. Aku akan berbicara dengan kakek”

Demikianlah, maka Manggada dan Laksana itu pun segera meninggalkan banjar itu, sementara anak muda itu pun telah pergi pula. Anak muda itu berusaha agar kedatangannya tidak diketahui oleh Rambatan atau kawan-kawannya yang seakan-akan telah menjadi pengikutnya.

Ketika Manggada dan Laksana sampai di rumah Kiai Gumrah, maka keduanya masih saja ragu-ragu. Apakah mereka akan mengatakannya apa yang akan dilakukan oleh Rambatan.

Tetapi tiba-tiba saja Laksana berkata "Aku tidak mau selalu menghindar dari setiap persoalan. Kita tidak akan dapat terus-menerus bersembunyi, Kakek juga tidak. Sementara itu Darpati sudah mengetahui bahwa kita bukan Rambatan”

Manggada mengangguk angguk. Namun tiba-tiba ia berdesis "Darpati sama sekali tidak merasa heran melihat kita berkelahi di dekat pancuran itu. Agaknya ia memang sudah mengetahui bahwa kita memang bukan orang yang sama sekali tidak berdaya”

"Agaknya memang demikian. Ketika ia melindungi Winih dari niat Rambatan mengajaknya singgah di rumahnya, ia sengaja mencegah kita berbuat sesuatu, jika kita berbuat sesuatu, maka kejantanannya akan menyusut di mata Winih” sahut Laksana.

Manggada termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya "Baiklah. Kita tidak akan menyembunyikan diri untuk seterusnya. Kita akan pergi ke banjar untuk menyalakan lampu nanti”

"Kita tidak usah minta pertimbangan kakek. Kita justru akan mengatakan kepada kakek, bahwa kita tidak mempunyai kesempatan untuk mengelakkan diri dari benturan kekerasan” berkata Laksana kemudian.

Manggada mengangguk-angguk. Rasa-rasanya memang menjemukan untuk terus-menerus berpura-pura. Karena itu, maka keduanya memang tidak mengatakan kepada Kiai Gumrah bahwa Rambatan akan mengajak kawan-kawannya melontarkan dendam dan kemarahannya kepada mereka berdua.

Tidak seperti yang dikatakan mereka kepada anak muda itu, maka Manggada dan Laksana justru dengan sengaja pergi ke banjar lama itu untuk menyalakan lampu minyak. Mereka sama sekali tidak merasa perlu lagi untuk menghindar, karena dengan demikian maka persoalan antara mereka dan Rambatan justru tidak akan segera dapat diselesaikan.

Manggada dan Laksana kemudian sepakat, jika mereka tidak melarikan diri, maka Rambatan dan kawan-kawannya tidak akan menakut-nakuti mereka lagi. Ternyata anak muda yang datang memberitahukan kepada mereka, bahwa Rambatan dan kawan-kawannya akan datang itu tidak berbohong. Demikian lampu-lampu minyak di banjar lama itu menyala, maka di halaman banjar itu telah menunggu beberapa orang anak muda yang dipimpin oleh Rambatan.

"Orang-orang yang mencegat Winih di bulak itu" desis Manggada yang hanya didengar oleh Laksana.

Laksana menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Rambatan benar-benar menjadi sakit hati. Agaknya ia ingin membangkitkan kepercayaan kawan-kawan yang telah menjadi pengikutnya itu. Jika mereka berhasil menghajar kami berdua, maka cacat nama Rambatan karena kekalahannya dari Darpati akan sedikit dipulihkan”

Tetapi Laksana itu pun berkata "Tetapi aku tidak mau dikalahkan. Aku akan berbuat sebagaimana dilakukan oleh Darpati”

Namun ketika keduanya turun dari tangga pendapa banjar lama, yang berdiri di paling depan bukan Rambatan, tetapi seorang yang sebelumnya belum pernah dilihat oleh Manggada dan Laksana.

"Hati-hati terhadap orang ini" bisik Manggada. Laksana mengangguk. Tetapi ia justru langsung melangkah mendapatkan orang itu.

Orang itu mengerutkan dahinya. Dengan tajamnya ia memandang Laksana yang kemudian berdiri di hadapannya. Seakan-akan tidak ada persoalan apapun, Laksana berkata "Selamat malam, Ki Sanak. Apakah kalian mempunyai keperluan?"

"Siapa kau?" bertanya orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu.

"Aku adalah cucu Kiai Gumrah, yang terbiasa merawat banjar lama ini. Bukankah Rambatan dan anak-anak muda padukuhan ini mengetahuinya? Tetapi justru aku yang bertanya kepada Ki Sanak. Selama aku berada di sini, aku belum pernah bertemu dengan Ki Sanak.

"Persetan dengan kau" jawab orang itu "Aku tidak peduli apakah kau mengenal aku atau tidak. Tetapi di bulak itu kalian telah menyakiti hatiku, hati kawan-kawanku” jawab orang itu.

"Tetapi apa hubunganmu dengan persoalan yang pernah terjadi antara Darpati dan Rambatan? Jika Rambatan mendendam dan datang kepadamu untuk minta bantuanmu, maka sasaran dendamnya seharusnya adalah Darpati, bukan kami" berkata Laksana.

"Tidak ada dendam dan aku tidak peduli dengan Darpati. Aku datang membalas sakit hatiku dan sakit hati kawan-kawanku”

"Ya. Tetapi kenapa kau dan kawan-kawanmu menjadi sakit hati kepada kami? Jangan berputar-putar. Berkatalah terus-terang. Rambatan gagal mengganggu adikku Winih. Tetapi ia tidak berani membalas dendam kepada Darpati. Sekarang ia datang kepadaku bersama kawan-kawannya, bahkan dengan kau yang asing bagi padukuhan ini” Laksana berkata lantang.

"Persetan semuanya itu. Aku tidak peduli. Apapun sebab dan alasannya, bahkan seandainya tanpa alasan sekali pun. Kami ingin memukuli kalian berdua sampai kalian berdua tidak dapat bangkit berdiri. Itu saja”

Laksana menggeram. Wajahnya menjadi panas. Dengan geram ia berkata "Kau kira kami akan menyerahkan diri kami untuk diperlakukan demikian? He, berapa kau diupah untuk berbuat demikian atasku oleh Rambatan?"

"Setan kau" jawab orang itu dengan suara bergetar oleh kemarahan yang menghentak dadanya "Aku bukan orang upahan”

"Tentu kau orang upahan" jawab Laksana "apapun ujud upahnya. Mungkin bukan uang. Mungkin kesempatan, mungkin pujian atau mungkin kau ingin menjadi pahlawan dan dikagumi kawan-kawanmu”

"Cukup. Kau yang hanya dua orang itu akan berbuat apa, he? Jika kalian mempersulit diri, maka nasib kalian akan semakin buruk. Lebih buruk lagi jika kami nanti datang ke rumahmu untuk mengambil adikmu itu. Karena itu, sebaiknya kalian dengar dan lakukan perintah kami”

"Melakukan perintahmu untuk memukuli diri sendiri?" bertanya Laksana.

"Satu pendapat yang bagus!" berkata orang yang tinggi kekurus-kurusan itu.

Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Sambil tersenyum orang itu berkata "Kami ingin melihat kalian berdua berkelahi. Kalian harus bersungguh-sungguh sehingga salah seorang di antara kalian tidak dapat bangkit lagi. Nah, yang menang akan kami maafkan. Yang kalah, akan mengalami nasib yang lebih buruk lagi”

Tetapi Laksana tersenyum. Katanya "Bagaimana jika kalian saja yang berkelahi? Yang menang akan aku maafkan”

Wajah orang itu menjadi merah. Sambil berpaling kepada Rambatan ia berkata "Rambatan. Aku sependapat dengan kau, bahwa kedua-duanya harus mendapat pelajaran yang setimpal dengan kesombongannya. Mereka telah berpihak kepada orang yang dengan sengaja melawanmu. Nah, sekarang kau pantas memberikan hukuman kepada mereka.

"Jangan menunggu lagi" berkata Rambatan "Aku sudah tidak sabar”

"Marilah" berkata orang yang kekurus-kurusan itu "kita sebagaimana aku katakan, akan memukuli mereka sampai mereka tidak dapat bangkit lagi”

Adalah tidak diduga sama sekali, bahwa tiba-tiba saja Laksana justru telah meloncat menyerang orang yang kekurus-kurusan itu. la menganggap bahwa orang itu adalah orang yang paling diandalkan di antara sekelompok orang yang dipimpin oleh Rambatan itu.

Serangan yang tiba-tiba itu sangat mengejutkan orang yang tinggi agak kekurus-kurusan itu. Karena itu, maka ia tidak sempat menghindar. Yang dapat dilakukan adalah berusaha melindungi dadanya yang menjadi sasaran serangan kaki Laksana dengan tangannya.

Serangan Laksana demikian kerasnya didorong oleh segenap kekuatannya. Kakinya yang terjulur itu telah menghantam tangan orang yang kekurus-kurusan yang bersilang di dadanya. Demikian kerasnya serangan itu, sehingga dorongan kekuatannya yang menghentak pada tangan yang bersilang itu telah menekan dadanya pula.

Orang itu pun telah terdorong beberapa langkah surut. Bahkan ia pun telah kehilangan keseimbangannya, sehingga terhuyung-huyung menimpa beberapa orang yang berdiri di belakangnya.

Namun dengan demikian orang itu tidak jatuh terlentang di halaman banjar itu. Dengan sigapnya orang itu segera memperbaiki keseimbangannya yang goyah. Sejenak kemudian ia sudah berdiri tegak sambil mengumpat. Namun kemudian mulutnya harus menyeringai menahan sakit. Dadanya serasa menjadi sesak. Sedangkan tulang-tulang iganya bagaikan menjadi retak.

"Setan yang licik..." geram orang itu.

Tetapi Laksana tidak mau mendengarnya. Ia pun dengan cepat telah menyerang pula. Rambatan juga terkejut melihat serangan Laksana. Ia tidak menduga sama sekali, bahwa Laksana itu mampu bergerak demikian cepatnya. Dengan mendorong kawannya yang bertubuh kekurus-kurusan itu sehingga kehilangan keseimbangannya.

Karena itu, maka dengan cepat Rambatan mempersiapkan diri. Ia adalah anak muda yang ditakuti oleh seisi padukuhan itu. Karena itu, maka ia pun dapat bersikap garang pula.

Tetapi Manggada dengan cepat mendapatkannya sambil berkata "Jangan campuri persoalan mereka!”

"Iblis kau. Ternyata kalian tidak tahu diri. Kalian harus menyadari dengan siapa kalian berhadapan”

"Aku tahu. Aku berhadapan dengan Rambatan" jawab Manggada.

"Dan kau tahu siapa Rambatan itu?" bertanya Rambatan itu lagi.

"Tentu. Kau adalah anak muda yang disegani di padukuhan ini. Sehingga kau seakan-akan dapat berbuat apa saja menurut kehendakmu sendiri”

"Nah, jika demikian, kenapa kau berani menentang aku?"

"Karena aku bukan orang padukuhan ini" jawab Manggada “Aku datang ke padukuhan ini hanya sekedar untuk menengok kakekku. Karena itu, maka aku tidak terikat oleh keadaan yang berlaku di padukuhan ini. Juga keseganan anak-anak muda padukuhan ini terhadapmu”

"Kau akan menyesal anak sombong. Apalagi jika mau tahu, siapakah kawanku itu” geram Rambatan.

"Siapa?" bertanya Manggada.

"Ia datang dari jauh. Ia datang untuk menolongku dari penghinaan orang seperti yang kau sebut Darpati itu. Dan apalagi kau berdua. Malam ini kami akan membuat kalian jera. Besok atau lusa kami akan menghancurkan Darpati”

“Siapakah orang itu?" desak Manggada.

“Kau tidak perlu tahu lebih banyak. Tetapi ia seolah-olah datang dari langit”

Manggada termangu mangu sejenak. Ia sempat melihat bagaimana Laksana bertempur melawan orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu. Rambatan yang juga berpaling kepada kawannya yang kekurus-kurusan itu, sempat terkejut. Laksana telah mendesaknya sehingga beberapa kali orang itu berloncatan surut.

Namun Rambatan pun kemudian membentak kawan-kawannya yang seperti kebingungan menyaksikan pertempuran itu "He, kenapa kau menjadi seperti patung?”

Seorang kawannya menjawab "Bukankah orang itu tidak mau diganggu jika ia sudah mulai bertempur?"

"Persetan. Sekarang, hancurkan yang satu ini” perintah Rambatan.

Kawan-kawan Rambatan itu pun segera bergerak. Namun seperti Laksana, maka Manggada pun tidak mau terlambat. Dengan cepat ia menyerang seorang yang ingin menunjukkan keberaniannya, maju terlalu dekat dengan Manggada.

Serangan Manggada pun tidak tanggung-tanggung pula. Begitu cepat dan langsung ke sasaran. Dengan dilandasi kekuatannya yang besar, maka kakinya yang telah terlatih itu terjulur langsung menikam arah ulu hati.

Anak muda yang dikenai serangan itu mengaduh. Tubuhnya pun kemudian terbanting jatuh terguling di tanah. Namun ia pun kemudian telah berguling-guling sambil memegangi arah ulu hatinya yang bagaikan terkoyak itu. Rambatan yang marah pun menerkamnya. Rasa-rasanya ia ingin meremas leher Manggada yang telah melumpuhkannya seorang kawannya.

Tetapi Manggada yang terlatih itu tidak mudah untuk disentuhnya. Karena itu, maka tangannya sama sekali tidak mengenai sasaran. Sementara itu Manggada pun telah berloncatan di antara beberapa orang lawannya. Kakinya yang terayun mendatar telah menyambar seorang lagi di antara kawan-kawan Rambatan.

Orang itu masih berusaha menahan ayunan kaki Manggada dengan tangannya. Tetapi ayunan kaki itu demikian kerasnya, sehingga tangan orang itu justru bagaikan dihentakkan dengan sangat kerasnya sehingga tulangnya serasa menjadi retak. Orang itu mengaduh tertahan. Ia pun meloncat beberapa langkah surut sambil memegangi sebelah tangannya dengan tangannya yang lain.

Rambatan memang menjadi semakin marah. Tetapi Manggada pun tidak ingin bertempur terlalu lama. ia pun segera berloncatan. Kaki dan tangannya menyambar-nyambar seperti burung sikatan. Kawan-kawan Rambatan pun seakan-akan telah kehilangan kesempatan melawan. Ketika mereka melawan Darpati, mereka tidak tahu apa yang terjadi atas diri mereka. Yang mereka ketahui adalah, bahwa mereka telah terlempar dan kesakitan.

Namun melawan Manggada mereka juga tidak mempunyai kesempatan untuk membalas serangan-serangan yang datang beruntun. Bahkan Rambatan pun kemudian menjadi bingung ketika kedua tangan Manggada telah mengenai kedua sisi pelipisnya hampir bersamaan.

Sementara itu, Laksana masih bertempur melawan orang yang kekurus-kurusan itu. Ternyata bahwa orang itu juga memiliki bekal kemampuan yang cukup. Karena itu, maka Laksana harus mengerahkan kemampuannya untuk mengatasinya.

Beruntunglah Laksana bahwa ia telah menyerang lebih dahulu, sehingga setiap kali orang itu harus memegangi dadanya yang menjadi sakit serta nafasnya yang sesak, sehingga bagaimanapun juga dapat mengganggu kemantapannya bertempur.

Namun Laksana telah ditempa selain oleh ayahnya, juga kesempatannya untuk meningkatkan ilmunya dalam bimbingan Ki Ajar Pangukan. Karena itu, meskipun lawannya juga berbekal ilmu, namun Laksana sama sekali tidak tergetar karenanya. Bahkan semakin lama semakin nampak bahwa Laksana memiliki kelebihan dari lawannya itu.

Dalam pada itu, Ramnbatan memang mengalami kesulitan pula menghadapi Manggada. Bersama kawan-kawannya ia telah menjadi semakin terdesak. Dua orang kawannya telah menjadi kesakitan. Kemudian Rambatan telah beberapa kali dikenai oleh serangan-serangan Manggada.

Kemampuannya mulai disengat oleh perasaan nyeri. Bahkan kemudian bahu-nya pun telah kesakitan pula. Sedangkan serangan-serangan Manggada semakin lama justru menjadi semakin cepat.

Meskipun tidak segarang Darpati, namun Manggada ternyata memang tidak mudah dikuasai oleh Rambatan dan kawan-kawannya, bahkan seorang lagi telah terlempar dari perkelahian itu dan terdorong jatuh menimpa sebatang pohon di halaman banjar lama itu. Sehingga kepalanya menjadi sangat pening.

Ketika ia mencoba untuk bangkit ternyata halaman banjar itu rasa-rasanya menjadi berputar. Karena itu, maka orang itu pun telah menjatuhkan dirinya dan duduk sambil menyembunyikan wajahnya di belakang kedua tangannya. Namun bumi tempat ia duduk itu pun rasa-rasanya masih saja berputar. Rambatan menjadi semakin marah. Tetapi ia harus melihat kenyataan. Kawan-kawannya menjadi semakin berkurang.

Sementara itu, orang yang kekurus-kurusan, yang diharapkannya akan dapat menyelesaikan persoalan, ternyata juga mengalami kesulitan melawan Laksana. Orang yang kekurus-kurusan itu mengumpat sejadi-jadinya ketika ia terlempar beberapa langkah surut karena kaki Laksana telah menghantam dada orang itu.

Sambil menggeram orang itu telah mengerahkan segenap kemampuannya. Namun Laksana pun telah meningkatkan ilmunya pula. Ketika orang kekurus-kurusan itu mencoba untuk menembus pertahanan Laksana dengan serangan tangannya yang terayun mendatar kearah kening, maka Laksana sempat merendahkan dirinya. Dengan cepat tangannya terjulur lurus dengan jari-jari telapak tangannya yang merapat, keempat jari-jari tangannya itu justru sempat menyusup di bawah ayunan tangan lawannya langsung mengenai lambungnya.

Orang itu menyeringai menahan sakit sambil meloncat surut. Namun kemudian sambil mengerahkan segenap tenaganya, dengan cepat orang itu melontarkan serangan kaki yang meluncur mengarah ke dada Laksana.

Tetapi Laksana memang lebih mapan. Demikian serangan itu datang, Laksana dengan cepat menjatuhkan dirinya. Kedua kakinya sempat terbuka dan bagaikan menyuruk menjepit kaki lawannya yang satu lagi. Demikian Laksana memutar tubuhnya, maka lawannya itu bagaikan dihentakkan jatuh ke samping.

Orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu tidak menahan dirinya, karena ia sadar, bahwa hal itu tidak mungkin dilakukan. Jepitan dan putaran kaki Laksana terlalu kuat untuk ditahan. Karena itu, maka ia justru menjatuhkan dirinya dan berusaha untuk berguling beberapa kali sambil melepaskan jepitan kaki Laksana.

Dengan tangkasnya orang itu melenting berdiri. Namun ternyata Laksana bergerak lebih cepat. Demikian orang itu berdiri, maka tangan Laksana telah terjulur menyambar dagunya. Pukulan itu telah menghentakkannya sehingga kepalanya terangkat. Dengan cepat serangan berikutnya telah menyusul pula. Tangan Laksana telah menghantam perut lawannya yang kekurus-kurusan itu sesaat kepalanya terangkat.

Pukulan Laksana itu menjadi demikian kerasnya sehingga orang itu terbungkuk kesakitan. Tetapi ternyata bahwa orang itu memiliki tubuh yang liat. Demikian Laksana mengayunkan sisi telapak tangannya ke arah tengkuknya saat ia membungkuk, ternyata orang itu sempat membentur tubuh Laksana dengan kepalanya. Demikian kerasnya sehingga keduanya jatuh berguling.

Namun orang itu luput dari serangan Laksana yang hampir saja mengakhiri perkelahian itu. Sejenak kemudian, keduanya pun telah bangkit berdiri dan bersiap untuk melanjutkan perkelahian, meskipun orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu masih harus menyeringai menahan sakit di perutnya.

Laksana yang meskipun tidak sedang kesakitan termangu-mangu sejenak. Ternyata lawannya memiliki daya tahan yang luar biasa. Meskipun ia mendapat kesempatan lebih banyak untuk mengenainya, tetapi lawannya itu masih dapat bertahan dan melawannya dengan kekuatannya yang masih saja tidak menyusut. Karena itu, maka Laksana menjadi lebih berhati-hati. Orang itu tentu memiliki sesuatu yang dapat dibanggakannya.

Namun dalam pada itu, Rambatan dan kawan-kawannya menjadi semakin lama semakin tidak berdaya melawan Manggada. Seorang demi seorang mereka terlempar dari arena, sehingga disaat terakhir Rambatan pun telah terdorong beberapa langkah surut. Ia masih sempat bertahan agar tidak terbanting jatuh.

Namun serangan Manggada berikutnya telah menghantam dadanya. Demikian kerasnya sehingga Rambatan tidak lagi mampu bertahan. Ketika ia terbanting jatuh, ia masih sempat melihat dedaunan yang menjadi kehitaman di-malam yang semakin gelap itu berputar. Namun kemudian Rambatan itu menjadi pingsan.

Ketika Rambatan kemudian kehilangan kesadarannya, Manggada telah meninggalkannya. Seperti Laksana, maka Manggada pun berkesimpulan bahwa orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu ternyata memiliki ketahanan tubuh yang sangat tinggi. Meskipun serangan Laksana semakin banyak mengenai tubuhnya dan bahkan menyakitinya, namun beberapa saat kemudian, perasaan sakit itu seakan-akan telah di atasinya.

Beberapa kali orang itu menahan desah kesakitan. Beberapa kali ia harus menyeringai jika serangan Laksana mengenainya. Bahkan orang itu nampaknya selalu terdesak dan tidak mempunyai kesempatan untuk membalas serangan-serangan Laksana yang datang beruntun. Tetapi untuk waktu yang lama Laksana masih saja belum dapat mengalahkan orang itu.

Ketika kekuatan dan tenaga Laksana sudah terasa mulai menyusut karena ia harus mengerahkan tenaganya, ternyata bahwa lawannya itu masih saja tegar dan liat. Karena itulah, maka Manggada merasa perlu untuk segera melibatkan diri. Sesuatu yang aneh pada lawannya itu, membuat Manggada meragukan, apakah Laksana akan dapat memenangkan pertempuran itu.

Orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu memang menjadi gelisah ketika ia melihat Rambatan dan kawan-kawannya menjadi tidak berdaya sama sekali. Bahkan Rambatan sendiri telah menjadi pingsan. Ia sudah menduga, bahwa anak muda yang seorang lagi tentu akan ikut berkelahi melawannya.

Sebenarnyalah sejenak kemudian, maka orang itu harus bertempur melawan Laksana dan Manggada. Dua orang anak muda yang telah memiliki dasar-dasar kemampuan olah kanuragan. Ternyata orang yang kekurus-kurusan itu memang menjadi semakin sulit. Tetapi semakin lama tubuhnya seakan-akan menjadi semakin liat. Sekali-sekali orang itu mengaduh dan menyeringai menahan sakit. Namun kemudian ia telah bertempur lagi dengan garangnya.

Bahkan sekali-sekali orang itu dengan sengaja telah membentur serangan Manggada atau Laksana. Meskipun orang itu terlempar dan terguling, jatuh, namun ia pun cepat bangkit dan bersiap melanjutkan pertempuran. Sesaat ia masih terdengar mengeluh atau mengurut pinggangnya yang kesakitan.

Namun setelah ia berloncatan lagi, maka perasaan sakit itu rasa-rasanya telah hilang. Orang yang kekusus-kurusan itu telah melupakan perasaan sakitnya yang terdahulu ketika serangan Manggada dan Laksana yang kemudian mengenainya lagi.

Namun bagaimanapun juga, melawan kedua orang anak muda yang mempunyai landasan ilmu yang semakin mapan itu pun memang terlalu berat baginya. Betapapun ia memiliki ketahanan tubuh yang sangat tinggi, tetapi serangan kedua orang anak muda itu menjadi semakin sering mengenainya.

Seperti Manggada dan Laksana yang menjadi heran karena lawan mereka yang memiliki daya tahan tubuh yang sangat tinggi itu, maka orang yang kekurus-kurusan itu pun merasa heran, bahwa tenaga dan kemampuan kedua anak muda itu juga tidak segera terasa menyusut.

Meskipun sebenarnya Laksana sudah mulai merasa bahwa kekuatannya tidak lagi sesegar saat ia mulai bertempur dan bahkan sebenarnya sudah mulai menyusut, namun ketika Manggada kemudian bertempur bersamanya, maka Laksana masih dapat menghentakkan tenaganya sehingga rasa-rasanya kekuatannya masih utuh.

Dengan demikian maka orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu harus menyadari kenyataan yang dihadapinya. Bagaimanapun juga, agaknya terlalu berat baginya untuk melawan kedua orang anak muda itu. Karena itu, maka orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu tidak ingin memaksa diri melawan kedua orang anak muda yang sebelumnya disangka tidak akan dapat melawannya bersama dengan Rambatan dan kawan-kawannya.

Rambatan dan kawan-kawannya diharap dapat menguasai seorang di antara kedua orang anak muda itu. Kemudian orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu akan menguasai seorang yang lain. Namun ternyata Rambatan dan kawan-kawannya menjadi tidak berdaya.

Karena itu, maka orang itu pun telah mengambil satu keputusan untuk meninggalkan perkelahian itu. Ia merasa bahwa ia tidak akan berhasil, sementara itu, persoalannya justru akan dapat mengembang seandainya kedua orang itu kemudian dapat menguasainya. Maka ketika ia kemudian mendapat kesempatan, orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu telah mempergunakannya sebaik-baiknya.

Dengan cepat orang itu pun segera meloncat ke dalam gelap. Ketika itu melenting hinggap di atas dinding halaman banjar tua itu. Kemudian dengan cepat meluncur seperti terbang, turun dalam bayangan pepohonan di luar dinding banjar.

Manggada dan Laksana memang mengejarnya. Tetapi ketika keduanya meloncat turun pula di luar dinding halaman, mereka seakan-akan telah kehilangan jejak. Orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu sudah tidak nampak lagi.

Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Namun kemudian keduanya telah meloncati dinding itu dan kembali memasuki halaman banjar. Di halaman itu masih terbaring Rambatan yang pingsan serta beberapa orang yang kesakitan.

Ketika Manggada dan Laksana mendekati Rambatan yang masih terbaring, ternyata ia sudah mulai menyadari keadaannya. Perlahan-lahan matanya mulai terbuka. Di bawah cahaya lampu minyak di pendapa banjar yang berkeredipan ditiup angin, Rambatan nampak menahan sakit di tubuhnya.

"Rambatan..." Laksana mengguncang tubuh yang mu lai bergerak itu.

Wajah Rambatan justru menjadi pucat, ketika ia melihat Laksana berdiri di sebelahnya.

"Bangun..." perintah Laksana "Cepat. Aku ingin bicara!”

Rambatan memang menjadi ketakutan. Apalagi ketika ia melihat Manggada yang menatapnya dengan tajamnya. Bahkan Manggada itu pun kemudian berkata pula,

"Bangunlah. Kita akan berbicara atau kita harus berkelahi lagi”

"Tidak. Aku tidak ingin berkelahi lagi" jawab Rambatan yang menjadi ketakutan.

"Bagus..." jawab Manggada "Jika demikian, marilah. Kita akan naik ke pendapa. Kita akan berbicara”

"Apa yang akan kita bicarakan?" bertanya Rambatan.

"Apa saja. Kau harus menjawab pertanyaan-pertanyaanku...” jawab Laksana.

"Apa yang akan kau tanyakan?" bertanya Rambatan pula.

"Sekarang ikut naik atau kita akan berkelahi. Kami berdua, kau seorang diri, karena kawan-kawanmu masih kesakitan.”

Rambatan sempat memandang berkeliling. Kawan-kawannya sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa. Meskipun mereka sudah duduk, tetapi mereka rasa-rasanya sulit untuk bangkit berdiri. Rambatan pun kemudian duduk pula. Bahkan kemudian dengan susah payah ia pun bangkit berdiri tertatih-tatih. Meskipun tubuhnya masih terasa sakit, namun ia memaksa diri untuk naik kependapa. Ternyata kedua orang anak muda itu bukan anak muda kebanyakan sebagaimana anak-anak muda padukuhan itu.

Ketika mereka sudah duduk di pendapa, maka Manggada dan Laksana yang duduk di sebelah menyebelahnya mulai mengajukan beberapa pertanyaan. Dengan suara bergetar Rambatan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan Manggada dan Laksana.

"Aku tidak percaya jika kau belum mengenal orang itu tadi sebelumnya...!" geram Laksana.

"Benar. Aku belum mengenalnya" jawab Rambatan.

"Jika ia belum mengenalmu, kenapa ia bersedia membantumu?" desak Manggada.

"Ia datang kepadaku dan menawarkan bantuannya." jawab Rambatan. Wajahnya menjadi semakin pucat, sedangkan keringat dingin membasahi punggungnya.

"Kau jangan berbohong...!" geram Manggada "Kau tahu bahwa aku dapat memilin lehermu? Kawan-kawanmu tidak akan berani membantumu sementara orang yang kau anggap akan dapat menyelesaikan dendammu itu sudah melarikan diri”

Wajah Rambatan menjadi semakin pucat. Dengan suara yang terbata-bata Rambatan menjawab "Aku tidak berbohong. Aku berkata sebenarnya.”

"Jika demikian, ceriterakan kepadaku, bagaimana terjadi, bahwa orang itu bersedia membantumu sehingga kau bawa orang itu kemari?” desak Laksana.

Rambatan memang menjadi sangat ragu-ragu. Tetapi ketika Laksana memegang pergelangan tangannya, maka Rambatan yang disegani oleh orang-orang sepadukuhan itu terpaksa berceritera tentang orang yang kekurus-kurusan itu.

"Tanpa aku ketahui asal-usulnya, maka ia datang kepadaku. Begitu tiba-tiba. Ia menawarkan jasa baiknya jika aku ingin membalas dendam. Aku sudah mengatakan kepadanya, bahwa aku mendendam kepada Darpati. Tetapi orang itu justru menunjuk kalian berdua merupakan bagian dari sasaran dendamku. Sementara itu, aku tidak akan dapat mencari di mana Darpati tinggal” berkata Rambatan.

"Apakah orang itu mengenal Darpati? Apakah ia tahu apa yang telah terjadi di bulak saat kau mencegat Winih? Apa pula yang diketahuinya tentang kami berdua?" bertanya Manggada.

"Tidak banyak yang diketahuinya selain bahwa kalian harus mendapat sedikit peringatan atas tingkah laku kalian” jawab Rambatan.

"Tingkah laku yang mana?" desak Laksana.

"Orang itu tidak mengatakannya” jawab Rambatan.

"Dan kau lakukan apa yang dikatakannya seperti korban yang dicocok hidung?" bertanya Manggada.

"Bukan maksudku...” jawab Rambatan.

"Omong kosong. Kau memang mempunyai kebiasaan buruk. Kau mempunyai kesenangan berkelahi dan menyakiti hati orang lain. Menyakiti tubuhnya, tetapi juga menyakiti hatinya.” geram Laksana yang kemudian mengguncang tubuh Rambatan sambil berkata selanjutnya "Katakan, siapa nama orang itu?"

Rambatan menjadi semakin ketakutan. Tetapi kemudian ia memberanikan diri untuk menjawab "Aku tidak tahu.”

"Setan kau..." Laksana menjadi marah "Lalu apa yang kau ketahui, he? Apakah aku harus mencekikmu?"

"Benar, aku tidak tahu namanya." bukan hanya suara Rambatan yang bergetar. Tetapi tubuhnya juga mulai gemetar.

"Jadi kau benar-benar tidak tahu apa-apa tentang orang itu atau demikian pandainya kau berbohong?" bentak Laksana.

"Aku benar-benar tidak tahu.” jawab Rambatan hampir menangis karena ketakutan.

Laksana yang menahan kemarahannya itu menggeram "Kau tahu bahwa apa yang kau katakan itu tidak masuk akal?”

"Tetapi sebenarnyalah demikian yang terjadi. Aku dan kawan-kawanku tidak mengenal orang itu. Ia datang dan menawarkan diri untuk membantuku. Itu saja...” suara Rambatan menjadi hampir tidak terdengar.

"Dan kau tidak bertanya lebih lanjut?" Laksana mulai mengguncang tubuh Rambatan dengan memegang bajunya.

Rambatan semakin gemetar dan ketakutan. Justru karena itu, maka ia tidak mampu lagi berkata sesuatu.

Dalam pada itu, tiba-tiba saja terdengar suara Kiai Gumrah yang memasuki regol halaman banjar tua itu. Sambil bergegas mendekati Manggada dan Laksana ia bertanya "Ada apa? Ada apa dengan Rambatan?"

Laksana harus melepaskan pegangannya atas baju Rambatan. Bahkan ia pun telah bergeser surut.

"Apa yang terjadi?" bertanya Kiai Gumrah.

"Katakan apa yang terjadi kepada kakek." geram Laksana.

"Apa yang terjadi Rambatan?" bertanya Kiai Gumrah "Aku minta maaf, jika kedua cucuku telah mengganggumu.”

"Kek" berkata Laksana "Aku tidak ingin terus-menerus menyembunyikan diri. Dalam keadaan seperti ini aku tidak dapat berbuat lain kecuali melawan.”

Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Rambatan telah diminta untuk menceriterakan apa yang telah terjadi di banjar tua itu. Dengan singkat Rambatan telah menceriterakan apa yang telah terjadi. Ia pun menceriterakan tentang orang yang bertubuh kekurus-kurusan yang sebenarnya sama sekali tidak dikenalnya itu.

"Apakah kita dapat percaya dengan ceritera itu kek?" bertanya Laksana.

Tetapi Kiai Gumrah mengangguk kecil sambil menjawab. "Aku percaya kepadanya. Ia telah berceritera apa adanya...”

Selanjutnya,
Sang Penerus Bagian 12